Academia.eduAcademia.edu

EL-ADABI: Jurnal Studi Islam

2023

Constitutional change and democratization in Indonesia have reopened dialectics and dynamics among religious, cultural and philosophical traditions in the country. Contemporary scholars tend to agree that Pancasila and democracy are compatible with Islam. The interpretation of Pancasila have been widely discussed by a number of contemporary Indonesian scholars. They use their own paradigms and methods in their interpretation of Pancasila. Some scholars urge for the formalization of sharia in a Pancasila state, while others develop the ideas of religious moderation in a Pancasila state. The smaller groups of scholars interpret Pancasila in the secularistic paradigm. This paper discusses the interpretation of Pancasila among Muslim intelligentsia and civil society organizations. It seeks the most relevant and coherent paradigm for interpreting Pancasila. Hence, this paper shall examine the three paradigms of the relation/dialectic of religion and state. This paper maps out the thoughts and models of interpretation of Pancasila, that are discussed by Muslim intelligentsia and civil society organizations. The assumption built at the beginning of this paper is that the symbiotic paradigm has relevance, coherence, and

EL-ADABI: Jurnal Studi Islam E-ISSN: 2964-0679 Vol. 02, No. 02, Desember 2023, Pages: 1-25 Tersedia online di: https://jurnal.stainidaeladabi.ac.id/index.php/eladabi REINTERPRETASI PANCASILA (Sebuah Dinamika Pemikiran dalam Relasi Agama dan Negara di Era Reformasi) Muhammad Imadudin1*, Muhammad Anis2 1 STAI Sadra, Jakarta Sunan Kalijaga, Yogyakarta * Correspondence: muh.imadudinnas@gmail.com 2 UIN Abstract Constitutional change and democratization in Indonesia have reopened dialectics and dynamics among religious, cultural and philosophical traditions in the country. Contemporary scholars tend to agree that Pancasila and democracy are compatible with Islam. The interpretation of Pancasila have been widely discussed by a number of contemporary Indonesian scholars. They use their own paradigms and methods in their interpretation of Pancasila. Some scholars urge for the formalization of sharia in a Pancasila state, while others develop the ideas of religious moderation in a Pancasila state. The smaller groups of scholars interpret Pancasila in the secularistic paradigm. This paper discusses the interpretation of Pancasila among Muslim intelligentsia and civil society organizations. It seeks the most relevant and coherent paradigm for interpreting Pancasila. Hence, this paper shall examine the three paradigms of the relation/dialectic of religion and state. This paper maps out the thoughts and models of interpretation of Pancasila, that are discussed by Muslim intelligentsia and civil society organizations. The assumption built at the beginning of this paper is that the symbiotic paradigm has relevance, coherence, and Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) |1 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) correspondence with the values of Pancasila itself. Therefore, this paper shall examine the assumptions mentioned above. This paper is based on a library research, and also a qualitative research. It is, therefore, a basic/philosophical research as well. The sources of research data in this paper are collected from related documents and other related writings. Keyword: islam and state; islamic political philosophy; pancasila democracy; pancasila interpretation; religion-state dialectics Abstrak Perubahan konstitusi dan demokratisasi di Indonesia membuka kembali dialektika dan dinamika antar tradisi agama, budaya dan filsafat di tanah air. Saat ini para cendekiawan cenderung menyepakati kompatibilitas antara Islam dan Pancasila serta Islam dan demokrasi. Ide-ide tentang interpretasi Pancasila banyak didiskusikan oleh kalangan intelektual, kontemporer Indonesia. Mereka memaknai Pancasila dalam paradigma dan metode masing-masing. Sebagian sarjana mendorong formalisasi syariah di negara Pancasila, sementara sebagian lainnya mengajukan gagasan moderasi beragama dalam kerangka negara Pancasila. Di sisi lain, terdapat pula sekelompok sarjana yang menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma sekularistik. Makalah ini membahas masalah-masalah penafsiran Pancasila di kalangan inteligensia Muslim dan kelompok umat Islam. Makalah ini mencari paradigma paling relevan dan koheren untuk menginterpretasikan Pancasila. Karenanya makalah ini akan menguji ketiga paradigma relasi/dialektika agama dan negara. Makalah ini juga memetakan pemikiran dan model interpretasi terhadap Pancasila, yang dilakukan oleh tokoh-tokoh inteligensia Muslim dan kelompok-kelompok umat Islam. Asumsi yang dibangun di awal makalah ini adalah bahwa paradigma simbiotik memiliki relevansi dan koherensi, serta korespondensi dengan nilainilai yang terdapat dalam Pancasila. Karenanya makalah ini dapat dikataan menguji asumsi tersebut di atas. Makalah ini berangkat dari penelitian kepustakaan dan merupakan pula penelitian kualitatif, sekaligus penelitian dasar/filosofis. Sumber data penelitian dalam makalah ini berasal dari dokumen-dokumen terkait dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan topik tersebut. Kata Kunci: demokrasi pancasila; dialektika agama-negara; filsafat politik islam; interpretasi pancasila; islam dan negara; PENDAHULUAN Lahir dan dikukuhkannya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bermula dari dialektika pemikiran dan dinamika politik di antara tokoh-tokoh pejuang pergerakan kemerdekaan (Effendy, 2011; Latif, 2012; Maarif, 1985, 2006; Pranarka, 1985; Pringle, 2010). Seiring perjalanan sejarah, dialektika pemikiran yang terjadi mengarah pada konflik ideologis pasca kemerdekaan. Beberapa peristiwa sejarah seperti pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), PRRI/Permesta (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta), dan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), 2| Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) merupakan efek dari konflik ideologis yang berlangsung. Jatuhnya Soekarno dari kursi kepresidenan kemudian membawa angin segar bagi perubahan politik di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto melancarkan upaya represif, sekaligus persuasif, dalam rangka membuat Pancasila dapat diterima secara final oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Upaya tersebut kemudian berangsur membuahkan hasil, dengan diterimanya Pancasila oleh sebagian besar kelompok umat Islam yang ada. Terutama dari arus utama gerakan Islam (Brankley Abbas, 2021, hal. 52–86; Effendy, 2011, hal. 148–240; Ismail, 1995, hal. 127–142; Pringle, 2010, hal. 65–100). Munawir Sjadzali (1993, hal. 235–237) dan J. Suyuthi Pulungan (2019, hal. 168–194) menerangkan koherensi dan korespondensi antara ajaran Islam dan Pancasila. Keduanya menjelaskan tentang tiga paradigma relasi agama dan negara, yang merupakan hasil dialektika pemikiran kalangan inteligensia dan filosof politik, sepanjang sejarah peradaban manusia. Trilogi paradigma yang dimaksud terdiri dari paradigma integralistik, paradigma sekularistik dan paradigma simbiotik. Menurut keduanya, negara Pancasila bukanlah negara sekular, ataupun negara agama (teokratis). Argumentasi keduanya sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mohammad Hatta ((Panitia Lima), 1977, hal. 40–45; 1966, hal. 30–35) dan HAMKA,(1951, hal. 10–38) yang kemudian didukung oleh disertasi Ahmad Syafii Maarif (1985, hal. 152–155, 2006, hal. 154–158). Selepas kejatuhan Soeharto dari kursi kepresidenan, Indonesia memulai sebuah era