feminismefeminisme
Teori & Metode Kajian Budaya
1
feminisme - kajian budaya
Layouting by romi angga dc
feminisme-feminisme
Kelompok La Seine
Sastra Perancis
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran
feminisme - kajian budaya
2
daftar isi
Macam-macam Aliran, Pendapat,
Serta Pandangan Terhadap Feminisme
Feminisme
e
Perempuan dan Budaya
Patriarki
Urgensi “Feminisme Perbedaan”
dalam Gerakan Perempuan
Indonesia
3
Azkia Khaerun Nida
(180510140024)
Siti Halimah Trizandra
(180510140045)
Rully Yusuf Panjaitan
(180510140025)
Rayi Ami Vidi
(180510140055)
Romi Angga DC
(180510140028)
Feminisme Di Dalam Masyarakat Minangkabau
6
14
16
22
30
:by
feminisme - kajian budaya
feminisme - kajian budaya
4
5
feminisme - kajian budaya
Macam-macam Aliran,
Pendapat, Serta Pandangan
Terhadap Feminisme
Rayi Ami Vidi
Fe
minisme, sebuah kata yang amat
sering terdengar dari kaum
perempuan. Sebuah kata yang
acapkali menjadi “kalimat sakti” kaum hawa
dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk
pembelaan atau malah pembenaran suatu
tindakan. Tapi apakah sebenarnya feminisme itu? Apa arti dan gagasan prinsipnya?
Bagaimanakah macam-macam penggolongannya? Lalu bagaimana kita menyikapi
nya? Berikut adalah pembahasan dari ber
bagai sumber yang kami rangkum:
feminisme - kajian budaya
Pengertian Feminisme
Sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan
hak dengan pria, yang dilatarbelakangi kesadaran adanya penindasar terhadap perempuan, tokohnya disebut dengan “Feminis”
Menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah
kesadaran akan ketidakadilan gender yang
menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, sertatindakan
sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut.
6
Aliran-Aliran Feminisme
menuju public.
Tokoh aliran ini adalah “Naomi Wolf”
a. Feminisme Liberal
b. Feminisme Radikal
Pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh
dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia
privat dan publik. Perempuan adalah makh-
luk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang
sama juga dengan laki-laki.
Gerakan ini muncul pada awal abad 18, lahirnya bersamaan dengan zaman pencerahan. Tuntutannya adalah kebebasan dan
kesamaan terhadap akses pendidikan, pembaharuan hukum yang bersifat diskriminatif.
Kaum Feminis Liberal menuntut kesempatan yang sama bagi setiap individu,
termasuk perempuan. Akibatnya banyak
perempuan domestic yang melepaskan diri
7
Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai
reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada
tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornograi.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa
penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik.
Pendekatan feminisme radikal adalah apa
saja yang berhubungan dengan laki-laki
adalah negative dan menindas, penganut
aliran ini juga menolak adanya institusi keluarga, baik secara teoritis maipun praktis.
feminisme - kajian budaya
c. Feminisme Anarkis
Aliran ini beranggapan bahwa lebih bersifat
pada paham politik yang mencita-citakan
masyarakat sosialis dan menganggap negara
dan laki-laki adalah sumber permasalahan
yang sesegera mungkin harus dihancurkan
d. Feminisme sosialis atau feminisme
Marxis
Perempuan lebih dipandang dari sudut teori
kelas, sebagai kelas masyarakat yang tertindas. Para penganutnya memperjuangkan
perlawanan terhadap system social ekonomi
yang eksploitatif terhadap perempuan. Penindasan terhadap perempuan adalah bagian
dari penindasan kelas dalam system produksi.
e. Feminisme post modern.
ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka
berpendapat bahwa gender tidak bermakna
identitas atau struktur sosial
Pendapat mengenai Aliran-Aliran
Feminisme
tanpa membedakan, sekalipun mengenai
perbedaan jenis
kelaminnya.
Karena
pada hakikatnya perempuan
adalah makhluk rasionalitas,
memiliki
kemampuan dan
hak yang sama
dengan seorang
laki-laki.
Inti
dari Aliran ini ialah menuntut kesamaan hak
antara laki-laki dan perempuan.
• Feminisme Radikal
Mengenai aliran ini, penulis menangkap adanya paham yang menganggap
Bahwa laki-laki adalah makhluk penindas
kaum wanita. Aliran ini bertolak belakang
dengan Aliran liberal, yaitu tidak menghendaki adanya persamaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan
laki-laki yang tidak layak atas perempuan
adalah dengan pertama-tama menyadari
bahwa perempuan tidak ditakdirkan utnuk
menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif.
• Feminisme Liberal
• Feminisme Anarkis
Penulis memahami bahwa ini adalah kelompok yang berpandangan bahwa antara
seorang laki-laki dan perempuan itu memiliki hak yang sama. Perempuan bebas
mengekspresikan apapun dalam hal pendidikan, pekerjaan dan dalam perkara hukum
Penulis memahami bahwa dalam feminisme anarkis ini benar-benar membenci
dengan adanya laki-laki, karena itu laki-laki
harus segera di hapuskan, karena dianggap
se bagai sumber masalah yang utama, yang
lebih banyak menindas dan merampas hakhak perempuan.
feminisme - kajian budaya
8
nimbulkan efek buruk bagi stabilitas keharmonisan keluarga. Baik antara dirinya dengan suami maupun antara dirinya dengan
anak-anak. Meskipun dengan bekerjanya
seorang istri membuat beban suami menjadi
lebih ringan, namun di sisi lain justru akan
membuat suami kehilangan harga dirinya
dan karena itu keharmonisan pun menjadi
memudar. Dalam hal ini, agaknya betul apa
yang disampaikan Muhammad bin Luthi alShobbag, bahwasanya hubungan suami-istri
bukanlah didasarkan atas materi saja.[ii]
• Feminisme Marxis
Mengenai aliran ini, jelas menggambarkan
bahwasanya perempuan itu dipandang melalui kelas, penindasan terlihat dalam kelas
reproduksi politik social dalam system ekonomi. Aliran ini menggambarkan adanya
diskriminasi yang terjadi terhadap perempuan merupakan dampak dari sistem ekonomi kapitalis, di mana perempuan menjadi
objek pengerukan modal kaum borjuis.
• Feminisme post modern
Aliran ini memberi gambaran bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan
haruslah diterima dan dipelihara. Mereka
menganggap bahwa masyarakat telah diatur
untuk saling berhubungan diantara kedua
nya. Lebih jelasnya aliran ini menolak
adanya otoritas.
Pandangan Terhadap Feminisme
Dampak Buruk
Bekerjanya seorang istri di luar rumah me-
9
Dengan bekerjanya seorang wanita, perhatiannya kepada anak-anaknya pun akan
berkurang. Apabila hal itu terjadi, anakanak akan merasa bahwa diri mereka tidak
lebih penting dari pekerjaan ibunya dan ke
renanya ia pun melakukan sejumlah kenakalan—yang bagi mereka—sebenarnya hanya
bertujuan untuk memancing perhatian dan
kasih sayang ibunya. Apabila sang ibu tetap
tak peduli dan mau memerhatikan anaknya
secara lebih—dalam arti tetap dengan kesibukan kerja—maka sang anak akan frustasi
dan kenakalan yang dilakukan sang anak
akan diupayakan terjadi sesering mungkin.
