Feri Irawan - Ulumul Haadits

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI

DALAM HADITS QAULIAH NABI

Diajukuan untuk memenuhi tugas

Mata kuliah : Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : Fachrur Razi Amir,M.Ag.

Disusun oleh :

Feri Irawan (F.2210312)

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS AGAMA DAN ILMU PENDIDIKAN GURU

UNIVERSITAS DJUANDA BOGOR

2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan rahmat, hidayah serta inayah–Nya. Sehingga, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Takhrij Hadits yang berjudul “MAKNA
PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI”. Sholawat
serta salam tak lupa juga kita limpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Dengan rasa kesungguhan, penyusunan makalah ini dihadapkan pada


pengetahuan dan kemampuan serta waktu terbatas, sehingga kami sadar bahwa
dalam penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.

Berhasilnya penyusunan ini tentunya berkat kerja sama dan terima kasih
khususnya kepada Fachrur Razi Amir,M.Ag. selaku dosen mata kuliah Ulumul
Hadits yang telah membimbing kami.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami dengan senang hati menerima segala saran dan masukkan
yang bersifat membangun. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat
untuk menambah ilmu pengetahuan.

Ciawi, 13 Januari 2022

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam kajian keislaman, yaitu mengenai penjelasan tentang pengertian
tahkrij hadis. Takhrij menurut istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadist
didalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.
Rasulullah mengulangi perkataan hingga tiga kali “Dan dari Anas bin Mallik
Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
apabila berbicara suatu kalimat, beliau mengulanginya hingga tiga kali sampai
dipahami perkataannya’.” (HR. Al-Bukhari)
“Berbicara suatu kalimat,” maksudnya yaitu berbicara seperti lazimnya
orang berbicara. Disertakan kata “kalimat,” karena yang namanya orang berbicara
pasti ada kalimat-kalimat yang diucapkannya. Dan memang, orang Arab biasa
menggunakan tambahan kata untuk lebih menekankan maksud yang ingin
disampaikan, sebagaimana yang umum diketahui.
Sedangkan yang dimaksud “mengulanginya hingga tiga kali,” ialah kata-kata
tertentu saja yang ingin ditekankan. Bukan mengulangi semua perkataan. Sebab jika
semua perkataan mesti diulangi, apalagi hingga tiga kali, tentu tidak efisien dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk setiap kali berbicara. Lagi pula, para
sahabat Radhiyallahu Anhum adalah orang-orang cerdas yang cepat menangkap apa
yang diinginkan oleh Nabi. Sehingga untuk berbicara kepada mereka tidak perlu
selalu mengulangi setiap kata hingga tiga kali.

Hal ini dapat kita lihat pada kalimat berikutnya, yaitu “sampai dipahami
perkataannya.” Artinya, sekiranya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa
bahwa apa yang beliau sampaikan sudah dipahami oleh sahabat, maka beliau hanya
mengulangi kalimat-kalimat tertentu saja. Sebab, bagaimanapun juga ajaran Islam
yang disampaikan Nabi merupakan sesuatu yang baru bagi para sahabat yang baru
melewati masa jahiliyah. Sehingga untuk hal-hal yang baru seperti ini, Nabi
mengulanginya hingga tiga kali agar para sahabat dapat memahami apa yang beliau
inginkan.
A. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari pemikiran di atas, permasalahan yang akan di bahas


dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana makna pesan Nabi dalam hadits pengulangan tiga kali?

2. Bagaiama argumentasi dari pesan Nabi tersebut?

B. Tujuan Pembuatan Makalah

1. Untuk memenuhi nilai pada tugas mata kuliah Ulumul Hadits.

2. Memahami hadits-hadits pengulangan tiga kali dan untuk memahami


maknapesan Nabi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Redaksi Hadits
1. Pengertian Hadits

Kata Иadīts berasal dari bahasa Arab: “al-Иadīts”, jamaknya al-


aИādits, al-Иadītsan dan al-Иudtsan. Dari segi bahasa “Иadīts”
mempunyai beberapa arti diantaranya: al-Jadīd (yang baru) lawan dari al-
qadīm (yang lama), al-qarīb (yang dekat) menunjukkan waktu yang
pendek, dan al-khabar (berita atau khabar) menunjukkan sesuatu yang
dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Dari segi istilah, para ulama’ memberikan pengertian yang berbeda-


beda. Hadits menurut al-TaИawuni mengatakan, “Hadits adalah apa saja
yang disandarkan pada Nabi SAW”. Pendapat ini selanjutnya diperkuat
oleh al-Thibby bahwa hadits adalah mencakup juga perkataan, perbuatan
dan taqrīr sahabat dan tabi’in. Menurut ulama’ hadits, al-Hāfidz dalam
kitab “Syarah al-Nukhbah” bahwa hadits mempunyai makna riwayat yang
sampai pada Nabi SAW., Sahabat, dan Tabi’in yang disebut hadīts marfu’,
mauquf dan maqtu’. Dalam kajian ushul fiqh, hadits mencakup perkatan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi yang patut sebagai dalil hukum syar’i. Ajaj
al-Khathib menjelaskan hadits dan sunah mempunyai arti yang sama.
Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul
SAW. setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrīr.
Dengan demkian, berdasarkan keterangan ini, sunnah lebih luas dari pada
hadits.