baru, yang lebih terbuka, bebas dan demokratis. Amendemen UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945), menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), disusun melalui rangkaian Sidang Umum dan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam jangka waktu sekitar tiga tahun lamanya (1999-2002). Kesepakatan yang bersifat fundamental dalam rangkaian sidang MPR pada1999-2002 tersebut antara lain adalah berkenaan dengan Pancasila sebagai dasar negara, dipertahankannya naskah Pembukaan UUD 1945 menjadi Pembukaan UUD NRI 1945, dan diyakininya kedudukan Piagam Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) |3 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Jakarta sebagai jiwa (source of inspiration; spirit) dari UUD NRI 1945; ((Tim Penulis), 2010a, 2010b) karenanya menjiwai Pancasila. Dengan adanya demokratisasi dan perubahan konstitusi, masyarakat Indonesia menikmati kebebasan untuk berbicara, berkumpul, dan mengembangkan beragam aliran pemikiran. Pintu kebebasan berpendapat juga mempengaruhi ragam interpretasi terhadap Pancasila. Kelompok umat Islam arus utama, berpegang pada paradigma simbiotik dalam menginterpretasikan Pancasila. Beberapa tokoh inteligensia Muslim kontemporer yang menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma simbiotik adalah Ahmad Syafii Maarif (2018), Abdurrahman Wahid (1999, 2007), dan Yudi Latif (2014, 2020). Sebagian kelompok umat Islam dan inteligensia Muslim lainnya berpegang pada paradigma integralistik dalam interpretasi mereka terhadap Pancasila. Baik yang kemudian menolak Pancasila, maupun yang kemudian menyuarakan formalisasi-legalisasi syariat Islam secara tekstual (letterlijke) dalam rangka menegakkan amanat Piagam Jakarta dan Pancasila (Kamil et al., 2007; Nashir, 2013; Patittingi et al., 2021; Pulungan, 2019; Syihab, 2012). Selain itu, masih terdapat segolongan inteligensia Muslim yang berpegang pada paradigma sekularistik dalam menginterpretasikan Pancasila. Menurut Pulungan (2019, hal. 153), jumlah sarjana maupun aktivis yang berpegang pada paradigma sekularistik di Indonesia tidak begitu banyak. Namun demikian, kelompok-kelompok sekular di Indonesia memiliki akses media dan komunikasi yang berguna bagi menyebarkan gagasan dan pandangan mereka. Interpretasi Pancasila di Era Reformasi Indonesia tidak menjadi sebuah tindakan tunggal, namun lebih merupakan rangkaian dialektika pemikiran yang dipengaruhi oleh dinamika politik dan komunikasi diskursif di antara kalangan inteligensia. Dialektika pemikiran di antara ketiga paradigma tersebut mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila, dan juga terhadap Pembukaan UUD NRI 1945, di mana rumusan Pancasila termaktub di dalamnya. Dialektika yang terjadi tidak hanya terlokalisasi dalam lingkup dinding-dinding akademia, namun juga mewarnai percaturan politik nasional. Karenanya, dialektika yang terjadi sejak 4| Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) permulaan Era Reformasi ini, dapat menjadi polemik, dan bahkan berpotensi menimbulkan konflik ideologis yang akan mempengaruhi integrasi bangsa. Paper ini mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana dialektika Islam dan negara di Indonesia mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila. Studi ini dibatasi pada proses dialektika Islam dan negara, dalam konteks interpretasi terhadap Pancasila. Makalah ini menganalisis bagaimana trilogi paradigma relasi/dialektika agama dan negara mendasari interpretasi terhadap Pancasila. Dialektika yang dibahas dalam makalah ini, adalah yang berlangsung dalam bentuk dinamika relasi antara umat Islam dan entitas negara Indonesia, dalam artian golongan yang berkuasa (pemerintah). Dinamika relasi yang terjadi juga merupakan satu bentuk dinamika politik, karena melibatkan otoritas agama dan otoritas negara sekaligus. Metode riset yang digunakan dalam artikel ini adalah metode kualitatif, dengan penekanan pada riset dasar (konseptual). Penulis mencoba untuk memahami data yang berhasil dikumpulkan untuk artikel ini (Kaelan, 2012, hal. 4– 6; Walliman, 2011, hal. 129–131). Penulis juga berupaya menganalisis teks dan literatur yang terkait dengan Pancasila dan interpretasinya yang ditulis oleh inteligensia Muslim di Era Reformasi Indonesia. Riset yang penulis kerjakan tergolong ke dalam library research. Library research atau studi pustaka yang penulis kerjakan tidak membutuhkan observasi lapangan (field research). Karenanya, sumber primer dari riset ini berasal dari berbagai dokumen dan karya filsafat/pemikiran tentang Pancasila dan interpretasinya. Adapun sumber sekunder, penulis kumpulkan dari hasil-hasil riset terkait yang membahas pemikiran tentang dan interpretasi terhadap Pancasila. Artikel ini merupakan sebuah analisis filosofis, terhadap Pancasila dan dinamika dalam interpretasi terhadapnya. Analisis filosofis merupakan upaya memahami (verstehen) teks, baik berupa teks suci (scriptures), hasil pemikiran, maupun penafsiran terhadap teks suci dan pandangan hidup (worldview). Analisis filosofis bertujuan meregimentasi teks, dari bahasa yang rumit ke dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami (Daly, 2021, hal. 49–53; Kaelan, 2012, hal. 178–205). Adapun analisis filosofis yang Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) |5 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) digunakan dalam artikel ini condong kepada pendekatan sosiologi keilmuan, dalam memahami dialektika pemikiran tentang dan interpretasi terhadap Pancasila sebagai sebuah landasan filosofis bangsa. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Sejarah Pancasila Peran sentral Soekarno dalam proses perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara, ditegaskan oleh Mohammad Hatta, dalam rangka menyusun satu kerangka standard dalam interpretasi Pancasila ((Panitia Lima), 1977, hal. 73– 75). Hatta menyampaikan kritiknya terhadap Yamin (1959, 1960), buku yang ditulisnya. Menurut Hatta, tulisan Yamin berlebih-lebihan dan mengada-ada. Peran sentral Soekarno dalam perumusan Pancasila dapat dilihat dari rangkaian karyanya, yang kemudian terkumpul dalam buku Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I dari buku tersebut berisikan kumpulan tulisan Soekarno sebelum memasuki Era Kemerdekaan. Adapun Jilid II buku tersebut merupakan kumpulan pidato Soekarno, sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga memasuki pertengahan dekade 1960-an. Penyampaian Hatta mengenai peran sentral Soekarno, tidak menafikan adanya peran kalangan inteligensia Indonesia lainnya, dalam proses perumusan dasar negara dan kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Para tokoh pergerakan nasional; terutama para pendiri bangsa (founding parents), merupakan inteligensia yang banyak berinteraksi dengan beragam gagasan pembaharuan, ideologi dan aliran filsafat. Baik yang datang dari jaringan inteligensia Muslim dan/atau ulama internasional, maupun yang datang dari peradaban Barat Eropa ((Panitia Lima), 1977; Kusuma, 2009; Latif, 2012, 2020; Pranarka, 1985). Dalam tulisan bertajuk “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, Soekarno (1963, hal. 1–23) menyampaikan analisis sosiologisnya, mengenai tiga aliran pemikiran dan/atau ideologi yang kala itu sedang berkembang dan ramai dibahas di kalangan inteligensia Indonesia, di awal abad ke-20. Tulisan Soekarno tersebut merupakan sebuah langkah awal baginya dalam membangun kerangka paradigmatik, bagi gagasannya mengenai landasan filosofis negara Indonesia 6| Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) merdeka kelak. Soekarno (1963, hal. 173–175) menyampaikan pula kritiknya terhadap gagasan demokrasi