(LEGAL MEMORANDUM)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (CORPORATE CRIME LIABILITY)
PT. LAPINDO BRANTAS DALAM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :
KEMAHIRAN NON-LITIGASI
Disusun Oleh :
SUNU DIPTA WIBIAKSO
NIM : A.131.09.0100
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
2013
LEGAL MEMORANDUM
KASUS POSISI
(CASE POSITION)
Belum lepas dari ingatan kita, pada tanggal 29 Mei 2006, tepat satu hari setelah bencana alam gempa bumi mengguncang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah bencana akibat kelalaian manusia terjadi di daerah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bencana tersebut adalah semburan lumpur panas dari lokasi pengeboran minyak bumi, Sumur Banjar Panji I, yang terletak di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur. Semburan lumpur yang sampai saat ini belum dapat di tutup, bahkan dihentikan, telah mengakibatkan tutupnya tak kurang dari 10 pabrik, merendam lebih dari 100 hektar lahan produktif dan pemukiman yang memaksa penduduk setempat harus mengungsi ke tempat yang lebih aman, dalam artian tidak terendam lumpur panas tersebut. Selain itu, semburan lumpur panas ini mengakibatkan banjir lumpur yang mengganggu jadwal perjalanan kereta api, dan juga transportasi melalui jalan tol Surabaya – Gempol yang harus ditutup. Pendek kata, semburan lumpur ini telah mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang maha dahsyat, dan tak terkira. Sebuah wilayah yang tadinya subur, produktif, dan banyak penduduk yang menjalankan usaha kecil menengah telah hancur. Sebagai informasi, bahwa dampak dari semburan lumpur ini juga telah memaksa para perajin kulit di daerah Tanggulangin untuk gulung tikar. Sebuah akibat yang sangat luar biasa jika dibandingkan dengan penyebab dari peristiwa semburan lumpur ini.
Dari beberapa sumber, terdapat pendapat-pendapat yang menerangkan sebab-sebab terjadinya semburan lumpur panas serta akibat-akibat yang terkait pada blok Banjar Panji I ini, yakni :
1. Kasus kebocoran gas dan luberan lumpur tidak diakibatkan oleh bencana alam gempa bumi Yogyakarta. Pendapat ini didapatkan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik Polda Jawa Timur terhadap saksi ahli dari BMG (dikutip dari arsip berita ANTVNews.com, 8 Juni 2006);
2. Kasus tersebut merupakan salah satu akibat yang timbul dari kesengajaan PT. Lapindo Brantas dan memberikan dampak yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat, dan merupakan bencana ekologi yang terbesar di Jawa Timur pada tahun ini ( dikutip dari pernyataan Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, dalam arisp Surabaya Pagi, 7 Juni 2006);
3. Semburan gas dan lumpur PT. Lapindo Brantas disebabkan oleh pecahnya formasi sumur pengeboran, ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet sehingga gas tidak bisa keluar dari melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar melalui permukaan tanah yang merekah di permukaan rawa (keterangan dari Syahdun, mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas, kontraktor yang melakukan pengeboran, dikutip dari arsip Kompas.com, 8 Juni 2006);
4. Semburan lumpur yang disertai gas hidrokarbon pada sumur Banjar Panji I yang dikelola oleh PT. Lapindo Brantas bukan merupakan bencana alam, namun lebih karena faktor ketidak beruntungan. Diduga pada saat penggalian dilakukan, lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul. (Dr. Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam, Universitas Brawijaya Malang, dikutip dari arsip Kompas.com, 8 Juni 2006);
5. Semburan lumpur tersebut kemungkinan disebabkan karena kesalahan prosedural drilling yang mengakibatkan terjadinya blow up. Dalam blow up gas yang dicari oleh perusahaan naik melalui lubang bor. Secara prosedural, jika ada gas naik maka akan dilakukan penyumbatan dengan lumpur. Namun mungkin saja gas yang bertekanan besar tetap menyembur mendorong lumpur dan mencari retakan tanah yang lain yang ada di dalam tanah. Akibatnya muncul lumpur sekaligus gas di sekitar lokasi pengeboran eksplorasi PT. Lapindo Brantas. Lumpur yang keluar bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa saja lumpur yang menutup lapisan gas dalam tanah. Sedangkan dugaan semburan gas dan lumpur panas karena gempa di Yogyakarta adalah tidak masuk akal. Perlu gempa berkekuatan 6 SR untuk menimbulkan rekahan, dan yang dirasakan di Surabaya tidak sampai 2 SR. Gempa di Yogyakarta kemarin karena bergesernya sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalau ada yang melintasi Surabaya, itu adalah retakan yang berasal dari Surabaya ke arah Pacitan. Berdasarkan pemantauan, dari baunya, kemungkinan gas tersebut mengandung hidro karbon yang bersifat karsinogenik yang dapat mengakibatkan kanker, sehingga daerah tersebut harus segera diisolasi. (Ir. Amien Widodo, MT, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, dikutip dari arsip Kompas.com, 8 Juni 2006).
