TEORI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAQAF
Disusun Oleh:
A.HAMID
29173622
Program Pascasarjana S3
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Email: hmidun26@yahoo.com
Dosen Pengasuh:
Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad. SH, MH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kehadhirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada kita semua, serta kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga telah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, walaupun serba kekurangan dari segi ilmu bagi penulis alhamdulillah makalah ini dapat selesai, Salawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah saw serta keluarga dan sahabat beliau selalu tercurahkan.
Makalah ini membahas tentang kaidah ushul “Teori Pengelolaan dan Pengembangan Waqaf” yang penulis sampaikan sebagai bagian dari tugas mata kuliah Teori Ilmu Fiqh/Hukum pada Program Pendidikan Doktor S3 di Pascasarna UIN Ar-Raniry Banda Aceh tahun 2018. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada guru kami Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad. SH, MH selaku dosen pengasuh mata kuliah Teori Ilmu Fiqh/Hukum yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang masih dan selalu berkontribusi dalam penyusunan makah ini hingga selesai. Penulis menyadari makalah ini masih sangat kekurangan dan belum sempurna, maka disini masih diperlukan kritik dan saran yang membangun.
Penulis
A.Hamid
TEORI PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAQAF
A.HAMID
NIM: 29173622
hmidun26@yahoo.com
Pendahuluan
Salah satu Filantropi Islam yang mempunyai peran strategis untuk membantu mengatasi persoalan ummat adalah lembaga Waqaf. Selain Zakat, Infaq dan Shadaqah, Waqaf juga dikenal merupakan bagian dari ibadah yang berdimensi kesejahteraan sosial, dalam mewujudkan kemaslahatan dan keadilan. Jika memadai, lembaga waqaf sendiri bisa dikembangkan menjadi semacam civil society yang akan menjadi penyeimbang kekuatan negara dan pasar.
Andi Agung Prihatna, dkk Waqaf, tuhan dan agenda Kemanusiaan, (Jakarta, Center for study of Religion and Culture, 2006). hal. 136 Dalam Islam, wakaf adalah salah satu ‘amalan yang mempunyai dua dimensi tinjauan dalam bentuk aplikatifnya, yakni suatu perbuatan yang selain berdimensi ‘ubūdiyah ilāhiyah artinya (ibadah kepada Allah) atau jalinan hubungan kehidupan spritualitas juga berfungsi sebagai sarana sosial kemasyarakatan (di bidang sosial ekonomi masyarakat muslim).
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Cet. I, (Ciputat Pres, 2005), hal. 3-4.
Meski wakaf merupakan salah satu bentuk derma yang dikontribusikan oleh seorang muslim, namun sangat berbeda dengan konsep derma (philantropi) pada umumnya. Philantropi atau derma adalah nomenklatur yang sangat umum untuk menyebut adanya sebuah pemberian untuk kepentingan umum. Namun, di dalam Hukum Islam, atau lebih khususnya fiqh muamalah, ialah hukum Islam yang mengatur tentang hubungan antara orang, hak, kewajiban serta berbagai transaksi, terdapat berbagai macam model derma atau philantropi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Agus Triana dan Mukmin Zakie, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Oktober 2014): hal. 2 Di samping zakat, sebagai rukun Islam yang ketiga dan kewajiban bagi Muslim yang mampu, merupakan instrumen utama, wakaf dan jenis infaq sunnat lainnya juga merupakan instrumen distribusi aliran kekayaan. Perbedaan wakaf dengan instrumen lainnya, baik zakat maupun infaq lainnya adalah harta wakaf dalam bentuk materinya tidak boleh habis atau dihabiskan. Sedangkan secarra khusus perbedaannya dengan zakat adalah penerima manfaat wakaf tidak ditentukan secara pasti sebagaimana mustahiq zakat yang ditentukan kepada delapan asnaf.
