0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
0 tayangan21 halaman

Makalah Tarikh Tasyri' Kel 5 PAI E

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 21

MAKALAH

“HUKUM ISLAM PADA MASA PERIODE SAHABAT KECIL


DAN TABI’IN BESAR”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu: Ibu Umihani, M. Pd. I

Disusun oleh:
Kishi Fathya Ramadhanti 2108101162
Ribkah Aufa Hudaybiyah 2108101176
Ahmad Shobar Shubhi 2108101187

KELAS PAI E/2


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI
CIREBON
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat,
ilmu pengetahuan kemudahan dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Islam Pada Periode Sahabat Kecil
dan Tabi’in Besar” sebagai tugas kelompok dengan baik meskipun banyak
kekurangan di dalamnya. Shalawat dan salam tidak lupa pula kita sanjungkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Dan juga penulis berterima kasih kepada dosen
pengampu Ibu Umihani, M. Pd. I selaku dosen mata kuliah Tarikh Tasyri’ yang
telah memberikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan ini jauh dari kata
sempurna. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan atau
kesalahan, baik dalam penulisan ataupun pembahasannya, maka penulis sangat
menyadari bahwa semua itu atas keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Penulis
berharap kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan karya tulis ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terimakasih kepada pihak yang telah berperan
dalam pembuatan makalah ini, dan semoga hasil makalah ini dapat memberikan
manfaat dan dapat dijadikan wacana untuk memperluas wawasan.

Cirebon, 9 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
C. Tujuan Penelitian..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Kondisi Hukum Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar.............3
B. Munculnya Orientasi Hukum Islam Irak dan Hijaz.............................8
C. Pandangan Hukum Islam Menurut Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur....14
BAB III PENUTUP...............................................................................................17
A. Kesimpulan........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan-persoalan yang terdapat dalam masyarakat bervariasi
sepanjang zaman, hal ini perlu dituntaskan dengan segala keputusan yang
tepat dan bijak serta masih berpedoman sesuai syariat. Sepeninggalan Nabi
Muhammad sebagai Otoritas tunggal dalam kepemimpinan baik negara
maupun agama, tidak dapat digantikan segala keputusannya yang muncul
sebagai ijtihad dari dirinya maupun wahyu yang datang padanya,
sebagaimana kita ketahui bahwasannya hal tersebut merupakan mu’zizat
daripadanya.
Tasyri’ pada periode Sahabat kecil dan Tabi’in ini dimulai oleh Bani
Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan pada tahun 41 H.
Hingga timbul berbagai segi kelemahan pada kerajaan Arab pada awal abad
ke 11 H. Mulainya Tasyri’ pada periode ini yaitu awal abad ke-2 H dan
berakhir pada abad ke-4 H. Kurang lebih periode ini berjalan sekitar 200
tahun yang dikenal dengan fase imam-imam Mujtahidin juga pembukuan dan
pembangunan madzhab.
Namun tidak dapat dipungkiri pertumbuhan tasyri’ setelah masa
Rasulullah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal tersebut dilalui
secara bertahap di setiap periode atau masa tertentu. Dalam setiap periode,
pertumbuhan tasyri’ memiliki karakter dan alur perkembangan yang berbeda-
beda yang disebabkan oleh kondisi pada setiap periode yang berbeda pula.
Salah satu periode tersebut ialah pada masa sahabat shighor dan tabi’in.
Mereka para sahabat yang hidupnya tak lama bersama nabi mencoba
membuat, menetapkan, membentuk tasyri’ tasyri’ dengan metode-metodenya.
Perkembangan pesat yang dicapai mempengaruhi pertumbuhan
hukum Islam pada saat itu. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa suatu
hukum yang terbentuk tak lepas dari kondisi (konteks) yang berlangsung pada
saat itu.

1
2

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana kondisi hukum Islam pada masa sahabat kecil dan tabi’in
besar?
b. Bagaimana munculnya orientasi hukum Islam Irak dan Hijaz?
c. Bagaimana pandangan hukum Islam menurut Khawarij, Syi’ah, dan
Jumhur?

