KONSEPSI AGAMA ISLAM
DALAM AL-QURAN
Oleh : Ahmad Mujahid
ahmujahid69@gmail.com
UIN Alauddin Makassar DPK Unhas
Haeriyyah
haeriyyah@gmail.com
FIB UNHAS Makassar
Abstract
The problem with the diversity of Muslims is a religion without essence. Religion without
substance. Having religion without practicing religious law. Having religion with the practice of
sharia but minus the essence of being religious. This issue is discussed using the maudhuiy
interpretation approach. Starting from the verses that use the term al-Islam, whether followed by the
term al-dien or not, it is found that Islam refers to two meanings and or two conceptions, namely
Islam as a religious institution and Islam as the essence of teachings. True Muslims are religious,
not only limited to adhering to Islam as a religious institution but actually grounding Islam as
teaching, namely actualizing Islamic teachings universally and holistically in life and life.
Keywords: The Essence of Religion; The Nature of Religion; al-Dīn; Essence of the Doctrine
Abstrak
Problematika keberagamaan umat Islam adalah beragama tanpa esensi. Beragama tanpa
subtansi. Beragama tanpa pengamalan syariat agama. Beragama dengan pengamalan syariat
namun minus hakekat beragama. Masalah ini dibahas dengan menggunakan pendekatan tafsir
maudhuiy. Bertolak dari ayat-ayat yang menggunakan terma al-Islam baik diikuti oleh terma aldiin maupun tidak, ditemukan hasil bahwa Islam menunjuk dua makna dan atau dua konsepsi,
yakni Islam sebagai institusi agama dan Islam sebagai esensi ajaran. Umat Islam sejati beragama,
tidak hanya sebatas menganut Islam sebagai institusi agama, tetapi sejatinya membumikan Islam
sebagai ajaran, yakni mengaktualisasikan ajaran Islam secara universal dan holistik dalam hidup
dan kehidupan.
Kata Kunci: Esensi Beragama; Hakekat Beragama; al-Dīn; Esensi Ajaran
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
A. PENDAHULUAN
Terma Islam, dapat terkait dengan nama institusi agama, yakni agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai penutup para nabi Allah. Terma Islam juga dapat
digunakan untuk menunjuk kepada esensi dan atau subtansi ajaran agama samawi, yakni
agama yang diturunkan dari langit dan disampaikan oleh para nabi dan rasul yang diutus
oleh Allah Swt. Kedua makna dari terma Islam tersebut merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, baik dalam penggunaan terma Islam tersebut diikuti oleh terma al-diin
yang berarti agama, ataupun tidak diikuti oleh terma al-diin. Jadi dapat dipahami bahwa
terma Islam meliputi nama agama dan sekaligus esensi ajaran agama itu sendiri. Oleh
karena, dapat ditegaskan bahwa menganut agama dan atau beragama Islam, tidak cukup
dengan hanya menganut institusi agamanya tanpa mengikut atau menghidupkan esensisubtansi dari ajaran agama Islam itu sendiri. Apabila pemahaman seperti dijadikan sebagai
alat analisis-kritis dalam melihat cara keberagamaan umat Islam kekinian, maka pertanyaan
yang menarik untuk dianalisis dan dikritisi adalah apakah umat Islam yang mengaku
menganut Islam sebagai agama telah beragama secara esensial-subtansial? Dengan
pertanyaan lain, apakah Islam baik dalam makna institusi agama maupun dalam makna
esensi ajaran, telah nyata dan atau menjadi fenomena yang hidup dalam keberagamaan
umat Islam? Ataukah kebanyakan (baca: untuk tidak mengatakan semua) umat Islam merasa
cukup telah menganut agama Islam meskipun minus esensi-subtansi ajaran Islam itu
sendiri?
Beberapa pertanyaan di atas, sangat relevan untuk dipertanyakan sekaligus untuk
dijawab, apabila kita mencermati cara keberagamaan umat Islam di era kekinian, yakni tidak
sedikit umat Islam yang telah mengaku menganut agama Islam, namun tidak mengetahui
ajaran-ajaran Islam. Dengan perkataan lain, banyak di antara umat Islam yang buta esensi
ajaran Islam itu sendiri. Lalu bagaimana umat Islam yang demikian, dapat menghidupkan
dan atau membumikan esensi dari ajaran Islam dalam dirinya, pada keluarganya dan sosialmasyarakatnya. Selain itu, terdapat kelompok umat Islam yang mengilmui ajaran Islam,
namun tidak memperaktekkan ajaran Islam sendiri. Kelompok ini pun, dapat dikategorikan
sebagai kelompok umat Islam yang tidak sampai pada pembumian esensi ajaran Islam.
Ada lagi umat Islam yang mengamalkan dan memperaktekkan ajaran Islam, misalnya
menegakkan shalat fardhu ditambah pelaksanaan shalat sunnah, berpuasa di bulan
ramadhan dan bahkan rajin melaksanakan puasa sunnah, berzakat, berinfak, bersedekah
dan bahkan telah menunaikan ibadah haji, namun pada kenyataannya kelompok umat
Islam juga masih akrab dengan dosa, kemaksiatan, kejahatan, keburukan dan moralitas
tercela (akhlak madzmumah). Dengan perkataan lain, kelompok umat Islam ini telah
beragama secara lahir, namun minus esensi ajaran Islam. Pengamalan agama kelompok ini,
tidak mampu dan atau disfungsi membentuk akhlak moralitas yang terpuji.
Salah satu karakter kelompok umat Islam adalah, mudah menyalahkan dan bahkan
mengkafirkan umat Islam yang berbeda dengan pemahaman mereka. Karakter lainnya
adalah kelompok umat Islam ini, cenderung mudah berselisih dengan umat Islam lainnya,
bahkan sangat gampang mengdhalimi dan membunuh umat Islam lainnya yang telah
dianggap kafir. Dalam sejarah Islam, kelompok ini dikenal dengan kelompok Khawarij.
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
71
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Dalam sejarah Islam, juga ditemukan contoh nyata, kejahatan yang dilakukan oleh umat
Islam yang berpaham demikian, misalnya Ibnu Muljam. Dia adalah seorang penghafal alQuran, rajin baca al-Quran, rajin shalat, rajin puasa, bahkan tidak jarang meneteskan air
mata ketika lagi menegakkan ibadah, namun Ibnu Muljam, dengan tanpa merasa bersalah
sedikit pun telah mengayungkan pedangnya untuk membunuh Amirul Mukminin Ali,
menantu Rasulullah Saw., orang yang digelari pintunya ilmu kenabiaan dan kerasulan. Ali
adalah manusia yang digelari Karrama Allah wajhahu, yakni orang yang dimuliakan wajah
dan rohnya oleh Allah. Fenomena cara keberagamaan seperti yang diperlihatkan oleh Ibnu
Muljam, masih dapat dengan mudah ditemukan dan disaksikan dalam kehidupan umat
Islam kekinian, khususnya umat Islam yang menganut Islam tekstual.
