EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
E-ISSN: 2964-0679
Vol. 02, No. 02, Desember 2023, Pages: 1-25
Tersedia online di: https://jurnal.stainidaeladabi.ac.id/index.php/eladabi
REINTERPRETASI PANCASILA
(Sebuah Dinamika Pemikiran dalam Relasi Agama dan Negara di
Era Reformasi)
Muhammad Imadudin1*, Muhammad Anis2
1 STAI
Sadra, Jakarta
Sunan Kalijaga, Yogyakarta
*
Correspondence: muh.imadudinnas@gmail.com
2 UIN
Abstract
Constitutional change and democratization in Indonesia have reopened dialectics and
dynamics among religious, cultural and philosophical traditions in the country.
Contemporary scholars tend to agree that Pancasila and democracy are compatible with
Islam. The interpretation of Pancasila have been widely discussed by a number of
contemporary Indonesian scholars. They use their own paradigms and methods in their
interpretation of Pancasila. Some scholars urge for the formalization of sharia in a
Pancasila state, while others develop the ideas of religious moderation in a Pancasila state.
The smaller groups of scholars interpret Pancasila in the secularistic paradigm. This paper
discusses the interpretation of Pancasila among Muslim intelligentsia and civil society
organizations. It seeks the most relevant and coherent paradigm for interpreting Pancasila.
Hence, this paper shall examine the three paradigms of the relation/dialectic of religion
and state. This paper maps out the thoughts and models of interpretation of Pancasila, that
are discussed by Muslim intelligentsia and civil society organizations. The assumption built
at the beginning of this paper is that the symbiotic paradigm has relevance, coherence, and
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
|1
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
correspondence with the values of Pancasila itself. Therefore, this paper shall examine the
assumptions mentioned above. This paper is based on a library research, and also a
qualitative research. It is, therefore, a basic/philosophical research as well. The sources of
research data in this paper are collected from related documents and other related
writings.
Keyword: islam and state; islamic political philosophy; pancasila democracy; pancasila
interpretation; religion-state dialectics
Abstrak
Perubahan konstitusi dan demokratisasi di Indonesia membuka kembali dialektika dan
dinamika antar tradisi agama, budaya dan filsafat di tanah air. Saat ini para cendekiawan
cenderung menyepakati kompatibilitas antara Islam dan Pancasila serta Islam dan
demokrasi. Ide-ide tentang interpretasi Pancasila banyak didiskusikan oleh kalangan
intelektual, kontemporer Indonesia. Mereka memaknai Pancasila dalam paradigma dan
metode masing-masing. Sebagian sarjana mendorong formalisasi syariah di negara
Pancasila, sementara sebagian lainnya mengajukan gagasan moderasi beragama dalam
kerangka negara Pancasila. Di sisi lain, terdapat pula sekelompok sarjana yang
menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma sekularistik. Makalah ini
membahas masalah-masalah penafsiran Pancasila di kalangan inteligensia Muslim dan
kelompok umat Islam. Makalah ini mencari paradigma paling relevan dan koheren untuk
menginterpretasikan Pancasila. Karenanya makalah ini akan menguji ketiga paradigma
relasi/dialektika agama dan negara. Makalah ini juga memetakan pemikiran dan model
interpretasi terhadap Pancasila, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh inteligensia Muslim dan
kelompok-kelompok umat Islam. Asumsi yang dibangun di awal makalah ini adalah bahwa
paradigma simbiotik memiliki relevansi dan koherensi, serta korespondensi dengan nilainilai yang terdapat dalam Pancasila. Karenanya makalah ini dapat dikataan menguji
asumsi tersebut di atas. Makalah ini berangkat dari penelitian kepustakaan dan
merupakan pula penelitian kualitatif, sekaligus penelitian dasar/filosofis. Sumber data
penelitian dalam makalah ini berasal dari dokumen-dokumen terkait dan tulisan-tulisan
lain yang berhubungan dengan topik tersebut.
Kata Kunci: demokrasi pancasila; dialektika agama-negara; filsafat politik islam; interpretasi
pancasila; islam dan negara;
PENDAHULUAN
Lahir dan dikukuhkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bermula
dari dialektika pemikiran dan dinamika politik di antara tokoh-tokoh pejuang
pergerakan kemerdekaan (Effendy, 2011; Latif, 2012; Maarif, 1985, 2006; Pranarka,
1985; Pringle, 2010). Seiring perjalanan sejarah, dialektika pemikiran yang terjadi
mengarah pada konflik ideologis pasca kemerdekaan. Beberapa peristiwa sejarah
seperti
pemberontakan
DI/TII
(Darul
Islam/Tentara
Islam
Indonesia),
PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat
Semesta), dan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI),
2|
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
merupakan efek dari konflik ideologis yang berlangsung. Jatuhnya Soekarno dari
kursi kepresidenan kemudian membawa angin segar bagi perubahan politik di
Indonesia. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto melancarkan upaya represif,
sekaligus persuasif, dalam rangka membuat Pancasila dapat diterima secara final
oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Upaya tersebut kemudian berangsur
membuahkan hasil, dengan diterimanya Pancasila oleh sebagian besar kelompok
umat Islam yang ada. Terutama dari arus utama gerakan Islam (Brankley Abbas,
2021, hal. 52–86; Effendy, 2011, hal. 148–240; Ismail, 1995, hal. 127–142; Pringle,
2010, hal. 65–100).
Munawir Sjadzali (1993, hal. 235–237) dan J. Suyuthi Pulungan (2019, hal.
168–194) menerangkan koherensi dan korespondensi antara ajaran Islam dan
Pancasila. Keduanya menjelaskan tentang tiga paradigma relasi agama dan negara,
yang merupakan hasil dialektika pemikiran kalangan inteligensia dan filosof politik,
sepanjang sejarah peradaban manusia. Trilogi paradigma yang dimaksud terdiri
dari paradigma integralistik, paradigma sekularistik dan paradigma simbiotik.
Menurut keduanya, negara Pancasila bukanlah negara sekular, ataupun negara
agama (teokratis). Argumentasi keduanya sejalan dengan apa yang disampaikan
oleh Mohammad Hatta ((Panitia Lima), 1977, hal. 40–45; 1966, hal. 30–35) dan
HAMKA,(1951, hal. 10–38) yang kemudian didukung oleh disertasi Ahmad Syafii
Maarif (1985, hal. 152–155, 2006, hal. 154–158).
Selepas kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan, Indonesia memulai
sebuah era baru, yang lebih terbuka, bebas dan demokratis. Amendemen UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945), menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), disusun melalui rangkaian Sidang Umum dan
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam jangka waktu
sekitar tiga tahun lamanya (1999-2002). Kesepakatan yang bersifat fundamental
dalam rangkaian sidang MPR pada1999-2002 tersebut antara lain adalah berkenaan
dengan Pancasila sebagai dasar negara, dipertahankannya naskah Pembukaan UUD
1945 menjadi Pembukaan UUD NRI 1945, dan diyakininya kedudukan Piagam
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
|3
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Jakarta sebagai jiwa (source of inspiration; spirit) dari UUD NRI 1945; ((Tim Penulis),
2010a, 2010b) karenanya menjiwai Pancasila.
Dengan adanya demokratisasi dan perubahan konstitusi, masyarakat
Indonesia menikmati kebebasan untuk berbicara, berkumpul, dan mengembangkan
beragam aliran pemikiran. Pintu kebebasan berpendapat juga mempengaruhi
ragam interpretasi terhadap Pancasila. Kelompok umat Islam arus utama,
berpegang pada paradigma simbiotik dalam menginterpretasikan Pancasila.
Beberapa tokoh inteligensia Muslim kontemporer yang menginterpretasikan
Pancasila dalam kerangka paradigma simbiotik adalah Ahmad Syafii Maarif (2018),
Abdurrahman Wahid (1999, 2007), dan Yudi Latif (2014, 2020). Sebagian kelompok
umat Islam dan inteligensia Muslim lainnya berpegang pada paradigma integralistik
dalam interpretasi mereka terhadap Pancasila. Baik yang kemudian menolak
Pancasila, maupun yang kemudian menyuarakan formalisasi-legalisasi syariat Islam
secara tekstual (letterlijke) dalam rangka menegakkan amanat Piagam Jakarta dan
Pancasila (Kamil et al., 2007; Nashir, 2013; Patittingi et al., 2021; Pulungan, 2019;
Syihab, 2012). Selain itu, masih terdapat segolongan inteligensia Muslim yang
berpegang pada paradigma sekularistik dalam menginterpretasikan Pancasila.
