Academia.eduAcademia.edu

Negarakertagama : Kisah Keagungan Kerajaan Majapahit

2022, Zenodo (CERN European Organization for Nuclear Research)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama dalam bentuk puja sastra dan bagaimana puja sastra tersebut tersurat dalam Negarakertagama. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga akan mengikuti prosedur kerja sejarah yakni heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Data dikumpulkan mealui studi pustaka. Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah Negarakertagama yang telah diterjemahkan oleh Slamet Mulyana yang termuat dalam Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya ditambah dengan sumber sumber lain yang relevan. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik ekstern dan intern untuk mendapatkan fakta. Fakta kemudian diinterpretasikan, dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya yang kemudian dituangkan dalam bentuk cerita sejarah. Hasil analisis data menunjukan bahwa masyarakat Majapahit terstruktur dalam empat kasta atau sering juga disebut catur warna yakni brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Prapanca masuk dalam golongan brahmana. Kaum brahmana bertugas dalam bidang keagamaan, pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Negarakertagama merupakan karya sastra dimana sastra merupakan sarana untuk memuja kebesaran seorang raja. Tidak mengherankan bila Prapanca dari awal gubahannya sudah menyampaikan bahwa ada dorongan rasa cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujangga-pujangga lainnya dalam menggubah kekawin. Bait-bait yang digubah oleh Prapanca penuh dengan pujian di dalamnya tidak ada lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja Hayam Wuruk. Bahkan pada bagian akhir Prapanca berharap barang siapa mendengar kisah raja, tak puas hatinya, bertambah baktinya, menjauhkan diri dari tindak durhaka.

Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 31 Negarakertagama : Kisah Keagungan Kerajaan Majapahit Negarakertagama: The Story of the Majesty of the Majapahit Kingdom Dewa Made Alit. , I Nyoman Bayu Pramartha Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia Jl. Seroja Tonja-Denpasar Utara, Bali (80239) *Pos-el: dewadaton@gmail.com, pramarthabayu@gmail.com Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama dalam bentuk puja sastra dan bagaimana puja sastra tersebut tersurat dalam Negarakertagama. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga akan mengikuti prosedur kerja sejarah yakni heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Data dikumpulkan mealui studi pustaka. Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah Negarakertagama yang telah diterjemahkan oleh Slamet Mulyana yang termuat dalam Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya ditambah dengan sumber sumber lain yang relevan. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik ekstern dan intern untuk mendapatkan fakta. Fakta kemudian diinterpretasikan, dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya yang kemudian dituangkan dalam bentuk cerita sejarah. Hasil analisis data menunjukan bahwa masyarakat Majapahit terstruktur dalam empat kasta atau sering juga disebut catur warna yakni brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Prapanca masuk dalam golongan brahmana. Kaum brahmana bertugas dalam bidang keagamaan, pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Negarakertagama merupakan karya sastra dimana sastra merupakan sarana untuk memuja kebesaran seorang raja. Tidak mengherankan bila Prapanca dari awal gubahannya sudah menyampaikan bahwa ada dorongan rasa cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujangga-pujangga lainnya dalam menggubah kekawin. Bait-bait yang digubah oleh Prapanca penuh dengan pujian di dalamnya tidak ada lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja Hayam Wuruk. Bahkan pada bagian akhir Prapanca berharap barang siapa mendengar kisah raja, tak puas hatinya, bertambah baktinya, menjauhkan diri dari tindak durhaka. Abstract.This study aims to find out why Prapanca composed Negarakertagama in the form of literary puja and how the literary puja is written in Negarakertagama. This research is historical research, so it will follow historical work procedures namely heuristics, criticism, interpretation and historiography. Data collected through literature study. The main data source in this study is Negarakertagama which has been translated by Slamet Mulyana contained in Negarakertagama and its Historical Interpretation added with other relevant sources. The data that has been collected is then criticized with external and internal criticism to get the facts. The facts are then interpreted, linked to each other which are then outlined in the form of historical stories. The results of data analysis showed that the Majapahit community was structured in four castes or often also called color chess namely brahmin, knight, wesya and sudra. Prapanca belongs to the Brahmin group. Brahmins served in the religious field, poets who also entered the religious elite were tasked with compiling literature aimed at increasing the majesty of the king, the glory of the king and his kingdom. Negarakertagama is a literary work where literature is a means to worship the greatness of a king. It is not surprising that Prapanca from the beginning of his composition has said that there is an impulse of devotion to the king, although according to Prapanca he is not as good as other poets in composing kekawin. The temples composed by Prapanca are full of praise in which there is no place without praise for the majesty, nobleness, greatness, wisdom, which is shown by the attributes of the gods, his court, the vast territories of his dominion, his origin and the worship of the people towards King Hayam Wuruk. Even at the end of Prapanca, whoever hopes to hear the story of the king, is not satisfied, becomes more devoted, distancing himself from seditious acts. Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 32 PENDAHULUAN Fakta sejarah menunjukan bahwa Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia yang pernah mengalami masa keemasan, menguasai seluruh wilayah Indonesia yang sekarang, bahkan sampai pada beberapa daerah yang sekarang bukan menjadi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Karena itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa kerajaan Majapahit disebut sebagai negara nasional ke dua setelah kerajaan Sriwijaya. Bukti-bukti kebesaran Majapahit yang berupa karya sastra merupakan warisan budaya dan bangsa yang sangat besar arti dan manfaatnya seperti kitab Negarakertagama yang digubah oleh Prapanca. Atas petunjuk Prapanca dengan Negarakertagamanya dapat diketahui beberapa nama pujangga besar yang hidup sezaman dengan Prapanca. Diantaranya adalah Uppapati Sudarma yang ahli dalam menggubah pujasastra dalam prasasti, dalam bentuk kakawin yang sangat indah yang hanya boleh diperdengarkan dalam lingkunagn istana. Bahkan ada beberapa pujangga asing yang menggubah pujasastranya untuk raja Hayam Wuruk, diantaranya pendeta Budaditya yang menggubah rangkaian seloka Bogawali. Pendeta ini berasal dari daerah Kancipuri, Sadwihara di Jambudwipa. Demikian juga Brahmana Sri Mutali Saherdaya yang menggubah pujian seloka yang sangat Indah (Negarakertagama pupuh XCIII). Lahirnya beberapa pujangga dengan karya sastranya tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat Majapahit yang sangat setabil. Terciptanya stabilitas kerajaan yang sangat mantap adalah berkat peran besar Tribhuwanatunggadewi yang memegang tampuk pemerintahan. Kegoncangan politik mulai reda, dan ketentraman mulai pulih. Lebih-lebih setelah Gajah Mada mendampingi Tribhuwanatunggadewi tahun 1334, keadaan semakin mantap dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke daerah seberang lautan. Keadaan ini sangat berbeda dengan situasi yang dialami poleh para pendahulunya. Berbagai bentuk kekacauan politik yang ditunjukan oleh adanya berbagai pembrontakan diantaranya pembrontakan Nambi, pembrontakan Rangga Lawe, pembront akan Rangga Lawe, Lembu Sora maupun pembrontakan yang dilakukan oleh Tanca. Kekacauan politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi padamasa Ken Arok memerintah Singasari. Kiranya tepat jika zaman ini disebut sebagai zaman pancaroba dimana pelbagai nilai-nilai kehidupan sedang bergoncang sehingga pembangunan dan keagungan hanya merupakan impian. Prapanca sebagai sebagai penggubah Negarakertagama dt desa Kamalasana. Negara kertagama banyak memberikan informasi yang sangat berharga diantaranya kehidupan politik, sosial, keagamaan, kebudayaan maupun adat istiadat sehingga merupakan gudang pengetahuan tentang Majapahit. Negarakertagama menduduki tempat yang pertama dalam kesusastraan Jawa karena isisnya bukan tentanng dewa-dewa atau cerita-cerita kepahlawanan yang berbau mitos sepeeti kebanyak karya pujangga lainnya. Karya Prapanca ini dalam beberapa bagiannya menguraikan tentang sejarah dari zaman Singasari-Majapahit pada abad XIV dengan focus utamanya perjalanan Hayam Wuruk ke berbagai daerah kekuasaannya. Disamping itu pengetahuan penggubah Negarakertagama ini tentang situasi Majapahit sangat luas karena ia hidup pada zaman Hayam Wuruk dan bahkan pernah menjabat sebagai Dharmadyaksa Kasogatan, seorang hakim tinggi dari Agama Budha. Prapanca menggunakan latar belakang sejarah Majapahit pada dasarnya dimaksudkan untuk memuja keagungan Majapahit, keluhuran raja Hayam Wuruk yang sedang memegang tampuk pemerintahan. Ia mencurahkan segenap daya dan kemampuannya untuk Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 33 menunjukan kebesaran dan keagungan Majapahit beserta rajayang memerintah. Konsekwensi logis dari watak kepujasastraannya adalah uraian Prapanca serba sedap, menjauhi segala sesuatu yang dapat mengurangi keagungan negara atau keluhuran raja yang dipujanya. Apa yang dilakukan oleh Prapanca adalah bukan untuk menulis sejarah dalam pengertian sejarah ilmiah melainkan semata-mata menulis puja sastra dengan menggunakan latar belakang sejarah, keadaan negara serta masyarakat pada masanya. Berbeda dengan situasi sekarang, banyak karya sastra yang berisi kritik social terhadap keadaan masyarakat. Puisi karya Wiji Tukul dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Aku Ingin Menjadi Peluru” yang diteliti oleh Hantisa Oksinata menemukan bahwa karya Wiji Tukul tersebut berisi kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah yang berkuasa, kritik akan penderitaan orang miskin, kritik terhadap perlindungan hak kaum buruh juga menyoroti realitas social yang ada di masyarakat(file://C:/Users/ASUS/Downlo