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, banyak yang menekankan bahwa sebab dari semburan lumpur panas di Sumur Banjar Panji 1 tersebut bukanlah merupakan bencana alam, namun sebagai akibat kelalaian prosedur dalam drilling.
PERMASALAHAN HUKUM
(LEGAL ISSUES)
Adapun uraian masalah yang akan dibahas adalah:
1 Dapatkah korporasi bertanggung jawab secara pidana?
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban korporasi dan organ-organnya dalam suatu tindak pidana in casu tindak pidana lingkungan hidup?
3. Apakah corporate liability ini dapat diterapkan dalam kasus semburan lumpur panas Sidoarjo, dan bagaimana realitasnya?
JAWABAN SINGKAT
(BRIEF ANSWER)
Dari sisi korporasi, PT. Lapindo Brantas adalah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh BP MIGAS untuk melakukan pengeboran minyak dan gas bumi. Saham dari PT. Lapindo Brantas dimiliki 100 % oleh PT. Energi Mega Persada, Tbk (EMP) melalui anak perusahaannya yakni Kalila Energy, Ltd (84,24%) dan Pan Asia Enterprise (15,76%). Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas. Selain Lapindo, participating interest blok Brantas juga dimiliki PT. Medco E&P (anak perusahaan dari Medco Energy) sebesar 32 % dan Santos sebesar 18 %. Dikarenakan memiliki nilai saham yang terbesar dalam participating interest tersebut, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator.
PT. Energi Mega Persada, Tbk (EMP) sebagai pemegang saham mayoritas dari PT. Lapindo Brantas adalah anak perusahaan dari Group Bakrie. Group Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki oleh komisaris EMP, Rennier A.R. Latief sebesar 3, 11%, Julianto Benhayudi sebesar 2,18%, dan publik sebesar 31,18 %. Chief Executive Officer PT. Lapindo Brantas adalah Nirwan Bakrie, yang merupakan adik kandung dari Menko Kesra Aburizal Bakrie.
Kasus ini menjadi sarat muatan politis karena adanya hubungan atau afiliasi sebagaimana tersebut diatas. Pihak yang berwajib sampai saat ini belum menetapkan CEO PT. Lapindo Brantas sebagai tersangka.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelusuri lebih jauh mengenai pertanggung jawaban korporasi (corporate liability) dalam suatu tindak pidana in casu Pertanggung Jawaban PT. Lapindo Brantas Inc dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam kasus Semburan Lumpur Panas di Sidoarjo.
PENDAPAT HUKUM
(LEGAL OPINION)
1. Pertanggungjawaban Korporasi terhadap Suatu Tindak Pidana
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, PT mempunyai karakteristik yang membedakan dengan bentuk lembaga lainnya, yakni PT adalah badan hukum, dan pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadi pemegang saham (vide pasal 3 ayat (1) UUPT).
Dalam ajaran hukum, subyek hukum itu terdiri dari natuurlijk persoon dan recht persoon. Atau dengan kata lain, subyek hukum itu terdiri dari orang yang diartikan secara biologis, dan orang yang diartikan sebagai badan hukum.
Sebagai sebuah badan hukum, PT adalah sebuah kesatuan hukum atau legal entity yang dapat dipersamakan dengan orang, dalam hal ini, PT adalah sebagai subyek hukum, yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Namun, karena PT tidak dapat bertindak sendiri, maka dalam bertindak atau melakukan perbuatan hukum, PT diwakili oleh Direksi yang bertindak untuk dan atas nama PT tersebut. Direksi wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas pengurusan PT untuk kepentingan dan usaha PT (vide Pasal 97 UUPT). Hubungan yang timbul antara perseroan dengan direksi adalah fiduciary duties, yakni tugas yang timbul dari suatu hubungan yang bersifat fiduciary atau kepercayaan antara direksi dengan perseroan yang dipimpinnya. Apabila direksi melakukan kesalahan dan kelalaian sehingga mengakibatkan perseroan menderita kerugian, maka direksi wajib bertanggung jawab secara penuh dan pribadi dan apabila direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka tanggung jawab itu dibebankan secara tanggung renteng (vide pasal 97 ayat (4) jo. ayat (5) UUPT).
2. Bentuk Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kasus Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan
Berdasarkan teori-teori di atas, jika kita kaitkan dengan peraturan perundang-undangan in casu semburan lumpur panas Lapindo Brantas, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), terutama pasal 46, Indonesia sudah menganut asas vicarious liability.
Dalam UUPLH dinyatakan bahwa pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum. Tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Jika tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Apabila tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHP dan UUPLH, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa: perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, untuk dapat dinyatakan suatu tindak pidana sebagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, menurut UUPLH maka :
a. Tindak pidana harus dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum;
b. Tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. Tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Jadi bentuk pertanggung jawaban pidana yang dapat dikenakan kepada korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana lingkungan hidup adalah sanksi denda dan sanksi administrasi. Hal ini diatur dalam pasal 46 jo. Pasal 45 dan pasal 47 UUPLH. Pemberian sanksi yang dibatasi ini cenderung mengikuti teori fictie atas suatu badan hukum. Teori fictie ini diajarkan oleh Von Savigny. Teori ini menyatakan bahwa adanya badan hukum itu merupakan anggapan saja (fiksi) yang diciptakan oleh negara (yang berwenang), sebab sebenarnya badan atau perkumpulan atau organisasi itu tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendaknya sendiri seperti halnya manusia. Sehingga badan hukum bila akan bertindak untuk melaksanakan kehendaknya harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat perlengkapannya, misalnya: direktur atau pengurusnya.
Menurut teori ini, sebuah badan hukum tidak dapat melaksanakan kehendaknya sendiri, sehingga harus diwakilkan. Dalam hal korporasi melakukan suatu tindak pidana, maka direktur lah yang mewakili korporasi tersebut untuk menghadap ke pengadilan. (vide pasal 98 ayat (1) UUPT). Namun apakah ketika PT tersebut dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, direksi yang mewakilinya kemudian dipidana atas kejahatan korporasi tersebut. Jawabannya tentu tidak. Karena itulah, sanksi pidana terhadap perseroan itu hanya berupa pidana denda (yang diperberat) dan sanksi administratif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diartikan bahwa selain orang-perseorangan selaku pelaku materiil dari sebuah tindak pidana lingkungan hidup, sepanjang dapat dibuktikan bahwa tindakan orang tersebut adalah untuk dan/atau atas nama perseroan, maka perseroan dan siapa yang memimpin tersebut dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Disinilah doktrin vicarious liability diterapkan.
