Academia.eduAcademia.edu

Kebebasan Beragama di Indonesia

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ("UUD 1945"):

Kebebasan Beragama di Indonesia Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Pendahuluan Di Indonesia para ahli, pakar hukum serta para pembicara dalam seminar sudah memperlihatkan kesepakatannya bahwa UUD 1945 pada dasarnya telah mengakui dan memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan secara eksplisit, soal kebebasan beragama telah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi karena telah diamanatkan oleh UUD 1945. Dua pasal dalam konstitusi menyoal hal tersebut yaitu Pasal 28E dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan. Bahkan, Pasal 28I UUD 1945 menegaskan kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan konstitusi telah menjamin kebebasan beragama sebagai prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara dalam kondisi apa pun, tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara. Di Indonesia, pergeseran rezim otoritarian menuju demokrasi jelas menjadi kabar sedap bagi kebebasan beragama, berekspresi dan berasosiasi. Namun, sejauh ini selalu saja bermasalah dalam implementasinya. Bahkan, ketika pemerintahan sudah terbentuk melalui mekanisme demokratis, ternyata belum berdaya mengurangi intensitas problem kebebasan beragama. Malah, Indonesia divonis sebagai pelaku diskriminasi dalam beragama, khususnya terhadap agama minoritas. Secara kasat mata, diskriminasi itu tampak misalnya dalam kebijakan yang mengakui hanya enam agama resmi. Tidak ada keputusan resmi pemerintah terkait pemberlakuan agama resmi kecuali hanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74045 tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP yang antara lain disebutkan bahwa agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Orang atau komunitas di luar agama resmi selalu menjadi pihak yang dirugikan, termasuk kelompok adat yang masuk kategori tidak beragama.[2] Dalam kenyataan bahwa tanpa menyandang label agama resmi, seseorang akan sulit menerima atau memperoleh pelayanan publik dan hak-hak sipil.[3] Kasus pelanggaran prinsip kebebasan beragama terus bermunculan.Di tengah arus kencang demokratisasi, pemasungan kebebasan beragama justru makin marak. Aktualisasinya beragam, mulai dari ceramah atau tulisan bernada menghujat kelompok tertentu, penutupan rumah ibadah, aksi bersenjata, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama utama hingga terbitnya fatwa-fatwa keagamaan yang justru dianggap intoleran. Termasuk juga kejadian Nashr Hamid Abu Zayd, Guru Besar Universitas Leiden Belanda asal Mesir, yang dicekal beberapa waktu lalu saat hendak berbicara di Riau dan Malang.[4] Kenyataan-kenyataan itu menguatkan incompatibilitas jaminan konstitusi atas kebebasan beragama terhadap implementasi dalam kehidupan bernegara.Bagaimana ini terjadi? Fenomena paling mengusik adalah jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia menjadi tidak lebih dari “teks mati” yang lemah dan sulit ditegakkan. Problematika itu ditengarai terkait erat dengan bias tafsir atas pasal-pasal terkait dalam konstitusi. Tafsir yang bias menyaru menjadi justifikasi bagi hampir seluruh peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.[5] Kondisi demikian pada gilirannya akan membuat konstitusi yang mestinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama, kian kentara rapuhnya. Menukil ucapan Abbe de Sieyes, pakar konstitusi Prancis, konstitusi sebagai hukum tertinggi berisi kewajiban-kewajiban untuk dipatuhi dan dilaksanakan, jika tidak ia tidak akan berarti apapun. Kondisi konstitusi tanpa konstitusionalitas, akan dijumpai dengan segenap eksesnya. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. DAFTAR PUSTAKA -A Qodri Azizy, Hukum Nasional, Ekletisisme Hukum Islam dan Hukum Umum, Teraju Mizan, Bandung, 2004. -Eka Damaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987. -Jawahir Thontowi, Hak Konstitusional Perda Syariat Islam, Makalah yang disampaikan dalam Diskusi Panel "Pro dan Kontra PERDA Syariah", diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Agama Islam-Magister Studi Islam UII, pada Sabtu, 20 Agustus 2006 di Kampus FIAI UII, Yogvakarta. -Laporan tentang Tingkat Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report) Tahun 2004, 2007 dan 2008, yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. -Laporan Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2008 yang dipublikasikan SETARA Institute. -Lukman Hakim Saefuddin, Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk “Kongres Pancasila” yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, di Yogyakarta, 30 Mei-1 Juni 2009. -Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam Konggres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1 Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta. -Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006. -______________, Pengembangan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Makalah dalam Seminar Nasional Formalisasi Syari’ah dalam Konteks Keindonesiaan: Tinjauan Multi Disipliner, diselenggarakan dalam rangka Setengah Abad Universitas Islam Bandung, Bandung, 28 Agustus 2008. -_______________, Pancasila sebagai Hasil Karya dan Milik Bersama, Makalah Pelengkap atas naskah Keynote Speech pada Konggres Pancasila yang diselenggarakan dalam bentuk kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 30 Mei 2009. -RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004 -Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi, Makalah yang disajikan pada Lokakarya Nasional Komnas HAM “Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi”, di Hotel Borobudur Jakarta, 8 -11 Juli 2008.