ads/880.pdf). Kritik social juga dapat ditemukan dalam Novel Catatan Juang karya Fiersa Besari yang diteliti oleh Ria Rukiyanti menemukan bahwa karya tersebut berisi kritik terhadap kerusakan lingkungan, kritik terhadap kebijakan public dan birokrasi serta kebijakan pertanahan (http://eprints.undip.ac.id/75871/1/Jurnal_ Skripsi_Ria_Rukiyanti.pdf). Berdasarkan paparan di atas maka dalam penelitian ini difokuskan pada dua permasalahan yakni mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama sebagai puja sastra, dan bagaimana Prapanca menyampaikan gubahan yang berisi keagungan Majapahit. Untuk menganalisis permasalahan tersebut akan dikaji menggunakan pendekatan tiga wujud kebudayaan yakni system budaya, wujud ideal kebudayaan yang bersifat abstrak, system social merupakan aktifitas manusia dalam berhubungan, berinteraksi dan bergaul dalam masyarakat, dan budaya fisik yang berupa benda-benda budaya sebagai hasil budaya manusia (Koentjaraningrat, 1992 : 2). Setiap tindakan manusia diwarnai oleh nilai yang hidup dimasyarakatnya. Benda budaya merupakan cermin dari nilai yang hidup dalam masyarakat serta prilaku social masyarakat. Singkatnya, analisa budaya merupakan suatu upaya untuk masuk ke dalam dunia konseptual kelompok manusia tertentu. Ia berusaha untuk memahami nilai-nilai, konsepkonsep dan gagasan-gagasan melalui mana dan dengan cara apa sekelompok manusia itu hidup serta memahami baik pengalamannya sendiri maupun dunia dimana ia hidup Untuk memahami mengapa mereka bertingkah laku adalah tindak tanduk manusia sesungguhnya ditandai oleh suatu upaya pencarian makna terus menerus. METODE PENELITIAN Penelitian ini pada hakekatnya adalah penelitian historis yang ditujuan kepada pengungkapan kembali serta pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau. Dalam hubungan ini akan ditempuh prosedur tata kerja tertentu yang meliputi heuristic, kritik dan interpretasi serta penyusunan cerita sejarah. Data dikumpulkan dengan menggunakan studi pustaka, data utama yang berkaitan dengan Negarakertagama diambil dari buku Selamat Mulyana, Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, yang diterbitkan Bhratara Karya Aksara tahun 1979. Dilengkapi dengan Buku Perundang-undangan Majapahit yang juga dikeluarkan oleh Selamat Mulyana. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik sejarah, kritik ekstern dan intern untuk mendapatkan data yang benar dalam arti benar-benar diperlukan, benarbenar asli serta benar-benar mengandung informasi yang relevan dengan cerita sejarah yang hendak disusun. Fakta sejarah yang telah terwujud Fakta-fakta yang telah Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 34 dikritik perlu diinterpretasikan sehingga fakta yang satu dengan yang lainnya kelihatan sebagai suatu rangkaian yang masuk akal dalam arti menunjukan kesesuaian satu sama lainnya. Hasil interpretasi yang berupa sintesa, kemudian disusun dalam suatu bentuk urutan khusus yaitu dalam wujud historiografi. PEMBAHASAN Struktur Masyarakat Majapahit Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang bercorak Hindu. Cirri khas kerajaan Hindu adalah struktur masyarakatnya dibagi menjadi empat golongan yang sering disebut dengan catur warna, teridiri dari brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Karena dalam setia struktur sosial mempunayi system sikap yang menggariskan tata karma yang patut dan mengokohkan struktur struktur yang bersagkutan ( Hsu 1983 : 2 ), maka setiap warna mempunyai darmanya masingmasing dan tugas kehidupannya adalah untuk melaksanakan darmanya. Ia menemukan darmanya dalam kewajibankewajiban yang telah ditentukan, oleh kedudukannya dalam dunia dan dalam masyarakat. Setiap orang diharapakn memenuhi darmanya dengan setia demi pemeliharaan keselarasan kosmos. Dengan demikian, kita tidak bisa lepas dari normanorma yang berlaku dan telah diterima oleh masyarakatnya, karena norma dan nilai telah menggariskan dengan tegas apa yang boleh dan harus dilakukan oleh setiap golongan maupun orang dan apa yang tidak boleh dilakukan. Bahkan ada yang menggariskan bahwa kerjakanlah kewajibanmu walaupun tidak dengan sempurna dari pada mengerjakan kewajiban orang lain walaupun dengan sempurna. Tegasnya, setiap manusia sudah ditentukan kewajibannya dalam struktur masyarakat dimana individu itu hidup. Kewajiban masing-masing warna yang hidup dalam masyarakat Majapahit telah diatur secara tegas, tidak bisa ditawartawar karena menurut kitab Undangundang Manawa, lebih baik menjalankan kerja dalam bidang kewajiban yang ditentukan menurut kastanya (walaupun) kurang sempurna dari pada mengerjakan dengan sempurna kewajiban kasta lain, barang siapa mengerjakan kewajiban kasta lain ia akan dikeluarkan dari kastanya sendiri ( Mulyana 1979 : 200 ). Brahmana Seorang pendeta yang ingin mencapai kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu dengan Brahman harus menjalankan enam darma yaitu : mengajar, belajar, melakukan persajian untuk dirinya sendiri, melakukan persajian untuk orang lain, membagi dan memberi derma (Mulyana 1979 : 200 ). Disamping itu, seorang brahmana mempunyai dua belas brata yaitu : 1) dharma menjalankan kewajiban berdasarkan kebenaran, 2) satya : jujur lahir batin, 3) satya : mengatasi indria, 4) dhama : menasehati diri, sabar, 5) wimatsaritwa : tidak dengki, iri hati, 6) hrih : mempunyai perasaan