SII-Kel 11

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

SEJARAH SOSIO-INTELEKTUAL ULAMA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sejarah Islam Indonesia

Dosen Pengampu:

Dr. Suparman Jassin, M. Ag., CEHS

Firman M. Noor, M. Hum

Disusun Oleh:

1. Abdullah Rifat Dhorif 1225010001


2. Alfian Dwi Laksono 1225010020
3. Aryana Herawati 1225010028
4. Asep Saepulloh 1225010029

SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana dengan Rahmat
dan kasih sayang-Nya lah kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini tepat pada
waktunya. Shalawat serta salam tidak lupa kami haturkan kepada suri tauladan kita, nabi
Allah, Muhammad Rasulullah SAW. Kepada para keluarganya, sahabat, para tabi’in tabi’at,
dan kepada kita selaku umatnya semoga mendapatkan syafa’atnya di hari akhir kelak.
Adapun makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Indonesia
pada semester 3 (tiga), tahun akademik 2023/2024.

Berbagai tantangan dan hambatan, penulis dapatkan selama proses penyusunan makalah
ini, akan tetapi hambatan itu dapat teratasi dengan adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, kami ucapkan terimakasih banyak kepada semua pihak yang terlibat didalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat banyak kekurangan,
untuk itu kami berharap adanya kritik saran yang membangun demi perbaikan di masa
mendatang. Demikian yang dapat kami sampaikan semoga Makalah ini dapat bermanfaat
dalam menambah wawasan kita mengenai Sejarah Sosio-Intelektual Ulama.

Bandung, 22 November 2023

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I.........................................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................................................3

BAB II........................................................................................................................................4

PEMBAHASAN........................................................................................................................4

2.1 Awal Pertumbuhan Intelektual Islam................................................................................4

2.2 Nuruddin Ar-Raniry..........................................................................................................4

2.2.1 Biografi Nuruddin Ar-Raniry.....................................................................................4

2.2.2 Karya-Karya Nuruddin Ar-Raniry.............................................................................7

2.2.3 Peranan Nuruddin Ar-Raniry Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual................8

2.3 Al-Palimbani...................................................................................................................11

2.3.1 Biografi Al-Palimbani..............................................................................................11

2.3.2 Peran Al-Palimbani Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual.............................14

2.3.3 Karya Tulis Al-Palimbani........................................................................................15

2.4 Yusuf Al-Maqassary.......................................................................................................15

2.4.1 Biografi....................................................................................................................15

2.4.2 Karya-Karya Yusuf Al-Makassari............................................................................17

2.4.3 Peran Al-Makassari Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual.............................19

2.5. Al-Banjari......................................................................................................................20

2.5.1 Biografi....................................................................................................................20

2.5.2 Karya-Karya Al-Banjari...........................................................................................21

ii
2.5.3 Peran Al-Makassari Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual.............................22

2.6 Sejarah Sosio-Intelektual di Nusantara..........................................................................24

2.6.1 Sejarah Sosio-Intelektual di Nusantara Abad Ke-19...............................................24

2.7.2 Sejarah Sosio-Intelektual Awal Mula Abad Ke-20..................................................26

BAB III.....................................................................................................................................28

PENUTUP................................................................................................................................28

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses Islamisasi di Nusantara dan Jawa pada khususnya tidak bisa dilepaskan dari peran
sentral para ulama. Keberadaan ulama bisa disebut paling berjasa dalam memperkenalkan
Islam di masyarakat Nusantara dan Jawa pada khususnya. Masuknya orang-orang Jawa
menjadi penganut agama Islam ini, menurut cerita rakyat Jawa karena peran dakwah para
ulama wali songo yang sangat tekun dan memahami kondisi sosio kultural masyarakat Jawa.
Para wali ini menggunakan jalur pendekatan kultural dan edukasional. Selanjutnya Islamisasi
dijalankan oleh para ulama sebagai elit masyarakat yang memiliki pengaruh demikian besar
terutama menyangkut tanggung jawab terhadap nilai-nilai agama. Pemikiran kritis para ulama
telah melahirkan sebuah kebudayaan yang dinamis dan membentuk warna kehidupan
keagamaan dalam masyarakat. Termasuk juga dalam hal ini adalah peran ulama dalam
menyebarluaskan pengetahuan melalui pemikiran-pemikirannya.1

Di Indonesia, yang termasuk kawasan kebudayaan Melayu, perkembangan tradisi


pemikiran Islam dapat dibagi dalam dua periode: periode pertama adalah tradisi intelektual
yang berkembang sebelum bersentuhan dengan paham pembaharuan Jamaluddin al Afgani,
Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan sebagainya. Sedangkan pemikiran yang kedua
adalah pemikiran yang berkembang setelah terkena sentuhan modernisme. Tradisi intelektual
ulama periode pertama misalnya dikembangkan oleh: Hamzah Fansuri, Nurrudin Ar Raniri,
Syamsuddin Sumaterani, Syekh Nawawi, KH Shaleh Darat, Mahfudz at Termasi. Sedangkan
dalam periode kedua berkembang pemikiran yang dipengaruhi oleh modernisme Islam,
seperti pemikiran HOS Cokroaminoto, H Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, Syaihk A Sorkati,
M. Natsir. Dalam perkembangan lebih lanjut terlihat bahwa pemikiran Islam senantiasa
berusaha merumuskan dan memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul dalam proses
modernisasi dan pembangunan. misalnya dikembangkan oleh Nurcholis Madjid, Jalaluddin
Rahmat, Abdurrahman Wahid, A. M Syaefuddin, Kuntowijoyo, A. Syafi’i Ma’arif.2

1
Mukhamad Shokheh, Tradisi Intelektual Ulama Jawa: Sejarah Sosial Intelektual Pemikiran Keislaman Kiai
Shaleh Darat, Paramita, 2011, h. 149
2
h. 150

1
Sejarah intelektual memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ilmu pengetahuan.
Umat Islam dalam kurun waktu tertentu memiliki peran yang sangat besar dalam
mengembangkan tradisi keilmuan. Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, ini
dibuktikan dengan kegiatan penerjemahan transkrip-transkrip ilmu pengetahuan karya-karya
filsuf Yunani dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab yang di mulai pada tahun 638 Masehi.
Tidak ada dikhotomi dalam ilmu dan agama bagi Islam. Al-quran dan sunnah Nabi menjadi
sumber dasar utama untuk penggalian ilmu pengetahuan. Maka dari itu aspek-aspek sejarah
harus sangat dipahami untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Dalam hal ini sejarah intelektual
sangatlah dibutuhkan demi mengetahui aspek keilmuan dari berbagai tokoh.3

Mengkaji sejarah intelektual menjadi bidang keilmuan yang harusnya memiliki perhatian
yang tinggi. Kajian keilmuan dari berbagai tokoh membuat sejarah mereka menjadi sangat
penting. Sejarah dapat menjadi suatu penilaian jati diri terhadap suatu tokoh ataupun suatu
bangsa. Sejarah intelektual pastinya adalah bagian dari (keilmuan) sejarah. Dalam kajian
tentang sejarah intelektual maka harus diketahui apa makna intelektual itu sendiri. Menurut
Siswanto Masruri, cendekiawan (intelektual) adalah orang-orang yang, dengan atau tanpa
latar belakang pendidikan tertentu, mampu menciptakan, memahami suatu ilmu pengetahuan
dan menerapkannya dalam bentuk pemikiran atau ide, dalam berbagai aspek kehidupan
secara simbolik, rasional, kreatif, bebas dan bertanggungjawab atas dasar nilai-nilai esensial
pandangan hidup mereka.4

Sementara itu, dalam konsep Islam, menurut Safi’i Ma’arif, cendekiawan disamakan
dengan ulil albab. Mereka adalah kelompok intelektual beriman yang mampu menyatukan
kekuatan dzikir dan fikr (refleksi dan penalaran), di samping punya kebijakan (hikmah)
dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah dunia dan kemanusiaan. Kelompok
inilah yang bisa diharapkan untuk tampil menghadapi dan memberi arah moral kepada
penyelesaian masalah-masalah kritis yang dihadapi dunia dan kemanusiaan. Sejarah
intelektual menurut Sartono Kartodirdjo adalah mencoba mengungkapkan latar belakang
sosio-kultural para pemikir, agar dapat mengeksplorasikan faktor-faktor sosio-kultural yang
mempengaruhinya. Dengan demikian, tidak mudah jatuh ke dalam absolutisme dan
determinisme.5

3
H. M. Yakub, Sejarah Sosial Intelektual Islam Zainal Arifin Abbas (1912-1979 M) “Perspektif Sosio-Kultural,
Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 2018, h.87
4
h. 88
5
Ibid

2
Dimulai dari peradaban Islam yang besar dan berkembang dikarenakan ilmu pengetahuan
yang meluas, tokoh-tokoh intelektual muncul dari generasi ke generasi. Kajian sejarah
intelektual melihat dari sosio-kultural dari tokoh intelektual tersebut. Kajian ini tentu saja
dapat membedakan pemikiran dari seorang tokoh dari sosio-kultural tokoh tersebut. Di
Indonesia sendiri muncul banyak tokoh intelektual Muslim, seperti Nuruddin Al-Raniry,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Yusuf al-Maqassary, Al-Palimbani, Al-Banjari.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam pembahasan kali ini, kami merumuskan sebuah rumusan masalah mengenai apa
yang menjadi dasar pemikiran dari para ulama-ulama di Nusantara, seperti Nuruddin Al-
Raniry, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Yusuf al-Maqassary, Al-Palimbani, Al-Banjari
dalam sejarah Sosio-Intelektual?

1.3 Tujuan Penulisan

Ditinjau dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam kajian kali ini ialah
untuk mengetahui dasar pemikiran dari para ulama-ulama di Nusantara, seperti Nuruddin Al-
Raniry, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Yusuf al-Maqassary, Al-Palimbani, Al-Banjari
dalam sejarah Sosio-Intelektual.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Awal Pertumbuhan Intelektual Islam

Periode sejak akhir abad 16 sampai akhir abad 19 memunculkan tonggak-tonggak


intelektualitas yang cemerlang melalui berbagai karya ulama yang monumental dalam
berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Pada abad 17 misalnya dikenal dua “gelombang”
intelektualitas; gelombang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan corak
“wahdat al-wujud” yang kental. Sementara itu, gelombang kedua intelektualitas Islam abad
17 diwakili tokoh-tokoh ulama pemikir, yang merupakan sufi dan ahli fiqh sekaligus, seperti
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.6

Gelombang intelektualitas Islam Nusantara ini berlanjut pada abad 18 dan 19, yang
memunculkan sejumlah pemikir-ulama seperti Abdusshamad al-Palimbani (sekitar 1704-
1789), Daud bin Abdullah al-Patani (w. sekitar 1850), M. Arsyad al-Banjari, M. Nafis al-
Banjari, Nawawi al-Bantani (1813-1897), Raja Ali Haji (1808-1870), Ahmad Rifai Kalisalak,
M. Mahfuzh al-Termasi, M. Saleh Umar Darat as-Samarani (Semarang), Ahmad Khatib al-
Sambasi (Sambas, Kalimantan Barat), `Abd al-Samad ibn Muhammad Salih al-Kalantani
(Tuan Tabal, w. 1891), Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1916), Ahmad al-Patani
(1856-1906), Hasan Mustafa, Tok Kenali (Muhammad Yusuf, 1868-1933), dan banyak lagi.
Semua mereka ini menghasilkan karya-karya intelektual yang sangat bernilai tinggi. 7

Sebagaimana disebutkan di atas, pertumbuhan intelektual atau pemikiran Islam pertama


di Nusantara sampai abad ke-17 tidak terlepas dari sosok ulama-ulama besar, seperti Hamzah
al-Fansuri, Sayamsuddin al-Din al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf al-Sinkili,
Muhammad Yusuf al-Makasari, dan kelompok Wali Sanga di Jawa.8

2.2 Nuruddin Ar-Raniry

2.2.1 Biografi Nuruddin Ar-Raniry

6
Taufik Abdullah, Endjat Djaenuderadjat, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Tradisi, Intelektual, dan Sosial,
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, 2015, h. 9
7
Ibid
8
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan
Islam Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005

4
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji IbnMuhammad
Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir(Rander) yang
terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui. Ia adalahketurunan campuran
India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Nenek moyangnya kemungkinan termasuk dalam
keluarga al-Hamid dari Zuhra, salah satu dari sepuluh keluarga Quraiys. Namun bisa jadi ia
adalah keturunan Humayd yang sering dihubungkan dengan Abu Bakar Abdullah ibn Zubair
al-Asadi al-Humaydi, seorang ulama terkenal di Mekkah. Keluarga Ar-Raniry telah memiliki
hubungan yang baik dengan dunia Melayu, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga
ada dugaan bahwa sebelum berangkat ke Aceh ia sudah memiliki kemampuan dalam bahasa
Melayu dan menguasai ilmu agamaIslam yang sangat luas.9

Dugaan para ahli, kedatangan Ar-Raniry untuk pertama kali di Aceh tidakmendapatkan
sambutan dari sultan yang berkuasa saat itu (Iskandar Muda w.1636). Hal ini disebabkan ia
membawa ajaran yang menentang paham wujudiyyah. Padahal paham tersebut justru menjadi
keyakinan Sultan dan tersebar di seluruh negeri. Melihat kondisi ini maka Ar-Raniry
melanjutkan perjalanannya ke Pahang dan tinggal disana beberapa tahun. Saat itu, kerajaan
Pahang dipimpin oleh Sultan Ahmad. Iskandar Tsani yang kemudian menjadi Sultan Aceh
menggantikan Iskandar Muda adalah putra Sultan Ahmad. Ketika dibawa ke Aceh ia masih
berusia tujuh tahun. Sehingga tatkala Ar-Raniry datang ke Aceh, maka ia sudah dikenal
sebelumnya.10

Pada zaman Iskandar Tsani ia kembali lagi ke Aceh, dan menetap disana dari tahun 1637
sampai 1644 di bawah perlindungan sultan. Ketika berada di Aceh untuk yang kedua kalinya
ini, ia mendapat tempat di istana, dan banyak menghasilkan tulisan. Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry juga sering dikenal sebagai seorang Syaikh dalam Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan
oleh Ahmad Rifa’i (w. 578H/ 1181 M). Ia ditunjuk oleh Ba Syaiban sebagai khalifah dalam
tarekat Rifa’iyyah, dan karenanya, bertanggung jawab untuk menyebarkannya di wilayah
Melayu-Indonesia. Kendati Ar-Raniry dianggap sebagai khalifah tarekat Rifa’iyyah, tetapi
tarekat ini bukan bukanlah satu-satunya tarekat yang dikaitkan dengan beliau. Dia juga
mempunyai silsilah inisiasi dari Tarekat Aydarusiyah dan tarekat Qadiriyyah.11

Pendidikannya dimulai dengan belajar di tempat kelahirannya, kemudian melanjutkan ke


Tarim (Arab Selatan). Dari kota ini kemudian ia pergi ke Mekkah pada tahun 1030 H (1582

9
Abdul Majid, Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry, Substantia, 2015, h. 180
10
Sehat Ihsan Shadikin, Tasawuf Aceh, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2009, h. 99
11
Abdul Majid, Op. Cit., h. 181

5
M) untuk melaksanakan ibadah haji dan ziarah ke Madinah dan meninggal dunia pada 22
Dzulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India. Nuruddin Ar-Raniry, pertama kali datang
ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Tetapi pada masa itu ia tidak bisa berkarya, karena
sang Sultan sangat fanatik dengan ajaran Wujudiyyah yang dianutnya. Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, ulama yang sangat berperan yaitu Syekh Syamsuddin
Sumatrani yang merupakan orang kedua setelah Sultan yang bertindak sebagai penasehat dan
Mufti kerajaan. Dan kemudian, karena merasa tidak dapat berbuat banyak di Aceh, Ar-Raniry
pergi ke daerah Melayu yaitu Pahang dan menetap disana untuk beberapa saat lamanya.12

