Academia.eduAcademia.edu
Kurva Popularitas Khilafah Dan Kritik Atas Pandangan Barat Septian Abu Wisam (septian.shum@gmail.com) "...klaim runtuhnya Khilafah dalam Islam tidaklah tepat. Satu-satunya yang hilang hanyalah keberadaan khalifah, dan menegakkan Khilafah masih tetap menjadi kewajiban di pundak umat.” -- Mohammad Bakhit al-Mutee’i, Haqiqa Al-Islam Wa Usul Al-Hukm, 1925. Pendahuluan Perbincangan tentang Khilafah, sebagaimana yang bisa disaksikan hari ini, menjadi hal yang banyak muncul di tengah masyarakat. Betapapun pandangan pro dan kontra nampak, Khilafah menjadi tema populer di hampir seluruh media komunikasi baik cetak maupun digital. Beragam latar belakang masyarakat terlibat dalam perbincangan tema ini, baik dari kalangan ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat yang lain hingga orang awam sekalipun. Khilafah telah menjadi perbincangan yang melibatkan beragam lapisan masyarakat dengan segala intonasinya. Secara historis, Khilafah adalah sebuah pemerintahan yang berkembang menjadi imperium transnasional multietnis di mana ikatan iman dan aturan syariah merupakan dasar bagi pemerintahan yang terpusat. Khalifah sebelumnya memerintah atas bagian - tetapi tidak semua - dari dunia Muslim antara abad ketujuh dan kedua puluh, dan manifestasi terakhirnya, Khilafah Turki Usmani, dihapuskan pada tahun 1924. Bagi umat Islam, konsep dan visi Khilafah telah hidup sepanjang sejarah keberadaan mereka. Meskipun sesaat daya tarik terhadap Khilafah pernah menghilang namun hari ini, sebagaimana yang diungkap sejumlah peneliti barat, Khilafah telah memunculkan perdebatan panas lebih dari konsep Islam lainnya. Di tengah populernya isu tentang Khilafah dewasa ini, terdapat sejumlah hal penting yang jadi menarik untuk ditinjau ulang. Hal tersebut diantaranya soal bagaimana tanggapan masyarakat Islam terutama kalangan ulama atas pembubaran Khilafah Usmani sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Hal lain adalah soal kapan awal ide perjuangan Khilafah ini muncul lalu mengapa perlahan menghilang ketika itu. Peninjauan ulang tersebut perlu dilakukan agar terungkap informasi mendalam tentang persepsi mayarakat terhadap isu Khilafah sepanjang berjalannya waktu. Kemudian, informasi itu diharapakan bisa menjadi pertimbangan ataupun gambaran atau bahkan proyeksi untuk melihat ke arah mana isu yang berkembang saat ini akan berujung; keberhasilan atau kegagalan-kah? Makalah ini secara singkat akan membahas permasalahan yang telah diungkap di atas. Beberapa literatur menjadi referensi agar dapat diperoleh informasi utuh seperti yang diharapkan. Tentang tanggapan masyarakat Islam terutama kalangan ulama terhadap penghapusan sistem Khilafah, buku Mona Hassan Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History paling baik untuk dijadikan rujukan. Buku yang diadaptasi dari disertasi ini membahas pandangan masing-masing sejumlah ulama terkait masalah kebijakan penghapusan Turki Usmani dan keabsahan sistem Khilafah dalam ajaran Islam, baik yang pro maupun kontra. Adapun buku Reza Pankhurst The Inevitable Caliphate a History Of The Struggle For Global Islamic Union 1924 To The Present memberikan banyak gambaran tentang berbagai usaha awal penegakan kembali Khilafah yang telah dilakukan sejumlah ulama bersama elemen umat Islam yang lain di masa lalu. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini juga menjelaskan tentang sebab-sebab kegagalan dan latar mengapa akhirnya usaha tersebut ditinggalkan oleh arus utama umat Islam. Melihat Titik Balik Perjuangan Khilafah Sepanjang keberlangsungan sejarah Umat Islam, keberadaan institusi Khilafah, betapapun ideal atau tidaknya, teteap tegak membersamai Umat. Hal ini berarti bahwa keduanya selalu berbarengan ada. Keduanya secara natural bersanding dalam catatan-catatan sejarah. Memang benar, bahwa runtuhnya 1 Khilafah pada 1924 bukanlah kali pertama institusi ini absen dalam sejarah umat. Peristiwa runtuhnya kota Baghdad pada 1258 menjadi awal Khilafah hilang di tengah umat. Namun tidak membutuhkan waktu lama bagi umat Islam saaat itu kembali menemukan Khilafah yang baru. Tahun 1261 orang-orang Mamluk berhasil mengembalikan Kekhilafah Abasiyah II di Mesir hanya dalam rentang tiga tahun. Meskipun rentang waktu tersebut secara normatif tidak dibenarkan dalam Islam, itu, relatif lebih cepat dibanding kegagalan setelah keruntuhan kedua Khilafah di Istanbul. Menyandingkan hilangnya kekhalifahan ini pada abad ke-20 dengan ketiadaannya yang singkat pada abad ke-13 juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tertentu tentang