ISBN: 978-602-96127-3-8
PROSIDING SEMINAR
DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
KUMPULAN MAKALAH
PROSIDING
SEMINAR
NASIONAL
SEMINAR
NASIONAL
LINGUISTIK
II LINGU ISTIK II
“BAHASA DI ERA GLOBAL:
ASPEK-ASPEK STUKTURAL,
SOSIAL, DAN TERAPAN”
BAHASA DI ERA GLOBAL:
ASPEK-ASPEK STRUKTURAL,
SOSIAL, DAN TERAPAN
Auditorium Gedung R. Sugondo, FIB U GM, 8-9 Mei 2018
Editor:
PENERBIT:
Dr.
Sajarwa, M.Hum.
FAKULTAS ILMU BUDAYA
Dr.
Suhandano,
M.A.
UNIVERSITAS
GADJAH
MADA
Dr. Sailal Arimi, M.Hum.
FORUM
LINGUISTIK
UGM
2 - 2018
ISBN: 978-602-96127-3-8
78-602-96127-3-8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LINGUISTIK II
Auditorium R. Sugondo, FIB UGM, 8-9 Mei 2018
PENERBIT:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL LINGUISTIK II
“BAHASA DI ERA GLOBAL: ASPEK-ASPEK STRUKTURAL, SOSIAL,
DAN TERAPAN”
Auditorium R. Sugondo, FIB UGM, 8-9 Mei 2018
KEPANITIAAN DAN REDAKSI
Penasihat:
Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM
Penanggung Jawab:
Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM
Ketua Panitia:
Dr. Sajarwa, M.Hum.
Bendahara:
Siti Rahayu
Sekretaris:
Adwidya Susila Yoga
Koordinator Pemakalah:
Dr. Y. Tri Mastoyo, M.Hum.
Koordinator Acara:
Dr. Masrukhi, M.Hum.
Seksi Kesekretariatan:
Umi Mardi Astuti, I Desak Ketut Titis, Anastasia
AnastasyaPuspasari
Puspasari
Seksi Tempat, Dekorasi, dan Dokumentasi:
Ngamiludin, Yudo Suryo Hapsoro, F.X. Sinungharjo, Heri Widodo
Reviewer:
Dr. Sajarwa, M.Hum.
Dr. Suhandano, M.A.
Dr. Sailal Arimi, M.Hum.
Editor:
Dr. Sajarwa, M.Hum.
Dr. Suhandano, M.A.
Dr. Sailal Arimi, M.Hum.
Perwajahan:
Shanti Mashita Dewi, S.S.
Penerbit:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
bekerja sama dengan
DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA UGM
ISBN: 978-602-96127-3-8
ii
KATA PENGANTAR
Gagasan untuk menyelenggarakan seminar nasional linguistik ini timbul dari
keprihatinan. Kami prihatin bahwa penelitian linguistik di Fakultas Ilmu Budaya UGM
sangat sedikit. Artinya, hanya sedikit dosen dan mahasiswa yang melakukan penelitian
linguistik di luar skripsi, tesis, atau disertasi. Salah satu penyebabnya adalah kurang adanya
forum ilmiah, khususnya membahas persoalan linguistik. Dalam pada itu, kajian linguistik
sudah sedemikian maju. Kajian linguistik tidak hanya pada ranah formalisme tetapi sudah
memasuki ranah fungsionalisme. Dalam kajian fungsionalisme, bahasa tidak hanya dilihat
sebagai objek yang harus dideskripsikan saja, tetapi juga dilihat dari segi fungsinya dalam
komunikasi, dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Dalam perkembangannya, kajian
linguistik fungsionalisme merambah ke ranah berbagai disiplin, misalnya ilmu komunikasi,
ilmu semiotik, ilmu antropologi, ilmu hukum, ilmu kedokteran, dll. Dengan kata lain, kajian
linguistik telah bergeser dari kajian yang berorientasi pada “langue”
kepada kajian pada
“parole” atau “language in use”, yakni bahasa dalam kehidupan nyata (Hoed, 2008).
Dalam seminar nasional linguistik ini ada 92
pembicara yang datang dari
berbagai daerah di Indonesia. Mereka telah memaparkan hasil kajiannya, tentang analisis
terjemahan, analisis wacana kritis, dan analisis struktural. Sebagian besar adalah anak-anak
muda, calon linguis.
Mereka adalah aset intelektual yang luar biasa. Kami juga
mendengarkan paparan dari dua pembicara utama, yaitu Pro. Dr. Bahren Umar Siregar
dengan makalahnya yang berjudul ‘Meneroka Proses Penerjemahan: Apakah yang
dipikirkan penerjemah ketika menerjemahkan teks ? dan Dr. Suhandano, MA dengan
makalah ‘Berbicara dalam Bingkai Budaya’. Sebagian dari makalah yang dipresentasikan
dalam seminar tersebut tidak dimuat dalam proseding ini tetapi dimuat dalam Jurnal
Deskripsi Bahasa yang diterbitkan oleh Departemen Bahasa dan Saastra Fakultas Ilmu
Budaya UGM.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pembicara yang telah
menyampaikan makalahnya dalam seminar ini. Kami juga mengucapkan terima kasih
kepada semua panitia yang telah bekerja keras untuk menyukseskan seminar ini. Kami
mohon maaf proseding ini terbit terlambat karena keterbatasan tenaga kami.
Yogyakarta, 2 Desember 2018
Ketua Panitia
iii
DAFTAR ISI
KEPANITIAAN DAN REDAKSI ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iv
PERCERAIAN SELEBRITIS DALAM BINGKAI MEDIA (KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS)/
AGWIN DEGAF ..................................................................................................................... 1
LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA DAN BAHASA
INGGRIS/ AHLAN HANAN WIJAYA....................................................................................... 7
KUALITAS TERJEMAHAN PROVERB KE DALAM BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN
GOOGLE TRANSLATE/ AHMAD MUZAKI ALAWI ............................................................... 20
IDEOLOGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU THE GRAND DESIGN KARYA STEPHEN
HAWKING DAN LEONARD MLODINOW/ AHMAD ZAIDI .................................................. 29
PENAMBAHAN AKHIRAN -S PADA PERCAKAPAN DI MEDIA SOSIAL/ AMBARISTI HERSITA
MILANGUNI ....................................................................................................................... 41
KONFLIK SARA, STUDI KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA, DALAM BERBAGAI ADEGAN
TUTUR: ANALISIS WACANA KRITIS/ ANGELA DIYANSIH WISESA CHUNTALA.................. 51
FUNGSI PRONOMINA PERSONA BAHASA TETUN DIALEK DILI/ ANTONIO CONSTANTINO
SOARES .............................................................................................................................. 61
PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TUTUR ADAT TAKANAB: KAJIAN
EKOLINGUISTIK/ ANTONIUS NESI, R. KUNJANA RAHARDI, PRANOWO ........................... 70
UNSUR SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM MEMODERNISASI BAHASA INDONESIA
MELALUI SURAT KABAR/ APRIANA NUGRAENI ................................................................ 81
PERMAINAN MAKNA DALAM TATARUCINGAN ‘TEKA-TEKI SUNDA’/ APRILLIATI RAHMAT,
CECE SOBARNA, HERA MEGANOVA LYRA......................................................................... 90
METAFORA KESEHATAN DALAM BAHASA JAWA/ ARI WULANDARI............................... 98
MURAL KAMPUNG URBAN: ANALISIS MAKNA REPRESENTATIF, BENTUK, DAN
FUNGSINYA/ ARIS HIDAYATULLOH .................................................................................111
VERBA ERGATIF DALAM BAHASA JAWA/ ARUM JAYANTI .............................................121
KALIMAT DALAM PEMBINGKAIAN BERITA INSIDEN PESAWAT F-16 DAN CESSNA C-150/
ASHARI HIDAYAT .............................................................................................................128
PENERJEMAHAN KESANTUNAN POSITIF TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA NOVEL
DECEPTION POINT/ AYU KAROMAH...............................................................................139
PENGANCAMAN MUKA PADA REALISASI TUTURAN PUJIAN PEMBELAJAR BAHASA
JEPANG/ BAYU ARYANTO................................................................................................148
STUDI TERJEMAHAN TENTANG KATA GANTI ORANG “SHE” DALAM TERJEMAHAN
BAHASA MANDARIN ALICE’S ADVENTURES IN WONDERLAND/ DAI WENHUI ............157
“THE DUKUN”: PENERJEMAHAN KATA-KATA BUDAYA DALAM NOVEL TERJEMAHAN
CANTIK ITU LUKA/ DINI LUTHFIANI ................................................................................166
iv
TINDAK DIREKTIF BAHASA INDONESIA PADA POSTER BERLALULINTAS KOTA
BANJARBARU/ EKA SURYATIN ........................................................................................176
BENTUK DAN REFERENSI MAKIAN DALAM KOMENTAR DI YOUTUBE ATAS PUISI
SUKMAWATI/ ENING HERNITI ........................................................................................185
REDUPLIKASI PADA BAHASA MELAYU JAMBI DI KECAMATAN PELAYANGAN KOTA
JAMBI/ ESY SOLVERA.......................................................................................................197
SENYAPAN DALAM RANAH KEJURUBAHASAAN/ FEBRIANSYAH IGNAS PRADANA ......205
PENERJEMAHAN KATA BUDAYA PADA ROMAN DIE WEIßE MASSAI DARI BAHASA
JERMAN KE DALAM BAHASA INDONESIA/ FITRIA PUJI NUR AZIZAH ............................217
STRATEGI PENOLAKAN DI KALANGAN MAHASISWA MULTIKULTURAL ILMU LINGUISTIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA/ FITRIA ULFA HIDAYATUL RAHMI ...........227
PENGGUNAAN STRATEGI SULIH TEKS PADA SERIAL KOMEDI SITUASI FRIENDS/
HAFIDATUN AWALIYAH A................................................................................................256
FENOMENA CAMPUR CODE DALAM DUNIA KERJA PT BECOM YOGYAKARTA/ HARI
NUGRAHA ........................................................................................................................265
THE KINSHIP TERMS OF SERAWAI LANGUAGE/ HENDRI PITRIO PUTRA ......................274
KETERANGAN DALAM BAHASA BALI/ I GEDE BAGUS WISNU BAYU TEMAJA ...............285
NILAI PENDIDIKAN DALAM LAGU YABE LALE “VERSI BUGIS”/ JULIANA RAHMAN.......297
STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU BERBAGI CERITA BERBAGI CINTA KARYA
CLARANG/ JULISA ARINA HAQ ........................................................................................310
REAKSI VERBAL OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PUISI IBU INDONESIA
KARYA SUKMAWATI SOEKARNOPUTRI/ KAMALATUL HAFIDZOH.…… .......... …….……...320
ANALISIS KONTRA BERITA LGBT DI LAMAN TOPIK PILIHAN SINDONEWS.COM: KAJIAN
ANALISIS WACANA KRITIS/ KARTIKA NURUL FAJRINA ...................................................332
ETNOSEMANTIK NAMA-NAMA MAKANAN KHAS BELANDA/ LIDWINA C. MAYA Y. ....342
PENILAIAN TERHADAP HASIL TERJEMAHAN “IDIOM” DALAM NOVEL FIFTY SHADES
FREED DENGAN MESIN TERJEMAH/ MASITA TAUFIQI KHOLIDA ..................................350
REGISTER TEMPE DI KABUPATEN KLATEN/ NANIK HERAWATI .....................................366
ANALISIS SEMANTIK KATA AL-ARD DALAM LONTAR SURAT YUSUF/ NASIKHATUL ULLA
AL JAMILIYATI DAN ANDI INDAH YULIANTI.....................................................................373
EUFEMISME DALAM DEBAT PILKADA DKI JAKATA TAHUN 2017/ NINA SULISTYOWATI
.........................................................................................................................................382
POTENSI WIKIPEDIA SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA/
NUR FAHMIA ...................................................................................................................392
PENERJEMAHAN DIATESIS (VOICE) BERBAHASA INGGRIS KEDALAM BAHASA INDONESIA
PADA TERJEMAHAN NOVEL THE ADVENTURES OF SHERLOCK HOLMES/ NURUL
PRATIWI…………………………………………………………………………… ............................ ………... 401
KATA “ISLAMI” DALAM ANALISIS SEMANTIK PROTOTIPE/ PRAYUDHA ........................412
v
ANALISIS TERHADAP TINGKAT AKURASI TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA KE BAHASA
INGGRIS PADA BUKU CERPEN FABEL QURAN BURUNG-BURUNG HUD-HUD/ RAHMI
RAMADHIANTI ZAIN ........................................................................................................421
RAGAM STRATEGI PENERJEMAHAN TEKS KEMASAN MAKANAN RINGAN BERBAHASA
INDONESIA KE DALAM BAHASA ARAB/ REGI FAJAR SUBHAN .......................................438
THE APPLICATION OF TEACHING ENGLISH AS A FOREIGN LANGUAGE IN MAKING
LESSON PLAN ON STUDENTS’ENGLISH DEPARTMENT ON FIFTH SEMESTER UNIVERSITY
OF HKBP NOMMENSEN ACADEMIC YEAR 2015/ 2016/ RINA OCTAVIA SIMARMATA, RITA
CLARA SIMATUPANG .......................................................................................................449
VARIASI SAPAAN ANAK PEREMPUAN DALAM BAHASA BANJAR/ RISSARI YAYUK........458
SAPAAN KEKERABATAN TERHADAP ORANGTUA PADA MASYARAKAT BIMA: KAJIAN
SOSIOLINGUISTIK/ RITA HAYATI .....................................................................................466
FRAMING BAHASA ARAB DALAM PARATEXTS BERBAHASA INDONESIA: SEBUAH
TINJAUAN AWAL/ SAHARUDIN.......................................................................................472
KATA SERAPAN BAHASA PERSIA DALAM BAHASA INDONESIA Analisis Fonologi dan
Semantik/ SITI FATIMAH, M. AGUS BUDIANTO..............................................................480
IDEOLOGI GENDER DALAM NOVEL TERJEMAHAN “SANG PENCARI NAFKAH”: ANALISIS
WACANA KRITIS/ SITI FITRIAH ........................................................................................488
PENGARUH BUDAYA PADA SIKAP PENERJEMAH: ANALISIS NOVELET THE PEARL DAN
VERSI BAHASA SUNDANYA/ SITI KOMARIAH .................................................................501
PERUBAHAN MAKNA KOSAKATA SERAPAN BAHASA ARAB DALAM BAHASA INDONESIA:
BIDANG KEAGAMAAN/ SITI MASYITOH..........................................................................511
KATA PENYUKAT DALAM BAHASA SASAK/ SITI WAHYUNI SULISTYA WULANDARI ......523
REGISTER PEDAGANG GAWAI (HP) DI PASAR SENTRA ANTASARI/ SRI WAHYU NENGSIH
.........................................................................................................................................530
INVENTARISASI PADANAN ISTILAH ASING MUTAKHIR DALAM BAHASA INDONESIA:
SEBUAH PENGAMATAN AWAL/ SUDARYANTO, HERMANTO, DAN DEDI WIJAYANTI...541
INTERJEKSI DALAM NOVEL SI BOY FEAT LASKAR NGGATHELI SEBUAH NOVEL BOSO
SUROBOYOAN SING TERINSPIRASI KISAH ½ NYATA/ TRI WINIASIH .............................548
SISTEM FONOLOGI UAB METO DALAM DIALEK MIOMAFFO/ VIKTORIUS PASKALIS FEKA
.........................................................................................................................................561
PERUBAHANJENIS DAN MAKNA NOMINA DI ERA GENERASI Z/ YOHANNA NIRMALASARI
.........................................................................................................................................572
PEMINJAMAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS DALAM HARIAN PAKUAN RAYA BOGOR/
YOSI MAELEONA PASSANDARAN ....................................................................................583
PASAR UKADZ DAN PENGARUHNYA TERHADAP BAHASA ARAB/ ZAIN HANDOKO......593
ANALISIS PERBANDINGAN TRANSITIVITAS DALAM TERJEMAHAN CERITA ANAK KARYA
SEAN COVEY/ ZOHRA INAYAH NASIR .............................................................................599
vi
PERCERAIAN SELEBRITIS DALAM BINGKAI MEDIA (KAJIAN ANALISIS
WACANA KRITIS)
Agwin Degaf
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Mahasiswa S3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM Yogyakarta
agwindegaf10@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi berwacana yang dipakai
untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu dalam pemberitaan
artis pada media portal. Tulisan ini berfokus pada berita mengenai kasus
perceraian di kalangan artis -sebagai sumber data- untuk dianalisis dengan
menggunakan pendekatan analisis wacana berparadigma kritis model Teun A. van
Dijk. Menurut van Dijk, setiap teks pada dasarnya dapat diuraikan dan dianalisis
melalui tiga tingkatan: struktur makro, struktur meso, dan struktur mikro. Di sini,
penulis hanya melakukan analisis pada tingkatan mikro saja, yaitu makna wacana
yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks. Beberapa struktur mikro (analisis
tekstual) yang digunakan oleh media online dalam memberitakan perceraian
selebritis –yang ditemukan dalam tulisan ini- diantaranya adalah: pemilihan
kosakata (leksikalisasi) dan penggunaan tata bahasa tertentu. Strategi-strategi
dalam level mikro tersebut nantinya secara tidak langsung dapat menunjukkan
bagaimana media menggambarkan suatu kasus perceraian, siapa yang
dimarginalkan dalam pemberitaan, dan siapa pula yang dianggap bersalah, lebihlebih ketika objek beritanya merupakan pesohor tanah air kita.
Kata Kunci: analisis wacana kritis, berita perceraian selebritis, portal berita
online
PENDAHULUAN
Berita terkait artis, beberapa kali sempat menjadi headline utama pada
beberapa media massa di Indonesia. Hal ini membuktikan jika kehidupan ataupun
peristiwa yang dialami oleh para pekerja industri hiburan tersebut, masih
merupakan sesuatu yang sangat ditunggu beritanya oleh khalayak. Sebagai
contoh, berita kasus video mesum mirip artis pada tahun 2010 lalu, sempat
menjadi tajuk utama hampir di semua media baik cetak maupun elektronik.
Bahkan ada yang beranggapan, berita itu sengaja digelembungkan untuk
menetralisir pemberitaan mengenai kasus yang menimpa beberapa elit politik.
Berita tentang video mesum mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari tersebut seakan
menjadi pengalih opini terhadap isu sentral atas kasus Susno Duaji dan kasus
1
Century Gate, agar tak lagi muncul di permukaan dan segera dilupakan oleh
khalayak. Ketika pemberitaan mengenai berita video mesum antara Ariel, Luna,
dan Cut Tari menjadi pergunjingan khalayak, maka berita tersebut telah menjadi
sebuah wacana. Lull (1998: 225 dalam Sobur, 2012: 11) mengatakan bahwa
wacana adalah cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik
sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas, dan dengan
demikian, pemberitaan mengenai artis menjadi menarik untuk diteliti dengan
menggunakan pendekatan analisis wacana.
Analisis wacana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis wacana
yang muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa
mengungkap hakikat bahasa secara sempurna (Darma, 2009: 15). Dalam hal ini,
para pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternatif dalam
memahami hakikat bahasa tersebut. Stubbs (1983: 1) berpendapat bahwa analisis
wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang
digunakan secara alamiah, baik lisan atau tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam
komunikasi sehari-hari. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan
makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna
yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam
wacana tulis.
Berbicara mengenai makna, menurut Hall (1982: 67) makna tidak
tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan.
Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Media massa pada dasarnya
tidak mereproduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata
yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai
reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam
memenangkan wacana. Dalam kaitannya dengan makna, media dapat dilihat
sebagai forum bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang
berbeda-beda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, dan
argumentasi masing-masing (Eriyanto, 2009: 38). Targetnya adalah
pandangannya lebih diterima oleh khalayak.
Berdasakan uraian-uraian di atas, penulis memutuskan untuk memilih
beberapa portal berita online yang memiliki halaman khusus terkait pemberitaan
mengenai artis dengan topik perceraian sebagai sumber data untuk dianalisis
dengan menggunakan pendekatan analisis wacana model Teun A. Van Dijk.
Wacana oleh van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial. Dalam penelitian ini, peneliti hanya berfokus kepada
dimensi pertama dalam analisis model van Dijk, yaitu dimensi teks. Lebih khusus
lagi, penulis ingin melihat bagaimana tata bahasa (grammar) dan pilihan kosakata
tertentu (leksikalisasi) membawa implikasi dan ideologi tertentu.
2
PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis memaparkan bagaimana struktur terkecil atas
teks/struktur mikro (Dijk, 1997), digunakan oleh media massa online dalam
memberitakan selebritis tanah air. Strutur mikro sendiri adalah makna wacana
yang dapat diamati dari pemilihan kata dan kalimat oleh media dalam
memberitakan sesuatu. Pembahasan mengenai strategi tekstual yang digunakan
oleh kapanlagi.com dan liputan6.com dalam pemberitaan kasus perceraian artis
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu pemilihan kata dan tata bahasa.
Pemilihan Kosakata (Leksikalisasi)
Leksikalisasi merupakan strategi tekstual berupa pemilihan suatu kata atas
berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Sesuai dengan pengertiannya, leksikon
adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan
pemakaian kata dalam bahasa. Richardson (2007:47) berpendapat bahwa analisis
terhadap kata-kata tertentu yang digunakan oleh media merupakan tahapan awal
dalam menganalisis teks atau wacana. Pilihan kata yang dipakai oleh media,
bukanlah kebetulan semata, melainkan juga menunjukkan bagaimana pemaknaan
media terhadap realitas. Realitas yang sebenarnya sama dapat diberitakan secara
berbeda oleh media yang berbeda, tergantung kepentingan dan keberpihakan
media tersebut.
Contoh dari penggunaan strategi pemilihan kata dapat ditemukan pada
berita terkait kasus perceraian antara Ben Kasyafani dengan Marshanda. Dalam
salah satu judul beritanya, liputan6.com menuliskan judul “Ben Kesal Marshanda
Ajak Anak Saat Bertemu Selingkuhan”. Dengan memberikan kosakata semacam
bertemu selingkuhan untuk menamai isu adanya orang ketiga dalam rumah tangga
mereka, media telah membentuk klasifikasi dan realitas tertentu. Kosakata ini
memberikan arahan kepada pembaca bagaimana realitas seharusnya dipahami.
Marshanda digambarkan sebagai sosok ibu yang tidak baik karena menyertakan
anaknya ketika melakukan hal yang tidak terpuji (bertemu selingkuhan).
Berselingkuh saja sudah merupakan hal yang buruk, ditambah lagi dengan
mengajak anak, kira-kira seperti itu media berusaha menggiring pandangan dari
pembaca berita. Hal ini juga diperkuat dengan isi berita yang menggunakan
kategori kosakata berkonotasi negative lainnya seperti membongkar aib, dan
lancang. Secara tersirat, media ingin pembaca menilai bahwa Ben adalah korban
dari seorang istri yang tidak taat terhadap suami, dan menjadi wajar manakala
Ben merasa kesal atas tingkah polah istrinya tersebut. Nantinya, ketika terjadi
perceraian di antara keduanya, khalayak tentu akan menganggap Marshanda
sebagai pihak yang bersalah, sementara Ben tentu saja akan menjadi pihak yang
benar. Di sini, kata-kata bukan hanya merupakan pembatasa (pandangan
3
pembaca), tetapi juga penilaian terhadap aktor/atau peristiwa tertentu yang
dilakukan oleh media.
Marshanda adalah:
Ibu yang berselingkuh
Ibu yang tidak bisa dicontoh
Membongkar aib keluarga
Wanita yang lancang
Tata Bahasa
Tata bahasa dalam konsep van Dijk (1997) terkait erat dengan struktur
kalimat, yaitu segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu
prinsip kausalitas. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa
menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan)
(Eriyanto, 2009: 251). Tata bahasa di sini bukan hanya persoalan teknis ketepatan
sintaksis belaka, tetapi makna yang dibentuk oleh susunan kalimat tertentu. Salah
satu kaidah tata bahasa ialah nominasi-identifikasi. Strategi identifikasi
digunakan untuk mendefinisikan sesuatu. Hanya saja, proses identifikasi
dilakukan dengan menggunakan anak kalimat sebagai penjelas. Pemberian
penjelas ini memberikan kesan atau makna tertentu karena pada umumnya
merupakan penilaian atas seseorang, kelompok, atau tindakan tertentu. Menurut
Eriyanto (2009: 184-185), identifikasi merupakan strategi wacana di mana satu
orang, kelompok, atau tindakan diberi penjelasan yang buruk sehingga informasi
yang diterima oleh pembaca juga terkesan buruk.
Contoh dari penggunaan strategi ini dapat dilihat pada berita yang
membahas mengenai kasus perceraian Marshanda, liputan6.com merilis berita
dengan judul “Terungkap! Sakit Kejiwaan, Marshanda Tak Beri Anak ASI”
sedangkan detik.com menulis berita berjudul “Marshanda Tak Bisa Menyusui
Anak, Ben Kasyafani Dinilai Kejam” pada 28 Oktober 2014. Arti kalimat satu dan
dua meski tanpa adanya anak kalimat penjelas seperti “Terungkap! Sakit
kejiwaan” dan “Ben Kasyafani dinilai kejam” tidak akan berubah. Anak kalimat
pada judul berita pertama berfungsi sebagai penjelas dan memberikan citra
negatif terhadap Marshanda. Subjek tersebut diberitakan tidak memberikan anak
kandungnya ASI karena penyakit kejiwaan yang dideritanya dan harus
mengonsumsi obat-obatan sehingga sangat berisiko bila Marshanda memberikan
ASI pada anaknya. Lebih dari itu, anak kalimat tersebut juga mengesankan kepada
publik bahwa Marshanda memang tidak pantas sebagai seorang ibu, karena
merupakan kewajiban bagi seorang ibu untuk memberikan asi pada anak mereka.
Hal tersebut secara implisit juga mempengaruhi persepsi pembaca pada kasus
perceraian antara Marshanda dan ben tersebut, di mana bisa dikaitkan pada
4
contoh sebelumnya Marshanda yang kukuh bercerai ternyata memiliki gangguan
jiwa sehingga menolak ajakan rujuk dari Ben. Sebaliknya pada judul berita kedua,
anak kalimat itu berfungsi sebagai penjelas dan memberikan citra negatif
terhadap Ben. Subjek Ben diberitakan Kejam karena dikaitkan dengan keadaan
Marshanda yang tidak bisa menyusui Anaknya. Selain itu, pembaca juga akan
merasa bahwa Ben memang sosok ayah yang tidak memiliki rasa belas kasihan
karena membiarkan anaknya tidak diberi ASI oleh ibunya. Judul berita ini juga
secara implisit membuat pembaca menilai apa pun yang dilakukan Ben selama ini
(usahanya untuk memperbaiki rumah tangga dengan Marshanda) hanya sebatas
pencitraan. Pada kedua judul berita tersebut, ada tidaknya anak kalimat samasama tidak mengubah arti dari judul berita yang disampaikan, di mana berita
pertama menyampaikan Marshanda tidak memberi ASI sedangkan pada berita
kedua Marshanda tidak bisa menyusui anaknya. Sekali lagi, penggunaan anak
kalimat di sini menjadi penjelas mengenai cara media menyampaikan makna dan
menggiring opini publik dalam pemberitaannya. Selain penggunaan strategi
identifikasi, berita ke dua juga menggunakan strategi pasivasi dalam kalimat Ben
Kasyafani dinilai kejam. Fokus perhatian pembaca hanya pada kekejaman Ben
selaku ayah, sementara aktor/subjek yang memberikan penilaian terhadap
kekejaman Ben tersebut, sama sekali hilang dari pemberitaan. Siapa yang menilai,
atas dasar apa Ben dianggap kejam, bukanlah menjadi fokus dari berita dengan
konstruksi semacam ini karena pembaca akhirnya digiring untuk hanya terpikir
melihat kepada obyek (kekejaman Ben), bukan kepada pelaku yg memberikan
penilaian tersebut.
Nominasi
Marshanda tak beri anak ASI
Masrhanda tak bisa menyusui anak
Identifikasi
Sakit kejiwaan, Marshanda tak beri anak ASI
Marshanda tak bisa menyusui anak, Ben Kasyafani
dinilai kejam
KESIMPULAN
Dalam kaitannya dengan bagaimana aktor/peristiwa ditampilkan dalam
teks berita, kerangka kerja van Dijk (2004b) terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu
struktur makro, struktur meso (superstruktur), dan struktur mikro. Pada
penelitian ini, fokus perhatian peneliti hanya pada struktur mikro dari teks berita
terkait perceraian artis pada beberapa media online. Struktur mikro di sini
dikhususkan juga kepada pemilihan kosakata dan tata bahasa tertentu yang
digunakan oleh media dalam memberitakan aktor atau peristiwa tersebut.
Pemakaian strategi-strategi berwacana tersebut tidak semata-mata bertujuan
mengkomunikasikan isi berita namun juga untuk mempengaruhi pandangan
5
masyarakat / pembaca. Masyarakat / pembaca oleh media diajak berpikir untuk
memahami seperti ini, bukan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: dari Gerakan Penindasan Menuju Politik
Hegemoni (Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto). Yogyakarta: Insist.
______________. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS.
______________. 2009. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS.
Hall, Stuart. 1982. The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in Media
Studies. Dalam Gurevitch, M., et al. (ed.), Culture, Society and the Media.
London: Methuen. 1982. Hlm. 67.
Richardson, John E. 2007. Analyzing Newspaper: An Approach from Critical
Discourse Analysis. New York: Palgrave Macmillan.
Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Stubbs, Michael. 1989. Discourse Analysis: The Sociolinguistics Analysis of Natural
Language. Oxford: Basil Blackwell.
van Dijk, Teun A. 1980. Macrostructures: An Interdisciplinary Study of Global
Structures in Discourse, Interaction, and Cognition. Hillsdale. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates.
______________. 1995. Ideological Discourse Analysis. Amsterdam: University of
Amsterdam.
______________. 1998. News as Discourse. Hillsdale. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates.
______________. 2000. Ideologies, Racism, Discourse: Debates on Immigration and
Ethnic Issues.
______________. 2000. The Reality of Racism: On Analyzing Parliamentary Debates on
Immigration.
______________. 2002. Political discourse and ideology. Amsterdam: University of
Amsterdam.
______________. 2003. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction.
Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOC).
______________. 2003. Discourse analysis ad Ideology analysis. Internet Course for the
Oberta de Catalunya (UOC).
______________. 2004. “From Text Grammar to Critical Discourse Analysis”. Working
Paper. Vol.2. Barcelona: Universitat Pompeu Fabra.
______________. 2009. Society and Discourse: How Social Contexts Influence Text and
Talk. Cambridge: Cambridge University Press.
6
Yudi, Latif. 1997. “Hegemoni Budaya dan Alternatif Media sebagai Wahana Budaya
Tanding”. Dalam Idi Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaludin Malik (ed),
Hegemoni Budaya (hlm. 294). Yogyakarta: Bentang.
7
LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA DAN
BAHASA INGGRIS
Ahlan Hanan Wijaya
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: hanan.jaya@gmail.com
A B S T R A K
Penggunaan dan pemilihan kata dalam berkomunikasi sangatlah penting
agar maksud yang terkandung dapat disampaikan dengan tepat. Dalam
penggunaannya seseorang harus memiliki pemahaman mengenai leksem
yang digunakan serta komponen makna yang ada di dalamnya. Penelitian
ini dilakukan terhadap leksem bermakna ‘membawa’ dalam bahasa Jawa
dan bahasa Inggris, dengan menggunakan metode analisis komponen
makna dari Nida (1975), dan pendekatan kontrastif untuk
membandingkan kedua bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
mendeskripsikan leksem verba yang bermakna membawa dalam bahasa
Jawa dan bahasa Inggris, (2) mendeskripsikan komponen makna dalam
verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris,
dan (3) mendeskripsikan persamaan dan perbedaan antara leksem verba
yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan diantaranya: (1) leksem
verba yang ditemukan dalam bahasa Jawa berjumlah 11 leksem, yaitu
sunggi, panggul, pundhak, pikul, cangklong, bopong, pondhong, indhit,
kempit, cengkiwing, dan cangking. Sedangkan dalam bahasa Inggris
ditemukan 3 leksem, yaitu take, fetch, dan lug, (2) verba yang ditemukan
dipengaruhi oleh beberapa komponen makna, diantaranya komponen
makna cara, komponen makna objek sasaran, dan komponen makna arah,
dan (3) makna yang merujuk pada objek sasaran merupakan persamaan
yang ditemukan dalam kedua bahasa, sedangkan yang merujuk pada cara
dan arah merupakan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing bahasa,
yakni bahasa Jawa dan bahasa Inggris.
Keywords: Komponen makna, verba ‘membawa’, semantik, analisis
kontrastif.
8
PENDAHULUAN
Penggunaan kata yang tepat dan sesuai dalam komunikasi
sangatlah penting agar ada kesepahaman antara penutur dan pesan dapat
disampaikan dengan tepat. Leech (2003. p.16) berpendapat bahwa bahasa
harus dapat berterima dan tidak ada kejanggalan di dalam suatu
kalimatHal ini akan berpengaruh terhadap ketepatan dalam penyampaian
makna dan konteks yang terkandung dalam kalimat tersebut.
Salah satu bahasa yang memiliki keunikan dalam hal makna
sebuah leksem adalah Bahasa Jawa. Keunikan tersebut salah satunya
adalah kosakata yang bervariasi, mulai dari adanya unggah-ungguh dan
penggunaanya, sampai perbedaan penggunaan kata dengan maksud yang
sama. Selain penggunaan Bahasa Jawa, masyarakat dihadapkan dengan
masuknya bahasa asing, salah satunya adalah Bahasa Inggris. Bahasa
dikatakan bersifat unik karena setiap bahasa mempunyai ciri khas
yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya (Chaer, 2003, p.49). Sebagai
contoh dari adanya perbedaan tersebut, seorang penutur asli bahasa Jawa
menggunakan kata bring ‘membawa’ pada seorang turis asing untuk
merujuk pada sesaji yang dibawa, padahal dalam bahasa Jawa terdapat
kata nyunggi (membawa dengan meletakkan diatas kepala) yang lebih
menggambarkan bagaimana sesaji tersebut dibawa.
Contoh tersebut merupakan bukti adanya penggunaan bahasa ibu
dan bahasa asing. Secara langsung maupun tidak langsung, bahasa-bahasa
tersebut dapat memuculkan perbandingan di semua ranah, salah satunya
dapat diteliti dalam lingkup analisis kontrastif. Menururt Parera (1997,
p.111) ada dua macam analisis kontrastif, yaitu analisis kontrastif
mikrolinguistik dan analisis kontrastif makrolinguistik.
Penelitit terlebih dahulu melakukan tinjauan pustaka terhadap
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan verba dan medan makna.
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Wedhawati, dkk. (1990) yang
berjudul “Tipe-tipe Semantik Verba Bahasa Jawa”. Penelitian ini
merupakan penelitian yang paling luas dalam hal semantic verba bahasa
Jawa. Namun demikian makna dari verba yang ditemukan belum dianalisis
secara rinci berdasarkan komponen makna yang berkaitan. Peelitian yang
kedua dilakukan oleh Harliana (2015) yang berjudul ”Leksem Verba
Bermakna Destroy Dalam Bahasa Inggris”. Serta penelitian yang ketiga
adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2014) dalam tesisnya yang
9
berjudul “Analisis Kontrastif Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris”.
Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan sebuah
penelitian tentang makna leksem verba, khususnya verba bermakna
‘membawa’ dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Penelitian ini
bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan leksem verba yang bermakna
membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, (2) mendeskripsikan
komponen makna dalam verba yang bermakna membawa dalam bahasa
Jawa dan bahasa Inggris, dan (3) mendeskripsikan persamaan dan
perbedaan komponen makna antara leksem verba yang bermakna
membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris.
LANDASAN TEORI
Makna dan Komponen Makna
Makna merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan ilmu
semantic, dan selalu menyertai setiap apa yang dituturkan. Wijana dan
Rohmadi (2008, p.21) berpendapat bahwa jenis makna terdiri dari empat
jenis, yaitu makna leksikal dan gramatikal, makna denotatif dan konotatif,
makna literal dan figuratif, serta makna primer dan sekunder.
Komponen makna atau komponen semantis adalah unsur-unsur
yang membentuk makna leksikal (Chaer. 1999. p.114). Hal ini senada
dengan yang diungkapkan oleh Palmer (1976. p.108-110), bahwa
komponen adalah arti keseluruhan dari suatu kata yang terdiri atas
sejumlah elemen yang satu dengan lainnya yang memiliki ciri yang
berbeda-beda dan tidak menunjukkan kaitan lebih jauh antar komponen
itu. Analisis komponen makna adalah analisis berupa pemecah unsur
makna atas fitur-fitur distingtif yang lebih kecil, yaitu menjadi komponenkomponen yang kontras dengan komponen-komponen lainnya (Leech.
2003. p.96). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa pemahaman makna
sangat bergantung pada unsur-unsur yang melekat dalam setiap leksem,
dalam konteks ini adalah verba (kata kerja).
Analisis Komponen Makna
Teori analisis komponen makna yang digunakan dalam peneltian ini
adalah teori yang dikemukakan oleh dari Nida (1975). Teori ini dipilih
karena teori tersebut menjelaskan secara rinci tentang prosedur analisis
komponen makna. Teori ini juga menjelaskan prosedur penentuan
10
komponen makna untuk kosakata bahasa asing. Dalam hal ini, secara
khusus ditujukan untuk menganalisis komponen makna pada bahasa Jawa
dan bahasa Inggris. Dalam proses analisis komponen makna, setiap leksem
verba yang mengandung makna ‘membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa
Inggris dianalisis berdasarkan fitur-fitur semantik yang relevan dengan
leksem yang dianalisis, kemudian ditandai dengan pemarkah (+) dan (-).
Penandaan (+) pada komponen makna tertentu menunjukkan bahwa
komponen tersebut dimiliki oleh leksem yang diteliti; sedangkan (-)
berarti tidak dimiliki.
METODE PENELITIAN
Sumber Data
Penelitian dilakukan menggunakan hasil pengumpulan data baik
dari korpus tertulis yaitu buku dan media massa serta korpus lisan yaitu
pemakaian leksem yang bermakna membawa.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
simak dan metode cakap dengan teknik simak libat cakap, teknik catat, dan
teknik rekam (Sudaryanto, 1993, p.133). Selain itu, data leksem verba yang
berarti membawa juga dibuat sendiri oleh peneliti karena peneliti
merupakan penutur asli Bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan pendapat
yang diungkapkan oleh Mahsun (2003, p.102) yang menyatakan bahwa
dalam penelitian bahasa terdapat suatu metode yang disebut dengan
metode introspektif yaitu metode penyediaan data dengan memanfaatkan
intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya
(bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi analisis
sesuai dengan tujuan penelitiannya.
Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari
metode analisis data yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (2001.
p.119) yaitu
mengontraskan atau mempertentangkan antara bentuk
leksem-leksem yang mendeskripsikan tindakan ‘membawa’, serta teori
analisis komponen makna yang dikemukakan oleh Nida (1975),
khususnya pada notasi dan penandaan fitur semantik.
11
Langkah-langkah analisis data tersebut diantaranya:
1) Mengumpulkan leksem-leksem yang bermakna membawa dalam
bahasa Jawa dan bahasa Inggris.
2) Menyaring leksem verba tersebut berdasarkan ‘aktivitas
membawa dengan tangan’.
3) Mengumpulkan klausa atau kalimat yang mengandung verba
‘membawa’ untuk menganalisis konteks penggunaannya.
4) Menganalisis komponen makna yang terdapat pada setiap leksem
dengan membubuhkan penanda sesuai dengan model analisis
komponen makna Nida (1975. p.75).
5) Komponen-komponen yang berhasil ditentukan dicatat dan
disusun kembali dalam sebuah tabel untuk memudahkan tahap
pengkontrasan makna.
6) Mengkontraskan makna verba membawa dalam bahasa Jawa dan
bahasa Inggris. Analisis kontrastif ini ini bertujuan untuk mencari
persamaan dan perbedaan maknda antara verba dalam kedua
bahasa tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA
1. Verba
Bahasa Jawa memiliki banyak kata yang berada pada lingkup
makna yang sama, diantaranya adalah seperangkat leksem yang
berada di bawah superordinat nggawa yang berarti membawa dalam
Bahasa Indonesia. Dalam pengumpulan data dalam Bahasa Jawa ini
dilakukan pembatasan dimana peneliti membatasi pada aktivitas
‘membawa dengan tangan’. Leksem verba yang ditemukan yaitu:
a. Sunggi (Membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala)
Contoh : Nyunggi wakul
b. Panggul (Membawa sesuatu dengan meletakkan di atas salah satu
pundak atau di kedua pundak)
Contoh : Adhiku takpanggul.
c. Pundhak (Hampir sama dengan contoh 3, namun kali ini diletakkan
di salah satu pundak saja)
Contoh : Kaline jero, dagangane dipundhak wae!
12
d. Pikul (Membawa barang dengan menggantungkanya di tongkat
(pikulan).
Contoh : Mikul suket nggo pakan sapi.
e. Cangklong (Membawa dengan menggantungkan benda pada
bahu).
Contoh : Nyangklong tas
f. Bopong (Membawa sesuatu dengan cara menyangganya dengan
kedua tangan di depan dada)
Contoh : Mbopong anake.
g. Pondhong (Membawa sesuatu dengan cara menyangganya dengan
kedua tangan di depan dada)
Contoh : Mondhong kayu.
h. Indhit (Membawa sesuatu di pinggang)
Contoh : Ngindhit beras 5 kil.
i. Kempit (Membawa sesuatu dengan menjepit diantara lengan atas
dan badan)
Contoh : Ngempit buku
j. Cangking (Membawa dengan satu tangan dan menggantung)
Contoh : Nyangking ceret (teko)
k. Cengkiwing (Membawa dengan satu tangan, pada tepian atau
ujung sebuah benda)
Contoh : Nyengkiwing gorok (gergaji)
2. Komponen Makna
2.1 Komponen Makna ‘CARA’
a. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DI
KEPALA
(1) Nyunggi wakul
Membawa bakul dengan meletakkannya di atas kepala.
b. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN
DIATAS BAHU
(2) Adhiku takpanggul
Membawa adikku (dengan cara menaikkannya di atas
kedua pundakku)
(3) Kaline jero, dagangane dipundhak wae!
13
Sungainya dalam, barang dagangannya diletakkan di
pundak saja!
c. Komponen
Makna
+MEMBAWA
+DENGAN
MENGGANTUNGKAN PADA BAHU
(4) Nyangklong tas
Membawa tas (dengan menggantungkan tas pada bahu)
d. Komponen
Makna
+MEMBAWA
MENGGANTUNGKAN PADA TONGKAT
(5) Mikul suket nggo pakan sapi
Membawa rumput untuk makanan sapi
+DENGAN
e. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN
PADA TANGAN DI DEPAN DADA
(6) Mbopong anake
Membawa anaknya (dengan kedua tangan di depan dada)
(7) Mondhong kayu
Membawa kayu (dengan tangan di depan dada)
f.
Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN
DIANTARA LENGAN ATAS DAN BADAN
(8) Ngempit buku
Membawa buku (dengan menyelipkan diantara lengan
atas dan badan)
g. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DI
PINGGANG
(9) Ngindhit beras 5 kilo
Membawa beras 5 kilo (dengan meletakkan di pinggang)
h. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MEMEGANGI
TEPIAN ATAU UJUNG
(10) Nyengkiwing gorok
Membawa gergaji (dengan memegangi tepiannya)
2.2 Komponen Makna ‘OBJEK SASARAN’
a. Komponen Makna +MEMBAWA +OBJEK SASARAN RINGAN
(11) Nyangking ceret.
14
Verba Sunggi, Cangklong, Bopong, Indhit, Kempit, Cangking, dan
Cengkiwing juga dapat dikategorikan dalam objek sasaran
ringan.
b. Komponen Makna +MEMBAWA + OBJEK SASARAN BERAT
(12) Mikul telo
Verba Panggul, Pundhak, Pondhong juga dapat dikategorikan
dalam objek sasaran berat.
B. LEKSEM VERBA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA INGGRIS
1. Verba
a. Take (Membawa sesuatu dari tempat dari penutur ke suatu tempat
yang berbeda)
Contoh : You have to fill in this form and then take it to the Office.
Kamu harus mengisi formulir ini dan membawanya ke
kantor.
b. Fetch (Pergi ke suatu tempat, kemudian membawakan kembali
sesuatu yang dimaksud oleh penutur)
Contoh : If you’re going to the garage, can you fetch that green bag?
Jika kamu akan menuju garasi, maukah kamu
membawakan tas hijau itu?
c. Lug (Membawa sesuatu dengan usaha yang lebih)
Contoh : He had to lug the heavy suitcase to the third floor.
Dia harus membawa koper yang berat itu ke lantai tiga.
2. Komponen Makna
2.1 Komponen Makna ‘ARAH’
a. Komponen Makna +MEMBAWA +MENUJU TEMPAT LAIN
(13) You have to fill in this form and then take it to the Office
Kamu harus mengisi formulir ini dan membawanya ke
kantor.
b. Komponen Makna +MEMBAWA +MENUJU KEMBALI KE
PENUTUR
(14) If you’re going to the garage, can you fetch that green bag?
Jika kamu akan menuju garasi, maukah kamu
membawakan tas hijau itu?
2.2 Komponen Makna ‘OBJEK SASARAN’
15
Komponen Makna +MEMBAWA +OBJEK SASARAN BERAT
(15) He had to lug the heavy suitcase to the third floor.
Dia harus membawa koper yang berat itu ke lantai tiga
C. KONTRAS MAKNA LEKSEM VERBA BERMAKNA MEMBAWA DALAM
BAHASA JAWA DAN BAHASA INGGRIS
Setelah data yang didapat diseleksi sesuai dengan bahasan yang
dirumuskan, peneliti membagi data kedalam dua kelompok, yaitu
leksem bermakna membawa dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris.
Untuk memudahkan dalam analisis, data yang ditemukan dikemas
Bahasa Jawa
Verba
Komponen makna cara
Sunggi
Panggul
Pundhak
Pikul
Cangklong
Bopong
Pondhong
Indhit
Kempit
Cangking
Cengkiwin
g
kepala
bahu
+
-
+
+
+
-
tongk
at
+
-
depan
dada
+
+
-
Lengan &
badan
+
-
pinggan
g
+
-
ujung
/ tepi
+
Komponen
makna objek
sasaran
berat ringan
+
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
dalam table di bawah ini:
Tabel 1. Komponen makna bahasa Jawa.
Bahasa Inggris
Verba
Komponen makna arah
menuju
kembali
tempat lain
penutur
Take
+
Fetch
+
Lug
Tabel 2. Komponen makna bahasa Jawa.
Komponen
makna
objek
sasaran
ke berat
+
16
Dalam mengkaji data tersebut, peneliti menemukan beberapa
persamaan diantara keduanya, yang berisi fitur semantik yang
mempengaruhi makna pada masing-masing bahasa. Persamaan
tersebut diantaranya.
1. Penggunaan verba membawa disesuaikan dengan konteks dan
situasi.
2. Objek sasaran dalam verba membawa dimana dibedakan
berdasarkan objek berat dan ringan
Disamping adanya persamaan, peneliti juga menemukan
perbedaan diantara kedua bahasa tersebut diatas. Perbedaan yang
ditemukan menunjukkan ciri khas dan keunikan pada masing masing
bahasa, yang merupakan gejala semantic yang menarik. Perbedaan
tersebut antara lain:
1. Makna yang merujuk pada cara.
Verba yang ditemukan, yaitu nyunggi, manggul, mundhak,
mikul, nyangklong, mbopong, ngindhit, ngempit, dan nyangking, dan
nyengkiwing masing masing menggambarkan cara membawa yang
berbeda. Bahkan verba ngempit mampu menggambarkan suatu
cara yang mungkin tidak terfikirkan oleh siapapun yang tidak
menggunakan Bahasa Jawa secara aktif, dalam kaitanya sebagai
bahasa ibu.
2. Makna yang merujuk pada arah (dalam membawa).
Dalam Bahasa Inggris, verba yang ditemukan, yaitu take dan
fetch justru dibedakan penggunaanya berdasarkan arah ketika
seseorang membawa sesuatu. Hal ini tentu tidak ditemukan dalam
Bahasa Jawa, dimana arah akan dibedakan dengan menambahkan
penunjuk tempat yang bermakna kesini, kesana, dll.
KESIMPULAN
1. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bentuk-bentuk leksem
verba yang bermakna membawa. Leksem verba yang ditemukan
dalam Bahasa Jawa berjumlah 11 leksem, yaitu sunggi, panggul,
pundhak, pikul, cangklong, bopong, pondhong, indhit, kempit,
cngkiwing, dan cangking. Sedangkan dalam Bahasa Inggris
ditemukan 3 leksem, yaitu take, fetch, dan lug.
17
2. Data verba yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa komponen
makna, diantaranya komponen makna cara, komponen makna
objek sasaran, dan komponen makna arah.
3. Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam penelitian
terdpat dalam komponen makna yang ada. Makna yang merujuk
pada objek sasaran merupakan persamaan yang ditemukan dalam
kedua bahasa, sedangkan makna yang merujuk pada cara dan
makna yang merujuk pada arah merupakan keunikan yang
membedakan bahasa Jawa dan bahasa Inggris.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, A. 1999. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Harliana. 2015. Leksem Verba Bermakna Destroy Dalam Bahasa Inggris.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Leech, G. 2003. Semantik (diterjemahkan oleh Paina Partana).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan strategi, metode,
dan tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nida, E. A. 1975. Componential Analysis of Meaning : An Introduction to
Semantic Structures. Paris : Mouton the Hague.
Palmer, F. R. 1976. Semantics. Cambridge : Cambridge University Press.
Poedjosoedarmo, S. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Shalihah. 2015. A Look at the World through a Word ”Shoes”: A
Componential Analysis of Meaning. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma
Soedibyo, Mooryati. 2004. Analisis Kontrastif: Kajian Penerjemahan
Frasa Nomina. Surakarta: Pustaka Cakra.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suwarno, dkk. 1998. Wewarah Basa Jawa. Yogyakarta: Dhaksinarga.
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi. 2008. Semantik Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Yuma Pustaka.
18
Wedhawati, dkk. 1990. Tipe-tipe Semantik Verba Bahasa Jawa. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Yuniarti .2014. Analisis Kontrastif Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
PERTANYAAN DAN JAWABAN
Pemakalah : Ahlan Hanan Wijaya
“Leksem Verba Bermakna ‘Membawa’ dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris”
No Pertanyaan/tanggapan
Jawaban
1
Dr. Hendrokumoro
- (berupa tanggapan)
1) Perlu dikaji lebih dalam - Verba ‘pondhong’ dimasukkan dalam
lagi,
jika
ada
makalah.
kemungkinan
leksemleksem lain yang
belum tersaring.
2) Dalam bahasa Jawa, bisa
ditambah ‘pondhong’ dan
‘gotong’.
2.
Syamsudin
‘Carry’ merupakan kata superordinat
Mengapa
carry
tidak dalam bahasa Inggris yang bermakna
dimasukkan dalam leksem membawa. Peneliti tidak memasukkan
bermakna membawa?
kata tersebut, karena komponen makna
yang menyertai terlalu luas, atau bahkan
tidak dipengaruhi oleh komponen makna
apapun. Begitu juga dengan kata
‘membawa’ dalam bahasa Indonesia, dan
‘nggawa’ dalam bahasa Jawa.
3.
Tri Indah
Peneliti mengumpulkan data dari
Bagaimana
peneliti berbagai korpus, baik lisan maupun
mengumpulkan data?
tertulis.
Dalam
bahasa
Inggris,
‘take’merupakan kata yang paling banyak
digunakan. Sedangkan dalam bahasa
Jawa, data leksem verba yang berarti
membawa juga dibuat sendiri oleh
peneliti
karena peneliti merupakan
penutur asli Bahasa Jawa. Hal ini sejalan
dengan pendapat yang diungkapkan oleh
Mahsun (2003, p.102) yang menyatakan
bahwa dalam penelitian bahasa terdapat
suatu metode yang disebut dengan
19
metode introspektif yaitu metode
penyediaan data dengan memanfaatkan
intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti
bahasa yang dikuasainya (bahasa ibunya)
untuk menyediakan data yang diperlukan
bagi analisis sesuai dengan tujuan
penelitiannya.
20
KUALITAS TERJEMAHAN PROVERB KE DALAM BAHASA
INDONESIA MENGGUNAKAN GOOGLE TRANSLATE
Ahmad Muzaki Alawi
Universitas Gadjah Mada
alawiezacky13@gmail.com
ABSTRAK
Dewasa ini, menerjemah dengan bantuan mesin baik berbasis aplikasi
offline maupun online sering dilakukan terutama oleh civitas akademia.
Sebuah penelitian lama oleh Aiken dan Ghosh (2009) mengungkapkan
bahwa Google Translate (GT) adalah yang paling sering di gunakan untuk
menerjemahkan dan paling baik di kelasnya. September 2017 kemarin,
Google mengumumkan bahwa Google Translate sudah menggunakan saraf
neuro sehingga mampu memberikan hasil yang hampir sama dengan
terjemahan manusia. Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana proverb
(peribahasa) diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menggunakan GT.
Peribahasa sendiri merupakan hasil produk budaya yang bentuknya baku
dan menggunakan leksikon-leksikon spesifik sehingga bahkan manusia
pun akan kesulitan untuk menerjemahkannya. Terdapat 100 proverbs
yang akan dianalisis tingkat kualitasnya. Sebelumnya, 100 proverbs
tersebut sudah diterjemahkan oleh manusia. Hasil terjemahan inilah yang
akan menjadi tolok ukur kualitas terjemahan GT. Penelitian ini akan
mengungkap seberapa wajar dan sesuai hasil terjemahan proverb ke
dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan Google Translate. Dari data
yang diperoleh terlihat ada beberapa proverb yang diterjemahkan ke
bentuk peribahasa Bahasa Indonesia. Di sisi lain, sebagian besar dapat
dipahami maksudnya meskipun tidak berbentuk peribahasa. Namun, tidak
sedikit pula GT menghasilkan ungkapan yang sulit dipahami dalam bahasa
sasaran.
Kata kunci: proverb, kewajaran, kesesuaian
PENDAHULUAN
Dewasa ini, menerjemah bukanlah hal yang sulit. Terlepas dari baik
tidaknya hasil terjemahan, semua orang dapat melakukannya dengan
bantuan mesin. Terlebih lagi, Kamus offline sudah dapat diinstal pada
21
smartphone sehingga memudahkan penggunanya dalam proses
menerjemah tanpa perlu membawa-bawa kamus konvensional. Selain
berbentuk aplikasi offline, banyak orang dapat menggunakan aplikasi
dalam jaringan atau online. Meskipun menerjemah dengan bantuan
aplikasi online membutuhkan kuota data internet, banyak penerjemah
yang menggunakannya. Hal itu dikarenakan aplikasi online tidak hanya
sangat baik dalam menerjemahkan kata per kata, namun ia juga dapat
menerjemahkan dalam bentuk frasa, klausa, kalimat, bahkan paragraf.
Aiken dan Ghosh (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan Google
Translate (GT), mesin penerjemahan berbasis online, adalah yang paling
banyak digunakan dan paling akurat jika dibandingkan dengan Machine
Translation lainnya.
Pada saat ini, banyak karya tulis baik fiksi maupun non-fiksi dalam
bentuk buku, artikel jurnal, majalah, surat kabar, novel, kumpulan dan
bahkan lagu telah diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa
Indonesia. Jika dilihat secara luas, jumlah hasil terjemahan karya tulis jauh
melampaui karya tulis asli penulis Indonesia. Akan tetapi, apakah
banyaknya kuantitas tersebut sepadan dengan kualitas hasil
terjemahannya? Tidak sedikit kasus terjadi ketika pembaca harus berfikir
dalam untuk memahami kalimat-kalimat yang sudah diterjemahkan
tersebut. Kalimat-kalimat yang sulit diterjemahkan biasanya berupa
ungkapan idiom, metafora atau peribahasa. Peribahasa merupakan bentuk
Bahasa yang sangat dekat dengan budaya penuturnya. Pada umumnya,
peribahasa banyak berupa metafora, ritme Bahasa maupun aliterasi.
Penggunaan leksikon serta struktur sintaksis peribahasa berbeda dari
bahasa satu ke bahasa yang lainnya. Hal ini tentu sangat menyulitkan GT
untuk menerjemahkannya
Masalah utama dalam proses penerjemahan adalah mencari
padanan (Hartono, 2017: 4). Padanan di sini dapat bervariasi levelnya dari
kata sampai kalimat. Secara umum, GT sangat baik, cepat dan memberikan
banyak pilihan kata ketika diminta untuk menerjemahkan teks sumber ke
teks sasaran dalam bentuk kata atau frasa. Penerjemah biasanya akan
menyeleksi pilihan kata yang tepat dalam konteks kalimat yang sedang dia
kerjakan. Akan tetapi, GT tidak cukup bagus ketika menerjemahkan klausa
atau kalimat, ditambah, jika terdapat unsur budaya pada Bahasa sumber.
Contoh pada kalimat “Hari ini tepat 40 hari kakekku”. Ketika kalimat
tersebut dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris menggunakan GT,
22
hasilnya menjadi “Today is exactly 40 days my grandfather”. Ketika
menerjemahkan, GT akan mencari semua kemungkinan kesepadanan
dengan menggunakan kode alogaritma pada mesin terjemahan sekaligus
membatasi ruang kebahasaan yang lebih khusus pada Bahasa sasaran
pada waktu yang bersamaan.
Peribahasa merupakan bentuk Bahasa yang sangat dekat dengan
budaya penuturnya. Holman dan Harmon dalam Hartono (2017: 107)
mengatakan bahwa peribahasa (proverbs) adalah perkataan yang
mengungkapkan suatu pengakuan kebenaran tentang kehidupan. Pada
umumnya, peribahasa banyak berupa metafora, ritme Bahasa maupun
aliterasi. Penggunaan leksikon serta struktur sintaksis peribahasa berbeda
dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya. Hal ini tentu sangat menyulitkan
GT untuk menerjemahkannya.
Kemudian, bagaimana dengan penerjemahan yang dilakukan oleh
Google Translate? Seperti terjemahan mesin lainnya, GT tidak memiliki
ideologi, metode ataupun strategi untuk menerjemahkan. Google
Translate hanya menggunakan alogaritma yang sudah diformulakan dan
cenderung mengambil secara acak kata yang menurutnya paling tepat
kemudian dimasukan ke dalam bahasa sasaran tanpa perlu memikirkan
tata bahasa yang berlaku. Dengan sering dilakukannya perkembangan
oleh tim, Google Translate sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya,
bahkan jika dibandingkan dengan penerjemah amatir, hasil terjemahan
Google Translate bisa jadi lebih bagus. Sebagai contoh proverb ‘where
there is a will, there is a way’ dapat langsung diterjemahkan menjadi
‘dimana ada kemauan disitu ada jalan’ oleh GT. Hasil terjemahan tersebut
ternyata sangat akurat dan sama persis dengan terjemahan manusia.
Bagaimanapun juga, terdapat peribahasa yang diterjemahkan oleh GT
dengan tingkat kualitas buruk. Seperti proverb ‘the tongue wounds more
than a lance’ diterjemahkan oleh GT menjadi ‘Lidah luka lebih dari
tombak’. Setelah diterjemahkan oleh manusia, hasilnya menjadi ‘lidah
lebih tajam daripada pedang’.
Berangkat dari fenomena inilah, penulis bermaksud untuk mencari
tahu nilai kewajaran dan kesesuaian penerjemahan peribahasa dari
Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris menggunakan Google Translate
(GT).
METODE
23
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif.
Objek dari penelitian ini adalah proverbs dalam Bahasa Inggris. Data
diambil dari buku yang berjudul English Popular Proverbs yang ditulis oleh
Hana Melita Ekasari (2005). 100 sampel peribahasa dipilih secara acak.
Data-data yang telah terkumpul kemudian diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia menggunakan Google Translate. Hasil terjemahan
proverbs tersebut kemudian dianalisis untuk dicari kesesuaiannya dengan
terjemahan manusia. Adapun kewajaran akan diuji dengan menggunakan
questionnaire yang diberikan kepada 5 mahasiswa pascasarjana Ilmu
Linguistik di Universitas Gadjah Mada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesesuaian Terjemahan GT
Kesesuaian hasil terjemahan Google Translate dalam penelitian ini
diuji dengan menggunakan model tingkat kesesuaian yang digunakan oleh
Memsource, dengan angka kesesuaian sebagai berikut:
Match 100
: hasil terjemahan identik dengan HT, tanpa perlu
penyuntingan.
Match 76-95 : hasil terjemahan mendekati sempurna, perlu sedikit
penyuntingan.
Match 50-75 : hasil terjemahan memerlukan perbaikan pada kata-kata,
harus disunting.
Match 00-49 : hasil terjemahan masih jauh dan cenderung tidak sesuai.
Dari 100 peribahasa yang dipilih, terdapat 24 peribahasa yang dapat
diterjemahkan oleh GT dengan tingkat kesesuaian match 100. Berikut
disajikan beberapa contoh terjemahan GT dengan tingkat kesesuaian
match 100:
(1) Home sweet home
: rumahku surgaku.
(2) A little better than none
: sedikit lebih baik daripada tidak
sama sekali.
Hasil terjemahan dalam teks sasaran dengan menggunakan GT sama
persis dengan hasil terjemahan HT. Dari data di atas dapat terlihat bahwa
GT sudah tidak menerjemahkan dengan hanya sekadar alih bahasa kata
per kata. Namun, ia memperhatikan tata bahasa yang baik pada teks
sasaran. Hal ini terlihat pada pemilihan kata ‘surga’ pada contoh nomor (1)
dan pergeseran frasa menjadi kalimat pada contoh (2).
24
Hasil analisis juga menunjukkan terdapat 42 proverbs yang
diterjemahkan GT dengan tingkat kesesuaian 75-95. Perhatikan contoh
data berikut:
(3) Patience brings rewards
: kesabaran membawa imbalan.
(4) An empty barrel resounds loudly : sebuah tong kosong bergema
keras.
(5) Like two drops of water
: seperti dua tetes air.
Hasil terjemahan GT di atas menggunakan tata Bahasa Indonesia
yang benar dan dapat dipahami maknanya. Namun, kalimat-kalimat
tersebut bukanlah peribahasa. Tidak terdapat nilai-nilai luhur dari pilihan
kata-kata tersebut. Hasil tersebut dapat dikatakan kurang baik karena
makna budaya tidak dapat ditransfer ke dalam bahasa sasaran. Berikut
kami tunjukkan hasil terjemahan HT sebagai pembanding:
(6) Patience brings rewards
: orang sabar disayang tuhan.
(7) An empty barrel resounds loudly : tong kosong nyaring bunyinya.
(8) Like two drops of water
: bagai pinang dibelah dua
Pada contoh no (6), (7), dan (8), penerjemah mencari padanan
peribahasa yang sepadan dalam bahasa sasaran. Ketiga hasil terjemahan
tersebut memiliki kesatuan bahasa yang utuh serta menggunakan leksikon
yang sesuai dalam Bahasa Indonesia. Meskipun contoh (7) memiliki kata
inti yang sama yaitu tong kosong, akan tetapi semua kata dalam kalimat
tersebut tidak dapat diganti; berbeda dengan contoh (4).
Temuan lain dalam analisis adalah hasil terjemahan GT benar secara
gramatikal dan dapat dipahami secara makna, tetapi dirasa aneh oleh
pembaca bahkan ada yang maknanya sulit dimengerti. Perhatikan contoh
berikut:
(9) A friend in need is a friend indeed :
seorang
teman
yang
membutuhkan adalah seorang teman.
(10) An empty purse frightens away friends
: dompet kosong membuat
takut teman.
Hasil terjemahan GT di atas berdasarkan pada alogaritma kata per
kata yang kemudian digabungkan dengan mempertimbangkan kaidah
gramatikal dalam Bahasa Indonesia. Pada contoh no (9) hasil terjemahan
justru membingungkan pembaca. Sedangkan pada (10) tidak memiliki
25
hubungan antara dompet yang kosong dan teman yang takut. Kedua
peribahasa di atas akan menjadi lebih mudah dipahami seperti berikut:
(11) A friend in need is a friend indeed
: teman sehidup semati.
(12) An empty purse frightens away friends
: ada uang abang
sayang.
Pada contoh (11) dan (12) sebenarnya bukan merupakan
peribahasa. Kedua kalimat tersebut merupakan ungkapan. Hal ini
membuktikan bahwa sebenarnya peribahasa tidak harus diterjemahkan
menjadi peribahasa juga dalam bahasa sasaran. Jika memang tidak
terdapat peribahasa yang sesuai, maka penerjemah dapat mengunakan
ungkapan-ungkapan yang sering dipakai dan mudah dipahami oleh
pembaca.
Temuan terakhir pada tingkat kesesuaian adalah terdapat 34 hasil
terjemahan proverbs yang tidak dapat dipahami. Hasil tersebut perlu
disunting ulang sehingga menjadi lebih bermakna. Perhatikan contoh data
berikut:
(13) After a storm comes a calm
: Setelah badai datang dengan
tenang.
(14) Honey is sweet but the bee stings: Madu itu manis, tapi sengatan
lebah.
Contoh data-data di atas salah secara gramatikal. Tidak hanya
makna kontekstualnya, makna secara leksikalnya pun sulit dipahami. Hal
ini disebabkan GT belum mampu mendeteksi gaya bahasa pada tata
Bahasa Inggris yaitu penggunaan pola V + S seperti ‘comes a calm’ pada
contoh (13). Kemudian pada contoh (13) juga dapat dilihat bahwa GT
kurang mampu membedakan kata yang berbentuk sama ketika
menduduki kategori verba dan nomina seperti ‘stings’.
Kewajaran Terjemahan GT
Menilai kewajaran terjemahan berarti melihat apakah bentuk hasil
terjemahan sudah alamiah atau tepat dengan gaya bahasa sasaran atau
belum (Hartono, 2017: 50). Uji kewajaran pada penelitian ini dengan
menggunakan lembar observasi yang diberikan kepada 30 mahasiswa
pascasarjana Ilmu Linguistik UGM. Para responden diminta untuk
membaca dan memberi nilai apakah maknanya sudah dapat dipahami
serta disampaikan secara wajar atau tidak. Dalam hal ini, mereka tidak
26
tahu bahwa kalimat-kalimat yang mereka nilai merupakan terjemahan
proverb oleh GT. Kewajaran menurut Larson (1984: 497) dapat dilihat dari
pilihan kata dan bentuk kalimat yang lumrah terdapat dalam bahasa
sasaran.
Dari 100 hasil terjemahan proverbs oleh GT, responden menilai
terdapat 41 terjemahan yang tidak wajar baik dari pilihan kata maupun
bentuk kalimatnya. Hal itu dibuktikan dari jawaban responden yang
menyatakan bahwa mereka perlu berfikir ulang untuk memahami kalimatkalimat tersebut. Bahkan, ada beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami
sama sekali maksudnya karena pilihan leksikon yang tidak sesuai dengan
konteks dalam Bahasa Indonesia. Berikut disajikan beberapa contoh data
hasil terjemahan yang tidak wajar.
(15) Pin bigger than pole
(16) Like chicken, no paw, no eat
makan.
: Pin lebih besar dari kutub.
: Seperti ayam, tanpa cakar, tidak
Pada contoh data (15) kata ‘pin’ diterjemahkan oleh GT menjadi pin
dalam Bahasa Indonesia. Kata ini merujuk pada sesuatu yang dipakai
dalam berpakaian oleh wanita. Ketika kata ‘pin’ diketik pada GT, hasil
terjemahan pin merupakan kata pertama yang disarankan. Sedangkan kata
kutub, yang merupakan terjemahan dari ‘pole’, merupakan kata ketiga
yang disarankan oleh GT. Padahal, kata pertama yang muncul justru lebih
wajar, yaitu tiang. Hal ini menunjukkan bahwa GT tidak selalu memilih
kata pertama yang muncul untuk ketika menerjemahkan. Sedangkan pada
contoh (16) pilihan leksikonnya sudah wajar dalam konteks Bahasa
Indonesia. Namun tanpa cakar akan menimbulkan makna bahwa ayam
tersebut tidak memiliki cakar. Hal inilah yang membuat hasil terjemahan
tersebut menjadi tidak wajar.
Sisanya, yaitu 59 hasil terjemahan proverbs oleh GT, dinilai sangat
wajar oleh responden. Pilihan kata dan bentuk kalimatnya sudah sesuai
dengan tata bahasa dalam Bahasa Indonesia. Meskipun beberapa hasil
terjemahan bukan merupakan peribahasa, namun kalimat-kalimat
tersebut dapat dipahami maknanya oleh pembaca tanpa harus
mengernyitkan dahi untuk berpikir. Berikut disajikan beberapa contoh
data yang bukan peribahasa tetapi wajar pada bentuk dan maknanya.
27
(17) Building castlein the air
: Membangun istana di udara.
(18) Forbidden fruit is sweet : Buah terlarang itu manis.
KESIMPULAN
Dibandingkan dengan terjemahan manusia atau Human Translation,
nilai kesesuaian hasil terjemahan Proverbs oleh GT dikatakan baik. Bahkan
beberapa ada yang sama persis dengan HT. Adapun tingkat kewajaran
hasil terjemahan GT dinilai cukup baik kurang menurut responden. 59%
hasil terjemahan dianggap menggunakan pilihan kata dan bentuk kalimat
sesuai dengan Bahasa Indonesia menurut responden. Meskipun terdapat
kata yang tidak wajar digunakan sebagai perumpamaan dalam Bahasa
Indonesia, namun kalimat-kalimat yang mengandun kata tersebut masih
dapat dipahami maknanya oleh pembaca. Meskipun begitu, secara
keseluruhan penerjemah yang menggunakan bantuan mesin terutama GT
perlu untuk menyunting kembali hasil terjemahannya sehingga menjadi
lebih wajar dan sesuai dengan konteks budaya yang ada dalam
masayarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, M., Ghosh, K., Wee, J., and Vanjani, M. (2010a). Aiken, M., Ghosh, K.,
Wee, J., and Vanjani, M. (2009a). An evaluation of the accuracy of
online translation systems. Communications of the IIMA, 9(4), 6784. Communications of the IIMA, 9(4), 67-84,inpress.
http://findarticles.com/p/articles/mi_7099/is_4_9/ai_n56337599
/
Ekasari, H.M. 2005. Popular English Proverbs. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Widyatama.
Hartono, Rudi. 2017. Pengantar Ilmu Menerjemah. Semarang: Cipta Prima
Nusantara.
Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language
Equivalence. Lanham: University Press of America.
Soemarno, T. 1993. “Studi tentang Kesalahan Terjemahan dari Bahasa
Inggris ke dalam Bahasa Indonesia” (oleh Mahasiswa yang
Berbahasa Ibu Bahasa Jawa). Unpublished Thesis. Malang: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
28
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Afabeta
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1. Meneliti kualitas terjemahan anda dapat menggunakan rater. Lalu
siapa rater dalam penelitian anda?
2. Apa yang anda tekankan di sini? Apakah hasil terjemahan proverb
oleh GT yang bukan merupakan peribahasa dalam Bahasa Indonesia?
3. Peribahasa jelas dekat sekali dengan budaya. Dan bisa diprediksi
kalau hasil GT akan buruk. Lalu apa manfaat penelitian anda?
Jawaban:
1. Penilaian kualitas terjemahan GT melalui lembar observasi yang
diberikan kepada 5 mahasiswa, saya rasa itu sudah menjadi rater,
karena keterbacaan, dan kewajaran bisa dirasa oleh penutur asli
bahasa Indonesia.
2. Yang ditekankan di sini bukan bentuk hasilnya apakah masih
berbentuk peribahasa atau tidak. Namun lebih dilihat pada
maknanya. Apakah disampaikan dengan sesuai dan menggunakan
kata yang wajar atau tidak.
3. Awalnya saya berfikir demikian. Tetapi ternyata, jika
diprosentasekan, hasil terjemahan peribahasa oleh GT dikatakan baik.
berbicara manfaat mungkin tidak menambah khazanah karena yang
diteliti adalah mesin. Namun mesin juga memiliki tim, banyaknya
penelitian tentang GT mungkin saja dapat membantu tim developer
untuk memperbaikinya. Bahkan sekarang kita bisa memberi editan
langsung di halaman GT. Sebaiknya peribahasa bahasa Inggris dan
Indonesia yang memiliki kesepadanan segera disarankan ke GT,
karena bisa saja lama-lama kita lupa dengan peribahasa sendiri, dan
malah lebih familiar dengan terjemahan literal peribahasa bahasa
Inggris.
29
IDEOLOGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU THE GRAND DESIGN
KARYA STEPHEN HAWKING DAN LEONARD MLODINOW
Ahmad Zaidi
Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada
Ahmadzaidi1994@gmail.com
ABSTRAK
Buku the Grand Design karya Hawking dan Mlodinow ini memiliki dua
unsur yang jarang dimiliki oleh buku lain. Penjelasan fisika teoretik
dibungkus dengan kemasan yang mudah dimengerti. Dalam buku ini
penulis buku membandingkan bagaimana cara pandang kuno terhadap
alam dan pandangan sains terhadapnya. Dengan begitu buku asli dalam
Bahasa Inggris memiliki konteks teknis dan konteks budaya yang perlu
diperhatikan dalam penerjemahannya ke Bahasa Indonesia. Dalam paper
ini peneliti peneliti berfokus pada Culture Specific Items yang mengalami
domestikasi atau foreignisasi. Kemudian dari 153 data yang telah
dikumpulkan peneliti dapat disimpulkan bahwa bahwa buku ini
menggunakan ideologi domestikasi dalam proses penerjemahannya. CSI
yang mengalami foreignisasi adalah istilah teknis yang memang belum ada
padanan dalam Bahasa Indonesia. CSI yang mengalami domestikasi adalah
items yang dapat dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia yang
berkaitan dengan budaya.
Kata Kunci: terjemahan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ideologi, Grand
Design, Stephen Hawking, Leonard Mlodinow.
PENDAHULUAN
Fisika Teoretik adalah bidang yang mempelajari bagaimana alam
semesta bekerja. Isaac Newton, Albert Einstein, dan Stephen Hawking
adalah nama – nama besar dalam bidang ini. Kontribusi bidang ini meliputi
banyak hukum seperti hukum gravitasi, hukum kecepatan, bahkan hingga
teori lubang hitam. Lenz juga menyatakan penemuan hukum – hukum
alam semesta ini juga turut mengembangkan teknologi seperti semikonduktor yang membuat teknologi seperi telepon pintar menjadi
mungkin. Tanpa pengetahuan tentang sifat elektron semikonduktor tidak
bisa ditemukan.
30
Di Indonesia, bidang ini masih kurang diminati. Dari hasil
pencarian program studi di situs BAN-PT masih belum ada program studi
khusus untuk fisika teori. Namun terjemahan buku – buku fisika teori dari
luar negeri masih banyak terbit di Indonesia. Salah satunya buku buku
Rancang Agung yang merupakan versi terjemahan dari buku aslinya yang
berbahasa Inggris Grand Design karya Stephen Hawking dan Leonard
Mlodinow. Buku hasil terjemahan diterbitkan oleh PT Gramedia dan
diterjemahkan oleh Zia Anshor yang sebelumnya telah menerjemahkan
buku yang berkaitan dengan fisika seperti: Tujuh Pelajaran Singkat Fisika
dan buku biografi Stephen Hawking yang berjudul Travelling to Infinity.
Hawking sendiri merupakan seorang penulis dan juga Profesor bidang
Matematika di Cambridge University sebelum wafat pada tanggal 14 Maret
2018. Mlodinow adalah seorang penulis di bidang Matematika Fisika yang
terkenal dengan ekspansi 1/N (Large N expansion). Buku asli dalam
Bahasa Inggris merupakan buku yang laris di negara penerbitannya
terutama di Amerika Serikat, karena merupakan buku Best Seller di New
York Times.
Buku ini sendiri memiliki gagasan tidak perlu menghadirkan
Tuhan dalam penciptaan alam semesta Hawking dan Mlodinow
menggunakan argument sesuai dengan kaidah sains dan menunjukkan
banyak percobaan yang telah dilakukan untuk mendukung argument
mereka. Penulis buku juga membandingkan perbedaan cara pikir suku –
suku tertentu dengan cara pikir sains. Cara pikir suku – suku ini
melibatkan kehendak dewa dan cara pandang mereka terhadap alam
sementara cara pandang Fisika Teoritis melihat pola alam tersebut
kemudian memetakannya dan memprediksi kejadian apa yang akan
terjadi kedepannya. Dampak dari kedua cara pikir ini membentuk sebuah
teks yang memiliki Culture Specific Items (Aixela. 1996) disingkat CSI dari
unsur teknis dan unsur budaya baik dari pola pandang suku – suku
tersebut dan berasal dari penjelasan humoris penulis.
Paper ini fokus pada ideologi penerjemahan yang ada pada CSI
dalam teks. CSI sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk terjemahan yang
lahir karena saat di rubah ke dalam Bahasa Target dari Bahasa Sumber
melahirkan sebuah konflik penerjemahan (baik dalam ideologi,
penggunaan, frekuensi dan lain sebagainya) berdasarkan budaya pada
Bahasa Target (Aixela. 1996:57). Penelitian penerjemahan pada buku
31
populer sendiri sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana
transfer informasi yang dilakukan penerjemah yang bisa dilihat dari
ideologi yang dipakai. Dalam penelitian ini berfokus pada dua ideologi
penerjemahan yang Venuti (1995) yaitu Domestikasi dan Foreignisasi.
Domestikasi teks adalah istilah yang digunakan Venuti untuk menjelaskan
strategi penerjemahan di mana gaya transparan atau fasih diadopsi untuk
meminimalisir “keanehan” dari sebuah teks asing kepada pembaca teks
hasil terjemahan (Shuttleworth. 2014:43). Sebaliknya Foreignisasi (atau
Meminorisasi Terjemahan) adalah tipe penerjemahan di mana TT
diproduksi namun masih mengandung unsur asing di mana ini akan
memutus konvensi pada BT (Shuttleworth. 2014:59). Ideologi foreignisasi
di sini tidak selalu dapat dikatakan negatif karena penerjemah
memasukkan unsur asing, dalam masyarakat Jerman yang dijabarkan
Venuti (1995:86) menerangkan jika mereka bisa maju secara peradaban
karena mereka menghargai unsur asing yang masuk daripada tetap terikat
pada budaya “klasik“ dan tidak ada nilai lain yang masuk. Setelah
penjelasan latar belakang ini penelitian ini menggunakan metode berikut
ini untuk menganalisa ideologi penerjemah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan terjemahan
CSI dalam buku The Grand Design Karya Stephen Hawking dan Leonard
Mlodinow kemudian melihat hasil terjemahannya dalam buku hasil
terjemahan yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dengan judul The
Grand Design: Rancang Agung diterjemahkan oleh Zia Anshor. Setelah
peneliti memperoleh data istilah budaya yang diterjemahkan, dalam
bentuk frasa atau kata ke dalam Bahasa Target (BT) dari Bahasa sumber
(BSu). Seluruh data dikelompokkan dan ditentukan tehnik
penerjemahannya sesuai tehnik penerjemahan Aixela (1996:60-65) yang
terdiri dari dua tema besar yaitu konservasi (repetisi, adaptasi ortografis,
terjemahan linguistik (non-budaya), ekstratekstual gloss, dan
intratekstual gloss) yang dekat dengan ide foreignisasi dari Venuti.
Kemudian ada subtitusi yang sangat dekat dengan ide domestikasi Venuti
(sinonimi, universalisasi terbatas, universalisasi absolut, naturalisasi,
penghapusan, dan kreasi autonomus). kemudian menyimpulkan ideologi
apa yang digunakan dalam proses penerjemahan tersebut berdasarkan
tehnik yang telah dijabarkan di atas jadi kata atau frasa yang mengalami
32
konservasi akan di kategorikan sebagai foreignisasi dan subtitusi akan
dikategorikan sebagai domestikasi.
Hasil dan Pembahasan.
Dari total CSI yang ada pada sebanyak 153 data pada TT ada 68
data yang merupakan Foreignisasi dan 85 data yang merupakan
Domestikasi. Jadi mengimplikasikan buku ini menggunakan Domestikasi
dalam terjemahan TS. Mari kita mulai pembahasan dari aspek foreignisasi
yang terjadi lebih sedikit dan mengapa ini bisa terjadi dalam TT yang
menggunakan Bahasa Indonesia.
Axis Title
Foreignisasi
28
20
16
2
adaptasi ortografis
ekstratekstual gloss
intertextual gloss
2
repetisi
terjemahan bahasa (non-budaya)
Dari grafik di atas dapat kita lihat ekstratekstual gloss, terjemahan
budaya (non-bahasa) dan adaptasi ortografis merupakan tehnik
penerjemahan dominan pada buku ini. Ekstratekstual gloss banyak
terdapat pada istilah fisika teoretik yang ada pada Bahasa Inggris namun
tidak ada pada Bahasa Indonesia, sehingga penerjemah harus
menggunakan fitur ekstratekstual gloss untuk mengenalkan istilah dalam
Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian diikuti istilah Bahasa Inggris
dari TS berikut contoh data dan pembahasannya:
TS
TT
Neuroscience (datum 58)
Ilmu Saraf (Neuroscience)
Distorted Frame of Reference Kerangka
Rujukan
(datum 64)
reference) terdistorsi
Cloud chamber (datum 77)
(frame
of
Kamar kabut (cloud chamber)
Buku yang sedang diteliti tidak dapat dipungkiri merupakan buku teknis
yang akan banyak merujuk kepada istilah dari Fisika Teoritis. Inilah sebab
banyak istilah tehnis yang muncul dari BSu yaitu Bahasa Inggris. Jika kita
33
menelaah fisika teoritis, pengembang bidang seperti Newton, Penrose, dan
Hawking sendiri berasal dari Britania Raya. Para pengembang ini karena
merupakan penutur Bahasa Inggris menjadikan banyak istilah yang
mereka hasilkan berasal dari Bahasa Inggris. Penerjemah sebagai
pentransfer nilai yang ada pada BSu namun tidak ada pada BT
menggunakan tehnik ini untuk mengenalkan istilah baru. Sementara
intertekstual gloss fungsinya mirip dengan extratekstual namun
keterangan tidak terdapat dalam kurung “()” atau pemisah teks lainnya,
namun dengan kata penghubung seperti atau seperti dalam contoh frasa
Crater Lake diterjemahkan menjadi “danau kawah atau crater lake.
Intertekstual gloss sendiri hanya ada dua dalam data peneliti yang
menandakan penerjemah lebih memilih ekstratekstual gloss daripada
intertekstual sebagai alat transfer.
Adaptasi ortografis dalam penelitian ini bisa dibagi menjadi dua
kategori yaitu adaptasi ortografis terhadap nama nama dan istilah:
TS
TT
Tipe
Euclid (datum 18)
Eukleides
Nama (Yunani)
Joshua (datum 106)
Yoshua
Nama (Latin)
Hsia Dynasty (datum Dinasti Xia
142)
Nama (Tiongkok)
Sicily (datum 21)
Nama Kota (Itali)
SIsilia
Dari contoh di atas banyak nama yang berasal dari bahasa lain selain
bahasa Inggris yang disesuaikan bunyinya sesuai kaidah bunyi dalam
Bahasa Indonesia.. Nama Yunani sering muncul karena disamping
Hawking dan Mlodinow memberikan penjelasan bagaimana manusia
mempersepsi alam dan menyerahkan kehendak pada dewa – dewi pemikir
dari Yunani kuno seperti Thales dan Euclid disebut untuk memberi contoh
proses pemikiran terhadap alam sejak zaman Yunani kuno dan
membandingkannya dengan sains modern namun nama pakar modern
yang kebanyakan berasal dari Inggris tidak diterjemahkan. Hal ini
berkaitan dengan Proper Names dalam semantik yang yang merupakan
referential names. Bagi penutur Bahasa Indonesia nama yang terdapat
34
pada TT akan familiar dan menciptakan truth condition untuk merujuk
pada orang yang sama dalam BSu.
Sementara tehnik penerjemahan liguistik (non-budaya) dan
repetisi merupakan penerjemahan yang menerjemahkan TS ke TT dengan
menggunakan istilah yang sudah ada pada BT dan menggunakannya pada
TT. Sementara dalam data peneliti juga terdapat repetisi terutama dalam
puisi yang ada pada awal pembukaan bab yang tidak diterjemahkan.
Berikut contoh nya :
TS
TT
Tipe
…, a scientific law if it
holds only when some
supernatural being
decides
not
to
interverne. (datum 54)
Suatu hukum sains Linguistic
(nonbukanlah hukum sains cultural) Translation
jika hanya berlaku bila
sosok supranatural
memutuskan
untuk
tak campur tangan.
Nature and Nature's
laws lay hid in night:
God said, let Newton
be! And it was all light.
(datum 49)
Nature and Nature's Repetition
laws lay hid in night:
God said, let Newton
be! And it was all light.
Datum 54 terdapat kata supernatural beings yang diterjemahkan menjadi
sosok supranatural yang merupakan terjemahan secara Bahasa saja, hal
ini disebabkan karena nilai ini sudah ada pada kedua BSu dan BT.
Sementara pada datum 49, sebuah pusi pada pembukaan salah satu bab
tidak diterjemahkan. Kerumitan sebuah puisi kadang tidak bisa
diterjemahkan begitu saja karena bisa menghilangkan keindahan puisi
tersebut. Penerjemah di sini menggunakan repetisi untuk menjaga nilai
aestetik tersebut. Jadi pada sisi foreignisasi hal yang paling banyak
diterjemahkan menggunakan ideologi ini adalah istilah dan nama. Istilah
dikenalkan dengan ekstratekstual gloss dan kemudian nama terutama
nama Yunani diterjemahkan menggunakan adaptasi ortografis.
35
Sejalan dengan penelitian ini dalam studi yang dilakukan Obeidat
dan Abu-Mehlim (2017) di mana mereka menganalisa teks teknis yang ada
dalam label susu formula bayi ideologi penerjemahan foreignisasi muncul
dominan dalam teks yang mereka teliti. Karena jika istilah teknis
diterjemahkan menggunakan domestikasi akan menimbulkan perbedaan
ide. Sementara foreignisasi pada data di atas juga bisa dikaitkan dengan
kebijakan pemerintah pada EYD bahasa Indonesia. Penelitian yang
dilakukan Sri Rwa Jayantini (2014) yang membahas kebijakan pemerintah
dalam penerjemahan, istilah tehnis yang masuk dari Bahasa asing (dalam
kasusnya biosekuritas, pertanian dan lingkungan) mengalami
penyesuaian. Kemungkinan adanya penyesuaian kata atau frasa dalam
studi ini bisa juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berlaku
mengingat Gramedia merupakan Publisher yang bereputasi dan
merupakan penerbit buku di Indonesia sebagai negara yang memiliki
kebijakan tertentu masalah Bahasa. Studi lanjutan diperlukan dalam hal
ini.
Domestikasi
40
18
15
sinonim
universalisasi absolut
11
penghapusan
universalisasi terbatas
Sementara dalam idologi domestikasi terjadi banyak universalisasi
terbatas. Hal ini bisa terjadi karena penerjemah mencoba mentransfer
budaya dari BSu ke BT namun dengan padalan yang masih ada dalam
ranah yang bisa dimengerti dari BT. Disusul dengan sinonim di mana
penerjemah menggunakan padanan TS dan TT dalam BSu untuk
menerjemahkan unsur budaya ke BT. Kemudian universalisasi absolut
merupakan terjemahan yang mencari kata netral dalam BT untuk
diterjemahkan dari Bsu. Berikut contohnya:
TS
TT
Tipe
…the eclipses were not …gerhana
matahari Universalisasi
dependent on the bukan
disebabkan terbatas
arbitrary whims of kehendak sosok adi-
36
supernatural beings, alami yang semaunya,
but rather governed melainkan
diatur
by laws. (datum 10)
hukum - hukum.
..., for our observations
observations of the
heavens
can
be
explained by assuming
either the earth or the
sun to be at rest.
(datum 69)
…, karena pengamatan sinonimi
kita atas langit samasama bisa dijelaskan
dengan
berasumsi
Bumi atau Matahari
bergeming. (44)
For example, if you flip
a donut over, it looks
exacly
the
same
(unless it has a
chocolate topping, in
which case it is better
just to eat it) (datum
124)
Contohnya, jika anda Universalisasi absolut
membalik
donat,
penampilannya sama
persis (kecuali kalau
donatnya
dioles
cokelat,
sehingga
daripada dibolak-balik
lebih baik dimakan
saja)
dari tabel di atas bisa kita lihat dalam contoh universalisasi terbatas
supernatural being diterjemahkan menjadi sosok adi-alami. Hal ini terjadi
karena konteks yang sudang ada dalam kalimat tersebut merujuk kepada
dewa – dewi sebagai sosok supernatural sedangkan jika kita artikal secara
literal menjadi sosok supernatural maka bagi penutur Indonesia tidak
hanya dewa – dewi yang masuk pada kategorisasi itu melainkan seluruh
makhluk supernatural seperti pocong, gondoruwo, kuntilanak dan
sebagainya. Dalam contoh sinonimi penerjemah mencari padanan kata at
rest (diam) dan diterjemahkan dengan padanan kata yang lain yaitu
bergeming. Sementara universalisasi absolut, dapat kita lihat jika
penerjemah mencari kata yang paling netral dari kata topping yaitu olesan.
Kata topping sendiri dapat berarti lapisan makanan yang ditaruh di atas
makanan lain. Sementara olesan secara makna hanya dapat berlaku pada
benda cair, karena di sini berkaitan dengan cokelat yang cair, penerjemah
mencari padanan netral yaitu olesan.
37
Penghapusan merupakan suatu tehnik terjemahan yang
menghapus sebuah elemen dalam BSu ke dalam Bahasa sumber ke BT
karena ada elemen yang dirasa penerjemah kurang atau tidak sesuai
dengan budaya BT sehingga ada penghapusan frasa. Sementara kreasi
autonomus merupakan fenomena yang jarang dipakai menurut Aixela
(1996) karena jarang ada penerjemah yang memasukkan konteks budaya
yang belum ada pada TT. Berikut contoh keduanya:
TS
TT
Tipe
…,by knocking out
wall and positioning a
new bathroom where
once there stood a
majestic oak. (datum
130)
…dengan
cara penghapusan
membobol
dinding
dan
membangun
kamar mandi baru.
(133)
Pada contoh di atas terjadi penghapusan frasa yang mengandung
informasi pohok Oak. Hal ini bisa disebabkan karena penerjemah merasa
tidak perlu memasukkan informasi ini, karena pohon Oak tidak ada di
Indonesia.
Studi yang dilakukan Siregar et.al. (2015), Sharifabad (2013) dan
Schimdt (2013) mengimplikasikan teks yang ada dalam bentuk buku
populer seperti novel dan juga teks tertulis seperti berita didominasi oleh
ideologi Domestikasi. Sejalan dengan penelitian mereka, penelitian ini juga
didominasi oleh ideologi penerjemahan domestikasi.
KESIMPULAN.
Berdasarkan data yang dikumpulkan peneliti pada penelitian ini
dapat disimpulkan berdasarkan tehnik penerjemahan yang digunakan
bahwa:
1. Ideologi domestikasi adalah ideologi yang lebih banyak
digunakan pada penerjemahan CSI.
2. CSI yang mengalami foreignisasi kebanyakan adalah CSI yang
merupakan nama dan istilah. Hal ini dapat dikarenakan tidak
ada padanan yang setara pada Bahasa Indonesia. Sehingga
38
penerjemah harus memasukkan unsur baru ini baik itu
disesuaikan atau diperkenalkan dengan tehnik penerjemahan.
Mengingat buku ini adalah non-fiksi informasi yang masuk
harus sama seperti pembaca membaca buku asli.
3. Pada CSI yang mengalami domestikasi kebanyakan adalah CSI
yang dicari kata yang lebih umum (universalisasi terbatas).
Juga dapat disimpulkan CSI yang mengalami domestikasi
merupakan items yang tidak memiliki padanan yang sangat
sejajar pada BT namun penerjemah menyesuaikan dengan
budaya yang paling dekat. Dalam domestikasi tidak ada kata
teknis yang memiliki makna tertentu yang dicari padanannya.
Ini mengimplikasikan selain elemen teknis, elemen yang
berkaitan dengan budaya, penerjemah lebih memilih untuk
menyesuaikan budaya tersebut ke dalam BT.
39
REFERENSI
Aixelá, Javier Franco (1996). Culture-specific items in translation. Román
Álvarez, María CarmenÁfrica Vidal, eds. Translation,
Power, Subversion. Clevedon – Philadelphia – Adelaide:
Multilingual Matters.
Hawking, Stephen. Mlodinov, Leonard. (2010). The Grand Design, Rancang
Agung. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Lenz, Alexander. “What's the Point of Theoretical Physics?” The
Conversation,
The
Conversation,
25
May
2018,
theconversation.com/whats-the-point-of-theoretical-physics54493.
Newmark, Peter. (1988). A Texbook of Translation. Wheaton & Co. Ltd,
Kxeter: Hertfordshire
Obeidat, Eshraq S. Abu-Mehlim, Abdel-Rahman. (2017). Foreignization
and Domestication in Translating English - Arabic Baby Formula
Labels. British Journal of Humanities and Social
Sciences,
September2017, Vol. 17(2).
Pencarian Prodi | BAN-PT, banpt.or.id/direktori/prodi/pencarian_prodi.
Schmidt, Goran. (2013). Foreignization and Domestication in the Croatioan
Translations of Oscar Wilde’s The Picture of Dorian Gray.
Jezikoslovlje Journal, Vol 14. 2-3: 537-548.
Sharifabad, Ebrahim Davoudi. (2013). The Application of Domestication
and Foreignization Translation Strategies in English-Persian
Translations of News Phrasal Verbs. Journal of Theory and Practice
in Language Studies, Vol. 3, No. 1, pp. 94-99.
Shuttleworth, Mark. Dictionary of Translation Studies. Routledge, 2014.
Siregar, Roswani. Sinar, T. Silvana. Lubis, Syahron. Muchtar, Muhizar.
(2015). Domestication and
Foreignization In The Process Of
Translation of the 8th Habit by Stephen R. Covey into Bahasa
Indonesia. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSRJHSS) Volume 20, Issue 4, Ver. II(Apr. 2015), PP 53-63.
Sri Rwa Jayantini, I Gusti Agung. (2014). Translation and Language
Development: The Synergy Between Ideology, Policy and
Consistency. Lingual: Journal of
Language and Culture, Vol 2
No 1.
Venuti, Lawrence. (1995). The Translator’s Invisibility. Routledge: London.
40
DISKUSI HASIL SEMINAR
1. Dr Sailal Arimi (UGM)
Bagaimana ideologi penerjemahan dalam penelitian ini diukur?
Jawaban: diukur dari seberapa banyak CSI yang di kenai tehnik
penerjemahan yang menggunakan subtitusi yang condong ke
domestikasi atau konservasi yang condong ke foreignisasi. Tehnik
penerjemahan sendiri berdasarkan tehnik yang dijabarkan oleh
Aixela.
2. Antonius (UNUD)
apa tujuan khusus penelitian ini?
Untuk mengetahui bagaimana transfer informasi dalam buku
populer sains berlangsung. Karena buku ini kaya akan istilah dan
kata budaya dan istilah teknis bidang fisika yang merupakan
karakter unik buku ini.
3. Prof Putu Wijana (UGM)
Saran: tadi anda berbicara mengenai nama yang tidak
diterjemahkan kan. Itu namanya proper name ada nama yang
memang bisa diterjemahkan atau memang tidak bisa
diterjemahkan. Nama yang tidak bisa diterjemahkan seperti nama
institusionalisasikan tidak boleh diterjemahkan. Coba nanti
ditambahkan proper name ini.
41
PENAMBAHAN AKHIRAN -S PADA PERCAKAPAN DI MEDIA SOSIAL
Ambaristi Hersita Milanguni
Mahasiswa Pascasarjana Linguistik
Universitas Gadjah Mada
Bulaksumur, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab. Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55281
ambaristihersitamilanguni@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena bahasa yang
ada pada percakapan media sosial. Dalam percakapan pesan elektronik
yang sekarang sering digunakan, ditemukan penambahan akhiran -s pada
beberapa kata. Penambahan akhiran -s ini ditemukan pada beberapa
percakapan di media sosial yang dikirimkan oleh sekelompok anak muda.
Jika di dalam bahasa Inggris penambahan akhiran -s digunakan sebagai
penanda jamak, maka pada kasus ini tidak semua penambahan akhiran -s
merupakan bentuk jamak. Penambahan akhiran -s ini merupakan bentuk
bahasa slang karena digunakan untuk berkomunikasi di kalangan tertentu.
Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik sadap libat
cakap dan sadap bebas libat cakap. Selain itu dilakukan juga wawancara
untuk mendapatkan kebenaran dari maksud dari penutur. Data berupa
beberapa kata yang mendapatkan akhiran -s, seperti genduts, cantiks dan
temans. Sumber data berupa kata akhiran -s yang ditemukan pada pesan
elektronik seperti aplikasi Whatsapp dan LINE. Hasil penelitian ditemukan
bentuk dan fungsi penambahan –s: (i) bentuk penambahan -s dengan
tanpa menghilangkan unsur apapun, (ii) penambahan dengan menyisakan
suku penultima, (iii) penambahan dengan menyisakan suku ultima, dan
(iv) penambahan dilekatkan setelah fonem konsonan. Penambahan
akhiran -s bertujuan untuk: (i) mengubah bentuk kata itu menjadi bentuk
jamak, (ii) mempersingkat kata, (iii) menekankan makna, dan (iv)
menciptakan kesan kekinian.
Kata kunci: penambahan akhiran, fenomena bahasa, sosiolinguistik, media
social, bahasa slang
42
A. PENGANTAR
Akhir-akhir ini semakin banyak media percakapan jarak jauh yang
berkembang di masyarakat. Alat-alat yang muncul semakin beragam dan
tentunya semakin memudahkan para penggunanya. Dalam penelitian ini
media sosial yang digunakan adalah Whatsapp dan Line. Orang-orang
semakin dimudahkan hanya dengan mengirimkan pesan teks dengan
berbagai emotikon yang dapat memudahkan penyampaian pesan. Tidak
hanya alat percakapan yang semakin berkembang, tetapi bahasa yang
digunakan pun semakin hari semakin berkembang. Salah satu yang
menjadi fokus pada penelitian ini adalah penambahan akhiran -s yang
akhir-akhir ini muncul. Dalam bahasa Inggris terdapat penambahan
akhiran -s yang digunakan sebagai penanda jamak. Dalam data penelitian,
ditemukan kata yang diberi akhiran -s tidak hanya untuk penanda jamak
dan bahkan bukan dalam bahasa Inggris. Morfem yang muncul adalah
morfem bahasa Indonesia yang kemudian mengalami perubahan bentuk
dan mendapat tambahan -s sehingga menimbulkan fungsi tertentu.
Dari hasil pengamatan awal, penambahan akhiran -s ini ternyata
juga digunakan untuk penanda jamak, tetapi dengan menggunakan bahasa
Indonesia. Penambahan akhiran -s pada bahasa Indonesia yang bertujuan
untuk menandakan jamak adalah pada kata gengs dan temans. Kata ini
ditemukan pada percakapan grup, ketika salah seorang memanggil
seluruh anggota grup percakapan Whatsapp. Fungsi yang ditemukan pada
penambahan akhiran -s pada kata temans dan gengs ini merupakan fungsi
mempersingkat kata. Mengingat bahwa semakin hari, setiap individu
diminta untuk lebih cepat dan praktis dalam menyampaikan sesuatu. Salah
satu yang dilakukan adalah dengan mempersingkat kata dalam
pengetikan. Hal ini lebih praktis daripada harus menulis dengan lengkap
panggilan tersebut dengan menuliskan teman-teman.
Dari contoh tersebut, tampak bahwa penambahan akhiran -s
dipandang cukup mewakili dan mampu mempermudah pengguna dalam
penulisan pesan, Selain itu jika dilihat dari bentuk dan fungsi, penambahan
akhiran -s ini merupakan slang. Menurut Kridalaksana (2008:156) slang
merupakan ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau
kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai
usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti, berupa kosakata
yang serba baru dan berubah-ubah.
43
Penelitian ini secara khusus mengenai penambahan akhiran -s
dalam media sosial. Hal ini diharapkan dapat menjadikan tulisan mengenai
penambahan akhiran sebagai rujukan baru mengenai bahasa dalam media
sosial. Percakapan yang dimunculkan sebagai data berasal dari tiga grup
percakapan dan dua percakapan pribadi.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pengantar telah disampaiakan bahwa penambahan akhiran
-s memiliki bentuk dan fungsi tertentu. Tiap bentuk dan fungsi tersebut
akan dipaparkan sebagai berikut beserta tiap contoh penggunaannya.
1. Bentuk Penambahan Akhiran -s
a. Penambahan tanpa Menghilangkan Unsur Apapun
Bentuk penambahan akhiran -s yang pertama ada penambahan
dengan tanpa mengurangi kata yang mendapatkan tambahan. Seperti yang
sudah dikemukan di awal, penambahan akhiran -s dalam bahasa Inggris
memang sudah ada. Namun, penambahan ini digunakan sebagai penanda
jamak. Data yang ditemukan, penambahan akhiran -s tanpa mengurangi
kata terdapat pada gengs, temans, koks, betuls, genduts, rombaks, dan
banyaks.
44
Pada dua percakapan yang dimunculkan di atas, terlihat bentuk
penambahan -s dilakukan dengan tidak menghilangkan unsur apapun
pada morfem. Seperti pada contoh semangats dan genduts.
b. Penambahan dengan Menyisakan Suku Kata Ultima (Suku kata
terakhir)
Bentuk kedua adalah penambahan akhiran -s dengan melakukan
penghilangan bagian awal kata terlebih dahulu. Penambahan akhiran -s
dengan menghilangkan bagian awal yang ditemukan adalah yangs dari
sayang, ntaps dari mantap, tuls dari betul, nduts dari gendut, ngets dari
banget, dan bangs dari abang.
Pada contoh percakapan yang dimunculkan, terdapat dua contoh
penambahan dengan menyisakan suku kata ultima atau suku kata
terakhir. Percakapan pertama adalah tuls yang berasal dari betul
kemudian mendapat akhiran -s dengan menambahkannya pada suku kata
ultima yang tersisa. Contoh kedua yaitu ntaps yang berasal dari mantap
dan kemudian mendapat akhiran -s dengan menambahkannya pada suku
kata ultima.
45
c. Penambahan dengan Menyisakan Suku Penultima (Suku kata
sebelum terakhir)
Bentuk ketiga adalah penambahan akhiran -s dengan melakukan
pengilangan bagian akhir kata. Data penambahan akhiran -s dengan
menghilangkan bagian akhir kata ditemukan pada puts dari nama Putri,
hans dari nama Handano, bebs dari bebi, gils dari gila, ngaps dari ngapain,
cans dari cantik, dan sans dari santai.
Pada contoh percakapan di atas, pertama penambahan akhiran -s
dilakukan setelah menyisakan suku penultima, begitupun pada contoh
kedua. Kedua contoh tersebut dilakukan pada sebuah nama. Pertama dari
nama Putri menjadi puts dan nama Bapak Handano menjadi pak hans.
Jika dilihat dari ketiga bentuk yang muncul, dapat dilihat secara
keseluruhan bahwa semua penambahan akhiran -s ini ditambahkan
setelah fonem konsonan konsonan. Tidak ada penambahan akhiran -s yang
diletakkan setelah huruf vokal.
46
2. Fungsi Penambahan Akhiran -s
a. Sarana Pembentuk Jamak
Penambahan akhiran -s pada bahasa Inggris yang digunakan untuk
menandakan jamak, ternyata juga diberlakukan pada penambahan
akhiran -s pada percakapan media sosial. Bedanya, penambahan akhiran s ini dilakukan pada istilah berbahasa Indonesia. Namun, fungsi yang
dimunculkan sama, yaitu menandakan jamak. Contohnya pada kata gengs
dan temans. Penambahan ini digunakan untuk memanggil seluruh anggota
dari grup percakapan tersebut.
47
Sarana Mempersingkat Kata
Fungsi kedua adalah sebagai sarana mempersingkat kata. Semakin
canggihnya sebuah alat komunikasi, maka penggunanya juga akan menjadi
pengguna yang serba cepat dan praktis.
Pada contoh percakapan di atas, yang pertama merupakan
penyingkatan yang dilakukan pada pemanggilan nama. Penutur
bermaksud agar lebih cepat dalam melakukan percakapan tulis, maka
penyebutan kata santai disingkat menjadi san dan kemudian mendapatkan
akhiran -s menjadi sans. Kedua me
c. Sarana Penekanan Makna
Selain penggunaan tanda baca, penekanan juga bisa digunakan
pada penambahan fonem. Salah satu penambahan yang dilakukan adalah
dengan menambahan akhiran -s ini.
48
Pada contoh data ditemukan penambahan akhiran -s pada kata
rombak dan banyak yang berubah menjadi rombaks dan banyaks untuk
melakukan penekanan bahwa rombak dan banyak pada rombaks dan
banyaks maknanya sangat banyak perubahan yang harus dilakukan.
Contoh kedua adalah penambahan akhiran -s pada cantik yang menjadi
cantiks, yang bermakna cantik sekali.
d. Sarana Menciptakan Kesan Kekinian
Fungsi terakhir yang tentunya menjadi alasan yang paling banyak
ditemukan adalah sebagai sarana menciptakan kesan kekinian. Anak-anak
muda yang menggunakan media sosial, menjadi anak yang merasa ingin
Nampak lebih update atau kekinian. Hal ini juga berlaku pada bahasa tulis
yang mereka gunakan pada tulisan mereka yang dibaca oleh teman-teman
sebayanya. Misalnya pada penyebutan salah nama teman mereka yang
bernama Putri berubah menjadi puts ketika akhirnya mendapatkan
akhiran -s dan mengubah dimana menjadi dimans agar lebih menarik dan
nampak keren dalam penggunaannya.
49
C. KESIMPULAN
Sebagai sarana komunikasi, bahasa menjadi sesuatu yang sangat
melekat pada perkembangan media sosial. Dalam hal ini, penambahan
akhiran -s yang ditemukan pada percakapan di media sosial. Media sosial
yang sementara ini ditemukan paling banyak menggunakan akhiran -s
adalah Whatsapp dan Line. Semakin hari, bahasa akan mengalami
perubahan seiring dengan kebutuhan para penggunanya.
Sebenarnya beberapa fungsi dari penggunaan akhiran -s ini bisa
terwakilkan dengan penggunaan tanda baca dan emotikon yang sudah
tersedia, tetapi hal ini dirasa belum cukup mewakili menurut beberapa
kalangan sehingga muncullah fenomena penambahan akhiran -s ini,
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik; Edisi Keempat. Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
Mualafina, Rawinda Fitrotul. 2017. “Penggunaan Tanda Asterik (*) dalam
Media Sosial”. Makalah Seminar Nasional Isu-Isu Mutakhir Linguistik,
halaman 467-478.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and New
York: Routledge.
Data Penambahan Akhiran -s
No.
No.
No.
1.
Gengs
11.
Olips
21.
Puts
2.
Temans
12.
Semangats
22.
Hans
3.
Koks
13.
Yangs
23.
Bebs
50
4.
Betuls
14.
Mangats
24.
Gils
5.
Genduts
15.
Ntaps
25.
Ngaps
6.
Rombaks
16.
Tuls
26.
Cans
7.
Banyaks
17.
Nduts
27.
Sans
8.
Meangs
18.
Ngets
28.
Kaks
9.
Cantiks
19.
Bangs
10.
Dandans
20.
Yuks
HASIL DISKUSI SEMINAR:
1. Apakah penambahan akhiran -s ini hanya ditemukan pada bahasa tulis?
Apakah tidak ada bahasa lisan yang menggunakan akhiran -s seperti yang
dilakukan oleh laki-laki yang sedikit seperti perempuan?
Jawaban: Dalam penelitian ini hanya dilakukan pada bahasa tulis. Mungkin
bisa menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya, dalam meneliti
penggunakan akhiran -s dalam bahasa lisan.
2. Merujuk pada fungsi kekinian, adakah pengaruh laun yang menjadi
unsur kekinian?
Jawaban: Dalam percakapan yang dikutip, kebanyak mereka merupakan
pemuda atau penutur yang berada dalam lingkup yang sama. Jadi, bisa
dikatakan bahwa mereka saling mempengaruhi satu sama lain.
3. Ada berapa grup yang diambil?
Jawaban: Sejauh ini ada tiga grup dan dua percakapan pribadi.
51
KONFLIK SARA, STUDI KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA,
DALAM BERBAGAI ADEGAN TUTUR: ANALISIS WACANA KRITIS
Angela Diyansih Wisesa Chuntala
Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
surel: achuntala76@gmail.com
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki puluhan suku, ras,
dan juga kebudayaan. Oleh karena itu di Indonesia sangat rawan dengan
yang namanya pertentangan antaretnik ataupun antargolongan, selain itu
letak geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan ini memang
membuat komunikasi sukar terjalin yang mungkin saja dapat memicu
ketegangan karena kesalahpahaman. Konflik sara (suku, agama, ras, dan
antar golongan) telah meluas dan tidak asing lagi di Indonesia yang
disebabkan berbagai hal dan salah satunya yaitu karena kesalahpahaman.
Segala bentuk perdebatan, pertengkaran, bentrokan, perampokan,
pencurian, kecemburuan sosial, bahkan sampai pembunuhan, dan lain
sebagainya banyak yang diakibatkan dari konflik sara. Secara sederhana
dalam artikel ini akan menganalsis wacana secara kritis mengenai konflik
sara akibat dari kesalahpahaman beberapa wacana lisan. Wacana lisan
yang dianalisi merupakan wacana lisan beberapa publik figur yang
menjadi sorotan sosial. Seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus sara
tentang dugaan penistaan Agama pada lawakan Joshua Suherman dan Ge
Pamungkas di acara stand up comedy tanggal 3 dan 5 Januari 2018.
Lawakan Joshua Suherman yang menurutnya adalah sebuah kritik sosial
dianggap sebagai penistakan Agama oleh salah satu ormas. Ada juga
tuturan beberapa tokoh masyarakat yang diduga sebagai penistaan Agama
oleh ormas agama tersebut, karena tuturannya mengandung kata
mengenai agama tersebut yang bermakna ambigu.
Kata kunci: Konflik Sara, Adegan Tutur, dan Analisis Wacana Kritis
52
PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai konflik sara memang tidak akan pernah
ada akhirnya mengingat masalah yang ditimbulkan dari konflik sara
sendiri selalu berkembang dan semakin meluas. Mengahiri konflik yang
ditimbulkan karena perbedaan pandangan atau kesalahpahaman dalam
sara pun tidaklah mudah. Seperti yang disampaiakn Dr.Marsudi Utoyo,
S.H., M.H dalam penenelitian akar masalah konflik keagamaan di Indonesia
yaitu menurut beliau setiap terjadi konflik sara tidak pernah dicari akar
masalahya, semua(pemerintah, aparat, dan yang berwenang) hanya
berkonsentrasi menghentikan konflik dan mencari pelaku yang memicu
terjadinya konflik lalu menghukum pelaku tersebut. Hal tersebut yang
menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa aparat selalu melindungi
kelompok minor yang menjadi sasaran amuk masa.
Konflik yang terjadi merupakan gejala sosial yang serba hadir
dalam kehidupan sosial, oleh karena itu konflik bersifat inheren yang
artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana
saja dan kapan saja. Hal tersebut juga merupakan konsekuensi negera
heterogen dari keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang juga
membuat keberagaman pandangan serta pemahaman. Karena dalam
setiap hubungan sosial tidak ada satupun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan,
kehendak, tujuan, dan sebagaianya. Di dalam lingkup sosial terkecil
sekalipun keberagaman yang menimbulkan konflik dapat terjadi. Seperti
dalam keluarga, yang nota bene sedarah yang tentunya lebih banyak
kesamaannya, namun tetap ada perbedaannya yang dapat menimbulkan
konflik tersebut. Apalagi di Negara Idonesia yang luas dan sangat beragam
ini. Pastilah konflik akan semakin banyak dan beragam, seperti yang
belakangan ini kerap terjadi mengenai dugaan penistaan agama dalam
berbagai adegan tutur.
KONFLIK SARA
Konflik berasal dari kata configere (latin) yang berarti memukul.
Namun konflik tidak selalu terjadi dengan kekerasan fisik, secara umum
yang kita ketahui saja konflik sering terjadi dengan melanggar beberapa
aturan yang ada tanpa harus adu fisik. Konflik adalah suatu masalah sosial
yang timbul karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam
masyarakat maupun negara(Soppiah, 2008).
53
Konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu:
Perbedaan indvidu; perbedaan pendirian dan perasaan
Adanya perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk
pribadi yang berbeda-beda pula. Seseorang sedikit banyak akan
terpengaruh dengan pola pemikiran dan pendirian kelompoknya
Adanya perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok bisa
menyangkut bidang ekonomi, politik dan juga sosial.
Terdapat perubahan nilai yang cepat secara tiba-tiba dalam
masyarakat
Konflik Sara adalah konflik yang diakibatkan karena sara(suku,
agama, ras, dan antargolongan). Perbedaan pandangan dalam sara yang
sering mengakibatkan terjadinya konflik. Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan
kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian
menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249 yang dikutip
St.Aisyah). Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui
perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984 yang dikutip
St.Aisyah).
ANALISIS WACANA KRITIS
Sebuah disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa
yang nyata dalam tindak komunikasi itulah yang disebut sebagai analisis
wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau
menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk
tulisan maupun lisan(Stubbs, 1983:1). Teks di sini mengacu pada bentuk
transkripsi rangkaian kalimat atau ujaran. Kalimat digunakan dalam
ragam bahasa tulis sedangkan ujaran digunakan untuk mengacu pada
kalimat dalam ragam bahasa lisan. Sumber data dalam analisis wacana
adalah para pemakai bahasa, namun jumlahnya terbatas seperti dalam
kajian kasus.
Seperti yang adegan tutur sebagai wacana lisan yang diduga
penistaan agama yang akan kita bahas dalam makalah ini. Ada tiga adegan
tutur dalam konteks yang berbeda yaitu, lawak, politik, dan sastra. Dalam
konteks lawak ada Ge Pamungkas dan Joshua Suherman, politik ada Ahok,
dan sastra ada Sukmawati.
54
Analisis bermula dari ide tentang linguistik kontekstual. Bahasa
hanya mempunyai makna apabila berada dalam suatu konteks(Coulthrad,
1977:1-3). Pendapat tersebut rupanya sangat sesuai dengan cara
menginterpretasi makna ujaran seperti yang dikemukakan(Brown dan
Yule, 1983:27-67). Menginterpretasi makna sebuah ujaran perlu
memperhatikan konteks, sebab konteks akan menentukan makna ujaran.
Konteks itu meliputi konteks linguistik dan konteks etnografi. Konteks
linguistik berupa rangkaian kata yang mendahului atau yang mengikuti
sedangkan konteks etnografi terbentuk serangkaian ciri faktor etnografi
yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa.
Berikut ini dicontohkan adegan tutur sebagai wacana lisan yang dianggap
menistakan agama:
Konteks Lawakan
Lawakan Joshua Suherman di Stand Lawakan Joshua Suherman di
Up Comedy 3 Januari 2018
Stand Up Comedy 5 Januari 2018
Kata “Makanya Islam” dalam lawakan yang diucapkan Joshua
Suherman ketika tampil di stand up comedi tanggal 3 Januari 2018. Dengan
kata “Makanya Islam” Joshua Suherman dugaan melakukan penistaan
Agama.
Ge Pamungkas diduga melakukaan penistaan agama dengan katakata yang ia ucapkan “Cinta Apaan!??” pada waktu itu Ge Pamungkas
membuka adegan lawakaannya dengan materi mengenai banjir di Ibu
55
Kota. Menurut Ge Pamungkas ketika dulu Jakarta banjir semua
menyalahkan gubernurnya yang dulu tapi sekarang ketika Jakarta banjir
banyak yang bilang “ini cobaan dari Allah. Allah aka menguji umat yang
dicintainya” dalam adegan tuturnya itu Ge Pamungkas lalu berceloteh
“Cinta Apaan!??”, adegan tutur itulah yang diduga sebagai penistaan
agama.
Konteks Politik
Pidato Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, pada 27 September
2017
Ahok atau Basuki Tjahja Purnama mantan Gubernur Jakarta yang
terkenal blak-blakkan tanpa basa-basi. Diduga melakukan penistaan
agama pada pidatonya di Pulai Pramuka, Kepulauan Seribu karena dalam
pidatonya membawa surat dalam Al’Quran.
56
Konteks Sastra
Puisi Sukmawati yang dibacak pada peringtan 29 tahun Ane Avantin
berkarya sebagai disainer kebaya
Ibu Sukmawati adik dari ibu Megawati Soekarno Putri di duga
melakukan penistaan agama dalam adegan tuturnya membacakan puisi
yang berjudul Ibu Indonesia di peringatan 29tahun Ane Avanti berkarya.
KESIMPULAN
Segala bentuk adegan tutur dalam berbagai konteks tuturan dapat
menimbulkan kesalahpahaman dikarenakan berbagai hal. Perbedaan
pikiran, pendapat, dan kelompok merupakan hal yang sering
melatarbelakangi terjadinya konflik. Pengguaan kata dalam setiap adegan
tutur perlu diperhatkan secara mendalam. Setiap adegan tutur perlu
diperhatikan kontek dan tujuannya untuk menekan kesalahpahaman
tersebut. Adegan tutur yang diduga menistakan agama di atas bukanlah
adegan tutur orang biasa, mereka berpendidikan dan memiliki kalangan
sosial luas. Namun itu semua tidak menjamin adegan tutur mereka selalu
benar tanpa pembiasan makna. Penjaminan kerukunan tanpa konflik
57
hanya dengan menghargai rasa toleransi tinggi dalam kebinekhaan bangsa
Indonesia. Kita harus ingat bahwa kita tidak hidup sendiri.
REFERENSI
Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian dalam Pemakaian.
Malang:Bayumedia Publishing.
Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.
Tri Rina Budiwati. 2011. Representasi Wacana Gender dalam Ungkapan
Berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggris: Analisis Wacana Kritis.
KAWISTARA.
https://www.youtube.com/watch?v=IEZHHrElD8g diunduh pada tanggal
28 Maret 2018 pukul 07:35 WIB
https://www.youtube.com/watch?v=XRIyx5F-4fc diunduh pada tanggal
28 Maret 2018 pukul 07:47 WIB
http://www.nu.or.id/post/read/58245/siapa-paling-dekat-dengantuhan diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 08:00 WIB
https://ikrimahmaifandi.wordpress.com/2012/08/05/analisis-wacana/
diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 15:27 WIB
https://www.kompasiana.com/priskiladewisetyawan/upaya-mengatasikonflik-sara-di-indonesia_55186dc2813311cb669def6d diunduh pada
tanggal 29 Maret 2018 pukul 09:23 WIB
http://www.duniapublicrelations.com/2017/03/analisis-konflikpluralisme-kasus-sara.html diunduh pada tanggal 29 Maret 2018 pukul
09:26 WIB
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Apakah yang disampaikan Joshua Suherman “makanya Islam” itu
merukan penistaan ataukah sindiran?
Baik merupakan sindiran maupun penistaan, adegan tutur
Joshua Suherman tersebut hanya sebagai contoh adegan tutur yang
diduga menistaakan agama tertentu. Kembali lagi mengingat judul
artikel saya disini yaitu “Konflik Sara, Studi Kasus Dugaan Penistaan
Agama Dalam Berbagai Adegan Tutur: Analisis Wacana Kritis”. Ranah
konteksnya hanya adegan tutur yang diduga menistakan agama.
Sedangkan mengenai penistaan dan sindiran sendiri
maksudnya sama, karena sindiran merupakan bagian dari penistaan.
58
Sindiran merupak alat yang digunakan dalam tujuan penistaan.
Pengertian dari kata “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian
pakar mempergunkana kata celaan. Perbedaan istilah tersebut
disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad
dari bahasa belanda. “Nista” berarti hina, cela, rendah, noda.(Leden
Marpaung, 1997:11)
Mengklasifikasikan penistaan agama ada dua jenis yaitu:
penistaan verbal dan penistaan non verbal. Pertama, Verbal (dengan
kata-kata atau ucapan). Penistaan yang verbal ini terjadi dalam
bentuk: olok-olokan, sindiran, tuduhan, tudingan, ejekan, hinaan
hingga
candaan
yang
bukan
pada
tempatnya
dan
sebagainya(Imanuddin bin Syamsuri dan M. Zaenal Arifin, )
Kedua, Non Verbal yaitu menghina agama tidak menggunakan
ucapan atau kata-kata, namun lebih pada tindakan, perilaku atau
pandangan. Penistaan agama dalam jenis ini memiliki cakupan yang
luas. Ia bisa terjadi dalam bentuk mencela dengan menggunakan
bahasa tubuh atau tindakan yang mengotori ajaran agama masingmasing (Ibid)
Arti sindiran menurut KBBI Online yaitu sin.dir.an
Nomina (kata benda) perkataan (gambar dan sebagainya) yang
bermaksud menyindir orang; celaan (ejekan dan sebagainya) yang
tidak langsung)
2.
Mengapa kasus Ahok mengenai Surat Al Maidah merupakan
penistaan?
Kasus Ahok mengenai penggunaan kata ”surat Al Maidah ayat 51”
dianggap sebagai dugaan penistaan agama karena ayat tersebut
adalah pengingkaran.(Sailal Arimi)
Arti maupun makna dalam ayat Surat Al Maidah sendiri saya
tidak mengetahui pastinya karena saya bukan muslim, namun
bila kita analisis adegan tutur tersebut secara kritis mungkin ada
kesalahpahaman tersebut. Mengingat ada berita yang tidak
sesuai dengan keaslian isi pidao, yang saya baca dari laman
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37996601. Berikut
kutipan beritanya,
59
“27 September: Pidato Ahok saat melakukan kunjungan kerja di
Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang lalu dianggap menghina
agama.
"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya
karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51
macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu
merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka,
dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan
pribadi Bapak Ibu," katanya.
"Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu)
jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak
karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok," tambahnya.
6 Oktober: Buni Yani mengunggah video rekaman pidato itu di
akun Facebooknya, berjudul 'Penistaan terhadap Agama?'
dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'.
Ia menuliskan 'karena dibohongi Surat Al Maidah 51' dan bukan
"karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51', sebagaimana
aslinya.”
Dari kutipan berita tersebut yang memuat transkripsi pidato
Ahok, bila dianalisis adegan tutur tersebut diduga sebagai
penistaan agama karena ada kesalahpahaman, diberita tersebut
juga mentranskripsikan sebuah tulisan yang mengunggah pidato
Ahok namun, ada satu kata yang lesap/ hilang. Sehingga memberi
pandangan dan pemikiran lain yang akhirnya menimbulkan
kesalahpahaman tersebut.
Namun mungkin sebagai simpulan penulis dari berbagai
pendapat dan data, menjawab mengenai pidato Ahok tersebut
merupakan dugaan penistan agama karena menggunakan katakata yang mengandung Ayat dalam ajaran agama tersebut.
Sehingga sensitifitasnya semakin tinggi, apalagi dalam konteks
sosial luas. Mengingat yang menyampaiakan Ayat tersebut bukan
beragama tersebut.
3.
Mengapa ibu menggunakan empat contoh tuturan lisan tersebut
untuk menjustifikasi penistaan agama?
Saya luruskan terlebih dahulu, disini saya menganalisis mengenai
adegan tutur dugaan penistaan agama, dugaan bukan menjustifikasi.
60
Alasan saya menggunakan empat adegan tutur tersebut sebagai
contoh adegan tutur dugaan penistaan agama karena empat adegan
tutur tersebut yang sedang aktual dan empat adegan tutur tersebut
benar-benar faktual karena benar ada dan terjadi di Indonesia.
Sehingga saya tidak mengada-ada dalam menganalisis adegan tutur
yang diduga sebagai penistaan agama.
4.
Apakah dari contoh yang ibu gunakan tersebut merupakan adegan
penistaan agama?
Iya, dari empat contoh adegan tutur tersebut merupakan adegan tutur
yang diduga menistakan agama. Secara eksplisit dan tidak mendalam
dalam empat contoh adegan tutur tersebut menggunakan kata-kata
yang mengandung ciri penunjuk agama tersebut, baik nama agama,
ajaran, bahkan ayatnya. Hal tersebut yang menimbulkan bias atau
pemaknaan yang ambigu sehingga dapat menimbulkan
kesalahpahaman. Dan semua contoh adegan tutur tersebut memang
ditetapkan sebagai adegan tutur dugaan penistaan agama oleh sosial
luas yang terangkum dalam berita terkini.
Daftar Referensi
Leden Marpaung SH. 1997. Tindak Pidana Terhadap kehormatan. Jakarta,
PT: Raja Grafindo Persada.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Berita Ahok http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37996601 yang
diunduh pada 29Mei2018 pukul 10:30WIB.
61
FUNGSI PRONOMINA PERSONA BAHASA TETUN DIALEK DILI
Antonio Constantino Soares
Program Magister Linguistik, Universitas Udayana
antoniosoares907@yahoo.co.id
ABSTRAK
Republica Democratica De Timor Leste (RDTL) atau yang lebih populer
dengan nama Timor Leste (TL) memiliki 32 bahasa lokal. Salah satu
diantaranya adalah bahasa Tetun BT. BT digunakan oleh pemerintah TL
sebagai bahasa nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kategori dan fungsi pronomina persona BT karena kategori pronomina
persona merupakan salah satu kategori gramatikal yang sangat penting
untuk mengisi fungsi sintaksis yang berfungsi sebagai subjek atau objek
dalam sebuah klausa. BT menarik untuk diteliti karena BT tergolong ke
dalam rumpun Austronesia dengan tata urut SVO dan termasuk bahasa
isolatif secara tipologis. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data
dalam penelitian ini adalah metode introspektif refleksif karena peneliti
adalah penutur asli BT. Selanjutnya, data dalam penelitian ini dianalisis
dengan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan kategori dan fungsi pronomina persona BT secara
sintaktik. Dari hasil analisis dapat ditemukan bahwa terdapat tujuh
kategori pronomina persona, yaitu ha’u “saya”,o “kamu” imi “kalian”, ita
“kita”, ami “kami”, sira “mereka” dan nia “dia” (Lk/Pr). Ketujuh kategori
pronomina persona yang ditemukan dalam BT dapat mengisi unsur subjek
dan objek secara sintaktik atau dapat berperan sebagai agen dan pasien
secara semantis.
Kata kunci: kategori, fungsi, pronomina persona, bahasa Tetun
1.
PENDAHULUAN
Republica Democratica De Timor Leste (RDTL) atau juga dikenal
dengan nama Timor Leste (TL) memiliki 32 bahasa lokal yang saat ini
masih hidup dan digunakan oleh masyarakatnya. Salah satu di antaranya
adalah bahasa Tetun yang sekarang digunakan sebagai bahasa nasional
62
oleh pemerintah (TL) yang selanjutnya disebut BT. Selain itu, ada tiga
bahasa asing, yaitu bahasa Portugis, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Bahasa Portugis digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan, tetapi
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pekerja.
BT termasuk rumpun Austronesia dengan tata urut SVO. BT juga termasuk
bahasa isolatif secara tipologis karena minim afiksasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori dan fungsi
pronomina persona BT secara khusus, baik dari kategori pronomina
persona yang berfungsi sebagai subjek maupun sebagai objek secara
sintaktis. Verhaar (2008:170) menjelaskan bahwa “kategori sintaksis
adalah apa yang sering disebut “kelas kata”, seperti nomina, verba,
adjektiva, adverbia, adposisi, dan sebagainya”. Selain itu, Alwi dkk.
(1998:35) juga menjelaskan bahwa “dalam ilmu bahasa, kata
dikelompokkan berdasarkan bentuk dan perilakunya. Kata yang
mempunyai bentuk dan perilaku yang sama, atau mirip, dimasukkan ke
satu kelompok, sedangkan kata lain yang bentuk dan perilakunya sama
atau mirip dengan sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang
pertama, dimasukan ke kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata dapat
dibedakan berdasarkan kategori atau kelas kata”. Berbicara tentang
kategori sintaksis sudah barang tentu kita juga akan berbicara tentang
fungsi dan peran sintaktis. “Fungsi sintaksis adalah semacam kotak-kotak
kosong atau tempat-tempat dalam struktur sintaksis yang ke dalamnya
akan diisikan kategori tertentu” (Chaer, 2009:20). Berdasarkan pendapat
para ahli bahasa di atas dapat dikatakan bahwa penelitian ini bertujuan
untuk memperkenalkan BT kepada pencinta dan pemerhati bahasa lokal
agar tertarik dan mau meneliti BT lebih mendalam, dari aspek mikro
maupun makro. Penelitian ini juga diharapkan supaya BT tetap dijaga,
dipertahankan, dan dilestarikan sebagai bahasa nasional (TL) agar tetap
hidup pada masa mendatang.
2.
METODOLOGI
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
hanya terdiri atas data lisan berupa kalimat yang digunakan oleh penutur
asli BT. Penelitian ini berpijak pda teori sintaksis tentang kategori, fungsi,
dan peran yang diusulkan oleh Verhaar (2008). Verhaar (2008:161)
menjelaskan bahwa sintaksis adalah tata bahasa yang membahas
hubungan antarkata dalam tuturan. Selanjutnya, Crystal (1980:346) juga
63
menegaskan bahwa sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-kaidah yang
mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk membentuk kalimat
dalam suatu bahasa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
introspektif refleksif karena peneliti adalah penutur asli BT. Hal ini senada
dengan pandangan Artawa (1998:23) bahwa “untuk analisis
morfosintaksis dapat dibenarkan karena umumnya diasumsikan bahwa
penutur suatu bahasa memiliki kemampuan memberikan putusan
mengenai keberterimaan dan ketidakberterimaan kalimat dalam
bahasanya sendiri”. Metode yang digunakan dalam menganalisis data
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
3.
PEMBAHASAN
Setiap bahasa yang masih hidup, aktif, dan masih tetap digunakan oleh
penuturnya tentu memiliki kategori-kategori yang memiliki fungsi dan
peran masing-masing dalam sebuah klausa, baik dalam klausa intransitif
maupun dalam klausa transitif. Dalam hal ini adalah kategori pronomina
persona yang dapat mengisi unsur subjek atau unsur objek, baik secara
sintaktik maupun sebagai agen atau pasien secara semantis. Berikut ini
adalah pendapat para ahli bahasa tentang pemakaian kategori pronomina
persona dan fungsinya dalam klausa bahasa Inggris.
Kentjono dkk. (2010:176) menjelaskan bahwa kata ganti adalah kata
yang dipakai untuk mengganti atau mengacu kepada kata lain. Kata ganti
dapat menggantikan kata benda atau perluasannya dan menduduki fungsi
kata benda tersebut, misalnya fungsi subjek atau fungsi objek. Denes dkk.
(2001:17) menjelaskan bahwa “kata ganti berfungsi mengganti kata benda
dengan bentuk tertentu yang masih menunjukkan pertalian dengan
sesuatu yang diganti”. Selain itu, Alwi dkk. (1998:249) juga menjelaskan
bahwa pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk
mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri
(pronomina diri sendiri persona pertama), atau mengacu pada orang yang
diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang
dibicarakan (pronomina persona ketiga).
64
Tabel
Kategori Pronomina Persona BT
A.
Persona
Persona
pertama
Tunggal
ha’u = saya
Persona kedua
Persona ketiga
o = kamu = anda
nia = dia laki-laki/dia perempuan
Jamak
ita = kita
(inks) ami =
kami /eks)
imi = kalian
sira = mereka
Kategori pronomina persona BT sebagai subjek dalam klausa
intransitif
1.
Ha’u
1TG
‘Saya
2.
O
2TG
‘ kamu
Imi
2JM
‘Kalian
3.
la’o
jalan
berjalan’
halai”
lari
berlari’
tuur
duduk
duduk’
Dari data pada contoh klausa (1) dapat dilihat bahwa kategori
pronomina persona orang pertama tunggal ha’u “saya” di posisi inisial
yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba la’o “berjalan”
berfungsi sebagai predikat. Klausa (2) kategori pronomina persona
orang kedua tunggal o “kamu” di posisi inisial yang berfungsi sebagai
subjek dan kategori verba halai “berlari” berfungsi sebagai predikat.
Klausa (3) kategori pronomina persona orang kedua jamak imi
“kalian” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori
verba tuur “duduk” berfungsi sebagai predikat.
4.
Sira
3JM
hamrik
berdiri
65
‘Mereka
berdiri’
5.
Nia
3TG
‘Dia (pr/lk)
6.
Ami
semo
1 JM terbang
‘Kami terbang’
7.
Ita tanis
1JM nangis
‘Kita menangis’
toba
tidur
tidur’
Data pada klausa (4) menunjukkan kategori pronomina persona
orang ketiga jamak sira “mereka” berada di posisi inisial yang
berfungsi sebagai subjek dan kategori verba hamrik “berdiri”
berfungsi sebagai predikat. Klausa (5) pada kategori pronomina
persona orang ketiga tunggal nia “dia” di posisi inisial yang berfungsi
sebagai subjek dan kategori verba toba “tidur” berfungsi sebagai
predikat. Data pada kausa (6) menunjukkan kategori pronomina
persona orang pertama jamak ami “kami” di posisi inisial yang
berfungsi sebagai subjek. Kategori verba semo “terbang” berfungsi
sebagai predikat. Selanjutnya, data pada klausa (7) menunjukkan
kategori pronomina persona orang pertama jamak ita “kita” berfungsi
sebagai subjek dan kategori verba tanis “nangis” berfungsi sebagai
predikat.
B.
Kategori pronomina persona berfungsi sebagai subjek dan objek
dalam klausa ekatransitif dapat dilihat pada contoh klausa berikut ini.
1.
Ha’u
1TG
‘Saya
ku’u
o
cubit
2TG
mencubit kamu’
66
2.
O
2TG
‘Kamu
3.
Nia
tebe
ita
3T
tendang
1JM
‘Dia (pr/lk) menendang kita’
Ita tuku
nia
1JM pukul
3TG
‘Kita memukul dia (pr/lk)’
4.
bolu
panggil
memanggil
sira
3JM
mereka’
Dari contoh klausa pada data (1) di atas dapat dilihat bahwa
fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona pertama tunggal
ha’u “saya”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba ku’u “cubit” dan
fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona pertama tunggal o
“kamu”. Data pada klausa (2) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh
kategori pronomina persona kedua tunggal o ”kamu”, fungsi predikat
diisi oleh kategori verba bolu “panggil”, dan fungsi objek diisi oleh
kategori pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”. Data pada
klausa (3) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh pronomina persona
ketiga tunggal nia “dia”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba tebe
“tendang”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona
pertama jamak ita “kita”. Klausa pada data (4) menunjukkan fungsi
subjek diisi oleh kategori pronomina persona pertama jamak ita
“kita”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba tuku “pukul”, dan
fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga tunggal nia
“dia”.
5.
Sira
haree imi
3JM
lihat
2JM
‘Mereka melihat kalian’
6.
Ami
tiru
sira
1JM
tembak
3JM
‘Kami menembak mereka’
67
7.
4.
Imi
hadomi ami
2JM
hadomi 1JM
‘Kalian mencintai kami’
Dari contoh klausa pada data (5) di atas dapat dilihat bahwa
fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga jamak sira
“mereka”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba haree “lihat”, dan
fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona kedua jamak imi
“kalian”. Klausa pada data (6) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh
kategori pronomina persona pertama jamak ami “kami”, fungsi
predikat diisi oleh kategori verba tiru “tembak”, dan fungsi objek diisi
oleh kategori pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”. Klausa
pada data (7) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh pronomina
persona kedua jamak imi “kalian”, fungsi predikat diisi oleh kategori
verba hadomi “mencintai”, dan fungsi objek diisi oleh kategori
pronomina persona pertama jamak ami “kami”.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis pronomina persona BT dengan dua klausa
pokok, yaitu klausa intransitif dan klausa ekatransitif di atas dapat
disimpulkan bahwa BT memiliki tiga jenis pronomina persona, yakni
pronomina persona pertama, pronomina persona kedua, dan pronomina
persona ketiga. Pronomina persona pertama tunggal ha’u “saya”,
pronomina persona kedua tunggal o “kamu”, pronomina persona kedua
jamak imi “kalian”, pronomina persona pertama jamak ita “kita”,
pronomina pertama jamak ami “kami”, pronomina persona ketiga jamak
sira “mereka”, dan pronomina persona ketiga tunggal nia “dia” (lk/pr). Di
samping itu, ketujuh kategori pronomina persona dalam BT yang
ditemukan dalam penelitian ini semuanya dapat mengisi fungsi slot subjek
atau fungsi slot objek pada semua tipe klausa tanpa adanya persesuaian
verba terhadap subjek seperti dalam bahasa Inggris, atau dengan kata lain,
BT Dili tidak mengenal sistem konjugasi.
5.
SESI PERTANYAAN
Bagian ini adalah uraian tentang pertanyaan beserta jawabannya
selama seminar nasional linguistik II di UGM. Selama seminar berlangsung,
68
ada dua pertanyaan dan satu saran. Saudara Viktorius Paskalis Feka
mahasiswa pascasarjana, program linguistik mengajukkan satu
pertanyaan dan satu saran, sedangkan ibu Dr. Hayatul Cholsy mengajukan
dua pertanyaan. Berikut ini adalah pertanyaan dan jawabannya untuk
penanya pertama yaitu sudara Viktorius Paskalis Feka.
1.
Apakah bahasa Tetun Dili mengenal sistem konjugasi?
Secara tipologis bahasa Tetun dialek Dili termasuk bahasa isolatif
secara morfologis sehinga bahasa Tetun dialek Dili tidak mengenal sistem
konjugasi atau persesuian subjek dengan verba seperti dialek Tetun Fehan
di Timor Barat. Selanjutnya, saudara Viktorius Paskalis Feka juga memberi
masukan agar kata ita boot “Anda” yang digunakan untuk menyapa orang
yang memiliki status sosial lebih tinggi atau orang yang usianya lebih tua
juga dihapus saja karena kata ita boot “Anda” lebih cenderung ke kajian
sosiolinguistik dan bukan bagian dari pronomina persona bahasa Tetun.
2.
Bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa pengantar resmi di RDTL?
Selain bahasa Tetun yang digunakan oleh pemerintah RDTL sebagai
bahasa nasional terdapat 32 bahasa lokal di RDTL ditambah dengan 3
bahasa asing, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Portu.
Bahasa Portu digunakan sebagai bahasa kenegaraan, tetapi bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pekerja.
3.
Apakah pengajaran bahasa Tetun sudah efektif sebagai bahasa
pengantar resmi di RDTL?
Untuk sementara ini penggunaan bahasa Tetun sudah mulai efektif
sebagai bahasa pengantar resmi di RDTL tapi masih ada sedikit kendala
karena bahasa Tetun belum memiliki sistem tatabahasa yang lengkap
sesuai standar nasional. Melalui seminar ini pemakalah berharap, semoga
dimasa mendatang, para linguist dan pemerhati bahasa bisa meneliti
bahasa Tetun lebih mendalam agar dari hasil penelitiannya diharapkan
dapat menjadi sebuah acuan untuk memenuhi standar kebutuhan
pendidikan bahasa di RDTL.
Demikianlah tangapan singkat dari saya sebagai pemakalah dan
mohon maaf apa bila jawaban saya belum memuaskan saat ini. Semoga
kita dapat bertemu lagi di seminar linguistik III UGM tahun depan.
69
6.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Artawa, I Ketut. 1998. “Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Sintaksis
Tipologi”. Denpasar: Universitas Udayana.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia Pendekatan Proses. Jakarta:
Rineka Cipta.
Crystal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics.
London: Andre Deutsch.
Denes, I Made dkk. 2001. Morfosintaksis Dialek Bali Aga. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Kentjono, Djoko dkk. 2010. Tata Bahasa Acuan Bahasa Indonesia untuk
Penutur Asing. Penerbit: Wdatama Widya Sastra.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
70
PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TUTUR
ADAT TAKANAB: KAJIAN EKOLINGUISTIK
Antonius Nesi1, R. Kunjana Rahardi2, Pranowo3
1Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
STKIP St. Paulus Ruteng, Flores, NTT
Program
Magister
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
2,3
FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
e-mail: antonynesi81@gmail.com
ABSTRAK
Takanab merupakan sejenis tutur adat pada lingkungan masyarakat
Dawan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang di dalamnya
diungkapkan ragam bahasa adat. Ragam bahasa adat dalam tutur adat
Takanab menarik untuk dikaji secara ilmiah. Artikel ini bertujuan untuk
memerikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tutur adat
Takanab. Nilai-nilai itu diidentifikasi dan direfleksikan melalui hubungan
timbal balik antara bahasa dengan lingkungan (ekologi bahasa). Upaya
pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dalam tutur adat Takanab dianggap
urgen ketika sistem bahasa (linguistik) dan sistem lingkungan (ekologi)
pada era global ini begitu pesat berkembang. Metode pengumpulan data
ditempuh melalui penyimakan, teknik rekam dan catat. Metode dan teknik
ini disejajarkan dengan studi etnografi komunikasi. Data diananlisis
menggunakan metode padan ekstralingual, teknik analisis kontekstual.
Hasil penelitian ini sebagai berikut. Pertama, dari data-data yang ada
ditemukan kearifan lokal intagible berupa peribahasa dan petuah yang di
dalam masing-masingnya terkandung nilai-nilai hidup berupa ketaatan,
kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong. Kedua, dari studi etnografi
komunikasi diidentifikasi dua upaya strategis pelestarian nilai-nilai
kearifan lokal tutur adat Takanab, yakni pelestarian tutur adat Takanab
melalui keluarga dan pranata sosial budaya, dan pelestarian nilai-nilai
kearifan lokal melalui lembaga pendidikan.
Kata kunci: Ekolinguistik, Takanab, nilai kearifan lokal
71
1. PENDAHULUAN
Masyarakat Dawan merupakan entitas yang mendiami pulau
Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan mayoritas
masyarakatnya bermata pencaharian petani. Pada kenyataannya, setiap
aktivitas sosial masyarakat Dawan selalu diwarnai aneka upacara adat
(Taum, 2004), seperti upacara menaburkan benih, ucapan syukur atas
hasil panen, syukur atas keberhasilan, bahkan upacara keagamaan
(Neonbasu, 2011, 2013). Sebagai sebuah tutur adat, Takanab dapat
dikategorikan sebagai salah satu kearifan lokal dalam masyarakat Dawan.
Menurut Keraf (2010), kearifan lokal merupakan semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman manusia terhadap adat istiadat,
kebiasaan, dan etika, yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan
di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal juga terkait erat dengan relasi
manusia dengan Sang Pencipta, sesama, alam. Dalam praktiknya, kearifan
lokal dapat dihayati dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain,
termasuk tutur adat Takanab.
Koentjaraningrat (1990) mengklasifikasi kearifan lokal menjadi
tiga, yakni (1) gagasan, ide, nilai, norma, peraturan; (2) pola perilaku,
kompleks aktivitas; dan (3) artefak, kebudayaan, material, dan benda hasil
budaya. Wujud kearifan lokal selanjutnya dikategorikan menjadi kearifan
lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal tidak berwujud nyata
(intangible). Bila dicermati, Takanab merupakan jenis kearifan lokal tidak
berwujud nyata (intangible). Di dalamnya terdapat kode-kode bahasa yang
harus diuraikan untuk memahami makna di baliknya. Sehubungan dengan
itu, penelitian ini bertujuan untuk (a) memerikan nilai-nilai kearifan lokal
yang terkandung di dalam tutur adat lisan Takanab, dan (b) merumuskan
upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab.
Sumber data substansial dalam penelitian ini ialah tutur adat
Takanab yang telah ditranskripsi peneliti menjadi bahasa tulis. Data yang
disajikan ialah ‘bagian-bagian dari tutur adat Takanab yang mengandung
nilai-nilai kearifan lokal. Dalam pengumpulan data digunakan metode
metode simak dengan teknik rekam (Sudaryanto, 2015). Metode ini
disejajarkan dengan metode etnografi komunikasi, teknik percakapan
etnografis (Saville, 2003; Harris dalam Spradley, 2006). Metode analisis
data ditempuh melalui metode padan ekstralingual (Mahsun, 2005),
teknik analisis kontekstual, yaitu teknik yang diterapkan pada data dengan
mengaitkan bahasa dengan konteksnya (Mahsun, 2005, Rahardi, 2009).
72
Konteks yang dimaksud ialah pemahaman bersama mengenai lingkup
sosiobudaya masyarakat Dawan.
Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini ialah Ekolinguistik.
Haugen (1972), pada klasifikasinya tentang ruang lingkup kajian
Ekolinguistik menyebut tipologi bahasa pada masyarakat tertentu sebagai
salah satu ruang kajian Ekolinguistik, serta menyarankan bahwa –
berdasar pada idenya melalui perumpamaan mengenai bahasa bak
organisme hidup yang memiliki suatu penyakit dan untuk
menyembuhkannya butuh peran serius para linguis– bahasa yang
terancam punah harus dihidupkan kembali melalui upaya ‘preservasi’
(Chen, 2016; Nesi, 2017). Tipologi bahasa yang dimaksud Haugen dapat
menyangkut mikrolinguistik, juga makrolinguistik dalam kajian bahasa
pada lingkungan tertentu. Dalam penelitian ini tutur adat Takanab
dikategorikan sebagai salah satu tipologi bahasa dalam masyarakat
Dawan.
Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan
mutakhir penelitian Ekolinguistik sebagaimana diajukan Steffensen dan
Fill (2014), yaitu pendekatan ekologi sosiokultural, bahwa bahasa
senantiasa hadir dalam kekuatan alam budaya masyarakat yang
membentuk pola pikir dan tingkah laku. Sejalan dengan gambaran Haugen
tentang tugas Ekolinguistik untuk ‘preservasi bahasa’ (Chen, 2016),
setelah diuraikan mengenai hasil dan pembahasan data akan dirumuskan
beberapa upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab. Hal ini berdasar
pula pada kerangka pikir logika linear –tutur adat Takanab dituturkan
dalam bahasa Dawan dalam bentuk archaic methapore (Fox, 1986; Taum,
2004; Neonbasu, 2011, 2013)– bahwa dengan melestarikan tutur adat
Takanab, bahasa Dawan pun turut dilestarikan.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1.
Wujud dan Nilai Kearifan Lokal dalam Tutur Adat Takanab
Kearifan lokal yang ditemukan dalam tutur adat Takanab ialah
kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible) berwujud (a) peribahasa
(b) petuah. Dalam penelitian ini ditemukan adanya 2 (dua) peribahasa dan
2 (dua) petuah dalam tutur adat Takanab. Dua peribahasa yang
menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Dawan yang
tereksplisit dalam tutur adat Takanab ditunjukkan pada data berikut.
73
….
Héna nahikbokam ma nakbala lasi
Dengan berdampingan / bercerita
ala kit nékaf mésé ma ansaof mésé.
kita satu hati dan satu perasaan.
Dengan bijak berkisah kita sehati seperasaan.
Neu sufa / ma tafa.
(Semua itu) demi keturunan berikut (anak dan cucu).
…
Data di atas merupakan bagian dari tradisi lisan Takanab “Tataim
atoni ankoenon ném” (penerimaan tamu). Pada data di atas terdapat dua
peribahasa Dawan, yakni (1) nahikbokam nakbala lasi dan (2) ala kit nékaf
mésé (ma) ansaof mésé. Kedua peribahasa tersebut dikategorikan sebagai
peribahasa karena pola susunannya yang tetap dan bermakna kias
(periksa KBBI, 2008). Dilihat dari esensinya, jenis peribahasa pertama
berkaitan dengan nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam komunikasi.
