Academia.eduAcademia.edu

PEMBAHASAN "AYAT DAN HADITS TENTANG WADI'AH"

A. Pengertian Wadi'ah 1. Secara Etimologi Secara etimologi wadi'ah (‫)الودعة‬ berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi'ah berasal dari kata wada'a (wada'a-yada'u-wad'aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. 1 2. Secara Terminology : Secara terminologi wadi'ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi'ah yang dikemukakan ulama fiqh : Ulama Hanafiyah : ‫أن‬ ‫عن‬ ‫عبارة‬ ‫ىي‬ ‫يداع‬ ‫اال‬ ‫مبعين‬ ‫ادعة‬ ‫الو‬ ‫حفظ‬ ‫علي‬ ‫غًنه‬ ‫شخص‬ ‫يسلط‬ Artinya: "Wadi'ah dengan makna penitipan merupakan suatu istilah dari mengikut sertakan orang lain dalam menjaga barangnya. 2  Ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) : ‫خمصوص‬ ‫وجو‬ ‫على‬ ‫مملوك‬ ‫حفظ‬ ‫يف‬ ‫توكيل‬ Artinya : "mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu". 3 Secara istilah wadi'ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik. Sementara itu menurut Menurut UU No. 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan "Akad wadi'ah" adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan 1

PEMBAHASAN “AYAT DAN HADITS TENTANG WADI’AH” A. Pengertian Wadi’ah 1. Secara Etimologi Secara etimologi wadi’ah ( ‫ )الودعة‬berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu. 1 2. Secara Terminology : Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh : Ulama Hanafiyah : ‫الوادعة مبعين اال يداع ىي عبارة عن أن يسلط شخص غًنه علي حفظ‬ Artinya: “Wadi’ah dengan makna penitipan merupakan suatu istilah dari mengikut sertakan orang lain dalam menjaga barangnya.2  Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) : ‫توكيل يف حفظ مملوك على وجو خمصوص‬ Artinya : “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.3 Secara istilah wadi’ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik. Sementara itu menurut Menurut UU No. 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan 1 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 286. Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.70-71. 3 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Medika Pratama, 2007), hlm. 247. 2 1 tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang. Sedang Wadi’ah menurut terminologi sebagaimana yang ketengahkan oleh Muhammad Al-zuhri Al-khorowi dalam kitabnya Anwar Al-masalik sebagai berikut: 4 ‫ص ِيف ِح ْف ِظ املا ِل‬ ‫التَ ْوكِْي ُل اخلَا‬ ُ َ Artinya : “Akad tawkil yang khusus untuk menjaga harta benda”. B. Landasan Hukum Wadi’ah Asal dari Al-wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya.5 Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia adalah sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam Al Qur’an : 1. Q.S. An-Nisaa’ ayat 58                              Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisaa’: 58). 4 5 Muhammad Al-Zuhri Al-Khorowi, Anwar Al-Masalik, (Surabaya: Hidayah), hlm. 176. Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 195. 2 2. QS. Al-Baqarah Ayat 283                                       Artinya : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 3. QS. Al-Maa’idah Ayat 2                                                            Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaaid,dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum 3 Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksaNya” (Q.S. Al-Maa’idah : 2). Adapun Landasan Hadits tentang wadi’ah yaitu sebagaimana yang di sebutkan dibawah : Abi Daud : Artinya : almaky berkata “ Saya menulis untuk si fulan tentang nafaqah anak yatim, ia wali mereka, ia menyerahkan 1000 dirham, kemudian ia mengembalikannya pada anak yatim tersebut, maka saya melihatt harta mereka dua kali lipat. “al-maki berkata : “saya akan mengambil 1000 dirham yang dibawa mereka:”orang tersebut menjawab: “tidak. ayahku bercerita padaku bahwa ia mendengar nabi bersabda : laksanakanlah amanat pada orang yang telah mempercayaimu dan janganlah menghianati orang yang menghianatimu”.6 ِ ‫َعن أَبِي ُهريْ رَة ر‬ ‫ك‬ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ضيَاللَّهُ َع ْنهُ ق‬ ْ ‫ أَد‬:‫ال َر ُس ْو ُل اللَّ ِه ص م‬ َ َ‫ِّاْلََمانَةَ إِلَى َم ِن ائْ تَ َمن‬ َ ََ ْ ْ ‫َوالَتَ ُخ ْن َم ْن َخانَ َكض‬ Artinya : “Dari Abi Hurairah RA ia berkata: Rasulullah bersabda: tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kapadamu dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu. (HR.At-Tirmidzi dan Abu Dawud)”. 