Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I, M.A.
SEJARAH IDEOLOGI DUN IA:
KAPITALISME, SO SIALISME, KO MUNISME,
FASISME, ANARKISME, ANARKISME DAN
MARXISME, KO NSERVATISME
SEJARAH IDEOLOGI DUNIA:
KAPITALISME, SOSIALISME, KOMUNISME, FASISME,
ANARKISME, ANARKISME DAN MARXISME, KONSERVATISME
Penulis:
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I, M.A.
Alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Alumnus Program Pascasarjana (S.2) Sosiologi FISIPOL UGM
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia-D.I.Yogyakarta
Direktur Institute for Philosophycal and Social Studies (INPHISOS)
E-Mail: nuriel.ugm@gmail.com / skristeva@gmail.com
Website: www.nursayyidsantoso.blogspot.com /
www.sosiologidialektis.wordpress.com
Cp. (0282) 540437 / Hp. 085 647 634 312
Cetakan I, April 2010
“The history of all hitherto axisting society is the history of class
struggle. Freeman and slave, patrician and plebeian, lord and serf,
guild master and journeyman, in a word, oppressor and oppressed
stood in constant opposotion to one another” Marx & Engels, The
Manifesto of the Communist Party (1967). “The philosopher have
only interpreted the wolrd, in various ways; the point, however, is to
change it”. Tesis XI–Feuerbach Karl Marx (1845).
SEKOLAH IDEOLOGI DUNIA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Tahun 2010
Penerbit:
Eye on The Revolution Press
Institute for Philosophycal and Social Studies (INPHISOS)
SEKOLAH IDEOLOGI DUNIA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
Tahun 2010
2
DAFTAR ISI
Hand-Out 1: PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI—5
1. Pengertian Ideologi
2. Ideologi dalam Ilmu Sosial
3. Logika Dasar Ideologi
4. Proses Kelahiran Ideologi
5. Dimensi dan Tahapan Ideologi
6. Akar Ideologi dari Tiga Pendekatan Filsafat
7. Tiga Kategorisasi Ideologi
8. Fungsi dan Faktor Pendukung Ideologi
Hand-Out 2: KAPITALISME—13
1. Pengertian Kapitalisme
2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme
3. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
4. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Kapitalisme
5. Teori Dasar Ekonomi-Kapitalis
6. Akar Historis Kapitalisme
a. Kapitalisme Awal (1500-1750)
b. Kapitalisme Klasik (1750-1914)
c. Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914)
Hand-Out 3: SOSIALISME—31
1. Pengertian Sosialisme
2. Sejarah Kelahiran Sosialisme
3. Sistem Politik Sosialisme
4. Sistem Ekonomi Sosialisme
5. Prinsip-prinsip Sosialisme
6. Sosialisme Utopis
7. Pemikir Utama Sosialisme Utopis
Hand-Out 4: KOMUNISME—40
1. Pengertian Komunisme
2. Ide Dasar Komunisme
3. Ciri-ciri Inti Masyarakat Komunis
4. Filsafat Perubahan Sosial dalam Manifesto Komunis
5. Kedudukan Proletariat dalam Komunisme
6. Sejarah Perkembangan Komunisme
7. Sistem Politik Komunisme
3
8. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Komunisme
9. Prinsip-prinsip Komunisme
Hand-Out 5: FASISME—52
1. Pengertian Fasisme
2. Konteks Sosial-Psikologis Fasisme
3. Latar Belakang Individu dalam Perkembangan Fasisme
4. Doktrin dan Gagasan Utama Fasisme
Hand-Out 6: ANARKISME—60
1 Etimologi
2 Anarkisme: 2.1 Teori politik 2.2 Anarkisme dan kekerasan
3 Sejarah dan dinamika filsafat anarkisme
3.1 Anarkisme dan Marxisme
3.2 Pierre-Joseph Proudhon
3.3 Internationale pertama
4 Varian-varian anarkisme: 4.1 Anarkisme-kolektif
4.2 Anarkisme komunis 4.3 Anarko-Sindikalisme
4.4 Anarkisme individualisme 4.5 Varian-varian anarkisme
5 Anarkisme dan agama
5.1 Anarkis-kristen
5.2 Anarkisme dan Islam
6 Kritik atas Anarkisme
Hand-Out 7: ANARKISME DAN MARXISME—73
1 Argumen-Argumen Seputar Isu Negara
1.1 Proses Transisi
1.2 Partai Politik
1.3 Kekerasan dan Revolusi
2 Argumen-Argumen Seputar Isu Kelas
3 Argumen Seputar Metoda Materialisme Historis
3.1 Determinisme
4. Anarko-Komunisme
4.1. Internasionale Pertama
4.2. Prinsip Dasar
Hand-Out 8: KONSERVATISME—82
1 Perkembangan pemikiran
1.1 Eropa
1.2 Tiongkok
REFERENSI—88
4
Hand-Out 1:
PRAWACANA: PENGANTAR IDEOLOGI
1. Pengertian Ideologi
Pada dasarnya ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri
dari dua kata: ideos artinya pemikiran, dan logis artinya logika, ilmu,
pengetahuan. Dapatlah didefinisikan ideologi merupakan ilmu
mengenai keyakinan dan cita-cita.1 Ideologi merupakan kata ajaib
yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup diantara manusia
terutama kaum muda, khususnya diatara cendekiawan atau
intelektual dalam suatu masyarakat.2 Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ideologi merupakan rumusan alam pikiran yang
terdapat diberbagai subyek atau kelompok masyarakat yang ada,
dijadikan dasar untuk direalisasikannya. Dengan demikian, ideologi
tidak hanya dimiliki oleh negara, dapat juga berupa keyakinan yang
dimiliki oleh suatu organisasi dalam negara, seperti partai politik atau
asosiasi politik, kadang hal ini sering disebut subideologi atau bagian
dari ideologi. Ideologi juga merupakan mythos yang menjadi political
doctrin (doktrin politik) dan political formula (formula politik).3 Ideologi
adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan
mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat
tentang bagaimana cara yang sebaliknya, yaitu secara moral
dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama
dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka.4 Ideologi juga
memiliki arti: konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat atau
negara.5
2. Ideologi dalam Ilmu Sosial
Persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial.6
Menurut Frans Magnis Suseno,7 ideologi dimaksud sebagai
keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah
sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat
dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu
kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta
merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan. Dengan
demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan
dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang
dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana
seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan
dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam
konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun
seringkali diabaikan.
Istilah ideologi adalah istilah yang seringkali dipergunakan
terutama dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga istilah yang sangat
tidak jelas. Banyak para ahli yang melihat ketidakjelasan ini berawal
dari rumitnya konsep ideologi itu sendiri. Ideologi dalam pengertian
yang paling umum dan paling dangkal biasanya diartikan sebagai
istilah mengenai sistem nilai, ide, moralitas, interpretasi dunia dan
lainnya. Menurut Antonio Gramsci,8 ideologi lebih dari sekedar
sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki
keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’
manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak,
mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka
dan sebagainya.
1
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin Press,
1982) hlm. 7.
2
Ibid., hlm. 145.
3
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007) hlm. 238.
4
Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1981)
hlm. 187.
5
Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm.
113.
Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996) hlm. 10.
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius,
1991) hlm. 230.
8
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999) hlm. 83.
5
6
6
7
3. Logika Dasar Ideologi
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan9. Kata ideologi
sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan ”sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai
visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu
(bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam
kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi
politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan
pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi
adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran
normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya
sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik
sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit
setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak
diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. (definisi ideologi
Marxisme). Ideologi sama pentingnya dengan silogisme (baca:
logika berfikir yang benar) bagi setiap proposisi (dalil atau
pernyataan) yang kita buat. Ideologi secara etimologis berarti
permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang
dibangun diatas pemikiran-pemikiran (cabang). Ideologi adalah
pemikiran mendasar dan patokan asasi tingkah laku. Dari segi logika
Ideologi adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan.
9
Anthony Downs dalam buku An Economic System of Democracy (New York:
Harper & Row, 1957) hlm. 96. mendefinisikan ideologi sebagai “a verbal image of
the good society, and of the chief means of constructing such a society.” Menurut
Austin Ranney, setiap ideologi adalah seperangkat ide yang saling bertautan secara
logis dan memiliki titik beda dengan ideologi lain. Gagasan yang terangkum dalam
sebuah ideologi mencakup nilai-nilai (values), visi kemasyarakatan yang ideal
(vision of the idel polity), konsep asal-usul manusia (conception of human nature),
strategi tindakan (strategies of actions), dan siasat politik (political taktics); lihat
Austin Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th Edition; London:
Prentice Hall International, Inc., 1996) hlm. 71-73. Sementara dalam bahasa yang
agak lebih sederhana, pranarka menjelaskan ideologi yang menurut hakikat dan
sifatnya adalah sebuah pegangan untuk perjuangan; lihat A.M.W. Pranarka, “Pasal
33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan Konstruksi Operasionalnya, Suatu Tinjauan
Ideologis,”dalam Analisa CSIS, Tahun IV, No. 12, Desember 1986, Penjelasan
tentang ideologi-ideologi dunia yang cukup komprehensif; lihat William Ebenstein
dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, terj. Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1994). Lihat catatan kaki dalam A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus
Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003) hlm. 22.
7
4. Proses Kelahiran Ideologi
Tentang bagaimana ideologi lahir, pada dasarnya ideologi
terumuskan dengan sejumlah kemungkinan: pertama, ideologi lahir
karena diinspirasikan oleh sosok tokoh yang luar biasa, dalam
sejarah bangsanya. Ia hadir membawa sekaligus mampu
memberikan inspirasi serta pengaruh kuat terhadap orang lain
secara luas. Pada keadaan ini, gagasan seseorang yang ‘luar biasa’
itu atas kehendak pelaku dan dukungan pengikut, alam
pemikirannya mengenai cita-cita masyarakat yang diperjuangkan
dalam gerakan politik diakui dan dirumuskan secara sistematis, telah
menjadi ideologi. Ideologi itu lahir dari pemikiran seseorang. Kedua,
berdasarkan alam pikiran masyarakat, ideologi itu dirumuskan oleh
sejumlah orang yang berpegaruh dan merepresentasikan kelompok
masyarakat kemudian disepakati sebagai pedoman dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bilaperlu diciptakan mitosmitos untuk mendapatkan pengakuan legal dan kultural dari
masyarakat bersangkutan sehingga mereka tunduk dan meyakini.
Ketiga, berdasarkan keyakinan tertentu yang bersifat universal,
ideologi itu lahir dan dibawa oleh orang yang diyakini sebagai
kehendak Tuhan, dengan pesan untuk melakukan pembebasan dan
memberikan bimbingan dalam mengatur kehidupan yang
sebenarnya serta konsekuensi moral dikemudian hari yang akan
diterima bila melanggarnya. Ideologi ini syarat dengan pesan moral
yang sesuai dengan nurani serta dasar primordial manusia. Oleh
sebab itu, ideologi yang lahir dari suatu keyakinan Iman dan bersifat
universal akan hidup secara permanen tidak akan goyah dan mati.
Biasanya ideologi ini lahir diinspirasikan oleh spirit agama.10 Namun
demikian, terlepas dengan cara apa dan bagaimana suatu ideologi
itu lahir, pada dasarnya ideologi sering disamakan sebagai suatu
keyakinan, sebab ia mengandung suatu mitos dan cita-cita yang
harus direalisasikan dan memiliki nilai kebenaran. Bagi pengikutnya
tidak hanya diakui dan diikuti, lebih dari itu dihayati sebagai sesuatu
yang memiliki spirit hidup serta perjuangan dalam menjawab
tantangan yang dirasakan.11
10
11
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 240-241.
Ibid., hlm. 241.
8
5. Dimensi dan Tahapan Ideologi
Ada tiga dimensi yang perlu dipenuhi oleh suatu ideologi agar
tetap mampu mempertahankan relevansinya sebagai berikut:
pertama, dimensi realitas, adalah kemampuan ideologi untuk
mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakatnya. Karena hanya dari situlah anggota
masyarakat akan merasa bahwa ideologi itu memang miliknya.
Kedua, dimensi idealisme, adalah kemampuan dasar ideologi yang
terkandung di dalam nilai-nilai dasar ideologi itu. Ketiga, dimensi
fleksibilitas, dimensi ketiga ini menuntut kemampuan ideologi bukan
saja untuk melandasi dan meneropong perubahan atas pembaruan
masyarakat, tetapi juga sekaligus menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan itu.12
Ali Syariati memberikan argumentasi atau pendapatnya bahwa
suatu ideologi dalam mengoperasionalisasikan nilai-nilai dalam
masyarakat sebagai suatu kebenaran untuk dapat diperjuangkan
menjadi keyakinan atau pandangan hidup dalam kolektif masyarakat
memiliki tahapan-tahapan sehingga terbentuk sebuah ideologi, ini
meliputi: pertama, adalah cara kita melihat dan mengungkapkan
alam semesta, eksistensi, dan manusia. Kedua, cara khusus dalam
kita memakai dan menilai semua benda dan gagasan atau ide-ide
yang membentuk lingkungan sosial dan mental kita, Ketiga,
mencakup usulan, metode sebagai pendekatan dan keinginan yang
kita manfaatkan untuk mengubah status quo yang kita tidak puas.13
Pada tahap ketiga inilah ideologi mulai menjalankan misinya dengan
memberikan para pendukungnya pengarahan, tujuan dan cita-cita
serta rencana praktis sebagai dasar perubahan dan kemajuan
kondisi sosial yang diharapkan.14
6. Akar Ideologi dari Tiga Pendekatan Filsafat
Semenjak masa kelahiran para pemikir di Yunani, Romawi,
Kelahiran kejayaan Yudea-Kristiani, kemudian Islam dan Abad
Pencerahan di Eropa Konstruk Filsafat yang melahirkan ideologiideologi besar dunia sesungguhnya berakar dari tiga pendekatan
filsafat, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of idealism),
ini mengedepankan faham rasionalisme dan individualisme, yang
12
Ali Syariati, op. cit., hlm. 148.
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242.
14
Ali Syariati, op. cit., hlm. 148.
13
9
dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Liberalisme
dan Kapitalisme. Ide yang menjadikan kekuatan dasar
menempatkan manusia sebagai pusat di alam semesta (centre of
nature), manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah.
Ini melahirkan faham dalam membangun kehidupan kenegaraan
dalam konteks hubungan agama dengan negara adalah terpisah
(separation) walau dalam hal-hal ceremonial dan ritual agama masih
diberikan peran. Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi
liberalisme-kapitalisme, melahirkan faham Sekulerisme-Moderat15
dalam mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism), ini
mengedepankan faham emosionalisme berupa perjuangan kelas
dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam kehidupan
berpolitik telah melahirkan ideologi Sosialisme-Komunisme. Materi
(ekonomi), yang menjadi kekuatan dasar menempatkan kondisi
ekonomi sebagai faktor penentu terjadinya perubahan sejarah. Ini
melahirkan faham dalam membangun kehidupan kenegaraan dalam
konteks hubungan agama dengan negara adalah dipertentangkan
(conflic). Agama dianggap sebagai faktor penghambat, candu bagi
masyarakat, karena itu tidak diberikan peran sama sekali.
Pandangan kehidupan yang berdasar ideologi SosialismeKomunisme melahirkan faham Sekularisme-Radikal16 dalam
mengatur kehidupan politik-kenegaraan.
Ketiga, Filsafat Teologisme (philosophy of teologism). Dalam
faham ini masih dibagi menjadi dua: 1] faham agama yang
menempatkan ajaran Tuhan memegang peran sentral dalam
kehidupan politik-kenegaraan, tetapi dalam konstruk politiknya,
menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan. 2]
faham agama yang memang menempatkan ajaran Tuhan sebagai
sumber inspirasi, motivasi dan ekspresi. Ini menempatkan ajaran
Tuhan sebagai faktor integratif dan pencerahan. Dalam
hubungannya dalam kehidupan politik-kenegaraan, agama sebagai
suatu yang suci kekuatannya bukan di pengkultusan dan pemistikan
15
Sekulerisme-Moderat melihat agama sebagai urusan pribadi yang berkaitan
dengan masalah-masalah ruhani manusia, dan karena itu tidak boleh mencampuri
urusan publik yang berkaitan dengan politik serta menyangkut dunia materi. Dalam
Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1999) hlm.
124.
16
Sekularisme-Radikal melihat agama sebagai musuh, karena dianggap
sebagai perintang kemajuan. Ibid.
10
melainkan agama sebagai pembimbing (guidens). Agama dapat
didialogkan untuk terlibat sebagai wacana sekaligus sumber etika,
moral dan hukum, maka dalam kehidupan politik-kenegaraan itu
dapat dikatakan agama bersifat dinamis, dapat disebut pula sebagai
filsafat teologisme-dinamis.17
7. Tiga Kategorisasi Ideologi
Secara sederhana, Franz Magnis Suseno18 mengemukakan
tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau
disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori
tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori
metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah
yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang
bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti
penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat,
isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori
dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan
pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim
atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut
adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz
Magnis-Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang
menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam
operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan
dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat.
Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat
ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara
demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian
ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat
dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi
semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat
tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus
hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak
dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu
sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang
17
18
ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti
kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
8. Fungsi dan Faktor Pendukung Ideologi
Ideologi adalah suatu sistem keyakinan yang dimiliki oleh
suatu masyarakat atau bangsa yang bersifat menyeluruh yang
mendalam mengenai segala segi kehidupan kenegaraan,
kemasyarakatan, dan kebagsaan. Ideologi mengandung kehendak
dan cita-cita tentang suatu kehidupan masyarakat yang ideal yang
diyakini kebenarannya dan harus diperjuangkan agar terwujud
dengan kongkrit. Oleh karena itu ideologi merupakan panduan bagi
penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan secara praktis dan
strategis untuk mewujudkan kehendak dan cita-cita yang terkandung
dalam ideologi tersebut. Ideologi mempunyai beberapa fungsi
sebagai berikut:
1. Fungsi Etis, yaitu sebagai panduan dan sikap serta perilaku
kelompok masyarakat dalam kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan.
2. Fungsi Integrasi, yaitu nilai yang menjadi pengikat suatu bangsa
atau masyarakat.
3. Fungsi Kritis, yaitu sebagai ukuran nilai yang dapat digunakan
untuk melakukan kritik terhadap nilai atau keadaan tertentu.
4. Fungsi Praxis, yaitu sebagai acuan dalam memecahkan
masalah-masalah kongkrit.
5. Fungsi Justifikasi, yaitu ideologi sebagai nilai pembenar atas
suatu tindakan atau kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh
suatu kelompok tertentu.
Menurut tokoh psyco-analisis Foucault, ideologi menyangkut
empat faktor atau hal penting: 1] Ekonomi sebagai basis, 2] Kelas
yang berkuasa, 3] Kekuatan repressif, 4] Sesuatu yang berlawanan
dengan kebenaran sejati. Menurut Gianfranco, seorang pakar
sosiologi ada tiga kekuatan sosial yang mempengaruhi masyarakat:
1] Kekuatan politik, 2] Kekuatan ekonomi, 3] Kekuatan normatif atau
ideologi.
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 242-244.
Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 232.
11
12
Hand-Out 2:
KAPITALISME
2. Sejarah Perkembangan Kapitalisme
Robert E. Lerner dalam Western Civilization (1988)
menyebutkan bahwa revolusi komersial dan industri pada dunia
modern awal dipengaruhi oleh asumsi-asumsi kapitalisme dan
merkantilisme. Direduksi kepada pengertian yang sederhana,
kapitalisme adalah sebuah sistem produksi, distribusi, dan
pertukaran di mana kekayaan yang terakumulasi diinvestasikan
kembali oleh pemilik pribadi untuk memperoleh keuntungan.
Kapitalisme adalah sebuah sistem yang didisain untuk mendorong
ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala
nasional dan internasional. Pengusaha kapitalis mempelajari pola-
pola perdagangan internasional, di mana pasar berada dan
bagamana memanipulasi pasar untuk keuntungan mereka.
Penjelasan Robert Learner ini paralel dengan tudingan Karl Marx
bahwa imperialisme adalah kepanjangan tangan dari kapitalisme.
Sistem kapitalisme, menurut Ebenstein (1990), mulai
berkembang di Inggris pada abad 18 M dan kemudian menyebar
luas ke kawasan Eropa Barat laut dan Amerika Utara. Risalah
terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of Nations (1776), diakui
sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan
gagasan “laissez faire” dalam ekonomi. Bertentangan sekali dengan
merkantilisme yaitu adanya intervensi pemerintah dalam urusan
negara.
Smith berpendapat bahwa jalan yang terbaik untuk
memperoleh kemakmuran adalah dengan membiarkan individuindividu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri tanpa
keterlibatan perusahaan-perusahaan negara (Robert Lerner, 1988).
Awal abad 20 kapitalisme harus menghadapi berbagai tekanan dan
ketegangan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Munculnya
kerajaan-kerajaan industri yang cenderung menjadi birokratis
uniform dan terjadinya konsentrasinya pemilikan saham oleh
segelintir individu kapitalis memaksa pemerintah (Barat)
mengintervensi mekanisme pasar melalui kebijakan-kebijakan
seperti undang-undang anti-monopoli, sistem perpajakan, dan
jaminan kesejahteraan. Fenomena intervensi negara terhadap
sistem pasar dan meningkatnya tanggungjawab pemerintah dalam
masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi merupakan indikasi
terjadinya transformasi kapitalisme. Transformasi ini, menurut
Ebenstein, dilakukan agar kapitalisme dapat menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan ekonomi dan sosial. Lahirlah konsep
negara kemakmuran (welfare state) yang oleh Ebenstein disebut
sebagai "perekonomian campuran" (mixed economy) yang
mengkombinasikan inisiatif dan milik swasta dengan tanggungjawab
negara untuk kemakmuran sosial.
Habermas memandang transformasi itu sebagai peralihan
dari kapitalisme liberal kepada kapitalisme lanjut (late capitalism.
organized capitalism, advanced capitalism). Dalam Legitimation
Crisis (1988), Habermas menyebutkan bahwa state regulated
capitalism (nama lain kapitalisme lanjut) mengacu kepada dua
fenomena: (a) terjadinya proses konsentrasi ekonomi seperti
korporasi-korporasi nasional dan internasional yang menciptakan
13
14
1. Pengertian Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan
peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang
lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme
sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem
perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai
bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978)
memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam
ekonomi.
Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah “a social
system based on the recognition of individual rights, including
property rights, in which all property is privately owned”. (Suatu
sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak
individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik
privat) Heilbroner (1991) secara dinamis menyebut kapitalisme
sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika
yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu
pada gerakan-gerakan dan perubahan-perubahan dalam prosesproses kehidupan dan konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari
suatu masyarakat. Istilah "formasi sosial" yang diperkenalkan oleh
Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen Habermas. Dalam
Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme sebagai
salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme,
post-kapitalisme).
struktur pasar oligopolistik, dan (b) intervensi negara dalam pasar.
Untuk melegitimasi intervensi negara yang secara esensial
kontradiktif dengan kapitalisme liberal, maka menurut Habermas,
dilakukan repolitisasi massa, sebagai kebalikan dari depolitisasi
massa dalam masyarakat kapitalis liberal. Upaya ini terwujud dalam
sistem demokrasi formal.
3. Tiga Asumsi Kapitalisme Menurut Ayn Rand
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga
asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b)
kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Menurut Rand,
kebebasan individu merupakan tiang pokok kapitalisme, karena
dengan pengakuan hak alami tersebut individu bebas berpikir,
berkarya dan berproduksi untuk keberlangsungan hidupnya. Pada
gilirannya, pengakuan institusi hak individu memungkinkan individu
untuk memenuhi kepentingan dirinya.
