Academia.eduAcademia.edu

DINAMIKA PAHAM KEAGAMAAN DI INDONESIA

2015, Pluralitas & Minoritas: Batas-batas Kebebasan Beragama di Indonesia

Sebagai negara dengan religiusitas yang majemuk, bangsa Indonesia memperlihatkan juga sosok keragaman agama dan kepercayaan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar seperti Islam (dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air ini mempunyai komunitas penganut masing-masing. Selain agama-agama besar tersebut, ada pula kepercayaan-kepercayaan lokal yang banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaan kepercayaan-kepercayaan lokal yang banyak dipeluk oleh suku-suku di Indonesia. Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multi agama, atau apa yang disebut Tolkhah (2011) sebagai "plural religiousity'. Keanekaragaman paham-paham atau aliran-aliran kepercayaan, ajaran, amalan keberagamaan mencerminkan keberagaman paham keagamaan di Indonesia. Meskipun secara antropologis, kepercayaan-kepercayaan asli Indonesia atau biasa disebut agama lokal, namun sampai saat ini pemerintah belum memasukkan kepercayaan asli Indonesia tersebut sebagai agama yang diakui sah untuk dipeluk oleh orang yang meyakininya. Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Selain kelompok-kelompok paham keagamaan lokal, religiusitas majemuk di Indonesia juga diwarnai oleh adanya aliran-aliran keagamaan yang berada di bawah agama mainstream atau apa S

BAB 2 DINAMIKA PAHAM KEAGAMAAN DI INDONESIA Oleh Halimatusa’diah Pendahuluan S ebagai negara dengan religiusitas yang majemuk, bangsa Indonesia memperlihatkan juga sosok keragaman agama dan kepercayaan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar seperti Islam (dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah Air ini mempunyai komunitas penganut masing-masing. Selain agama-agama besar tersebut, ada pula kepercayaan-kepercayaan lokal yang banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaan kepercayaankepercayaan lokal yang banyak dipeluk oleh suku-suku di Indonesia. Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang multi agama, atau apa yang disebut Tolkhah (2011) sebagai “plural religiousity’. Keanekaragaman paham-paham atau aliran-aliran kepercayaan, ajaran, amalan keberagamaan mencerminkan keberagaman paham keagamaan di Indonesia. Meskipun secara antropologis, kepercayaan-kepercayaan asli Indonesia atau biasa disebut agama lokal, namun sampai saat ini pemerintah belum memasukkan kepercayaan asli Indonesia tersebut sebagai agama yang diakui sah untuk dipeluk oleh orang yang meyakininya. Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya. Selain kelompok-kelompok paham keagamaan lokal, religiusitas majemuk di Indonesia juga diwarnai oleh adanya aliranaliran keagamaan yang berada di bawah agama mainstream atau apa 31 yang disebut Bruinessen (1992:16) sebagai ‘gerakan sempalan’. Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte" atau "sektarian". Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian, Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah Imran, gerakan Usroh, adalah beberapa contoh yang terkenal di Indonesia. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah dicap "sempalan", ternyata memang telah dilarang atau sekurangkurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama (Bruinessen,1992:16). Studi ini dilakukan untuk menelusuri informasi tentang perkembangan paham keagamaan di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk mendata, mengklasifikasi beberapa paham keagamaan lokal dan juga aliran keagamaan yang ada di Indonesia. Karenanya, tiga hal yang akan diulas dalam tulisan ini yaitu, agama-agama lokal yang menginduk pada agama resmi pemerintah antara lain Agama Kaharingan, Towani Tolotang, Aluk To Dolo, dan Boda Sasak, bagian kedua akan mengulas aliran-aliran kepercayaan yang oleh negara dimasukkan sebagai kategori penghayat kepercayaan1 seperti 1 Dalam konteks ini, Djatikusumah (2011:368-371) memberikan definisi beberapa konsep keyakinan yang dilekatkan kepada kaum adat. Beberapa konsep tersebut adalah Pertama, aliran kepercayaan. Dalam pandangan kaum adat, yang dimaksud aliran kepercayaan adalah segala sumber ajaran keyakinan yang berasal dari luar kelompok adat dan mengalir “seperti sungai yang bercabang-cabang”, menyebar ke berbagai belahan muka bumi sehingga terbentuk sebagai sekte-sekte atau kelompok-kelompok aliran keyakinan yang berasal dari satu sumber ajaran dan kawasan tertentu. Dalam pandangan mainstream, kelompok penganut aliran kepercayaan ini dianggap, dan sering dihujat, sebagai kelompok ajaran yang menyimpangkan atau menyesatkan “ajaran mainstream” kelompok mayoritas atau kelompok dominan dari ajaran keyakinan dimaksud. “Penyesatan” atau “stigmatisasi” ini menafikan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan setempat dengan pengaruh penyebaran aliran atau ajaran kepercayaan pendatang tersebut. Akibatnya tidak jarang kelompok ritual adat yang mengalami akulturasi 32 Parmalim, Madraisme (ADS), dan juga Kepercayaan Samin. Di bagian ketiga, akan dibahas aliran-aliran keagamaan yang berada di bawah agama mainstream yang dalam beberapa tahun ini sering mendapat perlakuan intoleransi seperti Ahmadiyah dan Syi’ah. Agama Lokal dan Pergulatan Posisional Pendefinisian agama oleh Departemen Agama tahun 19612 menyebabkan kelompok-kelompok kepercayaan, kebatinan, masyarakat adat, penganut kepercayaan lokal, yang tersebar di seluruh pelosok nusantara digolongkan sebagai orang yang “belum beragama” atau dapat dikatakan sebagai belum memeluk salah satu agama yang diakui negara. Tidak hanya itu, hal ini juga berimplikasi pada penafian praktek-praktek keagamaan lokal serta cap “sesat dan menyesatkan” terus mengiringi kelompok-kelompok ini. Namun, di