liberal-kapitalis, dan komunisme-sosialisme, untuk kemudian mensintesiskan kedua gagasan besar tersebut. Apa yang dilakukan Soekarno, dapat dikatakan sebagai upaya untuk mensintesiskan tiga kelompok aliran pemikiran atau ideologi yang berkembang sepanjang paruh pertama abad ke20 di Indonesia. Berangkat dari upaya sintesis tersebut, maka lahirlah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka (Kusuma, 2009; Latif, 2012, 2020; Pranarka, 1985). Mohammad Hatta (1963, 1966), Tan Malaka (1925, 1926), dan banyak tokoh pergerakan yang lain pun turut pula mengutarakan analisis kritis mereka terhadap gagasan demokrasi liberal-kapitalis, yang menegasikan demokrasi sosial-ekonomi. Tokoh pergerakan lainnya yang lebih senior, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Achmad Dachlan, dan K.H. Hasjim Asj’ari, juga turut serta mengkritik gagasan dan praktik liberalisme dan kapitalisme yang cukup kuat pengaruhnya, sepanjang masa penjajahan. Melalui surat menyurat dengan T.A. Hasan, Soekarno (1963, hal. 325–344) ikut membuka pintu bagi adanya kritik agama di Indonesia. Surat-surat tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu sumbangsih keilmuan Soekarno, sebelum kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana Mohammad Hatta (Kusuma, 2009; Maarif, 2018), Soekarno juga menyampaikan perlunya terdapat pemisahan antara agama dengan negara. Soekarno (1963, 1965) melihat apa yang oleh Kuntowijoyo (1993, hal. 47–77) disebut sebagai tantangan bagi umat Islam di abad ke-20. Umat Islam di abad yang lalu masih belum dapat menerima berbagai gagasan baru Abad Modern, yang lahir di penghujung abad ke-18, hingga permulaan abad ke-20 yang lalu. Kondisi masyarakat global pada paruh pertama abad ke-20, merupakan latar sosio-historis di mana Pancasila lahir, sebagai sintesis dari beragam pemahaman atas ajaran agama, gagasan, dan pandangan hidup (worldview; Weltanschauung), yang hadir di Indonesia saat itu. Menurut para pendiri bangsa (founding parents), nilai-nilai individualisme dalam demokrasi kapitalis telah menimbulkan kerusakan multidimensional. Termasuk di wilayah Hindia Belanda sendiri. Adapun ajaran Marxisme dan Leninisme melahirkan praktik otoritarianisme, atas nama Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) |7 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) pembentukan masyarakat tanpa kelas. Di tengah kondisi dunia yang memprihatinkan, di penghujung Perang Dunia II, menjelang Perang Dingin itulah, Pancasila lahir sebagai dasar negara Indonesia merdeka ((Panitia Lima), 1977; Kusuma, 2009; Latif, 2020; Pranarka, 1985). Dalam Sidang Umum I BPUPK, Muhammad Yamin menyampaikan pidatonya pada tanggal 29 Mei, yang isinya antara lain adalah nilai-nilai yang kemudian juga menjadi substansi Pancasila. Yamin (1959, hal. 87–107) sendiri memasukkan sebuah naskah pidatonya dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, tepatnya pada Jilid Pertama. Naskah pidato tersebut dibantah oleh Mohammad Hatta ((Panitia Lima), 1977) dan A.B. Kusuma (2009, hal. 97–99). Namun temuan A.B. Kusuma menyebutkan bahwa Yamin menyampaikan beberapa nilai (values), yang memang merupakan substansi Pancasila. Artinya substansi Pancasila sudah pernah dibahas oleh satu atau lebih pembicara dalam Sidang Umum I BPUPK, namun nama dan rumusan pertama Pancasila sebagai dasar negara, berasal dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebt (Kusuma, 2009; Pulungan, 2019; Syihab, 2012). Sejarah mencatat bahwa BPUPK didominasi oleh kelompok yang banyak disebut sebagai golongan nasionalis, yang merupakan hasil didikan institusi pendidikan barat. Adapun kelompok yang merupakan hasil didikan institusi pendidikan seperti pondok pesantren, ataupun yang belajar agama Islam di Mekkah, Madinah, dan Kairo, jumlahnya tidak sebanyak golongan nasionalis tersebut (Kusuma, 2009, hal. 136–148; Maarif, 1985, hal. 102–104, 2006, hal. 103–105; Pulungan, 2019, hal. 4–9). Pranarka (1985) mencatat adanya tiga kelompok ideologi atau aliran pemikiran yang memperoleh representasi di dalam BPUPK. Ketiganya berasal dari kelompok ideologi keislaman, yang dipengaruhi pemikiran politik Islam; kelompok ideologi/aliran pemikiran Barat Modern; dan golongan nasionalis yang membawa nilai-nilai nasionalisme kebangsaan, dari tradisi dan budaya asli Nusantara. Golongan Islam menginginkan penerapan Islam sebagai dasar negara, yang memperoleh penolakan, dari sesama inteligensia Muslim sendiri. Mohammad Hatta dan Soepomo menyampaikan pentingnya pemisahan agama dari negara. 8| Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Adapun Yamin dan Soekarno menyampaikan nilai-nilai yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara Indonesia merdeka kelak ((Panitia Lima), 1977; (Tim Penulis), 2010a; Kusuma, 2009; Yamin, 1959). Hasil akhir dari dinamika yang terjadi dalam Sidang Umum I BPUPK, adalah kelahiran Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang diubah dan dijadikan Pembukaan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Baik Piagam Jakarta, maupun Pembukaan UUD 1945, mengandung cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan dan dasar negara Indonesia merdeka (Kusuma, 2009; Latif, 2020; Pulungan, 2019). UUD NRI 1945, sebagai hasil perubahan konstitusi Indonesia, mempertahankan naskah asli Pembukaan UUD 1945, dan menetapkan bahwa Amendemen UUD bagi bangsa Indonesia dilakukan dalam bentuk adendum ((Tim Penulis), 2010a, 2010b). Sejarah mencatat adanya konflik ideologis dan dinamika politik yang tidak sehat, sepanjang sekitar dua dekade pertama kemerdekaan. Konflik ideologis ini antara lain terjadi sebagai akibat dari kekecewaan sebagian elemen bangsa, atas kurangnya representasi Islam dalam kepemimpinan revolusi. Selepas kembalinya Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, hal pertama yang menjadi concern (perhatian) adalah penyelenggaraan pemilu. Hal yang dicatat oleh banyak sarjana, adalah fakta bahwa terdapat upaya memperkuat penerimaan terhadap Pancasila, sebelum penyelenggaraan Pancasila. Salah satu strategi yang dilancarkan adalah dengan menunda pelaksanaan pemilu itu sendiri (Effendy, 2011, hal. 117–122; Feith, 2007, hal. 278–284; Pranarka, 1985, hal. 98–100; Ricklefs, 2001, hal. 307–322, 2007, hal. 501–525). Pada dekade 1950-an, hingga memasuki akhir dekade 1960-an, integrasi nasional bangsa Indonesia memang masih rapuh. Bahkan penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara pun belum cukup kuat, di kalangan inteligensia Muslim. Kelompok-kelompok umat Islam, beserta partai politiknya belum secara bulat menerima dan mendukung Pancasila. Walaupun demikian, Mohammad Natsir sejatinya sudah menyampaikan dukungannya terhadap Pancasila dalam forum internasional. Tulisan HAMKA (1951) tentang kedudukan Sila Pertama Pancasila sebagai urat tunggang (soko guru; pilar utama) Pancasila, juga menunjukkan bahwa Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) |9 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) sikap golongan Islam terhadap Pancasila sejatinya bukanlah menolak secara total (Effendy, 2011; Natsir, 1957; Pranarka, 1985; Sukri, 2019). Golongan Islam tidak menerima pembenturan antara konsep negara Islam dengan negara kebangsaan, lebih karena faktor perlunya upaya persuasif dan negosiasi yang lebih adil dan bermartabat. Adapun benturan yang terjadi, menurut Effendy (2011, hal. 107–109) dan Feith (2007, hal. 274) lebih disebabkan oleh sentimen golongan, dan tidak proporsionalnya kepemimpinan revolusi. Kurangnya representasi kelompok/golongan Islam membangkitkan adanya sentimen santri, yang berpotensi memenangkan pemilu dan mengubah dasar negara Indonesia. Latif (2012, hal. 