HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
PERKEMBANGAN TRANSAKSI KONSUMEN: DARI
KONVENSIONAL KE E-COMMERCE
DESI SOMMALIAGUSTINA, S.H., M.H.
2024
1
Lembar Persembahan
Untuk Rabb-ku
Untuk Guru-ku
Untuk Kedua Orang Tua-ku: Syofyan dan Lili Suriani
Untuk Mertua-Ku: Yusmanudin dan Nurfetrianis
Untuk Suami-ku: Andre Vetronius
Untuk Putra-ku: Brilian Andesta Vetronius, Rafasya
Prawiranegara Vetronius
Serta untuk Abang dan Adik-adikku:
Agusman, Januarlis, Gusliadi Gunawan, Maya Astuti
2
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Alhamdulillahirobbil alamin. Puji dan syukur penulis ucapkan
kehadirat
Allah
Subhanahuwataala,
karena
atas
izin
dan
kasih
sayangNyalah penulis diberi kesehatan, kesempatan dan keluangan waktu
untuk bisa menuntaskan menulis buku ini. Sehingga kemudian naskah
buku ini bisa masuk ke dapur penerbit dan sampai kehadirat pembaca
sekalian. Tidak lupa pula shalawat beserta salam penulis haturkan untuk
Yang Mulia Baginda Nabi Muhammad Sallallahualaihiwassalam kerena
berkat beliaulah membuka jalan ilmu pengetahuan bagi manusia hari ini.
Dimana sebelumnya manusia hidup di zaman yang penuh dengan
kegelapan, hingga mengantarkan manusia hari ini berilmu pengetahuan
dan berwawasan. Sehingga dengan ilmu pengetahuan tersebut menusia
bisa terus menggunakan akal pikirannya untuk terus berinovasi,
mengembangkan teknologi, hidup dalam era modern dan maju.
Bukti berkembangnya ilmu pengetahuan adalah berkembangnya
teknologi. Perkembangan teknologi bisa dirasakan oleh masyarakat hari
ini. Dimana masyarakat bisa menggunakan teknologi untuk alternatif
aktivitas perdagangan. Buku sederhana ini merupakan buku tentang
hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Apabila berbicara konsumen
maka pada dasarnya yang menjadi konteks pembicaraan adalah
masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Hal ini sebabkan
karena
semua
masyarakat
terlibat
dan
bereran
dalam
aktivitas
perdagangan yang terjadi. Diantara peran masyarakat tersebut adalah
sebagai pembeli. Adapun produk yang dibeli oleh masyarakat yang paling
minimal adalah produk atau barang-barang untuk kebutuhan sehari-hari.
Seperti pemenuhan kebutuhan makan, minum, pakaian, kebutuhan untuk
tempat tinggal, dan lainnya. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat
3
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas perdagangan.
Melihat begitu sering dan intensnya masyarakat bersentuhan
dengan aktivitas perdagangan artinya posisi konsumen cukup penting
dalam menggerakkan perekonomian. Sehingga menyadari peran penting
konsumen maka konsumen harus mendapatkan perhatian dan edukasi.
Terutama mengedukasi terkait hak dan kewajibannya sebagai konsumen.
Oleh karena itu penulis tertarik mengkaji terkait konsumen, sehingga
lahirlah buku ini ke sidang pembaca yang budiman yakni buku yang
berjudul Hukum Perlindungan Konsumen Perkembangan Transaksi
Konsumen: Dari Konvensuonal ke E-Commerce.
Dalam buku ini penulis mengangkat tentang perlindungan hukum
terhadap konsumen di Indonesia dan perkembangan transaksi yang
dilakukan oleh konsumen. Perkembangan transaksi yang dilakukan oleh
konsumen seiring dengan perkembangan teknologi yang terjadi hari ini,
disamping juga banyaknya pengguna internet di Indonesia. Dampak dari
banyaknya pengguna internet tidak bisa dipungkiri seiring sejalan dengan
banyaknya produk barang dan/atau jasa yang dijual oleh pelaku usaha di
ruang maya atau virtual. Misalnya pelaku usaha yang dengan mudahnya
ditemukan menjual produk barang dan atau jasa melalui laman toko online
atau website di ruang maya yang terhubung dengan jaringan internet.
Melalui barang-barang yang diperdagangkan secara elektronik
tersebut tentunya memberi dampak positif pada konsumen, yakni
membuat konsumen dapat dengan mudah memilih produk barang dan
atau jasa dengan hanya menekan tombol tertentu di komputer atau
perangkat elektronik lainnya yang digunakan, dan meng-klik laman toko
online atau website yang dituju. Hal semacam ini menjadikan aktivitas
berbelanja lebih praktis dan ringkas, dimana konsumen bisa membeli
barang
tanpa harus berkunjung kesebuah toko secara langsung.
Disamping itu konsumen bisa membayar barang yang akan dibeli sesuai
dengan harga yang ditentukan melalui layanan jasa keuangan seperti jasa
perbankan dan lainnya.
Namun seperti dua sisi mata uang, dimana satu sisi memberikan
4
dampak positif dari perkembangan teknologi dan inovasi yang dilakukan
dalam
perdagangan
secara
kemungkinan-kemungkinan
elektronik.
yang
tidak
Disisi
lain
terbuka
menguntungkan
pula
konsumen.
Kemungkinan tersebut misalnya wanprestasi yang dilakukan oleh salah
satu pihak dengan tidak mengirimkan barang sesuai pesanan, atau barang
dikirim tetapi terlambat dan lain sebagainya. Kemungkinan seperti
tersebut di atas akan terbentang luas. Karena aktivitas perdagangan
dilakukan hanya di ruang maya dan tidak bertemunya para para pihak
dalam perikatan yang dilakukan. Sehingga hal-hal secaman ini hemat
penulis, buku dengan kajian perlindungan terhadap konsumen sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.
Tentu sudah banyak penulis lainnya yang menulis buku dengan
kajian hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Dan penulis menyadari
bahwa
buku ini bukanlah buku dengan kajian hukum perlindungan
konsumen yang pertama yang hadir kehadirat pembaca sekalian. Karena
sebagaimana kalimat bijak mengatakan tidak ada yang benar-benar baru
di bawah matahari. Meskipun demikian, sebagaimana ilmu pengetahuan
yang terus berkembang dinamis maka penulis mencoba menuliskan buku
tentang perlindungan konsumen dari sudut pandang yang berbeda, yakni
melihat konsumen dari sudat pandang yang luas. Tidak saja konsumen
yang berbelanja barang-barang secara konvensional, dimana bertemunya
penjual dan pembeli secara langsung. Namun juga perlindungan hukum
terhadap konsumen e-commerce atau transaksi secara elektronik.
Berbicara tentang transaksi secara elektronik atau e-commerce, jika
kita lihat perkembangan teknologi yang kian pesat hari ini maka berbelanja
secara elektronik bukanlah hal yang asing bagi masyarakat. Dimana
dengan perangkat teknologi masyarakat bisa berbelanja tanpa harus
keluar rumah. Namun sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas,
meskipun terdapat kelebihan berbelanja secara elektronik. Dilain sisi
transaksi elektronik juga rentan terhadap prilaku curang. Akibat dari
prilaku curang tersebut menjadikan konsumen sebagai pihak yang paling
berpotensi mengalami kerugian. Dari hal tersebut maka dipelindungan
5
terhadap konsumen mutlak diperlukan. Dalam buku ini penulis mencoba
membahas sedikit banyaknya tentang perlindungan hukum terhadap
konsumen bukan saja konsumen yang berbelanja secara konvensional
namun juga terhadap konsumen yang bebelanja menggunakan perangkat
elektronik.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan buku ini tidak akan
selesai tanpa bantuan banyak pihak. Dukungan dan motivasi dari berbagai
pihak yang telah diberikan kepada penulis, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberi
dukungan moril dan materil pada penulis. Penulis mendoakan semoga
Allah mencatatnya sebagai amal kebaikan. Amin ya rabbal alamin.
Harapan penulis semoga penerbitan buku ini dapat digunakan dan
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan
perkembangan ilmu hukum pada khususnya di masa-masa yang akan
datang. Terutama bagi akademisi yang mengajar hukum perlindungan
konsumen, mahasiswa ilmu hukum dan tentu saja dapat digunakan bagi
masyarakat
luas.
Amin
ya
rabbal
lamin.
Wassalammualaikum
warohmatullahiwabarokatuh.
Padang, Juli 2024
Penulis
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB 1
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DI
INDONESIA
A.
B.
C.
D.
E.
BAB II
Perlindungan Konsumen
Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Hak dan Kewajiban Serta Prinsip-prinsip Konsumen
Pedagang Perantara
Perkembangan Mode Perdagangan
TINJAUAN TERHADAP KONSUMEN E-COMMERCE
A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen E-Commerce
B. Beberapa Teori dalam Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen E-Commerce
BAB IIITINJAUAN UMUM TENTANG E-COMMERCE
A. Komponen-komponen E-Commerce
B. Kewajiban Para Pihak Dalam Transaksi E-Commerce
7
BAB I
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DI INDONESIA
A. PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perhatian terhadap perlindungan konsumen terutama di Amerika
Serikat (1960 an – 1970 an) mengalami perkembangan yang sangat
signifikan dan menjadi objek kajian di bidang ekonomi, sosial, politik dan
hukum. Banyak buku dan artikel ditulis berkenaan dengan ini dan bahkan
berhasil diundangkan sebagai peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan
hakim yang memperkuat kedudukan konsumen. Di Indonesia gerakan
perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika
Serikat. YLKI yang secara popular dipandang sebagai perintis advokasi
konsumen di Indonesia berdiri 11 Mei 1973. Sekalipun demikian tidak
berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap konsumen di Indonesia sama
sekali terabaikan. Dilihat dari kualitas dan materi muatan produk hukum
itu dibandingkan dengan keadaan di negara-negara maju terutama AS,
kondisi di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. Walaupun
demikian, keberadaan peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk
menilai keberhasilan gerakan perlindungan konsumen.1
Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru benar-benar
dipopulerkan sekitar 25 tahun yang lalu dengan berdirinya YLKI. Setelah
1
Dewa Gde Rudy dkk, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, 2016, hlm.10.
8
YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga
Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang, yang berdiri
sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota
“Consumers International” (CI). YLKI bertujuan melindungi konsumen,
menjaga martabat produsen, dan membantu pemerintah. YLKI memiliki
cabang-cabang di berbagai propinsi dan di dukung oleh media massa
2
seperti Media Indonesia dan Kompas.
Manusia meruakan makhluk yang komplek karena manusia selain
mempunyai hak-hak dasar dan harus dijunjung tinggi dan dihormati, juga
mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi. Seringkali hak dan kewajiban
tersebut menimbulkan berbagai kepentingan. Oleh karena itu tidak salah
jika manusia adalah penyandang kepentingan.3 Sementara itu, dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya yang beragam, manusia mengkonsumsi
barang atau jasa yang dihasilkan oleh manusia lain sehingga manusia
selain disebut sebagai konsumen. Namun, manusia selain tersebut juga
dapat disebut sebagai pelaku usaha.
