Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
31
Negarakertagama : Kisah Keagungan Kerajaan Majapahit
Negarakertagama: The Story of the Majesty of the Majapahit Kingdom
Dewa Made Alit. , I Nyoman Bayu Pramartha
Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
Jl. Seroja Tonja-Denpasar Utara, Bali (80239)
*Pos-el: dewadaton@gmail.com, pramarthabayu@gmail.com
Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa Prapanca menggubah Negarakertagama
dalam bentuk puja sastra dan bagaimana puja sastra tersebut tersurat dalam Negarakertagama.
Penelitian ini merupakan penelitian sejarah, sehingga akan mengikuti prosedur kerja sejarah yakni
heuristic, kritik, interpretasi dan historiografi. Data dikumpulkan mealui studi pustaka. Sumber data
yang utama dalam penelitian ini adalah Negarakertagama yang telah diterjemahkan oleh Slamet
Mulyana yang termuat dalam Negarakertagama dan tafsir Sejarahnya ditambah dengan sumber sumber
lain yang relevan. Data yang sudah terkumpul kemudian dikritik dengan kritik ekstern dan intern untuk
mendapatkan fakta. Fakta kemudian diinterpretasikan, dihubung-hubungkan satu dengan yang lainnya
yang kemudian dituangkan dalam bentuk cerita sejarah. Hasil analisis data menunjukan bahwa
masyarakat Majapahit terstruktur dalam empat kasta atau sering juga disebut catur warna yakni
brahmana, kesatria, wesya dan sudra. Prapanca masuk dalam golongan brahmana. Kaum brahmana
bertugas dalam bidang keagamaan, pujangga yang juga masuk elite agama bertugas menyusun sastra
yang ditujukan untuk menambah keagungan raja, kejayaan raja dan kerajaannya. Negarakertagama
merupakan karya sastra dimana sastra merupakan sarana untuk memuja kebesaran seorang raja. Tidak
mengherankan bila Prapanca dari awal gubahannya sudah menyampaikan bahwa ada dorongan rasa
cinta bakti kepada raja, walaupun menurut Prapanca ia tidak semahir pujangga-pujangga lainnya dalam
menggubah kekawin. Bait-bait yang digubah oleh Prapanca penuh dengan pujian di dalamnya tidak ada
lagi tempat tanpa pujian akan keagungan, keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang ditunjukan oleh
sifat-sifat para dewa, istananya, luas wilayah kekuasannya, asal usulnya dan kebaktian rakyat terhadap
raja Hayam Wuruk. Bahkan pada bagian akhir Prapanca berharap barang siapa mendengar kisah raja,
tak puas hatinya, bertambah baktinya, menjauhkan diri dari tindak durhaka.
Abstract.This study aims to find out why Prapanca composed Negarakertagama in the form of literary
puja and how the literary puja is written in Negarakertagama. This research is historical research, so it
will follow historical work procedures namely heuristics, criticism, interpretation and historiography.
Data collected through literature study. The main data source in this study is Negarakertagama which
has been translated by Slamet Mulyana contained in Negarakertagama and its Historical Interpretation
added with other relevant sources. The data that has been collected is then criticized with external and
internal criticism to get the facts. The facts are then interpreted, linked to each other which are then
outlined in the form of historical stories. The results of data analysis showed that the Majapahit
community was structured in four castes or often also called color chess namely brahmin, knight,
wesya and sudra. Prapanca belongs to the Brahmin group. Brahmins served in the religious field, poets
who also entered the religious elite were tasked with compiling literature aimed at increasing the
majesty of the king, the glory of the king and his kingdom. Negarakertagama is a literary work where
literature is a means to worship the greatness of a king. It is not surprising that Prapanca from the
beginning of his composition has said that there is an impulse of devotion to the king, although
according to Prapanca he is not as good as other poets in composing kekawin. The temples composed
by Prapanca are full of praise in which there is no place without praise for the majesty, nobleness,
greatness, wisdom, which is shown by the attributes of the gods, his court, the vast territories of his
dominion, his origin and the worship of the people towards King Hayam Wuruk. Even at the end of
Prapanca, whoever hopes to hear the story of the king, is not satisfied, becomes more devoted,
distancing himself from seditious acts.
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
32
PENDAHULUAN
Fakta sejarah menunjukan bahwa Kerajaan
Majapahit adalah salah satu kerajaan yang
pernah berdiri di Indonesia yang pernah
mengalami masa keemasan, menguasai
seluruh wilayah Indonesia yang sekarang,
bahkan sampai pada beberapa daerah yang
sekarang bukan menjadi wilayah kekuasaan
negara Republik Indonesia. Karena itu
tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
kerajaan Majapahit disebut sebagai negara
nasional ke dua setelah kerajaan Sriwijaya.
Bukti-bukti kebesaran Majapahit
yang berupa karya sastra merupakan
warisan budaya dan bangsa yang sangat
besar arti dan manfaatnya seperti kitab
Negarakertagama yang digubah oleh
Prapanca. Atas petunjuk Prapanca dengan
Negarakertagamanya dapat diketahui
beberapa nama pujangga besar yang hidup
sezaman dengan Prapanca. Diantaranya
adalah Uppapati Sudarma yang ahli dalam
menggubah pujasastra dalam prasasti,
dalam bentuk kakawin yang sangat indah
yang hanya boleh diperdengarkan dalam
lingkunagn istana. Bahkan ada beberapa
pujangga
asing
yang
menggubah
pujasastranya untuk raja Hayam Wuruk,
diantaranya pendeta Budaditya yang
menggubah rangkaian seloka Bogawali.
Pendeta ini berasal dari daerah Kancipuri,
Sadwihara di Jambudwipa. Demikian juga
Brahmana Sri Mutali Saherdaya yang
menggubah pujian seloka yang sangat
Indah (Negarakertagama pupuh XCIII).
Lahirnya
beberapa
pujangga
dengan karya sastranya tidak bisa
dilepaskan dari kondisi sosial masyarakat
Majapahit yang sangat setabil. Terciptanya
stabilitas kerajaan yang sangat mantap
adalah
berkat
peran
besar
Tribhuwanatunggadewi yang memegang
tampuk pemerintahan.
