NAMA
: NISPAWATI
NIM
: 201030033
Kelas
: MPI 2
PENGEMBANGAN PESANTREN DARI MASA KE MASA
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Minimnya data tentang pesantren, baik berupa manuskrip atau
peninggalan sejarah lain yang menjelaskan tentang awal sejarah kebangunan
pesantren, menjadikan keeterangan-keterannga pesan yang berkenaan
dengannya bersifat sangat beragam. Namun demikian, kekurangan ini justru
menjadi factor determinan bagi terus dijadikannya sejarah pesantren sebagai
bahan kajian yang tidak pernah kering. Disamping itu minimnya catatatan sejarah
pesantren ini pula kemudian menjadikan alasan tersendiri bagi dilanjutkannya
penelusuraan lintasan sejarah kepesantrenan di Indonesia secara
berkesinambungan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pondok pesantren memainkan
peranan penting dalam usaha memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia
terutama pendidikan agama. Pesantren, dari awal mula berdiri hingga saat ini
masih terus dapat eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang
bermutu. Makalah ini diarahkan untuk melihat dengan jelas perkembangan yang
terjadi pada dunia pesantren dari awal mula kemunculannya hingga saat ini, juga
berbagai macam dinamika yang terjadi mengiringi eksistensi pesantren sebagai
lembaga pendidikan dan pengayom masyarakat.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Pesantren
1. Permulaan Berdiri
Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua
sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang
setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid
dan pengajaran ilmu-ilmu agama. 1
Dalam menentukan kapan pertama kalinya pesantren berdiri di
Indonesia, terlebih dahulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam
masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai pendapat mengenai
kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat semenjak
abad ketujuh, namun ada juga yang berpendapat semenjak abad
kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di
Indonesia, namun terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu
-Budha dan Islam dimulai sekitar abad ketiga belas ketika terjadi kontak
perdagangan antara kerajaan Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur
Tengah dan India.2 Dan penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Jawa
tidak terlepas dari peran wali songo yang dengan gigih memperjuangkan
dan menyebarkan nilai-nilai Islam.
Berdirinya Pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali
Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal
dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk
mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan
Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai tempat belajar
mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia3. Pada masa Islam
perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk
akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan
1
Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung : Citapustaka, 2004), h. 113.
2
Dra. Faiqah, M.Hum, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren ( Jakarta : Kucica, 2003), h. 146-147.
3
Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Pembentukan Prestasi Kerja
dan Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Cemara Indah, 2004), h. 17
ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.
Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang
menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam
kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban,
Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri
mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal
dengan sebutan Giri Kedaton.4
Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren
dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan
dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu
proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu tatanan
masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan
yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang
menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.
Pendekaan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren
dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh dengan
mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya
dan tradisi lokal merupakan ciri utama masyarakat pesantren. Watak
inilah yang dinyatakan sebagai factor dominan bagi penyebaran Islam di
Indonesia.5 Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal
adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri
lewat-lewat kitab-kitab klasik.6
Persoalan asal usul pesantren secara historis lebih tepat jika
dipandang sebagai akibat akulturasi dua tradisi besar Islam dan HinduBudha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu sama lain
dari pada menerima warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam
sebagai tradisi yang pasif. Artinya, pandangan hidup dan pemikiran
keagamaan kalangan pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for
granted kebudayaan Hindu-Budha.
2. Pesantren Pada Masa Penjajahan
4
Ibid, h. 17.
5
Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde baru
(Bandung : Mizan, 1990), h. 31.
6
] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta :
Prenada Media, 2004), h.26.
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah
berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh
pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial
mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada
waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari
masyarakat Indonesia. Jadi ketika itu ada dua alternatif pendidikan bagi
bangsa Indonesia.
Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan
masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasii
politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya
lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian
Banga Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh
pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara
lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.7
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang
diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang
jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan
cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk
perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan
fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19
bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari
pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.
Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah
Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka
anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada
tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang
salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian
dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 mengenai
pengawasan terhadap peguruan yang hanya mengajarkan agama
(pesantren), dan guru-guu yang mengajar harus mendapatkan izin
pemerintah setempat.8
Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern yang
mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun
tampaknya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif, meskipun
7
Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada Pers, Yogyakarta, H. 278.
8
Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta, 1989, h. 47.
ruangeraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan
dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke
Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan
Islam lainnya.
Pembaharuan ini menyebabkan sistem modern klasikal mulai
masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode
halaqah berubah menjadi sistem klasikal, dengan mulai menggunakan
kursi, meja dan mengajarkan pelajaran umum. Sementara itu beberapa
pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah sebagaimana yang
diterapkan pada sekolah umum.
3. Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai peran pesantren, dimana sejak masa
kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan RI, pe senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi
secara aktif. Oleh karena itulah setelah kemerdekaan pesantren masih
mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku
tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia
yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar
pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan
kepribadian Bangsa Indonesia.9
Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa
pesantren dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber
pendidikan nasional, dan oleh karena ituharus dikembangkan, diberi
bimbingan dan bantuan. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya
yang lentur (flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan
masyarakat sera memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era
kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah mampu
menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan,
terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren
baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum
dan keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya
mmberikan bekal tambhan agar para santri bila telah menyelesaikan
pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
9
] Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta, h. 41.
Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungankecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama
ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional,
artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute
dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai
pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang
diperlukan di lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat
pengembangan masyarakat.10
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah
berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren dengan potensi
yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada, pertama,
peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka
pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga
social pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode
pendidikan agar efisiensi dan efektifitas pesantren terarah. Ketiga,
menggalakkan pendidikan keterampilan di lingkungan pesantren untuk
mengembangkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan
taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk
pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975
tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir
ini
pesantren
mempunyai
kecenderungankecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan
terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia
sepertinya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya,
juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari segala kritik dan
kekurangannya.
B. Dinamika Pesantren
1) Dinamika Keilmuan dan pendidikan
Pada
10
awalnya
berdirinya,
pesantren
merupakan
media
] Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial ( Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991), h. 134.
pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada
kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media
pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan
santri kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur
secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya
bergantung pada kiai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren.
Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitabyang hendak diajarkan, semua
merupakan wewenang seorang kiai secara penuh.11
Tidak seperti lembaga pendidikan lain yang melakukanperekrutan
siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren selalu membuka pintu lebarlebar untuk paa calon santri kapan pun juga. Tak hanya itu, pondok
pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya.
Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan unuk memasuki
pesantren, maka kiai akan selalu welcome saja.
Dua model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya
pesantren adalah model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan
sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang
dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada
batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model
ini, kabarnya merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran
ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan
Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai membacakan kitab,
sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan
mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab
Kuning.
Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu
persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab
dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenarannya. Pada pembelajaran sorogan
ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai mengenai
masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu dan
tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.
Pada dasarnya , dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu
yang diajarkan lbih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima
santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah
tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh
11
Drs. H. Amin Haedani, M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva
Pustaka, 2004), h. 80.
santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama.
Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu kitab saja untuk diajarkan
pada santrinya.12
Pada abad ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren
didominasi olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada waktu itu ajaran
ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant.
Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang berguru ketanah
suci, materi yang diajarkannya pun bervariasi.
Baru pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem
pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Walaupun beberapa
pesantren telah menggunakan kurikulum Barat, namun banyak juga
pesantren-pesantren yang menolak menggunakan sistem ini. Bagi mereka,
sistem klasikal adalah pengaruh yang diambil dari sekolah-sekolah yang
dibentuk oleh Pemerintah kolonial Belanda. Kelas dalam sistem
pendidikan ini adalah sejumlah pelajaran yang diberikan pada ruang dan
waktu yang sama, dengan mata pelajaran yang sama pula. Lembaga
pendidikan ini mengenal adanya kelas yang berjenjang. Dan dipesantren
dikenal dengan sistem madrasah.
Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam
pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lungkkungan pesantren
inilah, diperlukan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam
jenis pelajaran baru yang tidak semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga
peran guru menjadi penting karena kemampuan yang dimilikinya dari
pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi
fungsionaris tunggal dalam pesantren.
Mengikuti perkembangan zaman, beberapa pesantren mulai
memasukkan pelajaran keterampilan sbagai salah satu materi yang
diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit
berdagang dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang
cenderung mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin
dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan menghapuskan
pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab
tradisional. Dnngan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang
terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.
2) Pengaruh dan Eksistensi Pesantren
12
] Ibid, h. 82.
Pada abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan
rakyat menjadi begitu berbobot, terutama berkenaan dengan perannya
dalam menyebarkan ajaran Islam. Pada masa itu berdirinya pesantren
senantiasa ditandai dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan
berdiri dengan masyarakat sekitar, yang selalu dimenangkan oleh pihak
pesantren, sehingga pesantren diterima untuk hidup dimasyarakat dan
kemudian menjadi panutan.13 Bahkan kehadiran pesantren dengan santri
yang banyak dapat menghidupkan ekonomi masyarakat sehingga dapat
memakmurkan masyarakat sekitar.
