Pentingnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Beny Subarja
08 / 3-2
D III Akuntansi Alih Program, Politeknik Keuangan Negara STAN, Bintaro
Abstrak - Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini. Dilain pihak upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan kita yang bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat korupsi akan menghancurkan negeri ini. Korupsi harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang oleh karena itu memerlukan upaya luar biasa pula untuk memberantasnya. Upaya pemberantasan korupsi yang terdiri dari dua bagian besar, yaitu penindakan dan pencegahan tidak akan pernah berhasil optimal jika hanya dilakukan oleh pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Dalam karya tulis ini, penulis akan menguraikan fenomena-fenomena diatas dan mencoba memberikan masukan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
PENDAHULUAN
Korupsi sesungguhnya sudah lama ada terutama sejak manusia pertama kali mengenal tata kelola administrasi. Pada kebanyakan kasus korupsi yang dipublikasikan media, seringkali perbuatan korupsi tidak lepas dari kekuasaan, birokrasi, ataupun pemerintahan. Korupsi juga sering dikaitkan pemaknaannya dengan politik. Sekalipun sudah dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum, pengertian korupsi dipisahkan dari bentuk pelanggaran hukum lainnya. Selain mengkaitkan korupsi dengan politik, korupsi juga dikaitkan dengan perekonomian, kebijakan publik, kebijakan internasional, kesejahteraan sosial, dan pembangunan nasional. Begitu luasnya aspek-aspek yang terkait dengan korupsi hingga organisasi internasional seperti PBB memiliki badan khusus yang memantau korupsi dunia. Dasar atau landasan untuk memberantas dan menanggulangi korupsi adalah memahami pengertian korupsi itu sendiri. Korupsi bukan barang baru di Indonesia. Sejak zaman VOC sampai dengan bubarnya VOC karena korupsi, korupsi sudah lama dikenal. Upeti di jaman kerajaan dimasa lalu adalah salah satu bentuk korupsi. Korupsi merupakan budaya peninggalan masa lalu. Ini merupakan suatu budaya yang sulit dirubah karena melekat pada diri manusia itu sendiri yang merupakan moralitas atau akhlak. Untuk merubah itu semua perlu dicari sebab-sebab dan bagaimana untuk mengatasinya. Selain itu, korupsi semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana, karena perbuatan korupsi bermuka majemuk yang memerlukan kemampuan berpikir aparat pemeriksaan dan penegakan hokum disertai pola perbuatan yang sedemikian rapi. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan hukum merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi korupsi tersebut. Karena korupsi terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain masalah moral atau sikap mental, masalah pola hidup serta budaya, lingkungan sosial, sistem ekonomi, politik dan sebagainya. Menghadapi hal ini, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Banyaknya upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menjadi tanda bahwa Indonesia sedang serius ingin memberantas tindak pidana korupsi. Namun, dipandang dari sisi lain, banyaknya upaya ini menjadi bukti konkret bahwa di Indonesia sedang terjadi banyak kasus korupsi. Korupsi di Indonesia telah menjamur di berbagai segi kehidupan. Dari instansi tingkat desa, kota, pemerintahan, hingga pendidikan. Bisa di bilang korupsi sudah membudaya di Indonesia yang merupakan salah satu penyebab terpuruknya bangsa Indonesia, baik dari segi ekonomi maupun politik, yaitu suburnya tindak kejahatan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara.
PEMBAHASAN
Definisi Korupsi
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea: 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran” (S. Wojowasito-WJS Poerwadarminta: 1978).
Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut:
Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi;
Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bernaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu;
Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui pendayagunaan wewenang dan kekuasaan;
Ideological corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansyah Djaja, 2010:22).
Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Dengan demikian arti kata korupsi adalah sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi menyangkut: sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Penyebab Korupsi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah: 2009) “Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian ‘terpaksa’ korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) memberikan pandangan bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkorupsi, maka jadilah seseorang akan melakukan korupsi. Pandangan lain dikemukakan oleh Arifin yang mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain: (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi, dan (3) aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada (Arifin: 2000).
Dalam pendapat Erry Riyana Hardjapamekas (2008) menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa, (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil, (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan, (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme, (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan, (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.
Faktor Politik.
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D–A=C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountability (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasaan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.
Faktor Hukum.
Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: Pertama, tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. Kedua, praktek politik uang dalam pembuatan hukum berupa suap menyuap (political bribery), utamanya menyangkut perundang-undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpang-tindih dengan aturan lain sehingga mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak-pihak pemesan. Sering pula ancaman sanksinya dirumuskan begitu ringan sehingga tidak memberatkan pihak yang berkepentingan. Mantan Ketua KPK, Bibit Samad Riyanto (2009), mengatakan lima hal yang dianggap berpotensi menjadi penyebab tindakan korupsi. Pertama adalah sistem politik, yang ditandai dengan munculnya aturan perundang-undangan, seperti Perda, dan peraturan lain; kedua, adalah intensitas moral seseorang atau kelompok; ketiga adalah remunerasi atau pendapatan (penghasilan) yang minim; keempat adalah pengawasan baik bersifat internal-eksternal; dan kelima adalah budaya taat aturan. Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Disamping tidak bagusnya produk hukum yang dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi, praktik penegakan hukum juga masih dililit berbagai permasalahan yang menjauhkan hukum dari tujuannya. Secara kasat mata, publik dapat melihat banyak kasus yang menunjukkan adanya diskriminasi dalam proses penegakan hukum termasuk putusan-putusan pengadilan.
3. Faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu dapat dijelaskan dari pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan. Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar hidup minimal pegawai merupakan masalah sulit yang harus dituntaskan penyelesaiannya. Aparatur pemerintah yang merasa penghasilan yang diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang diberikannya dalam menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal melaksanakan tugas pokoknya. Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah korupsi. Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin.
4. Faktor Organisasi.
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal: 2000). Aspek-aspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a) kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d) manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Teori yang juga membahas mengenai perilaku korupsi yang dicetuskan oleh Jack Bologne, yang dikenal dengan teori GONE (GONE Theory) menguraikan bahwa akar penyebab korupsi berasal dari greed (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan) dan exposes (hukuman). Keserakahan timbul karena adanya sifat tidak pernah puas yang dimiliki oleh manusia. Opportunity atau kesempatan merupakan suatu keadaan yang menjadi faktor penarik tindakan kriminal. Didalam tindak pidana korupsi, kelemahan peraturan ataupun kekuasaan yang dimiliki menjadikan seseorang memiliki kesempatan untuk melancarkan aksinya. Need atau kebutuhan merupakan salah satu penyebab lain dari korupsi. Jika pada keserakahan didorong oleh rasa tidak pernah puas, maka kebutuhan menyebabkan korupsi dikarenakan adanya keadaan yang mengharuskan seseorang untuk memberanikan diri melakukan perbuatan korupsi tersebut. Ekposes atau hukuman menjadi salah satu penyebab korupsi karena jika hukuman yang diterapkan kepada para koruptor lemah ataupun penegakan hukumnya bisa dilakukan permainan tentunya tidak akan ada efek jera dalam penindakan korupsi tersebut.
Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal.
Merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi:
Aspek Perilaku Individu.
Sifat tamak/ rakus manusia.
Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseorang konsumtif. Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Aspek Sosial.
Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Faktor Eksternal.
Pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku, dapat dirinci menjadi:
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi.
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena :
Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggung jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
Aspek Ekonomi.
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
Aspek Politis.
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi
Aspek Organisasi.
Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan.
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
Tidak adanya kultur organisasi yang benar.
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
Kurang memadainya sistem akuntabilitas.
Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasarannya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
Kelemahan sistim pengendalian manajemen.
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
Lemahnya pengawasan.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri.
Dampak Korupsi
Berbagai studi komprehensif mengenai dampak korupsi terhadap ekonomi serta variabel-variabelnya telah banyak dilakukan hingga saat ini. Dari hasil studi tersebut jelas terlihat berbagai dampak negatif akibat korupsi. Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa. Berbagai dampak masif korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan diuraikan di bawah ini.
Dampak Ekonomi.
Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi.
Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA) yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana, karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) pada akhirnya hal ini akan menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya investasi asing karena iklim yang ada tidak kondusif. Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya, karena investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya siluman’ yang tinggi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi investasi yang ditanam.
Penurunan Produktifitas.
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan pengembangan kapasitas. Program peningkatan produksi dengan berbagai upaya seperti pendirian pabrik-pabrik dan usaha produktif baru atau usaha untuk memperbesar kapasitas produksi untuk usaha yang sudah ada menjadi terkendala dengan tidak adanya investasi. Ujung dari penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.
Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik.
Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan tidak merasa bersalah dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah yang tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan masyarakat, tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat korupsi. Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi berakibat menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain.
Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak.
Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahannya dalam menyediakan barang dan jasa publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi negara. Pada saat ini APBN sekitar 70% dibiayai oleh pajak di mana Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) merupakan jenis pajak yang paling banyak menyumbang. Pajak sangat penting bagi kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya. Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada percepatan pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri.
Meningkatnya Hutang Negara.
Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua negara memaksa negara-negara tersebut untuk melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan untuk menutup defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa membayangkan ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini digunakan untuk sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi secara besar-besaran.
Dampak Sosial dan Kemiskinan Masyarakat.
Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik.
Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi korupsi akan sangat besar terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian. Kondisi ekonomi biaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian pelaku ekonomi akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan yang mengarah ke tindak korupsi.
Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat.
Pengentasan kemiskinan dirasakan sangat lambat. Hal ini terjadi karena berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke lapangan kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah teknis dan pendanaan.
Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin.
Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan mengakibatkan high-cost economy, di mana semua harga-harga melambung tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai macam akses dalam kehidupannya. Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan, kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum, dsb.
Meningkatnya Angka Kriminalitas.
Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai organisasi negara dan mencapai kehormatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat.
Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi.
Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari. Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini dilakukan hanya menjadi retorika saja. Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat sendiri.
Runtuhnya Otoritas Pemerintah.
Matinya Etika Sosial Politik.