Menurut Pulungan (2019, hal. 153), jumlah sarjana maupun aktivis yang berpegang
pada paradigma sekularistik di Indonesia tidak begitu banyak. Namun demikian,
kelompok-kelompok sekular di Indonesia memiliki akses media dan komunikasi
yang berguna bagi menyebarkan gagasan dan pandangan mereka.
Interpretasi Pancasila di Era Reformasi Indonesia tidak menjadi sebuah
tindakan tunggal, namun lebih merupakan rangkaian dialektika pemikiran yang
dipengaruhi oleh dinamika politik dan komunikasi diskursif di antara kalangan
inteligensia.
Dialektika
pemikiran
di
antara
ketiga
paradigma
tersebut
mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila, dan juga terhadap Pembukaan UUD
NRI 1945, di mana rumusan Pancasila termaktub di dalamnya. Dialektika yang
terjadi tidak hanya terlokalisasi dalam lingkup dinding-dinding akademia, namun
juga mewarnai percaturan politik nasional. Karenanya, dialektika yang terjadi sejak
4|
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
permulaan Era Reformasi ini, dapat menjadi polemik, dan bahkan berpotensi
menimbulkan konflik ideologis yang akan mempengaruhi integrasi bangsa.
Paper ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana dialektika
Islam dan negara di Indonesia mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila. Studi
ini dibatasi pada proses dialektika Islam dan negara, dalam konteks interpretasi
terhadap Pancasila. Makalah ini menganalisis bagaimana trilogi paradigma
relasi/dialektika agama dan negara mendasari interpretasi terhadap Pancasila.
Dialektika yang dibahas dalam makalah ini, adalah yang berlangsung dalam bentuk
dinamika relasi antara umat Islam dan entitas negara Indonesia, dalam artian
golongan yang berkuasa (pemerintah). Dinamika relasi yang terjadi juga merupakan
satu bentuk dinamika politik, karena melibatkan otoritas agama dan otoritas negara
sekaligus.
Metode riset yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif,
dengan penekanan pada riset dasar (konseptual). Penulis mencoba untuk
memahami data yang berhasil dikumpulkan untuk artikel ini (Kaelan, 2012, hal. 4–
6; Walliman, 2011, hal. 129–131). Penulis juga berupaya menganalisis teks dan
literatur yang terkait dengan Pancasila dan interpretasinya yang ditulis oleh
inteligensia Muslim di Era Reformasi Indonesia. Riset yang penulis kerjakan
tergolong ke dalam library research. Library research atau studi pustaka yang
penulis kerjakan tidak membutuhkan observasi lapangan (field research).
Karenanya, sumber primer dari riset ini berasal dari berbagai dokumen dan karya
filsafat/pemikiran tentang Pancasila dan interpretasinya. Adapun sumber
sekunder, penulis kumpulkan dari hasil-hasil riset terkait yang membahas
pemikiran tentang dan interpretasi terhadap Pancasila. Artikel ini merupakan
sebuah analisis filosofis, terhadap Pancasila dan dinamika dalam interpretasi
terhadapnya. Analisis filosofis merupakan upaya memahami (verstehen) teks, baik
berupa teks suci (scriptures), hasil pemikiran, maupun penafsiran terhadap teks suci
dan pandangan hidup (worldview). Analisis filosofis bertujuan meregimentasi teks,
dari bahasa yang rumit ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami
(Daly, 2021, hal. 49–53; Kaelan, 2012, hal. 178–205). Adapun analisis filosofis yang
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
|5
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
digunakan dalam artikel ini condong kepada pendekatan sosiologi keilmuan, dalam
memahami dialektika pemikiran tentang dan interpretasi terhadap Pancasila
sebagai sebuah landasan filosofis bangsa.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Pancasila
Peran sentral Soekarno dalam proses perumusan dan penetapan Pancasila
sebagai dasar negara, ditegaskan oleh Mohammad Hatta, dalam rangka menyusun
satu kerangka standard dalam interpretasi Pancasila ((Panitia Lima), 1977, hal. 73–
75). Hatta menyampaikan kritiknya terhadap Yamin (1959, 1960), buku yang
ditulisnya. Menurut Hatta, tulisan Yamin berlebih-lebihan dan mengada-ada. Peran
sentral Soekarno dalam perumusan Pancasila dapat dilihat dari rangkaian karyanya,
yang kemudian terkumpul dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I dari buku
tersebut
berisikan
kumpulan
tulisan
Soekarno
sebelum
memasuki
Era
Kemerdekaan. Adapun Jilid II buku tersebut merupakan kumpulan pidato Soekarno,
sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga memasuki pertengahan dekade 1960-an.
Penyampaian Hatta mengenai peran sentral Soekarno, tidak menafikan
adanya peran kalangan inteligensia Indonesia lainnya, dalam proses perumusan
dasar negara dan kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Para tokoh
pergerakan nasional; terutama para pendiri bangsa (founding parents), merupakan
inteligensia yang banyak berinteraksi dengan beragam gagasan pembaharuan,
ideologi dan aliran filsafat. Baik yang datang dari jaringan inteligensia Muslim
dan/atau ulama internasional, maupun yang datang dari peradaban Barat Eropa
((Panitia Lima), 1977; Kusuma, 2009; Latif, 2012, 2020; Pranarka, 1985).
Dalam tulisan bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, Soekarno
(1963, hal. 1–23) menyampaikan analisis sosiologisnya, mengenai tiga aliran
pemikiran dan/atau ideologi yang kala itu sedang berkembang dan ramai dibahas
di kalangan inteligensia Indonesia, di awal abad ke-20. Tulisan Soekarno tersebut
merupakan sebuah langkah awal baginya dalam membangun kerangka
paradigmatik, bagi gagasannya mengenai landasan filosofis negara Indonesia
6|
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
merdeka kelak. Soekarno (1963, hal. 173–175) menyampaikan pula kritiknya
terhadap gagasan demokrasi liberal-kapitalis, dan komunisme-sosialisme, untuk
kemudian mensintesiskan kedua gagasan besar tersebut. Apa yang dilakukan
Soekarno, dapat dikatakan sebagai upaya untuk mensintesiskan tiga kelompok
aliran pemikiran atau ideologi yang berkembang sepanjang paruh pertama abad ke20 di Indonesia. Berangkat dari upaya sintesis tersebut, maka lahirlah Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia merdeka (Kusuma, 2009; Latif, 2012, 2020;
Pranarka, 1985). Mohammad Hatta (1963, 1966), Tan Malaka (1925, 1926), dan
banyak tokoh pergerakan yang lain pun turut pula mengutarakan analisis kritis
mereka terhadap gagasan demokrasi liberal-kapitalis, yang menegasikan demokrasi
sosial-ekonomi. Tokoh pergerakan lainnya yang lebih senior, seperti H.O.S.
Tjokroaminoto, K.H. Achmad Dachlan, dan K.H. Hasjim Asj’ari, juga turut serta
mengkritik gagasan dan praktik liberalisme dan kapitalisme yang cukup kuat
pengaruhnya, sepanjang masa penjajahan.
Melalui surat menyurat dengan T.A. Hasan, Soekarno (1963, hal. 325–344)
ikut membuka pintu bagi adanya kritik agama di Indonesia. Surat-surat tersebut
dapat dikatakan sebagai salah satu sumbangsih keilmuan Soekarno, sebelum
kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana Mohammad Hatta (Kusuma, 2009; Maarif,
2018), Soekarno juga menyampaikan perlunya terdapat pemisahan antara agama
dengan negara. Soekarno (1963, 1965) melihat apa yang oleh Kuntowijoyo (1993,
hal. 47–77) disebut sebagai tantangan bagi umat Islam di abad ke-20. Umat Islam di
abad yang lalu masih belum dapat menerima berbagai gagasan baru Abad Modern,
yang lahir di penghujung abad ke-18, hingga permulaan abad ke-20 yang lalu.