Nilai kejujuran dan tanggung jawab itu diperlihatkan melalui penggunaan
diksi nahikbok (berdampingan) yang merujuk pada arti bahwa dalam
menjalin komunikasi setiap orang Dawan harus bersikap bijak. Sikap bijak
komunikasi itu ditunjukkan melalui bentuk tuturan yang polos, jujur, dan
santun. Masyarakat Dawan meyakini bahwa di dalam suatu komunikasi,
manusia dapat menyelami dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
bermartabat. Atas dasar itu, masyarakat Dawan selalu bertutur polos,
jujur, dan santun sebagai bentuk bertanggung jawab komunikasi pada
setiap situasi.
Adapun dalam percapakan etnografis ditemukan bahwa
masyarakat Dawan pun senantiasa menggunakan bahasa implisit,
utamanya jika intensi pembicaraan ada di dalam ruang lingkup yang
‘sensitif’, misalnya, ketika seseorang menyampaikan teguran, perintah,
sindiran, atau meminta bantuan. Dalam hal menegur, menyindir, meminta
bantuan, meminta izin, atau memerintah, masyarakat Dawan biasanya
mengenal satu bentuk komunikasi tidak langsung yang disebut uab polin
(literer: buang bahasa). Uab polin digunakan mereka untuk
menyampaikan maksud secara implisit menggunakan simbol (Neonbasu,
2011).
74
Selain penggunaan diksi nanikbok (berdampingan), di dalam
peribahasa itu juga terdapat konstruksi nakbala lasi. Secara literer,
nakbala lasi memiliki arti ‘mengurai sesuatu’ yang sesungguhnya
memaksudkan ‘bercerita’, ‘bercakap’, berbincang’. Lebih dari itu, frasa
tersebut mengiaskan satu nilai yang paling esensial di dalam bercerita,
yaitu kebenaran isi cerita. Isi sebuah topik pembicaraan oleh masyarakat
Dawan senantiasa ditempatkan dalam lingkup kejujuran dan tanggung
jawab. Artinya, apa diperbincangkan selalu ada dalam koridor tanggung
jawaba sosial, entah itu dalam situasi formal ataupun informal.
Peribahasa kedua yang tampak pada data di atas ialah ala kit nékaf
mésé (ma) ansaof mésé. Sesungguhnya, peribahasa ini merupakan prinsip
sentral gotong royong atau kerja sama masyarakat Dawan. Sebagai
masyarakat agraris, dalam hal mengerjakan ladang atau sawah dengan
memanfaatkan peralatan tradisional, hal itu pasti tidak memungkinkan
orang untuk bekerja sendirian. Apalagi, dalam praktiknya, masyarakat
Dawan jarang menyewa orang lain untuk mengerjakan jenis pekerjaan
yang sebenarnya bisa mereka kerjakan sendiri. Demi meringankan
pekerjaan, mereka membentuk kelompok-kelompok kerja secara mandiri
untuk bekerja dengan jadwal yang teratur pada setiap anggota kelompok.
Adakalanya juga terjadi bahwa orang datang membantu sesamanya
(bekerja di sawah, ladang, atau kebun) secara sukarela tanpa menuntut
imbalan (Neonbasu, 1992). Itulah prinsip fundamental filosofi gotong
royong masyarat Dawan, “at nék més ma at ansao més” (kita sehati dan
sepikir).
Selain peribahasa, di dalam tutur adat lisan Takanab juga
ditemukan petuah. Jika peribahasa berisi pesan moral yang implisit,
petuah berisi amanat eksplisit. Petuah didefinisikan sebagai “nasihat
orang alim, pelajaran (nasihat) yang baik”. Adapun petuah bersinonim
dengan wejangan, sejenis pidato yang berisi petunjuk-petunjuk dan dasardasar kesulilaan dan moral sebagai acuan dalam bersikap dan bertindak
(KBBI, 2008). Data berikut memperlihatkan dua petuah dalam tutur adat
Takanab.
Hénat a lék namnanut / ainan kau ma aman kau.
(Semoga petunjuk yang panjang, saya [sebagai] ibu dan saya
[sebagai] ayah).
Tafin umé asanat nané / at tam teu umé alékot.
75
(Melalui rumah dosa itu / lalu memasuki rumah suci).
Data di atas merupakan bagian dari tutur adat lisan Takanab “Ela
At Maet” (sambutan saat orang meninggal). Dalam hal orang meninggal,
masyarakat Dawan selalu mengungkapkan rasa sedih mereka melalui dual
hal, yaitu kae nitu (ratapan) dan onen (doa). Pada data itu terdapat petuah
“hénat a lék namnanut ainan kau ma aman kau”. Secara literer petuah itu
berarti ‘semoga petunjuk yang panjang saya (sebagai) ibu dan saya
(sebagai) ayah”, yang sesungguhnya bermakna ‘semoga segala ajaran ayah
dan ibu dapat kau patuhi’. Hadirnya petuah itu bertujuan untuk
mengingatkan setiap entitas masyarakat Dawan bahwa selama hidup di
dunia fana ini patuhilah segala nasihat orang tua (atau orang yang lebih
tua). Ada keyakinan bahwa jika hal itu yang terjadi, maka ketika meninggal
dunia jiwa seseorang akan berdiam pada sebuah tempat yang mereka
sebut umé alékot (rumah suci), kediaman abadi.
Masyarakat Dawan meyakini bahwa nilai ketaatan dan kesetiaan
selalu harus dibangun dari dasarnya, yaitu keluarga (rumah tangga).
Keluarga diyakini sebagai “lembaga mini” tempat benih-benih karakter
baik bertumbuh dan berkembang di dalam diri seseorang. Dimensi
ketaatan dan kesetiaan dalam kehidupan sosial dapat memberi masukan
makna kepada manusia untuk berpikir, bertingkah, dan bertindak secara
manusiawi (Valens Boy, 2013). Oleh karena itu, lebih dari sekadar sebuah
nasehat, filosofi dasar yang terkonstruksi di dalam petuah itu ialah
pentingnya internalisasi nilai-nilai ketaatan dan kesetiaan di dalam diri
seseorang di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Justru itu, di dalam
tutur adat Takanab terkandung nilai-nilai kearifan lokal sebagai
representasi kekayaan budaya bangsa. Seiring itu, tutur adat Takanab
patut dilestarikan bukan hanya oleh entitas pemiliknya tetapi juga oleh
sesama anak bangsa yang menaruh atensi yang sama pada pemertahanan
bahasa dan budaya.
Upaya Strategis Pelestarian Tutur adat Takanab
Di sini peneliti merumuskan dua upaya strategis pelestarian tutur
adat Takanab. Pertama, upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab
melalui peran keluarga. Dalam kenyataannya, pelestarian tutur adat
Takanab pada masyarakat Dawan berlangsung secara alamiah melalui
inisiatif anggota masyarakat untuk belajar secara autodidak dengan terus
2.2.
76
meningkatkan keterlibat-aktifannya pada setiap acara ritual, juga melalui
pewarisan geneologis, yakni terkait jaring kekerabatan dalam pranata
adat (bdk. Sumitri dan Arka, 2016). Akan tetapi, model pewarisan itu patut
dievaluasi. Jika keluarga tidak berperan, pewarisan alamiah akan
terancam pergeseran bahasa dan budaya, berikut populasi penutur dan
“mati”-nya kreativitas. Menurut peneliti, peran keluarga penting karena
dari keluarga lahir para penutur adat, tidak belajar autodidak atau
berdasarkan “bisikan leluhur” (periksa Mbete, 2016).
Kedua, upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab melalui
peran lembaga pendidikan. Pada tahap lembaga pendidikan formal,
khususnya pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA/SMK),
pelestarian tutur adat Takanab dapat ditempuh melalui pembelajaran di
kelas (kurikuler) dan di luar kelas (extrakurikuler). Hal ini sejalan dengan
amanat Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 dan Permendikbud Nomor
81A Tahun 2013 yang mengatur tentang mata pelajaran Muatan Lokal dan
Kegiatan Ekstrakurikuluer.
Selain lembaga pendidikan dasar dan menengah, upaya strategis
pelestarian tutur adat Takanab juga dapat ditempuh melalui lembaga
pendidikan tinggi dalam kapasistasnya menjalankan amanat Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat (UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 14). Dalam bidang
pengajaran, pembelajaran bahasa dan sastra Dawan perlu
mempertimbangkan materi tutur adat Takanab di dalam bahan kajian,
rancangan, dan praktik perkuliahan. Pada bidang penelitian perlu
diakomodasi topik, teori, dan metode yang relevan dalam meneliti tutur
adat Takanab sehingga dapat menghasilkan penelitian-penelitian yang
inovatif. Pada bidang pengabdian masyarakat lembaga pendidikan tinggi
perlu melibatkan diri secara langsung untuk memecahkan masalahmasalah dalam masyarakat Dawan melalui aneka solusi yang bersifat
ilmiah, khususnya hal-hal teoretis dan praktis yang berkaitan dengan
“preservasi bahasa dan budaya Dawan”.
3. SIMPULAN
Berdasarkan pendekatan bahasa ada dalam ekologi sosiokultural
ditemukan dua jenis kearifan lokal tidak berwujud nyata, yaitu peribahasa
dan petuah. Di dalam masing-masing peribahasa dan petuah itu
terkandung nilai-nilai hidup berwujud ketaatan, kejujuran, tanggung
77
jawab, dan gotong royong. Nilai-nilai itu dihayati secara kolektif oleh
seluruh entitas masyarakat Dawan. Nilai-nilai luhur itu sesungguhnya
sejalan dengan filsafat Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa dan
negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan upaya strategis pelestarian
tutur adat Takanab. Peneliti merumuskan dua upaya strategis, yaitu
pelestarian tutur adat Takanab melalui peran keluarga dan pranata adat,
dan peran lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar dan menengah
hingga perguruan tinggi. Melalui pelestarian tutur adat Takanab, bahasa
dan budaya Dawan sebagai kekayaan bangsa turut lestari.*
DAFTAR PUSTAKA
Boy, M.V. (2013). “Pemikiran Dualistis-Kosmis Masyarakat Atoni Pah Meto
di Biboki”. Dalam Neonbasu, G. (ed.). Kebudayaan: Sebuah
Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Chen, S. (2016). “Language and Ecology: A Content Analysis of
Ecolinguistics as an Emerging Research Field”. Dalam
Ampersand, 3, 108.
Depdikbud. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Haugen, E. (1972). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.). The
Ecology of Language: Essays by Einer Haugen. California: Stanford
University Press.
Fox, J. J. (1986). Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai
Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kemendikbud. (2014). Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 tentang
Muatan
Lokal
(Online).
Tersedia
https://www.google.com/search/pdf (Diunduh, 4 Maret
2018, pukul 09.12).
Kemendikbud. (2013). Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang
Pedoman
Ekstrakurikuler
(Online).
Tersedia
https://www.google.com/search/pdf (Diunduh, 4 Maret
2018, pukul 09.10).
Kemenristek Dikti. (2012). Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan
Tinggi
(Online).
Tersedia
78
http://ristekdikti.go.id//pdf (Diunduh, 5 Maret 2018, pukul
17.10).
Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
Jakarta.
Mahsun. (2005). Metode Penulisan Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Rajawali Press.
Mbete, A. M. 2016. “Strategi Pemertahanan Bahasa Nusantara”. Makalah
Seminar KIMLI. The International Conference of the Indonesian
Linguistics Society di Denpasar, Bali pada 24-27 Agustus 2016.
Online. Tersedia https://www.academia.edu//. Diunduh 6
April 2018.
Nesi, A. (2017). “Jejak Einer Haugen: Eksplorasi Teoretis dan Isu-isu
Mutakhir Penelitian Ekolinguistik”. Dalam Mastoyo, Y. T. (Eds.).
Proseding Makalah Seminar Isu-isu Mutakhir Linguistik. Yogyakarta:
FIB UGM.
Neonbasu, G. (2013). “An Outline of Humanity. A Travel Back into the Local
Context.” Dalam Anthropos, Volume 108, Nomor 16, halaman 163172.
Neonbasu, G. (2011). We Seek Our Roots: Oral Tradition in Biboki, West
Timor. Freiburg: Academic Press Freiburg Switzerland.
Neonbasu, G. (1992). “Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese: Suatu
Tinjauan Fenomenologis Kritis”. Dalam Mahehat (Ed.). Agenda
Budaya Pulau Timor 2. Atambua: Komsos SVD Timor.
Rahardi, R. K. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah
Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Saville, M-T. (2003). The Ethnography of Communication: An Introduction.
Malden: Blackwell Publishing.
Spradley, J. P. (2006). Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfah
Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Steffensen, S. V., dan Fill A. (2014). “Ecolinguistics: The State of The Art
and Future Horizons”. Dalam Language Sciences. Volume 41,
Part A January, halaman 6-25.
79
Sudaryanto. (2015). Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta:
Sanata Dharma University Press.
Sumitri, N. W dan I. W. Arka. (2016). “Bahasa Ritual dan Kekuasaan Etnik
Rongga”. Makalah Seminar KIMLI. The International
Conference of the Indonesian Linguistics Society di Denpasar,
Bali pada 24-27 Agustus 2016. (Online). Tersedia
https://www.academia.edu//. Diunduh 6 April 2018.
Taum, Y. Y. (2004). “Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat
Dawan di Timor”. Dalam Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya.
Yogyakarta: Penerbit USD.
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Pada dasarnya tutur adat Takanab terkonstruksi dalam unsur-unsur
pasangan yang bersinonim. Bagaimana peneliti memaknai unsurunsur sinomim dalam tutur adat Takanab?
Jawaban:
Peneliti sepakat bahwa tutur adat Takanab terbangun dalam unsurunsur yang berpasangan, termasuk pasangan unsur-unsur yang
bersinonim. Hal itu banyak ditemukan, misalnya, pasangan saudara
dan saudari, sehati dan sepikir, dan lain-lain. Peneliti memaknai unsurunsur itu bukan pada makna semantisnya, tetapi dari perspektif yang
ada, peneliti menggali makna budaya di balik munculnya unsur-unsur
tersebut. Peneliti memaknai hadirnya unsur-unsur itu dengan
menggali secara lebih dalam makna hakikinya melalui tautan konteks
sosiobudaya masyarakat Dawan. Berdasarkan tautan konteks itu,
peneliti menemukan bahwa ternyata unsur-unsur yang berpasangan
dalam tutur adat Takanab tidak hanya terkonstruksi dalam bentuk
sinonim tetapi juga antonim, misalnya, utara dan selatan, atas dan
bawah, dan lain-lain. Semua bentuk pasangan itu disebut paralelisme.
Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa semua bentuk unsur
berpasangan itu melukiskan dinamika kehidupan sosiobudaya
masyarakat Dawan sebagai masyarakat ekologis, masyarakat yang
menyatu dengan alam sekitar, dan masyarakat yang betul-betul
mencintai bahasa dan budaya mereka.
80
2. Anda menggunakan teori Ekolinguistik dalam mengkaji tutur adat
Takanab. Bukankah penelitian Anda lebih tepat dikaji menggunakan
teori Antropolinguistik?
Jawaban:
Ekolinguistik merupakan bidang yang mengkaji kaitan antara bahasa
dengan lingkungan. Lingkungan dapat berwujud lingkungan fisik dan
lingkungan metaforis. Penelitian ini memanfaatkan paradigma
lingkungan dalam arti metaforis, yakni lingkungan etnik yang
menggunakan bahasa sebagai kode komunikasi. Sehubungan dengan
itu, paradigma ekologi dalam Ekolinguistik ditempatkan peneliti
dalam konteks “integrasi”. Artinya, lingkungan sosial budaya
senantiasa tidak dilepaskan dari lingkungan fisik. Tren mutakhir
penelitian Ekolinguistik sudah ada pada paradigma integrasi ini,
bahwa Ekolinguistik perlu melibatkan banyak dimensi di dalam
konsep “lingkungan bahasa” itu, atau dengan kata lain, Ekolinguistik
sudah saatnya mesti menjangkau lintas bidang, termasuk dalam kaitan
dengan Antropolinguistik. Sebagaimana dikemukakan Foley dalam
Anthropological Linguistic, Antropolinguistik merupakan subinterdisipliner Linguistik yang bertugas mengkaji bahasa dari sudut
pandang budaya untuk menemukan makna di balik pemakaian bahasa.
Dengan kata lain, Antropolinguistik bertugas untuk mengupas bahasa
dari sudut pandang budaya. Penelitian ini menjangkau dimensi sosial
dan budaya masyarakat Dawan, dalam arti, peneliti menempatkan
dimensi integratif ‘ekologi bahasa’ dalam kaitan dengan alam budaya,
alam sosial, dan alam fisik dalam mengupas praktik bahasa, terutama
kode-kode bahasa yang terkandung dalam tutur adat Takanab.
3. Bagaimana implikasi hasil penelitian Anda untuk perkembangan
teoretis Ekolinguistik?
Jawaban:
Berdasarkan hasil temuan yang ada, penelitian ini pasti berkontribusi
secara teoretis dan praktis untuk perkembangan Ekolinguistik. Secara
teoretis, tentu ada inspirasi ilmiah bahwa tutur adat dalam etnik mana
pun di Indonesia dapat saja dikaji menggunakan teori Ekolinguistik.
Dalam lingkungan pendidikan, hasil penelitian ini dapat berimplikasi
pada pembelajaran bahasa dan sastra, terutama integrasi nilai-nilai
karakter ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra.
81
UNSUR SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM MEMODERNISASI
BAHASA INDONESIA MELALUI SURAT KABAR
Apriana Nugraeni
Program Magister Linguistik Terapan
Universitas Negeri Yogyakarta
myname.apriana@gmail.com
ABSTRAK
Bahasa Inggris merupakan bahasa asing di Indonesia namun dari waktu ke
waktu penggunaan Bahasa Inggris semakin banyak dijumpai di berbagai
media cetak, salah satunya di dalam surat kabar. Sebuah bahasa tidak
dapat berdiri sendiri dan selalu membuat kontak dengan bahasa lain
sebagai situasi kontak bahasa. Alhasil, banyak unsur serapan Bahasa
Inggris masuk ke dalam Bahasa Indonesia khusunya di dalam surat kabar.
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apa saja jenis unsur serapan
Bahasa Inggris yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia, selain strategi
yang digunakan, alasan adanya unsur serapan, kesesuaian bentuk dan
makna sebelum dan sesudah unsur tersebut diserap ke dalam Bahasa
Indonesia dimana unsur serapan Bahasa Inggris merupakan salah satu
bentuk pemodernan Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam
artikel ini adalah analisis sintaksis dan semantis. Sebagai hasil kajian,
ditemukan unsur serapan yang dijumpai dalam bentuk kata, frasa, dan
kata idiom.
Kata kunci: Unsur serapan, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, situasi
kontak bahasa, pemodernan Bahasa Indonesia.
I.
PENDAHULUAN
Ditinjau dari sejarah, di pertengahan masa kependudukan Belanda di
Indonesia, ternyata Inggris pernah menduduki negara Indonesia pada
abad ke 18 di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles selama 3,5 tahun
yang kemudian jatuh kembali kepada kekuasaan Belanda. Namun, Bahasa
Inggris tetap diakui sebagai bahasa asing di Indonesia hingga saat ini.
Samuel (2008: 345), dikatakan bahwa bahasa Inggris masuk ke dalam
kurikulum pembelajaran pada tahun 1967 pada tingkat menengah dan
82
atas melalui buku dan teks. Dengan kata lain, penggunaan Bahasa Inggris
hanya diajarkan pada pendidikan jenjang menengah dan atas melalui buku
dan teks. Namun di luar itu sebagai bentuk nasionalisme, Bahasa Indonesia
tetap digunakan dalam komunikasi sehari- hari.
Berbicara tentang unsur serapan, menurut Hudson dalam Khaled
(2012: 45), unsur serapan merupakan kata- kata asing yang telah
terintegrasi ke dalam bahasa asli. Sedang menurut Kridalaksana (2008: 8),
unsur serapan merupakan kata- kata dari bahasa asing atau bahasa daerah
yang telah terasimilasi ke dalam Bahasa Indonesia baik berupa fonem,
unsur gramatikal, serta unsur leksikal baik mengalami perubahan atau
tidak mengalami perubahan. Selain itu, unsur serapan diambil atau
diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan telah digunakan dalam
komunikasi sehari- sehari menurut konteksnya sebagai verbal repertoire
dan ‘dipinjam’ namun tidak pernah dikembalikan kepada bahasa
donornya sebagai sebuah hubungan timbal balik/ reciprocal sense.
Unsur serapan yang ditemukan di dalam surat kabar merupakan
salah satu bentuk dalam pemodernan Bahasa Indonesia. Menurut Siregar
(2014), surat kabar merupakan bagian dari media massa dan media tertua
di dunia yang melibatkan banyak orang di dalamnya untuk berbagi
informasi melalui proses komunikasi satu arah antara komunikator dan
komunikan. Surat kabar sangat berperan terhadap inovasi sebuah bahasa
dimana bahasa itu sendiri bersifat dinamis dan mengalami perubahan dari
waktu ke waktu berdasarkan pada perubahan sosial yang terjadi oleh
masyarakat penuturnya. Contoh, di halaman teknologi dalam surat kabar,
beberapa dekade sebelumnya khalayak sudah mengenal istilah telepon
genggam, namun pada akhir- akhir ini dijumpai sebuah kata gawai. Pada
intinya, telepon genggam dan gawai merupakan alat komunikasi dan hasil
terjemahan dari kata handphone /ˈhandfəʊn/ dan gadget /ˈɡadʒɪt/. Ini
membuktikan bahwa surat kabar memberikan inovasi terhadap sebuah
bahasa yang di dalamnya terdapat unsur serapan. Menurut Kadare dalam
Prifti (2009), terdapat tiga kategori masyarakat yang paling berperan
dalam penggunaan unsur serapan dan mendukung terhadap pemodernan
sebuah bahasa; politikus, selebritas, dan jurnalis dari intensitas
komunikasinya. Dimana ketiga kategori ini sangat banyak berkontribusi
terhadap leksikon baru sehingga mendukung adanya pemodernan bahasa
itu sendiri. Namun, hal paling mendasar adalah penggunaan unsur serapan
83
akan sering dijumpai pada orang- orang yang menguasai dua bahasa yang
bersangkutan secara baik.
Artikel ini ditulis untuk mengetahui apa saja jenis unsur serapan?
bagaimana strategi dalam menyerap unsur serapan? Apa saja alasan orang
menggunakan unsur serapan? Dan, bagaimana kesesuaian bentuk dan
makna dari kata- kata yang mengandung unsur serapan sebelum dan
sesudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Artikel ini akan didukung
dengan berbagai teori dan penjelasan secara lengkap berikut metode,
temuan, dan pembahasannya di bawah ini.
II.
KAJIAN TEORI
a. Tipe Unsur Serapan
Sebuah bahasa tidak mampu berdiri sendiri dan selalu melakukan
kontak dengan bahasa lainnya sebagai situasi kontak bahasa dan dari
sinilah memunculkan adanya penyerapan bahasa. Dimana bahasa yang
diserap disebut dengan bahasa donor dan bahasa yang menyerap disebut
dengan bahasa penerima. Penyerapan bahasa ini digolongkan dalam
beberapa tipe. Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut.
Menurut Mustakim, dkk. (2016: 58), terdapat dua tipe dari unsur
serapan yaitu kata- kata yang diserap sebagai bentuk aslinya atau disebut
dengan model dan kata- kata yang diserap dan telah mengalami
perubahan secara fonologis yang mengacu pada Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia (PUEBI). Contoh, kata bank dan kata efektif. Kata bank
diserap sebagaimana bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan dari
segi bentuk dan makna. Sedang kata efektif, telah mengalami perubahan
secara fonologis menurut PUEBI. Dengan kata lain, kata efektif telah
mengalami penyesuaian dari kata yang diserap, effective. Lebih lanjut,
penyesuaian unsur serapan ini akan dibahas dalam strategi unsur serapan.
Dari tipe- tipe ini, sering juga disebut dengan penyerapan langsung dan
penyerapan tidak langsung/ direct and indirect borrowing.
Strategi Unsur Serapan
Menurut Susetyo (2016), terdapat empat strategi dalam
penyerapan bahasa yaitu adopsi, adaptasi, dan terjemahan. Masingmasing dijelaskan sebagai berikut.
84
a. Adopsi merupakan strategi dalam mengambil kata- kata asing
sebagaimana adanya. Contoh, kata- kata atom dan
supermarket, yang tidak berubah di dalam bentuknya.
b. Adaptasi merupakan strategi dalam mengambil kata- kata
asing kemudian menyesuaikan bentuknya menurut sistim
fonologis Bahasa Indonesia. Contoh, kata- kata effective
menjadi efektif, efficient menjadi efisien, native menjadi natif,
dll. Dalam strategi ini juga termasuk penyerapan afiks dimana
dalam menyerapnya, imbuhan ini juga disesuaikan dengan
bahasa penerima. Contoh, kata nationalism menjadi
nasionalisme, variable menajdi variabel, biology manjadi
biologi, dll.
c. Terjemahan merupakan salah satu startegi yang dilakukan
dengan cara mencari makna dari kata asing dengan bahasanya
sendiri dan tanpa menggunakan unsur asing sama sekali.
Contoh, submarine yang berarti kapal selam, kindergarten yang
berarti taman kanak- kanak, bail out yang berarti dana
talangan, balanced budget yang berarti anggaran yang
berimbang. Selain itu, di dalam strategi ini juga termasuk
adanya singkatan kata/ abreviasi dan akronim (abreakronim).
Contoh, frasa North Atlantic Treaty Organization atau NATO
yang di dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Pakta
Pertahanan Atlantik Utara. Ini merupakan akronim terhadap
unsur serapan. Sedang kata hectare menjadi hektar dan
disingkat menjadi Ha. Ini merupakan contoh dari singkatan
terhadap unsur serapan. Meski kata asing telah mengalami
proses terjemahan namun di dalam Bahasa Indonesia
diantaranya juga masih melalui proses morfologis. Contoh,
kata online yang diterjemahkan menjadi daring dimana secara
morfologis telah mengalami perubahan- perubahan morfem
karena kata daring merupakan kepanajangan dari frasa dalam
jaringan.
d. Kreasi merupakan strategi yang dilakukan dengan cara
mengambil konsep dasar dalam Bahasa Indonesia. Jika
terjemahan setidaknya dilakukan melihat bentuk fisiknya
terlebih dulu dari kata yang akan diserap, namun pada kreasi
mengambil makna meski bentuk fisiknya hanya satu namun
85
dapat dikreasikan ke dalam dua hingga tiga bentuk di dalam
Bahasa Indonesia. Contoh, kata efficient dapat diadaptasi ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi efisien. Namun, jika dipungut
dengan strategi kreasi menjadi tepat waktu; effective menjadi
efektif yang artinya tepat guna, dll.
b. Alasan Adanya Unsur Serapan
Rohbiah, dkk (2017), penggunaan unsur serapan dikarenakan oleh
beberapa faktor:
1. Prinsip kehematan
2. Kejarangan kata
3. Kebutuhan penggunaan padanan kata
4. Perasaan gengsi dalam menggunakan kata asing
5. Keterbatasan kata dalam Bahasa Indonesia
III.
METODE
Dalam penelitian pada penulisan ini menggunakan metode
kualitatif yang lebih mengacu kepada analisis data dalam bentuk
penjelasan yang mendalam daripada angka. Sumber data dalam penulisan
ini menggunakan dua surat kabar skala nasional, Kompas dan Republika
yang terbit tanggal 9- 11 April 2018. Penelitian ini menggunakan teknik
pengambilan sampel purposif yang dipilih berdasar pada tujuan penelitian
dan karakteristik tertentu. Dalam teknik menganalisis data menggunakan
analisis sintaksis dan analisis semantis, metode padan translasional
dengan teknik agih langue lain (Sudaryanto, 2015: 17). Data yang
ditemukan akan dicatat di dalam tabel di bawah ini. Dalam mencocokkan
makna, digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
IV.
HASIL DAN DISKUSI
Setelah sumber data dibaca, ditemukan hasil berupa data yang
memuat unsur serapan Bahasa Inggris sebagai berikut.
86
No. Data
Bentuk
Strategi
Sumber
1.
Polisi
kata benda
Adaptasi
Kompas, 9/ 4/ 2018
2.
Optimal
Kata sifat
Adopsi
Republika, 9/ 4/ 2018
3.
Zat besi
Frasa nomina
Kreasi
Republika, 9/ 4/ 2018
4.
Industri
Kata benda
Adaptasi
Kompas, 10/4/ 2018
5.
Teknologi
Kata benda
Adaptasi
Republika, 10/ 4/ 2018
6.
Asia Tenggara
Frasa nomina
Terjemahan
Kompas,
10/ 4/ 2018
7.
Terjemahan
Republika, 10/ 4/ 2018
Terjemahan
Republika, 11/ 4/ 2018
9.
Sistem
Kata idiom
pencatatan di
awal (opt-in)
Skema proyek Kata idiom
jadi (turn key
project)
Ideal
Kata sifat
Adopsi
Kompas, 11/ 4/ 2018
10.
Parlemen
Adaptasi
Kompas, 11/ 4/ 2018
8.
Kata benda
Dari data yang ditemukan dalam tabel di atas, beberapa
pembahasannya sebagai berikut.
1. Kata polisi, ditemukan dalam kalimat polisi membalas dengan
menembakkan gas air mata. Kata tersebut telah melalui
strategi dalam memungut unsur serapan yaitu adaptasi dari
kata police. Dilihat dari kesesuaian makna sebelum dan
sesudah diserap, kata polisi tidak mengalami perubahan makna
dimana kata polisi berarti anggota badan pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dilihat
dari kelas katanya juga tidak mengalami perpindahan kelas
kata, tetap kata benda.
2. Frasa zat besi, ditemukan dalam kalimat madu asli termasuk
kategori superfood yang mengandung berbagai enzim,
antioksidan, zat besi, zink, potasium, kalsium, fosfor, vitamin B6,
riboflavin, dan niacin. Frasa zat besi telah melalui strategi
87
dalam memungut unsur serapan yaitu kreasi dari kata ferrum.
Dilihat dari kesesuaian makna sebelum dan sesudah diserap,
frasa zat besi tidak mengalami perubahan makna namun
mengalami perpindahan kelas kata dari sebuah kata
dikreasikan menjadi frasa nomina. Dari kalimat di atas,
sebenarnya terdapat banyak unsur serapan Bahasa Inggris
yang ditemukan selain frasa zat besi seperti enzim,
antioksidan, potasium, kalsium, fosfor, riboflavin, dan niacin
dimana semua unsur ini mengacu pada bidang Kimia
3. Kata sistem pencatatan di awal, ditemukan dalam kalimat
persetujuan di awal (opt-in) bukan otomatis data dapat terkases
dan pengguna harus mencari tahu sendiri bagaimana caranya
keluar. Kata sistem pencarian di awal (opt-in) telah melalui
strategi dalam memungut unsur serapan yaitu terjemahan
dimana dalam kalimat tersebut kata yang diserap berada di
dalam kurung sebagai bentuk dari kata idiom yang tidak
mengalami perubahan makna.
V.
KESIMPULAN
Menurut pandangan pribadi penulis, disimpulkan bahwa unsur
serapan Bahasa Inggris yang ditemukan dalam surat kabar berupa kata,
frasa, dan kata idiom. Sesungguhnya data yang ditemukan dalam surat
kabar selama penelitian sangat banyak namun yang dimuat di dalam tabel
hanya beberapa saja dikarenakan keterbatasan dalam penulisan. Menurut
Samuel (2008: 419), unsur serapan yang paling banyak dijumpai dalam
Bahasa Indonesia merupakan unsur serapan Bahasa Inggris dengan
strategi yang dilakukan paling banyak melalui strategi terjemahan
dikarenakan Bahasa Indonesia lebih menyukai menggunakan bahasa
‘pribumi’ daripada melalui cara pemungutan adopsi, adaptasi maupun
kreasi. Namun, hal ini sepertinya hanya berlaku ketika awal pemikiran
atau sikap para peneroka Bahasa Indonesia perihal kebijakan memungut
unsur serapan, seperti Wilardjo, alm. Herman Yohanes (pengajar/
fisikawan UGM yang kemudian ikut berkiprah terhadap unsur serapan
ilmiah ke dalam Bahasa Indonesia), alm. Anton Moeliono (pakar Bahasa
Indonesia UI), dll. Setelah melakukan penelitian dalam penulisan ini,
strategi adaptasi paling banyak diambil dalam memungut unsur serapan
88
yang ditemukan di dalam surat kabar. Dan, unsur serapan Bahasa Inggris
telah banyak andil dalam pemodernan Bahasa Indonesia.
Referensi:
Belarbi, K. (2012). Aspects of Code Switching, Code Mixing, and Borrowing
Used by the Older Generations in Tiaret. Diambil 15 Desember 2017,
dari theses.univ-oran1.dz/document/TH3936.pdf
Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (ed. keempat). Jakarta: Pustaka
Gramedia.
Mustakim, M., dkk. (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (ed.
keempat). Jakarta: Kemendikbud.
Prifti, E. (2009). Language Modernization vs. Linguistic Protectionism.
Diambil
18
Januari
2018,
dari
https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED507223.pdf
Samuel, J. (2008). Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata
dan Politik Peristilahan (D. S. Wardhany, Terj). Jakara: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Siregar, E. A. (2014). Perbandingan Media Konvensional dan New Media
Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi. Jurnal Publikasi Skripsi,
1-11.
Diambil
2
Januari
2018,
dari
https://jurnal.usu.ac.id/flow/article/download/16790/7083.
Sudaryanto, S. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa.
Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Susetyo, A. M. (2016). Penggunaan Kata dan Istilah Bahasa Inggris pada
Rubrik Opini Surat Kabar Kompas. 1, 11-27. Diambil 22 Desember
2017,
dari
jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/BB/article/download/69/49.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
89
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Apa indikator jika sebuah kata disebut dengan unsur serapan?
2. Apa batasan sebuah kata disebut unsur serapan?
3. Apa strategi unsur serapan yang paling banyak diambil selama
melakukan peneletian?
Jawaban:
1. Terdapat dua indikator dalam unsur serapan, pertama, kata- kata
asing atau kata dari bahasa daerah yang telah terasimilasi atau
terintegrasi ke dalam Bahasa Indonesia dan telah digunakan
dalam komunikasi sehari- hari sebagai verbal repertoire serta
kata- kata yang telah dipinjam dari bahasa sumbernya namun
tidak pernah dikembalikan secara reciprocal sense. Kedua, katakata yang telah mengalami proses melalui adopsi, adaptasi, kreasi,
dan terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia. Contoh, terdapat kata
computer yang diadaptasi menjadi komputer. Mengapa diambil
kata komputer? Dikarenakan tidak ada kata yang tepat dan
mengena dalam Bahasa Indonesia untuk menggambarkan kata
tersebut, sehingga dipungutlah kata komputer di dalam Bahasa
Indonesia.
2. Batasan unsur serapan adalah jika kata- kata yang dianggap unsur
serapan telah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
senagai acuannya perihal ejaan adalah dari kata yang diserap
mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Memang
tidak ada kata yang steril atau terbebas dari pengaruh bahasa lain
sebagai sebuah situasi kontak bahasa namun dengan adanya katakata yang telah masuk ke dalam KBBI, sehingga kita dapat
membedakan fitur- fitur mana sebuah ujaran atau penulisan yang
mengacu pada unsur serapan, transfer lingusitik, interferensi, dan
alih kode.
3. Strategi yang paling banyak diambil selama melakukan penelitian,
yaitu strategi atau cara pemungutan unsur serapan melalui
adaptasi atau mengambil kata asing kemudian menyesuaikannya
dengan sistem fonologis Bahasa Indonesia yang mengacu pada
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
90
PERMAINAN MAKNA DALAM TATARUCINGAN ‘TEKA-TEKI
SUNDA’
Aprilliati Rahmat, Cece Sobarna, Hera Meganova Lyra
Program Magister Linguistik Umum, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Padjadjaran
Email : aprilaafrillia@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini membahas permainan makna yang dihasilkan oleh unsur
keambiguan dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’. Adapun fokus kajian
dititikberatkan pada permainan makna keambiguitasan dalam tataran
sintaksis dan makna acuan yang dirujuk oleh jawaban tatarucingan ‘tekateki Sunda’. Fokus kajian tersebut dianalisis menggunakan teori
Djajasudarma (1994) dan Young Ho (2002) dengan mempertimbangkan
juga teori yang dikemukan oleh Lyra (2006). Unsur keambiguan
merupakan unsur yang membedakan teka-teki dengan pertanyaan biasa.
Unsur ini sengaja dibuat dengan maksud mengaburkan informasi.
Semakin ambigu sebuah teka-teki biasanya akan semakin mampu
menimbulkan keingintahuan, sekaligus menarik perhatian untuk ditebak.
Tidak mengherankan jika sering kali pertanyaan teka-teki terasa aneh,
menggelikan, atau bahkan mengejutkan (Lyra:2006). Menurut Young Ho
(2002) unsur keambiguan dalam teka-teki dapat dilihat dari sudut
pandang kebahasaan dan kontekstual. Unsur keambiguan dalam
kebahasaan dapat dirinci berdasarkan tataran fonologis hingga semantis
sedangkan keambiguan kontekstual mengacu pada hal-hal di luar
kebahasaan dan dapat dilihat berdasarkan empiris yang bertautan dengan
aspek sosial, politik, dan budaya. Hasil dari tulisan ini adalah permainan
makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi pada manipulasi unsur
suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa. Makna acuan yang
dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah makna yang
berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan, pekerjaan,
nama tempat, aktivitas, dan alat transportasi.
Kata kunci: permainan makna, tatarucingan, teka-teki Sunda, ambiguita,
dan sintaksis
91
PENDAHULUAN
Teka-teki atau dalam bahasa Sunda lebih dikenal dengan
tatarucingan merupakan sebuah tradisi yang turun-temurun dan masih
tetap hidup sampai saat ini.Tatarucingan biasanya dilakukan dalam waktu
keadaan santai karena ini sifatnya humor.Tatarucingan ini sifatnya saling
berbalasan, jadi tebak-tebakan ini dilakukan oleh dua orang bahkan lebih.
Pertanyaan yang dilontarkan dalam tatarucingan merupakan pertanyaan
lucu, bahkan terkadangan jawabannya pun membuat bingung, dan
menjadikan otak lebih berpikir maksud sesungguhnya dalam pertanyaan
itu. Hal inididasarikarenapertanyaantatarucingan‘teka-teki’ bersifat
ambigu, memiliki kegandaan makna.
Tatarucingan merupakan pertanyaan tradisional dalam bahasa
Indonesia disebut teka-teki. Pertanyaan tradisional adalah pertanyaan
yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula.
Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabannya sukar, bahkan
seringkali baru dapat dijawab setelah mengetahui jawabannya
(Danandjaja, 1984: 33).
Berikut adalah contoh tatarucingan:
(1) Pertanyaan
: Kulit naon nu bisa nutupan alam dunya?
‘kulit apa yang bisa menutupi alam dunia?’
Jawaban
: kulit panon
‘kulit mata’
Dalam contoh tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (1)pastinya pikiran
kita akan mempresepsimengenai kulit yang bisa menutupi alam semesta
ini, pasti kitaakan berpikir betapa besarnya kulit yang harus dipakai untuk
menetupi alam semesta. Jawaban kulit panon ‘kulit mata’ merupakan
jawaban yang dibenarkan, karena bisa menjawab pertanyaan (1). Hal itu
didasarkan karena mata adalah jendela dunia. Ketika mata seseorang
ditutup tentunya alam dunia akan tak terlihat.
Pada setiap tatarucingan‘teka-teki Sunda’ tentunya ada clue yang
muncul pada pertanyaan, yang kemudian akan dimunculkan kembali
dalam jawaban. Tatarucingan (1) memunculkan kata kulit sebagai clue
yang artinya makna acuan dari pertanyaan berikut merujuk pada anggota
tubuh. Lalu dimunculkan kembali dalam jawaban yaitu kulit panon ‘kulit
92
mata’. Keterkaitan makna tersebut, akan menjadi salah satu alasan sebuah
jawaban dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’ dibenarkan.
Berkaitan dengan paparan tersebut, dalam tulisan ini penulis
mengkaji permainan makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi
pada manipulasi unsur suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa.
Makna acuan yang dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah
makna yang berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan,
nama tempat, aktivitas, alat transportasi, dan nama tokoh.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya, serta peristilahan
(Djajasudarma, 2010:11). Penelitian ini dilakukan dengan beberapa
tahapan sebagai berikut.
1. mengumpulkan data kepustakaan yang dibutuhkan sebagai bahan
dalam penelitian, diantaranya membaca refesinsi buku atau bahan
bacaan lain mengenai tatarucingan.
2. mencari permasalahan dari gejala-gejala yang terungkap dengan
masalah yang akan diteliti.
3. membatasi ruang lingkup penelitian pada suatu pokok
permasalahan utama.
4. merumuskan landasan teori dan metodologi sebagai landasan atau
jembatan menuju analisis.
Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kajian distribusional. Metode kajian distribusional menggunakan alat
penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribusional memakai alat
penentu di dalam bahasa yang diteliti. Dasar penentu di dalam kerja
metode kajian distribusional adalah teknik pemeliharaan data
berdasarkan kategori (kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan
(terutama dalam penelitian deskriptif) sesuai dengan ciri-ciri alami yang
memiliki oleh data penelitian. (Djadjasudarma, 2010:69).
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku
yang berjudul Tatarucingan Urang Sunda yang diterbitkan pada tahun
2012 melalui penerbit PT. Kiblat Buku Utama, Bandung. Buku tersebut
93
merupakan kumpulan teka-teki yang dikumpulkan oleh Rachmat Taufiq
Hidayat dan Darpan, S.Pd.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Makna Acuan yang Dirujuk Oleh Jawaban dalam Tatarucingan
Makna acuan adalah makna yang berhubungan langsung dengan
kenyataan
atau
referent
(acuan).
Maknaacuandisebut
juga
maknareferensial. Pengelompokan jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’
berdasarkan makna acuannya, secara rinci akan dijelaskan pada paparan
berikut.
Makna Acuan Anggota Tubuh
Jawaban yang dirujuk tatarucingan‘teka-teki Sunda’ mengacu pada
anggota tubuh, contohnya :
(1) Pertanyaan : Nabi naon anu sok ngaroko?
‘Nabi apa yang suka merokok?’
Jawaban
: na biwir
‘di bibir’
Nabi yang dimaksud dalam pertanyaan (1) bukanlah menanyakan
nabi yang sesungguhnya melainkan nabi yang ada kaitannya dengan
ngaroko ‘merokok’. Rujukan dari jawaban tatarucingan‘teka-teki
Sunda’mengacu pada anggota tubuh karena terdapat clue dari aktifitas
ngaroko ‘merokok’.Jawaban yang dimunculkan adalah na biwir ‘di bibir’
jawaban tersebut dibenarkan karena orang merokok pasti menggunakan
bibir. Contoh tatarucingan‘teka-teki Sunda’ tersebut merupakan jawaban
tatarucingan yang mengacu pada anggota tubuh.
Makna Acuan Binatang
Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang merujuk pada
binatang, makna referensial mengacu kepada konsep bintang. Misalnya :
(2) Pertanyaan : Hayam naon anu sok diteangan ku jelema?
‘Ayam apa yang suka dicari orang?’
Jawaban
: Hayam leungit
‘Ayam hilang’
Pada tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (2) secara hafiah pertanyaan
ini menanyakan jenis ayam yang suka dicari oleh orang misalnya ayam
jago, ayam kate, ayam camanik.Namun sesungguhnya bukan
94
memfokuskan pada jenis ayamnya, melainkan pada alasan kenapa ayam
dicari. Hayam leungit‘ayam hilang’ merupakan jawaban yang dimunculkan
dan tentu saja dibenarkan. Karena, secara logika sesuatu yang hilang
tentunya akan dicari.
Makna Acuan Tumbuhan
Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang makna acuannya
mengacu pada tumbuhan, termasuk bagian- bagian yang terdapat pada
tumbuhan. Misalnya;
(3) Pertanyaan
: Cau naon pangeunah-ngeunahna didahar?
‘pisang apa yang paling enak dimakan?’
Jawaban
: cau asak
‘pisang matang’
Tumbuhan memiliki bagian-bagian seperti akar, batang, daun,
buah, dan bunga.Cau ‘pisang’ merupakan salah satu bagian tumbuhan yang
menjadi clue dalam pertanyaan tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (3).
Tatarucingan (3) menanyakan pisang yang paling enak dimakan. Jawaban
yang dimunculkan adalah cau asak ‘pisang matang’. Tentu saja jawaban ini
dibenarkan karena pisang jenis apapun ketika sudah matang pasti enak.
Makna Acuan Pekerjaan
Contoh dibawah ini merupakan makna referensial mengacu pada
bidang pekerjaan.
(4) Pertanyaan : Tukang naon anu teu bisa ngitung?
‘Tukang apa yang tidak bisa menghitung?’
Jawaban
: Tukang poto
‘tukang photo’
Pada tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ (4) dimunculkan jawaban
tukang poto sebagai tukang ‘pekerjaan’ yang pelakunya tidak bisa
berhitung. Hal tersebut dikarenakan ketika kita menanyakan sebuah
ukuran photo misalnya 3 x 2 maka tukang photo menjawab dua ribu.
Padahal dua ribu yang disebutkan adalah harga photo, bukan hasil dari 3
x 2.
Makna Acuan Nama Tempat
Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang mengacu pada nama
tempat, contohnya:
95
(5) Pertanyaan
: Pulo naon nu jadi dulur urang?
‘Pulau apa yang menjadi saudara kita?’
Jawaban
: Pulo Bali
‘Pulau Bali’
Pertanyaan (5) menanyakan pulau yang menjadi saudara kita.
Jawaban yang dibenarkan adalah pulo Bali ‘pulau Bali. Unsur bali ‘bali’
memiliki dua persepsi, pertama pulau Bali yang benar-benar sebuah pulau,
yang kedua bali ‘tembuni’ segumpal daging dari rahim ibu yang hadir
bersamaan ketika bayi lahir.
Kedua persepsi itu dibenarkan, karena bali yang dimaksud bisa
merupakan pulau Bali bisa juga tembuni.
Makna Acuan Aktivitas
Makna acuan aktifitas merupakan makna acuan yang referennya
berupa kegiatan.
(6) Pertanyaan
Jawaban
: jalma meuli kasur keur naon?
‘orang membeli kasur untuk apa?’
: keur beunta
‘sedang membuka mata’
Kata keur dalamtatarucingan‘teka-teki Sunda’ (6) merupakan clue
sekaligus pengecoh. Keur bisa memiliki dua arti, pertama keur ‘untuk’,
kedua keur ‘sedang’. Jika unsur keur pada pertanyaan diartikan sebagai
‘untuk’, Jalma meuli kasur keur naon? ‘orang membeli kasur untuk apa?’
pasti jawabannya keur saré ‘untuk tidur’. Namun yang dirujuk oleh
pertanyaan (6) adalah keur yang berarti ‘sedang’.Jalma meuli kasur keur
naon? ‘orang membeli kasur sedang apa? Jawaban keur beunta ‘sedang
membuka
mata’
merupakan
jawaban
yang
sah.
Orang
akanmelakukanseseuatuketikamatanyasedangterbuka. Sangat tidak
mungkin jika membeli kasur sedang tertidur dengan keadaan mata yang
terpejam.
Makna Acuan Alat Transpotasi
Acuan yang digunakan dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’ berupa
alat transportasi, contohnya:
96
(7) Pertanyaan
Jawaban
: Mobil naon anu banna muter tapi teu maju?
‘Mobil apa yang bannya berputar tapi tidak maju?’
: Mobil mundur
‘mobil mundur’
Ketika ada pertanyaan mobil apa yang bannya berputar tapi tidak
maju, maka kitaakanmengingat peristiwa mobil yang bannya selip, sering
terjadi di musim hujan. Meskipun di gas dan ban mobil berputar tapi mobil
tidak maju.Jawaban yang dibenarkan adalah mobil mundur ‘mobil
mundur’. Mundur merupakan antonim dari maju. Mobil dalam keadaan
mundur semua bannya berputar, hanya tidak maju kedepan melainkan
bergerak kebelakang karena mundur.
SIMPULAN
Dalam setiap pertanyaan tatarucingan‘teka-teki Sunda’ terdapat
clue ‘petunjuk’ yang mengarahkan makna yang akan merujuk pada
jawaban. Permainan makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi
pada manipulasi unsur suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa.
Makna acuan yang dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah
makna yang berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan,
pekerjaan, nama tempat, aktivitas, dan alat transportasi.
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1984. Foklor Indonesia. Jakarta. PT Pustaka Utama.
Darpan, & Rachmat Taufik Hidayat. 2012. Tatarucingan Urang Sunda.
Bandung: PT
Kiblat Buku Utama
Djajasudarma, T. Fatimah. 2010. Metode Linguistik: Ancangan Metode
Penelitian dan
Kajian. Cetakan III. Bandung: Refika Aditama.
Lyra, Hera Meganova. 2006. Penyimpangan Unsur Keambiguan dalam
Teka-teki Sunda
di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Laporan
Penelitian. Bandung.
Universitas Padjadjaran.
97
Young Ho, Im. 2002. Gejala Unsur Keambiguan dalam Wacana Teka-teki.
Jurnal ATL
No 8 Vol. 7, Desember 2002.
Daftar Pertanyaan dan Jawaban
No. Pertanyaan
Jawaban
1.
Bagaimana eksistensi Tatarucingan merupakan tradisi yang
tatarucingan saat ini?
masih hidup sampai saat ini. Bukan
hanya orang tua atau orang dewasa saja
yang mengenal tatarucingan, anakanakpun mengenal tatarucingan dan
aseringkali digunakan untuk mengisi
waktu senggang.
2.
Mengenai
klasifikasi
tatarucingan
yang
dipaparkan.
Apakah
klasifikasi yang muncul
hanya itu saja?
Untuk klasifikasi tatarucingan hanya
berdasarkan apa yang saya temukan
lalu kelompokkan. Sebenarnya masih
banyak tatarucingan dengan klasifikasi
lainnya, namun saya baru hanya dapat
mengklasifikasikan berdasarkan makna
acuannya saja.
3.
Apa yang membedakan
pertayaan
dalam
tatarucingan dengan
pertanyaan biasa?
Jika dalam tatarucingan Sunda akan
terlihat pada situasi dan konteks
pembicaraan. Jika situasi humor, akan
terlihat sekali pertanyaan yang
dilontarkan merupakan pertanyaan
tatarucingan. Jika dilihat dari segi
makna, pertanyaan dalam tatarucingan
memiliki unsur keambiguitasan yang
dengan sengaja dimanfaatka dalam
tatarucingan tersebut.
98
METAFORA KESEHATAN DALAM BAHASA JAWA
Ari Wulandari
E-mail: kinoysan@yahoo.com,
HP: 081380001149
Alamat: Bulaksumur A-17, Yogyakarta 55281
ABSTRAK
Metafora lahir karena keterbatasan bahasa manusia, sementara
pemikiran manusia tidak terbatas. Data penelitian ini adalah metafora
kesehatan dalam bahasa Jawa yang dikumpulkan oleh penulis sebagai
penutur asli bahasa Jawa. Penelitian ini menggunakan rancangan
penelitian kualitatif. Bentuk metafora terdiri dari dua belas pola, yaitu (1)
nomina – adverbial, (2) verba – nomina, (3) nomina – verba, (4) verba –
adjectiva, (5) verba – verba, (6) adjectiva – adverbial, (7) nomina – verba,
nomina – verba, (8) nomina – verba, adjectiva – verba, (9) adverbial –
verba – adverbial – verba, adverbial – verba – adverbial – verba, (10) verba
– nomina, verba – verba – nomina, (11) verba – nomina – nomina –
numeralia, dan (12) bentuk beku.
Jenis metafora ada tiga, yaitu (1) metafora manusia, (2) metafora
tumbuhan, dan (3) metafora keadaan alam. Ranah kehidupan yang ada
dalam metafora kesehatan ada 5 hal, yaitu (1) ekonomi, (2) keluarga, (3)
masyarakat, (4) lingkungan alam, dan (5) agama dan kepercayaan. Nilainilai kearifan lokalnya memuat delapan hal, yaitu (1) konsep penyakit, (2)
pencegahan penyakit, (3) pengobatan penyakit, (4) sikap sabar dan
pasrah, (5) pendidikan, (6) sikap masyarakat, (7) pengendalian diri, dan
(8) etika. Metafora kesehatan memiliki bentuk dan jenis tertentu, memuat
ranah kehidupan orang Jawa, dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal
Jawa.
Kata kunci: metafora, kearifan lokal, kesehatan, ranah kehidupan
PENDAHULUAN
Lakoff dan Johnson (1980:3) menganggap bahwa metafora lahir dari
adanya keterbatasan bahasa manusia, sementara pemikiran manusia tidak
terbatas. Akibat keterbatasan bahasa, ada banyak hal dalam pemikiran
99
manusia yang tidak dapat disampaikan dengan bahasa yang biasa.
“Metaphor is persuasive in everday life, not just in language but in thought
and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both think
and act, is fundamentally methaporical in nature.” Teori metafora ini lebih
dengan teori metafora konseptual (conseptual metaphor theory). Dalam
teori ini terdapat dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber (source
domain) dan ranah sasaran (target domain). Ranah sumber lebih konkret
digunakan oleh manusia dalam memahami konsep abstrak yang ada dalam
ranah sasaran. Inilah yang mendasari penggunaan metafora. Bahasa Jawa
memiliki metafora yang berkaitan dengan kesehatan, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang merefleksikan pemikiran orang Jawa
terhadap kesehatan. Misalnya tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit
(pun) pergi’
Struktur dasar metafora sangat sederhana. Di dalamnya terdapat
sesuatu yang kita bicarakan (yang dibandingkan, terbanding, pebanding,
biasa disebut tenor) dan sesuatu yang kita pakai untuk membandingkan
(pembanding, biasa disebut vehicle). Konsep yang populer adalah konsep
tenor dan vehicle yang dikemukakan oleh Richards (1965).
Verhaar (1978:129) mengungkapkan bahwa metafora terbentuk
karena adanya penyimpangan makna kepada sesuatu referen yang lain,
yang sesungguhnya tidak sama. Wahab via Wijana (2000:21) mengatakan
bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak
dapat dijangkau secara langsung dari lambang kiasnya karena makna yang
dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu.
Artikel ini membahas tiga masalah (1) bagaimanakah bentuk dan
jenis-jenis metafora kesehatan dalam bahasa Jawa?; (2) bagaimanakah
ranah kehidupan masyarakat Jawa yang diungkapkan melalui metafora
kesehatan?; dan (3) apa saja nilai-nilai kearifan lokal Jawa yang termuat
dari penggunaan metafora kesehatan?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Bogdan
dan Biklen (1988:27-30) menyatakan bahwa metodologi kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Penelitian ini disebut juga penelitian kontekstual karena metafora
yang dibahas sangat tergantung konteks kesehatan dalam bahasa Jawa
100
sebagai patokan kegiatan yang utama (Poedjosoedarmo, 2012:20). Data
penelitian ini adalah metafora kesehatan dalam bahasa Jawa yang
dikumpulkan oleh penulis sebagai penutur asli bahasa Jawa, selanjutnya
dianalisis dan disajikan sesuai kepentingan penulisan artikel ini.
PEMBAHASAN
A.
Bentuk Metafora
Bentuk metafora kesehatan dalam bahasa Jawa umumnya berupa
frasa dengan pola-pola tertentu.
1. Pola Nomina – Adverbial
Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep
atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak
(Wedhawati, dkk., 2006:219). Secara tradisional adverbial didefinisikan
sebagai kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu
tindakan yang dilakukan oleh verba dilakukan (Wedhawati, dkk.,
2001:329).
(1) tatuné arang kranjang ‘banyak luka’.
Pada data (1) tatuné disebut sebagai pebanding, arang kranjang sebagai
pembanding. Relasi persamaan antara tatunê dengan arang kranjang
adalah kondisi banyak luka (luka parah).
2. Pola Verba – Nomina
Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina
adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna
kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk.,
2006:219). Metafora ini dilekatkan pada aja sênêng ‘jangan senang’.
(2) gawé gêndra ‘membuat kerusuhan’.
Pada data (2) gawé disebut sebagai pebanding, gêndra sebagai
pembanding. Relasi persamaan antara gawé dengan gêndra adalah
membuat kerusuhan.
3. Pola Nomina – Verba
(3) batin karêp raga nututi ‘jiwa berniat, raga mengikuti’.
Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau
makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati,
dkk., 2006:219). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Pada
data (3) batin karêp disebut sebagai pebanding, raga nututi sebagai
101
pembanding. Relasi persamaan antara batin karêp dengan raga nututi
adalah segala sesuatu berasal dari niat.
4. Pola Verba – Adjectiva
Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75).
Adjectiva adalah kata yang berfungsi sebagai modifikator nomina.
Modifikator itu memberi keterangan tentang sifat atau keadaan nomina di
dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk., 2001:179).
(4) waras wiris ‘sehat lahir batin’.
Pada data (4) waras disebut sebagai pebanding, wiris sebagai pembanding.
Relasi persamaan antara orang sehat lahir batin.
5. Pola Verba - Verba
Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75).
Metafora ini biasanya dilekatkan dengan kata perintah aja ‘jangan’.
(5) nulung menthung ‘pura-pura menolong, tapi memukul’.
Pada data (5) nulung disebut sebagai pebanding, menthung sebagai
pembanding. Relasi persamaan antara nulung dengan menthung adalah
terlihat menolong, tapi memukul.
6. Pola Adjectiva – Adverbial
Adjectiva adalah kata yang berfungsi sebagai modifikator nomina.
Modifikator itu memberi keterangan tentang sifat atau keadaan nomina di
dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk., 2001:179). Secara tradisional
adverbial didefinisikan sebagai kata yang berfungsi memberi keterangan
bagaimana suatu tindakan yang dilakukan oleh verba dilakukan
(Wedhawati, dkk., 2001:329). Biasanya metafora ini dilekatkan dengan
kata aja mung ‘jangan hanya’.
(6) tuwa tuwas ‘tua dengan sia-sia’ (Sumodiningrat, 2014:16).
Pada data (6) tuwa disebut sebagai pebanding, tuwas sebagai pembanding.
Relasi persamaan antara tuwa dengan tuwas adalah kondisi tua yang siasia.
7. Pola Nomina – Verba, Nomina – Verba
Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep
atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak
(Wedhawati, dkk., 2006:219). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan
102
tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk.,
2001:75).
(7) sing waras ngalah, sing lara diupakara ‘yang sehat mengalah,
yang sakit dirawat’.
Pada data (7) sing waras ngalah disebut sebagai pebanding, sing lara
diupakara sebagai pembanding. Relasi persamaannya yang sehat bertugas
merawat yang sakit.
8. Pola Nomina – Verba, Adjectiva – Verba
Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep
atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak
(Wedhawati, dkk., 2006:219). Adjectiva adalah kata yang berfungsi
sebagai modifikator nomina. Modifikator itu memberi keterangan tentang
sifat atau keadaan nomina di dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk.,
2001:179). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75).
(8) tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’.
Pada data (4) tamba têka disebut sebagai pebanding, lara lunga sebagai
pembanding. Relasi persamaan antara tamba têka dengan lara lunga
adalah kalau ada obat sakit pun hilang.
9. Pola Adverbial – Verba – Adverbial – Verba, Adverbial – Verba
– Adverbial – Verba
Secara tradisional adverbial didefinisikan sebagai kata yang
berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dilakukan
oleh verba dilakukan (Wedhawati, dkk., 2001:329). Verba adalah jenis
kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau
makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75).
(9) ésuk lara soré mati, soré lara ésuk mati ‘pagi sakit, sore
meninggal; sore sakit, paginya meninggal’.
Pada data (9) ésuk lara soré mati disebut sebagai pebanding, soré lara ésuk
mati sebagai pembanding. Relasi persamaannya penggambaran kematian
yang sangat cepat karena wabah.
10. Pola Verba – Nomina, Verba – Verba – Nomina
Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina
adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna
kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk.,
2006:219).
103
(10) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun
kelapa yang masih muda, meminta pertolongan
penyembuhan’.
Pada data (10) mbalung janur disebut sebagai pebanding, gêlêma paring
usada sebagai pembanding. Relasi persamaannya adalah permintaan
tolong dalam hal pengobatan.
11. Pola Verba – Nomina – Nomina – Numeralia
Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau
perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina
adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna
kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk.,
2006:219). Numeralia adalah kata yang digunakan untuk membilang hal
yang diacu nomina atau kata bilangan (Wedhawati, dkk., 2006:304).
(11) anutupi babahan hawa sanga ‘mengendalikan hawa nafsu’.
Pada data (11) anutupi disebut sebagai pebanding, babahan hawa sanga
sebagai pembanding. Relasi persamaan antara anutupi dan babahan hawa
sanga adalah menutup hawa nafsu.
12. Pola Bentuk Beku
Pola bentuk beku ini merupakan bentuk metafora yang sudah
tertentu dan tidak bisa diubah-ubah.
(12) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh
dihina’.
Pada data (12) giri lusi janma disebut sebagai pebanding, tan kêna ingina
sebagai pembanding. Relasi persamaannya adalah setiap manusia mulia
dan tidak boleh dihina.
B. Jenis-jenis Metafora
Klasifikasi metafora menggunakan teori Halley (1980) yang
membahas medan semantik.
1. Metafora Manusia
Metafora manusia adalah metafora yang menggambarkan sesuatu
sebagai makhluk berpikir, memiliki dan menggunakan intelektualitas
seperti manusia (Halley, 1980:155-159).
(13) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh
dihina’.
104
Pada data (13) terdapat metafora manusia, yaitu pada giri lusi janma
sebagai tenor dan tan kêna ingina sebagai vehicle. Giri lusi janma
menunjukkan metafora manusia.
2. Metafora Tumbuhan
Metafora tumbuhan adalah metafora yang meliputi seluruh jenis
tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, dan sebagainya (Halley, 1980:155159).
(14) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun
kelapa yang masih muda, meminta pertolongan
penyembuhan’..
Pada data (14) terdapat metafora tumbuhan yaitu pada mbalung janur
sebagai vehicle dan gêlêma paring usada sebagai tenor. Mbalung janur
menunjukkan metafora tumbuhan.
3. Metafora Keadaan Alam
Metafora keadaan alam adalah metafora yang meliputi kondisi
yang terjadi di alam, seperti panas, dingin, terang, cerah, mengalir, dan
sebagainya (Halley, 1980:155-159).
(15) sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’.
Pada data (15) terdapat metafora keadaan alam. Vehicle pada sangkan ‘asal
alam semesta’. Tenor pada paraning dumadi. Sangkan menunjukkan
metafora keadaan alam.
C. Ranah Kehidupan Orang Jawa
Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa juga menjelaskan ranahranah kehidupan masyarakat Jawa. Ranah kehidupan adalah segala bidang
yang berkaitan dengan tata hidup masyarakat Jawa.
1. Ranah Ekonomi
Secara garis besar ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah
tangga” atau “manajemen rumah tangga” (Sicat dan Arndt, 1991:14).
(16) sing waras ngalah, sing lara diupakara ‘yang sehat
mengalah, yang sakit dirawat’
Pada data (16) terdapat metafora ranah ekonomi bahwa orang yang sakit
harus dirawat oleh orang yang sehat.
2. Ranah Keluarga
Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang peranannya sangat
penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat (Harnilawati, 2013:1).
105
(17) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun
kelapa yang masih muda, meminta pertolongan
penyembuhan’.
Pada data (16) terdapat metafora ranah keluarga dengan meminta
pertolongan penyembuhan.
3. Ranah Masyarakat
Menurut Levy (1966:111) sekurangnya ada empat kriteria agar
suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan
yang melebih masa hidup seorang anggotanya, (2) perekrutan seluruh
atau sebagian anggotana melalui reproduksi atau kelahiran, (3) adanya
sistem tindakan utama yang bersifat swasembada, dan (4) kesetiaan
terhadap suatu sistem tindakan utama secara bersama-sama.
(18) ésuk lara soré mati, soré lara ésuk mati ‘pagi sakit, sore
meninggal; sore sakit, paginya meninggal’.
Pada data (18) terdapat metafora ranah masyarakat yang
menggambarkan pageblug atau wabah di masyarakat.
4. Ranah Lingkungan Alam
Lingkungan alam didefinisikan sebagai lingkungan alam murni
yang keberadaannya bukan disebabkan oleh manusia. Lingkungan ini
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta (Biro Pusat Statistik, 2005:15).
(19) tuwa tuwas ‘tua dengan sia-sia’.
Pada data (19) terdapat metafora ranah lingkungan alam yang
menggambarkan kondisi tua yang sia-sia.
5. Ranah Agama dan Kepercayaan
Agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup
kekal (Hardjana, 2005:50).
(20) manunggaling kawula Gusti ‘bersatunya manusia dengan
sang Pencipta’.
Pada data (20) terdapat metafora ranah agama, yang menggambarkan
bagaimana seorang hamba mengikuti kehendak Tuhannya dalam satu
kesatuan hidup yang harmonis.
D.Kearifan Lokal Jawa dalam Metafora
Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa mengandung nilai-nilai
kearifan lokal Jawa.
1. Konsep Penyakit
(21) tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’
106
Pada data (21) terdapat metafora yang mengandung konsep penyakit,
yang berarti setiap penyakit ada obatnya.
2. Pencegahan Penyakit
(22) anutupi babahan hawa sanga ‘mengendalikan hawa nafsu’.
Pada data (22) terdapat metafora yang mengandung konsep pencegahan
penyakit, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu. Kebanyakan penyakit
berasal dari nafsu yang tidak terkendali.
3. Pengobatan Penyakit
(23) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun
kelapa yang masih muda, meminta pertolongan penyembuhan’
Pada data (23) terdapat metafora yang mengandung konsep
pengobatan penyakit, yaitu permintaan agar mau memberikan
pengobatan.
4. Sikap Sabar dan Pasrah
(24) batin karêp raga nututi ‘jiwa berniat, raga mengikuti’.
Pada data (24) terdapat metafora yang mengandung sikap sabar dan
pasrah, yaitu menata niat dan tindakan.
5. Pendidikan
(25) (aja) tuwa tuwas ‘(jangan) tua dengan sia-sia’.
Pada data (25) terdapat metafora yang mengandung nilai pendidikan yaitu
harapan agar setiap orang dapat berguna, tidak menjadi tua dengan siasia.
6. Sikap Masyarakat
(26)
(aja sênêng) gawé gêndra ‘(jangan senang) membuat
kerusuhan’.
Pada data (26) terdapat metafora yang mengandung nilai-nilai sikap
masyarakat, yaitu larangan untuk membuat kerusuhan atau onar karena
akan mengganggu masyarakat luas.
7. Pengendalian Diri
(27) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh
dihina’.
Pada data (27) terdapat metafora yang mengandung nilai pengendalian
diri, yaitu larangan menghina manusia.
8. Etika
(28) lara ayu ‘penyakit cacar’.
Pada data (28) terdapat metafora yang mengandung nilai etika, yaitu
menyebutkan keadaan penyakit cacar berat dengan sebutan yang baik.
107
KESIMPULAN
Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa pada dasarnya
menyampaikan pola hidup dan pemikiran masyarakat Jawa berkaitan
dengan kesehatan. Masyarakat Jawa sangat gemar menggunakan metafora
karena segala sesuatu tidak harus disampaikan secara langsung. Metafora
menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan hal tersebut, sehingga
tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai pitutur luhur
‘nasihat yang baik’.
Nilai-nilai kesehatan orang Jawa termuat dalam metafora bahasa
Jawa. Dalam membuat metafora, masyarakat Jawa membandingkan
sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang dekat dengan lingkungannya,
seperti manusia, tumbuhan, dan kondisi alam. Perbandingan ini
dimungkinkan karena orang Jawa terbiasa dengan tradisi ‘membaca’.
Segala sesuatu harus dibaca, dimengerti, dan dipahami agar dapat survive
dan hidup selaras dengan lingkungannya. Penggunaan metafora Jawa
sekarang ini yang paling banyak dalam kegiatan adat atau budaya. Bentukbentuk, jenis-jenis, ranah kehidupan, dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada
di dalam metafora kesehatan merupakan gambaran cara orang Jawa
memandang kesehatan.
Artikel ini bagian dari disertasi penulis pada program studi IlmuIlmu Humaniora, (Linguistik 2013-2016), FIB, UGM, Yogyakarta dengan
tim promotor Prof. Dr. Marsono, M.Hum. dan Dr. Suhandano, M.A.
Terimakasih untuk beliau berdua atas bimbingannya.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. 1988. Qualitative Research in
Education. USA: Allyn & Bacon.
Halley, Michael C. 1980. “Concrete Abstraction:The Linguistic Universe of
Metaphor” dalam Linguistic Perspective on Literature. London:
Routledge and Kegan Paul.
Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Harnilawati. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Takalar:
Pustaka As Salam.
108
Lakoff, George and Johnson, Mark. 1980. Metaphors We Live By. Chicago
and London: The University of Chicago Press.
Levy, Marion J. 1966. The Structure of Society. New Jersey: Princeton
University Press.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 2012. “Metode Penelitian”. Catatan
Perkuliahan Metode Penelitian. Universitas Gadjah Mada.
Richards, Ivon Amstrong. 1965. The Philosophy of Rhetoric. New York:
Oxford University Press.
Sicat, Gerardo P. dan Arndt, Heinz Wolfgang. 1991. Ilmu Ekonomi untuk
Konteks Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial.
Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari. 2014. Pitutur Luhur Budaya
Jawa: 1001 Pitutur Luhur untuk Menjaga Martabat dan Kehormatan
Bangsa dengan Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik. Terjemahan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wahab, Abdul. 1990. Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi.
Yogyakarta: Kanisius.
Wedhawati, dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat
Departemen Pendidikan Nasional.
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Edisi Revisi.
Yogyakarta: Kanisius.
Wijana, I Dewa Putu. 2000. Semantik. Surakarta: Yuma Pustaka.
109
HASIL DISKUSI SEMINAR
Antonio, Universitas Sanata Darma: 1. Bagaimana kearifan lokal dari
metafora kesehatan dihayati oleh masyarakat Jawa? 2. Apakah masyarakat
Jawa sudah menyadari adanya kearifan lokal tersebut dari metafora
kesehatan yang mereka miliki?
Jawab: 1. Kearifan lokal dari metafora kesehatan dihayati oleh masyarakat
Jawa sebagai petunjuk dari leluhur orang Jawa yang sudah mereka ketahui
sejak mereka lahir. Metafora kesehatan itu dianggap sebagai bagian dari
keseharian dan dipraktikkan secara langsung. Misalnya, orang Jawa
mengenal tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’. Dalam
pemikiran mereka, setiap penyakit yang sudah diobati pasti akan sembuh.
Kalau suatu penyakit itu tidak ada obatnya atau belum ditemukan obatnya,
maka mereka menganggap penyakit itu sebagai ujian dan harus sabar
menerimanya. 2. Masyarakat Jawa tidak menyadari adanya kearifan lokal
tersebut. Mereka melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan kultur dan
pemahaman mereka terhadap sesuatu. Misalnya saat sakit, orang Jawa
tidak akan menganggap dirinya sakit ketika mereka masih bisa bekerja
dan beraktivitas. Jadi, meskipun mereka terkena batuk, pilek, demam, dll
penyakit, selama mereka masih bisa bekerja dan beraktivitas, mereka
tidak menyebut dirinya sedang sakit. Pemahaman ini hanya diketahui oleh
para peneliti yang melakukan penelitian terhadap pola pikir masyarakat
Jawa terhadap kesehatan.
Sailal Arimi, Universitas Gadjah Mada: 1. Metafora kesehatan yang
dimaksudkan seperti tatuné arang kranjang ‘banyak luka’ itu berupa
metafora konseptual atau metafora nonkonseptual? 2. Bagaimana
menentukan metafora kesehatan dalam bahasa Jawa? Bentuknya kata atau
frasa?
Jawab: 1. Lakoff dan Johnson (1980:3) mengatakan bahwa “metaphor is
persuasive in everday life, not just in language but in thought and action. Our
ordinary conceptual system, in terms of which we both think and act, is
fundamentally methaporical in nature.” Teori metafora ini lebih dengan
teori metafora konseptual (conseptual metaphor theory). Dalam teori ini
terdapat dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber (source domain) dan
ranah sasaran (target domain). Ranah sumber lebih konkret digunakan
oleh manusia dalam memahami konsep abstrak yang ada dalam ranah
110
sasaran. Pada tatuné arang kranjang ‘banyak luka’ jelas merupakan
metafora konseptual, karena
tatuné merupakan ranah sumber yang konkret bisa dimengerti, bentuknya
sebagai kata benda (nomina) sementara arang kranjang adalah ranah
sasaran yang abstrak, seperti apa ‘keranjang yang jarang’ itu; yang
mengindikasikan suatu model lubang yang banyak sekali pada sebuah
keranjang dalam versi orang Jawa. Dengan demikian, jelas bahwa metafora
kesehatan dalam bahasa Jawa adalah metafora konseptual. 2. Menentukan
metafora kesehatan dalam bahasa Jawa, selain melihat kesesuaian
metafora yang berkaitan dengan kesehatan, penulis sebagai penutur asli
bahasa Jawa juga secara intuitif menentukan mana yang merupakan
metafora kesehatan dan mana yang bukan. Bentuk metafora kesehatan
dalam bahasa Jawa pada dasarnya berupa frase.
111
MURAL KAMPUNG URBAN: ANALISIS MAKNA REPRESENTATIF,
BENTUK, DAN FUNGSINYA
Aris Hidayatulloh
Prodi Ilmu Linguistik UGM
Email: aris.hidayatulloh@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna representatif,
bentuk, dan fungsi sosial kreasi mural di Sangkrah, sebuah kampung di
kota Solo yang identik dengan aksi kriminalitas, melalui pendekatan
sosiolinguistik. Aspek yang dibahas meliputi: 1) deskripsi bentuk dan gaya
pengmpaian bahasa mural, 2) fungsi sosial, serta 3) deskripsi
pembentukan makna representatifdalam pembentukan wacana mural.
Data primer penelitian ini diambil dari wacana kreasi mural pada dindingdinding kampung Sangkrah. Sementara data sekunder diperoleh dari
wawancara kepada tiga orang pemuda yang terlibat langsung dalam
pembuatan mural.
Setiap data dianalisis secara sintaksis terlebih dahulu sesuai
klasifikasinya. Selanjutnya untuk mengetahui peran dan fungsi sosial,
digunakanlah teori dari Jackobson. Serta analisispembentukan makna
referensi juga dilakukan sebagai tahap akhir untuk mengetahui bagaimana
pembuat mural mengemukakan ide gagasan melalui muralnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara kebahasaan mural
memuat beberapa aspek yakni: aspek lingual dapat berupa kata, frasa, dan
klausa dengan bentuk klausa menjadi yang paling dominan. Sedangkan
aspek gambar digunakan untuk penggambaran visual dari mural. Katakata dalam mural berfungsi sebagai penekanaan pada tema dan gambar
mural. Selain itu, sebagian besar mural memiliki fungsi konatifyakni untuk
mengajak menjadikan sangkrah lebih positif. Dari sisi verbal
visualnya,diperoleh hasil bahwa dalam pembentukan makna representatif
mural, nilai sosial budaya yang ada di Solo secara langsung ditanamkan
pada mural. Selanjutnya, mural lainnya digunakan sebagai penggambaran
multikultural dan pemaknaan filosofi orang Jawa danrepresentasi tentang
pemersatu bangsa.
Kata Kunci: mural, wacana visual, makna represebtatif, fungsi sosial,
bentuk
112
PENDAHULUAN
Masyarakat urban atau perkotaan sering menjadi pusat perhatian
pemerintahan kota. Selain permasalahan padatnya jumlah penduduk,
perkotaan juga identik dengan kecenderungan akan tindakan kriminalitas
yang tinggi. Permasalahan yang lebih besar seperti corat-coret di ruang
publik juga menjadi polemik di daerah perkotaan. Aksi mencoret
tersebutterjadi akibat kurangnya ruang publik untuk mengekspresikan
ide-ide anak muda kota. Namun, hal tersebut dapat teratasi dengan cara
memberikan ruang publik sebagai media penyampaiaan ide gagasan.Salah
satu cara penyampaian ide tersebut adalah berupa mural.
Mural, yang menjadi fokus penelitian ini, merupakan hasil karya
seni berupa gambar dan tulisan, umumnya diekspresikan oleh kaum muda
yang cenderung hidup di daerah perkotaan. Mural secara terminologis
adalah lukisan pada dinding (KBBI Daring, 2016). Munculnya tulisan dan
gambar secara bersamaan merupakan hal yang pokok pada mural. Teori
semiotika social dari Kress dan Leeuwe menyatakan bahwa struktur visual
(seperti gambar, warna, dan tipografi) menitikberatkan intepretasi dan
juga interaksi sosial (2006:2). Paparan Kress dan Van Leuween (2006: 42)
yakni mode pada setiap unsur semiotika harus dapat merepresentasikan
esensi sebuah objek dan relasi mereka terhadap orang yang melihatnya.
Dari teori tersebutlah penelitian ini diangkat.
Kampung Sangkrah Solo sebagai tempat penelitian terletak di
dalam karisidenan Surakarta. Kampung tersebut didominasi oleh
masyarakat dengan tingkat perekonmian menengah kebawah. Dominasi
orang yang berbeda-beda setiap kurun waktu mengakibatkan Sangkrah
sering menjadi sorotan pemerintah kota Solo khususnya dalam hal
kriminalitas. Sangkrah terletak pada jantung kota Solo dan tidak jauh dari
Kraton Surakarta dan beberapa industri pabrik.
Sorotan tersebut yang melatar belakangi awal terbentukknya
sebuah aksi mengubah stigma kampung yang kelam menjadi kampung
yang lebih positif melalui mural. Pergerakan tersebut diawali oleh
sekumpulan pemuda Sangkrah yang mempunyai visi yang sama untuk
mengubah stigma negatif kampung Sangkrah. Pembentukan komunitas
melalui simpul literasi yang disebut dengan Rumah Baca Sangkrah juga
diterapakan pada kampung Sangkrah. Dari kumpulan fakta tersebut,
peneliti mengambil kesimpulan bahwa pembahasan tentang makna
dibalik sebuah mural menjadi tema yang sangat penting untuk dilakukan.
113
Beberapa peneliti sudah meneliti masalah yang berkaitan dengan
topik ini. Teguh Prasetya (2014) mengkaji karya seni grafiti. Penelitian
tersebut menitikberatkan pada kajian sosiolinguistik. Penelitian lainnya
dilakukan oleh Dedi Irwansyah (2015) mengenai skeptisme agama Islam
yang digamparkan dalam seni dinding. Penelitian tersebut dilakukan di
Jakarta dengan menitikberatkan pada kajian semiotika pada coretan
dining di kota Jakarta. Sebagai rujukan penelitian sebelumnya yang
termasuk terkini adalah penelitian Pandu Pramudita, dkk (2018) yang
mengkaji tentang seni rupa mural sebagai perlawanan kaum urban. Dalam
penelitiannya Pandu dkk. menitik beratkan pada kajian semiotika. Dari
peneitian-penelitian tersebut dapat tergambarkan objek kajian yang sama
dengan penulis, namun dianalisis dari pendekatan yang berbeda. Sebagai
pertimbangan akan penelitian terkini lah penulis melakukakan penelitian
pada karya seni mural yang dititikberatkan pada kajian sosiolinguistik,
namun yang membedakan adalah dengan mensisipkan telaah secara
semiotika sosial.Hal tersebut mengingat mural tidak hanya dikaji dari segi
makna semantik, namun juga dapat dianalisis dari segi visualnya. Hal
tersebutlah yang menjadi pertimbangan penulis dalam merumuskan
penelitian terkini tentang mural.
Penelitian ini menjawab tiga pertanyaan, yaitu (a) bagimana
bentuk bahasa padamural, (b) apakah fungsi yang ditonjolkan pada mural,
dan (c) bagaimana peran mural dalam pembentukan representasi
konsepnya.
Teori yang digunakan dalam menjawab ketiga masalah tersebut
dipaparkan secara ringkas sebagaiberikut. Pembahasaan aspek verbal
menjadi penting mengingat analisis bahasa dengan pendekatan
sosiolinguistik tidak lepas dari aspek bahasa itu sendiri. Untuk itu,
digunakan klasifikasi dari Verhar (2004)tentang penggolongan bentuk
kata, yang meliputi kata, frasa (frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva,
frasa adverbial), dan klausa (klausa mandiri, klausa koordinatif, dan klausa
subordinatif).
Selanjutnya pada level pembahasan semiotika,
semiotika sosial yang dikembangkan oleh Kress dan Van Leeuven (2006)
digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui penggunaan metafungsi
pada sebuah wacana visual. Di sisi lain, penggunaan teori dari Kress dan
Van Leeuwen juga berkenaan dengan adanya keinginan anak-anak
mudadalam merubah sebuah kampung dari stigma negatif menjadi lebih
positif.
Teori Krees dan Van Leeuwen merupakan teori yang
dikembangkan dari teori metafungsi oleh K.A.K Halliday. Semiotika sosial
tidak lepas dari penggunaan unsur metafungsi bahasanya. Kress dan Van
Leeuwen menyatakanbahwa struktur visual (seperti gambar, warna, dan
tipografi)menitikberatkan intepretasi dan juga interaksi sosial
(2006:2).Semua sistem semiotik merupakan suatu kesatuan bahasa dan
114
dapat memenuhi komponen metafungsi. Poin tersebut yang menjadi
landasan penulis untuk menganalisa mural. Teori dari Krees dan Van
Leeuwen dipandang penulis lebih relevan sebagai teori untuk analisimural
karena mural tidak lepas dari gambar dan juga metafungsi bahasa di
dalamnya.Kress dan Van Leeuwen juga menyatakan konsep metafungsi
dari Halliday dapat dikembangkan dalammetafungsi Visual Grammar yang
diajukkannya. Kress dan Leeuwen (2006: 42) juga menekankan
bahwamode pada setiap unsur semiotika harus dapat merepresentasikan
esensi sebuah objek dan relasi mereka terhadap orang yang
melihatnya.Dalam teori semiotika representasi tersebut dikatakan oleh
Kress dan Leeuwen sebagai representational meaning atau makna
representatif. Makna representatif dari mural tersebutlah yang akan
dibahas dalam penelitian ini.
Sedangkan untuk menganalisis fungsi sosial mural peneliti
digunakan teori tentang fungsi bahasa pada media komunikasi.
Dikemukan oleh Jacobson (dalam Holmes, 1995: 286) yang menyatakan
bahasa memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi emotif/ekspresif (untuk
menyatakan perasaan dan pikiran), fungsi konatif, fungsi referensial
(memberi informasi), fungsi metalingual (menerangkan bahasa), fungsi
poetik (menyatakan aspek keindahan bahasa), dan fungsi fatis (untuk
menyatakan empati). Teori-teori tersebut digunakan peneliti untuk
menjawab rumusan masalah penelitian ini.
PEMBAHASAN
a. Bentuk Bahasa (Verbal Teks) dalam Mural
Dalam pembahasan ini akan dipaparkan bentuk-bentuk satuan bahasa
terlebih dahulu dari setiap data pada mural beserta deskripsi dari masingmasing data beserta fungsinya menurut klasifikasi dari Jacobson tentang
fungsi bahasa dalam komunikasi sosial:
NO
DATA
1
Data
Bentuk Lingual
Fungsi
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
Klausa
(Kalimat Tunggal)
a) Referensial
b) Metalingual
c) Referensial
d) Metalingual
e) Referensial
f) Metalingual
g) Referensial
Sala Kuthaku
Solo is my city
Jowo Budayaku
Javanese is my culture
Moco Hobiku
Reading is my Hobby
Proud to be JAVANESE
115
2
Rumah Baca Sangkrah
Kata Jadian
Referensial
3
Bocah Kudu Dolanan, Bocah
Dudu Dolanan
Sepi Ing Pamrih Rame Ing
Gawe
Bhineka itu cinta, Tunggal ika
itu kita
Berbudi Pekerti yang Luhur
Imagine
Imagination and creativity
can change the World
Klausa
Gabungan
(Koordinatif)
Klausa
Gabungan
(Koordinatif)
Klausa
Gabungan
(Koordinatif)
Frasa Nomina
Kata
Klausa
(Kalimat Tunggal)
Referensial
4
5
6
7
8
Konatif
Konatif
Konatif
Konatif
Konatif
b. Representasi Konseptual pada Mural
Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kress dan Van Leeuwen
(2006:79) bahwa representasi konseptual lebih ditekankan pada proses
non-naraive dari wacana visual dan lebih menekankan pada struktur
pembentuk makna.
(Data 1)
(Data 2)
(Data 3)
Dari data (1) pemarkah lingual dapat dilihat terdapat repetisi dari
kata ‘aku’ atau dalam bahasa inggris ‘my’ pada setiap bait tulisan. Terdapat
juga kata yang dituliskan dengan huruf capital yaitu ‘JAVANESE’ atau
dalam bahasa Indonesia adalah orang jawa. Dari pemarkah tersebut dapat
disimpulkan bahwa mural tersebut mengandung unsur penekananan pada
identitas sosial masyarakat sangkrah. Gambar punakawan difungsikan
sebagai penekanan ikon budaya jawa. Paparan tersebut adalah bentuk
intepretasi dari data yang pada akhirnya merepresentasikan penekanan
bangga menjadi orang jawa bagi masyarakat Sangkrah.
116
Data (2) diatas digambarkan dengan tulisan ‘rumah’ ,’baca’, dan
‘Sangkrah’ yang bila digabung menjadi Rumah Baca Sangkrah. Warna
merah dengan hiasan ranting dan daun yang dililitkan pada katatergambar
pada mural tersebut. Warna merah menggambarkan keberanian dan
gambar ranting dan daun merupakan hiasan dari mural. Dari
penggabungan komponen tersebut dapat dikatan bahwa pembuat dari
mural tersebut ingin membuat penekanan bahwa terdapat suatu
komunitas di kampung Sangkrah. Unsur daun yang dililitkan merupakan
penujukan estetika keindahan pada tulisan Rumah Baca Sangkrah.
Dari data (3), pemarka lingual dalam hal ini menempati sebagai
penekanan pada gambar. Terdapat dua kata yaitu ‘Bocah dudu dolanan’
yang bermakna anak kecil yang tidak bermain dan ‘Bocah kudu dolanan’
yang bermakna anak kecil harus bermain. Pemarka yang bisa dilihat dalam
pembentukan konsep pada mural tersebut adalah kata ‘doanan’ yang
dalam bahasa Indonesia bermakna ‘bermain’. Unsur yang lain terdapat
pula pada gabaran permainan yang terdapat pada mural. Simpulan dari
pembahasan data (3) adalah pembuat mural measukkan konsep anakanak yang seharusnya menghabiskan waktu mereka dengan bermain dan
juga makna secara eksplisit dari mural ini adalah harapan kampung
sangkrah akan adanya generasi penerus yang tidak tergerus oleh gadged
atau benda-benda futuristik yang bisa melupakan generasi anak-anak
yang cemerlang.
(Data 4)
(Data 5)
(Data 6)
Dari data (4) terdapat beberapa unsur dari unsur bahasa tulis dan juga
gambar. Verbal dalam bentuk tulisan tampak pada sisi tengah sedikit
kesamping dari keseluruhan ilustrasi. Tulisan tersebut bertuliskan ‘Sepi
Ing Pamrih Rame Ing Gawe’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Berjuang
tanpa Pamrih dan Saling Bergotongroyong’. Dari unsur lingual terdapat
pemarka yaitu keseluruhan dari ungkapan tersebut yang
117
merepresentasikan kerukunan dan juga sikap saling bantu membantu.
Unsur gambar juga merepresentasikan sebuah konsep kepada orang yang
melihatnya. Dari data tersebut dapat disimpulkan penggambaran salah
satu filosofi orang jawa yang menekankan kerukunan antar manusia dan
juga saling beramah tamah dan saling bantu membantu.
Dari data (5), terdapat unsur verbal tulisan dan juga gambar. Dari
unsur tulisan tertulis ‘Bhineka itu cinta, Tunggal ika itu Kita’. Unsur tulisan
pada data tersebut dituliskan dalam bentuk klausa yang berisikan
semboyan kebhinekaan. Dari kalimat tersebut terdapat pemarka yang
dapat merefleksikan representasi konseptual yakni dari clausa yakni
kalimat ‘Bhineka itu cinta’. Konsep tulisan tersebut digunakan untuk
memperlihatkan bahwa semboyan orang Indonesia yaitu ‘Bineka Tunggal
Ika’ adalah merefleksikan sebuah cinta, yaitu cinta terhadap sesama
manusia. Sedangkan kata ‘Tunggal itu kita’ merefleksikan bahwa
masyarakat Indonesia tidak terpecah belah jika mengetahui konsep
Bhineka Tunggal Ika. Dari Mural tersebut pemuda sangkrah juga ingin
memperlihatkan bahawa sangkrah juga bisa menjadi tempat pemersatu
masyarakat Indonesia dengan menanamkan konsep yang secara tidak
sadar akan terkonsep di pikiran setelah melihat mural tersebut.
Data (6) memperlihatkan gambar dari tokoh pewayangan yaitu
rama dan sinta. Unsur tulisan juga dimunculkan dalam kaitannya
menekankan isi dari gambar secara keseluruhan bahwa maksud dari
mural tersebut adalah menanamkan konsep saling sadar bahawa manusia
harus mempunyai budipekerti yang luhur seperti yang digabarkan dari
tokoh pewayangan. Kesimpulan keseluruhan ilustrasi gambar adalah
kampung sangkrah ingin semua orang yang melihat mural tersebut sadar
akan pentingnya mempunya budi perkerti yang luhur seperti filosofi orang
jawa.
(Data 7)
(Data 7)
(Data 8)
(Data 8)
118
Data (7) digambarkan dengan kata ‘imagine’ melekat dengan
gambar dari tokoh perdamaian sekaligus musisi yakni John Lenon. Dalam
hal ini pembuat mural ingin memebrikan penekanan pada kata-kata
dibalik gambar John Lenon. Penggunaan kata bahasa inggris pada data (7)
difungsikan sebagai keinginan mewujudkan kampung yang damai seperti
apa yang ditekankan pada lagu ‘imagine’ yang dinyanyikan John Lenon.
Dari data (8) pada mural, terdapat dua pembangun konsep yaitu dari
teks dan juga gambar. Teks tersebut berisikan kata dalam bahasa iggris
yaitu ‘Imagination and creativity can change the World’ yang bermakna
imajinasi dan kreativitas dapat mengubah. Mural tersebut juga
mengkonsepsikan sebuah konsep penanaman kreatifitas yang ada di
sangkrah yaitu melalui komunitas dan kreatifitas.
KESIMPULAN
Dari unsur verbal dapat disimpulkan bahwa struktur bahasa yang
digunakan dalam mural meliputi klausa yaitu klausa gabungan koordinatif
dan kalimat tunggal, kata yaitu kata jadian, dan frasa yaitu frasa nomina.
Sedangkan fungsinya sebagian besar adalah sebagai konatif yaitu untuk
mengungkapkan harapan dari pembuat mural dan mengajak orang-orang
yang melihat mural untuk mengembangkan diri.
Dari sisi verbal visualnya analisis data dari ke delapan data tersebut
menunjukkan hasil yaitu: dalam pembentukan makna representatif mural,
terdapat 4 data yaitu (data 1,data 3, data 4, dan data 6) yang digambar
dengan mengambil nilai sosial budaya yang ada di solo yang secara
langsung ditanamkan pada mural. Gaya penyampaian disampaikan
dengan bahasa jawa yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia dan
Inggris. Penggunaan multibahasa difungsikan untuk memahamkan konsep
yang global. Konsep dari ketiga data tersebut adalah penggambaran
multikultural dan pemaknaan filosofi orang Jawa. Sedangkan data (5)
difungsikan sebagai wacana pemersatu bangsa Indonesia dan gaya
penyampaiannya lebih dalam bahasa Indonesia. Sedangkan data (2)
difungsikan sebagai penanda keberadaan sebuah komunitas (komunitas
sosial) yang ada di sangkrah. Dan terakhir data (7), dan data (8) berfungsi
sebagai penanaman nilai positif yang ingin ditanamkan pada masyarakat
dan juga orang yang melihat mural tersebut.
119
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengembangan dan pembinaan Bahasa. 2016. Kamus Besar Bahasa
Indoneisa: Versi Daring, Diakses 1 Juni 2018.
Danny Setiawan, Tokoh Masyarakat Sangkrah, Wawancara Pribadi, 22
April 2018.
Elham Nur Fatoni, Pemuda Sangkrah Penggagas Mural, Wawancara
Pribadi, 27 April 2018.
Hendy, Pemuda Sangkrah Penggagas Mural, Wawancara Pribadi, 29 April
2018.
Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. London, New York:
Longman Jati
Kress, G, & T. van Leeuween. 2006. Reading images: The grammar of visual
design (2nd Ed.). London: Routledge.
Kress, G. & T. van Leeuwen. 1996. Reading images: The grammar of visual
design. London: Routledge.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Hasil Diskusi Seminar
1. Bagaimana Anda menjawab problem statement yang ada
sedangkan apa yang Anda bahas merupakan sebuah wacana dan
tidak bisa dipisahkan analisis antara teks dan gambarnya?
Jawaban: Memang benar teori dari makalah ini masih belum
menyentuh secara menyeluruh analisnya dan mungkin
cenderung pendekatannya masih belum tepat (sebelumnya
peneliti menggunakan pendekatan sosiolinguistik dan
membahas hanya bentuk, fungsi dan referensi)dan dianalisa
dengan teori dari verhar tentang struktur bahasa dan juga
fungsinya sehingga perlu adanya klarifikasipendekatan yang
tepat untuk menganalisa wacana mural.Dari permasalahan
tersebut peneliti mencari teori yang tepat untuk meneliti objek
wacana yang di dalamnya terdapat unsur teks dan gambar.Dari
permasalahan tersebut peneliti menambahkan teori dari Kress
dan Van Leeuwen tentang semiotika sosial sebagai solusi.
2. Bagaimana Anda menunjukkan bahwa unsur verbal kata dan
gambar pada mural dapat merepresentasikan sesuatu dan
120
mengungkap bahwa linguistik bukan sekedar berhubungan
dengan struktur tata bahasa namun bisa juga metafungsi?
Jawaban: Pertanyaan tersebut selaras dengan pertanyaan
sebelumnya yaitu tentang cara menganalisa objek dengan teori
yang tepat. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti
mengguankan teori dari Kress dan Van Leeuwen dalam semiotika
sosial sebagai solusi. Teori tersebut dipandang sebagai peneliti
sebagai teori untuk mengungkapkan metafungsi dari wacana
mural.
3. Teori apa dan batasan masalah apa yang Anda gunakan dalam
analisis sehingga tidak menjadi terlalu melebar pembahasannya?
Jawaban: Untuk teori peneliti menggunakan teori dari Kress dan
Van Leeuwen tentang semoitika sosial sebagai teori utama untuk
menganalisa unsur metafungsi dari mural dalam membentuk
makna representatif. Sedangkan dalam tatan structural kata dan
bentuknya peneliti menggunakan klasifikasid ari verhar.
Sedangkan untuk funsi verbal digunakan teori dari Jackobson
tentang fungsi bahasa. Teori tersebutdipandang peneliti sebagai
teori yang relevan untuk menganalisa wacana. Krena wacana
mural merupakan gabungan antara unsur verbal kata dan juga
gambar yang didalamnya digunakan prisip multimodal sebagai
acuannya. Multimodal sendiri merupakan penggabungan
beberapa mode sebagai upaya pembentukan makna
representative suatu objek (lihat teori Kress tentang Multimodal)
121
VERBA ERGATIF DALAM BAHASA JAWA
Arum Jayanti*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: arumjayanti007@gmail.com
A B S T R A K
Penelitian yang bertajuk “Verba Ergatif dalam bahasa Jawa” ini membahas
tentang bentuk morfologis verba ergatif dalam bahasa Jawa, bagaimana
bentuk verba ergatif dalam bahasa Jawa, dan bagaimana perilaku sintaksis
serta semantik verba ergatif bahasa Jawa. Ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif dengan kamus bahasa Jawa sebagai data dan sumber
data dengan kalimat yang peneliti sebagai penutur asli bahasa Jawa buat
setelah melalui diskusi panjang dengan penutur asli bahasa Jawa lainnya
dan dengan pengecekan ulang. Metode pengumpulan data dengan
menggunakan metode simak teknik catat. Hasil penelitian peneliti berupa
temuan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat empat imbuhan pembentuk
verba ergatif, yakni 1) Prefiks ke-, 2) Konfiks ke-an, 3) Infiks -in, 4) Infiks um dengan dominasi keseringan prefiks ke- dengan akar kata bentuk
verba. Untuk infiks -in lebih banyak digunakan dalam ragam tulis, dan
infiks -um berubah menjadi verba ergatif hanya jika disandingkan dengan
kata glethak. Selain itu, berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif
dalam bahasa Jawa pada umumnya membentuk tiga makna, yakni 1)
Ketidaksengajaan; 2) Keadaan; 3) Dikenai adjektiva.
Kata Kunci: Verba Ergatif, Bahasa Jawa, Morfologi, Sintaksis
PENGANTAR
Konsep verba ergatif sudah lama muncul. Ergativitas diperkenalkan
oleh Bernard Comrie dan E. Rafferty. Di Indonesia, Harimurti Kridalaksana
pun pernah menyinggungnya dalam artikel berjudul “Ergativitas’ dan
dalam buku Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia
mengenai gejala ergativitas. Tidak sampai di situ, Serpih-Serpih Telaah
Bahasa Indonesia karya Bambang Kaswanti Purwo juga memuat artikelartikel para ahli yang tidak sedikit menyinggung tentang ergativitas.
122
Akan tetapi, sependek pencarian peneliti selama ini penelitian
mengenai ergativitas bahasa Jawa belum pernah dilakukan sehingga
penulis tergelitik untuk melakukan penelitian ini agar dapat menjawab 1)
Apa saja dan bagaimana bentuk verba ergatif dalam bahasa Jawa? 2)
Bagaimana perilaku sintaksis dan semantik verba ergatif bahasa Jawa?
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bentuk Morfologis Verba Ergatif
Secara morfologis atau dilihat dari morfem yang membentuknya,
verba ergatif bahasa Jawa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu
monomorfemis dan polimorfemis.
1. Verba Ergatif Monomorfemis
Verba ergatif monomorfemis dalam bahasa Jawa berjumlah
terbatas. Contoh verba ergatif monomorfemis dalam bahasa Jawa adalah
kata kena.
Contoh: Jennifer Dunn kena amuk bojone Faisal Haris.
‘Jennifer Dunn kena marah Istri Faisal Haris’
2. Verba Ergatif Polimorfemis
Verba ergatif polimorfemis dalam bahasa Jawa berafiks {ke-}, {ke/-an}, (-um-} {-in/-an}. Contoh: keselek ‘tersedak’, kegunting ‘tergunting’,
kambrukan ‘kerobohan’, kudanan ‘kehujanan’, kabotan ‘keberatan,
kinancing ‘dikunci’, tinampa ‘diterima’, gumlethak ‘tergeletak’ dan lainlain.
B. Perilaku Sintaksis Verba Ergatif
Verba ergatif dalam bahasa Jawa ditandai dengan afiks {ke-, ke-/-an,
-um, -in-/-an}. Verba ergatif dalam bahasa Jawa ini sendiri menempati
fungsi predikat.
1. Prefiks keTerdapat dua macam jenis pembentukan perfiks ke-, yakni ke- +
verba dan ke- + nomina. Prefiks ke- + verba paling produktif dalam
pembentukan verba ergatif dibandingkan pembentuk verba konfiks ke-/an, -um, dan -in/-an.
a. Ke- + Verba
(1) Keselak; Keselèk 1. Saèmper watuk dadakan marga
ngombè, mangan lsp
123
Contoh: Adek keselèk amarga mangan karo ngomong.
S
P
K
‘Adik tersedak karena makan sambil berbicara.’
2.
b. Ke- + Nomina
(2) Nggunting
Kegunting
Contoh: Amarga kesusu, Kertase Rino kegunting Akbar.
K
S
P
Pl
‘Karena tergesa-gesa, kertasnya Rino tergunting
Akbar’
Konfiks ke-an
Konfiks ke-an membentuk verba ergatif dengan akar kata yang
berbeda-beda, yakni 1) Ke- + Verba + -an, 2) Ke- + Nomina + -an, 3) Ke- +
Adjektiva + -an. Bentuk ke- + verba + -an paling banyak ditemukan daripada
bentukan verba ergatif dari nomina dan adjektiva.
a. Ke- + Verba + -an
(3) Nyeret: minum madat
Keseretan
Contoh: Amarga kakehan ngguyu, Aku keseretan.
K
S
P
‘Karena kebanyakan tertawa, saya kehausan.’
b. Ke- + Nomina + -an
(4) Nyliliti: menyebabkan selilit (sisa makanan di gigi)
Keselilitan
Contoh: Jaka keselilitan amarga mangan rendang.
S
P
K
‘Jaka keselilitan karena makan rendang’
(5) Udan
Kudanan
Contoh: Yu Djum kudanan nalika njemput anake ning
sekolah.
S
P
K
‘Yu Djum kehujanan ketika menjemput anaknya di
sekolah.’
124
c. Ke- + Adjektiva + -an
(6) Nyusah (-akè): menyusahkan
Kesusahan
Contoh: Yu Samblah lagi kesusahan amarga bojone ora
bali-bali.
S
P
K
‘Yu Samblah sedang kesusahan karena suaminya
tidak pulang-pulang.’
(7) Abot 1. Akeh bobote; ora enteng
Kabotan 1. Kroso abot; kangelan
Contoh: Aku kabotan amarga tugas saka bosku.
S
P
K
‘Aku keberatan karena tugas dari bosku’
3. Infiks -in
(8) Tarbuka
Tinarbuka
Contoh: Lawang Kraton Ngayogyakarta tinarbuka wiwit
isuk
S
P
K
‘Pintu Kraton Yogyakarta terbuka sejak pagi’
4. Infiks -um
Pada umumnya infiks -um verba ergatif hanya terjadi ketika -um +
glethak saja. Infiks -um selain pada kata tersebut tidak menjadi verba
ergatif, misal pada kata gumagus, kumayu, gumantung, dan lain-lain.
(9) Dhuwite gumlethak neng nduwur meja.
S
P
K
‘Uangnya tergeletak di atas meja’
C. Perilaku Semantis Verba Ergatif
Berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif dalam bahasa
Jawa pada umumnya dapat dilihat berdasarkan makna berikut.
1. Verba Ergatif Bermakna Ketidaksengajaan
125
Verba ergatif bermakna ketidaksengajaan ada pada hampir semua
verba kecuali pada verba kena. Verba ergatif bermakna ketidaksengajaan
ada pada verba polimorfemis.
2. Verba Ergatif Bermakna keadaan
Selain bermakna ketidaksengajaan, verba ergatif dalam bahasa Jawa
pun bermakna keadaan.
(10) Nyusah (-akè): menyusahkan
Kesusahan
Contoh: Yu Samblah lagi kesusahan amarga bojone ora
bali-bali.
S
P
K
‘Yu Samblah sedang kesusahan karena suaminya
tidak pulang-pulang.’
3. Verba Ergatif Bermakna Dikenai Adjektiva
Verba ergatif bermakna dikenai adjektiva hanya terjadi pada kata
kena ‘kena’.
(11) Jennifer Dunn kena amuk bojone Faisal Haris.
‘Jennifer Dunn kena marah Istri Faisal Haris’
Pada kata kena amuk subjek dikenai adjektiva amuk ‘marah’. Hal
ini membuktikan bahwa pada verba ergatif kena tidak bermakna
ketidaksengajaan, tetapi bermakna dikenai adjektiva.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentuk verba
ergatif dalam bahasa Jawa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu
monomorfemis dan polimorfemis
Verba ergatif dalam bahasa Jawa ini sendiri menempati fungsi
predikat.sebagai berikut.
1. Prefiks Ke-.
a. Ke- + Verba. Contoh: Keselèk, keselip, dan kecabud.
b. Ke- + Nomina. Contoh: Kegunting, kepeso, dan kepacul.
2. Konfiks Ke-/-an.
a. Ke- + Verba + -an. Contoh: Kecolongan, kambrukan, dan
kasiratan.
126
b. Ke- + Nomina + -an. Contoh: Keselilitan, kudanan, dan
kanginan.
c. Ke- + Adjektiva + -an. Contoh: kabotan, kangelan, dan
kepanasan.
3. Infiks -in. khusus infiks -in hanya bertemu dengan verba. Contoh:
Kinancing, tinampa, dan tinulis.
4. Infiks -um. Khusus pada verba dengan akar kata glethak. Contoh:
gumlethak
Selain memenuhi empat poin tersebut, verba harus memenuhi
syarat ergativitas dalam kalimat, yakni 1) Subjek sekaligus pengalam
(dikenai pekerjaan); 2) Verba tersebut tidak bisa diaktifkan.
Contoh: Siti Aminah kecakar kucing
S
P
Pl
‘Siti Aminah tercakar kucing’
Pada contoh tersebut Siti Aminah sebagai subjek karena
bersanding dengan verba kecakar, Siti Aminah sekaligus pengalam
(dikenai pekerjaan). Inilah keunikan dari verba ergatif.
Contoh: Lawang Kraton Ngayogyakarta tinarbuka wiwit
isuk
S
P
K
‘Pintu Kraton Yogyakarta terbuka sejak pagi’
Pada contoh verba tinarbuka juga sama. Lawang Kraton
Ngayogyakarta yang merupakan subjek juga sebagai pengalam, yakni
tinarbuka ‘terbuka’.
Berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif dalam bahasa
Jawa pada umumnya membentuk tiga makna, yakni 1) Ketidaksengajaan;
2) Keadaan; 3) Dikenai adjektiva.
DAFTAR PUSTAKA
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Kanisius
___________. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Poerwadarminta, W.J.S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung
Agung
Suwardji. 1999. Kalimat Pasif dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud.
127
Robson, Stuart and Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary.
Hongkong: Periplus
Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus Basa Jawa
(Bausastra Jawa). Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta
HASIL DISKUSI SEMINAR
PERTANYAAN
1. Bagaimana dengan sisipan -um contohnya gumlegar dalam bahasa
Jawa apakah termasuk verba ergatif bahasa Jawa? Wardatul
Jannah, UGM.
2. Bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif atau bahasa ergatif? I Gede
Bagus Wisnu Temaja, UGM
3. Apakah Anda menggunakan teori bahasa pivot untuk menguji
keergativitasan verba bahasa Jawa? Antonio Constantino Soares,
Timor Leste
JAWABAN
1. Sisipan -um dalam bahasa Jawa termasuk verba ergatif seperti
pada contoh kata dasar glethak yang menjadi gumlethak.
2. Bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif, tetapi mempunyai gejala
ergativitas.
3. Sependek yang peneliti tahu setelah membaca tentang teori
bahasa pivot berhubungan dengan pemerolehan sintaksis oleh
kanak-kanak yang melahirkan teori tata bahasa pivot.
128
KALIMAT DALAM PEMBINGKAIAN BERITA INSIDEN PESAWAT
F-16 DAN CESSNA C-150
Ashari Hidayat1
Universitas Jenderal Soedirman
Surel: ashari.hidayat@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Pemberitaan insiden aktivitas pesawat militer dengan pesawat sipil tidak
lepas dari penggunaan kalimat sebagai sarana menginformasikan
peristiwa yang terjadi. Kalimat-kalimat itu membawa proposisi yang
tersebar dalam tiap komponen wacana. Tujuan penelitian ini adalah
memaparkan keberadaan bingkai berita melalui proposisi yang
terkandung dalam kalimat atau klausa pembangun wacana. Penelitian ini
mengasumsikan kognisi pemberita mempengaruhi pengkonstruksian
peristiwa ke dalam kalimat. Kognisi pemberita terealisasikan dalam
jalinan proposisi antarkalimat pada tiap komponen wacana. Metode
analisis dilakukan dengan menyimak kandungan isi berita, memilah topik
dalam sekuen-sekuen informasi, dan menginterpretasikan unsur
komponen wacana. Hasil penyimakan berita dikenali adanya proposisi
yang mengandung bingkai ‘korban tewas’ dan ‘korban selamat’ dari aktor
yang terlibat insiden.
Kata kunci: kalimat, bingkai, berita insiden
LATAR BELAKANG
Media berita kadang menampilkan pemberitaan peristiwa insiden
pesawat tempur. Pada suatu peristiwa insiden pesawat tempur itu terjadi
sebagai bagian aktivitas penggunaan alat utama sistem senjata (alutsista).
Ketika aktivitas tersebut mengalami ketidakberuntungan kondisi yang
menyebabkan terjadi insiden media melakukan liputan. Peristiwa insiden
pesawat tempur F-16 yang menabrak pesawat sipil Cessna C-150 di South
California, Amerika Serikat pada tahun 2015 lalu juga tidak luput dari
pemberitaan media. Hal itu menarik untuk dicermati terutama mengenai
cara media membangun informasi tentang insiden tersebut.
1
Penulis adalah mahasiswa Program S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah
Mada awardee BUDI DN Tahun 2016
129
Pemberitaan di media secara tertulis menghasilkan sebuah
wacana berita. Wacana berita tersebut menjadi medium perpindahan
informasi. Oleh Djajasudarma (2006:14) penggolongan wacana dapat
dilakukan dengan melalui identifikasi sifat
informasional yang
menonjolkan suatu pokok masalah. Sementara itu, dalam pembahasan
mengenai informasi Ramlan (1993:41) menyatakan kepaduannya dalam
suatu wacana ditentukan oleh pertalian makna dan pertalian bentuk. Dari
konsep-konsep para linguis tersebut dapat dikaitkan dengan pembahasan
berita insiden dalam artikel ini. Kepaduan informasi berita insiden
pesawat F-16 dengan Cessna C-150 ini penceritaannya berkaitan dengan
aktor noninsani dan insani sebagai korban. Pesawat tempur F-16 dan
pesawat sipil Cessna C-150 adalah aktor noninsani. Aktor noninsani ini
karena sifatnya yang teknis tentu memiliki kerumitan ketika digambarkan
dalam pemberitaan di media berita umum. Sementara itu, awak pesawat
adalah aktor insani korban insiden yang tentu tidak luput juga untuk
diberitakan. Penceritaan dua aktor korban insiden itu selain sebagai
pertalian informasi jika dihubungkan dengan pandangan van Dijk
(1988:31) juga merupakan suatu representasi kognisi melalui sejumlah
proposisi yang dikandung klausa atau kalimat dalam wacana.
Peristiwa insiden diliput oleh awak media yang hal itu membawa
konsekuensi adanya peran kognisi terhadap proses produksi berita. Pada
produksi berita kognisi awak media atau kepentingan institusi media
berpotensi menyatu berita sebagai produk yang dihasilkannya.. Kajian
terhadap insiden pesawat tempur dengan pesawat sipil ini akan
menunjukkan hubungan antarkomponen berita dengan kalimat sebagai
sarana formal realisasi dari kognisi tersebut. Bila dirunut dengan
memperhatikan komponen wacana berita yang terdiri atas headline, lead,
dan story (Bell, 1991) alur penceritaan ini akan membentuk suatu pola
yang di dalamnya berisi sebaran proposisi yang terkonstruksi dalam
kalimat-kalimat pembangun wacana. Pembahasan dalam artikel ini lebih
menekankan kajian kepada unit informasi dalam ramgkaian antarkalimat.
Kajian terhadap keterjalinan informasi yang dikandung kalimat menjadi
cara untuk memahami bagaimana objek berita ditampilkan sebagai
sebuah proses transmisi informasi.
130
KERANGKA TEORI DAN METODE
Suatu berita yang keberadaannya tidak rutin dan mengandung
informasi khas oleh Bell (1991:14) disebut sebagai kriteria berita topik
khusus. Media berita menyampaikan informasi melalui wacana berita
yang bermula dari sumber berita, proses produksi di ruang berita hingga
tampil tersiar. Berhubungan dengan pemberitaan peran awak media
berpotensi masuk ke hasil kerjanya. Suatu hasil dari proses produksi
berita didesain atas lingkup institusi media tetapi juga tidak lepas dari sisi
kognitif awak media yang mengolahnya. Mengenai sebuah peristiwa
diangkat sebagai objek berita, van Dijk (1988:126-128) mengkategorikan
dari sumber langsung maupun tidak langsung dengan melihat peran
jurnalis terhadap sumber informasi. Dalam pandangan Bell (1991) salah
satu ciri berita adalah berpotensi memiliki keterhubungan antarmedia
karena pengolahan kembali dalam proses produksi berita. Van Dijk
(1988:62) menggarisbawahi mengenai topik sebagai ide sentral yang akan
mengendalikan proposisi-proposisi yang dibangun dalam wacana.
Renkema (1993:163) menilai skema mental sebagai seperangkat
pengetahuan yang diserap dari lingkungan yang dapat digambarkan
sebagai kerangka yang akan diiisi oleh unsur-unsur pengisi. Pada sebuah
wacana berita, keberadaan komponen headline, lead, dan story
merupakan kerangka dibangunnya informasi. Pada komponen itulah
relasi-relasi antarunsur pengisinya berlangsung. Relasi antarunsur itu
adalah jalinan makna yang terwujud oleh peran awak media sebagai
kreator wacana. baik sadar atau tidak menyadarinya kognisi awak media
itu akan berpengaruh terhadap hasil kreasinya. Itulah yang membentuk
bingkai (frame) sehingga berita memiliki “nilai rasa” tertentu ketika
ditransmisikan kepada sasarannya. Sementara itu, Entman (1993) juga
memberikan perhatian terhadap konsep bingkai dan menyebutnya
sebagai cara pandang tertentu terhadap fakta melalui proses menyeleksi
dan mengolah informasi. Konsep van Dijk yang menempatkan kognisi
sosial dan proposisi oleh Pan dan Kosicki (1993) dikembangkan lebih
lanjut untuk mengungkap bingkai suatu berita secara empirik dengan
melihat pada sejumlah sarana linguistis. Oleh Ramlan (1993) jalinan
makna yang dibangun oleh relasi antarkalimat itu terkelompok pada
paragraf yang menjadi wadah dari alur pikiran penulisnya. Sementara itu,
van Dijk (1988:31) melihat relasi kalimat dalam wacana berita itu sebagai
realisasi proposisi. Berkaitan dengan berita insiden pesawat penumpang
131
sipil, Entman (1991) mengkaji berdasar pemberitaan insiden jatuhnya
pesawat terbang KAI milik Korea Selatan dan Iran Air milik maskapai Iran
oleh sejumlah suratkabar di Amerika Serikat.
Pengambilan data dilakukan dari sumber LKBN Antara pada
antaranews.com. Data diambil dengan menyalin teks berita yang
ditampilkan dalam laman dari hasil penelusuran topik berita tentang
insiden. Penelitian ini hanya berfokus pada satu data saja. Tahap analisis
dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penyimakan informasi
dalam wacana berita yang telah dipersiapkan. Dari hasil penyimakan itu
dilakukan pencatatan-pencatatan untuk memulai penetapan informasi.
Langkah selanjutnya adalah memilah bagian-bagian wacana yang terdiri
atas headline, lead, dan story. Tiap komponen wacana berita itu
diasumsikan mengandung informasi yang direalisasikan melalui kalimatkalimat. Interpretasi terhadap informasi yang dikandung kalimat adalah
prosedur menetapkan bingkai. Interpretasi ini cenderung intuitif dengan
berlandaskan penyimak sebagai penutur bahasa Indonesia yang mampu
memahami informasi wacana. Penyimak memposisikan diri sebagai
sasaran berita yang hendak dituju media. Hasil penyimakan tersebut
kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur pembangun berita, yaitu aktor,
aksi, dan peristiwa dalam komponen wacana.
PEMBAHASAN
Latar peristiwa dan Sekuen Informasi
Wacana berita ini menggambarkan objek berita ditampilkan oleh
media melalui penceritaan peristiwa insiden antara dua pesawat terbang.
Dua pesawat terbang itu berlatar kepemilikan berbeda, yaitu bagian dari
alutsista angkatan udara Amerika Serikat dan satunya adalah pesawat sipil
yang biasa dipergunakan sebagai pesawat latih. Peristiwa insiden pesawat
F-16 milik angkatan udara Amerika Serikat yang menabrak pesawat
Cessna C-150 pada tahun 2015 lalu menjadi berita yang diangkat sejumlah
media massa di dunia. Pesawat F-16 sebagai pesawat tempur yang
memuat dua awak pesawat menabrak pesawat sipil Cessna C-150 di South
California Amerika Serikat. Dalam peristiwa itu dua awak pesawat F-16
berhasil melontarkan diri dan selamat sedangkan dua awak pesawat
Cessna C-150 dinyatakan tewas.
Berita tersebut tampil pula di sejumlah media berita dalam negeri,
antara lain dalam laman media berita Antara. Berita yang tampil di Antara
132
tersebut berdasarkan kontribusi dari kantor berita Xinhua. Kantor berita
Antara mendapatkan berita tersebut dari sumber lain yang juga sebuah
kantor berita. Naskah sebelum ditampilkan di media telah diedit oleh Fitri
Supratiwi. Tampil di laman Antara pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2015.
Untuk memahami bagaimana peristiwa itu disampaikan dalam
sebuah alur penceritaan maka perlu dilakukan pemilahan dalam sekuen.
Pemilhan dalam sekuen ini merupakan sarana untuk mencermati
pengembangan topik wacana. Topik merupakan hal yang dibicarakan,
yakni mengenai insiden pesawat tempur yang menabrak pesawat sipil.
Pemilahan dalam sekuen itu dibatasi melalui lingkup komponen wacana.
Komponen wacana berita terdiri atas headline, lead, dan story.
Pengembangan Topik
Komponen
Sekuen Informasi (proposisi)
No.
Penanda
Headline
Lead
Story
korban tewas
detail korban
detail korban
kronologis insiden
1
1
1
kondisi korban
penyebab insiden
kondisi pesawat
identitas pesawat f16
2
1
2
3
3
Dari bagan tersebut diketahui pernyataan yang berhubungan
dengan korban lebih ditonjolkan pada komponen headline, lead, dan story.
Hanya saja di akhir story dimunculkan pernyataan tentang identifikasi
pesawat F-16. Ketidakberimbangan justru terjadi karena penonjolan
pesawat F-16 mendesak pesawat Cessna C-150 sehingga tidak muncul
sebagai pihak terdampak yang lebih parah dibandingkan F-16. Dikatakan
demikian karena pihak korban tewas berasal dari awak pesawat Cessna.
Sekuen informasi tersebut menunjukkan juga identifikasi di akhir story
yang memunculkan cerita keandalan F-16 sebagai pesawat tempur yang
sudah banyak diproduksi dan dipergunakan banyak negara di dunia.
133
Dari sekuen informasi pada bagan tersebut diketahui paparan
mengenai aktor insani korban insiden muncul lebih banyak daripada
paparan aktor noninsani. Informasi mengenai kondisi aktor insani muncul
di tiga komponen berita. Sementara itu, informasi aktor noninsani hanya
muncul di komponen story yang menceritakan kondisi dan identitas
pesawat. Paparan informasi kondisi pesawat dan identifikasi pesawat
yang terletak di posisi akhir wacana menunjukkan peristiwa itu lebih
dilihat oleh media sebagai tragedi bagi awak pesawat.
Kalimat dan Pembingkaian Berita
Berita diawali dengan judul sebagai headline yang akan menjadi
kendali atas uraian selanjutnya dari peristiwa yang terjadi. Realisasi lebih
lanjut dari penceritaan peristiwa insiden pesawat tempur bertabrakan
dengan pesawat sipil ini berlangsung mulai dari headline. Sebagai
komponen yang akan menjadi sasaran utama pembaca maka headline
sangat menentukan dalam menarik perhatian. Pada posisi Headline ini
Antara lebih melihat insiden sebagai peristiwa yang menimbulkan korban
tewas dari akibat insiden. Penekanan itu tampak pada pernyataan adanya
‘korban tewas’ di posisi awal klausa mendahului pernyataan peristiwa
insiden. Posisi pernyataan ‘korban tewas’ menunjukkan topik yang
menjadi titik perhatian dari dampak dari insiden pesawat tempur dan
pesawat sipil bertabrakan.
(1)Dua tewas dalam tabrakan jet F-16 dengan pesawat sipil
Pengembangan topik selanjutnya berada pada lead berita. Lead
berita berposisi sebagai pembuka wacana. Dalam lead terkandung intisari
yang dibicarakan dalam keseluruhan berita. Pada headline telah
dinyatakan bingkai ‘korban tewas’ dan hal itu berelasi dengan lead yang
juga menginformasikan ‘korban tewas’. Untuk menyatakannya Antara
menggunakan satu konstruksi kalimat majemuk dengan pernyataan aktor
terletak pada klausa inti dan pernyataan waktu pada klausa tambahan.
Pengedepanan informasi tentang ‘korban tewas’ kembali terjadi
mendahului pernyataan peristiwa tabrakan pada komponen lead.
Komponen lead ini merupakan intisari berita dan
tumpuan
pengembangan pada bagian-bagian selanjutnya. Perhatikan wacana
berikut.
134
(2)Dua orang tewas setelah satu jet tempur F-16 milik Angkatan
Udara AS bertabrakkan dengan satu pesawat sipil di Negara Bagian
South Carolina pada Selasa pagi (7/7).
Keberlangsungan bingkai mengenai ‘korban tewas’ berlanjut pada
komponen story. Pada bagian story 1 ini berisi dua kalimat. Kalimat (3)
memberikan informasi mengenai waktu dan tempat terjadi insiden.
Kalimat (4) dipergunakan untuk memperkuat informasi pada kalimat
pertama. Relasi penguatan informasi ini cenderung menempatkan kalimat
(4) dalam posisi berimbang dengan kalimat (3). Kalimat kedua tidak
memberikan perluasan jabaran informasi melainkan menampilkan
informasi baru penambah fakta insiden. Hal itu ditandai oleh tidak
munculnya penjelasan lanjut tentang kronologis melainkan justru
memunculkan informasi mengenai ‘korban selamat’. Komponen wacana
story 1 tersebut mulai memberikan informasi yang tidak meneruskan
pernyataan yang ditampilkan pada lead. Hal ini memunculkan kontradiksi
informasi dengan pernyataan pada lead. Korban dari pihak pesawat sipil
dinyatakan tewas, sedangkan korban dari pesawat militer dinyatakan
selamat. Pemosisian informasi ‘korban selamat’ berada di kalimat (4 dan
5) dengan tidak mengedepankannya. Selain itu juga dipergunakan
konstruksi pasif pada kalimat (5) untuk menyatakan ‘korban selamat’.
Perhatikan wacana berikut.
(3)Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 11.00 waktu setempat, 18
kilometer di sebelah utara Charleston di South Carolina, kata
Xinhua, Rabu pagi. (4)Para pejabat Departemen Pertahanan AS
telah mengkonfirmasi pilot jet tempur F-16 --yang datang dari
Pangkalan Angkatan Udara Shaw, 160 kilometer di sebelah baratlaut Charleston-- selamat dengan cara melontarkan diri saat
kecelakaan. (5)Pilot jet tempur F-16 tersebut telah diselamatkan
setelah tabrakan itu, kata beberapa pejabat pertolongan setempat.
(6) Mereka menambahkan saksi mata melaporkan jet tempur F-16
tersebut menabrak pesawat Cessna itu. [...]
Bagian lain dari story 2 menginformasikan sebuah otoritas yang
akan menangani kasus insiden pesawat militer ini. Informasi dibangun
melalui tiga kalimat yang saling berelasi informasinya. Kalimat (7) berisi
135
rencana pertemuan antara dua otoritas yang akan menangani investigasi.
Kalimat (8) menginformasikan tim penolong yang telah berhasil
menemukan puing pesawat. Dilanjutkan oleh kalimat (9) yang mendukung
kalimat (8) dengan menyampaikan saran tim penolong terhadap khalayak
guna mendukung tugasnya. Relasi tiga kalimat tersebut lebih mengarah
kepada keterkaitan informasi melalui penautan aktivitas aktor terhadap
sasaran. Aktor yang ditampilkan pada kalimat (6) adalah tim penyelidik
dan aktor kalimat (8 dan 9) adalah tim penolong. Kedua aktor tersebut
menduduki fungsi subjek kalimat. Kalimat (8) berisi dua aktor dengan
relasi setara yang ditunjukkan melalui konstruksi frasal berperangkai
konjungsi dan. Aktor pada kalimat (8 dan 9) adalah sama, yaitu Tim
Pertolongan Berkeley County. Relasi aktivitas oleh aktor yang sama
terhadap sasaran (8 dan 9) ditandai melalui deiksis itu. Berikut adalah
wacananya.
[...] (7)Satu tim penyelidik dari Angkatan Udara AS dan seorang
penyelidik NTSB dijadwalkan bertemu untuk memastikan penyebab
kecelakaan tersebut.(8)Sementara itu, Tim Pertolongan Berkeley
County mengatakan badan pesawat Cessna tersebut telah
ditemukan dan pecahan pesawat bertebaran di satu sawah. (9)Tim
itu mengeluarkan saran yang mengatakan setiap orang yang
menemukan pecahan dari kecelakaan tersebut mesti segera
menghubungi 911 untuk melaporkannya sehingga pecahan itu
dapat dikumpulkan. [...]
Ujung dari story dalam berita ini adalah informasi mengenai
identifikasi pesawat tempur F-16. Pesawat F-16 digambarkan dalam
paragraf yang berisi 2 kalimat. Kalimat-kalimat tersebut menceritakan
secara kronologis keberadaan pesawat F-16 mulai dari tahun
perencanaan, produksi, dan penggunaannya hingga kini. Berdasarkan
informasi yang dikembangkan identifikasi pesawat ini mengarah kepada
penguatan informasi pada story sebelumnya di mana telah dinyatakan
bahwa pesawat F-16 yang telah menabrak pesawat Cessna. Dapat
diinterpretasikan hal itu menunjukkan bingkai ‘kekuatan dan keandalan’
objek berita. Sebuah bingkai akan berhasil bila sesuai dengan pemikiran
pembaca. Peristiwa bertabrakannya pesawat militer dengan pesawat sipil
disampaikan media pada komponen story di akhir berita ini lebih
136
mengarahkan kepada pernyataan pengunggulan kekuatan sekaligus
menunjukkan menggantungnya informasi peristiwa insiden dalam
ketidakpastian penyebab dan tindak lanjutnya. Pada komponen ini
menggantungnya informasi terjadi karena pernyataan dalam kalimat (9
dan 10) tidak relevan dengan lead dan story sebelumnya. Pada akhir story
ini ada penonjolan informasi pesawat F-16 dibandingkan pesawat Cessna
C-150. Juga, ada implikasi yang menunjukkan pesawat F-16 lebih hebat
daripada Cessna C-150 dan mengesankan peristiwa insiden bukanlah
sebuah kesalahan. Berikut adalah wacananya.
[...] (9)Jet F-16 dirancang pada 1970 untuk Angkatan Udara AS
sebagai pilihan dari pesawat tempur yang makin berat dan tak bisa
bermanuver.(10) Sejak 1975, lebih dari 4.500 pesawat F-16 telah
diproduksi untuk 26 negara di seluruh dunia.
KESIMPULAN
Berita insiden pesawat F-16 dengan Cessna menampilkan bingkai
‘korban tewas’ dan ‘korban selamat’ yang direalisasikan dengan
penceritaan kondisi aktor insani pada subjek kalimat. Kalimat-kalimat
dalam berita merupakan jalinan proposisi yang menunjukkan sisi kognitif
awak berita dalam proses penyampaian informasi kepada pembaca. Objek
berita insani, yaitu awak pesawat menjadi prioritas pemberitaan
dibandingkan objek noninsani yang berupa pesawat. Berdasarkan
kekerapan letak posisi pernyataan dalam kalimat menunjukkan
ketidakberimbangan penonjolan objek berita noninsani yang terlibat
dalam insiden dengan lebih menampilkan pesawat F-16 daripada Cessna
C-150.
137
DAFTAR PUSTAKA
Bell, Allan. 1991. The Language of News Media. Oxford: Basil Blackwell Ltd.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan
Antarunsur. Bandung: Refika Aditama
Entman, Robert M. 1991. “Symposium Framing US Coverage of
International News: Contrast in Naratives of The KAI and Iran Air
Accidents dalam Journal of Communication, Vol. 41 No. 4
Entman, Robert M. 1993. “Framing: Toward Clarification of Fragtured
Paradigm” dalam Journal of Communication, Vol. 43 No. 4.
Ramlan, M. 1993. Paragraf Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta:
Penerbit Andi Offset
Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies: An Introductory Textbook.
Amsterdam: John Benjamins B.V.
Pan, Zhongdang dan Gerald M. Kosicki. 1993. “Framing Analysis: An
Approach to News Discourse”dalam Political Communication, Volume 10,
pp. 55-75. Stable URL: http://www.tandfonline.com/page/terms-andconditions
van Dijk, Teun A. 1988. News as Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates Publishers
Sumber data:
www.antaranews.com . Rabu, 8 Juli 2015. “Dua Tewas dalam Tabrakan
Pesawat F-16 dengan Pesawat Sipil” . Diedit oleh Fitri Supratiwi. Diakses
pada tanggal 11 April 2018
138
HASIL DISKUSI SEMINAR
Penanya: Azisda (UNJ Jakarta)
Pertanyaan: 1) Apakah ada pengaruh ideologi surat kabar tersebut dengan
penulisan beritanya?; 2) Bagaimana kesinambungan topik yang terjadi
dalam pemberitaan insiden tersebut?
Jawaban:
1) Ideologi surat kabar memang akan menentukan pemberitaan
selain kognisi atau skema mental sebagaimana dalam
penyampaian hasil penelitian ini. Ideologi media berpotensi
mempengaruhi. Di sini saya melihat fakta mengenai insiden itu
lebih mengarah kepada peliput berita apakah melihat secara
langsung atau hanya menerima informasi dari sumber berita
media lain. Seperti pada data yang saya pergunakan ini berita
berasal dari kantor berita asing. Dan, ketika disiarkan kembali
pasti juga sudah diterjemahkan juga oleh pihak media penerima
berita. Jadi, perunutan ideologi cukup rumit di sini karena sudah
berada di pihak pemberita kedua.
2) Kesinambungan topik jika diperhatikan dari sekuen informasi
tersambung dengan bercabang-cabang. Maksud saya, tidak lurus
menceritakan satu hal saja tetapi muncul hal-hal lain yang
menyisip untuk (seakan) melengkapi informasi utama yang
hendak disampaikan.
Penanya: Bayu Aryanto (Mahasiswa S-3 IIH UGM)
Pertanyaan: 3) Apakah berita insiden ini memiliki kekhasan tersendiri
dalam suatu wacana berita?
3) Pemberitaan mengenai insiden ini disampaikan dalam strategi
yang menarik untuk dicermati lebih lanjut sebelum bisa dikatakan
sebagai berita yang khas terutama dalam peristiwa insiden yang
melibatkan alutsista. Misalnya, dari media pemberitanya yang
beragam bukan hanya dari media resmi. Dari situ nanti dapat
dilihat keberagaman dan karakteristik pemberitaannya
dibandingkan dengan topik-topik berita yang lain.
139
PENERJEMAHAN KESANTUNAN POSITIF TINDAK TUTUR
DIREKTIF PADA NOVEL DECEPTION POINT
Ayu Karomah
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: ayukaromah@gmail.com
A B ST R A K
Kesantunan adalah hal yang menarik untuk dikaji dai segi penerjemahan
karena hal tersebut berkaitan dengan transmisi budaya. Penelitian ini
bertujuan untuk meneliti bagaimana kesantunan positif tidak tutur
direktif diterjemahkan dari novel berbahasa Inggris yang berjudul
Deception Point ke dalam terjemahannya bahasa Indonesia dengan
berjudul Titik Muslihat. Penelitian ini menerapkan teori dari Brown dan
Levinson untuk menentukan strategi kesantunan positif. Selain iitu
teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir juga
digunakan untuk mengetahui bagaimana langkah penerjemah
menerjemahkan kesantunan tersebut. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Hasil dari analisis dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa penerjemahan kesantunan positif
ada yang mengalami pergesaan dan ada pula yang tidak. Pergeseran
terjadi dari strategi kesantunan positif menjadi strategi kesantuan lugas
atau bald on record.
Kata Kunci: Penerjemahan Kesantunan, Kesantunan Positif, Deception
Point
PENGANTAR
Penerjemahan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengalihkan pesan dari teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa)
(Larson, 1984: 2). Dalam proses pengalihan pesan tersebut, faktor budaya
baik dari budaya teks sumber maupun budaya teks sasaran selalu memiliki
pengaruh. Dalam hal ini penguasaan penerjemah akan bagaimana
penggunaan kedua bahasa tersebut menjadi faktor yang penting untuk
dipertimbangkan demi tercapainya kesepadanan makna. Salah satu unsur
budaya yang tercermin nyata dalam proses penerjemahan adalah
140
mengenai strategi kesantunan. Setiap masyarakat bahasa memiliki sistem
kesantunan masing-masing.
Kesantunan sendiri merupakan sebuah gejala budaya yang
berkembang pada masyarakat. House mengungkapkan bahwa “ ..
politeness is a sociocultural phenomenon, roughly to be defined as
showing, or appearing to show, consideration of others. Politeness can
thus be seen as one of the basic social guidelines for human interaction
(dalam Hickey, 1998: 54). Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan
bahwa kesantunan menjadi salah satu norma sosial yang menjadi
pedoman manusia dalam berinteraksi terhadap sesama.
Di samping itu, Brown dan Levinson mengungkapkan bahwa
kesantunan merujuk pada muka atau citra diri dari setiap orang yang
mana terdiri dari muka negatif dan juga muka positif. Muka negatif
menunjukkan bahwa setiap orang menginginkan kebebasan bertindak.
Sementara muka positif merupakan keinginan dari setiap individu untuk
diterima dan dihargai oleh orang lain (1987: 61). Dalam penggunaan
bahasa, terdapat tuturan yang secara alamiah dapat mengancam citra diri
atau muka yang menurut Brown dan Levinson disebut dengan Face
Threatening Act (FTA) atau tindakan yang dapat mengancam muka (Nadar:
29: 32). Faktor lain yang dapat mempengaruhi ancam muka adalah dari
segi sosial seperti krkuasaan, jarak sosial, dan juga tingkat pembebanan
(Brown dan Levinson, 1987: 74). Agar tuturan tersebut tidak mengancam
muka, maka diperlukan strategi kesantunan berbahasa seperti
kesantunan positif, kesantunan negatif, on record dan off record.
Kajian mengenai penerjemahan, kemudian menjadi hal yang
menarik untuk di kaji. Kesantunan yang merupakan bagian dari budaya
yang melekat pada bahasa. Saat hal tesebut diterjemahkan ke dalam
bahasa dengan budaya yang berbeda, apakah tingkat kesepadanan pesan
atau informasinya sama atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Selvina
(2016), Valensia (2014, dan Fitriana (2014) menunjukkan bahwa hasil
penerjemahan kesantunan dengan teknik-teknik penerjemahan yang
dilakukan memiliki tingkat keakuratan yang bervariasi dari akurat, kurang
akurat sampai tidak akurat. Sementara itu Alvarez (2014) dalam
penelitiannya menemukan adanya pergeseran strategi kesantunan positif
menjadi negatif dan memiliki tingkat keakuratan pragmatik yang cukup
berterima.
141
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
kesantunan tuturan yang bersifat direktif dalam novel Deception Point di
terjemahkan. Namun srategi kesantunan hanya terbaas pada kesantunan
positif. Novel Deception Point merupakan novel berbahasa Inggris yang
ditulis oleh Dan Brown yang berkebangsaan Amerika. Semantara itu, novel
versi terjemahannya dipilih dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan
oleh IKAPI dengan judul Titik Muslihat. Kesantunan dalam hal tindak tutur
dipilih sebagai objek kalian dikarenakan tuturan tersebut dapat
mengancam citra diri seseorang. Menurut Parker dan Riley, tidak tutur
direktif merupakan sebuah tuturan yang digunakan agar pendengar
(hearer) melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pembicara (speaker)
(2014: 32). Dengan kata lain, ketika seseorang ingin orang lain melakukan
sesuatu, maka dia harus menyampaikannya dengan santun agar tidak
merugikan orang lain dari segi citra diri.
Untuk meneliti lebih lanjut bagaimana kesantunan dalam teks
sumber diterjemahkan ke dalam teks sasaran, teknik penerjemahan di
terapkan dalam penelitian ini. Menuurt Molina dan Albir (2002), teknik
penerjemahan merupakan suatu prosedur yang dilakukan oleh
penerjemahan untuk mencapai kesepadanan. Dengan mengetahui teknik
yang diterapkan, dapat diketahui pula implikasi yang terjadi pada
penerjemahan—apakah penerjemah cenederung menikuti budaya teks
sumber atau teks sasaran.
PEMBAHASAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana
kesantunan positif tuturan direktif diterjemahkan dari novel deception
point berbahasa inggris ke dalam terjemahannya dalam bahasa indonesia.
untuk itu, dalam pembahasan ini di kategorikan berdasarkan hasil yang
ditemukan setelah membandingkan antara teks asli dengan terjemahan.
Kesantunan Positif Kesantunan Positif
Setelah membandingkan antara kesantunan positif dalam novel
asli dengan novel pada bahasa sasaran, hasil terjemahan menunjukkan
bahwa strategi kesantunan masih sama antara keduanya meski terdapat
penyesuaian-penyesuain dari segi peristilahan.
Ajakan
data (1)
142
Tsu
:.......... Corky said, taking the meteorite sample from Rachel
“Let’s imagine this little fella is the size of a house.” [42]
Tsa: :........... Corky sambil mengambil meteorit yang sedang
dipegang Rachel. "Mari bayangkan kawan kecil kita ini dalam
ukuran sebesar rumah." [112]
Situasi yang terjadi dalam data (1) adalah ketika Corky sangat
antusias ingin menunjukkan sampel meterorit kepada Rachel. Disini,
Corky menerapkan strategi kesantunan positif yang di tandai dengan
adanya pemarkah “let’s” sebagai identitas kelompok atau grup. Dalam hal
ini Corky meminta Rachel untuk turut serta melakukan sesuatu yang dia
inginkan namun dengan tidak mengancam citra diri Rachel sebagai
pendengar. Selain itu, dari segi faktor sosial, antara Corky dan Rachel tidak
terdapat jarak sosial yang jauh dan dari segi kekuasaan keduanya samasama bekerja di NASA atas arahan sang presiden.
Sementara itu, dalam teks sasaran, penerjemah menerapkan
teknik terjemahan harfiah unutuk menerjemahakan tuturan Coky kepada
Rachel. Penanda kesantunan positif “let’s” diterjemahkan menjadi kata
“mari”. Dengan menggunakan teknik tersebut, strategi kesantuntan
tuturan direktif antara teks sumber dan teks sasaran tidak mengalami
perubahan apapun. bentuk kalimat dalam tuturan Corky masih tergolong
sederhana sehingga teknik penerjemahan literal atau harfiah masih sesuai
digunakan—makna dari Tsu dapat tersampaikan dengan baik ke dalam
Tsa.
Memberi Saran
Data (2)
Tsu
:“Give it some time to sink in,” Tolland said, grinning. “Took
me twenty-four hours to get my feet back under me.” [DP: 48)
Tsa
: "Beri dirimu waktu untuk mencernanya," kata Tolland
sambil tersenyum. "Aku sendiri butuh 24 jam untuk
menenangkan diri." [TM: 132]
Kesantunan positif yang tertuang dalam tuturan direktif dapat
dilihat dari ujaran pemberian saran atau suggestion dari penutur kepada
lawan tutur. Dalam tuturan yang terdapat dalam data (2), konteks situasi
menunjukkan Tolland memberi saran kepada Rachel terhadap keadaanya
yang kaget sekaligus kagum mengenai penemuan meteorit di ruang kerja
NASA. Tolland yang baru saja bertemu dengan Rachel memberi saran
kepadanya untuk dapat menerima penemuan mencengankan tersebut.
143
Dalam hal ini, Tolland menggunakan strategi kesantunan positif
dengan mencoba untuk berempati kepada Rachel dan juga menjelaskan
situasi yang sama tejadi padanya. Kesantunan positif yang ada pada teks
sumber masih diterjemahkan menjadi kesantuan positif juga dalam teks
sasaran. Namun teknik yang digunakan untuk menerjemahkan
kesantunan tersebut menggunakan teknik amplifikasi linguistik,
transposisi, dan juga adaptasi.
Teknik amplifikasi linguistik digunakan untuk menegaskan atau
mengeskplisitkan informasi yang dalam bahasa sumbe tidak disebutkan.
Hal tersebut dapat dilihat dari penerjemahan klausa “Give it some time to
sink in,” dalam teks sumber tidak terdapat kata “you” yang berati kamu
namun, dalam teks sasaran ditambahkan kata “dirimu” hingga menjadi
“beri dirimu waktu untuk mencernanya ...”. Sementara, teknik tansposisi
digunakan dalam menerjemahkan klausa “Took me twenty-four hours ..........”
Dalam teks tersebut digunakan struktur pasif yang ditandai dengan kata
“took me” kemudian dalam bahasa sasaran menjadi struktur aktif yakni
"Aku sendiri butuh 24 ....”. Terakhir, untuk teknik adaptasi di pakai untuk
menerjemahkan frasa “to get my feet back under me” menjadi “untuk
dapat menenangkan diri”.
Dari teknik-teknik yang digunakan oleh penerjemah, dalam hal ini
penerjemah berupaya untuk dapat menyampaikan pesan dari teks sumber
secara akurat ke dalam teks sasaran. Meskipun tidak ada perubahan
strategi kesantunan dari teks sumber ke dalam teks sasaran, namun
informasi yang di maskud dapat tersampaikan dengan baik dengan
melakukan pendekatan melakukan adaptasi
budaya
dalam
menerjemahkan makna idiomatis dari bahasa sumber.
Permintaan
Data (3)
Tsu :“Mike,” Corky said, looking uneasy, “please tell me you know
what that is.” [DP:70]
Tsa :”Mike” kata Corky dengan nada tidak tenang, "tolong katakan
padaku, kau tahu apa itu." [TM: 188]
Dalam data diatas, kesantunan positif ditujukan agar seseorang
melakukan sesuatu namun dengan tidak memaksa atau mengancam muka
si lawan tutur secara langsung. Situasi dalam data (3) menunjukkan bahwa
Corky meminta Tolland untuk menjelaskan apa yang dia ketahui tentang
perpendaran cahaya yang muncul diantara bongkahan es seperti Plankton.
144
Kemudian, Corky dengan sopan meminta Tolland untuk menjelaskan
penyebab mengapa hal tersebut terjadi.
Penanda kesantunan positif yang terdapat dalam data di atas
ditunjukkan dengan adanya kata “please”. Kata tersebut digunakan untuk
memperhalus tuturan permintaan kepada orang lain dan untuk
menghilangkan kesan memaksa. Teknik untuk menerjemahkan
kesantunan positif yang digunakan penerjemah adalah teknik literal,
dimana kata “please” diterjemahkan menjadi “tolong” sesuai dengan
konteks yang ada pada tuturan tersebut. Dengan teknik tersebut, tidak ada
perubahan stategi kesantuanan antara teks sumber dengan teks sasaran.
Kesantunan Positif Kesantunan Bald On Record
Perbedaan antara kesantuanan positif dengan kesantunan lugas
atau bald on record adalah dari segi upaya penyelamatan muka lawan
tutur. Strategi kesantunan bald on record dilakukan ketika si pembicara
atau penutur memutuskan untuk langsung mengatakan apa yang ingin
dilakukan oleh pendengar atau mitra tutur tanpa adanya upaya
penyelamatan muka.Sementara kesantunan positif digunakan untuk
menyelamatkan muka lawan tutur.
Ajakan
Data (4)
Tsu
“We should probably head over,” he said, motioning
toward the center of the habisphere. “They should be
getting close.” [DP: 51]
Tsa
: "Kita harus bergegas," katanya sambil menunjuk ke
arah tengah-tengah habisphere. "Mereka pasti sudah
bersiap-siap." [TM: 139]
Dalam data diatas, tuturan tersebut tejadi dalam konteks ketika
Tolland memberikan saran kepada rekan kerjanya yaitu Dr, Mangor,
Rachel, dan Corky. Corky dan Dr, Mangor telihat mempermasalahkan
kehidupan pribadi Rachel yang merupakan anak senato yang menjadi
lawan presiden dimana Corky dan Dr. Mangor adalah orang yang dorekrut
oleh presiden Henrey. Untuk mengatasi masalah yang terjadi, kemudian
Tolland menyela dengan mengajak mereka semua menuju ke Hebisphere.
Dalam teks sumber, kaakter Tolland menggunakan strategi
kesantunan postif dengan menggunakan ajakan yang halus. Hal tersebut
terlihat dari adanya penggunaan modalitas “should probably ....” yang
menghadirkan makna tidak memaksa. Sementara dalam teks sasaran,
145
kesantunan positif tersebut diterjemahkan menjadi strategi kesantunan
lugas atau bald on record. Hal tersebut di buktikan dengan adanya kata
“harus” yang menghadirkan kesan memakna dari segi semantis. Untuk
teknik penerjemahan yang digunakan disini menggunakan teknik
amplifikasi linguistik dengan mengimplisitkan informasi dari bahasa
sumber.
Memberi Saran
data (5)
Tsu: Corky chided. “Let’s leave the science to the scientists, shall we?”
[44]
Tsa: Corky menyergah. "Biarkan ilmu pengetahuan dijelaskan oleh
ilmuwan yang sesungguhnya, ya?" [118]
Dalam data (5), situasi menunjukkan bahwa Corky sedang
menggurau kepada Tolland dengan memberi saran untuk tidak terlalu
seirus mengurusi apa yang hal yang sedang di kerjakan. Dalam teks
sumber, karakter Corky menggunakan strategi kesantunan positif namun
dalam teks sasaran strategi berubah menjadi kesantunan bald on record
atau kesantunan lugas.Dalam hal ini teknik penerjemahan yang digunakan
adalah teknik reduksi dengan menghilangkan pemarkah “let’s” yang
menjadi penanda kesantunan positif. Namun dari segi makna, tidak ada
distorsi yang terjadi.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi kesantunan yang
digunakan oleh tokoh-tokoh dalam novel Deception Point dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia ada yang mengalami pergeseran
dan ada pula yang tidak mengalami beberapa pergeseran. Pergeseran
tersebut terlihat dari adanya perubahan strategi kesantuna positif menjadi
bald on record dimana penerjemah menerapkan teknik reduksi. Disisi lain,
terdapat pula strategi kesantunan yang sama, baik anatara teks sumber
dengan teks sasaran, meskipun teknik penerjemahan yang dipakai
beragam seperti penerjemahan literal, transposisi, dan adaptasi. Dalam hal
ini, penerjemah dalam menerapkan teknik penerjemahan tidak banyak
merubah tindak ilokusionari dari tindak tutur yang terdapat pada teks
sumber.
146
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Dan. 2001. Deception Point. New York: Pocket Book Simonsays
Inc.
Brown, Dan. 2006. Deception Point (Titik Muslihat) (diterjemahkan oleh
Isma B. Koesalamwardi dan hendry M. Tanaja. Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta.
Brown, P. amd Levinson, S. 1987. Politeness: Some Universals in Language
Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Hickey, Leo. 1998. The Pragmatics of Translation. Philadelphia:
Multilingual.
Larson, Mildred L. 1984. Meaning Based Translation. New York: University
Press of America, Inc.
Molina, R and H. Albir. 2001. Translation Technique: A Dynamic ad
Functionalist Aproach. meta Journal des Traducteurs/Meta:
Translation’s Journal. 47 (4) 498-512.