[iii]. Ditambah dengan semakin buruknya
hubungan sang ibu dengan suami—sehingga menyebabkan perceraian—maka kondisi anak semakin nestapa karena harapan
mendapatkan kasih sayang secara lebih,
menjadi pupus akibat berpisahnya ia dengan salah satu orangtuanya. Akibat selanjutnya bisa ditebak: frustasi sang anak akan
berubah menjadi depresi.
Psikolog terkenal John Bowlby, meyakini
bahwa ikatan antara ibu dan anak yang tidak
memberikan rasa aman, tidak adanya cinta
dan kasih sayang dalam pengasuhan anak,
atau kehilangan salah satu orangtua di masa
kanak-kanak, akan menciptakan set kognifeminisme - kajian budaya
tif yang negatif.[iv] Kondisi kognitif yang
se perti ini ketika bertemu dengan penga
laman-pengalaman yang berkaitan dengan
kehilangan (kasih sayang, teman, guru,
dsb), maka kehilangan tersebut akan menjadi pemicu yang dengan segera menimbulkan depresi.[v] Bila sudah begini, maka
waspadalah, karena pengalaman membuktikan seringkali remaja yang mengalami
depresi akan mencoba bunuh diri.[vi]
Tertolaknya Feminisme
Hancurnya isntitusi keluarga yang dihasilkan dari penerapan feminisme, membuat
sebagian kalangan menyalahkan feminisme
itu sendiri dan mengajak khalayak untuk
kembali kepada konsep keluarga yang harmonis. Di mana di dalam sebuah keluarga
terdapat seorang ayah selaku pemimpin dan
pencari nakah, dan ada ibu yang bertugas
mengasuh anak dan mengatur rumah tangga. Marijean Hall, ketua Organisasi Parent
Action mengatakan, “We have to be able to
blend the growth of women and the women’s
movement, rather than moving backward in
time[vii] (Kita harus mampu memadukan
perkembangan wanita dan pergerakannya
menjadi sebuah pergerakan keluarga baru,
dari pada bergerak ke masa lalu).”
Pernyataan ini barangkali bisa mewakili
perasaan orang-orang Barat yang menginginkan perubahan dari kondisi buruk yang
ditimbulkan feminisme. Dan tampaknya
jumlah mereka mayoritas, sehingga gerakan
feminisme di Barat nyaris tinggal wacana.
[viii] Kenyatan ini sangat terlihat ketika kita
membaca sebuah laporan studi berjudul The
Shriver Report: A Woman’s Nation Changes
Everything yang dipublikasikan The Center
for American Progress dan Maria Shriver
feminisme - kajian budaya
akhir 2009 lalu. Di situ terungkap bahwa
hampir 86 persen perempuan setuju bahwa
hari ini kaum perempuan masih sebagai
penanggung jawab utama untuk urusan
rumah tangga. Sekitar 85 persen perempuan juga percaya apabila suami dan istri
sama-sama memiliki pekerjaan, maka tanggung jawab utama urusan rumah tangga
tetap dibebankan kepada perempuan.[ix]
Dari cuplikan data di atas, terlihat jelas bahwa peran wanita sebagai ibu rumah tangga
adalah itrah, sehingga meskipun sudah
sekian puluh tahun dicekoki dengan paham
feminisme, namun wanita Barat tidak terpengaruh dan malah kini mereka menjadi
penentang feminisme itu sendiri.
Penutup
Patricia Aburdene dan John Naisbit, dua
penulis terkenal, berkolaborasi menulis sebuah buku berjudul Megatrends for Women,
di mana dalam buku tersebut keduanya memasukkan fenomena bangkitnya keluarga
sebagai salah satu tren di masa depan. Ulasan lengkap keduanya bisa dilihat pada bab
The Family Revival. Dari sini timbul pertanyan menarik: bila wanita Barat saja sudah
jenuh dengan feminisme dan ingin kembali kepada sistem keluarga yang harmonis, mengapa sebagian wanita di Indonesia
justru terbalik—tertarik dengan feminisme
dan merasa harus menerapkannya—bahkan
menganggapnya sebagai harga mati? Jawabannya silahkan cari sendiri.
Namun yang harus diingat, sistem keluarga
yang diinginkan mayoritas wanita Barat
saat ini tentu saja juga tidak akan mampu
membawa mereka kepada perbaikan hakiki.
Sebab, perbaikan hanya bisa didapat apa-
10
bila menerapkan Islam secara komprehensif
dalam kehidupan. Sebagai ilustrasi, keluarga
yang baik saja tidak cukup untuk menghasilkan anak-anak yang bermoral baik. Apabila
lingkungannya buruk, tetap saja pendidikan
yang didapat sang anak akan tidak berpengaruh maksimal. Sebab terbukti lingkungan
pun sangat mempengaruhi moral anak;
apakah anak itu baik atau buruk, salah satunya ditentukan lingkungan.
Hal inilah yang tidak bisa dijawab oleh Barat,
karena mereka menjadikan akal sebagai hakim—padahal hakim yang hakiki adalah
Allah SWT—maka hukum-hukum yang dihasilkan mereka pun menjadi kontradiktif.
Maha suci Allah yang telah berirman:
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Alquran? Sekiranya Alquran itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”
(QS. Al-Nisa [4]: 82).
Oleh karena itu, kebangkitan keluarga saja
tidak cukup untuk menghadirkan perubahan yang betul-betul berarti. Menjadikan
perempuan berfungsi sebagaimana mestinya masih tidak cukup menjadi solusi bagi
permasalahan anak saat ini. Perbaikan dan
solusi yang sebenarnya hanya akan didapat
dengan satu hal: kembali kepada apa yang
dibawa Muhammad saw secara menyeluruh—berupa menerapkan Islam secara kaffah—karena di situlah terdapat perbaikan
yang hakiki dan solusi yang sejati. Wallâhu
a’lam bi al-shawâb. (Adnan Syai’i)
___________________________________
Catatan Akhir:
11
[i] Adnin Armas dan Ahmad Tauik Abdurahman, “Peran Mulia Ibu Rumah Tangga,”
Gontor (4/2001): h. 23.
[ii] Muhammad bin Luthi al-Shobbag, dkk.,
Pesan untuk Muslimah. Cet. VII. Penerjemah
Muhammad Sofwan Jauhari (Jakarta: Gema
Insani Press, 1416 H/1996 M), h. 37.
[iii] Arthur T. Jersild, dosen Columbia University menulis, “Perbuatan nakal yang dilakukan berkali-kali merupakan perilaku
agresif yang bersumber dari rasa frustasi
(Delinquent acts frequently are aggressive
acts springing from frustation).” Lihat, Arthur T. Jersild, The Psychology of Adolescence, 2nd ed. Cet. V (New York: The MacMillan Company, 1965), h. 315.
[iv] John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja. Penerjemah Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih (Jakarta: Erlangga,
2003), h. 529.
[v] Ibid, h. 530.
[vi] Ibid, h. 532.
[vii] Patricia Aburdene dan John Naisbitt,
Megatrends for Women (New York: Villard
Books, 1992), h. 216.
[viii] Lihat, Syamsuddin Arif, “Feminisme
dan Isu Gender,” dalam Nuim Hidayat, ed.,
Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Cet. II
(Jakarta: Gema Insani Press, 1429 H./2008
M.), h. 109.