kesamaan antara skenario yang tampaknya berbeda. Kedua peristiwa itu terpisah hampir tujuh abad, ibu kota mereka di Baghdad dan Istanbul terpisah, wilayah mereka tidak sepenuhnya bersatu, dan satu lembaga dilenyapkan oleh tentara asing sementara yang lain tersapu bersih melalui tindakan internal sebuah majelis. Kemudian apa yang menyebabkan keduanya berbeda dalam hal waktu kembalinya Khilafah. Pencarian alternatif pemerintahan di tengah umat Islam menjadi problem utamanya. Pasca Usmani runtuh telah menancap di tengah umat konsep politik alternatif yang notabenya berasal dari peradaban Barat. Hal ini yang tidak terjadi pada abad ke-13 dimana Khilafah dan apa yang ditunjukan oleh tradisi Islam dalam kepemimpinan menjadi satu-satunya pilihan. Ketidak jelasan bentuk Khilafah, karena penyelewangan berabad-abad, serta muncul gagasan pemerintah Barat telah menarik minat umat Islam untuk melirik alternatif apa yang peradaban Barat bisa berikan. Alih-alih kembali kepada Khilafah justru wacana dominan tahun 1930-an hingga setelahnya menjadikan demokrasi dan nasionalisme sebagai arah sikap politik. Celakanya adalah semua itu pilihan sejalan dengan agenda Barat sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian Sykes-Picot. Proses dekolonisasi yang terjadi segera setelah berakhirnya Perang Dunia II membuka peluang politik di wilayah Arab dan dunia Muslim secara luas, seperti terlihat dari bangkitnya nasionalisme Arab dan pan-Arabisme yang menggantikan ideologi nasional negara-negara yang terpecah. Beberapa kerajaan di wilayah Arab mencoba bertahan dengan rezim nasional warisan Barat. Akan tetapi, mereka terancam oleh Republik Arab Bersatu pimpinan Gamal Abdul Nasser dari Mesir. Kegagalan Liga Bangsa Bangsa (LBB) yang terbentuk pada 1920-an akhirnya menyebabkan pupusnya aspirasi negara-negara terjajah, seperti Afrika dan Asia, dan memaksa gerakan anti-penjajahan mencari inspirasi alternatif. Berdirinya negara Israel pada 1948 dipandang akibat kelemahan dan ketidakmampuan negara-negara Arab yang terpecah. Sebagian besar gerakan alternatif pada waktu itu memperoleh inspirasi dari Uni Soviet dan menyebut diri mereka sebagai kaum sosialis dan komunis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di antara kaum Muslim, terdapat pihak yang menoleh ke belakang dan kembali mengkaji sejarah Islam dan aspek normatifnya, dengan mencoba menghidupkan kembali teori Khilafah sebagai simbol persatuan alternatif untuk menggantikan simbol Arab. Langkah itu tampaknya lebih cenderung muncul dari dalam dunia Arab karena sejarah penyebaran bangsa Arab secara intrinsik sangat berkaitan dengan Islam dan bahasa Arab. Namun, seruan ini melemah ketika pan-Arabisme yang sekuler menjadi kerangka dominan dalam perjuangan meraih kemerdekaan dan persatuan pada 1950-an dan 1960-an. Akan tetapi, setelah serangkaian rintangan, yang berujung pada kekalahan pada Perang Arab-Israel pada 1967, ideologi ini kehilangan kejayaannya. Jika perpecahan dianggap sebagai penyebab kekalahan pada 1948, sekulerisme dianggap sebagai penyebab kekalahan pada 1967. Namun, pemberontakan melawan rezim sekuler yang paling sengit justru terjadi di Iran, tanah bagi kaum Syiah, dan bukan di negara Sunni. Setelah kekuatan Shah digulingkan, lembaga pemuka agama membentuk otoritas agama Iran yang mengatur negara. Pemberontakan juga dilakukan oleh berbagai kelompok di Mesir dengan mencoba menggulingkan Anwar Sadat sebagai reaksi terhadap perjanjian damai Camp David dengan Israel. Akan tetapi, alih-alih meruntuhkan rezim dan menggantikannya dengan negara Islam, upaya itu justru memicu konflik internal yang terus berlangsung selama hampir dua dekade. Seruan terhadap politik Islam saat itu meningkat, dan keterlibatan rezim Saudi pada serangan Amerika terhadap Irak pada 1991 meruntuhkan klaim mereka sebagai negara Islam yang merepresentasikan Islam Sunni terbesar. Selain itu, sebagian besar pemerintahan di kawasan tersebut tampak tidak representatif, terpecah belah, dan hanya mampu mempertahankan kekuasaannya melalui penindasan dan dukungan Barat yang menutup mata terhadap kezaliman (atau bahkan mendorong dan terlibat di dalamnya) demi mengamankan sumber daya minyak dan kepentingan geopolitik lainnya. 