Kondisi masyarakat global pada paruh pertama abad ke-20, merupakan latar
sosio-historis di mana Pancasila lahir, sebagai sintesis dari beragam pemahaman
atas ajaran agama, gagasan, dan pandangan hidup (worldview; Weltanschauung),
yang hadir di Indonesia saat itu. Menurut para pendiri bangsa (founding parents),
nilai-nilai individualisme dalam demokrasi kapitalis telah menimbulkan kerusakan
multidimensional. Termasuk di wilayah Hindia Belanda sendiri. Adapun ajaran
Marxisme dan Leninisme melahirkan praktik otoritarianisme, atas nama
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
|7
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
pembentukan
masyarakat
tanpa
kelas.
Di
tengah
kondisi
dunia
yang
memprihatinkan, di penghujung Perang Dunia II, menjelang Perang Dingin itulah,
Pancasila lahir sebagai dasar negara Indonesia merdeka ((Panitia Lima), 1977;
Kusuma, 2009; Latif, 2020; Pranarka, 1985).
Dalam Sidang Umum I BPUPK, Muhammad Yamin menyampaikan pidatonya
pada tanggal 29 Mei, yang isinya antara lain adalah nilai-nilai yang kemudian juga
menjadi substansi Pancasila. Yamin (1959, hal. 87–107) sendiri memasukkan
sebuah naskah pidatonya dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar
1945, tepatnya pada Jilid Pertama. Naskah pidato tersebut dibantah
oleh
Mohammad Hatta ((Panitia Lima), 1977) dan A.B. Kusuma (2009, hal. 97–99).
Namun temuan A.B. Kusuma menyebutkan bahwa Yamin menyampaikan beberapa
nilai (values), yang memang merupakan substansi Pancasila. Artinya substansi
Pancasila sudah pernah dibahas oleh satu atau lebih pembicara dalam Sidang Umum
I BPUPK, namun nama dan rumusan pertama Pancasila sebagai dasar negara,
berasal dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebt (Kusuma, 2009; Pulungan,
2019; Syihab, 2012).
Sejarah mencatat bahwa BPUPK didominasi oleh kelompok yang banyak
disebut sebagai golongan nasionalis, yang merupakan hasil didikan institusi
pendidikan barat. Adapun kelompok yang merupakan hasil didikan institusi
pendidikan seperti pondok pesantren, ataupun yang belajar agama Islam di Mekkah,
Madinah, dan Kairo, jumlahnya tidak sebanyak golongan nasionalis tersebut
(Kusuma, 2009, hal. 136–148; Maarif, 1985, hal. 102–104, 2006, hal. 103–105;
Pulungan, 2019, hal. 4–9). Pranarka (1985) mencatat adanya tiga kelompok ideologi
atau aliran pemikiran yang memperoleh representasi di dalam BPUPK. Ketiganya
berasal dari kelompok ideologi keislaman, yang dipengaruhi pemikiran politik
Islam; kelompok ideologi/aliran pemikiran Barat Modern; dan golongan nasionalis
yang membawa nilai-nilai nasionalisme kebangsaan, dari tradisi dan budaya asli
Nusantara. Golongan Islam menginginkan penerapan Islam sebagai dasar negara,
yang memperoleh penolakan, dari sesama inteligensia Muslim sendiri. Mohammad
Hatta dan Soepomo menyampaikan pentingnya pemisahan agama dari negara.
8|
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Adapun Yamin dan Soekarno menyampaikan nilai-nilai yang penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara Indonesia merdeka kelak
((Panitia Lima), 1977; (Tim Penulis), 2010a; Kusuma, 2009; Yamin, 1959). Hasil
akhir dari dinamika yang terjadi dalam Sidang Umum I BPUPK, adalah kelahiran
Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang diubah dan dijadikan Pembukaan UUD 1945 pada
18 Agustus 1945. Baik Piagam Jakarta, maupun Pembukaan UUD 1945, mengandung
cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan dan dasar negara Indonesia merdeka
(Kusuma, 2009; Latif, 2020; Pulungan, 2019). UUD NRI 1945, sebagai hasil
perubahan konstitusi Indonesia, mempertahankan naskah asli Pembukaan UUD
1945, dan menetapkan bahwa Amendemen UUD bagi bangsa Indonesia dilakukan
dalam bentuk adendum ((Tim Penulis), 2010a, 2010b).
Sejarah mencatat adanya konflik ideologis dan dinamika politik yang tidak
sehat, sepanjang sekitar dua dekade pertama kemerdekaan. Konflik ideologis ini
antara lain terjadi sebagai akibat dari kekecewaan sebagian elemen bangsa, atas
kurangnya representasi Islam dalam kepemimpinan revolusi. Selepas kembalinya
Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, hal pertama
yang menjadi concern (perhatian) adalah penyelenggaraan pemilu. Hal yang dicatat
oleh banyak sarjana, adalah fakta bahwa terdapat upaya memperkuat penerimaan
terhadap Pancasila, sebelum penyelenggaraan Pancasila. Salah satu strategi yang
dilancarkan adalah dengan menunda pelaksanaan pemilu itu sendiri (Effendy, 2011,
hal. 117–122; Feith, 2007, hal. 278–284; Pranarka, 1985, hal. 98–100; Ricklefs, 2001,
hal. 307–322, 2007, hal. 501–525).
Pada dekade 1950-an, hingga memasuki akhir dekade 1960-an, integrasi
nasional bangsa Indonesia memang masih rapuh. Bahkan penerimaan terhadap
Pancasila sebagai dasar negara pun belum cukup kuat, di kalangan inteligensia
Muslim. Kelompok-kelompok umat Islam, beserta partai politiknya belum secara
bulat menerima dan mendukung Pancasila. Walaupun demikian, Mohammad Natsir
sejatinya sudah menyampaikan dukungannya terhadap Pancasila dalam forum
internasional. Tulisan HAMKA (1951) tentang kedudukan Sila Pertama Pancasila
sebagai urat tunggang (soko guru; pilar utama) Pancasila, juga menunjukkan bahwa
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
|9
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
sikap golongan Islam terhadap Pancasila sejatinya bukanlah menolak secara total
(Effendy, 2011; Natsir, 1957; Pranarka, 1985; Sukri, 2019). Golongan Islam tidak
menerima pembenturan antara konsep negara Islam dengan negara kebangsaan,
lebih karena faktor perlunya upaya persuasif dan negosiasi yang lebih adil dan
bermartabat. Adapun benturan yang terjadi, menurut Effendy (2011, hal. 107–109)
dan Feith (2007, hal. 274) lebih disebabkan oleh sentimen golongan, dan tidak
proporsionalnya
kepemimpinan
revolusi.
Kurangnya
representasi
kelompok/golongan Islam membangkitkan adanya sentimen santri, yang
berpotensi memenangkan pemilu dan mengubah dasar negara Indonesia. Latif
(2012, hal. 360–362) mencatat adanya peran Pemerintah Pendudukan Jepang yang
lebih memilih inteligensia hasil didikan barat, daripada hasil didikan Timur Tengah,
ataupun lembaga pendidikan tradisional pesantren. Sikap golongan Islam selama
rangkaian sidang Konstituante, kemudian adalah mengajukan Islam sebagai dasar
negara, dan menolak konsep negara kebangsaan dengan Pancasila sebagai dasar
negara. Penolakan yang dilakukan tersebut banyak diketahui lebih didominasi oleh
kekecewaan politik, daripada alasan ideologis (Feith, 2007, hal. 274–277; Latif,
2012, hal. 360–362; Maarif, 1985, hal. 101–103, 2006, hal. 103–106; Pranarka, 1985,
hal. 140–149). Kekecewaan politik yang dimaksud antara lain adalah adanya buktibukti kegagalan Pancasila dalam meraih cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan,
berbagai peristiwa berdarah yang terjadi selama dekade awal kemerdekaan, hingga
diterimanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan golongan komunis untuk
berpartisipasi aktif di ruang publik Indonesia.
