Fotografi dari Bawah: Satu Dekade Proyek-proyek Kesenian MES 56
Alia Swastika
Selama 10 tahun menegaskan keberadaannya sebagai sebuah ruang alternatif yang mempopulerkan gagasan-gagasan segar dengan medium fotografi, sebagai kelompok seniman MES 56 juga menciptakan proyek-proyek kolektif yang mampu menerobos ke dalam wilayah seni rupa kontemporer di Indonesia. Menelusuri kembali karya-karya yang mereka ciptakan, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang relasi kita kita dalam kehidupan modern dengan terpaan produk-produk visual dalam kehidupan masyarakat kontemporer, juga bagaimana menyikapi mesin-mesin pencipta produk tersebut.
Tulisan ini berupaya untuk membaca proyek-proyek kolektif yang pernah dikerjakan oleh MES 56 dalam kaitannya dengan seni rupa kontemporer di Indonesia dan budaya visual, serta bagaimana karya-karya mereka menjadi pisau analisis atau representasi budaya masyarakat kontemporer Indonesia.
Dari Seni Representasional ke Konseptual
Modernisme dalam seni rupa Indonesia merupakan sesuatu yang nyaris niscaya, mengingat bahwa tumbuhnya gagasan tentang seni sebagai sebuah disiplin itu sendiri menguat bersamaan dengan masuknya gagasan modern. Pada saat yang sama, situasi dan konteks sosial politik dalam periode itu, serta hiruk pikuk atas konsep identitas nasional yang baru, membawa seni rupa Indonesia yang masih sedemikian belia itu pada pendekatan dan gaya representasional secara kuat. Pada perkembangannya di Indonesia, seni rupa representasional di akhir 1930-1940an ini ditempatkan sebagai sumber sejarah yang penting untuk merekam, dan mempertegas peristiwa-peristiwa yang dianggap bersejarah dan signifikan bagi tumbuhnya masyarakat Indonesia baru. Harus dicatat bahwa selain menjadi jejak dokumentasi, seni juga menjadi ekspresi pemikiran bagi kaum intelektual kelas menengah yang baru berkembang pada saat itu.
Salah satu sumber yang cukup komprehensif dan analitis berkaitan dengan perkembangan seni rupa modern, dan kaitannya dengan identitas nasional, terutama dalam pandangan yang cukup moderat adalah tulisan-tulisan karya Sanento Yuliman, yang terkumpul dalam Dua Seni Rupa: Serpihan Tulisan Sanento Yuliman, diterbitkan oleh Yayasan Kalam, 2001 ed. Asikin Hasan.
Dengan pendekatan representasional yang merekat sejak awal sejarahnya, ditambah dengan keinginan mengukuhkan identitas sebagai bangsa baru, yang dalam harapan Soekarno, presiden pertama Indonesia, bisa membangkitkan sentimen nasionalisme yang sangat diperlukan oleh sebuah bangsa yang masih belia. Pada saat yang sama, ide tentang nasionalisme juga membuka wacana tentang "apa yang Indonesia" dalam seni rupa kurun waktu itu. Tokoh-tokoh seperti S. Sudjojono dan Hendra Gunawan merupakan dua di antara seniman-seniman garda depan Indonesia pada masa itu. Dengan demikian, sejarah seni kontemporer pun tak bisa dilepaskan sepenuhnya dari kecenderungan yang representasional semacam itu, apalagi jika membicarakan fotografi. Alex Supartono mencatat bahwa dari semua bentuk representasi, fotografi adalah medium yang paling mudah berasimilasi dalam perbincangan kita tentang pengetahuan dan kebenaran. Ia dianggap paling akurat menampilkan sesuatu yang dianggap kenyataan.
Supartono, Alex, "Fotografi dan Budaya Visual", Jurnal Kalam nomor 23, 2007 Tetapi, harus dicatat bahwa seiring dengan perubahan konteks sosial politik, seni representasional sendiri kemudian menghadapi tantangan untuk bisa keluar dari kecenderungan realisme dan memasuki wilayah-wilayah yang lebih mengedepankan metafora.
Ketika fotografi diterima sebagai bagian dari seni rupa, ihwal representasi ini pula yang menjadi tantangan langsung bagi para seniman; tentang bagaimana menaklukkan realitas visual dan meletakkan fotografi sebagai medium yang "relevan". Pergerakan seni rupa yang cepat dan majemuk, menuntut seniman terus menerus mendefinisikan praktik dan visi estetiknya, termasuk dalam kasus fotografi bagaimana kemudian memberi sikap politis ihwal representasi? Apakah seniman yang berkarya dengan medium fotografi masih (mau) menjadi bagian dari "corong kebenaran", atau memberikan pertanyaan mendasar apakah yang disebut sebagai "kebenaran obyektif" itu ada? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong yang ciri representasional ke arah konseptual. MES 56 merupakan bagian dari generasi seniman Indonesia yang cukup intensif mengeksplorasi modus-modus konseptual dalam penciptaan karya, yang pada gilirannya juga memberinya posisi signifikan dalam ranah seni rupa kontemporer di Indonesia.