saat yang sama mereka justru juga diharapkan akan masuk dan memeluk salah satu agama yang diakui negara. Hal ini membuat budaya ajaran dengan “aliran kepercayaan” yang datang dari luar kelompok adat tersebut, yang awalnya sebagai upaya penghargaan (pengistilahan lain dari sinkretis), dianggap atau “dituduh” merusak “sistem keyakinan” dari ajaran pendatang dimaksud. Tetapi memang ada pula “sejenis aliran kepercayaan yang tidak berakar pada budaya adat atau bukan merupakan akulturasi dengan budaya setempat”. Kelompok “aliran kepercayaan kedua” ini yang secara dominan mengadopsi ajaran mainstream keagamaan mayoritas dan menjadikannya sebagai warna baru dari ajaran mainstream tersebut. Kedua, aliran kebatinan. Dalam pandangan kaum adat, aliran kebatinan adalah doktrin atau ajaran yang lebih mengarah kepada “mengolah kejiwaan” atau spiritual yang cenderung memakai metode-metode mistik, magis, supranatural, dan sebagainya. Penekanan mistik pada kelompok aliran kebatinan tidak jarang dinilai oleh orang awam aliran kebatinan sebagai kelompok perdukunan, klenik, dan sebagainya. Penganut aliran kebatinan tersebut biasanya membentuk suatu wadah atau organisasi formal. Namun sering mengkategorikan mereka sebagai penganut “kepercayaan” 2 Suatu “agama”, menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur penting ini: kepercayaan pada Tuhan Yang Mahaesa, ada nabi, kitab suci, umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya. 33 komunitas pengikut kepercayaan lokal menjadi menjadi kesulitan untuk diakui sebagai agama. Tidak hanya itu, perjalanan kebijakan negara selanjutnya sebagaimana tertuang dalam penjelasan PNPS No.1 Tahun 1965 yang mengenal adanya agama yang “diakui” membuat eksistensi agama lokal semakin menjadi persoalan yang berkepanjangan. Di masa Orde Baru, untuk membedakannya dengan lima agama resmi yan diakui negara, pemerintah menyebutnya dengan istilah “(aliran) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Sementara itu para penganut-nya berbeda satu dengan yang lain dalam menyebut, ada yang cenderung menggunakan istilah aliran kepercayaan, kebatinan, kerokhaniahan dan lain sebagainya. UU di era Reformasi yang ada sekarang cenderung menggunakan istilah “ agama atau kepercayaan yang belum diakui berdasarkan ketentuan perundang-undangan”. Secara akademis, selain sering dipakai istilah “agama-agama lokal3” juga sering digunakan istilah indigenous religions (CRCS 2008:22). Lahirnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan 3 Agama-agama lokal merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum agama-agama ‘impor’ dikenal. Agama ini (lokal) hadir di setiap kelompok masyarakat yang menampilkan wajah yang berbeda dengan apa yang dianut di tempat tempat lain. Di beberapa tempat seperti Jawa, meskipun arus Islam sangat kuat, tetapi sisa-sisa agama orang terhadulu masih ada seperti Tengger, Samin, dan lain-lain (Nurudin, 2003; Rosyid, 2008). 34 agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.sebagaimana disebut Tolkhah (2011:3), berbagai agama lokal seperti Kaharingan (Dayak), Aluk To Dolo (Tana Toraja) karena ajarannya di pandang selaras dengan agama Hindu maka mereka memperoleh pembinaan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu, dan kelompok penganut faham keagamaan Boda Sasak, karena dipandang dekat dengan agama Buddha maka pembinaan di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha. Agama Kaharingan Kebijakan rezim Orde Baru untuk memudahkan pengelolaan dan penataan kehidupan keagamaan di Tanah Air membuat agama Kaharingan sebagai agama asli (indigenous) yang secara khusus dan ekslusif dipeluk oleh etnis Dayak di Kalimantan barat dikelompokkan ke dalam agama Hindu. Diterimanya integrasi Kaharingan ke dalam agama Hindu ditandai dengan dikeluarkannya surat Parisada Hindu Dharma Kalimantan Tengah dengan Nomor I/E/PHHKH/ 1980 tentang Pelaksanaan Upacara Keagamaan bagi Umat Kaharingan. Surat edaran ini diputuskan untuk menjadi pedoman bagi umat Kaharingan untuk melaksanakan upacara keagamaan sesuai ajarannya. Dalam surat itu dinyatakan bahwa pelaksanaan upacara umat Kaharingan tidak mengalami perubahan, dilakukan seperti kebiasaan umat Kaharingan melakukan ritualnya. Hal tersebut bertujuan untuk memelihara dan melestarikan tradisi umat itu. Acara dan upacara keagamaan umat Hindu atau umat Kaharingan dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan kitab suci masing-masing (Kitab Weda dan Panaturan). Namun, secara faktual, agama Kaharingan tidak sama dan tidak identik dengan agama Hindu. Sistem atau kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Dayak, misalnya, tidak sama dengan kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Hindu yang 35 memakai Wayan, Nyoman, Putu, Ketut, I Gusti atau Tjokorde. Tradisi ”ngaben” (pembakaran mayat) seperti yang terdapat pada masyarakat Hindu Bali tidak terdapat pada masyarakat Dayak di Kalimantan barat. Kesenian dan kebudayaan masyarakat Hindu Bali yang bersumber dari agama Hindu tidak sama dengan kesenian dan kebudayaan etnis Dayak yang bersumber dari agama Kaharingan. Ringkas kata, agama Kaharingan secara substansial tidak sama dengan agama Hindu. Sementara itu, dari internal umat Kaharingan muncul keinginan agar Kaharingan diakui sebagai agama resmi terpisah dari agama Hindu. Dari sini muncul pro dan kontra internal Umat Kaharingan. Menanggapi persoalan tersebut, ada yang menginginkan tetap berintegrasi dengan Hindu terwadahi dalam Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) yang dipimpin oleh Lewis, KDR. Sedangkan yang berkeinginan untuk terpisah dari Hindu tersebut dipimpin Lubis, S. Ag (Khalikin, 2011: 237-278). Towani Tolotang Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok sosial yang mendiami kelurahan Amparita lama (sekarang: Kelurahan Amparita, Toddang Pulu, Baula, Arateng). Tolotang juga merupakan sebutan bagi aliran kepercayaan yang mereka anut, namun kelompok ini menurut asal usulnya bukanlah penduduk asli Amparita. Menurut asal usulnya, nenek moyang Tolotang, berasal dari desa Wani sebuah desa di Kabupaten Wajo (Khalikin, 2011: 220). Pada tahun 1966, surat Menteri Agama No. BIII/3/1356/1966 menyatakan bahwa Towani Tolotang bukan sebuah agama. Surat keputusan ini memperkuat keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah Sidenreng Rappang sebelumnya. Keputusan Menteri Agama di atas dikuatkan lagi oleh keputusan Kementerian Kejaksaan No. 152/Sospol-K/Pakem/15 km/1966 yang berisi tentang perintah terhadap Kejaksaan Tinggi di Makassar untuk membubarkan dan melarang agama Towani Tolotang (Mudzar, 2002: 192-194). 