Ulama’ dari berbagai bidang sepakat bahwa hadits yang dijadikan


hujjah adalah hanya hadits yang berkualitas shahīh, maka para muИaddīts
menetapkan kriteria keshahīhan hadits, baik dari segi sanad maupun dari
segi matan.
2. Sanad

ُ ُ‫ َحدَّثَنَا َع ۡبد‬: ‫ال‬


‫للا‬ َُ َ‫الص َم ُد ق‬ ۡ َُ َ‫ َحدَّثَنَا َع ۡب َدُة ق‬- ٩٤
َّ ُ‫ َحدَّثَنَا َعبد‬: ‫ال‬
ۡ
ُ‫أَنَّهُ َكا َن‬: ‫َّب ﷺ‬ ٍ َ‫ َع ُۡن أَن‬،ُ‫ َحدَّثَنَا ُثَ َامُة ۡبنُ َع ۡبدُ للا‬: ‫ال‬
ُِ ‫ َعنُ الن‬،‫س‬ َُّ َ‫ۡبنُ المث‬
َُ َ‫ّن ق‬

‫ – طرفاه يف‬٩٤ ‫احلديث‬. [‫ َوإ َذا تَ َكلَّ َُم ب َكل َم ٍُة أ ََع َاد َها ثَََل اًُث‬،‫إ َذا َسلَّ َُم َسلَّ َُم ثَََل اًث‬:

٦٢٤٤ ،٩٥].

94. ‘Abdah telah menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdush


Shamad menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdullah bin Al-
Mutsanna menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Tsumamah bin
‘Abdullah menceritakan kepada kami dari Anas, dari Nabi—shallallahu ‘alaihi
wa sallam—bahwa beliau apabila mengucapkan salam, maka beliau
mengucapkan salam tiga kali. Apabila beliau berbicara suatu perkataan, maka
beliau mengulanginya tiga kali.

‫ َحدَّثَنَا َع ۡب ُد‬: ‫ال‬


َُ َ‫الص َمدُ ق‬ ۡ ۡ ۡ ۡ
َّ ُ‫ َحدَّثَنَُا َعبد‬،‫ َحدَّثَنَا َعب َدُة بنُ َعبدُ للا‬- ٩٥
ۡ
‫أَنَُّه‬: ‫َّب ﷺ‬ ٍ َ‫ َع ُۡن أَن‬،ُ‫ َحدَّثَنَُا ُثَ َامةُ ۡبنُ َع ۡبدُ للا‬: ‫ال‬
ُِ ‫ َعنُ الن‬،‫س‬ َُّ َ‫للاُ ۡبنُ المث‬
َُ َ‫ّن ق‬
ۡ ۡ
ُ‫ َوإ َذا أَتَى َعلَى قَ ۡوٍُم فَ َسلَّ َم‬،‫ّت ت ف َه َُم َعنه‬
َُّ ‫َكا َُن إ َذا تَ َكلَّ َُم ب َكل َم ٍُة أ ََع َاد َها ثَََل اًُث َح‬

‫ َسلَّ َُم َعلَ ۡيه ُۡم ثَََل اًُث‬،‫ َعلَ ۡيه ۡم‬.

95. ‘Abdah bin ‘Abdullah telah menceritakan kepada kami: ‘Abdush


Shamad menceritakan kepada kami. Beliau berkata: ‘Abdullah bin Al-
Mutsanna menceritakan kepada kami. Beliau berkata: Tsumamah bin
‘Abdullah menceritakan kepada kami dari Anas, dari Nabi—shallallahu ‘alaihi
wa sallam—bahwa beliau apabila berbicara suatu perkataan, beliau
mengulanginya tiga kali hingga dapat dipahami. Apabila beliau datang kepada
suatu kaum, beliau mengucapkan salam kepada mereka sebanyak tiga kali.
B. Kajian Syahrul Hadits
1. Makna Mufradat

ۡ‫َعن‬ : Dari

‫َح َّدثَنَا‬ : Berbicara

‫تَ َكلَّ َۡم‬ : Bicara

‫اد َها‬
َ ‫َع‬
َ‫أ‬ : Mengulang

ۡ‫ثَََل ًث‬ : Tiga

‫تُف َه َۡم‬ : Dipahami

‫قَ وۡم‬ : Kaumku

‫َعلَي ِه ۡم‬ : Atas mereka


2. Makna Ijmali
(1) Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Akhlaq
(a) Hadits tentang Bakti Ibu Lebih Didahulukan Daripada Ayah

ُ ‫صلَّى‬
ُ‫للا َعلَْيه‬ َ ُ‫ل َرس ْولُ للا‬
َُ ‫اءَ َرجلُ إ‬
ُ ‫ال َج‬
َُ َ‫َب هَريْ َرُةَ َرض َُي للاُ َعْنُه ق‬
ُْ ‫َع ُْن أ‬

