Academia.eduAcademia.edu

Demokratisasi di tunisia

REVOLUSI MENUJU DEMOKRATISASI: Pengalaman Tunisia Oleh: RIDWAN ROSDIAWAN Dosen STAIN Pontianak dan Mahasiswa Program Doktor SPs UIN Jakarta I PENDAHULUAN Jum’at pagi, 17 Desember 2010, hari berjalan normal seperti biasanya di kota Sidi Bouzid yang terletak 300 KM selatan ibukota Tunisia, Tunis. Seorang pemuda lajang 26 tahun memulai hari dengan mendorong gerobag sayur dan menjajakannnya keliling kota. Dia adalah Mohammed Bouazizi. Sudah lebih dari tujuh tahun dia merintis aktivitas berdagang kakilima dan menjadikannya sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Baginya, menjadi penjaja sayur keliling adalah sebuah capaian realistis di tengah himpitan kesulitan ekonomi dan sempitnya ketersediaan lapangan kerja yang menjadi fenomena umum di Tunisia. Bouazizi termasuk beruntung. Dengan usahanya, sarjana muda ini Banyak kontroversi seputar latar belakang pendidikan Mohammed Bouazizi. Ada yang menyebut dia hanya menyelesaikan studi sampai setingkat SMA saja, ada pula yang menyebutkan dia seorang sarjana penuh. Lihat misalnya BBC, “Tunisia Suicide Protester Mohammed Bouazizi Dies”, BBC News, 4 January 2011 mampu menghidupi 8 orang anggota keluarganya, sementara banyak sarjana-sarjana lain seangkatannya yang hanya hidup menganggur. Ketika matahari semakin meninggi di hari itu, usaha andalan Bouazizi terancam. Seorang polisi wanita menyita gerobak sayur dan semua barang dagangannya. Peristiwa penyitaan tersebut memang bukan yang pertamakali dialami Bouazizi, tetapi tampaknya menjadi yang terakhir. Jualan kakilima Bouazizi memang tak berizin, illegal, dan setiap di’razia’ biasanya dia harus membayar denda sebesar 10 dinar (sekitar 7 USD). Tetapi tampaknya situasi berjalan berbeda waktu itu. Si Polisi Wanita tidak mau menerima pembayaran denda. Bahkan, ia malah menampar Bouazizi, meludahi dan menghina almarhum ayahnya, sebelum akhirnya membawa seluruh barang dagangan Bouazizi berikut gerobagnya ke kantor Walikota. Merasa tak puas dan dipermalukan, Bouazizi pergi ke kantor provinsi untuk mengadukan peristiwa yang baru saja dialaminya. Namun tak ada satu petugas pun yang memperdulikannya. Semakin depresi, Bouazizi akhirnya menyiramkan bensin ke sekujur tubuh dan membakar dirinya di depan gedung provinsi tersebut. Narasi di atas bersumber dari Rania Abouzeid, “Bouazizi: The Man Who Set Himself and Tunisia on Fire”, TIME, Jan. 21, 2011 Aksi protes bakar diri Bouazizi akhirnya juga membakar amarah seluruh negeri yang menjelma menjadi gerakan revolusi menuntut diakhirinya rezim Zine el-Abidine Ben Ali yang telah berkuasa sebagai Presiden Tunisia selama lebih dari 23 tahun. Lebih dari itu, aksi Bouazizi dan rakyat Tunisia juga menginspirasi gerakan serupa di negara-negara lain di regional Timur Tengah. Di Mesir, revolusi rakyat berhasil menjatuhkan pemerintahan Mubarak. Di Libya, gerakan anti-Khadafy mengadakan perlawanan bersenjata. Begitu pula halnya di Sudan, Yaman, dan Bahrain. Kasus Bouazizi memang menjadi factor katalis (catalytic factor) bagi perubahan di Tunisia karena unsur kemiskinan, ketidakadilan, dan hegemoni negara terkonotasi didalamnya. Tetapi, jika melihat kondisi umum pemerintahan Ben Ali pra-kasus tersebut, revolusi Tunisia menjadi fenomena yang unik. Pemerintahan Ben Ali sedang dalam masa stabilitas yang mantap baik secara social, politis maupun ekonomis. Oleh karena itu, untuk memahami Revolusi di Tunisia diperlukan gambaran komprehensif seputar latar belakang social-politik di negara tersebut. Dan sebagaimana umumnya dalam perspektif pembahasan regional Timur Tengah, dua elemen dasar ideologis selalu menjadi focus: Islam dan Demokrasi. II PROFIL UMUM NEGARA REPUBLIK TUNISIA Tunisia adalah sebuah negara merdeka yang terletak di ujung utara benua Afrika. Tipikal lanskap geografisnya sangat dipengaruhi oleh kultur Mediterranea dan Gurun Sahara. Luas wilayahnya adalah 63.200 mil persegi atau sekitar 164.000 km2 dengan perbatasan laut Mediterrania di sebelah Timur dan Utara, Aljazair di Barat dan Barat Daya serta Libya di Selatan dan Tenggara. Terletak di tengah-tengah Selat Gibraltar dan Terusan Suez serta hanya berjarak 86 mil dari Pulau Sicilia Italia, Tunisia menempati posisi Geopolitik yang sangat strategis sebagai penghubung antara Eropa dan Afrika, serta antara bagian Timur dan bagian Barat dunia Arab. Bersama Maroko dan Aljazair, Tunisia membentuk sebuah zona regional yang disebut dengan Arab Maghreb. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, in The Encyclopedia Americana: international Edition Volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972), hal. 222a Ibukota Tunisia adalah Tunis yang tumbuh dari sebuah kota kuno “Carthage” yang berjarak 10 km dari laut Mediterranea. Kota Carthage dengan pelabuhannya merupakan pusat kebudayaan bersejarah terkemuka di wilayah itu sejak dari abad 9 SM sampai dengan abad 8 M. Hampir semua warga Tunisia adalah Muslim (97%), sedangkan sisanya adalah warga minoritas Yahudi dan komunitas Eropa. Bahasa nasional adalah bahasa Arab dengan dialek yang nyaris seragam. Sedangkan, bahasa Perancis berkedudukan sebagai bahasa resmi kedua. Tetapi, sangat minim warga yang nyaman dengan bahasa Perancis. Kefasihan berbahasa Perancis menjadi symbol status social dan menjadi pintu bagi warga Tunisia untuk melakukan kontak internasional. Sistem pendidikan juga menerapkan faham bilingualism ini, dengan beberapa pengecualian pada kasus beberapa sekolah elit yang mulai menggunakan bahasa Inggris. Hafedh Sethom, “Tunisia: demography and Economy”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000), hal. 642 Sejarah Bangsa Data-data arkeologis menunjukkan bahwa wilayah Tunisia telah didiami manusia setidaknya sejak 200.000 tahun yang lalu. Beberapa alat bantu manusia primitive ditemukan di banyak oasis sekitar Kelibiya di daerah pedalaman. Tunisia Country Guide, hal. 25 Tetapi hampir semua referensi sepakat bahwa sejarah peradaban di Tunisia dimulai dengan datang dan menetapnya suku Phoenix (Punic) di daerah tersebut sejak sekitar 1100 tahun sebelum masehi. BBC, “Timeline: Tunisia. A Chronology of Key Events”, BBC News, 10 May 2011 at http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/country_profiles/2506465.stm Kota yang pertama didirikan oleh suku Phoenix ini bernama Utica yang terletak antara Tunis dan Bizerte, dan terus mengembangkan wilayah dengan mendirikan banyak pemukiman lain di sekitar daerah pesisir. Diantara beberapa pemukiman baru tersebut, yang paling terkenal adalah Carthage. Dibangun sekitar tahun 800 sebelum masehi, kota yang aslinya bernama Kart-Hadast (kota baru) ini berkembang pesat menjadi ibukota kerajaan yang kuat dengan kekuasaan yang melingkupi daerah sepanjang pantai Mediterranea sampai ke wilayah Aljazair. Pada sekitar tahun 400 SM, Carthage yang pada dasarnya adalah negara maritime kemudian melebarkan wilayahnya ke daerah pedalaman. Wilayah kekuasaan Carthage inilah yang kemudian menjadi akar entitas cultural Tunisia sebagai sebuah kesatuan. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, in The Encyclopedia Americana: international Edition Volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972)”, hal. 222g. Setelah beberapa peperangan besar, Carthage akhirnya jatuh ke tangan Romawi pada tahun 146 SM. Kestrategisan Carthage mendorong Romawi untuk tetap menjadikan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan dan pengembangan kebudayaan mereka di Afrika. Di bawah Romawi, wilayah Tunisia berkembang menjadi daerah yang makmur. Pemukiman baru bermunculan dan pertanian tumbuh dengan subur sehingga Romawi menjadikannya sebagai lumbung gandum mereka. Beberapa peninggalan kebudayaan Roma masih begitu jelas sampai saat ini. Beberapa koleksi mosaic Romawi yang sangat luar biasa masih terawat rapi di Museum Bardo. Colosseum di El-Djem yang sanggup menampung 60.000 penonton, serta beberapa tempat ibadah di Dougga juga menunjukkan bahwa Tunisia pernah merupakan bagian integral dari Romawi. Wilayah ini juga menjadi pusat bagi missi kristenisasi Roma di Afrika. St. Augustine dan St. Cyprian serta sekte Donatist adalah tokoh agama Kristen “produksi” Carthage. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 222g, lihat juga Nicholas S. Hopkins, “Tunisia”, in Melvin Ember and Carol R. Ember, Countries and Their Cultures Volume 4, (New York: Macmillan Reference USA, 2001), hal. 2249. Masuknya pasukan Arab ke wilayah Carthage telah dimulai sejak tahun 648 M, tetapi sifatnya masih berbentuk serbuan-serbuan kecil (raids, razzias). Penyerangan dalam skala besar dengan maksud pendudukan dipelopori oleh ‘Uqbah Ibn Nafi’ dua decade kemudian dan berhasil menyingkirkan pengaruh Byzantium dari wilayah itu. Tahun 670 M ‘Uqbah mendirikan sebuah kota yang dinamakan Kairouan dan menjadi Ibukota pertama pemerintahan Islam di wilayah Maghreb. Sampai akhir abad ke-7, stabilitas pemerintahan Arab-Islam di Carthage terus mendapatkan perlawanan local. Pasda masa itu muncul seorang tokoh ratu perlawanan, Al-Kahinah. Ketika perlawanan ratu ini berhasil diredam, secara perlahan penduduk wilayah ini pun konversi ke dalam Islam. Warga local Barbar Pro-pemerintahan Arab-Islam kemudian membantu perluasan Islam ke Eropa, sedangkan yang anti pemerintah kemudian mengadopsi faham Khawarij (Kharijites). Mounira Chapoutot-Remadi and Radhi Daghfous, “Tunisia: The Islamic Period up to ca. 1500”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000), hal. 644-645. Sepanjang abad ke-8 masehi, Kairouan dipimpin oleh gubernur-gubernur yang ditunjuk secara bergantian baik oleh Dinasti Umayyah dan kemudian Dinasti Abbasiyah. Sampai akhirnya pada tahun 800-an, seorang gubernur yang ditunjuk oleh Dinasti Abbasiyah, al-Aghlab ibn Salim al-Tamimi, membidani sebuah Dinasti baru. Memanfaatkan otonomi dan jauhnya jarak dari Baghdad, al-Aghlab mewariskan tahta kekuasaan kepada anak keturunannya. Dinasti ini kemudian terus bertahan hingga tahun 909 M dengan kekuasaan yang telah meluas dari Tripoli hingga Aljazair tengah dan berhasil menaklukkan Sicilia. Kekuasaan Aghlabiyah yang Sunni selanjutnya digantikan oleh Dinasti Fatimiyah yang Shi’i. Dengan dukungan suku Barbar, pendiri Fatimiyah mendirikan kota Mahdiya, 16 Mil selatan Kairouan, sebagai pusat pergerakan. Ketika Fatimiyah memindahkan ibukota ke Kairo, Mahdiya kemudian berfungsi sebagai pusat gubernur. Pada tahun 1135, bangsa Normans dari Sicilia sempat menaklukan daerah pesisir Tunisia dari tangan Arab-Islam. Tetapi kemudian wilayah ini kembali dikuasai oleh dinasti Almohade dari Marokko dan mengintegrasikannya sebagai keseluruhan wilayah Maghreb dibawah komando Ibukota Marrakesh. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 222g. Tahun 1228, gubernur Tunis yang ditetapkan oleh dinasti Almohade (Muwahhidun) memisahkan diri dan membentuk sebuah kerajaan baru, Dinasti Hafsid. Dinasti ini berhasil eksis selama lebih dari 300 tahun. Di bawah pemerintahan dinasti Hafsid inilah Tunisia mencapai puncak kejayaannya. Pusat-pusat peradaban tumbuh subur dan berhasil mengembangkan literature, seni dan ilmu pengetahuan Islam di tengah-tengah kehidupan urban yang didominasi masyarakat borjuis. Universitas Zaituna didirikan pada masa keemasan ini, dan secara umum Dinasti Hafsid telah berhasil membangun pilar identitas distinktif masyarakat Tunisia yang inklusif. Di awal tahun 1500-an, dinasti Hafsid mengalami kemunduran, dan pengaruh kekuasaan atas wilayah Meterranea menjadi ajang kontestasi antara kekuatan di Spanyol dan di Turki. Tahun 1574, Turki akhirnya memegang kekuasaan penuh atas wilayah tersebut dan menjadi provinsi di bawah imperium Usmani. Meski kekuasaan utama terlatak di tangan gubernur kiriman Istambul, otonomi yang cukup besar masih tetap diberikan kepada penguasa-penguasa local (bey) yang eksis sebelumnya dan kemudian mempraktikkan system monarkhi. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 222h. Secara structural monarkhi bey adalah gubernur di bawah Sultan, tetapi secara praktis bey Tunisia mempunyai otonomi yang independen dan secara mandiri manjalin hubungan politik dan ekonomi dengan kekuatan-kekuatan besar di Eropa, terutama Perancis yang memberikan pinjaman dana besar-besaran pada bey di Tunisia. Terjebak dalam utang luar negeri yang diberikan oleh negara-negara kuat di Eropa, bey penguasa Tunisia mulai kehilangan control penuh atas roda pemerintahan. Inggris, Italia dan Perancis memainkan politik kolonialisasinya melalui kompensasi utang, dan Perancis keluar sebagai koloni pemenang berdasarkan Kongres Berlin tahun 1878. Lima tahun kemudian, Sadiq Bey terpaksa menandatangani perjanjian yang memasukkan Tunisia sebagai wilayah Protektorat Perancis. Dalam masa protektorat ini, kursi jabatan tertinggi di Tunisia memang masih ditempati oleh kaum bey, tetapi jabatan itu hanya sebatas formalitas. Secara teknis Tunisia dijalankan di bawah pemerintahan Perancis dan tunduk pada pola-pola tradisional kolonisasi. Warga Eropa, khususnya Perancis, menduduki strata tertinggi dan menikmati fasilitas pelayanan utama baik dalam hal kegiatan politis, kepemilikan property maupun kemudahan dalam akses-akses ekonomi lainnya. Posisi struktur pemerintahan di bawah bey hampir semuanya diduduki masyarakat colonial, dengan sejauh mungkin menempatkan masyarakat pribumi Tunisia dari system. Setiap gerakan masyarakat pribumi senantiasa dicurigai dan dikhawatirkan mengancam interest colonial. Terlepas dari praktik penjajahannya, kehadiran Perancis dan peran masyarakat Eropa lainnya selama masa protektorat menjadi pondasi penting bagi pilar pembentukan negara Tunisia modern. Diversifikasi ekonomi, modernisasi sosio-kultural serta system pendidikan modern adalah warisan yang tak bisa dinafikan Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 222h. Perjuangan menuju pembentukan negara Tunisia modern mulai digagas sejak awal abad 20. Tak puas oleh diskriminasi pemerintahan protektorat dan kekhawatiran tergerusnya tradisi Arab-Islam di Tunisia, sebuah delegasi yang mewakili elemen masyarakat yang diketuai oleh Syeikh Abd al-Aziz Taalbi mempresentasikan sebuah petisi di depan Paris Peace Conference pada tahun 1919 dan menuntut penentyan nasib sendiri(self-determination) oleh bangsa Tunisia. Petisi ini jelas ditolak mentah-mentah oleh Perancis, tetapi menjadi basis bagi berdirinya partai Destour. Dua decade kemudian partai ini semakin mempunyai akar-rumput yang menguat, dan karena perkembangan perbedaan visi missi berevolusi menjadi dua partai. Taalbi tetap memimpin partainya yang selanjutnya disebut Old Destour. Tokoh baru dengan platform baru juga muncul memimpin partai baru Neo Destour. Dia adalah Habib Bourguiba. Benjamin Rivlin, “Tunisia”, hal. 222h. Berkarier sebagai pengacara provinsi yang flamboyant, Habib Bourguiba menjelma menjadi pemimpin yang lantang menyuarakan anti-kolonialisme di Afrika Utara. Karena aksi-aksinya, pemerintah Perancis terus membungkam gerakan Bourguiba dan kawan-kawan dari partai Neo Destour dengan upaya represif dan pemenjaraan. Bourguiba sendiri pernah ditahan selama hampir 11 tahun sebelum akhirnya dibebaskan oleh pemerintah pendudukan Nazi Jerman pada tahun 1940-an. BBC, “Habib Bourguiba: Father of Tunisia”, BBC News, 6 April 2000 at http://news.bbc.co.uk/2/hi/obituaries/703907.stm Perang Dunia II memang menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan kemerdekaan Tunisia. Tokoh-tokoh pergerakan Tunisia yang sebelumnya ditahan oleh pemerintahan protektorat Perancis dibebaskan oleh aliansi axis Jerman dan Italia yang menguasai Tunisia dari 1940-1943. Saat koalisia pimpinan AS mengusir aliansi axis dari wilayah itu dan mengembalikan kekuasaan ke tangan Perancis. Nasionalisme di Tunisia di bawah pimpinan Bourguiba telah semakin menguat. Kondisi tersebut membuat Perancis mereformulasi kebijakannya secara lebih terbuka dan semakin sensitif terhadap tuntutan rakyat Tunisia. Melemahnya charisma pemerintahan Perancis pasca Perang Dunia II membuat aksi-aksi anti-kolonialisme Neo Destour pimpinan Bourguiba semakin radikal dan ekstrem. Perlawanan terhadap penjajahan Perancis berubah bentuk menjadi aksi perjuangan fisik bersenjata yang dimulai pada awal tahun 1950. Sekali lagi, pemerintah Perancis melakukan aksi penahanan terhadap figure-figur perlawanan seperti Mohammad Chenik, Bourguiba, Salah ben Youssef dan yang lainnya. Tetapi aksi ini semakin menyulut kemarahan dan perlawanan yang meluas. Kondisi negeri yang semakin tidak kondusif mendorong Perancis memberikan otonomi kepada Tunisia pada tanggal 3 Juni 1955. Kemerdekaan penuh akhirnya diperoleh Tunisia pada tanggal 20 Maret 1956, dan Habib Bourguiba menduduki kursi Perdana Menteri. Lima hari kemudian, sebuah lembaga perwakilan National Constituent Assembly dibentuk dan bertugas untuk menyusun rancangan Undang-undang Dasar. Posisi perdana menteri yang dipegang Bourguiba kemudian berubah menjadi Presiden seiring dengan penghapusan system monarki bey dan Tunisia menjadi Negara Republik pada tanggal 25 Juli 1957. Undang-undang Dasar Tunisia pun akhirnya terbentuk dan secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Juni 1959. Ali Mahjoubi, “Tunisia: The Period of Protectorate and the Establishment of Independent Tunisia”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000), hal. 653 Pemerintahan Bourguiba banyak melakukan perubahan ke arah kemajuan yang cenderung bersifat modernisasi dan westernisasi. Reformasi social terutama difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, partisipasi wanita dan perbaikan ekonomi. Pda tahun 1960-an, pemerintah mempraktekkan system kebijakan sosialis, tetapi kemudian kembali ke pola liberalism dengan mempertahankan keterlibatan negara pada beberapa sector substansial ekonomi. Tahun 1987, Bourguiba dilengserkan dari kursi kepresidenan atas alasan kesehatan dan digantikan oleh Zine El Abidine Ben Ali. Pola pemerintahan Ben Ali meneruskan system ‘otoriter’ yang sebelumnya dipraktekkan oleh Bourguiba. Kebijakan-kebijakan kontemporer lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis, bukan ideologis. Nicholas S. Hopkins, “Tunisia”, hal. 2250. Pemerintahan Ben Ali juga kemudian berakhir pada tanggal 14 Januari 2011 setelah revolusi melalui protes massa yang melanda seantero negeri. Kekuasaan selanjutnya dipegang pemerintahan ad interim sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 2011. Sistem Politik dan Pemerintahan Bentuk negara serta pola struktur kekuasaan politik dan pemerintahan di Tunisia tercermin dengan jelas dalam konstitusinya Teks konstitusi Tunisia dapat diakses secara online di beberapa situs, diantaranya http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/cafrad/unpan004842.pdf yang pertamakali diberlakukan pada tanggal 1 Juni 1959. Pada perkembangan selanjutnya, Konstitusi yang berisi 10 Bab dan 74 Pasal ini telah mengalami beberapa proses amandemen yang kesemuanya terjadi pasca lengsernya Buorguiba dari kursi kepresidenan. Amandemen pertama disahkan tanggal 12 Juli 1988, selanjutnya berturut-turut tanggal 29 Juni 1999, tanggal 1 Juni 2002, tanggal 13 Mei 2003 dan tanggal 28 Juli 2008. Untuk informasi seputar detail amandemen Konstitusi Tunisia bisa dilihat di situs resmi pemerintah Tunisia yang khusus menginformasikan issu-issu seputar konstitusi di http://www.chambre-dep.tn/a_constit.html. Situs ini masih dapat di akses pada awal Juni 2011. Prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan negara tercantum secara eksplisit dalam teks pembukaan konstitusi (Preamble). Konsep Liberte, Egalite dan Fraternite terangkum dalam faham kemanusian, keadilan, persatuan, persaudaraan Arab Maghreb, serta pemisahan kekuasaan. Islam juga menjadi salah satu pilar negara dalam posisi yang sejajar dengan pilar-pilar lain yang disebutkan di atas. Model Trias Poltica versi Perancis dengan kekuasaan terbesar berpusat di tangan Presiden menjadi acuan bagi penyelenggaraan kenegaraan di Tunisia yang mengambik bentuk Republik. Kekuasaan legislative dijalankan oleh sebuah lembaga perwakilan yang disebut National Parliament (Majlis al-Nuwaab). Institusi ini menjalankan fungsi legislasi, Article 28 Tunisia Constitution budgeting Article 34 Tunisia Constitution dan control terhadap pemerintah. Article 62 Tunisia Constitution Bahkan, dalam kasus kekosongan kursi kepresidenan, pimpinan parlemen ini bisa menduduki jabatan kepala negara meski waktunya terbatas hanya 45-60 hari. Article 57 (2) Tunisia Constitution Lembaga Parlemen ini terdiri dari individu-individu dengan latar belakang partai politik yang terpilih melalui Pemilihan Umum. Masa jabatan mereka berlangsung selama periode lima tahun sampai pemilihan umum berikutnya. Article 19 Tunisia Constitution Masing-masing anggota parlemen dilindungi dengan hak imunitas dimana mereka kebal hukum terhadap ekses yang timbul dari pendapat, usulan atau bahkan aksi mereka di parlemen. Mereka juga tak boleh dituduh, ditangkap atau bahkan disidangkan atas satu tuduhan hukum sepanjang status anggota parlemen masih melekat. Article 26 & 27 Tunisia Constitution Sebelum tahun 2002, badan legislative Tunisia menganut system Uni-kameral, dimana 214 kursi anggota parlemen hanya diduduki oleh perwakilan dari partai politik yang ikut serta dalam Pemilu. Pada periode ini Meskipun bersifat formalitas, Multipartyisme di Tunisia baru dikemanl pada tahun 1981 dimana saat itu Presiden Bourguiba memutuskan untuk membentuk partai oposisi di parlemen. Lihat misalnya, US Department of State, “Background Note: Tunisia”, released on October 11, 2010, at http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5439.htm, jumlah kursi parlemen ditentukan oleh perolehan suara masing-masing partai. Namun, karena pada hampir setiap pemilu partai pemerintah selalu mendulang angka di atas 95%, pada tahun 1999 sebuah amandemen dikeluarkan untuk memberikan ruang bagi suara oposisi di parlemen. Setiap partai politik yang memenangkan pemilu memborong 75% (161) kursi parlemen. Sedangkan 25% (53) kursi sisa dibagikan kepada partai-partai peserta pemilu lainnya berdasarkan asas proporsionalitas. Barulah pada tahun 2002, amandemen konstitusi merubah wajah parlemen Tunisia menjadi bicameral. Selain anggota hasil pemilu, parlemen juga diduduki oleh “Dewan Penasehat” (Chamber of Advisory, Majlis al-Shura) yang berjumlah 126 orang dengan rincian 85 merupakan utusan daerah/golongan serta 41 orang yang ditunjuk Presiden. Dewan Penasehat menjabat selama 6 tahun dengan pergantian setengah dari anggotanya dalam kurun waktu 3 tahun. US Department of State, “Background Note: Tunisia”. Kekuasaan eksekutif berada di tangan Presiden yang bertanggungjawab dalam semua penyelenggaraan pemerintahan dan penetapan dasar-dasar fundamental pembangunan. Presiden juga berperan sebagai kepala negara sebagaimana tercermin dalam fungsi diplomatic dan posisinya sebagai pimpinan tertinggi militer. Article 37,38,41,44,45,49 Tunisia Constitution. Dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh cabinet atau dewan menteri (Council of Ministers) yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Penentuan personil yang menduduki jabatan-jabatan menteri tersebut adalah hak prerogratif Presiden. Article 37,50,51,58,59,60 Tunisia Constitution. Presiden juga memiliki kekuasaan dalam menetapkan pejabat tinggi dalam jabatan sipil seperti gubernur dan walikota serta dalam jabatan militer. Article 55 Tunisia Constitution. Walaupun sepanjang sejarah berdirinya Republik Tunisia hanya memiliki dua Presiden, Konstitusi menyebutkan bahwa jabatan tertinggi eksekutif ini hanya dipegang selama lima tahun dan melalui proses pemilihan umum. Setiap warga negara Tunisia yang bapak-ibu serta kakek-neneknya adalah warga negara Tunisia, beragama Islam dan berumur antara 40-70 tahun berhak untuk mencalonkan diri menjadi Presiden. Article 39 & 40 Tunisia Constitution. Presiden incumbent juga berhak untuk mencalonkan diri pada pemilihan umum berikutnya. Terdapat beberapa fase krusial dalam penetapan masa keberturutan jabatan Presiden. Tahun 1974, Bourguiba ditetapkan sebagai Presiden seumur hidup. Tahun 1988, Konstitusi membatasi bahwa Presiden terpilih boleh mencalonkan diri secara berturut-turut dalam dua pemilihan umum berikutnya. Referendum tahun 2002 kemudian menyepakati bahwa Presiden Ben Ali diperbolehkan mengikuti pemilu presiden sampai lima kali berturut-turut. Lihat misalnya US Department of State, “Background Note: Tunisia”. Seperti disebutkan di atas, Konstitusi Tunisia memberikan kekuasaan yang begitu luas kepada Presiden yang jauh melampaui kekuasaan legislative dan Judikatif. Presiden tidak dapat dimakzulkan kecuali karena alasan meninggal, mengundurkan diri dan gangguan mental ( ? - incapacity). Article 57 Tunisia Constitution. Tetapi sebaliknya, Presiden mempunyai hak untuk membubarkan parlemen, menentukan orang yang duduk di Majlis al-Shura, dan membongkar pasang personal yang memimpin lembaga Judikatif. Article 63 & 66 Tunisia Constitution. Usulan RUU yang diajukan Presiden menjadi prioritas untuk diberlakukan sebagai UU, dan secara mandiri Presiden juga berhak untuk mengajukan draft kebijakan sebagai dasar bagi referendum. Article 28 & 27 Tunisia Constitution. Kekuasaan Judikatif dipimpin oleh sebuah lembaga mirip Mahkamah Agung yang bernama Superior Council of Magistrature yang diduduki oleh hakim-hakim agung. Fungsi kehakiman di Tunisia menjalankan dua jenis peradilan, umum (Court of Accounts) dan Administratif (Administrative Tribunal), dan terdiri dari tiga level tingkatan berupa District Court, Court of Appeal dan Highest Court (Cour de Cassation). Jika dianalogikan ke dalam konteks Indonesia bentuk pengadilan ini mirip seperti jengjang Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Poin-poin mengenai kehakiman di Tunisia terdapat dalam article 64-69 Tunisia Constitution. Di atas kertas, kekuasaan judikatif ini berdiri secara independent. Tetapi karena status hakim-hakim yang dilantik dan diberhentikan oleh pemerintah, independensi mereka sangat rentan terhadap “petunjuk” pemerintah terutama dalam kasus-kasus politis yang sensitive. US Department of State, “Background Note: Tunisia”. III DEMOKRASI DI TUNISIA John O. Voll menyebutkan bahwa tipe rejim pemerintahan Tunisia adalah Liberal-secularist Authoritarian. Ia mengakui bahwa rangkaian istilah kata tersebut terkesan kontradiktif dimana liberalism yang menjadi dasar demokratisasi menjelma menjadi sebuah gaya yang otoriter. John O. Voll, “Sultans, Saints and Presidents: The Islamic Community and theState in North Africa”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam, Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997), hal. 1-16 Memang, di atas kertas, pengembangan demokrasi di Tunisia menawarkan basis potensi yang menjanjikan dan situasi politis yang mendukung. Mengantongi predikat sebagai negara paling’terbuka’ di Timur Tengah dengan gaya pemerintahan yang pro-Barat adalah modal utama bagi penguatan demokratisasi. Teks-teks eksplisit Konstitusi juga menyebutkan bahwa demokrasi dengan prinsip pembagian kekuasaan, kemerdekaan untuk berserikat serta beraspirasi dijamin oleh negara. Syarat-syarat lain yang menjadi indikasi dari sebuah negara demokratis juga hampir dimiliki secara lengkap oleh Tunisia. Multipartyisme tampak berjalan dengan baik di permukaan. Meski selama 25 tahun pertama pasca kemerdekaan Tunisia hanya memiliki satu partai resmi yaitu Socialist Destour pimpinan Bourguiba, tahun 1981 pemerintah mengesahkan dua partai oposisi, Partai Sosial Demokratik pimpinan Ahmad Mestiri dan Partai Komunis pimpinan Muhammad Harnal. Editors, “Tunisia: Bourguiba and After”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000), hal. 654 Pemerintahan Ben Ali bahkan memperluas ruang gerak bagi munculnya partai-partai baru dan memperbesar peluang suara oposisi di parlemen. Sejak tahun 1999 tercatat ada delapan partai oposisi yang ‘menantang’ kekuasaan partai RCD (Rassemblement Constitutionnel Democratique) pimpinan Ben Ali. Partai-partai itu adalah At-Tajdid Movement (Ahmed Brahim); Democratic Forum for Labor and Liberties or FDTL (Mustapha Ben Jaafar); Liberal Social Party or PSL (Mondher Thabet); Movement of Democratic Socialists or MDS (Ismail Boulahia); Popular Unity Party or PUP (Mohamed Bouchiha); Unionist Democratic Union or UDU (Ahmed Inoubli); Progressive Democratic Party or PDP (Maya Jribi); Green Party for Progress or PVP (Mongi Khamassi). Jatah kursi di parlemen bagi oposisi pun meningkat dari hanya 5% pada tahun 1994 hingga mencapai 25% pada pemilu terakhir tahun 2009. Penambahan kursi oposisi ini bukan karena hasil perolehan suara pemilu oposisi yang meningkat, tetapi lebih karena kebijakan ‘belas kasihan’ Ben Ali untuk menunjukkan image demokratisasi di negeri yang dipimpinnya. US Department of State, “Background Note: Tunisia”. Tanda-tanda kehidupan dari civil society di Tunisia pun juga tampak dari banyaknya organisasi non-pemerintah. Organisasi yang paling dominan dan telah berbicara banyak dalam panggung sejarah negara adalah serikat pekerja UGTT. Selain berjasa dalam mengantar kemerdekaan, serikat pekerja ini menjadi kekuatan control yang telah berfungsi efektif sebagai oposisi pemerintah dari luar sistem. Ulasan mendalam mengenai peran sentral dari serikat pekerja ini berikut pasang surut kekuatan politis yang dimilikinya dapat dilihat di Stephen J. King, Liberalization Against Democracy: The Local Politics of Economic Reform in Tunisia, (Indiana: Indiana University Press, 2003) Selain UGTT, organisasi pelajar/mahasiswa yang kini bernama General Union of Tunisian Students juga pernah pamer kekuatan sebagai social-control terhadap pemerintah terutama pada masa Bourguiba. Ribuan organisasi lain yang berupa organisasi profesi dan keolahragaan juga diakui keberadaannya. Meski pemerintah memang sangat ketat dalam mengeluarkan perizinan bagi NGO baru, banyak organisasi ‘illegal’ yang bermunculan. NGO-NGO ini umumnya bergerak dalam bidang advokasi dan pengupayaan ke penguatan demokrasi. US Department of State, “Background Note: Tunisia”. Pemberdayaan wanita dan pengakuan terhadap hak asasi manusia juga mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Peningkatan status social wanita memang telah menjadi platform utama pembangunan sejak masa kemerdekaan. Jumlah wanita yang bekerja di institusi resmi negara hampir sebanding dengan jumlah pria, sementara lebih dari 11% wanita duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Pemerintah juga memberikan kesempatan yang luas bagi wanita untuk membentuk wadah perkumpulan sehingga terbentuklah organisasi seperti Tunisian Association of Democratic Women (ATFD) dan The Association of Tunisian Women for Research and Development. Sementara dalam bidang HAM, tahun 1987 Tunisia meratifikasi hukum internasional. Gebrakan ini dimulai pada masa awal pemerintahan Ben Ali. Meskipun dicurigai sebagai maneuver membentuk citra dan mendongkrak popularitas, Ben Ali membentuk lembaga HAM pertama di Tunisia, The Tunisian human Rights League (LTDH), dan melakukan perubahan besar dalam reformasi HAM dengan mengeluarkan tahanan-tahanan politik dan merevisi UU subversi mengenai mekanisme penangkapan dan penahanan. Lembaga LTDH terus berfungsi hingga saat ini. Susan Waltz, “The Politics of Human Rights in Maghreb”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam, Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997), hal. 75-91 Tetapi, sekali lagi, komitmen pemerintah Tunisia dalam penguatan demokratisasi hanya tertuang di atas kertas dan tampak dipermukaan saja. Di lapangan, masyarakat justru tidak menikmati kebebasan berpolitik. Pemerintah sangat ketat membatasi kebebasan berkumpul, berserikat dan beraspirasi melalui kegiatan pengawasan, mata-mata, dan penangkapan di luar prosedur hingga penyiksaan. Melalui kekuasaannya, presiden bisa mendikte lembaga-lembaga tinggi lain dengan membongkarpasang individu yang dikehendakinya. Kekuatan civil society pun diperlemah dan dipecahbelah melalui serangkaian kebijakan ketat atas nama “Persatuan Nasional” dan “Ketertiban Umum” sehingga negara dengan mudah mengkooptasi lembaga-lembaga yang berpotensi vocal. Pemerintah juga melakukan control yang ketat terhadap kebebasan pers. Monitoring dengan rutin dilakukan dan seringkali melakukan pembredelan serta pembokiran terhadap pemberitaan media cetak maupun elektronik seperti Internet. Kondisi ini sering mengundang kritik pedas terhadap pemerintah yang dilontarkan oleh media-media asing. Tahun 2009, sebuah aliansi jurnalis internasional, Reporters without Borders, mengeluarkan data yang menempatkan Tunisia di ranking ke 154 dari 173 negara dalam daftar kebebasan pers, turun dari peringkat 143 pada tahun sebelumnya. US Department of State, “Background Note: Tunisia”. Untuk melihat bagaimana pengalaman perjalanan Tunisia dalam upaya penerapan dan penguatan demokratisasi, berikut adalah sekilas gambaran umum yang mungkin bisa menjadi sebuah representasi. Demokrasi di Bawah Pemerintahan Habib Bourguiba Sejak kemerdekaan, pemerintahan Bourguiba memfokuskan kebijakannya pada stabilitas negara dengan memperkuat pilar-pilar struktur, infra struktur, serta supra strukturnya. Institusi kenegaraan terus dibenahi dan pada saat yang sama terus menggenjot pembangunan perekonomian. Seperti umumnya pada fenomena negara-negara yang baru merdeka dan berkembang, fokus pada penguatan negara adalah factor fundamental pembangunan dan dengan sendirinya mengalihkan perhatian public dari proses suksesi, pembatasan kekuasaan, dan isu-isu demokrasi lainnya yang justru dikhawatirkan menyebabkan instabilitas dan menjadi penghambat. Maka tak heran jika pada tahun 1974 Habib Bourguiba ditahbiskan oleh konstitusi sebagai Presiden seumur hidup. Masalah baru timbul ketika krisis ekonomi mulai melanda kepemimpinan Bourguiba. Beberapa kebijakan terpimpin Bourguiba di tahun 60-an dan awal tahun 70-an -- yang cencerung sosialis dengan menerapkan nasionalisasi perusahaan dan pembangunan perekonomian kooperatif—mengakibatkan boykot besar-besaran dari negara-negara asing yang sebelumnya menjadi donor utama pembangunan negara. Kondisi ini menyebabkan neraca perekonomian Tunisia menjadi timpang dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat. Gelombang protes menuntut perubahan kebijakan perekonomian pun mulai marak dan, karena gaya populisnya, Bourguiba merespon dengan penghapusan system ekonomi sosialis serta memecat menteri perencanan pembangunannya. Tuntutan-tuntutan rakyat yang awalnya bermotif ekonomi inilah kemudian yang mendorong lahirnya seruan-seruan ke arah demokratisasi. Stephen J. King, Liberalization against Democracy”, hal. 27-28. Reorientasi perekonomian dari sosialisme ke liberalism di awal tahun 70-an jelas menguntungkan kaum pemilik modal tetapi menjadi pukulan bagi pekerja. UGTT sebagai serikat pekerja dengan basis nasional yang kuat dan mitra pemerintah di era sosialisme semakin lantang menyuarakan kepentingan buruh. Pada perkembangan berikutnya, tuntutan yang disuarakan UGTT melebar ke issu-issu politis berupa penentangan terhadap kebijakan otoriter serta usulan pembagian kekuasaan. Unjuk rasa rutin yang diprakarsai UGTT mendapatkan respon yang luas dari masyarakat sehingga mengundang organisasi-organisasi lain untuk bergabung secara sukarela. Gelombang protes yang semakin intens di akhir 70-an tersebut menyulitkan posisi pemerintahan Bourguiba yang terus mempertahankan pola authoritarian-populistnya. Chris Alexander, “State, Labor, and the New Global Economy in Tunisia.” In Dirk J. Vandewalle (ed.), North Africa: Development and Reform in a Changing Global Economy, (New York: St. Martin’s Press, 1996), hal. 182-183 Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, pemerintahan Bourguiba mendapat serangan kritik tajam dari setidaknya empat elemen kekuatan masyarakat. Serikat pekerja UGTT adalah kekuatan utama yang kemudian didukung oleh elemen pergerakan mahasiswa. Protes-protes yang digalang dua kekuatan ini seringkali berakhir bentrok dalam bentuk kekerasan seperti peristiwa Black Thursday pada tanggal 26 Januari 1978. Kelompok Muslim juga menjadi elemen penting dalam gerakan anti pemerintahan Bourguiba. Awalnya, issu yang diangkat kelompok Muslim adalah kritik terhadap kebijakan yang dipandang anti-Islam. Setelah 1978, kritik kelompok ini semakin komprehensif dengan melibatkan argumen sosio-politik dan relijius dalam menggalang massa untuk menghantam pemerintah yang dianggap dictator, antek kekuatan asing dan penindas. Mohamed Elhachmi Hamdi, The Politicisation of Islam: A Case Study of Tunisia.(Boulder, Colo.: Westview, 1998), hal. 32. Kekuatan lainnya juga muncul dari kalangan elit regime. Beberapa lingkaran orang dalam Borguiba yang tersingkirkan akhirnya ikut menyuarakan suara oposisi dan membentuk partai. Ahmed Ben Salah yang dipecat Bourguiba akhirnya mendirikan partai Komunis (MUP) dan Ahmad Mestiri membentuk Partai Sosialis Demokrat (MDS). Tetapi secara kekuatan, gema suara elit rejim ini di akar rumput tidak sesanter tiga kekuatan lainnya. Tekanan yang kuat dari public membuat pemerintahan Bourguiba menjadi defenif dan menempuh langkah-langkah repressif. Banyak tokoh pimpinan dari elemen kekuatan masyarakat ditangkap dan lari ke luar negeri.Wajah pemerintahan Bourguiba yang tadinya kharismatik dan populis berubah merosot menjadi uathoritarianis, sentralistik dan korup. Elemen kekuatan masyarakat memang tampak diakomodir, tetapi Bourguiba hanya merangkul representasi dari pihak elit rejim yang minoritas saja dengan mengakui secara resmi berdirinya dua oposisi partai baru. Sementara kekuatan serikat pekerja UGTT dan mahasiswa terus dikekang, bahkan kelompok Muslim benar-benar ditekan melalui pelarangan organisasi. Stephen J. King, Liberalization against Democracy”, hal. 30. Atmosfir politik tersebut terus bertahan hingga akhirnya kekuasaan Bourguiba berakhir melalui sebuah Kudeta tak berdarah yang menaikkan Ben Ali ke kursi kepresidenan. Demokrasi a la Ben Ali Pada 7 November 1987, Jenderal Zine El Abidine Ben Ali yang merupakan orang kuat di rezim Bourguiba dan baru saja ditunjuk sebagai perdana menteri melakukan kudeta tak berdarah. Sebagai Presiden baru, ia berjanji menjalankan agenda demokratisasi dan mempercepat reformasi ekonomi, dan Ben Ali memulai komitmennya dalam track yang benar. Tahun 1988, Presiden baru merangkul para pemimpin elemen kelompok sosial untuk menandatangani sebuah konsensus atau rujuk nasional. Di dalamnya berisi perjanjian untuk menghapus sistem partai tunggal, membatasi otoritas lembaga negara serta mencegah terjadinya monopoli kekuasaan. Situasi ini dipandang sebagai sebuah terobosan krusial dan menjanjikan. Dunia internasional optimis bahwa demokratisasi di Tunisia di bawah pemerintahan baru Ben Ali bakal menjadi model upaya serupa di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Ben Ali menerapkan pola baru dalam alur proses pemerintahan dengan tujuan mengembalikan keseimbangan dalam sistem. Langkah-langkah yang ditempuhnya mengikuti alur prasyarat text-book yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang sedang pada transisi menuju demokratisasi. Namun, perubahan itu sayangnya masih dalam tahap permukaan dan belum menyentuh basis persoalan berupa alokasi kekuasaan. Pemerintah bereksperimen dengan menerapkan sistem politik multipartai. Tahun 1989, pemilu legislative yang pertamakali menerapkan system demokrasi baru dihelat. Partai pimpinan Ben Ali yang beralih nama menjadi Rassemblement Constitutionnel Démocratique (RCD) dipersiapkan untuk berkontestasi melawan partai-partai oposisi lama dan baru seperti Partai Sosialis Demokrat (MDS), Uni Démocratique Unioniste (UDU), Partai Sosial Liberal (PSL), Rassemblement Socialiste Progressiste (RSP), dan Partai Komunis Tunisia. Partai keagamaan An-Nahdah yang pada masa Bourguiba dilarang juga ikut ambil bagian pada pemilu ini. Partai RCD memenangkan pemilu dengan lebih dari 75% suara. Karena pemilu memakai system Winner-takes-all, maka RCD memenangkan semua kursi yang tersedia di parlemen. Tampaknya, sistem demokrasi multi-partai yang digagas Ben Ali lebih mengarah ke bentuk lain dari rezim otoriter yang lebih halus, Consensual Authoritarianism. Rezim baru ini mengakui adanya oposisi dan memberikan ruang kepada mereka untukk menyajikan pandangan-pandangan alternatif tetapi dengan sebisa mungkin mencegah segala pengaruh yang mungkin mengganggu peran hegemonik partai penguasa. Dalam banyak pidato publiknya, Presiden selalu menekankan pentingnya pelaksanaan system multi-partai di bawah pengawasan negara dan menciptakan iklim civil society yang pelaksanaannya tidak menganggu konsensus persatuan nasional. Ini berarti bahwa Presiden dan penasihatnya yang tergabung dalam partai penguasa terus berhak untuk menentukan bentuk dan konsep “ konsensus nasional” dan tetap menjadi arsitek utama dalam setiap kebijakan negara. Stephen J. King, Liberalization against Democracy”, hal. 31. Tantangan serius terhadap hegemoni partai penguasa RCD datang dari kelompok Muslim yang juga membentuk partai. Dalam tahun-tahun awal kekuasaannya, Ben Ali sempat terjebak dalam dilemma antara melegalkan atau tidak bagi partisipasi Mouvement de la Tendance Islamique (MTI) dalam pemilu 1989. Tetapi pada akhirnya dia memutuskan untuk mengikutsertakan partai itu dengan catatan pemerintah melarang penggunaan kata "Islam" atau "Islami" dalam nama partai politik, sehingga MTI berganti nama menjadi Parti de la Renaissance, atau An-Nahdhah. Diantara partai-partai kontestan lain yang bukan partai penguasa, an-Nahdhah menggalang suara rakyat yang cukup signifikan. Partai ini memperoleh sekitar 14 persen suara nasional dan bahkan sampai 25 persen di kota-kota besar. Banyak yang percaya bahwa tingkat dukungan sebenarnya bagi an-Nahdhah bahkan lebih tinggi. Tetapi, pada tahun 1991, An-Nahdhah kembali dinyatakan sebagai partai terlarang atas tuduhan rencana kudeta. Kursi parlemen yang diperoleh partai ini di anulir dan para petinggi serta aktivisnya ditahan. Represi terhadap An-Nahdhah oleh pemerintahan Ben Ali jauh lebih ekstrem dibandingkan rezim Bourguiba. Perolehan suara pemilu tahun 1989 yang menunjukkan simpati signifikan bagi partai berpotensi melawan pemerintah dijadikan pelajaran berharga oleh partai penguasa. Pemerintah dan partai berkuasa memainkan peran politis dalam merekayasa system pemilu tahun 1994 yang menguntungkan mereka. Perundang-undangan yang menjadi landasan operasional pemilu 1994 pun dibentuk atas dasar retorika demokrasi tetapi dengan maksud membentuk parlemen yang terdiri sepenuhnya dari anggota RCD. Perubahan UU ini memang memungkinkan oposisi untuk duduk di parlemen tetapi hegemoni RCD semakin terjamin. Oposisi menduduki 19 dari 163 kursi parlemen sesuai dengan prosentase suara yang mereka terima secara nasional, yang 144 lainnya jelas menjadi milik partai RCD. Dari tujuh partai oposisi, hanya empat yang mendapatkan kursi. MDS memenangkan sepuluh, Ettajdid (yang sebelumnya partai komunis) mendapatkan empat, UDU tiga, dan de l'Unité Populaire Parti (PUP) menempati dua kursi. Stephen J. King, Liberalization against Democracy”, hal. 32 Untuk mempertahankan image ‘demokratis’ pada pemerintahan yang dipimpinnya, Ben Ali menaikkan porsi kursi bagi oposisi menjadi 20%. Kebijakan ini jelas berangkat dari rasa percaya diri pemerintah bahwa partai penguasa akan tetap dominan dan partai-partai oposisi masih belum memiliki basis dukungan sosial yang signifikan. RCD menang telak dengan perolehan 97 persen dari total suara nasional dan mengklaim 136 kursi. Partai oposisi memperoleh 27 kursi parlemen dengan rincian tiga belas kursi diberikan kepada MDS, tujuh ke PUP, lima untuk Ettajdid, dan dua ke PSL. Ben Ali juga mengeluarkan kebijakan bahwa dalam pemilu tingkat municipal (kabupaten/kota) tahun 2000 oposisi juga tetap akan mendapatkan 20% dari keseluruhan kursi yang tersedia. Hasil pemilihan pun ternyata berkisar diantara angka selisih 80/20. Pada konteks ini, semua partai oposisi resmi berfungsi tak lebih dari sekedar sebagai satelit partai RCD. Mereka pun mengakui kelemahan ini dan bahkan mereka lebih senang untuk menyebut partai mereka sebagai partai pendukung, bukan sebagai oposisi. William Zartman, Tunisia: The Political Economy o f Reform. (Boulder, Colo.:Lynne Rienner, 1991), hal. 26 Pada Pemilu tahun 1999 juga untuk pertamakalinya kursi kepresidenan diperebutkan. Undang-undang pemilu menyaratkan bahwa calon presiden tidak boleh tunggal dan memberikan kewenangan kepada presiden incumbent untuk memilih dua pemimpin partai kecil sebagai lawannya. Dua nama pesaing muncul sebagai rival Ben Ali, Muhammad Belhadj Amor dari PUP dan Abderrahman Tlili dari UDU. Ketidakseimbangan charisma figure yang memang sengaja dikondisikan jelas menguntungkan incumbent. Ben Ali menang telak dengan perolehan 99.4% suara. Meski terkesan ironis, setidaknya ada dua hal positif dari kontestasi kursi kepresidenan ini. Pertama, proses tersebut membuka jalan bagi perjalanan demokratisasi berikutnya. Kedua, ada masukan-masukan ide kreatif perbaikan demokratisasi dari kampanye yang disuarakan oleh calon-calon non-incumbent. Diantara ide-ide kreatif tersebut adalah kritik terhadap control birokratis selama proses pemilihan dan terhadap dominasi presiden dalam system politik. Tlili secara khusus menyuarakan akses financial yang seimbang bagi seluruh kandidat presiden dan netralitas negara selama proses pemeilihan, disamping perhatian terhadap independensi system judicial. Sementara Amor mengkampanyekan control ketat terhadap parlemen yang memonitor masalah eksekutif dan pembentukan lembaga dewan yang mewakili organisasi-organisasi nasional. Amor juga menyerukan pembatasan masa keterpilihan presiden sampai maksimal dua kali dan pemisahan wewenang konstitusional dari tangan eksekutif. Arezki Daoud, “Opposition Parties in Tunisia at the Eve of the Elections.” North Africa Journal, no. 66, September 30, 1999. At <http://www.north-africa.com/archives/docs/093099A.htm> Ide dari Muhammad Belhadj Amor inilah kemudian menginspirasi lahirnya system bicameral dalam parlemen Tunisia. Pada tahapan berikutnya (2004 dan 2009), baik partai RCD maupun Ben Ali tetap tidak terbendung dalam memenangkan pemilihan. Dalih mempertahankan “consensus persatuan nasional” terus dipelihara dalam menjamin keberlangsungan pemerintahan Ben Ali. Bahkan pada tahun 2002 Ben Ali berhasil mengamandemen pasal konstitusi yang mencegahnya untuk mencalonkan lagi pada pemilu 2004 melalui sebuah referendum. Tampaknya, usaha mempertahankan kekuasaan ini tidak hanya terbatas di ranah perebutan kursi jabatan-jabatan public. Setiap gerakan social yang berusaha menyuarakan reformasi system terus diawasi dan bahkan diintimidasi. Laporan pantauan pelaksanaan HAM di Tunisia tahun 2010 yang dirilis oleh Department of State AS mencantumkan banyak daftar hitam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Ben Ali. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa pemerintah Tunisia secara sistematis telah melakukan pembungkaman terhadap kebebasan individu untuk berkumpul, berserikat dan beraspirasi. Prosedur-prosedur illegal seperti intimidasi, penahanan, penyiksaan hingga pembunuhan sering ditempuh oleh aparat pemerintahan untuk menekan suara oposisi di kalangan masyarakat. Tahanan-tahanan kasus politik adalah pihak yang paling teraniaya. Penekanan terhadap kebebasan pers pun dilakukan secara massif atas dasar menjaga consensus persatuan nasional. Bukan hanya dalam bentuk pembatasan penerbitan atau pembreidelan, suara pers pun dibungkam melalui intimidasi terhadap para jurnalisnya. US Department of State, “2010 Human Rights Report: Tunisia”, April 8, 2011, at http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2010/nea/154474.htm Stabilitas negara memang tampak kondusif di bawah pemerintahan Ben Ali, tetapi tak jauh di bawah lapisan akar rumput masyarakat Tunisia menumpuk sekam yang tersimpan membara. Maka tak heran jika banyak yang terheran-heran revolusi yang menginspirasi regional Timur Tengah justru berawal dari Tunisia yang tampak tenang. IV KESIMPULAN Pemerintahan Ben Ali pra-revolusi memang sangat dikagumi dunia internasional karena keberhasilannya dalam mempertahankan stabilitas negara dan meniti jalan peningkatan menuju demokratisasi. Suara-suara optimistis terus disuarakan oleh media, intelektual dan pengamat, bahwa Tunisia adalah negara model bagi perdamaian di wilayah regional. Negara-negara adi daya seperti AS, Perancis dan Uni-Eropa juga terus menggadang-gadang kondisi stabilitas Tunisia sebagai prototype ideal dimana perekonomian tumbuh memuaskan, terinkorporasi ke pasar dunia, kebijakan luar negeri yang lembut dan cinta damai serta demokratisasi yang terus berjalan. Singkatnya, Tunisia di bawah Ben Ali adalah mutiara bersinar di mata dunia luar. Tetapi, mempertahankan citra di luar harus dibayar mahal dengan mengorbankan pilar sendi-sendi kemasyarakatan. Politik dan birokrasi yang difokuskan untuk menciptakan dan mempertahankan stabilitas berimplikasi pada penekanan aspirasi social cultural yang berkembang dan diinginkan rakyat. Gaya kepemimpinan sentralistik membentuk sebuah pola pemerintahan a la mafia yang mengandalkan authoritarianism dan clientism. Atas nama stabilitas, pola ini terus dilestarikan melalui modifikasi system. Rezim akhirnya menjadi magnet dan yang lain berlomba-lomba untuk menjadi satelit terdekatnya, maka tercipta struktur afiliasi kroni-kroni yang dibentuk atas dasar kolusi dan nepotisme. Dalam kultur pemerintahan seperti ini, adagium power tends to corrupt mendapatkan tempatnya. Korupsi merebak di sekitar kekuasaan dan dalam kasus Tunisia Laila ben Ali (istri Presiden Ben Ali) muncul sebagai representasi hegemoni dan ketamakan di mata rakyat yang mayoritas menderita karena ketidakmerataan kesejahteraan. Jauh-dekatnya afiliasi ke lingkaran kekuasaan kemudian menjadi tolak ukur baru yang menentukan gap strata social. “orang dekat” lebih terbuka untuk menjadi sejahtera, sementara “orang jauh” harus berlomba-lomba untuk mendekat memburu porsi kesejahteraan yang terbatas. Perjuangan ini seringkali harus ditempuh bahkan dengan mengorbankan penghormatan mereka terhadap nilai-nilai moral dan norma. Yang tersisih akhirnya harus menerima kenyataan untuk berjuang lebih susah payah melawan himpitan kesulitan ekonomi. Mohammad Bouazizi adalah satu dari sekian banyak yang tersisih. Modal pendidikan yang dimilikinya tak cukup mengantarkan mimpinya menjadi pegawai pemerintah, menyejahterakan keluarga, dan membeli mobil. Tetapi aksi protes bakar dirinyanya mewakili hasrat berontak seluruh rakyat Tunisia. Keinginan untuk lebih didengar dan lebih sejahtera dikungkung oleh pemerintahan korup dan repressif. Bouazizi tidak mau diam seperti yang banyak dilakukan kebanyakan rakyat, ia melawan. Perlawanan pemuda kampung dari daerah pertanian di pedalaman Tunisia akhirnya merebak dan menginspirasi masyarakat perkotaan di sekitar pesisir Tunisia dan meluas ke negara-negara di sekitarnya, semuanya bergerak menyuarakan keprihatinan yang sama. Revolusi memang telah terjadi di Tunisia dan memberikan harapan bagi terciptanya iklim kehidupan social, cultural dan politik yang lebih baik. Bourguiba dan Ben Ali pada dasarnya juga muncul sebagai produk revolusi, tetapi dalam perjalanannya mereka terjebak dalam bentuk kepempinan pemetrintahan yang authoritarian. Akankah revolusi kali ini menjadi berbeda dan lebih demokratis? Atau akan kembali membentuk pemimpin-pemimpin seperti Bourguiba dan Ben Ali? Hanya rakyat Tunisia yang berhak menentukan nasib perjalanan kehidupan kenegaraan mereka ke depan. Kita tunggu. Wallahu’ A’lam. REFERENSI Abouzeid, Rania, “Bouazizi: The Man Who Set Himself and Tunisia on Fire”, TIME, Jan. 21, 2011 Alexander, Chris, “State, Labor, and the New Global Economy in Tunisia.” In Dirk J. Vandewalle (ed.), North Africa: Development and Reform in a Changing Global Economy, (New York: St. Martin’s Press, 1996) BBC, “Habib Bourguiba: Father of Tunisia”, BBC News, 6 April 2000 at http://news.bbc.co.uk/2/hi/obituaries/703907.stm BBC, “Timeline: Tunisia. A Chronology of Key Events”, BBC News, 10 May 2011 at http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/country_profiles/2506465.stm BBC, “Tunisia Country Profile”, BBC News, 15 May 2011 at http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/country_profiles/791969.stm BBC, “Tunisia Suicide Protester Mohammed Bouazizi Dies”, BBC News, 4 January 2011 Brunschvig, R., “Tunisia: Religious Life”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Chapoutot-Remadi, Mounira and Daghfous, Radhi, “Tunisia: The Islamic Period up to ca. 1500”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Daoud, Arezki, “Opposition Parties in Tunisia at the Eve of the Elections.” North Africa Journal, no. 66, September 30, 1999. At <http://www.north-africa.com/archives/docs/093099A.htm> Editors, “Tunisia: Bourguiba and After”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Entelis, John P., “Political Islam in The Maghreb: Non-Violent Dimension”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam, Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997) Era Muslim, “Kebangkitan Gerakan Islam di Tunisia Pasca Ben Ali”, 26 Januari 2011 at http://www.eramuslim.com/berita/gerakan-dakwah/kebangkitan-islam-di-tunisia-pasca-ben-ali.htm Fleisman, Jeffrey, “Islam is on the Rise in Repressed Tunisia”, Los Angeles Times, November 30, 2007. Lihat juga Fuller, Thomas, “Next Question for Tunisia: The Role of Islam in Politics”, New York Times, Februari 20, 2011 Hamdi, Mohamed Elhachmi, The Politicisation of Islam: A Case Study of Tunisia.(Boulder, Colo.: Westview, 1998) Hole, Abigail, (et.al), Tunisia: Country Guide, ( New York: Lonely Planet Publication, 2008) Hopkins, Nicholas S., “Tunisia”, in Melvin Ember and Carol R. Ember, Countries and Their Cultures Volume 4, (New York: Macmillan Reference USA, 2001) King, Stephen J., Liberalization Against Democracy: The Local Politics of Economic Reform in Tunisia, (Indiana: Indiana University Press, 2003) Mahjoubi, Ali, “Tunisia: The Period of Protectorate and the Establishment of Independent Tunisia”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Mahjoubi, Ammar, “Tunisia: History. The Pre-Islamic Period”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Rivlin, Benjamin, “Tunisia”, in The Encyclopedia Americana: international Edition Volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972) Sethom, Hafedh, “Tunisia: demography and Economy”, in P.J Bearman (et.al), (eds.), The Encyclopaedia of islam New Edition, volume X, (Leiden: E.J. Brill, 2000) Tunisia Constitution at http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/cafrad/unpan004842.pdf US Department of State, “2010 Human Rights Report: Tunisia”, April 8, 2011, at http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2010/nea/154474.htm US Department of State, “Background Note: Tunisia”, released on October 11, 2010, at http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5439.htm US Department of State, “International Religious Freedom Report 2010: Tunisia”, November 17, 2010, at http://www.state.gov/g/drl/rls/irf/2010/148847.htm Voll, John O., “Sultans, Saints and Presidents: The Islamic Community and theState in North Africa”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam, Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997) Waltz, Susan, “The Politics of Human Rights in Maghreb”, dalam John P. Entelis, (ed.), Islam, Democracy, and the State in North Africa, (Indiana: Indiana University Press, 1997) Zartman, William, Tunisia: The Political Economy o f Reform. (Boulder, Colo.:Lynne Rienner, 1991) 23