UNIVERSITAS INDONESIA
Pengembangan Restorative Justice di Indonesia
Disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Sosiologi Peradilan
Pidana
Aditya Awal Sri Lestari
12062050834
Departemen Kriminologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, Depok
Juni 2014
I. Pendahuluan
Pada mulanya setiap orang tentu berpikir bahwa hukum itu melarang prilaku
yang bertentangan/menggangu kehidupan manusia untuk bermasyarakat sehingga
prilaku tersebut dapat menjadi problem sosial, namun perhatian tersebut meluas
bahwa krisis peradilan yang tidak efisien dan efektif itupun merupakan masalah
kemanusiaan dan masalah sosial sehingga posisi peradilan dapat digolongkan
menjadi problem sosial.
Doktrin lama tentang hukum dan peradilan mulai digeser kearah doktrin baru.
Hukum dan peradilan harus tidak mengandung power outhorities dan tidak
diselubungi oleh abuses of power serta tidak mewujudkan pertarungan antara
manusia yang satu terhadap manusia yang lainnya, tidak menimbulkan degradasi
manusia melainkan harus mewujudkan salah satu dasar hubungankehidupan
tentang utility bagi semua orang sejalan dengan cita-cita human welfare. Substansi
hukum dan eksistensi peradilan perlu dikembangkan dalam satu sistem (input-output
sistem) dan hasil penerapannya harus memberikan kontribusi kepada kepentingan
kesejahteraan manusia (human welfare)1.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 yang berfungsi dalam penegakan hukum terdiri atas empat
komponen yang masing-masing merupakan sub-sistem dalam sistem peradilan
pidana, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan.
Keempat instansi ini dikenal juga dengan istilah sistem peradilan pidana terpadu.
Sistem peradilan pidana di Indonesia bersifat represif (memaksa) namun masih
diragukan keberhasilannya, karena kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki
tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan. Oleh karenanya, semakin banyak pertimbangan untuk melakukan
perubahan dalam beberapa aspek sistem peradilan pidana Indonesia, salah satunya
1
Muntaha. 2004. Penerapan Hukum Di Masyarakat Dan Keterpaduannya Dalam Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia. UGM, Yogyakarta: Jurnal Protectorat. Hlm 1.
dengan menggunakan sistem restorative justice untuk beberapa permasalahan di
depan hukum seperti masalah anak.
II. Isi
Dalam 40 tahun terakhir, sistem restorative justice telah berpindah dari praktek
lokal menjadi lebih banyak negara yang menerapkannya. Tradisi mediasi di Amerika
Utara dan Eropa, bentuk konferensi di Australia dan New Zealand terdapat
pembangunan paralel tersedia sesuai dengan budaya dan tradisi lokal masing-masing
wilayah. Seiring dengan hal tersebut, sistem keadilan restoratif semakin
diperhitungkan keberdaannya karena memerlukan kalibrasi ulang dalam hal fokus
penyertaan korban selama proses berlangsung. 2 Korban dalam hal ini dipandang
sebagai dia yang memiliki penderitaan, kehilangan materiil atau sakit hati serta
menderita secara fisik dan ia telah kehilangan partisipasi dalam kasusnya sendiri
(apabila menggunakan sistem peradilan pidana yang sedang berlaku).
Sistem ini biasanya diperkenalkan untuk ukuran pelanggaran muda yang sering
tidak digunakan atau dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya, masih banyak yang
berpendapat bahwa beberapa teoritis kunci mengenai asumsi keadilan restoratif serta
hasil yang didapatkan belum dapat ditantang secara penuh. Evaluasi yang tengah
berjalan salah satunya didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Home Office di
Inggris dan Wales sebagai bagian dari program reduksi kriminal, yang menghasilkan
840 program restoratif termasuk dengan conferencing, mediasi langsung dan tidak
langsung, dimana melibatkan pelaku orang dewasa.3
Premis dasar dari pelanggaran keadilan restoratif adalah kejahatan yang
dilakukan oleh orang lain dan hubungan daripada hanya pelanggaran hukum.
Tanggapan yang dianggap tepat adalah untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan
oleh tindakan yang salah. Dalam pandangan keadilan restoratif, sistem peradilan
pidana harus memberikan ruang bagi mereka yang dipengaruhi oleh kejahatan yakni
2
Shapland, Joanna. 2013. Implications of Growth: Challenges For Restorative Justice. International
Review of Victimology : SAGE Publication. Hlm 113
3
Shapland, Joanna, et.al. 2006. Situating Restorative Justice Within Criminal Justice. Theoritical
Criminological, SAGE Publication. Hlm 506
korban, pelaku, masyarakat dengan datang bersama-sama untuk membahas tindakan
yang bisa dilakukan pasca kejahatan yang terjadi.