‫ك‬
َُ ‫ال أ ُّم‬
َُ َ‫ص َحابَِت؟ ق‬
َ ُ‫َح ُُّق النَّاسُ ِب ْسن‬
َ ‫ َم ُْن أ‬،ُ‫ي َرس ْوَُل للا‬: َُ ‫و َسلَّ َُم فَ َق‬،
َُ ‫ال‬ َ
ُ‫ال أَب ْو َك‬
َُ َ‫ ق‬،‫ال ُثَّ َم ْن‬
َُ َ‫ ق‬،‫ك‬
َ ‫ال أ ُّم‬
َُ َ‫الُ ُثَّ َم ْن؟ ق‬
َ َ‫ ق‬،‫ك‬
َ ‫ال أ ُّم‬
َُ َ‫ال ُثَّ َم ْن؟ ق‬
َُ َ‫ق‬

Dari Abu Hurairah r.a. berkata, datang seseorang kepada Rasulullah SAW seraya
berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku temani
dengan baik? Rasulullah SAW. Bersabda: “Ibumu“. Orang itu bertanya lagi:
“Kemudian siapa?“ Rasulullah menjawab: “Ibumu“. Orang itu bertanya lagi:
“Kemudian siapa lagi?“ Rasulullah SAW menjawab: “Ibumu“. Orang itu
bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?“ Rasulullah SAW menjawab: “Bapakmu“.
(HR. Bukhori)

Sebelum Islam datang, para wanita sangat menderita karena tidak memiliki
hak-hak dan ketiadaan rasa penghormatan terhadap wanita dikalangan
masyarakat. Kaum laki-laki mempunyai kebebasan mengawini beberapa istri
dan menceraikannya sekehendak hati. Para janda diwariskan dan tidak
diperbolehkan menikah lagi tanpa izin pewarisnya. Di samping poligami,
seorang laki-laki tanpa ada aturan, dapat berhubungan dengan beberapa wanita
yang disukai. Bangsa Arab pun sebelum Islam datang tidak menyukai
kelahiran bagi perempuan. Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-
kasta, berbeda suku dan status sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat
dalam pandangan masyarakat saat itu. Islam datang menghapus kebanggaan
keturunan dan kepangkatan. Islam menempatkan posisi yang mulia bagi kaum
wanita. Dan semua manusia disisi Allah Swt. memiliki kedudukan yang sama,
yang membedakannya hanyalah amal saleh dan ketakwaannya.

Allah berfirman yang artinya:


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha
Mengenal.”

Oleh sebab itu, maksud Nabi Saw. Dalam hadits di atas mempunyai
makna kemuliaan seorang ibu dan menampilkan peranan ibu kepada
masyarakat pada waktu itu.

Peranan wanita pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. yang


kita kenal ialah yang memelihara Nabi saw, yaitu Aminah ibu beliau; yang
menyusuinya, Halimah As-Sa’diyah; dan yang menjadi pengasuh bagi
beliau, Ummu Aiman r.a. dari Habasyah.

Kemudian kita kenal Siti Khadijah binti Khuwailid r.a, wanita


pertama yang beriman dan membantunya, Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan
lain-lainnya, dari Ummahaatul Mukminīn (ibu dari kaum Mukmin), isteri-
isteri Nabi, dan isteri-isteri para sahabat Rasulullah saw
Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri?. Banyak
tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran
wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai
tokoh penting di belakang layar.

Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan.


Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-
istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia yang pertama
kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti
Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan
Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah. Selain Khadijah Ra. dan
Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di
antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma
binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan
penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah.

Khadijah yang selalu membesarkan hati Nabi, beliau


mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak
kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai
universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak
yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan
wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat.

Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu


memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika
Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu
Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah
manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang
dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam
membangun dakwah Rasulullah Saw.

Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi


Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang
berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu
Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada
Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang
selain-Nya.
Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin
Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolah- olah mereka
dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang
Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi. Rasulullah Saw. berusaha
melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah
Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama
‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke
wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar.
Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah
Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu
Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke
rumahnya.

Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak,


Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil
Abu Bakar. “Atiq…Atiq…Atiq!” Abu Bakar tidak menjawab panggilan
ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri.

Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya


dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu
Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak.
Salma bertanya, “Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?” Abu
Bakar balik bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah.” “Kami tidak
tahu,” jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja
mendengarkan percakapan istri dan anaknya. “Pergilah ibu temui Fathimah
binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah,” pinta Abu Bakar.
Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu
Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang
masih terkapar. “Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul
Arqam,” jelas Fathimah.

Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga,
ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah
bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya.

Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan


Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran
Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu
Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu
Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan
Fathimah tampil sebagai “decision maker”.

Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang
wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah
saudara perempuannya Arwa binti Hariz, ibunda Utsman, untuk
menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang
lurus. Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan
berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan
tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Su’da
amat baik dan runut dalam menceritakan kabar

Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman


akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar
bertanya, “Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman?” “Tidak ada,”
jawabnya. “Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran
seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu
pikiranku,” lanjut Utsman. Abu Bakar membenarkan berita yang
disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah
Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam.

Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran
seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan
kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh
Abu Jahal. “Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak
kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami
kemenakanmu. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh

Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara
Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya,” ujar ibunda Hamzah.

Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi


menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama teman-
temannya. Tanpa berfikir panjang Hamzah memukul Abu Jahal dengan
busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata, “Engkau berani memaki
Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya!”

Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik
perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari
Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu
bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat
mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah
berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah
adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang
mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar
melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan
berkata, “Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini.” Setelah itu Umar
menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya.

kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran


Utsman.

Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat


seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan Fathimah
untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang. Dari kisah-
kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu
berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa

Rasulullah Saw. Selain itu mereka juga berperanan dalam


keluarganya.

Di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan, semua penetapan dan perintah


ditujukan kepada kedua pihak, laki-laki dan wanita, kecuali yang khusus
bagi salah satu dari keduanya. Maka, kewajiban bagi kaum wanita di dalam
keluarganya ialah menjalankan apa yang diwajibkan baginya. dan berperan
sebagai kodratnya yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui.

Hadits di atas menunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu memiliki


porsi tiga kali lipat dari pada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti.
Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung,
melahirkan, dan menyusui. Ketiga hal itu merupakan bagian yang dirasakan
oleh ibu.

Hadits di atas juga merupakan dalil bahwa mencintai ibu dan


menyayanginya haruslah tiga kali lebih banyak secara menyatu. Karena
Nabi telah menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali dan hanya menyebutkan
ayah pada urutan yang keempat. Hal ini karena kesulitan ketika
mengandung, kesulitan ketika melahirkan dan kesulitan dalam menyusui
dan mendidiknya.

Selain itu ia juga wanita lemah. Oleh karena itu Rasulullah SAW.
Telah mewasiatkan sebanyak tiga kali dan memberi wasiat terhadap ayah
hanya satu kali, maka dalam hal itu terdapat perintah agar manusia
memperbaiki cara berbakti mereka terhadap ibunya demikian juga terhadap
ayahnya semaksimal mungkin.

Ada beberapa faktor mengapa seorang ibu mempunyai porsi tiga kali
dibanding seorang ayah.

Faktor pertama adalah hanya sosok ibulah yang harus menghadapi


masa sulit itu selama satu periode tertentu yang hampir memakan sebagian
besar usianya.

Faktor kedua adalah bahwa meskipun telah mencurahkan seluruh


pengorbanan seperti itu, seorang ibu tidak pernah mengharapkan balasan
sekecil apapun. Dia tidak pernah menunggu ucapan terima kasih atau
sanjungan. Sebaliknya, dia senantiasa menghabiskan usianya sebagai
sumber pengorbanan, serta sebagai ladang kebaikan disepanjang hidupnya.
Faktor ketiga adalah karena meskipun seorang ibu memiliki sifat sayang,
cinta, hangat, baik dan sangat toleran kepada anaknya, tetapi ada anak yang
menyepelekan ibunya, dia akan berpaling dari ibunya ketika marah, tidak
mengindahkan pendapat ibunya saat berunding atau musyawarah, semua
itu dia lakukan karena dia beranggapan bahwa ibu merupakan orang yang
mudah ridha dan tidak cepat marah. Oleh karena itulah Allah Yang Maha
Bijaksana pun menganggap semua sikap yang telah disebutkan di atas serta
sikap-sikap yang mirip dengannya sebagai sikap durhaka kepada ibu,
meskipun seorang ibu tidak marah.

Seperti dalam Al-Qur'an surat al-Isra’ (17):23:


ۗ
ُ‫كُاَََّّلُتَ ْعبدْْٓواُاََّّلُْٓا َّيه َُوِبلْ َوال َديْنُا ْح ٰسنااُا َّماُيَْب لغَ َّنُعْن َد َك‬
َ ُّ‫ٰىُرب‬
َ ‫َُوقَض‬
َّ ‫اُوقل‬
ُ‫َُّل َماُقَ ْواَّل‬ ٍِ ‫َُّل َمآُْا‬
ْ َ َ‫ف َُّوََّلُتَ ْن َه ْرُه‬
َّ ‫ُالْك َََبُاَ َحدُهَآُْاَْوُك ٰله َماُفَ ََلُتَقل‬
ْ
‫َكرْْياا‬
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. (QS. al-Isra’(17): 23) Dalam ayat di atas
menerangkan bahwa bakti kepada orangtua yang diperintahkan agama Islam
adalah bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai
denga adat dan kebiasaan masyarakat sehingga mereka merasa senang
terhadap kita serta mencukupi kebutuhan- kebutuhan mereka yang sah dan
wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak). Hal ini untuk menekankan apa
pun keadaan mereka, berdua atau sendiri, masing-masing harus mendapat
perhatian anak. Sang anak diminta untuk merendahkan diri kepada
orangtuanya terdorong oleh penghormatan dan rasa takut melakukan hal-hal
yang tidak sesuai dengan kedudukan ibu bapaknya. Pada dasarnya ibu
hendaknya didahulukan atas ayah, artinya sang anak hendaknya
memperhatikan atau mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan
salah satunya. Dan ibu lebih didahulukan karena beliau telah mengandung,
melahirkan dan menyusui dalam kurun waktu dua tahun dengan keadaan
yang susah dan payah. Sebagaimana yang telah disinggung di atas.