Kegoncangan
politik mulai reda, dan ketentraman mulai
pulih. Lebih-lebih setelah Gajah Mada
mendampingi
Tribhuwanatunggadewi
tahun 1334, keadaan semakin mantap dan
berhasil memperluas wilayah
kekuasaannya sampai ke daerah seberang
lautan. Keadaan ini sangat berbeda dengan
situasi yang dialami poleh para
pendahulunya. Berbagai bentuk kekacauan
politik yang ditunjukan oleh adanya
berbagai
pembrontakan
diantaranya
pembrontakan Nambi, pembrontakan
Rangga Lawe, pembront akan Rangga
Lawe, Lembu Sora maupun pembrontakan
yang dilakukan oleh Tanca. Kekacauan
politik ini sebenarnya sudah mulai terjadi
padamasa Ken Arok memerintah Singasari.
Kiranya tepat jika zaman ini disebut
sebagai zaman pancaroba dimana pelbagai
nilai-nilai kehidupan sedang bergoncang
sehingga pembangunan dan keagungan
hanya merupakan impian.
Prapanca
sebagai
sebagai
penggubah Negarakertagama dt desa
Kamalasana. Negara kertagama banyak
memberikan informasi yang sangat
berharga diantaranya kehidupan politik,
sosial, keagamaan, kebudayaan maupun
adat istiadat sehingga merupakan gudang
pengetahuan
tentang
Majapahit.
Negarakertagama menduduki tempat yang
pertama dalam kesusastraan Jawa karena
isisnya bukan tentanng dewa-dewa atau
cerita-cerita kepahlawanan yang berbau
mitos sepeeti kebanyak karya pujangga
lainnya. Karya Prapanca ini dalam
beberapa bagiannya menguraikan tentang
sejarah dari zaman Singasari-Majapahit
pada abad XIV dengan focus utamanya
perjalanan Hayam Wuruk ke berbagai
daerah kekuasaannya.
Disamping itu
pengetahuan penggubah Negarakertagama
ini tentang situasi Majapahit sangat luas
karena ia hidup pada zaman Hayam Wuruk
dan bahkan pernah menjabat sebagai
Dharmadyaksa Kasogatan, seorang hakim
tinggi dari Agama Budha.
Prapanca
menggunakan
latar
belakang sejarah Majapahit pada dasarnya
dimaksudkan untuk memuja keagungan
Majapahit, keluhuran raja Hayam Wuruk
yang
sedang
memegang
tampuk
pemerintahan. Ia mencurahkan segenap
daya
dan
kemampuannya
untuk
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
33
menunjukan kebesaran dan keagungan
Majapahit beserta rajayang memerintah.
Konsekwensi
logis
dari
watak
kepujasastraannya adalah uraian Prapanca
serba sedap, menjauhi segala sesuatu yang
dapat mengurangi keagungan negara atau
keluhuran raja yang dipujanya. Apa yang
dilakukan oleh Prapanca adalah bukan
untuk menulis sejarah dalam pengertian
sejarah ilmiah melainkan semata-mata
menulis puja sastra dengan menggunakan
latar belakang sejarah, keadaan negara
serta masyarakat pada masanya.
Berbeda dengan situasi sekarang,
banyak karya sastra yang berisi kritik social
terhadap keadaan masyarakat. Puisi karya
Wiji Tukul dalam kumpulan puisinya yang
berjudul “Aku Ingin Menjadi Peluru” yang
diteliti oleh Hantisa Oksinata menemukan
bahwa karya Wiji Tukul tersebut berisi
kritik terhadap kesewenang-wenangan
pemerintah yang berkuasa, kritik akan
penderitaan orang miskin, kritik terhadap
perlindungan hak kaum buruh juga
menyoroti realitas social yang ada di
masyarakat(file://C:/Users/ASUS/Downlo
ads/880.pdf). Kritik social juga dapat
ditemukan dalam Novel Catatan Juang
karya Fiersa Besari yang diteliti oleh Ria
Rukiyanti menemukan bahwa karya
tersebut berisi kritik terhadap kerusakan
lingkungan, kritik terhadap kebijakan
public dan birokrasi serta kebijakan
pertanahan
(http://eprints.undip.ac.id/75871/1/Jurnal_
Skripsi_Ria_Rukiyanti.pdf).
Berdasarkan paparan di atas maka
dalam penelitian ini difokuskan pada dua
permasalahan yakni mengapa Prapanca
menggubah Negarakertagama sebagai puja
sastra,
dan
bagaimana
Prapanca
menyampaikan gubahan yang berisi
keagungan Majapahit. Untuk menganalisis
permasalahan tersebut
akan dikaji
menggunakan pendekatan tiga wujud
kebudayaan yakni system budaya, wujud
ideal kebudayaan yang bersifat abstrak,
system social merupakan aktifitas manusia
dalam berhubungan, berinteraksi dan
bergaul dalam masyarakat, dan budaya fisik
yang berupa benda-benda budaya sebagai
hasil budaya manusia (Koentjaraningrat,
1992 : 2). Setiap tindakan manusia diwarnai
oleh nilai yang hidup dimasyarakatnya.
Benda budaya merupakan cermin dari nilai
yang hidup dalam masyarakat serta prilaku
social masyarakat. Singkatnya, analisa
budaya merupakan suatu upaya untuk
masuk ke dalam dunia konseptual
kelompok manusia tertentu. Ia berusaha
untuk memahami nilai-nilai, konsepkonsep dan gagasan-gagasan melalui mana
dan dengan cara apa sekelompok manusia
itu hidup serta memahami baik
pengalamannya sendiri maupun dunia
dimana ia hidup Untuk memahami
mengapa mereka bertingkah laku adalah
tindak tanduk manusia sesungguhnya
ditandai oleh suatu upaya pencarian makna
terus menerus.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini pada hakekatnya adalah
penelitian historis yang ditujuan kepada
pengungkapan kembali serta pemahaman
terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.
Dalam hubungan ini akan ditempuh
prosedur tata kerja tertentu yang meliputi
heuristic, kritik dan interpretasi serta
penyusunan cerita sejarah.