malu, 7) titiksa : dapat menguasai rasa marah, 8) anasuya : tidak berbuat dosa, 9) yadnya : suka memuja dan memuji, 10) ahana : memberikan punia, 11) dhrti : menenangkan, menyucikan pikiran dan memuaskan apa yang ada atas dasar budi utama dan 12) ksama : uka member maaf ataupun ampun ( Anandakusuma : tt : 2122). Seorang brahmana juga harus selalu minum air dari tempat yang suci bagi brahmana atau yang suci bagi Prajapati atau yang suci bagi dewa-dewa adan jangan sekali-kali yang suci bagi arwah yang meninggal. Brahmana yang tidak melakukan tapa dan mempelajari weda namun gembira bila menerima punia (sedekah) ia akan tenggelam ke dalam neraka dibuat dari batu yang akhirnya ke dasar sungai. Brahmana akan lahir sebagai sudra bila ia berhubungan dengan orang-orang yang tidak baik atau orang yang rendah Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 35 budinya. Betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh seorang brahmana, ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang menganggap brahmana adalah orang suci yang menurut Undang-undang Manawa golongan brahmana ini dilahirkan dari mulutnya Brahman. Tidaklah berlebihan bila golongan brahmana menempati kedudukan yang sangat penting yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan. Dalam bidang keagamaan pendeta mempunyai wewenang sepenuhnya dan menjadi pemimpin masyarakat. Orangorang dari golongan lain bergantung sepenuhnya kepada para pendeta. Sebagian besar dari upacara agama yang dianggap penting sekali untuk berlangsungnya kehidupan masyarakat seperti penyucian air (thirta ), penyucian tanah untuk mendirikan candi dan tempat pemujaan, upacara kelahiran, inisiasi dan kematia ( Sradha ), menghilangkan pengaruh lelembut, dan mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat, melakukan persajian dan menyajikan pujian-pujian, semuanya itu hanya boleh dilakukan kaum pendeta. Kaum awam hanya datang untuk menghadirinya dan memberikan sumbangan berupa kemenyan, bunga dan makanan saja ( Mulayana 1979 : 200-201 ). Hanya pendeta yang dapat melakukan sesaji dengan upacara yang tepat. Keselamatan masyarakat sangat tergantung dari sesaji dan upacara yang tepat. Tidak sembarang orang bisa melakukan lebih-lebih dalam melakukan sesaji harus sesuai dengan ketentuanketentuan seperti yang tercantum dalam kitab suci yang berbahasa Sansekerta. Hanya pendeta yang bisa mempelajarinya (lihat Sagimun 1988 : 3 ). Berkaitan dengan masalah keagamaan adalah pembinaan dan pengawasan candi-candi sebagai tempat pemujaan yang juga dilakukan oleh kaum pendeta. Negarakertagama pupuh LXXIV/2 memberitakan bahwa dua puluh tujuh candi makam raja dijaga oleh petugas atas perintah raja dan diawasi oleh pendeta ahli sastra. Ini menunjukan bahwa kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah dan bangunan suci di kerajaan Majapahit tidak berbeda dengan kekuasaan kaum pendeta Kristen di Eropa pada abad pertengahan. Beberapa orang pendeta juga diserahi tugas dalam bidang pemerintahan. Banyak diantara mereka yng menjadi anggota badan peradilan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kepala agama Siwa dan Buda diangkat sebagai Dharmadyaksa ( hakim tinggi ) dan diberi gelar Dang Acarya. Mereka adalah pembantu raja dalam proses peradilan. Pengangkatan seorang pendeta ke dalam lembaga peradilan sangat penting artinya, mengingat Kutara Manawa telah menggariskan bahwa semoga Sang Amurwabhmi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah terap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan ( Mulayana 1979 : 89 ). Atau dengan rumusan yang lain, hukuman hanya dapat ditetapkan oleh orang-orang suci, jujur, yang bertindak menurut dharma yang bijaksana ( Anandakusuma tt : 26 ). Satu golongan lagi yang juga termasuk ahli agama adalah pujangga. Kata pujangga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu bhujangga yang berarti ular. Binatang ular oleh banyak bangsa dianggap sebagai lambang kebijaksanaan yang istimewa. Untuk menjadi pujangga yang baik bukanlah ditentukan oleh semabarang orang. Seseorang dapat disebut sebagai pujangga apabila ia memiliki delapan keahlian sekaligus yaitu ahli dalam bidang kesusastraan ( pramengsastra ), ahli dalam bidang tulis menulis atau mendongeng (awisastra ), ahli dalam bidang menyanyikan tembang atau gending (madarwalagu ), ahli dalam bidang olah raga atau memiliki perasaan yang sangat halus dan peka ( nawungsidha ) dan hidup Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 36 dalam keutamaan atau bersih lahir dan batin dalam perjalanan hidupnya ( sambagana ), (lihat Herusatoto : 1987 : 62-63 ). Seorang pujangga ( kawi ) kraton yang berkewajiban menulis puja sastra, sebelum menulis puja sastra mereka terlebih dahulu melakukan tapa untuk menyucikan diri dan mendapatkan kekuatan gaib agar indrianya menjadi peka untuk menangkap keindahan. Bagi seorang pujangga ia berusaha untuk menyatukan keindahan dalam dirinya. Perlu juga dikemukakan bahwa bagi seorang pujangga penulisan kakawin merupakan usaha untuk menyatukan dirinya dengan yang dipujanya atau dengan kata lain, penulisan kakawin adalah suatu yoga sastra dan karya yang dihasilkan adalah yantra yaitu alat yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yoga yang akan menyertai perjalanannya yang terakhir yang akan memberi kekuatan untuk mencapai moksa atau kelepasan ( Supomo : 1985 : 388 ). Yantra adalah alat untuk memfokuskan pikiran dan peasaan dan sekaligus reseptakulum untuk dewa yang dituju dengan konsentrasi pikirannya. Menurur C.C. Berg, sebuah hasil karya sastra ditujukan untuk memuja raja harus disampaikan kepada kalangan kraton dan dengan resmi karya tersebut dibaca oleh Sudharmopapati, menteri agama. Kalau mutu karya sastra tersebut tidak dianggap terlalu rendah kemungkinan dapat dipahatkan pada prasasti yang disebut stutinarpati. Tapi rupanya tidak semua karya pujangga sastra yang walaupun telah diterima atau lolos sensor dari pejabat keraton akan dapat diterima oleh Sudharmopapati, karena merekapun dapat menolak membacanya ( Herusatoto 1987 : 60 ). Negarakertagama Majapahit dan Keagungan Di dalam istana kerajan terdapat sejumlah pujangga dan penyair yang disebut para kawi. Fungsinya dapat diumpamakan semacam lembaga-lembaga sastra dan kebudayan ( Hartoko 1984 : 76 ). Mereka adalah golongan professional dalam bidang sastra. Raja bertindak sebagai pelindung dan sekaligus sebagai sumber inspirasi. Sebagai konsekuensinya adalah kisahnya akan berjalan dari istana ke istana dari putri ke pahlawan, dari kemegahan demi kemegahan, keluarga dan anak cucunya, sampai ke soal-soal yang kecil diterangkan. Timbul tenggelamnya raja dan kerajaan, peperangan, kepahlawanan, kejatuhan raja, roman putri dan pangeran serta asalusulnya merupakan pengetahuan masa lalu yang diwariskan sebagai sejarah ( Gazalba 1981 : 61). Kenyataan ini dapat dipahami karena salah satu fungsi sastra adalah sebagai sarana untuk memuliakan raja. Penulisan puja sastra pada hakikatnya adalah melakukan pekerjaan sastra, dalam pengertian bahwa sang pujangga memberikan suatu kekuatan gaib kepada raja yang dilukiskan yang selanjutnya melalui diri sang raja kekuatan gaib itu akan bermanfaat bagi rakyat. Suatu puja sastra baik dengan kata-kata yang diucapkan maupun dengan huruf yang dituliskan akan membawa akibat yang nyata bagi raja. Berdasarkan pemikiran ini dapatlah dikatakan bahwa pemujaan terhadap seorang raja, penguraian tentang kekuasaannya, kebijaksanaannya, kemurahan hatinya akan membawa akibat raja itupun akan benar-benar berkuasa dan tidak terkalahkan. Singkatnya, sastra dapat meningkatkan kesaktian seorang raja dengan menciptakan suasana sakral. Negarakertagama yang oleh Prapanca sendiri disebut dengan Dasawarna, digubah untuk memuja raja Hayam Wuruk, karena didorong rasa cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujanggapujangga lainnya dalam menggubah kekawin, dan apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan ditertawakan (Pupuh XCIV/4). Pernyataan Prapanca ini bukan berarti meragukan kemampuannya dalam menggubah kekawin. Ungkapan itu Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 37 hanyalah sebagai sarana untuk memperkenalkan diri, menyampaikan potret diri atau dengan meminjam istilah Supomo (1985 : 391) adalah sebagai ungkapan “ Andhap Asor” yang pada umumnya dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu ungkapan yang berkaitan dengan pribadi kawi itu sendiri dan ungkapan yang berkaitan dengan hasil karyanya. Pada masyarakat yang percaya pada kultus dewa raja, maka raja adalah seorang pelindung dan sumber berkat bagi pujangga. Sehingga pada awal gubahannya sudah ada permohonan terhadap raja yang sedang berkuasa agar berkenan menerima serta memberikan restunya serta gembira bila mendengar gubahannya. Juga diungkapkan agar gubahannya itu dapat menambah kejayaan raja dan kemakmuran kerajaannya. Tugasnya sebagai imam dalam literer. Hal semacam ini dapat dilihat dalam Negarakertagama Pupuh I, dimana Prapanca memulai gubahannya dengan : 1. Om sembah pujiku orang hina kebawah telapak kaki pelindung jagat Siwa Buda janma Batara, senantiasa tenang tenggelam dalam samadi Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, rajaadiraja dunia Dewa Batara lebih khayal dari yang khayal tapi tampak diatas dunia. 2. Merata serta merestui segala makhluk, nirguna bagi kaum Wismana Iswara bagi yogi, purusa bagi Kapila, hartawan bagi Jembala, Wagindra dalam segala ilmu, Dewa asmara dalam cinta birahi, Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin damai dunia. Uraian Prapanca yang menyebut beberapa nama dewa untuk menunjukkan Raja Rajasanegara telah mengamalkan ajaran serta asta brata yaitu suatu etika kepemimpinan dengan mengikuti sifat- sifat para dewa yang ada dalam agama Hindu. Asta Brata ini merupakan wejangan Sri Rama kepada Wibisanapada saat beliau dilantik menjadi Raja Alengka. Disamping itu juga dapat diartikan sebagai usaha Prapanca untuk memohon berkah dari para dewa agar mau melindungi raja dan kerajaannya. Dengan menyebut namanama dewa adalah untuk meningkatkan kekuatan magis seseorang raja yang sedang dipuja. Bagi Prapanca sendiri merupakan seruan kepada para dewa agar mau memberikan berkahnya dan mau menjelma dalam gubahannya. Sastra ibaratkan sebuah candi, sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Sastra adalah sebagai sarana untuk melakukan semadi, untuk mendekatkan diri dengan sang pencipta. Untuk menambah wawasan terhadap pandangan ini, kiranya perlu dikemukakan pengakuan Mpu Prapanca yang berkaitan dengan pekerjaannya (lihat Hartoko 1984 : 78 – 79 ). Seruan kepada dewa agar diberkati merupakan suatu tata karma dan telah menjadi ciri utama dalam sebuah karya sastra. Mereka