Academia.eduAcademia.edu

UTS PPKN

UJIAN TENGAH SEMESTER GASAL PENDIDIKAN PANCASILA KEWARGANEGARAAN ARTIKEL ILMIAH NAMA: FAHRUL RAMADHAN NIM:211212019153450 FAKULTAS TEKNIK PRODI S1 TEKNIK MESIN (REG.B) UNIVERSITAS WIDYAGAMA MALANG 2021 ABSTRAK Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang harus dijadikan pedoman bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Metode dalam artikel ini adalah kualitatif dengan studi kepustakaan, yang merupakan penelitian yang bersumber dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan seperti jurnal dan artikel ilmiah. Pancasila merupakan isi dan jiwa bangsa Indonesia yang sudah ada sejak dahulu yang telah lama terkubur akibat adanya kebuadayaan bara. Adanya globalisasi dan media yang menyebabkan pertukaran kebudayaan semakin cepat, nilai Pancasila pun semakin pudar. Oleh sebab itu, nilai Pancasila dipahami bukan secara teori saja juga diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai yang terkandung didalam Pancasila diantaranya adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai musyawarah/mufakat, nilai keadilan. Warga negara Indonesia mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. PENDAHULUAN Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara agar kehidupan sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan adanya arus globalisasi dan pertukaran kebudayaan semakin cepat mnyebabkan perlahan nilai Pancasila luntur dari kehidupan masyrakat Indonesia. Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia yang berarti bahwa dalam melaksanakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus tunduk dan patuh melaksanakan semua nilai-nilai yang terkandung di setiap sila yang tercantum dalam Pancasila. Pentingnya Pancasila sebagai dasar kehidupan bangsa karena jika suatu negara mempunyai dasar yang kuat maka hasil yang didapatkan pun akan semakin kuat. Menurut Widisuseno (2014), mengemukakan bahwa bangsa Indonesia disatukan atas dasar kesamaan cita-cita dan tekad bersama untuk bersatu. Oleh karena itu, sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus mampu menerapkan nilai Pancasila dengan baik. Karena pada dasarnya Pancasila sudah diterapkan oleh masyarakatnya jauh sebelum dirumuskan ke dalam lima sila yang kita kenal sekarang sebagai Pancasila. Soekarno mengutarakan bahwa Pancasila adalah nilai yang beliau gali dari tanah, air, dan bumi Indonesia. Dengan adanya arus informasi yang semakin cepat dan semakin simpang siur maka dalam penerapan nilai Pancasila pun perlahan mulai memudar. Diperlukan sebuah pelestarian nilai Pancasila melalui pembelajaran sejarah pancasila, memahami pancasila sebagai etika, memahami pancasila dari sudut filsafat, dan menerapkannya sebagai dasar kehidupan. Hal itu dilakukan agar ke depannya para generasi penerus bangsa Indonesia ini mampu mengenal dan selalu menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan. METODE Metode yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian kualitatif dengan studi kepustakaan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang hasilnya didapat dari mengumpulkan dan teori dari para peneliti yang membahas bahasan yang selaras dengan yang akan dibahas diartikel ini. Somantri (2005:64) mengungkapkan bahwa dengan metode penelitian kualitatif membuka tempat yang luas untuk berdiskusi ilmu dengan latar belakang yang berbeda, khususnya jika materi yang disampaikan secara menyeluruh dan benar. Peneliti mengumpulkan data dari buku-buku referensi ataupun ensiklopedi, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah. Lalu, data yang terkumpul dipahami dan dideskripsikan untuk merangkum kesimpulan. SEJARAH PANCASILA A. Kolonialisme Belanda Sejarah Pancasila tidak bisa dipisahkan dari kisah perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonialisme dan mendirikan Negara merdeka bernama Republik Indonesia. Sejarah resmi yang diajarkan di SD menyebut Indonesia dijajah 350 tahun atau tiga setengah Abad lamanya. Tetapi angka ini masih kontroversi. Sebab, Belanda dengan nama VOC baru muncul pada 1602 (343 tahun). Sementara ada yang mengatakan, VOC itu hanya kongsi dagang, belum mewakili Belanda. VOC bubar tahun 1799. Artinya, Belanda secara resmi mengambil-alih Indonesia pada 1800-an. Tetapi, terlepas dari kontroversi itu, Belanda menjajah Indonesia cukup lama. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan Belanda menjalankan politik pecah-belah atau devide et impera. Sejak kemunculan VOC di Indonesia, hingga berganti nama menjadi Hindia-Belanda, perlawanan bangsa Indonesia tidak pernah terhenti sama sekali. Aceh baru takluk pada 1904, sedangkan Bali dikuasai Belanda tahun 1906. Memang, perlawanan sejak kedatangan VOC hingga 1906 itu mengalami kekalahan. Ada beberapa penyebab: pertama, perlawanan itu dilakukan terpecah-pecah, sendiri-sendiri, di masing-masing daerah; dan kedua, semangat perlawanan itu masih didorong sentimen yang bersifat primordial, seperti semangat mempertahankan daerah, tradisi dan agama. Baru setelah memasuki abad ke-20 muncul semangat perlawanan baru, yaitu kebangsaan Indonesia atau nasionalisme Indonesia. Alat perlawanannya pun sudah sangat modern, yaitu organisasi. Dimulai dari gagasan-gagasan Kartini, Tirto Adhisuryo (pendiri Sarekat Priayi tahun 1906 dan Sarekat Dagang Islamiyah/SDI tahun 1909), hingga pendirian Boedi Oetomo. Sejak saat itu mulai muncul kesadaran baru tentang bangsa (Nation), bahwa manusia yang mendiami kepulauan Nusantara punya kesamaan nasib, kesamaan kehendak untuk bersatu, dan punya kesamaan cita-cita (menjadi bangsa Merdeka yang adil dan makmur). Para penjajah Eropa menyebut daerah jajahannya di Asia tenggara dengan sebutan Hindia timur. Masing-masing wilayah di Hindia Timur ini disesuaikan dengan nama penjajahnya. HindiaBelanda untuk wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Ada juga Hindia-Spanyol (Indias Orientales Españolas), dan Hindia-British (jajahan Inggris). Pergerakan nasional di masa awal pun masih memakai nama Hindia. Misalnya Indische Partij, yang didirikan oleh tiga serangkai Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangkukusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), menggunakan nama “Hindia”. Nama Indonesia, yang berasal dari istilah etnologi, baru dipakai tahun 1913 oleh Ki Hajar Dewantara untuk menamai kantor berita Bumiputera di negeri Belanda: Indonesische Persbureau. Kemudian, pada 1922, pelajar Indonesia di negeri Belanda sepakat mengadopsi nama Indonesia. Mereka mengubah nama organisasinya dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging. Kemudian, di tahun 1924, koran organisasi ini, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Setahun kemudian, giliran nama Indonesische Vereeniging resmi diubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Di tanah air, organisasi pertama yang memakai nama Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia pada tahun 1924—sebelumnya bernama Perserikatan Komunis Hindia. B. Soekarno dan Pembuangan ke Ende Pada 4 Juli 1927, Soekarno bersama mahasiswa lain yang tergabung dalam Studie Club mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Setahun kemudian berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Soekarno dan PNI berjasa besar dalam mempopulerkan nama Indonesia. Sejak awal PNI mengambil program politik cukup radikal: memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Strategi perjuangannya pun radikal, yakni non-kooperasi alias menolak bekerjasama dengan Belanda. PNI juga menggunakan massa actie (massa aksi) sebagai senjata perjuangannya. Jauh sebelum mendirikan PNI, Soekarno sudah gandrung bicara persatuan. Tidak ada kemerdekaan tanpa persatuan nasional, kata dia. Tahun 1926, dia menulis risalah berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, yang menganjurkan persatuan di kalangan pergerakan untuk mengusir Belanda. Desember 1929, karena politiknya yang radikal, Sukarno ditangkap Belanda. Dia kemudian dijebloskan ke penjara Bantjeuj di Bandung, Jawa Barat. Di dalam ruang penjara yang sempit, gelap, pesing dan pengap itu Soekarno menulis pledoi yang terkenal, Indonesia Menggugat. Soekarno keluar penjara tahun 1931 dan langsung kembali ke dunia pergerakan. Tak lama kemudian, tepatnya 1933, dia menulis artikel yang keras, Mencapai Indonesia Merdeka, yang mengantarkannya pada penjara dan pembuangan. Tahun 1933, Sukarno kembali ditangkap, tetapi kali ini mengalami pembuangan. Dia dibuang ke Ende, Flores, Nusatenggara timur. Istrinya, Inggit Garnasih, mertuanya (Ibu Amsi), dan anak angkatnya bernama Ratna Djuami, ikut Soekarno ke pembuangan di Ende. Di Ende, sifat pergerakan Soekarno tidak hilang. Selain mengorganisir kelompok sandiwara bernama “Kalimutu”. Selama 4 tahun pembuangan di Ende, selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938), dia membuat 12 naskah sandiwara. Di ende pula, di bawah naungan sebuah pohong sukun, Soekarno menemukan ilham tentang lima dasar Indonesia merdeka kelak, atau Pancasila. Soekarno menyebutnya 5 butir mutiara. “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah,” kata Sukarno dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Namun, karena sakit Malaria, tahun 1938, Soekarno dipindahkan ke Bengkulu. Di Bengkulu, kekuasaan Belanda dikalahkan oleh Jepang. Pada tahun 1942, demi kepentingan Jepang, Soekarno dikembalikan ke Jakarta. C. Sidang BPUPKI Di awal 1945, tanda-tanda melemahnya kekuasaan fasisme Jepang mulai terlihat. Untuk itu, pemerintah pendudukan Jepang mulai menjanjikan Kemerdekaan kepada Indonesia. Tanggal tangga 29 April 1945, dibentuklah badan bernama Dokuritsu Junbi Cosakai alias Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang beranggotakan 59 orang ini didominasi oleh tokoh-tokoh pergerakan, termasuk Sukarno dan Hatta. Tugas BPUPKI adalah merancang pembentukan negara Indonesia. BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Sidang pertama ini berlangsung hingga tanggal 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini, berbagai tokoh berpidato tentang negara Indonesia, seperti Mohammad Yamin, Soepomo, dan Hatta. Namun, dari semua tokoh yang berpidato, tak satupun yang menyinggung dan menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, dr. Radjiman Wediodiningrat: "Jika Indonesia merdeka, di atas dasar apa negara ini akan kita dirikan?" Baru pada saat giliran Soekarno, yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, pertanyaan itu terjawab. Soekarno berpidato tentang arti penting Philosofische grondslag (filosofi dasar) dan Weltanschauung (pandangan hidup) bagi sebuah negara yang merdeka. Sukarno juga menguraikan lima nilai dasar filosofis tersebut, yakni kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi atau mufakat, keadilan sosial dan percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Sukarno kemudian menamai lima nilai filosofi dasar itu dengan nama Pantja-Sila atau Pancasila. Pidato Soekarno mendapat tepuk-tangan bergemuruh dari peserta sidang. Usulannya disetujui. Untuk mematangkan rumusan Sukarno itu, dibentuklah Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno sendiri. Panitia Sembilan inilah yang mengubah sedikit urutan rumusan Soekarno: Ketuhanan pindah ke sila pertama, dan ditambahi kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini disebut Piagam Djakarta. Karena itu, Soekarno boleh dikatakan sebagai penemu dari Pancasila. Tetapi dia sendiri menolak istilah “penemu” itu. Menurutnya, lima nilai dasar itu sudah ada dan hidup di bumi Indonesia jauh sebelum kolonialisme datang. Hanya sempat terkubur oleh kolonialisme. Soekarno hanya menggalinya kembali. Maka ada istilah: Sukarno penggali Pancasila. Pancasila ditetapkan sebagai Dasar Negara pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan mengubah bunyi sila pertama Piagam Djakarta, menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tahun 1947, Departemen Penerangan Republik Indonesia (RI) mempublikasikan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dengan nama Lahirnya Pancasila. Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat, menyebut bahwa pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Lahirnya Pancasila. Sedangkan peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahirnya Pancasila baru dimulai secara resmi di tahun 1964. D. Lambang Garuda Pancasila Desain Garuda dengan lima perisainya mulai muncul tahun 1950. Tahun 1950, pemerintahan RIS menyelenggarakan sayembara desain lambang negara. Ada dua desain yang menang: karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Tetapi karya Yamin gugur, karena menggunakan sinar-sinar matahari yang identik dengan fasisme Jepang. Alhasil, pemenangnya adalah desain karya Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak ke-6. Desain Sultan Hamid II menyerupai Garuda tunggangan suci Dewa Wisnu, yang banyak ditemukan dalam arca dan relief candi-candi Nusantara. Dalam desain awal itu, Garuda duduk di atas takhta bunga dengan dada terlindungi perisai. Kemudian, setelah dialog dengan Soekarno dan Hatta, desain Sultan Hamid II itu disempurnakan. Sang Garuda tidak lagi duduk bertakhta di atas bunga teratai, tetapi Garuda dengan sayap membentang dan dua tangan memegang perisai Pancasila. Ditambah juga dengan pita putih yang dijepit oleh kaki Garuda dengan tulisan “Bhineka Tunggal Ika”. Tetapi kepala Garuda masih gundul dan belum berjambul. Desain ini kemudian diperkenalkan Soekarno kepada khalayak ramai di Hotel Des Indes, Jakarta, pada 15 Februari 1950. Desain Sultan Hamid II ini kemudian disempurnakan oleh pelukis Istana, Dullah. Dengan penambahan jambul dan posisi cakar kaki mencengkeram pita dari depan. E. Lagu “Garuda Pancasila” Lirik lagu Garuda Pancasila, seperti yang kita nyanyikan sekarang, digubah oleh seorang komponis muda anggota Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA) bernama Sudharnoto. Komponis kelahiran Kendal, Jawa Tengah, itu menggubah lagu Garuda Pancasila pada tahun 1956. Namun, karena peristiwa G 30 S/1965, Sudharnoto ditangkap dan dipenjara oleh rezim Orde Baru. Keluar dari penjara, penggubah lagu Garuda Pancasila ini berjuang hidup dengan menjadi penyalur es petojo, sopir taksi, dan pemain orkes. F. Manipulasi Sejarah Pancasila Pada masa Orde Baru berlangsung intensif apa yang disebut “De-Sukarnoisasi”, yaitu upaya menghapus peranan dan pemikiran Sukarno dalam perjuangan bangsanya dalam ingatan rakyat Indonesia. Salah satu bentuk dari proyek de-Sukarnoisasi itu adalah manipulasi sejarah Pancasila. Orde baru melalui ideolognya, Nugroho Notosusanto, mulai menyusun sejarah manipulatif yang menghilangkan peran Soekarno sebagai penggali Pancasila. Dalam uraian Nugroho, Soekarno bukanlah penemu Pancasila, orang pertama yang mempidatokan lima dasar itu adalah Mohammad Yamin. Soekarno hanya memberi nama “Pancasila”. Nugroho juga menyebut rumusan Pancasila yang otentik adalah yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945. Klaim Nugroho itu menuai banyak bantahan. Pada Januari 1975, dibentuk Panitia Lima yang terdiri dari Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, A.K. Pringgodidgo, dan Soenario— semua bekas anggota BPUPKI. Panitia Lima menegaskan bahwa Sukarnolah yang pertamakali berpidato tentang lima dasar yang kelak dinamai Pancasila. Mereka membantah klaim Yamin dan menuduhkan “pinter nyulap”. Yamin sendiri diketahui menyembunyikan dokumen arsip Sidang BPUPKI dari Pringgodigdo (Pringgodigdo Archief), yang memuat arsip pidato tokoh-tokoh yang berpidato dalam sidang BPUPKI dari tanggal 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dokumen itu baru ditemukan kembali oleh seorang sejarawan UI, AB Kusuma, pada tahun 1990. Dokumen itu membantah klaim Yamin dan Nugroho Notosutanto. Selain memanipulasi sejarah penemu Pancasila, Orde Baru juga melarang peringatan Hari Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni sejak tahun 1970. Sebagai gantinya, Orde Baru menjadikan tanggal 1 Oktober, yang identik dengan keberhasilan Soeharto menumpas G.30 S/PKI, sebagai hari Kesaktian Pancasila. Hari lahirnya Pancasila baru dirayakan kembali tahun 2010 dan dinyatakan hari Libur Nasional oleh Presiden Joko Widodo sejak 2017. G. Penyelewengan Pancasila Di masa Orde Baru, kendati Pancasila masih diakui sebagai Dasar Negara, tetapi prakteknya banyak menyimpang. Mulai dari penggunaan Pancasila sekedar sebagai alat “menjaga stabilitas” hingga penjaga kekuasaan Orde Baru. Di zaman itu, siapapun yang mengeritik kebijakan pemerintah dicap “anti-Pancasila”. Di zaman Orba, Pancasila dijadikan doktrin kaku yang disakralkan. Diajarkan secara dotriner melalui Penataran P4 bagi semua aparatus negara dan pelajar/mahasiswa (dari SD hingga perguruan tinggi). Akibatnya, Pancasila kehilangan keunggulannya sebagai pengetahuan dan nilai filosofis yang hidup dan membumi. Di sisi lain, banyak kebijakan orde baru yang menghianati nilai-nilai Pancasila, mulai dari praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, pembungkaman demokrasi, pelanggaran HAM, pembangunan yang timpang, dan pengelolaan ekonomi yang hanya memakmurkan keluarga Soeharto dan kroninya. Setelah Orde Baru tumbang, lahir pemerintahan reformis yang tetap berjarak dengan Pancasila. Kendati Pancasila tetap diakui sebagai