Data
dikumpulkan
dengan
menggunakan studi pustaka, data utama
yang berkaitan dengan Negarakertagama
diambil dari buku Selamat Mulyana,
Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya,
yang diterbitkan Bhratara Karya Aksara
tahun 1979. Dilengkapi dengan Buku
Perundang-undangan Majapahit yang juga
dikeluarkan oleh Selamat Mulyana. Data
yang sudah terkumpul kemudian dikritik
dengan kritik sejarah, kritik ekstern dan
intern untuk mendapatkan data yang benar
dalam arti benar-benar diperlukan, benarbenar asli serta benar-benar mengandung
informasi yang relevan dengan cerita
sejarah yang hendak disusun. Fakta sejarah
yang telah terwujud Fakta-fakta yang telah
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
34
dikritik perlu diinterpretasikan sehingga
fakta yang satu dengan yang lainnya
kelihatan sebagai suatu rangkaian yang
masuk akal dalam arti menunjukan
kesesuaian satu sama lainnya. Hasil
interpretasi yang berupa sintesa, kemudian
disusun dalam suatu bentuk urutan khusus
yaitu dalam wujud historiografi.
PEMBAHASAN
Struktur Masyarakat Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang
bercorak Hindu. Cirri khas kerajaan Hindu
adalah struktur masyarakatnya dibagi
menjadi empat golongan yang sering
disebut dengan catur warna, teridiri dari
brahmana, kesatria, wesya dan sudra.
Karena dalam setia struktur sosial
mempunayi
system
sikap
yang
menggariskan tata karma yang patut dan
mengokohkan struktur struktur yang
bersagkutan ( Hsu 1983 : 2 ), maka setiap
warna mempunyai darmanya masingmasing dan tugas kehidupannya adalah
untuk melaksanakan darmanya. Ia
menemukan darmanya dalam kewajibankewajiban yang telah ditentukan, oleh
kedudukannya dalam dunia dan dalam
masyarakat. Setiap orang diharapakn
memenuhi darmanya dengan setia demi
pemeliharaan keselarasan kosmos. Dengan
demikian, kita tidak bisa lepas dari normanorma yang berlaku dan telah diterima oleh
masyarakatnya, karena norma dan nilai
telah menggariskan dengan tegas apa yang
boleh dan harus dilakukan oleh setiap
golongan maupun orang dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Bahkan ada yang
menggariskan
bahwa
kerjakanlah
kewajibanmu walaupun tidak dengan
sempurna
dari
pada
mengerjakan
kewajiban orang lain walaupun dengan
sempurna. Tegasnya, setiap manusia sudah
ditentukan kewajibannya dalam struktur
masyarakat dimana individu itu hidup.
Kewajiban masing-masing warna
yang hidup dalam masyarakat Majapahit
telah diatur secara tegas, tidak bisa ditawartawar karena menurut kitab Undangundang Manawa, lebih baik menjalankan
kerja dalam bidang kewajiban yang
ditentukan menurut kastanya (walaupun)
kurang sempurna dari pada mengerjakan
dengan sempurna kewajiban kasta lain,
barang siapa mengerjakan kewajiban kasta
lain ia akan dikeluarkan dari kastanya
sendiri ( Mulyana 1979 : 200 ).
Brahmana
Seorang pendeta yang ingin mencapai
kesempurnaan hidup dan akhirnya bersatu
dengan Brahman harus menjalankan enam
darma yaitu : mengajar, belajar, melakukan
persajian untuk dirinya sendiri, melakukan
persajian untuk orang lain, membagi dan
memberi derma (Mulyana 1979 : 200 ).
Disamping
itu,
seorang
brahmana
mempunyai dua belas brata yaitu : 1)
dharma
menjalankan
kewajiban
berdasarkan kebenaran, 2) satya : jujur lahir
batin, 3) satya : mengatasi indria, 4) dhama
: menasehati diri, sabar, 5) wimatsaritwa :
tidak dengki, iri hati, 6) hrih : mempunyai
perasaan malu, 7) titiksa : dapat menguasai
rasa marah, 8) anasuya : tidak berbuat dosa,
9) yadnya : suka memuja dan memuji, 10)
ahana : memberikan punia, 11) dhrti :
menenangkan, menyucikan pikiran dan
memuaskan apa yang ada atas dasar budi
utama dan 12) ksama : uka member maaf
ataupun ampun ( Anandakusuma : tt : 2122).
Seorang brahmana juga harus selalu
minum air dari tempat yang suci bagi
brahmana atau yang suci bagi Prajapati atau
yang suci bagi dewa-dewa adan jangan
sekali-kali yang suci bagi arwah yang
meninggal.
Brahmana
yang
tidak
melakukan tapa dan mempelajari weda
namun gembira bila menerima punia
(sedekah) ia akan tenggelam ke dalam
neraka dibuat dari batu yang akhirnya ke
dasar sungai.
Brahmana akan lahir sebagai sudra
bila ia berhubungan dengan orang-orang
yang tidak baik atau orang yang rendah
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
35
budinya. Betapa beratnya beban yang harus
dipikul oleh seorang brahmana, ini
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
yang menganggap brahmana adalah orang
suci yang menurut Undang-undang
Manawa golongan brahmana ini dilahirkan
dari
mulutnya
Brahman.
Tidaklah
berlebihan bila golongan brahmana
menempati kedudukan yang sangat penting
yang berkaitan dengan masalah-masalah
keagamaan.
Dalam bidang keagamaan pendeta
mempunyai wewenang sepenuhnya dan
menjadi pemimpin masyarakat. Orangorang dari golongan lain bergantung
sepenuhnya kepada para pendeta. Sebagian
besar dari upacara agama yang dianggap
penting sekali untuk
berlangsungnya
kehidupan masyarakat seperti penyucian air
(thirta ), penyucian tanah untuk mendirikan
candi dan tempat pemujaan, upacara
kelahiran, inisiasi dan kematia ( Sradha ),
menghilangkan pengaruh lelembut, dan
mengusir roh-roh halus yang bersikap jahat,
melakukan persajian dan menyajikan
pujian-pujian, semuanya itu hanya boleh
dilakukan kaum pendeta. Kaum awam
hanya datang untuk menghadirinya dan
memberikan sumbangan berupa kemenyan,
bunga dan makanan saja ( Mulayana 1979 :
200-201 ).
