BAB 2
DINAMIKA PAHAM KEAGAMAAN
DI INDONESIA
Oleh Halimatusa’diah
Pendahuluan
S
ebagai negara dengan religiusitas yang majemuk, bangsa
Indonesia memperlihatkan juga sosok keragaman agama dan
kepercayaan yang sangat kaya dan variatif. Agama-agama besar
seperti Islam (dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia), Kristen
(Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha sudah lama eksis di Tanah
Air ini mempunyai komunitas penganut masing-masing. Selain
agama-agama besar tersebut, ada pula kepercayaan-kepercayaan lokal
yang banyak jumlahnya di Indonesia. Keberadaan kepercayaankepercayaan lokal yang banyak dipeluk oleh suku-suku di Indonesia.
Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat yang multi agama, atau apa yang disebut Tolkhah
(2011) sebagai “plural religiousity’. Keanekaragaman paham-paham
atau aliran-aliran kepercayaan, ajaran, amalan keberagamaan
mencerminkan keberagaman paham keagamaan di Indonesia.
Meskipun secara antropologis, kepercayaan-kepercayaan asli
Indonesia atau biasa disebut agama lokal, namun sampai saat ini
pemerintah belum memasukkan kepercayaan asli Indonesia tersebut
sebagai agama yang diakui sah untuk dipeluk oleh orang yang
meyakininya. Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan
kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama
dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran,
pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dan sebagainya.
Selain kelompok-kelompok paham keagamaan lokal,
religiusitas majemuk di Indonesia juga diwarnai oleh adanya aliranaliran keagamaan yang berada di bawah agama mainstream atau apa
31
yang disebut Bruinessen (1992:16) sebagai ‘gerakan sempalan’.
Istilah "gerakan sempalan" beberapa tahun terakhir ini menjadi
populer di Indonesia sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau
aliran agama yang dianggap menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan
atau pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari
kata "sekte" atau "sektarian". Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian,
Syi'ah, Baha'i, "Inkarus Sunnah", Darul Arqam (Malaysia), Jamaah
Imran, gerakan Usroh, adalah beberapa contoh yang terkenal di
Indonesia. Hampir semua aliran, faham dan gerakan yang pernah
dicap "sempalan", ternyata memang telah dilarang atau sekurangkurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama (Bruinessen,1992:16).
Studi ini dilakukan untuk menelusuri informasi tentang
perkembangan paham keagamaan di Indonesia. Tulisan ini bertujuan
untuk mendata, mengklasifikasi beberapa paham keagamaan lokal
dan juga aliran keagamaan yang ada di Indonesia. Karenanya, tiga hal
yang akan diulas dalam tulisan ini yaitu, agama-agama lokal yang
menginduk pada agama resmi pemerintah antara lain Agama
Kaharingan, Towani Tolotang, Aluk To Dolo, dan Boda Sasak,
bagian kedua akan mengulas aliran-aliran kepercayaan yang oleh
negara dimasukkan sebagai kategori penghayat kepercayaan1 seperti
1
Dalam konteks ini, Djatikusumah (2011:368-371) memberikan
definisi beberapa konsep keyakinan yang dilekatkan kepada kaum adat.
Beberapa konsep tersebut adalah Pertama, aliran kepercayaan. Dalam
pandangan kaum adat, yang dimaksud aliran kepercayaan adalah segala
sumber ajaran keyakinan yang berasal dari luar kelompok adat dan mengalir
“seperti sungai yang bercabang-cabang”, menyebar ke berbagai belahan
muka bumi sehingga terbentuk sebagai sekte-sekte atau kelompok-kelompok
aliran keyakinan yang berasal dari satu sumber ajaran dan kawasan tertentu.
Dalam pandangan mainstream, kelompok penganut aliran kepercayaan ini
dianggap, dan sering dihujat, sebagai kelompok ajaran yang menyimpangkan
atau menyesatkan “ajaran mainstream” kelompok mayoritas atau kelompok
dominan dari ajaran keyakinan dimaksud. “Penyesatan” atau “stigmatisasi”
ini menafikan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan setempat dengan
pengaruh penyebaran aliran atau ajaran kepercayaan pendatang tersebut.
Akibatnya tidak jarang kelompok ritual adat yang mengalami akulturasi
32
Parmalim, Madraisme (ADS), dan juga Kepercayaan Samin. Di
bagian ketiga, akan dibahas aliran-aliran keagamaan yang berada di
bawah agama mainstream yang dalam beberapa tahun ini sering
mendapat perlakuan intoleransi seperti Ahmadiyah dan Syi’ah.
Agama Lokal dan Pergulatan Posisional
Pendefinisian agama oleh Departemen Agama tahun 19612
menyebabkan
kelompok-kelompok
kepercayaan,
kebatinan,
masyarakat adat, penganut kepercayaan lokal, yang tersebar di
seluruh pelosok nusantara digolongkan sebagai orang yang “belum
beragama” atau dapat dikatakan sebagai belum memeluk salah satu
agama yang diakui negara. Tidak hanya itu, hal ini juga berimplikasi
pada penafian praktek-praktek keagamaan lokal serta cap “sesat dan
menyesatkan” terus mengiringi kelompok-kelompok ini. Namun, di
saat yang sama mereka justru juga diharapkan akan masuk dan
memeluk salah satu agama yang diakui negara. Hal ini membuat
budaya ajaran dengan “aliran kepercayaan” yang datang dari luar kelompok
adat tersebut, yang awalnya sebagai upaya penghargaan (pengistilahan lain
dari sinkretis), dianggap atau “dituduh” merusak “sistem keyakinan” dari
ajaran pendatang dimaksud. Tetapi memang ada pula “sejenis aliran
kepercayaan yang tidak berakar pada budaya adat atau bukan merupakan
akulturasi dengan budaya setempat”. Kelompok “aliran kepercayaan kedua”
ini yang secara dominan mengadopsi ajaran mainstream keagamaan
mayoritas dan menjadikannya sebagai warna baru dari ajaran mainstream
tersebut. Kedua, aliran kebatinan. Dalam pandangan kaum adat, aliran
kebatinan adalah doktrin atau ajaran yang lebih mengarah kepada “mengolah
kejiwaan” atau spiritual yang cenderung memakai metode-metode mistik,
magis, supranatural, dan sebagainya. Penekanan mistik pada kelompok
aliran kebatinan tidak jarang dinilai oleh orang awam aliran kebatinan
sebagai kelompok perdukunan, klenik, dan sebagainya. Penganut aliran
kebatinan tersebut biasanya membentuk suatu wadah atau organisasi formal.
Namun sering mengkategorikan mereka sebagai penganut “kepercayaan”
2
Suatu “agama”, menurut definisi itu, harus memuat unsur-unsur
penting ini: kepercayaan pada Tuhan Yang Mahaesa, ada nabi, kitab suci,
umat, dan suatu sistem hukum bagi penganutnya.
33
komunitas pengikut kepercayaan lokal menjadi menjadi kesulitan
untuk diakui sebagai agama. Tidak hanya itu, perjalanan kebijakan
negara selanjutnya sebagaimana tertuang dalam penjelasan PNPS
No.1 Tahun 1965 yang mengenal adanya agama yang “diakui”
membuat eksistensi agama lokal semakin menjadi persoalan yang
berkepanjangan.
Di masa Orde Baru, untuk membedakannya dengan lima
agama resmi yan diakui negara, pemerintah menyebutnya dengan
istilah “(aliran) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Sementara itu para penganut-nya berbeda satu dengan yang lain
dalam menyebut, ada yang cenderung menggunakan istilah aliran
kepercayaan, kebatinan, kerokhaniahan dan lain sebagainya. UU di
era Reformasi yang ada sekarang cenderung menggunakan istilah “
agama atau kepercayaan yang belum diakui berdasarkan ketentuan
perundang-undangan”. Secara akademis, selain sering dipakai istilah
“agama-agama lokal3” juga sering digunakan istilah indigenous
religions (CRCS 2008:22).
Lahirnya TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. Pada
penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dibina dan diarahkan untuk
mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup bermasyarakat.
Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan
kepada TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan
terhadap TYME adalah bukan agama dan oleh karena itu
pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan
3
Agama-agama lokal merupakan agama yang dianut oleh
masyarakat Indonesia jauh sebelum agama-agama ‘impor’ dikenal. Agama
ini (lokal) hadir di setiap kelompok masyarakat yang menampilkan wajah
yang berbeda dengan apa yang dianut di tempat tempat lain. Di beberapa
tempat seperti Jawa, meskipun arus Islam sangat kuat, tetapi sisa-sisa agama
orang terhadulu masih ada seperti Tengger, Samin, dan lain-lain (Nurudin,
2003; Rosyid, 2008).
34
agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu
agama yang diakui oleh negara. Pembinaan penganut kepercayaan
terhadap Tuhan YME merupakan tanggung jawab pemerintah dan
masyarakat.sebagaimana disebut Tolkhah (2011:3), berbagai agama
lokal seperti Kaharingan (Dayak), Aluk To Dolo (Tana Toraja)
karena ajarannya di pandang selaras dengan agama Hindu maka
mereka memperoleh pembinaan dari Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu, dan kelompok penganut faham keagamaan
Boda Sasak, karena dipandang dekat dengan agama Buddha maka
pembinaan di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Buddha.
Agama Kaharingan
Kebijakan rezim Orde Baru untuk memudahkan pengelolaan
dan penataan kehidupan keagamaan di Tanah Air membuat agama
Kaharingan sebagai agama asli (indigenous) yang secara khusus
dan ekslusif dipeluk oleh etnis Dayak di Kalimantan barat
dikelompokkan ke dalam agama Hindu. Diterimanya integrasi
Kaharingan ke dalam agama Hindu ditandai dengan dikeluarkannya
surat Parisada Hindu Dharma Kalimantan Tengah dengan Nomor
I/E/PHHKH/ 1980 tentang Pelaksanaan Upacara Keagamaan bagi
Umat Kaharingan. Surat edaran ini diputuskan untuk menjadi
pedoman bagi umat Kaharingan untuk melaksanakan upacara
keagamaan sesuai ajarannya. Dalam surat itu dinyatakan bahwa
pelaksanaan upacara umat Kaharingan tidak mengalami perubahan,
dilakukan seperti kebiasaan umat Kaharingan melakukan ritualnya.
Hal tersebut bertujuan untuk memelihara dan melestarikan tradisi
umat itu. Acara dan upacara keagamaan umat Hindu atau umat
Kaharingan dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan kitab
suci masing-masing (Kitab Weda dan Panaturan).
Namun, secara faktual, agama Kaharingan tidak sama dan
tidak identik dengan agama Hindu. Sistem atau kebiasaan
pemberian nama pada orang-orang Dayak, misalnya, tidak sama
dengan kebiasaan pemberian nama pada orang-orang Hindu yang
35
memakai Wayan, Nyoman, Putu, Ketut, I Gusti atau Tjokorde.
Tradisi ”ngaben” (pembakaran mayat) seperti yang terdapat pada
masyarakat Hindu Bali tidak terdapat pada masyarakat Dayak di
Kalimantan barat. Kesenian dan kebudayaan masyarakat Hindu
Bali yang bersumber dari agama Hindu tidak sama dengan
kesenian dan kebudayaan etnis Dayak yang bersumber dari
agama Kaharingan. Ringkas kata, agama Kaharingan secara
substansial tidak sama dengan agama Hindu.
Sementara itu, dari internal umat Kaharingan muncul
keinginan agar Kaharingan diakui sebagai agama resmi terpisah dari
agama Hindu. Dari sini muncul pro dan kontra internal Umat
Kaharingan. Menanggapi persoalan tersebut, ada yang menginginkan
tetap berintegrasi dengan Hindu terwadahi dalam Majelis Besar Alim
Ulama Kaharingan Indonesia (MBAUKI) yang dipimpin oleh Lewis,
KDR. Sedangkan yang berkeinginan untuk terpisah dari Hindu
tersebut dipimpin Lubis, S. Ag (Khalikin, 2011: 237-278).
Towani Tolotang
Towani Tolotang merupakan salah satu kelompok sosial yang
mendiami kelurahan Amparita lama (sekarang: Kelurahan Amparita,
Toddang Pulu, Baula, Arateng). Tolotang juga merupakan sebutan
bagi aliran kepercayaan yang mereka anut, namun kelompok ini
menurut asal usulnya bukanlah penduduk asli Amparita. Menurut asal
usulnya, nenek moyang Tolotang, berasal dari desa Wani sebuah desa
di Kabupaten Wajo (Khalikin, 2011: 220).
Pada tahun 1966, surat Menteri Agama No. BIII/3/1356/1966
menyatakan bahwa Towani Tolotang bukan sebuah agama. Surat
keputusan ini memperkuat keputusan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah daerah Sidenreng Rappang sebelumnya. Keputusan
Menteri Agama di atas dikuatkan lagi oleh keputusan Kementerian
Kejaksaan No. 152/Sospol-K/Pakem/15 km/1966 yang berisi tentang
perintah terhadap Kejaksaan Tinggi di Makassar untuk membubarkan
dan melarang agama Towani Tolotang (Mudzar, 2002: 192-194).
36
Pada Keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali/Budha No. 2/1966
disebutkan bahwa Towani Tolotang merupakan salah satu sekte
agama Hindu. Mengacu pada keputusan hukum tersebut, Towani
Tolotang otomatis menjadi bagian agama Hindu. Secara administrasi,
segala bentuk urusan berkiblat pada agama Hindu. Penggabungan
Towani Tolotang ke dalam agama Hindu didasarkan pada kenyataan
bahwa ia memiliki banyak kemiripan praktik keagamaan dengan
agama Hindu. Salah satu kemiripan praktik keagamaan Towani
Tolotang dengan agama Hindu adalah persembahan sesajian dalam
ritual yang dilakukan. Baik Towani Tolotang maupun Hindu
memposisikan sajen pada posisi penting dalam setiap ritual. Sesajian
Towani Tolotang pada pelaksanaan ritual mappenre’ nanre
merupakan unsur pokok dan penentu karena dianggap sebagai media
untuk menyampaikan permintaan kepada Dewata Seuwae. Demikian
pula dalam praktik Hindu, sesajian memiliki arti yang sangat penting
dalam setiap ritual yang dilakukan (Hasse J, 2012).
Pilihan Towani Tolotang terhadap Hindu sebagai agama
induk terjadi dalam waktu yang cukup lama. Afiliasi agama Towani
Tolotang menjadi bagian agama Hindu sebagai agama yang
memayunginya, pada satu sisi membatasi ruang gerak Towani
Tolotang untuk mempraktikkan ajaran- ajarannya. Ia harus tunduk di
bawah ‘arahan’ Hindu. Pada sisi lain, pilihan untuk menganut agama
Hindu memberikan peluang bagi Towani Tolotang baik ajaran
maupun komunitas untuk tetap eksis karena tidak ada lagi ruang
untuk mengganggunya karena secara formal telah berada di bawah
agama Hindu (Hasse J, 2012).
Aluk To Dolo
Paham keagamaan agama Aluk To Dolo di Tana Toraja
terbilang tidak begitu berkembang. Namun tradisi nilai-nilai Aluk To
Dolo tetap dilestarikan oleh masyarakat Tana Toraja sebagai
indentitas dan ciri khas mereka. Tradisi budaya dirasa lekat dengan
kehidupan keagamaan sehingga dapat dikatakan pada setiap upacara
adatnya berbalut dengan ritual keagamaan, seperti upacara Rambu
37
Solo’ dan Rambu Tuka’. Upacara adat dan keagamaan ini menarik
minat wisatawan domestik dan macanegara untuk berkunjung ke
Tana Toraja.
Dalam Mitologi Toraja, Aluk to Dolo”diyakini berasal dari
alam atas atau alam para dewa dilangit. “Aluk” telah tersusun di
langit, bahkan dewa-dewa juga mengikuti dan setia pada ikatan
“aluk” yang juga berfungsi sebagai tata cara yang akan memimpin
kearah terang. Hal ini tampak dari ungkapan “anna bendan tutungan
bia’ tunannang tendanan ma’lan a-lana” yang berarti “maka berdirilah
nyala obor, tegaklah tongkat yang berkobar-kobar”. Obor merupakan
kiasan untuk suatu penunjuk jalan yang akan membimbing pada suatu
arah kebaikan atau kebenaran. Jumlah “aluk” adalah 7777777 (dalam
versi lain menyatakan 7777), di mana jumlah tersebut mengandung
pengertian sempurna atau lengkap (Kombong, et.al., 1992).
Mitologi Toraja menunjukkan bahwa “aluk” merupakan model
tentang Sistem kehidupan para Dewa yang langsung berasal dari
“Puang Matua” atau “Sang Pencipta” yang kemudian akan
diwujudkan di bumi. “Aluk” lalu diwariskan secara turun temurun
kepada generasi-generasi selanjutnya melalui tradisi lisan atau
bertutur.. Oleh karena itu, “aluk” juga disebut “sluk nene” atau
serangkaian petunjuk dari para leluhur. Sebagai tuntunan berperilaku,
setiap “aluk” berisi serangkaian petunjuk dan larangan atau “pemali”.
Oleh karena itu, orang Toraja yakin bahwa segala sesuatu harus diatur
berdasarkan “aluk”. Jika mengingkari “aluk”maka segala sesuatu
akan sia-sia dan tidak akan membawa hasil yang baikserta mendapat
pembalasan dari dewa-dewa. Dengan demikian “aluk” merupakan
norma yang harus ditaati masyarakat dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itu, “Aluk” kemudian dianggap sebagai “ada” atau adat.
Kepatuhan pada ajaran adat akan menghindarkan dari berbagai
kemungkinan untuk melanggar ajaran nenek moyang dan akan
membawa keselamatan bagi kehidupan mereka. Pelanggaran terhadap
“aluk” dipercaya akan membawa konsekuensi negatif melalui
hukuman dari para dewa. Oleh karena itu dalam berbagai perilaku,
38
“aluk” merupakan “adat” dan “adat” merupakan “aluk” bagi
masyarakat Toraja (Kombong, et.al.,1992).
Berdasarkan SK Dirjen Bimas Hindu dan Buddha No.
Dd/M/200-VII/’69. Tanggal 15 Nopember 1969, Agama Aluk To
Dolo dimasukan menjadi penganut Agama Hindu di bawah naungan
Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, dan menunjuk petugas khusus yang
dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintah yang mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan kepentingan umum beragama umat Hindu
asal Aluk To Dolo, yaitu Bato’ Rita Palimbong (B.R. Palimbong). Ia
bertugas atas nama Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Demi
keberlangsungan kehidupan masyarakat Aluk To Dolo, maka tidak
ada pilihan bagi mereka kecuali untuk bergabung dengan Parisadha
Hindu pada waktu itu, hingga saat ini. Mulai dari saat itu Agama
Aluk To Dolo di Tana Toraja disebut sebagai Agama Hindu dan
ditambahkan diujungnya dengan Alukta, sehingga disebut Hindu/
Alukta. (Reslawati, 2011:193)
Boda Sasak
Paham Boda bukanlah agama Buddha yang dibawa oleh
Sidharta Gautama, tetapi paham yang bertumpu pada anasir
Animisme, Dinamisme, Panteisme dan Antropomorfisme. Oleh sebab
itu pemujaan dan penyembahan pada roh-roh leluhur merupakan
fokus utama dari praktek keyakinan paham Sasak Boda. Ajaran Sasak
Boda, tidak mengenal konsep Nirwana dan Moksa, surga dan neraka,
tapi tampaknya lebih dekat dengan Islam, misalnya yang terkait
dengan kematian. Kesamaan antara keduanya terlihat pada acara
memandikan, membungkus (mengkafani). dan posisi meletakkan
jenazah ke liang lahat. Posisi badan jenazah yakni kepala terletak
disebelah utara, dengan muka menghadap sebelah barat (Islam:
Kiblat). Sementara sisi perbedaannya adalah dalam agama Islam tidak
menyertakan benda ke dalam keranda jenazah, sedangkan pada Buda,
sebelum di kafani di pakaikan pakaian. dan disertakan benda seperti
keris pusaka dan sebagainya, turut serta terkubur bersama jenazah.
39
Integrasi Buda (Boda) ke dalam agama Buddha terjadi pasca
peristiwa G30/S PKI 1965 dengan alasan kemiripan nama. Integrasi
itu tepatnya setelah tahun 1968, mereka (Boda) resmi menjadi
pemeluk agama Buddha (Gautama). Tokoh-tokoh agama Buddha pun
“turun gunung” mendekati mereka menjadi penganut Buddha yang
sejati. Masyarakat penganut Boda Sasak/Buda yang kini menjadi
penganut agama Buddha bermukim di wilayah Kabupaten Lombok
Utara dan tersebar diberbagai desa seperti desa Bentek kecamatan
Gangge, desa Tegal Maja kecamatan Tanjung atau di desa Pemenang
kecamatan Pemenang, banyak orang Buda yang memilih agama
Buddha Gautama. (Asnawati, 2011: 279).
Sebelum tahun 1960-an umumnya di Lombok Barat,
masyarakat Sasak Boda senantiasa melaksanakan upacara tradisi
Lombok seperti: Upacara Pujawali (yaitu seperti upacara kumpulkumpul dan kemudian do’a bersama di suatu tempat) dan disana ada
altar yang terbuat dari bambu yang dilengkapi dengan sarana pujapuja dan puji-pujian. Ada kesamaannya dengan sarana puja bagi
agama Hindu yang juga menggunakan bunga, buah-buahan dan
jajanan pasar, juga bubur merah, bubur putih, wajik putih, wajik
merah, nasi kuning dan lampu minyak kelapa (yang dibuat seperti
lilin), kemenyan tapi tidak memakai dupa.
Para penganut paham Boda saat ini umumnya secara resmi
dan tertulis dalam KTPnya sebagai penganut agama Buddha
meskipun dalam pelaksanaan ritual keagamaannya mereka pasif. Tapi
umumnya bagi masyarakat awam, belum begitu memahami ajaran
Buddha secara utuh, namun demikian pembinaan keagamaan tetap
berjalan dengan baik Kehadiran mereka ke Vihara tidak ada unsur
paksaan, semufa dilakukannya karena kesadaran. Dalam menjalankan
keagamaan bagi kalangan penganut Buddha yang berasal dari paham
Sasak Buda, masih banyak mengikuti ajaran tradisi.(Asnawati, 2011:
293).
40
Penghayat Kepercayaan dan Eksistensinya di Indonesia
Dalam Undang-undang, tidak dijelaskan definisi penghayat
kepercayaan, meski disebut penjelasannya ada dalam PP Nomor 37
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan. Penghayat terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang
yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.4 Namun kategori ini sepertinya juga
tidak menegeskan beda antara “kepercayaan”, “agama lokal”,
“kepercayaan lokal”, “agama tradisional”.
Karena dinilai tidak memenuhi “unsur-unsur” agama
sebagaimana definisi Deprtemen Agama, penghayat kepercayaan
sebagai istilah yang dipakai dalam Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan memang berusaha diletakan dalam
kategori kepercayaan. Tapi uniknya, Undang-undang ini justru
menganggapnya sebagai agama yang belum diakui.5
Mereka, yang oleh ketetapan tersebut disebut sebagai para
penganut penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
cenderung disikapi secara absolut terpisah dari kelompok penganut
konsepsi agama-agama maainstream. Bahkan tidak jarang yang
mengatakan masyarakat penghayat kepercayaan, karena merupakan
tradisi kepercayaan lokal, tidak tergolong dalam kelompok agama
sehingga “dicap” tidak “ber-Tuhan”. Dalam berikutnya, Kelompok
“penghayat kepercayaan” ini kemudian mengalami istilah pelabelan
sebagai “penghayat murni dan tidak murni”. Mereka yang
4
Lihat Pasal 1 ayat 19 PP Nomor 37 Tahun 2007 Tentang
Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan
5
Lihat UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Pasal 6 ayat (2): … Bagi Penduduk “yang agamanya belum diakui” sebagai
agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan.
41
terkategorikan sebagai “penghayat kepercayaan murni” adalah
mereka yang pada kolom agama di KTP-nya tidak mencantumkan
nama agama umum, sementara bagi mereka yang terkategorikan
sebagai “penghayat kepercayaan tidak murni” adalah mereka yang
mengukuhi ajaran budaya spiritual leluhur suku bangsanya tetapi
masih mencantumkan kolom agama umum pada KTPnya (tentunya
karena berbagai alasan: karena keterpaksaan dan situasi kondisi
politis atau administratif yang mengkondisikan seperti itu).
(Djatikusumah, 2011: 372 )
Keberadaan komunitas pengikut kepercayaan lokal seperti
Parmalim, Kaharingan dan lainnya dapat dilihat sebagai subaltern
(Asnawati, 2011:23). Konsep subaltern dalam berbagai kajian
poskolonial disebut sebagai sebuah komunitas yang hadir di ruang
publik tapi tidak pernah diakui. Dalam konteks paham keagamaan
lokal, hal ini terjadi karena subaltern dipandang sebagai kelompok
yang berada dalam kegelapan, tersesat dan bahkan dianggap “belum
beragama”. Dalam peraktek sosial, mereka tidak bisa mendefinisikan
dirinya sendiri, dan keberadaannya malah didefinisikan oleh orang
lain. Sistem kepercayaan yang dianut tidak disebut berasal dari
Tuhan, tapi sebagai produk kebudayaan manusia sendiri. Cara
pandang seperti ini merupakan daya dan upaya untuk mendeligitimasi
eksistensi kepercayaan ketuhanan sehingga mereka disebut belum
beragama (Asnawati, 2011).
Kepercayaan Parmalim
Parmalim adalah agama asli etnis Batak yang tumbuh dan
berkembang di tanah Batak Sumatera Utara. Masyarakat Batak,
percaya bahwa sebelum kedatangan Islam dan Kristen di tanah Batak,
semua masyarakat Batak memeluk agama ini. Namun di abad 19
bersamaan dengan masuknya agama Kristen dan Islam, pengikut
agama ini semakin menurun, bahkan sangat drastis. Dalam tempo
hanya sekitar satu abad, pengikut agama Parmalim tinggal eksis
secara meyakinkan hanya di Desa Laguboti Kabupaten Samosir.
Sementara di tempat lain hanya sedikit yang menjadi pengikut agama
42
Parmalim. Parmalim berasal dari kata Par-Malim atau Par-Ugamo
Malim. Parmalim adalah pengikut sebuah lembaga keagamaan
Ugamo Malim. Parmalim ini sebenarnya ada tiga aliran yaitu aliran
Raja Ungkap Naipos-pos berpusat di Hutatinggi, aliran Parmalim
Baringin berpusat di Pangururan dan aliran Raja Omat Manurung
berpusat di Sigaol Porsea.
Secara antropologis, Parmalim layak menjadi sebuah agama
resmi sebab dalam Parmalim terdapat nilai-nilai religius yang
bertujuan menata pola kehidupan manusia menuju keharmonisan,
baik sesama maupun kepada Pencipta. Secara ilmu sosial tujuan ini
mengandung nilai luhur. Hanya saja, peraturan pemerintah
membantah advokasi tersebut dengan alasan masih adanya berbagai
kejanggalan. Para pemeluk keyakinan ini menyebut dirinya sebagai
pengikut Raja Sisingamangaraja XII. Bahkan mereka meyakininya
sebagai salah seorang Rasul yang diutus Tuhan (Debata Mulajadi
Nabolon). Parmalim tersebar propinsi Sumatra Utara, seperti di
Kecamatan Pintupohan Meranti Tobasa, Tanah Datar Asahan, Jangga
Tobasa, Onanganjang-Humbahas, Panamparan Tobasa dll. Ada juga
yang pada tahun 1955 mengorganisir Golongan Siraja Batak yang
gagal ikut Pemilu tahun 1955. Ada pula secara politis mengorganisir
PAMBI/PABBI yang menyebut diri sebagai Persatuan Agama Malim
Batak Indonesia dan mengikuti Pemilu tahun 1955. Golongan Si Raja
Batak pada sekitar tahun 80-an menyebut diri menjadi Parmalim
Marsada, tetapi kemudian bergabung dengan sebuah lembaga yang
menggunakan nama Raja Sisingamangaraja XII.
Penganut Parmalim secara umum telah mengalami stagnasi.
Namun, tradisi adat mereka dapat dipertahankan oleh para
pengikutnya. Kebijakan pemerintah menyangkut pelayanan hak-hak
sipilnya belum mencerminkan implementasi dari UU No. 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sampai hari ini belum
tertera di kartu tanda penduduk (KTP) yang mencantumkan agama
mereka. Akta kelahiran dan pencatatan nikah juga belum dilayani
oleh pemerintah meskipun sudah ada perintah dari undang-undang.
Dalam perjalanan sejarah itu Parmalim diperlakukan layaknya sebuah
43
komunitas warga negara kelas dua yang tidak layak hidup di
Indonesia, bahkan di tanah kelahirannya sendiri di dataran tinggi
Toba atau tanah Batak. Padahal keberadaan Parmalim telah ada sejak
Indonesia belum merdeka dan memiliki andil sangat besar dalam
perang mengusur melawan Belanda. (Asnawati, 2011: 11-58)
Kepercayaan Sedulur Sikep (Samin)
Gerakan Samin adalah gerakan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Gerakan tersebut terjadi di beberapa
daerah di Indonesia, terutama pada abad ke 18 dan 19. Data sejarah
nampak bahwa perlawanan-perlawanan tersebut dipimpin oleh orangorang dari golongan tertentu dalam masyarakat. Di antara mereka
yang melakukan perlawanan itu adalah Samin Surosentiko. (Wahib,
2001: 1).
Samin berarti sami-sami amin (dalam bahasa Jawa) atau
sama-sama bermufakat dalam melakukan sesuatu untuk mencapai
kesejahteraan yang menunjukkan bahwa manusia sama derajatnya.
Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa komunitas mereka tidak
lebih rendah dari komunitas lainnya.Samin atau Saminisme dan
masyarakat Samin adalah fenomena yang unik. Nilai uniknya terletak
pada beberapa hal, antara lain adalah saminisme pertama kali muncul
sebagai aksi moral yang dilakukan oleh Samin Surosentiko melawan
penjajahan Belanda. Tetapi pada tahap perkembangan berikutnya aksi
moral Samin Surosentiko menjadi gerakan kultural dan bahkan tak
dapat dipungkiri Samin telah berhasil menggulirkanideologi baru
yang khas Samin yakni Saminisme. (Suhanah, 2012: 179)
Keunikan yang lain adalah Samin selalu diidentikkan dengan
keluguan yang bodoh, tetapi dengan kebodohannya itu juga sangat
cerdik. Disebut lugu yang bodoh karena mereka dapat berkomunikasi
secara lugas, mereka seolah-olah tidak mengenal bahasa politik.
Begitu juga kebodohan yang cerdik dan dengan bahasa yang lugas
mereka mampu memperdaya pemerintah penjajahan Belanda. Selain
itu, dikatakan juga bahwa para pengikut Samin bukanlah orang-orang
44
yang berpendidikan (well educated), dan para pengikutnya adalah
orang-orang desa yang tidak terdidik secara baik dan juga tidak
memiliki pengalaman untuk mengorganisasikan diri secara efektif.
(Wahib, 2001: 2).
Bagi komunitas Samin tidak memiliki tempat ibadat khusus,
karena mereka bersamedi boleh di mana saja, terkecuali sekarang ini
memiliki “Balai Padepokan Karang Pace” untuk mereka melakukan
upacara ritual. Dalam kehidupan sehari-harinya, pengikut Samin
melakukan sembahyang dengan cara Samedi selama 2 atau 3 menit
dan cara sembahyang yang dilakukan orang Samin adalah menghadap
ke timur, dengan cara Samedi, sehari 4 kali yaitu pagi jam 06.00,
berarti matahari terbit, jam 12.00 siang berarti matahari pas di atas,
jam 18.00 berarti matahari terbenam dan jam 24.00 berati pergantian
hari. Dengan niatnya “ingsun wang wung durung dumadi konone
namung gusti” (Suhanah, 2012: 188).
Komunitas kepercayaan Samin memiliki kitab suci yang
tersimpan dalam 5 buku yang disebut “Serat Jamus Kalimasada” yang
antara lain adalah Serat Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajaten,
Serat Uri-Uri Pambudi, Serat Jati Sawit dan Serat Lampahing Urip.
Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan kedua
tokoh Samin yang ada di Kabupaten Blora mengatakan bahwa,
kepercayaan Samin sampai sekarang ini belum memiliki kitab suci.
Dikatakan tidak memiliki kitab suci karena komunitas Samin pada
umumnya buta huruf dalam artian tidak pandai membaca dan menulis
dan kebanyakan mereka tidak bersekolah, pengetahuan hanya di dapat
melalui turun temurun dan cukup didapat dari rumah. (Sonhaji, 1979:
49)
Samin bukan merupakan agama, melainkan sebuah
kepercayaan lokal yang menyebar di beberapa daerah, khususnya di
Jawa. Keberadaan komunitas Samin tidak meresahkan masyarakat
sekitar, karena ajaran dasarnya yang ditonjolkan adalah tentanf budi
pekerti, di mana masyarakat samin sangat memegang teguh sifat
45
tolong menolongnya, kejujurannya
kerukunannya (Suhanah, 2012: 202)
dan
sangat
kuat
asas
Agama Djawa Sunda (Madraisme)
Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula
sebagai Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais
Alibasa Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan
Gebang Pangeran Alibasa. Sedangkan menurut cucunya yang masih
hidup, Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari
Muhammad Rais, sebuah nama yang identik dengan kultur Islam.
Ajaran Madrais merupakan sebuah ajaran yang mendasarkan
ajarannya pada ajaran asli Sunda atau yang dikenal dengan Sunda
wiwitan, Konsep ajaran Sunda Wiwitan ini memiliki sebuah konsep
yang dikenal dengan Pikukuh tilu yang menekankan kesadaran tinggi
kodrat ,manusia (cara cirri manusa), kodrat kebangsaan (cara cirri
bangsa), serta mengabdi kepada yang seharusnya (madep ka ratu
raja). Disamping ajaran dasar Pikukuh Tilu diatas, ajaran Sunda
wiwitan aliran Madrais adalah membangkitkan rasa kepercayaan dan
membangkitkan rasa kemanusiaan yang konsepnya ini dikenal
sebagai “Jati Sunda”. Pemerintah Hindia Belanda hingga rezim Orde
Baru menyebut ajaran itu dengan sebutan Ajaran Djawa Sunda (ADS)
yang merupakan kependekan dari “andjawat lan andjawab roh susunsusun kang den tunda” atau memilih dan menyaring roh kehidupan
alam untuk menyempurnakan menjadi roh insan. Konsep ini cara
pandang yang sangat luas dalam wawasan kebangsaan dan
kemanusiaan melalui ajaran yang menyangkut “Cara dan Ciri
Manusia” yang meliputi: welas asih (cinta kasih), tata krama (aturan
berperilaku), undak-usuk (etika bersikap), budi daya-daya budi
(kreativitas dan sopan santun berbahasa), wiwaha yuda na raga (sikap
bijak dan penuh pertimbangan) serta “Cara dan Ciri Bangsa” yang
meliputi: rupa, aksara, adat, dan budaya (Muttaqien 2013).
46
Gerakan Sempalan
Menilik Syi’ah dan Ahmadiyah di Indonesia
Istilah "gerakan sempalan" menjadi populer di Indonesia
sebagai sebutan untuk berbagai gerakan atau aliran agama yang
dianggap "aneh", alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan atau
pendirian mayoritas umat. Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata
"sekte"6 atau "sektarian"7. Meminjam istilah Martin van Bruinessen
gerakan sempalan adalah gerakan yang menyimpang atau
memisahkan diri dari ortodoksi atau "mainstream"(Bruinessen, 1992).
Penyebutan “aliran sempalan” terhadap komunitas penganut
aliran keagamaan tertentu yang dianggap “aneh” atau “menyimpang”
dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat bukan
tanpa masalah (Abbas Langaji, TT). Salah satu persoalan yang
muncul sebagai konsekuensi dan implikasi sosiologis penyebutan
aliran “sempalan” atau “sektarian” terhadap suatu komunitas religius
6
Secara etimologi, istilah “sekte” dapat dihubungkan dengan kata
dan bahasa Latin “sequi” yang berarti “to secare” (=memisahkan) atau “to
cut” (=memotong). Namun demikian, istilah sekte sering digunakan dalam
konotasi negatif. Menurut Hill, sekte adalah istilah yang dipergunakan secara
luas untuk menyebut setiap kelompok yang memiliki pandangan berbeda
dari pandangan umum atau mempunyai kepentingan yang sama. Term ini
dipakai oleh kelompok filsafat, politik, termasuk agama. Secara khusus, kata
“sekte” diperuntukkan untuk kelompok-kelompok agama yang terpisah
(memisahkan diri) dari gereja dominan. Michael Hill, “Sect” dalam Mircea
Eliade, Encyclopaedi of Religion, Vol. 13th (New York: Simon & Schuster
Macmillan, 1996), h. 154-155.
7
Menurut Martin van Bruinessen, istilah “sektarian” pertama kali
diperkenalkan oleh alm. Abdurrahman Wahid sebagai pengganti splinter
group. Kata splinter group tidak mempunyai konotasi yang khusus sebagai
aliran agama, tetapi dipakai untuk kelompok kecil yang memisahkan diri
dari organisasi sosial atau partai politik. Untuk splinter group yang
merupakan aliran agama kata yang lazim dipakai sebagai “sekte”. Lihat,
Martin van Bruinessen, “gerakan Sempalan” h. 206; Rakyat kecil Islam dan
Politik, anotasi nomor 1, h. 272.
47
adalah bahwa istilah “sempalan” atau “sektarian” mengandung
konotasi negatif, sebab merupakan suatu protes terhadap pemisahan
diri dari mayoritas sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim
monopoli atas kebenaran, dan fanatisme. Persoalannya kemudian
adalah penyebutan aliran sempalan sebagai aliran yang menyimpang
atau memisahkan diri dari satu aliran yang dipandang sebagai
ortodoksi8 atau aliran mainstream-nya, maka ortodoksi yang mana
bisa dijadikan tolok ukur untuk menetapkan penyimpangannya,
karena “benar” atau “sesat” merupakan suatu hal yang relatif yang
karenanya masih perlu didiskusikan bahkan diperdebatkan. Dalam
diskusi atau perdebatan tentang aliran yang benar dan aliran yang
sesat inilah akan muncul “aliran sesat versi siapa”.
8
Ortodoksi atau mainstream adalah aliran yang dianut oleh
mayoritas umat --atau lebih tepatnya mayoritas ulama; dan lebih tepat lagi,
golongan ulama yang dominan. Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah
Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan yang tidak
lepas dari pengaruh politik. Dalam banyak hal, ortodoksi adalah paham yang
didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tidak disetujui dicap sesat;
“gerakan sempalan” sringkali merupakan penolakan paham dominan
sekaligus merupakan proses sosial atau politik. Dalam konteks Islam
Indonesia, ortodoksi diwakili oleh badanbadan ulama yang berwibawa
seperti dan terutama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, Nahdhatul ulama (NU) dengan Syuriahnya, serta
tokoh-tokoh atau figur yang mengaku memiliki otoritas atau
memproklamirkan diri sebagai orang atau kelompok pemegang otoritas.
Apabila ortodoksi Islam dilihat dari aspek teologi, maka tentu saja teologi
yang mayoritas dianut penduduklah yang disebut sebagai ortodoksi,
sebaliknya semua aliran atau ajaran yang menyimpang atau bertentangan
dengan ortodoksi tersebut akan dimasukkan dalam kelompok aliran
sempalan atau sesat. Lihat, Martin van Bruinessen, Rakyat Kecil, Islam dan
Politik (Cet. II; Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 243; lihat
juga “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar
Belakang Sosial Budaya” dalam Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam
Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Ed. I. Cet.I: Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 209.
48
Dalam konteks Islam Indonesia, ortodoksi diwakili oleh
badan-badan ulama yang berwibawa seperti dan terutama Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya,
Nahdhatul ulama (NU) dengan Syuriahnya, serta tokoh-tokoh atau
figur yang mengaku memiliki otoritas atau memproklamirkan diri
sebagai orang atau kelompok pemegang otoritas. Apabila ortodoksi
Islam dilihat dari aspek teologi, maka tentu saja teologi yang
mayoritas dianut penduduklah yang disebut sebagai ortodoksi,
sebaliknya semua aliran atau ajaran yang menyimpang atau
bertentangan dengan ortodoksi tersebut akan dimasukkan dalam
kelompok aliran sempalan (Bruinessen, 1999: 243; Asep Gunawan
2004: 209).
Muslim Syi’ah
Fakta menunjukkan bahwa komunitas Syiah ada di seluruh
Dunia Islam, dan tak ada satu pun negara Islam yang memfatwakan
Syiah sebagai mazhab sesat apalagi kafir dan di luar Islam. Kaum
Syiah tak pernah dianggap sebagai bukan bagian kaum Muslim
sebagaimana terbukti dari keleluasaan mereka untuk melakukan
ibadah haji dan umrah ke Tanah Suci Makkah dan Madinah.
Para penganut Mazhab Syiah telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari tubuh umat Islam sebagaimana terbukti keikutsertaan
mereka dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabithah Al‘Alam Al-Islami Organisasi Parlemen-Parlemen Dunia Islam (PUIC),
Majma’ Taqrib, Tajammu’ Ulama’ Al-Muslimin, dan yang paling
terbaru adalah Deklarasi Makkah 14-15 Agustus 2012 dalam KTT
Luar Biasa OKI di Kota Makkah Al Mukarrahmah.
Mazhab Islam Syiah telah dipertegas sebagai bagian tak
terpisahkan dari tubuh umat Islam dalam berbagai deklarasi ulama
Muslim dunia, seperti Deklarasi Amman, Deklarasi Makkah, dan
Fatwa Al-zhar Al-Syarif. Ulama Ahlus Sunnah dan syaikh-syaikh AlAzhar, yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al-Ghazali,
dan Syaikh Abu Zahrah, dan tak terhitung ulama besar Ahlus Sunnah
49
lainnya, jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara
Ahlus Sunnah.
Kerajaan-kerajaan Islam Syiah, seperti Dinasti Fathimiyyah,
Idrisiyyah, Buwahyi, bahkan kerajaan-kerajaan Islam Syiah di
Nusantara, seperti Perlak turut menjadi bagian tak terpisahkan dari
sejarah peradaban Islam.Fakta menunjukkan bahwa Syiah telah ada
sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Hal ini telah diakui para
sejarawan nasional dalam berbagai buku sejarah nasional Indonesia.
Sejumlah tradisi Syiah, seperti tabut, tari saman, dan suro merupakan
bagian integral dari budaya dan jati diri bangsa Indonesia. Di
pesantren-pesantren Indonesia, beberapa buku ulama Syiah, seperti
Nayl Al-Awthar karya Al-Syaukani, dan Subûl Al-Salam karya AlSyaukani dan Al-Shan’ani juga diajarkan. (Tim Ahlul Bait Indonesia,
2012:22-25).
Di Indonesia terdapat dua Kubu besar kelompok Syiah yaitu,
Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang merupakan wadah
para alumni al Qum. Kubu ini dimotori oleh ICC Jakarta yang
merupakan perpanjangan tangan pemerintah Republik Islam Iran
(RII). LKAB membawai Yayasan Al Munthazar, Fathimah Aqilah,
Ar Radiyah, Mulla Sadra, An Naqi, Al Kubra, Al Washilah, MT Ar
Riyahi dan gerakan dakwah Al Husainy. LKAB berkantor di Jl.
Bintaro KODAM Grand Bintaro Jaksel. Dan kubu kedua dipegang
oleh IJABI (Munarman). IJABI tampak lebih pluralis. Hal ini terlihat
dari beberapa tokoh Sunni yang menjadi pengikut IJABI. Kiblat
IJABI, bukanlah ke Iran, melainkan Marja Lebanon di bawah
pimpinan Ayatollah Sayyed Mohammad Hussein Fadlallah. Tokoh
utama di Indonesia adalah Dr Jalaluddin Rahmat (Munarman, 2012).
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) bukanlah sebuah
kelompok keagamaan yang baru di Indonesia. Namun keberadaannya
seringkali ditolak oleh kelompok-kelompok Islam lain (kelompok
mainstream), meskipun JAI telah mengaku sebagai bagian dari
50
kelompok umat Islam. Penyebabnya adalah adanya beberapa
perbedaan dalam penafsiran ajaran Islam yang menjadikan JAI masuk
dalam daftar ‘aliran sesat’ oleh kelompok Islam mainstream. dari sisi
ajaran, metode penafsiran AlQur’an Ahmadiyah adalah kontektualisasi
ajaran Islam sesuai dengan zamannya–misi besarnya adalah
membuktikan bahwa ayat-ayat Al Quran sejalan dengan rasio dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta filsafat manusia modern,
sehingga Islam mampu diterima oleh seluruh umat manusia.(Maliki,
2010:50)
Sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, pertentangan
dari kelompok Islam Suni terus terjadi, mulai dari pertentangan
Ahmadiyah vs Persis, Ahmadiyah vs Muhammadiyah, hingga
berujung pada Ahmadiyah vs Majelis Ulama Indonesia yang
merupakan kumpulan kelompok organisasi Islam Suni di Indonesia.
MUI yang mendeklarasikan diri sebagai perwakilan umat Islam
seluruh Indonesia–minus Ahmadiyah tentu saja–dalam Musyawarah
Nasional (Munas) II yang berlangsung di Jakarta pada 26 Mei-1 Juni
1980 mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Jemaat
Ahmadiyah adalah jemaat di luar Islam, sesat dan menyesatkan
(Zulkarnaen, 2006: 294). Fatwa ini dilandasi atas fatwa yang
dikeluarkan oleh Rabithah Alam Islami–wadah para ulama yang
tergabung dalam Liga Muslim Dunia, yang juga mengeluarkan fatwa
yang sama terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam konferensi tahunannya
di Mekah pada 6-10 April 1974 (Mustafa, et.al, 2005: 145).
Fatwa dari dua lembaga–MUI dan Rabithah Alam Islami–
didasarkan atas tiga hal yang dianggap menyimpang dalam ajaran
Ahmadiyah: 1) kenabian Mirza Ghulam Ahmad; 2) perbedaan dalam
penafsiran ayat-ayat Al Quran, bahwa tafsir Jemaat Ahmadiyah
dikatakan menyimpang; 3) konsep jihad di mana Jemaat Ahmadiyah
disebut telah menghapuskan jihad (Mustafa, et.al, 2005: 145). Fatwa
yang muncul pada masa kekuasaan Orde Baru tersebut tidak
menimbulkan polemik yang meluas di kalangan kelompok Islam,
namun menjadi bermasalah ketika tahun 2005 MUI kembali
51
menguatkan fatwa tersebut mengingat semakin menguatnya dominasi
kelompok Islam mainstrem di masa setelah tumbangnya Orde Baru.
Keberadaan JAI telah diakui secara legal oleh negara dengan
pengesahan organisasi ini sebagai badan hukum melalui SK Menteri
Kehakiman RI tanggal 13 Maret 1953 No. JA 5/23/13 dan Tambahan
Berita Negara RI No.26 Tanggal 31 Maret 1953, terdaftar di
Departemen Agama RI, Departemen Sosial, serta Departemen Dalam
Negeri (Maliki, 2010:56). Namun, terbitnya SKB dan sejumlah
peraturan lainnya tentang Ahmadiyah (Kontras, 2014) memang telah
mengerdilkan JAI dengan membatasi hak-hak penganutnya untuk
menjalankan keyakinan mereka yang dijamin oleh Undang-Undang
Dasar. Sebagai badan hukum resmi, seharusnya JAI mendapatkan
hak-hak yang sama dengan lembaga lain yang juga berbadan hukum.
Penutup
Keberadaan agama/kepercayaan lokal dan aliran-aliran
keagamaan di Indonesia menjadi fakta yang tidak dapat dielakkan.
Indonesia memang bukan negara agama, namun penduduk Indonesia
mendasarkan diri pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua tentu
berharap, Realitas keberagamaan yang sudah menjadi ciri khas
bangsa Indonesia harus tetap dijaga demi keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia. Agama-agama lokal dan aliran-aliran keagamaan
yang hingga saat ini masih eksis di Indonesia menerima segala
bentuk penataan atau konstruk negara terhadapnya. Namun, penataan
negara terhadap agama merupakan salah satu bentuk diskriminasi.
Oleh karena itu, kebijakan negara tersebut perlu ditinjau kembali
untuk memastikan adanya ruang yang cukup bagi realitas
keberagamaan yang majemuk di Indonesia.
Daftar Pustaka
Asnawati. 2011. Penganut Paham Boda Sasak Menjadi Buddha di
Lombok Utara dalam Perkembangan Paham Keagamaan
52
Lokal Di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Bruinessen, Martin. 1992. "Gerakan sempalan di kalangan umat Islam
Indonesia: latar belakang sosial-budaya" ("Sectarian
movements in Indonesian Islam: Social and cultural
background"), Ulumul Qur'an vol. III no. 1, 1992, 16-27
__________, 1999. Rakyat Kecil, Islam dan Politik.Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya
Djatikusumah, P., 2011. “Posisi Penghayat Kepercayaan” dalam
Masyarakat Plural di Indonesia,”dalam Elza Peldi Taher
(ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70
Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP dan KOMPAS, ), h.
368-374.
Gunawan, Asep (ed.), 2004.“Gerakan Sempalan di Kalangan Umat
Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” dalam
Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode
Sejarah Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hasse J et al. 2012. “Penaklukan Negara Atas Agama Lokal: Kasus
Towani Tolotang di Sulawesi Selatan.” Al- Ulum 12: 335354.
Kontras, 2014. Pelanggaran Ham dan Pelanggaran Ham Berat Dalam
Kasuskasus Kebebasan Beragama, Berkeyakinan dan
Beribadah di Indonesia. Jakarta: Solidaritas Perempuan.
Khalikin, Ahsanul 2011. Agama Kaharingan pada Era Reformasi di
Kalimantan Tengah dalam Perkembangan Paham
Keagamaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Kombong, et.al., 1992. Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam
Perjumpaannya dengan Injil. Pusbang-Badan pekerja Sinode
gereja Toraja
53
Langaji, Abbas. Tanpa Tahun. Dinamika Aliran Keagamaan
Sempalan: Tinjauan Perspektif Sosiologi Agama, Conference
Proceedinggs Annual International on Islamic Studies
(AICIS) XII
Maliki, Dewi Nurrul. 2010. “Resistensi Kelompok Minoritas
Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.” Journal of
Political and Social Science 14: 47-62.
Mudzhar, A., 2002, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munarman. 2012 Strategi Taktik Penyebaran Syi’ah di Indonesia,
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/5-strategi-taktikpenyebaran-aliran-syiah-indonesia-waspadalah.html#
sthash.6lbXwBsV.dpuf diakses pada 22 Oktober 2015
Muttaqien, Ahmad. 2013. "Spiritualitas Agama Lokal: Studi Ajaran
Sunda Wiwitan aliran Madrais di Cigugur Kuningan
Jawabarat.” Jurnal Studi Lintas Agama 8: 89-102. Accessed
March
10,
2015,
http://ejournal.iainradenintan.
ac.id/index.php/alYan/article/view/322
Mustafa, Februana, Indirani, dan Wahyuni. 2005. Ahmadiyah:
Keyakinan yang Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa
TEMPO.
Reslawati. 2011. Perkembangan Keagamaan Aluk To Dolo di Tana
Toraja Sulawesi Selatan dalam Perkembangan Paham
Keagamaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI.
Rosyid, Moh. 2008. Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme
Lokal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Sonhaji, Musthofa. 1979. Deskripsi Masyarakat Samin, Proyek
Pembinaan dan Bimbingan Aliran-Aliran Kepercayaan/
Faham-faham Keagamaan Departemen Agama, Jakarta
54
Suhanah. 2012. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan
Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Blora, Jawa Tengah
dalam Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan di
Indonesia Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI.
Tolkhah, Imam. 2011. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di
Indonesia. Editor: Achmad Rosidi. Jakarta: Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI). 2012. Buku Putih Mazhab Syi’ah
Menurut Para Ulamanya yang Muktabar (Penjelasan
Ringkas-Lengkap untuk Kerukunan Umat). Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Ahlul Bait.
Wahib, Abdul. 2001. Transformasi Sosial Keagamaan pada
Masyarakat Samin, IAIN Walisongo Semarang.
Zulkarnaen, Iskandar. 2006. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia.
Yogyakarta: LKiS.
55
56