Molina, R and H. Albir. 2001. Translation Technique: A Dynamic ad
Functionalist Aproach. meta Journal des Traducteurs/Meta:
Translation’s Journal. 47 (4) 498-512.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Parker, Frank and Kathrin Riley. 2014. Linguistics for Non-Linguists: A
Primer with Exercis 5 Editition. Singapore: Pearson Education South
Asia Pte Ltd.
Valensia, Ariana. 2014. “Analisis Strategi Kesantunan Tindak Tutur
Permintaan dalam N ovel Breaking Dawn dan terjemahannya Awal
yang baru”. Surakarta Universitas Sebelas Maret.
Fitriana, Irta. 2014. “Analisis Teknik dan Kualitas Terjemahan Tindak
Tutur Ekspresifdalam Novel Stealing Home (Hati yang Terenggut)
karya Sherryl Woods. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Silviana, Anita. 2016. “Kajian Terjemahan Strategi Kesantunan Tuturan
Desakan dalam Tiga Seri Novel Twilight Karya Stevanie Meyer.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
147
Alvarez, Mira. 2014. “The Translation of Negative Politeness in Gracia
Marquez’s Cien Años De Soledad. Forma y Función, vol. 27, núm. 1,
enero-junio, 2014, pp. 109-126
Hasil Diskusi Seminar
Bayu Aryanto:
1. 1.
Apakah tindak tutur direktif hanya mengancam muka
positif pembicara saja?
Jawaban:
Tidak, tuturan direktif juga bisa mengancam muka negatif lawan bicara.
Muka negatif adalah keinginan untuk tidak di bebani. Jadi dalam hal ini,
tindak tutur direktif dapat mengancam muka negatif. Misal, dalam tuturan
memerintah atau meminta termasuk hal yang dapat mengancam muka
negatif lawan bicara. Dalam hal ini, lawan bicara akan merasa terbebani
jika langsung mengungkapkan tuturan direktif tersebut, sehingga sebagai
upaya penyelamatan muka di gunakan stategi kesantunan negatif dengan
cara mminta dengan tidak langsung atau dengan strategi lainnya.
Kamalatul Hafidzoh
1. 2.
Bagaimana tindakan ancam muka dapat berdampak pada
melukai perasaan lawan tutur?
Konsep muka menurut Brown and Levinson merujuk pada citra diri dari
pembicara atau lawan tutur. Disini perasaan juga merupakan bagian dari
citra diri, meski muka dapat menggambarkan atau mengekspresikan
ketidaknyamanan ketika terbebani orang lain, namun perasaan lawa tutur
juga merasa tidak nyaman atau terancam. Tuturan direktif seperti
perintah yang di sampaikan secaa langsung dalam situasi tertentu dapat
melukai perasaan lawan tutur seperti merasa dipermalukan atau merasa
kurang dihargai. Melukai atau tidaknya perasaan seseorang karena suatu
tuturan tergantung pada konteks situasi, dan si pembicara harus pandai
menggunakan strategi kesantunan yang tepat.
148
PENGANCAMAN MUKA PADA REALISASI TUTURAN PUJIAN
PEMBELAJAR BAHASA JEPANG
Bayu Aryanto
Universitas Gadjah Mada
bayu.aryanto@dsn.dinus.ac.id
Titin Dwi Anita
Universitas Dian Nuswantoro
ABSTRAK
Ada dua masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, 1) realisasi
tindak tutur pujian; dan 2) pengancaman muka yang muncul dalam tuturan
pujian oleh pembelajar bahasa Jepang di Universitas Dian Nuswantoro,
Semarang. Metode pengumpulan data dilakukan melaluites melengkapi
wacana dengan responden mahasiswa pembelajar bahasa Jepang di
Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Data berupa jawaban responden
terhadap empat konteks percakapan yang berbeda temanya sesuai dengan
kategorisasi tuturan pujian. Pada penelitian ini konteks tersebut difokuskan
pada hubungan atas-bawah sehingga keempat konteks tersebut
menggambarkan hubungan asimetris antarpeserta tuturnya, yaitu
hubungan mahasiswa (complimenter) dan dosen (complimentee). Salah
satu temuan penelitian ini adalah strategi pujian bersifat langsung lebih
dominan digunakan oleh mahasiswa.Hal tersebut berpotensi besar dalam
pengancaman muka mitra tuturnya. Potensi pengancaman muka tersebut
muncul karena dalam budaya Jepang, pujian terhadap superior umumnya
dilakukan dengan sangat hati-hati, mulai dari sisi pragmalinguistiknya
maupun sosiopragmatiknya. Simpulan yang diperoleh di antaranya adalah
realisasi pujian responden pada empat konteks yang diberikan berwujud
pujian langsung dan tidak langsung. Namun demikian, pujian langsung
mendominasi tuturan pujian di setiap konteks percakapan sehingga banyak
terjadi pengancaman muka terhadap mitra tutur yang berposisi sebagai
orang yang dipuji. Temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai
acuan dasar penelitian berikutnya tentang kegagalan pragmatik penutur
asing bahasa Jepang khususnya di Indonesia pada tuturan pujian bahasa
Jepang
Kata kunci: tuturan pujian, isi pujian, wujud pujian, pengancaman muka
149
PENDAHULUAN
Pujian merupakan sebuah pengakuan dan penghargaan tulus atas
kebaikan (keunggulan) terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain
(https://kbbi.web.id/puji). Holmes (via Matsuoka, 2001) memberikan
analogi tuturan pujian merupakan sebuah “pelumas sosial” yang
digunakan untuk memperoleh efek positif dalam hubungan antarindividu.
Di dalam bahasa Jepang pujian biasa disebut dengan istilah ほめ 言葉
(Homekotoba).
Di
dalam
kamus
kokugojiten
(https://www.weblio.jp/content/)pujian adalahtuturan yang digunakan
untuk menyampaikan sesuatu yang sangat mengagumkan atau sangat
bagus.Pujian digunakan untuk merayakan atau mengucapkan selamat.’
Daikuhara (1986) memberikan simpulan dalam sebuah
penelitiannya bahwa dalam bahasa Jepang, wujud verbal tuturan pujian
didominasi kelas kata sifat oleh kelas kata sifat “ii” (bagus, baik), “sugoi”
(luar biasa), “kirei” (cantik, bersih), “kawaii” (cantik). Ada juga adverbia
“yoku” (sangat), dan nomina yang diikuti “~mitai” (seperti ...) Berikut
beberapa contoh tuturan:
1. “Sono burausu ha iiwa.” (blousenya bagus ya)
2. A: (sedang bermain piano)
B: “Sugoi” (luar biasa!)
3. “Yoku dekiteiru janai.” (kamu bisa kan?)
4. “Puro gurofu mitai!” (Wah, kamu seperti pemain golf profesional!)
Apabila dikaitkan dengan teori muka Brown-Levinson (1996),
Matsuoka (2001:107) membagi fungsi tuturan pujian menjadi 3 kategori,
yaitu:
1. Pujian berperan sebagai sebuah tindak tutur afektif positif dengan
memenuhi kebutuhan/ keinginan muka positif dan untuk
meningkatkan hubungan solidaritas antarmanusia.
2. Pujian berlaku sebagai strategi kesantunan positif untuk
memitigasi tindakan pengancaman muka.
3. Pujian bisa dianggap sebagai pengancam muka itu sendiri apabila
dilihat dari keinginan pemenuhan kebutuhan muka positif penutur
terhadap mitra tutur atau kepemilikan mitra tutur.
Ada dua masalah yang hendak dijawab dalam paparan ini, yaitu (a) apa
realisasi tindak tutur pujian pembelajar bahasa Jepang dan (b) bagaimana
kemungkinan pengancaman muka yang muncul dalam tuturan pujian oleh
pembelajar bahasa Jepang.
150
Holmes (1986:496) telah mengkategorisasikan pujian menjadi
beberapa topik yaitu:
1. Kepemilikan barang (possesions compliment): Pujian ini
diungkapkan saat mengagumi sesuatu yang dimiliki oleh mitra tutur.
2. Penampilan (appearance compliment): Kalimatpujiandiungkapkan
ketikapenutur mengagumiataspenampilan berdasarkan apa yang
dikenakan oleh mitra tutur.
3. Pujian terhadap kemampuan/prestasi (ability compliment): Pujian ini
diucapkan ketika penutur mengagumi keahlian atau,prestasi yang
pernah diraih oleh mitra tutur.
4. Kepribadian atau keramahan (personality/ friendliness) Pujian
diungkapkan ketika penutur mengagumi kepribadian mitratutur atau
sikap petutur yang baik dan ramah. Pujian ini mengacu padasikap
atau kepribadian dari mitra tutur.
Yuan (2002:192) berpendapat bahwa wujud pujian dapat
dikategorisasikan ke dalam dua kelompok, yaitu formula semantikyang
tidak terikat dan formula semantik yang terikat. Formula semantik yang
tidak terikat terbagi menjadi dua kategori yaitu pujian eksplisit dan
pujian implisit. Pujian yang bersifat eksplisit secara umum diarahkan
kepada individu yang dituju secara jelas. Pujian ini disebut juga sebagai
pujian langsung. Dalam pujian implisit individu yang dituju tidak
disebutkan secara langsung dalam tuturan, namun makna pujian
diberikan secara jelas tentang suatu konteks tertentu. Dalam formula
semantik yang terikat, jika seseorang mengatakan “Baju yang bagus.
Dimanakah Anda membeli baju itu?”, maka tuturan “Dimanakah Anda
membeli baju itu?” tersebut dapat diartikan sebagai ‘penanda implisit’
wujud pujian yang disertai dengan wujud pujian secara langsung yaitu
“baju yang bagus”.
Huang dan Tseng (2014:26) membuat kategori wujud pujian tidak
langsung dibagi menjadi 14 kategori, yaitu:
1. Admiration: menunjukan rasa kagum dari penutur.
2. Assumption: ekspresi dari sebuah asumsi positif dari penutur.
3. Contras: membandingkan adanya perbedaan kualitas baik mitra tutur.
4. Evaluation: memberikan evaluasi positif terhadap terkait dengan mitra
tutur.
5. Explanation: memberikan keterangan baik terhadap sesuatu yang
terkait mitra tutur.
151
6. Joke: mengekspresikan maksud positif dari penutur dengan cara
bercanda.
7. Request: mengekspresikan sebuah permintaan terhadap mitra tutur.
8. Want Statement: mengekspresikan keinginan, harapan, ataupun
ketertarikan penutur.
9. Appreciation:
ungkapan
pengakuan
atas
kontribusi
yangtelahdilakukanolehmitra tutur.
10.
Future expectation: penutur berharap atas ketrampilan/bakat
darimitratutur.
11. Knowing: penutur memberitahukan kepercayaannya bahwa mitra
tuturdapatmelakukan pekerjaan yang menakjubkan.
12. Pleasing: penutur mendukung kinerja dari mitra tutur.
13. Reward offering: penutur menyatakan bahwa mitra tutur berhak
mendapat penghargaan.
14. Surprise: Penutur memperlihatkan keterkejutannya terhadap
kemampuan/prestasi/penampilandarimitra tutur.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Tes melengkapi wacanatertulis (written discourse completion test) digunakan sebagai teknik untuk
pengumpulan data. Ada 4 konteks berdasarkan isi pujian yang berbeda,
yaitu pujian terhadap penampilan, kepemilikan, kemapuan (ability), dan
perilaku. Responden diposisikan sebagai mahasiswa yang memuji
dosennya, sehingga hubungannya bersifat asimetris. Konteks tersebut
diberikan kepada responden mahasiswa pembelajar bahasa Jepang di
Universitas Dian Nuswantoro, Semarang dengan kriteria 1) belum pernah
pergi ke Jepang lebih dari 2 bulan; 2) sudah menyelesaikan bahasa Jepang
dasar.
Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan berdasar wujud
gramatikalnya (pujian langsung atau tak langsung, terikat atau tidak
terikat), dan dikelompokkan juga berdasar jenis pengancaman muka
(pengancaman muka positif atau negatif baik penutur maupun mitra
tuturnya)
PEMBAHASAN
Dari analisis data, diperoleh dua kategori pujian yaitu pujian tidak
terikat dan pujian terikat. Pada bagian pujian tidak terikat ditemukan
tuturan pujian yang diucapkan langsung dan tidak langsung, sedangkan
realisasi pujian terikat terdiri dari kombinasi pujian langsung dan tidak
152
langsung dengan menggunakan wujud yang berbeda. Berikut beberapa
contoh analisis.
Pujian Tidak Terikat - langsung terhadap kepemilikan barang
Konteks: Pada saat belanja di supermarket, kamu bertemu dengan
dosenmu. Dan dia mengenakan sepatu baru yang menurutmu cocok dan
bagus. Apa yang akan kamu katakan:
5) “Sensei kono kutsu wa suteki desu ne.”
‘Sepatunya sensei bagus.’
Kata “suteki” (bagus, keren) merupakan kata sifat yang dapat
dikategorikan sebagai realisasi evaluasi positif terhadap mitra tutur.
Pujian Tidak terikat - tidak langsung terhadap kepemilikan barang
6) “Watashi wa sensei no kutsu mitai wo kaitai desu.” ‘Saya ingin beli sepatu
seperti punya Bapak/Ibu.’
Pada tuturan (6) termasuk pujian, namun diucapkan secara tidak
langsung karena tidak terdapat penanda semantik positifnya. Pujian
tersebut dituturkan dengan menggunakan wujud want statement yang
dapat dilihat pada kata “kaitai” (ingin membeli). Secara tidak langsung,
penutur memberikan pujian bahwa sepatu yang dikenakan oleh mitra
tutur adalah sepatu yang bagus.
Pujian Terikat – Langsung dan Tak Langsung Berwujud Request
7a) “Sensei, kono kutsu mezurashii desu ne.” 7b) “Doko de kaimashita ka.”
‘Sepatunya unik ya Pak/Bu?”
‘Beli dimana?’
Tuturan (7a) diucapkan secara langsung oleh penutur karena adanya
wujud evaluatif yang positif yaitu “mezurashii”. Penutur mengungkapkan
kekaguman terhadap sepatu dari mitra tutur yang dinilai unik. Tuturan
(7b) dikategorikan sebagai tuturan pujian tidak langsung dengan wujud
request atau permintaan yang direalisasikan pertanyaan “Doko de
kaimashita ka”. Penutur merasa tertarik terhadap sepatu tersebut,
kemudian penutur bertanya kepada mitra tutur dan penutur berharap
akan diberitahu tentang keberadaan toko sepatu oleh mitra tutur.
Pujian Terikat –Tidak Langsung Berwujud Surprise Dan Direct
(8a) “Aa... atarashii kutsu desu ka.” (8b) “Aa... Akai iro kutsu wa totemo
subarashii desu ne.”
153
‘Wah....Apakah sepatunya baru?’
‘wah...Sepatu merah yang
sangat luar biasa. ‘
Dalam data (8a) dan (8b) muncul kata “atarashii” dan “subarashii”
yang dapat dikategorikan sebagai fitur gramatikal sebuah pujian. Pada
(8a) terdapat interjeksi “aa...” sebagai ekspresi keterkejutan yang diikuti
pertanyaan retorik “atarashii kutsu desu ka”, sedangkan data (8b) pujian
diucapkan secara langsung, karena terdapat penanda evaluatif positif
terhadap topik pujian yaitu “subarashii”.
Pengancaman muka
Dari identifikasi data, peneliti membagi lima kategori skala
pengancaman muka mulai dari ‘very low’ (potensi pengancaman muka
dinilai sangat rendah) sampai ‘very high’ (potensi pengancaman muka
sangat tinggi)di setiap konteks tuturan. Kemudian, ditemukan fakta bahwa
tuturan pujian terjadap perilaku individu menempati posisi tertinggi
pengancaman muka mitra tutur. Berikut tabel
very low
4
very low
penampilan,
4
28 data
very low
kemampuan,
29 data
4
perilaku personal, very low
2
26 data
kepemilikan,
28 data
low
10
low
8
low
2
low
3
medium
4
middle
1
middle
6
middle
0
high
2
high
5
high
5
high
3
very high
8
very high
10
very high
12
very high
18
Berikut beberapa contoh data tuturan dengan konteks pujian
kepemilikan dan pujian penampilan.Konteks: Pada saat belanja di
supermarket, kamu bertemu dengan dosenmu. Dosen tersebut
mengenakan sepatu baru. Apa yang akan kamu katakan:
9) “Sensei, sono kutsu wa ni atte, totemo sugee.” (very high)
‘Pak, sepatu itu cocok (dengan Bapak), sangat keren.’
Tuturan (9) dikategorikan sebagai tuturan pujian dengan dua
ilokusi, yaitu pujian langsung terhadap sepatu guru “sono kutsu wa ni atte”
(sepatu itu cocok dengan Bapak), dan pujian langsung terhadap guru
“totemosugee” (sangat keren). Potensi pengancaman muka pada tuturan
154
(9) tersebut menjadi sangat mengancam muka karena ada ungkapan
‘sugee’ (keren) yang merupakan ragam sangat kasual yang biasanya
digunakan terhadap orang yang punya hubungan dekat dan tidak ada
perbedaan status hirarki.
Konteks: Ketika kamu akan pulang ke rumah, di tengah jalan kamu
bertemu dengan dosenmu dengan gaya rambut yang berbeda dari
biasanya. Apa yang akan kamu katakan
10) “Kyou wa ... aa kami kamigata wo kaetandeshita ne. Kinou yori motto
utsukushii desu.”
‘Hari ini gaya rambut (Ibu guru) berubah ya. Lebih cantik dari kemarin.’
Tuturan (10) termasuk ke dalam tuturan pujian terikat tidak
langsung “aa kami kamigata wo kaetandeshita ne” (Hari ini gaya rambut
(Ibu guru) berubah ya) dan langsung “Kinou yori motto utsukushii desu”
(Lebih cantik dari kemarin). Tuturan (10) dikategorikan ke dalam
berpotensi tinggi mengancam muka mitra tutur karena pada tuturan
pujian langsungnya bermakna membandingkan penampilan mitra tutur
yang berstatus lebih tinggi daripada penutur.
SIMPULAN
Realisasi tuturan pujian responden beruwujud tuturan pujian tidak
terikat dan tidak terikat. Untuk pujian tidak terikat, muncul dua kategori
yaitu tuturan pujian langsung dan pujian tidak langsung. Di sisi lain,
tuturan pujian terikat, terdiri dari kombinasi tuturan pujian langsung dan
tidak langsung yang menghasilkan beberapa kategori misalnya ‘want
statement’, ‘apreciation’, dll.
Kemudian, apabila dilihat dari pengancaman muka, peneliti
memberikan lima peringkat derajat pengancaman muka mulai dari ‘very
low’ (pengancaman muka sangat rendah) hingga ‘very high’ (pengancaman
muka sangat tinggi). Responden tampak mengalami kesulitan dalam
konteks memuji perilaku mitra tuturnya. Hal tersebut terlihat dari data
bahwa intensitas tertinggi tuturan yang berkategori pengancaman muka
sangat tinggi, muncul pada konteks pujian terhadap perilaku/ sifat mitra
tutur. Tuturan pujian yang masuk ke dalam kategori ‘very high’ dapat
dikategorikan ke dalam dua kelompok penyebab, yaitu kesalahan
gramatikal dan kegagalan sosiopragmatik. Meskipun demikian, kesalahan
155
gramatikal pada akhirnya berpeluang munculnya kegagalan pragmatik
tuturan responden.
Diharapkan pada penelitian berikutnya dapat dicari lebih
komprehensif terhadap faktor penyebab munculnya kesalahan gramatikal
dan kegagalan pragmatik (pragmatic failure) tuturan pujian bahasa Jepang
oleh penutur asing, terutama orang Indonesia.
PUSTAKA
Brown, Penelope; Levinson Stephen C. 1996. Politeness Some Universals
in Language Usage. USA: Cambridge University Press.
Daikuhara, Midori. 1986. A Study of Compliments Fom a Cross-Cultural
Perspective: Japanese vs. American English. Working papers in
Educational Linguistics. Vol 2 No 2, pp. 103-133.
Holmes, Janet. 1986. “Compliments and Compliment Responses in New
ZealandEnglish” dalam: Anthropological Linguistics, Vol. 28, No. 4
(Winter, 1986), pp. 485-508. Indiana: The Trustees of Indiana
University on behalf ofAnthropological Linguistics.
Huang, Yi-Chi,dan Ming-Yu Tseng. (2014). Compliment Paying Wujudes
InTaiwan Mandarin: The Role Of Interlocutor’s Status. Master Thesis.
Tidakditerbitkan. National Sun Yat-sen University.
Matsuoka, Rieko. 2001. Gender Effect on Compliment Exchange. Kanagawa
University Studies in Language 24, pp. 105-121.
Yuan, Yi. (2002). Compliments andCompliment Responses In Kunming
Chinese. Journal of International Pragmatics Association.
Pragmatics 12:2.183-226
KBBI online https://kbbi.web.id/puji
Kokugojiten on linehttps://www.weblio.jp/content/
156
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Prof. Putu Wijana (Ketua Progdi Magister Linguistik UGM)
Dalam peneilitian terkait tuturan pujian perlu juga mempertimbangkan
sincerity condition, yaitu sikap kejujuran dari penutur.
Tanggapan:
Sincerity condition memang sangat diperlukan dalam penelitian tindak
tutur, termasuk tuturan pujian. Hal ini bisa dimaklumi karena bisa saja
penutur punya motivasi lain saat menuturkan pujian, misalnya untuk
mengkritik atau bahkan menghina. Untuk menghindari motif-motif lain
tersebut, maka penelitian ini menggunakan tes melengkapi wacana-tulis
sehingga sincerity condition-nya dianggap sebagai pujian yang bermotif
memberikan penilaian baik terhadap mitra tutur.
2. Sdr. Zaki (Progdi Magister Linguistik UGM):
a. Apakah dalam budaya Jepang ada cara untuk memuji orang yang lebih
superior (lebih tua, atasan)?
b. Kalau ada, bagimana cara atau realisasinya?
Tanggapan:
Dalam budaya Jepang, memuji orang yang lebih superior (orang yang lebih
tua, atasan, guru/ dosen) itu ada strateginya. Orang Jepang lebih sering
menggunakan pujian tidak langsung dengan menempatkan penutur
sebagai subjeknya. Contoh: ketika seorang mahasiswa ingin memberikan
pujian terhadap cara pengajaran dosennya yang menarik, dalam budaya
Jepang, mahasiswa tersebut umumnya menggukanan tuturan “Sensei,
watashi ha kyou hontouni benkyou nin narimashita” (Pak/ Bu, hari ini saya
banyak belajar (dari kuliah Bapak/ Ibu dosen). Dengan demikian, secara
eksplisit tidak muncul pujian terhadap dosen, malah sebaliknya,
penuturlah yang dijadikan topik tuturannya.
157
STUDI TERJEMAHAN TENTANG KATA GANTI ORANG “SHE”
DALAM TERJEMAHAN BAHASA MANDARIN ALICE’S
ADVENTURES IN WONDERLAND
Dai Wenhui
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: 365499392@qq.com
A B S T R A K
Kebanyakan komunitas linguistik selalu mementingkan studi kata
ganti orang, dan menjadikan studi kata ganti orang menjadi salah satu isu
penelitian. Frekuensi penggunaan kata ganti orang dalam bahasa Inggris
asli jauh lebih tinggi daripada bahasa Mandarin asli. Alasan utama untuk
perbedaan sistematis antara kata ganti orang bahasa Inggris dan bahasa
Mandarin adalah bahwa bahasa Inggris dan bahasa Mandarin memiliki
metode koneksi yang berbeda untuk mencapai kelancaran dan koherensi
dalam teks masing-masing. Data dalam penelitian ini adalah kata ganti
orang “she” yang mengandung “she” dalam teks sumber dan terjemahanya
dengan bahasa Mandarin. Data dikumpulkan dengan mencari kalimat
yang ada kata ganti orang “she” dalam teks sumber dan mencari
terjemahan “she” yang sesuai dalam teks sasarannya. Makalah ini akan
menggunakan metode deskriptif dan metode komparatif untuk
menjelaskan bagaimana kata ganti orang “she” diterjemahkan dalam
terjemahannya dengan bahasa Mandarin dari teks sumber bahasa Inggris
Alice’s Adventures in Wonderland. Makalah ini terutama fokus pada tiga
kategori konversi yang ketika kata ganti orang bahasa Inggris
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin untuk mendeskriptif dan
menjelaskan mengapa kata ganti orang “she” bisa diterjemahkan begitu di
dalam terjemahan bahsa Mandarin, yaitu korespondensi, penghilangan
dan substitusi.
Kata kunci: kata ganti orang, “she”, terjemahan
158
PENDAHULUAN
Kata ganti orang adalah komponen bahasa yang penting dalam
komunikasi bahasa, dan mereka memiliki peran yang tidak bisa diganti
dengan komponen bahasa lain. Kata ganti orang dalam bahasa Inggris dan
bahasa Mandarin memiliki persamaan, juga ada banyak perbedaan.
Hypotaxis dan parataxis termasuk fenomena linguistik yang sangat
penting dalam kategori linguistik, fenomena linguistik ini berada secara
luas antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Bahasa Inggris adalah
bahasa hypotaxis, sedangkan bahasa Mandarin adalah bahasa parataxis,
setahu kita, bahasa Inggris sering menggunakan kata fungsional tata
bahasa untuk menekankan bentuk kalimat, seperti konjungsi, pronomina,
sedangkan bahasa Mandarin cenderung arti kalimatnya. Kata ganti orang
"she" adalah kata yang sering digunakan dalam bahasa Inggris, sehingga
kita dapat menggunakan kata ganti khas "she" untuk mengenal bahwa
bagaimana kata ganti orang Inggris diterjemahkan dalam terjemahan yang
dengan bahasa Mandarin.
Terjemahan kata ganti orang ketiga dalam bahasa Inggris telah
menarik banyak perhatian sarjana dalam beberapa tahun terakhir. Akan
tetapi, beberapa penelitian sebelumnya hanya fokus pada deskripsi
perbedaan antara kata ganti orang Inggris dan Mandarin, atau
menunjukan bahwa harus sedapat mungkin diulang nomina ketika kata
ganti orang ketiga dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa
Mandarin, dan tidak menggabungkan terjemahan khusus untuk
menjelaskan rasionalisasi dan kebutuhan dalam metode pelaksanaan ini.
Misalnya, ① Makalah ini dari aspek anafora dan katafora untuk
membahas perbedaan fungsi anatra kata ganti orang Inggris dan kata ganti
orang Mandarin dalam wacana (Zhaohong, 2002). ②Artikel ini
mempelajari beberapa perbedaan dalam kata ganti orang ketiga antara
terjemahan bahasa Inggris dan terjemahan bahasa Mandarin (Zhouxia,
2010). ③Dari perspektif fungsi kognitif, penelitian ini menganalisis
fenomena kata ganti orang ketiga yang disebut dalam teks naratif bahasa
Inggris dan Mandarin dengan komparatif (Gaojun, 2008). Penelitian kali
ini akan mengambil kata ganti orang khas “she” sebagai objek untuk rinci
menjelaskan bahwa mengapa dapat diterjemahkan dengan bentuk
korespondensi, penghilangan dan substitusi dalam bahasa Mandarin.
159
Teks Alice’s Adventures in Wonderland fokus pada Alice, teks ini
terutama menjelaskan bahwa seorang gadis muda tertidur di rumput dan
bermimpi bahwa dia akan mengikuti kelinci putih dan jatuh ke lubang
kelinci. Dia memiliki banyak petualangan yang aneh. Dalam teks Alice’s
Adventures in Wonderland ada banyak kata ganti orang “she”, sehingga
dapat sebagai kasus yang baik untuk meneliti bahwa bagaimana
diterjemahkan dalam terjemahan bahasa Mandarin, penelitian ini akan
memilih beberapa contoh khas untuk meneliti dan menjelaskan metode
penerjemahannya.
Rumusan Masalah
Bagaimana kata ganti orang “she”
terjemahannya dengan bahasa Mandarin?
diterjemahkan
dalam
LANDASAN TEORI
Terjemahan
"Terjemahan berarti membuat pembaca paham dan pemahaman."
(Traduire, c’est comprendre et faire comprender). Pemahaman di sini
termasuk perilaku dan proses pemahaman penerjemah pada teks asli,
"membuat pembaca paham" merujukan perilaku dan proses yang
diekspresikan oleh penerjemah. Meskipun keduanya fokus arah yang
beda, masih berinteraksi dan berpengaruh satu sama lain. Oleh karena itu,
mengeksplorasi makna "pemahaman" dan " membuat pembaca paham "
telah menjadi konten utama dari proses penerjemahan sastra. Dalam
penelitian ini berarti kata ganti orang “she” dan terjemahannya harus
dipahami oleh penerjemah serta penerjemah harus menerjemahkan “she”
dengan jelas sehingga pembaca jelas mengerti terjemahan dan alasannya.
Terjemahan mengacu pada menggunakan bahasa kesetaraan yang
paling dekat dan alami untuk mengekspresikan informasi bahasa sumber
dari aspek semantik dan gayanya dalam bahasa sasaran, yaitu kesetaraan
fungsional dan kesetaraan dinamis (Nida, Amerika, 1964:192).
Terjemahan adalah proses komunikasi dan alat komunikasi antara dua
bahasa masyarakat, tujuannya adalah mempromosikan kemajuan politik,
ekonomi dan budaya. Tugasnya adalah ditransfer dengan tanpa mengubah
artinya dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam penelitian ini berarti
160
menerjemahkan kata ganti orang “she” secara kesetaraan dengan tanpa
mengubah artinya dari satu bahasa ke bahasa lainnya.
Penerjemahan adalah proses yang mengganti kata-kata dari suatu
bahasa (Bsu) ke bahasa lain (BSa) ( Catford, 1965:1). Dalam penelitian ini
seperti kata ganti orang “she” diterjemahkan sebagai “ta” dalam bahasa
Mandarin.
Pronomina
Pronomina merujuk pada kata benda yang mewakili seseorang
sering bisa diganti dengan kata yang tertentu (Chaer, 1998: 91). Dalam
penelitian ini “ziji ” mewakili kata ganti orang “ta” dalam bahasa
Mandarin.
Pronomina persona adalah pronomina yang dapat dipakai unuk
mengacu pada orang (Alwi, dkk., 2003: 249). Dalam penelitian ini kata
ganti orang “she” mengacu pada Alice.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis bahwa kata
ganti orang “she” bagaimana diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa
Mandarin, yaitu menganalisis dan menjelaskan metode dan strategi
penerjemahannya.
Sumber data diperoleh dari buku sastra bahasa Inggris Alice’s
Adventures in Wonderland dan buku sastra bahasa Mandarin Alisi mengyou
xianjing, sumber data digunakan untuk mencari data yang dibutuhkan
dalam penelitian. Data dalam penelitian ini adalah kata ganti orang “she”
yang mengandung “she” dalam teks sumber dan terjemahanya dengan
bahasa Mandarin.
Teknik pengumpulan data adalah mencari kalimat yang ada kata ganti
orang “she” dalam teks sumber dan mencari terjemahan “she” yang sesuai
dalam teks sasarannya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif dan komparatif. Makalah ini akan merangkum dan
menjelaskan kata ganti orang “she” bagaimana diterjemahkan ke bahasa
Mandarin.
161
HASIL DAN DISKUSI
Bahasa Inggris adalah bahasa hypotaxis dan cenderung menggunakan
kata-kata fungsi gramatikal / partikel, sedangkan bahasa Mandarin adalah
bahasa parataxis yang mementingkan koherensi kontekstual dan
cenderung jarang menggunakan kata-kata fungsi gramatikal / partikel.
Oleh karena itu, bahasa Inggris cenderung menggunakan kata ganti orang,
sedangkan bahasa Mandarin cenderung jarang menggunakan kata ganti
orang. Dalam teks sumber Alice’s Adventures in Wonderland lebih banyak
menggunakan kata ganti orang ketiga daripada teks terjemahannya yang
dengan bahasa Mandarin. Apa situasi spesifiknya? Bagaimana “she”
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dalam novel Alice’s Adventures
in Wonderland?
Ketika kata ganti orang Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa
Mandarin, jenis-jenis konversi dapat dibagi menjadi tiga kategori:
korespondensi, penghilangan dan substitusi, tetapi mengapa kita bisa
menerjemahkan kata ganti orang dengan metode dan strategi seperti ini?
Kita akan membahasnya dalam contoh berikut. ( kata ganti orang “she” dan
terjemahannya ditanda dengan miring plus hitam)
①Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : Alice was beginning to get very
tired of sitting by her sister on the bank, and of having nothing to do: once
or twice she had peeped into the book her sister was reading.
Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Ailisi kaozhe jiejie zuozai
heanbian henjiule, youyu meiyou shenme shiqing kezuo, ta kaishi gandao
yanjuan, ta yici youyici de qiaoqiao jiejie zhengzai du de nabenshu.
Dari contoh diatas dapat lihat bahwa kata ganti orang “she”
diterjemahkan sebagai “ta”, “ta” adalah kata ganti orang ketiga dalam
bahasa Mandarin, maka terjemahan ini secara langsung menerjemahan
kata ganti orang, tidak diganti dengan kata yang lain atau dihilangkan.
Metode yang digunakan dalam terjemahan kata ganti orang “she”
termasuk metode korespondensi. Dalam kalimat ini ada dua tokoh, yaitu
Alice dan kakaknya, tapi kakaknya tidak ada namanya, cuma ditungjukan
sebagai kakak Alice, jadi hubungan orang jelas, kalau dalam
terjemahannya secara langsung menerjemahkan kata ganti orang yang
korespondensi akan sehingga kalimat dalam terjemahannya tidak kacau,
kata ganti orang “she” sebagai nominatif dalam kalimat sumber,
menggunakan metode korespondensi sesuai dengan bentuk nominatif
162
kata ganti orang pada terjemahan, sementara mencapai foreignisasi
sehingga memelihara ekspresi teks asli dengan baik.
② Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : In another moment down went
Alice after it, never once considering how in the world she was to get out
again.
Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Ailisi ye jingenzhe tiaole jinqu,
(penghilangan) genben mei kaolv zenme zaichulai.
③ Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : The rabbit-hole went straight
on like a tunnel for some way, and then dipped suddenly down, so
suddenly that Alice had not a moment to think about stopping herself
before she found herself falling down a very deep well.
Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Zhege tuzidong kaishi xiang
zoulang, bizhide xiangqian, houlai jiu turan xiangxia le, Ailisi haimeiyou
laideji zhanzhu, ( penghilangan) jiu diaojinle yige shenjingli.
Dari contoh diatas dapat lihat bahwa metode yang digunakan dalam
terjemahan kata ganti orang “she” termasuk metode penghilangan, dalam
kalimat bahasa sumber, kata ganti “she” mengganti nama Alice, tapi dalam
kalimat terjemahannya sudah dihilangkan, dalam kalimat ini hanya ada
satu pelaku, tidak usah ulang nama atau kata ganti orangnya, Alice sebagai
pelaku dan tidak ada tokoh yang lain, maka tidak usah ulang menekankan
pelaku Alice. Kalau lebih menekankan pelaku Alice akan sehingga yang
ditunjukan tidak jelas dan kalimat menjadi rumit, bahkan tidak
memudahkan pembaca memahami artinya. Metode ini sesuai dengan
kebiasaan ekspresi bahasa Mandarin, dan menghilangkan kata yang ulang
dapat membuat terjemahan lebih sederhana dan jelas, sementara
mencapai domestikasi.
④ Bahasa sumber (bahasa Inggris) : and when she went back to the
table for it, she found she could not possibly reach it.
Bahasa sasaran ( bahasa Mandarin) : (penghilangan) zai huidao
zhuozi qian zhunbei zaina de shihou, (penghilangan) que faxian ziji yijing
goubuzhao yaoshi.
Dari contoh diatas bisa lihat bahwa dalam kalimat bahasa sumber
muncul tiga kata ganti orang “she”, tapi dalam kalimat terjemahannya
163
belum secara langsung diterjemahkan sebagai kata ganti orang ketiga,
sedangkan diganti dengan kata yang lain atau dihilangkan. “She”
diterjemahkan sebagai kata “ziji” adalah metode substitusi. Dalam kalimat
bahasa sumber terus menerus menggunakan tiga kali kata ganti orang
“she”, kalau langsung diterjemahkan ke bahasa Mandarin akan sehingga
kalimat rumit dan kacau, juga tidak sesuai dengan kebiasaan ekspresi
bahasa Mandarin, serta lebih menekankan foreignisasi akan membuat
pembaca susah paham arti terjemahan. Terus menerus menggunakan kata
ganti orang “she”, kalau “she” yang tersebut hanya merujukan satu orang,
tidak usah ulang menggunakan kata yang sama untuk menekankan kata
itu, kalau begitu terkadang akan menghingga kalimat tidak fasih. Kalau
selalu menghilangkan nama pelaku akan menjadi kaliamt tidak ada subjek,
sedangakan menggunakan metode substitusi akan menjadi ekspresi
kalimat lebih menarik dan jelas pelakunya.
KESIMPULAN
Korespondensi, penghilangan dan substitusi adalah metode dan
strategi penerjemahan pada kata ganti orang Inggris diterjemahkan ke
bahasa Mandarin. Karena bahasa Mandarin menekankan parataxis serta
arti kalimat sederhana dan jelas, sehingga jarang secara langsung
menerjemahkan kata ganti orang Inggris, dan sering diganti dengan kata
yang lain atau dihilangkan untuk membuat kalimat sesuai dengan
kebiasaan ekspresi kalimat bahasa Mandarin. Yang harus diperhatikan
adalah bahwa menghindari penggunaan kata ganti orang secara terus
menerus, kalau terus menerus menggunakan kata ganti orang akan
menyebabkan kebingungan kalimat ketika diterjemahkan ke bahasa
Mandarin. Untuk membuat terjemahan lebih dipenuhi artinya dan untuk
memudahkan pembaca memahami arti terjemahan harus mengikuti teori
domestikasi, ketika menerjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Mandarin
harus mengikuti ekspresi Mandarin, yaitu dalam terjemahan kata ganti
orang lebih disarankan menggunakan metode penghilangan dan
substitusi.
164
DAFTAR PUSTAKA
Charles Lutwidge Dodgson. 1865. Alice’s Adventures in Wonderland.
Zhang Xiaolu. 2014.3.1. Alisi mengyou xianjing.
Chen Qiujin, Richard B Baldauf. 2005. Yinghan Huyi Lilun yu Shijian.
Eugene A Nida, Charles R Taber. 2004. The theory and practice of
translation.
Nida. 1964. E. Toward a science of translating. Leiden, Netherlands: E. J. Brill.
Catford. 1965. J. A. A. Linguistic theory of translation. London: Oxford
University Press.
HallidayM.A.K.&HasanR. 1976. Cohesion in English, Longman, London.
Leech,G.& Svartvik, J. 1974. A Communicative Grammar of English,
Longman, London.
Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Alwi, Hasan, Dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa dan Balai Pustaka.
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Mengapa hilang/digantikan dengan kata lain? (Bapak Sailal)
Dalam satu kalimat kalau hanya muncul satu pelaku, tidak usah ulang
menekankan namanya atau kata ganti orangnya, ini sesuai dengan
kebiasaan ekspresi bahasa Mandarin, dari contoh di atas dapat lihat bahwa
dalam kalimat itu hanya ada satu pelaku, tidak usah ulang nama atau kata
ganti orangnya, menghilangkan kata yang ulang dapat membuat
terjemahan lebih sederhana dan jelas, sementara mencapai domestikasi.
2. Apa tujuan khusus? (Bapak Antonio)
165
Khusus untuk menjelaskan bahwa bagaimana kata ganti orang “she”
diterjemahkan dalam bahasa Mandarin. Karena bahasa Inggris adalah
bahasa hypotaxis, bahasa Mandarin adalah bahasa parataxis, jadi
penggunaan kata ganti orang sangat berbeda.
3. Dijelaskan lagi karakter pronomina “she” dalam bahasa Inggris dan
bahasa Mandarin, mengenai perbedaan penggunaannya dalam
kalimat. ( saran, Nurul Pratiwi)
166
“THE DUKUN” : PENERJEMAHAN KATA-KATA BUDAYA DALAM
NOVEL TERJEMAHAN CANTIK ITU LUKA
Dini Luthfiani
Ilmu Linguistik UGM
diniluthfiani64@gmail.com
ABSTRAK
Salah satu kendala penerjemah ialah menerjemahkan kata-kata
budaya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan budaya antara Bahasa
Sumber (Bsu) dengan Bahasa Sasaran (Bsa). Apabila keliru
menerjemahkan, makna dari Bsu dapat berubah. Kajian mengenai katakata budaya di novel Bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke Bahasa
Inggris masih terbatas. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih berfokus
pada penerjemahan novel asing. Berangkat dari sini, peneliti ingin
mengungkap bagaimana kata-kata budaya Indonesia diterjemahkan ke
dalam Bahasa Inggris. Menggunakan teori Mona dan Albir (2002),
penelitian ini akan mengupas mengenai teknik penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah beserta implikasi dalam penerjemahan. Data
penelitian diambil dari novel terjemahan Cantik itu Luka. Pengambilan
data ini dilandasi oleh banyaknya kata bermuatan budaya Indonesia yang
melekat pada novel tersebut.
Kata kunci: teknik penerjemahan, kata budaya, novel
PENDAHULUAN
Seorang penerjemah diharapkan mampu menransfer secara
akurat Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran. Catford (1964) menyatakan
bahwa terjemahan ialah “an operation performed on languages: a process
of subtituing a text in one language for a text in another.” Penerjamah
terkadang mengalami kendala saat menerjemahkan kata-kata budaya dari
Bsu ke BSa. Ini disebabkan kata-kata dalam suatu teks dapat memuat
kebudayaan khas, yang tak ditemukan dalam kebudayaan lainnya.
Contohnya: dalam kebudayaan masyarakat Jawa, dapat ditemukan istilah
batik, wayang dan wedang uwuh. Para pembaca yang bukan berasal dari
Indonesia bisa saja dibingungkan oleh makna dari istilah-istilah tersebut.
167
Kata-kata budaya dapat ditemukan dalam karya sastra, salah satu
contohnya yaitu dalam novel Cantik
itu Luka. Novel ini telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa mulai dari Jepang, Inggris, Jerman
hingga Ibrani. Novel karangan Eka Kurniawan ini meraih berbagai
perhargaan salah satunya World Readers di tahun 2016 (Detikhot).
Novel ini menceritakan tentang seorang wanita cantik bernama
Dewi Ayu yang sejak belasan tahun dipaksa menjadi pelacur di akhir masa
kolonial hingga memiliki 4 orang anak perempuan. Dewi Ayu memiliki
paras yang sangat cantik dan ini diturunkannya pada ketiga anak
perempuannya. Baginya, kecantikan ialah sebuah kutukan hingga suatu
masa ia berdoa agar keempatnya terlahir buruk rupa. Dalam novelnya, Eka
menceritakan bagaimana menyedihkannya perlakuan wanita di era pasca
kolonialisme saat tentara Jepang menduduki Indonesia.
Novel ini diterjemahkan oleh Annie Tucker, wanita berkebangsaan
Amerika Serikat yang telah lama berkecimpung dalam dunia
penerjemahan. Gelar doktor diperolehnya dengan melakukan penelitian
selama beberapa tahun di Pulau Jawa dan Bali. Kecintaannya pada budaya
Indonesia menjadi salah satu alasan Tucker menerjemahkan novel Cantik
itu Luka yang diterjemahkan menjadi Beauty is a Wound.
Penelitian ini berfokus pada kata-kata bermuatan budaya yang ada
di novel terjemahan Cantik itu Luka. Di sini peneliti ingin mengulas lebih
dalam bagaimana teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah
serta implikasinya pada penerjemahan. Data yang digunakan pada
penelitian ini ialah kata-kata bermuatan budaya yang diujarkan oleh
tokoh-tokoh dalam novel Cantik itu Luka. Teknik pengumpulan datanya
adalah membaca, menentukan, dan mencatat kata-kata yang ditemukan
dalam novel. Dalam mencari kata-kata budaya, penulis berlandaskan teori
Newmark (1998). Selanjutnya, data-data yang berhasil dikumpulkan
dianalisis mengenai teknik penerjemahannya menggunakan teori dari
Molina dan Albir (2002).
Kajian mengenai novel dengan judul Cantik itu Luka ini pernah
diteliti sebelumnya. Namun, Desfriani dkk (2013) berfokus pada bahasa
vulgar dalam novel tersebut. Hasil penelitiannya adalah terdapat 1 metode
penerjemahan komunikatif dan 2 prosedur penerjemahan yakni
tranposisi dan modulasi. Selain itu, Puspitasari dkk (2014) pun meneliti
penerjemahan kata-kata budaya dalam novel yang berjudul Botchan karya
Natsume Sasuki. Hasil penelitiannya ialah metode yang digunakan dalam
168
menerjemahkan ialah tranferensi, transposisi, modulasi, kesepadanan,
terjemahan deskriptif, terjemahan standar, dan keterangan tambahan.
Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian menggunakan teori teknik
penerjemahan dari Molina dan Albir (2012).
LANDASAN TEORI
Newmark (1988) mengelompokkan istilah budaya menjadi
beberapa kategori yaitu:
1. Ekologi yakni flora dan fauna.
2. Budaya material (artefak), meliputi makanan, pakaian dan
transportasi.
3. Budaya sosial terdiri dari pekerjaan dan kesenangan
4. Organisasi, adat, aktivitas, konsep, dan prosedur
5. Gestur dan kebiasaan
Untuk teknik penerjemahan, Molina dan Albir (2002) menyatakan
bahwa ada 18 teknik:
1. Adaptasi (adaptation) adalah teknik penerjemahan dengan
pennggantian elemen pada kata di Bahasa Sasaran dengan kata
yang sepadan di Bsa.
2. Amplikasi (amplification) adalah teknik yang memberikan
penjelasan/informasi secara mendetail terkait istilah di Bsu.
3. Peminjaman (borrowing) ialah penerjemahan yang dilakukan
dengan meminjam kata-kata dari Bahasa Sumber.
4. Kalke (Calque) adalah teknik penerjemahan kata atau frase yang
dilakukan secara harfiah.
5. Kompensasi (compensation), teknik ini menerjemahkan BSu tidak
sama seperti di BSa, namun menempatkannya di tempat yang
lain.
6. Deskripsi (description), penerjemahan ini mengubah suatu
ungkapan maupun istilah dari Bsu menjadi beberapa kata.
7. Kreasi Diskrusif (discrusive creative) ialah suatu penerjemahan
yang dilakukan dengan memilih padanan di Bsa namun keluar
dari konteksnya.
8. Padanan lazim (establish equivalence) ini menerjemahkan katakata asing secara harfiah seperti yang tertera di kamus atau
169
bahasa sehari-hari.
9. Generalisasi (generalization), teknik penerjemahaan ini memilih
ungkapan yang lebih umum pada BSa untuk BSu yang sifatnya
lebih spesifik.
10. Amplifikasi linguistik (linguistic amplification), teknik
penerjemahan menambahkan satu atau berbagai unsur linguistik
dalam BSu.
11. Kompresi
linguistik
(linguistic
compression), Teknik
penerjemahan yang dilakukan dengan mensintesa unsur-unsur
linguistik pada BSa.
12. Penerjemahan harfiah (literal translation), Teknik yang dilakukan
dengan cara menerjemahkan kata per kata.
13. Modulasi (modulation), Teknik penerjemahan yang mana ada
perubahan sudut pandnag dari Bsu ke Bsa.
14. Partikularisasi (particularizaton) ini mengubah kata umum
menjadi lebih spesifik.
15. Reduksi (reduction), teknik penerjemahan ini mengurangi kata
atau unsur yang diterjemahkan dengan alasan tidak mengubah
makna.
16. Subsitusi (subsitution), Teknik penerjemahan di mana
peenrjemah merubah unsur-unsur linguistik maupun
paralinguistik.
17. transposisi
(transposition), Teknik
penerjemahan
ini
dilaksanakan dengan cara merubah kategori dan struktur kata.
18. variasi (variation) yaitu mengganti elemen linguistik atau
paralinguistik yang berdampak pada variasi linguistik.
Ideologi Penerjemahan
Venuti (1995) mengungkapkan bahwa hasil terjemahan yang
bertujuan agar pembaca di Bahasa Sasarab mengerti serta memahami
maksud dari Bahasa Sumber dinamakan domestikasi. Hasil
terjemahannya biasanya berterima dan telah diadaptasi dengan
kebudayaan di Bsa. Sementara itu, foreignisasi ini lebih berfokus pada
budaya di Bahasa Sumber sehingga penerjemah menyuguhkan
kebudayaan Bsu pada para pembaca.
170
PEMBAHASAN
Dalam novel terjemahan Cantik Itu Luka (CIL), ditemukan 83
kata-kata yang bermuatan budaya. Teknik-teknik penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah yaitu teknik peminjaman, lazim, generalisasi,
amplikasi, harfiah dan modulasi. Berikut adalah ulasannya.
1. Teknik amplikasi
(1) Bsu : Satu-satunya kesukaan, dan merupakan hiburan untuk
hidupnya yang sepi adalah bermain jailangkung. (CIL,318)
Bsa: The sole entertainment in his lonely life was playing
jailangkung --- calling the spirits of the dead using a little
effigy doll – another skill that had been passed
down.(BIAW,329)
Berdasarkan data nomer (1), teknik penerjemahan yang
digunakan oleh penerjemah adalah amplikasi yaitu dengan menambahkan
penjelasan setelah kata budaya Jailangkung ialah salah satu permainan
tradisional Indonesia yang bersifat supranatural. Permainan ini dilakukan
untuk memanggil roh atau arwah orang yang sudah meninggal. Di Amerika
terdapat ada permainan pemanggil roh yang mirip dengan permainan ini
yaitu ouija. Meskipun terlihat mirip, namun keduanya adalah hal yang
berbeda. Keputusan penerjemah untuk menggunakan teknik aplikasi
adalah hal yang benar. Di sini terlihat penerjemah berusaha agar makna
dari Bsu tersampaikan dengan baik dalam Bsa.
2. Teknik Peminjaman
Selain teknik amplikasi, penerjemah juga menggunakan teknik
peminjaman (borrowing). Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan
meminjam kata-kata dari Bahasa Sumber. Kata-kata yang dipinjam dapat
diubah atau tidak sama sekali. Contohnya dapat ditemukan dalam data
nomer (2). Kata ‘wayang’ dan ‘buta’ sama sekali tidak diterjemahkan dan
hanya ditulis miring.
(2) Bsu: Orang-orang pribumi sering mendongenginya tentang
wayang dan buta, dan ia suka karena mereka doyan tertawa.
(CIL, 70)
171
Bsa: She liked them because they told her many fantastic tales
about wayang and buta, and they loved to laugh. (BIAW, 71)
Wayang ialah salah satu seni pertunjukkan asli Indonesia. Salah
satu tokoh dalam wayang ialah buta yang berwujud raksasa. Pembaca di
BSa mungkin mengira wayang ialah cerita fantasi komedi jika tak
mengetahui maknanya. Selain itu, kata buta sama sekali tidak
diterjemahkan. Penerjemah menganggap pembaca mengetahui maknanya
tanpa adanya penjelasan. Di sini terlihat bahwa penerjemah kurang
berupaya dalam menransfer pesan dari Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran.
Contoh selanjutnya merupakan teknik peminjaman yang sudah
mengalami naturalisasi. Di data (3) penerjemah membawa unsur budaya
Indonesia yang kental.
(3) Bsu : Ibunya mencoba mendatangi beberapa dukun dan
mereka menawarkan beberapa ramuan, dan mantera, yang
sanggup membuat orang jatuh cinta pada cinta buta. (CIL, 178)
Bsa : His mother went to visit a number of dukun and they
suggested some spells and mantras that could make someone fall
in blind love. (BIAW,185)
Dari data nomer (3), kata dukun tetap diterjemahkan dukun
dalam Bahasa Inggris. Ini merupakan teknik peminjaman meskipun
terdapat kata dukun pada kamus Bahasa Inggris. Dalam Engslih Oxford
Dictionaries dukun is ”a traditional healer believed to have spiritual and
occult powers; a shaman” (dukun, 2018). Istilah dukun pada kamus
tersebut diambil dari Bsu sehingga terjadi naturalisasi. Teknik ini
peminjaman ini berterima karena penerjemah telah menransfer kata-kata
budaya dengan mencari padanannya di Bsa.
3. Teknik Harfiah
(4) Bsu: Siapapun yang mendengar doa, Tuhan atau Iblis atau Jin
Iprit, (CIL,16)
Bsa: ..whoever is listening to my prayer, god or demon, angel or
Genie Iprit (BIAW, 23)
Pada data nomer (4), kata Jin Iprit diterjemahkan menjadi ‘Genie
Iprit’. Penerjemahan ini merupakan teknik harfiah yaitu penerjemah
172
hanya mengartikan kata pertama dan susunan katanya sama persis
dengan susunan kata di Bahasa Sumber (Bahasa Indonesia). Kata Iprit
tidak diterjemahkan oleh penerjemah karena ini adalah nama. Padahal
dalam Bahasa Inggris, jin Iprit ini disebut sebagai Ifrit. Dalam Cryptidz
Wiki, dikatakan bahwa Ifrit adalah salah satu jenis jin (cryptidz.wiki.com).
Penerjemahan di atas tidak sesuai padanannya dalam Bahasa Inggris.
Penerjemah hanya berfokus kepada nama Iprit tanpa melihat padanan
yang umum digunakan oleh orang Barat.
4. Teknik Lazim
(5) Bsu: Ia akan berdoa kapan pun ia ingat, di kamar mandi, di
dapur, di jalan bahkan ketika seorang laki-laki gembrot
berenang di atas tubuhnya dan ia teringat, ia akan segera
berkata, siapapun yang mendengar doaku, Tuhan atau iblis,
malaikat atau jin Iprit, jadikanlah anakku buruk rupa (CIL,
16).
Bsa: She would pray whenever it crossed her mind, in the
bathroom, on the street or even if an obeseman was swimming
on the top of her body and she suddenly remembered, she would
immediately say, whoever is listening to my prayer, god or
demon, angel or Genie Iprit, make my child ugly (BIAW, 23).
Pada data di atas terdapat teknik penerjemahan lazimlah yang
digunakan. Kata doa, Tuhan, iblis dan malaikat diterjemahkan sesuai
dengan padanan di Bsa. Padanan ini disesuaikan dengan kata-kata yang
sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam Bahasa Inggris.
Penerjemahan ini sangat baik karena pembaca di Bsa dapat mengetahui
maknanya dengan jelas. Makna dari Bsu pun dapat dimengerti oleh
pembaca di Bsa. \
Teknik Generalisasi
(6) Bsu: “Bayi yang malang”, kata si dukun bayi itu lagi.(CIL: 3)
Bsa: “Poor baby,” said the midwife again. (BIAW: 8)
Data nomer (6) mengandung teknik penerjemahan generalisasi
yaitu menerjemahkan istilah budaya yang spesifik menjadi lebih umum.
Kata dukun bayi pada kalimat di atas berarti orang yang membantu proses
173
melahirkan wanita secara tradisional. Namun, saat berada di Bsa,
penerjemah menggunakan kata midwife yang berarti bidan. Bidan juga
berprofesi membantu ibu melahirkan namun dengan metode yang lebih
modern. Meskipun dukun beranak dan bidan sama-sama bekerja
membantu ibu melahirkan, namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu
bidan memperoleh keahliannya dengan bersekolah tinggi sedangkan
dukun beranak tidak. Hal ini tentu mempengaruhi cara atau metode yang
digunakan. Penggunaan kata midwife ini diasumsikan karena penerjemah
ingin pembaca lebih memahami konteks kalimat tersebut. Padahal
padanan tepatnya ialah traditional midwife.
5. Teknik Modulasi
(7) Bsu: Mereka juga mengajarinya beberapa mantra pengusir
setan dan penjaga keselamatan. (CIL, 81)
Bsa: They also taught her mantras to get rid of evill sipirits and
to guard her safety. (BIAW, 82)
Pada contoh di atas, kata pengusir setan disini diterjemahkan
menjadi to get rid off of evil spirit. Kata dalam Bsu yang awalnya kata benda
(pengusir setan) menjadi kata kerja (untuk mengusir setan). Teknik
penerjemahan yang dipakai ialah modulasi di mana terdapat perbedaan
sudut pandang antara Bsu dengan Bsa. Adanya penggantian sudut
pandang ini sah-sah saja. Sebab pada data di atas penerjemah berfokus
pada makna dari Bsu. Sehingga meskipun merubah namun pesan dari Bsu
terkandung dalam terjemahan di Bsa.
Simpulan
Setelah melakukan analisis, dapat disimpulkan bahwa teknik
penerjemahan yang paling dominan digunakan oleh penerjemah ialah
teknik lazim sedangkan yang paling sedikit ialah teknik generalisasi.
Banyaknya penggunaan teknik lazim ini diasumsikan karena banyak katakata budaya Bsu yang tersedia di kamus. Bisa dikatakan, penerjemah
mampu menransfer kata-kata budaya dari Bahasa Sumber (Bsu) ke Bahasa
Sasaran (BSa) dengan baik. Ideologi domestikasi adalah ideologi yang
digunakan oleh penerjemah. Mayoritas kata-kata budayanya telah
disesuaikan dengan istilah di Bsa. Walaupun terkadang penerjemah
174
kurang tepat dalam menerjemahkan beberapa kata-kata budaya, namun
sebagian besar kata-kata budaya yang diterjemahkan ke Bsa berterima
karena sepadan dengan makna di Bsu.
Referensi
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Thery of Translation. London: Oxford
University Press.
Cryptid wiki. List of Jinn Types. Diakes 30 Mei 2018.
http://cryptidz.wikia.com/wiki/List_of_Jinn_Types
Desfriani, Aibonotika Arza, dan Rahayu Nana. (2013). Penerjemahan
Bahasa Vulgar Dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jepang Dalam Novel
Cantik
Itu
Luka”.
Retrieved
from
https://repository.unri.ac.id/bitstream/handle/123456789/4205/14.DE
SFRIANI %20%28JEPANG%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Detikhot. (22 Maret 2016). ‘Cantik itu Luka’ Eka Kurniawan Raih
Penghargaan
World
Readers.
Diakeses
28
Mei
2018
https://hot.detik.com/art/3170808/cantik-itu-luka-eka-kurniawanraih-penghargaan-world-readers
Dukun, n. 2018. English Oxford Living Dictionaries. Diakses 28 Mei 2018
https://en.oxforddictionaries.com/definition/dukun
Kurniawan, Eka. 2015. Cantik Itu Luka. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
-------------------- 2015. Beauty is a Wound (Tucker, Annie, Trans.). New York:
New Directions Publishing.
Molina., Lucia & Hurtado Albir, A . 2002. Translation Techniques Revisited:
A Dynamic and Functionalist Approach” dalam Meta: Journal des
Traducteur/Meta: Translators’ Journal, 47 (4), 498-512.
Puspitasari, Dewi., Lestari E.M.I., & Syartanti, Nadya Inda. 2014.
Kesepadanan Pada Kata Bermuatan Budaya Jepang ke dalam Bahasa
Indonesia: Studi Kasus dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki dan
Terjemahannya: Botchan Si Anak Bengal oleh Jonjon Johana. Jurnal Izumi,
3 (2).
Newmark, Peter. 1988. A Text Book of Translation. New York. Sanghai
Foreign Language Education Press.
Venuti, Lawrence. 1995. The Translator’s Invisbility: A History of
Translation. London: Rouletge.
175
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1) Khamalatuk Hafidzoh-UGM
1. Tolong jelaskan mengenai teknik penerjemahan harfiah
yang tadi dicontohkan
2. Apakah ada korelasi teknik harfiah ini dengan latar
belakang penerjemah?
Jawaban:
Teknik penerjemahan harfiah di dalam novel contohnya
kata Jin Iprit yang diartikan menjadi Genie Iprit. Pada pola kata
Bahasa Inggris, kata Genie harusnya berada di sebelah kanan kata
Iprit. Dapat dikatakan penerjemah menerjemahkannya secara
harfiah tanpa memedulikan susunan kata di Bahasa Sasaran. Dan
mengenai korelasi latar belakang penerjemah dengan teknik yang
digunakan tentu saja ada. Penerjemah sudah beberapa tahun
mendalami kebudayaan Indonesia, namun ini tak berarti ia sudah
sangat menguasai keseluruhan tentang budaya dan Bahasa
Indonesia. meskipun demikian, secara keseluruhan penerjemah
mampu menerjemahkan novel Cantik Itu Luka dengan baik.
2) Ayu Karomah-UGM
3. Di dalam judul terdapat kata “the dukun” nah namun di
dalam contoh hanya ada kata dukun saja. Nah itu
bagaimana?
Jawaban:
Memang benar, kata the dukun yang ada di bagian awal
judul adalah kutipan kata yang muncul di dalam novel. Kata ini
terletak di awal kalimat. Sedangkan kata yang saya jadikan contoh
terletak di bagian awal sehingga tidak menyertakan kata the.
Penerjemahan ini menggunakan teknik borrowing atau
peminjaman. Sayangnya penerjemah tidak memberikan
penjelasan maupun catatan kaki mengenai penjelasan kata dukun
tersebut. Penerjemah menganggap pembaca mengetahui
maknanya tanpa penjelasan lebih lanjut.
176
TINDAK DIREKTIF BAHASA INDONESIA PADA POSTER
BERLALULINTAS KOTA BANJARBARU
DIRECTIVE ACT F INDONESIAN LANGUAGE ON TRAFFIC POSTER OF
BANJARBARU CITY
Eka Suryatin
ekasuryatin@yahoo.co.id
Balai Bahasa Kalimantan Selatan
Telepon:081351374156
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis tindak direktif dan
wujud pemarkah modalitas pada poster berlalu lintas kota Banjarbaru.
Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tuturan tertulis yang terdapat dalam poster yang
dikeluarkan oleh kepolisian kota Banjarbaru. Sumber data dalam
penelitianadalah semua poster yang dikeluarkan oleh kepolisian kota
Banjarbaru. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik
dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan beberapa tahapan,
yaitu menyeleksi, memberi kode, memeriksa keabsahan, mengklasifikasi,
dan mendeskripsikan data. Hasil penelitian menunjukkan (1)tindak
direktif yang terdapat pada poster berlalu lintas Kota Banjarbaru, meliputi
tindak direktif larangan (prohibitions) dengan modalitas ‘dilarang dan
jangan’, tindak direktif nasihat (advisories) dengan modalitas ‘wajib, hatihati, dan mari), tindak direktif permintaan (requestives) dengan modalitas
‘ayo’, dan tindak direktif persyaratan (requerements) dengan modalitas
sayang + i.
Kata kunci: tuturan, direktif, poster, lalu lintas
ABSTRACT
The objectives of this study are to describe the type of directive acts and form
of modality markers on traffic posters in Banjarbaru city. This research type
is qualitative descriptive. The data of this study are a written text found in
the posters issued by resort police of the Banjarbaru City. Sources of data in
the study are all posters issued by the Police of Banjarbaru City. The data
177
collection technique applied in this research is documentation. Data analysis
was performed in several stages, namely selecting, coding, checking the
validity, classifying, and describing the data. The results of this research
show that the directive acts found in the traffic posters of Banjarbaru City
are as follows prohibition directive act such as 'prohibited and not'
modalities, advisory directive act such as mandatory, be careful, let’s, request
directive acts (requests) such as 'let’s’ modalities, and requirement directive
acts (requirements) with such as take care modalities.
Keywords: speech, directive, poster, traffic
PENDAHULUAN
Kota Banjarbaru merupakan salah satu kota di wilayah Provinsi
Kalimantan Selatan yang merupakan akses antara kota yang satu dengan
kota yang lainnya. Kondisi lalu lintas di kota Banjarbaru saat ini bisa
dikatakan jauh dari kata tertib. Misalnya, anak-anak sekolah yang masih di
bawah umur sudah mengendarai sepeda motor, mengemudi kendaraan
sambil bermain telepon genggam, menerobos lampu merah ketika tidak
ada polisi yang sedang berjaga, mengemudikan kendaraan melawan arus,
dan lainnya.
Untuk menangani masalah-masalah itu, pemerintah membuat
peraturan berlalu lintas dan jalan raya, yaitu UU No.22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peraturan itu, diharapkan bisa
membuat masyarakat tertib dalam berlalu lintas dan mengerti terhadap
sanksi yang diberikan. Tidak hanya itu saja, untuk mengatasi masalah
tentang keselamatan masyarakat pengguna jalan raya, pemerintah
membuat slogan, poster papan imbauan yang dipasang di pinggir jalan.
Poster yang dipasang itu berisi kalimat imbauan berupa tuturan imperatif
yang bertujuan agar masyarakat tertib berlalu lintas. Ada banyak
bentuktindak direktif yang digunakan dalam poster berlalu lintas di kota
Banjarbaru. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam
tentang tindak direktif bahasa Indonesia pada poster berlalu lintas di kota
Banjarbaru.
Tindak tutur direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan
penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan
tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding),
178
memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi
(recommending) (Searle dalam Rahardi, 2005: 36).
Sementara itu, menurut (Jumadi, 2013: 29) yang dimaksud tindak
tutur direktif adalah tindak tutur yang dirancang untuk mendorong
seseorang melakukan sesuatu (Jumadi, 2013: 29).
Bach dan Harnish dalam Jumadi (2013: 30) membagi tindak
direktif menjadi lima kelompok jenis, yakni kelompok (a) permintaan
(requestives) yang mencakup meminta, memohon, mengajak, mendorong,
mengundang, dan menekan; (b) pertanyaan (questions), yang mencakup
bertany, berinkuiri, dan menginterogasi; (c) persyaratan (requeirements),
yang mencakup mensyaratkan, memerintah, mengomando, menuntut,
mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, dan mengatur; (d) larangan
(prohibitions), yang mencakup melarang dan membatasi; (e) persilaan
(permisives), yang mencakup memberi izin, membolehkan, mengabulkan,
melepaskan, memperkenankan, memberi wewenang, dan menganugerahi;
dan (f) nasihat (advisories), yang mencakup menasihati, memperingatkan,
mengusulkan, membimbing, menyarankan, mendorong.
Sementara itu, poster adalah sebagai kombinasi visual dari
rancangan yang kuat, dengan warna, dan pesan dengan maksud untuk
menangkap perhatian orang yang lewat tetapi cukup lama menanamkan
gagasan yang berarti di dalam ingatannya (Sudjana dan Rivai, 2002: 51).
Penelitian ini mengkaji tentang jenis dan wujud pemarkah
modalitas dalam poster berlalu lintas Kota Banjarbaru.
Penelitian mengenai tuturan direktif pada poster sudah pernah
dilakukan.Haedar, dkk., (2013) meneliti tentang “Tindak Direktif Bahasa
Indonesia pada Poster Badan Lingkungan Hidup di Taman Wisata Studi
Lingkungan Kota Probolinggo” dan Sari, Evi Amelia (2013) meneliti
tentang “Struktur, Penanda, dan Makna Kalimat Imperatif dalam Bahasa
Paser”. Hasil penelitian Haedar, dkk. menunjukkan bahwa jenis tuturan
direktif pada poster yang dikeluarkan BLH ada empat jenis, yaitu tindak
tutur requesif, requerimen, prohibitif, dan advisoris. Tindak tutur direktif
reguesitif pada poster memiliki ciri penanda verba + lah pada kata
“marilah”. Tindak tutur direktif requerimen memiliki ciri penanda verba
+ kan dalam kata “ kumpulkan”. Tindak tutur direktif prohibitif memiliki
ciri penanda pada salah satu kalimat posternya yaitu di + verba pada kata
“ dilarang“. Tindak tutur direktif advisoris memiliki ciri penanda kata
179
“awas”. Dari keempat jenis tindak tutur direktif prohibitif banyak
ditemukan dalam poster yang dikeluarkan oleh BLH. Jenis tindak tutur
direktif prohibitif diindikasikan banyak digunakan karena untuk
menggugah kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar agar
tercipta lingkungan indah dan bersih.
Penelitian yang peneliti lakukan ini sama-sama membahas
tentang tindak direktif. Perbedaannya terletak pada sumber data yang
digunakan. Penelitian di atas menggunakan data poster BLH sedangkan
penelitian ini menggunakan poster berlalu lintas
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari
orang-orang atau perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam
Moloeng, 2001: 3). Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah
semua poster berbahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh kepolisian di
sepanjang jalan Ahmad Yani kota Banjarbaru. Data penelitian berupa
tuturan tertulis yang terdapat dalam poster berlalu lintas yang
dikeluarkan oleh kepolisian di sepanjang jalan Ahmad Yani kota
Banjarbaru.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara seleksi
data, pengkodean data, pemeriksaan keabsahan data, pengklasifikasian
data, dan pendeskripsian data. Prosedur yang dilakukan dalam
penelitian ini, ada tiga tahapan, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan
penyelesaian.
HASIL DAN PEMBAHASAAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis tuturan direktif pada
poster berlalu lintas kota Banjarbaru ada empat jenis, yaitu tindak direktif
larangan (prohibitions), tindak direktif nasihat (advisoris), tindak direktif
permintaan
(requestives),
tindak
direktif
persyaratan
(requerements).Sementara itu, wujud pemarkah kata tugas modalitas yang
180
ditemukan peneliti dalam poster, yakni wajib, dilarang, jangan, hindari,
hati-hati, mari, ayo, dan sayang + i.
a. TindakDirektifLarangan (Prohibitions)
(1)
Poster berlalu lintas yang mengandung tindak direktif larangan
(prohibitions) gambar (1) di atas ditandai dengan pemarkah kata tugas
modalitas ‘dilarang’. Konteks tuturan atau latar gambar dalam tuturan itu
adalah gambar dua orang yang mengendarai kendaraan sambil
memainkan telepon genggam. Tuturan itu bermaksud untuk melarang
para pengendara menggunakan telepon genggam (menelepon dan
membalas sms) ketika mengendarai kendaraan.
(2)
Poster berlalu lintas yang merupakantindak direktif larangan
(prohibitions) gambar (2) di atas ditandai pemarkah kata tugas modalitas
‘jangan’. Melalui tuturan tersebut pihak kepolisian bermaksud untuk
melarang para pengendara agar tidak ngebut ketika mengendarai
kendaraan karena anak istri mereka (para pengendara) menanti di rumah.
181
b. Tindak Direktif Nasihat (Advisories)
(3)
Poster berlalu lintas di atas merupakan tindak tutur direktif
advisoriesyang mengandung pemarkah kata tugas “wajib”. Pada tuturan ini
penutur mengingatkan kepada mitra tutur agar menyalakan lampu pada
siang hari. Mitra tutur yang dimaksud adalah para pengendara sepeda
motor. Makna yang terdapat dalam tuturan poster tersebut adalah makna
imperatif imbauan. Pada tuturan ini pihak kepolisian mengimbau agar
para pengendara sepeda motor menyalakan lampu pada siang hari.
Imbauan ini disampaikan agar para pengendara motor dan mobil selamat.
(4)
Poster berlalu lintas di atas mengandung tuturan tindak direktif
advisoris. Poster tersebut terdapat pemarkah kata tugas modalitas “hatihati”. Pada tuturan ini, penutur mengingatkan para pengemudi agar hatihati dalam berkendara karena daerah yang dilewati daerah yang sering
terjadi kecelakaan. Tujuan dari tuturan ini adalah mengingatkan mitra
tutur berhati-hati terhadap jalan daerah laka lantas. Makna imperatif yang
terdapat pada poster tersebut adalah imperatif imbauan. Pihak kepolisian
mengimbau agar kepada para pengendara agar selalu berhati-hati karena
daerah yang dilewati rawan kecelakaan lalu lintas.
182
(5)
Poster berlalu lintas di atas juga merupakantindak direktif
advisories yang ditandai dengan modalitas ‘mari’. Tuturan ini ditujukan
kepada seluruh pengguna jalan raya. Pada tuturan itu, penutur mengajak
mitra tutur agar bersama-sama mewujudkan budaya berlalu lintas di Kota
Banjarbaru.
c. Tindak Direktif Permintaan (Requestives)
(6)
Poster berlalu lintas di atas termasuk kategori tindak direktif
requestivesyang menggunakan modalitas “ayo”. Tuturan poster tersebut
ditujukan kepada para pengendara. Tuturan tersebut menunjukkan
adanya permintaan dari penutur yaitu pihak kepolisian agar para
pengendara beristirahat di pos polisi yang berjarak 300 meter lagi ketika
ngantuk. Dengan beristirahat dulu ketika ngantuk saat berkendara akan
mengurangi terjadi kecelakaan.
183
d. Tindak Direktif (Persyaratan) Requirements
(7)
Poster berlalu lintas di atas mengandung tuturan tindak direktif
requirements. Tindak direktif itu diwujudkan dengan ciri modalitas berupa
adjektiva + i pada kata “sayangi”, partikel i dalam bahasa Banjar itu
berfungsi sebagai perintah. Penutur dalam tuturan itu adalah pihak
kepolisian. Tututran tersebut memerintah kepada para pengendara.
Tujuannya memerintah agar para pengendara menyayangi nyawanya atau
berhati-hati ketika sedang berkendara karena jalur yang dilewati sering
terjadi kecelakaan.
PENUTUP
Berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalisis dapat
disimpulkan bahwa tindak direktif yang terdapat pada poster berlalu
lintas Kota Banjarbaru, meliputi tindak direktif larangan (prohibitions)
dengan modalitas ‘dilarang dan jangan’, tindak direktif nasihat (advisories)
dengan modalitas ‘wajib, hati-hati, dan mari), tindak direktif permintaan
(requestives) dengan modalitas ‘ayo’, dan tindak direktif persyaratan
(requerements) dengan modalitas sayang + i.
DAFTAR PUSTAKA
Haedar, Ventyana, dkk. 2013. Tindak Direktif Bahasa Indonesia Pada Poster
Badan Lingkungan Hidup di Taman Wisata Studi Lingkungan Kota
Probolinggo. Jurnal Pancaran, 2 (2): 173—180.
Jumadi. 2013. Wacana, Kekuasaan, & Pengajaran Bahasa. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Moelong, Lexy J.2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
184
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Erlangga.
Sujana, Nana dan Ahmad Rivai. 2009. Media Pengajaran, Cetakan 8.
Bandung: Sinar Baru.
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Bayu
Menurut Mbak Eka, ada tidak penggunaan kekhasan tuturan
daerah yang digunakan pada poster berlalu lintas di Kota
Banjarbaru?
Menurut saya, kekhasan tuturan daerah pada poster berlalu lintas
d Kota Banjarbaru ada. Ini terbukti dari contoh poster tindak
direktif requirements yang menggunakan bahasa daerah sebagai
tuturannya.
2. Sri
Saya ingin menanyakan sejauh ini menurut data yang sudah Anda
kumpulkan tindak direktif apa yang paling banyak digunakan?
Baik, setelah saya mengumpulkan data ternyata poster berlalu
lintas kota Banjarbaru paling banyak menggunakan tindak direktif
larangan (prohibitions).
3. Rissari
Berkaitan dengan tindak direktif tentu ada pemarkah modalitas
yang menjadi ciri masing-masing jenis tindak direktif. Nah, Apakah
di Banjarbaru yang merupakan pulau Kalimantan pada posternya
menggunakan bahasa daerah? Nah, kalau memang iya, tentu hal itu
akan menjadi pembahasan yang menarik untuk penelitian
selanjutnya.
Baik, terimakasih atas pertanyaannya, Bu. Berbicara tentang
pemarkah modalitas pada poster berlalu lintas Kota Banjarbaru,
seperti apa yang sudah saya sampaikan kepada penanya pertama.
Apabila ada wujud tuturan yang menggunakan bahasa daerah
tentu pemarkah modalitasnya juga bahasa daerah dalam hal ini di
Banjarbaru bahasa Banjar. Terimakasih atas masukannya ke
depan Insya Allah saya akan meneliti lebih dalam lagi tentang
pemarkah modalitas bahasa daerah.
185
BENTUK DAN REFERENSI MAKIAN DALAM KOMENTAR DI
YOUTUBE ATAS PUISI SUKMAWATI
Ening Herniti
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281
e-mail: ening.herniti@uin-suka.ac.id; eningherniti@yahoo.co.id
ABSTRAK
Makian atau umpatan merupakan salah satu wujud dari fungsi emotif
bahasa karena penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa,
melainkan juga memperlihatkan emosi ketika menyampaikan makiannya.
Dalam keadaan marah, seseorang sering kali tidak dapat menahan emosi
sehingga acap kali melontarkan makian. Berbagai bentuk dan referensi
makian terdapat dalam kolom komentar di youtube yang menayangkan
perihal puisi Sukmawati. Bentuk dan referensi makian bersandar pada
teori sosiolinguistik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
secara aktual bentuk dan referensi makian. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif deskriptif. Data diperoleh dari youtube milik LN News.
Setelah itu, data ditranskripsi dan diklasifikasi berdasarkan pada bentuk
dan referensi makian. Pengelompokkan bentuk makian dihubungkan
dengan perwujudan satuan gramatikal yang berupa kata, frasa, klausa, dan
kalimat. Referensi makian dikaitkan dengan medan makna dan sumber
makian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makian berbentuk kata,
frasa, klausa, dan kalimat minor. Makian tersebut bereferensi dengan
tokoh cerita, bumbu masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh,
kekerabatan, aktivitas, bau, kesehatan mental, hal gaib, benda-benda,
profesi, dan usia.
Kata Kunci: makian, sosiolinguistik, bentuk, referensi
A.
PENDAHULUAN
Pemakaian bahasa dalam dunia maya atau media sosial perlu
ditegaskan, mengingat dunia online dianggap penting bagi masyarakat
Indonesia. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia
maya untuk mengungkapkan segala kekesalan, ketidaksukaan, bahkan
kebencian. Hal ini juga tampak pada pemakaian bahasa di kolom komentar
186
youtube milik LN News. Kolom komentar tersebut memuat polemik atas
puisi "Ibu" karya Sukmawati Soekarnoputri. Puisi tersebut dibacakan
langsung oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam acara 29 tahun desainer
Anne Avantie berkarya yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC).
Terdapat komentar, baik yang pro maupun kontra, meramaikan kolom
komentar di youtube tersebut. Komentar yang pro tentu saja adanya
pembelaan terhadap puisi “Ibu” yang dibacakan oleh Sukmawati. Namun,
komentar yang kontra atau tidak menyetujui dengan puisi tersebut
terdapat pemakaian bahasa yang kurang pantas dalam ruang publik.
Pemakaian bahasa tersebut untuk mengekspresikan segala bentuk
ketidaksenangan, kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang
tengah dihadapi sehingga penutur sering kali menggunakan berbagai kata
makian. Bagi penutur, makian adalah alat pembebasan dari segala bentuk
dan situasi yang tidak mengenakkan (Wijana, 2006:109).
Makian atau umpatan merupakan salah satu wujud dari fungsi
emotif bahasa. Wijana (2004:242) menjelaskan bahwa kata-kata makian
mempunyai kedudukan yang sentral dalam aktivitas berkomunikasi
secara verbal sebagai salah satu sarana untuk menjalankan fungsi emotif
bahasa. Fungsi emotif adalah fungsi bahasa yang digunakan untuk
menyatakan perasaan seperti perasaan senang, takut, kecewa, kesal, sedih,
gembira, dan sebagainya (Abdul Chaer, 2004: 15 dan Leonie Agustina,
1995:16). Artinya, penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat
bahasa, melainkan juga memperlihatkan emosi ketika menyampaikan
makiannya. Wijana (2008: 250) mengemukakan bahwa bahasa dikreasikan
untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang dialami oleh penuturnya.
Sudaryanto, dkk. (1982:146) berpendapat bahwa kata makian
merupakan salah satu jenis kata afektif yang keafektifannya dalam rangka
titik awal proses komunikasi. Maksudnya, terjadinya makian disebabkan
oleh adanya perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan
seseorang atau perbuatan itu menimbulkan tangggapan tertentu sehingga
tersentuh daya lampiasnya dan terucaplah makian itu.
Ungkapan-ungkapan makian yang dilontarkan penutur akan
memengaruhi psikologis dan perilaku mitra tutur karena makian tersebut
biasanya diucapkan dengan emosi sehingga dapat menyinggung,
menyakiti, dan kemungkinan dapat memancing kemarahan mitra tutur.
Namun, makian di media sosial seperti youtube tampaknya tidak
terkendali karena antara penutur dan mitra tutur tidak bertemu secara
187
langsung atau bertatap muka. Penutur dan mitra tutur yang bertatap muka
secara langsung acapkali kemarahan lebih dapat terkendali dibandingkan
dengan yang tidak bertatap muka secara langsung. Terlebih lagi, mitra
tutur adalah tokoh masyarakat atau orang yang disegani.
Penelitian yang mengkaji makian di antaranya adalah tulisan
Rosidin (2010) berjudul “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian,
serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa (1) tidak terdapat perbedaan klasifikasi bentuk
makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh
responden perempuan, (2) tidak terdapat perbedaan klasifikasi kategori
makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh
responden perempuan, (3) tidak terdapat perbedaan klasifikasi sumber
makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh
responden perempuan, dan (4) tidak terdapat perbedaan klasifikasi alasan
penggunaan makian antara alasan responden laki-laki dan alasan
responden perempuan. Penelitian Jannah berjudul “Bentuk dan Makna
Kata Makian di Terminal Purabaya Surabaya dalam Kajian Sosiolinguistik”
(2017). Penelitiannya menunjukkan bahwa warga terminal Purabaya
Surabaya kebanyakan menggunakan makian berbentuk kata dan frasa.
Data penelitian ini diperoleh dari youtube milik LN News yang
diunggah pada tanggal 2 April 2018. Dalam kurun empat hari, pada tanggal
6 April 2018, sudah terdapat 10.312 komentar dan ditonton 1.541.762
kali. Hal ini mengimplikasikan bahwa youtube tersebut cukup viral karena
memuat berita yang sedang hangat. Data kemudian ditranskripsi dan
diklasifikasi berdasarkan pada bentuk dan referensi makian.
Pengelompokkan bentuk makian dihubungkan dengan perwujudan satuan
gramatikal yang berupa kata, frasa, dan klausa. Referensi makian dikaitkan
dengan medan makna dan sumber makian.
B. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Bentuk Makian
Bahasa dapat dipakai untuk menyampaikan maksud yang spesifik
yang berkaitan dengan kondisi psikologis, baik kepada diri sendiri
maupun kepada orang lain), seperti perasaan sedih, senang, heran, bahkan
marah (Alwi, 1995:137). Dalam keadaan marah, seseorang sering kali
tidak dapat menahan emosi sehingga acap kali melontarkan kata-kata
yang menghasilkan tuturan-tuturan yang biasa disebut makian atau
188
umpatan. Wijana dan Rohmadi (2006: 125) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
makian adalah sarana kebahasaan yang dibutuhkan oleh para penutur untuk
mengekspresikan ketidaksenangan dan mereaksi berbagai fenomena yang
menimbulkan perasaan tersebut.
Makian pada kolom komentar di youtube milik LN News tersebut
berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat minor. Bentuk makian tampak
pada penjelasan berikut ini.
a. Berbentuk Kata
Makian yang berbentuk kata terdapat pada tuturan berikut.
(1) Dajjal telah muncul
(2) Cuuuuk rausah keakehan cocot meneng ae cuk
Kata dajjal, cuuuuk, dan cuk adalah kata adalah makian yang
berbentuk kata. Kata dajjal dan cuuuuk berfungsi sebagai subjek pada
tuturan di atas. Sementara itu, cuk sebagai sapaan. Di wilayah Jawa Timur
cuuuuk atau cuk berasal dari kata dancuk biasanya digunakan sebagai
penanda keakraban. Namun, pada kasus di atas digunakan sebagai makian
karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling kenal.
b. Berbentuk Frasa
Makian berbentuk frasa tampak pada tuturan berikut ini.
(3) Terlihat sangat bodoh.
(4) woii ngopi ngopi .. kebanyakan bacot lu
(5) Anak persiden kok omongannya kaya orang kaga berpendidikan.
Makian di atas berbentuk frasa. Frasa sangat bodoh adalah frasa
adjektival. Sementara itu. Kontruksi kebanyakan bacot lu dan orang kaga
berpendidikan adalah frasa nominal.
c. Berbentuk Klausa
Makian yang berbentuk klausa tampak pada tuturan berikut.
(6) Dia kan gerombolan yg katanya saya indonesia saya pancasila. Cebong
gobloknya permanen
(7) Gua sumpahin matinya samber geledek
(8) Ya allah itu, nenek peot ga waras
Makian di atas berbentuk klausa, yakni klausa Cebong gobloknya
permanen, Gua sumpahin matinya samber geledek, dan nenek peot ga
waras.
189
d. Berbentuk Kalimat Minor
Beberapa makian berbentuk kalimat minor. Kalimat minor adalah
kalimat adalah kalimat dengan pola kalimat yang tidak lengkap dan
mempunyai pola intonasi final. Makian yang berbentuk kalimat minor
tampak pada tuturan berikut.
(9) Gak mutu!
Tataran bahasa dari kata, frasa, klausa, kalimat, dan seterusnya
berlaku tidak statis karena kadang-kadang terjadi pelompatan tataran.
Pelompatan tataran adalah naiknya suatu satuan melewati tataran yang di
atasnya (Khairah, 2015:146147) seperti pada tuturan Gak mutu!. Tu
turan tersebut melompat dari tataran frasa adjektival naik menjadi
kalimat karena adanya pungtuasi seru (!). Dikatakan demikian karena
pungtuasi seru adalah intonasi akhir sebagai penanda kalimat. Hanya saja
tuturan tersebut disebut kalimat minor.
(10) busuk lu..
Tuturan di atas berbentuk kalimat minor yang berupa seruan
busuk lu yang diakhiri pungtuasi titik (.).
2. Referensi Makian
Makna referensial (referential meaning) adalah makna yang
langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata (Pateda,
2010:125). Berikut adalah makian yang bereferensi dengan tokoh cerita,
bumbu masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh, kekerabatan,
aktivitas, bau, kesehatan mental, hal gaib, benda-benda, profesi, dan usia.
a. Tokoh Cerita
Makian yang bereferensi dengan tokoh cerita adalah tampak pada
uraian berikut.
(11) jangan sok puisi nenek lampir
Nenek Lampir atau yang akrab disebut Mak Lampir. Mak adalah
sapaan berbahasa Jawa yang bermakna orang tua yang berjenis kelamin
perempuan atau nenek. Ia adalah tokoh legenda di Pulau Jawa yang
mendiami Gunung Merapi. Ia adalah dukun penyihir yang meneror pulau
Jawa selama berabad-abad, mengajarkan ilmu sesat Anggrek Jingga yang
memuja Dewa Batara Kala. Mak Lampir dikenal lewat drama serial Misteri
Mak Lampir yang disiarkan oleh televisi swasta Indosiar.
190
b. Bumbu Masak
Di samping makian bereferensi tokoh cerita, makian juga
bereferensi bumbu masak yang tampak pada tuturan berikut.
(12) potret nenek nenek generasi micin
(13) IBU MICIN INDONESIA
(14) Kakean micin
Tuturan di atas menggunakan makian micin. Micin atau
monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium asam glutamat yang
ditemukan oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor kimia Universitas Tokyo,
pada 1908. Ia dianggap sebagai garam paling stabil yang mampu memberi
rasa umami atau gurih pada makanan. Pada tuturan (12) makian generasi
micin dipakai untuk menggambarkan perilaku orang-orang zaman
sekarang yang tidak bisa dimengerti, terutama di media sosial.
c. Keadaan
(15) So suci semua.
Yang dimaksud so adalah sok yang bermakna berlagak (suka
pamer dan sebagainya); merasa mampu dan sebagainya, tetapi
sebenarnya tidak (KBBI Daring, 2016). Makna so suci adalah orang-orang
berlagak suci sehingga banyak menyudutkan mitra tutur.
d. Sifat
(16) Nih ibu keterlaluan sungguh ini bisa membuat seluruh umat islaman
di Indonesia merasa direndahkan.
Kata keterlaluan bermakna hal yang melampaui batas (kesopanan
dan sebagainya) (KBBI Daring, 2016). Tuturan (16) terdapat makian
keterlaluan sungguh yang konstruksinya terbalik. Seharusnya
berkonstruksi sungguh keterlaluan.
(17) Brengsek
Penulisan yang benar kata brengsek adalah berengsek. Kata
berengsek bermakna kacau sekali (tentang tata tertib, pelaksanaan
kegiatan, dan sebagainya); tidak beres; tidak becus; rewel; bandel (KBBI
Daring, 2016).
(18) Parahhh......
191
Kata parah bermakna berat (tentang luka); payah (tentang
penyakit); dalam keadaan kesulitan yang sangat; dna sukar diatasi (KBBI
Daring, 2016).
Kata makian keterlaluan sungguh, brengsek, dan parah adalah
berbentuk kata sifat.
e. Binatang
Kata makian yang bereferensi binatang adalah makian bangsat dan
cebong. Hal ini tampak pada tuturan di bawah ini.
(19) BAGSATT
(20) Cebong gobloknya permanen
Bangsat adalah kepinding; kutu busuk; atau orang yang bertabiat
jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya) (KBBI
Daring, 2016). Sementara itu, cebong adalah anak kodok yang masih kecil
berwujud seperti ikan dan hidup di air; berudu (KBBI Daring, 2016).
f. Bagian Tubuh
Bagian tubuh manusia dijadikan sebagai makian, di antaranya
adalah otak dan cocot. Berikut adalah tuturan yang menggunakan makian
dari bagian tubuh manusia.
(21) OTAK IBU DIMNA COBA
(22) Meh modiar cocote ngawur
Kata otak bermakna benda putih yang lunak terdapat di dalam
rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf; benak; alat berpikir; pikiran
(KBBI Daring, 2016). Cocot adalah ungkapan dari bahasa Jawa paling kasar
untuk menyebut kata mulut.
g. Kekerabatan
Kekerabatan juga digunakan untuk menyatakan makian. Hal itu
tampak pada tuturan berikut.
(23) Nenek nenek juga butuh panggung ya haha
(24) Nenek dosa besar lo
Nenek adalah ibu dari ayah atau dari ibu atau sebutan kepada
perempuan yang sudah tua (KBBI Daring, 2016).
h. Aktivitas
Makian yang bereferensi aktivitas adalah pemakaian kata mabok.
192
(25) mabok
Mabok adalah berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa
Indonesia disebut mabuk. Kata mabuk bermakna berasa pening atau
hilang kesadaran (karena terlalu banyak minum minuman keras, makan
gadung, dan sebagainya); berbuat di luar kesadaran; lupa diri (KBBI
Daring, 2016).
i. Bau
Bau juga digunakan untuk mengungkapkan ketidaksukaan
ataupun kemarahan.
(26) nget bu ud bau tanah
(27) Busuk
Penutur sangat marah kepada mitra tutur sehingga mengeluarkan
kata makian seperti tampak pada tuturan (26) dan (27). Tuturan (26)
menggunakan makian bau tanah yang bermakna sebentar lagi akan
meninggal. Sementara itu, tuturan (27) menggunakan makian kata busuk
yang bermakna berbau tidak sedap (KBBI Daring, 2016).
j. Kesehatan Mental
Makian yang berkaitan dengan kesehatan mental atau pikiran
tampak pada tuturan berikut.
(28) Gak usah bawa agama tolol
(29) wong edan kui bebas
(30) Otak sakit jiwa puisi macam apa
Tuturan di atas menggunakan kata tolol, wong edan, dan otak sakit
jiwa. Kata tolol bermakna sangat bodoh atau bebal, wong edan bermakna
orang gila, dan otak sakit jiwa bermakna tidak stabil dalam berpikir.
k. Hal Gaib
Referensi berikutnya adalah berkaitan dengan hal gaib. Gaib adalah
sesuatu yang tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata (KBBI Daring,
2016).
(31) Dajjal telah muncul
(32) jahanam menunggu mu nek!!!
Kata dajal dan jahanam digunakan untuk memaki. Dajal adalah
setan yang datang ke dunia apabila kiamat sudah dekat (berupa raksasa);
orang yang buruk kelakuannya; penipu; pembohong (KBBI Daring, 2016).
193
Sementara itu, kata jahanam bermakna terkutuk; jahat sekali; celaka;
binasa; laut api tempat menyiksa di akhirat. Jahanam adalah neraka
tempat penyiksaan yang memiliki tujuh pintu dan setiap pintu (tingkat),
telah ditetapkan untuk golongan tertentu dari para makhluk-Nya.
l. Benda-Benda
Benda-benda seperti kondom, ampas, najis, dan kain kafan
dijadikan sebagai makian. Hal tersebut tampak pada tuturan berikut.
(33) AKIBAT KONDOM BOCOR YA BGNI JADI NYA
(34) AMPAAAAAASSSS..
(35) ih najissss
(36) nenek..nih kain kafan
Kondom adalah alat kontrasepsi keluarga berencana yang terbuat
dari karet dan pemakaiannya dilakukan dengan cara disarungkan pada
kelamin laki-laki ketika akan bersanggama. Ampas adalah sisa barang
yang telah diambil sarinya atau patinya; sesudah tidak berguna lagi lalu
dibuang (tidak dipedulikan lagi). Najis adalah kotor yang menjadi sebab
terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah, seperti terkena
jilatan anjing; kotoran (tinja, air kencing); atau jijik. Kain kafan adalah kain
(putih) pembungkus mayat.
m. Profesi
Profesi seniman juga dijadikan referensi untuk makian. Hal ini
tampak pada tuturan berikut.
(37) Seniman kopet
Kata seniman bermakna orang yang mempunyai bakat seni dan
berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair,
penyanyi, dan sebagainya). Kata kopet dalam bahasa Jawa bermakna tidak
cebok. Jadi, seniman kopet bermakna seniman yang menjijikan.
o. Usia
Referensi makian yang terakhir adalah berkaitan dengan usia.
(38) Tuek ape bongko kok gawe heboh
(39) Dh tua kaw nek..
Kata tua bermakna sudah lama hidup; lanjut usia (tidak muda lagi).
Kata tua diungkapkan dengan kata tuek yang bermakna tua sekali.
194
C. SIMPULAN
Makian merupakan salah satu wujud dalam memperlihatkan
emosi penutur. Bentuk makian dalam kolom komentar di youtube milik
LN News adalah berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat minor.
Sementara itu, makian tersebut bereferensi dengan tokoh cerita, bumbu
masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, bau,
kesehatan mental, hal gaib, benda-benda, profesi, dan usia.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik (Terjemahan). Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Crystal, David. 1995. The Cambridge Encyclopedia of The English Language.
Cambridge: Cambridge University Perss.
https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses 3 April 2018.
https://www.youtube.com/watch?v=-f9zwU5Fs8s, diakses pada tanggal
6 April 2018.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics. Philadelpia: University of
Pensylvania Press.
Jakobson, Roman. 1985. Verbal Art, Verbal Sign, Verbal TimeI. Pomorksa,
Krystyna, and Stephen Rudy (Ed.). 2037 University Avenue
Southeast, Minneapolis MN 55414, United States of America:
University of Minnesota Press.
Jannah, Almaidatul, Wahyu Widayati, dan Kusmiyati “Bentuk dan Makna
Kata Makian di Terminal Purabaya Surabaya dalam Kajian
Sosiolinguistik”, dalam jurnal FONEMA, Vol 4 No. 2, Desember,
Tahun 2017, hlm. 4359.
Kartomihardjo, Soeseno. 1983. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan.
195
Khairah, Miftahul dan Sakura Ridwan. 2015. Sintaksis: Memahami Satuan
Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara.
Leech, Geoffrey. 1974. Semantics. Terjemahan Paina dan Soemitro. 1997.
Semantik. Surakarta: UNS.
Mansur, Ahmad. 1982. ‘Ilm Al-Lugah An-Nafsiy. Riyad: ‘imadah Syu’un alMaktabat-Jami’ah Al-Muluk Sa’ud.
Montagu, Ashley. 1973. The Anatomy of Swearing. New York: Collier
Macmillan Publishers.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineks Cipta.
Putri, Gloria Setyvani, "Adakah Kebenaran dalam Istilah "Generasi
Micin"?"
dari
https://sains.kompas.com/read/2017/10/26/190800523/adakah
-kebenaran-dalam-istilah-generasi-micin-, diakses pada tanggal 30
April 2018.
Rosidin, Odin. 2010. “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian, serta
Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”, dalam Tesis, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Linguistik,
Universitas Indonesia.
Sudaryanto, dkk. 1982. ”Kata-kata Afektif dalam Bahasa Jawa”. Laporan
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Daerah
Istimewa Yogyakarta: Departemen Pendidikan.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolingistik: Kajian
Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolingistik: Kajian
Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu. 2004. Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang
Bentuk dan Referensinya. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada.
Wijana, I Dewa Putu. 2008. “Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa” dalam Jurnal
Humaniora Volume 20, Nomor 3. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada.
196
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan
1. Fitria Lonanda
Pertanyaan: Apa perbedaan ujaran kebencian dengan makian?
Jawaban:
Ujaran kebencian atau hate speech adalah tindakan komunikasi yang
dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi,
hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam
hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi
seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Sementara itu, makian
tidak berupaya untuk memprovokasi atau menghasut, tetapi lebih pada
luapan kebencian, ketidaksenangangan, atau ketidaksetujuan atas sikap
atau tuturan seseorang atau kelompok. Makian meruapakan alat
pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan.
2. Sajarwa
Pertanyaan:Bagaimana dengan masyarakat yang menganggap bahwa
makian merupakan penanda keakraban?
Jawaban: Memang benar ada sebagain masyarakat, misalnya Jawa Timur,
menganggap makian seperti kata dancuk sebagai penanda keakraban.
Namun, pada kasus di kolom komentar youtube milik LN News bukanlah
penanda keakraban karena penutur dan mitra tidak saling mengenal.
3. I Gede Budasi
Pertanyaan: Apakah dalam metode juga dijelaskan persoalan perbedaan
budaya?
Jawaban:
Para komentator youtube berasal dari berbagai latar belakang budaya
(multikultural). Oleh karena itu, budaya yang penulis ambil adalah budaya
Indonesia. Budaya Indonesia memiliki nilai-nilai kesopanan dan
kesantunan saat bertutur atau menyampaikan ujaran-ujaran di media
sosial. Dalam budaya mana pun di Indonesia, memaki pasti melanggar
etika berbahasa.
197
REDUPLIKASI PADA BAHASA MELAYU JAMBI DI KECAMATAN
PELAYANGAN KOTA JAMBI
Esy Solvera
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu
Budaya,
Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor
Pos-el: esysolvera7@gmail.com
Abstrak
Reduplikasi atau kata ulang merupakan salah satu proses
morfologis yang produktif dalam menghasilkan kata-kata baru. Kecamatan
Pelayangan merupakan wilayah penduduk asli di Kota Jambi yang terletak
di sepanjang aliran Sungai Batanghari di Kota Jambi. Wilayah tersebut
memiliki keaslian budaya dan bahasa di tengah ramainya budaya dan
bahasa pendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1)
bentuk dan (2) fungsi reduplikasi. Penelitian ini bermanfaat sebagai
dokumentasi bahasa daerah. Jenis penelitianadalah penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif. Metode dan teknik pengumpulan
data dilakukan melalui dua tahap secara bersamaan, yaitu metode simak
dancakap dengan teknik rekam dan catat. Hasil penelitian meliputi duahal.
Pertama, bentuk reduplikasiterdiri atas empat bentuk, yaitu (1)
seluruh,(2) sebagian, (3) penambahan afiks, dan (4) perubahan fonem.
Kedua, fungsi reduplikasi yang terbagi menjadi dua, yaitu (1) fungsi
membentuk kelas kata baru, meliputi verba, adjektiva, nomina, serta
adverbia, dan (2) fungsi membentuk makna baru, seperti makna banyak,
banyak bermacam-macam, agak, menyerupai ,benar-benar, walaupun,
berulang kali, saling, paling, dan seluruh.
Kata kunci: reduplikasi, bahasa Melayu, Jambi, morfologis
1. Pengantar
Provinsi Jambi memiliki banyak suku yang mendiaminya, yaitu
Suku Kerinci, Suku Melayu, Suku Anak Dalam, Suku Batin, dan lainnya.
Banyaknya suku yang berada di Provinsi Jambi menjadikan Provinsi Jambi
198
kaya akan bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dalam sebuah
laporan penelitian yang dilakukan oleh linguis berkebangsaan asing,
Anderback, terdapat pendapat Husin yang mengatakan bahwa ada enam
bahasa yang digunakan di Provinsi Jambi, yaitu bahasa Melayu Jambi,
bahasa Batin, bahasa Penghulu, bahasa Kubu, bahasa Kerinci, dan bahasa
Bajau (Husin dalam Anderback, 2008:3).
Bahasa Melayu Jambi adalah bahasa yang digunakan oleh
masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Sungai Batanghari. Sungai
Batanghari juga melintasi ibu kota Provinsi Jambi, yaitu Kota Jambi. Sungai
Batanghari membelah Kota Jambi menjadi dua bagian, yaitu kota yang
berkembang dan kota yang masih terjaga keasliannya yaitu wilayah
Seberang.Kondisi tersebut menjadikan Kota Jambi seperti dua sisi mata
koin, yaitu perkembangan peradaban modern dan pelestarian budaya
Melayu Jambi. Wilayah Kota Jambi yang berkembang berada jauh dari
Sungai Batanghari dan didiami oleh masyarakat yang beraneka ragam
suku, seperti Minangkabau, Batak, Jawa, dan suku-suku lainnya.
Bercampurnya suku-suku di wilayah berkembang Kota Jambi
mengakibatkan bahasa yang digunakan juga bercampur. Adapun wilayah
Seberang hanya terdiri dari masyarakat Melayu Kota Jambi yang secara
turun-temurun menetap di sepanjang aliran Sungai Batanghari sehingga
bahasa yang digunakan hanya satu bahasa, yaitu Bahasa Melayu Jambi
yang merupakan bahasa asli Kota Jambi.
Masyarakat Jambi Seberang tersebar di dua kecamatan, yaitu
Kecamatan Danau Teluk dan Kecamatan Pelayangan. Untuk memasuki
wilayah Seberang, masyarakat akan melewati sebuah gerbang pembuka
yang memisahkan wilayah Seberang dengan wilayah lainnya. Jalan menuju
wilayah Seberang hanya berpusat pada satu jalan utama yang yang searah
dengan alur sungai Batanghari. Kecamatan Danau Teluk adalah kecamatan
pertama yang akan dilalui masyarakat, kemudian diakhiri dengan
Kecamatan Pelayangan. Pada penelitian ini, kecamatan Pelayangan dipilih
sebagai lokasi penelitian dikarenakan lokasi Kecamatan Pelayangan lebih
jauh dari pusat kota dibandingkan Kecamatan Danau Teluk. Peneliti
beranggapan bahwa jauhnya letak Kecamatan Pelayangan dari pusat kota
menjadikan bahasa yang digunakan masyarakat Kecamatan Pelayangan
masih terjaga dari bercampurnya bahasa tersebut dengan bahasa lain
(bahasa pendatang).
199
Penelitian bidang morfologi bahasa Melayu Jambi di wilayah
Seberang Kota Jambi masih jauh terbelakang bila dibandingkan dengan
bahasa-bahasa lain di Indonesia, sedangkan morfologi merupakan bidang
yang sangat penting untuk mengenal suatu bahasa. Bloomfield (1933:207)
mengatakan bahwa perbedaan struktur bahasa lebih banyak dapat dikenal
melalui bidang kebahasaan yang paling statis (tidak mudah berubah),
yaitu morfologi. Secara khusus bidang penelitian ini adalah reduplikasi
atau proses pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar.
Penelitian dilakukan melalui metode simak dan cakap dengan teknik
lanjutan rekam dan catat.
2. Reduplikasi pada Bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan
Kota Jambi
Hasil penelitian reduplikasi ini berupa dua hal, yaitu (1) bentuk
reduplikasi dan (2) fungsi reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di
Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Data penelitian berjumlah 338 data
yang kemudian dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian seperti di
atas. Berikut ini penjelasan mengenai bentuk dan fungsi reduplikasi pada
bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi.
2.1 Bentuk Reduplikasi
Ada banyak pendapat ahli linguisitik yang dijadikan rujukan,
sepertiRamlan (1987:69), Muslich (2008:52), Kridalaksana (1996:88),
dan Parera (1988:46).Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori
reduplikasi menurut Muslich (2008:52). Bertolak dari pendapat Muslich
(2008:52) tentang bentuk reduplikasi pada bahasa Indonesia, bentuk
reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota
Jambi terdiri dari empat bentuk, yaitu (1) reduplikasi seluruh, (2)
reduplikasi sebagian, (3) reduplikasi dengan penambahan afiks, dan (4)
reduplikasidengan perubahan fonem.
2.1.1 Reduplikasi Seluruh
Pada reduplikasi seluruh, bentuk dasar akan diulang secara
keseluruhan tanpa penambahan atau pengurangan fonem. Rumus
reduplikasi seluruh adalah dasar (D) + reduplikasi (R). Berikut ini
contohnya.
1.
D 136
lokak-lokak
‘pekerjaan-pekerjaan’
2.
D6
tedok-tedok
‘tidur-tidur’
200
3.
D 27
kagi-kagi
‘nanti-nanti’
2.1.2
Reduplikasi Sebagian
Pada reduplikasi sebagian, bentuk dasar akan diulang secara
sebagian saja yang dapat terjadi pada suku kata awal ataupun suku kata
akhir bentuk dasar. Rumus reduplikasi sebagian adalah dasar (D) +
reduplikasi sebagian (RS). Rumus tersebut dapat pula dibalik menjadi
reduplikasi sebagian (RS) + dasar (D).Berikut ini contohnya.
4.
D 316
pembesak-besak
‘pembesar-besar’
5.
D 104
beleak-leak
6.
D 34
kecik-keciki
2.1.3
‘berantakan-berantakan’
‘kecil-kecilkan’
Reduplikasi dengan Penambahan Afiks
Reduplikasi dengan penambahan afiks adalah pengulangan bentuk
dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama. Afiks yang
ditambahkan dapat berupa prefiks, konfiks, sufiks, dan kombinasi afiks.
Afiks yang ditambahkan dapat berupa se-e, ke-an, -an.Berikut ini
contohnya.
7.
D 318
seaning-aninge
‘sedengar-dengarnya’
8.
D 308
kebudak-budakan
9.
D 258
ruma-rumaan
2.1.4
‘kekanak-kanakan’
‘rumah-rumahan’
Reduplikasi dengan Perubahan Fonem
Reduplikasi dengan perubahan fonem adalah bentuk dasar +
reduplikasi yang mengalami perubahan fonem kata ulang dengan
perubahan fonem. Reduplikasi dengan perubahan fonem ditemukan
paling sedikit pada data penelitian. Berikut ini contohnya.
10. D 160
warno-warni
‘warna-warni’
11.
D 14
bolak-balek
12.
D 307
mencang-mencong
‘bolak-balik’
‘tidak lurus’
2.2 Fungsi Reduplikasi
201
Untuk fungsi reduplikasi, ada banyak pendapat ahli linguisitik
yang dijadikan rujukan, sepertiKeraf (1980:120), Ramlan (1987:106),
danKridalaksana (1996:91). Ada pula pendapat ahli yang didapat dari
penelitian bahasa daerah, seperti penelitian bahada Sunda (Sutawijaya,
1981), bahasa Bugis (Kaseng, 1983), bahasa Gorontalo (Tallei, 1983), dan
bahasa Bali (Bawa, 1984).Hasil dari rujukan tersebut berupa fungsi
reduplikasi yang terbagi menjadi dua, yaitu (1) fungsi membentuk kelas
kata baru dan (2) fungsi membentuk makna baru. Berikut ini fungsi
reduplikasi.
2.2.1 Fungsi Membentuk Kelas Kata Baru
Fungsi membentuk kelas kata baru merupakan fungsi reduplikasi
yang dapat mengubah kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata lainnya
setelah mengalami reduplikasi. Maksudnya, jika kelas kata bentuk dasar
adalah verba, setelah reduplikasi dapat berubah menjadi adverbia, atau
bentuk kelas kata lainnya. Namun tidak semua bentuk kelas kata
reduplikasi berubah dari kelas kata bentuk dasarnya, dengan kata lain
kelas kata reduplikasi masih sama. Berikut ini perubahan kelas kata
karena reduplikasi.
2.2.1.1 Membentuk Verba
13
D 333 berse-berse
‘bersih-bersih’
Adj – V
14.
D 336
agak-agak
2.2.1.2 Membentuk Adjektiva
15. D 308 kebudak-budakan
16.
D 241
toron-temoron
2.2.1.3 Membentuk Nomina
17. D 79
toles-menoles
18.
D 147
mambu-mambu
2.2.1.4 Membentuk Adverbia
21. D 284 pagi-pagi
22.
D 334
kiro-kiro
‘agak-agak’
Adv – V
‘kekanak-kanakan’
N – Adj
‘tulis-menulis’
V–N
‘pagi-pagi’
N – Adv
‘turun-temurun’
‘bau-bau busuk’
‘kira-kira’
V – Adj
Adj – N
V – Adv
2.2.2 Fungsi Membentuk Makna Baru
202
Makna yang dihasilkan reduplikasi dapat berupa makna yang sama
dengan makna bentuk dasar dan dapat pula makna yang berbeda dari
makna bentuk dasar. Jikalau makna reduplikasi berubah dari makna
bentuk dasar, maka reduplikasi tersebut memiliki fungsi membentuk
makna baru. Misalnya, jika makna bentuk dasar adalah tunggal, setelah
terjadi pengulangan kata (reduplikasi), makna dapat menjadi
banyak.Berikut ini makna-makna baru yang terbentuk karena proses
reduplikasi.
2.2.2.1 Makna Banyak
23. D 26
sere-sere
‘serai-serai’
24.
D 209
budak-budak
'anak-anak’
2.2.2.2 Makna Banyak dan Beracam-macam
25. D 160 warno-warni
‘warna-warni’
26.
D 37
Dedoetan
2.2.2.3 Makna Agak
27. D 184 kemera-meraan
28.
D 100
keelok-elokan
2.2.2.4 Makna Menyerupai
29. D 263 antu-antuan
30.
D 258
ruma-rumaan
2.2.2.5 Makna Benar-benar
31. D 96
elok-elok
32.
kemerah-merahan
kecantik-cantikan
hantu-hantuan
rumah-rumahan
baik-baik
benar-benar
benar-benar
2.2.2.6 Makna Walaupun
33. D 151 besak-besak
besar-besar
34.
D2
‘deduitan’
lapar-lapar
lapar-lapar
2.2.2.7 Makna Berulang Kali
35. D 6
tedok-tedok
tidur-tidur
36.
2.2.2.8
D 252
D 28
tekagi-kagi
nanti-nanti
Makna Saling
203
37.
D 228
bebala-bala
berkelahi-kelahi
38.
D 224
pancit-pancitan
sembunyi-sembunyian
2.2.2.9 Makna Paling
39. D 287 secane-canee
40.
D 98
Seelok-eloke
2.2.2.10 Makna Seluruh
41. D 226 sebanjir-banjir
42.
D 132
sesangkek-sangkek
sebenci-bencinya
sebaik-baiknya
sebanjir-banjir
seplastik-plastik
3. Penutup
Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota
Jambi ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk reduplikasi dan
aspek fungsi reduplikasi.
2. Temuan penelitian yang pertama adalah bentuk reduplikasi pada
bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Bentuk
reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota
Jambi dikelompokkan menjadi empat bentuk berdasarkan proses
reduplikasinya, yaitu (1) bentuk reduplikasi seluruh, (2) bentuk
reduplikasi sebagian, (3) bentuk reduplikasi dengan penambahan
afiks, dan (4) bentuk reduplikasi dengan perubahan fonem.
3. Temuan penelitian selanjutnya adalah fungsi reduplikasi pada bahasa
Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Fungsi
reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota
Jambi dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) fungsi reduplikasi
sebagai pembentuk kelas kata baru dan (2) fungsi reduplikasi sebagai
penghasil makna baru.
Pertanyaan
1. Apakah ada reduplikasi fonologis pada bahasa Melayu Jambi?
2. Apakah satu kata reduplikasi dapat memiliki lebih dari satu makna?
204
3. Apakah dapat berterima sebuah bentuk reduplikasi tidak diulang pada
kata majemuk? Contohnya rendang paru, bukan rendang paru-paru.
Daftar Pustaka
Anderback, Karl Ronald. 2008. “Malay Dialects of The Batanghari River
Basin
Jambi Sumatera”. SIL International. www.sil.org. Texas, USA: Library
of Congress Catalog Number: 2007-942663.
Bawa, I Wayan, dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Bali. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Bloomfield, Leonard.
1993. Language. Delhi: Motilal Banarsidass
Publishers.
Kaseng, Sjahruddin, dkk. 1983. Sistem Perulangan Bahasa Bugis. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.
Ende: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2008. Tatabentuk bahasa Indonesia: kajian ke arah
tatabahasa deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Parera, Jos Daniel. 1988. Morfologi. Jakarta: Gramedia.
Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:
Karyono.
Sutawijaya, Alam, dkk. 1981. Sistem Perulangan Bahasa Sunda. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tallei, dkk. 1983. Sistem Perulangan (Reduplikasi) Bahasa Gorontalo.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
205
SENYAPAN DALAM RANAH KEJURUBAHASAAN
Febriansyah Ignas Pradana*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: ignaspradana@gmail.com
A B S T R A K
Senyapan merupakan salah satu bukti bahwa dalam tuturan, penutur
melalui proses yang kompleks. Senyapan termasuk kajian pada ranah
psikolinguistik. Senyapan muncul hampir dalam setiap tuturan manusia
dalam berbagai bahasa dan terbagi menjadi tiga jenis. Senyapan tersebut
memiliki bentuk dan fungsi tertentu dalam tuturan. Terkait ranah
kejurubahasaan, senyapan dijumpai ketika seorang juru bahasa
memindahkan sebuah pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) apa saja bentuk dan fungsi
senyapan yang ditemukan dalam sebuah acara yang melibatkan peran juru
bahasa, dan (2) bagaimana seorang juru bahasa menerjemahkan bentukbentuk senyapan yang muncul ketika bertugas, serta (3) mengapa juru
bahasa menerjemahkan bentuk-bentuk senyapan yang muncul ketika
bertugas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk
senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan peran serta
seorang juru bahasa. Data diambil dari video yang tersedia di laman
youtube untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode agih dengan
teknik lanjutan lesap. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa (1)
terdapat tiga jenis bentuk senyapan yang ditemukan dalam sebuah acara
yang melibatkan peran seorang juru bahasa, (2) juru bahasa cenderung
tidak menerjemahkan bentuk-bentuk senyapan yang muncul, dan (3) juru
bahasa menerjemahkan senyapan dipengaruhi oleh faktor non-teknis.
Kata kunci: senyapan, tuturan, psikolinguistik, penerjemahan,
kejurubahasaan.
206
PENDAHULUAN
Untuk memproduksi sebuah tuturan, manusia melalui sebuah
proses yang kompleks. Menurut Dardjowidjojo (2012: 141) proses
tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu konseptualisasi, formulasi, dan
artikulasi. Pada kenyataannya, walaupun semua tuturan melalui proses
yang kompleks sebagaimana dipaparkan di atas, tidak semua tuturan
dapat dituturkan secara ideal. Tidak jarang sebuah tuturan disertai dengan
jeda panjang atau bunyi-bunyi seperti em, e, atau kalimat seperti apa?, apa
namanya itu?, pengulangan kata, dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut
dikategorikan sebagai bentuk senyapan (Dardjowidjojo, 2012: 144).
Fraundorf & Watson (2013) mendefinisikan senyapan sebagai bentuk
gangguan verbal maupun nonverbal yang tidak berhubungan atau menjadi
bagian dari pesan utama yang ingin disampaikan penutur.
Senyapan dalam tuturan banyak muncul dalam kegiatan
penerjemahan, khususnya penerjemahan lisan. Penerjemahan lisan atau
lazim disebut kejurubahasaan secara definitif adalah “the oral
transposition of an orally delivered message at a conference or a meeting
from a source language into a target language in the presence participants”
(Weber, 1984: 3). Penerjemahan lisan dibagi menjadi penerjemahan lisan
simultan dan konsekutif. Pada penerjemahan lisan simultan, seorang juru
bahasa menerjemahkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
secara bersamaan dengan penutur. Pada penerjemahan lisan konsekutif,
juru bahasa menerjemahkan pesan yang dikirim setelah penutur selesai
menuturkan tuturannya (Santiago, 2002).
Merujuk pernyataaan tersebut, keberadaan seorang juru bahasa
dalam sebuah acara atau konferensi sangatlah penting. Juru bahasa harus
mampu memindahkan sebuah pesan dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran dengan baik sehingga tercapailah tujuan dari sebuah konferensi.
Dalam proses penyampaian pesan dan gagasan dari bahasa sumber ke
bahasa sasaran seringkali terjadi ketidaklancaran tuturan yang
menimbulkan bentuk-bentuk senyapan tertentu. Senyapan tersebut bisa
berasal dari dua belah pihak penutur, juga dari juru bahasa yang sedang
bertugas di antaranya. Contoh tuturan berikut merupakan contoh-contoh
senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan seorang juru
bahasa.
206
(1) jadi | ... | jadi anda tidak mengetahui apa yang | …
(www.youtube.com/watch?u=m89sP7YQdJg)
(2) You | ... | you are | not allowed to take photos ‘anda | … | anda tidak
diperbolehkan
untuk
mengambil
foto’
(www.youtube.com/watch?u=m89sP7YQdJg)
Bentuk-bentuk senyapan yang muncul tersebut memiliki kekhasan,
baik secara bentuk dan fungsinya. Berdasarkan latar belakang tersebut
penelitian ini akan difokuskan pada (1) apa sajabentuk dan fungsi
senyapan dalam sebuah acara yang melibatkan peran serta juru bahasa,
(2) mengetahui bagaimana dan mengapa juru bahasa menerjemahkan
senyapan yang dituturkan kedua belah pihak penutur. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk senyapan yang
muncul ketika seorang juru bahasa bertugas. Data diambil dari sebuah
video yang menayangkan proses interogasi atas kasus kekerasan pada
anak di bawah umur yang dilakukan oleh warga negara Australia yang
sedang berlibur di Indonesia. Dalam video yang diunduh dari laman
youtube tersebut, di dalamnya terlibat peran serta seorang juru bahasa.
Data selanjutnya dianalisis melalui metode agih dengan teknik lanjutan
lesap (Sudaryanto, 1993).
TINJAUAN PUSTAKA
Tentang kaitan antara bentuk senyapan dengan penerjemahan
lisan khususnya di Indonesia belum banyak diteliti oleh para peneliti
sebelumnya. Peneliti menemukan beberapa penelitian tentang senyapan
seperti pada tesis dari Fida Pangeti (2015) yang berjudul “Senyapan dalam
Bahasa Indonesia” dan penelitian mengenai penerjemahan lisan yang
dilakukan oleh Umi Pujiyanti (2009) dengan tesisnya yang berjudul
“Kajian Penerjemahan Lisan Simultan pada Japan Automobile Research
Institute (JARI) Roundtable 2008: Efforts for Air Pollution Reduction”. Pada
penelitian tersebut dibahas mengenai strategi-strategi seorang juru
bahasa dalam sebuah konferensi formal.
Dari penelitian-penelitian tersebut didapatkan beberapa persamaan
yang mendukung penelitian ini. Persamaan tersebut antara lain
pembahasan mengenai bentuk dan fungsi senyapan, pun pembahasan
mengenai strategi penerjemahan pada penerjemahan lisan. Perbedaan
terletak pada kajian penelitian yang mana pada penelitian ini berfokus
207
pada senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan seorang
juru bahasa dan bagaimana serta mengapa juru bahasa menerjemahkan
bentuk-bentuk senyapan yang muncul tersebut.
KERANGKA TEORI
Bentuk-bentuk Senyapan
Dalam hal ini, Heike (1985) mengajukan tiga kategori untuk
senyapan tersebut, yaitu stalls, repairs, dan parenthetical remarks. Stalls
mencakup senyapan diam, senyapan terisi, pengulangan progresif, dan
pemanjangan. Sebuah senyapan dikategorikan sebagai senyapan diam jika
memiliki durasi melebihi durasi senyapan pada tuturan normal. Senyapan
yang berupa hadirnya pengisi seperti er, em, eh, dan sebagainya
dikategorikan sebagai senyapan terisi.
Pengulangan progresif mengakomodasi pencarian kata, seperti
pada to the … to the city. Adapun pemanjangan digunakan untuk mengulur
waktu sampai kata yang dibutuhkan oleh penutur berhasil ditemukan,
seperti pada let’s saaay … tomorrow at five?. Repairs mencakup false starts
dan bridging repeat. False starts mengacu pada penyusunan ulang kalimat
yang sudah terlanjur diujarkan dengan atau tanpa disertai perubahan
makna. Biasanya kalimat yang sudah terlanjur diujarkan itu belum sampai
selesai atau belum lengkap. Misalnya, I was in—I have been in Denver
before….
Sementara itu, bridging repeat yaitu pengulangan elemen secara
retrogesif untuk mencari konstituen awal yang memiliki kohesi secara
semantik maupun temporal. Misalnya, the … | pause | … the father; the
father vs. father. Pada contoh tersebut dapat dilihat bahwa father dan the
father secara semantik memiliki makna dan pengacuan yang berbeda.
Adapun parenthetical remark ‘kata-kata sisipan’ memerankan beberapa
fungsi kohesif yang tidak sepenuhnya ditetapkan. Parenthetical remark ini
lazimnya merupakan bentuk koreksi kesalahan atau kekurangtepatan
tuturan. Misalnya, well, you know, in other words, dan sebagainya. Lebih
lanjut peneliti menuangkan teori dari Heike (1985) mengenai bentukbentuk senyapan dalam bagan berikut.
Fungsi-fungsi Senyapan
Garman (1990:130) menyatakan bahwa senyapan memiliki fungsi
fisiologis, komunikatif, dan kognitif. Secara fisiologis, senyapan digunakan
208
oleh penutur untuk bernafas. Secara komunikatif, senyapan digunakan
untuk memperjelas struktur sintaksis tuturan sehingga memudahkan
mitra tutur untuk memahami pesan penutur. Adapun secara kognitif,
senyapan digunakan oleh penutur untuk merencanakan tuturan. Dalam
hal ini, tampaknya senyapan ketidaklancaran tuturan lebih condong pada
fungsi ketiga daripada fungsi pertama dan kedua. Di samping itu, senyapan
juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol kualitas tuturan (Reed,
2000)
Pengertian Penerjemahan Lisan
Layaknya pada jenis penerjemahan lain, beragam definisi juga
disampaikan oleh beberapa ahli tentang penerjemahan lisan. Satu
diantaranya diungkapkan Jones (1998: 71) bahwa pada hakekatnya
penerjemahan lisan merupakan suatu proses pengalihan pesan lisan dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan proses berupa listening,
understanding, analysing, and re-expressing.
Faktor-faktor dalam Penerjemahan Lisan
Secara umum, ada dua hal yang mempengaruhi kemampuan
penerjemah mengalihkan pesan pada proses penerjemahan lisan yakni
faktor teknis dan faktor non-teknis.
Faktor Teknis
Faktor teknis adalah segala faktor yang berkaitan dengan kondisi
fisik berlangsungnya proses penerjemahan. Beberapa hal yang bisa
dikategorikan sebagai faktor teknis adalah kondisi ruangan konferensi,
peralatan yang digunakan oleh pembicara dan oleh penerjemahan seperti
mikrofon, sound systems, head set, dan sebagainya. Secara detail,
Seleskovitch (1978: 128) membedakan tiga kondisi yang dialami
penerjemah jika peralatan fisik yang dia butuhkan tidak dalam kualitas
prima. Ketiga kondisi tersebut adalah (1) Those who can hear and
understand, (2) Those who hear without understanding, dan (3) Those who
do not hear at all.
Faktor Non-Teknis
Nababan (2004: 54) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor nonteknis yang menjadi pertimbangan dan dinilai memiliki pengaruh
terhadap proses penerjemahan lisan. Hal tersebut mencangkup (1) siapa
pembicaranya, (2) apa kebangsaannya, apa dan bagaimana latar belakang
budayanya, bagaimana ”dunia pikirannya”, apa yang diharapkannya dari
209
pertemuan atau dialog itu, apa posisi pemerintahannya dalam negosiasi
itu, dan (3) apa dan bagaimana pandangan pribadinya.
Kemampuan berbicara dan berkomunikasi secara efektif—
meliputi intonasi, diksi, mimik wajah, dan gesture—di depan umum juga
merupakan faktor penting penentu keberhasilan dalam penyampaian
pesan. Terkait dengan penutur, Pöchhacker (2001: 126-131) menjelaskan
bahwa selama proses menerjemahkan lisan, penerjemah akan berhadapan
dengan input variables. Input variables ini berupa sound and vision, accent
and intonation, speed and mode of delivery, dan source text complexity.
Teknik-teknik dalam Penerjemahan Lisan
Jones (1998: 88-119) menjelaskan beberapa teknik yang bisa
dipergunakan dalam penerjemahan lisan, yaitu:
a. Reformulasi
Contohnya adalah kata ‘shallow’ (physical sense of water
not being deep) tidak memiliki padanan makna dalam bahasa
Perancis. Jadi ketika penerjemah harus menerjemahkan ke
dalam bahasa Perancis: “Barges cannot use the river in summer
because it is too shallow”, maka penerjemah bisa
menerjemahkannya menjadi “Barges cannot use the river in
summer because it is not deep enough”.
b. Teknik Salami atau Pemotongan
Jones (1998: 101) menyatakan salami technique adalah “…
divide the one long sentence up into a number of shorter one”.
c. Penyederhanaan
Teknik ini membutuhkan kemampuan juru bahasa untuk
mengorbankan unsur-unsur yang kurang penting demi unsur
lain yang lebih penting.
d. Penggunaan Bentuk Umum atau Generalisasi
Jones (1998: 112) menjelaskan bahwa teknik ini lebih
tepat digunakan oleh juru bahasa dengan tujuan menghemat
waktu terutama jika penutur asli menuturkan sejumlah istilah
teknis yang bisa dicarikan bentuk umumnya.
e. Penghilangan atau Omission (under duress) and fast speakers
210
Teknik penghilangan ini biasanya dilakukan oleh
penerjemah ketika dia berada dalam paksaan atau ketika
penutur aslinya berbicara terlalu cepat.
f.
Ringkasan dan Rekapitulasi
Jones (1998:115) menegaskan bahwa yang dimaksud
dengan meringkas bukanlah memberikan ringkasan dari
keseluruhan teks yang disampaikan oleh penutur asli.
Ringkasan disini adalah tambahan yang diberikan oleh
penerjemah sebagai informasi tambahan yang tentunya masih
mengacu pada pokok bahasan yang sedang dibicarakan oleh
penutur utama. Secara umum, ringkasan ini berasal dari
interpretasi penerjemah terhadap isu yang disampaikan oleh
penutur bahasa. Teknik ini juga bisa disebut dengan
penambahan (addition).
g. Penerjemahan Harfiah
Teknik penerjemahan yang mengalihkan suatu ungkapan
dalam bahasa sumber secara kata per kata ke dalam bahasa
sasaran.
h. Penjelasan atau Explanation
i.
Contoh yang diberikan oleh Jones (1998:116) adalah
ketika juru bahasa diminta untuk menerjemahkan ‘the TGV’ [=
train grande vitesse = high-speed train]. ‘TVG’ ini tidak hanya
sekedar ‘kereta cepat’ biasa, TVG lebih memiliki makna ‘kereta
cepat milik Perancis’. Oleh karena itu, ketika menerjemahkan
‘the TVG’, penerjemah lebih baik menerjemahkannya menjadi
‘the French high-speed train’.
Antisipasi
Teknik inilah yang memberikan kesempatan bagi para juru
bahasa untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan
sebelum mulai menerjemahkan, seperti (1) konteks
pertemuan, (2) speech patterns dan rhetorical structures,
mengingat kedua hal ini berbeda untuk setiap bahasa yang
ada, (3) jika penerjemah telah yakin akan akhir sebuah
kalimat, maka dia bisa melakukan antisipasi dengan
menggunakan bahasanya sendiri.
211
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari data yang telah dijaring dan selanjutnya dianalisis
menggunakan metode agih dengan teknik lanjutan lesap, ditemukan hasil
berupa (1) 61 bentuk senyapan yang terbagi dalam 3 kategori senyapan,
yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks, (2) kategori senyapan yang
paling banyak muncul adalah stalls, berbentuk senyapan pengulangan
(repetitif) dengan frekuensi kemunculan senyapan sebanyak 26 kali, (3)
senyapan yang muncul memiliki fungsi fisiologis, komunikatif, dan
kognitif, (4) fungsi senyapan yang paling dominan adalah fungsi kognitif,
(5) juru bahasa cenderung tidak menerjemahkan senyapan, hal ini
dibuktikan dari keseluruhan data yang ditemukan, sebesar 8,5% bentuk
senyapan diterjemahkan oleh juru bahasa, dan (6) juru bahasa
menerjemahkan
senyapan
menggunakan
teknik
generalisasi,
penerjemahan harfiah dan penambahan, serta (7) penerjemah memilih
untuk menerjemahkan senyapan dipengaruhi oleh faktor non-teknis.
Pembahasan
Menjelaskan yang telah disebutkan pada sub bab V.1. di atas, pada
sub bab ini pembahasan meliputi,
Bentuk Senyapan
Terdapat 61 bentuk senyapan yang terbagi dalam 3 kategori
senyapan, yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks. Pada kategori
stalls ditemukan data berupa (a) senyapan terisi non leksikal, berbentuk
emm pada emm | … | jadi begitu ya (17.19) dan e pada tuturan e | … | isyarat
seperti ini | artinya apa ya (18.40), (b) senyapan repetitif, berupa I | ... | I
don’t think so (14.49), dan is it | ... | is it the right things to do (22.11). Pada
kategori repairs senyapan berbentuk (a) false starts, berupa kenapa | ... |
apa alasan polisi (19.41), to assault | ... | to resist (22.08) dan I didn’t know
| ... | I didn’t understand (13.47), dan (b) bridging repeat, berupa no | ... | not
at all (17.34). Selanjutnya pada kategori parenthetical remarks, ditemukan
data berupa well pada I didn’t | well | I just want (17.07), look pada look | …
| I do not think (11.50), and pada and | … | and you aware that (14.49) dan
oke pada oke | … | kami mengerti (20.33).
212
Fungsi Senyapan
Fungsi fisiologis terlihat ketika penutur menggunakan senyapan diam
pada menit ke 21. Fungsi komunikatif terlihat pada menit ke-17 detik 07
berupa well pada I didn’t | well | I just want (17.07). Selanjutnya, fungsi
kognitif dapat dilihat pada contoh data ketika penutur menggunakan
senyapan em dalam kalimat em | apakah ada yang memaksa anda? (22.36)
dan it ... it was an accident (19.54). Dari data tersebut dapat diketahui
bahwa penutur menggunakan senyapan repetitif berupa it pada it ... it was
an accident karena penutur mencoba menyusun kalimat selanjutnya yang
akan dituturkan berdasarkan pengalaman empiris yang terjadi pada
penutur.
Juru Bahasa Menerjemahkan Senyapan
Juru bahasa cenderung tidak menerjemahkan bentuk senyapan yang
muncul pada bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada data yang ditemukan
oleh peneliti, dari 47 bentuk senyapan, baik pada bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris hanya 4 bentuk senyapan yang diterjemahkan oleh juru
bahasa atau sebesar 8,5%.
Dalam menerjemahkan senyapan, juru bahasa menggunakan tiga
teknik penerjemahan, yaitu teknik generalisasi, penerjemahan harfiah dan
penambahan. Pada teknik generalisasi juru bahasa menggunakan bentuk
yang lebih umum pada bahasa sasaran. Terlihat ketika juru bahasa
menerjemahkan I didn’t know ... I didn’t understand (13.42) menjadi saya
tidak tahu ... saya tidak tahu (13.48). Pada teknik penerjemahan harfiah,
juru bahasa menerjemahkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran
secara literal. Dapat dilihat ketika juru bahasa menerjemahkan I ... I think
(14.49) menjadi saya ... saya merasa (15.03). Selanjutnya, pada teknik
penambahan dapat dilihat ketika juru bahasa menambah bentuk senyapan
yang muncul dalam bahasa sumber and I don’t … (15.24) menjadi saya
tidak tahu ... saya tidak merasa (15.31) pada bahasa sasaran.
Mengapa Juru Bahasa Menerjemahkan Senyapan
Faktor non-teknis yang mempengaruhi juru bahasa dalam
menerjemahkan senyapan yang hadir ialah (1) ketidaksiapan juru bahasa
sebelum melaksanakan tugas. Pada video yang berisi interogasi pada
warga Negara Australia yang melakukan kekerasan pada anak di bawah
umur tersebut, pihak yang terkait menghubungi juru bahasa secara
spontan karena pihak yang terkait tidak mampu berkomunikasi dengan
213
baik. Dapat dipahami bahwa kekurangan waktu yang dimiliki oleh juru
bahasa menyebabkan juru bahasa kurang memahami mengenai topik apa
yang akan dibicarakan. Selanjutnya (2) peneliti menganggap bahwa
senyapan yang muncul dari bahasa sumber adalah hal yang tidak bisa
dihilangkan. Ini dikarenakan senyapan yang muncul mengandung
penegasan dari penutur dalam bahasa sumber. Terlihat ketika juru bahasa
menerjemahkan I didn’t know ... I didn’t understand (13.42) menjadi saya
tidak tahu ... saya tidak tahu (13.48).
KESIMPULAN
Pada penelitian ini peneliti menemukan 61 senyapan dalam sebuah
acara yang melibatkan peran seorang juru bahasa. Senyapan tersebut
terdiri dari tiga kategori, yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks.
Fungsi senyapan yang ditemukan berupa fungsi fisiologis, komunikatif dan
kognitif, dimana fungsi terbanyak ialah fungsi kognitif. Juru bahasa
menerjemahkan senyapan yang muncul sebesar 8,5% dengan
menggunakan teknik generalisasi, penerjemahan harfiah dan
penambahan.
Juru bahasa memilih untuk menerjemahkan senyapan dipengaruhi
oleh faktor non-teknis. Faktor non-teknis tersebut adalah (1)
ketidaksiapan juru bahasa sebelum melaksanakan tugas, dan (2) peneliti
menganggap bahwa senyapan yang muncul dari bahasa sumber adalah hal
yang tidak bisa dihilangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Fraundorf, S. Watson, D.G. 2013. What Happened (and What didn’t). Journal
of Memory and Language
Garman, Michael. 1990. Psycholinguistics. Cambridge University Press
Heike, A. E. 1985. A Componential Approach to Oral Fluency Evaluation. The
Modern Language Journal.
Jones, R. 1996. Conference Interpreting Explained. Manchester, UK: St.
Jerome Publishing
214
Nababan, M. R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
____________. 2004. Pengantar Pengalihbahasaan (Interpreting). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.
Pöchhacker, Franz. 2004. Introducing Interpreting Studies. New York:
Routledge.
Reed, Mike. 2000. The Limits of Discourse Analysis. US: Sage Journals
Santiago,R. 2002. Consecutive Interpreting: A
http://home.earthlink.net/-terperto/id16.html
Brief
Review.
In
Seleskovitch. 1978. Interpreting for International Conferences: Problems of
Language and Communication. Washington D.C.: Pen and Booth
(Translated from French by Stephanie Dailey and E. Norman McMillan)
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: ILDEP
Duta Wacana University Press
Weber, K. 1984. Training Translators and Conference Interpreter. New
Jersey: Prentice Hall
Dreamedia Creative. (2016, Maret 1). Interpreting and Translating Service
NT. Indonesian Reverse Role 2015. [Video file]. Retrieved from
https://www.youtube.com/watch?v=m89sP7YQdJg
Pertanyaan:
1. Bagaimana metode agih dengan teknik lanjutan lesap digunakan
dalam penelitian ini?
2. Apa ciri-ciri senyapan?
3. Mengapa senyapan lebih banyak tidak diterjemahkan oleh juru
bahasa?
Jawaban:
1. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya
justru bagian dari bahasa itu sendiri. Dalam penelitian ini diketahui
bahwa senyapan adalah bagian dari bahasa. Selanjutnya,
digunakan teknik lesap sebagai teknik lanjutan. Teknik lesap
adalah sebuah teknik dimana peneliti melesapkan satuan-satuan
215
kebahasaan tertentu. Pada penelitian ini, penulis melesapkan
satuan-satuan tertentu yang merupakan bagian dari senyapan.
2. Hingga tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan ahli yang
mengemukakan teori yang secara gamblang memaparkan ciri-ciri
dari senyapan. Selanjutnya, seiring penulisan yang dilakukan
mengenai senyapan khususnya, penulis mampu mengetahui
bahwa satuan kebahasaan dinyatakan senyapan apabila satuan
tersebut jika dihilangkan atau dilesapkan, maka ia tidak merubah
makna dari pesan yang disampaikan. Contohnya, ketika seseorang
penutur bahasa Inggris menuturkan “I am telling you, you better
quit crying your heart out!”. Jika satuan kebahasaan berbentuk I am
telling you dilesapkan hingga menjadi “you better quit crying your
heart out!”, hal ini tentu tidak merubah isi dari sebuah pesan yang
ingin disampaikan. Mitra tutur akan tetap memahami apa yang
ingin disampaikan oleh penutur. Disini dapat diketahui bahwa I am
telling you adalah senyapan terisi leksikal yang berfungsi kognitif
untuk memberi tanda pada mitra tutur bahwa penutur akan
menuturkan sesuatu yang penting (discourse marker)
3. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor non-teknis, yaitu pemahaman
penerjemah akan pesan yang disampaikan. Seorang juru bahasa
memilih untuk tidak menerjemahkan senyapan dari bahasa
sumber ke bahasa sasaran, karena ia memahami seluruh rangkaian
pesan yang ingin disampaikan oleh penutur. Apabila dalam
rangkaian pesan tersebut terdapat senyapan yang muncul, hampir
dipastikan juru bahasa memilih untuk tidak menerjemahkan
karena senyapan ini bukan inti dari sebuah pesan.
216
PENERJEMAHAN KATA BUDAYA PADA ROMAN DIE WEIßE
MASSAI DARI BAHASA JERMAN KE DALAM BAHASA INDONESIA
Fitria Puji Nur Azizah
Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta
fitriapudji@gmail.com
ABSTRAK
Terjemahan dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Penerjemah
tidak hanya menerjemahkan dalam bentuk kebahasaan, melainkan juga
harus memperhatikan aspek budaya dari pembaca teks sasaran.
Penerjemahan yang sangat sering dilakukan adalah menerjemahkan karya
sastra. Proses penerjemahan karya sastra bukanlah sebuah proses yang
mudah, dimana tidak dapat dilakukan secara otomatis dan asal-asalan.
Tentu saja ditemukan banyak persoalan akibat adanya perbedaan budaya
antara teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa). Kata-kata budaya
(cultural words) akan menjadi masalah dalam terjemahan karena adanya
tumpang tindih budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran serta
pembaca dari kedua bahasa tersebut. Dalam setiap karya terjemahan,
selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk mengetahui ideologi penerjemahan melalui analisis kata-kata
budaya (cultural words), metode penerjemahan dan teknik penerjemahan
dalam roman Die Weiβe Massai dari bahasa Jerman ke dalam bahasa
Indonesia.
Kata kunci: cultural words, metode penerjemahan, teknik penerjemahan,
ideologi penerjemahan.
PENDAHULUAN
Penerjemahan mempunyai peran yang sangat penting dalam
menyediakan informasi terhadap sebuah teks, salah satunya yaitu teks
karya sastra. Karya sastra sendiri tidak dapat terlepas dari muatanmuatan budaya negara asal teks tersebut. Kebudayaan Indonesia tentu
saja berbeda dengan kebudayaan barat, khususnya kebudayaan Jerman.
Perbedaan kebudayaan tersebut jika dikaitakan dengan penerjemahan
karya sastra sering menimbulkan masalah. Sebagaimana Nida (1974)
mengungkapkan bahwa faktor kebudayaan dapat menjadi kendala dalam
proses penerjemahan.
217
Menurut Newmark (1988: 171) masalah penerjemahan terkait
dengan perbedaan kebudayaan berupa gaya bahasa, latar, tema, seperti
nama karakter, nama tempat, kata atau ungkapan budaya yang tidak
ditemukan dalam bahasa sasaran. Oleh sebab itu, penerjemah dituntut
untuk memiliki pengetahuan budaya TSu supaya hasil terjemahannya
tepat dan dapat dipahami oleh pembaca TSa.
Kegiatan menerjemahkan merupakan kegiatan pengambilan
keputusan, jadi seseorang harus menentukan terlebih dahulu siapa calon
pembaca terjemahannya dan untuk apa terjemahan itu dilakukan. Dalam
setiap karya terjemahan, selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Menurut
Venuti (1995), ideologi adalah sebuah kecenderungan dominan
masyarakat dalam menilai betul-salah suatu terjemahan. Dalam kaitannya,
ideologi mengarah pada dua kutub yang berlawanan, yaitu berorientasi
pada TSa (domestication) dan berorientasi pada TSu (foreignization).
Untuk mengetahui ideologi penerjemahan, peneliti menggunakan
teori dari Newmark (1988: 95) yang mengelompokkan kata-kata budaya
menjadi lima kategori, yakni: (1) ecology (tumbuh-tumbuhan, hewan,
nama geografis); (2) material culture (peralatan, makanan, pakaian,
bangunan, dan alat transportasi); (3) social culture (jenis pekerjaan dan
hiburan); (4) social organizations (istilah dalam bidang politik, agama,
seni); (5) gestures and habits.
Selain itu, Newmark (1988: 45-57) mengungkapkan bahwa
terdapat delapan metode penerjemahan, yaitu: Word-for-word
Translation, Literal Translation, Faithful Translation, Semantic Translation
yang lebih mengarah pada BSu, sedangkan Adaptation, Free Translation,
Idiomatic Translation, dan Communicative Translation lebih condong ke
BSa. Sementara itu, teknik penerjemahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu teknik dari Molina dan Albir (2002) yang
mengemukakan 18 teknik penerjemahan, diantaranya:
1. Adaptasi
10. Amplifikasi Lingistik
2. Amplifikasi
11. Kompresi Linguistik
3. Peminjaman
12. Penerjemahan Literal
4. Calque
13. Modulasi
5. Kompensasi
14. Partikulariasasi
6. Deskripsi
15. Reduksi
7. Kreasi Diskursif
16. Subtitusi
8. Padanan Lazim
17. Transposisi
218
9. Generalisasi
18. Variasi
Penelitian ini menggunakan roman Die Weiβe Massai karya Corinne
Hofmann yang sudah terjual lebih dari empat juta eksemplar dan
diterjemahkan ke dalam 33 bahasa. Terdapat banyak istilah budaya dalam
roman ini karena roman ini menceritakan tentang seorang wanita asal
Swiss yang jatuh cinta pada prajurit Samburu dan memilih hidup dalam
suku pedalaman di Kenya. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif komparatif, yaitu metode yang menggambarkan secara
rinci dan menyeluruh hasil penelitian dan membandingkan kalimat bahasa
sumber dan bahasa sasaran.
Sebuah penelitian mengenai ideologi penerjemahan yang pernah
dilakukan sebelumnya berjudul “The Ideology of Translation of Cultural
Terms Found in Pramoedya Ananta Toer’s Work Gadis Pantai into The Girl
from The Coast (Gede Eka Putrawan, 2011)” yang menjadi dasar tinjauan
pustaka penelitian ini. Tujuan penelitian sebelumnya adalah menganalisis
ideologi penerjemahan yang paling sering diterapkan dalam
menerjemahkan istilah-istilah budaya tersebut, dan mengidentifikasikan
faktor-faktor yang menyebabkan diterapkannnya ideologi penerjemahan
tersebut. Perbedaannya adalah pada penelitian milik Gede Eka Putrawan
tidak membahas metode penerjemahan dan objek yang digunakan
berbeda. Sementara itu, Liesza Maria Ronalia (2017) dalam penelitiannya
yang berjudul Penerjemahan Culture-Specific Items Pada Roman Rubinrot
Dari Bahasa Jerman Ke Dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia juga
menjadi tinjauan pustaka penelitian ini. Tujuan penelitian milik Liesza
Maria adalah untuk mengetahui kata-kata budaya apa saja yang terdapat
dalam roman Rubinrot dalam bahasa Jerman dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris dan Indonesia. Selain kata-kata budaya, hal lain yang
dianalisis adalah ideologi yang digunakan. Perbedaanya yaitu penelitian
ini membahas strategi penerjemahan dan objek penelitian yang digunakan
untuk menganalisis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
mengungkap ideologi penerjemahan melalui analisis kata-kata budaya
(cultural words), metode penerjemahan dan teknik penerjemahan dalam
roman Die Weiβe Massai dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia.
219
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis dalam roman Die Weiβe Massai,
ditemukan 77 data yang mengandung kata atau istilah budaya. Kategori
kata-kata budaya (cultural words) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kategori yang dikemukakan oleh Newmark (1988: 173). Terdapat
lima kategori, yaitu: (1) ecology, (2) material culture, (3) social culture, (4)
social organization, (5) gestures and habits.
Berkaitan dengan kategori tersebut, berikut disajikan prosentase
kategori kata-kata budaya yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai.
No.
Kategori Kata-Kata Budaya
Jumlah
Prosentase
1.
Ecology
2
2.59%
2.
Material culture
38
49.35%
3.
Social culture
2
2.59%
4.
Social organization
10
12.98%
5.
Gestures and habits
25
32.46%
77
100%
Total
Dari delapan belas teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh
Molina & Albir (2002), teridentifikasi tujuh teknik penerjemahan yang
digunakan, diantaranya: 43 data menggunakan teknik borrowing, 1 data
menggunakan teknik calque, 4 data menggunakan teknik generalisasi, 37
data menggunakan teknik penerjemahan literal, 5 data mengunakan
teknik partikularisasi, 1 data menggunakan teknik transposisi, dan 1 data
menggunakan teknik variasi. Sementara itu, pada metode penerjemahan
menurut Newmark (1988), roman Die Weiβe Massai mengunakan metode
literal translation. Berikut adalah pembahasan untuk masing-masing
kategori kata-kata budaya beserta teknik dari Molina dan Albir (2002).
a. Ecology
Kategori ecology meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
nama flora, fauna, dataran, geografi, atau beberapa bagian lain dari
permukaan bumi yang merupakan fitur alami maupun buatan. Data yang
220
diperoleh untuk kategori ini sebanyak 2 data (2.59%). Berikut contoh
kategori ecology yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai.
Data 72:
BSu
: Hinter einem groβen Mahogani-Schreibtisch sitzt ein
Beamter, der sich mit den Anträgen befassen soll (Hofmann,
2000: 49).
BSa
: Petugas yang mengurus pendaftaran sedang duduk di
belakang meja besar dari kayu mahogani.
Kategori kata budaya (cultural words) dalam data 72 adalah
Mahogani. Penerjemahan kata budaya tidak mengalami perubahan dari
TSu ke dalam TSa. Istilah kayu mahogani atau yang biasa dikenal dengan
kayu mahoni adalah salah satu jenis kayu khas daerah tropis. Kayu ini
merupakan material terbaik untuk meubel atau furniture. Dapat dilihat
dengan jelas bahwa penerjemah menggunakan ideologi foreignization
karena tidak menerjemahkan dengan kata ‘mahoni’ melainkan tetap
mengikuti pada TSu dengan kata ‘mahogani’. Teknik penerjemahan yang
digunakan pada data di atas adalah teknik generalisasi, yaitu teknik yang
mengubah istilah asing menjadi istilah yang lebih dikenal dan umum
dalam BSa. Hal tersebut dikarenakan adanya penambahan kata ‘kayu’ pada
TSa.
b. Material Culture
Kategori material culture meliputi nama makanan, pakaian, nama
jenis rumah atau tempat tinggal, nama alat transportasi. Dalam roman Die
Weiβe Massai, data-data yang termasuk kategori material budaya yang
paling banyak ditemukan daripada kategori lainnya, yaitu sebanyak 38
data (49.35%). Berikut salah satu contoh data yang sering muncul beserta
analisisnya:
Data 57:
BSu
: Pippi kann ich nachts auch neben der Manyatta machen,
denn der Strand saugt alles auf (Hofmann, 2000: 119).