2 Kekecewaan yang berulang kali ditimbulkan oleh kapitalisme dan kegagalan komunisme sebagai ideologi alternatif membuat semakin banyak kaum Muslim kembali lagi kepada agama dan sejarah mereka untuk menemukan jawaban terhadap kerusakan politik kontemporer di negeri-negeri mereka, dan sebagian pihak menemukan bahwa solusinya adalah Khilafah. Di dalam dunia dengan batas-batas wilayah buatan, memang tidak mengherankan jika terjadi pertukaran gagasan, termasuk gagasan tentang sebuah pemerintahan yang berlandaskan paradigma organisasi lain. Bentuk pemerintahan dengan latar belakang peradaban dan agama membuat gagasan Khilafah semakin mudah diterima, terutama ketika semua alternatif lain dianggap gagal. Beberapa pihak memanfaatkan Khilafah untuk melegitimasi pemerintahan yang berkuasa dan segala urusannya, dengan mengklaim bahwa pemerintahan itu merupakan batu loncatan bagi tegaknya Khilafah. Akan tetapi, cara itu sebenarnya tidak lagi efektif karena rezim-rezim lokal semakin jauh dari umat dan kurang mendapatkan dukungan dan otoritas rakyat. Hal itu menandakan bahwa seruan kepada Khilafah telah menjelma menjadi seruan untuk mewujudkan otonomi politik dan perubahan radikal, yakni menggulingkan status quo. Sentimen umat di Timur Tengah dan negeri Muslim lainnya untuk melawan campur tangan asing, baik secara militer maupun non-militer, semakin berkembang. Rezim penguasa pun gagal untuk melindungi tidak hanya kepentingan dan keamanan rakyatnya sendiri, tetapi juga kepentingan agama dan keamanan negara tetangganya. Berbagai bentuk kekecewaan itu akan terus mendorong keinginan untuk mencari alternatif yang dianggap lebih representatif terhadap keyakinan dan nilai-nilai umat. Ketidakpuasan itu akhirnya memicu pergolakan di seluruh kawasan Timur Tengah pada akhir tahun 2010. Rakyat menyatukan keyakinan mereka bahwa status quo tidak dapat diterima dan penindasan yang dilakukan pemerintah harus diakhiri. Setelah pergolakan berakhir, sistem politik memang lebih terbuka, tetapi tidak memiliki arah politik yang jelas. Dapat dikatakan bahwa rezim sebenarnya tetap bertahan, dan yang terjadi hanyalah pergantian sosok penguasa. Namun, tidak dapat dipungkiri, peristiwa itu melahirkan atmosfer baru yang memungkinkan terjadinya diskusi dan perdebatan politik yang aktif di Timur Tengah. Dengan demikian, diskusi mengenai Khilafah niscaya akan terus berlanjut dan menembus ruang publik dengan lebih dahsyat. Ketiadaan otoritas politik Islam yang utama sebagai representasi kepentingan Islam dalam hubungan internasional membuat sebagian pihak menjadikan kondisi itu sebagai faktor pendorong untuk menyeru kepada perlawanan global terhadap apapun yang dianggap sebagai penjajahan dan ketidakadilan Barat, ditambah dengan ketiadaan otoritas agama yang membuat sebagian pihak lebih memilih untuk terlibat dalam perlawanan, ketimbang menceburkan diri ke dalam rezim penguasa. Perjuangan Hari Ini dan Prospek Masa Depan Khilafah jelas merepresentasikan hal yang berbeda di benak para pendukung dan penentangnya. Pada awal abad ke-20, para pendukungnya menganggap Khilafah sebagai simbol persatuan Islam. Ia adalah harapan terakhir dalam melawan imperialisme Barat, dan titik tolak untuk memperkuat identitas umat melawan segala bentuk nasionalisme baru. Bahkan, Khilafah dianggap sebagai kendaraan yang mampu memperluas pengaruh politik para elit di kawasan itu. Para penentangnya mengklaim bahwa Khilafah merupakan simbol peradaban yang telah usang. Para pemimpin anti-modernitas yang totaliter sekalipun merasa khawatir jika Khilafah dimanfaatkan untuk menjegal perjuangan politik yang mereka lakukan melalui berbagai struktur monarki yang tersebar di seluruh kawasan. Terhapusnya Khilafah dari benak publik selama beberapa dekade, kemunculannya kembali sebagai bagian dari apa yang dianggap sebagai kebangkitan Islam, dan terbukanya ruang publik untuk diskusi politik di Timur Tengah terutama setelah terjadinya fenomen Arab Spring 20010, telah melahirkan momentum baru untuk kembalinya Khilafah. Faktanya, banyak faktor yang mendorong populasi Muslim di Timur Tengah dan di wilayah lain untuk mencari alternatif bagi tatanan politik mereka saat ini. Berbagai faktor itu di antaranya pendudukan wilayah yang dianggap penting secara religius seperti Palestina, penindasan populasi Muslim di berbagai daerah yang diyakini menjadi bagian sejarah Islam seperti di Kashmir atau wilayah Kaukasus, kemiskinan yang melanda banyak wilayah komunitas Muslim meskipun mereka memiliki kekayaan berupa sumber daya alam dan buatan, sikap tunduk negara terhadap agenda asing, dan penindasan rezim yang telah menekan rakyat tanpa mempedulikan kepentingan dan nilai-nilai mereka. Itu semua terjadi di berbagai negara baik yang berbentuk republik seperti Mesir, 3 negara pseudo-demokrasi seperti Pakistan, maupun monarki seperti Maroko atau Yordania. Kekecewaan itu sama-sama dirasakan karena identitas kolektif Muslim yang terwakili dalam