Analisis Cerpen
Analisis Cerpen
Analisis Cerpen
abstrak :
“Bila kau bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku padanya. Aku takkan pernah lari
dari takdir. Aku akan tetap disini, menanti matahari tiba, atau kegelapan boleh menemuiku
duluan.”
orientasi :
Mungkin, Waktu adalah teman paling setia bagi manusia. Tak ada hambatan untuk saling
berbagi cerita kehidupan. Waktu tak akan lari kemana-mana, dia akan selalu ada untuk
memberitahuku kapan hujan akan turun. Lantas, apa hubungan Waktu dan hujan?
Karena sejauh yang kutahu, hanya hujan-lah yang menjadi saksi perjalananku. Hujan dan
Waktu adalah sahabat karib.
Permulaanku dengan Waktu tidak seperti sekarang ini. Tidak mudah untuk menapakinya.
Aku harus jatuh-bangun, berdarah-darah, demi meraih uluran tangan sang Waktu yang tak
sabar menungguku datang dari kejauhan. Ya, Waktu membenciku pada permulaan ini. Aku
lebih berjalan lambat, tanpa peduli bahwa Waktu tak bisa meninggalkanku sendirian.
Aku tahu perasaan Waktu ketika itu, karena kini aku merasakan bagaimana sakitnya
ditiadakan oleh orang lain.
Aku tak pernah lupa ketika Waktu menemukanku menangis di pojokan kamarku yang sempit.
Di antara rinai hujan, menelisikkan suara rintiknya yang begitu kelu. Dia tahu aku tak bisa
kehilangan sepasang malaikat yang senantiasa mengelus rambutku sebelum beranjak tidur.
Atau, membuatkanku sarapan kesukaanku, telur dadar.
“Ayo ikut denganku, akan kuajak jalan-jalan.” Sang Waktu mencoba menghiburku.
“Tidak.” Aku menolaknya. Kepalaku masih tersembunyi dibalik pelukanku pada kedua lutut.
“Terakhir kali aku ikut denganmu, kau mengambil ayah dan ibu.”
“Kau pembohong.”
2
Waktu terdiam. Aku melihat jarum jam dinding kamarku juga berhenti. Hanya aku dan dia
yang sadar dalam dimensi ini. Aku bisa membaca Waktu ingin segera membantahku, tapi
urung dilakukan. Aku pergi meninggalkannya, karena aku tak lagi percaya padanya.
komplikasi :
Sepuluh tahun lamanya aku tak bersua dengan Waktu. Kita berdua sepertinya belum
merindukan satu sama lain. Padahal, Aku masih seperti dulu, menyukai selasar taman bunga
yang dikelilingi oleh bunga tulip. Menggores tinta pada selembar kertas putih berukuran A4.
Menuliskan tiap perjalanan yang telah kulalui.
Kata ‘sepi’, ‘seorang diri’, ‘diam’ masih mendominasi berlembar-lembar kertas yang sudah
menumpuk di atas meja rumahku. Entah kata apa lagi yang bisa kutuliskan untuk menambah
variasi kata baru. Rasanya ada yang kosong di dalam sini, tanpa tahu obat penawar apa yang
tepat untuk menambalnya. Ada yang berbeda antara dimensiku dengan lainnya. Aku
kehilangan sang Waktu.
Kerinduan ini menghantarkanku pada keterpurukan. Bagai anak ayam yang kehilangan
induknya, aku tak bisa membaca dengan jelas peta kehidupanku. Aku lebih banyak berjalan
di sepertiga malam, hanya untuk berharap, barangkali Waktu akan muncul di depan sana,
dekat kedai kopi favoritku.
“Harapan memang selalu ada, tapi aku lebih percaya pada takdir.”
***
Sang Waktu menemukanku pada suatu sore yang sendu, dengan senja berada di ambang
langit. Siapapun bisa mendengar alunan rintik-rintik hujan itu. Entah kenapa, dia selalu
menemukanku ketika hujan. Mungkin, karena ia bersahabat dengannya.
Tangan sang Waktu membelai pelan pipiku. Serasa ibu membangunkanku di setiap pagi yang
indah. Betapa terkejutnya aku ketika itu adalah sang Waktu, bukan ibu.
“Kalau begitu panggil aku tamu,” balas waktu. “Aku ingin mendengar ceritamu.”
Untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, ada yang memintaku bercerita. Ayah pernah
berwasiat, “kamu pasti akan berjumpa dengan gelap dan terang. Tapi hanya waktu yang bisa
menujukkanmu jalan mana yang tepat.”
Aku pikir tak ada salahnya berbagi cerita. Toh, pada akhirnya Waktu kembali hadir di
sampingku.
***
Sang Waktu menemaniku hingga sepertiga malam. Senang rasanya kerinduan ini terobati.