Wakaf, menurut Yasir Nasution, memiliki dua dimensi, yaitu dimensi ibadah dan dimensi muamalah. Dari pihak orang yang berwakaf (waqif) tampak dimensi pengabdian (attabarru’), sementara dari mekanisme dan manfaatnya bagi orang lain kelihatan dimensi sosial ekonominya. Dimensi ibadahnya memperlihatkan status hukum yang bersifat baku, sedangkan dimensi muamalahnya menunjukkan felksibilitas dan dinamika. Hukumnya sebagai ibadah tidak mengalami perubahan, tetapi mekanismenya sebagai muamalah dapat berkembang sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
M.Yasir Nasution, “Rekonstruksi Fiqh Wakaf Berwawasan Ekonomi Syari’ah.”, Azhari Akmal Tarigan dan Agustianto (peny.), Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat (Medan: IAIN Press, t.th.), hal. 73-74. Konsep Waqaf merupakan modal (capital) umat Islam yang sangat potensial, bila dikelola dan dikembangkan dengan manajemen yang baik. Wakaf berfungsi sebagai faktor produksi bagi perkembangan ekonomi yang diperuntukkan bagi kesejahteraan umat Islam.
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 149
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Waqaf
Wakaf (bahasa Arab) berasal dari kata “waqafa – yaqifu - waqfan” yang berarti menahan, berhenti, diam di tempat atau tetap berdiri. Kata yang mempunyai arti sama adalah “habasa – yahbisu – habsan”
Dalam kitab-kitab Fiqh Syāfi‘iyah seperti kitab: Mughni Al-Muhtaj, Tuhfatul Muhtaj, Nihayatulmuhtaj, Al-Mahally. Mendefenisikan Wakaf adalah diambil dari bahasa arab “ Waqafa “ artinya adalah: “tertahan” atau “tidak bergerak".
Jalaluddin al-Mahally, Qalyubi Wa’amirah, Juz.III, (Karya Insan Indonesia, tt), hal. 97. Atau pengertian secara Istilahiyah “ menahan harta yang memungkinkan diambil manfaat padanya serta kekal zat-nya (pokok harta) dengan menghentikan tasharuf pada pokok hartanya untuk pemanfaatan pada tempat (sasaran) yang dibolehkan Agama, dan yang wujud nya sudah ada”.
Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Juz, III, (Libanon: Maktabah Taufiqiyah, tt ), hal. 376
Sedangkan menurut istilah, para fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan pengertian wakaf tergantung kepada mazhab-mazhab mereka. Ulama Hanafiyah mendefinisikan wakaf dengan menahan benda milik orang yang berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan.
Abd al-Qᾱhir al-Jurjaiῑ, Kitabal-Ta’rifat, (Jeddah: al-Haramain li alṪaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, tt.), hal.253. Sedangkan menurut Ulama Malikiyah, wakaf adalah wakif menjadikan manfaat harta yang dimiliki walaupun berupa sewa ataupun hasilnya seperti dirham (uang) dengan sighat tertentu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kehendak wakif.
Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islamῑ wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985) Cet. Ke-2 Jilid 8/hal.153.
Mayoritas Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetapnya zat benda yang menghalangi wakif dan lainnya dari tindakan hukum yang dibolehkan atau tindakan hukum yang bertujuan untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
Muḥammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muḥtaj, (Mesir: Maṫba’ah Musṫafa al-Bab al-Ḥalabi, 1958), Juz 2/hal.376. Dalam perspektif Fiqh Mazhab Imam Hanafi, memandang bahwa rukun waqaf hanyalah sebagai sighat (lafadh/ijab dan qabul), sedangkan menurut para Imam Syafi‘iyah, Malikiyah, Hanabilah dan Zaidiyah memandang bahwa rukun waqaf secara mendasar hanya terdapat Empat pokok unsur.
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf, hal. 87. Keterangan ini sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab al –Mahalliy yang menjelaskan empat unsur pokok yaitu:
فيتححقق بوا قف وموقوف وموقف عليه وصيغه .
Waqaf hanya terdiri dari: Waqif (orang yang mewaqaf, Mawquf, (benda waqaf/objek), mawquf ‘alih (sasaran waqaf) dan Singhat (redaksi waqaf).
Jalaluddin Al-Mahally, Qalyubi Wa’amirah Juz.III, (Karya Insan Indonesia, tt), hal. 97.
2. Sejarah Waqaf
Wakaf yang sangat berkaitan dengan era agama dan sistem sosio-ekonomi, masyarakat Islam jelas telah memainkan peranan yang sangat besar di sepanjang sejarah pemerintahan kerajaan Islam. Eksistensi wakaf telah ada sejak zaman Rasulullah saw walaupun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan wakaf pertama dalam Islam.