meyakini bahwa hanya batin manusia yang mendapat perlindungan dari para dewa dan raja akan merasakan ketenangan batin dalam menjalankan tugas-tugasnya serta tidak akan mendapat berbagai rintangan. Ini merupakan pengakuan hakiki dan keterikatan manusia yang dalam hal ini para pujangga terhadap para dewa dan raja sebagai wakil dewa di atas bumi. Tanpa pengayoman dari para dewa (raja) pekerjaan tidak akan berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Pujian dan permohonan kehadapan para dewa sama bobotnya dengan pujian terhadap raja. Bagi Prapanca, keluhuran Raja Rajasa Dyah Hayam Wuruk sudah Nampak ketika ia berada dalam kandung. Isyarat keluhuran tersebut berupa peristiwa-peristiwa alamiah seperti Gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar, Gunung Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 38 Kempud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara. Isyarat keluhuran dapat berupa sinar, cahaya biru bundar yang melayang-layang di langit dan jatuh pada orang yang telah ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Orang yang memilki wahyu ini akan memiliki kekuatn adikodrati. Bagi rakyat, itu merupakan suatu tanda akan munculnya seorang pemimpin baru ( lihat Suseno 1985 : 104 ). Kesejatian kekuasan seseorang akan nampak dalam akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekuasaan itu sendiri, misalnya tidak aka nada musuh dari luar, tidak aka nada kekacauan yang dapat menggangu petani pada pekerjaannya di sawah, kesuburan tanah tetap terjamin dan memberikan panen yang berlimpah dan masyarakatnya hidup teratur. Singkatnya, tercipta suasana tata tentram kertta raharja, gemah lipah loh jinawi. Keterangan Prapanca yang mengatakan bahwa wipra, satria, waisyaa dan sudra sempurna dalam pengabdian, dari semua desa di wilayah negara, pajak mengalir bagaikan air, semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan, jelas menunjukan sikap Prapanca yang ingin membuktikan akan keluhuran dan kesejatian kekuasaan Raja Hayam Wuruk ( pupuh LXXXI). Berita yang diberikan Prapanca ini juga memberikan pemahaman bahwa keajegan suatu kekuasaan sangat ditentukan oleh cara pelaksanaannya. Sebagai makna kekuasaan yang merupakan hasil pemusatan kekuatankekuatan kosmis oleh seorang raja, begitu pula raja akan kehilangan kemampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis tersebut. Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa nafsunya, mulai menindas bawahan dan rakyatnya, berarti ia telah mempersiapkan keruntuhannya sendiri. Ia telah memboroskan energinya sendiri sehingga ia menjadi kasar dan semakin tergantung dari luar. Sebaliknya seorang raja haruslah bersikap alus (halus) karena alus merupakan inti kemanusiaan yang beradab dan sekaligus menunjukkan kekuatan batin. Alus pertama-tama berarti suatu permukaan halus dalam arti fisik, tetapi lalu berarti juga lembut, luwes, sopan, beradab, peka dan sebagainya. Sikap halus bukan berarti kelemahan tetapi dalam kenyataannya halus adalah kebalikannya. Orang yang halus berarti ia dapat mengontrol dirinya sendiri secara sempurna dan dengan demikian memiliki kekuatan batin. (Suseno 1985 : 102). Orang yang benar-benar berkuasa tidak perlu berbicara keras-keras agar didengar, memukul meja dan marah-marah agar diperhatikan, cukuplah apabila ia memberikan perintah-perintah secara tidak langsung, baik dalam bentuk anjuran, senyuman maupun dengan sindiran yang dapat membangkitkan gairah kerja. Sesuai dengan wawasan masyarakat terutama sekali pujangga, bahwa kekuasaan adalah hasil dari pemusatan kekuatan-kekuatan kosmis, maka sudah sewajarnya bila raja ingin memperbesar kekuasaannya. Untuk mencapai tujuan itu, ia akan mengumpulkan semua potensi-potensi magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya seperti benda-benda keramat terutama pusaka-pusaka seperti keris, tombak dan gamelan. Ia ingin dikelilingi oleh manusia-manusia yang dianggap keramat, menarik dukun-dukun dan resi-resi termasyur ke dalam keratonnya ( Suseno 1985 : 104 ). Perjalanan raja baik perjalanan keliling kota maupun perjalanan ke berbagai daerah, dengan menggunakan kereta atau ditandu dengan kereta kencana, selalu didampingi oleh para pujangga atau para pendeta serta diiringi oleh gaung gong beserta atribut-atribut religious lainnya. Bagi rakyat, kereta yanag dipakai oleh raja merupakan benda keramat yang dapat memberikan keselamatan. Dari Negarakertagama dapat diketetahui bahwa raja Majapahit menghabiskan sebagian Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 39 besar waktunnya untuk melakukan siarah ke candi-candi makam yang dibuat oleh leluhurnya. Negarakertagama pupuh LXVII yang menceritakan perjalanan keliing raja Hayam Wuruk yang sekaligus merupakan inti dari isi Negarakertagama, di dalamnya banyak menceritakan tentang tempat-tempat suci yang dikunjungi oleh raja Hayam Wuruk. Misalnya candi makam Pancasara, candi makam di Kalayu dimana ia mengadakan upacara penyekaran yang disebut dengan upacara memegat gigi. Candi makam di Singasari, Kagenengan, candi Jago, candi Kidal, maupun candi-candi yang lainnya. Prapanca yang ikut serta dalam perjalanan safari keliling tersebut sangat terkesan dengan candi Kagenengan yang bukan saja karena sebagai temapat Ken Arok dicandikan, melainkan juga karena keindahannya. Terhadap candi Kagenengan ini, diperuntukan bagi