Academia.eduAcademia.edu

Kesetaraan gender.pdf

Sejak konsep gender berkembang, tidak dapat dipungkiri lagi peran perempuan dalam pembangunan telah mengalami pembaharuan. Di bidang pendidikan misalnya, perempuan telah mengalami peningkatan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki. Posisi-posisi penting baik di pemerintahan maupun non pemerintahan cukup banyak dijalankan oleh perempuan. Dalam bidang politik, yang seringkali disebut sebagai dunia laki-laki, aspirasi perempuan juga telah mendapat tempat walaupun belum semua aspek terwakili. Kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia telah muncul sejak lama. Begitu banyak tercatat sejumlah tokoh perempuan yang turut memberikan andil dalam aktivitas politik, dengan perjuangan fisik melawan penjajah, serta berbagai bentuk perlawanan yang telah dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, peluang kerja yang setara dengan pria, serta bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan (Bakti, 2012:149). Begitu banyak cara yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan, untuk memperjuangkan hak-haknya. Dan hal itu membuahkan hasil, yaitu telah membuka jalan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti kaum perempuan, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya. Mereka berpikir perempuan juga mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang sama dengan laki-laki, yang juga bisa digunakan untuk mempolitisir dan mengontrol kaum laki-laki, bisa memberikan suara terbanyak, serta bisa dimanfaatkan demi kepentingan tertentu (Primariantari, Salah satu yang perlu diperhitungkan keberadaannya dalam dunia politik sekarang adalah kaum perempuan dimana selain merupakan pemberi suara terbanyak, perempuan juga sudah banyak yang terlibat langsung dalam partai politik misalnya sebagai pengurus partai, pengambil keputusan dan sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak konsep gender berkembang, tidak dapat dipungkiri lagi peran perempuan dalam pembangunan telah mengalami pembaharuan. Di bidang pendidikan misalnya, perempuan telah mengalami peningkatan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki. Posisi-posisi penting baik di pemerintahan maupun non pemerintahan cukup banyak dijalankan oleh perempuan. Dalam bidang politik, yang seringkali disebut sebagai dunia laki-laki, aspirasi perempuan juga telah mendapat tempat walaupun belum semua aspek terwakili. Kedudukan dan peranan perempuan di Indonesia telah muncul sejak lama. Begitu banyak tercatat sejumlah tokoh perempuan yang turut memberikan andil dalam aktivitas politik, dengan perjuangan fisik melawan penjajah, serta berbagai bentuk perlawanan yang telah dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, peluang kerja yang setara dengan pria, serta bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan (Bakti, 2012:149). Begitu banyak cara yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan, untuk memperjuangkan hak-haknya. Dan hal itu membuahkan hasil, yaitu telah membuka jalan bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk dunia politik. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti kaum perempuan, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya. Mereka berpikir perempuan juga mempunyai kemampuan dan kekuasaan yang sama dengan laki-laki, yang juga bisa digunakan untuk mempolitisir dan mengontrol kaum laki-laki, bisa memberikan suara terbanyak, serta bisa dimanfaatkan demi kepentingan tertentu (Primariantari, Salah satu yang perlu diperhitungkan keberadaannya dalam dunia politik sekarang adalah kaum perempuan dimana selain merupakan pemberi suara terbanyak, perempuan juga sudah banyak yang terlibat langsung dalam partai politik misalnya sebagai pengurus partai, pengambil keputusan dan sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Keterwakilan perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD), bukan tanpa alasan yang mendasar. Ada beberapa hal yang membuat pemenuhan kuota 30% bagi keterwakilan perempuan dalam politik dianggap sebagai sesuatu yang penting. Beberapa di antaranya adalah tanggung jawab dan kepekaan akan isu-isu kebijakan publik, terutama yang terkait dengan perempuan dan anak, lingkungan sosial, moral yang baik, kemampuan perempuan melakukan pekerjaan multitasking, dan pengelolaan waktu. Perbincangan tentang perempuan politik Indonesia setidaknya bersentuhan dengan upaya untuk memajukan demokrasi, di dalamnya setiap penghuni negeri ini memiliki hak yang sama satu dan yang lainnya, tidak terkecuali perempuan untuk masuk dalam wilayah politik. Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat maksimal. Pembahasan gender dalam tulisan ini menggunakan data pemilu umu tahun 2004 dengan alas an pemilu tahun 2004 merupakan pemilu kedu di era reformasi merupaka momentum yang dianggap penting dalam rangka konsolidasi demokrasi setelah runtuhnya orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun merupakan era yang otoritarian dan pemilihan umum pertama di era reformasi pada tahun 1999 yang dianggap tahap transisi demokrasi yang telah berhasil mengisi kelembagaan negara secara demokratis, di tengah kekhawatiran muncul- nya kerawanan sebagai akibat kelembagan baru belum yang mapan untuk merespon perkembangan masyarakat yang semakin cepat di era reformasi. Negara yang menganut sistem patriarki, laki-laki selalu mendominasi perempuan dan perempuan selalu saja dipandang orang kedua setelah laki-laki. Hal inilah yang membuat terjadinya pembagian kerja terhadap perempuan, karena laki-laki lah yang selalu mengambil keputusan, baik dalam keluarga, maupun di tempat kerja. Dengan budaya patriarki seperti ini telah membuat kesempatan perempuan terbatasi. Hal tersebut dapat kita lihat dalam perpolitikan di Indonesia saat ini, bahwa telah banyak perempuan-perempuan yang turut berpartisipasi dalam politik, namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Hal tersebut di dukung juga oleh Khofifa Indar Parawansa (Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partaipartai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Melihat fenomena sekarang ini bahwa untuk menjadi anggota legislatif perempuan begitu banyak menghadapi rintangan dan tantangan baik dari masyarakat itu sendiri maupun dari partai-partai politik. Dominasi laki-laki masih terjadi di setiap bidang, seperti dalam keluarga masih dikuasai oleh laki-laki begitupun di tempat kerja masih dipimpin oleh laki-laki. Sehingga perempuan yang turut berpartisipasi dalam setiap pekerjaan masih saja dipandang sebelah mata. Hal tersebut dapat dilihat pada waktu pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2014. Telah banyak perempuan yang turut berpartisipasi dalam pemilu legislatif, salah satunya yaitu dengan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Perempuan-perempuan berfikir bahwa partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan sangatlah penting karena perempuan dapat terlibat dalam perumusan dan pengambilan kebijakan dalam pembangunan daerah. Namun dari keikutsertaan mereka belum membuahkan hasil yang baik, masyarakat masih memandang sebelah mata. Dari hasil pemilu legislatif pada tahun 2014 menunjukan bahwa perempuan masih saja sebagai pilihan kedua untuk menduduki posisi dalam kelembagaan formal yaitu kursi anggota DPRD. Penurunan angka keterwakilan perempuan memang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan keterwakilan perempuan. Diantaranya yaitu dengan mengubah mindset masyarakat, yang melihat politik hanyalah panggung dari laki- laki dan perempuan tidak mampu untuk bertarung dalam ranah politik. Karena pemikiran seperti inilah yang membuat perempuan selalu saja tidak mendapat dukungan secara maksimal dalam pemilu legislatif. B. Rumusan Masalah 1. Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan caleg perempuan di Indonesia! 2. Bagaimana persepsi masyarakat dengan terlibatnya perempuan dalam dunia politik? BAB II PEMBAHASAN A. Faktor-faktor penyebab kegagalan caleg perempuan 1. Budaya patriarki Budaya patriarki membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan terjadinya pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Menurut Durkheim dalam Abbas, pembagian kerja diawali oleh adanya perubahan dalam diri individu melalui proses sosialisasi dan diinternalisasikan orang-orang di lingkungan tempat manusia itu dibesarkan. Internaliasasi sedemikian rupa menurut Djajanegara melahirkan pelabelan atau streotipe bahwa laki-laki adalah sosok yang mendiri, agresif, bersaing, memimpin, berorientasi ke luar, penegasan diri, inovasi, disiplin dan tenang. Sedangkan perempuan adalah sosok yang tergantung, pasif, lembut, non agresif, tidak berdaya saing dan mengandalkan naluri (Abbas, 2006). Hal tersebut berdampak pada kehidupan perempuan yang seringkali digambarkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki. Mereka seringkali dianggap sebagai kaum yang lemah, tidak mandiri, bergantung, jenis pelengkap lelaki, yang hanya berperan secara domestik saja. Pandangan semacam itu memperoleh legitimasi yang kuat dalam wujud tatanan struktur sosio-politik yang lebih berpihak pada budaya patriarki. Sebagai akibat, perempuan tidak memperoleh peran untuk mengaktualisasikan dirinya sejajar dengan laki-laki (Maiwan, 2006:31). Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat para penganut feminism radikal, yang mana teori feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan (Fakih, 1996:84-85). 2. Partai politik. Partisipasi politik dapat diartikan sebagai keikutsertaan warga dalam proses politik. Dalam hal ini tidak hanya ikut mendukung keputusan atau kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemimpin tetapi turut dalam pembuatan keputusan hingga pada pelaksanaan keputusan. Menurut Huntington dan Nelson (1990:4), partisipasi politik adalah suatu kegiatan warga Negara (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Sementara definisi umum dari partisipasi politik adalah mencakup orientasiorietasi para warga Negara terhadap politik mereka yang nyata. Dalam konteks tersebut, pertisipasi politik berkaitan dengan perilaku-perilaku dalam suatu kegiatan ataupun sikap dan persepsi masyarakat yang memiliki relevansi secara politisi. Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah. Di Indonesia saat ini penggunaan partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Hal inilah yang membuat suara-suara perempuan tidak begitu dipedulikan karena anggapan masyarakat pada perempuan selalu berada di posisi kedua setelah laki-laki. Padahal sesungguhnya jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Perempuan Nama Periode badan 1997-1999 1999-2004 2004-2009 Laki-laki+ Laki-laki perempuan Jumlah % Jumlah % Jumlah DPR 56 11,2 444 88,4 500 MPR 62 12,4 438 87,6 500 DPR 44 8,8 456 91,2 500 MPR 19 9,74 176 90,26 195 DPR 61 11 489 89 550 MPR 25 19,5 103 80,5 128 Sumber: Kantor Menteri Negara RI dalam www.menegpp.co.id Prosentase Calon Legislatif Terpilih dan Perolehan Kursi Partai Politik dalam Pemilihan Umum 2004 No Nama partai politik Perempuan Laki-laki jumlah 1. Golkar 19 109 128 2. PDI- perjuangan 12 97 109 3. PPP 3 55 58 4. Demokrat 6 51 57 5. PKB 7 45 52 6. PAN 6 46 50 7. PKS 4 41 45 Upaya peningkatan/ penguatan peran perempuan di lembaga legislatif merupakan upaya menuju kesetaraan gender di bidang politik. Kesetaraan gender telah menjadi pembahasan yang serius mulai dari Jakarta Plan of Action for the Advancement of Women in Asia and the Pacific, Juni 1994 di Jakarta dan Konferensi PBB IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Hal ini menjadi salah satu target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, dimana tujuannya adalah menigkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di segala bidang termasuk bidang politik. Selain itu, di ranah nasional telah tersedia seperangkat regulasi yang menjamin kesetaraan gender dalam representasi yaitu : (1) UUD 1945 pasal 28 h ayat 2 tentang perlakuan khusus terhadap kelompok marjinal; (2) UU No.68 tahun 1958 menyatakan akan jaminan persamaan hak politik antara perempuan dan laki-laki; (3) UU No.7 tahun 1984 yang meratifikasi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan; (4) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM yang mengatur hak perempuan; (5) Tap MPR RI No.VI/2002 yang merekomendasikan pada Presiden untuk kuota 30% bagi perempuan di lembaga pengambilan keputusan; (6) rekomendasi Dewan Sosial dan Ekonomi PBB agar negara-negara anggota PBB dapat memenuhi target 30% perempuan untuk duduk dalam lembaga pengambilan keputusan hingga tahun 2000. Bahkan, sekarang telah diperbaharui menjadi sebesar 50%, lima tahun setelah Konferensi Beijing; (7) UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu pasal 65 ayat 1; (8) UU No.2 tahun 2008 tentang Partai Politik, yang pada pasal 20 menegaskan keharusan menyertakan 30% kepengurusan perempuan dalam pendirian partai politik ; dan (9) UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilu 2009, dimana pada pasal 53 mengakomodir kuota 30% dalam pencalonan anggota legislatif perempuan. Tetapi berbagai peraturan ini akan menjadi barang yang mati kalau tidak ditunjang oleh aksi kongkrit menuju pemberdayaan perempuan di bidang politik. Partai politik sebagai salah satu institusi demokrasi memiliki peran strategis dalam melakukan pemberdayaan perempuan di bidang politik. Salah satu peran krusial partai adalah melakukan pembinaan terhadap perempuan kader partai untuk disiapkan menjadi kader perempuan yang berkualitas dan sekaligus mendongkrak keterwakilan perempuan di politik khususnya di lembaga legislatif. Mengapa diperlukan keterwakilan politik perempuan? Menurut Valina Singka Subekti (2008) ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan. Pertama, terkait dengan hak-hak politik perempuan yang merupakan bagian integral yang tak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia. Kedua, dalam sistem demokrasi pandangan dari kelompok-kelompok yang berbeda harus dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan strategis. Ketiga, terkait dengan masalah kuantitas bahwa perempuan adalah bagian terbesar dari penduduk Indonesia (lebih dari 50%). Keempat, terkait dengan persoalan kompleks yang dihadapi Indonesia di masalah ekonomi, lapangan era