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji 2007), hal.4 Pada masa awal Islam (abad I H.), khususnya ketika Rasulullah saw. masih hidup, praktik wakaf dapat dilihat dari ucapan Nabi kepada Abu Thalhah agar menyalurkan wakaf kepada keluarganya (Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka'ab).
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungs dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf (Jakarta: IIMaN Press dan Dompet Dhuafa Republika, 2004), hal.24. Inilah yang menjadi dasar pendapat sebagian ulama bahwa praktik wakaf sudah ada sejak Rasul masih hidup. Lalu peristiwa tersebut juga diperkuat dengan jawaban Rasul atas pertanyaan Umar ketika ia memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Peristiwa ini secara sempurna diabadikan dalam hadits berikut ini:
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’i al-Syahih, Juz 2 (Qahirah: alMat}ba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuha>, 1403 H.), hal. 297. Sebagian ulama berbeda pendapat bahwa wakaf pertama dalam Islam adalah Masjid Quba.
Riwayat yang menjelaskan hal ini menyebutkan bahwa ‘Umar ibn Syabah dari ‘Amr ibn Mu’adz berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam, orang Muhajirin mengatakan wakaf Umar ra. Sedangkan orang-orang anshor mengatakan wakaf Rasulullah saw”.
Muḥammad ibn‘Ali Muḥammad al-Syaukᾱnῑ, Nailal-Auṫar, (Mesir: Musṫafᾱ al-Bᾱb al-ḥalabῑ, 1347 H), h.129. Namun demikian, para ulama lebih banyak bersetuju bahwa wakaf pertama adalah wakaf yang diberikan oleh ‘Umar ibn Khattab.‘Umar ra. telah mendapat tanah di Khaibar kemudian beliau meminta nasihat kepada Rasulullah, dan Rasulullah menasihatkan: “.....bila engau suka tahanlah pokoknya dan gunakan untuk sedekah (jadikan wakaf)”. Nasihat tersebut diikuti Umar ra. dan dinilai sebagai wakaf pertama dalam Islam. Kebijaksanaan Umar tersebut diikuti para sahabat yang lain seperti Abu Bakar, Ustman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Zubeir ibn‘Awwam, Abu Talhah, dan sebagainya. Demikian juga pada zaman Khulafa’ Rasyidin, praktek wakaf ini banyak dilakukan karena dengan tindakan ini mereka dapat membantu kesejahteraan negara dan sekaligus dapat beribadah kepada Allah.
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji 2007), hal. 5-6.
3. Manajemen dalam Pengelolaan harta waqaf
Manajemen lembaga wakaf menjadi bagian yang paling krusial dalam memahami persoalan wakaf. Manajemen wakaf berkaitan dengan nadzir selaku pengelola wakaf, sistem pengelolaan wakaf, dan akuntabilitasnya. Karena waqaf adalah satu bidang yang bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah wakaf, terutama masyarakat muslim di Indonesia. Lembaga wakaf bersama dengan lembaga masyarakat sipil lainnya bisa jadi alternatif pemecahan masalah ketidakadilan sosial di Indonesia. Karena sejak dahulu wakaf di beberapa negara modern, dan bahkan jauh pada kesultanan pada masa lalu, telah memainkan peran yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ahmad Suwaidi, Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim, Jurnal, Economic, Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.1, no.2, (UIN Jakarta, thn 2011).hal 4
Dalam mengelola harta wakaf produktif, perlu ada manajemen yang mengelola aset wakaf secara transparan dan akuntabel, model manajemen ini bisa dijabarkan dalam beberapa hal berikut : pertama, kepengurusan wakaf terdiri dari nadzir dan dewan pengurus yang pembentukannya sesuai kondisi. Kedua, wakif hendaknya.
Abdurrahman Kasdi, Jurnal, Ziwaf, Peran Nadhir dalam Pengembangan Waqaf, Jurnal Ziwaf, vol 1, No. 2 Desember 2014. Hal. 3 Pada umumnya pengelolaan wakaf di Indonesia belum seperti pengelolaan wakaf yang ada di Negara-negara Islam, katakanlah seperti Mesir, Saudi Arabia dan Yordania.