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hukum Islam pada masa sahabat
kecil dan tabi’in besar.
b. Untuk mengetahui bagaimana munculnya orientasi hukum Islam Irak dan
Hijaz.
c. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam menurut
Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
1. Hukum Islam Pada Masa Sahabat Kecil
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan
langsung yang tidak mungkin diingkari. Keduanya saling berkaitan,
sehingga pembahasan hukum pasti melibatkan Islam (baca: agama),
karena pemeluk Islam yang disebut muslim memiliki ketentuan sendiri
dalam hukum, yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis.
Sahabat kecil hanyalah sebuah istilah, seperti halnya dengan sahabat
besar, yakni masa pemerintahan Khulafa ar-Rasyidin. Masa Sahabat besar
dimulai pada tahun 11 Hijrah hingga akhir masa pemerintahan Ali bin
Abu Thalib r.a. Selanjutnya masa pemerintahan digantikan oleh
1
Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dikenal dengan masa Sahabat kecil.
Masa Sahabat kecil dimulai dari pemerintahan Mu’awiyah hingga
awal abad kedua Hijriah. Masa ini dimulai dari tahun jama’ah, yakni
tahun 41 Hijirah yang pada tahun ini umat Islam bersatu (kecuali
Khawarij dan Syi’ah) untuk mengakui Khalifah Mu’awiyah, setelah
Hasan dengan ikhlas turun dari tahta kekhalifahan, yang dengan demikian
tegaklah daulah Bani Umayyah.
Kekuasaan Mu’awiyah yang merupakan awal kekuasaan bani
Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi
monarki (kerajaan turun temurun). Pemerintahan ini diperoleh dengan
cara kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan cara pemilihan
2
dari suara terbanyak. Dari sisi sejarah, pada masa ini merupakan salah
satu kemajuan Islam yang pertama, termasuk pada masa Khulafah ar-
Rasyidin.

1
Sahabat kecil diartikan sebagai orang arab yang sudah masuk Islam, tetapi pada saat itu dia
belum baligh. Muhammad Siddiq al-Minsyadi, Qamus Musthalahat al-Hadis an-Nabawy, (ttt. Dār
al-Fadlilah, tt.h), h. 29
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, h. 42

3
4

Ambisi Mu’awiyah sebagai pendiri dinasti Mu’awiyah menjadi


seorang pemimpin, dibuktikan dari keberhasilannya menjalankan roda
pemerintahan, yang berdampak pada pembanggunan peradaban Islam
menjadi lebih maju. Salah satu keberhasilannya yaitu luasnya kekuasaan
Islam pada saat itu, meliputi Aljazair, Tunisia, Maroko, Spanyol, Pantai
Samudra Atlantik di sebelah barat, Asia kecil, Turki Utara, beberapa
negara
bagian Uni Soviet seperti Uzbekistan dan Tabristan. Ini merupakan kredit
point yang sangat berharga bagi perkembangan Islam, dan merupakan
bukti dari kesuksesan menjalankan roda kepemerintahannya.3
Pada periode ini Islam tumbuh dan berkembang menjadi pesat serta
membuahkan khazanah hukum Islam. Sehingga periode ini dikenal
dengan periode keemasan bagi perundang-undangan Hukum Islam. Para
ulama’ mempunyai ilmu pengetahuan dan semangat yang tinggi, juga
kemantapan iman yang kuat dengan dibantu oleh para tokoh masyarakat
atau disebut juga para imam madzhab dan sahabat-sahabatnya.
Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, persoalan dalam
penerapan the principles of religion terwujud dalam realitas historis di
masing-masing kawasan. Hal yang demikian itu akan melahirkan berbagai
keragaman budaya, sesuai dengan proses historis dan potensi masing-
masing kawasan yang dimasukinnya. Dengan demikian, ajaran Islam akan
4
menembus budaya-budaya lokal yang sarat dengan kepentingannya.
Latar belakang ini akan memaksa mujtahid/ulama lokal untuk melakukan
ijtihad terhadap hukum yang belum ditentukan dalam nash.
Alasan itu pula, distribusi hadis dari Madinah sebagai pusat
perkembangannya, ke berbagai tempat dan Negara bagian di wilayah
kekuasaan Islam menjadi semakin berkurang. Selain disebabkan karena
belum dikodifikasikannya hadis yang menjadi sumber hukum Islam yang

3
Deddy Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Tsabita, 2010), h. 254
4
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak Akar-akar Sejarah,
Politik, dan Budaya Umat Islam. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004). h. 2
5