Menurut Llewellyn dan Howse (1998), unsur utama dari sistem restoratif adalah
pelibatan secara sukarela, pengungkapan kebenaran, dan proses tatap muka. 4 Akibat
dari sistem ini adalah segala proses yang dilakukan untuk dijalankan diikuti secara
sukarela oleh semua peserta, pelaku harus bertanggung jawab atas kerusakan yang
timbul dan menjadi terbuka-jujur membahas perilaku yang telah ia lakukan, peserta
harus bertemu dalam lingkungan yang aman dan terorganisir serta secara kolektif
untuk memperbaiki kerusakan tersebut sesuai metode yang disepakati.
Kategori dalam melakukan sistem keadilan restoratif dibagi menjadi tiga, yakni
lingkaran (circle), konferensi, dan mediasi antara korban – pelaku. 5 Prinsip yang
digunakan tetap sama dalam tiap model dengan memulai pada titik sistem peradilan
pidana dan kebutuhan yang harus dipenuhi; tidak hanya sekadar tujuan pengalihan.
Menurut pendukung sistem ini, proses yang dijalankan dapat bermanfaat besar dan
baik baggi korban dan pelaku dengan menekankan pemulihan korban lewat ganti
rugi, pembenaran, penyembuhan, dan mendorong „pembalasan oleh pelaku‟ melalui
reparasi, perlakuan yang adil serta rehabilitasi.
Dalam sistem peradilan Indonesia, sistem keadilan restoratif merupakan suatu hal
yang baru, di samping sudah banyak masyarakat yang mengenal sistem diskresi yang
dipakai oleh petugas polisi di lapangan. Pemberian hukuman ataupun pemasukan
pelaku ke dalam lembaga pemasyarakatan dianggap masih cara yang ampuh untuk
menangani dan menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Faktanya banyak terpdidana
atupun pelaku pelanggaran yang menjadi korban lagi dari sistem peradilan pidana itu
sendiri. Secara ekstrim dikatakan oleh Hulsman, “The criminal justice system as a
social problem”.6 Kritik ini ditujukan pada penerapan sanksi yang menyisakan
4
Ibid.
Latimer, Jeff et.al. 2005. The Effectiveness of Restorative Justice: A Meta-Analysis. The Prison
Journal, SAGE Publication. Hlm 127
6
Prayitno, Kuat Puji. 2010. Restorative Justice untuk Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum, Universitas Jendral
Soedirman. Hlm 407
5
penderitaan, masalah keluarga bagi pelaku dan stigma yang muncul dalam
masyarakat sebagai mantan narapidana.
Keadilan restoratif dikatakan sebagai “peace principle” yang mengingatkan
bahwa keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan, tidak seluruh tindak kejahatan
dapat ditangani oleh sistem peradilan pidana dan berakhir di penjara. Penjara
bukanlah solusi baik dalam menyelesaikan masalah kejahatan, khususnya dengan
tindak kejahatan dimana kerusakan yang ditimbulkan dari pelaku dan masyarakat
masih bisa memperbaiki (me-restore) keadaan tersebut seperti semula dan sekaligus
menghilangkan dampak buruk dari penjara.
Lebih lanjut lagi, sistem ini dapat mendorong pengembalian peran masyarakat
sebagai penjaga dalam berjalannya sistem nilai dan norma. Masyarakat dilibatkan
secara aktif untuk mengembalikan keadaan seperti semula sebelum tindak kejahatan
terjadi. Masyarakat termasuk ke dalam peran lembaga terkait dalam pelaksanaan
restorative justice. Masyarakat Indonesia yang cenderung plural dan memerlukan
bantuan untuk mengembalikan kondisi semula, cocok untuk diterapkan konsep
keadilan restoratif ini, sekaligus untuk menghindari konflik sosial yang muncul di
kemudian hari bila sebuah masalah pelanggaran kejahatan tidak memuaskan semua
pihak apabila diselesaikan di pengadilan. Masyarakat daan proses mediasi yang
berjalan lebih penting daripada proses yang dijalankan oleh sistem peradilan pidana
(polisi, jaksa dan pengadilan).
III. Kesimpulan
Masih belum banyaknya penerapan restorative justice, menjadikan ini sebagai
tantangan bagi stakeholder terkait untuk bisa menerapkannya secara serius di
Indonesia, terlebih bagi jenis pelanggaran yang belum memiliki tingkat keseriusan
yang tinggi seperti pelanggaran yang dilakukan oleh anak dan remaja. Indonesia
memiliki banyak kesempatan emas dalam hal menjalankan prinsip ini, di samping
sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk besar dan plural suku-ras,
Indonesia dapat menjadikan konsep ini berintegrasi dengan sistem peradilan pidana
dalam hal menangani tindak pelanggaran.