Academia.eduAcademia.edu

Trichinellosis spp.pdf

TRICHINELLOSIS PADA BABI Oleh : M. Hendri, S.KH 1702101020125 TRICHINELLOSIS  Trichinellosis adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi cacing Nematoda Trichinella spp.  Manusia dapat tertular akibat mengkonsumsi daging babi yang mengandung larva Trichinella spp. dalam kondisi mentah atau dimasak kurang matang (Murrell dan Pozio, 2011).  Berbahaya untuk kesehatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan masalah ekonomi terutama dalam produksi ternak babi dan keamanan pangan (Gottstein dkk., 2009).  Menyerang babi domestik, satwa liar (Pozio, 2007).  Sumber infeksi Trichinella spp. bagi manusia diantaranya babi hutan (Messiaen dkk., 2016; Turiac dkk., 2017), rakun dan rubah merah (Airas dkk., 2010). Klasifikasi Trichinella spp Menurut OIE (2007), caing Trichinella spp diklasifikasikan ke dalam : Kelas Subkelas Superfamilia Famili Genus Spesies : Nematoda : Aphasmida : Tricurida : Trichinellidae : Trichinella spp : Trichinella spiralis, Trichinella nativa, Trichinella britovi, Trichinella pseudospiralis, Trichinella murrelli, Trichinella nelsoni, Trichinella papuae, Trichinella zimbabwensis. Morfologi Trichinella spp A. Cacing dewasa yang berkembang di usus halus setelah infeksi oral dengan larva otot; cacing kecil merupakan larva baru lahir (L1 belum matang), yaitu infeksi pada otot. B. Larva infektif dalam sel otot dikelilingi oleh kapsul kolagen (biru). C. Larva infektif otot, pewarnaan Azan dari penampang memanjang larva. M: midgut, G: primordial genital, S: stichocyte (Dewi dan Sumarwanta, 2012)  Larva dalam otot adalah larva stadium infeksi (L1), larva melakukan penetrasi di mukosa usus host yang baru. Larva yang baru lahir (rata-rata panjang 0.11 mm, lebar 0.07 mm) menunjukkan ciriciri morfologi dasar. Pada tahap ini, seks tidak dapat diidentifikasi. Cacing jantan memiliki panajang total 0,65-1,07 mm, lebar 26-38 µm, rektum dengan panjang 40-50 µm. Cacing betina memiliki panjang total 0,71-1,09mm, lebar 25-40 µm, rektum dengan panjang 20-30 µm, lapisan subkutikular menebal di primordial vulva (OIE, 2007). Siklus Hidup Trichinella spp (1) Trichinellosis diperoleh dengan menelan daging yang mengandung kista (larva encysted) Trichinella spp. (2) Setelah paparan asam lambung dan pepsin, larva dilepaskan dari kista , (3) dan menyerang mukosa usus kecil di mana mereka berkembang menjadi cacing dewasa, (4) (betina 2.2 mm panjang, jantan 1.2 mm, rentang hidup di usus halus selama empat minggu). Setelah satu minggu, betina melepaskan larva, (5) yang bermigrasi ke otot lurik dan menjadi bentut kista (CDC, 2012). Siklus Hidup Trichinella spp  Siklus hidup parasit ini terdiri dari dua macam siklus yaitu siklus domestik yang terjadi pada hewan sinantrhopik dan hewan domestik, dan siklus sylvatik yang terjadi pada hewan liar (Pozio, 2001).  Jumlah larva yang akan dihasilkan tergantung pada status imun host yang terinfeksi dan jenis spesies parasit.  500-1500 larva lahir selama rentang kehidupan cacing betina dewasa sebelum reaksi respon imun host memaksa mereka keluar dari usus kecil (Dewi dan Sumarwanta, 2012). GEJALA KLINIS  Pada manusia tergantung pada umur host, kondisi resistensi, serta jumlah larva yang ditelan (Pramono, 2015).  Myalgia 30-100 % dari pasien; kelumpuhan (1035 %), periorbital atau edema pada wajah (1590 %), konjungtivitis (55 %); demam (30-90 %); sakit kepala (75 %), ruam kulit (15-65 %), kesulitan menelan (35%) atau membuka mulut, insomnia, berat badan menurun, sensasi perifer saraf, bronkitis (5-40 %), pendarahan splinter pada kuku atau retina; gangguan visual dan kelumpuhan otot okular (Dewi dan Sumarwanta 2012). GEJALA KLINIS  Tidak memperlihatkan gejala klinis yang jelas dan menjadi penting karena sifatnya sebagai zoonosis (OIE, 2012).  Hewan yang menelan larva Trichinella dalam jumlah yang tinggi dari daging yang terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala-gejala klinis seperti yang diamati pada manusia (Pozio, 2007). DIAGNOSA Pemeriksaan langsung parasit atau deteksi antibodi terhadap parasit (Gajadhar dkk., 2009). Uji serologis (ELISA) (Bogitsh dkk., 2005). Trichinoscopy atau teknik pencernaan buatan dengan sensitivitas yang lebih baik dan kapasitas yang lebih tinggi (Gajadhar dkk., 2009; Wang dkk., 2007). Metode pencernaan yang dipakai pada pooled samples digesty seperti metode magnetic stirrer, stomacher method dan Trichomatic 35® untuk identifikasi Trichinella pada daging, Metode magnetic stirrer dianggap sebagai “gold standard” karena merupakan metode yang dirancang khusus untuk sampel daging serta telah divalidasi (OIE, 2008a; Webster dkk., 2006). TREATMENT, PREVENTION DAN KONTROL  Pemberian kortikosteroid dan anthelmentik yang menyebabkan reaksi inflamasi dan alergi pada larva Trichinella spp.  