Di Indonesia pengelolaannya masih sederhana namun ada juga sebagian telah mengelola tanah wakaf secara produktif karena di dukung oleh infrastruktur dan manajemen yang memadai. Misalnya Pondok Modern Gontor yang berasal dari tanah wakaf, kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari peranannya sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tegak secara kokoh diatas tanah wakaf. Kekokohon itu didukung oleh SDM, manajemen dan stakeholder-nya yang cukup.
Bahrul Ma’ani, Optimalisasi Pemanfaatan tanah waqaf di Kota Jambi, Disertasi, (UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, thn 2014), hal.439.
Agar pengelolaan wakaf dapat dilakukan secara maksimal dan profesional, Kementerian Agama telah melakukan beberapa langkah strategis: pertama, melahirkan Direktorat Pemberdayaan Wakaf, yang terdiri dari empat sub direktorat (Inventarisasi dan sertifikasi wakaf, penyuluhan wakaf, pengelolaan wakaf, dan bina lembaga wakaf). Kedua, melahirkan Badan Wakaf Indonesia (BWI), sesuai amanat UU nomor 41 tahun 2004 pasal 47 sampai dengan pasal 61. Ketiga, kemitraan usaha dan aliansi strategis, harus sesuai mengikuti sistem syariah yaitu musyarakah atau mudharabah. Keempat, kerjasama kebijakan dalam bidang ekonomi-politik. Kelima, pengelolaan wakaf tunai.
Diretorat Pemberdayaan Wakaf, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjend. Bimas Islam, 2006), 83-144.
4. Pengelolaan Harta Waqaf di Arab Saudi
Negara Arab Saudi berdiri pada tahun 1924 dengan nama al-mamlakah al-Arabiya al Su’udiyah atau Kerajaan Arab Saudi, yang telah menguasai daerah Hijaz di Barat. Proklamasi pendiriannya dilakukan oleh Abdul Aziz ibn Saud, yang secara umum disiarkan melalui surat kabar pemerintah Umm al-Qurra terbit pertama pada tanggal 17 Desember 1924. Namun demikian, 22 tahun sebelumnya atau bertepatan tahun 1902, Abdul Aziz baru menguasai daerah Nejed di Utara dengan ibu kota di Riyadh,
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 246-248. Setelah Abdul Aziz berkuasa, banyak kebijakan yang dikeluarkannya untuk menata pemerintahannya. Dalam masalah agama, ia menata pelaksanaan haji, sedangkan regulasi wakaf secara khusus baru diatur oleh penerusnya pada beberapa tahun berikutnya, yaitu Ketetapan No. 574 Tahun 1386 H. bertepatan dengan 1966 M. Tentang Majelis Tinggi Wakaf. Negara ini menganut sistem kerajaan, raja memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan, pemasukan utama negara ini, berasal dari minyak bumi yang banyak terkandung di dalam perut buminya, yang mulai ditemukan pada tahun 1938.
Akbar Ahmed, Discovering Islam, Makin Sense of Muslim History and Society, revised edition (London dan New York: Routledge, 2001), hal. 149.
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Majelis Tinggi Wakaf memiliki wewenang antara lain: mendata harta wakaf serta mengetahui kondisinya dan menetapkan teknik pengelolaannya; menentukan langkah-langkah pengembangan, termasuk dalam penanaman modal dan peningkatan harta wakaf; melakukan distribusi harta wakaf sesuai dengan tuntutan syari’at; menetapkan anggaran tahunan dalam pengelolaan wakaf; serta menyusun dan membuat laporan pengelolaan wakaf. Lembaga ini diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, anggotanya terdiri dari Wakil Kementrian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman, wakil dari Kementrian Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari kalangan cendikiawan dan wartawan. Jika dilihat dari sisi politik, tentu mereka berasal dari ideologi yang sama dengan penguasa.
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, hal. 36. Dilihat dari bentuknya, wakaf di negara ini ada bermacam-macam, di antaranya bangunan, seperti hotel, tanah, bangunan atau rumah untuk penduduk, pertokoan, perkebunan, serta tempat ibadah. Ada juga jenis wakaf tertentu yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pembangunan masjid al-haram di kota Makkah dan masjid Nabawi di kota Madinah, seperti bangunan untuk penginapan bagi jemaah haji.
