Academia.eduAcademia.edu

Makalah tentang Nasikh Mansukh

2023, Brilian Fikri

Tugas Kuliah

MAKALAH ULUMUL QURAN (Nasikh-Mansukh) Dosen pengampu : Syaiful Arif M.Ag. Disusun oleh : BRILIAN FIKRI 221410076 HAZIAN HASBIANSYAH 221410003 M.RIZQI FAHMI ZARKASYI 221410014 AHMAD FIRMANSYAH 221410070 ILMU QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS PTIQ JAKARTA 2023 KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya tiada henti sampai kita mati, sehingga dengan nikmat dan karunia tersebut kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ulumul Qur’an kami yang berjudul “NASIKH-MANSUKH”, semoga teman-teman dapat memahami makalah ini dan dapat bermanfaat tentunya, Amiin Ya Rabbal ‘Alamin. Dan kami berterima kasih kepada dosen yang telah memberikan kami kesempatan dan bimbingan sehingga kami dapat membuat makalah ini, dan sekiranya ada kekeliruan ataupun kesalahan yang terdapat dalam makalah ini, kami meminta maaf dan kami meminta koreksi, saran dan kritikan dari dosen dan temanteman sekalian. Jakarta, 03 Juni 2023 Penyusun i DAFTAR ISI Kata Pengantar ...................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................... ii Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1 A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1 C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 1 Bab II Pembahasan ............................................................................................. 2 A. Pengertian Nasikh dan Mansukh......................................................... 2 B. Syarat-Syarat Nasakh .......................................................................... 3 C. Pembagian Nasakh .............................................................................. 4 1. Nasakh Al-Qur’an Dengan Nasakh ............................................... 4 2. Nasakh Al- Qur’an Dengan Sunnah .............................................. 5 3. Nasakh Sunnah Dengan Al- Qur’an .............................................. 6 4. Nasakh Sunnah Dengan Sunnah ................................................... 7 D. Ruang Lingkup Naskh ........................................................................ 8 E. Hikmah Adanya Nasakh Dalam Al-Qur’an ........................................ 8 Bab III Penutup ................................................................................................... 10 A. Kesimpulan .......................................................................................... 10 B. Saran .................................................................................................... 11 Daftar Pustaka..................................................................................................... 12 ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Al-Qur’an adalah Kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk mencapai kebahagiaannya di dunia dan akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-Qur’an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Dalam AlQur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain-lain. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir atau berangsur-angsur, dalam penjelasan Al-Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula secara garis besarnya saja, ada yang khusu, ada yang bersifat umum dan global. Ada ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.1 B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu : 1) Apa pengertian Nasikh dan Mansukh? 2) Apa saja syarat-syarat Nasakh? 3) Apa saja pembagian Nasakh? 4) Bagaimana ruang lingkup Nasakh? 5) Apa hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu: 1) Untuk mengetahui Nasikh dan Mansukh 2) Untuk mengetahui syarat-syarat Nasakh 3) Untuk mengetahui pembagian Nasakh 4) Untuk mengetahui ruang lingkup Nasakh 5) Untuk mengetahui hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an. 1 M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994), hal. 143 1 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Nasikh dan Mansukh Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata Nasakh dalam beberapa makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari sesuatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. 2 Nasakh dalam istilah para ilmu Ushul Fiqih adalah mebatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun pembatalan Sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau melahirkan dalil yang dating kemudian yang secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu. 3 Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut : 1) Menurut Manna’ Khalil Al-Qaththan adalah: ‫رفع الحكم الشرعي بخطاب الشرعي‬ “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan khithab (dalil) syara’ yang lain” 2) Menurut Muhammad ‘Abd. Adzim Al-Zarqaniy: ‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر‬ “Mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian”.4 Para ulama Mutaqaddimin (Abad I hingga abad III H) memperluas arti Nasikh sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang di tetapkan kemudian. 2 Usman. Ulumul Qur’an (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal. 256 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, ( Bandung: Gema Risalah Press, 1997 ), hlm. 391 4 Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 3, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 03 Juni 2023 3 2 2) Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian. 3) Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar. 4) Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. 5 Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama’ yang datang kemudian (mutaakhkhirin). Menurut mereka Nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.6 Pengertian Mansukh Menurut bahasa berarti yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun disalim/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. Tegasnya, Dalam Mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, Karena adanya situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum. 7 B. Syarat-Syarat Nasakh Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat Nasikh Mansukh, Perlu diketahui syarat-syarat Nasakh. Syarat-syarat Nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Adanya Mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan Nasakh. Disamping 5 Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentang-nasikh.html/ pada tanggal 03 Juni 2023 6 Muhammad Chirzin. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 40 7 Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012), hal. 122 3 itu, ayat Mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat yang Nasikh (menghapus) 2. Adanya Mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari syar’I (Allah) atau Rasulullah SAW. Sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan suatu hukum tidak dapat dilakukan dengan Ijma’ (konsensus) ataupun qiyas (analogi). 3. Adanya Nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang dihapus itu berupa Al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah. 4. Adanya Mansukh ‘Anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan yang dihapua itu adalah tertuju kepada mereka. 8 Sedangkan ‘Abd. ‘Azhim Al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa Nasakh baru dapat dilakukan apabila: a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat adikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi. b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus. c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh. 9 C. Pembagian Nasakh Umumnya para Ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam: 10 8 Usman. Ulumul Qur’an….., hal. 262 Academia.edu, “ Hadis Nasikh Mansukh” hal. 5, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ pada tanggal 03 Juni 2023 10 Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya, 2009),hal. 334 9 4 1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240: ٖۚ ‫صي َّٗة ِّل َ ۡز َو ِج ِهم َّمتَعًا إِلَى ۡٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِ ۡخ َر‬ َ‫اج فَإِ ۡن خ ََرجۡ ن‬ ِ ‫َوٱلَّذِينَ يُت ََوفَّ ۡونَ مِ نكُمۡ َويَذَ ُرونَ أَ ۡز َوجٗ ا َو‬ ٌ ‫ع ِز‬ َّ ‫وف َو‬ ‫ِيم‬ٞ ‫يز َحك‬ ٖۗ ‫علَ ۡيكُمۡ فِي َما فَعَ ۡلنَ ف ِٓي أَنفُ ِس ِه َّن مِن َّمعۡ ُر‬ َ ُ‫ٱَّلل‬ َ ‫فَ ََل ُجنَا َح‬ Yang artinya: "Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Ayat ini kemudian di Nasakh oleh surah yang sama pada ayat 234: َ‫ع ۡش ٗر ۖا فَإِذَا بَلَ ۡغن‬ َ ‫َوٱلَّذِينَ يُت ََوفَّ ۡونَ مِ نكُمۡ َويَذَ ُرونَ أَ ۡز َوجٗ ا يَت ََربَّصۡ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَ ۡربَعَةَ أَ ۡش ُهر َو‬ َّ ‫علَ ۡيكُمۡ فِي َما فَعَ ۡلنَ ف ِٓي أَنفُ ِس ِه َّن بِ ۡٱل َمعۡ ُروفِٖۗ َو‬ ‫ير‬ٞ ِ‫ٱَّللُ بِ َما تَعۡ َملُونَ َخب‬ َ ‫أَ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬ Yang artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri merekamenurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat". 2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam: a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad: 5 Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang madznun (diduga). b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir: Nasakh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm ayat 3-4: ‫ي يُو َحى‬ٞ ۡ‫ى ۞ إِ ۡن ه َُو إِ ََّّل َوح‬ ٓ ‫ع ِن ۡٱل َه َو‬ َ ُ‫َو َما يَنطِ ق‬ Yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106: ۡ ‫س ۡخ‬ ‫ِير‬ َ ‫علَى كُ ِل‬ ِ ‫مِن َءايَ ٍة أَ ۡو نُن ِس َها ن َۡأ‬ ٌ ‫ش ۡيء قَد‬ َ ‫ٱَّلل‬ َ َّ ‫ت بِخ َۡير ِم ۡن َها ٓ أَ ۡو مِ ۡث ِل َه ٖۗا ٓ أَلَمۡ تَعۡ لَمۡ أَ َّن‬ َ ‫َما نَن‬ Yang artinya: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” 3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul maqdis berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat alBaqarah: 144 untuk menghadap ka’bah. ‫فَ َو ِّل َوجۡ َهكَ ش َۡط َر ٱ ۡل َمسۡ ِّج ِّد ٱ ۡل َح َر ِّام‬ 6 Yang artinya : “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”. Tetapi nasakh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan. 4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur. Adapun menasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shohih tidak membolehkannya.11 Contoh nasakh sunnah dengan sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat ziarah kubur. َ َ‫ار ِة ا ْلقُب ُْو ِر أ‬ ‫َّل فَ ُز ْو ُر ْوهَا‬ َ ‫كُ ْنتُ نَ َه ْيتُكُ ْم‬ َ ‫ع ْن ِز َي‬ Yang artinya : “Dulu aku (nabi) melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarah kuburlah kamu.” (H.R. Muslim). 11 Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 336 7 D. Ruang Lingkup Nasakh Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada Zat Allah, sifat-sifatNya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Nasakh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan ; perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (alwa’id).12 Penununjukan adanya nasakh dalam syariat. Firman Allah SWT: ‫َو ِإذَا َبد َّۡلنَا ٓ َءا َي ٗة َّم َكانَ َءا َية‬ Yang artinya “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”. (An Nahl: 101). Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja. Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. E. Hikmah Adanya Nasakh Hikmah nasakh secara umum ialah sebagai berikut: 1) Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syariat dari agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, 12 Manna’ Khalil al-Qhaththan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an,….. hal. 326 8 mulai dari Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhankebutuhannya sudah banyak dan kompleks. 2) Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman. 3) Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna. 4) Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang?. 5) Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya. 6) Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. 13 13 Abdul Djalal. Ulumul Qur’an,… hal. 148 9 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain, mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian. 2. Syarat-syarat nasakh adalah adanya mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak menghapus), adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf). 3. Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah, nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah. 4. Ruang lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan) tidak berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. 5. Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman, untuk menjaga agar perkembangan hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna, untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk member dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam. 10 B. Saran Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca dan dosen pengampu mata kuliah agar makalah ini jadi lebih sempurna. Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca. 11 DAFTAR PUSTAKA Academia.edu, “Hadis Nasikh Mansukh”, diakses dari https://www.academia.edu/10078808/hadis_nasikh_mansukh/ (03 Juni 2023) Al-Qhaththan, Manna’ Khalil. 2009. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: PT. Litera AntarNusa. Halim Jaya. Chirzin, Muhammad. 1998. Al Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Djalal, Abdul. 2012. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu. Referensi Makalah ,” Diskursus Pendapat Ulama Tentang Nasikh” diakses dari http://www.referensimakalah.com/2013/04/diskursus-pendapat-ulama-tentangnasikh.html/ (03 Juni 2023) Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka. Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: TERAS. Wahhab, Khallaf, Abdul. 1997. Alih bahasa oleh Helmy, Masdar. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 12