Peristiwa lain yang terjadi pada masa sahabat yang juga dapat menggambarkan
keberislaman sebagian umat Islam yang hidup di masa tersebut terdistorsi esensi
keberagamaannya adalah peristiwa pembunuhan khalifah Utsman bin Affan. Peristiwa ini,
selanjutkan melahirkan peristiwa-peristiwa kelamnya lainnya dalam sejarah Islam, misalnya
terjadinya perang saudara di antara para sahabat yakni Perang Shiffin dan Perang Jamal.
Demikian pula peristiwa pembunuhan cucu kesayangan Rasulullah Saw, yakni Husain bin
Ali as. di Karbala. Terlepas dari apa motif yang menjadi latar belakang dari berbagai
peristiwa tersebut, namun yang pasti, berbagai peristiwa tersebut, tercatat sebagai peristiwa
kelam dan gelap dalam sejarah Islam. Bukankah ini berarti menggambarkan tidak
merealitasnya esensi ajaran Islam dalam berbagai peristiwa berdarah tersebut?
Berbagai peristiwa berdarah yang telah menggelapkan sejarah umat Islam,
tampaknya juga dapat ditemukan pada era kekinian, misalnya perang yang terjadi di antara
negara dan atau umat Islam di Timur Tengah. Bahkan tidak dapat dipungkiri, ada negara
dan umat Islam yang bekerjasama dengan negara yang bukan Islam untuk memerangi
negara umat Islam lainnya, misalnya saja perang yang pernah berlangsung tidak kurang dari
8-9 tahun antara dua negara Islam yakni Irak dengan Iran. Perang lainnya yang masih
berlangsung hingga tulisan ini ditulis adalah perang yang berada dibawa kepemimpinan
negara Saudi Arabiah melawan Suriah dan lain sebagainya. Juga keberadaan ISIS. Bukankah
semua ini, juga menggambarkan bagaimana esensi ajaran Islam tidak merealitas dalam
kehidupan umat Islam baik secara personal-individual, dalam kehidupan keluarga dan
dalam kehidupan sosial-masyarakat bernegara.
Konteks keindonesiaan pun, berbagai peristiwa yang menggambarkan bahwa umat
Islam jauh dari esensi ajaran Islam itu sendiri, mudah ditemukan, misalnya berbagai
peristiwa yang menggambarkan intoleransi, radikalisme dan terorisme keberagamaan. Ketiga
istilah ini memiliki relasi yang kuat, yakni intoleransi merupakan benih awal yang dapat
menghadirkan radikalisme dan dari radikalisme kemudian mewujud dalam gerakan
terorisme. Dan tak dapat dipungkiri bahwa intoleransi, radikalisme dan terorisme
keberagamaan, dapat ditemukan di kalangan umat Islam, misalnya gerakan sweeping di
tempat-tempat kemaksiatan. Terdapat dari kalangan umat Islam menganggap gerakan
sweeping tersebut sebagai bentuk dari gerakan nahi mungkar. Oleh karena itu, bagi
kelompok umat Islam yang berpaham demikian, menganggap gerakan sweeping tempat
kemaksiatan merupakan perintah dari ajaran agama.
72
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
Contoh lainnya adalah peristiwa teror pemboman dan atau bom bunuh diri. Tidak kurang
dari 20 peristiwa pemboman telah terjadi atas nama agama di Indonesia. 1 Gerakan
pemboman yang paling terkenal adalah peristiwa bom Bali pada 2002. Pelaku gerakan ini,
menyakini bahwa mati dan atau bunuh diri dalam peristiwa bom Bali merupakan bentuk
dari mati syahid. Peristiwa lainnya yang juga menggambarkan intoleransi, radikalisme dan
berpotensi menjadi terorisme adalah tindakan kekerasan terhadap kelompok Syiah di
Sampang pada tahun 2012. Demikian beberapa peristiwa yang menggambarkan gerakan
intolerasi, radikalisme dam terorisme. Ketiga gerakan ini sungguh sangat jauh dari esensi
ajaran Islam, yakni sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta (rahmatan lil
alamiin), sebagai agama perdamaian dan keselamatan.
Bertolak dari uraian di atas, pertanyaan yang dikaji lebih lanjut dalam tulisan ini
adalah bagaimana beragama secara esensial-subtasial? Pembahasan masalah ini, didekati
dengan pendekatan tafsir maudhuiy. Adapun tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dari
tulisan ini adalah dengan memahami esensial-subtansial keberagamaan dan
mengamalkannya dalam kehidupan pribadi, keluarga dan sosial-masyarakat bernegara,
diharapkan terciptannya kedamaian, ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan sosial-masyarakat-negara.
B. TERMA AD-DIIN DAN AL-ISLAM DALAM KEBAHASAAN
Berdasarkan permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini, maka terma yang
patut untuk dijelaskan dari sudut kebahasaan ada dua yaitu; pertama, terma al-diin dan
kedua adalah al-Islam. Term al-diin adalah terma yang berakar pada huruf “dal, ya dan nun,”
yang menunjuk makna pokok ketundukan dan kerendahan. Maka terma al-diin menunjuk
makna ketaatan. Jadi orang yang dinyatakan beragama apabila merasa memiliki agama,
2
tunduk dan taat kepada agamanya. Al-Ashfahaniy mengatakan bahwa terma al-diin
digunakan dalam makna ketaatan dan pahala serta digunakan dalam mengartikan sebuah
syariat. Dalam makna ini, maka terma al-diin semakna dengan al-millah, yang berarti agama,
namun penekanan pada terma al-diin digunakan untuk menggambarkan ketaatan dan
3
ketundukan terhadap syariat. Dalam kitab Lisan al-Arab, kata al-diin menunjuk makna yang
beraneka ragam, yakni;
1. Menguasai, menggagahi, menetapkan, memerintahkan, memaksa supaya taat,
menggunakan wewenang terhadap bawahan dan menjadikannya sebagai seorang
hamba yang patuh.
2. Mentaati, berkhidmat, melayani, mengabdikan diri kepada seseorang, mematuhi
1
Terorisme di Indonesia.http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme di Indonesia.
2
Abi Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lughat, Juz II (t.tp: Dar al-Fikr, t.th.),
h. 319.
3
Abi al-Qasim al-Husain Ibn Muhammad al-Ashfahaniy, al-Mufradat fi Gharib al-Quran (Mesir:
Musthafa al-Bab al-Halabiy, t.th.), h. 765.
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
73
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
perintahnya, tunduk di bawah pengaruh dan kekuasaannya.
3. Syara, agama, undang-undang, norma, aliran, sekte, adat istiadat atau tradisi.
4. Balasan, ganjaran, pengadilan dan perhitungan.
Makna kebahasaan dari terma al-diin, dapat dipahami bahwa esensi beragama
adalah ikatan yang menuntut adanya kepatuhan, ketaatan, ketundukan seorang penganut
agama terhadap syariat-syariat dan atau norma-norma agama yang dianutnya, dengan penuh
kerendahan diri. Konsekwensi dari kepatuhan, ketaatan, ketundukan kepada syariat dan
norma tersebut adalah adanya balasan, ganjaran di hari perhitungan.
Terma al-Islam, berakar pada huruf-huruf “sin, lam dan mim.” Secara etimologis
4
menunjuk makna pokok terbebas dari bahaya lahir maupun batin Dari akar kata ini
dengan makna pokok terbentuklah beberapa derivasi yang menunjuk berbagai makna,
namun semua maknanya dapat dikembalikan ke makna pokoknya, misalnya makna
terbebas dari cacat, tunduk, patuh, memberikan, memeluk agama Islam, menyerahkan diri,
5
berdamai, keselamatan, ketentraman dan lain-lain sebagainya Dari pengertian bahasa ini,
dapat dipahami bahwa esensi makna dari terma Islam, adalah keselamatan, kedamaian,
ketentraman, yang berasal dari ketundukan, ketaatan, dan penyerahan diri kepada Allah
Swt dan atau dengan tunduk, patuh dan taat menegakkan ajaran Islam yang dianut.
Makna kedua terma yakni al-diin dan al-Islam yang membentuk frase “diin al-Islam,”
tergambar dengan jelas dan tegas bahwa esensi agama Islam adalah ketundukan, kepatuhan,
ketaatan dan penyerahan diri kepada Allah yang menurunkan agama Islam, membuahkan
keselamatan, kedamaian, ketentraman, baik secara lahir maupun secara batin. Dengan
perkataan lain ketundukan, kepatuhan dan ketaatan dalam menegakkan ajaran agama
membebaskan dari segala bentuk bahaya dan cacat baik secara lahir maupun secara batin.
Makna dari esensi agama Islam akan semakin jelas diuraikan pada pembahasan beragama
dalam perspektif al-Quran.
C. ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN SUBTANSI AJARAN
Al-Quran menamai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah dengan
nama Islam. Terma Islam ditemukan penggunaannya dalam al-Quran sebanyak 8 kali. Dua
ayat di antaranya tergolong dalam kelompok ayat makkiyah dan 6 ayat lainnya tergolong
6
kelompok ayat madaniyah. Berikut uraian lebih lanjut ayat-ayat tentang Islam. QS. alAn‟am/6: 125:
4
Jamaluddin Muhammad Ibn Mukrim ibn Mansyur, Lisan al-Arab, Juz xvii (Bairut: Dar al-Ilmiyah,
t.th.), h. 24-30
5
Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, Juz I (Cet. VIII, T.tp: tp., t.th.), h. 446.
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufakhras li Alfaz al-Quran al-Karim (Bandung:
Diponegoro, t.th.), h. 453.
6
74
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
َ
َ ٰ
َ
َ
ً َ
َ
َ
َ َ َّ
َ
ْن ْ ُّي ِضلهْ ْيجعلْ ْصد َرهْ ْض ِيقا
ْ ام ْ َو َمنْ ْ ُّي ِردْ ْا
ِْ ن َّْيى ِد َيهْ ْيش َرحْ ْصد َرهْ ْ ِل ِلاسل
ْ اّلل ْا
ْ﴿ؾ َمنْ ْ ُّي ِر ِْد ْ ه
ٰ َ ٰ َ َ َ ه
َ َ َ َ َّ َ َ ه ه
َ َ ً َ ََّ َ َ َّ َّ ه
َ َّ
ه
ْ ﴾ْ١٢٥ْن
ْ نْلاْيؤ ِمني
ْ سْعلىْال ِذي
ْ الرج
ْ
ْ
اّلل
ْ
ْ
ل
ع
ج
ي
ْ
ْ
ك
ل
ذ
ك
ْ
ْ
ۤء
ا
م
الس
ْ
ى
ف
ْ
ْ
د
ِ
ِ
ِ حرجاْكانماْيصع
ِ
Terjemah:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki memberikan kepadanya petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit,
seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orangorang yang tidak beriman.”
QS. al-Zumar/39: 22:
ه َ ٰ َ َ َ ه
َ َ َ َ َ َه
َ ه
َ
ْ ﴾ْ٣٩ْن
ْ فْحعلمي
ْ ﴿قلْْ ٰيقي ِْمْاع َملياْعلىْمكان ِخك ْمْ ِ ِانيْْع ِاملْْؾسي
Terjemah
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama
Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu
hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya
untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
Terma “Islam” pada kedua ayat makkiyah di atas tidak didahului dan atau diikuti
oleh terma ”ad-diin” yang berarti agama. Berbeda dengan penggunaan terma “Islam” pada
kelompok ayat madaniyah, yakni ada yang didahului oleh dan atau dikaitkan dengan terma
ad-diin, seperti dibahas kemudian. Ketiadaan term ad-diin mengikuti terma al-Islam, menurut
penulis, pada kedua ayat di atas, dapat dipahami dalam 2 pemaknaan, yakni pertama adalah
terma “al-Islam” bermakna subtansi ajaran Islam dan atau Islam sebagai ajaran. Kedua,
terma al-Islam bermakna institusi keagamaan (agama) yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw. Kedua makna Islam tersebut satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan perkataan
lain, penggunaan terma Islam mencakup kedua makna tersebut secara bersamaan.
Penggunaan term al-Islam tanpa diikuti oleh term al-diin, juga ditemukan dalam kelompok
ayat-ayat madaniyah yakni pada 3 ayat, yakni QS. Shaf/61: 7; QS. al-Hujurat/49: 17 dan
QS. al-Taubah/9: 74. Jadi penggunaan terma al-Islam dalam al-Quran lebih banyak tidak
diikuti oleh terma al-diin. Menurut penulis, hal ini mengisyaratkan kuatnya makna yang
telah dikemukakan di muka, yakni bahwa penggunaan terma al-Islam, selain menekankan
Islam sebagai institusi keberagamaan yang dianggap benar di sisi Allah. Tidak ada institusi
keberagamaan lainnya yang dianggap benar di sisi Allah pasca Muhamamd Saw. diutus oleh
Allah sebagai Nabi dan Rasul Allah. Makna ini akan dibahas kemudian, namun isyarat
makna yang tak kalah pentingnya untuk dikedepankan adalah bahwa dalam berislam tidak
cukup dengan memasuki dan atau memeluk Islam sebagai institusi keberagamaan tanpa
makna memiliki dan menghidupkan makna islam secara esensial-subtansial ajaran. Untuk
lebih jelasnya berikut uraian lebih lanjut kedua ayat di atas.
Kandungan pokok ayat 125 surah ke 6 di atas mengemukakan bahwa kelompok
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
75
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
sosial yang dianugerahi dan atau berada dalam petunjuk Allah adalah dada mereka lapang
terhadap Islam baik sebagai subtansi ajaran maupun sebagai institusi keberagamaan.
Sebaliknya kelompok sosial yang berada dalam kesesatan adalah dada mereka sesak dan
sempit terhadap Islam baik sebagai subtansi ajaran maupun sebagai institusi agama.
Kelompok sosial yang disebut terakhir ini, diumpamakan seperti orang yang sedang
mendaki langit. Bukankah orang yang mendaki langit akan kesulitan dan mengalami sesak
nafas karena kekurangan oksigen. Selanjutnya dalam klausa penutup ayat 125 ditegaskan
bahwa sesungguhnya kesesatan dan kesempitan dada merupakan salah satu wujud siksaan
Allah kepada kelompok sosial yang ingkar kepada Allah, yakni tidak beriman dan atau tidak
menerima Islam sebagai ajaran dan atau sebagai institusi agama yang dibawa oleh
Muhammad Saw.
Adapun kandungan ayat 22 surah ke 39, mempertanyakan kedudukan kedua
kelompok sosial manusia tersebut, baik yang lapang dada atau yang sesak dan sempit dada
terhadap Islam sebagai institusi keberagamaan dan atau sebagai subtansi ajaran, yakni
apakah keduanya sama atau berbeda? Jawaban atas pertanyaan ini, dapat dipahami dari
klausa lanjutan ayat 22 tersebut, yakni bahwa keduanya tidaklah sama. Kelompok sosial
yang dada mereka lapang terhadap Islam berada pada cahaya Allah. Sementara kelompok
sosial yang dada mereka sesak dan sempit terhadap Islam, hati mereka menjadi keras dan
membatu. Kelompok sosial yang disebut terakhir ini, tidak pernah mampu berzikir
mengingat Allah dan mereka berada dalam kelompok sosial yang tersesat dan mereka
berada pada kecelakaan yang sangat besar.
Mencermati kandungan kedua ayat di atas, dipahami keduanya memiliki
keterkaitan atau munasabah yang kuat, yakni keduanya saling menafsirkan dan atau
menjelaskan. Pesan utama dari kedua ayat tersebut adalah bahwa Islam baik sebagai ajaran
dan atau sebagai institusi agama, apabila diterima dengan lapang dada, maka itu petanda
telah berada dalam petunjuk Allah dan dipenuhi cahaya ilahiah. Sebaliknya apabila Islam
disikapi dengan dada yang sesak dan sempit, dengan perkataan lain ditolak, maka itu
pentanda telah berada dalam kesesatan yang nyata, ketiadaan iman dan memperoleh
siksaan.
Menurut penulis, rumusan sementara yang dapat dikemukakan secara tegas, jelas
dan terbantahkan dari kedua ayat di atas terkait dengan Islam, baik sebagai subtansi ajaran
maupun sebagai institusi keagamaan adalah bahwa dalam berislam dibutuhkan kelapangan
dada sebagai lawan dari kesesakan dan atau kesempitan dada (shadrun). Dengan perkataan
lain, berislam baik dalam makna institusi agama maupun sebagai subtansi ajaran terkait
dengan kualitas hati, yakni baik kualitas yang dipenuhi cahaya dan atau lawannya kualitas
hati yang keras (qalb qasiyah). Kualitas hati yang keras dalam berinteraksi dengan Islam
merupakan petanda penolakan terhadap Islam. Karakteristiknya adalah tidak mampu
berzikir mengingat Allah. Dalam pandangan al-Quran, hati yang buruk seperti ini
merupakan salah bentuk “rijs”, yakni kualitas hati yang sesak dan sempit bahkan mengeras
dan membatu serta berada dalam kesesatan (dhalal) yang nyata. Berbeda dengan kualitas
hati yang lapang dalam beriteraksi dengan Islam merupakan petanda penerimaan terhadap
Islam. Karakteristiknya adalah hatinya bercahaya, berada dalam petunjuk (hudan). Dengan
76
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
perkataan lain, dalam menerima Islam sebagai subtansi ajaran dan atau isntitusi agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. tidak cukup dengan pengakuan lisan, tetapi
memerlukan kelapanan dada dan atau hati. Jadi apabila seseorang mengaku berislam tetapi
hatinya tidak lapang terhadap ajaran Islam maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa
keislamannya belumlah mantap. Bahkan dapat dikatakan, belum beriman. Seperti
ditegaskan dalam klausa penutup ayat 125 surah ke 6, yakni kelompok sosial yang dada dan
atau hati mereka sesak dan atau sempit terhadap Islam, dinyatakan secara tegas sebagai
kelompok sosial yang tidak beriman.
Keterangan lain yang juga patut ditegaskan adalah bahwa keberislaman dan
keimanan adalah dua hal yang tidak terpisahkan satu sama lain. Keduanya berada dalam
logika simultan. Informasi lain yang juga urgen untuk dikemukakan adalah bahwa
keberislaman seseorang tidak dapat lepas dari Allah sebagai pemberi petunjuk. Dengan
perkataan lain, keberislaman seseorang tidak dalam kemandiriannya tanpa Allah yang
memberi petunjuk. Keterangan ini ditegaskan dalam ayat yang juga menggunakan terma alIslam yakni QS. al-Hujurat/49: 17.
Klausa yang menjadi fokus pembahasan dari kandungan kedua ayat di atas adalah
klausa “yasrah shadrahu li al-Islam” dan atau “syaraha Allah shadrahu li al-Islam.” Klausa
pertama digunakan pada ayat 125 surah ke 6 dan klausa kedua ditemukan dalam ayat 22
surah ke 39. Ibnu Katsir mengemukakan beberapa riwayat tentang makna klausa “yasyrah
shadruhu li al-Islam.” Inti makna dari klausa tersebut adalah nur yang dimasukkan ke dalam
dada orang yang bersangkutan. Dan di antara tandanya adalah selalu ingat hari kembali
kepada Allah yakni hari kiamat. Senantiasa berusaha menjauhi perkara-perkara dunia yang
menipu dan bersiap-siap untuk mati sebelum datangnya kematian. Keterangan lain yang
dikemukakan oleh Ibnu Katsir sebelum dia mengemukakan beberapa riwayat yang
dikemukakan di atas, Ibnu Katsir mengemukakan pandangan Ibnu Abbas yang menyatakan
yang dimaksud dengan klausa inti di atas adalah Allah melapangkan dadanya kepada ajaran
7
tauhid dan iman kepada Allah.
Shihab dalam Tafsir al-Misbah menulis keterangan tentang makna klausa inti di
atas, yakni klausa inti tersebut mengisyaratkan makna penerimaan ajaran Islam dan iman.
Lebih lanjut Quraish menulis bahwa gabungan kata “yasyrah dengan shadra” menunjuk
makna memperjelas dan menerangkan keterangan bahwa cahaya ditanamkan ke dalam
hatinya. Dan dengan cahaya itu, ia menerima kebenaran dan mudah serta jelas jalan untuk
8
meraihya. Keterangan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh az-Zuhaili. Dia menulis
bahwa yang dimaksud dengan klausa “yashrah shadruhu li al-Islam” adalah Allah melapangkan
dada seseorang untuk menerima keimanan dan kebaikan serta memasukkan cahaya ke
dalam hatinya sehingga hatinya menjadi lapang dan menerima kebaikan. Al-Zuhaili
menegaskan bahwa makna yang dikemukakannya disebutkan dalam riwayat-riwayat yang
Imanuddin Abi al-Fida‟ Ismail Ibnu Katsir al-Qusyairi al-Dimasqiy, Tafsir al-Quran al-Adhim, Juz I
(Cet. I, Bairut: Dar al-Fikr, 1990), h.195-196.
7
8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Juz 4 (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 284.
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
77
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
disandarkan kepada Rasulullah Saw dan Ia juga mengemukakan keterangan yang
9
dikemukakan oleh Ibnu Abbas, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir.
Sementara Thabaththaba‟iy dalam Tafsir al-Mizan mengemukakan makna klausa
“yashrah shadrahu li al-Islam” dengan makna seseorang berserah diri kepada Allah, yakni
sungguh dadanya luas dan lapang dalam berserah diri kepada Allah dan atau dalam
memeluk agama Islam. Orang tersebut menerima keyakinan yang benar yakni ajaran tauhid
dan menegakkan amalan diniyah yang saleh. Lebih lanjut Thabaththabai menulis bahwa
kelapangan dada ini karena bashirahnya dipenuhi cahaya. Berbeda dengan orang yang
bashirahnya buta maka ia tidak mampu membedakan kebenaran dan kebatilan, tidak
10
mampu membedakan kejujuran dengan kebohongan.
Berangkat dari uraian di atas, penulis ingin tegaskan bahwa dalam menganut Islam
dan atau dalam berislam diperlukan keseriusan, dan bukan sekedar pengakuan lisan tanpa
pembenaran dan atau penerimaan hati selapang-lapangnya. Syarat utama dan pertama dari
kebenaran keberislaman umat Islam adalah ketika hatinya telah lapang dalam menerima
Islam baik sebagai ajaran dan atau sebagai institusi agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Dengan perkataan lain, keberislaman tanpa kelapangan hati, tidak atau
belumlah sempurna, meskipun ia telah diakui bahwa ia telah masuk dalam area Islam atau
telah memeluk Islam. Oleh karena itu, dalam berislam diperlukan gerakan penyempurnaan
keberislaman, sampai seorang yang mengaku Islam menjadi muslim. Seorang yang beragama
Islam tidak boleh tidak dia mesti menjadi muslim. Sebelum ia menjadi muslim maka
keislamannya belumlah sempurna dan hanya berada pada wilayah lahir Islam semata minus
makna batin atau hakiki Islam. Tegasnya keberislamannya tidak sampai pada puncak
keislaman. Dalam konteks makna ini, maka Allah memerintahkan agar Islam dimasuki
atau dianut secara menyeluruh, universal dan holistik. Islam yang seperti ini, dalam alQuran disebut Islam kaffah. Seperti ditegaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 208:
ه ه
َّ ٰ َّ َ ه َ ه
ه ه
ٰٓ َ ُّ َ َّ َ ٰ َ ه
َ َّۤ ً َّ َ ََّ ه
ٰ
ْْن ْ ِان ْه ْلكمْ ْعدو
ْ ِ ت ْالشيط
ْ ِ السل ِْم ْكاؾ ْث ْولا ْحت ِتعيا ْخطي
ْ ﴿يايىا ْال ِذي
ِ ْ ن ْامنيا ْادخليا ْ ِفى
ْ ﴾ْ٢٠٨ُّْْم ِتين
Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.
Kandungan ayat ini menegaskan perintah Allah agar menganut Islam secara
holistik, universal, menyeluruh atau berislam kaffah. Perintah berislam secara kaffah diikuti
9
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir Aqidah, Syariah Manhaj. Terj. oleh Abdul Hayyi al-Kattani dkk dari
judul aslinya: “Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syariat wa al-Manhaj,” Juz 4 (Jakarta: Gema Insani, 2015), h.
323.
10
Muhammad Husain al-Thabaththaba‟iy, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, Juz 7 (Bairut: Muassasah alIlmiah, 1997), h. 353-354).
78
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
dengan larangan mengikuti langkah-langkah setan. Ini mengisyaratkan makna bahwa setan
dengan berbagai langkah-langkahnya adalah musuh yang paling nyata bagi orang yang
berislam secara kaffah. Dengan perkataan lain, mengikuti langkah-langkah setan
kontraproduktif dengan keberislaman secara kaffah. Mengikuti langkah-langkah setan dapat
merusak keberislaman yang kaffah.
Keterangan lain yang patut dicermati dari kandungan ayat 208 di atas, adalah
bahwa perintah memasuki dan atau menganut Islam secara kaffah di satu sisi dan larangan
mengikuti langkah-langkah setan di sisi lain, diserukan kepada kelompok sosial yang telah
beriman. Menurut penulis, ini mengisyaratkan makna bahwa keberislaman secara kaffah,
hanya dapat diwujudkan ketika iman telah ada dan telah merasuk ke dalam hati. Tanpa
iman dalam hati maka keberislaman dengan benar atau kaffah sulit terwujud, sebaliknya
mudah terjebak dan terjatuh dalam langkah-langkah setan. Jadi keberislaman yang benar,
hakiki dan kaffah adalah ketika hati telah lapang dengan ajaran agama Islam dan itu telah
menjadi petanda bahwa keimanan pun telah merasuk ke dalam hati. Pemahaman yang
demikian ini, sesungguhnya telah diisyaratkan dalam ayat 125 surah ke 6. Di mana dalam
klausa penutup ayat 125 tersebut ditegaskan bahwa siksa atau rijs ditimpakan kepada
kelompok sosial yang tidak beriman. Pertanyaannya adalah siapa kelompok sosial yang tidak
beriman? Jawabanya adalah mereka yang hatinya tidak lapang terhadap ajaran agama Islam,
yakni hatinya sesak dan sempit terhadap Islam, mereka menolak Islam.
Orang atau kelompok sosial yang hatinya sesak terhadap Islam, baik sebagai ajaran
atau sebagai agama adalah orang atau kelompok sosial yang tidak beriman. Sebaliknya orang
yang hatinya lapang terhadap Islam baik sebagai ajaran maupun sebagai institusi agama,
maka itu pertanda di hatinya ada iman. Keterangan dan pemahaman yang demikian ini,
semakin jelas dan tegas apabila ditautkan dengan kandungan ayat 22 surah ke 39. Di mana
dalam ayat yang disebut terakhir ini, dikemukakan bahwa orang yang lapang dadanya
dengan Islam, maka hatinya dipenuhi cahaya Allah. Sebaliknya orang yang sesak atau
sempit hatinya terhadap Islam, yakni hatinya membatu dan tidak mampu berzikir kepada
Allah dalam arti yang seluas-luasnya dan mereka berada dalam kesesatan yang nyata, artinya
orang yang hatinya tanpa Islam dan Iman adalah kelompok sosial yang sesat secara pasti,
nyata dan jelas. Tegasnya Islam dan Iman mesti merasuk ke dalam hati, bukan sekedar
pengakuan lisan. Di sisi inilah tampak dengan jelas keislaman dan keimanan adalah dua
ajaran al-Quran yang tidak terpisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang
menyatu. Dengan perkataan lain, Islam sejatinya menjadi muslim dan iman sejatinya
menjadi mukmin. Muslim dan mukmin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh
karena itu, sekali lagi penulis tegaskan, orang yang mengaku berislam atau beriman sejatinya
menegakkan gerakan penyempurnaan keislaman dan keimanannya sampai menjadi muslim
dan mukmin.
Setelah menganalisis uraian paragraf akhir ini, sangat mungkin lahir pertanyaan.
Bagaimana dengan kandungan ayat 14 surah al-Hujurat. Kandungan ayat mengemukakan,
pengakuan kelompok sosial Arab Badui bahwa mereka telah beriman. Lalu Allah menolak
pengakuan keimanan mereka, karena keimanan mereka belum merasuk ke dalam hati,
namun Allah perintahkan kepada mereka agar berkata bahwa diri mereka telah menganut
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
79
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Islam. Bukankah dari kandungan ayat 14 surah ke 49 ini, dapat dipahami bahwa kelompok
sosial Arab Badui itu telah diakui keislamannya oleh Allah meskipun tanpa iman di hati?
Bukankah ini mengisyaratkan bahwa Islam dan iman itu berbeda? Bukankah juga
menggambarkan bahwa Islam duluan baru Iman sebagai suatu hirarki?
Kandungan ayat 14 surah ke 49 tersebut tidak bertentangan dengan kandungan
ayat 125 surah ke 6 dan atau surah ke 39 ayat 22, demikian pula ayat 208 dalam surah ke 2
yang telah diuraikan di atas. Berikut QS. al-Hujurat/49: 14:
ٰ
َ َ
َ ه
ه ه َ َ َ َ َ َّ َ ه
َ َ ه ٰ َّ ه َّ ه ه
ْان ْ ِف ْي
ْ ل ْال ِايم
ْ ِ اب ْا َمنا ْ ْقلْ ْل ْم ْحْؤ ِمنيا ْ َول ِكنْ ْقيليْٓا ْاسلمنا ْولما ْيدخ
ْ ج ْالاعر
ْ ِ ﴿۞ ْقال
ه
هه ه
َ َ َٰ َ َ ه
َّ ٰ َ َ ه
َ َ َ ه
ه ه
َّ
َ
ْ ﴾ْ١٤ْْاّللْػؿيرْْر ِحيم
ْ ْن
ْ اّللْورسيلهْْلاْي ِلخكمْْ ِمنْْاعما ِلكمْْشي ًٔـاْ ِا
ْ ْقلي ِةكمْْ َواِ نْْح ِطيعيا
Terjemah:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu
belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang."
Menurut penulis, kandungan ayat 14 surah ke 49 tersebut menggambarkan bahwa
keberislaman kaum Arab Badui, baru tahap elementary. keIslaman yang belum diikuti
dengan kelapangan dada, yakni keislaman tanpa iman. Model, tahapan dan kualitas
keberislaman tanpa iman sangat mungkin terjatuh dalam kemunafikan dan sangat mudah
mengikuti langkah-langkah setan, seperti digambarkan dalam QS. Taubah/9: 74. Sebagai
perbandingan al-Quran kemudian mengemukakan keberislaman dan keimanan kelompok
sosial Arab Badui yang benar, yakni keberislaman dengan iman yang telah merasuk ke
dalam dada dan diterima dengan lapang dada, seperti disebutkan dalam ayat 99 surah atTaubah, yakni:
َ َ
َ َ ه
ََ َ ه
َ ه َ ٰ َ َ ه
َ
َ َ
َ َ َ ََ ه
َ
ُّ
َ
ْد ْ ِاسل ِام ِىمْ ْووميا ْ ِةما ْل ْم
ْ ر ْوكؿروا ْةع
ِْ ن ْ ِةاّللِْ ْما ْقاليا ْولقدْ ْقاليا ْك ِلم ْث ْالكؿ
ْ ﴿يح ِلؿي
ه
ََّ َ
َّ ً َ ه
ٰ َ َ ه َ َ َ َ ه َّ َ َ ٰ ه ه
َ
َ َّ ه
ه
ه
ه
َّ
َ
َ
ه
َ
َ
ْك ْخيرا ْلىمْ ْواِ نْ ْيخيليا
ْ اّلل ْورسيلهْ ْ ِمنْ ْؾض ِلهْ ْؾ ِانْ ْيخيةيا ْي
ْ ْ يناليْا ْوما ْنقميْٓا ْ ِال ْْٓا ْانْ ْاػنىى ْم
َ َ
َ
ٰ َ َ ُّ
َ َ َّ َّ
ً َ ً َ َ هَ ه ه ٰه
ه
َ
َ
﴾ْ٧٤ْْضْ ِمنْْ ِوليْْولاْن ِصير
ْ ِ اّللْعذاةاْا ِليماْ ِفىْالدنياْوالا ِخر ِْةْوماْلىمْْ ِفىْالار
ْ ْيع ِذبه ْم
Terjemahnya :
Mereka (orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sungguh, mereka telah
mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan
menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela
(Allah dan Rasul-Nya), sekiranya Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika
mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di
dunia dan akhirat; dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong
di bumi.
