Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran matematika di SD/MI adalah memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Selain itu pembelajaran matematika juga bertujuan agar siswa dapat menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, serta memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Kemudian mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, serta memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Singkatnya orientasi pembelajaran matematika adalah siswa mampu melakukan operasi hitung berbagai bentuk bilangan guna pemecahan masalah (Permendiknas RI No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi). Pembelajaran Matematika di kelas I MI Ma'arif 3 Gentasari Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Banyak permasalahan yang
A. Pengantar Mayarakat Maumutin (nama sebuah desa di kecamatan Raihat-Kabupaten Belu-Provinsi Nusa Tenggara Timur) memiliki sarana pendidikan lokal yang masih dilestarikan hingga saat ini yakni knanuk (peribahasa). Banyak pengalaman sosial masyarakat Maumutin dikisahkan dalam bentuk knanuk yang menjadi sarana pembelajaran. Orang Maumutin dapat membahasakan pengajaran dengan cara yang amat puitis. Knanuk menjadi salah satu jenis sastra idaman warga masyarakat Maumutin karena selain puitis juga memiliki makna yang mendalam. Ada dua bentuk knanukyang biasa dipakai yakni bentuk konkret dan abstrak. Pada bentuk yang pertama (konkret) bahasa yang dipakai langsung menyebut persoalan yang dibahas sedangkan bentuk kedua (abstrak) menggunakan bahasa kiasan. bentuk konkret sering dipakai untuk mendidik anak-anak dalam keluarga sedangkan bentuk abstrak dipakai untuk mengisahkan nilai hidup kepada masyarakat luas. Knanuk banyak digunakan di kalangan orang tua karena merekalah yang menjadi tokoh bijak dalam tatanan masyarakat. Knanuk selain sebagai sarana pendidikan juga merupakan bentuk puisi yang mengisahkan tentang jasa seseorang, mengatakan kejahatan orang lain dan mengungkapkan maksud sindiran tertentu. Oleh karena itu knanuk dapat didengar dalam acara laku merin (nyanyian ketika berjaga jenasah di malam hari), tebe (tarian adat dengan formasi melingkar) dan ketika terjadi ukun dalam keluarga (orangtua memberi nasehat pada anak-anaknya). Kitab Amsal sebagai salah satu jenis sastra kebijaksanaan juga berisikan pepatah, peribahasa, perkataan berhikmat dan ejekan-ejekan1 yang lahir dari pengalaman sosial kemasyarakatan orang Ibrani. Para guru kebijkasanaan menggunakan kalimat-kalimat singkat bermakna untuk memberi pendidikan kepada orang muda (bdk. Ams 1:4). Para guru dengan amat puitis menggugah hati masyarakat saat itu dengan bahasa yang puitis dan menyentuh. Berangkat dari pengalaman manusiawi, para guru kebijksanaan mengarahkan masyarakat secara umum dan kaum muda khususnya untuk melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat. Gambaran tentang knanuk dan Amsal menampilkan adanya beberapa dugaan yakni pertama, Amsal atau perkataan bijak tidak hanya ada dalam tradisi Ibrani melainkan merupakan gaya sastra yang umum dipakai oleh berbagai bangsa dengan tingkat peradaban yang berbeda. Kedua, ada hubungan makna antara Amsal dan knanuk; artinya bahwa baik Amsal maupun 1 1 Dr. Wimvan der Weiden, Seni Hidup, Kanisius: Yogyakarta, 47
Le Journal des Anthropologues, 2011
En France de nos jours, le concept de genre (calqué sur l’anglais gender) se répand de plus en plus. Il s’agit de réserver le terme sexe pour des données naturelles et de le remplacer par genre pour signifier une socialisation masculine ou féminine. Monique Wittig rejette la notion de genre, qui implique que le sexe est une catégorie nécessaire, et que seul le genre peut être mis en cause. La distinction sexe-genre présume qu’il y a d’un côté un sexe inné, naturel, biologique (mâle ou femelle) et de l’autre un sexe social, appris (masculin ou féminin). Mais classer les êtres selon leur système reproducteur, est-ce une évidence naturelle ? Selon Wittig, pas plus que la socialisation selon les stéréotypes filles-garçons. Dire qu’il n’y a pas deux sexes n’équivaut pas à dire que la Terre ne tourne pas autour du Soleil. « Sexe » et « genre » sont tous deux des constructions, des catégories qui ne sont pas les seules façons possibles de découper le monde. Comme Wittig, Mary Daly dénonce le terme genre, en illustrant son manque de précision et de force pour contester les catégories : est-ce que Beauvoir aurait pu intituler son livre Le Deuxième genre ? (Daly 1998, 135). Il paraît souhaitable, en effet, d’éviter ce terme trop faible, qui marginalise le sujet et ouvre la porte à toutes sortes de dérives postmodernes. La différence fictive entre sexe et genre est une supercherie pour laisser entendre que seul le genre est artificiel, et la division des sexes donc naturelle.
