0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
4 tayangan105 halaman

WHO

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 105

SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN
AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TALAWI SUMATERA BARAT

OLEH

NAMA : ALYA FAYZA CHAIRANNI


NIM : 10031282025045

PROGRAM STUDI KESEHATAN LINGKUNGAN (S1)


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
SKRIPSI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN
AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TALAWI SUMATERA BARAT

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar (S1)


Sarjana Kesehatan Lingkungan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sriwijaya

OLEH

NAMA : ALYA FAYZA CHAIRANNI


NIM : 10031282025045

PROGRAM STUDI KESEHATAN LINGKUNGAN (S1)


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2024
KESEHATAN LINGKUNGAN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Skripsi, Februari 2024
Alya Fayza Chairanni; Dibimbing oleh Prof. Dr. Hj. Yuanita Windusari,
S.Si., M.Si.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN INFEKSI
SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TALAWI SUMATERA BARAT

ix + 68 halaman, 20 tabel, 3 gambar, 8 lampiran

ABSTRAK

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit akibat
pencemaran udara dalam ruang. Prevalensi terjadinya ISPA pada balita usia 0-59
bulan di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat sebesar 14,52% di tahun
2022 dan sebesar 713 di tahun 2023. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara faktor lingkungan (penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan
perokok dalam rumah, dan kondisi fisik rumah) dengan kejadian ISPA pada balita
di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan
desain penelitian cross sectional dengan teknik pengambilan sampel secara cluster
random sampling pada 130 responden yang memiliki balita dengan rentang usia 0-
59 bulan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji chi-square dan uji
regresi logistik berganda. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 44,6% balita usia 0-
59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat mengalami ISPA.
Hasil analisis uji chi-square menunjukkan terdapat hubungan antara keberadaan
perokok dalam rumah (P=0,000), kepadatan hunian (P=0,000), dan jenis dinding
rumah (P=0,000) dengan kejadian ISPA pada balita, dan tidak terdapat hubungan
antara penggunaan obat nyamuk bakar, pencahayaan, ventilasi, dan jenis lantai
rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil analisis uji regresi logistik berganda
menunjukkan bahwa variabel keberadaan perokok dalam rumah menjadi faktor
yang paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA (PR 95% CI = 10,386) setelah di
kontrol oleh variabel penggunaan obat nyamuk bakar, kepadatan hunian, ventilasi,
dan jenis dinding rumah. Masyarakat yang merokok diharuskan membersihkan diri
dan mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum mendekati atau menggendong
balita.

Kata Kunci : Balita, Faktor Lingkungan, ISPA


Kepustakaan : 48 (1999-2023)

Unviversitas Sriwijaya

i
ENVIRONMENT HEALTH
FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SRIWIJAYA
Thesis, February 2024
Alya Fayza Chairanni; supervised by Prof. Dr. Hj. Yuanita Windusari., S.Si.,
M.Si
FACTORS THAT INFLUENCE THE INCIDENCE OF ACUTE
RESPIRATORY INFECTIONS (ARI) IN TODDLERS IN THE WORKING
AREA OF THE TALAWI HEALTH CENTER, WEST SUMATERA

ix + 66 pages, 20 tables, 3 images, 8 appendices

ABSTRACT

Acute Respiratory Infection (ARI) is one of the diseases caused by indoor air
pollution. The prevalence of ARI in toddlers aged 0-59 months in the Talawi Health
Center working area in West Sumatra was 14.52% in 2022 and 713 in 2023. This
study aims to determine the relationship between environmental factors (the use of
mosquito coils, the presence of smokers in the house, and the physical condition of
the house) with the incidence of ARI in toddlers in the working area of Puskesmas
Talawi West Sumatra. This study used a cross sectional research design with cluster
random sampling techniques on 130 respondents who had toddlers with an age
range of 0-59 months. Data analysis in this study used chi-square test and multiple
logistic regression test. Based on the results of the analysis obtained 44.6% of
toddlers aged 0-59 months in the Talawi Health Center working area of West
Sumatra experienced ARI. The results of the chi-square test analysis showed that
there was a relationship between the presence of smokers in the house (P=0.000),
occupancy density (P=0.000), and the type of wall of the house (P=0.000) with the
incidence of ARI in toddlers, and there was no relationship between the use of
mosquito coils, lighting, ventilation, and the type of floor of the house with the
incidence of ARI in toddlers. The results of multiple logistic regression test analysis
showed that the variable of the presence of smokers in the house was the most
influential factor on the incidence of ARI (PR 95% CI = 10.386) after being
controlled by the variables of mosquito coil use, occupancy density, ventilation, and
type of house wall. People who smoke should clean themselves and change their
clothes before approaching or holding toddlers.

Keywords : Toddler, Environmental Factors, ARI


Literature : 48 (1999-2023)

Unviversitas Sriwijaya

ii
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Unviversitas Sriwijaya

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Unviversitas Sriwijaya

iv
LEMBAR PERSETUJUAN

Unviversitas Sriwijaya

v
RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi
Nama : Alya Fayza Chairanni
NIM : 10031282025045
Tempat, Tanggal Lahir : Padang, 13 Mei 2002
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Perumahan Keyzana Blok FF/10 RT 05 RW 10,
Kelurahan Alai Parak Kopi, Kecamatan Padang
Utara, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat
Email : ninialya0603@gmail.com
No. Telepon : 081267126613

Riwayat Pendidikan
TK (2007 – 2008) : TK Tunas Melati Talawi Hilie
SD (2008 – 2014) : SD Negeri 9 Talawi Hilie
SMP (2014 – 2017) : SMP Negeri 3 Sawahlunto
SMA (2017 – 2020) : SMA Negeri 2 Sawahlunto
Kuliah (2020 – 2024) : Program Studi Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya

Riwayat Organisasi
2015 – 2016 : Anggota Pramuka SMP Negeri 3 Sawahlunto
2017 – 2018 : Anggota MPK Komisi D SMA Negeri 2
Sawahlunto
2018 – 2019 : Wakil Ketua OSIS SMA Negeri 2 Sawahlunto
2020 – 2021 : Staff Muda Departemen Pemuda Olahraga
dan Kreativitas Mahasiswa HMKL FKM
Universitas Sriwijaya
2022 – 2023 : Staff Ahli Departemen Pemuda Olahraga dan
Kreativitas Mahasiswa HMKL FKM
Universitas Sriwijaya
2022-2023 : Anggota Departemen Seni Budaya Persatuan
Mahasiswa Tuah Sekato

Unviversitas Sriwijaya

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada Penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Talawi Sumatera Barat” untuk memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana (S1)
Kesehatan Lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya.
Selama proses penyusunan penelitian skripsi ini Penulis banyak di dampingi oleh
pihak-pihak terkait. Maka dari itu, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Misnaniarti, S.KM., M.KM selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
2. Ibu Dr. Elvi Sunarsih, S.KM., M.Kes selaku Ketua Prodi Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Sriwijaya.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Yuanita Windusari, S.Si., M.Si selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang dengan ikhlas dan sabar dalam memberikan
waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing Penulis.
4. Ibu Dini Arista Putri, S.Si., M.PH selaku Dosen Pengui 1 yang
senantiasa memberikan saran dan masukkan sebagai perbaikan
penyusunan penelitian skripsi Penulis.
5. Ibu Anggun Budiastuti, S.KM., M.Epid selaku Dosen Penguji 2 dan
Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan saran dan
masukkan sebagai perbaikan penyusunan penelitian skripsi Penulis.
6. Seluruh dosen pengajar dan staff Fakultas Kesehatan Masyarakat yang
telah memberikan ilmu yang bermanfaat selama masa perkuliahan.
7. Teristimewa di perjalanan hidup dan skripsi Penulis, Ibu Rosaria dan
Ayah Fildayaris. The apple of my eye that always giving me their eyes,
that always staying back and always watching me shine. Terima kasih
atas kepercayaan dan pengorbanan besar yang diberikan kepada Penulis
untuk merantau jauh dari rumah, atas cinta yang selalu berlimpah dan
do’a yang tak pernah putus kepada Penulis.

Unviversitas Sriwijaya

vii
8. Kedua saudari Penulis yang tercinta, Kakak Indah dan Adek Adinda
yang selalu percaya bahwa Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik, memberikan semangat, kasih sayang dan do’a yang tak
pernah putus kepada Penulis.
9. A toast to my friend of all, Nanda Nathaniela Aurelia yang membersamai
perjalanan Penulis semasa perkuliahan dan penyusunan skripsi. It’s a
beautiful things to be your friend and i’m wishing for our next wishlist.
10. Sahabat seperjuangan Penulis sedari maba Amalia, Carien, Chintia,
Salsa, dan Arindi atas dukungan dan cerita indah semasa perkuliahan.
11. Sobat Bintara (Erfi, Nengsih, Shafa, Wulan, Dinda, Ricko, Rajhan, dan
Mice) atas dukungan, semangat, juga canda tawa, dan kebahagiaan.
12. Sahabat minang di tanah rantau Annisa dan Intan yang menjadi teman
juga kakak bagi Penulis, yang selalu membantu dan mendukung selama
di rantau.
13. Sahabat Penulis sedari SMA (Melly, Fia, Tahira) yang juga sedang
mengejar gelarnya, atas dukungannya dan yang selalu menjadi tempat
cerita Penulis dari jauh.
14. Rekan-rekan seperjuangan angkatan 2020 Program Studi Kesehatan
Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya atas
semua bantuan dan dukungan selama masa perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini dimana skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu Penulis
sangat menerima kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Indralaya, Maret 2024


Penulis

Alya Fayza Chairanni

Unviversitas Sriwijaya

viii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................. 3
1.3.2 Tujuan Khusus ................................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 4
1.4.1 Bagi Peneliti .................................................................................... 4
1.4.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat ............................................. 4
1.4.3 Bagi Masyarakat.............................................................................. 4
1.4.4 Bagi Instansi Terkait ....................................................................... 5
1.4.5 Bagi Peneliti Selanjutnya ................................................................ 5
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 5
1.5.1 Lingkup Lokasi ............................................................................... 5
1.5.2 Lingkup Waktu................................................................................ 5
1.5.3 Lingkup Materi................................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ................................................. 6
2.1.1 Pengertian ISPA .............................................................................. 6

Universitas Sriwijaya

iv
2.1.2 Etiologi ISPA .................................................................................. 7
2.1.3 Mekanisme ISPA ............................................................................ 8
2.1.4 Klasifikasi ISPA .............................................................................. 9
2.1.5 Pencegahan ISPA ............................................................................ 9
2.2 Faktor Risiko ISPA pada Balita ............................................................. 10
2.2.1 Faktor Pejamu ............................................................................... 10
2.2.2 Faktor Agen ................................................................................... 11
2.2.3 Faktor Lingkungan ........................................................................ 12
2.3 Kerangka Teori....................................................................................... 15
2.4 Kerangka Konsep ................................................................................... 16
2.5 Definisi Operasional............................................................................... 17
2.6 Penelitian Terkait ................................................................................... 21
2.7 Hipotesis ................................................................................................. 24
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 25
3.1 Desain Penelitian.................................................................................... 25
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................. 25
3.2.1 Populasi ......................................................................................... 25
3.2.2 Sampel ........................................................................................... 25
3.3 Jenis, Cara dan Alat pengumpulan Data ................................................ 27
3.3.1 Jenis Pengumpulan Data ............................................................... 27
3.3.2 Cara Pengumpulan Data ................................................................ 28
3.3.3 Cara dan Alat Pengumpulan Data ................................................. 28
3.4 Pengolahan Data..................................................................................... 29
3.5 Validitas Data ......................................................................................... 30
3.6 Analisis dan Penyajian Data................................................................... 30
3.6.1 Analisis Univariat.......................................................................... 30
3.6.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 30
2.6.3 Analisis Multivariat ....................................................................... 31
3.6.4 Penyajian Data .............................................................................. 31
BAB IV HASIL PENELITIAN ......................................................................... 32
4.1 Gambaran Umum UPTD Puskesmas Kecamatan Talawi ...................... 32
4.2 Hasil Penelitian ...................................................................................... 33
4.2.1 Analisis Univariat.......................................................................... 33
4.2.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 36
Universitas Sriwijaya

v
4.2.3 Analisis Multivariat ....................................................................... 40
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................... 44
5.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 44
5.2 Pembahasan ............................................................................................ 44
5.2.1 Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Talawi Sumatera Barat .................................................................. 44
5.2.2 Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan Kejadian
ISPA pada Balita ........................................................................... 45
5.2.3 Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Talawi............................................................................................ 46
5.2.4 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi .................................. 48
5.2.5 Hubungan Pencahayaan Alami dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi .................................. 50
5.2.6 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Talawi ................................................. 51
5.2.7 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi............................................. 53
5.2.8 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Talawi ................................................. 54
5.2.9 Analisis Multivariat Terhadap Variabel yang Mempengaruhi
Kejadian ISPA pada Balita............................................................ 56
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 58
6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 58
6.2 Saran....................................................................................................... 59
6.2.1 Bagi Masyarakat............................................................................ 59
6.2.2 Bagi Pihak Puskesmas Talawi ...................................................... 59
6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya .............................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
LAMPIRAN ......................................................................................................... 66

Universitas Sriwijaya

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Klasifikasi Agen Penyebab ISPA pada Balita Menurut Golongan Usia 7
Tabel 2. 2 Definisi Operasional ............................................................................ 17
Tabel 2. 3 Penelitian yang Terkait dengan Penyakit ISPA pada Balita ................ 21
Tabel 4. 1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita ................................. 33
Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar ...................... 34
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Keberadaan Perokok dalam Rumah ................... 34
Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian .............................................. 34
Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Pencahayaan Alami ............................................ 35
Tabel 4. 6 Distribusi Frekuensi Ventilasi .............................................................. 35
Tabel 4. 7 Distribusi Frekuensi Jenis Dinding ...................................................... 35
Tabel 4. 8 Distribusi Frekuensi Jenis Lantai ......................................................... 36
Tabel 4. 9 Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA pada
Balita..................................................................................................... 36
Tabel 4. 10 Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita .................................................................................. 37
Tabel 4. 11 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA ...................... 38
Tabel 4. 12 Hubungan Pencahayaan Alami dengan Kejadian ISPA .................... 38
Tabel 4. 13 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita ................... 39
Tabel 4. 14 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita ........... 39
Tabel 4. 15 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita .............. 40
Tabel 4. 16 Hasil Seleksi Bivariat ......................................................................... 41
Tabel 4. 17 Model 1 dari Analisis Multivariat ...................................................... 41
Tabel 4. 18 Model 2 dari Analisis Multivariat ...................................................... 42
Tabel 4. 19 Model 3 dari Analisis Multivariat ...................................................... 42
Tabel 4. 20 Model Akhir dari Analisis Multivariat .............................................. 43

Universitas Sriwijaya

vii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Kerangka Teori ................................................................................. 15


Gambar 2. 2 Kerangka Konsep ............................................................................. 16
Gambar 4. 1 UPTD Puskesmas Talawi ................................................................. 32

Universitas Sriwijaya

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Inform Concent ................................................................................ 67


Lampiran 2 : Lembar Kuesioner ........................................................................... 68
Lampiran 3 : Kaji Etik........................................................................................... 71
Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian ........................................................................ 72
Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian Kota Sawahlunto ............................................ 73
Lampiran 6 : Surat Izin Peminjaman Alat............................................................. 74
Lampiran 7 : Dokumentasi Penelitian ................................................................... 75
Lampiran 8 : Output SPSS .................................................................................... 76

Universitas Sriwijaya

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) terutama rumah
sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, karena pada umumnya orang lebih
banyak melakukan kegiatan di dalam rumah, sehingga rumah menjadi sangat
penting sebagai lingkungan mikro yang berkaitan dengan risiko dari pencemaran
udara. Dampak kesehatan akibat pencemaran udara dalam rumah dapat terjadi
secara langsung seperti iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, dan tidak
langsung yang salah satunya adalah ISPA. Rendahnya kualitas udara baik di dalam
maupun di luar rumah, baik secara biologis, fisik, maupun kimia dapat
meningkatkan resiko terjadinya ISPA (Permenkes 2011).
World Health Organization (WHO) mengatakan ISPA menjadi penyebab
utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta
orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi
saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak,
dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita
rendah dan menengah. Adapun kurang lebih 13 juta anak balita di dunia meninggal
di setiap tahunnya (WHO 2020). Balita dengan usia 0-59 bulan merupakan usia
dimana berbagai jenis penyakit termasuk penyakit ISPA bisa dengan mudah
menyerang karena sistem imunitas balita belum optimal. Seseorang bisa terkena
ISPA jika kekebalan tubuh atau imunitasnya menurun (Lalu, Akili et al. 2020).
Insiden menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 kasus per
anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 kasus per anak/tahun di negara maju.
Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta kasus baru di dunia pertahun dimana 151
juta kasus (96,7%) terjadi di negara berkembang yang terdapat di Afrika dan Asia
dengan jumlah kasus di Indonesia sebesar 6 juta kasus (Garmini and Purwana
2020). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2018,
prevalensi ISPA pada balita di Indonesia sebesar 93.620. Dengan daerah kejadian
di Sumatera Barat sebesar 2.179 (Kemenkes 2018).

Universitas Sriwijaya

1
2

Data kasus ISPA dari Badan Pusat Statistik (BPS) di Kota Sawahlunto tahun
2022 menunjukkan bahwa ISPA merupakan 1 dari 10 penyakit yang terbanyak di
Kota Sawahlunto dengan data jumlah kejadian sebesar 16.869 (23.88%).
Puskesmas Talawi merupakan salah satu dari enam puskesmas yang ada di Kota
Sawahlunto dengan kejadian ISPA tertinggi balita usia 0-59 bulan dengan jumlah
kasus pada tahun 2022 sebesar 421 kasus (14,52%) dan pada tahun 2023 sebesar
713 kasus. Kecamatan Talawi terdiri dari 11 desa yang keseluruhan penduduknya
berjumlah 20.818 jiwa dengan balitanya berjumlah 1.519 jiwa.
Menurut Lubis dan Ferusgel (2019) faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian ISPA pada balita dipengaruhi oleh tiga faktor antara lain, Faktor Host
(Manusia), Faktor Agent (Penyebab Penyakit), dan Faktor Environment
(Lingkungan) seperti kondisi fisik rumah khususnya kepadatan hunian (p = 0,002),
ventilasi (p = 0,047), pencahayaan alami (p = 0,919), jenis dinding (p = 0,709), jenis
lantai (p = 0,004), dan adanya keberadaan perokok di dalam rumah (p = 0,002).
Kecamatan Talawi merupakan salah satu dari 4 kecamatan yang terletak di
wilayah kota Sawahlunto, provinsi Sumatera Barat. Kecamatan Talawi merupakan
kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu kurang lebih sebesar 31,11%
dari jumlah penduduk kota Sawahlunto. Berdasarkan survei awal yang dilakukan,
keadaan hunian dan kondisi fisik rumah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Talawi rata-rata belum memenuhi persyaratan rumah sehat. Masih adanya
penggunaan obat nyamuk bakar di rumah untuk membasmi nyamuk dan
keberadaan keluarga atau tamu yang merokok di dalam rumah juga menjadi salah
satu penyebab terjadinya ISPA karena dapat mencemari kualitas udara dalam ruang.
Kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Talawi diduga dipengaruhi oleh
penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di dalam rumah, dan kondisi
fisik rumah.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk melihat apakah terdapat hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar,
keberadaan perokok di dalam rumah, dan kondisi fisik rumah dengan kejadian
ISPA pada di wilayah kerja Puskesmas Talawi tahun 2023.