[ix] “Perjuangan Kesetaran Bergeser,” (SINDO, 29/10/2010): h. 19.
http://dakwahkampus.com/pemikiran/
pergaulan/1687-dampak-pandangan-fe
minis-terhadap-peran-ibu.html#.TtCoR4Dpt10.facebook
http://ekookdamezs.blogspot.
com/2012/06/pengertian-feminisme-danmacam-macam.html
http://nur-sugiyanto.blogspot.
com/2011/04/aliran-aliran-feminisme.html
feminisme - kajian budaya
feminisme - kajian budaya
12
13
feminisme - kajian budaya
Fe
minisme (tokohnya disebut Feminis)
adalah sebuah gerakan perempuan yang
menuntut emansipasi atau kesamaan dan
keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai
digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori
kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan
untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Feminisme
Siti Halimah Trizandra
Feminisme berkembang pesat di Amerika Serikat
pada tahun 1963 dalam buku yang berjudul The Feminine Mystique karya Betty Friedman. Selain itu, ia
mendirikan National Organization for Women (NOW)
pada tahun 1966 yang merambat ke segala kehidupan. Berkat NOW, tulisan Friedman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga
kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang
lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan lakilaki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act
(1964) di mana kaum perempuan mempunyai hak
pilih secara penuh dalam segala bidang.
Teori feminisme modern muncul sejak buku Le
Deuxième Sexe karya Simone de Beauvoir diterbitkan. Buku tersebut bercerita tentang keadaan (ketertindasan) perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup signiikan dan mendorong inspirasi
gerakan-gerakan pembebasan perempuan.
Ada beberapa paham yang benar dan salah menafsirkan tentang feminisme. Luce Irigaray menyatakan
bahwa feminisme adalah suatu hal untuk pemberda
yaan wanita.
Reference :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Feminisme
https://ummahonline.wordpress.com/2008/10/03/si
mone-de-beauvoir-dan-feminisme/
http://odhosuka.blogspot.com.au/2012/11/simone-debeauvior.html?m=1
http://magdalene.co/news-381-10-pemahaman-keliru-tentang-feminisme-.html
feminisme - kajian budaya
14
15
feminisme - kajian budaya
Romi Angga DC
Perempuan dan
Budaya Patriarki
Pa
triarki adalah tatanan kekeluargaan yang sangat mementingkan kedudukan seorang bapa.
Dimana ayah mempunyai kedudukan sosial
lebih tinggi dan menguasai seluruh anggota
keluarga, harta milik, serta sumber-sumber
ekonomi. Dalam sistem sosial, budaya dan
keagamaan, patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi, bahwa lakilaki lebih tinggi kedudukannya dibanding
perempuan.
Patriarki juga dapat dijelasakan dimana keadaan masyarakat menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi dari segala aspek sosial, ekonomi, dan budaya.
Budaya patriarki pun ada sejak masa kelahiran sang bayi terhadap orang tuanya.
feminisme - kajian budaya
Konsep kompleks Oedipus Freud berfokus
pada kekuasaan laki-laki dari hubungan
seorang ibu terhadap bayinya. Anak lakilaki yang terintegrasi secara penuh ke dalam
kebudayaan, sebagai akibat penyerahan idnya (hasratnya) pada superego dalam objek cinta pertamanya, ibu. Bersama-sama
de ngan ayahnya, ia akan menguasai alam
dan perempuan. Berlawanan dengan anak
laki-laki, perempuan yang tidak mempunyai
penis untuk dihilangkan, memisahkan diri
secara perlahan dari objek cinta pertama
nya. Akibatnya, integrasi anak perempuan
terhadap kebudayaan tidaklah sempurna.
Perempuan ada dalam pinggiran kebuda
yaan yang tidak menguasai tetapi dikuasai.
Hal ini ditekankan oleh Dorthy Dinnerstein,
perempuan takut akan kekuatannya sendiri.
16
Dalam budaya patriarki, erat hubunganya
dengan feminisme. Feminis radikal mengklaim bahwa sistem patriarkal ditandai
oleh kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Sistem patriarkal tidak dapat dibentuk
ulang, tetapi harus dicabut dari akar dan
cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur
hukum dan politis patriarki saja yang harus
dicabut untuk memberikan kebebasan pada
perempuan. Namun lembaga sosial dan kultural, terutama keluarga, sistem peribadatan
dan akademi harus pula dicabut dari akarakarnya.
Begitupula dengan feminisme liberal, dalam
buku Mary Wollstonecraft berjudul Vindiction of the Rights of Women dan buku John
Stuart Mill berjudul Subjection of Women,
17
juga sebuah artikel dari Chloé Leprince
berjudul Les Parents sont plus attentifs à la
scolarité des garons. Mendapat perumusan
bahwa subordinasi perempuan berakar dari
serangkain hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum yang membatasi masuk dan berhasilnya perempuan
pada dunia publik. Karena masayarakat
mempunyai pandangan dan keyakinan yang
salah, bahwa perempuan tidak secerdas dan
tidak sekuat laki-laki, masyarakat bahkan
orang tua meminggirkan perempuan dari
akademi, forum dan pasar. Sebagai akibatnya, potensi yang sesungguhnya dari perempuan tidak terpenuhi. Seandainya perempuan dan laki-laki diberikan pendidikan dan
hak sipil yang sama, tetapi ternyata hanya
sedikit perempuan yang mencapai posisi
feminisme - kajian budaya
tinggi dalam ilmu pengetahuan, seni dan
profesi, jika itu terjadi tidak ada lagi yang harus diperjuangkan, tidak ada lagi isme-isme
yang mengotori manusia, seperti rasisme,
kelasisme, etnosentrisme, heteroseksime,
naturisme, seksisme maupun feminisme.
Perbedaan gender sebetulnya tidak menjadi
masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun nyatanya tidaklah
demikian. Pemikiran feminis gender dalam
buku Simone de Beauvoir berjudul The Second Sex memberikan pandangan bahwa
perempuan diopresi melalui keliyanannya
(otherness). Perempuan adalah liyan (the
other) karena perempuan bukan laki-laki.
Laki-laki adalah bebas, makhluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendeinisi
makna eksistensinya. Sedangkan perempuan adalah liyan yang tidak menentukan
makna eksistensinya sendiri. Jika perempuan ingin menjadi diri, suatu subjek, maka
harus mendeinisi label, deinisi dan esensi
yang membatasi eksistensinya. Perempuan
harus menjadikan dirinya sebagaimana
yang diinginkannya.
Oleh karena itu, ada pula aliran feminis radikal yang berpandang bahwa perempuan tidak harus bergantung pada laki-laki, bukan
saja dalam pemenuhan kepuasan kebendaan
namun juga dalam kebutuhan kepuasan
seksual. Perempuan dapat merasakan kehangatan, kemesraan dan kepuasan seksual
dari sesama perempuan.
Setelah berbicara tentang sikap dari beberapa aliran feminis, terpikir bahwa siapa
yang menjadi pemeran utama, siapa yang
menjadi korban terhadap kulturasi patriarki. Memang secara garis besar arah pandang aliran tertuju pada perempuan yang
menjadi korban. Namun jika hal itu diamfeminisme - kajian budaya
bil dari sudut pandang laki-laki, misalnya
terhadap pandang gender. Jika laki-laki kemudian menjadi gender ketiga atau “banci”
maka hal itu menjadi negatif, namun jika
perempuan memilih untuk menjadi “tomboy”, pandangan masyarakat berbeda, hal
itu menjadi ciri unik dan tidak menimbulkan kenegatifan seperti yang ditujukan pada
“banci”. Kemudian dalam hal mengantri, jika
sudut pandang mengarahkan pada kesetaraan, kenapa ada istilah ladies irst. Maupun
ketika berada di dalam transportasi umum,
kenapa perempuan yang berdiri walaupun
dalam keadaan fresh ada hak untuk menukar duduk dengan laki-laki. Kesukaan pun
menjadi hal yang sering ditemui, misalnya
laki-laki yang tidak menyukai bola menjadi
hal yang sangat aneh, dan jarang ditemui.
