HUKUM ISLAM DAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu: Dr. Fakhruddin, M.HI.
Oleh:
M. ABDUL HAKIM
NIM: 15781026
PROGRAM STUDI MAGISTER AL-AHWAL AL- SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang salih li kulli zaman wa makan. Selama empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan berbagai masalah. Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan umat Islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal (rahmatan li al-alamin) secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi yang membawa perubahan sosial yang begitu cepat. Kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era modernitas seperti saat ini.
Salah satu dari pendekatan yang ditawarkan tersebut adalah pendekatan kontekstual yang mana Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi: Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks. Manhaj yang dikembangkan adalah penafsiran Islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, dengan begitu, Islam akan hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” yang universal, karena itu didalam menafsirkan teks nash menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial.
Rumusan Masalah
Apa pengertian hukum Islam
Apa pengertian pendekatan kontekstual
Apa kekuatan dan kelemahan pendekatan kontekstual
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Islam
Kata Syari’at, Fiqh, dan Hukum Islam terkadang digunakan secara bergantian dengan arti yang sama. Padahal jika dikaji lebih teliti ketiganya tidak bisa disamakan. Penggunaan syariat dan fiqh secara bergantian untuk menunjukkan arti hukum Islam dalam kadar tertentu bisa dimaklumi, namun apabila dicermati secara konseptual keduanya memiliki makna yang berbeda.
Syari’at dari segi bahasa berarti madzhab dan jalan lurus. Kata syara’a bermakna nahaja (meniti), menerangkan, dan menjelaskan berbagai jalan titian. Menurut istilah, syariat berarti agama dan berbagai hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hambanya.
Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 44. Menurut terminologi Fuqoha’, kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan seorang rasul. Sedangkan Tasyri’ adalah bentuk mashdar dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat, menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.1
Fiqh menurut bahasa artinya paham dan mengetahui. Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil dalil yang sudah terinci.
Ibid., hlm. 5.
Dan yang dimaksud dengan hukum syara’ adalah setiap hukum yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunah seperti wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, sesuatu yang menjadi syarat, sebab, penghalang bagi sesuatu yang lain, akad menjadi sah, batal dan rusak. Dengan demikian ilmu fiqh tidak memuat hukum-hukum berkaitan keyakinan atau akhlak karena keduanya masuk dalam wilayah syariat, dan syari’at itu sendiri lebih luas dari pada fiqh. Dan fiqh merupakan hasil dari sebuah ijtihad, istinbat (menggali hukum), nazhar (observasi), dan istidlal (berdalil).
Kata Ushul fiqh merupakan gabungan dari dua kata, yakni ushul berarti pokok, dasar, fondasi. Yang kedua adalah fiqh yang berati paham yang mendalam. Kata ushul yang merupakan jamak dari kata ashal secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya. Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian secara istilah dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terperinci atau dalam artian sederhana adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalinya.
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh ,(Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011), hlm. 23.
Perbedaan hukum Islam (fiqh), Syari’ah, dan Metodologi hukum Islam (Ushul Fiqh) jika dilihat dari ruang lingkup pembahasannya yaitu sebagai berikut:
Ruang lingkup dari pembahasan hukum Islam (fiqh) adalah hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan manusia, khususnya orang-orang mukallaf. Dan Ruang lingkup dari pembahasan syari’ah cakupannya lebih luas, yakni mencakup seluruh ajaran Islam. Sedangkan ruang lingkup dari metodologi hukum Islam (Ushul Fiqh) adalah mengenai dalil-dalil dalam mengistinbat hukum.
Metode Pendekatan Kontekstual
Kata “kontekstual” berasal dari “konteks” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti: 1) bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna. 2) situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm.458.
Adapun secara istilah Noeng Muhadjir menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya memiliki tiga pengertian : Pertama, Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan dewasa ini yang umumnya mendesak, sehingga arti kontekstual identik dengan situasional. Kedua, Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang atau memaknai kata dari segi historis, fungsional, serta prediksinya yang dianggap relevan. Ketiga, mendudukkan keterkaitan antara teks al Qur’an dan terapannya.