Menurut Rand, manusia hidup pertama-tama untuk dirinya
sendiri, bukan untuk kesejahteraan orang lain. Rand menolak keras
kolektivisme, altruisme, mistisisme. Konsep dasar bebas Rand
merupakan aplikasi sosial dan pandangan epistemologisnya yang
natural mekanistik. Terpengaruh oleh gagasan “the invisible hand”
dari Smith, pasar bebas dilihat oleh Rand sebagai proses yang
senantiasa berkembang dan selalu menuntut yang terbaik atau
paling rasional. Smith pernah berkata: “...free marker forces is
allowed to balance equitably the distribution of wealth”. (Robert
Lerner, 1988).
4. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Kapitalisme
Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang memberikan
kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan
kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang, manjual
barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam sistem ini
pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran
dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi
bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam
perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya
sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas
bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya.
Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan
persaingan bebas dengan berbagai cara.
15
5. Teori Dasar Ekonomi-Kapitalis
Membincarakan dasar teori ekonomi kapitalisme, sosok
Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations,
dapat disebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori
dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar sistem
tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui kegiatankegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk kepentingan publik tersebut, oleh
Adam Smith diilustrasikan dengan sangat jelas: “Apa yang kita
harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari keajaiban
dari si tukang daging, si pemasak bir atau si tukang roti, melainkan
dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan
pribadi. Malah seseorang umumnya tidak berkeinginan untuk
memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana
ia memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan ia kejar
adalah keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh
tangan-tangan yang tak terlihat (the invisible hands) untuk mengejar
yang bukan bagian dari kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan
merupakan bagian dari masyarakat, itu tidak lantas berarti suatu
yang lebih buruk dari masyarakat. Dengan mengejar kepentingan
sendiri, ia kerap kali memajukan kepentingan masyarakat lebih
efektif dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud
memajukannya. Saya tidak pernah menemukan kebaikan yang
dilakukan mereka yang sok berdagang demi kepentingan publik”.19
Penjelasan ilustratif tersebut sebenarnya tidak bermaksud lain
kecuali kehendak untuk memaknai kapitalisme dengan memadukan
kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan publik di pihak
yang lain. Dari premis itu ialah bahwa kapitalisme merupakan
sebuah sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan ekonomi secara individu. Meskipun demikian, orientasi
individu tetap merupakan tahapan awal bagi kepentingan publik atau
sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang
disebut Smith sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan kepentingan privat dan publik
ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia, dengan demikian,
dipimpin langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk ekonominya.
19
Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations
pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern
Library, 1973, hlm. 14, 423.
16
Manusia yang bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan
mereka sesungguhnya. Oleh sebab itu, dialah yang dapat memenuhi
kepentingan dengan sebaik-baiknya. Hal ini bukan dimaksudkan
untuk mengesampingkan kepentingan bersama, tetapi mereka
berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat diperhatikan
dengan sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat
kesempatan untuk memenuhi, memuaskan, dan mengekspresikan
kepentingannya masing-masing tanpa restriksi.
Setelah ia menulis The Wealth of Nations, Smith sudah
mengemukakan dalam Theory of Moral Sentiments sebagai dasar
filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas pendapat de
Mandeville bahwa privet vice makes public benevit. De Mandeville
memandang bahwa kemewahan atau pengejaran keuntungan
ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan
meniru gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan
adalah pengendali nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak.
Dalam The Wealth of Nations sendiri, Smith pernah mengatakan
bahwa: “The nature and causes of the wealth of nations is what is
properly called political economy”. Ini menunjukkan bahwa nama
bukunya saja sudah cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya
yang menjadi tujuan dari aktifitas ekonomi.20
Mempelajari paradigma dan ide dasar kapitalisme juga bisa
dilakukan dengan membuat interpretasi-interpretasi karya Smith
seperti yang banyak dilakukan. Kita memahami bahwa masterpiece
Smith tersebut sesungguhnya hanya meletakkan gagasan-gagasan
cemerlangnya secara umum saja. Sjahrir (1995) menerjemahkan
The Wealth of Nations yang membidani lahirnya teori kapitalisme itu
dengan membuat rincian sederhana seperti, apa yang harus
diproduksi dan dialokasikan, bagaimana cara memproduksi dan
mengalokasikan
sumber
daya,
serta
bagaimana
cara
21
mendistribusikan sumber daya dan hasil produksi.
Pemahaman lain tentang ide dasar kapitalisme juga
diberikan oleh Max Weber22. Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai
sistem produksi komoditi berdasarkan kerja berupah untuk dijual dan
diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri produksi
berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi
kapitalisme. Bagi Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi
adalah pada sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini
menimbulkan konsekuensi logis berupa rasionalisasi yang mengacu
pada bagaimana cara meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital secara
terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan
produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more
profitable). Keuntungan inilah yang secara dominan bagi rasionalitas
tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx, kapitalisme tidak didefinisikan oleh
motif atau orientasi kaum kapitalis. Apapun motif yang mereka
sadari, mereka sebenarnya didorong oleh logika sistem ekonomi
untuk memupuk modal. Kapitalisme bagi Marx suatu bentuk
masyarakat kelas yang distrukturasikan dengan cara khusus di
mana manusia diorganisasikan untuk produksi kebutuhan hidup.23
Sejalan dengan zaman, kapitalisme terus berkembang,
bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge Larrain
mengemukakan, “Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas
subyek, modal atas pekerja, kondisi produksi atas produsen, buruh
mati atas buruh hidup. Bahkan menurut Marx, kapitalisme adalah
hasil dari praktek reproduksi manusia. Marx menganalisa hal
tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana sistem itu bekerja
dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan kondisi
yang mampu menggantikannya”.24
22
L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi, Bandung:
N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage, 1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia
dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku aslinya yang berjudul Geschiedenis Van
Het Economisch Denken.
21
Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press, 1995,
hlm. 113-114.
Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York, Scribner,
1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar RH
Tawney.
23
Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya Marx yang amat termashur
itu. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai ciri mutlak, yakni borjuis
dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan revolusi kekerasanlah
pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya stabilitas sistem ini, maka ia
harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang diktator proletariat.
24
Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom Bottomore,
First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi Indonesia oleh
Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta:
LKPSM, 1997, hlm. 55.
17
18
20
Kapitalisme yang dibuat oleh Lorens Bagus, berasal dari
bahasa Inggris, capitalism atau kata latin, caput yang berarti kepala.
Kapitalisme itu sendiri adalah sistem perekonomian yang
menekankan peranan kapital atau modal.25 Poin-poin penting yang
bisa dilihat dan biasa digunakan untuk mengartikan kapitalisme
adalah: Pertama, kapitalisme adalah ungkapan kapitalisme klasik
yang dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Adam Smith
sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri. Ia yakin
bahwa dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan
akan menaikkan harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga
kerja atau modal mengalami pergeseran dari perusahaan yang
kurang menguntungkan. Ini berarti kapitalisme merupakan usahausaha kompetitif manusia yang akan dengan sendirinya berubah
menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social
welfare). Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissezfaire, laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan
sebagai ungkapan penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan
sebuah pandangan bahwa dalam sistem ini, kepentingan ekonomi
dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan berlangsung tanpa
pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin.
Ketiga, kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada
keterkaitan antara bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme.
Kapitalisme
merupakan
bentuk sekuler dari penekanan
protestanisme pada Individualisme dan keharusan mengusahakan
keselamatan sendiri.
6. Akar Historis Kapitalisme
Sistem perekonomian kapitalisme muncul dan semakin
dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman modern.
Kapitalisme seperti temuan Karl Marx
menjadi sistem yang
dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV dan awal
abad XV. Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait
erat dengan kolonialisme. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi
modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke
penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah
jajahannya.
25
Kelahiran kapitalisme ini dibidani oleh tiga tokoh besar,
yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin
Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang
memberikan dasar-dasar ekonominya. Martin Luther yang memberi
dasar-dasar teosofik adalah seorang Jerman yang melakukan
gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan
tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima
kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan gereja
Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: “Manusia
menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya dan
semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja
mereka dapat menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”.
Sedangkan bagi Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar
filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras mengakumulasi modal
atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan: “Waktu
adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar
ekonominya dan tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature
and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih
mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah konsep
sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire,
laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan
menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga
menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan
rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat adalah
perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan
akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang
tersebut tinggi, maka banyak produsen yang memproduksinya.
Sehingga dengan demikian kelangkaan barang tersebut akan
terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi. Sehingga masalah yang terjadi di masyarakat akan
diselesaikan oleh the invisible hands.
Banyak pakar memberikan penjelasan bahwa kapitalisme
sebagai sistem perekonomian dunia baru dimulai sejak abad XVI.
Menurut Dudley Dillard pada zaman kuno sebenarnya sudah
terdapat model-model ekonomi yang merupakan cikal-bakal
kapitalisme. Bagi Dillard, kapitalisme tidak saja dipahami sebagai
sistem ekonomi pasca abad XVI. Kantong-kantong kapitalisme
sebagai cikal-bakal dan ruh kapitalisme justru mulai berkembang
diakhir abad pertengahan. Dillard membagi urutan perkembangan
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996, hlm.391.
19
20
kapitalisme menjadi tiga tahapan.26 Secara kronologis dalam
tahapan sejarah perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme
Klasik dan Kapitalisme Lanjut.
a. Kapitalisme Awal (1500-1750).
Kapitalisme untuk periode ini masih mendasarkan pada
pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan kehadiran
industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski
industri sandang tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang
sangat sederhana, pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang
disebut sebagai surplus sosial. Seperti dijelaskan Dillar, dalam
prakteknya industri sandang mengahadapi banyak problem dan
kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak mampu
menjadi penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di
beberapa wilayah pelosok Inggris, industri tersebut terus
berkembang pesat selama kurun waktu abad XVI sampai XVII.
Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara produktif
ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan
sistem ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk
usaha perkapalan, pergudangan, bahan-bahan mentah, barangbarang jadi dan variasi untuk kekayaan yang lain.
Perluasan demi perluasan dengan argumentasi produktifitas
yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan fenomena dramatis
dengan munculnya kolonisasi atau imperealisme ke daerah-daerah
lain yang tak memiliki keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada
informasi yang sama, Dillar juga pernah menguraikan bahwa
perkembangan kapitalisme pada tahapan ini didukung oleh tiga
faktor yang sangat penting yaitu: (1) dukungan agama dengan
menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan ajuran untuk hidup
hemat, (2) hadirnya logam mulia terhadap distribusi pendapatan atas
upah, laba dan sewa, serta (3) keikutsertaan Negara dalam
membantu membentuk modal untuk berusaha.
Studi Russel, Modes of Productions individu Wolrd History
London and New York, Routledge, 1988, menjelaskan bahwa
kapitalisme pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa Eropa
dan Inggris abad ke-12 adalah sebagai lokasi awal perkembangan
kapitalisme.
Russel
menunjuk
wilayah
perkotaan
untuk
mencontohkan bahwa saudagar kapitalis menjual barang-barang
produksi mereka dalam suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat
lainnya. Mula-mula mereka hanya menjual barang kepada teman
sesama saudagar perjalanan. Kegiatan ini kemudian berkembang
menjadi perdagangan publik.
b. Kapitalisme Klasik (1750-1914).
Pada fase ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang
semula hanya perdagangan publik, ke wilayah yang mempunyai
jangkauan lebih luas yaitu industri. Transformasi dari dominasi
modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu
merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara
menentukan pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil
memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra perdagangan
lama di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang
terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai
menunjukkan hasil yang baik pada abad XVIII. Penerapan praktis
dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad
dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi
penggerak bagi perubahan tehnologi karena akumulasi modal
memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya
yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam
Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme pada
fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis.
Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi
kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan
ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu
hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan
kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi
dan perluasan daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi.
Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan karya Adam Smith
An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations
(1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno
sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
26
Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan Dasar
Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985, hlm. 10.
21
22
c. Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914).
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad
XIX, tepatnya tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum
utama. Abad XX ditandai oleh perkembangan kapitalisme yang
sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional.
Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling
tidak oleh tiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal
dari Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsabangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai
ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan
kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia
yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme
yang berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan
sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan
kemapanan agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan,
yaitu komunisme.
Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk dengan
performance yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan
umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya. Bagi Daniel
Bell,27 fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir
ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan umat manusia
tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan
juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat
manusia.
Budiman (1997: 86) menyebut bahwa kapitalisme seolah
menjadi pesolek tanpa tanding dalam merebut perhatian para
teoritisi sosial dunia. Salah satu hal yang membuat kapitalisme
bertahan adalah kelenturan produk yang ditawarkan. Produk-produk
yang disediakan bersifat adaptif dengan zamannya. Citra-citra yang
disodorkan tidak pernah dibiarkan begitu saja dan menjadi sebentuk
27
Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang Kapitalisme fase lanjut
atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh Daniel Bell. Beberapa kajian
dalam poin ini sepenuhnya mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini
periksa karya Bell seperti (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2)
The Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3)
The Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B.
Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan
Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta: LP3ES,
1988.
23
kesombongan ideologis yang menjenuhkan, melainkan disesuaikan
dengan berbagai desakan pluralisasi wacana kehidupan.
Kapitalisme berhasil tetap bertahan karena ia mampu menghadirkan
demokrasi ekonomi dan politik sebagai bentuk keinginan umat
manusia yang paling mutakhir, tapi sebatas citra, demokrasi yang
semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan tersebut dipandang
Guy Debord sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme sedang
menyiapkan perangkat kebudayaan yang mengantarkan umat
manusia pada kondisi komoditi yang final dan melelahkan.28
Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah
sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi
sudah tidak lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan
jasa dan informasi. Ia berusaha mendominasi dunia dengan
kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi ekonomi global.
Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational Corporation/Trans
National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa
pelaku aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara,
melainkan para pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan
modal mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi apa dan di mana
saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara
menjadi tereduksi, tapi juga hilang sama sekali. Negara hanya
sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor) saja dalam
percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran
Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda
ekonomi yang sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat
Galbraith dengan mengatakan bahwa korporasi modern
menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini
tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap
produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini
selanjutnya menjadi karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa
ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa kapitalisme lanjut
adalah kapitalisme monopoli (monopoly capitalism) atau kapitalisme
kroni (crony capitalism).29
28
Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh Fredric
Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism, London, Verso,
1990, hlm. 8.
29
Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari kapitalisme fase lanjut seringkali
diberi pengertian yang merujuk pada peran penting dari kolaborasi di tingkat birokrat
24
Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang
didasarkan pada distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang
berkembang antara korporasi modern dan birokrasi publik, seperti
kapitalis yang membuat mobil dan Negara yang membangun jalan
raya, kapitalis yang membuat pesawat tempur dengan Negara yang
mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.30 Selain hal itu,
apa yang diungkap Galbraith sebagai kapitalisme lanjut adalah
pemfungsian institusi Negara sebagai jaminan kontrol dari doktrin
mekanisme pasar. Bahkan para kapitalis dengan sengaja berani
membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya adalah untuk
mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam
struktur masyarakat yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi
dalam tubuh kapitalisme itu sendiri. Asumsi ini diperkuat oleh fakta
pertumbuhan industri-industri kapitalisme hingga menciptakan
sindroma korporasi-korporasi modern ternyata memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.
Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya
dengan uraian yang mendalam tentang keterkaitan Negara dalam
dimensi politis dan kapitalis dalam dimensi ekonomis. Semakin
menguatnya campur tangan institusi Negara ke dalam aktifitasaktifitas ekonomi acap mendisfungsionalisasikan fungsi dari Negara
itu sendiri. Hal itu bisa ditunjukkan dengan merosotnya atensi
Negara yang bersangkutan terhadap persoalan-persoalan lain di luar
masalah teknis administratif.
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam
Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif yang
khas. Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan
menghindari resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak
diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada
pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi
hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan
secara administratif sehingga dimensi praksisnya hilang.31
Hubungan faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi
adalah cara pandang Keynes, dan persoalan itu susah untuk
dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan adegan sosial
dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori
ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa
yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk
melayani tujuan dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu
ekonomi menjadi persoalan politik dengan cara yang berbeda.
Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan dengan
bergesernya mekanisme kapitalisme bisa dipahami dari Negara
Amerika. Yang terjadi di Amerika dewasa ini bukanlah paham
kapitalisme yang asli yang menganut paham laissez-faire, laissezpasser, melainkan suatu sistem ekonomi yang tetap menggunakan
prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan dengan berbagai rambu
hukum yang membatasi penguasaan resaources dan konsumsi yang
berlebihan, baik secara individual maupun pada tingkat
perusahaan.32 Nilai-nilai yang berlaku pada sistem kapitalisme
Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, asas kebebasan (freedom), dengan pengertian,
bebas berkonsumsi dan berinvestasi (free entry individu
consumption and investment) serta pembatasan investasi
pemerintah sekaligus mengikhtiarkan model politik yang demokratis.
Kedua, asas keseimbangan (equality), dengan pengertian, adanya
difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining power
yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya
kesempatan yang sama sekaligus upaya untuk menciptakan
pemerataan. Ketiga, asas keadilan (fairness), dengan pengertian,
sebuah upaya untuk menghindari praktik yang tidak adil seperti
adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan tuan
dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu,
setiap praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh
dengan kejujuran dan keterbukaan (full honesty and disclosure).
Keempat, asas kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya
32
Negara dan pengusaha kapitalis untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan
pada kepentingan-kepentingan publik.
30
Lihat John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New York: Mentor
Book Paperback Edition, 1972, hlm. 258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.
31
Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES,
1990, hlm. 76-77.
Dalam banyak hal, pembahasan kapitalisme fase lanjut tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari pembahasan tentang sistem ekonomi kapitalisme yang
ada di Amerika. Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu bahwa salah satu
ciri pokok yang mendasari kapitalisme fase lanjut adalah pergeseran modal dari
kapitalisme klasik yang didominasi oleh Negara-negara Eropa menuju kapitalisme
Amerika. Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan dunia (world trade center),
dengan demikian, bisa dijadikan referensi dan parameter perkembangan
kapitalisme global selanjutnya.
25
26
pertimbangan efisiensi alokasi dan produksi. Parameter
kesejahteraan bisa diketahui melalui pengawasan pemerintah
terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan kondisi
ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan
keselamatan lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar.
Kelima, asas pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth)
yang indikasinya adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan
tekhnologi. Ada beberapa kebijaksanaan pemerintah Amerika yang
menjadi prioritas dalam menjamin kebesaran kapitalisme. Di
antaranya adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya
kompetisi seperti terciptanya UU Anti Trust (Sherman Act and
Clayton Act). Tujuannya untuk mencegah persaingan yang tidak
sehat diantara pihak yang bersaing. Peraturan ini secara teknis
bertujuan untuk menjamin kebebasan dan keamanan dalam
berinvestasi (free exit and entry). Kemudian kebijaksanaan yang
mengatur ke mana arah kompetisi digerakkan. Pengaturanpengaturan ini berfungsi untuk melindungi konsumen dan produsen.
Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan etika periklanan dan
standarisasi barang-barang dari segi kualitas maupun kuantitas.
Perlindungan merk dagang dan hak cipta juga mendapatkan
perhatian yang cukup serius. Selain itu, adanya kebijaksanaan yang
menjadi jaminan bagi distribusi pendapatan, yakni melalui pajak.
Pajak bisa difungsikan sebagai sarana pemerataan, insentif serta
regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi maupun konsumsi.
Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang
mengatur public utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire,
laissez passer dan jargon the invisible hand merupakan asas
fundamental yang terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk
mencirikan kapitalisme. Mereka berpandangan bahwa teori ekonomi
secara jelas menunjukkan bahwa mekanisme pasar tidak akan
mampu menyelesaikan proses alokasi barang-barang publik seperti
hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal barang-barang ini
merupakan sesuatu yang vital bagi terjaminnya hidup manusia. Jika
mekanisme pasar dibiarkan dengan sendirinya untuk menentukan
alokasi barang-barang publiknya, maka penyediaannya akan
cenderung lebih kecil dibandingkan dengan permintaan masyarakat
(socially desirealible). Karenanya diperlukan peranan pemerintah
untuk menyediakannya. Tindakan ini menjamin produksi barang-
barang kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi pada tingkat
optimal secara sosial.33
Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah kompetisi
(competition), dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika merupakan
poin penting dari buku The New Industrial State (1971) yang ditulis
Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu ekonomi klasik persaingan
adalah banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang kecil dari
pasaran. Galbraith kemudian mengatakan bahwa model persaingan
klasik ini sebagian besar sudah lenyap karena banyak pasar yang
dikuasai oleh beberapa perusahaan. Galbraith juga mengatakan
bahwa dalam perkembangan kapitalisme, timbul institusi yang
berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya sebagai
kekuatan pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut
bisa berupa lembaga konsumen yang mengontrol perilaku dan
pengaruh produsen, himpunan buruh yang mengimbangi kekuatan
kelas pemilik modal dan kelas manajer. Lembaga pelindung
konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer lain
yang berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan
kepentingan golongan lemah (marginal) dalam masyarakat, yang
tentunya mayoritas. Deskripsi awal dengan menyebut Amerika
sebagai pusat segala sesuatu untuk mengkaji kapitalisme lanjut
harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak bahwa
Amerika adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin
atau awal abad XIX sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta
merta ingin menunjukkan bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas
(limited) seperti yang tercermin di Amerika.
Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis Fukuyama,
yang kemudian tenar dengan karyanya, The End of History and Last
Man, menyatakan bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika
merupakan titik akhir dari perkembangan ideologi manusia.34
27
28
33
Ini semakin memperjelas bahwa teori mekanisme pasar tidak bisa dibiarkan
sebebas apa yang sudah didoktrinkan dalam teori ekonomi kapitalisme klasik.
Pemerintah atau Negara dibutuhkan kehadirannya dalam mengurusai bidangbidang yang bersangkut-paut dengan kebutuhan publik seperti penjelasan di atas.
Dengan demikian, hadirnya Negara sebagai wasit adalah berfungsi untuk mengatur
pasar.
34
Lihat Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London:
Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan pandangan-pandangan dalam literatur
abad ke-19 yang dikenal sebagai abad ideologi (the age of ideology). Bandingkan
juga dengan literatur abad ke-20 yang dianggap sebagai abad: (1) Akhir Ideologi
Fukuyama menjelaskan bahwa sejarah manusia ini sudah berhenti
pada satu titik yang ekstrim, yakni kapitalisme. Karenanya akhir
sejarah akan merupakan saat yang menyedihkan. Tatkala
keberanian, semangat, imajinasi, idealisme dan humanisme mulai
digantikan dengan perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional.
Pada saat itu pula manusia akan terjebak pada pemecahan masalah
teknis yang tidak ada habis-habisnya. Kapitalisme sibuk merancang
kebutuhan konsumen yang bercita rasa melangit. Sehingga
Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa selama
paruh terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas
secara serius dan mendalam kecuali tentang masa depan
kapitalisme (The Future of Capitalism).35
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi
kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum, di balik nuansa ini,
tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka, para
kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita
menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan
atas penindasan kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala
O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam menjelaskan
mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris
konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan
Negara terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC.
Tiga pilar neo klasik, TNC/ MNC, World Bank/ IMF, dan
WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang
sama, yakni liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu
adalah kekuatan terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah
menemukan kebijakan internasional yang tanpa memuat
kepentingan ketiganya. Kita memang bisa menyadari bahwa
kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu. Jika
hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh
kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini
kita juga menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya
dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang tertuang dalam kata-kata
msayarakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan, bukan terjadi
dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat
kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba
mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan
dengan Negara, justru pada akhirnya mampu menciptakan
masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam
kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan
mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil
apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan
komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan
oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir
sejarah itu, threshold capitalism.
(The End of Ideology) karya sosiolog Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End
of Nature) karya Paul MacKiben.
35
Lihat Galbraith, op. cit.
29
30
Hand-Out 3:
SOSIALISME
1. Pengertian Sosialisme
Sosialisme pada hakekatnya berpangkal pada kepercayaan
diri manusia, melahirkan kepercayaan pula bahwa segala
penderitaan dan kemelaratan yang dihadapi dapat diusahakan
melenyapkannya.36 Penderitaan dan kemelaratan yang diakibatkan
pembajakan politik dan ekonomi dimana penguasa dan pengusaha
dengan semangat liberal dan kapitalnya, memiliki kekuatan penuh
mengatur kaum kebanyakan warga negara, dengan segala
keserakahan yang didasarkan rasionalisme dan individualisme itu,
mendorong sebagian orang mencari cara baru guna pemecahan
masalah sosial tanpa harus dilakukan dengan kekerasan.
George Lansbury, pemimpin partai buruh, menulis dalam
bukunya My England (1934), dijelaskan:
“Sosialisme, berarti cinta kasih, kerjasama, dan persaudaraan
dalam setiap masalah kemanusiaan merupakan satu-satunya
perwujudan dari iman Kristiani. Saya sungguh yakinapakah
orang itu tahu atau tidak, mereka yang setuju dan menerima
persaingan dan pertarungan satu dengan yang lain sebagai
jalan untuk memperoleh roti setiap hari, sungguh melakukan
penghianatan dan tidak menjalankan kehendak Allah.”37
Sosialisme adalah sebuah masyarakat dimana kaum pekerja
sendiri yang menguasai alat-alat produksi dan merencanakan
ekonomi secara demokratik; dan semua ini secara internasional.
Istilah “sosialisme” atau “sosialis” dapat mengacu ke beberapa hal
yang berhubungan: ideologi atau kelompok ideologi. sistem
ekonomi. negara. Kata ini mulai digunakan paling tidak sejak awal
abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, pertama digunakan untuk
mengacu kepada pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di
Prancis, digunakan untuk mengacu pada pengikut doktrin SaintSimon pada tahun 1832 dan kemudian oleh Pierre Leroux dan J.
Regnaud dalam l'Encyclopedie nouvelle. Penggunaan kata
sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda
oleh berbagai kelompok, namun hampir semua sepakat bahwa
istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani
pada abad ke-19 dan ke-20, yang berdasarkan prinsip solidaritas
dan memperjuangkan masyarakat egalitarian, yang dengan sistem
ekonomi, menurut mereka, dapat melayani masyarakat banyak,
ketimbang hanya segelintir elite.
Sosialisme sebagai ideologi menurut penganut Marxisme
(terutama Friedrich Engels), model dan gagasan sosialis dapat
dirunut hingga ke awal sejarah manusia, sebagai sifat dasar
manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa Pencerahan di abad
ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de
Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, abbe de Mably, dan Morelly
mengekspresikan ketidakpuasan berbagai lapisan masyarakat di
Perancis. Kemudian Sistem Ekonomi dalam sosialisme sebenarnya
cukup sederhana. Berpijak pada konsep Marx tentang
penghapuskan kepimilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme
menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam
beberapa komoditi penting dan kepentingan masyarakat banyak,
Seperti Air, Listrik, bahan pangan dll.
Sejumlah pemikir, pakar ekonomi dan sejarah, telah
mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan teori
sosialisme, termasuk di antara mereka adalah antara lain Milton
Friedman, Ayn Rand, Ludwig von Mises, Friedrich Hayek, dan
Joshua Muravchik. Kritik dan keberatan tentang sosialisme dapat
dikelompokkan menjadi kategori berikut: Insentif, Harga,
Keuntungan dan kerugian, Hak milik pribadi. Keuntungan dalam
anutan sosialisme kekinian telah dimungkinkan. Berhubungan dalam
keuangan dari suatu negara sosialis, untuk transaksi atas barang,
walaupun bukan terhadap pertanian.
William Ebenstein & Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, Edisi 9
(Jakarta: Erlangga, 1990) hlm. 220.
2. Sejarah Kelahiran Sosialisme
Setelah melebarnya sayap-sayap ideologi liberalisme dan
kapitalisme, maka dunia telah tersebtuh ideologi ini dipenuhi dengan
pragmatisme hidup, sikap individualistis, konsumeris, hedonisme,
materialisme, dan sekulerisme. Ini telah menimbulkan masalah
sosial sampai pada tingkat unit sosial terkecil, seperti melemahkan
ikatan emosional dalam keluarga, disorientasi, disorganisasi sosial,
pada skala yang besar timbulnya aliansi sosial sebab jauh dari
31
32
36
188.
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Bandung: Mizan, 1999) hlm.
37
agama dan kepentingan sosial dalam kehidupan sosiali dan ekonomi
masyarakat. Lahirlah faham sosialisme. Mereka menentang individu
sebagai dasar pribadi, juga kebebasan ekonomi yang perlu
melibatkan negara. Faham sosialis mengusahakan indutri negara
bukan semata untuk digunakan mencari keuntungan yang melebihi
usaha keuntungan kapitalis yang meungkin berhasil, mungkin tida.
Akan tetapi untuk penyelenggarakan industri yang lebih demokratis,
bermanfaat dan bermartabat, penggunaan mesin yang lebih
memperhatikan manusia dan penggunaan hasil kecerdasan
manusia yang lebih bijak.38 Lahirlah tokoh-tokoh sosialis, seperti St.
Simon (1760-1825), Fourier (1837), Robert Owen (1771-1858),
Louis Blane (1813-1882), Bakunin (1814-1876).
3. Sistem Politik Sosialisme
Sosialisme dengan demokrasi, memiliki hubungan yang
sangat penting, ia menjadi bagian dari kebijakan sosialis. Sosialisme
dalam konteks demokrasi memiliki tujuan dengan inti yang sama,
yakni untuk lebih mewujudkan demokrasi dengan memperluas
penerapan prinsip-prinsip demokrasi dari hal-hal yang bersifat politis
sampai pada yang bersifat non-politis dalam masyarakat. Oleh
sebab itu untuk mencapai cita-citanya, sosialis menggunakan caracara yang demokratis:
Pertama, sosialisme menolak terminologi proletariat yang
menjadi bagian konsep komunisme. Kedua, kepemilikan alat-alat
produksi oleh negara harus diusahakan secara perlahan-lahan atau
secara bertahap. Ketiga, kaum sosialis menuntut pendirian umum
yang demokratis bahwa pencabutan hak milik warga negara harus
melalui proses hukum dan warga negara tersebut harus mendapat
kompensasi. Keempat, kaum sosialis menolak pengendalian
kekuasaan oleh sekelompok minoritas yang mengatasnamakan
kekuatan revolusioner.39 Kelima, tidak sependapat bahwa dalam
demokrasi hanya ada dua pilihan antara liberalis-kapitalis dan
komunisme. Partai-partai yang demokratis tidak menyibukkan dirinya
untuk menyelesaikan perjuangan seribu tahun dalam sehari,
38
36.
Mas’ud An Nadwi, Islam dan Sosialisme (Bandung: Risalah, 1983) hlm. 32-
melainkan mereka berusaha untuk memecahkan persoalan yang
relatif dapat ditangani dan dihindarkan pemecahan kaku yang tidak
dapat ditarik kembali.40
4. Sistem Ekonomi Sosialisme
Sosialisme adalah suatu sistem perekonomian yang
memberikan kebebasan yang cukup besar kepada setiap orang
untuk melaksanakan kegiatan ekonomi tetapi dengan campur
tangan pemerintah. Pemerintah masuk ke dalam perekonomian
untuk mengatur tata kehidupan perekonomian negara serta jenisjenis perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara seperti air, listrik, telekomunikasi, gas lng, dan
lain sebagainya. Dalam sistem ekonomi sosialisme atau sosialis,
mekanisme pasar dalam hal permintaan dan penawaran terhadap
harga dan kuantitas masih berlaku. Pemerintah mengatur berbagai
hal dalam ekonomi untuk menjamin kesejahteraan seluruh
masyarakat.
Pada dasarnya sosialisme mewarisi tujuan pokok yang sama
dari kapitalisme, yakni melestarikan kesatuan faktor tenaga kerja
dan pemilikan. Pada abad ke-17 dan ke-18, saat kapitalisme
melewati tahap awal perkembangannya, kesatuan itu menjadi
kenyataan. Inggris di zaman John Locke masih hidup dan Amerika di
zaman Thomas Jefferson menyaksikan pertanian yang berukuran
rata-rata, toko-toko,bengkel hanya dalam skala kecil keluarga saja.
Tenaga kerja dan pemilik berada dalam keseiringan. Ancaman
utama dalam kesatuan ini justru datang dari negara, yang berusaha
untuk menetapkan dan mengatur.
Singkatnya negara memainkan peranan suatu badan yang
berkuasa penuh dalam urusan ekonomi. Akan tetapi, tatkala
ekonomi kapitalis mengalami kemajuan, tanggungjawab individu dan
keluarga dalam urusan kepamilikan alat-alat produksi serta
pengaturan tenaga kerja perlahan-lahan digantikan oleh sistem
ekonomi dalam mana perusahaan besar mengambil alihfungsifungsi tersebut. Ketika bentuk usaha industri tumbuh semakin besar,
tanggungjawab tenaga kerja semakin beralih ke tangan masyarakat,
sementara pemilikan tetap secara perorangan.41
39
Clement Attle, Perdana Menteri Inggris tahun 1945-1951, juga seorang
Pemimpin Partai Buruh 1935-1955, menulis dalam buku The Labour Party in
Perspective (1937) bahwa kekuatan partainya bukan bergantung pada
kepemimpinan, melainkan kualitas rakyat jelata.
33
40
41
William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 210.
Ibid., hlm. 217-218.
34
Isu yang dalam mengembangkan sosialisme di Eropa
berkaitan erat dengan masalah ekonomi adalah: Pertama,
pemerataan sosial, salah satu kekuatan pendorong, yakni
penentangannya terhadap ketimpangan kelas sosial yang diterima
oleh negara Eropa (maupun bagian dunia yang lain) dari zaman
feodal dimasa lalu.
Kedua, penghapusan kemiskinan. Yakni kemiskinan sebagai
akibat dari akumulasi sistem kapitalisme, maka bagi sosialisme;
‘tidak ada hak milik pribadi atas alat-alat produksi, bahwa alat
produksi harus menjadi kepemilikan komunal’. Dengan menekankan
solidaritas sosial dan kerjasama sebagai sarana untuk
mengembangkan ekonomi dan membangun suatu jaringan ikatan
sosial dan ekonomi yang kuat guna membantu membentuk
kepaduan nasioal. Karena, begitu jauhnya kenyataan ekonomi dan
politis telah melahirkan kegagalan.42
5. Prinsip-prinsip Sosialisme
Sosialisme memiliki prinsip-prinsip dalam menegakkan suatu
pemerintahan dan negara dalam mewujudkan kepentingan rakyat
secara keseluruhan. Ini meliputi masalah agama, idealisme etis dan
estetis, empirisme febian dan liberalisme. Prinsip-prinsip ideologi
sosialisme menurut Sydney Webb sebagaimana dalam bukunya
Fabian Esseys (1889) itu, menganggap sosialisme sebagai hasil
yang tidak dapat diletakkan dari keberhasilan demokrasi dengan
kepastian yang datang secara bertahap (inevitability of gradualness)
yang berbeda dengan pandangan Karl Marx tentang kepastian
revolusi.43 Prinsip-prinsip ideologi sosialisme adalah sebagai berikut:
Pertama, masalah agama. Dalam pembentukan gerakan
sosialis pengaruh agama merupakan yang paling kuat. Menemukan
berbagai hal yang berhubungan dengan doktrin keagamaan, sosial
dan ekonomi serta banyaknya jumlah sekte keagamaan telah
membuktikan betapa adanya berbagai ajaran yang dipegangnya.
Hal ini tampak terlihat di Inggris pada masa itu menurut Attle.44 Hal
42
ini karena dulu ada gerakan Kristiani Sosialis yang beranggapan
bahwa agama itu harus disosialisasikan dan sosialisme harus
dikristianikan.45
Kedua, idealisme etis dan estetis. Ini menjadi sumber
sosialisme di Inggris, John Ruskin dan William Morris
mengungkapkan ini bukan suatu program politik dan atau ekonomi,
tetapi
merupakan
pemberontakan
melawan
kemelaratan,
kebosanan, dan kemiskinan hidup dibawah kapitalisme industri.
Sebagaimana kedua tokoh itu, Charles Dickens dan Thomas Carlyle
serta pengarang lainnya yang melihat pengaruh peradaban industri
terhadap pribadi seseorang sebagai manusia. Pemberontakan etis
dan estetis masa Inggris Victoria merusak rasa percaya diri yang
tumbuh pada masa itu. Sebab keraguan itu, dirinya mendapatka
banyak sosialis yang positif dapat dikembangkan mengenai langkah
demi langkah.46 Ini bukan merupakan program politik dan ekonomi,
melainkan pemberontakan dari kehidupan yang kotor dan keadaan
masyarakat yang miskin akibat kapitalis industri.47
Ketiga, empirisme fabian. Ini merupakan ciri gerakan sosialis
Inggris yang paling khas. Masyarakat fabian didirikan pada tahun
1884, serta mengambil nama seorang Romawi, yakni Quintus
Fabius Maximus Cunctator, si “penunda’. Moto awal dari masyarakat
itu adalah ‘Engkau harus menunggu saat yang tepat; kalau saat
yang tepat itu tiba engkau harus melakukan serangan yang dahsyat,
sebab jika tidak, penundaan yang engkau lakukan itu sia-sia dan
tidak akan membawa hasil. Tokoh-tokoh dari kalangan ini antara lain
George Bernand Shaw, Sydney dan Beatrice Webb, H.G. Wells dan
Graham Walls, mereka bukan berasal dari kalangan miskin. Dalam
hal politik menghendaki suatu perubahan masyarakat secara
konstitusional. Perubahan itu jangan sampai melalui revolusi yang
radikal dengan membalikkan struktur politik dengan cara paksa atau
kekerasan. Prinsip bahwa tidak mungkin ada kemajuan kecuali
Lyman Tower Sargen, Ideologi-ideologi Politik Kontemporer; Sebuah
Analisis Komparatif (Jakarta: Erlangga, 1987) hlm. 149.
43
Mas’ud An Nadwi, op. cit., hlm. 32-36.
44
Adanya gerakan Sosialis Kristiani yang dipimpin oleh dua orang biarawan,
yaitu Fredrick Maurice dan Charles Kingsley mencapai puncak kejayaannya dalam
pertengahan abad kesembilan belas serta menjadi sumber penting untuk
perkembangan organisasi kelas buruh serta sosialis kemudian. Prinsip yang
menjadi pedoman bagi kalangan Sosialis Kristen adalah konsep yang
menandaskan bahwa sosialisme harus dikristenkan dan Kristianitas harus
disosialisasikan. Lihat dalam William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm.
219-220.
45
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50.
46
William Ebenstein & Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 222-223.
47
Ibid.
35
36
kepada kelas menengah dan atas ditunjukkan bahwa tuntutan dasar
pikiran serta politik sosialis tadi masuk akal dan bersifat adil.48
Keempat, liberalisme. Ini telah menjadi sumber yang semakin
penting bagi sosialisme, terutama sejak Partai Liberal merosot
peranannya, dan meningkatnya peran oleh Partai Buruh. Dalam
sosialisme juga ada kecenderungan berorientasi pada negara, masa
dan kolektivitas. Kedua kecenderungan itu masih Sunan Kalijaga
menjadi seorang pribadi dan bukan menjadi seorang anggota dalam
daftar nasional. Namun demikian, dalam 40 tahun terakhir semakin
banyak orang Liberal yang menggabungkan diri dengan Partai
Buruh.49 Hal ini penting terutama setelah partai liberal terjadi tidak
berarti banyak beralih ke partai buruh. Sebab dalam partai buruhlah,
gagasan mereka dapat dikembangkan.50
Oleh sebab itu sosialisme sebagai bentuk kekuatan politik,
sosial dan ekonomi sangat berpihak kepada tindakan populis dan
untuk rakyat, ini dilakukan berupa pemberian kesempatan kerja,
menghapus diskriminasi, memperjuangkan mengenai persamaan
hak, memperjuangkan hak-hak pekerja, kerjasama serta
menghapuskan persaingan dan mengatur mekanisme ekonomi
untuk kepentingan seluruh rakyat.
6. Sosialisme Utopis
Sosialisme Utopis atau Sosialisme Utopia adalah sebuah
istilah untuk mendefinisikan awal mula pemikiran sosialisme modern.
Para sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini
untuk menyebut diri mereka; istilah "Sosialisme Utopis" awalnya
diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir48
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50.
Dalam pemilihan umum pasca perang yang diadakan pada tanggal 5 Juli
1945, partai buruh meraih 394 dari 640 kursi, dengan demikian untuk pertama
kalinya dalam sejarah Inggris pemerintahan Partai Buruh dibentuk dengan
mayoritas yang mantap di Majelis Rendah. Antara tahun 1900 sampai 1918, partai
buruh secara resmi tidak terikat dengan sosialisme, meskipun mereka menghimpun
banyak individu yang berhalauan sosialis. Pada tahun 1918, ketika partai itu
mengambil sosialisme sebagai programnya, komitmennya kepada nasioalisasi
industri hampir penuh. Partai buruh berubah secara drastis pandangannya dan
mendorong nasionalisasi hanya kalau secara pragmatis telah terbukti bahwa
pemilikan oleh negara akan mendatangkan lebih banyak manfaat bagi kemakmuran
negara daripada pemilikan secara perorangan. Lihat dalam William Ebenstein &
Edwin Fogelman, op. cit., hlm. 223 & 229.
50
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 50.
49
37
pemikir sosialis setelahnya, untuk menggambarkan awal kaum
sosialis intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari
penganut paham egalitarian dan masyarakat komunal tanpa sematamata memperhatikan diri mereka sendiri dengan suatu cara dimana
komunitas masyarakat seperti itu bisa diciptakan atau
diperjuangkan.
Kata utopia sendiri diambil dari kisah pulau Utopia karangan
Thomas Moore. Karena Sosialisme utopis ini lebih merupakan
sebuah kategori yang luas dibanding sebuah gerakan politik yang
spesifik, maka sebenarnya sulit untuk mendefinisikan secara tepat
istilah ini. Merujuk kepada beberapa definisi, desinisi sosialisme
utopis ini sebaiknya melihat para penulis yang menerbitkan tulisantulisan mereka pada masa antara Revolusi Perancis dan
pertengahan 1930-an. Definisi lain mengatakan awal mula
sosialisme utopis jauh lebih ke masa lalu, dengan mengambil contoh
bahwa figur Yesus adalah salah satu diantara penganut sosialisme
utopis. Walaupun memang terbuka kemungkinan siapapun yang
hidup dalam waktu kapanpun dalam sejarah dapat disebut sebagai
seorang sosialis utopis, istilah ini lebih sering dipakai terhadap para
sosialis utopis yang hidup pada seperempat masa pertama abad 19.
Sejak pertengahan abad 19 dan selanjutnya, cabang-cabang
sosialisme yang lain jauh melebihi versi utopisnya, baik dalam
perkembangan pemikirannya maupun jumlah penganutnya. Para
sosialis utopis sangat penting dalam pembentukan pergerakan
modern bagi komunitas intentional dan koperasi, techno
komunisme.Istilah "sosialisme ilmiah" kadang digunakan oleh para
penganut paham Marxisme untuk menguraikan versi sosialisme
mereka, terutama untuk tujuan membedakannya dari Sosialisme
Utopis dimana telah terdeskripsi dan idealistis (dalam beberapa hal
mewakili suatu yang ideal) dan bukan ilmiah, yaitu, yang dibangun
melalui pemikiran dan berdasarkan pada ilmu-ilmu sosial.
7. Pemikir Utama Sosialisme Utopis
Robert Owen (1771-1858) adalah seorang pelaku bisnis
sukses yang menyumbangkan banyak laba dari bisnisnya demi
peningkatan hidup karyawannya. Reputasi dia meningkat ketika dia
mendirikan suatu pabrik tekstil di New Lanark, Skotlandia dan
memperkenalkan waktu kerja lebih pendek, membangun sekolah
untuk anak-anak dan merenovasi rumah-rumah tempat tinggal
pegawainya. Ia juga merancang suatu komunitas Owenite yang
38
disebut New Harmony (Keselarasan Baru) di Indiana, AS. Komunitas
ini bubar ketika salah satu dari mitra bisnisnya melarikan diri dengan
membawa semua laba yang ada. Kontribusi utama Owen bagi
pikiran kaum sosialis adalah pandangan tentang dimana perilaku
sosial manusia tidaklah tetap atau absolut, dan manusia mempunyai
kehendak bebas untuk mengorganisir diri mereka ke dalam segala
bentuk masyarakat yg mereka inginkan. Otienne Cabet (1788-1856)
dipengaruhi oleh pemikiran Robert Owen. Di dalam bukunya Travel
and adventures of Lord William Carisdall in Icaria (1840) ia
memaparkan suatu masyarakat komunal idealis. Usaha nya untuk
membuatnya kembali (gerakan Icarian) gagal. Charles Fourier
(1772-1837) sejauh ini adalah seorang sosialis yang paling utopis.
Menolak semua tentang Revolusi Industri dan semua permasalahan
yang timbul menyertainya, ia membuat berbagai pendapat fantastis
tentang dunia yang ideal yang ia impikan. Selain beberapa
kecenderungan yang jelas-jelas tidak sosialis, ia tetap memberi
kontribusi berarti bagi gerakan sosialis. Tulisan-tulisannya
membantu Karl Marx muda dan membantunya memikirkan teori
alienasinya. Fourier juga seorang feminisme radikal.
Hand-Out 4:
KOMUNISME
1. Pengertian Komunisme
Komunis mulai populer dipergunakan setelah revolusi di tahun
1830 di Peracis. Suatu gerakan revolusi yang menghendaki
perubahan pemerintahan yang bersifat parlementer dan
dihapuskannya raja. Istilah komunis, awalnya mengandung dua
pengertian. Pertama, ada hubungannya dengan komune (commune)
suatu satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan
sendiri, dengan negara itu sendiri sebagai federasian komunekomune itu. Kedua, ia menunjukkan milik atau kepunyaan bersama.
Pada esensinya adalah sebuah alra berfikir berlandaskan kepada
atheisme, yang menjadikan materi sebagai asal segala-galanya.
Ditafsirkannya sejarah berdasarkan pertarungan kelas faktor
ekonomi. Karl Marx dan Frederich Engels adalah tokoh utamanya
dalam mengembangkan faham ini.51
Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad
ke-19, yang mana mereka itu mementingkan individu pemilik dan
mengesampingkan
buruh.Istilah
komunisme
sering
dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi
yang digunakan partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini
berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut
“Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus
dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya,
perubahan sosial dimulai dari buruh, namun pengorganisasian
Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai.
Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat
diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh
Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul"
dan tidak lagi diminati. Komunisme sebagai anti kapitalisme
menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana
kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi.
Prinsip semua adalah milik rakyat dan dikuasai oleh negara
untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme sangat
membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme
juga disebut anti liberalisme. Secara umum komunisme sangat
membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama adalah
51
39
Abu Ridho, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (WAMY, 1999) hlm. 198.
40
racun yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan
nyata. Komunisme sebagai ideologi mulai diterapkan saat
meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917.
Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan
disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih
menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara,
Kuba dan Laos.
2. Ide Dasar Komunisme
Komunisme masa kini menitik beratkan empat ide: 1]
Sekelumit kecil orang hidup dalam kemewahan yang berlimpah,
sedangkan kaum pekerja yang teramat banyak jumlahnya
bergelimang papa sengsara, 2] Cara untuk merombak ketidakadilan
ini adalah dengan jalan melaksanakan sistem sosialis, yaitu sistem
dimana alat produksi dikuasai negara dan bukannya oleh pribadi
swasta, 3] Pada umumnya, satu-satunya jalan paling praktis untuk
melaksanakan sistem sosialis ini adalah lewat revousi kekerasan, 4]
Untuk menjaga kelanggengan sistem sosialis harus diatur oleh
kediktatoran partai Komunis dalam jangka waktu yang memadai.
Tiga dari ide pertama sudah dicetuskan dengan jelas sebelum
Marx, sedangkan ide yang keempat berasal dari gagasan Marx
mengenai “diktatur proletariat”, sementara itu lamanya berlaku
kediktatoran Soviet sekarang lebih merupakan langkah-Iangkah
Lenin dan Stalin daripada gagasan tulisan Marx, Hal ini nampaknya
menimbulkan anggapan bahwa pengaruh Marx dalam Komunisme
lebih kecil dari kenyataan sebenamya, dan penghagaan orang-orang
terhadap tulisantulisannya lebih menyerupai etalase untuk
membenarkan sifat “keilmiahan” dari pada ide dan politik yang sudah
terlaksana dan diterima.
3. Ciri-ciri Inti Masyarakat Komunis
Ciri-ciri inti masyarakat komunis adalah; 1] penghapusan hak
milik pribadi atas alat-alat produksi, 2] penghapusan kelas-kelas
sosialisme, 3] menghilangnya negara, 4] pengahpusan pembagian
kerja. Kelas-kelas tidak perlu dihapus secara khusus sesudah kelas
kapitalisme ditiadakan karena kapitalisme sendiri sudah
mengahapus semua kelas, sehingga hanya tinggal proletariat. Itulah
41
sebabnya revolusi sosialis tidak akan menghasilkan masyarakat atas
dan masyarakat bawah lagi.52
4. Filsafat Perubahan Sosial dalam Manifesto Komunis53
Dalam materialisme dialektik, tindakan adalah yang pertama
dan fikiran adalah yang kedua. Aliran ini mengatakan bahwa tak
terdapat pengetahuan yang hanya merupakan pemikiran tentang
alam; pengetahuan selalu dikaitkan dengan tindakan. Pada zaman
dahulu, menurut Marx, para filosof telah menjelaskan alam dengan
cara yang berbeda-beda. Kewajiban manusia sekarang adalah untuk
mengubah dunia, dan ini adalah tugas dan misi yang bersejarah dari
kaum komunis. Dalam melakukan tugas ini, mereka tidak ragu-ragu
untuk mengambil tindakan dan menggunakan kekerasan guna
mencapai maksud mereka. Sesungguhnya, kebanyakan orang
komunis percaya bahwa kekerasan adalah perlu untuk
menghilangkan kejahatan dari masyarakat.
Masyarakat, seperti benda-benda lain, selalu dalam proses
perubahan. Ia tidak dapat diam (statis) karena meteri itu sedniri
bergerak (dinamis). Akan tetapi perubahan atau proses
perkembangan itu tidak sederhana, lurus atau linear. Selalu terjadi
perubahan-perubahan yang kecil, yang tidak terlihat, dan
kelihatannya tidak mengubah watak benda yang berubah itu, sampai
terjadilah suatu tahap dimana suatu benda tidak dapat berubah
tanpa menjadi benda lain. Pada waktu itu terjadi suatu perubahan
yang mendadak. Sebagai contoh, air dipanaskan pelan-pelan, ia
menjadi bertambah panas sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya
secara mendadak, pada suatu tahap, ia menjadi uap, dan terjadilah
perubahan keadaan. Ada perkembangan yang lalu dari perubahan
kuantitatif yang sangat kecil dan tidak berarti, kemudian menjadi
perubahan yang penting terbuka dan kemudian menjadi perubahan
kualitas; terjadi juga suatu perkembangan dimana perubahan
kualitatif terjadi dengan lekas dan mendadak, berupa suatu loncatan
dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain.54 Begitu juga dalam
52
Franz Magnis-Suseno, Pemikian Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2000) hlm. 171.
53
Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Judul Asli: Living Issues in
Philosophy, Seven Edition, D. Van Nostrand Company, New York, 1979.
Penerjemah: Prof. Dr. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 304-306.
54
Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York: Inter.
Publisher, 1950) h. 8.
42
hubungan ekonomi dari suatu masyarakat dan dalam pertarungan
kepentigan antara kelas, situasi revolusioner akan muncul. Jika
ditafsirkan dengan cara ini maka materialisme dialektik memberi
dasar kepada perjuangan kelas dan tindakan revolusioner.
Pada tahun 1848 Karl Marx dan Freidrich Engels menerbitkan
Manifesto Komunis, suatu dokumen yang banyak mempengaruhi
gerakan revolusioner. Akhirnya Karl Marx menerbitkan karyanya
yang besar, Das Kapital, Jilid pertama terbit pada tahu 1867. Marx
membentuk interpretasi ekonomi tentang sejarah, dan interpretasi
tersebut telah berpengaruh kuat selama seratus tahun terakhir ini.
Bagi Marx faktor ekonomi adalah faktor yang menentukan dalam
perkembangan sejarah manusia. Sejarah digambarkan sebagai
pertempuran kelas, dimana alat-alat produksi, didistribusi dan
pertukaran barang dalam struktur ekonomi dari masyarakat
menyebabkan perubahan dalam hubungan kelas, dan ini semua
mempengaruhi kebiasaan dalam tradisi politik, sosial, moral dan
agama.
Terdapat lima macam sistem produksi, empat macam telah
muncul bergantian dalam masyarakat manusia. Sistem kelima
diramalkan akan muncul pada hari esok yang dekat, dan sekarang
sudah mulai terbentuk. Yang pertama adalah sistem komunisme
primitif. Sistem ini adalah tindakan ekonomi yang pertama dan
mempunyai ciri-ciri pemilikan benda secara kolektif, hubungan yang
damai antar perorangan dan tidak adanya tehnologi. Tingkat kedua
adalah sistem produksi kuno yang didasarkan atas perbudakan.
Cirinya adalah timbulnya hal milik pribadi, yang terjadi ketika
pertanian dan pemeliharaan binatang mengganti perburuan sebagai
sarana hidup. Dengan lekas, kelompok aristokrat dan kelas tinggi
memperbudak kelompok lain. Pertarungan kepentingan timbul ketika
kelompok minoritas menguasai sarana hidup. Tingkatan ketiga
adalah tingkatan dimana kelompok-kelompok feodal menguasasi
penduduk-penduduk. Pembesar-pembesar feodal menguasai
kelebihan hasil para penduduk yghanya dapat hidup secara sangat
sederhana.
Pada tingkatan keempat, timbulah sistem borjuis atau kapitalis
dengan meningkatnya perdagangan, penciptaan dan pembagian
pekerjaan; sistem pabrik menimbulkan industrialis kapitalis, yang
memiliki dan mengontrol alat-alat produksi. Si pekerja hanya
memiliki kekuatan badan, dan terpaksa menyewakan dirinya.
43
Sebagai giliran tangan menimbulkan masyarakat dengan pengusaha
kapitalis.
Sejarah masyarakat mulai pecahnya masyarakat primitif
bersama adalah sejarah pertarungan kelas. Selama seratus lima
puluh tahun terakhir, kapitalisme industri dengan doktrin self-interest
(kepentingan diri sendiri)-nya telah membagi masyarakat menjadi
dua kelompok yang bertentangan: borjuis atau kelompok yang
memiliki dan proletar atau kaum buruh. Oleh karena kelas yang
memiliki menguasai lembaga-lembaga kunci dari masyarakat dan
tidak mengizinkan perubahan besar dengan jalan damai, maka jalan
keluarnya adalah penggulingan kondisi sosial yang ada dengan
kekerasan.
Setelah revolusi, menurut materialisme dialektik dan filsafat
komunis, akan terdapat dua tingkat masyarakat. Pertama tingkat
peralihan, yaitu periode kediktatoran dari kaum proletar. Dalam
waktu tersebut orang mengadakan perubahan sosial yang
revolusioner, dan kelas-kelas masyarakat dihilangkan dengan
dihilangkannya hak milik pribadi terhadap sarana produksi, distribusi
dan pertukaran (excange). Tingkat kedua setelah revolusi adalah
tingkat kelima dan tipe terakhir dari sistem produksi. Itu adalah
“masyarakat tanpa kelas” atau komunisme murni. Pada tingkatan
tersebut bentrokan dan eksploitasi akan telah selesai, dan semua
orang, pria dan wanita akan terjamin kehidupannya yang layak.
Negara tidak lagi menjadi alat kelas dan dialektik tidak berlaku lagi
dalam masyarakat tanpa kelas. Akan terdapat kemerdekaan,
persamaan, perdamaian dan rizki pun melimpah. Masyarakat akan
menyaksikan realisasi kata-kata: dari setiap orang menurut
kemauannya, bagi setiap orang menurut kebutuhannya.
5. Kedudukan Proletariat dalam Komunisme
Komunisme adalah doktrin mengenai keadaan bagi
kemerdekaan proletariat.55 Bahwa terwujudkanya komunisme
membutuhkan keniscayaan terciptanya proletariat, dan proletariat
adalah Proletariat merupakan kelas dalam masyarakat yang hidup
hanya dengan menjual tenaga kerjanya dan tidak menarik
keuntungan dari mana-mana jenis kapital; kebiluran dan
55
Diambil dari Prinsip-prinsip Komunisme, oleh Frederick Engels, Ditulis pada
Oktober-November 1847, Dari Selected Works, Jilid1, muka surat 81-97, diterbitkan
oleh Penerbit Progress, Moskow; 1969.
44
kesengsaraan mereka, hidup dan mati mereka, kewujudan semenamena mereka bergantung kepada keperluan tenaga pekerja–dan
oleh kerana itu, bergantung kepada keadaan perniagaan yang
senantiasa berubah, dan ketidak-tentuan persaingan yang tidak
terkawal. Proletariat, atau kelas proletariat, merupakan, dalam
sekata dua, kelas pekerja abad ke-19.56
56
Marx-Engels, Selected Works; Peking, Penerbit Foreign Languages, 1977.
[Mukadimah] Pada tahun 1847, Engels menulis dua program draf untuk Liga
Komunis dalam bentuk soalan bersiri, satu pada bulan Jun dan satu pada bulan
Oktober. Yang kedua, yang dikenali sebagai Prinsip-prinsip Komunis, diterbitkan
buat kali pertama pada tahun 1914. Dokumen Draf Pengakuan Keimanan Komunis
yang lebih awal, hanya dijumpai pada tahun 1968. Ia diterbitkan buat kali pertama
pada tahun 1969 di Hamburg, dengan empat dokumen yang lain berkaitan dengan
kongres pertama Liga Komunis, dalam risalah bertajuk Grundungs Dokumente des
Bundes der Kommunisten (Juni bis September 1847) atau Dokumen Pengasas Liga
Komunis. Di Kongress Liga Keadilan pada bulan Jun 1847, yang juga merupakan
kongres pengasasan Liga Komunis, mereka mengambil keputusan untuk
meluluskan sebuah draf ‘pengakuan keimanan’ untuk diperdebatan oleh Liga itu.
Dokumen yang dijumpai itu sudah pasti merupakan draf ini. Bandingan di antara
dua dokumen itu menunjukkan bahawa Prinsip-prinsip Komunisme merupakan edisi
yang disemak. Dalam Prinsip-Prinsip Komunisme, Engels tidak menjawab tiga
soalan, dalam dua kes dengan nota ‘tidak berubah’ (bleibt); ini jelasnya merujuk
kepada jawapan yang diberi dalam draf awal. Draf baru untuk program ini
diusahakan oleh Engels di bawah arahan badan pemimpin Liga Komunis cawangan
Paris. Arahan tersebut disetujui selepas kritikan tajam Engels pada 22hb Oktober,
1847 terhadap program draf yang ditulis oleh ‘sosialis benar’ Moses Hess, yang
kemudiannya ditolak. Sambil mempertikaikan Prinsip-Prinsip Komunisme sebagai
draf awal, Engels menyatakan pendapat beliau, dalam surat kepada Karl Marx
bertarikh 23-24hb November 1847, bahwa ia mungkin baik untuk mengetepikan
susunan soalan bersiri dan menulis sebuah program dalam bentuk manifesto.
“Timbangkanlah Pengakuan Keimanan sedikit. Saya percaya kita harus
mengetepikan sususan soalan bersiri dan memanggilkannya: Manifesto Komunis.
Kerana sedikit sebanyak sejarah harus dikaitkan dengannya, cara susunannya
sekarang tidak berapa sesuai. Saya akan membawa apa yang saya sudah
selesaikan dengan saya; ia dalam susunan penceritaan, tetapi tidak ditulis dengan
baik, kerana saya menulisnya dengan cepat…” Pada kongres kedua Liga Komunis
(9hb November – 8 Disember 1847), Marx dan Engels mempertahankan prinsipprinsip saintifik komunisme dan diberi tugas menulis program dalam bentuk
manifesto untuk Parti Komunis. Dalam menulis manifesto tersebut, pengasas
Marxsisme menggunakan kalimah-kalimah yang ditulis dalam Prinsip-prinsip
Komunisme. Engels menggunakan ungkapan Manufaktur dan usulan seperti itu,
yang telah diterjemahkan sebagai ‘pengeluaran,’ ‘bidang pengeluaran’ dan
sebagainya. Engels menggunakan perkataan ini secara benar, untuk menandakan
pengeluaran dengan tangan, bukannya pengeluaran kilang, yang Engels memberi
nama ‘industri besar.’ Manufaktur berbeda daripada kraftangan (pengeluaran
tukang di pekan-pekan Zaman Pertengahan), di mana kraftangan diusahakan oleh
45
Proletariat menjelma semasa revolusi perindustrian, yang
berlaku di England pada hujung abad ke-18, dan yang diulangi di
setiap negara bertamadun di seluruh dunia. Revolusi perindustrian
ini dijana oleh penciptaan enjin stim, mesin menenun mekanikal dan
pelbagai peralatan mekanikal yang lain. Mesin-mesin ini, yang begitu
mahal sekali dan, oleh karena itu, hanya dapat dibeli oleh kapitalis
besar, mengubah cara pengeluaran dan mengambil tempat bekas
pekerja, kerana mesin-mesin tersebut menghasilkan komoditi yang
lebih murah dan lebih baik daripada yang dapat dihasilkan oleh para
pekerja dengan roda penenun dan penenun tangan mereka yang
tidak memadai. Mesin-mesin tersebut menghadiahkan bidang
indutsri ke dalam tangan kapitalis besar dan menghancurkan nilai
harta para pekerja (peralatan, alat penenun dan sebagainya).
Akibatnya, pihak kapitalis berjaya merangkul kesemuanya dalam
tangan mereka dan tidak terdapat apa-apa yang tinggal untuk para
pekerja. Ini menandakan pengenalan sistem perkilangan kepada
industri tekstil. Selepas dorongan bagi pengenalan mesin-mesin dan
sistem perkilangan diberi, sistem ini menjalar dengan pantas ke
setiap bidang indutsri yang lain, khususnya pencetakan buku dan
pengecapan kain, pembuatan barangan tembikar, dan indutsri
logam.
Pekerjaan-pekerjaan semakin dibahagikan di kalangan
individu sehingga pekerja yang dahulunya melaksanakan tugas yang
menyeleruh, sekarang hanya melaksanakan sebahagian daripada
tugas tersebut. Pembahagian tugas ini membenarkan benda-benda
dihasilkan dengan lebih cepat dan lebih murah. Ia mengurangkan
aktiviti pekerja kepada gerakan mekanikal senang dan beterusan
yang dapat dilaksanakan dengan lebih baik oleh mesin-mesin.
Dalam cara ini, segala industri tersebut jatuh, satu demi satu, di
bawah kekuasaan stim, mesin-mesin dan sistem perkilangan, seperti
yang berlaku kepada penenunan dan penganyaman.
artisan bebas. Manufaktur diusahakan oleh pekerja yang bekerja untuk pedagang
kapitalis, atau oleh kumpulan tukang kraf yang bekerja di bengkel-bengkel besar
yang dimiliki oleh kapitalis. Oleh kerana itu, ia merupakan keadaan peralihan di
antara kesatuan tukang (kraftangan) dan cara pengeluaran moden (kapitalis).
Dalam karya mereka yang ditulis pada waktu-waktu lain, Marx dan Engels
menggantikan ungkapan ‘penjualan tenaga pekerja,’ ‘nilai tenaga pekerja’ dan
‘harga tenaga pekerja’ yang digunakan di sini dengan ungkapan ‘penjualan kuasa
tenaga pekerja,’ ‘nilai kuasa tenaga pekerja’ dan ‘harga kuasa tenaga pekerja’ (yang
diperkenalkan oleh Marx) yang lebih tepat.
46
Tetapi, pada masa yang sama, bidang-bidang tersebut turut
jatuh ke dalam tangan kapitalis besar, dan para pekerja dilucutkan
kebebasan mereka. Lama-kelamaan, bukan sahaja pengilangan
tulin bahkan juga kraftangan jatuh ke dalam cengkaman sistem
perkilangan, apabila kapitalis besar mengambil tempat tukang mahir
kecil dengan mendirikan bengkel-bengkel besar, yang lebih
menjimatkan dan membenarkan pembahagian tugas yang lebih
terperinci.
Begitulah hampir segala jenis pekerjaan diusahakan di kilangkilang di setiap negara bertamadun-dan, dalam hampir setiap bidang
kerja, kraf-tangan dan pengeluaran telah dilintasi. Proses ini telah
menghancurkan kelas menengah lama pada tahap yang lebih teruk
lagi, khususnya tukang kraftangan kecil-kecilan; ia telah mengubah
keadaan pekerja secara menyeluruh; dan dua kelas baru telah
diwujudkan yang, secara perlahan-lahan, sedang menelan kelaskelas yang lain. Ini merupakan: 1] Kelas kapitalis besar yang, di
setiap negara bertamadun, memiliki secara eksklusif segala
keperluan hidup dan peralatan (mesin-mesin dan kilang-kilang) dan
bahan-bahan yang diperlukan untuk penghasilakn keperluan hidup.
Ini merupakan kelas borjuas, atau borjuasi. 2] Kelas yang tidak
berharta, yang terpaksa menjual tenaga pekerja mereka kepada
borjuasi untuk mendapat, secara berbalas, keperluan hidup untuk
kesenangan mereka. Mereka diberikan nama kelas proletariat, atau
pendek kata, proletariat.
6. Sejarah Perkembangan Komunisme
Rusia, merupakan pusat kegiatan pembaharuan untuk
menegakkan negara yang berdasarkan faham komunisme setelah
meletusnya Revolusi Bolshevik di tahun 1917. Pada tahun 1919
didirikan Third International atau yang dikenal dengan Komunisme
Internasional. Sosialisme-komunis dikenal juga dengan istilah
Boshevism, kelompok ini yang memenangkan puncak revolusi di
Rusia di tahun 1917 itu. Sebelumnya pada tahun 1989, setelah
berdiri Social Democracy Party yang membuka cakrawala berfikir
baru bagi parpenulis Rusia. Rapat kerja yang dilakukan di kota
Perlizt dipenuhi dengan tantangan yang tajam sesama mereka,
sampai akhirnya kemudian terpecah menjadi dua golongan.
Golongan pertama memilih cara kerja memalui cara berjuang yang
tidak revolusioner diberi nama Menshevic atau kelompok minoritas.
Adapun golongan kedua dengan pengikut mayoritas memilih
47
perjuangan dengan cara revolusioner, kelompok ini disebut
Bolshevic. Golongan ini berhasil memegang kekuasaan tertinggi di
Rusia dibawah kepemimpinan Lenin, didukung Trotsky57, yang
dilanjutkan oleh Stalin, Kruschev, Beznev, Androvov, Chernenko
sampai Gorbachev.
7. Sistem Politik Komunisme
Secara teoretis, pemerintahan komunis yang didasarkan
ideologinya memperlakukan semua negara bagian mereka, rakyat
dan cita-citanya menciptakan masyarakat sama rata-sama rasa.
Dalam kenyataannya kekerasan, penyingkiran lawan-lawan,
pembuangan, pengasingan, agitasi dan propaganda untuk
menghancurkan bagi mereka yang tidak sejalan merupakan
tindakan yang biasa dan harus dijalankan dengan cara revolusioner
dan radikal. Dengan demikian ideologi komunisme dengan
Marxisme-nya cenderung untuk melahirkan sistem politik yang
otoriter dan tiranik seperti yang diperlihatkan oleh penguasa Stalin
dan Lenin di Rusia, Mao Tse Tung di China, Fidel Castro di Kuba,
Rezim Kemer Merah dengan Polpot dan Khi Smpan di Kamboja,
Kim Sung di Korea Utara, Afganistan di masa Babrak Karmal.
Sejumlah negara dikawasan Eropa Timur yang menjadi satelit Uni
Sovyet seperti Hingaria, Bulgaria, Jerman timur, Latvia, Lithuania,
Estonia, Rumania, Polandia. Kemudian negara dibawah Konfederasi
Rusia yang menjadi Uni Sovyet seperti Georgia, Turkistan,
Azerbaijan, Turmikistan, Kazakstan, Armenia. Selain itu negara yang
berporos kepada faham Marxis dikawasan Afrika, Asia dan Amerika
Latin.
Melalui partai komunis yang menganut single party memegang
kekuasaan dengan mutlak-diktator. Rakyat tidak mungkin
mengembangkan buah pikirannya, apalagi melakukan partisipasi
politik yang berbeda dengan partai komunis yang berkuasa,
termasuk untuk mengemukakan kebijaksanaan partai negara. 58
Bagaimana Stalin dan Breznev, menumpas sejumlah negara yang
57
Dalam pertarungan perebutan kekuasaan di Rusia sepeninggal Lenin,
Trotsky orang kepercayaan Lenin, pada akhirnya disingkirkan oleh Stalin sebagai
penguasa baru Rusia. Trotsky memiliki perbedaan pendapat, disingkirkan dari
Dewan Tertinggi Organisasi, kemudian terusir dari negaranya tahun 1928, serta
terbunuh di pengasingan.
58
Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1982)
hlm. 45.
48
menuntut persamaan hak atau keinginan melepaskan diri dari satelit
Uni Sovyet seperti Geogia, Rumania, Polandia, Hongaria,
Chekoslovakia dan Afganistan di era 1950-an sampai 1970-an.
Dalam membawa misi komunismenya untuk mencapai dan
menguasai politik dalam masyarakat maupun negara, kalangan ini
bila mungkin membentuk partai politik berupa partai komunis. Dalam
struktur politik, negara yang berfaham ideologi komunis menganut
sistem komando, hierarkis dari atas, dengan pola yang sentralistik,
dan diktatur atas nama proletar, sehingga sering disebut diktatur
proletariat. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan ada tiga
tingkat atau jalur untuk lahirnya suatu kebijakan politik, yakni; 1] Polit
Biro (vanguard) merupakan pimpinan tertinggi dan pemutus, 2]
partai atau parlemen, 3] negara terakhir masyarakat. Secara resmi,
negara komunis mengaku kemajemukan masyarakat, sebagai
realisasinya ada wadah yakni partai. Akan tetapi masyarakat
komunis, Marxisme, Leninisme mengajarkan bahwa sosialisme
dibentuk dan dipertahankan melalui “Kediktaturan Proletariat.”59
Kediktaturan Proletariat dilakukan melalui partai hanya mungkin
melalui kediktaturan Polit Biro. Inilah doktrin Sentralisme Demokrasi.
8. Sistem Perekonomian/ Tata Ekonomi Komunisme
Komunisme adalah suatu sistem perekonomian di mana peran
pemerintah sebagai pengatur seluruh sumber-sumber kegiatan
perekonomian. Setiap orang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan
pribadi, sehingga nasib seseorang bisa ditentukan oleh pemerintah.
Semua unit bisnis mulai dari yang kecil hingga yang besar dimiliki
oleh pemerintah dengan tujuan pemerataan ekonomi dan
kebersamaan. Namun tujuan sistem komunis tersebut belum pernah
sampai ke tahap yang maju, sehingga banyak negara yang
meninggalkan sistem komunisme tersebut.
Lenin dalam melihat kemakmuran ekonomi yang menjadi
syarat utama untuk mencapai cita-cita komunis. Ia bersandar
kepada tiga prinsip untuk mencapai tujuan tersebut: Pertama,
industrialisasi secara pesat, teruatama sekali dengan mengandalkan
pembangunan indutri; Kedua, perencanaan menyeluruh degan
mengkoordinasikan kehidupan anggota masyarakat secara seksama
oleh suatu organisasi tehnik birokratis (kita harus meniru kapitalis);
Ketiga, perlembagaan persaingan sebagai cara untuk model dan
59
Firdaus Syam, op. cit., hlm. 59.
49
rangsangan bagi usaha individu dan kolektif, melalui pemberian
rangsangan bagi kepentingan pribadi dalam bentuk gaji serta
imbalan yang tidak sama, dan insentif material dan jabatan untuk
mereka yang ahli secara tehnis dan cakap secara administratif.60
Pada hakikatnya dalam penerapannya, ideologi komunisme
dalam satu negara dengan masyarakatnya tercipta bentuk
pemerintahan serta sistem politiknya yang diktatur dan otoriter
penguasa dan partai terhadap rakyatnya. Dalam bidang ekonomi,
telah menciptakan kelas baru antara pemegang kekuasaan dengan
rakyat, yakni ditindasnya hak rakyat dalam berkreativitas dibidang
ekonomi serta pemilikan. Dibidang sosial budaya telah menciptakan
manusia yang tidak lagi memiliki harkat kemanusiaan yang asasi
dan universal.
9. Prinsip-prinsip Komunisme
Pertama, yang dimasud dengan ideologi komunisme ialah
sistem politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan berdasarkan ajaran
Marxisme-Leninisme. Kedua, ideologi komunis yang berasal dari
pemikiran Marx memberikan ekspresi harapan. Filsafat Marx yang
komunis telah menyadarkan janji penyelamatan sosial.61 Ketiga,
orang komunis percaya bahwa historical materialis, sebab mereka
memandang soal-soal spiritual hanya sebagai efek sampingan
hakikat dari keadaan perkembangan materi termasuk ekonomi.
Agama muncul menurut Marx disebabkan adanya perbedaan kelas
sosial. Agama menjadi produk perbedaan kelas. Agama merupakan
perangkap yang dipasang kelas penguasa untuk menjerat kelas
proletariat yang tertindas. Apabila perbedaan kelas itu hilang, maka
agama dengan sendirinya akan lenyap sebab pada saat itu
perangkap (agama) tidak dibutuhkan lagi.62 Komunisme juga tidak
menerima pikiran orang lain (distrust of others reasons),
penyanggahan terhadap persamaan manusia (denial of human
60
Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme (Bandung: Mizan, 1983) hlm. 139.
Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi (Jakarta: Bulan Bintang,
1971) hlm. 9.
62
Murtadho Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Marxisme
dan Teori lainnya, lihat dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian
Sejarah Perkembagan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 292. Kajain mengenai Marxisme
dalamperspektif sosiologis dapat dilihat dalam tulisan Ali Syariati, Kritik atas
Marxixme dan Aliran Barat Lainnya (Bandung: Mizan, 1982).
61
50
equality), dan interpretasi secara ekonomi sistem terhadap sejarah
(economic interpretation of history). Oleh karena itu mereka tak
segan-segan melakukan penipuan, pengkhianatan dan pembunuhan
untuk melenyapkan lawan-lawannya, meskipun dari anggota
partainya sendiri.63 Keempat, karena cara mencapai tujuan, sangat
menghalalkan segala cara, sangat menghalalkan kekerasan radikal,
revolusioner dan perjuangan kelas, dengan sendirinya etika tingkah
laku didasarkan atas kekerasan (code of behavior of violence) serta
tidak mengakui pernyataan hak asasi manusia (denial of declaration
of human right). Kelima, cita-cita perjuangannya adalah membangun
masyarakat tanpa negara, tanpa kelas dengan konsep sama ratasama rasa, ideologi komunis itu bersifat international dibidang politik,
sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keenam, pengendalian segala
kebijakan berada ditangan segelintir orang yang diebut Polit Biro,
dengan sendirinya kebijakan ekonomi juga dilakukan secara
tersentral (central economic s ystem) dengan manajemen yang juga
secara diktator (dictatoral management) dan pemerintahan yang
dikendalikan oleh sejumlah orang yang sedikit (government by the
few).64
Hand-Out 5:
FASISME
1. Pengertian Fasisme
George Mosse menilai kemunculan fasisme sebagai reaksi
terhadap liberalisme dan positivisme65 yang terlihat dari
kecenderungannya yang ‘anti-intelektualisme’ (anti intellectualism)
dan dogmatisme. Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan
terhadap kebebasan individual (individual freedom) dan kebebasan
berfikir (freedom of thought). Liberalsme dan positivisme, ini agak
aneh, membuat individu ‘takut akan kebebasan’. dengan menjadi
fasis—menganut fasisme—individu merasa ‘bebas’ setelah
melarikan diri dari kebebasan. ia ‘menikmati’ kebebasan justru
dalam belenggu kebebasan. Kemuncuan fasisme juga merupakan
ekses
industrialisasi,
modernisasi
serta
demokratisasi.
Kemunculannya merupakan reaksi terhadap berbagai kesenjangan,
penderitaan berkepanjangan, rasa ketakutan akan ketiadaan
harapan masa depan yang lebih baik. Demokratisasi misalnya
dianggap hanya ilusi dan melahirkan dominasi dan hegemoni
struktural minoritas terhadap mayoritas, kebebasan anarkis dan lainlain. Dalam kasus Jerman di masa perang Dunia I dan II,
kemunculan fasisme distimulasi oleh anarki sosial yang diakibatkan
kekacauan domestik dan politik internasional.
Fasisme ditinjau dari akar-akar pemikirannya tergolong unik.
Ia, seperti dikatakan Hayes merupakan percampuran berbagai teori
yang paling radikal, reaksioner dan mencakup berbagai gagasan
ras, agama, ekonomi, sosial, dan moralitas akar-akar filosofis. Akarakar fasisme bisa dilacak dalam pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel,
Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzsche,
Marinetti, Oswald, Spengler, Chamberlain dan lain-lain.66 Jadi
fasisme, memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan, bahkan
ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuknya yang modern dan
kontemporer, dan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika
Borneo Mussolini menguasai Italia (1922), Hitler dengan Nazinya
mendominasi Jerman (1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936),
65
63
64
Ibid.
Sukarna, Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 45, 48 dan 68.
51
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm.
17., dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001) hal. 333.
66
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm. 18.
52
Tenno Heika memerintah Jepang (1930-an) dan Amerika Latin
dimasa pemerintahan Juan Peron (1950-an).
Mussolini dan Hitler merupakan tokoh fasisme yang
fenomenal. Fasisme merupakan sebuah paham politik yang
mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham
ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat
kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya
dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu.
Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman
Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini
merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah. Pada
abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini.
Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih
bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf
Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang
ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme
dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme
sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih
rendah.
2. Konteks Sosial-Psikologis Fasisme
Munculnya fasisme dan komunisme di suatu negara
disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. William
Ebenstein mencatat bahwa komunisme pada umumnya lahir dalam
masyarakat yang masih terbelakang (underdevelopment societies)67
dengan struktur sosial feodalistik-aristokratik da semi agraris.
Komunisme dalam masyarakat demikian, memiliki daya pikat yang
kuat terhadap kelas-kelas sosial tertindas. Sehingga komunisme
dianggap sebagai ideologi penyelamat dan pemberi harapan akan
masa depan yang lebh baik. Dilain fihak fasisme umumnya, dengan
pengecualian tertentu, muncul dalam masyarakat yang telah maju
(developed countries) dan makmur serta telah mengalami proses
industrialisasi dan modernisasi yang pesat serta relatif berhasil
mengembangkan tehnologi tinggi (high technology).68
Penelitian empirik membuktikan semakin modern dan semakin
pesat masyarakat mengalami industrialisasi, masyarakat itu semakin
kurang merasa memiliki (sense of belonging) atas segala sesuatu
disekitarnya. Rasa tak memiliki itu mengakibatkan masyarakat
industrial dan modern itu dihinggapi rasa frustasi, marah dan merasa
tidak aman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan
memiliki watak vandalistik dan destruktif. Kondisi psikologis ini
memberikan lahan subur bagi munculnya fasisme. Fasisme juga
lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi.
Dengan kata lain, fasisme akan mudah berkembang dalam negara
post-democracy,69 negara yang ‘pernah’ mengalami demokrasi.
Kegagalan proses demokratisasi, yang disebabkan faktor domestik
dan internasional, memberikan lahan subur bagi pertumbuhan
fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan
pada segelintir elit penguasa, terbentuknya monopoli dan oligopoli
dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan
kelas bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas seperti
cendekiawan, kaum industrialis maupun pemilik modal (kapitalis).
Masyarakat luas kecewa terhadap demokrasi yang dianggap
hanya ilusi keadilan politik dan tidak dapat dijadikan standar nilai
bagi pembentukan sistem politik-ekonomi yang lebih baik.
Kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis
legitimasi dan dukungan luas massa berbagai kalangan industrialis,
buruh, petani, cendekiawan, dan perwira militer. Itu berbeda dengan
latar belakang struktur sosial politik tempat bekambangnya
komunisme. Faham Marxis-Leninis itu cenderung akan berkembang
dalam masyarakat pra-demokrasi dengan mayoritas penduduk
belum mengalami ‘pendewasaan politik’, struktur sosialnya yang
hierarkis-tradisional.
Erich Fromm dalam Escape from Freedom70 menguraikan
teori menarik mengenai konteks psikologis fasisme. Ia berteori
bahwa ada kaitan erat antara vaiabel-variabel ekonomi dengan
variabel psikologis. Karena itu from menolak tesis fasisme sematamata
muncul
sebagai
akibat
determinisme
ekonomi,
kecenderungan-kecenderungan ekspansif imperealisme-kapitalisme
atau penaklukan negara oleh partai tunggal yang didukung kaum
industrialis dan The Jungkers. Fromm juga keberatan dengan tesis
67
William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism,
Socialism (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1970) hlm. 121.
68
Ibid. hlm. 121.
53
69
70
Ibid.
Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Avon Books, 1965)
54
L. Mumford yang menilai fasisme semata-mata sebuah fenomena
psikopatologi yang tidak terkait dengan determinisme ekonomi. Teori
psikopatologis memiliki asumsi bahwa fasisme tidak lain merupakan
sebuah manifestasi mereka yang mengidap penyakit neurotik
(neurotic), kegilaan (madness), dan berkepribadian tidak seimbang
(mentally unbalanced).
Berpijak pada kasus Jerman, Fromm berteori bahwa variabelvariabel psikologis fasisme tidak berdiri sendiri sebab ia terbentuk
oleh variabel-variabel ekonomi. Nazisme misalnya, memang
merupakan masalah ekonomi (dan politik) tapi sepenuhnya bisa
difahami bila melihatnya dari pendekatan psikopatologi. Hal terakhir
inilah yang dibahas Fromm dalam karyanya diatas. Variabel
psikologis itu menurut Fromm adalah keadaan mental yang letih dan
pasrah total. Keadaan psikologis ini dialami para pekerja Jerman
sesudah Revolusi 1918. Dan pada pasca perang mereka memiliki
harapan-harapan besar akan terjadinya perbaikan ekonomi,
sosialisme, politik. Tetapi semuanya hancur tahun 1930 akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Krisis itu mengakibatkan
penderitaan diluar batas kesanggupan mental kelas pekerja untuk
menanggungnya. Akhirnya mereka letih dan pasrah menghadapi
persoalan hidup dan merasa kurang percaya (skeptis) terhadap
akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi
politik di Jerman.
3. Latar Belakang Individu dalam Perkembangan Fasisme
Menurut
Eberstein71
perkembangan
fasisme
juga
dilatarbelakangi oleh kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam
kepribadian
individu-individu
dalam masyarakat.
Pertama,
kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa
dengan cita-cita dan praktik-praktik kuno. Kedua, kepribadian yang
kaku secara emosional dan kurang memiliki imajinasi intelektual
yang luas dan terbuka. Individu bersangkutan berpandangan ‘inward
looking’ dan menilai sesuatu secara hitam putih. Ketiga, individu
memiliki watak mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh.
Ia merasa dengan memiliki keduanya akan dapat mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut
memiliki kecenderungan loyalitasyg kuat pada kelompoknya sendiri.
Ia melihat kelompoknya sebagai yang kuat, memiliki kelebihan dan
keistimewaan dibandigkan dengan kelompok-kelompok lainnya.
Kadang individu seperti itu merasa benar sendiri, yang lainnya salah.
Kelima, ia memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung
kurang Sunan Kalijaga akan kebebasan dan spontanitas dalam
hubungan-hubungan kemanusiaan.
4. Doktrin dan Gagasan Utama Fasisme
Fasisme memiliki gagasan-gagasan dan doktrin-doktrin,
sebagaimana diuraikan oleh Hayes72, Ebenstein73, dan Bracher74;
doktrin Pertama, adalah gagasan mengenai mitos ras unggul (the
myth of race). Konsep keunggulan atau superioritas ras merupakan
doktrin sentral fasisme. Menurut fasisme secara rasial manusia tidak
sama. Ada ras superior dan ras inferior. Ras superior inilah yang
telah ditentukan secara alamiah akan menjadi penguasa atas ras
inferior. Mereka berhak untuk memperbudak ras inferior. Atas dasar
mitos ras itu Gobineau mengembangkan gagasan antiegalitarianisme. Masyarakat manusia menurutnya bersifat hierarkis.
Ada yang secara alamiah ditakdirkan jadi penguasa dan dikuasai
tergantung dari jenis ras apa mereka berasal. Maka menurutnya elit
merupakan lapisan sosial yang paling esensial bagi usaha
melestarikan masyarakat manusia yang beradab.75
Kedua, doktrin anti-semitisme. Mitos ras itu melahirkan sikapsikap kebencian mendalam kepada ras lain, khususnya Yahudi.
Kebencian itu termanifestasi dalam berbagai bentuk. Dari bentuknya
yang paling ‘halus’ seperti sindiran dan caci maki hingga bentuknya
yang paling vulgar dan kejam seperti penyiksaan dan pembantaian
massal terhadap orang-orang Yahudi. Dalam terminologi Barat,
sikap-sikap demikian dinamakan anti-semitisme. Inilah doktrin
fasisme kedua yang berkembang pesat di Jerman pada masa
perang Dunia I dan II. Bila dilacak akar historis kulturalnya
72
Diringkas dari Eberstein, op. cit., hlm. 127-131. Tinjauan psikoanalisis
mendalam dan kritis tentang kepribadian seorang fasis otoriter bisa dibaca dalam T.
W. Adorno, The Authoritarian Personality (New York: Harper & Row, 1950).
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973).
William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism,
Socialism (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1970).
74
Karl Dietrich Bracher, The German Dictatorship; The Origins, Structure and
Consequences of National Socialism, Trans. By J. Steinberg (London: Penguin
Book, 1988).
75
Paul Hayes, op. cit., hlm. 23.
55
56
71
73
sebenarnya telah berkembang di Eropa sejak ratusan, bahkan ribua
tahun yang lalu.
Berdasarkan kajian Dimont76, Arendt77, Sartre78 dan Stokes79
bisa dikatakan bahwa anti-semitisme telah terjadi ribuan tahun lalu di
Mesir ketika Fir’aun berkuasa. Yahudi disiksa dan dijadikan budak,
menjadi objek penyiksaan dan diusir ketika Nebukadnezar
menguasai Babilonia. Dimasa Imperium Romawi, orang-orang
Yahudi mengalami penderitaan berkepanjangan akibat loyalitas
mereka diragukan penguasa imperium. Di abad pertengahan,
Yahudi juga mengalami penderitaan lahir batin karena mitos dan
cerita takhayul yang berkembang pada masa itu menganggap
mereka sebagai ‘Penghianat Kristus’ saingan umat Kristen sebagai
‘orang-orang pilihan’ (the chosen people) kaki tangan setan,
penyembah-penyembah setan dan hantu yang berwujud manusia.
Ketiga, doktrin totalitarianisme. Giovanni Gentile (1819-…),
seorang ideolog fasis menilai fasisme sebagai suatu doktrin totaliter.
Artinya, fasisme tidak sekedar suatu istem organisasi politik atau
pemerintahan melainkan juga keseluruhan kehendak (will),
pemikiran (thought), dan perasaan (feeling) suatu bangsa.80 Jadi
watak dasar fasisme menurut Gentile adalah ‘totaliter’, komprehensif
dan mencakup semua. Doktrin totalitarianisme dalam fasisme ini
memiliki
akar-akar
intelektualnya
dalam
gagasan-gagsan
Herakleitus, Palto, Aristoteles dan Hegel.
Menurut pemikir Yunani Kuno Herakleitus, totalitarianisme
muncul dari kepercayaan bahwa dunia merupakan suatu totalitas.
Sesuatu yang ada di dunia ini merupakan bagian integral dari
tatanan keseluruhan dan kesatuan. Individu misalnya, hanya akan
berarti bila mereka dalam totalitas kolektif individu. Gagasan Plato
yang digunakan sebagai dasar perumusan doktrin totalitarianisme
76
fasis adalah teori negara kesatuan, komunisme primitif, etos
kemiliteran Sparta, dan kesatuan antara kepentingan individu
dengan kepentingan negara. Sumbangan Aristoteles adalah
gagasannya tentang negara organik, sistem etika sosial terpadu,
pembenaran fisik dan moral terhadap perbudakan manusia oleh
manusia. Mengenai yang terakhir Aristoteles menulis bahwa kelas
inferior haruslah dijadikan budak bagi kelas superior.81
Hegel merupakan filosof yang gagasannya paling banyak
dijadikan sebagai dasar doktrin totalitarianisme fasis. Menilai Hegel
dalam meletakkan dasar intelektual totalitarianisme fasis, Karl
Popper menyebut Hegel sebagai; “the seminal factors in the rise of
totalitarian philosophy and fascist practice” dan “link between
totalitarian philosophy of the past and of the present.” Hegel,
misalnya kata Karl Popper, telah menemukan kembali gagasangagasan Plato tentang pemberontakan dan kebebasan dan akal. 82
Menurut Hayes, Hegel telah memperkenalkan pada masyarakat
politik dan intelektual Jerman suatu filsafat aneh dan unik yang
sepenuhnya bernuansa totalitarianisme. Filsafatnya adalah suatu
pencampuran berbagai gagasan mistisisme, universalisme,
aristokratisme, anti-demokrasi dan utilitarianisme. Pencampuran
gagasan-gagasan itu, meskipun aneh dan tidak koheren tetap
memiliki daya pikat yang kuat bagi penganut fasisme di negaranegara Eropa, khususnya Jerman.83
Doktrin negara totaliter fasis yang berprinsip bahwa negara
merupakan pusat dan tujuan akhir eksistensi manusia memiliki akar
intelektualnya dalam gagasan kenegaraan Hegel. Filosof Jerman ini
mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa, dan tujuan
subtansialnya haruslah negara. Maka, negara merupakan dasar dan
pusat seluruh unsur-unsur kongkret dalam kehidupan manusia
seperti seni, hukum, moral, agama, dan ilmu pengetahuan.84 Disisi
lain Hegel juga mengemukakan gagasan negara organis yang
diterapkan dalam praktik fasisme di Jerman. Negara organis adalah
negara yang tidak memiliki kewajiban moral terhadap individu-
Lihat Max Dimont, Jews, God and History (The New York: The New York
American Library, 1962) juga The Indestructible Jews ((The New York: The New
York American Library, 1973).
77
Hannah Arendt, Anti-Semitisme, Part one of the Origins of Totalitarianisme
(New York: Harcourt and Brace World. Inc., 1968).
78
Jean Pail Sartre, Anti-Semite and The Jew, Trans. By George J. Backer
(New York: Schoker Books, 1972)
79
Roger Stokes, The Jew, Rome and Armageddon (Adelaide Hills
Christadelphian Ecclesia, 1987)
80
Hitler dikutip dalam David Coopeman and Walter, Power and Civilizations,
Political Thought in The Twetieth Century (New York: Thomas Y. Crowell Company,
1962) hlm. 261.
Aristoteles dikutip dalam Hayes, op. cit., hlm. 50.
Ibid., hlm. 40. Pemikiran Popper tentang Hegel bisa ditelaah dalam karya
karya monumentalnya, The Open Society and Its Enemiesm vol. II., The High Tide
of Propechy Hegel and Marx, The Aftermath (London: Routledge and Keagan Paul,
1962).
83
Hayes, op. cit., hlm. 45.
84
Ibid., hlm. 45.
57
58
81
82
individu. Ia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya tanpa
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara moral
kepada siapapun.
Keempat, doktrin tentang elite dan pemimpin. Fasisme
percaya bahwa manusia secara alamiah telah ditentukan untuk
menjadi penguasa (the ruler) dan yang dikuasai (the ruled). Jadi,
ada sebagian manusia yang memiliki kualitas kemanusiaan superior
dan yang lainnya tidak memiliki kualitas itu. Pandangan ini
merupakan konsep dari ocial destiny dalam fasisme. Menurut doktrin
ini massa (rakyat) tidak berhak dan tidak memiliki kemampuan
memerintah sebab hanya kelompok elite yang memiliki kualitas itu.
Demokrasi, dengan demikian hanyalan ilusi politik yang tak akan
pernah terwujud dalam kenyataan. Doktrin ini memiliki akar
pemikirannya dalam tradisi intelektual Plato, Aristoteles, Machiavelli,
Hobbes, Fichte, Herder, dan Hegel.
Di Jerman, Herder mengkombinasikan gagasan elitisme ini
dengan semangat nasionalisme dan penolakan terhadap
rasionalisme. Hasilnya adalah sebuah kredo intelektual dan filsafat
yang secara berhasil digunakan untuk membangkitkan kesadaran
nasionalisme dan kesadaran elite Jerman. Kesadaran itu membuat
bangsa Jerman yakin bahwa mereka adalah manusia pilihan yang
berhak menguasai dan memerintah dunia. Hegel dilain pihak juga
merumuskan premis-premis yang dijadikan alat pembenaran doktrin
fasisme ini. Hegel berpendapat bahwa sejarah dunia tidak lain
hanyalah sejarah orang-orang besar. Manusia unggul, atau
meminjam konsep Hegel heroic leader (pemimpin heroik), yang
sebenarnya ‘pencipta’ sejarah kemanusiaan dan peradaban, bukan
massa. Doktrin ini berpegaruh da diterima oleh para nasionalis dan
fasis Eropa, khususnya di Jerman dan Italia. Mussolini dan Hitler
mengakui dipengaruhi oleh konsep ‘heroic leader’ Hegel ini.
Pengaruh Hegel ini tampak dalam tulisan Hitler ketika ia menulis
bahwa dalampendapat umum, semuanya salah dan semuanya
orang besar. Dan, untuk menemukan apa yang benar merupakan
tugas orang besar (The Great Man). Orang besar inilah yang mampu
mengekspresikan kehendak zamannya, dan pelaksana kehendak
itu.
59
Hand-Out 6:
ANARKISME
Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang
mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan
kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuh suburkan
penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara,
pemerintahan,
beserta
perangkatnya
harus
dihilangkan/
dihancurkan. Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan
administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa
aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang
superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada
ranah publik maupun privat).
1. ETIMOLOGI
Anarkisme berasal dari kata dasar anarki dengan imbuhan
isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
anarchy atau anarchie (Belanda/ Jerman/ Prancis), yang berakar
dari kata Yunani anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan
a (tidak/ tanpa/ nihil/ negasi) yang disisipi n dengan archos/archein
(pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan
otoritas-secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani).
Anarchos/ anarchein= tanpa pemerintahan atau pengelolaan dan
koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai
dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan
dikendalikan, dan lain sebagainya. Sedangkan Anarkis berarti orang
yang mempercayai dan menganut anarki. Sedangkan isme sendiri
berarti paham/ajaran/ideologi.
2. ANARKISME
"Anarkisme
adalah
sebuah
sistem
sosialis
tanpa
pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan
mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan
pergerakan dari manusia" (Peter Kropotkin)
"Penghapusan
eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat
penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang
menindas" (Errico Malatesta)
60
2.1. Teori politik
Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk
menciptakan masyarakat tanpa hirarkis (baik dalam politik, ekonomi,
maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa
anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah format yang dapat
diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan
individu dan kebersamaan sosial. Anarkis melihat bahwa tujuan
akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama
yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau,
dalam tulisan Bakunin yang terkenal: "kebebasan tanpa sosialisme
adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah
perbudakan dan kebrutalan"[1]
2.2. Anarkisme dan kekerasan
Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya
kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup
ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis
yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon
Czolgosz, grup N17 di Yunani. Slogan para anarkis Spanyol
pengikutnya Durruti yang berbunyi: Terkadang cinta hanya dapat
berbicara melalui selongsong senapan
Yang sangat sarat akan
penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan.
Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat
dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan
dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata)
sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan
pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal
tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara.
Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak
sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang
harus ditempuh. Dalam bukunya What is Communist Anarchist,
pemikir anarkis Alexander Berkman menulis:"Anarkisme bukan Bom,
ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan
pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit
melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme
atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari
itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak
ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda,
merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda
harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki
61
kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta
hidup didalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki
persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti
saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli,
kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup
bersama-sama dalam kesetaraan." (Alexander Berkman, What is
Communist Anarchist 1870 - 1936).
Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam
mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode,
kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik
anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai
kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip
oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi
kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola
tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja
dari kalangan apapun.
3. SEJARAH DAN DINAMIKA FILSAFAT ANARKISME
Anarkisme sebagai sebuah ide yang dalam perkembangannya
juga menjadi sebuah filsafat yang juga memiliki perkembangan serta
dinamika yang cukup menarik.
3.1. Anarkisme dan Marxisme
Marxisme dalam perkembangannya setelah Marx dan Engels
berkembang menjadi 3 kekuatan besar ideologi dunia yang
menyandarkan dirinya pada pemikiran-pemikiran Marx. Ketiga
ideologi itu adalah : (1) Komunisme, yang kemudian dikembangkan
oleh Lenin menjadi ideologi Marxisme-Leninisme yang saat ini
menjadi pegangan mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme
Demokrat, yang pertama kali dikembangkan oleh Eduard Bernstein
dan berkembang di Jerman dan kemudian berkembang menjadi
sosialis yang berciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri
Baru, yang berkembang sekitar tahun 1965-1975 di universitasuniversitas di Eropa. Walaupun demikian, ajaran Marx tidak hanya
berkutat pada ketiga aliran besar itu karena banyak sekali sempalansempalan yang memakai ajaran Marx sebagai basis ideologi dan
perjuangan mereka. Aliran lain yang berkembang serta juga
memakai Marx sebagai tolak pikirnya adalah Anarkisme. Walaupun
demikian anarkisme dan Marxisme berada dipersimpangan jalan
dalam memandang masalah-masalah tertentu. Pertentangan
62
mereka yang paling kelihatan adalah persepsi terhadap negara.
Anarkisme percaya bahwa negara mempunyai sisi buruk dalam hal
sebagai pemegang monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa.
Negara hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok elit secara politik
dan ekonomi, dan kekuatan elit itu bisa siapa saja dan apa saja
termasuk kelas proletar seperti yang diimpikan kaum Marxis. Dan
oleh karena itu kekuasaan negara (dengan alasan apapun) harus
dihapuskan. Disisi lain, Marxisme memandang negara sebagai suatu
organ represif yang merupakan perwujudan kediktatoran salah satu
kelas terhadap kelas yang lain. Negara dibutuhkan dalam konteks
persiapan revolusi kaum proletar, sehingga negara harus eksis agar
masyarakat tanpa kelas dapat diwujudkan. Lagipula, cita-cita kaum
Marxis adalah suatu bentuk negara sosialis yang bebas
pengkotakan berdasarkan kelas. Selain itu juga, perbedaan kentara
antara anarkisme dengan Marxisme dapat dilihat atas penyikapan
keduanya dalam seputar isu kelas serta seputar metoda
materialisme histories.
3.2. Pierre Joseph Proudhon
Pierre-Joseph Proudhon, adalah pemikir yang mempunyai
pengaruh jauh lebih besar terhadap perkembangan anarkisme;
seorang penulis yang betul-betul berbakat dan ‘serba tahu’ dan
merupakan tokoh yang dapat dibanggakan oleh sosialisme
moderen. Proudhon sangat menekuni kehidupan intelektual dan
sosial di zamanya, dan kritik-kritik sosialnya didasari oleh
pengalaman hidupnya itu. Diantara pemikir-pemikir sosialis di
zamannya, dialah yang paling mampu mengerti sebab-sebab
penyakit sosial dan juga merupakan seseorang yang mempunyai visi
yang sangat luas. Dia mempunyai keyakinan bahwa sebuah evolusi
dalam kehidupan intelektual dan sosial menuju ke tingkat yang lebih
tinggi harus tidak dibatasi dengan rumus-rumus abstrak. Proudhon
melawan pengaruh tradisi Jacobin yang mendominasi pemikiran
demokrat-demokrat di Perancis dan kebanyakan sosialis pada saat
itu, dan juga pengaruh negara dan kebijaksanaan ekonomi dalam
proses alami kemajuan sosial. Baginya, pemberantasan kedua-dua
perkembangan yang bersifat seperti kanker tersebut merupakan
tugas utama dalam abad kesembilan belas. Proudhon bukanlah
seorang komunis. Dia mengecam hak milik sebagai hak untuk
mengeksploitasi, tetapi mengakui hak milik umum alat-alat untuk ber
produksi, yang akan dipakai oleh kelompok-kelompok industri yang
63
terikat antara satu dengan yang lain dalam kontrak yang bebas;
selama hak ini tidak dipakai untuk mengeksploitasi manusia lain dan
selama seorang individu dapat menikmati seluruh hasil kerjanya.
Jumlah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah
benda menjadi ukuran nilainya dalam pertukaran mutual. Dengan
sistem tersebut, kemampuan kapital untuk menjalankan riba
dimusnahkan. Jikalau kapital tersedia untuk setiap orang, kapital
tersebut tidak lagi menjadi sebuah instrumen yang bisa dipakai
untuk mengeksploitasi.
3.3. Internationale pertama (Mikhail Bakunin 1814-1876)
Tokoh utama kaum anarkisme adalah Mikhail Bakunin,
seorang bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya
tinggal di Eropa Barat. Ia memimpin kelompok anarkis dalam
konverensi besar kaum Sosialis sedunia (Internasionale I) dan
terlibat pertengkaran dan perdebatan besar dengan Marx. Bakunin
akhirnya dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan
perjuangan kaum anarkis dianggap bukan sebagai perjuangan kaum
sosialis. Sejak Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang
mengutamakan kekerasan dan pembunuhan sebagai basis
perjuangan mereka. Pembunuhan kepala negara, pemboman atas
gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris lainnya
dibenarkan oleh anarkhisme sebagai cara untuk menggerakkan
massa untuk memberontak.[2] Mikhail Bakunin merupakan seorang
tokoh anarkis yang mempunyai energi revolusi yang dashyat.
Bakunin merupakan ‘penganut’ ajaran Proudhon, tetapi
mengembanginya ke bidang ekonomi ketika dia dan sayap
kolektivisme dalam First International mengakui hak milik kolektif
atas tanah dan alat-alat produksi dan ingin membatasi kekayaan
pribadi kepada hasil kerja seseorang. Bakunin juga merupakan anti
komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang sangat
otoritar. Pada salah satu pidatonya dalam kongres—Perhimpunan
Perdamaian dan Kebebasan—di Bern (1868), dia berkata: Saya
bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan
masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena
komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam
negara, sedangkan saya ingin memusnahkan Negara—pemusnahan
semua
prinsip
otoritas
dan
kenegaraan,
yang
dalam
kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral dan berbudaya,
64
tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi
dan menghancurkan mereka.
Bakunin dan anarkis-anarkis lain dalam First International
percaya bahwa revolusi sudah berada di ambang pintu, dan
mengerahkan semua tenaga mereka untuk menyatukan kekuatan
revolusioner dan unsur-unsur libertarian di dalam dan di luar First
International untuk menjaga agar revolusi tersebut tidak ditunggangi
oleh elemen-elemen kediktatoran. Karena itu Bakunin menjadi
pencipta gerakan anarkisme moderen. Peter Kropotkin adalah
seorang penyokong anarkisme yang memberikan dimensi ilmiah
terhadap konsep sosiologi anarkisme.Anarkisme model Bakunin,
tidaklah identik dengan kekerasan. Tetapi anarkisme setelah
Bakunin kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang
menjadikan kekerasan sebagai jalur perjuangan mereka. Dan
puncaknya adalah timbulnya gerakan baru yang juga menjadikan
sosialisme Marx sebagai pandangan hidupnya, yaitu Sindikalisme.
gerakan ini menjadikan sosialisme Marx dan anarkisme Bakunin
sebagai dasar perjuangan mereka. Bahkan gerakan mereka disebut
Anarko-Sindikalisme.
segala bentuk negara" dan "penghapusan hak milik pribadi dalam
pengertian proses produksi". Doktrin pertama merupakan
terminologi umum anarkisme, tetapi kemudian diberikan penekanan
pada istilah "kolektif" oleh Bakunin sebagai perbedaan terhadap ide
negara sosialis yang dihubungkan dengan kaum Marxis. Sedangkan
pada doktrin kedua, anarkis-kolektif mengutamakan penghapusan
adanya segala bentuk hak milik yang berhubungan dengan proses
produksi dan menolak hak milik secara kolektif yang dikontrol oleh
kelompok tertentu. Menurut mereka, pekerja seharusnya dibayar
berdasarkan jumlah waktu yang mereka kontribusikan pada proses
produksi dan bukan "menurut apa yang mereka inginkan". Pada
tahun 1880-an, para pendukung anarkis kebanyakan mengadopsi
pemikiran anarkisme-komunis, suatu aliran yang berkembang
terutama di Italia setelah kematian Bakunin. Ironisnya, label "kolektif"
kemudian secara umum sering diasosiasikan dengan konsep Marx
tentang negara sosialis.
4.1. Anarkisme-kolektif
Kelompok anarkisme-kolektif sering diasosiasikan dengan
kelompok anti-otoritarian pimpinan Mikhail Bakunin yang
memisahkan diri dari Internationale I. Kelompok ini kemudian
membentuk pertemuan sendiri di St. Imier (1872). Disinilah awal
perbedaan antara kaum anarkis dengan Marxis, diman sejak saat itu
kaum anarkis menempuh jalur perjuangan yang berbeda dengan
kaum Marxis. Perbedaan itu terutama dalam hal persepsi terhadap
negara. Doktrin utama dari anarkis-kolektif adalah "penghapusan
4.2. Anarkisme komunis (William Godwin)
Ide-ide anarkis bisa ditemui dalam setiap periode sejarah,
walaupun masih banyak penelitian yang harus dilakukan dalam
bidang ini. Kita menemuinya dalam karya filsuf Tiongkok, Lao-Tse
(yang berjudul Arah dan Jalan yang Benar[3].) dan juga filsuf-filsuf
Yunani seperti Hedonists [4] dan Cynics[5] dan orang-orang yang
mendukung ‘hukum alam’ khususnya Zeno yang menemukan aliran
‘Stoic’ yang berlawanan dengan Plato. Mereka menemukan ekspresi
dari ajaran-ajaran Gnostics, Karpocrates di Alexandria dan juga
dipengaruhi oleh beberapa aliran Kristen di Zaman Pertengahan di
Prancis, Jerman dan Belanda. Hampir semua dari mereka menjadi
korban represi. Dalam sejarah reformasi Bohemia, anarkisme
ditemui dalam karya Peter Chelciky (The Net of Faith) yang
mengadili negara dan gereja seperti yang dilakukan oleh Leo Tolstoy
di kemudian hari. Humanis besar lainnya adalah Rabelais yang
dalam karyanya menggambarkan kehidupan yang bebas dari semua
cengkraman otoritas. Sebagian dari pemrakarsa ideologi libertarian
lainnya adalah La Boetie, Sylvan Marechal, dan Diderot. Karya
William Godwin yang berjudul ‘Pertanyaan Mengenai Keadilan
Politik dan Pengaruhnya Terhadap Moralitas dan Kebahagiaan’,
merupakan bagian penting dari sejarah anarkisme kontemporer.
Dalam karyanya tersebut Godwin menjadi orang pertama yang
memberikan bentuk yang jelas mengenai filsafat anarkisme dan
65
66
4. VARIAN-VARIAN ANARKISME
Anarkisme, yang besar dan kemudian berbeda jalur dengan
Marxisme, bukan merupakan suatu ideologi yang tunggal. Di dalam
anarkisme sendiri banyak aliran-aliran pemikiran yang cukup
berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu terutama dalam hal
penekanan dan prioritas pada suatu aspek. Aliran-aliran dan
pemikiran-pemikiran yang berbeda di dalam Anarkisme adalah suatu
bentuk dari berkembangnya ideologi ini berdasarkan perbedaan latar
belakang tokoh, peristiwa-peristiwa tertentu dan tempat/lokasi
dimana aliran itu berkembang.
meletakannya dalam konteks proses evolusi sosial pada saat itu.
Karya tersebut, boleh kita bilang adalah ‘buah matang’ yang
merupakan hasil daripada evolusi yang panjang dalam
perkembangan konsep politik dan sosial radikal di Inggris, yang
meneruskan tradisi yang dimulai oleh George Buchanan sampai
Richard Hooker, Gerard Winstanley, Algernon Sydney, John Locke,
Robert Wallace dan John Bellers sampai Jeremy Bentham, Joseph
Priestley, Richard Price dan Thomas Paine. Godwin menyadari
bahwa sebab-sebab penyakit sosial dapat ditemukan bukanlah
dalam bentuk negara tetapi karena adanya negara itu. Pada saat ini,
negara hanyalah merupakan karikatur masyarakat, dan manusia
yang ada dalam cengkraman negara ini hanyalah merupakan
karikatur diri mereka karena manusia-manusia ini digalakkan untuk
menyekat ekspresi alami mereka dan untuk melakukan tindakantindakan yang merusak akhlaknya. Hanya dengan cara-cara
tersebut, manusia dapat dibentuk menjadi hamba yang taat. Ide
Godwin mengenai masyarakat tanpa negara mengasumsikan hak
sosial untuk semua kekayaan alam dan sosial, dan kegiatan
ekonomi akan dijalankan berdasarkan ko-operasi bebas diantara
produsen-produsen; dengan idenya, Godwin menjadi penemu
Anarkisme Komunis.
Errico Malatesta (1853-1932)
Namun demikian, kelompok anarkisme-komunis pertama kali
diformulasikan oleh Carlo Cafiero, Errico Malatesta dan Andrea
Costa dari kelompok federasi Italia pada Internasionale I. Pada
awalnya kelompok ini (kemudian diikuti oleh anarkis yang lain
setelah kematian Bakunin seperti Alexander Berkman, Emma
Goldman, dan Peter Kropotkin) bergabung dengan Bakunin
menentang kelompok Marxis dalam Internasionale I.Berbeda
dengan anarkisme-kolektif yang masih mempertahankan upah buruh
berdasarkan kontribusi mereka terhadap produksi, anarkismekomunis memandang bahwa setiap individu seharusnya bebas
memperoleh bagian dari suatu hak milik dalam proses produksi
berdasarkan kebutuhan mereka. Kelompok anarkisme-komunis
menekankan pada egalitarianism (persamaan), penghapusan hirarki
sosial (social hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi
kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta
produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik
pribadi adalah hal-hal yang tidak seharusnya eksis dalam
67
anarkisme-komunis. Setiap orang dan kelompok berhak dan bebas
untuk berkontribusi pada produksi dan juga untuk memenuhi
kebutuhannya berdasarkan pilihannya sendiri.
4.3. Anarko-Sindikalisme
Bendera yang digunakan dalam gerakan AnarkoSindikalisme.Salah satu aliran yang berkembang cukup subur di
dalam lingkungan anarkisme adalah kelompok anarko-sindikalisme.
Tokoh yang terkenal dalam kelompok anarko-sindikalisme antara
lain Rudolf Rocker, ia juga pernah menjelaskan ide dasar dari
pergerakan ini, apa tujuannya, dan kenapa pergerakan ini sangat
penting bagi masa depan buruh dalam pamfletnya yang berjudul
Anarchosyndicalism pada tahun 1938.[6] Pada awalnya, Bakunin
juga adalah salah satu tokoh dalam anarkisme yang gerakangerakan buruhnya dapat disamakan dengan orientasi kelompok
anarko-sindikalisme, tetapi Bakunin kemudian lebih condong pada
anarkisme-kolektif. Anarko-sindikalisme adalah salah satu cabang
anarkisme yang lebih menekankan pada gerakan buruh (labour
movement). Sindikalisme, dalam bahasa Perancis, berarti ‘trade
unionism’. Kelompok ini berpandangan bahwa serikat-serikat buruh
(labor unions) mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk
mewujudkan suatu perubahan sosial secara revolusioner, mengganti
kapitalisme serta menghapuskan negara dan diganti dengan
masyarakat demokratis yang dikendalikan oleh pekerja. Anarkosindikalisme juga menolak sistem gaji dan hak milik dalam
pengertian produksi. Dari ciri-ciri yang dikemukakan diatas, anarkosindikalisme sepertinya tidak mempunyai perbedaan dengan
kelompok-kelompok anarkisme yang lain. Prinsip-prinsip dasar yang
membedakan anarko-sindikalisme dengan kelompok lainnya dalam
anarkisme adalah: (1) Solidaritas pekerja (Workers Solidarity); (2)
Aksi langsung (direct action); dan (3) Manajemen-mandiri buruh
(Workers self-management).
4.4. Anarkisme individualisme
Anarkisme individualisme atau Individual-anarkisme adalah
salah satu tradisi filsafat dalam anarkisme yang menekankan pada
persamaan kebebasan dan kebebasan individual. Konsep ini
umumnya berasal dari liberalisme klasik. Kelompok individualanarkisme percaya bahwa "hati nurani individu seharusnya tidak
boleh dibatasi oleh institusi atau badan-badan kolektif atau otoritas
68
publik". Karena berasal dari tradisi liberalisme, individual-anarkisme
sering disebut juga dengan nama "anarkisme liberal".
Tokoh-tokoh yang terlibat dalam individual-anarkisme antara
lain adalah Max Stirner, Josiah Warren, Benjamin Tucker, John
Henry Mackay, Fred Woodworth, dan lain-lain. Kebanyakan dari
tokoh-tokoh individual-anarkisme berasal dari Amerika Serikat, yang
menjadi basis liberalisme. Dan oleh karena itu pandangan mereka
terhadap konsep individual-anarkisme kebanyakan dipengaruhi juga
oleh alam pemikiran liberalisme.Individual-anarkisme sering juga
disebut "anarkisme-egois", karena salah satu tokohnya, Max Stirner,
menulis buku "Der Einzige und sein Eigentum" (b.Inggris: The Ego
and Its Own / b.Indonesia : Ego dan Miliknya)[7] yang dengan cepat
dilupakan, tetapi mengalami kebangkitan lima puluh tahun
kemudian, buku tersebut lebih menonjolkan peran individu.Buku
Stirner itu pada dasarnya adalah karya filsafat yang menganalisa
ketergantungan manusia dengan apa yang dikenal sebagai—
kekuasaan yang lebih Tinggi—(higher powers). Dia tidak takut
memakai kesimpulan- kesimpulan yang diambil dari hasil survei.
Buku tersebut merupakan pembrontakan yang sadar dan sengaja
yang tidak menunjukan kehormatan kepada otoritas dan karenanya
sangat menarik bagi pemikir mandiri.
4.5. Varian-varian anarkisme lainnya
Selain aliran-aliran yang disebut diatas, masih banyak lagi
aliran lain yang memakai pemikiran anarkisme sebagai dasarnya.
Antara lain:Post-Anarchism, yang dikembangkan oleh Saul Newman
dan merupakan sintesis antara teori anarkisme klasik dan pemikiran
post-strukturalis. Anarki pasca-kiri, yang merupakan sintesis antara
pemikiran anarkisme dengan gerakan anti-otoritas revolusioner
diluar pemikiran “kiri†mainstream. Anarka-Feminisme, yang
lebih menekankan pada penolakan pada konsep patriarka yang
merupakan perwujudan hirarki kekuasaan. Tokohnya antara lain
adalah Emma Goldman. Eko-Anarkisme dan Anarkisme Hijau, yang
lebih menekankan pada lingkungan. Anarkisme insureksioner, yang
merupakan gerakan anarkis yang menentang segala organisasi
anarkis dalam bentuk yang formal, seperti serikat buruh, maupun
federasi. Definisi tentang anarkisme insureksioner dijelaskan dalam
jurnal Do or Die dan pamflet-pamflet grup Venomous Butterfly yang
insureksionis: Adalah suatu bentuk, yang tidak dapat terbakukan
dalam satu kubu, serta sangat beragam dalam perspektifnya.
69
Anarkisme Insureksioner bukanlah sebuah solusi ideologis bagi
masalah-masalah sosial, dan juga bukan komoditi dalam pasar
ideologi yang digelar kapitalisme. Melainkan, ia adalah praktek
berkelanjutan yang bertujuan untuk mengakhiri dominasi negara dan
berteruskembangnya kapitalisme, yang membutuhkan analisaanalisa dan diskusi-diskusi untuk menjadikannya semakin maju dan
berkembang. Menurut sejarahnya, kebanyakan anarkis, kecuali
mereka yang percaya bahwa peradaban kapitalisme akan terus
berkembang hingga titik kehancurannya sendiri, percaya bahwa
sebentuk aktivitas insureksioner dibutuhkan untuk dapat
mentransformasikan masyarakat secara radikal. Dalam artian ini,
negara harus dipukul mundur dari eksistensinya oleh mereka yang
tereksploitasi dan termarjinalkan, dengan demikian para anarkis
harus menyerang: menunggu sistem ini melenyap dan
menghancurkan dirinya sendiri adalah sebuah kekalahan telak.
5. ANARKISME DAN AGAMA
Pada dasarnya, sejak mulai dari Proudhon, Bakunin,
Berkman, dan Malatesta sampai pada kelompok-kelompok anarkis
yang lain, anarkisme selalu bersikap skeptik dan anti terhadap
institusi agama. Dalam pandangan mereka, institusi keagamaan
selalu bersifat hirarki dan mempunyai kekuasaan seperti layaknya
negara, dan oleh karena itu harus ditolak. Tetapi dalam agama
sendiri (Kristen, Yahudi, Islam, dll) sebenarnya pemikiran akan
‘anarkisme’ dalam pengertian ‘without Ruler’ sudah banyak ditemui.
5.1. Anarkis-Kristen
Dalam agama Kristen, konsep yang dipakai oleh kaum
anarkis-kristen adalah berdasarkan konsep bahwa hanya Tuhan
yang mempunyai otoritas dan kuasa di dunia ini dan menolak
otoritas negara, dan juga gereja, sebagai manifestasi kekuasaan
Tuhan. Dari konsep ini kemudian berkembang konsep-konsep yang
lain misalnya pasifisme (anti perang), non-violence (anti kekerasan),
abolition of state control (penghapusan kontrol negara), dan tax
resistance (penolakan membayar pajak). Semuanya itu dalam
konteks bahwa kekuasaan negara tidak lagi eksis di bumi dan oleh
karena itu harus ditolak. Tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi dalam
perkembangan gerakan anarkis-kristen antara lain: Soren
Kierkegaard, Henry David Thoreau, Nikolai Berdyaev, Leo Tolstoy,
dan Adin Ballou.
70
5.2. Anarkisme dan Islam (Hakim Bey)
Dalam agama Islam, kelompok anarkisme melakukan
interpretasi terhadap konsep bahwa Islam adalah agama yang
bercirikan penyerahan total terhadap Allah, yang berarti menolak
peran otoritas manusia dalam bentuk apapun. Anarkis-Islam
menyatakan bahwa hanya Allah yang mempunyai otoritas di bumi ini
serta menolak ketaatan terhadap otoritas manusia dalam bentuk
fatwa atau imam. Hal ini merupakan elaborasi atas konsep ‘tiada
pemaksaan dalam Beragama’. Konsep anarkisme-islam kemudian
berkembang menjadi konsep-konsep lainnya yang mempunyai
kemiripan dengan ideologi sosialis seperti pandangan terhadap hak
milik, penolakan terhadap riba, penolakan terhadap kekerasan dan
mengutamakan self-defense, dan lain-lain. Kelompok-kelompok
dalam Islam yang sering diasosiasikan dengan anarkisme antara
lain : Sufisme dan Kelompok Hashshashin. Salah seorang tokoh
muslim anarkis yang berpengaruh yaitu Peter Lamborn Wilson, yang
selalu
menggunakan
nama
pena
Hakim
Bey.
Dia
mengkombinasikan ajaran sufisme dan neo-pagan dengan
anarkisme dan situasionisme. Dia juga merupakan seorang yang
terkenal
dengan
konsepnya
Temporary
Autonomus
Zones[1].Yakoub Islam, seorang anarkis muslim, pada 25 Juni 2005
mempublikasikan Muslim Anarchist Charter (Piagam Muslim
Anarkis), yang berbunyi :Tiada tuhan selain Allah dan nabi
Muhammad adalah utusannya; Tujuan dari hidup ialah untuk
membangun sebuah hubungan kasih yang damai dengan Yang
Maha Esa melalui pemahaman untuk bertindak sesuai ajaran,
wahyu, serta tanda-tandanya di dalam Penciptaannya juga hati
manusia; Demi tujuan seperti itu kita harus memiliki komitmen yang
kuat untuk mempelajarinya dengan kehendak hati yang bebas, dan
secara sadar menolak setiap bentuk kompromi dengan institusi
kekuasaan, entah dalam bentukbnya yang yuridis, relijius, sosial,
korporatik maupun politis; Demi tujuan seperti itu kita harus aktif di
dalam kegiatan merealisasikan keadilan yang bertujuan untuk
membangun sebuah komunitas-komunitas dan masyarakat dimana
pembangunan jiwa yang spiritual tidak terbatasi lagi oleh
kemiskinan, tirani, dan ketidakpedulian. Muslim Anarchist Charter
menolak: Kekuatan fasis yang bertujuan untuk memapankan
kebenaran tunggal yang absolut, termasuk patriarki, kerajaan, dan
kapitalisme.
6. KRITIK ATAS ANARKISME
Baik secara teori ataupun praktek, anarkisme telah
menimbulkan perdebatan dan kritik-kritik atasnya. Beberapa kritik
dilontarkan oleh lawan utama dari anarkisme seperti pemerintah.
Beberapa kritik lainnya bahkan juga dilontarkan oleh para anarkis
sendiri serta ada juga yang muncul dari kalangan kaum kiri
otoritarian seperti yang dilontarkan oleh kalangan marxisme. Kritik
biasanya dilontarkan sekitar permasalahan idealisme anarkisme
yang mustahil dapat diterapkan di dunia nyata, seperti apa yang
banyak dipecaya oleh para anarkis mengenai ajaran bahwa manusia
pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan
untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya
yang hal tersebut banyak dibantah oleh para ekonom. Dan juga
mengenai ajaran bahwa setiap manusia lahir bebas setara yang juga
dibantah oleh para pakar sosiolog.[8] Kritik juga dilontarkan atas
penolakan anarkisme terhadap organisasi sentralis seperti
pemerintahan kaum buruh, partai revolusioner, dan lain sebagainya,
yang dianggap oleh banyak pihak justru akan melemahkan posisi
kaum anarkis apabila revolusi terjadi. Hal ini juga yang dituduhkan
kepada para anarkis saat revolusi Spanyol terjadi, paska
pengambilan kekuasaan oleh kaum proletariat atas rezim fasis yang
pada saat itu berkuasa di Spanyol.[9]
Catatan Akhir
1. The Political Philosophy of Bakunin, Hal. 269, Mikhail Bakunin
2. Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, Jakarta, 1999
3. Lao tse, Arah dan Jalan yang Benar. diterjemahkan kedalam bahasa inggris dari
the German of Alexander Ular. Penerbit the Inselbucherei, Leipzig.
4. Salah satu Hedonis awal adalah Cyrenaics (400 SM), yang menggagaskan ide
bahwa seni kehidupan adalah memaksimalkan setiap detik kehidupan untuk
kenikmatan yang memuaskan indera dan intelek.
5. Para pengikut Diogenes (400-325 SM), yang mengemukakan filsafat hidup
bahwa dengan mereduksi keinginan seseorang sampai pada kebutuhan minimal,
disatu sisi memerlukan disiplin diri yang keras, tapi disis lain akan mengantar
pada swasembada/ ketidaktergantungan dan kebebasan. Mazhab ini mengalami
masa kejayaan pada tahun abad 3 SM dan muncul lagi pada abad 1 M.
6. Anarchosyndicalism oleh Rudolph Rocker diterbitkan kembali pada 7 September
2006
7. Stirner, Max (1907). The Ego and His Own. Diterjemahkan dari bahasa Jerman
ke dalam bahasa inggris oleh Steven T. Byington. New York: Benj. R. Tucker
8. Zaro Sastrowardoyo, Anarkisme Sosial
9. Manifesto World Revolution
71
72
Hand-Out 7:
ANARKISME DAN MARXISME
Saat komunisme anarkis dan marxisme adalah dua filsafat
politik yang berbeda, terdapat beberapa kemiripan antara
metodologi dan ideologi yang dikembangkan oleh beberapa anarkis
dan Marxis, bahkan sejarah keduanya juga saling beririsan.
Keduanya berbagi tujuan-tujuan jangka panjang yang serupa
(komunisme tanpa negara), musuh politik yang sama (konservatif
dan elemen-elemen sayap kanan), melawan target-target struktural
yang sama (kapitalisme dan pemerintahan yang eksis saat ini).
Banyak Marxis telah turut berpartisipasi dengan sepenuh hati dalam
revolusi-revolusi anarkis, dan banyak anarkis yang juga berlaku
demikian dalam revolusi-revolusi Marxis. Tetapi bagaimanapun juga,
anarkisme dan Marxisme tetap menyimpan saling ketidaksetujuan
yang kuat atas beberapa isu, termasuk di dalamnya peran alamiah
negara, struktur kelas dalam masyarakat dan metoda materialisme
historis. Dan selain bentuk kerjasama, terjadi juga konflik-konflik
berdarah antara para anarkis dan Marxis, seperti yang terjadi dalam
represi-represi yang dijalankan oleh para pendukung Uni Soviet
melawan para anarkis.
dengan demikian secara efektif menjadi sebuah organ dominasi
politik. Dari sudut yang berbeda, para Marxis percaya bahwa represi
kelas yang berhasil selalu mengikutsertakan kapasitas kekerasan
yang superior, dan bahwa seluruh masyarakat selain sosialisme
dikuasai oleh sebuah kelas minoritas, maka dalam teori Marxis
semua negara non-sosialis akan memiliki karakter negara seperti
yang diyakini oleh para anarkis.
1. ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU NEGARA
Para ahli ilmu-ilmu politik modern pada umumnya
mendefinisikan "negara" sebagai sebuah institusi yang tersentralisir,
hirarkis dan berkuasa yang mengembangkan sebuah monopoli atas
penggunaan kekuasaan fisik yang terlegitimasi, tak beranjak dari
definisi yang awalnya diajukan oleh seorang sosiologis Jerman, Max
Weber, dalam esai tahun 1918-nya, Politik-Politik Sebagai sebuah
Lapangan Pekerjaan. Definisi ini diterima oleh nyaris semua
mazhab-mazhab pemikiran politik modern selain Marxisme,
termasuk di dalamnya anarkisme. Marxisme memiliki definisi yang
unik tentang negara: negara adalah sebuah organ represi kelas
yang satu atas kelas yang lain. Bagi para Marxis, setiap negara
secara intrinsik adalah sebuah kediktatoran kelas yang satu atas
kelas lainnya. Dengan demikian, dalam teori Marxis dipahami bahwa
lenyapnya kelas akan berbarengan dengan lenyapnya negara.
Bagaimanapun juga, tetap terdapat pertemuan di antara kedua
kubu. Para anarkis percaya bahwa setiap negara secara tak
terelakkan akan didominasi oleh elit-elit politik dan ekonomi, yang
1.1. Proses Transisi
Teori tentang negara menentukan secara langsung
pertanyaan praksis tentang bagaimana transisi menuju masyarakat
tanpa negara yang diidam-idamkan baik oleh para anarkis maupun
Marxis tersebut mengambil bentuknya. Kaum Marxis percaya bahwa
sebuah transisi yang berhasil menuju komunisme, yang jelas berarti
masyarakat tanpa negara, akan membutuhkan sebuah represi atas
para kapitalis yang apabila dibiarkan tentu akan membangun
kembali kekuatannya, dan akan dibutuhkan juga eksistensi negara
dalam sebuah bentuk yang dikontrol oleh para pekerjanya. Kaum
anarkis menentang "negara pekerja" yang diadvokasikan oleh para
Marxis sebagai sesuatu yang tidak logis semenjak sesegera sebuah
kelompok mulai memerintah melalui aparatus negara, maka mereka
akan berhenti menjadi pekerja (apabila sebelumnya mereka adalah
pekerja) dan dengan demikian akan segera bertransformasi menjadi
penindas baru. Kaum anarkis mendukung argumen mereka dengan
merujuk pada Uni Soviet yang berkarakter anti demokrasi serta
berbagai negara "Marxis" lain, sementara para Marxis mendukung
argumen mereka dengan merujuk pada kehancuran revolusi-revolusi
yang dipimpin para anarkis semacam dalam Revolusi Meksiko 1910
dan Perang Sipil Spanyol. Dengan demikian, kaum anarkis berusaha
untuk "menghancurkan" negara yang eksis saat ini, serta segera
menggantikannya dengan konsil-konsil pekerja, sindikat-sindikat
atau berbagai metoda organisasional yang desentralis dan nonhirarkis. Kaum Marxis secara kontras, justru berusaha "merebut
kekuasaan", yang berarti secara gradual mengambil alih negara
borjuis yang eksis saat ini, atau menghancurkan negara yang eksis
saat ini melalui sebuah revolusi dan menggantinya dengan sebuah
negara baru yang tersentralisir (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme)
atau melalui sebuah sistem konsil pekerja (Komunisme Konsilis,
Marxisme Otonomis). Posisi kaum Marxis melebur ke dalam
anarkisme pada akhir spektrumnya, karena kaum anarkis juga saling
73
74
tidak setuju di antara mereka sendiri tentang bagaimana sebuah
sistem konsil pekerja yang demokratis dan memonopoli kekerasan
akan dapat dianggap sebagai sebuah struktur negara atau tidak,
sementara kaum Marxis bertengkar di antara mereka sendiri
sebagian besarnya atas bentuk kediktatoran proletariat.
1.2. Partai Politik
Isu perebutan negara mengarah pada isu tentang keberadaan
partai politik, yang juga memisahkan jalan antara kaum anarkis dan
Marxis. Kebanyakan kaum Marxis melihat partai politik sebagai
sesuatu yang berguna atau bahkan dibutuhkan untuk merebut
kekuasaan negara, semenjak mereka kebanyakan melihat bahwa
sebuah upaya yang terkoordinasi dan tersentralisirlah yang akan
mampu mengalahkan kelas kapitalis dan negara, serta
memapankan
sebuah
badan
koordinasi
yang
mampu
mempertahankan revolusi. Partai politik juga menjadi sentral
perjuangan semenjak mayoritas kaum Marxis percaya bahwa
kesadaran kelas harus disuntikkan ke dalam kelas pekerja, yang
seringkali harus dilakukan oleh mereka yang berada di luar kelas
tersebut. Tapi bagaimanapun juga, kaum Marxis saling berbeda
pendapat tentang apakah sebuah partai revolusioner harus turut
serta dalam sebuah pemilu borjuis atau tidak, peran apa yang harus
dijalankan pasca revolusi, dan bagaimana ia harus diorganisir. Di
sisi lain, para anarkis umumnya menolak untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan, menolak membentuk sebuah partai politik, semenjak
mereka melihat struktur organisasinya yang hirarkis sebagai sebuah
kedenderungan otoritarian dan menindas, walaupun toh kebanyakan
kaum anarkis juga tak mampu menjawab tentang bagaimana
sebuah kesadaran revolusioner dapat dibangkitkan tanpa
keberadaan kekuatan kelompok-kelompok pelopor, yang bagi kaum
Marxis terwujud melalui partai politik. Bagaimanapun juga
perdebatan dan berbagai perbedaan saling berhadap-hadapan,
banyak dari mereka, para anarkis, mengorganisir secara politis
berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dan federalisme
dalam upayanya untuk berpartisipasi secara lebih efektif di tengah
perjuangan popular dan mendorong rakyat menuju revolusi sosial
(dengan memberikan contoh).
75
1.3. Kekerasan dan Revolusi
Pertanyaan praksis lainnya yang berhubungan dekat dengan
teori negara adalah kapan dan sebesar apa kekerasan dapat
diterima dalam upayanya untuk meraih kemenangan dalam sebuah
revolusi. Para anarkis berargumen bahwa seluruh bentuk negara
adalah sesuatu yang tak dapat dilegitimasi lagi karena semuanya
bergantung pada kekerasan yang sistematis, dan sementara
sebagian dari para anarkis dapat membenarkan saat kekerasan
berskala kecil atau pembunuhan terarah atas elit-elit dilakukan
berdasarkan atas kebutuhan dalam beberapa kasus (misalnya
kampanye "Propaganda by the Deeds"), kekerasan massal melawan
rakyat biasa ”sebagaimana yang dipraktekkan oleh Lenin dan
Trotsky dalam menumpas pemberontakan Kronstadt dan
Makhnovis, oleh Stalin dalam "Pembersihan Besar-Besaran" atau
oleh Mao selama "Revolusi Kultural", tak akan pernah dapat diterima
dan dibenarkan. Kebanyakan kaum Marxis berargumen bahwa
kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan dengan demikian
"perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya dalam
lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif, misalnya dalam
melawan sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya
(khususnya para Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan
dapat menghalalkan cara, sehingga dalam teorinya, sejumlah
apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat dibenarkan
dalam upayanya untuk menuju komunisme.
2. ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU KELAS
Analisa-analisa kelas baik dari kaum Marxis ataupun anarkis
berdasarkan pada ide bahwa masyarakat terbagi ke dalam berbagai
macam "kelas-kelas" yang berbeda, masing-masing memiliki
kepentingan yang juga berbeda tergantung pada kondisi
materialnya. Kelas-kelas tersebut juga berbeda, bagaimanapun juga,
dalam soal di mana mereka menarik garis pemisah di antara
mereka. Bagi kaum Marxis, dua kelas yang paling relevan adalah
"borjuis" (pemilik alat produksi dan tidak bekerja) dan proletariat
(mereka yang tak memiliki alat produksi dan harus bekerja oleh
karenanya). Marx percaya bahwa kondisi-kondisi pekerja industri
yang unik serta menyejarah akan mendorong mereka untuk
mengorganisir diri mereka bersama-sama untuk kemudian
mengambil alih peran negara dan alat-alat produksinya dari kelas
borjuis,
mengkolektivisasinya,
serta
menciptakan
sebuah
76
masyarakat tanpa kelas yang diselenggarakan oleh para proletariat
sendiri. Mayoritas para Marxis, merujuk pada analisa-analisa Karl
Marx sendiri, mengesampingkan para petani, pemilik alat produksi
kecil "borjuis kecil" dan lumpen proletariat ”level terendah dari
proletariat, yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki
kemampuan kerja, kriminal dan karakteristik mereka yang paling
sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas ”sebagai
kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi.
Analisa kelas kaum anarkis telah mendahului Marxisme dan
berkontradiksi dengannya. Kaum anarkis berargumen bahwa
bukanlah kelas penguasa secara keseluruhan yang sesungguhnya
mengatur jalannya negara, melainkan sekelompok minoritas yang
menjadi bagian di dalam kelas penguasa (yang dengan demikian
juga mempertahankan kepentingannya), memiliki fokus-fokus
mereka sendiri, di antaranya yaitu mempertahankan kekuasaan.
Sekelompok minoritas revolusioner yang mengambil alih kekuasaan
negara dan memaksakan keinginannya pada rakyat berarti juga
tidak berbeda dengan otoritarianisme sekelompok kecil penguasa
dalam sistem kapitalisme, yang tentu juga akan segera
bertransformasi menjadi sebuah kelas penguasa baru. Hal ini telah
diprediksikan oleh Bakunin jauh sebelum revolusi Oktober di Russia
terjadi. Selain itu, para anarkis juga melihat bahwa sebuah revolusi
yang sukses tak akan pernah dapat lepas dari dukungan para
petani, dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan
redistribusi lahan di antara para petani tak bertanah. Dengan
demikian jelas bahwa kaum anarkis menolak kepemilikan tanah oleh
negara, serta mereka menganggap bahwa kolektivisasi sukarela
jauh lebih efisien dan layak didukung (berdasarkan pada kasus
perang sipil Spanyol 1936 di mana para anarkis mempopulerkan
kolektivisasi lahan, sementara mereka yang sebelumnya telah
memiliki lahan sendiri diperbolehkan untuk tetap memilikinya tetapi
dilarang menyewa tenaga kerja untuk mengolah lahan tersebut).
Beberapa anarkis modern (khususnya para pendukung parekon
ekonomi partisipatif) berargumen bahwa kini terdapat tiga kelas yang
relevan bagi sebuah perubahan sosial, bukan hanya dua. Secara
kasar, mereka adalah kelas pekerja (termasuk di dalamnya setiap
orang yang menggunakan tenaga kerjanya dalam memproduksi atau
mendistribusikan produk termasuk mereka dalam industri jasa),
kelas
koordinator
(mereka
yang
pekerjaannya
adalah
mengkoordinasikan dan memanajemeni para pekerja) dan kaum elit
atau kelas pemilik (yang mana pendapatannya diambil atas
kemakmuran dan sumber daya). Para anarkis ini menyatakan
dengan tegas bahwa Marxisme telah gagal dan akan selalu gagal,
karena ia menciptakan sebuah kediktatoran melalui kelas-kelas
koordinator dan karenanya juga "kediktatoran proletariat" secara
logis menjadi tak mungkin. Perbedaan-perbedaan inti tersebut
kemudian memunculkan fakta bahwa para anarkis tidak membedabedakan petani, lumpen dan proletariat, melainkan mereka
mendefinisikan bahwa mereka yang harus bekerja untuk bertahan
hidup adalah kelas pekerja (walaupun terdapat berbagai perbedaan
politik dari berbagai sektor sosial yang berbeda dalam kelas
pekerja). Selanjutnya, analisa kelas Marxian memiliki konsekuensi
tentang bagaimana kaum Marxis memandang gerakan-gerakan
pembebasan seperti gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat,
gerakan minoritas etnis dan gerakan homoseksual. Kaum Marxis
mendukung beberapa gerakan pembebasan, tidak hanya karena
gerakan tersebut memang harus didukung atas tuntutan dan
programnya,
melainkan
karena
gerakan-gerakan
tersebut
dibutuhkan bagi sebuah revolusi kelas pekerja yang tak akan dapat
berhasil tanpa persatuan. Bagaimanapun juga, kaum Marxis percaya
bahwa seluruh upaya rakyat yang tertindas dalam membebaskan
dirinya sendiri akan gagal kecuali mereka mengorganisir diri dalam
garis kelasnya, karena para borjuis yang terdapat dalam setiap
gerakan tersebut dalam titik tertentu akan mengkhianati perjuangan,
dan di bawah kapitalisme, kekuasaan sosial terpusat pada siapa
yang menguasai alat produksi. Para anarkis mengkritisi kaum Marxis
karena terlalu memberi prioritas pada perjuangan kelas. Mereka
menjelaskan bahwa perubahan arah sejarah, perjuangan antara
mereka yang tertindas dan menindas, beroperasi dengan
dinamikanya sendiri. Para anarkis melihat gerakan pembebasan
rakyat tertindas secara fundamental dapat dilegitimasi, tak peduli
apakah itu gerakan proletariat, gerakan petani, atau apapun, tanpa
merasa perlu untuk mengkotakkan mereka dalam sebuah skema
gerakan khusus bagi revolusi. Walaupun demikian, banyak juga
anarkis yang percaya bahwa perjuangan isu tunggal hanya akan
membatasi ruang pandang dan gerak, dan karenanya harus selalu
melihat sebuah perjuangan dalam kerangka perjuangan yang lebih
besar (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Marxis).
77
78
3. ARGUMEN SEPUTAR METODA MATERIALISME HISTORIS
Marxisme
menggunakan
sebuah
bentuk
analisa
perkembangan masyarakat manusia yang disebut "materialisme
historis". Analisa ini menempatkan ide bahwa manusia hidup dalam
sebuah dunia material yang terdeterminasi, dan aksi untuk
mengubah dunia terdapat dalam batas-batas apa yang memang
dapat dicapai sesuai dengan alur kesejarahan. Secara lebih spesifik,
relasi produksi yang menjadi basis fundamental sistem ekonomi
adalah alat penentu gerak sejarah. Yang menggaris bawahi proses
tersebut adalah adanya ide tentang kontradiksi dan pertentangan
antar kelas yang secara alamiah membentuk serta menggerakkan
kemajuan sosial. Marx mengambil formulasi materialisme historis ini
dari sistem filsafat dialektika Hegel. Metoda ini bekerja melalui
asumsi bahwa setiap fenomena alam hanya dapat didefinisikan
dengan cara mengkontraskannya dengan fenomena lain. Marx dan
Engels berargumen bahwa metoda tersebut dapat diaplikasikan
pada masyarakat manusia dalam bentuk materialisme historis,
sehingga kelas-kelas masyarakat yang ada dapat dipelajari dengan
menggunakan kontradiksinya, misalnya, karakteristik majikan hanya
dapat dipahami apabila dikontraskan dengan karakteristik pekerja.
Sementara mayoritas para anarkis, menggunakan berbagai macam
alat analisa sosial, walaupun sebagian anarkis lain melihat
materialisme historis ini sangat efektif untuk digunakan sebagai
pisau analisa mereka dan melihatnya sebagai sebuah titik
pemersatu dalam sebuah perjuangan kelas. Mayoritas anarkis,
bahkan juga menganggap bahwa materialisme historis adalah
sebuah ilmu palsu yang tak dapat dibuktikan secara universal.
Mereka juga menganggap bahwa metoda ini hanya akan
mendehumanisasikan analisa-analisa sosial politik dan jelas
karenanya menjadi tidak layak digunakan sebagai sebuah
metodologi universal.
3.1. Determinisme
Sebuah interpretasi yang simpel dari materialisme historis
menyatakan bahwa apabila memang Marxisme benar tentang kelaskelas yang saling berkontradiksi di bawah beroperasinya sistem
kapitalisme, maka sebuah revolusi kelas pekerja tak akan terelakkan
lagi. Beberapa Marxis, khususnya mereka para pemimpin
Internasional Kedua, meyakini hal ini. Bagaimanapun juga, tingkat di
mana revolusi harus dilakukan oleh mereka yang telah sadar akan
79
posisi kelasnya, menjadi sebuah perdebatan tersendiri di kalangan
kaum Marxis, yang mana sebagian berpendapat bahwa pernyataan
Karl Marx yang terkenal, "Aku bukan seorang Marxis", adalah
sebuah penolakan konsep determinisme. Perdebatan ini diperdalam
dengan terjadinya Perang Dunia I, saat partai-partai sosial demokrat
dari Internasional Kedua mendukung upaya-upaya negara untuk
terlibat di dalam perang.
Sementara di sisi lain, para Marxis yang menjadi oposisi
perang, seperti Rosa Luxemburg, menyalahkan Internasional Kedua
sebagai sebuah "pengkhianatan" atas doktrin sosialisme yang pada
gilirannya dianggap hanya berupaya untuk mereformasi negara
kapitalis.Sementara sebagaimana mayoritas anarkis menolak
metoda dialektika historis materialis, para anarkis tersebut juga tidak
memiliki klaim tentang bagaimana sebuah revolusi akan terjadi.
Mereka melihat bahwa revolusi dapat terjadi hanya apabila memang
masyarakat menghendakinya.
4. ANARKO-KOMUNISME
Anarko-Komunisme adalah suatu bentuk dari anarkisme yang
mengajarkan penghapusan negara (atau institusi kenegaraan) dan
faham kapitalisme, untuk sebuah jaringan asosiasi sukarela di mana
semua orang bebas untuk memenuhi kebutuhannya.AnarkoKomunisme juga dikenal dengan sebutan anarkis komunisme,
komunis anarkisme, anarkisme-komunis ataupun komunisme
libertarian. Namun, walaupun semua anarkis komunis adalah
komunis libertarian, tetapi tidak semua komunis libertarian adalah
anarkis (menganut faham anarkisme), misalnya dewan komunis. hal
yang membedakan anarko-komunisme dari varian lain dari
libertarian komunisme adalah bentuk oposisinya terhadap segala
bentuk kekuasaan politik, hirarki dan dominasi. Komunisme bisa
tumbuh subur dinegara-negara miskin maupun negara berkembang,
namun dengan runtuhnya negara-negara komunis yang kuat
menyebabkan faham-faham komunis inipun tidak akan bisa
berkembang menjadi besar.
4.1. Internasionale Pertama
Kelompok anarkisme-komunis pertama kali diformulasikan
oleh Carlo Cafiero, Errico Malatesta dan Andrea Costa dari
kelompok federasi Italia pada Internasionale I. Pada awalnya
kelompok ini (kemudian diikuti oleh anarkis yang lain setelah
80
kematian Bakunin seperti Alexander Berkman, Emma Goldman, dan
Peter Kropotkin) bergabung dengan Bakunin menentang kelompok
Marxis dalam Internasionale I. Berbeda dengan anarkisme-kolektif
yang masih mempertahankan upah buruh berdasarkan kontribusi
mereka terhadap produksi, anarkisme-komunis memandang bahwa
setiap individu seharusnya bebas memperoleh bagian dari suatu hak
milik dalam proses produksi berdasarkan kebutuhan mereka.
4.2. Prinsip Dasar
Kelompok
anarkisme-komunis
menekankan
pada
egalitarianisme (persamaan), penghapusan hirarki sosial (social
hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan
yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif
berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik pribadi adalah halhal yang tidak seharusnya eksis dalam anarkisme-komunis. Setiap
orang dan kelompok berhak dan bebas untuk berkontribusi pada
produksi dan juga untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan
pilihannya sendiri.Salah satu hal yang membedakan antara
anarkisme-kolektif dengan anarkisme-komunis adalah pandangan
mengenai gaji dan upah pekerja.
Anarkisme-komunis berpendapat bahwa tidak ada satu
carapun yang dapat mengukur kontribusi seseorang terhadap
proses produksi dan ekonomi karena kesejahteraan adalah hasil dari
produksi bersama. Sistem ekonomi yang berdasarkan gaji/upah
pekerja dan hak milik adalah bentuk penyiksaan negara dan
aparaturnya dengan tujuan untuk mempertahankan hak milik pribadi
dan juga ketidakseimbangan hubungan ekonomi diantara para
pelaku produksi. Selain itu, anarkisme-komunis menolak sistem
gaji/upah pekerja dengan dasar filosofi bahwa pada hakikatnya
manusia itu "malas" dan "egois". Anarkisme-komunis juga
mendukung komunisme (dalam sistem pemikiran Marxisme) dengan
penekanan pada penjaminan kebebasan dan juga kesejahteraan
bagi setiap orang, dan tidak mendukung komunisme dalam hal yang
berhubungan dengan kekuasaan. Hal inilah yang membuat
anarkisme-komunis sering disamakan dengan filsafat egalitarian.
Hand-Out 8:
KONSERVATISME
Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung
nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin,
conservare, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan".
Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan
berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan
mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak
konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang
lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang
lampau, the status quo ante. Samuel Francis mendefinisikan
konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan
penguatan
orang-orang
tertentu
dan
ungkapan-ungkapan
kebudayaannya yang dilembagakan. Roger Scruton menyebutnya
sebagai pelestarian ekologi sosial dan politik penundaan, yang
tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan
sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial.
CATATAN: Dengan catatan penting, bahwa dua kubu yang dibahas
dalam tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan dalam
anarkisme dan Marxisme klasik. Lihat pula Anarkisme, Marxisme,
Komunisme, Marxis Otonomis, Komunis Libertarian.
1. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
Konservatisme belum pernah, dan tidak pernah bermaksud
menerbitkan risalat-risalat sistematis seperti Leviathan karya
Thomas Hobbes atau Two Treatises of Pemerintah karya Locke.
Akibatnya, apa artinya menjadi seorang konservatif di masa
sekarang seringkali menjadi pokok perdebatan dan topic yang
dikaburkan oleh asosiasi dengan bermacam-macam ideologi atau
partai politik (dan yang seringkali berlawanan). R.J. White pernah
mengatakannya demikian: "Menempatkan konservatisme di dalam
botol dengan sebuah label adalah seperti berusaha mengubah
atmosfer menjadi cair. Kesulitannya muncul dari sifat konservatisme
sendiri. Karena konservatisme lebih merupakan suatu kebiasaan
pikiran, cara merasa, cara hidup, daripada sebuah doktrin politik."
Meskipun konservatisme adalah suatu pemikiran politik, sejak awal,
ia mengandung banyak alur yang kemudian dapat diberi label
konservatif, baru pada Masa Penalaran, dan khususnya reaksi
terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar Revolusi Perancis pada 1789,
konservatisme mulai muncul sebagai suatu sikap atau alur pemikiran
yang khas. Banyak orang yang mengusulkan bahwa bangkitnya
kecenderungan konservatif sudah terjadi lebih awal, pada masamasa awal Reformasi, khususnya dalam karya-karya teolog
81
82
Anglikan yang berpengaruh, Richard Hooker “yang menekankan
pengurangan dalam politik demi menciptakan keseimbangan
kepentingan-kepentingan menuju keharmonisan sosial dan kebaikan
bersama. Namun baru ketika polemic Edmund Burke munculReflections on the Revolution in France-konservatisme memperoleh
penyaluran pandangan-pandangannya yang paling berpengaruh.
Edmund Burke (1729-1797) Negarawan Inggris-Irlandia
Edmund Burke, yang dengan gigih mengajukan argumen
menentang Revolusi Perancis, juga bersimpati dengan sebagian dari
tujuan-tujuan Revolusi Amerika. Tradisi konservatif klasik ini
seringkali menekankan bahwa konservatisme tidak mempunyai
ideologi, dalam pengertian program utopis, dengan suatu bentuk
rancangan umum. Burke mengembangkan gagasan-gagasan ini
sebagai reaksi terhadap gagasan 'tercerahkan' tentang suatu
masyarakat yang dipimpin oleh nalar yang abstrak. Meskipun ia
tidak menggunakan istilah ini, ia mengantisipasi kritik terhadap
modernisme, sebuah istilah yang pertama-tama digunakan pada
akhir abad ke-19 oleh tokoh konservatif keagamaan Belanda
Abraham Kuyper. Burke merasa terganggu oleh Pencerahan, dan
sebaliknya menganjurkan nilai tradisi.
Meskipun secara nominal Konservatif, Disraeli bersimpati
dengan beberapa tuntutan dari kaum Chartis dan membela aliansi
antara kaum bangsawan yang bertanah dengan kelas pekerjaan
dalam menghadapi kekuatan kelas menengah yang meningkat. Ia
membantu pembentukan kelompok Inggris Muda pada 1842 untuk
mempromosikan pandangan bahwa yang kaya harus menggunakan
kekuasaan mereka untuk melindungi yang miskin dari eksploitasi
oleh kelas menengah. Perubahan Partai Konservatif menjadi suatu
organisasi massa modern dipercepat oleh konsep tentang
"Demokrasi Tory " yang dihubungkan dengan Lord Randolph
Churchill.
Sebuah koalisi Liberal-Konservatif pada masa Perang Dunia I
berbarengan dengan bangkitnya Partai Buruh, mempercepat
runtuhnya kaum Liberal pada 1920-an. Setelah Perang Dunia II,
Partai Konservatif membuat konsesi-konsesi bagi kebijakankebijakan sosialis kaum Kiri. Kompromi ini adalah suatu langkah
pragmatis untuk memperoleh kembali kekuasaan, tetapi juga
sebagai akibat dari sukses-sukses awal dari perencanaan sentral
dan kepemilikan negara yang menciptakan suatu consensus lintaspartai. Hal ini dikenal sebagai 'Butskellisme', setelah kebijakan-
kebijakan Keynesian yang hampir identik dari Rab Butler atas nama
kaum Konservatif, dan Hugh Gaitskell untuk Partai Buruh. Namun
demikian, pada 1980-an, di bawah pimpinan Margaret Thatcher, dan
pengaruh Sir Keith Joseph, Partai ini kembali ke gagasan-gagasan
ekonomi liberal klasik, dan swastanisasi dari banyak perusahaan
negara pun diberlakukan. Untuk pembahasan lebih terinci, lihat
Sejarah Partai Konservatif. Warisan Thatcher bersifat campuran.
Sebagian komentator menyatakan bahwa ia menghancurkan
konsensus tradisional dan filosofi Partai, dan, dengan melakukan hal
itu, menicptakan suatu situasi di mana public tidak benar-benar tahu
nilai-nilai apa yang dipegang oleh Partai. Kini Partai Konservatif
sibuk mencoba mencari jati dirinya kembali.
1.1. Eropa
Di bagian-bagian lain dari Eropa, konservatisme arus utama
seringkali diwakili oleh partai-partai Kristen Demokrat. Mereka
membentuk faksi besar Partai Rakyat Eropa di Parlemen Eropa.
Asal-usul partai-partai ini umumnya adalah partai-partai Katolik dari
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dan ajaran sosial Katolik
seringkali menjadi inspirasi awal mereka. Setelah bertahun-tahun,
konservatisme pelan-pelan menjadi inspirasi ideologis utama
mereka, dan mereka umumnya menjadi kurang Katolik. CDU, partai
saudaranya di Bavaria Uni Sosial Kristen (CSU), dan Imbauan
Kristen Demokrat (CDA) di Belanda adalah partai-partai ProtestanKatolik.
Di negara-negara Nordik, konservatisme diwakili dalam partaipartai konservatif liberal seperti Partai Moderat di Swedia dan Partai
Rakyat Konservatif di Denmark. Secara domestik, partai-partai ini
umumnya mendukung kebijakan kebijakan yang berorientasi pasar,
dan biasanya memperoleh dukungan dari komunitas bisnis serta
kaum profesional kerah putih. Secara internasional, mereka
umumnya mendukung Uni Eropa dan pertahanan yang kuat.
Pandangan-pandangan mereka tentang masalah-masalah sosial
cenderung lebih liberal daripada, misalnya, Partai Republik Amerika
Serikat. Konservatisme sosial di negara-negara Nordik seringkali
ditemukan dalam partai-partai Kristen Demokrat mereka. Di
beberapa negara Nordik, partai-partai populis sayap kanan telah
memperoleh dukungan sejak 1970-an. Politik mereka telah
dipusatkan pada pemotongan pajak, pengurangan imigrasi, dan
undang-undang yang lebih keras dan kebijakan-kebijakan ketertiban.
83
84
Pada umumnya, orang dapat mengkclaim bahwa kaum
konservatif Eropa cenderung untuk lebih moderat dalam berbagai
isu sosial dan ekonomi, daripada konservatif Amerika. Mereka
cenderung cukup bersahabat dengan tujuan-tujuan negara
kesejahteraan, meskipun mereka juga prihatin dengan lingkungan
bisnis yang sehat. Namun demikian, beberapa kelompok cenderung
lebih mendukung agenda-agenda libertarian atau laissez-faire yang
lebih konservaitf, khususnya di bawah pengaruh Thatcherisme.
Kelompok-kelompok konservatif Eropa sering memandang diri
mereka sebagai pengawal-pengawal prudence, moderasi,
pengalaman-pengalaman histories yang sudah teruji, dibandingkan
dengan radikalisme dan eksperimen-eksperimen sosial. Persetujuan
dari budaya tinggi dan lembaga-lembaga politik yang mapan seperti
monarki ditemukan dalam konservatisme Eropa. Kelompokkelompok konservatif arus utama seringkali adalah pendukungpendukung gigih Uni Eropa. Namun demikian, orang juga dapat
menemukan pula unsur-unsur nasionalisme di banyak negara.
1.2. Tiongkok
Di Tiongkok konservatisme didasarkan pada ajaran-ajaran
Kong Hu Cu. Kong Hu Cu yang hidup pada masa kekacauan dan
peperangan antara berbagai kerajaan, banyak menulis tentang
pentingnya keluarga, kestabilan sosial, dan ketaatan terhadap
kekuasaan yang adil. Gagasan-gagasannya terus menyebar di
masyarakat Tiongkok. Konservatisme Tiongkok yang tradisional
yang diwarnai oleh pemikiran Kong Hu Cu telah muncul kembali
pada tahun-tahun belakangan ini, meskipun selama lebih dari
setengah abad ditekan oleh pemerintahan Marxis-Leninis yang
otoriter.Setelah kematian Mao pada 1976, tiga faksi berebutan untuk
menggantikannya: kaum Maois garis keras, yang ingin melanjutkan
mobilisasi revolusioner; kaum restorasionis, yang menginginkan
Tiongkok kembali ke model komunisme Soviet; dan para
pembaharu, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping, yang berharap untuk
mengurangi peranan ideology dalam pemerintahan dan merombak
ekonomi Tiongkok.
Nilai-nilai Tiongkok yang tradisional telah muncul dengan
cukup kuat, meskipun lama ditekan oleh rezim komunis yang
revolusioner. Saat ini, Partai Komunis Tiongkok dikelola oleh para
teknokrat, yang mengusahakan stabilitas dan kemajuan ekonomi,
sementara menindas kebebasan berbicara dan agama. Partai dilihat
85
oleh sebagian orang sebagai penerima Mandat Surgawi, sebuah
gagasan Tiongkok tradisional. Partai Komunis menjinakkan dirinya
sendiri dan tidak lagi secara konsisten menganjurkan teori Marxis
yang revolusioner, dan sebaliknya berpegang pada fleksibilitas
ideologist teologi yang konsisten dengan ucapan Deng Xiaoping,
yakni mencari kebenaran di antara fakta. Cinta tanah air dan
kebanggaan nasional telah muncul kembali seperti halnya pula
tradisionalisme. Nasionalisme Tiongkok cenderung mengagungagungkan negara Tiongkok yang sangat tersentralisasi dan kuat.
Pemerintah berusaha untuk memenangkan dan mempertahankan
kesetiaan warga negaranya serta orang-orang Tiongkok yang barubaru ini pindah ke luar negeri. Sebuah buku laris baru-baru ini China
Can Say No mengungkapkan sebuah sentiment yang mendukung
sebuah cara Tiongkok yang unik yang, dengan terus terang, tidak
perlu melibatkan norma-norma Amerika, seperti individualisme dan
liberalisme Barat. Selain itu, nasionalisme Tiongkok masih mungkin
akan berkembang, karena generasi para pemimpin Tiongkok akan
bertumbuh dalam lingkungan yang dipenuh dengan semangat
nasionalisme. Sejak 1990-an, telah muncul gerakan neo-konservatif
di Tiongkok (tidak ada kaitannya dengan gerakan neo-konservatif di
AS).
Wallahu a’lam bishawab.
Yogyakarta, Bulaksumur, April 2010
Nur Sayyid Santoso Kristeva, S.Pd.I, M.A.
86
Bagan Analisis:
REFRAMING IDEOLOGI
Komponen
Ideologi
Nilai-nilai
(value)
Visi
kemasyar
akatan
yang ideal
(vision of
the idel
polity)
KAPITALISME
SOSIALISME
KOMUNISME
FASISME
ANARKISME
KONSERVATISME
87
Konsep
asal-usul
manusia
(conception
of human
nature)
Referensi
Strategi
tindakan
(strategies
of actions)
Siasat
politik
(political
taktics)
Mannheim, Karl, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan
Politik (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Friedrich Engels, The Origin Of The Family, Private Property And
The State, Zurich, 1884
Elie Halevy, Histoire du Socialisme Europen. Paris, Gallimard, 1937
Market Socialism: the debate among socialists, ed. Bertell Ollman
(1998)
G.D.H. Cole, History of Socialist Thought, in 7 volumes, Macmillan
and St. Martin's Press (1965),
John Weinstein, Long Detour: The History and Future of the
American Left, Westview Press, 2003, Leo Panitch, Renewing
Socialism: Democracy, Strategy, and Imagination.
Michael Harrington, Socialism, New York: Bantam, 1972
Edmund Wilson, To the Finland Station: A Study in the Writing and
Acting of History, Garden City, NY: Doubleday, 1940.
Albert Fried, Ronald Sanders, eds., Socialist Thought: A
Documentary History, Garden City, NY: Doubleday Anchor,
1964.
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim (Yogyakarta: Salahuddin
Press, 1982)
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi
dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007)
Alfian, Pemikian dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1981)
Sukarna, Suatu Studi Ilmu Politik Ideologi (Bandung: Alumni, 1981)
Jorge Lorrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996)
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991)
Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999)
Anthony Downs dalam buku An Economic System of Democracy
(New York: Harper & Row, 1957)
Austin Ranney, Governig; An Introduction to Political Science (7th
Edition; London: Prentice Hall International, Inc., 1996)
A.M.W. Pranarka, “Pasal 33 UUD 1945: Wawasan Dasar dan
Konstruksi Operasionalnya, Suatu Tinjauan Ideologis,”dalam
Analisa CSIS, Tahun IV, No. 12, Desember 1986
88
William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-isme Dewasa ini, terj.
Alex Jemadu (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1994).
A. Effendi Khoirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 2003)
Amien Rais, Cakrawala Islam; Antara Cita dan Fakta (Bandung:
Mizan, 1999)
Adam Smith dalam The Wealth of Nations pendahuluan dan catatan
pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern Library,
1973
L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat tentang Ekonomi,
Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage,
1995. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku
aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch
Denken.
Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia, Jakarta, UI Press,
1995
Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York,
Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson
dengan Pengantar RH Tawney.
Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom
Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing
Group, 1979, versi Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor)
dan Ryadi Gunawan (penerjemah), Yogyakarta: LKPSM, 1997
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses, Makalah dan
Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985
Daniel Bell, (1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960;
(2) The Coming of Post Industrial Society, New York: Penguin
Books Edition, 1973; (3) The Cultural Contradictions of
Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Y.B. Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya,
Volume II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985;
Daniel Bell dan Irving Kristol (ed.), Model dan Realita di Dalam
Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi, Jakarta:
LP3ES, 1988.
Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh
Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late
Capitalism, London, Verso, 1990
John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New York:
Mentor Book Paperback Edition, 1972
Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai Ideologi, Jakarta:
LP3ES, 1990
Francis Fukuyama, The End of History and Last Man, London:
Hamish Hamilton, 1992.
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Bandung: Mizan,
1999)
Mas’ud An Nadwi, Islam dan Sosialisme (Bandung: Risalah, 1983)
Clement Attle, Perdana Menteri Inggris tahun 1945-1951, juga
seorang Pemimpin Partai Buruh 1935-1955, menulis dalam
buku The Labour Party in Perspective (1937)
Lyman Tower Sargen, Ideologi-ideologi Politik Kontemporer; Sebuah
Analisis Komparatif (Jakarta: Erlangga, 1987)
Abu Ridho, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (WAMY, 1999)
Franz Magnis-Suseno, Pemikian Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia, 2000)
Titus Smith Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, Judul Asli: Living
Issues in Philosophy, Seven Edition, D. Van Nostrand
Company, New York, 1979. Penerjemah: Prof. Dr. H.M.
Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Joseph Stalin, Dialectical and Historical Materialism (New York:
Inter. Publisher, 1950)
Frederick Engels, Prinsip-prinsip Komunisme Ditulis pada OktoberNovember 1847, Dari Selected Works, Jilid1, muka surat 8197, diterbitkan oleh Penerbit Progress, Moskow; 1969.
Marx-Engels, Selected Works; Peking, Penerbit Foreign Languages,
1977.
Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES,
1982)
Ali Syariati, Kritik Islam atas Marxisme (Bandung: Mizan, 1983)
Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1971)
Murtadho Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas
Marxisme dan Teori lainnya, lihat dalam Ahmad Suhelmi,
Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Ali Syariati, Kritik atas Marxixme dan Aliran Barat Lainnya (Bandung:
Mizan, 1982).
Sukarna, Ideologi (Bandung: Alumni, 1981) hlm. 45, 48 dan 68.
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973)
89
90
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah
Perkembagan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973)
William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism,
Socialism (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1970)
Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Avon Books, 1965)
T. W. Adorno, The Authoritarian Personality (New York: Harper &
Row, 1950).
Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973).
Karl Dietrich Bracher, The German Dictatorship; The Origins,
Structure and Consequences of National Socialism, Trans. By
J. Steinberg (London: Penguin Book, 1988).
Max Dimont, Jews, God and History (The New York: The New York
American Library, 1962) juga The Indestructible Jews ((The
New York: The New York American Library, 1973).
Hannah Arendt, Anti-Semitisme, Part one of the Origins of
Totalitarianisme (New York: Harcourt and Brace World. Inc.,
1968).
Jean Pail Sartre, Anti-Semite and The Jew, Trans. By George J.
Backer (New York: Schoker Books, 1972)
Roger Stokes, The Jew, Rome and Armageddon (Adelaide Hills
Christadelphian Ecclesia, 1987)
Hitler dikutip dalam David Coopeman and Walter, Power and
Civilizations, Political Thought in The Twetieth Century (New
York: Thomas Y. Crowell Company, 1962).
Karl Popper, The Open Society and Its Enemiesm vol. II., The High
Tide of Propechy Hegel and Marx, The Aftermath (London:
Routledge and Keagan Paul, 1962).
Anarchism. A Documentary History of Libertarian Ideas. Volume
One: From Anarchy to Anarchism (300CE to 1939) Robert
Graham, editor. Black Rose Books, Montreal and London
2005.
Anarchism, George Woodcock (Penguin Books, 1962) (For many
years the classic introduction, until in part superseded by
Harper's Anarchy: A Graphic Guide)
Anarchy: A Graphic Guide, Clifford Harper (Camden Press, 1987)
(An excellent overview, updating Woodcock's classic, and
beautifully illustrated throughout by Harper's woodcut-style
artwork)
The Anarchist Reader, George Woodcock (Ed.) (Fontana/Collins
1977) (An anthology of writings from anarchist thinkers and
activists including Proudhon, Kropotkin, Bakunin, Bookchin,
Goldman, and many others.)
The Dispossessed, Ursula K. Le Guin (a 1974 science fiction novel
that takes place on a planet with an anarchist society; winner
of both the Hugo and Nebula Awards for best novel.)
Barker, John H. Individualism and Community: The State in Marx
and Early Anarchism (Individualisme dan Komunitas: Negara
dalam pandangan Marx dan Anarkisme Klasik). New York:
Greenwood Press, 1986.
D'Agostino, Anthony. Marxism and the Russian Anarchists
(Marxisme dan Kaum
Anarkis Rusia). San Francisco:
Germinal Press, 1977.
Dolgoff, Sam (ed.). Bakunin on Anarchism (Bakunin dalam
Anarkisme). Montreal: Black Rose Books, 2002.
Paul Thomas, Karl Marx and the Anarchists (Karl Marx dan Kaum
Anarkis). London: Routledge, 1985.
Vincent, K. Steven. Between Marxism and Anarchism: Benoit Malon
and French Reformist Socialism (Antara Marxisme dan
Anarkisme:Benoit Malon dan Kaum Sosialis Reformis
Perancis). Berkeley: University of California Press, 1992.
91
92