Namun, pada saat Nuruddin kembali lagi ke Aceh untuk yang kedua kalinya, suasana
politik dan agama Aceh sudah berubah. Syekh Syamsuddin Sumatrani sudah meninggal dan
enam tahun berselang Sultan Iskandar Muda juga mangkat. Kemudian kerajaan Aceh
dipimpin oleh Iskandar Tsani berasal dari Pahang yang tidak lain merupakan menantu dari
Sultan Iskandar Muda sendiri. Pada masa inilah Nuruddin Ar-Raniry bisa berkiprah di Aceh
karena selain dipercaya oleh Sultan, ia juga mendapat kedudukan yang istimewa yaitu
sebagai Mufti pengganti dari Syamsuddin Sumatrani. Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf
yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan
Iskandar Tsani. Otaknya yang sangat cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham
Wujudiyyah yang sedang berkembang saat itu. Ia memiliki banyak keahlian selain sebagai
sufi, juga ahli teolog, ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan
politisi. Dan ia juga seorang khalifah tarekat rifa’iyah yang kemudian ia kembangkan sampai
ke wilayah Melayu.13

Menurut pandangan Azyumardi Azra, Ar-Raniri dalam hal Kalam dan Tasawuf dengan
fasih mengutip Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Qunyawi, al-Qasyani, al- Fairuzabadi. al-Jilli,
‘Abd ar-Rahman al-Jami’, Fadhlullah al-Burhanpuri, dan para ulama terkemuka lainnya.
Dalam bidang fikih, merujuk buku-buku Syafi’i standar seperti Minhaj at-Thalibin, karya an-
Nawawi, Fath al Wahhab bin Syarh Minhaj at-Thullab, karya Zakariyya al-Anshari, Hidayat
al-Muhtaj Syarh al-Mukhtashar karya Ibn Hajar, Kitab al- Anwar karya al-Ardabili atau
Nihayat al Muhtaj (Ila Syarh al-Minhaj, karya an-Nawawi) karya Syams ad-Din ar-Ramli. 14

Nuruddin Ar-Raniry adalah sufi yang pernah menjabat Syeikh al-Islam atau mufti di
kerajaan aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Ia hidup di Aceh selama 7 tahun sebagai
12
Ibid
13
Ibid
14
Muzakkir, Studi Tasawuf: Sejarah, Perkembangan, Tokoh, dan Analisis, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis,
2009, h. 147

6
alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin Wujudiyyah yangdianut oleh
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Menurut Ar-Raniry, Wujudiyyah itu suatu
paham yang menyesatkan. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap
sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku
yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644, ia meninggalkan Aceh karena mendapatkan
serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dari murid Syamsuddin yang
dituduh menganut paham panteisme. Nuruddin Ar-Raniry, adalah seorang sosok sufi yang
tidak toleran dan ortodoks, yang tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain. Tetapi
disisi lain ia dianggap berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara
syariat dan tasawuf. Dalam kajian yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia cenderung
mendukung argumen Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang cerdas, yang
dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati denan pengetahuan yang otentik, yang berhasil
menjelaskan ajaran-ajaran keliru tokoh wujudiyyah. Bukti kecerdasan dan pengetahuan Ar-
Raniry yang luas dalam ilmu keagamaan terlihat dari banyaknya karya yang dapat kita
peroleh hingga kini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf, fikih ushul dan fikih praktis
serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang menjadi referensi utama dalam
sejarah Aceh.15

2.2.2 Karya-Karya Nuruddin Ar-Raniry

Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai berikut: 16

1. Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang


membahas ilmu tasawuf.
2. Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai
kesesatan ajaran Wujudiyyah.
3. Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam Mengetahui
Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang membahas manusia,
terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan.
4. Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa Melayu yang
bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
5. Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah
kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam
dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
15
Abdul Majid, Op. Cit., h. 182
16
Sehat Ihsan Shadikin, Op. Cit., h. 103

7
6. Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin
7. Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 Hadits dalam
bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635 M). dua kitab ini (No.2
dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan
Iskandar Tsani.
8. Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
9. Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.
10. Kaifiyat al-Salat.

Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang sudah ditemukan hingga
kini, yaitu: ash-Shirath al-Mustaqim; Durrah al-Faraidh fi Syarh al-‘Aqaid; Hidayah al-Habib
fi at-Targhib wa at-Tarhib fi al-Hadis;Bustan as-Salathin fi Zikir al- Awwalin wa al-Akhirin;
Nubzah fi Da’wah az-Zil; Latha’if al-Asrar; Asrar al-Insan fi Ma’rifah ar-Ruh wa al-Bayan;
at-Thibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah;
Hill az-Zil; Ma al-Hayah li Ahl al-Mayyit; Jawahir al- Ulum fi Kasyf al-Ma’lum; Ainaal-
Alam Qabl an Yukhlaq; Syifa’al-Qulub an at-Tasawwuf; Hujjah ash-Shiddiq fi Daf’I az-
Zindiq; al-Fath al-Mubin a’la al-Mulhidin; Al-Lam’an fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an;
Shawarim ash-Shiddiq fi Qath’i az-Zhindiq; Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq ash-
Shufiyyah, ba’du Khalq as-Samawat wa al-Ardh; Hidayah al-Imam bi Fadhl al-Mannan;
Ilaqah Allah al-Alam; Aqaid ash-Shufiyyah al- Muwahhidin; Kayfiyyah ash-Shalah; al-Fath
al-Wadud fi Bayan Wahdah al-Wujud; Ya Jawwad Jud; Audah as-Sabil Laysa li Abathil al-
Muhidin Ta’wil; Syazarat al-Murid; Umdah al-I’tiqad. Karya Ar-Raniry tersebut di atas,
sebagian besar berhubungan dengan masalah Tasawuf. Di antaranya berkaitan dengan
penolakannya terhadap paham panteisme yang dinilainya sesat dan uraian lengakap tentang
perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa
“hukuman mati” kepada mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik
pemaparan tentang tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai
konsep panteisme sesat. At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian
lengkap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab
dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka.17

2.2.3 Peranan Nuruddin Ar-Raniry Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual

Nuruddin Ar-Raniry adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam perkembangan
dunia Islam (khusunya; Melayu-Indonesia; Aceh), meskipun masa kariernya di Nusantara
17
Muzakir, Op. Cit., h. 148

8
relatif sebentar. Ada beberapa poin signifikansi yang dilirik Ar- Raniri dalam kekiprahannya
tersebut, yaitu:

1. Memperkenalkan tokoh-tokoh terkemuka ke Nusantara. Melalui karya-karyanya tidak


dapat disangkal kalau Ar-Raniry juga memainkan peranannya dalam penyebaran
pembaruan. Kebiasaannya mengutip banyak tokoh ahli terkenal dan karya-karya
standar untuk mendukung argumen-argumennya di seluruh tulisannya yang
merupakan sarana penting bagi penyebaran gagasan pembaruannya. Dengan cara ini,
ia memperkenalkan para tokoh ahli kepada kaum Muslim di Nusantara. Lebih jauh
lagi, dengan memperkenalkan dan menyebarkan ke Nusantara penafsiran Islam yang
dipegang aliran utama kaum ulama dan sufi di pusat-pusat pengetahuan dan keilmuan
Islam, dia memberikan daya dorong yang kuat untuk lahir dan berkembangnya
pembaruan di kalangan Muslim Melayu. Penguasaan Ar-Raniry atas bahasa Arab,
Persia, Urdu, Melayu dan Aceh sangat membantunya dalam membangun reputasi
ilmiahnya.18
2. Dengan karya-karya polemiknya melawan apa yang dianggapnya sebagai Wujudiyyah
“sesat”, Ar-Raniry merupakan orang pertama di Nusantara yang menjelaskan
perbedaan antara penafsiran dan pemahaman yang salah maupun yang benar atas
doktrin-doktrin dan praktik-praktik sufi.19
3. Dalam hal tulisan-tulisan Ar-Raniry mengenai syariat dan fiqih (kitab: Shirath Al-
Mustaqim), ia adalah ‘alim pertama di Nusantara yang mengambil inisiatif menulis
semacam buku pegangan standar mengenai kewajiban-kewajiban agama (fiqih) yang
mendasar bagi semua orang. Meskipun aturan-aturan syariat atau fiqih dalam batas-
batas tertentu telah terkenal dan dipraktikkan sebagian kaum Muslim Melayu-
Indonesia, tidak satu pun karya Melayu yang dapat diacu sebelum munculnya karya
ar- Raniry. Karena itu, tidak sulit memahami mengapa karya ini menjadi sangat
populer dan masih digunakan sampai hari ini di beberapa bagian dunia Melayu-
Indonesia.20
4. Dalam bidang politik. Ar-Raniry selama kariernya di Aceh, sebagai Syaikh Al-Islam
Kesultanan. Di antara tugas-tugasnya adalah memberi nasihat kepada Sultan Iskandar
Tsani dalam berbagai masalah, baik yang bersifat religius maupun politis. Dalam
karyanya Bustan al-salathin, dia mengungkapkan bagaimana dia menasihati Sultan

18
Abdul Majid, Op. Cit., h. 188
19
Ibid
20
Ibid

9
dalam fungsinya sebagai penguasa dan khalifah Tuhan di bumi. Dengan mengutip
ayat al-Qur’an, dia menjelaskan kepada Sultan tanggung jawab dan kewajibannya
kepada rakyat; melindungi yang lemah dan mendatangkan kebaikan bagi rakyat akan
membuatnya dilindungi dan dirahmati Tuhan. Barangkali karena nasihat- nasihatnya,
Sultan Iskandar Tsani menghapuskan hukuman-hukuman yang tidak Islami bagi para
penjahat, seperti “mencelup minyak” dan “menjilat besi”.21
5. Bidang hadist Nabi Saw. Menurut, ar-Raniry, penerapan syariat tidak dapat
ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai hadis Nabi. Karena itu dia
mengumpulkan dalam karyanya Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tartib sejumlah
hadis yang ditrjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu agar penduduk
Muslim mampu memahaminya secara benar. Dalam risalah ringkas ini, dia
menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung
argumen-argumen yang melekat pada hadis-hadis tersebut. karya ini merupakan
rintisan dalam bidang hadis di Nusantara dan karenanya, menunjukkan pentingnya
hadis dalam kehidupan kaum Muslim.22
6. Di Bidang sejarah. Pengaruh Ar-Raniry dalam bidang sejarah tidak kalah besarnnya.
Dialah penulis pertama di tanah Melayu yang menyajikan sejarah dalam konteks
universal, yang memprakarsai suatu bentuk baru penulisan sejarah Melayu. Bustan al-
Salathin merupakan salah satu buku terpenting tentang sejarah awal Melayu-
Indonesia. Ia merupakan sumber yang tak tergantikan untuk rekontruksi sejarah awal
Islam di wilayah Melayu-Indonesia. Makna pentignya semakin jelas mengingat
kenyataan, bahwa sejarah Islam di wilayah ini kebanyakan ditulis berdasarkan
sumber-sumber Barat. Keahlian Ar-Raniry menyangkut sejarah Nusantara jelas luar
biasa.23
7. Dalam bidang perkembangan bahasa Melayu sebagai lingua franca di wilayah
Melayu- Indonesia. Dia bahkan diklaim sebagai salah seorang pujangga Melayu
pertama. Meski bahasa ibu Ar-Raniry bukanlah Melayu, penguasaannya terhadap
bahasa ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Seorang ahli bahasa Melayu-Indonesia
menyatakan, bahasa Melayu klasik Ar-Raniry tidak menunjukkan kekakuan yang
sering terlihat dalam bahasa melayu pra-klasik. Dengan demikian, karya-karya Ar-
Raniry dalam bahasa Melayu juga dianggap sebagai karya sastra dan, sebab itu,

21
Abdul Majid, Loc. Cit.
22
Azyumardi Azra, Op. Cit., h. 184-186
23
Abdul Majid, Op. Cit., h. 189

10
memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan bahasa Melayu sebagai bahas
ilmu pengetahuan.24

2.3 Al-Palimbani

2.3.1 Biografi Al-Palimbani

Dalam perkembangan intelektual ulama Melayu khususnya di era abad 18 M, peran dan
kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani,
demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan
pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama
ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah
Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.Dalam deretan nama-nama tersebut
itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam.
Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok
yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga
bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi
intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.

Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir
tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan
setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan
juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh
Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad
Arsyad pada 1968. Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil
bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali),
seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada
awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh
Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan
latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari
pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga
Arab lainnya pada waktu itu.

Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai
dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani
mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan
24
Azyumardi Azra, Loc. Cit.,

11
penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-
lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal
dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra,
bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan
gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.Sejauh
yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama yang dikaitkan dengan nama
lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap
Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama
asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor
UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani
bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.

Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa ke Palembang, ia


bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara
ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad
Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah mangkat.Tengku Muhammad Jiwa lalu
mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil) pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan
menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti
Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan
Kedah.Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan
beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan
memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir
tahun 1116 H/1704 M.

Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah


dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-
Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat
dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani.
Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas
atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia
tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia
lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘
di ujung namanya.

12
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak
ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan
besar setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri
Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi
(tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-
Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain
mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul
Rauf Singkel di Makkah.

Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu


kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun
pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani
mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-
Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di
sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul
Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w.
1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190
H/1776 M) ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan
bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-
Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di
Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162
H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.

Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar


rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut
kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah
Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-
Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di
Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia,
Singapura dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses
peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-
Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga
tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan
Athaullah Al-Mashri.

13
2.3.2 Peran Al-Palimbani Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual

Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu
dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan
Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat.
Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan
mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-
Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan
pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran
tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham
wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab
ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di
awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu
untuk menulis kitab tersebut.

Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa


tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah
semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum
Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah
lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab
tersebut.

Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M,
ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran
Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin
negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.

Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri
Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung
menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M).
Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai
1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti dikutip Azyumardi
Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga
lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.

14
2.3.3 Karya Tulis Al-Palimbani

Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa
kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa
perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi
bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat
buah yang telah disebutkan di atas adalah:

1. Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah
dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan
pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
2. Al-‘Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan
wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
3. Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang
dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang
terdapat pada Ratib Samman.
4. Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-‘Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang
disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.

2.4 Yusuf Al-Maqassary

2.4.1 Biografi

Syekh Yusuf Al-Makassari dilahirkan di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan. Tepat
nya pada tanggal 3 Juli 1626 atau bertepatan dengan 8 Syawal 1036.Nama aslinya,
Muhammad Yusuf, terkenal dengan gelar asy-Syaikh al-Hajj Yusuf Abu Mahasin
Hadiyatullah Taj al-Khalawati al-Makassari al-Bantani. Di kota kelahirannya sendiri Syekh
Yusuf lebih dikenal dengan gelar "Tuanta Salamaka" (tuan kita yang selamat dan mendapat
berkah). Menurut naskah kuno Lontara Makassar, ibu Syekh Yusuf ini bernama I Tubiana
Daeng Kunjung, beliau ialah putri kepala desa Moncong Loe. Dari garis keturunan ibunya ia
masih saudara raja-raja Goa, Karaeng Bisei (1674-1677) dan Sultan Abdul Jalil (1677-1709).
Mengenai Ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.

Sejak beliau kecil, Syekh Yusuf sudah menampakkan tanda-tanda kecintaannya kepada
ilmu pengetahuan keislaman, sehingga dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil
menamatkan Alquran 30 Juz. Kemudian ia juga belajar ilmu Nahwu Sharaf, mantiq, gaya

15
bahasa (bayan dan ma'āni) serta balaghah. Dengan menguasai ilmu alat ia mampu
mempelajari kitab-kitab fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf. Ilmu yang terakhir ini lebih menarik
perhatiannya, karena Islam pada awal masuknya di daerah sulawesi selatan bercorak mistik
disamping bercorak fiqh dengan orientasi mazhab (tertentu).