Bagaimana relasi antara seni konseptual dengan fotografi? Tony Godfrey menyatakan bahwa seni konseptual menyediakan begitu banyak kemungkinan tentang bagaimana fotografi digunakan dalam seni, karena seni konseptual tidak menyikapi medium demikian adanya, tetapi memiliki mekanisme dan piranti analisis.
Godfrey, Tony, "Conceptual Art", 1998, London: Phaidon Press Seni konseptual yang menampilkan fotografi, dengan demikian, merupakan seni yang menciptakan makna baru, untuk memengaruhi persepsi orang tentang apa yang terlihat dan memberi definisi baru pada apa yang disebut Barthes retorika imaji.
Sebagaimana yang banyak dirujuk oleh berbagai literatur, hubungan fotografi dan seni yang kompleks dan penuh tegangan memberikan kontribusi yang sangat signifikan untuk perkembangan fotografi dalam konteks budaya visual. Apalagi, kehadiran fotografi sejak awal sudah mempunyai sejarah yang sedemikian politis--terutama berkaitan dengan pengakuannya atas proses reproduksi mekanik sebagai bagian dari konsep seni--sehingga keinginan untuk terus mensubversi situasi, definisi, dan konsepsi dari seni itu sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan medium fotografi.
"Photography is constantly changing and hard to define. Its discursive and somewhat promiscuous nature has tended to confuse many people as to its status and value as an art form. The trouble is that it lends itself to many varied uses. We see photography in newspapers, surveillance, advertising campaigns and art galleries, and as fashion shots or family snaps. Meaning can slip and slide depending on context, and the fact that photography lacks any kind of unity and seems to have no intrinsic character makes the insistent cry of but is it art?"
Bright, Susan, "Art Photography Now", 2007, London: Thames & Hudson, hal. 7
Ketika pertama kali memasuki persilangan antara seni dan fotografi ini, MES 56 melihat bahwa persoalan representasi sudah bergeser menjadi politik representasi. Kecenderungan ilmu-ilmu sosial dalam memanfaatkan budaya visual sebagai subyek dan pendekatan telah mengangkat metode pembacaan kode (visual), semiotika, misalnya, sebagai salah satu pendekatan aras utama dalam melihat fenomena sosial. Hal ini berdampak pada munculnya kesadaran tentang kekuatan berdimensi politik dalam soal representasi.
Jika acuan-acuan mengenai hubungan antara seni dan fotografi pada tahun-tahun awal hingga 1960an terutama berfokus pada pengakuan terhadap keberadaan fotografi, pada masa-masa sesudahnya fokus beralih pada bagaimana fotografi seni merepresentasikan lapis-lapis realitas yang ditangkap oleh kamera. Daya dobrak fotografi atas kenyataan inilah, terutama melalui perkembangan teknologi digital, merupakan salah satu poin terpenting dalam karya-karya yang digagas dan dipresentasikan secara kolektif oleh MES 56. Selama kurun waktu 2002 hingga 2012, mereka telah menghasilkan setidaknya empat proyek kolektif yang menampilkan gagasan-gagasan segar dan kritis dari konteks seni rupa kontemporer, fungsi fotografi di ranah budaya visual, serta bagaimana realitas direpresentasikan dengan kacamata berbeda.
Dunia Simulasi: Ruang Hidup Yang Sehari-hari
Proyek pertama MES 56 adalah Keren dan Beken, dipresentasikan di Biennale Jogja VII 2003 "Countrybution" yang dikuratori oleh Hendro Wiyanto.
Partisipasi MES 56 dalam pameran ini merupakan sesuatu yang sangat signifikan bagi perkembangan karier dan eksistensi mereka sebagai kolektif seniman, terutama karena undangan untuk terlibat dalam biennale ini datang hanya satu tahun berselang dari pendirian Ruang MES 56 secara resmi di tahun 2002. Biennale Jogja VII ini diikuti oleh 22 seniman, yang hampir semuanya menunjukkan pendekatan artistik yang progresif untuk medan seni rupa Indonesia pada masa itu.
6 Supartono, Alex. ibid. Dalam karya ini, mereka menyimulasikan profesi fotografer atau praktik fotografi komersial yang sangat lazim ditemui di Indonesia, yaitu fotografer wisuda.
Pada malam pembukaan pameran yang dihadiri oleh berbagai kalangan, "tukang-tukang foto" MES 56 memotret para pengunjung yang datang dan membuka gerai foto, di mana pengunjung pameran bisa berfoto dengan setting dan properti yang disediakan di ruang yang telah disulap menjadi "studio foto". Seperti layaknya cara kerja para fotografer wisuda, MES 56 menjual dan mencetak foto-fotonya pada malam itu juga. Di cetakan fotonya tercantum pula teks berwarna putih berbunyi "Keren dan Beken".
Karya ini merupakan suatu bentuk simulasi atau "permainan" dalam praktik fotografi itu sendiri dan bagaimana medium fotografi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Mengenai fenomena ini, Alex Supartono menulis bahwa "Melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktik fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang mempengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati."