Universitas Sriwijaya
3

1.2 Rumusan Masalah


Kasus kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Talawi masih menjadi
kasus yang menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada balita dan
tingkatan umur lainnya. Berdasarkan data penemuan kasus ISPA/ILI (Influenza
Like Illness) tingkat Puskesmas Talawi Kota Sawahlunto tahun 2022, prevalensi
kasus ISPA pada balita usia 0-59 bulan sebanyak 421 kasus dan pada tahun 2023
sebesar 713 kasus. Adanya penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di
dalam rumah, dan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi standar rumah sehat
menjadi penyebab risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada
balita karena mendukung mikroorganisme penyebab ISPA tumbuh dan
berkembangbiak. Berdasarkan hasil survei awal diduga ada hubungan antara
kejadian ISPA penggunaan obat bakar nyamuk, keberadaan perokok di dalam
rumah, dan kondisi fisik rumah. Oleh karena itu akan dilakukan kajian penelitian
untuk melihat apakah penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di
dalam rumah, dan kondisi fisik rumah memberikan dampak kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
2. Mengetahui distribusi frekuensi penggunaan obat nyamuk bakar dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat.
3. Mengetahui distribusi frekuensi keberadaan perokok di dalam rumah
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi
Sumatera Barat.
4. Mengetahui distribusi frekuensi kondisi fisik rumah (kepadatan hunian,
pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis lantai) dengan

Universitas Sriwijaya
4

kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera


Barat.
5. Menganalisis hubungan penggunaan obat nyamuk bakar dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat.
6. Menganalisis hubungan keberadaan perokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat.
7. Menganalisis hubungan kondisi fisik rumah (kepadatan hunian,
pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis lantai) dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat.
8. Menganalisis faktor dominan penyebab kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Manfaat yang didapat bagi penulis dapat berupa penambahan pengetahuan,
keterampilan, dan bahan pembelajaran mengenai hubungan penggunaan obat
nyamuk bakar, keberadaan perokok di dalam rumah, dan kondisi fisik rumah
khususnya kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis
lantai dengan kejadian ISPA pada balita.
1.4.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dapat menambah data kepustakaan sebagai media pembelajaran untuk
dijadikan bahan dalam mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi di Fakultas
Kesehatan Masyarakat dan dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan
mengenai faktor-faktor penyebab ISPA pada balita.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat mengetahui dan menambah pengetahuan
juga kesadaran masyarakat mengenai faktor-faktor penyebab kejadian ISPA pada
balita khususnya pada penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di
dalam rumah, dan kondisi fisik rumah yang terdiri dari kepadatan hunian,
pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis lantai yang diduga menjadi

Universitas Sriwijaya
5

faktor penyebab ISPA pada balita sehingga masyarakat dapat memperhatikan juga
menjaga perilaku diri dan kondisi fisik rumah dengan baik.
1.4.4 Bagi Instansi Terkait
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi atau bahan masukan dan
pertimbangan bagi Puskesmas Talawi dalam memberikan informasi berupa
penyuluhan mengenai kejadian ISPA pada balita beserta faktor-faktor terjadinya
yang mencakup penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di dalam
rumah, dan kondisi fisik rumah khususnya pada kepadatan hunian, pencahayaan
alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis lantai.
1.4.5 Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian yang ingin meneliti faktor
yang menyebabkan atau yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita dari segi
penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok di dalam rumah, dan kondisi
fisik rumah khususnya pada kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis
dinding, dan jenis lantai.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1 Lingkup Lokasi
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kecamatan
Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.
1.5.2 Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan oktober 2023 hingga Maret 2024 di
wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kecamatan Talawi, Kota Sawahluto, Provinsi
Sumatera Barat.
1.5.3 Lingkup Materi
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan penggunaan obat
nyamuk bakar, keberadaan perokok di dalam rumah, dan kondisi fisik rumah yang
meliputi kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, dan jenis
lantai dengan fenomena kejadian ISPA pada Balita.

Universitas Sriwijaya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


2.1.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi pada saluran
pernapasan (bawah dan/atau atas) yang mengakibatkan terhambatnya saluran udara
pada sistem hidung dan/atau bronkus sehingga menimbulkan spektrum manifestasi,
mulai dari gejala akut, seperti gejala umum pilek, hingga kondisi yang lebih serius
seperti pneumonia atau kolaps paru-paru (Silva Filho, Silva et al. 2017). ISPA
sering kali merupakan keadaan darurat medis karena berdampak langsung terhadap
oksigenasi jaringan, sehingga menyebabkan komplikasi pada anak-anak, dengan
dampak buruk termasuk peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tidak jarang ISPA
memerlukan perawatan intensif, evaluasi permanen, serta intervensi yang cepat dan
resolutif (Wilson Correia 2021).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi pada saluran
pernapasan baik pada pernapasan bagian atas (hidung) maupun bagian bawah
(alveoli) sehingga dapat menyebabkan berbagai infeksi seperti infeksi ringan,
sedang hingga parah yang dapat membahayakan nyawa seseorang. Infeksi ini
disebabkan oleh agent penyebab penyakit berupa bakteri, lingkungan yang buruk
hingga manusia itu sendiri (berhubungan dengan imunitas tubuh) (Lebuan and
Somia 2017).
Menurut WHO, bahwa sesorang yang terkena ISPA akan mengalami
gangguan pernapasan hingga dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diatasi
karena virus penyebab infeksi ini akan menyerang beberapa organ tubuh seperti
hidung, trakea hingga paru-paru. Oleh sebab itu, penanganan cepat harus dilakukan
sebelum terjadinya penyebaran ke seluruh sistem pernapasan dan menyebabkan
tubuh pasien akan mengalami kekurangan oksigen (Insani and Permana 2020).
Penyakit saluran pernapasan adalah penyakit yang menyerang saluran
udara, termasuk saluran hidung, bronkus, dan paru-paru. Kondisi pernapasan
meliputi infeksi pernapasan akut serta penyakit pernapasan kronis, seperti asma,
penyakit paru obstruktif kronik dan kanker paru-paru (WHO 2016).

Universitas Sriwijaya

6
7

2.1.2 Etiologi ISPA


Penyakit ISPA disebabkan oleh beberapa patogen seperti bakteri ,contohnya
Genus streptokokus, Pneumokokus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium ,
virus seperti golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Mikoplasma,
Hervesvirus dll dan riketsia. Masing-masing patogen tersebut akan menyerang
tempat saluran pernapasan yang berbeda, dimana virus menyerang saluran
pernapasan bagian atas maupun bawah sedangkan bakteri hanya menyerang saluran
pernapasan bagian bawah namun memiliki manifektasi klinis yang berat sehingga
dalam kesulitan dalam melakukan penanganannya (Syamsi 2018).
Nilam Sari, et al (2019) menyatakan bahwa faktor kondisi lingkungan dan
faktor pejamu menjadi salah satu penyebab terjadinya ISPA. Pencemaran udara
serta polutan lain yang ada di udara berpengaruh terhadap sistem pernapasan, selain
itu faktor kelembaban juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan
mikroorganisme penyebab ISPA. Budiman Chandra (2006) menyatakan juga
bahwa zat polutan yang ada di udata dapat masuk kedalam tubuh seseorang melalui
inhlasi atau pernapasan dan jenis polutan tersebut akan mempengaruhi penetrasi
didalam tubuh. Contohnya pajanan terhadap partikulat yang memiliki ukuran kecil
akan terserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar kedalam tubuh lebih cepat
dan menyebabkan infeksi saluran pernapasan (Putri 2017).
Menurut Ostapchuk, Roberts, dkk (2004), bahwa patogen penyebab ISPA
dikategorikan sesuai dengan umur penderitanya, dimana untuk kategori umur balita
terbagi atas 4 golongan yang dijelaskan pada tabel berikut ini (Ostapchuk, Roberts
et al. 2004) :
Tabel 2. 1 Klasifikasi Agen Penyebab ISPA pada Balita Menurut Golongan Usia
Umur Agen Umum Agen Sekunder
Bakteri : Bakteri :
Listeria monocytogeneses Anaerobic organisms
20 hari Group B strepcocci Group D streptococci
Escheria coli haemophilus influenzae
streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Bakteri : Bakteri :
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumoniae H. influenzae type B and
3 minggu – 3 Virus : nontypeable
bulan Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1, 2, and 3 U. urealyticum

Universitas Sriwijaya
8

Respiratory syncytial virus Virus :


Cytomegalovirus
Bakteri : Bakteri :
Chlamydia pneumoniae H. influenzae type B
Mycoplasma pneumonia M. catarrhalis
S. pneumonia Mycobacterium tuberculosis
4 bulan – 5 Virus : Neisseria meningitis S.
tahun Adenovirus aureus
Influenza virus Virus :
Parainfluenza virus Varicella-zoster virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Sumber : Michael Ostapchuk, M.D., M. Roberts, M.D., dan Richard Haddy, M.D (2004)
2.1.3 Mekanisme ISPA
Patogen seperti kuman dan virus mengalami perkembangan dengan cepat
didalam tubuh seseorang yang terpajan sehingga akan mengalami beberapa gejala
seperti pilek, batuk, demam, bersin- bersin, sakit tenggorokan, sakit kepala, sekret
menjadi kental, nausea, muntah dan anoreksia. Jika tidak segera ditangani, maka
Infeksi saluran pernapasan ini akan semakin parah hingga pnenumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Salah satu faktor angka kasus kejadian ISPA semakin
tinggi adalah masih banyak orang tua yang mengabaikan gejala-gejala yang timbul
akibat pajanan patogen penyebab ISPA (Priwahyuni, feroza Sinaga et al. 2020).
Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur yang dapat merubah pola kolonisasi
bakteri. Bakteri patogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan tubuh yang
dapat menyebabkan terjadinya invasi pada saluran pernapasan baik bagian atas
maupun bawah. Timbul mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi
udara, inspirasi dirongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan
mukosilier dan fagositosis. Hal ini terjadi karena imunitas tubuh balita menurun
sesuai dengan pendapat Alsagaff dan Mukty (2010) bahwa seseorang dengan
imunitas yang rendah akan mudah terpajan mikroorganisme penyabab ISPA yang
terdapat di udara melalui inhalasi. Penyakit ISPA ini tergolong kedalam Air Borne
Disease atau penyakit yang menyebar melalui udara (Haris 2021).

Universitas Sriwijaya
9

2.1.4 Klasifikasi ISPA


Berdasarkan jenis dan derjat keparahannya, ISPA diklasifikasikan menjadi
3 yaitu sebagai berikut :
A. ISPA ringan bukan pnemonia, yaitu golongan dimana pasien balita
dengan batuk yang tidak menunjukan gejala meningkatnya frekuensi
napas serta tarikan dinding pada dada bagian bawah kearah dalam.
Contohnya adalah common cold, faringitis, tonsilitis dan otitis.
B. ISPA sedang pneumonia didiagnosa, yang ditandai dengan adanya
batuk dan atau kesukaran bernapas. Batas frekuensi napas cepat pada
anak sesuai dengan umur dimana anak yang berusia 2 bulan sampai <1
tahun adalah 50 kali permenit sedangkan untuk anak 1 tahun <5 tahun
adalah 40 kali permenit.
C. ISPA berat atau pneumonia berat, dimana anak berusia 2 bulan sampai
<5 tahun ditandai dengan gejala batuk dan kesulitan bernapas atau
adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing).
Sedangkan untuk anak berusia <2 bulan ditandai dengan gejala seperti
napas cepat dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian
bawah ke arah dalam (severe chest indrawing) (Winda Asmidar and
Zaenab 2018).
2.1.5 Pencegahan ISPA
Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah kejadian ISPA
yaitu sebagai berikut :
A. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
Pada tingkat pertama merupakan tingkat yang paling efektif untuk
mencegah penyakit termasuk ISPA, dimana pada tingkat ini dapat
memberikan banyak informasi dan peningkatan pengetahuan yang
diperoleh dari berbagai metode yang mudah dipahami seperti adanya
penyuluhan, promosi kesehatan, melengkapi imunisasi balita, menjaga
asupan gizi balita, melakukan promosi kesehatan ibu dan anak yang
dimulai dari saat ibu hamil, dan lingkungan rumah sehat.

Universitas Sriwijaya
10

B. Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)


Pada tahap kedua ini, balita sudah dalam diagnosa dini sehingga
dibutuhkan pengobatan agar tidak menyebabkan penyakit semakin
parah. Hal yang dapat dilakukan jika balita menunjukkan gejala seperti
batuk, pilek, demam yaitu dengan cara memberian obat antibiotik,
pemantauan kondisi fisik (suhu, denyut nadi dan lainnya), kompres jika
suhu 37°C serta memberikan makanan dan minuman yang bergizi untuk
meningkatkan imunitas tubuh.
C. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention)
Pada tahap ini merupakan tingkat terakhir atau yang paling berbahaya
jika tidak dilakukan pertolongan medis segera karena pasien
membutuhkan perawatan yang intensif dari tenaga medis di rumah sakit.
Pasien pada tahap ini akan mengalami kesulitan bernapas serta tidak
dapat minum sehingga harus dipantau kesehatannya karena berpotensi
untuk terkena pneumonia berat bahkan kematian (Prastiwi 2015).
2.2 Faktor Risiko ISPA pada Balita
2.2.1 Faktor Pejamu
A. Penggunaan Obat Nyamuk Bakar
Penggunaan obat nyamuk bakar masih sering dilakukan untuk membasmi
nyamuk khususnya di Indonesia karena harganya yang terjangkau dibandingkan
dengan metode lain. Padahal seperti yang kita ketahui, asap dari obat nyamuk
sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia karena dapat merusak paru-paru. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang membahas bahwa kerusakan paru-paru yang
diakibatkan dari satu obat nyamuk sama dengan kerusakan yang diakibatkan dari
100 batang rokok. Dalam obat nyamuk bakar tersebut terdapat suatu zat berbahaya
yang mengandung DDVP (Dichlorovynil Dimetyl Phosfat) yang dapat
menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti kerusakan syaraf bahka kanker jika
terpajan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, kandungan lainnya dapat
menyebabkan kerusakan hati dan repoduksi karena terjadinya penurunan aktivitas
enzim (Sofia 2017).
Dampak dari penggunakan obat nyamuk bakar tergantung pada jenis,
seberapa lama orang terpajan, jumlah zat yang masuk kedalam tubuh, usia (anak

Universitas Sriwijaya
11

balita lebih rentan karena imunitas tubuh belum optimal serta organ tubuh yang
belum sempurna) dan bahan campuran yang membahayakan. Efek yang lebih
berbahaya juga akan timbul pada anak yang alergi dan mempunyai bakat asma
(Dahniar 2011).
B. Keberadaan Perokok di dalam Rumah
Kebiasaan merokok atau keberadaan anggota yang merokok didalam rumah
menjadi salah satu faktor individu yang dapat menyebabkan ISPA, hal ini karena
kandungan dari rokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Asap yang hirup
lama kelamaan akan menyebabkan penyakit lainnya seperti asma, pneumonia dan
lainnya bahkan perokok pasif juga berdampak sama besar dengan perokok aktif
(Irianto, Lestari et al. 2021). Jika dalam suatu rumah terdapat balita dan adanya
anggota keluarga yang merokok akan meningkatkan risiko balita tersebut untuk
terkena penyakit gangguan pernapasan, salah satunya ISPA. Kandungan berbahaya
dari rokok memang tidak baik bagi kesehatan terutama pada kelompok rentan.
Semakin banyak rokok yang dihisap khususnya oleh si ibu maka akan
membahayakan kesehatan balita (Siska 2019).
2.2.2 Faktor Agen
Bakteri merupakan patogen penyebab ISPA, bakteri seperti rhinovirus,
respiratory syncytial virus, paraininfluenzaenza virus, severe acute respiratory
syndromeassociated coronavirus (SARS-CoV), dan virus Influenza (WHO 2007).
Selain itu, ISPA dapat juga disebabkan oleh virus , dimana yang paling sering
terdeteksi adalah virus respiratory syncytial virus (RSV), virus influenza tipe A dan
B (Flu A dan Flu B), adenovirus (ADV), parainfluenza virus (PIV), human
metapneumovirus (hMPV) dan human rhinovirus/enterovirus (HRV/ EV) (Wilson
Correia 2021). Jamur juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan, dimana
ruangan yang memiliki koloni jamur yang banyak dapat berisiko pada iritasi
hidung. Oleh sebab itu, suhu dan kelembaban dalam ruang perlu diperhatikan agar
mikroorganisme tidak berkembang dengan cepat. Biasanya kelembaban yang
buruk ditandai dengan mengelupas dan munculnya titik-titik air pada dinding
(Aryanti 2021).