Dasar Negara, tetapi perilaku dan kebijakan penyelenggara negara tetap memunggungi nilai-nilai Pancasila. H. Pancasila sebagai “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis” Bung Karno, sang penggali Pancasila, pernah bicara tentang Pancasila sebagai “Meja Statis” dan “Leitstar Dinamis”. Pancasila sebagai “meja statis”berarti Pancasila sebagai dasar negara atau fondasi bernegara yang statis, kokoh, tidak berubah sampai kapan pun. Di sini, nilai-nilai Pancasila menjadi fondasi atau titik temu berbagai keragaman manusia Indonesia dari suku, agama, ras, adat-istiadat, dan corak berpikir. Sebagai meja statis, Pancasila menjadi dasar negara yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Tetapi Pancasila juga sebagai leitstar atau bintang pimpinan yang memberi arah bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menggapai cita-cita nasionalnya. Ibarat kita sedang menumpang kapal di tengah laut, agar sampai di pelabuhan yang bernama masyarakat adil dan makmur, maka Pancasila menjadi bintang penuntun arahnya. Dan sebagai leitstar, Pancasila harus dinamis, harus selalu senapas dengan perkembangan zaman. Kenapa harus dinamis? Pertama, Pancasila itu harus bisa melakukan appeal, atau ajakan/seruan, agar rakyat terus mengikuti panggilannya. “Pancasila harus bisa menggerakkan rakyat untuk berjuang menggapai cita-cita,” kata Bung Karno. Tentu saja, agar Pancasila bisa menjadi appeal, dia tidak bisa menjadi doktrin yang kaku dan disakralkan seperti dipraktekkan di zaman Orde Baru. Sebaliknya, Pancasila harus tampil sebagai perangkat gagasan atau pengetahuan yang senapas dengan perkembangan zaman. Kedua, Pancasila harus bisa menjawab persoalan kebangsaan setiap zaman. Di sini Pancasila diharapkan tidak menjadi seperangkat gagasan yang menggantung di langit retorika, tetapi bisa dipraktekkan sekaligus menjawab berbagai persoalan kebangsaan. Karena itu, sebagai leitstar yang dinamis, Pancasila tidak perlu dipertentangkan dengan setiap upaya untuk menggali dan memperkaya Pancasila dengan gagasan-gagasan yang memajukan dan lebih praksis. PANCASILA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT. .Sejarah Filsafat Ilmu Filsafat ilmu berasal dari zaman Yunani Kuno, di mana filsafat ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuandari Barat. Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata ilmu pengetahuan di abad ke-17 mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sebelum abad ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985) yang mengemukakan bahwa Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011102dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat,sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dapat dipahami bahwa para filsuf Yunani Kuno ternyata telah merintis tentangpengertian apa itu filsafat ilmu dan bagaimana ilmu pengetahuan itu harus diletakkan?Ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk, di mana kaidah-kaidah ilmu pengetahuan itu dikatakan oleh Robert Merton adalah universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisismeyang terarah (Wibisono,2009:2).Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu,tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapanungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif yang terdiri dari berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejalakealaman, kemasyarakatan atau perorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan.FrancisBacon (1561-1626) mengembangkan semboyanKnowledge is Poweryang mensinyalirbahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu, implikasi yang timbul adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan ilmu yang lain,serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Untuk mengatasi gapantara ilmu yang satu dengan ilmu yang laindibutuhkan satu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Filsafatmampu mengatasi hal tersebut. Ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu Syahrul Kirom, FilsafatIlmu dan Arah...103menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).Pengetahuanilmiah atau ilmu merupakan a higher level of knowledgemaka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerus pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmusebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya ilmu (pengetahuan),ilmu tentang ilmu (Wibisono, 2009:13).Berkenaan dengan filsafat dalam konteks kearifan hidup personal maupun kolektivitas tertentu,filsafat ilmu (Philosophy of Science)adalah sebuah refleksi kritis secara mendasar atas perkembangan ilmu,khususnya terhadap tendensi filsafat ilmu (Sutrisno, 2006:19),yaitufilsafat sebagai “pandangan hidup” atau weltanschauung. Hal ini berkaitan dengan upaya sekelompok manusia untuk merespondan menjawab permasalahan pokok kehidupan manusia. Selain itu, filsafat sebagai pandangan hidup hampir sama juga dengan Pancasilayang merupakan way of life. Karena itu, Pancasiladan filsafat juga memiliki ilmu pengetahuan (knowledge). Hubunganhubungan keilmuannampak terlihat di dalam nilai-nilai Pancasilayang terdiri dari lima sila. Filsafat Ilmu dan Relevansinya dengan Nilai-Nilai PancasilaFilsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan umat manusia. Filsafat ilmu merupakan satu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.Robert Ackermann mendefinisikanfilsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu.Filsafatilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya (Gie, 1997:57).Rudolf Carnap memakai istilah science ofsciencedan memberikan definisi the analysis and description of science from various points of view, including logic, methodology, sociology and history of science.(Analisis dan deskripsi tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi, sosiologi dan Jurnal Filsafat Vol.21, Nomor 2, Agustus 2011104sejarah ilmu).Filsafat ilmu sebagai sumber pengetahuanternyata memiliki keterkaitan dengan Pancasila. Pancasilasebagai pandangan hidup (way of life)ternyata juga menyimpan banyak pengetahuan-pengetahuan yang sudah selayaknya dikembangkan oleh disiplin filsafat ilmu yang secara ilmiah mempunyai nilai-nilai muatan positif dalam membentuk watak dan karakter bangsa Indonesia.Di sisi lain, ketika berbicara tentang filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan:pertama,filsafat sebagai metode dan kedua,filsafat sebagai suatu pandangan (Hadi,1994:19). Oleh karena itu, di sini filsafat sebagai sebuah ilmu pengetahuan akan dijadikan sebagai pandangan hidup. Terkait dengan Pancasila, Pancasilasebagai sebuah pandangan hidup sudah tentu memiliki nilai-nilai filsafat yang terkandung di dalamnya, dan bahkan Pancasilatelah memiliki ilmu pengetahuan.Secara filsafati, Pancasilamerupakan sistem nilai-nilai ideologis yang berderajat. Artinya di dalamnya terkandung nilai luhur, nilai dasar,nilai instrumental,nilai praksis, dan nilai teknis. Agar ia dapat menjadi ideologi bangsa dan negara Indonesia yang lestari tetapi juga dinamis berkembang,nilai luhur dan nilai dasarnya harus dapat bersifat tetap,sementara nilai instrumentalnya harus semakin dapat direformasi dengan perkembangan tuntutan zaman.Di samping itu, Pancasilamampu dijadikan pangkal sudut pandangdalam mengembangkan ilmu pengetahuan (science of knowledge)yang dalam karya-karyaberikutnya ditunjukkan segi-segi ontologik, epistemologi, dan aksiologinya sebagai raison d’etrebagi Pancasilasebagai suatu faham atau aliran filsafati (Wibisono, 1995:126).Pancasilasejak semula dijadikan weltanschauungatau pandangan hidup bangsa Indonesia, sekaligus prinsip-prinsip dasar negara. Dengan demikian, isi pemikiran Pancasilasangat berhubungan dengan nilai-nilai yangmendasari urusan kemasyarakatan.KetikaPancasiladinyatakan sebagai pandangan hidup, berarti Pancasilaitu sendiri memiliki ilmu pengetahuan yang sesungguhnya sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia sebagai petunjuk (guidance)di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Pancasilayang dipelajari secara ilmiah adalah satu objek pembahasan di mana secara umum Pancasilamerupakan hasil budaya bangsa Indonesia (Kaelan, 1993:13). Filsafatilmu juga tidak dapatdilepaskan dengan Pancasilasebagai sebuah ilmu (science). Syahrul Kirom, FilsafatIlmu dan Arah...105Anton Bakker dalam analisisnya menyatakan secara tegas bahwa Pancasiladapat berperan selaku frameworkdi mana sekian ilmu serentak bekerja secara interdispliner. Di sini kapasitas Pancasiladapatdieksplorasi ke dalam ranah filsafat ilmu (Philosophy of Science)berkaitan dengan aras ontologis, epistemologis dan aksiologis (Sutrisno, 2006:124).Pancasilamerupakan sebuah pandangan