360–362) mencatat adanya peran Pemerintah Pendudukan Jepang yang lebih memilih inteligensia hasil didikan barat, daripada hasil didikan Timur Tengah, ataupun lembaga pendidikan tradisional pesantren. Sikap golongan Islam selama rangkaian sidang Konstituante, kemudian adalah mengajukan Islam sebagai dasar negara, dan menolak konsep negara kebangsaan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Penolakan yang dilakukan tersebut banyak diketahui lebih didominasi oleh kekecewaan politik, daripada alasan ideologis (Feith, 2007, hal. 274–277; Latif, 2012, hal. 360–362; Maarif, 1985, hal. 101–103, 2006, hal. 103–106; Pranarka, 1985, hal. 140–149). Kekecewaan politik yang dimaksud antara lain adalah adanya buktibukti kegagalan Pancasila dalam meraih cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan, berbagai peristiwa berdarah yang terjadi selama dekade awal kemerdekaan, hingga diterimanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dan golongan komunis untuk berpartisipasi aktif di ruang publik Indonesia. Perdebatan mengenai dasar negara membuat Konstituante yang hampir berhasil merumuskan sebuah konstitusi baru bagi Republik Indonesia, justru tidak berhasil memutuskan rumusan dasar negara Indonesia. Beberapa sarjana menyampaikan argumentasinya, bahwa Konstituante tidaklah gagal dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Akan tetapi perdebatan yang berkepanjangan dan perkembangan politik yang terjadi di luar arena sidang Konstituante, membuat Soekarno kehilangan kesabarannya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pun diundangkan, dengan dalih untuk mewujudkan ketertiban dan stabilitas nasional (Effendy, 2011; 10 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Feith, 2007; Maarif, 1985, 2006; Pranarka, 1985; Ricklefs, 2001, 2007). Rangkaian peristiwa sejarah, yang berlangsung sejak awal dekade 1950-an sampai penghujung dekade 1960-an, menunjukkan konflik ideologis dan hubungan antagonistik antara Islam (atau kelompok umat Islam) dengan entitas negara Indonesia (Effendy, 2011; Madinier, 2015; Pringle, 2010; Ricklefs, 2001, 2007). Pendekatan yang dilakukan pemerintahan Soekarno sepanjang Era Demokrasi Terpimpin (1959-1967), dapat digolongkan ke dalam pendekatan represif. Melalui pendekatan represif itulah Soekarno memaksakan penerimaan atas Pancasila, beserta gagasan Manipol USDEK (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), dan Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Konflik ideologis yang terjadi, pecah menjadi serangkaian konflik terbuka dan memuncak pada peristiwa PRRI/Permesta Indonesia/Perjuangan Rakyat (Pemerintahan Revolusioner Semesta) G30S/PKI dan Republik (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia). Kelompok Islam politik, memiliki andil/peran dalam rangkaian pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan PRRI/Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta). Kendati tidak secara langsung, namun sejarah mencatat dukungan dan simpati para pemimpin politik umat Islam (terutama dalam tubuh Masjumi/Majelis Sjura Muslimin Indonesia) ini. Kegagalan G30S/PKI membuka pintu bagi berakhirnya konflik ideologis dan hubungan antagonistik antara Islam dan negara di Indonesia. Langkah yang diambil oleh Soeharto, dalam upaya mendomestikasi Islam, adalah menggabungkan pendekatan represif dengan pendekatan persuasif (Brankley Abbas, 2021, hal. 53–114; Effendy, 2011, hal. 130–181; Ismail, 1995, hal. 109–119; Pringle, 2010, hal. 80–90; Ricklefs, 2001, hal. 338–345, 2007, hal. 553–562). Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin terbuka, lahirlah gerakan intelektualisme Islam baru di tanah air. Berkembangnya jejaring inteligensia Muslim Indonesia di tataran global dan upaya akomodasi nilai-nilai keislaman di ruang publik, telah memberikan angin segar, bagi sebuah relasi yang Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 11 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) lebih sehat, antara Islam dan negara. Memasuki akhir dekade 1950-an, telah dimulai adanya gerakan intelektualisme baru yang menjembatani Dunia Barat dan Islam. Beberapa inteligensia Muslim memulai studi keislaman mereka di kampus-kampus barat, seperti McGill University di Kanada, Universiteit Leiden di Belanda dan University of Chicago di Amerika Serikat. Jejaring inteligensia Muslim lulusan barat ini dimanfaatkan oleh pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto, untuk membatasi ruang gerak dan mengarahkan inteligensia Muslim Indonesia Soeharto bukanlah orang pertama yang membuka jalan bagi adanya transformasi wacana politik Islam. Pun demikian dengan Soekarno, sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sejatinya pertukaran tradisi keilmuan dan akademik antara Dunia Barat dan Dunia Islam/Muslim telah terbuka sejak paruh pertama abad ke-20 yang lalu. Di level global, tokoh-tokoh seperti Wilfred C. Smith dan Fazlur Rahman, merupakan dua dari beberapa tokoh sentral dalam upaya pertukaran tradisi keilmuan tersebut. Berangkat dari pertukaran tradisi keilmuan itulah, terjadi proses transformasi intelektualisme Islam yang masih berlangsung hingga hari ini (Brankley Abbas, 2021, hal. 52–134; Effendy, 2011, hal. 139–143; Ismail, 1995, hal. 134–136; Pringle, 2010, hal. 80–90). Pendekatan represif Soeharto terhadap Islam politik, yang dibarengi dengan upaya gerakan intelektualisme Islam baru, mendorong adanya negosiasi ulang dan kompromi, antara aspirasi politik Islam dan kepentingan berbagai golongan (aliran pemikiran dan kelompok ideologis), di ruang publik Indonesia. Pada akhirnya, akomodasi pemerintah atau negara terhadap nilai-nilai keislaman di ruang publik, harus dijalankan sepanjang penerapannya sejalan dengan nalar publik yang berlaku. Sejarah mencatat tindakan represif Soeharto, maupun Soekarno terhadap kelompok-kelompok Islam politik, tidak membawa dampak positif bagi hubungan/relasi yang sehat antara entitas/otoritas agama Islam dengan entitas/otoritas negara Indonesia (Effendy, 2011; Ismail, 1995; Latif, 2012; Ricklefs, 2001, 2007). Oleh karenanya, gerakan intelektualisme Islam baru pun tidak mungkin memberikan dukungan penuh kepada regim Soeharto untuk jangka yang terlalu lama. Baik Ricklefs (2001, 2007) maupun Latif (2012), menyampaikan adanya peran inteligensia Indonesia dalam proses runtuhnya regim 12 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Developmentalis-Represif Orde Baru. Perkembangan politik global sejak dekade 1980-an, hingga memasuki awal abad ke-21, menunjukkan proses demokratisasi dan rangkaian musim semi demokrasi di berbagai kawasan. Kejatuhan Soeharto membuka pintu bagi perubahan konstitusional dan demokratisasi secara menyeluruh di tanah air. Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pun dijalankan melalui rangkaian sidang Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), sepanjang periode 1999 sampai 2002 ((Tim Penulis), 2010a, 2010b). Dalam proses perubahan konstitusi tersebut, disepakati untuk mempertahankan naskah Pembukaan UUD 1945, ke dalam UUD NRI 1945. Selain itu, disepakati pula bahwa perubahan UUD dilaksanakan melalui adendum, dengan ketentuan bahwa hal-hal normatif dalam Memori Penjelasan UUD 1945, dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD NRI 1945. MPR juga menyepakati dipertahankannya sistem presidensil, di Indonesia. Dalam rangkaian Sidang Umum (SU) dan Sidang Tahunan (ST) MPR dari tahun 1999 hingga 2002, sendisendi/fundamental atau dasar negara Indonesia telah mengalami pembahasan sebanyak tiga kali. Adapun terkait Pembukaan UUD NRI 1945, hanya terdapat dua kali pembahasan. Penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara, dapat dikatakan telah bersifat final di kalangan elit politik pada rangkaian sidang perubahan UUD NRI 1945 tersebut. Penerimaan tersebut, juga dibarengi dengan hadirnya keyakinan bahwa UUD NRI 1945 telah benar-benar dijiwai oleh Piagam Jakarta, sebagaimana termaktub dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ((Tim Penulis), 2010a, 2010b; Latif, 2020; Rochmat, 2014). Keyakinan ini membuka pintu bagi adanya kebebasan penafsiran/interpretasi terhadap Pancasila, sebagai dasar negara. Sebagian sarjana menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma integralistik, dan sebagian lainnya menggunakan paradigma sekularistik. Di samping itu, masih terdapat inteligensia Indonesia yang menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma simbiotik. Paradigma Relasi Agama dan Negara Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 13 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Terdapat tiga paradigma dalam relasi (dialektika) antara agama dan negara. Paradigma pertama, yang juga tertua adalah paradigma integralistik. Paradigma integralistik ini disusul dengan kehadiran paradigma sekularistik, dan kemudian paradigma simbiotik. Di Indonesia, dialektika di antara ketiga paradigma ini berjalan sejak Era Pergerakan Kemerdekaan, hingga memasuki Era Reformasi sekarang ini. Paradigma integralistik memandang bahwa agama harus menjadi dasar berdirinya sebuah negara, dan jalannya roda pemerintahan (Pulungan, 2019, hal. 75–86; Sayogie, 2013, hal. 14–15; Sjadzali, 1993, hal. 206–208). Agama diletakkan sebagai konstitusi itu sendiri, dan entitas agama integral, menyatu dengan entitas negara. Karenanya, Abdurrahman Wahid (1999, 2007) menyatakan bahwa paradigma integralisme adalah paradigma yang menyokong penuh bentuk negara teokrasi (Rochmat, 2014, hal. 309–329). Sampai memasuki abad ke-20, kebanyakan negara di dunia didirikan dan dikelola berdasarkan paradigma integralistik. Raja-raja menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di muka Bumi, atau sebagai penerus risalah kenabian/agama. Para filosof Muslim klasik pun seluruhnya mendukung paradigma integralistik ini. Mawardi (1996, hal. 10–11) menyampaikan argumentasinya, bahwa kepala negara adalah penerus risalah Tuhan, dalam arti misi kenabian. Agama menurut Ibn Khaldun (2000, hal. 187–197, 2011, hal. 254–270) memiliki fungsi yang begitu vital, dalam membentuk, membangun dan memelihara solidaritas nasional/sosial. Di Abad Modern, terdapat pula inteligensia Muslim yang tetap menyampaikan argumentasi mendukung paradigma integralisme dalam relasi/dialektika agama dan negara. Beberapa tokoh pergerakan kemerdekaan seperti Mohammad Natsir, HAMKA, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo, secara terang-terangan menyuarakan Islam sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Di luar Indonesia, terdapat nama-nama seperti Imam Khomeini (n.d., 1983), Ayatullah Misbah-Yazdi (2001a, 2001b, 2002), Qutb Bersaudara (Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb) (M. Qutb, 1984; S. Qutb, 1984, 1993), Hasan al-Banna (1985) dan Abul A’la Maududi (1960, 1984). Di antara mereka yang mengusung integralisme Islam dan negara, terdapat golongan 14 | yang menyerukan dan memperjuangkan terbentuknya sebuah Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) pemerintahan Islam global (khilafah). Sebagian lainnya mengusung gagasan Nasionalisme-Islam. Golongan kedua ini jamak ditemukan di antara tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Pakistan, hingga Iran. Dari Agoes Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, hingga Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimejo, Abdul Wahid Hasjim, dan lain-lain, dapat dimasukkan ke dalam golongan ini. Golongan kedua ini juga terbagi lagi, berdasarkan pilihan jalan perjuangan (metode; cara) dan kompromi politik terhadap dasar negara. Jika inteligensia Muslim yang ikut dalam rangkaian sidang BPUPK dan kemudian aktif dalam berbagai partai politik Islam (Masjumi, NU, PSII, dll.) memilih untuk berkompromi dan bernegosiasi melalui jalur politik praktis, maka sebagian lainnya justru memilih jalan kekerasan dan pemberontakan. S.M. Kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Abdul Kahar Muzakkar, adalah contoh dari mereka yang mengadakan pemberontakan, dengan tujuan mendirikan sebuah negara Islam Indonesia. Pengaruh filsafat Barat, serta tradisi dan budaya asli Nusantara, dapat dikatakan memberi warna tersendiri dan ikut mempengaruhi pandangan inteligensia Muslim Indonesia, yang mengusung Islam sebagai dasar negara (Feith & Castle, 1970; Latif, 2012; Pranarka, 1985). Golongan yang berpegang pada paradigma integralistik begitu condong pada model negara yang bukan saja berasaskan ajaran agama, atau hukum agama (syariat). Pada level yang paling ekstrim, mereka menolak segala bentuk sistem politik dan pemerintahan, serta bentuk negara apapun, yang menurut mereka tidak memiliki landasan teks (scriptures) dari kitab suci ataupun sumber rujukan lain yang mereka yakini. Sebagian dari golongan integralis menerima Pancasila sebagai dasar negara. Hanya saja mereka menggunakan dalil, kedudukan Piagam Jakarta “… yang menjiwai UUD 1945 …” untuk mengusung pemberlakuan syariat Islam secara mutlak di Indonesia. Berangkat dari pemahaman ini, bermunculan lah beberapa gerakan yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam, hingga beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa agama (Muntoha & Yusdani, 2014, hal. 229–267; Nashir, 2013, hal. 67–78; Syihab, 2012, hal. 206–233). Sebagian kecil lainnya, masih menolak Pancasila dan hendak menjadikan Islam sebagai dasar Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 15 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) negara Indonesia. Di samping itu, terdapat pula segolongan umat Islam yang mengusung gagasan khilafah Islamiyah; sebuah pemerintahan Islam global. Paradigma kedua adalah paradigma sekularistik, yang juga dikenal dengan istilah sekularisme. Lawan kata dari sekularisme adalah integralisme. Sekularisme memisahkan (separate) antara entitas dan otoritas agama dari entitas dan otoritas negara. Paradigma ini berlawanan dengan paradigma integralistik, atau integralisme agama dan negara. Kata ‘sekularisme’ berasal dari kata ‘saeculum’, yang artinya adalah ‘ruang’ dan ‘waktu’. Sekularisme memiliki keterkaitan dengan konsep kekinian dan kedisinian (right now and right here). Konsep yang diperkenalkan oleh Holyoake pada 1846 tersebut berangkat dari gagasan kebebasan berpikir (freedom of thinking), yang dimulai oleh Ibn Rusyd dengan averoismenya. Averoisme Ibn Rusyd yang lahir di Andalusia tersebut merupakan salah satu rujukan/referensi utama gagasan sekularisme di Abad Modern Eropa (Munawar-Rachman, 2010, hal. 223–225; Taylor, 2007, hal. 54–55). Proses terwujudnya bangsa (negara) dan masyarakat sekular disebut sekularisasi. Sekularisasi dipahami sebagai proses berpisahnya segala hal yang divine dengan segala hal yang profan dalam kehidupan manusia. Sekularisme sendiri lahir dan berkembang dengan beragam varian dan pemahaman, sepanjang sejarah modern manusia. Dalam sejarah kelahiran dan perkembangannya, sekularisme telah memiliki beberapa model varian yang berbeda satu sama lain (Abduh, 1978; Al-Attas, 1993; Munawar-Rachman, 2010; Pulungan, 2019; Sayogie, 2013; Taylor, 2007). Konstitusi Amerika Serikat, tepatnya pada Amendemen I, mengamanatkan netralitas negara dan jaminan kebebasan beragama secara mutlak. Dengan demikian, terdapat kecenderungan arah sekularisme di Amerika Serikat, bertujuan melindungi hak-hak warga negara untuk beragama. Hal ini berbeda dengan sekularisme yang berkembang di