kedua, juga disebabkan karena terbatasnya media dan alat, seperti media
transportasi dan alat telekomunikasi.
Akibat dari kurangnya media, para mufti, ulama’, dan hakim, merasa
kesulitan untuk mendapatkan hadis sahih yang menjadi sandaran dalam
berijtihad dan penetapan hukum. Dalam masa ini berkembanglah dua
kelompok yang besar, yaitu ahl al-hadis dan ahl al-ra’yi. Kedua kelompok
ini berbeda dalam menetapkan hukum dari suatu masalah, yang pertama
menggunakan hadis dalam penetapannya, kemudian yang keduan
menggunakan akal dalam penetapan sebuah hukum. 5
Fenomena tentang ijtihad ini sudah ada semenjak khalifah Abu
Bakar r.a atas usul Umar bin Khattab r.a., dengan catatan bahwa yang
menjadi prioritas rujukan utama adalah al-Qur’an. Bahkan ketika zaman
Rasul pun sudah ada tetapi hanya perkara-perkara tertentu yang
disebabkan sulitnya berkonsultasi kepada Rasul. Setelah kekhalifahan
berpindah ke tangan Umar bin Khattab r.a, porsi ijtihad semakin besar.
Bahkan ia berpesan tentang ijtihad ini kepada hakim bernama Suraih,
yang berisi: 6
a. Berpeganglah pada al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus
b. Apabila tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka berpeganglah kepada
al-Sunnah.
c. Apabila tidak terdapat pada keduanya, maka berijtihadlah.
Pada saat itu sudah terjadi ijtihad terhadap kasus yang tidak terdapat
dalam kedua sumber utama. Pada masa sahabat kecil pun demikian,
karena semakin pelik masalah umat Islam yang dikarenakan wilayah
kekuasaan semakin luas menjadikan hukum Islam harus fleksibel.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pada periode ini umat
Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu penentang Ali dan
Mu’awiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syi’ah) dan Jumhur. Dengan
pecahnya umat Islam menjadi tiga golongan tersebut membawa pengaruh
dalam pembinaan hukum Islam, hal ini karena ketiga golongan tersebut
5
Deddy Ismatullah, loc. cit, h. 255
6
Ibid. h. 101
6

masing-masing mempunyai hukum sendiri. Seperti Syi’ah mempunyai


kecenderungan kepada Ali dan keluarganya, jadi mereka hanya menerima
dalil dari orang separtainya saja. Begitupun dengan Khawarij selalu
cenderung kepada Abu Bakar, Umar dan orang yang mengikutinya, dan
mereka melepaskan diri dari Utsman, Ali dan Mu’awiyah. Oleh karena
itu, mereka tidak berdalil dengan pendapat seseorang yang bukan dari
golongannya. Sedangakan pendukung Mu’awiyah atau Jumhur Islam lari
dari dua golongan itu dan tidak menempatkan timbangan untuk mereka.
Penggolongan ini mempunyai pengaruh yang besar dalam istinbath
hukum.
Pada masa ini, wewenang untuk menetapkan tasyri’ dipegang oleh
generasi tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai
keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para
sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima
riwayat hadits serta bermacam-macam fatwa. Generasi ini memakai
khittah yang telah dilalui oleh para sahabat yaitu kembali kepada dasar-
dasar tasyri’ dan memperhatikan benar-benar prinsip-prinsip yang umum
dalam mentasyri’kan hukum. Karena itu mereka akan memberikan fatwa
terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja dan karena itulah
perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada masa ini pula, mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan
paham yang meluas yag mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru
dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut, dan
dalam hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami ayat-ayat
hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang
maslahah, tingkat kecerdasan pikiran, tempat tinggal para pemuka tasyri’
yang berlainan daerah (tidak satu lingkungan), dan cara menggunakan
ra’yu yang berbeda. Selain itu, perkembangan zaman dan perbedaan
struktur masyarakat turut mempengaruhi timbulnya khittah-khittah baru
dikalangan pemuka-pemuka tasyri’ tersebut. Telah dijelaskan di atas
bahwa telah terjadi perselisihan paham dalam menetapkan suatu hukum,
7

selain beberapa penyebab perbedaan yang telah disebutkan diatas,


terjadinya perselisihan paham sahabat itu karena perbedaan paham dan
perbedaan nash yang sampai kepada mereka. Karena pengetahuan
mereka tantang hadits yang tidak sama. Penyebab perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan dalam hal furu’ (cabang) dan dalam hal ushul
mereka tetap sepakat.
2. Hukum Islam Pada Masa Tabi’in Besar
Pada masa ini perkembangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya
aliran hukum. Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan
hukum Islam sebagai berikut: 1) Perluasan wilayah, dimana ekspansi
dunia Islam sudah dilakukan sejak zaman khalifah, hal ini dilihat dari
meluasnya wilayah di jazirah Arab bahkan sampai meluas ke Afrika,
Asia, dan Asia kecil. Banyaknya daerah baru yang dikuasi berarti banyak
pula persoalan yang diahdapi oleh umat Islam. Persoalan tersebut perlu
diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan
petunjuk bagi manusia.
Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong
perkembangan hukum Islam, karena semakin luas wilayah yang dikuasai
berarti semakin banyak juga penduduk di negeri muslim dan semakin
banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus
diselesaikan. 2) perbedaan penggunaan ra’yu, pada fase tabi’in corak
pemikiran fuqaha (ahli hukum Islam) dibedakan menjadi dua; yaitu
madzhab atau aliran hadits (madrasah al-hadits) dan aliran al-ra’yu
(madrasah al-ra’yu). Aliran hadits ini merupakan golongan yang lebih
banyak menggunakan riwayat dan sangat hati-hati dalam penggunaan
ra’yu (penalaran/pemikiran), sedangkan aliran ra’yu lebih banyak
menggunakan ra’yu dibanding dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran
pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan ikhtilaf
8

