BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak konsep gender berkembang, tidak dapat dipungkiri lagi peran perempuan dalam
pembangunan telah mengalami pembaharuan. Di bidang pendidikan misalnya, perempuan
telah mengalami peningkatan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki. Posisi-posisi
penting baik di pemerintahan maupun non pemerintahan cukup banyak dijalankan oleh
perempuan. Dalam bidang politik, yang seringkali disebut sebagai dunia laki-laki, aspirasi
perempuan juga telah mendapat tempat walaupun belum semua aspek terwakili.
Kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia telah muncul sejak lama. Begitu banyak
tercatat sejumlah tokoh perempuan yang turut memberikan andil dalam aktivitas politik,
dengan perjuangan fisik melawan penjajah, serta berbagai bentuk perlawanan yang telah
dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan,
peluang kerja yang setara dengan pria, serta bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan (Bakti,
2012:149).
Begitu banyak cara yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan, untuk memperjuangkan
hak-haknya. Dan hal itu membuahkan hasil, yaitu telah membuka jalan bagi kaum perempuan
untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia politik. Berbagai bentuk
perjuangan politik telah digeluti kaum perempuan, seperti parlemen, kabinet, partai politik,
LSM, dan sebagainya. Mereka berpikir perempuan juga mempunyai kemampuan dan
kekuasaan yang sama dengan laki-laki, yang juga bisa digunakan untuk mempolitisir dan
mengontrol kaum laki-laki, bisa memberikan suara terbanyak, serta bisa dimanfaatkan demi
kepentingan tertentu (Primariantari,
Salah satu yang perlu diperhitungkan keberadaannya dalam dunia politik sekarang adalah
kaum perempuan dimana selain merupakan pemberi suara terbanyak, perempuan juga sudah
banyak yang terlibat langsung dalam partai politik misalnya sebagai pengurus partai,
pengambil keputusan dan sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Keterwakilan
perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan
tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi
keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di
antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang
terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan
perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu.
Perbincangan tentang perempuan politik Indonesia setidaknya bersentuhan dengan
upaya untuk memajukan demokrasi, di dalamnya setiap penghuni negeri ini memiliki hak
yang sama satu dan yang lainnya, tidak terkecuali perempuan untuk masuk dalam wilayah
politik. Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat maksimal.
Pembahasan gender dalam tulisan ini menggunakan data pemilu umu tahun 2004 dengan
alas an pemilu tahun 2004 merupakan pemilu kedu di era reformasi merupaka momentum
yang dianggap penting dalam rangka konsolidasi demokrasi setelah runtuhnya orde baru yang
telah berkuasa selama 32 tahun merupakan era yang otoritarian dan pemilihan umum pertama di era reformasi pada tahun 1999 yang dianggap tahap transisi demokrasi yang telah
berhasil mengisi kelembagaan negara secara demokratis, di tengah kekhawatiran muncul- nya
kerawanan sebagai akibat
kelembagan baru belum yang mapan untuk merespon
perkembangan masyarakat yang semakin cepat di era reformasi.
Negara yang menganut sistem patriarki, laki-laki selalu mendominasi perempuan dan
perempuan selalu saja dipandang orang kedua setelah laki-laki. Hal inilah yang membuat
terjadinya pembagian kerja terhadap perempuan, karena laki-laki lah yang selalu mengambil
keputusan, baik dalam keluarga, maupun di tempat kerja. Dengan budaya patriarki seperti
ini telah membuat kesempatan perempuan terbatasi. Hal tersebut dapat kita lihat dalam
perpolitikan di Indonesia saat ini, bahwa telah banyak perempuan-perempuan yang turut
berpartisipasi dalam politik, namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Hal tersebut di dukung
juga oleh Khofifa Indar Parawansa (Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di
Indonesia) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan
perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di
Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Faktor kedua berhubungan dengan
proses seleksi dalam partai politik. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting
dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam
parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai
politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Melihat fenomena sekarang ini
bahwa untuk menjadi anggota legislatif perempuan begitu banyak menghadapi rintangan dan
tantangan baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari partai-partai politik.
Dominasi laki-laki masih terjadi di setiap bidang, seperti dalam keluarga masih
dikuasai oleh laki-laki begitupun di tempat kerja masih dipimpin oleh laki-laki.