Namun jika perempuan menyukai bola, hal
itu menjadi baik disudut pandang laki-laki.
Begitupula profesi atau pekerjaan yang seharusnya hanya untuk laki-laki maupun hanya
untuk perempuan, yang kemudian menjadi
hal nyata, bahwa ada istilah perempuan pun
bisa dan sekuat laki-laki. Hal ini menunjukan adanya kehendak untuk menjadi setara
hanya dalam keadaan yang menguntungkan
dan keadaan yang mengkompresi itu dengan kurang tepat. Namun bukan itu tujuan
dasar feminisme. Adanya hak yang harusnya
- bisa - dikerjakan hanya untuk perempuan
maupun laki-laki. Tidak seutuhnya setara,
tidak sepuhnya bisa diambil alih oleh perempuan maupun laki-laki. Adanya keadilan dan
hak satu sama lain.
Setelah feminism berkecamuk, ada pula
yang berpandang bahwa istilah “womanism” akan bisa mewakili hal-hal yang tidak
terwakili oleh istilah “feminism.”
Apakah yang dimaksud dengan istilah
18
“womanist”atau “womanism”?
Istilah “womanism” bisa dideinisikan secara sederhana sebagai faham kesetaraan
jender, sejenis feminisme, yang khusus
dipakai untuk konteks perempuan Afrika
Amerika. Istilah ini dipopulerkan oleh Alice
Walker, novelis yang karya terbesarnya The
Color Purple (1982) sangat sukses, meraih
banyak penghargaan, dan bahkan diilmkan
oleh sutradara Stephen Spielberg dibintangi
oleh, salah satunya, Oprah Winfrey.
Kenapa harus memakai istilah “womanism,”
bukannya sekadar “feminism”?
Women kata yang berasal dari inggris ini
bisa merujuk pada akar kata “who-man”
dalam sebutan oral, “who-man” bisa menjadi serima dengan “women”. Who man
? merupakan kata sindiran yang kurang
menggunakan makna pollithes.
Namun womanism mempunyai makna
lain dan cenderung positif. Alice Walker me
nganggap istilah “womanism” akan bisa
mewakili hal-hal yang tidak terwakili oleh
istilah “feminism.” Walker mengambil istilah ini [Walker 2006; 11] terinspirasi dari
kata “womanish” yang dipakai untuk merujuk kepada tingkah perempuan kulit hitam
yang suka bicara dan memaki keras-keras
tanpa kenal takut. Biasanya, seorang ibu Afro-Amerika suka memperingatkan anaknya
yang ngomong keras-keras dan banyak
tingkah dengan mengatakan: “Jangan bertingkah womanish begitu ah?” Tapi, ujungujungnya si anak juga menjadi perempuan
yang galak seperti itu. Bagi Alice Walker,
tingkah “galak” di kalangan perempuan kulit
hitam yang seperti ini sangat berarti, merupakan kekuatan yang memberi inspirasi.
19
Dalam penjelasan Alice Walker, memakai
istilah “womanism” bisa lebih praktis dan
tidak problematis. Istilah “womanism”
langsung merujuk pada proyek kesetaraan
gender di kalangan perempuan kulit hitam.
Dengan begitu, seorang penulis atau kritikus
tidak perlu repot-repot menambahkan kata
black ketika harus merujuk pada feminisme
jenis ini. Mereka tidak perlu menggunakan
istilah “black feminism,” yang problematis menurut Alice Walker. Istilah ini problematis karena seolah-olah feminisme yang
standar itu adalah feminisme yang bukan
untuk perempuan kulit hitam. Feminisme,
bagi aktivis dan pemikir kulit berwarna,
dianggap banyak menyasar agenda-agenda
perempuan kulit putih*. Memang masalah
rasisme di Amerika sudah menjadi hal yang
lumrah karena sedari dulu masalah terbesar kemanusiaan di Barat adalah rasisme
setelah agama. Namun tak hanya hubungan
afrika-amerika. Brazil menjadi salah satu
negara yang dianggap rasis akan perbedaan
kulit. REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO
- Diskriminasi menyelimuti Brazil. Buktinya, mereka yang tergolong kulit hitam dipertentangkan. Bahkan tahun 80-2000an
model perempuan hitam dilarang muncul di
festival fashion. Jadi, feminisme yang mainstream pada dasarnya adalah feminisme kulit putih. Atau, kalau ditarik lebih jauh, ada
kesan bahwa keadaan manusia yang normal
adalah manusia kulit putih. Dengan demikian anggapan istilah ini menjadi hal baik digunakan; istilah “womanism.”
Pandangan saya, pemikiran isme-isme
yang berjangka panjang ini saya kira belum
mencapai kesimpulan. Saya menjaga rasa
hormat saya terhadap feminisme maupun
womanism dan menerima apa adanya. Juga
feminisme - kajian budaya
menerima sepenuhnya terhadap kesetaraan
dan keadilan gender. Jika saja budaya patriarki bisa terhapus dari sistem masyarakat, maka tidak ada lagi pejuang-pejuang
feminisme yang berkoar nyaring tentang
kesetaraan. Namun hal ini sangatlah sulit
terhapus, seperti konsep hitam dan putih
dalam penjajahan. Meskipun perlawanan
dari identitas hitam berhasil secara politis,
namun secara kultural tidak berhasil. Sekali
pemikiran itu terjajah, sangatlah sulit untuk
bisa membebaskannya lagi.
Daftar Referensi
Leprince, Chloé.2007. Les parents sont plus
attentifs à la scolarité des garons. Source:
www.rue89.com
Mill, John Stuart.1869. Subjection of Wo
men. Source: www.enotes.com/topics/subjection-women
Phillips, L., 2006. The Womanist Reader.
United States: Taylor & Francis.
Simone de Beauvoir. The Second Sex.
Source: www.marxists.org/reference/subject/ethics/de-beauvoir/2nd-sex/introduction.htm
Tong, Rosemary Putnam.2003.”Introduction”
dalam Rosemary Putnam Tong Feminist
Thought: A More Comprehensive Introduction. Aquarini P. Prabasmoro (terj). Westview Press
Walker, A. (2006). “Coming Apart (1979),”
The Womanist Reader. Phillips, L. (Ed) : 3-11.
Wollstonecraft., Mary 1792. A Vindication of
the Rights of Woman. Source: www.bartleby.com/144/1.html
https://feminismandreligion.
com/2015/05/27/mary-magdalene-a-woman-of-power-and-vision-by-judith-shaw/
feminisme - kajian budaya
20
feminisme.
i
i
21
feminisme - kajian budaya
Urgensi “Feminisme Perbedaan”
dalam Gerakan Perempuan
Indonesia
Azkia Khaerun Nida
feminisme - kajian budaya
22
ad pertengahan di dunia barat
berdasar doktrin gereja me
ngatakan bahwa perempuan
tak ubahnya seperti binatang, ibu dari dosa
yang berakar dari setan jahat, perempuan
adalah laki-laki yang cacat atau memiliki
kekurangan, penyimpan bibit-bibit ‘keburu-
Ab
Feminisme jika kita cabut imbuhan –ismenya akan menghasilkan kata dasar femina
yang berasal dari bahasa latin. Kata ‘femina’
berasal dari kata ‘fe’ dan ‘minus’. ‘Fe’ artinya ‘ides’, ‘faith’ (kepercayaan atau iman).
