IAT_Kelompok_1[1]

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

Pengantar ilmu Akhlak dan Tasawuf

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu akhlak dan tasawuf.
Dosen pengampu Mohammad Toha Umar

Disusun oleh kelompok:


1. Aina A’dalina Azman (2441103010030)
2. Yahya Faisal Amin (244110301032)
3. M. Arjunnaja Fairuza Failasuf (24411030122)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF.K.H.SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2024

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh Swt, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat dan salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad Saw.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kuliah ILMU AKHLAK DAN
TASAWUF yang membahas mengenai pengertian akhlak dan tasawuf, kami
menyadari bahwa dalam penyusunan bahasa ataupun teknik penulisannya. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun, khususnya dari
dosen pengampu mata kuliah ini guna menjadi acuan bagi kami untuk lebih baik
lagi dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya.

Purwokerto, 28 September 2024

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................2
A. Latar Belakang.................................................................................2
B. Rumusan Masalah............................................................................2
BAB 11 PEMBAHASAN ...........................................................................3
A. Pengertian menurut bahasa dan istilah..............................................
B. Sejarah dan perkembangan ilmu akhlak dan tasawuf.......................
C. Tokoh-tokoh dan karya ilmu akhlak dan tasawuf.............................
D. Objek kajian ilmu akhlak dan ilmu tasawuf.....................................
BAB 111 PENUTUP......................................................................................
A. Kesimpulan......................................................................................
B. Saran................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal pertama yang harus dilakukan seorang yang sedang mengkaji
sebuah topik bahasan adalah mengenal atau mengetahui arti atau definisi
topik bahasan tersebut. Sebab, tanpa mengetahui pengertiannya, maka
akan sulit kita dapat mengenalinya secara tepat, dan bila tidak
mengenalinya secara tepat maka akan menemukan kesulitan dalam
mengkaji dan menjelaskan hakikat dari topik bahasan tersebut. Karena
alasan inilah, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu apa sesungguhnya
pengertian akhlak, sebelum bicara lebih jauh tentang segala hal yang
berkaitan dengan akhlak.

Islam menjadi agama yang mencakup banyak dimensi kehidupan,


tidak terkecuali dimensi spiritual. Salah satu cabang penting yang
menelusuri dimensi ini adalah tasawuf, yaitu sebuah pendekatan dalam
Islam yang berfokus pada makna dan kedekatan manusia dengan Allah
Swt.1 Peran tasawuf dalam sejarah Islam penting dan terus menjadi bagian
budaya umat Islam. Tokoh-tokoh seperti Rabi'ah Al-Adawiyah dan
Jalaluddin Rumi memberikan inspirasi dalam pencarian rohani.2 Dalam
konteks perkembangan zaman yang semakin kompleks, pengetahuan
tentang tasawuf dapat membantu Muslim dalam mengeksplorasi aspek-
aspek mendalam dalam agama mereka, mencapai kedekatan dengan Allah
Swt. dan menemukan makna dalam kehidupan mereka. Dalam pandangan
tasawuf, pencarian spiritual ini adalah perjalanan yang tak pernah berakhir,
dengan tujuan akhirnya adalah mencapai Allah Swt. dan mendapatkan
kebahagiaan sejati.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari ilmu akhlak dan tasawuf ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu akhlak dan
tasawuf?
3. Siapa saja tokoh dan karya ilmu akhlak dan tasawuf?
4. Objek kajian ilmu akhlak dan tasawuf tertuju pada siapa?
BAB 11
PEMBAHASAN

A. Pengertian Menurut Bahasa dan Istilah


Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan
akhlak,yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), terminologik (peristilahan).Dari
sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar
(bentukinfintif) dari kata ‫اخلقا‬-‫يخلق‬-‫اخلق‬. Sesuai denan timbangan wazan tsulasi
majid ‫ افعال‬-‫يفعل‬-‫افعل‬, yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabiah (kelakuan,
watak dasar), al-adat(kebiasaan, kezaliman), al-maru’ah (peradaban yang baik),
dan al-din (agama)1.Akhlak secara istilah menurut Ibn Miskawaih (w.
421 H/1030 M) yang dikenalsebagai pakar bidang akhlak terkemuka
dan terdahulu mengatakan; “sifat yangtertanam dalam jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpmemerlukan pemikiran dan
pertimbangan2.
Sementara Imam al-Ghazali (1059-1111 M) mengatakan; “sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gampang danmudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

B.Pengertian Tasawuf
Tasawuf secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu -‫يتسوف‬-‫تسوف‬
‫تسوفا‬.Selain dari kata tersebut ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari
kata shuf‫صوف‬yang artinya bulu domba. Maksudnya adalah bahwa para penganut
tasawuf inihidupnya sederhana, tapi berhati mulia serta menjauhkan dari pakaian
sutra danmemakai kain dari bulu domba yang kasar atau yang disebut dengan
kain wol kasar.Yang mana pada waktu itu memakai wol kasar adalah simbol
kesederhanaan4. Tasawuf juga berasal dari kata shaff ‫صف‬yang berarti barisan,
makna shaff inidinisbahkan kepada para jamaah yang selalu berada pada
barisan pertama ketikasholat. Sebagaimana sholat yang ada dibarisan
pertama maka akan mendapatkemuliaan dan pahala. Maka dari itu, orang yang
ketika sholat berada di barisandepan akan mendapatkan kemuliaan serta pahala
dari Allah SWT. Sedangkan secara terminologi terdapat bebrapa pendapat oleh
beberapa ahli.Namun penulis hanya akan mengambil beberapa pendapat dari
pendapat para ahlitasawuf yang ada, yaitu;1.Syekh Abdul Qodir Jaelani
berpendapat, Tasawuf adalah membersihkan hati dariyang menggangu perasaan
dan melepas nafsu dari pangkalnya dengan khalawt,riyadhloh, taubah dan
ikhlas6.2.Syekh Ibnu Ajibah mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang
membawaseseorang agar bisa bersama dengan Tuhan Yang Maha Esa melalui
penyucianjiwa batin dan mempermanisnya dengan amal sholeh dan jalan tasawuf
tersebutdiawali dengan ilmu, tengahnya amal dan akhirnya adalah karunia
ilahi.Terlepas dari beberapa pengertian tasawuf yang telah dirumuskan oleh
paraahli tersebut, dalam pandangan secara umum tasawuf dapat
diartikan sebagaisuatu upaya yang dilakukan seseorang untuk mensucikan
dirinya dengan caramenjauhkan pengaruh kehidupan yang bersifat duniawi dan
akan memusatkanseluruh perhatiannya kepada Allah.

Bahaf, Muhamad Afif. Akhlak Tasawuf. Penerbit A-Empat, 2015.


Bahaf, M. A. (2015). Akhlak Tasawuf. Penerbit A-Empat.
BAHAF, Muhamad Afif. Akhlak Tasawuf. Penerbit A-Empat, 2015.