Universitas Sriwijaya
12

2.2.3 Faktor Lingkungan


A. Kepadatan Hunian
Rumah adalah salah satu bagian dari lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap derajat kesehatan, namun kualitas udara dalam rumah sering terabaikan
sehingga penghuni rumah mengalami keluhan penyakit. Kualitas udara dalam
rumah dapat dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu kepadatan hunian. Rumah
yang baik memiliki tingkat kepadatan hunian yang sesuai, dimana menurut
KEPMENKES NO 829/MENKES/SK/VII/1999 yaitu 8m2 untuk 2 orang. Artinya,
dapat dikatakan bahwa kepadatan hunian itu adalah perbandingan antara luas lantai
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Jika suatu rumah memiliki
tingkat kepadatan yang tinggi akan menyebabkan gangguan pernapasan karena
adanya penyakit yang dapat tertular melalui udara, orang yang terlalu banyak
menyebabkan kondisi rumah menjadi sempit dan udara yang terhirup terbatas.
Sehingga angka kejadian ISPA dipengaruhi dari tingkat pencemar lingkungan
dalam rumah (Lubis and Ferusgel 2019).
B. Pencahayaan Alami
Cahaya matahari berfungsi untuk membunuh bakteri patogen dalam ruangan.
Menurut Notoatmodjo (2010), bahwa suatu ruangan dapat menjadi tempat
perkembangbiakan penyakit jika ruangan tersebut tidak memiliki pencahayaan
alami (sinar matahari) yang baik. Hal ini karena sinar mataahri bermanfaat dalam
pembentukan vitamin, membunuh patogen seperti bakteri dan virus yang dapat mati
dalam waktu 10 mneit oleh sinar ultaviolet. Agar suatu ruangan mendapatkan
pencahayaan yang cukup, maka perlu memperhatikan jendela dan lubang ventilasi
yang sesuai persyaratan rumah sehat. (Astuti 2018).
Pencahayaan yang baik adalah cahaya dengan intensitas yang tidak terlalu
tinggi dan rendah karena berhubungan dengan kenaikan dan penurunan suhu
ruangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077 Tahun 2011 bahwa untuk melihat benda sekitar dan membaca pencahayaan
minimal 60 lux (Rosana 2016). Pencahayaan alami adalah salah satu diantara
beberapa faktor penyabab risiko terjadinya ISPA pada balita. Pencahayaan alami
yang tidak memenuhi syarat menyebabkan balita lebih mudah untuk terkena ISPA,
dimana ruangan dengan pencahayaan alami yang rendah menjadi tempat yang

Universitas Sriwijaya
13

bagus untuk pertumbuhan bakteri, virus, dan jamur penyebab ISPA. Pencahayaan
alami berguna untuk mengurangi kelembaban suatu ruangan dan dapat mengusir,
nyamuk, kuman, virus, dan bakteri penyebab ISPA, TBC, dan penyakit lainnya
(Rahmadanti and Alnur 2023).
C. Ventilasi
Ventilasi rumah memiliki banyak manfaat seperti menjadi media pertukaran
Oksigen (O2) di dalam rumah, menjaga keseimbangan O2 agar terhindar dari
pencemaran udara dalam ruang sehingga dapat bertukar dengan udara segar dari
luar ruangan serta membersihkan udara dari bau, debu dan lainnya yang akan
menurunkan kualitas udara dalam ruang. Oleh sebab itu, kondisi jendela serta
ventilasi harus diperhatikan karena jika ventilasi tidak memenuhi persyaratan maka
terhambatnya pertukaran udara sehingga menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan terutama ISPA khususnya pada balita (Hukmi, Alkhusari et al. 2023).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 1077 Tahun 2011, bahwa
persyaratan ventilasi minimal 10% dari luas lantai dengan sistem ventilasi silang
sebagai upaya penyehatan dengan mengatur pertukaran udara (Putri 2017).
Menurut Notoatmotdjo (2014) ventilasi adalah salah satu penyebab
meningkatnya kelembaban suatu ruangan karena terjadinya proses penguapan
cairan dari kulit, dengan adanya proses penguapan tersebut kelembaban ruangan
yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri
penyebab penyakit ISPA (Sari, Budiman et al. 2019).
D. Jenis Dinding
Menurut KEPMENKES No 829/MENKES/SK/VII/1999 bahwa syarat
dinding rumah yang baik yaitu memiliki sarana ventilasi, kedap air serta mudah
dibersihkan. Sedangkan menurut Aryanti (2021), dinding yang baik dimana dinding
rapat, tidak memiliki celah serta mudah dibersihkan karena kondisi dinding dan
material yang buruk dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti ISPA.
Misalnya kondisi dinding yang banyak debu yang lama kelamaan akan menumpuk
dan terhirup yang menyebabkan penyakit ISPA. Bahan material dinding yang tidak
memenuhi syarat yang dapat menghasilkan debu total yang melebihi 150 µg/m3,
menghasilkan asbes bebas yang melebihi 0,5 fiber/m3/4 jam, menghasilkan timah
hitam yang melebihi 300 mg/kg, dan material lainnya (Kepmenkes 1999). Selain

Universitas Sriwijaya
14

itu, mikroorganisme juga dapat berkembang pada dinding yang lembab


(Kepmenkes 1999).
E. Jenis Lantai
Lantai dapat menimbulkan gangguan kesehatan, oleh sebab itu harus sesuai
dengan persyaratan kesehatan lingkungan yang telah diatur seperti kedap air,
permukaan rata, halus, tidak licin, tidak retak, yang tidak menyerap debu dan mudah
dibersihkan, dalam keadaan bersih, juga berwarna terang. Sedangkan untuk lantai
yang kontak dengan air, harus memiliki kemiringan yang cukup landau untuk
memudahkan pembersihan dan tidak terjadi genangan air (Permenkes 2023).
Menurut Kepmenkes No. 829 tahun 1999 tentang persyaratan kesehatan
rumah tinggal mencakup beberapa hal seperti lantai rumah yang baik terbuat dari
ubin, keramik, atau semen agar kedap air, tidak berdebu dan mudah dibersihkan,
untuk tinggi lantai dasar yang direkomendasikan maksimal 1,2 meter diatas tinggi
rata-rata tanah perkarangan atau menyesuaikan kondisi lingkungan. Sedangkan
menurut Peraturan Menteri PU No. 29 tahun 2006 untuk tinggi minimal lantai yaitu
15 cm dari pekarangan rumah dan 25 cm dari badan jalan. Jenis lantai inilah yang
dapat menjadi faktor penyebab risiko penyakit ISPA (Putri 2017).

Universitas Sriwijaya
15

2.3 Kerangka Teori


Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, maka
dapat digambarkan kerangka teori yang menjadi dasar dari kerangka konsep dan
dasar penelitian sebagai berikut :

1. Penggunaan Obat
Faktor Nyamuk Bakar1
Pejamu 2. Keberadaan Perokok
dalam Rumah2
3.

Kejadian 1. Virus3
ISPA Faktor Agen 2. Bakteri3
Pada Balita 3. Jamur4

1. Kepadatan hunian5
Faktor 2. Pencahayaan alami6
3. Ventilasi7
Lingkungan
4. Jenis dinding8
5. Jenis lantai9

Gambar 2. 1 Kerangka Teori


Sumber : Modifikasi Teori John Gordon (Teori Triad Epidemiologi)
(Sofia 2017)1, Siska (2019) 2, Wilson Correia (2021)3, Aryanti (2021)4,
Lubis dan Ferusgel (2019)5, Rahmadanti dan Alnur (2023)6, Hukmi et al (2023)7,
Aryanti (2021)8, Putri (2017)9

Universitas Sriwijaya
16

2.4 Kerangka Konsep


Berdasarkan kerangka teori yang telah digambarkan, maka kerangka konsep
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penggunaan Obat Nyamuk Bakar


2. Keberadaan Perokok dalam Rumah
3. Kepadatan Hunian
Kejadian ISPA
4. Pencahayaan Alami
Pada Balita
5. Ventilasi
6. Jenis Dinding
7. Jenis Lantai

Gambar 2. 2 Kerangka Konsep


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat

Universitas Sriwijaya
17

2.5 Definisi Operasional


Tabel 2. 2 Definisi Operasional
Variabel Deinisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Pengukuran
Variabel Dependen
Kejadian ISPA Gangguan saluran pada pernapasan Kuisioner Wawancara Ordinal 1. ISPA
pada Balita bagian atas dengan adanya satu atau (Jika balita mengalami satu
lebih gejala seperti demam, batuk, flu, atau lebih gejala seperti flu,
sesak napas, dan sakit tenggorokan batuk, sesak napas, sakit
dalam 1 bulan terakhir tenggorokan).
2. Tidak ISPA
(Jika balita tidak mengalami
satu atau lebih gejala seperti
flu, batuk, sesak napas, sakit
tenggorokan)
(Kemenkes 2018)

Variabel Independen
Penggunaan Obat Adanya penggunaan obat nyamuk Kuisioner Wawancara Nominal 1. Ada (ketika didapatkan
Nyamuk Bakar bakar oleh keluarga untuk membunuh menggunakan obat nyamuk
nyamuk di dalam rumah atau di ruangan bakar di rumah terutama di
yang sering balita tempati

Universitas Sriwijaya
18

ruangan yang balita sering


tempati)
2. Tidak ada (ketika didapatkan
menggunakan obat nyamuk
bakar di rumah terutama di
ruangan yang balita sering
tempati)
(Permenkes 2011)
Keberadaan Adanya keberadaan anggota keluarga Kuisioner Wawancara Nominal 1. Ada (ketika didapatkan
Perokok dalam yang merokok di dalam rumah, baik di keluarga yang merokok di
Rumah dekat balita atau jauh dari balita. dalam rumah)
2. Tidak ada (ketika tidak
didapatkan keluarga yang
merokok di dalam rumah)
(Lubis and Ferusgel 2019).
Kepadatan Perbandingan antara penghuni yang Kuisioner Wawancara Ordinal 1. Tidak memenuhi syarat
Hunian tinggal di rumah dibandingkan dengan dan dan (< 9m2 /orang)
luas ruangan Roll meter Pengukuran 2. Memenuhi syarat
(≥ 9m2 /orang)
(Lubis and Ferusgel 2019)

Universitas Sriwijaya
19

Pencahayaan Berasal dari benda penerang alam Lux Pengukuran Ordinal 1. Tidak memenuhi syarat
Alami seperti matahari, bulan dan bintang Meter (jika cahaya <60 lux)
sebagai benda penerang ruang secara 2. Memenuhi syarat
alami. Diukur menggunakan Lux meter (jika cahaya ≥60 lux)
dengan syarat untuk pencahayaan alami (Permenkes 2023)
adalah 60 lux
Ventilasi Merupakan lubang atau tempat Roll Meter Pengukuran Ordinal 1. Tidak memenuhi syarat
pertukaran udara dalam ruang juga dan dan (<10% terhadap luas lantai)
berfungsi untuk mengeluarkan udara Kuisioner Observasi 2. Memenuhi syarat
yang tercemar (bakteri, CO2) di dalam (10%-20% terhadap luas
rumah. lantai)
(Permenkes 2023)
Jenis Dinding Dinding harus kuat, dilengkapi Kusisioner Observasi Ordinal 1. Tidak memenuhi syarat
ventilasi, mudah dibersihkan, kedap air (Dinding bukan tembok yang
agar dinding terhindar dari basah, terbuat dari anyaman
lembab dan tampak bersih tidak bambu/ilalang)
berlumut. 2. Memenuhi syarat
(Dinding permanen dan semi
permanen atau setengah
tembok)

Universitas Sriwijaya
20

(Lubis and Ferusgel 2019)


Jenis Lantai Jenis lantai harus kuat untuk menahan Kusisioner Observasi Ordinal 1. Tidak memenuhi syarat
beban diatasnya, rata, tidak licin, stabil (apabila lantai tidak kedap air,
waktu dipijak, permukaan lantai mudah permukaan tidak rata dan sulit
dibersihkan, dan kedap air. dibersihkan)
2. Memenuhi syarat
(apabila lantai kedap air,
permukaan rata dan mudah
dibersihkan)
(Lubis and Ferusgel 2019)

Universitas Sriwijaya
21

2.6 Penelitian Terkait


Tabel 2. 3 Penelitian yang Terkait dengan Penyakit ISPA pada Balita
No. Jurnal Penelitian Persamaan Penelitian Perbedaan Penelitian Hasil Penelitian
1. Hubungan Kondisi Fisik Rumah Variabel independen : Variabel independen : Ada hubungan yang signifikan
dan Keberadaan Perokok dalam lingkungan fisik rumah penggunaan obat nyamuk antara kondisi fisik rumah seperti
Rumah dengan Kejadian ISPA (ventilasi, jenis lantai, bakar ventilasi, jenis lantai, kepadatan
pada Balita di Desa Silo Bonto pencahayaan, kepadatan hunian, dengan kejadian ISPA pada
Kecamatan Silau Laut Kabupaten hunian, jenis dinding) dan balita.
Asahan (Lubis and Ferusgel keberadaan perokok dalam
2019). rumah.
2. Hubungan Kondisi Fisik Variabel independen : Variabel independen : Terdapat adanya hubungan antara
Lingkungan Rumah dengan ventilasi, pencahayaan alami, penggunaan obat nyamuk ventilasi, pencahayaan alami,
Kejadian ISPA pada Balita Di kelembaban, lantai, dinding, bakar, keberadaan perokok kelembapan, jenis lantai, dan
Wilayah Kerja Puskesmas dan kepadatan hunian di dalam rumah kepadatan hunian dengan kejadian
Wawonasa Kota Manado ISPA pada balita di wilayah kerja
(Suharno, Akili et al. 2019), Puskesmas Wawonasa. Sedangkan
untuk atap dan dinding tidak terdapat
adanya hubungan dengan kejadian
ISPA pada balita di Puskesmas
Wawonasa.

Universitas Sriwijaya
22

3. Pengaruh Lingkungan Fisik Variabel independen : bahan Variabel independen : Terdapat adanya hubungan yang
Rumah Terhadap Kejadian ISPA bakar masak, rokok, atap, penggunaan obat nyamuk paling bermakna antara lingkungan
pada Balita di Kecamatan kepadatan hunian, ventilasi, bakar, pencahayaan alami fisik rumah yang tidak memenuhi
Ciwandan Kota Cilegon Periode dinding, dan lantai. syarat dengan kejadian ISPA
Juli - Agustus 2016 (Putri and diantaranya ventilasi yang memiliki
Mantu 2019). risiko 12,8 kali lebih tinggi terkena
ISPA, kebiasaan merokok memiliki
risiko 8,4 kali lebih tinggi terkena
ISPA dan jenis dinding yang tidak
memenuhi syarat memiliki risiko 7,47
kali terkena ISPA.
4. Faktor-Faktor yang Variabel independen : faktor Variabel independen : Didapatkan hasil 4 variabel
Berhubungan dengan Kejadian lingkungan yaitu pencemaran penggunaan obat nyamuk independen yang berhubungan erat
Infeksi Saluran Pernafasan Akut udara dalam rumah (kebiasaan bakar, jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di
(ISPA) pada Balita di Daerah merokok), kondisi fisik rumah daerah pesisir kota Sibolga yaitu
Pesisir Kota Sibolga Tahun 2020 (lantai, dinding, ventilasi kebiasaan merokok, dinding, status
(Pasaribu, Santosa et al. 2021). rumah, pencahayaan), gizi dan kelengkapan imunisasi.
kepadatan hunian rumah. Kebiasaan masyarakat merokok di
dalam rumah, kondisi dinding yang
tidak kokoh, sulit dibersihkan dan

Universitas Sriwijaya
23

tidak rapat, status gizi buruk serta


imunisasi yang tidak lengkap
berpeluang mendatangkan penyakit
ISPA pada balita di daerah pesisir
Kota Sibolga.
5. Analisis Faktor –Faktor yang Variabel independen : faktor Variabel independen : Terdapat hubungan antara perilaku
Berhubungan dengan Kejadian keluarga (perilaku) dan faktor penggunaan obat nyamuk kebiasaan keluarga, kepadatan hunian,
Infeksi Saluran Pernapasan Akut lingkungan (kepadatan hunian, bakar, keberadaan perokok ventilasi, kelembaban dengan kejadian
(ISPA) pada Balita di Puskesmas pencahayaan, jenis dinding, di dalam rumah, ventilasi ISPA pada balita di wilayah kerja
Panjang Kota Bandar Lampung jenis lantai) Puskesmas Panjang Kota Bandar
Tahun 2021 (Aristatia and Lampung, sedangkan untuk variabel
Yulyani 2021). pencahayaan, jenis dinding, jenis
lantai, jenis atap, dan suhu ruangan
tidak memiliki hubungan dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas Panjang Kota Bandar
Lampung.

Universitas Sriwijaya
24

2.7 Hipotesis
A. Adanya hubungan antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto,
Provinsi Sumatera Barat.
B. Adanya hubungan antara keberadaan perokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota
Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.
C. Adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi
Sumatera Barat.
D. Adanya hubungan antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi
Sumatera Barat.
E. Adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera
Barat.
F. Adanya hubungan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera
Barat.
G. Adanya hubungan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera
Barat.

Universitas Sriwijaya
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Peneltian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross
sectional study, dimana variabel bebas dan variabel terikat diteliti pada waktu yang
bersamaan dengan saat penelitian dilakukan dengan tujuan melihat adanya
hubungan antara variabel bebas (penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan
perokok di dalam rumah, kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis
dinding, jenis lantai) dengan variabel terikat (kejadian ISPA pada balita).
Pengukuran untuk variabel bebas pencahayaan dilakukan oleh pihak Puskesmas
dengan menggunakan alat Lux Meter dan pengukuran untuk variabel bebas ventilasi
dan kepadatan hunian dilakukan oleh peneliti menggunakan Roll Meter.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh balita yang tinggal dan
menetap di wilayah kerja Puskesmas Talawi yang berjumlah 1.519 jiwa.
3.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang dijadikan subjek dalam
pengambilan data penelitian. Sampel pada penelitian ini merupakan masyarakat
yang memiliki blalita berusia 0-59 bulan dan bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Talawi juga memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Lameshow (1997)
digunakan untuk menghitung besar sampel desain uji hipotesis dua proporsi sebagai
berikut :

𝑧 𝑎
1−2 √2𝑃 (1−𝑃)+ 𝑍1−𝛽 √𝑃1 (1−𝑃1)+𝑃2 (1−𝑃2)
N=
(𝑃1−𝑃2)2
Keterangan :
N = Jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z1α/2 = Tingkat kepercayaan (Z=1,96 untuk α =0,05)
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (β=80)
P1 = Proporsi kelompok yang terpapar penyakit
P2 = Proporsi kelompok yang tidak terpapar penyakit

Universitas Sriwijaya

25
26

P1+P2
P = Proporsi rata-rata ( )
2

Tabel 3. 1 Hasil Perhitungan Besaran Sampel


No. Variabel P1 P2 n 2n Referensi
1 Penggunaan obat 0.794 0.357 46 92 (Afriani 2020)
nyamuk bakar
2 Keberadaan 0.076 0.693 22 44 (Lubis and Ferusgel
Perokok di dalam 2019)
Rumah
3 Kepadatan Hunian 0.638 0.382 59 118 (Wahyuningsih,
Raodhah et al. 2017)
4 Pencahayaan 0.857 0.043 30 60 (Maulana, Irawan et al.
Alami 2022)
5 Ventilasi 0.153 0.882 16 32 (Harto 2020)
6 Jenis Dinding 0.094 0.702 23 46 (Putri and Mantu 2019)
7 Jenis Lantai 0.208 0.964 14 28 (Nenitriana, Miswan et
al. 2018)

Berdasarkan hasil perhitungan sampel berdasarkan proporsi pada variabel


penelitian sebelumnya dan dihitung menggunakan rumus hipotesis dua proporsi.
Didapatkan sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini berjumlah 118
responden. Peneliti berasumsi bahwa adanya kemungkinan sampel penelitian
mengalami drop out karena berbagai faktor, oleh sebab itu peneliti akan
menambahkan jumlah sampel sebesar 10% sehingga total sampel riset ini sebanyak
130 responden.
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan metode cluster random sampling. Menurut Sugiyono (2012), cluster
random sampling merupakan teknik sampling daerah yang digunakan untuk
menentukan sampel bila objek yang akan diteliti sangat luas, misalnya penduduk
suatu negara, provinsi atau kabupaten. Metode ini dilakukan dengan cara
mengambil responden dari masing-masing setiap wilayah desa yang ada di wilayah
kerja Puskesmas Talawi. Rumus yang digunakan dalam teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
𝑥
𝑛 = 𝑁1
𝑁
Keterangan :
N = Jumlah sampel yang diinginkan setiap kelurahan
X = Jumlah populasi pada setiap kelurahan

Universitas Sriwijaya
27

N = Jumlah seluruh populasi balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi


N1 = Sampel penelitian
Berdasarkan rumus diatas, perhitungan jumlah sampel dari masing-masing
desa di wilayah kerja Puskesmas Talawi dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 3. 2 Perhitungan Jumlah Sampel untuk Masing-masing Desa
No Nama Desa Jumlah Perhitungan Jumlah
Balita Sampel Sampel (n)
1 Talawi Hilir 371 371/1.519x130 32
2 Talawi Mudik 191 191/1.519x130 16
3 Bukit Gadang 106 106/1.519x130 9
4 Batu Tanjung 177 177/1.519x130 15
5 Kumbayau 141 141/1.519x130 12
6 Tumpuk Tangah 176 176/1.519x130 15
7 Datar Mansiang 14 14/1.519x130 2
8 Sijantang Koto 76 76/1.519x130 6
9 Salak 116 116/1.519x130 10
10 Sikalang 116 116/1.519x130 10
11 Rantih 35 35/1.519x130 3
Total 1.519 130

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel pada penelitian ini, antara lain:
A. Kriteria Inklusi
1. Responden yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Talawi
2. Responden yang memiliki balita berusia 0-59 bulan
B. Kriteria Eksklusi
1. Responden yang memiliki balita dengan riwayat alergi pernapasan
2. Tidak bersedia menjawab semua pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner.
3.3 Jenis, Cara dan Alat pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
berdasarkan sumbernya, yaitu:

Universitas Sriwijaya
28

A. Data Primer
Data primer didapatkan sendiri oleh peneliti dari hasil wawancara,
observasi, dan pengukuran terhadap masyarakat melalui lembaran kuesioner
terhadap penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok dalam rumah,
kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, jenis lantai, serta
kejadian ISPA.
B. Data Sekunder
Data sekunder didapatkan dari dokumen yang sudah ada di Puskesmas
Talawi tentang data distribusi penyakit ISPA di wilayah kerja Puskesmas Talawi
beserta laporan profil Puskesmas Talawi.
3.3.2 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu wawancara,
observasi, dan pengukuran. Wawancara dilakukan secara langsung kepada
responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, observasi dilakukan untuk
melihat jenis dinding dan jenis lantai, serta pengukuran yang dilakukan
menggunakan alat untuk mengukur luas rumah, luas ventilasi, dan pencahayaan
alami.
3.3.3 Cara dan Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
kuesioner dan alat pengukuran berupa Roll Meter untuk kepadatan hunian dan
ventilasi, dan Lux Meter untuk pengukuran pencahayaan alami.
A. Pengukuran Kepadatan Hunian dan Ventilasi Rumah
Alat yang digunakan dalam pengukuran ini adalah Roll Meter dan lembar
kuisioner. Dengan tempat atau titik pengukuran yaitu rumah responden dengan
semua jenis ventilasi yang ada seperti ventilasi alami (diatas pintu, jendela, dan
pintu) dan ventilasi mekanik (AC, Exhaust Fan)
Adapun cara pengukurannya yaitu :
1. Siapkan Roll Meter dan lembar observasi yang akan digunakan
2. Ukur luas ruangan dan luas ventilasi dengan Roll Meter
3. Mencatat hasil pengukuran pada lembar observasi
4. Jumlah orang per meter persegi luas lantai menghasilkan kepadatan hunian

Universitas Sriwijaya
29

5. Besarnya ventilasi di dalam rumah ditentukan dengan membandingkan luas


lantai dengan 10% luas ventilasi. Apabila jumlah luas ventilasi udara melebihi
10% luas lantai maka ventilasi tersebut memenuhi syarat. Luas ventilasi
diukur dari seluruh lubang penghawaan yang digunakan di dinding rumah
responden.
B. Pengukuran Pencahayaan Alami
Alat yang digunakan merupakan Lux Meter, dengan tempat pengukuran
dilakukan diruangan tempat balita sering berada dengan meletakkan Lux Meter
ditengah-tengah ruangan dan diletakkan pada tempat yang datar (meja atau kursi)
dengan ketinggian sekitar 1 meter dari atas lantai, antara pukul 10.00 sampai jam
14.00 waktu setempat.
Berikut cara pengukuran pencahayaan alami menggunakan Lux Meter :
1. Nyalakan alat dengan menggeserkan tombol “Off/On” kearah On
2. Pilihlah range yang akan diukur, apakah 2.000 lux, 20.000 lux, atau 50.000 lux
pada tombol range
3. Arahkan sensor cahaya yang terdapat pada Lux Meter dengan menggunakan
tangan pada area lokasi yang akan diukur kuat pencahayaannya
4. Untuk melihat hasil pengukuran, dapat dilihat pada layar panel.
3.4 Pengolahan Data
Setelah data primer didapatkan, langkah selanjutnya adalah mrngolah data
dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang akurat. Pengolahan data dilakukan
dengan tahap berikut :
A. Editing
Data yang ada dalam kuesioner perlu diedit dengan tujuan untuk melihat
lengkap tidaknya pengisian kuesioner, melihat logis tidaknya jawaban, dan
melihat konsistensi antar pertanyaan.
B. Coding
Coding (pengkodean) data adalah pemberian kode-kode tertentu pada tiap-
tiap data termasuk memberikan kategori untuk jenis data yang sama. Kode
adalah simbol tertertu dalam bentuk huruf atau angka untuk memberikan
identitas data. Kode yang diberikan dapat memiliki makna sebagai data
kuantitatif (berbentuk skor). Kuantikasi atau transformasi data menjadi data

Universitas Sriwijaya
30

kuantitatif dapat dilakukan dengan memberikan skor terhadap setiap jenis


data dengan mengikuti kaidah-kaidah dalam skala pengukuran.
C. Entry Data dan Processing
Data pra-kode (huruf atau angka) dimuat ke dalam program komputer dan
dianalisis menggunakan perangkat lunak pengolah data untuk
mengidentifikasi distribusi frekuensi setiap variabel.
D. Cleaning
Pengecekan ulang semua data yang telah diinputkan ke dalam software
komputer merupakan langkah terakhir sebelum melakukan pembersihan
agar tidak terjadi kesalahan entry data.
3.5 Validitas Data
Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau
instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut
menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran
tersebut tepat fakta atau keadaan sesungguhnya dari apa yang diukur.
3.6 Analisis dan Penyajian Data
Analisa data merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai tujuan,
yang mana tujuan pokok dari penelitian ini adalah menjawab pertanyaan-
pertanyaan penelitian dalam mengungkapkan fenomena (Notoatmodjo, 2018).
3.6.1 Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan
presentasi dari masing-masing variabel, yaitu variabel dependen kejadian ISPA
pada balita dan variabel independen berupa perilaku orang tua, kebiasaan merokok
anggota keluarga, kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding,
jenis lantai.
3.6.2 Analisis Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel
independen yaitu penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan perokok dalam
rumah, kepadatan hunian, pencahayaan alami, ventilasi, jenis dinding, jenis lantai
dengan variabel dependen kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan ketentuan

Universitas Sriwijaya
31

secara statistik, penelitian ini melakukan uji hipotesis dengan nilai derajat
kemaknaan sebesar 0,05 dengan nilai confidence interval sebesar 80%. Karena
datanya kategorik, analisis uji Chi-Square digunakan. Hubungan antara nilai
berdasarkan nilai P yang dihasilkan, yaitu :
a. Hal ini dimungkinkan untuk menyimpulkan bahwa variabel independen dan
dependen memiliki hubungan yang signifikan ketika nilai p untuk analisis
bivariat adalah ≤ 0,05.
b. Bila nilai p > 0,05 menunjukkan bahwa hasil analisis bivariat tidak
berhubungan antara variabel independen dan variabel dependen.
2.6.3 Analisis Multivariat
Analisis multivariat merupakan pengembangan dari analisis univariat dan
bivariat yang bertujuan untuk menemukan variabel independen yang paling
berpengaruh terhadap variabel dependen dengan menggunakan uji regresi
logistik. Dengan mempertimbangkan bahwa variabel dependen dan variabel
independen berjenis data kategorik.
3.6.4 Penyajian Data
Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel (univariat, bivariat, dan
multivariat) yang disertai dengan interpretasi data atau narasi.

Universitas Sriwijaya
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum UPTD Puskesmas Kecamatan Talawi


UPTD Puskesmas Talawi merupakan salah satu puskesmas yang ada di
Kota Sawahlunto dan terletak di Kecamatan Talawi. Letak geografis Kecamatan
Talawi yaitu 100,2°BT dan 0,460LS dengan luas daerah sebesar 99,39 km2 atau
sekitar 36,35% dari luas wilayah Kota Sawahlunto. UPTD Puskesmas Talawi
mencakup 11 desa yaitu Talawi Hilie, Talawi Mudik, Bukit Gadang, Batu Tanjung,
Kumbayau, Tumpuk Tangah, Datar Mansiang, Sijantang Koto, Salak, Sikalang, dan
Rantih. Adapun batas daerah UPTD Puskesmas Talawi di Kecamatan Talawi
sebagai Berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Padang Ganting, Kabupaten Tanah Datar
Sebelah Selatan : Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto
Sebelah Barat : Kecamatan Barangin, Kota Sawahlunto
Sebelah Timur : Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung
Sebagian besar desa dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat dan roda
dua. Jarak Puskesmas Talawi dengan pusat kota +18 Km / +½ jam dengan
kendaraan. Dari 11 (sebelas) desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Talawi,
hanya 3 (tiga) desa yang belum memiliki fasilitas kesehatan (pustu/poskesdes)
yaitu Desa Sijantang Koto, Desa Talawi Hilie, dan Desa Talawi karena letak 3 desa
tersebut strategis, dekat dengan Puskesmas induk, dan untuk akses pelayanan
kesehatan tidak bermasalah.

Gambar 4. 1 UPTD Puskesmas Talawi

Universitas Sriwijaya

32
33

Berdasarkan survei awal yang dilakukan, keadaan hunian dan kondisi fisik
rumah masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Talawi rata-rata belum memenuhi
persyaratan rumah sehat. Kepadatan hunian masih cukup banyak ditemukan di
beberapa Desa, hal ini dikarenakan rumah antar masyarakat dibangun berdekatan
sehingga tidak memungkinkan untuk memperluas bangunan. Pendidikan orang tua
yang cukup rendah masih ditemukan di Kecamatan Talawi, yang mana pendidikan
perguruan tinggi kebanyakan dimiliki penduduk pendatang. Walau memiliki
pendidikan yang tinggi, masih banyak keberadaan keluarga atau tamu yang
merokok di dalam rumah dan menjadikannya kebiasaan bahkan sedari masa remaja.
Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya kejadian ISPA pada balita di
wilayah Puskesmas Kecamatan Talawi Sumatera Barat.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Univariat
A. Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Pusksmas Talawi
Sumatera Barat
Kejadian ISPA pada balita diperoleh berdasarkan hasil wawancara dari 130
responden yang memiliki balita usia 0-59 bulan dengan hasil analisis ditampilkan
pada Tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA pada Balita n (%)
ISPA 58 44.6
Tidak ISPA 72 55.4
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, terdapat perbedaan proporsi
sebesar 10,8% untuk kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi
Sumatera Barat dengan kategori ISPA dan Tidak ISPA.
B. Distribusi Frekuensi Variabel Pengamatan
1. Penggunaan Obat Nyamuk Bakar di Wilayah Kerja Pusksmas Talawi
Sumatera Barat
Data distribusi frekuensi penggunaan obat nyamuk bakar diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dari 130 responden yang memiliki balita usia 0-59
bulan dengan hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4.2.

Universitas Sriwijaya
34

Tabel 4. 2 Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar


Penggunaan Obat Nyamuk Bakar n (%)
Ada 42 32.3
Tidak Ada 88 67.7
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
penggunaan obat nyamuk bakar di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
sebesar 35,4% dengan kategori Ada dan Tidak Ada.
2. Keberadaan Perokok dalam Rumah di Wilayah Kerja Pusksmas
Talawi Sumatera Barat
Data distribusi frekuensi keberadaan perokok dalam rumah diperoleh
berdasarkan hasil wawancara dari 130 responden yang memiliki balita usia 0-59
bulan dengan hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4. 3 Distribusi Frekuensi Keberadaan Perokok dalam Rumah
Keberadaan Perokok dalam Rumah n (%)
Ada 76 58.5
Tidak Ada 54 41.5
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
keberadaan perokok dalam rumah di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat sebesar 17% dengan kategori Ada dan Tidak Ada.
3. Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat
Data distribusi frekuensi kepadatan hunian diperoleh berdasarkan hasil
pengamatan dan wawancara dari 130 responden yang memiliki balita usia 0-59
bulan dengan hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian
Kepadatan Hunian n (%)
Tidak Memenuhi Syarat 69 53.1
Memenuhi Syarat 61 46.9
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
kepadatan hunian di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat sebesar 6,2%
dengan kategori Tidak Memenuhi Syarat dan Memenuhi Syarat.

Universitas Sriwijaya
35

4. Pencahayaan Alami di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera


Barat
Hasil analisis mengenai pencahayaan alami di wilayah kerja Puskesmas
Talawi Sumatera Barat yang didapatkan melalui pengukuran di ruangan yang sering
balita tempati menggunakan lux meter dengan hasil pengukuran dan analisis
ditampilkan pada Tabel 4.5.
Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Pencahayaan Alami
Pencahayaan Alami n (%)
Tidak Memenuhi Syarat 74 56.9
Memenuhi Syarat 56 43.1
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
pencahayaan alami di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat sebesar
13,8% dengan kategori Tidak Memenuhi Syarat dan Memenuhi Syarat.
5. Ventilasi di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
Hasil analisis mengenai ventilasi di wilayah kerja Puskesmas Talawi
Sumatera Barat didapatkan melalui pengukuran menggunakan roll meter dengan
hasil pengukuran dan analisis ditampilkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4. 6 Distribusi Frekuensi Ventilasi
Ventilasi n (%)
Tidak Memenuhi Syarat 32 24.6
Memenuhi Syarat 98 75.4
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
ventilasi di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat sebesar 50,8% dengan
kategori Tidak Memenuhi Syarat dan Memenuhi Syarat.
6. Jenis Dinding di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
Data distribusi frekuensi jenis dinding diperoleh berdasarkan hasil
pengamatan terhadap 130 responden yang memiliki balita usia 0-59 bulan dengan
hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4. 7 Distribusi Frekuensi Jenis Dinding
Jenis Dinding n (%)
Tidak Memenuhi Syarat 18 13.8
Memenuhi Syarat 112 86.2
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024

Universitas Sriwijaya
36

Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi


jenis dinding sebesar 72,4% di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
dengan kategori Tidak Memenuhi Syarat dan Memenuhi Syarat.
7. Jenis Lantai di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
Data distribusi frekuensi jenis lantai diperoleh berdasarkan hasil
pengamatan terhadap 130 responden yang memiliki balita usia 0-59 bulan dengan
hasil analisis ditampilkan pada Tabel 4.8.
Tabel 4. 8 Distribusi Frekuensi Jenis Lantai
Jenis Lantai n (%)
Tidak Memenuhi Syarat 5 3.8
Memenuhi Syarat 125 96.2
Total 130 100.0
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel, diketahui perbedaan proporsi
jenis lantai sebesar 92,4% di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat
dengan kategori Tidak Memenuhi Syarat dan Memenuhi Syarat.
4.2.2 Analisis Bivariat
A. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA pada
Balita
Hasil analisis mengenai hubungan penggunaan obat nyamuk bakar dengan
kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat
dilihat pada Tabel 4.9 berikut :
Tabel 4. 9 Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Kejadian ISPA
Penggunaan
Tidak Total P- PR
Obat Nyamuk ISPA
ISPA Value (CI 95%)
Bakar
n % n % n %
Ada 23 54.8 19 45.2 42 100.0 1.377
Tidak Ada 35 39.8 53 60.2 88 100.0 0.156 (0.945 –
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0 2.006)
Sumber : Data primer, 2024

Melalui tabel 4.9 diatas, diketahui sebanyak 54,8% balita terkena ISPA
bertempat tinggal di rumah yang menggunakan obat nyamuk bakar, lebih sedikit
dari balita yang bertempat tinggal di rumah tanpa menggunakan obat nyamuk bakar.
Hasil uji chi-square menunjukkan p-value = 0,156 (p>0,05) dan PR = 1,377
(CI=95%; 0,945-2,006), sehingga tidak ada hubungan yang bermakna antara

Universitas Sriwijaya
37

penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
B. Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan keberadaan perokok dalam rumah
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera
Barat dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut :
Tabel 4. 10 Hubungan Keberadaan Perokok Dalam Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Balita
Kejadian ISPA
Keberadaan
Tidak Total P- PR
Perokok Dalam ISPA
ISPA Value (CI 95%)
Rumah
n % n % n %
Ada 45 59.2 31 40.8 76 100.0 2.460
Tidak Ada 13 24.1 41 75.9 54 100.0 0.000 (1.478 –
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0 4.092)
Sumber : Data primer, 2024

Melalui tabel 4.10 diatas, balita yang terkena ISPA dengan terdapat
keberadaan perokok di dalam rumah sebanyak 59,2% balita, lebih banyak dari
balita yang tinggal tanpa terdapat keberadaan perokok di dalam rumah. Hasil uji
chi-square menunjukkan p-value = 0,000 (p<0,05) sehingga ada hubungan yang
bermakna antara keberadaan perokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat. Nilai PR = 2,460
(CI=95%; 1,478-4,092) memiliki arti bahwa balita yang tinggal dengan perokok
memiliki hubungan 2,460 kali lebih besar untuk mengalami ISPA dibandingkan
dengan balita yang tidak tinggal dengan perokok.
C. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat dilihat pada
Tabel 4.11 berikut :

Universitas Sriwijaya
38

Tabel 4. 11 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA


pada Balita
Kejadian ISPA
Tidak Total P- PR
Kepadatan ISPA
ISPA Value (CI 95%)
Hunian
n % n % n %
Tidak Memenuhi
44 63.8 25 36.2 69 100.0 2.778
Syarat
Memenuhi Syarat 14 23.0 47 77.0 61 100.0 0.000 (1.697 –
4.549)
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0
Sumber : Data primer, 2024
Melalui tabel 4.11 diatas, sebesar 63,8% balita terkena ISPA dengan
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat, lebih banyak dari balita dengan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Hasil uji chi-square menunjukkan p-
value = 0,000 (p<0,05) sehingga ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi
Sumatera Barat. Nilai PR = 2,778 (CI=95%; 1,697-4,549) memiliki arti bahwa
balita dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki peluang
2,778 kali lebih besar mengalami kejadian ISPA dibandingkan balita dengan
kepadatan hunian yang memenuhi syarat.
D. Hubungan Pencahayaan Alami dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan pencahayaan alami dengan kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat dilihat
pada Tabel 4.12 berikut:
Tabel 4. 12 Hubungan Pencahayaan Alami dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Kejadian ISPA
Pencahayaan Tidak Total P- PR
ISPA
Alami ISPA Value (CI 95%)
n % n % n %
Tidak Memenuhi 36 48.6 38 51.4 74 100.0
Syarat 1.238
Memenuhi Syarat 22 39.3 34 60.7 56 100.0 0.376 (0.829 –
1.849)
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0
Sumber : Data primer, 2024