Dengan demikian pendekatan kontekstual dapat diartikan suatu pendekatan yang digunakan memahami wahyu yang kemudian dihubungkan dengan konteksnya. Dengan kata lain, istilah “kontekstual” secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah (literatur), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya.
U. Safrudin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al-
Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 48. Jadi, kontekstual adalah memahami islam dengan menghubungkan teks-teks islam dengan keadaan sosial.
Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, menurut Fazlur Rahman, paling tidak, dilakukan melalui tiga langkah. Pertama, memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal spesifiknya dan moral idealnya, dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun. Kedua, memahami lingkungan baru yang padanya, teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya. Ketiga, jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legalspesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya.
M. Saad Ibrahim, Menyaring Dimensi Tasyri’ Hadits (Malang : Jurnal Online Metodologi Tarjih
Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012 (PSIF-UMM), hlm. 56.
Fazlur Rahman mengemukakan sebuah teori yang berhubungan dengan pendekatan kontekstual dalam rangka memahami Al Quran yaitu gerakan ganda (Doble Movement).
Fazlur Rahman dalam, Syafrudin,”Paragigma Tafsir. hlm. 44.
Dari situasi kini kepada situasi pewahyuan
Dalam gerakan kembali kepada konteks Al Quran sewaktu diturunkan, ada dua langkah yang diperlukan. Yang pertama penafsir harus memahami makna sebenarnya sesuatu ayat dengan mengkaji latar belakan sejarah atau persoalan yang menyentuh sebab-sebab turunnya ayat. Di dalam rangka ini, kajian umum terhadap situasi makro kehidupan sosial arab menjelang dan sekitar penurunan wahyu harus dilaksanakan. Kedua, penafsir harus prinsip-prinsip dasar dari ayat-ayat yang menyentuh persoalan khusus itu, dalam arti kata tujuan sosio-moral di balik setiap ayat.
Dari konteks pewahyuan kepada konteks kekinian
Dengan prinsip-prinsip dasar yang digarap dari ayat spesifik itu, sang penafsir haruslah memaknai ayat-ayat itu kembali dan mengaplikasikannya pada konteks dan situasi sosial masa kini, langkah ini juga memiliki penelitian secukupnya akan kondisi masa kini supaya prinsip-prinsip Al Quran dapat diterapkan sesuai dengan keperluan masyarakat.
Aplikasi Pendekatan/tafsir Kontekstual
Dalam hal perbudakan, Al-Qur’an pun mengakui secara hukum praktek perbudakan. Ini semata-mata dimaksudkan bersifat sementara dan ideal moralnya adalah pemerdekaan budak. Firman Allah Swt:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (١٢) فَكُّ رَقَبَةٍ (١٣)
Artinya: “Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”.
QS. Al-Balad (90): 12-13.
Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang ditentukan menurut kondisi sang budak, maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu.Tuannya tidak boleh menolaknya, seperti yang ditegaskan al-Qur’an Surat An-Nur ayat 33:
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ وَلا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَنْ يُكْرِهُّنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”.
QS. An-Nur (24): 33.
Ayat di atas menurut Rahman, Al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah. Kalimat Alqur’an “ Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”, bila dipahami dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri atau berdikari, dan karenanya mungkin lebih baik bila ia tetap berada dalam lindungan tuannya. Tapi sebaliknya, seorang budak yang sudah mampu berdikari, dan meminta kemerdekaannya dengan menebus segala syarat, maka tuannya harus memerdekakannya. Inilah ideal moral yang dituju Al-Qur’an.
Sibawaih, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta dan Bandung:Jalasutra,2007) hlm. 76.