FASE SEJARAH TASAWUF DAN ILMU AKHLAQ


PEMAPARAN fase-fase sejarah tasawuf penting untuk mengetahui
dinamika dan perkembangannya. Sejarah mengalir dalam fase-fase
waktu. Peristiwa sejarah, termasuk sejarah tasawuf, selalu mengalir
secara diakronis, yakni memanjang dalam waktu. Dengan sifatnya
yang diakronis, maka masing-masing babak sejarah dapat diketahui
ciri-ciri dan tanda-tandanya. Juga mengetahui keunikan tertentu yang
ada dalam fase tersebut. Ciri, tanda dan keunikan tersebut kemudian
menjadi penanda fase-fase tasawuf. Tasawuf tidak muncul secara
konstan, tetapi melewati fase-fase perkembangan. Fase-fase sejarah
perkembangan tasawuf menjadi penggalan dan sekaligus penyambung
dari beberapa peristiwa yang terkait. Sebuah fase tidak berdiri sendiri,
tetapi dipengaruhi oleh fase sebelumnya, dan memengaruhi fase
selanjutnya
Ibrahim Basuni menjelaskan kronologi kesejarahan tasawuf ke
dalam tiga bagian, yaitu fase al-bidayah, fase al-mujahadah, dan fase
adz-dzaqah. Masing-masing fase memiliki ciri khas. Fase al-bidayah
(fase awal) ditandai dengan dorongan para sufi untuk melakukan
praktik ibadah esoterik untuk pemurnian hati atau pembersihan jiwa
(tazkiyyatun nafs) dari kuasa nafsu-nafsu gelap. Upaya ini ditujukan
untuk lebih dapat mendekatkan diri secara fitrah kepada Allah. Fase
berikutnya adalah fase al-Mujahadah, yakni fase perjuangan jiwa
yang lebih dalam lagi, disertai dengan kesungguhan dan penghayatan
esoterik. Fase ketiga adalah fase adz-dzaqah, yaitu ketika dunia sufi
16 | Akhlaq Tasawuf
sudah didominasi hal-hal terkait pengalaman spiritual.35 Walaupun
istilah fase sering menunjuk alur diakronik (memanjang dalam waktu),
tetapi fase-fase tersebut di atas bukan sebuah keterpisahan, tetapi
keberlanjutan.
Sebagaimana disebut di bagian awal buku ini, sebenarnya istilah
tasawuf tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat. Akan tetapi praktikpraktik
peningkatan kualitas moral dan spiritual menjadi perilaku
keseharian Nabi dan sahabat. Al-Qur’an dan tradisi Nabi itulah yang
mendasari perilaku moral-spiritual yang dikembangkan oleh para sufi.
Dengan kata lain, upaya-upaya pembersihan hati dan budi pekerti
luhur serta upaya mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh
Nabi dan sahabat menjadi fondasi tasawuf. Dari konteks inilah tasawuf
berkembang secara dinamis. Serba-serbi keilmuan tasawuf yang ada
dewasa ini adalah merupakan hasil dari proses ijtihadi yang dilakukan
oleh para ulama sufi. Amalan-amalan esoterik dikembangkan
sedemikian rupa dengan berbagai metodologi sehingga tasawuf
semakin mengglobal dan menjadi jalan hidup yang banyak diikuti oleh
umat Islam.
Jalan hidup untuk senantiasa melakukan olah batin ini berkembang
pesat di dunia Islam karena di dalam tasawuf terdapat pandangan
kosmologi dan metafisika, yang menyediakan sarana bagi orang-orang
yang mengikuti ajaran-ajarannya.36 Tasawuf merupakan salah satu
bentuk pandangan dunia (worldview) yang memberikan ruang penghayatan
keagamaan dan spiritual bagi pengikutnya di tengah dinamika
zaman yang serba materialistik (materi menjadi standard), formalistik
(faham serba fikih) dan meluasnya agama sebagai komoditi intelektual
yang hanya diwacanakan dan diperdebatkan oleh para filosof dan
mutakallimun. Kekeringan spiritual telah membawa tasawuf sebagai
alternatif sekaligus tawaran jalan hidup.
35 Basuni, Nasya’ah at-Tashawwuf Al-Islami., h. 17.
36 Sayyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, ed. Liputo
Yuliani
(Bandung: Mizan, 2010), h. 11.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 17
A. ZUHUD: CIKAL BAKAL TASAWUF
Ditilik dasi sejarah, tasawuf awalnya hanya merupakan amalan
tanpa nama. Perkembangan tasawuf diawali dari sebuah amalan
menjauhi hal yang sifatnya keduniawian. Amalan itu kemudian dikenal dengan
zuhud atau asketisme. Zuhud berasal dari kata zahada,
yakni raqab ‘an syay’in wa tarakuhu (tidak tertarik pada sesuatu dan
meninggalkannya. Dalam konteks tasawuf zuhud berarti tidak tertarik
dan meninggalkan aspek keduniawian.37 Zuhud bukan berarti anti
terhadap dunia, sebagaimana dikatakan oleh Hujjatul Islam al-Imam
al-Ghazali bahwa zuhud bukanlah ketiadaan harta, tetapi kosongnya
hati dari keterbudakan diri dari harta dan aspek keduniawian lainnya.38
Zuhud artinya perilaku olah jiwa dengan menjauhkan diri dari
keterbudakan duniawi.
Al-Ghazali mengibaratkan zuhud sebagai upaya menyucikan diri
dari pengaruh nafsu jasmani, sehingga dapat menemukan kebahagiaan
dan keindahan abadi, dan tidak lagi mempedulikan kenikmatan badani.
Seorang ahli zuhud (zahid) memiliki ciri tidak sedih karena kehinaan
duniawi dan tidak berambisi untuk memperoleh kemuliaan dunia.
Mereka pun akan mendapat petunjuk tanpa melewati petunjuk dari
Allah sehingga mampu mengetahui sesuatu tanpa mempelajarinya.
Hatinya dikaruniai ilmu himah,39 Zuhud merupakan kimia rohani yang
mampu menghasilkan perubahan revolusioner dalam diri seseorang,
seperti kimia yang mengubah logam bisa menjadi emas.40
Upaya untuk menjadi budak dunia kemudian menjadi faham dan
gerakan pentingnya menjaga jarak dengan dunia sehingga manusia
tidak dikuasai oleh kuasa-kuasa gelap yang datang dari keduniawian.
37 Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam., h. 308.
38 Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-din, h. 33.
39 Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Mukasyafah Al-Qulub
(Beirut:
Dar al-Fikr al-’Araby, n.d.)., h. 107-108.
40 Abi Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali, Kimiya As-Sa’adah
(Beirut: Dar
al-Fikr, n.d.), h. 2.
18 | Akhlaq Tasawuf
Para zahid awal melakukan gerakan mengasingkan diri kehidupan
serba duniawi. Hal ini ditujukan untuk perang melawan nafsu diri.
Zuhud dilakukan untuk memaksimalkan hidup dalam menekankan
kekuatan aspek rohani, hal-hal yang sifatnya bendawi, kecuali dalam
batas-batas minimal dan wajar, mereka jauhi. Mereka menjauhkan
diri dari kesia-siaan hidup. Untuk itu maka gerakan zuhud diisi
dengan memperbanyak ibadah, riyadloh, mujahadah, tazkiyyah alnafs, guna
mendekatkan diri kepada Tuhan.41 Zuhud dilakukan untuk
memaksimalkan hidup dalam menekankan kekuatan aspek rohani,
hal-hal yang sifatnya bendawi, kecuali dalam batas-batas minimal