dan pada saat yang sama semakin mendorong perkembangan hukum


7
Islam.
Dari masing-masing aliran memiliki pendapat tersendiri dan
memiliki murid serta pengikut tersendiri. Secara tidak langsung
terbentuknya aliran ini membuktikan bahwa dalam Islam terdapat
kebebasan berpikir dan masing-masing saling bertoleransi/saling
menghargai perbedaan itu. Perbedaan itu tidak menjadi penghalang dalam
kebersamaan dan ukhwah islamiyah. Secara umum masa tabi’in dalam
penetapan dan penerapan hukum mengikuti langkah-langkah yang telah
dilakukan oleh sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah
mereka yang dilakukan sebagai berikut: 1) mencari ketentuannya didalam
Al-qur‟an, 2) apabila ketentuannya tidak didalam Al-qur‟an jadi dicari
didalam Sunnah, 3) apabila tidak didapatkan dalam Al-qur‟an dan
Sunnah, mereka kembali pada pendapat sahabat, 4) apabila pendapat
8
sahabat tidak diperoleh maka berijtihad. Dengan demikian, dasar-dasar
hukum Islam pada periode ini adalah; Al-qu’an, Sunnah, Ijma’, dan
pendapat sahabat (Ijtihad).

B. Munculnya Orientasi Hukum Islam Irak dan Hijaz


Secara histories, pada masa Rasulullah SAW yang menjadi sumber
hukum utama umat Islam dalam menetapkan suatu perkara adalah al-Qur‟an
dan As-Sunnah. Sedangkan permasalahan yang tidak terdapat hukumnya
dalam kedua sumber tersebut, para sahabat langsung menanyakan kepada
Rasullulah SAW. Tetapi ketika Rasulullah SAW dipanggil kehadirat Allah
SWT dan Wahyupun terputus, sedangkan wilayah kekuasaan Islam semakin
meluas hingga dapat menaklukkan Andalusia pada tahun 93 H, maka umat
Islam pada waktu itu menghadapi berbagai macam persoalan yang amat
banyak, baik persoalan kehidupan perindividu maupun persoalan-persoalan

7
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2000), 16
8
‘Umar Sulaiman Al-‘asyqar, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami. (Amman: Dar Al-Nafa’is, 1991), 81
9

sosial kemasyarakatan yang kesemuanya itu membutuhkan penentuan dan


penyelesaian secara hukum yang sebelumnya tidak pernah mereka temukan
ketika Rasulullah SAW masih hidup. Dalam hal ini, yang ditinggalkan oleh
Rasulullah SAW untuk para sahabat dan selanjutnya para tabiin hanya berupa
prinsip-prinsip dasar dalam menetapkan hukum suatu permasalahan yang
terjadi pada periode Mekkah dan Madinah. Maka ketika itu timbullah
perpecahan dikalangan muslim menjadi tiga golongan politik yaitu golongan
Syi‟ah yang berpihak kepada Ali, khawarij yaitu golongan yang kecewa dan
menaruh dendam terhadap Ali yang sebelumnya mereka adalah pengikut setia
Ali, dan terakhir adalah golongan yang memihak kepada Mu’awiyah itu
sendiri. Disamping itu dengan berpindahnya ibukota Islam dari Madinah ke
Syiria dan dari Syiria kemudian ke Irak turut juga mempengaruhi pemikiran
Fuqaha pada masa itu.9
Ahl al-ra’y dan ahl al-hadits muncul pada masa Dinasti Umayyah (akhir
masa tabi’in). Pusat kegiatan intelektual saat itu terkonsentrasi pada daerah-
daerah tertentu seperti Hijaz (Madinah dan Mekah), Irak, Mesir dan Syam.
Ahl al-ra’y muncul di daerah Irak dan ahl al-hadits di daerah Hijaz. Keduanya
memiliki karakteristik pemikiran fikih yang berbeda-beda. Perbedaan
karakteristik pemikiran fikih tersebut tidak lepas dari situasi dan kondisi yang
melingkupinya saat itu. Selain itu, meskipun masing-masing aliran
berpegang pada al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber utama. Kedua aliran
ini dalam menetapkan hukum suatu permasalahan juga sangat dipengaruhi
oleh faktor sosial dan budaya yang membentuk karakteristik, teori dan
formula yang berbeda-beda.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa aliran Kufah (Irak)
menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan menganggap hukum
syariat sebagai suatu takaran rasionalitas, mendapat tantangan yang sangat
keras dari para Fuqaha aliran hijaz, mereka menganggap hukum sebagai
ketentuan Ilahi yang tidak dapat dirasionalisasikan. Sebenarnya pertentangan
ini telah ada dan telah terjadi pada masa-masa sebelumnya yaitu ketika terjadi
9
Al-Khudlari Beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islam, (terj.), alih bahasa: Muhammad Zuhri, (Semarang:
Darul Ikhya, 1990), p. 330
10

kekacauan pemahaman keagamaan tertentu yang bersumber dari sisi dan


kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa
pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga dari empat orang Khulafa al-
Rasyidin.
Banyak kalangan ahli sejarah menyatakan bahwa adanya pertikaian
politik dari ketiga golongan diatas melahirkan agitasi politik sangat benar
adanya, namun juga membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Fiqh.
Hal tersebut tergambar dalam usaha dari masing-masing golongan untuk
mempertahankan dan berupa memperoleh pengakuan serta legitimasi bagi
klaim-klaim mereka dengan berbagai cara, sehingga terjadilah pertikaian
faham diantara mereka. Setiap golongan pada waktu itu berusaha menguatkan
posisinya dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, demi kepentingannya mereka
melakukan interpretasi terhadap al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan
membawa nash-nash as-Sunnah tidak pada makna yang dikandungnya,
sehingga hal ini merupakan salah satu sebab terjadinya pemalsuan hadist.10
Kehati-hatian terhadap penerimaan hadist ini disatu sisi dan
kecenderungan untuk mengamalkan hadist sebagai sumber hukum di sisi
yang lain. Maka muncullah dua kecenderungan yang berbeda - sebagaimana
yang telah disebutkan di atas - dalam sejarah perkembangan Fiqh Islam, yaitu
kecenderungan untuk menggunakan pendapat dalam menentukan hukum
suatu permasalahan karena menolak otoritas hadist (ahl-al-Ra’yu) dan
kecenderungan untuk merujuk kepada hadist tanpa seleksi yang terlalu ketat
(ahl-al-Hadist).
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan, para sahabat
diperbolehkan untuk menyebar ke berbagai daerah kekuasaan muslim ketika
itu, sehingga banyak dari mereka meninggalkan Madinah pergi ke Basrah dan
Kufah, sebahagian lagi ke Mesir dan Syam (Syiria) dimana jumlah mereka
11
mencapai lebih dari 300 orang. Dengan demikian mereka berhadapan

10
Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, cet. II,
(Jakarta:Yayasan Paradigma, 1995), p. 238
11
Mun’in A.Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, Cet. II,(Surabaya: Risalah Gusti, 1996),
p.52
11

dengan persoalan-persoalan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya,


dimana disuatu daerah telah terjadi percampuran budaya setempat dengan
yang lain. Di Irak misalnya, mereka berhadapan dengan kebudayaan dan
peradaban Persia, di Syam (Syiria) mereka berhadapan dengan peradaban
Romawi dan di Mesir berhadapan dengan peradaban Mesir Kuno.12
Ahmad Amin menyatakan, keadaan masyarakat Irak adalah sangat
komplek, dimana disana ada Sungai Dajlah dan Furat yang memerlukan
kepada irigasi dan pajak, harta yang melimpah ruah diikuti dengan
kemewahan, kesenangan dan kriminalitasnyapun semakin meningkat, semua
ini memerlukan kepada ketentuan hukum. Keadaan sosial dan budaya
masyarakat Irak telah bercampur dengan kebudayaan Persi, Romawi, Yunani
dan Mesir Kuno, sedangkan hadist di Irak (Kufah) sedikit dan kebutuhannya
banyak, lain halnya di Hijaz, keperluannya sedikit, sedangkan Hadistnya
banyak. Oleh karena itu, terpaksa para ulama Irak (Kufah) mempergunakan
rasio untuk memutuskan ketentuan hukum yang tidak terdapat di dalam
nash.13
Penyebaran ulama tersebut membawa dampak positif bagi mereka sendiri
dimana mereka bisa memperkaya wawasan dan cakrawala pemikiran mereka,
salah satu kelebihannya mereka bisa memprediksikan secara ilmiah berbagai
persoalan yang belum pernah muncul sebelumnya, sudah barang tentu dengan
adanya keadaan yang demikian komplek itu mereka menggunakan ra’yu
(akal).
Diantara ulama yang berpegang pada ra’yu dalam mengistinbatkan
hukum adalah Ibn Mas’ud di Irak (Kufah). Beliau banyak terpengaruhi dan
mengagumi pemikiran Umar yang begitu cemerlang, sehingga beliau berjanji
akan tetap membela Umar meskipun semua orang dimuka bumi ini
menentangnya. “Jika semua orang memilih jalan yang sama dan Umar
memilih jalan yang lain, niscaya saya akan memilih jalan Umar”.14