Hanya pendeta yang dapat
melakukan sesaji dengan upacara yang
tepat. Keselamatan masyarakat sangat
tergantung dari sesaji dan upacara yang
tepat. Tidak sembarang orang bisa
melakukan lebih-lebih dalam melakukan
sesaji harus sesuai dengan ketentuanketentuan seperti yang tercantum dalam
kitab suci yang berbahasa Sansekerta.
Hanya pendeta yang bisa mempelajarinya
(lihat Sagimun 1988 : 3 ).
Berkaitan
dengan
masalah
keagamaan adalah pembinaan dan
pengawasan candi-candi sebagai tempat
pemujaan yang juga dilakukan oleh kaum
pendeta.
Negarakertagama
pupuh
LXXIV/2 memberitakan bahwa dua puluh
tujuh candi makam raja dijaga oleh petugas
atas perintah raja dan diawasi oleh pendeta
ahli sastra. Ini menunjukan bahwa
kekuasaan kaum pendeta yang berupa tanah
dan bangunan suci di kerajaan Majapahit
tidak berbeda dengan kekuasaan kaum
pendeta Kristen di Eropa pada abad
pertengahan.
Beberapa orang pendeta juga
diserahi tugas dalam bidang pemerintahan.
Banyak diantara mereka yng menjadi
anggota badan peradilan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Kepala
agama Siwa dan Buda diangkat sebagai
Dharmadyaksa ( hakim tinggi ) dan diberi
gelar Dang Acarya. Mereka adalah
pembantu raja dalam proses peradilan.
Pengangkatan seorang pendeta ke dalam
lembaga peradilan sangat penting artinya,
mengingat
Kutara
Manawa
telah
menggariskan bahwa semoga Sang
Amurwabhmi teguh hatinya dalam
menerapkan besar kecilnya denda, jangan
sampai salah terap. Jangan sampai orang
yang bertingkah salah luput dari tindakan (
Mulayana 1979 : 89 ). Atau dengan
rumusan yang lain, hukuman hanya dapat
ditetapkan oleh orang-orang suci, jujur,
yang bertindak menurut dharma yang
bijaksana ( Anandakusuma tt : 26 ).
Satu golongan lagi yang juga
termasuk ahli agama adalah pujangga. Kata
pujangga berasal dari bahasa Sansekerta
yaitu bhujangga yang berarti ular. Binatang
ular oleh banyak bangsa dianggap sebagai
lambang kebijaksanaan yang istimewa.
Untuk menjadi pujangga yang baik
bukanlah ditentukan oleh semabarang
orang. Seseorang dapat disebut sebagai
pujangga apabila ia memiliki delapan
keahlian sekaligus yaitu ahli dalam bidang
kesusastraan ( pramengsastra ), ahli dalam
bidang tulis menulis atau mendongeng
(awisastra
),
ahli
dalam
bidang
menyanyikan tembang atau gending
(madarwalagu ), ahli dalam bidang olah
raga atau memiliki perasaan yang sangat
halus dan peka ( nawungsidha ) dan hidup
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
36
dalam keutamaan atau bersih lahir dan batin
dalam perjalanan hidupnya ( sambagana ),
(lihat Herusatoto : 1987 : 62-63 ).
Seorang pujangga ( kawi ) kraton
yang berkewajiban menulis puja sastra,
sebelum menulis puja sastra mereka
terlebih dahulu melakukan tapa untuk
menyucikan diri dan mendapatkan
kekuatan gaib agar indrianya menjadi peka
untuk menangkap keindahan. Bagi seorang
pujangga ia berusaha untuk menyatukan
keindahan dalam dirinya. Perlu juga
dikemukakan bahwa bagi seorang pujangga
penulisan kakawin merupakan usaha untuk
menyatukan dirinya dengan yang dipujanya
atau dengan kata lain, penulisan kakawin
adalah suatu yoga sastra dan karya yang
dihasilkan adalah yantra yaitu alat yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan
yoga yang akan menyertai perjalanannya
yang terakhir yang akan memberi kekuatan
untuk mencapai moksa atau kelepasan (
Supomo : 1985 : 388 ). Yantra adalah alat
untuk memfokuskan pikiran dan peasaan
dan sekaligus reseptakulum untuk dewa
yang dituju dengan konsentrasi pikirannya.
Menurur C.C. Berg, sebuah hasil
karya sastra ditujukan untuk memuja raja
harus disampaikan kepada kalangan kraton
dan dengan resmi karya tersebut dibaca
oleh Sudharmopapati, menteri agama.
Kalau mutu karya sastra tersebut tidak
dianggap terlalu rendah kemungkinan dapat
dipahatkan pada prasasti yang disebut
stutinarpati. Tapi rupanya tidak semua
karya pujangga sastra yang walaupun telah
diterima atau lolos sensor dari pejabat
keraton akan dapat diterima oleh
Sudharmopapati, karena merekapun dapat
menolak membacanya ( Herusatoto 1987 :
60 ).
Negarakertagama
Majapahit
dan
Keagungan
Di dalam istana kerajan terdapat sejumlah
pujangga dan penyair yang disebut para
kawi. Fungsinya dapat diumpamakan
semacam lembaga-lembaga sastra dan
kebudayan ( Hartoko 1984 : 76 ). Mereka
adalah golongan professional dalam bidang
sastra. Raja bertindak sebagai pelindung
dan sekaligus sebagai sumber inspirasi.
Sebagai konsekuensinya adalah kisahnya
akan berjalan dari istana ke istana dari putri
ke pahlawan, dari kemegahan demi
kemegahan, keluarga dan anak cucunya,
sampai ke soal-soal yang kecil diterangkan.
Timbul tenggelamnya raja dan kerajaan,
peperangan, kepahlawanan, kejatuhan raja,
roman putri dan pangeran serta asalusulnya merupakan pengetahuan masa lalu
yang diwariskan sebagai sejarah ( Gazalba
1981 : 61).
Kenyataan ini dapat dipahami
karena salah satu fungsi sastra adalah
sebagai sarana untuk memuliakan raja.
Penulisan puja sastra pada hakikatnya
adalah melakukan pekerjaan sastra, dalam
pengertian
bahwa
sang
pujangga
memberikan suatu kekuatan gaib kepada
raja yang dilukiskan yang selanjutnya
melalui diri sang raja kekuatan gaib itu akan
bermanfaat bagi rakyat. Suatu puja sastra
baik dengan kata-kata yang diucapkan
maupun dengan huruf yang dituliskan akan
membawa akibat yang nyata bagi raja.