dan wajar, mereka jauhi. Mereka menjauhkan diri dari kesia-siaan
hidup. Untuk itu maka gerakan zuhud diisi dengan memperbanyak
ibadah, riyadloh, mujahadah, tazkiyyah al-nafs, guna mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dengan ringannya beban-beban keduniawian, maka
memperlancar jalan pendekatan kepada Tuhan.
Zuhud merupakan amaliah keagamaan Islam yang menitikberatkan
pada pola hidup kerohaniaan guna mencari ridho Allah, dengan
mengendalikan nafsu-nafsu tubuh agar tidak terpedaya oleh
glamouritas duniawi. Faham kebendaan adalah hal utama yang dijauhi
dalam sikap zuhud karena faham kebendaan dan nafsu-nafsu rendah
merupakan sumber kegelapan (adz-dzulumat) yang menyebabkan
manusia tidak dapat melihat cahaya (an-nuur). Gerakan zuhud yang
awalnya bersifat amaliah pribadi, kemudian menjadi trend dan diikuti
banyak masyarakat Islam. Amalaih zuhud kemudian menjadi faham,
dan selanjutnya menjadi gerakan.
Pada era sahabat, ada beberapa sahabat yang menekuni secara
mendalam kehidupan kerohanian ini, di banding sahabat yang
lain. Di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi
Thalib, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Hudzaifah, Bilal dan
lainnya.42 Pada zaman sahabat, zuhud menjadi moralitas dan perilaku
41 Abd al-Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah Fi Al-Islam (Iraq: Dar al-Fikr,
1996),
h. 8-9.
42 M Ghallab, Al-Tasawuf Al-Muqarin (Kairo: Maktabah al-Nahdhoh, n.d.), h.
29-30.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 19
keseharian, dan belum menjadi gerakan spiritual sebagaimana yang
lazim dikenal dalam dunia tasawuf dewasa ini. Praktik zuhud ini
kemudian berkembang menjadi faham dan gerakan moral-spiritual,
sampai memperoleh bentuknya yang matang pada abad ke-4 Hijriyah.
Tasawuf pun kemudian mengambil bentuk-bentuk yang beragam.
B. FASE PERKEMBANGAN TASAWUF
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa zuhud adalah fase awal
perkembangan tasawuf. Gerakan zuhud tersebut kemudian berkembang
dan melahirkan tradisi sufisme atau mistisisme Islam, yakni tradisi yang
bertumpu pada olah batin guna peningkatan kualitas spiritual. Istilah
mistisisme Islam ini penting untuk menunjukkan perbedaan tasawuf
dengan aspek keagamaan pada umumnya, dan sekaligus menegaskan
bahwa mistisisme dalam tasawuf hanya dapat dihayati oleh muslim.
Adapun fase-fase historis perkembangan tasawuf secara mencakup
fase zuhud (abad I-II H), fase formatif (Abad III-IV H), fase tasawuf
akhlaqi-sunni (abad V H), fase tasawuf falsafi (abad VI H), dan fase
tarekat (abad VII H sampai dengan sekarang).
Secara lebih rinci, fase-fase tasawuf akan dijabarkan menurut
periodisasi waktu sebagai berikut:
Pertama, fase zuhud. Pada abad I Hijriyah muncul zahid (asketis)
besar, yaitu Hasan al-Bashri. Ia adalah zahid yang memberi nuansa
zuhud dengan khauf (takut) dan raja’ (berharap). Pada tahap
selanjutnya, muncul guru-guru kerohanian yang menekan hidup
zuhud (asketisme). Pada asketis muslim (zahid) memilih pakaian wool
kasar sebagai tanda kesederhanaan, dan simbol penentangan terhadap
kemubadziran. Terminologi Sufi (pemakai wool) digunakan sebagai
penggambaran para zahid sejak abad II Hijriyah. Pada abad ini tasawuf
baru dikenal di Madinah, Kuffah, Mesir Basrah.
Fase pertama ini merupakan reaksi atas gaya hidup materialistik
yang ditunjukkan para bangsawan, dan adanya konflik-konflik politik.
Mereka mengasingkan diri dan tidak ingin terlibat dalam dukung
20 | Akhlaq Tasawuf
mendukung para politisi yang bertikai.43 Hal ini bukan berarti zuhud
sifatnya hanya sekedar tanggapan atau respon dari tantangan sosial saja.
Zuhud memiliki sumber-sumber ajaran, dan bahwa suhud menjadi
gerakan kerohanian yang diikuti banyak orang memang tidak dapat
lepas dari situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Istilah sufi kemudian menjadi sebutan untuk para zahid dan
penempuh jalan mistik Islam. Dari kata sufi ini kemudian muncul
istilah tasawuf. Pada abad II Hijriyah muncul banyak zahid besar, di
antaranya Rabi’ah Al-‘Adawiyah, salah seorang sufi dari kaum hawa
yang terkenal dengan ajaran mahabbah (percintaan) yang dilantunkan
dalam guratan-guratan syair yang indah. Ibadah yang pada masa Hasan
al-Basri dimotivasi oleh khauf (takut) dan raja’ (harap), oleh Rabi’ah
al-“Adawiyah semangatnya diganti dengan cinta (al-mahabbah).
Fase zuhud ini ditandai dengan penekanan hidup kerohanian
sebagai respon atas tabiat para penguasa dan bangsawan era itu yang
memiliki gaya hidup glamour. Fase ini masih kental dengan praktik
pendalaman agama yang fokus pada sikap menjauhkan diri dari hidup
bermewah-mewahan dan sikap serba duniawi. Belum ada teori-teori
tasawuf di fase ini. Yang ada adalah model-model perilaku asketis.
Kedua, fase formatif. Pada abad III Hijriyah, tasawuf berkembang
dengan baik. Fase perkembangan abad ini kemudian dikenal dengan
periode formatif. Pada fase ini, tasawuf sudah berkembang sampai ke
kota Baghdad (Ibu Kota Kekhalifahan Bani Abbasiyah). Muncul namanama sufi
besar pada fase ini, yaitu Ibrahim al-Balkhi (w. 161 H/778
M), Abd al-Wahid Ibn Zayd (w. 150 H/ 767 M), Fudayl Ibn ‘Iyad (w. 188
H), dan Bishri Ibn al-Harits (w. 152 H). Di pusat pemerintahan Bani
Abbas, kemewahan dan gaya hidup glamour sangat mencolok, sehingga
memunculkan reaksi gerakan kerohanian. Baghdad pun kemudian
menjadi tanah paling subur untuk pertumbuhan dan perkembangan
tasawuf.44 Selanjutnya, pada abad IV H, banguan tasawuf sebagai ilmu
43 Ibrahim Madkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyyah (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976).,
h. 67-
68.
44 Ahmed T Karamustafa, Sufism: The Formative Period (Edinburg: Edinburg
University
Press, 2007), h. 1-3.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 21
dan amal mulai terformat dengan jelas. Teori-teori sufisme pun mulai
berkembang.
Pada era Daulah Bani Abasiyah ini tasawuf berkembang pesat.
Dari Baghdad tasawuf berkembang ke Mesir, Syam, dan Jazirah Arab.
Pada periode ini muncul model, teori, dan praktik spiritual Islam oleh
para guru sufi, seperti Dzunnun al-Mishri, Sahl al-Tustari, al-Hallaj,
Abu Yazid al-Bushtami, dan al-Junayd.
Pada abad IV Hijriyah ini embrio tasawuf dalam corak falsafi