Pemberian anthelmentik (benzimidazole albendazole, fenbendazole, flubendazole, mebendazole, pyrantel (Kociecka, 2000).  Pencegahan dan kontrol dengan memberikan edukasi akan kebersihan lingkungan dan rumah,  Transmisi dari daging babi dapat dilakukan dengan memasak daging dengan benar pada suhu 71°C (160°F) dapat membunuh larva (Pozio, 2001; Gadjahar and Gamble, 2000). TREATMENT, PREVENTION DAN KONTROL  Menerapkan Good Management Practices (GMP) untuk mencegah dan meminimalkan infeksi pada babi termasuk biosecurity, kontrol rodentia, (Kapel, 2000).  Metode pengontrolan Trichinella spp pada hewan domestik dan satwa liar dengan menguji daging sebelum dikonsumsi untuk mencegah infeksi pada manusia dan memasak daging dengan matang pada suhu 71°C (160°F), penyimpanan daging pada suhu -15°C (5°F) (Gamble dkk., 2000). DAFTAR PUSTAKA  Airas N, Saari S, Mikkonen T, Virtala AM, Pelikka J, Oksanen A, Isomursu M, Kilpela SS, Lim CW, Sukura A. 2010. Sylvatic Trichinella Spp. infection in Finland. J Parasitol. 1:67-76  Bogitsh BJ, Carter CE, Oeltmann TN. 2005. Human Parasitology. Elsevier. USA  [CDC] Center for Disease Control. 2012. Division of Parasitic Diseases. Trichinosis. Web.http://www.cdc.gov/parasites/trichinellosis/. [27 Januari 2019].  Dewi, P.A. dan Sumarwanta, E. 2012. Trichinosis tinjauan umum penyakit, bahaya, dan penanggulangannya. BBP Vet Wates Jogjakarta. 12:3.  Gottsein, Pozio E, Nockler K. 2009. Epidemiology, diagnosis, treatment, and control of trichinellosis. Clin Microbiol Rev. 22:127-45.  Gajadh AA, Pozio E, Gamble HR, Nöckler K, Maddox-Hyttel C, Forbes LB, Vallée I, Rossi P, Marinculić A, Boireau P. 2009. Trichinella diagnostics and control: Mandatory and best practices for ensuring food safety. Vet Parasitol. 159: 197-205.  Gajadhar, A.A., and Gamble, H.R., 2000, Historical perspec- tives and current global challenges of Trichinella and trichi- nellosis: Veterinary Parasitology, v. 93, p. 183–18  Kociecka, W., 2000, Trichinellosis: Human disease, diagnosis and treatment: Veterinary Parasitology, v. 93, p. 365–383.  Kapel, C.M.O., Henriksen, S.A., Berg, T.B., and Nansen, P., 1996, Epidemiologic and zoogeographic studies on Trichi- nella nativa in arctic fox, Alopex lagopus, in Greenland: Journal of the Helminthological Society of Washington, v. 63, p. 226–232. DAFTAR PUSTAKA  Murell KD, Pozio E. 2011. Worldwide occurrence and impact of human Trichinellosis, 1986-2009. Emerg Infect Dis. 17(12): 2194-2202.  Messiaen P, Forier A, Vanderschueren S, Theunissen C, Nijs J, Esbroeck MV, Bottieau E, Schrijver KD, Gyssens IG, Cartuyvels R, Dorny P, Blockmans D, Hilst JVD. 2016. Outbreak of trichinellosis related to eating imported.  [OIE] Office International des Epizooties. 2007. Guidelines for the surveillance, management, prevention and control of trichinellosis. Paris: OIE.  [OIE] Office Internationale des Epizooties. 2012. Terresterial manual. Chapter 2.1.16. Trichinellosis.  Pramono S, Satrija F, Purnawarman T. 2016. Trichinellosis pada Babi di kota Manado Provinsi Sulawesi Utara. Acta Vet Indones. 4(1):27-34.  Pozio, E., 2001, New patterns of Trichinella infection: Veterni- nary Parasitology, v. 98, p. 133–148.  Pozio E. 2007. World distribution of Trichinella spp. Infections in Animals and Humans. Vet Parasitol. 149:321.  Turiac IA, Cappelli MG, Olivieri R, Angelillis R, Martinelli D, Prato R, Fortunat F. 2017. Trichinellosis outbreak due to wild boar meat consumption in southern Italy. Parasit and Vect. 10:107.  Wang, ZQ, Cui J dan Shen LJ. 2007. The epidemiology of animal trichinellosis in China. Vet J. 173: 391-398  Webster P, Meddox-Hyttel C, Nöckler K, Malakauskas lL, van der ciessen J, Pozio E, Boireau P, Kapel CMO. 2006. Meat inspection for Trichinella in pork, horsemeat and gamewithin the EU: available technology and its present implementation. Euro Surveill. 11: 50-55.