Perdebatan mengenai dasar negara membuat Konstituante yang hampir
berhasil merumuskan sebuah konstitusi baru bagi Republik Indonesia, justru tidak
berhasil memutuskan rumusan dasar negara Indonesia. Beberapa sarjana
menyampaikan argumentasinya, bahwa Konstituante tidaklah gagal dalam
menjalankan tugas konstitusionalnya. Akan tetapi perdebatan yang berkepanjangan
dan perkembangan politik yang terjadi di luar arena sidang Konstituante, membuat
Soekarno kehilangan kesabarannya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pun diundangkan,
dengan dalih untuk mewujudkan ketertiban dan stabilitas nasional (Effendy, 2011;
10 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Feith, 2007; Maarif, 1985, 2006; Pranarka, 1985; Ricklefs, 2001, 2007). Rangkaian
peristiwa sejarah, yang berlangsung sejak awal dekade 1950-an sampai penghujung
dekade 1960-an, menunjukkan konflik ideologis dan hubungan antagonistik antara
Islam (atau kelompok umat Islam) dengan entitas negara Indonesia (Effendy, 2011;
Madinier, 2015; Pringle, 2010; Ricklefs, 2001, 2007).
Pendekatan yang dilakukan pemerintahan Soekarno sepanjang Era
Demokrasi Terpimpin (1959-1967), dapat digolongkan ke dalam pendekatan
represif. Melalui pendekatan represif itulah Soekarno memaksakan penerimaan
atas Pancasila, beserta gagasan Manipol USDEK (Manifesto Politik, UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Indonesia), dan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Konflik ideologis
yang terjadi, pecah menjadi serangkaian konflik terbuka dan memuncak pada
peristiwa
PRRI/Permesta
Indonesia/Perjuangan
Rakyat
(Pemerintahan
Revolusioner
Semesta)
G30S/PKI
dan
Republik
(Gerakan
30
September/Partai Komunis Indonesia). Kelompok Islam politik, memiliki
andil/peran dalam rangkaian pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia)
dan
PRRI/Permesta
(Pemerintahan
Revolusioner
Republik
Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Kendati tidak secara langsung, namun
sejarah mencatat dukungan dan simpati para pemimpin politik umat Islam
(terutama dalam tubuh Masjumi/Majelis Sjura Muslimin Indonesia) ini. Kegagalan
G30S/PKI membuka pintu bagi berakhirnya konflik ideologis dan hubungan
antagonistik antara Islam dan negara di Indonesia. Langkah yang diambil oleh
Soeharto, dalam upaya mendomestikasi Islam, adalah menggabungkan pendekatan
represif dengan pendekatan persuasif (Brankley Abbas, 2021, hal. 53–114; Effendy,
2011, hal. 130–181; Ismail, 1995, hal. 109–119; Pringle, 2010, hal. 80–90; Ricklefs,
2001, hal. 338–345, 2007, hal. 553–562).
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin terbuka, lahirlah
gerakan intelektualisme Islam baru di tanah air. Berkembangnya jejaring
inteligensia Muslim Indonesia di tataran global dan upaya akomodasi nilai-nilai
keislaman di ruang publik, telah memberikan angin segar, bagi sebuah relasi yang
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 11
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
lebih sehat, antara Islam dan negara. Memasuki akhir dekade 1950-an, telah dimulai
adanya gerakan intelektualisme baru yang menjembatani Dunia Barat dan Islam.
Beberapa inteligensia Muslim memulai studi keislaman mereka di kampus-kampus
barat, seperti McGill University di Kanada, Universiteit Leiden di Belanda dan
University of Chicago di Amerika Serikat. Jejaring inteligensia Muslim lulusan barat
ini dimanfaatkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto, untuk membatasi
ruang gerak dan mengarahkan inteligensia Muslim Indonesia Soeharto bukanlah
orang pertama yang membuka jalan bagi adanya transformasi wacana politik Islam.
Pun demikian dengan Soekarno, sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Sejatinya pertukaran tradisi keilmuan dan akademik antara Dunia Barat dan Dunia
Islam/Muslim telah terbuka sejak paruh pertama abad ke-20 yang lalu. Di level
global, tokoh-tokoh seperti Wilfred C. Smith dan Fazlur Rahman, merupakan dua
dari beberapa tokoh sentral dalam upaya pertukaran tradisi keilmuan tersebut.
Berangkat dari pertukaran tradisi keilmuan itulah, terjadi proses transformasi
intelektualisme Islam yang masih berlangsung hingga hari ini (Brankley Abbas,
2021, hal. 52–134; Effendy, 2011, hal. 139–143; Ismail, 1995, hal. 134–136; Pringle,
2010, hal. 80–90). Pendekatan represif Soeharto terhadap Islam politik, yang
dibarengi dengan upaya gerakan intelektualisme Islam baru, mendorong adanya
negosiasi ulang dan kompromi, antara aspirasi politik Islam dan kepentingan
berbagai golongan (aliran pemikiran dan kelompok ideologis), di ruang publik
Indonesia. Pada akhirnya, akomodasi pemerintah atau negara terhadap nilai-nilai
keislaman di ruang publik, harus dijalankan sepanjang penerapannya sejalan
dengan nalar publik yang berlaku. Sejarah mencatat tindakan represif Soeharto,
maupun Soekarno terhadap kelompok-kelompok Islam politik, tidak membawa
dampak positif bagi hubungan/relasi yang sehat antara entitas/otoritas agama
Islam dengan entitas/otoritas negara Indonesia (Effendy, 2011; Ismail, 1995; Latif,
2012; Ricklefs, 2001, 2007). Oleh karenanya, gerakan intelektualisme Islam baru
pun tidak mungkin memberikan dukungan penuh kepada regim Soeharto untuk
jangka yang terlalu lama. Baik Ricklefs (2001, 2007) maupun Latif (2012),
menyampaikan adanya peran inteligensia Indonesia dalam proses runtuhnya regim
12 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Developmentalis-Represif Orde Baru. Perkembangan politik global sejak dekade
1980-an, hingga memasuki awal abad ke-21, menunjukkan proses demokratisasi
dan rangkaian musim semi demokrasi di berbagai kawasan. Kejatuhan Soeharto
membuka pintu bagi perubahan konstitusional dan demokratisasi secara
menyeluruh di tanah air. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pun dijalankan
melalui rangkaian sidang Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), sepanjang periode
1999 sampai 2002 ((Tim Penulis), 2010a, 2010b).
Dalam
proses
perubahan
konstitusi
tersebut,
disepakati
untuk
mempertahankan naskah Pembukaan UUD 1945, ke dalam UUD NRI 1945. Selain
itu, disepakati pula bahwa perubahan UUD dilaksanakan melalui adendum, dengan
ketentuan bahwa hal-hal normatif dalam Memori Penjelasan UUD 1945,
dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD NRI 1945. MPR juga menyepakati
dipertahankannya sistem presidensil, di Indonesia. Dalam rangkaian Sidang Umum
(SU) dan Sidang Tahunan (ST) MPR dari tahun 1999 hingga 2002, sendisendi/fundamental atau dasar negara Indonesia telah mengalami pembahasan
sebanyak tiga kali. Adapun terkait Pembukaan UUD NRI 1945, hanya terdapat dua
kali pembahasan. Penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara, dapat
dikatakan telah bersifat final di kalangan elit politik pada rangkaian sidang
perubahan UUD NRI 1945 tersebut. Penerimaan tersebut, juga dibarengi dengan
hadirnya keyakinan bahwa UUD NRI 1945 telah benar-benar dijiwai oleh Piagam
Jakarta, sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ((Tim Penulis),
2010a, 2010b; Latif, 2020; Rochmat, 2014). Keyakinan ini membuka pintu bagi
adanya kebebasan penafsiran/interpretasi terhadap Pancasila, sebagai dasar
negara. Sebagian sarjana menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka
paradigma
integralistik,
dan
sebagian
lainnya
menggunakan
paradigma
sekularistik. Di samping itu, masih terdapat inteligensia Indonesia yang
menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma simbiotik.