Syekh Yusuf yang hidup dalam suasana zaman itu, lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk mendalami tasawuf dan aliran-aliran tarekat yang beraneka ragam." Dalam rangka
memperdalam ilmu yang diperolehnya dan sekaligus juga menunaikan rukun Islam yang
kelima, Syekh Yusuf meninggalkan pelabuhan Tallo (Makassar) pada 22 September 1645)
dengan menumpang kapal dagang milik Portugis. Dalam pelayarannya menuju Mekkah ia
sempat singgah di daerah Banten dan berkenalan dengan putra Mahkota kerajaan Banten.
Dari Banten ia melanjutkan perjalananya ke Aceh dan bertemu dengan Syekh Nuruddin ar-
Raniri. Melalui Syekh ar-Raniri ini ia mempelajari tarekat Qadiriyah dan berhasil
memperoleh ijazah. Kemudian dirinya juga melanjutkan perjalanan ke Yaman. Disana ia
menemui Syekh Abdul Baqi' dan menerima tarekat Naqsyabandiah. Di Zubaid (Yaman) ia
juga menerima ijazah Tarekat as-Sa'adat al-Ba'lawiyah dari Syaid Ali. Dari Yaman Syekh
Yusuf bertolak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia pergi ke Madinah
untuk menambah ilmunya. Disini ia memperoleh ijazah tarekat Syattariyah dari Syekh
Burhanuddin al-Millah bin Syekh Ibrahim bin Husein bin Syihabuddin al-Khurdi al-Madani.
Selanjutnya ia pergi ke Syam (Suriyah) dan berguru kepada Syekh Abu al-Barakah Ayyub bin
Ahmad al-Khalwati al-Quraisy, Imam Masjid Syekh al-Akbar Muhiydin bin Arabi. Ulama
inilah yang memberinya gelar Syekh Yusuf Taj al-Khalwati Hadiyahullah.

Perjalanan menunaikan Haji mendapatkan pengalaman dan ilmu yang berlipat ganda
melalui beberapa guru terkenal sehingga tidak mengherankan jika sepulang ke Indonesia
Syekh Yusuf memberi kontribusi besar bagi pengembangan dakwah Islam dan intelektual di
Indonesia. Syekh Yusuf mempunyai peran yang cukup besar dalam melanjutkan proses
islamisasi di Sulawesi Selatan yang telah dirintis sebelumnya oleh tiga muballigh dari
Minangkabau, Yaitu Abdul Makmur Khatib tunggal bergelar Datuk Ri Bandang, Sulaiman
Khatib Sulung bergelar Datuk Ri Patimang, dan Abdul Jawad Khathib Bungsu bergelar Datuk
Ri Tiro.

Di samping itu, Syekh Yusuf juga punya jasa dalam menyebarluaskan dan
mengembangkan Islam di Banten, Sri Langka, dan Afrika Selatan. Selama menetap di Banten
dirinya giat berdakwah dan mengajarkan ilmu agama Islam. Murid-muridnya adalah Sultan,

16
keluarga raja, dan rakyat Banten. Tidak sedikit pula pelaut-pelaut Bugis dan Makassar yang
tinggal disekitar Banten dan Jakarta berguru padanya. la juga mengeluarkan fatwa-fatwa yang
berkenaan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu. Aktifitasnya di bidang
keagamaan sejalan dengan keinginan dan cita-cita Sultan Ageng Tirtayasa untuk menjadikan
Banten sebagai suatu kerajaan Islam yang besar, Kubu pertahanan Islam di Nusantara dalam
membendung dan menentang keinginan kolonial Belanda untuk menjajah Tanah Air. Oleh
Karena Itu, di samping sebagai mufti, ia juga diangkat sebagai panglima perang dan menantu
Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika Sultan ditangkap kompeni Belanda, Syekh Yusuf bersama
Pengeran Purbaya dan Pengeran Kidul masuk ke hutan untuk bergeriliya. Syekh Yusuf
dengan tentaranya menuju kearah Cirebon. Kemudian di Mandala (daerah Sukapura,
Cirebon), ia membuat sebuah benteng pertahanan, sehingga kompeni Belanda merasa sulit
untuk menangkapnya. Akhirnya Syekh Yusuf dapat ditangkap. la bersama istrinya dibawa ke
Batavia (Jakarta), kemudian ditahan di penjara Benteng.

Pada tanggal 12 September beliau dibuang oleh kompeni Belanda Ceylon, Srilangka
disertai 49 orang pengikutnya, kemudian pada Juli 1693 dipindahkan ke Camp de Goede
Hoop (Tanjung Harapan), tanjung paling selatan benua Afrika. Disinilah beliau wafat dan
dimakamkan. Akan tetapi, atas permintaan Sultan Abdul Jalil kepada pemerintah kolonial
Belanda dipindahkan ke Lakiung, Gowa, Sulawesi Selatan setelah enam tahun dikuburkan di
Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Kuburannya dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan
dengan nama Kobbang (kubah).

Ajaran pokok tarekat Syekh Yusuf berkisar pada usaha manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt yang mengacu pada peningkatan kualitas akhlaq yang mulia serta
penekanan amal saleh dan zikir merupakan amalan yang dapat membawa salik (hamba)
sampai ke ujung suluknya. Dengan demikian, kedudukan zikir dalam tarekat Syekh Yusuf
menempati posisi yang sangat penting; setiap pengikutnya wajib mengamalkan zikir, baik
secara perorangan maupun secara kelompok.

2.4.2 Karya-Karya Yusuf Al-Makassari

Karya-karya tulis Syekh Yusuf hampir seluruhnya dalam bidang tasawuf dan tarekat,
antara lain adalah Zubdatal-asrar fi Tahqiq Ba'd Masharib al-Akhyar, Taj al-Asrar fi Tahqiq
Mashrab al-Arifin mim Ahl al-Istibsar, Matalib as-Sälikin, Fat Kayfiyat az-zikr, dan Safinat
an- Najāh. Ada kurang lebih 20 buah karya tulis Syekh Yusuf dengan masih berbentuk
manuskrip di Musium Pusat Jakarta.

17
Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Syekh Yusuf dapat di dapat melalui karya-karyanya.
Dan secara umum karya-karya Syekh Yusuf berkaitan dengan tarekat atau tasawuf. Karya-
karya tersebut antara lain; Zubdatul-asrår fi Tahqiq Ba'd Masharib al-Akhyar, Taj al-Asrår fi
Tahqiq Mashrab al-Arifin mim Ahl al-Istibsar, Matalib as-Salikin, Fat Kayfiyat az-zikr, dan
Safinat an-Najäh. Kurang lebih 20 buah karya tulis Syekh Yusuf dengan masih berbentuk
manuskrip di Musium Pusat Jakarta.

Karya utama Syekh Yusuf dapat dikategorikan dalam dua hal; yaitu pertama adalah
tuntunan zikir dengan tata pengamalan tertentu. Kedua tentang Tauhid (tauhidan). Adapun
tuntunan zikir dan tata pengamalannya antara lain; Sampai di sini

1. Manhat al-Sailaniyah fi Manhat al-Rahmaniya (Jarak Ceylan dalam Jangkauan


Sentuhan Kasih).
2. Sirr al-Asrar (Rahasia dari Segala Rahasia)
3. Fawaid al-Yusufiyah fi Bayan Tahqiq al-Sufiy (Kata-kata Syekh Yusuf menerangkan
hakekat Sufi)
4. Matālib al-Salikin (Yang dicari Oleh Salik)
5. Kaifiyat al-Mughi Wal Itbat Bil Hadis al-Qudsi (Bagamana Ucapan dan Menetapkan
Hadis Qudsi)
6. Wasiyat al-Munjiyat al-Madarat an Hijaiba (Wasiat Rahasia Kemelaratan yang
Tersembunyi)
7. Fat Kaifiyyat al-Zikr (Petunjuk Cara Berzikir).

Sedangkan karya utama tauhidan ialah :

1. Muqaddimah al-Fawaid Allati Ma la Budda Minal Aqaid (Mutiara Pendahuluan Yang


Harus diketahui antara Kepercayaan)
2. Tahsil al-Inayat wa al-Hidayat (Hasil Pertolongan dan Pimpinan)
3. Gayat al-Ikhtisar Wa Nihayah al-Intizar (Tujuan yang Tersingkat dan Akhir yang
Diharap).
4. Qurrat al-Ain (Kenikmatan Pandangan).