Berdasarkan pemikiran ini dapatlah
dikatakan bahwa pemujaan terhadap
seorang
raja,
penguraian
tentang
kekuasaannya,
kebijaksanaannya,
kemurahan hatinya akan membawa akibat
raja itupun akan benar-benar berkuasa dan
tidak terkalahkan. Singkatnya, sastra dapat
meningkatkan kesaktian seorang raja
dengan menciptakan suasana sakral.
Negarakertagama
yang
oleh
Prapanca
sendiri
disebut
dengan
Dasawarna, digubah untuk memuja raja
Hayam Wuruk, karena didorong rasa cinta
bakti kepada raja, walaupun menurut
Prapanca ia tidak semahir pujanggapujangga lainnya dalam menggubah
kekawin, dan apa boleh buat harus
berkorban rasa, pasti akan ditertawakan
(Pupuh XCIV/4). Pernyataan Prapanca ini
bukan berarti meragukan kemampuannya
dalam menggubah kekawin. Ungkapan itu
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
37
hanyalah
sebagai
sarana
untuk
memperkenalkan diri, menyampaikan
potret diri atau dengan meminjam istilah
Supomo (1985 : 391) adalah sebagai
ungkapan “ Andhap Asor” yang pada
umumnya dapat digolongkan kedalam dua
kelompok yaitu ungkapan yang berkaitan
dengan pribadi kawi itu sendiri dan
ungkapan yang berkaitan dengan hasil
karyanya.
Pada masyarakat yang percaya pada
kultus dewa raja, maka raja adalah seorang
pelindung dan sumber berkat bagi
pujangga. Sehingga pada awal gubahannya
sudah ada permohonan terhadap raja yang
sedang berkuasa agar berkenan menerima
serta memberikan restunya serta gembira
bila mendengar gubahannya. Juga
diungkapkan agar gubahannya itu dapat
menambah kejayaan raja dan kemakmuran
kerajaannya. Tugasnya sebagai imam
dalam literer. Hal semacam ini dapat dilihat
dalam Negarakertagama Pupuh I, dimana
Prapanca memulai gubahannya dengan :
1. Om sembah pujiku orang hina
kebawah telapak kaki pelindung
jagat Siwa Buda janma Batara,
senantiasa tenang tenggelam
dalam samadi Sang Sri
Prawatanata, pelindung para
miskin, rajaadiraja dunia Dewa
Batara lebih khayal dari yang
khayal tapi tampak diatas dunia.
2. Merata serta merestui segala
makhluk, nirguna bagi kaum
Wismana Iswara bagi yogi,
purusa bagi Kapila, hartawan
bagi Jembala, Wagindra dalam
segala ilmu, Dewa asmara
dalam cinta birahi, Dewa Yama
di
dalam
menghilangkan
penghalang dan menjamin
damai dunia.
Uraian Prapanca yang menyebut
beberapa nama dewa untuk menunjukkan
Raja Rajasanegara telah mengamalkan
ajaran serta asta brata yaitu suatu etika
kepemimpinan dengan mengikuti sifat-
sifat para dewa yang ada dalam agama
Hindu. Asta Brata ini merupakan
wejangan Sri Rama kepada Wibisanapada
saat beliau dilantik menjadi Raja Alengka.
Disamping itu juga dapat diartikan sebagai
usaha Prapanca untuk memohon berkah
dari para dewa agar mau melindungi raja
dan kerajaannya. Dengan menyebut namanama dewa adalah untuk meningkatkan
kekuatan magis seseorang raja yang
sedang dipuja. Bagi Prapanca sendiri
merupakan seruan kepada para dewa agar
mau memberikan berkahnya dan mau
menjelma dalam gubahannya. Sastra
ibaratkan sebuah candi, sebagai tempat
bersemayamnya para dewa. Sastra adalah
sebagai sarana untuk melakukan semadi,
untuk mendekatkan diri dengan sang
pencipta. Untuk menambah wawasan
terhadap pandangan ini, kiranya perlu
dikemukakan pengakuan Mpu Prapanca
yang berkaitan dengan pekerjaannya (lihat
Hartoko 1984 : 78 – 79 ).
Seruan kepada dewa agar diberkati
merupakan suatu tata karma dan telah
menjadi ciri utama dalam sebuah karya
sastra. Mereka meyakini bahwa hanya
batin
manusia
yang
mendapat
perlindungan dari para dewa dan raja akan
merasakan ketenangan batin dalam
menjalankan tugas-tugasnya serta tidak
akan mendapat berbagai rintangan. Ini
merupakan pengakuan hakiki dan
keterikatan manusia yang dalam hal ini
para pujangga terhadap para dewa dan raja
sebagai wakil dewa di atas bumi. Tanpa
pengayoman dari para dewa (raja)
pekerjaan tidak akan berjalan dengan
lancar dan dapat diselesaikan sesuai
dengan yang diharapkan. Pujian dan
permohonan kehadapan para dewa sama
bobotnya dengan pujian terhadap raja.
Bagi Prapanca, keluhuran Raja
Rajasa Dyah Hayam Wuruk sudah
Nampak ketika ia berada dalam kandung.
Isyarat keluhuran tersebut berupa
peristiwa-peristiwa alamiah seperti Gempa
bumi, kepul asap, hujan abu, guruh
halilintar menyambar-nyambar, Gunung
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
38
Kempud gemuruh membunuh durjana,
penjahat musnah dari negara. Isyarat
keluhuran dapat berupa sinar, cahaya biru
bundar yang melayang-layang di langit
dan jatuh pada orang yang telah
ditakdirkan untuk menjadi penguasa.
Orang yang memilki wahyu ini akan
memiliki kekuatn adikodrati. Bagi rakyat,
itu merupakan suatu tanda akan
munculnya seorang pemimpin baru ( lihat
Suseno 1985 : 104 ).