konsep umat, meskipun mereka terpecah menjadi negara-bangsa yang merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan di kawasan itu selama beberapa generasi. Dengan kegagalan negara-bangsa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi umat, Khilafah disodorkan sebagai sebuah alternatif. Gagasan tentang umat dan representasi politiknya dalam bentuk Khilafah berasal dari sumber-sumber hukum Islam. Pada Oktober 2007, massa sekitar 100.000 orang memadati stadion Gelora Bung Karno Jakarta untuk "mendorong terciptanya satu negara di Dunia Islam.” Acara itu menjadi perhelatan terbesar dari serangkaian konferensi dan unjuk rasa damai di berbagai lokasi, dari Inggris, Palestina, hingga Ukraina, yang diselenggarakan oleh partai politik Islam, Hizbut Tahrir (Partai Pembebasan). Beberapa kelompok lain juga menunjukkan keinginannya mendirikan Khilafah, mulai dari kelompok tertutup yang berbasis di Indonesia, Jamaah Islamiyah, hingga partai oposisi Maroko, Justice and Charity Party (Partai Keadilan dan Amal). Tidak hanya itu, dalam pidato pada pertengahan 2006, pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden, menegur "saudara-saudaranya dalam Jihad" di "Baghdad, rumah bagi Khilafah," bahwa mereka "tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk mendirikan cikal bakal Khilafah.”4 Sejak pergolakan Arab pada akhir tahun 2010, sejumlah tokoh Islam dari seluruh negara yang terdampak mengumumkan secara terbuka bahwa perubahan di Timur Tengah merupakan langkah menuju penegakan kembali Khilafah. Seruan disampaikan oleh para pemimpin oposisi terkemuka. Syekh Abdul Majid al-Zindani berseru kepada kerumunan pendukungnya di Yaman. Ulama setempat, Syekh Yusuf al-Eid, juga berorasi di depan para demonstran di kota Daraa, Suriah. Penegakan kembali Khilafah juga diserukan dari balik mimbar berbagai masjid besar di Mesir (dan disiarkan melalui berbagai jaringan TV satelit, yang baru saja diluncurkan dalam suasana yang lebih permisif pasca-pergolakan). Seruan itu bahkan disinggung dalam pidato sekretaris jenderal partai Tunisia en-Nahda, Hamadi Jbeli, setelah meraih kursi dalam pemilu. Ia berkata kepada para pendukungnya bahwa "kita berada di Khilafah keenam, insyaAllah." Gagasan penegakan Khilafah tampak populer di negeri-negeri Muslim dan didukung oleh akar rumput. Hasil jajak pendapat pada 2007 menunjukkan bahwa 65 persen responden dari empat negara Muslim besar ingin hidup di bawah satu negara. Akan tetapi, gagasan itu belum mendapatkan sambutan positif dari dunia internasional. Pemerintahan George Bush Jr. secara konsisten mengkritik konsep Khilafah Islam global. Pada 2006 saja, kata "Khilafah" disebutkan lebih dari lima belas kali oleh Bush, empat kali dalam satu pidato. Wakil Presiden Bush, Dick Cheney, memperingatkan bahwa al-Qaeda ingin "membangkitkan kembali Khilafah." Sebelum mengundurkan diri, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld juga mengatakan kepada para staff Pentagon bahwa tujuan ekstremis adalah "membangun Khilafah" melalui destabilisasi "rezim Muslim arus utama yang moderat" (banyak di antara rezim tersebut yang digulingkan oleh revolusi yang meletus di seluruh kawasan). "Khilafah" menjadi kata yang banyak dimanfaatkan oleh para politisi yang ingin membangkitkan ketakutan publik. Jika ketakutan itu muncul, serangan asing dan militer akan dianggap sebagai langkah yang benar, sebagaimana diungkapkan oleh mantan Kepala Staf Umum Inggris, Sir Richard Dannatt, pada awal 2010. Ia mendukung kehadiran militer di Afghanistan karena wilayah itu merupakan garis depan pertempuran. Keberadaan militer dapat mencegah "tujuan jangka panjang kaum Islamis" untuk membangkitkan "Khilafah Islam."Gagasan penegakkan Khilafah lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan perlawanan umat terhadap pendudukan militer, atau justifikasi atas kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil Barat. Gagasan Khilafah begitu mengkhawatirkan sehingga aspirasi politik itu dicitrakan sebagai sebuah masalah. Berbagai dokumen Departemen Dalam Negeri yang bocor menguraikan "strategi" kontraterorisme pemerintahan Partai Buruh. Dokumen itu menunjukkan bahwa Muslim akan dilabeli "ekstremis" jika mereka "mendukung Khilafah," atau "negara pan-Islam yang mencakupi banyak negara," terlepas dari cara apapun untuk mencapai tujuan itu. Sejak 2011, masalah resolusi politik setelah pergolakan Arab juga telah menyita perhatian para politisi Barat. Selama pemberontakan bersenjata yang akhirnya menggulingkan Muammar Gaddafi, Menteri Luar Negeri Italia saat itu, Franco Frattini, memperingatkan "ancaman serius" akibat munculnya "Emirat Arab Islam di perbatasan Eropa." Di Amerika Serikat, sekembalinya dari "tanah sucinya," Israel, pada Agustus 2011, anggota kongres AS, Allen West, memperingatkan bahwa “Arab Spring bukanlah gerakan demokrasi, melainkan tahap awal restorasi Khilafah Islam, yang berakhir ketika Kekaisaran 4 Ottoman.” Ia mengambil topik yang awalnya diangkat oleh cendekiawan sayap kanan, Glenn Beck (topik yang kala itu dicemooh secara luas oleh kalangan media). Bukan hanya kepentingan Barat yang tampaknya terancam. “Rezim Muslim arus besar yang moderat" juga menampakkan kerisauannya. Perwakilan provinsi Esfahan untuk Majelis Ahli Iran, Ayatollah Jalaluddin Taheri-Esfahani, menyatakan bahwa “kembalinya pemerintahan ke bentuk Khilafah merupakan bahaya besar yang harus dihindari.” Lembaga lain seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI)—yang didirikan untuk mewakili suara negeri-negeri Muslim di seluruh dunia—juga merasa perlu untuk angkat bicara. Sekretaris Jenderal OKI, Ekmeleddin Ihsanog, menekankan bahwa OKI mewakili persatuan dan solidaritas keagamaan yang sama di masa lalu di bawah Khilafah. Dengan demikian, OKI pada dasarnya sudah menjalankan fungsinya (pernyataan itu, jika benar, menyiratkan bahwa penegakan kembali Khilafah tidaklah terlalu penting). Oleh karena diserukan secara lebih terbuka ke ranah publik dan politik di Timur Tengah sejak 2011, gagasan penegakan Khilafah telah menjadi topik perdebatan antara kalangan liberal dan gerakan Islam. Para pemimpin kelompok yang terang-terangan setuju untuk berjuang dalam sistem sipil yang pluralistik dan mengikuti wacana demokratis di bidang politik seringkali mendapat pertanyaan tentang pandangan mereka mengenai Khilafah di media. Jawaban yang diberikan biasanya menunjukkan pendekatan yang lebih "pragmatis" demi mengambil hati kaum sekuler dan liberal. Ketika dimintai pendapatnya tentang penegakan kembali Khilafah, ketua partai en-Nahda, Rashid al-Ghannouchi, mengakui bahwa Khilafah memang merupakan harapan dan keinginan semua Muslim, meskipun gagasan itu tidak memiliki peran dalam agenda politik partainya (setidaknya pada saat itu). Pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah, Mohammad Ayad, secara tegas menyangkal adanya rencana penegakkan kembali Khilafah di balik pemberontakan gerakannya terhadap rezim Bashar al-Assad. Ia berupaya membedakan tujuan gerakannya dari tujuan Hizbut Tahrir di wilayah tersebut. Sementara itu, pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir, Dr. Mohammad Badie, juga menanggapi perdebatan kalangan Islam Mesir seputar Khilafah. Ia menyatakan bahwa kebangkitan Khilafah, Negara Islam, dan syariah adalah tujuan partainya (sebagaimana pernyataan Hassan al-Banna). Menurutnya, tujuan itu hampir tercapai. Semua perbincangan dan perdebatan seputar Khilafah (termasuk relevansi dan pengaruhnya terhadap era kontemporer dan agenda politik berbagai gerakan di wilayah itu) semakin mencerminkan relevansi gagasan Khilafah saat ini. Dengan wacana politik yang lebih terbuka di Timur Tengah setelah pergolakan Arab, gagasan itu pun semakin menggema. Khilafah telah menemukan kembali momentumnya hari ini. Kepopulerannya tumbuh kembali, setelah hilang selama beberapa dekade dari wacana dunia Islam akibat daya tarik semu konsep politik Barat. Namun hari ini intonansi Khilafah berubah menjadi wacana yang seolah jauh dari Islam. Jika dulu upaya menjauhkan Khilafah dari Islam mendapatkan penentangan sebagaimana yang dialami Ali Abur Raziq, tetapi hari ini justru kebalikan. Berbagai upaya untuk menjelaskan konsepsi Khilafah dalam Islam sering mendapatkan penolakan dari arus utama dunia Islam. Begitupula subjek yang berada dalam penyeruan Khilafah tidak lagi berasal dari mereka berasal dari komunitas ulama yang memiliki kedudukan formal ditengah masyarakat sebagaimana dulu ada dewan ulama Al-Azhar. Hari ini Khilafah diperjuangkan oleh umat Islam yang kerap kali mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Sejak dihapusnya Khilafah pada 1924, ada tiga gerakan yang menyerukan penegakan Khilafah, yakni Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan al-Qaeda. Setiap kelompok mewakili aliran pemikiran yang berbeda dalam pendekatannya: Ikhwanul Muslimin mengadopsi pendekatan bertahap (gradualis) dan mereka berjuang dalam lingkup nasional, tetapi dengan pandangan transnasional. Hizbut Tahrir merupakan partai politik internasional yang berjuang di luar sistem politik nasional, dan al-Qaeda merupakan gerakan reaksioner global yang sarat dengan kekerasan. Meskipun