Journal of Early Childhood Care & Education
JECCE
ISSN : 2615-1413 (online)
http://journal2.uad.ac.id/index.php/jecce
Deteksi Gangguan Emosi dan Perilaku Disruptif Pada Anak Usia Prasekolah
1
2
Ega Asnatasia Maharani , Intan Puspitasari
PG PAUD/ Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan/ Universitas Ahmad Dahlan
ega@pgpaud.uad.ac.id1 , intan.puspitasari@pgpaud.uad.ac.id2
Info Artikel
Abstrak
________________ Masalah emosi dan perilaku merupakan keluhan yang kerap muncul dalam setting pendidikan
Submitted:
anak usia dini. Fenomena di lapangan menunjukkan adanya kesulitan yang dialami guru
dalam membedakan mana masalah emosi dan perilaku yang memerlukan intervensi lebih
28 Februari 2019
lanjut dan tidak. Penelitian ini bertujuan memberikan data pendahuluan (baseline research)
Accepted:
tentang gejala gangguan emosi dan perilaku disruptif pada anak usia prasekolah di sekolah
3 Maret 2019
mitra program studi PGPAUD. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggunakan
observasi dan wawancara mendalam terhadap guru. Observasi dan wawancara dilaksanakan
Published:
dengan mengacu pada panduan diagnosa gangguan emosi dan perilaku disruptif (DSM IV).
10 Maret 2019
Upaya deteksi gejala gangguan emosi dan perilaku disruptif ini dilaksanakan di lima sekolah
mitra PGPAUD UAD di wilayah Yogyakarta, yang sebelumnya telah melaporkan adanya
berbagai masalah emosi dan perilaku yang muncul pada peserta didiknya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 61 anak yang memiliki kecenderungan mengalami gangguan
perilaku, gangguan emosi dan keduanya sekaligus. Anak dengan klasifikasi gejala gangguan
perilaku disruptif ADHD ditemukan sebanyak 37 anak atau sebesar 9,2%. Ditemukan 10 anak
atau sebesar 2,5% anak dari total populasi memunculkan gejala ODD. Gejala Conduct
Disorder (CD) ditemukan pada 3 orang anak atau sebesar 0,7% dan gangguan emosi yang
dideteksi pada penelitian ini ditemukan sebesar 2,7% atau sejumlah 11 orang anak.
Prevalensi komorbiditas paling besar ditemukan pada jenis gangguan ADHD dan ODD.
Kata Kunci : perilaku disruptif, anak prasekolah, gangguan emosi, deteksi dini
Abstract
Emotional and behavioral problems are issues that often appear in early childhood education
settings. Phenomenon in practice shows the difficulties experienced by teachers in
distinguishing between emotional and behavioral problems that require further intervention and
not. This study aims to provide preliminary data (baseline research) about the symptoms of
emotional disturbances and preschoolers’ disruptive behavior in partner schools of PG PAUD
study programs. This research is a descriptive study, using observation and in-depth
interviews with teachers. Observations and interviews were carried out by referring to
guidelines for diagnosing emotional disorders and disruptive behaviors (DSM IV). The effort to
detect symptoms of emotional disturbances and disruptive behavior was carried out in five PG
PAUD UAD partner schools in the Yogyakarta region, which had previously reported various
emotional problems and behaviors that appeared to their students. The results showed that
there were 61 children who had a tendency to experience behavioral disorders, emotional
disturbances and both at once. Children with a classification of symptoms of disruptive ADHD
behavior disorder were found in 37 children or 9.2%. 10 children were found or 2.5% of the
total population gave rise to symptoms of ODD. Symptoms of Conduct Disorder (CD) were
found in 3 children or 0.7% and the emotional disturbances detected in this study were 2.7% or
a total of 11 children. The greatest prevalence of comorbidity is found in ADHD and ODD
disorders.
Kata Kunci : disruptive behavior, preschoolers, emotional disturbances, early detection
Copyright © 2019 JECCE, Universitas Ahmad Dahlan
1
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
PENDAHULUAN
Proses perkembangan individu mengalami fase yang sangat cepat baik dari segi
kuantitas, kualitas, maupun kematangan pada usia 0 bulan sampai 5 tahun.
Perkembangan yang serba cepat ini memberikan implikasi luas pada proses asemen dan
intervensi anak usia dini. Dalam berbagai kasus klinis, konsep very early detection
(deteksi sangat dini) bahkan sudah lebih dipromosikan untuk mencapai hasil yang lebih
optimal (Staal, Van Stel, Hermanns, & Scrijhvers, 2016). Pada tahap ini, gangguan
tumbuh kembang anak sudah dapat dideteksi sejak usia di bawah 2 tahun contohnya
pada kasus autism spectrum disorder (ASD). Namun berbagai literatur menyebutkan
untuk gangguan emosi dan perilaku, belum ada stabilitas dan prognosis yang jelas
sampai setidaknya anak berusia 24 bulan (Papalia, Olds, & Feldman, 2002). Oleh sebab
itu, usia prasekolah merupakan fase yang tepat untuk dilakukannya deteksi dini pada
gangguan emosi dan perilaku disruptif.
Proses deteksi dini sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan
dasar. Menurut Permendikbud No 137
tahun 2014 lampiran II , Pedoman Deteksi
Tumbuh Kembang adalah kegiatan untuk menemukan secara dini adanya potensi dan
hambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia dini. Hasil deteksi dini ini
dapat menjadi rujukan bagi guru untuk menyusun kegiatan pembelajaran sesuai
kebutuhan dan karakteristik setiap anak.
Usia prasekolah adalah masa ketika anak mendapat berbagai stimulasi dari
lingkungan sekitarnya. Lingkungan menstimulasi fungsi fisik dan psikis, agar
selanjutnya anak mampu memberikan bentuk-bentuk respon secara tepat (Papalia dkk.,
2002). Hal ini sesuai dengan fungsi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yaitu sebagai
wadah pengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak sekaligus memberikan
kerangka dasar untuk membentuk
interaksi sosialnya. Namun dalam praktiknya,
anak justru memunculkan perilaku maladaptif di lingkungan sekolah.
Hasil wawancara awal dengan kepala sekolah beberapa TK ABA di Yogyakarta
menunjukkan adanya fenomena guru kesulitan mengatasi problem emosi dan perilaku
pada beberapa anak di kelas masing-masing. Rata-rata terdapat 4 - 10 anak di setiap
sekolah yang diduga mengalami gangguan emosi dan perilaku. Problem tersebut antara
lain: menangis berlebihan (temper tantrum), suka berbohong, anak memukul temannya,
enggan berpisah dengan ibu, menantang guru dengan cara kasar, dan hiperaktif. Akan
tetapi di sisi lain, guru pun mengalami kesulitan menentukan apakah perilaku yang
ditunjukkan anak didiknya tersebut memang digolongkan gangguan, atau masih dalam
tingkatan yang wajar dalam perkembangan anak. Kesulitan guru dalam memahami
2
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
kondisi anak ini juga diperparah dengan minimnya informasi dari orangtua. Umumnya
orangtua mengatakan anaknya ’baik-baik saja’ jika di rumah, atau cenderung
menghindar ketika diajak berdiskusi oleh pihak sekolah.
Berdasarkan uraian umum yang diberikan tersebut, dimungkinkan anak
mengalami gangguan emosi dan perilaku disruptif. Wehby, Lane and Falk mengatakan
bahwa gangguan emosi mengacu pada siswa yang menunjukkan beberapa tipe perilaku
tidak sesuai/pantas yang pada akhirnya mempengaruhi pendidikan dan kemampuan
berprestasi (Salmon, 2006). Seorang anak dikatakan memiliki gangguan emosi apabila
menunjukkan gejala-gejala psikopatologi yang mengakibatkan berbagai permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari. Sementara perilaku disruptif merupakan pola perilaku
yang berulang-ulang yang mengganggu proses belajar atau interaksi sosial. Pola
perilaku tersebut antara lain seperti tantrum, agresi fisik maupun verbal, merusak
barang-barang, melukai diri sendiri dan penolakan (Claessens & Dowsett, 2014; Hayes,
Giallo, & Richardson, 2010; McCabe & Frede, 2007; Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza,
& Hapsari, 2010)
Mengutip dari beberapa hasil studi, anak dengan gangguan emosi atau perilaku
disruptif memiliki berbagai kemungkinan resiko di antaranya: menghambat partisipasi
anak dalam aktivitas pendidikan, menjauhkan anak dari teman sebaya, membahayakan
diri anak maupun teman lain secara fisik, mempengaruhi keberlangsungan proses
belajar dan fungsi individu lain di kelas, mengurangi kesempatan anak untuk dapat
terlibat dalam kegiatan komunitas, serta beresiko tinggi meningkatkan angka
kenakalan dan kriminalitas di masa dewasa (Claessens & Dowsett, 2014; Hayes dkk.,
2010; Wiguna dkk., 2010).
Dampak multidimensi tersebut dapat muncul sebab baik orangtua maupun pihak
sekolah seringkali tidak memahami apa dan bagaimana penanganannya. Anak kerap
mendapat stigma negatif, mendapat label sebagai ‘anak bermasalah’, dijauhi teman
sebaya, dilihat sebagai anak bodoh yang tidak memiliki harapan. Padahal prognosa
anak dengan gangguan emosi dan perilaku disruptif cenderung positif pada kasus yang
terdeteksi sejak dini. Hal ini yang mendorong peneliti memfokuskan penelitian ini pada
upaya deteksi dini gangguan emosi dan perilaku disruptif pada anak usia prasekolah.
Selain itu minimnya kajian pada topik ini menyebabkan belum adanya gambaran
utuh mengenai kondisi anak prasekolah dengan gangguan emosi dan perilaku disruptif.
(Eleftheria, Kafenia, & Andreou, 2007). Sebuah penelitian menunjukkan prevalensi
terjadinya gangguan perilaku disruptif sebesar 10-20% pada anak usia prasekolah,
dimana masalah perilaku yang umum pada anak usia 3-4 tahun adalah perilaku
3
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
impulsif, hiperaktif dan agresif (Eleftheria, Kafenia, & Andreou, 2007). Hasil tersebut
diperkuat oleh data dari Center of Public Mental Health UGM yang menelaah praktik
kerja profesi psikolog tahun 2008-2010, bahwa 34% anak Taman Kanak-Kanak
cenderung mengalami gangguan perilaku (Nurmalitasari, 2015).
Tingginya
menunjukkan
angka
prevalensi
gangguan
emosi
maupun
dan
luasnya
perilaku
dampak
disruptif
masalah
tersebut
merupakan
masalah
perkembangan yang membutuhkan penanganan baik dari keluarga maupun setting
sekolah. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi baseline research untuk
selanjutnya dikembangkan program intervensi bagi anak-anak yang memang terdeteksi
mengalami gangguan emosi dan perilaku disruptif.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berupaya mendeskripsikan
gejala gangguan emosi dan perilaku disruptif anak didik usia prasekolah di TK ABA
Yogyakarta. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan sifat dari
fenomena yang tengah berlangsung. Lebih lanjut, kajian ini memberikan informasi yang
lebih lengkap mengenai fenomena, sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan
Partisipan penelitian ini adalah anak didik yang tercatat sebagai siswa aktif di
Kelompok A maupun Kelompok B TK ABA yang menjadi sekolah mitra Prodi PGPAUD
UAD, pada Tahun Ajaran 2018/2019. Prodi PGPAUD saat ini memiliki kerjasama
kemitraan dengan 10 TK ABA di wilayah Yogyakarta. Dari 10 sekolah tersebut, dipilih
5 sekolah mitra yang sebelumnya telah melaporkan adanya gelaja problem emosi dan
perilaku pada anak didiknya. Kelima sekolah tersebut adalah PAUD Terpadu Nuraini,
TK ABA Krapyak, TK ABA Karangkajen, TK ABA Giwangan, dan TK ABA Kauman.
Anak didik dari 5 TK yang berperan sebagai subjek dalam penelitian ini adalah
yang memunculkan gejala gangguan emosi dan perilaku disruptif di kelas. Kriteria
tersebut mengacu pada gejala perilaku disruptif sebagaimana tercantum dalam DSM
IV-TR (APA, 2000), serta mempertimbangkan adanya dampak negatif atas kondisi ini
terhadap keberfungsian anak. Selanjutnya, sebagai partisipan adalah guru pendamping
di kelas Taman Kanak-Kanak. Dalam hal ini, guru memberikan informasi mengenai
hasil pengamatan terhadap perilaku anak didik di dalam kelas. Penentuan partisipan
penelitian dilaksanakan secara purposive, dengan tujuan agar yang dipilih dapat
memberikan informasi mengenai pengalaman khusus yang akan diteliti. Terdapat 10
4
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
guru yang terlibat dalam penelitian ini, dimana mereka bertindak sebagai guru kelas
anak-anak yang diduga mengalami gangguan emosi atau perilaku disruptif.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan observasi,
wawancara mendalam, dan dokumentasi. Observasi dilakukan dengan menggunakan
panduan dan lembar observasi yang disusun sesuai kriteria diagnostik pada DSM V-TR
(APA, 2000). Observasi dilakukan oleh guru dan peneliti, selama proses pembelajaran
berlangsung. Wawancara dilakukan dengan teknik semi-terstruktur yang bertujuan
mengungkap pola perilaku, aktivitas akademik, pola interaksi, dan latar belakang
keluarga anak. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap guru pendamping di
kelas. Sementara itu dokumentasi didapat dari catatan hasil belajar, portofolio, dan
pengambilan gambar selama pengumpulan data berlangsung.
Prosedur Pengambilan Data
Data awal didapatkan melalui wawancara yang dilakukan terhadap Kepala
Sekolah dan guru kelas untuk mengetahui gambaran umum gejala-gejala gangguan
perilaku dan emosi yang muncul di sekolah. Hasil wawancara ini menjadi dasar
penentuan partisipan dan subjek penelitian. Kemudian peneliti menyusun panduan dan
lembar observasi yang memuat kriteria diagnostic gangguan perilaku disruptif dan
gangguan emosi berdasarkan DSM V. Lembar observasi ini kemudian diisi oleh guru
untuk mendeteksi munculnya gejala perilaku yang nampak, namun hanya pada situasi
yang dapat diamati secara langsung oleh guru. Hasil pengamatan tersebut kemudian
diperdalam oleh peneliti menggunakan observasi lanjutan dan wawancara semitersruktur untuk mengetahui onset, pola perilaku, dan latar belakang anak. Temuan
observasi dan wawancara menjadi dasar penegakan diagnosis dan pengklasifikasian
jenis gangguan pada anak.
Validitas Penelitian
Uji kredibilitas dilakukan melalui perpanjangan pengamatan dimana peneliti
tidak hanya sekali kembali ke lapangan untuk melakukan observasi dan wawacara
terhadap sumber data. Pengujian kredibilitas juga dilakukan dengan teknik triangulasi
data, dimana peneliti mengecek keabsahan data melalui berbagai sumber. Adapun
sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil observasi guru, hasil
observasi peneliti, hasil wawancara baik kepada guru maupun kepala sekolah, serta
sejumlah dokumentasi hasil belajar anak. Selanjutnya dilakukan juga member check
dimana guru sebagai sumber data utama diminta melihat dan memberikan persetujuan
hasil perolehan data keseluruhan. Pada tahap ini guru juga memberikan refleksinya
5
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
selama proses pengambilan data berlangsung. Terakhir, peneliti melakukan audit
eksternal yaitu memberikan kesempatan pada ahli di luar team peneliti untuk
memeriksa catatan dan kode analitik penelitian.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik thematic analysis (TA).
Thematic analysis digunakan dalam penelitian dengan sample besar dan berfungsi
untuk identifikasi, analisis, dan melihat pola (tema) dalam data. Tidak seperti metode
analisis lainnya, thematic analysis tidak terpaku pada framework teori sehingga data
yang didapat lebih bersifat kontekstual.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pengambilan data dilakukan selama satu bulan menggunakan instrument deteksi,
dilanjutkan observasi terhadap anak dan wawancara dengan guru pendamping.
Intrumen deteksi berisi 50 aitem yang disusun berdasarkan panduan dalam DSM V.
Selanjutnya observasi dan wawancara klinis dikembangkan untuk memastikan apakah
isian dalam instrumen cukup kuat digunakan sebagai penegakan diagnosis. Sebanyak
61 anak dideteksi memiliki gejala gangguan perilaku disruptif, gangguan emosi, dan
keduanya sekaligus. Proporsi subjek penelitian dengan jenis kelamin laki-laki lebih
banyak daripada perempuan
Hasil observasi dan wawancara di lima sekolah mitra PGPAUD UAD yaitu: PAUD
Terpadu Nur’aini Ngampilan, TK ABA Krapyak, TK ABA Karangkajen, TK ABA
Giwangan, dan TK ABA Kauman menunjukkan 12,4 % anak menunjukkan gejala
perilaku disruptif dan 2,7% menunjukkan gejala gangguan emosi pada setting kelas.
Total populasi dari lima sekolah adalah 402 anak yang terdiri dari usia 4-7 tahun.
Secara umum sebaran gangguan perilaku disruptif dan gangguan emosi dapat
digambarkan pada Tabel 1.
Jenis gangguan
Jumlah
Presentase
Laki-laki
Perempuan
ADHD
37
9,2%
29
8
ODD
10
2,5%
7
3
CD
3
0,7%
3
0
Masalah emosi
11
2,7%
8
3
Tabel 1. Sebaran gangguan berdasarkan gejala kemunculan
6
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
Chart Title
30
25
20
15
10
5
0
ADHD
ODD
CD
Laki-Laki
EMOSI
Perempuan
Gambar 1. Diagram gangguan perilaku disruptif dan gangguan emosi
Gambar 1 menjelaskan bahwa anak dengan klasifikasi gejala gangguan perilaku
disruptif Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) ditemukan sebanyak 37
anak atau sebesar 9,2%. Hal ini sesuai dengan angka prevalensi menurut DSM V (APA,
2013) yaitu sebesar 5% dari populasi berbagai budaya. Gejala yang nampak terutama
pada area inatensi dan hiperaktivitas. Anak menunjukkan perilaku sulit memusatkan
perhatian
pada
tugas
dan
mengikuti
instruksi
sehingga
berpengaruh
pada
keterlibatannya di aktivitas belajar. Hasil wawancara dengan guru pendamping
menyatakan anak dengan gejala hiperaktivitas paling mempengaruhi kondisi belajar di
kelas. Hal ini dipicu tingginya produktivitas gerak membuat anak tidak mampu
menyesuaikan diri dengan ritme belajar teman sebayanya.
Berdasarkan deteksi dini, ke-37 anak ini memiliki minimal 6 gejala perilaku
ADHD selama 6 bulan terakhir dengan intensitas, durasi, dan frekuensi yang tinggi dan
menetap. Simptom ADHD tersebut dipastikan muncul pada setting kelas dan aktivitas
lain yang melibatkan teman sebaya seperti ketika bermain atau kegiatan luar sekolah.
Namun demikian, penelitian ini tidak dapat mengkategorisasi lebih lanjut apakah
gejala ADHD yang muncul tersebut masuk ke dalam kelompok combined (F90.2),
predominant innatentive (F90.0), atau predominant hyperactivity/impulsive (F90.1)
karena data anamnesa hanya terbatas pada setting sekolah.
Gejala perilaku disruptif lainnya yang dideteksi di lima sekolah mitra adalah
Oppositional Defiant Disorder (ODD). Ditemukan 10 anak atau sebesar 2,5% anak dari
total populasi memunculkan gejala ODD dengan pola negativistik terbesar pada
perilaku mudah tersinggung, melawan aturan orang dewasa, dan mudah menyalahkan
orang lain atas perilakunya sendiri. Setelah dilakukan observasi dan wawancara klinis
7
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
lebih lanjut, 10 anak tersebut dikategorikan memiliki kecenderungan ODD berdasarkan
onset kemunculan lebih dari 6 bulan dan minimal 4 gejala perilaku menetap.
Dari 10 anak yang memiliki gejala ODD, 8 orang di antaranya atau sebesar 80%
memiliki komorbiditas dengan gejala ADHD. Angka prevalensi gangguan ODD dan
ADHD pada pasien umum ada pada kisaran 25-75%. Pada anak dengan gangguan
ADHD sekaligus ODD tersebut guru melaporkan adanya kesulitan lebih tinggi pada
aspek akademik dan sosialnya. Kesulitan ini lebih terlihat pada anak di kelompok usia
lebih tua (5-6 tahun) karena gejala perilakunya lebih sulit dikontrol dibandingkan pada
anak usia di bawahnya (Masi & Gignac, 2015).
Gejala Conduct Disorder (CD) ditemukan pada 3 orang anak atau sebesar 0,7%
dari populasi TK. Angka ini cenderung lebih kecil dari prevalensi yang dikemukakan
yaitu sebesar 2-9% dari berbagai populasi (Masi & Gignac, 2015). Perilaku merundung,
mengancam, atau mengintimidasi orang lain adalah gejala yang paling sering muncul
dari delapan anak tersebut. Namun demikian, angka komorbiditas CD dan ADHD
cenderung lebih rendah dengan intensitas ringan jika dibandingkan komorbiditas ODD
dan ADHD. Gejala ADHD yang paling sering muncul pada anak yang juga
menunjukkan gejala CD adalah kesulitan menunggu giliran dan selalu terlihat ingin
bergerak. Hanya 1 orang dari 11 anak tersebut yang memiliki kriteria lengkap conduct
disorder karena pada anak-anak lain gejala perilakunya belum menetap hingga minimal
selama 12 bulan terakhir.
Gangguan emosi yang dideteksi pada penelitian ini ditemukan sebesar 2,7% atau
sejumlah 11 orang anak. Anak sering nampak khawatir, tidak bahagia, mudah
menangis, dan sering diintimidasi oleh teman adalah gejala yang paling sering muncul.
Setiap kali berhadapan dengan situasi tidak menyenangkan, anak membutuhkan waktu
cukup lama untuk keluar dari emosi negatifnya. Sementara itu gejala yang paling
konsisten muncul pada sebelas anak tersebut adalah mudah takut serta cenderung
menyendiri, lebih senang bermain sendiri.
Pembahasan
Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi gangguan perilaku disruptif
dan gangguan emosi anak usia dini di sekolah mitra. Secara spesifik perilaku disruptif
yang diungkap pada subjek penelitian antara lain ADHD (attention deficit/hyperactivity
disorder), ODD (oppositional defiant disorder) dan OCD (obsessive compulsive disorder)
dimana peneliti menggunakan DSM V sebagai panduan penyusunan instrumen serta
acuan deteksi kecenderungan gangguan pada anak. Setelah melakukan analisis
8
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
terhadap
data
yang
terkumpul,
didapat
kesimpulan
ada
61
anak
memiliki
kecenderungan mengalami gangguan perilaku, emosi maupun keduanya sekaligus.
Munculnya gangguan perilaku disruptif merupakan kombinasi dari faktor-faktor
biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana penelitian mengenai pencitraan MRIs
menemukan bahwa area otak yang bertanggungjawab atas pengelolaan reasoning,
judgment dan kontrol perilaku impulsif mempunyai perbedaan antara penderita
gangguan perilaku dan tidak. Pola asuh yang mengandung kekerasan diasosiasikan
dengan munculnya gangguan perilaku pada anak (Grasso dkk., 2015). Penyebab
munculnya perilaku disruptif sangat beragam dari usia ibu pada saat melahirkan,
perilaku merokok ketika hamil, perilaku antisosial, dan gaya pengasuhan koersif (Kliem
dkk., 2018). Faktor multidimensional ini menunjukkan fakta pentingnya dilakukan
diagnosis sedini mungkin tidak hanya untuk kepentingan akademik namun juga
intervensi klinis.
Pada gangguan jenis ADHD, gejala paling dominan yang dilaporkan muncul ada
pada area inatensi dan hiperaktivitas (Nikolas & Burt, 2010). Anak menunjukkan
perilaku sulit mengikuti instruksi, mudah terganggu oleh stimulus eksternal, kesulitan
menyelesaikan tugas, dan sulit untuk duduk tenang.
Perilaku disruptif di seting
pendidikan berdampak negatif bagi anak dan anggota sekolah lainnya.
Anak yang
memunculkan gejala perilaku disruptif akan dijauhi teman sebayanya. Perilaku
disruptif dapat membahayakan diri anak maupun teman lain secara fisik. Dampak fisik
umumnya menjadi dasar pengajuan keluhan terhadap perilaku anak yang merugikan
tersebut. Kemunculan perilaku disruptif dapat mempengaruhi keberlangsungan proses
belajar dan fungsi individu lain di kelas, seperti teman dan guru. Kasus perilaku
disruptif juga mengurangi kesempatan anak untuk dapat terlibat dalam kegiatan
komunitas. Dampak yang demikian buruk pada keterlibatan di kelas menjadikan anak
‘tertinggal’ dalam proses belajar, sehingga di akhir tahun akademik tidak jarang anak
memerlukan upaya penanganan yang besar dari staf sekolah
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku disruptif sering muncul sejak
masa balita dan pra sekolah (Keenan & Wakschlag, 2000), kemudian menurun ketika
memasuki usia pra remaja (Hayes dkk., 2010). Namun pada beberapa anak gejala
tersebut menetap dan berlanjut hingga remaja bahkan dewasa (Stern, Blais, & Danese,
2018). Keterlambatan deteksi dan penanganan yang kurang tepat dalam mengatasi
munculnya gejala gangguan perilaku disruptif pada anak usia ini menjadi salah satu
faktor gejala tersebut menetap hingga remaja bahkan dewasa. Sebagai tanggapan dari
pemahaman tersebut, penelitian ini melibatkan siswa-siswa TK berusia 4-7 tahun
9
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
untuk dapat diases menggunakan instrumen yang mengacu pada DSM V untuk
mendeteksi lebih dini apabila terdapat gejala gangguan perilaku distruptif dan emosi
pada anak.
Penelitian ini juga mengidentifikasi siswa yang mempunyai kecenderungan
terhadap gangguan emosi. Beberapa gejala gangguan emosi antara lain munculnya
perasaan sedih dan depresi yang terus menerus meskipun dalam situasi yang normal,
ketidakmampuan untuk membangun hubungan interpersonal dengan teman sebaya
maupun guru, serta memiliki gejala ketakutan terhadap orang tertentu atau sekolah
(The Individuals with Disabilities Education Improvement Act, 2004). Tidak disebutkan
secara spesifik batas waktu munculnya gejala-gejala tersebut sehingga dapat
ditegakkan diagnosa gangguan emosi. Namun gejala-gejala tersebut harus telah
berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan mempengaruhi performa anak di
sekolah.
Peneliti menemukan bahwa jumlah siswa yang memiliki kecenderungan gangguan
emosi lebih sedikit dibandingkan siswa yang memiliki kecenderungan gangguan
perilaku. Dari 11 anak yang teridentifikasi, gejala yang paling banyak ditemukan
adalah sering tampak khawatir, sering terlihat tidak bahagia atau menangis, dan sulit
berpisah dengan orangtua pada situasi baru. Gangguan emosi ini lebih sulit dideteksi
karena pada umumnya anak usia dini memang memiliki karakteristik emosi yang
ekstrim dan mudah berubah-ubah.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa diperkirakan sebesar dua pertiga
anak dan remaja yang didiagnosis mengalami ADHD juga memiliki satu atau dua
gangguan yang lain (Stern dkk., 2018). ODD merupakan gangguan yang paling banyak
menyertai gangguan ADHD
ini
(Finks, 2012). Data yang peneliti dapatkan
menunjukkan bahwa terdapat 8 orang anak yang memiliki kecenderungan mengalami
ADHD dan ODD sekaligus. Anak-anak tersebut mengalami kesulitan yang lebih tinggi
dalam bidang akademik maupun penyesuaian sosial dibandingkan teman yang lain.
Perilaku yang sulit dikontrol juga menjadi salah satu informasi yang guru berikan
terkait anak-anak tersebut.
Rasio jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan yang memiliki kecenderungan
gangguan juga menjadi salah satu temuan yang senada dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Misal dalam hal ini rasio siswa lak-laki dan perempuan yang mengalami
ADHD sebesar 3:1
dan ODD 2:1. Sebanyak 71% dari total anak yang didiagnosis
mengalami ADHD adalah laki-laki (Stern dkk., 2018).
10
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
Pada proses inquiry deteksi dini, penelitian ini menemui kesulitan untuk
menentukan intensitas, durasi, maupun frekuensi kemunculan simtom gangguan emosi
dan perilaku disruptif. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu, hingga terbatasnya
responden yang hanya melibatkan guru kelas. Meskipun pihak sekolah umumnya
mengetahui latar belakang anak, namun informasi tersebut tidak tercatat secara
sistematis serta kurang menyeluruh. Padahal, penegakan diagnosis mengharuskan
tersedianya data dari berbagai setting kehidupan anak. Oleh sebab itu, dibutuhkan
observasi dan wawancara lebih lanjut kepada lingkungan keluarga anak terutama
orangtua.
Keterbatasan lain penelitian ini ada pada aitem-aitem instrumen yang kurang
dapat dipahami oleh guru karena menggunakan bahasa yang diambil langsung dari
DSM V. Dimungkinkan guru kurang memiliki kejelasan dalam menginterpretasikan
aitem tersebut dalam pengamatannya terhadap anak. Pada penelitian selanjutnya
diharapkan ada proses pendampingan ketika melakukan pengisian instrument sehingga
guru dapat memutuskan apakah perilaku yang muncul sesuai dengan simtomp pada
instrument.
SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat 12,4 % anak
menunjukkan gejala perilaku disruptif dan 2,7% menunjukkan gejala gangguan emosi
pada setting kelas, dari total populasi 402 anak . Gejala yang paling banyak muncul
adalah jenis ADHD dan gangguan emosi, dengan komorbiditas paling tinggi ditemukan
pada gangguan ADHD dan ODD. Aspek yang dominan muncul sebagai simtom ADHD
adalah inatensi dan hiperaktivitas. Secara umum, gangguan ini mempengaruhi
kemampuan sosial dan adaptasi anak di lingkungan sekolah.
Data hasil deteksi terhadap kemunculan gejala-gejala menjelaskan fenomena
perilaku disruptif anak di jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak. Jika mencermati
dari bentuk –bentuk perilaku disruptif
dan emosi anak didik, faktor penyebab dan
resiko dapat bersumber dari individu anak sendiri atapun ada kaitan dengan
lingkungan. Faktor penyebab dan faktor resiko dapat dijadikan acuan dalam
merumuskan penanganan yang tepat dan multi modal untuk anak didik yang
memunculkan gejala perilaku disruptif.
11
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
Saran
Pada tahap berikutnya diharapkan proses deteksi ini dilanjutkan pada inquiry
lanjutan kepada orangtua dan anggota keluarga lain yang terlibat dalam pengasuhan
anak. Hal ini perlu dilakukan agar penegakan diagnosis bersumber dari data yang
komprehensif.
Selanjutnya dengan adanya data mengenai jumlah anak didik yang menampilkan
gejala perilaku disruptif dan emosi, diharapkan orang tua, guru, dan pengambil
kebijakan terkait dalam bidang pendidikan anak usia dini, secara segera merumuskan
penanganan dalam bentuk intervensi dini agar derajat gangguan tidak bertambah
berat.
DAFTAR RUJUKAN
Claessens, A., & Dowsett, C. (2014). Growth and Change in Attention Problems,
Disruptive Behavior, and Achievement from Kindergarten to Fifth Grade.
Psychological Science, 25(12), 2241–2251.
Eleftheria, B., Kafenia, B., & Andreou, E. (2007). Classroom Behavior Management
Practices in Kindergarten Classrooms: An Observation Study. Hellenic Journal of
Research in Education.
Finks, K. (2012). Symptoms, Treatment, and Medication Reactions for Disruptive
Behavior Disorders. NASN School Nurse.
Grasso, D. J., Henry, D., Kestler, J., Nieto, R., Wakschlag, L. S., & Gowan, M. J. . (2015).
Harsh parenting as a potential mediator of the association between intimate
partner violence and child disruptive behavior in families with you children.
Journal of Interpersonal Violence, 31(11), 2102–2126.
Hayes, L., Giallo, R., & Richardson, K. (2010). Outcomes of an early intervention
program for children with disruptive behaviour. Child Adolescent Psychiatry,
18(6), 560–566.
Keenan, K., & Wakschlag, L. S. (2000). More than terrible twos: The nature and severity
of behavior problems in clinic-referred preschool children. Journal of Abnormal
Child Psychology, 28, 33–46.
Kliem, S., Heinrichs, N., Lohmann, A., Bussing, R., Scwahzer, R., & Briegel, W. (2018).
Dimensional latent structure of early disruptive behaviour disorder: A taxometric
analysis in pre-schoolers. Journal Abnormal Child Psychology, 46(7), 1385–1394.
Masi, L., & Gignac. (2015). ADHD and comorbid disorder in childhood: Psychiatric
problems, medical problems, learning disorder, and developmental coordination
disorder. iMedpub Journal, 1(5), 1–9.
McCabe, L. ., & Frede, E. C. (2007). Challenging behaviors and the role of preschool
education. National Institute for Early Education Research Preschool Policy Brief,
16.
Nikolas, M. A., & Burt, S. A. (2010). Genetic and environmental influences on ADHD
symptom dimensions of inattention and hyperactivity: a meta-analysis. Journal
of abnormal psychology, 119(1), 1–17.
12
Journal of Early Childhood Care & Education
Vol. 2 No.1, Maret 2019
Hal. 1-13
Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan sosial emosi pada anak usia prasekolah.
Buletin Psikologi, 23(2), 103–111.
Papalia, D. E., Olds, S. ., & Feldman, R. D. (2002). A child’s world: Infancy through
adolescence (9th ed.). New York: McGraw-Hill.
Salmon, H. (2006). Educating students with emotional or behavioral disorders. Law &
Disorder, 1, 49–53.
Staal, I. E., Van Stel, H. F., Hermanns, J. M. A., & Scrijhvers, A. J. . (2016). Early
detection of parenting and developmental problems in young children: Nonrandomized comparison of visits to the well-baby clinic with or without a
validated interview. International Journal of Nursing Studies, 62, 1–10.
Stern, A., Blais, J. A., & Danese, A. (2018). Association between abuse/neglect and
ADHD from childhood to young adulthood: A prospective nationallyrepresentative twis study. Child Abuse & Neglect, 274–285.
The Individuals with Disabilities Education Improvement Act. (2004). Diambil dari U.S.
Department of Education.
Wiguna, T., Manengkei, P. S., Pamela, C., Rheza, A. M., & Hapsari, W. A. (2010).
Masalah Emosi dan Perilaku Pada Anak dan Remaja di Poliklinik Jiwa Anak dan
Remaja di RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sari Pediatri,
12(4), 270–277.
13