sudah lahir. Karya-karya besar dalam literatur tasawuf juga mulai berkembang
dalam paruh terakhir abad IV H, dan paruh pertama abad V
H. Karya-karya besar dalam literatur sufisme terlahir di fase ini, seperti
karya al-Kalabadzi, al-Saraj, al-Qusyairi, al-Hujwiri, al- Ghazali, dan
para sufi intelektual lainnya.
Pada paruh kedua IV H, muncul teori dan manhaj berfikir terkait
jalan mistik yang disebut thariqah (jalan spiritual) suluk (perjalanan
spiritual). Mazhab-mazhab thaoriqah (tarekat) mulai berkembang pada
fase ini. Jalan mistik (tarekat) adalah jalan spiritual yang ditempuh
para sufi di bawah bimbingan para guru sufi (mursyid). Perjalanan
spiritual dilakukan dengan melewati tahap demi tahap yang disebut
al-maqamat (station-station), yang disertai dengan al-ahwal (kondisi
psiko-spiritual).
Al-Maqamat (jamak dari al-maqam) adalah tingkatan seorang
penempuh laku tasawuf, atau stasiun spiritual yang disinggahi para
pejalan spiritual (salik), sedangkan ahwal (jamak dari al-hal) adalah
kondisi psikis dan pengalaman spiritual yang dirasakan dalam perjalanan
rohani.45 Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang jumlah
dan urutan al-maqamat. Hal ini merupakan perbedaan perspektif yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan pengalaman rohani di antara mereka.
Ketiga, fase tasawuf sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf ahl
as-sunnah wa al-jama’ah yang memberikan penekanan pada praktik
spiritual berlandaskan Al-Qur’an dan sunnah secara rigid. Kejayaan
45 Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1995),
h. 56-53.
22 | Akhlaq Tasawuf
tasawuf sunni beriringan dengan perkembangan pesat teologi
Asy’ariyah yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
para murid serta penerusnya, termasuk Hujjatul Islam, al-Ghazali.
Tasawuf Sunni merupakan pemikiran dan praktik sufisme yang
secara ketat menambatkan diri dengan dua sumber pokok Islam, serta
menjadikan faham teologi asy’ariyah sebagai landasan praktik sufismenya.46
Fase tasawuf sunni artinya fase dimana tasawuf sunni yang bercorak
sunnah mulai berkembang dengan menekankan pada keseimbangan
antara tasawuf dengan tarekat. Tasawuf ini kemudian juga dikenal
dengan tasawuf akhlaqi, untuk membedakan dengan tasawuf falsafi.
Abad V H menjadi sejarah baru perkembangan tasawuf sunni. Pada
era ini sufisme telah banyak menarik pengikut dari berbagai kalangan,
baik dari kalangan intelektual maupun kaum awam.
Tasawuf menjadi trend umat Islam untuk memperdalam kehidupan
mistik-religius sebagai kebutuhan kerohanian. Pada abad ini juga
timbul percaturan wacana antara tasawuf falsafi dengan tasawuf sunni
yang menyebabkan tasawuf falsafi tenggelam dalam wacana pemikiran
Islam. Al-Ghazali, al-Qusyairi, dan al-Harawi adalah para sufi penjaga
ortodoksi yang mengembalikan tasawuf, dan memantapkannya pada
referensi fundamental yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Kemenangan
tasawuf ini sangat ditopang oleh aliran teologi Ahlussunnah (Asy’ariyah)
yang banyak menentang ajaran-ajaran mistik Abu Yazid al-Bushtami
(al-Ittihad) dan Abu Manshur al-Hallaj (al-Hulul) karena keduanya
dianggap menyeleweng dari prinsip akidah Islam.
Adalah al-Ghazali, tokoh sufi sunni yang paling berperan dalam
memberikan kritik terhadap penyimpangan-penyimpangan tasawuf.47
Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin menjadi bacaan kaum sunni dalam memahami
tasawuf, serta menjadi argumen kaum sunni dalam menentang
penyelewengan akidah. Bagi faham sunni, teori-teori tasawuf falsafi
46 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002).h. 262.
47 Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulum Al-Din.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 23
sebagaimana diungkapkan oleh al-Biusthami dan al-hallaj pada fase
sebelumnya, dianggap membahayakan akidah umat Islam.
Al-Ghazali mampu mengembalikan kepercayaan umat Islam
pada masanya tentang arti penting tasawuf sebagai amalan esoterik.
Sebelumnya banyak ulama sunni takut dan waswas terhadap perkembangan
tasawuf yang didominasi pemikiran al-Hallaj dan alBusthomi. Bahkan tidak
sedikit yang mengharamkam tasawuf. Setelah
kritik al-Ghazali terhadap tasawuf al-Hallaj dan al-Busthomi, para
ulama mulai mau menerima tasawuf lagi. Dengan kata lain, al-Ghazali
berhasil mematahkan pandangan tasawuf panteistik Al-hallaj dan Abu
Yazid al-Busthami, dan pada saat yang sama menyuguhkan tasawuf
yang bercorak sunni sehingga diterima oleh kalangan ulama dan umat
Islam pada masanya.
Keempat, fase tasawuf falsafi. Setelah beberapa saat tenggelam
dari kancah dinamika tasawuf, pada abad VI Hijriyah, tasawuf falsafi
kembali bangkit. Kebangkitan ini ditandai dengan munculnya sufi-sufi
besar seperti Ibn al-‘Arabi (Wahdah al- Wujud), Suhrawardi al-Maqtul
(Hikmah al-Isyraq), Ibn Faridh (Mahabbah, Fana’, Wahdah al-Syuhud)
dan Ibn Sabi’in (al-Ittihad).48 Karya-karya para sufi filosofis tersebut
mewarnai dinamika intelektual dan spiritual umat Islam hingga dewasa
ini.
Kelima, fase tarekat. Fase ini berkembang pada abad VII H hingga
dewasa ini. Fase ini ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan
institusionalisasi tasawuf, yakni melembaganya ikatan persaudaraan
(organisasi, lembaga) para sufi yang disebut thariqah (tarekat).
Tarekat merupakan sebuah metode spiritual yang dibakukan oleh para
pengikutnya. Ordo-ordo (familia) kesufian tersebut berkembang di
bawah payung ajaran masing-masing guru sufi. Persaudaraan para sufi
dalam satu aliran pun semakin menguat, dan hal ini menjadi potensi
keberlangsungan aliran tersebut di masa mendatang.
Diantara thariqat yang lahir pada kurun waktu ini dan berkembang
sampai sekarang adalah Tarekat Qadiriyah (dari ajaran Syaikh Abdul
48 Nasr, The Garden of Truth: Mereguk Sari Tasawuf, h. 211-225.
24 | Akhlaq Tasawuf
Qodir Jaelani), Suhrawardiyah (Syihabuddin al-Suhrawardi), Rifa’iyah
(Ahmad Rifa’i), Syadziliyah (Abu Hasan al Syadzili), Naqsyabandiyah
(Muhammad Ibn Bahauddin al Uwaisi al Bukhari), Badawiyah (Ahmad
al Badawy), dan lain-lain. Masing-masing tarekat memiliki metode dan
jenis dzikir tertentu serta amalan yang variatif.
Tarekat kemudian berkembang dalam banyak aliran, dan masingmasing