Melalui tabel 4.12 diatas, sebanyak 48,6% balita terkena ISPA dengan
pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat, lebih banyak dari balita dengan
pencahayaan alami yang memenuhi syarat. Hasil uji chi-square menunjukkan p-

Universitas Sriwijaya
39

value = 0,376 (p>0,05) dan PR = 1,238 (CI=95%; 0,829-1.849), sehingga tidak ada
hubungan yang bermakna antara pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
E. Hubungan Ventilasi dengan dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel
4.13 berikut :
Tabel 4. 13 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA
Tidak Total P- PR
Ventilasi
ISPA ISPA Value (CI 95%)
n % n % n %
Tidak Memenuhi 19 59.4 13 40.6 32 100.0
Syarat 1.492
Memenuhi Syarat 39 39.8 59 60.2 98 100.0 0.084 (1.024 –
2.173)
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0
Sumber : Data primer, 2024

Melalui tabel 4.13 diatas, diketahui sebanyak 59,4% balita terkena ISPA
dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat, lebih sedikit dari balita dengan
ventilasi yang memenuhi syarat. Hasil uji chi-square menunjukkan p-value = 0,084
(p>0,05) dan PR = 1,492 (CI=95%; 1,024-2,173), sehingga tidak ada hubungan
yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Talawi Sumatera Barat.
F. Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel
4.14 berikut :
Tabel 4. 14 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA
Tidak Total P- PR
Jenis Dinding ISPA
ISPA Value (CI 95%)
n % n % n %
Tidak Memenuhi 16 88.9 2 11.1 18 100.0
Syarat 2.370
Memenuhi Syarat 42 37.5 70 62.5 112 100.0 0.000 (1.774-
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0 3.166)
Sumber : Data primer, 2024

Universitas Sriwijaya
40

Melalui tabel 4.14 diatas, sebanyak 88,9% balita terkena ISPA dengan jenis
dinding yang tidak memenuhi syarat, lebih sedikit dari balita dengan jenis dinding
yang memenuhi syarat. Hasil uji chi-square menunjukkan p-value = 0,000 (p<0,05)
sehingga ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat. Nilai PR = 2,370
(CI=95%; 1,774-3,166) memiliki arti bahwa balita dengan jenis dinding yang tidak
memenuhi syarat memiliki peluang 1,492 kali saja mengalami kejadian ISPA
dibandingkan balita dengan jenis dinding yang memenuhi syarat.
G. Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita
Hasil analisis mengenai hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel
4.15 berikut :
Tabel 4. 15 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita
Kejadian ISPA
Tidak Total P- PR
Jenis Lantai ISPA ISPA Value (CI 95%)
n % n % n %
Tidak Memenuhi 4 80.0 1 20.0 5 100.0
Syarat 1.852
Memenuhi Syarat 54 43.2 71 56.8 125 100.0 0.172 (1.143-
Jumlah 58 44.6 72 55.4 130 100.0 2.999)
Sumber : Data primer, 2024

Melalui tabel 4.15 diatas, sebanyak 80,0% balita terkena ISPA dengan jenis
lantai yang tidak memenuhi syarat, lebih sedikit dari balita dengan jenis lantai yang
memenuhi syarat. Hasil uji chi-square menunjukkan p-value = 0,172 (p>0,05) dan
PR = 1,852 (CI=95%; 1,143-2,999) sehingga tidak ada hubungan yang bermakna
antara jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Talawi Sumatera Barat.
4.2.3 Analisis Multivariat
A. Seleksi Bivariat
Seleksi awal multivariat atau seleksi bivariat dilakukan untuk mengetahui
variabel independen yang memenuhi syarat sebagai peserta model multivariat.
Variabel independen dikatakan memenuhi syarat jika hasil seleksi bivariat bernilai
p-value <0,25. Hasil dari seleksi bivariat variabel independen pada penelitian ini
dapat dilihat pada tabel berikut :

Universitas Sriwijaya
41

Tabel 4. 16 Hasil Seleksi Bivariat


Variabel Independen Nilai p-value Keterangan
Penggunaan Obat Nyamuk Bakar 0,108 Masuk pemodelan
Keberadaan Perokok dalam Rumah 0,000 Masuk pemodelan
Kepadatan Hunian 0,000 Masuk pemodelan
Pencahayaan Alami 0,287 Tidak masuk pemodelan
Ventilasi 0,053 Masuk pemodelan
Jenis Dinding 0,000 Masuk pemodelan
Jenis Lantai 0,098 Masuk pemodelan
Sumber : Data Primer, 2024
Dari hasil seleksi bivariat pada tabel 4.16, variabel yang masuk ke dalam
pemmodelan multivariat yaitu penggunaan obat nyamuk bakar, keberadaan
perokok dalam rumah, kepadatan hunian, ventilasi, jenis dinding, dan jenis lantai
dengan nilai p-value <0,25. Terdapat satu variabel yang tidak menjadi bagian dari
peserta pemodelan multivariat, yaitu variabel pencahayaan alami dimana p-value
>0,25.
B. Pemodelan Analisis Multivariat
Analisis pemodelan multivariat dilakukan setelah proses seleksi bivariat
dilakukan. Pada pemodelan analisis multivariat, p-value <0,05 akan menjadi
peserta pemodelan analisis multivariat sedangkan variabel dengan nilai p-value
>0,05 akan dikeluarkan secara bertahap. Pada pemodelan analisis multivariat
dilakukan menggunakan uji regresi logistik berganda yang dapat dilihat pada Tabel
4.17.
Tabel 4. 17 Model 1 dari Analisis Multivariat
Variabel Exp (B) 95% CI
p-value
PRcrude (Lower-Upper)
Penggunaan Obat Nyamuk Bakar 0,008 4,228 1,452 – 12,316
Keberadaan Perokok dalam Rumah 0,000 10,017 3,217 – 31,197
Kepadatan Hunian 0,001 4,667 1,830 – 11,901
Ventilasi 0,546 1,405 0,465 – 4,242
Jenis Dinding 0,022 12,041 1,421 – 102,047
Jenis Lantai 0,490 0,312 0,011 – 8,524
Sumber : Data Primer, 2024
Berdasarkan tabel 4.17, diketahui bahwa variabel ventilasi, jenis dinding,
dan jenis lantai memiliki p-value >0,05 yang mana akan dilakukan proses
pengeluaran variabel secara bertahap dimulai dari p-value yang paling tinggi untuk
dilaksanakannya analisis multivariat uji regresi logistik berganda. Pada tabel 4.17,
variabel dengan p-value >0,05 yang paling tinggi dari ketiga variabel adalah

Universitas Sriwijaya
42

ventilasi, sehingga variabel ventilasi dikeluarkan dari pemodelan multivariate dan


didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 4. 18 Model 2 dari Analisis Multivariat
Exp (B) 95% CI
p- Perubahan
Variabel (Lower-
value PRcrude PRadjusted PR %
Upper)
Penggunaan Obat 1,459 –
0,008 4,228 4,256 0,66
Nyamuk Bakar 12,410
Keberadaan
3,128 –
Perokok 0,000 10,017 9,644 3,72
29,737
dalam Rumah
1,969 –
Kepadatan Hunian 0,001 4,667 4,943 5,91
12,409
1,469 –
Jenis Dinding 0,021 12,041 12,349 2,55
103,821
Jenis Lantai 0,555 0,312 0,376 20,5 0,015 – 9,672
Sumber : Data primer, 2024
Berdasarkan tabel 4.18, terdapat perubahan PR >10% sehingga variabel
ventilasi dimasukkan kembali dan variabel jenis lantai dikeluarkan karena memiliki
nilai p-value >0,05 tertinggi. Hasil pemodelan setelah variabel ventilasi
dimasukkan dan variabel jenis lantai dikeluarkan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. 19 Model 3 dari Analisis Multivariat
Exp (B) 95% CI
p- Perubahan
Variabel (Lower-
value PRcrude PRadjusted PR %
Upper)
Penggunaan Obat 1,479 –
0,008 4,228 4,343 0,66
Nyamuk Bakar 12,757
Keberadaan
3,314 –
Perokok 0,000 10,017 10.386 3,72
32,545
dalam Rumah
1,816 –
Kepadatan Hunian 0,001 4,667 4,624 5,91
11,770
0,445 –
Ventilasi 0,624 1,405 1,311 6,69
3,861
1,613 –
Jenis Dinding 0,011 12,041 8,272 2,55
42,405
Sumber : Data primer, 2024
Berdasarkan tabel 4.19, setelah variabel jenis lantai dikeluarkan dan
variabel ventilasi dimasukkan kembali ke dalam pemodelan, tidak terdapat nilai PR
>10% sehingga variabel jenis dinding tidak dimasukkan kembali ke pemodelan
selanjutnya. Karena tidak ada lagi variabel yang dikeluarkan atau dimasukkan ke
dalam pemodelan multivariat maka didapatkanlah hasil akhir dari analisis
multivariat.

Universitas Sriwijaya
43

C. Pemodelan Akhir Analisis Multivariat


Setelah tidak ada lagi nilai perubahan PR >10% pada uji seleksi multivariat
menggunakan analisis regresi logistik berganda model prediksi, maka didapatkan
hasil akhir dari analisis multivariat yang dapat dilihat pada tabel 4.20.
Tabel 4. 20 Model Akhir dari Analisis Multivariat
Exp (B) 95% CI
Variabel P-value
PRadjusted (Lower-Upper)
Penggunaan Obat Nyamuk Bakar 0,008 4,343 1,483 – 12,777
Keberadaan Perokok dalam Rumah 0,000 10,386 3,246 – 31,063
Kepadatan Hunian 0,001 4,624 1,944 – 12,149
Ventilasi 0,624 1,311 0,445 – 3,861
Jenis Dinding 0,011 8,272 1,749 – 44,511
Sumber : Data primer, 2024
Berdasarkan tabel 4.20, didapatkan hasil akhir analisis multivariat dari
variabel yang lolos seleksi pemodelan dimana variabel keberadaan perokok dalam
rumah merupakan variabel dominan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dengan p-value 0,000
(<0,05) dan nilai PR tertinggi yaitu 10,386 (3,246 – 31,063), sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa responden yang terdapat keberadaan perokok di dalam
rumahnya akan memiliki risiko 10,386 kali lebih besar untuk mengalami kejadian
ISPA pada balita dibandingkan responden yang tidak terdapat keberadaan perokok
di dalam rumahnya.

Universitas Sriwijaya
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan yang dialami selama penelitian yaitu pengukuran pencahayaan
alami suatu ruangan dilakukan pada waktu yang berbeda untuk masing-masing
rumah responden sehingga didapatkan hasil yang berbeda.
5.2 Pembahasan
5.2.1 Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi
Sumatera Barat
Hasil penelitian mengenai kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Talawi Sumatera Barat dengan prevalensi balita yang terkena ISPA
sebanyak 44,6% dan 55,4% untuk balita yang tidak terkena ISPA. Penetapan balita
terkena ISPA didasari dari gejala yang balita alami seperti batuk, flu, sesak napas,
dan sakit tenggorokan dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Berdasarkan hasil
wawancara kepada responden, balita yang terkena ISPA umumnya mengalami
gejala batuk, flu, dan demam dalam waktu yang bersamaan dengan waktu gejala
dialami selama 2 hingga 16 hari, namun untuk balita dengan gejala sesak napas dan
sakit tenggorokan tidak banyak ditemukan pada responden.
Penelitian Atmawati, Jumakil, et al (2022) menyatakan bahwa sebagian
besar gejala balita di Wilayah kerja Puskemas Motaha yang terkena ISPA adalah
batuk, pilek dan demam tinggi yang terjadi selama 14 hari. Pada penelitian Jayanti,
Ashar, et al (2017) diketahui insiden kejadian ISPA terbilang tinggi di wilayah kerja
Puskesmas Tanjung Haloban dimana pasien menimbulkan gejala seperti batuk, flu
dan demam (Jayanti, Ashar et al. 2018). Kasus ISPA di Desa Besuk dapat terjadi
akibat adanya keberadaan debu di rumah akibat frekuensi menyapu rumah tidak
baik, keberadaan debu di rumah yang menumpuk dapat menyebabkan batuk, pilek,
sesak napas, dan sakit tenggorokan (Putri 2017).
ISPA merupakan penyakit golongan Air Borne Disease yang menginfeksi
saluran pernapasan atas maupun bawah dengan penularan penyakitnya melalui
udara. ISPA disebabkan oleh tiga faktor diantaranya, Faktor Host (Manusia), Faktor
Agent (Penyebab Penyakit), dan Faktor Environment (Lingkungan) diantaranya

Universitas Sriwijaya

44
45

kondisi fisik rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan alami, jenis dinding,
jenis lantai), penggunaan obat nyamuk bakar, juga keberadaan perokok di dalam
rumah (Lubis and Ferusgel 2019). (Fajrianti, Widiarini et al. 2022)
Berdasarkan hasil observasi, faktor-faktor seperti penggunaan obat nyamuk
bakar di rumah untuk membunuh nyamuk, keberadaan perokok di dalam rumah,
tidak sesuainya luas rumah dengan jumlah penghuni pada suatu rumah, ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat, pencahayaan alami yang rendah, penggunaan
jenis dinding dan jenis lantai yang tidak permanen merupakan pemicu pencemaran
udara dalam ruang yang dapat menyebabkan ISPA pada balita.
5.2.2 Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA
pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian dengan uji chi-square yang sebelumnya
diperoleh dari wawancara kepada responden di wilayah kerja Puskesmas Talawi,
tidak terdapat hubungan antara variabel pengggunaan obat nyamuk bakar dengan
kejadian ISPA pada balita yang mana didapatkan P-value = 0,156 (p>0,05) dan PR
(95% CI) = 1,377 (0,945-2,006) dalam artian responden yang menggunakaan obat
nyamuk bakar memiliki 1,377 peluang terjadi ISPA pada balita daripada responden
yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar dirumah. Berdasarkan hasil penelitian,
responden yang menggunakan obat nyamuk bakar (32,3%) lebih sedikit daripada
responden yang tidak menggunakan obat nyamuk bakar (67,7%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati dan Sriwaty (2018) di
wilayah kerja Puskesmas Beber dengan hasil tidak terdapat hubungan antara
penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita yang diketahui
dari P-value = 0,184 (p>0,05). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Fajrianti, Widiarini, et al (2022) dengan hasil tidak terdapat hubungan antara
variabel penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA di Desa Rejuno
dengan P-value = 0,291 (p>0,05) dan PR (95% CI) = 0,571 (0,201-1,624).
Penelitian ini berbeda dengan penelitian Sofia (2017) dengan hasil terdapat
hubungan penggunaan obat nyamuk bakar dengan kejadian ISPA pada balita di
Kabupaten Aceh Besar yang ditunjukkan dengan P-value = 0,003 (p<0,05) dan PR
(95% CI) = 1,300 (1,100-1,700). Perbedaan hasil tersebut diduga karena responden
yang diamati oleh Sofia di wilayah pengamatan masih umum menggunakan obat
nyamuk bakar di rumah untuk mengusir dan membunuh nyamuk.
Universitas Sriwijaya
46

Salah satu faktor risiko penyakit ISPA adalah masih terdapat penggunaan
obat nyamuk bakar untuk membunuh nyamuk di rumah. Kandungan zat dalam asap
obat nyamuk sangat membahayakan kesehatan dan menyebabkan iritasi saluran
pernapasan hingga kerusakan paru-paru. Salah satu kandungan yang ada di obat
nyamuk adalah DDVP (dichlorovynil dimetyl phosfat), dimana kandungan ini dapat
menyebabkan kerusakan syaraf, hingga kanker jika paparan yang terjadi dalam
waktu yang lama. Dampak lainnya dari zat kimia yang ada adalah kerusakan hati
dan reproduksi karena terjadinya penurunan aktivitas enzim didalam tubuh (Sofia
2017).
Pergantian bentuk dan kegunaan saluran napas hingga jaringan paru-paru
akibat dari paparan asap obat nyamuk bakar dikarenakan sel mukosa membesar
(hypertrophy) dan kelenjar mukus pada saluran pernapasan bertambah banyak
(hyperplasia) sehingga memicu terjadinya penyempitan. Faktor lingkungan juga
dapat memicu terjadinya ISPA, contohnya seperti kondisi ventilasi dan
pencahayaan alami yang tidakk memenuhi persyaratan rumah sehat. Kondisi ini
menyebabkan tidak adanya pertukaran udara segar dalam luar ruangan atau zat
kimia dari asap yang ada didalam rumah tidak dapat keluar sehingga orang-orang
akan menghirup zat tersebut dalam jumlah yang banyak (Tabalawony and Akollo
2023).
Berdasarkan hasil observasi, masyarakat umumnya tidak lagi menggunakan
obat nyamuk bakar tetapi menggunakan obat nyamuk semprot atau kelambu.
Masyarakat yang masih menggunakan obat nyamuk bakar mengatakan bahwa
penggunaan obat nyamuk bakar sudah menjadi kebiasaan lama untuk mengusir
nyamuk dan menggunakannya di kamar tidur pada waktu malam hari sebelum tidur.
Selain menggunakan kelambu, cara lain seperti penggunaan obat nyamuk semprot
dengan baik dan benar yaitu dengan menyemprotnya 3 jam sebelum ruangan
ditempati dan ketika tidak ada orang di dalam ruangan, menjaga kebersihan rumah,
memasang kasa nyamuk pada pintu dan jendela, atau menggunakan raket listrik
dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk. (Herawati and Sriwaty 2018)
5.2.3 Hubungan Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari wawancara kepada responden di
Universitas Sriwijaya
47

wilayah kerja Puskesmas Talawi diketahui terdapat hubungan yang bermakna


antara variabel keberadaan perokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita
dengan P-value = 0,000 (p<0,05) dan PR (95% CI) = 2,460 (1,478-4,092) dalam
artian responden yang terdapat keberadaan perokok di dalam rumah memiliki 2,460
peluang terjadinya ISPA pada balita daripada responden yang tidak terdapat
keberadaan perokok di dalam rumah. Berdasarkan hasil analisis, responden yang
terdapat keberadaan perokok di dalam rumah (58,5%) lebih banyak daripada
responden yang tidak terdapat keberadaan perokok di dalam rumah (41,5%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lubis dan Ferusgel (2019) di
Desa Silo Bonto, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan. Terdapat hubungan
yang signifikan antara keberadaan perokok terhadap kejadian ISPA pada balita
dengan P-value = 0,000 (p<0,05) dan PR (95% CI) = 27,200 (3,237-228,549).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Siska (2019) yang terbukti secara
statistik terdapat hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Bukit Sangkal Palembang Tahun 2019
yang ditunjukkan pada P-value = 0,007 (p<0,05) dan PR = 17,143. Penelitian ini
berbeda dengan penelitian Irianto, Lestari, dan et al (2021) dengan hasil tidak
terdapat hubungan antara variabel keberadaan perokok dalam rumah dengan
kejadian ISPA pada balita di UPT Puskesmas Talangpadang yang ditunjukkan
dengan P-value = 0,240 (p>0,05). Perbedaan tersebut dikarenakan anggota keluarga
yang merokok memiliki kebiasaan menjauhkan balita ketika sedang merokok.
Menurut Wong (2008) dalam penelitian Insani dan Permana (2020) bahwa
kebiasaan merokok di dalam rumah memberikan dampak buruk bagi kesehatan
karena dapat memperbesar ririko untuk terkena berbagai penyakit termasuk ISPA
pada balita sebagai kelompok rentan. Rokok juga disebut sebagai pabrik kimia
karena di dalamnya terdapat berbagai jenis bahan berbahaya seperti nikotin, tar, dan
karbon monoksida (CO) sebagai senyawa beracun utama yang terdapat pada asap
rokok (Insani and Permana 2020). Karbon monoksida merupakan gas racun dengan
ciri-ciri tidak memiliki warna dan tidak memiliki bau penyebab menurunnya
pengangkutan dan penggunaan oksigen pada tubuh (Batubara, Wantouw et al.
2013).