Sebagai konsumen maka manusia akan mencari harga dari barang
atau jasa yang ditawarkan kepadanya dengan harga yang serendahrendahnya. Sebaliknya, sebagai pelaku usaha, manusia akan mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya walaupun terkadang dalam usahanya itu
seringkali bersinggungan dengan pelaku usaha lainnya yang pada akhirnya
gesekan-gesekan antar pelaku usaha seringkali membuat konsumen
menjadi pihak yang dirugikan. Hal ini diakibatkan posisi konsumen yang
rentan sebagai korban sehingga dirasakan perlunya perlindungan
konsumen agar konsumen terhindar dari dominasi pelaku usaha.4
Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, maka sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha merupakan hal yang sering terjadi dan tak
2
Ibid, hlm.10-11.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,
hlm. 1.
4
Arman Tjoneng, Eksistensi Badan enyelesaian Sengketa Konsumen Sebagai Lembaga
Quasi Peradilan dalam Memutuskan Sengketa Konsumen dan Permasalahannya,
Prosiding Konferensi Nasional Hukum Bisnis Mengintegrasikan Hukum dan Etika ke
dalam Corporate Governance, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa
Timur, 2019, hlm. 47.
3
9
terhindarkan. Oleh karena itu sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
hendaknya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang arif dan tidak
merugikan kedua belah pihak. Hal ini bertujuan agar pemunuhan hak
konsumen dapat berjalan dengan baik serta pelaku usaha tetap menjadi
pihak yang tidak dirugikan. Berkaitan dengan hal ini, maka diperlukan
adanya upaya perlindungan terhadap hak-hak konsumen.
Berbicara
mengenai
perlindungan
konsumen
maka
hal
itu
berhubungan dengan jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para
konsumen atas setiap barang, produk dan atau jasa yang dibeli dari
produsen atau pelaku usaha. Hal ini mengingat konsumen ketika
berhadapan dengan pelaku usaha atau produsen selalu dalam posisi yang
lemah. Mengingat hal itulah maka sangat diperlukan perlindungan pada
konsumen. Perlindungan terhadap hak-hak yang harusnya diterima oleh
konsumen, termasuk di dalamnya adalah perlindungan hukum terhadap
konsumen di Indonesia yang perlu untuk terus ditegakkan.
Hal ini disebabkan karena penegakan hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari
negara Indonesia. Sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan
nasional
diharapkan
mampu
memberikan
kepercayaan
terhadap
masyarakat dalam melakukan pembaruan secara menyeluruh diberbagai
aspek.
Dalam
pembukaan
Undang-Undang
dasar
Negara
Republik
Indonesia 1945 jelas termaktub bahwa tujuan pembangunan nasional
adalah “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Di dalam bidang perekonomian, Undang-Undang Dasar Tahun 1945
menghendaki terwujudnya kemakmuran masyarakat secara merata, bukan
kemakmuran secara individu. Secara yuridis, melalui norma hukum dasar
(state gerund gezet), sistem perekonomian yang diinginkan adalah sistem
yang menggunakan prinsip keseimbangan, keselarasan, serta memberi
10
kesempatan usaha bersama bagi setiap warga negara. Secara tegas,
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan konsep dasar dari
perekonomian nasional yang menurut Mohammad Hatta berdasarkan
5
sosialis-kooperatif.
Berdasarkan norma dasar negara di atas, maka pembangunan
ekonomi Indonesia haruslah bertitik tolak dan berorientasi pada
pencapaian tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mohammad
Hatta secara sadar memasukkan pasal tentang perekonomian nasional
tersebut ke dalam cita-cita kedaulatan, kemakmuran dan kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia.6 Hal tersebut diwujudkan melalui demokrasi
ekonomi sebagaimana dikehendaki untuk menciptakan demokrasi politik,
dimana rakyat Indonesia berdaulat di tanah dan negerinya sendiri.7
Sedangkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan
secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini
mengandung makna bahwa hukum di negara Indonesia ditempatkan ada
posisi yang strategis di dalam ketatanegaraan. Hal ini agar hukum sebagai
suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar di dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, maka diperlukan institusisinstitusi penegak hukum sebagai instrument penggeraknya.
Untuk mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan
norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai
substansi
hukum,
tetapi
juga
diperlukan
lembaga
atau
badan
penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku
hukum sebagai budaya hukum.
Adapun hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang mengatur asas-asas atau kaidah-kaidah yang
mengatur dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
5
A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, Pustaka LP3ES,
Jakarta, 2003, hlm. 100.
6
Ibid, hlm. 101.
7
Muhammad Sadi Is, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Sebagai Upaya Penguatan
Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Setara Press, Malang, 2016, hlm. 20.
11
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.8
Sementara itu, dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), dinyatakan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi
ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh
karena itu, maka pembangunan perekonomian nasional harus dapat
mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan
beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus
mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari
perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.
Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian
konsumen
untuk
melindungi
dirinya
serta
menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.9
Maka, berdasarkan pertimbangan di atas diperlukan perangkat perundangundangan perlindungan hukum terhadap konsumen baik konsumen yang
membeli
barang
secara
konvensional
maupun
konsumen
yang
bertransaksi secara elektronik. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha
sehingga tercipta perekonomian Indonesia yang sehat.
B. ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen di negara berkembang sangat diperlukan
sebab, para pelaku usaha, sering melakukan praktek yang merugikan
konsumen. Di Indonesia, yang merupakan salah satu negara berkembang,
praktek curang itupun sering ditemukan. Posisi konsumen serin tidak
8
Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2002, hlm. 70.
9
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 191.
12
menyadari jika dirinya dikelabui atau dicurangi.10
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menyebutkan konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mauu makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Dari bunyi Pasal 1 ayat (2) UUPK tersebut
dapat diketahui bahwa konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga
yang
melakukan
pembelian
untuk
tujuan
penggunaan
personal.
Sedangkan yang dimaksud dengan produsen adalah individu atau
organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.
Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 2 UUPK menyatakan bahwa
perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan,
dan
Disamping
itu
keselamatan
konsumen
perlindungan
konsumen
serta
kepastian
diselenggarakan
hukum.
bersama
berdasarkan lima asas yang sesuai dengan pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas keadilan maksudnya agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Asas
keseimbangan
maksudnya
perlindungan
konsumen
memberikan keseimbangan antara konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
10
Emi Puasa Handayani, Zainal Arifin, Illegal Perse dalam Perlindungan Konsumen di
Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Hukum Bisnis Mengintegrasikan Hukum dan
Etika ke dalam Corporate Governance, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang,
Jawa Timur, 2019, hlm. 109.
13
4. Asas keselamatan dan keamanan konsumen
Asas ini memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan dan pemakaian, serta pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum maksudnya agar pelaku usaha dan
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Kelima asas yang terdapat dalam pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi tiga asas yaitu:11
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2. Asas keadilan yang di dalamnya yang meluputi asas keseimbangan;
dan
3. Asas kepastian hukum.
Sementara itu, dalam huruf d dari dasar dikeluarkannya UUPK
dinyatakan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian
konsumen
untuk
melindungi
dirinya
serta
menumbuhkembangkan sikap prilaku usaha yang bertanggung jawab.
Atas dasar pertimbangan ini, maka perlindungan konsumen bertujuan:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
2. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/jasa;
3. Meningkatkan
pemberdayaan
konsumen
dalam
memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
11
Rosmawati, Pokok-pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia Group,
Depok, 2018, hlm. 35.
14
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan
kualitas
barang
dan/atau
jasa,
kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan konsumen.
C. HAK DAN KEWAJIBAN SERTA PRINSIP-PRINSIP KONSUMEN
Berbicara mengenai konsumen, maka yang dimaksud dengan
konsumen dapat dipahami sebagai semua pihak yang menggunakan
barang atau jasa yang ada di masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi,
orang lain, dan mahluk hidup lainnya dan tidak untuk dijual kembali. Hal ini
sebagaimana pengertian konsumen menurut Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Pasal 1 ayat 2 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan
bahwa konsumen setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia di masyarakat, baik bagi kebutuhan diri sendiri, keluarga, orang
lain, atau mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sementara itu, berkaitan dengan istilah konsumen dilihat dari asal
katanya ia berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consumen atau konsument (Belanda). Pengertian consumer dan
consument tersebut hanya bergantung di mana posisi ia berada. Secara
harfiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen), setiap orang
yang menggunakan barang dan jasa. Tujuan penggunaan barang dan jasa
itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna
tersebut.12
Dengan kata lain, sebagian besar konsumen adalah pengguna akhir
dari suatu barang dan/atau jasa. Sebagai pengguna akhir, konsumen pada
umumnya dapat diartikan sebagai pengguna terakhir dari produk yang
diserahkan kepada mereka. Yaitu setiap orang yang mendapatkan barang
untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan lagi.
Bila pembelian barang bertujuan untuk dijual kembali, maka pembeli
tersebut adalah konsumen antara yang dikenal dengan distributor atau
pengecer.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka konsumen dibedakan
menjadi dua, yakni:13
12
13
Ibid, hlm. 2.
Ibid, hlm. 3.
15
a. Konsumen akhir adalah konsumen yang mengkonsumsi secara
langsung produk yang diperolehnya.
1.
2.
3.
Menurut BPHN (Badan Pembina Hukum Nasional):
“Pemakaian akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri
sendiri, atau orang lain dan tidak diperjualbelikan.”
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia):
“Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain
dan tidak untuk diperdagangkan kembali.”
Menurut KUHPerdata:
“Orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak
selaku orang yang menjalankan profesi atau perusahaan.”
a. Konsumen antara adalah konsumen yang memperoleh produk
untuk memproduksi produk lainnya. Contohnya distributor, agen,
dan pengecer.
Beda kedua tipe konsumen di atas dapat dikenali dengan mudah.
Konsumen akhir adalah konsumen yang membeli barang, produk atau pun
jasa semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang membeli suatu barang atau produk untuk
dijual kembali. Dengan kata lain, dari dua tipe konsumen tersebut di atas
maka terdapat perbedaan mendasar antara konsumen akhir dan
konsumen antara.
Apabila mengacu pada pengertian konsumen di atas dapat pula
diketahui beberapa jenis konsumen. Jenis-jenis konsumen tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Konsumen Perorangan (Personal Consumer)
Pengertian konsumen perorangan (personal consumer) adalah
konsumen yang membeli/ memakai suatu produk (barang/ jasa) untuk
keperluan diri sendiri. Personal consumer sering juga disebut dengan
istilah end user. Contoh konsumen akhir; individu, keluarga.