Sedangkan ‘mina’ berasal dari kata ‘minus’,
artinya ‘kurang’. Jadi ‘femina’ artinya ‘se
kan’, dan lain sebagainya. (Dinar Dewi Kania
S.E M.M, Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya, Jurnal ISLAMIA Vol.III No.5)
Di belahan timur tengah pun pada zaman
jahiliyah, adalah sebuah aib ketika seorang
ibu melahirkan anak perempuan sehingga
setiap bayi perempuan yang lahir akan dikubur hidup-hidup.
seorang yang imannya kurang’ (one with
less faith). Sementara lawan dari kata ‘femina’ adalah ‘masculine’ yang biasa diidentikkan dengan ke-lelakian. Kata ‘masculine’
bukan berarti opposite dari ‘femina’ jika
ditilik dari asal katanya. ‘Masculine’ berasal
dari kata ‘masculinus’ kemudian menjadi
‘masculinity’ yang berarti streght of sexuality (Adian Husaini, Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam, Jurnal
ISLAMIA Vol.III No.5)
Kesalahan sejarah ini yang mendasari kemunculan budaya patriarki dan dominasi
maskulin yang menimbulkan pemosisian
perempuan sebagai liyan hingga akhirnya
hadir gerakan feminisme di barat.
23
Feminisme adalah –isme yang memperjuangkan golongan feminin alias peremfeminisme - kajian budaya
puan. Para feminis ini menuntut kesetaraan
dalam hak pendidikan, ekonomi, posisinya
di masyarakat, dan hal-hal lain yang porsi
-nya tidak imbang dengan apa yang didapatkan laki-laki dan yang bersifat struktural
maupun kultural. Intinya, feminisme merupakan sebuah reaksi terhadap kasus-kasus
yang berkaitan dengan ketidak adilan gender. Feminis berupaya menggugat dominasi
maskulin atau budaya patriarki yang me nyingkirkan wilayah feminin sebagai
wilayah yang dicap tidak penting.
Menurut Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 Bab 1 pasal 1 poin satu, “Gender
adalah pembedaan peran dan tanggung ja
wab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta
dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”. Pada masa
pra Industri, laki-laki berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai pe
ramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki
lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan
kepada keluarga. Peran perempuan lebih
terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara,
dan menyusui anak; dan juga reproduksi
sosial, seperti memasak, memngasuh anak,
dan pekerjaan domestik rumah tangga lainnya. Hal ini berlangsung terus hingga masa
Industri, dimana laki-laki bekerja, berorga
nisasi, mengambil keputusan di masyarakat
sehingga perempuan semakin tidak urgen
untuk mendapatkan pendidikan yang layak
dan kontribusi dalam ekonomi.
Lalu pada ayat selanjutnya dijelaskan : Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan
posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk
feminisme - kajian budaya
mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh
manfaat pembangunan di semua bidang
kehidupan.. Pada ayat ketiga menjelaskan
konteks keadilan gender yang merupakan
suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai
individu, anggota keluarga, masyarakat, dan
warga negara. Dalam DRAF/RUU/KKG/
Panja/9/desember/2013 Bab I pasal 1 ayat
3 dijelaskan mengenai diskriminasi gender
yang merupakan segala bentuk pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
atau menghapuskan pengakuan, pemanfaatan, atau penggunaan hak asasi manusia,
yang didasarkan atas jenis kelamin.
Di Indonesia, ada yang tidak menerima pengistilahan gerakan perempuan dengan feminisme karena feminisme merupakan produk
budaya dari barat, sementara di timur kita
sudah menghormati perempuan terbukti
dari artefak-artefak sejarahnya.
Pada abad ke-16 di Palembang, istri dari
Pangeran Sido Ing Kenayan yang bernama
Ratu Sinuhun. Ia menulis Kitab Simbur Cahaya yang merupakan undang-undang tertulis perpaduan antara hukum adat dengan
ajaran Islam. Berdasarkan informasi dari
penerbit “Typ. Industreele Mlj. Palembang,
1922”, Undang Undang Simbur Cahaya terdiri dari 5 bagian, yaitu:
1. Adat Bujang Gadis dan Kawin (Verloving,
Huwelijh, Echtscheiding)
2. Adat Perhukuman (Strafwetten)
3. Adat Marga (Marga Verordeningen)
4. Aturan Kaum (Gaestelijke Verordeningen)
5. Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen
en Landbow Verordeningen) (id.wikipedia.
24
org/wiki/Simbur_Cahaya. Pada tanggal 7
November 2016. Pukul 10.21)
Karena kemajuan pemikirannya, Ratu Sinuhun disebut-sebut sebagai feminis pertama
di Indonesia dan diminta untuk dinobatkan
menjadi Pahlawan Nasional pada tahun
2008.
Pada masa kolonialisme, timbul pula ge
rakan-gerakan perempuang pejuang. Baik
itu terjun langsung ke medan perang maupun berkutat di bidang pendidikan dan hak
perempuan lainnya yang dibatasi. Sebutlah
Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Tiahahu, dan pejuang perempuan lainnya dari
seluruh penjuru nusantara. Namun yang
paling tersohor namanya sebagai pejuang
emansipasi wanita adalah R.A Kartini, barangkali karena ia banyak berhubungan de
ngan sahabat Belandanya melalui surat-surat yang berisi kritikannya terhadap sistem
dan diskriminasi hak perempuan khususnya
pendidikan.
Pada tahun 1928 tanggal 22 Desember diadakan Kongres Perempuan pertama yang
kemudian diperingati dengan Hari Perempuan Internasional; namun masyarakat di
Indonesia memperingatinya dengan Hari
Ibu. Kongres ini mencetuskan organisasi
Persatoean Perempoean Indonesia.
Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) yang
berdiri pada tahun 1950 yang kemudian
bermetamorfosa menjadi Gerwani pada tahun 1954 merupakan organisasi perempuan
yang aktif memperjuangkan hak upah yang
adil bagi buruh perempuan yang bekerja di
pabrik-pabrik, pendidikan yang baik bagi
perempuan, pemberian fasilitas penitipan
anak, perhatian serius terhadap kasus-kasus
perkosaan, traicking, serta merumuskan
pembagian kerja yang adil antara suami dan
25
istri di dalam rumah tangga. Gerakannya
ini beraliran marxis-sosialis yang sejalan de
ngan Partai Komunis Indonesia. Hingga ketika kasus tahun 1965, Gerwani pun menjadi
incaran dalam peristiwa G30SPKI.
Saat rezim Orde Baru dibawah pimpinan
Soeharto dimana suara rakyat dibungkam,
23 Februari 1998 sekelompok perempuan
yang terdiri dari aktivis, intelektual, ibuibu, dan perempuan lainnya melakukan aksi
protes mengenai kekacauan ekonomi, politik, dan ketidak adilan yang menyebabkan
keterpurukan Indonesia. Gerakan ini diberi
nama Suara Ibu Peduli (SIP).
Gerakan perempuan di era 2000-an di Indonesia sudah tidak lagi terkekang walau pada
praktiknya permasalahan ketidak adilan
dan isu-isu keperempuanan lainnya masih
marak. Tahun 2001 perempuan membuktikan kiprahnya dalam memimpin negara.