Untuk membantu Majelis Tinggi dalam menjalankan wewenangnya, Kerajaan Arab Saudi juga mengangkat nazir, sebagai pengelola wakaf. Hal ini menunjukkan keseriusan negara ini dalam mengelola wakaf. Pada abad 17-19 di Mekkah banyak berdiri rumah wakaf yang dibangun oleh kesultanan di Nusantara maupun oleh syaikh untuk kepentingan ibadah haji. Diantaranya adalah 14 tanah wakaf milik masyarakat Aceh zaman dahulu, yang pada tahun 2007 melalui Mahkamah Tingginya keberadaannya diakui oleh Kerajaan Arab Saudi dan menjadi aset Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh, sebanyak 14 petak tanah wakaf dua di antaranya telah dibangun penginapan yang lebih kurang jaraknya 500 meter dari Masjidil Haram dan satu lokasi telah dibangun gedung 30 lantai serta gedung 25 lantai.
Waspada, “Arab Saudi Akui Tanah Wakaf Orang Aceh,” http://www.waspada.online.com, Tuesday, 11 September 2007 12:00, diakses tanggal 9 Juli 2018. Tradisi wakaf orang Aceh di tanah Arab sebagai contoh tradisi wakaf umum, ialah wakaf habib Bugak Asyi yang datang ke hadapan Hakim Mahkmah Syar’iyah Mekkah pada tanggal 18 Rabiul Akhir tahun 1224 H. Di depan hakim dia menyatakan keinginannya untuk mewakafkan sepetak tanah dengan sebuah rumah dua tingkat di atasnya dengan syarat; rumah tersebut dijadikan tempat tinggal jemaah haji asal Aceh yang datang ke Mekkah untuk menunaikan haji dan juga untuk tempat tinggal orang asal Aceh yang menetap di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah. Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjidil Haram. Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjidil Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram. Menurut sejarah, sebenarnya bukan hanya wakaf Habib Bugak yang ada di Mekkah, yang sekarang hasilnya sudah dapat dinikmati oleh para jamaah haji dari Aceh tiap tahunnya lebih kurang 2000 rial per jamaah.
Peninggalan Aceh di Mekkah bukan hanya sumbangan emas pada masa pemerintahan ratu ini juga harta harta wakaf yang masih wujud sampai saat ini seperti : Wakaf Syeikh Habib Bugak Al Asyi’, Wakaf Syeikh Muhammad Saleh Asyi dan isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat No. 324) di Qassasyiah, Wakaf Sulaiman bin Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng), Wakaf Muhammad Abid Asyi, Wakaf Abdul Aziz bin Marzuki Asyi, Wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al-Hijrah Mekkah. Rumah Wakaf di kawasan Hayyi Al-Raudhah, Mekkah,Rumah Wakaf di kawasan Al Aziziyah, Mekkah.Wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum diketahui pewakafnya. Rumah wakaf Syech Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk Syik di Awe Geutah, Peusangan) di Syamiah Mekkah, Syech Abdussalam bin Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah, Samalanga) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Chadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi di Syamiah.
Inilah bukti bagaimana generous antara ibadah dan amal shaleh orang Aceh di Mekkah. Mereka lebih suka mewakafkan harta mereka, ketimbang dinikmati oleh keluarga mereka sendiri. Namun, melihat pengalaman Wakaf Habib Bugak, agaknya rakyat Aceh sudah bisa menikmati hasilnya sekarang.
https://kliksatu.co.id/2018/03/09/jejak-aceh-di-tanah-arab/ Ikrar Isi Surat Wasiat Tanah Wakaf Untuk Bangsa Aceh di Arab Saudi diupload pada 9 mei 2018
Konsep Wakaf pada prinsipnya berhubungan dengan pengelolaan harta yang menyangkut pemenuhan kepentingan publik yang dapat diatur oleh negara melalui Undang-Undang dan peraturan yang diatur oleh pemerintah dengan segala perangkat dan regulasinya karena mengandung kemaslahatan umum. Sehingga pemerintah setempat harus terlibat di dalamnya untuk mengatur dan menata demi kepentingan individu dan masyarakat. Dalam hal pemenuhan kepentingan publik, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa harta wakaf secara hukum dan penggunaan manfaat untuk kemaslahatan „ammah tidak harus lepas dari kekuasaan wakif dan hak legalitas untuk menarik kembali harta yang diwakafkan ada pada wakif, bahkan boleh menjualnya.