BSa
: Pada malam hari aku boleh buang air kecil agak dekat
manyatta, karena pasir menghisap segalanya.
Berdasarkan data di atas, kategori kata budaya dalam data 57 adalah
‘manyatta’. Penerjemah tetap menggunakan istilah ‘manyatta’ ke dalam
TSu. ‘Manyatta’ merupakan gubuk sementara orang Samburu karena
221
mereka hidup nomaden. ‘Manyatta’ dibangun oleh para wanita Samburu
dan terbuat dari kotoran sapi, papan, kain, dan ranting. Pembangunan
‘manyatta’ sendiri memakan waktu sekitar sepuluh hari. Pria dan wanita
Samburu yang telah menikah akan hidup terpisah di ‘manyatta’ lain,
karena suami mereka menjadi prajurit dan tinggal bersama prajurit
lainnya. Selain itu juga, pasangan yang telah menikah juga tidak
diperbolehkan untuk tinggal bersama di manyatta orang tua mereka.
Pasangan Samburu yang telah menikah diharuskan untuk membangun
manyatta sendiri. Kata budaya ‘manyatta’ dalam roman tersebut tergolong
ke dalam istilah tempat tinggal. Teknik penerjemahan yang digunakan
data tersebut adalah teknik pure borrowing, yang artinya penerjemah
meminjam istilah yang berasal dari BSu tanpa mengubahnya.]
Social Culture
Kategori social culture meliputi nama hiburan dan jenis pekerjaan.
Pada kategori social culture, penerjemah hanya mampu mencari padanan
kata atau memberi gambaran tentang istilah budaya tersebut. Data yang
diperoleh untuk kategori ini sebanyak 2 data (2.59%). Berikut contoh
kategori social culture yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai.
Data 77:
BSu
: Die Gruppe formiert sich zu einer Art Polonaise, und
Lketinga führt stolz die Kolonne an. Er sieht wild und
unnahbar aus. Langsam geht Tanz zu Ende. Die Mädchen
begeben sich kichernd etwas abseits (Hofmann, 2000: 206).
BSa
: Kelompok itu membentuk semacam tarian conga dengan
Lketinga di ujung barisan. Dia tampak liar, tak tersentuh.
Secara berangsur tarian itu berakhir. Para gadis, yang
sekilas terkikik, menyisih.
Berdasarkan data di atas, kategori kata budaya dalam data 77 adalah
‘Art Polonaise’ yang memiliki makna sebuah tarian upacara pada abad ke
17 yang diadopsi oleh kaum bangsawan Polandia. Sama halnya yang
dilakukan oleh masyarakat suku Samburu yang menarikan tarian tersebut
dalam sebuah upacara adat. Namun, penerjemah mengganti istilah ‘Art
Polonaise’ dalam TSu menjadi tarian ‘conga’ pada TSa. ‘Conga’ merupakan
tarian yang ditampilkan prajurit dengan irama tanpa adanya musik yang
mengirinya. Kata ‘conga’ dapat dikelompokkan dalam kategori budaya
sosial karena termasuk dalam istilah hiburan. Teknik penerjemahan data
c.
222
tersebut adalah teknik partikularisasi, yakni penerjemah menggunakan
penjelasan yang lebih konkrit dan jelas dalam BSa.
Social Organizations
Kategori social organizations meliputi segala sesuatu yang berkaitan
dengan organisasi, tradisi, aktivitas, tatacara, konsep (istilah dalam bidang
politik, agama, seni). Data yang diperoleh dalam kategori ini adalah
sebanyak 10 data atau sebesar 12.98%. Berikut contoh kategori social
organizations yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai.
Data 27:
BSu
: Unablässig höre ich: “Enkai, Enkai!”Jeder der Alten reibt an
meinem Bauch und murmelt etwas. Mir ist alles egal
(Hofmann, 2000: 304).
BSa
:Tak henti-hentinya aku mendengar“Enkai, Enkai!” setiap
orang menggosok perutku dan menggumamkan sesuatu.
Aku tidak peduli.
Kategori kata budaya (cultural words) dalam data 27 adalah
‘Enkai’. Penerjemah tetap mempertahankan kata ‘Enkai’ ke dalam TSa.
‘Enkai’ merupakan sebutan Tuhan ketika mereka melakukan upacara dan
doa-doa tertentu. Dalam roman Die Weiβe Massai, suku Samburu berdoa
kepada ‘Enkai’ untuk keselamatan hidup, serta untuk kesuburan tanah
supaya hujan. Secara spesifik, istilah ‘Enkai’ mengacu pada bidang agama
dalam kategori ini. Teknik penerjemahan dalam data di atas yaitu
menggunakan penerjemahan literal.
d.
Gestures and Habits
Kategori gestures and habits meliputi segala sesuatu yang
berkaitan dengan isyarat atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang.
Penerjemah harus mengetahui perbedaan isyarat atau kebiasaan pada
berbagai macam suku maupun negara karena apa yang terlihat positif oleh
negara A belum tentu dianggap baik oleh negara B dan sebaliknya. Data
yang diperoleh dari kategori ini sebanyak 25 data atau sebesar 32.46%.
Berikut contoh kategori gestures and habits yang ditemukan dalam roman
Die Weiße Massai.
Data 8 :
e.
223
BSu
: Drei alte Männer und zwei Morans sitzen dort. Man begrüßt
sich: “Supa Moran!”, “Supa”, ist die Antwort (Hofmann,
2000: 149).
BSa
: Tiga pria tua dan dua moran duduk di sana. Mereka
menyapa “Supa moran!”, “Supa”, sahut Lketinga.
Kategori kata budaya pada data di atas adalah kata ‘Supa Moran’.
Penerjemah tetap menggunakan kata tersebut pada TSa. ‘Supa moran’
merupakan ucapan salam suku Samburu dan dijawab juga dengan supa.
Moran memiliki arti prajurit. Setelah mengucapkan ‘supa moran’,
kemudian mereka akan bercakap-cakap sejenak. Percakapan diawali
dengan pertanyaan tentang nama suku, tempat tinggal, keadaan keluarga
dan hewan, datang darimana, dan hendak ke mana. Kemudian mereka
akan berbicara tentang kejadian terkini. Teknik penerjemahan dalam
contoh tersebut yaitu menggunakan teknik pure borrowing.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa dalam
roman Die Weiβe Massai ditemukan 77 data istilah budaya. Kemudian,
dikategorikan kedalam istilah budaya milik Newmark (1988) yaitu ekologi
sebanyak 2.59 %, material budaya sebesar 49.35%, budaya sosial sebesar
2.59%, organisasi, tradisi, aktivitas, tatacara, konsep sebesar sebesar
12.98%, bahasa tubuh dan kebiasaan sebesar 32.46%. Pada teknik
penerjemahan, teridentifikasi tujuh teknik penerjemahan yang digunakan,
diantaranya: 43 data menggunakan teknik borrowing, 1 data
menggunakan teknik calque, 4 data menggunakan teknik generalisasi, 37
data menggunakan teknik penerjemahan literal, 5 data mengunakan
teknik partikularisasi, 1 data menggunakan teknik transposisi, dan 1 data
menggunakan teknik variasi. Beradasarkan metode milik Newmark
(1988), penerjemahan dalam roman ini menggunakan metode literal
translation. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa roman Die Weiβe
Massai menganut ideologi foreignization karena dilihat dari teknik
penerjemahan yang paling dominan digunakan adalah borrowing dan
metode penerjemahan literal translation. Ideologi foreignization yang
digunakan penerjemah dalam roman Die Weiβe Massai terjadi karena
beberapa faktor, yaitu: (1) terdapat banyak kata-kata budaya yang berasal
dari bahasa Swahili Afrika, sehingga penerjemah tidak dapat menemukan
224
padanannya dalam bahasa TSa, (2) penerjemah ingin
mempertahankan unsur-unsur budaya TSu yaitu budaya Afrika.
tetap
Referensi
Hofmann, Corinne. 2000. Die Weiße Massai.(diterjemahkan oleh Lulu Fitri
Rahman). München: Knaur Taschenbuch Verlag
Molina, L & Albir, A.H. 2002. Translation Technique Revisted: A Dynamic
amd Functionalist Approach”. Dalam META, Vol. XLVII, No 4.
Spain: Universitat Automana Barcelona.
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. New York: Prentice Hall
International.
Nida, E. A. & Taber, C. R. 1974. The Theory and Practise of Translation.
Leiden: Brill.
Venuti, Lawrence. 1995. The Translation Studies. Manchester : St. Jerome
Publishing
225
Pertanyaan:
1. Bagaimana anda menyelaraskan teknik penerjemahan dan metode
penerjemahan?
2. Apakah pengalaman penerjemah dipertimbangkan untuk
pemilihan objek penelitian tersebut?
Jawaban:
1. Metode penerjemahan diterapkan pada tataran makro, sedangkan
teknik penerjemahan diterapkan pada tataran mikro. Oleh sebab
itu, langkah pertama untuk menemukan ideologi penerjemahan
adalah menganalisis teknik penerjemahan terlebih dahulu.
Kemudian diprosentase jumlah teknik yang digunakan oleh
penerjemah. Setelah mengetahui teknik mana yang paling
dominan digunakan, maka dapat ditemukan metode
penerjemahan apa yang digunakan oleh penerjemah, apakah
metode yang mengacu pada BSu (foreignization) atau metode
penerjemahan yang mengacu pada BSa (demostication).
2. Iya, peneliti memilih obejek penelitian juga melihat dari faktor
pengalaman penerjemah dalam menerjemahkan karya sastra,
karena hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas penerjemahan
suatu karya sastra. Dalam hal ini, penerjemah roman Die Weiße
Massai, yakni Lulu Fitri Rahman telah menerjemahkan lebih dari
20 judul novel ke dalam bahasa Indonesia dan telah memiliki
sertifikat himpunan penerjemah Indonesia (HPI).
226
STRATEGI PENOLAKAN DI KALANGAN MAHASISWA
MULTIKULTURAL ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
Fitria Ulfa Hidayatul Rahmi*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: fitrud@gmail.com
A B S T R A C T
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk
serta faktor eksternal penolakan yang terjadi di dalam masyarakat
multikultural. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang
terdiri dari banyak kebudayaan dimana pendukung antarkebudayaan
saling menghargai satu sama lain. Penolakan-penolakan atas permintaan,
ajakan, undangan, dst dari orang lain akan lebih baik jika disampaikan
dengan cara yang baik dan tepat guna menjaga keharmonisan sebuah
interaksi sosial dalam masyarakat multikultural. Penelitian ini akan
mendeskripsikan bagaimana pola umum ungkapan penolakan kepada
pemberi perintah yang berbeda status dan tingkat kenal oleh mahasiswa
Jawa, Sunda, dan Korea. Selain itu, bentuk penanda kesantunan apa saja
yang dipakai oleh penolak dan mencoba menjelaskan secara lebih rinci
maksud ungkapan penolakan tersebut disampaikan, serta indikasi
keterkaitan budaya penutur seperti apa yang memengaruhi ungkapanungkapan penolakan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Ilmu
Linguistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berasal dari berbagai
macam etnis dan budaya, antara lain mahasiswa Jawa, mahasiswa Sunda,
dan mahasiswa Korea. Saling memahami antarkebudayaan menjadi kunci
utama dalam keberlangsungan hidup yang harmonis suatu masyarakat
multikultural. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu metode
simak bebas libat cakap dengan teknik pancing sebagai teknik dasar yang
berupa daftar pertanyaan (kuesioner). Kemudian menggunakan teknik
lanjutan dengan teknik catat. Data dianalisis dengan menggunakan metode
padan, dan selajutnya disajikan dalam bentuk formal dan informal. Untuk
menganalisis data, penulis mengklasifikasikan penolakan berdasarkan
teori strategi penolakan oleh Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz.
Kata kunci: strategi penolakan, masyarakat multikultural, mahasiswa
Jawa, mahasiswa Sunda, mahasiswa Korea.
227
PENDAHULUAN
Penolakan dideskripsikan sebagai reaksi atau respon seorang
penutur terhadap permintaan, ajakan, undangan, tawaran, maupun saran
dari orang lain atau mitra tutur. Oleh sebab itu, penolakan dapat merusak
citra diri mitra tutur karena permintaan atau keinginan mitra tutur yang
tidak bisa dipenuhi oleh penolak. Penelitian tentang ungkapan penolakan
sudah banyak dilakukan oeh para peneliti terdahulu, namun penelitian
tentang ungkapan penolakan yang ada di dalam masyarakat multikultural
belum banyak dilakukan.
Nadar dan Suhandono (2000: 1) menuliskan di dalam penelitiannya
bahwa penelitian ungkapan penolakan dapat dianalisis dalam bidang
semantik maupun pragmatik (Wunderlich, 1980: 303-304). Dianggap
sebagai kajian pragmatik karena mengkaji penggunaan bahasa relasinya
dengan konteks yang menyertainya. Sedangkan menurut Wijana (1996: 2)
pragmatik mengkaji makna di dalam konteks.
Penelitian tentang penolakan termasuk di dalam kajian tindak tutur
pada umumnya. Di dalam teori tindak tutur, penutur tidak hanya
mengatakan sebuah tuturan, namun penutur juga bisa melakukan suatu
tindakan melalui tuturan yang diujarkan tersebut. Austin menyebutkan
ketika seseorang mengatakan sesuatu, ia juga melakukan sesuatu dan
menyebut tuturan-tuturan tersebut dengan tuturan peformatif (Austin,
1962: 98-99). Yule mendefinisikan speech act atau tindak tutur sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan melalui ujaran-ujaran (Yule, 1996: 47).
Sedangkan Searle memberikan definisi tindak tutur dengan sebutan
illocutionary acts, yang kemudian dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu
commissive, directive, declarative, expressive. Ia berpendapat bahwa setiap
tuturan mengandung arti tindakan (Searle & Daniel Vanderveken, 1985:
182-211).
Speech act atau tindak tutur dapat disampaikan secara langsung
maupun tidak langsung. Menuturkan secara langsung berarti
menyampaikan apa yang diinginkan atau yang dimaksudkan secara
langsung saja, sedangkan menuturkan secara tidak langsung berarti
penutur memiliki maksud lain yang lebih dari apa yang dituturkan (Searle,
1980: viii). Dengan demikian, untuk memahami maksud dari ujaran tindak
tutur diperlukan adanya pemahaman nilai sosial dan budaya di antara
peserta tutur agar maksud yang ingin dicapai sesuai dan tidak terjadi
228
kesalahpahaman.
Hal tersebut dikarenakn ungkapan penolakan
merupakan suatu tindakan yang tidak menyenangkan.
Penolakan bisa disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung. Penolakan secara langsung dapat disampaikan dengan
perkataan “tidak”, sedangkan penolakan tidak langsung dapat
disampaikan melalui pemberian alasan khusus, permohonan maaf,
pernyataan ungkapan penyesalan, penerimaan dalam kesempatan yang
akan datang, memberikan saran, dst. Setiap orang memiliki citra diri atau
self-image yang harus dijaga atau dihormati. Oleh sebab itu, penolakan
seharusnya disampaikan dengan cara yang santun dan disampaikan dalam
kondisi dan situasi yang tepat untuk menjaga hubungan baik dengan mitra
tutur dan menjaga self-image orang lain.
Penolakan dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak
menyenangkan atau yang disebut dengan face threatening act (FTA) bagi
pemberi perintah karena keinginannya tidak dapat terpenuhi. Untuk
meminimalisisr FTA tersebut, penolak akan menggunakan sejumlah
strategi terkait dengan pilihan ungkapan penolakan ataupun bentukbentuk kebahasaanya (Nadar & Suhandono, 2002). Di dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan teori strategi penolakan yang diklasifikasikan oleh
Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz. Klasifikasi strtegi penolakan dibagi ke
dalam formula semantik, yaitu ekspresi-ekspresi yang digunakan untuk
menyampaikan penolakan dan juga adjunct. Formula semantik terdiri dari
penolakan langsung, penolakan tidak langsung, dan adjunct (Salazar dkk,
2009: 3).
Di dalam masyarakat multikultural, realisasi penolakan yang
disampaikan seorang individu akan berbeda antara satu individu dengan
individu yang lainnya. Ungkapan penolakan sebaiknya disampaikan
dengan santun. Tuturan yang sopan atau santun sangat tergantung kepada
budaya penolak dan pemberi perintah. Sehingga antara satu tuturan yang
dianggap sopan dalam budaya masyarakat tertentu berbeda dengan
tuturan yang dianggap sopan di dalam budaya lainnya . Selain itu, penolak
juga harus mampu membuat penolakannya diterima dengan baik tanpa
menyakiti atau menyinggung mitra tutur. Adanya pemahaman yang baik
terhadap nilai sosial dan budaya orang lain mampu menjadi jembatan
dalam menjalin komunikasi antar budaya agar berjalan dengan lancar
tanpa kesalahpahaman.
229
Di dalam penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, ungkapan
penolakan terjadi tidak hanya di dalam lingkungan masyarakat secara
umum, akan tetapi juga terjadi di dalam lingkungan pendidikan, salah
satunya lingkungan pendidikan di kampus Universitas Gadjah Mada pada
Program Pascasarjana Ilmu Linguistik yang multikultural dan multietnis.
Mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam program tersebut berasal dari
budaya dan suku serta kondisi sosioekonomi yang berbeda, mulai dari
Sabang sampai Merauke. Terlebih lagi, terdapat pula mahasiswa
internasional yang berasal dari China dan Korea. Peneliti menemukan
fakta yang menarik terkait penolakan dan komunikasi antar budaya dalam
interaksi para mahasiswa baik yang berasal dari dalam negeri maupun
luar negeri. Penelitian ini akan membahas beragam penolakan-penolakan
yang dituturkan oleh para mahasiswa tersebut.
LANDASAN TEORI
Di dalam masyarakat multilingual, bahasa yang berbeda dapat
mencerminkan budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan budaya
dan bahasa tersebut dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindak tutur
yang berbeda pula. Di dalam kondisi tertentu, memahami isi atau maksud
dari komunikasi seseorang/masyarakat berarti memahami pula
bagaimana budaya dan nilai/sistem sosial yang dianut oleh seseorang atau
suatu masyarakat. Menjadi penutur yang santun tidak mudah,
dikarenakan hal tersebut tidak hanya meliputi pemahaman kebahasaan
itu sendiri, tetapi juga meliputi pemahaman nilai-nilai sosial dan budaya
dari suatu masyarakat (Holmes, 1992: 296). Budaya-budaya yang berbeda
memiliki sistem nilai yang berbeda sehingga dapat memengaruhi
pandangan hidup seseorang. Selain itu, hal tersebut juga memengaruhi
komunikasi kebahasaan, aturan, serta norma yang ada di dalam setiap
budaya masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi yang
beragam atau multi, yaitu multikultural, multireligi, multietnis,
multilingual, dst. Dengan kondisi yang beragam tersebut, terkadang
masyarakat atau seorang penutur merasakan komunikasi yang berjalan
tidak efektif. Komunikasi lintas budaya merupakan sebuah proses
komunikasi atau interaksi yang melibatkan orang-orang atau peserta tutur
yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda (Lagu, 2016:
2). Selain itu, komunikasi antarbudaya menurut Rogers dan D. Lawrence
230
merupakan sebuah komunikasi antar orang-orang atau peserta tutur yang
berbeda budaya, baik dalam
arti ras, etnik, ataupun perbedan
sosioekonomi (Cangara, 2011: 59). Perbedaan-perbedaan tersebut dapat
menimbulkan komunikasi yang tidak efektif, timbul perasaan yang tidak
nyaman, dan kesalahpahaman. Oleh sebab itu, solusi untuk meminimalisir
adanya kesalahpahaman karena perbedaan budaya ialah mengetahui dan
memahami nilai-nilai sosial dan perilaku budaya orang lain sedini
mungkin.
Terdapat banyak perbedaan bentuk interaksi di dalam komunikasi
sebuah masyarakat multikultural atau lintas budaya. Salah satunya dalam
bentuk sebutan penghormatan kepada orang lain di dalam budaya yang
berbeda. Hal tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan tuturan seseorang
sesuai konteks interaksi yang sedang berlangsung. Selain konteks, adanya
perbedaan bentuk sebutan penghormatan dan beragamnya bentuk
tuturan berdasarkan kepada bagaimana peserta tutur dipandang sebagai
seorang individu maupun anggota dari kelompok-kelompok sosial,
budaya, dan etnis tertentu (Wierzbicka, 2003: 2).
Adanya pemahaman yang baik terhadap konteks dan nilai sosial
budaya orang lain diharapkan mampu menjadi salah satu cara yang efektif
untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan
bermasyarakat yang harmonis dan damai.
Pada dasarnya, Geertz melalui Ohoiwutun (2007: 88) menjelaskan
bahwa semua bahasa memiliki kompleksitas sistem kesantunan
berbahasa, namun hal tersebut secara lazim dapat diungkapkan melalui
kata ganti orang, sistem sapaan, penggunaan gelar, dll. Di dalam bahasa
Jawa, salah satu aspek berbahasa yang paling dominan adalah kesantunan
berbahasa, unda-usuk, atau etiket berbahasa. Di dalam penolakan yang
disampaikan oleh mahasiswa Jawa, penolakan disampaikan dengan
berbagai variasi tuturan penolakan, ada yang halus dan ada yang
cenderung kasar. Kesantunan berbahasa orang Jawa hampir sebagian
besar dimotivasi oleh hadirnya stratifikasi sosial di dalam masyarakat,
seperti masyarakat priyayi, masyarakat pedesaan, masyarakat terpelajar,
dst. Honorifik digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada mitra
ttutur karena adanya perbedaan status kemasyarakatan. Misalnya status
lebih tinggi kepada status lebih rendah, dan begitu pula sebaliknya.
Fenomena penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa
dengan status lebih rendah kepada seseorang dengan status lebih tinggi
231
akan diungkapkan secara tidak langsung. Jika ujaran penolakan
disampaiakn secara langsung maka mitra tutur bisa tersinggung. Dengan
demikian, penolakan yang santun berfungsi sebagai pencegah kekurangharmonisan sebuah hubungan sosial dalam berbahasa (2007: 92).
Budaya Jawa memiliki karakteristik khusus dalam ungkapan
penolakannya,
seperti
tidak
menampaakkan
perasaan,
ketidaklangsungan, penghindaran tanggung jawab, dan mnegutamakan
kebersamaan (Nadar & Suhandono, 2000: 13). Orang Jawa sangat khas
dengan menyembunyikan perasaan. Ketika seseorang mengatakan tidak,
belum tentu ia bermaksud seperti itu, begitupula ketika mengatakan iya
atau ya, belum tentu sepenuhnya menyetujui. Ketidaklangsungan juga
sangat khas dengan masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan yang
disampaikan cenderung tidak to the point. Jikalau terdapat tuturantuturan yang langsung, seseorang tersebut bisa tidak disukai. Hal tersbeut
dimaksudkan untuk menjaga perasaan mitra tutur. Selain itu, masyarakat
Jawa juga tidak mudah menolak permintaan orang lain karena mereka
mengedepankan prinsip kebersamaan. Hal ini juga terjadi di masyarakat
Sunda yang mana merupakan anggota dimensi masyarakat yang
kolektivisme, bukan individualisme.
Bagi masyarakat Sunda, kepada mitra tutur yang lebuh tua, atau
orang tua yang dituakan, dihormati dan disegani digunakan bahas ayang
halus dan santun. Tetapi kepada mitra tutur yang setaraf, baik dalam usia
maupun status sosial, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar atau
bahasa yang sedang, tidak halus dan tidak kasar (Depdikbud, 1979: 50). Di
masyarakat Sunda juga dikenal istilah kekerabatan yang melahirkan
perkataan sopan santun kekerabatan. Dijelaskan bahwa pertalian
kekerabatan mampu mengalahkan perbedaan usia, perbedaan kekakyaan,
atau kedudukan sosial seseorang. Misalnya anak muda yang tidak kaya dan
tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi akan dihormati oleh orang
lain yang lebih tua, lebih kaya, dan lebih baik kedudukan sosialnya jika
anak mud aersebut memiliki kedudukan dalam hubungan kerabat yang
lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini mengindikasikan budaya Sunda
bahwa kepada seseorang yang sudah dikenaltutuan yang disampaikan
akan lebih sopan, kepada seseorang yang sudah dikenal dan statusnya
setara cenderung santai tapi tidak menggunakan kata-kata atau ungkapan
yang tidak halus. Rasa hormat kepada seseorang yang lebih tua secara
232
genealogis melebihi rasa hormat kepada orang yang seusia dengannya
yang secara genealogis lebih muda daripadanya (Depdikbud, 1979: 146).
Istilah kekerabatan yang diujarkan baik mahasiswa Sunda maupun
Jawa ditujukan bukan hanya kepada seseorang yang memiliki tali
kekerabatan, tetapi ditujukan pula kepada orang-orang diluar tali
kekerabatan tersebut yang sama atau setara dengan orang-orang ada di
dalam tali kekerabatan tersebut. Di dalam penolakan yang disampaikan,
peneliti menemukan sapaan-sapaan kekerabatan seperti Bapak, Bu, Dik,
dst. Meskipun antara penolak dengan dengan pemberi perintah tidak
memiliki hubungan kekerabatan, panggilan seperti bapak, Mas, dll
digunakan untuk menyatakan adanya rasa tali kekeluargaan yang
diberikan oleh para peserta tutur. Hal tersebut menunjukkan sebuah
keadaan di mana orang-orang yang berada di luar lingkaran kekerabatan
dianggap seolah-olah sebagai keluarga. Anggapan tersebut timbul
dikarenakan adanya perasaan untuk ingin menghargai dan menghormati
diantara sesamanya dan didorong oleh munculnya rasa kekeluargaan.
Di dalam buku Dr. J. Ismail yang berjudul Indonesia pada pantai
Lautan Atlantik dijelaskan tentang kehidupan bersama orang-orang Jawa
yang ada di Suriname. Apapun kelas sosial yang dimiliki oleh seornag
individu, baik kelas bawah, menengah, maupun atas semuanya sama, yaitu
tetap tiyang Jawi. Sehingga kondisi ekonomi tertentu tidak mampu
membagi mereka ke dalam kotak-kotak kelas sosial karena perbedaan
kelas sosial mampu menyebabkan ketegangan-ketegangan sosial.
Pemikiran tersebut dapat dilihat dari prisip hidup orang Indonesia, yaitu:
saling bantu-membantu, budi bahasanya, suka menjamu orang, dan lebih
mengedepankan fungsi sosial dari pada perasaan malu . Dengan kata lain,
kehidupan orang Indonesia berdasarkan kolektivisme, bukan
individualisme.
Di dalam masyarakat Sunda, terdapat sebuah kutipan, yaitu ari
jeung batur kudu rukun, (yang berarti jikalau bergaul dengan orang lain,
harus rukun). Ada pula peribahasa yang dianut sebagai pedoman untuk
hidup rukun damai, dan berbahasa santun, yaitu sarendeuk saigel, sabobot
sapihanean, ka cai jadi saleuwi, kadarat jadi salebak. Prinsip tersebut
masih dipegang teguh oleh beberapa masyarakat desa. Peneliti
menemukan beberapa penolakan yang dituturkan oleh mahasiswa Sunda
berbeda dari yang seharusnya. Masyarakat Sunda yang dikenal halus akan
berubah tuturan-tuturannya. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor
233
eksternal, seperti masuknya ekonomi uang dan kebudayaan barat.
Sedangkan faktor internalnya yaitu urbanisasi, di mana masyarakat desa
atau pedalam berpindak ke kota. Beberapa hal tersebut mampu
memengaruhi sapaan kekerabatan yang digunakan dalam berbahasa oleh
seorang individu di dalam sebuah masyarakat bahasa (Surjaman, 1960:
45, 46, 48, dan 49).
Orang Korea lebih bersifat terbuka, terus terang, dan bahkan blakblakan (Seung-Yoon Yang diterjemahkan oleh Mastoyo, 1995: 38-39).
Orang Korea dikenal juga sebagai orang-orang ramah dari Timur. Merkea
selalu bersikap ramahkepada orang yang sudah dikenalnya, terutama
kalau ada maunya atau memiliki niat tertentu, maka sikap ramahnya
tresebut semakin terlihat. Akan tetapi, terdapat satu budaya yang sangat
berbeda dengan orang Jawa maupun Sunda. Ketika orang Korea
berkenalan, mereka tidak hanya akan menanyakan nama dan alamat,
tetapi juga saling memberikan kartu nama dan bertanya tentang umur.
Bagi orang Jawa maupun Sunda, bertanya tentang umur merupakan salah
satu bentuk ketidaksopanan, karena mneyangkut masalah pribadi.
Bertanya tentang umur merupakan sesuatu hal yang biasa dan penting di
masyarakat Korea. Hal tersebut dikarenakan dalam tata pergaulan orang
Korea, mereka selalu mengutamakan orang lain atau menghormati orang
yang lebih tua. Pertanyaan tentang umur mitra tutur dimaksudkan untuk
menempatkan status orang yang baru dikenal dalam tata pergaulan.
Meskipun kepada seseorang yang berasal dari status atau kelas sosial
bawah tapi usianya atas atau jauh lebih tua, tingkat tutur dan kebahasaan
tetap harus menggunakan honorifik atau sebutan hormat. Di Korea,
menurut informasi dari salah satu informan, terdapat sebuah istilah yang
dijadikan suatu pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah Jangyuyuseo yang
bermakna “pemuda harus menghormati orang tua”. Dengan demikian,
entah berasal dari golongan sosial atas ataupun rendah, jika seseorang
memiliki usia yang tua, maka sapaan hormat tetap harus digunakan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini
merupakan metode deskriptif eksplanatoris. Dikatakan deskriptif karena
penelitian ini mencoba mendeskripsikan bagaimana pola umum ungkapan
penolakan kepada pemberi perintah yang berbeda status dan tingkat kenal
oleh mahasiswa Jawa, Sunda, dan Korea. Selain itu, penleitian ini juga akan
234
mendeskripsikan bagaimana bentuk penanda kesantunan apa saja yang
dipakai oleh penolak. Sedangkan disebut eksplanatoris karena mencoba
menjelaskan secara lebih rinci maksud ungkapan penolakan tersebut
disampaikan dan indikasi keterkaitan budaya penutur dalam
menyampaikan penolakannya.
Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tuturantuturan yang disampaikan oleh mahasiswa multicultural di prodi Ilmu
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Sumber data penelitian
ini diambil dari kuesioner yang dibroadcast ke bebrapa grup whatsapp
yang ada di prodi Ilmu Linguistik UGM.
1. Metode Penyediaan Data
Metode yang digunakan yaitu dengan metode simak
(pengamatan/observasi). Peneliti tidak hanya menyimak penggunaan
ungkapan penolakan oleh para partisipan, tetapi peneliti juga melakukan
pengamatan terhadap penolakan-penolakan yang disampaikan oleh
mahasiswa Jawa, Sunda, dan Korea. Mengunakan teknik pancing sebagai
teknik dasar, yaitu memancing responden dengan alat yang berupa daftar
pertanyaan (kuesioner). Dilanjutkan dengan teknik lanjutan yaitu teknik
catat.
2. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, peneliti
menggunakan metode padan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan
digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga, yaitu untuk
menjelaskan indikasi nilai sosial dan budaya penutur dalam
mengungkapkan penolakan. Metode padan pragmatis ini menggunakan
alat penentu mitra tutur guna menjelaskan faktor-faktor sosial ataupun
nilai-nilai sosial dan budaya penutur sehingga memberikan pengaruh
terhadap penggunaan tuturan yang digunakan dalam penolakan tersebut.
3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah data dianalisis, hasil analisi data disajikan dalam bentuk
formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 13). Hasil analisis data disajikan
dengan menggunakan kata-kata biasa dan juga menggunakan tabel.
235
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Jawa
Realisasi penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa yang
berasal dari Pulau Jawa sangat beragam. Penolakan yang disampaikan
mahasiswa Jawa (di dalam penelitian ini, mahasiswa Jawa terdiri dari
Jawa Tengah dan Jawa Timur) dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial
dan budaya. Strategi penolakan yang digunakan terdiri dari dua
strategi atau lebih. Peneliti tidak menemukan penolakan yang hanya
menggunakan satu strategi penolakan saja. Contoh penolakan di dalam
data (1):
1) Nyuwun pangapunten Bapak. Kami tidak bisa menerima
pesanan ini karena kami tidak dapat mencetak 1500
lembar dalam waktu semalam saja. Waktunya terlalu
mepet dan kebetulan pegawai yg masuk hari ini cuma saya
saja. Ngapunten njih Pak. Mungkin percetakan sebelah
saget membantu Bapak.
Di dalam realisasi penolakan yang dituturkan di atas terdiri dari
tujuh formula semantik atau tujuh strategi. Penolakan yang dituturkan
merupakan penolakan tidak langsung dengan menggunakan
pernyataan menyesal, terms of address atau sebutan, pernyataan
ketidakmampuan, alasan, pernyataan menyesal, terms of address atau
sebutan, dan ditutup dengan pemberian saran.
Semakin panjang tuturan seseorang, maka tuturan tersebut
dipercaya akan semakin santun. Penggunaan strategi penolakan tidak
langsung yang terdiri dari 7 formula semantic dituturkan agar
meminimalisir ketidaknyamanan dan sakit hati seseorang yang ditolak
permintaannya. Dari konteks penolakan yang terjadi, tingkat kenal
antara penolak dengan pemberi perintah ialah kenal, karena pemberi
perinah merupakan salah satu pelaggan tetap yang sering datang ke
toko tersebut. Penggunaan dua bahasa yang berbeda, bahasa
Indonesia dan bahasa Jawa diujarkan untuk menunjukkan sikap
hormat dan segan kepada pemberi perintah.
Dalam budaya Jawa, terdapat tingkat tutur atau unggah-ungguh
dalam berbahasa di mana unggah-ungguh tersebut digunakan dalam
bentuk satuan lingual yang berbeda tergantung kepada siapa penutur
berbicara. Dalam hal tersebut, status sosial seseorang sangat
memengaruhi realisasi penolakan yang disampaikan. Misalnya
236
peggunaan kata Nyuwun pengapunten Bapak (mohon maaf Bapak),
Ngapunten njih Pak (Maaf ya Pak), dan saget (bisa). Kepada pemberi
perintah yang statusnya lebih tinggi, ungkapan maaf cenderung lebih
banyak digunakan kedua setelah sebutan atau terms of address. Selain
itu, bahasa yang digunakanpun bervariasi, yaitu menggabungkan dua
bahasa, bahasa Jawa krama dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut
bertujuan untuk menolak dengan halus. Sesuai karakteristinya orang
Jawa, yaitu cenderung mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Di
dalam satu ungkapan penolakan kepada pemberi perintah yang
berstatus sosial lebih tingi, mahasiswa Jawa bisa menggunakan
ungkapan maaf lebih dari 2 kali, seperti “ngapunten sangte bapak,
ngapunten sanget. Mohon maaf nggih”.
2) Waduh, sorry banget Din. Boleh banget kamusnya kamu
pinjam tapi kamusnya minggu ini mau aku pake ngerjain
tugas penting perusahaan. Kalau minggu depan aja gimana
minjamnya?
3) Buat kapan. Wah Waaah maaf ya, kamusnya masih sedang
aku pakai, kebetulan pas lagi ada kerjaan tentang itu. Kamu
pinjam setelah aku selesai aja gimana? Atau mungkin kalo
lagi butuh sekarang banget, kamu pinjam si A kayaknya
juga punya.
Dari kalimat (2), terdapat penolakan tidak langsung yang
disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Di sini, terdapat lima formula
semantik atau lima strategi penolakan yang digunakan. Konteks dari
percakapan di atas adalah terdapat dua orang yang saling kenal, dan
mereka berteman baik. Penolak menggunakan penolakan tidak
langsung agar meminimalisir ketidaknyamanan diantara mereka.
Selain itu, penolak juga berusaha untuk menghargai permintaan
tersebut dengan memberikan tawaran. Di dalam kalimat (2), terdapat
pause filler dalam bentuk lingual “waduh”, statement of regret atau
ungkapan maaf dengan berkata “sory banget”, diikuti dengan sebutan
“Din” sebagai bentuk nama panggilan, kemudian ditambahkan dengan
statement of specific reason atau alasan khusus kenapa penolak tidak
bisa memenuhi permintaan, dan ditutup dengan penawaran solusi
atau alternatif lain agar meminjam kepada teman lain yang kamusnya
tidak dipakai. Penggunaan pause filler di dalam penolakan, menurut
237
beberapa penelitian terdahulu disebut sebagai adjunct. Adjunct tidak
bisa berdiri sendiri sebagaia penolakan. Adjunct muncul sebelum
penolakan (langsung dan tidak langsung) atau yang biasa disebut
dengan prerefusals ataupun muncul setelah penolakan, yang disebut
dengan postrefusals (Salazar, dll 2009: 4). Di sini mahasiswa Jawa
berusaha menolak dengan halus agar tidak menyakiti perasaan
seseorang yang memberi permintaan.
Realisasi penolakan kepada mitra tutur yang statusnya sama dan
kenal menggunakan ragam bahasa yang ringan untuk menunjukkan
keakraban. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa
strategi penolakan yang paling dominan digunakan kepada mitra tutur
dengan status sama dan kenal adalah ungkapan maaf dan alasan
khusus. Mahasiswa Jawa tidak pernah menolak sebuah permintaan
atau perintah orang lain secara langsung atau mengatakan “tidak”
kepada mitra tutur atau pemberi perintah/permintaan. Di sini
mahasiswa Jawa sangat memegang erat falsafah hidup orang Jawa
yang selalu kurmat atau hormat terhadap orang lain baik melalui
tindakan maupun ucapan.
Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi
dan tidak kenal
4) Nyuwun pangapunten sanget Bapak. Malam ini kulo
wonten acara keluarga yang sangat penting. Sehingga
belum bisa mengundang semua guru untuk hadir pada
rapat besok pagi. Tapi kulo akan meminta bantuan guru
lain untuk menyebarkan undangan tersebut Bapak.
Penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa merupakan
strategi penolakan tidak langsung dengan menggunakan empat
macam tindak tutur, yaitu maaf atau statement of regret, sebutan
dalam bentuk “bapak”, alasan, dan penawaran. Dari hasil penenlitian,
strategi penolakan kepada lawan tutur dengan status lebih tinggi dan
tidak kenal oleh mahasiswa Jawa yang paling dominan ialah dengan
sebutan dan ungkapan maaf. Munculnya sebutan hormat seperti bapak
digunakan untuk membuat penolakan mnejadi lebih sopan terutama
ketika digunakan dengan seseorag yang memiliki status sosial lebih
tinggi. Selain itu, ungkapan maaf juga menempati posisi kedua setelah
sebutan kepda mitra tutur. Pola urutan dalam kombinasi penolakan
238
yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa ialah dengan sebutan terlebih
dahulu kemudian diikuti dengan ungkapan maaf dan alasan. Setelah
itu, baru ditambahkan dengan penawaran, ucapan terimakasih, saran,
dll.
Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah
dan kenal
5) Maaf mas, 2 minggu lagi saya harus menghadiri konferensi.
Jadi tetap dikumpulkan sesuai jadwal saja ya.
6) Mohon maaf, tenggat pengumpulan tugasnya tetap seperti
yg sudah saya tentukan.
Pada data (5) dapat diketahui bahwa terdapat lima pola urutan
tindak tutur yang digunakan oleh mahasiswa Jawa. Keempat tindak
tutur tersebut adalah ungkapan maaf, sebutan, alasan, dan pernyataan
kewajiban. Sedangkan dalam data (6), terdapat dua pola urutan tindak
tutur yang digunakan, yaitu ungkapan maaf dan dan prinsip pribadi.
Strategi penolakan yang paling dominan ditemukan dalam penelitian
ini kepada mitra tutur dengan status sosial lebih rendah adalah
sebutan dan alasan. Meskipun penolak memiliki status sosial yang
lebih tinggi, ia tetap menggunakan tindak tutur ungkapan maaf di awal
penolakannya sebagai strategi agar mitra tutur tetap merasa dihargai.
Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah
dan tidak kenal
7) Saya tidak bisa menerimanya. Hukum harus tetap berjalan.
Maaf
8) Hukum akan berjalan sesuai dengan aturan. Mohon maaf.
Data (7) dan (8) menunjukkan sebuah penolakan kepada
seseorang dengan status lebih rendah dan tidak kenal. Penolakan yang
disampaikan mahasiswa Jawa ketika berhadapan dengan seseorang
yang memiliki status lebih rendah dan tidak kenal cenderung
dituturkan secara langsung. Dalam data (7) terdapat pola urutan
penolakan dengan tiga macam tindak tutur, yaitu ketidakmampuan,
prinsip pribadi, dan ungkapa maaf. Di dalam data ke (8), terdapat pola
urutan penolakan dengan menggunakan dua macam tindak tutur,
yaitu prinsip pribadi dan ungkapan maaf. Kedua data yang ditampilkan
tetap menggunakan permohonan maaf sebagai strategi penolakan
239
yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Meskipun kepada mitra tutur
yang lebih muda dan status rendah, mahasiswa Jawa tetap
mengggunakan permohonan maaf untuk menghaluskan penolakan
yang disampaikan.
Dari hasil penelitian, pengaruh budaya Jawa memengaruhi
ungkapan penolakan mahasiswa Jawa. Masyarakat Jawa merupakan
anggota masyarakat yang berdimensi kultural kolektivisme dna bukan
individualisme, sehingga memiliki rasa tidak ingin kehilangan teman
ataupun relasi. Oleh sebab itu, formulasi ungkapan penolakan
cenderung disampaikan secara tidak langsung. Selain itu, kekhasan
penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa kepada pemberi
perintah yang berstatus sama/sederajat adalah digunakannya pause
filler sedangkan kepada pemberi perintah yang statusnya lebih
rendah/tinggi tidak ditemukan.
Keunikan yang lain di dalam ungkapan penolakan oleh mahasiswa
Jawa yaitu penggunaan terms of address atau sebutan “tole”, dan “den”
sebagai sebutan kepada seseorang yang lebih muda dan tidak
ditemkan di dalam penolakan yang diucapkan oleh mahasiswa selain
dari Jawa. Keunikan ungkapan penolakan yang lainnya yaitu,
mahasiswa Jawa sering memasukkan unsur pengetahuan keagamaan
kedalam penolakan yang mereka sampaikan, baik itu istilah maupun
doa-doa. Penemuan ini sangat menarik karena peneliti tidak
menemukan hal yang sama dari mahasiswa Sunda maupun Korea.
Contohnya: “semoga kita mnedapat bantuan dari Allah melalui
berbagai caraNya”, “Baik Pak, insyaallah”, “yang halal kan banyak”, dst.
Selain itu, kepada pemberi perintah yang statusnya lebih
rendahpun tetap menggunakan ungkapan maaf sebagai penolakan
secara tidak langsung. Di sini terlihat bahwa masyarakat Jawa sangat
menghargai status pemberi perintah. Meskipun usia pemberi
perintahmasih muda, penolakan yang disampaikanpun harus tetap
sopan. Data menunjukkan tidak satupun penolakan yang
menggunakan non performative statement, yaitu kata tidak/no. strategi
penolakan secara langsung seperti itu dapat mengganggu hubungan
baik antara penutur dengan pemberi perintah. Penolakan terpaksa
disampaikan dengan menggunakan alasan ataupun saran. Maksudnya
adalah penutur ingin mengatakan bukan dia yang menolak
permintaan, tetapi kondisi yang bersifat eksternallah yang membuat
240
ketidakmampuan penutur untuk memenuhi keinginan pemberi
perintah.
Keunikan yang lain dari ungkapan penolakan yang disampaikan
oleh mahasiswa Jawa yaitu cenderung menggunakan idiolek atau
pause filler di akhir ungkapan ataupun di awal ungkapan penolakan,
seperti “tapi aku juga butuh e”, “lah,,,situ nyuri buat apa?”,
“waaah”,””aduuh”, “waduh”, “duh”, dan “oh”. Peneliti menemukan jga
penggunaan bahasa daerah seperti “semprit”. Kekhasan yang lain dari
mahasiswa Jawa yaitu ditemukannya emotikon menangis yang
ditujukan kepada pemberi perintah dengan status sama/sederajat.
Pemberian emotikon tersebut menunjukkan penegasan bahwa
penolak benar-benar meminta maaf dan merasa bersalah karena tidak
bisa memenuhi permintaan pemberi perintah. Selain itu, hal tersebut
digunakan untuk menunjukkan rasa empati kepada mitra tutur
sehingga mitra tutur tidak merasa terlalu sakit hati.
Sejumlah faktor mampu memengaruhi realisasi penolakan yang
disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Salah satu faktor tersebut adalah
faktor budaya. Secara garis besar, ungkapan penolakan yang
disampaikan oleh mahasiswa Jawa bersifat sangat tidak langsung
sehingga bisa menyulitkan mitra tutur, terlebih lagi jika mitra tutur
berasal dari masyarakat budaya non-Jawa. Pemahaman bebrapa
budaya Jawa sangat diperlukan oleh mahasiswa yang berasal dari
berbagai daerah dna kebudayaan, sehingga komunikasi dna interaksi
tetap berkalan lancar. Pemahaman tersebut salah satunya meliputi
sifat orang Jawa yang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara tidak
langsung, menyembunyikan perasaan, menolak tanggung jawab, dan
memiliki keinginan untuk selalu bersama.
b. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Korea
- Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi dan
kenal
9)
Bapaknya sudah lama menunggu. Jika kami ke rumah
teman, bapak pasti marah
Penolakan yang disampaikan mahasiswa Korea kepada pemberi
perintah dengan status lebih tinggi dan masih muda menggunakan
penolakan tidak langsung. Dan strategi yang digunakan hanya satu strategi
saja, yaitu alasan. Penolakan yang dituturkan cenderung tanpa basa-basi,
241
langsung dan singkat. Sesuai dengan konsep kesantunan berbahasa yang
dianut oleh masyarakat Korea, pemuda menghormati dan berbicara
santun kepada yang lebih tua. Meskipun anak majikan memiliki status
yang lebih tinggi, dan mereka saling kenal, namun karena usianya masih
muda penolakan yang disampaikan tidak terlalu panjang dan sopan.
- Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi dan tidak
kenal
10)
Mohan maaf bapak/ibu. Ada petugas khusus untuk itu.
Saya tidak bisa meninggalkan kantor. Jika bapak/ibu mau,
saya akan minta petugas itu ya.
Data (10) menunjukkan sebuah penolakan yang disampaikan
kepada seseorang dengan status lebih tinggi dan hubungan diantara
penutur dengan mitra tutur adalah tidak saling kenal. Penolakan yang
disampaikan mahasiswa Korea tersebut merupakan gabungan antara
penolakan secara langsung dan tidak langsung. Penolakan terdiri dari lima
macam tindak tutur. Formula semantik dalam penolakan di atas adalah
ungkapan maaf, terms of address, alasan, ketidakmampuan (penolakan
langsung), dan saran. Penggunaan terms of address “bapak/ibu” memiliki
peran yang penting di dalam interaksi sebuah masyarakat. Terms of
sddress sangat berperan dalam menjaga keharmonisan sebuah
komunikasi dan interaksi. Di dalam penolakan di atas, terms of address
untuk menghormati mitra tutur agar penolakan dapat diterima dengan
baik oleh mitra tutur.
- Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya sederajat dan kenal
11)
Maaf ya aku juga harus pake kamus ini untuk kerja. Gimana
kamu coba cari di perpus?
12)
Maaf ya sekarang ayahku dirawat di RS. Uang ini perlu
untuk itu. Tapi aku carikan cara lain untuk membantumu.
Data (11) menunjukkan penolakan ditujukan kepada seseorang yang
memiliki status setara atau sama dan saling kenal. Mahasiswa Korea
menggunakan strategi penolakan tidak langsung kepada teman atau
seseorang yang mereka kenal. Bahasa yang digunakanpun cenderung lebih
santai dan tidak baku. Dari penolakan di atas, pola urutannya terdiri dari
tiga macam tindak tutur, yaitu ungkapan maaf, alasan, dan saran.
Meskipun diantara penutur dengan mitra tutur memiliki status yang sama,
242
penolak berusaha untuk meminimalisir kekecewaan seseorang dengan
meminta maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan orang tersebut.
Meskipun demikian, karena mereka saling kenal dan memiliki hubungan
yang cukup dekat sebagai teman, penolak berusaha membantu mitra tutur
dengan memberikan sebuah saran atau alternatif lain supaya mitra tutur
mendapatkan kamus yang dibutuhkannya tetapi di tempat lain, yaitu
seperti di perpustakaan.
Selanjutnya, di dalam data (12) terdiri dari tiga macam tindak tutur
atau strategi penolakan. Ketiga macam formula semantik tersebut ialah
ungkapan maaf, alasan, dan penawaran. Mahasiswa Korea menolak
dengan cara tidak langsung agar hubungan dengan temannya tetap terjalin
baik. Untuk meminimalisir sakit hati seseorang yang ditolak, penolak
mengungkapkan permohonan maaf dan menolak secara tidak langsung
dengan memberikan alasan. Selain itu, penolak berusaha menunjukkan
simpati kepada temannya dengan menawarkan bantuan untuk membantu
mencarikan dana guna biaya berobat di rumah sakit. Bahasa yang
digunakan ringan tetapi tetap sopan meskipun relasi keduanya dekat dan
saling kenal.
- Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan
tidak kenal
13)
Dengan ini hukumanmu akan bertambah.
Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan kenal
menggunakan bahasa yang langsung tanpa basa-basi. Kondisi ini berbeda
dengan penolakan mahasiswa Jawa di mana penolakan yang ditujukan
kepada seseorang dengan status lebih rendah dan tidak saling kenal
menggunakan lebih dari satu urutan tindak tutur dan disertai dengan
permohonan maaf. Di sini terlihat jelas perbedaan yang cukup menonjol,
yaitu dari jumlah urutan tindak tutur penolakan dana strategi apa yanag
digunakan. Komunikasi lintas budaya perlu dipahami guna menyadarai
bahwa masing-masing masyarakat memiliki pola kebahasaan sesuai
budayanya. Bagi mahasiswa Koreaa, menolak dengan menggunakan satu
tindak tutur saja kepada seseorang yang berstatus lebih rendah dan tidak
kenal mungkinsudah dianggap sopan. Sedangkan bagi mahasiswa Jawa
menolak menggunakan dua atau lebih tindak tutur dan ungkapan maaf
akan membuat penolakana menjadi lebih sopan mesksipun ditujukan
kepada seseorang dengan status yang lebih rendah dan tidak saling kenal.
243
- Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan
kenal
14)
Maaf saya harus hadir di konferensi di luar negeri jadi
tugasnya harus saya periksa sebelumnya jadi tidak bisa
diundur. Tetapi jika hanya beberapa orang saja boleh
dikirim lewat email setelahnya.
Dalam data (14), penolakan ditujukan kepada seseorang dengan
status lebih rendah dan saling kenal. Formula semantik yang digunakan
adalah ungkapan maaf, alasan, dan saran. Dalam penolakan tersebut ada
tiga macam tindak tutur. Tuturan yang diujarkan cenderung lebih panjang
daripada tuturan yang diujarkan kepada orang yang belum saling kenal
dan memiliki status yang lebih rendah.
Kesantunan berbahasa di dalam budaya Korea juga seperti budaya
Jawa pada umumnya, yakni terdapat tingkat tutur atau unggah-ungguh
dalam berbahasa. Bagi masyarakat Korea, tingkat tutur merupakan salah
satu hal yang paling penting. Tetapi muncul satu perbedaan yang cukup
mencolok, yaitu faktor usia. Usia seseorang sangat penting dalam
kaitannya dengan tingkat tutur. Ketika seseorang pertama kali bertemu
dengan orang lain atau berkenalan, satu hal yang pasti ditanyakan ialah
usia. Usia ditanyakan untuk mengetahui tingkat tutur mana yang akan
digunakan dalam percakapan.
Selain faktor usia sebagai pengaruh pemilihan jenis tingkat tutur
yang digunakan, terdapat faktor lain yaitu strata sosial. Meskipun strata
sosial seseorang berpengaruh terhadap penggunaan kesantunan
berbahasa, namun tetap tidak sesignifikan faktor usia. Di dalam kehidupan
masyarakat Korea, faktor yang paling penting adalah usia. Meskipun
kepada seseorang yang berasal dari status atau kelas sosial bawah tapi
usianya atas atau jauh lebih tua, tingkat tutur dan kebahasaan tetap harus
menggunakan honorifik atau sebutan hormat. Di Korea, terdapat sebuah
istilah yang dijadikan suatu pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah
Jangyuyuseo yang bermakna “pemuda harus menghormati orang tua”.
Dengan demikian, entah berasal dari golongan sosial atas ataupun rendah,
jika seseorang memiliki usia yang tua, maka sapaan hormat tetap harus
digunakan.
Di dalam penelitian ini, faktor penentu sebuah penolakan yang
lainnya adalah tingkat kenal seseorang terhadap orang lain. Mahasiswa
244
Korea menolak dengan bahasa yang lebih sopan kepada seseorang yang
belum dikenal. Sedangkan dalam menolak kepada mitra tutur yang sudah
dikenal, tuturan yang disampaikan cenderung lebih santai.
Selain itu, menurut hasil penelitian dan wawancara yang sudah
dilakukan, tuturan-tuturan (dalam hal ini penolakan) mahasiswa Korea
cenderung disampaikan secara langsung dan tidak panjang-panjang
seperti penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Penolakan
disampaikan tanpa bertele-tele. Bagi orang Korea, orang yang suka
bertele-tele justru dicurigai karena dianggap memiliki maksud yang
tersembunyi. Lagipula, orang yang berbicara tidak langsung ke maksud
tuturannya atau bertele-tele dianggap kurang terpelajar karena tidak bisa
mengatakan apa yang ingin dikatakan secara jelas. Namun, kepada mitra
tutur yang lebih tua, penolakan disampaikan sedikit lebih panjang agar
lebih sopan. Ketika penolakan ditujukan kepada orang yang lebih muda,
status lebih rendah, teman, dan sudah saling kenal, penolakan tersebut
disampaikan dengan langsung tanpa berbelit-belit.
Pemahaman konsep kebudayaan orang Korea yang tercermin dalam
tuturan yang disampaikan harus dipahami dengan baik oleh mahasiswa
yang lainnya agar komunikasi dan interaksi dapat terjalin lancar tanpa
adanya kesalahpahaman diantara mahasiswa Jawa dan Korea. Dari
kondisi tingkat tutur yang sudah diapaparkan di atas, faktor terpenting
dalam penggunaan tingkat tutur di dalam masyarakat Jawa dan Korea
berbeda. Meskipun usia juga berpengaruh terhadap penggunaan unggahungguh seseorang, namun di dalam masyarakat Jawa bertanya perkara
usia bukanlah suatu hal yang disenangi bahkan cenderung tidak sopan.
c. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Sunda
- Formula penolakan berdasarkan kenal/tidak kenal
Di dalam sub-bab ini akan dijelaskan tentang formula ungkapan
penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Sunda kepada pemberi
perintah yang sudah saling kenal maupun yang tidak kenal. Di sini,
penolakan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kedekatan
dengan pemberi perintah. Dengan demikian, tingkat kenal atau tidak
seseorang sangat beroengaruh dalam komunikasi terhadap mitra tutur.
Selain itu, status kenal atau tidak kenal juga memengaruhi penggunaan
ragam bahasa, atau tingkat keformilan bahasa yang digunakan dalam
ungkapan penolakan. Di bawah ini akan ditampilkan tabel perbedaan
formula penolakan kepada mitra tutur yang dikena atau tidak dikenal.
245
Tabel 1 Formula Penolakan Berdasarkan Kenal/tidak kenal
Peringkat
Dikenal
Tidak dikenal
1
Statement for specific reason Statement of regret atau
atau ungkapan alasan khusus ( ungkapan penyesalan (
2
Statement of regret
ungkapan penyesalan (
3
Terms of address atau sebutan Statement for specific
(
reason atau ungkapan
alasan khusus (
Offer of alternative atau Suggestion atau saran (
ugkapan alternatif, statement
of inability atau ungkapan
ketidakmampuan,
dan
suggestion atau saran (
Statement of principle atau Statement of principle
ungkapan prinsip (
atau ungkapan prinsip (
4
5
atau Terms of address atau
sebutan (
Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa kepada pemberi perintah yang
sudah dikenal, mahasiswa Sunda cenderung paling banyak menggunakan
ungkapan alasan atau statement of specific reason for non-compliance
kemudian diikuti dengan ungkapan penyesalan atau statement of regret,
diikuti lagi dengan sebutan atau terms of address. Sedangkan kepada
pemberi perintah yang tidak kenal, mahasiswa Sunda cenderung paling
banyak menggunakan ungkapan penyesalan atau statement of regret
sebagai ungkapan penolakan mereka. kemudian diikuti dengan
menggunakan terms of address atau sebutan di dalam penolakan yang
mereka ujarkan. Contoh penolakan yang diungkapan mahasiswa Sunda
kepada pemberi perintah yang sudah dikenal adalah sebagai berikut:
“Dikarenakan saya harus ke luar negeri, saya tidak bisa
mengundur deadline pengumpulan tugas”
“Maaf bukannya aku ga mau bantu tapi ayahku sedang di
rumah sakit dan perlu biaya untuk berobat juga”
“Maaf sekali, saat ini bukunya lagi dipakai’
246
“Mohon maaf, uangnya dipakai untuk berobat ayah saya yg
sedang dirumah sakit”
“Ke rumah temannya nanti, orang tua sudah siap berangkat
dan menunggu kedatangan kita”
“Waah, bukan bermaksud tidak ingin membantu,
kebetulan sekali kamus itu sedang aku gunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan. Maaf sekali sekarang tidak bisa
meminjamkan. Carilah dulu di perpustakaan barangkali
menyediakannya, atau hubungi teman lainnya”
“Maaf sebelumnya, bukan tidak ingin membantu, tapi
keadaan sedang tidak memungkinkan. Ayahku sedang
dirawat dirumah sakit, jadi memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Semoga mobilmu cepat terjual ya”
“Duh maaf, aku lagi butuh banget nih buat kerjaan aku,
deadline. atau kalo mau kita bareng aja belajarnya”
“Maaf dek, saya harus mengantar bapak dulu”
“Maaf ya, aku juga lagi butuh buat bayar RS bapaku”
Dari contoh ungkapan penolakan di atas, statement for specific
reason atau ungkapan alasan khusus menjadi strategi atau formula
yang paling banyak dan paling sering digunakan kepada pemberi
perintah yang sudah kenal. Penolak berusaha menolak permintaan
mitra tutur secara tidak langsung dengan menyampaikan berbagai
macam alasan kenapa penolak tidak bisa memenuhi permintaan
pemberi perintah. Penggunaan alasan sebagi bentuk penolakan
dianggap sebagai cara yang tepat agar pemberi perintah tidak terlalu
kecewa. Menurut peneliti, hal tersebut menunjukkan bahwa
mahasiswa Sunda ingin menunjukkan penolakan yang mereka lakukan
bukan berasal dari dirinya atau murni karena tidak ingin memenuhi
permintaan, melainkan karena kondisi atau faktor-faktor yang bersifat
eksternal lainnya.
Strategi penolakan kedua setelah ungkapan alasan-alasan yaitu
ungkapan menyesal atau permohonaan maaf. Peneliti menemukan
prosentase permintaan maaf tidak terpaut jauh dengan ungkapan
alasan. Mahasiswa Sunda berusaha menolak dengan menggunakan
kata maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan pemberi perintah.
Peneliti menemukan juga ungkapan penolakan secara langsung
247
dengan pernyataan ketidakmampuan kepada pemberi perintah yang
sudah dikenal, namun prosentasenya cukup jauh, yaitu 50% atau
sekitar setengah dari jumlah kata maaf yang digunakan. Akan tetapi,
ungkapan ketidakmampuan yang disampaikan selalu diikuti dengan
alasan.
Kepada pemberi perintah yang belum dikenal, mahasiswa Sunda
paling banyak menggunakan ungkapan maaf. Kemudian diikuti
dengan terms of address atau sebutan untuk menghormati pemberi
perintah. Kekhasan penolakan mahasiswa Sunda kepada pemberi
perintah yang belum dikenal yaitu cenderung menggabungkan dua
strategi atau lebih. Salah satu contohnya yaitu menggabungkan
ungkapan alasan dengan ungkapan maaf seperti “maaf, saya menunggu
dulu yang jaga”, “maaf mas, saya harus mengantar bapak rapat”, dst.
Dari tabel di atas, penolakan yang disampaikan kepada pemberi
perintah yang sudah kenal maupun yang belum kenal tidak pernah
menggunakan non-performative statement atau penolakan secara
langsung.
Akan tetapi, ungkapan alternatif dan saran hanya
diungkapkan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah
dikenal dan bukan kepada pemberi perintah yang tidak dikenal.
Walaupun demikian, penggunaan terms of adddress atau sebutan juga
sangat dominan digunakan dalam ungkapan penolakan oleh
mahasiswa Sunda, terutama kepada pemberi perintah yang tidak
kenal. Contoh terms of address yang digunakan: Bro (dari kata Brother
yang berarti saudara lelaki, biasa digunakan sebagai sapaan oleh
seorang lelaki kepada teman lelakiknya), Pak, Dek, Bu, Adek, Anda, Mas,
dan Mbak.
Mahasiswa Sunda juga cenderung untuk menggabungkan
ungkapan maaf dengan terms of address atau sebutan di dalam
penolakan yang mereka tuturkan, sepert: “Maaf Pak”, “Sorry bro”, “saya
mohon maaf dengan sangat Pak”, “maaf dek” kepada pemberi perintah
yang sudah dikenal. Menurut Nadar dan Suhandono (2000: 28), hal
tersbeut menunjukkan adanya keinginan penolakn terlibat secara
langsung dalam usaha untuk menolong pemberi perintah. Selain itu,
kepada mitra tutur yang sudah dikenal, mahasiswa Sunda juga
berusaha memberikan tawaran alternatif dan juga saran seperti: “saya
sarankan”, “saya rekomendasikan”, “kalau mau…”.
248
Secara umum, ungkapan penolakan yang disampaikan mahasiswa
Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal paling banyak
menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for
non-compliance dengan berbagai macam variasinya. Sedangkan
kepada pemberi perintah yang tidak dikenal, maahasiswa Sunda
paling banyak menggunakan statement of regret atau ungkapan maaf
dan diikuti dengan sebutan atau terms of address agar komunikasi
tetap berjalan baik dan untuk menghormati pemberi perintah. Seperti
yang kita ketahui bahwa masyarakat Sunda sangat menjaga tradisi
sopan santun kepada orang lain, terutama kepada seseorang yang
dikenal, karena mereka mengenal istilah sopan santun kekerabatan.
Formula Penolakan berdasarkan Status Lawan Bicara
Di dalam sub-bab ini akan dijelaskan relasi ungkapan penolakan
antara status pemberi perintah dengan status pelaku penolakan.
Selain itu, akan dijelaskan pula adakah pengaruh status pemberi
perintah dalam penolakan yang diungkapkan oleh mahasiswa Jawa,
mahasiswa Sunda, dan mahasiswa Korea. Status mitra tutur dibagi
menjadi tiga jenis, yakni status lebih tinggi, status sama atau sederajat,
dan status lebih rendah.
-
249
Tabel 2 Formula Ungkapan Penolakan berdasarkan Status
Lawan Bicara
Peringkat Kepada
rendah
status
lebih Kepada
status Kepada status lebih
sama/sederajat
tinggi
1
Statement of regret atau Statement
for Terms of address
ungkapan maaf (22.5%) specific reason atau atau
sebutan
ungkapan
alasan (26.7%)
khusus (37.1%)
2
Statement for specific Statement of regret Statement
for
reason atau ungkapan atau
ungkapan specific reason atau
alasan khusus (18.3%)
penyesalan (34.2%) ungkapan
alasan
khusus
dan
Statement of regret
atau
ungkapan
penyesalan
(masing-masing
22.5%)
3
Suggestion atau saran Suggestion
(16.3%)
saran (8.5%)
4
Statement of principle Terms of address
atau
ungkapan atau sebutan, Offer
berdasarkan
prinsip of alternative atau
(12.2%)
ugkapan alternatif
dan pause filler
(masig-masing
5.7%)
5
Terms of address atau Statement
sebutan, Statement of inability
inability atau ungkapan ungkapan
atau Statement
of
inability
atau
ungkapan
ketidakmampuan
(8.4%)
Offer of alternative
atau
ugkapan
alternatif dan pause
filler (7%)
of Suggestion
atau saran (5.6%)
250
atau
ketidakmampuan, dan ketidakmampuan
statement of principle (2.8%)
atau
ungkapan
berdasarkan
prinsip
(masing-masing 10.2%)
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa penolakan-penolakan yang
dituturkan oleh mahasiswa Sunda dipengaruhi juga oleh faktor status
mitra tutur. Kepada pemberi perintah dengan status lebih rendah,
mahasiswa Sunda paling banyak menggunakan Statement of regret atau
ungkapan maaf, ungkapan alasan atau statement of specific reason for noncompliance, saran, ungkapan berdasarkan prinsip, dan sebutan/ungkapan
ketidakmampuan/ungkapan berdasarkan prinsip. Mahasiswa Sunda
cenderung selalu menggunakan ungkapan maaf “maaf” kepada pemberi
perintah yang statusnya lebih tinggi karena tidak bisa memenuhi
permintaan atau perintahnya. Selain itu, terlihat juga kepada pemberi
perintah yang berstatus lebih rendah, mahasiswa Sunda banyak
menggunakan ungkapan maaf dibandingkan dengan kepada pemberi
perintah yang berstatus lebih tinggi, yaitu dengan menggunakan sebutan
atau terms of address.
Sedangkan kepada pemberi perintah dengan status sama, mahasiswa
Sunda paling banyak menggunakan ungkapan alasan. Mereka berusaha
menolak secara tidak langsung dengan selalu menyertai alasan-alasannya,
terlebih kepada seseorang yang sudah dikenal. Misalnya seperti ungkapan
“maaf bro masih gua pakai”, “saya harus menjemput yang lain”, maaf ya, aku
juga lagi butuh buat bayar RS bapaku”, dst. Dilanjutkan dengan
permohonan maaf dan saran. Strategi yang paling kecil prosentasenya
yaitu dengan ungkapan ketidakmampuan. Dengan kata lain, mahasiswa
Sunda berusaha menjelaskan bahwa alasan penolakan yang disampaikan
bukan berasal dari diri mereka, tetapi dari faktor yang bersifat eksternal.
Akan tetapi, peneliti juga menemukan beberapa ungkapan penolakan yang
hanya menggunakan satu strategi saja. Dan hal tersebut tidak ditemui
ketika penolakan ditujukan kepada pemberi perintah dengan status yang
lebih tinggi. Kesetaraan juga memengaruhi penggunaan sebutan atau
terms of address. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
sebutan atau terms of address kepada pemberi perintah yang sederajat
251
lebih sedikit dibandingkan dengan kepada pemberi perintah yang lebih
tinggi, namun jauh lebih banyak dibandingkan dengan kepada pemberi
perintah yang statusnya lebih rendah.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa memang ada pengaruh
budaya Sunda dalam ungkapan penolakan mahasiswa Sunda. Sebagai
masyarakat yang berdimensi kolektivisme, seperti masyarakat Indonesia,
mahasiswa Sunda tidak ingin kehilangan teman atau relasi dengan
senderung menggunakan penolakan secara tidak langsung. Terdapat
beberapa penolakan dengan ungkapan ketidak mampuan, seperti “kami
sedang tidak bisa menerima pesanan” , akan tetapi, penolakan tersebut
selalu diikuti dengan ungkapan maaf ataupun sebutan sebagai bentuk
penghormatan dan agar tidak menyakiti hati pemberi perintah.
Istilah kekerabatan yang diujarkan baik mahasiswa Sunda maupun
Jawa ditujukan bukan hanya kepada seseorang yang memiliki tali
kekerabatan, tetapi ditujukan pula kepada orang-orang diluar tali
kekerabatan tersebut yang sama atau setara dengan orang-orang ada di
dalam tali kekerabatan tersebut, seperti Mas, Dek, Pak, dll. Hal tersebut
menunjukkan sebuah keadaan di mana orang-orang yang berada di luar
lingkaran kekerabatan dianggap seolah-olah sebagai keluarga. Anggapan
tersebut timbul dikarenakan adanya perasaan untuk ingin menghargai
dan menghormati diantara sesamanya dan didorong oleh munculnya rasa
kekeluargaan. Jadi, meskipun tidak kenal dan statusnya berbeda,
mahasiswa Sunda juga tetap berusaha menghormati mitra tutur. Terdapat
satu kekhasan penolakan, yaitu mahasiswa Sunda menggunakan beberapa
sebutan atau terms of adress yang berbeda dari mahasiswa Jawa, yaitu
penggunaan “bro”, “gua”, dan “lu”. Sebutan tersebut sering kita temui pada
orang-orang atau masyarakat yang tinggal atau berasal dari daerah Jakarta
(Betawi). Terdapatnya penggunaan sebutan seperti itu disebabkan oleh
beberapa faktor eksternal, seperti masuknya ekonomi uang dan
kebudayaan barat. Sedangkan faktor internalnya yaitu urbanisasi, di mana
masyarakat desa atau pedalam berpindah ke kota. Di dalam hal ini,
mahasiswa pernah tinggal, bergaul, ataupun sering berinteraksi dengan
orang-orang luar Sunda, misalnya Jakarta ataupun daerah-daerah lainnya.
Beberapa hal tersebut mampu memengaruhi sapaan kekerabatan yang
digunakan dalam berbahasa oleh seorang individu di dalam sebuah
masyarakat bahasa.
252
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Jawa lebih
sering menolak menggunakan dua macam tindak tutur atau lebih (5, 6, dan
7 juga sering muncul) untuk membuat penolakan menjadi lebih santun.
Penolakan yang dituturkan kepada seseorang dengan status tinggi
ataupun rendah tidak pernah hanya menggunakan satu urutan tindak
tutur saja. Bagi orang Jawa, semakin panjang tuturan, maka akan semakin
sopan pula tuturan tersebut. Berbeda dengan mahasiswa Korea, kepada
mitra tutur yang lebih tua harus menggunakan tuturan yang lebih panjang,
meskipun status sosialnya rendah. Strategi penolakan yang dominan
digunakan oleh mahasiswa Jawa adalah terms of address atau sebutan,
ungkapan maaf, dan alasan. Hampir di setiap tuturannya, mahasiswa Jawa
selalu menggunakan kata maaf sebagai cerminan rasa pakewuh. Terutama
kepada mitra tutur yang sudah kenal, sedangkan kepada mitra tutur yang
belum kenal cenderung menggunakan ungkapan alasan atau statement of
specific reason for non-compliance sebagai penolakan atas permintaan atau
perintah mitra tutur. Di sisi lain, mahasiswa Korea sering menggunakan
alasan untuk menyampaikan penolakan. Tuturan yang semakin panjang
hanya berlaku bagi mitra tutur yang lebih tua (meskipun berstatus
rendah) dan seseorang dengan status sosial tinggi. Sedangkan kepada
teman atau orang lain yang sudah kenal dan memiliki status sosial sama,
tuturan cenderung langsung tanpa bertele-tele. Semakin langsung ke
maksud tujuan maka semakin pandai orang tersebut. Dan ditemukan
penggunaan satu tindak tutur saja kepada mitra tutur yang memiliki status
lebih rendah dan belum saling kenal.
Sejumlah faktor mampu memengaruhi realisasi penolakan yang
disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Salah satu faktor tersebut adalah
faktor budaya. Secara garis besar, ungkapan penolakan yang disampaikan
oleh mahasiswa Jawa bersifat sangat tidak langsung sehingga bisa
menyulitkan mitra tutur, terlebih lagi jika mitra tutur berasal dari
masyarakat budaya non-Jawa. Pemahaman beberapa budaya Jawa sangat
diperlukan oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dan
kebudayaan, sehingga komunikasi dan interaksi tetap berjalan lancar.
Pemahaman tersebut salah satunya meliputi sifat orang Jawa yang lebih
suka mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, menyembunyikan
253
perasaan, menolak tanggung jawab, dan memiliki keinginan untuk selalu
bersama.
Secara umum, ungkapan penolakan yang disampaikan mahasiswa
Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal paling banyak
menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for noncompliance dengan berbagai macam variasinya. Sedangkan kepada
pemberi perintah yang tidak dikenal, maahasiswa Sunda paling banyak
menggunakan statement of regret atau ungkapan maaf dan diikuti dengan
sebutan atau terms of address agar komunikasi tetap berjalan baik dan
untuk menghormati pemberi perintah. Seperti yang kita ketahui bahwa
masyarakat Sunda sangat menjaga tradisi sopan santun kepada orang lain,
terutama kepada seseorang yang dikenal, karena mereka mengenal istilah
sopan santun kekerabatan. Mahasiswa Jawa dan Sunda juga tidak mudah
menolak permintaan orang lain karena mereka mengedepankan prinsip
kebersamaan. Hal tersebut didasarkan pada masyarakat Jawa dan Sunda
yang merupakan anggota dimensi masyarakat yang kolektivisme, bukan
individualisme.
Bagi mahasiswa Korea, faktor penentu penggunaan tingkat tutur
dalam berbahasa yang paling penting adalah usia, sedangkan bagi
mahasiswa Jawa, faktor terpenting adalah status sosial dan hubungan
kenal ataupun tidak kenal. Dari penelitian ini diharapkan mampu
menjelaskan bahwa pemahaman komunikasi lintas budaya sangat penting
untuk diketahui, karena bahasa dan budaya yang berbeda dapat
menciptakan tindak tutur kebahasaan yang berbeda pula. Saling
memahami dan mengerti merupakan kunci utama agar komunikasi lintas
budaya dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya
kesalahpahaman. Salah satu contohnya adalah faktor usia bagi orang
Korea yang menjadi hal paling penting sehingga perlu ditanyakan kepada
mitra tutur agar dapat menggunakan strategi kebahsaan yang sesuai,
sedangkan bagi orang Jawa dan Sunda bertanya soal usia cenderung
kurang sopan. Di Korea, terdapat sebuah istilah yang dijadikan suatu
pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah Jangyuyuseo yang bermakna
“pemuda harus menghormati orang tua”. Dengan demikian, entah berasal
dari golongan sosial atas ataupun rendah, jika seseorang memiliki usia
yang tua, maka sapaan hormat tetap harus digunakan.
254
DAFTAR PUSTAKA
_______. 1979. Adat Istiadat daerah Jawa Barat. Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University
Press.
Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York:
Longman Publishing.
Lagu, Marselina. 2016. Komunikasi Antarbudaya Di Kalangan Mahasiswa
Etnik Papua dan Etnik Manado di Universitas Sam Ratulangi Manado.
e-Jurnal “Acta Diurna” Vol. V No. 3
Nadar, FX., Suhandono. 2002. Kajian Formula dan Kesantunan Ungkapan
Penolakan Dalam Bahasa Jawa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIB
UGM.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks
Masyarakat dana Keebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc.
Salazar, Patricia., Jorda, M.P., Espurz, V.C. 2009. Refusal Strategies: A
Proposal From Sociopragmatic Approach. Spanish: Universitat
Jaume I.
Searle, John R., etc. 1980. Speech Acts Theory and Pragmatics. Boston: D
Reidel Publishing Company.
Searle, John R., Daniel Vanderveken. 1985. Foundation of Illocutionary
Logic. Cambridge: Cambridge Universsity Press.
Surjaman, Ukun. 1960. Tempat Pemakaian Istilah Klasifikasi Kekerabatan
pada Orang Djawa dan Sundadalam Susunan Masyarakat. Djakarta.
Suprapto, Tommy. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta. CAPS.
Wierzbicka, Anna. 2003. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of
Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.
Yang, Seung-Yoon. 1995. Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
255
PENGGUNAAN STRATEGI SULIH TEKS PADA SERIAL KOMEDI SITUASI
FRIENDS
Hafidatun Awaliyah A
Ilmu Linguistik 2017, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Email: hafidatuna@gmail.com
A B S T R A K
Pada era globalisasi ini, penerjemahan visual verbal mulai diminati
oleh berbagai kalangan. Salah satu bentuk terjemahan visual verbal adalah
penerjemahan sulih teks atau subtitle. Dalam sebuah film atau acara di
bahasa sumber, para aktor dan aktris kerap kali mengujarkan kata atau
ungkapan kasar yang mungkin sulit diterima oleh bahasa sasaran karena
faktor tertentu. Oleh karena itu, seorang penerjemah menggunakan
strategi penerjemahan sulih teks agar film atau acara dapat berterima dan
dinikmati oleh pemirsa. Untuk menjawab strategi sulih teks yang dipakai
penerjemah dalam menerjemahkan kata kasar, peneliti menggunakan
teori yang dicetuskan oleh Gottlieb (1992). Sumber data penelitian ini
yaitu serial komedi situasi Friends dikhususkan pada season kedua.
Sedangkan data yang digunakan adalah kata atau ungkapan kasar pada
serial tersebut. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan 49 kata atau ungkapan kasar dalam
sulih teks sumber (bahasa Inggris) yang diterjemahakan dalam sulih teks
sasaran (bahasa Indonesia). Pada penelitian ini, strategi Deletion,
Expansion, Transcription, Transfer dan Resignation adalah strategi yang
digunakan oleh penerjemah sulih teks. Strategi yang paling sering
ditemukan yaitu strategi expansion. Adapun strategi yang jarang
ditemukan yaitu strategi resignation. Temuan tersebut menunjukkan
bahwa penerjemah sulih teks mempertimbangkan unsur budaya pada
bahasa sasaran untuk menerjemahkan kata kasar yang muncul pada sulih
teks.
Kata kunci : Strategi penerjemahan, sulih teks, serial komedi situasi.
256
PENDAHULUAN
Penerjemahan pada dasarnya melibatkan penggantian materi
tekstual bahasa sumber dengan padanan materi tekstual dalam bahasa
sasaran (Catford, 1969). Pada era ini, teknologi yang semakin maju
mempermudah proses penerjemahan.salah satu bentuk kemajuan
teknologi yaitu adanya penerjemahan visual verbal. Penerjemahan visual
verbal yang berhubungan dengan film, serial TV, atau acara TV yaitu
penerjemahan sulih teks atau subtitle dan sulih suara atau dubbing
(Gonzales, 2009). Sulih teks atau subtitling merupakan proses sinkronisasi
dalam sebuah dialog pada film (Shuttleworth dan Cowie, 2007).
Dalam menerjemahkan sulih teks, tentunya digunakan teknik
tertentu yang digunakan oleh penerjemah film untuk memadankan bahasa
sumber serta bahasa sasaran dengan tujuan agar para pemirsa atau
penonton dapat menikmati alur film dalam bahasa sumber tanpa
mengganggu sinkronisasi antara film dan sulih teks.
Pada penelitian ini akan menganalisis mengenai penerjemahan
kata-kata kasar dalam serial TV yang digunakan oleh penerjemah. Dalam
bahasa sumber (bahasa Inggris), kata-kata kasar yang diujarkan oleh aktor
dan aktris belum tentu berterima ke dalam bahasa sasaran (bahasa
Indonesia). Dari hal tersebut, kemudian peneliti mencoba untuk menguak
mengenai strategi penerjemahan sulih teks yang dilakukan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan kata-kata kasar pada bahasa sumber
agar dapat diterima dengan baik oleh bahasa sasaran. Data yang
digunakan adalah kata-kata kasar yang diujarkan oleh para pemain serial
komedi situasi Friends season 2. Untuk sumber data utama digunakan sulih
teks bahasa Indonesia terdapat DVD Friends season 2, sumber data
sekunder didapat dari transkrip Friends season 2 pada website
http://friends.tktv.net/Episodes2/index.html
untuk
memudahkan
analisis.
Pada penelitian ini, akan digunakan metode deskriptif kualitatif,
dimana proses pengumpulan hingga analisa data dilakukan secara urut.
Dalam mengumpulkan data, dilakukan beberapa metode. Langkah awal
yaitu menonton DVD Friends season 2 dengan seksama. Kemudian,
membaca kecocokan transkrip dan sulih teks, Setelah itu, dilakukan
pengumpulan kata-kata kasar yang diucapkan oleh seluruh pemain
Friends season 2. Pengumpulan dilanjutkan dengan pemberian nomor
257
pada data secara urut serta pengelompokkan data dalam sebuah tabel.
Pada proses analisis data, langkah pertama yang dilakukan adalah
membaca ulang sulih teks bahasa Indonesia dan transkrip bahasa Inggris.
Setelah membaca ulang, dilakukan identifikasi dan klasifikasi penggunaan
strategi sulih teks yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan
kata-kata kasar dalam bahasa Indonesia menggunakan teori Gottlieb
(1992). Setelah seluruh data diklasifikasi, analisis secara deskriptif
dilakukan guna memperjelas hasil penelitian. Terakhir, dilakukan
penarikan kesimpulan yang berdasar pada analisis.
Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Ying Zhang dan
Junyan Liu yang berjudul Subtitle Translation Strategies as a Reflection of
Technical Limitations: a Case Study of Ang Lee’s Films pada tahun 2009.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menginvestigasi penerjemahan sulih
bteks dalam bahasa Mandarin ke bahasa Inggris pada film-film Ang Lee.
Pada penelitian berikutnya, dilakukan oleh Khoiru Ummatin dari Badan
Balai Bahasa Jawa Timur pada tahun 2015 yang berjudul Analisis Teknik
Penerjemahan Subtitling Film Lesson for Assasins di JTV. Penelitian tersebut
bertujuan untuk memaparkan teknik penerjemahan subtitling yang
digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan film Lesson for an
Assassin ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan dua penelitain yang
telah dilakukan, penelitian ini berbeda dari penlitian sebelumnya karena
bertujuan mengidentifikasi strategi penerjemahan sulih teks untuk katakata kasar dalam serial situasi komedi Friends season 2.
STRATEGI PENERJEMAHAN SULIH TEKS
Teori mengenai penerjemahan sulih teks dicetuskan oleh Henrik
Gottlieb pada tahun 1992. Gottlieb lantas mencantumkan strategi
penerjemahan sulih teks ke dalam 10 kategori. Sedikit berbeda dari teknik
penerjemahan pada umumnya, pada strategi penerjemahan sulih teks,
digunakan khusus untuk ranah penerjemahan sulih teks pada suatu film,
serial TV, ataupun acara talkshow yang melibatkan dua bahasa. Berikut di
bawah ini merupakan penjelasan strategi sulih teks.
1. Expansion : digunakan ketika terdapat teks yang melibatkan nuansa
budaya di mana hal tersebut tidak berterima pada bahasa target,
sehingga digunakan istilah lain sebagai pengganti.
2. Paraphrase : digunakan ketika terdapat frasa atau idiom yang muncul
dan teks asli tidak bisa dikonstruksi secara sintaksis ke bahasa target.
258
3. Transfer : digunakan di mana teks sumber diterjemahkan ke teks
sasaran secara utuh dan akurat.
4. Imitation : digunakan untuk menerjemahkan susunan kata yang sama.
Misalnya nama orang, nama tempat, dan lainnya.
5. Transcription : digunakan ketika terdapat teks yang bersifat tidak biasa
(nonsense atau penggunaan julukan/orang ketiga) dalam teks sumber
dan tidak ditemukan padanan dalam teks target.
6. Dislocation : digunakan ketika dalam film terdapat efek special seperti
lagu-lagu pada kartun, di mana efek penerjemahan lebih penting
daripada konten film.
7. Condensation : digunakan untuk memotong atau memangkas teks
menjadi seringkas mungkin
8. Decimation : digunakan untuk menerjemahkan pemain film atau orangorang yang sedang bertengkar atau berbicara capat, sehingga
mengharuskan sulih teks diringkas oleh penerjemah (elemen penting
dalam wacana kemungkinan hilang).
9. Deletion : merujuk kepada pelesapan total pada teks karena kurang
berterima dalam teks sasaran.
10. Resignation : digunakan penerjemah jika tidak ada solusi terjemahan
yang tepat sehingga makna utama kemungkinan akan hilang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan strategi
penerjemahan yang dipakai oleh penerjemah untuk menerjemahkan sulih
teks pada kata-kata kasar di serial komedi situasi Friends season 2.
Strategi-strategi tersebut adalah Deletion, Expansion, Transcription,
Transfer, dan Resignation.
Strategi
Persentase
Deletion
16,3%
Expansion
42,9%
Transcription
6,1%
Transfer
30,7%
Resignation
4,08%
Tabel 1. Jumlah strategi penerjemahan sulih teks pada serial situasi
komedi Friends season 2
259
Berikut di bawah ini merupakan analisis yang disertai contoh dari
kelima strategi yang ditemukan:
Deletion
Pada strategi Deletion, penerjemah sulih teks menghilangkan kata
kasar seluruhnya dari sulih teks bahasa sumber ke bahasa sasaran. Di
bawah ini merupakan contoh penggunaan strategi Deletion:
Data TSu
TSa
01
So, what the hell happened Apa yang terjadi padamu di
to you in China?
China?
21
Believe me, sometimes that Percayalah,
shit happens
terjadi
terkadang
itu
Pada data (01), the hell memilki makna literal neraka, namun
terkadang dalam bahasa Inggris kata tersebut dapat digunakan untuk
mengumpat seseorang atau sesuatu. Kemudian pada data (21),
penerjemah juga melesapkan kata shit pada sulih teks bahasa Indonesia.
Secara literal, shit dapat diartikan sebagai kotoran, terkadang digunakan
pula untuk mengumpat yang berarti omong kosong. Dalam bahasa sasaran,
kata kasar the hell dan shit dilesapkan oleh penerjemah sulih teks
dikarenakan tanpa adanya kata kasar tersebut keseluruhan kalimat masih
berterima oleh pemirsa.
Expansion
Pada strategi Expansion, penerjemah cenderung menerjemahkan
kata kasar ke kata yang lebih berterima dalam teks sasaran dengan tujuantujuan tertentu. Adapun untuk contoh data yang ditemukan terdapat di
bawah ini:
Data TSu
TSa
2
Ugh, what a bitch
Menyebalkan sekali.
46
Because he was just damn Karena dia sangat tampan?
cute?
Apabila ditinjau secara literal, data (2) menunjukkan bahwa kata
kasar dalam teks sumber diterjemahkan jauh dari makna asli kata bitch.
Kata bitch diartikan sebagai umpatan yang merujuk kepada jalang atau
pelacur wanita. Penerjemah memperhalus kata tersebut dengan kata yang
bertingkat lebih sopan ke teks sasaran yaitu menyebalkan sekali. Sama
260
halnya dengan data (46), dimana penerjemah mengganti kata damn yang
memiliki makna terkutuk dalam teks sumber menjadi sangat dalam teks
sasaran. Hal tersebut menunjukkan penerjemah menonjolkan unsur
kultur pada teks sasaran yang tabu dengan kata tersebut.
Transcription
Dalam strategi Transcription, penerjemah sulih teks diharuskan
untuk menerjemahkan istilah sudut pandang ketiga atau istilah yang
cenderung tidak masuk akal yang cocok untuk menjadi padanan dalam
teks sasaran. Berikut merupakan contoh data yang ditemukan:
Data TSu
TSa
08
What a dinkus!
Bodohnya.
17
Get out, you doofus!
Keluarlah, bodoh!
Pada data (08) dan (17) di teks sumber, terdapat kata dinkus dan
doofus yang digunakan sebagai julukan atau panggilan terhadap seseorang
yang memiliki arti hampir sama dengan orang yang tolol atau idiot. Kedua
kata kasar tersebut merupakan slang words pada bahasa sumber. Dalam
hal ini, penerjemah sulih teks tidak menemukan padanan yang tepat untuk
menerjemahkan, oleh karena itu kata bodoh merupakan solusi padanan
yang mendekati dan berterima pada teks sasaran.
Transfer
Dalam strategi Transfer, penerjemah menerjemahkan kata atau
istilah secara literal tanpa mengganti makna secara akurat dan utuh. Di
bawah ini merupakan contoh kata yang diterjemahkan menggunakan
strategi Transfer:
Data TSu
TSa
35
What a manipulative Dasar
wanita
jalang
bitch
manipulatif.
43
It was just a dumb soap Itu hanya opera sabun yang
opera
bodoh.
Pada data (35) kata kasar teks sumber bitch diterjemahkan secara
literal oleh penerjemah menjadi wanita jalang dalam teks sasaran. Data
serupa muncul pada data (43) dimana penerjemah tidak mengganti kata
dumb ke dalam bentuk lainnya, namun tetap diterjemahkan sesuai makna
literal yaitu bodoh. Kedua terjemahan dari teks sumber ke teks sasaran
261
tetap pada makna yang akurat dan utuh karena makna tersebut berterima
dengan bahasa sasaran.
Resignation
Pada strategi Resignation, penerjemah melakukan perombakan
makna karena tidak menemukan padanan yang cocok pada teks sasaran
sehingga memungkinkan makna utama dalam teks sumber akan hilang.
Kedua contoh data di bawah ini merupakan peggunaan strategi resignation
yang digunakan oleh penerjemah sulih teks:
Data
TSu
TSa
41
Get off my leg, you yippity Menyingkir dari kakiku, Hewan
piece of crap!
Sial!
Data (41) kata-kata yippity piece of crap dapat diartikan sebagai
omong kosong belaka dalam teks sasaran. Namun, dalam data tersebut
menunjukkan bahwa penerjemah tidak menemukan padanan yang cocok
sehingga penerjemahan diubah menjadi kata yang lebih berterima dalam
teks sasaran meskipun makna literal dari teks sumber hilang sepenuhnya.
SIMPULAN
Setelah analisis dilakukan secara deskriptif, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat lima jenis strategi yang digunakan penerjemah untuk
menerjemahkan kata kasar pada sulih teks dalam teks sumber (bahasa
Inggris) ke teks sasaran (bahasa Indonesia). Strategi tersebut ialah
deletion, expansion, transcription, transfer dan resignation. Strategi yang
paling sering ditemukan yaitu strategi expansion. Hal ini menandakan
bahwa penerjemah sulih teks masih mempertimbangkan unsur budaya
yang melekat pada TSa. Adapun strategi yang jarang ditemukan yaitu
strategi resignation. Hal tersebut mencerminkan bahwa meskipun
terjemahan kata kasar masih terdengar tabu, penerjemah masih
mempertimbangkan makna agar tetap berterima dan akurat pada TSa
262
REFERENSI
Catford, J.C. (1969) Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford
University Press.
Gonzalez, L. P. (2009). Audiovisual translation. Routledge encyclopedia of
translation studies: Second edition (pp. 13-20).
Gottlieb, H. (1992). Subtitling. “A New University Discipline”. Teaching
Translation and Interpreting: Training, talent and experience.
Philadelpia: John Benjamins Publishing Company.
Shuttleworth, M & Cowie, M. (1997). Dictionary of Translation. USA.
Routledge.
Umatin, K. (2015). Analisis Teknik Penerjemahan Subtitling Film Lesson
for Assasins di JTV. Bebasan, Vol. 2, No. 2, edisi Desember 2015: 78—
90
Zhang, Y & Liu, J. (2009). Subtitle Translation Strategies as a Reflection of
Technical Limitations: a Case Study of Ang Lee’s Films. Asian Social
Science Journal. Vol. 5, No.1
WEBSITE
http://friends.tktv.net/Episodes2/index.html
263
HASIL DISKUSI SEMINAR
PERTANYAAN
1. Bagaimanakah karakteristik masing-masing kategori sulih teks?
2. Mengapa menggunakan sulih teks dari DVD asli? Karena penerjemah
tidak diketahui asal usulnya.
3. Sulih teks pada DVD terkadang salah atau belum tentu benar pada
penerjemahannya. Bagaimana tanggapan anda mengenai hal tersebut?
JAWABAN
1. Tidak terdapat karakteristik tertentu, karena dalam penelitian ini sudah
dikhususkan pada penerjemahan sulih teks yang mengandung katakata kasar di dalamnya.
2. Karena dengan pertimbangan keaslian terjemahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Jika mengambil sulih teks yang dapat
diunduh dari suatu laman website, mungkin akan sulit untuk
dipertanggungjawabkan dan akan berpengaruh pada hasil penelitian.
3. Dalam penerjemahan, tidak ada benar dan salah. yang ada yaitu baik dan
tidak baik. Penerjemah menggunakan strategi atau teknik tertentu
untuk menerjemahkan ujaran pada sulih teks. Mungkin hasilnya belum
tentu berterima oleh pemirsa, namun dapat dipertanggungjawabkan
melihat bahwa orisinalitas diperlukan dalam pengambilan sumber data
dalam penelitian.
264
FENOMENA CAMPUR CODE DALAM DALAM DUNIA KERJA PT
BECOM YOGYAKARTA
Hari Nugraha
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
hari.nugraha@mail.ugm.ac.id
ABSTRAK
Banyak fenomena yang tidak kita temukan di dunia akademik, akan tetapi
kita temukan dalam dunia kerja. salah satunya adalah kebiasaan
menggunakan bahasa yang bercampur-campur antara bahasa satu dengan
bahasa lainnya. PT. Becom adalah salah satu perusahaan di area
Yogyakarta yang bergerak dalam bidang event organiser. Dalam
mekanisme kerja, mereka menuntut para pekerjanya berbaur dengan klien
perusahaan yang sudah biasa menggunakan bahasa dengan banyak
fenomena Campur Kode didalamnya. Campur Kode yang digunakan adalah
antara Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia.
Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif dengan data berupa
kosa kata campur kode antara tiga bahasa yang umum digunakan
dilingkungan kerja PT Becom. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat
57 kosa kata bahasa Inggris yang terdiri dari nomina, verba, adjective, dan
adverb dan 11 kosa kata dari bahasa Jawa digunakan sebagai campur kode
dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ditemukan 14 kosa kata yang
mengalami pergeseran makna terjadi pada fenomena campur Kode
tersebut. Alasan penggunaan campur kode dalam PT Becom region
Yogyakarta adalah; karena pihak klien yang sudah biasa dalam
menggunakan Campur Kode dalam komunikasi sehari-hari dan untuk
menaikan citra pekerja di depan klien.
Kata kunci: PT Becom, Campur Kode
PENDAHULUAN
Bahasa berkembang berdasarkan penuturnya. Perkembangan
budaya dan peradaban adalah salah satu pemicu perkembangan bahasa.
Kita bisa lihat 20 tahun yang lalu, bahasa Indonesia belum mengalami
perubahan atas interferensi dari berbagai macam bahasa yang ada
265
didunia, khususnya bahasa Inggris karena saat ini bahasa tersebut sedang
menjadi bahasa Internasional yang wajib dikuasai oleh masyarakat
ditengah-tengah globalisasi.
Masyarakat sebagai penutur sebuah bahasa, mau tidak mau
mengikuti arus globalisasi. Salah satu pengaruh dalam hal bahasa adalah
adanya interferensi bahasa. interferensi dapat terjadi pada segala tingkat
kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara
membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu,
dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang
disebabkan oleh masuknya eleman-elemen asing dalam suatu tingkat
bahasa, seperti dalam fonemis, morfologis, serta beberapa
perbendaharaan kata atau leksikal (Poedjosoedarmo 1989).
Hal tersebut berbeda dengan campur kode, dimana fenomena ini
ditandai dengan penggunaan kosa kata dari bahasa asing disela-sela
sebuah tuturan. menurut KBBI (2007) campur kode adalah penggunaan
satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas
gaya bahasa ataupun ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom,
sapaan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh adalah fenomena yang ada dalam lingkungan kerja,
adanya kelas-kelas sosial dan pengaruhnya terhadap pengakuan sosial
dalam masyrakat memunculkan fenomena campur kode didalamnya
walaupun itu hanya dalam lingkup yang sangat kecil atau sebuah
komunitas saja.
Campur Kode seharusnya hanya digunakan untuk kosa kata yang
tidak ditemukan dalam sebuah bahasa tertentu saja, akan tetapi,
penggunaan bahasa serapan menjadi lebih komplek saat berbenturan
dengan aspek kebudayaan masyarakat.
Dalam lingkungan kerja PT Becom area Yogyakarta, misalnya,
penggunaan campur kode sangatlah lazim, hal ini dikarenakan para
karyawannya bersinggungan dengan berbagai pihak, klien, yang memang
dalam keseharian mereka sudah mengenal dan menggunakan campur
kode sebagai sebuah kebiasaan.
Perkembangan sebuah bahasa bisa menjurus kearah positif jika
perkembangannya ditandai dengan lestarinya bahasa tersebut. Disisi lain
perkembangan sebuah bahasa dikatakan negatif jika perkembangannya
cenderung menjurus pada kepunahan bahasa itu sendiri.
266
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengungkap bagaimana
fenomena campur kode dalam sebuah komunitas kerja, dan fenomena lain
yang ada didalamnya.
RUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang digunakan adalah
bagaimana fenomena campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom
Yogyakarta. Kemudian penelitian ini juga membahas kesalahan dalam
pemaknaan yang terjadi fenomena campur kode dalam lingkungan kerja
PT Becom Yogyakarta.
KAJIAN TEORI
Register dan Campur Kode
Konsep register menurut Wardaugh (1986: 48) adalah pemakaian
kosa kata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun
kelompok sosial tertentu. Ciri-ciri register secara umum adalah pertama
register hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan
dengan kelompok pekerja yang berbeda. Kedua, bahasa register sesuai
dengan situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam
suatu masyarakat yang berkenaan dengan pertisipan, tempat, fungsifungsi
komunikatif. Ketiga, register digunakan oleh suatu kelompok ataupun
masyarakat tertentu sesuai dengan profesi dan keahlian yang sama.
berbeda dengan campur kode, dimana campur kode adalah penggunaan
satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas
gaya bahasa ataupun ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom,
sapaan, dan lain sebagainya (KBBI 2007). sehingga dapat disimpulkan
bahwa interferensi leksikal dan campur kode merupakan dua hal yang
hampir sama, akan tetapi pada kenyataanya kedua hal tersebut sangatlah
berbeda.
METODE PENELITIAN
seting tempat dalam penelitian ini adalah lingkungan kerja PT
Becom area Yogyakarta. Penelitian ini tidak terbatas pada kantor PT
Becom saja, akan tetapi keseluruhan tempat yang digunakan sebagai
media bekerja, termasuk didalamnya adalah tempat rapat yang
kebanyakan adalah cave atau tempat makan. Sesuai dengan tujuan
penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
267
deskriptif kualitatif. Yang kemudian, metode tersebut dijabarkan ke dalam
langkah-langkah sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu (1) tahap
penyediaan atau pengumpulan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap
penyajian hasil analisis data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa
tuturan dari karyawan PT Becom yang direkam dengan media voice
recorder dalam jam kerja. Kemudia data dipilah-pilah dan diaanalisis
untuk menemukan fenomena campur kode didalamnya.
Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi fenomena campur kode
dan permasalahan didalamnya yang terjadi dalam lungkungan kerja PT
Becom. Hal ini sejalan dengan Mahsun (2005) yang mengemukakan bahwa
fokus dari analisis kualitatif adalah pada penunjukan makna, deskripsi,
penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan
sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata dari pada dalam angkaangka.
HASIL PENELITIAN
Dalam PT Becom Yogyakarta, terdapat penemuan fenomena
campur kode yang digunakan oleh karyawannya. Hal ini dikarenakan PT
Becom selaku vendor dari PT. HM Sampoerna sering bersinggungan
dengan klien yang sudah menggunakan budaya serupa. Campur kode yang
digunakan adalah campur kode luar dan campur kode dalam, dimana
campur kode luar berasal dari penggunaan kosa kata asing, bahasa Inggris,
yang berasal dari ranah ekonomi kedalam bahasa Indonesia. Sedangkan
campur kode dalam yang ditemukan adalah campur code dari bahasa Jawa
kedalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebanyakan
karyawan PT Becom adalah orang jawa dan mahasiswa dimana mereka
belum lama berada di Yogyakarta dan pengaruh budaya tempat tinggal
asal belum bisa mereka tinggalkan.
No
1
2
3
Kata
Let say
Engagement
Grab
No
13
14
15
Kata
Save
Keep
Let it flow
No
25
26
27
4
Head
to
head
Fresh money
16
Cover
17
Impressed
5
No
37
38
39
Kata
Better
Worst
Case
No
49
50
51
Kata
Promise
Prove
Approve
28
Kata
Link
Smart
Over
capacity
Worthed
40
Start
52
Accept
29
So
41
Maintain
53
Reject
268
6
Journey
18
30
19
Coffee
cheat
Fee
7
Compare
8
Nothing
to lose
Make
sure
Invitation
42
Drop
54
Miss
43
Pretend
55
Change
Powerless
20
Communal
32
44
56
Style
45
57
34
Achievem
ent
Meeting
Make
sense
Arrange
9
Selling
21
33
10
Break down
22
Lock
audience
Rewarding
46
Set
58
Challeng
e
Make
sure
11
12
Present
Hold
23
24
Hang out
Keep
in
touch
35
36
Offer
Prefer
47
48
Order
Penalty
31
Berikut adalah hasli penelitiaan berupa kata-kata dari bahasa Inggris yang
berupa nomina, verba, adjective, dan adverb dan digunakan dalam campur
kode luar, data diambil dari kata yanfg memeiliki frekuensi paling banyak
dalam tuturan:
no
Kata
kalimat
“ini semua tergantung dengan njenengan semua
1
Njenengan
disini”
“Kenapa?, karena dalam komunitas ini tidak ada lang
2
Mandegani
lebih mandegani dari njenengan”
“Kalau kinerja kalian kayak gini terus, gua keplak
3
Keplak
kalian”
4
Tura-Turu “Ayo kebut selling, jangan tura-turu wae”
“Dikit dikit madhang dikit madhang, gimana
5
Mangan
programnya”
6
Dolan
“Ya memang terkesan jobdes TL itu dolan”
7
Pait
“Komunitas ini sellingnya gimana, pait?”
“Kamu kesana kemudian tekok meraka, gampang
8
Tekok
kan?”
“Kalau masih under ya gimana, masak kamu mau
9
Semeleh
curang, yang semeleh aja boss”
Empan
“Memang kalau ngadepin comunitas itu harus empan
10
Papan
papan”
269
11 Adus
12 Keset
“Semua TL kumpul, nggak peduli mau kalian belum
adus apa gimana”
“Kapan mau achiev e kalau nyatronin comunitas aja
pada keset”
Campur code dalam yang ditemukan dalam penelitian ini, terdapat
didalamnya verba, adjective, dan adverb adalah sebagai berikut:
Dua alasan utama penggunaan campur kode dalam lingkungan
kerja PT Becom area Yogyakarta adalah untuk menghadapi pihak Klien
yang sudah terbiasa dalam menggunakan campur kode dalam tuturan
meraka dan yang kedua adalah untuk menaikan citra didepan klien.
Selain ditemukannya fenomena campur kode, juga juga ditemukan
beberapa kesalahan dalam pemaknaan dari campur kode yang digunakan.
Data dalam penelitian ini dikatanan sebagai sebuah kesalahan jika kosa
kata tersebut tidak sesuai dengan konteks literalnya dan ttidak terdapat
dalam kosa kata yang menempel pada sarbuah profesi atau register.
Fenomena kesalahan pemaknaan ini dikarenakan tidak ada
kerjasama dalam pihak klien dan kariawan PT Becom dalam bertukar
informasi atau berdiskusi dalam ranah informasi referensial.
Beberapa kosa kata yang kurang tepat diterjemahkan oleh
karyawan PT Becom adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
4
5
Kata
Engangedment
Lock audiens
Keep in touch
Mentain
intensi
no
6
7
8
9
10
kata
Obstacle
in case
hold
Pinalti
Semeleh
No
11
12
13
14
kata
Rewarding
Let it flow
Jurney
Coffe cheat
Alasan terjadinya kesalahan dalam transliterasi atau pemaknaan yang ada
adalah
1. Terbatasnya kosa kata, dari karyawan PT becom untuk mengerti
kata kata baru khususnya kata yang sudah menjurus pada ranah
tertentu, ranah ekonomi.
270
2. Karyawan PT Becom Yogyakarta masih tergolong karyawan baru
dan fresh graduate sehingga belum terbiasa dengan fenomena
campur kode yang ada khususnya dalam ranah ekonomi.
3. Tidak adanya budaya menyanggah dari karyawan PT Becom
sehingga menimbulkan kebiasaan mereka dalam menerka nerka
makna kata yang digunakan sebagai bagian dari fenomena campur
kode.
4. dalam campur kode dalam, kesalahan penerjemahan makna
terjadi karena alasan perbedaan makna kata antar daerah. Hal ini
dikarenakan karyawan PT Becom yang sebagian besar masih
berstatus Mahasiswa dan berasal dari beragam daerah yang
berbeda sehingga terdapat perbedaan makna atau dialek.
KESIMPULAN
Dalam fenomena campur kode di PT becom ditemukan 57 kata
campur code luar dari bahasa inggris kedalam bahasa Indonesia. Kosa kata
yang mendominasi digunakan dalam fenomena campur code ini adalah
kosa kata yang ada dalam ranah ekonomi. Sedangkan, dalam campur kode
dalam ditemukan 12 kata dari bahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia. Dua
alasan utama penggunaan campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom
area Yogyakarta adalah untuk menghadapi pihak Klien yang sudah
terbiasa dalam menggunakan campur kode dalam tuturan meraka dan
yang kedua adalah untuk menaikan citra didepan klien. Disisi lain
ditemukan fenomena kesalahan penerjemahan dalam campur code yang
digunakan, yaitu saat pihak klien menggunakan kosa kata yang diambil
dari bahasa lain. Fenomena ini dikarenakan oleh beberapa alasan, yaitu;
keterbatasan kosa kata, gegar budaya karena mayoritas karyawan PT
becom belum terbiasa dalam menggunakan campur kode dengan kosa
kata tersebut, kurangnya budaya menyanggah untuk bertanya terhadap
apa yang disampaikan oleh pihak klien, dan perbedaan asal daerah yang
menyebabkan berbedaan makna kata (terjadi hanya pada campur code
dalam.)
271
DAFTAR PUSTAKA
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1989. Kode dan Alih Kode dalam
Widyaparma No. 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi,
Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:
PT Gramedia.
wardaugh, ronal. 1986.introduction to sociolinguistics. Oxford:
Dasil Black Well
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan: dunia berkembang, masyarakat berkembang, dan bahasa
didalamnya juga berkembang, apakah ini wujud dari sebuah
perkembangan bahasa dengan adanya campur code, atau
globalisasi yang membuat kita harus menggunakan bahasa
asing sebagai budaya?
Jawabann: bahasa tidak ada yang stacknan, mereka berkembang, sesuai
dengan kebutuhan dari pemakainya, dan bahasa juga bisa
mati jika ditinggalkan, menurut saya inni adalah
perkembangan bahasa yang bersifat negatif, dimana kita
akan secara perlahan meninggalkan bahasa kita dan diganti
dengan bahasa baru yang lebih mendominasi. Ini adalah
tugas kita untuk terus melestarikan bahasa kita, bahasa
daerah. Karena saya melihat kecendrungan adanya
perkembangan dari generasi saat ini yang lebih cenderung
menganggap leksikon leksikon bahasa Indonesia sebagai
bahasa daerah mereka. Bagi saya itu sangat mengecewakan.
(penanya atas nama Rahmat Wahyudin Candra dari
Universitas Muhamadiyah Sumatra Utara)
Pertanyaan: apa mungkin yang anda paparkan itu adalah bagian dari
register, dimana itu memang khusus dipakai dalam
lingkungan tersebut?
Jawaban:
dari yang saya ketahui register adalah kosa kata atau kalimat
,mungkin, yang hanya ada dalam lingkungan tertentu saja,
dan hal ini menjadi baku dalam lingkungan tersebut. Akan
tetapi, dari data yang saya perole, sebenarnya kosa kata ini
memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, sehingga saya
272
menentukan bahwa ini adalah bagian dari campur code.
(penanya atas nama hendri dari Universitas Negeri
Yogyakarta)
Pertanyaan: dalam menghadapi campur kode dalam institusi tersebut,
adakah perselisihan atau perdebat kenapa menggunakan
campur code, dari bahasa Inggris?
Jawaban:
bagi saya, ini adalah murni fenomena yang terjadi dalam
dunia kerja, dan saya melihat kecendrungan yang nyata
dalam perbedaan antara dunia kerja dan dunia akademis,
dimana dalam dunia kereja, segala sesuatu yang menjadi
perhatian kita dalam dunia akademis ini menjadi sesuatu
yang tidak begitu dihiraukan. Penggunaan campur code atau
semacamnya itu hanya sambil lalu dalam lingkungan ini,
sehingga menurut saya ini adalah sebuah dilema dimana kita
sebagai akademis berusaha menciptaan sesuatu yang ideal
akan tetapi dalam masyarakat sebenarnya itu tidaklah
berarti apa apa. Mungkin perlu dipikirkan lagi bagaimana
bekerlanjutan dari fenomena ini, kita sebagai akademisi dan
mereka sebagai pekerja atau masyarakat.
(penanya atas nama Rosi Hidayat dari jurusan Ilmu Humaniora)
273
THE KINSHIP TERMS OF SERAWAI LANGUAGE
Hendri Pitrio Putra
Applied Linguistics
Yogyakarta State University, Email: hendripitrio@gmail.com
ABSTRACT
This paper is a sociolinguistic study of the kinship terms used by the
Serawainese. The Serawainese is one of the largest ethnic groups in the
province of Bengkulu and the term kinship is important to be studied in the
field of sociolinguistics because it enriches the limitations of language and
literature of a culture, and can also describe and identify a language. This
paper useda qualitative descriptive method in which data are collected
based on events and phenomena that occur in the community and then
studied and analyzed in depth. The results of this study divide the term
kinship in the Serawai language into four parts they are: the first, Direct
Descendance and Ancestry. The second, Indirect Ancestry and Descendance
and Legal Relation. The third, Direct Siblingry, and the fourth Legal kinship.
This division is assumed to accommodate the kinship term of Serawai
language.
Keywords: Kinship Term, Serawai Language
INTRODUCTION
Humans are social beings who live in the middle of society always
interact with each other. When interacting and communicating humans
requires several steps and techniques that include how humans open a
conversation, start a conversation and close it. One that affects a person
when he opens a conversation or closes a conversation is a kinship term.
The kinship term has a strong enough influence in the formation of
speech that occurs in the society, whether it is a speech that aims as a
tribute to the partners of speak or as a norm of decency. Therefore, the
problem of how to someone speaks and how to the speaking technique
involving the term kinship becomes important to learn. This is in line
with Wardhaugh opinion's (1986) says that “how we say something is at
least as important as what we want to say. Furthermore, He says that
274
when we speak, we must constantly make choices of the kinds we want
to use: what we want to say, then how we want to say it".
According to Mansyur (1988), kinship is social units consisting of
several families who have blood relations or marital relations
(genealogies). Members of kinship consist of father, mother, son, son-inlaw, grandchild, brother, sister, uncle, aunt, grandpa, grandmother, and so
on. Furthermore, our general public also recognizes several other kinship
groups such as main families, extended families, bilateral families, and
unilateral families.
In general, the origin of kinship comes from the main family that
became the basis of all existing kinship. While the broader kinship is an
extension of the main family (Foley, 2001: 131). This also happened to
Serawai ethnic community which is part of Sumatran Malay society. The
Serawai ethnic is one of the largest ethnic groups in Bengkulu province and
the language of Serawai is the majority language used by the people live in
the two town districts of Bengkulu province, the two districts of the city
are South Bengkulu and Seluma districts. South Bengkulu district has an
area of about 1,186.10 km2 with a population of about 164,661 people /
km² while Seluma district has an area of about 1,223,74 km2 with a
population of about 185,587 people.
The term kinship is one of the interesting topics to be studied in
the field of sociolinguistics and anthropology because it can describe the
social structure of the society concerned and can also enrich the
boundaries and literature of a language. Actually, there have been many
studies that have studied about the term kinship but have not discussed
the term kinship in Serawai language. Therefore, the authors in this paper
try to investigate and analyze more deeply on the term kinship of the
Serawai language.
TEORETICAL REVIEW
The Kinship System
According to Mansyur (1988) kinship is social units consisting of several
families who have blood relations or marital relationships. Members of
kinship consist of father, mother, child, son-in-law, grandchild, brother,
sister, uncle, aunt, grandpa, grandmother and so on. Furthermore, kinship
can also be defined as the relationship of the same person or entity in the
same lineage, cultural, or historical descent. Kinship is the smallest unit of
275
society that comes from two families, the nuclear family and the extended
family (Ihromi, 2006: 15).
According to Kuntjaraningrat (1985) divides the kinship system
into several lineages. The first patrilineal is the kinship system derived
from the male lineage. The second, matrilineal kinship systems taken from
the female lineage. The third bilineal kinship systems that calculate the
kinship relationship through men for certain rights and obligations and
through women only for certain rights and obligations. The last, the
bilateral kinship system is to calculate the relationship of kinship through
men and women.
The Kinship Term
Furthermore, the term of kinship which is a system contained in society to
call or greet each other based on kinship. According to Kridalaksana (1982:
46), the term kinship is a system that links a set of words or terms used to
greet the principals in language events. The speakers are those who say
hello, those who are addressed, and those who listen to the conversation
and witness the interaction between the speakers in the conversation.
Chaer (2006: 107) says that the term kinship that is expressed is
the words used to greet, admonish or call the second person or the third
person who is spoken to. This word or kinship term does not have its own
vocabulary or term, but they use the word self or kinship term. At the last,
according to Fox (1967), reveals that kinship refers to the typology of
relatives according to a particular population based on the rules of
heredity and marriage rules, whereby a population that plays an important
role in the rules of conduct of a particular society and the structure social.
From the definitions above, it is concluded that the kinship term is an
important thing to be studied because it can show the relationship of social
structure which in the society studied by lineage or even from blood
relation or marriage.
METHODOLOGY
This paper used a qualitative method in which the data were taken based
on the events and phenomena occurring within the Serawai community.
Furthermore, the data obtained was studied and analyzed in depth.
Subjects in this study were the Serawai community live in two districts of
the city in Bengkulu province, South Bengkulu district and Seluma district.
276
Subjects in this study were 20 randomly selected individuals with an age
range that varied between 19 years - 50 years. Further data is collected
through questionnaires to participants. The questionnaire consisted of 39
questions about how the Serawai people called their family members and
after that to strengthen the results of this study the author also made
observations and interviews to the Serawai community. Furthermore, the
data collected in this study were analyzed using contextual analysis
method. A contextual analysis method is the way of analysis applied to data
based on context with considering and link context identity. According to
Kridalaksana (1998), the context may consist of the physical aspects of the
social environment associated with speech.
FINDING AND DISCUSSION
Kinship is one of the most basic principles for organizing individuals into
social groups, roles, categories, and genealogies. The kinship system of
Serawai is the patrilineal kinship system of kinship system based on male
lineage. In the legal status of marriage, man marries a similar woman from
Serawai ethnic then the prevailing their kinship system is taken from the
male line of men and if the Serawai man married to woman outer of
Serawai ethnic but they still live in the Serawai area then their kinship
system prevailing is taken from male line but if living outside the area
Serawai then apply bilateral system or adjust to the ethnic of woman
origin. However, in certain cases, a family in the Serawai ethnic may adopt
a matrilineal kinship system that is a kinship system derived from a female
lineage. This happens when the groom does not have the ability to marry
the bride so that all things related to the marriage taken over by the bride.
So after this switch all the responsibility to the bride, this is called Tambah
Anak.
Furthermore, the term kinship is a system used by the Serawai
people to call or to greet each other. Based on the results of observations
and interviews conducted by the author, the term kinship in the language
of Serawai is divided into Direct Descendance and Ancestry, Indirect
Ancestry and Descendance and Legal Relation, Direct Siblingry, and Legal
kinship.
277
Tabel 1. Direct Descendance and Ancestry
Relation
Grand-daughter
Grandson
Daughter
Son
Mother
Father
Grandmother
Grandfather
great-grandmother
Serawainese
Cucung tino
Cucung lanang
Anak tino
Anak lanang
Umak, Mak,
Bak, Bapak
Nekno
Neknang
Buyut tino
English translation
grand-daughter
grandson
daughter
son
mother
father
grandmother
grandfather
great-grandmother
great-grandfather
Buyut lanang
great-grandfather
4th female ancestor
Memoneng tino
great-great-grandmother
4th male ancestor
Memoneng lanang
great-great-grandfather
5th female ancestor
Puyang tino
5th male ancestor
Puyang lanang
great-great-greatgrandmother
great-great-greatgrandfather
Table 1 above shows the term kinship based on Direct Descendance and
Ancestry used by Serawai ethnic in calling or greeting each other. These
terms are used statically by Serawai, in other words, they have no choice
but what is listed above.
Tabel 2. Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation
Relation
Serawainese
English translation
Father's
older Bak dang, Bak wo. Older
uncle/older
brother/sister
Mak dang,Mak wo
aunt
Father’s
younger Bak cik
Younger uncle
brother
Father’s younger sister
Mak cik, Mak Ngah
Younger aunt
278
Father's older brother
wife
Father’s
younger
brother wife
Mother's
older
brother/sister
Mother’s
younger
brother
Mother’s younger sister
Mother's older brother's
wife
Mother’
younger
brother’ wife
Father’s / mother’s,
older sister’s husband
Father's
/mother's
younger
sister's
husband
Wak
Older aunt
Bicik, Bibi
Younger aunt
Wak, wak dang
Mangcik,Pak cik
Older
uncle/older
aunt
Younger uncle
Anya, Uncu
Wak
Younger aunt
Older aunt
Bicik, bibi
Younger aunt
Wak
Older uncle
Pak Uncu, Pak cik
Younger Uncle
Table 2 above shows the term kinship based on Indirect Ancestry and
Descendance and Legal Relation. In contrast to direct descendants,
indirect breeds have many variations of terms that can be used. For
example, for older brothers, people can use bak dang, bak wo. As for the
sister of the father of women, one can use mak cik, anyah. But people do
not use a mother's sister equal to brother's brother. This is a variation of
indirect kinship terms.
Tabel 3. Direct Siblingry
Relation
Older brother
Serawainese
English translation
Cik, Dang, Dengesanak, Older brother
Muanai
Younger
brother
Ading
lanang
lanang,
Adek Younger brother
279
Older sister
Ayuk, Ngah, Dodo, Wo, Older sister
Kelawai
Younger sister
Adding tino, adek tino/ Younger sister
kelawai
Table 3 above shows the term kinship based on Direct Siblingry. In the
Serawai ethnic, the term kinship used is more emphasized on older and
younger differences for both brothers and sisters. For older brothers, there
are three terms used; Cik, Dang, and Dengesanak. And for the older sisters
used Ayuk, Ngah, Dodo, Wo, Kelawai. For the Serawai ethnic, the word
Dingsanak is a special term, it is interesting because the term will only be
used if people are in the same gender, for example, a brother with his older
brother can call Digsanak lanang, and this is also for women and women
can call Digsanak tino. buth it is different if A brother want to call his sister
or younger sister with word Kelawai, and a sister called her brother /
younger in call Muanai.
Tabel 4. Legal Kinship
Relation
wife's father-in-law
wife's mother-in-law
husband's father-in-law
husband's
mother-inlaw
son-in-law
daughter-in-law
Older sister's husband
Younger
sister’s
husband
Older brother's wife
Younger brother’s wife
wife's older brother
Wife’s younger brother
Serawainese
Bak mertuo
Mak mertuo
Bak mertuo
Mak mertuo
English translation
father-in-law
mother-in-law
father-in-law
mother-in-law
Menantu lanang
Menantu tino
Kakak ipagh, Ipagh tino
Ading ipagh, Ipagh tino
son-in-law
daughter-in-law
brother-in-law
Brother-in-law
Ayuk ipagh, kelawai
ipagh
Adding ipagh, kelawai
ipagh
Dingsanak, kakak ipagh
Adding ipagh
brother-in-law
Sister-in-law
Brother-in-law
Brother-in-law
280
Relation
wife's older brother's
wife
Wife’s younger brother’s
wife
wife's older sister
Wife’s younger sister
wife's older sister's
husband
Wife’s younger sister’s
husband
husband's older brother
Husband’s
younger
brother
husband's older sister
Husband’s
younger
sister
Serawainese
Kelawai lautan
English translation
Sister-in-law
Adding lautan
Sister-in-law
Adding, kelawai ipagh
Ayuk, kelawai ipagh
Adding lautan
sister-in-law
Sister –in-law
Brother –in-law
Adding lautan
Brother-in-law
Dingsanak, kakak ipagh
Ading ipagh, adek ipagh
brother-in-law
Brother-in-law
ayuk ipagh
Adding ipagh,
sister-in-law
Sister-in-law
Table 4 above shows the term kinship by Legal kinship. The term kinship
here looks more complicated. But basically the term kinship is used almost
the same as the previous one. The difference is only with the addition of
the Ipagh term at the end. The next most specific is the term used for
brother brothers or vice versa, using the term Lautan.
CONCLUSION
From the above description can be concluded that the Serawai ethnic has
a patrilineal kinship system that is kinship system based on male lineage.
However, in certain cases the Serawai ethnic may adopt a matrilineal
kinship system that is a kinship system derived from the female lineage.
This happens when the groom does not have the ability to marry a bride
so that the marriage is taken over by the bride. This is called the Tambah
anak.
Furthermore, the term kinship used by the Serawai ethnic divided
into Direct Descendance and Ancestry, Indirect Ancestry and Descendance
and Legal Relation, Direct Siblingry, and Legal kinship.
281
REFERENCES
Arif Yakub & Rafik M. Abasa. 2015. Istilah Kekerabatan Dalam
Masyarakat Bahasa Makian Timur. Edukasi-Jurnal Pendidikan, 13
(2), 533-541
Chaer, A. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Foley, W. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. GB: Blackw
Fox, Robin. 1966. Kinship and Marriage, Penguin Books Ltd. England:
Harmondsworth,
Hermaliza, Essi. 2011. Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet di Aceh
Selatan. Widyariset, 14 (1), 123-131
Haviland, William A. 1985. Anthropology, Terjemahan R.G. Soekadijo.
Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O. 1990. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia
Jamaludin Adon N. 2015. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kampung
Sawah di Kota Bekasi. El Harakah 17 (2), 259-274
Kridalaksana, Harimurti. 1978. Second Participant in Indonesian
Addresses. Dalam Beberapa
Karya dalam Ilmu-Ilmu Sastra. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Mansur, Yahya, M. 1998. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan, Jakarta:
Pustaka Grafika
Pujiyatno, Ambar. 2009. Istilah-Istilah Kekerabatan Masyarakat
Kabupaten Kebumen: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Letsika, 3(1),
53-59
Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Anropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat
Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi Jilid 2. Jakarta: Rineka
Cipta.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York:
Basil Blackwell.
282
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Dari Prof .Dr. I Dewa Putu Wijaya, MA
Judul makalah kamu seharusnya adalah Istilah sapaan dalam sistem
kekerabatan bahasa Serawai. Karena kalau system kekerabatan saja
itu merupakan kajian Antropologi.
Jawaban.
Iya terima kasih Prof atas masukannya. Memang iya pada saat
pengiriman abstrak pertama saya menuliskan judul “Sistem
Kekerabatan dalam Bahasa Serawai”. Tetapi pada saat pengiriman full
paper saya telah melakuan revisi dengan merubah judul dari kata
“system” ke “Istilah Sapaan” tetapi saya lihat panitia hari ini masih
menggunkan abstrak yang pertama saya kirim.
2. Dari Audiens
Tadi mas Hendri mengatakan system kekerabatan masyarakat
Serawai adalah Patrilineal tetapi bisa berubah ke Matrilineal itu
karena apa?
Sistem kekerabatan suku Serawai mengacuh pada sistem kekerabatan
parilineal yaitu sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan pria.
Dalam status hukum pernikahan, seorang pria suku serawai menikahi
seorang wanita yang sama berasal dari suku serawai maka sistem
kekerabatanya yang berlaku diambil dari garis keturuan pria dan jika
pria suku Serawai menikah dengan wanita luar dari suku serawai dan
tinggal di daerah serawai hukum pernikahan tetap berlaku pada garis
pria tetapi jika tinggal di luar daerah serawai maka berlaku sistem
bilateral atau menyesuaikan dengan suku asal wanita. Namun, dalam
kasus-kasus tertentu sebuah keluarga dalam suku Serawai bisa saja
menganut sistem kekerabatan matrilineal yaitu sistem kekerabatan
diambil dari garis keturunan wanita. Hal ini terjadi apabila calon
pengantin pria tidak memiliki kesanggupan untuk meminang calon
pengantin wanita sehingga segala hal yang berhubungan peminangan
diambil alih oleh calon pengantin wanita Maka setelah ini beralih semua
pertanggungjawaban kepada pihak pengantin wanita, hal ini disebut
dengan istila tambah anak.
283
3. Dari Audiens
Apakah system patrilineal dalam suku Serawai ini sama dengan system
patrilineal pada suku Minangkabau, Padang?
Iya sama,Seperti pertanyaan sebelumnya dimana seorang pria akan ikut
ke keluraga perempuan dan system kekerabatanya mengambil dari
garis keturunan wanita. Tetapi sekali lagi kasus ini jarang terjadi.
284
KETERANGAN DALAM BAHASA BALI
I Gede Bagus Wisnu Bayu Temaja
Ilmu Linguistik, Universitas Gadjah Mada
Pos-el: wisnubt@gmail.com
ABSTRAK
Beberapa kajian sebelumnya berkaitan dengan fungsi keterangan bahasa
Bali telah membahas sebagian ciri dan kategori pembentuknya. Akan
tetapi, pembahasannya masih perlu dikaji kembali guna memperoleh
deskripsi yang tuntas terutama pada aspek yang belum mendapat
perhatian. Karenanya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan
mengidentifikasi kategori danmakna pengisi fungsi keterangan dalam
bahasa Bali. Penelitian ini dijalankan dalamtiga tahap, yaitu penjaringan
data, analisis data, dan penyajian data. Data berbentuk kalimat dijaring
dengan menerapkan metode cakap dan simak. Data dianalisis
menggunakan metode agih dengan teknik bagi unsur langsung, lesap,
balik, perluas, dan baca markah, dan juga metode padan referensial. Data
kemudian disajikan secara formal dan informal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa fungsi keterangan dalam bahasa Bali
kehadirannyabersifat opsional dan berposisi bebas, artinya
dapatberposisi di depan subjek dan predikat, antara subjek dan predikat,
dan akhir kalimat. Keterangan tidak dapat diposisikan di antara predikat
dan objek, serta di antara predikat dan komplemen, namun predikat dan
objek dapat di antarai keterangan jika objeknya berunsur frasa yang
panjang. Fungsi keterangan dapat diisi oleh kategori adverbia, pronomina
demonstratif, frasa nominal, frasa adverbial, frasa preposisional, dan
klausa tambahan. Makna pengisi fungsi keterangan dapat berupa makna
waktu, tempat, penerima, kemiripan, peserta, alat, sebab, pelaku,
kondisional, tujuan, kedudukan, dan dasar.
Kata kunci: fungsi keterangan, fungsi, kategori, makna
PENGANTAR
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikategoridan makna
pengisi fungsi keterangan (adjunct) (selanjutnya disebut KET)bahasa Bali
(BB) (bahasa Austronesia; dituturkan di Bali, Indonesia; 3 juta lebih
285
penutur). Beberapa studi bertalian dengan KET BB (Bongaya, 1968;
Kersten, 1970; Bawa & Jendra, 1981; Bawa, Anom, Margono, Naryana, &
Medra, 1983) telah memberikan gambaran awal mengenai kategori dan
fungsi KET. Lebih lanjut, pembahasan fungsi KETlebih spesifik juga
diterangkan oleh Arka (2014).
Ramlan (2005: 85-86) memberikan pandangannya mengenai keterangan
sebagai unsur klausa yang tidak menduduki fungsi subjek, predikat, objek,
dan pelengkap atau komplemen, sehingga merupakan sebuah fungsi
tersendiri yang disebut fungsi keterangan. Ramlan lebih lanjut
menerangkan keterangan sebagai sebuah fungsi yang dapat berposisi
bebas, yaitu terletak di depan dan antara subjek dan predikat, dan dapat
juga terletak di posisi belakang sekali, namun tidak dapat berposisi di
antara predikat dan objek, serta di antara predikat dan pelengkap. Sebagai
sebuah fungsi, tentu dapat diisi oleh kategori sintaksis. Secara kategorial,
Kesuma (2005) menyebut fungsi keterangan dapat diisi oleh adverbia,
frasa nominal, frasa preposisional, dan klausa tambahan. Makna semantis
pengisi keterangan dilihat melalui acuan di luar kebahasaan yang dibawai
oleh masing-masing unsur keterangan. Kesuma (2005: 267-268)
mengusulkan tiga cara di dalam mengidentifikasi keterangan, antara lain
1) menentukan watak semantis kategori, 2) membaca pemarkah
penyertanya, dan 3) menambahkan pemarkah di sebelah kiri satuan
pengisi fungsi keterangan. Menurut Aarts (1997, dalam Kesuma, 2005:
265), makna konstituen pengisi keterangan dapat berupa jawaban atas
kata tanya bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa, serta bercerita
tentang konteks dalam kalimat.
Penelitian ini mendasarkan diri pada data lisan dan tertulis. Data
penelitian berupa kalimat yang mengandung unsur KET dijaring
menggunakan metode cakap dan simak (Kesuma, 2007). Data kemudian
dikumpulkan untuk selanjutnya diklasifikasikan dan dianalisis. Data
dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik lesap, balik, perluas,
dan baca markah, dan metode padan referensial (Kesuma, 2007). Hasil
analisis disajikan secara formal dan informal. Penyajian formal dibantu
dengan kaidah berupa rumus dan penyajian informal dilaksanakan
melalui deskripsi kata-kata biasa (Kesuma, 2007). Hasil analisis disajikan
dengan diawali pemaparan landasan konseptual mengenai KET BB,
kemudian menuju analisis inti yakni uraian kategori dan makna pengisi
KET tersebut.
286
PEMBAHASAN
Sebelum masuk ke dalam bahasan utama yaitu kategori dan makna pengisi
KET, terlebih dahulu dipaparkan hasil analisis berupa uraian singkat
mengenai landasan konseptual KET BB. Digunakan kodifikasi subjek (S),
predikat (P), dan objek (O). Salah satu ciri KET dapat diperhatikan dalam
kalimat (1) di bawah.
(1) Ibi
I Pucung
sareng I Lelut
ng-[k]adik
kayu di bangsal-e.
Kemarin (KET) DEF Pucung (S) dengan DEF Lelut (KET)
meN-kapak (P) kayu (O)di bangsal-DEF (KET)
‘Kemarin Pucung dengan Lelut mengapak kayu di bangsal.’
Unsur yang dimiringkan dalam kalimat (1) merupakan KET, di mana unsur
tersebut bersifat opsional dan hanya berfungsi memberi informasi
tambahan, sehingga kalimat I Pucung ngandik kayu sudah berterima
dan/atau cukup untuk dituturkan. Masing-masing KET dalam kalimat (1),
seperti kata ibi terletak di depan SP, frasa sareng I Lelut berposisi di antara
S dan P, dan frasa di bangsale terletak di akhir kalimat. Pada kasus tertentu,
KET dapat mengantarai P dan O jika unsur O-nya tersusun atas frasa yang
panjang (Ramlan, 2005: 87), seperti dalam (2).
(2) Bapa
ng-orta
sareng tiang
pikobet seni, budaya, lan
basa Bali
a-wai-an.
Ayah (S) ber-bincang (P) dengan saya (KET) masalah seni,
budaya, dan bahasa Bali (O)
se-hari-an (KET)
‘Ayah berbincang dengan saya masalah upacara, budaya, dan
bahasa Bali seharian.’
Sejauh ini, seperti kalimat (1) bahwa KET dalam BB dicirikan salah satunya
dapat muncul dengan pemarkah di yang merupakan preposisi, ataupun
tanpa pemarkah, seperti ditu. Kemunculannya yang dimarkahi preposisi
tersebut membuat ciri sintaksisnya bertumpang tindih dengan oblik (yaitu
argumen verba) yang juga dimarkahi preposisi dalam BB (Carnie, 2013:
287
176). Mengingat cirinya yang sama tersebut, maka harus dapat di tengahi
perbedaan keduanya dengan memperhatikan data (3) dan (4) berikut
yang unsurnya sama-sama dimarkahi preposisi di.
(3) Ketut n-[t]engil
di gunung.
Ketut ERG-diam
di gunung
‘Ketut diam di gunung.’
(4) Komang
sirep di bale.
Komang
tidur di balai
‘Komang tidur di balai.’
Frasa di gunung pada kalimat (3) merupakan oblik yang kehadirannya
wajib diminta oleh verba khusus2nengil, sehingga jika oblik tersebut lesap
maka konstruksi kalimatnya menjadi tak berterima, *Ketut nengil. Hal itu
berbeda dengan frasa di bale pada data (4) yang jika pun dilesapkan,
konstruksinya masih berterima, Komang sirep, sehingga frasadi bale
merupakan kategori pengisi KET.
Kategori Pengisi Fungsi Keterangan
Kategori sintaksis pengisi fungsi dapat berupa kategori atau kelas kata,
frasa, dan satuan lingual lebih besar lainnya (Chaer, 2009). Dari data
kalimat tunggal (5) berikut dapat diisi oleh beragam kategori.
(5) Ia
ma-bikas
jele.
Dia ber-sikap
buruk
‘Dia bersikap buruk.’
Kalimat di atas dapat ditambahkan unsurKET dengan diisi kategori berupa
adverbia ibi ‘kemarin’, demonstrativa ditu ‘di sana’, frasa nominal peteng
ento ‘malam itu’, frasa adverbial ibi sanja ‘kemarin sore’, frasa
preposisional ring sekolah ‘di sekolah’, dan klausa tambahan krana tusing
baange pis ‘karena tidak diberi uang’, yang direalisasikan dalam kalimat
(6) berikut.
Verba khusus oblik lainnya seperti ngoyong ‘tinggal’ dan mengkeb ‘sembunyi’
2
288
(6) Ia mabikas jele
ibi
ditu
peteng ento
ibi sanja
ring sekolah
krana tusing baange pipis
Kategori di atas dianggap dapat menjadi pengisi KET karena memiliki sifat
dari KET dalam tersebut, yaitu posisinya dapat dibalik ke awal kalimat (7),
dipindah di antara S ia dan P mabikas (8), dan dilesapkan dari kalimat(9)
dan tidak mengubah keberterimaannya.
Ibi
Ditu
(7) Peteng ento
Ibi sanja
Ring sekolah
Krana tusing baange pipis
(8) Ia
ia mabikas jele.
Ibi
ditu
peteng ento
ibi sanja
ring sekolah
krana tusing baange pipis
mabikas jele.
Makna Pengisi Fungsi Keterangan
Hasil analisis memperoleh dua belas makna pengisi KET melalui
penerapan metode padan referensial yang direalisasikan dengan
penerapan tiga cara di dalam mengidentifikasi makna pengisi KET
(Kesuma, 2005: 267-268). Identifikasi makna juga dilaksanakan melalui
penerapan uji kata tanya mengingat pengisi KET dapat menjadi jawaban
atas kata tanya tertentu (Aarts, 1997). Adapun ragam makna tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
289
KET bermakna waktu
KET berperan ‘waktu’ berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa yang
diungkapkan dalam tuturan. Peran ini dapat diperhatikan pada KET dalam
data berikut.
(9) Ibi
Putu ng-uber
layangan
kanti ka
uma.
Kemarin
Putu meN-kejar layangan sampai di sawah
‘Kemarin Putu mengejar layangan sampai di sawah.’
Adverbia ibi dimungkinkan untuk dijawab dengan kata tanya pidan
‘kapan’, seperti di bawah berikut, yang semakin memperjelas makna
‘waktu’-nya.
(10) A
B
: Pidan Putu nguber layangan kanti ka uma?
: Ibi.
KET bermakna tempat
Peran jenis ini berkaitan dengan tempat terjadinya perbuatan atau
peristiwa yang diungkapkan. Adapun bentuknya dapat dilihat sebagai
berikut.
(11) Di pasih-e
I Ketut
melali.
Di pantai-DEF
DEF Ketut
melancong
‘Di pantai Ketut melancong.’
Makna ‘tempat’ pada unsur pengisi KET di pasih dapat diketahui dengan
preposisi yang memarkahinya, yaitu di. Selain itu, unsur tersebut dapat
dijawab dengan kata tanya dija.
(12) A
B
: Dija I Ketut melali?
: Di pasih.
Makna tempat ini oleh Kesuma (2005: 268) dibagi kembali menjadi makna
‘tempat asal’, ‘tempat berada’, dan ‘tempat tujuan’. KET di pasih (12)
merupakan makna tempat berada mengingat kejadian dalam kalimat
290
tersebut terjadi di sana dan juga dimarkahi oleh preposisi di. Kemudian,
makna ‘tempat asal’ dapat diketahui bila frasa di pasihe diperluas ke kiri
dengan preposisi uli ‘dari’ yang menunjukkan makna ‘tempat asal’ (13).
Kemudian, makna ‘tempat tujuan’ dapat dilihat unsur pembawanya bila
frasa preposisional di pasihe, preposisinya diganti dengan preposisi ka ‘ke’
yang membawai makna ‘tempat tujuan’, seperti dalam (14).
(13) Uli di pasihe I Ketut melali.
(14) Ka pasihe I Ketut melali.
KET bermakna penerima
Konstituen KET bermakna ‘penerima’ umumnya berkategori frasa
preposisional yang dimarkahi preposisi sig ‘kepada’ seperti kalimat
berikut.
(15) Wayan n-[t]impug-ang batu sig anake ento.
Wayan meN-lempar-kan batu kepada orang tersebut
‘Wayan melemparkan batu kepada orang tersebut.’
Konstituen ini dapat menjawab pertanyaan sig nyen, terlihat dalam
konstruksi (16) di bawah. Frasa sig anake ento membawai makna
‘penerima’.
(16) A
B
: Sig nyen Wayan nimpugang batu?
: Sig anake ento.
KET bermakna kemiripan
Frasa yang menduduki KET mengandung makna ‘kemiripan’. Frasa
tersebut dimarkahi oleh preposisi cara ‘seperti’.
(17) Nengah dueg cara beli-ne.
Nengah pintar seperti (MAS)kakak-nya
‘Nengah pintar seperti kakaknya.’
Dalam data di atas, frasa cara beline membawai makna ‘kemiripan’, di
mana Nengah dianggap mirip pintarnya dengan kakaknya. Hal itu
291
diperjelas kembali dengan mengingat satuan lingualnya dapat menjawab
pertanyaan cara nyen ‘seperti siapa’.
(18) A
B
: Nengah dueg cara nyen?
: Cara beline.
KET bermakna peserta
Suatu konstituen pengisi makna ‘peserta’ dimarkahi oleh preposisi ngajak
dan sareng yang sepadan dengan kata ‘dengan’.
(19) Ia
ny-[j]akan
ng-ajak meme-ne.
Dia meN-masak ber-sama ibu-nya
‘Dia ke pasar bersama ibunya.’
Frasa ngajak memene dapat diketahui bermakna ‘peserta’ di mana memene
merupakan peserta yang diajak ikut melakukan perbuatan dari agen ia
yaitu memasak. Selain dengan preposisi di atas, frasa tersebut dapat juga
menjadi jawaban atas pertanyaan ngajak nyen ‘bersama siapa’, misalnya
dalam (20).
(20) A
B
: Ngajak nyen ia nyakan?
: Ngajak memene.
KET bermakna alat
Konstituen berperan ‘alat’ menyatakan bahwa unsur KET merupakan
sebuah alat. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat (21) berikut.
(21) Tiang ng-abas
don
nganggo arit.
Saya meN-potong daun dengan sabit
‘Saya memotong daun dengan sabit.’
Konstituen KET di atas dimarkahi oleh nganggo yang menandai makna
alat. Selain itu dapat pula dimarkahi oleh aji yang maknanya sepadan
dengan kata ‘dengan’. Konstituen bermakna ‘alat’ dapat pula ditentukan
jika dapat menjadi jawaban atas kata tanya nganggo apa ‘dengan apa’ (22).
(22) A
: Nganggo apa tiang ngabas don?
292
B
: Nganggo arit.
KET bermakna sebab
Konstituen KET bermakna ‘sebab’ berupa frasa yang dimarkahi oleh
preposisi sawireh ‘karena’, seperti (23).
(23) Ia
ng-eling
sawireh layangan-e
uug.
Dia meN-tangis
sebab layangan-nya rusak
‘Dia menangis karena layangannya rusak.’
Frasa tersebut dapat bermakna ‘sebab’ karena berparalel dengan
preposisi krana ‘karena’. KET sawireh layangane uug mampu menjadi
jawaban atas kata tanya sawireng engken ‘karena apa’ (24).
(24) A
B
: Sawireh engken ia ngeling?
: Sawireh layangane uug..
KET bermakna pelaku
Satuan lingual bermakna ‘pelaku’ umumnya merupakan frasa
preposisional yang dimarkahi oleh preposisi olih ‘oleh’ ataupun ajak
‘oleh/dengan’ di dalam membawai makna ‘pelaku’. Realisasinya dapat
memperhatikan kalimat (25) di bawah.
(25) Peken-e
ditu
gae-ne
rame
olih nak me-blanja.
Pasar-DEF di sana buat-PASSramai
oleh orang berbelanja
‘Pasar di sana dibuat ramai oleh orang (yang) berbelanja.’
Konstituen bermakna ‘pelaku’ ini merupakan jawaban dari kata tanya olih
nyen atau ajak nyen yang sama-sama memiliki kesepadanan makna ‘oleh
siapa’, seperti pada (26).
(26) A
B
: Olih nyen pekene ditu gaene rame?
: Olih nak meblanja.
293
KET bermakna kondisional
Kehadiran KET berperan ‘kondisional’ dalam satuan lingual dimarkahi
oleh preposisi yening ‘jika’ yang dapat dilihat dalam kalimat (27).
(27) Arek-arek-e pada demen yening nuju prai.
Anak-anak-DEFpada senang jika saat libur
‘Anak-anak pada senang jika saatnya liburan.’
Konstituen tersebut mengandung makna ‘kondisional’ mengingat
perannya sebagai jawaban atas kata tanya yening kenken ‘jika bagaimana’.
(28) A
B
: Yening kenken arek-areke pada demen?
: Yening nuju libur.
KET bermakna tujuan
Identitas konstituen pengisi KET bermakna ‘tujuan’ dalam kalimat (29)
dimarkahi oleh preposisi apang ‘agar/supaya’ sehingga membentuk
kategori frasa preposisional dalam mengisi KET. Makna ‘tujuan’ ini
berbeda dengan makna ‘tujuan tempat’ sebelumnya, di mana ‘tujuan’ ini
maksudnya adalah hal yang ingin dicapai atau dituju.
(29) Ia
masuk kuliah apang maan gae.
Dia masuk kuliah supaya dapat kerja
‘Dia berkuliah supaya mendapat kerja.’
Frasa apang maan gae akan semakin jelas bermakna ‘tujuan’ jika dapat
menjadi jawaban atas pertanyaan apang kenken ‘supaya bagaimana’.
(30) A
B
: Apang kenken ia masuk kuliah?
: Apang maan gae.
KET bermakna kedudukan
Satuan lingual pengisi KET bermakna ‘kedudukan’ alah satunya ditemukan
dalam kalimat (31) berikut.
(31) Made ma-pilih dados bendesa.
Made ter-pilih (ACT)jadi kepala desa
294
‘Made terpilih menjadi kepala desa.’
KET dados bendesa dimarkahi oleh preposisi dados (yang juga berparalel
dengan dadi) yang memberikan identitas makna ‘kedudukan’. Satuan
lingual tersebut juga dapat menjawab pertanyaan dados napi atau dadi apa
yang memiliki kesepadanan makna dengan ‘menjadi apa’.
(32) A
B
: Made mapilih dados napi?
: Dados bendesa.
KET bermakna dasar
Pengisi KET bermakna ‘dasar’ umumnya merupakan frasa yang
berpreposisi madasar ‘berdasar’, seperti KET dalam kalimat (33) berikut.
(33) Iraga se-patut-ne
nga-raos
ma-dasar jnana marga.
Kita se-patut-nya ber-bicara
ber-dasar
pengetahuan
jalan
‘kita seharusnya berbicara dengan dasar jalan pengetahuan.’
Konstituen KET madasar jnana marga yang bermakna ‘dasar’ juga dapat
menjadi jawaban atas kata tanya madasar apa ‘berdasar apa’.
(34) A
B
: Madasar apa iraga sepatutne ngaraos?
: Madasar jnana marga.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat ditarik simpulan bahwa KET
dalam BB bersifat manasuka, dapat terletak di depan SP, di antara S dan P,
dan di posisi akhir kalimat. KET tidak dapat terletak di antara P dan O dan
di antara P dan komplemen, namun P dan O dapat di antarai KET jika unsur
O berupa frasa yang panjang, dan juga KET dapat dirunut perbedaannya
dengan oblik. Adapun KET dapat diisi kategori adverbia, pronomina
demonstratif, frasa nominal, frasa adverbial, frasa preposisional, dan
klausa tambahan. Makna unsur pengisi KET terdiri atas makna waktu,
tempat, penerima, kemiripan, peserta, alat, sebab, pelaku, kondisional,
tujuan, kedudukan, dan dasar.
295
DAFTAR PUSTAKA
Aarts, Bas. 1997. English Syntax and Argumentation. Houndmills:
Macmillan Press.
Arka, I Wayan. 2014. Locative-related roles and the argument-adjunct
distinction in Balinese. Linguistic Discovery, 12(2), 56-84. Diambil
http://journals.dartmouth.edu/cgidari
bin/WebObjects/Journals.woa/1/xmlpage/1/article/446
Bawa, I Wayan., dkk. 1983. Sintaksis Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Bawa, I Wayan., & Jendra, I Wayan. 1981. Struktur Bahasa Bali. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Bongaya, I Wayan Simpen Arya. 1968. Wyakarana Basa Aksara Bali.
Denpasar: PR. Saraswati.
Carnie, Andrew. 2013. Syntax: A Generative Introduction. Oxford: WileyBlackwell.
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kersten, Johannes. 1970. Tata Bahasa Bali. Ende: Nusa Indah.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2005. Realisasi kategorial dan semantis fungsi
keterangan dalam bahasa Indonesia. Humaniora, 17(3), 261-276.
____________________. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.
Yogyakarta: Carasvatibooks.
Ramlan, Mohamad. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta:
Karyono.
Pertanyaan dan Jawaban
1. Apakah ada keterangan yang tidak opsional?
Ada, itu disebut oblik.
2. Apakah ada kata dalam bahasa Bali yang sulit diterjemahkan?
Ada, beberapa kata-kata budaya, contohnya sanggah ‘tempat suci
seperti pura yang harus ada di setiap rumah orang Hindu Bali’.
3. Bahasa apakah yang mirip dengan bahasa Bali?
Secara sintaksis seperti fungsi keterangan ini, bahasa Bali berdekatan
dengan bahasa Indonesia.
296
NILAI PENDIDIKAN DALAM LAGU YABE LALE “VERSI BUGIS”
Juliana Rahman
STKIP Muhammadiyah Bulukumba
Julianarahman378@gmail.com
ABSTRAK
Lagu Yabe Lale dikalangan Suku Bugis sering diperdengarkan oleh orang
tua khususnya ibu kepada anaknya pada zaman dahulu, sebagai pengantar
tidur ketika sang anak terbaring di ayunan. Lagu Yabe Lale merupakan doa
dan nasihat orang tua kepada anaknya sebagai calon generasi bangsa.
Banyak harapan dan keinginan orang tua kepada anaknya agar kelak
mencapai apa yang dicita-citakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi
Bugis”. Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan estetika serta terdapat pesan
dan makna yang melekat kuat dalam lagu tersebut.Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data
yaitu teknik catat dengan teknik analisis data yakni mengidentifikasi,
mengklasifikasikan, dan mendeskripsikan nilai pendidikan dalam makna
lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk nilai
pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yakni: 1) nilai pendidikan
budaya, 2) nilai pendidikan sosial, 3) nilai pendidikan moral, dan 4) nilai
pendidikan religius.
Kata Kunci: Nilai pendidikan, lagu Bugis, Yabe Lale.
PENGANTAR
Genre sastra di Indonesia berbagai macam, salah satunya karya
sastra adalah lagu. Lagu merupakan ungkapan perasaan seseorang yang
merupakan hasil imajinasi yang dituangkan dalan tulisan yang
membutuhkan nada, irama, suara, musik yang mengandung makna yang
tersirat. Lagu dapat mendeskripsikan perasaan seseorang pada saat
bahagia, kesal, sedih, ungkapan kasih sayang, cinta, kecewa, patah hati,
penghambaan kepada tuhan, dan lagu pun berisi tentang nasihat.
Suku bugis merupakan salah satu suku yang ada pulau Sulawesi.
“Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Salah satu karya
297
sastra bugis adalah lagu Yabe Lale. Lagu Yabe Lale merupakan lagu yang
sangat dikenal oleh orang tua pada zaman dahulu, bahkan pada saat saya
masih kecil lagu Yabe Lale sering dinyanyikan oleh ibu dan nenek saya.
Pesan kebudayaan, kehidupan sosial dan karakter peradaban melekat
dalam setiap bait di dalam lirik lagu bugis Yabe lale. Ketika didengarkan
secara mendalam lagu Yabe Lale mengandung makna yang sangat
mendalam, berisi harapan-harapan orang tua kepada anaknya ketika
menidurkannya di atas ayunan, dan lagu itu selalu diperdengarkan setiap
kali seorang anak akan tidur sebagai harapan dan doa sehingga kelak
anaknya hidup sukses. Begitu besar harapan orang tua pada anaknya lewat
lagu Yabe Lale yang dinyanyikan setiap kali anaknya akan tidur yang
berlangsung terus-menerus sampai anaknya menginjak remaja.
Namun ketika melihat dengan kenyataan sekarang dengan era
digital, banyak dikalangan generasi muda kita, sudah kehilangan akar
budaya, bahkan lagu pengantar tidur Yabe Lale “versi Bugis” jarang
didengarkan atau bahkan sama sekali belum pernah mendengarkan.
Bahkan generasi muda sekarang lebih tertarik mendengarkan lagu band
atau lagu dangdut, yang maknanya sarat dengan hati untuk remaja-remaja.
Bahkan anak-anak sekarang di usia kanak-kanak sangat jarang
mendengarkan lagu anak-anak, mereka hanya suka dan terbiasa
mendengarkan lagu dewasa yang bukan diperuntukkan untuk seusianya.
Berbeda dengan lagu Yabe Lale yang sangat sarat dengan makna, harapan
dan doa orang tua. Begitu besarnya daya pikat kesusastraan dalam lagu
Yabe Lale.
Berdasarkan latar tersebut, masalah yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk nilai pendidikan dalam lagu
Yabe Lale “Versi Bugis”?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai
pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”.
Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan estetika serta terdapat
pesan dan makna kuat dalam lagu tersebut. Di samping itu, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi alternatif
masyarakat dalam menanamkan jati diri serta kecintaan terhadap
kebudayaan dalam upaya pelestarian kebudayaan.
1. Pengertian nilai pendidikan
Nilai adalah sesuatu yang sangat berharga, bermutu,
berkualitas dan berguna bagi manusia. Nilai juga diartikan sesuatu
298
yang berarti. Menurut Pepper (dalam Soelaeman, 2005: 35)
mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik
dan buruk. Senada dengan pengertian tersebut, Soelaeman (2005)
juga menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dipentingkan
manusia sebagai subjek. Dengan demikian nilai adalah sesuatu
tentang baik buruknya yang berarti, sangat berharga bermutu dan
berkualitas yang berguna bagi manusia.
Nilai pendidikan adalah sesuatu yang sangat berharga dan
bermutu dengan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan serta mendidik dengan proses di
jalur formal dan informal.
Nilai-nilai pendidikan pembentukan pribadi yakni:
a. Nilai pendidikan religius
Nilai pendidikan religius bersifat individual dan personal.
Religius merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara
mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai Human nature.
Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah
melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia
secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan
Tuhan. (Rosyati, dalam Amalia, 2010: 25) nilai-nilai religius
bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut
tuntutan agama dan selalu ingat kepada tuhan. Nilai religius ialah
sejauh mana hubungan manusia dengan penciptanya atau
tuhannya.
b. Nilai pendidikan moral
Nilai moral adalah merupakan kemampuan seseorang
membedakan baik dan buruk. Nilai moral yang terkandung dalam
karya seni bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal
nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa
yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga
tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat
yang dianggap baik, serasi dan bermanfaat bagi orang itu,
masyarakat, lingkungan dan alam sekitar. (Hasbullah dalam
Amalia, 2010: 30)
c. Nilai pendidikan sosial
299
Nilai pendidkan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil
dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial
berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi
disekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara
berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antara individu.
Rosyadi (dalam Amalia, 2010:45)
d. Nilai pendidikan budaya
Nilai pendidikan budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik
dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa
lain sebab nilai pendidikan budaya membatasi dan memberikan
karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya nilai
pendidikan budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari
adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat dan
sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat.
2. Lagu Yabe Lale
Lagu Yabe Lale adalah lagu dari kesusastraan bugis, yang
berisi tentang nasihat dan harapan kepada anak ketika anak
tersebut akan tidur dan diletakkan dalam ayunan atau terbaring di
ayunan. Lagu Yabe Lale sarat dengan makna dan filosofi. Banyak
harapan dan keinginan orang tua kepada anaknya, sehingga kelak
anaknya menggapai cita-citanya. Dalam Lagu Yabe Lale merupakan
bentuk kasih sayang orang tua dan nenek kepada anak dan cucunya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Menurut Nasir (1988: 5), metode deskriptif merupakan suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu situasi
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Senada dengan pendapat Nasir, Sugiyono (2005) mengatakan
bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian, kemudian
Whitney (1960), mengemukakan bahwa metode deskripsi adalah
pencarian fakta dengan interpretasi tepat. Teknik pengumpulan data
dengan menggunakan teknik catat dengan studi dokumen. Sumber data
adalah lirik lagu Yabe Lale. Data yang menjadi fokus penelitian berupa kata
yang merupakan nilai pendidikan. Teknik analisis data yakni 1)
mengidentifikasi ialah memusatkan perhatian pada makna lag 2)
300
mengklasifikasikan ialah data diseleksi sesuai dengan hasil pengamatan,
3) mendeskripsikan nilai pendidikan dalam makna lagu Yabe Lale “Versi
Bugis”.
PEMBAHASAN
Lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yang akan diteliti yakni:
Yabe Lale Versi 2
Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!)
Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk)
Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu)
Nippi magi mumalewe (mimpi apa yang berulang)
Leweno makkawaru (berkali-kali berharap)
Alla todongi go peddi (menghapus kepedihan)
Peddi’ kegana mutaro (pedih apa yamg kamu simpan)
Kegani mupallinrung (di mana kamu sembunyikan)
Alla tomassele lolang (sendiri bertualang)
Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah)
Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu)
Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus)
Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu)
Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara)
Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu)
Tori welaimmu gare’ (orang yang pegi itu, katanya)
Tudang ri tengnga laleng (duduk termenung ditengah
perjalanan)
Alla mappaseng na terri (meninggalkan pesan seraya
menangis)
Tori paseng tea mette’(orang yang berpesan diam tanpa kata)
Tona polei paseng (sedangkan orang yang diberi pesan)
301
Alla tea makkutana (justru tidak balik bertanta)
Pekkogana makkutana (bagaimana caranya saya bertanya)
Rilaleng tennunengna (saya sedang menenun)
Alla napole pasetta (saat pesan itu sampai)
Nilai Pendidikan dalam Lagu Yabe Lale “Versi Bugis 2”
1. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran tata cara hidup sosial dan
bermasyarakat.
Bait ke-1 bermakna sang ibu mengungkapkan ajakan kepada sang putra
tercinta untuk tidur dan memperbaiki posisi tidurnya, jangan sampai
terganggu mimpimu. Dalam arti bermimpilah.
Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!)
Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk)
Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu)
2. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk.
Bait ke-1 – bait ke-4 bermakna sang ibu juga mengisaratkan pesan agar
tidak terlena dengan kepedihan kerena ditinggalkan pergi oleh
seseorang, orang tersebut adalah ayahnya. Ternyata kepergian itu
berlangsung cukup lama dan mengisahkan luka bukan hanya pada
puteranya melainkan kepedihan buat isterinya.
Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!)
Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk)
Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu)
Nippi magi mumalewe (mimpi apa yang berulang)
Leweno makkawaru (berkali-kali berharap)
Alla todongi go peddi (menghapus kepedihan)
Peddi’ kegana mutaro (pedih apa yamg kamu simpan)
Kegani mupallinrung (di mana kamu sembunyikan)
Alla tomassele lolang (sendiri bertualang)
Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah)
Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu)
Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus)
302
3. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai budaya dan adat
istiadat.
Pada bait ke-4 bermakna seseorang yang pergi berpetualang atau pergi
merantau, makna dalam lagu ini yakni seorang ayah pergi merantau
meninggalkan anak dan isterinya, pada budaya orang bugis kaum lelaki
atau ayah kebanyakan pergi merantau mencari penghidupan yang
layak untuk keluarganya.
Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah)
Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu)
Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus)
4. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai adat istiadat dan
budaya. Terdapat pada bait ke-5 – bait ke-6 bermakna sang suami
diperantauan belum menemukan penghidupan yang layak dan hanya
mampu berpesan tanpa kata seraya menangis sebatang kata.
Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu)
Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara)
Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu)
Tori welaimmu gare’ (orang yang pegi itu, katanya)
Tudang ri tengnga laleng (duduk termenung ditengah perjalanan)
Alla mappaseng na terri (meninggalkan pesan seraya menangis)
5. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran mengenai tata cara hidup sosial,
yakni bagaimana cara memperbaiki kualitas hidup dengan jalan
merantau dengan harapan mencari penghidupan yang layak. Terdapat
pada bait ke-5.
Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu)
Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara)
Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu)
6. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran mengenai tata cara hidup sosial,
yakni sang isteri yang ditinggal tidak lagi berharap biaya kepada suami
diperantauan maka untuk menyambung hidup isteri sibuk menenun
demi menghidupi anaknya yang masih kecil. Terdapat pada Bait ke-7bait ke-8 bermakna bahwa sang isteri yang ditinggalkan tidak lagi
303
banyak berharap kepada suaminya dirantauan sehingga memilih sibuk
menenun (mencari kehidupan) untuk menghidupi buah hati mereka
yang masih kecil.
Tori paseng tea mette’(orang yang berpesan diam tanpa kata)
Tona polei paseng (sedangkan orang yang diberi pesan)
Alla tea makkutana (justru tidak balik bertanta)
Pekkogana makkutana (bagaimana caranya saya bertanya)
Rilaleng tennunengna (saya sedang menenun)
Alla napole pasetta (saat pesan itu sampai)
PEMBAHASAN
Lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yang akan diteliti yakni:
Yabe Lale Versi 3
Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!)
Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk)
Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu)
Sumange’rewe tona (semangatnya telah kembali)
Ana’ Macenningekku (Anakku Sayang)
Alla Riwakkang Matinro (terlelap dalam tidurnya)
Tuwoni mae La Baco (Bangkitlah wahai La Baco)
Maenre malongi-longi (naik setinggi-tingginya)
Alla tiroangi deceng (menatap masa depan yang lebih baik buat kami)
Labaco’mi kurennuang (hanya La Baco ku harapkan)
Renrengnga ri deceng (mengantarku ke masa depan yang lebih
baik)
Alla kuallongi longi (hingga ku gapai singgasana tertinggi)
Longi-longi ni La Baco (telah tinggi peraduan La Baco)
Iya pi ku ellau (dan satu hal lagi yang ku pinta)
Alla Assalamakenna (semoga selamat menyertaimu)
304
Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco)
Na terri Temmasennang (menangis bahagia)
Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali)
Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali)
Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan)
Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana)
Nilai Pendidikan dalam Lagu Yabe Lale Versi Bugis 3
1. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran tata cara hidup sosial dan
bermasyarakat.
Bait ke-1 bermakna sang ibu mengungkapkan ajakan kepada sang putra
tercinta untuk tidur dan memperbaiki posisi tidurnya, jangan sampai
terganggu mimpimu. Dalam arti bermimpilah.
Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!)
Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk)
Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu)
2. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu
ini adalah lanjutan dari Lagu Yabe Lale Versi 2. Yang memberikan
semangat kepada anaknya untuk terus bangkit apapun keadaannya
ketika ditinggalkan oleh ayah tercinta. Terdapat pada makna bait ke-2.
Sumange’rewe tona (semangatnya telah kembali)
Ana’ Macenningekku (Anakku Sayang)
Alla Riwakkang Matinro (terlelap dalam tidurnya)
3. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu
ini adalah harapan seorang ibu kepadaya untuk bangkit dan meraih
mimpi setinggi-tingginya dengan menata masa depan yang lebih baik.
Terdapat pada makna bait ke-3.
Tuwoni mae La Baco (Bangkitlah wahai La Baco)
Maenre malongi-longi (naik setinggi-tingginya)
Alla tiroangi deceng (menatap masa depan yang lebih baik buat kami)
4. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna pada
bait ke- 4 mengisaratkan bahwa seorang ibu berharap agar La baco
(sebutan untuk anak laki-laki suku bugis) bisa mengantarkan ibunya
305
menuju masa depan yang gemilang, atau menggapai kehidupan yang
lebih baik.
Labaco’mi kurennuang (hanya La Baco ku harapkan)
Renrengnga ri deceng (mengantarku ke masa depan yang lebih baik)
Alla kuallongi longi (hingga ku gapai singgasana tertinggi)
5. Nilai Pendidikan Religius adalah berkaitan dengan agama dan
kepercayaan. Terdapat pada Bait ke-5 berisi harapan dan doa seorang
ibu kepada anaknya. Semoga keselamatan menyertaimu.
Longi-longi ni La Baco (telah tinggi peraduan La Baco)
Iya pi ku ellau (dan satu hal lagi yang ku pinta)
Alla Assalamakenna (semoga selamat menyertaimu)
6. Nilai Pendidikan Budaya. Yakni ajaran mengenai budaya dan adat
istiadat. Terdapat pada bait ke-6 dan bait ke-7 bermakna sang ibu juga
mengisaratkan pesan agar tidak terlena dengan kepedihan karena
ditinggalkan pergi oleh seseorang, orang tersebut adalah ayahnya.
Ternyata kepergian itu berlangsung cukup lama dan mengisahkan luka
bukan hanya pada puteranya melainkan kepedihan buat isterinya.
Budaya Bugis, apabila seseorang lelaki telah berkeluarga, mereka harus
merantau keluar daerah untuk mencari uang atau nafkah untuk
menghidupi keluarganya.
Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco)
Na terri Temmasennang (menangis bahagia)
Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali)
Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali)
Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan)
Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana)
7. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai budaya dan adat
istiadat.
Pada bait ke-6 dan bait ke-7 bermakna seseorang ayah yang pergi
berpetualang atau pergi merantau dan memberikan pesan (nasihat)
serta kenangan sebelum pergi. Labaco (nama panggilan untuk anak
laki-laki suku bugis) senantiasa menunggu ayahnya kembali hingga
tangis dan senyum bahagia.
306
Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco)
Na terri Temmasennang (menangis bahagia)
Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali)
Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali)
Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan)
Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana)
Kesimpulan
Lagu Yabe Lale merupakan doa dan nasihat orang tua kepada anaknya
sebagai calon generasi bangsa. Banyak harapan dan keinginan orang tua
kepada anaknya agar kelak mencapai apa yang dicita-citakan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk nilai pendidikan
dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan
estetika serta terdapat pesan dan makna yang melekat kuat dalam lagu
Yabe Lale “Versi Bugis”. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk nilai
pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yakni: 1) nilai pendidikan
budaya, 2) nilai pendidikan sosial, 3) nilai pendidikan moral, dan 4) nilai
pendidikan religius.
Daftar Pustaka
Amalia, Novita Rini. 2010. Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Novel Sang
Pemimpi
Karya
Andrea
Hirata.
(tersedia
Online).
http://amalia.blogspot.com
Depdikbud (Kamus) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1996.
Nasir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soelaeman, Munandar. 2005. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Eresco.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
F.I , Whitney. 1960. The Elements of Resert Asian Eds. Osaka: Overseas Book
Co. (tersedia Online). http:// repository.maranatha.edu.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1. Nilai moral dalam lagu Yabe Lale “versi Bugis”!
307
Jawaban :
a. Nilai Moral yang terkandung dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis
2” yakni: Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan
buruk. Bait ke-1 – bait ke-4 bermakna sang ibu juga
mengisaratkan pesan agar tidak terlena dengan kepedihan
karena ditinggalkan pergi oleh seseorang, orang tersebut
adalah ayahnya. Ternyata kepergian itu berlangsung cukup
lama dan mengisahkan luka bukan hanya pada puteranya
melainkan kepedihan buat isterinya.
b. Nilai Moral yang terkandung dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis
3” yakni:
1) Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk.
Makna lagu ini adalah lanjutan dari Lagu Yabe Lale Versi 2.
Yang memberikan semangat kepada anaknya untuk terus
bangkit apapun keadannya ketika ditinggalkan oleh ayah
tercinta. Terdapat pada makna bait ke-2.
2) Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk.
Makna lagu ini adalah harapan seorang ibu kepadaya untuk
bangkit dan meraih mimpi setinggi-tingginya dengan
menata masa depan yang lebih baik. Terdapat pada makna
bait ke-3.
2. Apakah masih digunakan/dilagukan pada masa sekarang lagu
Yabe Lale “versi Bugis”? apakah ada bukti rekamannya?
Jawaban:
Iya masih digunakan, Sampai sekarang masih ada orang tua
khususnya ibu dan nenek yang menidurkan anaknya sambil
menyanyikan lagu Yabe Lale “Versi Bugis” khususnya di daerah
pedesaan yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya.
Contohnya saya sendiri, pada waktu kecil saya sering dinyanyikan
lagu Yabe Lale sebagai pengantar tidur, sebagai wujud kecintaan
orag tua atau ibu dan nenek kepada anak/cucu yang dicintainya
serta senantiasa mendoakan demi kesuksesan anak/cucunya.
Ada bukti rekaman dan videonya.
3. Bagaimana dengan saya, saya orang jawa asli dan tidak tahu
bahasa jawa, tidak tahu budaya dan adat istiadat orang jawa,
apalagi mendengar lagu Yabe Lale “Versi Jawa”. Apa pendapat anda
tentang permasalah ini?
308
Jawaban:
Ini permasalahan yang terjadi karena masa sekarang ini sebagian
besar anak lebih suka mendengar lagu dewasa yang tidak sesuai
dengan usianya, seorang anak pun tidak ingin belajar dan tidak
mau tentang adat istiadat dengan budaya. Dalam permasalahan ini
peran orang tua lebih penting, ini adalah tugas utama orang tua di
indonesia, orang tua harus berperan penting memberikan
pengajaran tentang budaya, adat istiadat dan lagu kedaerahan di
mana seorang anak belajar.
309
STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU BERBAGI CERITA
BERBAGI CINTA KARYA CLARA NG
Julisa Arina Haq
Universitas Gadjah Mada
julisaarinahaq@ymail.com
ABSTRAK
Strategi penerjemahan merupakan taktik yang diterapkan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan suatu Teks Bahasa Sumber (Tsu) ke
dalam Teks Bahasa Sasaran (Tsa). Penerapan srategi penerjemahan yang
tepat akan menghasilkan kesepadan makna yang baik antara Tsu dan Tsa.
Untuk mengetahui strategi penerjemahan yang diterapkan dalam suatu
teks terjemahan, dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan
menganalisa,
mengklasifikasi,
dan
mendiskripsikan
strategi
penerjemahan berdasarkan teori yang kemukakan oleh para ahli, salah
satunya yaitu oleh Mona Baker (2011). Terdapat 8 strategi penerjemahan
yang dijabarkan oleh Mona Baker dalam bukunya ‘In Other Words’ yang
dapat dijadikan acuan dalam menganalisa strategi penerjemahan suatu
teks terjemahan khususnya pada tataran kata.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif, kemudian dalam
pengumpulan datanya peneliti menggunakan metode simak catat. Sumber
data penelitian ini adalah 3 judul cerita dari buku cerita anak ‘Berbagi
cerita, Berbagi Cinta’ karya klara Ng. Dari hasil penelitian maka ditemukan
beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1) terungkaplah strategi-strategi
yang digunakan dalam buku cerita ‘Berbagi Cerita, Berbagi cinta’ karya
Clara Ng berdasarkan teori Mona Baker (2011), 2) strategi yang paling
sering digunakan adalah strategi memparafrase dengan menggunakan
kata yang berhubungan dikarenakan banyaknya konsep yang
diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, makna dari kata
tersebut terdapat dalam bahasa target tetapi dalam bentuk yang berbeda,
3) kemudian alasan tersebut juga dikuatkan dengan latar belakang
penerjemah serta tujuannya yang ingin mengedukasi anak Indonesia
berbahasa Inggris sehingga alur ceritanya berkonsep universal, dan hal
tersebut memudahkan anak mengidentifikasi bahasa yang digunakan
dalam Bsu dan Bsa.
Kata Kunci: strategi penerjemahan, tataran kata, buku cerita anak
310
A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Penerjemahan merupakan aktivitas pengalihan suatu bahasa sumber
(Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Menurut Newmark (1988 hal. 5),
penerjemahan adalah sebuah usaha untuk menyampaikan pesan yang
terdapat dalam Tsu ke dalam Tsa secara sepadan. Kesepadanan itu akan
terlihat jika makna atau pesan yang disampaikan oleh teks sasaran sesuai
dengan maksud penulis atau pengarang teks sumber.
Dalam aktivitas penerjemahan, kata merupakan unit pertama yang
akan diungkap maknanya oleh penerjemah. Sebuah frasa, klausa, hingga
kalimat akan sulit diterjemahkan, jika terdapat satu saja kata di dalamnya
yang tidak memiliki kesepadanan makna dalam Bsa. Untuk mengatasi
masalah tersebut dan masalah lainya dalam proses penerjemahan, maka
perlu penerapan strategi yang tepat dalam aktivitas peerjemahan
khususnya pada tataran kata. Berikut contoh penerapan strategi yang
dilakukan penerjemah dalam proses penerjemahan yang dilakukannya;
Tsu: Pascal si singa sangat bangga dengan rambut lebatnya yang panjang,
alami, dan bercahaya.
Tsa: Pascal the lion was very proud of his mane. It was long and thick,
natural, and shiny.
Keterangan: Penerjemah menerapkan strategi penggunaan kata yang
netral untuk menerjemahkan kata rambut pada Tsu ke dalam Tsa. Dalam
Bsa, rambut milik Singa disebut mane bukan lion’s hair.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Penelitian ini akan menganalisa
strategi penerjemahan apa saja yang diterapkan dalam buku cerita anak
dwibahasa yang berjudul ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng.
Selain itu, peneliti juga menganalisa strategi apa yang paling banyak
diterapkan dan apa alasan dibalik penerapan strategi tersebut.
Buku ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng diterbitkan pada
tahun 2006 dan kemudian diterbitkan kembali padan tahun 2011 dengan
edisi baru yaitu edisi dwibahasa. Buku ini terdiri dari 5 judul cerita
mengenai hewan dan 1 judul cerita mengenai ‘Lupi, Si Pelupa’. Salah satu
cerita di dalamnya yang berjudul ‘Pascal’s Hairstyle atau Gaya Rambut
Pascal’ menjadi cerita yang populer serta mendapatkan penghargaan
Adikarya Ikapi untuk cerita anak pada tahun 2006.
311
Penerjemah buku tersebut adalah Tanti Lesmana. Tanti Lesmana
adalah seorang ahli penerjemah dari Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Berdasarkan data di Goodreads.com, beliau sudah menerjemahkan
sebanyak 64 buku berbahasa Asing. Bahkan beliau juga merupakan salah
satu peserta dalam pertemuan 100 penerjemah dunia, British Centre For
Literary Translation (BCLT) Summer School Summit, di University of East
Anglia, Norwich, Inggris. Maka dari itu, kemampuannya dalam
menerjemahkan tidak perlu diragukan lagi.
B.
LANDASAN TEORI
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam penerjemahan memiliki
kaitan satu dengan lainnya sehingga pelaksanaannya berurutan. Proses ini
dimulai dari penerjemah menganalisa teks Bsu hingga sampai
terwujudnya hasil terjemahan yang sepadan dalam Bsa. Proses dalam
penerjemahan diilustrasikan ke dalam kerangka berpikir seperti berikut
ini;
A. (SOURCE)
B. (RECEPTOR)
Analysis
X
Restructuring
Transfer
Y
Gambar 1. Proses Penerjemahan (Nida, 1975 hal. 80)
Dalam proses penerjemahan, penerapan stategi penerjemahan
menjadi solusi untuk mengatasi ketidaksepadanan antara Tsu dengan Tsa.
Menurut Lorscher (1996) dalam Meta (2005, hal.597-608), strategi
penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam
memecahkan permasalahan penerjemahan. Dengan kata lain, strategi
penerjemahan memiliki peranan penting dalam terwujudnya
kesepadanan makna antara Tsu dan Tsa.
312
Permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan yang terbagi
menjadi 11 jenis;
1) Konsep khusus budaya
Terdapat kata dalam bahasa sumber yang mengungkapkan suatu
konsep yang tidak ada dalam budaya Bsa. Kata tersebut biasanya
berkaitan dengan adat istiadat, jenis makanan-minuman, atau agama.
2) Konsep bahasa sumber yang tak tersedia dalam bahasa sasaran.
Suatu konsep kata dalam Bsu bisa saja dikenal dalam konsep bahasa
budaya Bsa akan tetapi Bsa tidak mempunyai kata untuk
mengungkapkannya.
3) Konsep bahasa sumber secara semantik terlalu kompleks.
Sebuah kata yang mengungkapkan makna lebih rumit daripada
kalimat.
4) Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep.
5) Tidak adanya unsur atasan (supordinat) dalam bahasa sasaran.
Misalnya, dalam bahasa Indonesia memiliki unsur atasan fasilitas
yang menunjuk pada beberapa unsur bawahan seperti peralatan,
bangunan. Bahasa Rusia sebaliknya tidak.
6) Tidak adanya unsur bawahan (hiponim) dalam bahasa sasaran
Misalnya kata house yang memiliki hiponim bungalow, cottage, croft,
chalet, lodge, hut, hall, manor, dan villa. Sebagian dari hiponim ini ada
padanannya dalam bahasa Indonesia namun sebagian tidak.
7) Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik.
Perspektif fisik bisa saja lebih penting bagi suatu bahasa.
8) Perbedaan dalam hal makna ekspresif.
Dalam Bsu dan Bsa, beberapa kata atau kelompok kata bisa saja
memiliki makna proposisi yang sama namun berbeda makna
ekpresinya.
9) Perbedaan bentuk kata
Setiap bahasa dalam pembentukannya tidaklah sama, meskipun
terkadang terdapat kesamaan pada irama dalam pembentukan kata.
Misalnya, drinkable diartikan cocok untuk diminum bukan dapat
diminum.
10) Perbedaan dalam hal tujuan dan tingkat penggunaan bentuk-bentuk
tertentu.
Seperti contohnya dalam bahasa Inggris, yang sering menggunakan
bentuk verb+ing untuk menggabungkan klausa.
313
11) Penggunaan kata pinjaman dalam teks sumber
Kata pinjaman bisa saja digunakan dalam Bsa akan tetapi kata
tersebut tidak dapat dikontrol dan dikendalikan karena bisa
melahirkan makna yang berbeda.
Berdasarkan teori Mona Baker (2011) dalam bukunya “In Other
Words,” terdapat 8 strategi penerjemahan yang bisa diterapkan oleh
penerjemah untuk mengatasi permasalahan tersebut;
1. Menggunakan kata yang lebih umum (superordinat).
2. Menggunakan kata yang lebih netral atau lebih ekspresif.
3. Menggunakan subtitusi kebudayaan.
4. Menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang dilengkapi
dengan penjelas.
5. Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan.
6. Memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan.
7. Melakukan penghapusan/ penghilangan kata.
8. Menerjemahkan dengan menggunakan gambar/ilustrasi.
C.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dimana
peneliti mendeskripsikan jawaban dari rumusan masalah ke dalam sebuah
uraian deskriptif. Sutopo (2006 hal. 45) berpendapat bahwa dalam
penelitian kualitatif, bentuk semua teknik pengumpulan data, kualitas
pelaksanaan, serta hasilnya sangat tergantung pada penelitinya sebagai
alat pengumpulan data utamanya.
Sumber data penelitian ini adalah buku cerita anak dwibahasa
‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ terbitan Gramedia Pustaka Utama. Dalam
buku ini terdapat 6 judul cerita, 3 diantaranya akan digunakan sebagai
sumber data penelitian karena ketiga cerita tersebut sudah mewakili
karakeristik dari keseluruhan cerita. Dalam pengumpulan datanya,
penulis menggunakan metode simak catat. Pada tahapan ini, penulis
membaca keseluruhan cerita yang ada dalam buku tersebut dan mencatat
hal-hal penting yang berkaitan dengan kebutuhan analisa.
Dalam analisa datanya, penulis menganalisa hasil data yang
terkumpul dengan mengidentifikasi,
mendeskripsikan,
dan
mengklasifikasikan bentuk-bentuk strategi penerjemahan dalam buku
cerita anak dwibahasa ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ berdasarkan teori
Mona Baker (2011). Alasan penulis menggunakan teori tersebut karena
314
strategi yang diuraikan berdasarkan permasalahan yang muncul dalam
proses penerjemahan khususnya pada tataran kata. Setelah semua hasil
analisa berhasil didapat, kemudian penulis membuat kesimpulan terhadap
hasil analisa datanya.
D. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Hasil analisa data berdasarkan teori Mona Baker (2011)
menunjukkan bahwa hampir semua strategi pada tataran kata yang
diuraikan oleh beliau dalam buku ‘In Other words’ diterapkan oleh
penerjemah. Hanya satu strategi yang tidak diterapkan yaitu strategi
‘translated by illustration’. Hal ini terjadi karena buku yang diterjemahkan
sudah merupakan buku cerita bergambar.
Berikut gambaran mengenai proses penerjemahan berdasarkan pada
setiap strategi yang diterapkan oleh penerjemah dalam buku ‘Berbagi
Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng;
a) Menggunakan kata yang lebih umum (superordinat).
Tsu: Pascal menatap pantulannya di
kolam
Tsa: Pascal looked at himself in the
Pond
Penerjemah menggunakan kata yang umum yaitu ‘looked’ dalam
Tsa karena terdapat perbedaan presepsi antara Tsu dan Tsa dalam
menggunakan kata yang bermakna ‘menatap’ berdasarkan konteks
seperti kalimat tersebut.
Strategi dengan menggunakan kata yang lebih umum digunakan
penerjemah sebanyak 9 kali.
b)
Menggunakan kata yang lebih netral atau lebih ekspresif.
Tsa: Kira dan Kino sedang rebutan
mainan.
Tsu: Kira and Kino were quarrelling
over some toys.
Penerjemah menggunakan kata yang lebih netral yaitu ‘quarelling’
dalam Tsa karena terdapat perbedaan makna ekspresif antara Tsu
dan Tsa dalam menggunakan kata yang bermakna ‘rebutan’
berdasarkan konteks seperti kalimat tersebut.
315
Strategi dengan menggunakan kata yang lebih netral digunakan
penerjemah sebanyak 10 kali.
c)
Menggunakan subtitusi kebudayaan.
Tsa: Sisi si Marmut datang dengan
wajah berseri-seri.
Tsu: Sisi the Hamster came to see
him, her face beaming.
Penerjemah menggunakan kata yang bersubtitusi kebudayaan
seperti kata Hamster dalam Tsa karena dalam Tsu binatang ‘Marmut’
dalam Tsa sangat jarang ditemui.
Strategi dengan menggunakan subtitusi kebudayaan digunakan
penerjemah sebanyak 6 kali.
d) Menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang dilengkapi
dengan penjelas.
Tsu: Pascal tidak keberatan
memimpin parade.
Tsa: Pascal would love to lead the
Parade.
Sebenarnya kata parade merupakan kata serapan dalam Tsu
sehingga penggunaan kata ‘parade’ dalam Tsu tidak berubah, ditulis
apa adanya karena kata ‘parade’ berasal dari bahasa yang digunakan
dalam Tsu.
Strategi dengan menggunakan kata pinjaman digunakan
penerjemah sebanyak 2 kali.
e)
Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan.
Tsu : sambil lagi-lagi bercermin di
kolam.
Tsa: looking at his reflection in the pond.
Strategi ini cenderung digunakan ketika konsep yang
diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, dan terdapat
dalam bahasa target tetapi dalam bentuk yang berbeda.
Strategi Memparafrase dengan menggunakan kata yang
berhubunganm digunakan penerjemah sebanyak 28 kali.
316
f)
Memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan.
Tsu: Ia mengecek apa yang
menyebabkan Benji rewel.
Tsa: She wanted to know why Benji
was so unhappy.
Strategi ini cenderung digunakan jika konsep yang diekspresikan oleh
item sumber tidak lexicalized sama sekali dalam bahasa target.
Strategi memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak
berhubungan digunakan penerjemah sebanyak 16 kali.
g)
Melakukan penghapusan/ penghilangan kata.
Tsu: Pak dokter menyambut Benji
dengan ramah.
Tsa: The dentist welcomed Benji.
Strategi ini mungkin terdengar agak drastis, tetapi sebenarnya
tidak ada salahnya untuk tidak menerjemahkan sebuah kata atau
ungkapan dalam beberapa konteks, jika makna yang disampaikan
oleh orang, barang atau ekspresi tertentu tidak cukup penting untuk
pengembangan teks.
Strategi dengan melakukan penghapusan / penghilangan kata
digunakan penerjemah sebanyak 16 kali.
Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwasannya strategi yang
paling banyak digunakan adalah strategi memparafrase dengan
menggunakan kata yang berhubungan. Alasan yang mendasari penerapan
strategi ini adalah karena konsep yang diekspresikan oleh item sumber
adalah lexicalized, makna dari kata tersebut terdapat dalam Bsa tetapi
dalam bentuk yang berbeda.
Kemudian, latar belakang penerjemah yang merupakan asli orang
Indonesia serta alumni dari Ohio State University juga merupakan landasan
penting mengapa alur cerita dari buku tersebut terlihat universal atau bisa
diterima secara kedua budaya Bsu dan Bsa, sehingga tidak banyak
perubahan hanya sekedar memparafrase kata-kata dalam Bsu ke dalam
Bsa. Yang terakhir, ditambah dengan tujuan penerjemah yang sekiranya
ingin mengedukasi anak Indonesia berbahasa Inggris sehingga kata-kata
yang ada dalam Bsu tidak jauh berbeda dengan kata-kata yang digunakan
dalam Bsa secara susunan dan pemilihan katanya yang sangat sederhana.
317
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan di atas maka
terungkaplah strategi-strategi yang digunakan dalam buku cerita ‘Berbagi
Cerita, Berbagi cinta’ karya Clara Ng berdasarkan teori Mona Baker (2011).
Selain itu, strategi yang paling sering digunakan adalah strategi
memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan dikarenakan
banyaknya konsep yang diekspresikan oleh item sumber adalah
lexicalized, makna dari kata tersebut terdapat dalam bahasa target tetapi
dalam bentuk yang berbeda.
Kemudian alasan tersebut juga dikuatkan dengan latar belakang
penerjemah serta tujuannya yang ingin mengedukasi anak Indonesia
berbahasa Inggris sehingga tidak banyak perubahan dalam susunan
katanya serta pemilihan katanya yang sangat memudahkan anak
mengidentifikasi bahasa yang digunakan dalam Bsu dan Bsa.
REFERENSI
Baker, M. (2011). In Other Words. New York: Routledge.
Lorcher, Wolfgang. “The Translation Process: Method and Problems of Its
Investigation. Dalam Meta, vol. 50, n2, 2005, p.597-608Language
structure and Translation [Buku] / pengar. Nida Eugene Albert. Califronia : Standford University Press, 1975.
Meaning-based Translation [Buku] / pengar. Larson Mildred L.. Boston : University Press of America, 1984.
Science of Translation in Language Vol 5 Number 3 [Buku] / pengar.
Taber Nida Eugene dan. - New York : American Bible Society, 1969.
A Textbook of Translation [Buku] / pengar. Newmark Peter. - London :
Prentice-Hall, 1988.
Pedoman bagi Penerjemah [Buku] / pengar. Machali Rochayah. Bandung : Kaifa, 2009.
The Translation Studies Reader [Buku] / pengar. Venutti Lawrence. London : Routledge, 2004.
318
A Lingusitic Theory of Translation [Buku] / pengar. Catford J.C. England : Oxford University Press, 1965.
Translation [Buku] / pengar. Duff Alan. - England : Oxford University
Press, 1989.
In Other Words [Buku] / pengar. Baker Mona. - New York : Routledge,
2011.
Metodologi Penelitian Kalitatif [Buku] / pengar. Sutopo. - Surakarta :
UNS, 2006.
Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
[Buku] / pengar. Sugiyono. - Bandung : Alfabeta, 2010.
Metodelogi Penelitian [Buku] / pengar. Arikunto, Suharsimi. - Jakarta :
PT Rineka Cipta, 2002.
Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist
Approach [Jurnal] / pengar. Lucia Molina, Hurtado Albir // Meta;
Translator Journal Vol 7 No.4. - 2002. - hal. 509-511.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Penanya: Pak Suryo Baskoro
1. Jika anda sudah mendeskripsikan sedemekian rupa trus mengapa?
Jawaban;
Dari hasil penelitian ini maka terungkaplah strategi-srategi yang
digunakan serta strategi apa yang paling sering digunakn dan
mengapa strategi tersebut banyak muncul. Alasan tersebut yang
nantinya dapat memberikan manfaat dari hasil penelitian ini, akan
tetapi saya masih belum menemukan.
319
REAKSI VERBAL OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
TERHADAP PUISI IBU INDONESIA KARYA SUKMAWATI
SOEKARNOPUTRI
Kamalatul Hafidzoh*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: kamala.hafidzoh@gmail.com
A B S T R A K
Bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam memberikan
reaksi verbal terhadap suatu hal sangat bervariasi. Pada dasarnya, analisis
mengenai bahasa dan gender telah banyak dilakukan. Akan tetapi,
penelitian yang fokus mengenai penggunaan bahasa oleh laki-laki dan
perempuan dalam menyampaikan reaksi verbal, baik pro maupun kontra,
terhadap sebuah isu belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik bahasa yang digunakan oleh
perempuan dan laki-laki dalam menyampaikan reaksi verbal terhadap
Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri, dan faktor sosial
yang melatarbelakangi adanya karakteristik feminin pada reaksi verbal
oleh laki-laki, serta mengidentifikasi persentase distribusi masing-masing
reaksi verbal oleh laki-laki dan perempuan tersebut. Data disediakan
dengan metode simak, dan wawancara berstuktur yang dilakukan melalui
telepon. Adapun sampel yang digunakan yaitu sepuluh reaksi verbal oleh
laki-laki dan sepuluh reaksi verbal oleh perempuan. Informan dalam
penelitian ini yaitu alumni mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris tahun
angkatan 2012 UIN Maliki Malang. Data-data tersebut dianalisis dengan
menggunakan teori Lakoff (1975) serta De Klerk dan Hughes (1992)
mengenai karakteristik bahasa feminin dan maskulin. Adapun hasil yang
didapatkan yaitu informan perempuan cenderung memberikan reaksi
verbal terhadap puisi Ibu Indonesia dengan bahasa-bahasa yang memiliki
karakteristik feminin (45%), adapun laki-laki terbagi menjadi 20%
maskulin dan 30% feminin. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan
dalam profesi dan hobi, tema pembicaraan, dan pembawaan diri
(performance) dalam keseharian).
Kata kunci: reaksi verbal, laki-laki dan perempuan, puisi Ibu Indonesia.
320
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Secara biologis, terdapat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, baik secara fisik maupun non fisik. Adapun mengenai cara
laki-laki dan perempuan berbahasa, para ahli menyebutkan adanya istilah
gender maskulin dan gender feminin. Gender dan jenis kelamin
merupakan dua istilah yang berbeda, meskipun diasumsikan bahwa jenis
kelamin akan mempengaruhi gender. Wardhaugh (2006:315) mengatakan
bahwa seks atau jenis kelamin ditentukan oleh keadaan biologis seseorang
sedangkan gender dibentuk oleh kehidupan sosial seseorang. Oleh karena
itu, ada kemungkinan seseorang berjenis kelamin laki-laki mempunyai
gender feminin dan seseorang berjenis kelamin perempuan memiliki
gender maskulin.
Selain itu, seperti halnya bahasa, gender juga merupakan sebuah
komponen utama dari identitas seseorang (Wardhaugh, 2006:316). Dari
caranya berbahasa, kita dapat mengetahui kecenderungan gender pada
orang tersebut. Akan tetapi, Wardhaugh (2006:316) menambahkan
bahwa gender seseorang dapat berubah apabila orang tersebut berada di
lingkungan atau kehidupan sosial yang berbeda. Adapun Lakoff (1975)
mengemukakan bahwa terdapat karakteristik-karakteristik gender,
diantaranya yaitu perempuan (feminin) cenderung menggunakan question
tag, menggunakan hedges, menggunakan intonasi pertanyaan pada
kalimat deklaratif, menggunakan tindak tutur tidak langsung,
menggunakan kalimat-kalimat eufemisme (halus dan sopan),
menggunakan kata sifat dan kata keterangan kosong, menggunakan
istilah-istilah atau kata yang spesifik. De Klerk dan Hughes (lih.
Wardhaugh, 2006:317) menambahkan bahwa perempuan cenderung
bertele-tele dan banyak unsur gosipnya pada saat berbicara. Selain itu,
perempuan juga agak malu-malu ketika menyebutkan bagian anggota
tubuhnya secara terang-terangan (Jespersen, 1992). Karakteristikkarakteristik tersebut yang kemudian dapat memunculkan istilah bahasa
perempuan dan bahasa laki-laki dimana menurut Grimm (2008:8) istilah
ini menunjukkan bahwa ada kekhasan tersendiri pada bahasa yang
digunakan oleh laki-laki dan bahasa yang digunakan oleh perempuan.
Di sisi lain, penelitian mengenai bahasa dan gender telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Pertama, Onem (2016) meneliti mengenai perbedaan
321
gender masyarakat Turki pada saat membuat permintaan atau request.
Penelitian tersebut dilakukan dengan cara meminta 30 mahasiswa dan 24
mahasiswi untuk menulis mengenai bagaimana jika mereka membuat
kalimat request. Adapun hasilnya yaitu perempuan cenderung
menyatakan request dengan kalimat yang detail sedangkan laki-laki
cenderung menggunakan kalimat langsung. Kedua, Munjin (2008)
meneliti tentang ekspresi bahasa dan gender dan menyimpulkan bahwa
ekspresi bahasa mencerminkan kecenderungan penuturnya, misalnya
bahasa Inggris cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pergaulan. Ketiga, Nur (2011)
meneliti tentang refleksi gender yang ada dalam bahasa Arab dan bahasa
Indonesia dan dikaitkan dengan konteks-konteks budaya pada dua bahasa
tersebut. Adapun hasilnya yaitu bahasa Arab sangat mementingkan
pemarkah gender pada sistim gramatikalnya karena budaya masyarakat
Arab lebih menekankan pada pemisahan gender, masyarakatnya lebih
individual dan patriarki. Sedangkan bahasa Indonesia hanya memakai
pemarkah gender apabila dibutuhkan karena berdasarkan budayanya,
masyarakat Indonesia lebih mementingkan usia dan status sosial,
kebersamaannya lebih erat, dan tidak patriarki.
Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, penelitian ini
fokus dalam menginvestigasi penggunaan bahasa oleh laki-laki dan
perempuan dalam mengomentari puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati
Soekarnoputri. Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri
merupakan sebuah puisi yang isinya menyebabkan adanya kontroversi
pada tahun 2018 di Indonesia. Isi dari puisi tersebut menyebabkan adanya
reaksi verbal dari penduduk Indonesia, berupa komentar-komentar pro
maupun kontra. Bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan
pada saat memberikan reaksi secara verbal terhadap puisi tersebut sangat
menarik dan beragam. Misalnya, ada komentar yang singkat tapi tajam,
ada juga komentar yang menggunakan penjelasan-penjelasan secara
detail. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu (1)
mengidentifikasi karakteristik-karakteristik bahasa pada reaksi verbal
oleh laki-laki dan perempuan terhadap puisi tersebut, (2) mengidentifikasi
alasan atau faktor yang mempengaruhi adanya karakteristik feminin pada
reaksi verbal yang diujarkan oleh laki-laki, (3) mengidentifikasi frekuensi
distribusi masing-masing reaksi verbal tersebut. Adapun data-data
didapatkan dengan metode simak dan melakukan wawancara kepada
322
alumni Bahasa dan Sastra Inggris angkatan tahun 2012, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Para alumni tersebut dipilih
sebagai informan karena mereka cukup aktif dalam memberikan
komentar terhadap puisi Ibu Indonesia tersebut dan pernah mempelajari
tentang sastra atau puisi sehingga rekasi verbal yang diujarkan setidaknya
berlandaskan ilmu pengetahuan mengenai hal itu. Berdasarkan latar
belakang tersebut, oleh karena itu, penelitian ini penting untuk
dikembangkan.
METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa reaksi verbal oleh lakilaki dan perempuan terhadap puisi Ibu Indonesia Karya Sukmawati
Soekarnoputri. Sebelum tahap analisis, data disediakan terlebih dahulu
dengan menggunakan metode simak dan wawancara berstruktur dengan
beberapa tekniknya. Wawancara berstruktur merupakan salah satu
metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data dan dilakukan
dengan cara peneliti melakukan percakapan dengan informan dan daftar
pertanyaannya telah direncanakan (Mahsun, 2013:250). Adapun
beberapa tahap dalam penyediaan data yaitu: Pertama, peneliti menyusun
pertanyaan yang akan diajukan kepada informan. Kedua, peneliti
menentukan sampel penelitian yaitu sepuluh laki-laki dan sepuluh
perempuan. Peneliti memilih sampel dengan cara memastikan bahwa
informan pernah belajar tentang sastra atau puisi agar komentar yang
diberikan setidaknya sudah dilandasi dengan keilmuan tentang hal
tersebut, dan peneliti juga memastikan informan selama ini mempunyai
performance atau pembawaan diri yang tidak berubah-ubah. Informan
yang dipilih yaitu alumni mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris tahun
angkatan 2012 UIN Maulana Maliki Malang, karena sejak adanya puisi
tersebut, mereka cukup aktif dalam memberikan reaksi verbal terhadap
puisi tersebut dan dilandasi dengan pengetahuan mengenai hal tersebut.
Ketiga, peneliti melakukan wawancara dengan para informan melalui
telepon. Keempat, peneliti merekam percakapan peneliti dengan informan
agar data tidak hilang dan bisa didengarkan kembali. Kelima, untuk
memudahkan proses analisis, peneliti mencatat data-data yang
didapatkan dalam wawancara tersebut. Adapun tahapan untuk
menganalisis data yaitu, peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikan
data-data berdasarkan jenis atau ciri gender. Dalam proses ini, peneliti
323
mengacu pada teori Lakoff (1975), serta De Klerk dan Hughes (1992)
mengenai karakteristik-karakteristik bahasa feminin dan maskulin.
Peneliti juga mengidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi karakteristik
gender pada reaksi verbal tersebut berdasarkan latar belakang kehidupan
sosial informan, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, dan lain-lain. Dari hasil tersebut, peneliti mengidentifikasi
presentase distribusinya dan menyajikannya pada pie chart.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari dua puluh informan, yaitu sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan,
terdapat enam reaksi verbal yang menunjukkan karakteristik maskulin
dan empat belas feminin. Adapun data-data yang menunjukkan
karakteristik maskulin sebagai berikut:
(1) Lk: “Puisinya biasa aja gak ada unsur saranya.”
(2) Lk: “Bagus, banyak unsur sejarahnya.”
(3) Lk: “Gak suka, puisi vulgar.”
(4) Lk: “Puisinya indah, sebagai orang muslim aku mendapatkan
tamparan.”
(5) Pr: “Puisinya menimbulkan kontroversi.”
Keenam data tersebut, secara umum, tergolong dalam kategori maskulin
karena reaksi verbal tersebut disampaikan dengan menggunakan tuturan
yang bersifat langsung atau to the point. Pada data (1), (2), dan (4)
informan atau partisipan menyampaikan reaksi verbalnya dimana reaksi
verbal tersebut bersifat pro terhadap puisi Ibu Indonesia. Dalam
memberikan reaksi verbal pro, gender maskulin merasa cukup dengan
menyatakan puisinya biasa aja, bagus, dan puisinya indah, tanpa disertai
alasan pendukung yang detail. Begitu pula pada data (3) dan (5), reaksi
verbal yang mengarah pada reaksi kontra ini disampaikan secara langsung
tanpa menggunakan bahasa yang dihaluskan yaitu dengan mengatakan
gak suka, puisi vulgar, dan kontroversi. Misalnya, kata vulgar, berdasarkan
KBBI V, mempunyai makna kasar (baik untuk perilaku, perbuatan, dan lain
sebagainya). Kata ini mempunyai padanan berbentuk kata eufemisme
yaitu tidak sopan. Akan tetapi, gender maskulin cenderung lebih memilih
kata vulgar daripada kata tidak sopan. Oleh karena itu, gender maskulin
cenderung memberikan reaksi verbal dengan menggunakan tuturan
langsung, tanpa eufemisme, dan tidak bertele-tele. Reaksi verbal pro
disampaikan dengan kata yang mengacu “suka” (misalnya, bagus dan
indah), sedangkan reaksi verbal kontra disampaikan dengan
324
menggunakan kata-kata “tidak suka.” Selain itu, apabila dirasa perlu
menambahkan alasan atas reaksi verbalnya, gender maskulin cenderung
memberikan alasan sesuai kebutuhan yaitu singkat, padat, dan jelas.
Adapun reaksi verbal yang cenderung memiliki karakteristik feminin
terbagi menjadi dua yaitu 6 berasal dari laki-laki dan 9 berasal dari
perempuan. Contoh datanya sebagai berikut:
(6) Pr: “Kalau ada Bu Sukma atau bisa berkirim pesan, aku akan
ngomong seperti ini, Bu Sukmawati, tak heran kalau kita memang tak
pernah setara. Nilai, adat, budaya, dan agama kita bandingbandingkan. Lalu muncul kesimpulan oh ini lebih indah. Ada mawar
merah, putih, batik, jingga, hitam dan merah muda, meskipun kamu
mengagumi salah satu mawar apakah menurutmu mawar lain tak
mawar juga? Tak indah juga? Tak heran saya pun sebagai seorang
gadis selalu dibandingkan dengan laki-laki, jatah makan saya, jajan
saya, pendidikan saya, kedudukan saya dalam masyarakat hingga
prioritas saya untuk mengasuh anak. Saya sangat kecewa. Puisi anda
jelek sekali. Maaf. Saya mengaku tidak bisa menulis puisi, sangat sulit,
saya kagum anda bisa, tapi please, jangan diulangi.”
Reaksi verbal ini diujarkan oleh seorang perempuan terhadap puisi Ibu
Indonesia karya Sukmawati. Berdasarkan penggunaan bahasanya, reaksi
verbal ini termasuk dalam karakteristik feminin karena diungkapkan
dengan rinci. Pada data ini, isi reaksi verbal ini dikemas seperti surat
pribadi informan kepada Bu Sukmawati karena diawali dengan Bu
Sukmawati... sehingga tampak lebih emosional. Selain itu, pada data
tersebut, banyak ditemukan kata spesifik berupa warna. Contoh yang
diberikan juga berbentuk bunga mawar yang mana “bunga” identik
dengan kefemininan. Selain itu, ungkapan kekecewaan terhadap
Sukmawati disampaikan begitu emosional pada kata saya sangat kecewa,
puisi anda jelek sekali. Untuk melengkapi kekecewaannya tersebut,
karakteristik feminin kembali muncul dalam ujaran maaf. Meskipun
mengungkapkan kekecewaan atau ketidaksetujuan, gender feminin
cenderung tetap menggunakan eufemisme. Eufemisme ini juga terdapat
pada kalimat penutup yaitu saya mengaku tidak bisa menulis puisi, sangat
sulit, saya kagum anda bisa, tapi please, jangan diulangi. Penggunaan tapi
sebagai bentuk kalimat yang berlawanan seringkali digunakan gender
feminin untuk penghalusan. Adapun karakteristik feminin lainnya yang
ditemukan pada data ini yaitu informan cenderung memberikan reaksi
verbal dengan membandingkan beberapa hal.
325
(7) Pr: “Seharusnya beliau bisa lebih bijak dalam memilih diksi dalam
mengungkapkan narasi puisinya sehingga tidak membuka ruang
interpretasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan
ketersinggungan pihak lain, khususnya umat muslim, aku yakin beliau
membuat puisi dalam keadaan sadar. Dari segi kaca mata positif,
beliau mungkin ingin mengkritik keadaan Indonesia yang saat ini
ingin dikuasai oleh kaum khilafah, namun tidak dalam cara yang
tepat. Kalau boleh komentar sedikit kasar, Bu Sukma itu sebenarnya
sengaja bikin gitu, niatnya juga pasti ingin menyindir keadaan umat
muslim saat ini, tapi sayang sekali beliau mengungkapkan di tempat
yang salah yang tidak sesuai dengan konteksnya, gak mungkin kalau
gak punya niatan apapun bisa punya ide seperti itu.”
Sebagaimana data sebelumnya, data (7) juga merupakan reaksi verbal oleh
perempuan yang mana memiliki
karakteristik feminnin. Adapun
karakteristik tersebut dapat dilihat pada kerincian reaksi verbal yang
diutarakan, penggunaan hedging (dalam kata mungkin), dan penggunaan
eufemisme pada kalimat kalau boleh komentar sedikit kasar.
Di sisi lain, karakteristik feminin juga pada ditemukan juga ditemukan
pada reaksi verbal yang diutarakan oleh laki-laki. Adapun salah satu
datanya sebagai berikut:
(8) Lk: “Puisinya sah-sah saja asal tidak dibawa ke ranah hukum.
Pasal penodaan agama sangat bermasalah. 1. Beliau berideologi
nasionalisme, rasa “Indonesia” kental sekali. Dengan membandingkan
tusuk konde dengan hijab dan kidung dengan adzan, dia mungkin
gelisah dengan arah budaya lama dan asli yang mulai ditinggalkan.
Walau konsep budaya asli masih sangat perlu diperdebatkan. 2. Puisi
ini muncul di tengah kondisi masyarakat yang sangat populis,
sentimen agama dan suku yang sangat kuat. Digesek dan dikritik
sedikit saja langsung menyala tanpa ada pikiran matang dan
mendalam dalam memahami suatu kasus. Plus puisi ini muncul di
tahun politik. Banyak predator politik dan buzzer yang
memanfaatkan ini untuk menaikkan daya tawar di masyarakat
dengan memainkan isu ini. Jadi deh, santapan bareng-bareng. 3.
Pilihan untuk memaafkannya, karena dia sudah minta maaf itu
sangat bijak. Kalau diteruskan ke ranah hukum, isu ini akan terus
digarap untuk menyerang lawan politik dan mengail di air keruh.
Memaafkan itulah yang diambil oleh Kiai Ma’ruf dan NU.”
Dapat dilihat dengan jelas bahwa reaksi verbal pada data (8) sangat rinci,
bahkan disertai penjelasan dalam tiga poin. Hal ini yang menjadikan data
326
tersebut termasuk dalam karakteristik feminin. Selain itu, terdapat hedges
dalam data tersebut berupa kata mungkin. Data tersebut dapat
menunjukkan bahwa ujaran dari laki-laki tidak harus memiliki
karakteristik maskulin. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu
faktor lingkungan di pekerjaan atau hobi. Meskipun informan merupakan
seorang laki-laki, akan tetapi ia aktif dalam komunitas-komunitas dan
diskusi-diskusi sastra. Dalam diskusi-diskusi tersebut, ia juga aktif sebagai
pembicara dan aktif dalam memberikan kritik terhadap beberapa karya
sastra. Selain itu, beberapa cerpennya telah dimuat di beberapa surat
kabar. Lingkungan dan pemahaman mengenai sastra atau puisi yang
mendalam tersebut mempengaruhi caranya dalam memberikan reaksi
verbal atau komentar terhadap puisi Ibu Indonesia. Oleh karena itu, reaksi
verbal yang diberikan sangat rinci dengan disertai alasan-alasan dari
beberapa sudut pandang. Adapun untuk isu-isu yang tidak digelutinya,
misalnya isu teknologi, informan mungkin akan memberikan reaksi verbal
dengan karakteristik maskulin karena dalam kesehariannya, misalnya
ketika sekedar berbincang dengan temannya, informan menunjukkan
gender maskulin pada pengunaan bahasanya.
(9) Lk: “Lebih merdu azan atau kidung? Ya tergantung vokalisnya,
kalau yang berkidung Putri Ayu dan yang azan aku, ya jelas lebih
merdu kidung. Lebih cantik konde apa jilbab? Ya tergantung siapa
yang make. Lah kan sekarang budaya arab lagi ramai banget
diterapkan di Indonesia dan itu dibilang tuntutan sejarah, padahal
kalau dikaji dari sisi sejarah dan antropologi, itu hanya produk
budaya. Makanya Bu Sukma itu semacam ingin mengingatkan
kembali dengan budaya Indonesia tapi caranya salah sih, semacam
kayak nantang.”
Adapun pada data (9), reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia berasal
dari seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penerjemah. Selain itu, pada
data tersebut dapat dilihat adanya karakteristik gender feminin, misalnya
komentar disampaikan secara detail, dan terdapat komentar berupa
pertanyaan pada kalimat “lebih merdu azan atau kidung?” dan “lebih
cantik konde apa jilbab?” padahal di kalimat berikutnya, informan
memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Hal ini seperti yang
telah disampaikan oleh Lakoff (1975) bahwa gender feminin cenderung
menggunakan question tag dan intonasi pertanyaan pada kalimat
deklaratif. Adapun karakteristik yang lain yaitu terdapat kata keterangan
327
kosong berupa kata semacam pada kalimat “Makanya, Bu Sukma itu
semacam ingin mengingatkan kembali dengan budaya Indonesia tapi
caranya salah sih, semacam kayak nantang.” Selain itu, seperti halnya
karakteristik feminin yang telah ditemukan pada data-data sebelumnya,
pada data ini juga terdapat perbandinganperbandingan satu hal dengan
hal lainnya. Di sisi lain, berbeda dengan data (8), informan pada data (9)
dalam kesehariannya memang cenderung menunjukkan gender feminin.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial yaitu sejak kecil, partisipan
dibesarkan dan dididik oleh lingkungan keluarga yang mayoritas
perempuan, misalnya ibu, nenek, dan saudara perempuan, karena ayah
dari partisipan sudah meninggal sejak ia bayi dan kakak laki-lakinya
bersekolah di luar kota, sehingga sejak kecil, partisipan kurang
mempunyai panutan sosok laki-laki di keluarganya.
Berdasarkan hasil mengenai karakteristik bahasa maskulin dan feminin
yang telah diidentifikasi tersebut, dapat diketahui frekuensi distribusinya
sebagai berikut:
FREKUENSI DISTRIBUSI GENDER PADA REAKSI
VERBAL
Maskulin (Lk)
20%
Maskulin (Pr)
5%
Feminin (Pr)
45%
Feminin (Lk)
30%
Dalam pie chart atau diagram lingkaran tersebut, dapat dilihat bahwa
persentase terbanyak dari gender maskulin yaitu reaksi verbal oleh lakilaki sebanyak 20%. Adapun reaksi verbal bergender maskulin yang
berasal dari perempuan hanya 5% atau hanya 1 reaksi verbal. Hal ini
dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, partisipan atau informan tersebut
tidak pernah bergabung dalam komunitas sastra, dan kedua, pembawaan
328
diri dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa partisipan
merupakan seseorang yang pendiam dan tidak banyak berinteraksi
dengan temantemannya. Dua faktor sosial tersebut memicu partisipan
memberikan reaksi verbal yang maskulin. Karena partisipan tidak
mengikuti komunitas-komunitas diskusi sastra terutama puisi, dan ia
seseorang yang pendiam, maka reaksi verbal yang diberikan cukup singkat
(lihat data 5). Adapun reaksi verbal feminin terbanyak yaitu reaksi verbal
oleh perempuan (45%) dan laki-laki (30%). Adapun karakteristik yang
ditemukan yaitu reaksi verbal disampaikan secara rinci dengan beberapa
alasan pendukung, bertele-tele, menggunakan hedges berupa kata
mungkin, menggunakan eufemisme atau bahasa yang dihaluskan, dan
menggunakan kata spesifik berupa warna. Untuk karakteristik feminin
pada reaksi verbal oleh laki-laki yaitu reaksi verbalnya disampaikan
secara rinci, terdapat beberapa alasan pendukung dari beberapa sudut
pandang, terdapat perbandingan-perbandingan beberapa hal, kata
keterangan kosong, dan question tag pada kalimat deklaratif. Selain itu,
dalam memberikan reaksi verbal terhadap puisi tersebut, laki-laki lebih
banyak memberikan reaksi verbal dengan karakteristik feminin (30%)
daripada karakteristik maskulin (20%). Adapun gender feminin pada
penggunaan bahasa oleh laki-laki dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan,
hobi, tema pembicaraan (objek yang sedang dikomentari), dan
pembawaan diri atau performance dalam kehidupan sehari-hari.
KESIMPULAN
Berdasarkan data-data yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa
para perempuan cenderung memberikan reaksi verbal terhadap puisi Ibu
Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri dengan bahasa-bahasa yang
memiliki karakteristik feminin yang telah disampaikan oleh Lakoff (1975),
serta De Klerk dan Hughes (1992). Hanya satu reaksi verbal oleh
perempuan yang berkarakteristik gender maskulin dan dipengaruhi oleh
pengalaman dan pembawaan diri. Sedangkan reaksi verbal laki-laki
terbagi menjadi dua, dengan persentase terbanyak yaitu reaksi verbal
bergender feminin. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam
profesi atau hobi, tema pembicaraan, dan faktor pembawaan diri dalam
keseharian. Adapun karakteristik feminin yang berbeda dengan dua teori
tersebut yaitu berdasarkan temuan pada penelitian ini, gender feminin
cenderung membandingkan satu hal dengan hal lainnya.
329
DAFTAR PUSTAKA
Jespersen, O. (1992). Language: its nature development and origin. New
York: The MacMillan Company.
Lakoff, R. (1975). Language and women’s place. New York: Harper&Row.
Mahsun. (2013). Metode penelitian bahasa: tahapan strategi, metode, dan
tekniknya. Rajawali Pers.
Munjin. (2008). Ekspresi bahasa dan gender: sebuah kajian sosiolinguistik.
Jurnal Studi Gender & Anak Yinyang, 3(2), 262-274. ISSN:1907-2791.
Nur, T. (2011). Analisis Kontrastif Perspektif Bahasa dan Budaya terhadap
Distingsi Gender Maskulin Versus Feminin dalam Bahasa Arab dan
Bahasa Indonesia. Jurnal Humaniora, 23(3)
Onem, E. (2016). A study on gender differences in the length of requests in
Turkish. Journal of Language and Linguistic Studies, 12(2), 13-21.
ISSN: 1305-578
Wardhaugh, R. (2006). An introduction to sociolinguistics (5th ed.).
Australia: Blackwell Publishing.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1. Titis, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM
Pertanyaan: Jelaskan, mengapa ada karakteristik feminin dalam
reaksi verbal yang disampaikan oleh laki-laki?
Jawaban: karakteristik feminin dalam reaksi verbal yang
disampaikan oleh laki-laki dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya yaitu pertama, hobi dan profesi. Misalnya seorang
laki-laki yang memiliki hobi dan profesi yang sangat dekat dengan
topik pembicaraan, contohnya penulis cerpen dekat dengan halhal mengenai sastra atau puisi, akan lebih kritis dalam
memberikan reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia tersebut
sehingga kerinciannya dalam memberikan reaksi verbal tersebut
memunculkan adanya karakteristik feminin dalam reaksi verbal
yang diutarakan. Kedua, pembawaan diri, maksudnya yaitu
seorang laki-laki yang dalam kesehariannya menunjukkan adanya
pembawaan diri yang feminin akan memberikan reaksi verbal
330
terhadap puisi tersebut dengan karakteristik yang feminin pula.
Pembawaan diri ini dapat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga,
teman-teman, dan lain sebagainya.
2. Siti Masyitoh, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM
Pertanyaan: apa yang dimaksud dengan frekuensi distribusi pada
rumusan masalah kedua?
Jawaban: frekuensi distribusi yaitu persentase gender pada reaksi
verbal oleh laki-laki dan perempuan untuk melihat kecenderungan
gender pada masing-masing reaksi verbal oleh laki-laki dan
perempuan. Misalnya, reaksi verbal pada laki-laki cenderung
memiliki karakteristik maskulin karena memiliki persentase 70%
masklin dan 30% feminin.
3. Dini Luthfiani, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM
Saran: Untuk hal-hal yang melatarbelakangi reaksi verbal oleh
laki-laki yang memiliki karakteristik feminin mungkin dapat
dilihat juga dari pergaulan atau pertemanan informan sehari-hari.
331
ANALISIS KONTRA BERITA LGBT DI LAMAN TOPIK PILIHAN
SINDONEWS.COM : KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS
Kartika Nurul Fajrina
Program Magister Linguistik Umum
Universitas Padjajaran
kaanurull93@gmail.com
ABSTRAK
Setiap manusia memiliki kebebasan untuk berpendapat.
sedangkan media massa bersifat menyebarkan pendapatnya untuk
diketahui masyarakat luas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
frame pemberitaan mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender). Dengan dipilih 4 berita pada tanggal 12 Februari 2018 - 15
Maret 2018 di rubrik Nasional, daerah dan international. Dari sekian
banyak yang diberitakan di dalam surat kabar tersebut secara keseluruhan
menolak kaum LGBT dan melarang adanya UU pro LGBT. Para ulama
beserta pemerintah pun turut andil dalam memecahkan masalah ini.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis berdasarkan dari model
Norman Fairclough. Isu LGBT yang berkembang sampai saat ini masih
marak diperbincangkan di Indonesia. Negara ini dengan jelas menentang
adanya keberadaan status LGBT sama halnya seperti menentang adanya
peredaran narkoba. Seperti yang kita ketahui, mayoritas penduduk
Indonesia sendiri menganut ajaran Islam yang berarti melarang dan
mengharamkan pernikahan sejenis. LGBT sendiri di beberapa negara
memang diakui dan dilegalkan keberadaannya, tetapi untuk Indonesia
sangat sulit untuk menerima mereka. Di media massa bermunculan pro
dan kontra mengenai LGBT di Indonesia. Hal tersebut membuat para
pelaku LGBT agar mengakui dan menetapkan mereka sebagai bagian dari
warga Indonesia.
Kata Kunci : Media massa, LGBT, Indonesia, Melarang, Negara
I.
PENGANTAR
332
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh semua
orang dalam berkomunikasi dengan orang lainnya. Bahasa yang
digunakan wartawan dalam dalam menulis karya jurnalistik dalam media
massa disebut sebagai bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Pada dasarnya
bahasa jurnalistik digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis
karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian,
bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalislah yang bisa disebut sebagai
bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Penggunaan bahasa Indonesia secara
nyata tidak hanya dalam bentuk ujaran, tetapi penggunaan bahasa
Indonesia dapat pula berupa tulisan atau teks. Penggunaan bahasa
Indonesia dalam bentuk tulisan atau teks salah satunya adalah teks berita.
Penggunaan bahasa Indonesia dalam teks berita memiliki karakteristik
yang berbeda dengan tulisan yang lain. Penggunaan bahasa dalam teks
berita termasuk dalam kategori bahasa jurnalistik yang singkat, padat,
menarik, dan jelas. Bahasa memang memiliki fungsi informatif, selain
fungsi ekspresif, direktif, estetis, dan fatis. Bahkan fungsi informatif
tersebut, yakni bahasa sebagai alat penyampai informasi oleh Leech
(1997:47) dianggap sebagai fungsi utama. Oleh karena bahasa juga
digunakan dalam dunia pers, maka fungsi pers yang paling awal dan
terutama juga sebagai penyampai informasi. Semakin berkembangnya
teknologi, semakin mempermudah kita dalam memperoleh informasi,
dimana mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, tidak terlepas dengan
kegiatan berkomunikasi, yang saling memberi dan menerima informasi.
Relaitas dan fakta merupakan sesuatu yang bersifat suci bersih, akan
tetapi dalam pemberitaan media massa tak jarang ditemukan fakta atau
peristiwa tersebut merupakan dari hasil konstruksi, sehingga memiliki
makna yang ganda atau plural. Realitas juga bisa hadir di tengah khalayak
karena realitas tersebut sengaja dihadirkan oleh subjektiiftas wartawan
yang dibentuk dari sudut pandang wartawan dalam mengungkapkan
sebuah masalah atau peristiwa.Oleh sebab itu, realitas bisa muncul
berbeda-beda tergantung dari pemahaman setiap wartawan. Menurut
Sudaryanto bahasa jurnalistik atau biasa disebut sebagai bahasa pers
merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa indonesia disamping
terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha
(bisnis), ragam bahasa filosofik, ragam bahasa literatur (sastra) (Suroso,
2001). Sedangkan menurut Wojowasito, bahasa juranlistik adalah bahasa
333
komunikasi massa sebagai mana tampak dalam harian-harian dan
majalah-majalah.
Perkembangan yang pesat pada era informasi digital telah
menyebabkan semakin meningkat pula volume informasi yang berbentuk
teks. Diantara dari berbagai bentuk informasi digital, diperkirakan 80%
dokumen digital merupakan dalam bentuk teks (Tan, 1999). Wacana
sendiri tidak hanya dipandang sebagai pemakaian bahasa dalam tuturan
dan tulisan, tetapi juga sebagai bentuk dari praktik sosial. Dalam hal ini,
wacana sebagai alat yang dekat dan mampu berinteraksi secara eksplisit
dan implisit dengan kehidupan masyarakat. Melalui keberagaman media
yang dapat melingkupinya dan tingkatan kualitas komunikasi yang dapat
dibangunnya, wacana dimanfaatkan sebagai gerakan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Analisis wacana merupakan alternatif terhadap
kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih
didominasi oleh analisis isi konvensional dengan paradigma positif atau
kontruktivisnya. Melalui analisis wacana, kita akan tahu bukan hanya
bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana dan mengapa pesan itu
dihadirkan. Bahkan, kita bisa lebih jauh membongkar penyalahgunaan
kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi
secara samar melalui teks-teks berita. Karakteristik dari analisis wacana
kritis mengandung lima prinsip yaitu tindakan, konteks, historis,
kekuasaan dan ideologi. Terkait dengan tindakan, ada dua konsekuensi
dalam memandang wacana yaitu wacana dipandang sebagai sesuatu yang
bertujuan untuk mempengaruhi, mendebat, menyanggah, membujuk,
bereaksi dll dan wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan
secara sadar atau terkontrol. Media massa dan wacana adalah dua hal yang
saling mendukung satu sama lain. Jika keberadaan wacana sangat
bergantung pada media massa yang melingkupinya, media massa akan
sangat bergantung pada penikmat atau penggunanya.
Setiap manusia lahir dengan membawa hak asasi yang melekat dan
tidak dapat dihilangkan. Hak asasi tersebut harus dipenuhi agar manusia
dapat hidup dengan layak. Hak asasi manusia menurut John Locke (1960)
dinyatakan sebagai berikut.
“The natural liberty of man is to be free from any superior power on
earth, and not to be under the will or legistative authority of man, but
to have only the law of nature for his rule. The liberty of man, in
society, is to be under no other legislative power, but that established,
334
by consent, in the commonwealth, nor under the dominion of any will,
or restraint of any law, but what that legislative shall enact, according
to the trust put in it” (Locke, 1960:73-74).
Untuk mendefinisikan gender dikenal istilah identitas gender yang
dipahami sebagai konstruksi sosial yang membagi individu dalam kategori
‘natural’ menjadi laki-laki dan perempuan dan ini diasumsikan berasal
dari tubuh fisik laki-laki dan perempuan (Westbrook, dalam Sanger,
2010:52). Dalam mengidentifikasi gender telah dijelaskan bahwa yang
diakui sebagai gender yang ada di dunia itu adalah laki-laki dan
perempuan. Konstruksi sosial mengenai seksualitas atau gender bebas ini
diperkuat dengan bantuan media sebagai salah satu pemilik kuasa dalam
membentuk opini masyarakat melihat bahwa perkembangan media
selama tahun 1980 hingga awal tahun 1990 memiliki kesamaan di mana
media tidak pernah memberikan gambaran positif tentang seksualitas
orang-orang yang tidak berada dalam heteronormitas. Lesbian, Gay,
Biseks, dan Transgender contohnya, mereka digambarkan dekat dengan
aktifitas kriminal, prostitusi, obat terlarang, sex bebas dan penyimpangan.
Pembuat berita adalah salah satu pemain penting dalam memasukkan
idealisme yang dianggap normal ini. Penggunaan kata ‘sakit’ biasanya
merujuk pada LGBT dan media massa membuat munculnya rasa tidak
suka mengarah kebencian kepada mereka. Representasi media tersebut
dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap norma heteroseksual dengan
memperlihatkan perbedaan ‘abnormal’ ,’sakit’ dengan ‘heteroseksual
normal’ (Blackwood, 2005: 296-297).Akhirnya, justru pemikiran terakhir
itu yang seringkali diadopsi oleh manusia pada umumnya mengenai dasar
atau latar untuk mendiskreditkan kaum minoritas, yaitu LGBT. Padahal
inti dalam ajaran Islam sendiri adalah tauhid, yang menjelaskan hanya ada
satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Menurut Mulia (2010) Islam sangat vokal
dalam menekankan pentingnya penghormatan kepada sesama manusia.
Semua manusia memiliki nilai kemanusiaan yang sama. Tidak ada yang
membedakan nilai manusia kecuali prestasi takwanya. Sedangkan
persoalan takwa, yang berhak menilai hanya Allah semata, bukan manusia.
Oleh karena itu, perbuatan seperti mendiskreditkan LGBT tidak
sepantasnya dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya.
Pengkajian masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kritis. Penekatan ini menempatkan wacana sebagai power (kekuasaan)
(Asher dan Simpson 1994:940) atau memandang wacana sebagai sebuah
335
cerminan dari relasi dalam masyarakat. Pendekatan kritis memahami
wacana sebagai bentuk praktik sosial. Dalam praktik sosial, seseorang
selalu mempunyai tujuan berwacana, termasuk tujuan untuk menjalankan
kekuasaan. Data dalam penelitian ini dijaring dengan menggunakan
metode pustaka, yaitu menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperole data (Subroto 1992:42). Metode ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan wacana (anti) korupsi dalam tajuk pada surat kabar
berbahasa Indonesia. Selain itu, peneliti juga menggunakan metode simak
(Sudaryanto 1993: 5) dan dilanjutkan dengan teknik catat. Dalam hal ini,
peneliti mengamati setiap rubrik tajuk pada surat kabar berbahasa
Indonesia. Adapun data penelitian berupa penggalan wacana persoalan
LGBT dalam tajuk pada surat kabar berbahasa Indonesia. Surat kabar yang
dijadikan sumber data fisik berupa tiga surat kabar nasional, yaitu SINDO.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode. Penggunaan
metode yang lebih dari satu ini disesuaikan dengan permasalahan
penelitian yang akan diungkap. Adapun metode yang digunakan adalah
metode padan dan metode partisipatif. Metode yang digunakan dalam
rangka mengurai konteks wacana persoalan LGBT pada surat kabar SINDO
adalah metode padan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah
unsur penentu dengan daya pilah pragmatis. Sementara itu, untuk
mengungkap sikap surat kabar terhadap pemahaman korupsi di Indonesia
digunakan metode partisipatif, yaitu metode yang mengutamakan analisis
komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis yang bisa dilakukan
melalui penempatan diri sebagai partisipan dalam proses transformasi
sosial. Dalam hal ini, setiap pertuturan atau penggunaan wacana selalu
diasumsikan ada penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, peneliti
menempatkan diri sebagai penerima tutur yang menafsirkan wacana tajuk
dalam surat kabar berbahasa Indonesia.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough
2.1.1 Analisis Mikro Pemberitaan “Pro Kontra Berita LGBT”
Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan oleh media
Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis mempermasalahkan mengenai
Israel”, terdapat tiga alat yang menandai representasi tema dan tokoh yang
terlibat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi,
336
penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam
kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari aspek kebahasaan
tersebut.
(1) Terkait temuan itu, KPID DKI akan meningkatan pengawasan
tayangan yang belakangan mulai marak di sejumlah program
televisi, terutama program bertema variety show.
(2) “Sanksi akan kami jatuhkan jika lembaga penyiaran terbukti
masih menyiarkan tayangan mengarah ke perilaku menyimpang
LGBT pada programnya,” ujar Puji.
Contoh data (1) – (2) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks
yang sama, SINDO memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu
diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang
berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna kata bakal yang berarti
‘sesuatu yang akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna
kata akan berarti ‘menyatakan sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata
akan memiliki makna yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan
tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama
yakni ‘hendak terjadi’.
(3) "Mereka adalah saudara kita, anak-anak kita, dan bagian dari
generasi bangsa yang harus mendapatkan perhatian dan
pelayanan untuk sembuh dan direhabilitasi. Kita yakin perilaku
LGBT serta kecanduan/ketergantungan pada miras dan narkoba
bisa disembuhkan," tuturnya.
(4)"Mereka tidak pernah memberlakukan undang-undang yang
Travel Insurance Direct.
Sedangkan contoh data (3) dan (4) menandai adanya kata ganti yang
digunakan dalam wacana tersebut. Kata ganti yang digunakan antara
lain kita dan mereka. kata ganti mereka merujuk pada LGBT dan kita pada
Fraksi PKS (3) sedangkan (4) mereka merujuk pada LGBT
(5) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengaku serius
mengawal agar perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
(LGBT) serta peredaran bebas minuman keras (Miras) menjadi
objek terlarang dalam undang-undang (UU).
(6) Dia melanjutkan, tanpa disadari bahwa penyebaran LGBT,
miras dan narkoba sudah sangat luas dan mengkhawatirkan
bahkan menjadi ancaman serius bagi ketahanan bangsa.
337
Sedangkan contoh data (5) dan (6) merupakan contoh data
konjungsi koordinatif karena ditandai dengan konjungsi dan,
serta yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat.
(7) Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini mengatakan bahwa
pelarangan perilaku LGBT melalui revisi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), sementara miras melalui RUU Pelarangan
Minuman Beralkohol.
(8) Kita bangsa yang berketuhanan dan beradab sesuai adat
ketimuran. LGBT dan miras jelas bukan budaya kita, bukan
Indonesia banget," katanya (kohesi gramatikal).
Sedangkan contoh data (7) dan (8) merupakan contoh data kohesi
leksikal yaitu repetisi ditandai dengan kata (7) pelarangan dan (8)
bukan.
(9) Rizky menjelaskan, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran
KPI Nomor 203/K/KPI/02/2016, lembaga penyiaran diminta
untuk tidak (negasi) memberikan ruang yang menampilkan
praktik, perilaku, dan promosi LGBT.
(10) Kita bangsa yang berketuhanan dan beradab sesuai adat
ketimuran. LGBT dan miras jelas bukan budaya kita, bukan
Indonesia banget," katanya (kohesi gramatikal).
Selain itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan praanggapan negasi
dengan kata tidak dan bukan.
2.1.2 Analisis Meso Pemberitaan
“Pro Kontra Berita LGBT”
SINDOnews merupakan situs berita online yang secara resmi berdiri
pada 4 Juli 2012, di bawah manajemen PT. Media Nusantara Dinamis.
SINDOnews memiliki tagline "Sumber Informasi Terpercaya", menyajikan
informasi yang selaras dengan Sindo Media dan melakukan sinergi
pemberitaan dengan semua media di MNC Group, seperti Koran Sindo,
Sindo TV, Sindo Trijaya FM, Sindo Weekly, Okezone, MNC TV, RCTI, Global
TV, dan MNC Channel. SINDOnews memberikan akses informasi secara
mudah, cepat, akurat, dan berkualitas kepada masyarakat luas. Berita yang
dikemas dalam portal berita ini lebih mengarah kepada khalayak yang
ingin membaca berita secara cepat, akurat, dan efisien. Berita disajikan
lebih singkat dan mudah bagi para pengunjung kapan saja dan dimana saja.
Kategori pemberitaan berupa informasi seputar Nasional, Metronews,
Daerah, Ekonomi dan Bisnis, International, Sports, Soccer, dan Autotekno.
SINDOnews juga menyajikan informasi berbentuk multimedia seperti
Sindo Photo, Sindo Video, dan Live TV MNC Media.
338
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa SINDO
merupakan harian umum yang dapat mempengaruhi opini masyarakat
Indonesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi teks di SINDO juga
bukan hanya merupakan rangkaian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan
rangkaian institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor,
bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Realisasi teks yang
dihasilkan SINDO khususnya
dalam
hal
pemberitaan
Jurnalis
Mempermasalahkan Mengenai Israel ini juga dinilai selaras dengan visi
yang diemban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh.
2.1.3 Analisis Makro Pemberitaan “Pro Kontra Berita LGBT”
Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan Pro Kontra
Berita LGBT ini tidak dapat dilepaskan kontkes yang membangun
pemberitaan tersebut. Meski tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat
ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan oleh SINDO, erat
kaitannya dengan eksistensi media massa dalam mengupas hal yang
berkaitan dengan kaum LGBT. Dalam sudut pandang andragogi manusia
atau orang dewasa belajar dari aspek kebutuhan dan bukan dorongan dari
luar. Jadi diharapkan manusia berfikir kembali dan mengambil kembali
atau mengakulturasi budaya dan apa yang dia lihat ditelevisi. Maslah LGBT
muncul dari pola asuh orang tua yang tidak membedakan bagaimana
mendidik anak laki-laki dan perempuan serta tidak mengawasi secara
intensif pergaulan anak di rumah maupun di luar rumah.
III.
SIMPULAN
Dalam mengidentifikasi gender telah dijelaskan bahwa yang diakui
sebagai gender yang ada di dunia itu adalah laki-laki dan perempuan.
Konstruksi sosial mengenai seksualitas atau gender bebas ini diperkuat
dengan bantuan media sebagai salah satu pemilik kuasa dalam
membentuk opini masyarakat melihat bahwa perkembangan media
selama tahun 1980 hingga awal tahun 1990 memiliki kesamaan di mana
media tidak pernah memberikan gambaran positif tentang seksualitas
orang-orang yang tidak berada dalam heteronormitas. Lesbian, Gay,
Biseks, dan Transgender contohnya, mereka digambarkan dekat dengan
aktifitas kriminal, prostitusi, obat terlarang, sex bebas dan penyimpangan.
Pembuat berita adalah salah satu pemain penting dalam memasukkan
idealisme yang dianggap normal ini. Penggunaan kata ‘sakit’ biasanya
339
merujuk pada LGBT dan media massa membuat munculnya rasa tidak
suka mengarah kebencian kepada mereka.
Daftar Pustaka
Ancok, Jamaludin dan Suroso. 2001. Psikologi Islami: Solusi atas Problemproblem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asher, R.E. dan J.M.Y. Simpson. 1994. The Encyclopedia of Language and
Linguistics. Oxford: Pergamon Press.
Blackwood, E. (2005). Regulation of Sexuality in Indonesian Discourse:
Normative Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control.
Francisco: Taylor&Francis.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia (UIPress).
Locke, J. (1960). The Philosophy of Human Right. St. Paul: Paragon House.
Sanger, S. H. (2010). Transgender Identities: Towards a Social Analysis of
Gender Diversity. New York: Routledge.
Mulia, Siti M. 2010. Islam dan Homoseksualitas : Membaca Ulang Pemikiran
Islam. Dalam Jurnal Gandrung, Vol.1 No.1 Juni 2010.
Subroto. 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis). Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Tan, Ah-Hwee, 1999, Text Mining: The state of the art and the challenges,
Kent Ridge Digital
Labs 21 Heng Mui Keng Terrace Singapore.
340
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan
1.
Apakah analisis meso di dalam analisis saudara sudah berterima
dengan judul ? Coba jelaskan alasannya !
2
Mengapa di Indonesia kaum LGBT tidak bisa diakui secara legal ?
3.
Apakah semua wacana di SINDO memojokkan kaum LGBT ? Apa
tidak ada sisi pembelaannya ?
Jawaban
1.
Analisis meso di dalam analisis saya sudah berterima atau sejalan
dengan judul yang ada.
2.
Karena mayoritas penduduk yang tinggal di Indonesia memeluk
agama Islam dan dalam ajaran Islam tidak ada selain kaum
perempuan dan laki-laki.
3.
Secara keseluruhan wacana yang terdapat di sindonews.com
mengangkat berita kontra terhdap kaum LGBT baik dari anggota
partai politik hingga kaum ulama yang ada di Indonesia.
341
ETNOSEMANTIK NAMA-NAMA MAKANAN KHAS BELANDA
Lidwina C. Maya Y.
ABSTRAK
Bahasa dapat menjadi cerminan dan tutunan menuju realitas budaya
penuturnya. Melalui bahasa, seseorang dapat mengeksplorasi kekayaan
budaya, kecenderungan berpikir, dan warisan adiluhur penuturnya.
Sebagai benda budaya dan dikonsumsi secara reguler, makanan khas
Belanda secara tidak langsung dapat mengungkapkan budaya pemiliknya,
termasuk cara memandang jenis makanan tertentu dan tradisi-tradisi
yang dipelihara dan dihidupi hingga saat ini. Selain menguraikan bentuk
dan maknanya, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui relasi
antara bahasa Belanda yang digunakan dalam nama-nama makanannya
dan budaya yang dilanggengkan oleh masyarakatnya.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
etnosemantik untuk dapat mengungkapkan budaya masyarakat Belanda
di balik nama-nama makanan khasnya. Data dikumpulkan melalui
wawancara dan penyadapan data tertulis, kemudian dianalisis dengan
metode padan translasional dan metode etnosemantik. Secara morfologis,
nama-nama makanan tersebut memiliki dua bentuk, yaitu bentuk tunggal
dan majemuk. Selain itu, ditemukan pula bahwa roti memiliki lebih banyak
leksikon daripada bahan makanan lainnya sehingga dapat disimpulkan
bahwa roti berperan penting dalam budaya konsumsi masyarakat
Belanda. Keempat musim dengan ketersediaan bahan makanan dan
perayaan turun-temurun juga menambah variasi makanan. Hal tersebut
bersumber dari pandangan hidup masyarakat Belanda yang disebut
gezelligheid, yaitu kehangatan, keramahan, dan perasaan nyaman untuk
menikmati momen.
Kata kunci: makanan tradisional, bentuk kebahasaan, bahasa dan budaya,
gezelligheid.
PENDAHULUAN
Bahasa, menurut Duranti, merupakan alat intelektual yang paling
fleksibel dan berdaya guna yang dikembangkan manusia. Salah satu dari
berbagai fungsinya adalah kemampuannya untuk mencerminkan dunia
342
dan dirinya sendiri (1997:7). Seseorang dapat mengetahui bahwa suatu
benda pada suku bangsa tertentu memiliki arti penting dalam
kebudayaannya karena benda tersebut diberi label nama tersendiri yang
tidak ada dalam budayanya. Secara lebih lanjut, Sibarani (2004:61)
menyatakan bahwa segala yang ditangkap panca indra dan tanggapan
manusia terhadapnya terwujud dalam kata dan menjadi kekayaan
perbendaharaan suatu bangsa. Tanggapan tersebut dapat berbeda-beda
antara suku bangsa satu dengan suku bangsa yang lain, sehingga tidak
dapat serta-merta diterjemahkan dari bahasa satu ke bahasa lain.
Demikian pula dengan nama-nama makanan khas suku bangsa tertentu.
Sebagai kebutuhan primer manusia, makanan pun dapat menjadi
benda budaya. Ungkapan “you are what you eat” juga bisa berarti bahwa
makanan dapat menjadi identitas budaya seorang pendukung kebudayaan
tertentu. Jenis makanan dengan varian terbanyak dapat menjadi indikasi
bahwa makanan tersebut memegang peranan penting dalam budaya
konsumsi masyarakat Belanda. Dalam hal ini, roti merupakan jenis
makanan dengan varian terbanyak. Dari sembilan klasifikasi jenis-jenis
roti yang dikenal masyarakat Belanda, makalah ini hanya akan membahas
jenis-jenis roti berdasar pada jenis tepung yang menjadi bahan bakunya.
Melalui jenis-jenis, klasifikasi, dan nama-nama makanan, gambaran
kehidupan sebuah suku bangsa dapat diperoleh. Makalah ini membahas
bentuk dan makna nama-nama makanan khas Belanda, klasifikasi jenisjenis roti, dan pandangan hidup yang tercermin melalui nama-nama
makanan khas Belanda.
LANDASAN TEORI
1. Bentuk Satuan Kebahasaan
Nama makanan khas Belanda seluruhnya merupakan kelas kata
nomina. Menurut Kridalaksana (via Putrayasa, 2008:49—50), berdasar
pada bentuknya nomina secara morfologis dapat dibagi menjadi nomina
dasar dan nomina turunan. Yang pertama berarti bahwa nomina tersebut
berupa morfem dasar bebas, misalnya nama makanan prol ‘sup bawang
brabant’ dan rolpens ‘daging dan babat cincang dalam usus sapi rebus’.
Nomina turunan merupakan nomina yang terbentuk dari proses
morfologis. Nama makanan yang termasuk dalam nomina turunan
misalnya boterkoek ‘kue mentega’ dan tomatensoep ‘sup tomat’ yang
merupakan hasil pemajemukan. Nama-nama makanan tradisional Belanda
343
yang berupa bentuk majemuk merupakan bentuk majemuk nomina.
Bentuk majemuk nomina memiliki kemungkinan berupa gabungan antara
nomina-nomina, adjektiva-nomina, verba-nomina, preposisi-nomina,
adverbia-nomina, pembilang-nomina, dan frase nomina-nomina (Booij,
2002:142).
2. Etnosemantik
Setiap indra manusia dapat merasakan alam sekitarnya, namun
mereka mempersepsinya dengan cara yang berbeda-beda. Dengan
demikian, benda-benda yang dianggap penting akan memiliki leksikon
lebih banyak. Kata-kata dengan makna budaya khusus menggambarkan
dan menyampaikan karakteristik dan cara berpikir mereka. Kata-kata
tersebut merupakan perangkat konseptual yang menggambarkan
pengalaman masa lalu sebuah masyarakat dalam melakukan suatu hal dan
berpikir mengenai berbagai hal dengan cara terentu (Wierzbicka, 1997:5).
Dengan demikian, kata-kata budaya tertentu dapat mengungkapkan
kehidupan penuturnya sebab kekayaan budaya memiliki pengaruh
terhadap kekayaan kosa kata.
METODE PENELITIAN
Data berupa nama-nama makanan dikumpulkan melalui
penyadapan dari buku-buku resep masakan Belanda dan situs penyedia
informasi jenis-jenis roti yang dikenal masyarakat Belanda. Setelah
terkumpul, data diklasifikasikan berdasar pada bentuknya, yaitu data
berupa bentuk tunggal dan turunan. Data berupa nama-nama roti
diklasifikasikan berdasar pada jenis tepung yang dibuat sebagai bahan
baku. Untuk mengetahui bentuk dan makna nama-nama makanan
tersebut, digunakan pendekatan translasional. Kemudian, untuk
mengetahui hubungan antara nama-nama makanan dan budaya Belanda,
digunakan pendekatan etnosemantik, yaitu memadukan studi semantik
dengan budaya pada suku bangsa tertentu sehingga suatu bahasa dapat
diketahui lebih dalam dengan cara menghubungkannya dengan
pandangan budaya masyarakat penuturnya.
344
PEMBAHASAN
1. Bentuk Satuan Kebahasaan
1.1 Bentuk Tunggal
Bentuk tunggal merupakan bentuk yang belum mengalami proses
morfologis. Nama-nama makanan yang merupakan bentuk tunggal antara
lain sebagai berikut.
(1) Prol ‘sup bawang ala Brabant’ (Eenschooten dan Matze,
2015:47)
(2) Rolpens ‘daging dan babat sapi cincang’ (Renier, 1961:246)
(3) Zult ‘otot hewan’ (Renier, 1961:324); ‘acar dari otot hewan
sisa penjagalan’
Walaupun nama-nama makanan tersebut memiliki padanan kata bahasa
Indonesia bukan berupa kata, namun satuan bahasa sumbernya yang
menjadi acuan klasifikasi. Kata rolpens bukan berasal dari afiksasi jamak
rolpen + -s, melainkan kata dasar dan tidak memiliki bentuk jamak (tidak
dapat dilekatkan sufiks jamak –en atau –s).
1.2 Bentuk Turunan
Bentuk majemuk nomina dalam nama-nama makanan tradisional Belanda
berkonstruksi nomina-nomina dan adjektiva-nomina. Pada konstruksi
nomina-nomina terdapat bentuk nomina deverba, yaitu pada kata
gestoofde, gebakken, dan gekookte. Ketiga nomina tersebut masing-masing
memiliki kata dasar stoven ‘merebus’ (Renier, 1961:268), bakken
‘memanggang’ (Renier, 1961:28), dan kook ‘merebus’ (Renier, 1961:163).
Hasil konversi nomina menandakan jenis hal yang masih berkaitan dengan
input verbanya. Prefiks ge- yang menurunkan nomina menunjukkan
sesuatu yang duratif (kontinyu) atau iteratif (hal yang berulang)
(Broekhuis dan Keizer, 2012:48—49). Hal tersebut sesuai karena untuk
membuat makanan itu, proses yang dilakukan tidak bisa diganti dan terus
diulang untuk mereproduksinya. Nama-nama makanan tradisional
Belanda dengan bentuk majemuk adalah sebagai berikut.
gestoofde ‘rebus’ + aal ‘belut’
(4) [[gestoofde N][aal N]]N
(Renier, 1961:1) belut rebus
tomaten ‘tomat’ (Renier,
(5) [[tomaten N][soep N]]N
1961:279) + soep ‘sup’
345
(Renier, 1961:260) sup tomat
(6) [[gebakken N][schol N]]N gebakken ‘panggang’ + schol ‘ikan
pipih’ (Renier,
1961:252) ikan pipih panggang
(7) [[gekookte N][mosselen N]]N gekookte ‘rebus’ + mosselen >
mossel ‘kerang’
(Renier, 1961:192) + -en penanda jamak kerang rebus
Prefiks ge- pada nomina deverba gestoofde, gebakken, dan gekookte
merupakan proses yang wajar dalam derivasi bahasa Belanda. Bentuk
nominalisasi dengan prefiks ge- masih memiliki hubungan dengan verba
sumbernya (Broekhuis dan Keizer, 2012:75). Dengan demikian, gestoofde
yang berasal dari verba stoven memiliki makna ‘rebus’, gebakken yang
berasal dari verba bakken memiliki makna ‘panggang’, dan gekookte dari
verba kook ‘rebus’.
Dalam bentuk majemuk bahasa Belanda, konstituen paling kanan menjadi
head dan secara sintaksis menentukan kelas kata bentuk tersebut.
Misalnya pada kata aardappelspekkoek yang bila diuraikan menjadi
aardappel ‘kentang’ (Renier, 1961:8), spek ‘daging babi asap’ (Renier,
1961:261), dan koek ‘kue’ (Renier, 1961:161). Kata yang menjadi head
pada bentuk tersebut ialah koek sehingga kata koek membentuk
keseluruhan makna bentuk majemuk tersebut dan sekaligus menentukan
kelas katanya. Dengan demikian, aardappelspekkoek dipastikan
merupakan sebuah nomina untuk menamai kue yang berbahan kentang
dan daging babi asap.
2. Nama-nama Jenis Roti berdasar pada Tepung yang menjadi
Bahan Baku
Berdasar pada jenis tepung yang menjadi bahan baku pembuatannya, roti
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu witbrood ‘roti putih’
yang berbahan baku tepung terigu, roggebrood ‘roti gandum hitam’, dan
volkorenbrood ‘roti utuh’ yang berbahan baku tepung gandum utuh.
Nama roti
Casino
Knipwit
Stokbrood
wit
Jenis
W
R
Bentuk
V
kotak
lonjong
+
+
+
-
+
-
+
+
-
Warna
Coklat
tua
-
Coklat
muda
-
Taburan
bijibijian
-
346
lainnya
-
Brabantse
rogge
Fries rogge
Gelders
rogge
Fijn
volkoren
Supervolkor
en
Zonnepit
volkoren
-
+
-
+
-
-
+
-
-
-
+
+
-
+
+
-
+
+
-
-
-
-
-
+
+
-
+
-
-
+
-
-
+
+
-
+
-
+
-
-
-
+
+
-
+
-
+
-
3. Cerminan Budaya Belanda melalui Makanan Tradisional
Melalui nama-nama makanannya, terdapat dua hal yang menjadi
cerminan budaya Belanda. Kedua hal tersebut bersumber dari prinsip
hidup orang Belanda yang disebut gezelligheid. Menurut de Rooij,
gezelligheid merupakan konsep abstrak yang dapat diartikan sebagai
suasana yang nyaman dan kegiatan yang menyenangkan yang dihabiskan
oleh teman yang tepat. Gezelligheid dapat juga diartikan sebagai rasa
kerumahtanggaan. Masyarakat Belanda akan berusaha sebisa-bisanya
untuk membuat rumahnya nyaman sehingga nyaman pula untuk
berkumpul. Namun demikian, gezelligheid juga dapat ditemukan di luar
rumah. Misalnya, kafe yang nyaman, duduk di atas rumput saat musim
panas, atau sekadar memberi makan bebek di sungai (de Rooij, 2009:70).
Usaha untuk merasakan kenyamanan pun dilakukan dengan
memilih mengolah bahan makanan yang tersedia pada musim tertentu.
Misalnya, prol yang merupakan makanan khas musim panas dibuat
dengan daun bawang yang hanya tumbuh pada musim panas. Contoh lain
ialah zult yang dibuat dari sisa-sisa daging yang dijagal pada musim
gugur. Memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia dari alam untuk
membuat berbagai jenis makanan juga termasuk membuat suasana
menjadi gezellig karena bahan makanan yang tersedia pun dapat menjadi
‘bahan tempur’ menghadapi perbedaan suhu dan keadaan cuaca pada
tiap musim.
Selain itu, berbagai nama untuk tiap jenis roti menandakan
bahwa roti memiliki peran penting dalam budaya konsumsi masyarakat
Belanda. Hal tersebut sejalan dengan data yang dikumpulkan Dutch
National Food Consumption Suvery (DNFCS) bahwa pada 2007—2010,
347
masyarakat Belanda memperoleh sebagian besar sumber energi mereka
dari roti (Geurts dkk, 2016:25). Harga roti yang cukup terjangkau juga
membuat tingkat konsumsinya tinggi. Satu kilogram roti putih diberi
harga rata-rata 2 euro pada tahun 2016 (globalprice.info). Karena roti
dapat dikatakan sebagai sumber energi pokok, bentuk, ukuran, jenis, cita
rasa, dan bahan baku pembuatannya pun bervariasi sehingga dapat
memenuhi selera dan kebutuhan masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasar pada hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa
makanan khas Belanda termasuk dalam kelas kata nomina dan memiliki
bentuk tunggal dan majemuk. Bentuk tunggal artinya belum mengalami
proses morfologis apapun, contohnya prol dan zult. Bentuk majemuk
yang ditemukan merupakan gabungan antara nomina dan nomina.
Dalam budaya konsumsinya, masyarakat Belanda mengenal
berbagai jenis roti yang dapat dimakan dengan sumber energi lain,
misalnya keju, telur, daging asap, atau selai. Berdasar pada jenis tepung
yang digunakan sebagai bahan baku, roti memiliki tiga jenis klasifikasi,
yaitu witbrood, roggebrood, dan volkorenbrood. Berdasar pada analisis
bentuk kebahasaan dan munculnya berbagai nama untuk tiap-tiap jenis
roti, makanan khas Belanda dapat mengungkapkan budaya masyarakat
pemiliknya, yaitu gezelligheid. Makanan dapat menjadi jembatan
sekaligus pendukung suasana gezellig. Selain itu, nama-nama untuk
setiap jenis roti menandakan bahwa roti berperan penting dalam budaya
konsumsi masyarakat Belanda, yaitu sebagai sumber energi harian yang
mudah dan murah.
DAFTAR PUSTAKA
Booij, Geert. 2002. The Morphology of Dutch. New York: Oxford
University Press.
Broekhuis, Hans dan Evelien Keizer. 2012. Syntax of Dutch: Noun and
Noun Phrase Volume 1. Amsterdam: Amsterdam University Press.
de Rooij, Martin. 2009. The Dutch, I presume?. Alphen aan de Rijn: N&L
Publishing.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge:
Cambridge University Press.
348
Eenschooten, Constance dan Hélène Matze. 2015. De Hollandse
Keuken/Dutch Cuisine. Alphen aan de Rijn: Atrium.
Geurts, M. dkk. 2017. Food Consumption in the Netherlands and Its
Determinants. Bilthoven: National Institute for Public Health and
the Environment.
Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi: Bentuk Derivasional dan
Infleksional. Bandung: Refika Aditama.
Renier, Fernand G. 1961. Dutch-English and English-Dutch Dictionary.
London: Butler & Tanner Ltd.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi LinguistikLinguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.
Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Culture Through Their
Keywords. New York: Oxford University Press.
Daftar Laman
globalprice.info diakses pada 16 April 2018 pukul 8.33
349
PENILAIAN TERHADAP HASIL TERJEMAHAN “IDIOM” DALAM
NOVEL FIFTY SHADES FREED DENGAN MESIN TERJEMAH
Oleh :
Masita Taufiqi Kholida
Universitas Gadjah Mada
machtazia@yahoo.com
ABSTRAK
Artikel ini berfokus pada produk terjemahan, yakni berupa hasil
terjemahan idiom dengan mesin terjemah. Data diambil dari idiom yang
terdapat dalam novel fifty shades freed karya EL James. Adapun mesin
terjemah yang digunakan adalah google translate, bing microsoft translator
dan sederet.com. Jenis penelitian ini adalah deskriptif komparatif, dimana
dilakukan proses perbandingan antara hasil terjemahan mesin satu
dengan yang lainnya, untuk melihat mesin manakah yang mampu
menerjemahkan idiom dengan lebih baik. Dalam proses penilaiannya
digunakan tiga konsep penilaian terhadap kualitas hasil terjemahan, yaitu
keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan. Hasilnya telah ditemukan
sebanyak 71 idiom dengan hasil terjemah google translate lebih baik jika
dibandingkan dengan dua mesin terjemah lainnya.
Keywords : idiom, fifty shades freed, deskriptif komparatif, keakuratan,
keterbacaan, keberterimaan
PENDAHULUAN
Kategori penerjemahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
translation. Penerjemahan dengan menggunakan medium bahasa tulis;
teks BSu dalam bentuk bahasa tulis diterjemahkan menjadi teks Bsa yang
juga dalam bentuk bahasa tulis.3
Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran (Newmark:2001). Melihat bagaimana sarana
informasi dan komunikasi dewasa ini telah sangat dimudahkan oleh
kecanggihan teknologi yang luar biasa mumpuni, maka tersedialah
beragam sarana yang mampu mempermudah dalam bidang komunikasi
3
Eko Setyo Humanika, Mesin Penerjemah: Suatu Tinjauan Linguistik (Yogyakarta:
UGM Press, 2002), hlm. 2.
350
seperti mesin terjemah. Hal ini sangat membantu para penutur yang tidak
saling memahami bahasa dari lawan tuturnya.
Terdapat banyak sekali fasilitas mesin penerjemah online yang
menyediakan layanan penerjemahan dari berbagai bahasa, seperti google
translate,dll. Namun jika kita telisik lebih jauh tentang bagaimana
keakuratan sebuah makna yang telah diterjemahkan oleh mesin
penerjemah tersebut apakah sudah benar, akurat dan mudah untuk
dipahami ?
Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebagai data adalah
beberapa idiom yang terdapat dalam novel fifty shades freed karya EL
James. Novel ini merupakan buku ketiga dari trilogi fifty shades series.
Adapun mesin terjemah yang akan dijadikan sebagai sarana dalam
proses penerjemahan adalah free online translation machine berupa google
translate, bing microsoft translator, dan sederet.com. Mesin google
translate diambil karena merupakan produk mesin terjemah dari salah
satu perusahaan terbesar di dunia yakni google. Sedangkan bing microsoft
translator merupakan produk mesin terjemah dari salah satu perusahaan
terbesar di dunia juga, yakni microsoft. Sedangkan sederet.com merupakan
produk mesin terjemah online karya anak bangsa, yakni asli Indonesia.
Ketiganya adalah mesin yang pastinya memang tidak
menerjemahkan dengan sempurna seperti human translation, namun dari
ketiga mesin tersebut peneliti yakini akan ada satu mesin yang dapat
menerjemahkan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan dua mesin
lainnya. Untuk itu perlu diberikan penilaian terhadap hasil terjemahan
dari ketiga mesin tersebut.
Menurut Larson (1991:532) terdapat tiga alasan dalam menilai suatu hasil
terjemahan, yakni keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan.
a. Keakuratan
Pada tahap ini penilaian berfokus pada ;
-
Apakah pesan dari bahasa sumber dapat tersampaikan dengan
baik dalam bahasa sasaran ?
Apakah makna yang ditangkap oleh pembaca teks sumber sama
dengan makna yang ditangkap oleh pembaca teks sasaran ?
351
Jika pesan dapat tersampaikan dengan baik, respon juga dapat terlihat
sama oleh pembaca teks sumber dan teks sasaran, maka tingkat
keakuratan terjemahannya adalah baik.
b. Keterbacaan
Fokus pada tahap ini adalah pada ;
-
Apakah pembaca teks bahasa sasaran dapat mengerti dan
memahami hasil terjemahan tersebut dengan baik ?
Apakah teks tersebut memberikan kejelasan yang dibutuhkan oleh
pembaca teks bahasa sasaran ?
Artinya teks terjemahan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. BSa
yang digunakan adalah bahasa yang elegan, sederhana dan mudah
dipahami.
c. Keberterimaan
Penilaiannya adalah pada :
-
-
Apakah terjemahannya wajar (natural) atau tidak ?
Apakah terjemahannya mudah dibaca dan menggunakan tata
bahasa dan gaya yang wajar atau lazim sesuai dengan tata bahasa
atau gaya yang digunakan oleh penutur bahasa sasaran ?
Apakah hasil terjemahannya alami atau kaku ?
Maksudnya adalah hasil terjemahan tidak menyadur sifat-sifat bahasa
asal, yakni tidak mempertahankan bentuk bahasa sumber sehingga isi dan
kesan berita tidak rusak.
Untuk penilaian terhadap masing-masing kategori tersebut, peneliti
menggunakan nilai angka berikut:
-
-
3 untuk terjemahan yang sempurna
2 untuk terjemahan yang nyaris sempurna
1 untuk terjemahan yang memiliki persentase ketidaksesuaian
hasil terjemahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan hasil
terjemahan yang sesuai
0 untuk terjemahan yang sama sekali tidak sesuai.
352
Jenis metode dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif yang
membandingkan hasil terjemahan satu dengan lainnya. Jadi setelah
mendapatkan hasil terjemah dan hasil poin nilai dari ketiga mesin
tersebut, lalu dibandingkan mesin mana yang mampu menerjemahkan
dengan lebih baik.
ANALISIS
Data-data idiom tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia dengan ketiga mesin tersebut serta diberikan penilaian
yang berorientasi pada keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan.
Berikut beberapa contoh data yang telah dianalisis :
353
a. Dengan google translate :
NO
IDIOM
1
HALAM
AN
14
2
14
A wake up call
3
15
4
15
I thought we were
going to make love
in the sea
And chalk up yet
another first
5
15
6
16
7
17
I lose my train of
thought
Put that in your
pipe and smoke it,
Grey !
Who knew that
even Elliot could
scrub up so well ?
Mary in haste,
repent at leisure
GOOGLE
TRANSLATE
Saya
kehilangan
pikiran saya
Panggilan
bangun
Saya pikir kami
akan bercinta
di laut
Dan buat yang
pertama lagi
Taruh itu di
pipamu
dan
asap itu!
Siapa yang tahu
bahkan Elliot
bisa
menggosoknya
dengan baik?
Maria dengan
tergesa-gesa,
bertobat
di
waktu luang
NOVEL
TERJEMAHAN
Aku
kehilangan
alur pikiranku
KEAKURATAN
KETERBACAAN
KEBERTERIMAAN
NILAI
√
√
x
2
panggilan untuk
bangun
Aku pikir kita akan
bercinta di laut
√
√
x
2
√
√
3
Dan
membuat
keberuntungan
pertama lainnya
Rasakan itu, grey!
√
√
√
3
x
x
x
1
Siapa yang tahu
bahkan Elliot bisa
terlihat
sangat
keren
√
√
√
2
Menikah terburuburu,
menyesalinya saat
di waktu luang
x
x
x
0
√
354
8
20
Jeez, can my fifty
shades sulk...
9
20
Kate rolls her eyes
and
tactfully
moves away to
leave us alone
10
20
Look after my girl,
Christian
11
21
He leaves it on the
threshold
12
23
Buckle up!
13
24
Holy cow... another
first
Astaga, bisakah
lima
puluh
warnaku
merajuk ...
Kate memutar
matanya dan
dengan
bijaksana
bergerak pergi
meninggalkan
kami sendirian
Perhatikan
gadis
saya,
Christian
Dia
meninggalkann
ya di ambang
pintu
Sabuk
pengaman!
Sapi suci ... yang
lain dulu
14
24
15
26
He takes my breath
away
He sits back on his
heels, and leaning
forward I grap his
tie
Dia mengambil
napasku
Dia
duduk
kembali
di
tumitnya, dan
mencondongka
Tuhan,
bisakah
fifty
shadeku
merajuk..
√
√
√
3
Kate
memutar
matanya
dan
dengan bijak pergi
menjauh
untuk
meninggalkan
kami sendiri
√
√
√
3
Jaga anak gadisku,
Christian
√
√
√
2
Dia
meninggalkannya
di ambang pintu
√
√
√
3
Pasang
sabuk
pengamanmu!
Sialan..
hal
pertama
yang
lainnya.
Dia
membuatku
sesak napas
Dia
berlutut
kembali,
dan
condong ke depan
√
x
√
2
x
√
x
0
√
√
√
2
√
√
√
2
355
16
28
TOTAL NILAI
No! Damn!
n tubuh ke
depan,
aku
menggenggam
dasinya
Tidak!
Mengutuk!
saat
aku
merenggut dasinya
Tidak! Sialan!
√
x
x
2
32
356
b. Dengan bing microsoft translator :
NO
HALAM
AN
IDIOM
1
14
I lose my train of
thought
2
14
A wake up call
3
15
4
15
I thought we
were going to
make love in the
sea
And chalk up yet
another first
5
15
Put that in your
pipe and smoke
it, Grey !
6
16
Who knew that
even Elliot could
scrub up so well ?
BING
MICROSOFT
TRANSLATOR
Saya kehilangan
saya
melatih
pemikiran
Panggilan
bangun
Saya pikir kita
akan membuat
cinta di laut
NOVEL
TERJEMAHAN
KEAKURATAN
KETERBACAAN
KEBERTERIMAAN
NILAI
Aku kehilangan alur
pikiranku
x
x
x
0
panggilan
untuk
bangun
Aku pikir kita akan
bercinta di laut
√
√
2
x
√
√
2
Dan
kapur
pertama lagi
Dan
membuat
keberuntungan
pertama lainnya
Rasakan itu, grey!
x
x
x
0
x
x
x
0
Siapa yang tahu
bahkan Elliot bisa
terlihat sangat keren
x
√
√
2
Menempatkan
bahwa
dalam
pipa Anda dan
asap itu
Siapa yang tahu
bahwa bahkan
Elliot
bisa
menggosok
begitu baik?
√
357
7
17
Mary in haste,
repent at leisure
8
20
Jeez, can my fifty
shades sulk...
9
20
Kate rolls her
eyes and tactfully
moves away to
leave us alone
10
20
Look after my
girl, Christian
11
21
He leaves it on
the threshold
12
23
Buckle up!
Maria
dalam
tergesa-gesa,
bertobat diwaktu
Luang
Astaga,
dapat
saya nuansa lima
puluh
khodamnya...
Kate
gulungan
matanya
dan
bijaksana
menjauh untuk
meninggalkan
kami sendirian
Terlihat setelah
gadis
saya,
Kristen
Dia
meninggalkanny
a di ambang
pintu
GESPER U!
13
24
14
24
15
26
Holy
cow...
another first
He takes my
breath away
He sits back on
his heels, and
Sapi suci... lain
pertama
Dia mengambil
napas
Dia
duduk
kembali
di
Menikah
terburuburu, menyesalinya
saat di waktu luang
x
x
x
0
Tuhan, bisakah fifty
shadeku merajuk..
x
x
x
0
Kate
memutar
matanya dan dengan
bijak pergi menjauh
untuk meninggalkan
kami sendiri
x
x
x
1
Jaga anak gadisku,
Christian
x
x
x
0
Dia
meninggalkannya di
ambang pintu
√
√
√
3
Pasang
sabuk
pengamanmu!
Sialan.. hal pertama
yang lainnya.
Dia
membuatku
sesak napas
Dia
berlutut
kembali,
dan
x
x
x
0
x
x
x
0
x
√
√
1
x
x
x
1
358
leaning forward I
grap his tie
16 28
TOTAL NILAI
No! Damn!
tumitnya,
dan
bersandar
ke
depan saya grap
dasi
Tidak! Sialan!
condong ke depan
saat aku merenggut
dasinya
Tidak! Sialan!
√
√
√
3
15
359
c. Dengan sederet.com
NO
1
HALAM
AN
14
2
14
3
15
4
15
5
15
6
16
7
17
IDIOM
SEDERET.COM
I lose my train
of thought
A wake up call
Aku
kehilangan
saya melatih
Panggilan bangun
I thought we
were going to
make love in
the sea
And chalk up
yet
another
first
Put that in your
pipe and smoke
it, Grey !
Who knew that
even
Elliot
could scrub up
so well ?
Saya kira kita mau
untuk bercinta di
laut
Mary in haste,
repent
at
leisure
Dan kapur up
namun
lain
pertama kali
Menaruh bahwa
dalam
pipa-mu
dan asap itu, Grey!
Yang
meyakini
bahwa
Elliot
menggosok
bahkan
bisa
sampai begitu yah?
Mary di tergesagesa, bertobat di
waktu luang
NOVEL
TERJEMAHAN
Aku kehilangan alur
pikiranku
panggilan
untuk
bangun
Aku pikir kita akan
bercinta di laut
KEAKURATAN
KETERBACAAN
KEBERTERIMAAN
NILAI
x
x
x
0
√
√
2
x
√
√
2
Dan
membuat
keberuntungan
pertama lainnya
Rasakan itu, grey!
x
x
x
0
x
x
x
0
Siapa
yang
tahu
bahkan Elliot bisa
terlihat sangat keren
x
√
x
1
Menikah
terburuburu, menyesalinya
saat di waktu luang
x
x
x
0
√
360
8
20
9
20
10
20
11
21
12
23
13
24
14
24
15
26
16
28
TOTAL NILAI
Jeez, can my
fifty
shades
sulk...
Kate rolls her
eyes
and
tactfully moves
away to leave
us alone
Look after my
girl, Christian
He leaves it on
the threshold
Buckle up!
Holy
cow...
another first
He takes my
breath away
He sits back on
his heels, and
leaning
forward I grap
his tie
No! Damn!
Jeez, saya nuansa
dapat lima puluh
merajuk
Kate
memutar
matanya
dan
bergerak menjauh
dengan bijaksana
untuk
meninggalkan
kami sendirian
menjaga
gadis
saya, kristen
Dia daun itu di
muka pintu
Gua goyah atas!
Sapi...
kudus
pertama
Dia
mengambil
lain
saya
tercengang
Ia duduk kembali
di tumitnya, dan
bersandar
ke
depan aku tangkap
dasinya
Tidak! sial!
Tuhan, bisakah fifty
shadeku merajuk..
x
x
x
0
Kate
memutar
matanya dan dengan
bijak pergi menjauh
untuk meninggalkan
kami sendiri
√
√
√
3
Jaga anak gadisku,
Christian
Dia meninggalkannya
di ambang pintu
Pasang
sabuk
pengamanmu!
Sialan.. hal pertama
yang lainnya.
Dia membuatku sesak
napas
x
x
√
2
x
√
x
0
x
x
x
0
x
x
x
0
x
x
x
0
Dia berlutut kembali,
dan condong ke depan
saat aku merenggut
dasinya
x
√
√
1
Tidak! Sialan!
√
√
√
3
14
361
HASIL
Setelah diberikan penilaian terhadap hasil terjemahan ketiga mesin
terjemah tersebut, berikut hasil yang didapatkan ;
Total idiom yang ada dalam novel fifty shades freed adalah sebanyak 71
idiom, dengan rincian nilai :
-
Google translate : 117
Bing microsoft translator : 39
Sederet.com : 32
a. Jika dilihat lebih jauh, google translate memang mendekati hasil
sempurna karena sejatinya sejak tahun 2016 google translate telah
menanamkan NMT (Neural Machine Translation) dimana para
penggunanya bisa ikut andil dalam pembenahan hasil terjemahan
sesuai dengan kemampuan human translation yang dimiliki.
b. Untuk bing microsot translator, mesin ini terlihat menerjemahkan
idiom tersebut rata-rata dengan hasil kalimat aktif.
c. Sedangkan untuk sederet.com, ia terlihat bagus dalam
menerjemahkan idiom dalam bentuk kata makian, bahkan ia
menerjemahkan kata makian lebih bagus jika dibandingkan
dengan bing microsoft translator. Itu artinya produk dalam negeri
ini mungkin disetting lebih pintar dalam menerjemahkan kata
makian.
Secara keseluruhan hasilnya adalah bahwa google translate dapat
menerjemahkan lebih baik jika dibandingkan dengan dua mesin terjemah
lainnya, yakni bing microsoft translator dan sederet.com.
KESIMPULAN
Dengan 71 idiom yang terdapat dalam novel fifty shades freed,
google translate dapat menerjemahkan dengan lebih baik jika
dibandingkan dengan bing microsoft translator dan sederet.com, karena
sejak tahun 2016 google translate telah dilengkapi dengan NMT (Neural
Machine Translation) yang membuat penggunanya dapat ikut andil dalam
pembenahan hasil terjemahan google translate secara langsung, sehingga
hasil terjemahannya menjadikannya mirip dengan human translation dan
362
hal ini jelas memicu baiknya kualitas hasil terjemahan google translate itu
sendiri.
REFERENSI
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Amerika Serikat :
Prentice-Hall International.
Larson, Mildred L. 1991. Theory and Practice, Tension and Interdependence.
Philadelphia : John Benjamins Publishing.
Nida, Eugene Albert & Taber Charles Russel. 2003. The Theory and Practice
of Translation. Belanda : Brill.
Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice.
London : Longman.
Hartono. 2003. Belajar Menerjemahkan : Teori dan Praktek. Malang : UMM
Press.
Humanika, Eko Setyo. 2002. Mesin Penerjemahan : Suatu Tinjauan
Linguistik. Yogyakarta : UGM Press.
Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung : Kaifa.
Nababan, M.Rudolf. 2008. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Newmark, Peter. 2001. Approaches To Translation. Oxford : Pergamon
Press.
Barragan, A.M. 2017. “Translation Arabic-English The Case of Idioms”,
http://www.translationjournal.net/January-2017/translation-arabicenglish-the-case-of-idioms.html .
Barkhodar, S.Y. 2017.“The Assessment of Machine Translation According To
Holmes
Map
of
Translation
Studies”
http://www.translationjournal.net/January-2018/the-assessment-ofmachine-translation-according-to-holmes-map-of-translationstudies.html .
363
Taleghani, M. & Pazouki, E. 2018. “Free Online Translators: A Comparative
Assessment in Terms of Idioms and Phrasal Verbs” International Journal of
English Language & Translation Studies. 6(1). 15-19.
Darma, Y.A. 2017. Metode Pembelajaran Penerjemahan. Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan. No.067.
Benetello, C. 2018. When Translation is not enough: Transcreation as a
convention defying practice. A practitioner’s perspective. The Journal of
Specialised Translation. Issue 29.
Mossop, Brian. 2014. Revising and Editing for Translators. Oxon & New
York: Routledge, pp.244. The Journal of Specialised Translation. ISBN: 9781-909485-01-3.
McIntyre, D. And Moores, Z. 2018. Intersection Between Language,
Linguistics, Subtitling and Translation. The Journal of Specialised
Translation. Issue 29.
Mesin Terjemah :
Google translate
Bing Microsoft Translator
Sederet.com
Thefreedictionary.com
HASIL DISKUSI SEMINAR
a. Zein (Universitas Gadjah Mada);
1) Mengapa yang diteliti hasil terjemah kalau yang digunakan adalah
mesin terjemah ?
Jawaban : karena penelitian ini berorientasi pada produk, yakni berupa
hasil terjemahan idiom dengan mesin terjemah, maka sudah pasti terdapat
hubungan antara mesin dan hasil terjemahan sehingga keduanya harus
digunakan dalam prosesnya.
2) Mengapa google translate menerjemahkan lebih baik ?
364
Jawaban : karena setelah proses penilain google translate memiliki skor
tertinggi dibanding dua mesin lainnya. Mohon maaf karena kekurangan
saya yang tidak menampilkan proses penilaian pada slide. Jadi pertanyaan
saya ambil sebagai masukan untuk saya. Terima kasih.
b. Tri (Balai Bahasa Jawa Timur);
3) Jelaskan proses mengapa google translate dapat menerjemahkan
lebih baik dibandingkan dua mesin terjemah lainnya !
Jawaban : sama seperti mas Zein sebelumnya, saya mohon maaf atas
kekurangan saya yang tidak menampilkan proses penilaian pada slide. Jadi
proses penilaiannya adalah sebagai berikut ; idiom-idiom dari novel fifty
shades freed tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia dengan ketiga mesin terjemah tersebut. Kemudian hasil
terjemah dari ketiganya diberikan penilaian terhadap kualitas
terjemahannya yang berorientasi pada keakuratan, keterbacaan dan
keberterimaan. Hingga akhirnya setelah proses analisis didapatkan hasil
bahwa google translate dapat menerjemahkan dengan lebih baik
dibandingkan dengan dua mesin lain. Mungkin karena sejak 2016, mesin
ini telah dilengkapi dengan NMT (Neural Machine Translation) yang
memungkinknan penggunanya untuk ikut andil dalam pembenahan hasil
terjemah secara langsung. Terima kasih.
365
REGISTER TEMPE DI KABUPATEN KLATEN
Nanik Herawati
Universitas Widya Dharma Klaten
akunaniherawati3@gmail.com
ABSTRAK
Abstrak, Nanik Herawati, 2018. Register Tempe di Kecamatan Pedan,
Kabupaten Klaten, Universitas Widya Dharma Klaten. Register termasuk
dalam ranah sosiolinguistik yakni pemakaian kosa kata tertentu atau
khusus yang berhubungan dengan pekerjaan yang berbeda-beda atau
variasi bahasa berdasarkan fungsinya. Tujuan penelitian ini (1)
mendeskripsikan kosa kata register dalam pembuatan tempe di Pedan,
Klaten; (2) mendeskripsikan makna kosa kata register dalam pembuatan
tempe di Pedan, Klaten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan mendeskripsikan data berdasarkan fakta. Sumber data
yaitu pembuat tempe dan orang yang membantunya. Alat penelitian utama
peneliti sendiri dan alat penelitian bantu. Ada 3 tahap penelitian, yaitu:
pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. Hasil penelitian
register pembuatan tempe berupa bentuk-bentuk register pembuatan
tempe serta makna register dalam pembuatan tempe di Pedan. Penyajian
hasil analisis dengan menggunakan metode penyajian informal, yakni
perumusan dengan kalimat biasa.
Kata kunci: dhele, laru, oman, register
A. PENDAHULUAN
Register termasuk dalam bidang ilmu sosiolinguistik yakni studi
tentang Bahasa yang berkaitan dengan penutur bahasa sebagai anggota
masyarakat. Register sebagai ragam bahasa didasarkan pada
pemakaiannya dari bahasa itu. Seseorang bisa mengungkapkan gagasan
yang lebih kurang sama dalam suasana yang berbeda dengan
menggunakan butir-butir linguistik yang sangat berbeda, variasi
bahasanya ini dicakup oleh register (Alwasilah. 1985:64). Variasi Bahasa
yang tidak bisa dicakup dalam dialek akan tetapi bisa dicakup dalam
366
register. Dialek merupakan variasi Bahasa berdasarkan perbedaan asal
penutur dan sosial penutur namun register merupakan variasi Bahasa
yang disebabkan oleh adanya sifat-sifat khas sesuai dengan tujuan dan
keperluan dari pemakainya. Pemakaian kosa kata pada register berkaitan
dengan profesi tertentu, misalkan direktur Bank, pilot, petani, guru,
pembuatan tempe, pembuatan gerabah, dan sebagainya.
Masyarakat Klaten dalam pembuatan tempe menggunakan
Bahasa Jawa, dengan berbagai istilah atau kosa kata khusus di dalam
berkomunikasi saat proses maupun kegiatan pembuatan tempe sedang
berlangsung. Beberapa istilah khusus itu mempunyai makna tersendiri.
Register dikelompokkan menjadi dua yakni (1) register yang muncul
akibat dari profesi saat bersosialisasi dengan masyarakat tertentu; (2)
register yang muncul tidak berkaitan dengan profesi tetapi karena
aktifitas bersama. Register timbul karena proses interaksi sosial pada
masyarakat tertentu dan termasuk kosa kata yang tidak baku.
Salah satu bentuk register yang timbul akibat profesi pembuatan
temped an penjuanan tempe secara tradisional di Klaten. Pada pembuatan
tempe,dan pemanfaatan tempe di Klaten banyak istilah-istilah khusus
yang secara umum kurang diketahui oleh masyarakat luas, namun
dipahami oleh lingkungannya. Pada pembuatan tempe di daerah Klaten
ada beberapa kosa kata yang ada kaitannya dengan bahan pembuatan
tempe, prosesnya, dan benda-beda yang berkaitan dengan dunia tempe.
Daerah Klaten memang terkenal dengan tempenya, banyak desa-desa
yang membuat tempe dengan masih menggunakan bungkus daun pisang,
bahkan masih ada juga yang dibungkus dengan daun jati, dan daun waru.
Pembuat tempe biasanya sekaligus menjadi penjual di pasar.
Namun masyarakat sekitar banyak juga yang datang ke rumah pembuat
tempe untuk membeli tempe. Pembeli bisa membeli tempe untuk
konsumsi besok pagi atau bisa juga membeli tempe semangit untuk dibuat
sayur lethok, atau juga membeli tempe yang sudah jadi untuk dikonsumsi
hari ni. Register pembuatan tempe merupakan salah satu hal yang menarik
untuk dikaji. Istilah-istilah yang muncul dapat terjadi pada saat terjadinya
interaksi jual beli tempe, namun bisa juga pada saat proses pembuata
tempe.
Pilihan istilah atau kosa kata tertentu akan mencerminkan situasi
dan kondisi seseorang berada di wilayah profesi apa. Register termasuk
bidang ilmu sosiolinguistik, termasuk di dalamnya variasi bahasa dan
367
register. Sosiolinguistik merupakan disiplin ilmu yang menggabungkan
antara sosiologi dan linguistik. Objek Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik
tidak hanya dipandang dari segi bahasa saja akan tetapi bahasa dipandang
sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat pengguna bahasa.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di depan, maka ada
permasalahan seperti berikut.
Bagaimanakah bentuk register pembuatan tempe di Kabupaten
Klaten?
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut
Mendeskripsikan bentuk register pembuatan tempe di Kabupaten
Klaten
B. LANDASAN TEORI
Sosiolinguistik merupakan studi tentang bahasa yang merupakan
disiplin ilmu antara sosiologi dengan linguistik. Sosiolinguistik membahas
tentang variasi Bahasa yang didalamnya mencakup idiolek, dialeg, ragam
Bahasa, dan register. Idiolek bersifat individual, masing-masing orang
punya ciri khas tersendiri. Selanjutnya dialek merupakan variasi Bahasa
karena asa-usul daerah yang berbeda. Ragam Bahasa merupakan variasi
Bahasa karena perbedaan situasi dan kondisi, ragam resmi dan tidak resmi
sehingga kadang ada pengurangan suku kata tertentu, misakan
maturnuwun menjadi nuwun. Register merupakan variasi Bahasa karena
adanya karakter atau sifat khas berdasarkan visi dan keperluan
pemakainya, misalkan register pembuatan tempe, Bahasa Bank, Bahasa,
guru, dan lain sebagainya. Pakar Bahasa yang membicarakan tentang
register yakni Poedjosodarmo (2001) yakni register merupakan salah satu
sub bidang kajian sosiolinguistik yang menguraikan tentang penyampaian
bermacam ragam maksud melalui variasi tutur karena adanya sifat-sifat
khas pemakainya.
C. METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian
ini bersifat deskriptif maksudnya pemerolehan data tidak berupa
368
angka-angka melainkan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena
pada penutur. Seperti yang diuraikan oleh Sudaryanto (1992)
penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggunakan deskriptif
yakni metode yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta
yang ada atau fenomena penutur.
2. Objek Penelitian
Objek Penelitian ini yaitu register pembuatan tempe secara
tradisional di Klaten. Sumber data penelitian ini yaitu pembuat
tempe di Klaten dan masyarakat yang melakukan kontak sosial
dengan pembuatan tempe. Sumber data tersebut bisa diambil saat
terjadi jual beli tempe atau pada saat proses pembuatan tempe.
3. Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa data lisan yang diambil dalam peristiwa
tutur saat terjadi interaksi jual beli tempe antra pembuat dan
pembeli, serta pada saat interaksi proses pembuatan tempe di
daerah Klaten.
4. Teknik Pengumpulan Data
Penyediaan data ada tiga tahapan yakni: mengumpulkan data
dengan mencatat, pemilahan data, dan pengelompokan data.
Penyediaan data dengan metode simak dengan menggunakan teknik
dasar yaitu teknik sadap, maksudnya penyimakan dilakukan dengan
penyadapan. Penyadapan dilakukan dengan handphone. Selanjutnya
dilanjutkan dengan teknik lanjutan teknik rekam dan teknik catat.
Perekaman dan Pencatatan dilakukan untuk merekam dan mencatat
istilah istilah yang berkaitan dengan register.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Ragam Bahasa yang digunakan di dalam interaksi pembuatan tempe
hingga penjualan tempe banyak menggunakan ragam lisan. Bentuk
register didasarkan pada fungsi istilah atau kosa kata pada kalimat.
Selanjutnya dilakukan analisis dengan teknik analisis fungsional pada data
yang sudah ada. Penemuan data yang berupa kosa kata saat terjadinya
proses pembuatan tempe hingga penjualan tempe dapat dianalisis secara
369
fungsional apakah menempati sebagai subjek, predikat, atau objek dalam
kalimat.
a. Fungsi Subjek dan kategori kata
(1) Tempe semangit pancen enak yen digawe tumpang lethok.
‘Tempe yang mendekati busuk memang enak kalau dibuat sayur
tumpeng letok’.
Tempe semangit pada kalimat (2) menduduki fungsi sebagai
subjek, termasuk kategori kata benda.
(2) Tempe bosok iso dinggo nyekoki bocah sing ora doyan mangan.
‘Tempe busuk bisa dipakai untuk obat anak yang tidak doyan
makan.’
Tempe bosok pada kalimat (2) menduduki fungsi subjek,
termasuk kategori kata benda.
(3) Klaras ning tumbu kae jupukna, Nduk.
‘Daun pisang kering di wakul itu ambilkan, Nak!’
Klaras pada kalimat (3) menduduki fungsi subjek dan termasuk
kategori kata benda.
b. Fungsi Predikat dan Kategori Kata
(4) Ndhuk ndang ilesen dhele sing wis diwadhahi tumbu kui.
‘Nak, segeralah diinjak injak kedelai yang sudah ditempatkan di
tumbu’.
Kata ilesen menduduki fungsi sebagai predikat, termasuk
kategori kata kerja.
(5) Budhe lagi mlocoti dhele ning pawon.
‘Budhe baru mengupas kulit ari di dapur’
Kata mlocoti menduduki fungsi sebagai predikat, termasuk
kategori kata kerja.
(6) Sawise rampung anggone ngiles dhele, nuli dirimbang.
370
‘Setelah selesai menginjak-injak kedelai selanjutnya dibuang
airnya’
c. Fungsi Objek dan Kategori Kata
(7) Dhele kang wus digodhog banjur didhemke nuli diwenehi laru
utawa ragi tempe.
‘Kedelai yang sudah dimasak kemudian didinginkan
selanjurnya diberi ragi tempe’.
Tembung laru pada kalimat di atas menempati fungsi sebagai
objek dalam kalimat, termasuk kategori kata benda. Laru
termasuk istilah yang ada dalam proses pembuatan tempe
secera tradisional
(8) Dhele kang wis diwungkus nganggo godhong gedhang nuli ditali
nganggo oman.
‘Kedelai yang sudah dibungkus dengan daun pisang kemudian
ditali dengan jerami kering yang sudah dijadikan tali’
Kata oman pad kalimat (8) menduduki fungsi sebagai objek
dalam kalimat, termasuk kategori kata benda.
E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Register penmuatan tempe menggunakan Bahasa Jawa ragam ngoko dan
krama pada saat terjadi interaksi jual beli atau pada saat berkomunikasi
antara pembuat tempe dengan pembeli tempe. Bentuk register pembuatan
tempe di Klaten bisa menduduki fungsi subjek, predikat, dan objek. Istilah
yang berkaitan dengan pembuatan tempe seperti: dhele, dirimbang,
diplocooti, diiles, klaras, oman, tempe semangit, tempe dadi, tempe bosok.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : Rineka Cipta
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Penerbit Angkasa
371
Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa).
Yogyakarta
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Linguistik Umum. Jakarta : Bhratara KA
Poedjosoedharmo, Soepomo. 2001. Filsafah Bahasa. Surakarta :
Muhammadiyah University Press
Purnanto, dwi. 2002. Register Pialang Kendaraan Bermotor. Surakarta :
Muhammadiyah University Press
Soedaryanto, 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua metode dan Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta : Gama Mada University Press
Soedaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta
: Duta Wacana University Press
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan
1. Apakah judul artikel sudah sesuai dengan pembahasan?
Jawaban:
Pembehasan artikel memang tidak hanya masalah pembuatan
tempe namun juga manfaat tempe dan penjualan tempe secara
sederhana, dengan demikian judul artikel diganti. Semula Tegister
Pembuatan Tempe di Kabupaten Klaten menjadi Register Tempe
di Kabupaten Klaten
2. Apakah tempe semangit termasuk register proses pembuatan
tempe?
Jawab: tempe semangit termasuk pemanfaatan tempe karena
judulnya sudah diganti otomatis tempe semangiit juga termsuk di
dalam pembahasan.
3. Apa beda register dengan variasi Bahasa?
Jawab: register mengacu pada pemakaian Bahasa atau kosa kata
khusus yang berkaitan dengan pekerjaan yang berbeda.
Sedangkan variasi Bahasa berkaitan dengan fungsi pemakaian
Bahasa.
372
ANALISIS SEMANTIK KATA AL-ARD DALAM LONTAR SURAT
YUSUF
Nasikhatul Ulla Al Jamiliyati
Andi Indah Yulianti
(Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya)
ABSTRAK
Kata Al-Ard memiliki berbagai macam makna di antaranya
bermakna negara dan kerajaan. Fokus penelitian ini adalah untuk
mengetahui makna kata Al-Ard dalam surat Yusuf dengan pendekatan
semantik. Pendekatan ini digunakan untuk memahami berbagai istilah
atau kata-kata kunci yang digunakan pada sebuah tafsir. Penelitian ini
bersifat kualitatif, yang berbentuk library research (penelitian
kepustakaan) dengan merujuk pada dua sumber yaitu primer (Al-Quran,
buku-buku teori semantik) dan sekunder (buku tentang ulum Al-Qur’an,
kamus Arab-Indonesia). Metode penelitian menggunakan metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menelaah
buku-buku yang relevan dengan tema penelitian. Langkah-lanhkah dalam
menganalisis data yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung AlArd, melakukan pendekatan terhadap analisis-analisis yang dibutuhkan,
menyampaikan hasil penelitian dengan menggunakan analisis
semantik.Adapun hasil analisis tentang makna kata Al-Ard dalam Al-Quran
dengan menggunakan pendekatan semantik, penulis dapat menyimpulkan
bahwa makna dasar Al-Ard yaitu kekuasaan, pemerintahan, negara.
Dimana yang dimaksud Al-Ard, Mulki, dan Qoryataldalam surat Yusuf yang
mempunyai makna negara, kerajaan, khafilah.
Kata Kunci: Semantik; Al-Ard; Surat Yusuf
PENDAHULUAN
Islam di Indonesia datang dari India. Teori ini awalnya dikenalkan
oleh G.W.J. Drewes yang mengatakan bahwa orang-orang Arab
bermadzhab Syafi’i yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang
mengembangkan Islam di Nusantara. Ada kesamaan madzhab antara
373
orang Gujarat dan Malabar yang beragama Islam di Nusantara. Bagi S.Q.
Fatimi Islam datang dari Bengal karena beranggapan bahwa teori batu
nisan di makam Malik Al-Shaleh sama sekali berbeda dengan batu nisa di
Gujarat. Namun, terdapat kelemahan karena antara Bengal dan Nusantara
terdapat perbedaan madzhab yaitu wilayah Bengal bermadzhab Hanafi,
sedangkan di Nusantara bermadzhab Syafi’I (Azra, 1994:25). Mengenai
waktu datangnya Islam di Nusantaraterdapat beberapa pendapat. Ahli
sejarah dari Indonesia dan Malaysia berpendapat: bahwa Islam datang ke
Asia Tenggara pada abad ke-8 miladiyah atau abad ke 1 Hijriyah. (Hasmi,
1981: 252).
Menurut Graff (1989: 2) penyebaran Islam di Nusantara dapat
dibedakan 3 metode yaitu pedagang muslim dari jalur perdangangan yang
damai oleh para da’i atau orang suci atau wali yang datang dari India atau
Arab dengan tujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan
pengetahuan mereka yang telah beriman dan terakhir dengan kekuasaan
atau memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.
Jadi, Islam disebarkan dengan cara perdagangan, pendakwah sufi dan
politik. Corak Isam di Jawa dalam banyak hal menyerupai banyak hal Islam
di Asia Selatan. Kesamaan itu dapat dilihat dari sistem pendidikan
madrasi, upacara-upacara keagamaan seperti selametan dan tata ritual
berdasarkan kesamaan mahzab didalam Islam. Penyebaran Islam di Jawa
ditandai dengan hadirnya para ulama yaitu Maulana Maik Ibrahim dan
Maulana Ishaq ke tanah Jawa, khususya Jawa Timur yang sebelumnya
singgah di kerajaan Pasai.
Peran pesisir utara Jawa di dalam proses pelembagaan Islam tentunya
sangat besar terutama pada abad ke-15 dan 16. Proses kemapanan Islam
disebabkan beberapa faktor yaitu : peranan hubungan perkawinan,
pranan Imamolah, dan peranan hubungan perdagangan. Di Jawa raja yang
memiliki perhatian terhadap pengembangan Islam khususnya melalui
masjid ialah Sultan Agung. Di dalam pelembagaan Islam, walisanga
menggunakan beberapa tahapan yaitu: pertama mendirikan masjid, kedua
mendirikan pesantren. Didalam hasanah penyebaran Islam, setiap wali
memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama dimana wali tersebut
berada, pesantren Ampel,pesantren Drajat, dan sebagainya. Pesantren
pada tahap awal penyebaran Islam tentunya adalah pusat penyebaran
Islam dengan masjid sebagai lokus utamanya. Lembaga pesantren itulah
yang menentukan watak ke-Islam-an dari kerajaan Islam, dan yang
374
memegang peranan aing penting bagi pemnyebaran Islam sampai pelosok.
Dari lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang
pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas telah
dikumpulkan oleh pengembara pertama dari perusahaan dagang Belanda
dan Inggris sejak abad ke-16.Masyarakat pesisir memiliki ciri khas dalam
kegiatan kebudayaannya. Kota pasuruan salah satunya, wilayah Pasuruan
ini dahulu merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Pulau Jawa.
Budaya yang biasa dilaksanakan sedekah desa atau sedekah bumi adalah
budaya masyarakat yang sudah dilakukan sejak lama dan menimbulkan
efek positif karena bias menjadi ajang bersilaturrahmi antarwarga, Setiap
tradisi dilestarikan melalui proses pelembagaan oleh kaum elitnya.
Pelembagaan tradisi yang dimaksudkan agar tradisi sebelumnya tidak
hilang begitu saja, agar tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang disebut pewarisan nilai,
kebudayaan, moral, dan ajaran-ajaran suci yang diabsahkan melalui
transformasi, sosialisasi dan enkulturasi.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup pemaknaan
kata-kata sinonim dalam Al-Quran pada kata Al - ard. Berikut rumusan
masalahnya:bagaimana tinjauan semantik terhadap makna kata Al - ard
dan padanannya dalam surat yusuf? Adapun tujuannya adalah untuk
mengetahui analisis semantik dan padanan kata Al - Ard serta turunannya
dalam surat Yusuf.
Penelitian yang berkaitan dengan topik ini pernah dilakukan oleh A.Asep
Saefuddin (2007)dengan judul Analisis Semantik terhadap kata Firqah dan
Padanannnya dalam Al-Qur’an. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan menggunakan metode deduktif. Penelitian lainnya
dilakukan oleh A. Wartini Palastren dengan judul Tafsir Feminis Telaah
Ayat-Ayat Gender Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
Semantik mengandung pengertian tentang studi makna. Dengan anggapan
bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, makna semantik bagian dari
linguistik. Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik
biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol
kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatik, penggunaan
praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.
Semantik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk
memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik
375
mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika.
Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide-dari populer yang
sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk
menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata
atau konotasi. Masalah pemahaman ini telah menjadi subjek dari banyak
pertanyaan formal, selama jangka waktu yang panjang, terutama dalam
bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah studi tentang
interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau
masyarakat dalam keadaan tertentu dan konteks. Dalam pandangan ini,
suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik
konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang
studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca
mengandung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung
konten semantik lainnya.
Al-Qur’an mempunyai cakupan yang sangat luas baik kehidupan
dunia maupun akhirat. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, merupakan
satu kitab yang sangat agung, Karena sama aspek kehidupan dan persoalan
kemasyarakatan ada di dalamnya maka jelas Qurash Shihab (1993: 83)
mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah sebagai kitab suci yang menempati
posisi sentral. Karena Al-Quran sebagai sentral dari ajaran Islam maka
untuk memahami isi kandungannya itu haruslah menguasai berbagai
disiplin ilmu, dan salah satu ilmu yang terpenting adalah ilmu kebahasaan,
karena tanpa tahu dan mengenal lebih dekat mengenai Ilmu kebahasaan
mana mungkin kita dapat mengetahui serta memahami makna-makna
atau kandungannya ajaran yang terdapat dalam kitab suci tesebut. Salah
satu karakteristik bahasa Arab adalah kekayaan kosa kata, terutama untuk
lebih memahami kajian makna Al-Quran untuk masa sekarang, kita
mengenal pendekatan semantik salah satu pendekatan diantara sekian
banyak pendekatan tafsir yang telah berkembang. Semantik merupakan
ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang
lebih luas dari kata. Pendekatan analisis semantik dalam Al-Quran adalah
menganalisis semantik atau konseftual terhadap bahan- bahan yang
disediakan oleh kosakata-kosakata Al-Quran dengan dua pendekatan;
semantik sebagai metodologi dan al-Quran sebagai sisi materialnya.
376
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian penulis menyusun langkah-langkah penelitian
sebagai berikut:
1. Metode penelitian menggunakan metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode ini dipilih karena
merupakan metode yang menggambarkan fenomena-fenomena,
kejadian faktual, atau terpusat pada masalah empirik yang kemudian
diolah, diklasifikasikan, di analisis dan di tafsirkan (Arikunto,
1998:245).
2. Sumber Data dalam mengkaji, menganalisa objek yang sedang dikaji,
penulis memerlukan data-data bersumber atau didapat dari buku
ataupun orang, dalam hal ini penulis mnggunakan yang pertama
(buku).sumber data ini terbagi ke dalam dua macam yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber
data yang bersifat pokok, sedangkan sumber data sekunder adalah
sumber data yang besifat penunjang terhadap sumber primer.
A. Sumber data Primer
:
1. Al-Qur'an
2. Buku-buku tentang teori semantik
B. Sumber data sekunder :
1. Buku-buku tentang Ulum Al-Qur'an
2. Kamus Arab Indonesia
C. Pengumpul Data dalam proses pengumpulan data, peneliti
menggunakan studi kepustakaan berupa kitab-kitab tafsir, kamus
dan ensklopedi bahasa Arab.Penelitian ini memakai semantik
untuk meneliti makna signifikansi dari kata Al - ard dalam Surat
Yusuf. Penulis menggunakan metode semantik Al-Qur’an dengan
menggunakan metode Toshiku Izutsu seorang ahli linguistik yang
tertarik pada Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode
Toshiku Izutsu yang paling sederhana yaitu dengan mencari kata
kunci. Kata kunci dimana memliki makna dasar dan makna
relasional.Di dalamAl-Qur’an banyak sekali contoh kata Al - ard
yang serupa mengenai pengguanaan kata yang sempurna dengan
mengumpulkan data kedalam suatau tempat, maka akan diperoleh
definisi serta makna asli dari kata tersebut. (Izutsu, 1997:30)
377
D. Untuk menganalisis data-data yang terkumpul, maka
pengolahannya di lakukan dengan menggunakan langkah-langkah
berikut:
1. Menelaah buku-buku yang relevan dengan tema penelitian
2. Mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung Al - Ard.
3. Melakukan pendekatan terhadap analisis-analisis yang
dibutuhkan.
4. Menyampaikan hasil penelitian dengan menggunakan analisis
semantik
E.
Pengambilan kesimpulan Langkah yang terakhir adalah suatu
kesimpulan tentang konsep-konsep yang sedang dibahas. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui ringkasan jawaban dari pertanyaan
singkat dalam rumusan masalah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan sebuah makna implisit
yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan bahasa tidak hanya bukan
sekadar bunyi namun memilikimakna konvensional. Bahasa yang
berwujud bunyi itu juga pada hakikatnya pengganti diri, sistem lambang
dan alat untuk komunikasi baik lisan maupun tulisan. Untuk memahami
kajian makna, maka kita mengenalmetode analisis semantik yang
dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu, menurutnya semantik adalah kajian
analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu
pandangan yang akhirnya sampai pada suatu pengertian konseptual
weltanschaung, pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa,
terutama pengkonsepan dan penafsirandunia yang melingkupinya.
