Rizki Yudha
Dedicated Human Rights Lawyer and Researcher with extensive experience in legal assistance on violations of the human rights case. Active and take a part in human rights monitoring, legal aid issue, and judicial system reform. Demonstrate a high skill of human rights issues especially on civil political rights, legal research, legal writing, professional legal aid both in litigation and non-litigation. A Master of Law with field study Human Rights and Good Governance.
less
Related Authors
Dr. Kurniawan T R I Wibowo, SH., MH, CPL., CCD., CTA
Universitas Jenderal Soedirman
eka sihombing
University of Sumatera Utara
oswar mungkasa
University of Pittsburgh
InterestsView All (14)
Uploads
Research by Rizki Yudha
2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Kemudian yang terbaru, berdasarkan Laporan Situasi Hak-hak Digital SAFEnet Tahun 2020, sepanjang
tahun 2020 terdapat 84 (delapan puluh empat) kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, berjumlah 24 (dua puluh empat) kasus. Dari 84 kasus tersebut, 64 (enam puluh empat) di antaranya menggunakan pasal karet UU ITE. Masih berdasar laporan yang sama, tidak hanya pemidanaan, rupanya kekerasan berbasis gender online (KBGO) kian memprihatinkan. Selama tahun 2020, tercatat 620 (enam ratus dua puluh) kasus atau lebih dari 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 60 (enam puluh) kasus dengan berbagai jenis KBGO, seperti non consensual dissemination of intimate images (NCII), pelecehan secara online hingga pelanggaran privasi Lebih lanjut dalam UU ITE, terdapat pasal-pasal yang bersifat multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membatasi informasi tanpa subtansi yang jelas. Pada hari Senin, tanggal 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi Masyarakat Sipil mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorika ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan
tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.Langkah konkrit tersebut harus dilakukan mengingat banyaknya korban akibat dari kriminalisasi yang disebabkan oleh UU ITE. Pemerintah harus mampu menunjukkan itikad baik dalam memperbaiki regulasi ini, agar tidak kembali terjadi kesewenang-wenangan yang dapat merugikan masyarakat.
Keterbukaan Informasi Publik, namun masih ditemukan permasahan - permasalahan khususnya pada tataran implementasi. Kesadaran mengenai pentingnya keterbukaan informasi di sektor lingkungan hidup dan sumberdaya alam belum sepenuhnya merata kepada semua badan - badan publik.
Penelitian ini mencoba untuk menggali hal – hal tentang semangat
Pentingnya Keterbukaan Informasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup keterbukaan informasi publik dalam Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri pada sektor Lingkungan Hidup, ESDM dan Agraria. Selain itu, hal yang diteliti adalah implementasi semangat keterbukaan informasi publik dalam putusan Komisi Informasi dengan membaca tren putusan ajudikasi non-litigasi Komisi Informasi sektor lingkungan.
Pandemi Covid-19 jelas menjadi tantangan baru bagi insan pers untuk menyesuaikan diri atas kerja-kerja pers yang selama ini berlangsung.
Dalam pandemi covid-19 ini, situasi kebebasan pers masih memberikan beberapa catatan buruk yang perlu mendapatkan perhatian. Praktik penyensoran masih terjadi selama pandemi Covid19 di Indonesia, bahkan penyensoran yang terjadi terkait dengan pemberitaan mengenai situasi pandemi Covid-19. Belum lagi, perusahaan pers juga masih mendapatkan ancaman hukum akibat pemberitaan selama masa pandemi Covid-19. Pelaporan kepada Kepolisian juga menjadi salah satu bentuk ancaman hukum yang paling banyak dijumpai selama situasi pandemi Covid-19. Hal ini jelas masih menunjukan bahwa ketika terjadi suatu sengketa produk jurnalistik, mekanisme ancaman pidana yang represif masih menjadi pilihan bagi kalangan tertentu.
Situasi pemenuhan hak ketenagakerjaan jurnalis juga menyertakan catatan merah dalam kondisi pandemi covid-19 saat ini. Mayoritas jurnalis tetap bekerja secara penuh dengan resiko terpapar covid-19. Tidak sedikit juga jurnalis yang mengalami pemotongan atau penundaan upah maupun tunjangan hingga ada juga yang tidak dibayarkan. Bahkan ada juga yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan Force Majeur. Di sisi yang lain, hadirnya UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat beberapa perubahan yang mempengaruhi hak pekerja juga memberi ancaman bagi kerja-kerja jurnalis ke depannya. Penelitian ini bermaksud untuk memotret bagaimana situasi kebebasan pers di Indonesia selama pandemi Covid-19 berlangsung. Melalui penelitian ini, ICJR, LBH Pers dan IJRS berharap agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik Pemerintah, DPR, maupun Aparat Penegak Hukum untuk mewujudkan jaminan perlindungan bagi kebebasan pers maupun jurnalis. Serta untuk terjaminnya kebabasan pers di Indonesia.
Pada tahun 2020 juga terjadi pelbagai peristiwa pembungkaman kebebasan berekspresi. Misalnya, penangkapan secara masif terhadap masyarakat yang berunjuk rasa, kekerasan terhadap peserta unjuk rasa,
kriminalisasi, dan serangan siber kepada sejumlah pengkritik di bidang kesehatan. Mayoritas kasus yang menyerang aktivis atau akademisi berakhir sama, pelaku tak diproses hukum.
Buku panduan ini disusun dalam enam bagian. Bagian satu berisikan tentang konsep dasar hak kebebasan berekspresi, berpendapat dan memperoleh informasi dan dipadukan dengan penjelasan tentang pembela hak asasi manusia di sektor lingkungan hidup. Bagian kedua, berisikan tentang analisis pola dan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan hak atas
informasi. Bagian ketiga, berisikan tentang strategi advokasi menghadapi kriminalisasi, rekayasa kasus, dan gugatan. Bagian keempat dan kelima menjelaskan tentang strategi advokasi litigasi dan nonlitigasi. Terakhir di bagian keenam merupakan penjelasan tentang strategi mengoptimalkan lembaga nasional, regional, dan mekanisme internasional untuk menghadapi serangan hukum ke pembela hak asasi manusia di sektor lingkungan hidup.
Selain itu, kekuatan final dan mengikat putusan MK terkadang tidak implementatif. Meski tidak seluruhnya putusan PUU oleh MK perlu ditindaklanjuti, namun faktanya tidak sedikit putusan MK tidak dilaksanakan atau dipatuhi (non compliance). Putusan MK didiamkan, tidak jelas bagaimanatindaklanjutnya. Atau jika dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan mengambang atau setengah hati (floating execution). Ada juga yang menolak dan masih menggunakan ketentuan norma yang sudah dibatalkan MK dan/atau menghidupkannya kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh para penyelenggara negara sebagai addressat putusan MK.
Idealnya putusan MK itu dipatuhi dan diimplementasikan sejalan dengan putusan MK.Implementasi putusan MK merupakan bagian dari proses penegakan hukum (konstitusi), yang diperlukan untuk mencapai kepastian dan keadilan. Penegakan hukum yang pasti dan berkeadilanakan lebih dirasakan jika terdapat ketaatan terhadap putusan peradilan. Sebaliknya, akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan jika putusan peradilan MK diabaikan dan tidak dipatuhi atau tidak dilaksanakan. Jika itu kerap terjadi, akan menurunkan kewibawaan MK sebagai peradilan konstitusi. Publik bisa skeptis dan tidak percaya terhadap institusi peradilan MK karenatidak merasakan manfaat dari putusan MK. Suatu kondisi yang tentunya tidak diharapkan dan akanmenjadi catatan buruk praktik negara hukum di Indonesia.
Kenaikan indeks tersebut dibayang-bayangi oleh pertanyaan besar publik terhadap konsistensi dan komitmen politik hukum yang diarahkan oleh pemerintah di tahun ketiga periode 2014-2019. Secara normatif politik hukum dimaksud terdokumentasikan dalam Nawa Cita (khususnya poin keempat), maupun RPJMN, dan program revitaliasi dan reformasi hukum. Namun prinsip-prinsip negara hukum dalam penerapannya belum mampu mencapai predikat baik. Politik hukum yang diperankan pemerintah sepanjang tahun 2017 cenderung diorientasikan pada dukungan terhadap pembangunan sektor ekonomi (infrastruktur), dibanding penegakan hukum itu sendiri.