Selain itu pesantren juga memiliki hubungan erat dengan pejabat
sekitar. Kiprah kiai dalam menumpas para perusuh mendapat perhatian
besar dari pejabat setempat hingga raja. Tak jarang para Raja mengirim
putra-putrinya untuk belajar pada kiai tertentu, dan sebagai bentuk
penghormatan, pesantren dibebaskan dari pajak tanah. Pada waktu itu kiai
terkenal dengan kesaktiannya, makanya seringkali para Raja mohon
bantuan manakala kerajaan menghadapi kekacauan. Hal ini seperti yang
dilakukan Pakubuwono yang meminta kiai Agung Muhammad Besari
untuk membantunya dalam usaha menghalau musuh.
Terpengaruh dengan adat hindu dimana posisi biksu mendapatkan
kasta yang pertama, maka begitu juga dalam kacamata masyarakat Jawa.
Orang-orang ynag berada di pesantren –baik kiai maupun santrimendapatkan tempat yang tinggi dalam stratifikasi masyarakat. Bahkan
tak jarang para Raja menikahkan anak-anak mereka dengan para kiai
tersohor, sehingga menggabungkan dua strata tertinggi dimasyarakat
sekaligus. Hal ini seperti Kiai Kasan Besari yang menjadi menantu
Pakubuwono II.
Walaupun kehidupan asketis yang luar biasa terjadi dalam dunia
pesantren waktu itu, namun demikian tidak dapat dipungkiri peran yang
luar biasa pada masa penjajahan. Dimana jarang sekali sebuah pesantren
yang berkompromi dengan penjajahan. Pesantren selalu menjadi basis
pejuangan mengusir penjajahan, dimana para pemuda yang ingin maju
kemedan pertempuran slalu berkumpul didalamnya untuk melakukan
“isian dan gemblengan”. Dalam hal ini kita tidak akan lupa dengan kasus
Pangeran Diponegoro. Begitu mengakarnya peran ulama/kiai dalam
masyarakat –khususnya Jawa, sehingga tak jarang yang menimbulkan
mitos-mitos dibalik perjuangan pahlawan kemerdekaan. Seperti adanya
13
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Shtudi tentang Pandang Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES, 1994) h.9.
sosok Kiai Seibi Angin dibalik perjuangan heroic Jaka Sembung.14
Akhir abad ke-19, lembaga pesantren semakin berkembang secara
cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan
“politik etis” pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif dan silent
opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan
pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari
intervensi yang dilakukan pemerintah colonial serta memberi kesempatan
kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan.
Sebagai lembaga pendidikan yang berumur sangat tua ini,
pesantren dikenal sebagai media pendidikan yang menampung seluruh
jenis strata masyarakat. Lebih jauh pesantren pada waktu itu sedah
membuat lembaga pendidikan umum yang didalamnya tidak hanya
mengajarkan agama saja. Bisa dikatakan bahwa pesantren pada waktu itu
merupakan lembaga alternative kontra dari pendidikan colonial yang
hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat saja.
Fakta sejarah membuktikan, betapa kalangan pesantren sangat
intensif melakukan perlawanan terhadap segala perilaku budaya dan
ideologi maupun politik yang dikhawatirkan akan merongrong ideology
yang mereka yakini. Sebut saja seperti pendirian Nahdatul Ulama yang
dimotori oleh orang-orang pesantren. Sikap ini juga ditunjukkan dengan
pertentangan antara orang-orang pesantren vis a vis gerakan komunis.
Alasan yang dikumandangkan orang-orang pesantren bahwa gerakan
tersebut membahayakan keberagamaan masyarakat di Indonesia. Pada
fase menjelang kemerdekaan juga bisa dilihat bagaimana para kiai dan
santri untuk menolak habis-habisan budaya ‘saikere” yaitu membungkuk
sembilan puluh derajat untuk menghormati matahari sebagai dewa
bangsa Jepang. Akibatnya kiai ternama seperti Kh. Hasyim Asy’ari
mendekam di penjara.15
Pesantren-ulama/kiai-santri biasanya memiliki hubungan yang
cukup erat dengan masyarakat sekelilingnya. Bahkan tradisi yang berlaku
didunia pesantren ini pun berlaku dalam dunia luar pesantren. Hal ini
dapat terjadi denngan undangan dari masyarakat kepada kiai untuk
menghadiri acara tertentu atau dari para alumni pesantren yang menyebar
kedaerah-daerah untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatkannya
14
Supriyadi, Kiai, Priyai di Masa Transisi (Surakarta: Pustaka Cakra, 2001).
15
Tim Penyusun, ke-Nu-an, Ahlussunnah Wali Songo al-jama’ah (Semarang : CV Wicaksana, 1990) h. 35.
dipesantren. Seperti pada peringatan maulid Nabi, Nuzul al-Qur’an,
walimah al-ursy, pengajian dan lain sebagainya.
Dari saling berkelindannya kiai-pesantren-santri ini tentunya
memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Seorang santri yang baru ke
pesantren satu tahun saja, ketika pulang, dikampungnya akan
diperlakkukan layaknya seorang kiai oleh masyarakat dii tempat ia tinggal.