berbeda, masing-masing memiliki pengaruh dalam arus pemikiran Islam dan politik. Dalam perkembangannya sejumlah gerakan ini dinamis pada merekalah yang sejak awal berposisi melawan arus utama penetrasi gagasan politik barat sambil menyerukan Khilafah. Perbedaan ijtihad antara setiap gerakan dianggap sebagai bukti adanya interpretasi yang berbeda. Dalam Islam, proses ijtihad dianggap sah jika mengacu pada sumber-sumber hukum Islam yang sahih. Pada yang sama, titik awal dari semua solusi yang ditawarkan adalah pemahaman mengenai realitas masalah yang dihadapi. Proses yang sama juga dilakukan dalam ijtihad. Untuk menemukan solusi Islami, diperlukan proses identifikasi masalah. Semakin kuat pemahaman mengenai situasi, disertai dengan 5 pengetahuan tentang sumber-sumber hukum Islam dan kemampuan menggali hukum, semakin kuat pula ijtihad yang dihasilkan, begitu pun sebaliknya. Ikhwanul Muslim di bawah kepemimpinan al-Banna meyakini bahwa penyebab utama kehinaan dan kemunduran kaum Muslim adalah lemahnya moral dan ketidakpahaman mereka tentang Islam, dan bahwa reformasi individu akan menuntun pada reformasi masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat yang telah bangkit akan membebaskan negara dari pengaruh kolonial, bahkan jika perlu, dengan kekuatan bersenjata. Dengan demikian, negara akan merdeka dan dapat menerapkan Islam secara menyeluruh dengan cara yang benar, serta dapat mengatasi beragam masalah dalam masyarakat. Ketika Inggris masih menguasai Mesir, al-Banna menilai bahwa pemerintah yang berkuasa cukup sah untuk dapat dianggap berpihak kepada Islam. Ia melihat struktur dan konstitusi pemerintah masih sesuai dengan Islam, dan negara-bangsa dapat dijadikan kendaraan bagi ekspresi politik rakyat, selama mereka tidak kehilangan identitas keislamannya. Ia juga menganggap bahwa jika kemerdekaan telah diraih, harus ada proses yang dapat memurnikan kekuasaan eksekutif Mesir dari pihak yang tidak bersedia menerapkan aturan Islam. Visi Al-Banna adalah mendirikan pemerintahan Islam jika Inggris sudah meninggalkan Mesir. Pemerintahan itu kemudian bergabung dengan negara-negara tetangga, yang telah melalui proses serupa, untuk membentuk persatuan Arab. Setelah itu, mereka akan bersatu dengan negeri-negeri Islam lainnya untuk membentuk liga bangsa Islam, yang pada akhirnya akan mendirikan kembali Khilafah sebagai tujuan utama mereka. Hizbut Tahrir mengaitkan kemunduran kaum Muslim dengan kemerosotan intelektual mereka. Bagi kelompok ini, Khilafah bukanlah tujuan utama yang dapat dicapai hanya dengan memecahkan masalah-masalah lain terlebih dahulu. Penegakan Khilafah justru harus segera dilakukan untuk membalikkan kondisi kemunduran itu. Pendekatan ini dijelaskan dalam pandangan mereka bahwa degradasi dan kerusakan moral individu tidak dapat diatasi hanya dengan perbaikan individu. Kerusakan akhlak pada dasarnya disebabkan oleh tidak diterapkannya syariah. Otonomi pemerintahan yang terbentuk pada masa dekolonisasi dianggap tidak berguna karena dilandasi oleh prinsip-prinsip sekuler. Seluruh sistem politik negeri-negeri Muslim dianggap tidak sah, dan moralitas para pemimpin dianggap tidak relevan karena pemerintahan itu sendiri secara sistemik bertentangan dengan Islam. Negara-bangsa secara fundamental bertentangan dengan pandangan Islam tentang kesatuan dan dasar persatuan negara. Solusinya bukan dengan berjuang di dalam sistem dan menyingkirkan individu-individu yang rusak dari dalam, tetapi dengan menghapuskan sistem yang rusak tadi secara keseluruhan dan menegakkan Khilafah Islamiyah sebagai gantinya. Solusi radikal tersebut membutuhkan penjabaran yang terperinci. Bagi Hizb, kegagalan mendirikan kembali pemerintahan Islam bisa jadi disebabkan oleh ketidakmampuan gerakan-gerakan untuk tampil sebagai sebuah alternatif politik yang jelas. Itulah yang menyebabkan umat tidak memahami maksud mereka, dan hanya merasa bahwa apa yang mereka serukan dianggap lebih baik daripada pemerintahan sekuler. Setelah berdirinya sejumlah pangkalan militer Amerika di seluruh kawasan Arab Saudi dan wilayah lain di Teluk Arab, pendudukan fisik di Timur Tengah membuat Osama bin Laden tidak lagi memedulikan dimensi kultural dan politik yang terkait dengan kemunduran kaum Muslim. Setelah kekalahan Uni Soviet di Afghanistan, muncul keyakinan bahwa kaum Muslim mampu melawan campur tangan pihak asing jika fokus pada usaha dan termotivasi untuk berjuang, didukung dengan gambaran Khilafah sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan militer yang terpisah secara geografis dalam gerakan jihad global. Bagi Bin Laden, akar masalah tidak terletak pada degradasi moral individu dalam masyarakat, tetapi pada degradasi moral di kalangan elit penguasa. Jika al-Banna menganggap penguasa pada masanya sebagai korban penjajahan Barat, al-Qaeda justru berpendapat bahwa rezim lokal terlibat dalam penjajahan dan bertindak sebagai antek bagi para penjajah. Para elite penguasa dianggap kafir. Dengan demikian, memberontak terhadap penguasa seperti itu merupakan hal yang diperbolehkan. Langkah itu mencerminkan pemahaman al-Qaeda bahwa masalah pemerintahan pada dasarnya diakibatkan oleh elite penguasa dan kurangnya pemahaman agama mereka. Globalisasi bentuk perjuangan al-Qaeda didorong oleh keyakinan bahwa dukungan Amerikalah yang menopang rezim-rezim itu, yang sebenarnya tidak memiliki legitimasi dari rakyatnya setelah bertahun-tahun “merdeka.” Murabitun memandang masalah umat dari segi hegemoni global saat ini yang harus dikalahkan. Akan tetapi, bagi gerakan ini, yang menjadi masalah utama adalah sistem ekonomi kapitalisme global, bukan kerangka imperialisme Amerika. Keruntuhan Khilafah disebabkan oleh produk sistem ekonomi 6 kapitalisme global, seperti pinjaman berbasis riba dan mata uang kertas. Oleh karena itu, pengenalan kembali mata uang dinar, serta penghapusan sistem perbankan akan mengarah kepada penegakan kembali Khilafah. Mayoritas penguasa saat ini merupakan korban sistem perbankan, sebagaimana terlihat pada kerajaan Maroko, meskipun model negara-bangsa itu sendiri dianggap tidak sah. Solusi yang ditawarkan Murabitun berupa pemisahan ekonomi, dengan membentuk sistem ekonomi pararel. Dengan sistem ini, yang bergantung pada keberadaan komunitas Islam dengan para pemimpinnya masing-masing, Khilafah akan bangkit, dan akhirnya, pemerintahan Islam akan tegak. Dr. Israr Ahmad membentuk Tehreek-e-Khilafat untuk menegakkan Khilafah global, dengan menjadikan Pakistan sebagai basisnya. Ia menganggap masalah bangsa sebagai masalah sistemik, dan menggambarkan politik elektoral sebagai metodologi pemilihan penguasa untuk menjalankan sistem. Oleh karena itu, politik elektoral tidak dapat membawa perubahan revolusioner yang dibutuhkan untuk mengganti pemerintahan Pakistan dengan sistem Islam. Gerakan utamanya, Tanzeem-e-Islami, difokuskan pada aktivitas masyarakat akar rumput melalui reformasi agama dan moral individu sebagai tujuan utama. Mereka meyakini bahwa kemunduran kaum Muslim akibat materialisme dan sekulerisme telah menyebabkan degradasi spiritual pada masyarakat. Tujuan mendirikan Khilafah merupakan tujuan terpenting, tanpa perlu tahap-tahap pendahulu apapun yang harus dicapai melalui sistem lain dalam pemerintahan, mirip dengan metode Hizbut Tahrir. Hanya saja, metodologi mereka berbentuk reformasi moral individu, seperti yang pertama kali diusung oleh Ikhwanul Muslim dan Jamaat-i-Islami. Dengan kosongnya otoritas politik Islam utama sebagai simbol normatif persatuan kaum Muslim dan ketiadaan alternatif yang kredibel untuk menggantikannya, berbagai gerakan serupa sekte juga bermunculan. Masing-masing mengklaim bahwa pemimpin mereka harus diakui sebagai khalifah baik di dalam maupun di luar wilayah ajaran Islam tradisional. Beragam gerakan semacam itu, yang muncul di tengah-tengah perpecahan kaum Muslim, di antaranya adalah Hilafet Devleti atau Jama’ah-tul-Muslimeen. Mereka bertujuan untuk menyatukan umat terlebih dahulu sebagai syarat menegakkan otoritas politik, sehingga berkebalikan dengan metode gerakan-gerakan yang dikaji di dalam buku ini. Secara umum, semua gerakan menyadari bahwa kegagalan penerapan Islam secara utuh melalui penegakan pemerintahan Islam merupakan alasan utama kelemahan kaum Muslim. Namun, masing-masing memiliki pemahaman yang berbeda tentang alasan mengapa pemerintahan Islam belum dapat direalisasikan. Gerakan-gerakan itu memiliki tujuan yang sama dan memandang bahwa masalah yang terjadi bersifat sistemik. Akan tetapi, mereka memegang pendapat yang berbeda mengenai sifat masyarakat dan bagaimana masyarakat dapat berubah. Terdapat beberapa faktor penghalang penegakan Khilafah, di antaranya hilangnya moral di tengah-tengah masyarakat, penjajahan asing, kemerosotan tingkat intelektual yang membuat umat membebek kepada ideologi-ideologi alternatif, dan hegemoni ekonomi oleh sistem perbankan kapitalis. Berbagai gerakan itu juga memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan proses penegakan Khilafah, mulai dari reformasi tatanan institusi secara bertahap, hingga perubahan revolusioner yang radikal untuk menyingkirkan campur tangan asing, baik dengan kekerasan maupun melalui gerakan separatis. Penutup Nuansa upaya penegakan kembali Khilafah merupakan hal yang alami terjadi di dunia Islam. Ajaran Islam secara normatif memang menunjukan bahwasannya Khilafah merupakan bagian dari syariatnya. Secara empiris Khilafah pun bagian dari kehidupan umat Islam yang sudah berlangung sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga tahun 1924. Fakta-fakta inilah yang perlu diketahui oleh umat Islam. Menghilangnya wacana Khilafah, sehingga menjadi asing, hanyalah baru kemarin lalu dan itu pun hanya sesaat saja bila dibandingkan dengan eksistensi Khilafah yang telah ada selama berabad-abad. Kegagalan di masa awal perjuangan Khilafah menjadi pelajaran berharga tentang perlunya metode yang benar dalam mengupayakan kembali tegaknya Khilafah. Meskipun Khilafah secara alami akan berada dalam umat Islam begitupun banyak kitab di masa lalu telah menjelaskan posisi Khilafah dalam Islam namun hal tersebut tidak cukup untuk menghadapi zaman modern yang telah didominasi oleh arus peradaban Barat. Kepopuleran Khilafah ibarat kurva yang pernah berada di puncak, lalu kemudian turun dan berada di puncak kembali. Pembahasan sederhana ini semoga menyadarkan kedudukan umat Islam bahwasannya 7 saat ini tengah berada dalam puncak yang kedua dimana Khilafah kembali menjadi perbincangan populer. Semoga menambah kesungguhan dalam berdakwah dan memohon pertolongan Allah, karena belum pasti setelah puncak ini akan kembali turun ataukah justru akan muncul pintu tegaknya Khilafah sebagaimana yang banyak umat Islam harapkan selama ini. Wallahu’alam. “Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian), selama beberapa masa hingga Allah ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan (penguasa-penguasa yang menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad; Shahih) SEPTIAN A.W. adalah pegiat literasi kelahiran 13 September 1989 yang pernah mengenyam pendidikan S1 dan S2 studi Sejarah di kampus negeri ternama tanah air. Editor penerjemah buku The Inevitable Celiphate? ini berdomisili di Bogor, dan di kota hujan ini sudah menjadi bagian dari gerakan Hizbut Tahrir sejak tahun 2005. Referensi Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten dan Marat Shterin (eds.). Demystifying The Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts. New York: Oxford University Press, 2015. Hassan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History. New Jersey: Princeton University Press, 2017. Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York: Columbia University Press, 1985. Pankhrust, Reza. The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic Union, 1924 To The Present. New York: Oxford University Press, 2013 Referensi: Agoston, Gabor dan Bruce Masters (ed.). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New York: Facts on File, 2008. Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten dan Marat Shterin (ed.). Demystifying The Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts. New York: Oxford University Press, 2015. hlm. 31-56. Hassan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History. New Jersey: Princeton University Press, 2017. Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New York: Columbia University Press, 1985. Niemeijer, A.C.. The Khilafat Movement in India 1919-19224. Leiden: Brill, 1972. Oliver-Dee, Sean. The Caliphate Question: The British Government And Islamic Governance. Lanham: Lexington Book, 2009. Ozoglu, Hakan. From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early Turkish Reoublic. Santa Barbara: Praeger, 2011. Pankhrust, Reza. Hizbut-ut-Tahrir: The Untold History of the Liberation Party. London: C. Hurst & Co., 2016. -----The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic Union, 1924 To The Present. New York: Oxford University Press, 2013. SEPTIAN A.W. adalah pegiat literasi kelahiran 13 September 1989. Pria yang pernah mengenyam pendidikan S1 dan S2 studi Sejarah di kampus negeri ternama ini telah menjadi bagian dari gerakan Hizbut Tahrir sejak 2005 dan menjadi editor penerjemah buku The Inevitable Caliphate? edisi bahasa Indonesia pada 2019. 8 INFO ACARA Makalah ini disampaikan sebagai materi dalam acara Kursus Intensif Jumat Sore KLI Sesi 4. 9 IKLAN Dalam rangka peringatan 96 tahun keruntuhan khilafah dengan literasi, dapatkan harga spesial buku yang rekomended ini. (Diskon 30% s/d 31 Maret 2020 melalui akun shopee) Temukan Spesial Harga Diskon 30% Buku Inevitable Caliphate edisi Indonesia dengan potongan 30%! Hanya Rp80.000. Dapatkan sekarang juga di Shopee! Link Klik 10