36 Pada Keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali/Budha No. 2/1966 disebutkan bahwa Towani Tolotang merupakan salah satu sekte agama Hindu. Mengacu pada keputusan hukum tersebut, Towani Tolotang otomatis menjadi bagian agama Hindu. Secara administrasi, segala bentuk urusan berkiblat pada agama Hindu. Penggabungan Towani Tolotang ke dalam agama Hindu didasarkan pada kenyataan bahwa ia memiliki banyak kemiripan praktik keagamaan dengan agama Hindu. Salah satu kemiripan praktik keagamaan Towani Tolotang dengan agama Hindu adalah persembahan sesajian dalam ritual yang dilakukan. Baik Towani Tolotang maupun Hindu memposisikan sajen pada posisi penting dalam setiap ritual. Sesajian Towani Tolotang pada pelaksanaan ritual mappenre’ nanre merupakan unsur pokok dan penentu karena dianggap sebagai media untuk menyampaikan permintaan kepada Dewata Seuwae. Demikian pula dalam praktik Hindu, sesajian memiliki arti yang sangat penting dalam setiap ritual yang dilakukan (Hasse J, 2012). Pilihan Towani Tolotang terhadap Hindu sebagai agama induk terjadi dalam waktu yang cukup lama. Afiliasi agama Towani Tolotang menjadi bagian agama Hindu sebagai agama yang memayunginya, pada satu sisi membatasi ruang gerak Towani Tolotang untuk mempraktikkan ajaran- ajarannya. Ia harus tunduk di bawah ‘arahan’ Hindu. Pada sisi lain, pilihan untuk menganut agama Hindu memberikan peluang bagi Towani Tolotang baik ajaran maupun komunitas untuk tetap eksis karena tidak ada lagi ruang untuk mengganggunya karena secara formal telah berada di bawah agama Hindu (Hasse J, 2012). Aluk To Dolo Paham keagamaan agama Aluk To Dolo di Tana Toraja terbilang tidak begitu berkembang. Namun tradisi nilai-nilai Aluk To Dolo tetap dilestarikan oleh masyarakat Tana Toraja sebagai indentitas dan ciri khas mereka. Tradisi budaya dirasa lekat dengan kehidupan keagamaan sehingga dapat dikatakan pada setiap upacara adatnya berbalut dengan ritual keagamaan, seperti upacara Rambu 37 Solo’ dan Rambu Tuka’. Upacara adat dan keagamaan ini menarik minat wisatawan domestik dan macanegara untuk berkunjung ke Tana Toraja. Dalam Mitologi Toraja, Aluk to Dolo”diyakini berasal dari alam atas atau alam para dewa dilangit. “Aluk” telah tersusun di langit, bahkan dewa-dewa juga mengikuti dan setia pada ikatan “aluk” yang juga berfungsi sebagai tata cara yang akan memimpin kearah terang. Hal ini tampak dari ungkapan “anna bendan tutungan bia’ tunannang tendanan ma’lan a-lana” yang berarti “maka berdirilah nyala obor, tegaklah tongkat yang berkobar-kobar”. Obor merupakan kiasan untuk suatu penunjuk jalan yang akan membimbing pada suatu arah kebaikan atau kebenaran. Jumlah “aluk” adalah 7777777 (dalam versi lain menyatakan 7777), di mana jumlah tersebut mengandung pengertian sempurna atau lengkap (Kombong, et.al., 1992). Mitologi Toraja menunjukkan bahwa “aluk” merupakan model tentang Sistem kehidupan para Dewa yang langsung berasal dari “Puang Matua” atau “Sang Pencipta” yang kemudian akan diwujudkan di bumi. “Aluk” lalu diwariskan secara turun temurun kepada generasi-generasi selanjutnya melalui tradisi lisan atau bertutur.. Oleh karena itu, “aluk” juga disebut “sluk nene” atau serangkaian petunjuk dari para leluhur. Sebagai tuntunan berperilaku, setiap “aluk” berisi serangkaian petunjuk dan larangan atau “pemali”. Oleh karena itu, orang Toraja yakin bahwa segala sesuatu harus diatur berdasarkan “aluk”. Jika mengingkari “aluk”maka segala sesuatu akan sia-sia dan tidak akan membawa hasil yang baikserta mendapat pembalasan dari dewa-dewa. Dengan demikian “aluk” merupakan norma yang harus ditaati masyarakat dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, “Aluk” kemudian dianggap sebagai “ada” atau adat. Kepatuhan pada ajaran adat akan menghindarkan dari berbagai kemungkinan untuk melanggar ajaran nenek moyang dan akan membawa keselamatan bagi kehidupan mereka. Pelanggaran terhadap “aluk” dipercaya akan membawa konsekuensi negatif melalui hukuman dari para dewa. Oleh karena itu dalam berbagai perilaku, 38 “aluk” merupakan “adat” dan “adat” merupakan “aluk” bagi masyarakat Toraja (Kombong, et.al.,1992). Berdasarkan SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha No. Dd/M/200-VII/’69. Tanggal 15 Nopember 1969, Agama Aluk To Dolo dimasukan menjadi penganut Agama Hindu di bawah naungan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, dan menunjuk petugas khusus yang dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintah yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum beragama umat Hindu asal Aluk To Dolo, yaitu Bato’ Rita Palimbong (B.R. Palimbong). Ia bertugas atas nama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Aluk To Dolo, maka tidak ada pilihan bagi mereka kecuali untuk bergabung dengan Parisadha Hindu pada waktu itu, hingga saat ini. Mulai dari saat itu Agama Aluk To Dolo di Tana Toraja disebut sebagai Agama Hindu dan ditambahkan