Selain dari contoh yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman di atas ada contoh lain dalam tafsir kontekstual ini, untuk itu pemakalah dapat menyimpulkan bahwa penerapan tafsir kontekstual ini sudah terjadi sejak masa Kholifah Umar bin Khottob, dimana Umar bin khottob tidak memberikan hukum potong tangan bagi pencuri lantaran kondisi pencuri itu sangat memperhatinkan. Dan umar juga tidak membagikan harta rampasan kepada para Prajurit dikarenakan semua kebutuhan dan peralatan sudah disediakan oleh Negara sehingga dalam masalah harta rampasan adalah menjadi milik (kas) Negara. Kedua contoh yang diterapkan oleh Umar jelas menyalai nas al-Qur’an yang didalamnya mengandung hukum potong tangan bagi pencuri dan memberikan harta rampasan kepada sahabat yang ikut dalam berperang sebagaimana Nabi pernah membagikan harta rampasan tersebut, akan tetapi Umar melihat kondisi yang sangat berbeda dan tidak mungkin menjalankan hukuman tersebut.
Umar Sihab, Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 27-29.
Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Kontekstual
Setiap corak tafsir tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dipungkiri, karena memang itulah keterbatasan ilmu manusia yang hanya sedikit sekali ilmu yang diberikan oleh Allah bahkan digambarkan hanya setetes air yang ada di lautan, begitu juga tafsir kontekstual kelebihan dan kekurangannyaadalah sebagai berikut:
Adapun kelebihan-kelebihan tafsir kontekstual, diantaranya:
Dwikunayatin,/FHI/Pndekatan/Konstektual/Metode Konstektual dan Tekstual_My Trip My Adventure.htm. di akses pada tanggal 26 april 2016.
Mempertahankan semangat keuniversalan Al-Qur’an, sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman.
Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari metode analitis, tematik, dan hermeneutika. Sebab metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses penafsiran, metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya, tafsir hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa, sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari metode-metode tersebut.
Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens.
Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual, itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya. Diantara kelemahan tersebut adalah:
Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian nilai-nilai Al-Qur’an dengan kondisi masyarakat. Tentu dengan keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkanAl-Qur’an sesuai dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada.
Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah untuk mengetahui maknanya.
Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa, asbab nuzul, nasikh mansukh, dan lain sebagainya. Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan.
Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk cepat merasa mampu menafsirkan Al-Qur’an sekalipun syarat-syarat mufasir belum terpenuhi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perubahan zaman dengan beragam tantangannya tersebut membutuhkan sebuah metode yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Setiap Muslim harus meyakini bahwa al-Qur’an bukan sekedar dibaca secara lafziah tetapi harus selalu direnungkan kandungan maknanya, sehingga al-Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk kehidupan.
Pernyataan tersebut bukan berarti bahwa pemahaman tekstualis tidak diperlukan atau tidak layak, namun dalam memahami teks-teks keagamaan bahwa muatan-muatan kebahasaan yang sangat berlebihan sehingga meninggalkan kesan bahwa analisa bahasa itulah yang dikehendaki oleh makna sebuah ayat juga melahirkan kejumudan pemikiran hukum Islam.
Kondisi seperti ini membutuhkan tawaran metode baru yang mampu menghasilkan produk pemikiran yang realistis, obyektif dan sistematis. Dan kerana proses pewahyuan al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus, akan tetapi secara bertahap yang otomatis bersentuhan pula dengan problem realitas saat itu, maka upaya untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan realitas saat ini akan menemui kesulitan jika hanya mengandalkan pemahaman al-Qur’an secara leksikal semata tanpa melibatkan pemahaman terhadap realitas.
Daftar Pustaka
Dwikunayatin,/FHI/Pndekatan/Konstektual/Metode Konstektual dan Tekstual_My Trip My Adventure.htm. di akses pada tanggal 26 april 2016.
Hasan Khalil, Rasyad. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam.Jakarta: Amzah, 2010.
Ibrahim, M. Saad. Menyaring Dimensi Tasyri’ Hadits (Malang : Jurnal Online
Metodologi Tarjih Muhammadiyah, Edisi 1, No. 1, 2012 (PSIF-UMM).
Karim Zaidan, Abdul. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam. Jakarta: Robbani Press, 2008.
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2011.
Safrudin, U. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an,. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sibawaih, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman. Yogyakarta dan Bandung:Jalasutra,2007.
Sihab, Umar. Kontekstualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005.
11