Dari pernyataan Supartono, kita bisa melihat bahwa meskipun pada saat itu kehadiran fotografi dalam seni rupa kontemporer Indonesia masih terbilang belum punya sejarah panjang, tetapi sifat penuh permainan (playfulness) yang ditunjukkan karya Keren dan Beken ini mampu membawa "hal yang sangat biasa" tersebut ke dalam suatu tataran konseptual, mengaburkan batasan antara seni tinggi dengan seni rendah, antara seniman dengan tukang foto. Rifky Effendy mencatat kehadiran proyek ini sebagai upaya menguji kembali para tukang potret yang mengabadikan momen penting bagi orang banyak, mengangkat apa yang dianggap subordinat dalam masyarakat.
Effendy, Rifky, "Para Tukang Foto", Koran Tempo, 31 Oktober 2003 hal. B7
Proyek kolektif MES 56 selanjutnya diberi nama Holiday (2004), yang terdiri dari dua seri, yaitu Berkunjung ke Jakarta dan Plesiran ke Jogja.
Salah satu seri dari Holiday, Berkunjung ke Jakarta pertama kali dipamerkan dalam sebuah pameran bersama bertajuk mediabaru@egroups di Galeri Lontar, Jakarta, Juli 2004. Dua bulan setelahnya, karya ini kembali ditampilkan di Galeri Passage de Retz, Paris, dan di bulan yang sama, seri Plesiran ke Jogja dipamerkan di Pusat Kebudayaan Prancis Jakarta. Karya Holiday terakhir kali ditampilkan di Institute of Contemporary Arts Singapore, bulan Oktober 2010 dalam sebuah pameran bersama dengan judul Manifesto of The New Aesthetic. Selain MES 56, pameran ini juga memamerkan karya-karya enam seniman Indonesia lainnnya. Dalam karya ini, MES 56 mewawancarai beberapa orang yang tinggal di sekitar markas mereka di Jogja, dan beberapa orang yang bekerja di (lingkungan) Pusat Kebudayaan Prancis Jakarta. Kepada sejumlah orang itu diajukan pertanyaan perihal pengalaman maupun keinginan mereka untuk plesiran ke dua kota tersebut, Jakarta dan Jogja.
Mencermati apa yang ditampilkan melalui foto-foto dalam Holiday, saya menganggap bahwa sebagian besar orang yang mereka wawancarai tersebut memang mempunyai pengalaman ataupun keinginan yang kurang lebih sama, yaitu berlibur atau mengunjungi obyek-obyek tujuan wisata di kota Jakarta dan Jogja seperti Taman Mini Indonesia Indah, Monumen Nasional (Monas), Dunia Fantasi (Dufan), Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Kraton.
Dalam eksekusi karyanya, MES 56 mengambil gambar subyek dengan latar belakang tempat tinggal atau tempat kerja mereka, dan meminta para subyek untuk membuat atau membayangkan pose yang akan mereka lakukan jika difoto di tempat-tempat (wisata) yang diinginkan. Setelah itu, melalui olah digital, tubuh mereka dipotong dari latar yang sesungguhnya dan dipindahkan ke tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi.
Melihat foto-foto di seri ini, semuanya seolah-olah tampak nyata dan hadir begitu saja. Seakan-akan orang dapat plesiran tanpa perlu mengalaminya, tanpa perlu mengunjungi tempat-tempat yang ingin dikunjunginya. Suatu peristiwa ataupun pengalaman berlibur dapat direkonstruksi untuk kemudian diwujudkan ke dalam sebuah foto. Hal ini tersirat melalui testimoni para subyek foto yang juga ditampilkan pada saat pameran, semisal Andi "Memet" Zulfan dan Sri Hartini.
Memet: "Sebulan yang lalu kami sempat main ke Dufan tapi tololnya kami nggak bawa kamera! "
Sri: "Saya punya keinginan ke Taman Mini karena saya pernah kesana waktu kelas 5 SD, itung-itung mengulang kenangan lama. Foto dokumentasi waktu ke Taman Mini dulu juga sudah hilang, yang ada cuma negatifnya saja. Gak mau ke Monas karena Monas ya cuma gitu-gitu aja, cuma monumen aja. "
Pengalaman maupun peristiwa otentik yang biasanya kita temui sebagai penanda utama sebuah foto disandingkan dengan simulasi yang didasarkan oleh pengalaman atau hasrat plesiran. Subyek pada foto yang pertama dihilangkan, digunakan kembali untuk menandai keinginan plesiran ke suatu tempat yang muncul pada foto yang kedua, sehingga foto kedualah yang seakan-akan menjadi bukti nyata sebuah pengalaman ataupun peristiwa. Pada akhirnya, bukan lagi kenyataan dunia yang memberikan afirmasi kepada fotografi, tetapi kenyataan fotografis-lah yang menegaskan kenyataan dunia kepada kita, bahwa "saya pernah berada di sana".