Bahrul Ma’ani, Optimalisasi Pemanfaatan tanah waqaf di Kota Jambi, Disertasi, (UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, thn 2014). hal 267
5. Pengembangan harta waqaf
Wakaf produktif bukanlah hal yang baru, namun pelaksanaan selama ini lebih banyak pada benda-benda wakaf tak bergerak serta peruntukkannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, mushalla, pesantren, kuburan. Secara ekonomi, wakaf diharapkan dapat membangun harta produktif melalui kegiatan investasi dan produksi saat ini, untuk dimanfaatkan hasil bagi generasi yang akan datang. Wakaf juga mengorbankan kepentingan sekarang untuk konsumsi demi tercapainya pengembangan harta produktif yang berorientasi pada sosial, dan hasilnya juga akan dirasakan secara bersama oleh masyarakat yang akan datang.
Qaha.f, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, terjemah Rida, mas Muhyiddin,( Khalifa, Jakarta, 2005) hal 48
Maka hasil atau produk harta wakaf dapat dibagi menjadi dua bentuk yakni:
Harta wakaf yang menghasilkan pelayanan berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf, seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, pemukiman. Hal ini dapat dikategorikan sebagai wakaf langsung.
Harta wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan memproduksi barang atau jasa pelayanan yang secara syara‟ hukumnya mubah, apapun bentuknya dan bisa dijual di pasar, agar keuntungannya yang bersih dapat disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf yang telah ditentukan wakif. Wakaf ini dikategorikan sebagai wakaf produktif.
Kekayaan tanah dan bangunan wakaf di Indonesia sangat besar jumlahnya dan memiliki potensi ekonomi tinggi. Beberapa menempati lokasi yang strategis. Cukup banyak diantaranya yang dibangun masjid dan mushalla, sedang sisa tanahnya masih luas dan dapat dibangun gedung pertemuan, ruko tempat usaha atau gedung perkantoran. Hasil penyewaan atau hasil usaha yang dikelola tersendiri tersebut dapat digunakan untuk perawatan asset wakaf atau untuk pemberdayaan ekonomi lemah.
Devi Megawati, Pengelolaan dan Pengembangan Waqaf Produktif di Kota Pekan Baru, Jurnal Hukum Islam, Vol.XIV No.1 November (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau tahun 2014), hal 9.
C. WAQAF PRODUKTIF MELALUI PERBANKAN SYARI’AH
1. Pengembangan Wakaf melalui Aqad Mudharabah.
Salah satu bentuk pengelolaan uang/harta yang dibenarkan oleh syara‘ adalah menyalurkannya dengan cara memberikan modal kepada seseorang atau lembaga. Modal (wakaf) tersebut kemudian dikelola dalam suatu usaha yang layak, bentuk akadnya adalah mudhârabah, dana (dalam hal ini wakaf) dan kerja (mudharib) dapat bekerja sama dengan prinsip bagi hasil antara Bank dan pekerja yang hailnya dibagi sesuai dengan kesepakatan, tentulah bank sebagai pengelola (shahib al- mal) yang diamanahkan mengembangkan wakaf tersebut, hasilnya setelah dibagi dengan pekerja (mudharib) dengan cara mengambil cost dari harta wakaf.
Arisson Hendry dkk., Perbandingan Syari’ah Prespektif Praktisi (Jakarta: Muamalat Institute, 1999), hal. 72. Sedangkan pembagian bersih antara Bank Syariah sebagai nazir wakaf telah mengambil 10% dari hasil bersih, maka 90% dari hasil bersih merupakan keuntungan yang diperuntukkan sesuai tujuan wakaf oleh si wakif, ini dilakukan dan dihitung pada akhir pembukuan setiap tahunnya, sehingga manfaatnya dapat mengalir secara terus menerus dan manfaatnya dapat diambil dan disalurkan pula secara kontinyu untuk kesejahteraan umat Islam.
2. Pengembangan Wakaf melalui Aqad Ijarah
Konsep sewa (ijarah) mulai berkembang dan dijadikan sebagai faktor bisnis sejak zaman Nabi dan dikembangkan masa Khalifah Umar. Ijarah berarti suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian (iwath).
Arisson Hendry dkk., Perbandingan Syari’ah Prespektif Praktisi (Jakarta: Muamalat Institute, 1999), hal. 93 Teknik pelaksanaannya yaitu Bank Syariah sebagai nadhir wakaf dalam hal pengelolaannya, melalui akad ijârah berfungsi sebagai muajjir, wakaf sebagai ma’jûr (objek) dan penyewa sebagai musta’jir dan harus menentukan harga sewa/manfaat sewa (ajrah) dan ijab qabul.
Arisson Hendry dkk., Perbandingan... hal. 94
Di beberapa daerah di Indonesia kita jumpai praktik yang menyerupai wakaf, penelitian CSRC menunjukkan bahwa di Mataram, dikenal “Tanah Perdikan” di Lombok dikenal adanya “Tanah Pareman,” di Banten (masy. Badui di Cebo) dikenal adanya “Huma Serang,” di Minangkabau dikenal adanya “Tanah pusaka” (tinggi), di Aceh dikenal adanya “Tanoh wakheuh” (tanah pemberian sultan untuk kepentigan umum, meunasah, masjid).
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: Center for the Study of Religionand Culture, 2006), hal 72-73. Tradisi pemeliharaan meunasah di Aceh, sejak dulu selalu diurus oleh Teungku Imum Meunasah (ulama kecil di tiap kampung), dimana honor Teungku Imum dan biaya pemeliharaan meunasah biasanya diambil dari hasil perkebunan yang diwakafkan.
Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983), hal 15-17 Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa akar pelaksanaan wakaf di Indonesia sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Dilihat dari fungsi wakaf sebagai salah satu instrumen distribusi kekayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial secara menyeluruh, maka dimensi muamalahnya memerlukan perhatian yang lebih khusus. Sejarah umat Islam telah membuktikan besarnya peranan wakaf dalam rangka menciptakan keadilan sosial ekonomi. Informasi yang didapat dari catatan wakaf di Istanbul, Jerussalem, Kairo dan kota-kota lainnya menunjukkan bahwa tanah-tanah wakaf meliputi sebahagian besar dari keseluruhan wilayah yang dipergunakan masyarakat.
Monzer Kahf, Waqf and Its Sociological Aspects, Waqf Website, 1993, hal.19. Akad ini sangat cocok untuk wakaf barang tidak bergerak dan juga banyak diperaktekkan pada barang bergerak. Harga sewa merupakan hasil dari sewa, tentulah akan berkembang terus bila dikelola dengan baik, minimal 90% setelah 10% untuk nazir (Bank Syariah) dapat diperuntukkan untuk tujuan wakaf oleh si wakif. Hal ini perlu pembukuan yang dilakukan nadzir sehingga pada akhir tahun tutup buku manfaat wakaf dapat disalurkan, sedangkan harta wakaf tetap terpelihara dengan baik tanpa rusak.
Hafsah, Wakaf Produktif dalam hukum Islam Indonesia, Analisis Filosofi terhadap Undang-undang RI No. 41 Tahun 2014 tentang wakaf, Miqot , Jurnal, Fakultas Tarbiyah IAIN USU, Vol.XXXIII No. 1 Januari-Juni 2009, hal 12.
PENUTUP
Prinsip Wakaf menurut pandangan Syafi‘yah adalah, yang diserakan kepada mawqūf ‘alaih harus berupa manfaat dari barang wakaf tesrsebut (al-waqf tamlik al-manfa‘ah). Yang menjadi inti dasar pertimbangan Syafi’iyah di sini, barang wakaf merupakan segala sesuatu yang menghasilkan faedah atau manfaat untuk dipergunakan oleh pihak mawquf ‘alaih. Jadi dapat dipahami bahwa yang menjadi objek pemanfaatan adalah terdapat pada faedah dan manfaat tersebut, yakni bukan pada barang wakafnya. Oleh al-Nawawy merumuskan prinsip tersebut dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin, dengan ungkapan: “kullu ‘ainin yahshulu minhu al-faidah aw al- manfa‘ah” (sesuatu yang dapat menghasilkan faedah atau manfaat). Untuk menjaga dan memelihara maksud atau tujuan dasar si waqif, yang mengharapkan pahala yang dihasilkan dapat “berkesinambungan dan selama-lamanya selama benda wakaf masih utuh ketika dimanfaatkan “mawquf‘alaih”.
Daftar Pustaka
Abd al-Qahir al-Jurjaii, Kitabal-Ta’rifat, (Jeddah: al-Haramain li alTaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, tt.).
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, Cet. I, (Ciputat Pres, 2005).
Abdurrahman Kasdi, Jurnal, Ziwaf, Peran Nadhir dalam Pengembangan Waqaf, (Jurnal Ziwaf, vol 1, No. 2 Desember 2014).
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’i al-Syahih, Juz 2 (Qahirah: alMathba’ah al-Salafiyah wa Maktabatuhah, 1403 H.).
Agus Triana dan Mukmin Zakie, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 21 (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Oktober 2014).
Ahmad Suwaidi, Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim, Jurnal, Economic, Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.1, no.2, (UIN Jakarta, thn 2011).
Akbar Ahmed, Discovering Islam, Makin Sense of Muslim History and Society, revised edition (London dan New York: Routledge, 2001).
Andi Agung Prihatna, dkk Waqaf, tuhan dan agenda Kemanusiaan, (Jakarta, Center for study of Religion and Culture, 2006).
Arisson Hendry dkk., Perbandingan Syari’ah Prespektif Praktisi (Jakarta: Muamalat Institute, 1999).
Bahrul Ma’ani, Optimalisasi Pemanfaatan tanah waqaf di Kota Jambi, Disertasi, (UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, thn 2014).
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji 2007).
Devi Megawati, Pengelolaan dan Pengembangan Waqaf Produktif di Kota Pekan Baru, Jurnal Hukum Islam, Vol.XIV No.1 November (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau tahun 2014)
Diretorat Pemberdayaan Wakaf, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjend. Bimas Islam, 2006).
Hafsah, Wakaf Produktif dalam hukum Islam Indonesia, Analisis Filosofi terhadap Undang-undang RI No. 41 Tahun 2014 tentang wakaf, Miqot , Jurnal, (Fakultas Tarbiyah IAIN USU, Vol.XXXIII No. 1 Januari-Juni 2009).
https://kliksatu.co.id/2018/03/09/jejak-aceh-di-tanah-arab/ Ikrar Isi Surat Wasiat Tanah Wakaf Untuk Bangsa Aceh di Arab Saudi diupload pada 9 mei 2018
Jalaluddin Al-Mahally, Qalyubi Wa’amirah Juz.III, (Karya Insan Indonesia, tt), hal.
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007).
M.Yasir Nasution, “Rekonstruksi Fiqh Wakaf Berwawasan Ekonomi Syari’ah.”, Azhari Akmal Tarigan dan Agustianto (peny.), Wakaf Produktif: Pemberdayaan Ekonomi Umat (Medan: IAIN Press, t.th.).
Monzer Kahf, Waqf and Its Sociological Aspects, (Waqf Website, 1993).
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungs dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf (Jakarta: IIMaN Press dan Dompet Dhuafa Republika, 2004), hal.24.
Muḥammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muḥtaj, (Mesir: Maṫba’ah Musṫafa al-Bab al-Ḥalabi, 1958), Juz 2).
Muḥammad ibn‘Ali Muḥammad al-Syaukani, Nailal-Auṫar, (Mesir: Musṫafa al-Bab al-ḥalabi, 1347 H).
Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Juz, III, (Libanon: Maktabah Taufiqiyah, tt ).
Qadhaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, terjemahan Rida, mas Muhyiddin,( Khalifa, Jakarta, 2005).
Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983).
Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: Center for the Study of Religionand Culture, 2006).
Wahbah al-Zuḥaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985) Cet. Ke-2 Jilid 8).
Waspada, “Arab Saudi Akui Tanah Wakaf Orang Aceh,” http://www.waspada. online.com, Tuesday, 11 September 2007 12:00, diakses tanggal 9 Juli 2018.
[Author Name]
16