Ken Arok sebagai cikal bakal kerajaan Singasari Majapahit. Prapanca menyampaikan kekagumannnya (lihat Negarakertagama pupuh XXXVII ). Selain dengan melakukan siarah ke candi-candi makam, seorang raja juga dapat mewarisi kekuatan gaib yang dimiliki oeh leluhurnya dengan cara melakukan selamatan srada. Negarakertagama pupuh LXII-LXIX menguraikan bahwa upacara srada yang dilakukan di istana pada tahun saka bersirah empat bulan badrapada ( Agustus 1362 M ) adalah untuk memperingati hari wafatnya Sri Rajapatni ibu dari Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardani atau nenek Hayam Wuruk sendiri. Prapanca lewat negarakertagamanya memberikan pujian akan kemegahan istana Majapaiht. Bagi para pujangga maupun rakyat biasa istana bukan saja sebagai pusat aktifitas politik dan budaya melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan yang menjadi lambang makrokosmos. Keagungan seorang raja akan kentara dari keindahan dan kemegahan istananya. Atribut-atribut keduniawian yang dimiliki oleh seorang akan mencerminkan setatus sosialnya. Prapanca yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan Majapahit pada abad XIV memberikan keterangan terperinci tentang kompossi keratin Majapahit, keindahannya sampai pada para punggawa dan pegawai kerajaan. Pada bagian dalam, di sebelah selatan balai menguntur adalah paseban, tempat berdiri para pembesar negara yang ingin menghadap kepada raja. Di sebelah selatan menguntur, ada lagi paseban memanjang ke selatan kea rah pintu keluar ke dua, terbagi atas beberapa ruangan. Semuanya bertulang kuat, bertiang kokoh tiada tercela. Masuk pintu kedua dari selatan, di sebelah kanan jalan adalah halaman istana. Di sebelah utara halaman istana Kertawardana dan permaisurinya. Di sebelah selatan halaman adalah istana raja Paguhan Singawardana dan permaisurinya. Istana sang prabu berada di sebelah timur. Keadaan di luar benteng. Di bagian sebelah timur adalah tempat tinggal Dhrmadyaksa Kasiwan Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa lainnya. Pada bagian selatan tempat tinggal Dharmadyaksa Kasogatan dan para pendeta Buda. Di bagian barat, tempat tinggal para arya, menteri dan sanak kadang raja. Di sebelah timur yang dipisah oleh jalan aadalah pasanggrahan Wijayarajasa. Di seblah selatan, pasanggrahan raja Wengker, ini adalah pasanggrahan Rajasawardana. Kedua pasanggrahan ini tidak jauh dari istana sang prabu. Di bagian utara ada pasar dengan pasanggrahan Narpati di belakangnya. Di sebelah timur laut kraton adalah rumah kediaman Gajah Mada. Di sebelah selatan kraton ada gedung kejaksaan yang diapit oleh rumah upapati dan pendeta. Di sebelah timur gedung kejaksaan ini adalah perumahan pendeta siwa dan pendeta buda di sebelah baratnya. Semua rumah bertiang kuat berukir indah. Kakinya dari batu merah pating berujul. genting atapnya termasuk serba meresapkan pandangan, menarik perhatian. Bunga tanjung kesara, cempaka dan lain- Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 40 lainnya berpancar di halaman. Begitulah Prapanca memuji keindahan kraton Majapahit. Pujian Prapanca akan keagungan Majapahit dan Raja hayam Wuruk juga disampaikan dalam pupuh XIII – XIV yang menceritakan luas wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit, karena luas wilayah kekuasaan juga merupakan indicator kabesaran sebuah kerajaan. Berdasarkan pupuh-pupuh di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah Indonesia yang sekarang dan beberapa wilayah yang sekarang menjadi wilayah negara tetangga seperti Melayu, Sulu menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Luasnya wilayah kekuasaan Majapahit ini tidak bisa dilepaskan dari peranan Gajah Mada. Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Amangkubhumi, pada saat peresmiannya ia telah mengucapkan sumpah yang sekarang dikenal dengan Sumpah Palapa. Katanya, huwus kalah nusantara, isun amukti palapa, huwus kalah Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, isun amukti palapa ( Mulyana 1983 : 164 ). Prapanca sebagai pujangga kerajaan yang menulis sastra untuk muja raja dan kerajaannya lazimnya akan menyampaikan garis keturunan raja atau nenek moyang raja yang sedang berkuasa. Demikian juga dengan Negarakertagama yang oleh Prapanca diberi nama Dasawarnana, silsilah raja Hayam Wuruk termuat dalam pupuh II – VII yang antara lain mengatakan bahwa Sri Rajapatni yang bagaikan titisan Parama Bagawati adalah nenek Rajasanegara ( Hayam Wuru ) yang wafat tahun saka dresti saptaruna ( 1272 saka ) yang kemudian digantikan oleh Tribhuwanatunggadewi, ibu dari raja Hayam Wuruk, yang kawin dengan Kertanegara yang bersemayam di Singasari. Sedangkan putrid Rajadewi Maharajasa adalah bibinya, yang bertahta di Daha yang kawin dengan Wijay Rajasa dari Wengker. Beliau mempunyai dua orang saudara perempuan, yang tertua bernama Bre Lasem, yang kawin dengan Bre Matahum. Yang muda bergelar Bre Pajang yang kawin dengan Singhawardana dari Paguhan. Silsilah keluarga raja-raja Majapahit ini dilanjutkan oleh Prapanca dalam Negarakertagama pupuh XL – XLIX yang dimulai dari Ken Arok sebagai cikal bakal kerajaan Singasari-Majapahit. Ken Arok yang oleh Negarakertagama disebut Ranggahrajasa, lahir tahun saka lautan desa bulan (1104) tanpa ibu di sebelah timur Guung Kawi dengan ibu kotanya Kuta Raja. Tahun saka lautan dadu siwa (1144) ia berhasil mengalahkan Kertajaya dari Kediri sehingga Jeggala dan Kediri bersatu di bawah kekuasannya. Dialah yang menjadi cikal bakal raja-raja agung yang memerintah pulau Jawa. Menurut Negarakertagama, setelah Kertanegara wafat terjadi pembrontakan yang dilakukan oleh Jayakatwang, orang yang berwatak jahat karena ingin berkuasa di Kediri. Tetapi akhirnya Jayakatwang dapat ditundukan oleh Dyah Wijaya. Hasil perkawinan antara Raden Wijaya dengan Rajapatni melahirkan dua orang putrid, yang sulung menjadi rani di Jiwana dan yang bungsu menjadi rani di Daha. Raden Wijaya kemudian digantikan oleh putranya Jayanegara. Pada masa pemerintahannya ia berhasil memadamkan pembrontakan Nambi di Pejarakan, Lumajang. Tahun saka bulan memanah surya ( 1250 ) ia meninggal yang kemudian digantikan oleh rani di Jiwana yakni Wijayatunggadewi atau Tribhuwanatunggadewi. Pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ia berhasil mengalahkan Sadeng dan Keta. Selama bertahta semuanya terserah kepada menteri bijak yakni Gajah Mada. Konsekwensi logis dari peran Prapanca sebagai pujangga kraton Majapahit adalah ia akan mengungkapkan keberhasilan raja-raja Majapahit dan terhadap raja yang tidak mau tunduk ia bisa memberikan cap sebagai orang yang Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 41 nista atau jahat. Kecendrungan kearah ini jelas namapak dalam Negarakertagama pupuh XLIX/4 yang mengatakan bahwa raja Bali yang alpa dan rendah budi gugur bersama tentaranya sehingga kejahatan menjauh dan ketentraman tercipta. Tetapi bila dilihat prasasti Langgaran, terdapat informasi tentang jati diri raja Bali yang terakhir , raja Asta Asura Ratna Bumi Banten adalah raja yang baik dan memikirkan nasib rakyatnya ( Mulyana 1983 : 175). Apa yang disampaikan oleh Prapanca dapat dipahami karena peran yang harus dilakoni. Sebagai pujangga yang menggubah puja sastra tidak ada lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja Hayam Wuruk. Selain itu Prapanca adalah putra seorang dharmadyaksa, sehinga norma-norma bagi seorang brahmana sudah melembaga dalam dirinya. SIMPULAN Simpulan Berdasarkan analisis data di atas dapat disimpulkan bahwa mengapa prapanca menggubah Negarakertagama sebagai puja sastra tidak lepas dari struktur masyarakat majapahit. Masyarakat Majapahit yang bercorak Hindu, struktur masyarakatnya terbagi menjadi emapt golongan yang disebut catur warna. Masing-masing golongan sudah mempunyai tugas yang diatur secara tegas. Kaum brahmana bertugas dalam bidang keagamaan, dan pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Bagi seorang pujangga, tidak ada tempat tanpa pujian kepada raja yang menjadi pelindung sekaligus sumber inspiraasi. Mulai dari tnda-tanda keluhuran seorang raja yang sudah nampak sejak berada dalam kandungan, sifat-sifatnya yang sama dengan para dewa, wujud fisiknya yang halus, kesaktiannya, keindahan istana sebagai lambang kemakmuran dan ketertiban kosmos, luas wilayah kekuasaannya sebagai bukti kesejatian kekuasannya maupun asal usulnya yang berasal dari para dewa yang memang ditakdirkan untuk memerintah dunia. Semuanya ini dilakukan oleh para pujangga untuk memberi mantra kekuatan magis kepada raja serta untuk memantapkan nilai dan tata karena kewajaran dan keseimbangan kosmos adalah tujuan yang utama. DAFTAR RUJUKAN Anandakusuma, Sri Reshi, tt, Dharma, Denpasar penerbi CV Kayumas. Astra, I Gede Semadi, 1986 Sekilas tentang Kedudukan dan Peranan Tokoh Agama dalam Periode Abad IX-XI di Bali, dalam Pertemuan Kuliah Arkeologi IV, Aspek Sosial Budaya, Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat penelitian Arkeologi Nasional. Dojosantoso, 1986 Unsur Religius dalam Sastra Jawa, Semarang, Penerbit CV Aneka Ilmu/ Hartoko, Dick,1984 Manusia dan Seni, Penerbit Yayasan Kanisius Herusatoto, Budiono, 1987 Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta, Penerbit PT Hanindita. Hzu,1983 Para Cendikiawan Menjadi Abdi Negara, dalam Sartono Kartodirjo (ed), Elite dalam Persepektif Sejarah, Jakarta, penerbit LP3ES. Koentjaraningrat, 1992. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Mulyana, Slamet, 1967,Perundangundangan Majapahit, Penerbit Bhratara Jurnal Nirwasita Vol.3 No.1 Maret 2022 e-ISSN 2774-6542 Hal: 31-42 DOI : 10.5281/zenodo.6393370 42 -------------------, 1979 Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta, Penerbit Bhratara Karya Aksara. Niti Sastra, 1983/1984, Dalam Bentuk Kakawin, Parisada Hindu Dharma Pusat. Oksinata, Hantisa, 2010, Kritik Sosial dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru, file://C:/Users/ASUS/Downloads /880.pdf Rukiyanti, Ria, Kritik Sosial dalam Novel Catatan Juang Karya Fiersa Bestari, http://eprints.undip.ac.id/75871/1 /Jurnal_Skripsi_Ria_Rukiyanti.p df Sagimun MD, 1988 Peninggalan sejarah Masa perkembangan Agamaagama di Indonesia, Jakarta, Penerbit CV Haji Masagu Sudewa, A,1985 Kawi dan Pujangga, dalam Sulastin Sutrisno dkk (ed), Bahasa sastra dan Budaya, Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada University Press. Supomo, S, 1985 Kama di dalam kakawin, dalam Sulastin Sutrisno dkk (ed), Bahasa sastra dan Budaya, Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada University Press. Suseno, Frans Magnis, 1985 Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta, Penerbit PT Gramedia. ------------------, 1986 Kuasa dan Moral, Jakarta, Penerbit PT Gramedia