mengembangkan ajaran ke berbagai penjuru dunia. Secara
kultural, perkembangan Islam banyak terkait dengan perkembangan
ajaran tarekat. Perkembangan tasawuf seiring dengan perkembangan
Islam di luar Arab. Dengan demikian, sejarah perkembangan tasawuf
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan islamisasi itu
sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya banyak muncul klaim-klaim
mistik dari para pengikut sufi, seperti dapat melakukan hal-hal yang
aneh-aneh yang orang umum tidak dapat melakukannya, amalanamalan irasional,
penekanan azimat, kekuatan ghaib, serta ramalanramalan, praktik perdukunan,
dan perilaku mistik yang dianggap sudah
keluar dari rel utama tasawuf, yaitu tazkiyyah al-nafs dan taqarrub il
Allah.
Banyak pengikut sufi justru bangga dengan kemampuan gaib, dan
menganggapnya sebagai bagian esensial dari sufi. Fenomena pseudosufi pun
berkembang. Penyimpangan perilaku tersebut mendapat
penolakan dari para guru sufi. Sebagaimana al-Ghazali yang menentang
bentuk-bentuk tasawuf yang ekstrim dan menyimpang dari syari’at, Ibn
Athoillah juga melakukan penentangan tersebut.
Ibnu Athaillah menentang bentuk kesufian tersebut dan menganggapnya sebagai
perilaku yang terjebak pada tipuan dan permainan
setan.49 Hal yang demikian menyebabkan reaksi dari Ibnu Taimiyah
yang menganggap bahwa praktik tasawuf telah diselewengkan oleh
pengikut tarekat, seperti panteisme dan gnostik, klenik dan perdukunan,
49 Ibnu Athaillah As-Sakandari, Al-Hikam (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1969),
h.
1968-1970.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 25
sehingga harus dikembalikan kepada sumber asalnya yaitu Al-Qur’an
dan al-Sunnah.50
Kritik Ibnu Taimiyah tersebut berdampak pada munculnya tasawuf
dengan pola al-hanifiyah al-samhah, yakni praktik moral spiritual Islam
yang tidak ekstrim. Model tasawuf Ibnu Taimiyah ini menawarkan
praktik tasawuf yang lebih puritan dan tidak bertentangan dengan
akidah Islam. Model ini kemudian berkembang menjadi model tasawuf
baru yang diikuti oleh banyak sufi modern dan perkotaan, yang oleh
Fazlurrahman model tasawuf tersebut dinamakan dengan sebutan neosufisme.
Dari konteks ini lahirlah tasawuf modern.
Fase-fase tersebut di atas menunjukkan adanya pertumbuhan, perkembangan dan
dinamika pergumulan tasawuf. Tasawuf yang pada
awalnya sekedar merupakan gerakan zuhud, kemudian berkembang
dalam bentuk yang bervariasi. Dinamika tasawuf kemudian ditandai
dengan wacana perdebatan dan pergumulan pemikiran, khususnya
antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, sebelum tasawuf mengalir
menjadi sebuah tarekat.
C. SEJARAH ILMU AKHLAQ
Sebagaimana dijelaskan di atas, etika (moral) bersifat universal.
Etika sudah ada sejak keberadaan manusia di planet bumi. Lalu bagaimana
dengan etika atau akhlaq Islam?. Etika Islam adalah akhlaq yang
diambil sumbernya dari mata air Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sumbersumber
tersebut kemudian dimanifestasikan oleh para sahabat dan
salafus salih yang kemudian diikuti oleh umat setelahnya.
Akhlaq atau etika Islam memiliki sejarahnya sendiri, tetapi sifatnya
lebih simpel dibanding dengan sejarah berbagai keilmuan dalam
Islam, seperti sejarah fikih, tasawuf, maupun ilmu kalam. Berikut ini
penjelasan singkat tentang sejarah lahir dan berkembangnya etika
dalam Islam, baik sebagai ilmu maupun praktik keagamaan.
50 Ibnu Taimiyah, Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah (Riyadh: Dar al-Salam
Publication,
1996), h. 14.
26 | Akhlaq Tasawuf
Kelahiran etika Islam tentu tidak dapat dilepaskan dari kelahiran
Islam. Islam lahir pada abad VII Masehi merupakan reformasi agama
yang paling fundamental yang pernah ada di kawasan Timur Tengah.
Kitab Al-Qur’an sebagai kitab agama paling autentik telah melahirkan
gagasan-gagasan reformatif di zaman jahiliyah. Islam telah melahirkan
norma-norma etika.
Peraturan moral yang dilahirkan oleh Islam tersebut telah merobohkan konsep
perilaku jahiliyah yang sarat dengan nuansa kebodohan.
Adat istiadat jahiliyah ditolak oleh Islam karena bertentangan dengan
wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Adapun adat istiadat dan
norma-norma Arab pra-Islam yang tidak berlawanan dengan wahyu,
diterima dan tetap dipakai oleh masyarakat muslim dengan mengalami
perubahan bentuk.51 Seorang pakar ilmu akhlaq, Muhammad Yusuf
Musa juga menjelaskan bahwa di antara sistem etika jahiliyah, juga
terdapat keutamaan dan akhlaq yang mulia. Sistem itu kemudian
pada era Islam diterima.52 Ada banyak keutamaan hidup yang menjadi
landasan akhlaq yang sudah ada pra-Islam, baik dari Yunani, Persia,
India, Arab Jahiliyah, jika tidak bertentangan dengan doktrin AlQur’an, maka
diterima oleh Islam.53
Latar belakang historis tersebut, oleh Toshihiko Izutsu, disebut
sebagai masa lahirnya peraturan moral Islam. Peraturan tersebut memberikan
materi yang segar dalam perilaku manusia. Bangsa Arab pun
mengalami transformasi penting dalam etika.54 Islam hadir dengan
semangat membimbing dalam peraturan moral yang bersumber dari
wahyu. Ketika Islam hadir, tidak mengingkari seluruh adab dan akhlaq
yang sudah ada dalam tradisi kebudayaan Arab.55 Adab dan akhlaq
51 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Qur’an, ed. Agus
Fahri
Hussein dkk (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 19.
52 Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlaq Fi Al-Islam (Kairo: Muassasah
alKhonji, 1963)., h. 14.
53 Ibid., h. 29.
54 Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius Dalam Qur’an., h. 20.
55 Musa, Falsafah Al-Akhlaq Fi Al-Islam., h. 18.
Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag | 27
Arab pra-Islam yang sejalan dengan Islam kemudian menjadi faktor
komplementer dalam satu kesatuan sistem akhlaq Islam.
Akulturasi terjadi karena sifat akhlaq yang universal. Etika Islam
kemudian memiliki bangunan yang khas dengan ciri-ciri khusus
keislaman dalam belantara universalitas etika. Etika Islam dengan
karakter khas itu kemudian mengambil peran yang lebih luas dalam
perkembangan kebudayaan manusia, seiring dengan penyebaran
Islam ke wilayah Irano-Semitik, yang kemudian menyebar ke seluruh
penjuru dunia