(1) Hadits tentang Larangan Melampiaskan Marah

Diriwayatkan dari Abu Hurairata r.a. bahwa seorang laki-laki


berkata kepada Nabi SAW.: “Berilah wasiat kepadaku”. Nabi SAW.
Bersabda: “Jangan marah”. Beliau mengulanginya beberapa kali dan
bersabda: “Jangan marah”. (HR. Imam Bukhari)

Dalam kitab Tukhfah al- Akhwadlī dijelaskan ada seorang yang


mendatangi dengan wajah marah lalu meminta nasihat kepada beliau
Rasulullah SAW., tunjukkan sesuatu yang bermanfaat (ilmu) untuk agama
dan dunia serta untuk mendekatkanku kepada Allah dan jangan berikan
kepadaku sesuatu ilmu yang banyak supaya aku bisa menjaganya.
Menurut al-Khuttobi makna lā taghdlob adalah menjauhi faktor-
faktor yang menyebabkan kemarahan dan jangan memancing sesuatu yang
menimbulkan kemarahan, karena menurut beliau marah adalah merupakan
watak dasar manusia atau sesuatu yang wajar dalam diri manusia.

Dikatakan pula makna lā tahgdlob adalah jangan melampiaskan


marah, karena faktor yang paling besar memancing kemarahan adalah
sombong. Oleh sebab itu akan jatuh kepada perselisihan, maka dari itu untuk
menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar bisa
berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang
diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing
kesombongan, juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa
kasih sayang atau bisa juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi.

C. Implikasi Hadits terhadap Pendidikan


Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang serta kontinyu niscaya akan
hafal dan paham. Begitu pula dengan belajar, metode pengulangan kata,
kalimat, atau ilmu-ilmu syar’i lainnya akan mudah melekat di otak dan
terinstal dengan baik sehingga secara otomatis dia akan hafal di luar kepala.
Pengulangan sangat dibutuhkan oleh para penuntut ilmu dan kaum muslimin
pada umumnya karena salah satu tabiat manusia adalah lupa. Di sinilah,
dengan mengulang kita bisa meminimalisir kesalahan. Ibarat sebilah pisau
yang harus diasah agar selalu tajam. Inilah metode nabawi yang terbukti
berfaedah yang seharusnya menjadi metode operasional dan pembelajaran
Islam.

Al-Khatib Al Baghdadi rahimahullah, dalam kitabnya Ta’limul


Muta’alim Thariiqul Ta’allum, berkata, bahwa Alqamah mengatakan:
“Berlama-lamalah dalam mengulang hadits, niscaya setelah itu tidak akan
hilang”. Dan juga sebagaimana ucapan Sufyan At Tsauri: “Jadikanlah hadits
itu sebagai pembicaraan dalam jiwa kalian dan perenungan dalam hati kalian,
niscaya kalian akan hafal” (Al Jaamili Akhlaqi Rawi 2/226).
Mengulang-ulang ayat Al Qur’an, hadits, dan matan-matan kitab
karya ulama dalam berbagai situasi dan waktu akan semakin mengokohkan
pemahaman. Inilah kiat strategis dalam menjaga ilmu agar terlindung dari
berbagai penyimpangan dan kesalahan.
Dan tingkat pemahaman serta kecerdasan orang bertingkat-tingkat, ada yang
dikaruniai Allah ta’ala kemudahan dalam memahami dan menghafal, namun
ada pula yang butuh perjuangan ekstra untuk memahami ilmu. Intinya faktor
murojaah itu tetap menjadi agenda dan prioritas penuntut ilmu atau setiap
pribadi kaum muslimin untuk meminimalisir kesalahan dan memantapkan
ilmu yang telah dikuasainya. Al Hasan bin Abu Bakar An Naisaburi berkata:
“Ada seorang ahli fiqih mengulang-ulang pengajaran di rumahnya berkali-
kali. Berkata seorang wanita tua yang berada di rumahnya, “Sungguh demi
Allah, aku telah menghafalnya”. Ahli fikih itu berkata: “Ulangilah pelajaran
itu”.
Wanita itu pun mengulanginya. Setelah beberapa hari ahli fikih itu
berkata: “Wahai wanita tua, ulangilah pelajaran itu”. Wanita itu pun
menjawab, “Aku tidak hafal lagi pelajaran itu”. Ahli fikih itu berkata, ‘”Aku
mengulang-ulang hafalan agar tidak tertimpa apa yang menimpamu'” (Al
Hatstsu ‘Ala Hifdzil ‘Ilmi, hlm 21).
Inilah fakta betapa pentingnya kebiasaan menghafal dan
mengulanginya yang manfaatnya luar biasa yang hendaklah dilakukan
dengan semangat, penuh kesabaran, dan tidak tergesa-gesa agar hasilnya
optimal.
Syaikh Ibnu Jibrin berkata, “Pada umumnya barangsiapa yang
menghafal dengan cepat tanpa mengulanginya, maka dia pun akan cepat
lupa. Dan sungguh kebanyakan pelajar pada zaman dahulu mencurahkan
kesungguhan mereka dalam menghafal, sampai-sampai salah seorang di
antara mereka membaca satu hadits atau 1 bab sebanyak 100 kali sehingga
melekat dalam benaknya. Setelah itu mereka mengulang-ulang apa yang
telah mereka hafal.” (I’dad Isa bin Sa’d Alu Uwasyn, hal. 31).
Demikian pula sebagai pendidik yang mengajarkan ilmu dengan
mengulang-ulang materi kepada anak didik akan lebih mudah dipahami
anak, atau mereka akan fokus belajar, dan menghindari dari kemalasan.
Dalam riwayat At Tirmidzi dari hadits Anas radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ُعنه‬
َ ‫َكا َن َُرسولُللاُصلىُللاُعليهُوسلمُبَعريُال َكل َمةَُثَََل ًَثُلتع َق َل‬
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengulang-ulang ‘kata’
sebanyak tiga kali agar dapat dipahami darinya.” (HR. At Tirmidzi,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no.4990).