Maka tak jarang masyarakat karena kecintaan mereka terhadap pesantren
banyak memberikan shadaqah, infaq, waqaf dan amal jariyah lainnya
dengan ikhlas untuk perkembangan pesantren.
3) Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, politik global
mengalami rekonfigurasi disepanjang lintas-batas kultural. berbagai
masyarakat dan Negara yang memiliki kemiripan kebudayaan akan saling
bergandengan. Sementara mereka yang berada di wilayah kebudayaan
yang berbeda akan memisah dengan sendirinya.
Berhadapan dengan globalisasi dan ancaman kuatnya benturan
peradaban, maka tak mungkin pesantren masih bertahan dengan pola
pembelajaran lama. Tuntutan masyarakat global adalah profesionalisme,
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos kerja yang tinggi.
Maka karena itulah watak profesionalitas dan penguasaan teknologi dan
pengetahuan yang standar, diperlukan di pondok pesantren. Jika tidak
tentunya pesantren harus siap-siap digilas oleh laju zaman, ditinggalkan
orang karena telah usang dan tak layak pakai. Karena itu diharapkan
pesantren harus semakin adaptif terhadap perkembangan kamajuan
zaman. Atas dasar itu peluang pesantrean sebagai lembaga Pendidikan
Islam yang akan menciptakan manusia seutuhnya akan semakin
terbuka.16
Jika kita mengorelasikan benturan peradaban sebagaimana yang
diramalkan Huntington, maka sesungguhnya konflik yang paling mudah
menyebar dan sangat penting sekaligus berbahaya bukanlah konflik antar
kelas sosial, antar golongan kiai dengan golongan miskin atau antara
kelompok kekuatan ekonomi lainnya, akan tetapi konflik antara orangorang yang memiliki etnis budaya yang berbeda. Pertikaian antar suku dan
konflik-konflik antar etnis –dalam peradaban- akan senantiasa terjadi.
16
Haidar, Pendidikan Islam.., h. 36
Dalam hal semacam ini ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan dunia
pesantren, yaitu: pertama, konflik yang rawan terjadi pada dunia pesantren sendiri
adalah masalah persoalan aliran dan keagamaan. Maka, sebagai antisipasi terhadap
terjadinya konflik tersebut, pesantren hendaknya menyosialisasikan semangat
inklusifitas.
Kedua, berhadapan dengan derasnya arus informasi yang terus mengalir dengan
berbagai ragam, pola hidup dan budaya yang ditawarkan. Maka, mau tidak mau, pihak
pesantren harus mempersiapkan mental, hingga tidak mudah larut dengan budaya
besar. Sekalligus tidak serta merta menutup dengan budaya yang terus menerus hadir.
Bersikap kritis dan kreatif merupakan sesuatu yang tidak bisa dinafikan.
Ketiga, boleh jadi ramalan Huntington tentang adanya konflik antar peradaban
tersebut benar, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa kemungkinan konflik
tersebut mampu dihindari. Salah satu caranya adalah dengan mengerahkan kreativitas
masyarakat dalam menjembatani dan memfasilitasi hubungan antara berbagai macam
masyarakat yang berbeda-beda. Dengan demikian akan mampu mengikat perasaan
emosional antarmereka dan akhirnya mampu meminimalisir konflik tersebut dan peran
ini harus mampu dilakukan oleh pesantren.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Pesantren dipadang sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia yang didirikan oleh para ulama (Kiai : Jawa). Pesantren didirikan dalam
rangka mendidik masyarakat untuk memahami dan melaksanakan ajaran Islam,
dengnan menekankan pentignya moral keagamaan sebagai pedoman hidup.
Pengertian tertua, karena pesantren adalah lembaga yang telah lama hidup dan
masih tetap eksis hingga saat ini walaupun telah banyak berubah dari bentuk
awal mula berdirinya dari berbagai bidangnya. Bahkan pesantren telah menjadi
bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat islam di
Indonesia dan turut mewarnai dinamika bangsa Indonesia.
Demikianlah makalah ini kami tulis, semoga dapat bermanfaat dan menjadi
masukan berarti bagi dunia pendidikan khususnya pesantren, terutama sebagai
bahan diskusi pada mata kuliah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional. Kepada Allah saya berserah diri sambil berharap selalu mendapat
taufik dan hidayah darinya. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fahry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia
Masa Orde Baru. Bandung : Mizan, 1990.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Shtudi tentang Pandang Hidup Kiai. Jakarta :
LP3ES, 1994.
Faiqah, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta : Kucica, 2003.
Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha
Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta : Cemara Indah,
2004.
Haedani, Amin dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva
Pustaka, 2004.
Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta,
1989.
Karim, Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991.
Prawiranegara, Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta.