Academia.eduAcademia.edu

DEMAM TIFOID PADA ANAK

2018, handy khairul fikri

DEMAM TIFOID PADA ANAK Oleh: Handy Khairul Fikri Dokter Muda Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Cut Meutia Aceh Utara/Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Latar Belakang: Thypoid Fever, Tropical Disease Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara sedang berkembang (Hadisaputro, 1990; Noer, 1996) Di negara berkembang angka kematian akibat demam tifoid berkisar antara 2,3 – 16,8% (Hadisaputro, 1990. Angka kematian penderita yang dirawat di rumah sakit di Indonesia mengalami penurunan dari 6% pada tahun 1969 menjadi 3,74% pada tahun 1977 dan sebesar 3,4 % pada tahun 1978 (Harjono, 1980; Sibuea, 1992) Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua, melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid dengan angka kematian 10% (Crump, 2004). Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000 penduduk (Ochiai, et al, 2004; Retnosari, et al, 2001) Pada Penderita dapat terjadi delirium atau gelisah, jarang koma. Meningitis tifoid, ensefalomyelitis, sindroma Guillain Barre, neuritis kranialis atau perifer, dan gejala psikotik, walaupun jarang, pernah dilaporkan. Komplikasi berat lain yang pernah dilaporkan adalah perdarahn (menyebabkan kematian yang cepat pada beberapa penderita), hepatitis, miokarditis, pneumonia, Disseminated intravascular coagulation (DIC), trombositopenia, dan haemolytic uraemic syndorme (WHO, 2003) Pediatric Epidemiology Di Indonesia demam tifoid bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di beberapa rumah sakit besar, kasus tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan yang meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6 – 5,0% (Direktorat Jendral PPM & PL, 2003). Berdasarkan data berbasis rumah sakit, demam tifoid lebih sering ditemukan pada kelompok usia sekolah dan dewasa muda. Insidens pada kelompok usia kurang dari 5 tahun umumnya rendah, meskipun ada suatu laporan berdasarkan studi komunitas insidensnya cukup tinggi mencapai 44% (Sinha, et al, 1999). Pada area endemik demam tifoid banyak ditemukan kasus terjadi pada usia 3-19 tahun (WHO, 2003). Data tahun 2010 menunjukkan bahwa demam tifoid menduduki peringkat ke-3 dari 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit indonesia (Anggraini et al, 2014). Brooks et al (2005) dalam penelitiannya di daerah urban slum di Dhaka dengan surveilans aktif mendapatkan besarnya risiko relatif anak pra-sekolah untuk mendapat penyakit demam tifoid sebesar 8,9 kali dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua Temuan Klinis Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, ringan sampai berat dengan komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Salah satu faktor yang mempengaruhi variasi ini terutama adalah usia. Meskipun demam tifoid pada usia < 5 tahun dapat disertai sepsis, secara umum gambaran klinis lebih ringan sehingga dapat menyulitkan dalam menegakkan diagnosis (Cleary, 2004). Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya (Bhan, et al, 2005; Bhutta, 2006) Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi (Bhutta, 2006). Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa (Bhan, et al, 2005). Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan indikator demam tifoid (Bhan, et al, 2005; Bhutta, 2006). Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari (Bhutta, 2006). Permasalahan dalam thypoid fever Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu (Bhan, et al, 2005; Anonymous. 2006) Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen (Anonymous. 2006). Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene perorangan yang rendah, lingkungan yang kumuh seperti, penyediaan air bersih yang kurang memadai, pembuangan sampah dan kotoran manusia yang kurang memenuhi syarat kesehatan, kebersihan tempat umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Depkes RI, 2006). Lingkungan yang buruk akan meningkatkan potensi penyebaran penyakit menular. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyakit tersebut salah satunya adalah sanitasi lingkungan setempat (Muzakkir dan Nani, 2014). Pada penelitian Alladany (2010), faktor sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan yang merupakan faktor risiko kejadian Demam tifoid, antara lain yaitu kualitas sumber air bersih, kualitas jamban keluarga, pengelolaan sampah rumah tangga, praktik kebersihan diri, serta pengelolaan makanan dan minuman rumah tangga. Disisi lain, pemberian terapi antibiotik yang kurang tepat dapat menimbulkan masalah resistensi dan potensi terjadinya kejadian efek samping sehingga diperlukan peran apoteker untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibitotik (CDC, 2015). Meningkatnya kejadian resistensi antibiotik menjadi penyebab dalam perkembangan infeksi menjadi lebih parah, terjadinya komplikasi, waktu tinggal di rumah sakit yang menjadi lebih lama dan peningkatan risiko kematian (Llor & Bjerrum, 2014). Sebesar 30-50% indikasi terapi, pemilihan antibiotik atau durasi terapi antibiotik tidak tepat. Konsentrasi subterapetik dapat memicu resistensi antibiotik (Ventola, 2015). Terlepas dari kesalahan dan ketidaktepatan dalam pemberian terapi, hal tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya biaya perawatan dan penurunan kualitas pelayanan rumah sakit (Anggraini et al, 2014) Uji Serologi Thypoid Fever Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofi lia (menghilangnya eosinofil (Bhan, et al, 2005). Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: (Mehta, 2008) Isolasi bakteri Deteksi antigen mikroba Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa) (Mehta, 2008). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi) (Bhutta, 2006). Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih kontroversial (Mehta, 2008). Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit (Mehta, 2008). Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit (Zulkarnain, 2000). Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat. Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D (Mehta, 2008). Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan (Mehta, 2008). Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja (Mehta, 2008). Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya (Bhutta, 2006). Manajemen Terapi Antibiotik Thypoid Fever Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid sangat penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian. Kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol merupakan antibiotik lini pertama yang telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul resistensi yang disebut multidrug resistant Salmonella typhi (MDRST). Beberapa penelitian menunjukkan keunggulan seftriakson sebagai antibiotik terpilih. Faktor biaya, ketersediaan obat, efikasi, kekambuhan, dan MDRST merupakan masalah dalam terapi antibiotik pada demam tifoid, terutama di negara berkembang (WHO, 2003) Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2% (Bhan, et al, 2005). Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Bhan, 2005; Bhutta, 2006; Nelwan, 2006). Watson KC dkk (1954) melaporkan tentang efikasi kloramfenikol yang diberikan selama 10-12 hari pada 110 pasien demam tifoid. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan derajat penyakit (ringan, sedang, dan berat). Pada kelompok berat kloramfenikol diberikan dengan dosis 500 mg tiap 4 jam selama 2-3 hari, dilanjutkan tiap 6 jam sampai demam turun, kemudian 250 mg tiap 6 jam. Pada kelompok ringan dan sedang, diberikan kloramfenikol dosis 250 mg tiap 6 jam sampai demam turun dan dilanjutkan tiap 8 jam. Lama demam turun berkisar 4,1 hari. Efek samping berupa mual dan muntah terjadi pada 5% pasien. Kekambuhan yang timbul 9-12 hari setelah obat dihentikan terjadi pada 6% kasus, dan hal ini berhubungan dengan lama terapi yang kurang dari 14 hari (level of evidence 2b) Seftriakson merupakan antibiotik beta-lactamase dengan spektrum luas, memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan 1-2 kali sehari. Efek samping yang mungkin ditemukan adalah reaksi alergi, peningkatan fungsi hati, trombositosis, dan leukopenia (Harrison, 2008). Acharya G dkk (1998) melaporkan bahwa pasien demam tifoid menunjukkan respons klinis yang baik dengan pemberian seftriakson sekali sehari. Lama demam turun rata-rata empat hari, semua hasil biakan menjadi negatif pada hari keempat, dan tidak ditemukan kekambuhan. Hasil laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin dan hitung leukosit normal, serta tidak ditemukan gangguan fungsi hati dan ginjal (level of evidence 2b). Seftriakson dianggap sebagai obat yang poten dan efektif untuk pengobatan demam tifoid jangka pendek. Sifat yang menguntungkan dari obat ini adalah secara selektif dapat merusak struktur kuman dan tidak mengganggu sel tubuh manusia, mempunyai spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas (Hadisaputro, 1990; Bhutta, 1995). Menurut Lim Hu Yoe peneliti Malaysia, pengobatan dengan seftriakson hanya membutuhkan 10 hari lama rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol yaitu selama 21 hari (Hadisaputro, 1990). Selain itu hasil uji komparatif antara seftriakson dan sefiksim terlihat bahwa seftriakson dengan dosis 65 mg/kg BB sekali sehari selama 5 hari tidak ditemukan kegagalan baik klinis maupun bakteriologis (2%), angka relaps hampir mendekati 2%. Sementara itu sefiksim dengan dosis 25 mg/kgBB sekali sehari selama 8 hari masih didapatkan kegagalan klinis maupun bakteriologis 3% meskipun angka relap dapat ditekan mendekati 1% (Hadinegoro, 1999; Girgis, 1995). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa pengobatan dengan seftriakson memberikan keberhasilan 98% dalam mengobati demam tifoid anak dengan angka relaps rata-rata 2% (Bhutta, 1995). Sementara itu obat antibiotika lain seperti kotrimoksazol (4,39%), ampisilin (2,19%), amoksisilin (1,65%) dan tiamfenikol (1,65%) jarang diberikan pada pasien demam tifoid anak walaupun ke empat obat tersebut efektif digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Namun dalam hal kemampuan untuk menurunkan demam, efektivitas amoksisilin, ampisilin dan tiamfenikol lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Sedangkan kotrimoksazol efektivitasnya tidak jauh berbeda dengan kloramfenikol (Noer, 1996) Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid tanpa komplikasi menurut WHO 2003 Pilhan Pencegahan Pada Thypoid Fever Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid (Bhan, 2005). Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu: (Bhan, 2005; Bhutta, 2006) 1. Vaksin Vi Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%. 2. Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%. 3. Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%. Demam tifoid adalah penyakit yang diakibatkan oleh bakteri jenis salmonela thypii yang menyerang saluran pencernaan. Demam tifoid sering terjadi pada anak dikarenakan pola hidup yang kurang sehat seperti tidak menjaga kebersihan makanan dan tidak mencuci tangan serta segala aktivitasnya diluar rumah yang tidak mendapat perhatian oleh orang tua, sehingga bakteri dapat masuk ke tubuh dengan penyebaran secara fecal oral. Gejala klinis demam tifoid pada anak sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang menyerupai sehingga cukup sulit untuk mendiagnosis demam tifoid pada anak. Diperlukannya pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan darah dan imunoserologi untuk membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Pemilihan dan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan langkah penting dalam melakukan terapi demam tifoid agar terhindar dari resistensi antibiotik dan biaya yang dikeluarkan dapat lebih rendah serta meningkatkan kualitas hidup penderita demam tifoid. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari demam tifoid dapat berbagai macam dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Perlunya edukasi sedini mungkin agar dapat menekan angka kejadian demam tifoid dimasyarakat. DAFTAR PUSTAKA Acharya G, Revoisier C, Butler T, Ho M, Tiwari M, Klaus SK. 1998. Pharmacokinetics of ceftriaxone. Antimikcrob Agents Chemother;38: 241-8. Anggraini, A.B., Opitasari, C., & Sari, Q.A.M.P. 2014. The use antibiotics in hospitalized adult thypoid patients in an indonesia hospital. Health Science Indones., 5(1), 40-43 Bhan M.K, Bahl R, Bhatnagar S. 2005. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet; 366: 749-62. Bhutta A.Z. 1995. Third Generation Cephalosphorins in Multidrug-Resistant Thypoidal Salmonellosis in Childhood: The Karachi Experience. Southeast Asian Journ of Tropical Medicine and Public Health; 23: 88-89. Bhutta A.Z. 2006. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ; 333: 78-82. Brooks, W.A, Hossain, A, Goswami, D. 2005. Bacteremic typhoid fever in children in an urban slum, Bangladesh. Emerg Infect Dis;11:326-9 CDC. 2015. Community Pharmacicts. https://www.cdc.gov/antibiotic-use/community/for-hcp/community-pharmacists.html. diakses 23 oktober 2018 Cleary, T.G. Salmonella. Dalam: Behrman, R,E., Kliegman, R.M, Jenson, H.B, penyunting. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelpia: Saunders;h. 912-9. Crump, J.A, Luby, S.P, Mintz, E.D. 2004. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ;82:346-53. Direktorat Jendral PPM & PL, Departemen Kesehatan Indonesia. 2003. Pedoman pengendalian demam tifoid bagi tenaga kesehatan. Jakarta. Girgis, N.I & Sultan Y. 1995. Comparison of the eficacy, safety, and cost of cefixime, ceftriaxone and aztreonam in the treatment of multidrug-resistant salmonella typhi septicemia in children. Pediatric Infect Dis Journal, 14: 603-605. Hadisaputro, S. 1990. Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid. Direktorat Pembinaan Penelitian pada masyarakat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Harrison, C.J, Bratcher, D. 2008. Cephalosporins: a review. Pediatr Rev;29;264-73. Harjono, H. 1980. Problem Demam Tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta. Dalam Simposium Demam tifoid; Jakarta: 1-10. Llor, C & Bjerrum, L. 2014. Antimicrobial resistance: risk associated with antibiotic overuse and initiatives to reduce the problem. Ther Adv Drug Saf. 5 (6), 229-41 Mehta, K.K. 2008. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update; 18: 201-4. Nelwan, R.H.H, Chen K, Nafrialdi, Paramita, D. 2006. Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 37(1): 126-30. Noer, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,: 435-442. Ochiai, R.L, Camilo, J, Acosta, C.J, Holliday, D.M.C, Baiqing, D, Bhattacharya S.K. 2008. Study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ;86:260-8. Retnosari, S., Tumbelaka, A.R., Akib, A.P, Hadinegoro, S.R.S. 2001. Clinical and laboratory features of typhoid fever in childhood. Paediatr Indones;4:149-54. Sibuea, W.H. 1992. Pengobatan Demam Tifoid dengan Kombinasi Deksametason, Kloramfenikol dan Antibiotika sesuai Uji Resistensi Guna Mempercepat Penyembuhan. Majalah Kedokteran Indonesia; 42 (8): 438 – 443. Sinha, A., Sazawal, S., Kumar, R. 1999. Typhoid fever in children aged less than 5 years. Lancet;354:734-7. Ventola, C.L. 2015. The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P & T : A peer-reviewed journal for formulary management. 40 (4), 2-83 Watson, K.C. 1954. Chloramphenicol in typhoid fever: a review of 110 cases. Am J Trop Med Hyg;6:526-32 . World Healh Organization. 2003. Background document: The Diagnosis treatment and prevention of thypoid fever. Zulkarnain, I. 2000. Diagnosis demam tifoid. In: Zulkarnain I, Editors. Buku panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p.6-12. 15