Karya ketiga MES 56 adalah Unfolded City, yang dipresentasikan pada Biennale Jogja 2005 "Di sini dan Kini". Biennale kali itu berfokus pada upaya untuk melihat Jogja sebagai sebuah situs budaya kontemporer, dengan menimbang konteks sejarah dan politik yang melingkupinya. Merespon tema ini, MES 56 mengumpulkan foto-foto yang menggambarkan kota Jogja di masa lalu, yang kemudian melalui olah digital, ditambahkan ikon-ikon yang merepresentasikan masa sekarang (modernitas).
Seperti halnya Holiday, di Unfolded City ini kota atau situs-situs tertentu yang ada di Jogja ditampilkan sebagai latar utamanya. Apabila dalam karya Holiday (simulasi tentang) realitas mengacu pada rekonstruksi pengalaman ataupun menciptakan penanda bagi khayalan seseorang, pada Unfolded City realitas dilihat dalam kaitannya dengan persepsi waktu. Melihat foto-foto yang ada di proyek ini, persepsi kita tentang konsepsi waktu dibenturkan satu sama lain, antara Jogja di saat tertentu (masa lalu) dengan Jogja di saat yang lain (masa kini). Apa yang kita sebut sebagai "dulu" dan "sekarang" atau sesuatu yang kita anggap representasi dari "masa lalu" dan "masa kini" ditumpuk ke dalam satu lapisan visualyer dan dihadirkan pada periode waktusaat yang sama.
Salah satu foto menampilkan satu ruangan kelas yang mungkin adalah sekolah khusus perempuan pribumi pada masa kolonialisme Belanda. Sebagian besar siswi yang duduk di ruang kelas itu berpakaian kebaya dan di bagian belakang ruangan berdiri seorang wanita berkulit lebih terang, yang kemungkinan besar adalah guru berkebangsaan Belanda. Semua mata mereka menatap ke arah kamera. Secara kontras, pada saat yang sama, sebuah laptop di letakkan di meja guru ruang kelas yang sederhana itu. Pada foto yang lain, gambaran sebuah sudut kota Jogja ditampilkan. Foto itu menggambarkan suasana (mungkin saat pagi hari) salah satu ruas jalan utama di Jogja, yaitu Jalan Mangkubumi yang terlihat sangat lengang. Hanya ada beberapa pengendara sepeda dan dua buah mobil yang tampak di jalan itu. Saya tidak tahu secara pasti kapan foto itu diambil. Melihat dari bentuk dua mobil yang berada di sisi kiri dan kanan jalan, saya menduga bahwa foto itu diambil sekitar tahun 1920-1940an. Akan tetapi, pada saat dan di ruang yang sama, sebuah spanduk dari satu agen properti yang cukup ternama dipasang di tembok salah satu bangunan di foto itu. Di spanduknya tertulis nama dari agen properti dan tulisan yang berbunyi, DIJUALijual. Di bagian lain dari foto itu, di sebelah kiri atas tampak sebuah pesawat yang sedang terbang rendah. Saya tidak bisa memastikan jenis pesawatnya, apakah pesawat angkut sejenis Hercules atau pesawat penumpang biasa. Mengamati dari bentuk luarnya, sepertinya pesawat itu termasuk jenis pesawat modern, karena sudah tidak lagi menggunakan baling-baling (propeller).
Terus terang, saya tidak bisa membayangkan reaksi serta ekspresi para penumpang yang ada di dalam ataupun muatan pesawat dengan manuver semiring itu dan pada ketinggian serendah itu.
Dengan mengamati detil atau elemen-elemen visual yang ada di kedua foto di atas, sudah barang tentu peristiwa atau gambaran-gambaran itu tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata. Dalam citra yang diabadikan oleh kamera, waktu dibekukan untuk selama-lamanya dan hadirlah kenyataan obyektif yang bisa terlihat dalam aliran waktu. Akan tetapi, apa yang kita lihat dalam dua foto tersebut di atas sepertinya bukanlah realitas waktu yang pernah terlintas bersamaan.
Salah satu kekuatan terdahsyat kamera dalam membekukan waktu dijungkir balikkan sedemikian rupa dalam karya ini. Aliran waktu yang selalu mengarah ke depan (linier) dihadirkan bertumbukan dengan dimensi waktu lain yang seolah-olah bergerak ke belakang. Pertanyaan kapan foto-foto itu dibuat, mustahil untuk terjawab.
"Realitas selalu retak, dalam pengertian selalu berubah karena berada dalam waktu, dalam temporalitas. Setiap kali kita memandang sebuah foto, tentu momen dalam foto itu telah menjadi masa lalu. Namun sebuah foto selalu kontemporer, selalu berada di masa kini, karena sebuah foto berada dalam kekinian pemandangnya. Yang retak itu kita bikin abadi. Keabadian itu bukanlah suatu kebekuan, melainkan fiksasi, kehidupan itu tidak ke mana-mana, selalu terhidupkan kembali oleh pemandangan kepada citra foto tersebut…"
Ajidarma, Seno Gumira, "Kalacitra", Kompas, 7 Juli 2000.