6 Ilfi nur Diana, Hadis-Hadis Ekonomi, (Malang : UIN Maliki Press, 2012), hlm. 139. 4 Pada hadits tersebut, terdapat matan yang berbunyi : ‫ك‬ ْ ‫أَد‬ َ َ‫ِّاْل ََمانَ َة إِلَى َم ِن ائْ تَ َمن‬ “…tunaikanlah amanah keada orang yang mempercayakan (menitipkan) kepadamu…”, jadi dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud pada matan tersebut adalah amanah harus diberikan kepada orang yang mempercayakan (menitipkan). Hadits diatas mengisaratkan untuk menitipkan barang kepada seseorang yang dipercayai dan orang tersebut tidak berkhianat kepada orang menitipkan barang. Wadi’ah merupakan amanah bagi orang yang menerima titipan, sehingga ia harus mengembalikannya pada waktu pemilik harta meminta kembali harta yang dititipkannya. Sebagaimana kita sebagai seorang muslim dipertanggung jawabkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada orang yang berhak. Berdasarkan hadits tersebut, jelas terlihat bahwa perjanjian penitipan barang itu dibolehkan, dengan kata lain bahwa hukumnya adalah jaiz atau boleh. Sedangkan yang diwajibkan dalam akad ini adalah mengembalikan harta titipan tersebut kepada pemiliknya ketika ia telah memintanya kembali. Namun demikian, meskipun menitipkan dan menerima titipan itu hukumnya jaiz, bagi pihak penerima titipan ada beberapa alternative hukum menerima barang titipan ini baginya, yaitu: a. Dihukumkan sebagai sunat (apabila penitipan barang itu diterima maka ia berpahala, dan apabila ditolak tidak berdosa), yaitu apabila pihak penerima titipan berkeyakinan bahwa dirinya sanggup atau mampu untuk menjaga barang titipan sebagai mestinya. b. Dihukumkan sebagai haram (diterima berdosa dan tidak diterima berpahala), yaitu apabila si penerima titipan tidak mampu untuk menjaga barang titipan sebagaimana mestinya. c. Dihukumkan sebagai makruh (berpahala apabila tidak diterima dan tidak berdosa apabila diterima), yaitu apabila si penerima merasa mampu untuk menjaga barang titipan itu, akan tetapi dia (penerima 5 titipan) merasa was-was apakah nantinya dia dapat berlaku amanah terhadap barang titipan yang diamanahkan kepadanya.7 Maksud dari hadis diatas adalah apabila kita menyerahkan barang kita kepada orang yang kita percayai maka orang tersebut harus menjaga barang yang kita miliki tersebut tanpa imbalan. Barang tersebut merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik, meskipun orang tersebut tidak menerima imbalan. )‫ض َما ٌن (رواه البيهقى والدارقطىن‬ َ ‫س َعلَى ال ُْم ْستَ ْو َد ِع غَْي ِرال ُْمغَ ِّل‬ َ ‫لَْي‬ Artinya: “Orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.” (Hadits Riwayat al-Baihaqi dan ad-Daruquthni). Penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang titipan, sehingga ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada barang titipan tersebut selama bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohannya yang bersangkutan dalam pemeliharaan barang titipan itu. Adapun beberapa sebab yang memungkinkan berubahnya sifat akad alwadi’ah dari sifat amanah menjadi ganti rugi adalah: a. Apabila barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. b. Barang titipan dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan keluarga dekat dan bukan pula menjadi tanggung jawabnya. c. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi. d. Orang yang dititipi al-wadi’ah mengingkari al-wadi’ah itu. e. Orang yang dititipi barang itu mencampurkannya dengan harta pribadinya, sehingga sulit untuk dipisahkan. f. Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan. g. Barang titipan dibawa berpergian. 7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 221. 6 )‫ض َما َن َعلَى ُم ْؤتَ ِم ٍن (رواه البيهقى‬ َ َ‫ال‬ Artinya : “Tidak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat.” (Hadits Riwayat al-Baihaqi). Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa apabila dalam akad alwadi’ah disyaratkan bahwa orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan, sekalipun kerusakan barang itu bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya, maka akadnya batal atau tidak sah. Akibat lain dari sifat amanah yang melekat pada akad al-wadiah adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan itu dan pihak penitip tidak berhak meminta jaminan atau ganti rugi kepada pihak yang dititipi, dengan kata lain akad ini semata-mata terjadi dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia dan demi mengharapkan ridho Allah SWT. )‫ض َما َن َعلَ ْي ِه (رواه الدارقطىن‬ َ َ‫ع َو ِديْ َعةً فَال‬ َ ‫َم ْن أ َْو َد‬ Artinya : “Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin.” (Hadits Riwayat ad-Daruquthni). Sama seperti hadit-hadits sebelumnya, hadits ini menjelaskan bahwa orang yang menerima titipan tidak berkewajiban menjamin, kecuali bila ia tidak melakukan kerja (kewajiban) dengan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pihak yang dititipi haruslah menjaga amanat dengan baik dan tidak boleh menuntut upah (jasa) dari pihak pemilik barang. Demikian pula Abu Hanifah dan segolongan ulama sama sekali tidak menentukan adanya jaminan bagi orang yang menerima titipan (baik barang sewaan, maupun barang pinjaman). ) ‫ إالالنسائ زاد أبو داود والرتمذى‬,‫ َحتَّى تُ َؤدِّيَهُ ( رواه اخلمسة‬,‫ت‬ ْ ‫لى الْيَ ِد َما أخ َذ‬ َ ‫َع‬ Artinya : “Wajib atas tangan yang mengambil bertanggung jawab terhadap barang yang diambilnya, sehingga dia mengemblikannya kepada pemiliknya.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah). 7 Hadits di atas menyatakan bahwa kita diwajibkan mengembalikan apa yang kita ambil dari orang lain, baik berupa barang titipan, pinjaman ataupun barang sewaan. Dan si penerima amanah (barang titipn, sewaan, ataupun pinjaman), wajib menjaga barang tersebut selama dalam penguasaanya. hadits ini menunjuk bahwa kita wajib mengembalikan barang yang dititipkan kepada kita, jika barang itu belum rusak. Dan jika rusak, hendaklah kita ganti berupa uang. Namun, jika kerusakan itu terjadi, padahal kita cukup berhati-hati menjaganya, barulah kita dibebaskan dari menggantinya. ِ )‫اعهُ (رواه امحد وابوداود والنساع‬ َ َ‫ َويَتَّبِ ُع الْبَ يِّ ُع َم ْن ب‬.‫ فَ ُه َو اَ َح ُّق بِ ِه‬.‫َم ْن َو َج َد َع ْي َن َما ل ِه‬ Artinya : “Barang siapa mendapati sosok harta benda pada orang lain, maka dia lebih berhak terhadapnya. Dan orang yang telah membeli barang itu hendaknya mengambil uang yang telah dia bayarkan dari orang yang menjualnya kepadanya.” (H.R Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i). Mengenai pencampuran barang titipan dengan barang yang lain, jika orang yang dititipi meninggal dunia dan dia tidak menjelaskan titipan yang ada padanya, maka apabila titipan itu diketahui dan masih ada, maka ia dikembalikan kepada pemiliknya, karena itu adalah sosok dari hartanya. Namun jika titipan itu tidak diketahui sosoknya, maka dia harus diganti. Dan ia menjadi utang yang pelunasannya diambil dari harta warisan orang yang dititipi tersebut. Karena ketika dia meninggal dunia tanpa menjelaskan adanya titipan tersebut, secara tidak langsung dia telah merusaknya. C. Rukun Dan Syarat Wadi’ah 1. Rukun Wadi’ah Rukun-rukun dari akad wadi’ah ada 4 yaitu sebagai berikut : a. wadi’ah, yaitu barang yang dititipkan. b. shîghoh, yaitu akad serah terima. 8 c. mûdi’, yaitu orang yang menitipkan barang titipan. d. wadî’, yaitu orang yang menerima titipan barang. Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu: 1. Orang yang berakad. 2. Barang titipan. 3. Sighah, ijab dan kobul. 2. Syarat Wadi’ah ‫عن أىب ىريرة قال قال النيب صلى اهلل عليو وسلم أ َِّد ْاْل ََمانَةَ إِ ََل َم ِن‬ ..... ‫ك‬ َ َ‫ك َوَال ََتُ ْن َم ْن َخان‬ َ َ‫ائْ تَ َمن‬ Artinya “Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (H.R. Abu Daud, At-Trimidzi, Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi). Kesimpulan yang dapat di ambil dari hadits di atas adalah apabila seseorang hendak melakukan transaksi penitipan harta, maka ayat tersebut menekankan beberapa ketentuan yaitu, pertama pilihlah orang yang dapat dipercaya saat menitipkan harta sehingga orang yang dipercaya tersebut dapat lebih amanah. Kedua, jika perjanjian sudah disepakati, maka diwajibkan bagi kedua belah pihak untuk bertaqwa dengan jalan tidak saling merugikan. Selain itu, janganlah membalas berkhianat kepada orang yang telah mengkhianatimu baik pada orang yang memberikan amanah maupun yang menerima amanah. Wajibnya al-wadî’ menjaga wadi’ah yang ada padanya seperti ia menjaga hartanya sendiri. Nabi SAW. bersabda: 9 ِ ‫علَى الْي‬ ‫ى‬ ‫د‬ ‫ؤ‬ ‫ت‬ ‫َّت‬ ‫ح‬ ‫ت‬ ‫ذ‬ ‫َخ‬ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫د‬ ِّ ‫ى‬ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ Artinya “ Tangan itu wajib (menjaga) apa yang ia ambil sampai ia tunaikan (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi). Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’,dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan atau tangannya secara nyata. D. Hukum Menerima Benda Titipan Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu : a) Wajib Bagi orang yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat. b) Sunnat Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya. c) Makruh Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadapa dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya. d) Haram Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat. 10 E. Pembagian Wadi’ah Secara umum, terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu : 1. Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery) Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang atau harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang atau uang tanpa mengelola barang atau harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau kehilangan pada barang atau harta titipan selama hal tersebut. 2. Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository) Wadi’ah ini merupakan titipan barang atau harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang atau harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak berjangka. 11 PENUTUP A. Kesimpulan Al-wadi’ah adalah akad seseorang kepada yang lainnya dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Pada dasarnya, hukum akad al-wadi’ah adalah jaiz (boleh). Akad ini semata-mata terjadi dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia dan demi mengharapkan ridho Allah SWT, Wadi’ah merupakan amanah bagi orang yang menerima titipan, sehingga ia harus mengembalikannya pada waktu pemilik harta meminta kembali harta yang dititipkannya. Tidak ada kewajiban bagi pihak yang dititipi mengganti rugi atas kerusakan harta yang dititipi, kecuali bila ia tidak melakukan kewajiban dengan sebagaimana mestinya. B. Saran Demikianlah makalah ini kami buat apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah semata-mata karena kekurangan kami sebagai pemakalah. Untuk itu kami pemakalah meminta kritik dan saran yang memotivasi kami dari bapak dosen pengampu, agar makalah kami kedepannya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua. 12