LP Fraktur Tibia
LP Fraktur Tibia
LP Fraktur Tibia
Disusun Oleh :
AHMAD INDRA SETYA BUDI
2304053
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR TIBIA FIBULA
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua
faktor penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur
fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari
kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan
kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan
metabolik dan patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun
maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma
dan poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh.
Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka
atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan
rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
masalah neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup
akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang
telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Hurst, (2019) klien yang mengalami fraktur pada awalnya memiliki tanda
dan gejala berikut:
a. Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot terjadi segera
setelah fraktur.
b. Kehilangan fungsi sokongan terhadap otot hilang ketika tulang patah. Nyeri juga
berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.
c. Deformitas: ekstremitas atau bagiannya dapat membengkok atau berotasi secara
abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot dan edema.
d. Pemendekan ekstremitas: spasme otot menarik tulang dari posisi kesejajarannya
dan fragmen tulang dapat menjadi dari sisi ke sisi, bukan sejajar ujung ke ujung.
e. Krepitus: krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan dengan
pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang bahkan dapat
menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan, pembuluh darah, dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat trauma
jaringan pada cedera.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik menurut Muttaqin, (2018):
a. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna
struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan adanya
pelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X sendi dapat menunjukkan
adanya cairan, iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
b. CT Scan
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan tendon. CT Scan
digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah
yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dapat dengan
atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam.
c. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil
foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Pemeriksaan ini
sangat bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan dapat digunakan untuk
tingkat amputasi yang dilakukan. Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini
adalah klien dibiarkan berbaring selama 12 jam sampai 24 jam untuk mencegah
perdarahan pada tempat penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan
untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna mengkaji
apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal adekuat.
d. Artrografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat
struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan dalam kisaran
pergerakannya sambil dilakukan serial sinar-X. Pemeriksaan ini sangat berguna
untuk mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau
ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila
terdapat robekan, bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat
pada sinar-X. Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12
jam sampai 24 jam dan diberi balut tekan elastis.
e. Artrosentesis (aspirasi sendi)
Dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan pemeriksaan
berwarna seperti jerami, dan volumenya sedikit. Cairan tersebut kemudian
diperiksa secara makroskopis mengenai volume, warna, kejernihan, dan adanya
bekuan musin. Secara mikroskopis untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel,
melakukan pewarnaan Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya. Pemeriksaan
ini sangat berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi inflamasi
lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis (perdarahan di dalam
rongga sendi), yang menyebabkan trauma atau kecenderungan perdarahan.
f. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung ke
dalam sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi dalam kondisi steril dan
perlu dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun anastesi umum.
g. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan sinovial guna
membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai
adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Setelah melakukan prosedur ini mungkin
perlu dikompres es untuk mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi
analgesik untuk mengurangi rasa tidak nyaman.
h. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai masalah
muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti infeksi, sebagai dasar
acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar
hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma dan
hitung sel darah putih. Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai
macam kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada
osteomalasia, fungsi paratiroid, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada
imobilisasi lama.
6. Penatalaksanaan
a. Menurut Muttaqin, (2018) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah:
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan dan menghindari komplikasi yang mungkin terjadi selama
dan sesudah pengobatan.
2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal
didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan reduksi
anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi nommal, dan mencegah
komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di
kemudian hari.
3. Retention (imobilisasi fraktur)
Secara umum, teknik penat al aksanaan yang digunakan digunakan adalah
mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan
yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin)
Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh keadaan klien
pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada klien
pasca amputasi cruris, program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana
klien dapat melanjutkan hidup dan melakukan aktivasi dengan
memaksimalkan organ lain yang tidak mengalami masalah.
b. Penatalaksanaan konservatif
1. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk
mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan mitela pada anggota
gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah
2. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai
eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips
atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.
3. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan
dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan melawan
kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan
alat utama pada teknik ini.
4. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan
imobilisasi
c. Penatalaksanaan pembedahan
Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K
Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak
stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutan
(Muttaqin, 2018).
2. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu ORIF
(Open Reduction Internal Fixation).Fiksasi interna yang dipakai biasanya
berupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang
sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi
dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah
adanya risiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (Open Reduction External
Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan OREF akan memerlukan waktu
yang lama dengan masa penyembuhan antara 6-8 bulan. Setelah dilakukan
pembedahan dengan pemasangan OREF sering didapatkan komplikasi baik
yang bersifat segera maupun komplikasi tahap lanjut (Muttaqin, 2008).
PATHWAY
Terjadi fraktur
Tindakan
pembedahan ORIF
Intra-operasi Post-operasi
Pre-operasi
Pemasangan orif
Dianggap
sebagai
pengalaman
yang
menakutkan
Ansietas
Risiko Jatuh
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Fokus Pengkajian
a. Pengkajian
Pengkajian adalah suatu proses yang dilakukan semua fase pemecah masalah dan
menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Meliputi nama, jenis kelamin, usia,
agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan. pekerjaan,
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit.
b. Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat penyakit keluarga
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien fraktur meliputi :
1. Keadaan Umum
2. Wajah
3. Mata
4. Telinga
5. Hidung
6. Mulut dan faring
7. Status mental observasi penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya status
mental tidak mengalami perubahan.
d. Pemeriksaan Sistem Saraf Kranial (1)
1. Saraf I: pada pasien fraktur cruris, fungsi saraf I tidak ada kelainan
2. Saraf II : tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
3. Saraf III, IV, dan VI : biasanya tidak mengalami gangguan mengangkat mata
dan pupil isokor.
4. Saraf V: pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada
otot wajah dan refleks konea tidak ada kelainan
5. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
6. Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
7. Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
8. Saraf XI : tidak ada atrofi otot setrnokleidomastoideus dan trapezius
9. Saraf XII : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi (Muttaqin, 2018).
e. B6 (Bone)
Adanya fraktur pada tibia-fibula akan mengganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik maupun peredaran darah (Muttaqin, 2018).
1. Look
Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal) dan
deformitas. Pada bagian ini sering terjadi patah tulang terbuka sehingga
ditemukan adanya tanda-tanda trauma jaringan lunak sama kerusakan
integritas kulit dan penonjolan tulang keluar kulit. Ada tanda-tanda cidera
dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovaskular (saraf dan
pembuluhdarah) tungkai, seperti bengkak/edema. Ada ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dalam
melakukan pergerakan (Muttaqin, 2008).
2. Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi (Muttaqin, 2018).
f. Pengkajian post operasi
Pengkajian di ruang pulih-sadar dilakukan perawat setelah pembedahan
ortopedi dan perawat melanjutkan rencana perawatan praoperasi. Pengkajian
meliputi penyesuaian klien terhadap sttaus pascaoperatif terbaru. Pengkajian
fungsi respirasi, gastrointestinal, dan perkemihan memberikan data untuk
memperbaiki fungsi sistem tersebut. Anestesi umum, analgesik, dan imobilitas
dapat menyebbakan kerusakan fungsi berbagai sistem tersebut. Perfusi jaringan
harus selalu dipantau ketat karena edema dan perdarahan ke dalam jaringan dapat
memperburuk peredaran darah dan mengakibatkan sindrom kompartmen. Batasan
mobilitas harus dicatat. Perawat mengkaji pemahaman klien mengenai
keterbatasan gerakan. Pengkajian kembali konsep diri klien memungkinkan
perawat menyesuaikan rencana perawatan praoperasi dengan lebih mudah
(Muttaqin, 2018).
Perawat harus memperhatikan pengkajian dan pemantauan klien mengenai
potensial masalah yang berkaitan dengan pembedahan. Pengkajian tanda-tanda
vital, tingkat kesadaran, cairan yang keluar dari luka, suara napas, bising usus,
keseimbangan cairan, dan nyeri yang sering dapat memberikan data yang
menunjukkan terjadinya kemungkinan komplikasi. Tujuan perencanaan pada
pascaoperasi meliputi :
1. Pemantauan risiko kegawatan Klien pasca operasi dengan pembiusan umum
yang masuk ruang pulih sadar sangat rentan terhadap risiko cedera.
2. Penurunan sensasi nyeri Pada klien pasca pembedahan ortopedi, masalah
nyeri merupakan hal merupakan hal yang sering dialami klien.
3. Pemantauan luka dan drain Adanya luka pasca operasi perlu dipantau
perawat, apakah pada kasa yang tertutup menjadi basah karena darah.
Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (SIKI)
Keperawatan Hasil (SLKI)
(SDKI)
1. ansietas Setelah dilakukan Observasi ;
(D.0080) - Identifikasi kondisi umum pasien
tindakan keperawatan
selama 1x24 jam, Pengetahuan tentang operasi
- Monitor tekanan darah, nadi,
dengan kriteria hasil
pernafasan, suhu tubuh
Didapatkan : Terapeutik
- Penilaian diri - Bebaskan area kulit yang akan
positif meningkat dioperasi daru rambut atau bulu
- Perasaan tubuh
bersalah - Pastikan kelengkapan dokumen-
menurun dokumen preoperasi
- Perasaan malu - Transfer ke kamar operasi dengan
menurun alat transfer yang sesuai
- Perasaan tidak Edukasi
mampu - Jelaskan tentang prosedur, waktu
melakukan dan lamanya operasi
apapun menurun - Latih teknik mengurangi nyeri
pasca operasi
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
sebelum pembedahan
2. Risiko Setelah dilakukan Terapeutik
perdarahan tindakan keperawatan - Pertahankan bed rest selama
(D.0012) 1x24 jam dengan kriteria perdarahan
hasil didapatkan: - Batasi tindakan invasive, jika perlu
- Membran mukosa - Gunakan kasur pencegah decubitus
lembab - Hindari pengukuran suhu rektal
meningkat Edukasi
- Kelembaban kulit - Jelaskan tanda dan gejala
meningkat perdarahan
- Hemoptisis - Anjurkan menggunakan kaus kaki
menurun saat ambulasi
- Hematemesis - Anjurkan meningkatkan asupan
menurun cairan untuk menghindari
- Hematuria konstipasi
menurun - Anjurkan menghindari aspirin atau
- Hemoglobin antikoagulan
membaik Kolaborasi
- Hematokrit - Kolaborasi pemberian obat
membaik pengontrol perdarahan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian produk
darah, jika perlu
- Kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu
3. Risiko Jatuh Setelah dilakukan Observasi
- Identifikasi faktor jatuh
(D.0143) tindakan keperawatan
- Identifikasi risiko jatuh
selama 1x24 jam, - Identifikasi faktor lingkungan yang
meningkatkan risiko jatuh
dengan kriteria hasil
- Hitung risiko jatuh
didapatkan: - Monitor kemampuan berpindah dari
tempat tidur ke kursi roda dan
- Jatuh dari tempat sebaliknya
tidur menurun Terapeutik
- Jatuh saat berdiri - Orientasikan ruangan pada pasien
menurun dan keluarga
- Jatuh saat duduk - Pasang handrail tempat tidur
menurun - Atur tempat tidur mekanis pada
- Jatuh saat posisi terendah
- Tempatkan pasien berisiko tinggi
berjalan menurun
jatuh dekat dengan pantauan
perawat dari nurse station
Edukasi
- Anjurkan memanggil perawat jika
membutuhkan bantuan untuk
berpindah
- Ajarkan cara menggunakan bel
pemanggil untuk memanggil
perawat
Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan
yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran intervensi
keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan dan pengobatan dan
tindakan untuk memperbaiki kondisi dan pendidikan untuk klienkeluarga atau tindakan
untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari (Nettina, 2002).
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
a. Mempertahankan jalan napas secara efektif yang ditunjukkan dengan batuk efektif
c. Mempertahankan pola napas yang efektif yang ditunjukkan dengan ventilasi semenit
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2018. Keperawatan Meikal Bedah. Edisi 8. Vo3. Jakarta: EGC.
Smeltzer,S. C&Barre, B. G (2018). Keperawatan Medikal Bedah; Edisi 8
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2019. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Muttaqin, Arif. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskulukeletal. Jakarta : EGC.
Price, Wilson. 2016. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Penerbit
Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI): Definisi dan
Kreteria Hasil Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.