KESIMPULAN
(CONCLUSION)
Dari berbagai uraian tersebut diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana (corporate crime liability). Hal ini didasarkan pada beberapa teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah mengadopsi prinsip vicarious liability, dan mengatur tentang pertanggungjawaban pidana oleh perseroan;
2. Bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup adalah adanya sanksi pidana denda dan tindakan tata tertib (vide pasal 45, 46, dan 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Terhadap organ-organ perseroan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (vide pasal 46 UUPLH);
3. Sebenarnya prinsip corporate criminal liability dapat diterapkan dalam kasus semburan lumpur panas Sidoarjo, karena seluruh unsur-unsur dalam pasal 46 UUPLH telah terpenuhi. Dan berdasar data yang diperoleh dan telah diuraikan diatas, perseroan yang bertanggungjawab ada beberapa, yaitu PT. Lapindo Brantas Inc (operator), PT. Medco E&P Brantas, Santos Energy, PT. Medici Citra Nusa dan PT. Tiga Mas Musim Jaya selaku sub-kontraktor.
Kendala yang dihadapi di lapangan adalah adanya politisasi terhadap masalah ini. Selain itu adanya pertentangan para ahli tentang penyebab semburan lumpur panas tersebut. Apakah memang karena kelalaian dan kesalahan prosedur, ataukah karena adanya kelalaian dan kesalahan prosedur ditambah adanya faktor bencana alam. Namun dari kendala-kendala tersebut, yang paling penting adalah ketiadaan niat serius dari pemerintah dalam menjerat korporasi untuk bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan lingkungan hidup.
REKOMENDASI
(RECOMMENDATION)
Banjir Lumpur Panas Lapindo telah menimbulkan korban setidaknya 21 ribu jiwa lebih atau lebih dari 3.500 KK mengungsi, 11 desa dan + 350 ha lahan pertanian terendam lumpur, serta 23 bangunan sekolah dan tak kurang 20 perusahaan tutup. Lumpur lapindo telah meningkatkan angka pengangguran akibat kehilangan pekerjaan. Kejadian ini juga telah melumpuhkan transportasi jalan tol Gempol – Surabaya yang berakibat kerugian dialami perusahaan-perusahaan jasa angkutan, transportasi ekonomi lainnya. Dalam kasus semburan lumpur PT. Lapindo Brantas ini, Greenomics Indonesia memperkirakan kerugian yang harus diganti bisa mencapai angka Rp 33,27 triliun. Terdiri dari biaya penanganan sosial, pembersihan lumpur, ekologi, dampak pada pertumbuhan ekonomi, pemulihan bisnis dan ekonomi, biaya kehilangan kesempatan (jangka waktu sangat pendek) dan ketidakpastian ekonomi akibat eskalasi dampak. Kerugian tersebut masih bisa lebih besar, terutama jika terjadi eskalasi dampak turunan lebih luas lagi dalam jangka menengah dan panjang. Besarnya nilai kerugian diakibatkan karena adanya floating time (waktu yang dibiarkan mengambang atau ketidakpastian) penanganan semburan lumpur tersebut.
Karena sifat destruktif yang telah menyebabkan rusaknya ekosistem di daerah bencana semburan lumpur tersebut, maka pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus berusaha menarik dan menjerat korporasi-korporasi yang terlibat dan berperan dalam tindak pidana ini dengan mengesampingkan faktor-faktor non-yuridis, dan mengutamakan faktor yuridis.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary: Sixth Edition. West Publishing Co.: St. Paul Minnessota. Hlm. 339.
Fisse, Brent. Rethinking Criminal Responsibility in a Corporate Society: an Accountability Model, Chapter Eighteen: Bussines Regulation and Australian’s Future, dalam Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2006.
Kertas Posisi Walhi Terhadap Kasus Lumpur Panas PT. Lapindo Brantas (Sisi Hukum Kejahatan Korporasi PT. Lapindo Brantas). www. Walhi.or.id. diakses 1 Desember 2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco. 1980. Hlm. 55.
Rusmana. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan. www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php. Diakses 1 Desember 2012.
S. Simpson, Sally. Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory. 1993. Hlm. 171.