Kota merupakan titik temu dari konflik masyarakat kontemporer, yang di dalamnya berbagai kepentingan mulai dari sosial, politik, ekonomi dan budaya saling berbenturan, serta berkaitan satu sama lain. Tak ayal lagi bahwa fotografi merupakan sebuah medium yang sangat efektif untuk menghadirkan imaji tentang kota, sekaligus merekam kehidupan dan dinamika urbannya. Jika kita menilik dari sejarah fotografi, kota memang merupakan suatu subject matter yang sepertinya tak pernah habis untuk di ekspos. Imaji foto yang pertama kali diciptakan di dunia oleh Nicephore Niepce View from His Window at Le Gras (1826), dan Boulevard du Temple Paris (1839) karya Louis Daguerre adalah gambar tentang kota, demikian pula dengan dua karya kolektif MES 56, Holiday (2004) dan Unfolded City (2005). Hal yang sama juga bisa dilihat dalam proyek terakhir MES 56, yaitu 2nd POSE (2008).
25 seniman dari berbagai disiplin ditampilkan dalam 2nd POSE; perupa, sutradara teater, seniman pantomim, musisi, aktor dan pelawak, yang dipilih oleh MES 56 berdasarkan pengalaman berkesenian serta capaian-capaian artistiknya. Dibandingkan dua proyek MES 56 sebelumnya, 2nd POSE menawarkan sesuatu hal yang sangat berbeda, dimana kualitas kebermainan berkurang dan tidak lagi berangkat pada ide memanipulasi kenyataan. Hal ini berkaitan dengan "tujuan dan fungsi" dari proyek itu sendiri, meskipun sama-sama mengambil kota sebagai background latar belakang utamanya. Sejak awal, karya ini bertujuan untuk mendokumentasikan seniman-seniman yang tinggal dan bekerja di Jogja, di tengah dinamika keseharian kota, dan secara bentuk, menawarkan pendekatan yang lebih spesifik tentang portraiture serta keterkaitannya dengan aspek historis dan sosial.
Pengertian ataupun konsep tentang dokumentasi dalam 2nd POSE sangatlah berbeda dengan "dokumentasi" yang dilakukan MES 56 pada dua proyek sebelumnya, yaitu Keren dan Beken serta Holiday. Dalam dua karya tersebut, term dokumentasi telah mengalami pergeseran yang sedemikian rupa secara konsep, karena apa yang mereka lakukan dalam dua karya tersebut adalah sebentuk "permainan" berupa simulasi. Dalam karya ini, foto maupun kamera sepenuhnya mengacu pada "fungsi" yang selalu melekat di dalamnya, yaitu sebagai alat perekam atas sebuah eksistensi dan realitas, bahwa "yang tampak adalah benar adanya", yaitu diri para seniman beserta lingkungan dimana mereka berada.
Potret-potret dalam 2nd POSE bukanlah merupakan sesuatu yang over beautified seperti kostum, make up, setting, properti, pencanggihan teknologis serta penonjolan atas kesohoran subyek yang dipotret atau sekedar representasi individu yang ditangkap kamera, melainkan kekuatan pantulnya atas ruang dan waktu yang melingkupi sosok para seniman yang ditampilkan. Karya ini merekam konteks sosial politik yang lebih luas dari konsep diri subyeknya, memasuki wilayah fisik maupun kultural dari ruang-ruang kota, serta seolah-olah menegaskan bahwa para seniman tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kota dimana mereka hidup. Selain itu, 2nd POSE menggaris bawahi bagaimana (dokumentasi) fotografi selalu menjadi arsip sejarah yang berkaitan dengan peristiwa atau fenomena sosial, politik, ekonomi dan budaya yang menjadi bagian dan pembentuk sebuah kota.
Sebagai sebuah ruang hidup yang terus bergerak, kota dan budaya urban memang mempunyai tempat tersendiri dalam karya-karya yang dikerjakan oleh MES 56 selama eksistensi mereka sebagai kolektif seniman. Dalam representasi visual proyek-proyek MES 56, kota tidaklah ditampilkan dengan mengeksploitasi wajah utama yang dramatis dengan segala kecarut-marutannya. Sebaliknya, kota ditampilkan dalam wajah yang "sederhana" tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang banal.
Nilai Politis dan Semangat Zaman
Pasca 1998, perubahan yang terjadi dalam dunia seni rupa kontemporer di Indonesia tidak saja berkaitan dengan peran seniman dalam medan sosial dan politik masyarakat, tetapi juga perubahan yang menyangkut bentuk dan gagasan estetik seniman, terutama yang berasal dari generasi yang lahir pasca 1970an.