Universitas Sriwijaya
48

Salah satu kandungan asap rokok yaitu tar dimana zat ini dapat
menyebabkan kanker, penyakit jantung, bronkitis, gangguan kehamilan, dan
mandul. Selain itu, dapat terjadinya penurunan kadar hormone tesrosterone yang
berasal dari zat nikotin yang masuk ke dalam sistem pembuluh darah melalui paru-
paru dan di sirkulasikan ke otak penderita. Residu dari kandungan-kandungan asap
rokok dapat menempel pada kulit, sofa, dan tempat lainnya di dalam rumah yang
dapat terpapar oleh penghuni rumah seperti balita dan mengganggu sistem
pertahanan respirasi balita tersebut (Batubara, Wantouw et al. 2013).
Berdasarkan hasil observasi, anggota keluarga perokok aktif di dalam
maupun di luar rumah merupakan ayah dari sang balita atau keluarga laki-laki
balita. Merokok dilakukan ketika menjaga balita yang sedang bermain atau ketika
balita dititipkan saat ibu sedang memasak di dapur dimana asap rokok terhirup
langsung oleh balita sehingga dapat mempengaruhi kesehatan balita kedepannya.
Perokok juga mengatakan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan lama yang
susah untuk dihentikan meskipun perokok mengetahui dampak buruk merokok bagi
kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran para orang tua
terutama anggota keluarga yang merokok akan bahaya yang ditimbulkan akibat
merokok dan terpapar asap rokok terhadap diri sang perokok, keluarga, dan balita.
Masyarakat hendaknya mengurangi kebiasaan merokok dan mandi atau mengganti
baju ketika ingin bermain dengan balita.
5.2.4 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari wawancara juga observasi kepada responden di wilayah kerja
Puskesmas Talawi, diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara variabel
kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita yang ditunjukkan oleh P-value
= 0,000 (p<0,05) dan PR (95% CI) = 2,778 (1,697-4,549) dalam artian responden
dengan kondisi kepadatan hunian tidak memenuhi syarat memiliki 2,778 peluang
mengalami kejadian ISPA pada balita daripada responden dengan kondisi
kepadatan hunian memenuhi syarat. Berdasarkan hasil penelitian, lebih banyak
responden dengan kondisi kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (53,1%)
dibandingkan responden dengan kondisi kepadatan hunian memenuhi syarat
(46,9%).
Universitas Sriwijaya
49

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lubis dan Ferusgel (2019) di Desa
Silo Bonto, Kecamatan Silau Laut, Kabupaten Asahan dengan hasil terdapat
hubungan yang signifikan antara variabel kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita dengan P-value = 0,002 (p<0,05) dan PR (95% CI) = 7,030 (2,188-
22,585). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Pasaribu, Santosa, dan
Nurmaini (2020) dengan hasil terdapat hubungan antara variabel kepadatan hunian
dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga dengan P-value =
0,011 (p<0,05) dan PR = 1,243. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Hafiyya
(2018) dengan hasil tidak terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Lebak Bulus yang ditunjukkan pada P-
value = 0,928 (P>0,05) dan PR (95% CI) = 1,051 (90,362-3,051). Perbedaan hasil
tersebut dikarenakan responden dalam penelitian Hafiyya sudah mempunyai rumah
sendiri atau rumah sewa yang luas rumahnya sesuai dengan penghuninya yang tidak
begitu banyak (overcrowded).
Menurut PERMENKES RI Nomor 2 Tahun 2023 tentang kepadatan hunian
suatu rumah menetapkan bahwa kebutuhan ruang perorang dihitung berdasarkan
kegiatan orang tersebut seperti tidur, makan, kerja, mandi, cuci, masak serta
kegiatan lainnya yaitu 9m2 dengan ketinggian rata-rata untuk langit-langit sebesar
2,80m. Kebutuhan luas bangunan dan lahan dengan cakupan kepala keluarga (KK)
dengan 3 jiwa yaitu 21,6 m2 sampai dengan 28,8m2, dan cakupan kepala keluarga
dengan 4 jiwa yaitu 28,8 m2 sampai dengan 36 m2 (Permenkes 2023).
Penyebaran ISPA dapat terjadi dengan cepat jika suatu rumah memiliki
kondisi kepadatan hunian tidak memenuhi syarat, karena akan mempengaruhi
inhlasi yang intensif. Kepadatan hunian yang tinggi juga dapat menyebabkan angka
kesakitan semakin meningkat terutama angka kesakitan di lingkungan rumah
(Lubis and Ferusgel 2019). Kelembaban dalam ruang dipengaruhi adanya tingkat
kepadatan hunian yang tinggi, karena uap air dari pernapasan seseorang diikuti
perningkatan CO2 ruangan. Sehingga seseorang akan kekurangan oksigen yang
berdampak pada kesehatannya dan lingkungan karena kualitas udara akan menurun
akibat kadar O2 yang sedikit sehingga dapat terjadinya pencemaran gas atau bakteri
yang memicu penyakit ISPA (Sofia 2017). (Hafiyya)

Universitas Sriwijaya
50

Berdasarkan hasil observasi, umumnya masyarakat di wilayah kerja


Puskesmas Talawi memiliki hunian dengan ukuran tergolong kecil yang bahkan
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, seperti pada beberapa rumah paling
banyak ditempati oleh 7 orang dimana terdapat beberapa kepala keluarga yang
tinggal di hunian tersebut. Umumnya responden menempati rumah tersebut tanpa
memperluas ukurannya karena keterbatasan biaya dan lahan. Kebanyakan
masyarakat talawi bertempat tinggal di rumah orang tua nya bahkan setelah
memiliki balita sekalipun, karena tidak adanya biaya untuk membeli rumah dan
juga karena merasa rumah tersebut masih cukup untuk mereka tempati.
5.2.5 Hubungan Pencahayaan Alami dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari pengukuran menggunakan lux meter di wilayah kerja Puskesmas
Talawi menunjukkan tidak terdapat hubungan antara variabel pencahayaan alami
dengan kejadian ISPA pada balita yang mana didapatkan P-value = 0,376 (p>0,05)
dan PR (95% CI) = 1,238 (0,829-1,849) dalam artian responden dengan
pencahayaan alami yang tidak memenuhi syarat memiliki 1,238 peluang untuk
balita terkena ISPA daripada responden dengan pencahayaan alami yang memenuhi
syarat. Berdasarkan hasil penelitian, responden dengan pencahayaan alami yang
tidak memenuhi syarat (56,9%) lebih banyak dibandingkan responden dengan
pencahayaan alami yang memenuhi syarat (43,1%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lubis dan Ferusgel (2019) dengan
hasil tidak terdapat hubungan antara variabel pencahayaan alami dengan kejadian
ISPA pada balita yang mana diketahui P-value = 0,919 (P>0,05) dan PR (95% CI)
= 0,767 (0,220-2,680). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Aristatia,
Samino, dan Yulyani (2021) di Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung dengan
hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel pencahayaan alami dengan
kejadian ISPA pada balita dimana P-value = 0,264 (P>0,05). Penelitian ini berbeda
dengan penelitian Rahmadanti dan Alnur (2023) dengan hasil terdapat hubungan
antara variabel pencahayaan alami dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Babelan 1 yang ditunjukkan dengan P-value = 0,006
(P<0,05) dan PR = 4,059. Perbedaan hasil tersebut dikarenakan daerah pemukiman
responden termasuk padat penduduk dengan jarak
Universitas Sriwijaya
51

antar rumah sangat sempit, ventilasi selalu tertutup, dan didukung dengan warna cat
dinding yang gelap sehingga cahaya alami yang masuk ke dalam ruangan sangat
minim.
Pencahayaan alami menjadi faktor penting dalam mencegah kelembaban
dalam ruang dan untuk membunuh mikroorganisme patogen penyebab ISPA. Nilai
ambang batas untuk pencahayan alami disesuaikan dengan kebutuhannya, dimana
untuk membaca dan melihat benda sekitar NAB nya minimal 60 lux (Permenkes
2023). Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan suhu dalam ruangan tinggi
dan apabila intensitas cahaya terlalu rendah dapat menyebabkan kelembaban dalam
ruangan tinggi yang mana dapat mempercepat perkembangbiakan mikroorganisme
patogen penyebab ISPA. Bakteri akan mengalami ionisasi karena adanya paparan
dari cahaya ultraviolet (UV) yang memilikipanjang gelombang 400 A (Putri 2021).
Berdasarkan hasil observasi dan pengukuran yang dilakukan di ruang tamu
dimana ruangan tersebut merupakan ruangan yang sering balita tempati, banyaknya
rumah masyarakat dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat dikarenakan
masyarakat jarang membuka jendela dan pintu, jarak antar rumah yang berdekatan,
dan tak sedikit juga masyarakat memasang gorden hingga menutupi ventilasi. Hal
tersebut menyebabkan cahaya alami seperti matahari tidak dapat masuk ke dalam
ruangan sehingga daya tahan tubuh balita menurun karena tidak terpapar vitamin D
di pagi hari dan patogen penyebab ISPA dapat hidup dan berkembangbiak.
5.2.6 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari pengukuran menggunakan roll meter di wilayah kerja Puskesmas
Talawi menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara variabel ventilasi dengan
kejadian ISPA pada balita yang mana didapatkan P-value = 0,084 (p>0,05) dan PR
(95% CI) = 1,492 (1,024-2,173) dalam artian responden dengan ventilasi yang tidak
memenuhi syarat memiliki peluang 1,492 lebih besar balita terkena ISPA
dibandingkan responden dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Berdasarkan hasil
penelitian, responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat (24,6%) lebih
sedikit daripada responden dengan ventilasi yang memenuhi syarat (75,4%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hukmi, Alkhusari, dan Yulinda
(2023) dengan hasil tidak adanya hubungan
Universitas Sriwijaya
52

antara variabel ventilasi dengan kejadian ISPA di Poliklinik SPN Polda Sumatera
Selatan dengan P-value = 0,678 (P>0,05) dan PR (95% CI) = 0,571 (0,111-2,933)
karena telah banyak responden dengan ventilasi rumah yang sesuai dengan
fungsinya yaitu menjadi jalur pertukaran udara, walau masih ada beberapa rumah
yang tidak membuka gorden dan jendela rumah. Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Adhasari Agungnisa (2017) dengan hasil tidak ada hubungan antara
variabel ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Kalianget Timur
dengan P-value = 0,602 (P>0,05). Penelitian ini berbeda dengan penelitian Harto
(2020) dengan hasil tidak terdapat hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sukaraya Baturaja Timur yang ditunjukkan
dengan P-value = 0,000 (P<0,05). Perbedaan hasil ini dikarenakan rumah di
wilayah kerja Puskesmas Sukaraya memiliki rumah dengan ventilasi yang tidak
sesuai dengan syarat yang ditentukan untuk memilah udara yang masuk.
Kelembaban tinggi dan rumah dengan bahan yang tidak sesuai syarat juga menjadi
faktor pendukung mengapa ventilasi pada penelitian Harto menyebabkan terjadinya
ISPA pada balita.
Dampak jika ventilasi pada rumah tidak berfungsi dengan baik akan
mendatangkan tiga permasalahan yaitu kurangnya oksigen, tingginya CO2 dan
terdapat zat organik berbahaya yang menumpuk di dalam rumah. Udara segar dapat
diperoleh dari ventilasi baik alami ataupun buatan. Ventilasi alami merupakan
tempat pertukaran aliran udara melalui jendela, pintu, lubang angin, dan lubang-
lubang pada dinding. Ventilasi buatan dapat berupa AC, kipas, dan lain-lain.
Ventilasi rumah yang buruk memungkinkan timbulnya ISPA pada balita mengingat
balita lebih banyak berada di dalam rumah (Harto 2020).
Menurut PERMENKES RI Nomor 2 Tahun 2023, ruangan secara umum
harus memiliki ventilasi sistem silang dengan ukuran minimal 10% luas lantai.
Penggunaan Air Conditioner (AC) dalam ruangan harus memeliharanya dengan
baik sesuai buku pedoman yang ada dan tidak lupa pagi hari membuka jendela
untuk mendapat pertukaran udara yang baik. Memperhatikan cooling tower agar
tidak menjadi tempat perkembangbiakan bakteri apabila menggunakan pengatur
udara atau AC sentral. Pemasangan exhaust fan dan AC pada ketinggian minimal 2
meter diatas lantai atau minimal 0,20 meter dari langit-langit. Ruangan dengan

Universitas Sriwijaya
53

volume 100m3 sekurang-kurangnya mempunyai satu exhaust fan dengan diameter


50 cm, debit udara 0,5m3/detik, dan frekuensi pergantian udara perjamnya 2 sampai
dengan 12 kali (Permenkes 2023).
Berdasarkan hasil observasi, secara umum masyarakat telah memiliki
rumah dengan ventilasi yang sesuai syarat, namun masih ditemukan kasus kejadian
balita pada rumah dengan ventilasi yang baik. Hal ini terjadi karena faktor lainnya
seperti kurangnya pertukaran udara segar akibat masyarakat jarang mmebuka
jendela di pagi hari dan pencahayaan alami hanya sedikit atau belum memenuhi
persyaratan.
5.2.7 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari observasi dan wawancara kepada responden di wilayah kerja
Puskesmas Talawi didapatkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara
variabel jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita yang diketahui dari P-value
= 0,000 (p<0,05) dan PR (95% CI) = 2,370 (1,774-3,166) dalam artian responden
yang memiliki jenis dinding tidak memenuhi syarat memiliki peluang sebesar 2,370
kali untuk balita terkena ISPA dibandingkan responden yang memiliki jenis dinding
memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis, responden yang memiliki jenis
dinding tidak memenuhi syarat (13,8%) lebih sedikit dibandingkan responden yang
memiliki jenis dinding memenuhi syarat (86,2%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Putri dan Mantu (2019) di
Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon dengan hasil terdapat hubungan antara variabel
jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita dengan P-value = 0,001 (P<0,05)
dan PR (95% CI) = 7,4700 (3,150-17,600) karena masih banyak balita bertempat
tinggal di rumah yang memiliki jenis dinding tidak memenuhi syarat yang
memungkinkan masuknya debu ke ruangan atau tempat hidup dan
berkembangbiaknya mikroorganisme penyebab ISPA. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian Rita, Heru, dan Nurmaini (2021) di daerah pesisir Kota Sibolga
dengan hasil terdapat hubungan antara variabel jenis dinding dengan kejadian ISPA
pada balita dengan P-value = 0,002 (P<0,05) dan PR = 1,432. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian Aristatia, Samino, dan Yulyani (2021) dengan hasil
variabel jenis dinding tidak memiliki hubungan
Universitas Sriwijaya
54

dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung
yang ditunjukkan dengan P-value = 0,722 (P>0,05). Perbedaan hasil tersebut
dikarenakan rumah responden di Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung
umumnya sudah berjenis dinding permanen dengan cat rumah yang sudah sesuai
dengan kategori rumah sehat.
Menurut PERMENKES RI Nomor 2 Tahun 2023, dinding yang baik dan
memenuhi syarat berupa dinding dengan jenis kokoh, kedap air, permukaan rata
dan halus, tidak licin, dan tidak retak. Dinding harus memiliki permukaan yang
tidak menyerap debu, mudah dibersihkan, juga dengan cat berwarna terang dan
cerah (Permenkes 2023). Jenis dinding juga terbagi menjadi jenis permanen seperti
tembok dan batu/bata yang diplester, semi permanen seperti batu/bata yang tidak
diplester dan setengah tembok, jenis tidak permanen untuk dinding yang terbuat
dari papan, kayu, dan bambu/ilalang. Dinding dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya bakteru atau kuman jika tidak memenuhi syarat dan
berdampak pada kesehatan penghuni rumah. Debu dan asap yang dapat masuk
melalui sela-sela dinding yang tidak rapat dan retak dapat mengakibatkan saluran
pernapasan iritasi dan menjadi pemicu terjadinya ISPA (Aristatia and Yulyani
2021).
Berdasarkan hasil observasi, masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Talawi
umumnya memiliki jenis dinding yang memenuhi syarat seperti tembok permanen,
walau masih ditemukannya rumah masyarakat yang memiliki jenis dinding tidak
memenuhi syarat seperti batu/bata yang tidak diplester, setengah tembok, dan
papan. Jenis dinding tidak permanen seperti papan bersifat mudah berdebu dan
tidak kedap air sehingga menjadi tempat bagi hidupnya bakteri atau virus. Jenis
dinding permanen terjamin keawetannya, pemeliharaannya mudah, dan kuat dari
pengaruh kondisi luar seperti angina, hujan, dan lainnya. Wallpaper bahan vynil
dapat digunakan untuk alternatif bagi rumah dengan jenis dinding tidak permanen,
lantai vinyl mudah direkatkan pada lapisan dinding, tidak mudah sobek, tidak
mudah kotor, tahan terhadap lembab, dan harga yang cukup terjangkau.
5.2.8 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Talawi
Dari hasil penelitian menggunakan uji chi-square yang sebelumnya
didapatkan dari observasi dan wawancara kepada
Universitas Sriwijaya
55

responden di wilayah kerja Puskesmas Talawi didapatkan hasil tidak terdapat


hubungan yang signifikan antara variabel jenis lantai dengan kejadian ISPA pada
balita yang diketahui dari P-value = 0,172 (p>0,05) dan nilai PR (95% CI) = 1,852
(1,143-2,999) dalam artian responden yang memiliki jenis lantai yang tidak
memenuhi syarat berpeluang 1,852 kali untuk balita terkena ISPA dibandingkan
responden yang memiliki jenis lantai memenuhi syarat. Berdasarkan hasil analisis,
responden yang memiliki jenis lantai tidak memenuhi syarat (3,8%) lebih sedikit
dibandingkan responden yang memiliki jenis lantai memenuhi syarat (96,2%).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Aristatia, Samino, dan Yulyani
(2021) di wilayah kerja Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung dengan hasil
tidak terdapat hubungan antara variabel jenis lantai dengan kejadian ISPA pada
balita yang ditunjukkan dengan P-value = 0,511 (P>0,05). Hal ini dikarenakan
umumnya responden menggunakan jenis lantai yang memenuhi syarat seperti
semen atau keramik yang kedap air, rajin menyapu dan mengepel lantai untuk
menjaga kebersihan lantai dari debu yang masuk ke dalam rumah. Penelitian ini
juga sejalan dengan penelitian Dita, Rico, dan Heru (2021) dengan hasil tidak
terdapat hubungan antara variabel jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Alang-Alang Lebar Kota Palembang dengan P-value =
1,000 (P>0,05) dan PR (95% CI) = 0,985 (0,342-2,838). Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian Nenitriana, Miswan, dan Zhanaz (2018) yaitu jenis lantai
memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada balita di Desa
Taopa wilayah kerja Puskesmas Taopa Kabupaten Parigi Moutung yang
ditunjukkan dengan P-value = 0,000 (P<0,05). Perbedaan hasil ini dikarenakan jenis
lantai rumah yang digunakan responden tidak memenuhi syarat rumah sehat dan
sulit dibersihkan.
Diatur dalam PERMENKES RI Nomor 2 Tahun 2023, lantai yang
memenuhi syarat antara lain kedap air, permukaan rata dan halus, tidak retak, tidak
menyerap debu, tidak sulit dibersihkan, dan berwarna terang. Pada persyaratan
kesehatan rumah tinggal yang diatur dalam KEPMENKES No 829 tahun 1999
lantai rumah terbuat dari ubin, keramik, atau semen. Peraturan Menteri PU No. 29
tahun 2006 yang membahas mengenai tinggi minimum lantai sebesar 15cm dari