Paradigma Relasi Agama dan Negara
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 13
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Terdapat tiga paradigma dalam relasi (dialektika) antara agama dan negara.
Paradigma pertama, yang juga tertua adalah paradigma integralistik. Paradigma
integralistik ini disusul dengan kehadiran paradigma sekularistik, dan kemudian
paradigma simbiotik. Di Indonesia, dialektika di antara ketiga paradigma ini
berjalan sejak Era Pergerakan Kemerdekaan, hingga memasuki Era Reformasi
sekarang ini. Paradigma integralistik memandang bahwa agama harus menjadi
dasar berdirinya sebuah negara, dan jalannya roda pemerintahan (Pulungan, 2019,
hal. 75–86; Sayogie, 2013, hal. 14–15; Sjadzali, 1993, hal. 206–208). Agama
diletakkan sebagai konstitusi itu sendiri, dan entitas agama integral, menyatu
dengan entitas negara. Karenanya, Abdurrahman Wahid (1999, 2007) menyatakan
bahwa paradigma integralisme adalah paradigma yang menyokong penuh bentuk
negara teokrasi (Rochmat, 2014, hal. 309–329). Sampai memasuki abad ke-20,
kebanyakan negara di dunia didirikan dan dikelola berdasarkan paradigma
integralistik. Raja-raja menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di muka Bumi,
atau sebagai penerus risalah kenabian/agama. Para filosof Muslim klasik pun
seluruhnya mendukung paradigma integralistik ini.
Mawardi (1996, hal. 10–11) menyampaikan argumentasinya, bahwa kepala
negara adalah penerus risalah Tuhan, dalam arti misi kenabian. Agama menurut Ibn
Khaldun (2000, hal. 187–197, 2011, hal. 254–270) memiliki fungsi yang begitu vital,
dalam membentuk, membangun dan memelihara solidaritas nasional/sosial. Di
Abad Modern, terdapat pula inteligensia Muslim yang tetap menyampaikan
argumentasi mendukung paradigma integralisme dalam relasi/dialektika agama
dan negara. Beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Mohammad Natsir,
HAMKA, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, secara terang-terangan menyuarakan Islam
sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Di luar Indonesia, terdapat nama-nama
seperti Imam Khomeini (n.d., 1983), Ayatullah Misbah-Yazdi (2001a, 2001b, 2002),
Qutb Bersaudara (Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb) (M. Qutb, 1984; S. Qutb, 1984,
1993), Hasan al-Banna (1985) dan Abul A’la Maududi (1960, 1984).
Di antara mereka yang mengusung integralisme Islam dan negara, terdapat
golongan
14 |
yang
menyerukan
dan
memperjuangkan
terbentuknya
sebuah
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
pemerintahan Islam global (khilafah). Sebagian lainnya mengusung gagasan
Nasionalisme-Islam. Golongan kedua ini jamak ditemukan di antara tokoh
pergerakan kemerdekaan Indonesia, Pakistan, hingga Iran. Dari Agoes Salim, H.O.S.
Tjokroaminoto, hingga Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimejo, Abdul
Wahid Hasjim, dan lain-lain, dapat dimasukkan ke dalam golongan ini. Golongan
kedua ini juga terbagi lagi, berdasarkan pilihan jalan perjuangan (metode; cara) dan
kompromi politik terhadap dasar negara. Jika inteligensia Muslim yang ikut dalam
rangkaian sidang BPUPK dan kemudian aktif dalam berbagai partai politik Islam
(Masjumi, NU, PSII, dll.) memilih untuk berkompromi dan bernegosiasi melalui jalur
politik praktis, maka sebagian lainnya justru memilih jalan kekerasan dan
pemberontakan. S.M. Kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Abdul Kahar Muzakkar,
adalah contoh dari mereka yang mengadakan pemberontakan, dengan tujuan
mendirikan sebuah negara Islam Indonesia. Pengaruh filsafat Barat, serta tradisi
dan budaya asli Nusantara, dapat dikatakan memberi warna tersendiri dan ikut
mempengaruhi pandangan inteligensia Muslim Indonesia, yang mengusung Islam
sebagai dasar negara (Feith & Castle, 1970; Latif, 2012; Pranarka, 1985). Golongan
yang berpegang pada paradigma integralistik begitu condong pada model negara
yang bukan saja berasaskan ajaran agama, atau hukum agama (syariat). Pada level
yang paling ekstrim, mereka menolak segala bentuk sistem politik dan
pemerintahan, serta bentuk negara apapun, yang menurut mereka tidak memiliki
landasan teks (scriptures) dari kitab suci ataupun sumber rujukan lain yang mereka
yakini.
Sebagian dari golongan integralis menerima Pancasila sebagai dasar negara.
Hanya saja mereka menggunakan dalil, kedudukan Piagam Jakarta “… yang
menjiwai UUD 1945 …” untuk mengusung pemberlakuan syariat Islam secara
mutlak di Indonesia. Berangkat dari pemahaman ini, bermunculan lah beberapa
gerakan yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam, hingga beragam
peraturan daerah (perda) yang bernuansa agama (Muntoha & Yusdani, 2014, hal.
229–267; Nashir, 2013, hal. 67–78; Syihab, 2012, hal. 206–233). Sebagian kecil
lainnya, masih menolak Pancasila dan hendak menjadikan Islam sebagai dasar
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 15
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
negara Indonesia. Di samping itu, terdapat pula segolongan umat Islam yang
mengusung gagasan khilafah Islamiyah; sebuah pemerintahan Islam global.
Paradigma kedua adalah paradigma sekularistik, yang juga dikenal dengan
istilah sekularisme. Lawan kata dari sekularisme adalah integralisme. Sekularisme
memisahkan (separate) antara entitas dan otoritas agama dari entitas dan otoritas
negara. Paradigma ini berlawanan dengan paradigma integralistik, atau
integralisme agama dan negara. Kata ‘sekularisme’ berasal dari kata ‘saeculum’, yang
artinya adalah ‘ruang’ dan ‘waktu’.
Sekularisme memiliki keterkaitan dengan
konsep kekinian dan kedisinian (right now and right here). Konsep yang
diperkenalkan oleh Holyoake pada 1846 tersebut berangkat dari gagasan
kebebasan berpikir (freedom of thinking), yang dimulai oleh Ibn Rusyd dengan
averoismenya. Averoisme Ibn Rusyd yang lahir di Andalusia tersebut merupakan
salah satu rujukan/referensi utama gagasan sekularisme di Abad Modern Eropa
(Munawar-Rachman, 2010, hal. 223–225; Taylor, 2007, hal. 54–55).
Proses terwujudnya bangsa (negara) dan masyarakat sekular disebut
sekularisasi. Sekularisasi dipahami sebagai proses berpisahnya segala hal yang
divine dengan segala hal yang profan dalam kehidupan manusia. Sekularisme sendiri
lahir dan berkembang dengan beragam varian dan pemahaman, sepanjang sejarah
modern manusia. Dalam sejarah kelahiran dan perkembangannya, sekularisme
telah memiliki beberapa model varian yang berbeda satu sama lain (Abduh, 1978;
Al-Attas, 1993; Munawar-Rachman, 2010; Pulungan, 2019; Sayogie, 2013; Taylor,
2007). Konstitusi Amerika Serikat, tepatnya pada Amendemen I, mengamanatkan
netralitas negara dan jaminan kebebasan beragama secara mutlak. Dengan
demikian, terdapat kecenderungan arah sekularisme di Amerika Serikat, bertujuan
melindungi hak-hak warga negara untuk beragama. Hal ini berbeda dengan
sekularisme yang berkembang di Prancis, Turki dan negara lainnya di Daratan
Eropa. Laïcité yang berlaku di Prancis dan Kemalizm yang berlaku di Turki
berangkat dari reaksi terhadap hegemoni dan dominasi otoritas agama di ruang
publik Eropa, sepanjang Abad Pertengahan, hingga memasuki Abad Industri. Wujud
kebebasan beragama dalam Konstitusi Prancis, dibatasi pada rangkaian praktik
16 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
ritual di dalam lingkup rumah ibadah masing-masing komunitas keagamaan
(Lizzote, 2017, hal. 18–20).