Seniman-seniman Indonesia yang berkarya sebelum tahun 1998 sebagian besar menghadapi tantangan besar berkaitan dengan muatan karya mereka yang membicarakan isu politik, terutama jika menyangkut pemegang kuasa (status quo), atau isu besar seperti suksesi kekuasaan dan militerisme. Karena pembungkaman media, para seniman pada saat itu merasakan ada tanggung jawab moral untuk mengangkat persoalan-persoalan yang tidak bisa dibicarakan di media, menumbuhkannya sebagai kesadaran bersama atau bahkan menunjuk musuh bersama. Perubahan iklim politik yang cukup drastis dan semakin terbukanya arus informasi yang ditunjang oleh pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, membuat para seniman muda juga bergerak membicarakan tema-tema yang berbeda dibanding seniman-seniman generasi sebelumnya. Isu-isu seperti budaya populer, (politik) identitas, konsumerisme, merupakan wacana utama yang banyak diolah seniman-seniman muda. Tetapi bagaimana menemukan kritisisme terhadap persoalan yang sepertinya sudah terlanjur diterima begitu saja ini?
Sejak awal, MES 56 sebagai sebuah kolektif seniman yang lahir setelah reformasi digulirkan, tampaknya tertarik membicarakan relasi antara fotografi dengan budaya sehari-hari atau bagaimana fotografi berikut segala perangkat teknologinya diterapkan dalam keseharian masyarakat modern. Mencermati karya-karya kolektif MES 56, kita dihadapkan pada paradoks serta tegangan antara "foto seni dan bukan foto seni", karena sebagian besar yang mereka lakukan melalui karya-karyanya mengadopsi praktik fotografi sehari-hari. Hal-hal yang sangat biasa, remeh temeh dan bisa dilakukan oleh sebagian besar bahkan semua orang yang pernah menggunakan kamera.
Bertolak dari sifat populis itu serta kecenderungan untuk (hampir selalu) mempermainkan status fotografi sebagai sebuah medium yang ambigu, pada akhirnya menjadikan proyek-proyek seni MES 56 dapat dilihat sebagai proyek yang mengandungmpunyai nilai politisnya sendiri. Meski demikian harus dicatat bahwaDalam karya-karya MES 56, nilai politis ininya tidak terletak pada subject matter atau pada apa yang tampak dan bukan juga pada narasi-narasi besar tentang isu sosial-politik, akan tetapi pada perspektif dan penyikapan atas medium fotografi itu sendirinya.
Pada Misalnya di proyek Keren dan Beken, misalnya, poin yang terpenting bukanlah soal subyek yang ditampilkan dalam foto-foto yang menyerupai foto wisuda itu, melainkan pada gagasan untuk menyimulasikan praktik fotografi komersial (fotografer wisuda). Apa yang mereka ciptakan sama sekali bukan sesuatu yang bersifat keindahan atau artistik semata, pun bukanlah hasil akhirnya yang dianggap penting, akan tetapi sepenuhnya bermuara pada konsep, gagasan serta proses, sebagaimana tawaran dari banyak karya seni konseptual lain. Ini juga terbaca dari keterkaitannya dengan tema kuratorial biennale, dan tindakan para "tukang potret" MES 56 ketika pembukaan acara berlangsung, mulai dari memotret para pengunjung yang hadir selayaknya cara kerja fotografer wisuda, hingga memajang serta menjual foto-foto tersebut di tempat. Dalam hal ini, tegangan antara "seni dan bukan seni", "seniman dan bukan seniman", serta "foto seni dan bukan foto seni" dimunculkan.
Indikasi serupa juga bisa ditemui dalam Unfolded City dan Holiday. Dua proyek ini mengulik salah satu konsep mendasaryang terdalam dalam medium fotografi, yaitu sebagai representasi dari kenyataan, tegangan antara kenyataan faktual dan realitas fotografi. Keduanya memutar-balikkan pemahaman dan persepsi kita tentang realitas dengan cara sedemikian rupa. Holiday, sama halnya dengan Keren dan Beken mensimulasikan praktik fotografi populer, yang mungkin dilihat sebagai "non-art look". Ini sangat berbeda dengan apa yang ditampilkan dalam Unfolded City, namun poin pentingnya bukanlah hanya pada subject matter foto-foto yang tercetak, melainkan juga pada pilihan dan perlakuan terhadap media presentasinya. Unfolded City disajikan dalam bentuk kartu pos, yang selain dipajang dan dijual (seharga Rp 20.000/ set) di venue utama Biennale Jogja 2005, juga disebar ke beberapa tempat lainnya seperti kafe dan restoran, selayaknya promosi sebuah produk, jasa, atau kartu pos yang biasa kita temui di deretan rak toko-toko buku, kios cindramata, hingga lobby hotel-hotel berbintang. Ini tentu berhadapan dengan radikal dengan peristiwa pameran foto, dimana foto cenderung dicetak dalam ukuran-ukuran besar, dan ditampilkan dalam teknik cetak yang canggih dan penuh presisi.
Melihat hal tersebut Ddari konteks sejarah fotografi, kartu pos (pada awal kemunculan medium fotografi biasa disebut sebagai carte-de-visite) memang merupakan salah satu cara paling umum bagaimana karya-karya foto dulunya didistribusikan dan dipresentasikan. Ini adalah sebuah fenomena global (juga banyak dijumpai di Hindia-Belanda) yang terjadi pada paruh abad ke-19, serta merupakan salah satu kegemaran sebagian masyarakat kelas menengah ke atas baru pada masa itu.