Universitas Sriwijaya
56

perkarangan rumah dan 25cm dari badan jalan, dan lantai dasar bangunan maksimal
1,2 meter dari atas rata-rata tanah perkarangan.
Lantai tanah seharusnya tidak digunakan lagi karena apabila hujan dapat
menyebabkan lantai lembab dan menjadi tempat yang bagus untuk
berkembangbiaknya mikroorganisme patogen ISPA. Lantai rumah yang bagus
adalah lantai dengan ciri-ciri kedap air, kering, mudah dibersihkan, tidak
menghasilkan debu dan tidak lembab. Lantai dengan jenis ubin/keramik bagus
untuk digunakan, namun lantai jenis ini juga tetap harus diperhatikan kebersihannya
dengan cara memiliki kebiasaan rajin menyapu dan mengepel agar debu, kuman,
bakteri, dan virus penyebab ISPA tidak tumbuh dan berkembangbiak (Lubis and
Ferusgel 2019). (Lazamidarmi, Sitorus et al. 2021)
Berdasarkan hasil pengamatan, umumnya responden di wilayah kerja
Puskesmas Talawi sudah menggunakan lantai jenis ubin/keramik dan plesteran,
meskipun terkadang ditemukan rumah yang memiliki lantai jenis ubin/keramik
dalam keadaan retak atau pecah-pecah yang dapat menjadi sarang debu. Selain itu,
masih ada beberapa responden yang menggunakan lantai berjenis papan yang tidak
kedap air yang dapat menyebabkan berkembangbiaknya mikroorganisme penyebab
ISPA. Lantai vynil jenis sheet (gulungan/rol) dapat digunakan untuk alternatif bagi
rumah dengan jenis lantai papan dan plester, lantai vinyl mudah direkatkan pada
lapisan lantai, tahan air dan api dengan harga yang cukup terjangkau.
5.2.9 Analisis Multivariat Terhadap Variabel yang Mempengaruhi Kejadian
ISPA pada Balita
Dari analisis multivariat menggunakan regresi logistik berganda dengan
model prediksi didapatkan hasil bahwa variabel keberadaan perokok dalam rumah
merupakan variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA (p-value <0,05) yaitu
penggunaan keberadaan perokok dalam rumah (p-value = 0,000), kepadatan hunian
(p-value = 0,001), obat nyamuk bakar (p-value = 0,008), dan jenis dinding (p-value
= 0,011). Adapun variabel co-founding dalam penelitian ini yaitu variabel ventilasi
dengan nilai p-value = 0,624 (>0,05). Variabel keberadaan perokok dalam rumah
menjadi variabel dominan yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Talawi karena memiliki nilai PR (95% CI) yang paling
tinggi yaitu sebesar 10,386 (3,246 – 31,063) dengan nilai p-value = 0,000 (P<0,05)
dalam artian responden yang terdapat keberadaan perokok di dalam rumah
Universitas Sriwijaya
57

memiliki peluang sebesar 10,386 kali untuk balita terkena ISPA dibandingkan
responden yang tidak terdapat keberadaan perokok di dalam rumah dan diyakini
95% balita yang terdapat keberadaan perokok dalam rumah meningkatkan risiko
terkena ISPA sebesar 3,246 hingga 31,063 kali.
Kebiasaan merokok di dalam rumah menyebabkan banyaknya gangguan
kesehatan yang akan dialami para anggota rumah karena asap dari rokok
mengandung banyak zat kimia berbahaya yang dpaat terhirup terutama oleh balita
sebagai kelompok rentan. Asap rokok mengandung kurang lebih 5000 bahan kimia
dimana 69 diantaranya merupakan senyawa karsinogenik. Nikotin, karbon
monoksida, hidrogen sianida, nitrogen oksida, senyawa aldehid yang mudah
menguap, dan beberapa senyawa hidrokarbon aromatik merupakan racun utama
yang terkandung pada rokok.
Asap rokok yang menempel mengandung bahan kimia atau residu seperti
nikotin di kulit, baju, atap, sofa, gorden, dan tempat lain di dalam rumah. Perokok
pasif sangat mudah terkena penyakit dan tiga kali lebih berbahaya dari perokok
aktif, hal ini dikarenakan asap rokok yang dihisap perokok aktif mengandung filter
yang terdapat pada rokok, sedangkan perokok pasif tidak. Balita yang terpapar asap
rokok dalam jangka waktu yang lama berisiko tinggi untuk terkena ISPA karena
kandungandari asap rokok dapat menurunkan kemampuan daya taahan tubuh balita
tersebut dalam membunuh bakteri penyebab ISPA.
Berdasarkan observasi dan wawancara, sebagian besar ayah balita memiliki
kebiasaan merokok dalam rumah. Merokok dilakukan ketika Ayah sedang menjaga
atau bermain dengan balita di ruang tamu atau terkadang di teras tanpa memikirkan
kesehatan balita. Selain ayah, kakek atau anggota keluarga laki-laki lain seperti
paman balita juga merupakan perokok aktif yang merokok di dalam rumah. Perokok
mengatakan bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan yang sudah lama dilakukan
dan susah untuk dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kesadaran para
orang tua atau anggota keluarga yang perokok aktif akan bahaya yang ditimbulkan
akibat merokok untuk keluarga khususnya balita yang menjadi perokok pasif
dimana perokok pasif sangat mudah untuk terkena segala macam penyakit
dibandingkan perokok aktif.

Universitas Sriwijaya
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Sumatera Barat dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Prevalensi terjadinya ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Talawi Provinsi Sumatera Barat yaitu sebesar 44,6%.
2. Responden yang menggunakan obat nyamuk bakar di rumah sebesar
32,3% ; responden yang terdapat keberadaan perokok di dalam rumah
sebesar 58,5% ; responden dengan kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat sebesar 53,1% ; responden dengan pencahayaan alami
yang tidak memenuhi syarat sebesar 56,9% ; responden dengan ventilasi
yang tidak memenuhi syarat sebesar 24,6% ; responden dengan jenis
dinding yang tidak memenuhi syarat sebesar 18% ; responden dengan
jenis lantai yang tidak memenuhi syarat sebesar 5%.
3. Tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan obat nyamuk bakar
dengan kejadian ISPA pada balita (P-value = 0,156).
4. Adanya hubungan yang bermakna antara keberadaan perokok di dalam
rumah dengan kejadian ISPA pada balita (P-value = 0,000).
5. Adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada balita (P-value = 0,000).
6. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara pencahayaan alami
dengan kejadian ISPA pada balita (P-value =0,376).
7. Tidak adanya hubungan bermakna antara ventilasi dengan kejadian
ISPA pada balita (P-value = 0,084).
8. Adanya hubungan bermakna antara jenis dinding dengan kejadian ISPA
pada balita (P-value = 0,000).
9. Tidak adanya hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kejadian
ISPA pada balita (P-value = 0,172).

Universitas Sriwijaya

58
59

10. Variabel keberadaan perokok dalam rumah merupakan variabel


dominan yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita dengan P-value
= 0,000 dan PR (95% CI) = 10,386 (3,246 – 31,063).
6.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan dari hasil analisis dan
pembahasan yang dilakukan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Talawi Provinsi Sumatera Barat,
sebagai berikut :
6.2.1 Bagi Masyarakat
1. Mengganti penggunaan obat nyamuk bakar menjadi obat nyamuk semprot
dengan cara pemakaian yang baik yaitu menggunakannya ketika tidak ada
orang di ruangan dan menyemprotnya 3 jam sebelum ruangan ditempati.
2. Tidak merokok di dalam rumah dan membersihkan diri juga mengganti
pakaian ketika ingin mendekati atau bermain dengan balita.
3. Membuka jendela di pagi, siang, dan sore hari agar sinar matahari dapat
masuk ke dalam rumah.
4. Mengganti ventilasi yang ditutup menggunakan kain dengan kawat jaring
agar sirkulasi udara tetap berjalan dengan baik.
5. Menggunakan wallpaper bahan vynil yang bersifat tidak mudah sobek, tidak
mudah kotor, dan tahan terhadap lembab apabila jenis dinding tidak
permanen dan kedap air.
6. Menggunakan vynil yang bersifat kuat, tahan api dan air apabila jenis lantai
tidak permanen dan kedap air.
6.2.2 Bagi Pihak Puskesmas Talawi
1. Mengadakan penyuluhan mengenai ISPA dan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pada balita terutama dari segi lingkungan.
2. Mengadakan penyuluhan mengenai kepadatan hunian dan hubungannya
dengan kejadian ISPA.
3. Bekerja sama dengan pihak kader PKK dan kader kesehatan untuk
melakukan pembinaan peran mengenai edukasi terhadap orang tua terkait
bahaya merokok dengan kejadian ISPA.

Universitas Sriwijaya
60

6.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Penelitian dapat digunakan sebagai data pembanding bagi peneliti
selanjutnya dan meneliti faktor lain yang memiliki hubungan dengan kejadian ISPA
pada balita seperti kelembaban, suhu, kondisi langit-langit, dan atap.

Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, B. (2020). "Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada


Balita." Cendekia Medika: Jurnal Stikes Al-Maarif Baturaja 5(1): 1-15.
Aristatia, N. and V. Yulyani (2021). "Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di
Puskesmas Panjang Kota Bandar Lampung Tahun 2021." Indonesian
Journal of Health and Medical 1(4): 508-535.
Aryanti, R. F. N. (2021). "Literatur Review: Pengaruh Kualitas Fisik Lingkungan
pada Hunian Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)."
Astuti, N. D. (2018). "Hubungan Perilaku Santri dan Kondisi Lingkungan Fisik
dengan Kejadian ISPA di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya."
Jurnal Kesehatan Lingkungan 10(2): 233-242.
Batubara, I. V. D., et al. (2013). "Pengaruh Paparan Asap Rokok Kretek Terhadap
Kualitas Spermatozoa Mencit Jantan (Mus Musculus)." eBiomedik 1(1).
Dahniar, A. (2011). "Pengaruh Asap Obat Nyamuk Terhadap Kesehatan dan
Struktur Histologi Sistem Pernafasan." Jurnal kedokteran syiah Kuala
11(1): 52-59.
Fajrianti, A. N. m., et al. (2022). "Pengaruh Pengetahuan dan Penggunaan Obat
Nyamuk Bakar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Rejuno." Jurnal
Delima Harapan 9(2): 189-197.
Garmini, R. and R. Purwana (2020). "Polusi Udara Dalam Rumah Terhadap Infeksi
Saluran Pernafasan Akut pada Balita di TPA Sukawinatan Palembang."
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 19(1): 1-6.
Hafiyya, H. Pengaruh kadar PM10 Ambien dengan Kualitas Fisik Udara dalam
Rumah Terhadap Gejala ISPA pada Balita di Kelurahan Lebak Bulus Tahun
2018, Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
Haris, N. (2021). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Padongko Kabupaten Barru", Universitas Hasanuddin.
Harto, T. (2020). "Hubungan Kondisi Ventilasi dan Kepadatan Hunian Terhadap
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraya Baturaja
Timur Tahun 2019." Masker Medika 8(1): 34-40.

Universitas Sriwijaya

61
62

Herawati, C. and H. Sriwaty (2018). "Analisis Perilaku Merokok, Penggunaan Anti


Nyamuk Bakar dan Penggunaan Bahan Bakar Memasak dengan Kejadian
ISPA pada Balita." Jurnal Kesehatan 9(1): 34-38.
Hukmi, M. S. W. M., et al. (2023). "Hubungan Lingkungan Fisik dan Peran Orang
Tua Terhadap Kejadian ISPA pada Balita." Babul Ilmi Jurnal Ilmiah Multi
Science Kesehatan 15(2).
Insani, M. and D. Permana (2020). "Use of Antibiotics for Acute Respiratory
Infection (ARI) in Puskesmas Karang Rejo, Tarakan." Yarsi Journal of
Pharmacology 1(1): 15-21.
Irianto, G., et al. (2021). "Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga dengan
Kejadian ISPA pada Balita Umur 1-5 Tahun." Healthcare Nursing Journal
3(1): 65-70.
Jayanti, D. I., et al. (2018). "Pengaruh Lingkungan Rumah Terhadap ISPA Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Haloban Kabupaten Labuhan Batu
tahun 2017." JUMANTIK (Jurnal Ilmiah Penelitian Kesehatan) 3(2): 63-77.
Kemenkes, R. (2018). "RISKESDAS 2018." Retrieved 8 september, 2023.
Kepmenkes (1999). "Persyaratan Kesehatan Perumahan (Keputusan Menteri
Kesehatan Indonesia Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999)." Retrieved 1,
2023.
Lalu, S. T., et al. (2020). "Gambaran Faktor Kesehatan Lingkungan pada Balita 12-
59 Bulan dengan Penyakit ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Kema Tahun
2020." KESMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
9(7).
Lazamidarmi, D., et al. (2021). "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita." Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 21(1): 299-
304.
Lebuan, A. W. and A. Somia (2017). "Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut pada Siswa Taman Kanak-Kanak di Kelurahan
Dangin Puri Kecamatan Denpasar Timur Tahun 2014." E-jurnal Medika
6(6): 1-8.
Lubis, I. P. L. and A. Ferusgel (2019). "Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan
Keberadaan Perokok dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di

Universitas Sriwijaya
63

Desa Silo Bonto Kecamatan Silau Laut Kabupaten Asahan." Jurnal Ilmiah
Kesehatan Masyarakat: Media Komunikasi Komunitas Kesehatan
Masyarakat 11(2): 166-173.
Maulana, J., et al. (2022). "Faktor Host dan Environment sebagai Faktor Risiko
ISPA pada Balita di Puskesmas Tulis." Promotif: Jurnal Kesehatan
Masyarakat 12(2): 201-211.
Nenitriana, N., et al. (2018). "Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian
ISPA pada Anak Balita di Desa Taopa Wilayah Kerja Puskesmas Taopa
Kabupaten Parigi Moutong." Jurnal Kolaboratif Sains 1(1).
Ostapchuk, M., et al. (2004). "Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children." American family physician 70(5): 899-908.
Pasaribu, R. K., et al. (2021). "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Daerah Pesisir Kota
Sibolga Tahun 2020." Syntax Idea 3(6): 1442-1454.
Permenkes (2011). "Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1077/MENKES/PER/V/2011 Tentang Penyehatan Udara dalam Ruang
Rumah." Retrieved 1, 2023.
Permenkes (2023). "Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun
2014 Tentang Kesehatan Lingkungan."
Prastiwi, N. (2015). "Pengaruh Model Paguyuban Masyarakat Peduli Asap Rokok
(PAMASPAR) Terhadap Pengetahuan Ayah dalam Pencegahan ISPA pada
Balita di Kelurahan Klego Kabupaten Boyolali." Skripsi 12(1): 26-28.
Priwahyuni, Y., et al. (2020). "Cegah Penyakit ISPA di Puskesmas Kecamatan
Limapuluh Kota Pekanbaru." Jurnal Pengabdian Untukmu Negeri 4(1): 54-
59.
Putri, A. E. (2017). "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada
Orang Dewasa di Desa Besuk Kecamatan Bantaran Kabupaten
Probolinggo." Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada 6(1): 1-10.
Putri, P. and M. R. Mantu (2019). "Pengaruh Lingkungan Fisik Rumah Terhadap
Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon periode
Juli-Agustus 2016." Tarumanagara Medical Journal 1(2): 389-394.

Universitas Sriwijaya
64

Putri, R. A. (2021). "Hubungan Kondisi Rumah dengan Kejadian ISPA di Desa


Kotagajah Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah." Ruwa
Jurai: Jurnal Kesehatan Lingkungan 13(2): 75-80.
Rahmadanti, D. and R. D. Alnur (2023). "Hubungan Kepadatan Hunian dan
Pencahayaan Kamar dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Babelan 1." SEHATMAS: Jurnal Ilmiah Kesehatan
Masyarakat 2(4): 1013-1020.
Rosana, E. N. (2016). "Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita Ditinjau dari
Lingkungan dalam Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Blado." 1: 1-76.
Sari, N., et al. (2019). "Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa
Labuan Panimba Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala." Jurnal
Kolaboratif Sains 2(1).
Silva Filho, E. B. d., et al. (2017). "Infecções Respiratórias De Importância Clínica:
Uma Revisão Sistemática."
Siska, F. (2019). "Hubungan Kebiasaan Merokok di Dalam Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Anak Balita 0-5 Tahun di Puskesmas Bukit Sangkal
Palembang 2019." Jurnal Kesehatan Dan Pembangunan 9(18): 19-28.
Sofia, S. (2017). "Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar." AcTion:
Aceh Nutrition Journal 2(1): 43-50.
Suharno, I., et al. (2019). "Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wawonasa Kota
Manado." KESMAS: Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi 8(4).
Syamsi, N. (2018). "Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Ibu Balita
Tentang dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar." Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada 7(1): 167-175.
Tabalawony, S. L. and I. R. Akollo (2023). "Pengaruh Perilaku Merokok dan
Pemakaian Obat Nyamuk Bakar Terhadap Kejadian ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Jazirah Tenggara." Jurnal Riset Kesehatan
Poltekkes Depkes Bandung 15(1): 230-237.

Universitas Sriwijaya
65

Wahyuningsih, S., et al. (2017). "Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada
Balita di Wilayah Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar Kabupaten Bima."
HIGIENE: Jurnal Kesehatan Lingkungan 3(2): 97-105.
WHO (2007). "Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan." Retrieved 9, 2023.
WHO (2016). "Respiratory tract diseases." Retrieved 5, 2023.
WHO (2020). "Pusat Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat."
Retrieved 8 september, 2023.
Wilson Correia, R. D.-G., Mitza Sanches, Carmen de Jesús Borges Almeida
Semedo, Basilio Valladares, Isabel Inês M. de Pina-Araújo, and Emma
Carmelo (2021). "Study of the Etiology of Acute Respiratory Infections in
Children Under 5 Years at the Dr. Agostinho Neto Hospital, Praia, Santiago
Island, Cabo Verde." National Institutes Of Health 9: 2.
Winda Asmidar, P. and S. Zaenab (2018). "Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota
Keluarga di Dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 1-5
Tahun di Puskesmas Asinua Kabupaten Konawe Tahun 2018", Poltekkes
Kemenkes Kendari.