80
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
Kandungan ayat 99 surah ke 9 ini mengemukakan tentang keimanan kelompok
sosial Arab Badwi yang berbeda dengan keimanan kelompok sosial Arab Badui yang
dikemukakan dalam ayat 14 surah ke 49 di atas. Kelompok sosial Arab Badui yang
dikemukakan dalam ayat 99 ini adalah mereka yang keimanannya kepada Allah dan hari
Kemudian telah dibenarkan karena telah merasuk ke dalam hati mereka. Buktinya mereka
memandang dan menjadikan apa yang dinafkahkan di jalan Allah, sebagai jalan untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa rasul.
Mereka adalah kelompok sosial Arab Badui yang memiliki iman yang benar. Mereka dekat
dengan Allah dan mencintai Rasulullah Saw. Mereka adalah kelompok sosial yang
dimasukkan ke dalam rahmat Allah yakni surga. Keimanan yang demikian inilah yang
merupakan keimanan yang sesungguhnya. Kelompok sosial Arab yang disebutkan dalam
ayat 14 surah 49 sejatinya melakukan gerakan dari Islam menjadi muslim, dengan demikian
mereka telah mukmin, yakni iman telah merasuk ke dalam hati. Dengan begitu mereka
dapat dimasukkan dalam kelompok sosial Arab Badui yang disebutkan dalam ayat 99 surah
ke 9.
Rumusan lain yang patut dikemukakan dari kandungan klausa “yashrah shadrahu li
al-Islam” adalah bahwa yang dimaksud terma al-Islam dalam klausa tersebut adalah Islam
sebagai ajaran dan Islam sebagai institusi agama. Keterangan ini telah diulang-diulang
sebelumnya, namun menurut penulis butuh penegasan konsepsi dengan mengemukakan
dalil dan alasan penguat, supaya semakin jelas dan tegas. Adapun yang penulis maksud
dengan dalil atau alasan penguat atas konsepsi tersebut adalah dalil munasabah antara
kandungan klausa “yashrah shadrahu li al-Islam” sebagai klausa sentral di atas dengan
kandungan ayat sebelum dan sesudahnya dalam surahnya masing-masing, yakni klausa
sentral yang terdapat pada ayat 125 surah ke 6 diperpautkan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Kandungan ayat-ayat sebelumnya yakni ayat 122-124 surah al-An‟am, mengemukakan
tentang kelompok sosial kafir dan kelompok sosial pendosa. Kedua kelompok sosial yang
disebut terakhir ini, tidak beriman kepada ayat-ayat Allah yang berisi ajaran-ajaran Islam.
Mereka melakukan gerakan perdurhakaan terhadap ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu
kedua kelompok sosial yang ingkar kepada ajaran-ajaran Islam ditimpakan kehinaan di sisi
Allah dan siksa yang pedih di akhirat.
Adapun perpautan ayat 125 dengan kandungan ayat sesudahnya yakni ayat 126
dalam surah ke 6, penulis pahami bahwa yang dimaksud makna Islam adalah Islam sebagai
ajaran atau Islam sebagai institusi agama. Dipahami demikian, karena pada ayat 126-127
ditegaskan bahwa Islam merupakan jalan Allah yang lurus. Dan kelompok sosial yang
menerima Islam baik sebagai ajaran dan
sebagai institusi agama, bagi mereka
diperuntukkan surga sebagai tempat kedamaian di sisi Allah. Dari dalil munasabah ini,
dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kelompok sosial kafir dan kelompok sosial
pendurhaka adalah bukan saja menolak Islam sebagai institusi keberagamaan tetapi juga
menolak dan mengingkari Islam sebagai subtansi ajaran. Sebaliknya yang dimaksud dengan
muslim sejati adalah menerima Islam dengan kelapangan dada baik sebagai institusi
keberagamaan, terlebih lagi Islam sebagai subtansi ajaran. Dengan perkataan yang tegas,
bahwa seorang yang mengaku menganut agama Islam sejatinya menjadi seorang muslim
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
81
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
atau seorang mukmin.
Konsepsi beragama seperti diuraikan berdasarkan kedua ayat makkiyah di atas
merupakan cara keberagamaan yang diterima dan dibenarkan di sisi Allah, yakni
keberagamaan yang subtansial-esensial. Model keberagamaan yang berbeda dengan konsepsi
keberagamaan subtansial-esensial tersebut tertolak di sisi Allah, seperti dapat dipahami dari
QS. Ali Imran/3: 19 dan 85:
َ
َّ َ ٰ
ٰ َ
َّ
َ َ َ َّ َ ه ه
َ
َ
د ْ َما ْ َجا َۤء هو ْمْه
ِْ ب ْ ِالا ْ ِمنْۢ ْةع
ْ ن ْاوحيا ْال ِكت
ْ ؽ ْال ِذي
ْ ام ْ ْ َو َما ْاخْخل
ْد ْاّللِْ ْال ِاسل ه
ْ ن ْ ِعن
ْ الدي
ْ ﴿ ِا
ِ ْن
ٰ ه
َّ َ ٰ
َ
نْ ٰ َْ َ ه
﴾ْ١٩ْاب
ْ ِ الح َس
ْ جْاّللِْْؾ ِا
ْ ِ ال ِعل هْمْ َةؼ ًي ْْۢاْ َةين هىمْْ َو َمنَّْْيكؿرْْ ِةا ٰي
ِ ْاّللْس ِري ْع
َ
ََ ً
َ
َ َ
ٰ َ َ ٰ
ه ه
ْ ﴾ْ٨٥ْن
ْ َ نْالخ ِس ِري
ْ لْ ِمنهْْ َوو َْيْ ِفىْالا ِخر ِْةْ ِم
ْ امْ ِديناْؾلنْْ ُّيق َت
ِْ ﴿ َو َمنَّْْيبخ ِ ْغْغي َْرْال ِاسل
Terjemahnya :
19. Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang
yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di
antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah
sangat cepat perhitungan-Nya.
85. Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di
akhirat dia termasuk orang yang rugi.
