Academia.eduAcademia.edu

FILSAFAT HUKUM ISLAM.rtf

HUKUM ISLAM DAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat‭ ‬Hukum Islam Dosen Pengampu:‭ ‬Dr.‭ ‬Fakhruddin,‭ ‬M.HI. Oleh: M.‭ ‬ABDUL HAKIM NIM:‭ ‬15781026 PROGRAM STUDI MAGISTER AL-AHWAL AL-‭ ‬SYAKHSIYYAH UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2016 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Al-Qur’an adalah Kitab suci yang‭ ‬salih li kulli zaman wa makan.‭ ‬Selama empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan berbagai masalah.‭ ‬Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan umat Islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an.‭ ‬Pertama,‭ ‬bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal‭ (‬rahmatan li al-alamin‭) ‬secara tepat,‭ ‬setelah terjadi proses modernisasi,‭ ‬globalisasi,‭ ‬dan informasi yang membawa perubahan sosial yang begitu cepat.‭ ‬Kedua,‭ ‬bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era modernitas seperti saat ini. Salah satu dari pendekatan‭ ‬yang ditawarkan tersebut adalah pendekatan kontekstual yang mana Karakteristik yang paling‭ ‬nampak dalam model ini meliputi:‭ ‬Penekanan pada semangat religio etik,‭ ‬bukan‭ ‬pada‭ ‬makna literal sebuah teks.‭ ‬Manhaj‭ ‬yang dikembangkan adalah penafsiran Islam berdasarkan semangat dan spirit teks,‭ ‬memahami latar teks secara kontekstual,‭ ‬substansial dan non literal,‭ ‬dengan‭ ‬begitu,‭ ‬Islam akan‭ ‬hidup‭ ‬survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari‭ “‬peradaban manusia‭” ‬yang‭ ‬universal,‭ ‬karena itu didalam menafsirkan teks‭ ‬nash‭ ‬menggunakan penafsiran yang kontekstual,‭ ‬substansial. Rumusan Masalah Apa pengertian hukum Islam Apa pengertian pendekatan kontekstual Apa kekuatan dan kelemahan pendekatan kontekstual BAB II PEMBAHASAN Pengertian Hukum Islam Kata Syari’at,‭ ‬Fiqh,‭ ‬dan Hukum Islam terkadang digunakan secara bergantian dengan arti yang sama.‭ ‬Padahal jika dikaji lebih teliti ketiganya tidak bisa disamakan.‭ ‬Penggunaan syariat dan fiqh secara bergantian untuk menunjukkan arti hukum Islam dalam kadar tertentu bisa dimaklumi,‭ ‬namun apabila dicermati secara konseptual keduanya‭ ‬memiliki makna yang berbeda. Syari’at dari segi bahasa berarti madzhab dan jalan lurus.‭ ‬Kata‭ ‬syara’a bermakna‭ ‬nahaja‭ (‬meniti‭)‬,‭ ‬menerangkan,‭ ‬dan menjelaskan berbagai jalan titian.‭ ‬Menurut istilah,‭ ‬syariat berarti agama dan berbagai hukum yang disyariatkan Allah‭ ‬untuk hamba-hambanya. ‭ ‬Abdul Karim Zaidan,‭ ‬Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam‭ ‬(Jakarta:‭ ‬Robbani Press,‭ ‬2008‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬44.‭ ‬Menurut terminologi Fuqoha‭’‬,‭ ‬kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan seorang rasul.‭ ‬Sedangkan‭ ‬Tasyri‭’‬ adalah bentuk‭ ‬mashdar dari kata kerja‭ ‬syarra’a yang berarti membuat syariat,‭ ‬menetapkan syariat,‭ ‬menjelaskan hukum,‭ ‬dan membuat undang-undang. ‭ ‬Rasyad Hasan Khalil,‭ ‬Tarikh Tasyri‭’ ‬Sejarah Legislasi Hukum Islam‭ (‬Jakarta:‭ ‬Amzah,‭ ‬2010‭)‬,‭ ‬hlm.1 Fiqh menurut bahasa artinya paham dan mengetahui.