Judul-judul karya Syekh Yusuf agar ditransliterasi dengan baik. Demikian beberapa karya
Syekh Yusuf yang dapat disebutkan dalam tulisan ini meskipun masih banyak karya-karyanya
yang lain yang tidak disebutkan disini. Namun beberapa bagian dari dua kategori diatas, oleh
Djamaluddin disebut sebagai karya-karya utama Syekh Yusuf.

18
2.4.3 Peran Al-Makassari Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual

Sebelum Syekh Yusuf menunjukkan tata pengamalan tarekat dan pemikirannya tentang
ketauhidan, Syekh Yusuf memberikan petunjuk agar umat Islam mencari Syekh atau Guru
yang akan membimbingnya kepada Allah swt., sebagaimana diuraikan dalam Manhat al-
Sailaniyah Fi Manhat al-Rahmaniya sebagai berikut: "Carilah Syekh tarekat yang saleh, arif,
yang dapat member nasehat dan dapat menunjukkan segala kekuranganmu serta
memberitahukan musuh-musuhmu, meskipun engkau harus pergi ketempat yang jauh bahkan
meninggalkan negerimu karena Syekh itulah yang yang menjadi petunjukmu ke jalan Allah
Taala seperti dikatakan: "Siapa yang mencari jalan tanpa petunjuk dan tanpa orang yang tahu,
ia mencari kesesatan. "Betapa tidak, karena Syekh itu pintu pembukamu, bapak ruhmu yang
membimbing tanganmu lahir batin menuju Allah Azza Wa jalla. Oleh karena itu dikatakan
bahwa, siapa yang tidak mempunyai Syekh maka syetanlah yang menjadi Syekhnya. Sabda
Nabi saw., "Syekh diantara kaumnya bagaikan Nabi pada zamannya." Bersabda Nabi Saw
pula: "Ulama- ulama umatku bagai nabi-nabi Israil." Artinya: mereka yang alim, memberi
nasehat dan memimpin kejalan Allah. Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw bersabda: "Siapa
yang meninggal dan dilehernya tidak ada baiat, maka matinya sebagai orang bodoh." Sabda
ini memberi isyarat bahwa, siapa yang mencari jalan kepada Allah sedang ia tidak berilmu
(tidak memiliki Syekh yang menunjukinya ilmu), maka setan akan memperlihatkan dirinya
kepadanya", Kemudian dalam karyanya yang lain, Syekh Yusuf mengajarkan tata cara atau
adab berzikir untuk murid atau pengikut-pengikutnya yang secara keseluruhan sebanyak 20
adab, yaitu: 5 adab sebelum zikir, dua belas adab pada waktu berzikir dan tiga adab setelah
berzikir.

Syekh Yusuf melakukan pembaharuan pada masyarakat melalui amalan zikir nya dan
pengetahuan tasawuf nya. Beliau merubah masyarakat dengan pendidikan spiritual dan
pemikiran-pemikiran sufistik. Kedalaman ilmu tasawufnya menyebabkan beliau disegani
oleh kolonial, dikagumi para raja dan rakyat serta disanjung oleh para murid atau pengikut-
pengikutnya.

Pemikirannya yang paling menonjol ialah mengenai tauhid atau tauhidan. Syekh Yusuf
berpendapat bahwa tidak ada yang bisa menyerupai Tuhan laysa kamithlihi shai'un. Dalam
"muqaddimah al- fawaid allati Mä La Budda minal Aqaid dikatakan bahwa Allah swt.
maujud dengan wujud yang Haq; wujud-Nya tak seperti wujud makhluk, karena Dia tak ada
permulaannya dan tak ada akhirnya, Dia berdiri sendiri.Dalam "matālib al-sälik'n-nya, Syekh

19
Yusuf mengatakan, tauhid itu ada dua macam nya. Tauhid pertama, ialah Wihdatul Wujud
sebagaimana faham para sufi muhaqqiq yang mempunyai pendapat yang mendalam, dimana
mereka berkata bahwa tak ada yang maujud pada alam gaib dan alam nyata, tak ada dalam
shurah (gambar) dan makna, tak ada pada lahir dan batin, kecuali wujud yang satu dan
hakekat yang satu. Seperti anggota badanmu, terpisah-pisah satu dengan yang lainnya yang
ada padamu, sedangkan engkau berada pada zatmu, kecuali roh. Demikian pula segala
sesuatu (al-asyya) berada dengan Allah, sedang Allah berada dengan zat-Nya. Nisbah
keberadaan jasad dengan roh, maka dinamailah insan. Insan tidak dengan roh saja dan tidak
hanya dengan jasad saja, tetapi harus dengan keduanya.

Menurut Syekh Yusuf, Allah terdapat pada segala sesuatu, namun Dia suci dari tempat,
ruang, waktu dan dari apa yang tidak layak pada zat-Nya. Allah tidak menetap pada sesuatu
yang satu, karena Dia terdapat disegala sesuatu. Allah beserta (al-maiyyah) dan meliputi (al-
ihta) segala sesuatu, namun Dia suci dari tempat, ruang dan waktu. Tatkala engkau mencari
keberadaan segala sesuatu itu pada Allah, maka akan tergambarlah adanya terdapat pada
sesuatu.

2.5. Al-Banjari

2.5.1 Biografi

Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari lahir di Lok Gabang Kecamatan Astambul


Kabupaten Banjar pada malam kamis, pukul tiga dinihari tanggal 15 Shafar 1122 H,
(bertepatan dengan malam kamis tanggal 19 Maret 1710 M). Syekh Muhammad Arsyad al
Banjari dilahirkan dari dua orang ibu-bapak yang bernama Siti Aminah binti Husein dan
Abdulloh bin Abu Bakar. Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq berpendapat bahwa ia adalah
keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.

Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok
Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul
dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat
kecerdasannya melebihi dari teman- temannya. Begitu pula akhlak budi pekertinya yang
halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni
tulis. Sehingga siapa saja yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat
Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan
Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun.

20
Keahlian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dibidang seni lukis inilah yang membuat
sultan pada waktu itu kagum dan terpukau, sehingga tersirat dihati sultan untuk memelihara
dan memberikan kesempatan belajar kepada beliau. Atas izin dan restu dari kedua orang
tuanya, maka Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetap di istana guna belajar ilmu
agama dan ilmu lainnya dalam mengembangkan bakat dan kecerdasannya.

Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut
sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak- anak dan cucu Sultan. Di
istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia, ramah, penurut, dan
hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dengan kasih sayang.
Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan
Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yang alim. Kemudian mendapat pendidikan
penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang
perempuan bernama Tuan Bajut.

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad
suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka
disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta. Meskipun dengan berat hati
mengingat usia pernikἇhan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci
sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari
sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air
mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji
kepada masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh .Athaillah bin
Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-„Arif Billah
Syekh Muhammad bin Abdul Karim al- Samman al-Hasani al-Madani. Syekh yang
disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah
bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat
ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

2.5.2 Karya-Karya Al-Banjari

Di dalam menyampaikan dakwahnya, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari


menggunakan berbagai metode dan sarana, masing-masing metode saling menunjang, agar
sasaran yang dituju dapat tersentuh secara tepat. Di antara metode yang Syekh Muhammad
Arsyad al Banjari gunakan yakni 1) Metode Da‟wah Bilhal, 2) Metode Da‟wah Billisan, dan
3) Metode Dakwah Bilkitabah. Di dalam hal metode da‟wah bilkitabah, sengaja Syekh

21
Muhammad Arsyad al Banjari terapkan agar dapat diterima misi da‟wahnya ke segenap
pelosok dan merupakan pegangan dikalangan masyarakat. Tahun kedua setelah kedatangan
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari Mekkah, yakni tahun 1188 H atau 1774 M. Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari mulai aktif menulis kitab- kitab yang mencakup semua ajaran
Islam dalam bahasa Melayu. Menurut H. Irsyad Zein dalam bukunya Maulana Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari, karya-karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari ada 11
macam, yaitu :

1. Sabilal Muhtadin
2. Kitab Faraidh
3. Kitab Falak
4. Kitab Nikἇh
5. Luqthotul Ajlan
6. Fatawa Sulaiman Kurdi
7. Kitab Ushuluddin
8. Tuhfaturrogibin
9. Alqaulul Mukhtasor Fi Alamatil Mahdi Almuntazor
10. Kanzul Ma’rifah
11. Mushaf Alqur’an Alkarim

Ada perbedaan pendapat antara H. M. Shogir Abdulloh dan H. Aswadi Syukur tentang
karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di bidang fiqih. Menurut H. Aswadi Syukur,
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari mempunyai tujuh karya tulis di bidang fiqih,
sedangkan H. M. Shogir Abdulloh menyatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
hanya mempunyai lima karya tulis di bidang fiqih. Adapun yang menjadi perbedaan dari
keduanya adalah, menurut H. Aswadi Syukur kitab Parukunan Besar, Syarah Fathul Jawad
dan Fatwa Syekh Atho’illah adalah karya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Sedangkan
menurut H. M. Shogir Abdulloh, Hasyiah Fathul Wahab adalah salah satu karya Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari.

2.5.3 Peran Al-Makassari Terhadap Perkembangan Sosio-Intelektual

Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari terfokus pada pendekatan tasawuf yang
inklusif, mengajarkan pentingnya akhlak mulia, kepemimpinan spiritual, dan hubungan
langsung dengan Allah. Konsepnya menekankan pentingnya hubungan individu dengan

22
Tuhan dan menekankan praktik kebajikan, disiplin diri, serta pengendalian hawa nafsu
sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritual.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dikenal karena pemikiran-pemikiran tasawufnya


yang mengedepankan konsep-konsep tentang tazkiyat an-nafs (penyucian jiwa) dan
hubungan langsung dengan Allah. Beliau menekankan pentingnya tasawuf yang berakar pada
ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis.

Pemikiran beliau juga menekankan pentingnya akhlak mulia, pengendalian diri, serta
pengembangan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Beliau menunjukkan bahwa melalui
peningkatan keimanan, ibadah yang ikhlas, serta penekanan pada aspek spiritualitas,
seseorang dapat mencapai kesempurnaan dalam perjalanan spiritualnya. Salah satu karyanya
yang terkenal adalah "Tuhfah al-Murid", yang berisi petunjuk spiritual bagi para pencari
kebenaran dan kecintaan kepada Allah. Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini
menjadi landasan penting dalam pengembangan tasawuf di Indonesia dan membantu dalam
menyebarkan ajaran Islam yang inklusif, mendalam, dan berlandaskan pada nilai-nilai
ketakwaan dan cinta kepada Tuhan. Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dapat
dibagi menjadi beberapa konsep dan prinsip penting dalam tasawuf:

1. Tazkiyat an-Nafs
Konsep penyucian jiwa yang menekankan pentingnya membersihkan hati dari
sifat-sifat negatif seperti keserakahan, kedengkian, dan kebencian. Hal ini untuk
mencapai kesempurnaan spiritual dan hubungan yang lebih dekat dengan Allah.
2. Akhlak Mulia
Pentingnya membangun karakter dan perilaku yang baik, seperti kejujuran,
kesabaran, dan kasih sayang, sebagai bagian integral dari perjalanan spiritual.
3. Hubungan Langsung dengan Allah
Menekankan pentingnya hubungan individu dengan Tuhan, bahwa setiap individu
memiliki akses langsung kepada-Nya tanpa perantara.
4. Kepemimpinan Spiritual
Pemikiran beliau juga mencakup konsep kepemimpinan spiritual, di mana seorang
guru atau pemimpin spiritual memainkan peran penting dalam membimbing para
muridnya dalam perjalanan keagamaan dan spiritual.
5. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya

23
Memupuk rasa cinta, pengabdian, dan kecintaan yang mendalam kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya sebagai pendorong utama dalam mencapai kedekatan spiritual.

Pemikiran-pemikiran ini tercermin dalam karya-karya beliau, seperti "Tuhfah al-Murid"


yang merupakan salah satu risalah tasawuf yang menjadi rujukan penting bagi pencari
kebenaran dan peningkatan spiritual di masa itu.

2.6 Sejarah Sosio-Intelektual di Nusantara

2.6.1 Sejarah Sosio-Intelektual di Nusantara Abad Ke-19

Sebelum mengungkapkan apa yang dilakukan umat Islam rentang abad ke-19, maka
penting untuk melihat kondisi Hindia Belanda pada abad ini. Diketahui, bahwa hingga sekitar
tahun 1800 tidak ada perubahan fundamental dalam pola struktur ekonomi. Perubahan
fundamental baru tampak ketika pada awal abad ke-19 orang Barat muncul dalam
samarannya yang baru, yaitu dalam peran sebagai organisator terpercaya. Daendels, Raffles,
dan van den Bosch menunjukkan tiga tahap proses penetrasi ekonomi Indonesia oleh
pemerintah dan ekonomi Barat.25

Perkembangan sebagaimana telah disebutkan semakin cepat selama fase kebijakan


ekonomi yang disebut periode Liberal, yaitu dari tahun 1870 sampai 1900. Sistem Liberal ini
ditandai dengan diterbitkannya “Undang-Undang Agraria” pada tahun 1870. Undang-undang
ini di satu pihak berusaha melindungi petani dari penguasaan golongan asing, tetapi pada
waktu yang sama membuka peluang investasi modal Barat dalam pertanian swasta dengan
skala besar. Pada periode ini tanaman tebu, kopi, teh, dan pohon kina dikembangkan di Jawa
dan tembakau di Deli. Perusahaan-perusahaan swasta dapat menyewa sawah-sawah yang
beririgasi dari pemilik bangsa Indonesia untuk penanaman tebu secara bergantian dengan
penanaman padi oleh penduduk pribumi. Proses ini membuat semakin melemahnya
pemilikan tanah penduduk pribumi, karena lahan ini menjadi penting bagi penanaman tebu
yang memandang desa sebagai suatu unit tunggal. Sementara itu, komunitas desa adalah
sebagai perusahaan umum yang memiliki lahan atas dasar komunal sehingga mereka merasa
diwajibkan berbicara hanya dengan pemimpin desa, bukan dengan para pemilik secara
individual. Para petani desa memperoleh pendapatan dalam bentuk sewa yang dibayar oleh

25
W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Terjemahan: Misbah Zulfa
Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, h. 67

24
pemilik perkebunan dan mereka dapat pula memperoleh hasil lebih di perkebunan sebagai
pekerja harian atau musiman.26

Untuk selanjutnya, hingga akhir abad ke-19, “reformisme Islam” menjadi wacana dan
ideologi yang dominan di kalangan jaringan ulama internasional di Haramain. Reformisme
Islam merupakan proyek historis ulama yang dimulai pada abad ke-17 dalam usaha untuk
menata kembali umat Muslim dan memperbaharui perilaku individu. Proyek historis ini
didasarkan pada gagasan pemurnian kepercayaan dan praktik Islam de-ngan kembali kepada
sumber yang otentik, yaitu Qu’ran dan Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuat untuk
menolak kebudayaan Barat. Dengan meneruskan trayek jaringan ulama dari abad-abad
sebelumnya, Ulama Hindia yang menjadi figur-figur penting di haramain pada abad ke-19, di
antaranya ialah, Muhammad Arsjad al-Banjari (1710-1812), Muhammad al-Nawawi al-
Bantani (1815-1898), dan Syeikh Achmad Khatib (1860-1916). Sebagai bagian dari jaringan
ulama internasional, ulama Hindia di koloni Jawah tidak luput dari ideologi yang dominan
pada masa itu. Pengaruh dari paham reformisme Islam ditunjukkan oleh koreksi yang
dilakukan oleh M. Arsjad al-Banjari terhadap arah kiblat dari beberapa masjid Jakarta dan
penolakannya untuk mengajarkan wihdatul wujud (paham pantheisme) yang dipraktikkan
oleh sebuah tarekat tertentu di Banjarmasin. Pengaruh reformisme ini akan lebih jelas tampak
dalam karya-karya dan sikap-sikap politik dari Nawawi dan Khatib.27