Korupsi bukan suatu bentuk tindak pidana biasa karena ia merusak sendi-sendi kehidupan yang paling dasar yaitu etika sosial bahkan kemanusiaan. Kejujuran sudah tidak ditegakkan lagi dan yang paradoksal adalah siapapun yang meneriakkan kejujuran justru akan diberikan sanksi sosial dan politik. Kejujuran yang dihadapi dengan kekuatan politik adalah sesuatu yang tidak mendidik dan justru bertentangan dengan etika dan moralitas. Ketika nilai-nilai kejujuran dan nurani dicampakkan, maka tak pelak lagi kebangkrutan etika akan berimbas kepada seluruh sendi kehidupan masyarakat secara umum. Banyak pejabat negara, wakil rakyat atau petinggi partai politik yang tertangkap karena korupsi namun tidak menunjukkan perasaan bersalah, malu ataupun jera di depan umum. Mereka bertindak seolah-olah selebritis dengan tetap melambaikan tangan atau tersenyum lebar seolah-olah tidak bersalah. Hal ini terjadi karena anggapan bahwa mereka akan bebas dari tuduhan atau akan dengan mudah bebas dengan memberikan upeti kepada penegak hukum yang mengadilinya.
Tidak Efektifnya Peraturan dan Perundang-undangan.
Secara umum peraturan dan perundang-undangan berfungsi untuk mengatur sesuatu yang substansial dan merupakan instrumen kebijakan (beleids instrument) yang berguna untuk memecahkan suatu masalah yang ada di dalam masyarakat. Di lain sisi dalam masyarakat muncul berbagai kemungkinan apabila dihadapkan dalam suatu permasalahan. Secara alamiah seseorang selalu ingin dimenangkan dalam suatu perkara atau masalah atau diposisikan dalam keadaan benar. Oleh sebab itu banyak upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam memenangkan perkara dan masalahnya di depan hukum, dari upaya yang positif sampai kepada hal-hal lain yang negatif dan berlawanan dengan hukum, seperti menyuap, memberikan iming-iming, gratifikasi bahkan sampai kepada ancaman nyawa. Di sisi sebaliknya, aparat hukum yang semestinya menyelesaikan masalah dengan fair dan tanpa adanya unsur pemihakan, seringkali harus mengalahkan integritasnya dengan menerima suap, iming-iming, gratifikasi atau apapun untuk memberikan kemenangan. Kondisi ini mengakibatkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku menjadi mandul karena setiap perkara selalu diselesaikan dengan korupsi.
Birokrasi Tidak Efisien.
Pemerintahan dalam konteks birokrasi diharapkan mempunyai organisasi birokrasi yang memiliki keunggulan teknis bentuk organisasi, ketepatan, kecepatan dan kejelasan, pengurangan friksi dan biaya material maupun personal dalam titik optimal. Dalam kenyataan yang terjadi dalam birokrasi ini adalah ketidak efisienan. Banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya ke Indonesia, namun untuk mendapatkan perizinan usaha dan investasi harus melalui birokrasi yang panjang dan berbelit. Ada 1012 prosedur (meja) yang harus dilewati dan ketidak jelasan waktu penyelesaian pengurusan menjadi sangat rentan terhadap tindakan korupsi. Pada akhirnya suap adalah jalan yang banyak ditempuh untuk itu. Apabila birokrasi masih mengedepankan kepentingan sendiri atau kelompok, maka tidak pernah ada jaminan bahwa birokrasi akan menjadi efisien.
Dampak Terhadap Politik dan Demokrasi.
Munculnya Kepemimpinan Korup.
Kondisi politik yang carut marut dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak demokratis. Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat yang paling bawah. Konstituen di dapatkan dan berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang dilakukan juga transaksional.
Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi.
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Masyarakat akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah.
Menguatnya Plutokrasi.
Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi (sitem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.
Hancurnya Kedaulatan Rakyat.
Dengan semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan perusahaan besar. Bila kita melihat sisi lain politik, seharusnya kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun yang terjadi sekarang ini adalah kedaulatan ada di tangan partai politik, karena anggapan bahwa partailah bentuk representasi rakyat. Partai adalah dari rakyat dan mewakili rakyat, sehingga banyak orang yang menganggap bahwa wajar apabila sesuatu yang didapat dari negara dinikmati oleh partai (rakyat).
Dampak Terhadap Penegakan Hukum.
Fungsi Pemerintahan Mandul.
Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Bentuk hubungan yang bersifat transaksional yang lazim dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintahan begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat yang tergambar dengan hubungan partai politik dengan voter-nya, menghasilkan kondisi yang sangat rentan terhadap terjadinya praktek korupsi. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi;
b. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan asset;
c. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
Suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Pemimpin/pejabat yang korup sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.
Hilangnya Kepercayaan Rakyat Terhadap Lembaga Negara.
Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Indonesia dan marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut hilang. Berikut ini lembaga negara yang paling korup menurut Barometer Korupsi Global (BKG) pada tahun 2009:
a. Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat);
b. Partai Politik;
c. Kepolisian RI;
d. Lembaga Peradilan (Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung).
Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Sungguh situasi yang paradox, padahal, seharusnya suatu sistem hukum diciptakan oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak mereka dapat dilindungi.
Dampak Terhadap Pertahanan dan Keamanan.
Kerawanan Hankamnas Karena Lemahnya Alusista dan SDM.
Alat pertahanan dan SDM yang handal akan sangat membantu menciptakan situasi dan kondisi hankam yang kondusif. Kondisi hankam yang kondusif ini merupakan dasar dan penting bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Saat ini kita sering sekali mendapatkan berita dari berbagai media tentang bagaimana negara lain begitu mudah menerobos batas wilayah Negara Indonesia, baik dari darat, laut maupun udara. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pertahanan dan keamanan Indonesia masih sangat lemah. Tentunya hal ini sangat berhubungan dengan alat dan SDM yang ada yang membutuhkan anggaran yang besar. Apabila anggaran dan kekayaan negara ini tidak dirampok oleh para koruptor maka semua itu akan bisa diwujudkan.