‭ ‬Sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum syara‭’ ‬yang bersifat praktis yang diambil dari‭ ‬dalil dalil yang sudah terinci. ‭ ‬Ibid.,‭ ‬hlm.‭ ‬5. Dan yang dimaksud dengan hukum syara‭’ ‬adalah setiap hukum yang bersumber dari Al-qur’an dan As-Sunah seperti wajib,‭ ‬sunnah,‭ ‬haram,‭ ‬makruh,‭ ‬mubah,‭ ‬sesuatu yang‭ ‬menjadi syarat,‭ ‬sebab,‭ ‬penghalang bagi sesuatu yang lain,‭ ‬akad menjadi sah,‭ ‬batal dan rusak.‭ ‬Dengan demikian ilmu fiqh tidak memuat hukum-hukum berkaitan keyakinan atau akhlak karena keduanya masuk dalam wilayah syariat,‭ ‬dan syari’at itu sendiri lebih luas dari pada fiqh.‭ ‬Dan fiqh merupakan hasil dari sebuah ijtihad,‭ ‬istinbat‭ (‬menggali hukum‭)‬,‭ ‬nazhar‭ (‬observasi‭)‬,‭ ‬dan‭ ‬istidlal‭ (‬berdalil‭)‬. Kata‭ ‬Ushul fiqh merupakan gabungan dari dua kata,‭ ‬yakni‭ ‬ushul berarti pokok,‭ ‬dasar,‭ ‬fondasi.‭ ‬Yang kedua adalah‭ ‬fiqh yang berati paham yang mendalam.‭ ‬Kata‭ ‬ushul yang merupakan jamak dari kata‭ ‬ashal secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya.‭ ‬Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh.‭ ‬Dengan demikian secara istilah dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara‭’ ‬dari dalilnya yang terperinci atau dalam artian sederhana adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan‭ ‬hukum-hukum dari dalil-dalinya. ‭ ‬Suyatno,‭ ‬Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh‭ ‬,‭(‬Jogjakarta:‭ ‬Ar-Ruz Media,‭ ‬2011‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬23. Perbedaan hukum Islam‭ (‬fiqh‭)‬,‭ ‬Syari’ah,‭ ‬dan‭ ‬Metodologi hukum Islam‭ (‬Ushul Fiqh‭) ‬jika dilihat dari ruang lingkup pembahasannya yaitu sebagai berikut: Ruang lingkup dari pembahasan hukum Islam‭ (‬fiqh‭) ‬adalah hukum-hukum yang terkait‭ ‬dengan perbuatan manusia,‭ ‬khususnya orang-orang mukallaf.‭ ‬Dan‭ ‬Ruang lingkup dari pembahasan syari’ah cakupannya lebih luas,‭ ‬yakni mencakup seluruh ajaran Islam.‭ ‬Sedangkan ruang lingkup dari metodologi hukum Islam‭ (‬Ushul Fiqh‭) ‬adalah mengenai dalil-dalil dalam mengistinbat hukum.‭ Metode Pendekatan Kontekstual Kata‭ “‬kontekstual‭” ‬berasal dari‭ “‬konteks‭” ‬yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung dua arti:‭ ‬1‭) ‬bagian sesuatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna.‭ ‬2‭) ‬situasi yang ada hubungan dengan suatu kejadian. ‭ ‬Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,‭ ‬Kamus Besar Bahasa Indonesia,‭ (‬Jakarta:‭ ‬Balai Pustaka,‭ ‬1989‭)‬,‭ ‬hlm.458.‭ Adapun secara istilah Noeng‭ ‬Muhadjir menegaskan bahwa kata kontekstual setidaknya memiliki tiga‭ ‬pengertian‭ ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬Upaya pemaknaan dalam rangka mengantisipasi persoalan‭ ‬dewasa ini yang umumnya mendesak,‭ ‬sehingga arti kontekstual identik‭ ‬dengan situasional.‭ ‬Kedua,‭ ‬ Pemaknaan yang melihat keterkaitan masa lalu,‭ ‬masa‭ ‬kini,‭ ‬dan masa mendatang atau memaknai kata dari segi historis,‭ ‬fungsional,‭ ‬serta prediksinya yang dianggap relevan.