Sehingga perempuan yang turut berpartisipasi dalam setiap pekerjaan masih saja dipandang
sebelah mata. Hal tersebut dapat dilihat
pada waktu pemilihan umum (Pemilu) legislatif
2014. Telah banyak perempuan yang turut berpartisipasi dalam pemilu legislatif, salah
satunya yaitu dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Perempuan-perempuan berfikir bahwa partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan
sangatlah penting karena perempuan dapat terlibat dalam perumusan dan pengambilan
kebijakan dalam pembangunan daerah. Namun dari keikutsertaan mereka belum
membuahkan hasil yang baik, masyarakat masih memandang sebelah mata. Dari hasil pemilu
legislatif pada tahun 2014 menunjukan bahwa perempuan masih saja sebagai pilihan kedua
untuk menduduki posisi dalam kelembagaan formal yaitu kursi anggota DPRD.
Penurunan angka keterwakilan perempuan memang sangat memprihatinkan. Oleh
karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan keterwakilan
perempuan. Diantaranya yaitu dengan mengubah mindset masyarakat, yang melihat politik
hanyalah panggung dari laki- laki dan perempuan tidak mampu untuk bertarung dalam ranah
politik. Karena pemikiran seperti inilah yang membuat perempuan selalu saja tidak mendapat
dukungan secara maksimal dalam pemilu legislatif.
B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan caleg perempuan di Indonesia!
2. Bagaimana persepsi masyarakat dengan terlibatnya perempuan dalam dunia politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor penyebab kegagalan caleg perempuan
1. Budaya patriarki
Budaya patriarki membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
mengakibatkan terjadinya pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Menurut Durkheim
dalam Abbas, pembagian kerja diawali oleh adanya perubahan dalam diri individu
melalui proses sosialisasi dan diinternalisasikan orang-orang di lingkungan tempat
manusia itu dibesarkan. Internaliasasi sedemikian rupa menurut Djajanegara melahirkan
pelabelan atau streotipe bahwa laki-laki adalah sosok yang mendiri, agresif, bersaing,
memimpin, berorientasi ke luar, penegasan diri, inovasi, disiplin dan tenang. Sedangkan
perempuan adalah sosok yang tergantung, pasif, lembut, non agresif, tidak berdaya
saing dan mengandalkan naluri (Abbas, 2006).
Hal tersebut berdampak pada kehidupan perempuan yang seringkali digambarkan
pada posisi yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki. Mereka seringkali
dianggap sebagai kaum yang lemah, tidak mandiri, bergantung, jenis pelengkap lelaki,
yang hanya berperan secara domestik saja. Pandangan semacam itu memperoleh
legitimasi yang kuat dalam wujud tatanan struktur sosio-politik yang lebih berpihak pada
budaya patriarki. Sebagai akibat, perempuan tidak memperoleh peran untuk
mengaktualisasikan dirinya sejajar dengan laki-laki (Maiwan, 2006:31).
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat para penganut feminism radikal, yang
mana teori feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan
politik, unsur-unsur sosial atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang
penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya
berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya. Dengan
demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan
(Fakih, 1996:84-85).
2. Partai politik.
Partisipasi politik dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga dalam proses politik.
Dalam hal ini tidak hanya ikut mendukung keputusan atau kebijakan yang telah ditetapkan
oleh pemimpin tetapi turut dalam pembuatan keputusan hingga pada pelaksanaan keputusan.
Menurut Huntington dan Nelson (1990:4), partisipasi politik adalah suatu kegiatan warga
Negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah. Sementara definisi umum dari partisipasi politik adalah mencakup orientasiorietasi para warga Negara terhadap politik mereka yang nyata. Dalam konteks tersebut,
pertisipasi politik berkaitan dengan perilaku-perilaku dalam suatu kegiatan ataupun sikap
dan persepsi masyarakat yang memiliki relevansi secara politisi.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran
deliberative democracy atau demokrasi musyawarah. Di Indonesia saat ini penggunaan
partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk
pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan.
Hal inilah yang membuat suara-suara perempuan tidak begitu dipedulikan karena anggapan
masyarakat pada perempuan selalu berada di posisi kedua setelah laki-laki. Padahal
sesungguhnya jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang
pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945,
tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi : “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Perempuan
Nama
Periode
badan
1997-1999
1999-2004
2004-2009
Laki-laki+
Laki-laki
perempuan
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
DPR
56
11,2
444
88,4
500
MPR
62
12,4
438
87,6
500
DPR
44
8,8
456
91,2
500
MPR
19
9,74
176
90,26
195
DPR
61
11
489
89
550
MPR
25
19,5
103
80,5
128
Sumber: Kantor Menteri Negara RI dalam www.menegpp.co.id
Prosentase Calon Legislatif Terpilih dan Perolehan Kursi Partai Politik dalam Pemilihan Umum
2004
No
Nama partai politik
Perempuan
Laki-laki
jumlah
1.
Golkar
19
109
128
2.
PDI- perjuangan
12
97
109
3.
PPP
3
55
58
4.
Demokrat
6
51
57
5.
PKB
7
45
52
6.
PAN
6
46
50
7.
PKS
4
41
45
Upaya peningkatan/ penguatan peran perempuan di lembaga legislatif merupakan upaya
menuju kesetaraan gender di bidang politik. Kesetaraan gender telah menjadi pembahasan
yang serius mulai dari Jakarta Plan of Action for the Advancement of Women in Asia and the
Pacific, Juni 1994 di Jakarta dan Konferensi PBB IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995.
Hal ini menjadi salah satu target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015,
dimana tujuannya adalah menigkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di segala
bidang termasuk bidang politik. Selain itu, di ranah nasional telah tersedia seperangkat regulasi
yang menjamin kesetaraan gender dalam representasi yaitu :
(1) UUD 1945 pasal 28 h ayat 2 tentang perlakuan khusus terhadap kelompok marjinal;
(2) UU No.68 tahun 1958 menyatakan akan jaminan persamaan hak politik antara perempuan dan
laki-laki; (3) UU No.7 tahun 1984 yang meratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan; (4) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM yang mengatur hak perempuan; (5)
Tap MPR RI No.VI/2002 yang merekomendasikan pada Presiden untuk kuota 30% bagi
perempuan di lembaga pengambilan keputusan; (6) rekomendasi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB
agar negara-negara anggota PBB dapat memenuhi target 30% perempuan untuk duduk dalam
lembaga pengambilan keputusan hingga tahun 2000. Bahkan, sekarang telah diperbaharui menjadi
sebesar 50%, lima tahun setelah Konferensi Beijing; (7) UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu
pasal 65 ayat 1; (8) UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik, yang pada pasal 20 menegaskan
keharusan menyertakan 30% kepengurusan perempuan dalam pendirian partai politik ; dan (9) UU
No.10 tahun 2008 tentang Pemilu 2009, dimana pada pasal 53 mengakomodir kuota 30% dalam
pencalonan anggota legislatif perempuan. Tetapi berbagai peraturan ini akan menjadi barang
yang mati kalau tidak ditunjang oleh aksi kongkrit menuju pemberdayaan perempuan di bidang
politik. Partai politik sebagai salah satu institusi demokrasi memiliki peran strategis dalam
melakukan pemberdayaan perempuan di bidang politik. Salah satu peran krusial partai adalah
melakukan pembinaan terhadap perempuan kader partai untuk disiapkan menjadi kader perempuan
yang berkualitas dan sekaligus mendongkrak keterwakilan perempuan di politik khususnya di
lembaga legislatif. Mengapa diperlukan keterwakilan politik perempuan? Menurut Valina Singka
Subekti (2008) ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan. Pertama, terkait dengan hak-hak
politik perempuan yang merupakan bagian integral yang tak dapat dipisahkan dari hak asasi
manusia. Kedua, dalam sistem demokrasi pandangan dari kelompok-kelompok yang berbeda harus
dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan strategis. Ketiga, terkait dengan masalah kuantitas
bahwa perempuan adalah bagian terbesar
dari penduduk Indonesia (lebih dari 50%). Keempat,
terkait dengan persoalan kompleks yang dihadapi Indonesia di
masalah
ekonomi,
lapangan
era
transisi
ini
termasuk
kerja, kemiskinan dan integrasi bangsa. Dalam konteks ini
perempuan adalah bagian terbesar dari mereka yang kurang beruntung, sehingga mereka tetap
berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan
Oleh karena
itu,
peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik
secara kuantitas maupun kualitas merupakan suatu keharusan dalam rangka menciptakan
kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan untuk sama-sama berpartisipasi dalam
proses perumusan kebijakan publik. Dalam sistem demokrasi pandangan dari kelompok-kelompok
harus dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan strategis (International IDEA, 2002).