Al Mubarakfuri berkata, “Maksudnya bahwa


beliau shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengulangi perkataannya tiga
kali ketika kondisinya menuntut itu, karena sulitnya (pemahaman) maknanya
atau keasingannya atau banyaknya orang-orang yang mendengar, beliau
melakukannya tidak secara terus-menerus, karena mengulang perkataan
tanpa ada kebutuhan untuk mengulanginya bukanlah termasuk balaghah
sama sekali. Demikian disebutkan dalam Syarh As Syama’il karya Al
َ ‫ ) ِلتُعقَ َل‬agar dapat dipahami darinya, dengan kalimat
Baijuri, perkataannya (ُ‫ع ْنه‬
pasif. Maksudnya agar kata tersebut dapat dipahami dari
beliau shallallahu’alaihi wa sallam” (Tuhfatul Ahwazi).
Pengulangan adalah sarana efektif untuk menghafal pelajaran dan
untuk memfokuskan kepada poin yang penting. Mengulang-ulang juga
sebagai bentuk penekanan untuk menggugah perhatian pendengar agar
menghadirkan pemahaman. Semoga ikhtiar ini apa yang dipelajari dan
dihafal beserta menjadi ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lai
D. Kajian Rijal Hadits

• Diagram Sanad

Rasulullah SAW

ۡ‫َعن‬
Abdi al-Rahman bin
Sakher

ۡ‫َعن‬
Abdullah bin Abdi al-
Rahman bin Auf

ۡ‫َعن‬
Muhammad bin
Muslim bin Ubaidillah
bin syihab

ۡ‫َعن‬
Yûnus bin Yazîd bin
Abi al-Najjâd

‫أخبنا‬
‫ر‬
Abdullah bin Al-
Mubarak bin Wadlih

‫أخبنا‬
‫ر‬
Abdullah bin Utsman
bin Jablah bin Abi
‫حدثنا‬
Al-Bukhari
• Biografi
a. Abu Hurairah ( 19H – 59H)
Nama lengkapnya : ‘Abd al-Rahman bin Shakhr al-Dausi al-Yamani
Kunyah : Abu Hurairah

Guru-gurunya :
Rasululloh Saw, Abi bin Ka’ab bin Qois, Basroh bin Abi Basroh,
Usman bin Affan bin Abi al- Ash bin Umayyah, Ali bin Abi Thalib bin
Abdullah bin Hasyim bin Abdi Manaf, Abu Shifin binSaid bin al-Mughiroh.

Muridnya :
Atho’ bin Abi Raba’ah bin Aslam, Abdul Malik an Abi Hurairah,
Abdullah bin Abdi al-Rahman bin Auf, al-Harits bin abdurrahman, Hamid
bin Zaid, Sholeh bin Abi Hasan, Hasan bin Abdurrahman, Said bin Said,
Sulaiman bin Abi Muslim, Sulaiman bin Yasir, dll.

Penilaian ulama terhadap Abu Hurairah yaitu tidak ada yang meragukan
kualitasnya lagi karena keadilan, kejujuran, kepercayaannya, dan
keontektikannya yang lebih tinggi dari sahabat lainnya.19

b. Abu Salamah
Nama lengkap : Abdullah bin Abdi al-Rahman bin Auf, kunyah
: Abu Salamah

Guru-gurunya :
Abu Sufyan bin Said bin al- Mughiroh, Zainab binti Salamah, Abu al-
Rudud, Thalhah bin Abidillah bin Usman, Abdi al-Rahman bin Sakher (
Abu Hurairah), Abu Shifin bin Said bin al- Mughiroh.