‭ ‬Ketiga,‭ ‬mendudukkan keterkaitan antara‭ ‬teks al Qur’an dan terapannya. Dengan demikian pendekatan kontekstual‭ ‬dapat diartikan suatu pendekatan yang digunakan memahami wahyu yang‭ ‬kemudian dihubungkan dengan konteksnya.‭ ‬Dengan kata lain,‭ ‬istilah‭ “‬kontekstual‭” ‬secara umum berarti kecenderungan suatu aliran atau pandangan yang mengacu pada dimensi konteks yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks secara lahiriyah‭ (‬literatur‭)‬,‭ ‬tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historis teks dan keterlibatan subjektif penafsir dalam aktifitas penafsirannya. ‭ ‬U.‭ ‬Safrudin,‭ ‬Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al- Qur’an,‭ ‬(Yogyakarta:‭ ‬Pustaka Pelajar,‭ ‬2009‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬48.‭ ‬Jadi,‭ ‬kontekstual adalah memahami islam dengan menghubungkan teks-teks islam dengan keadaan sosial. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam,‭ ‬menurut Fazlur Rahman,‭ ‬paling tidak,‭ ‬dilakukan melalui tiga langkah.‭ ‬Pertama,‭ ‬memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legal spesifiknya dan moral idealnya,‭ ‬dengan cara melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah,‭ ‬Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun.‭ ‬Kedua,‭ ‬memahami lingkungan baru yang padanya,‭ ‬teks-teks Islam akan diaplikasikan,‭ ‬sekaligus membandingkan dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya.‭ ‬Ketiga,‭ ‬jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial dari pada persamaan-persamaannya,‭ ‬dilakukan penyesuaian pada legalspesifik‭ ‬teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap‭ ‬berpegang pada moral idealnya.‭ ‬Namun jika ternyata sebaliknya,‭ ‬diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian‭ ‬dengan lingkungan barunya. ‭ ‬M.‭ ‬Saad Ibrahim,‭ ‬Menyaring Dimensi Tasyri‭’ ‬Hadits‭ ‬(Malang‭ ‬:‭ ‬Jurnal Online Metodologi Tarjih Muhammadiyah,‭ ‬Edisi‭ ‬1,‭ ‬No.‭ ‬1,‭ ‬2012‭ (‬PSIF-UMM‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬56. Fazlur Rahman mengemukakan sebuah teori yang berhubungan dengan‭ ‬pendekatan kontekstual dalam rangka memahami Al Quran yaitu gerakan‭ ‬ganda‭ (‬Doble Movement‭)‬. ‭ ‬ Fazlur Rahman‭ ‬dalam,‭ ‬Syafrudin,‭”‬Paragigma Tafsir.‭ ‬hlm.‭ ‬44. Dari situasi kini kepada situasi pewahyuan Dalam gerakan kembali kepada konteks Al Quran sewaktu diturunkan,‭ ‬ada dua langkah yang diperlukan.‭ ‬Yang‭ ‬pertama penafsir harus memahami makna sebenarnya sesuatu ayat dengan mengkaji latar belakan sejarah atau persoalan yang menyentuh sebab-sebab turunnya ayat.‭ ‬Di dalam rangka ini,‭ ‬kajian umum‭ ‬terhadap situasi makro kehidupan sosial arab menjelang dan‭ ‬sekitar‭ ‬penurunan wahyu harus dilaksanakan.