Lemahnya Garis Batas Negara.
Daerah-daerah perbatasan rata-rata terisolir dan mempunyai fasilitas yang sangat terbatas, seperti jalan raya, listrik dan energi, air bersih dan sanitasi, gedung sekolah dan pemerintahan dan sebagainya. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat yang hidup di wilayah perbatasan harus menanggung tingginya biaya ekonomi. Hal ini akan semakin menimbulkan kerawanan pada perbatasan dan berakibat melemahnya garis batas negara. Kondisi ini ternyata hampir merata terjadi di wilayah perbatasan Indonesia. Kita bisa bayangkan, andaikan kekayaan negara tidak dikorupsi dan dipergunakan untuk membangun daerah-daerah perbatasan, maka negara ini akan semakin kuat dan makmur.
Menguatnya Sisi Kekerasan Dalam Masyarakat.
Kondisi kemiskinan pada akhirnya memicu berbagai kerawanan sosial lainnya yang semakin membuat masyarakat frustasi menghadapi kerasnya kehidupan. Kondisi ini membuat masyarakat secara alamiah akan menggunakan insting bertahan mereka yang sering kali berakibat negatif terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya. Masyarakat menjadi sangat apatis dengan berbagai program dan keputusan yang dibuat oleh pemerintah, karena mereka menganggap hal tersebut tidak akan mengubah kondisi hidup mereka. Akumulasi dari rasa tidak percaya, apatis, tekanan hidup, kemiskinan yang tidak berujung, jurang perbedaan kaya dan miskin yang sangat dalam, serta upaya menyelamatkan diri sendiri menimbulkan efek yang sangat merusak, yaitu kekerasan.
Dampak Kerusakan Lingkungan.
Menurunnya Kualitas Lingkungan.
Menurut laporan yang dibuat oleh State of World Forest dan FAO, Indonesia sebagai negara ke lima terbesar yang mempunyai hutan alam, menempati urutan ke dua dalam laju kerusakan hutan yang terjadi. Kerusakan lingkungan hidup ini dipicu oleh berbagai sebab, seperti kepentingan ekonomi, di mana hasil hutan yang ada di eksplotasi besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan. Eksploitasi ini dianggap paling mudah dan murah untuk mendapatkan keuntungan, namun di lain sisi eksploitasi yang dilakukan tidak dibarengi dengan upaya penanaman kembali (reboisasi) yang baik dan terencana, sehingga hasil eksploitasi hutan ini meninggalkan kerusakan yang parah bagi lingkungan. Keadaan ini menimbulkan kenaikan suhu atau perubahan iklim bumi pada umumnya (global warming). Di sisi lain kerusakan lingkungan ini akan menciptakan bencana yang sebenarnya dibuat oleh manusia, seperti banjir, banjir bandang, kerusakan tanah, kekeringan, kelangkaan air dan menurunnya kualitas air, tingginya pencemaran di perairan sungai dan laut sehingga sangat beracun, dan sebagainya. Sudah pasti kondisi ini akan merugikan keuangan negara. Belum lagi kerugian akibat kebakaran hutan, kerusakan sungai, danau dan laut, kerusakan tanah dan sebagainya. Dalam hal ini mentalitas bangsa Indonesia ini juga dipertanyakan. Mentalitas yang korup ini ternyata berdampak sangat merusak lingkungan hidup yang pada akhirnya nanti juga akan merusak semua yang ada di negara ini. Mentalitas korup ini harus segera diakhiri dan diubah menjadi mentalitas yang lebih baik, lebih peduli dan lebih produktif. Bagaimanapun juga anak cucu kita juga berhak menikmati kekayaan negeri ini.
Menurunnya Kualitas Hidup.
Lingkungan hidup yang telah rusak akan bukan saja akan menurunkan kualitas lingkungan itu sendiri, namun lebih jauh akan berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya, serta kualitas hidup global. Kondisi ini akan berdampak negatif di kemudian hari, seperti kemerosotan daya pikir, lemahnya fisik, rentan terhadap penyakit dan sebagainya yang juga berarti kemunduran sebuah generasi. Luar biasa sekali akibat yang dihasilkan oleh kerusakan lingkungan, dan sebagian besar lingkungan hidup kita rusak diakibatkan oleh tindakan korupsi. Sungguh suatu tindakan yang sangat biadab, karena korupsi yang dilakukan benar-benar menghancurkan kehidupan.
Upaya Pemberantasan Korupsi
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api. Berikut periode era serta upaya pemberantasan yang pernah dilakukan:
Era Orde Lama.
- Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi, Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya.
- Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
- Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/ Kasab dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan.
- Soebandrio mengumumkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi
Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
- Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
Era Orde Baru.
- Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
- Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
- Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto.
- Dibentuk Komite Empat beranggotakan tokohtokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
- Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pang kopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi.
- Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
- Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman.
- Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya pemberantasan KKN.
- Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
- Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang meli batkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate.
- Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
- Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang notabene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
- Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat men jadi KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan membe- rantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Ada yang mengatakan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian, bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Merupakan sebuah realita bahwa kita sudah memiliki berbagai perangkat hukum untuk memberantas korupsi yaitu peraturan perundang-undangan. Kita memiliki lembaga serta aparat hukum yang mengabdi untuk menjalankan peraturan tersebut baik kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kita bahkan memiliki sebuah lembaga independent yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kesemuanya dibentuk salah satunya untuk memberantas korupsi. Namun apa yang terjadi? Korupsi tetap tumbuh subur dan berkembang dengan pesat.
Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana.
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008) :
1. kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment);
3. kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment / mass media).
Melihat pembedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Barda Nawawi Arief, upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat. Sasaran dari upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan dalam hal ini korupsi, yakni berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi baik politik, ekonomi maupun sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan korupsi. Upaya yang kedua adalah upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief: 1998) adalah:
dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi);
dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi;
sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan yang negatif;
penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana;
hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks;
sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional;
efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan oleh para ahli.
Bahwa kita tidak dapat hanya mengandalkan hukum (pidana) saja dalam memberantas korupsi. Padahal beberapa kalangan mengatakan bahwa cara untuk memberantas korupsi yang paling ampuh adalah dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya kepada pelaku korupsi. Kepada pelaku yang terbukti telah melakukan korupsi memang tetap harus dihukum (diberi pidana), namun berbagai upaya lain harus tetap terus dikembangkan baik untuk mencegah korupsi maupun untuk menghukum pelakunya. Kita bertanya-tanya adakah gunanya berbagai macam peraturan perundang-undangan, lembaga serta sistem yang dibangun untuk menghukum pelaku korupsi bila hasilnya tidak ada. Jawabannya adalah: jangan hanya mengandalkan satu cara, satu sarana atau satu strategi saja yakni dengan menggunakan sarana penal, karena ia tidak akan mempan dan tidak dapat bekerja secara efektif. Belum lagi kalau kita lihat bahwa ternyata lembaga serta aparat yang seharusnya memberantas korupsi justru ikut bermain dan menjadi aktor yang ikut menumbuh suburkan praktek korupsi.
Berbagai Strategi dan/atau Upaya Pemberantasan Korupsi.
Berbagai upaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi yang dikembangkan oleh United Nations yang dinamakan the Global Program Against Corruption dan dibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC : 2004) .
Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi.
a. Salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi. Sebagai contoh di beberapa negara didirikan lembaga yang dinamakan Ombudsman. Lembaga ini pertama kali didirikan oleh Parlemen Swedia dengan nama Justitieombudsmannen pada tahun 1809. Peran Lembaga ombudsman menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh lembaga pemerintah dan pegawainya. Selain itu lembaga ini juga memberikan edukasi pada pemerintah dan masyarakat serta mengembangkan standar perilaku serta code of conduct bagi lembaga pemerintah maupun lembaga hukum yang membutuhkan. Salah satu peran dari ombudsman adalah mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004). Di Hongkong dibentuk lembaga anti korupsi yang bernama Independent Commission against Corruption (ICAC); di Malaysia dibentuk the Anti-Corruption Agency (ACA). Kita sudah memiliki Lembaga yang secara khusus dibentuk untuk memberantas korupsi. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik daritingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi.
c. Di tingkat departemen, kinerja lembaga-lembaga audit seperti Inspektorat Jenderal harus ditingkatkan. Selama ini ada kesan bahwa lembaga ini sama sekali ‘tidak punya gigi’ ketika berhadapan dengan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi.
d. Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu cara untuk mencegah korupsi. Semakin banyak meja yang harus dilewati untuk mengurus suatu hal, semakin banyak pula kemungkinan untuk terjadinya korupsi. Salah satu cara untuk menghindari praktek suap menyuap dalam rangka pelayanan publik adalah dengan mengumumkan secara resmi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk mengurus suatu hal seperti mengurus paspor, mengurus SIM, mengurus ijin usaha atau Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dsb.
e. Salah satu hal yang juga cukup krusial untuk mengurangi resiko korupsi adalah dengan memperbaiki dan memantau kinerja Pemerintah Daerah. Sebelum Otonomi Daerah diberlakukan, umumnya semua kebijakan diambil oleh Pemerintah Pusat. Dengan otonomi yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, kantong korupsi tidak terpusat hanya di ibukota negara saja tetapi berkembang di berbagai daerah. Untuk itu kinerja dari aparat pemerintahan di daerah juga perlu diperbaiki dan dipantau atau diawasi.
f. Dalam berbagai pemberitaan di media massa, ternyata korupsi juga banyak dilakukan oleh anggota parlemen baik di pusat (DPR) maupun di daerah (DPRD). Alih-alih menjadi wakil rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota parlemen justru melakukan berbagai macam korupsi yang ‘dibungkus’ dengan rapi. Daftar anggota DPR dan DPRD yang terbukti melakukan korupsi menambah Panjang daftar korupsi di Indonesia. Untuk itu kita perlu berhati-hati ketika ‘mencoblos’ atau ‘mencontreng’ pada saat Pemilihan Umum. Jangan asal memilih, pilihlah wakil rakyat yang punya integritas. Berhati-hati pula ketika DPR atau DPRD akan mengeluarkan suatu kebijakan atau peraturan perundang-undangan, masyarakat sipil (civil society) dan media harus ikut mengawal pembuatan kebijakan tersebut.
2. Pencegahan Korupsi di Sektor Publik.
a. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain misalnya anggota keluarga.
b. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini.
c. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota militer juga perlu dikembangkan.
d. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu kinerja pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus disertai dengan berbagai pra-kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi korupsi, karena salah-salah hal ini justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi bonus diantara para pegawai negeri.
3. Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat.
a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian yang sangat penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan. Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa (baik cetak maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi. Spanduk dan poster yang berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’ dipasang di kantor-kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi. Di beberapa negara termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar maupun menengah dan perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan secara nasional. Transparency International juga mengeluarkan toolkit mengenai pendidikan anti korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar.
c. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi misalnya via telepon, surat atau telex. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.
d. Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.
e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi, media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik.
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau internasional juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas korupsi. Mereka adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang keberadaannya tidak dapat diremehkan begitu saja. Misal ICW (Indonesia Corruption Watch), salah satu LSM local yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini menjadi salah satu garda terdepan yang mengawasi segala macam perbuatan pemerintah dan perilaku anggota parlemen dan lembaga peradilan.
g. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang
pada tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones atau kamera video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television) atau data interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana banyak digunakan telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik.
4. Pengembangan dan Pembuatan Berbagai Instrumen Hukum yang Mendukung Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan electronic surveillance juga perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur. Pasal-pasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen atau dihapuskan. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrument Kode Etik atau code of conduct yang ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
5. Monitoring dan Evaluasi.
Ada satu hal penting lagi yang harus dilakukan dalam rangka mensukseskan pemberantasan korupsi, yakni melakukan monitoring dan evaluasi. Tanpa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pekerjaan atau kegiatan pemberantasan korupsi, sulit mengetahui capaian yang telah dilakukan. Dengan melakukan monitoring dan evaluasi, dapat dilihat strategi atau program yang sukses dan yang gagal.
6. Kerjasama Internasional.
Hal lain yang perlu dilakukan dalam memberantas korupsi adalah melakukan kerjasama internasional atau kerjasama baik dengan negara lain maupun dengan International NGOs. Sebagai contoh saja, di tingkat internasional, Transparency Internasional (TI) misalnya membuat program National Integrity Systems. OECD membuat program the Ethics Infrastructure dan World Bank membuat program A Framework for Integrity.
Fokus Pemberantasan Korupsi di Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Dengan terbitnya Perpres 54/2018 ini, maka Perpres Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dinyatakan sudah tak berlaku lagi. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Perpres 54/2018, bahwa fokus strategi nasional pencegahan korupsi meliputi tiga hal. Yakni, perizinan dan tata niaga; keuangan negara; serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi. "Fokus Stranas PK (Strategi Nasional Pencegahan Korupsi) sebagaimana dimaksud ayat (1) dijabarkan melalui Aksi PK," bunyi Pasal 3 ayat (2). Perpres menyebutkan, perizinan dan tata niaga menjadi fokus lantaran dua hal tersebut bersentuhan langsung dengan masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah menilai, korupsi di sektor perizinan dapat menghambat kemudahan berusaha dan investasi, pertumbuhan ekonomi hingga lapangan kerja. Sedangkan korupsi di sektor tata niaga berdampak pada biaya ekonomi tinggi pada komoditas pokok, sehingga menjadi beban terutama bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Pada sektor perizinan dan tata niaga ini terdapat tantangan yang dapat dihadapi. Tantangan tersebut adalah, terlalu banyak regulasi yang mengatur kewenangan perizinan; kewenangan menerbitkan izin belum sepenuhnya dilimpahkan dari instansi teknis ke PTSP baik di pusat maupun daerah; belum diberlakukannya standar layanan perizinan yang sama di seluruh daerah; masih terbatasnya pelibatan masyarakat untuk mengawasi perizinan di tingkat pusat dan daerah; menguatnya praktik kartel dan monopoli dalam tata niaga sektor strategis pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan dan energi; rendahnya pelibatan pelaku usaha dalam pencegahan korupsi; dan belum berkembangnya budaya pencegahan korupsi pada sektor swasta. Untuk fokus kedua terkait keuangan negara. Dalam Perpres disebutkan bahwa pengelolaan keuangan negara pada prinsipnya menyangkut dua sisi utama yakni penerimaan (revenue) dan belanja (expenditure). Alasan korupsi pada sisi penerimaan negara menjadi fokus karena berdampak pada tidak tercapainya target penerimaan negara serta pelayanan publik dan pembangunan menjadi tidak optimal serta tak tepat sasaran. Sedangkan korupsi pada sisi belanja terutama pada proses perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jika pencegahan tidak dilakukan, berdampak pada tidak tercapainya target pembangunan nasional. Tantangan pada fokus ini antara lain masih adanya penyelewengan dan kriminalisasi petugas pada sektor pajak dan non pajak; belum optimalnya kerjasama pertukaran data keuangan dan perpajakan; belum terintegrasinya kebijakan, proses perencanaan, penganggaran dan realisasi belanja negara; pengadaan barang dan jasa belum independen dan didukung sumber daya manusia yang profesional; serta masih terbatasnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan keuangan negara di tingkat pusat maupun daerah. Sedangkan pada fokus ketiga yakni penegakan hukum dan reformasi birokrasi lantaran keduanya sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan publik kepada negara. Tantangan pada fokus ini antara lain, belum optimalnya koordinasi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara, khususnya pertukaran informasi dan data lintas aparat penegak hukum; masih lemahnya adaptasi proses penegakan hukum pada era digital dengan modus kejahatan yang semakin berkembang dan kompleks; masih terjadinya penyelewengan dalam penegakan hukum. Kemudian, lemahnya independensi pengawasan dan pengendalian internal pemerintah, inspektorat pada kementerian, lembaga dan pemerintah daerah; lemahnya pengawasan sistem merit dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), belum meratanya kualitas keterbukaan informasi serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan layanan publik; dan belum terintegrasinya system pengawasan pembangunan dan pemanfaatan program serta pembangunan desa.
Dalam Perpres disebutkan, dalam rangka menyelenggarakan strategi nasional pencegahan korupsi, maka dibentuk Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK). Tim ini terdiri atas menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang aparatur negara, kepala lembaga non-struktural yang menyelenggarakan dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis, serta unsur pimpinan Komisi Pemberantasan korupsi (KPK). Timnas PK ini menetapkan aksi pencegahan korupsi setiap dua tahun sekali. Dalam menyusun aksi pencegahan korupsi, Timnas PK berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait. Dalam menyusun aksi pencegahan korupsi, Timnas PK juga melakukan penyelarasan dengan kebijakan pemerintah pusat, kebijakan pemerintah daerah dan kebijakan strategis KPK. Tugas Timnas PK antara lain mengoordinasikan, menyinkronisasikan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan strategis nasional pencegahan korupsi di kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Timnas PK juga menyampaikan laporan capaian pelaksanaan strategi nasional pencegahan korupsi di kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait kepada Presiden. Timnas PK juga bertugas mempublikasikan laporan capaian pelaksanaan aksi pencegahan korupsi kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, Timnas PK berwenang menyusun langkah kebijakan penyelesaian permasalahan dan hambatan pelaksanaan aksi pencegahan korupsi. Penyusunan langkah kebijakan ini berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait. Untuk mendukung kelancaran tugasnya, Timnas PK dibantu oleh Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi yang berkedudukan di KPK.
Berkaca pada Pemberantasan Korupsi di Negara Maju; dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2017, Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan bahwa aturan mengenai pemberantasan korupsi masih memiliki banyak kekurangan. Tidak hanya itu, Agus pun secara terang-terangan menyebut UU Pemberantasan Korupsi yang dimiliki Indonesia sudah kuno. Menengok pada tetangga sebelah, Singapura, Indonesia bisa dibilang tertinggal dalam pemberantasan korupsi. Dalam Indeks Persepsi Korupsi dunia yang diprakarsasi oleh Transparency International tahun 2016, Singapura menempati urutan ke-7 sebagai negara dengan tingkat korupsi terendah sedunia. Indonesia sendiri hanya mampu berada di urutan ke-90 dari 176 negara. Jika dibandingkan dengan Indonesia, Singapura memiliki payung hukum mengenai pemberantasan korupsi yang memang bisa dibilang lebih baik. Salah satu indikatornya adalah, Singapura mampu menangani kasus korupsi maupun gratifikasi yang terjadi pada sektor swasta. Sesuatu yang belum dapat dijamah oleh Indonesia. Dari segi payung hukum, Singapura memiliki UU antikorupsi utama yang dikenal sebagai The Prevention of Corruption Act (PCA). UU tersebut menjadi dasar bagi keberadaan lembaga antikorupsi di sana, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB). Menariknya, kehadiran CPIB jauh lebih awal jika dibandingkan dengan peraturannya, PCA. Kala itu, CPIB pertama kali dirikan pada tahun 1952 oleh pemerintahan kolonial Inggris. Sementara itu, PCA baru diundangkan pada tanggal 17 Juni 1960 oleh Menteri Dalam Negeri, Ong Pang Boon. Adapun alasan di balik didirikannya CPIB maupun diundangkannya PCA, dipicu oleh maraknya penyelundupan di kalangan bea cukai sejak tahun 1950. Namun tak hanya PCA, Singapura juga memiliki The Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act, Cap 65A (CDSA). CDSA diundangkan pada tahun 1999. CDSA sendiri merupakan pelengkap bagi PCA untuk mengatur mengenai hukuman pencucian uang dan sogokan. Tidak hanya itu, CDSA juga mengatur penyitaan aset dari para koruptor.
Di bawah ini merupakan beberapa kelebihan dari UU anti korupsi Singapura, bila dibandingkan dengan UU anti korupsi di Indonesia. Apa saja?
Wewenang Penangkapan.
Salah satu kewenangan CPIB adalah menangkap dan menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan korupsi, tanpa perlu adanya surat perintah penangkapan. Kewenangan tersebut diatur dalam pasal 15 Prevention of Corruption Act (PCA). Sementara di Indonesia, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tak pernah secara spesifik mengatur hal itu. Biasanya, KPK justru selalu membuat surat perintah penangkapan ketika hendak menangkap seseorang. Itu dilakukan dengan merujuk pada Pasal 21 Ayat 2 KUHAP.
Wewenang Investigasi.
Tidak seperti lembaga antikorupsi pada umumnya, CPIB memiliki wewenang lebih untuk mengurus segala kasus hukum, bahkan di luar kasus korupsi. Misal dalam kasus penyalahgunaan wewenang. Wewenang ini diatur secara gamblang pada pasal 19 PCA, disebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat memerintahkan Direktur atau penyidik khusus CPIB untuk melaksanakan kewenangan penyelidikan kepolisian, sesuai KUHAP yang berlaku di sana. Sementara di Indonesia, KPK hanya menjadi lembaga yang mengurus masalah korupsi pada lingkup penyelanggara negara. Pun beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK, tak jarang menjadi polemik karena beririsan dengan apa yang ditangani Polri dan Kejaksaan.
Wewenang Membuka Data Nasabah.
Sebagai sebuah lembaga antikorupsi, CPIB memiliki wewenang yang besar untuk membuka data mengenai rekening nasabah di bank manapun secara langsung. Sederhananya, segala transaksi keuangan yang ada pada bank, berapapun nominalnya, dapat dijadikan referensi bagi CPIB untuk mengusut kasus korupsi. Pada pasal 21 (f) PCA, disebutkan bahwa manajer suatu bank dapat dimintai salinan rekening tersangka, pasangan, atau bahkan anaknya yang ada di bank. Sementara di Indonesia, KPK juga memiliki wewenang seperti itu. Namun, KPK tak bisa membuka data secara langsung. KPK harus berkoordinasi kepada BI terlebih dahulu untuk melakukannya. Koordinasi tersebut tertuang dalam nota kesepemahaman tentang Kerjasama dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengusut Kasus Korupsi Sektor Swasta.
Harus diakui, wewenang KPK hanya pada pengusutan korupsi, termasuk gratifikasi yang dilakukan oleh para penyelenggaran negara. Pada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara, KPK hanya mampu menangani kasus di atas Rp 1 Miliar. Sementara pada kasus gratifikasi, KPK mampu menanganinya tanpa ada nominal minimal. Sementara itu, di Singapura, CPIB justru diberi kewenangan untuk mengatasi kasus korupsi, termasuk gratifikasi di sektor swasta. Data yang dirilis di laman CPIB, menunjukkan, dari tahun ke tahun, korupsi di Singapura didominasi oleh sektor swasta. Pada tahun 2014, ada 148 pekerja swasta (88%) yang diadili karena melakukan tindak korupsi. Sementara di sektor publik, terdapat 20 PNS (12%) yang diadili. Angka ini terus turun ke tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2015, ada 109 pekerja swasta (91%) dan 11 PNS (9%) yang terlibat korupsi. Sementara di tahun 2016, angka itu turun menjadi 96 pekerja swasta (96%) dan 4 PNS (4%) yang diadili.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Yang jelas, ketiadaaan wewenang seperti Singapura menjadi satu masalah tersendiri. KPK tak dapat berbuat banyak tanpa ada satu peraturan yang mumpuni. Tidak mengherankan jika pada akhirnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut UU Pemberantasan Korupsi di Indonesia tergolong kuno. Kuno karena tak dapat berbuat banyak seperti Singapura.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar pada hampir seluruh lini kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia memiliki arti dan peranan yang sangat penting.
Upaya-upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan sejak dulu, namun hingga saat ini masih terdapat beberapa faktor utama yang menghambat tercapainya efektifitas upaya pemberantasan korupsi.
Terdapat beberapa praktek pemberantasan korupsi pada beberapa negara yang dapat dijadikan referensi dalam menyusun desain upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Diantaranya adalah misal pemberantasan korupsi di Singapura.
Indonesia perlu mengembangkan suatu desain pencegahan dan pemberantasan korupsi yang disusun secara komprehensif untuk mendorong percepatan tercapainya efektifitas usaha-usaha pemberantasan korupsi yang berjalan saat ini.
Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi sangat penting. Dengan adanya Perpres itu ke depan pencegahan dan pemberantasan korupsi di lakukan dengan pendekatan sistem. Artinya ada integrasi sistem diantara lembaga terkait baik lembaga pemerintah maupun dengan instansi penegak hukum.
Saran
Penulis menyarankan hal-hal berikut dalam desain pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia:
Untuk menjamin konsistensi dan efektifitas implementasi Desain Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, diperlukan komitmen yang tinggi dari pimpinan instansi-instansi pemerintah terkait, serta dukungan serta elemen-elemen masyarakat.
Usaha Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dapat berupa:
Pendidikan Anti Korupsi sejak dini;
Pembenahan sistem pendidikan moral value;
Melanjutkan Reformasi Birokrasi.
Melakukan penegakan hukum secara tegas dan pemberian hukuman maksimal dalam menyelesaikan kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Membagun situasi politik yang sehat dan bersih.
Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik berbasis e-government untuk memudahkan pengawasannya.
Mengadopsi sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi baik dari negara-negara maju maupun lembaga-lembaga anti korupsi di dunia.
Adanya integrasi sistem pengawasan maupun pemberantasan antar lembaga yang berwenang memberantas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
http://maulizaturrahma.blogspot.com/2014/12/faktor-penyebab-terjadinya-korupsi.html. Diakses pada 30 November 2018.
https://acch.kpk.go.id/id. Diakses pada 30 November 2018.
https://www.academia.edu/10696258/Penegakan_Hukum_dalam_Konteks_Keberhasilan_KPK_dalam_Memberantas_Korupsi. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://www.kompasiana.com/sepernol/552829b9f17e611e218b458b/solusi-berantas-korupsi-pahami-dulu-apa-yang-terjadi. Diakses pada 1 Desember 2018.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b58670a46155/ini-dia-3-fokus-strategi-nasional-pencegahan-korupsi. Diakses pada 2 Desember 2018.
https://kumparan.com/@kumparannews/melihat-undang-undang-korupsi-di-singapura-lebih-baik-dari-indonesia. Diakses pada 2 Desember 2018.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta. 2011.