Bakri, Syamsul. "Akhlaq


Tasawuf." (2020).

APA Bakri, S. (2020). Akhlaq


Tasawuf.

ISO 690 BAKRI, Syamsul. Akhlaq


Tasawuf. 2020.

Karya-Karya Imam al-Ghazali Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan


pemikir dalam dunia Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa
hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negara di Mu’askar maupun ketika
sebagai profesor di Bagdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur maupun setelah
berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya dan
sampai akhirnya hayatnya, al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang
(Supriyadi, 2013, hal. 151). Dijelaskan dalam pengantar buku karya Imam al-
Ghazali yang berjudul Mukhtashar Ihya Ulumuddinbahwa As-Subki di dalam
habaqat asy-Syai’iyyah menyebutkan bahwa karangan Imam al-Ghazali sebanyak
58 karangan. hasi Kubra Zadeh di dalam Mitah as-Sa’adah wa Misbah as-Siyadah
menyebutkan bahwa karya-karyanya mencapai 80 buah. Ia berkata, “Buku-buku
dan risalah-risalahnya tidak terhitung jumlahnya dan tidak mudah bagi seseorang
mengetahui juduljudul seluruh karyanya. Hingga dikatakan bahwa ia memiliki
999 buah tulisan. Ini memang sulit dipercaya. Tetapi, siapa yang mengenal
dirinya, kemungkinan ia akan percaya.” (Al-Ghazali, 1997, hal. 10-11). Jumlah
kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara deinitif
oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy seperti dikutip oleh Dedi
Supriyadi (2013, hal. 152-153) bahwa penelitian paling akhir tentang jumlah buku
yang dikarang oleh al-Ghazali adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman al-
Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat al-
Ghazali.Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasiikasikan kitab-kitab yang
ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas
72 buah kitab.Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yangasli
terdiri atas 22 buah kitab.Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan
karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali
tersebut meliputi berbagai bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya
tentang tafsir alQuran, ilmu kalam, ushul ikih, tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-
lain.Berbeda dengan pernyataan di atas, Badawi mengatakan bahwa jumlah
karangan al-Ghazali ada 47 buah. Di antara judul-judul buku tersebut adalah:
Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali 153 Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf
Volume 2 Nomor 1 2016 a. Ihya Ulum ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama). b.
Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Iqtishad i Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam). d. Al-Munqidz min adh-Dhalal
(menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu). e. Jawahir al-Qur’an (rahasia-
rahasia yang terkandung dalam al-Quran). f. Mizan al-‘Amal (tentang falsafah
keagamaan). g. Al-Maqashid al-Asna i Ma’ani Asma’illah al-Husna (tentang arti
namanama Tuhan) h. Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan
antara Islam dan Zindiq). i. Al-Qisthas al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi
perselisihan pendapat). Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali Al-Ghazali, setelah
melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya memilih jalan tasawuf.
Menurutnya, para suilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi,
menurutnya, jalan para sui adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai
buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sui
lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya.
Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sui tidak mungkin
tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan
rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf
adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil (al-Tatazani, 2003,
hal. 165). Jalan (at-hariq) Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat)
yang harus dilalui oleh seorang calon sui. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga
hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya
yang diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan
menyesal yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan
kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa
manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik,
dan daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan
dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan
jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu
berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya,
meskipun calon sui itu sedang memerlukan sesuatu, seperti makanan, namun
makanan yang diberikan kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal,
haram, atau syubhat (diragukan halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat,
makanan itu harus ditolaknya, kendatipun makanan itu sangat diperlukannya.
Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang Ahmad Zaini Esoterik: Jurnal Akhlak
dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016 154 yang memberinya. Keempat, zuhud.
Dalam keadaan ini seorang calon sui harus meninggalkan kesenangan duniawi
dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Kelima, tawakal. Menurut al-
Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan
Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia.
Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha
pengasih, tak pilih kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya
berserah diri kepada Tuhannya dengan sepenuh hati.Dalam penyerahan diri
kepada Allah swt.seorang sui merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang
paling tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat.Keenam,ma’rifat. Yaitu
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala
yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih bermutu daripada
pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat inilah yang kemudian menimbulkan
mahabbah (mencintai Tuhan) (Ensiklopedi Islam, 2002, hal. 27-28). Seorang
murid yang menempuh jalan para sui, menurut al-Ghazali, harus konsisten
menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari.
Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat
menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali
adalah untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona duniawi yang
menghambat dalam jalan para sui. Sebab pelaksanaan jalan para sui tidak lain
ialah penaklukan hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju Allah
kecuali tabiattabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi (al-
Tatazani, 2003,hal. 170). Ma’rifah Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan
pada Tahun).Ma’rifahmerupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi
kondisi jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh
aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah ibarat
cahaya yang memancar dari nyala api tersebut. Ma’rifah secara etimologis, adalah
pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam terminologi kaum sui,
ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya ketika
pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika
ditanya, “Apa yang dimaksud dengan ma’rifahZat dan apa pula maksud dari
ma’rifah sifat?” Maka jawabnya: “ma’rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya
keagungan yang bersemayan dalam diri-Nya dan tidak ada satu pun yang