transisi ini termasuk kerja, kemiskinan dan integrasi bangsa. Dalam konteks ini perempuan adalah bagian terbesar dari mereka yang kurang beruntung, sehingga mereka tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan Oleh karena itu, peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik secara kuantitas maupun kualitas merupakan suatu keharusan dalam rangka menciptakan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan untuk sama-sama berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan publik. Dalam sistem demokrasi pandangan dari kelompok-kelompok harus dipertimbangkan dalam formulasi kebijakan strategis (International IDEA, 2002). Dalam mengatasi persoalan-persoalan marjinalisasi perempuan dalam kehidupan politik, maka partai politik dapat memainkan perannya sebagai institusi politik dan sekaligus memiliki posisi strategis memperkuat partisipasi perempuan dalam bidang politik, baik secara kualitas maupun kuantitas (Utami, 2001). Secara umum ada empat argumen pentingnya perluasan partisipasi perempuan di lembaga legislatif yaitu: Pertama, tugas atau peran yang berkaitan dengan perempuan. Hal ini berdasarkan pemikiran pentingnya keberadaan perempuan terwakili dalam lembaga pengambil keputusan dan menumbuhkan kepercayaan bagi masyarakat umum terutama kaum perempuan bahwa mereka juga dapat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Kedua, berkaitan dengan keadilan. Secara kuantitas, keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam lembaga legislatif harus seimbang. Ketiga, kepentingan perempuan. Perempuan perlu ikut berperan dalam lingkungan politik formal untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Keempat, revitalisasi demokrasi. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan seharusnya beraprtisipasi aktif dalam posisi-posisi kekuasaan guna memberikan dinamikan dalam perbedaan politik yang ada dan dalam lingkungan publik (Squires, 2000). B. Persepsi Masyarakat Tentang Keterwakilan Perempuan Dalam Legislatif. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik di Indonesia dan Negara-negara berkembang pada umumnya, bisa dikatakan terlambat. Hal itu dikarenakan banyak stigma yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan sektor domestik sehingga masih sangat sedikit perempuan yang turut andil dalam dunia politik. Sementara dunia politik itu sendiri dianggap lekat dengan dunia yang keras , penuh persaingan, membutuhkan rasionalitas dan bukan emosi, ini dianggap ciri-ciri yang melekat pada laki-laki. Persepsi yang melekat pada perempuan adalah peran sebagai wilayah kedua setelah lelaki. Secara jelas memiliki jalur yang judgement, dengan tendensi orang kelas dua yang seharusnya dirumah dan bertabur dengan konsumerisme, hedonisme dalam cengkraman kapitalisme. Anggapan perempuan sebagai mahluk lemah memberikan asupan pemikiran bahwa perempuan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan dialektika kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan tegas karena patron yang telah membentuk perempuan sebagai mahluk perasaan, artinya perempuan tidak dapat memberikan keputusan ketika menggunakan sisi perasaan dalam menilai sebuah keputusan (Putra, 2012:99). Anggapan-anggapan seperti itulah yang membuat perempuan sedikit ikut berperan dalam dunia politik. Namun sebenarnya peran perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional adalah suatu hal yang penting dan isu menarik sepanjang masa. Tapi tetap saja kebanyakan perencana pembangunan mengabaikan perempuan yang merupakan setengah dari populasi. Padahal, mereka adalah sumber daya manusia (SDM) paling signifikan dimana kontribusi ekonomi mereka memiliki kesetaraan status sama halnya dengan laki-laki. Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik ialah adanya persepsi yang menganggap perempuan hanya tepat menjadi ibu rumah tangga dan tidak cocok untuk berperan aktif dalam fungsi publik di masyarakat, apalagi aktor politik. Hal tersebut serupa yang dikatakan Khofifah Indar Parawansa bahwa dalam negara yang menganut sistem patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias ke arah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga (Parawansa. Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Demikian seterusnya, sampai pada zaman orde baru, ketika perempuan hanya diberikan status sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar waktu itu, yaitu PKK dan Dharma Wanita tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung “top down”. Posisi, peran dan aktivitas perempuan Indonesia didalam dunia publik semakin meningkat dalam ukurannya sendiri dari waktu ke waktu di dalam sejarah Indonesia merdeka. Namun jumlah tersebut tidak terwakili dan tercerminkan secara proporsional dan signifikan dan lembagalembaga atau di sektor-sektor strategis pengambilan keputusan / kebijakan dan pembuatan hukum formal. Keterwakilan perempuan yang memadai setidaknya dapat memberikan, melengkapi dan menyeimbangkan visi, misi dan operasionalisasi Indonesia selanjutnya, yang objektif, namun berempati dan berkeadilan gender (tidak mendiskriminasikan salah satu jenis kelamin). Simak jumlah anggota perempuan dari DPR pusat sejak awal kemerdekaan tidak pernah melebihi 13 persen (periode 1987- 1992) , bahkan saat ini hanya sekitar sembilan persen, sedangkan ditingkat daerah hanya sekitar tiga persen. Banyak hal yang terjadi dan terdapat di Indonesia yang memutlakan keterwakilan para perempuannya yang memadai dalam kuantitas dan kualitas di lembaga-lembaga negara dan sektor-sektor publik lainnya untuk menciptakan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Peluang-peluang politik telah dibuat agar perempuan turut berpartisipasi dalam politik namun ketika perempuan telah turut andil berpartisipasi masih banyak juga rintangan dan tantangan yang ditemukan. Ani Soetjipto dalam tulisannya memperlihatkan beberapa ironi dari kebijakan afirmatif yang ada di Indonesia. Pertama, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa perempuan anggota parlemen yang ada saat ini mempunyai modal finansial dan jaringan yang memadai, namun minim modal politik. Ironi kedua adalah kesenjangan pemaknaan politik yang “tidak nyambung” bagi publik antara mereka yang berjuang di akar rumput dengan mereka yang berjuang di arena politik (parpol dan Parlemen). Banyak pengamat-pengamat politik yang menanggapi peran perempuan dalam politik. Mereka mengatakan bahwa peran perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibanding negara lain. Tapi perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak perempuan yang berkecimpung dalam kehidupan politik sudah dibatasi dan dipolakan. Namun banyak perempuan yang terjun ke dunia politik tidak menyadari akan hal tersebut. Solusi Di dalam segala aspek kesetaran gender itu perlu misalkan terlibatnya perempuan di dalam suatu kegiatan contohnya politik. Di dalam politik perempuan itu perlu karena berbicara mengenai politik maka kita berbicara mengenai suatu kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah untuk mengataur masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan partisipasi perempuan dalam dunia politik diharapkan dapat memanjukan perpolitikan di Indonesia, tidak hanya itu saja dapat menghindari adanya ketimpangan social antara peran prempuan dan peran laki – laki. Dimana selama ini masyarakat berkembang stereotif yang menganggap perempuan hanya bekerja di dapur saja. Padahal banyak potensi perempuan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan Negara. Kemudian UU RI No 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik pada pasal 2 ayat 2 yang berbunyi „‟pendirian dan pembentukan partai politi sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1) menyatakan 30% (tiga puluh perseratus)‟‟. Masalah kesenjangan dibidang politik, social dan budaya. Pemerintah bisa merevisi Undang – Undang No 8 Tahun 2012 agar wanita diberi kouta 50% dalam jumllah calon keanggotaan legislatif, organisasi wanta diberi kesempatan untuk memajukan organisasinya seperti yang dicita – citakan. Dan penghapusan larangan anggota Abri wanita untuk menikah dengan pria yang dicintainya dari pangkat yang lebih rendah. Peran pemerintah dalam permasalahan perempuan dalam bekerja. Untuk menyelesaikan permasalahn tersebut, maka sangat dibutuhkan intertensi dari pemerintah karena dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah maka pemerintah dapat membuat Undang – Undang yang mengatur tentang ketentuan kriteria pekerjaan berdasarkan pada jenis kelamin selain itu pemerintah juga dapat menentukan standar upah berdasarkan tingkat pekerjaan yang dilakukan bukan berdasarkan jenis kelamin. Peraturan tersebut tentunya ditujukan pada pihak perusahaan baik swasta maupun milik pemerintah. Dengan itu, pemerintah mempunyai kewenangan untuk memberikan hukuman kepada perusahaan yang melanggar UU tersebut. Bila UU ini dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin maka dapat di pastikan kesetaraan gender dibidang tenaga kerja akan terwujud dengan sendirinya. DAFTAR PUSTAKA Nimrahh, siti & Sakaria. 2015. Perempuan dan budaya patriarki politik (studi kasus kegagalan caleg perempuan dalam pemilu legislative 2014). Jurnal magister ilmu politik universitas hasanuddin, vol:1; no:2. Sutarso, joko. 2004. Kosnstruksi isu gender dalam politik. Studi kasus pemilihan umum 2004. Rafni, Al. 2015. Kesetaraan gender dalam politik : pembinaan kader perempuan oleh partai politik, upaya menuju penguatan kapasitas legislatif daerah. Jurnal ilmiah kajian gender.