‭ ‬Kedua,‭ ‬penafsir harus‭ ‬prinsip-prinsip dasar dari ayat-ayat yang menyentuh persoalan‭ ‬khusus itu,‭ ‬dalam arti kata tujuan sosio-moral di balik setiap ayat. Dari konteks pewahyuan kepada konteks kekinian‭ Dengan prinsip-prinsip dasar yang digarap dari ayat spesifik itu,‭ ‬sang penafsir haruslah memaknai ayat-ayat itu kembali dan mengaplikasikannya pada konteks dan situasi sosial masa kini,‭ ‬langkah ini juga memiliki penelitian secukupnya akan kondisi masa kini supaya prinsip-prinsip Al Quran dapat diterapkan sesuai dengan keperluan masyarakat. Aplikasi Pendekatan/tafsir Kontekstual Dalam hal perbudakan,‭ ‬Al-Qur’an pun mengakui secara hukum praktek perbudakan.‭ ‬Ini semata-mata dimaksudkan bersifat sementara dan ideal moralnya adalah pemerdekaan budak.‭ ‬Firman Allah Swt: وَمَا‮ ‬أَدْرَاكَ‮ ‬مَا‮ ‬الْعَقَبَةُ‮ (‬١٢‮) ‬فَكُّ‮ ‬رَقَبَةٍ‮ (‬١٣‮) Artinya:‭ ‬“Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu‭? (‬yaitu‭) ‬melepaskan budak dari perbudakan‭”‬. ‭ ‬QS.‭ ‬Al-Balad‭ ‬(90‭)‬:‭ ‬ 12-13. Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa bila seorang budak ingin menebus kemerdekaannya dengan membayar sejumlah uang cicilan yang ditentukan menurut kondisi sang budak,‭ ‬maka tuannya harus menyetujui perjanjian penebusan itu.Tuannya tidak boleh menolaknya,‭ ‬seperti yang ditegaskan al-Qur’an Surat An-Nur ayat‭ ‬33: وَالَّذِينَ‮ ‬يَبْتَغُونَ‮ ‬الْكِتَابَ‮ ‬مِمَّا‮ ‬مَلَكَتْ‮ ‬أَيْمَانُكُمْ‮ ‬فَكَاتِبُوهُمْ‮ ‬إِنْ‮ ‬عَلِمْتُمْ‮ ‬فِيهِمْ‮ ‬خَيْرًا‮ ‬وَآتُوهُمْ‮ ‬مِنْ‮ ‬مَالِ‮ ‬اللَّهِ‮ ‬الَّذِي‮ ‬آتَاكُمْ‮ ‬وَلا‮ ‬تُكْرِهُوا‮ ‬فَتَيَاتِكُمْ‮ ‬عَلَى‮ ‬الْبِغَاءِ‮ ‬إِنْ‮ ‬أَرَدْنَ‮ ‬تَحَصُّنًا‮ ‬لِتَبْتَغُوا‮ ‬عَرَضَ‮ ‬الْحَيَاةِ‮ ‬الدُّنْيَا‮ ‬وَمَنْ‮ ‬يُكْرِهُّنَّ‮ ‬فَإِنَّ‮ ‬اللَّهَ‮ ‬مِنْ‮ ‬بَعْدِ‮ ‬إِكْرَاهِهِنَّ‮ ‬غَفُورٌ‮ ‬رَحِيمٌ‮ ‭ ‬Artinya:‭ ‬“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,‭ ‬hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka,‭ ‬jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka,‭ ‬dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu‭ ‬dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran,‭ ‬sedang mereka sendiri mengingini kesucian,‭ ‬karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi.‭ ‬dan Barangsiapa yang memaksa mereka,‭ ‬Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang‭ (‬kepada mereka‭) ‬sesudah mereka dipaksa itu‭”‬. ‭ ‬QS.‭ ‬An-Nur‭ ‬(24‭)‬:‭ ‬33. Ayat di atas menurut Rahman,‭ ‬Al-Qur’an tidak diterapkan oleh umat Islam dalam sejarah.‭ ‬Kalimat Alqur’an‭ “ ‬Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka‭”‬,‭ ‬bila dipahami dengan tepat akan berarti bahwa seorang budak yang dianggap belum mampu memperoleh penghasilan sendiri tidak bisa diharapkan dapat mandiri atau berdikari,‭ ‬dan karenanya mungkin lebih baik bila ia tetap berada dalam lindungan tuannya.‭ ‬Tapi sebaliknya,‭ ‬seorang budak yang sudah mampu berdikari,‭ ‬dan meminta kemerdekaannya dengan menebus segala syarat,‭ ‬maka tuannya harus memerdekakannya.‭ ‬Inilah ideal moral yang dituju Al-Qur’an. ‭ ‬Sibawaih,‭ ‬Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman,‭ (‬Yogyakarta dan Bandung:Jalasutra,2007‭) ‬hlm.‭ ‬76. ‭ ‬Selain dari contoh yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman di atas ada contoh lain dalam tafsir kontekstual ini,‭ ‬untuk itu pemakalah dapat‭ ‬menyimpulkan bahwa penerapan tafsir kontekstual ini sudah terjadi sejak masa Kholifah Umar bin Khottob,‭ ‬dimana Umar bin khottob tidak memberikan hukum potong tangan bagi pencuri lantaran kondisi pencuri itu sangat memperhatinkan.