Alea: Estudos Neolatinos, 2024
Estes fragmentos dialogam com a obra de raúl rodríguez freire, especialmente com seus livros La condición intelectual. Informe para una academia (Santiago de Chile, Mimesis, 2018); La universidad sin atributos (Santiago de Chile, Macul, 2020); La forma como ensayo. Crítica ficción teoría (Adrogué, La Cebra, 2020); Ficciones de la ley (Santiago de Chile, Mimesis, 2022) e La naturaleza de las humanidades. Para una vida bajo otro clima (Ed. raúl rodríguez freire, Santiago de Chile, Mimesis, 2022).
Editorial, 2024
El presente número de HiSTOReLO (vol. 16, no. 37) se adentra en un tema de vital importancia histórica: los conflictos geopolíticos y sus profundos impactos en sociedades y naciones durante los siglos XIX y XX. Nuestro dossier explora cómo las guerras y enfrentamientos regionales han moldeado no solo mapas, sino también identidades, culturas y relaciones de poder en Latinoamérica, de modo específico, en Argentina, Chile, Colombia y Perú.
Frontiers in Psychology, 2011
Song composers incorporate linguistic prosody into their music when setting words to melody, a process called "textsetting." Composers tend to align the expected stress of the lyrics with strong metrical positions in the music. The present study was designed to explore the idea that temporal alignment helps listeners to better understand song lyrics by directing listeners' attention to instances where strong syllables occur on strong beats. Three types of textsettings were created by aligning metronome clicks with all, some or none of the strong syllables in sung sentences. Electroencephalographic recordings were taken while participants listened to the sung sentences (primes) and performed a lexical decision task on subsequent words and pseudowords (targets, presented visually). Comparison of misaligned and well-aligned sentences showed that temporal alignment between strong/weak syllables and strong/weak musical beats were associated with modulations of induced beta and evoked gamma power, which have been shown to fluctuate with rhythmic expectancies. Furthermore, targets that followed well-aligned primes elicited greater induced alpha and beta activity, and better lexical decision task performance, compared with targets that followed misaligned and varied sentences. Overall, these findings suggest that alignment of linguistic stress and musical meter in song enhances musical beat tracking and comprehension of lyrics by synchronizing neural activity with strong syllables. This approach may begin to explain the mechanisms underlying the relationship between linguistic and musical rhythm in songs, and how rhythmic attending facilitates learning and recall of song lyrics. Moreover, the observations reported here coincide with a growing number of studies reporting interactions between the linguistic and musical dimensions of song, which likely stem from shared neural resources for processing music and speech.
Janus Pannonius Múzeum Évkönyve, 2024
At the outskirts of Drávaiványi village in the Western region of Baranya county four Late Bronze Age urn graves were excavated in 2023. Three of the graves were tentatively dated to the Late Tumulus-Early Urnfield period, based mostly on the ceramic vessels and a stone arrowhead. One grave is dated to the developed phase of the Urnfield Culture based on a bronze pin with spherical head, a bronze bracelet with twisted ends and the cannellured rim of a bowl. These are the first documented Bronze Age graves in the vicinity of Drávaiványi.
Issues of Theology, No 3, 2021
Christological controversies of the VI-VII centuries (for example, the polemic of Leontius of Byzantium with Nestorians and Eutychians and of Maximus the Confessor with monoenergistes/monothelites) showed that the Chalcedonian definition generates a number of problems that cannot be solved within the framework of traditional theology: the unclear ontological status of the human nature without human hypostasis; the problem of reconciling the ontological models underlying the trinitarian doctrine of the Cappadocians and the Chalcedonian definition; the need to resort to an artificial interpretation of the Gospel testimonies; the difficulties of explaining how the influence of the divine nature on the human nature of Christ spreads to all people. However, the Chalcedonian definition is only one of the possible ways to describe the unity of the divine and the human in Christ. As an example of an alternative description in which the above problems do not arise, the christology of Paul Tillich is considered. Tillich's idea is to replace the traditional concept of the Logos incarnated in man with the concept of the Spirit of God transforming man. According to this view, God does not act on human nature without hypostasis, but on the hypostasis of man through its unifying center. During the earthly life of Christ, this effect occurred only in the hypostasis of Christ as man. And after (and thanks to) the death of the cross and the resurrection of Christ, it spreads to all people.
Migration Letters, 2024
Sustainability, 2020
Journal of Consciousness Studies, 2004
Research in Dance Education, 2020
6ο Τακτικό Συνέδριο της ΕΚΕ “H Κοινωνιολογία και ο Δημόσιος Ρόλος της στην Εποχή της Μεταμόρφωσης του Κόσμου”Επιμ.Πρακτικών Συνεδρίου: Απόστολος Γ. Παπαδόπουλος, 2019
Journal of Integrative Neuroscience, 2020
Vietnamese Journal of Radiology and Nuclear Medicine
Epidemiology and Infection, 2007
International Journal of Learning, Teaching and Educational Research, 2020
Australasian Psychiatry, 2020
International Journal of Training Research, 2019
Bioelectrochemistry and Bioenergetics, 1998
Control Theory and Technology, 2022