Hingga tahun 2004, Indonesia dipimpin
oleh Megawati Soekarnoputri. Stabilitas
keuangan negara tahun 2005-2010 terjamin di tangan Sri Mulyani. Sederet pemikir
perempuan lain pun makin banyak berkiprah di segala bidang.
Untuk feminisme Indonesia 2000-an hingga
hari ini, penulis berasumsi bahwa feminisme liberal adalah hal yang sedang banyak
dipraktikkan. Terbukti dengan banyaknya
iklan dan tayangan yang beredar yang
menunjukkan sisi independen perempuan,
dimana perempuan juga mampu mengambil andil di kursi pemerintahan, pembangunan, ekonomi, pemikiran, maupun pendidikan dengan kontribusi penuh. Beberapa
profesi seperti tukang ojeg, sopir angkutan
umum, kuli angkut, arsitek, bidang tambang dan minyak, dan pekerjaan lain yang
biasanya dikerjakan lelaki mulai diisi oleh
feminisme - kajian budaya
perempuan. Perusahaan-perusahaan hari
ini juga lebih senang merekrut perempuan
sebagai buruh pabrik maupun pegawai bidang lainnya.
Mengenai keterlibatan perempuan dalam
politik dan pemerintahan, dalam Rancangan RUU KKG tahun 2011 pasal 4 ayat 2 di
nyatakan “…perempuan berhak memperoleh
tindakan khusus sementara paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) dalam hal keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif,
dan berbagai lembaga pemerintahan nonkementerian, lembaga politik, dan lembaga
non-pemerintah, lembaga masyarakat di
tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.”. Konstitusi ini belum bersifat inal
namun sudah banyak menuai komentar ketidaksetujuan. Bulan november 2014, penulis
berdiskusi dengan Dra. Hj. Nurdianti Akma,
M.Si, mantan anggota DPR RI periode 19992004. Beliau bercerita bahwasannya anggota perempuan yang ada di pemerintahan
tidak sedikit yang berstatus single parent.
Dengan beban kerja dan waktu sidang yang
menghabiskan waktu lama, pekerjaan domestik rumah tangga sudah pasti terabaikan
dan perhatian untuk keluarga akan sangat
sedikit. Jikalau kontribusi perempuan dalam
pemerintahan ingin ditingkatkan hingga
30% lalu dinaikkan lagi menjadi 50%, Indonesia harus siap menghadapi generasi
dimana anak kekurangan perhatian dan kasih sayang Ibu. Beliau sendiri maju menjadi
anggota dewan dan aktif di beberapa orga
nisasi lain dengan dorongan suami dan kondisi anak yang sudah dapat mandiri.
Gerakan feminis yang ada saat ini sedikit
banyaknya berhubungan dengan sekuleris,
pluralis dan liberalis. Dimana perjuangan
kesetaraannya selain menuntut masalah
porsi kekuasaan seperti yang sudah dijelasfeminisme - kajian budaya
kan diatas, juga menyerempet ke hal yang sifatnya menyalahi aturan agama dengan jargon kebebasan tersebut. Salah satu hal yang
meresahkan adalah praktik pengimaman
dalam ibadah sholat yang dilakukan oleh
perempuan. Tokoh feminis Islam yang turut
juga mendukung LGBT, mengharamkankan
poligami dan memperbolehkan perkawinan
beda agama adalah Prof. Musdah Mulia.
Feminis di barat sendiri saat ini sudah
merubah haluan; tidak lagi menuntut kesetaraan yang benar-benar setara persamaan
hak, derajat, kekuasaan karena menyadari
bahwa pembagian hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan berdasar nurture
(pengurusan, perlindungan, pengasuhan)
itu dapat dilakukan bersama sementara hal
yang bersifat nature adalah itrah, hal kodrati yang tidak bisa disamarakatan.
Professor T.J. Winters dari Universitas Cambridge yang sesudah Muslim kini bernama
Abdal-Hakim Murad, mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an dan 1970-an adalah
"feminisme kesejajaran" yang berjuang
menghancurkan ketimpangan gender yang
menurut mereka semata-mata social constructs yang bisa diubah lewat pendidikan
dan media. Menurut Germaine Greer, berbagai strategi yang dipakai di tahun 1960an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan membawa kerusakan.
Yang terjadi saat ini bukanlah pembebasan
wanita dari ketertindasan tetapi tidak lebih
dari sekedar menggantikan ketergantungan
wanita dari satu hal ke hal lainnya. Wanita
memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini
ganti tergantung pada hal-hal lain seperti
industri kosmetika dan fashion.
26
Pada tahun 1990-an, seorang feminis Yahudi bernama Bella Azbug menulis artikel
berjudul "Martin, What Should I Do Now?".
Martin adalah mendiang suaminya. Bella
yang adalah seorang wanita mandiri merasa kehilangan arah sepeninggal suaminya
hingga ia berkesimpulan bahwa setangguh
apapun perempuan, hidupnya mesti dilengkapi dengan kehadiran laki-laki. Istilah feminisme untuk era ‘90-an ini menurut Prof.
Abdal-Hakim Murad adalah "feminisme
perbedaan" yang berakar pada semakin
tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami
(nature) itu sama pentingnya dengan faktor
pengasuhan (nurture) dalam pembentukan
perilaku pria dan wanita. Hal ini sesuai de
ngan Islam yang memang tidak membedakan kedudukan dan pandangan antara lelaki
dan perempuan bahkan banyak keistimewaan yang diberikan kepada perempuan.
Mengenai porsi peran dan fungsi laki-laki
dan perempuan dalam beramalnya pun sudah diatur secara menyeluruh karena Islam
bukan hanya sekedar agama, melainkan juga
‘ad-din’ yang mengatur sistem kehidupan
dan tidak melepaskannya dari aspek ibadah.
Dengan memahami hal tersebut, tidak berarti pergerakan perempuan adalah suatu
hal yang dilarang dan mesti diserahkan
semuanya kepada laki-laki. Kesemuanya
memiliki kewajiban untuk menyelesaikan
atau minimalnya memberi solusi terhadap
masalah, keduanya berhak beraksi apabila
diperlukan selama tidak melanggar nilai dan
norma agama dan masyarakat. Apatah Indonesia akan segera menyadari hal tersebut
dan segera mengantisipasi kesalahan berpikir mengenai feminisme?
yang mereka usahakan, dan bagi perempuan
(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.” (Qs. An-Nisa : 31)
*Sudah pernah dipublikasikan di akun pri
badi penulis, dengan pengubahan.
Bahan bacaan
Husaini, Adian, Seputar Kesetaraan Gender
: Kerancuan, Kekeliruan dan Dampaknya,
(Depok : Adabi Press, 2012)
Suryakusuma, Julia, Jihad Julia, (Bandung :
Qanita, 2010)
Rahayu, Ruth Indiah, Konstruksi Historiograi Feminisme Indonesia dari Tutur
Perempuan, Tulisan untuk Workshop Historiograi Indonesia: di antara Historiograi
Nasional dan Alternatif, Yogyakarta, 2-4 Juli
2007
Firdaus, M. Auritsniyal, Gerakan Feminisme
Di Indonesia, dalam http://auritsniyalirdaus.blogspot.co.id/2012/08/gerakan-feminisme-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 07 November 2016, pukul 14.50
Marzuki, Kajian Awal Tentang Teori-Teori
Gender, Yogyakarta.