‭ ‬Dan umar juga tidak membagikan harta rampasan kepada para Prajurit dikarenakan semua kebutuhan dan peralatan sudah disediakan oleh Negara sehingga dalam masalah harta rampasan adalah menjadi milik‭ (‬kas‭) ‬Negara.‭ ‬Kedua contoh yang diterapkan oleh Umar jelas menyalai nas al-Qur’an yang didalamnya mengandung hukum potong tangan bagi pencuri dan memberikan harta rampasan kepada sahabat yang ikut dalam berperang sebagaimana Nabi pernah membagikan harta rampasan tersebut,‭ ‬akan tetapi Umar melihat kondisi yang sangat berbeda dan tidak mungkin menjalankan hukuman tersebut. ‭ ‬Umar Sihab,‭ ‬Kontekstualitas Al-Qur’an,‭ ‬Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an,‭ (‬Jakarta:‭ ‬Penamadani,‭ ‬2005‭)‬,‭ ‬hlm.‭ ‬27-29. Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Kontekstual Setiap corak tafsir tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan yang tak bisa dipungkiri,‭ ‬karena memang itulah keterbatasan ilmu manusia yang hanya sedikit sekali ilmu yang diberikan oleh Allah bahkan digambarkan hanya setetes air yang ada di lautan,‭ ‬begitu juga tafsir kontekstual kelebihan dan kekurangannyaadalah sebagai berikut: Adapun kelebihan-kelebihan tafsir kontekstual,‭ ‬diantaranya: Dwikunayatin,/FHI/Pndekatan/Konstektual/Metode‭ ‬Konstektual‭ ‬dan‭ ‬Tekstual_My‭ ‬Trip‭ ‬My‭ ‬Adventure.htm.‭ ‬di akses pada tanggal‭ ‬26‭ ‬april‭ ‬2016. Mempertahankan semangat keuniversalan‭ ‬Al-Qur’an,‭ ‬sebab dengan penafsiran kontekstual maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan tetap sejalan dengan perkembangan zaman. Metode tafsir kontekstual merupakan sintesa dari metode analitis,‭ ‬tematik,‭ ‬dan hermeneutika.‭ ‬Sebab metode analitis diperkaya dengan sumber tradisional yang memuat substansi yang diperlukan bagi proses penafsiran,‭ ‬metode tematik diunggulkan dengan kemampuannya meramu ayat-ayat‭ ‬Al-Qur’an dalam satu tema dan mengaktualisasikannya,‭ ‬tafsir hermeneutika titik penekanannya adalah kajian kata dan bahasa,‭ ‬sejarah,‭ ‬sosiologi,‭ ‬antropologi dan sebagainya sebagai alat bantu yang penting dalam menafsirkan‭ ‬Al-Qur’an.‭ ‬Sehingga wajar bila tafsir kontekstual dianggap sebagai gabungan dari metode-metode tersebut. Metode tafsir kontekstual akan membuka wawasan berpikir serta mudah dipahami sebab banyak data yang ditampilkan namun penyampaiannya tetap sesuai dengan konteks pemahaman audiens. Adapun kelemahan-kelemahan tafsir kontekstual,‭ ‬itu sangat terkait dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penafsir itu sendiri yang berdampak pada kualitas penafsirannya.‭ ‬Diantara kelemahan tersebut adalah: Hasil penafsiran kontekstual terkadang didahului oleh interest pribadi dan dorongan hawa nafsu karena adanya pintu penyesuaian nilai-nilai‭ ‬Al-Qur’an dengan kondisi masyarakat.‭ ‬Tentu dengan keterbukaan tersebut memancing seseorang untuk menafsirkanAl-Qur’an sesuai dengan seleranya yang pada akhirnya penafsiran yang ia lahirkan sifatnya mengada-ada. Dengan semangat tafsir kontekstual terkadang melahirkan ketergesa-gesahan menafsirkan ayat yang merupakan otoritas Allah untuk mengetahui maknanya. Usaha tafsir kontekstual terkadang menitikberatkan sebuah penafsiran pada satu aspek misalnya aspek kondisi sosial semata tanpa melihat aspek-aspek yang lain termasuk bahasa,‭ ‬asbab nuzul,‭ ‬nasikh mansukh,‭ ‬dan lain sebagainya.‭ ‬Sehingga penafsiran tersebut menyimpang dari maksud yang diinginkan. Tafsir kontekstual memotivasi seseorang untuk cepat merasa mampu menafsirkan‭ ‬Al-Qur’an sekalipun syarat-syarat mufasir belum terpenuhi. BAB III PENUTUP KESIMPULAN Perubahan zaman dengan beragam tantangannya tersebut membutuhkan sebuah metode yang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.‭ ‬Setiap Muslim harus meyakini bahwa al-Qur’an bukan sekedar dibaca secara lafziah tetapi harus selalu direnungkan kandungan maknanya,‭ ‬sehingga al-Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk kehidupan.‭ Pernyataan tersebut bukan berarti bahwa pemahaman tekstualis tidak diperlukan atau tidak layak,‭ ‬namun dalam memahami teks-teks keagamaan bahwa muatan-muatan kebahasaan yang sangat berlebihan sehingga meninggalkan kesan bahwa analisa bahasa itulah yang dikehendaki oleh makna sebuah ayat juga melahirkan kejumudan pemikiran hukum Islam.‭ Kondisi seperti ini membutuhkan tawaran metode baru yang mampu menghasilkan produk pemikiran yang realistis,‭ ‬obyektif dan sistematis.‭ ‬Dan kerana proses pewahyuan al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus,‭ ‬akan tetapi secara bertahap yang otomatis bersentuhan pula dengan problem realitas saat itu,‭ ‬maka upaya untuk menemukan jawaban terhadap permasalahan realitas saat ini akan menemui kesulitan jika hanya mengandalkan pemahaman al-Qur’an secara leksikal semata tanpa melibatkan pemahaman terhadap realitas. Daftar Pustaka Dwikunayatin,/FHI/Pndekatan/Konstektual/Metode‭ ‬Konstektual‭ ‬dan‭ ‬Tekstual_My‭ ‬Trip‭ ‬My‭ ‬Adventure.htm.‭ ‬di akses pada tanggal‭ ‬26‭ ‬april‭ ‬2016. Hasan Khalil,‭ ‬Rasyad.‭ ‬Tarikh Tasyri‭’ ‬Sejarah Legislasi Hukum Islam.Jakarta:‭ ‬Amzah,‭ ‬2010. Ibrahim,‭ ‬M.‭ ‬Saad.‭ ‬Menyaring Dimensi Tasyri‭’ ‬Hadits‭ ‬(Malang‭ ‬:‭ ‬Jurnal Online‭ Metodologi Tarjih Muhammadiyah,‭ ‬Edisi‭ ‬1,‭ ‬No.‭ ‬1,‭ ‬2012‭ (‬PSIF-UMM‭)‬. Karim Zaidan,‭ ‬Abdul.‭ ‬Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih Dalam.‭ ‬Jakarta:‭ ‬Robbani Press,‭ ‬2008. Suyatno,‭ ‬Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.‭ ‬Jogjakarta:‭ ‬Ar-Ruz Media,‭ ‬2011. Safrudin,‭ ‬U.‭ ‬Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual Usaha Memahami Kembali Pesan Al-Qur’an,.‭ ‬Yogyakarta:‭ ‬Pustaka Pelajar,‭ ‬2009.‭ Sibawaih,‭ ‬Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman.‭ ‬Yogyakarta dan Bandung:Jalasutra,2007. Sihab,‭ ‬Umar.‭ ‬Kontekstualitas Al-Qur’an,‭ ‬Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an.‭ ‬Jakarta:‭ ‬Penamadani,‭ ‬2005. 11