Carte- de-visite dipantenkan oleh Eugène Disdéri pada tahun 1854, yang olehnya dideskripsikan; fine, perfect and beautiful dan lebih menekankan pada reproduktibilitas serta fleksibilitas fotografi sebagai sebuah medium, selain upaya untuk meninggalkan fotografi dalam menyamai ukuran seni lain yang dianggap lebih mapan, yaitu seni lukis. lih. Batchen, Geoffrey, "Dreams of Ordinary Life: Cartes-de-visite and the bourgeois imagination" (Photography: Theoretical Snapshots, 2009, London: Routledge, ed. J.J Long, Andrea Noble, Edward Welch, hal. 81) Pada Unfolded City, persoalan fotografi sebagai komoditas budaya visual maupun seni sebagai komoditas menjadi sesuatu yang perlu untuk digarisbawahi. Menelusurinya lebih lanjut, sebenarnya hal ini juga berkaitan erat dengan bagaimana pasar seni rupa Indonesia kala itu melihat medium fotografi; sesuatu yang sangat berbeda dalam tiga tahun terakhir inikurun terakhir tahun 2000an.
Apa yang terlihat dari proyek-proyek kolektif MES 56 adalah sesuatu yang sifatnya melampaui teknis, bahkan sepertinya secara sadar menghindar dari yang dianggap indah atau "sempurna". Karya-karya MES 56 seperti yang terpapar di atas, adalah sesuatu yang berada di luar kelaziman fotografi seni yang ada dan berkembang di Indonesia terutama sebelum berkembangnya fotografi konseptualselama ini. Demikian pula Yang di luar lazim ini juga terlihat jika kita mencoba untuk membandingkannya dengan kebanyakan karya-karya fotografi kontemporer di Amerika, Eropa dan beberapa negara di Asia (semisal Jepang dan Korea Selatan), maupun foto-foto yang biasa dipamerkan di galeri-galeri seni, museum, serta event-event besar semacam biennale, triennale dan festival fotografi. Bagi MES 56, fotografi diperlakukan dan ditempatkan dalam wilayah eksperimentasi serta eksplorasi, di mana medium dan subject matter berada pada posisi yang sama, sejajar serta sangatlah cair; sah untuk dihancurkan maupun dibentuk ulang.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnyakali lagi, bahwa membaca fotografi melulu dari sudut pandang seni rupa belum tentu punya arti relevan. Bahkan dalam dunia fotografi seni yang berkembang di Indonesia, tampaknya karya ataupun praktik-praktik yang dilakukan MES 56 ini belum sepenuhnya diterima, terutama jika berkaitan dengan otoritas pencipta makna yang formal seperti sekolah seni atau media massabelum sepenuhnya diterima. Padahal dari karya-karya maupun praktik tersebut kita sebenarnya bisa melihat peranan fotografi dalam kehidupan, serta bagaimana fotografi mampu merefleksikan semangat zaman (zeitgeist).
Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi memang membawa sangat banyak perubahan dalam kehidupan. Seiring dengan derasnya arus informasi serta cepatnya perkembangan teknologi, secara tanpa sadar orang menjadi lebih intens berhubungan dengan berbagai imaji fotografis, yang pada akhirnya juga mempengaruhi sudut pandang seseorang dalam melihat dunia maupun cara mereka merepresentasikan dirinya. Mungkin sebagian dari kita pernah melakukan atau setidaknya pernah melihat, seorang gadis umur belasan datang ke sebuah lab foto dan meminta si operator untuk menghilangkan jerawat di pipinya atau lebih memutihkan warna kulitnya. Tentu saja permintaan itu merupakan salah satu dampak dari perkembangan teknologi, namun perubahan yang paling mendasar sebenarnya terjadi pada manusianya, di mana kesadaran tentang representasi diri, pengalaman maupun pengetahuan menjadikan mereka lebih artikulatif dan empatik. Keinginan ataupun permintaan tersebut muncul karena pengetahuan serta kesadaran bahwa teknologi mampu mewujudkan hal itu, akan tetapi motif yang melatarbelakangi adalah sepenuhnya proses mental. Di sinilah fotografi, dengan berbagai fase perkembangan teknologi yang selalu menyertainya, menemukan momentum terpenting dan semangat zamannya.
Kecenderungan yang ditampilkan MES 56 dalam sebagian besar proyek kolektifnya adalah mengembalikan medium fotografi pada kesederhanaan dan keterkaitan dengan representasi individu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mencoba untuk lebih berperan sebagai "dokumentator", antara lain dengan cara meneliti praktik-praktik visual atau praktik fotografi dalam ranah populer. Tanggung jawab MES 56 sebagai kolektif seniman tidaklah hanya berkutat pada masalah artistik, namun lebih kepada konteks, pemaknaan baru, eksplorasi, sekaligus kritisisme tentang "medium" dan bagaimana hal itu diterapkan dalam keseharian masyarakat modern.