Munawar-Rachman menyampaikan argumentasi Parsonian, mengenai
reorientasi kedudukan agama di ruang publik. Proses reorientasi kedudukan agama
tersebut dikatakannya berjalan secara terus menerus, tanpa menghilangkan nilainilai keagamaan. Secara umum, setidaknya terdapat dua macam model pemisahan
agama dan negara. Model yang pertama adalah separation between church (religion)
and state, sedang yang kedua menggunakan istilah distinction between religion and
state. Gagasan civil religion dari Robert N. Bellah, meletakkan agama dalam
pemahaman yang longgar. Kelonggaran yang hadir, mewujudkan penentuan
kembali posisi agama di ruang publik (Latif, 2020, hal. 124–147; MunawarRachman, 2010, hal. 222–243). Di kalangan inteligensia Muslim, Ali Abdel Razek
(2012, hal. 25–41) adalah sarjana pertama yang menyampaikan kritiknya terhadap
pandangan integralisme agama dan negara (Munawar-Rachman, 2010, hal. 327;
Pulungan, 2019, hal. 87–93). Menurut Abdel Razek (2012; Munawar-Rachman,
2010; Pulungan, 2019), Ibn Khaldun (2000, hal. 232–234, 2011, hal. 334–337) telah
menyimpulkan bahwa entitas khilafah telah rusak dan hilang, dengan berakhirnya
kekhalifahan Ali bin Abithalib. Baik Abdel Razek (2012), Harun Nasution (2018a,
hal. 88–91, 2018b, hal. 1–7), maupun Munawir Sjadzali (1993, hal. 21–30),
menyampaikan fakta adanya berbagai intrik dan konflik politik yang terjadi
sepeninggal Nabi Muhammad S.A.W.; terutama terkait dengan suksesi kekuasaan.
Konstelasi
politik
Pasca-Kenabian
(Post-Prophethood)
mempengaruhi
perkembangan hukum Islam secara gradual. Terutama dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara, suksesi politik, dan pelayanan publik.
Soekarno, Hatta, Soepomo, dan sebagian besar anggota BPUPK lainnya, juga
menegaskan perlunya pemisahan antara entitas dan otoritas agama, dari entitas dan
otoritas negara. Ini terlihat antara lain dari tulisan Soekarno (1963, hal. 403–445)
tentang gagasan Attatürk, yang menerapkan sistem sekular dan membubarkan
khilafah di Turki. Pidato Mohammad Hatta dan Soepomo dalam rangkaian sidang
BPUPK juga menegaskan hal tersebut (Kusuma, 2009, hal. 123–132). Namun para
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 17
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
pendiri bangsa (founding parents) Indonesia pada akhirnya menerima satu upaya
sintesis antara kedua paradigma tersebut. Paradigma simbiotik, menjadi jalan
tengah, setelah adanya kebuntuan di antara setidaknya dua golongan dalam BPUPK.
Pancasila dirumuskan sebagai dasar negara, dan termaktub dalam naskah Piagam
Jakarta, 22 Juni 1945. Naskah Piagam Jakarta mengandung rumusan dasar negara
dan cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan bangsa Indonesia.
Lahirnya Piagam Jakarta dan Pancasila dapat dikatakan sebagai lahirnya
paradigma baru relasi/dialektika agama dan negara. Paradigma ketiga ini oleh
Abdurrahman Wahid (1999, 2007) disebut sebagai legitimasi mutual, atau dikenal
juga dengan sebutan paradigma simbiotik. Landasan dari paradigma simbiotik
adalah koeksistensi norma dan kultur, yang sama-sama berjalan beriringan dan
membangun relasi di mana keduanya saling menyokong dan membangun. Agama
menjadi landasan etika, yang membentuk otoritas moral. Adapun entitas negara
membentuk otoritas kekuasaan. Pemahaman ini didukung oleh sebagian besar
pendiri bangsa Indonesia. Mohammad Natsir (1957; Sukri, 2019), sebagaimana
Mohammad Hatta (1966) dan Panitia Lima (1977) yang dipimpinnya (Hatta),
menegaskan pertentangan antara Pancasila dengan gagasan teokrasi atau
integralisme agama dan negara, maupun dengan gagasan sekularisme yang sampai
pada pertentangan antara agama dan negara. Penegasan tentang sikap para pendiri
bangsa yang mengusung paradigma simbiotik, diungkapkan oleh Abbas (2018, hal.
263–273), Kusuma (2009, hal. 19–24), dan Maarif (1985, hal. 152–155, 2006, hal.
154–158, 2018, hal. 28–35), dengan fokus yang berbeda-beda. Fokus Abbas adalah
pada pemikiran Hatta secara personal. Adapun Kusuma dan Maarif membahas
tentang dasar negara Indonesia, dengan pendekatan sejarah. Terutama sejarah
pemikiran dan pandangan dunia (Weltanschauung; worldview) bangsa Indonesia.
Menurut Wahid (1999, hal. 63-77;150-177, 2007, hal. 3–6; 17–21; 27–31;
103–110) paradigma simbiotik telah memiliki akar historis yang cukup panjang,
sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Sejarah mencatat koeksistensi
entitas dan otoritas agama, hadir berdampingan dengan fungsinya masing-masing.
Argumentasi Wahid tentang akar historis dari paradigma simbiotik diamini oleh
18 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Pringle (2010, hal. 17–27) dan Suryanegara (2014, hal. 99–116), yang juga
menemukan adanya koeksistensi yang bersifat saling membangun dan mendukung,
antara otoritas kekuasaan dengan otoritas moral di Nusantara. Entitas dan otoritas
agama telah lama menjadi landasan etika dalam kehidupan bersama warga negara
atau komunitas-komunitas yang ada. Sedangkan entitas dan otoritas negara
memberi ruang dan fasilitas bagi tegaknya moralitas dan sistem nilai yang dibangun
oleh entitas dan otoritas agama tersebut. Pancasila sendiri jelas secara tegas
menolak bentuk integralisme agama dan negara, atau teokrasi, maupun segala
bentuk peminggiran agama dari ruang publik. Baik sekularisme dalam
model/varian Amerika Utara, maupun Eropa Kontinental.
Distingsi antara paradigma simbiotik dan paradigma sekularistik, terletak
pada kepastian mengenai kedudukan nilai-nilai ketuhanan dan agama sebagai
landasan etika, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dalam
paradigma sekularistik, tidak terdapat kepastian dan/atau jaminan yang
diharapkan. Agama dalam paradigma sekularistik dapat terpinggirkan ke dalam
ruang-ruang privat, yang dapat berujung pada penyingkiran nilai-nilai etika agama
dari ruang publik. Sementara paradigma integralistik bisa berdampak pada
hilangnya kebebasan beragama dan mengikuti penafsiran agama yang berbeda.
Sementara sistem hukum agama (syariat) sendiri berasal dari pemahaman dan
penafsiran atas teks suci (scriptures) yang diyakini kebenarannya. Bukan
merupakan teks suci itu sendiri.
Interpretasi Pancasila Di Era Reformasi
Di Era Reformasi, interpretasi terhadap Pancasila berkembang dengan lebih
bebas. Beberapa sarjana seperti Latif (2014, hal. 70–75, 2020, hal. 185–232) dan
Nashir (2015a, hal. 100–287, 2015b, hal. 20–27), menyampaikan kedudukan
Pancasila sebagai sebuah konsensus nasional, landasan etika dan moral, serta
sintesis berbagai ideologi dan pemikiran politik. Hal tersebut diungkapkan pula oleh
Pulungan (2019, hal. 105–123) yang menyebutkan bahwa Pancasila merupakan
faktor utama bagi persatuan dan solidaritas nasional Indonesia.
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 19
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Kebanyakan inteligensia Muslim kontemporer menerangkan bahwa
Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, yang digali dan menjadi sintesis dari
lapisan-lapisan peradaban Nusantara. Istilah lapisan atau saf (sebagaimana
perkataan Soekarno) sendiri tidaklah bermakna kronologis an sich. Lebih dari itu,
saf yang dimaksud oleh Soekarno merupakan lapisan peradaban yang tersusun dari
peradaban terdekat (indigenous), hingga terjauh (Barat Modern; kolonial). Buktinya
adalah dari sejumlah kerajaan Islam, Hindu dan Budha yang eksis dalam rentang
waktu yang sama, atau bersinggungan sepanjang sejarah Nusantara (Latif, 2020, hal.