Dalam mengatasi persoalan-persoalan marjinalisasi perempuan dalam kehidupan politik,
maka partai politik dapat memainkan perannya sebagai institusi politik dan sekaligus memiliki
posisi strategis memperkuat partisipasi perempuan dalam bidang politik, baik secara kualitas
maupun kuantitas (Utami, 2001). Secara umum ada empat
argumen
pentingnya
perluasan
partisipasi perempuan di lembaga legislatif yaitu: Pertama, tugas atau peran yang berkaitan
dengan perempuan. Hal ini berdasarkan pemikiran pentingnya keberadaan perempuan terwakili
dalam lembaga pengambil keputusan dan menumbuhkan kepercayaan bagi masyarakat umum
terutama kaum perempuan bahwa mereka juga dapat ikut serta dalam proses pengambilan
keputusan tersebut.
Kedua, berkaitan dengan keadilan. Secara kuantitas, keterwakilan perempuan dan laki-laki
dalam lembaga legislatif harus seimbang. Ketiga, kepentingan perempuan. Perempuan perlu ikut
berperan dalam lingkungan politik formal untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan
perempuan. Keempat, revitalisasi demokrasi. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan
seharusnya beraprtisipasi aktif dalam posisi-posisi kekuasaan guna memberikan dinamikan
dalam perbedaan politik yang ada dan dalam lingkungan publik (Squires, 2000).
B. Persepsi Masyarakat Tentang Keterwakilan Perempuan Dalam Legislatif.
Keterlibatan perempuan dalam dunia politik di Indonesia dan Negara-negara berkembang
pada umumnya, bisa dikatakan terlambat. Hal itu dikarenakan banyak stigma yang mengatakan
bahwa perempuan identik dengan sektor domestik sehingga masih sangat sedikit perempuan yang
turut andil dalam dunia politik. Sementara dunia politik itu sendiri dianggap lekat dengan dunia
yang keras , penuh persaingan, membutuhkan rasionalitas dan bukan emosi, ini dianggap ciri-ciri
yang melekat pada laki-laki. Persepsi yang melekat pada perempuan adalah peran sebagai
wilayah kedua setelah lelaki. Secara jelas memiliki jalur yang judgement, dengan tendensi orang
kelas dua yang seharusnya dirumah dan bertabur dengan konsumerisme, hedonisme dalam
cengkraman kapitalisme. Anggapan perempuan sebagai mahluk lemah memberikan asupan
pemikiran bahwa perempuan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan
kekerasan dan dialektika kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat
kebijakan tegas karena patron yang telah membentuk perempuan sebagai mahluk perasaan, artinya
perempuan tidak dapat memberikan keputusan ketika menggunakan sisi perasaan dalam menilai
sebuah keputusan (Putra, 2012:99).
Anggapan-anggapan seperti itulah yang membuat perempuan sedikit ikut berperan dalam
dunia politik. Namun sebenarnya peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional adalah
suatu hal yang penting dan isu menarik sepanjang masa. Tapi tetap saja kebanyakan perencana
pembangunan mengabaikan perempuan yang merupakan setengah dari populasi. Padahal, mereka
adalah sumber daya manusia (SDM) paling signifikan dimana kontribusi ekonomi mereka memiliki
kesetaraan status sama halnya dengan laki-laki.
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang
menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan tidak cocok untuk berperan
aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi aktor politik.
Hal tersebut serupa yang dikatakan Khofifah Indar Parawansa bahwa dalam negara yang
menganut sistem patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif
terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan,
yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga (Parawansa.
Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan di lembaga itu
bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya
bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Demikian seterusnya, sampai pada zaman orde baru, ketika perempuan hanya diberikan status
sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar waktu itu, yaitu PKK dan Dharma
Wanita tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat
pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung “top down”.
Posisi, peran dan aktivitas perempuan Indonesia didalam dunia publik semakin meningkat
dalam ukurannya sendiri dari waktu ke waktu di dalam sejarah Indonesia merdeka. Namun
jumlah tersebut tidak terwakili dan tercerminkan secara proporsional dan signifikan dan lembagalembaga atau di sektor-sektor strategis pengambilan keputusan / kebijakan dan pembuatan hukum
formal. Keterwakilan perempuan yang memadai setidaknya dapat memberikan, melengkapi dan
menyeimbangkan visi, misi dan operasionalisasi Indonesia selanjutnya, yang objektif, namun
berempati dan berkeadilan gender (tidak mendiskriminasikan salah satu jenis kelamin). Simak
jumlah anggota perempuan dari DPR pusat sejak awal kemerdekaan tidak pernah melebihi 13
persen (periode 1987- 1992) , bahkan saat ini hanya sekitar sembilan persen, sedangkan ditingkat
daerah hanya sekitar tiga persen.