Epilog
Setiap hari kita menghadapi bagaimana jutaan imaji visual direproduksi serta disebarkan melalui berbagai media dan bermacam piranti teknologi yang mampu merekam dan mengirimkan gambar. Semua orang kini bisa merekam dan menyebarkan imaji untuk dikonsumsi orang lain secara terbuka. Mungkin bagi beberapa orang, mengunggah foto ke situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter sama pentingnya dengan bekerja dan makan. Memproduksi dan mengkonsumsi imaji pada akhirnya menjadi salah satu aktivitas penting dan tak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama, kita melihat bagaimana rekam visual yang sifatnya privat kemudian bermigrasi ke wilayah-wilayah publik. Dalam konteks demikian, apa yang "nyata" dan "representasi dari kenyataan" telah berbaur, sehingga setiap orang mempunyai perspektif yang berbeda-beda tentang kenyataan.
Pada Desember 2010, MES 56 mengadakan pameran berjudul On Camera.
Pameran ini merupakan pameran bersama pertama seluruh anggota MES 56 di galeri komersial. Sebelumnya, pada bulan Februari 2010 beberapa anggota MES 56 (Agung Nugroho Widhi, Angki Purbandono, Edwin Roseno, Jim Allen Abel dan Wimo Ambala Bayang) menggelar pameran di Galeri Nadi, Jakarta dengan tajuk Look! See? Indonesian Contemporary Photography Exhibition, yang dikuratori oleh Enin Supriyanto. Dua pameran ini mulai menandai eksistensi kelompok ini dalam arus utama pasar seni rupa di Indonesia. Judul ini merujuk pada salah satu buku filosofi fotografi penting, On Photography, karya Susan Sontag. Pilihan judul ini menunjukkan adanya kesadaran untuk mempertanyakan kembali filosofi fotografi yang harus diberi konteks baru pada perkembangannya yang sekarang. Gagasan tentang corong "kebenaran" dan obyektifitas yang awalnya sangat melekat pada medium fotografi, dibongkar dan dicoba untuk didefinisikan ulang. Sebagai "konsumen" dari teknologi reproduksi citra visual, mereka tertarik untuk membicarakan alat yang punya dogma politis dan konsekuensi ideologis ini. Pertanyaan dimulai dengan: bisakah karya-karya semacam yang ditampilkan ini dibuat tanpa adanya teknologi kamera? Itulah mengapa, pernyataan On Camera, sekaligus merupakan sebuah refleksi tentang bagaimana setiap individu dalam pameran ini, yang setiap harinya disibukkan dengan aktivitas mengonsumsi, memproduksi atau mereproduksi imaji, kemudian memberi momen jeda untuk memaknai hubungan mereka dengan mediumnya sendiri.
Swastika, Alia, brosur pameran On Camera, Biasa Art Space, Desember 2010.
Dibandingkan dengan proyek-proyek MES 56 sebelumnya yang dilakukan secara kolektif, On Camera dikerjakan secara individual, tetapi disandarkan pada satu pertanyaan bersama. Pameran ini menampilkan ketertarikan para anggota MES 56 pada fokus perhatian yang berbeda-beda; tentang konsepsi waktu pada (realitas) fotografi, tegangan antara waktu yang dibekukan dan waktu yang terus mengalir, tentang memori kolektif kita atas imaji, ataupun persepsi kita tentang kenyataan. Jika seni rupa modern bertumpu pada gagasan yang bersifat representasional, maka dalam seni rupa kontemporer, medium fotografi digunakan fotografer atau seniman dengan tujuan, misalnya untuk mempertanyakan relasi antara "kebenaran" sebuah citra dan realitas, ataupun dengan pesan-pesan ideologis yang dikandungnya.
Selain menyikapi teknologi dan persebarannya secara kritis, kita melihat bahwa karya-karya MES 56 juga menekankan pada cara agar strategi artistik dapat menjadi alat untuk membongkar lapisan realitas visual dan mempertanyakan makna kebenaran yang tunggal. Dengan demikian ia juga tengah menunjukkan apa yang selama ini tersembunyi atau tidak tampak pada permukaan. Semangat ataupun kesadaran semacam ini merupakan satu topangan penting dalam seni rupa kontemporer masa kini, untuk melawan apa-apa yang serba mutlak dan tunggal.
Menilik kembali proyek-proyek MES 56, baik dalam konteks seni rupa kontemporer maupun budaya visual, sekali lagi dapat dikatakan bahwa MES 56 menunjukkan kegairahan dalam menangkap semangat zaman (zeitgeist). Merefleksikan semangat zaman bukan berarti mengejar pencapaian teknik dan menampilkan semua kepiawaian bermain dengan teknologi, atau membicarakan narasi-narasi besar yang nyaris menjadi kanon, tetapi justru bergelut dengan pertarungan kuasa visual dalam kehidupan keseharian, menampilkan narasi tersembunyi, menggali ingatan dan membuka lapis-lapis pemahaman.