diujungnya dengan Alukta, sehingga disebut Hindu/ Alukta. (Reslawati, 2011:193) Boda Sasak Paham Boda bukanlah agama Buddha yang dibawa oleh Sidharta Gautama, tetapi paham yang bertumpu pada anasir Animisme, Dinamisme, Panteisme dan Antropomorfisme. Oleh sebab itu pemujaan dan penyembahan pada roh-roh leluhur merupakan fokus utama dari praktek keyakinan paham Sasak Boda. Ajaran Sasak Boda, tidak mengenal konsep Nirwana dan Moksa, surga dan neraka, tapi tampaknya lebih dekat dengan Islam, misalnya yang terkait dengan kematian. Kesamaan antara keduanya terlihat pada acara memandikan, membungkus (mengkafani). dan posisi meletakkan jenazah ke liang lahat. Posisi badan jenazah yakni kepala terletak disebelah utara, dengan muka menghadap sebelah barat (Islam: Kiblat). Sementara sisi perbedaannya adalah dalam agama Islam tidak menyertakan benda ke dalam keranda jenazah, sedangkan pada Buda, sebelum di kafani di pakaikan pakaian. dan disertakan benda seperti keris pusaka dan sebagainya, turut serta terkubur bersama jenazah. 39 Integrasi Buda (Boda) ke dalam agama Buddha terjadi pasca peristiwa G30/S PKI 1965 dengan alasan kemiripan nama. Integrasi itu tepatnya setelah tahun 1968, mereka (Boda) resmi menjadi pemeluk agama Buddha (Gautama). Tokoh-tokoh agama Buddha pun “turun gunung” mendekati mereka menjadi penganut Buddha yang sejati. Masyarakat penganut Boda Sasak/Buda yang kini menjadi penganut agama Buddha bermukim di wilayah Kabupaten Lombok Utara dan tersebar diberbagai desa seperti desa Bentek kecamatan Gangge, desa Tegal Maja kecamatan Tanjung atau di desa Pemenang kecamatan Pemenang, banyak orang Buda yang memilih agama Buddha Gautama. (Asnawati, 2011: 279). Sebelum tahun 1960-an umumnya di Lombok Barat, masyarakat Sasak Boda senantiasa melaksanakan upacara tradisi Lombok seperti: Upacara Pujawali (yaitu seperti upacara kumpulkumpul dan kemudian do’a bersama di suatu tempat) dan disana ada altar yang terbuat dari bambu yang dilengkapi dengan sarana pujapuja dan puji-pujian. Ada kesamaannya dengan sarana puja bagi agama Hindu yang juga menggunakan bunga, buah-buahan dan jajanan pasar, juga bubur merah, bubur putih, wajik putih, wajik merah, nasi kuning dan lampu minyak kelapa (yang dibuat seperti lilin), kemenyan tapi tidak memakai dupa. Para penganut paham Boda saat ini umumnya secara resmi dan tertulis dalam KTPnya sebagai penganut agama Buddha meskipun dalam pelaksanaan ritual keagamaannya mereka pasif. Tapi umumnya bagi masyarakat awam, belum begitu memahami ajaran Buddha secara utuh, namun demikian pembinaan keagamaan tetap berjalan dengan baik Kehadiran mereka ke Vihara tidak ada unsur paksaan, semufa dilakukannya karena kesadaran. Dalam menjalankan keagamaan bagi kalangan penganut Buddha yang berasal dari paham Sasak Buda, masih banyak mengikuti ajaran tradisi.(Asnawati, 2011: 293). 40 Penghayat Kepercayaan dan Eksistensinya di Indonesia Dalam Undang-undang, tidak dijelaskan definisi penghayat kepercayaan, meski disebut penjelasannya ada dalam PP Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Penghayat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.4 Namun kategori ini sepertinya juga tidak menegeskan beda antara “kepercayaan”, “agama lokal”, “kepercayaan lokal”, “agama tradisional”. Karena dinilai tidak memenuhi “unsur-unsur” agama sebagaimana definisi Deprtemen Agama, penghayat kepercayaan sebagai istilah yang dipakai dalam Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memang berusaha diletakan dalam kategori kepercayaan. Tapi uniknya, Undang-undang ini justru menganggapnya sebagai agama yang belum diakui.5 Mereka, yang oleh ketetapan tersebut disebut sebagai para penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa cenderung disikapi secara absolut terpisah dari kelompok penganut konsepsi agama-agama maainstream. Bahkan tidak jarang yang mengatakan masyarakat penghayat kepercayaan, karena merupakan tradisi kepercayaan lokal, tidak tergolong dalam kelompok agama sehingga “dicap” tidak “ber-Tuhan”. Dalam berikutnya, Kelompok “penghayat kepercayaan” ini kemudian mengalami istilah pelabelan sebagai “penghayat murni dan tidak murni”. Mereka yang 4 Lihat Pasal 1 ayat 19 PP Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan 5 Lihat UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 6 ayat (2): … Bagi Penduduk “yang agamanya belum diakui” sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. 41 terkategorikan sebagai “penghayat kepercayaan murni” adalah mereka yang pada kolom agama di KTP-nya tidak mencantumkan nama agama umum, sementara bagi mereka yang terkategorikan sebagai “penghayat kepercayaan tidak murni” adalah mereka yang mengukuhi ajaran budaya spiritual leluhur suku bangsanya tetapi masih mencantumkan kolom agama umum pada KTPnya (tentunya karena berbagai alasan: karena keterpaksaan dan situasi kondisi politis atau administratif yang mengkondisikan seperti itu). (Djatikusumah, 2011: 372 ) Keberadaan komunitas pengikut kepercayaan lokal seperti Parmalim, Kaharingan dan lainnya dapat dilihat sebagai subaltern (Asnawati, 2011:23). Konsep subaltern dalam berbagai kajian poskolonial disebut sebagai sebuah komunitas yang hadir di ruang publik tapi tidak pernah diakui. Dalam konteks paham keagamaan lokal, hal ini terjadi karena subaltern dipandang sebagai kelompok yang berada dalam kegelapan, tersesat dan bahkan dianggap “belum beragama”. Dalam peraktek sosial, mereka tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri, dan keberadaannya malah didefinisikan oleh orang lain. Sistem kepercayaan yang dianut tidak disebut berasal dari Tuhan, tapi sebagai produk kebudayaan manusia sendiri. Cara pandang seperti ini merupakan daya dan upaya untuk mendeligitimasi eksistensi kepercayaan ketuhanan sehingga mereka disebut belum beragama (Asnawati, 2011). Kepercayaan Parmalim Parmalim adalah agama asli etnis Batak yang tumbuh dan berkembang di tanah Batak Sumatera Utara. Masyarakat Batak, percaya bahwa sebelum kedatangan Islam dan Kristen di tanah Batak, semua masyarakat Batak memeluk agama ini. Namun di abad 19 bersamaan dengan masuknya agama Kristen dan Islam, pengikut agama ini semakin menurun, bahkan sangat drastis. Dalam tempo hanya sekitar satu abad, pengikut agama Parmalim tinggal eksis secara meyakinkan hanya di Desa Laguboti Kabupaten Samosir. Sementara di tempat lain hanya sedikit yang menjadi pengikut agama 42 Parmalim. Parmalim berasal dari kata Par-Malim atau Par-Ugamo Malim. Parmalim adalah pengikut sebuah lembaga keagamaan Ugamo Malim. Parmalim ini sebenarnya ada tiga aliran yaitu aliran Raja Ungkap Naipos-pos berpusat di Hutatinggi, aliran Parmalim Baringin berpusat di Pangururan dan aliran Raja Omat Manurung berpusat di Sigaol Porsea. Secara antropologis, Parmalim layak menjadi sebuah agama resmi sebab dalam Parmalim terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun kepada Pencipta. Secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur. Hanya saja, peraturan pemerintah membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya berbagai kejanggalan. Para pemeluk keyakinan ini menyebut dirinya sebagai pengikut Raja Sisingamangaraja XII. Bahkan mereka meyakininya sebagai salah seorang Rasul yang diutus Tuhan (Debata Mulajadi Nabolon). Parmalim tersebar propinsi Sumatra Utara, seperti di Kecamatan Pintupohan Meranti Tobasa, Tanah Datar Asahan, Jangga Tobasa, Onanganjang-Humbahas, Panamparan Tobasa dll. Ada juga yang pada tahun 1955 mengorganisir Golongan Siraja Batak yang gagal ikut Pemilu tahun 1955. Ada pula secara politis mengorganisir PAMBI/PABBI yang menyebut diri sebagai Persatuan Agama Malim Batak Indonesia dan mengikuti Pemilu tahun 1955. Golongan Si Raja Batak pada sekitar tahun 80-an menyebut diri menjadi Parmalim Marsada, tetapi kemudian bergabung dengan sebuah lembaga yang menggunakan nama Raja Sisingamangaraja XII. Penganut Parmalim secara umum telah mengalami stagnasi. Namun, tradisi adat mereka dapat dipertahankan oleh para pengikutnya. Kebijakan pemerintah menyangkut pelayanan hak-hak sipilnya belum mencerminkan implementasi dari UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum tertera di kartu tanda penduduk (KTP) yang mencantumkan agama mereka. Akta kelahiran dan pencatatan nikah juga belum dilayani oleh pemerintah meskipun sudah ada perintah dari undang-undang. Dalam perjalanan sejarah itu Parmalim diperlakukan layaknya sebuah 43 komunitas warga negara kelas dua yang tidak layak hidup di Indonesia, bahkan di tanah kelahirannya sendiri di dataran tinggi Toba atau tanah Batak. Padahal keberadaan Parmalim telah ada sejak Indonesia belum merdeka dan memiliki andil sangat besar dalam perang mengusur melawan Belanda. (Asnawati, 2011: 11-58) Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Gerakan tersebut terjadi di beberapa daerah di Indonesia, terutama pada abad ke 18 dan 19. Data sejarah nampak bahwa perlawanan-perlawanan tersebut dipimpin oleh orangorang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Di antara mereka yang melakukan perlawanan itu adalah Samin Surosentiko. (Wahib, 2001: 1). Samin berarti sami-sami amin (dalam bahasa Jawa) atau sama-sama bermufakat dalam melakukan sesuatu untuk mencapai kesejahteraan yang menunjukkan bahwa manusia sama derajatnya. Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa komunitas mereka tidak lebih rendah dari komunitas lainnya.Samin atau Saminisme dan masyarakat Samin adalah fenomena yang unik. Nilai uniknya terletak pada beberapa hal, antara lain adalah saminisme pertama kali muncul sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Samin Surosentiko melawan penjajahan Belanda. Tetapi pada tahap perkembangan berikutnya aksi moral Samin Surosentiko menjadi gerakan kultural dan bahkan tak dapat dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkanideologi baru yang khas Samin yakni Saminisme. (Suhanah, 2012: 179) Keunikan yang lain adalah Samin selalu diidentikkan dengan keluguan yang bodoh, tetapi dengan kebodohannya itu juga sangat cerdik. Disebut lugu yang bodoh karena mereka dapat berkomunikasi secara lugas, mereka seolah-olah tidak mengenal bahasa politik. Begitu juga kebodohan yang cerdik dan dengan bahasa yang lugas mereka mampu memperdaya pemerintah penjajahan Belanda. Selain itu, dikatakan juga bahwa para pengikut Samin bukanlah orang-orang 44 yang berpendidikan (well educated), dan para pengikutnya adalah orang-orang desa yang tidak terdidik secara baik dan juga tidak memiliki pengalaman untuk mengorganisasikan diri secara efektif. (Wahib, 2001: 2). Bagi komunitas Samin tidak memiliki tempat ibadat khusus, karena mereka bersamedi boleh di mana saja, terkecuali sekarang ini memiliki “Balai Padepokan Karang Pace” untuk mereka melakukan upacara ritual. Dalam kehidupan sehari-harinya, pengikut Samin melakukan sembahyang dengan cara Samedi selama 2 atau 3 menit dan cara sembahyang yang dilakukan orang Samin adalah menghadap ke timur, dengan cara Samedi, sehari 4 kali yaitu pagi jam 06.00, berarti matahari terbit, jam 12.00 siang berarti matahari pas di atas, jam 18.00 berarti matahari terbenam dan jam 24.00 berati pergantian hari. Dengan niatnya “ingsun wang wung durung dumadi konone namung gusti” (Suhanah, 2012: 188). Komunitas kepercayaan Samin memiliki kitab suci yang tersimpan dalam 5 buku yang disebut “Serat Jamus Kalimasada” yang antara lain adalah Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten, Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit dan Serat Lampahing Urip. Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan kedua tokoh Samin yang ada di Kabupaten Blora mengatakan bahwa, kepercayaan Samin sampai sekarang ini belum memiliki kitab suci. Dikatakan tidak memiliki kitab suci karena komunitas Samin pada umumnya buta huruf dalam artian tidak pandai membaca dan menulis dan kebanyakan mereka tidak bersekolah, pengetahuan hanya di dapat melalui turun temurun dan cukup didapat dari rumah. (Sonhaji, 1979: 49) Samin bukan merupakan agama, melainkan sebuah kepercayaan lokal yang menyebar di beberapa daerah, khususnya di Jawa. Keberadaan komunitas Samin tidak meresahkan masyarakat sekitar, karena ajaran dasarnya yang ditonjolkan adalah tentanf budi pekerti, di mana masyarakat samin sangat memegang teguh sifat 45 tolong menolongnya, kejujurannya kerukunannya (Suhanah, 2012: 202) dan sangat kuat asas Agama Djawa Sunda (Madraisme) Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang Pangeran Alibasa. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Ajaran Madrais merupakan sebuah ajaran yang mendasarkan ajarannya pada ajaran asli Sunda atau yang dikenal dengan Sunda wiwitan, Konsep ajaran Sunda Wiwitan ini memiliki sebuah konsep yang dikenal dengan Pikukuh tilu yang menekankan kesadaran tinggi kodrat ,manusia (cara cirri manusa), kodrat kebangsaan (cara cirri bangsa), serta mengabdi kepada yang seharusnya (madep ka ratu raja). Disamping ajaran dasar Pikukuh Tilu diatas, ajaran Sunda wiwitan aliran Madrais adalah membangkitkan rasa kepercayaan dan membangkitkan rasa kemanusiaan yang konsepnya ini dikenal sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah Hindia Belanda hingga rezim Orde Baru menyebut ajaran itu dengan sebutan Ajaran Djawa Sunda (ADS) yang merupakan kependekan dari “andjawat lan andjawab roh susunsusun kang den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan. Konsep ini cara pandang yang sangat luas dalam wawasan kebangsaan dan kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri Manusia” yang meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi (kreativitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap bijak dan penuh pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang meliputi: rupa, aksara, adat, dan budaya (Muttaqien 2013). 46 Gerakan Sempalan Menilik Syi’ah dan Ahmadiyah di Indonesia Istilah "gerakan sempalan" menjadi populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata "sekte"6 atau "sektarian"7. Meminjam istilah Martin van Bruinessen gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi atau "mainstream"(Bruinessen, 1992). Penyebutan “aliran sempalan” terhadap komunitas penganut aliran keagamaan tertentu yang dianggap “aneh” atau “menyimpang” dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat bukan tanpa masalah (Abbas Langaji, TT). Salah satu persoalan yang muncul sebagai konsekuensi dan implikasi sosiologis penyebutan aliran “sempalan” atau “sektarian” terhadap suatu komunitas religius 6 Secara etimologi, istilah “sekte” dapat dihubungkan dengan kata dan bahasa Latin “sequi” yang berarti “to secare” (=memisahkan) atau “to cut” (=memotong). Namun demikian, istilah sekte sering digunakan dalam konotasi negatif. Menurut Hill, sekte adalah istilah yang dipergunakan secara luas untuk menyebut setiap kelompok yang memiliki pandangan berbeda dari pandangan umum atau mempunyai kepentingan yang sama. Term ini dipakai oleh kelompok filsafat, politik, termasuk agama. Secara khusus, kata “sekte” diperuntukkan untuk kelompok-kelompok agama yang terpisah (memisahkan diri) dari gereja dominan. Michael Hill, “Sect” dalam Mircea Eliade, Encyclopaedi of Religion, Vol. 13th (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1996), h. 154-155. 7 Menurut Martin van Bruinessen, istilah “sektarian” pertama kali diperkenalkan oleh alm. Abdurrahman Wahid sebagai pengganti splinter group. Kata splinter group tidak mempunyai konotasi yang khusus sebagai aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang memisahkan diri dari organisasi sosial atau partai politik. Untuk splinter group yang merupakan aliran agama kata yang lazim dipakai sebagai “sekte”. Lihat, Martin van Bruinessen, “gerakan Sempalan” h. 206; Rakyat kecil Islam dan Politik, anotasi nomor 1, h. 272. 47 adalah bahwa istilah “sempalan” atau “sektarian” mengandung konotasi negatif, sebab merupakan suatu protes terhadap pemisahan diri dari mayoritas sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Persoalannya kemudian adalah penyebutan aliran sempalan sebagai aliran yang menyimpang atau memisahkan diri dari satu aliran yang dipandang sebagai ortodoksi8 atau aliran mainstream-nya, maka ortodoksi yang mana bisa dijadikan tolok ukur untuk menetapkan penyimpangannya, karena “benar” atau “sesat” merupakan suatu hal yang relatif yang karenanya masih perlu didiskusikan bahkan diperdebatkan. Dalam diskusi atau perdebatan tentang aliran yang benar dan aliran yang sesat inilah akan muncul “aliran sesat versi siapa”. 8 Ortodoksi atau mainstream adalah aliran yang dianut oleh mayoritas umat --atau lebih tepatnya mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi, golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan yang tidak lepas dari pengaruh politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah paham yang didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tidak disetujui dicap sesat; “gerakan sempalan” sringkali merupakan penolakan paham dominan sekaligus merupakan proses sosial atau politik. Dalam konteks Islam Indonesia, ortodoksi diwakili oleh badanbadan ulama yang berwibawa seperti dan terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya, Nahdhatul ulama (NU) dengan Syuriahnya, serta tokoh-tokoh atau figur yang mengaku memiliki otoritas atau memproklamirkan diri sebagai orang atau kelompok pemegang otoritas. Apabila ortodoksi Islam dilihat dari aspek teologi, maka tentu saja teologi yang mayoritas dianut penduduklah yang disebut sebagai ortodoksi, sebaliknya semua aliran atau ajaran yang menyimpang atau bertentangan dengan ortodoksi tersebut akan dimasukkan dalam kelompok aliran sempalan atau sesat. Lihat, Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan Politik (Cet. II; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 243; lihat juga “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” dalam Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Ed. I. Cet.I: Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 209. 48 Dalam konteks Islam Indonesia, ortodoksi diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti dan terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya, Nahdhatul ulama (NU) dengan Syuriahnya, serta tokoh-tokoh atau figur yang mengaku memiliki otoritas atau memproklamirkan diri sebagai orang atau kelompok pemegang otoritas. Apabila ortodoksi Islam dilihat dari aspek teologi, maka tentu saja teologi yang mayoritas dianut penduduklah yang disebut sebagai ortodoksi, sebaliknya semua aliran atau ajaran yang menyimpang atau bertentangan dengan ortodoksi tersebut akan dimasukkan dalam kelompok aliran sempalan (Bruinessen, 1999: 243; Asep Gunawan 2004: 209).  Muslim Syi’ah Fakta menunjukkan bahwa komunitas Syiah ada di seluruh Dunia Islam, dan tak ada satu pun negara Islam yang memfatwakan Syiah sebagai mazhab sesat apalagi kafir dan di luar Islam. Kaum Syiah tak pernah dianggap sebagai bukan bagian kaum Muslim sebagaimana terbukti dari keleluasaan mereka untuk melakukan ibadah haji dan umrah ke Tanah Suci Makkah dan Madinah. Para penganut Mazhab Syiah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh umat Islam sebagaimana terbukti keikutsertaan mereka dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabithah Al‘Alam Al-Islami Organisasi Parlemen-Parlemen Dunia Islam (PUIC), Majma’ Taqrib, Tajammu’ Ulama’ Al-Muslimin, dan yang paling terbaru adalah Deklarasi Makkah 14-15 Agustus 2012 dalam KTT Luar Biasa OKI di Kota Makkah Al Mukarrahmah. Mazhab Islam Syiah telah dipertegas sebagai bagian tak terpisahkan dari tubuh umat Islam dalam berbagai deklarasi ulama Muslim dunia, seperti Deklarasi Amman, Deklarasi Makkah, dan Fatwa Al-zhar Al-Syarif. Ulama Ahlus Sunnah dan syaikh-syaikh AlAzhar, yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, dan Syaikh Abu Zahrah, dan tak terhitung ulama besar Ahlus Sunnah 49 lainnya, jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara Ahlus Sunnah. Kerajaan-kerajaan Islam Syiah, seperti Dinasti Fathimiyyah, Idrisiyyah, Buwahyi, bahkan kerajaan-kerajaan Islam Syiah di Nusantara, seperti Perlak turut menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah peradaban Islam.Fakta menunjukkan bahwa Syiah telah ada sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Hal ini telah diakui para sejarawan nasional dalam berbagai buku sejarah nasional Indonesia. Sejumlah tradisi Syiah, seperti tabut, tari saman, dan suro merupakan bagian integral dari budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Di pesantren-pesantren Indonesia, beberapa buku ulama Syiah, seperti Nayl Al-Awthar karya Al-Syaukani, dan Subûl Al-Salam karya AlSyaukani dan Al-Shan’ani juga diajarkan. (Tim Ahlul Bait Indonesia, 2012:22-25). Di Indonesia terdapat dua Kubu besar kelompok Syiah yaitu, Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang merupakan wadah para alumni al Qum. Kubu ini dimotori oleh ICC Jakarta yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Republik Islam Iran (RII). LKAB membawai Yayasan Al Munthazar, Fathimah Aqilah, Ar Radiyah, Mulla Sadra, An Naqi, Al Kubra, Al Washilah, MT Ar Riyahi dan gerakan dakwah Al Husainy. LKAB berkantor di Jl. Bintaro KODAM Grand Bintaro Jaksel. Dan kubu kedua dipegang oleh IJABI (Munarman). IJABI tampak lebih pluralis. Hal ini terlihat dari beberapa tokoh Sunni yang menjadi pengikut IJABI. Kiblat IJABI, bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat (Munarman, 2012). Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah sebuah kelompok keagamaan yang baru di Indonesia. Namun keberadaannya seringkali ditolak oleh kelompok-kelompok Islam lain (kelompok mainstream), meskipun JAI telah mengaku sebagai bagian dari 50 kelompok umat Islam. Penyebabnya adalah adanya beberapa perbedaan dalam penafsiran ajaran Islam yang menjadikan JAI masuk dalam daftar ‘aliran sesat’ oleh kelompok Islam mainstream. dari sisi ajaran, metode penafsiran AlQur’an Ahmadiyah adalah kontektualisasi ajaran Islam sesuai dengan zamannya–misi besarnya adalah membuktikan bahwa ayat-ayat Al Quran sejalan dengan rasio dan perkembangan ilmu pengetahuan serta filsafat manusia modern, sehingga Islam mampu diterima oleh seluruh umat manusia.(Maliki, 2010:50) Sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, pertentangan dari kelompok Islam Suni terus terjadi, mulai dari pertentangan Ahmadiyah vs Persis, Ahmadiyah vs Muhammadiyah, hingga berujung pada Ahmadiyah vs Majelis Ulama Indonesia yang merupakan kumpulan kelompok organisasi Islam Suni di Indonesia. MUI yang mendeklarasikan diri sebagai perwakilan umat Islam seluruh Indonesia–minus Ahmadiyah tentu saja–dalam Musyawarah Nasional (Munas) II yang berlangsung di Jakarta pada 26 Mei-1 Juni 1980 mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Jemaat Ahmadiyah adalah jemaat di luar Islam, sesat dan menyesatkan (Zulkarnaen, 2006: 294). Fatwa ini dilandasi atas fatwa yang dikeluarkan oleh Rabithah Alam Islami–wadah para ulama yang tergabung dalam Liga Muslim Dunia, yang juga mengeluarkan fatwa yang sama terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam konferensi tahunannya di Mekah pada 6-10 April 1974 (Mustafa, et.al, 2005: 145). Fatwa dari dua lembaga–MUI dan Rabithah Alam Islami– didasarkan atas tiga hal yang dianggap menyimpang dalam ajaran Ahmadiyah: 1) kenabian Mirza Ghulam Ahmad; 2) perbedaan dalam penafsiran ayat-ayat Al Quran, bahwa tafsir Jemaat Ahmadiyah dikatakan menyimpang; 3) konsep jihad di mana Jemaat Ahmadiyah disebut telah menghapuskan jihad (Mustafa, et.al, 2005: 145). Fatwa yang muncul pada masa kekuasaan Orde Baru tersebut tidak menimbulkan polemik yang meluas di kalangan kelompok Islam, namun menjadi bermasalah ketika tahun 2005 MUI kembali 51 menguatkan fatwa tersebut mengingat semakin menguatnya dominasi kelompok Islam mainstrem di masa setelah tumbangnya Orde Baru. Keberadaan JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan pengesahan organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK Menteri Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No. JA 5/23/13 dan Tambahan Berita Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di Departemen Agama RI, Departemen Sosial, serta Departemen Dalam Negeri (Maliki, 2010:56). Namun, terbitnya SKB dan sejumlah peraturan lainnya tentang Ahmadiyah (Kontras, 2014) memang telah mengerdilkan JAI dengan membatasi hak-hak penganutnya untuk menjalankan keyakinan mereka yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Sebagai badan hukum resmi, seharusnya JAI mendapatkan hak-hak yang sama dengan lembaga lain yang juga berbadan hukum. Penutup Keberadaan agama/kepercayaan lokal dan aliran-aliran keagamaan di Indonesia menjadi fakta yang tidak dapat dielakkan. Indonesia memang bukan negara agama, namun penduduk Indonesia mendasarkan diri pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua tentu berharap, Realitas keberagamaan yang sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia harus tetap dijaga demi keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Agama-agama lokal dan aliran-aliran keagamaan yang hingga saat ini masih eksis di Indonesia menerima segala bentuk penataan atau konstruk negara terhadapnya. Namun, penataan negara terhadap agama merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Oleh karena itu, kebijakan negara tersebut perlu ditinjau kembali untuk memastikan adanya ruang yang cukup bagi realitas keberagamaan yang majemuk di Indonesia. Daftar Pustaka Asnawati. 2011. Penganut Paham Boda Sasak Menjadi Buddha di Lombok Utara dalam Perkembangan Paham Keagamaan 52 Lokal Di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Bruinessen, Martin. 1992. "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian movements in Indonesian Islam: Social and cultural background"), Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27 __________, 1999. Rakyat Kecil, Islam dan Politik.Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya Djatikusumah, P., 2011. “Posisi Penghayat Kepercayaan” dalam Masyarakat Plural di Indonesia,”dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP dan KOMPAS, ), h. 368-374. Gunawan, Asep (ed.), 2004.“Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” dalam Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah Jakarta: Raja Grafindo Persada Hasse J et al. 2012. “Penaklukan Negara Atas Agama Lokal: Kasus Towani Tolotang di Sulawesi Selatan.” Al- Ulum 12: 335354. Kontras, 2014. Pelanggaran Ham dan Pelanggaran Ham Berat Dalam Kasus฀kasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan Beribadah di Indonesia. Jakarta: Solidaritas Perempuan. Khalikin, Ahsanul 2011. Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan Tengah dalam Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Kombong, et.al., 1992. Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaannya dengan Injil. Pusbang-Badan pekerja Sinode gereja Toraja 53 Langaji, Abbas. Tanpa Tahun. Dinamika Aliran Keagamaan Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Conference Proceedinggs Annual International on Islamic Studies (AICIS) XII Maliki, Dewi Nurrul. 2010. “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.” Journal of Political and Social Science 14: 47-62. Mudzhar, A., 2002, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munarman. 2012 Strategi Taktik Penyebaran Syi’ah di Indonesia, http://www.arrahmah.com/kajian-islam/5-strategi-taktikpenyebaran-aliran-syiah-indonesia-waspadalah.html# sthash.6lbXwBsV.dpuf diakses pada 22 Oktober 2015 Muttaqien, Ahmad. 2013. "Spiritualitas Agama Lokal: Studi Ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais di Cigugur Kuningan Jawabarat.” Jurnal Studi Lintas Agama 8: 89-102. Accessed March 10, 2015, http://ejournal.iainradenintan. ac.id/index.php/alYan/article/view/322 Mustafa, Februana, Indirani, dan Wahyuni. 2005. Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO. Reslawati. 2011. Perkembangan Keagamaan Aluk To Dolo di Tana Toraja Sulawesi Selatan dalam Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Rosyid, Moh. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Sonhaji, Musthofa. 1979. Deskripsi Masyarakat Samin, Proyek Pembinaan dan Bimbingan Aliran-Aliran Kepercayaan/ Faham-faham Keagamaan Departemen Agama, Jakarta 54 Suhanah. 2012. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah dalam Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan di Indonesia Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tolkhah, Imam. 2011. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia. Editor: Achmad Rosidi. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI). 2012. Buku Putih Mazhab Syi’ah Menurut Para Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait. Wahib, Abdul. 2001. Transformasi Sosial Keagamaan pada Masyarakat Samin, IAIN Walisongo Semarang. Zulkarnaen, Iskandar. 2006. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. 55 56