menyerupai-Nya. Adapun ma’rifahsifat, adalah mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Mendengar,
Maha Melihat dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya,” (AlGhazali,
2002, hal. 221). Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali 155 Esoterik: Jurnal Akhlak
dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016 Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan
sendirinya adalah zikir kepada Allah Swt. karena ma’rifah berarti hadir bersama-
Nya dan musyahadah kepada-Nya. Tandatanda ma’rifah, pada mulanya,
munculnya kilatan-kilatan kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’, lawami’ dan
barq. Kata-kata tersebut masing-masing sinonim yang berarti kilatan cahaya dan
kecemerlangan. Beda antara al-barq dan al-wajd, adalah al-barq lebih merupakan
proses memasuki jalan tauhid,sedangkan al-wajd (perasaan) adalah yang
menyertai di dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah daging maka jadilah
zauq (rasa sukma) (Al-Ghazali, 2002, hal. 236). Menurut al-Ghazali sarana
ma’rifat seorang sui adalah kalbu, bukannya perasaan dan bukan pula akal budi.
Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian kiri dada seorang manusia, tapi adalah percikan
rohaniah ke-Tuhan-an yang merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi
belum mampu memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali
bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di
dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurutnya lagi, yang membuat cermin kalbu
tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta
keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang justru membuat kalbu
berlinang dan cemerlang (al-Tatazani, 2003, hal. 171). Tujuan-tujuan
pengetahuan, menurut al-Ghazali adalah moral yang luhur, cinta pada Allah, fana
di dalam-Nya dan kebahagiaan. Karena itu, menurutnya pengetahuan diarahkan
pada tujuan-tujuan moral, sebab ia tergantung dari kebersihan dan kebeningan
kalbu. Dan pengetahuan adalah tanda-tanda petunjuk dan setiap kali pengetahuan
bertambah, moral luhur serta kebeningan kalbu pun semakin meningkat. Cinta
kepada Allah dipandang al-Ghazali sebagai buah pengetahuan. Sebab tidak
terbayangkan adanya cinta kecuali adanya pengetahuan serta pemahaman, karena
seseorang tidak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu yang telah dikenalinya.
Dan tidak ada sesuatu yang lebih layak dicintai yang selain Allah. Karena itu,
barang siapa mencintai yang selain Allah, jika bukan karena dinisbatkan kepada
Allah, hal itu timbul karena kebodohan-kebodohan dan kekurangtahuannya
terhadap Allah (al-Tatazani, 2003, hal. 175). Tingkatan Manusia Al-Ghazali
membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut: Pertama, kaum
awam, yang cara berikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum pilihan (khawas;
elect) yang akalnya tajam dan berikir secara mendalam. Ketiga, kaum ahli debat
(ahl al-jadl) (Matukhin, 2012, hal. 137). Kaum awam dengan daya akalnya yang
sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat
lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi
nasihat dan petunjuk (almauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan
mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang
kaum ahli debat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).
Ahmad Zaini Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016 156
Sebagaimana ilosof-ilosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini
membagi manusia ke adalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya
tangkapnya kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada
kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang
hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut
daya berikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum
khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat (Matukhin, 2012, hal. 138).
Kebahagiaan Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir
jalan para sui, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan ini
al-Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia al-Sa’adah. Di
samping itu teori kebahagiaan ini juga telah dikemukakannya secara terinci dalam
karyanya Ihya Ulum al-Din (al-Tatazani, 2003, hal. 182). Menurut al-Ghazali
jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia menjelaskan bahwa
seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya melihatnya bagaikan
begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Anda pun
niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan
juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, hal ini mustahil
tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Dan yang paling tinggi peringkatnya,
sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara yang paling baik
adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada kebahagiaan
tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai dengan ilmu cara beramal.
Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu. Teori kebahagiaan,
menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa psikologis dan dia
menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari
semacam kelezatan atau kebahagiaan (al-Tatazani, 2003, hal. 182-183). Lanjut al-
Ghazali bahwa segala sesuatu memilikirasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa
nikmat akan peroleh bila ia melakukan semua yang diperintahkan oleh tabiatnya.
Tabiat segala sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya.Kenikmatan mata pada
gambar-gambar indah, kenikmatan telingga pada bunyi-bunyi yang merdu dan
demikian semua anggota badan. Kenikamatan hati hanya dirasakan ketika
mengetahui Allah (ma’rifah Allah), sebab ia diciptakan untuk melakukan hal itu.
Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia akan
berbahagia, seperti permainan catur, ketika mengetahuinya ia pun senang, jika ia
dijauhkan dari permainan itu, maka ia tak akan meninggalkannya dan tak akan
sabar untuk kembali memainkannya. Begitu juga mereka yang telah sampai pada
ma’rifah Allah, pun merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab
kenikmatan hati adalah ma’rifat, setiap kali ma’rifat bertambah besar, maka
nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui sang
menteri, maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang raja, maka
kebahagiaannya tertentu besar lagi (Al-Ghazali, 2002, hal. 118-119). Pemikiran
Tasawuf Imam Al-Ghazali 157 Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2
Nomor 1 2016 Tak ada satu eksistensi pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah
Swt., sebab kemuliaan yang dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua
keajaiban alam adalah karya-Nya, ada pengetahuan (ma’rifah) yang lebih mulia
selain pengetahuan tentang-Nya, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat
ma’rifatNya, tak ada pemandangan indah yang melebihi hadirat-Nya. Semua
nikmat dari nafsu duniawi, tergantung pada jiwa, ia akan berakhir bersama
kematian, sedang pengetahuan (ma’rifah) tentang ketuhanan tergantung pada hati,
ia tidak lenyap bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan
kenikmatannya akan lebih banyak, cahayanya lebih besar, karena ia keluar dari
rahim kegelapan manuju alam cahaya (Al-Ghazali, 2002, hal. 119).

Zaini, Ahmad. "Pemikiran tasawuf


imam al-ghazali." Esoterik:
Jurnal Akhlak dan Tasawuf 2.1
(2016): 146-159.

APA Zaini, A. (2016). Pemikiran


tasawuf imam al-
ghazali. Esoterik: Jurnal Akhlak
dan Tasawuf, 2(1), 146-159.

