EKSISTENSI PEWARISAN HUKUM ADAT BATAK
Kajian Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg dan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn
THE BATAK CUSTOMARY INHERITANCE EXITENCY
An Analysis of Decision Number 1/PDT.G/2015/PN.Blg and
Number 439/PDT/2015/PT-Mdn
Jaja Ahmad Jayus
Fakultas Hukum Universitas Pasundan
Jl. Lengkong Besar No. 68 Bandung 40261
Email: jayus_ahmad@yahoo.co.id
Naskah diterima: 28 Februari 2019; revisi: 19 Agustus 2019; disetujui 20 Agustus 2019
http://dx.doi.org/10.29123/jy.v12i2.384
ABSTRAK
Hukum terbagi dalam berbagai konfigurasi, seperti
hukum positif dan hukum adat. Hukum adat yang
lahir dari kebiasaan dalam masyarakat yang menjadi
benchmark tidak tertulis dari pergaulan dan tata perilaku
dalam masyarakat itu sendiri. Hukum adat menjadi
rujukan dan sekaligus salah satu terobosan hakim
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor
1/PDT.G/2015/PN.Blg, dan Putusan Tingkat Banding
Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn pada Pengadilan Tinggi
Medan. Ada dua hal mengapa dua putusan tersebut
menarik dilakukan kajian lebih mendalam. Pertama,
pewarisan dengan pola parental, di mana kedua belah
pihak baik laki-laki dan perempuan memiliki hak waris
sama, padahal pewarisan adat Batak mengedepankan
pola patrilineal. Kedua, pengakuan adanya perkawinan
adat Batak yang bernama “tungkot” dan “imbang,” di
mana anak-anak yang lahir memiliki hak pewarisan dari
harta orang tuanya. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian yuridis normatif. Kesimpulan dalam kajian
ini, baik dalam Putusan Pengadilan Negeri Balige dan
Pengadilan Tinggi Medan, mengedepankan keberadaan
hukum adat setempat, dalam hal ini adat Batak. Putusan
ini tentu saja perlu diapresiasi di tengah perkembangan
teknologi dan zaman yang sangat kuat. Meski putusan
ini tidak melegitimasi pewarisan patrilineal, namun
memberikan teroboson dengan memberikan hak waris
yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Kata kunci: hukum adat, putusan, patrilineal, tungkot.
ABSTRACT
Law divided into various configurations, such as positive
law and customary law. Customary law that was born
from the community habits that became benchmarks is
unwritten from the sociality and the behavior system in
the community itself. Customary law becomes a reference
and at the same time is one of the breakthroughs for
judges in examining, adjudicating, and deciding cases
such as the Balige District Court Decision Number 1/
PDT.G/2015/PN.Blg, and Decision on Appeal Level
Number 439/PDT/2015/PT-Mdn at the Medan High
Court. There are two reasons why these two decisions are
interesting to analyze. First, inheritance with a parental
pattern, where both parties the men and the women have
the same inheritance rights even though the inheritance
of the Batak people was prioritizes the patrilineal
patterns. Second, the recognition of traditional Batak
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 235
marriages named “tungkot” and “imbang,” where the
child that was born has the inheritance rights from the
parents’ property. This research uses normative juridical
research methods. The conclusions in this analyzing,
both in the Balige District Court Decision and the
Medan High Court was prioritizing the existence of
local customary law, in this case, the Batak custom.
I.
A.
This decision certainly needs to be appreciated amid
technological developments and very strong times
although this ruling does not legitimize patrilineal
inheritance, it provides a breakthrough by giving equal
inheritance rights to a man and a woman.
Keywords: customary law, verdict/decision, patrilineal,
tungkot.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan
kebudayaan bangsa tersebut (Susylawati, 2009:
126). Tatanan hukum nasional tersebut terjadi
Pepatah hukum Cicero mengemukakan
pada bangsa Indonesia yang memiliki keragaman
tentang ubi societas ibi ius, hukum itu ada bila
budaya dan adat istiadat, serta memiliki tatanan
masyarakat ada, telah dimaknai masyarakat dan
hukum adat di masing-masing daerah.
hukum merupakan satu keping mata uang yang
berada pada sisi yang berbeda. Pepatah tersebut
Bagi bangsa Indonesia, eksistensi hukum
masih relevan hingga kini, sehingga keberadaan tidak bisa dilepaskan dari rangkaian sejarah
hukum tidak lepas dari masyarakat, lantaran panjang keberadaan hukum adat yang menjadi
hukum itu sendiri diciptakan untuk mengatur bagian yang tidak tak terpisahkan masyarakat
pergaulan masyarakat itu sendiri.
Indonesia berabad-abad silam. Keberadaan adat
Savigny, yang merupakan tokoh penganut
mazhab sejarah, mengemukakan bahwa hukum
merupakan salah satu faktor dalam kehidupan
bersama suatu bangsa seperti halnya bahasa,
adat, moral, dan tata negara. Oleh karena itu,
hukum adalah sesuatu yang bersifat supra
individual, suatu gejala masyarakat (Alting,
2010: 65). Hukum tidak hanya bertindak
mengatur kehidupan masyarakat dalam bangsa
namun juga menyatukan pandangan dan perilaku
dalam sebuah bangsa, dan setiap bangsa memiliki
tatanan hukum yang berbeda satu dengan lain.
Wignjodipuro berpandangan tidak ada
suatu bangsa yang tidak mempunyai tata hukum
nasionalnya. Hukum nasional bangsa merupakan
cerminan dari kebudayaan bangsa yang
bersangkutan. Karena hukum merupakan akal
budi bangsa dan tumbuh dari kesadaran hukum
236 |
tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia,
yang mana satu dengan yang lain berbeda-beda
meskipun dalam rumpun satu bangsa. Perbedaan
tersebut menunjukkan eksistensi hukum adat
di daerah tersebut senantiasa berkembang dan
masih mengikuti perkembangan zaman.
Proses kelahiran hukum adat tidak hadir
secara tiba-tiba, melainkan tahapan yang
panjang. Dilihat dari perkembangan hidup
manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi
manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan
perilaku. Perilaku yang terus-menerus dilakukan
perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi
(Setiady, 2008: 1). Kebiasaan yang berulangulang tersebut akan menjelma menjadi tata
kelakuan yang menjadi pengikat antar manusia,
yang lambat laut akan menjadi kebiasaan atau
adat istiadat antar mereka sendiri.
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
Adat istiadat tersebut akan menjadi kaidahkaidah yang dikenal, diakui dan dihargai, dan
juga ditaati oleh anggota masyarakat. Adat inilah
pada ujungnya akan menjelma menjadi hukum
yang lahir dan tumbuh dari masyarakat itu
sendiri, yang secara singkat dinamakan hukum
adat. Eksistensi hukum adat lahir diperoleh dari
berbagai cara. Misalnya saja, keberadaannya
melalui pengakuan dan diakui secara turuntemurun, dan telah tertuang dalam hukum saat ini,
hukum positif. Hukum positif meskipun lengkap,
namun memiliki keterbatasan, terutama dalam
hal penyelesaian permasalahan yang saat ini
terjadi atau dengan kata lain hukum senantiasai
ketinggalan dengan faktanya. Pada saat terjadi
perselisihan antara adat dan hukum positif, salah
satu upaya yang muncul adalah penyelesaian
melalui putusan hakim.
Putusan hakim merupakan mahkota hakim.
Hakim melalui putusannya mutlak perlu memiliki
pengetahuan mengenai hukum adat yang berlaku
di masyarakat, agar hukum tidak hanya berjalan
sebagai positivistic yang tertulis saja akan tetapi
juga mengadopsi nilai-nilai adat yang berlaku
dan tidak menempatkan hakim hanya sebagai
corongnya undang-undang saja (Rasyid, 2017: 7).
Putusan hakim terdahulu yang senantiasa menjadi
rujukan dalam menghadapi suatu perkara yang
tidak diatur dalam undang-undang dan menjadi
pedoman bagi hakim menyelesaikan suatu
masalah yang serupa, dinamakan yurisprudensi.
sebagaimana dijamin dalam konstitusi. Hakim
tidak dapat menolak perkara karena berdalih
ketiadaan hukum, sehingga ia harus melakukan
terobosan guna melahirkan putusan. Salah satu
terobosan yang perlu dilakukan adalah penemuan
hukum atau rechtsvinding, agar putusan tersebut
mampu memenuhi tuntutan jaman.