(Izutsu, 1993:3)
Tujuan dari mempelajari semantik yaitu bersifat praktis sekadar
untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung erita yang akan
disampaikan kepada masyarakat. Sebagian manusia mengira bahwa untuk
mengetahui makna kalimat cukup hanya kembali pada kamus atau
membaca terjemahan. Dan bila hal ini cukup bagi sebagian kalimat, maka
ia tidak cukup bagi kebanyakan yang lainnya. Bahwa makna memiliki lima
jenis yaitu: makna asasi (makna dasar), makna markaji (pusat) kadang
disebut juga makna konseptual atau makna idroki (cognitive). Makna arsy,
atau mulki yaitu makna yang dimiliki oleh lafadz dengan cara sesuatu yang
378
menunjukan obyeknya kepada makna kognitif. Penafsiran semantik
adalah sebuah tafsir yang tergolong corak kebahasaan.
Toishihiko Izutsu (1993:15), mengatakan bahwa cara yang paling
baik dalam meneliti adalah mencoba menguraikan kategori semantik
sebuah kata menurut kondisi pemakai kata tersebut, keadaan lingkungan
serta gambar peristiwa tertentu ketika kata itu digunakan. Hanya
berusaha menjawab persoalan itu, maka makna yang benar dari sebuah
kata akan kita temukan. Adapun metode analisis semantik yang
ditawarkan Izutsu ialah sebagai berikut: Pertama, Memberikan kata
padanananya dalam bahasa yang sama. Ini cara yang sangat sederhana dan
paling umum digunakan, namun diakuinya bahwa cara ini kurang dapat
diandalkan. Kedua, Menyelidiki kata tersebut, jenis, sifat, bentuk
perbuatannya, berdasarkan bahasa arab.
Kata Al - Ard disebut dalam QS. Yusuf berulang-ulang seperti pada
ِمْهِ لهَ ِل:
ه
ayat
(55-56)
yang
berbunyi
اْه ل
َ َُ لَْ لََ َق
ا
سه
ع َُ لَْهمعَمبَ ا
هِلْض لَْهمْل ل
ََُُِّ هَ ََْ ل
ِلَََِء ه
قْْل َّ ِلَ ِلِ هَ َِف ِل
همفمههب هَق ِلَِهماَ ِل
ع َُ لَْهمس ََا ه لْلِ لهَيهَهَََ َّم ِل
َََِِ َّم ِل
طرهم ِلَِِ ِل
يِ ِل
َُ ِل
َبُ ِلِ ل
ا لمة هَْ لْلِ لهََه ه
َمْ هلمَُمَبَُ ه
لَي ه
يق
لََََِ لَََ هق
َ َمنِه
َ َِ
َ
َ ِسيَْه
َ
َ زو
َلفِه َّرموَ هج ه
ُ َذ
ُ َ َكل.
ض َِ ل
هف هَِهِلع َََِ ِلهُ ِل
َ جي ا
هما لِلَْهمع ََمَ ه
ِ ه
ِلَمْله هَيهَِل ِلَ َِ ه
ِا َمق
َ ذ
َ َِمْا
َ ٌ:
َ ََموي
َ َ َز
قف
َ ُ ِ َََِّ
َ َا َو
وأ و
َ ٌَا
َ َك
َ َس
َ ٌََّ
َ مهاويِو.
َ ٌََِيَ ِ ُاأ
ِ ْ
ُ َل َما
َ ُزإ
َ َ لوا
َ ِج
َ ر
َ َ
َ ِوطفَّاا ِ َا َو
َ الو
ُ ِِيغَ َز
ُ لواََاغ
َ ا
ِف
َوين
هََ ُف
يغ َُموَوْا ا
ٌَّ ٌَيَ ا
disertai dengan penyebutan kata-kata lain senada atau bersinonim dengan
makna kelompok seperti kata berikut ini: Qoryata (bagian dari baldah)
dalam ayat yusuf 82 yang berbunyi َٱ َ لهَََِْ هقم َُِ هَم ِلَ َِّم ََّْاَٱ لَْ هَ لمِ هقهط َ لهلـْ َقس
َهوَْلَّم ق ََُِهم ِه لِِ لهَِهم ََّْا لق
َ
َ ْ َََلاف رانَف ىَََِ َغ ََااء
ُ ِي
ْه ُ هMulki yang berarti negeri, kerajaan pada ayat 101 د َِّ باف
ُق ِلَِ هق
ِص
م َف
َ
َ س
َ َوهامَف ف
ِ
َ ٌ لأ ران
. Kata-kata tersebut dikonotasikan memiliki
َ ِ ََه
َ َّ ِيت
َ َّ ْ
ْ ََااء
ٌ اف
َََِِّوَال ف
ز اف
أا ََأ ا
keterkaitan makna dengan kata Al - Ard. Dalam surat Yusuf menyebutkan
bahwasanya negeri Ardhi. Maka dengan melihat gambaran masalah diatas
dianggap penting dan meski diungkap secara tegas dengan cara melihat
keseluruhan kata-kata yang berbicara tentang Al - ard dan padanannya
dalam surat Yusuf mesti dilakukan penelitian yang seksama dan
komprehensif, yakni dengan menggunakan pendekatan semantik. Dalam
pendekatan referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam
kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan
makna itu hadir karena adanya pengamatan terhadap fakta dan penarikan
kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif. Terdapat
julukan simbolik dalam kesadaran individual, memungkinkan mmanusia
untuk mengembangkan skema konsep. KataAl - ardbukan hanya menunjuk
kerajaan, melainkan memperoleh julukkan sebagai “kekuasaan,
singgasana, pemerintahan, negeri”. Sehingga kesadaran pengamatan dan
379
penarikan kesimpulan dalam pemaknaan berlangsung melalui bahasa.
Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa yang digunakan
disitu adalah bahasa perseorangan atau private language (Harman, 1968).
Keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi,
pandangan, maupun minat secara individual. kataAl - ard yang
berarti“kekuasaan” dimana diartikan di dalam surat Yusuf ini bukanlah
yang mempunyai kekuasaan adalah para pejabat atau otoriter negara,
tetapi yang dimaksud dalam surat Yusuf itu makna dari kekuasaan yaitu
kekuasaan Tuhan pencipta langit dan bumi bukan kekuasaan dari
manusia. Terdapat ciri mempribadi ditandai dengan kata-kata khas yang
dimaknai khusus.
Julukan dan makna hasil observasi atau kesadaran pengamatan
individual, pada dasarnya masih bertumpu pada makna hasil penunjukan
dasar. Apa yang dilakukan individu hanyalah menambahkan atau memberi
konotasi. Apabila kata yang masih menunjuk pada makna dasar itu bersifat
denotatif, makna kata yang telah diberikan julukan lain mengandung
makna konotatif yakni tambahan makna lain terhadap makna dasarnya.
Penambahan itu sebenarnya bukan hanya khas dalam kreasi sastra sesuai
minat individu, fakta yang tergambar dalam kata akhirnya memperoleh
julukan individual sendiri-sendiri. Kata Al - Ard, misalnya bagi para
penguasa negara atau parlemen, orang-orang yang menjabat ada
wewenang dapat diartikan “pemerintahan” dalam surat yusuf diartikan
“kekuasaan” yang berarti Tuhan menciptakan langit dan bumi. Pemberian
julukan dan pemaknaan yang bertumpu pada dunia luar itulah yang
akhirnya menjadi ciri lain dari pendekatan referensial. Dengan demikian
upaya memahami komunikasi makna hasil kesadaran pengamatan
subjektif tidak cukup bila hanya bertolak dari sistem komunkasi
keseharian. Dengan kata lain, sistem konvensi dalam bentuk komunikasi
khas itu secara simultan juga harus dipahami.
380
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mizan Fī Tafsīrul Quran. Teheran: Markaẓul Islam Az-Ḍikrā.Al-Zarqony
Abdul Aziz. 1980. Manahil "Irfan Ulumul Quran, Kairo:AL-Halabi.
Aminuddin.2008.Semantik.Bandung:Pener
bit Sinar Baru Algensindo.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik: Pengantar ke Arah Ilmu Makna.
Bandung: Eresco.
Kridalaksana, Harimurti.1982.Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Palmer,F.R.1981.Semantics.London:Cambridge University Press.
Samsuri.1982.Analisis Bahasa. Jakarta:Erlangga
Yusuf, Kadar.2010. Studi Al-Qur-an. Jakarta :Kreasindo Mediacita
Pemberi Saran
1. Ummu Fatimah Ria Lestari
(Universitas Gadjah Mada)
Diawali dengan sejarah perkembangan Islam Jawa dan Islam
Pantura.
381
EUFEMISME DALAM DEBAT PILKADA DKI JAKATA TAHUN 2017
Nina Sulistyowati*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: nina.sulistyowati1989@gmail.com
A B S T R A K
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tipe dan fungsi
eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Selain itu, tipe
dan fungsi eufemisme pada tataran apa yang paling dominan, dan tuturan
siapa yang paling banyak mengandung unsur eufemisme juga disajikan
dalam penelitian ini. Sumber data diambil dari videodan trankrip debat
Pilkada DKI Tahun 2017 putaran pertama yang diselenggarakan oleh KPU
pada tanggal 13 Januari 2017.Data dianalisisdenganteoriAllan&Burridge
(1991) danWijana (2008) mengenaitipe dan fungsieufemisme. Penelitian
menemukan 7 tipeeufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun
2017, yaitu menggantikan satu kata dengan kata yang lain, kolokial,
flipansi, ekspresi figuratif, sirkumlokusi, peminjaman bahasa lain, dan
bentuk umum ke khusus. Selain itu, dari 5 fungsi eufemisme dalam teori
Wijana (2008), hanya 3 fungsi yang muncul, yaitu sebaga ialat untuk
menghaluskan ucapan, sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu dan
sebagai alat untuk berdiplomasi. Akan tetapi, ditemukan fungsi lain
eufemisme dalam ranah debat, yaitu sebagai alat untuk membentuk citra
diri di mata masyarakat dan sebagai alat untuk menyindir atau mengkritik
kebijakan lawan politiknya.
Keywords: Eufemisme, Debat Politik
PENGANTAR
Debat pilkada merupakan wahana bagi masyarakat untuk menilai
secara transparan kapasitas tiap pasangan calondalam beradu argument
dan pandangan mengenai masalah yang terjadi di Jakarta. Hal tersebut
menjadikan penggunaan bahasa pasangan calon dalam debat sangat
menentukan citra mereka di mata masyarakat. Oleh karena itu,
dibutuhkan kecerdasan pemakaian bahasa oleh tiap pasangan calon dalam
382
memaparkan visi misi dan program kerjanya. Sifat eufemisme yang
menyamarkan maksud yang bernada kasar dengan ungkapan yang
diperhalus menjadikan eufemisme sebagai gaya bahasa pilihan politisi
dalam menyampaikan argumennya (Fernandez, 2014:6). Selain itu,dalam
debat politik, eufemismejuga dapat digunakan untuk merahasiakan
sesuatu, berdiplomasi, mengkritik lawan politik dan bahkan dapat
digunakan untuk membentuk citra positif di mata masyarakat.
Berdasarkan keunikan tersebut, penelitian mengenai eufemisme dalam
debat politik menjadi sangat menarik untuk diteliti.
Penelitian mengenai eufemisme sudah banyak diteliti, misalnya yang
mengkaji bentuk, tipe, dan fungsi eufemisme pada berbagai teks
(Sangkawentar Pujaningrat, 2011; Dita Sukma Sari, 2013), eufemisme
dalam arena politik (Savo Karam: 2011), dampak sosial dan kognitif
penggunaan eufemisme dalam Bahasa Inggris (Narmina Fataliyeva Arif:
2015) persamaan kata (Jackova, 2010), fungsi eufemisme dalam
komunikasi di Persia (Bakhtiar, 2012), dan perbandingan penggunaan
eufemisme antara kalangan muda di Rusia dan Inggris (Greene,
2000).Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus
pada tipedan fungsi eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun
2017.
Allan dan Burridge (1991: 14) mengkategorikan 16 tipe eufemisme,
yaitu: figurative expression, flippancy, remodeling, circumlocution, clipping,
acronym, abbreviation, omission, one for one substitution), general for
specific, part for whole euphemism, hyperbole, understatement, jargon,
colloquial, dan borrowing. Selanjutnya, Wijana (2008: 104-109) membagi
lima fungsi utama eufemisme di dalam berbahasa, diantaranya adalah
sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, merahasiakan sesuatu, alat
berdiplomasi, alat pendidikan, dan alat penolak bala untuk memperoleh
ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, dan keselamatan.
Data penelitian ini diambil dari tuturan yang mengandung
eufemisme yang dituturkan oleh cagub dan cawagub DKI dalam Debat
Pilkada DKI Tahun 2017 yang didukung dengan konteks pada saat tuturan
tersebut dituturkan. Sumber datadiambil dari video dan transkripdebat
putaran pertama yang diselenggarakanoleh KPUpada tanggal 13 Januari
2017 dan terdiri dari 6 sesi debat dengan tema pembanguan sosial
ekonomi untuk Jakarta.Data dikumpulkan dengan menggunakan metode
simak dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993:133) dan dimasukkan pada
383
kartu data sehingga menjadi transkrib data yang telah diklasifikasikan.
Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan teori Allan&Burridge
(1991) dan Wijana (2008).
PEMBAHASAN
Ditemukan 103 data eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta
tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap calon menggunakan
eufemisme dengan persentase yang berbeda. Selain itu, ditemukan 7 tipe
eufemisme dan 5 fungsi eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun
2017. Berikut rinciannya:
NO
NAMA CAGUB DAN CAWAGUB
JUMLAH
PERSENTASE
1
AGUS
30
29.5%
2
AHOK
26
25.5%
3
ANIES
21
20.5%
4
DJAROT
14
13.5%
5
SANDIAGA
7
6.5%
6
SYLVI
5
4.5%
103
100%
TOTAL
Tabel 1. Presentase Penggunaan Eufemisme oleh Cagub dan Cawagub
dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
NO BENTUK EUFEMISME
JUMLAH
PERSENTASE
1
One for one Substitution
37
36%
2
Colloquial
16
15.5%
3
Figurative Expression
15
14.6%
4
Flippancy
14
13.6%
5
Circumlocution
9
8.7%
6
Borrowing
6
5.8%
7
General for specific
6
5.8%
384
TOTAL
103
100%
Tabel 2. Bentuk Eufemisme dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
NO FUNGSI EUFEMISME
JUMLAH
PERSENTASE
1
Membentuk Citra Positif
27
26.2%
2
Mengkritik/Menyindir Lawan Politik
23
22.3%
3
Menghaluskan Ucapan
21
20.4%
4
Berdiplomasi
18
17.5%
5
Merahasiakan
Sebenarnya
yang 14
13.6%
Kenyataan
TOTAL
103
100%
Tabel 3. Fungsi Eufemisme dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017
1. Tipe EufemismedalamDebatPilkada DKI Jakarta Tahun 2017
Berikut ini adalah contohtipe eufemisme yang ditemukan dalam
debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017:
a. One for One Substitution
(1) “Pemindahan bila dilakukan, maka pemindahan itu dengan
memperhatikan
haknya.
Dengan
memperhatikan
penghidupannya”. (Anies, Sesi 3)
Anies menggunakan kata “pemindahan” sebagai strategi untuk
menghaluskan makna “penggusuran” walaupun sebenarnya kedua kata
tersebut bermakna sama. Penghindaran penggunaan kata “penggusuran”
disebabkan karena masyarakat merasa trauma dengan penggusuran yang
dilakukan oleh gubernur sebelumnya.
b. Kolokial
(2) “Meskipun begitu banyak kekuatan, kita akan hadapi.” (Anies, Sesi
2)
Kata “kekuatan” merupakan istilah umum yang dalam konteks debat
pilkadaberarti“pejabat pemerintah”. Anies menyampaikan bahwa ia akan
memerangi narkoba walaupun akan ada banyak halangan dari “pejabat
pemerintah” yang melindungi peredaran narkoba di Jakarta.
385
c. Ekspresi Figuratif (Figurative Expression)
(3) “Dengan demikian, jangan hanyamembangun badannya, tetapi
bangunlah jiwa kota ini”. (Agus, Sesi 3)
Ungkapan pada data (3)bermakna “jangan hanya membangun
infrastruktur dan fasilitas kota Jakarta saja, akan tetapi juga perlu
menyejahterakan dan memberikan rasa aman bagi masyarakat”. Agus
memperhalus kalimat pada data (3) dengan ekspresi figuratif karena
dibalik pembangunan tata kota tersebut, ternyata banyak penduduk yang
harus rela menderita dengan adanya penggusuran.
d. Flipansi (Flippancy)
(4) “Saya akan berdiri yang terdepan bersama seluruh warga Jakarta
untuk mengubah warga ibukota menjadi semakin modern dan
unggul”. (Agus, Sesi 1)
Makna yang sebenarnya dari “berdiri yang terdepan” adalah berdiri
dalam barisan yang paling depan diantara yang lain. Sedangkan dalam
konteks debat pilkada DKI, berdiri yang terdepan dapat diartikan sebagai
“memimpin warga Jakarta” atau “menjadi gubernur”.
e. Sirkumlokusi (Circumlocution)
(5) “Ketika kita berbicara tetang mengelola warga ditepi sungai,
Jakarta bukan kota yang pertama”. (Anies, Sesi 3)
Anies menghindari menggunakan kata “menggusur” dan memilih
menggunakan ungkapan“mengelola warga ditepi sungai”karena
penggusuran merupakan isu yang sensitif bagi masyarakat Jakarta,
walaupun sebenarnya keduanya memiliki makna yang sama.
f. Peminjaman Bahasa Asing
Sesuai data, hanya ditemukan peminjaman bahasa asing dari bahasa
Inggris saja. Berikut adalah contohnya:
(6) “Kita akan melakukan apa yang disebut dengan urban renewal,
peremajaan kota. Penataan ulang, bukan dokosongkan. Aaplagi
dikosongkan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan”. (Anies, Sesi
3)
Jika terpilih nanti, Anies akan melakukan urban renewal atau
peremajaan kota dibanding dengan “penggusuran” yang dianggap lebih
banyak merugikan warga Jakarta. Walaupun sebenarnya dalam konteks
386
ini, urban renewal memiliki makna yang sama dengan penggusuran, akan
tetapi ketika dirasakan urban renewal memiliki makna yang lebih halus
g. Umum ke Khusus (General for Specific)
(7) “Ketika mereka sakit dengan biaya dan butuh bantuan,
pemenrintah hadir untuk membantu mereka”. (Djarot, Sesi 1)
Djarot menggunakan “bantuan” sebagai bentuk umum dari “bantuan
uang” agar tidak ada pihak yang merasa direndahkan. Karena
bersinggungan dengan masalah ekonomi masyarakat, Djarot berhatihatiandalammencariistilah yang tepat ketika menyampaikan pendapat di
dalam debat.
2. FungsiEufemismedalamDebatPilkada DKI Jakarta Tahun 2017
Tidak semua fungsi eufemisme dalam teori Wijana (2008)
ditemukan dalam debat pilkada DKI ini. Dari 5 fungsi yang ada, hanya 3
fungsi yang muncul, yaitu sebagai alat untuk menghaluskan ucapan,
sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu dan sebagai alat untuk
berdiplomasi. Akan tetapi, dalam peneitian ini ditemukan fungsi lain
eufemisme dalam ranah debat, yaitu sebagai alat untuk membentuk citra
diri di mata masyarakat dan sebagai alat untuk menyindir atau mengkritik
kebijakan lawan politiknya.Berikut ini adalah contoh fungsi eufemisme
yang ditemukan dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017:
a. EufemismesebagaiAlatuntukMenghaluskan Ucapan
(8) “Dibidang pendidikan, kami juga akan menghadirkan KJP plus
dimana ini adalah jawaban yang ditunggu para keluarga kurang
mampu”. (Sandiaga, Sesi 1
Sandiaga menggunakan variasi bahasa eufemisme, yaitu “keluarga
kurang mampu”untuk memperhalus ungkapan “keluarga miskin”.
Penggunaan “keluarga miskin” jika disampaikan dalam konteks debat dan
akan berpotensi menyinggung rakyat Jakarta yang berada dalam ekonomi
menengah ke bawah.
b. EufemismesebagaiAlatuntukMerahasiakan Sesuatu
(9) Kemudian ketika mereka tidak bisa bayar, mereka diusir, sudah
pindah dari rumah dan akar budayanya dia juga harus terusir dari
rusunawanya. On site upgrading adalah menata kota tanpa
menggusur
387
Sylvi dan Agus memiliki program on site upgrading untuk mengatasi
persoalan penertiban daerah kumuh serta banjir yang dilakukan dengan
merelokasi sementara kawasan kumuh ketempat lain, kemudian
dilakukan pembangunan rumah susun di tempat yang agak jauh dari
sungai untuk menjadi tempat tinggal permanen warga. Istilah ini
digunakan untuk mengaburkan kenyataan bahwa program penataan kota
“geser tanpa gusur” yang diwarkan oleh Sylvi dan Agus sebenarnya juga
dilakukan dengan cara menggusur akan tetapi bahasanya dikemas dengan
cara yang halus untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya.
c. EufemismesebagaiAlatuntukBerdiplomasi
(10) Kebijakan-kebijakan ini harus kita ambil, disamping kita
menormalisasi sungai dan banjir sudah berkurang. (Djarot, Sesi
3)
Menormalisasi sungai memiliki makna pengembalian fungsi utama
sungai, dan secara otomatis pemukiman kumuh dan bangunan yang
berada di tepi sungai akan ditertibkan atau digusur. Penggunaan
eufemisme inibertujuan untuk berdiplomasi agar tidak menimbulkan
kecemasan warga Jakarta yang tinggal di bantaran sungai.
d. EufemismesebagaiAlatuntukMembentuk Citra Positif di Mata
Masyarakat
(11) Pemindahan bila dilakukan, maka pemindahan itu dengan
memperhatikan
haknya.
Dengan
memperhatikan
penghidupannya. (Anies, Sesi 3)
Anies memaparkan tanggapannya terhadap permasalahan yang
terjadi di Jakarta, yaitu banjir, penggusuran dan program rumah susun.
Secara tegas Anies menolak penggusuran karena bertentangan dengan
keadilan. Sesuai dengan data 25 Anies lebih memilih menggunakan variasi
bahasa eufemisme, yaitu “pemindahan” dari pada kata “penggusuran”
yang sebenarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama.
Eufemisme tersebut dituturkan untuk membentuk citra positif sebagai
calon gubernur DKI yang pro rakyat karena rakyat Jakarta banyak yang
tidak setuju dengan adanya penggusuran sebagai cara untuk
menormalisasi sungai.
388
e. Eufemisme sebagai Alat untuk Menyindir atau Mengkritik Lawan
Politik
(12) Bapak punya alasan tentunya mengapa menggusur, tetapi
bagaimana
perasaan
Bapak
sebagai
pengambil
kebijakantersebut melihat masyarakat yang hidupnya semakin
sulit? (Agus, Sesi 4)
Agus memilih menggunakan variasi bahasa eufemisme “pemegang
kebijakan” dari pada “gubernur” untuk menekankan bahwa Ahok adalah
orang nomor satu yang berkuasa dalam menentukan kebijakan apa yang
terbaik bagi rakyat Jakarta. Agus berpendapat, seharusnya ada cara lain
yang dapat ditempuh tanpa melukai masyarakat dan membuat kehidupan
mereka semakin sulit. Dibalik pembangunan fisik tersebut, banyak
penduduk yang harus rela menderita dengan adanya penggusuran.
Ungkapan ini diucapkan sebagai bentuk kritikan atas keputusan Ahok
yang hanya berfokus untuk mempercantik kota, meningkatkan fasilitas
dan membangun insfrastruktur tanpa memperdulikan perasaan warga
Jakarta yang sudah tergusur.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa eufemisme
merupakan salah satu gaya bahasa yang dipilih oleh pasangan cagub dan
cawagub DKI Jakarta tahun 2017 dalam menyampaikan pendapatnya
didalam debat sebagai bentuk penghalusan terhadap kata atau ungkapan
yang memiliki nilai rasa lebih rendah. Tipe dan fungsi eufemisme yang
digunakan oleh calon gubernur dan wakil gubernur dalam debat pilkada
DKI tahun 2017 erat kaitannya dengan konteks kultural dan sosial
masyarakat Indonesia yang selalu mengedepankan kesopanan dalam
bertutur kata sekalipun dalam suasana debat. Hal ini menyebabkan para
pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur lebih memilih
menggunakan eufemisme untuk membentuk citra positif di mata
masyarakat sebagai pemilih.
389
DAFTAR PUSTAKA
Allan, Keith & Burridge, Kate. 1991. Euphemism and Dysphemism.
Language Used as Shield and Weapon. Oxford: Oxford University
Press.
Arif, N Fataliyeva. 2015. “Social and Cognitive Implication of Using
Euphemisms in English”. International Journal of English Linguistics.
Vol. 5 No. 6 November, 2015 Published by Canadian Center of
Science and Education.
Bakhtiar, M. 2012. “Communicative Functions of Euphemism in Persian”.
The Journal of International Social Research, Vol. 5, Hal. 7-12
Fernandez, E. C. 2014. “Euphemism and Political Discourse in the British
Regional Press”. Brno studies in English Volume 40, No. 1. Hal. 5-26
Greene, C. T. 2000. “The Use of Euphemisms and Taboo Terms by Young
Speakers of Russian and English”. Thesis. Alberta: University of
Alberta
Jackova, M. 2010. “Euphemisms in Today’s English”. Bachelor Thesis. Zlin:
Tomas Bata University
Karam, Savo. 2011. “Truths and Euphemisms: How Euphemisms are Used
in the Political Arena”. Vol. 17 No. 1. 3L: Language, Linguistics,
Literature the Southeast Asian Journal of English Language Studies.
Pujaningrat, S. 2011. “An Analysis of Euphemism in Rubric World of the
Jakarta Post of December 2010 Edition”. Thesis. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Sari, D. S. 2013. “Euphemism Found in Opinion Column of the Jakarta Post
Newspaper”. English Language and Literature E-Journal, Hal. 77-82
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa Pengantar
Penelitian Wahana Budaya secara Linguistik. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. (2008). Semantik, Teori dan
Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Sumber Elektronik
Video
debat
pilkada
DKI
Jakarta
tahun
2017
https://www.youtube.com/watch?v=FtqW5lscU1M&t=172sdiakse
s pada 27 November 2017
Transkrip
debat
pilkada
DKI
Jakarta
tahun
2017
https://tirto.id/transkrip-debat-perdana-pilgub-dki-jakartasegmen-satu-cg diakses pada 27 November 2017
390
HASIL DISKUSI SEMINAR
SARAN DAN PERTANYAAN
1. Hasil temuan menunjukkan bahwa Agus lebih banyak menggunakan
eufemisme daripada Silvi. Padahal, jika ditinjau dari sisi gender,
seharusnya bahasa perempuan lebih condong pada eufemisme.
Menurut anda, apakah ada faktor lain yang ikut menentukan hal ini?
(Nurul Pratiwi, S2 Ilmu Linguistik UGM)
Jawaban:
Bahasa dan gender memang sangat menarik untuk diteliti. Lakoff
menyatakan bahwa perempuan atau femininlebih memilih kata-kata
yang halus dan sopan dalam bertutur kata. Namun, penelitian ini
dilakukan pada tahun 1973. Beberapa penelitian terbaru mengenai
bahasa dan gender yang menunjukkan bahwa laki-laki bahasanya
jauh lebih feminine dari pada perempuan dan begitu juga sebaliknya.
Jadi hal tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai patokan bahwa
perempuan akan cenderung memakai eufemisme yang lebih tinggi
frekuensinya dalam debat pilkada.
2. Salah satu tipe eufemisme yang anda temukan adalah peminjaman
bahasa asing. Apakah ditemukan bahasa asing lain selain bahasa
Inggris? Karena bahasa daerah pun juga termasuk bahasa asing.
(Titis Kris Pandu Kusuma, S2 Ilmu
Linguistik UGM)
Jawaban:
Sesuai dengan data temuan saya, tidak ada eufemisme dalam bahasa
daerah dan hanya ditemukan peminjaman bahasa asing dari bahasa
Inggris saja
391
POTENSI WIKIPEDIA SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN BAHASABAHASA NUSANTARA
Nur Fahmia
Sastra Indonesia FIB UGM
nfahmia.id@gmail.com
ABSTRAK
Wikipedia merupakan satu dari situs ensiklopedia bebas pertama yang
menjadi rujukan masyarakat Indonesia. Dengan prinsip “bebaskan
pengetahuan”, Wikipedia kemudian menyediakan informasi ke dalam
bahasa-bahasa di dunia seperti bahasa Indonesia. Komunitas sukarelawan
Wikipedia Indonesia pun sadar bahwa terdapat ratusan bahasa daerah di
Nusantara. Untuk mempermudah akses informasi melalui bahasa ibu,
maka Wikipedia menyediakan bahasa-bahasa Nusantara. Saat ini, sudah
terbentuk Wikipedia bahasa Aceh, bahasa Banjar, bahasa JawaBanyumasan, bahasa Bugis, bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa
Minangkabau, bahasa Sunda, dan bahasa Tetun. Saat ini, Wikimedia
Inkubator sedang menggodok setidaknya 83 bahasa Nusantara. Selain
bahasa daerah, juga terdapat subdialek dan dialek bahasa daerah di
Indonesia dalam Wikimedia Inkubator. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini berupa
penelitian deskriptif dengan studi kasus Wikipedia bahasa Aceh,
Wikipedia bahasa Gorontalo, Wikipedia bahasa Jawa, Wikipedia bahasa
Minangkabau, dan Wikipedia bahasa Sunda. Di dalam makalah ini, akan
dideskripsikan mengenai proses pengembangan dalam rangka pelestarian
bahasa-bahasa Nusantara dalam Wikipedia. Peran komunitas dan aktivitas
komunitas pegiat Wikipedia bahasa-bahasa Nusantara juga akan diteliti.
Sebagai simpulan, Wikipedia berpotensi untuk bersumbangsih dalam
pemertahanan bahasa daerah di Indonesia. Berbagai tantangan dalam
komunitas Wikipedia dan pemertahanan eksistensi bahasa Nusantara
meliputi kesadaran anggota komunitas, fitur teknis Wikipedia, dan istilah
pengetahuan modern dalam bahasa daerah.
Kata kunci: bahasa daerah, ensiklopedia, komunitas tutur, pemertahanan
bahasa
392
1. PENGANTAR
Bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan unik yang dimiliki
oleh Indonesia. Kondisi geografis yang terdiri atas pulau-pulau ikut andil
dalam keanekaragaman bahasa daerah. Wilayah Kepulauan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke disebut oleh KBBI sebagai Nusantara. Sebanyak
652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan telah diidentifikasi dan
divalidasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(http://118.98.223.79/petabahasa/infografik.php ).
Kekayaan bahasa daerah di Indonesia perlu dilestarikan.
Mengapa? Sebab, masyarakat Indonesia mayoritas merupakan
masyarakat dwibahasa, yang menuturkan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Namun sayangnya,
penggunaan bahasa daerah tergeser oleh bahasa Indonesia.
Dalam sosiolinguistik, dikenal istilah pemertahanan bahasa. Dalam
pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif menentukan untuk
melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Disebutkan pula
bahwa pemertahanan bahasa sering menjadi ciri guyup dwibahasa atau
ekabahasa (Sumarsono dan Partana, 2004:231).
Salah satu media informasi yang mendukung pemertahanan
bahasa daerah di Indonesia adalah Wikipedia. Wikipedia adalah proyek
ensiklopedia multibahasa dalam jaringan yang bebas dan terbuka.
Wikipedia dijalankan oleh Wikimedia Foundation yang berbasis di
Amerika Serikat. Menurut sejarah, Wikipedia berbahasa Indonesia berdiri
pada tahun 2003. Saat ini per April 2018, terdapat 83 bahasa daerah di
Indonesia yang terdapat dalam proyek Wikimedia Inkubator. Dengan
prinsip “bebaskan pengetahuan” dan basis komunitas, Wikimedia
mencoba untuk mendistibusikan pengetahuan melalui bahasa daerah di
Indonesia.
Sebuah studi ditulis oleh Asta Zelenkauskaite dan Paolo Massa
berjudul Regional Languages on Wikipedia. Penelitian ini berfokus pada
interaksi pengguna Wikipedia yang berasal dari Venezia. Studi tersebut
menyatakan bahwa Wikipedia tidak hanya berfungsi sebagai media
pelestarian budaya melalui bahasa, tetapi juga menyediakan wadah
komunitas sebagai sarana berbagai cita-cita dan memperpanjang
komunikasi antarpengguna secara langsung.
393
Berkaitan dengan hal itu, studi dalam makalah ini dilakukan untuk
mengidentifikasi Wikipedia sebagai media pelestarian bahasa daerah di
Indonesia. Kemudian, studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan
Wikipedia bahasa daerah di Indonesia serta proyek-proyeknya dan
mendeskripsikan tantangan-tantangan keberlangsungan Wikipedia
bahasa daerah di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan studi kasus
Wikipedia Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia
Minangkabau, dan Wikipedia Sunda. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan observasi dan wawancara. Dalam hal ini, peneliti terlibat dalam
beberapa proyek Wikipedia Jawa sebagai sukarelawan. Selain itu, peneliti
juga melakukan wawancara kepada sukarelawan Wikipedia untuk
Wikipedia Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia
Minangkabau, dan Wikipedia Sunda.
2. WIKIPEDIA BAHASA DAERAH DI INDONESIA
Wikipedia merupakan bagian dari Wikimedia. Di Indonesia,
terdapat Wikipedia bahasa daerah yang telah berhasil didirikan dengan
domain sendiri dengan dukungan Wikimedia Indonesia. Syarat untuk
membuat Wikipedia dengan bahasa tertentu yaitu jumlah orang yang
cukup untuk berkontribusi ke wiki dan bahasa yang diajukan adalah
bahasa yang berkode sah ISO 639. Daftar Wikipedia bahasa daerah yang
telah ber-domain mandiri yakni sebagai berikut (berdasarkan statistik
Wikimedia bulan Maret 2018).
Nama Bahasa Alamat
Kontribusi Jumlah
Jumlah Jumlah
Pertama
Artikel
Editor Penutur
Aktif
Bahasa
Aceh
ace.wikipedia.org 2008
7.284
3
3.500.000
Banjar
Banyumasan
1.900
13.519
1
4
3.500.000
13.500.000
Bugis
bjn.wikipedia.org 2008
map2006
bms.wikipedia.org
bug.wikipedia.org 2005
14.141
0
4.000.000
Gorontalo
gor.wikipedia.org
1.191
3
1.000.000
(sumber:
Ethnologue)
2010
394
Jawa
jv.wikipedia.org
2003
55.017
Minangkabau min.wikipedia.org
2011
222.206 4
6.500.000
Sunda
Tetun
2003
2006
39.651
1.481
27.000.000
550.000
su.wikipedia.org
tet.wikipedia.org
14
11
2
94.000.000
Pada tabel di atas, terdapat zona abu-abu untuk menyebut bahasa
atau dialek. Misalnya, Wikipedia Banyumasan yang telah berdiri sendiri
dengan kode domain map-bms. Kemudian, Wikipedia Tetun pun dominan
dituturkan oleh masyarakat di Timor Leste. Namun, Wikipedia Tetun tetap
menjadi ranah proyek Wikimedia Indonesia. Sebab, Timor Leste
berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur yang masih menjadi wilayah
kerja Wikimedia Indonesia.
Berikut ini daftar Wikipedia bahasa daerah yang masih digodok
dalam Wikimedia Inkubator (data per April 2018).
Wilayah
Bahasa
Sumatera
Alas, Angkola, Bangka, Batak Toba, Gayo, Karo,
Keluwat, Kerinci, Komering, Lampung Api, Lampung
Nyo, Mandailing, Melayu Jambi, Melayu Tengah,
Mentawai, Musi, Nias, Pakpak, Rejang, Sigulai,
Simalungun, Simeulue, dan Singkil
Kalimantan
Bakumpai, Dusun Deyah, Iban, Kendayan, Kutai
Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Lawangan, Ma'anyan,
Melayu Dayak, dan Ngaju
Jawa & Nusa Bali, Betawi, Bima, Kambera, Lamaholot, Lewotobi,
Tenggara
Li'o, Madura, Manggarai, Sabu, Sasak, Sika, Sumbawa,
dan Uab Meto
Sulawesi
Bajau, Banggai, Cia-Cia, Duri, Kaidipang, Kaili Ledo,
Makassar, Mamasa, Manado, Mandar, Mongondow,
Muna, Pamona, Selayar, Tae', Tolaki, Tondano,
Tonsea, Tontemboan, Toraja-Sa'dan, Tukang Besi
Utara , dan Tukang Besi Selatan
Sulawesi
Melayu Ambon, Fordata, Galela, Kei, Melayu Maluku
Utara, Ternate, Tobelo , dan Yamdena
Papua
Biak, Dani, Ekari, Melayu Papua, dan Sentani
395
Lolosnya sebuah Wikipedia bahasa baru dari seleksi Komite
Bahasa Wikimedia melibatkan kerja keras kontributor atau sukarelawan.
Pada tabel di atas, terlihat pula adanya ketimpangan daftar kategori
bahasa, subdialek, dan dialek. Namun, hal tersebut tidak menjadi fokus
dalam penelitian ini. Berikut ini akan dipaparkan mengenai Wikipedia
Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia Minangkabau, dan
Wikipedia Sunda.
Wikipedia Aceh bermula dari Wikimedia Inkubator. Penyebaran
Wikipedia Aceh melalui sosial media, seperti acehforum.or.id, Kaskus, dan
Facebook. Pelatihan menulis di Wikipedia Aceh hanya dilukan secara
personal, seperti forum Warung Kopi di Wikipedia.
Wikipedia Gorontalo resmi diluncurkan dari Wikimedia Inkubator
pada tanggal 18 April 2018. Wikipedia Gorontalo dibuat sejak 2009 dan
vakum hingga tahun 2014. Salah satu indikator penilaian untuk lolos dari
Wikimedia Inkubator adalah target artikel yang ditulis oleh 4—5 orang
setiap bulan. Kontributor yang mengawal Wikipedia Gorontalo sejak
dalam inkubator hingga rilis adalah Marwan Mohammad. Marwan
mengelola grup Facebook dan Whatsapp untuk menyebarkan informasi
tentang Wikipedia Gorontalo. Proses cepat yang dilakukan untuk lolos dari
Wikimedia Inkubator yaitu dengan menerjemahkan artikel dari Wikipedia
bahasa Indonesia. Selain itu, juga dilakukan penulisan artikel baru berupa
tiga sampai lima kalimat sederhana jika rujukannya sulit didapatkan.
Wikipedia Jawa lahir tidak melalui Wikimedia Inkubator, namun
sudah disiapkan domainnya. Pendiri dan pengguna pertama yaitu Revo
Soekatno. Pengembangan Wikipedia Jawa dilakukan melalui fitur
Parembugan Wikipedia, semacam forum diskusi di laman Wikipedia Jawa.
Komunitas Wikipedia Jawa secara luar jaringan terdapat di Yogyakarta.
Untuk meningkatkan budaya tulis bahasa Jawa dalam jaringan, komunitas
Wikipedia Jawa telah mengadakan kompetisi Wiki Mrebawani (Wikipédia
Mangreksa Basa Jawa lan Mumpuni) pada tahun 2015 berupa permainan
daring. Kemudian, Wiki Mrebawani II pada tahun 2017 berupa
perlombaan menulis bahasa Jawa non-fiksi di Wikipedia Jawa.
Pada tahun 2010, dibuat halaman permohonan untuk Wikipedia
bahasa Minangkabau. Salah satu pendirinya adalah Ichsan Mochtar.
Selama dua tahun, beberapa pengguna menerjemahkan terminologi
antarmuka dan menulis artikel bahasa Minang di Wikimedia Inkubator.
Kemudian, pada akhir Januari 2013, Wikipedia Minangkabau disetujui
396
oleh Komite Bahasa Wikimedia untuk rilis dengan domain beralamat
min.wikipedia.org.
Pada awal pendirian, Wikipedia Sunda berkembang ke masyarakat
melalui milis. Salah satu pendiri Wikipedia Sunda adalah Iskandar Adnan.
Seperti Wikipedia Jawa, Wikipedia Sunda pun mengadakan kompetisi
yang bertajuk Wiki Sabanda (Wikipedia Raksa Basa Sunda) yang bertujuan
untuk melestarikan bahasa Sunda.
3. TANTANGAN WIKIPEDIA BAHASA DAERAH DI INDONESIA
Keberlangsungan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia memiliki
beberapa tantangan. Pertama, kesadaran masyarakat terhadap urgensi
melestarikan budaya tulis dalam Wikipedia masih minim. Ditambah lagi,
kontribusi di Wikipedia bersifat sukarela sehingga hanya sedikit orang
yang mau membangun dan memelihara komunitas. Padahal,
keberlangsungan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia tergantung pada
konsistensi komunitas. Hal ini bisa dilihat pada Wikipedia bahasa Bali yang
masih dalam Wikimedia Inkubator karena akumulasi aktivitas
komunitasnya belum memenuhi syarat.
Kedua, penggunaan fitur-fitur Wikipedia bersifat teknis. Maka dari
itu, Wikimedia Indonesia mengadakan proyek WikiLatih. WikiLatih
merupakan pelatihan menulis artikel di Wikipedia Indonesia dan
Wikipedia bahasa daerah. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan
jumlah sukarelawan dan diharapkan untuk membangun komunitas di
daerah. WikiLatih saat ini telah dilaksanakan oleh Wikipedia Minang,
Wikipedia Sunda, dan Wikipedia Jawa ke ranah sekolah, universitas, dan
umum. Namun, konsistensi pengguna setelah diadakan proyek WikiLatih
dan kompetisi masih jauh dari harapan.
Ketiga, penggunaan istilah pengetahuan modern kerap menjadi
kendala saat menulis di Wikipedia bahasa daerah. Tetapi, Wikipedia tidak
memberatkan pengguna. Istilah modern yang belum ditemukan dalam
bahasa daerah dapat diserap melalui bahasa Indonesia. Konsep Wikipedia
adalah semua orang bebas menyunting sehingga istilah tertentu dapat
didiskusikan pada fitur diskusi.
397
4. SIMPULAN
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa
Wikipedia berpotensi untuk bersumbangsih dalam pemertahanan bahasa
daerah di Indonesia. Proses penerbitan Wikipedia bahasa daerah melalui
Wikimedia Inkubator. Selain bahasa daerah, juga terdapat subdialek dan
dialek bahasa daerah di Indonesia dalam Wikimedia Inkubator. Proyekproyek yang dilakukan oleh Wikipedia bahasa daerah terdiri atas
WikiLatih dan kompetisi menulis artikel. Tiga tantangan dalam merawat
komunitas Wikipedia bahasa daerah yaitu kesadaran anggota komunitas,
fitur teknis Wikipedia, dan istilah pengetahuan modern dalam bahasa
daerah.
5. DAFTAR ACUAN
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. cet. ke-2. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Sabda.
Asta Zelenkauskaite dan Paolo Massa. Regional Languages on Wikipedia.
https://www.academia.edu/2736303/Regional_Languages_on_Wikipedi
a._Venetian_Wikipedia_s_user_interaction_over_time. 30 Mei 2018 (20:20
WIB).
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan
dan
Kebudayaan.
Data
Bahasa
Daerah
2017.
http://118.98.223.79/petabahasa/infografik.php. 30 April 2018 (17:40).
Incubator Wikimedia. Bantuan:Panduan. 2018.
https://incubator.wikimedia.org/wiki/Help:Manual/id. 30 April 2018
(17:42).
Wikipedia
Aceh.
https://ace.wikipedia.org/wiki/%C3%94n_Keu%C3%AB. 30 April 2018
(17:46).
Wikipedia
Banjar.
https://bjn.wikipedia.org/wiki/Tungkaran_Tatambaian. 30 April 2018
(17:45).
https://mapWikipedia
Banyumasan.
bms.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama. 30 April 2018 (17:45).
398
Wikipedia
Bugis.
https://bug.wikipedia.org/wiki/Mappadec%C3%A9%C5%8B. 30 April
2018 (17.44).
Wikipedia
https://gor.wikipedia.org/wiki/Halaman_Bungaliyo.
2018(17:45).
30
Gorontalo.
April
Wikipedia
Indonesia.https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia_bahasa_Indonesia. 30
April 2018 (17:47).
Wikipedia Jawa. https://jv.wikipedia.org/wiki/Tepas. 30 April 2018
(17:44).
Wikipedia Minangkabau. https://min.wikipedia.org/wiki/Laman_Utamo.
30 April 2018 (17:44).
Wikipedia Sunda. https://su.wikipedia.org/wiki/Tepas. 30 April 2018
(17.43).
Wikipedia
Tetun.
https://tet.wikipedia.org/wiki/P%C3%A1jina_Mahuluk. 30 April 2018
(17:43).
Wikimedia Indonesia. WikiLatih. http://wikimedia.or.id/wiki/WikiLatih.
30 April 2018 (17:47).
Wikimedia
Indonesia.
Wiki
Sabanda.
http://wikimedia.or.id/wiki/Wiki_Sabanda. 30 April 2018 (17:48).
Wikimedia
Indonesia.
Wiki
Mrebawani.
http://wikimedia.or.id/wiki/Wiki_Mrebawani. 30 April 2018 (17:49).
Wikipedia Statistics. https://stats.wikimedia.org/EN/. 30 April 2018
(17:56).
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1. Penanya (Astrid)
Pertanyaan
: Bagaimana Wikipedia mengontrol vandalisme?
Jawaban
: Di Wikipedia, terdapat editor aktif. Para editor
memeriksa artikel-artikel yang dibuat oleh sukarelawan. Tugas
editor Wikipedia adalah untuk mengontrol terjadinya vandalisme
dan perusakan artikel di Wikipedia. Selain itu, konsep
“pengetahuan bebas” yang diusung oleh Wikipedia memungkinkan
399
adanya kontrol kuat di antara para sukarelawan. Seluruh
sukarelawan tahu artikel dan perubahan yang terjadi di laman
Wikipedia setiap bahasa. Oleh karena itu, sebenarnya, penyunting
dan pengontrol Wikipedia adalah kita semua, sebagai konsumen
sekligus sukarelawan Wikipedia yang merawat Wikipedia sebagai
rujukan pertama pengetahuan yang bebas.
2. Pengusul (Prof. I Dewa Putu Wijana)
Prof. Putu menyarankan untuk mengganti judul makalah dengan
adanya penambahan kata “potensi”. Hal ini bermaksud untuk
melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam Wikipedia.
400
PENERJEMAHAN DIATESIS (VOICE) BERBAHASA INGGRIS
KEDALAM BAHASA INDONESIA PADA TERJEMAHAN NOVEL
THE ADVENTURES OF SHERLOCK HOLMES
Nurul Pratiwi
nurul.koida@gmail.com
Program Studi Ilmu Linguistik
Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Adanya perbedaan frekuensi penggunaan dan makna wacana yang
dihasilkan dari diatesis (voice) pada setiap bahasa menyebabkan unsur
bahasa ini berpotensi ‘bermasalah’ saat akan diterjemahkan (Baker,
2011). Menindaklanjuti pernyataan tersebut, penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan kesejajaran gramatikal dan makna wacana
diatesis antara BSu dengan BSa dalam novel The Adventures of Sherlock
Holmes karya Arthur Conan Doyle yang diterjemahkan menjadi
Petualangan Sherlock Holmes oleh Daisy Dianasari. Metode yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah telaah dokumentasi dan
teknik analisis yang diterapkan adalah komparatif. Hasilnya, ditemukan
diatesis yang sejajar, dimana strukturnya tetap konsisten mengikuti TSu
dan lebih banyak lagi diatesis yang tidak sejajar, dimana strukturnya
berubah menyesuaikan dengan TSa. Perubahan struktur ini kemungkinan
dilandasi oleh beberapa makna wacana yang ingin diwujudkan oleh
penerjemah dalam TSa.
Kata Kunci : penerjemahan, diatesis, kalimat aktif- qpasif, Bahasa Inggris,
Bahasa Indonesia
Pendahuluan
Adanya perbedaan karakteristik sintaksis dan makna wacananya
antara BSu dan BSa menyebabkan penerjemah harus lebih berhati-hati
dalam menentukan padanan yang tepat saat akan menerjemahkan teks.
Salah satu unsur kebahasaan yang perlu diperhatikan dalam
penerjemahan menurut Baker (2011) adalah kesepadanan gramatikal
diatesis (grammatical equivalence of voice). Diatesis yang dimaksud
merujuk pada kalimat aktif dan pasif.
401
Sejumlah penelitian mengenai perbandingan kalimat pasif serta
strategi penerjemahannya telah diteliti dalam berbagai bahasa (Lih.
Abbasi dan Arjenan, 2014; Suprato, 2013; Munif, 2008; dan Haiguang,
2015). Akan tetapi belum ada penelitian yang membahas mengenai kedua
bentuk, yakni aktif dan pasif sekaligus. Begitu pula, pada perbandingan
kalimat pasif Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia hanya difokuskan pada
pergeseran penerjemahan dan ketepatan makna saja. Sedangkan, bahasan
mengenai perbandingan karakter diatesis masing-masing bahasa beserta
makna wacananya masih sangat kurang. Padahal hal ini dipandang perlu
untuk menjadi pertimbangan penerjemah khususnya yang masih pemula.
Larson (1984:3) menegaskan bahwa penerjemah perlu memahami
leksikon, struktur grmatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari
BSu dipelajari. Begitu pula, ketika membahasakan kembali ke dalam BSa
harus sesuai dengan pilihan leksikon dan struktur gramatikal yang
berterima. Hal ini demi tercapainya hasil terjemahan yang baik, yakni
berterima dalam bahasa sasaran pembacanya (Nida dan Taber, 1974).
Kalimat aktif dan pasif sebenarnya umum ditemukan dalam Bahasa
Inggris maupun Bahasa Indonesia, tetapi, frekuensi penggunaannya pada
kedua bahasa berbeda bergantung pada makna wacana yang hendak
disampaikan. Misalnya, pada Bahasa Inggris, pasif lazim digunakan dalam
artikel ilmiah untuk menunjukkan kesan objektivitas, yakni dengan
memberi jarak penulis dengan pernyataannya (Baker, 2011:112).
Sedangkan pada Bahasa Indonesia, makna wacana terkait penggunaan
pasif setidaknya ada empat menurut Ramlan (1997), yakni
ketidaksengajaan, tindakan yang tidak menyenangkan, fokus perbuatan,
dan fokus sasaran. Dan penerjemah baik yang pemula maupun ahli adalah
mediator dalam proses negosiasi antar dua bahasa yang berbeda baik
struktur maupun budayanya (Bassnett, 2002:8).
Pada novel The Adventures of Sherlock Holmes karya Arthur Conan
Doyle yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi
Petualangan Sherlock Holmes oleh Daisy Dianasari, ditemukan perbedaan
perlakuan dalam menerjemahkan diatesis aktif dan pasif. Pada beberapa
kalimat misalnya, diatesis aktif dan pasif diterjemahkan sebagaimana
struktur BSu. Namun, pada kalimat lainnya, terjadi perubahan struktur
untuk memenuhi penyesuaian makna dalam BSa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Catford (1965) bahwa faktanya bahasa adalah seperangkat
piranti rumit yang menghubungkan bentuk tertentu dengan maknanya.
402
Sehingga, dalam penerjemahan, seringkali pesan yang sama diungkapkan
dalam bentuk yang berbeda. Adanya ketidaksejajaran inilah yang memicu
penulis untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang pola penerjemahan
diatesis (voice) oleh Daisy Dianasari berdasarkan struktur dan makna
wacananya.
METODE
Untuk mencapai tujuan di atas, digunakan metode telaah
dokumentasi, dalam hal ini novel The Adventure of Sherlock Holmes dan
terjemahannya, Petualangan Sherlock Holmes. Penelitian ini terbatas pada
perbandingan struktur klausa, khususnya hubungan antara pelaku,
tindakan dan sasaran. Sehingga kesepadanan leksikon seperti pergeseran,
penambahan, penghilangan atau pebedaan diksi tertentu diabaikan. Datadata berupa klausa dan kalimat dipertimbangkan strukturnya
berdasarkan kaidah masing-masing bahasa, Bahasa Inggris berlandaskan
teori dari Quirk et al (1985) dan Bahasa Indonesia berdasarkan Ramlan
(1977), Kaswanti Purwo (1989), dan Chaer (2009). Dengan metode
analisis komparatif, diatesis (voice) pada TSu diperbandingkan dengan
TSa untuk melihat persamaan dan perbedaan strukturnya. Selanjutnya,
makna wacana pada TSa juga dianalisis untuk menemukan pola
penerjemahan diatesis dalam Bahasa Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Struktur Klausa/ Kalimat
1. Sejajar
Klausa atau kalimat dinyatakan sejajar jika struktur keduanya pada
TSu dan TSa sama meskipun dengan penanda yang berbeda pada tiap
bahasa. Dalam hal ini, kalimat aktif dalam TSu akan secara konsisten tetap
diterjemahkan dengan bentuk aktif juga pada TSa dan begitu pun
sebaliknya. Perhatikan contoh berikut:
1) I rang the bell.
Ku pencet bel.
2) I saw his tall, spare figure pass twice in a dark silhouette against
the blind.
Kulihat bayangannya melintas dua kali di kerai jendela.
3) Twice she has been waylaid.
Dua kali dia dicegat.
403
Pada contoh 1) dan 2) terlihat jelas bahwa kalimat ini
diterjemahkan dengan tetap mengikuti struktur dari TSu, dimana kalimat
aktif tetap menjadi aktif pada TSa. Pada contoh 1), I rang the bell sejajar
bentuknya dengan Kupencet bel karena pelakunya tetap masih sosok orang
pertama yang melakukan perbuatan pencet, dan sasarannya adalah bel.
Pada contoh 2), meski terdapat pergeseran bentuk pada frasa
preposisinya, tetapi, hal ini diabaikan dan lebih dititikberatkan pada
hubungan pelaku-sasaran untuk menemukan kesejajaran bentuk. Dalam
hal ini pelakunya sama-sama orang pertama tunggal, pada Bahasa
Indonesia bentuknya cenderung terikat pada verba lihat sebagai padanan
dari saw, dan objeknya juga sama-sama merujuk pada spare figure atau
diterjemahkan sebagai bayangannya yang merujuk pada Holmes.
Sedangkan pada contoh 3), kalimat dalam BSu yang berbentuk pasif
diterjemahkan masih dengan struktur yang sama pada BSa. Pada contoh
3) jelas terlihat strukturnya sejajar, bahkan urutan katanya pun sama.
Pada kasus ini, subjek sebagai penderita sama-sama orang ketiga tunggal
yang merepresentasikan sosok Irene Adler. Begitu pula verba, sebagai
unsur utama penentu tipe kalimat aktif atau pasif, dapat teridentifikasi
melalui karakternya. Dalam hal ini, has been waylaid pada BSu, sejajar
bentuknya dengan dicegat pada BSa.
2. Tak Sejajar
Selain struktur yang sejajar, beberapa klausa dan kalimat dalam TSu
diterjemahkan dengan struktur yang berbeda pada TSa. Dalam hal ini,
ditemukan tiga bentuk ketidaksejajaran yakni aktif – pasif, pasif – aktif,
dan aktif / pasif – struktur lainnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh
berikut:
4) Once we diverted her luggage when she travelled.
Sekali kopernya diselewengkan ketika dia bepergian.
5) You would certainly have been burned.
Orang pasti akan membakarmu.
6) “Wedlock suits you,”
"Pernikahan baik untukmu,"
Pada contoh 4), khususnya pada klausa utama, terlihat bahwa subjek
sebagai pelaku dalam hal ini we yang merujuk pada pihak Raja Bohemia
melakukan tindakan diverted atau dapat diterjemahkan sebagai
menyelewengkan pada objek sasarannya yakni her luggage atau kopernya.
Kalimat yang sebenarnya dapat diterjemahkan dengan bentuk aktif juga,
404
ternyata oleh penerjemah diubah bentuknya menjadi pasif. Dimana
sasarannya yakni kopernya pada TSa mengisi unsur subjek dan verbanya
menjadi bentuk pasif yakni diselewengkan. Sedangkan, fungsi pelakunya
dihilangkan. Pada contoh 5), kalimatnya merepresentasikan perubahan
bentuk dari pasif pada TSu menjadi aktif dalam TSa. Lebih jelasnya, pengisi
fungsi subjek, yakni, orang kedua tunggal, adalah penderita. Hal ini
ditandai oleh bentuk verbanya, have been burned dalam bentuk pasif.
Berbeda dari BSu, pada BSa, pelaku pengisi fungsi subjek adalah orang
yang diasumsikan akan melakukan tindakan membakar. Disini, objeknya
ditandai dari bentuk klitika –mu yang melekat pada verba dan merupakan
bentuk lain dari orang kedua tunggal ‘kamu’ sebagai penderitanya.
Sementara, pada contoh 6), perubahan bentuk kalimat yang terjadi sangat
signifikan, yakni dari kalimat verba monotransitif pada BSu, menjadi
kalimat adjektival pada BSa. Dalam hal ini, kelas kata verba jenis transitif
suit diubah menjadi adjektiva baik.
Makna Wacana
Kesejajaran maupun ketidaksejajaran struktur kalimat dalam
penerjemahannya kemungkinan dipengaruhi oleh makna wacana yang
hendak disesuaikan oleh penerjemah dalam TSa. Beberapa makna wacana
yang terkandung pada tiap kalimat diklasifikasikan menurut penggunaan
struktur kalimatnya sebagai berikut:
a. Aktif
Kalimat aktif pada BSu akan tetap dipertahankan dalam bentuk yang
sama, atau jika pun bentuknya pasif akan diubah ke bentuk aktif pada BSa
jika ingin menegaskan peran pelaku atas suatu perbuatan, atau berlaku
pada kalimat imperatif untuk menunjukkan kesan akrab, dimana penutur
dan lawan tutur tingkatan sosialnya setara. Perhatikan contoh dibawah ini.
7) You would certainly have been burned, had you lived a few
centuries ago..
Kalau saja kau hidup beberapa abad lalu, orang pasti akan
membakarmu.
8) But Holmes caught me by the wrist and pushed me back into my
chair.
Tapi Holmes menarik pergelangan tanganku dan mendorongku
agar duduk kembali.
9) Hold it up to the light.
405
Coba, dekatkan surat itu ke lampu.
Pada contoh 7) terlihat jelas bahwa klausa utama yang berbentuk
pasif pada BSu diubah oleh penerjemah menjadi aktif, karena ingin
menegaskan peran pelaku (orang) pada situasi tertentu yang diasumsikan
akan melakukan tindakan membakar. Jika berbeda pelaku, kemungkinan
perlakuannya juga akan berbeda. Lalu pada contoh 8), kalimat aktif pada
BSu tetap dipertahankan dalam bentuk yang sama pada BSa, karena sekali
lagi, penerjemah ingin menegaskan kedudukan Holmes sebagai pelaku,
yakni sebagai sosok sahabat dari tokoh aku atau dr. Watson, sekaligus
sebagai tuan rumah yang berwenang menahan sosok aku untuk tidak
beranjak pergi dari rumahnya, meski kliennya yang tak menginginkan
kehadirannya. Sedangkan pada contoh 9), fungsi wacana dari bentuk aktif
pada kalimat imperatif tersebut adalah untuk menjelaskan hubungan
antara penutur, yakni Holmes, dan lawan tuturnya, yaitu dr. Watson yang
telah sedemikian akrab, sehingga bentuk imperatif dalam kalimat aktif
adalah hal yang berterima. Berbeda halnya, jika lawan tutur, tingkatan
sosialnya lebih tua, atau orang yang belum dikenali sebelumnya, dalam
Bahasa Indonesia, untuk menegaskan kesopanan, lazimnya digunakan
imperatif bentuk pasif.
b. Pasif
Kalimat pasif pada BSu akan tetap dipertahankan dalam bentuk yang
sama, atau jika pun aktif cenderung diubah ke bentuk pasif jika
menyatakan ketidaksengajaan, perbuatan yg tidak menyenangkan,
menonjolkan perbuatan, menegaskan penderita, dan bentuk kesopanan.
10) You have compromised yourself seriously.
Anda telah terlibat secara serius.
11) And my wife has given her notice.
Dan sudah ditegur oleh istriku.
12) I see it, I deduce it.
Kelihatan, dan bisa disimpulkan.
13) Once we diverted her luggage when she travelled.
Sekali kopernya diselewengkan ketika dia bepergian.
14) You are sure that she has not sent it yet?
Yakinkah Anda, bahwa foto itu belum dikirimkannya?
Pada contoh 10) terlihat bahwa struktur aktif pada TSu diubah oleh
penerjemah menjadi pasif pada TSa, dengan verba terlibat. Bentuk pasif
406
dengan prefiks ter- lazimnya digunakan untuk menandai suatu tindakan
tidak sengaja. Dalam hal ini, orang kedua tunggal yang merujuk pada Raja
Bohemia tak menyadari bahwa perbuatannya akan menyeretnya pada
kasus yang serius di masa depan. Selanjutnya, contoh 11) juga mengalami
perubahan bentuk dari aktif ke pasif, padahal bentuk aktif pun
memungkinkan untuk digunakan. Tetapi, pernyataan dengan bentuk pasif
ini lebih menunjukkan kesan kekesalan penutur. Sedangkan bentuk aktif
cenderung mengisyaratkan penutur telah menerima kesalahan
pelayannya tersebut. Pada contoh 12) kalimat aktif pada TSu juga diubah
menjadi kalimat pasif dalam TSa, untuk menonjolkan tindakannya.
Meskipun sebenarnya bisa saja penerjemah mengikuti struktur BSu, tetapi
makna wacananya akan berganti fokus pada pelaku, yang sesungguhnya
telah diketahui informasinya tidak perlu untuk ditonjolkan. Pada contoh
13), kalimat aktif diterjemahkan menjadi bentuk pasif, meski sebenarnya
bentuk aktif pun juga berterima. Hal ini karena penerjemah menginginkan
makna wacananya lebih berfokus pada objek, sasaran tindakan
penyelewengan tersebut, yakni koper dari Irene Adler yang diduga berisi
sebingkai foto yang ingin didapatkan pelaku, yakni pihak Raja Bohemia.
Terakhir, pada contoh 14), penerjemah mengubah kalimat aktif pada BSu
menjadi pasif dalam BSa, meskipun sebenarnya bentuk aktif pun
berterima. Hal ini berkaitan dengan makna kesopanan yang ingin
ditonjolkan oleh penerjemah, karena dalam hal ini, lawan tutur Holmes
adalah seorang Raja Bohemia, yang tingkatan sosialnya lebih tinggi.
c. Struktur Lainnya
Kalimat aktif atau pasif akan diubah ke struktur lain jika ingin
menonjolkan keadaan, menghindari redundansi atau membentuk
koherensi, dan juga menciptakan keluwesan dalam BSa. Perhatikan contoh
berikut:
15) But as a lover he would have placed himself in a false position.
Tapi bila berhubungan dengan masalah asmara, dia selalu serba
salah.
16) I found her biography sandwiched in between that of a Hebrew
rabbi and that of a staff-commander Keterangan tentang Irene
Adler ternyata berada di antara riwayat hidup seorang rabi Yahudi
dan seorang staf komandan.
17) When my way led me through Baker Street.
407
Dan aku lewat Baker Street.
Pada contoh 15), terlihat bahwa bentuk kalimat aktif pada BSu,
diterjemahkan menjadi struktur yang lain, yakni kalimat adjektival pada
BSa. Dalam hal ini, penulis tidak mementingkan verba have placed tetapi
lebih menyorot keadaan pelaku, yakni in a false position yang padanannya
ialah serba salah. Lalu, pada contoh 16), kalimat aktif I found her biography
pada BSu, diterjemahkan ke dalam bentuk yang berbeda, yakni frasa
nominal, menjadi Keterangan tentang Irene Adler. Padahal, penerjemah
bisa saja menerjemahkan dengan mengikuti struktur BSu, dan akan tetap
berterima dalam BSa. Tetapi, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
redundansi sekaligus untuk membentuk koherensi antarkalimat, dimana
sebelumnya telah disebutkan informasi siapa pelaku dan apa tindakannya.
Sehingga, penerjemah dalam kasus ini lebih memilih menyorot apa yang
ditemukan saja. Terkakhir, pada contoh 17), meskipun sama-sama kalimat
aktif, tetapi komposisi pengisi subjek dan objek berbeda. Dalam hal ini BSu
cenderung mengandung unsur metafora. Sebenarnya, penerjemah bisa
tetap mempertahankan struktur BSu, akan tetapi untuk menciptakan
kesan keluwesan dalam BSa, penerjemah memilih menerjemahkan dalam
bentuk yang berbeda.
SIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan dengan mengutip
pendapat Baker (2011:112), bahwa sebenarnya proses penerjemahan
bukan saja soal mengubah bentuk kalimat aktif menjadi pasif atau
sebaliknya, melainkan juga mempertimbangkan bagaimana frekuensi
penggunaan, nilai gaya bahasa, dan fungsi wacananya dalam bahasa
sasaran. Karena, penggunaan struktur kalimat tertentu akan
mempengaruhi pesan yang dihasilkan, terutama perannya sebagai fungsi
komunikasi.
REFERENSI
Abbasi, A. dan Arjenan, F.M. 2014. Translation of English Passive and
Unaccusative Verbs into Farsi: A Comparative Study of Three
Translations of ‘Animal Farm’ by Three Iranian Translators.
Science Direct.
Language structure and Translation [Book] / auth. Nida Eugene
Albert. - Califronia : Standford University Press, 1975.
408
Meaning-based Translation [Book] / auth. Larson Mildred L.. - Boston :
University Press of America, 1984.
Science of Translation in Language Vol 5 Number 3 [Book] / auth.
Taber Nida Eugene dan. - New York : American Bible Society, 1969.
A Textbook of Translation [Book] / auth. Newmark Peter. - London :
Prentice-Hall, 1988.
Pedoman bagi Penerjemah [Book] / auth. Machali Rochayah. - Bandung :
Kaifa, 2009.
The Translation Studies Reader [Book] / auth. Venutti Lawrence. London : Routledge, 2004.
A Lingusitic Theory of Translation [Book] / auth. Catford J.C. - England :
Oxford University Press, 1965.
Translation [Book] / auth. Duff Alan. - England : Oxford University Press,
1989.
In Other Words [Book] / auth. Baker Mona. - New York : Routledge, 2011.
Metodologi Penelitian Kalitatif [Book] / auth. Sutopo. - Surakarta : UNS,
2006.
Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif
[Book] / auth. Sugiyono. - Bandung : Alfabeta, 2010.
Metodelogi Penelitian [Book] / auth. Arikunto, Suharsimi. - Jakarta : PT
Rineka Cipta, 2002.
Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist
Approach [Journal] / auth. Lucia Molina, Hurtado Albir // Meta;
Translator Journal Vol 7 No.4. - 2002. - pp. 509-511.
Daftar Pertanyaan, Saran dan Jawaban
409
1. Untuk padanan kata Voice dalam Bahasa Indonesia lebih tepat jika
menggunakan ‘Diatesis’ dibandingkan ‘bentuk kalimat.’ (Saran dari
Pak Suryo Baskoro)
2. Sebaiknya ketidaksejajaran bentuk saja yang lebih difokuskan dalam
pembahasan karena hal ini lebih menarik, terutama bagaimana
pengaruh budaya masing-masing pengguna bahasa sumber dan
bahasa sasaran memicu adanya ketidaksejajaran ini (Saran dari Pak
Suryo Baskoro)
3. Apakah Anda menemukan data dengan penerjemahan kalimat pasif
dengan tiga argument (berverba ditransitif) dan apakah ada
ditemukan data kalimat pasif non kanonis? (pertanyaan dari Pak
Antonio)
4. Apakah perubahan bentuk aktif menjadi pasif atau sebaliknya dalam
penerjemahan diatesis dipengaruhi oleh budaya si penerjemah? Jika
iya, berarti dalam hal ini ada interferensi dari penerjemah. Bagaimana
menurut anda? (Pertanyaan dari Nina Sulistyowati)
1.
2.
3.
4.
Jawaban:
Terimakasih atas sarannya Pak. Benar kata Bapak. Sebelumnya saya
sudah diberitahu juga mengenai hal ini. Hanya saja, saat itu abstrak
dan paper full telah terlanjur dikirimkan. Nanti setelah ini (seminarred) akan saya revisi kembali.
Terimakasih atas sarannya, Pak. akan saya pertimbangkan hal ini,
tetapi mungkin akan dieksplorasi lagi mengenai latar belakang
budaya kedua bahasa ini dalam proyek tugas akhir nanti.
Terimakasih atas pertanyaan dan antusiasmenya Pak Antonio. Sejauh
ini saya belum menemukan contoh data berupa kalimat yang terdiri
dari 3 argumen, beg
itupun dengan pasif non-kanonis. Hal ini
mungkin dikarenakan sumber data saya dalam penelitian mini ini
hanya terbatas pada satu bab novel saja. Kedepannya, untuk
penelitian yang lebih besar semisal Tesis, akan saya perluas lagi
sumber datanya hingga ke seluruh bab pada novel tersebut. Jika
sekiranya ditemukan bentuk kalimat lain seperti yang bapak maksud
akan saya analisis kembali. Sekali lagi terimakasih.
Terimakasih atas pertanyaannya, mbak Nina. Jawabannya, iya. Tentu
saja dalam proses penerjemahan, unsur budaya juga menjadi hal yang
410
patut dipertimbangkan. Dalam bidang penerjemahan dikenal istilah
‘ideologi,’ apakah nantinya si penerjemah lebih condong ke budaya
TSu atau TSa. Pertimbangan budaya ini dapat pula ditinjau dari
berbagai aspek, bisa berdasarkan apa tipe teksnya, siapa pembacanya,
dan seperti apa permintaan pasar dan juga pihak penerbit.
Penyesuaian budaya dalam bahasa sasaran sangat penting, termasuk
cara penulisan untuk memudahkan pembaca memahami tulisan.
Apalagi novel yang notabene pembacanya ingin mendapatkan
hiburan didalamnya. Khusus untuk bentuk aktif dan pasif, bahasabahasa di dunia meskipun memiliki keduanya tetapi memiliki
karakter dan penggunaan yang berbeda-beda, meskipun hal yang
diungkapkan artinya sama. Misalnya, kalimat pasif dalam Bahasa
Indonesia, kalimat ‘Lidahku terbakar karena minum teh panas
sepadan maknanya dengan kalimat aktif dalam Bahasa Inggris, ‘I
burnt my tongue.’ Jika diterjemahkan secara pasif juga kurang
berterima dalam Bahasa Inggris, dan terkesan sangat Indonesian style.
Begitu pula sebaliknya jika ‘I burnt my tongue’ diterjemahkan bentuk
aktif juga, ‘Saya membakar lidahku’ berterima secara gramatikal,
tetapi tidak lazim secara semantis dan pragmatis, karena pelaku
sekaligus korban tidak pernah sengaja berniat membakar lidahnya
sendiri.
411
KATA “ISLAMI” DALAM ANALISIS SEMANTIK PROTOTIPE
Prayudha
Universitas Ahmad Dahlan
prayudha@pbi.uad.ac.id
ABSTRAK
Kata “islami” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna
“bersifat keislaman”. Namun demikian, banyak terjadi perdebatan yang
mengadu anatara islami dan tidak islami. Ini salah satunya terjadi karena
“islami” masih dimaknai secara setruktural atau referensial. Dalam
pandangan semantik referensial, pembahasan kata “islami” terbatas pada
(+) islami dan (-) islami. Oleh sebab itu, penelitian ini membahas kata
“islami” dalam pandangan non-Aristotelian dengan mengaplikasikan
analisis semantik prototipe yang dikenalkan oleh Coleman dan Kay (1981).
Analisis ini akan mengukur pemaknaan kata “islami” secara gradual dalam
skala tertentu. Kata “islami” dijabarkan ke dalam tiga variabel: (1)
tampilan, (2) pengetahuan, dan (3) perilaku. Variabel tersebut kemudian
dikembangkan menjadi delapan contoh kasus yang dinilai dalam bentuk
kuesioner. Sejumlah 33 responden terlibat dalam penelitian ini. Variabel
perilaku menjadi variabel paling menentukan dalam pemaknaan kata
“islami”. Analisis ini bernaung pada kajian besar Linguistik Kognitif.
Kata Kunci: islami, semantik prototipe, Linguistik Kognitif.
A. PENDAHULUAN
Situasi saat ini mengarah pada perdebatan serius di publik terkait
isu-isu identitas. Salah satu isu identitas yang paling mencuat di publik
adalah soal agama. Dalam perdebatan di kalangan penganut agama Islam
semisal muncul perdebatan “islami” versus tidak “islami”. Ada kasus di
mana perdebatan ini terkait dengan penampilan. Penggunaan istilah
“busana islami” semisal memantik perdebatan pelarangan penggunaan
cadar di sebuah universitas di Jogja beberapa waktu silam. Kejadian ini
menjadi perdebatan cukup sengit di media massa dan media sosial.
412
Pada aspek yang lebih abstrak, kata “islami” ini juga menimbulkan
perdebatan. Muncul sebuah hasil penelitian Rehman dan Askari (2010)
dalam Global Economy Journal yang memaparkan jika negara paling islami
di dunia adalah Irlandia. Penelitian yang melibatkan 208 negara itu tidak
satupun menempatkan negara Islam dalam jajaran 10 besar negara paling
islami. Peringkat tertinggi negara mayoritas Islam diraih Malaysia pada
urutan 33. Hal ini juga menimbulkan perdebatan soal bagaimana
parameter penggunaan kata “islami”.
Kata “islami” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
memiliki makna “bersifat keislaman”. Kata yang berasal dari kata dasar
“Islam” yang diimbuhi sufiks {-I} ini masuk dalam kelas kata sifat atau
adjektiva. Pemaknaan oleh kamus yang bersifat referensial tersebut
tampaknya tidak memberikan penjelasan yang memuaskan jika melihat
bagaimana sengitnya perdebatan yang melibatkan kata “islami”. Karena itu,
penting kemudian untuk melakukan penelitian dengan pendekatan lain
agar bisa memotret kata “islami” secara lebih komperhensif.
Penelitian itu tampaknya akan sulit jika berangkat dari pandangan
semantik dalam linguistik setruktural. Dalam pandangan semantik
referensial yang bermahzab Aristotelian, pembahasan kata “islami” akan
terbatas pada (+) islami dan (-) islami. Pemaknaan inilah yang barangkali
membuat tiap kelompok atau individu memakai standar “islami” yang
hitam putih. Karena itu, penelitian ini akan membahas kata “islami” dalam
pandangan non-Aristotelian dengan mengaplikasikan analisis semantik
prototipe yang dikenalkan oleh Coleman dan Kay (1981). Analisis ini akan
mengukur pemaknaan kata “islami” secara gradual dalam skala tertentu.
Analisis ini bernaung pada kajian besar Linguistik Kognitif. Hasil analisis ini
bisa menjadi persepektif baru terkait kata “islami” yang dapat digunakan
dalam mencerahkan isu dan perdebatan yang melibatkan kata “islami”.
B. SEMANTIK PROTOTIPE
Menurut Kridalaksana (2009:216), semantik adalah bagian
struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga
dengan struktur makna suatu wicara. Parera (2004:46) membagi teori
tentang makna ke dalam teori referensial atau korespondensi, teori
kontekstual, teori mentalisme atau konseptual, dan teori formalisme.
Penelusuran makna dalam semantik prototipe adalah bagian dari semantik
dalam pandangan teori konseptual.
413
Teori-teori mengenai semantik kemudian melahirkan sejumlah
model analisis dalam penelusuran makna bahasa. Perdebatan menarik
ihwal model analisis adalah mengenai semantik Aristotelian dan nonAristotelian. Lipka (1986:85) menjelaskan bahwa sematik Aristotelian atau
checklist theory adalah model analisis makna menggunakan daftar bentuk
dengan kriteria tertentu yang menunjukan properti terpisah mewakili
kondisi yang perlu dan cukup untuk sesuatu menjadi sebuah kategori.
Semantik Aristotelian menuai kritik dari beberapa ahli dari generasi yang
berbeda. Coleman dan Kay (1981: 26-27) mengeritisi pandangan tersebut
dengan mengatakan bahwa pengujian sebuah properti merupakan anggota
dari suatu prototipe atau tidak dengan ukuran ya/tidak, bukan
lebih/kurang tidak cukup memuaskan karena terlalu parsial dalam
menguji sebuah kategori atas propertinya. Mereka kemudian mengajukan
sebuah analisis yang disebut semantik prototipe yang mereka tulis dalam
sebuah jurnal dengan judul Prototype Semantics: The English Word Lie
(1981). Lebih lanjut, Coleman dan Kay (1981:27) mengatakan, “Semantic
prototype is said to 'associate a word or a phrase with a prelinguistic,
cognitive schema or image' and speakers are claimed to possess 'an ability to
judge the degree to which an object ... matches this prototype schema or
image.” Prototipe sendiri adalah represntasi atau perwakilan yang abstrak
dari sebuah kategori atau bagian dari kategori yang digunakan sebagai
acuan dalam menentukan keanggotaan sebuah kategori (Rosch & Mervis
(1975: 575; Lipka, 1986:85). Dalam bahasa yang sederhana, prototipe
adalah properti yang paling baik dalam sebuah kategori.
Dalam tulisannya, Coleman dan Kay meneliti semantik prototipe
dari kata ‘bohong’ (lie). Berbeda dengan semantik Aristotelian, mereka
mencoba menelusuri prototipe dari kata ‘bohong’ dalam sebuah gradien.
Artinya, keduanya mencoba merumuskan kata ‘bohong’ ke dalam gradien grafik yang meningkat – dari bohong, agak bohong, sampai pada paling
bohong. Langkah yang mereka lakukan pertama adalah dengan menrunkan
kata ‘bohong’ kedalam sejumlah variabel. Variebel tersebut kemudian
diturnkan kembali dalam sejumlah cerita atau kasus di mana masingmasing cerita memiliki komposisi variabel yang berbeda. Sebanyak delapan
cerita yang berbeda komposisi lantas diujikan kepada sejumlah responden
untuk menilai “tingkat kebohongan” masing-masing soal. Hasilnya
kemudian diperoleh komposisi mana yang bisa dikatakan “paling bohong”.
414
Setelah itu, dari ketiga variabel kata ‘bohong’, bisa ditemukan mana yang
merupakan prototipe kata ‘bohong’ yakni yang memiliki skor paling tinggi.
C. METODOLOGI
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sudaryanto
(1988:63) mengatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian yaitu
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang menggunakan perhitungan angka dalam pelaksanaanya.
Dalam menguji semantik prototipe dari ‘islami’, penelitian ini
menggunakan sejumlah langkah dalam penelitian kuantitatif. Pada
hakekatnya penelitian ini adalah penelitian bahasa sehingga ada kehususan
dalam penentuan variabel dan sumber data dengan menyesuaikan langkah
penelitian yang dilakukan oleh Coleman dan Kay.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel
kuantitatif kontinium ordinal. Variabel kontinium ordinal adalah variabel
yang menunjukan tingkatan-tingkatan misalnya panjang, kurang panjang,
pendek (Arikunto, 2010:159). Penentuan variabel di sini adalah dengan
menurun kategori ‘islami’ ke dalam tiga variabel: (1) tampilan, (2)
pengetahuan, dan (3) perilaku. Variabel tersebut kemudian digunakan
untuk menyusun instrumen. Variabel tampilan, pengetahuan, dan perilaku
dari “islami” tersebut kemudian dikembangan dalam delapan kombinasi
kasus sebagai berikut.
Tabel 1. Variabel “islami”
NO. KASUS VARIABEL
Tampilan
Pengetahuan Perilaku
i
+
+
+
ii
iii
+
+
iv
+
+
v
+
+
vi
+
vii
+
viii
+
Kasus (i) – (viii) digunakan sebagai pertanyaan pengontrol. Kasus
(i) mengandung tiga unsur sekaligus dalam tindak korupsi penyuapan
sementara kasus (ii) sama sekali tidak mengandung ketiganya. Kasus
tersebut kemudian diukur dengan menggunakan skala 7 sebagaimana yang
dianjurkan Coleman dan Cay (1981).
415
Langkah berikutnya adalah menentukan sumber data. Sumber
data penelitian ini adalah orang yaitu sumber data yang bisa memberikan
data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis
melalui angket (Arikuto, 2010:172). Penelitian ini adalah tentang semantik
sehingga tidak ada ketentuan mengenai jumlah dan karakteristik tertentu
dari responden. Kuesioner yang dibagikan tidak memuat informasi pribadi
dari responden dengan harapan penelitian ini bisa objektif tanpa
menggunakan variabel yang sifatnya pribadi. Dari kuseioner yang dibuat
dengan memanfaatkan google form, sejumlah 33 responden memberikan
respon.
D. PEMBAHASAN
1. Hasil
Dari kuesinor dalam bentuk google form yang disebarluaskan
melalui media sosial, muncul 33 respon. Berikut adalah penjelasan
selengkapnya.
Tabel 2. Hasil Jawaban Kuesioner
No. Variable
Jawaban (%)
1
2
3
4
5
6
7
i
+++
3
3
0
1
0
45,5 45,5
ii
- - 27,3 36,4
18,2 9,1
6,1
3
0
iii + - +
0
6,1
12,1 9,1
21,2
45,5 6,1
iv - + +
0
9,1
6,1
3
12,1
66,7 3
v
++ 15,2 21,2
9,1
9,1
33,3
9,1
3
vi - - +
3
27,3
18,2 9,1
30,3
12,1 1
vii + - 21,2 30,3
15,2 6,1
18,2
9,1
0
viii - + 18,2 12,1
18,2 15,2
30,3
6,1
0
Tabel tersebut menunjukan sebaran jawaban dari kasus yang
menunjukan kombinasi keberadaan variabel yang beragam. Kasus (i) yang
mengandung variabel tampilan, pengetahuan, dan perilaku tampak
memiliki prosentase tertinggi pada jawaban sangat yakin islami dan cukup
yakin islami di mana keduanya mengandung nilai masing-masing 7 dan 6.
Sebaliknya, pada kasus (ii) di mana variabel penentu tidak muncul, jawaban
sangat yakin bukan islami dan cukup yakin islami memperoleh prosentasi
terbanyak. Ini menunjukan bahwa tiga variabel tersebut menentukan
dalam pemaknaan “islami”.
416
2. Makna Prototipe
Dari jawaban responden tersebut di atas, makna prototipe dari
“islami” dapat kemudian dilacak. Makna protipe adalah makna yang
memiliki skor tertinggi. Skor dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah
pemilih jawaban dengan bobot dari tiap jawaban. Dapat dipahami jika
makna “islami” memiliki gradasi dari 1-7 dan jumlah responden adalah 33.
Karena itu, skor tertinggi yang mungkin diraih adalah 231 (33x7). Berikut
adalah penjelasan selanjutnya.
Gambar 1. Skor tiap Kasus
250
202
200
167
175
150
120
130
114
98
100
79
50
0
+++
- - -
+ - +
- ++
++ -
- - +
+- -
- + -
Bisa diamati jika skor tertinggi daraih oleh kasus (i) dengan nilai
202. Kasus (i) mengandung ketiga variabel yang ada yakni (1) tampilan,
(2) pengetahuan, dan (3) perilaku. Peringkat kedua diraih oleh kasus (iv)
dengan skor 175 yang mengandung variabel pengetahuan dan perilaku.
Peringkat ketiga diraih oleh kasus (iii) dengan skor 167 yang memiliki
variabel tampilan dan perilaku. Berikutnya, peringkat keempat diraih
kasus (vi) yang memiliki skor 130. Secara berturut-turut, peringkat ke-5
hingga ke-7 diraih oleh kasus (v) 120, (viii) 114, dan (vii) 98. Sementara itu,
kasus (ii) memiliki skor terendah yakni 79. Kasus tersebut tidak
mengandung variabel manapun yang merepresentasikan kata “islami”.
Urutan perolehan skor dari delapan kasus yang ada adalah kasus (i) > (iv)
> (iii) > (vi) > (v) > (viii) > (vii) > (ii). Dengan demikian, kausus (i) yang
mengandung semua variabel menjadi makna prototipe dari “islami”.
3. Variabel Paling Menentukan
417
Dalam analisis semantik prototipe, makna tidak dirumuskan
dengan pertanyaan bagian dari atau bukan bagian dari sebuah referen.
Akan tetapi, makna itu berupa gradasi. Coleman dan Kay (1981)
mengatakan bahwa sebuah prototipe itu digambarkan sebagai gradience
atau grafik yang meningkat. Makna prototipe adalah makna yang memiliki
skor tertinggi. Kemudian, untuk memperoleh makna prototipe itu bisa
dilakukan dengan membandingkan skor masing-masing kasus yang
memiliki satu variabel. Berikut adalah penjelasan bagaimana memperoleh
makna prototipe.
Tabel 3. Perbandingan tiap Variabel
(iv outscores iii) implies (2
outranks 1)
(iii outscores v) implies (3
outranks 2)
(iv outscores v) implies (3
outranks 1)
(vi outscores vii) implies (3
outranks 1)
(vi outscores viii) implies (3
outranks 2)
(viii outscores vii) implies (2
outranks 1)
Tebel di atas membandingkang antar kasus untuk menemukan
variabel mana yang paling menentukan. Kasus (iv) dengan pola (- + +)
memiliki skor lebih tinggi dari kasus (iii) dengan pola (+ - +) yang
menunjukan jika variabel (2) lebih berpengaruh dibanding variabel (1).
Berikutnya, kasus (iii) tersebut memiliki skor lebih tinggi dari kasus (v)
dengan pola (+ + -) yang menunjukan jika variabel (3) lebih berpengaruh
daripada variabel (2).
Pada perbandingan kasus yang hanya memiliki satu variabel, kasus
(vi) dengan pola (- - +) memiliki skor lebih tinggi dari kasus (vii) dengan
pola (+ - -) yang menunjukan variabel (3) lebih berpengaruh dibanding
variabel (1). Selanjutnya, kasus (vi) memiliki skor lebih tinggi dari kasus
(viii) dengan pola (- + -) yang mengisyaratkan variabel (3) lebih
menentukan dari variabel (2). Kasus (viii) juga lebih unggul dari kasus (vii)
yang menunjukan variabel (2) lebih menentukan dari variabel (1). Dengan
demikian, urutan pengaruh dari tiga variabel yang ada adalah perilaku (3)
> pengetahuan (2) > tampilan (1). Variabel (3) yakni perilaku menjadi
yang paling menentukan. Muncul sebuah temuan unik di mana kasus (vi)
yang hanya mengandung satu variabel yakni variabel (3) memiliki skor
lebih tinggi dibanding kasus (v) yang mengandung variabel (1) dan (2).
418
Temuan tersebut menunjukan jika variabel perilaku sangat menentukan
dalam pemaknaan kata “islami”.
E. KESIMPULAN
Analisis semantik prototipe dari kata “islami” menunjukan jika
kasus (i) yang memiliki semua varibel menjadi makna prototipe. Ini
menunjukan jika “islami” mesti melibatkan semua unsur: tampilan,
pengetahuan, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Seseorang
bisa dikatakan islami jika berperilaku sesuai ajaran Islam, memiliki
pengetahuan baik soal Islam, dan berpenampilan sebagaimana yang Islam
kehendaki. Dari tiga variabel yang ada, variabel ke-3 yakni perilaku
menjadi variabel yang paling menentukan. Terdapat data yang menunjukan
jika kasus yang memenuhi variabel tampilan dan pengetahuan masih lebih
kecil skornya dibanding kasus dengan satu variabel, perilaku. Ini
menunjukan jika perilaku menjadi hal yang sangat menentukan dalam
memaknai seseorang islami atau tidak. Temuan ini harapannya bisa
menjadi satu persepektif baru dalam perdebatan “islami” versus “tidak
islami”.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Coleman, Linda & Kay, Paul. 1981. Prototype Semantics: The English Word
Lie. Linguistic Society of America.
Lipka, Leonhard. 1986. Linguistics across Historical and Geographical
Boundaries. Berlin: Walter de Gruyter & Co.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik: Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta:
Pustaka Gramedia Utama.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik ke arah Memahami Metode Linguistik.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Rehman, Scheherazade S. & Askari, Hossein. 2010. “An Economic Islamicity
Index (EI2)”. Global Economy Journal. Vol 10, Issue 3, pp. 1-37.
419
HASIL DISKUSI SEMINAR
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Siapa koresponden dalam penelitian Anda? (Pak Suhandano)
2. Mungkin kalau responden Anda ditentukan berdasarkan identitas
tertentu hasilnya akan lebih baik. (Pak Suhandano)
3. Kenapa hasil kasus (- - -) masih besar, harus minim bahkan 0?
Jawaban
1. Sangat acak Pak. Saya sebarkan di medsos jadi siapa saja yang ingin
bisa memberikan jawaban.
2. Betul Pa. Awalnya, saya sengaja tidak memberikan form identitas
diri di kuesioner saya. Jadi memang sangat bebas. Kalau saya lebih
mengerucut ke kelompk tertentu mungkin hasilnya akan lebih
baik.
3. Ya betul Pa. Saya mengira, karena saya sebar di Sosmed, masih ada
responden yang asal mengisi. Jadi memang samplingnya mesti
diperbaiki.
420
ANALISIS TERHADAP TINGKAT AKURASI TERJEMAHAN
BAHASA INDONESIA KE BAHASA INGGRIS PADA BUKU CERPEN
FABEL QURAN BURUNG-BURUNG HUD-HUD
RAHMI RAMADHIANTI ZAIN
Magister Linguistik Penerjemahan Universitas Gajah Mada
1. PENDAHULUAN
Di era globalisasi ini, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
mendorong meningkatnya minat masyarakat untuk mempelajari bahasa
asing. Hal ini berdampak pada semakin diminati dan dibutuhkannya
keilmuan penerjemahan oleh banyak bidang keilmuan. Salah satu bidang
keilmuan yang mulai banyak menyentuh aspek keilmuan terjemahan
yaitu bidang sastra dan psikologi anak. Perpaduan bidang sastra dan
psikologi anak mendorong suatu tren dan kebutuhan dikalangan penerbit
di Indonesia untuk menerbitkan berbagai buku cerpen (cerita pendek)
bilingual. Bahasa inggris, yang sampai saat ini masih mendominasi
sebagai bahasa internasional, menjadi, motivasi bagi para penulis dan
penerbit untuk menerbitkan buku cerita bilingual berbahasa Indonesiainggris sebagai media pembelajaran bahasa inggris pada anak.
Pengadaan bahasa bilingual indonesia-inggris pada buku-buku
cerpen diharapkan dapat membantu pembelajaran bahasa asing oleh
anak menggunakan buku cerita tersebut. Oleh karna itu, bahasa dan
terjemahan yang digunakan pada buku cerpen tersebut harus akurat.
Farahzad (274,1992) dalam Osanloo dan Khanmohammad (2009)
menjelaskan definisi keakuratan dalam penerjemahan ialah penyampaian
informasi dari teks sumber dengan tepat. Sedangkan, Nababan (2012:44)
memaparkan bahwa keauratan ialah istilah yang digunakan dalam
pengevaluasian kualitas terjemahan yang merujuk pada apakah bahasa
teks sumber dan teks target telah sepadan atau tidak. Dengan demikian,
penyampaian informasi dengan tepat yang dimaksud oleh Farahzad ialah
adanya kesepadanan makna antara teks target dan teks sumber, sehingga
makna yang dihasilkan teks target tepat dengan yang dimaksud oleh teks
sumber.
Pentingnya akurasi dalam sebuah terjemahan serta munculnya tren
buku cerpen bilingual yang berperan sebagai media pembelajaran bahasa
inggris pada anak, merupakan, orientasi pentingnya dilakukan penelitian
421
terhadap akurasi dari terjemahan indonesia ke inggris yang terdapat pada
buku cerpen anak-anak. Pada penelitian ini, dilakukan penelitian
terhadap akurasi terjemahan pada buku cerpen fabel Qur’an yang
berjudul “ burung hud-hud pembawa berita yang akurat”. Buku cerpen
Fabel quran burung hud-hud merupakan buku cerpen bilingual yang
sedang tren di pasaran. Hal ini karna buku cerita fabel Quran
mendapatkan predikat best seller oleh salah satu penerbit buku muslim
terkenal yaitu pro-U Media.
Zearo (2005) dalam Gustiar (29,2014) memaparkan terdapat
setidaknya tiga macam akurasi yang harus diperhatikan oleh seorang
penerjemah. Tiga macam akurasi ini ialah lexical accuracy ( akurasi
lexikal), structure and grammar accuracy ( akurasi tata bahasa), dan
keakurasian dalam gaya bahasa dan kreatifitas berbahasa. Dari tiga jenis
akurasi yang ada (akurasi tata bahasa, leksikal, gaya bahasa), penelitian ini
difokuskan pembahasannya pada akurasi lexikal dari buku cerpen fabel
quran burung hud-hud.
Untuk mengidentifikasi ketidakakuratan pada terjemahan, menurut
Larson ( 1984 : 482) dalam Nadhianti (2016) ada tiga indikator yang
menjadi indikasi bahwa terjemahan tersebut tidak akurat yaitu omission
(penghilangan), addition (penambahan), Different Meaning (makna yang
dihasilkan berbeda dari teks sumber). Untuk mengidentifikasi terjemahan
yang tidak akurat, penelitian ini menggunakan kriteria ketidakakuratan
oleh Llarson, hal ini karna penulis sebagai akademisi pada bidang
penerjemahan, bukan praktisi dan profesional yang dapat meneliti dengan
sendiri tingkat keakurasian pada buku cerita fabel Quran burung hud-hud.
Dalam menerjemahkan, teknik penerjemahan yang digunakan dapat
mempengaruhi keakuratan terjemahan tersebut. Ada beberapa teknik
dalam penerjemahan. Berikut dipaparkan definisi dari teknik-teknik yang
digunakan dalam Penerjemahan oleh Molina dan Albir dalam Novalinda
(2011). Teknik Adaptasi ialah mengganti unsur budaya yang ada pada teks
sumber. Teknik yang kedua ialah teknik Borrowing. Teknik borrowing
ialah teknik penerjemahan dengan meminjam kata dari bahasa sumber
baik secara murni atau natural. Teknik deskripsi ialah teknik dimana
istilah diganti dengan deskripsi. Sedangkan teknik linguistik amplifikasi
ialah dengan menambahkan unsur-unsur linguistik pada teks target.
Teknik modulasi ialah dengan mengubah sudut pandang. Teknik reduksi
ialah dengan memadatkan bahasa sumber ke bahasa target. Teknik
422
Harfiah literal ialah dengan terjemahan kata per kata. Teknik Calque ialah
penerjemahan secara literal Kata atau frasa pada teks sumber diadopsi ke
teks target.
Untuk mengidentifikasi tingkat keakuratan terjemahan dan
menganalisis permasalahan ketidakakuratannya, metode yang digunakan
dalam penelitian ini ialah komparatif model. Teori ketidakakuratan larson
dibandingkan dengan data kalimat terjemahan untuk mengidentifikasi
terjemahan yang tidak akurat. Jumlah kalimat yang teridentifikasi tidak
akurat akan dihitung secara statistik sehingga menggambarkan
persentase keakuratan dari seluruh terjemahan buku cerpen fabel Quran
burung hud-hud. Setelah diidentifikasi secara detail teknik-teknik
penerjemahan yang digunakan pada kalimat yang tidak akurat, dilakukan
analisis terhadap teknik penerjemahan yang digunakan serta beberapa
konsep yang dilibatkan dalam pembuatan buku cerpen fabel Quran burung
hud-hud, konsep ini seperti teori sastra anak, teori bahan ajar bahasa
inggris yang baik, teori atau konsep narrative text.
2. TEMUAN PENELITIAN
Berikut dilampirkan tabel hasil penelitian kalimat yang terindikasi
tidak akurat berdasarkan tiga ciri ketidakakuratan larson. Sebagaimana
telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ciri ketidakakuratan oleh
larson ialah adanya omission (penghilangan), addition (penambahan), dan
beda makna ( different meaning ).
Tabel 1. Kalimat yang tidak akurat pada buku cerita Fabel Quran burung
Hud-Hud
Kalimat Teks sumber
Teks target
ketidakakuratan Metode
Ke-1
penerjemahan
Aku yakin tidak Nothing
coud
ada yang dapat compare
its
menandingi
beauty
keindahannya
Terdapat penghilangan pada kalimat Omission
modulasi
“aku yakin”
Kalimat Dia
juga Besides, he had the
Ke-12
memiliki istana most beautiful and
yang
sangat incredible palace
indah
in the world
423
Kalimat
Ke-14
Kalimat
Ke-17
Kalimat
Ke-18
Kalimat
Ke-19
Kalimat
Ke-26
Terdapat penambahan pada kata
“world”
Terdapat beda makna yang cukup
signifikan antara kata “sangat megah”
dan “ most beautiful”
Aku
terbang When flying, I
melewati
cross
over
kebun-kebun
harvested, grapes,
anggur, kurma dates, and wheats.
dan
gandum
yang
sedang
dipanen
oleh
manusia
when
addition
Kebun anggur, kurma dan gandum
menjadi “ harvested, grapes, dates
and wheats.
Lalu,
aku I perched on it and
hinggap
di looked on my
bangunan
itu surrounding
dan
memperhatikan
sekelilingku
Terdapat penghilangan pada kata
“lalu”
Berada
Where I am ?
dimanakah aku
sekarang?
Penghilangan pada kata “sekarang”
Tiba-tiba
ada I heard a voice
suara
calling me. “ Hi
menyapaku,”hai buddy, it seems
kawan,apa
that you are lost,
kamu tersesat?” aren’t you?” said a
tanya
burung pigeon
merpati
Penghilangan pada kata “tiba-tiba”
Different
meaning
Different
meaning
addition
Teknik
deskripsi
Teknik
deskripsi
Linguistik
amplifikasi
reduksi
omission
reduksi
omission
reduksi
Omission
Amplifikasi
linguistik
Dia harus tawu He deserves to
penyelewangan know
this
ini
deviation
424
Kalimat
Ke-29
Kalimat
Ke-34
Kalimat
Ke-15
Kalimat
Ke-13
Terdapat beda makna pada kata “
harus” dan deserves”
Namun, tak ada But, noone knew
seorangpun
yang
tahu
keberadaan ku
Penghilangan pada kata “ keberadaan
ku”
Mereka
They worshiped
menyembah
the sun instead
matahari
Munculnya kata “instead”
Aku
terbang Oneday, I flew to a
ketempat yang place I have never
baru
been seen before
Penambahan pada kalimat “ Oneday,I
have never been before”
Penghilangan pada “ baru”
Kebiasaanku
adalah
terbang
menjelajahi daerah-daerah
Different
meaning
harfiah
omission
reduksi
Addition
Amplifikasi
linguistik
addition
deskripsi
omission
deskripsi
I always wander
arround
new
island
Terdapat beda makna antara kata” Different
Amplifikasi
menjelajah” dan “ wander”. dalam meaning
linguistik
kamus oxford, wander didefinisikan
walk or move in leisurely,atau lebih
tepatnya
diartikan
dengan
“mengembara”, sedangkan didalam
kamus oxford, kata “menjelajah” lebih
tepatnya diterjemahakan dengan
“explore”
Terdapat omission pada kata “ omission
Amplifikasi
kebiasasaan ku”.
linguistik
pada bagian ini menggunakan teknik
penerjemahan
amplifikasi
linguistik,
dengan
menambahkan unsur dari frasa
nomina , sehingga pada terjemahan
menjadi berpola S dan P
425
Berdasarkan penyajian data di atas ditemukan 12 kalimat yang mengalami
ciri ketidakakuratan berdasarkan teori larson (omission, addition, dan
different meaning),yaitu pada kalimat 1,12,13,14,15,17,18,19,26,29, dan
34. Demikian,disimpulkan bahwa terjemahan buku cerita fabel Quran
ialah akurat. Hal ini karna hanya 24% kalimat terjemahan yang
teridentifikasi tidak akurat.
3. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa terjemahan pada
buku cerita fabel Quran burung Hud-Hud akurat. Sebelumnya, pada
pengumpulan data, ditemukan lima teknik penerjemahan yang diterapkan
pada kalimat-kalimat yang tidak akurat pada buku cerita fabel Quran
burung hud-hud. Teknik penerjemahan ini diantaranya ialah teknik
modulasi, teknik deskripsi, tekni linguistik amplifikasi, teknik reduksi, dan
teknik harfiah. Pada kalimat ke-1 mengalami omission dengan
menggunakan teknik modulasi. Pada kalimat ke 12 mengalami addition
dan different meaning dengan teknik deskripsi. Pada kalimat ke 14
mengalami addition dengan menggunakan teknik amplifikasi linguistik,
dan mengalami different meaning dengan menggunakan teknik
penerjemahan reduksi. Pada kalimat ke 17 dan 18, dan 29 mengalami
omission dengan teknik reduksi. Pada kalimat ke 19 mengalami omission
dengan teknik amplifikasi linguistik. Pada kalimat 26 mengalami different
meaning dengan teknik harfiah. Kalimat 34 mengalami addition dengan
teknik amplifikasi. Kalimat 15 yang menggunakan teknik deskripsi dan
berdampak adanya omission dan addition. Kalimat ke 13 dengan teknik
amplifikasi linguistik yang berdampak pada different meaning dan
omission.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa teknik modulasi menyebakan 1
ketidakakuratan yaitu timbulnya 1 kali omission pada kalimat ke-1.
Dan teknik deskripsi menyebabkan terjadinya 4 kali ketidakakuratan
yaitu terdapatnya dua kali addition pada kalimat ke 12 dan 15, 1 kali
omission pada kalimat ke- 15, 1 kali different meaning pada kalimat ke- 12.
Dan teknik amplifikasi linguistik menyebabkan terjadi 5 kali
ketidakakuratan yaitu 2 kali addition yaitu pada kalimat 14 dan 34, dan
menyebabkan 2 kali omission pada kalimat ke 13 dan 19, dan
menyebabkan 1 kali different meaning pada kalimat ke 13. Teknik Harfiah
menyebabkan 1 kali ketidakakuratan yaitu 1 kali different meaning
pada kalimat ke-26. Teknik modulasi menyebabkan 1 kali
ketidakakuratan yaitu 1 kali omission pada kalimat pertama. Teknik
reduksi menyebabkan 3 kali ketidakakuratan yaitu 2 kali omission pada
kalimat 18 & 29, dan 1 kali different meaning pada kalimat ke 13.
426
Berdasarkan temuan diatas, ditemukan bahwa teknik yang paling
banyak menyebabkan ketidakakuratan yaitu pada teknik amplifikasi
linguistik.Dan teknik nomor dua terbanyak yang menyebabkan
ketidakakuratan ialah teknik deskripsi. Penemuan-penemuan ini akan
menjadi landasan analisis kritis dari kerangka permasalahan yang
menyebabkan terjemahan pada buku cerita fabel Quran menjadi tidak
akurat. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa teknik
amplifikasi linguistik ialah teknik yang dilakukan dengan menambahkan
unsur linguistik pada bahasa sumber. Seperti pada salah satu contoh data
kalimat yang menggunakan teknik amplifikasi linguistik yang telah
disebutkan sebelumnya, yaitu pada teks sumber “ aku terbang melewati
kebun-kebun kurma,dan gandum yang sedang dipanen oleh manusia. Dan
diterjemahkan menjadi “ when flying, I cross over harvested grapes,dates
and wheats”. Pada kalimat terjemahan tersebut tampak penerjemah
membuat bahasa terjemahan sesederhana mungkin dan sekongkrit
mungkin.
Sebagaimana teori dalam sastra anak yang dipaparkan oleh puryanto
(2008)dalam Novalinda (2011)memaparkan bahwa salah satu syarat
sastra anak ialah gaya bahasanya mudah dipahami oleh anak, dan
imajinasi yang disajikan masih dalam jangkauan anak. Oleh karna itu,
penerjemah memutuskan tidak menggunakan terjemahan “ I fly over”,
tetapi menggunakan diksi I cross over, karna diksi fly over dianggap
penerjemah merupakan kata yang sulit bagi anak, dan selain itu diksi “fly
over” akan mempersulit imajinasi anak untuk membayangkan bahwa
burung hud-hud tersebut terbang melintasi kebun-kebun kurma.
Sedangkan kata “cross” merupakan kata-kata yang dianggap familiar oleh
orang indonesia ,seperti dapat kita temukan pada kata serapan “ zebra
kross”. Dan juga, diksi “ cross” sering ditemukan pada cerita-cerita anak.
Dari analisa ini, terindikasi bahwa alasan penerjemah menggunakan
teknik ampifikasi linguistik ialah bagaimana agar si penerjemah tersebut
dapat menghasilkan terjemahan yang gaya bahasanya sederhana, diksi
yang sering didengar dan dibaca oleh anak sehingga kalimat terjemahan
yang dihasilkan masih dalam jangkauan imajinasi anak.
Akan tetapi, latar belakang kemampuan tatabahasa bahasa inggris
yang lemah yang dimiliki oleh penerjemah, hal ini menyebabkan usaha
penerjemah untuk membuat kalimat menjadi sederhana dan mudah
dibayangkan oleh anak dengan menggunakan teknik amplifikasi ,
menyebabkan terjemahan menjadi tidak akurat. Hal ini karna adanya
unsur-unsur yang bertambah dan hilang, serta timbulnya beda makna
pada beberapa kalimat. Pada salah satu contoh kalimat , seperti kata when
yag bertambah pada teks target. Dan frasa “ yang sedang dipanen oleh
manusia “ yang hilang pada teks target. Lemah nya kemampuan tatabahasa
penerjemah diindikasikan seperti pada terjemahan kebun anggur yang
427
harus nya menjadi “ vineyard” tetapi diterjemahkan menjadi “ harvested
grapes”. pada kata when dengan menggunakan teknik amplifikasi
linguistik. Dalam hal ini, penerjemah menambahkan unsur linguistik pada
teks target, sehingga kalimat yang tadinya pada teks sumber tidak
memiliki frasa keterangan (when flying), pada teks target terdapat
penambahan, sehingga muncu frasa keterangan. Dengan terdapatnya
unsur linguistik yang bertambah pada teks target.
Selain itu, sebagai buku cerita yang banyak digunakan para ibu
untuk media pembelajaran bahasa asing pada anak, penerjemah
terindikasi memaksakan bahasa terjemahan pada buku cerita fabel Quran
menjadi bahasa terjemahan yang dapat menjadi input bahasa baru bagi
anak. Hutchinson&Waters dalam Zain,Rahmi (2013) memaparkan bahwa
salah satu syarat sebuah bahan ajar yang baik ialah memiliki input (bahasa
nya dapat memperkaya bahasa anak). Dengan menggunakan teknik
linguistik amplifikasi terindikasi bahwa penerjemah berusaha ingin
mempermudah penambahan kosakata baru anak dengan memilih diksi
terjemahan seperti dari kebun anggur,kurma, dan gandum, yang
diterjemahkan menjadi “ harvested grapes, dates and wheats”, sehingga
penerjemah berharap anak-anak akan mengartikan harvested sebagai
kebun, yang menyebakan penambahan unsur lingustik pada bagian
kalimat tersebut, yaitu kaliamt yang tadi nya “ aku terbang melewati
kebun-kebun anggur,kurma, dan gandum, menjadi “ when flying , I cross
over harvested grapes,dates and wheats, sehingga terjadi pergerseran
struktur yang menyebabkan penambahan unsur linguistik seperti frasa
when flying.Dengan demikian, menyebabkan kalimat ini menjadi tidak
akurat karna adanya unsur yang bertambah.
Teknik yang berkontribusi nomor dua terbanyak menyumbang
ketidakakuratan pada terjemahan buku cerita fabel Quran burung hudhud ialah teknik deskripsi. Gerot&Wignell (1995) dan Fortune&Teddick
(2003) dalam Gusdiar (2014) memaparkan bahwa salah satu syarat
bahasa teks naratif ialah memunculkan adanya action verb, adverb of time
(once upon a time, someday),dan saying verb. Untuk memenuhi unsur
tersebut agar terjemahan yang dihasilkan masih dalam skala imajinasi
anak, maka penerjemaha terindikasi menggunakan teknik deskripsi dalam
menerjemahkan. Seperti pada contoh kalimat “ aku terbang ke tempat
yang baru, yang diterjemahkan menjadi “ oneday, I flew to a place I have
never been before”. Pada kalimat tersebut, terindikasi bahwa penerjemah
mencoba mendeskripsikan tempat baru dengan kalimat “ place I have
never been before”. Tujuan Penerjemah ialah untuk memunculkan
imajinasi anak. Sedangkan adanya penambahan pada kata “ oneday” juga
merupakan upaya penerjemah untukmemunculkan imajinasi anak melalui
pemunculan adverb of time pada naratif seperti kata “ oneday”.
428
4. KESIMPULAN
Berdasarkan pengolahan data menggunakan teori ketidakakuratan
Larson, ditemukan bahwa terjemahan indonesia ke inggris pada buku
cerpen fabel Quran burung hud-hud ialah akurat. Selain itu, dengan
menggunakan teori dan konsep dari teknik yang digunakan dalam suatu
penerjemahan serta menggunakan konsep dan teori dari sastra anak,
bahan ajar bahasa inggris yang baik dan konsep dari narrative text,
ditemukan bahwa terdapat nya 24% terjemahan buku cerpen fabel Quran
burung hud-hud yang tidak akurat disebabkan karna benturan antara
usaha penerjemah untuk menciptakan penerjemahan yang dapat terbaca
dengan baik oleh pembacanya yang merupakan anak-anak
REFERENSI
Osanloo,Maryam dan Khanmohammad, Hajar.2009.Moving toward
Objective Scoring : a rubric for translation assesment. Jurnal JELS Vol 1 no
1
Shuttle worth, Mark & Cowie Moira. 2014.Dictionary of Translation
Studies.St.Jerome Publishing : Newyork.
Chesterman and William. 2002.The Map. St Jerome Publishing
Nababan, Mangatur & Nuraeni, Ardiana, Sumardiono.2012.Pengembangan
Model Penilaian Kualitas Penerjemahan.Jurnal Kajian Linguistik dan
Sastra.vol 24 no 1 juni
Gustiar, Indira. 2014.The Accuracy of google translate in translating
narratives,procedurs,and exposition.Thesis. Semarang : Universitas Dian
Nuswantoro.
Jin,Wanying.1991.Translation Accuracy and Translation Efficiency.
Thesis.New Mexico State University
Novalinda. 2011.Teknik, Metode,Ideologi, Kualitas Terjemahan cerita
Anak Serial Erlangga for Kids.Thesis. Surakarta: Program Pascsarjana UNS.
Zain,Rahmi Ramadhianti.2013.Analysis of Reading Materials USed by
Teachers of Second Grade of Adabiah Senior High School. Padang :
Universitas Negri Padang.
Nadhianti.2016. An analysis of Accuracy Level of Google Translate in
Bahasa English-Bahasa Indonesia And Bahasa Indonesia-English
Translation.Thesis.Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY
429
ANALISIS CODE SWITCHING DALAM SEMINAR PROPOSAL PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS STKIP BUDIDAYA BINJAI
Rakhmat Wahyudin Sagala1, Tri Indah Rezeki2
1Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara
2Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP Budidaya Binjai
nuansa.bimbel@gmail.com
ABSTRAK
Dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
notabenenya harus menggunakan bahasa Inggris didalam proses kegiatan
yang berhubungan dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris.
Faktanya, terbatasnya penggunaan bahasa Inggris membuat mahasiswa
sering menggunakan code switching dalam kegiatan yang berhubungan
dengan Program Studi Pendidikan bahasa Inggris. Studi ini bertujuan
untuk mengetahui fenomena code switching yang terjadi didalam proses
seminar proposal Prodi Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (STKIP) Budidaya Binjai. Penelitian deskriptif kualitatif ini
mengambil data dari proses seminar proposal Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris yang mana dosen penguji dan mahasiswa peserta seminar
sebagai subjek penelitian dan data diperoleh melalui observasi,
wawancara, rekaman dengan menggunakan rekaman video dan catatan
lapangan. Dari hasil temuan disimpulkan bahwa code switching terjadi
dalam tuturan selama proses seminar proposal prodi Bahasa Inggris. Jenis
code switching yang terdapat dalam tuturan berdasarkan teori Romaine
(2000) yaitu Inter-sentential code switching, Intra-sentential code
switching dan Tag switching. Faktor dosen dan mahasiswa melakukan code
switching adalah karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga,
perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan
berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview juga disimpulkan
bahwa mahasiswa melakukan code switching karena bahasa Inggris bukan
bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata bahasa Inggris
membuat mereka sering menggunakan code switching didalam
percakapannya. Penelitian ini dibiayai oleh SIMLITABMAS. Direktorat
Riset dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat Jenderal Penguatan Riset
430
dan Pengembangan. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi,
sesuai dengan kontrak penelitian tahun anggaran 2018.
Kata Kunci: Code Switching, Jenis Code Switching, Faktor Code Switching
1. PENGANTAR
Masyarakat yang memiliki kemampuan menggunakan satu bahasa atau
lebih disebut sebagai bilingual atau multilingual, sangat mungkin bagi
mereka untuk mengganti bahasa yang mereka gunakan ketika sedang
berbahasa atau berbicara. Fenomena seperti ini dikenal dengan codeswitching. Code-switching dapat terjadi karena bahasa adalah salah satu
bentuk simbol perilaku manusia yang paling penting dan merupakan
komponen penting dalam identitas sebuah kelompok. Ada tiga jenis
pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yaitu alih kode
(code switching), campur kode (mixing code) dan variasi dalam bahasa
yang sama (variation within the same language) Sumarsono (2004:201).
Umumnya dalam lingkungan pendidikan, termasuk di Perguruan Tinggi,
hal ini mungkin dilakukan oleh guru atau dosen dan siswa untuk
mengubah bahasanya karena mereka berbicara dengan lebih dari satu
bahasa. Dalam hal ini code switching terjadi di dalam proses seminar
proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai
ketika mereka sedang berinteraksi. Mereka dapat mengganti atau
mencampur bahasanya ketika mempunyai persepsi yang sama terhadap
hal atau sesuatu yang sedang dikomunikasikan.
Di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, hampir semua kelas yang
merupakan mata kuliah keterampilan diajarkan dengan menggunakan
Bahasa Inggris sebagai medium interaksinya. Hal ini bertujuan agar dosen
dan mahasiswa terbiasa dengan Bahasa Inggris didalam proses
perkuliahan. Baik dosen maupun mahasiswa sering mengganti bahasa
mereka pada bagian-bagian tertentu dan kemudian kembali pada bahasa
awalnya lagi. Mereka juga kadang benar-benar berganti bahasa secara
menyeluruh. Seorang dosen cenderung mengganti bahasa yang digunakan
untuk memperjelas informasi yang disampaikan. Sementara mahasiswa
cenderung mengganti bahasa yang mereka gunakan karena kurangnya
pengetahuan mereka tentang bahasa yang mereka gunakan.
Alih kode (code switching) adalah gejala pemakaian bahasa karena
berubahnya situasi (Appel dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107). Hymes
431
(dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107) menyatakan bahwa alih kode
adalah gejala peralihan bahasa yang bukan hanya terjadi antar bahasa,
tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat
dalam satu bahasa. Misalnya peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa
asing, seperti bahasa Inggris. Sejalan dengan hal tersebut, A Chaedar
(1998: 66) memberikan penjelasan mengenai alih kode yang dikatakan
sebagai bentuk peralihan dari satu dialek ke dialek lainnya. Nababan
(1991: 6) juga menyatakan bahwa alih kode terjadi jika keadaan
berbahasa itu menuntut penutur mengganti bahasa atau ragam bahasa
yang sedang dipakai. Terlebih lagi, Harimurti (2011: 7) mendefinisikan
secara singkat bahwa alih kode sebagai penggunaan variasi bahasa lain
untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain. Alih kode
merupakan kemampuan untuk beralih dari kode A ke kode B, atau disebut
juga peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain (Kachru dalam
Rahmadani, 2011: 107). Pergantian kode ini ditentukan oleh fungsi,
situasi, dan partisipan. Dengan kata lain, alih kode mengacu pada kategori
dari khazanah verbal seseorang dalam hal fungsi dan peran.
Berdasarkan definisi yang dipaparkan para ahli tersebut, maka yang
dimaksud code switching adalah pergantian bahasa dari satu bahasa
tertentu ke bahasa lain atau berubahnya ragam santai menjadi resmi atau
sebaliknya, pengalihan itu dilakukan oleh seseorang dalam keadaan sadar
karena sebab-sebab tertentu.
Dalam gambaran faktor-faktor code switching penulis mengacu pada teori
dari Chaer dan Agustina (2010) penyebab terjadinya code switching
sebagai berikut: 1) Pembicara atau penutur, 2) Pendengar atau lawan
tutur, 3) Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, 4) Perubahan
situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, 5) Berubahnya topik
Pembicaraan.
Romaine (2000) membedakan 3 jenis Code Switching yaitu Inter Sentential
Code Switching, Intra Sentential Code Switching, dan Tag Code Switching.
Inter Sentential terjadi diantara kalimat. Misalnya, “What is your research
design. Jelaskan apa desain penelitian kamu?”. Intra Sentential Code
Switching terjadi dipertengahan kalimat. Misalnya, “Well, apa research
problem kamu?”. Sedangkan Tag Code switching terjadi ketika bilingual
memasukkan ungkapan pendek dari Bahasa yang berbeda pada akhir
ucapannya atau terjadi dalam kalimat tanda seru. Misalnya, “Penelitian
yang marvelous!” atau “It’s ok, no problem, yang nggak?”
432
Penelitian ini mendeskripsikan code-switching yang terjadi di dalam
proses seminar proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Budidaya Binjai,
jenis-jenis code switching yang digunakan menurut teori Romaine (2000)
dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya code switching menurut
teori Chaer dan Agustina (2010).
Dalam penelitian ini yang diteliti adalah bentuk tuturan atau percakapan
antara dosen dan mahasiswa selama proses seminar proposal yang
terdapat code switching didalamnya, maka penyajiannya dimulai dari
analisis percakapan lalu dikaitkan dengan teori code switching. Dari hasil
analisis data terdapat jenis code switching didalam percakapan antara
dosen dan mahasiswa selama proses seminar yaitu Inter-sentential code
switching, Intra-sentetial code switching dan Tag code switching. Lebih
lanjut peneliti melakukan interview kepada para informan yakni dosen
dan mahasiswa untuk mengetahui faktor mengapa mereka melakukan
code switching dan alasannya adalah karena perubahan situasi karena
hadirnya orang ketiga, perubahan dari situasi formal ke situasi informal,
dan berubahnya topik pembicaraan.
2. PEMBAHASAN
2.1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian atau informan adalah dosen Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris sebagai dosen penguji dalam seminar proposal dan
mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris sebagai peserta
dalam seminar proposal.
2.2. Desain Penelitian
Penelitian adalah deskriptif kualitatif mengacu pada teori Miles dan
Huberman (1992) dan Moleong (2012) yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Adapaun data yang akan diperoleh
dari penelitian berupa jenis code switching serta faktor-faktor penyebab
terjadinya code switching dalam tuturan pada seminar proposal Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai.
433
2.3. Pengumpulan Data dan Teknik Analisis
Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti
sendiri (Sugiyono, 2008:8). Peneliti melakukan validasi sebelum terjun ke
lapangan penelitian dengan melakukan persiapan meliputi pemahaman
metode penelitian kualitatif deskriptif dan penguasaan teori mengenai
objek yang diteliti yaitu analisis Code Switching dalam seminar proposal
Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Dalam mengumpulkan data, peneliti
menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, pedoman
observasi, buku catatan dan alat perekam untuk memudahkan peneliti
dalam melakukan pengumpulan data. Teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara,
observasi dan dokumentasi.
2.4. Analisis Data
Setelah mengumpulkan dan mentranskip data bagaimana dosen penguji
dan mahasiswa peserta seminar proposal menggunakan alih kode dari
satu bahasa ke bahasa lain. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia. Jenis code switching dianalisis berdasarkan teori
Romaine (2000) yaitu Inter sentential code switching, Intra sentential code
switching, and tag code switching. Dari data diperoleh:
Tabel 2.1. Hasil Analisis Data
Jenis-jenis Code Switching
Jadwal Seminar Intra
Inter
Tag
Code
Proposal
Sentential
Sentential
Switching
Code
Code
Switching
Switching
19 Maret 2018
49
33
10
TOTAL
49
33
10
Table 2.1 menunjukkan bahwa terdapat 42 tuturan yang berisi Intra
sentential code switching, 26 tuturan yang berisi Inter sentential code
switching, dan 19 tuturan yang berisi Tag code switching. Berikut adalah
contoh percakapan hasil analisis data:
Data 1
Dosen
: “Well, apa research problem kamu?”
Mahasiswa
: “My research problem is untuk mencari pengaruh
Semantic Mapping terhadap writing descriptive”
434
Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis
Intra-sentential code switching yaitu alih kode terjadi dipertengahan
kalimat. Penutur merubah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan
kembali lagi menggunakan bahasa Inggris. Dari interview dosen tersebut
menggunakan code switching untuk memudahkan mahasiswa mengerti
maksud pertanyaan penguji. Sedangkan mahasiswa menggunakan code
switching karena tidak mengetahui bahasa target yaitu bahasa Inggris.
Data 2
Dosen
: “Apa kamu yakin? Do you think that multiple choice
suitable to measure students’ reading comprehension?
Mahasiswa
: “I think yes mom. Karena yang mau dilihat kemampuan
reading”
Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis
Intra-sentential code switching yaitu alih kode terjadi diantara kalimat.
Dosen menggunakan kalimat pertama bahasa Indonesia kemudian kalimat
kedua menggunakan bahasa Inggris. Dari interview dosen menggunakan
code switching karena perubahan situasi dari informal ke formal.
Pernyataan “Apa kamu yakin” merupakan informal kemudian kembali
menggunakan bahasa Inggris untuk situasi formal. Sedangkan mahasiswa
menggunakan kalimat pertama bahasa Inggris kemudian mengganti
kalimat kedua dengan bahasa Indonesia. Dari interview, mahasiswa
melakukan code switching karena perubahasa situasi hadirnya orang
ketiga. Dalam hal ini, dosen penguji adalah dosen bahasa Indonesia
sehingga mahasiswa tersebut memberikan jawaban dengan bahasa
Indonesia.
Data 3
Dosen
: “The big problems of the students that you find. Apa yang
kamu temukan. Ini kan nggak asal-asal kamu temukan kan?
Mahasiswa
: “Problem nya, mereka masih belum bisa gitu mom speak
English”
Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis tag
code switching yaitu alih kode terjadi ketika bilingual memasukkan
ungkapan pendek dari Bahasa yang berbeda pada akhir ucapannya. Kata
“kan” dalam kalimat “ini kan nggak asal-asal kamu temukan kan?” dan kata
“nya” dalam kata “Problem nya”. Kata “kan” dan “nya” merupakan bahasa
435
yang berbeda dari bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dari interview,
dosen dan mahasiswa menambahkan kata-kata tersebut karena faktor
habit atau kebiasaan dalam komunikasi sehari-hari.
3. KESIMPULAN
Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa code switching
terjadi dalam tuturan selama proses seminar proposal. Jenis code
switching yang terdapat dalam tuturan berdasarkan teori Romaine (2000)
yaitu intra-sentential sebanyak 42 tuturan, inter-sentential sebanyak 26
tuturan dan terdapat 19 tuturan tag code switching. Faktor dosen dan
mahasiswa melakukan code switching berdasarkan teori Chaer dan
Agustina (2010) adalah karena perubahan situasi karena hadirnya orang
ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan
berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview terdapat alasan lain
mengapa mereka melakukan code switching yaitu karena bahasa Inggris
bukan bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata bahasa
Inggris membuat mereka sering menggunakan code switching didalam
percakapannya. Selain itu karena faktor habit atau kebiasaan dalam
percakapan sehari-hari.
DAFTAR RUJUKAN
A. Chaedar. 1998. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Cipta
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Nusa Indah.
Miles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press
Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Nababan, PWJ. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Rahmadani, Safitri. 2011. Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan
dalam Lingkungan Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Indonesia.
Depok.
Romaine S. 2000. Language in Society. An Introduction to Sociolinguistics.
Second Edition. New York: Oxford University Press
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta
Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
436
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Ibu Kity Karenisa
Pertanyaan
: Bagaimana Anda bisa menyimpulkan bahwa
mahasiswa menggunakan code switching karena kurangnya kosakata?
Jawaban : Subjek penelitian dalam studi ini adalah dosen penguji
dan mahasiswa peserta seminar proposal di lingkungan Program
Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai. Setelah
melakukan penelitian dan menganalisis data, peneliti melakukan
interview kepada 16 subjek penelitian yaitu dosen sebanyak 8 orang
dan mahasiswa sebanyak 8 orang. Dari hasil interview kepada
mahasiswa, 7 orang dari mahasiswa menjawab bahwa mereka
melakukan code switching karena ketidaktahuan mereka
mengungkapkan bahasa target yakni bahasa Inggris.
2.
3.
Bapak Dr. I Dewa Putu Wijaya
Saran
: Menurut saya data terlalu sederhana, sebaiknya
dijelaskan lebih detail lagi tentang bagian mana yang Intra-sentential
code switching, Inter-sentential code switching dan Tag code switching.
Jawaban : Saran Bapak Dr. I Dewa Putu Wijaya telah peneliti
paparkan di bagian hasil analisis data yaitu mengenai contoh
percakapan antara dosen penguji dan mahasiswa seminar proposal
serta penjelasan analisis datanya.
Bapak Dr. Suryo Baskoro
Saran
: Ada beberapa faktor code switching, coba dianalisis
kembali apakah subjek penelitian melakukan code switching hanya
karena kurangnya kosakata.
Jawaban : Setelah melakukan analisis data dan triangulasi
disimpulkan bahwa faktor subjek penelitian melakukan code
switching karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga,
perubahan situasi dari formal ke
informal atau sebaliknya, dan
berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview terdapat alasan
lain mengapa mereka melakukan code switching yaitu karena bahasa
Inggris bukan bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata
bahasa Inggris membuat mereka sering menggunakan code switching
didalam percakapannya. Selain itu karena faktor habit atau kebiasaan
dalam percakapan sehari-hari.
437
RAGAM STRATEGI PENERJEMAHAN TEKS KEMASAN MAKANAN
RINGAN BERBAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA ARAB
Regi Fajar Subhan
Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor
Pos-el: regifsubhan28@gmail.com
ABSTRAK
Produk makanan ringan sudah tidak asing dalam keseharian masyarakat
sebagai konsumen. Salah satu bagian terpentingnya adalah kemasan, yang
memberikan informasi berbagai teks berupa rasa makanan, saran
penyajian, tanggal kedaluwarsa, dan komposisinya. Terutama apabila
produk tersebut dikirim ke luar negeri, khususnya negara-negara
berpenutur bahasa Arab. Penelitian makalah ini berfokus pada strategi
penerjemahan. Teori ini merupakan taktik yang dilakukan penerjemah
saat mendapati teks dalam unit yang lebih kecil, seperti kata atau
kelompok kata. Maka, masalah dan tujuan dari makalah ini yaitu
membahas permasalahan tentang ragam strategi penerjemahan yang
digunakan dari teks sumber bahasa Indonesia ke dalam teks sasaran
bahasa Arab pada kemasan produk makanan ringan. Teori yang digunakan
ialah strategi penerjemahan milik Suryawinata dan Hariyanto (2003).
Metode yang digunakan untuk penelitian ini ialah kualitatif deskriptif.
Tahapan-tahapan penelitian merujuk pada Sudaryanto (2015) dengan
membaginya ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap
analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data
dilakukan dengan simak-catat, sedangkan analisis data menggunakan
padan-translasional. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat
enam strategi penerjemahan yang dilakukan untuk mengalihkan teks pada
kemasan makanan ringan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab.
Keenam strategi tersebut antara lain sinonim, transposisi, pungutan,
padanan deskriptif, penghapusan, dan modulasi. Penggunaan strategi
terbanyak yang diterapkan ialah padanan deskriptif. Strategi ini
438
digunakan untuk memberikan penjelasan secara rinci bagi pembaca teks
bahasa sasaran.
Kata kunci: strategi, penerjemahan, Indonesia, Arab, kemasan
PENGANTAR
Kegiatan pengalihan bahasa telah lama dilakukan oleh manusia sejak
berabad-abad yang lalu. Salah satu buktinya ialah masa kejayaan Islam
yang mencapai puncaknya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada zaman itu, berbagai karya bangsa Yunani kuna diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Di era modern saat ini, kegiatan penerjemahan
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai bangsa saling
berlomba untuk mencoba memperkenalkan hasil karya sendiri ke bangsa
lain. Mengutip pernyataan Newmark (2003: 55) dalam esainya yang
menyebutkan, no global communication without translation, ‘tidak ada
komunikasi global tanpa penerjemahan’. Maksud pernyataan komunikasi
global tersebut ialah komunikasi lintas bahasa secara global, baik itu
dalam dua bangsa pengguna bahasa atau berbagai bangsa yang
menjadikannya sebagai peran utama demi kemajuan peradaban manusia.
Seiring dengan kemajuan teknologi, kebutuhan penerjemahan tidak
hanya sebatas dalam bidang ilmu pengetahuan semata. Lebih luas dari itu,
kini kegiatan tersebut telah merambah bidang produksi dan ekonomi.
Salah satunya penerjemahan teks produk, khususnya makanan ringan.
Hasil produksi merupakan salah satu ranah yang dekat dengan kehidupan
kita sehari-hari. Teks produk termasuk ke dalam wilayah penerjemahan
teks lokalisasi atau penerjemahan terhadap suatu produk yang akan
dipasarkan di suatu wilayah (Hidayatullah, 2014: 33). Peran penerjemah
tentu turut andil dalam menghasilkan sistem kebahasaan yang sesuai.
Tujuannya agar mendapat perhatian bagi para konsumen. Khususnya
produk yang akan diekspor ke berbagai negara. Penggunaan bahasa asing
pun menjadi prioritas utama bagi perusahaan demi memasarkan
produknya. Hal ini tentu menjadi nilai tambah bagi pemasukan secara
ekonomi karena merupakan bagian dari strategi pemasaran.
Dalam makalah ini, peneliti memberi batasan bahwa produk yang
dimaksud ialah produk yang pada bungkus kemasannya tertera teks
bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber (BSu) dan teks bahasa Arab
sebagai bahasa sasaran (BSa). Penelitian mengenai strategi penerjemahan
439
produk cukup banyak dilakukan, adapun perbedaan antara penelitian
yang sudah ada tersebut dengan penelitian yang diangkat dalam makalah
ini yaitu terletak pada objek kajian BSu. Karena banyak analisis
sebelumnya yang mengkaji dari bahasa sumber asing ke dalam bahasa
Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan sebaliknya, yakni dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa asing. Selain itu, banyak pula penelitian
sebelumnya yang mengangkat bahasa Inggris sebagai topik kajian
pembahasan, akan tetapi dalam penelitian ini yang menjadi fokus bahasa
asingnya ialah bahasa Arab. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini
ialah bagaimana strategi penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah
dalam mengalihkan teks pada kemasan makanan. Berangkat dari
permasalahan tersebut, penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan
ragam strategi yang digunakan oleh penerjemah ketika memadankan
istilah-istilah penting seperti batas kedaluwarsa, saran penyajian,
komposisi makanan, rasa makanan, dsb. yang tertera dalam kemasan
makanan ringan. Tujuan tersebut sangat berguna untuk diketahui bagi
penerjemah yang ingin mencoba terjun ke dalam perusahaan.
Berbagai definisi terkait penerjemahan telah banyak dikemukakan
oleh para ahli bahasa yang konsen di bidang penerjemahan, di antaranya
Catford (1965: 20) berpendapat bahwa terjemah adalah upaya
penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual
yang sepadan dengan bahasa lain. Sementara Peter Newmark (1981: 7)
menjelaskan bahwa penerjemahan adalah suatu kiat yang merupakan
usaha untuk mengganti suatu pesan atau pernyataan tertulis dalam satu
bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain.
Newmark menggunakan istilah ‘mengganti’ pesan dan memaknainya
‘sama’ tetapi ‘dalam bahasa yang lain’ sebagai konsep utama
penerjemahan yang dimaksud. Selain harus mengenali bentuk dan sistem
bahasa, seorang penerjemah juga harus mengenali unsur budaya kedua
bahasa. Bahkan Geoffrey (2010: 34) menyebut bahwa bahasa
mencerminkan budaya dan penerjemah harus memahami budaya serta
langkah stereotip dalam mereproduksi makna teks sumber. Pernyataan
tersebut menegaskan kembali bahwa tidak ada makna yang benar-benar
sama antara dua budaya dan dua bahasa yang berbeda. Maka seorang
penerjemah dituntut untuk mengenali teks, koteks, dan konteks. Hal ini
dikarenakan keberterimaan hasil terjemahan hanya akan dirasakan oleh
pembaca. Artinya, pembaca teks sasaran hanya melihat ‘hasil’ dari praktik
440
yang telah dilakukan oleh penerjemah, bukanlah melihat ‘praktik’
penerjemahannya (Machali, 2009: 30).
Dalam makalah ini, peneliti memfokuskan pada strategi
penerjemahan. Teori ini merupakan taktik yang dilakukan penerjemah
saat mendapati teks dalam unit yang lebih kecil, seperti kata atau
kelompok kata. Teori yang digunakan ialah strategi penerjemahan milik
Suryawinata dan Hariyanto (2003). Peneliti mengambil teori ini karena
sangat relevan, yakni dengan pembagian strategi yang ditawarkan dalam
dua kategori besar untuk menentukan strategi-strategi penerjemahan,
yaitu strategi struktural dan strategi semantis (Suryawinata & Hariyanto,
2003: 67). Strategi struktural di antaranya penambahan, pengurangan,
dan transposisi. Sedangkan strategi semantis di antaranya pungutan,
padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim,
terjemahan resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan,
dan modulasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Hasil analisis diuraikan dalam bentuk deskripsi
dengan memberikan gambaran data. Sehingga penelitian ini menekankan
pada kualitas sesuai pemahaman deskripsi tersebut. Data yang didapatkan
adalah hasil pengamatan peneliti tanpa menilai salah atau benar suatu
data. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan.
Tahapan penelitian yang digunakan merujuk pada Sudaryanto (2015)
dengan membagi konsep penelitian ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap
penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis
data.
Pada tahap penyediaan data, peneliti menggunakan metode simak
dan catat sebagai teknik lanjutan. Fokus penelitian ini terbatas pada teks
terjemahan kedua bahasa. Peneliti juga menyimak data-data dengan
metode simak dan teknik dasar berupa teknik sadap bebas libat cakap.
Data kemudian dicatat. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis
dengan metode padan referensial dan metode padan translasional. Pada
tahapan analisis, teori yang digunakan yaitu strategi penerjemahan milik
Suryawinata dan Hariyanto (2003). Tahapan dalam analisis data adalah
sebagai berikut: (1) membaca keseluruhan teks, baik BSu maupun BSa
yang terdapat dalam kemasan tersebut, (2) mengklasifikasikan temuan
pada tabel, (3) menganalisa bentuk terjemahan pada bagian unit yang
441
lebih kecil, yakni kata dan frasa, (4) memberikan pemaparan hasil analisis
secara deskriptif. Pada bagian akhir, yakni penyajian hasil analisis
dilakukan dalam bentuk tabel klasifikasi sesuai ragam strategi hasil
temuan dengan memberikan deskripsi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang terhimpun dan dibahas pada bagian ini diambil dari
beberapa produk makanan Indonesia, di antaranya: Hatari, Sedaap,
Mayasi, Iyes, Gaga Gepeng, Oops, Richeese, Bihunku, dan Super Bihun.
Pada teks kemasan tersebut ditemukan beberapa ragam strategi
penerjemahan yang akan dijelaskan dalam bagian ini. Berikut adalah
pembahasannya. Adapun strategi yang tidak digunakan atau yang tidak
ditemukan di dalam data, peneliti tidak mamasukkannya pada bagian
pembahasan ini.
a. Strategi sinonim
Bentuk penerjemahan ini dilakukan dengan menggunakan kata
BSa yang kurang lebih sama dengan makna kata pada BSu. Strategi
penerjemahan ini mirip dengan harfiah, yakni dilakukan sesuai
dengan makna literalnya pada kamus. Berikut hasil temuannya.
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
simpan di tempat sejuk dan kering
makanan ringan rasa ayam panggang
ُ َيُحْ ف
ٍار ٍد َو َجاف
ِ ََان ب
ٍ ظ فِي َمك
اج ال َم ْش ِوي
ِ َوجْ َبةٌ َخ ِف ْيفَةٌ ِبنَ ْك َه ِة الدَّ َج
BSu: Simpan di tempat sejuk dan kering
(1) (2)
(3) (4) (5)
BSa:
ُ يُحْ َف
َو
ار ٍد
َان
فِي
ظ
ٍَجاف
ِ َب
ٍ َمك
/jāfin/ /wa/ /bāridin/ /makānin/ /fī/ /yuḫfaẑ/
‘kering’ ‘dan’ ‘sejuk’ ‘tempat’ ‘di’ ‘disimpan’
(5)
(4)
(3)
(2)
(1)
Susunan penomoran di atas dilakukan untuk melihat makna sinonim
yang muncul dalam setiap penggalan kata. Bentuk terjemahan telah
sesuai dengan startegi sinonim, dan. Pada kata ‘simpan’ tidak
termasuk sinonim karena telah mengalami pergeseran makna secara
leksikal menjadi pasif dalam bahasa Arabnya.
442
b. Strategi transposisi
Strategi ini dinilai sebagai suatu keharusan, artinya apabila
tanpa penggunaan strategi ini makna BSu tidak tersampaikan. Selain
itu, penggunaan strategi ini juga dinilai sebagai langkah pilihan
apabila transposisi dilakukan karena alasan gaya bahasa. Dengan
strategi ini penerjemah melakukan pengubahan struktur BSu dan BSa
agar mencapai kesepadanan. Seperti perubahan kelas kata. Bentuk ini
ditemukan pada tataran kata dan frasa dalam teks kemasan. Berikut
hasil temuannya.
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
jagalah kebersihan
baik digunakan sebelum
baik digunakan sebelum
pewarna makanan sintesis
ُ َِحاف
َ َعلَى ن
ظافَ ِة َبلَ ِد ُك ْم
َ ظوا
سنُ بِا ْست ِْخدَامِ ِه قَ ْب َل
َ ْيُ ْستَح
سنُ بِا ْست ِْخدَامِ ِه قَ ْب َل
َ ْيُ ْستَح
ت
ِ ُم ِل ِونُ اصْطِ نَاعِي ل ِْل َما ْ ُك ْو ََل
Dalam pembahasan ini peneliti mencontohkan salah satunya,
BSu: Baik digunakan sebelum.
(1) (2)
َ
ُسن
BSa: ق ْب َل
ا ْست ِْخدَا ِم ِه
ب
ِ
َ ْيُ ْستَح
/qabla/
/istikhdāmihi/
/bi/
/yustahsanu/
‘sebelum’ ‘menggunakannya’ ‘untuk’ ‘dianjurkan’
(2)
(1)
Bentuk pergeseran:
(1) sifat menjadi verba
(2) pasif menjadi aktif
c. Strategi pungutan
Beberapa teori menyebutnya sebagai strategi peminjaman
(borrowing), dan juga transkripsi. Strategi ini dilakukan oleh
penerjemah dengan menulis kembali istilah pada BSu ke dalam BSa.
Penyesuaian bentuk dalam strategi penerjemahan ini dilakukan
untuk menghasilkan kata yang selaras dengan kaidah fonotaktik dan
morfotaktik yang berlaku. Seperti pada data berikut:
443
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
vitamin C
فِ ْيتَامِ يْن ج
tartrazin CI 19140
Kecap
19140 ارت َِازي ِْن سي إي
ْ َّ الت
ِك ْي َجاب
Pada bahasa sasaran, terlihat bahwa penerjemah berusaha
mengalihkannya sesuai kaidah fonotaktik BSu. Peristilahan kimia
banyak digunakan dalam strategi ini Peneliti hanya menemukan satu
data berunsur budaya Indonesia, yakni ‘kecap’. Selain menghasilkan
kata yang selaras sesuai fonotaktik dan morfotaktik, strategi ini dapat
digunakan untuk mengenalkan istilah budaya BSu dalam BSa.
d. Strategi padanan deskriptif
Strategi ini dilakukan dengan memberikan penjabaran untuk
menjelaskan makna atau fungsi dari kata BSu. Penggantian istilah
dilakukan ketika pemadanan budaya tidak mampu untuk
memberikan ketepatan makna. Selain itu adanya keterkaitan budaya
mengharuskan penerjemah memberi penjelasan lebih. Berikut hasil
temuan terkait strategi ini.
Bahasa Sasaran
Bahasa Sumber
pengatur keasaman
ِضةُ ْالغَذَاء
َ ُمن َِظ ُم ُح ُم ْو
ٍعامِ ُل خَمِ ي َْرة
َ
Pengembang
Malkis
بِ ْس ُك ِويْت بِالس َّك ِر
saus sambal
ار
َ ص ْل
َ
ِ صة ُ ْالفُ ْلفُ ْل ْال َح
Seperti pada ‘malkis’ yang dideskripsikan menjadi بِ ْس ُك ِويْت بِالس َّك ِر
/biskuwit bi sukar/ ‘biskuit dengan gula’, dan ‘saus sambal’ yang
dideskripsikan menjadi ار
َ ص ْل
َ /shalshah al-fulful/ ‘saus lada
ِ صةُ ْالفُ ْلفُ ْل ْال َح
pedas’.
e. Strategi penghapusan
Strategi ini dilakukan ketika sebuah kata atau frasa tidak
diterjemahkan ke dalam BSu dengan alasan karena bagian tersebut
tidak terlalu penting bagi keseluruhan teks BSa. Penghapusan
444
tersebut dipandang tidak menimbulkan distorsi pesan secara
keseluruhan. Dengan kata lain, penerjemah berpikir bahwa daripada
sebuah kata diterjemahkan dengan konsekuensi pembaca akan
kebingungan, maka lebih baik kata tersebut dihilangkan.
Bahasa Sasaran
Bahasa Sumber
mi Sedaap
disajikan
siap
untuk ال َمك َُر ْونَةُ َجاهِزَ ة ٌ ِلت َ ْق ِدي ِْم
perisa identik alami cokelat
نَ ْك َهةُ الش ُك ْو ََلت َة
biskuit sandwich salut krim كر ْي ُم ال ُجب ِْن
َ ِب ْس ُك ِويْت
ِ سا ْند ِويْتش
keju
Contoh pada teks ‘mi Sedaap siap untuk disajikan’, penghapusan
dilakukan pada kata Sedaap dalam teks Arabnya. Kata tersebut
merupakan nama produk yang tidak dimunculkan dalam BSa oleh
penerjemah karena dinilai tidak perlu. Strategi ini juga dilakukan
pada komposisi makanan dan nama makanan.
BSu: Perisa identik alami cokelat.
ُنَ ْك َهة
BSa:
الش ُك ْو ََلت َة
/asyukulatah/
/nakhah/
‘coklat’
‘rasa’
f.
BSu: Biskuit sandwich salut krim keju.
BSa:
ال ُجب ِْن
كر ْي ُم
سا ْند ِويْتش
بِ ْس ُك ِويْت
َ
ِ
/al-jubn/
/krīm/
/sandwītsy/
/biskuwīt/
‘keju’
‘krim’
‘sandwich’
‘biskuit’
Strategi modulasi
Strategi modulasi dilakukan dengan mengganti sudut pandang,
fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu, baik dalam
bentuk struktural maupun leksikal. Sering juga disebut sebagai
pergeseran makna. Selain itu, penggunaan strategi ini dilakukan
ketika penerjemahan kata-kata dengan makna literal tidak
menghasilkan terjemahan yang wajar atau luwes (Suryawinata &
Hariyanto, 2003: 76). Berikut hasil temuannya.
445
Bahasa Sumber
Bahasa Sasaran
rasa goreng spesial pedas
ش ِعي ِْريَّةٌ َم ْق ِليَّةٌ َحار
َ
keluarkan mi dari air dan tiriskan
ت ُ ْس َكبُ ال َم ْعك َُر ْونَةَ َم َع نَ ْك َهتِ َها
Hasil temuan menunjukkan adanya pergeseran kognitif dalam bentuk
leksikal dan kalimat. Pada kata ‘rasa’ dalam teks 1 diterjemahkan menjadi
ٌش ِعي ِْريَّة
َ ‘mi/bihun’. Sedangkan pada teks 2 pergeseran makna dilakukan
hampir pada keseluruhan kalimat. Perhatikan penjelasan berikut.
BSu: Rasa goreng spesial pedas.
ٌَم ْق ِليَّة
ٌش ِعي ِْريَّة
BSa:
َحار
َ
/ḫār/
/maqliyyah/
/sya’īriyah/
‘pedas’
‘goreng’
‘mi’
BSu: Keluarkan mi dari air dan tiriskan.
َال َم ْعك َُر ْونَة
BSa:
نَ ْك َهتِ َها
َم َع
ُت ُ ْس َكب
/nakhatihā/
/ma’a/
/al-ma’karūnah/
‘bumbunya’ ‘dengan’
‘mi’
‘tuangkan’
/tuskab/
SIMPULAN
Berdasarkan temuan dan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa
terdapat enam strategi penerjemahan yang dilakukan untuk mengalihkan
teks pada kemasan makanan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab.
Keenam strategi tersebut antara lain sinonim, transposisi, pungutan,
padanan deskriptif, penghapusan, dan modulasi. Penggunaan strategi
terbanyak yang diterapkan ialah padanan deskriptif. Strategi ini
digunakan untuk memberikan penjelasan bagi pembaca BSa agar mudah
memahami kata dan frasa tertentu. Ini berkaitan dengan istilah-istilah
budaya BSu yang tidak sepadan apabila diterjemahkan dengan strategi
lain, seperti nama makanan lokal dan komposisi makanan tertentu yang
perlu untuk dideskripsikan. Selain itu, ada pula strategi transposisi yang
digunakan sebagai upaya penyesuaian struktur akibat pergeseran bentuk
bahasa. Strategi pungutan banyak dilakukan terhadap peristilahan kimia
dalam komposisi makanan. Strategi penghapusan digunakan untuk
menghilangkan kata-kata yang dinilai kurang/tidak perlu seperti nama
produk dan nama makanan. Strategi modulasi digunakan untuk
446
mengarahkan sudut pandang pembaca BSa akibat pergeseran makna,
seperti pada saran penyajian makanan. Strategi sinonim digunakan
apabila pada tahap awal penerjemahan susunan gramatikal kedua teks
dinilai telah sepadan.
DAFTAR PUSTAKA
Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied
Linguistics. London: Oxford University Press.
Hidayatullah, Moch. Syarif. 2014. Seluk Beluk Penerjemahan ArabIndonesia Kontemporer. Tangerang Selatan: Alkitabah.
Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap
Bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional. Bandung:
PT. Mizan Pustaka.
Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation (Language Teaching
Methodology Series), Oxford: Pergamon Press.
________, Peter. 2003. No Global Communication Without Translation. In
Gunilla Anderman & Margaret Rogers (Eds.), Translation Today:
Trends and Perspectives (p. 55-67). Clevedon: Multilingual Matters
Ltd.
Samuelsson-Brown, Geoffrey. 2010. A Practical Guide for Translators – fifth
revised edition. Great Britain: Short Run Press Ltd.
Suryawinata, Z. & Sugeng H. 2003. Translation: Bahasan Teori & Penuntun
Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius.
447
HASIL DISKUSI SEMINAR
PERTANYAAN & JAWABAN
(1) Pada strategi sinonim, kata ُ يُحْ فَظ/yuḫfaẑ/ artinya ‘disimpan’, bukan
‘simpan’ yang memiliki makna imperatif dalam bahasa sumber
(Indonesia). Mengapa Anda memasukannya ke dalam strategi ini?
Jawab: Kata ُ يُحْ فَظ/yuḫfaẑ/ memang memiliki makna ‘disimpan’,
karena merupakan bentuk pasif dalam bahasa Arab.
Sedangkan dalam bahasa sumbernya adalah bentuk
imperatif. Maka peneliti tidak mencantumkannya sebagai
strategi sinonim. Peneliti telah memberikan tanda dengan
susunan penomoran pada pembahasan. Susunan
penomoran tersebutlah yang masuk kriteria bentuk
strategi penerjemahan sinonim.
(2) Bagaimana Anda menentukan kaidah gramatikal untuk
mengetahui teks bahasa sasaran, yakni bahasa Arab?
Jawab: Peneliti tidak melakukan pembahasan yang mendalam
terkait kaidah gramatikal bahasa Arab. Pada penelitian ini
hanya sampai pengklasifikasian strategi saja dengan
melihat bentuk leksikalnya. Pembahasan ini hanya
mengungkap ragam strategi yang terdapat dalam
penerjemahan saja. Dalam pengalihan bahasa memang
perlu diketahui sistem gramatikalnya, baik bahasa sumber
maupun bahasa sasaran. Maka ini menjadi saran bagi
penelitian selanjutnya.
(3) Apa definisi produk yang Anda angkat dalam penelitian ini?
Jawab: Definisi produk dalam penelitian ini mengacu pada KBBI,
bahwa produk merupakan barang atau jasa yang dibuat
dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses
produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu.
Maka, teks kemasan yang dijadikan sumber data ini
merupakan contoh hasil produk.
448
THE APPLICATION OF TEACHING ENGLISH AS A FOREIGN
LANGUAGE IN MAKING LESSON PLAN ON STUDENTS’ENGLISH
DEPARTMENT ON FIFTH SEMESTER UNIVERSITY OF HKBP
NOMMENSEN ACADEMIC YEAR 2015/ 2016
Rina Octavia Simarmata
Rita Clara Simatupang
Universitas HKBP Nommensen, Indonesia
rinaoctaviasimarmata@yahoo.com
ABSTRACT
This study was intended to discover The Application of Teaching English as
a Foreign Language in making Lesson Plan on Students’ English Department
on Fifth Semester University of HKBP Nommensen Academic Year 2015/
2016. The sample of this study was 43 students. In this study the writers
analyzed the student’s task in making a lesson plan. From the nine groups of
the student’s task in making a lesson plan for the time allocation only seventh
group from nine group that followed or mentioned it in their lesson plan. And
for the textbook, classroom management, learning administration and the
last is learning assessment showed that all the groups of the student’s is
mentioned it in their lesson plan. It can be concluded that Teaching English
as a Foreign Language (TEFL) worked effectively in helping students in
making a good lesson plan.
Key Words : TEFL, Lesson Plan
I.
INTRODUCTION
The ability in learning English is knowledge to transfer to each
other and people are able to understand what we are talking about
especially language. In learning English many of ways to learn it but the
most important thing is the learners are know what we transfer is. The
ability in teaching English as a foreign language is different like we teach
English in course. In teaching English as a foreign language is the ability
we make that English as our foreign language. We should know when we
will use our first language, our mother tongue and our foreign language.
Many of teachers or lecturer in teaching English is less planned
so that make the students more confused in their learning especially for
449
English subject, where this subject is a foreign language for them. The
teachers or lecturer should have a planned before their doing learning in
their classroom.
Teaching English as a foreign language is one of subjects in
University of HKBP Nommensen where in this subject the students are
able to make a lesson plan to apply it. Lesson plan is a good plan for
teachers or lecturer before doing the teaching learning process at
classroom. Lesson plan is the ways to the teachers to make a good learning
and well arranged for her/ his teaching and to make a clear learning and
more understand to the students. There are some steps in making a lesson
plan for teaching English as a foreign language. Before making a lesson
plan we should know the curriculum and the syllabus of our subjects.
According to the background above the writer is interest to
make a research with the title “The Application of Teaching English as a
Foreign Language in making Lesson Plan on Students’ English Department
on Fifth Semester University of HKBP Nommensen Academic Year 2015/
2016”. The writer wants to know the ability of English department
students’ university of HKBP Nommensen in making a lesson plan.
The Problem of the Study
The problem of the study is does students able to make a good
lesson plan in application of Learning Teaching English as a Foreign
Language?
The Objectives of the Study
Related to the problem of the study, the objectives of this study is
to find out: The application of learning Teaching English as a Foreign
Language is able to make a Lesson plan.
The Scope of the Study
As described above the writer make her scope of the study in
making a lesson plan in application of learning Teaching English as a
Foreign Language on fifth semester of English Department students
University of HKBP Nommensen.
450
The Significance of the Study
Teaching English as a foreign language is how we as a teachers or
lecturer to transfer our knowledge about teaching for our students. The
findings of this study may have two general significances, i.e. theoretical
and practical ones, the description of these can be seen in the following:
Theoretical Significances
Theoretically, there are two significances of the findings in doing
this research (1) making the lesson plan; (2) the information of
teaching English as a foreign language.
Practical Significances
1. to make students more understand how to make a lesson plan.
2. to add knowledge for the lecturer in teaching English as a foreign
language
(TEFL) in apply lesson plan.
3. To Researcher to increase more knowledge in doing her
research about learning lesson plan.
4. Useful to the writer to repair her research in the future.
5. For the society especially the society in University of HKBP
Nommensen that
can give more information and knowledge
about teaching English as a foreign language especially for TEFL
lecturer.
6. Contribute a valuable source of data to conduct related research.
II.
REVIEW OF LITERATURE
In doing research, the terms used must be clarified in order to
make same perspective of the implementation in the field. The terms may
function to give a limited concept which is specifically meant in the
particular context. By doing so, the research will be free from unnecessary
in this case, it is important to list the following terms for the purpose of the
research.
Language
Language is an intensely political issue since it is bound up with
identity and power. As a consequence of its lingua franca status, English
sometimes finds itself in conflict with more local languages. Many people
worry about what English means for the cultures it comes into contact
with, seeing its teaching as a form of “cultural imperialism”. Most English
language teaching in the world is not carried out by native speakers, but
despite this, as well as see that English language teaching methodology-
451
especially that imported directly from English- speaking traditions world,
just as the contents or the language teaching materials need looking at
carefully for the cultural message they may convey. (Harmer 2003:4-5).
2.4
Brief History of Language Teaching
Language teaching has been around for many centuries and over
the centuries, it has changed. Various influences have affected language
teaching. Reasons for learning language have been different in different
periods. In some eras, languages were mainly taught for the purpose of
reading. In others, it was taught mainly to people who needed to use it
orally. These influenced how language was taught in various periods. Also,
theories about the nature of language and the nature of learning have
changed. However, many of the current issues n language teaching have
been considered off and on throughout history. (Napitupulu, 2014:1)
Course Design
The course is designed in the form of syllabus and lesson plan
which refer to the standard of content. The learning plan covers writing
lesson plan and preparing learning materials and media, assessment tool
and learning scenario. In doing a lesson plan here, the teacher should
prepare all the design before applied at the teaching learning in the
classroom.
Syllabus
According to Richards and Schmidt (2005:532), a syllabus is a
description of the contents of a course of instruction and the order in
which they are to be taught. Language-teaching syllabuses may be based
on different criteria such as (a) grammatical items and vocabulary
(STRUCTURAL SYLLABUS) (b) the language needed different types of
situation (SITUATIONAL METHOD) (c) the meanings and communicative
functions which the learner needs to express in the TARGET LANGUAGE
(NOTIONAL SYLLABUS) (d) the skills underlying different language
behavior (e) the text types learners need to master.
452
Lesson Plan
Lesson plan is a plan for the teacher to make a good situation in
her/ his classroom and better arranged. Richards and Schmidt (2002:302)
defines lesson plan as a description or outline of (a) the goals or objective
a teacher has set for a lesson plan (b) the activities and procedures the
teacher will use to achieve them, the time to be allocated to each activity,
and the order to be followed, and (c) the materials and resources which
will be used during the lesson.
It is also the face-to-face learning plan for one meeting or more. It
is developed from syllabus to direct the learning activities for the learners
in order to achieve basic competence. Every teacher in an education unit
must completely and systematically prepare and write lesson plan in order
to create interacting, inspiring, pleasuring, challenging, efficient learning
atmosphere and motivate the learners to actively participate in the
activities. It should give enough space for initiative, creativity and selfindependence based on the learners’ aptitude, interest, physical, and
psychological development. It is prepared based on basic competence or
sub-theme carried out in one meeting or more.
Principles in Writing Lesson Plan
According Napitupulu-Kisno (2014: 75-76) the following
principles should be noticed when writing/ preparing lesson plan:
1. The learners’ personal differences such as prior-knowledge,
level of intelligence, aptitude, potency, interest, motivation,
social ability, emotion, learning style, special needs, learning
speed, culture background, norm, value, and the learner’s
environment situation.
2. Learners’ active involvement
3. Student-centered in order to motivate the learning spirit,
motivation, aptitude, creativity, initiative, inspiration,
innovation, and self-independence
4. Developing culture of reading and writing which is designed
to develop habit of love-to read, comprehension of various
reading materials, and then express it in the written forms
5. Giving feedback and the follow up of the lesson plan which
cover positive feedback, reinforcement, enrichment and
remedial
453
6.
7.
8.
Emphasizing on the relationship and integrity between basic
competence, learning materials, learning activities,
competence achievement-indicators, assessment and learning
resources in a holistic learning experience
Accommodating integrated-thematic learning, integrity of
inter-subjects, inter-learning aspects, and culture variety
Implementing integrated, systematic, effective, information,
communication, and technology based on situation and
condition.
III.
RESEARCH METHOD
The researcher applied descriptive and qualitative design.
Descriptive design simply described what data shown or what was going
on by counting the percentage what was set source of the data. Qualitative
analysis was then applied to find out theoretically which one seemed to be
the application of Teaching English as a foreign Language in making lesson
plan on students’ English department on fifth semester Academic Year
2016/ 2016 University of HKBP Nommensen.
Data and Data Source
The data of this research is the subject of the research is students
of University of HKBP Nommensen fifth Semester where the campus is
located in Sutomo Street. There are two classes. The research chooses this
class because the writer wants to know how the students of this grade are
able to make a lesson plan through the Teaching English as a Foreign
Language (TEFL) subjects.
Techniques of Collecting Data
Miles and Huberman’s (1988: 23) model is used to analyze the data
descriptively. This model focused on four activities, they are: data
collection, data reduction, data display, and conclusion drawing.
IV.
FINDING AND DISCUSSION
After collecting the data from the students task the writer seen
the data based on a good steps in lesson plan from the students
454
assignment. The data is collected from the task of the students by follow a
good steps of lesson plan. Good steps in lesson plan are as (a) time
allocation, (b) textbook (c) classroom management (d) Learning
administration, and (e) learning assessment.
Research Finding
After checking and analyzing the student’s task in making a good
lesson plan we have seen that the students are able to make a good lesson
plan that show in table below.
No
Table The Total Number Percentage of Student’s Task.
Steps of Lesson Plan
Total Group Percentage
1
Time Allocation
7
16.28 %
2
Textbook
9
20.93%
3
Classroom Management
9
20.93 %
4
Learning Administration
9
20.93 %
5
Learning Assessment
9
20.93%
Total group and percentage
43
100
Discussion
From the finding above, the students that make good steps in
lesson plan in application of Teaching English as a Foreign Language
(TEFL) subject in English department university of HKBP NOmmensen.
From the nine groups of the student’s task in making a lesson plan for the
time allocation only seventh group from nine group that followed or
mentioned it in their lesson plan. And for the textbook, classroom
management, learning administration and the last is learning assessment
showed that all the groups of the student’s is mentioned it in their lesson
plan.
V.
Conclusion
Based on background, problem, data analysis, finding and
discussion above that from the application Teaching English as a Foreign
455
Language (TEFL) subject the students are able to make a good lesson plan
with a good steps. To answer the problem of the study from this research
where, the problem of this research is does students able to make a good
lesson plan in application of Learning Teaching English as a Foreign
Language?
From the finding of the research conclude that the student’s are
able to make a good lesson plan in application of Teaching English as a
Foreign Language (TEFL) subject for of the fifth grade students of
university of HKBP Nommensen Medan.
From the percentage of the student’s task conclude that the
students are able to make a good lesson plan in application of Teaching
English as a Foreign Language (TEFL) subject. The last that answered the
problem of this research is the student’s are able to practice or apply these
steps in their practice at the classroom.
REFERENCES
Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, conducting, and
Evaluation Quantitative and Qualitative (3rd ed). New Jersey: Pearson.
Bodgan, R.C. & Bilken, S.K. 1982. Qualitative Research in Education: An
Introduction to Theory and Method, Boston: Allyn & Bacon
Harmer, J. 2003. The Practice of English Language Teaching. Pearson
Education: Longman
Larsen Diana. 1986. Techniques and Principles in Language Teaching.
Oxford University Press
Napitupulu Selviana and Kisno. 2014. Teaching English as a Foreign
Language (TEFL1). Jakarta: Halaman Moeka
Miles, M. B. and Huberman, A. M. 1988. Qualitative Data Analysis. London:
Sage Publication.
Richards, Jack. C and Richards Schmidt. 2002. Longman Dictionary of
Language Teaching and Applied Linguistics. London: Pearson Education
Ltd.
456
HASIL DISKUSI SEMINAR
3 Pertanyaan dan Jawaban
1. What is the purpose this research?
Answer : The purpose of this study is to knowthe ability of students
how to become a teacher by making a good lesson plan.
2. What is the reason that being a teacher should have a lesson plan?
Answer: Because being a teacher is a model that will be imitated
by his/ her students. Therefore in order to imitate well, a teacher
must have a alesson plan, it is a draft made by a teacher to make
his/ her teaching more directed.
3. How to explain about lesson plan itself?
Answer: It is also the face-to-face learning plan for one meeting or
more. It is developed from syllabus to direct the learning activities
for the learners in order to achieve basic competence. Every
teacher in an education unit must completely and systematically
prepare and write lesson plan in order to create interacting,
inspiring, pleasuring, challenging, efficient learning atmosphere
and motivate the learners to actively participate in the activities. It
should give enough space for initiative, creativity and selfindependence based on the learners’ aptitude, interest, physical,
and psychological development. It is prepared based on basic
competence or sub-theme carried out in one meeting or more.
457
VARIASI SAPAAN ANAK PEREMPUAN DALAM BAHASA BANJAR
Rissari Yayuk
Balai Bahasa Kalimantan Selatan
yrissariyayuk@yahoo.co.id
ABSTRAK
Terdapat variasi sapaan sebagai pengganti nama bagi anak perempuan
dalam keluarga masyarakat Banjar.Sapan ini merupakan salah satu upaya
kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh masyarakat Banjar di tengah
era globalisasi sekarang yang rentan akan pengaruh budaya luar yang
kurang santun. Berdasarkan hal ini , masalah yang dikaji meliputi1.apa saja
sapaan anak perempuan dalam bahasa Banjar.2.strategi kesantunan apa
yang terdapat dalam sapaan tersebut berdasarkan kajian pragmatik.tujuan
penelitian adalah untuk mendeskripsikan sapaan anak perempuan dalam
bahasa Banjar dan strategi kesantunan yang terdapat dalam sapaan
tersebut.metode yang digunakan deskriptif kualitatif.pengambilan data
dengan metode observasi dan kepustakaan.teknik pengambilan data
melalui perekaman dan pencatatan.Analisis data berdasarkan teori
pragmatik.Langkah kerja penelitian adalah pengambilan data,analisis dan
penyajian data.data diasajikan dengan kata-kata biasa. Waktu pengambilan
bulan Januari-Maret 2018.Hasil penelitian adalah kata sapaan bagi anak
perempuan meliputi sapaan Galuh, Idang, Itai, Pintar, Atung.Strategi
kesantunan yang terdapat dalam sapaan ini adalah penggunaan penanda
solidaritas.
Kata kunci: sapaan, anak, Banjar
ABSTRACT
There is a variety of greetings as a substitute for the name of girls in the
Banjar family. This is one of the language politeness efforts conducted by the
Banjar community in the middle of the current era of globalization that is
vulnerable to the influence of outside culture that is less polite. Based on this,
the problems studied include the only greetings of girls in the Banjar
language.2.the politeness strategy of what is in the greeting is based on
pragmatic studies. The purpose of the study is to describe the greetings of
458
girls in Banjar language and politeness strategies contained in the greeting
the method used descriptive qualitatif.pengambilan data with the method of
observation and bibliography.techniques of data retrieval by recording and
recording.Analisis data based on pragmatic theory.The research work step
is data retrieval, analysis and presentation data.data served with ordinary
words. Time taken from January to March 2018.Result result is a greeting
word for girls include greeting Galuh, Idang, Itai, Pintar, Atung.Strategy
courtesy contained in this greeting is the use of solidarity markers.
Keywords: greetings, children, Banjar
PENDAHULUAN
Mayarakat Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang
menempati wilayah Kalimantan Selatan. Masyarakat ini mengungkapkan
segala ekspresi kehidupan melalui salah satu media bernama
bahasa.Wibowo (2015:35) bahwa bahasa memiliki daya dalam
mengungkap realitas. Bahasa tidak sekadar alat komunikasi tetapi mampu
merefleksikan apa yang dilihat, dirasa dan, didengar penutur bahasa
terhadap lingkungan sekitar.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar bernama bahasa
Banjar. Bahasa ini memiliki beragam kosa kata dan kalimat yang diujarkan
oleh masyarakat penuturnya sesuai dengan kebutuhan saat
berkomunikasi. Penggunaan sapaan dalam bahasa Banjar merupakan
ungkapan komunikasi ketika menyapa atau memanggil seseorang yang
disesuaikan dengan konteks antara penutur dan mitra tutur.
Sapaan terhadap anak perempuan dalam masyarakat Banjar
memiliki variasi tersendiri. Hal ini tergantung kepada latarbelakang
penutur dan mitra tutur serta hal-hal yang menyertai terjadinya
pembicaraan.Bentuk sapaan ini ada yang erupa kata atau gabungan kata.
Kridalaksana (1993:191) menyatakan bahwa semua bahasa mempunyai
tutur sapa.Sapaan adalah morfem, kata atau frase yang dipergunakan
untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda
menurut sifat hubungan antara pembicara.Kaidah sapaan berkaitan
dengan alternasi dan kookurensi. Ervin-Tripp (1972:213) menyatakan
kaidah alterasi mengenai bagaimana cara menyapa yang berkaitan dengan
pemilihan unsur leksikal yang disesuaikan dengan cirri-ciri orang yang
disapa. Ciri-ciri ini menandai hubungan antar penutur , dan sifat situasi
459
yang melatarbelakanginya. Kaidah kookurensi berkaitan dengan
kesertaan bentuk sapaan dengan bentuk yang lainnya. Penggunaan katakata tersebut disesuaikan dengan situasi dan kedudukan orang yang
disapa
Berkaitan dengan hal ini, sebuah sapaan bagi anak perempuan
dapat diketahui fungsinya tentu tidak lepas dari dari komponen tutur yang
terjadi. Aslida, dkk (2010: 31-32) mengemukakan bahwa suatu peristiwa
tutur harus memenuhi delapan komponen yang tersimpulkan dalam
akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah S : Setting,
berhubungan dengan waktu, tempat berbicara dan suasana bicara. Setting
yang berbeda menyebabkan penggunaan bahasa berbeda. Penggunaan
bahasa di tengah lapangan bola yang ramai akan berbeda ketika
menggunakan bahasa di perpustakaan yang sepi. P : Participant, adalah
pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan. E : End, merupakan maksud
dan tujuan petuturan. A : Act Sequeces, adalah bentuk ujaran atau suatu
peristiwa di mana seseorang pembicara sedang mempergunakan katakata yang berisi pembicaraan. K : Key, mengacu pada nada suara, cara dan
ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan
cara mengemukakan pendapatnya, seperti sedih, gembira, serius.
I : Instrument, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti bahasa
lisan, bahasa tulis, dan juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan
seperti oral, isyarat, tulisan, telegraf, dialek, dan lain-lain. N : Norm, yaitu
aturan dalam berinteraksi misalnya yang berhubungan dengan aturan
atau kesantunan memberi tahu, memerintah, bertanya, minta maaf, basabasi, mengkritik, dan sejenisnya. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial
dalam sebuah masyarakat tutur. G : Genre, yaitu bentuk penyampaian,
seperti puisi, pepatah, doa, dn sebagainya.
KERANGKA TEORI
Chaer,dkk. (2010:104-105) sapaan adalah ujaran atau tuturan
santun yang kita gunakan untuk menyapa mitra tutur saat bertemu,
berpapasan, atau melewatinya di suatu tempat. Ujaran ini bisa ini bisa
berupa kata, frase, dan kalimat, bahkan narasi. Ujaran biasanya disertai
senyum dan anggukan kepala.Kebertegursapaan antarpenutur dan mitra
tutur ini akan menciptakan situasi yang harmonis dan menyenangkan.
Misalnya penutur melewati mitra tutur yang sedang duduk, alangkah
baiknya memanggil namanya seraya berujar permisi.Hal ini menunjukkan
460
penutur menghargai dan menghormati mitra tutur, dan penutur
melakukan kebertegursapaan meminta izin.
Biber dalam Nengsih, (2013:54) menekankan bahwa sapaan penting
untuk menjelaskan dan memelihara hubungan sosial antara partisipan di
dalam percakapan. Mereka membagi sapaan menjadi delapan kategori
berdasarkan penggunaannya, yaitu (1) panggilan sayang; (2) istilah
kekerabatan ; (3) panggilan akrab; (4) nama akrab; (5) nama depan utuh,
(6) gelar dan nama belakang; (7) sapaan hormat; dan (8) sapaan lain yang
termasuk julukan.
Penggunaan kata sapaan merupakan salah satu strategi kesantunan
berbahasa dalam masyarakat Banjar. Penggunaan strategi ini disebabkan
oleh faktor nonkebahasaan yang melatarbelakanginay.Sementara itu,
Sumarsono dan Partana, (2007:63) menyatakan bahwa faktor
nonkebahasaan tidak dapat dilepaskan dalam penentuan pilihan bentuk
linguistik dalam suatu interaksi yang didasarkan pada hubungan
pembicara dan mitra bicara berdasarkan asas relasional. Gunawan
(2014:19) menyatakan bahwa pada dasarnya, dalam menentukan strategi
mana yang akan digunakan seorang penutur agar santun berbahasa tentu
menggunakan berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud
tentu berhubungan dengan masalah bagaimana caranya agar bahasa yang
dituturkan menunjukkan kesantunan yang sesuai dengan etika
masyarakat. Ruskhan (2014:4) menyatakan salah satu faktor pendorong
agar berbahasa santun adalah adanya kesadaran akan adanya norma
masyarakat yang mengatur sikap bertutur saat berkomunikasi. Brown dan
Levinson dalam Wijana (2011:136) yang menyatakan penggunaan
penanda identitas kelompok seperti kata sapaan adalah penanda
solidaritas yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi kesantunan
berbahasa.
Djatmiko, (2016:64) menyatakan bahwa penanda solidaritas adalah
penggunaan kata ganti persona yang digunakan dalam sistem sapa untuk
menunjukkan solidaritas atau pengikat sosial dan emosi antar pelibat
dalam sebuah interaksi, seperti mas, dik, sayang, dan sebagainya.
METODE
Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.Metode
deskriptif kualitatif dipilih karena pada analisis data dalam penelitian ini
akan mendeskripsikan secara alamiah penggunaan variasi sapaan anak
461
perempuan berdasarkan teori pragmatik.Teknik yang digunakan dalam
pemerolehan data dengan teknik simak bebas libat cakap. Artinya peneliti
mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan saja terhadap
pengguna bahasa Banjar. Peneliti tidak terlibat langsung dalam
pembicaraanAda tiga langkah kerja berdasarkan metode dan teknik , yaitu
pengumpulan, analisis, dan penyajian data. Pengambilan data dilakukan
dari bulan Januari 2018 s.d. Maret 2018.Data diambil dari tuturan
masyarakat Banjar di desa Bakrung, Kandangan, Provinsi Kalimantan
Selatan.
PEMBAHASAN
A.Variasi sapaan anak perempuan Banjar
Data 1
P: pintar ikam handak kamana?
“pintar kamu mau keman?
MT: Ulun handak ka rumah Nining
“Saya ingin ke rumah nenek”
Konteks: tuturan terjadi antara ibu dan anak
Data [1] terjadi dalam sebuah rumah antara seorang ibu dengan
anak perempuannya.Nada suara penutur terdengar lembut.Penutur
menanyakan kemana anak perempuannya tersebut pergi.Di sini sapaan
anak perempuan Banjar yang digunakan karena adanya hubungan darah
antara ibu dengan anak dengan sebutan pintar.Pintar merupakan kata
sipat yang mengandung doa bagi si anak.Si ibu berharap anaknya selalu
dalam kondisi cerdas.
Data 2
P: Idang cuba pang ka sini
“Idang soba dong ke sini”
MT: Inggih cilia
“Iya Tante’
Konteks: tuturan antara tetangga dengan anak tetangga
Data [2] terjadi di sebuah pekarangan rumah. Saat itu tetangga
perempuan mitra tutur sedang menjemur kasur.Dia memanggil anak
perempuan tetangganya untuk membantunya.Sapaan yang digunakan
dalam konteks ini adalah Idang.Sapaan Idang bisa digunakan sebagai salah
satu sapaan bagi anak perempuan masyarakat Banjar.
Data 3
462
P: Amun ikam ka sini Itai yai, habari ja kami, kaina kami ambili
“Kalau kamu ke sini Itai ya, kabari saja kami, nanti kami jemput”
MT: Insyallah kaina ulun habari, makasih
“Insyallah nanti saya kabari, terimaksih”.
Konteks: tuturan antara tante dan keponakan
Data [3] terjadi di sebuah rumah.Saat itu seorang keponakan
perempuan akan pulang ke luar daerah.Tantenya menyapa dengan
sebutan Itai.Tantenya mengatakan kalau si keponakan nati datang, kalau
bisa kabari terlebih dahulu keluarga tantenya, sehingga mereka bisa
menjempunya di bandara.
Data 5
P: Galuh, kaina danii Uma lah ka wadah ading
“Galuh nanti temani Mama ya ke tempat adik”
MT: Bisa
“Bisa”.
Konteks: tuturan antara ibu dan anak
Data [5] terjadi dalam sebuah rumah.Penutur mengajak anak
perempuannya agar menemaninya ke rumah anak lelakinya nanti.Penutur
menyapa anak peerempuannya ini dengan sebutan Galuh.
Data [6]
P: Atung, jangan bahujan pang, kaina garing
“Atung jangan berhujan ya, nanti sakit”
MT: tertawa
Konteks: tuturan antara tetangga dengan anak tetangga
Data [6] terjadi di sebuah jalan desa.Seorang anak perempuan
yang usianya masih balita sedang bermain di tepi jalan depan
rumahnya.Tetangganya berusaha untuk mengingatkannya agar jangan
mandi hujan nanti bisa sakit.Tetangga tersebut menyapa dengan sebutan
Atung.Atung dalam bahasa Banjar kependekan dari bauntung”beruntung”.
b.Strategi kesantunan sapaan anak perempuan Banjar
Strategi kesantunan berbahasa yang digunakan dalam sapaan bagi
anak perempuan Banjar adalah strategi solidaritas. Brown dan Levinson
dalam Wijana (2011:136) yang menyatakan penggunaan penanda
identitas kelompok seperti kata sapaan adalah penanda solidaritas yang
dapat digunakan sebagai bagian dari strategi kesantunan berbahasa.
463
Fungsi sapaan ini sebagai wujud menjalin ikatan emosional antara
warga masyarakat maupun antar keluarga.Dalam data [1] dan [6] terlihat
sapaan bagi anak perempuan dalam masyarakat Banjar tidak mengenal
hubungan darah atau kekrabatan.Baik yang memiliki hubungan keluarga
atau tidak akan menyapa anak-anak perempuan dengan sapaan santun.
Hal ini sebagai wujud solidaritas , penghargaan, kasih sayang yang
ditunjukkan kepada anak perempuan.
KESIMPULAN
Variasi sapaan anak perempuan yang terdapat dalam masyarakat
Banjar meliputi Pintar, Idang,Itai, Galuh, dan atung.Strategi kesantunan
yang digunakan adalah solidaritas.
Daftar pustaka
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Chaer, Abdul. (2012). Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka
Djatmika. (2016). Mengenal pragmatik Yuk!? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ervin-Tripp Susan M. (1972). on Sociolinguistic rules:Alternation and Cooccurance Rules dalam Direction In Sociolinguistics suntingan John
J. Gumperz dan DELL hymes: 213-250. New York:Holt And
Winston, Inc.
Gunawan, Fahmi. (2014). Representasi Kesantunan Brown dan Levinson
dalam Wacana Akademik. Jurnal Kandai,10 (1): 123-134.
Kridalaksana,Harimurti. (1993) Pragmatik. Jakarta: Gramedia.
Nengsih, Sri Wahyu. (2013). Variasi Panggilan dalam Tuturan Sapa
Masyarakat Banjar. dalam Bunga Rampai Bahasa, (hlm. 46-79).
Banjarbaru: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan
Ruskhan, Abdul Gaffar. (2011) kajian Bahasa AS Sebagai Bahasa yang
Hampir Punah di Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Jurnal
Sawerigading, 17(1) 1-10.
Sumarsono. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda
Wibowo, Wahyu. (2015). Konsep Tindak Tutur Komunikasi. Jakarta: Bumi
Aksara
464
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. (2011). Analisis Wacana
Pragmatik. Surakarta : Yumna Pustaka
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan
1. Apa yang membuat Anda tertarik mengkaji sapaan
2. Berapa lama Anda meneliti
3. Harapan Anda kedepannya terkait dengan hasil penelitian ini
Jawaban
1. Ditengah bergesernya kesantunan berbahasa oleh masyarakat
sekarang.Penting materi ajar yang bisa mengingatkan bahwa
bahasa kita memiliki bahasa kesantunan yaitu sapaan.
2. Sekitar tiga bulanan, yaitu bulan Januari dan Maret 2018
3. Semoga peneliti lainnya tergerak untuk ikut meneliti bahasa
kesantunan lainnya dalam bahasa daerah masing-masing.
465
SAPAAN KEKERABATAN TERHADAP ORANGTUA PADA
MASYARAKAT BIMA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
Rita Hayati
Universitas Pamulang
Dosen01163@unpam.ac.id
ABSTRAK
Ketika kita berbicara, secara otomatis kita memilih kata-kata yang
berbeda seperti apa yang akan kita katakana, bagaimana kita
mengatakannya, dan kepada siapa kita mengucapkan kata tersebut.
Wardhaugh (2006) mengatakan saat ini, sebagian besar ahli bahasa
sepakat bahwa penutur yang berpengetahuan memiliki bahasa atau
bahasa yang mereka gunakan adalah pengetahuan tentang sesuatu yang
sangat abstrak. Yule (2010) mengaatakan bahwa sosiolinguistik memiliki
hubungan yang kuat dengan antropologi melalui studi bahasa dan budaya,
dan dengan sosiologi melalui penyelidikan peran bahasa yang dimainkan
dalam organisasi kelompok dan lembaga social. Dalam menganalisa
tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan antropologi linguistik.
Wortham menambahkan bahwa antropolog linguistik mempelajari
bagaimana tanda-tanda mengkomunikasikan pesan referensi dan
relasional karena digunakan dalam konteks sosial dan budaya. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menginformasikan bagaimana
masyarakat sapaan terhadap orangtua pada masyarakat Bima. Bagi anak,
orangtua biasa disapa dengan Ayah – Bunda, Bapak – Ibu dsb. Pada
masyarakat Bima, yang juga disebut ‘Dou Mbojo’, orangtua disapa
berdasarkan latar belakang masing-masing, yakni: Muma – Dae, Teta –
Dae, dan Ama – Ina. Muma, Teta, dan Ama adalah sapaan orang Bima untuk
ayah sedangkan Dae, dan Ina adalah sapaan untuk Ibu. Muma dan Dae
adalah sebutan untuk yang memiliki garis keturunan bangsawan, Teta dan
Dae adalah sebutan untuk tuan tanah atau pun yang menikah dengan yang
memiliki garis keturunan bangsawan, dan Ama dan Ina adalah sebutan
bagi kelas petani atau pekerja.
Kata Kunci: Sapaan kekerabatan, Kesopanan , Dou Mbojo, Bima
466
PENGANTAR
Bahasa Indonesia memang merupakan bahasa pemersatu bagi
masyarakat Indonesia dan menjadi bahasa penghubung dalam
berkomunikasi secara verbal. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa bagi
sebagian besar, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Oleh karena
itu dalam bertutur, terdapat keberagaman. Bahasa Bima atau nggahi
Mbojo merupakan salah satu bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Bima di ujung timur pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Nggahi Mbojo
mengenal dua kelas bahasa, yakni bahasa halus dan kasual. Hal ini
disebabkan Bima masih meninggalkan jejak kesultanan yang masih ada
sampai saat ini. Para pemuka adat yang notabene telah sepuh adalah
orang-orang yang tentunya masih mempertahankan adat Bima, salah
satunya adalah penyebutan orangtua. Budaya popular telah mulai
mengikis adat sapaan nama pada orangtua sehingga para pasangan muda
lebih cenderung menyebut diri mereka papa – mama atau papi – mami dari
pada muma – dae atau ama – ina.
Sapaan orangtua ini sangat normal pada masyarakat Bima
sehingga ketika mendengar seseorang memanggil orangtuanya akan
otomatis diketahui status sosial mereka.
TINJAUAN PUSTAKA
Wardhaugh (2006) mengatakan saat ini, sebagian besar ahli
bahasa sepakat bahwa penutur yang berpengetahuan memiliki bahasa
atau bahasa yang mereka gunakan adalah pengetahuan tentang sesuatu
yang sangat abstrak. Ini adalah pengetahuan tentang aturan dan prinsip
serta cara-cara mengatakan dan melakukan hal-hal dengan bunyi, katakata, dan kalimat, bukan hanya pengetahuan tentang bunyi, kata-kata, dan
kalimat tertentu. Ia tahu apa yang ada dalam bahasa dan apa yang tidak;
itu adalah mengetahui kemungkinan yang ditawarkan oleh bahasa dan apa
yang tidak mungkin. Sosiolinguistik memiliki hubungan yang kuat dengan
antropologi melalui studi bahasa dan budaya, dan dengan sosiologi
melalui penyelidikan peran bahasa yang dimainkan dalam organisasi
kelompok dan lembaga social (Yule, 2010: 254). Speech digunakan dengan
cara yang berbeda di antara kelompok orang yang berbeda. Seperti yang
akan kita lihat, setiap kelompok memiliki norma perilaku linguistiknya
sendiri. Suatu kelompok tertentu mungkin tidak mendorong berbicara
untuk kepentingan berbicara, dan anggota kelompok semacam itu
467
mungkin tampak diam menghadapi orang luar yang suka berbicara, atau
mereka mungkin merasa kewalahan oleh tuntutan yang dibuat pada
mereka jika yang lain bersikeras untuk berbicara. Sebaliknya, dalam
pembicaraan kelompok lain mungkin didorong sejauh yang bahkan
mungkin tampak sangat tidak teratur kepada pengamat yang telah
menginternalisasi seperangkat 'aturan' yang berbeda untuk pelaksanaan
pembicaraan (Wardhaugh, 2006: 242). Ketika kita berbicara, kita harus
terus-menerus membuat pilihan dari berbagai jenis: apa yang ingin kita
katakan, bagaimana kita ingin mengatakannya, dan jenis kalimat, katakata, dan suara spesifik yang paling tepat menyatukan apa dengan
bagaimana. (Wardhaugh. 2006: 260)
Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah antropologi
linguistik. Antropolog linguistik menyelidiki bagaimana penggunaan
bahasa baik mengandaikan dan menciptakan hubungan sosial dalam
konteks budaya (Silverstein, 1985; Duranti, 1997; Agha, 2006) di
Wortham (hal.83). Wortham menambahkan bahwa antropolog linguistik
mempelajari bagaimana tanda-tanda mengkomunikasikan pesan referensi
dan relasional karena digunakan dalam konteks sosial dan budaya
(hal.83).
MASALAH
Bagaimana perbedaan sapaan kekerabatan terhadap orangtua pada
masyarakat Bima?
Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana perbedaan sapaan kekerabatan
terhadap orangtua pada masyarakat Bima.
PEMBAHASAN
1. Muma – Dae
Saapan ‘Muma’ secara otomatis disematkan pada seorang Ayah yang
berasal dari keluarga bangsawan sedangkan Ibu disebut ‘Dae’, baik jika
wanita tersebut seorang keturunan bangsawan maupun ataupun bukan.
Sapaan ‘Muma’ juga diberlakukan pada keponakan maupun orang lain
ynag mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Abdullah
akan secara otomatis disebut Muma Dole oleh para keponakan dan orangorang yang mengenalnya.
468
Penyebutan ‘Dole’ tanpa ‘Muma’ pun lumrah disebutkan oleh orang
Bima, tetapi dianggap tidak sopan jika melibatkan seseorang yang
mendapatkan gelar ‘Muma’.
2. Teta – Dae
Sapaan ‘Teta’ pun otomatis disematkan pada seorang Ayah yang
berasal dari keluarga tuan tanah. Selain itu ‘Teta’ pun diperuntukkan bagi
pria yang menikah dengan wanita bangsawan yang disebut ‘Dae’. Hanya
saja ‘Teta’ ini lebih umum dipakai oleh pria yang berasal dari Sila, sebuah
daerah di Bima.
Sapaan ‘Teta’ juga berlaku pada keponakan maupun orang lain yang
mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Rifa’I akan
secara otomatis disebut Teta Fe’o oleh para keponakan dan orang-orang
yang mengenalnya.
Penyebutan ‘Fe’o’ tanpa ‘Teta’ pun lumrah disebutkan oleh orang
Bima, tetapi dianggap tidak sopan jika melibatkan seseorang yang
mendapatkan gelar ‘Teta’.
3. Ama – Ina
Sapaan ‘Ama’ ditujukan pada seorang Ayah dari keluarga kelas petani
atau pekerja. Sementara sang Ibu disebut ‘Ina’.
Sapaan ‘Ama’ juga berlaku pada keponakan maupun orang lain yang
mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Abubakar akan
secara otomatis disebut Ama Baka. Tetapi khusus untuk penyebutan ‘Ama’
yang diikuti nama, bisa juga tidak disematkan ‘Ama’nya melainkan dapat
diubah menjadi ‘Beko’ saja. Hal ini tetap menunjukkan kesopanan pada
orang yang lebih tua.
SIMPULAN
Orang Bima cenderung memasyarakatkan sapaan ini dengan cara
tidak hanya diterapkan oleh anak kepada orantua saja melainkan juga
keponakan, tetangga, teman dan bawahan. Sebagai contoh, seorang pria
yang dipanggil ‘muma’ oleh anaknya, oleh yang lain pun akan disapa
demikian hanya saja diikuti oleh nama yang telah di ubah dalam ketentuan
sapaan orang Bima. Contohnya pada nama Abdullah, keponakan dan orang
lain yang mengenalnya akan memanggilanya Muma Dole. Muma adalah
gelar orangtua karena dia merupakan keturunan bangsawan, Dole
469
merupakan variasi panggilan dari kata Abdullah yang normal digunakan
dalam masyarakat Bima.
Cara orangtua dipanggil secara signifikan terkait dengan cara
mereka diperlakukan. Muma dan Dae, yang diharapkan memiliki cara
berbicara dan berperilaku yang sopan, paling dihormati di antara
masyarakat. Dua berikutnya mengikuti. Saat ini sudah hampir tidak ada
yang menggunakan panggilan Ama – Ina lagi. Kalaupun ada, biasanya
mereka adalah generasi terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Yule, George. 2010. The Study of Language. New York: Cambridge
University Press.
Spolsky, Bernard and Hult, Francis M (editor). The Handbook of
Educational Linguistics. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan dan Saran:
1. Adakah bentuk sapaan lain selain yang disebutkan? Dan
bagaimana dengan pronomina sapaan?
2. Apakah sapaan tersebut hanya untuk masyarakat asli Bima saja?
Bagaimana jika ada yang menikah dengan suku lain?
3. Sudah adakah yang meneliti istilah sapaan nama?
4. Judul asli ‘Panggilan’ seharusnya diubah menjadi ‘Sapaan’.
Jawaban:
1. Terdapat bentuk sapaan lain selain kepada ayah dan ibu, yakni
sapaan terhadap kakak laki-laki ‘dae’ dan ‘aba/baba’ dan kakak
perempuan ‘dae’ dan ‘kaka’. Bentuk pronominal pun sangat
beragam dan disesuaikan dengan lawan bicara, contoh: Anda = ‘ita’
dan ‘ndaimu, Kamu = ‘nggomi’ dst.
470
2. Tidak, jika ada pernikahan campur, maka disesuaikan
panggilannya. Jika seorang wanita menikahi bangsawan, maka dia
disapa ‘dae’, jika seorang pria menikahi bangsawan, maka dia
disapa ‘teta’. Jika seorang pria atau wanita menikahi orang biasa,
maka disesuaikan, namun kebanyakan tetap menggunakan bapakibu atau papa-mama.
3. Terus terang saya belum tahu, tetapi salah satu peserta
mengatakan ada yang sudah meneliti.
4. (Sudah diterapkan)
471
FRAMING BAHASA ARAB DALAM PARATEXTS BERBAHASA
INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN AWAL
Saharudin
Universitas Mataram
e-mail: din_linguistik@unram.ac.id
ABSTRAK
Dalam buku dan kamus rujukan tentang bahasa Arab yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, sering ditemukan pembingkaian (framing) bahasa
tersebut dengan “kalimat sakti” dalam bentuk parateks (judul, dedikasi,
epigraf, dan jacket copy). Hal ini dikonstruksi oleh penulis sendiri,
penerbit, tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dan terkenal, atau pakar
pada bidang tersebut. Misalnya, redaksi pembingkaian bahasa Arab pada
epigraf sebuah kamus bahasa Arab ini. “Mengetahui bahasa Arab
merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena
ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di
mana ia menjadi parameter kuatnya pengetahuan dan dalamya iman
seseorang.... Bahasa Arab ... merupakan bahasa dua sumber utama umat
Islam ... dan juga bahasa penduduk surga.” Jika dicermati lebih tajam,
kehadiran teks (wacana) tersebut memiliki berbagai kedudukan dan
fungsi; baik fungsi ideologis maupun edukatif. Oleh karena itu, tulisan ini
berusaha menggambarkan pembingkaian (framing) bahasa Arab dalam
bahasa Indonesia melalui parateks yang diasumsikan sebagai “kalimat
sakti” untuk memotivasi pembelajar bahasa Arab di Indonesia melalui
narasi ideologis. Dengan demikian, kajian ini mencoba membicarakan
persoalan konstruksi pemikiran dalam konteks peran simbolik bahasa.
Kata kunci: pembingkaian, bahasa Arab, parateks, fungsi, bahasa Indonesia
A. PENDAHULUAN
Saat membaca berbagai rujukan tentang bahasa Arab yang ditulis
dalam bahasa Indonesia, tidak jarang kita menemukan semacam
pembingkaian (framing) bahasa tersebut dengan “kata-kata sakti”. Baik itu
dilakukan oleh penulis sendiri atau tokoh-tokoh terkenal dalam bidang
keagamaan dan bahasa Arab. Di halaman-halaman buku, misalnya,
ditemukan kata-kata atau kalimat seperti “pelajarilah bahasa Arab, karena
472
sesungguhnya ia bagian dari agamamu”. Bandingkan pula redaksi
pembingkaian bahasa Arab pada jacket copy sebuah kamus bahasa Arab
ini. “Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu
dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya jalan untuk
memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana ia menjadi parameter
kuatnya pengetahuan dan dalamya iman seseorang.... Bahasa Arab ...
merupakan bahasa dua sumber utama umat Islam ... dan juga bahasa
penduduk surga.”
Data kebahasaan seperti di atas dalam konteks sosiolinguistik
menarik untuk dikaji. Secara sepintas, teks yang dimuat di bagian depan
buku atau kamus tentang bahasa Arab tersebut tampak diperuntukkan
untuk pembaca saja. Akan tetapi, jika dicermati lebih tajam, kehadiran teks
(wacana) tersebut memiliki berbagai kedudukan dan fungsi. Bentuk teks
seperti di atas oleh para pakar sosiolinguistik disebut parateks. Kehadiran
teks seperti di atas–dalam buku/kamus bahasa Arab berbahasa
Indonesia—mungkin dianggap wajar, mengingat bahasa Arab dalam
konteks masyarakat muslim Indonesia adalah bagian dari agama yang
dianutnya. Artinya, bahasa Arab tidak hanya dipandang sebagai bahasa
internasional apalagi bahasa nasional beberapa negara Timur Tengah dan
identitas bangsa-bangsa tersebut. Jika teks semacam di atas muncul dalam
referensi-referensi berbahasa Arab dan penerbitannya di negara-negara
yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya, ada
kemungkinan para pembaca akan memahaminya sebagai upaya mereka
dalam memperkokoh, memperteguh, dan menguatkan nasionalisme,
identitas, dan martabat kebangsaannya. Akan tetapi, ketika fenomena
kebahasaan seperti itu muncul di sebuah bangsa yang secara kebangsaan
dipersatukan oleh bahasa Indonesia dan secara (mayoritas) keagamaan
dipersaudarakan oleh agama Islam, muncul pertanyaan. Apa faktor yang
melatarbelakangi fenomena kebahasaan seperti itu dan apa tujuannya?
Inilah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan singkat ini.
Selanjutnya, data yang dianalisis dalam makalah ini adalah data
bahasa berupa parateks yang diambil dari kamus Bahasa Arab edisi
Indonesia-Arab dan juga buku Bahasa Arab yang memakai bahasa
Indonesia sebagai media penyajiannya. Berbagai data tersebut dipilih
sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu, metode yang digunakan
(setelah pengumpulan data) adalah metode pereduksian, pengontrasan,
dan penafsiran.
473
Lebih lanjut, kajian tentang parateks (paratexts) dari sisi ideologi
bahasa termasuk yang sangat sedikit dilakukan oleh para ahli bahasa
(khususnya ahli sosiolinguistik), padahal bagian ini tergolong sangat
menggugah minat para pakar sosiolinguistik dewasa ini (lihat Suleiman,
2013). Parateks mencakup bagian-bagian pra-isi teks (khususnya buku
dan kamus/referensi), misalnya, judul, dedikasi/persembahan, epigraf,
mukaddimah, dan iklan-pujian penerbit atau jacket copy. 4 Setiap bagian
dari halaman muka buku atau kamus ini memiliki fungsi, tetapi secara
kolektif semuanya bertugas sebagai papan penunjuk arah (signpost) dan
pengemudi teks (tubuh utama dari sebuah karya). Lebih dari itu, juga
untuk memediasi hubungan antara teks, pembaca, dan masyarakat umum
(Suleiman, 2013: 95). Dengan demikian, “lingkaran pinggir” dari teks ini
dapat dijadikan ambang pintu penafsiran (thresholds of interpretation).
Dalam bahasa Genette (1997), parateks merupakan wacana liminal untuk
framing divices ‘pembingkaian muslihat’ yang berada di samping teks
utama.
B. PARATEKS DAN FUNGSINYA: SEBUAH CONTOH DALAM BAHASA
INDONESIA
Untuk menunjukkan bagaimana ideologi bahasa Arab dikodekan
dalam parateks berbahasa Indonesia, saya akan mendiskusikan parateks
pada kasus kamus bahasa Arab karya A. Thoha Husein Al-Mujahid dan A.
Atho’illah Fathoni Al-Khalil (2016). Dimulai dari judul kamus yang
cenderung persuasif, Kamus Al-Wâfi Indonesia-Arab: TermudahTerlengkap. Judul kamus ini tampak sederhana, tapi memasang rayuan
untuk memikat pembaca. 5 Dalam judul tersebut terdapat kata Al-Wafi
yang berarti ‘yang setia’. Ini menunjukkan pengarang ingin menyatakan
bahwa kamus ini adalah kamus yang selalu setia menjadi teman saat
mengalami kesulitan dalam memahami teks Arab sehingga solusinya ada
dalam kamus tersebut. Di samping itu, pada judulnya juga terdapat kata
Termudah-Terlengkap yang berarti kamus ini adalah kamus yang mudah
cara pemakainnya karena disusun secara sistematis dan isi/lemanya
4
Bahkan, menurut Armstrong ( 2007: 40) parateks bisa berupa non-tekstual, tetapi memiliki nilai
tinggi pada masa tertentu, seperti unsur-unsur dekoratif sebagai sebuah ilustrasi terhadap teks,
terutama untuk naskah-naskah kuno yang berada di kalangan atau kelompok tertentu.
5
Keberadaan judul, misalnya, paling tidak memiliki fungsi sebagai penandaan (designation),
deskripsi isi dalam teks, dan umpan godaan/rayuan untuk memikat pembaca (Genette, 1997: 92;
Suleiman, 2013: 96-97).
474
paling lengkap dibandingkan kamus-kamus serupa yang ada di Indonesia
saat ini. Judul kamus tersebut benar-benar menjadi penanda, penjelas, dan
pengumpan godaan kepada (calon) pembacanya. Jadi, fungsi utama judul
pada kamus ini adalah untuk memikat, menarik, dan menggoda. Ini
digunakan untuk meningkatkan keinginan pembaca dalam membeli dan
membaca kamus itu, kemudian membuktikan “janji” pengarang bahwa
kamus tersebut adalah benar-benar paling mudah dan paling lengkap dari
sisi isi (lema dan contoh aplikasinya).
Meskipun demikian, pembaca tidak akan pernah sampai pada
maksud judul tersebut tanpa pernah ada sebelumnya perspektif tententu
(tentang bagaimana sulitnya tatabahasa bahasa Arab ataupun kekayaan
sisi infleksi-derivasi dan semantiknya) pada diri (calon) pembeli dan
pembaca kamus tersebut. Dengan demikian, pemahaman skemata budaya
(calon) pembaca dan pembeli menjadi pertimbangan utama penulis
memilih judul tersebut. Di sinilah skemata ideologis calon pembeli dan
pembaca kamus itu harus dilibatkan dalam pemilihan judul yang tepat. Jika
tidak demikian, judul akan cenderung mengkhianati isinya.
Selain judul, parateks pada Kamus Al-Wafi adalah kata
pengantar/sambutan (dari penerbit, pakar, dan penulis sendiri), epigraf,
dan jacket copy. Akan tetapi, mengingat keterbatasan ruang, hanya akan
didiskusikan epigrafnya saja. Melihat tempatnya dalam kamus ini, epigraf
yang ada sekaligus berfungsi sebagai kata sambutan dari tokoh terkemuka
di Indonesia, khususnya di kalangan ulama NU dan pondok pesantren.
Epigraf dalam dalam sebuah buku/kamus merupakan sebuah teks
kutipan yang berfungsi menjelaskan teks. Bentuk epigraf yang digunakan
dalam kamus ini tidak mengutip langsung teks yang bersumber dari Al-
475
Qur’an, Hadis, atau kata-kata hikmah, tetapi menggunakan media
perantara berupa pernyataan dari seorang tokoh kharismatik agama
Islam, yakni K.H. Maimoen Zubair. Kata-kata tokoh ini sering dikutip oleh
tokoh agama Islam yang lain untuk menguatkan atau melegitimasi
pendapatnya. Berikut adalah bentuk parateks tipe epigraf dalam kamus
tersebut.
“Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan
salah satu dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya
jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana ia
menjadi parameter kuatnya pengetahuan dan dalamya iman
seseorang. Oleh karena itu saya benar-benar senang dan bahagia
disertai rasa syukur yang mendalam atas hadirnya kamus bahasa
Arab yg disusun oleh dua bersaudara A. Thoha Husein dan A.
Atho’illah Fathoni ini, sebab ia merupakan salah satu sarana
untuk mengetahui bahasa Arab yg merupakan bahasa dua sumber
utama umat Islam tersebut dan juga bahasa penduduk surga.
Semoga bermanfaat!”
K.H. Maimoen Zubair
[Pimpinan pondok pesantren Al-Anwar Sarang-Rembang-Jawa
Tengah]
Kutipan yang diambil dari kata pengantar dan dijadikan epigraf
dalam kamus tersebut merupakan contoh bagaimana sebuah epigraf bisa
menjadi pemberi dukungan terhadap isi teks. Ia semacam “kata-kata sakti”
yang sanggup menggugah emosi pembacanya sehingga apa yang ingin
dikatakan pengarang tersampaikan. Kalimat “Mengetahui bahasa Arab
merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena
ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah ....”
menunjukkan bahwa kalimat ini berfungsi sebagai penggugah perasaan
dan emosi pembaca tentang pentingnya belajar bahasa Arab. Frase
kebutuhan mutlak dan kewajiban agama adalah kata-kata pendorong
untuk pembaca agar mau belajar bahasa Arab. Begitu juga frase satusatunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan katakata penguat agar umat Islam (khususnya calon pembeli dan pembaca
kamus ini) mau belajar bahasa Arab. Di sini tampak epigraf sangat
memanfaatkan
skemata
ideologis
(khususnya
keagamaan)
pembaca/pembeli, di mana skemata ideologis ini ditonjolkan dan digugah.
Bahkan, dalam parateks tersebut dikatakan bahwa ukuran kekokohan
476
pengetahuan (agama) dan kedalaman iman seorang muslim dapat dinilai
dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang
notabene memakai media bahasa Arab. Dengan kata lain, penguasaan
bahasa Arab bagi seorang muslim adalah simbol ukuran pemahamannya
tentang dua sumber hukum Islam tersebut (cf. Daud, 2003: 352 & 362).
Selanjutnya, frase bahasa dua sumber utama umat Islam dan bahasa
penduduk surga benar-benar ingin menunjukkan status penting bahasa
Arab dalam kehidupan pembaca (khususnya umat Islam di Indonesia).
Walaupun kata atau frase ini tidak menyebutkan bersumber dari Al-Qur’an
atau Hadis, tetapi substansinya jelas diambil dari kedua sumber hukum
Islam tersebut. Ini bisa dirujuk kepada 11 ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan secara eksplisit tentang Al-Qur’an diturunkan dengan
bahasa Arab. Begitu juga dalam Hadis Nabi Muhammad yang menyatakan
bahwa “pelajarilah bahasa Arab karena tiga hal: (1) Karena Aku (Nabi
SAW) orang Arab, (2) Al-Qur’an berbahasa Arab, dan (3) Percakapan ahli
surga adalah bahasa Arab.” Itulah argumentasi ideologis yang dikandung
teks epigraf sebagai parateks dalam kamus tersebut, sehingga pertanyaan
mengapa wajib belajar bahasa Arab atau harus memiliki kamus tersebut
terjawab melalui kata pengantar dan kata-kata pendukung dari apa yang
dimaksudkan pengarang.
C. PENUTUP
Berdasarkan hasil diskusi di atas, dapat dikatakan bahwa kehadiran
parateks dalam sebuah teks (buku, kamus, novel, dsb.) tidak hanya sebatas
penghias dan pengisi halaman depan atau belakang semata. Namun,
kehadirannya bisa menjadi ambang pintu penafsiran (thresholds of
interpretation) terhadap isi teks dan ideologi dalam teks tersebut. Melalui
parateks ini juga terlihat bagaimana relasi kuat antara kepercayaan (iman)
dan bahasa. Dengan demikian, pembingkaian ideologis tentang suatu
bahasa sangat mungkin dilakukan melalui wacana liminal yang disebut
parateks.
Dalam konteks Indonesia, kemunculan parateks berbahasa
Indonesia seperti pada kamus bahasa Arab di atas sangat erat kaitannya
dengan kesadaran kognitif pengarang dan kesadaran sosial penerbit
tentang bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Arab di tengah-tengah
bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Kesadaran kognitif dan sosial
inilah (menurut hemat saya) yang melatari munculnya fenomena
477
kebahasaan berupa parateks dalam kasus teks tersebut, bahkan dalam
berbagai teks yang sangat erat kaitannya dengan identias (keagamaan dan
etnisitas) di Indonesia. Fungsinya adalah untuk kepentingan ideologis,
edukatif, ataupun pragmatis. Akan tetapi, untuk konteks framing bahasa
Arab dalam parateks berbahasa Indonesia tampaknya kepentingan
ideologis (agama) menjadi fungsi utama alasan dimunculnya. Hal ini tentu
tidak akan terjadi dalam konteks bahasa Indonesia. Mengingat bahasa
Indonesia tidak dijadikan sebagai bahasa kitab suci slah satu agama dari
agama-agama resmi yang diakui negara. Oleh karena itu, framing ideologi
bahasa dalam konteks bahasa Indonesia yang sangat mungkin dilakukan
adalah untuk kepentingan atau dorongan budaya.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Mujahid, A. Thoha Husein dan Al-Khalil, A. Atho’illah Fathoni. 2016.
Kamus Al-Wâfi Indonesia-Arab: Termudah-Terlengkap. Jakarta:
Gema Insani.
Armstrong, Guyda. 2007. Paratexs and Their Functions in SeventeenthCentury English “Decamerons”, dalam The Modern Language Review,
Vol. 102, No. 1. hlm. 40-57.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam
Syed M. Naquib Al-Attas. Terjemah Hamid Fahmy dkk. Bandung:
Mizan.
Genette, Gerard. 1997. Paratexs: Thresholds of Interpretation. Cambridge:
Cambridge University Press.
Suleiman, Yasir. 2013. Arabic in the Fray: Language Ideology and Cultural
Politics. Edinburgh: Edinburgh University Press.
478
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan dalam seminar
1. Apakah kajian ini termasuk dari analisis wacana kritis atau
sosiolinguistik?
2. Bagaimana pandangan Anda dengan buku-buku Indonesia mengenai
pemanfaatan parateks?
3. Apakah parateks itu cocok untuk ditaruhkan pada semua jenis buku atau
ada indikator-indikator khusus?
Jawaban penyaji
Pertama, kajian ini termasuk kajian sosiolinguistik karena
mempertimbangkan aspek-aspek sosial di luar bentuk bahasa. Namun,
dari sisi kekritisannya dalam membongkar ideologi di balik kehadiran
parateks tersebut cenderung mempersangkakan kita bahwa kajian ini
adalah mirip analisis wacana kritis (AWK) yang sedang marak dibicarakan
dalam kajian komunikasi, linguistik, ataupun sastra. Untuk membantu
memahami posisi domain kajian ini mungkin bisa dibaca bukunya Yasir
Suleiman (Arabic in the Fray: Language Ideology and Cultural Politics).
Kedua, sejauh pembacaan saya, buku-buku di Indonesia sebenarnya
sudah sejak lama memanfaatkan parateks dalam menghubungkan literasi
penulis dengan pembaca, terutama kalau parateks tidak hanya dipahami
sebatas catatan tekstual semata seperti dikatakan Armstrong dalam
artikelnya (Paratexs and Their Functions in Seventeenth-Century English
“Decamerons”). Menurut Armstrong dekorasi pinggiran di samping teks
juga bisa dikatakan parateks, karena fungsinya juga menjembatani penulis
dan pembaca tentang teks tersebut. Ini bisa dilihat pada manuskrip yang
ada di kalangan atau tempat tertentu, seperti naskah-naskah kuno di
Kraton Yogyakarta ataupun Pakualaman. Sementara untuk konteks bukubuku sekarang, yang saya lihat lebih banyak memanfaatkan parateks ini
adalah buku-buku bergenre sastra (khususnya novel). Lihat misalnya
novel Ayat-Ayat Cinta karya Kang Abik yang penuh dengan parateks.
Termasuk juga karya-karya doktoral yang diterbitkan menjadi buku. Saya
lihat banyak menggunakan dan memanfaatkan parateks untuk
menjembatani literasi pengarang dengan pembacanya.
Ketiga, untuk pertanyaan ini saya rasa tidak semua jenis buku cocok
ditaruhkan parateks. Penggunaan parateks, menurut hemat saya, lebih
cocok untuk buku-buku yang di dalamnya mengandung kesulitan untuk
dipahami substansinya atau ditangkap pesan-pesannya, seperti novel,
puisi, dan teks-teks yang berasal dari riset akademis yang serius.
***
479
KATA SERAPAN BAHASA PERSIA DALAM BAHASA INDONESIA
Analisis Fonologi dan Semantik
Siti Fatimah
M. Agus Budianto
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
siti.fatimah@uin-malang.ac.id
emagusbudianto@gmail.com
ABSTRAK
Kedatangan bangsa Persia ke wilayah Nusantara memberikan banyak
pengaruh terhadap penduduk lokal, salah satunya yang bisa kita lihat
adalah dalam bidang kebahasaan. Ditemukan ratusan kosa kata bahasa
Persia yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dibagi ke dalam
beberapa bidang, di antaranya: politik dan kepemerintahan (pahlevān
yang berarti pahlawan), keagamaan, (farmān yang berarti firman),
perdagangan (bāzār yang berarti bazar atau pasar), alam (eghlim yang
berarti iklim atau cuaca), dan sebagainya. Tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk mendeskripsikan kata serapan bahasa Persia dalam
bahasa Indonesia yang dianalisis menggunakan pendekatan fonologi dan
semantik. Setelah dianalisis, diketahui bahwa kata serapan dari bahasa
Persia dalam bahasa Indonesia sebagian besar mengalami perubahan
pengucapan, meskipun ada beberapa yang sama pengucapannya. Selain
itu, makna kata serapan tersebut beberapa mirip atau bahkan sama,
namun beberapa mengalami perubahan makna.
Kata kunci: Kata Serapan, Persia, Indonesia, Fonologi, Semantik
A. PENDAHULUAN
Kedatangan bangsa Persia ke Nusantara memberikan pengaruh yang
cukup penting kepada penduduk lokal. Interaksi di antara keduanya dalam
waktu yang lama menyebabkan terjadinya kontak bahasa di antara
keduanya. Dalam bidang kebahasaan, bisa kita temukan ratusan kosa kata
bahasa Persia yang diserap dan digunakan dalam bahasa Indonesia,
seperti kata pahlawan, anggur, baju, bibi, takhta, dan masih banyak lagi
480
yang lainnya. Kemudian nama-nama orang Indonesia seperti Rustam,
Reza, Farhat, Samsir, dan lainnya yang merupakan nama-nama Persia.
Dalam bidang kesusasteraan dapat kita temukan banyak syair-syair atau
hikayat dalam bahasa Persia yang disadur dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Melayu oleh para penyair lokal di Nusantara, di antaranya: Pada
zaman Samudra Pasai ditulis “Hikayat Raja-raja Pasai” yang terilhami dari
Shāhnāme (Hikayat Raja-raja Persia) karangan Ferdowsi yang merupakan
salah seorang penyair Persia ternama, “Syair Burung Pingai” oleh Hamzah
Fansuri yang terilhami oleh karya Fariduddin Al-‘Attar, yaitu Mantiq alTayr (Musyawarah Burung), dan banyak lagi yang lainnya.
Ada dua pembahasan utama dalam makalah ini, yaitu perubahan bunyi
kata-kata bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan
perubahan makna kata-kata serapan tersebut dalam bahasa Indonesia
dari bahasa asalnya. Pertama, penulis mencari daftar kosa kata serapan
dari kamus. Setelah itu, penulis membuat kategorisasi terhadap daftar
kosa kata yang ditemukan, dan terakhir penulis melakukan analisis
dengan menggnakan pendekatan secara fonologis dan semantis.
B. PEMBAHASAN
1. Pendekatan Fonologi
Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis,
membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki
satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan
menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik dikenal sebagai cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan
apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi pembeda makna
atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang
mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi
tersebut sebagai pembeda makna. Namun, ada pakar yang
menggunakan istilah fonologi untuk pengertian fonemik.
Sebagai contoh, kata Persia ( چادرchādor) dalam bahasa Indonesia
diucapkan “cadar”. Dalam kedua bahasa tersebut, yaitu chādor atau
cadar dimaknai kain penutup kepala atau muka perempuan. Di sini
terdapat perbedaan pengucapan antara bahasa Persia yang
merupakan bahasa asal dengan bahasa Indonesia.
481
2. Pendekatan Semantik
Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna. Yang dimaksud
istilah semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa
tertentu menurut system penggolongan. Ketika membicarakan
makna, kita tidak dapat terlepas dari masalah bentuk (bahasa) dan
acuannya. Bentuk (symbol) adalah unsur bahasa berupa kata, frasa,
kalimat. Acuan (referent) adalah objek yang ada di dunia
pengalaman manusia. Sedangkan makna (thought/reference) adalah
konsep yang ada di dalam pikiran manusia tentang objek yang diacu
oleh bentuk.
Dalam bahasa Persia, kata ( تختtakht) bermakna ranjang atau
tempat tidur pada umumnya. Setelah diserap ke dalam bahasa
Indonesia, pengucapannya berubah menjadi takhta dan maknanya
berubah menjadi singgasana raja.
3. Kata Serapan Bahasa Persia dalam Bahasa Indonesia
Berikut ini disajikan daftar kata serapan bahasa Persia dalam bahasa
Indonesia disertai analisis perubahan atau perbedaan pengucapan
dan maknanya.
a) Bidang Pemerintahan, Politik, dan Militer
Makna
Kata Persia & Kata
Pengucapan
Indonesia
Persia
Indonesia
شاه
Syah
Raja, baginda Raja, baginda
(shah)
Pahlawan,
بهادر
Pahlawan, Satria,
Satria, Gagah
Bahadur
(bahādor)
Gagah berani
berani
ديوان
Dewan, karya
Dewan
Dewan, majlis
(divan)
puitis
پهلوان
Pahlawan
Pahlawan
Pahlawan
(pahlevān)
شمشير
Samsir
Pedang
Pedang
(shamshir)
482
b) Keagamaan
Kata Persia & Kata
Pengucapan
Indonesia
آبدست
(ābdast)
درويش
(darvish)
فرمان
(farmān)
ورد
(verd)
Abdas
کاروان
(kāravān)
سربند
(sarband)
تماشا
(tamāshā)
باژو
(bāzhu)
Indonesia
Bersuci
dengan
berwudhu
atau
bertayammum
Darwis (penganut sufi
yang sengaja hidup
miskin)
Darwis
Darwis
Firman
Perintah
Tuhan, Sabda
Perintah, Aturan
Wirid, Doa
Wirid, Doa yang berasal
dari ayat alquran atau
lainnya
Wirid
c) Sosial-Budaya
Kata Persia & Kata
Pengucapan
Indonesia
عمه/ بی بی
Bibi, Tante
(bibi / ameh)
حرامزاده
(harāmzādeh)
Makna
Persia
Bersuci dengan
berwudhu atau
bertayammum
Haram
jadah
Karavan
Makna
Persia
Bibi,
Tante
(dari pihak ibu)
Anak yang lahir
di
luar
perkawinan
yang sah
Rombongan
yang berjalan
bersama
Serban
Ikat kepala
Tamasya
Menonton,
menyaksikan
Baju
Lengan, tangan
Indonesia
Bibi, Tante
Anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah
Rombongan
yang
berjalan bersama
Ikat
kepala
dipakai orang
haji, dsb.
Piknik,
menikmati
pemandangan
yang
Arab,
Pergi
Baju, Pakaian
483
d) Perdagangan dan Kelautan
Makna
Kata Persia & Kata
Pengucapan
Indonesia
Persia
بندر
Bandar
Pelabuhan
(Bandar)
شاه بندر
Syahbandar Kepala
(shah bandar)
pelabuhan
بازار
Pasar
Pasar
(bāzār)
ناخدا
Nakhoda
Kapten kapal
(nākhodā)
سوداگر
Saudagar
Saudagar
(soudāgar)
تنباکو
Tembakau
Tembakau
(tanbākou)
e) Makanan, Alam, dll
Kata Persia & Kata
Pengucapan
Indonesia
آچار
Acar
(āchār)
انگور
Anggur
(anggur)
گندم
Gandum
(gandom)
کشمش
Kismis
(keshmesh)
خرما
Kurma
(khormā)
Indonesia
Pelabuhan
(kapal, perahu)
Kepala
pelabuhan
Bazar
Kapten kapal
Saudagar
Tembakau
Makna
Persia
Indonesia
Acar
Acar
Buah Anggur
Buah Anggur
Gandum
Gandum
Kismis
Kismis
Kurma
Kurma
Lemon
Lemon
Lemon
ليمو
(limu)
اقليم
(eghlim)
Iklim, Cuaca
Iklim, Cuaca
Iklim, Cuaca
Lazuardi
Warna
laut
Batu
permata
berwarna biru,
biru
muda
َلجوردی
(lājevardi)
biru
484
(seperti
langit)
روباه
(roubāh)
زرافه
(zerrāfeh)
بو
(bu)
بدبخت
(badbakht)
biru
Rubah
Rubah
Rubah
Jerapah
Jerapah
Jerapah
Bau
Bau
Bau
Bedebah
Sengsara,
tidak
beruntung
Tidak sopan,
tidak beradab,
kasar
Tanpa rasa /
perasaan
Kata
makian,
umpatan
Meja
Obat
untuk
membuat orang
kehilangan
kesadaran
Cara,
jalan, Cara, jalan, gaya,
gaya, ragam
ragam
Meja
Meja
بی ادب
(Bi adab)
Biadab
بی حس
(bi hes)
Bius
چاره
(chāreh)
ميز
(miz)
هنر
(honar)
Cara
Onar
Seni
پری
(pari)
پياله
(piāleh)
افسون
(āfsoun)
Peri
Peri
Onar, keributan,
kegaduhan,
kerusuhan
Peri
Piala
Piala
Piala
Pesona
Pesona,
pemikatan
Pesona, mantra
Kejam,
ajar
kurang
C. KESIMPULAN
Ditemukan ratusan kosa kata bahasa Persia yang diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Kosa kata tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam
beberapa bidang, diantaranya: a) pemerintahan, politik, dan militer, b)
485
keagamaan, c) sosial-budaya, d) perdagangan dan kelautan, e)
makanan, alam, dan lain-lain.
Kata serapan bahasa Persia dalam bahasa Indonesia sebagian besar
mengalami perubahan pengucapan. Sebagian memiliki makna yang
mirip atau bahkan sama, dan sebagian lagi memiliki makna yang
berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2013. “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan
Hubungan dan Kerja Sama”. Makalah. Disampaikan dalam
Konferensi Internasional “The Historical and Cultural Presence of
Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory”.
Yogyakarta: ICRS Sekolah Pascasarjana UGM.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Jamshidi, Soleiman. 236 Loghāt e Irāni dar Zaban e Andonezi dalam
https://vom.ir/sjamshidi/posts/48166.
_______,
Iranian
Words
in
Indonesian
Language
dalam
https://www.researchgate.net/publication/304792768_Iranian_wor
ds_in_Indonesian_language
Jones, Russel. Loan-Words in Contemporary Indonesian dalam
http://sealang.net/archives/nusa/pdf/nusa-v19-p1-38.pdf
Kashani, Manoochehr Aryanpur. 2012. English-Persian Persian-English
Dictionary. Cet. 7. Tehran: Nashr Elektroniki va Ettela Resani
Jahan Rayaneh.
Rabbani, Mohammad Ali. 2013. “Faktor Syiah dalam Masuk dan
Tersebarnya Islam di Asia Tenggara Melalui Arab, India, Persia,
dan Cina”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Internasional
“The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia:
Looking at Future Trajectory”. Yogyakarta: ICRS Sekolah
Pascasarjana UGM.
Saby, Yusni. 2013. “Interplay antara Agama dan Budaya”. Makalah.
Disampaikan dalam Konferensi Internasional “The Historical and
Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future
Trajectory”. Yogyakarta: ICRS Sekolah Pascasarjana UGM.
W.M., Abdul Hadi. 2012. “Jejak Persia dalam Sejarah Kebudayaan dan
Sastra Melayu”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar
Internasional “The Role and Contribution of Iranian Scholars to
Islamic Civilization”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
486
DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN
No Penanya Pertanyaan
1
Wawan
Bagaimana
anda
menentukan bahwa
kata tertentu adalah
berasal dari bahasa
Persia, bukan bahasa
lainnya?
2
Rizky
Jawaban
Ada tiga (3) langah yang dilakukan
dalam penentuan kata serapan,
yaitu:
1) Penelusuran beberapa kosa
kata beserta artinya di kamus
(kamus yang penulis jadikan
referensi adalah kamus bahasa
Persia karangan Aryanpour
dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia) atau teks bacaan;
2) Penulis
mengkonsultasikan
kepada seorang ahli bahasa
Persia (linguis penutur asli
bahasa Persia) apakah kosa
kata tertentu merupakan asli
bahasa Persia atau bahasa
lainnya, seperti Arab, Urdu,
Turki, dsb.
Apa
perbedaan Secara sekilas, bahasa Arab
bahasa Persia dan memang mirip dengan bahasa
bahasa Arab?
Persia karena Persia modern
menggunakan alfabet Arab (ada 4
alfabet
Persia
yang
tidak
ditemukan pada alfabet Arab,
yaitu: )پ ـ چ ـ ژ ـ گdan banyak kosa
kata bahasa Arab yang digunakan
dalam bahasa Persia. Namun
kedua bahasa tersebut sangat
berbeda secara gramatikal karena
berasal dari rumpun bahasa yang
berbeda (Arab tergolong rumpun
semit dan Persia tergolong
rumpun Indo-Eropa).
487
IDEOLOGI GENDER DALAM NOVEL TERJEMAHAN “SANG
PENCARI NAFKAH”: ANALISIS WACANA KRITIS
Oleh:
Siti Fitriah
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada
sitifitriah2303@gmail.com
ABSTRAK
Bagaimana suatu individu memandang konsep gender, tidak akan pernah
lepas dari kontruksi budaya maupun masyarakat di sekitarnya. Hal inilah
yang kemudian mempengaruhi karya sastra, seperti novel terjemahan.
Seorang penerjemah adalah bagian dari bahasa, budaya, dan masyarakat
yang memiliki ideologi sebagai landasan cara berfikir. Sehingga,
kemungkinan terjadi adanya pembentukan wacana baru yang bergeser
dari teks sumber perlu ditelisik lebih dalam. Asumsi inilah yang kemudian
mendasari penulis untuk melakukan penelitian ini dalam ranah AWK
(analisis wacana kritis), yaitu suatu pendekatan linguistik untuk
mengetahui maksud dibalik bahasa yang digunakan oleh seorang
penerjemah, serta mengaitkan konteks budaya dan sosial dalam
perubahan pesan dari teks sumber (Tsu) kedalam teks sasaran (Tsa).
Untuk analisis tekstualnya, teori appraisal milik Martin dan White (2005)
diterapkan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi setiap kata pada
suatu kalimat yang memiliki unsur perbedaan pesan dan makna antara
Tsu dan Tsa. kemudian, data yang ditemukan akan dikategorikan kedalam
sub-kategori appraisal yaitu Attitude dan Graduation. Sumber penelitian
ini berupa novel terjemahan “sang pencari nafkah” berikut dengan novel
aslinya yang berjudul “The Breawinner”. Hasil analisis data menyatakan
bahwa terdapat perbedaan pesan yang terjadi dalam Tsa. Hal ini diketahui
dari intensitas kata yang digunakan dalam Tsa lebih rendah daripada Tsu.
Kemudian, terdapat penyisipan ideologi patriarki pada pilihan diksi yang
digunakan dalam Tsa, yang tidak ditemukan dalam Tsu.
Kata Kunci: Terjemahan, AWK, Ideologi, Gender, Appraisal
PENGANTAR
Penerjemahan adalah suatu hal yang penting dalam karya sastra,
karena melalui penerjemahan akan terjadi pertukaran budaya antar lintas
488
negara. Salah satu contoh karya sastra yang menjabarkan suatu perilaku
budaya adalah novel. Selain memiliki unsur cerita yang imajinatif, potret
kehidupan nyata juga menjadi sumber cerita dalam suatu novel. Salah satu
contohnya adalah novel “The Breadwinner” yang ditulis oleh Deborrah
Ellis, yang sumber ceritanya diadaptasi dari kisah nyata warga Afghanistan
yang dijajah oleh Taliban. Novel ini kemudian diterjemahkan oleh
Adzimattinur Siregar dengan judul “Sang Pencari Nafkah”. Fokus
penelitian ini adalah untuk menginvestigasi bagaimana Tsa “Sang Pencari
Nafkah” dapat menampung keseluruhan pesan dari Tsu “The
Breadwinner”. Karena seperti yang diketahui, setiap individu memiliki
kerangka berfikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya
tergantung dengan konteks sosial masing-masing.
Ideologi adalah kerangka dasar yang melandasi cara berfikir suatu
individu pada kelompok sosial, atau sebuah institusi (Van Djik, 1995:18).
Hal ini tentu saja sangat penting untuk dikaji lebih dalam, karena
disamping seorang penerjemah sebagai mediator antara Tsu dan Tsa, ia
juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologis sosialnya. Seperti
yang telah dikemukakan oleh Alvarez dan Vidal (1996:5) bahwa pilihan
kata yang digunakan oleh seorang penerjemah, berikut dengan
penambahan kata maupun pengurangan kata didalam teks terjemahannya
adalah suatu strategi untuk menyisipkan unsur budaya maupun
ideologinya. Disamping itu, hal ini juga ditegaskan oleh Mansourabadi dan
Karimnia (2012), bahwa menurut Fairclough, ideologi di dalam sebuah
wacana dapat diketahui melalui perubahan leksikon, struktur kata, serta
material tekstual lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui jika terdapat manipulasi pesan
yang dilakukan oleh penerjemah dalam novel Sang Pencari Nafkah, maka
penelitian ini diadakan dalam ranah AWK (analisis wacana kritis). AWK
memandang bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi saja namun
sebagai praktik sosial. Yang dimaksud dengan praktik sosial adalah bahwa
bahasa merupakan bagian dari masyarakat yang digunakan sebagai proses
sosial. Sehingga, bagaimana suatu bahasa digunakan, tidak akan pernah
terlepas dari konteks di luar bahasa (Fairclough, 1989:22). Seperti halnya
seorang penerjemah yang merupakan bagian dari sebuah masyarakat,
dalam setiap pilihan diksi yang digunakan tidak akan luput dari konteks
sosial yang melatarbelakanginya.
489
Untuk analisis tekstual, penelitian ini menerapkan teori appraisal
yang dikemukakan oleh Martin dan White (2005). Teori ini adalah
perluasan dari metafungsi interpersonal meaning yang merupakan bagian
dari teori SFL atau systemic functional linguistics milik Halliday. Teori ini
berfungsi untuk mengevaluasi tiap-tiap pilihan diksi yang digunakan oleh
penerjemah dan penulis Tsu. Teori appraisal dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu attitude, engagement, dan graduation. Namun, dalam penelitian ini
hanya akan menggunakan dua kategori appraisal yaitu, attitude dan
graduation. Demikian terjadi, karena kategori engagement lebih banyak
berkrontribusi dalam analisis teks berita bila dibandingkan dalam teks
sastra.
Attitude adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan
perasaan, keputusan maupun penilaian terhadap suatu hal tertentu.
Attitude dibagi menjadi tiga bidang, yaitu; Affect (perasaan), Judgment
(keputusan), dan Evaluation (penilaian). Sedangkan Graduation adalah
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan intensitas suatu kata.
Graduation dibagi menjadi dua macam, yaitu force dan focus. Force
berhubungan dengan kualitas dan kuatitas suatu kata. Hal dapat
diidentifikasi dari kategori kata sifat dan keterangan, seperti extremely,
very, small, big, dll. Sedangkan Focus adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk mengukur nilai suatu kata. Hal ini dapat diketahui dari skala kata,
seperti kata “tidak suka” dan “benci” memiliki skala yang berbeda. Kata
“tidak suka” terkesan memiliki skala kata yang rendah, dibandingkan kata
“benci”. Meskipun kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, namun
pesan yang disampaikan memiliki efek yang berbeda.
Untuk mengetahui lebih dalam terkait reproduksi pesan yang
kemungkinan dilakukan oleh seorang penerjemah, maka berikut rumusan
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1) Bagaimana bahasa
dapat merefleksikan adanya reproduksi pesan yang dilakukan penerjemah
dalam novel Sang Pencari Nafkah?, dan (2) Bagaimana ideologi gender
dalam novel terjemahan “Sang Pencari Nafkah”?.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode
kualitatif, karena data yang digunakan berupa kata pada suatu
kalimat(Denscombe, 2007: 248). Hal ini selaras dengan apa yang
diutarakan oleh Subroto (1992:5), bahwa dalam metode kualitatif,
490
penyajian suatu penelitian tidak didesain untuk menggunakan prosedurprosedur statistik ataupun yang bersifat kuantitatif. Disamping itu,
penelitian ini juga menerapkan analisis komparatif untuk menganalisis
letak perbedaan pesan yang terkandung dalam Tsu dan Tsa (Williams dan
Chesterman, 2002:51).
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata pada
kalimat Tsu dan Tsa. Sumber data diperoleh dari novel asli yang berjudul
“The Breadwinner” dan terjemahannya dengan judul “Sang Pencari
Nafkah”. Adapun teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik
purposive sampling, yaitu teknik pengumpulan data berdasarkan
karakteristik tertentu (Mackey and Gass, 2005:122). Yang dimaksud
dengan karakteristik tertentu disini adalah bahwa data yang diambil
berupa kata pada kalimat Tsu dan Tsa yang memiliki unsur perrbedaan
pesan maupun makna didalamnya.
Dalam analisis data, penulis menerapkan tiga komponen analisis
wacana kritis, yaitu: description, interpretation, dan explanation, yang
kemudian lebih dikenal dengan mikro, mezzo, dan makro (Fairclough,
1989:26). Pada tataran mikro , penulis akan mengidentifikasi pilihan kata
pada tiap kalimat dalam Tsu dan Tsa yang mengandung perbedaan pesan
di dalamnya. Serta melabelinya kedalam kategori appraisal: attitude, dan
graduation. Pada tataran mezzo, penulis akan menafsirkan hasil analisis
teks dengan sebuah konteks yang lebih besar dari teks itu sendiri.
Kemudian pada tataran makro, penulis akan menjabarkan relasi antara
praktik diskursif yang dibangun dalam Tsa dengan sosial kultural seorang
penerjemah.
ANALISIS MIKRO DAN MEZZO
Berikut adalah analisis mikro dan mezzo. Analisis mikro pada
tataran analisis linguistik, seperti halnya pada kalimat 1 dan seterusnya,
sedangkan analisis mezzo adalah bentuk interpretasi pada tiap-tiap
kalimat tersebut.
Kalimat 1
Tsu: she wasn`t really supposed to be outside at all [force: intensification/
high- scaled] (hal 7)
Tsa: seharusnya ia bahkan tidak boleh keluar. (hal 1)
491
Pada kalimat ini, penulis Tsu memberikan penekanan terhadap
pernyataannya bahwa seorang wanita tidak boleh keluar sama sekali. Hal
ini dapat diketahui dari penggunaan kata at all yang kemudian dilabeli
sebagai intensification dengan skala yang tinggi. Namun, dalam Tsa,
penerjemah tidak begitu memberikan penekanan dalam pernyataannya,
dengan tidak menerjemahkan at all dalam hasil terjemahannya.
Kalimat 2
Tsu: She was always glad [affect: happiness/ force: intensification/ highscaled] to go outside, eventhough it means sitting for hours on a
blanket spread over the hard ground of the market place (hal 8)
Tsa: Ia dengan senang hati [affect: happiness] keluar rumah, meski itu
juga berarti harus duduk berjam-jam di atas selimut yang
dibentangkan di tanah yang keras di tengah pasar. (hal 2)
Penulis Tsu kembali memberikan penekanan pada pernyataannya
dengan menggunakan kata always yang dilabeli intensification dengan
skala tinggi. Hal ini untuk menunjukkan betapa senangnya pelaku utama,
Parvana, ketika ia harus keluar rumah, meskipun ia harus duduk diatas
tanah yang keras untuk membantu ayahnya berjualan. Karena pada waktu
itu sangat sulit bagi perempuan untuk dapat keluar dari rumah. Namun,
kesan ini seolah tidak terlihat dalam Tsa, yang hanya menerjemahkannya
menjadi dengan senang hati, yang kemudian dilabeli affect tanpa ada
unsur intensitas didalamnya.
Kalimat 3
Tsu: Tea boys [judgment: +capacity] ran back and forth into the labyrinth
of the marketplace, carrying tea to the customers who couldn`t leave
their shops, then running back again with the empty cups. (hal 10)
Tsa: Pelayan-pelayan kecil [judgment: -capacity/ force: quantification/
low-scaled] berlarian menelusuri lekak-lekuk pasar, membawakan
teh bagi pelanggan yang tidak dapat meninggalkan toko mereka, lalu
berlari kembali ke kedai dengan gelas-gelas yang kosong. (hal 4)
Pada contoh kali ini, terlihat jelas perbedaan pesan antara Tsu dan
Tsa. Jika dalam Tsu, penulis menggunakan positif judgment dengan
menyebut Tea boys dari pada waiter (pelayan), maka berbeda halnya
dalam Tsa yang menerjemahkannya menjadi pelayan-pelayan kecil.
492
Disamping itu, gender dalam Tsu terlihat jelas bahwa pembawa teh yang
melayani pembelinya adalah seorang laki-laki, sedangkan didalam Tsa
tidak teridentifikasi gender. Sehingga sedikit menimbulkan ambiguitas
apakah pelayan tersebut anak laki-laki atau anak perempuan. Namun, jika
merujuk pada konteks budaya di Indonesia, profesi sebagai pelayan lebih
sering disandang oleh seorang wanita.
Kalimat 4
Tsu: They fall down [judgment: -tenacity] a lot (hal 17)
Tsa: Mereka sering tersandung [jugdment: +tenacity] (hal 8)
Meskipun dalam kalimat Tsu dan Tsa sama-sama terlabel judgment
tenacity, namun sense bahasa yang ditimbulkan dari pilihan diksi diatas
sangatlah berbeda. Jika dalam Tsu sense katanya lebih negatif, sedangkan
dalam Tsa lebih bersifat positif. Dalam hal ini, penulis Tsu ingin
memberikan justifikasinya bahwa para perempuan yang menggunakan
burqo ketika keluar rumah pasti akan terjatuh. Demikian terjadi, karena
burqa adalah sebuah pakaian panjang yang menutupi seluruh tubuhnya,
dari ujung kepala hingga kaki. Dan hanya terdapat celah kecil dari kain
transparan yang menutupi kedua matanya untuk melihat. Sehingga tidak
dipungkiri, mereka lebih sering terjatuh ketimbang tersandung. Itu
mengapa, kata ‘terjatuh’ mendapat label negatif karena memberikan efek
yang lebih parah dibandingkan ‘tersandung’.
Kalimat 5
Tsu: The whole family had been out working together, in the time before
Taliban (hal 17)
Tsa: Seluruh keluarga saat itu tengah berjalan bersama tepat sebelum
Taliban berjaya [judgment: +capacity] (hal 9)
Dibandingkan dengan Tsa, penulis Tsu tidak memberikan
keterangan bagaimana keadaan Taliban pada waktu itu. Ia hanya
mengatakan bahwa di masa sebelum adanya Taliban, seluruh keluarga
dapat tertawa lepas tanpa ada rasa takut untuk ditangkap oleh militer
Taliban. Dan hal ini berbeda dengan pilihan diksi yang digunakan oleh
penerjemah yang menggunakan diksi berjaya untuk menerangkan Taliban.
Hal ini seolah menunjukkan sudut pandang Tsu dan Tsa yang berbeda.
493
Penulis Tsu seolah merasakan kepahitan warga Afghanistan tentang
betapa kejamnya Taliban, karena ia terjun langsung mewawancarai para
korban. Sedangkan penerjemah Tsa tidak demikian.
Kalimat 6
Tsu: Mother and Nooria just [force: intensification/ middle-scaled] wore
light scarves around [appreciation: composition] their heir (hal 17)
Tsa: Ibu Parvana dan Nooria mengenakan selendang tipis menutupi
[appreciation: composition] rambut mereka (hal 9)
Pada kalimat ini, penulis menggunakan kata just untuk
menunjukkan bahwa ibu dan Nooria hanya mengggunakan selendang tipis
bukan selendang yang lainnya, yang digunakan untuk menutupi sebagian
rambutnya, namun kata intensitas ini tidak diterjemahkan dalam Tsa.
Kemudian, penulis menggunakan kata around, bukan cover untuk
menunjukan gaya berkerudung warga Afghanistan, yang hanya
menyampirkan selendang yang mengelilingi rambutnya. Hal ini tentu saja
berbeda dengan cara orang Indonesia menggunakan kerudung yang
menutupi seluruh rambut mereka hingga hanya terlihat wajahnya saja.
Sehingga pilihan kata menutupi yang digunakan penerjemah dirasa kurang
tepat untuk menyiratkan kebudayaaan warga Afghanistan.
Kalimat 7
Tsu: Six, because her mother hated [affect: unhappiness/ high-scaled] to
see an empty water bucket
(hal 19)
Tsa: Enam, karena ibunya tidak suka [affect: unhappiness/ low-scaled]
melihat wadah airnya kosong (hal 10)
Meskipun kedua kata yang dicetak tebal dalam Tsu dan Tsa samasama menunjukkan ketidaksukaan ibu bila melihat wadah airnya kosong,
namun intensitas kedua kata tersebut sangat berbeda. Sebenarnya bisa
saja sang penerjemah menerjemahkannya menjadi benci, namun ia
memilih untuk menggunakan kata tidak suka. Kata benci memiliki
intensitas kata yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kata tidak suka.
Dan pemilihan diksi ini tentu saja dipengaruhi oleh sudut pandang penulis
dan penerjemah masing-masing. Penggunaan kata hated seolah dapat
494
merepresentasikan kemarahan seorang wanita sekaligus Ibu yang di
larang untuk keluar rumah, meskipun hanya mengambil air di lingkungan
sekitarnya.
Kalimat 8
Tsu: Sometimes this made her resentful [affect: unhappiness/ high-scaled]
(hal 21)
Tsa: Terkadang itu membuatnya kesal [affect: unhappiness/ low-scaled]
(hal 11)
Intensitas pada tiap-tiap kata yang digunakan selalu memberikan
sense yang berbeda. Jika intensitas katanya rendah, maka pesannya tidak
terlalu terlihat. Namun, jika intensitas katanya tinggi, dengan seketika
pesannya terlihat jelas. Kata resentful dan kesal memiliki intensitas kata
yang berbeda. resentful dapat diartikan marah dan benci, sedangkan kesal
seolah hanya mengindikasikan kemarahan kecil, yang nantinya cepat reda,
sehingga memiliki intensitas rendah.
Kalimat 9
Tsu: “how we can lead [appreciation: reaction/ high-scaled] men into
battle? I`ve seen enough war (hal 29)
Tsa: “bagaimana kami bisa membantu [appreciation: reaction/ middlescaled] kaum pria untuk berperang? Aku sudah terlalu banyak
melihat perang (hal 18)
Pada Tsu, penulis menggunakan kata lead yang bermakna
memimpin. Dalam kalimat ini, penulis secara terang-terangan melalui
tokoh nooria, ia mengatakan “bagaimana kami bisa memimpin kaum pria
untuk berperang?”. Secara implisit, ia ingin mengatakan bahwa
perempuan juga memiliki andil dalam peperangan, bahkan memiliki
kemampuan untuk memimpin. Namun, hal ini berbeda dengan
terjemahannya, yang lebih memilih kata membantu untuk menerjemahkan
lead. Dari perbedaan diksi inilah seolah mengatakan bahwa penerjemah
dan penulis memiliki sudut pandang yang berbeda.
495
Kalimat 10
Tsu: “get out of here!” he spat at [ appreciation: -reaction] Parvana and her
mother (hal 43)
Tsa: “pergi dari sisni!” ia membentak [appreciation: -reaction] Parvana
dan ibunya (hal 27)
Pada kalimat ini, penulis Tsu memilih kata spat at (meludahi)
untuk menunjukkan reaksi negatif Taliban terhadap para wanita dan anak
perempuan yang berani keluar rumah. Namun, kata ini kemungkinan
dinilai terlalu kasar oleh penerjemah untuk para pembaca di Indonesia,
sehingga diterjemahkan menjadi membentak.
ANALISIS MAKRO
Pada tataran analisis mikro yaitu untuk menghubungkan hasil
interpretasi pada tiap-tiap kalimat tersebut dengan konteks sosial serta
latarbelakang masing-masing penulis dan penerjemah.
Dari hasil analisis kalimat pada Tsu dan Tsa di atas, dapat diketahui
bahwa terdapat perbedaan kata atau diksi pada kalimat yang digunakan
antara penulis dan penerjemah. Jika penulis cenderung menggunakan kata
yang memiliki intensitas yang tinggi seperti always glad, at all, fall down,
hated, resentfull, spat at, lead, untuk merepresentasikan kehidupan pada
masa Taliban, maka lain halnya penerjemah yang cenderung
menggunakan kata dengan intensitas rendah, seperti tersandung, tidak
suka, kesal, membentak, membantu. Perbedaan sudut pandang ini
kemungkinan besar dipengaruhi oleh ideologis masing-masing individu.
Hal ini dapat diketahui dari latar belakang penulis maupun penerjemah,
dan instansi yang menerbitkan novel tersebut.
Penulis Tsu, Deborah Ellis, adalah seorang aktifis anti-perang
sekaligus aktifis gerakan perempuan, keterlibatannya dengan para korban
perang dan kekerasan perempuan secara langsung tentu saja telah
mempengaruhinya dalam mengggunakan pilihan-pilhan kata yang dapat
merepresentasikan kejadian sebenarnya yang dialami oleh para korban.
Sehingga ia cenderung menggunakan kata-kata yang gamblang dan
eksplisit sesuai dengan keadaan yang terjadi. Sedangkan, penerjemah
Adzimattinur Siregar, ia tidak memiliki latar belakang sebagai aktifis anti
perang atau tergabung dengan organisasi keperempuanan, namun ia
adalah seorang penulis fiksi anak-anak. Jadi, disamping ia tidak dapat
496
merasakan bagaimana kondisi korban peperangan pada saat itu, pola
berbahasanya sedikit banyak telah dipengaruhi oleh profesinya yang
kesehariannya menjadi penulis fiksi yang ditujukan terhadap anak-anak.
Sehingga hal ini benar-benar mempengaruhi pilihan diksi yang digunakan
didalam teks terjemahnnya. Padahal, kategori pembaca dalam novel ini
ditujukan untuk umum bukan anak-anak.
Lebih lanjut, pilihan diksi yang menentukan ideologi penulis dan
penerjemah terdapat pada analisis kalimat 9, di sana penulis Tsu
menggunakan kata lead untuk mengindikasikan bahwa perempuan dapat
memimpin kaum pria, namun kata tersebut kemudian diterjemahkan oleh
penerjemah dengan kata membantu. Perbedaan diksi ini tentu saja
mengindikasikan perbedaan ideologi yang dianut oleh penulis maupun
penerjemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Bloor dan Bloor (2007:11),
bahwa aspek ideologis dapat diketahui meskipun hanya dengan satu kata.
Jika menilik latar belakang penulis ‘Debborrah Ellis’ yaitu sebagai aktifis
perempuan, penggunaan kata lead adalah suatu representasi keinginan
baginya dimana perempuan dapat memiliki peran yang lebih tinggi
dibandingkan seorang laki-laki. Namun, lain halnya penerjemah
‘Adzimattinur Siregar’, yang secara sadar atau tidak sadar telah
menyisipkan ideologi patriarkinya melalui kata membantu untuk
menerjemahkan lead. Jika dilihat dari nama akhirnya, ‘Siregar’ adalah
suatu marga yang menunjukkan keturunan orang batak di Indonesia, dan
orang batak pada umumnya menganut ideologi patriarki didalam
kehidupannya. Seperti yang dikemukakan oleh Siregar (2017), bahwa
ideologi patriarki telah mengakar kuat dalam kebudayaan orang batak, hal
ini direpresentasikan dari praktik adat dalihan no tolu6. Jadi, meskipun ia
adalah seorang perempuan, praktik budaya patriarki yang
melatarbelakangi kehidupannya turut serta dalam pembentukan pola
pikirnya .
Disamping itu, peran instansi juga tidak dapat dilepaskan begitu
saja dari pengaruh ideologi penerjemah. Instansi yang menaungi novel
terjemahan Sang Pencari Nafkah adalah KPG (kepustakaan populer
Gramedia), yang dipayungi oleh kelompok kompas gramedia. Kompas
Gramedia adalah sebuah media terbesar di Indonesia yang didirikan oleh
P.K. Ojong dan Jakob Oetama 7 . Instansi ini menaungi berbagai sektor,
6
7
Sistem kekeluargaan yang mengatur antar suku batak
Wikipedia, diakses pada tanggal 30 April 2018
497
seperti Berita Nasional Kompas, Berita Regional, Gramedia Bookstore,
Gramedia Pustaka Utama, PT Elex Media Komputindo (EMK), Grasindo, PT
Radio Sonora, Gramedia Magazine, Trans7, Kompas TV, dan masih banyak
lagi. Dari berbagai bidang yang digeluti oleh instansi KKG, tentu saja
intansi tersebut memiliki ideologi yang dijadikan sebagai landasan utama.
Jika dilihat dari beberapa buku yang diterbitkan, instansi ini tidak terlihat
memiliki kencenderungan terhadap ideologi patriarki, namun sebaliknya
lebih banyak mendukung gerakan perempuan. Dengan demikian,
disamping institusi yang menaungi penerbitan novel tersebut memiliki
andil yang cukup besar dalam pengubahan konten didalamnya, faktor
seorang penerjemah sendiri juga tidak dapat dihiraukan begitu saja untuk
menyisipkan ideologisnya secara implisit didalam novel terjemahan
tersebut.
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
pesan yang dilakukan oleh penulis dan penerjemah. Meskipun penulis dan
penerjemah sama-sama hanya menggunakan kategori attitude yang
meliputi: affect, judgment, dan appreciation. Namun letak yang
membedakan keduanya adalah pada kategori graduation. Penulis
cenderung menggunakan kata-kata yang memiliki intensitas kata yang
tinggi, sedangkan penerjemah cenderung mengggunakan intensitas kata
yang rendah. Penulis Tsu mengggunakan intensitas kata yang tinggi untuk
merepresentasikan kejadian sebenarnya yang dialami oleh para korban
Afghanistan atas perlakuan militer Taliban. Karena pada waktu itu, ia
terjun langsung di lapangan untuk mewawancarai para korban, sehingga
ada kontak emosional di dalamnya. Sedangkan, penerjemah Tsa yang
menggunakan intensitas kata yang rendah dan terkesan sederhana ini
menunjukkan bahwa penerjemah telah terpengaruh oleh profesinya
sebagai penulis fiksi anak-anak, padahal tujuan novel terjemahan ini
ditujukan untuk kategori umum.
Selain itu, dari analisis data diatas dapat diketahui bahwa terdapat
penyisipan ideologi patriarki didalam Tsa, yang tidak ditemui didalam Tsu.
Hal ini dapat diketahui dari perbedaan sosial budaya antar penulis dan
penerjemah yang berbeda. Penulis adalah seorang aktifis anti-perang dan
termasuk aktifis perempuan. Sehingga apa yang menjadi tujuannya adalah
menyuarakan hak-hak perempuan agar tidak selalu berada di posisi
498
subordinasi. Namun, hal ini berbeda dengan seorang penerjemah yang
tinggal dalam kebudayaan orang batak. Yang mana, budaya batak
cenderung menganut sistem patriarki. Sehingga, secara tidak langsung
budaya tersebut juga membentuk pola pikirnya untuk berpikir demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, R dan Vidal, M.C. 1996. Translating: A Political Act dalam R.
Alvarez dan
M.C. Vidal. Translation, Power, Subversion.
Philadelphia: Multilingual Matters.
Bloor, M. dan Bloor, T. 2007. The Practice of Critical Discourse Anlaysis.
London. Hodder Arnold.
Denscombe, M. 2007. The Good Research Guide: For Small Scale Social
Recearch Project. Third Edition. McGrawHill: Open University
Press.
Ellis, D. 2000. The Breadwinner. New York, USA: Oxford University Press.
Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York, USA: Longman Group.
Mackey, A dan Gass, S. M. 2005. Second Language Research: Methodology
and Design. New Jearsy, London: Lawreence Erlbaum Associates.
Mansourabadi, F dan Karimnia, A. 2013. The Impact of Ideology on Lexical
Choices in Literary Translation: A Case Study of A Thousand
Splendid Suns. Procedia-Social and Behavioral sciences, 70, 777786. Diakses dari www.sciencedirect.com.
Martin, J.R. dan White, P.R.R. (2005). The Language of Evaluation. New
York, USA: Palgrave Macmillan.
Siregar, A. 2011. Parvana: Sang Pencari Nafkah. Jakarta, Indonesia: PT
Gramedia.
Siregar, M. 2018. Ketidaksetaraan Gender dalam Dalihan na Tolu. Jurnal
Studi
Kultural,
3
(1),
13-15.
Diakses
dari
http://journals.anImage.net/index.php/ajsk.
Subroto, E. D. (1992). Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural.
Surakarta, Indonesia: Sebelas Maret University Press.
Wikipedia.
Kompas
Gramedia
Group.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Kompas_Gramedia_Group.
Diakses pada tanggal 30 April 2018.
Williams dan Chesterman. 2002. The Map: A Beginner`s Guide to Doing
Research in Translation Studies. Britain. St. Jerome Publishing.
499
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan dan Saran
1. Gradasi kata itu seperti apa?
Yang dimaksud dengan gradasi kata disini adalah intensitas kata.
Jadi, meskipun ada beberapa kata memiliki makna yang sama,
namun dari tiap kata tersebut memiliki intensitas yang berbedabeda. Seperti halnya kata ‘benci’ dan kata ‘tidak suka’. kata ‘benci’
cnderung memiliki intensitas kata yang tinggi dibandingkan kata
‘tidak suka’. Hal ini diketahui dari definisi yang dipaparkan
didalam kbbi.
2. Apa yang anda fahami dengan teknik purposif? Ketentuan
pemilihan datanya kurang terlihat jelas di dalam makalah anda.
Teknik purposif purposif adalah suatu teknik yangg digunakan
untuk mengumpulkan data berdasarkan ketentuan tertentu.
Dalam makalah ini, ketentuan data yang digunakan dalam makalah
ini adalah leksikon pada suatu kalimat yang memiliki perbedaan
pesan atau makna dalam Tsu dan Tsa.
3. Disebutkan didalam metode, menerapkan tiga komponen analisis
wacana kritis: mikro, mezzo, dan makro. Namun, saya mendapati
analisis ketiga komponen tersebut dijadikan satu. Alangkah
baiknya jika dipisah, sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh
pembaca.
Saran yang diberikan, telah di tunaikan dalam revisi makalah ini.
500
PENGARUH BUDAYA PADA SIKAP PENERJEMAH: ANALISIS
NOVELET THE PEARL DAN VERSI BAHASA SUNDANYA
SITI KOMARIAH
S2 Ilmu Linguistik UGM
sitykomariah93@gmail.com
A B S T R A K
Teknik penerjemahan esensinya tidak hanya menerjemahkan BSu
kedalam BSa, tetapi juga mencari ketepatan dalam transfer makna, hingga
transfer budaya. Kesadaran ini kemudian menghasilkan satu istilah yang
merujuk pada konsep penerjemahan budaya, yang disebut dengan ideologi
penerjemahan, Venuti (1995). Ideologi penerjemah itu sendiri dapat
berupa domestication serta foreignization yang erat kaitannya dengan
teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah.. Adapun dalam
penerjemahan budaya, biasanya budaya yang dimaksud adalah terkait
budaya ekologi (flora, fauna, musim, pegunungan, ekologi), budaya materi
(makanan, pakaian, rumah dll), budaya sosial (pekerjaan, kesenangan),
organisasi sosial (adat istiadat, kegiatan, dll), serta budaya yang kaitannya
dengan kebiasaan, Newmark (1988). Dengan demikian, penelitian ini akan
berfokus pada bagaimana istilah-istilah budaya dalam bahasa Inggris
diterjemahkan kedalam bahasa Sunda yang ditemukan dalam novel The
Pearl dan versi Bahasa Sundanya. Metode yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana peneliti terlebih dahulu
membaca, mencatat, mengumpulkan, mengklasifikan, kemudian
menganalisis data, dan hanya menyajikan data yang mewakili data secara
keseluruhan. Hasil penelitian ini adalah penerjemah menggunakan
ideologi foreignization dan paling banyak menggunakan teknik literal,
dikarenakan pengaruh globalisasi dan tidak menemukan kesepanannya
dengan bahasa sasaran.
Kata Kunci: Penerjemahan, Ideologi penerjemah budaya, teknik
penerjemahan bahasa Inggris-bahasa Sunda
501
LATAR BELAKANG
Teknik penerjemahan esensinya tidak hanya menerjemahkan BSu
(bahasa sumber) kedalam Bahasa Sasaran (bahasa sasaran), tetapi juga
mencari ketepatan makna hingga tidak merubah makna inti dari BSu
ketika diterjemahkan kedalam BSa. Pernyataan ini juga disampaikan oleh
Newmark (1988:5), yang menyatakan bahwa “translation is rendering the
meaning of a text into another language in the way that the author intended
the text. Penelitian akan teknik penerjemahan juga semakin berkembang
seiring dengan kesadaran bahwa penerjemahan hakikinya tidak hanya
transfer BSu kedalam BSa yang dapat merubah struktur bahasa. Lebih dari
itu penerjemahan juga merupakan transfer makna hingga transfer budaya
dari BSu ke BSa.
Hakikinya proses transfer budaya dalam penerjemahan ini sulit
untuk menghasilkan makna. Kesadaran ini kemudian menghasilkan satu
istilah yang merujuk pada konsep penerjemahan budaya, atau pengaruh
budaya pada sikap penerjemah, yang disebut dengan ideologi
penerjemahan, Venuti (1995). Dalam ideologi penerjemahan, dua jenis
ideologi yang kemudian menjadi pedoman adalah domestication serta
foreignization. Kedua jenis ideologi ini jelas tidak akan lepas dari teknik
penerjemahan khususnya dalam ranah budaya. Contohnya seperti kata “a
hot corncake” dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan
menjadi “surabi jagong” dalam bahasa Sunda. Penerjemahan kedua bahasa
tersebut jelas merupakan usaha kesepadanan penerjemah mengingat
tidak ada kue jagung dalam makanan khas sunda.
Menemukan adanya usaha kesepadanan pada istilah budaya kedua
bahasa diatas, yakni bahasa universal bahasa Inggris dengan bahasa
daerah bahasa Sunda, peneliti kemudian tertarik untuk menemukan
istilah budaya lainnya dari bahasa Inggris khususnya yang ditemukan
dalam novelette “The Pearl” yang diterjemahkan kedalam bahasa Sunda
dengan judul “Mutiara”.
Penelitian tentang ideologi penerjemahan itu sendiri pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti yang kemudian dijadikan kajian pustaka,
diantaranya: (1) Sebuah jurnal yang berjudul “Ideologi Penerjemah
Budaya: Analisis Novel Terjemahan “Negeri 5 Menara” Karya Ahmad Fuadi,
2016 (2) Sebuah jurnal berjudul “Ideologi Penerjemahan dalam The Wea
Verbirds” oleh Dyah Nugrahani, M.R Nababan, Riyadi Santoso (3) Sebuah
tesis berjudul “Analisis Ideologi Penerjemahan dan Penilaian Kualitas
502
Terjemahan Istilah Kedokteran dalam buku “Lecture Notes on Clinical
Medicine” Oleh Asri Handayani 2009 (4) Sebuah tesis yang berjudul
“Transformasi Terjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia: Studi Kasus
dalam Buku A Child Called It” oleh Ednes Runi Anisah 2012 (5) Sebuah
jurnal berjudul “Ideologi Pengasingan pada Kosakata Budaya dalam
Terjemahan Novel Breaking Dawn” oleh Yusup Irawan 2016. Peneliti
belum menemukan penelitian penerjemahan istilah budaya dari bahasa
universal ke bahasa daerah sehingga tertarik untuk meneliti kedua bahasa
tersebut.
LANDASAN TEORI
Larson (1998:12) menyatakan bahwa “translation is basially a
change of form”. Dengan kata lain, ada perubahan bentuk struktur, dimana
perubahan struktur khususnya perubahan makna itu sendiri biasanya
disesuaikan dengan budaya dari BSu, hingga disitulah terjadi beberapa
perubahan dalam proses terjemahan. Adapun jenis-jenis teknik
penerjemahan menurut Newmark yakni literal, transference (borrowing),
Naturalization, transposition, synonymy, through translation, modulation,
equivalence, adaption, functional translation, descriptive equivalent,
compensation, componential analysis, paraphrase, reduction, and notes,
addition, glosses.
Penggunaan teknik penerjemahan ini tentu saja dilakukan guna
mencapai kesepadanan antar dua bahasa, yakni BSu ketika diterjemahkan
kedalam BSa. Nida (1974), membagi ideologi tersebut menjadi dua kutub
yang berbeda yakni kutub pertama mengarah pada BSu sedangkan kutub
kedua mengarah pada Bsa yang hampir sama dengan Venuti (1995).
Newmark lebih jauh menelaah bahwa dalam penerjemahan khususya
dalam bidang budaya, terdapat golongan budaya yang beragam,
diantaranya yakni budaya ekologi (flora, fauna, musim, pegunungan,
ekologi), budaya materi (makanan, pakaian, rumah dll), budaya sosial
(pekerjaan, kesenangan), organisasi sosial (adat istiadat, kegiatan, dll),
serta budaya yang kaitannya dengan kebiasaan.
METODE PENELITIAN, TEKNIK PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA
Penelitian ini secara garis besar menggunakan metode kualitatif, dokumen
analisis, serta wawancara, simak, rekam, catat, langsung dengan
penerjemah. Metode kualitatif sendiri merupakan metode yan tidak
503
menggunakan angka atau hitungan, atau dengan kata lain, objek dari
penelitian ini merupakan kata-kata (Subroto, 2007). Penelitian ini fokus
pada istilah budaya dalam novelet The Pearl karya John Steinbeck dan
terjemahan bahasa Sundanya oleh Atep Kurniawan. Dalam proses
pelaksaannya, peneliti memfokuskan pada tiga tahap penelitian menurut
penyajian analisa Sudaryanto (1993:3) yang meliputi tahap pengumpulan
data, analisis data, serta penyajikan analisis. Pada proses pengumpulan
data, Miles dan Huberman (1992), dalam Agusta (2013:10),
menyampaikan bahwa pengumpulan data dapat dilakukan yakni dengan
menyeleksi data, mengidentifikasikan data, serta menggolongkan data
sesuai jenisnya. Pada tahap analisis data peneliti menggunakan teori
Creswell (2008:255) yang menyebutkan lima tahap analisis data yakni
menyiapkan data, memberikan lambang tertentu pada data, menjelaskan
data, mengklasifikasikan data, memastikan kevalidan data. Setelah data
tersedia, peneliti kemudian memberikan lambang tertentu guna
memudahkan peneliti dan pembaca dalam memahami penelitian tersebut.
Guna memastikan kevalidan data, peneliti juga mengkorelasikan hasil
analisa dengan hasil wawancara langsung dengan penerjemah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peneliti menemukan sekitar 82 data istilah budaya kemudian
mengklasifikasikan hasil penelitian sesuai dengan 5 hal yang termasuk
dalam istilah budaya menurut Newmark yakni budaya ekologi, budaya
materi, budaya sosial, organisasi yang mencakup aktifitas dsb, serta
budaya yang kaitannya dengan kebiasaan (habit).
Kategori Material (Rumah, Pakaian, Transportasi, Makanan)
Peneliti menemukan sekitar 35 data termasuk kedalam kategori material
dalam sumber data. 35 istilah budaya ini diterjemahkan kedalam beberapa
jenis terjemahan, yakni adaptation (1 data), borrowing (1 data), descriptive
equivalent (1 data), functional equivalent (8 data) , literal (20 data),
naturalization (3 data) dan synonimy (3 data). Untuk lebih jelasnya, berikut
data yang mewakili teknik penerjemahan dengan ideologi foreignization
dan domestication.
504
BSU
Juana laid Coyotito on
the blanket, and she
placed her shawl over
him
(Steinbeck,
2000:30)
Kino squatted by the
fire pit and rolled a
hot
corncake
(Steinbeck, 2000:23)
BSa
Teknik
Juana ngais Coyotito maké Literal
simbut, dirimbunan ku (Foreignization)
cindung (Kurnia, 2013: 7)
Gog Kino cingogo hareueun Adaptation
hawu,
gulung-gulung (Domestication)
ngagulung surabi jagong
(Kurnia, 2013:2)
Kata ‘the blanket’ dan ‘shawl’ diatas diterjemahkan dengan
menggunakan teknik literal, yakni memiliki makna yang sama dengan
bahasa sumber. Peneliti mengkategorikan ‘the blanket’ dan ‘shawl’ pada
istilah budaya karena pada umumnya, hanya pada masa tertentu
masyarakat barat menggunakan selimut dan selendang sebagai alat tidur
dan juga alat menggendong bayi. Dengan kata lain, pada era globalisasi ini
tentu saja tidak semua kalagan tidur dan menggendong bayi dengan alat
yang sama. Dengan demikian teknik ini termasuk kedalam ideologi
foreignization.
“A hot Corncake” merupakan jenis kue berbahan jagung dan tepung
yang ternyata bukanlah kue dalam adat sunda. Dengan demikian
penerjemah menyesuaikan dengan situasi masyarakat sunda dengan
menerjemahkan frasa tersebut menjadi “surabi jagong”, yakni sejenis kue
khas sunda yang sebenarnya lebih identik dengan oncom dan bukan
jagung. Pada penerjemahan diatas penerjemah juga menggunakan teknik
adaptasi. Peneliti juga menemukan data yang serupa yakni pada kata “the
gown” yang diterjemahkan menjadi “baju sarẻ”, “the brush house” menjadi
“saung”, dimana peneliti menyesuaikan kesepadanana dalam
penerjemahan. Dengan demikian ideologi ini termasuk kedalam ideologi
domesticaion.
Kategori Ekologi (Flora, Fauna)
Salah satu yang disebut dengan istilah budaya menurut Newmark adalah
hal yang berkaitan dengan ekologi seperti flora da fauna. Peneliti
505
menemukan 30 data yang tergolong kategori ekologi, dimana 30 data
istilah budaya ini diterjemahkan dengan beberapa teknik, yakni teknik
adaptation (7 data), descriptive equivalent (2 data), functional equivalent
(2 data), literal (17 data), naturalization (1 data), dan paraphrase (1 data).
Berikut contoh data yang mewakili teknik penerjemahan dalam kategori
foreignization dan domestication.
BSu
The
mangroves
plunged like frightened
cattle (Steinbeck, 2000 :
63)
BSa
tangkal
tingpelenoy,
2013: 30)
Teknik
miri Literal
(Kurnia (Foreignization)
The rooters had been Hayam jago melung- Adaptation
crowing for some time meung kongkorongok (Domestication)
(Steinbeck, 2000:21)
(Kurnia, 2013:1)
Tentunya tidak semua negara atau daerah di dunia ini memiliki
pohon mangruve, dengan demikian mangruve termasuk kedalam istilah
budaya. Pada data diatas, kata “The mangroves” diterjemahkan secara
literal menjadi (tangkal miri) yang memang makna sebenarnya dalam
bahasa Sunda. “The crowing” merupakan istilah bahasa Inggris yang
merujuk pada suara ayam. Umumnya, setiap bahasa memang memiliki
bunyi bahasa sendiri yang merujuk pada bunyi suara hewan atau disebut
dengan onomatopoeia. Dalam bahasa Sunda itu sendiri, bunyi ayam
direpesentasikan dengan bunyi tulisan “kongkorongok”. Teknik
terjemahan ini disebut dengan teknik adaptasi, atau kesepadanan, dimana
penerjemah menyesuaikan dengan budaya dari BSa. Peneliti juga
menemukan kesepadatan adaptasi yang serupa seperti pada kata “hush”
yang diterjemahkan kedalam “jep-jep”, dan ‘the hars cicada’ yang
diterjemahkan menjadi jangkrik.
Kategori Social-Culture (Profesi, Hiburan)
Peneliti menemukan 12 data tergolong dalam kategori istilah budaya
social-culture, dimana 12 data tersebut diterjemahkan dengan
menggunakan teknik terjemahan adaptation (5 data), funtional equivalent
506
(2 data), literal (5 data), paraprase (2 data). Berikut contoh data yang
mewakili teknik terjemahan foreignization dan domestication:
BSu
They tell of Kino, the
fisherman, and of his
wife, Juana, and of the
baby, (Steinbeck, 2000:
20)
The
excitement
of
bidding for a fine pearl,
too great a price had
been paid to the
fishermen. (Steinbeck,
2000: 47)
BSa
Puk-pok
nyaritakeun
Kino, pamayang, katut
pamajikanana
Juana
jeung
anakna
(Kurnia:2013:1)
Da aya tukang mutiara
lantaran
moho
ku
mutiara nu ditawarkeun
ka manéhna, nganggap
gedé kudu mayarna ka
palika. (Kurnia, 2013:
19)
Teknik
Literal
(Foreignization)
Functional
Equivalent
(Domestication)
“The Fisherman” merupakan profesi yang merujuk pada orang yang
mencari ikan di laut (nelayan). Dalam bahasa Sunda itu sendiri
diterjemahkan kedalam makna yang sama yakni “pamayang” yang juga
bermakna nelayan. Bedanya, bahasa Sunda sebenarnya memiliki sebutan
yang berbeda jika orang tersebut mencari ikan bukan dilautan.
Dikarenakan konteksnya adalah mencari mutiara yang disebut-sebut lebih
dalam dari mencari ikan (dari kedalaman laut), dengan demikian
penerjemah menerjemahkan “the fisherman” dengan “pamayang” atau
“palika” tergantung pada konteksnya.
Kategori Organisasi (Agama, Aktifitas, Konsep)
Peneliti hanya menemukan 1 data yang termasuk organisasi, yakni:
BSu
BSa
Teknik
The
picture
were Poto
pamajikana Functional
religious
(Steinbeck, jenatna
(Kurnia, Equivalent
2000:27)
2013:6)
Dalam BSu, penulis merujuk pada poto gambar orang yang sudah
meninggal,yang disebut dengan istilah religious dalam bahasa sumber.
507
Tentunya tidak semua bahasa menyebut hal yang mistik dengan istilah
yang atau ungkapan yang sama. Dalam bahasa Sunda kemudian kata
tersebut diterjemahkan menjadi “poto pamajikan jenatna”. Orang sunda
dalam hal ini sering mengganti kata almarhum/almarhumah dengan kata
“jenatna”. Teknik yang digunakan dalam penerjemahan ini adalah teknik
adaptasi.
Kategori Habit dan Gesture (Kebiasaan Sehari-hari, Perilaku)
Penggunaan istilah budaya yang mencakup habit banyak ditemukan pada
kata-kata yang erat kaitannya dengan struktur kebahasaan. Peneliti juga
menemukan 4 data yang termasuk kedalam habit dan gesture, dimana 1
data diantaranya menggunakan teknik literal, dan 3 data selanjutnya
menggunakan teknik adaptasi. Misalnya:
BSu
Yes,
Patron
(Steinbeck, 2000:27)
you are dreaming
(Steinbeck 2000: 68)
BSa
Teknik
Muhun, Tuan. (Kurnia, Literal
2013:3)
(Foreignization)
Akang riwan. ( Kurnia, Adatation
2013: 34)
(Domestication)
Patron merupakan istilah panggilan bagi orang yang memiliki
jabatan tinggi atau dianggap dihormati. Dalam bahasa sasara masih
diterjemahkan dengan makna yang sama yakni “tuan” yang disebut
dengan teknik literal. Kemudian, data kedua kata “you” dikategorikan
kedalam istilah budaya karena konteks budaya terdapat pada bahasa
sasaran yang menerjemahkan “you” menjadi “Akang” dimana orang sunda
memiliki kebiasaan memanggil suami dengan panggilan Akang. Peneliti
juga menemukan data lain yang hampir saa yakni contohnya terdapat pada
kata “nyot-dikenyot”. “dikenyot” itu sendiri merupakan kata kerta yang
menggukan pemarkah “nyot”. Hakikinya ini merupakan kebiasaan orang
sunda, yang membudaya hingga kemudian dari waktu ke waktu
menjadikannya struktur bahasa Sunda yang resmi yang disebut dengan
“kecap rajẻkan panganter padameulan” (Kurnia, wawancara 28 April
2018).
508
KESIMPULAN
Secara keseluruhan, penerjemah menggunakan ideologi foreignization
dengan alasan globalisasi. Contohnya ketika kata the blanket tetap
diterjemahkan kedalam kata “simbut”. Padahal dalam konteksnya “the
blanket” digunakan tokoh untuk menggendong bayi kemudian
menggunakannya juga untuk menyelimuti bayi. Di tatar sunda sendiri alat
menggendong bayi biasanya menggunakan kain yang disebut “samping”.
Namun penerjemah tetap menerjemahkan menjadi “simbut” karena
pengaruh globalisasi dimana saat ini sudah jarang masyarakat
menggunakan “samping” untuk menyelimuti anaknya, dan memang
kemajuan teknologi menjadikan selimut sebagai benda yang bisa dimiliki
oleh masyarakat kalangan biasa sekalipun. Selain itu, penerjemah juga
tidak menemukan kesepadanan yang khas sunda
ketika BSu
diterjemahkan kedalam BSa. Itulah sebabnya teknik penerjemahan yang
paling banyak digunakan adalah teknik literal.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W 2008. Educational Research. Boston: Pearson
Hoed, Beny. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Larson, Mildred L, 1998. Meaning-based Translation: A guide to Cross
Language
Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis. London:
Sage Publications.
Newmark, Peter 1988. A Textbook of Translation. Prentice Hall: UK
Nida, E.A dan Ch.R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation Den
Haag. Brill.
Soemarno, Thomas. 1997. “ Sekitar Masalah Budaya dalam Penerjemahan”
Makalah. Seminar dalam Konggres Linguistik Nasional, Surabaya 711 November 1997.
Subroto, Edi, 2007. Pengantar Metode penelitian Linguistik Struktural.
Surakarta: LPP UNS dan UNS Press
Sudaryanto, 1985. Aneka Jenis Metode Linguistik: Tinjauan Selayang.
Yogyakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia Komisariat. UGM
Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation.
London and NewYork: Routledge.
509
Pertanyaan dan Saran
1. Regi-UNPAD
Apakah ada kamus Bahasa Inggris ke bahasa Sunda? Bagaimana
penerjemah melakukan proses penerjemahan? Lalu apa
landasannya hingga ditarik kesimpulan bahwa teknik terjemahan
literal adalah teknik yang paling banyak digunakan oleh
penerjemah?
Jawaban:
Menurut nara sumber, terdapat kamus bahasa Inggris yang
diterjemahkan kedalam bahasa Sunda yang kemudian menjadi
salah satu alat bantu bagi penerjemah dalam melakukan proses
terjemahan. Namun, memang tidak semua kosa kata ada dalam
kamus. Dengan demikian, penerjemah juga menggunakan
teknologi, yakni mesin terjemahan, atau menggunakan google
dalm mencari tahu makna dari istilah tertentu kemudian
dipadankan dengan istilah kesundaan. Penerjemah juga
menggunakan google image khususnya ada kata-kata berbau
ekologi atau material, guna melihat langsung bentuk benda dari
kata tertentu kemudian dicari padanannya dalam bahasa Sunda.
Adapun penentuan yang menjadikan teknik literal sebagai teknik
yang paling banyak digunakan, adalah kembali pada esensi teknik
literal itu sendiri menurut Newmark yang berarti menerjemahkan
perkata. Dalam hal ini penerjemah memang lebih banyak
menerjemahkan istilah budaya dengan terjemahan perkata.
Contohnya ketika ada istilah susu dalam bahasa Meksiko (setting
dari noveletnya) tetapi tetap diterjemahkan “susu” oleh
penerjemah tanpa dijelaskan bahwa kata tersebut adalah istlah
susu dari budaya Meksiko.
Saran:
Reggy:
Coba jelaskan lebih detail lagi proses penerjemahan dalam penelitiannya.
Kemudian, kembali konfirmasi lebih dalam kepada pewawancara tentang
alasan lain yang menyebabkan banyak penggunakan teknik literal, serta
idelologi foreignization dengan menanyakan data dan hasil
penerjemahannya (data yang mewakili setiap teknik penerjemahan).
510
PERUBAHAN MAKNA KOSAKATA SERAPAN BAHASA ARAB
DALAM BAHASA INDONESIA: BIDANG KEAGAMAAN
Siti Masyitoh
Universitas Gadjah Mada
masyitoh16@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kosakata serapan
bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang mengalami perubahan makna
dan klasifikasi jenis kata serapan pada kosakata tersebut. Oleh karena itu,
data dalam penelitian ini berupa kata-kata serapan bahasa Arab dalam
bahasa Indonesia terkait bidang keagamaan. Adapun sumber datanya
adalah buku Agar Bidadari Cemburu Padamukarya Salim A. Fillah. Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak
dengan teknik catat karena penelitian ini bersifat studi pustaka ‘library
research’, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode padan
translasional karena melibatkan dua bahasa: Arab dan Indonesia. Untuk
penyajian hasil analisis digunakan metode formal dan informal karena
penulis menggunakan kata-kata dan tabulasi data. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat tiga jenis perubahan makna pada kosakata serapan
bahasa Arab dalam bahasa Indonesia terkait bidang keagamaan yaitu
perluasan makna (generalisasi), penyempitan makna (spesialisasi), dan
perubahan makna total. Namun dari ketiga jenis perubahan makna
tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah penyempitan makna.
Adapun jika dilihat dari jenis kata serapannya, kosakata serapan bahasa
Arab dalam bahasa Indonesia pada bidang keagamaan mayoritas
tergolong ke dalam kata serapan sebagian (loanbend), meskipun
ditemukan jenis kata serapan lainnya seperti kata serapan utuh dan kata
serapan pergeseran.
Kata Kunci: Perubahan Makna, Kata Serapan, Bahasa Arab, Bahasa
Indonesia, Kosakata Keagamaan.
511
PENDAHULUAN
Perkembangan suatu bahasa tentu tidak terlepas dari pikiran
manusia. Bahasa akan berubah seiring dengan perubahan dan
perkembangan pikiran manusia tersebut.Sebagaimana dikemukakan
Hocket (1965: 402) bahwa perubahan dan perkembangan dalam satu
bahasa adalah hal yang wajar terjadi. Hal itu dikarenakan adanya kontak
bahasa antar pengguna bahasa yang berbeda. Menurut Mackey (1968:
554) ketika kontak itu terjadi, maka kedua pengguna bahasa saling
mempengaruhi satu sama lain. Bahasa yang menerima pengaruh
dinamakan model dan bahasa yang mempengaruhi disebut donor. Proses
ketika donor memengaruhi model disebut borrowing atau penyerapan.
Fenomena tersebut terjadi di berbagai bahasa, terutama dalam
Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI). Sebagaimana dikatakan oleh
ahli bahwa sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah
asing (Munsyi, 2003: 2). Maksud asing di sana ialah bukan asli BI
melainkan serapan dari bahasa lain, baik itu bahasa serumpun ataupun
bahasa asing.Salah satu bahasa asing yang telah banyak mempengaruhi
perkembangan BI adalah Bahasa Arab (selanjutnya disebut BA).
Peneliti membatasi penelitian ini pada kosakata serapan bahasa
Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang keagamaan.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: (1)
Perubahan makna yang terjadi pada kosakata serapan BA dalam BI bidang
keagamaan; (2) Jenis kata serapan BA dalam BI pada bidang keagamaan.
Selanjutnya,penelitian mengenai perubahan maknaatau kosakata
serapan bahasa Arab telah banyak dilakukan, di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Hadi, dkk (2003) dengan judul
Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa
Indonesia; Nurul Azmi (2016) dengan judul Kata Serapan Bahasa Arab
dalam Bahasa Aceh di Aceh Besar (Kajian Sosiolinguistik). Kemudian, ada
pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Tatu Siti Rabi’ah dkk dengan
judul Perubahan Makna Kata Serapan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
Pada Istilah Ekonomi. Penelitian ini mengkaji kata serapan bahasa Arab
dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam bidang ekonomi. Dari
penelitian yang dilakukan tersebut, penulis belum menemukan penelitian
yang serupa, yakni perubahan makna kosakata serapan bahasa Arab
dalam bahasa Indonesia yang dikhususkan pada bidang keagamaan. Oleh
karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah baru
512
bagi perkembangan ilmu linguistik, khususnya mengenai kosakata
serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab.
SEMANTIK LEKSIKAL
Semantik leksikal berhubungan dengan arti kata dan hubungan
makna di antara kata (Fromkin, 2009: 153). Tujuan deksriptif dari
semantik leksikal adalah: (a) menentukan makna dari setiap kata dalam
suatu bahasa; dan (b) menunjukkan bagaimana makna-makna dari katakata dalam suatu bahasa saling terkait. Salah satu objek dalam kajian
semantik leksikal adalah kata serapan ‘loanword’ (Saeed, 1997: 5). Dengan
demikian, untuk mengkaji adanya perubahan makna pada kosakata
serapan dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain dapat menggunakan
pendekatan kajian semantik leksikal.
PERUBAHAN MAKNA
Perubahan makna kata dapat berwujud dengan adanya
penambahan dan pengurangan atas makna. Penambahan dan
pengurangan terjadi tidak hanya dari segi kuantitas melainkan juga dari
segi kualitasnya (Pateda, 2001: 158). Perubahan makna merupakan
bagian dari perubahan yang terjadi dalam sejarah bahasa yang terdiri dari
perubahan arti atau fungsi semantik dari beberapa kosakata. Adapun
macam-macam perubahan yang terjadi dalam makna yaitu generalisasi
(perluasan makna), spesialisasi (penyempitan makna), ameliorasi
(peninggian makna), peyorasi (penurunan makna), sinestesia (pertukaran
makna), asosiasi (persamaan makna), metonimia, perubahan makna total
(Djajasudarma, 2013: 10).
KATA SERAPAN
Kata serapan diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kata serapan
utuh (loanword), kata serapan sebagian (loanblend), dan kata serapan
pergeseran (loanshift) (Field, 1984: 12). Loanword adalah perpindahan
bentuk makna dengan adanya persamaan integrasi fonologi, baik
keseluruhan, sebagian, maupun tanpa sama sekali. Hal ini merupakan
perpindahan pada target, misalnya pada kata hamburger. Orang Indonesia
memiliki pengetahuan bahwa hamburger adalah makanan kecil atau berat.
Tidak ada kata lain selain kata tersebut yang digunakan oleh orang
Indonesia karena memang belum ditemukan kata yang ekuivalen,
513
sehingga kata-kata dalam BI mengadopsi ejaan maupun pengucapan yang
digunakan dalam bentuk aslinya.
Sementara itu, loanblend adalah kombinasi bentuk kata asli dan
bahasa asingnya. Ia memiliki kesamaan dalam pengucapan baik dalam
bahasa asingnya maupun bahasa aslinya. Contoh dalam bahasa Inggris
kata club menjadi klub dalam BI. Pengucapannya sama, tapi ejaannya
berbeda.
Selanjutnya, loanshift adalah makna konsep bahasa asing yang
direpresentasikan oleh bentuk aslinya, termasuk di dalamnya ada
terjemahan, misalnya dalam kata grados dalam bahasa Spanyol
dimasukkan ke dalam makna grades dalam bahasa Inggris.
PEMBAHASAN
Setelah membaca sumber data primer, peneliti menemukan ada 20
kata yang disimpulkan sebagai kata serapan yang mengalami perubahah
makna terkait bidang keagamaan yang terdapat pada buku Agar Bidadari
Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah. Namun, pada penelitian ini hanya
10 kata representatif yang akan diuraikan. Untuk mempermudah
identifikasi dan analisis, peneliti membuat korpus data seperti berikut:
Bahas
a Arab
Transli
terasi
Bahasa
Indonesi
a
1.
حجرة
/hijrah/
Hijrah
v
2.
دعوة
Dakwah
v
v
3.
تعارف
/da’wah/
Taaruf
v
v
4.
مدرسة
Madrasah
v
5.
خطبة
Khotbah
v
6.
كتاب
/madrasa
h/
/khotbah
/
/kitab/
Kitab
v
7.
انصاف
/insaf/
Insaf
v
8.
فتنة
/fitnah/
Fitnah
v
9.
قدرة
/kodrat/
Kodrat
v
10.
فطرة
/fitrah/
Fitrah
v
/ta’aruf/
Kata
Pergeseran
(Loanshift)
Sebagian
(Loanblend)
Utuh
(Loanword)
Perubahan
Total
Jenis-Jenis
Serapan
Perluasan
NO
Penyempitan
Perubahan
Makna
KATA
v
v
v
v
v
v
v
v
514
Dari korpus data di atas dapat dianalisis secara semantik leksikal
kata-kata sebagai berikut:
1. Hijrah
Kata hijrah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Ternyata celetuk itu di dengar
seorang ukhti lain, pengurus Teladan Science Club, KIR SMU kami, yang
sedang akan membeli kain untuk segera berhijrah: berjilbab.(hal.66)
Dalam BI, kata hijrah secara makna berarti: 1) perpindahan Nabi
Muhammad saw. Bersama sebagian pengikutnya dari mekah ke Madinah
untuk menyelamatkan diri dsb dari tekanan kaum Quraisy, Mekah; 2)
berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke
tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan,
kebaikan, dsb) (KBBI, 2008: 523). Sehingga, secara semantik leksikal, kata
hijrahdimaknai ‘berpindah menuju suatu tempat atau keadaan yang lebih
baik’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: حجرة
/hijrah/.
Kata حجرة/hijrah/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami
perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini
tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword).
Secara semantik leksikal, kata حجرة/hijrah/ dalam BA bermakna
‘perpindahan Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah’ (Manzhur,
1990: 783). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna
ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘pindah dari
Mekkah ke Madinah’ kemudian mengalami perluasan makna menjadi
‘berpindah menuju suatu tempat atau keadaan yang lebih baik’.
2. Dakwah
Kata dakwah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Oh, mereka kan aktivis dakwah.
Insya Allah mereka sudah sangat paham batas-batasnya. (hal 98)
Dalam BI, kata dakwah secara makna berarti: 1) penyiaran;
propaganda; 2) penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan
masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan
ajaran agama (KBBI, 2008: 309). Secara semantik leksikal, kata tersebut
dimaknai: ‘seruan untuk ajaran agama’ kata tersebut merupakan kata
serapan dari bahasa Arab: دعوة/da’wah/.
515
Kata دعوة/da’wah/ mengalami proses penyerapan perubahan
fonemik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini
tergolong sebagai kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya unsur
perubahan fonem [ ]عmenjadi [k].
Secara semantik leksikal, kata دعوة/da’wah/ dalam BA bermakna:
‘ajakan atau undangan’ (Manzhur, 1990: 1386). Dengan demikian, kata ini
mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula
bermakna ‘ajakan atau seruan secara umum’ kemudian mengalami
penyempitan makna menjadi ‘ajakan atau seruan kepada ajaran agama’.
3. Taaruf
Kata taaruf dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: ada banyak orang yang terlena
menikmati masa taarufnya.(hal 204)
Dalam BI, kata taaruf secara makna berarti: perkenalan (KBBI,
2008: 1404). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘tahap
untuk mengenal calon pasangan ketika hendak menikah’. Kata tersebut
merupakan kata serapan dari bahasa Arab: تعارف/ta’aruf/.
Kata تعارف/ta’aruf/ mengalami proses perubahan fonetik ketika
diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai
kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya perubahan bunyi dari /ʔ
/ menjadi /a/.
Secara semantik leksikal,kata تعارف/ta’aruf/ dalam BA bermakna:
berkenalan (Manzhur, 1990: 2901). Dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘perkenalan dalam hal apapun’ kemudian mengalami penyempitan makna
menjadi ‘tahap untuk mengenal calon pasangan ketika hendak menikah’.
4. Madrasah
Kata madrasah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Ibu!Ini kata tentang penegasan
madrasah agung. (hal.244)
Dalam BI, kata madrasah secara makna berarti: sekolah atau
perguruan (biasanya yang berdasarkan agama Islam) (KBBI, 2008: 892).
Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘sekolah berbasis
agama’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: مدرسة
/madrasah/.
516
Kata مدرسة/madrasah/ tidak mengalami perubahan pada
pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata
serapan utuh (loanword).
Secara semantik leksikal, kata مدرسة/madrasah/ dalam BA
bermakna: sekolah (Manzhur, 1990: 1360). Dengan demikian, kata ini
mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula
bermakna ‘sekolah secara umum’ kemudian mengalami penyempitan
makna menjadi ‘sekolah berbasis agama Islam’.
5. Kitab
Kata kitab dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim
A.Fillah ditemukan dalam kalimat: ayuhai, mereka belum mengenakan
peralatan selam yang benar, mengutuki kegelapan, tanpa cahaya, tanpa
kitab yang menerangi. (hal.4)
Dalam BI, kata kitabsecara makna berarti: 1) buku; 2) wahyu
Tuhan yang dibukukan; kitab suci (KBBI, 2008: 731). Secara semantik
leksikal, kata tersebut dimaknai: buku atau kitab suci. Kata tersebut
merupakan kata serapan dari bahasa Arab: كتاب/kitab/.
Kata كتاب/kitâb/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami
perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini
tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword).
Secara semantik leksikal, kata كتاب/ kitâb / dalam BA bermakna:
buku (Manzhur, 1990: 3816). Dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘buku apapun’ kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘buku
yang berisikan wahyu Tuhan’.
6. Insaf
Kata insaf dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim
A.Fillah ditemukan dalam kalimat: inilah perkataan yang ditajamkan agar
ia mengoyak tabir keinsafan. (hal. 91)
Dalam BI, kata insaf secara makna berarti: 1) sadar (akan);
mengerti benar (akan); yakin benar (akan); 2) sadar akan kekeliruannya
dan bertekad akan memperbaiki dirinya; 3) belas kasihan (KBBI, 2008:
557). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘kesadaran akan
kekeliruan’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab:
انصاف/inşaf/.
517
Kata انصاف/ inşaf / mengalami proses perubahan fonemik ketika
diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai
kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya unsur perubahan fonem
[ ]صmenjadi [s].
Secara semantik leksikal, kata انصاف/ inşaf / dalam BA bermakna:
berlaku adil (Manzhur, 1990:26). Dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘berlaku adil’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi
‘kesadaran akan kekeliruan’.
7.
Fitnah
Kata fitnah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: maka peluang terjadinya fitnah
akan luar biasa besar. (hal. 147)
Dalam BI, kata fitnah secara makna berarti: perkataan bohong atau
tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan degan maksud
menjelekkan orang (KBBI, 2008: 412). Secara semantik leksikal, kata
tersebut dimaknai: ‘perkataan bohong atau hasutan’ kata tersebut
merupakan kata serapan dari bahasa Arab: فتنة/fitnah/.
Kata فتنة/fitnah/ tidak mengalami perubahan pada
pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata
serapan utuh (loanword).
Secara semantik leksikal, kata فتنة/fitnah/ dalam BA bermakna:
‘kesesatan’ (Manzhur, 1990: 3345). dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘sesuatu yang menggoda’ kemudian mengalami perubahan makna total
menjadi ‘hasutan’.
8.
Khotbah
Kata khotbah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: mendengar khotbah ini, salah
seorang muslimah yang hadir segera bangkit.(hal.174)
Dalam BI, kata khotbah secara makna berarti: pidato (teutama
yang menguraikan ajaran agama) (KBBI, 2008: 718). Secara semantik
leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘pidato keagamaan’. Kata tersebut
merupakan kata serapan dari bahasa Arab: خطبة/khotbah/.
518
Kata خطبة/khotbah/ mengalami proses penyerapan perubahan
fonetik ketika diserap ke dalam BI yaitu adanya perubahan bunyi [u]
menjadi [o]. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata
serapan sebagian (loanbend).
Secara semantik leksikal, kata ini dalam BA bermakna: pidato atau
ceramah (Manzhur, 1990: 1386). Dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
pidato secara umum kemudian mengalami penyempitan makna menjadi
‘pidato keagamaan’.
9. Kodrat
Kata kodrat dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Banyak yang mengutuki kodrat,
melaknati penciptaan diri, dan sensitive mendengar kata beda. (hal 4)
Dalam BI, kata kodrat secara makna berarti: 1) kekuasaan (Tuhan);
2) hukum (alam); 3) sifat asli; sifat bawaan (KBBI, 2008: 737). Secara
semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘sifat bawaan yang melekat
pada diri seseorang’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa
Arab: قدرة/qudrah/.
Kata قدرة/qudrah/ mengalami proses penyerapan perubahan
fonemik dan morfemik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata
serapan ini tergolong sebagai kata serapan pergeseran (loanshift), sebab
di antara kedua kata itu sebagiannya mengalami perubahan pengucapan
maupun ejaan.
Secara semantik leksikal, kata ini dalam BA bermakna:
kemampuan; kekuasaan. Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan
makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘kemampuan atau kekuasaan’ kemudian mengalami perubahan makna
total menjadi ‘sifat bawaan yang melekat pada diri seseorang’.
10.
Fitrah
Kata fitrah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya
Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Entah mengapa akhwat begitu
suka berbagi tentang masalah-masalah pribadinya (Ya, ini mah
fitrah!).(hal 98)
519
Dalam BI, kata fitrah secara makna berarti: sifat asal; kesucian;
bakat; pembawaan (KBBI, 2008: 412). Kata tersebut merupakan kata
serapan dari bahasa Arab: فطرة/fitrah/.
Kata فطرة/fitrah/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami
perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini
tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword).
Secara semantik leksikal, kata فطرة/fitrah/ dalam BA bermakna:
suci (Manzhur, 1990: 3433). Dengan demikian, kata ini mengalami
perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna
‘suci’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi ‘sifat asal atau
bawaan’.
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat tiga jenis perubahan
makna dalam kosakata serapan BA ke dalam BI pada bidang keagamaan
yaitu perluasan makna (generalisasi), penyempitan makna (spesialisasi),
dan perubahan makna total. Namun dari ketiga jenis perubahan makna
tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah penyempitan makna.
Adapun jika dilihat dari jenis kata serapannya, kosakata serapan BA dalam
BI pada bidang keagamaan mayoritas tergolong ke dalam kata serapan
sebagian (loanbend), meskipun ditemukan jenis kata serapan lainnya
seperti kata serapan utuh dan kata serapan pergeseran.
DAFTAR PUSTAKA
A.Fillah, Salim. 2014. Agar Bidadari Cemburu Padamu. Yogyakarta: Pro-U
Media.
Azmi, Nurul. 2016.Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Aceh di Aceh
Besar (Kajian Sosiolinguistik). Tesis (Tidak Diterbitkan). UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Djajasudarma, Fatimah. Pengantar Semantik. Jakarta: Refika Aditama,
2003.
Field, Fedrick W. 1984. Linguistic Borrowing in Bilingual Context.
Amsterdam: John Benjamin Publishing Company.
Fromkin, Victoria, et al. 2009. An Introduction to Language. Boston:
Wadsworth Goddard, Clif.
520
Hadi, Syamsul, dkk. 2003. Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan dari
Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Humaniora Vol.15 No.
2 Juni.
Hockett, Charles F. 1965. A Course of Modern Linguistics. New York:
Maccmilan.
Mackey, William F. 1968. The Description of Billingualism, dalam Joshua A.
Fishman (ed). Reading in the Sociology of Language. The Hague:
Mouton & Company.
Manzhur, Ibnu.1990. Lisanul Al-Arab. Beirut: Dar Al-Ṣadr.
Munsyi, Alif Danya. 2003. 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Rabi’ah, Tatu Siti, dkk. 2017. Perubahan Makna Kata Serapan Bahasa Arab
dan Bahasa Inggris Pada Istilah Ekonomi. Diterbitkan dalam
buletin Al-Turats, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama,
Vol.XXIII No.2, Juli.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
521
HASIL DISKUSI SEMINAR
PERTANYAAN:
1. Bagaimana cara penulis menentukan tolok ukur bahwa kata-kata
yang didapat itu mengalami perubahan makna?
2. Mengapa penulis menggunakan kamus Munawwir dalam
mengetahui makna kata bahasa Arabnya?
3. Mengapa penulis menggunakan metode wawancara sebagai salah
satu metode bantu dalam mengetahui perubahan makna kata
tersebut?
JAWABAN:
1. Cara menentukan tolok ukur untuk mengetahui perubahan makna
kata-kata tersebut adalah dengan menggunakan Kamus dan
wawancara. Untuk makna kata bahasa Indonesia digunakan
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan untuk kata bahasa Arab
digunakan Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Adapun
wawancara digunakan untuk mengetahui konteks pemakaian
kata-kata tersebut di masyarakat sehingga dapat diketahui
maknanya saat ini.
2. Karena pada penelitian ini penulis baru mendapatkan kamus
tersebut. Namun, penulis hendak menggunakan kamus ekabahasa
Arab seperti Lisanul Arab atau Munjid.
3. Wawancara ini hanya dilakukan pada masyarakat Indonesia guna
memengetahui konteks penggunaan kata tersebut pada masa
sekarang sehingga kita bisa mengetahui apakah makna kata
tersebut berubah atau tidak. Karena jika dalam kamus (KBBI) saja
terkadang maknanya masih sesuai dengan waktu pembuatan
kamus tersebut sehingga tidak aktual dan ada pula beberapa kata
baru yang belum terdapat dalam kamus (KBBI).
522
KATA PENYUKAT DALAM BAHASA SASAK
Siti Wahyuni Sulistya Wulandari*
Universitas Gadjah Mada, Indonesia
*Email: wahyuni.sulistya9@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian yang berjudul Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak ini
menjelaskan tentang bentuk-bentuk kata penyukat yang digunakan oleh
suku Sasak pada saat berkomunikasi sehari-hari. Poin penting yang
dijelaskan dalam penelitian ini adalah bentuk kata penyukat dan fungsi
sintaksis kata penyukat. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini dibagi menjadi metode pengumpulan data, metode analisis,
dan metode penyajian data. Metode pengumpulan data yang digunakan
dalam adalah teknik simak, wawancara, dan catat. Adapun metode analisis
data yang digunakan adalah metode agih dengan teknik balik sedangkan
metode penyajian data yang digunakan adalah metode informal dengan
cara menjelaskan hasil penelitian secara deskriptif. Hal ini bertujuan
supaya pembaca dapat memahami bentuk-bentuk kata penyukat dengan
mudah dan baik. Hasil dari penelitian tentang kata penyukat ini adalah
adanya kata penyukat untuk manusia, untuk hewan, dan untuk benda.
Adapun fungsi sintaksis kata penyukat dalam bahasa Sasak adalah sebagai
keterangan yang menerangkan nomina berupa subjek.