12
Mun’in A.Sirry, loc cit, p. 67
13
Ahmad Amien, Dhuha al Islam, Juz. II, Cet. X, (Beirut: Darul Kuttab, Arabiyah, 1975), p. 153
14
Ibid, p. 59
12

Sebagaimana kita ketahui Umar dalam memutuskan suatu ketentuan


hukum tidak melihat kepada dhahir nash saja yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadist, akan tetapi beliau melihat kepada tujuan yang dikandung dalam
nash tersebut dengan menggunakan pendekatan kontektual. Misalnya, kasus
Mu’allaf (orang yang baru masuk Islam) tidak lagi termasuk dalam salah satu
ashnaf yang menerima zakat, karena pada waktu itu kebanyakan yang masuk
Islam adalah orang kaya lagipula orang Islam tidak perlu merayu orang kafir
untuk masuk Islam, karena pada waktu itu Islam sudah begitu kuat. Jadi
dalam hal ini Umar tidak meninggalkan nash sebagai pedoman tetapi ia
berusaha untuk memahami nash dengan melihat kepada maksud dan
tujuannya. Inilah yang membuat kekaguman Ibn Mas’ud terhadap Umar. Dan
kemudian beliau mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya yang
kemudian lahirlah sarjana-sarjana ahl-al ra’yu yang terkenal di Kufah (Irak).
Kemudian dari ahl-al-ra’yu ini muncul mazhab Hanafi yang dipelopori
oleh Abu Hanifah An-Nu’man (w 150/767) di Kufah (Irak). Dengan
demikian, meluaslah aliran ahl-al Ra’yu ini dan secara garis besar dapat
disebutkan disini bahwa yang menyebabkan timbulnya aliran ini disamping
sebab politik seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu:15
Pertama, pengaruh Ibn Mas‟ud telah meluas dikalangan penduduk Irak,
sebagaimana telah dimaklumi akan kecondongan Ibn Mas’ud kepada ra’yu
yang juga sejalan dengan sikap Umar bin Khatab.
Kedua, sedikitnya Hadist yang terdapat di Irak, sebab kebanyakan perawi
hadist bermukim di Hijaz, karena negeri tersebut adalah tempat kediaman
Rasulullah SAW dan para sahabat.16
Ketiga, Irak adalah daerah yang banyak terpengaruh oleh kebudayaan
Persi dan Romawi. Kebudayaan ini memaksa para Fuqaha untuk
mengistibatkan hukum-hukum terhadap beberapa segi kehidupan yang sudah
barang tentu tidak bisa disamakan dengan daerah-daerah lainnya yang

15
Al-Khudlari Beik, loc cit, p. 158-162
16
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa:Ahamadie Thaha, Cet. I, (Jakarta: Pustaka
1986), p. 566
13

struktur masyarakatnya masih dalam keadaan sederhana, sehingga mau tidak


mau mereka harus menggunakan ra’yu.
Keempat, karena Irak itu tempat timbul golongan khawaridj dan syiah,
tempat timbul kekacauan dalam bidang ilmu, maka disana banyak
berkembang pemalsuan hadist yang gunanya untuk mendukung golongan
mereka masing-masing.17
Begitulah hal-hal yang membedakan karakteristik antara ahl-al-ra’yu
dengan ahl-alHadist yang terkenal dengan sikapnya yang tegas berpegang
teguh kepada sunnah Rasulullah SAW. Mereka juga bersedia menerima
hadist sampai yang lemah sekalipun.18
Sikap dan pendirian seperti itu dilatar belakangi oleh faktor dimana
negeri Hijaz merupakan gudang Ilmu Islam. Secara praktis mereka hanya
mempelajari ilmu pengetahuan dari para ulama dan guru-guru Madinah
(Hijaz). Disamping itu masyarakat daerah ini juga masih diliputi oleh suasana
kehidupan yang sederhana, seperti keadaan pada Rasulullah SAW. Dengan
kondisi yang demikian, untuk mengatasi berbagai masalah, para Fuqaha
daerah ini merasa cukup hanya dengan mengandalkan pemahaman literal
terhadap nash al-Qur‟an, as-Sunnah, dan juga ijma’ para sahabat sehingga
ra’yu dan ijtihad tidak diperlukan.19
Dapat di simpulkan bahwa betapa Fuqaha aliran ahl-al-hadist ini tidak
mau memutuskan suatu perkara dari pada memutuskannya dengan ra’yu.
Tetapi kadangkala mereka juga memakai metode ahl-al-ra’yu jika dalam
keadaan sangat terpaksa dan sangat mendesak.
Dari kalangan ulama Hijaz ini kemudian muncullah Mazhab Maliki,
yang dipelopori oleh Anas bin Malik (W. 179/759). Diantara sebab-sebab
ulama Hijaz tidak mempergunakan ra’yu (ijtihad) dalam menetapkan hukum
dan berhenti pada nash saja, adalah:20
17
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1971), p. 57
18
Ahmad Amin, Fajr-al-Islam, Cet. XI, (Mesir: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975), p.
243
19
Sobhi Mahmassani, Falsafatu al-Tasyri’ Fi-al-Islam, alih bahasa: Ahmad Sujono, Cet. II,
(Bandung: Al-Ma‟arif, 1981), p. 59.
20
Hasbi Ash-Shiddieqy, loc cit, p. 55
14