54–65; Pringle, 2010, hal. 20–23; Suryanegara, 2014, hal. 99–117).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dibagi ke dalam dua lapisan
dasar negara. Keduanya merepresentasikan tiga aliran ideologi yang hadir dan
berkontestasi dalam proses pembentukan Negara Republik Indonesia. Dari sinilah
Soekarno mengabstraksi Pancasila ke dalam Trisila, di mana socio-religiousity
(sosio-religiusitas) menjadi lapisan paling dasar dan soko guru pandangan dunia
(worldview; Weltanschauung) bangsa Indonesia. Latif (2020, hal. 199–207)
mencatat adanya beragam ideologi yang berangkat dari haluan keagamaan, haluan
nasionalisme/kebangsaan, dan haluan
sosialisme/internasionalisme.
Ketiga
kelompok aliran ideologi tersebut berhasil disintesiskan oleh para pendiri bangsa
(founding parents) Indonesia. Terutama oleh Soekarno, Hatta, dan kawan-kawan
yang ikut merumuskan Piagam Jakarta dan menyepakati naskah Pembukaan UUD
1945 yang berlaku sekarang ini.
Sebagaimana diyakini oleh para perumus Amendemen UUD NRI 1945,
Piagam Jakarta benar-benar menjiwai UUD NRI 1945, dan karenanya menjiwai
Pancasila itu sendiri. Latif (2020) menginterpetasikan kedudukan Piagam Jakarta
sebagai jiwa UUD NRI 1945, dalam kaitannya dengan cita-cita kemerdekaan yang
termaktub dalam naskah Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD NRI 1945.
Interpretasi Latif tersebut juga diamini dan didukung oleh Nashir (2015a, 2015b),
Maarif (2018), dan juga organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam arus utama,
seperti Muhammadiyah ((PP Muhammadiyah), 2015b, 2015a; Bachtiar, 2019, 2020;
Baidhawy & Khoirudin, 2017; Ghazali, 2018; Khoirudin, 2019a, 2019b; Mu’ti, 2019)
20 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
dan Nahdlatul Ulama (NU) (Alma’arif, 2015; Muntoha & Yusdani, 2014; Wiratomo et
al., 2020).
KESIMPULAN
Dialektika Islam dan negara, serta dinamika politik di Indonesia jelas
mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila. Sepanjang masa-masa awal
kemerdekaan, Pancasila sempat mengalami penolakan, dan kemudian diterima.
Namun terjadi serangkaian konflik ideologis di antara putra-putri bangsa Indonesia,
sepanjang dekade 1950-an. Terutama setelah Pemilu 1955, yang diwarnai berbagai
peristiwa pemberontakan dan konflik bersenjata. Rangkaian konflik ideologis dan
dinamika politik yang terjadi, berangsur mereda di bawah kepemimpinan Soeharto,
selama lebih tiga dekade.
Pasca-reformasi, Pancasila cenderung lebih diterima dan diakui secara final,
oleh hampir seluruh elemen bangsa Indonesia. Terutama umat Islam. Hampir
seluruh kelompok umat Islam telah menerima Pancasila secara final dan mengakui
koherensi dan korespondensinya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dinamika
berikutnya yang muncul setelah Amendemen UUD NRI 1945, adalah terkait dengan
interpretasi Pancasila. Sebagian kelompok umat Islam menginterpretasikan
Pancasila dalam kerangka paradigma integralistik, sebagian kecil lainnya
menginterpretasikannya
dalam
kerangka
paradigma
sekularistik.
Adapun
kelompok arus utama umat Islam mengambil secara tegas, paradigma simbiotik
dalam upaya interpretasinya terhadap Pancasila. Paradigma simbiotik memiliki
akar sejarah dan budaya yang kuat di dalam masyarakat dan peradaban
Indonesia/Nusantara. Selain itu, paradigma simbiotik jelas relevan (relevant),
koheren (coherent) dan sejalan (corresponding to; compatible with) dengan nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila. Terutama bila dikaitkan dengan naskah
Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD NRI 1945, serta naskah Pembukaan UUD NRI 1945
itu sendiri.
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 21
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
DAFTAR PUSTAKA
(Panitia Lima). (1977). Uraian Pancasila. Mutiara.
(PP Muhammadiyah). (2015a). Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan
Kebangsaan yang Bermakna. PP Muhammadiyah.
(PP Muhammadiyah). (2015b). Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. PP
Muhammadiyah.
(Tim Penulis). (2010a). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan
UUD 1945 (Revisi). Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
(Tim Penulis). (2010b). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Buku II Sendi-Sendi/Fundamental Negara (Revisi).
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Abbas, A. (2018). Mohammad Hatta: Sebuah Upaya untuk Memahami Pemikiran dan
Perjuangan Hatta dari Perspektif Agama. In A. Z. Siradj (Ed.), Islam & Transformasi
Indonesia: Kontribusi Alumni UIN Memperkuat Umat Melahirkan Kesalehan
Kebangsaan (hal. 263–273). IKALUIN Jakarta & Penerbit Penjuru Ilmu.
Abdel Razek, A. (2012). Islam and the Foundations of Political Power (A. Filali-Ansary (ed.);
M. Loutfi (penerj.)). Edinburgh University Press.
Abduh, M. (1978). Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Keristen. Diponegoro.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. ISTAC.
Al Mawardi, A. H. A. (1996). The Laws of Islamic Governance. Ta-Ha Publishers.
Alma’arif. (2015). Islam Nusantara: Studi Epistemologis dan Kritis. Analisis, 15(2), 265–291.
Bachtiar, H. (2019). Dar al-’Ahd wa al-Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah
Merawat Kebinekaan. Maarif, 14(1), 67–101.
Bachtiar, H. (2020). Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar al-’Ahd wa al-Syahadah:
Elaborasi Siyar dan Pancasila. Suara Muhammadiyah.
Baidhawy, Z., & Khoirudin, A. (2017). Etika Muhammadiyah: Spirit Peradaban. Suara
Muhammadiyah.
Banna, H. al. (1985). Dakwah Kami, Kemarin dan Hari Ini (R. Abdullah (penerj.)). Yayasan
Al-Amanah Indonesia.
Brankley Abbas, M. (2021). Whose Islam? The Western University and Modern Islamic
Thought in Indonesia. Standford University Press.
Daly, C. (2021). Pengantar Metode-Metode Filsafat (Taufiqurrahman (penerj.)). Antimoni.
Effendy, B. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di
Indonesia (I. Ali-Fauzi & R. H. Alam (penerj.)). Yayasan Abad Demokrasi.
Feith, H. (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing.
Feith, H., & Castle, L. (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965 (H. Feith & L. Castle
(ed.)). Cornell University Press.
Ghazali, A. R. (2018). Mewujudkan Negara Pancasila sebagai Dārul-ʼAhd Wasy-Syahādah
Menuju Islam Berkemajuan dalam Perspektif Politik. In F. Amar, D. Hasbudin AR, E.
Amin, N. Author, & Y. M. Permana (Ed.), Dārul-ʼAhd Wasy-Syahādah: Konteks, Makna,
Aktualisasi untuk Indonesia Berkemajuan (hal. 34–54). Al-Wasat.
HAMKA. (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Pustaka Keluarga.
Hatta, M. (1963). Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Djambatan.
Hatta, M. (1966). Demokrasi Kita. Pustaka Antara.
Ibn Khaldun, A. M. M. (2000). Muqaddimah. Pustaka Firdaus.
22 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Ibn Khaldun, A. M. M. (2011). Mukaddimah (M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri (penerj.)).
Pustaka Al-Kautsar.
Ismail, F. (1995). Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim
Acceptance of the Pancasila. McGill University.
Kaelan. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat,
Seni, Agama dan Humaniora. Paradigma.