2. Konsumen Organisasi (Organizational Consumer)
Pengertian konsumen organisasi (organizational consumer) adalah
konsumen yang membeli atau memakai suatu produk (barang atau jasa)
untuk keperluan operasional organisasi tersebut. Misalnya perusahaan
yang membeli bahan baku atau keperluan lain agar perusahaan dapat
beroperasi. Contoh konsumen
distributor, agen, pengecer.
organisasi
atau
konsumen
antara;
16
Disamping itu, setiap konsumen memiliki hak dan kewajiban
sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tetang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dimana mengenai hak-hak
konsumen diatur pada Pasal 4 UUPK yang terdapat 9 hak-hak konsumen
yakni:
1. Konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam penggunaan barang maupun jasa;
2. Konsumen berhak untuk memilih barang/ jasa serta mendapatkan
barang/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
3. Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas,
dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang/ jasa yang dibeli;
4. Konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya terkait
barang/ jasa yang dipakai;
5. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
6. Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan pembinaan dan
pendidikan konsumen;
7. Konsumen berhak untuk mendapatkan perlakukan dan pelayanan
yang benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Konsumen berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/ atau
penggantian, jika barang/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan
semestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat diisah-pisahkan. Artinya,
dalam setiap transaksi Pasal 4 UUPK atau penggunaan suatu produk
barang dan jasa tertentu, pihak pelaku usaha harus menjamin semua hak
tersebut terpenuhi.
Apabila berbicara mengenai hak maka akan selalu disertai dengan
adanya kewajiban. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
tepatnya pada Pasal 5 terdapat beberapa kewajiban konsumen yakni:
1. Konsumen wajib membaca dan mengikuti petunjuk informasi
maupun prosedur penggunaan atau pemanfaatan barang/ jasa,
17
demi keamanan dan keselamatan;
2. Konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang/ jasa;
3. Konsumen wajib membayar pembelian barang/ jasa sesuai dengan
nilai tukar yang disepakati;
4. Konsumen wajib mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Undang-Undang perlindungan konsumen ini bertujuan untuk
melindungi hak konsumen karena pada dasarnya konsumen lebih lemah
dibanding posisi pelaku usaha. Namun, tentu saja tidak jarang konsumen
mengalami
kerugian
karena
tidak
mengikuti
petunjuk
prosedur
penggunaan barang/ jasa yang telah disediakan pelaku usaha.
Ketika membicarakan konsumen maka akan membicarakan pula
pelaku usaha, dimana konsumen dan pelaku usaha adalah bagian dari
pelaku ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun sama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.14
Berkaitan dengan hak pelaku usaha dalam UUPK diatur dalam
Pasal 6 UUPK yakni:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
14
Zaeni Asyhadie, Op.Cit, hlm. 196.
18
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya;
Sementara itu, berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha dalam
UUPK diatur pada Pasal 7 yakni:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang, dan atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau garansi tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Dari sejumlah pasal dalam UUPK tersebut di atas dapatlah
19
diketahui bahwa konsumen dan pelaku usaha merupakan bagian dari
pelaku ekonomi, yang saling berkaitan satu sama lain. Sedangkan
pengertian ekonomi itu sendiri adalah suatu ilmu sosial yang mempelajari
tentang kegiatan manusia yang berkaitan dengan aktivitas produksi,
distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Ada juga yang
menyebutkan definisi ekonomi adalah semua yang berhubungan dengan
upaya dan daya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk
mencapai suatu tingkatan kemakmuran.
Ilmu ekonomi adalah bagian ilmu sosial yang mempelajari prilaku
manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan.15 Sementara itu, kebutuhan
manusia sangat beraneka ragam. Jika pun kebutuhan yang satu telah
terpenuhi maka akan muncul kebutuhan yang lain. Kebutuhan manusia
akan terus bertambah, terutama dalam kaitan manusia sebagai pemakai
barang dan jasa atau dengan kata lain manusia sebagai konsumen.
Sementara itu kata ekonomipertama kali digunakan oleh
Xenophone, seorang filsuf Yunani. Istilah ekonomi berasal dari bahasa
Yunani yaitu oikos dan nomos yang artinya pengaturan rumah tangga.
Dengan demikian, secara sederhana ekonomi dapat diartikan sebagai
kaidah-kaidah, aturan-aturan, cara pengelolaan rumah tangga. Sedangkan
ilmu yang mempelajari bagaimana tiap rumah tangga atau masyarakat
mengelola sumber daya yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan
mereka disebut ilmu ekonomi.16 Dalam hal untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya maka masyarakat atau konsumen menggunakan motif ekonomi.
Motif ekonomi merupakan alasan atau hal-hal yang mendorong
seseorang melakukan tindakan ekonomi. Sedangkan motif ekonomi bagi
tiap-tiap orang berbeda, namun motif utama mereka melakukan kegiatan
ekonomi adalah keinginan memenhi kebutuhan hidup untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Adapun motif ekonomi lainnya adalah:17
1. Motif pemenuhan keuntungan.
Motif ini merupakan dorongan wajar bagi pengusaha untuk
mendapatkan keuntungan yang besar dalam rangka memperbesar
15
Muhammad Dinar dan Muhammad Hasan, Pengantar Ekonomi: Teori dan Aplikasi, Cv
Nur Lina Bekerjasama denngan Pustaka Taman Ilmu, 2018, hlm. 1
16
Ibid, hlm. 1-2.
17
Ibid, hlm. 6.
20
usahanya;
2. Motif memperoleh penghargaan.
Motif ini merupakan motif agar terpandang dan dihargai oleh
masyarakat sekitarnya. Untuk itu ia tampil dengan gaya mewah dan
senang memberi bantuan agar mendapat pujian/penghargaan dari
pihak lain;
3. Motif memperoleh kekuasaan ekonomi;
Motif ini merupakan motif ingin mendapatkan kekuasaan ekonomi,
setelah seseorang sukses mengembangkan usahanya dan
mendirikan cabang-cabang
usahanya disetiap kota, ia tetap
berusaha mengembangkan usahanya. Kadang-kadang motif
memperoleh kekuasaan sulit dibedakan dengan motif memperoleh
penghargaan;
4. Motif sosial atau membantu sesama.
Dalam hal ini kegiatan ekonomi seseorang didorong bukan hanya
untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi juga untuk keentingan
berbuat sosial seperti membantu korban bencana alam, memberi
sumbangan pada panti asuhan, yayasan tuna netra dan lain-lain.
Sementara itu, di dalam ilmu ekonomi terdapat beberapa prinsip
yang mendasarinya. Mengacu pada pengertian ekonomi sebagaimana
digunakan oleh Xenophone di atas, terdapat beberaa prinsip ekonomi
yakni:
1. Prinsip Produksi
Pengertian prinsip produksi dalam ekonomi adalah perekonomian
memiliki peran dalam pengadaan produk, baik itu barang maupun jasa.
Proses produksi membutuhkan biaya dan usaha dalam pelaksanaannya.
Aktivitas produksi akan membukan lapangan pekerjaan dan menghasilkan
produk tertentu.
2. Prinsip Distribusi
Pengertian prinsip distribusi dalam ekonomi adalah kegiatan
penyaluran atau distribusi suatu produk kepada para konsumen. Kegiatan
distribusi ini harus dilakukan dengan perhitungan waktu yang baik agar
produk yang disalurkan tiba di lokasi penjualan tepat waktu. Misalnya,
pengiriman buah-buahan dan sayur-mayur dari para petani ke para penjual
di pasar. Contoh lainnya adalah pengiriman ikan, udang, cumi dari nelayan
sebagai penangkap ikan ke pedagang di pasar. Proses distribusi pada
umumnya dilakukan pada saat dini hari, hal ini bertujuan agar kualitas
21
buah dan sayur tetap baik saat konsumen membeli barang-barang
dagangan tersebut dari penjual.
3. Prinsip Konsumsi
Pengertian prinsip konsumsi dalam ekonomi adalah segala
aktivitas penggunaan suatu produk yang dilakukan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, seorang pemilik rumah
membeli atap rumah seperti seng atau genteng untuk mengganti atap
rumahnya yang rusak. Tujuannya agar atap rumahnya tidak bocor ketika
hujan dan tidak kepanasan di siang hari, serta untuk menciptakan tempat
tinggal dalam kondisi yang nyaman.
D. PEDAGANG PERANTARA
Apabila dilihat pesatnya
pembangunan
dan
perkembangan
perekonomian nasional, maka dapat dilihat beragam produk barang
dan/jasa yang telah dihasilkan dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi, dan
informatika juga turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang
dan/atau jasa. Sehingga dengan perkembangan tersebut menyebabkan
banyaknya produk barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah
suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi
kepentingan konsumen, karena kebutuhan konsumen akan barang
dan/atau
jasa
yang
diinginkan
dapat
dengan
mudah
terpenuhi.
Keuntungan lainnya adalah semakin terbukanya kebebasan untuk memilih
aneka jenis barang dan kualitas barang dan/atau jasa yang baik sesuai
dengan keinginan tiap-tiap konsumen.
Sementara itu, dalam transaksi yang dilakukan oleh konsumen
tentunya terdapat produk barang dan jasa. Hal itu tidak terlepas dari
dampak pemenuhan hak-hak konsumen yang ditetepkan berdasarkan
peraturan
perundang-undangan.
Yang
dimaksud
dengan
transaksi
konsumen adalah peralihan barang dan jasa dari penjual ke pembeli atau
konsumen. Namun, di luar transaksi konsumen dikenal juga transaksi
komersial yang dilakukan oleh produsen dengan di pedagang antara.
Berkaitan dengan pedagang perantara bisa dilihat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Adapun beberapa contoh
22
pedagang perantara yang dimaksud dalam KUHD tersebut adalah:
1. Makelar.
Pengertian makelar diatur dalam Pasal 62 KUHD. Adapun
pengertian makelar adalah seorang pedagang perantara yang
diangkat
oleh
pejabat
yang
berwenang
untuk
itu.
Ia
menyelenggarakan perusahaan dengan melakukan pekerjaan
atas amanat dan nama orang lain dengan mendapat upah atau
provisi
tertentu.
Sebelum
diperbolehkan
melakukan
pekerjaannya itu, ia harus bersumpah di hadapan Pegadilan
Negeri yang termasuk dalam wilayah hukumnya. Namun dalam
Pasal 63 KUHD disebutkan bahwa tindakan para pedagang
erantara
yang
tidak
diangkat
sebagaimana
di
atas
(sebagaimana Pasal 62 KUHD), tidak melahirkan akibat hukum
yang lebih dari pada akibat yang timbul dari tiap-tiap persetujuan
pemberian kuasa.
Berkaitan dengan pekerjaan makelar diatur dalam Pasal 64
KUHD. Pekerjaan makelar tersebut yakni melakukan penjualan
dan pembelian bagi majikannya akan barang-barang dagangan
dan lainnya, kapal-kapal, andil-andil dalam dana umum dan efekefek lainnya, obligasi, surat-surat wesel, surat-surat order dan
surat-surat dagang lainnya. Dan pula untuk menyelenggarakan
perdiscontoan, pertanggungan, perutangan dengan jaminan
kapal, perutangan uang atau lainnya.