Muridnya :
Al- Harits bin Abdurrahman, Hasan bin Abdurrahman, Hamid bin Zaid,
Sulaiman bin Yasir, Sholeh bin Abi Hasan, Ibrahim bin Said bin Ibrahim
bin Abdi al-Rahman bin Auf, Az-Zuhriyyi, Muhammad bin Abdurrahman.
Penilaian Ulama terhadapnya, yaitu :
• Abu Zarah Ar-razi mengatakan tsiqah umam (orang yang dapat
dipercaya)
• Ibnu Hiban mengatakan tsiqah (terpercaya)
• Az-Zahabi mengatakan ( orang yang penting)
b. Az- Zuhriyyi
Nama lengkap : Muhammas bin Muslim bin Ubaidillah bin
Adullah bin Shihab
Kunyah : Abu Bakar
Guru-gurunya :
Ibnu Abi Khuzaimah, Abu al- Khowas, Ibrahim bin Abdurrahman
bin Abi Rabiah, Ibrahim bin Abdurrahman bin Khunain, Ibrahim bin
Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar bin Abdurrahman bin al- Harits bin
Hasim bin al- Mughiroh, Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin
Khazam, dll.

Murid-muridnya :
Muhammad bin Abdurrahman bin al- Mughiroh bin al- Harits
bin Abi Dzi’bin, Ibrahim bin Ismail bin Mujma’ bin Yazid, Ibrahim bin
Umar bin Mas’ud, Abu Ayub, Ishak bin Rasyid, Ismail bin Muslim,
Abu Ali bin Yazid, Usamah bin Zaid, dll.

Penilaian Ulama terhadapmya, yaitu :


• Laits bin Said mengatakan tsiqoh (dapat dipercaya) keilmuannya
• al-Khathîb mengatakan dia adalah mutqin (orang yang
meyakinkan),ۡ‘alimۡ(orangۡyangۡahli),ۡdanۡhafidzۡ(orangۡyangۡhafal)
c. Yûnus bin Yazîd (w. 159 H)
Nama lengkapnya : Yûnus bin Yazîd bin Abi al-Najjâd
kunyah : Abu Yazid

Guru-gurunya :
Abu ‘Ali bin Yazid, al-Zuhri, Nâfi’ (maula Ibn ‘Umar), Hisyâm
bin ‘Urwah, ‘Ikrimah, ‘Umârah bin Ghaziyyah, dan lain-lain.

Murid-muridnya :
Jarîr, ‘Amr bin al-Hârits, ‘Anbasah bin Khâlid bin Yazid,
(‘Abdullah) Ibn al-Mubarak, al-Laits, al-Auza’i, Sulaiman bin Bilâl,
dan lain-lain.

Penilaian ulama terhadapnya, yaitu :


• ‘Abdullahۡbinۡal-Mubarak yang menilainya kitabuhu shahih
(kitabnya baik/valid),
• Yahya binۡMa’în,ۡAl-Nasa’iۡdanۡA-Ijli’mengatakanۡtsiqahۡ
(orang yang terpercaya),
• Abu Zur’ah menilainya la ba’sa bihi (dia tidak
bermasalah/orang yang tidak cacat).
d. Abdullah (w. 181 H)
Nama Lengkap : Abu ‘Abd al-Rahmân ‘Abd Allâh bin al-
Mubârak bin Wâdhih al-Handlali al-
Tamimi al-Marwazi.

Kunyah : Abu 'Abdur Rahman


Guru-gurunya :
Sulaimân al-Taimi, Humaid al-Thawîl, Ismâ’îl bin Abi Khâlid,
Yahya bin Sa’îd al-Anshâri, Sa’ad bin Sa’îd al-Anshâri, Ibrâhim bin
Abi ‘Ablah, Khaldah Khâlid bin Dînâr, ‘Âshim al-Ahwal, Yunus bin
Yazîd, dan lain-lain.

Murid-muridnya :
Al-Tsauri, Ma’mar bin Râsyid, Abu Ishâq al-Fazâri, Ja’far bin
Sulaimân al-Dhab’i, Baqiyyah bin al-Walîd, Ibn ‘Uyainah, dan lain-
lain.

Penilaian ulama terhadapnya disampaikan oleh :


• al-‘Ijliۡyangۡmenilainya tsiqah (orang yang terpercaya),
• YahyaۡbinۡMa’inۡjugaۡmenilainyaۡtsiqah,
• Ibn Hibbân memasukkannya ke dalam kitabnya al-Tsiqât.
e. ‘Abdanۡ(w.ۡ221 H)
Nama Lengkap :‘Abd Allâh bin Utsmân bin Jabalah bin Abi
Rawwâd al-Azdi al-‘Ataki, yang kemudian
diberi gelar ‘Abdân.
Kunyah : Abu 'Abdur Rahman
Guru-gurunya :
Abu Hamzah al-Sukari, Yazîd bin Zurai’, Ibn al-Mubârak, Jarîr
bin ‘Abd al-Hamîd, Syu’bah, Hammâd bin Zaid, Isâ bin ‘Ubaid,
Muslim bin Khâlid al-Zanji, dan lain-lain.