Walaupun lisan berbohong, Toh batin bisa berkata apa. Dia ternyata tak pernah
meninggalkanku. Ia mengawasiku dibalik langit ketujuh, rupanya. Karena bukan dia yang
menyerah akanku, tetapi aku yang pergi meninggalkannya. Dia percaya, bahwa suatu saat
nanti akan tiba masanya ketika aku dan dia ditakdirkan bertemu kembali. Sampai saat itu tiba,
dia senantiasa memperhatikanku. Sampai hari ini, saat dia membangunkanku dari tidur lelap.
Kita mulai saling membuka diri. Waktu menasihatiku banyak hal. Bahwa hidup itu bukan
sesuatu hal yang boleh disia-siakan. Kehilangan adalah perusak keharmonisan antara
perasaan dan emosi yang sudah Tuhan ciptakan secara sempurna untukku. Bahwa aku bisa
menambal kekosongan di dalam dada ini oleh satu hal; rasa cinta.
Waktu mengajariku, bagaimana dulu Rasulullah SAW menorehkan kisah cintanya dengan
Siti Khadijah, perempuan mulia yang mampu menggugah hati sang kekasih Allah. Ketika
dahulu, Ali bin Abi Thalib harus kecewa ketika Fatimah, sang putri Rasulullah dipinang oleh
Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Apadaya, Tuhan menakdirkan Ali mengarungi bahtera
pelayaran kehidupan bersama Fatimah.
Waktu mengajariku, dia dan takdir berbeda. Mereka diciptakan dari hal yang berbeda.
Waktu-lah yang menunjukkan jalan pada takdir, kemana ia kan berlabuh.
Waktu berpesan padaku, untuk mencoba melangkah dalam perspektif yang berbeda. Bahwa
bumi ini diciptakan bukan untuk berjalan dalam satu langkah perjalanan. Membuka gembok
hati adalah kunci utamanya.
evaluasi :
Aku terbangun di sepertiga malam. Ada secarik kertas memo menempel didahiku. Jangan
sering-sering jalan-jalan malam, sekali-kali berdoalah. Isi pesan itu memantik rasa penasaran.
Tetiba, terdengar bunyi kaleng jatuh berdentang di luar kamar. Ada secarik kertas juga di
dalamnya.
4
Munajatkan doamu agar kekagumanmu padanya berubah menjadi harapan yang mampu
membawamu pada langit ketujuh. Karena aku menunggu ketika kamu menemuiku dengan
seseorang yang ada dalam doamu.
resolusi :
Setiap hari aku menunggu sang gadis di meja dan kursi yang sama. Hujan, terik panas,
bermusim-musim cuaca berganti, aku tetap disana. Dalam penantianku, kutitipkan sebuah
surat pada sang waktu melalui sujudku di sepertiga malam. Surat tanpa kertas.
Wahai sang Waktu, entah berapa banyak rencana yang kau tuliskan untukku selama sepuluh
tahun ini. Kau tahu, sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Sepuluh tahun kamu peduli
padaku dibalik ketidaktahuanku, dan selama itu pula aku membencimu. Bukan kamu yang
tak memaafkanku, sahabat. Aku yang pergi meninggalkanmu ketika dulu.
Bila kau bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku padanya. Aku takkan lari
meninggalkan takdir. Aku akan tetap disini, menanti matahari tiba, atau ia boleh menemuiku
duluan. Aku harus segera berkisah padanya, bahwa kini aku memilihmu, Waktu. Kamu-lah
satu-satunya bukti dari perjalananku. Perjalanan metamorfosa yang aku pikir, inilah kenangan
terbaik. Terimakasih Waktu, semoga kita bisa benar-benar bertemu dilangit ketujuh.
Dihadapan gadis yang kini menarik kursi di depanku, aku membisikkan padanya panjatku,
yang membuatnya tersenyum.
“Aku dan kamu diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Tuhan sengaja menitipkan
tulang rusukku padamu, agar kamu tidak tersesat dalam pelayaran menemukanku. Di muara
pelabuhan yang orang menyebutnya, cinta.”
Gadis itu diam tanpa kata, dia hanya tersenyum bahagia. Sang Waktu hadir diantara kita
berdua. Kita sudah dilangit ketujuh, rupanya.
koda :
Dihadapan gadis yang kini menarik kursi di depanku, aku membisikkan padanya panjatku,
yang membuatnya tersenyum.
“Aku dan kamu diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Tuhan sengaja menitipkan
tulang rusukku padamu, agar kamu tidak tersesat dalam pelayaran menemukanku. Di muara
pelabuhan yang orang menyebutnya, cinta.”
Gadis itu diam tanpa kata, dia hanya tersenyum bahagia. Sang Waktu hadir diantara kita
berdua. Kita sudah dilangit ketujuh, rupanya.
5
d. Menggunakan dialog
: "Ayo ikut denganku, akan kuajak jalan-jalan." Sang Waktu mencoba menghiburku.
"Tidak." Aku menolaknya.
Kepalaku masih tersembunyi dibalik pelukanku pada kedua lutut.