Salah satu putusan yang menarik dikaji
karena berkaitan erat dengan keberadaan hukum
adat adalah Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/
PN.Blg, dan selanjutnya diajukan pada tingkat
banding yaitu melalui Putusan Nomor 439/
PDT/2015/PT-Mdn pada Pengadilan Tinggi
Medan. Putusan ini merupakan salah satu putusan
pengadilan dengan pertimbangan yang concern
terhadap kedudukan hukum adat di Indonesia,
khususnya terkait kedudukan pewarisan dalam
hukum adat suku Batak.
Perkara ini bermula dari Alm. YS yang
merupakan bapak kandung para penggugat dan
juga bapak kandung dari tergugat I, tergugat
II, Almh. RS (istri turut tergugat I), dan turut
tergugat II akan tetapi beda ibu. Sang ayah semasa
hidupnya telah melangsungkan perkawinan
dengan Almh. TBS sekitar tahun 1915.
Perkawinan keduanya berlangsung lama namun
tidak memiliki keturunan, sehingga Almh. TBS
berinisiatif dan mengizinkan Alm. YS menikah
kembali tahun 1930. Dengan izin istri pertama,
Alm. YS menikah dengan teman maen-nya, yang
menjadi tungkot yakni Almh. SBS. Almh. TBS
berdalih alasan mengizinkan perkawinan tersebut
karena dirinya tidak dapat memberikan keturunan
sehingga berinisiatif mencari pengganti perut
untuk hamil dan melahirkan anak.
Yurisprudensi ini maksudnya menjadi
satu faktor kunci yang dapat secara cepat
mengakomodir perasaan keadilan yang hidup di
masyarakat karena adanya kekosongan hukum.
Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum
Dari hasil perkawinan Alm. YS dengan
yang senantiasa dikaitkan dengan kewenangan
Almh. SBS mendapat keturunan dua orang anak
hakim dalam memutus perkara. Hakim merupakan
laki-laki dan empat orang anak perempuan, akan
jabatan yang mengedepankan independensi
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 237
tetapi dari keenam orang tersebut, hanya dua
orang yang hidup yaitu LJS (penggugat I) dan HS
(penggugat II). Almh. SBS adalah maen (Boru
ni Iboto ni Almh. TBS), maka tungkot inilah
yang melahirkan anak buat Almh. TBS sehingga
anak itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya
bagi mereka berdua. Itu sebabnya Almh. TBS
dinamakan Nai Lucia Jaganirna, dan Almh. SBS
dinamakan Nai Hatinurbaya.
Pada suatu masa, ayah para penggugat
diam-diam menikah lagi dengan Almh. TBT
sekitar tahun 1951, tanpa diketahui dan disetujui
oleh Almh. TBS dan Almh. SBS, sehingga
Almh. TBT yang merupakan madu (imbang)
keduanya. Perkawinan Alm. YS dan Almh. TBT
memperoleh lima orang anak yaitu: MS (tergugat
I); RS (Almh.), yaitu istri dari (turut tergugat I);
JMS (tergugat II); NS (turut tergugat II); dan HS
(telah meninggal dan tidak punya keturunan).
Adapun yang objek gugatan sebidang tanah
persawahan yang terletak di Kampung Sitahuru
Desa Sitinjak, Kecamatan Onan Runggu,
Kabupaten Samosir, yang luasnya kurang lebih
374 M2. Dengan alasan kesehatan Almh. SBS
semakin menurun dan para penggugat bertempat
tinggal di perantauan, maka objek sengketa
tersebut diberikan hanya untuk dikerjakan oleh
Almh. TBS (Op. Rimson) beserta tergugat I dan
tergugat II, dan bukan untuk dimiliki apalagi
untuk dijual kepada pihak lain. Namun, tanpa
sepengetahuan dan seizin para penggugat, objek
tersebut telah dikuasai/dijual atau dialihkan oleh
mereka kepada tergugat III dan tergugat IV, dan
sudah berdiri bangunan yang dihuni oleh tergugat
III dan tergugat IV.
parental, di mana kedua belah pihak baik lakilaki dan perempuan memiliki hal yang sama
dalam pewarisan. Padahal hukum pewarisan
Batak berpegang teguh pada prinsip patrilineal,
yang mana pewarisan mengedepankan silsilah
garis keturunan melalui laki-laki. Sistem
patrilineal dalam masyarakat Batak menganut
garis keturunan ditarik dari bapak/laki-laki,
sehingga marga yang dipakai adalah turun dari
marga bapaknya. Kedudukan bapak/laki-laki
dalam masyarakat adat Batak dapat dikatakan
lebih tinggi dibandingkan dari kaum wanita,
sehingga dalam hal warisan yang mendapatkan
hak warisan adalah anak laki-laki.
Kedua, putusan ini juga mengakui adanya
perkawinan adat bernama tungkot dan imbang
yang mendapatkan hak pewarisan. Perkawinan
ini semacam pola poligami dengan alasan
perkawinan ini guna mendapatkan keturunan
atau sebab lainnya. Anak hasil perkawinan ini
juga mendapatkan pengakuan hak waris dalam
kedua putusan di atas.
Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg ini
selanjutnya diajukan pada tingkat banding, yaitu
melalui Putusan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn
pada Pengadilan Tinggi Medan, adalah perkara
tentang hak pewarisan dengan objek gugatan
yang sama. Penggugat dan tergugat memiliki
hubungan darah yang sama, yaitu sama-sama
dari satu ayah namun lain ibu kandung, yang
membedakan adalah para penggugat merupakan
anak yang lahir dari perkawinan tungkot,
sedangkan para tergugat dalam perkara pertama
yang lazim disebut perkawinan siri biasa.
Ada dua hal mengapa dua putusan tersebut B. Rumusan Masalah
menarik dilakukan kajian lebih mendalam.
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan
Pertama, kedua putusan tersebut memberikan
peluang dilakukan pewarisan dengan pola masalah yang hendak dikaji dalam tulisan
238 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
ini adalah bagaimanakah eksistensi hukum
pewarisan adat Batak yang mengedepankan
prinsip patrilinieal berdasarkan dua putusan
tersebut?
Arab yaitu syaraka yang artinya ikut serta,
berperan serta (Koentjaraningrat, 2001: 119).
Dalam bahasa Inggris dinamakan society yang
bermakna masyarakat, dan dalam bahasa Latin
yaitu societas yang berarti kawan. Dinamakan
masyarakat jika memenuhi ciri-ciri antara lain
C. Tujuan dan Kegunaan
merupakan kumpulan dari masing-masing
Tujuan penulisan ini adalah untuk individu, terdapat interaksi antara individumengetahui implementasi pewarisan adat individu di dalamnya, adanya aturan-aturan yang
suku Batak yang berpegang teguh pada prinsip mengatur perilaku anggota masyarakat, dan
patrilineal; mengetahui kedudukan tungkot dalam memiliki tatanan yang didukung oleh masingpewarisan adat suku Batak; dan mendapatkan masing individu tersebut.
gambaran yang utuh terkait eksistensi hukum
Keterkaitan hukum dan sejarahnya sesuai
adat dalam putusan pengadilan.
dengan pandangan Savigny, seorang penganut
Kegunaan dari penulisan ini adalah sebagai mazhab sejarah dari Jerman, yang mengemukakan
ilmu pengetahuan diharapkan akan mendorong das recht wird nicht gemacht, aber es ist und wird
pengembangan hukum adat di Indonesia dan mit dem volke (Latipulhayat, 2015: 197). Hukum
mendorong penyebaran informasi mengenai itu tidak dibuat tetapi tumbuh berkembang
kekhususan sistem pewarisan suku Batak dengan bersama dengan masyarakat itu sendiri, sehingga
adanya keberadaan perkawinan tungkot dan keberadaan hukum akan eksis dalam sekelompok
pewarisannya.
manusia yang dinamakan masyarakat.
Berbicara hukum adat sangat dekat dengan
tatanan sosial dalam sebuah masyarakat. Setiap
masyarakat memiliki karakteristik tersendiri dalam
hal norma, etika, dan pergaulan, serta batasan
dalam berinteraksi sosial. Karakteristik tersebut
akan membedakan satu komunitas masyarakat
dengan masyarakat yang lain tergantung dengan
wilayah atau pola garis keturunan.
Savigny
dalam
pendapatnya
mengemukakan bahwa hukum sebagai fenonema
historis, sehingga keberadaan setiap hukum adalah
berbeda, bergantung kepada tempat dan waktu
berlakunya hukum. Hukum harus dipandang
sebagai penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu
bangsa (volksgeist) (Soemadiningrat, 2002: 2-3).
Salah satu hukum yang merupakan penjelmaan
suatu bangsa Indonesia adalah hukum adat,
hukum yang lahir atas akulturasi budaya, agama,
keyakinan, dan perilaku masyarakat.