Prancis, Turki dan negara lainnya di Daratan Eropa. Laïcité yang berlaku di Prancis dan Kemalizm yang berlaku di Turki berangkat dari reaksi terhadap hegemoni dan dominasi otoritas agama di ruang publik Eropa, sepanjang Abad Pertengahan, hingga memasuki Abad Industri. Wujud kebebasan beragama dalam Konstitusi Prancis, dibatasi pada rangkaian praktik 16 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) ritual di dalam lingkup rumah ibadah masing-masing komunitas keagamaan (Lizzote, 2017, hal. 18–20). Munawar-Rachman menyampaikan argumentasi Parsonian, mengenai reorientasi kedudukan agama di ruang publik. Proses reorientasi kedudukan agama tersebut dikatakannya berjalan secara terus menerus, tanpa menghilangkan nilainilai keagamaan. Secara umum, setidaknya terdapat dua macam model pemisahan agama dan negara. Model yang pertama adalah separation between church (religion) and state, sedang yang kedua menggunakan istilah distinction between religion and state. Gagasan civil religion dari Robert N. Bellah, meletakkan agama dalam pemahaman yang longgar. Kelonggaran yang hadir, mewujudkan penentuan kembali posisi agama di ruang publik (Latif, 2020, hal. 124–147; MunawarRachman, 2010, hal. 222–243). Di kalangan inteligensia Muslim, Ali Abdel Razek (2012, hal. 25–41) adalah sarjana pertama yang menyampaikan kritiknya terhadap pandangan integralisme agama dan negara (Munawar-Rachman, 2010, hal. 327; Pulungan, 2019, hal. 87–93). Menurut Abdel Razek (2012; Munawar-Rachman, 2010; Pulungan, 2019), Ibn Khaldun (2000, hal. 232–234, 2011, hal. 334–337) telah menyimpulkan bahwa entitas khilafah telah rusak dan hilang, dengan berakhirnya kekhalifahan Ali bin Abithalib. Baik Abdel Razek (2012), Harun Nasution (2018a, hal. 88–91, 2018b, hal. 1–7), maupun Munawir Sjadzali (1993, hal. 21–30), menyampaikan fakta adanya berbagai intrik dan konflik politik yang terjadi sepeninggal Nabi Muhammad S.A.W.; terutama terkait dengan suksesi kekuasaan. Konstelasi politik Pasca-Kenabian (Post-Prophethood) mempengaruhi perkembangan hukum Islam secara gradual. Terutama dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, suksesi politik, dan pelayanan publik. Soekarno, Hatta, Soepomo, dan sebagian besar anggota BPUPK lainnya, juga menegaskan perlunya pemisahan antara entitas dan otoritas agama, dari entitas dan otoritas negara. Ini terlihat antara lain dari tulisan Soekarno (1963, hal. 403–445) tentang gagasan Attatürk, yang menerapkan sistem sekular dan membubarkan khilafah di Turki. Pidato Mohammad Hatta dan Soepomo dalam rangkaian sidang BPUPK juga menegaskan hal tersebut (Kusuma, 2009, hal. 123–132). Namun para Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 17 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) pendiri bangsa (founding parents) Indonesia pada akhirnya menerima satu upaya sintesis antara kedua paradigma tersebut. Paradigma simbiotik, menjadi jalan tengah, setelah adanya kebuntuan di antara setidaknya dua golongan dalam BPUPK. Pancasila dirumuskan sebagai dasar negara, dan termaktub dalam naskah Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Naskah Piagam Jakarta mengandung rumusan dasar negara dan cita-cita (visi dan misi) kemerdekaan bangsa Indonesia. Lahirnya Piagam Jakarta dan Pancasila dapat dikatakan sebagai lahirnya paradigma baru relasi/dialektika agama dan negara. Paradigma ketiga ini oleh Abdurrahman Wahid (1999, 2007) disebut sebagai legitimasi mutual, atau dikenal juga dengan sebutan paradigma simbiotik. Landasan dari paradigma simbiotik adalah koeksistensi norma dan kultur, yang sama-sama berjalan beriringan dan membangun relasi di mana keduanya saling menyokong dan membangun. Agama menjadi landasan etika, yang membentuk otoritas moral. Adapun entitas negara membentuk otoritas kekuasaan. Pemahaman ini didukung oleh sebagian besar pendiri bangsa Indonesia. Mohammad Natsir (1957; Sukri, 2019), sebagaimana Mohammad Hatta (1966) dan Panitia Lima (1977) yang dipimpinnya (Hatta), menegaskan pertentangan antara Pancasila dengan gagasan teokrasi atau integralisme agama dan negara, maupun dengan gagasan sekularisme yang sampai pada pertentangan antara agama dan negara. Penegasan tentang sikap para pendiri bangsa yang mengusung paradigma simbiotik, diungkapkan oleh Abbas (2018, hal. 263–273), Kusuma (2009, hal. 19–24), dan Maarif (1985, hal. 152–155, 2006, hal. 154–158, 2018, hal. 28–35), dengan fokus yang berbeda-beda. Fokus Abbas adalah pada pemikiran Hatta secara personal. Adapun Kusuma dan Maarif membahas tentang dasar negara Indonesia, dengan pendekatan sejarah. Terutama sejarah pemikiran dan pandangan dunia (Weltanschauung; worldview) bangsa Indonesia. Menurut Wahid (1999, hal. 63-77;150-177, 2007, hal. 3–6; 17–21; 27–31; 103–110) paradigma simbiotik telah memiliki akar historis yang cukup panjang, sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Sejarah mencatat koeksistensi entitas dan otoritas agama, hadir berdampingan dengan fungsinya masing-masing. Argumentasi Wahid tentang akar historis dari paradigma simbiotik diamini oleh 18 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Pringle (2010, hal. 17–27) dan Suryanegara (2014, hal. 99–116), yang juga menemukan adanya koeksistensi yang bersifat saling membangun dan mendukung, antara otoritas kekuasaan dengan otoritas moral di Nusantara. Entitas dan otoritas agama telah lama menjadi landasan etika dalam kehidupan bersama warga negara atau komunitas-komunitas yang ada. Sedangkan entitas dan otoritas negara memberi ruang dan fasilitas bagi tegaknya moralitas dan sistem nilai yang dibangun oleh entitas dan otoritas agama tersebut. Pancasila sendiri jelas secara tegas menolak bentuk integralisme agama dan negara, atau teokrasi, maupun segala bentuk peminggiran agama dari ruang publik. Baik sekularisme dalam model/varian Amerika Utara, maupun Eropa Kontinental. Distingsi antara paradigma simbiotik dan paradigma sekularistik, terletak pada kepastian mengenai kedudukan nilai-nilai ketuhanan dan agama sebagai landasan etika, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun dalam paradigma sekularistik, tidak terdapat kepastian dan/atau jaminan yang diharapkan. Agama dalam paradigma sekularistik dapat terpinggirkan ke dalam ruang-ruang privat, yang dapat berujung pada penyingkiran nilai-nilai etika agama dari ruang publik. Sementara paradigma integralistik bisa berdampak pada hilangnya kebebasan beragama dan mengikuti penafsiran agama yang berbeda. Sementara sistem hukum agama (syariat) sendiri berasal dari pemahaman dan penafsiran atas teks suci (scriptures) yang diyakini kebenarannya. Bukan merupakan teks suci itu sendiri. Interpretasi Pancasila Di Era Reformasi Di Era Reformasi, interpretasi terhadap Pancasila berkembang dengan lebih bebas. Beberapa sarjana seperti Latif (2014, hal. 70–75, 2020, hal. 185–232) dan Nashir (2015a, hal. 100–287, 2015b, hal. 20–27), menyampaikan kedudukan Pancasila sebagai sebuah konsensus nasional, landasan etika dan moral, serta sintesis berbagai ideologi dan pemikiran politik. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Pulungan (2019, hal. 105–123) yang menyebutkan bahwa Pancasila merupakan faktor utama bagi persatuan dan solidaritas nasional Indonesia. Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 19 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Kebanyakan inteligensia Muslim kontemporer menerangkan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, yang digali dan menjadi sintesis dari lapisan-lapisan peradaban Nusantara. Istilah lapisan atau saf (sebagaimana perkataan Soekarno) sendiri tidaklah bermakna kronologis an sich. Lebih dari itu, saf yang dimaksud oleh Soekarno merupakan lapisan peradaban yang tersusun dari peradaban terdekat (indigenous), hingga terjauh (Barat Modern; kolonial). Buktinya adalah dari sejumlah kerajaan Islam, Hindu dan Budha yang eksis dalam rentang waktu yang sama, atau bersinggungan sepanjang sejarah Nusantara (Latif, 2020, hal. 54–65; Pringle, 2010, hal. 20–23; Suryanegara, 2014, hal. 99–117). Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dibagi ke dalam dua lapisan dasar negara. Keduanya merepresentasikan tiga aliran ideologi yang hadir dan berkontestasi dalam proses pembentukan Negara Republik Indonesia. Dari sinilah Soekarno mengabstraksi Pancasila ke dalam Trisila, di mana socio-religiousity (sosio-religiusitas) menjadi lapisan paling dasar dan soko guru pandangan dunia (worldview; Weltanschauung) bangsa Indonesia. Latif (2020, hal. 199–207) mencatat adanya beragam ideologi yang berangkat dari haluan keagamaan, haluan nasionalisme/kebangsaan, dan haluan sosialisme/internasionalisme. Ketiga kelompok aliran ideologi tersebut berhasil disintesiskan oleh para pendiri bangsa (founding parents) Indonesia. Terutama oleh Soekarno, Hatta, dan kawan-kawan yang ikut merumuskan Piagam Jakarta dan menyepakati naskah Pembukaan UUD 1945 yang berlaku sekarang ini. Sebagaimana diyakini oleh para perumus Amendemen UUD NRI 1945, Piagam Jakarta benar-benar menjiwai UUD NRI 1945, dan karenanya menjiwai Pancasila itu sendiri. Latif (2020) menginterpetasikan kedudukan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD NRI 1945, dalam kaitannya dengan cita-cita kemerdekaan yang termaktub dalam naskah Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD NRI 1945. Interpretasi Latif tersebut juga diamini dan didukung oleh Nashir (2015a, 2015b), Maarif (2018), dan juga organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam arus utama, seperti Muhammadiyah ((PP Muhammadiyah), 2015b, 2015a; Bachtiar, 2019, 2020; Baidhawy & Khoirudin, 2017; Ghazali, 2018; Khoirudin, 2019a, 2019b; Mu’ti, 2019) 20 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) dan Nahdlatul Ulama (NU) (Alma’arif, 2015; Muntoha & Yusdani, 2014; Wiratomo et al., 2020). KESIMPULAN Dialektika Islam dan negara, serta dinamika politik di Indonesia jelas mempengaruhi interpretasi terhadap Pancasila. Sepanjang masa-masa awal kemerdekaan, Pancasila sempat mengalami penolakan, dan kemudian diterima. Namun terjadi serangkaian konflik ideologis di antara putra-putri bangsa Indonesia, sepanjang dekade 1950-an. Terutama setelah Pemilu 1955, yang diwarnai berbagai peristiwa pemberontakan dan konflik bersenjata. Rangkaian konflik ideologis dan dinamika politik yang terjadi, berangsur mereda di bawah kepemimpinan Soeharto, selama lebih tiga dekade. Pasca-reformasi, Pancasila cenderung lebih diterima dan diakui secara final, oleh hampir seluruh elemen bangsa Indonesia. Terutama umat Islam. Hampir seluruh kelompok umat Islam telah menerima Pancasila secara final dan mengakui koherensi dan korespondensinya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dinamika berikutnya yang muncul setelah Amendemen UUD NRI 1945, adalah terkait dengan interpretasi Pancasila. Sebagian kelompok umat Islam menginterpretasikan Pancasila dalam kerangka paradigma integralistik, sebagian kecil lainnya menginterpretasikannya dalam kerangka paradigma sekularistik. Adapun kelompok arus utama umat Islam mengambil secara tegas, paradigma simbiotik dalam upaya interpretasinya terhadap Pancasila. Paradigma simbiotik memiliki akar sejarah dan budaya yang kuat di dalam masyarakat dan peradaban Indonesia/Nusantara. Selain itu, paradigma simbiotik jelas relevan (relevant), koheren (coherent) dan sejalan (corresponding to; compatible with) dengan nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila. Terutama bila dikaitkan dengan naskah Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD NRI 1945, serta naskah Pembukaan UUD NRI 1945 itu sendiri. Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 21 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) DAFTAR PUSTAKA (Panitia Lima). (1977). Uraian Pancasila. Mutiara. (PP Muhammadiyah). (2015a). Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. PP Muhammadiyah. (PP Muhammadiyah). (2015b). Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. PP Muhammadiyah. (Tim Penulis). (2010a). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945 (Revisi). Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. (Tim Penulis). (2010b). Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Buku II Sendi-Sendi/Fundamental Negara (Revisi). Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Abbas, A. (2018). Mohammad Hatta: Sebuah Upaya untuk Memahami Pemikiran dan Perjuangan Hatta dari Perspektif Agama. In A. Z. Siradj (Ed.), Islam & Transformasi Indonesia: Kontribusi Alumni UIN Memperkuat Umat Melahirkan Kesalehan Kebangsaan (hal. 263–273). IKALUIN Jakarta & Penerbit Penjuru Ilmu. Abdel Razek, A. (2012). Islam and the Foundations of Political Power (A. Filali-Ansary (ed.); M. Loutfi (penerj.)). Edinburgh University Press. Abduh, M. (1978). Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Keristen. Diponegoro. Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. ISTAC. Al Mawardi, A. H. A. (1996). The Laws of Islamic Governance. Ta-Ha Publishers. Alma’arif. (2015). Islam Nusantara: Studi Epistemologis dan Kritis. Analisis, 15(2), 265–291. Bachtiar, H. (2019). Dar al-’Ahd wa al-Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah Merawat Kebinekaan. Maarif, 14(1), 67–101. Bachtiar, H. (2020). Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar al-’Ahd wa al-Syahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila. Suara Muhammadiyah. Baidhawy, Z., & Khoirudin, A. (2017). Etika Muhammadiyah: Spirit Peradaban. Suara Muhammadiyah. Banna, H. al. (1985). Dakwah Kami, Kemarin dan Hari Ini (R. Abdullah (penerj.)). Yayasan Al-Amanah Indonesia. Brankley Abbas, M. (2021). Whose Islam? The Western University and Modern Islamic Thought in Indonesia. Standford University Press. Daly, C. (2021). Pengantar Metode-Metode Filsafat (Taufiqurrahman (penerj.)). Antimoni. Effendy, B. (2011). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (I. Ali-Fauzi & R. H. Alam (penerj.)). Yayasan Abad Demokrasi. Feith, H. (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing. Feith, H., & Castle, L. (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965 (H. Feith & L. Castle (ed.)). Cornell University Press. Ghazali, A. R. (2018). Mewujudkan Negara Pancasila sebagai Dārul-ʼAhd Wasy-Syahādah Menuju Islam Berkemajuan dalam Perspektif Politik. In F. Amar, D. Hasbudin AR, E. Amin, N. Author, & Y. M. Permana (Ed.), Dārul-ʼAhd Wasy-Syahādah: Konteks, Makna, Aktualisasi untuk Indonesia Berkemajuan (hal. 34–54). Al-Wasat. HAMKA. (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Pustaka Keluarga. Hatta, M. (1963). Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Djambatan. Hatta, M. (1966). Demokrasi Kita. Pustaka Antara. Ibn Khaldun, A. M. M. (2000). Muqaddimah. Pustaka Firdaus. 22 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Ibn Khaldun, A. M. M. (2011). Mukaddimah (M. Irham, M. Supar, & A. Zuhri (penerj.)). Pustaka Al-Kautsar. Ismail, F. (1995). Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila. McGill University. Kaelan. (2012). Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Paradigma. Kamil, S., Prihatna, A. A., Helmatina, K., Muslimin, J. M., Makassari, R. al-, Abu Bakar, A., & Alawiyah, T. (2007). Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan, dan Non-Muslim (S. Kamil & C. S. Bamualim (ed.)). CSRC UIN Jakarta & KAS. Khoirudin, A. (2019a). Dua Teologi Muhammadiyah: Al-Ma’un dan Al-’Ashr. In A. Mu’ti (Ed.), Ta’awun untuk Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 39– 44). MPI PP Muhammadiyah. Khoirudin, A. (2019b). Ta’awun Darul Ahdi wasy-Syahadah. In A. Mu’ti (Ed.), Ta’awun untuk Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 73–78). MPI PP Muhammadiyah. Khomeini, I. A. (n.d.). Governance of the Jurist. The Institute for Compilation and Publication of Imam Khomeini’s Works (International Affairs Division). Khomeini, I. A. (1983). Konsep Pemerintahan Islam (R. Hj. Nawawi & H. H. Nawawi (penerj.)). ABIM. Kuntowijoyo. (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan. Kusuma, A. B. (2009). Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Latif, Y. (2012). Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20. Yayasan Abad Demokrasi. Latif, Y. (2014). Moral Pancasila sebagai Kunci Kemajuan Bangsa. Maarif, 9(1), 67–76. Latif, Y. (2020). Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (Komprehens). Mizan. Lizzote, C. A. (2017). The Geopolitics of Laïcité in a Multicultural Age: French Secularism, Educational Policy and the Spatial Management of Difference. University of Washington. Maarif, A. S. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. LP3ES. Maarif, A. S. (2006). Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Revisi). LP3ES. Maarif, A. S. (2018). Islam, Humanity, and Indonesian Identity: Reflections on History (G. A. Fowler (penerj.)). Leiden University Press. Madinier, R. (2015). Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and Integralism. NUS Press. https://doi.org/https://doi.org/10.2307/j.ctv1ntfxk Malaka, T. (1925). Naar de “Republiek Indonesia.” Marxists Internet Archive. https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1925-Menuju.htm Malaka, T. (1926). Aksi Massa. Marxists Internet Archive. https://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/AksiMassa/index.htm Maududi, A. A. (1960). The Islamic Law and Constitution (K. Ahmad (penerj.)). Islamic Publications. Maududi, A. A. (1984). Nasionalisme dan Islam. In J. J. Donohue & J. L. Esposito (Ed.), & M. Husein (Penerj.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (hal. 158– Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 23 EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) 164). Rajawali Press. Misbah Yazdi, M. T. (2001a). Islamic Political Theory (Legislation): Volume 1 (M. L. Limba (penerj.)). Ahl al-Bayt World Assembly. Misbah Yazdi, M. T. (2001b). Islamic Political Theory (Legislation): Volume 2 (M. L. Limba (penerj.)). Ahl al-Bayt World Assembly. Misbah Yazdi, M. T. (2002). Al-Ḥājāt al-Asāsiyah lil-Idārah al-Islāmiyah (S. al Ansari (penerj.)). Dār al-Nubalā’. Mu’ti, A. (2019). Ta’awun untuk Negeri: Konteks Keindonesiaan. In A. Mu’ti (Ed.), Ta’awun untuk Negeri: Transformasi Al-Ma’un dalam Konteks Keindonesiaan (hal. 67–71). MPI PP Muhammadiyah. Munawar-Rachman, B. (2010). Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia. LSAF. Muntoha, & Yusdani. (2014). Hubungan Agama dan Negara dalam Negara Pancasila Pasca Reformasi Menurut Organisasi NU, Muhammadiyah, HTI dan MMI. Nashir, H. (2013). Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Mizan. Nashir, H. (2015a). Muhammadiyah: A Reform Movement. Muhammadiyah University Press. Nashir, H. (2015b). Understanding the Ideology of Muhammadiyah. Muhammadiyah University Press. Nasution, H. (2018a). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I. UI-Press. Nasution, H. (2018b). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. UI-Press. Natsir, M. (1957). Capita Selecta Djilid II. Pustaka Pendis. Patittingi, F., Irwansyah, I., Hasrul, M., Arisaputra, M. I., & Yunus, A. (2021). Relasi Negara dan Agama dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 01(01), 17–33. Pranarka, A. M. W. (1985). Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Yayasan Proklamasi CSIS. Pringle, R. (2010). Understanding Islam in Indonesia. Editions Didier Millet. Pulungan, J. S. (2019). Dialektika Islam, Negara dan Pancasila. Ombak. Qutb, M. (1984). Islam di Tengah Pertarungan Tradisi (K. M. S. Agustjik (penerj.)). Mizan. Qutb, S. (1984). Keadilan Sosial dalam Islam (A. Mohammad (penerj.)). Penerbit Pustaka. Qutb, S. (1993). Harokah Jihad Islam: Muqoddimah Surat Al Anfal, Fi Dzilalil Qur’an (A. Ahmad (ed.); A. Hamid (penerj.)). Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (3rd ed.). Palgrave Macmilan. Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern (1200-2004) (S. Wahono, B. Bilfagih, H. Huda, M. Helmi, J. Sutrisno, & H. Manadi (penerj.)). Serambi Ilmu Semesta. Rochmat, S. (2014). The Fiqh Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia. Al-Jamiah, 52(2), 309–329. Sayogie, F. (2013). Perlindungan Negara terhadap Hak Kebebasan dalam Islam dan HAM Universal. Trans Pustaka. Sjadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI-Press. Soekarno. (1963). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Pertama. Panitya Penerbit. Soekarno. (1965). Dibawah Bendera Revolusi Djilid Kedua. Panitya Penerbit. Sukri, M. A. (2019). Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir. Alfuad Journal, 3(1), 82–96. Suryanegara, A. M. (2014). Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Revisi, Vol. 1). Suryadinasti. Syihab, M. R. H. (2012). Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia. Universiti Malaya. 24 | Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) EL-ADABI: Jurnal Studi Islam (Vol. 02, No. 02, Desember 2023) Taylor, C. (2007). A Secular Age. Belknap Press of Harvard University Press. Wahid, A. (1999). Prisma Pemikiran Gus Dur. LKiS. Wahid, A. (2007). Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat. Kompas. Walliman, N. (2011). Research Methods: The Basics. Routledge. Wiratomo, G. H., Suprayogi, & Kristiono, N. (2020). The Thoughts of Pancasila in Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah in the Era of Reform Indonesia. Proceedings of the 1st International Conference on Character Education, 99–104. Yamin, M. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Pertama. Siguntang. Yamin, M. (1960). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Djilid Ketiga. Siguntang. Artikel Jurnal & Surat Kabar Alma’arif. (2015). Islam Nusantara: Studi Epistemologis dan Kritis. Analisis, 15(2), 265–291. Bachtiar, H. (2019). Dar al-’Ahd wa al-Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah Merawat Kebinekaan. Maarif, 14(1), 67–101. Latif, Y. (2014). Moral Pancasila sebagai Kunci Kemajuan Bangsa. Maarif, 9(1), 67–76. Patittingi, F., Irwansyah, I., Hasrul, M., Arisaputra, M. I., & Yunus, A. (2021). Relasi Negara dan Agama dalam Peraturan Daerah Bernuansa Syariah. Pancasila: Jurnal Keindonesiaan, 01(01), 17–33. Rochmat, S. (2014). The Fiqh Paradigm for the Pancasila State: Abdurrahman Wahid Thoughts on Islam and the Republic of Indonesia. Al-Jamiah, 52(2), 309–329. Sukri, M. A. (2019). Islam dan Pancasila dalam Pemikiran Mohammad Natsir. Alfuad Journal, 3(1), 82–96. Sumber Lainnya Ismail, F. (1995). Islam, Politics and Ideology in Indonesia: A Study of the Process of Muslim Acceptance of the Pancasila. McGill University. Lizzote, C. A. (2017). The Geopolitics of Laïcité in a Multicultural Age: French Secularism, Educational Policy and the Spatial Management of Difference. University of Washington. Muntoha, & Yusdani. (2014). Hubungan Agama dan Negara dalam Negara Pancasila Pasca Reformasi Menurut Organisasi NU, Muhammadiyah, HTI dan MMI. Syihab, M. R. H. (2012). Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia. Universiti Malaya. Reintrepretasi Pancasila ... (Muhammad Imaduddin, Muhammad Anis ) | 25