Pertama, pengaruh pendirian para sahabat yang menjadi guru mereka,


tidak mempergunakan qiyas sebelum terpaksa benar seperti yang terdapat
pada contoh diatas.
Kedua, kebanyakan penghafal hadist berdiam di Hijaz, karena itu mereka
mudah memperoleh hadist untuk mentapkan hukum bila diperlukan dan
karena tidak banyak terjadi problema-problema yang belum ada
bandingannya di masa sahabat.
Ketiga, kesederhanaan kehidupan penduduk Hijaz, mereka tidak
dipengaruhi oleh kemajuan peradaban yang berasal dari Persi, Romawi dan
lain-lain, tidak sama halnya dengan di Irak (Kufah).
Dari sini nampak dengan jelas bahwa orang-orang Hijaz pada umumnya
adalah ahl-al-Hadist karena mereka banyak berpegang pada hadist sebagai
pedoman. Dan orang-orang Irak, termasuk didalamnya Kufah, adalah ahl-al-
Ra’yu yang tidak banyak mementingkan riwayat tetapi pendapat. Perlu
dikemukakan disini bahwa keadaan yang sedemikian itu hanya merupakan
karakteristik gaya intelektual masing-masing daerah itu sendiri, sedangkan
pada tingkat individu cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak
mengikuti karakteristik umum itu.

C. Pandangan Hukum Islam Menurut Khawarij, Syi’ah, dan Jumhur


Pada periode ini umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu
penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syi’ah) dan
Jumhur. Dari ketiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam
pembinaan hukum Islam.
Dengan terbunuhnya Ali kemudian Muawiyah mengambil alih
kepemimpinan umat Islam dengan digantinya sistem pemerintahan menjadi
sistem kerajaan dan ketika itu juga ummat Islam terbagi menjadi tiga, dan
golongan merekalah yang membawa pengaruh dalam pembinaan hukum
Islam, yang dikarenakan ketiga golongan tersebut masing-masing memiliki
hukum sendiri.21
21
. Jaih Mubarok, loc cit, h.53-54
15

Seperti khawarij yang selalu cenderung kepada Abu Bakar, Umar dan
orang yang mengikutinya, dan mereka melepaskan diri dari Utsman, Ali dan
Mua’wiyah. Begitupun dengan Syi’ah yang mempunyai kecenderungan
kepada Ali dan Keluarganya, dan mereka hanya menerima dalil dari orang
separtainya saja. Karena itulah mereka tidak berdalil dengan pendapat
seseorang yang bukan dari golongannya. Sedangkan pendukung Muawiyah
atau jumhur Islam mereka lari dari dua golongan itu dan tidak menempatkan
timbangan untuk mereka. Pergolongan ini mempunyai pengaruh yang besar
dalam istimbath.
1. Khawarij (Golongan yang keluar dari Ali dan Muawiyah)
Khawarij adalah golongan orang-orang yang kecewa dengan proses
tahkim (perdamaian) pada masa Ali, akibat dari kejahilan mereka, mereka
mengkafirkan Ali pun juga Muawiyah. Dan mereka berpendapat
bahwasanya wajib untuk melantik seorang khalifah yang taat beragama
versi mereka.
Dibawah ini ada beberapa penempatan hukum islam dari golongan
khawarij.
a. Seorang pemimpin ummat Islam tidak harus keturunan dari quraisy,
dan setiap orang yang beragama Islam berhak menjadi pemimpin, baik
dari kalangan budak maupun merdeka.
b. Sanksi bagi pelaku zina adalah 100x pukulan dan tidak ditambah
dengan ranjam.
c. Menikahi cucu perempuan itu boleh sebab yang diharamkan dalam Al-
Qu’an itu adalah anak bukan cucu.
d. Menikah dengan perempuan yang tidak masuk sekte Khawarij tidaklah
sah karena dianggap kafir.
e. Ketika terjadinya perang antara kelompok khawarij dan ummat islam
bukan khawarij yang boleh dijadikan ghanimah adalah senjata dan
kuda.
2. Syi’ah (Pengikut setia Ali bin Abi Thalib)
16