Telah disinggung, bahwa pembaruan Islam pertama di Nusantara ditandai dengan


munculnya pemikiran Nur al-Din al-Raniri dan Abd al-Rauf al-Sinkili pada abad ke-17. Inti
dari pembaruan ini adalah mengkritisi pemikiran tasawuf heterodok (tasawuf falsafi) dan
menawarkan bentuk ajaran tasawuf yang ortodok (tasawuf sunni). Wacana pembaruan Islam
di Indonesia baru muncul kembali pada masa-masa pertama abad ke-19 dengan mengusung
gagasan “reformisme Islam”. Para pelajar ilmu-ilmu keislaman terkemuka yang kembali dari
Makah membawa gagasan-gagasan Wahhabiyah ke kampung halamannya. Mereka
memprakarsai gerakan pemurnian yang sama dan mulai mengecam pengaruh kebiasaan lokal
yang dipandang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Berkat terilhami para pengikut
gerakan Wahhabiyah, mereka mengorganisasikan dan menyebarluaskan gagasan pembaruan
sedemikian rupa sehingga mereka tampil sebagai tantangan serius bagi kaum adat.28

26
h. 68
27
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensi Muslim Indonesia Abad ke-20, Jakarta:
Democracy Project, 2012, h. 113
28
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, h. 131

25
Sementara itu, pada tahun-tahun terakhir abad ke-19, gagasan pembaruan Islam mulai
diperkenalkan di Indonesia, baik secara langsung oleh para jemaah haji yang menyampaikan
kepada masyarakat secara lisan maupun secara tidak langsung melalui berbagai penerbitan
dan jurnal yang tersebar di kalangan kaum Muslim santri di Indonesia. Dengan demikian,
semakin banyak saja kaum Muslim Indonesia yang secara perlahan menyadari apa yang
tengah berlangsung di dunia Islam lain, khususnya Mesir. Sementara itu, gagasan pembaruan
yang dikembangkan Jamaluddin al-Afghani (w. 1897), Syaikh Muhammad ‘Abduh (w. 1905),
dan penerusnya Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935) mulai mendapat tempat di kalangan
masyarakat Muslim Indonesia.29

Sering diwacanakan bahwa kelahiran dan perkembangan pembaruan Islam di Indonesia


adalah erat kaitannya dengan reaksi langsung terhadap kemunduran Islam sebagai agama dan
keterbelakangan para pengikutnya. Sementara itu, gelombang invasi intelektual, budaya dan
politik Barat, dan masuknya gagasan-gagasan modernisme Islam dari luar negeri, terutama
yang datang dari Mesir, menjadi faktor berikutnya. Tampaknya yang menjadi persoalan
utama pembaruan Islam di Indonesia adalah keinginan kuat untuk membersihkan Agama
Islam dari semua unsur keagamaan yang tidak murni dan yang dari masa ke masa telah
tersinkretisasikan ke dalamnya, dan untuk membebaskannya dari kekakuan mazhab sehingga
ia sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dunia modern. Mengenai hal ini mereka yakin,
bahwa jawabannya adalah kembali kepada sumber Islam yang benar yang hanya dapat
ditemukan dalam al-Qur’an dan Hadis.30

2.7.2 Sejarah Sosio-Intelektual Awal Mula Abad Ke-20

Dengan dimulainya abad ke-20, sebuah zaman baru dalam politik kolonial dimulai, yaitu
zaman Etis. Semboyan dari zaman ini adalah kemajuan. Kata-kata yang menandakan
kemajuan, seperti perkembangan, pendidikan, dan memajukan kesejahteraan. Zaman baru
merupakan zaman ekspansi, efisiensi, dan kesejahteraan. Sementara itu, perluasan pendidikan
gaya Barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Pendidikan ini tidak hanya memproduksi
jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tetapi
juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” bumiputra dan menuntun mereka menuju
modrnitas serta persatuan Timur dan Barat. Oleh karena itu, pada penghujung abad ke-19 dan
khususnya dua dekade pertama abad ke-20, pendidikan gaya Barat berkembang luas. Namun
demikian, meskipun sekolah-sekolah modern “yang sekuler” telah meluas dan beragam
29
h. 50
30
Miftahuddin, Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia, UNY Press: Yogyakarta, 2017, h. 57

26
pembatasan telah diberlakukan terhadap pendidikan Islam, seperti mengeluarkan ‘Ordonansi
Guru’ yang mewajibkan para guru Islam untuk mengajukan permohonan ijin mengajar
kepada pihak pemerintah, tetapi sekolah-sekolah tradisional Islam masih bisa bertahan hidup.
Adanya penolakan terhadap aparatur ideologi kolonial serta tekanan modernisasi mendorong
kalangan ulama yang mapan untuk mengembangkan mekanisme defensif dengan cara
menunjukkan komitmennya untuk mempertahankan apa yang mereka anggap sebagai tradisi
keagamaan pribumi yang otentik. Jadi, sekolah-sekolah (tradisional) Islam yang telah ada
sejak lama terus diorganisir dan dihidupkan oleh ulama konservatif-tradisionalis. Di tengah
meningkatnya jumlah sekolah-sekolah modern sekuler serta munculnya madrasah di daerah-
daerah perkotaan, pesantren tradisional (surau dan sejenisnya) mempertahankan basisnya di
daerah pedesaan yang lebih tradisional dan agak terpencil.31

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

31
h. 64

27
Mengkaji sejarah intelektual menjadi bidang keilmuan yang harusnya memiliki perhatian
yang tinggi. Kajian keilmuan dari berbagai tokoh membuat sejarah mereka menjadi sangat
penting. Sejarah dapat menjadi suatu penilaian jati diri terhadap suatu tokoh ataupun suatu
bangsa. Sejarah intelektual pastinya adalah bagian dari (keilmuan) sejarah. Dalam kajian
tentang sejarah intelektual maka harus diketahui apa makna intelektual itu sendiri. Menurut
Siswanto Masruri, cendekiawan (intelektual) adalah orang-orang yang, dengan atau tanpa
latar belakang pendidikan tertentu, mampu menciptakan, memahami suatu ilmu pengetahuan
dan menerapkannya dalam bentuk pemikiran atau ide, dalam berbagai aspek kehidupan
secara simbolik, rasional, kreatif, bebas dan bertanggungjawab atas dasar nilai-nilai esensial
pandangan hidup mereka.

Periode sejak akhir abad 16 sampai akhir abad 19 memunculkan tonggak-tonggak


intelektualitas yang cemerlang melalui berbagai karya ulama yang monumental dalam
berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Pada abad 17 misalnya dikenal dua “gelombang”
intelektualitas; gelombang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan corak
“wahdat al-wujud” yang kental. Sementara itu, gelombang kedua intelektualitas Islam abad
17 diwakili tokoh-tokoh ulama pemikir, yang merupakan sufi dan ahli fiqh sekaligus, seperti
Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Singkel, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.

DAFTAR PUSTAKA

28
Abdullah, T., & Djaenuderadjat, E. (2015). Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia: Tradisi,
Intelektual, dan Sosial. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.

Azra, A. (2005). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana.

Latif, Y. (2012). Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensi Muslim Indonesia
Abad ke-20. Jakarta: Democracy Project.

Majid, A. (2015). Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry. Substantia.

Miftahuddin. (2017). Sejarah Perkembangan Intelektual Islam Di Indonesia. Yogyakarta:


UNY Press.

Muzakkir. (2009). Studi Tasawuf: Sejarah, Perkembangan, Tokoh, dan Analisis. Bandung:
Cita Pustaka Media Perintis.

Sadikin, S. I. (2009). Tasawuf Aceh. Banda Aceh: Bandar Publishing.

Salam, K., & Nurdin, N. (2015). Syekh Yusuf Al-Makassari: Studi Sejarah Dakwah dan
Intelektual di Indonesia. Al-Mishbah, 47-64.

Shihab, A. (1998). Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi


Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan.

Shokheh, M. (2011). Tradisi Intelektual Ulama Jawa: Sejarah Sosial Intelektual Pemikiran
Keislaman Kiai Shaleh Darat. Paramita, 149.

Wertheim, W. F. (1999). Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial,


Terjemahan: Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Yakub, H. M. (2018). Sejarah Sosial Intelektual Islam Zainal Arifin Abbas (1912-1979 M)
“Perspektif Sosio-Kultural. Dakwah: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan,
87.

29

Anda mungkin juga menyukai