Sundari, Akhiriyati, Gerwani: Pelopor Ge
rakan Perempuan Feminis-Sosialis di Indonesia, dalam http://www.jurnalperempuan.
org/blog-feminis-muda/gerwani-peloporgerakan-perempuan-feminis-sosialis-diindonesia, diakses pada 07 November 2016
pukul 15.17
Soekanto, Santi, Gerakan Feminisme Kembali ke "Sunnatullah"?, Jakarta, 2006
“Dan janganlah kamu iri hati, terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa
27
feminisme - kajian budaya
feminisme - kajian budaya
28
29
feminisme - kajian budaya
Feminisme dalam Masyarakat
Minangkabau
Rully Yusuf Panjaitan
Me
mahami pemikiran Feminisme memang tidak mudah. Feminisme bukanlah
pemikiran tunggal, tetapi terdiri dari ber
bagai macam pemikiran yang saling berbeda yang terpolarisasi aliran-aliran feminis.
Feminisme radikal, misalnya, menganggap
“penindasan terhadap perempuan ditandai
oleh kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Sistem patriarkhal tidak dapat dibentuk
ulang, tetapi harus dicabut dari akar dan
cabang-cabangnya. Bukan hanya struktur
hukum dan politis partriarkhi saja yang harus dicabut untuk memberikan jalan bagi
pembebasan perempuan. Lembaga sosial
dan kultural juga dicabut dari akar-akarnya”
feminisme - kajian budaya
(Tong, 1998; hal 3; ).
Meskipun masing-masing aliran feminis
berbeda dalam menganalisis sebab dan
solusi dari ketertindasan perempuan, penulis melihat ada persamaan dalam “semangat
perlawanan terhadap dominasi laki-laki”.
Feminisme di Indonesia, masih “barang
baru” (produk Barat) di Indonesia. Dalam
pengantar terjemahan buku “Feminist
Thought”, Aquarini Priyatna Prasmoro,
seorang akademisi yang intens dengan pemikiran feminis di Indonesia, mengungkapkan kegelisahan yang menganggu pikirannya terkait tuduhan bahwa feminisme
adalah Barat. “Pemikiran feminisme radikal
30
seringkali dianggap tidak sesuai dengan ‘budaya timur’, karena perbincangan seksualitas
bagi pemikiran Timur adalah tabu”. Menurut Aquarini, “adalah asumsi merendahkan
bahwa perempuan Timur tidak mampu melihat ketimpangan yang muncul secara jelas
di depan mata.” (Tong, 1998; hal xv).
Terkait dengan perlawanan terhadap “patriakhal” dan “lokalitas” yang penulis sampai
di atas, maka sangat menarik untuk melihat
belahan dunia lain yang masih sedikit dilirik
oleh para pemikir. Minangkabau, sebuah
daerah di pulau Sumatera, yang sekarang
identik dengan wilayah teritori Sumatera
Barat, memiliki kultur budaya yang unik
dalam mengatur kehidupan masyarakatnya.
Minangkabau adalah salah satu masyarakat
yang masih tetap memegang matrilineal
(sistem kekerabatan menurut garis ibu).
al), maka suku-suku yang menganut matrilineal bisa kita jadikan sebuah pengecualian? Berangkat dari permasalahan tersebut,
maka pada makalah ini penulis akan membahas fenomena feminisme pada masyarakat Minangkabau.
Para Antropolog mencatat saat ini, suku
bangsa yang masih memegang sistem
matrilineal, kurang dari 10 suku bangsa, di
antaranya, Minangkabau (Sumatera Barat,
Indonesia), Campa (Vietnam), Muangthai
(segitiga emas Thailand), suku bangsa di India, Afrika, dan Badui (Timur tengah).
Apabila feminisme kita sepakati sebagai
perlawanan terhadap budaya patriakhi (se
bagaimana yang diyakini oleh feminis liber-
31
Adat Minangkabau bersifat matrilineal.
Dalam menentukan tempat tinggal suamiistri, adat Minangkabau menganut sistem
matrilokal. Dalam adat Minangkabau, yang
berkuasa dan bertanggung jawab dalam sebuah rumah tangga adalah ibu yang didampingi oleh mamak (saudara laki-laki ibu),
sedangkan ayah hanya sebagai tamu. Dalam
perkawinan, menurut adat Minangkabau
feminisme - kajian budaya
yang meminang bukan laki-laki atau keluarganya, akan tetapi pihak perempuan. Dalam
pembagian harta warisan kaum/suku jatuh
pada kepada perempuan, sementara kaum
laki-laki tidak mendapatkan bagian apa-apa.
Perempuan menempati kedudukan yang istimewa (Ilyas, 2006; hal 47-49).
Garis keturunan menurut ibu, menimbulkan kecendrungan negatif bagilaki-laki di
Minangkabau. Mereka dianggaphanyalah sebagai “pejantan”, yang dinikahi oleh perempuan untuk menjaga eksistensi suku sang
perempuan. Tapi sisi lain, matrilineal telah
memberikan status yang jelas bagi seorang
anak, bahwa ia adalah anak dari ibunya. Sebagaimana telah diketahui dalam masalah
seksual, patrilineal telah menempatkan
perempuan pada posisi yang rendah (belum
lagi penderitaan dan sakit karena hamil).
Di atas telah kami sampaikan tentang keadaan sosial perempuan di Minangkabau,
bagaimana dengan kedudukan perempuan
di bidang politik. Dalam Diskusi “Memahami Sistem Matrilineal Minangkabau” 25
Desember 2007 yang lalu di Yogyakarta, Dr.
Raudha Thaib (Budayawan Sumatera Barat),
mengatakan: “Di Minangkabau, perempuan
diperbolehkan untuk memasuki wilayah
publik. Perempuan Minang tidak dikurung
di rumah dan hanya berkecimpung di sektor domestik saja. Perempuan memegang pe
ranan dalam pengambilan keputusan politik
dalam kaum/suku dan diperbolehkan untuk
menduduki jabatan publik.
Dalam sejarah, Kerajaan Minangkabau pernah dipimpin oleh raja Perempuan, yang
bernama “Bundo Kanduang”. Hanya tiga posisi yang tidak boleh ditempati perempuan,
yaitu Manti (pemimpin adat), Malin (pe-
feminisme - kajian budaya
mimpin agama), dan Dubalang (pemimpin
keamanan suku). Selain dari tiga posisi ini,
perempuan dipersilahkan untuk berkiprah
dan mendudukinya.” (Diskusi Gebu Minang
di Asrama Mahasiswa Bundo Kanduang Yogyakarta).
Untuk memahami hubungan matrilineal
dengan feminisme, ada baiknya penulis
sampaikan juga di sini pemaparan Friedrich
Engels tentang asal usul keluarga dan kepemilikan pribadi, yang sangat menginspirasi
feminis sosialis. Engels mengatakan:
“Sebelum keluarga, atau hubungan perkawinan, ada satu keadaan primitif ‘hubungan
seksual yang permisif’ yang dalam hubungan ini setiap perempuan adalah permainan
yang adil bagi setiap laki-laki dan sebaliknya.
Semua pada dasarnya menikah dengan
semua.
Dalam proses seleksi alamiah, berbagai
golongan darah anggota keluarga perlahan
dipinggirkan untuk dipertimbangkan sebagai patner perkawinan yang mungkin.