dunia atau world viewyang juga dapat ditanamkan nilai-nilai filsafat. Pancasilaadalah filsafat bangsa yang sesungguhnya berhimpit dengan jiwa bangsa. Di sini yang muncul adalah kapasitas pengetahuan bangsa, misalnya yang berkaitan dengan hakikat kenyataan dan kebenaran. Hakikatkenyataan dan kebenaran serta nilai-nilai filsafat tersebut sebenarnya adalah bagian dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi yang harus dieksplorasioleh filsafat ilmu dalam upaya mengembangkan Pancasila.Sebagai pandangan dunia atau filsafat,Pancasilamerupakan acuan intelektual kognitif bagi cara berpikir bangsa, yang dalam usaha keilmuan dapat terbangun ke dalam sistem filsafat yang kredibel. Bahan materialnya adalah berbagai butir dan ajaran kebijaksanaan dalam budaya etnik maupun agama.Penguasaan ilmu pengetahuan di Indonesia harus berpedoman pada keilmuan Pancasila. Pancasilaberfungsi sebagai sudut pandang. Hal ini adalah konsekuensi logis dari pendirian teleologis dalam ilmu.Ilmu pengetahuan tidak bebas nilai: ilmu pengetahuan “masuk” ke dalam matriks Pancasilayang berbasis Ketuhanan Yang Maha Esa dan berpuncak pada Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Sutrisno, 2006:74-75). PANCASILA SEBAGAI ETIKA BANGSA DAN NEGARA Pancasila sebagai sistem etika, diartikan memiliki fungsi untuk mengembangkan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat diaktualisasikan ke dalam tindakan konkrit, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila Pancasila perlu diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam putusan tindakan sehingga mampu mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan moral-akademis. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlaq), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlaq, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat. Secara garis besar etika dikelompokkan menjadi : a. Etika Umum Etika ini lebih ke mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. b. Etika Khusus Etika ini lebih membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun makhluk sosial (etika sosial). Etika merupakan cabang filsafat Pancasila yang dijabarkan melalui sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Etika Pancasila cenderung mendekati pada pengertian etika kebajikan dalam sistem pemerintahan. Hal ini dikarenakan konsep deontologis (Pancasila mengandung kewajiban yang harus dilaksanakan oleh warga Negara) dan teologis (Pancasila menjadi tujuan dari negara Indonesia) terkandung di dalam Pancasila. Tidak hanya berorientasi pada kewajiban dan tujuan. Adapun pemaknaan tersebut di dapatkan dari jenis etika yang mana senantiasa terkait erat dengan bagaimana manusia bertingkah laku yang baik. Etika bersifat universal, berbeda dengan etiket yang berlaku pada tempat tertentu (misal adat bertamu orang Jawa berbeda dengan adat bertamu orang Batak). Etika mencakup norma moral yang bersumber dari hati nurani demi kenyamanan bersama. Etika memiliki arti watak, sikap, adat atau cara berpikir. Secara etimologi, etika mengandung arti ilmu mengenai segala sesuatu yang biasa dilakukan. Etika sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan tata cara hidup yang baik pada diri sendiri serta orang lain. Pada intinya, etika adalah struktur pemikiran yang disusun guna memberi tuntunan kepada manusia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika bersumber dari kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indoensia. Selain itu, Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma dasar (grundnorm) yang digunakan sebagai pedoman penyusunan peraturan. Secara politis, Pancasila sebagai sistem etika mengatur masalah perilaku politikus yang berhubungan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, para penyelenggara negara harus mencerminkan etika dari Pancasila. Pancasila sebagai sistem etika memerlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai moral yang hidup agar tidak terjebak dalam pandangan yang bersifat mitos. Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal berikut: a. Sila Ketuhanan mencerminkan bahwa Tuhan merupakan penjamin prinsip moral. Setiap perilaku warga negara didasarkan pada prinsip moral yang bersumber pada norma agama. Ketika prinsip moral berlandaskan pada norma agama, maka akan memberikan kekuatan pada prinsip agar dilaksanakan oleh pengikutnya. b. Sila Kemanusiaan memiliki prinsip acta humanus. Tindakan kemanusiaan diimplikasikan melalui sikap adil dan beradab guna menjamin tata pergaulan antar manusia dan antar makhluk yang berdasar pada nilai kemanusiaan tertinggi (kebajikan dan kearifan). c. Sila Persatuan memiliki arti kesediaan hidup bersama di atas kepentingan individu dan kelompok dalam kehidupan bernegara. Landasannya adalah nilai solidaritas dan semangat kebersamaan yang melahirkan kekuatan dalam menghadapi ancaman pemecah belah bangsa. d. Sila Kerakyatan sebagai sistem etika terletak pada konsep musyawarah untuk mufakat. e. Sila Keadilan sebagai perwujudan dari sistem etika tidak menekankan pada kewajiban saja (deontologi) atau tujuan saja (teleologi). Akan tetapi lebih menonjolkan pada kebijaksanaan (virtue ethics). PENDAPAT ANDA PENTINGNYA PANCASILA DI ERA SAAT INI Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem penyelenggaraan negara. Beberapa alasan mengapa Pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut: Pertama, korupsi akan merajalela karena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak. Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good) dan buruk (bad). Archie Bahm dalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun, baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, yakni berupa godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58). Kedua, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Dekadensi moral itu terjadi ketika pengaruh globalisasi tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain : penyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Hal tersebut menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Ketiga, pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan bernegara di Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak pihak lain. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum berjalan maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosialisasi sistem etika Pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundangundangan tentang HAM. Keempat, Kasus-kasus yang menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat. Contoh yang paling jelas adalah pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu, Pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundangundangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi maupun perusahaan yang terlibat. KESIMPULAN 1) Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para perumusnya di masa lalu dan sempat mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu hingga mencapai rumusan yang sah secara konstitusional dan dipakai hingga sekarang. Dari zaman Majapahit hingga dibentuknya BPUPKI, PPKI, dan Panitia Sembilan. 2) Pengertian filsafat pancasila secara umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya, dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma, dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia. 3) Etika Pancasila cenderung mendekati pada pengertian etika kebajikan dalam sistem pemerintahan. Pancasila sebagai sistem etika mengatur masalah perilaku politikus yang berhubungan dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur sosial, politik, dan ekonomi. Dengan kata lain, para penyelenggara negara harus mencerminkan etika dari Pancasila. 4) Pancasila sangat dibutuhkan karena kita memiliki banyak sekali suku , budaya , agama dan juga secara demografis kondisi wilayah Indonesia sangat besar dan terdiri dari pulau– pulau yang dipisahkan oleh laut yang sangat luas , ini bisa membuat Indonesia sangat cepat berkembang tetapi juga dapat membuat kehidupan di Indonesia menjadi banyak pandangan sehingga dapat menimbulkan perpecahan. DAFTAR PUSTAKA o PERDANA, Ridho Yanuardi. Megenal Sejarah Pancasila. 2018. o Kirom, S. (2011). Filsafat ilmu dan arah pengembangan pancasila: relevansinya dalam mengatasi persoalan kebangsaan. Jurnal Filsafat, 21(2), 99-117. o Amri, S. R. (2018). Pancasila Sebagai Sistem Etika. Voice of Midwifery, 8(01), 760768. o PASARIBU, Rowland Bismark Fernando. Pancasila Sebagai Etika Politik. Jakarta: Kompas, 2013. o H.M. Tama Sembiring, Prof., Drs., SH, MM., dkk, Manur Pasaribu, SH., dan H. Chairul Alam, Drs., MM., 2012. Filsafat dan Pendidikan Pancasila. Yatama Printing, Jakarta