Banyak hal yang terjadi dan terdapat di Indonesia yang memutlakan keterwakilan para
perempuannya yang memadai dalam kuantitas dan kualitas di lembaga-lembaga negara dan
sektor-sektor publik lainnya untuk menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Peluang-peluang politik telah dibuat agar perempuan turut
berpartisipasi dalam politik namun ketika perempuan telah turut andil berpartisipasi masih banyak
juga rintangan dan tantangan yang ditemukan.
Ani Soetjipto dalam tulisannya memperlihatkan beberapa ironi dari kebijakan afirmatif
yang ada di Indonesia. Pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perempuan anggota
parlemen yang ada saat ini mempunyai modal finansial dan jaringan yang memadai, namun minim
modal politik. Ironi kedua adalah kesenjangan pemaknaan politik yang “tidak nyambung” bagi
publik antara mereka yang berjuang di akar rumput dengan mereka yang berjuang di arena politik
(parpol dan Parlemen).
Banyak pengamat-pengamat politik yang menanggapi peran perempuan dalam politik.
Mereka mengatakan bahwa peran perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih
maju dibanding negara lain. Tapi perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang
tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak perempuan yang
berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Namun banyak perempuan
yang terjun ke dunia politik tidak menyadari akan hal tersebut.
Solusi
Di dalam segala aspek kesetaran gender itu perlu misalkan terlibatnya
perempuan di dalam suatu kegiatan contohnya politik. Di dalam politik perempuan itu
perlu karena berbicara mengenai politik maka kita berbicara mengenai suatu kebijakan
yang di keluarkan oleh pemerintah untuk mengataur masyarakat baik itu laki-laki
maupun perempuan. Dengan partisipasi perempuan dalam dunia politik diharapkan
dapat memanjukan perpolitikan di Indonesia, tidak hanya itu saja dapat menghindari
adanya ketimpangan social antara peran prempuan dan peran laki – laki. Dimana selama
ini masyarakat berkembang stereotif yang menganggap perempuan hanya bekerja di
dapur saja. Padahal banyak potensi perempuan yang dapat dikembangkan untuk
kemajuan Negara. Kemudian UU RI No 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 2
Tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi „‟pendirian dan
pembentukan partai politi sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) menyatakan 30%
(tiga puluh perseratus)‟‟.
Masalah kesenjangan dibidang politik, social dan budaya. Pemerintah bisa
merevisi Undang – Undang No 8 Tahun 2012 agar wanita diberi kouta 50% dalam
jumllah calon keanggotaan legislatif, organisasi wanta diberi kesempatan untuk
memajukan organisasinya seperti yang dicita – citakan. Dan penghapusan larangan
anggota Abri wanita untuk menikah dengan pria yang dicintainya dari pangkat yang
lebih rendah.
Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dalam bekerja. Untuk
menyelesaikan permasalahn tersebut, maka sangat dibutuhkan intertensi dari pemerintah
karena dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah dapat
membuat Undang – Undang yang mengatur tentang ketentuan kriteria pekerjaan
berdasarkan pada jenis kelamin selain itu pemerintah juga dapat menentukan standar
upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang dilakukan bukan berdasarkan jenis kelamin.
Peraturan tersebut tentunya ditujukan pada pihak perusahaan baik swasta maupun milik
pemerintah. Dengan itu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan
hukuman kepada perusahaan yang melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat
dilaksanakan dengan sebaik mungkin maka dapat di pastikan kesetaraan gender
dibidang tenaga kerja akan terwujud dengan sendirinya.
DAFTAR PUSTAKA
Nimrahh, siti & Sakaria. 2015. Perempuan dan budaya patriarki politik
(studi kasus kegagalan caleg perempuan dalam pemilu legislative 2014).
Jurnal magister ilmu politik universitas hasanuddin, vol:1; no:2.
Sutarso, joko. 2004. Kosnstruksi isu gender dalam politik. Studi kasus
pemilihan umum 2004.
Rafni, Al. 2015. Kesetaraan gender dalam politik : pembinaan kader
perempuan oleh partai politik, upaya menuju penguatan kapasitas
legislatif daerah. Jurnal ilmiah kajian gender.