Karena perempuan yang tersedia bagi lakilaki semakin lama semakin sedikit, individu
laki-laki mulai secara keras menyatakan
klaimnya atas individu perempuan tertentu
sebagai hak milik mereka. Akibatnya, timbullah keluarga yang berpasangan, yang
mengatur setiap satu laki-laki menikah dengan satu perempuan” (Tong, 1988).
Engels melanjutkan:
“Dengan menekankan bahwa ketika seorang
laki-laki mengambil seorang perempuan,
ia kemudian hidup di dalam rumah tangga
si perempuan. Keadaan ini bukan sebagai
tanda subordinasi perempuan, melainkan se
bagai tanda kekuatan ekonomi perempuan.
Karena pekerjaan perempuan adalah vital
32
bagi kelangsungan hidup seluruh suku (misalnya, tempat untuk tidur, pakaian, alat-alat
masak, peralatan) yang dapat diturunkan
kepada generasi berikutnya.
Masyarakat pasangan awal adalah masyarakat matrilineal, dengan garis hak waris dan
keturunan ditelusuri dari garis ibu. Mungkin juga bukan hanya matrilineal, tetapi juga
matriarkhal, masyarakat yang di dalamnya
perempuan mempunyai kekuatan ekonomi,
sosial dan politik.” (Tong, 1988).
Setelah menyampaikan tentag awal mula
matrilineal dan perkembangannya, Engels
kemudian menjelaskan proses terjadinya
perpindahan matrilineal ke patriakhal:
“Sejalan dengan semakin dianggap pen
tingnya pekerjaan dan produksi laki-laki,
bukan saja nilai dan pekerjaan dan produksi
perempuan menurun, melainkan status
perempuan dalam masyarakat juga menurun.
Karena laki-laki kini memiliki sesuatu yang
lebih bernilai daripada yang dimiliki perempuan, dan karena laki-laki, untuk alasan
yang tidak dapat dijelaskan, tiba-tiba me
nginginkan anak-anaknya sendiri yang akan
memperoleh hak milik mereka, laki-laki
memberlakukan tekanan yang sangat besar
untuk mengubah masyarakat dari matrili
neal menjadi patrilineal. Hak ibu harus ‘dihancurkan’, dan dihancurkanlah hak ibu.”
(Tong, 1988).
“Penghancuran hak-hak ibu merupakan
kekalahan bersejarah perempuan dunia.
Setelah menghasilkan dan menegaskan
klaim terhadap kekayaan, laki-laki mengambil alih kendali rumah tangga, mereduksi
perempuan menjadi ‘budak’ dari hasrat
33
ragawi laki-laki, dan menjadi ‘sekedar alat
produksi anak-anak’.
Dalam tataran keluarga baru ini, suami
berkuasa atas dasar kekuatan ekonominya.
Laki-laki adalah borjuis, sementara istrinya
merepresentasikan kaum proletar. Kendali
laki-laki atas perempuan berasal dari fakta
bahwa laki-laki, dan bukan perempuan,
yang mengendalikan kepemilikan. Opresi
terhadap perempuan akan berakhir hanya
dengan penghancuran institusi kepemilikan
pribadi.” (Tong, 1988).
Kemudian, Engels memberikan jalan keluar
bagi perempuan untuk melepaskan diri dari
kunkungan maskulin:
“Jika istri-istri akan diemansipasi dari lakilaki, perempuan pertama-pertama harus
menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada laki-laki. Bahkan, syarat pertama bagi
emansipasi perempuan adalah masuknya
kembali seluruh perempuan ke dalam industri publik, kedua, sosialisasi pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak.”
(Tong, 1988).
Setelah membaca pemikiran Engels, dapatlah kita asumsikan bahwa matrilineal adalah
sistem masyarakat yang sangat airmatif
memberikan ruang dan hak-hak kepada
kaum perempuan. Namun di pihak lain,
teoritisasi kontemporer, seperti Nozick masih memiliki perasaan pro maskulin.
Dia tidak sependapat dengan Engels. Ia me
nganggap “ keluarga tradisional (patriakhal)
adalah adil, dan kemudian mengukur distribusi yang adil dalam pengertian ‘pendapat
rumah tangga’ yang diterimakan kepada
‘kepala rumah tangga’, sehingga pertanyaan
tentang keadilan dalam keluarga menjadi
feminisme - kajian budaya
tidak mungkin.” (Kymlicka, 2004; hal 331).
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan
Engels, kami melihat keadaan perempuan
di Minangkabau telah mendapat legitimasi
yang kuat dalam hal mendapatkan hak kepemilikan pribadi dan kebebasan berkiprah di
dunia politik.
Meskipun asumsi Engels sangat materialistik, dengan menempatkan kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap
aset ekonomi, namun hal ini bisa diterima
dengan melihat keadaan perpolitikan pada
saat ini terjadi, khususnya di Indonesia. Tak
dapat dipungkiri pameo “siapa yang beruang, dialah yang berkuasa”, telah menjadi
“aturan dominan tak tertulis” dalam politik Indonesia. Kasus, banyaknya pengusaha
yang menempati jabatan vital di pemerintahan dan partai politik semakin menguatkan realitas bahwa, terdapat korelasi positif
antara politik dan uang.
Engels melihat, kekalahan perempuan terletak pada kenyataan, mereka tidak mempunyai akses untuk memiliki property. Keluarga
telah mengikat perempuan untuk melakukan “kewajiban moral” sebagai ibu dan istri, yang menyita sebagian besar waktunya
bekerja di wilayah domestik (rumah. Kelelahan di rumah tidak memberikan peluang
baginya masuk ke ruang publik.
Sehingga sangat kecil kemungkinan suami
bisa sewenang-wenang (melakukan kekerasan) terhadap istri. Jika kita hubungkan
dengan solusi yang ditawarkan oleh Engels,
bahwa perempuan harus keluar untuk memasuki industri publik, maka untuk konteks
matrilineal Minangkabau ini tidak diperlukan lagi.
Karena telah memiliki property yang bisa ia
sewakan atau dikelola, maka property tersebut semakin bertambah (paling tidak tetap
jumlahnya seperti semula). Perempuan
Minang tidak mesti harus mengolah sendiri,
tapi ia cukup menjadi manajer dari pengelolaan pertambahan asset yang dimiliki.
Biasanya yang difungsikan sebagai pekerja
untuk menambah asset tersebut adalah
suami, yang “dijemput” oleh pihak/keluarga
perempuan. Pengalaman sebagai manajer
ini, bisa membentuk karakter kepimpinan
yang pada level lebih tinggi bisa dia gunakan
dalam wilayah kepemimpinan politik.
Reference:
http://www.kompasiana.com/sonyawinanda/
feminisme-di-minangkabau_54ff705ba333111f
4b510379
Kita alihkan pandangan kembali pada
perempuan Minang. Perempuan Minang
oleh adat diberikan hak property, memiliki
sawah, rumah, ladang dan tanah. Dalam keluarga mereka sulit diintimidasi oleh suami,
karena mamak (saudara laki-laki dari sukunya) akan senantiasa memberikan perlin
dungan kepada perempuan tersebut.
feminisme - kajian budaya
34
35
feminisme - kajian budaya
Zine ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
Teori & Metode Kajian Budaya
Kelompok La Seine
Sastra Perancis 2014
FIB, UNPAD
Dosen Pengampu: Rima Febriani, M.Hum
Media:
InDesign
Foto & Ilustrasi:
Thanks to : Behance.net
Thank You
feminisme - kajian budaya
36
37
feminisme - kajian budaya