Murid-muridnya :
Al-Bukhari, Muhammad bin ‘Abd Allâh bin Quhzâdz, Ahmad
bin Muhammad bin Syibawaih, Muhammad bin ‘Ali bin al-Hasan,
dan lain-lain

Penilaian ulama terhadapnya, yaitu :


• AbuۡRajâ’ۡMuhammad,ۡdiaۡadalahۡtsiqahۡma’munۡ(orangۡ
terpercaya lagi kredibel),
• Imam al-Hâkim mengatakan dia adalah imam ahl al-hadits bi
baladih (imam ahli hadis di negaranya).
f. Imam Bukhari
Nama Lengkap : Muhammmad bin Islmail bin Al
Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari Al Ju’fi

Kunyah : Abu Abdillah


Guru-gurunya :
Abu ‘Ashim An-Nabil, Al- Anshari, Makki bin Ibrahim,
Ubaidaillah bin Musa, Abu Al- Mughirah, Abdan bin Utsman, Ali bin Al
Hasan bin Syaqiq, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir, Abdullah
bin Raja’, Khalid bin Makhlad, Abdurrahman Al Muqri, Khallad bin
Yahya, Abdul Aziz al- Uwaisi, Abu al- Yaman, Ali bin Al Madini, Imam
Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadits lainnya.

Murid-muridnya :
beliau tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang paling
terkenal adalah Al Imam Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi, penyusun
kitab Shahih Muslim, Imam Abu Isa at-Tirmidzi, Al- Imam Shalih bin
Muhammad.

Penilain ulama terhadap Imam al- Bukhari


• Abu Bakar bin Munir kritikus hadits, menggolangkan Bukhari ke
dalam kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan
kokoh hafalannya, sedangkan ketakwaan dan keshalihan beliau agar
dapat dijadikan teladan.
• Abdullah bin Sa’id bin Ja’far mengatakan bahwa beliau tergolong
tsabit (kokoh ingatannya). Sulaim mengatakan bahwa beliau orang
yang shalih hadisnya, pemahamannya tentang ajaran Islam, leblih
wara’ (takwa), dan lebih zuhud terhadap dunia.
BAB III
KESIMPULAN

Rasulullah SAW. dalam berbicara kepada orang lain sesuai dengan


kadar intelektual mereka. Beliau mampu memahami pola hidup dan kondisi
lingkungan seorang audien, dalam hal ini adalah sahabat. Beliau juga
memperhatikan perbedaan daya tangkap, kecerdasan dan kemampuan alami
maupun hasil latihan mereka dalam berfikir. Rasulullah SAW. dalam
mengajarkan haditsnya pun menggunakan metode yang berbeda, di antara
metode yang digunakan beliau adalah metode lisan, metode ini berbentuk
ceramah yang diadakan di majlis. Bila berbicara, Rasulullah SAW.
menggunakan makna yang sangat tegas dan rinci. Apabila yang
disampaikannya itu merupakan suatu hal yang penting, beliau biasa
mengulanginya sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan memahami maknanya
dan pendengar menghafalnya. Dalam hadits beliau yang diulang secara lafal
hingga tiga kali, tentunya mempunyai makna atau pesan yang berbeda.
Pesan Nabi dalam hadits-hadits pengulangan tiga kali adalah:
a. Untuk Sebuah Kemuliaan atau Keutamaan sebagai bentuk hak seorang
ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah
b. Untuk Kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak
Marah)
c. Untuk Memahamkan
d. Ihtimam (perhatian), dan sebagai Takhrish (semangat)
e. Kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa
f. Untuk sebuah keberanian sebagai bentuk motivasi
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim, Kritik Matan Hadits, yogyakarta:TERAS, 2004 Cet. I.

Abdullah, M. Amin, Studi Agama; Normalitas atau Historisitas?, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1996.

Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan


Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta:
Penerbit Arga, 2001.

Ahs-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009.

Al-‘Aini, Mahmud bin Ahmad, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001, Juz 22.

Al-Adim Abadi, Abi al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq, ‘Ain al-Ma’bud: Sunan
Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz 2.

Al-Andalusy, Syekh Muhannad bin A. Malik, Terjemahan Matan al-Fiyah, Terj.


M. Anwar Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th.

Al-Ashqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari, Beirut:Dar al-Fikr, t.th,, juz.
10.
Al-Asy’ats, Abu Daud Sulaiman bin, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994,
Juz 2

Al-Aziz, Mohammad Saifullah, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya:


Terbit Terang, 1998

Al-Bukhori, Abi abdillah muhammad bin ismail, Matn al-Bukhori, Beirut: Dar al-
Fikr, 1995, juz 4.

Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbab al-Wurud, Terjemahan M. Suwarta


Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, Juz 1.

Al-Fahham, M., Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Kesuksesan dan


Kebahagiaan Anak, Bandung: Penerbit Irsyad Bait al-Salam, 2006, cet. 10.

Al-Faurak, Abu Bakar, Musykil Hadits wa Bayanihi, Beirut: ‘Alam al-Kutub,


1985.

Al-Hasan, Qadir, Ilmu Musthalah al-Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1983,Cet.


II.

Anda mungkin juga menyukai