Syiah adalah golongan orang-orang yang fasik dengan dalih yang


mengutamakan Ali bin Abi Thalib, mereka mengangap khalifah hanya
milik Ali dan keturunannya saja, pemikiran ini muncul dari seseorang
yang bernama Abdullah bin Saba’ yang berpura-pura masuk Islam dan
berpura-pura menampakan rasa cinta kepada Ali, dan dialah penyebab dari
terbunuhnya Ustman bin Affan.
Penempatan hukum Islam dari golongan Syiah :
a. Al-Qur’an dan As-sunnah memiliki makna lahir dan batin.
b. Menolak periwayatan selain syi’ah
c. Menolak Ijma’ umum.
d. Nikah mut’ah sah dilakukan tanpa saksi dan tanpa i’lan.
3. Jumhur (Yang tidak menempatkan pada keduanya)
Jumhur kaum Islam mayoritas muslim yang memiliki sifat adil dan
selalu berthati-hati. Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu
pengetahuan sungguh antusias, dengan banyaknya pembuktian ilmu
pengetahuan pengetahuan yang terdiri dari As-sunnah, Tafsir dsb. Pada
saat itu banyak sahabat yang wafat, maka sebagian yang sahabat yang
masih hidup adalah sebagai guru dari orang-orang yang meminta fatwa
serta belajar kepadanya.
Penempatan hukum islam dari golongan Jumhur :
a. Nikah Mut’ah itu haram
b. Jumhur menggunakan konsep ‘aul dalam pembagian harta pusaka
c. Nabi Muhammad tidak dapat mewariskan harta
d. Jumlah perempuan yang boleh dipoligami adalah 4.22

22
Bik, Hudhari. alih bahasa Drs. Muhammad Zuhri. 1980. Tarjamah Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami
(Sejarah Pembinaan Hukum Islam). Semarang: Darul Ikhya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, kami membuat beberapa kesimpulan
berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan. Adapun kesimpulan
tersebut adalah sebagai berikut:
Masa Shahabat kecil dimulai dari pemerintahan Mu’awiyah hingga
awal abad kedua Hijrah. Masa ini dimulai dari tahun jama’ah, yakni tahun 41
Hijrah yang pada tahun ini ummat Islam bersatu (kecuali Khawarij dan
Syi’ah) untuk mengakui Khalifah Mu’awiyah, setelah Hasan dengan ikhlas
turun dari tahta kekhalifahan, yang dengan demikian tegaklah daulah
Amawiyah, Bani Umayah.
Pada masa Tabi’in Besar hukum Islam ditandai dengan munculnya
aliran-aliran politik secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum.
Dari masing-masing aliran memiliki pendapat tersendiri dan memiliki murid
serta pengikut tersendiri. Secara tidak langsung terbentuknya aliran ini
membuktikan bahwa dalam Islam terdapat kebebasan berpikir dan masing-
masing saling bertoleransi/saling menghargai perbedaan. Perbedaan itu tidak
menjadi penghalang dalam kebersamaan dan ukhwah islamiyah. Secara
umum masa tabi’in dalam penetapan dan penerapan hukum mengikuti
langkah-langkah yang telah dilakukan oleh sahabat dalam istinbath al-ahkam.
Pada periode ini ummat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu
penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syi’ah) dan
Jumhur. Dari ketiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam
pembinaan hukum Islam. Dengan pecahnya ummat Islam menjadi tiga
golongan tersebut membawa pengaruh dalam pembinaan hukum Islam.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2006.
 Deddy Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, (Bandung: Tsabita, 2010).
 Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; Melacak
Akar-akar Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004).
 Khallaf, Abdul wahab, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum
Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo), 2002.
 Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya), 2003.
 Al-Khudlari Beik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islam, (terj.), alih bahasa: Muhammad
Zuhri, (Semarang: Darul Ikhya, 1990).
 Budhy Munawar Rahman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam
Sejarah, cet. II, (Jakarta:Yayasan Paradigma, 1995).
 Mun’in A.Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Sebuah Pengantar, Cet. II,(Surabaya:
Risalah Gusti, 1996).
 Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, alih bahasa:Ahamadie Thaha, Cet. I,
(Jakarta: Pustaka 1986).
 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum
Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971).
 Sobhi Mahmassani, Falsafatu al-Tasyri’ Fi-al-Islam, alih bahasa: Ahmad
Sujono, Cet. II, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1981).
 Bik, Hudhari. alih bahasa Drs. Muhammad Zuhri. 1980. Tarjamah Tarikh Al-
Tasyri’ Al-Islami (Sejarah Pembinaan Hukum Islam). Semarang: Darul
Ikhya.

18

Anda mungkin juga menyukai