Kandungan ayat 19 surah ke 3 di atas menginformasikan bahwa agama yang benar
di sisi Allah adalah Islam. Sedangkan kandungan ayat 85 menginformasikan bahwa agama
selain Islam tertolak di sisi Allah. Kandungan kedua ayat yang terdapat dalam surah Ali
Imran di atas, saling menguatkan satu sama lain. Menurut Ibnu Katsir ayat 19
menginformasikan bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi Allah dari seseorang selain
Islam, yakni mengikuti rasul-rasul Allah yang diutusNya setiap saat hingga berakhir pada
Rasulullah Saw, yakni Muhammad Saw sebagai penutup para Nabi dan rasul Allah
(khatamun nabiyiin). Risalah Muhammad Saw merupakan penutup semua jalan menuju
Allah. Tidak ada lagi jalan menuju Allah selain jalan yang diajarkan Rasulullah Saw. Siapa
yang mencari jalan untuk bertemu dengan Allah selain syariat yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw, maka tidak ada pengabulan di sisi Allah. Selanjutnya Ibnu Katsir
11
menguatkan pandangannya dengan mengutip ayat 85 surah Ali Imran. Keterangan yang
senada oleh Ibnu Katsir dikemukakan oleh az-Zuhaili yang mengatakan bahwa agama itu
diturunkan dengan dua tujuan yaitu: pertama, meluruskan dan membenarkan akidah yakni
mentauhidkan Allah dan kedua adalah mendidik dan memelihara jiwa agar memiliki niat
12
yang ikhlas karena Allah.
Sementara Thabaththabaiy mengatakan bahwa ayat 19 surah ke 3 ini
mengemukakan bahwa agama di sisi Allah hanya satu, tidak ada perbedaan di dalamnya.
Allah tidak memerintahkan hamba-hambaNya kecuali beragama dengan agama yang satu
ini. Dan semua kitab dan ayat-ayat yang diturunkan kepada para nabi dan rasul Allah
82
11
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adhim, juz I, h. 380.
12
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Muniir, 2, h. 214.
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
Ahmad Mujahid
adalah menjelaskan tentang agama yang satu ini. Agama yang dimaksud adalah agama
Islam, yakni agama yang mengajarkan ketundukan kepada kebenaran dengan keimanan dan
perbuatan yang benar dan ikhlas. Islam adalah menerima dengan lapang dada seluruh
pengetahuan dan perintah Allah. Allah mengharapkan kepada hamba-hambaNya agar
13
mengikuti agama ini.
Dari keterangan yang disampaikan oleh beberapa pakar tafsir di atas dapat dipahami
bahwa dari sudut subtansial-esensial ajaran, Islam adalah ajaran seluruh Nabi dan Rasul
Allah yang diutus pada setiap saat. Di mana seluruh Nabi dan Rasul Allah tersebut
mengajarkan tauhid. Pemahaman ini diisyaratkan dari perpautan ayat 19 surah Ali Imran
dengan ayat sebelumnya yakni ayat 18, di mana pada ayat 18 tersebut Allah
mempersaksikan diri-Nya bahwa tidak ada ilah selain Dia. Persaksian ini diikuti oleh para
malaikat dan para pemilik ilmu, namun demikian, menarik untuk dikemukakan bahwa
ajaran tauhid sebagai subtansi ajaran Islam yang dibawa oleh para nabi Rasul Allah yang
telah diutus sebelum Nabi Muhammad Saw. tidak disebut sebagai agama Islam, hanya
disifati dengan sifat Islam. Berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw, yakni
dinamai secara khusus sebagai institusi agama dan sekaligus dengan makna subtansi ajaran
Islam. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw, adalah Islam yang mencakup makna institusi agama dan makna subtansi atau esensi
ajaran, seperti telah banyak dijelaskan sebelumnya.
D. KESIMPULAN
Penggunaan terma al-Islam dalam al-Quran menunjuk kepada dua makna pokok
yaitu pertama Islam sebagai ajaran subtansial-esensial ilahiah. Ajaran Islam ini disampaikan
oleh seluruh nabi dan rasul Allah yang telah diutus pada setiap zaman dan berakhir pada
kerasulan Muhammad Saw. Makna kedua adalah Islam sebagai institusi keberagamaan.
Makna kedua ini dikhususkan kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw. sebagai
nabi dan rasul penutup. Kedua makna pokok tersebut menggambarkan bahwa berislam
secara benar adalah tidak cukup dengan mengaku memeluk Islam tanpa penegakan
subtansi-esensial ajaran Islam itu sendiri. Dengan perkataan lain, keberislaman yang
dibenarkan di sisi Allah adalah memeluk Islam secara nyata dan mengamalkan ajaran Islam
secara faktual dalam segala dimensi kehidupan. Dan tidak ada jalan yang dapat
menyampaikan seorang manusia kepada Allah selain jalan Islam yang dibawa oleh
Muhammad Saw, baik dilihat dari sudut institusi keberagamaan maupun dari sudut
subtansi ajaran.
13
Muhammad Husain Thabaththaba‟iy, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, III, h. 139.
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020
83
Ahmad Mujahid
Konsepsi Agama Islam Dalam Al-Quran
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim.
Abd al-Baqi. Muhammad Fuad. Al-Mu’jam al-Mufakhras li Alfaz al-Quran al-Karim. Bandung:
Diponegoro, t.th.
Al-Ashfahani. Abi al-Qasim al-Husaini Ibn Muhammad. Al-Mufradat fi Gharib al-Quran.
Mesir: Mushtafa al-Bab al-Hakabiy, t. th.
Anis, Ibrahim. Mu’jam al-Wasith. Bairut: Dar al-Fikr, t.th.
Ibnu Faris al-Zakariah, Abi Hasan Ahmad. Mu’jam Maqayis al-Lughat. Bairut: Dar al-Fikr,
t.th.
Ibnu Mansyur, Abi al-Fadhil Jamal al-diin Ibn Mukram. Lisan al-Arab. Bairut: Dar al-Kitab alIlmiy, t.th.
Ibnu Katsir, „Imanuddin Abi al-Fida‟ Ismail. Tafsir al-Quran al-Adhim. Bairut: Dar al-Fikr,
1990.
Shihab. Quraish. Tafsir al-Misbah, Pesan. Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera
Hati. 2002.
Thabaththabaiy. Al-Allamah al-Sayyid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Quran.
Bairut: Muassasah al-A‟lamiy li al-Mathbuat. 1997.
Az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir, Aqidah, Syariah dan Manhaj. Terj. Oleh Abdul Hayyie alKattani dari judul aslinya “ al-Tafsir al-Munir fi Aqidah, wa asy-Syariah wa alManhaj.” Jakarta: Gema Insani, 2013.
84
Al-Risalah | Volume 20 Nomor 1 Mei 2020