2016 sampai Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Kemudian yang terbaru, berdasarkan Laporan Situasi Hak-hak Digital SAFEnet Tahun 2020, sepanjang
tahun 2020 terdapat 84 (delapan puluh empat) kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, berjumlah 24 (dua puluh empat) kasus. Dari 84 kasus tersebut, 64 (enam puluh empat) di antaranya menggunakan pasal karet UU ITE. Masih berdasar laporan yang sama, tidak hanya pemidanaan, rupanya kekerasan berbasis gender online (KBGO) kian memprihatinkan. Selama tahun 2020, tercatat 620 (enam ratus dua puluh) kasus atau lebih dari 10 (sepuluh) kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 60 (enam puluh) kasus dengan berbagai jenis KBGO, seperti non consensual dissemination of intimate images (NCII), pelecehan secara online hingga pelanggaran privasi Lebih lanjut dalam UU ITE, terdapat pasal-pasal yang bersifat multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk membatasi informasi tanpa subtansi yang jelas. Pada hari Senin, tanggal 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi Masyarakat Sipil mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorika ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan
tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.Langkah konkrit tersebut harus dilakukan mengingat banyaknya korban akibat dari kriminalisasi yang disebabkan oleh UU ITE. Pemerintah harus mampu menunjukkan itikad baik dalam memperbaiki regulasi ini, agar tidak kembali terjadi kesewenang-wenangan yang dapat merugikan masyarakat.
Keterbukaan Informasi Publik, namun masih ditemukan permasahan - permasalahan khususnya pada tataran implementasi. Kesadaran mengenai pentingnya keterbukaan informasi di sektor lingkungan hidup dan sumberdaya alam belum sepenuhnya merata kepada semua badan - badan publik.
Penelitian ini mencoba untuk menggali hal – hal tentang semangat
Pentingnya Keterbukaan Informasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup keterbukaan informasi publik dalam Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri pada sektor Lingkungan Hidup, ESDM dan Agraria. Selain itu, hal yang diteliti adalah implementasi semangat keterbukaan informasi publik dalam putusan Komisi Informasi dengan membaca tren putusan ajudikasi non-litigasi Komisi Informasi sektor lingkungan.
Pandemi Covid-19 jelas menjadi tantangan baru bagi insan pers untuk menyesuaikan diri atas kerja-kerja pers yang selama ini berlangsung.
Dalam pandemi covid-19 ini, situasi kebebasan pers masih memberikan beberapa catatan buruk yang perlu mendapatkan perhatian. Praktik penyensoran masih terjadi selama pandemi Covid19 di Indonesia, bahkan penyensoran yang terjadi terkait dengan pemberitaan mengenai situasi pandemi Covid-19. Belum lagi, perusahaan pers juga masih mendapatkan ancaman hukum akibat pemberitaan selama masa pandemi Covid-19. Pelaporan kepada Kepolisian juga menjadi salah satu bentuk ancaman hukum yang paling banyak dijumpai selama situasi pandemi Covid-19. Hal ini jelas masih menunjukan bahwa ketika terjadi suatu sengketa produk jurnalistik, mekanisme ancaman pidana yang represif masih menjadi pilihan bagi kalangan tertentu.
Situasi pemenuhan hak ketenagakerjaan jurnalis juga menyertakan catatan merah dalam kondisi pandemi covid-19 saat ini. Mayoritas jurnalis tetap bekerja secara penuh dengan resiko terpapar covid-19. Tidak sedikit juga jurnalis yang mengalami pemotongan atau penundaan upah maupun tunjangan hingga ada juga yang tidak dibayarkan. Bahkan ada juga yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan Force Majeur. Di sisi yang lain, hadirnya UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat beberapa perubahan yang mempengaruhi hak pekerja juga memberi ancaman bagi kerja-kerja jurnalis ke depannya. Penelitian ini bermaksud untuk memotret bagaimana situasi kebebasan pers di Indonesia selama pandemi Covid-19 berlangsung. Melalui penelitian ini, ICJR, LBH Pers dan IJRS berharap agar dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik Pemerintah, DPR, maupun Aparat Penegak Hukum untuk mewujudkan jaminan perlindungan bagi kebebasan pers maupun jurnalis. Serta untuk terjaminnya kebabasan pers di Indonesia.