2. Kasir.
Kasir adalah seseorang, yang dengan menerima upah atau
provisi tertentu, dipercaya dengan pekerjaan menyimpan uang
dan melakukan pembayaran-pembayaran. Pengertian ini diatur
dalam Pasal 74 KUHD. Akan tetapi, saat ini, orang yang
dimaksud dengan kasir tersebt adalah bank. Yakni suatu
lembaga keuangan berupa perusahaan yang mewakili nasabah
untuk melakukan pembayaran kepada pihak ketiga, penerimaan
uang dari pihak ketiga, penyimpanan uang milik nasabah.
23
Di
samping
khususnya
melakukan
dalam
kegiatan
kaitannya
dengan
sebagai
perantara,
pembayaran
atau
penerimaan uang, bank juga melakukan kegiatan usaha dengan
memberikan pinjaman kepada mereka yang membutuhkan.
Dalam posisi sebagai kreditor dalam hubungannya dengan
nasabah berdasarkan perjanjian kredit, tentu saja bank tidak
selalu dalam posisi sebagai kasir.
3. Komisioner
Pengertian komisioner terdapat dalam Pasal 76 KUHD. Yang
dimaksud
dengan
komisioner
adalah
perusahaan
yang
pekerjaannya membuat kontrak atas amanat orang lain, tetapi
ketika komisioner membuat kontrak tersebut, ia melakukannya
atas namanya sendiri. Dalam melaksanakan amanat tersebut,
komisioner mendapatkan upah atau provisi dari si pemberi
amanatnya.
4. Ekspeditur
Sedangkan pengertian ekspeditur termaktub dalam Pasal 86
KHUD. Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh
orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barangbarang dagangan atau barang lainnya melalui daratan atau
perairan. Orang yang disuruh oleh ekspeditur adalah pengangkut.
Sedangkan ia sendiri disuruh oleh orang lain (pemilik barang)
untuk mengirimkan barangnya ke tempat lain. Dengan demikian,
tampak bahwa ekspeditur adalah perantara dari pemilik barang
dan pengangkut yang mengangkut barang tersebut.
5. Pengangkut
Adapun pengertian pengangkut terdapat dalam Pasal 91 KUHD.
Defenisi pengangkut adalah orang yang menyelenggarakan
pengangkutan. Sedangkan pengangkutan itu sendiri diartikan
sebagai perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan
pengirim barang, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan dari suatu tempat ke tempat
24
lain dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri
untuk membayar ongkos angkutan.
Sedangkan perjanjian pengangkutan adalah salah satu
bentuk dari perjanjian pemberian jasa, sebagaimana disebut
dalam Pasal 1601 KUH Perdata. Oleh karena itu, di samping
tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kontrak, perjanjian ini
juga tunduk pada aturan-aturan hukum yang terkait dengan
persoalan pengangkutan barang dan/atau orang.
Jika dilihat dari beberapa macam pedagang perantara tersebut di
atas, maka diketahui bahwa pedagang perantara menjembatani antara
konsumen
dan
produsen
akhir.
Namun
di
dalam
UUPK
tidak
mengkategorikan konsumen antara sebagai konsumen yang dilindungi
oleh UUPK. Hal ini dikarena yang dimaksud dengan konsumen dalam
UUPK adalah konsumen akhir yakni konsumen yang membeli produk
barang dan/atau jasa untuk dikonsumsi sebagai pemenuhan sehari-hari
dan tidak untuk dijual kemballi.
E. PERKEMBANGAN MODE PERDAGANGAN
Sementara itu, dalam rangka menghadapi era globalisasi mau tidak
mau dan suka tidak suka aktifitas perdagangan barang dan jasa
mengalami perkembangan mengikuti perkembangan teknologi. Hal ini
mengingat perkembangan teknologi terjadi dari hari ke hari. Akibat dari
perkembangan
teknologi
tersebut
memberi
dampak
positif
pada
kehidupan manusia. Diantaranya terhadap konsumen dan pelaku usaha.
Jika dilihat dampak positif perkembangan teknologi maka
menyentuh bidang ekonomi. Dimana manusia bisa memanfaatkan
perkembangan teknologi untuk berbagai hal yang berkaitan dengan
ekonomi dan perdagangan. Melalui perkembangan teknologi yang
semakin canggih diiringi dengan pesatnya jumlah penggunaan internet
saat ini telah membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Misalnya aktifitas yang dilakukan oleh para inovator yang memanfaatkan
teknologi sebagai sarana penjualan segala kebutuhan manusia diseluruh
25
dunia.
Selanjutnya akibat dari perkembangan teknologi berdampak pada
berkembangnya aktifitas perdagangan, salah satunya adalah perdagangan
atau transaksi melalui media elektonik atau yang dikenal dengan nama
electronic
commerce
atau
e-commerce.
Dimana
telah
terjadi
perkembangan perdagangan yang semula dilakukan secara konvensional
ke perdagangan secara elektronik.
Disamping itu, banyaknya pengguna e-commerce saat ini selain
dikarenakan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tidak
terlepas dari laju pertumbuhan pengguna internet di dunia. Hal ini
disebabkan e-commerce berjalan melalui jaringan internet. Pertumbuhan
pengguna internet yang sedemikian pesat merupakan suatu kenyataan
yang membuat internet menjadi salah satu media yang efektif bagi
perusahaan maupun perseorangan untuk memperkenalkan dan menjual
barang atau jasa kepada konsumen dari seluruh dunia. Sehingga dengan
berkembangnya cara perdagangan mengakibatkan berkembang pula cara
transaksi dalam hal pembelian barang yang dilakukan oleh konsumen
yakni dari transaksi secara konvensional ke transaksi secara elektronik
atau e-commerce.
Sebagaimana yang umum diketahui dewasa ini pemakaian internet
dan bisnis melalui internet berkembang sangat pesat, sehingga sektor
hukum pun diminta untuk turun tangann sehingga dalam bisnis melalui
internet seperti itu, dapat dicapai ketertiban dan kepastian dalam berbisnis,
di samping tercapai pula unsur keadilan bagi para pihak dalam berbisnis.
Bebisnis lewat internet (dengan menggunakan perangkat elektronik) ini
sering disebut dengan electronic commerce (e-commerce) atau electronic
business (e-business).18
Yang dimaksud dengan istilah e-commerce adalah suatu proses
berbisnis dengan memakai teknologi elektronik yang menghubungkan
antara perusahaan, konsumen, dan masyarakat dalam bentuk transaksi
elektronik, dan pertukaran/penjualan barang, servis dan informasi secara
18
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 407.
26
elektronik. Dengan demikian, pada prinsipnya bisnis dengan e-commerce
merupakan kegiatan bisnis tanpa warkat (paperless trading).19
Transaksi
elektronik
memberikan
beberapa
keunggulan.
Keunggulan tersebut diantaranya:
1. Menghemat Waktu dan Biaya
Transaksi yang dilakukan secara konvensional pada umumnya
membutuhkan waktu yang lebih banyak, disamping juga membutuhkan
biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai fisik sebuah toko.
Sedangkan dengan kehadiran toko elektronik konsumen bisa mengunjungi
satu atau beberapa toko secara online dalam waktu yang berdekatan
dengan satu tindakan yakni dengan meng-klik website tertentu yang
menjual barang dagangan secara online.
2. Mencari Produk Lebih Cepat
Perdagangan yang dilakukan secara elektronik maka masyarakat
sebagai
pembeli
mempersempit
dapat
pencarian
memanfaatkan
produk
dan
kotak
mencari
pencarian
untuk
beragam
produk
berdasarkan kategori-kategori yang diinginkan. Sehingga dengan waktu
yang tidak terlalu lama konsumen bisa menemukan berbagai produk di
toko-toko online.
3. Buka Sepanjang Waktu
Perdagangan secara elektronik pada umumnya bisa dilakukan
sepanjang waktu. Konsumen bisa mencari berbagai kebutuhan tanpa
terhalang waktu dan jarak, karena perdagangan secara elektronik secara
umum dilakukan selama 24 jam dan dalam rentang waktu 7 hari. Jika
pada perdagangan konvensional konsumen sulit menemukan toko fisik
yang buka hingga dini hari, maka berbeda dengan perdagangan secara
elektronik yang bisa dilakukan sepanjang hari.
4. Perbandingan Belanja Jadi Lebih Mudah
19
Ibid.
27
Banyaknya produk yang ditawarkan oleh berbagai situs di dunia
maya atau internet membuat konsumen lebih mudah untuk melakukan
perbandingan belanja dan mendapatkan harga terbaik.
5. Biaya Lebih Rendah
Disamping itu, berbelanja secara elektronik sering memberikan
keuntungan kepada konsumen dari segi harga. Dimana tidak jarang tokotoko elektronik menawarkan harga yang lebih rendah, disamping itu para
pengelola toko elektronik juga tidak jarang memberikan diskon terhadap
produk yang diperdagangkan.
Terhadap sejumlah keuntungan yang ditawarkan pada konsumen
dalam perdagangan secara elektronik atau e-commerce tersebut di atas,
dapat dikatakan bahwa e-commerce merupakan model bisnis modern
yang menawarkan banyak keuntungan. Diantara keuntungan tersebut
adalah tidak perlu menghadirkan pelaku bisnis secara secara langsung,
dimana antara pedagang dan pembeli tidak diharuskan bertemu secara
fisik. Transaksi bisnis tetap dapat dilakukan dengan menggunakan media
elektonik yang terhubung dengan jaringan internet.
Sedangkan dalam hal penawaran, pada transaksi e-commerce,
pihak yang memberikan penawaran adalah pihak penjual yang dalam hal
ini menawarkan barang-barang dagangannya melalui website. Website
atau toko online yang digunakan oleh pelaku usaha pada umumya
dirancang dengan tampilan yang menarik, hal ini bertujuan agar calon
pembeli tertarik untuk berkunjung dan membeli barang yang ditawarkan.
Sementara itu, semua pihak pengguna internet (netter) dapat dengan
bebas masuk untuk melihat-lihat toko virtual tersebut atau untuk membeli
barang yang mereka butuhkan atau minati.20
Istilah e-commerce baru memperoleh perhatian beberapa tahun
belakangan ini ditandai dengan banyaknya seminar-seminar yang
diadakan oleh beberapa institusi dibidang teknologi serta beberapa
20
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2003, hlm. 225.
28
pengamat yang terkait dengan industri e-commerce.21
Kegiatan e-commerce melalui sistem elektronik saat ini telah
menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa konvergansi dibidang teknologi informasi, media, dan
informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat dihentikan laju
pertumbuhannya. Hal ini dikarenakan seiring dengan ditemukannya
perkembangan baru dibidang teknologi informasi, media, dan komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi telah membantu meningkatkan
volume perdagangan disatu sisi, tetapi juga memberikan dampak negatif
di sisi lain. Dampak negatif tersebut berupa kerugian yang dialami
konsumen. Kerugian yang dialami konsumen secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua hal. Pertama, kerugian yang diakibatkan oleh pelaku
usaha yang memang secara tidak bertanggungjawab merugikan. Kedua,
kerugian yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang dilakukan
oleh pihak ketiga.
Seiring dengan perkembangan aktivitas perdagangan melalui
pemanfaatan IT yang dikenal dengan istilah e-commerce maka muncul
pula aksi hacking yang terkait dengan aktivitas transaksi elektronik, seperti
penyalahgunaan nama domain (domain name), yang terterdiri dari 3
modus (cybersquaters, cyberparasite, dan typosquatters), cyberstalking
dan penyalahgunaan kartu kredit (carding).22
Adapun pengertian cybersquater adalah perbuatan mendaftarkan
nama domain dengan menggunakan nama tokoh, organisasi, merk
dagang terkenal dengan tujuan untuk menjual kembali nama domain
tersebut dengan harga tinggi kepada pemiliknya. Sedangkan pengertian
cyberparasite adalah perbuatan memanfaatkan ketenaran merk tertentu
dengan cara mendaftarkan dan menggunakan nama domain yang
berkonotasi suatu merk terkenal dan memasarkan produknya. Sementara
itu pengertian typosquaters adalah mendaftarkan nama domain dengan
menggunakan kata plesetan dari nama domain untuk tujuan tertentu.
21
Ibid.
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce Studi Sistem
Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 19.
22
29
Adapun pengertian cyberstalking adalah segala bentuk kiriman e-mail
yang
tidak
diinginkan
oleh
penerimanya
dengan
tujuan
untuk
mendapatkan informasi personal secara online tentang para calon
korbannya. Sedangkan pengertian carding atau credit card fraudulent
adalah suatu bentuk kejahatan menggunakan kartu kredit oang lain untuk
23
berbelanja tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Dari uraian tersebut artinya meskipun transaksi melalui elektronik
memberikan keuntungan di satu sisi namun terdapat hal negatif yang
dapat merugikan terhadap konsumen. Disamping itu, diluar kerugian
sebagaimana yang dijelaskan di atas, terdapat pula kerugian lain yang
berpotensi akan dialami oleh konsumen. Kerugian tersebut misalnya
kerugian yang diakibatkan oleh pelaku usaha seperti aksi penipuan yang
dilakukan oleh penjual terhadap konsumen dan juga wanprestasi yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam hal ini misalnya pelaku usaha tidak
mengirimkan barang yang sudah dibeli oleh konsumen, atau barang yang
dikirim tetapi tidak sesuai seperti ketika diperjanjikan, dan bentuk-bentuk
kerugian lainnya.
Sedangkan kerugian yang terjadi karena tindakan melawan hukum
yang dilakukan oleh pihak ketiga, misalnya tindakan yang dilakukan oleh
pakar komputer tau orang-orang yang sudah ahli menggunakan teknologi
untuk kepentingan pribadi atau keuntungan yang akan diperoleh oleh pihak
tertentu dengan tindakan yang dilakukan. Perbuatan tersebut misalnya
dengan membuat jaringan tidak berfungsi sebagaimana mestinya,
mencuri dan menggandakan kartu kredit, menggandakan dan menjual
software komputer melalui internet secara illegal, membajak nomor
telepon orang lain, atau memanfaatkan kartu kredit orang lain untuk
berbelanja di internet. Hal seperti ini tentu saja tidak menguntungkan
perkembangan sistem perekonomian di Indonesia, terutama aktifitas e-
commerce. Disamping itu, kondisi sebagaimana tersebut akan merugikan
konsumen. Padahal konsumen berhak untuk mendapat perlindungan
hukum. Perlindungan terhadap hak-haknya dari hal-hal yang merugikan
23
Ibid.
30
konsumen.
Terlebih lagi saat ini aktivitas perdagangan sudah demikian luas.
Konsumen bisa membeli barang dari negara di luar tempat tinggalnya. Hal
ini dikarenakan saat ini bisnis e-commerce sudah semakin marak dan
mampu menembus batas teritorial dan yuridiksi suatu negara. Sedangkan,
bagi produsen, banyaknya jumlah orang yang dapat mengakses internet
mengakibatkan produsen kesulitan untuk mendeteksi apakah pembeli
yang hendak memesan produknya adalah pembeli yang sesungguhnya
atau bukan. Misalnya pembeli yang meminta dikirim barang terlebih
dahulu, tetapi setelah barang dikirim pembayaran tidak dilakukan.
Dampak negatif dari e-commerce sangat merugikan konsumen dan
produsen. Terlebih konsumen yang relatif memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang lebih rendah dibanding produsen atau pelaku
usaha. Konsumen seringkali menjadi obyek aktivitas untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya dari produsen, sehingga keseimbangan
yang diharapkan tidak tercapai. Ditambah lagi tidak semua orang-orang
yang berbisnis di internet benar-benar berbisnis. Beberapa diantaranya
justru melakukan penipuan.
Ketika kejahatan dunia maya atau cyber crime bermunculan seiring
boomingnya internet di Indonesia pada awal tahun 2000-an, konon banyak
hackers dan crackers yang merasa leluasa melakukan aktifitas
penyimpangan di dunia maya dengan dalih bahwa hukum di Indonesia
saat
itu
belum
menjangkau
perbuatan
mereka.24
Dengan
diundangkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disingkat menjadi UU ITE) pada tahun 2008 seharusnya dapat
mencegah aksi para hackers dan crackers.25 Tetapi pada kenyataannya
setelah diberlakukannya UU ITE pada kuartal 2008 hingga saat ini hampir
tidak ada kasus-kasus cyber crime yang terungkap dan diproses dengan
24
Ibid.
Istilah hackers pada awalnya (sekitar tahun 60-an) bermakna positif, yakni seorang
pakar komputer yang memiliki keahlian menghasilkan program yang lebih sempurna dari
yang semula diharapkan, sedangkan istilah cracker bermakna “pemecah kode” yang
dalam dunia komputer aksinya adalah membuat jaringan tidak berfungsi sebagaimana
mestinya (crack).
25
31
Indo Cyber Law tersebut. Beberapa sumber dari kepolisian mengatakan
bahwa keberadaan UU ITE justru menambah prosedur pelacakan terhadap
26
dugaan kasus kejahatan mayantara.
UU ITE seharusnya dapat
memberikan perlindungan hukum pada pengguna internet, termasuk
memberikan perlindungan hukum pada konsumen e-commerce.
Berkaitan dengan bentuk-bentuk kejahatan yang terjadi di dunia
maya pada era globlisasi ini sangat beragam. Misalnya penyalahgunaan
komputer, kejahatan terhadap aktifitas e-commerce, kejahatan terhadap
dunia perbankan yang menggunakan sistem jaringan komputer, dan
kejahatan-kejahatan lainnya. Berdasarkan kejahatan tersebut, maka hal
yang sangat penting untuk dibenahi adalah regulsi.
Cyber Law merupakan satu sistem hukum yang dianggap relevan
untuk mengatur aktifitas e-commerce, mengingat sifat-sifat dari e-
commerce yang tidak dapat diatur dengan menggunakan instrument
hukum konvensional, sehingga banyak negara-negara di dunia kemudian
secara serius membuat regulasi khusus mengenai Cyber Law ini.
Salah satu acuan bagi negara-negara di dunia untuk merumuskan
Cyber Law adalah melalui adopsi atau meratifikasi instrument hukum
internasional yang dibentuk berdasarkan konvensi atau pun framework
tentang Cyber Law maupun e-commerce yang dibentuk oleh organisasiorganisasi internasional. Organisasi internsional yang mengeluarkan
regulasi e-commerce yang dapat menjadi acuan atau model Law adalah
United Nation Commision on International Trade Law UNCITRAL
Arbitration Rules. UNCITRAL Arbitration Rules adalah salah satu sumber
hukum arbitrase bersifat internasional yang dihasilkan berdasarkan
resolusi Sidang Umum PBB pada tanggal 15 Desember 1976 (Resolution
31/98 Adopted by the General Assembly in 15 December 1976).27
Sehingga dapat diketahui bahwa UNITRAL merupakan salah satu badan
PBB yang bergerak dalam perdagangan internasional.
26
Al.Wisnubroto, Strategi Penanggulangan…, Op.Cit, kemudian dijelaskan bahwa
keterangan tersebut didapat Al.Wisnubroto dari S. Pamudji Putra (Penyidik Unit 1 Sat
Cyber Crime Polda Metro Jaya) melalui email tertanggal 24 Mei 2009.
27
Abdul Thalib, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan”, Jurnal Mahkamah,
Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, Volume 18, No. 1, April 2006, hal. 88.
32
UNCITRAL Arbitration Rules telah menjadi bagian dari salah satu
sumber hukum internasional dibidang arbitrase.28 Selain UNCITRAL
Arbitration Rules, juga dikenal WTO, Uni Eropa, dan OECD. Sedangkan
pengaturan di organisasi internasional lainnya seperti APEC dan ASEAN
adalah sebatas pembentukan kerangka dasar atau framework, yang berisi
ketentuan-ketentuan yang mendukung dan memfasilitasi perkembangan e
-commerce.
Negara-negara di dunia dalam mengantisipasi permasalahan hukum
terkait dengan aktifitas e-commerce kemudian juga melakukan perubahan
terhadap sistem hukum konvensionalnya. Diantara negara-negara di dunia,
Amerika Serikat merupakan negara yang paling komprehensif pengaturan
e-commercenya di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, Singapura telah memiliki The Electronic Transaction
Act 1998. Sedangkan Amerika Serikat memiliki Illionois Electronic
Commerce Security Act 1998, Malaysia memiliki Cyber Laws yang terdiri
dari Akta Tanda Tangan Digital (Digital Signature Act) 1997 (Act 562) dan
Regulation 1998, Akta Jenayah Computer (Computer Crimes Act 1997 (Act
563) dan Akta teleperubatan (telemedicine Act) 1997 (Act 564). Maka
dalam hal regulasi Cyber law Indonesia termasuk yang ketinggalan karena
baru memiliki UU ITE pada tahun 2008.29
Sedangkan perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia atas
pemanfaatan barang atau jasa dari produsen atau pelaku usaha diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK). UUPK disahkan pada tanggal 20 April 1999. Namun,
banyak kalangan mempertanyakan apakah UUPK dapat memberikan
perlindungan
hukum
terhadap
konsumen
atau
tidak,
terutama
perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce, mengingat masih
banyaknya terjadi permasalahan mengenai e-commerce. Tidak saja yang
terjadi pada konsumen, tetapi juga terhadap pelaku usaha. Salah satu
contohnya adalah mengenai penjualan iPad melalui internet yang
mengakibatkan si penjual ditangkap dan diadili karena dianggap
28
29
Ibid.
Ibid, hlm. 129.
33
melanggar Pasal 62 Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) Huruf J UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen karena
30
tidak memiliki buku manual berbahasa Indonesia.
Selain itu, pelaku
usaha tersebut dikenakan Pasal 52 juncto Pasal 32 Ayat (1) UndangUndang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi karena iPad
belum dikategorikan sebagai alat elektronik komunikasi resmi. Ancaman
pidana penjara paling lama 5 tahun penjara.
Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam transaksi e-
commerce mutlak diperlukan. Termasuk pula perlindungan hukum
terhadap produsen barang atau benda dan atau jasa yang sah menurut
hukum untuk diperjual belikan, dan jual beli tersebut adalah sah menurut
hukum untuk diperjual belikan yang dilakukan secara elektronik.
Jaminan akan kepastian hukum bagi konsumen dalam melakukan
transaksi e-commerce diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan
konsumen. Dalam hal ini perlindungan hukum oleh UU ITE. Apabila
perlindungan hukum terhadap konsumen diabaikan maka dapat dipastikan
akan terjadi pergeseran efektifitas transaksi e-commerce dari falsafah
efisiensi menuju kearah ketidakpastian yang akan menghambat upaya
pengembangan pranata e-commerce.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perlindungan
hukum terhadap konsumen, baik konsumen yang berbelanja secara
konvensional
maupun
konsumen
e-commerce
sangat
diperlukan.
Terutama di era perdagangan bebas seperti saat ini. Agar konsumen
mendapatkan rasa aman saat melakukan transaksi dan memperoleh
perlindungan terhadap hak-haknya.
30
www. kompas. com, Inilah Kronologis Kasus iPad Tanpa Manual, diakses
tanggal 25 Februari 2020.
34
BAB II
TINJAUAN TERHADAP KONSUMEN E-COMMERCE
A. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN E-COMMERCE
Pengertian perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah
tempat
berlindung,
hal
(perbuatan
dan
sebagainya)
memperlindungi.31 Sedangkan pengertian hukum menurut para ahli
diantaranya menurut S.M Amin, hukum adalah kumpulan-kumpulan
peraturan yang terdiri dari aturan dan sanksi-sanksi. Menurut J.C.T.
Simorangkir, dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturanperaturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib,
pelanggaran
mana
terhadap
peraturan-peraturan
tadi
berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
Menurut M.H Tirtaatmidjaja, hukum ialah semua aturan (norma) yang
harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup
dengan ancaman resmi mengganti kerugian—jika melanggar aturan-aturan
itu- akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan
kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.32
Sehingga dapat diketahui bahwa pengertian perlindungan hukum
adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam
bentuk perangkat hukum baik yang bersifat prepentif maupun yang
bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain
perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum., yaitu
konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
31
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kaya Agung, Surabaya, 2005, hlm. 318
32
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, hlm. 38.
35
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Oleh karena itu perlindungan
hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh
aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental
terhadap konsumen e-commerce.
Pengertian konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang perlindungan Konsumen terdapat pada Pasal 1 Angka 2
yaitu: “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Istilah
perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Sehingga
perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang
mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan terlebihlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan
hukum terhadap hak-hak konsumen. Adapun yang mendapatkan hakhaknya untuk mendapatkan perlindungan bukan saja konsumen dalam
transaksi secara konvensional saja, namun juga konsumen dalam
transaksi secara elektronik.
Apabila transaksi e-commerce berlangsung diantara para pihak
khususnya perorangan, yang merupakan penduduk dua negara yang
berbeda, maka akan timbul masalah penerapan hukum negara tergugat,
atau berdasarkan hukum negara penggugat, atau apakah seyogyanya
didasarkan kepada negara pelaku usaha, atau apakah didasarkan hukum
negara dari pembeli.33
Apabila yang diberlakukan adalah hukum dari negara dimana
perbuatan itu dilakukan, akan sulit sekali menentukan di negara mana
perbuatan itu dilakukan. Apakah perbuatan itu dilakukan di Indonesia atau
Amerika Serikat. Mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya (virtual
world atau cyberspace) yang tidak mengenal batas negara, maka sulit
menentukan di negara mana peristiwa hukum itu terjadi. Karena transaksi
33
Abdul Halim Barkatullah, “Penerapan Arbitrase Online dalam Penyelesaian
Sengketa Transaksi E-Commerce”, Jurnal Hukum, diterbitkan oleh Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, volume 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 364.
36
tersebut di dunia maya, maka transaksi itu tidak dapat dikatakan terjadi di
Amerika Serikat atau terjadi di Indonesia.34
Aktifitas e-commerce ini dipandang perlu memiliki regulasi yang
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen e-commerce, hal
tersebut bertujuan agar fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan
keteraturan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam pelenilian itu
dapat berjalan. Ketertiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
aturan; peraturan (dalam masyarakat dan sebagainya); keadaan serba
teratur baik.35
Sedangkan pengertian keteraturan adalah kesamaan keadaan,
kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali atau lebih; keadaan atau
hal teratur.36 Dalam penelitian ini maksud ketertiban dan keteraturan
tersebut adalah menganalisa mengenai salah satu fungsi hukum, yaitu
sebagai alat ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat,khususnya
terhadap konsumen e-commerce dan aktivitas e-commerce.
Secara garis besar fungsi hukum dapat diklasifikasikan dalam tiga
tahap yaitu:37
a. Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat.
Hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi
pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berprilaku di dalam
masyarakat. Menunjukkan mana yang baik dan mana yang tercela
melalui normanya yang mengatur pemerintah-pemerintah ataupun
larangan-larangan, sedemikian rupa, sehingga warga masyarakat
diberi petujuk untuk bertingkah laku. Masing-masing anggota
masyarakat telah jelas apa yang harus diperbuat atau tidak
diperbuat, sedemikian rupa, sehingga sesuatunya bisa tertib dan
teratur.
b. Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial
lahir dan batin. Hukum dengan sifat wataknya yang antara lain
34
Ibid.
Budiono, Kamus Lengkap, Op.Cit, hlm. 536.
36
Ibid, hlm. 66.
37
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 154-156.
35
37
memiliki daya mengikat baik fisik maupun psikologis. Bisa
penjatuhan hukuman nyata dan takut berbuat yang merupakan
kekangan. Daya mengikat dan bila perlu memaksa ini adalah watak
hukum yang bisa menangani kasus-kasus nyata dan memberi
keadilan, menghukum yang bersalah, memutuskan agar yang
berhutang membayar dan sebagainya, sehingga relatif dapat
mewujudkan keadilan.
c. Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan. Salah satu
daya mengikat dan memaksa dari hukum juga dapat dimanfaatkan
atau didaya gunakan untuk menggerakkan pembangunan. Hukum
sebagai sarana pembangunan merupakan alat bagi otoritas untuk
membawa masyarakat kearah lebih maju.
d. Fungsi kritis hukum. Dewasa ini sedang berkembang suatu
pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi ktitis, yaitu daya kerja
hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan aparatur
pengawasan, pada aparatur pemerintah (petugas) dan aparatur
penegak hukum termasuk di dalamnya.
Aktifitas e-commerce tidak terlepas dari perbuatan hukum berupa
perjanjian. Hukum Indonesia mengatur perjanjian secara umum di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku III Bab kedua tentang
perikatan-perikatan
yang
dilahirkan
dari
kontrak
atau
perjanjian.
Sedangkan untuk perjanjian yang lebih khusus diatur dalam Bab V sampai
Bab XVIII. Keberadaan buku III bersifat terbuka, yang artinya dimungkinkan
adanya jenis-jenis perikatan selain yang diatur dalam buku III, untuk jenis
perikatan yang diatur dalam buku III disebut perikatan nominat, sedangkan
yang tidak diatur dalam buku III disebut perikatan innominat.38
Pengertian perjanjian dapat diketahui dari Pasal 1313 Kitab Undang
-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi: “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”39 Mengenai batasan tersebut
38
Edmon Makarin, Kompilasi…, Op.Cit, hlm. 215-216.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek), diterjemahkan
oleh R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
39
38
para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa defenisi,
batasan atau rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal
1313 KUHPerdata tersebut kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu
luas, serta banyak mengandung kelemahan-kelemahan.
Adapun kelemahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata
“mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang
dari satu spihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan
maksud dari perjanjian itu mengikatkan dirinya dari kedua belah
pihak. Sehingga nampak kekurangannya, dimana setidak-tidaknya
perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak
adanya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak
yang membuat perjanjian.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus atau kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan:40
a. Mengurus kepentingan orang lain.
b. Perbuatan melawan hukum.
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan perbuatan yang tidak
mengandung adanya konsensus atau tanpa adanya kehendak untuk
menimbulkan akibat hukum. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya
sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam
rumusan tersebut adalah perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
menimbulkan akibat hukum.41 Menurut Subekti, sebagaimana dikutif oleh
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.42
Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian adalah
40 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 54.
41
Ibid, hlm. 46.
42
Abdul Halim barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-commerce…, Op.Cit, hlm.
77.
39
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.43 Sedangkan
jika dilihat secara umum, perjanjian diartikan sebagai suatu peristiwa
dimana dua orang atau atau dua pihak saling berjanji untuk melakukan
44
suatu hal.
Perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan yang
dalam
kehidupan sehari-hari sering diwujudkan dengan janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis. Hubungan hukum dalam perjanjian bukanlah
hubungan hukum yang lahir dengan sendirinya, tetapi hubungan itu
tercipta karena adanya tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang berkeinginan untuk menimbulkan hubungan hukum tersebut.45
Hardijan Rusli menerangkan bahwa hubungan hukum adalah
hubungan yang menimbulkan akibat hukum yaitu hak (right) dan
kewajiban (duty atau obligation).46 Hubungan hukum yang berdasarkan
perjanjian adalah hubungan hukum yang terjadi karena Undang-Undang
atau hukum dapat menentukannya demikian, tanpa perlu ada persetujuan
atau kesepakatan terlebih dahulu.47
Hal tersebut pada dasarnya sejalan dengan apa yang dijelaskan di
dalam KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri
dari empat hal, sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yakni:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua yakni kesepakatan dan kecakapan
merupakan
syarat
subyektif,
karena
menyangkut
subyek
pelaku.
43.Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Bakti, Bandung,
1993, hlm. 225.
44 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 24.
45
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum…, Op.Cit, hal. 216.
46
Hardijan Rusli, Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996, hlm. 28.
47
Ibid.
40
Sedangkan syarat kedua merupakan syarat obyektif karena menyangkut
obyek dari perjanjian. Apabila unsur pertama dan kedua (unsur subjektif)
tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan, namun apabila unsur
ketiga dan unsur keempat tidak terpenuhi (unsur obyektifnya) maka
48
perjanjian itu batal demi hukum.
Ketentuan mengenai jual beli, menurut Pasal 1458 KUHPerdata
adalah: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak,
seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan
tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun
harganya
belum
dibayar.”Dari
ketentuan
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa jual beli pada hakekatnya dianggap telah terjadi pada
saat adanya kesepakatan tentang barang dan harganya. Sedangkan dalam
transaksi e-commerce, benda yang lazim diperjualbelikan adalah benda
bergerak karena lebih mudah untuk dialihkan dari tangan penjual ke pada
pembeli.
Perjanjian e-commerce di Indonesia belum diatur secara tegas,
meskipun telah ada perjanjian yang berlaku di situs-situs online yang
bergerak di bidang perdagangan online yang dibuat oleh pengusaha
Indonesia tetap saja perjanjian tersebut masih mengikuti perjanjian yang
berlaku umum.49 Dalam perjanjian e-commerce untuk bisa dikatakan sah
menurut hukum di Indonesia, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian.50
Selain memberikan kemudahan dan keuntungan dalam melakukan
transaksi e-commerce terdapat pula kerugian dalam melakukan transaksi
tersebut. Bisnis melalui e-commerce rawan penipuan, karena transaksi
yang dilakukan lewat media maya maka besar kemungkinan munculnya
produsen-produsen fiktif yang merugikan konsumen.51 Oleh karena itu
perlindungan hukum terhadap konsumen e-commerce sangat diperlukan.
Perlindungan konsumen menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang
48
hlm. 87.
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Parasetyo, Bisnis E-commerce…, Op.Cit,
49
Ibid, hlm. 103.
Ibid, hlm. Vii.
51
Ibid, hlm. 250.
50
41
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatakan:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Salah
satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan
(pengayoman) kepada masyarakat. Kerena poisi konsumen yang lemah
52
maka ia harus dilindungi oleh hukum.
Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di
Indonesia baru benar-benar dipopulerkan swadaya masyarakat (non
governmental organization) yang bernama Yayasan Lembaga Konsemen
Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi
serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen
(LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990
bergabung sebagai anggota Consumers International (CI).53
Dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa
yang berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen. Seperti
Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan
perwakilan YLKI diberbagai provinsi di tanah air.54 Berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka
pengertian perlindungan konsumen dapat dilihat pada Pasal 1 Angka 1
yakni: “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat pada
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan
Konsumen
tersebut
cukup
memadai.
Kalimat
yang
menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”
diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan kesewenang-wenangan
yang merugikan pelaku usaha hanya demi kepentingan perlindungan
konsumen.55
52
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia
Widiasarana, Jakarta, 2006, hlm. 11.
53
Ibid, hlm. 49.
54
Ibid.
55
Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT
RajaGrafindo, Jakarta, 2010, hlm. 1.
42
Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian
hukum, ukuranya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
dan
Undang-Undang
lainnya
yang
juga
dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan
konsumen, baik dalam bidang hukum privat (perdata) maupun bidang
hukum publik (pidana) dan Hukum Administrasi negara. Kewajiban dan
hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha
dapat dilihat sebagai hak konsumen.
B. Beberapa Teori Dalam Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
E-Commerce
Terdapat beberapa teori dalam memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen e-commerce.
1. Teori Penegakan Hukum/Law Enforcement
Secara konsepsional inti dari penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.56
Manusia di dalam pergaulan hidup mempunyai pandanganpadangan tertentu mengenai apa yang baik dan yang buruk untuk
menciptakan kehidupan bermasyarakat yang tentram dan tertib, untuk
mencapai hal tersebut diperlukan aturan atau hukum yang mengatur
ketertiban hidup bermasyarakat. Sebab hukum mempunyai fungsi
pengaturan, penyelesaian pertikaian, dan sebagainya, sehingga dapat
mengiringi masyarakat yang berkembang.
Hukum memiliki fungsi-fungsi yang sedemikian rupa sehingga di
dalam
suatu
kehidupan
bermasyarakat
diharapkan
terwujudnya
ketertiban, keteraturan, dan keadilan. Namun, kehidupan bermasyarakat
tersebut akan terwujud apabila hukum yang dicita-citakan tersebut telah
berjalan atau terlaksana. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi
56
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.3.
43
penegakan hukum, faktor tersebut antara lain:57
1. Faktor hukumnya sendiri, seperti Undang-Undang;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan erat karena
merupakan
esensi
dari
penegakan
hukum
itu
sendiri.
Dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen e-commerce
kelima faktor tersebut juga saling mempengaruhi. Sehingga untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen e-commerce
tidak cukup jika hanya menekankan pada Undang-Undang yang
berkaitan dengan e-commerce semata. Akan tetapi ia saling bertalian
dengan faktor lainnya, terutama terhadap faktor penegak hukumnya.
Hal tersebut disebabkan Undang-Undang disusun oleh para penegak
hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan oleh
masyarakat luas, termasuk dalam hal memberikan perlindungan hukum
terhadap konsumen e-commerce.
2. Teori Pengiriman
Teori ini menyatakan bahwa lahirnya kesepakatan adalah pada
saat pengiriman jawaban yang isinya berupa penerimaan atas
penawaran yang diterima dari pihak lain.58
Teori Pengiriman ini sangat berhubungan dengan transaksi
elektronik, karena ketika pembeli menyetujui penawaran yang diberikan
penjual dan pada saat itu menulis surat yang isinya menyetujui
penawaran yang diajukan penjual, pada saat itu belum dianggap telah
terjadi kesepakatan, tetapi setelah surat tersebut dikirim barulah
57
Ibid, hlm. 5.
Ahmadimiru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, PT RajaGrafindo
persada, Jakarta, 2007, hlm. 32-33.
58
44
dianggap terjadi kesepakatan berdasarkan Teori Pengiriman ini.
3. Teori Penerimaan
Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan itu terjadi manakala
jawaban atas penawaran yang berisi tentang penerimaan penawaran
59
tersebut telah diterima oleh pihak yang menawarkan.
Dalam transaksi
dagang, termasuk dalam transaksi elektronik, Teori Penerimaan ini
merupakan suatu bentuk kesepakatan antara penjual yang mengirim
penawaran kepada pembeli. Apabila calon pembeli menyetujui
penawaran yang diajukan oleh
penjual dengan mengirim surat
penerimaan atas penawaran tersebut, maka kesepakatan antara kedua
belah pihak dalam transaksi elektonik ini telah terjadi.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG E-COMMERCE
A. KOMPONEN-KOMPONEN E-COMMERCE
Dalam
menjalankan
transaksi
e-commerce
terdapat
enam
komponen dalam Electronic Commerce Transaction (Kontrak Dagang
Elektronik), yaitu:60
a. Kontrak dagang;
b. Kontrak dilaksanakan dengan media elektronik;
c. Tidak diperlukan kehadiran fisik dari para pihak;
d. Kontrak terjadi dalam jaringan publik;
59
Ibid.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 338.
60
45
e. Sistem terbuka, yaitu dengan internet atau www;
f. Kontrak terlepas dari batas yuridiksi nasional.
Berkaitan dengan komponen dalam transaksi e-commerce tersebut
di atas memiliki persamaan dengan perikatan yang diatur dalam
KUHPerdata yakni:
a. Syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata):
1. Kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian;
2. Cakap melakukan perbuatan hukum;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
b. Saat terjadinya kesepakatan;
Pernyataan dari pihak yang menawarkan (offerte) dan yang
menerima penawaran tersebut (acceptatie).
c. Persoalan hukum berkaitan dengan keabsahan;
1. Penggunaan tanda tangan digital (digital signature) belum
sepenhnya menumbuhkan kepercayaan semua pihak yang
berkepentingan;
2. Kecapakan saat melakukan kontrak sulit dideteksi.
Sementara itu, dalam perikatan jual beli e-commerce perlu
memahami beberapa asas yang berkaitan dengan transaksi e-commerce
dan kontak yaitu asas-asas dalam hukum kontrak. Dalam hukum kontrak
dikenal banyak asas, diantaranya sebagai berikut:61
1. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sering diartikan bahwa dibutuhkan
kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak
tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa
lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan
demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak,
lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada
saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercaainya kesepakatan
oleh para ihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau
61
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontak, PT RajaGrafindo ersada,
Jakarta, 2007, hlm. 3.
46
biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat
obligator, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk
memenuhi kontrak tersebut.
Asas Konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis
kontrak karena asas ini haya berlaku terhadap kontrak
konsensual sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel
tidak berlaku.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang
sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini
bagi sebagian sarjana hukum biasanya di dasarkan pada Pasal
1338 ayat (1) BW bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal
1320 BW yang menerangkan syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan
kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian
atau tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan
perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk-bentuk perjanjian;dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang
menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini
tidak terlepas juga dari sifat Buku III BW yang hanya merupakan
hukum
yang
mengatur
sehingga
para
pihak
dapat
menyimpanginya atau mengesampingkannya, kecuali terhadap
pasal-asal tertentu yang sifatnya memaksa.
47
3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk
memenuhi kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus
dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
4. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal
dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.
B. KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE
Pada dasarnya masing-masing pihak dalam jual beli secara
elektronik memiliki hak dan kewajiban. Penjual (merchant) adalah pihak
yang menawarkan produk yang ia perdagangkan melalui internet kepada
calon pembeli di dunia maya. Oleh karena itu seorang penjual wajib
memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang
ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen. Sementara itu, penjual
atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari
pembeli atau konsumen atas barang yang dijualnya. Disamping itu penjual
juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli atau
konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual
beli secara transaksi elektronik. Dari hal ini dapatlah diketahui
bahwasanya pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik,
masing-masing memiliki hak dan kewajiban.
Dalam bisnis e-commerce yang terlibat di dalamnya tidak saja
pelaku usaha dan konsumen, tetapi juga melibatkan pihak lain. Pihak
lainnya yang dimaksud diantaranya adalah pihak bank. Dalam hal ini bank
bertindak sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik.
48
Dimana bank berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu
produk dari pembeli kepada penjual produk. Hal ini mengingat
kemungkinan pembeli atau konsumen yang berkeinginan membeli produk
dari penjual melalui internet berada dilokasi yang letaknya saling
berjauhan. Sehingga dengan kondisi demikian konsumen menggunakan
fasilitas bank untuk melakukan pembayaran. Penggunaan fasilitas yang
dimaksud misalnya dengan pentransferan dari rekening pembeli kepada
rekening penjual atau sering kita kenal dengan sebutan account to
account. Artinya, ada pihak-pihak lain di luar pihak penjual dan pembeli
dalam aktifitas e-commerce.
Selain bank, pihak lainnya dalam bisnis e-commerce ada pula jasa
pengantar barang. Hal ini dibutuhkan karena penjual dan pembeli tidak
bertemu secara langsung, namun melakukan hubungan hukum berupa jual
beli menggunakan media internet.
Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi sistem e-
commerce adalah mekanisme pembayaran via internet. Mekanisme
pembayaran online juga harus menyertakan semua atau sebagian dari
tahapan-tahapan ini dalam alur pembayaran yang digunakan. Perubahan
interaksi
ini
juga
mengharuskan
untuk
mempehatikan
ke
arah
pengembangan keamanan metode pembayaran dalam e-commerce, agar
lebih aman dan terjamin. Karena itulah, sebagai pendukung dalam
transaksi
e-commerce
diperlukan
perantara
(pihak
ketiga)
untuk
keamanan, indentifikasi dan pengesahan. Dalam transaksi e-commerce
melalui internet perintah pembayaran (payment instruction) melibatkan
beberapa pihak selain dari pembeli (cardholder) dan penjual (merchant).
Dalam transaksi online merupakan sebuah keharusan adanya pihak
-pihak lain yang terlibat tersebut. Cara pembayaran yang sering dilakukan
dengan menggunakan kartu kredit (credit card) seperti BCA Card atau
Master Card, kartu debit (debit card), cek pribadi (personal check), atau
transfer antara rekening. Proses pembayaran biasanya dilakukan di
tempat diperjual-belikannya produk atau jasa tersebut. Transaksi secara
online bergantung dengan kartu kredit, karena hampir semua teknologi
49
yang tersedia menghendaki transaksi yang dilakukan lewat kartu kredit.
terjadinya transaksi antara konsumen dan pihak merchant/pedagang
dijembatani oleh pihak ketiga yang dapat berupa bank atau lembaga
keuangan. Jika seorang konsumen menggnakan kartu kredit untuk
berbelanja ke satu merchant tertentu, misalnya ke www.ebay.com maka
transaksi
tersebut
akan
dijembatani
oleh
bank
yang
mengurusi
masalahrekening bank pihak merchant.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan
pembayaran melalui internet, yaitu:
a. Security: data atau informasi yang berhubungan dengan hal-hal
sensitif semacam nomor kartu kredit dan password tidak boleh
sampai
”dicuri”
oleh
yang
tidak
berhak
karena
dapat
disalahgunakan di kemudian hari.
b. Confidentiality: perusahaan harus dapat menjamin bahwa tidak
ada pihak lain yanng mengetahui terjadinya transaksi, kecuali
pihak-pihak yang memang secar hukum harus mengetahuinya
(misalnya bank);
c. Integrity : sistem harus dapat menjamin adanya keabsahan
dalam proses jual beli, yaitu harga
yang tercantum dan
dibayarkan hanya untuk jenis produk atau jasa yang telah dibeli
dan disetujui bersama;
d. Authentication: yaitu proses pengecekan
kebenaran. Di sini
pembeli maupun penjual merupakan mereka yang benar-benar
berhak melakukan transaksi, seperti yang
dinyatakan oleh
masing-masing pihak;
e. Authorization: mekanisme untuk
melakukan pengecekan
terhadap keabsahan dan kemampuan seorang konsumen untuk
melakukan pembelian (adanya dana yang diperlukan unntuk
melakukan transaksi jual beli);
f. Assurance: kondisi ini meperlihatkan kepada konsumen agar
merasa
yakin
bahwa
merchant
yang
ada
benar-benar
berkompeten untuk melakukan transaksi jual beli melalui
50
internet (tidak melanggar hukum, memiliki sistem yang aman,
dan sebagainya).
Di dalam ketentuan Pasal 9 UU ITE dijelaskan bahwa pelaku usaha
yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan
informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen, dan produk yang ditawarkan. Kemudian dalam Pasal 10 ayat (1)
UU ITE mewajibkan setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan
Transaksi
Elektronik
harus
disertifikasi
keandalan”. Tidak hanya itu, dalam
oleh
lembaga
Sertifikasi
penyelenggaraan e-commerce,
penyelenggara Agen Elektronik wajib memperhatikan prinsip:
a. Kehati-hatian;
b. Pengamanan dan terintegrasinya sistem Teknologi Informasi;
c. Pengendalian pengamanan atas aktivitas Transaksi Elektronik;
d. Efektivitas dan efisiensi biaya; dan
e. Perlindungan konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berarti dalam pelaksanaan transaksi e-commerce, para pihak harus
menjalankan prinsip-prinsip tersebut di atas dengan baik dan konsisten.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, prinsip utama transaksi
secara
online
di
Indonesia
masih
lebih
mengedepankan
aspek
kepercayaan atau “trust” terhadap penjual maupun pembeli. Prinsip
keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas
kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran
(payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic
commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli,
terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai
nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli
melalui jejaring sosial, komunitasonline, tokoonline, maupun blog). Salah
satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan
melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang
diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo. Dengan
kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan
51
transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi
dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan
transaksi jual beli secara online. Kemudian dalam penyelenggaraan
Transaksi Elektronik yangdilakukan para pihak wajib memperhatikan:
a. iktikad baik;
b. prinsip kehati-hatian;
d. transparansi;
e. akuntabilitas;
f. kewajaran.
Apabila prinsip di atas dilanggar atau tidak diindahkan, maka
tentunya pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban dari pihak yang melanggar. Menurut penulis, sebaiknya dalam
melakukan transaksi jual beli melalui internet, konsumen juga harus jeli,
teliti serta waspada terhadap penawaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Tidak jarang pelaku usaha menawarkan produk yang fiktif, yang
dijual murah agar konsumen tertarik. Konsumen harus memastikan dahulu
sebelum memesan barang, pastikan merchant mencantumkan nomor
telepon yang bisa dihubungi dan alamat lengkapnya.
Apabila tertarik dengan barang yang ditawarkannya, maka lakukan
komunikasi terlebih dahulu, biasanya pembeli langsung menghubungi
lewat telepon, untuk memastikan apakah barang benar-benar ada, setelah
itu pembeli baru menanyakan tentang spesifikasi barang yang akan
dibelinya. Jika setuju, maka pembeli segera membayar harga atas barang
tersebut, kemudian barang dikirimkan. Kegiatan aktif konsumen untuk
selalu berkomunikasi atau bertanya tentang barang yang akan dibelinya
kepada pelaku usaha akan dapat mengurangi dampak kerugian bagi
konsumen. Selanjutnya, khusus untuk kewajiban pelaku usaha dalam
transaksi e-commerce menurut Pasal 49 PP Nomor 82 TAHUN 2012
tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik, yaitu:
1. Pelaku Usaha yang menawarkan
produk melalui
Sistem
Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
52
yang ditawarkan;
2. Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang
penawaran kontrak atau iklan;
3. Pelaku
Usaha
wajib
memberikan
batas
waktu
kepada
konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila
tidak
sesuai dengan
perjanjian
atau
terdapat cacat
tersembunyi;
4. Pelaku
Usaha
wajib menyampaikan
informasi mengenai
barang yang telah dikirim;
5. Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai
kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Dalam UU Perdagangan juga diatur bahwa setiap pelaku usaha
yang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan
sistem elektronik wajib menyediakan data dan atau informasi secara
lengkap dan benar. Setiap pelaku usaha dilarang memperdagangkan
Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak
sesuai dengan data dan atau informasi dan penggunaan sistem elektronik
tersebut wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Berikutnya dalam ketentuan Pasal 12
ayat (3) UUITE menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan
pelanggaran ketentuan tentang kewajiban dalam transaksi elektronik,
bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang
timbul.
Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang
timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap transaksi elektronik
tersebut. Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad
baik dalam melakukan interaksi selama transaksi berlangsung. Kemudian
bagi
Para
pihak
yang
melakukan
Transaksi
Elektronik
harus
menggunakan Sistem Elektronik yang disepakati. Kecuali ditentukan lain
oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi
pada saat penawaran
transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima.
Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan
53
dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Dalam perjanjian
terdapat dokumen elektronik, biasanya dokumen tersebut dibuat oleh
pihak merchant yang berisi aturan dan kondisi yang harus dipatuhi oleh
customer tetapi isinya tidak memberatkan customer. Aturan dan kondisi
tersebut juga dipakai sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
Adapun perlindungan hukum bagi kedua belah pihak adalah:
a. Perlindungan hukum untuk merchant terutama ditekankan
dalam hal pembayaran, merchant mengharuskan customer
untuk
melakukan
pelunasan
pembayaran
dan
kemudian
melakukan konfirmasi pembayaran, baru setelah itu akan
dilakukan pengiriman barang yang dipesan;
b. Perlindungan hukum untuk customer terletak pada garansi
berupa pengembalian atau penukaran barang jika barang yang
diterima tidak sesuai dengan yang dipesan.
c. Privacy data pribadi pengguna media elektronik harus dilindungi
secara hukum. Pemberian informasinya harus disertai oleh
persetujuan dari pemilik data pribadi.
Hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pihak yang
melakukan transaksi e-commerce, yang termuat dalam Pasal 25 UU ITE
“Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang disusun menjadi
karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya
dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik
sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui agen
elektronik. Namun, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat
hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik diatur sebagai berikut:
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang
bertransaksi;
b. Dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
54
pemberi kuasa; atau
c. Jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung
jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Sedangkan jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal
beroperasinya agen elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara
langsung terhadap Sistem elektronik, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.Jika kerugian Transaksi
Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik akibat
kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi
tanggung jawab pengguna jasa layanan. Namun, ketentuan ini tidak
berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
55
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, Pustaka
LP3ES, Jakarta, 2003.
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Bisnis E-Commerce Studi
Sistem Keamanan dan
Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Bakti,
Bandung, 1993.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontak, PT RajaGrafindo
ersada, Jakarta,
2007.
Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT
RajaGrafindo, Jakarta,
2010.
Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kaya Agung, Surabaya, 2005.
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989.
Dewa Gde Rudy dkk, Buku Ajar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, 2016.
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2003.
56
Hardijan Rusli, Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1996.
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008.
Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2002.
Muhammad Dinar dan Muhammad Hasan, Pengantar Ekonomi: Teori dan
Aplikasi, Cv Nur Lina
Bekerjasama denngan Pustaka Taman Ilmu, 2018.
Muhammad Sadi Is, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia Sebagai Upaya
Penguatan
Lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Setara Press,
Malang, 2016.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,
PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2012.
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum perikatan (Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian dan
Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung, 1994.
Rosmawati, Pokok-pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia
Group, Depok, 2018.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia
Widiasarana, Jakarta, 2006.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1993.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
57
Yogyakarta, 2003.
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan
Dalam Islam, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2011.
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya Di Indonesia,
PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Prosiding
Abdul Halim Barkatullah, “Penerapan Arbitrase Online dalam Penyelesaian
Sengketa Transaksi
E-Commerce”, Jurnal Hukum, diterbitkan oleh Fakultas Hukum
Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, volume 17, No. 3, Juli 2010, hlm. 364.
Abdul Thalib, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Perselisihan”, Jurnal
Mahkamah, Fakultas
Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, Volume 18, No. 1, April
2006, hlm. 88.
Arman Tjoneng, Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sebagai Lembaga Quasi
Peradilan
dalam
Memutuskan
Sengketa
Konsumen
dan
Permasalahannya, Prosiding
Konferensi Nasional Hukum Bisnis Mengintegrasikan Hukum dan
58
View publication stats
Etika ke dalam
Corporate Governance, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, Jawa Timur,
2019.
Emi Puasa Handayani, Zainal Arifin, Illegal Perse dalam Perlindungan
Konsumen di Indonesia,
Prosiding Konferensi Nasional Hukum Bisnis Mengintegrasikan
Hukum dan Etika ke
dalam
Corporate
Governance,
Fakultas
Hukum
Universitas
Brawijaya, Malang, Jawa
Timur, 2019.
59