Kesejatian kekuasan seseorang
akan nampak dalam akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kekuasaan itu sendiri,
misalnya tidak aka nada musuh dari luar,
tidak aka nada kekacauan yang dapat
menggangu petani pada pekerjaannya di
sawah, kesuburan tanah tetap terjamin dan
memberikan panen yang berlimpah dan
masyarakatnya hidup teratur. Singkatnya,
tercipta suasana tata tentram kertta raharja,
gemah lipah loh jinawi. Keterangan
Prapanca yang mengatakan bahwa wipra,
satria, waisyaa dan sudra sempurna dalam
pengabdian, dari semua desa di wilayah
negara, pajak mengalir bagaikan air,
semua pulau laksana daerah pedusunan
tempat menimbun bahan makanan, jelas
menunjukan sikap Prapanca yang ingin
membuktikan akan keluhuran dan
kesejatian kekuasaan Raja Hayam Wuruk
( pupuh LXXXI).
Berita yang diberikan Prapanca
ini juga memberikan pemahaman bahwa
keajegan
suatu
kekuasaan
sangat
ditentukan oleh cara pelaksanaannya.
Sebagai
makna
kekuasaan
yang
merupakan hasil pemusatan kekuatankekuatan kosmis oleh seorang raja, begitu
pula raja akan kehilangan kemampuan
untuk memusatkan kekuatan kosmis
tersebut.
Seorang
penguasa
yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk
menuruti hawa nafsunya, mulai menindas
bawahan dan rakyatnya, berarti ia telah
mempersiapkan keruntuhannya sendiri. Ia
telah memboroskan energinya sendiri
sehingga ia menjadi kasar dan semakin
tergantung dari luar. Sebaliknya seorang
raja haruslah bersikap alus (halus) karena
alus merupakan inti kemanusiaan yang
beradab dan sekaligus menunjukkan
kekuatan batin. Alus pertama-tama berarti
suatu permukaan halus dalam arti fisik,
tetapi lalu berarti juga lembut, luwes,
sopan, beradab, peka dan sebagainya.
Sikap halus bukan berarti kelemahan tetapi
dalam kenyataannya halus adalah
kebalikannya. Orang yang halus berarti ia
dapat mengontrol dirinya sendiri secara
sempurna dan dengan demikian memiliki
kekuatan batin. (Suseno 1985 : 102).
Orang yang benar-benar berkuasa tidak
perlu berbicara keras-keras agar didengar,
memukul meja dan marah-marah agar
diperhatikan, cukuplah apabila ia
memberikan perintah-perintah secara tidak
langsung, baik dalam bentuk anjuran,
senyuman maupun dengan sindiran yang
dapat membangkitkan gairah kerja.
Sesuai
dengan
wawasan
masyarakat terutama sekali pujangga,
bahwa kekuasaan adalah hasil dari
pemusatan kekuatan-kekuatan kosmis,
maka sudah sewajarnya bila raja ingin
memperbesar
kekuasaannya.
Untuk
mencapai
tujuan
itu,
ia
akan
mengumpulkan semua potensi-potensi
magis yang terdapat dalam wilayah
kekuasaannya
seperti
benda-benda
keramat terutama pusaka-pusaka seperti
keris, tombak dan gamelan. Ia ingin
dikelilingi oleh manusia-manusia yang
dianggap keramat, menarik dukun-dukun
dan resi-resi termasyur ke dalam
keratonnya ( Suseno 1985 : 104 ).
Perjalanan raja baik perjalanan keliling
kota maupun perjalanan ke berbagai
daerah, dengan menggunakan kereta atau
ditandu dengan kereta kencana, selalu
didampingi oleh para pujangga atau para
pendeta serta diiringi oleh gaung gong
beserta atribut-atribut religious lainnya.
Bagi rakyat, kereta yanag dipakai oleh raja
merupakan benda keramat yang dapat
memberikan
keselamatan.
Dari
Negarakertagama dapat diketetahui bahwa
raja Majapahit menghabiskan sebagian
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
39
besar waktunnya untuk melakukan siarah
ke candi-candi makam yang dibuat oleh
leluhurnya. Negarakertagama pupuh
LXVII yang menceritakan perjalanan
keliing raja Hayam Wuruk yang sekaligus
merupakan inti dari isi Negarakertagama,
di dalamnya banyak menceritakan tentang
tempat-tempat suci yang dikunjungi oleh
raja Hayam Wuruk. Misalnya candi
makam Pancasara, candi makam di Kalayu
dimana
ia
mengadakan
upacara
penyekaran yang disebut dengan upacara
memegat gigi. Candi makam di Singasari,
Kagenengan, candi Jago, candi Kidal,
maupun candi-candi yang lainnya.
Prapanca yang ikut serta dalam perjalanan
safari keliling tersebut sangat terkesan
dengan candi Kagenengan yang bukan saja
karena sebagai temapat Ken Arok
dicandikan, melainkan juga karena
keindahannya.
Terhadap
candi
Kagenengan ini, diperuntukan bagi Ken
Arok sebagai cikal bakal kerajaan
Singasari
Majapahit.
Prapanca
menyampaikan kekagumannnya (lihat
Negarakertagama pupuh XXXVII ).
Selain dengan melakukan siarah
ke candi-candi makam, seorang raja juga
dapat mewarisi kekuatan gaib yang
dimiliki oeh leluhurnya dengan cara
melakukan
selamatan
srada.
Negarakertagama pupuh LXII-LXIX
menguraikan bahwa upacara srada yang
dilakukan di istana pada tahun saka
bersirah empat bulan badrapada ( Agustus
1362 M ) adalah untuk memperingati hari
wafatnya Sri Rajapatni ibu dari
Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwardani atau nenek Hayam
Wuruk sendiri.
Prapanca
lewat
negarakertagamanya memberikan pujian
akan kemegahan istana Majapaiht. Bagi
para pujangga maupun rakyat biasa istana
bukan saja sebagai pusat aktifitas politik
dan budaya melainkan juga sebagai pusat
keramat kerajaan yang menjadi lambang
makrokosmos. Keagungan seorang raja
akan kentara dari keindahan dan
kemegahan istananya. Atribut-atribut
keduniawian yang dimiliki oleh seorang
akan mencerminkan setatus sosialnya.
Prapanca yang menyaksikan dengan mata
kepala sendiri keadaan Majapahit pada
abad XIV memberikan keterangan
terperinci tentang kompossi keratin
Majapahit, keindahannya sampai pada para
punggawa dan pegawai kerajaan. Pada
bagian dalam, di sebelah selatan balai
menguntur adalah paseban, tempat berdiri
para pembesar negara yang ingin
menghadap kepada raja. Di sebelah selatan
menguntur, ada lagi paseban memanjang ke
selatan kea rah pintu keluar ke dua, terbagi
atas beberapa ruangan. Semuanya bertulang
kuat, bertiang kokoh tiada tercela. Masuk
pintu kedua dari selatan, di sebelah kanan
jalan adalah halaman istana. Di sebelah
utara halaman istana Kertawardana dan
permaisurinya. Di sebelah selatan halaman
adalah istana raja Paguhan Singawardana
dan permaisurinya. Istana sang prabu
berada di sebelah timur. Keadaan di luar
benteng. Di bagian sebelah timur adalah
tempat tinggal Dhrmadyaksa Kasiwan
Hyang Brahmaraja dan para pendeta Siwa
lainnya. Pada bagian selatan tempat tinggal
Dharmadyaksa Kasogatan dan para pendeta
Buda. Di bagian barat, tempat tinggal para
arya, menteri dan sanak kadang raja. Di
sebelah timur yang dipisah oleh jalan
aadalah pasanggrahan Wijayarajasa. Di
seblah selatan, pasanggrahan raja Wengker,
ini adalah pasanggrahan Rajasawardana.
Kedua pasanggrahan ini tidak jauh dari
istana sang prabu. Di bagian utara ada pasar
dengan
pasanggrahan
Narpati
di
belakangnya. Di sebelah timur laut kraton
adalah rumah kediaman Gajah Mada. Di
sebelah selatan kraton ada gedung
kejaksaan yang diapit oleh rumah upapati
dan pendeta. Di sebelah timur gedung
kejaksaan ini adalah perumahan pendeta
siwa dan pendeta buda di sebelah baratnya.
Semua rumah bertiang kuat berukir indah.
Kakinya dari batu merah pating berujul.
genting
atapnya
termasuk
serba
meresapkan pandangan, menarik perhatian.
Bunga tanjung kesara, cempaka dan lain-
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
40
lainnya berpancar di halaman. Begitulah
Prapanca memuji keindahan kraton
Majapahit.
Pujian
Prapanca
akan
keagungan Majapahit dan Raja hayam
Wuruk juga disampaikan dalam pupuh
XIII – XIV yang menceritakan luas
wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit,
karena luas wilayah kekuasaan juga
merupakan indicator kabesaran sebuah
kerajaan. Berdasarkan pupuh-pupuh di
atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
wilayah Indonesia yang sekarang dan
beberapa wilayah yang sekarang menjadi
wilayah negara tetangga seperti Melayu,
Sulu
menjadi
wilayah
kekuasaan
Majapahit.
Luasnya
wilayah
kekuasaan
Majapahit ini tidak bisa dilepaskan dari
peranan Gajah Mada. Gajah Mada yang
diangkat sebagai patih Amangkubhumi,
pada saat peresmiannya ia telah
mengucapkan sumpah yang sekarang
dikenal dengan Sumpah Palapa. Katanya,
huwus kalah nusantara, isun amukti palapa,
huwus kalah Gurun, Seram, Tanjungpura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, isun amukti palapa (
Mulyana 1983 : 164 ).
Prapanca sebagai pujangga kerajaan
yang menulis sastra untuk muja raja dan
kerajaannya lazimnya akan menyampaikan
garis keturunan raja atau nenek moyang
raja yang sedang berkuasa. Demikian juga
dengan Negarakertagama yang oleh
Prapanca diberi nama Dasawarnana,
silsilah raja Hayam Wuruk termuat dalam
pupuh II – VII yang antara lain mengatakan
bahwa Sri Rajapatni yang bagaikan titisan
Parama
Bagawati
adalah
nenek
Rajasanegara ( Hayam Wuru ) yang wafat
tahun saka dresti saptaruna ( 1272 saka )
yang
kemudian
digantikan
oleh
Tribhuwanatunggadewi, ibu dari raja
Hayam Wuruk, yang kawin dengan
Kertanegara
yang
bersemayam
di
Singasari. Sedangkan putrid Rajadewi
Maharajasa adalah bibinya, yang bertahta
di Daha yang kawin dengan Wijay Rajasa
dari Wengker. Beliau mempunyai dua
orang saudara perempuan, yang tertua
bernama Bre Lasem, yang kawin dengan
Bre Matahum. Yang muda bergelar Bre
Pajang yang kawin dengan Singhawardana
dari Paguhan.
Silsilah
keluarga
raja-raja
Majapahit ini dilanjutkan oleh Prapanca
dalam Negarakertagama pupuh XL – XLIX
yang dimulai dari Ken Arok sebagai cikal
bakal kerajaan Singasari-Majapahit. Ken
Arok yang oleh Negarakertagama disebut
Ranggahrajasa, lahir tahun saka lautan desa
bulan (1104) tanpa ibu di sebelah timur
Guung Kawi dengan ibu kotanya Kuta
Raja. Tahun saka lautan dadu siwa (1144)
ia berhasil mengalahkan Kertajaya dari
Kediri sehingga Jeggala dan Kediri bersatu
di bawah kekuasannya. Dialah yang
menjadi cikal bakal raja-raja agung yang
memerintah pulau Jawa.
Menurut Negarakertagama, setelah
Kertanegara wafat terjadi pembrontakan
yang dilakukan oleh Jayakatwang, orang
yang berwatak jahat karena ingin berkuasa
di Kediri. Tetapi akhirnya Jayakatwang
dapat ditundukan oleh Dyah Wijaya. Hasil
perkawinan antara Raden Wijaya dengan
Rajapatni melahirkan dua orang putrid,
yang sulung menjadi rani di Jiwana dan
yang bungsu menjadi rani di Daha.
Raden Wijaya kemudian digantikan
oleh putranya Jayanegara. Pada masa
pemerintahannya ia berhasil memadamkan
pembrontakan Nambi di Pejarakan,
Lumajang. Tahun saka bulan memanah
surya ( 1250 ) ia meninggal yang kemudian
digantikan oleh rani di Jiwana yakni
Wijayatunggadewi
atau
Tribhuwanatunggadewi.
Pada
masa
pemerintahan Tribhuwanatunggadewi ia
berhasil mengalahkan Sadeng dan Keta.
Selama bertahta semuanya terserah kepada
menteri bijak yakni Gajah Mada.
Konsekwensi logis dari peran
Prapanca sebagai pujangga kraton
Majapahit adalah ia akan mengungkapkan
keberhasilan raja-raja Majapahit dan
terhadap raja yang tidak mau tunduk ia
bisa memberikan cap sebagai orang yang
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
41
nista atau jahat. Kecendrungan kearah ini
jelas namapak dalam Negarakertagama
pupuh XLIX/4 yang mengatakan bahwa
raja Bali yang alpa dan rendah budi gugur
bersama tentaranya sehingga kejahatan
menjauh dan ketentraman tercipta. Tetapi
bila dilihat prasasti Langgaran, terdapat
informasi tentang jati diri raja Bali yang
terakhir , raja Asta Asura Ratna Bumi
Banten adalah raja yang baik dan
memikirkan nasib rakyatnya ( Mulyana
1983 : 175).
Apa yang disampaikan oleh
Prapanca dapat dipahami karena peran
yang harus dilakoni. Sebagai pujangga
yang menggubah puja sastra tidak ada lagi
tempat tanpa pujian akan keagungan,
keluhuran, kebesaran, kebijaksanaan, yang
ditunjukan oleh sifat-sifat para dewa,
istananya, luas wilayah kekuasannya, asal
usulnya dan kebaktian rakyat terhadap raja
Hayam Wuruk. Selain itu Prapanca adalah
putra seorang dharmadyaksa, sehinga
norma-norma bagi seorang brahmana
sudah melembaga dalam dirinya.
SIMPULAN
Simpulan
Berdasarkan analisis data di atas dapat
disimpulkan bahwa mengapa prapanca
menggubah Negarakertagama sebagai puja
sastra tidak lepas dari struktur masyarakat
majapahit. Masyarakat Majapahit yang
bercorak Hindu, struktur masyarakatnya
terbagi menjadi emapt golongan yang
disebut catur warna. Masing-masing
golongan sudah mempunyai tugas yang
diatur secara tegas. Kaum brahmana
bertugas dalam bidang keagamaan, dan
pujangga yang juga masuk elite agama
bertugas menyusun sastra yang ditujukan
untuk menambah keagungan raja, kejayaan
raja dan kerajaannya.
Bagi seorang pujangga, tidak ada
tempat tanpa pujian kepada raja yang
menjadi pelindung sekaligus sumber
inspiraasi. Mulai dari tnda-tanda keluhuran
seorang raja yang sudah nampak sejak
berada dalam kandungan, sifat-sifatnya
yang sama dengan para dewa, wujud
fisiknya yang halus, kesaktiannya,
keindahan istana sebagai lambang
kemakmuran dan ketertiban kosmos, luas
wilayah kekuasaannya sebagai bukti
kesejatian kekuasannya maupun asal
usulnya yang berasal dari para dewa yang
memang ditakdirkan untuk memerintah
dunia. Semuanya ini dilakukan oleh para
pujangga untuk memberi mantra kekuatan
magis
kepada
raja
serta
untuk
memantapkan nilai dan tata karena
kewajaran dan keseimbangan kosmos
adalah tujuan yang utama.
DAFTAR RUJUKAN
Anandakusuma, Sri Reshi, tt, Dharma,
Denpasar penerbi CV Kayumas.
Astra, I Gede Semadi, 1986 Sekilas
tentang Kedudukan dan Peranan
Tokoh Agama dalam Periode
Abad IX-XI di Bali, dalam
Pertemuan Kuliah Arkeologi IV,
Aspek Sosial Budaya, Depatemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat
penelitian
Arkeologi
Nasional.
Dojosantoso, 1986
Unsur
Religius
dalam Sastra Jawa, Semarang,
Penerbit CV Aneka Ilmu/
Hartoko, Dick,1984 Manusia dan Seni,
Penerbit Yayasan Kanisius
Herusatoto, Budiono, 1987 Simbolisme
dalam Budaya Jawa, Yogyakarta,
Penerbit PT Hanindita.
Hzu,1983
Para Cendikiawan Menjadi
Abdi Negara, dalam Sartono
Kartodirjo (ed), Elite dalam
Persepektif Sejarah, Jakarta,
penerbit LP3ES.
Koentjaraningrat, 1992. Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan,
Jakarta : Gramedia
Pustaka
Utama.
Mulyana,
Slamet,
1967,Perundangundangan Majapahit, Penerbit
Bhratara
Jurnal Nirwasita
Vol.3 No.1 Maret 2022
e-ISSN 2774-6542
Hal: 31-42
DOI : 10.5281/zenodo.6393370
42
-------------------, 1979 Negarakertagama
dan Tafsir Sejarahnya, Jakarta,
Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Niti Sastra, 1983/1984, Dalam Bentuk
Kakawin, Parisada Hindu Dharma
Pusat.
Oksinata, Hantisa, 2010, Kritik Sosial
dalam Kumpulan Puisi Aku Ingin
Jadi
Peluru,
file://C:/Users/ASUS/Downloads
/880.pdf
Rukiyanti, Ria, Kritik Sosial dalam Novel
Catatan Juang Karya Fiersa
Bestari,
http://eprints.undip.ac.id/75871/1
/Jurnal_Skripsi_Ria_Rukiyanti.p
df
Sagimun MD, 1988 Peninggalan sejarah
Masa perkembangan Agamaagama di Indonesia, Jakarta,
Penerbit CV Haji Masagu
Sudewa, A,1985
Kawi dan Pujangga,
dalam Sulastin Sutrisno dkk (ed),
Bahasa sastra dan Budaya,
Yogyakarta, Penerbit Gajah Mada
University Press.
Supomo, S, 1985 Kama di dalam
kakawin, dalam Sulastin Sutrisno
dkk (ed), Bahasa sastra dan
Budaya, Yogyakarta, Penerbit
Gajah Mada University Press.
Suseno, Frans Magnis, 1985 Etika Jawa
Sebuah Analisa Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa,
Jakarta, Penerbit PT Gramedia.
------------------, 1986 Kuasa dan Moral,
Jakarta, Penerbit PT Gramedia