Universitas Sriwijaya
LAMPIRAN

Universitas Sriwijaya

66
Lampiran 1 : Inform Concent

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TALAWI SUMATERA BARAT

Saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengetahui maksud
dan tujuan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Talawi Sumatera Barat” yang dilaksanakan oleh tim peneliti dari
Program Studi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sriwijaya. Saya memutuskan bersedia berpartisipasi pada penelitian ini secara
sukarela tanpa paksaan apapun. Bila saya menginginkan, maka saya dapat
mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun.

Talawi, …………………….........2024

Saksi Responden

(………………………………) (………………………………)

Peneliti

Alya Fayza Chairanni


NIM. 10031282025045

Universitas Sriwijaya
Lampiran 2 : Lembar Kuesioner

KUISIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA)
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TALAWI SUMATERA BARAT

Nomor Responden :
Hari/Tanggal Wawancara :

IDENTITAS ORANG TUA


Nama
Umur …… Tahun
Pekerjaan 1. ASN/PPPK/TNI/POLRI
2. Karyawan Swasta
3. Buruh
4. Petani
5. Pedagang
6. IRT
1. Tidak Sekolah
2. SD
Pendidikan 3. SMP
4. SMA
5. Perguruan Tinggi

Alamat

Universitas Sriwijaya
IDENTITAS BALITA
Nama

Umur ……. Tahun

Jenis Kelamin 1. Perempuan


2. Laki-laki

PERTANYAAN
ISPA
1. Apakah dalam 1 bulan terakhir [Nama] mengalami keluhan atau gejala
berikut?
a. Flu 0. Ya 1. Tidak
b. Batuk 0. Ya 1. Tidak
c. Sesak napas 0. Ya 1. Tidak
d. Sakit tenggorokan 0. Ya 1. Tidak
2. Berapa lama [Nama]
mengalami keluhan …….. Hari
tersebut?

PENGGUNAAN OBAT NYAMUK BAKAR


1. Apakah di rumah [Nama] menggunakan obat nyamuk bakar?
0. Ya
1. Tidak

KEBERADAAN PEROKOK DI DALAM RUMAH


1. Apakah ada anggota keluarga yang merokok?
0. Ya
1. Tidak Ada
2. Apakah [Nama] merokok di dalam rumah?
a. 0. Ya
b. 1. Tidak
3. Bagaimana kebiasaan [Nama] dalam merokok?
0. 0. Dekat dengan balita
1. 1. Jauh dari balita

Universitas Sriwijaya
OBSERVASI
KONDISI FISIK RUMAH
1. Jenis Dinding
a. Tembok
b. Bata/Batu yang Diplester
c. Setengah Tembok
d. Bata/Batu yang Tidak Diplester
e. Papan/Bambu/Ilalang
2. c. Jenis Lantai
a. Ubin/Keramik
b. Plesteran
c. Tanah
d. Papan
e. Anyaman bambu

PENGUKURAN
KONDISI FISIK RUMAH
1. Kepadatan Hunian
P = ……………...
L = ……………...
Jumlah penghuni rumah = …………
2. Pencahayaan Alami
……………… Lux
3. Ventilasi Lantai
P = ……………... P = ……………...
L = ……………... L = ……………...
Ventilasi Lantai
P = ……………... P = ……………...
L = ……………... L = ……………...
Ventilasi Lantai
P = ……………... P = ……………...
L = ……………... L = ……………...

Universitas Sriwijaya
Lampiran 3 : Kaji Etik

Universitas Sriwijaya
Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian

Universitas Sriwijaya
Lampiran 5 : Surat Izin Penelitian Kota Sawahlunto

Universitas Sriwijaya
Lampiran 6 : Surat Izin Peminjaman Alat

Universitas Sriwijaya
Lampiran 7 : Dokumentasi Penelitian

Pengisian Kuisioner terhadap Pengisian Kuisioner terhadap


Penggunaan Obat Nyamuk Bakar Keberadaan Perokok dalam Rumah

Observasi Jenis Dinding Observasi Jenis Lantai

Pengukuran Pengukuran
Pencahayaan dalam Ruang Ventilasi Rumah

Universitas Sriwijaya
Lampiran 8 : Output SPSS

A. Hasil Analisis Univariat

Kejadian ISPA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ISPA 58 44.6 44.6 44.6
Tidak ISPA 72 55.4 55.4 100.0
Total 130 100.0 100.0

Penggunaan Obat Nyamuk Bakar


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ada 42 32.3 32.3 32.3
Tidak Ada 88 67.7 67.7 100.0
Total 130 100.0 100.0

Keberadaan Perokok Dalam Rumah


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Ada 76 58.5 58.5 58.5
Tidak Ada 54 41.5 41.5 100.0
Total 130 100.0 100.0

Kepadatan Hunian
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 69 53.1 53.1 53.1
Memenuhi Syarat 61 46.9 46.9 100.0
Total 130 100.0 100.0

Pencahayaan Alami
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 74 56.9 56.9 56.9
Memenuhi Syarat 56 43.1 43.1 100.0
Total 130 100.0 100.0

Universitas Sriwijaya
Ventilasi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 32 24.6 24.6 24.6
Memenuhi Syarat 98 75.4 75.4 100.0
Total 130 100.0 100.0

Jenis Dinding
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 18 13.8 13.8 13.8
Memenuhi Syarat 112 86.2 86.2 100.0
Total 130 100.0 100.0

Jenis Lantai
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Tidak Memenuhi Syarat 5 3.8 3.8 3.8
Memenuhi Syarat 125 96.2 96.2 100.0
Total 130 100.0 100.0

B. Hasil Analisis Bivariat

Penggunaan Obat Nyamuk Bakar * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
Penggunaan Obat Ada Count 23 19 42
Nyamuk Bakar Expected Count 18.7 23.3 42.0
% within Penggunaan Obat 54.8% 45.2% 100.0%
Nyamuk Bakar
% within Kejadian ISPA 39.7% 26.4% 32.3%
% of Total 17.7% 14.6% 32.3%
Tidak Count 35 53 88
Ada Expected Count 39.3 48.7 88.0
% within Penggunaan Obat 39.8% 60.2% 100.0%
Nyamuk Bakar
% within Kejadian ISPA 60.3% 73.6% 67.7%

Universitas Sriwijaya
% of Total 26.9% 40.8% 67.7%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Penggunaan Obat 44.6% 55.4% 100.0%
Nyamuk Bakar
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 2.585a 1 .108
Continuity Correctionb 2.014 1 .156
Likelihood Ratio 2.579 1 .108
Fisher's Exact Test .132 .078
Linear-by-Linear 2.565 1 .109
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18.74.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Penggunaan 1.833 .872 3.852
Obat Nyamuk Bakar (Ada /
Tidak Ada)
For cohort Kejadian ISPA = 1.377 .945 2.006
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .751 .517 1.091
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Universitas Sriwijaya
Keberadaan Perokok Dalam Rumah * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
Keberadaan Perokok Ada Count 45 31 76
Dalam Rumah Expected Count 33.9 42.1 76.0
% within Keberadaan Perokok 59.2% 40.8% 100.0%
Dalam Rumah
% within Kejadian ISPA 77.6% 43.1% 58.5%
% of Total 34.6% 23.8% 58.5%
Tidak Count 13 41 54
Ada Expected Count 24.1 29.9 54.0
% within Keberadaan Perokok 24.1% 75.9% 100.0%
Dalam Rumah
% within Kejadian ISPA 22.4% 56.9% 41.5%
% of Total 10.0% 31.5% 41.5%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Keberadaan Perokok 44.6% 55.4% 100.0%
Dalam Rumah
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 15.773a 1 .000
Continuity Correctionb 14.383 1 .000
Likelihood Ratio 16.334 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 15.651 1 .000
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.09.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sriwijaya
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Keberadaan 4.578 2.112 9.924
Perokok Dalam Rumah (Ada
/ Tidak Ada)
For cohort Kejadian ISPA = 2.460 1.478 4.092
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .537 .394 .732
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Kepadatan Hunian * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
Kepadatan Tidak Memenuhi Count 44 25 69
Hunian Syarat Expected Count 30.8 38.2 69.0
% within Kepadatan 63.8% 36.2% 100.0%
Hunian
% within Kejadian ISPA 75.9% 34.7% 53.1%
% of Total 33.8% 19.2% 53.1%
Memenuhi Syarat Count 14 47 61
Expected Count 27.2 33.8 61.0
% within Kepadatan 23.0% 77.0% 100.0%
Hunian
% within Kejadian ISPA 24.1% 65.3% 46.9%
% of Total 10.8% 36.2% 46.9%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Kepadatan 44.6% 55.4% 100.0%
Hunian
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Universitas Sriwijaya
Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 21.830a 1 .000
Continuity Correctionb 20.209 1 .000
Likelihood Ratio 22.634 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 21.662 1 .000
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27.22.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Kepadatan 5.909 2.728 12.796
Hunian (Tidak Memenuhi
Syarat / Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA = 2.778 1.697 4.549
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .470 .334 .662
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Pencahayaan Alami * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
Tidak
ISPA ISPA Total
Pencahayaan Tidak Memenuhi Count 36 38 74
Alami Syarat Expected Count 33.0 41.0 74.0
% within Pencahayaan 48.6% 51.4% 100.0%
Alami
% within Kejadian ISPA 62.1% 52.8% 56.9%
% of Total 27.7% 29.2% 56.9%
Memenuhi Syarat Count 22 34 56
Expected Count 25.0 31.0 56.0

Universitas Sriwijaya
% within Pencahayaan 39.3% 60.7% 100.0%
Alami
% within Kejadian ISPA 37.9% 47.2% 43.1%
% of Total 16.9% 26.2% 43.1%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Pencahayaan 44.6% 55.4% 100.0%
Alami
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 1.131a 1 .288
Continuity Correctionb .784 1 .376
Likelihood Ratio 1.135 1 .287
Fisher's Exact Test .373 .188
Linear-by-Linear 1.122 1 .289
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 24.98.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Pencahayaan 1.464 .724 2.960
Alami (Tidak Memenuhi
Syarat / Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA = 1.238 .829 1.849
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .846 .623 1.148
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Universitas Sriwijaya
Ventilasi * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
ISPA Tidak ISPA Total
Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat Count 19 13 32
Expected Count 14.3 17.7 32.0
% within Ventilasi 59.4% 40.6% 100.0%
% within Kejadian ISPA 32.8% 18.1% 24.6%
% of Total 14.6% 10.0% 24.6%
Memenuhi Syarat Count 39 59 98
Expected Count 43.7 54.3 98.0
% within Ventilasi 39.8% 60.2% 100.0%
% within Kejadian ISPA 67.2% 81.9% 75.4%
% of Total 30.0% 45.4% 75.4%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Ventilasi 44.6% 55.4% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 3.742a 1 .053
Continuity Correctionb 2.992 1 .084
Likelihood Ratio 3.732 1 .053
Fisher's Exact Test .066 .042
Linear-by-Linear 3.714 1 .054
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.28.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Ventilasi 2.211 .980 4.986
(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)

Universitas Sriwijaya
For cohort Kejadian ISPA = 1.492 1.024 2.173
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .675 .431 1.057
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Jenis Dinding * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
ISPA Tidak ISPA Total
Jenis Dinding Tidak Memenuhi Syarat Count 16 2 18
Expected Count 8.0 10.0 18.0
% within Jenis Dinding 88.9% 11.1% 100.0%
% within Kejadian ISPA 27.6% 2.8% 13.8%
% of Total 12.3% 1.5% 13.8%
Memenuhi Syarat Count 42 70 112
Expected Count 50.0 62.0 112.0
% within Jenis Dinding 37.5% 62.5% 100.0%
% within Kejadian ISPA 72.4% 97.2% 86.2%
% of Total 32.3% 53.8% 86.2%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Jenis Dinding 44.6% 55.4% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 16.573a 1 .000
Continuity Correctionb 14.559 1 .000
Likelihood Ratio 17.960 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear 16.446 1 .000
Association
N of Valid Cases 130
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.03.
b. Computed only for a 2x2 table

Universitas Sriwijaya
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Dinding 13.333 2.919 60.898
(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA = 2.370 1.774 3.166
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .178 .048 .662
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

Jenis Lantai * Kejadian ISPA

Crosstab
Kejadian ISPA
ISPA Tidak ISPA Total
Jenis Lantai Tidak Memenuhi Syarat Count 4 1 5
Expected Count 2.2 2.8 5.0
% within Jenis Lantai 80.0% 20.0% 100.0%
% within Kejadian ISPA 6.9% 1.4% 3.8%
% of Total 3.1% 0.8% 3.8%
Memenuhi Syarat Count 54 71 125
Expected Count 55.8 69.2 125.0
% within Jenis Lantai 43.2% 56.8% 100.0%
% within Kejadian ISPA 93.1% 98.6% 96.2%
% of Total 41.5% 54.6% 96.2%
Total Count 58 72 130
Expected Count 58.0 72.0 130.0
% within Jenis Lantai 44.6% 55.4% 100.0%
% within Kejadian ISPA 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 44.6% 55.4% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymptotic Significance Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df (2-sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 2.635a 1 .105
Continuity Correctionb 1.356 1 .244
Likelihood Ratio 2.736 1 .098

Universitas Sriwijaya
Fisher's Exact Test .172 .123
Linear-by-Linear 2.615 1 .106
Association
N of Valid Cases 130
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.23.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Lantai 5.259 .571 48.409
(Tidak Memenuhi Syarat /
Memenuhi Syarat)
For cohort Kejadian ISPA = 1.852 1.143 2.999
ISPA
For cohort Kejadian ISPA = .352 .061 2.046
Tidak ISPA
N of Valid Cases 130

C. Analisis Multivariat
1. Seleksi Bivariat
a. Penggunaan Obat Nyamuk Bakar
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 2.579 1 .108
Block 2.579 1 .108
Model 2.579 1 .108

b. Keberadaan Perokok Dalam Rumah


Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 16.334 1 .000
Block 16.334 1 .000
Model 16.334 1 .000

c. Kepadatan Hunian
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.

Universitas Sriwijaya
Step 1 Step 22.634 1 .000
Block 22.634 1 .000
Model 22.634 1 .000

d. Pencahayaan Alami
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 1.135 1 .287
Block 1.135 1 .287
Model 1.135 1 .287

e. Ventilasi
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 3.732 1 .053
Block 3.732 1 .053
Model 3.732 1 .053

f. Jenis Dinding
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 17.960 1 .000
Block 17.960 1 .000
Model 17.960 1 .000

g. Jenis Lantai
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 2.736 1 .098
Block 2.736 1 .098
Model 2.736 1 .098

2. Analisis Multivariat
a. Pemodelan Awal Analisis Multivariat
Variables in the Equation
95% C.I.for
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) EXP(B)

Universitas Sriwijaya
Lower Upper
Step Penggunaan Obat 1.442 .545 6.986 1 .008 4.228 1.452 12.316
1a Nyamuk Bakar
Keberadaan Perokok 2.304 .580 15.806 1 .000 10.017 3.217 31.197
Dalam Rumah
Kepadatan Hunian 1.540 .478 10.402 1 .001 4.667 1.830 11.901
Ventilasi .340 .564 .364 1 .546 1.405 .465 4.242
Jenis Dinding 2.488 1.090 5.208 1 .022 12.041 1.421 102.047
Jenis Lantai -1.165 1.688 .476 1 .490 .312 .011 8.524
Constant -10.543 3.149 11.213 1 .001 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, Keberadaan Perokok Dalam
Rumah, Kepadatan Hunian, Ventilasi, Jenis Dinding, Jenis Lantai.

b. Variabel Ventilasi Dikeluarkan


Variables in the Equation
95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step Penggunaan Obat 1.448 .546 7.034 1 .008 4.256 1.459 12.410
1a Nyamuk Bakar
Keberadaan Perokok 2.266 .575 15.562 1 .000 9.644 3.128 29.737
Dalam Rumah
Kepadatan Hunian 1.598 .470 11.577 1 .001 4.943 1.969 12.409
Jenis Dinding 2.514 1.086 5.354 1 .021 12.349 1.469 103.821
Jenis Lantai -.978 1.657 .348 1 .555 .376 .015 9.672
Constant -10.404 3.149 10.918 1 .001 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, Keberadaan Perokok Dalam
Rumah, Kepadatan Hunian, Jenis Dinding, Jenis Lantai.

c. Variabel Ventilasi Dimasukkan Kembali dan Variabel Jenis


Lantai Dikeluarkan
Variables in the Equation
95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step Penggunaan Obat 1.469 .550 7.138 1 .008 4.343 1.479 12.757
1a Nyamuk Bakar
Keberadaan Perokok 2.340 .583 16.129 1 .000 10.386 3.314 32.545
Dalam Rumah
Kepadatan Hunian 1.531 .477 10.317 1 .001 4.624 1.816 11.770

Universitas Sriwijaya
Jenis Dinding 2.113 .834 6.419 1 .011 8.272 1.613 42.405
Ventilasi .271 .551 .241 1 .624 1.311 .445 3.861
Constant -12.076 2.478 23.743 1 .000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, Keberadaan Perokok Dalam
Rumah, Kepadatan Hunian, Jenis Dinding, Ventilasi.

d. Variabel Ventilasi Dikeluarkan Kembali


Variables in the Equation
95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step Penggunaan Obat 1.471 .549 7.169 1 .007 4.353 1.483 12.777
1a Nyamuk Bakar
Keberadaan Perokok 2.307 .576 16.027 1 .000 10.041 3.246 31.063
Dalam Rumah
Kepadatan Hunian 1.581 .467 11.442 1 .001 4.860 1.944 12.149
Jenis Dinding 2.177 .826 6.955 1 .008 8.824 1.749 44.511
Constant -11.754 2.372 24.544 1 .000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, Keberadaan Perokok Dalam
Rumah, Kepadatan Hunian, Jenis Dinding.

e. Hasil Akhir Analisis Multivariat


Variables in the Equation
95% C.I.for
EXP(B)
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper
Step Penggunaan Obat 1.471 .549 7.169 1 .007 4.353 1.483 12.777
1a Nyamuk Bakar
Keberadaan Perokok 2.307 .576 16.027 1 .000 10.041 3.246 31.063
Dalam Rumah
Kepadatan Hunian 1.581 .467 11.442 1 .001 4.860 1.944 12.149
Jenis Dinding 2.177 .826 6.955 1 .008 8.824 1.749 44.511
Constant -11.754 2.372 24.544 1 .000 .000
a. Variable(s) entered on step 1: Penggunaan Obat Nyamuk Bakar, Keberadaan Perokok Dalam
Rumah, Kepadatan Hunian, Jenis Dinding.

Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai