PEMBERLAKUAN HUKUM DI INDONESIA
MAKALAH
Ditujukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur Matakuliah PIH
Dosen Pembimbing Neng Yani S.H., M.H.
Oleh :
Nurodin
1143050124
Ilmu Hukum-C
Perima Wardana
1143050125
Ilmu Hukum-C
Pingkan Agatha
1143050126
Ilmu Hukum-C
Pinkan Santika
1143050127
Ilmu Hukum-C
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT., berkat rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menylesaikan makalah ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW., kepada keluarganya, sahabatnya sampai kepada kita selaku umatnya. Amiin.
Kehidupan manusia tentu tidak terlepas dari sesuatu yang disebut dengan hukum. Dengan adanya hukum, pola kehidupan manusia menjadi lebih teratur dan terciptanya kehidupan yang aman, damai dan tenteram. Namun, dalam pelaksanaannya sering kali hukum berbenturan dengan kedudukan atau kekuasaan seseorang sehingga banyak anggapan bahwa hukum itu semakin ke bawah semakin runcing dan semakin tumpullah ke atas. Di sini kami membatasi pembahasan makalah ini hanya pada bagaimana hukum itu berlaku di Indonesia.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmunya khususnya tentang pemberlakuan hukum di Indonesia. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Namun apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, dengan rendah hati kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini semakin sempurna.
Bandung, 22 Nopember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah 1
Rumusan Masalah 2
BAB II LANDASAN TEORITIS TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM
Definisi Pemberlakuan Hukum 3
Teori Berlakunya Hukum 4
Teori Filosofis 4
Teori Sosiologis 5
Teori Yuridis 6
BAB III PEMBAHASAN
Asas-asas Pemberlakuan Hukum 8
Tempat dan Waktu Berlakunya Hukum 10
Tempat Berlakunya Hukum 10
Waktu Berlakunya Hukum 12
Pemberlakuan Hukum di Indonesia 13
Hukum Islam di Indonesia 13
Hukum Adat di Indonesia 19
Hukum Waris di Indonesia 23
Hukum Pidana di Indonesia 24
Hukum Perdata di Indonesia 30
BAB IV SIMPULAN 33
DAFTAR PUSTAKA 34
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan masayarakat sekarang ini, lahirlah gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya absolutisme dan lahirnya Negara hukum. Dalam pemberlakuan suatu hukum pastilah ada sejarahnya, darimana hukum tersebut mendapatkan suatu landasan yang tepat untuk di berlakuakan di suatu negara. Hukum yang ada saat ini tidak terlepas dari keberadaan masyarakat dan budayanya, karena pada umumnya hukum di masyarakat itu berlaku karena ada peran budaya di dalamnya.
Hukum ada pada setiap manusia di manapun juga di muka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu, keberadaan hukum sifatnya universal, hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, justru mempunyai hubungan timbal balik. Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hal. 23. Bahkan kehendak terakhir dari seorang ayah telah meninggal dunia masih diatur oleh hukum. Hukum mengatur semua aspek kehidupan manusia yang tidak ada satu pun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum.
Pada dasarnya hukum berlaku di masyarakat karena ada tuntutan dari masyarakat itu sendiri. Hukum di masyarakat berawal dari kasus-kasus yang mereka alami sehingga memaksa mereka untuk memutuskan bagaimana mengatasi kasus-kasus tersebut. Lahirlah gagasan-gagasan dari masyarakat itu yang kemudian disebut dengan hukum tidak tertulis/hukum adat. Selain hukum adat, hukum di Indonesia merupakan pengembangan-pengembangan dari beberapa hukum yang ada, khususnya hukum Islam dan hukum Belanda.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud pemberlakuan hukum?
Bagaimana asas-asas pemberlakuan hukum?
Bagaimana tempat dan waktu berlakunya hukum?
Bagaimana hukum itu berlaku di masyarakat?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Definisi Pemberlakuan Hukum
Pemberlakuan hukum adalah cara atau proses atau perbuatan memberlakukan hukum
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal.. Sebelum hukum itu berlaku di masyarakat tentunya hukum itu dibuat terlebih dahulu oleh masyarakat itu sendiri. Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Dalam garis besarnya, aktivitas tersebut berupa pembuatan hukum dan penegakkan hukum.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya prses pengaturan tersebut. Ia merupakan momentum yang memisahkan keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Sebagai contoh adalah pembentukan hukum di Inggris yang sampai saat ini masih berpegang pada hukum kebiasaan. Hukum di Inggris berasal dari kebiasaan masyarakat yang dikembangkan oleh pengadilan. Hukum ini dinamakan Common-law. Perkembangan ini dimulai pada tahun 1066 ketika Inggris dijajah bangsa Normandi dengan rajanya yang terkenal William the Qongruer.
Di samping mengatur tata pemerintahan masalah peradilan diatur juga. Kerapkali penguasa kerajaan yang berperan sebagai hakim. Mereka ini keliling dari satu daerah ke daerah lain. Dari keputusan-keputusan hakim ini tumbuhlah yang dinamakan Common-law. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Inggris yang menggunakan sistem common-law, hukumnya terjadi dari kebiasaan yurisprudensi pengadilan dan perundang-undangan kemudian diberlakukan bagi warga negaranya. Dari contoh tersebut dapat dikatakan bahwa setelah hukum itu dibuat kemudian disepakati oleh masyarakat tersebut, barulah hukum itu mulai berlaku di masyarakat yang menyepakatinya.
Teori Berlakunya Hukum
Secara Filosofis
Keadilan menjadi bahan pertimbangan, di mana keadilan merupakan tujuan dari pembuatan hukum.Penyebab orang menaati hukum
Teori Teokrasi (Teori Ketuhanan)
Di dunia barat sebelum zaman Renaissance, orang menganggap bahwa hukum itu merupakan kemauan Tuhan, dimana hukum ini berlaku atas kehendak Tuhan.
Teori Perjanjian
Pada zaman Renaissance, orang beranggapan bahwa dasar hukum adalah rasio (akal) manusia, di mana pada abad hukum yang rasionalitas negara merupakan organisasi yang terbentuk karena ada suatu perjanjian yang diadakan dengan sukarela antara orang yang satu dengan orang yang lain.
Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke-19, hukum adalah kehendak Negara dan Negara mempunyai kekuatan yang tidak terbatas. Menurut Hans Kelsen (Reine Rechtslehre) dan Wiener Rechtsshule, hukum sebagai “Wille des Staates” yang artinya bahwa hukum adalah “Kemauan Negara”. Menurut Kelsen orang tidak menaati hukum sebab Negara menghendakinya, orang taat pada hukum karena ia merasa wajib menaatinya sebagai perintah Negara.
Teori ini mendapat pembelaan dari Kranenburg yang beranggapan bahwa sungguh-sungguh hukum itu berfungsi menurut suatu hukum yang real dengan menggunakan metode empiris-analitis.
BAB III
ASAS-ASAS PEMBERLAKUAN HUKUM
Asas-asas Pemberlakuan Hukum
Asas pemberlakuan hukum merupakan prinsip dasar atau aturan dasar dalam pemberlakuan hukum. Apabila dalam sistem hukum terdapat pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan tersebut. Untuk lebih mendalami substansi asas hukum, di bawah ini akan dikemukakan beberapa asas hukum yang sering digunakan dalam teori hukum, yaitu sebagai berikut
ibid, hal.113-116 :
Nullum dellictum noella poena sine praevia lege poenalli yaitu tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum sebelum didahului oleh suatu perbuatan.
Eideren wordt geacht de wette kennen yaitu setiap orang dianggap mengetahui hukum. Artinya apabila suatu undang-undang telah dilembarnegarakan, maka undang-undang itu dianggap telah diketahui oleh warga masyarakat sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya bahwa undang-undang itu belum diketahui berlakunya.
Lex sperior derogat legi inferiori bahwa hukum yang lebih tinggi lebih diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang lebih rendah
Lex specialist derogat legi generalis yaitu hukum yang khusus lebih diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang umum. Artinya suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umumdapat dikesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.
Lex posteriori derogat legi priori yaitu peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru diutamakan pelaksanaannya daripada undang-undang yang lama.
Lex dura, sed temen scripta bahwa peraturan hukum itu keras, karena wataknya memang demikian.
Summun ius summa iniuria yaitu kepastian hukum yang tertinggi adalah keadilan yang tertinggi.
Ius curia novit bahwa hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya hakim tidak boleh menolak mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya.
Presumption of innosence (praduga tak bersalah) yaitu seseorang tidak disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Res judicata proveri tate habetur bahwa setiap putusan pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Unus testis nullus testis bahwa hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi.
Audit et atteran partem yaitu hakim haruslah mendengarkan para pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putuannya.
In dubio prorev bahwa apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjtuhkan putusannya yang menguntungkan terdakwa.
Fair rial atau self incrimination yaitu pemeriksaan yang tidak memihak, atau memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.
Speedy administration of justice yaitu peradilan yang cepat. Artinya, seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka.
The rule of law bahwa semua manusia sama kedudukannya di hadapan hukum atau persamaan memperoleh keadilan/perlindungan hukum.
Unus testis nullus tetis bahwa satu saksi bukanlah saksi. Artinya, keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus tidak dapat dinilai sebagai saksi.
Nemo judex indoneus in proparia bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim dianggap tidak mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya sehingga tidak dibenarkan bertindak untuk mengadilinya.
The binding forse of presedent atau staro decises et quieta nonmovere bahwa putusan hakim terdahulu, mengikat hakim-hakim yang lain pada peristiwa yang sama (asas ini dianut negara-negara yang menganut sistem hukum anglo sakson).
Cogatitionis poenam nemo patitur bahwa tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada di hatinya. Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan kejahatan, tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan maka ia tidak boleh dihukum.
Restutio in tegram yaitu kekacauan dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Artinya, hukum harus memerankan fungsinya sebagai “sarana penyelesaian konflik”.
Tempat dan Waktu Berlakunya Hukum
ibid, hal. 81-82.
Tempat Berlakunya Hukum
Nasional
Dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga ketertiban warga, pemerintah menetapkan beberapa aturan yang harus ditaati oleh warganya. Dalam hal ini, hukum hanya berlaku dalam skala nasional dan jika objek hukum telah keluar dari wilayah hukum tersebut, maka aturan-aturan tadi tidak lagi mengikat.
Internasional
Dalam melaksanakan berbagai kegiatannya, seorang individu atau kelompok selalu berhubungan dengan pihak lainnya, termasuk pihak dari negara lain (pihak asing). Oleh karena itu hukum sebagai alat untuk menjaga kepetingan dan menjaga perlindungan, bukan hanya diperlukan untuk wilayah suatu negara saja tetapi juga harus diterapkan dalam ranah internasional.
Hukum internasional dapat diperoleh dengan melakukan hubungan bilateral kemudian menempatkan diplomat sebagai perantara di negara yang menjadi partner maupun dengan melakukan perjanjian multilateral kemudian menempatkan diplomat-diplomat pada organisasi-organisasi internasional. Van Khan dan J. H. Beekhuis (1983:106) menerangkan bahwa hubungan hukum antara dua negara akan bersifat tertutup karena kemungkinan negara lain bergabung sangat kecil atau bahkan tidak mungkin sama sekali, maka hubungan ini dinamakan hubungan antarnegara khusus. Sedangkan perjanjian multilateral akan lebih bersifat terbuka dan dapat menerima negara lain untuk ikut ke-dalamnya. Hubungan ini dinamakan hubungan antarnegara umum (Volkenrecht).
Seringkali hukum internasional tidak memiliki sanksi yang tegas bagi anggotanya yang melanggar. Hal ini terjadi karena hukum internasional juga dipengaruhi oleh kepentingan politik dari negara-negara yang melakukan perjanjian tersebut.
Asing
Adanya hubungan antarnegara merupakan faktor kunci dilaksanakannya hukum asing di dalam sebuah negara. Yang dimaksud dengan hukum asing adalah sebuah keadaan yang memberlakukan hukum suatu negara di negara lain. Hukum asing diantaranya digunakan di lingkungan kedutaan besar negara tertentu. Misalnya, kedutaan besar Republik Indonesia di Iran akan tetap memberlakukan hukum Indonesia karena secara yuridis wilayah tersebut adalah wilayah teritorial istimewa Republik Indonesia.
Keadaan lain yang melegalkan hukum asing adalah jika dalam perjanjian antarnegara terdapat klausul untuk dapat menggunakan hukum negara tersebut di wilayah negara lain. Misalnya warga negara Indonesia di Hongkong akan terikat dengan hukum yang berlaku di Indonesia karena dalam perjanjian kedua negara tersebut terdapat klausul yang melegalkan penggunaan hukum Indonesia di Hongkong.
Gereja
Hukum gereja adalah hukum yang berlaku secara khusus untuk persekutuan gereja yang memaksa, mengatur dan mengikat jemaatnya. Aturan gereja dapat dianggap sebagai hukum karena apabila dilihat secara yuridis merupakan sebuah lembaga (zledelijklichaam) atau badan hukum (rechtperson). Jadi, yang dimaksud di sini bukan hanya umat kristiani saja yang memiliki gereja tetapi secara umum dapat dipandang sebagai umat beragama, karena setiap agama memiliki hukum yang berbeda namun memilikin tujuan akhir yang sama.
Waktu Berlakunya Hukum
Ius Constitutum
Yang dimaksud dengan ius constitutum (hukum positif) adalah hukum yang berlaku saat tertentu, oleh masyarakat tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu. Artinya hukum tersebut merupakan segala sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat dalam suatu masa dan tempat tertentu. Hal tersebut mungkin sudah tidak dianggap baik lagi jika dilakukan di tempat, waktu ataupun masyarakat yang berbeda.
Ius Constituendum
Ius Constituendum merupakan hukum yang diharapkan masih berlaku pada waktu yang akan datang. Idealnya, hukum memang harus berlaku dalam jangka waktu yang lama dan diterima oleh semua golongan masyarakat.
Hukum Asasi
Hukum asasi atau hukum alam adalah hukum yang berlaku selama-lamanya tanpa mengenal batasan waktu, tempat ataupun golongan masyarakat.
Pemberlakuan Hukum di Indonesia
Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia
Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 223., yang menurut sebagian kalangan telah berlangsung sejak abad VII atau VIII M. Sementara hukum Barat baru diperkenalkan oleh VOC pada awal abad XVII M. Sebelum masuknya hukum Islam, rakyat Indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Hal ini karena pengaruh agama Hindu dan Budha diduga sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat pada zaman itu. Dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, hukum agama (Hukum Islam) menjadi dasar yang paling dominan, dimana hukum Islam sangat berperan dalam membentuk perilaku manusia Indonesia. Oleh karenanya hukum Islam menjadi unsur mutlak bagi pembangunan hukum nasional Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa hukum Islam (Syara') lebih bersifat teokratis, yaitu bahwa hukum itu datang dari Tuhan, bukan datang dari kesadaran hukum masyarakat dan bukan pula datang dari kekuasaan, kewenangan, dan kedaulatan negara. Oleh karena itu al-hukmu menurut ushul fiqh berarti kitabullah (Titah Allah) yang mengatur perbuatan manusia, baik yang berupa tuntunan untuk melakukan sesuatu perbuatan, maupun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan. Terhadap orang-orang Islam, hukum Islam (Syara') itu sangat penting, karena bukan saja ia memberikan petunjuk-petunjuk dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan, juga karena kebutuhan kepadanya dianggap sebagai bagian dari ketaatan kepada Tuhan.
Di samping itu hukum Islam juga merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh dalam membangun tatanan sosial dan kehidupan kemasyarakatan umat Islam. Maksud hukum Islam sebagai tatanan hukum yang ditaati oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah bahwa hukum yang telah hidup dalam masyarakat merupakan kesadaran hukum mayoritas rakyat Indonesia, oleh sebab itu, pembicaraan mengenai pemberlakuan teori-teori hukum Islam menjadi penting.
Pembicaraan mengenai pemberlakuan hukum Islam di Indonesia, Ismail Suny membagi menjadi dua tahap, yaitu masa Hindia Belanda dan Masa Republik Indonesia. Pada masa Hindia Belanda menempatkan hukum Islam pada dua keadaan dalam dua periode, yakni periode penerimaan hukum Islam secara penuh (Receptie In Complexu), dan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (Receptie).
Periode Penerimaan Hukum Islam secara Penuh
Periode pernerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio in complexu) adalah periode dimana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai pegangan dalam kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, hukum Islam telah banyak juga didirikan lembaga-lembaga peradilan agama dengan berbagai nama yang ada. Lembaga-lembaga peradilan agama ini didirikan ditengah-tengah kerajaan atau kesultanan dalam rangka membantu dalam penyelesaian maalah-masalah yang ada hubungannya dengan hukum Islam, dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam telah menjadi hukum yang hidup dan berlaku di Indonesia. Oleh sebab itu tidaklah heran kalau Badan Peradilan Agama telah secara tetap dan mantap dapat menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan orang-orang Islam.
Walaupun bangsa Belanda mulai menguasai sebagian wilayah nusantara di Indonesia, akan tetapi hukum Islam (Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan) tetap berjalan dan diakui oleh Bangsa Belanda, bahkan oleh Belanda dibuatlah berbagai kumpulan hukum sebagai pedoman bagi para pejabat dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum rakyat pribumi. Sehingga tidaklah heran kalau mereka tetap mengakui dan melaksanakan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam melalui peraturan "Resulitie Der Indersche Regeering", tanggal 25 Mei 1970, yang merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan Belanda, yang terkenal sebagai Compedium Freijher. Dengan demikian nyatalah bahwa posisi hukum Islam pada saat itu sangat kuat dan berlangsung kira-kira mulai tahun 1602 sampai 1800. Adapun setelah pemerintah Hindia Belanda benar-benar menguasai wilayah nusantara, hukum Islam mulai mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur posisi hukum Islam mulai lemah.
Pada abad ke-19 terjadi gerakan dikalangan banyak orang Belanda yang berusaha menghilangkan pengaruh hukum Islam, dengan jalan antara lain adanya krestenisasi. Karena kalau berhasil menarik banyak penduduk pribumi untuk masuk agama Kristen, akan sangat menguntungkan kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Dengan asumsi bahwa yang telah menganut agama Kristen akan menjadi warganegara yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Kemudian pada tahun 1882 dibentuklah pengadilan agama ditempat-tempat yang terdapat pengadilan negeri, yakni Pengadilan Agama berkompeten menyelesaikan perkara-perkata dikalangan umat Islam yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Sehingga dengan demikian hukum Islam mendapat pengakuan resmi dan pengukuhan dari pemerintah Belanda sejak didirikannya pengadilan agama tahun 1882 itu.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Lodewijk Willen Christiaan Van Den Breg (1845-1927) yang tinggal di Indonesia menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia pada hakekatnya telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka sadari, bagi orang Islam nerlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agama Islam walaupun dalam prakteknya terjadi penyimpangan-penyimpangan.Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat (Teori Receptie).
Periode Penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat.
Dikenal dengan teori Receptie, adalah periode di mana hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang teori yang telah berlaku sebelumnya, yaitu teori Receptie In Complexu. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Yakni penasehat pemerintah Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan bukan dan Bumi Putera. Menurut Snouck hukum Islam dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari hukum adat. Bagi Snouck sikap pemerintah Hindia Belanda sebelumnya menerima teori Receptie In Compexu bersumber dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap terhadaap umat Islam selama ini merugikan pemerintah Jajaran sendiri, disamping itu snock berharap situasi agar orang-orang pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang agama Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama Islam (Hukum Islam) tidak mudah mempengaruhi orang peradapan barat.
Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memberikan nasehat yang terkenal denan sebutan "Islam Policy". Beliau merumuskan nasehatnya pada pemerintah Belanda dalam mengurus umat Islam di Indonesia dengan usaha menarik rakyat peibumi agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. Nasehat ini berintikan bahwa masalah yang menyangkut ibadah umat Islam harus diberikan kebebasan sepenuhnya, dengan harapan dalam lapangan kemasyarakatan pemerintah Hindia Belanda harus menghormati adanya adar istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku, dengan cara mengalakkan agar mendekati pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan dalam lapangan ketatanegaraan, pemerintah Hindia Belanda tidak boleh memberikan kesempatan, dan harus mencegah hal-hal yang bisa membantu adanya gerakan Pan Islamisme.
Kemudian teori resepsi ini oleh Snouck diberi dasar hukum dalam Undang-Undang Dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti RR yang disebut Wet Op De Staat Snrichting Van Nederlands Indie, yang disingkat Indische Staat Regeering (IS) yang diundangkan pada tahun 1929. lebih lanjut disebutkan pada pasal 134 ayat 2, yang berbunyi "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi". Tetapi pada kenyataannya, kebijaksanaan pemerintah Belanda ini sebenarnya justru ingin meruntuhkan dan menghambat pelaksanaan hukum Islam, diantaranya dengan cara; Mereka sama sekali tidak memasukkan hukuman hudud dan qisas dalam lapangan hukum pidana, ajaran Islam yang menyangkut hukum perkawinan dan kewarisan mulai dipersempit dan lain sebagainya.
Peranan hukum Islam dalam tata hukum Republik Indonesia mulai baik kembali yakni pada saat terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam dengan kekuatan hukum Islam sendiri tanpa adanya hubungan dengan hukum adat. Panitia sembilan dari BPUPKI berhasil mencetuskan satu rumusan untuk Preambule UUD yang kemudian disebut dengan nama "Piagam Jakarta" tanggal 22 Juni 1945. Di dalamnya berisi dasar-dasar falsafah negara yang antara lain berdasarkan pada "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Dengan pertimbangan untuk mewujudkan kesatuan bangsa Indonesia dan menghindari terjadinya diskriminasi hukum yang berlaku, akhirnya rumusan ini mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perubahan itu berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa", rumusan ini oleh Moh. Hatta dijelaskan bahwa walaupun bunyi berbeda namun isinya tidak berubah, jiwa Piagam Jakarta masih tetap meskipun tanpa dinyatakan secara jelas. Dengan dasar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945, maka teori resepsi ini telah kehilangan dasar hukumnya.
Hazairin mengemukakan bahwa setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 sebagai dasar negara, maka meskipun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku, selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan perundangan pemerintah Belanda yang berdasarkan teori resepsi tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Peranan Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional
Hal yang perlu mendapat kejelasan adalah peranan hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia. Adapaun peranan hukum Islam di dalam pembangunan hukum nasional di Indonesia terdapat beberapa bentuk, diantaranya:
Sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
Ada dalam arti adanya dengan kemandirian yang diakui adanya dan kekuatan serta wibawanya oleh kaum nasional dan diberi status hukum nasional.
Ada dalam hukum nasional dalam arti norma-norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia.
Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Pemberlakuan Hukum Adat di Indonesia
Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 223
Dasar Pemberlakuan Hukum Adat
Dasar filosofis
Sebenarnya nilai-nilai dan sifat Hukum Adat itu sangat identik dan bahkan sudah terkandung dalam butir-butir Pancasila. Sebagai contoh, religio magis, gotong royong, musyawarah mufakat dan keadilan. Dengan demikian Pancasila merupakan kristalisasi dari Hukum Adat.
Hukum Adat yang hidup, tumbuh dan berkembang di indonesia bersifat luwes, fleksibel sesuai dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
UUD 1945 hanya menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok pokok pikiran tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi Hukum Adat karena Hukum Adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup di kalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia
Wignjodipoero, (l983:14).
Dengan demikian hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa Indonesia.
Dasar Sosiologis
Hukum yang berlaku di suatu negara merupakan suatu sistem. Artinya bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya
Mertokusumo, (l986:100).. Dengan kata lain bahwa sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lainnya dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Keseluruhan tata hukum nasional yang berlaku di Indonesia dapat disebut sebagai sistem hukum nasional. Sistem hukum berkembang sesuai dengan perkembangan hukum. Selain itu sistem hukum mempunyai sifat yang berkesinambungan, kontinyuitas dan lengkap.
Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis tidak memerlukan prosedur/ upaya seperti hukum tertulis, tetapi dapat berlaku dalam arti dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela karena memang itu miliknya. Hukum adat dikatakan sebagai the living law karena Hukum adat berlaku di masyarakat, dilaksanakan dan ditaati oleh rakyat tanpa harus melalui prosedur pengundangan dalam lembaran negara. Berbagai istilah untuk menyebut hukum yang tidak tertulis sebagai the living law yaitu (People law, Indegenous law, unwritten law, common law, customary law dan sebagainya).
Dasar Yuridis
Dasar berlakunya Hukum Adat ditinjau secara yuridis dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan mempelajari segi yuridis dasar berlakunya Hukum Adat berarti mempelajari dasar hukum berlakunya Hukum Adat di Indonesia
Saragih, (l984:15).
Dalam pasal 18 b ayat (2) Undang Undang Dasar NRI 1945 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai den gan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU. Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang memperkuat berlakunya hukum adat di Indonesia pada saat ini antara lain
UU Drt nomor 1 tahun 1951
Tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat 2 UU drt 1 tahun 1951: secara berangsur-angsurakan ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:
Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU drt nomor 1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.
UU nomor 5 tahun 1960
Tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyarakat hukum adat merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di wilayahnya. Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedikikan rupa sehingga sesuai dengan kepentingan ansional dan negara, berdadasakan persatuan bangsa dabn tidak boleh bertentangan dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.
Nomor 41 tahun l999
UU Pokok Kehutanan menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak persseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.
PP nomor 21 tahun 1971
Tentang HPH dan hak pemungutan hasil Hutan. Pasal 6 ayat (1) PP nomor 21 tahun 1971 menyebutkan bahwa Hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan didasarkan atas peraturan hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada, pelaksanaannya masih perlu ditertibkan sehingga tidak menggangu HPH Ayat (2) Pasal 6 PP no. 21 tahun 1971 Pelaksanaan pasal 1 harus seijin pemegang HPH yang diwajibkan meluluskan pelaksanaan Hak tsb dan diatur dengan tata tertib sebagai hasil musyawarah antara pemegang HPH musyawarah adat dengan bimbingan dan pengawasan dinas kehutanan. Ayat ( 3) Demi keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dalam rangka penmgusahaan hutan maka pelaksanaan hak-hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan.
Pemberlakuan Hukum Waris di Indonesia
Terdapat macam-macam hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Wawan Muhwan, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pustaka Setia, 2012, hal. 217
Hukum Waris Barat
Hukum waris ini berlaku bagi warga negara non-muslim dan diatur dalam Buku Kedua tentang kebendaan KUHPerdata. KUHPerdata telah menggolongkan ahli waris itu ke dalam tiga golongan, yaitu :
Golongan pertama : anak dan isteri/suami,
Golongan kedua : orang tua dan saudara
Golongan ketiga : paman/bibi atau saudara saudara sepupu lainnya.
Asas hukum waris ini adalah apabila ada waris golongan pertama, maka tertutuplah waris-waris yang lain. Namun apabila tidak ada ahli waris golongan pertama, maka dolongan ahli waris kedua mendapat warisan, begitupun seterusnya. Prinsip pembagian dalam hukum waris barat ini adalah dibagi rata di antara para waris.
Hukum Waris Islam
Hukum Waris ini berlaku bagi umat Islam dan diatur dalam pasal 171-214 dalam Kompilasi Hukum Islam. Penggolongan ahli waris di dalam hukum Islam dibagi ke dalam :
Menurut hubungan darah :
Golongan laki-laki : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, kakek.
Golongan perempuan : ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek.
Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari janda atau duda.
Hukum Waris Adat
Hukum waris adat di Indonesia berbeda di masing-masing daerah, karena adat istiadatnya pun berbeda.
Mengenai manakah jenis hukum yang akan digunakan, diberikan kebebasan kepada warga negara untuk memilihnya. Namun, jika ada sengketa waris maka jalur yang diutamakan adalah jalur musyawarah. Apabila warisan tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka para ahli waris dapat mengajukan ke pengadilan sesuai dengan hukum yang dipilihnya.
Bagi yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan fatwa waris ke Pengadilan Agama.fatwa waris yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat digunakan dalam mengurus administrasi pada budel waris dan atau dapat digunakan sebagai persyaratan peralihan hak. Namun bagi yang non-muslim, jika para ahli waris sepakat dan hanya membutuhkan untuk menentukan bagiannya masing-masing, para ahli waris cukup menghadap notaris yang kemudian akan dikeluarkan surat keterangan waris. Jika terjadi sengketa antara ahli waris, maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
ibid, hal. 221.
Zaman VOC
Zaman pemberlakuan hukum pidana di Indonesia dimulai ketika datangnya Hindia Belanda ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak Octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakat, tetapi pengumuman itu tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642.
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat disebabkan beberapa hal berikut
ibid, hal. 221 :
Sistem pemidanaan hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya untuk mentaati peraturan-peraturan;
Adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara Hukum Pidana adat dengan Hukum Pidana yang dibawa VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal. Bentuk campur tangan VOC dalam Hukum Pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan Hukum Pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
Zaman Hindia Belanda
Zaman ini dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di Negara Belanda, dari monarkhi konstitusi menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja.
Maka dengan begitu kekuasaan Raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata di tetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan ditingkat parlemen.
Indische Staatregeling ( IS ) adalah pembaharuan dari RR yang mulai berlaku sejak 1 januari 1926 dengan diundangkannya melalui staatblad Nomor 415 tahun 1925. Pada zaman ini, sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam pasal 131 Jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 Jo. Pasal 163 IS ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak di berlakukan 1 januari 1918.
Zaman Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Pada zaman pendudukan Jepang selama 3,5 (tiga koma lima) tahun, pada hakekatnya Hukum Pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942.
Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk Hukum Pidananya, masih tetap menggunakan Hukum Pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi Hukum Pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang Hukum Pidana umum dan Hukum Pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Zaman Setelah Kemerdekaan Indonesia
Bangsa Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang hingga sampai dengan saat ini. Beberapa kali periode mengalami zaman penjajahan dari bangsa asing. Hal ini secara langsung mempengaruhi hukum yang diberlakukan di Negara ini, khususnya hukum pidana. Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( WvSNI ) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI adalah keturunan dari WvS Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. walaupun WvSNI merupakan turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu memberlakukan asas Konkordasi ( penyesuaian ) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal di hapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika dirunut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koniklijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal ( kodifikasi hukum pidana ) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813, Prancis meninggalkan Negara Belanda. Namun demikian, Negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886. Pada tahun 1886, mulai di berlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah perginya Prancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya ( code penal )selama kurang lebih 68 tahun ( sampai tahun 1881 ). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penalmengalami beberapa perubahan terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyikasaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai penganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakuakan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
Sebelum Negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, diwilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa ) dengan Staatblad tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlender ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi ) dengan Staatblad tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 januari 1873.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada zaman itu terdapat juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan Idenburg ( Minister van Kolonien )sebagai perzamanlahan yang harus dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915 keluarlahKoninlijk Besluit ( Titah Raja ) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang mengesahkan Wetboek van Strafrech voor Nederlandsch Indie dan berlaku tiga tahun kemudian yaitu mulai 1 januari 1918.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia maka dengan dasar Pasal II aturan peralihan UUD 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi hukum pidana Indonesia ini menggunakan Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang No 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut “Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan sejak tanggal 8 Maret 1942,baik yang dikeluarkan oleh pemerintah jepang maupun oleh panglima tertinggi Balantentara Hindia Belanda.
Oleh karena perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada Tahun 1946 dan muncullah dualisme KUHP setelah tahun tersebut maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang No 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang No 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pemberlakuan Hukum Perdata di Indonesia
ibid, hal. 219
Tahun 1839, satu tahun sejak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul Scholten seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat pula dipakai untuk daerah jajahan, yaitu Indonesia
Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab Hukum yang baru itu, sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di Indonesia. Pemberlakuan tersebut berdasarkan azas konkordansi (concordantie beginsel) yang diatur dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S. 1925-557, yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropa yang ada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda.
Berdasarkan Staatblaad 1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia hanya berlaku terhadap :
Orang-orang Eropa, yang meliputi : orang Belanda; orang yang berasal dari Eropa lainnya beserta anak-anak mereka;
Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen;
Orang-orang Bumiputera turunan Eropa.
Kemudian berdasarkan Staatblad 1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1917) kepada golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing, dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.
BW di negara Belanda sendiri sejak tahun 1838, telah beberapa kali mengalami perubahan dan saat ini BW yang berlaku di negara Belanda sendiri adalah BW yang baru (telah diperbaharui). Pada zaman Jepang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3 disebutkan bahwa : "Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah bala tentara Jepang".
Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan hukum negara RI, walaupun tatanan tersebut sebagian besar masih merupakan peninggalan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan : "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.
BW yang berlaku di Indonesia sejak 1848 itu merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, karena itu sudah barang tentu dibuat berdasarkan azas-azas dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-azas dalam BW itu yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa Indonesia sendiri, maka hal itu sudah sepantasnyaDewasa ini kedudukan KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum), bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya sebagai pedoman saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap sebagai hukum positip karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.menjadi identitas dirinya, yakni hukum adat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku :
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Zaeni Asyhadie, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012.
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Jakarta, 1995.
Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012.
Media Elektronik :
Acoel Arifin, Pemberlakuan Hukum Waris di Indonesia, melalui :
<http://student-movement.blogspot.com/2013/10/pemberlakuan-hukum-waris-di-negara.html> data diunduh 24/10/2014, pukul 18:45.
Iis Mardeli, Dasar Berlakunya Hukum Adat, melalui :
<http://iismardeli30aia.wordpress.com/2013/12/02/sepenggal-cerita-di-desa-umutnana-ntt/> data diunduh 24/10/2014, pukul 19:10.