Kamil, S., Prihatna, A. A., Helmatina, K., Muslimin, J. M., Makassari, R. al-, Abu Bakar, A., &
Alawiyah, T. (2007). Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap
Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim (S. Kamil & C. S. Bamualim
(ed.)). CSRC UIN Jakarta & KAS.
Khoirudin, A. (2019a). Dua Teologi Muhammadiyah: Al-Ma’un dan Al-’Ashr. In A. Mu’ti (Ed.),
Ta’awun untuk Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 39–
44). MPI PP Muhammadiyah.
Khoirudin, A. (2019b). Ta’awun Darul Ahdi wasy-Syahadah. In A. Mu’ti (Ed.), Ta’awun untuk
Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 73–78). MPI PP
Muhammadiyah.
Khomeini, I. A. (n.d.). Governance of the Jurist. The Institute for Compilation and Publication
of Imam Khomeini’s Works (International Affairs Division).
Khomeini, I. A. (1983). Konsep Pemerintahan Islam (R. Hj. Nawawi & H. H. Nawawi (penerj.)).
ABIM.
Kuntowijoyo. (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan.
Kusuma, A. B. (2009). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen
Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan. Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Latif, Y. (2012). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad
Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi.
Latif, Y. (2014). Moral Pancasila sebagai Kunci Kemajuan Bangsa. Maarif, 9(1), 67–76.
Latif, Y. (2020). Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (Komprehens).
Mizan.
Lizzote, C. A. (2017). The Geopolitics of Laïcité in a Multicultural Age: French Secularism,
Educational Policy and the Spatial Management of Difference. University of
Washington.
Maarif, A. S. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante. LP3ES.
Maarif, A. S. (2006). Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan
dalam Konstituante (Revisi). LP3ES.
Maarif, A. S. (2018). Islam, Humanity, and Indonesian Identity: Reflections on History (G. A.
Fowler (penerj.)). Leiden University Press.
Madinier, R. (2015). Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy
and Integralism. NUS Press. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/j.ctv1ntfxk
Malaka, T. (1925). Naar de “Republiek Indonesia.” Marxists Internet Archive.
https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1925-Menuju.htm
Malaka,
T.
(1926).
Aksi
Massa.
Marxists
Internet
Archive.
https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/AksiMassa/index.htm
Maududi, A. A. (1960). The Islamic Law and Constitution (K. Ahmad (penerj.)). Islamic
Publications.
Maududi, A. A. (1984). Nasionalisme dan Islam. In J. J. Donohue & J. L. Esposito (Ed.), & M.
Husein (Penerj.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (hal. 158–
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 23
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
164). Rajawali Press.
Misbah Yazdi, M. T. (2001a). Islamic Political Theory (Legislation): Volume 1 (M. L. Limba
(penerj.)). Ahl al-Bayt World Assembly.
Misbah Yazdi, M. T. (2001b). Islamic Political Theory (Legislation): Volume 2 (M. L. Limba
(penerj.)). Ahl al-Bayt World Assembly.
Misbah Yazdi, M. T. (2002). Al-Ḥājāt al-Asāsiyah lil-Idārah al-Islāmiyah (S. al Ansari
(penerj.)). Dār al-Nubalā’.
Mu’ti, A. (2019). Ta’awun untuk Negeri: Konteks Keindonesiaan. In A. Mu’ti (Ed.), Ta’awun
untuk Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 67–71). MPI
PP Muhammadiyah.
Munawar-Rachman, B. (2010). Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan
Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia. LSAF.
Muntoha, & Yusdani. (2014). Hubungan Agama dan Negara dalam Negara Pancasila Pasca
Reformasi Menurut Organisasi NU, Muhammadiyah, HTI dan MMI.
Nashir, H. (2013). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Mizan.
Nashir, H. (2015a). Muhammadiyah: A Reform Movement. Muhammadiyah University Press.
Nashir, H. (2015b). Understanding the Ideology of Muhammadiyah. Muhammadiyah
University Press.
Nasution, H. (2018a). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I. UI-Press.
Nasution, H. (2018b). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. UI-Press.
Natsir, M. (1957). Capita Selecta Djilid II. Pustaka Pendis.
Patittingi, F., Irwansyah, I., Hasrul, M., Arisaputra, M. I., & Yunus, A. (2021). Relasi Negara
dan Agama dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah. Pancasila: Jurnal
Keindonesiaan, 01(01), 17–33.
Pranarka, A. M. W. (1985). Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Yayasan Proklamasi CSIS.
Pringle, R. (2010). Understanding Islam in Indonesia. Editions Didier Millet.
Pulungan, J. S. (2019). Dialektika Islam, Negara dan Pancasila. Ombak.
Qutb, M. (1984). Islam di Tengah Pertarungan Tradisi (K. M. S. Agustjik (penerj.)). Mizan.
Qutb, S. (1984). Keadilan Sosial dalam Islam (A. Mohammad (penerj.)). Penerbit Pustaka.
Qutb, S. (1993). Harokah Jihad Islam: Muqoddimah Surat Al Anfal, Fi Dzilalil Qur’an (A.
Ahmad (ed.); A. Hamid (penerj.)).
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (3rd ed.). Palgrave
Macmilan.
Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern (1200-2004) (S. Wahono, B. Bilfagih, H.
Huda, M. Helmi, J. Sutrisno, & H. Manadi (penerj.)). Serambi Ilmu Semesta.
Rochmat, S. (2014). The Fiqh Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid
Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia. Al-Jamiah, 52(2), 309–329.
Sayogie, F. (2013). Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan dalam Islam dan HAM
Universal. Trans Pustaka.
Sjadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI-Press.
Soekarno. (1963). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama. Panitya Penerbit.
Soekarno. (1965). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Kedua. Panitya Penerbit.
Sukri, M. A. (2019). Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir. Alfuad Journal,
3(1), 82–96.
Suryanegara, A. M. (2014). Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam
Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Revisi, Vol. 1). Suryadinasti.
Syihab, M. R. H. (2012). Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia.
Universiti Malaya.
24 |
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
EL-ADABI: Jurnal Studi Islam
(Vol. 02, No. 02, Desember 2023)
Taylor, C. (2007). A Secular Age. Belknap Press of Harvard University Press.
Wahid, A. (1999). Prisma Pemikiran Gus Dur. LKiS.
Wahid, A. (2007). Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Kompas.
Walliman, N. (2011). Research Methods: The Basics. Routledge.
Wiratomo, G. H., Suprayogi, & Kristiono, N. (2020). The Thoughts of Pancasila in Nahdlatul
Ulama and Muhammadiyah in the Era of Reform Indonesia. Proceedings of the 1st
International Conference on Character Education, 99–104.
Yamin, M. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Pertama. Siguntang.
Yamin, M. (1960). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Ketiga. Siguntang.
Artikel Jurnal & Surat Kabar
Alma’arif. (2015). Islam Nusantara: Studi Epistemologis dan Kritis. Analisis, 15(2), 265–291.
Bachtiar, H. (2019). Dar al-’Ahd wa al-Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah
Merawat Kebinekaan. Maarif, 14(1), 67–101.
Latif, Y. (2014). Moral Pancasila sebagai Kunci Kemajuan Bangsa. Maarif, 9(1), 67–76.
Patittingi, F., Irwansyah, I., Hasrul, M., Arisaputra, M. I., & Yunus, A. (2021). Relasi Negara
dan Agama dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah. Pancasila: Jurnal
Keindonesiaan, 01(01), 17–33.
Rochmat, S. (2014). The Fiqh Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid
Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia. Al-Jamiah, 52(2), 309–329.
Sukri, M. A. (2019). Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir. Alfuad Journal,
3(1), 82–96.
Sumber Lainnya
Ismail, F. (1995). Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim
Acceptance of the Pancasila. McGill University.
Lizzote, C. A. (2017). The Geopolitics of Laïcité in a Multicultural Age: French Secularism,
Educational Policy and the Spatial Management of Difference. University of
Washington.
Muntoha, & Yusdani. (2014). Hubungan Agama dan Negara dalam Negara Pancasila Pasca
Reformasi Menurut Organisasi NU, Muhammadiyah, HTI dan MMI.
Syihab, M. R. H. (2012). Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia.
Universiti Malaya.
Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis )
| 25