Pada tahun 2020 juga terjadi pelbagai peristiwa pembungkaman kebebasan berekspresi. Misalnya, penangkapan secara masif terhadap masyarakat yang berunjuk rasa, kekerasan terhadap peserta unjuk rasa,
kriminalisasi, dan serangan siber kepada sejumlah pengkritik di bidang kesehatan. Mayoritas kasus yang menyerang aktivis atau akademisi berakhir sama, pelaku tak diproses hukum.
Buku panduan ini disusun dalam enam bagian. Bagian satu berisikan tentang konsep dasar hak kebebasan berekspresi, berpendapat dan memperoleh informasi dan dipadukan dengan penjelasan tentang pembela hak asasi manusia di sektor lingkungan hidup. Bagian kedua, berisikan tentang analisis pola dan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan hak atas
informasi. Bagian ketiga, berisikan tentang strategi advokasi menghadapi kriminalisasi, rekayasa kasus, dan gugatan. Bagian keempat dan kelima menjelaskan tentang strategi advokasi litigasi dan nonlitigasi. Terakhir di bagian keenam merupakan penjelasan tentang strategi mengoptimalkan lembaga nasional, regional, dan mekanisme internasional untuk menghadapi serangan hukum ke pembela hak asasi manusia di sektor lingkungan hidup.
Selain itu, kekuatan final dan mengikat putusan MK terkadang tidak implementatif. Meski tidak seluruhnya putusan PUU oleh MK perlu ditindaklanjuti, namun faktanya tidak sedikit putusan MK tidak dilaksanakan atau dipatuhi (non compliance). Putusan MK didiamkan, tidak jelas bagaimanatindaklanjutnya. Atau jika dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan mengambang atau setengah hati (floating execution). Ada juga yang menolak dan masih menggunakan ketentuan norma yang sudah dibatalkan MK dan/atau menghidupkannya kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh para penyelenggara negara sebagai addressat putusan MK.
Idealnya putusan MK itu dipatuhi dan diimplementasikan sejalan dengan putusan MK.Implementasi putusan MK merupakan bagian dari proses penegakan hukum (konstitusi), yang diperlukan untuk mencapai kepastian dan keadilan. Penegakan hukum yang pasti dan berkeadilanakan lebih dirasakan jika terdapat ketaatan terhadap putusan peradilan. Sebaliknya, akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan jika putusan peradilan MK diabaikan dan tidak dipatuhi atau tidak dilaksanakan. Jika itu kerap terjadi, akan menurunkan kewibawaan MK sebagai peradilan konstitusi. Publik bisa skeptis dan tidak percaya terhadap institusi peradilan MK karenatidak merasakan manfaat dari putusan MK. Suatu kondisi yang tentunya tidak diharapkan dan akanmenjadi catatan buruk praktik negara hukum di Indonesia.
Kenaikan indeks tersebut dibayang-bayangi oleh pertanyaan besar publik terhadap konsistensi dan komitmen politik hukum yang diarahkan oleh pemerintah di tahun ketiga periode 2014-2019. Secara normatif politik hukum dimaksud terdokumentasikan dalam Nawa Cita (khususnya poin keempat), maupun RPJMN, dan program revitaliasi dan reformasi hukum. Namun prinsip-prinsip negara hukum dalam penerapannya belum mampu mencapai predikat baik. Politik hukum yang diperankan pemerintah sepanjang tahun 2017 cenderung diorientasikan pada dukungan terhadap pembangunan sektor ekonomi (infrastruktur), dibanding penegakan hukum itu sendiri.