Masyarakat, istilah dalam bahasa Inggris
disebut society (berasal dari kata Latin socius
yang berarti kawan), paling lazim dipakai dalam
tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari
untuk menyebutkan kesatuan hidup masyarakat.
Masyarakat sendiri berasal dari akar kata bahasa
Soepomo berpandangan hukum adat adalah
hukum non statutair yang sebagian besar adalah
hukum kebiasaan yang berakar pada kebudayaan
tradisional dan sebagian kecil hukum Islam.
Hukum ini mencakup hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-
D.
1.
Tinjauan Pustaka
Hukum Adat di Indonesia
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 239
asas dalam lingkungan, di mana ia memutuskan
hati oleh mereka yang diatur oleh
keputusan tersebut. Atau dengan
perkara (Soepomo, 2013: 3). Sedangkan
kata lain hukum adat timbul dari
Hazairin juga memberikan pengertian bahwa
keputusan para warga masyarakat
yang mengadopsi pendapat Ter Haar
setiap lapangan hukum mempunyai hubungan
dengan konsep beslissingenleer
dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung.
(Soekanto & Soekanto, 1972: 15-16).
Demikian juga dengan hukum adat teristimewa di
Hukum adat adalah aturan kebiasaan
sini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang
dalam
hidup
bermasyarakat
langsung antara hukum dan kesusilaan (Komari, manusia
(Hadikusuma, 2003: 1). Apabila kebiasaan
2015: 159).
tersebut diakui serta diterima sebagai kaidah,
Wignjodipuro mengemukakan hukum
maka kebiasaan tersebut menjadi tata kelakuan
adat adalah suatu kompleks norma-norma yang
atau mores (Soekanto, 2011: 68). Agar kebiasaan
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang
dapat menjadi mores, maka kebiasaan dilakukan
selalu berkembang serta meliputi peraturan
terus-menerus dan berlangsung dalam waktu
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehariyang lama yang dimulai dari masing-masing
hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak
individu, kemudian keluarga, dan pada akhirnya
tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh
diterima masyarakat menjadi aturan-aturan yang
rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi)
berlaku di masyarakat itu sendiri.
(Wignjodipuro, 1973: 5).
Hukum adat sesungguhnya adalah sistem
Soekanto & Soekanto (1972) mengutip dari
hukum yang bersumber dari masyarakat itu sendiri,
berbagai kalangan, mendeskripsikan asal muasal
karena keberadaannya hidup dan berkembang
dari hukum adat dapat dikategorikan menjadi
beriringan dengan perkembangan masyarakat.
tiga kelompok, yaitu:
Kondisi tersebut memungkinkan bahwa setiap
1.
Hukum adat yang bersumber dari masyarakat adat dapat memiliki hukum adat yang
masyarakat itu sendiri sebagaimana
berbeda-beda satu dengan lainnya. Saat ini bangsa
pandangan Soepomo dan Logemann.
Penentu hukum adat bukanlah pada Indonesia setidak-tidaknya tercatat memiliki 714
jumlah perbuatan yang terjadi, namun suku dan lebih dari 1.100 bahasa daerah. Apabila
pada sesuatu hal yang memang sudah
mengacu pada data tersebut, setidaknya terdapat
seharusnya ditaati oleh masyarakat.
2.
Hukum adat yang bersumber pada jumlah yang kurang lebih sama dengan jumlah
hakim yang menghadapi kenyataan, adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di
bahwa peraturan tingkah laku yang
oleh masyarakat serta perasaan masing-masing daerah.
umum bahwa peraturan itu harus
dipertahankan oleh pejabat hukum
Corak Hukum Adat dalam Masyarakat
sebagaimana pandangan Vollenhoven 2.
dan Holleman.
Batak
3.
Hukum adat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma di
Untuk melihat konteks hukum adat dalam
dalam keputusan para pejabat hukum,
yang
mempunyai
kewibawaan dimensi pembangunan hukum nasional, perlu
dan pengaruh, serta yang di dalam mengurai corak hukum adat lebih dahulu agar
pelaksanaannya berlaku secara serta mendapatkan gambaran menyeluruh tentang
merta dan dipatuhi dengan sepenuh
240 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
hukum adat. Dalam berbagai literatur sering kali
ditemukan, bahwa dalam kerangka membicarakan
tentang hukum adat, terlebih dahulu dikemukakan
mengenai masyarakat hukum adat. Hal ini
sangat penting untuk melihat aspek hukum yang
dihasilkannya, karena corak masyarakat hukum
adat satu sama lainnya terdapat perbedaan.
bermakna mengutamakan kepentingan bersama
dibandingkan kepentingan individu. Sifat ini juga
kerap ditemukan dalam kebersamaan masyarakat
adat Batak, tampak pada setiap kegiatan yang
dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan
adat, maupun ketika musibah yang menimpa
anggota dalam kelompok masyarakat. Prinsip
kebersamaan ini selaras dengan prinsip dalihan
Hadikusuma membagi karakteristik hukum
natolu, ialah tungku tempat memasak yang
adat, yaitu: tradisional, keagamaan, kebersamaan,
diletakkan di atas dari tiga batu yang sama besar,
konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dapat
sama jarak, dan sama tinggi.
berubah dan menyesuaikan perkembangan,
tidak terkodifikasi, musyawarah dan mufakat
Sifat lain corak masyarakat Batak adalah
(Hadikusuma, 2003: 33-38). Corak ini yang sama terbuka dan sederhana. Masyarakat Batak secara
juga diungkapkan oleh Wiranata (2005: 61-68) terbuka menerima masukan unsur-unsur yang
dalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat datang dari luar, asal saja tidak bertentangan
Indonesia perkembangannya dari Masa ke Masa.” dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Hukum adat
Hukum adat bersifat tradisional, bersifat
turun-temurun dari zaman dahulu sampai saat ini,
masih berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat
setempat. Misalnya saja dalam kekerabatan masih
belaku menarik garis keturunan berdasarkan ibu,
bapak, dan atau keduanya. Pada masyarakat
Batak masih belaku apa yang dinamakan dalihan
na tolu, somba marhula-hula, manat mardongan
tubu, dan elek marboru dalam kekerabatan.
Sifat keagamaan terkait erat dengan
keyakinan/kepercayaan terhadap hal yang
bersifat gaib yang menentukan kehidupan
manusia, sehingga segala sesuatu terdapat campur
tangan Yang Maha Esa. Perilaku dan kaidah
yang berlaku di masyarakat sangat erat dengan
keyakinan terhadap agama yang diyakini oleh
masyarakat setempat. Saat ini pada umumnya
orang Batak mayoritas menganut agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik, dan Islam, sehingga
hukum adat yang berlaku berkaitan erat dengan
kepercayaan dan agamanya masing-masing. Sifat
hukum adat yang lain adalah kebersamaan, yang
Batak juga melalui proses administrasi yang
berbelit-belit dalam lembaga adat dalihan natolu.
Karakter hukum adat secara umum tidak
terkodifikasi sebagai suatu bentuk aturan tertulis
yang dapat diketahui dengan jelas. Hal ini juga
nampak dalam masyarakat adat dengan peraturan
yang tidak tertulis dalam hukum adat Batak Toba
dengan prinsip dalihan natolu. Prinsip ini tetap
dipegang teguh oleh masyarakat Batak meski
telah merantau di daerah lain.
Masyarakat adat Batak mengedepankan
persekutuan hukum yang bersifat geneologis
berdasarkan garis laki-laki atau patrililenal.
Garis laki-laki menjadi penentu utama untuk
menentukan pihak yang menerima hak pewarisan
dari sebuah perkawinan pada masyarakat Batak.
Dalam suku Batak Toba, ada beberapa perkawinan
yang dilarang karena melanggar adat, namun
ada juga perkawinan yang sangat dianjurkan.
Perkawinan yang diajurkan dalam adat Batak
Toba yaitu mahiturun atau mahuempe, panoroni,
mangalua, mangabing boru, marimbang atau
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 241
tungkot, singkap rere, manghabia, parumaen
di losung, marsonduk hela, manggogoi, dan
dipaorohon. Beberapa perkawinan yang dilarang
dalam suku Batak Toba dan ini dianggap tidak
sah dan menyalahi norma yang ada, yaitu
namarpadan, namarito, dua pungu saparihotan,
pariban naso boi olion, marboru namboru ni oli
anak ni tulang (Sitanggang, 2019: 8). Perkawinan
yang dilangsungkan tersebut akan menjadi
persekutuan hukum yang bersifat geneologis,
turun-temurun.
Mandailing di daerah
(Padangsidempuan).
Tapanuli
Selatan
Pembagian warisan dalam masyarakat
Batak, yang mendapatkan warisan adalah
anak laki-laki, sedangkan anak perempuan
mendapatkan bagian dari orang tua suaminya, atau
dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan
warisan dengan cara hibah (Nasution, Amsia
& Maskun, 2015: 3). Adanya pembagian harta
warisan tersebut, maka kedudukan anak lakilaki menjadi lebih dominan dibandingkan
Hadikusuma mengemukakan persekutuan perempuan untuk mendapatkan hak waris yang
hukum yang bersifat geneologis yang merupakan diterima dari harta orang tuanya yang telah
suatu kesatuan masyarakat yang teratur, di meninggal dunia, sedangkan perempuan Batak
mana para anggotanya terikat pada suatu garis tidak memiliki hak waris, namun penerima hibah
keturunan yang sama dari satu leluhur yang yang biasanya diterima setelah menikah. Nalle
terbagi menjadi tiga macam, yaitu: patrilineal, menambahkan menurut asas hukum waris adat
matrilineal, dan bilateral/parental. Masyarakat Batak Toba, hak atas warisan seorang ayah hanya
patrilineal akan ditarik garis keturunan bapak dimiliki anak laki-laki. Anak perempuan beserta
seperti marga Batak, Lampung, Gayo, Alas, Nias, keturunan sulungnya hanya dapat memperoleh
pembekalan tanah pertanian atau ternak dari
Buru, Seram, Nusa Tenggara, dan Irian.
ayahnya. Penelitian yang dilakukan Sulistyowati
Sistem matrilineal, yaitu sistem yang
Irianto juga menunjukkan komunitas Batak
ditarik menurut garis keturunan ibu yang
Toba di daerah perkotaan masih memegang
akan mengedepankan kedudukan wanita lebih
sistem pewarisan adat Batak Toba yang mengacu
menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak
pada sistem kekerabatan patrilineal (Nalle,
laki-laki dalam pewarisan. Sedangkan sistem
2018: 437). Penelitian tersebut mengukuhkan
parental yaitu sistem yang ditarik menurut garis
keberadaan sistem pewarisan adat Batak yang
kedua orang tua, atau menurut garis dua sisi
tetap mengedepankan pola patrilineal dari pihak
yaitu bapak dan ibu, di mana kedudukan pria
laki-laki, bapak atau ayah.
dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan,
Ayah dalam masyarakat Batak memiliki
yang ditemukan seperti di Aceh, Riau, Jawa,
Kalimantan, dan Sulawesi (Hadikusuma, 2003: panggilan yang berbeda. Orang-orang berasal
dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga),
108-109).
pada orang Karo dinamakan sada bapa (satu
Perwilayahan masyarakat adat Batak
keluarga), sedangkan pada Simalungun disebut
dibedakan menjadi enam area, yaitu: sekitar
sapanganan (satu keluarga) (Elpina, 2015: 4-6).
Danau Toba, Karo (Kabanjahe), Simalungun
Meski terdapat perbedaan panggilan, namun
(Pematangsiantar), Pakpak di daerah Dairi
secara prinsip adalah sama yaitu pewarisan
(Sidikalang), Anggola (Gunung Tua), dan
melalui garis keturunan laki-laki patrilineal.
242 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
3.
Relasi Hukum Adat
Pengadilan
dan
Putusan
Bagi bangsa Indonesia pembinaan hukum
nasional, bukan semata-mata merupakan
monopolinya bidang perundang-undangan saja,
akan tetapi juga dilakukan melalui berbagai
sektor antara lain melalui yurisprudensi.
Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum
akan menentukan arah perubahan dalam suatu
pembinaan hukum dapat lebih cepat terakomodir,
sehingga hukum yang dilahirkan dapat sesuai
dengan perasaan keadilan yang hidup di
masyarakat dan perwujudan kepastian hukum,
keadilan, dan kemanfaatan.
Sumber hukum adalah segala sesuatu
yang menimbulkan atau melahirkan hukum atau
asal mulanya hukum. Sumber hukum menurut
Kansil dapat dilihat dari segi materil dan segi
formal. Sumber hukum formal antara lain:
undang-undang (statute), kebiasaan (custom),
keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi), dan
traktat (treaty) (Agustine, 2018: 645). Urgensi
kedudukan yurisprudensi sebagai salah satu
sumber hukum senantiasa harus dikaitkan dengan
tugas dan kewenangan hakim yang dijamin oleh
konstitusi.
atau petugas-petugas hukum lainnya, yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwaperistiwa hukum konkret. Penemuan hukum
dilakukan oleh karena undang-undang tidak
lengkap atau tidak jelas, hakim harus mencari
hukumnya dan harus menemukan hukumnya
(rechtsvinding). Teori tentang penemuan hukum
ini menjawab pertanyaan mengenai interpretasi
atau penafsiran terhadap undang-undang. Pada
dasarnya setiap orang dapat menemukan hukum,
namun penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim adalah hukum, sedangkan penemuan
hukum yang dilakukan oleh orang adalah doktrin,
dalam ilmu hukum doktrin bukanlah hukum
melainkan sumber hukum (Muwahid, 2017: 225).
Penemuan hukum selalu menghasilkan
ketentuan hukum baru, maka secara praktis setiap
penemuan hukum pasti merupakan pembaruan
hukum. Selain itu, penemuan hukum oleh hakim
selalu bersifat kasuistis, yakni untuk kasus
tertentu yang sedang dihadapi, sehingga tidak
mesti berlaku untuk kasus-kasus lainnya, kecuali
jika memang kasusnya sama persis. Namun
sebenarnya semua kasus hanya memiliki sifat
serupa tapi tak sama (Ardi, 2015: 54-55). Dengan
sifat kasuistis atau ad hoc ini, maka satu ketentuan
atas penemuan hukum dengan objek yang sama
akan memungkinkan melahirkan putusan hakim
yang berbeda. Hal tersebut dikarenakan berbagai
faktor, antara lain: latar belakang perkara, para
pihak yang berperkara, dan pemahaman hakim
itu sendiri.
Jaminan konstitusi bahwa hakim memiliki
independensi dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus sebuah perkara. Independensi tersebut
melahirkan kebebasan hakim dalam menjalankan
tugasnya yang tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain. Oleh sebab itu, hakim dalam memutus
Penemuan hukum atau rechtsvinding
perkara mendapatkan legalitas melakukan
tersebut sejalan dengan kewajiban hakim dalam
penemuan hukum atau rechtsvinding dengan
Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving
melakukan penafsiran undang-undang.
voor Indonesie, yaitu: “Hakim harus mengadili
Mertokusumo
sebagaimana
dikutip berdasarkan Undang-Undang,” selaras dengan
Muwahid mengemukakan penemuan hukum asas hukum berlaku umum yaitu ius curia
adalah proses pembentukan hukum oleh hakim novit, hakim dianggap tahu hukum. Ketentuan
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 243
tersebut kemudian disempurnakan melalui
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yaitu Pasal 10 ayat (1)
yang menyatakan pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
putusan hakim/pengadilan terdahulu, akan
menjadi referensi bagi hakim mengisi kekosongan
hukum sebagai yurisprudensi bagi hakim. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
yurisprudensi sebagai ajaran hukum melalui
pengadilan dan atau himpunan putusan hakim
(Depdiknas, 2002: 1278). Sedangkan Black’s
Law Dictionary mendefisikan antara lain: more
modernly, the study of the general of fundamental
Hukum positif betapa pun lengkapnya
element of particular legal system and judicial
tetap saja terbatas, ketika terjadi perbedaan
precedents considered
collectively (Garner,
penerapan antara hukum positif dan hukum adat,
2004: 931-932).
keduanya hendaklah memiliki kesempatan yang
sama untuk dipilih sebagai dasar penyelesaian
Pada masa kini yurisprudensi disebut
sengketa. Hakim selaku mahkotanya melalui juga keputusan hakim atau keputusan
putusannya, mutlak perlu memiliki pengetahuan pengadilan. Istilah yurisprudensi berasal dari
mengenai hukum adat yang berlaku di kata jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti
masyarakat, agar hukum tidak hanya berjalan pengetahuan
hukum
(rechts-geleerheid).
sebagai positivistic/legalislic yang tertulis saja, Yurispudensi biasa juga disebut “judge made
akan tetapi juga mengadopsi nilai-nilai adat yang law” (hukum yang dibuat pengadilan). Kata
berlaku dan tidak menempatkan hakim hanya yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia,
sebagai corongnya undang-undang saja (Rasyid, sama artinya dengan kata jurisprudential (bahasa
2017: 71). Peluang terhadap potensi kekosongan Belanda) dan jurisprudence dalam bahasa
hukum atau aturan hukum positif tidak berlaku, Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum
sehingga sebagai jalan keluarnya adalah Pasal 5 peradilan (Kartini, 2015: 142).
ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi II.
METODE
wajib menggali, mengikuti, dan memahami
Penelitian ini menggunakan metode
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Dalam penjelasan dikatakan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkaji
ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan kaidah, teori asas-asas, dan peraturan perundanghakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum undangan serta putusan peradilan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan
dan rasa keadilan masyarakat.
(statute approach) dan pendekatan kasus (case
Nilai dasar dalam ketentuan tersebut adalah approach).
hakim diberikan peluang untuk menggali nilaiFokus penelitian ini adalah kajian terhadap
nilai hukum, seperti adat istiadat dan hukum adat
yang berlaku di masyarakat, sehingga hakim Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg, dan
tidak hanya mengandalkan hukum positif semata. selanjutnya diajukan pada tingkat banding yaitu
Keterbatasan hukum positif membuka peluang melalui Putusan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn
bagi hakim melakukan penemuan hukum dalam pada Pengadilan Tinggi Medan. Kedua putusan
244 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
tersebut menjadi dasar kajian dalam penulisan
ini.
Teknik pengumpulan data bersumber
pada data sekunder yaitu dokumentasi atas
kedua putusan di atas, yang selanjutnya akan
dilakukan analisis berdasarkan pustaka. Dalam
mendapatkan hasil penelitian ini digunakan
instrumen format kajian pustaka semata, untuk
menarik kesimpulan dari proses penelitian serta
menjawab permasalahan dan tujuan, sehingga
ditentukan saran dan masukan untuk pemecahan
masalah.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pengakuan “Hak Perempuan” dalam
Pewarisan Patrilineal Masyarakat Batak
4.
5.
hukum dalihan natolu adat Batak;
Perbuatan tergugat I dan tergugat
II kepada tergugat III dan tergugat
IV dalam bentuk apapun adalah
merupakan perbuatan melawan
hukum, oleh sebab itu batal demi
hukum;
… dst.
Amar di atas menunjukkan bahwa baik
para penggugat dan para tergugat masih memiliki
pertalian hubungan kekeluargaan. Oleh hakim,
kedua belah pihak adalah sama-sama keturunan
dari Alm. YS, namun berlainan ibu dan mereka
memiliki hak atas harta-harta yang diperoleh
dalam perkawinan kedua orang tuanya tersebut.
Berbeda halnya perkawinan antara Alm. YS dan
Almh. SBS yang hanya menyisakan dua anak
perempuan LJS (penggugat I) dan HS (penggugat
II), sedangkan perkawinan Alm. YS dengan
Almh. TBT memperoleh lima keturunan orang
yang salah satunya adalah laki-laki sulung yaitu
MS (tergugat I). Apabila mengacu pada hukum
dasar pewarisan Batak yang menganut asas
patrilineal, maka pewaris harta tersebut adalah
MS.
Dua putusan pengadilan tingkat pertama
dan tingkat banding akan menjadi fokus kajian
tulisan ini. Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/
PN.Blg pada pengadilan Negeri Balige diperkuat
dengan Putusan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn
pada Pengadilan Tinggi Medan. Majelis hakim
Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg pada
Berkaca pada tiga hal yang menjadi dasar
pokoknya antara lain menyatakan amar sebagai
pertimbangan majelis hakim dalam Putusan
berikut:
Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg. Pertama, majelis
1.
Menyatakan para penggugat adalah
anak kandung dan ahli waris Alm. YS hakim berkesimpulan bahwa tanah sengketa
dengan perkawinannya dengan Almh. adalah tanah yang dibeli oleh ibu para penggugat,
TBS dan Almh. SBS, dan berhak atas
harta-harta yang diperoleh dalam bukan warisan dari bapak para penggugat dan
tergugat I, II, dan turut tergugat. Bahwa tanah
perkawinan tersebut;
2.
Menyatakan tergugat I, II, turut sengketa dahulu digunakan usaha oleh saksi AS
tergugat I dan II adalah anak kandung
dan ahli waris dari Alm. YS dengan atas izin dari ibu para penggugat, dan ibu dari
perkawinannya dengan Almh. TBT tergugat I, II, dan turut tergugat tidak pernah
dan berhak atas harta-harta yang datang ke tanah sengketa.
diperoleh dalam perkawinannya
tersebut;
Kedua, majelis hakim berpendapat bahwa
3.
Menyatakan objek gugatan adalah
milik Alm. YS yang diperoleh dalam benar para penggugat adalah anak dari Alm.
perkawinannya dengan Almh. TBS YS dari perkawinannya dengan Almh. SBS,
dan Almh. SBS dan para penggugat
yang berhak mewarisi sesuai dengan sedangkan tergugat I, istri turut tergugat I,
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 245
tergugat II, turut tergugat II, dan HS adalah anak
dari Almh. YS dengan istrinya Almh. TBT. Tanah
sengketa adalah milik dari ibu para penggugat,
bukan diwariskan dari Alm. YS, di mana tanah
sengketa dikerjakan oleh saksi AS atas izin ibu
para penggugat, dan ibu tergugat I, istri turut
tergugat I, tergugat II, turut tergugat II, dan HS
tidak pernah ke tanah sengketa.
Ketiga, bahwa bukti P-8 adalah surat
pernyataan yang dibuat oleh MarS, yang
menerangkan bahwa MS ada menerangkan
bahwa tidak ada lagi tanah warisan dari Alm.
YS yang tertinggal karena sudah terjual. Dengan
demikian kedudukan objek sengketa ini adalah
bukan objek pewarisan.
Merujuk pada amar putusan tersebut di
atas, benar tidak ditemukan adanya sifat warisan
terhadap objek sengketa, sehingga keberadaan
objek tersebut dikembalikan harta bersama
perkawinan Alm. YS dan Almh. SBS. Anak-anak
hasil perkawinan tersebut hanya menyisakan dua
orang perempuan saja yaitu para penggugat, yang
tidak memiliki hak mewarisi dalam pewarisan
patrilineal. Sesuai dengan hukum adat Batak, anak
perempuan atau istri hanya dapat mengusahakan
atau menggunakan harta warisan semata. Apabila
pewaris tidak memiliki anak laki-laki, maka harta
warisan harus jatuh kepada saudara laki-laki si
pewaris, meskipun pewaris tersebut memiliki
istri dan anak perempuan.
diperoleh dalam perkawinan antara Alm. YS
dan Almh. TBS, sedangkan tergugat I, II, dan
turut tergugat I dan II, adalah anak kandung dan
ahli waris dari Alm. YS dengan perkawinannya
dengan Almh. TBT, dan berhak atas harta-harta
yang diperoleh dalam perkawinannya tersebut.
Amar yang menyatakan kedua belah
pihak memiliki hak sama atas harta-harta di atas
tidak dapat diwujudkan, dikarenakan sifat objek
bukan warisan. Dengan ketiadaan warisan yang
selama ini menjadi objek sengketa, sehingga
klaim perpindahan objek gugatan oleh tergugat
I dan tergugat II kepada tergugat III dan tergugat
IV (para tergugat) dalam bentuk apapun adalah
merupakan perbuatan melawan hukum, oleh
sebab itu batal demi hukum. Akibatnya, para
tergugat dihukum mengembalikan kepada
para penggugat tanpa syarat, dalam keadaan
kosong dan bebas dari segala hak milik para
tergugat maupun hak milik orang lain yang
timbul karena mereka. Seperti diketahui bahwa
pola hukum waris pada masyarakat Batak yang
mengedepankan prinsip patrilineal yang berarti
pemilik hak waris adalah kaum laki-laki semata.
Jika mengacu pada prinsip tersebut, maka objek
sengketa tidak akan mungkin jatuh pada para
penggugat yang berjenis kelamin perempuan,
namun diberikan kepada saudara pewaris yang
berjenis kelamin laki-laki. Di sinilah letak hakim
melakukan terobosan dengan penemuan hukum
yang berbeda, sebagaimana asas hukum berlaku
umum yaitu ius curia novit, hakim dianggap
tahu hukum sehingga dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas.
Kedudukan kedua belah pihak yang
bersengketa, yaitu para penggugat dan para
tergugat memiliki hubungan kekerabatan yang
jelas, yaitu kedua belah pihak memiliki ayah
kandung sama, namun berbeda ibu. Kedua belah
pihak tersebut memiliki hak sama atas hartaDengan dalil tersebut, hakim membuka
harta yang diperoleh dalam perkawinan masingpeluang para penggugat adalah anak kandung
masing orang tuanya. Para penggugat harta yang
dan ahli waris Alm. YS dengan perkawinannya
246 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
dengan Almh. TBS dan Almh. SBS, dan berhak
atas harta-harta yang diperoleh dalam perkawinan
tersebut, dan tergugat I, II, turut tergugat I dan
II adalah anak kandung dan ahli waris dari
Alm. YS dengan perkawinannya dengan Almh.
TBT dan berhak atas harta-harta yang diperoleh
dalam perkawinannya tersebut. Selanjutnya para
tergugat yang kalah di pengadilan tingkat pertama,
kemudian mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Medan. Pengadilan Tinggi Medan justru
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Balige
tersebut, yang berarti permohonan banding para
pembanding ditolak oleh majelis hakim dengan
Putusan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn.
Pertimbangan majelis hakim tingkat
banding dikarenakan beberapa hal yaitu: pertama,
bahwa para terbanding semula penggugat I dan
penggugat II adalah anak/keturunan Alm. YS
dengan Almh. SBS yang disebut ibu situngkotan,
yang melangsungkan perkawinan atas persetujuan
keluarga dan istri pertama/Almh. TBS, karena
tidak dapat memberi keturunan. Perkawinan ini
adalah perkawinan tungkot sebagai salah satu
perkawinan yang diakui dalam adat Batak.
harus dianggap sebagai ahli waris, dan berhak
menerima bagian dari harta warisan orang tuanya.
Hakim merujuk pada Putusan Mahkamah Agung
Nomor 179/K/SIP/1961 tanggal 23 November
1961 yang memberikan hak sama laki-laki dan
perempuan mendapatkan warisan.
Keempat, berdasarkan fakta di persidangan
ternyata para terbanding semula penggugat I dan
II lebih mempunyai hak atas objek sengketa,
yang merupakan harta yang diperoleh dalam
perkawinan Alm. YS dan Almh. SBS. Dengan
demikian hak pewarisan jatuh pada penggugat
I dan penggugat II yang merupakan anak dari
perkawinan Alm. YS dan Almh. SBS.
Bagi penulis, kedua putusan baik
pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding
di atas setidaknya mencerminkan beberapa hal
penting sebagai berikut:
1.
Kedua, bahwa Almh. SBS menjadi
pengganti Almh. TBS, sehingga seluruh hakhak dan harta warisan menjadi milik Almh.
SBS dan anak-anaknya. Perkawinan Almh. SBS
adalah perwakinan yang “direstui” Almh. TBS.
Bahkan justru ia sendiri yang mencarikan istri
dari keluarga terdekat untuk suaminya Alm. YS
dengan alasan untuk mendapatkan keturunan.
Hal inilah dinamakan perkawinan tungkot.
Ketiga, hakim telah mempertimbangkan
atas rasa kemanusiaan dan keadilan serta atas
hakikat persamaan hak antara wanita dan pria,
menganggap sebagai hukum yang hidup di
seluruh Indonesia, seorang anak perempuan
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
Dalam perselisihan antara penggugat
dan tergugat berusaha meyakinkan
hakim tentang kebenaran meteril dengan
menggunakan dalil keberadaan hukum adat
yang berlaku bagi masyarakat Dayak. Hal
ini menunjukkan keberadaan hukum adat
masih menjadi patokan hakim menghadapi
persoalan yang terjadi di dalam masyarakat.
Dalil
penggugat
sebagaimana
termaktub dalam halaman 12-13 putusan
tingkat pertama menyatakan:
Hukum dalihan natolu, yakni adat Batak
yang mengatakan niduda rimbang,
nilaokhon
gala-gala,
ndang
sala
marimbang, asal masiula di ibana. Yang
artinya dimadu tidaklah salah asal masingmasing mengerjakan pekerjaannya, tidak
saling berebut. Bahwa menurut hukum adat
Batak harta benda milik istri yang dimadu
(tuan laen) diwarisi anak-anaknya sendiri
dan harta benda milik istri madu/imbang
diwarisi anak-anaknya sendiri juga.
| 247
Pandangan tersebut tentu berbeda dengan
para tergugat. Mereka mendalillkan bahwa
seorang janda/istri dan Op. Rimson doli yaitu
Tiona br. Tamba/ Op. Rimson Boru juga pewaris
sah dari Op. Rimson doli. Dalam hukum nasional
dan hukum adat Batak, apabila seseorang bapak/
suami meninggal dunia, pewaris sekaligus
menguasai harta dan orang meninggal tersebut
(Op. Rimson doli) adalah anak laki-laki yang
paling besar/putra sulung (MS). Selain itu, dalam
gugatan tersebut di atas para penggugat telah
melakukan pelecehan hukum terhadap tata adat
Batak karena isi gugatan para penggugat mengaku
sebagai pewaris sekaligus penerus keturunan dan
harta Alm. YS. Hal tersebut sangat bertentangan
dalam tatanan hukum adat Batak itu sendiri.
Baik para penggugat dan para tergugat,
atau pembanding atau terbanding sama-sama
berdalih bahwa berdasarkan hukum adat yang
berlaku, merekalah yang berhak atas objek
sengketa. Di sinilah hakim harus berpikir jeli
tentang kebenaran materil atas objek sengketa,
guna memutuskan hak atas objek sengketa.
Hal ini yang bermakna pembagian warisan
dalam putusan ini tidak berdasarkan
kekerabatan patrilineal kembali, namun
parental di mana perempuan dan laki-laki
memiliki hak yang sama.
Jika pandangan Soepomo hampir 50 tahun
silam mengungkapkan pola kekerabatan sebagai
keanekaragaman hukum mengemukakan berbagai
daerah hukum adat (adatrechtskringen) di
Indonesia, hukum adat itu tidak ada keseragaman
mengenai hal ini seperti kekeluargaan di
Batidak, Nias, Gayo, dan Lampung (semua di
pulau Sumatera), di Maluku dan di kepulauan
Timur diatur menurut keturunan dari pihak ayah
(patrilineal) (Soepomo, 2013: 17).
Dalam hal pewarisan hukum adat
patrilineal maupun matrilineal masih kerap
ditemui perbedaan gender yang sangat mencolok.
Begitu juga dengan masyarakat penganut sistem
patrilineal suku Batak Toba yaitu di mana
pihak yang berhak sebagai penerima warisan
atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja, dan
kaum perempuan tidak memiliki hak untuk
mendapat warisan sedikitpun kecuali apabila
ada kesepakatan bersama dalam suatu keluarga
(Sibarani, 2015). Dalam kekerabatan patrilineal
memiliki kedudukan laki-laki dianggap yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan, termasuk
di dalamnya adalah dalam hal pewarisan. Dengan
adanya putusan ini maka pandangan tersebut
telah mulai bergeser dengan adanya persamaan
hak antara wanita dan pria berhak menerima
bagian dari harta warisan orang tuanya.
2.
Putusan tingkat pertama dan tingkat
banding
menunjukkan
pengakuan
keberadaan keabsahan perkawinan adat
tungkot dan manimbang. Anak yang lahir
dari dua perkawinan tersebut sama-sama
diakui memiliki hak pewarisan atas harta
bersama atas perkawinan kedua orang tua
masing-masing.
3.
Pewarisan patrilineal mutlak tidak berlaku
sepenuhnya. Majelis hakim berpendapat
rasa kemanusiaan dan keadilan serta atas
hakikat persamaan hak antara wanita dan
B. Tungkot dalam Perkawinan Adat Batak
pria menjadi alasan seorang anak perempuan
merupakan ahli waris dan berhak menerima
Salah satu hal yang menarik dari dua putusan
bagian dari harta warisan orang tuanya. yang menjadi kajian tulisan ini adalah perkawinan
248 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
adat Batak yang dinamakan tungkot. Tungkot juga
bermakna bigami atau poligami yang disahkan
oleh perkawinan adat. Tungkot biasa dilakukan
oleh lelaki suku Batak di masa lampau, dengan
alasan untuk mendapatkan keturunan, dan atau
alasan lain seperti memperbesar kekeluargaan
dengan motif ekonomi.
Dalam perkawinan ini istri pertama
memilih dan memberikan persetujuan sang suami
untuk mendapatkan istri kedua. Istri pertama
justru memilih istri kedua dari kalangan keluarga
terdekat sendiri dan disebut tungkot (tongkat).
Tungkot dengan istri tungkot harus sejalan,
memiliki hak yang sama, dan menurut adat yang
bisa menjadi tungkot adalah orang yang masih
bersaudara. Bahwa istri pertama sebutannya
adalah tuan laen, istri kedua sebutannya adalah
tungkot, dan istri ketiga sebutannya adalah
imbang. Status istri tuan laen sama dengan istri
tungkot.
buat ibu situngkotan dengan syarat segala
miliknya adalah milik tungkot-nya.
Tungkot harus diambil dari salah satu
pariban, anggi (adik) ataupun maen (anak
perempuan dari iboto) dari ibu situngkotan. Itu
terjadi karena tungkot akan menjadi pengganti
ibu situngkotan, maka seluruh hak dan harta waris
milik situngkotan adalah juga hak dan waris dari
tungkot. Tungkot harus diambil sendiri oleh ibu
situngkotan, dan harus satu rumah, sada tataring
(satu tempat memasak) dan mereka tidak boleh
berpisah (Putusan Nomor 439/PDT/2015/PTMdn, hal. 3).
Dalam perkara ini Almh. SBS adalah
Perkawinan tungkot berbeda dengan
perkawinan imbang. Dalam perkawinan imbang
ini keberadaan sang istri yang tidak diketahui
oleh istri tuan laen dan istri tungkot. Dengan
kata lain suami menikah secara diam-diam tanpa
persetujuan dan sepengetahuan istri dan atau
tungkot. Dua perkawinan tersebut sama-sama
mendapatkan keabsahan dalam putusan yang
menjadi kajian tulisan ini.
maen Almh. TBS (boru ni iboto ni Almh. TBS).
Perkawinan Alm. YS dengan tungkot yang
melahirkan dua orang perempuan. Kedua anak
tersebut kemudian menjadi tanggung jawab dan
diasuh oleh kedua istri Alm. YS, yaitu Almh.
SBS dinamai nai hatinurbaya dan Almh. TBS
dinamai nai lucia jaganirna. Dengan demikian
tujuan perkawinan Alm. YS dengan tungkot-nya
telah mendapat keturunan telah tercapai. Posisi
tungkot yaitu Almh. SBS telah memiliki lima
orang anak, tetapi sekarang hanya tinggal dua
orang yaitu para penggugat saja dan berhak atas
harta-harta yang diperoleh dalam perkawinan
tersebut sebagaimana dimaksud dalam amar
putusan.
Mengutip
pandangan
Raja
Patik
Tampubolon, Drs. Sitorus, menyatakan tungkot
menurut adat Batak terjadi jika seorang ibu sudah
hampir menemui masa tuanya, namun belum
mendapat keturunan dan tidak ada harapan lagi
untuk melahirkan anak. Maka ibu tersebut bisa
martungkot (mengambil tungkot), sehingga ibu
tersebut dinamai situngkotan. Tujuannya yang
paling utama adalah untuk melahirkan keturunan
Majelis hakim juga mengakui perkawinan
adat lainnya yang disebut manimbang/imbang.
Amar putusan yang menyatakan tergugat I, II, dan
turut tergugat I dan II, adalah anak kandung dan
ahli waris dari Alm. YS dengan perkawinannya
dengan Almh. TBT yang disebut istri imbang yang
memiliki lima orang anak. Mereka berhak atas
harta-harta yang diperoleh dalam perkawinannya
tersebut, menjadi fakta yang tidak terbantahkan
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 249
pengakuan terhadap perkawinan adat yang diakui
Menurut hukum dalihan na tolu adat Batak,
dalam putusan ini.
harta pencarian (gono-gini) dari seseorang “lelaki/
suami” yang beristri tuan laen (permaisuri) dan
imbang (madu) tidak disatukan sehingga harta
C. Dalihan Na Tulo
pencarian tersebut:
Hal lain yang tak kalah menarik perlu dikaji
Yang diperoleh dalam perkawinan dengan
adalah pengakuan hukum adat Batak bernama a.
istri tuan laen (permaisuri) menjadi milik
dalihan na tolu. Dalihan na tolu merupakan prinsip
dan turun kepada anak yang dilahirkan oleh
adat Batak yang bertujuan mengatur pergaulan
istri tuan laen (permaisuri) tersebut;
hidup yang mengedepankan keseimbangan
dan perdamaian yang berdiri atas tiga tungku
b.
Yang diperoleh dalam perkawinan dengan
kelompok masyarakat. Bagi masyarakat adat
istri imbang (madu) menjadi milik dan
Batak, tiga tungku tersebut berdiri sama tinggi,
turun kepada anak yang dilahirkan oleh
duduk sama rendah yang sama panjang, dan
istri imbang (madu) tersebut.
besar untuk menunjukkan adanya keadilan dan
Dalihan na tolu berasal dari kat dalihan
demokrasi yang seimbang. Konsep ini sesuai
dengan corak hukum adat sebagaimana di atas artinya tempat memasak, na artinya kata
yang mengedepankan asas musyawarah dalam penghubung yang, tolu artinya tiga. Berarti
dalihan na tolu artinya tungku berkaki tiga tempat
mengambil keputusan dilakukan bersama-sama.
memasak makanan. Ketiga kaki tungku tersebut
Dalam putusan tingkat pertama setidaknya
terbuat dari batu dan berukuran sama yaitu 30 cm.
menyebutkan enam kali dalihan na tolu.
Dalihan na tolu inilah sumber inspirasi suku Batak
Putusan tingkat pertama halaman 6 menyatakan
dan menjadikannya sebagai falsafah (filsafat)
hukum dalihan na tolu, yakni adat Batak yang
yang mengatur seluruh sistem kekerabatan sistem
mengatakan: niduda rimbang, nilaokhon galakebudayaan, dan tata kehidupan orang Batak
gala, ndang sala marimbang, asal masiula
(Sinaga, 2009: 8).
di ibana. Artinya dimadu tidaklah salah asal
Tiga kaki tungku dari segi panjang dan
masing-masing mengerjakan pekerjaannya, tidak
besarnya sama adalah bermakna keadilan dan
saling berebut.
demokrasi. Keadilan artinya jika salah satu
Hakim memutuskan objek sengketa
kelompok tidak berfungsi/tidak difungsikan, maka
adalah milik Alm. YS yang diperoleh dalam
permasalahan yang hendak dipecahkan tidak
perkawinannya dengan Almh. TBS dan
akan terselesaikan, dan jika keputusan sepihak
Almh. SBS, dan para penggugat yang berhak
ditetapkan maka akan berdampak pada kehidupan
mewarisinya. Hal ini sesuai dengan hukum
selanjutnya, yaitu mara bahaya, pemecahan
dalihan na tolu adat Batak. Dalam putusan
masalah tidak diakui, dianggap tidak punya harga
pengadilan tingkat banding ini juga disinggung
diri (Sinaga, 2014: 191-192).
tentang prinsip hidup suku Batak yang bernama
Dalihan na tolu ini juga sekaligus
dalihan na tolu yang termuat pada halaman 29
dianggap sebagai simbol di dalam adat Batak
putusan dimaksud.
Toba. Semua masyarakat adat Batak Toba yang
250 |
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
Prinsip dalihan na tolu dalam hukum adat
Batak Toba berdasarkan dua hal, yaitu: pertama
sikap dan perilaku terhadap dongan sabutuha atau
kawan semarga. Hal ini bermakna sikap manat
atau hati-hati terhadap dongan sabutuha dapat
disejajarkan dengan ungkapan yang berbunyi:
“benang jangan terputus, tepung jangan terserak.”
Kedua, sikap dan perilaku terhadap hula-hula
atau marga istri sikap somba atau hormat yang
Tungku dalam persepsi masyarakat
ditetapkan terhadap hula-hula didasarkan kepada
adat mempunyai kesamaan (analogi) dengan
pemikiran bahwa putri hula-hula adalah ibu yang
hubungan kekeluargaan. Persamaannya secara
melahirkan keturunan dan disebut hagabeon
terperinci adalah sebagai berikut:
dalam bahasa Batak (Simbolon, Aprilianti &
1.
Tungku tidak bisa dipisahkan dari Rusmawati, 2017: 45).
kehidupan manusia sehari-hari.
Manusia memerlukan makanan
Dalam Putusan Nomor 439/PDT/2015/
untuk hidup. Berbicara tentang
makanan, selalu terkait dengan PT-Mdn halaman 29 sebagaimana mengutip
dalihan (tungku), yaitu alat untuk pandangan Panggabean dan Drs. Richard Sinaga,
memasak makanan. Selain itu menyatakan: hukum dalihan na tolu adat Batak,
tungku mempunyai fungsi yang
lain yaitu tempat untuk berdiang harta pencarian (gono-gini) dari seseorang “lelaki/
menghangatkan tubuh dari udara suami” yang beristri tuan laen (permaisuri) dan
dingin;
imbang (madu) tidak disatukan. Harta pencarian
2.
Ketiga batu tungku sebagai satu
kesatuan adalah landasan atau dasar yang diperoleh dalam perkawinan dengan istri
tempat meletakkan dengan kokoh tuan laen (permaisuri) menjadi milik dan turun
periuk untuk menanak atau memasak
lainnya, sehingga tidak ada isi periuk kepada anak yang dilahirkan oleh istri tuan laen
yang tumpah dan dapat masak (permaisuri) tersebut. Harta pencarian yang
dengan sempurna. Demikian dengan diperoleh dalam perkawinan dengan istri imbang
halnya dalihan na tolu, berfungsi
dengan
sempurna
menopang (madu) menjadi milik dan turun kepada anak yang
masyarakat Batak secara penuh dilahirkan oleh istri imbang (madu) tersebut.
keseimbangan. Kalau ada persoalan
seperti kemalangan atau musibah,
Dalam hal ini penulis berpandangan bahwa
akan ditopang dan ditanggulangi
baik dalam Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/
oleh ketiga unsur dalihan na tolu
secara bersama-sama sesuai dengan PN.Blg dan Putusan Nomor 439/PDT/2015/PTkedudukannya masing-masing;
Mdn, mengedepankan keberadaan hukum adat
3.
Untuk memanaskan atau memasak
harus ada api. Api yang ada di setempat dalam hal ini adat Batak. Putusan ini tentu
tungku harus tetap menyala, agar saja perlu diapresiasi di tengah perkembangan
tungku tersebut dapat berfungsi dan teknologi dan zaman yang sangat kuat, pengakuan
bermanfaat dengan sempurna. Api
yang menghidupkan hubungan sosial terhadap hukum adat tetap menjadi acuan hakim
dan solidaritas sesama orang Batak dalam memutuskan perkara.
adalah marga (Nainggolan, 2011: 2224).
ingin melakukan perkawinan, wajib mengikuti
semua aturan yang ada dalam prinsip dalihan
na tolu. Selain itu, dalihan na tolu juga dapat
berperan sebagai wadah untuk masyarakat adat
Batak Toba menyelesaikan permasalahan dalam
kehidupan perkawinan melalui unsur-unsur di
dalamnya (Simbolon, Aprilianti & Rusmawati,
2017: 44).
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 251
IV.
KESIMPULAN
Cetakan I. Yogyakarta: LaksBang Pressindo
Yogyakarta bekerjasama dengan Lembaga
Bagi bangsa Indonesia, eksistensi hukum
Penerbitan Universitas Khairun Ternate,
tidak bisa dilepaskan dari rangkaian hukum adat
Maluku Utara.
yang merupakan sejarah bangsa yang merupakan
penjelmaan masyarakat Indonesia berabad- Ardi, M.F. (2015). Penemuan hukum oleh hakim
melalui kias. Disertasi. Diajukan untuk
abad silam. Mereka memiliki adat istiadat yang
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
berbeda satu sama lain yang memiliki corak
Doktor dalam bidang Syari’ah Hukum Islam
sesuai dengan masing-masing daerah.
pada Program Pascasarjana UIN Alauddin
Penulis menarik kesimpulan bahwa baik
dalam Putusan Nomor 1/PDT.G/2015/PN.Blg
dan Putusan Nomor 439/PDT/2015/PT-Mdn,
mengedepankan keberadaan hukum adat setempat
dalam hal ini adat Batak. Meski putusan ini
tidak melegitimasi pewarisan patrilineal, namun
memberikan terobosan dengan memberikan
hak waris yang sama laki-laki dan perempuan.
Putusan ini tentu saja perlu diapresiasi di tengah
perkembangan teknologi dan zaman yang
sangat kuat, pengakuan terhadap hukum adat
tetap menjadi acuan hakim dalam memutuskan
perkara. Hukum adat yang lahir dari nilainilai dalam masyarakat sebagai rujukan dalam
memutuskan perkara yang muncul di dalam
masyarakat. Pelaksanaan hukum tidak “terpaksa”
untuk dilaksanakan, namun lahir dengan suka
rela dan mendapatkan penghormatan yang layak
di mata masyarakat.
Makassar.
Departemen
Pendidikan
Nasional
[Depdiknas].
(2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Elpina. (2015, Desember). Kedudukan perempuan
dalam hukum waris adat Batak Toba. Jurnal
Hukum Keadilan, 3(2), 1-12.
Garner, B.A. (2004). Black law dictionary. Chicago:
A Thomson Business.
Hadikusuma, H. (2003). Pengantar ilmu hukum adat
Indonesia. Cetakan II. Bandung: CV Mandar
Maju.
Kartini. (2015, Januari). Pemberdayaan yurisprudensi
sebagai
sumber
hukum
Islam
(Analisis
fungsional dalam rangka optimalisasi kinerja
hakim agama). Jurnal Al-‘Adl, 8(1).
Koentjaraningrat. (2001). Pengantar antropolologi.
Cetakan Kedua. Jakarta: PT Rieka Cipta.
Komari. (2015, Agustus). Eksistensi hukum waris di
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia: Antara adat & syariat. Jurnal AsySyari‘ah, 17(2), 157-172.
Agustine, O.V. (2018, September). Keberlakuan
yurisprudensi pada kewenangan pengujian
undang-undang dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi, 15(3), 642-665.
Alting, H. (2010). Dinamika hukum dalam pengakuan
& perlindungan hak masyarakat hukum adat
atas tanah: Masa lalu, kini & masa mendatang.
252 |
Latipulhayat, A. (2015). Khazanah: Friedrich Karl
Von Savigny. Jurnal Ilmu Hukum (Journal of
Law), 2(1), 197-208.
Muwahid. (2017, Juni). Metode penemuan hukum
(Rechtsvinding) oleh hakim dalam upaya
mewujudkan hukum yang responsive. AL-
Jurnal Yudisial Vol. 12 No. 2 Agustus 2019: 235 - 253
Kampus, 7(2), 187-208.
HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic
Family Law, 7(1), 224-248.
Sitanggang, M.P. (2019, Januari-Juni). Perkawinan
dengan pariban pada suku Batak Toba di kota
Nainggolan, S.R. (2011). Eksistensi adat budaya
Jambi. JOM FISIP, 6(1), 1-14.
Batak Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak
(Studi kasus masyarakat Batak perantauan di
Kabupaten Brebes). Skripsi. Fakultas Ilmu
Soekanto & Soekanto, S. (1972). Pokok-pokok hukum
adat. Bandung: Alumni.
Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Nalle, V.I.W. (2018, Oktober). Pembaharuan hukum
Soekanto, S. (2011, Februari). Hukum adat Indonesia.
Cetakan II. Jakarta: Rajawali Press.
waris adat dalam putusan pengadilan. Mimbar
Hukum, 30(3), 437-447.
Soemadiningrat, O.S. (2002). Rekonseptualisasi
hukum adat kontemporer. Cetakan Pertama.
Nasution, D., Amsia, T., & Maskun. (2015). Sistem
Bandung: Alumni.
pewarisan pada masyarakat Batak Toba
di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Soepomo. (2013). Bab-bab tentang hukum adat.
Selatan. Jurnal PESAGI (Jurnal Pendidikan
Cetakan ke-18. Jakarta: Balai Pustaka.
dan Penelitian Sejarah), 3(1), 1-12.
Susylawati, E. (2009, Juni). Eksistensi hukum adat
Rasyid, L.M. (2017, Mei). Pengakuan terhadap
dalam sistem hukum di Indonesia. Jurnal al-
hukum adat dalam kajian putusan kasus tanah
Ihkâm, IV(1), 125-140.
hibah adat di Pengadilan Sigli. Riau Law
Journal, 1(1), 61-72.
Wignjodipuro, S. (1973). Pengantar & asas-asas
hukum adat. Bandung: Alumni.
Setiady, T. (2008). Intisari hukum adat Indonesia
dalam kajian kepustakaan. Bandung: Alfabeta.
Wiranata, I.G.A.B. (2005). Hukum adat Indonesia
perkembangannya
Sibarani, P.Z. (2015). Diskriminasi pembagian harta
dari
masa
ke
masa.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
warisan pada wanita Batak Toba. Diakses
dari
https://www.kompasiana.com/paltyzan
/566fc8863793737e07df433f/diskriminasipembagian-hartawarisan-pada-wanita-bataktoba-selamat-hari-ham-ke-67?page=all
Simbolon, E.E., Aprilianti & Rusmawati, D.E.
(2017). Peranan dalihan na tolu dalam hukum
perkawinan adat Batak Toba. Pactum Law
Journal, 1(1), 42-51.
Sinaga, B. (2009, April). Model pembelajaran
bermuatan soft skills dengan pola interaksi
sosial dalihan na tolu. Jurnal Generasi
Kampus, 2(1), 1-20.
_________. (2014). Inovasi model pembelajaran
berbasis budaya Batak. Jurnal Generasi
Eksistensi Pewarisan Hukum Adat Batak (Jaja Ahmad Jayus)
| 253