ISO 690 ZAINI, Ahmad. Pemikiran


tasawuf imam al-
ghazali. Esoterik: Jurnal Akhlak
dan Tasawuf, 2016, 2.1: 146-159.

RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK


Setiap ilmu memiliki objek atau ruang lingkup pembahasan. Ruang lingkup ini
terdiri dari : a. Objek formal, yaitu suatu benda atau zat yang menjadi pembahasan
umum suatu ilmu. b. Objek material, yaitu sifat, keadaan atau perilaku tertentu
dari suatu benda atau zat. Karena itu, bisa saja banyak ilmu memiliki objek formal
yang sama. Yang membedakan suatu ilmu dengan ilmu 12 AKHLAK TASAWUF:
Membangun Karakter Islami lainnya adalah objek materialnya. Misalnya,
Antropologi, Sosiologi, dan kedokteran, objek formal ilmu-ilmu ini adalah sama,
yaitu manusia. Tetapi ketiganya menjadi berbeda karena berbeda objek
materialnya. Objek material Antropologi adalah cita, karsa, dan budaya manusia,
objek material Sosiologi adalah hubungan sosial manusia sebagai makhluk
individu dan masyarakat, dan objek material ilmu kedokteran adalah kesehatan
tubuh manusia. Akhlak sudah merupakan ilmu yang berdiri sendiri dalam
khazanah keilmuan islam sama seperti Tauhid, Tafsir, Hadist, Fiqih dan Sejarah
Kebudayaan Islam. Kehadiran ilmu akhlak dalam dunia islam ditandai dengan
banyaknya lahir dan muncul karya-karya tulis para ulama tentang ilmu akhlak itu
sendiri, dan ilmu ini sudah menjadi mata pelajaran yang diajarkan pada setiap
lembaga pendidikan islam mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Ibrahim Anis dalam bukunya “al-Mu’jam al-Wasith” mengemukakan bahwa ilmu
akhlak adalah: ilmu yang objek pembahasannya adalah tentang nilai-nilai yang
bekaitan dengan perbuatan manusia yang dapat disifatkan dengan baik atau buruk.
Dari definisi Ibrahim Anis diatas dapat dipahami bahwa ilmu akhlak adalah ilmu
yang berupaya mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi hukum atau
nilai kepadanya apakah perbuatan itu baik atau buruk. Yang menjadi persoalan
berikutnya adalah: apakah 13 AKHLAK TASAWUF: Membangun Karakter
Islami semua perbuatan manusia menjadi objek material kajian ilmu akhlak?,
apakah semua perbuatan manusia mendapat nilai atau hukum baik atau buruk?
Ahmad Amin (1983:3) mengatakan bahwa “tidaklah semua perbuatan itu dapat
diberi hukum”, artinya tidak semua perbuatan dapat diberi nilai dan karenanya
tidak semua perbuatan itu pelakunya dapat dituntut atau diberi hukum.
Selanjutnya Ahmad Amin mengemukakan bahwa perbuatan manusia itu ada yang
timbul tiada dengan kehendak, seperti bernafas, detak jantung, dan memicingkan
mata denga tiba-tiba waktu berpindah dari gelap kecahaya, maka ini bukanlah
pokok persoalan etika atau ilmu akhlak, dan tidak dapat diberi hukum “baik atau
buruk”, dan bagi yang menjalankan tiada dapat kita sebut orang yang baik atau
orang yang buruk, dan tidak dapat dituntut. Dan adapula perbuatan yang timbul
karena kehendak dan setelah difikir masak-masak akan buah dan akibatnya,
sebagaimana orang yang melihat pendirian rumah sakit yang dapat memberi
manfaat kepada penduduknya dan meringankan penderitaan sesama, kemudian dia
lalu bertindak mendirikan rumah sakit itu. Juga seperti orang yang bermaksud
akan membunuh musuhnya, lalu memikirkan cara-caranya dengan fikiran yang
tenang, kemudian dia melakukan apa yang dia kehendaki. Inilah perbuatan yang
disebut perbuatan kehendak. Perbuatan mana yang diberi hukum baik atau buruk,
dan segala perbuatan manusia diperhitungkan atas dasar itu. 14 AKHLAK
TASAWUF: Membangun Karakter Islami Selanjutnya tidak pula termasuk
kedalam objek kajian ilmu akhlak perbuatan yang alami, yaitu perbuatan yang
dilakukan seseorang secara alamiah. Misalnya ketika seseorang sedang lapar, lalu
dia makan, dan disaat haus, dia segera mencari air untuk diminum sebagai upaya
mengobati rasa hausnya. Contoh lain misalnya, ketika seseorang dihina orang
lain, lalu dia berupaya membela diri dan memelihara hakhaknya, semua perbuatan
diatas merupakan contoh perbuatan alami yang tidak termasuk objek kajian ilmu
akhlak, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan atas dasar pilihan, tetapi
hanyalah tindakan alami. Dari uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa
perbuatan yang menjadi objek kajian ilmu akhlak adalah perbuatan yang
dilakukan oleh manusia dalam keadaan sadar, atas dasar kemauan sendiri (tidak
terpaksa), perbuatan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, bukan perbuatan
yang berpurapura. Dr. Hamzah Yakub (1988:23) juga mengemukakan bahwa
perbuatan yang menjadi objek pembahasan ilmu akhlak itu adalah tindakan yang
dilakukan oleh diri manusia dalam situasi sadar dan bebas. Perbuatan sadar
dimaksudkan sebagai tindakan yang benar-benar dikehendaki oleh pelakunya,
yaitu tindakan yang telah dipilihnya berdasarkan pada kemauan sendiri atau
kemauan bebasnya. Jadi suatu tindakan yang dilakukan tanpa unsur tekanan dan
ancaman. Jelasnya kata Dr. Hamzah Yakub, objek ilmu akhlak itu ialah perbuatan
15 AKHLAK TASAWUF: Membangun Karakter Islami sadar yang dilandasi oleh
kehendak bebas, disertai niat dalam batin. Maka singkatnya kata Ahmad Amin
(1983:5) pokok persoalan ilmu akhlak ialah segala perbuatan yang timbul dari
orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu
melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik atau
buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak,
tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar. Berkenaan dengan perbuatan
yang menjadi objek kajian ilmu akhlak ini, Rasulullah SAW bersabda: Artinya :
Segala perbuatan itu disertai dengan niat. Dan perbuatan itu dinilai sesuai dengan
niatnya. (H.R Bukhori Muslim).

Miswar, Miswar, et al. "Akhlak


Tasawuf: membangun karakter
Islami." (2015).

APA Miswar, M., Nasution, P., Hidayat, R., &


Lubis, R. (2015). Akhlak Tasawuf:
membangun karakter Islami.

ISO 690 MISWAR, Miswar, et al. Akhlak Tasawuf:


membangun karakter Islami. 2015.

Anda mungkin juga menyukai