Kata kunci: kata penyukat, bahasa Sasak
PENDAHULUAN
Pepatah Lombok pernah mengatakan sebuah ungkapan yang berbunyi
“lain gerupuk lain jaje, lain gubuk lain base” [laIn gərUpUk laIn jajə, laIn
gUbUk laIn basə] yang artinya beda gerupuk beda kue, beda gubuk beda
bahasa. Ungkapan pepatah tersebut telah membuktikan bahwa setiap
masyarakat yang tinggal di suatu wilayah pasti memiliki perbedaan
bahasa dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lainnya. Perbedaan
bentuk bahasa tersebut dapat berupa perbedaan struktur bahasa ataupun
perbedaan leksikon. Adanya perbedaan ini membuktikan bahwa
masyarakat memiliki cara berpikir yang berbeda dengan masyarakat
lainnya. Perbedaan cara berpikir masyarakat yang tercermin dalam
523
penggunaan bahasanya dapat dilihat pada bentuk-bentuk perbedaan kata
penyukat dalam komunikasi sehari-hari. Keraf (1996: 33) mengatakan
bahwa bagian bahasa yang paling menarik untuk dianalisis dan dikaji
secara mendalam adalah bentuk-bentuk bahasa tersebut. Bentuk bahasa
Sasak yang menarik untuk dikaji dan dianalisis salah satunya adalah
bentuk kata penyukat. Kridalaksana (1986: 20) menjelaskan bahwa kata
penyukat adalah kata bantu bilangan. Contoh, dalam bahasa Indonesia,
dikenal bentuk kata penyukat seperti dua ekor, dua lembar, dua helai, satu
gelas, dan sebagainya dalam bahasa Sasakpun dikenal bentuk-bentuk kata
penyukat untuk menyebutkan sesuatu. Contoh, due jeluang [duwə
jəluwaɳ], due buncut [duwə buncut], due tundun [duwə tundun], dan
sebagainya.
Pertama, bentuk frasa due jeluang [duwə jəluwaɳ] adalah bentuk kata
penyukat dalam bahasa Sasak yang berarti dua plastik. Bentuk kata
penyukat seperti ini biasanya digunakan untuk menjelaskan wadah
tempat penyimpanan suatu barang yang dijelaskan tersebut. Misalnya, due
jeluang ambon “dua plastik ambon”. Contoh kata penyukat lainnya yang
sejenis adalah due ember [duwə ɛmbɛr] “dua ember”, duwe karung [duwə
karUɳ] “satu karung”, due kemeq [duə kəmɛʔ] “dua kemek (wadah yang
terbuat dari tanah), dan telu lumur [təlu lumur] “tiga gelas”. Kedua, bentuk
frasa due buncut [duwə buncut] “dua ikat” ini digunakan untuk
menyebutkan cara mengikat suatu barang. Kata ini biasanya digunakan
untuk menjelaskan bawang merah, bawang putih, dan beragama makanan
yang disimpan dalam plastik dalam jumlah sedikit dan kemudian diikat.
Ketiga, kata penyukat due tundun [duwə tundun] “dua tangkai” ini
biasanya digunakan masyarakat Sasak untuk menjelaskan keadaan suatu
buah yang baru dipetik. Misalnya, ketika buah jambu dipetik utuh dua
tangkai dan dalam tangkai tersebut buahnya banyak, maka masyarakat
akan menyebutnya sebagai setundun “satu tangkai” buah jambu atau due
tundun. Penggunaan kata penyukat ini biasanya hanya untuk menjelaskan
tentang sesuatu untuk sesuatu tertentu. Maksudnya, kata penyukat due
karung pada bentuk due karung nyambuq [duwə karUɳ ɲambuʔ] “satu
karung jambu” tidak bisa diganti menjadi due buncut nyambuq. Namun,
ada juga penggunaan kata penyukat yang bisa digabung seperti bentuk due
karung buncut [duwə karUɳ buncut] “satu karung yang diikat”. Bentuk ini
bisa digunakan untuk menjelaskan nomina seperti beras misalnya
sehingga bunyinya akan menjadi araq due karung buncut beras nuqn [araʔ
duwə karUɳ buncut bəras nuʔən] “beras itu sejumlah satu karung ikat”.
Kata penyukat due karung buncut ini tidak bisa diubah atau dibalik
524
menjadi due buncut karung karena istilah kedua ini tidak berterima dalam
penggunaan bahasa Sasak sehari-hari.
Masyarakat suku Sasak yang menetap di wilayah Kecamatan Praya Timur
ini juga menggunakan kata penyukat yang berbeda untuk makhluk hidup,
seperti hewan dan manusia. Kata penyukat yang biasanya digunakan
untuk manusia adalah dengan [dəɳan] “orang, contohnya adalah sekeq
dengan [səkeʔ dəɳan] “satu orang”, due dengan [duwə dəɳan] “dua orang”
dan seterusnya. Adapun kata penyukat untuk hewan adalah dengan
menyebut nama hewan itu sendiri, misalnya telu sampi [təlu sampi] “tiga
ekor sapi”, telu bembeq [təlu bembeʔ] “tiga ekor kambing”, telu kao [təlu
kao] “tiga ekor kerbau” dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa masyarakat suku Sasak memiliki sejumlah perbendaharaan kata
penyukat untuk menerangkan benda yang berbeda di sekitarnya.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang
menjadi dasar penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kata penyukat
dalam bahasa Sasak dan bagaimana fungsi kata penyukat dalam bahasa
Sasak.
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Ramlan
dalam Kridalaksana (1986) membagi kelas kata menjadi 12, yaitu kelas
kata nominal, kata verbal, kata keterangan, kata bilangan, kata tambah,
kata penyukat, kata sandang, kata suruh, kata tanya, kata penghubung,
kata depan, dan kata seruan. Ramlan (1985) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kata penyukat adalah kata yang membentuk frasa
nomina yang posisinya berada di belakang kata bilangan, seperti kata
orang pada frasa dua orang, kata ekor pada frasa tiga ekor sapi, dan
sebagainya. Lubis (1954) menjelaskan lebih lanjut bahwa kata penyukat
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kata yang letaknya di
depan nomina dan belakang kata bilangan. Kata penyukat ini digunakan
untuk menunjukkan ukuran, harga, waktu, dan isi dari kata nomina yang
dijelaskan tersebut. Keraf (1989) menyebut kata penyukat sebagai kata
bantu bilangan yang menurutnya adalah kata tertentu yang digunakan
untuk menerangkan sifat atau macam barang yang digunakan oleh
penutur suatu bahasa. Adapun fungsi sintaksis menurut Chaer (2009:20)
adalah tempat-tempat atau kotak-kotak yang kedalamannya diisi oleh
kategori-kategori tertentu. Kotak tersebut adalah subjek (S), predikat (P),
objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket).
525
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Jenis Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak
1. Kata Penyukat Monomorfemis
1.1 Kata Penyukat untuk Manusia
Kata penyukat yang digunakan untuk manusia dalam bahasa Sasak hanya
satu, yaitu dengan [dəŋan] yang bermakna orang.
1.2 Kata Penyukat untuk Hewan
Kata penyukat yang digunakan untuk hewan dalam bahasa Sasak adalah
kata penyukat bentuk zero. Kata penyukat untuk hewan dalam bahasa
Indonesia biasanya digunakan istilah ekor, seperti pada bentuk satu ekor
sapi, namun dalam bahasa Sasak, ketika orang mengucapkan dua ekor sapi,
ucapannya akan berbentuk due sampi [duwə sampi]. Karena tidak adanya
kata penyukat yang digunakan untuk hewan dalam dialek Menu-Meni,
masyarakat biasanya menerangkan kata yang dimaksud, misalnya:
(1) araq due kelueqn teres nuqn
[araʔ duwə kəlueʔən tɛrɛs nuʔən]
/ada-dua-jumlahnya-semut-itu/
“semut itu jumlahnya ada dua”
1.3 Kata Penyukat untuk Benda
Kata penyukat yang banyak digunakan dalam bahasa Sasak adalah kata
penyukat untuk benda. Kata penyukat ini dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu kata penyukat untuk menyatakan jumlah, kata penyukat untuk
menyatakan ukuran, dan kata penyukat untuk menyatakan cara
(dilakukannya perbuatan). Masyarakat di Kecamatan Praya Timur
biasanya menggunakan berbagai benda sebagai kata penyukat, misalnya
due cangkir “dua cangkir” dan sebagainya. Berikut penjelasan lebih lanjut
mengenai bentuk-bentuk kata penyukat yang digunakan untuk benda:
1.3.1 Kata Penyukat untuk Menyatakan Jumlah
526
sidut [siduṭ] “sendok”
centong
[cɛnṭɔŋ]
“centong”
cangkir
[caŋkir]
“cangkir”
lumur [lumur] “gelas”
penyedok
[pəɲɛdɔk]
“gayung”
ember [ɛmbɛr] “ember”
timbaq [ṭimbaʔ] “timba”
boton [bɔṭɔn] “botol”
bong [bɔŋ] “gentong yang
terbuat dari tanah”
jeding [jədIŋ] “(wadah)
kamar mandi”
lingkoq [liŋkoʔ] “sumur”
senduk
[səndUk]
“sendok nasi”
karung [karUŋ]
tundun [tundun]
jeluang [jəluwaŋ]
kemeq [kəmeʔ]
kemeras [kəməras]
koboq [koboʔ]
sigon [sigɔn]
lembar
“lembar”
tolang [tɔlaŋ]
biji [biji] “biji”
[ləmbar]
527
1.3.2 Kata Penyukat untuk Menyatakan Ukuran
jengkak [jəŋkak] “
lengkaq [lɛŋkaʔ] “langkah”
meter [mɛtər] “meter”
are [arə] “are”
hektar [hɛktar] “hektar”
depe [dəpə]
1.3.3 Kata Penyukat untuk Menyatakan Cara (dilakukan)
Colet [cɔlɛt]
Jeput [jəput]
Suap [suwap] “suap”
Buncut [buncut]
Penendos [pənendɔs]
Lembah [lɛmbah]
Banten [bantən] “ikat”
1.3.4 Kata Penyukat untuk Menyatakan waktu
Kata penyukat untuk menyatakan waktu dalam bahasa Sasak ditemukan
sejumlah 6 kata.
Jam [jam] “jam”
Menit [məniṭ] “menit”
Jelo [jəlo] “hari”
Setameng [sətaməŋ] “pekan”
Bulan [bulan] “bulan”
Taun [tawun] “tahun”
2. Kata Penyukat Polimorfemis
Due karung buncut
Due piring mojok
Due jeluwang buncut
b. Fungsi Sintaksis Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak
Kata penyukat dalam bahasa Sasak hanya berfungsi sebagai keterangan
atau atribut kata yang dijelaskannya. Berikut contohnya:
(2) Nyambuq nuqn araq due tundun kelueqn
S
V K
Pel
w
w
[ɲambuʔ nuʔən araʔ du ə tundun kəlu eʔən]
/jambu itu-ada-dua-tangkai-banyaknya/
“Jambu itu ada dua tangkai”
(3) Araq due karung buncut parengko
528
V
K
O (s)
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui
bahwa kata penyukat dalam bahasa Sasak berbentuk monomorfemis dan
polimorfemis. Namun, bentuk polimorfemis yang ditemukan tidak banyak
karena hanya beberapa bentuk kata penyukat yang bisa digabungkan
sedangkan sisanya tidak bisa. Adapun fungsi sintaksis kata penyukat
tersebut adalah berfungsi keterangan karena kata penyukat bersifat
menerangkan nomina yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chedo, Saveeyah. 2013. “Kata Penyukat dalam Bahasa Melayu Patani Thailand
Selatan”. Tesis. Yogyakarta: FIB UGM.
Keraf, Gorys. 1989. Tatabahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah.
.1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Madong. 1954. Pramasastra Landjut. Medan: Pustaka Penggemar Oriza
Sativa.
Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.
Maryani, Zulisih. 2011. “Kata Penyukat dalam Bahasa Indonesia”. Tesis.
Yogyakarta: FIB UGM.
M. Ramlan. 1985. Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta:
Andi Offset.
Pertanyaan
Waktu saya presentasi, tidak ada pertanyaan yang ditujukan untuk saya.
529
REGISTER PEDAGANG GAWAI (HP) DI PASAR SENTRA
ANTASARI
Register Traders Hand Phone In The Antasari Sentra Market
Sri Wahyu Nengsih
nengsihmey11@gmail.com
Balai Bahasa Kalimantan Selatan
Jalan A. Yani Km 32, 2, Loktabat, Banjarbaru
ABSTRAK
Pasar Sentra Antasari merupakan pasar campuran tradisional dan modern
di kota Banjarmasin. Para penjual dan pembeli dari berbagai kelas sosial
bertemu bertransaksi menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian
menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih
dominan dipakai dalam transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai
bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh para pedagang gawai (hp)
dalam berkomunikasi dengan sesama pedagang gawai di pasar itu. Tidak
bisa dipungkiri adanya register para pedagang gawai (hp) di Sentra
Antasari itu. Register merupakan ragam bahasa berdasar pemakaiannya,
misalnya pedagang memiliki jenis dan fungsi register lain yang berbeda
dengan profesi lain. Oleh karena itu, tujuan kajian ini untuk mengetahui
dan menjelaskan jenis dan fungsi register yang digunakan oleh pedagang
gawai di pasar Sentra Antasari. Kajian ini menggunakan metode agih
menentukan objek bahasa yang diteliti dan dianalisis secara deskripsi
untuk menggambarkan situasi yang terjadi. Data diperoleh melalui teknik
rekam dan wawancara. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga
jenis register yang digunakan meliputi ragam intimate, dan casual.
Kemudian, fungsi register yang digunakan meliputi fungsi informative, dan
interaktif. Simpulan yang dapat diperoleh bahwa pedagang gawai di pasar
Sentra Antasari menggunakan jenis dan fungsi register tertentu
berdasarkan ragam situasi.
Kata kunci: variasi bahasa, register, dan pedagang
Antasari Sentra Market is a traditional and modern mixed market in
Banjarmasin city. Sellers and buyers from various social classes meet
transacted in Banjar, and some use Indonesian. The use of the more
dominant Banjar language used in the sale and purchase transactions.
530
Uniquely, there are various special languages used by gang traders (hp) in
communicating with fellow traders in the market. Can not be denied the
register of the traders ghost (hp) at Sentra Antasari it. Register is a variety
of language based on usage, for example, traders have the type and
function of other registers are different from other professions. Therefore,
the purpose of this study is to know and explain the type and function of
the registers used by the traders of the gateway in the Antasari Sentra
market. This study uses a method of determining the object of the language
studied and analyzed in descriptions to describe the situation. Data
obtained through recording techniques and interviews. The results of the
analysis show that there are three types of registers that are used include
intimate, and casual. Then, the register functions used include informative,
and interactive functions. The conclusion can be obtained that the trader
of the gateway in the Antasari Sentra market uses the type and function of
a particular register based on various situations.
Keywords: language variations, registers, and merchants
PENDAHULUAN
Bahasa dalam masyarakat cenderung tidak seragam. Bahasa
digunakan oleh penutur untuk berinteraksi dalam beragam situasi. Tidak
ada batasan dalam pemakaian bahasa pada tempat, waktu, dan berbagai
situasi. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaiannya
yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium
pembicaraan. Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur
menguasai perbedaan ragam bahasa.
Pada situasi tertentu, bahasa dapat bersifat causal comparatif,
yaitu sifat bahasa selain sebagai penyatu kelompok masyarakat sekaligus
menjadi pembeda yang mencirikan identitas suatu kelompok. Pemakaian
bahasa oleh kelompok pedagang gawai yang memiliki variasi sapaan yang
cenderung khas yang berbeda dengan pedagang lain. Dapat dikatakan,
pedagang gawai memiliki variasi register khas yang membedakannya dari
pedagang yang lain. Register termasuk variasi bahasa.
Register
menunjukkan ketidakseragaman bahasa yang ada di masyarakat .
Register bahasa pedagang gawai di Kalimantan Selatan, antara lain
dapat dijumpai di Pasar Sentra Antasari. Pasar Sentra Antasari merupakan
pasar campuran tradisional dan modern di kota Banjarmasin. Para penjual
531
dan pembeli dari berbagai kelas sosial bertemu bertransaksi
menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian menggunakan bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih dominan dipakai dalam
transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai bahasa-bahasa khusus
yang digunakan oleh para pedagang gawai dalam berkomunikasi dengan
sesama pedagang gawai di pasar itu. Tidak bisa dipungkiri adanya register
para pedagang gawai di Sentra Antasari itu.
Kajian pemakaian bahasa dilakukan oleh beberapa peneliti, di
antaranya Hadi (2009) yang meneliti sugesti persuasif dalam tindak tutur
pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang. Dia menunjukkan bahwa
sugesti persuasif digunakan pedagang kaki lima untuk memunculkan bukti
dan kepercayaan melalui tekanan nada suara dan intonasi kalimat.
Penelitian sejenis juga dilakukan Lestari (2011) terhadap pengamen
sebagai kelompok profesi di Surakarta. Dia memaparkan pola interaksi
verbal atau karakteristik pemakaian bahasa yang digunakan para
pengamen dalam kegiatan mengamen dan berkomunikasi sehari-hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamen memiliki bahasa
khas/register yang tidak dimiliki masyarakat lain. Pola interaksi verbal
(baik komunikasi yang sifatnya internal, eksternal, maupun campuran)
dapat berwujud bahasa campuran Jawa–Indonesia ragam nonformal.
Pemakaian variasi register di media cetak diteliti Dian (2016).
Paparannya menunjukkan bahwa penggunaan register dalam bahasa tulis,
khususnya artikel-artikel publik dalam koran sangat banyak dan
memberikan tambahan informasi serta wawasan bagi para pembaca jika
penulis dapat menampilkan sebuah register secara utuh. Selain itu,
ditemukan beberapa penulis yang kurang mempertimbangkan dan kurang
memiliki kepekaan pada pembaca media yang heterogen kompetensinya
dimana artikelnya dimuat. Seorang penulis semestinya sudah memahami
kondisi kompetensi wawasan dari segmen pembaca media yang akan
memuat artikelnya.
Rumusan masalah penelitian ini adalah Apa jenis register yang
digunakan oleh pedagang gawai
di pasar Sentra Antasari, dan
bagaimanakah fungsi register itu digunakan oleh pedagang gawai di pasar
Sentra Antasari?
Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) menentukan jenis register yang
digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari; (b) menjelaskan
532
fungsi register tersebut digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra
Antasari
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dan metode agih digunakan untuk
mengumpulkan data, sedangkan data dianalisis secara deskriptif. Metode
agih menentukan objek bahasa yang diteliti berasal dari bahasa itu sendiri
(Sudayanto, 2015:19). Metode agih lebih bersifat survei yang
mengakumulasi data dasar dari suatu subjek, kemudian membahas data
itu secara analitis sehingga menemukan jalan keluar untuk fenomena yang
ada dalam subjek itu. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin. Data penelitian ini berupa ujaran lisan dalam percakapan
antar pedagang gawai yang direkam. Kemudian, data lisan ditranskripsi ke
bentuk tulis, diklasifikasi, dan dianalisis untuk menentukan jenis serta
fungsi register.
Chaer dan Leonie (2010:61) menyatakan bahwa munculnya ragam
bahasa atau variasi bahasa disebabkan penutur bahasa dalam masyarakat
tutur bukan kumpulan manusia yang homogen sehingga wujud bahasa
yang konkret yang disebut parole menjadi tidak seragam. Terjadinya
keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya penuturnya yang
tidak homogen tetapi juga karena keragaman bahasa itu. Keragaman ini
pun akan bertambah jika bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang
sangat banyak serta dalam wilayah yang sangat luas.
Variasi bahasa timbul karena pemakaian topik yang dibicarakan serta
medium pembicaraan yang berbeda. Penggunanya mengikuti sistem sosial
dan sistem komunikasi yang ada dan berlaku di tengah masyarakat serta
bahasa sebagai media komunikasinya. Keragaman tersebut terjadi pada
transaksi jual beli, memungkinkan munculnya variasi baru yang
mempunyai corak-corak makna selingkung.
Seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dalam
masyarakat tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu,
bahasa dan penuturnya tidak diamati secara individual tetapi
dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat atau dipandang
secara sosial. Secara sosial, bahasa dan pemakaiannya dipengaruhi oleh
faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Faktor linguistik yang
memengaruhi bahasa dan penuturnya terdiri atas fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik. Selain itu, faktor nonlinguistik yang
memengaruhinya terdiri atas faktor sosial dan faktor situasional. Faktor
sosial yang memengaruhi bahasa dan penuturnya terdiri atas status sosial,
533
tingkat pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Faktor situasional yang
memengaruhi bahasa dan pemakainya terdiri atas siapa yang berbicara,
dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa (Suwito,
1996:26).
Variasi bahasa adalah bagian-bagian atau varian (geografi, medium,
dan topik bicara) dalam bahasa berpola menyerupai pola umum bahasa
induknya. Chaer dan Leonie (2010:81) membedakan variasi bahasa
berdasarkan kriteria a)latar belakang geografi dan sosial penutur, b)
medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan.
Register adalah satu variasi dalam tutur yang dipergunakan oleh
sekelompok orang tertentu yang disesuaikan dengan profesi dan
perhatian yang sama. Satu register yang khusus dapat dibedakan dari
register yang lain. Register ditentukan oleh pelibat bicara, medan makna
yang dicocokkan dengan profesi dan perhatian, dan sarana yang
digunakan. Misalnya, register dokter, register petani atau pertanian,
register pendidikan (Parera, 1993:53).
Register adalah variasi bahasa yang munculnya variasi oleh berbagai
faktor yang memengaruhinya. Halliday (1994:25) mengemukakan bahwa
register adalah bahasa yang dipergunakan saat ini, bergantung pada apa
saja yang sedang dikerjakan. Selain itu, sifat kegiatannya mencerminkan
aspek lain dari tingkat sosial yang biasanya melibatkan orang. Register
dibagi menjadi dua bentuk, yaitu register selingkung terbatas dan register
selingkung terbuka. Register selingkung maknanya, sifatnya, dan jumlah
katanya terbatas sehingga berita yang disampaikan pun terbatas. Register
ini tidak mempunyai tempat secara konkret dalam masyarakat maupun
dalam tataran individu dan kreativitas karena sudah jarang dipakai.
Register selingkung terbuka bercorak makna lebih terbuka, seperti pada
bahasa tidak resmi atau percakapan spontan. Namun, register ini tidak
memiliki tingkatan tertentu serta ditujukan secara langsung berdasarkan
situasi tutur saat itu (Halliday, 1994:53--55). Hudson (1996:24)
menyatakan bahwa register as varieties according to user ‘register adalah
variasi bahasa berdasarkan penggunaanya’.
Spolsky (1998:33) mengemukakan bahwa register is variety
associated with a specific function ‘register adalah variasi bahasa yang
dihubungkan dengan fungsi khusus.’ Register dapat timbul karena dua hal,
yaitu a) timbul karena kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan
534
profesi dan b) timbul karena aktivitas dan profesi sosial yang sama. Dalam
hal ini, bahasa pedagang buah termasuk dalam register yang timbul karena
aktivitas dan profesi sosial yang sama. Hal ini dapat dilihat dari
komunikasi para pedagang buah di lingkungan sosial kelompok tersebut.
Pateda (1987:60) menjelaskan bahwa register adalah ragam
pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang yang
dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu a) Oratorical atau frozen
(baku), yaitu register yang digunakan oleh pembicara yang profesional
karena pola dan kaidahnya sudah mantap, biasanya digunakan pada
situasi yang khidmad, seperti pada mantra, undang-undang, kitab suci, dan
lain sebagainya. b) Deliberative atau formal, yaitu register yang digunkan
pada situasi resmi sesuai dengan tujuan untuk memperluas pembicaraan
yang disengaja, misalnya pidato kenegaraan. c) Consultative atau usaha,
yaitu register yang digunakan dalam transaksi kenegaraan dan
peminangan. d)Casual atau santai, yaitu register yang digunakan dalam
situasi tidak resmi. Ragam ini banyak menggunakan allegro, yaitu bentuk
kata yang diperpendek. e) Intimate atau intim, yaitu register yang
digunakan pada situasi antaranggota keluarga.
Nababan (1991:42) menyebutkan bahwa fungsi register antara lain
a) fungsi instrumental, yaitu bahasa yang berorientasi pada pendengar
atau lawan tutur. Bahasa yang digunakan untuk mengatur tingkah laku
pendengar sehingga lawan tutur mau menuruti atau mengikuti apa yang
diharapkan penutur atau penulis. Hal ini dapat dilakukan oleh penutur
atau penulis dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang menyatakan
permintaan, himbauan, atau rayuan; b)fungsi interaksi, yaitu fungsi
bahasa yang berorientasi pada kontak antara pihak yang sedang
berkomunikasi. Register dalam hal ini berfungsi untuk menjalin dan
memelihara hubungan serta memperlihatkan perasaan bersahabat atau
solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah
berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, berkenalan, menanyakan
keadaan, meminta pamit, dan lain sebagainya;c) fungsi kepribadian atau
personal, yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada penutur. Bahasa
digunakan untuk menyatukan hal- hal yang bersifat pribadi. Dalam hal-hal
yang berkaitan dengan dirinya; d) fungsi pemecah masalah atau heuristik,
yaitu fungsi pemakaian bahasa yang terdapat dalam ungkapan yang
meminta, menurut, atau menyatakan suatu jawaban terhadap masalah
atau persoalan. Bahasa yang digunakan biasanya sebagai alat untuk
535
mempelajari segala hal, menyelidiki realitas, mencari fakta, dan
penjelasan. Ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam fungsi ini berupa
suatu pertanyaan yang menuntut penjelasan atau penjabaran, misalnya
“coba terangkan!”, “bagaimana proses kerja...?” dan sebagainya; e) fungsi
hayal atau imajinasi, yaitu fungsi pemakaian bahasa yang berorientasi
pada amanat atau maksud yang akan disampaikan. Bahasa dalam fungsi
ini digunakan untuk mengungkapkan dan menyampaikan pikiran atau
gagasan dan perasaan penutur atau penulis; dan f) fungsi informasi, yaitu
pemakaian bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk memberi suatu berita
atau informasi supaya dapat diketahui orang lain.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Register bahasa pedagang gawai di Kalimantan Selatan antara lain
dapat dijumpai di Pasar Sentra Antasari. Pasar Sentra Antasari merupakan
pasar campuran tradisional dan modern di kota Banjarmasin. Para penjual
dan pembeli dari berbagai kelas sosial bertemu bertransaksi
menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian menggunakan bahasa
Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih dominan dipakai dalam
transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai bahasa-bahasa khusus
yang digunakan oleh para pedagang dalam berkomunikasi dengan sesama
pedagang di pasar itu. Ada beragam pedagang di Sentra Antasari. Tidak
bisa dipungkiri adanya register para pedagang di Sentra Antasari itu.
Pada bagian pembahasan ini hanya disajikan contoh ujaran yang
dianggap mewakili pemakaian register yang digunakan oleh para penjual
berkomunikasi dengan sesama penjual gawai di pasar Sentra Antasari. Hal
tersebut dilandasi bahwa variasi bahasa yang digunakan cenderung sama
pada aktivitas pemakaian bahasa yang sejenis. Oleh sebab itu, variasi
register yang digunakan kelompok penjual akan tampak perbedaannya
dengan kelompok profesi lainnya.
Berikut adalah ujaran yang mengandung register yang digunakan
pedagang gawai di pasar Sentra Antasari:
1) Pj 1: Kayapa sidin tadi?Pina masam lalu muha kam.
‘Bagaimana pembeli tadi? Wajahmu seperti masam sekali’
Pj 2: Haduh pahit lalu barangnya.
‘Aduh orang itu pelit’
536
Dari ujaran (1) terdapat pemakaian register oleh pedagang di pasar
Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata pahit ‘pahit’. Kata pahit ‘pahit’
dalam arti biasa lazim identik dengan rasa. Namun, pahit ‘pahit’ disini
berarti menyatakan pembeli yang orangnya pelit tidak mau kurang lebih
dengan pedagang.
Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis casual
atau santai yaitu register yang digunakan pada saat berbincang dalam
situasi tidak resmi. Register tersebut berfungsi interaksi, yaitu kontak
antara sesama penjual gawai. Register itu hanya digunakan untuk
mengungkapkan mengenai pembeli yang pelit.
2) Pj 1: Aduh Damai lalu hari ini julak
‘Tidak ada barang yang laku hari ini’
Pj 2 : Sabar aja nak ae
‘Sabar aja nak’.
Dari ujaran (2) terdapat pemakaian register oleh pedagang di pasar
Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata damai ‘tidak ada barang dagangan
yang laku’. Kata damai ‘tidak ada barang dagangan yang laku’dalam arti
biasa lazim identik dengan suasana damai. Namun, kata damai disini
berarti menyatakan ‘tidak ada barang dagangan yang laku’.
Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis casual
atau santai yaitu register yang digunakan pada saat berbincang dalam
situasi tidak resmi. Register tersebut berfungsi interaksi, yaitu kontak
antara sesama penjual gawai. Register itu hanya digunakan untuk
mengungkapkan ketika ‘tidak ada barang dagangan yang laku’.
3) Pj 1: Kayapa barang nang samalam julak
‘Bagaimana barang yang kemarin paman’
Pj 2: Bagus banar tambus jua akhirnya nak.
‘Bagus sekali bisa juga akhirnya terjual barang ini (barang yang
biasanya tidak laku)’
Dari ujaran (3) terdapat pemakaian register oleh pedagang gawai di
pasar Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata tambus ‘terjual (barang yang
biasanya tidak laku)’. Kata tambus ‘dalam arti biasa lazim identik dengan
keadaan tembus. Namun, kata tambus disini berarti menyatakan ‘terjual
(barang yang biasanya tidak laku)’.
Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis
intimate, yaitu kontak antara sesama penjual dengan menggunakan
sapaan kekeluargaan. Register tersebut berfungsi Register itu sebagai
537
informasi digunakan untuk mengungkapkan pemberitahuan ‘terjualnya
(barang yang biasanya tidak laku)’.
Berdasarkan hasil pembahasan, register yang digunakan oleh
pedagang gawai di pasar Sentra Antasari sebagai ungkapan yang
bertujuan untuk komunikasi khusus antar pedagang gawai. Hal itu
merupakan salah satu usaha untuk menjalin keakraban dan komunikasi
khusus pedagang gawai dengan kata yang memiliki makna berbeda dari
makna kata yang lazim.
SIMPULAN
Pedagang gawai di pasar Sentra Antasari menggunakan register
dalam transaksi jual beli sebagai salah satu bentuk variasi bahasa akibat
dari proses atau hasil dari pemakaian kata, frasa, atau klausa khusus yang
berkaitan ragam komunisasi dalam jual beli. Dalam transaksi jual beli
tersebut terdapat beberapa jenis register yang digunakan, yaitu, casual
atau santai, dan intimate atau intim. Kemudian, register yang digunakan
dalam transaksi jual beli oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari
berfungsi interaktif, dan informatif. Hal tersebut erat kaitannya dengan
tujuan penjual, yaitu menjalin keakraban dan komunikasi khusus
pedagang gawai.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal
(Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dian. L. 2016. ”Penggunaan Variasi Register dalam Artikel di Media Massa
Cetak.” Dalam http:linguistikid.co.id/2016/07/html. Linguistik. id
Portal Ilmu Bahasa. Edisi Juli 2016. (unduh, 4 Januari 2017).
Hadi, Imron. 2009. ‘Sugesti Persuasif dalam Tindak Tutur Pedagang Kaki
Lima dai Pasar Raya Padang.“ Dalam Salingka. Volume 6, Nomor
1, Juni 2009. Hlm: 1—7.
Halliday, M.A.K. 1994. On language and Linguistic. New York: Continuum.
Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics (3rd edition). Great Britain: Cambridge
University Press.
Lestari, Prembayun Miji. 2011. “Register Pengamen: Studi Pemakaian
Bahasa Kelompok Profesi di Surakarta”. Skripsi. Universitas
Negeri Semarang.
Nababan, P. W. J. 1991. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
538
Parera, J.D. 1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Spolsky, Bernard. 1998. Sosiolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Suwito. 1996. Sosiolinguistik. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret
Press.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan:
1. Register yang digunakan pedagang gawai di pasar Sentra Antasari
apakah khusus digunakan pedagang gawai di situ? (Siren dari
Yogya)
2. Mengapa Anda melakukan penelitian ditujukan kepada pedagang
gawai di pasar Sentra Antasari? (Tri dari NTB)
3. Kata kekerabatan dalam sebuah tuturan register apakah
berpengaruh dalam menentukan fungsi register pedagang gawai?
(Risa dari Kalsel)
Jawab:
1. Saya mengambil lokasi penelitian hanya di pasar Sentra Antasari
yang kebetulan di lantai dasar pasar itu banyak terdapat pedagang
gawai. Saya belum dapat memastikan apakah register pedagang
gawai di pasar Sentra Antasari berbeda dengan pedagang gawai di
pasar lain. Selanjutnya, penelitian yang saya lakukan bila
memungkin dapat lebih luas lagi lokasinya dan mungkin akan
dibandingkan dengan pedagang gawai di pasar lain di wilayah
Kalimantan Selatan.
2. Pasar Sentra Antasari merupakan salah satu pasar yang unik di
Banjarmasin. Unik karena pasar itu pesar perpaduan pasar
modern dan tradisional. Kebetulan para pedagang gawai di Sentra
Antasari ini banyak berada di lantai dasar yang sekaligus pintu
masuk ke sentra pasar modern. Saya menemukan komunikasi
para pedagang gawai di pasar ini dominan masih menggunakan
bahasa Banjar sehingga dapat memudahkan menemukan register
pedagang gawai dalam bahasa Banjar.
539
3. Tentu saja kata sapaan kekerabatan sangat menentukan fungsi
sebuah register pedagang gawai.
Sapaan kekeluargaan
menunjukkan kehangatan keakraban dalam sebuah komunikasi
yang dilakukan pedagang gawai kepada mitra tuturnya.
540
INVENTARISASI PADANAN ISTILAH ASING MUTAKHIR DALAM
BAHASA INDONESIA: SEBUAH PENGAMATAN AWAL8
Sudaryanto, Hermanto, dan Dedi Wijayanti
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Ahmad Dahlan
Pos-el: sudaryanto82uad@gmail.com
ABSTRAK
Di dalam pertumbuhan dan perkembangan alamiah bahasa nasional
(bahasa Indonesia), kontak budaya antarbangsa mengakibatkan pula
kontak bahasanya sehingga pengaruh bahasa lain masuk ke dalam bahasa
nasional. Sejak awal tarikh Masehi, bahasa Melayu menyerap banyak
bahasa asing yang membuat bahasa itu lebih lengkap dan kaya. Tercatat
beribu-ribu kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, dan
Inggris. Ada tiga cara pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia,
yaitu penerjemahan, penyerapan, dan gabungan antara penerjemahan dan
penyerapan. Hal ini tercantum di dalam Pedoman Umum Pembentukan
Istilah. Sementara itu, di dalam buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan
Asing (terbitan Pusat Bahasa, 2008), tercatat sekitar 5.800 padanan istilah
asing yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia dan diidentifikasi ke
dalam delapan bidang usaha. Kedelapan bidang usaha itu, yaitu (1) bisnis
dan keuangan, (2) pariwisata, (3) olahraga, (4) properti, (5) perhubungan
dan komunikasi, (6) industri, (7) kecantikan dan perlengkapan pribadi,
serta (8) informasi dan elektronika. Padanan istilah asing mutakhir dalam
bahasa Indonesia rutin diterbitkan oleh Badan Bahasa melalui infografik
“Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”.
Kata kunci: inventarisasi, padanan istilah, bahasa asing, bahasa Indonesia
8
Publikasi ini merupakan luaran (output) dari penelitian yang sedang kami jalankan
dengan judul “Inventarisasi Padanan Istilah Asing Mutakhir dalam Bahasa Indonesia
sebagai Sarana Pengenalan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Yogyakarta” dan
didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kemristekdikti Tahun 2018, dengan nomor kontrak PDP029/SKPP/III/2018.
541
“... bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa
Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja
dalam masjarakat Indonesia.”
─Ki Hadjar Dewantara, dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan,
1954
PENDAHULUAN
Ungkapan Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana dikutip di muka
tulisan ini, benar adanya. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu
yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia terdiri atas beragam suku bangsa, agama,
keyakinan, dan sebagainya sehingga bisa dikatakan masyarakat
multikultural. Di dalam pertumbuhan dan perkembangan alamiah bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, kontak budaya antarbangsa atau
antarsuku bangsa mengakibatkan pula kontak bahasanya sehingga
pengaruh bahasa lain masuk ke dalam bahasa Indonesia. Dengan istilah
lain, bahasa Indonesia dan bahasa lain (baca: bahasa daerah dan bahasa
asing) saling berpengaruh dan berinteraksi satu sama lain, dan hal itu
terjadi sejak lama.
Sejak awal tarikh Masehi, bahasa Melayu menyerap banyak bahasa
asing yang membuat bahasa itu lebih lengkap dan kaya. Tercatat beriburibu kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, dan Inggris.
Sebagai contoh, kata ilmuwan yang berasal dari gabungan kata ilmu
(bahasa Arab) dan -wan (bahasa Sanskerta) (Jones, 2008: 119). Contoh
lainnya, kata preman yang berasal dari bahasa Belanda, vrijman, artinya
‘orang sipil’, ‘warga negara bebas’, ‘penjahat’, ‘bandit’, ‘brandal’ (Jones,
2008: 250). Melalui dua contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa kosakata
bahasa Indonesia lebih diperkaya dengan kosakata-kosakata bahasa asing.
Terkait itu, tulisan ini berfokus kepada upaya inventarisasi padanan
istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia. Pemadanan istilah asing ke
dalam bahasa Indonesia, dan jika perlu ke salah satu bahasa serumpun,
dilakukan lewat tiga cara, yaitu (1) penerjemahan, (2) penyerapan, dan (3)
gabungan penerjemahan dan penyerapan (lihat Pedoman Umum
Pembentukan Istilah/PUPI Edisi Ketiga, 2007). Secara berurutan, di bawah
ini uraian tentang tiga cara pemadanan istilah dan contoh kosakata-
542
kosakatanya, serta sejumlah infografik dari Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dan/atau Kantor/Balai Bahasa tentang
padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia. Tulisan ini akan
diakhiri dengan kesimpulan.
TIGA CARA PEMADANAN ISTILAH ASING
Ada tiga cara pemadanan istilah asing dalam bahasa Indonesia, yaitu
(1) penerjemahan, (2) penyerapan, dan (3) gabungan antara
penerjemahan dan penyerapan. Penerjemahan terbagi menjadi dua jenis,
yaitu (1) penerjemahan langsung dan (2) penerjemahan dengan perekaan.
Contoh kosakata penerjemahan langsung berdasarkan kesesuaian makna,
tetapi bentuknya tidak sepadan, supermarket menjadi pasar swalayan.
Contoh kosakata penerjemahan dengan perekaan, catering menjadi jasa
boga.
Selanjutnya, penyerapan terbagi menjadi empat jenis, yaitu (1)
penyerapan dengan penyesuaian ejaan dan lafal, (2) penyerapan dengan
penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, (3) penyerapan tanpa
penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, dan (4) penyerapan
tanpa penyesuaian ejaan dan lafal. Contoh kosakata penyerapan dengan
penyesuaian ejaan dan lafal, camera [kæməra] menjadi kamera [kamera].
Contoh kosakata penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa
penyesuaian lafal, design [disəīn] menjadi desain [desain]. Contoh
kosakata penyerapan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian
lafal, nasal [neīsəl] menjadi nasal [nasal]. Dan, contoh kosakata
penyerapan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal, allegro moderato (bahasa
Italia), esprit de corps (bahasa Perancis), dan Aufklärung (bahasa Jerman).
Terakhir, gabungan antara penerjemahan dan penyerapan. Istilah
bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan menerjemahkan dan menyerap
istilah asing sekaligus. Contohnya, bound morpheme menjadi morfem
terikat, clay colloid menjadi koloid lempung, dan subdivision menjadi
subbagian.
INFOGRAFIK PADANAN ISTILAH ASING-INDONESIA
Badan Bahasa dan/atau Balai/Kantor Bahasa rutin menerbitkan
infografik padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Infografik
tersebut memiliki nama rubrik “Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”.
Rubrik “Padanan Istilah” langsung menampilkan kosakata asing dan
543
padanannya dalam bahasa Indonesia, tanpa menyertakan konteks
kalimatnya. Sedangkan rubrik “Kata Kita Pekan Ini” menampilkan
kosakata asing dan padanannya dalam bahasa Indonesia disertai konteks
kalimatnya.
Perhatikan sejumlah infografik (Gambar 1 s.d. 5) di bawah ini
Gambar 1
Infografik “Padanan Istilah” Subtitle
Gambar 2
Infografik “Padanan Istilah” Error
544
Gambar 3
Infografik “Padanan Istilah” Powerbank
Gambar 1, 2, dan 3 merupakan contoh infografik padanan istilah
asing mutakhir ke dalam bahasa Indonesia. Contohnya, kosakata subtitle
menjadi sulih teks, error menjadi galat, dan powerbank menjadi bank daya.
Ketiga padanan istilah itu layak dimasukkan ke dalam sebuah glosarium
istilah asing-Indonesia mutakhir.
Gambar 4
Infografik “Kata Kita Pekan Ini” Lini Masa
545
Gambar 5
Infografik “Kata Kita Pekan Ini”
Gambar 4 dan 5 merupakan contoh infografik padanan istilah asing
mutakhir dalam bahasa Indonesia. Kosakata “lini masa” dan “tagar”
(akronim dari tanda pagar) menjadi padanan kosakata bahasa Inggris,
timeline dan hashtag. Kedua padanan istilah itu juga layak dimasukkan ke
dalam sebuah glosarium istilah asing-Indonesia mutakhir.
Sejauh ini, Pusat Bahasa (kini Badan Bahasa) telah menerbitkan
buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing yang berisikan sekitar
5.800 kata, yang digunakan dalam delapan bidang usaha. Kedelapan
bidang usaha itu meliputi (1) bisnis dan keuangan, (2) pariwisata, (3)
olahraga, (4) properti, (5) perhubungan dan komunikasi, (6) industri, (7)
kecantikan dan perlengkapan pribadi, dan (8) informasi dan elektronika.
SIMPULAN
Padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia perlu terus
disosialisasikan, baik oleh Badan Bahasa maupun oleh masyarakat umum.
Badan Bahasa dapat menyosialisasikan padanan istilah asing melalui
infografik “Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”. Sementara itu,
masyarakat umum dapat menyusun sebuah glosarium istilah asingIndonesia mutakhir, seperti yang sedang kami lakukan saat ini.
546
DAFTAR PUSTAKA
Jones, Russell (ed.). 2008. Loan-Words in Indonesian and Malay. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan KITLV-Jakarta.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2007. Pedoman Umum
Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Sugono, Dendy, dkk. 2008. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan
1. Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana (FIB UGM)
Badan Bahasa sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi masalah
bahasa bekerja secara preskriptif. Badan Bahasa banyak merilis
padanan istilah asing-Indonesia, tetapi masyarakat Indonesia ada yang
bisa memakai dan ada yang tidak memakai padanan tersebut. Banyak
padanan istilah asing-Indonesia yang kurang populer di masyarakat
Indonesia, seperti sangkil dan mangkus.
2. Hari Nugroho (FIB UGM)
Apakah kata-kata asing di majalah teknologi atau TIK tidak digunakan?
Menurut saya, majalah teknologi atau TIK sepertinya banyak memuat
kata-kata asing, khususnya bahasa Inggris.
3. Apriana Nugraheni (FIB UGM)
Apakah penelitian yang sedang Bapak lakukan ini dibatasi tahun
pengambilan datanya?
Jawaban
1. Terima kasih atas saran atau masukan ini, Pak Putu Wijana. Baik, kami
akan coba tindaklanjuti tentang kemungkinan adanya padanan istilah
asing-Indonesia yang kurang populer di kalangan masyarakat
Indonesia.
2. Kami gunakan juga majalah teknologi atau TIK sebagai salah satu
pertimbangan dalam upaya menginventarisasi padanan istilah asingIndonesia.
3. Ya, kami batasi paling tidak 2—3 tahun ke belakang (2015).
547
INTERJEKSI DALAM NOVEL SI BOY FEAT LASKAR NGGATHELI
SEBUAH NOVEL BOSO SUROBOYOAN SING TERINSPIRASI KISAH
½ NYATA
Tri Winiasih
Balai Bahasa Jawa Timur
wiiwiin@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini membahas penggunaan interjeksi dalam novel berbahasa
Suroboyoan. Secara khusus, tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan
distribusi dan fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli:
Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing Terinspirasi Kisah ½ Nyata. Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik dokumentasi. Sumber data berasal dari dialogdialog berbahasa Jawa Suroboyoan yang mengandung interjeksi yang
dilakukan oleh tokoh dalam novel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
distribusi interjeksi dalam novel tersebut berada di awal, tengah, dan akhir
dialog. Interjeksi berfungsi untuk menandai rasa terkejut, makna
penyangatan, rasa malu atau salah tingkah, rasa lega menemukan sesuatu
yang diharapkan, berpikir sesuatu, rasa kesal atau geram, rasa kagum,
permintaan perhatian, maksud memperolok-olok, rasa marah, rasa tidak
setuju atau pembelaan diri, maksud pamer, maksud meralat informasi,
maksud menasihati, rasa jijik atau risi, rasa enggan, dan rasa bingung.
Kata kunci: Interjeksi, distribusi, fungsi
PENGANTAR
Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan
sing Terinspirasi Kisah ½ Nyata adalah novel komedi berbahasa Jawa
Suroboyoan karya Dwi CakCuk. Dwi CakCuk yang bernama lengkap Dwika
Roemika adalah seorang traveler yang lahir dan besar di Surabaya. Dwi
adalah seorang pengusaha sukses, pemilik gerai kaus Cak Cuk Surabaya.
Novel ini terinspirasi kisah setengah nyata setengah khayal seorang
mahasiswa asal Surabaya dengan latar belakang jalinan persahabatan
548
yang dibalut dalam budaya Suroboyoan, yaitu egaliter, terbuka, dan
berkesan kasar bagi pembaca yang bukan berasal dari budaya Suroboyoan.
Dialog-dialog dalam novel ini banyak memunculkan kata-kata
yang bersifat emosional atau berupa seruan perasaan, yang dalam kajian
bahasa dapat disebut interjeksi. Wedhawati (2006) memadankan istilah
interjeksi dengan kata seru dalam bahasa Indonesia dan tembung
panguwuh dalam bahasa Jawa. Alisjahbana (1982: 88) menjelaskan bahwa
kata seru itu sebenarnya bukan kata-kata lagi, tetapi kalimat yang tidak
terjadi dari kata-kata karena kata seru telah mungkin lengkap menyatakan
pikiran atau perasaan dengan tidak lagi memakai kata-kata biasa.
Sementara itu, Moeliono (1988: 243) menyebutkan interjeksi adalah kata
tugas yang mengungkapkan rasa hati manusia.
Penelitian mengenai topik interjeksi cukup banyak dilakukan.
Berikut dipaparkan beberapa penelitian interjeksi yang digunakan dalam
karya sastra. Komariyah dalam penelitiannya (2016) mengkaji bentuk dan
fungsi interjeksi dalam novel berbahasa Jawa, Donyane Wong Culika karya
Suparta Brata. Ayu, Rahmatika Sari, dkk. (2017) membahas fungsi
interjeksi dan peran konteks terhadap pemakaian interjeksi dalam
Kumpulan Cerpen 100 Tahun Cerpen Riau. Ningrum, Eka Widia (2014)
membahas bentuk dan fungsi interjeksi pada novel Kerudung Cinta dari
Langit Ketujuh karya Wahyu Sujani. Selain itu, Irawati, Tri (2015)
membahas bentuk, jenis, dan fungsi interjeksi dalam bahasa Jawa pada
antologi Cerkak Bengkel Sastra Jawa 2007: Kidung Megatruh. Berdasarkan
beberapa penelitian terdahulu, penelitian ini secara khusus ingin melihat
distribusi dan fungsi interjeksi dalam novel berbahasa Jawa Suroboyoan.
Interjeksi dalam novel ini menarik untuk dikaji karena
merepresentasikan interjeksi yang digunakan oleh penutur bahasa Jawa
Suroboyoan. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah distribusi penggunaan
interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli, serta 2) bagaimanakah
fungsi interjeksi yang digunakan dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli.
Untuk menganalisis permasalahan, digunakan kerangka
pemikiran teoretik interjeksi berdasarkan Wedhawati (2006: 421—422),
yaitu interjeksi digunakan sebagai pengungkap perasaan dan keinginan,
interjeksi tidak memiliki arti ”komunikatif”. Interjeksi tidak
mengharapkan tanggapan, sambutan, atau jawaban baik dari mitra bicara
maupun orang ketiga yang hadir. Interjeksi semata mengungkapkan apa
549
yang diinginkan oleh penutur. Interjeksi biasanya terdapat pada tutur
lisan, terutama yang beragam informal. Oleh karena itu, interjeksi lebih
banyak digunakan dalam tingkat tutur ngoko daripada krama atau madya.
Berdasarkan distribusinya, interjeksi dapat berada pada posisi awal,
tengah atau akhir wacana.
Lebih lanjut, Wedhawati (2006) memaparkan bahwa interjeksi
dalam bahasa Jawa dapat digunakan untuk menandai perasaan heran,
permintaan perhatian, tidak setuju, keragu-raguan, untuk mengingat,
perasaan sadar bahwa telah membuat kekeliruan, perasaan setuju,
maksud akan melanjutkan pembicaraan, isyarat untuk meniadakan apa
yang telah disebutkan sebelumnya, perasaan geram, perasaan takut,
perasaan heran campur terkejut, jengkel, maksud memperolok-olokkan,
kesadaran teringat kembali kepada sesuatu, perasaan takjub atau kagum,
rasa kesakitan, perasaan gembira, rasa terkejut karena berjumpa dengan
sesuatu yang tidak diharapkan, makna penyangatan, atau perasaan tidak
senang karena ketidaksesuaian dengan kenyataan atau adat.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data
berupa dialog dalam bahasa Jawa Suroboyoan yang mengandung interjeksi
yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Si Boy feat Laskar
Nggatheli. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan
catat. Data yang mengandung interjeksi dicatat, kemudian diklasifikasi dan
dianalisis berdasarkan distribusi dan fungsinya.
PEMBAHASAN
Distribusi Interjeksi dalam Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli
Berdasarkan distribusinya, interjeksi dalam novel Si Boy feat
Laskar Nggatheli dapat terletak di awal, tengah, dan akhir dialog. Berikut
dicontohkan penggunaan interjeksi berdasarkan posisi interjeksi dalam
dialog.
(1) Oalah…ancene budheg! Percuma ae ngomong sampek lambe
mrongos, kono gak krungu opo-opo!” sambat Umik. (2014: 2)
Oalah…memang tuli! Percuma saja bicara sampai bibir maju, kamu
tidak mendengar apa-apa!” keluh Umik (panggilan ibu).
(2) Boy, mene isuk awake dhewe diceluk gawe penyisihan Cak Ning nang
balai kota. Ojok lali lo!”jare Angga. (2014: 40)
550
Boy, besok pagi kita dipanggil buat penyisihan Cak Ning di Balai
Kota. Jangan lupa lo!” kata Angga.
(3) Nang kantin kene ae lho ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat
melok nyauti, koyok nyaut pemean.
Di kantin sini saja lho sambil makan jajan,” Mbak Pat ikut
menyahuti, seperti menambil jemuran.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa interjeksi oalah pada
tuturan (1) menunjukkan bahwa distribusi interjeksi berada di awal
dialog. Interjeksi lo pada tuturan (2) menunjukkan bahwa distribusi
interjeksi berada di tengah dialog. Interjeksi lho pada tuturan (3)
menunjukkan bahwa distribusi interjeksi berada di akhir dialog. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa distribusi interjeksi dalam novel Si Boy
feat Laskar Nggatheli terdapat dalam semua posisi.
Fungsi Interjeksi dalam Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli
1. Menandai rasa terkejut
Interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli dapat digunakan
untuk menandai rasa terkejut karena berjumpa dengan sesuatu yang tidak
diharapkan, terkejut karena ada yang tiba-tiba menyentuh tubuhnya, serta
terkejut karena baru teringat sesuatu. Hal ini dapat dilihat pada dialog
berikut.
(4) “Lho lapo mandeg?” takok Umik. (2014: 114)
“Lho kenapa berhenti?” tanya Umik (panggilan ibu).
(5) ”Eh, jaran!” Boy kaget terus noleh nang sing njawil de’e. (2014: 5)
”Eh, jaran!” Boy kaget kemudian menoleh kepada orang yang
mencoleknya.
(6) “Oh, iyo… lali aku, cuk!”… (2014: 10)
”Oh, iya… aku lupa cuk (pisuhan).
Berdasarkan data di atas dapat dilihat, bahwa interjeksi lho pada dialog (4)
digunakan untuk menandai rasa terkejut karena penutur tidak
mengharapkan sopir (Mas Wito) mengerem mobil mendadak dan akan
551
melakukan putar balik. Interjeksi eh pada tuturan (5) digunakan untuk
menandai rasa terkejut karena penutur tiba-tiba dicolek dari belakang.
Sementara itu, interjeksi oh pada dialog (6) digunakan untuk menandai
rasa terkejut karena penutur baru teringat kalau tugas dari dosennya (Pak
Joko).
2. Menandai makna penyangatan
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur menyatakan penyangatan. Hal ini dapat
dilihat pada dialog berikut.
(7) “Trus nang endi lo, sik yah mene lo Boy” (2014: 8)
“Lalu kemana lo, masih jam segini lo Boy”.
Interjeksi lo pada dialog (7) digunakan penutur untuk menyatakan
penyangatan atau penekanan. Apabila dialog dilakukan tanpa penggunaan
interjeksi, rasa penyangatan dalam dialog akan berbeda.
3. Menandai rasa malu atau salah tingkah
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur merasa malu atau salah tingkah. Hal ini
dapat dilihat pada dialog berikut.
(8) “Eh, oh, enggak, gak mikirin apa-apa kok,”Boy kisinan dhewe. (2014:
11)
“Eh, oh, tidak, tidak berpikir apa-apa kok,” Boy malu sendiri.
(9) “Ups…eh, sori….Waduh….,” Boy salting karepe dewe. (2014: 13)
“Ups…eh, maaf….Waduh….,” Boy salah tingkah sendiri.
Interjeksi eh dan oh pada tuturan (8) digunakan penutur ketika penutur
merasa malu karena ketahuan sedang mealmun. Sementara itu, interjeksi
ups dan eh pada dialog (9) digunakan penutur karena salah tingkah setelah
tidak sengaja berbicara hal yang sensitif.
552
4. Menandai rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur menyatakan rasa lega menemukan
sesuatu yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut.
(10) “Oh…sik onok barange sing ate digawe balas dendam iku.” (2014:
26)
“Oh… masih ada barangnya yang akan dibuat balas dendam itu.”
Interjeksi oh pada dialog (10) digunakan penutur ketika menyatakan
kelegaan karena menemukan obat pembuat diare di saku celananya untuk
dibuat balas dendam.
5. Menandai berpikir sesuatu
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur dalam proses berpikir sesuatu. Hal ini
dapat dilihat pada dialog berikut.
(11)
“Hmmmm….. yowis. Saiki tak sepurani, tapi nek koen
nggawe masalah maneh, titenono yo… (2014: 131)
“Hmmmm… ya sudah. Sekarang saya maafkan, tetapi kalau kamu
membuat masalah lagi, awas ya…
Interjeksi hmmmm pada dialog (11) digunakan ketika penutur berpikir
sesuatu dan akhirnya memutuskan untuk memaafkan perilaku mitra
tuturnya.
6. Menandai rasa kesal atau geram
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur kesal atau geram. Hal ini dapat dilihat
pada dialog berikut.
(12)
“Wis, koen ojok kakean cangkem. Boy iku ancene… huh…
nggregetno. Ngisin-isini ancene!” Umik nyawat Yu Mi remote tivi.
(2014: 49)
553
“Sudah, kamu jangan banyak bicara. Boy itu memang… huh…
mengesalkan. Membuat malu!” Umik melempar Yu Mi remote
televisi.
Interjeksi huh pada dialog (12) digunakan ketika penutur kesal karena
perilaku anaknya membuat malu saat disiarkan langsung di televisi.
7. Menandai rasa kagum
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur kagum. Hal ini dapat dilihat pada dialog
berikut.
(13) “Wah, sangar, Pak onok kamar mandi dalame pisan… (2014: 56)
“Wah, bagus sekali, Pak. Ada kamar mandi dalamnya juga…
Interjeksi wah pada dialog (13) digunakan penutur untuk menyatakan
rasa kagumnya pada kamar Angga yang fasilitasnya cukup lengkap.
8. Menandai permintaan perhatian
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur meminta perhatian. Hal ini dapat dilihat
pada dialog berikut.
(14) “Eh, rek, aku disikan yo… ate nang rumah sakit. Ebesku mlebu
UGD. Iki adikku sik tas telepon,” pamit Angga. (2014: 58)
“Eh, rek, aku duluan ya… mau ke rumah sakit. Ayahku masuk UGD. Ini
adikku baru saja menelepon,” pamit Angga.
9. Menandai maksud memperolok-olok
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur mengolok-olok. Hal ini dapat dilihat pada
dialog berikut.
(15) “Ihiiii… sing ate rabi rek, suit suit…”jare Yu Mi. (2014: 112)
“Ihiii… yang kan menikah rek, suit suit…” kata Yu Mi.
554
Interjeksi ihiii pada dialog (15) digunakan penutur untuk memperolokolok Boy yang terpaksa harus pura-pura menikah dengan saudaranya.
10. Menandai rasa marah
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur marah. Hal ini dapat dilihat pada dialog
berikut.
(16) “He, mbok anggit iki langgar nang kampungmu ngono ta?”
sentak Mas Afifi. (2014: 78)
“He, apa kamu kira ini musala di kampungmu?” bentak Mas Afifi.
Interjeksi he pada dialog (16) digunakan ketika penutur marah karena Boy
sengaja menyanyi lagu pujian di masjid kampus.
11. Menandai rasa tidak setuju atau pembelaan diri
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur menyatakan tidak setuju atau untuk
membela dirinya. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut.
(17) “Lho, mas… nek nang nggonanku iku nek posoan nyanyi lagu-lagu
koyok ngene…” Boy nerusno pujiane. (2014: 78)
“Lho, Mas… kalau di tempatku itu kalau puasa nynayi lagu-lagu seperti
ini…” Boy meneruskan lagu pujiannya.
Interjeksi lho pada dialog (17) digunakan ketika penutur membela diri
karena pandangannya berbeda dengan mitra tuturnya.
12. Menandai maksud pamer
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur bermaksud pamer. Hal ini dapat dilihat
pada dialog berikut.
(18)“Eits, ojok salah yo…iki Boy,cak… si Boyo.” (2014: 101)
“Eits, jangan salah ya… ini Boy, Cak… si Boyo.”
555
Interjeksi eits pada dialog (18) digunakan ketika penutur tidak mau
diremehkan. Penutur memamerkan kalau dirinya hebat.
13. Menandai maksud meralat informasi
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur meralat informasi. Hal ini dapat dilihat
pada dialog berikut.
(19) “Oh, gak se… main karo Barcelona,”jare koncone sak njeplake
cangkeme. (2014: 104)
“Oh, bukan… lawan Barcelona,” kata temannya sekenanya.
Interjeksi oh pada dialog (19) digunakan penutur untuk meralat informasi
sebelumnya. Penutur sebelumnya mengungkapkan bahwa Persebaya akan
bermain dengan Liverpool. Hal itu diralat oleh penutur dan dinyatakan
bahwa yang bermain dengan Persebaya adalah Barcelona.
14. Menandai maksud menasihati
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur menasihati karena mitra tutur kurang
sopan. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut.
(20) “Hus! Cangkeme iku loh, ngomong gak diatur….” jare Umik
(2014: 111)
“Hus! Mulutmu itu loh, berbicara tidak diatur…” kata Umik.
Interjeksi hus pada dialog (20) digunakan penutur untuk memperingatkan
atau menasihati mitra tuturnya karena berbicara tidak sopan, yaitu
memberi saran agar kandungan anak pakdhenya digugurkan.
15. Menandai rasa jijik atau risi
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur merasa jijik terhadap sesuatu. Hal ini
dapat dilihat pada dialog berikut.
(21)“Emoh Mik… mosok aku engkok diceluk papa, papa… hih…
emoh…”(2014: 112)
556
“Tidak mau Mik… masak aku nanti dipanggil Papa, Papa… hih… tidak
mau…”
Interjeksi hih pada dialog (21) digunakan penutur ketika merasa risi atau
jijik karena membayangkan akan dipanggil Papa kalau mau pura-pura
menikah dengan saudaranya.
16. Menandai rasa enggan
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur merasa enggan
(22) “Halah, Mik…sik ngantuk iki…engkok awan ae opo’o,” jarene
Boy ambek terus ndlosor turu maneh. (2014: 116)
“Halah, Mik…masih mengantuk ini…nanti siang saja,” kata Boy
sambil tetap berbaring tidur lagi.
Interjeksi halah pada dialog (22) digunakan penutur ketika enggan
dibangunkan oleh ibunya.
17. Menandai rasa bingung
Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan
untuk menandai ketika penutur merasa bingung, belum tahu apa yang
harus dilakukan.
(23) “Eh, egh…, anu…” Boy bingung, masalahe onok Nirma,
koncone kulia nang Universitas Karangmenjangan, sing tibakno
konco SMAne Firda nang Banyuwangi (2014: 121).
“Eh, egh…, anu…” Boy bingung karena ada Nirma, temannya
kuliah di Universitas Karangmenjangan, yang ternyata teman
SMA-nya Firda di Banyuwangi.
Interjeksi eh, egh pada dialog (23) digunakan penutur karena bingung
tidak tahu harus berbuat apa ketika disapa Nirma (teman kuliahnya di
Surabaya) saat resepsi pernikahannya dengan Firda.
SIMPULAN
557
Berdasarkan hasil pembahasan penggunaan interjeksi dalam
novel Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing
Terinspirasi Kisah ½ Nyata dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
distribusi interjeksi dalam novel terdapat dalam semua posisi, yaitu
berada di awal, tengah, dan akhir dialog. Kedua, fungsi interjeksi dalam
novel sangat variatif dan ditegaskan oleh penulis melalui keterangan yang
menyertai dialog. Terdapat tujuh belas fungsi interjeksi dalam novel, yaitu
untuk menandai 1) rasa terkejut, 2) makna penyangatan, 3) rasa malu atau
salah tingkah, 4) rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan, 5)
berpikir sesuatu, 6) rasa kesal atau geram, 7) rasa kagum, 8) permintaan
perhatian, 9) maksud memperolok-olok, 10) rasa marah, 11) rasa tidak
setuju atau pembelaan diri, 12) maksud pamer, 13) maksud meralat
informasi, 14) maksud menasihati, 15) rasa jijik atau risi, 16) rasa enggan,
17) rasa bingung.
DAFTAR RUJUKAN
Ayu, Rahmatika Sari, dkk. 2017. “Fungsi Interjeksi dalam Kumpulan
Cerpen 100 Tahun Cerpen Riau”. Jurnal Online Mahasiswa Bidang
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Volume 4, Nomor 2, Oktober 2017.
Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid II.
Jakarta: Dian Rakyat.
Irawati, Tri. 2015. “Tembung Panguwuh Wonten Salebeting Antologi
Cerkak Bengkel Sastra Jawa 2007: Kidung Megatruh”. Skripsi.
Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta.
Komariyah, Siti. 2016. “Interjeksi dalam Novel Donyane Wong Culika Karya
Suparta Brata”. Totobuang. Volume 4, Nomor 1, Juni 2016.
Moeliono, Anton M. dan Soenjono Dardjowidjojo. 1988. Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Republik Indonesia.
Ningrum, Eka Widia. 2014. “Analisis Interjeksi pada Novel Kerudung Cinta
dari Langit Ketujuh karya Wahyu Sujani Tahun 2011”. Skripsi.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
558
Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius.
Cakcuk, Dwi. 2014. Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso
Suroboyoan sing Terinspirasi Kiasah ½ Nyata. Surabaya: Sinar
Magenta.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Penanya 1
T: Perlu penguatan konsep interjeksi lagi, interjeksi itu tidak ada artinya.
Analisis bentuk interjeksi dihilangkan saja, juga tidak perlu analisis bentuk
interjeksi berupa pola fonotaktis. Cukup analisis distribusi dan fungsi
interjeksi. Untuk analisis fungsi, jangan berupa netral, positif, atau negitif,
lebih baik dianalisis berdasarkan konteksnya.
J: Terima kasih atas saran dan masukkannya. Artikel akan saya perbaiki
sesuai masukan Bapak.
Penanya 2
T: Tadi disebutkan distribusi interjeksi terletak di awal, tengah, dan akhir.
Apakah
sebuah interjeksi dalam sebuah tuturan bisa saling berpindah tempat
distribusinya?
J: Dalam sebuah tuturan, interjeksi tertentu tidak bisa bertukar tempat.
Misalnya, interjeksi lho pada dialog berikut terletak di tengah:
Nang kantin kene ae lho ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat melok
nyauti, koyok nyaut pemean.
559
Ketika interjeksi lho tersebut diganti di akhir dialog akan menjadi kurang
berterima dialognya, yaitu menjadi
Nang kantin kene ae ambek mangan-mangan jajan lho,” Mbak Pat melok
nyauti, koyok nyaut pemean.
Ketika interjeksi lho diganti di awal dialog, yaitu
Lho, nang kantin kene ae ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat melok
nyauti, koyok nyaut pemean.
ternyata dapat mengubah makna interjeksi. Ketika interjeksi lho posisinya
di tengah, digunakan untuk penyangatan. Akan tetapi, ketika interjeksi lho
posisinya di awal dialog dapat bermakna tidak setuju akan tindakan mitra
tutur. Interjeksi diubah di awal menjadi
Penanya 3
T: Bagaimana Anda melakukan analisis fungsi interjeksi?
J: Interjeksi dalam dialog tersebut saya analisis berdasarkan konteks
kalimatnya, digunakan untuk apa, oleh siapa, dan kepada siapa, sehingga
bisa disimpulkan bahwa interjeksi itu digunakan untuk menandai rasa
kesal, terkejut, kagum, dan sebagainya. Dari fungsi tersebut, saya tarik ke
atas lagi sehingga didapatkan bahwa fungsi interjeksi tersebut untuk
menyatakan hal yang positif, negatif, atau netral. Akan tetapi, sesuai
dengan saran Prof. Putu, fungsi interjeksi dalam artikel ini nantinya cukup
saya analisis berdasarkan konteksnya saja.
560
SISTEM FONOLOGI UAB METO DALAM DIALEK MIOMAFFO
(Tinjauan Deskriptif)
Viktorius Paskalis Feka
NIM: 17/419295/PSA/08257
viktoriuspf@gmail.com
Program Studi Ilmu Linguistik
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Uab Meto, khususnya dialek Miomaffo, menyimpan sejumlah keunikan
pada sistem fonologinya. Keunikan itu bisa diketahui pada tataran fona
maupun fonem. Karena itu, makalah ini berupaya membahasnya, dimulai
dari kajian fonetis hingga fonemis. Tujuannya untuk menguraikan sistem
dan pemerian kaidah fonologi yang meliputi pemerian vokoid dan kontoid,
pemerian distribusi vokoid dan kontoid, dan penentuan fonem. Metodenya
adalah metode deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data berupa
observasi, wawancara, elisitasi. Data diolah melalui transkripsi data ke
dalam transkripsi fonetis, kemudian dialihaksarakan ke dalam transkripsi
fonemis. Dari hasil pembahasan ini, ditemukan keunikan bunyi-bunyi
vokal glotal, yang pada umumnya menyebar pada bunyi vokal [a], [i], dan
[o]. Ada dua kekhasan bunyi seperti halnya bahasa Inggris, yaitu [∫] dan
[Ʒ]. Sementara itu, berdasarkan penentuan fonem pembeda makna
melalui pasangan minimal, ditemukan delapan buah fonem vokal dan 12
fonem konsonan pembeda makna. Fonem-fonem vokal itu di antaranya
/i/, /u/, /e/, /Ԑ/, /3/, /O/, /Ͻ/, dan /a/, sedangkan fonem-fonem
konsonan itu di antaranya /p/, /b/, /t/, /k/, /?/, /f/, /s/, /h/, /j/, /m/, /n/,
/l/. Terdapat juga variasi bebas, yakni fonem /i/ dan /I/, serta pasangan
vokal /o/-/e/ yang memiliki varian bebas bebas dengan pasangan /o/-/i/.
Selain itu, ada juga pasangan /o/-/u/ yang memiliki varian bebas dengan
pasangan /o/-/o/.
Kata kunci: fonem, vokal, konsonan, Uab Meto
PENDAHULUAN
561
Fonologi Uab Meto atau bahasa Dawan menarik diteliti. Argumentasi
yang bisa dikemukakan di sini adalah pertama, kajian fonologi yang
pernah dilakukan Tarno, dkk, hanya berfokus pada dialek Molo, sedangkan
dialek-dialek lainnya, tidak ditelaah, sehingga belum tentu mewakili
sistem fonologi Uab Meto secara keseluruhan. Sebab, bahasa ini memiliki
10 ragam dialek: dialek Miomaffo, Insana, Biboki, Manulea, Ambenu, Molo,
Amanuban, Amanatun, Amfoang, dan Amarasi. Kalau pun kajian fonologi
hanya berfokus pada satu dialek tertentu, semestinya dialek itu
representatif. Dialek Molo tidaklah representatif karena tidak mewakili
sembilan dialek lainnya. Kedua, kajian fonologi Tarno, dkk, tidak begitu
komprehensif-holistik karena mengabaikan kajian fonetis. Semestinya
kajian fonetis didahulukan dalam kajian fonologi karena penentuan
fonem-fonem dalam suatu bahasa tertentu harus mengacu pada bunyibunyi bahasa—dihasilkan oleh alat wicara manusia (sistem fonetik).
Ketiga, kajian fonologi Uab Meto seharusnya dilakukan pada dialek
Miomaffo karena paling representatif, bisa mewakili dialek-dialek lainnya.
Dialek ini (Miomaffo) memiliki wilayah penuturan yang cukup luas dan
garis batas yang hampir mencakupi dialek-dialek lainnya. Bahkan, dialek
Miomaffo pun memiliki wilayah batas dialek dengan dialek Ambeno yang
dituturkan di distrik Oecusse, Timor Leste. Dari sisi kuantitas penutur pun,
dialek Miomaffo dianggap memiliki jumlah penutur yang cukup banyak
dibanding dialek-dialek lainnya.
Selain itu, penelitian sistem fonologi pada Uab Meto menarik dilakukan
karena bunyi-bunyi bahasa daerah ini memiliki kekhasan bunyi glotal
pada bunyi-bunyi vokal, baik yang terdapat pada awal, tengah, maupun
akhir kata. Pada umumnya bunyi-bunyi glotal muncul pada akhir kata; Uab
Meto juga memiliki bunyi-bunyi kontoid khas yang kemudian membentuk
klaster selain diftong dan deret vokal; Uab Meto juga memiliki bunyi-bunyi
suprasegmental walau tidak produktif. Ini berarti bahwa satu kata
berpotensi memiliki banyak arti (makna), bergantung pada nada
(intonasi).
Dari latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana sistem bunyi Uab Meto dalam dialek Miomaffo;
bagaimana penentuan fonem, baik itu vokal maupun konsonan yang
memiliki makna pembeda; dan bagaimana distribusi, pasangan minimal,
dan variasi bebasnya dalam kata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menguraikan sistem bunyi Uab Meto dalam dialek Miomaffo; untuk
562
menguraikan penentuan fonem-fonem pembeda makna dalam kata, baik
itu berupa fonem vokal maupun fonem konsonan; dan untuk menjelaskan
distribusi, pasangan minimal dan variasi bebas fonem-fonem tersebut
dalam kata. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, sedangkan
teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, elisitasi. Data
diolah melalui transkripsi data ke dalam transkripsi fonetis, kemudian
dialihaksarakan ke dalam transkripsi fonemis.
Penelitian bahasa di bidang fonologi bukanlah hal baru. Penelitian ini
telah berkembang sejak lama dan hingga kini masih dilakukan walau
memang secara kuantitas masih sangat minim. Misalnya, penelitian
fonologi bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich, penelitian fonologi
bahasa Sabu oleh Wakidi, dkk, dan sebagainya. Khusus untuk Uab Meto
atau yang dikenal juga dengan sebutan bahasa Dawan, penelitian hanya
lebih berfokus pada tataran morfologi, sintaksis, semantik, dan penelitian
dari sisi interdisipliner linguistik. Akan tetapi, penelitian pada bidang
fonologi masih sangat minim diteliti. Penulis menemukan gambaran
sedikit mengenai kajian fonologi bahasa daerah ini (Meto atau Dawan)
yang dilakukan oleh Emi Renoat dalam tesisnya berjudul “Bahasa Tetun,
Dawan, dan Rote di Nusa Tenggara Timur (Kajian Komparatif dan
Budaya)”. Namun, dalam tesis itu hanya dijelaskan secara garis besar
fonem-fonem Uab Meto, khususnya dalam dialek Molo. Bahkan, penelitian
itu tidak ditujukan khusus untuk penelaahan sistem fonologi, melainkan
untuk kepentingan pelacakan sistem kekerabatan bahasa antara bahasa
Tetun, Uab Meto, dan bahasa Rote. Penelitian tersebut lebih berkiprah ke
kajian linguistik historis komparatif. Selain itu, penulis juga menemukan
kajian fonologi Uab Meto dalam dialek Molo yang dilakukan Tarno, dkk
(1992:11-29) dalam buku “Tata Bahasa Dawan”, yang disponsori Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, tapi kajian itu tidak begitu lengkap karena tidak
menguraikan proses terjadinya bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
alat wicara manusia. Unsur fonetis diabaikan, padahal kajian fonologi
hingga penentuan fonem harus dilandasi pada kajian fonetis terlebih
dahulu. Inilah sebabnya, penulis hendak mengembangkan dan melakukan
penelitian lebih detail mengenai kajian fonologi Uab Meto dalam dialek
Miomaffo, yang akan dimulai dari kajian fonetis hingga kajian fonemis,
bahkan kajian grafemis.
563
Soeparno (2013:28) menyebutkan fonologi atau fonemik merupakan
subdisiplin linguistik yang menelaah bunyi bahasa yang bermakna saja
atau bunyi bahasa yang mendukung makna saja. Itu artinya bahwa
fonologi berupaya untuk mengkaji makna bunyi yang dihasilkan dari
penyelidikan fonetik. Sampai di sini tampak jelas bahwa fonetik dan
fonologi merupakan dua unsur yang saling berhubungan dan tak bisa
dipisahkan. Menurut Lyons (1995:98), bunyi bahasa adalah setiap satuan
bunyi yang secara fonetis berbeda. Artinya bahwa perbedaan bunyi itu
tentunya berdasarkan kemampuan alat ucap manusia di dalam
mengartikulasikan suatu bunyi, sehingga bunyi bahasa pada setiap bahasa
tidak sama persis. Misalnya, bunyi bahasa pada bahasa Indonesia tidak
sama persis dengan Uab Meto, juga bahasa-bahasa lainnya. Bunyi-bunyi
bahasa itu kemudian diolah lagi dalam kajian fonologi untuk menentukan
fonem-fonem pembeda makna. Dikatakan Kridalaksana (2008:63),
fonologi bertugas untuk menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut
fungsinya.
Hal ini dipertegas Bloomfield (1933:78) bahwa fonologi atau fonemik
mengkaji secara khusus mengenai bunyi ujaran bahasa yang berarti
(bermakna). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pandanganpandangan para ahli linguistik tentang fonologi atau fonemik
sesungguhnya berfokus pada pembedaan makna dari suatu bunyi bahasa
dalam realisasi atau variasinya dalam kata. Namun, tentunya pembedaan
makna bunyi bahasa itu didasarkan pada bunyi bahasa yang telah diteliti
sebelumnya secara fonetis.
Pada umumnya ada dua unsur penting yang dipelajari atau diselidiki
dalam penelitian fonetik maupun fonologi, yakni vokal dan konsonan.
Dikatakan Wijana (2016:7), bunyi-bunyi yang dipelajari oleh fonetik
bukan merupakan bagian dari bahasa tertentu, tapi memiliki kapasitas
untuk membedakan makna, sedangkan bunyi-bunyi yang dipelajari oleh
fonemik merupakan bagian dari sistem suatu bahasa tertentu—disebut
fonem—memiliki tugas untuk membedakan makna bunyi bahasa dalam
kata. Sementara itu, alofon berkaitan dengan variasi sebuah fonem karena
fonem itu memasuki kondisi fonologis yang berbeda, dan kondisi fonologis
tersebut harus bisa dijelaskan. Contoh alofon dalam bahasa Indonesia
adalah [i] dan [I] pada kata [bibi], [bibIr]; [sisi], [sisIr]. Variasi bunyi [i] dan
[I] berasal dari satu fonem yang sama, yaitu /i/ (Wijana, 2014:39).
564
Bunyi vokal seperti [a, i, u, e, o] disebut sebagai vokal tunggal karena
bukan merupakan gabungan dari dua atau lebih bunyi vokal. Sementara
itu, diftong atau gugus vokal merupakan vokal-vokal yang terdiri dari dua
buah yang diucapkan dalam satu-kesatuan waktu, seperti [aw], [ay], dan
[oy] dalam kata pulau, lambai, dan amboi (Wijana, 2016:15), sedangkan
deret vokal diucapkan dalam suku kata yang berbeda. Selain itu, ada juga
bunyi konsonan. Bunyi konsonan pada umumnya dibedakan menjadi
konsonan bersuara dan tak bersuara, dan oral atau nasal. Contohnya,
bunyi /b/ merupakan konsonan hambat bilabial bersuara, bunyi /m/, /n/
adalah contoh konsonan nasal, dan sebagainya. Bunyi-bunyi konsonan
seperti ini juga terdapat pada Uab Meto walau tidak semua konsonan ada.
Dalam bunyi-bunyi konsonan, didapati pula deretan konsonan dalam satu
kata. Deretan konsonan ini disebut klaster, seperti br pada kata labrak, kl
pada kata klasifikasi, dan sebagainya.
Dalam kajian fonetik dan fonologis, terdapat bunyi-bunyi yang dapat
dibagi-bagi atau disegmentasikan dan juga bunyi-bunyi yang tak dapat
dibagi-bagi atau disegmentasikan lagi. Bunyi yang dapat disegmentasikan,
seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan disebut bunyi segmental;
sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang
menyertai bunyi segmental itu disebut bunyi suprasegmental (Chaer,
2013:35). Bunyi suprasegmental tidak dapat disegmentasikan lagi karena
kehadiran bunyi itu selalu mengiringi, menindih, atau “menemani” bunyi
segmental, baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan (Muslich, 2008:61).
Wijana (2016:17) menyebutkan unsur-unsur suprasegmental itu
melingkupi tekanan (stress), nada (tone), panjang pendek (duration), dan
perhentian (juncture). Tekanan berkaitan dengan keras lemahnya
pengucapan satuan lingual. Nada berhubungan dengan tinggi rendahnya
pengucapan satuan lingual. Durasi mengenai panjang pendeknya satuan
lingual, sedangkan perhentian berkenaan dengan lamanya perhentian
antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain. Unsurunsur suprasegmental ini akan menjadi perhatian dalam penelitian ini
karena Uab Meto pun memiliki bunyi-bunyi suprasegmental.
Ada banyak cara dalam menentukan fonem dalam satuan bahasa
(kata), di antaranya adalah distribusi, pasangan minimal dan variasi bebas.
Distribusi digunakan untuk menyelidiki persebaran fonem dalam unsur
kata, baik pada posisi awal, tengah maupun akhir. Pasangan minimal
digunakan untuk menentukan fonem-fonem dari bunyi-bunyi bahasa
565
mirip yang dicurigai berbeda arti (makna). Bunyi-bunyi bahasa yang
daerah artikulasinya berdekatan biasanya merupakan bunyi-bunyi yang
meragukan (Soeparno,
2013:70). Sedangkan, variasi bebas tidak
disebabkan oleh kondisi lingkungan tertentu, juga tidak disebabkan oleh
posisi tertentu, akan tetapi hanya terjadi pada kata-kata tertentu saja.
Contoh, distribusi fonem /b/ dalam bahasa Indonesia pada posisi awal,
tengah dan akhir: /baik/, /abad/, /sebab/. Contoh, pasangan minimal /b/
vs /p/ adalah /baku/ ‘standar’ dan /paku/ ‘pasak’. Sedangkan, contoh
variasi bebasnya adalah fonem /i/ dan /e/ pada kata /nasihat/ dan
/nasehat/. Penentuan fonem seperti inilah yang akan digunakan dalam
menganalisis fonem-fonem pada Uab Meto.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Chaer (2014:125) mengatakan untuk menentukan atau
mengidentifikasi sebuah bunyi adalah fonem atau bukan, yang perlu
dilakukan adalah mencari sebuah satuan bahasa, yang biasanya berupa
kata. Untuk itu, seturut pewatasan ini, analisis atau penentuan fonemfonem dalam Uab Meto juga dihadirkan dalam bentuk kata. Dengan
demikian, dari bunyi bahasa itu, dapat ditentukan fonem-fonem pembeda
makna. Penentuan fonem dalam bahasa daerah ini hanya didasarkan pada
tiga variabel, yakni distribusi, pasangan minimal, dan variasi bebas.
Pasangan Minimal
Pasangan minimal merupakan salah satu cara untuk menentukan
apakah fonem-fonem yang ditemuan pada kajian fonetis
membedakan makna atau hanya merupakan variasi bunyi dari
fonem yang sama. Penentuan atau klasifikasi fonem berdasarkan
pasangan minimal berlaku secara universal untuk semua bahasa di
dunia, termasuk Uab Meto. Pasangan minimal fonem vokal dan
konsonan Uab Meto dijelaskan masing-masing secara berturut pada
tabel berikut.
Pasangan minimal vokal Uab Meto
Vokal
Pasangan Minimal
/a/ : /Ͻ/ /naka/ ‘kepala’
/nakϽ/ ‘lidi’
/maka/ ‘nasi’
/makϽ/ ‘darimana’
/a/ : /o/ /kait/ ‘karya’
/koit/ ‘membelakangi’
/tae/ ‘lihat’
/toe/ ‘doa dengan khusuk’
/Ͻ/ : /o/ /tϽpϽ/ ‘bubur’
/topo/ ‘gandeng tangan’
566
/o/ : /u/ /bano/ ‘giringgiring’
/u/ : /i/ /fanu/ ‘pantun’
/i/ : /e/ /iki/ ‘kecoak’
/e/ : /Ԑ/ /sek/ ‘patah’
/Ԑ/ : /3/ /loԐ/ ‘pikul’
/Ԑ/ : /a/ / Ԑk/ ‘menang’
/banu/ ‘janda/duda’
/fani/ ‘kapak’
/ike/ ‘pemintal’
/sԐk/ ‘tersesat’
/lo3/ ‘menyelam’
/ak/ ‘bilang’
Pasangan minimal konsonan Uab Meto
Konsonan
Pasangan Minimal
/b/:/p/ /bilu/ ‘pagar’
/pilu/ ‘destar (mahkota)’
/bika/ ‘kotak’
/pika/ ‘piring’
/bo/ ‘kembung’
/po/ ‘menggiring’
/b/ : /f/ /bati/ ‘membagi’
/fati/ ‘mengasuh’
/bo3/ ‘mencuci’
/fo3/ ‘memaksa’
/buli/ ‘menyunat’
/fuli/ ‘merangsang’
/p/ : /f/ /nipu/ ‘kabut’
/nifu/ ‘danau’
/pun/ ‘busuk’
/fun/ ‘karena’
/pen/ ‘peroleh’
/fen/ ‘bangun’
/p/ : /t/
/put/ ‘terbakar, /tut/
‘pukul
(biasanya
hangus’
menggunakan hamar)’
/pan/ ‘taruh’
/tan/ ‘terima’
/piut/ ‘terus-menerus’
/tiut/ ‘menjaga (biasanya
jenasah)’
/t/ : /b/ /taen/ ‘lari, kabur’
/baen/ ‘bayar’
/to/ ‘marah’
/bo/ ‘membagi-bagi’
/tak/ ‘sebut’
/bak/ ‘curi’
/t/ : /k/ /tasu/ ‘kuali’
/kasu/ ‘melepaskan’
/tusi/ ‘memijat’
/kusi/ ‘tempayan’
/tiun/ ‘minum’
/kiun/ ‘meludah’
/t/ : /s/ /ton/ ‘tahun’
/son/ ‘reda’
/tepo/ ‘menganiaya’
/sepo/ ‘membentak’
/tae/
‘melihat, /sae/ ‘memanjat, naik’
membaca’
/s/ : /h/ /san/ ‘salah, dosa’
/han/ ‘masak’
/sun/ ‘sumbat’
/hun/ ‘alang-alang’
/sapi/ ‘mengiris’
/hapi/ ‘mendampingi’
/s/ : /h/ /san/ ‘salah, dosa’
/sun/ ‘sumbat’
/sapi/ ‘mengiris’
/han/ ‘masak’
/hun/ ‘alang-alang’
/hapi/ ‘mendampingi’
567
/s/ : /k/ /sane/ ‘pondok’
/selo/ ‘campur’
/suli/ ‘cabang’
/l/ : /t/
/lasi/ ‘perkara,
masalah’
/lulu/ ‘menunjuk’
/lali/ ‘talas’
/k/ : /?/ /leku/ ‘waktu’
/kane/ ‘gala-gala’
/kelo/ ‘belalang’
/kuli/ ‘melabrak’
/tasi/ ‘laut, pantai’
/tulu/ ‘menyodorkan’
/tali/ ‘tahap, tingkatan’
/m/ : /n/ /masu?/ ‘asap’
/maet/ ‘mati, meninggal’
/nasu?/ ‘mengukus’
/naet/ ‘besar, sulung’
/k/ : /h/ /kai?/ ‘menggali’
/kino?/ ‘tempat meludah’
Distribusi fona [∫] dan [Ʒ]
/le?u/ ‘keramat’
/hai?/ ‘kami’
/hino/ ‘menjenguk’
Fonem
Inisial
Medial
Final
/∫/
/t∫i/ ‘menyanyi’
/t∫u/ ‘ukur, timbang,
balap’
/t∫aok/ ‘tumpah’
/mat∫ao/
‘nikah, kawin’
/niut∫a3/
‘kesurupan’
/adƷaob/
‘cemara’
/adƷalib/
‘penjasa’
/naidƷuf/
‘mahkota raja’
/aidƷ/ ‘api’
/nidƷ/ ‘tiang’
/Ʒ/
Variasi Bebas
Variasi bebas pada Uab Meto tidak begitu banyak dan hanya terdapat
pada beberapa fonem vokal saja. Variasi bebas pada fonem vokal muncul
apabila ada pengaruh bunyi silabik. Misalnya, vokal /i/ sering bervariasi
bebas dengan vokoid /I/ jika terdapat pada suku terbuka suku akhir.
Contoh, /esi/ ‘memihak’ bervarian bebas dengan /esI/; /heli/ ‘potong’
bervarian bebas dengan /helI/. Selain itu, ada juga variasi bebas pada
pasangan vokal dalam kata atau suku kata. Contoh, pasangan /o/ dan /e/
merupakan varian bebas dari pasangan /o/-/i/. Hal ini bisa dilihat pada
568
contoh berikut: /one/ memiliki varian bebas dengan /oni/ yang samasama memiliki arti ‘gula’. Pasangan vokal /o/-/u/ juga memiliki varian
bebas dengan pasangan vokal /o/-/o/. Contoh, /opu/ dan /opo/ yang
sama-sama memiliki arti ‘betina.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan, Uab Meto
sesungguhnya memiliki fonem yang cukup banyak, yakni sebanyak 20
fonem. Fonem-fonem itu dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni fonem
vokal sebanyak delapan buah dan fonem konsonan sebanyak 12 buah.
Masing-masing fonem itu ketika digunakan dalam kata memiliki arti atau
makna yang berbeda. Hampir semua fonem, baik vokal maupun konsonan
menyebar pada distribusi kata, baik pada posisi awal, tengah maupun
akhir, sedangkan fona [∫] dan [Ʒ] tidak ditemui dalam pasangan minimal.
Fona [∫] tidak memiliki distribusi pada posisi akhir kata, sedangkan fonem
[Ʒ] tidak memiliki distribusi pada awal kata. Dalam pasangan minimal pun,
pada umumnya fonem-fonem Uab Meto menyebar dalam kata dan
membedakan makna, akan tetapi hanya memiliki sedikit variasi bebas,
yakni fonem /i/ dan vokoid /I/, serta pasangan vokal /o/-/e/ yang
memiliki varian bebas bebas dengan pasangan /o/-/i/. Selain itu, ada juga
pasangan /o/-/u/ yang memiliki varian bebas dengan pasangan /o/-/o/.
569
DAFTAR PUSTAKA
Bloomfield, Leonard. 1993. Language. New York: Henry Holt and
Company, INC.
Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
---------------. 2014. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta.
Kridalasana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Lyons, John. 1995. Introduction to Theoritical Linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Mahsun. 2013. Metode Penelitian Bahasa. Tahapan strategi, metode, dan
tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif
Sistem Bunyi Bahasa Indonesia). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Renoat, Emi. 2013. Bahasa Tetun, Dawan, dan Rote di Nusa Tenggara Timur
(Kajian Komparatif dan Budaya). Yogyakarta:
Universitas
Gadjah
Mada
(tidak
diterbitkan/unpublished).
Soeparno. 2013. Dasar-dasar Linguistik Umum (edisi kedua). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Tarno, dkk. 1992. Tata Bahasa Dawan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Wakidi, dkk. 1991. Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Sabu. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wijana, I Dewa Putu. 2016. Metode Linguistik: Identifikasi Satuan-Satuan
Lingual. Yogyakarta: A.com Press.
-----------------------. 2014. Berkenalan dengan Linguistik. Yogyakarta: A.com
Press.
570
HASIL DISKUSI SEMINAR
Daftar pertanyaan diskusi Seminar Nasional Linguistik UGM
1. Saran dari Prof. I Dewa Putu Wijana, Ketua Program Studi S2
Linguistik UGM, agar mengganti istilah kajian menjadi sistem.
Sebelum makalah direvisi, penulis menggunakan judul “Kajian
Fonologi Uab Meto dalam Dialek Miomaffo (Tinjauan Deskriptif).
Namun, setelah direvisi, judul makalah berubah menjadi “Sistem
Fonologi Uab Meto dalam Dialek Miomaffo (Tinjauan Deskriptif).
Jawaban saya atas saran dari Prof, Putu adalah merevisi judul
makalah karena memang yang harus diteliti adalah sistem atau
tata fonologi, bukan kajian. Kajian memang lebih mengacu pada
telaah atau penelitian, sehingga tidak tepat menggunakan istilah
kajian.
2. Pertanyaan dari Syamsudin, pemakalah dari Jurusan Sastra
Inggris, Fakultas Humaniora, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik
Ibrahim
Malang:
Bagaimana
distribusi
bunyi
suprasegmental dalam sistem fonologi Uab Meto?
Jawaban: distribusi bunyi suprasegmental dalam sistem fonologi
Uab Meto terdapat pada fonem /a/, /o/, dan /e/, baik yang
menyebar pada awal, tengah, maupun akhir kata. Namun, yang
produktif adalah bunyi suprasegmental pada tengah kata.
Misalnya, pada kata /na:o/ artinya /saudara laki-laki/, dan /nao/,
artinya /jalan/. Bunyi pada fonem /o/ harus diucap panjang.
3. Saran dari Ahmad Zaidi, mahasiswa S2 Linguistik UGM, agar
pemakalah lebih mendalami deskripsi fonologi Uab Meto, baik
pada pemerian vokal, konsonan, diftong, maupun klaster.
Tanggapan: adalah merupakan saran yang baik bagi pemakalah
dalam menggali lebih dalam sistem fonologi Uab Meto dalam
berbagai aspek, utamanya vokal, konsonan, diftong, dan klaster.
Pemakalah akan melakukan kajian yang lebih detail lagi.
571
PERUBAHANJENIS DAN MAKNA NOMINA DI ERA GENERASI Z
Yohanna Nirmalasari
Universitas Ma Chung
Pos-el: yohannanirmalasari@gmail.com
ABSTRAK
Bahasa Indonesia memiliki potensi pergerakan yang sangat cepat.
Pergerakan itu dapat melalui media sosial yang mulai merambah ke semua
kalangan masyarakat. Pergerakan ini dapat bergerak secara involutif
maupun progresif. Hal ini bergantung pada pemakai bahasanya. Tak heran
apabila ada pemakai bahasa yang berkomunikasi menggunakan bahasa
standar atau nonstandar. Walaupun, akhir-akhir ini banyak ditemukan
bahasa standar dengan makna yang berbeda pada remaja generasi Z.
Generasi Z yang memiliki sifat kreatif tentu dapat memicu kekreatifan
dalam berbahasa. Hal ini yang akan dapat memengaruhi pergerakan
bahasa, baik menggeser ataupun merubah bahasa adalah salah satu
potensi yang dapat terjadi. Oleh karena itu pendeskripsian perihal
perubahan jenis dan makna nomina yang terjadi di era generasi Z ini perlu
disadari oleh kalangan masyarakat sehingga bahasa dapat tetap bergerak
dan berkembang tanpa mengubah jenis dan makna rujukan awalnya. Di
dalam penelitian ini, nomina yang mengalami perubahan jenis dan makna
dianalisis menggunakan desain penelitian campuran dengan strategi
eksploratoris sekuensial.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima
nomina yang mengalami perubahan jenis dan bentukan kata, yaitu kata
ember, centong, cus, sis, dan lebai. Masing-masing kata tersebut mengalami
perubahan jenis dan makna yang berbeda dari makna rujukan awal.
Kata Kunci
: Perubahan jenis, perubahan makna
PENDAHULUAN
Makna merupakan bagian dari bahasa. Menurut Aminuddin
(2015:26), makna adalah unsur yang menyertai aspek bunyi, jauh
sebelum hadir dalam kegiatan komunikasi. Hal ini membuktikan bahwa
setiap bahasa dalam berkomunikasi pasti melekat dengan makna dan
masyarakat pemakai bahasa.
572
Setiap masyarakat memiliki latar belakang sosial budaya yang
dapat berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah bahasa sehingga bahasa
dapat bergerak. Pemaknaan sebuah bahasa tersebut tidak akan lepas dari
konteks pemakaiannya sehingga ada banyak kemungkinan terjadinya
perubahan jenis dan makna kata.
Perubahan jenis adalah perubahan dari satu jenis kata ke jenis
kata yang lain, misalnya dari nomina berubah menjadi verba. Sementara
itu, perubahan makna adalah gejala berubahnya makna secara total dari
makna awal. Artinya, antara makna awal dengan makna baru benar-benar
memiliki perbedaan yang signifikan. Perubahan makna adalah gejala
pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Rujukan yang pernah ada
diganti dengan rujukan yang baru. Misalnya kata canggih bahasa Indonesia
bermakna “suka mengganggu” menjadi “sangat rumit dan ruwet dalam
bidang teknologi” (Parera, 2004:107). Dewasa ini, ada banyak perubahan
jenis dan makna kata yang ditemukan, khususnya di era generasi Z ini.
Generasi Z merupakan generasi anak-anak dan remaja yang lahir
pada tahun 1995—2015. Pada era ini, semua kalangan anak muda sudah
piawai dalam menggunakan gawai. Gawai menjadi salah satu alat penting
dalam berkomunikasi sehingga tak heran apabila gawai ini sudah menjadi
kebutuhan pokok generasi Z. Selain itu gawai memang memiliki peranan
penting dalam perkembangan kognitif, sosial, emosional, psikomotorik,
dan bahasa.
Pada perkembangan bahasa seseorang, gawai menjadi salah satu
media yang paling berpengaruh karena digunakan sebagai alat
komunikasi. Oleh sebab itu, tak heran apabila bahasa sangat cepat
berkembang di kalangan generasi Z. Rupanya, perkembangan bahasa ini
tidak hanya dilihat dari perkembangan bahasa slank atau bahasa prokem.
Namun, ada kata-kata bahasa Indonesia, khususnya nomina yang akhirnya
mengalami perubahan jenis dan makna. Berdasarkan paparan tersebut,
artikel ini akan mengulas mengenai contoh perubahan jenis dan makna
nomina bahasa Indonesia di era generasi Z.
Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian campuran. Metode
campuran adalah metode yang mencampur metode-metode sekaligus
pendekatan-pendekatan yang berhubungan dengan metode-metode
tersebut (Creswell, 2014:21). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
strategi metode campuran konkuren atau satu waktu sehingga peneliti
573
menggabungkan dan menyatukan data yang sudah diperoleh secara
kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh analisis yang komprehensif
sesuai dengan topik perubahan jenis dan makna kata.
Sumber data penelitian ini adalah foto-foto layar percakapan
media sosial dan hasil survei. Sumber data tersebut diperoleh dari teknik
pengumpulan data kualitatif yang berupa dokumentasi, sedangkan teknik
pengumpulan data kuantitatif ialah survei. Data dokumentasi diperoleh
berdasarkan percakapan-percakapan di media sosial. Sementara itu, data
survei diperoleh dari 34 populasi yang merupakan penutur bahasa. Data
survei ini berbasis internet, sehingga pengolahannya dilakukan secara
daring.
Instrumen penelitian ini dapat dipilah menjadi dua. Pada tahap 1
(tahap data kualitataif), instrumen yang digunakan berupa tabel analisis
data dan pedoman analisis data. Pada tahap 2 atau pada tahap data
kuantitatif, instrumen yang digunakan adalah survei. Penelitian ini dikaji
secara distribusional sehingga data yang sudah diperoleh akan
dibandingkan dengan fungsi dan makna berdasarkan acuan Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi V luring. Selain itu, data juga dianalisis dengan
mengacu pada tata Bahasa Indonesia.
Proses keabsahan data dilakukan dengan triangulasi teori. Hal ini
dimulai dari penentuan strategi penelitian hingga analisis data. Strategi
yang dilakukan merupakan strategi eksploratoris sekuensial. Jadi,
penelitianini melibatkan pengumpulan dan analisis data kualitatif pada
tahap pertama serta pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap
kedua yang didasarkan pada hasil tahap pertama. Prioritasnya ialah pada
tahap pertama dan proses pencampuran antarkedua metode terjadi ketika
peneliti menghubungkan antara analisis data kualitatif dan pengumpulan
data kuantitatif (Creswell, 2014:317).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa dapat berkembang, bergeser, atau berubah makna. Hal ini
tampak pada studi dokumentasi berdasarkan percakapan di grup yang
dimiliki peneliti di salah satu media sosial sepertiWhatsapp. Selain itu,
penggunaan kata-kata yang mengalami perubahan jenis dan makna juga
dapat diperkuat berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti
untuk memperkuat temuan. Penemuan nomina yang mengalami
574
perubahan jenis dan makna berjumlah limakata. Kata-kata tersebut adalah
ember, centong, cus, sis, dan lebai. Berikut adalah pembahasannya.
Pertama, kata ember. Kata ini merupakan kata dengan jenis
nomina. Kata ini dikategorikan sebagai nomina karena mengacu pada
benda. Hal ini sesuai dengan pendapat Alwi, dkk (2010:221) yang
menyatakan bahwa nomina adalah kata yang mengacu pada manusia,
binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Jadi, kata ember bisa
dikategorikan pada nomina barang. Jika dilihat berdasarkan fitur
semantisnya, kata ember ini mengacu pada sebuah wadah berbentuk
silinder. Oleh sebab itu, di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI elektronik
Edisi V )kata tersebut merupakan nomina ‘tempat air berbentuk silinder
dipakai untuk menimba air’. Namun, di era generasi Z ini, kata ember
banyak memiliki makna, seperti sebuah penegasan jawaban ‘ya’ atau
akronim dari ‘memang benar’. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
percakapan berikut.
Thom : “Saiki wes ra ning Malang. Pindah Kediri Peace
Corps.”
Yan
: “Ember.”
Thom : “Hahahha”
(P/r/22.32)
Kutipan di atas adalah kutipan percakapan di media sosial
whastapp yang dikomunikasikan oleh pengajar bahasa menggunakan
bahasa Jawa. Pada komunikasi di atas dapat diketahui bahwa Thom sedang
membicarakan alamat yang sudah tidak di Malang tapi sudah pindah di
Kediri. Sementara itu, lawan tuturnya menjawab ember. Hal ini mengacu
pada kata ember yang bermakna’ya’ dan lawan tuturnya hanya membalas
percakapan itu dengan tertawa. Kutipan ini menunjukkan bahwa antara
penutur dan lawan tutur sama-sama menyepakati bahwa kata ember
bukan alat untuk mengambil air tetapi bermakna ‘ya’. Hal ini membuktikan
sifat makna yang dapat ditentukan dari pemakai bahasanya. Parera
(2004:180) menyatakan bahwa kesinkronisan makna ditentukan oleh
pemakainya untuk tempat dan zaman tertentu. Oleh sebab itu, apabila kata
ember yang bermakna ‘ya’ diucapkan pada masyarakat era 80an atau 90an
pasti akan timbul ketidakpahaman bahasa atau tidak sampainya proposisi
pada lawan tutur.
575
Selain percakapan tersebut, kata ember bermakna ‘ya’ ataupun
‘emang benar’. Hal ini dapat diperkuat berdasarkan survei yang
menunjukkan bahwa 53% mereka berpendapat kata ember memiliki
makna ‘tempat’[nomina], 28% bermakna ‘emang bener/ya’[partikel], 14%
bermakna ‘sindiran’[nomina], dan 5% berpendapat bermakna ‘bohong’[verba].
Jadi dapat dikatakan bahwa saat ini, kata ember sudah mengalami
perubahan jenis dari nomina ke partikel dan perubahan makna dari
‘tempat’ menjadi ‘ya/emang benar’.
Kedua, kata ‘centong’. Kata ini merupakan nomina yang dapat
dikategorikan dalam nomina alat.Kata ini bermakna ‘cedok yang
bertangkai (seperti gayung, sibur)’. Namun, ada banyak orang menilai
bahwa kata ini bermakna ‘cantik’. Kata cantik merupakan kata yang
dikategorikan adjektiva. Kata adjektiva adalah kata yang memberikan
keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh noina
dalam kalimat (Alwi, dkk., 2010:177). Secara khusus, kata cantik dapat
dikategorikan lagi menjadi adjektiva pemeri sifat karena kata ini
berhubungan dengan fisik atau mental. Berikut adalah contoh kutipannya.
Swasti
Yan
Swasti
Yan
: “Tetep pakai masker?”
:“Ulala. Kok Anda tau sih?”
: “Polusi cin, nanti gak centong lagi.”
: “Iya dong.”
(P/r/20.29)
Kutipan percakapan di atas menunjukkan bahwa kata centong
mengalami perubahan jenis dan makna. Percakapan tersebut berbicara
perihal penggunaan masker. Swasti sebagai penutur bertanya pada Yan
dan Yan menjawab bahwa dia menggunakan masker. Sementara Swasti
menegaskan bahwa masker memang penting agar tidak terkena polusi dan
agar tetap cantik. Kata cantik ini diperoleh dari kata centong. Hal ini
menunjukkan bahwa kata centong[nomina] berubah menjadi centong[adjektif]
karena kata rujukan awal adalah sebuah benda bertangkai yang digunakan
untuk mengambil nasi menjadi bermakna cantik. Hal ini sesuai dengan
pendapat Parera (2004:107) yang menyatakan bahwa rujukan yang
pernah ada diganti dengan rujukan yang baru. Hal ini dapat didukung
dengan hasil survei yang menyatakan bahwa 67% berpendapat bahwa
centong adalah alat[nomina], 12% berpendapat bahwa centong adalah
576
cantik[adjektiva], 16% menjawab tidak tahu, dan 5% memaknai
‘benar’[adjektiva].
Ketiga, kata ‘cus’. kata ini merupakan nominayang dikategorikan
dalam nomina benda atau barang. Kata nomina cusdimaknai sebagai
‘tiruan bunyi api disiram air dan sebagainya’ (KBBI V). Selain itu, kata ini
juga merupakan partikel yang bermakna ‘kata seru untuk menyatakan
gerakan yang sangat cepat’. Namun, banyak juga yang memaknainya
sebagai ‘berangkat’ atau jawaban ‘ya’ untuk melakukan sesuatu. Hal ini
bergantung pada konteksnya. Berikut adalah contoh kutipannya.
Nana
Ria
Nana
Ria
Nana
Ria
Nana
Yana
Nana
Yana
:“Kamu jam 12 baru keluar?”
: “Iya”
: “Oke, sampai sini jam setengah satu.”
: “Gak nyampe, 10 menit doang.”
: “Oke deh”.
: “Aku cus.”
: “Iya.”
(P/n/11.58)
: “Nunggu Ibu aja kok kalau sudah datang langsung
cus.”
: “Berarti aku tunggu info kalian ya.”
: “Oke.”
(P/gr/11.30)
Dua kutipan di atas merupakan contoh kutipan kalimat dengan
kata cus yang bermakna ‘berangkat’. Pada kedua kutipan tersebut tampak
bahwa penutur dan lawan tutur menyepakati makna kata cus adalah
berangkat sehingga pernyataan penutur dijawab dengan jawaban “iya”
oleh lawan tutur. Sementara itu, pada kutipan kedua, kata cus yang
bermakna’berangkat’ juga dapat ditandai dari jawaban lawan tutur yakni
kata “Berarti aku tunggu info kalian ya”. Hal ini menandakan bahwa Nana
akan berangkat apabila Yana sudah berangkat. Selain contoh kutipan
tersebut, berikut adalah contoh kutipan lain dari kata cus yang
bermakna‘pergi’.
Uli
Yan
(P/u/20.39)
: “Mereka gak jadi cus....... Katanya pada mau cus.”
: “Ya begitulah.”
577
Kutipan di atas merupakan kutipan dari kata cus yang bermakna
‘pergi’. Hal ini tampak pada jawaban lawan tutur yang hanya menjawab ya
begitulah. Jawaban ini menunjukkan bahwa lawan tutur memahami kata
cus yang sedang diutarakan oleh penutur bukanlah kata cus yang
bermakna ‘ayo pergi atau berangkat’, melainkan bermakna ‘pergi’. Hal ini
dapat diperkuat dengan hasil survei, yaitu kata cus bermakna pergi atau
berangkat. Ada 61% responden menjawab bahwa kata cus bermakna
ayo[partikel], 36% berangkat[verba], dan 3% terus[adverbia]. Hal ini memperkuat
adanya perubahan jenis dan makna kata, yakni kata cus[nomina/partikel]
berubah jenis menjadi cus[partikel/verba]. Hal ini menunjukkan perubahan jenis
dari nomina ke verba. Sementara itu, perubahan maknanya adalah dari
makna ‘tempat atau kata seru’ menjadi ‘aktivitas pergi atau ajakan
berangkat’.
Keempat, kata ‘sis’. Di KBBI V, kata ini merupakan kata jenis
nomina. Kata ini tidak mengalami perubahan jenis, tetapi mengalami
perubahan makna. Saat ini banyak generasi Z yang menganggap bahwa
kata tersebut merupakan kata yang bermakna “kakak” karena berasal dari
kata sister. Berikut adalah kutipannya.
Yo
Dir
: “Sis, ada di mana?”
: “Di rumah. Kenapa?
(P/pr/19.17)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa penutur menggunakan kata
sis untuk menyapa lawan tuturnya. Sementara lawan tuturnya memberi
respon dengan jawaban di rumah. Hal ini membuktikan bahwa kedua
penutur sudah menyepakati bahwa kata sis bermakna ‘kata ganti untuk
perempuan. Padahal di dalam KBBI V, kata ini bermakna “tiruan bunyi
desis (tentang angin berembus dan sebagainya)”. Hal ini dapat diperkuat
dengan hasil survei yang membuktikan bahwa ada 56% memaknai dengan
‘saudara perempuan[nomina]’, 39% memaknai dengan ‘teman
perempuan[nomina]’, dan 5% memaknai dengan ‘penjual toko online[nomina]’.
Kelima, kata ‘lebai’. Jika dilihat di KBBI edisi V, maka dapat
diketahui bahwa kata ini merupakan jenis kata nomina, secara khusus
dikategorikan dalam nomina orang. Namun, pada generasi sekarang, kata
ini sudah berubah jenis dan maknanya. Perubahan jenis dan makan ini
sangatlah tampak. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Cowie (2009:3) bahwa makna dapat berubah-ubah sewaktu-waktu dan
578
jarang digunakan dengan kata yang sama dengan makna yang sama.
Berikut adalah bukti kutipannya.
Tia
Uli
Yan
Uli
: “Tapi novel-novelnya bagus.”
: “Gombalannya Dilan kan puitis.”
: “Ngomong apa gitu dibales lebai dengan majas-majas.”
: “Iya.”
(P/gr/19.58)
Pada kutipan percakapan tersebut tampak bahwa penutur dan
lawan tutur sama-sama sudah menyepakati bahwa kata lebai yang
dimaksud bermakna ‘berlebihan’ sehingga respon yang diberikan lawan
tutur sesuai dengan kalimat umpan yang diberikan oleh penutur.
Perubahan jenis dan makna kata yang tampak adalah perubahan jenis
nomina[orang] menjadi adjektiva[sifat]. Sementara itu, makna yang berubah
adalah dari kata lebai yang bermakna ‘pegawai masjid atau orang yang
mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun’
dengan kata lebai yang bermakna ‘karakter berlebih atau sikap berlebih’.
Sebenarnya, kata yang bermakna ‘berlebihan’ adalah lebay. Dilihat secara
pelafalan bunyi, antara kata lebay dan lebai sama, tetapi memiliki
perbedaan huruf akhir. Namun, hal ini tidak diketahui sehingga banyak
generasi Z yang menganggap bahwa kata lebai bermakna‘berlebihan’. Hal
ini juga merupakan bukti bahwa pemerolehan makna bergentung konteks
pemakaiannya, sehingga kesalahan penerimaan makna bisa saja terjadi.
Hasil surveikata lebai menunjukkan bahwa kata ini bermakna
‘berlebihan atau karakter orang yang suka melebih-lebihkan’[adjektiva]
sebanyak 97% dan 3% hasil survei menunjukkan ‘karakter orang yang
melambai-lambai’[adjektiva]. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 100% dari
hasil survei tidak mengetahui makna rujukan awal kata lebai. Hal ini
menunjukkan bahwa kata lebai sudah kehilangan makna aslinya.
Perubahan seperti inilah yang dapat disebut sebagai perubahan ke arah
belakang. Menurut Rahardi (2006:1) bahwa sosok bahasa ada yang
bergerak maju, berdinamika progresif, dan akhirnya berkembang menjadi
bahwa yang berwibawa dan bermartabat tinggi. Sebaliknya, ada pula
sosok bahasa yang pergeserannya justru ke belakang. Jadi, pada kasus kata
lebai ini pergerakan disebut pergerakan yang involutif karena makna
rujukan awal adalah pegawai masjid yang mengurus suatu pekerjaan yang
579
bertalian dengan agama Islam di dusun dan berubah menjadi karakter
berlebihan. Padahal penggunaan kata lebai yang bermakna ‘karakter
berlebihan’ dikategorikan dalam karakter atau sikap yang negatif.
SIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini memiliki satu simpulan yang sesuai dengan fokus
penelitian yaitu jenis dan makna kata yang mengalami perubahan di era
generasi Z. Pada fokus penelitian tersebut didapat hasil ada 5 kata yang
berubah jenis dan makna katanya, yakni kata ember, centong, cus, sis, dan
lebai.Lima kata tersebut ada yang mengalami perubahan jenis dan
maknanya, tetapi ada juga yang hanya mengalami perubahan makna.
Perubahan jenis dan makna yang ditemukan dari masing-masing kata
tersebut adalah (1) ember[nomina] yang bermakna ‘tempat atau wadah air’
ember[partikel] yang bermakna ‘ya atau emang benar’, (2) centong[nomina]
yang bermakna ‘cedok bertangkai’ centong[adjektiva] yang bermakna
‘cantik’, (3) cus[nomina/partikel] yang bermakna ‘tiruan bunyi api disiram air’
atau ‘kata seru untuk gerakan yang cepat’ cus[verba]yang bermakna
‘berangkat atau pergi’, (4) sis[nomina] yang bermakna ‘tiruan bunyi desis’
sis[nomina]yang bermakna ‘panggilan untuk saudara/teman perempuan’,
dan (5) lebai[nomina] yang bermakna ‘pegawai masjid atau orang yang
mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun
lebai[adjektiva] yang bermakna ‘karakter atau sikap yang berlebihan atau
melebih-lebihkan’.
Berdasarkan temuan penelitian dalam penelitian ini dapat
diketahui bahwa bahasa selalu bergerak. Pergerakan bahasa ini tampak
pada perubahan jenis dan makna kata. Jadi, berikut dapat diuraikan dua
saran agar pergerakan bahasa tersebut tidak bergerak dengan sifat yang
involutif, melainkan pergerakan bahasa yang progresif.
Pertama, pada pemakai bahasa. Para pemakai bahasa diharapkan
tetap mengenal dan menggunakan kata bahasa Indonesia dengan makna
rujukan asli. Selain itu, pemakai bahasa juga diharapkan lebih dapat
selektif dalam penggunaan kata yang maknanya terlalu jauh berbeda
dengan makna rujukan awal.
Kedua, pada orang tua generasi Z. Para orang tua generasi Z
diharapkan dapat tetap menjadi pengingat dan penegur ketika anak-anak
menggunakan kata-kata yang tidak diketahui makna rujukan awalnya. Jadi
580
orang tua juga diharapkandapat mengenal makna kata bahasa Indonesia
baik bentuk baku maupun tidak baku.
DAFTAR RUJUKAN
Alwi, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Aminuddin. 2015. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung:
Sinar Baru Algensindo.
Cowie, A.P. 2009. Semantics. New York: Oxford University Press.
Creswell, J.W. 2014. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed.Yogyakarta: Pustaka Pelajar .
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2016. Edisi Ke-lima. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik: Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Rahardi, K. 2006. Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa.: Bahasa Indonesia
dalam Dinamika Konteks Ekstra bahasa. Yogyakarta: Andi.
Pertanyaan dan Jawaban
1. Kapankah mulai generasi Z?
- Generasi Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1995 – 2015,
yakni ketika internet sudah muncul di Indonesia, sehingga
generasi Z ini juga dapat disebut sebagai generasi era digital.
2. Bagaimana indikator anak-anak yang dikategorikan dalam generasi
Z?
- Indikator anak-anak yang dapat dikategorikan dalam generasi Z
ialah lahir pada era digital, sudah mengenal gawai, mudah
menerima informasi melalui akses internet, lebih banyak
menggunakan gawai atau bermain gawai dibandingkandengan
interaksi dengan kawan atau orang lain secara langsung, lebih
banyak berkomunikasi melalui jejaring sosial (perihal hal yang
penting atau tidak penting), cenderung tidak bisa melepas gawai,
dan mudah ikut-ikutan apapun hal yang sedang trendi.
3. Apakah ada bentuk kata selain nomin yang mengalami perubahan
jenis dan makna?
581
-
Sejauh ini masih belum ada, karena hanya ditemukan kata-kata
bentuk dasar nomina yang mengalami perubahan jenis dan
makan.
582
PEMINJAMAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS DALAM HARIAN
PAKUAN RAYA BOGOR
Yosi Maeleona Passandaran
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
yosimpass@gmail.com
ABSTRAK
Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sudah marak penggunaannya
di segala bidang, salah satunya adalah bidang informasi. Sumber informasi
yang paling umum adalah media massa, salah satunya surat kabar. Sebagai
sumber berita yang menyajikan beragam berita-berita yang terjadi seharihari, surat kabar juga banyak menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris)
dalam tulisannya. Penelitian ini mengangkat masalah peminjaman kata
dari bahasa Inggris yang digunakan dari sisi jenis peminjaman kata yang
digunakan dan bagaimana peminjaman kata asing yang terdapat dalam
Harian Pakuan Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif
deskriptif. Data yang diambil berupa kata, frasa, dan kalimat dari bahasa
Inggris. Sedangkan sebagai sumber data adalah artikel dalam rubrikrubrik pada Harian Pakuan Raya. Harian Pakuan Raya merupakan salah
satu koran lokal yang terbit di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa dalam Harian Pakuan Raya ada dua jenis peminjaman
kata bahasa Inggris, yaitu peminjaman utuh dan peminjaman dengan
perubahan; dan dalam peminjaman ini terdapat kesalahan, yaitu dalam
penulisan kata dan tidak sesuai dengan kaidah penulisan kata asing dalam
bahasa Indonesia.
Kata kunci: peminjaman kata, jenis peminjaman kata, dan perubahan
A.
PENDAHULUAN
Penggunaan kosakata istilah asing saat ini menjadi hal yang biasa
dan banyak dijumpai. Alasan penggunaan bahasa asing dapat diasumsikan
karena tuntutan jaman atau pesatnya arus globalisasi. Hal ini selain untuk
meningkatkan prestise, juga menjadi tuntutan di segala bidang, misalnya
bidang ekonomi, pariwisata, seni, media massa, pendidikan, dan pergaulan
(sosial). Penggunaan kosakata istilah asing ini paling banyak digunakan
583
dalam ragam bahasa informal dan formal. Bahasa Inggris sebagai salah
satu bahasa pengantar di dunia menjadi bahasa yang paling banyak
penuturnya. Baik penutur asli (bahasa ibu) atau penutur asing (bahasa
kedua). Bahasa Inggris bahkan menjadi bahasa resmi di negara dengan
masyarakat penuturnya bukan dari asal bahasa tersebut berasal.
Dalam penggunaannya, banyak peminjaman kosakata asing
(bahasa Inggris) yang dimasukan dalam penggunaan bahasa, baik secara
tertulis maupun lisan. Peminjaman yang dimaksudkan di sini adalah
penggunaan kosakata bahasa Inggris secara utuh tanpa ada perubahan
atau diserap menjadi bahasa Indonesia. Peminjaman secara utuh ini
seharusnya tidak perlu apabila sudah ada kosakata yang diserap atau
memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.
Media massa masa kini terdiri dari dua jenis, yaitu media cetak dan
media online. Media massa cetak dan online sebagai sarana tempat
berbagai informasi yang ada di dalamnya tidak lepas dari penggunaan
istilah atau kosakata bahasa Inggris. Sebagai media penyampai pesan,
media cetak banyak memuat tulisan yang memuat informasi-informasi
terkini. Media cetak ini dapat berupa koran, tabloid, buletin, dan majalah.
Selain dalam bentuk cetak, koran dan tabloid juga ada dalam bentuk online
(daring).
Salah satu koran cetak yang juga tersedia versi online adalah laman
berita PAKAR Online. Versi cetak koran ini bernama Harian Pakuan Raya.
Harian Pakuan Raya berisi berita dan informasi di seputar Kota dan
Kabupaten Bogor. Selain memuat berita dan informasi lokal, harian ini
juga menampilkan berita nasional. Harian ini menggunakan bahasa
Indonesia formal selayaknya harian lain yang terbit secara nasional. Dalam
harian ini banyak terdapat penggunaan kosakata bahasa asing (Inggris)
dalam kalimat. Apa saja jenis peminjaman kosakata bahasa Inggris dan
bagaimana penggunaan kosakata bahasa Inggris tersebut dalam Harian
Pakuan Raya, menjadi fokus dalam penelitian ini.
B.
PEMBAHASAN
Media merupakan alat teknis yang digunakan untuk melakukan
mediasi atau penyampaian pesan, dengan kata lain media merupakan alat
komunikasi (Kasijanto, 2008:288). Media menjadi penyampai pesan atau
berita yang efektif.
584
Koran atau surat kabar merupakan media cetak yang sudah ada
sejak ditemukannya mesin cetak. Sebagai media cetak, koran paling
banyak diminati oleh pembacanya. Secara isi, koran menampilkan berita,
informasi, dan hiburan. Saat ini koran sudah menggunakan versi online
(daring) untuk mengikuti perkembangan jaman.
Kosakata merupakan kumpulan kata, khazanah kata, atau leksikon
(Kridalaksana, 2010:137). Kata itu sendiri adalah unit terkecil dalam
sebuah kalimat. Kata memiliki makna dan dapat berdiri sendiri.
Bloomfield (Aitchinson, 2008: 56) mendefinisikan kata sebagai a minimum
free form, that is the smallest form that can occur by itself.
Word Borrowing merupakan proses pembentukan kata dengan cara
meminjam atau mengambil kosakata dari bahasa lain. Borrowing juga
dapat diistilahkan sebagai peminjaman kosakata secara utuh dari bahasa
lain ke dalam bahasa asli si penutur. Seperti yang dikemukakan oleh
Brown (2003: 28), language in contact borrows words from each other.
Peminjaman kata dalam suatu bahasa dapat terjadi karena adanya kontak
antar bahasa.
Kemmer (2007) menyatakan bahwa the actual process of borrowing
is complex and involves many usage event (i.e. instances of use of the new
word). Generally, some speakers of borrowing language know the source
language too, or at least enough of it to utilize the relevant. Apabila si
penutur adalah seorang yang bilingual, maka penutur tidak merasa bahwa
kata yang digunakan adalah kata dari bahasa asing. Lebih lanjut Kemmer
menyatakan, They adopt them when speaking the borrowing language. If
they are bilingual in the source language, which is often the case, they might
pronounced in the source language. Contohnya: kata computer, product, dan
crispy (English), sudah biasa digunakan oleh penutur bahasa Indonesia.
Kata-kata tersebut bahkan sudah diserap ke dalam bahasa indonesia
menjadi komputer, produk, dan krispi. Kata-kata ini diserap dengan
mengikuti kaidah Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan. Contoh lain, kata
handphone diserap utuh dalam penulisan namun dalam pengucapan
disesuaikan dengan bahasa Indonesia /henpon/.
Peminjaman kata asing di sini ada dua, yaitu peminjaman utuh dan
peminjaman dengan perubahan. Peminjaman utuh adalah kata yang
digunakan secara utuh tanpa proses penyerapan (mempertahankan
bentuk asli). Peminjaman dengan perubahan terdiri dari perubahan
makna dan bentuk. Perubahan makna di sini hanya mengacu makna dari
585
kata asing (bahasa Inggris) yang dipinjam mengalami perubahan saat
digunakan dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna ini dapat saja
belum dibakukan karena makna dari sebuah kata yang mengalami
perubahan ini memang hanya dipahami oleh masyarakat secara langsung.
Hal ini ditandai dengan menggunakan kata tersebut dalam percakapan
sehari-hari. Sedangkan perubahan bentuk di sini adalah perubahan bentuk
kata asing (bahasa Inggris) yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia
sesuai kaidah ejaan Bahasa Indonesia. Kaidah ini disesuaikan dengan
pembentukan unsur serapan dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia PUEBI). Menurut PUEBI, (2016:58), berdasarkan integrasinya,
unsur serapan dalam bahasa Indonesia, dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap
ke dalam bahasa Indonesia, seperti de facto. Kedua, unsur asing yang
penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa
Indonesia. Selain peminjaman yang sudah diserap, kata asing yang
dipinjam juga sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, data
yang diambil berupa kata, frasa, dan kalimat yang mengandung unsur kata
dari bahasa asing (bahasa Inggris). Kata, frasa, dan kalimat yang didapat
selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan acuan teori yang digunakan.
Sumber data diambil dari artikel dan rubrik dalam 15 edisi yang terbit di
bulan Juni dan Juli 2017. Harian Pakuan Bogor. Harian Pakuan merupakan
salah satu koran lokal di Bogor. Harian ini memuat berita seputar kota
Bogor, kabupaten Bogor, dan nasional.
Data-data yang diperoleh diantaranya dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Jenis Peminjaman
a. Peminjaman Utuh
1) ‘... banyak melanggar, pemilik dump truck terancam
tersangka.’
(Edisi 3064. Tanggal 3 Juli 2017)
Frasa ‘dump truck’ dipinjam secara utuh dalam penulisan
di salah satu artikel berita Harian Pakuan Raya.. Asumsi
dari penggunaan frasa ini adalah frasa ‘dump truck’ lebih
dirasa familiar dibandingkan dengan dialihbahasakan
menjadi ‘truk pengangkut’ (pasir, tanah, dan bahan
material lainnya).
586
2) “...., ketika sekolah menerima pendaftaran secara manual
harusnya sudah 200 orang tapi di situsnya baru update
100orang... Jadi terlambat input data,...”. (Edisi 3065
tanggal 4 Juli 2017)
Kata ‘update’ digunakan sebagai kata pinjaman utuh
tanpa ada perubahan makna dan bentuk. Begitupula
untuk kata ‘input’ digunakan sebagai kata pinjaman utuh.
Kedua kata tersebut digunakan oleh narasumber berita di
Harian Pakuan Raya.
3) Disamping itu jangan membuat statement yang berlebih
dalam menanggapinya
Penggunaan kata ‘statement’ sebenarnya dapat diganti
dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu
‘pernyataan’. Namun karena kata ‘statement’ sering
digunakan, maka ada asumsi bahwa dengn menggunakan
kata ini, masyarakat sudah mengerti arti dari kata ini.
b. Peminjaman dengan perubahan (adaptasi)
1) Pemilihan barang diarahkan kepada produk-produk
tertentu sehingga tidak terjadi kompetisi sehat dari dari
sisi mutu dan harga.
(Edisi 3080 tanggal 21 Juli 2017).
Kata ‘produk’ merupakan kata serapan dari bahasa
Inggris ‘product’. Begitupula dengan kata ‘kompetisi’
dari kata ‘competition’. Kedua kata ini mengalami
perubahan bentuk karena telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia.
2) “Yang penting, kita bisa menang dan ada chemistrynya,”
ungkapnya. (Edisi 3070 tanggal 10 Juli 2017)
Kata ‘chemistry’ dipinjam secara utuh ke dalam
penulisan bahasa Indonesia. Kata ini mengalami
perubahan bentuk karena terjadi penggabungan dua
kata yaitu ‘chemistry’ (Inggris) dan akhiran ‘-nya’
(Indonesia). Kata ini mengalami perubahan makna.
Makna ‘chemistry’ adalah ilmu kimia namun di luar
konteks tentang ilmu pengetahuan, kata ‘chemistry’ ini
berarti adanya keterikatan yang dekat, cocok satu sama
587
lain antara dua orang atau lebih. Dengan demikian
perubahan makna ini termasuk dalam perluasan
makna.
2.
Kesalahan Peminjaman
a. Kesalahan penulisan kosakata tidak dicetak miring
1) “... Can you imagine that? YES. #stopbullying i’m begging
you. You never know their story. Respect other however
they are,” tulisnya.
(Edisi 3078 tanggal 19 Juli 2017)
Kalimat di atas digunakan dalam kalimat berita sesuai apa
adanya. Kalimat dalam bahasa Inggris di atas tidak
dicetak miring sebagai penanda kata dari bahasa asing.
2) “Konsultan yang diberi kepercayaan membuat perda
tidak qualified.”
(Edisi 3074 tanggal 14 Juli 2017)
Kata ‘qualified’ juga dipinjam secara utuh dari bahas
Inggris. Kata ini pun sudah ada padanan katanya dalam
bahasa Indonesia, yaitu ‘mutu’.
b. Kesalahan penulisan kosakata bahasa Inggris
1) “Tidak hanya patroli dari personil tetapi kita juga
memanfaatkan tekhnologi untuk control setiap titik di
kota Bogor.”
(Edisi 3070 tanggal 10 Juli 2017)
Pada kata ‘tekhnologi’ terdapat kesalahan penulisan
dalam bahasa Inggris. Penulisan kata ‘tekhnologi’
apabila ditulis dalam bahasa Inggris menjadi
‘technology’. Sedangkan pada kata ‘control’ terdapat
padanan dalam bahasa Indonesia, yaitu ‘kontrol’.
2) Menurutnya, secara fisiologis dan sosiologis harus
mampu menjaga estetika, etika, maupun sosio cultur
yang bisa memberikan image (citra) yang heterogen.
(Edisi 3077 tanggal 18 Juli 2017)
Kata ‘cultur’ dipinjam secara utuh dari bahasa Inggris.
Kata ini ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu
588
‘kultur’ atau ‘budaya’. Kata ‘cultur’ apabila ditulis dalam
bahasa Inggris menjadi ‘culture’.
c. Kesalahan penulisan gabungan dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia
1) “... yang memiliki pengalaman dan track recordnya juga
bagus.”
(Edisi 3074 tanggal 14 Juli 2017)
Frasa ‘track recordnya’ merupakan kosakata gabungan
yang terdiri dari frasa ‘track record’ (bahasa Inggris)
dan akhiran ‘-nya’(bahasa Indonesia).
2) Kapolres Kota Bogor, Kombel Pol Ulung Sampurna Jaya
yang melaunching layanan 110 di Polres Kota Bogor ...
(Edisi 3079 tanggal 20 Juli 2017)
Kata ‘melaunching’ berasal dari bahasa Inggris yang
artinya meresmikan. Pada kata ‘melaunching’ terjadi
gabungan kata, yaitu awalan me- (bahasa Indonesia)
dan ‘launching’ (bahasa Inggris).
Penggunaan kosakata pinjaman yang terdapat dalam Harian
Pakuan Raya tidak digunakan secara tepat. Selain pemilihan kosakata
bahasa Inggris yang sebenarnya terdapat padanannya dalam bahasa
Indonesia, sampai pada kesalahan penulisan. Kosakata asing dapat
digunakan apabila belum atau tidak memiliki padanan dalam bahasa
Indonesia. Penggunaan kosakata bahasa asing ini dilakukan untuk
mengikuti perkembangan jaman yang sudah biasa menggunakan
bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Demikian pula dalam Harian Pakuan Raya ini. sebagai koran
lokal, banyak menggunakan bahasa Inggris dalam penulisan berita.
Penulisan berupa kalimat langsung, maupun kalimat tidak langsung.
Penggunaan paling banyak dalam kalimat langsung, di mana si
narasumber berbicara dalam bahasa Indonesia dengan menyisipkan
kosakata bahasa Inggris. Kalimat dari narasumber ini ditulis apa
adanya oleh redaktur. Begitu pula dalam penulisan kalimat berita,
walau sudah ada kata padanan dan serapan ke dalam bahasa
Indonesia, dalam penulisannya masih menggunakan bahasa Inggris
secara utuh. Namun demikian, dalam penulisan kosakata bahasa
589
Inggris atau bahasa asing lainnya, hendaklah mengikuti pedoman
penulisan yang benar dalam bahasa Indonesia.
Dengan demikian, peminjaman kosakata bahasa Inggris yang
terdapat dalam harian Pakuan Raya ini banyak yang kurang tepat.
Diantaranya adalah (1) kesalahan dalam peminjaman kata bahasa
Inggris yang dimasukan dalam kalimat bahasa Indonesia tanpa
dicetak miring sesuai dengan kaidah dalam tata bahasa Indonesia.
Begitu pula pada penulisan kutipan wawancara yang ditulis sesuai
aslinya (dalam bahasa Inggris). Kesalahan ini paling banyak
ditemukan di masing-masing edisi terbitan, (2) kesalahan lain adalah
kesalahan dalam penulisan ejaan kata bahasa Inggris yang
diasumsikan kesalahan terjadi pada proses penulisan di redaksi, dan
(3) kesalahan penulisan dalam menggabungkan dua kata, yaitu
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. dalam penulisan dari dua kata
yang berbeda bahasa perlu dibatasi dengan tanda (-) diantara kedua
kata tersebut.
C.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Ada dua jenis peminjaman kata bahasa asing (Inggris) dalam Harian
Pakuan Raya, yaitu peminjama utuh dan peminjaman dengan
perubahan. Peminjaman utuh ditemukan pada kata yang
menggunakan
bahasa
Inggris
tanpa
dialihbahasakan/diterjemahkan. Sedangkan pada peminjaman
dengan perubahan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan kaidah dan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia.
2. Penggunaan kosakata pinjaman bahasa Inggris di media cetak
merupakan hal yang biasa atau lumrah. Namun penggunaan
kosakata pinjaman ini seharusnya mengikuti kaidah dalam
penulisan dalam wacana kalimat bahasa Indonesia. Penulisan kata
asing dalam bahasa Indonesia harus dicetak miring. Dalam
penggabungan dua kata dari dua bahasa juga harus dipisah dengan
menggunakan tanda (-).
3. Ditemukan kesalahan penulisan kata asing. Kesalahan penulisan ini
adalah kesalahan penulisan ejaan dalam bahasa Inggris. Hal ini bisa
590
disebabkan oleh kesalahan redaksi. Kesalahan penulisan juga
ditemukan pada penggabungan dua kata (bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia) yang seharusnya menggunakan tanda hubung.
DAFTAR PUSTAKA
Aitchinson, Jean. 2008. Linguistics. Teach Yourself. Chicago: McGraw-Hill
Brown, Steven & Salvatore Attardo. 2003. Understanding Language,
Structure, Interaction, and Variation. An Introduction to Applied
Linguistics and Sociolinguistics for Nonspecialists. Michigan: The
University of Michigan Press
Kasijanto.2008. Media dan Monopoli dagang. Percetakan dan penerbitan di
Indonesia pada masa VOC. Jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober
2008 (287-300).
Kemmer,
Suzanne.
2007.
Loanwords.
Rice
University.
http://www.ruf.rice.edu/-kemmer/words/loanwords.html.
Diakses 2 April 2017.
Kridalaksana. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Tim Pengembang Bahasa Indonesia. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia/Panitia Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia.
HASIL DISKUSI SEMINAR
Pertanyaan dari peserta seminar Lingusitik UGM II:
1.
Apa batasan dari kata serapan yang digunakan dalam penelitian ini
untuk menentukan kata tersebut kata serapan?
Penanya: Viktorius Paskalis (UGM)
Batasan kata serapan dalam penelitian saya hanya pada kata-kata
dalam bahasa Inggris yang sudah diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Kata-kata dalam bahasa Inggris yang diserap ini
disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
2.
Dalam judul terdapat ‘kata asing’. pertanyaannya adalah apa batasan
kata asing di pada judul? Apakah hanya bahasa Inggris atau dari
bahasa lainnya?
Penanya: Zain Handoko (UGM)
591
Jawab:
Kata asing di sini adalah semua kata yang bukan atau tidak ditulis
dalam bahasa Indonesia. Dalam judul saya mencatumkan ‘kata
asing’, namun dalam latar belakang, saya menjelaskan bahwa kata
asing di sini adalah kata dalam bahasa Inggris karena fokus
penelitian saya hanya pada kata yang berasal dari salah satu bahasa
asing, yaitu bahasa Inggris.
3.
Menyambung masalah kata asing, kata asing bukan hanya berasal
dari bahasa Inggris, Jerman atau bahasa lainnya, tetapi juga dari
bahasa daerah juga dapat dikatakan bahasa asing.
a. Apakah ada penggunaan bahasa daerah di dalam koran Pakuan
Raya Bogor ini?
b. Apakah koran-koran lokal di Bogor banyak menggunakan
bahasa asing atau daerah? Dalam koran lokal biasanya juga
banyak menggunakan bahasa daerah.
Penanya: Bayu Aryanto (UGM)
Jawab:
a. Dalam harian yang saya gunakan sumber data ini tidak saya
tidak menenmukan bahasa daerah, bahasa Sunda. Koran ini
menggunakan bahasa Indonesia dan ada beberapa kata atau
kalimat yang menggunakan bahasa Inggris. Nah
penggunaan bahasa Inggris inilah yang menjadi tujuan
utama dalam penelitian saya ini.
b. Di Bogor ada beberapa koran lokal sekitar tiiga atau empat
koran yang terbit di wilayah Bogor dan Kabupaten Bogor.
Sementara ini saya baru mengamati satu koran lokal. Untuk
selanjutnya, saya akan mencoba untuk menggunakan
beberapa koran lokal tersebut untuk penelitian saya
selanjutnya. Sudah dalam rencana saya akan meneliti
koran-koran lokal tersebut dengan tema penelitian yang
lebih luas lagi.
Terimakasih.
592
PASAR UKADZ DAN PENGARUHNYA TERHADAP BAHASA ARAB
ZAIN HANDOKO
PRODI MAGISTER LINGUISTIK FIB UGM
ABSTRAK
Pasar Ukadz merupakan pasar yang fenomenal bagi masyarakat Arab,
disamping terdapat transaksi jual beli di pasar ini juga banyak kegiatan
kebudayaan. Karena berlangsung amat lama pasar ini dimungkinkan
memberi dampak pada bahasa Arab. Tulisan ini bertujuan untuk mencari
pengaruh tersebut. Masalah yang dikaji adalah apakah ada pengaruh pasar
Ukadz terhadap bahasa Arab serta apa saja pengaruh-pengaruh tersebut.
Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif,
sedangkan data yang digunakan adalah data pustaka. Pasar Ukadz
memberi pengaruh yang signifikan pada bahasa Arab dan pengaruh
tersebut ada lima yaitu : 1. Penambahan kosakata baru, 2. Penambahan
peribahasa dan amsal, 3. Penyatuan bahasa Arab dalam dialek Quraisy, 4.
Berkembangnya periwayatan bahasa dan 5. Lahirnya karya emas
Mu’allaqot.
PENDAHULUAN.
Masyarakat Arab Selain mempunyai pasar kedaerahan juga
mempunyai pasar musiman. Diantara pasar musiman mereka ialah pasar
Ukadz, al Mijannah dan Dzul Majaz. Diantara pasar tersebut yang paling
fenomenal adalah pasar Ukadz, Selain menjadi pusat jual beli, pasar Ukadz
menjadi ajang beragam aktifitas masyarakat. seperti ajang lomba
kefasihan syair, lomba gulat, pacuan kuda, putusan peradilan oleh
sesepuh, tempat mendapat untung dari memuji para penguasa, dan masih
banyak lagi.
Pasar Ukadz merupakan bentuk kebudayaan masyarakat Arab
masa jahiliyyah. Karena bila kita merujuk pada pemahaman kerangka
kebudayaan menurut Koentjaraningrat mempunyai dua titik tolak, yaitu
wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Wujud kebudayaan bisa berupa
gagasan (sistem budaya) yang bersifat abstrak, perilaku (sistem sosial )
dan fisik /benda (kebudayaan fisik) (Mujib via Chaer, 1995 :217). Pasar
Ukadz merupakan perilaku (sistem sosial) masyarakat Arab yang sudah
593
berlangsung hingga ratusan tahun. Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa
pasar Ukadz merupakan sebuah kebudayaan.
Kebudayaan masyarakat sudah maklum akan mempengaruhi
bahasanya, hubungan keduanya amat erat. Beberapa pembahasan
mengenai keduanya bisa dibagi menjadi hubungan kordinatif dan
subordinatif(Ahmad, 2009 :148), pada hubungan subordinatif
menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Bentuk hubungan
subkordinatif ada tiga yaitu perubahan bahasa karena perubahan budaya,
tunduknya tindak komunikasi pada norma kebudayaan tertentu dan
hubungan langsung yang menyatakan bahwa bahasa adalah hasil dari
kebuyaaan. (Ahmad, 2009 :148)
Karena pasar Ukadz merupakan kebudayaan yang sudah
berlangsung hingga ratusan tahun, dengan kegiatan didalamnya yang
beragam, Apakah pasar Ukadz mempunyai memberi pengaruh dalam
bahasa Arab? Bila iya pengaruh apa saja yang diberikan pasar Ukadz
terhadap bahasa Arab?
Makalah ini bertujuan untuk mencari tahu apakah pasar Ukadz
mempunyai pengaruh pada bahasa Arab lalu mengidentifikasi dalam
bentuk apa saja pengaruh-pengaruh tersebut. Pengaruh yang akan dibahas
dalam hubungan keduanya adalah pengaruh subkordinatif, pengaruh
yang menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Dalam hal ini
menganggap bahwa bahwa bahasa Arab adalah bagian dari budaya
aktifitas masyarakat yang ada di pasar Ukadz
A. Metodologi Pembahasan
Data dalam makalah ini diambil dari pustaka yang berkaitan dengan
pasar Ukadz serta kehidupan masyarakat Arab masa jahiliyyah. Pustaka
tersebut ada yang membahas pasar ukadz secara langsung serta yang lain
membahas kegiatan masyarakat dan bahasa mereka secara umum. Datadata tersebut lalu dikumpulkan dengan teknik catat, lalu dianalisis dan
dikelompokkan secara kualitatif. Dengan menyandarkan pada teori bahwa
hubungan antara bahasa dan kebuayaan bersifat subordinatif.
Menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya.
B. Periode Pasar Ukadz.
Pasar ukadz merupakan pasar bagi semua bangsa Arab, semua suku
Arab biasanya akan berduyun-duyun mendatangi pasar tersebut, bahkan
para pembesar kabilah. Mereka biasanya tidak mendatangi pasar
musiman selain pasar Ukadz. pasar Ukadz biasanya diadakan pada bulan
Dzulhijjah selama dua puluh hari (Irfan, 2000 :56) adapun kapan pertama
594
kali pasar Ukadz dimulai, tidak ada riwayat pasti yang menyatakan
waktunya dengan jelas. Namun Nashir setelah menganilisa beberapa
riwayat yang ada ia menyatakan bahwa pasar tersebut dimulai sekitar
lima belas tahun sebelum tahun gajah (Nashir, 1977 :17) Kalaupun ada
beberapa riwayat yang menyatakan pasar ukadz sudah berdiri puluhan
tahun sebelumnya. Tahun gajah adalah tahun 571 hijriah (Irfan, 2000
:202) , ketika datangnya rasul terakhir dan datangnya agama Islam ia sama
sekali tidak bertabrakan dengan kebudayaan yang ada di pasar tersebut,
pasar tersebut masih terus ada hingga empat khalifah pengganti rasul.
Namun keramaiannya tentu tidak seperti pada mulanya dikarenakan
banyak sebab. Hingga akhirnya benar-benar dibubarkan oleh aliran Islam
garis keras sekitar tahun 747 M (Irfan, 2000 :117). Bila demikian bisa
dikira-kira, pasar Ukadz berlangsung di masyarakat sekitar dua ratu tahun
lamannya.
Dengan keberlangsungan pasar Ukadz yang begitu amat lama,
mungkin saja pasar Ukadz berpengaruh amat besar dalam bahasa Arab.
Sebagaimana kegiatan kebudayaan pada umumnya. Pengaruh tersebut
mungkin ada pada unsur-unsur bahasa yang ada pada masyarakat Arab
seperti peribahasa, hikmah atau mungkin ada kosakata yang baru.
C. Pengaruh Pasar Ukadz Terhadap Bahasa Arab Masa
Jahiliyyah.
Dengan beberapa kegiatan pasar Ukadz yang beragam kemungkinan
besar pasar Ukadz memberi pengaruh yang besar terhadap bahasa.
Terutama karena hubungan keduanya yang bersifat subkordinatif. Setelah
dicari, ditemukan beberapa pengaruh pasar Ukadz terhadap bahasa Arab.
Pengaruh-pengaruh tersebut adalah:
1. Ada Beberapa Peribahasa Arab Baru dari Pasar Ukadz
Ada beberapa peribahasa yang pengucapannya didasarkan pada
peristiwa di pasar Ukadz diantaranya ialah:
Peribahasa Sabaqo saifu aladzla, dilandaskan pada peristiwa ketika
Dzobbah membunuh Ka’b yang telah membunuh anaknya. Ketika orangorang mencelanya ia mengatakan sabaqo saifu aladzla. Yang berarti
pedang telah mendahului celaan (Nashir, 1977 :18) atau sama dalam
peribahasa Indonesia nasi telah menjadi bubur.
Begitu juga dengan peribahasa, La atikaa mi’zal firzi yang berarti
sesuatu yang tidak mungkin berkumpul karena mustahil”. Peristiwa
595
tersebut ketika kambing al Firzi direbut orang banyak dan tak mungkin
dikumpulkan lagi (Irfan, 2000 :102)
Juga ada beberapa peribahasa lagi yang diucapkan di pasar Ukadz
diantaranya, Aufaa min aufin bin mahlim lebih menepati janji dari pada Auf
bin Mahlam dan Ahmaqu min abu Ghobsyan lebih bodoh dari abu
Ghobsyan.
2. Penambahaan Kosa kata baru yang berkaitan dengan pasar
Ukadz.
Ada beberapa kosakata baru yang khas pasar Ukadz, kosakata
tersebut tidak ada ditempat dan waktu yang lain. Beberapa kosakata
tersebut adalah:
Sarhah adalah istilah untuk pohon tempat berkumpulnya para
pemimpin kabilah(Irfan, 2000 :126), mereka membanggakan kabilahnya
di depan kabilah lain. Lalu ada juri yang mengalungkan sorban sebagai
tanda kemenangan.
Ada juga istilah royatul wafa’ dan hadr, (bendera menepati dan
ingkar janji) pasar. Ukadz merupakan tempat untuk janji pertemuan dua
orang(Irfan, 2000 :130). Bila orang yang yang berjanji menepati maka
akan dikibarkan bendera yang ditulis nama orang yang menepati tersebut,
sedangkan bila mengingkari maka akan dikibarkan bendera api yang
dituliskan nama orang tersebut.
Disamping tiga kata itu ada banyak lagi kosakata baru tambahan
dari pasar Ukadz, diantaranya rohib, zabib ukad, mulqil qona’ dan lain-lain
belum lagi ditambahkan penambahan julukan baru bagi seseorang yang
biasanya diberikan di pasar Ukadz.
3. Penyatuan Bahasa Arab
Dari bahasa Induknya, bahasa Arab terbagi menjadi dua. Bahasa Arab
utara dan selatan. Atau yang biasa disebut bahasa Yaman dan Hijaz. Dari
dua bahasa tersebut banyak bercabang dialek-dialek bahasa Arab (Irfan,
2000 :170). Perbedaan dialek tersebut sebenarnya amat tipis seringkali
hanya pada tataran fonologi hingga ketika seseorang berkata dengan
bahasa dialeknya maka orang dari suku lain akan memahaminya.
Dalam perkembangannya, bahasa Arab Hijaz yang dituturkan oleh
suku Quraisy berhasil menang atas bahasa Arab daerah lain. Diantara
sebab yang paling masyhur ialah adanya pusat-pusat ekonomi yang berada
di dataran Hijaz. Terutama adanya pasar Ukadz. Secara hubungan
subkordinatif bahasa, tindak komunikasi orang Arab akan tunduk pada
norma tertentu, dalam hal ini mereka akan tunduk pada bahasa setempat
596
yaitu bahasa Arab Hijaz. “Kepada pasar-pasar ini, kembali faktor terbesar
dalam penyatuan pandangan orang Arab” (Carl Brockelman Via Irfan,
2000:130) .
4. Berkembangnya Periwayatan Bahasa di Masa Jahiliyyah.
Ketika pasar Ukadz diadakan orang-orang akan berkumpul
mengerumuni para penyair dan ahli pidato, mereka penasaran syair apa
yang baru di Pasar Ukadz dan mereka siap menjadi penyebar
berita/periwayat yang alami. Seperti apa yang dikatakan oleh Daiziroh,
“Bahasan riwayat sendiri sebenarnya bahasan yang baru, sedangkan pada
masa lalu, itu merupakan sudah menjadi hal yang lumrah.” (Daiziroh,
1995:133). Jadi boleh dikatakan periwayatan pada masyarakat Arab
ketika itu sudah menjadi budaya dan bagian darikehidupan mereka.
Periwayatan ketika itu hanya sebatas memindahkan hafalan dari
satu orang ke orang lain dengan jalan lisan. Bila orang-orang awamnya saja
sangat antusias dengan periwayatan bagaimana dengan pembesar kabilah
atau para pemerhati syair. Seorang pembesar kabilah yang dipuji penyair
ia pasti akan menghafal dan menulis hafalan tersebut agar pujian itu kekal.
Mereka saling meriwayatkan syair di pasar, majlis dan segala
perkumpulan mereka, oleh karenanya periwayatan ketika itu amat sangat
semarak dan sudah menjadi watak orang Arab.
5. Lahirnya Karya Muallaqot
Mu’allaqot merupakan karya fenomenal dalam syair. Dianggap
sebagai syair yang sempurna baik dari makna, susunana kata, dan
keindahannya. Muallaqot sering
juga disebut dengan mudzahhabat karena ditulis dengan tinta emas dan
jumlahnya ada tujuh (Daiziroh, 1995:140) Sementara dari beberapa
referensi difahami bahwa lahirnya sya’ir Mu’allaqot berkaitan erat dengan
pasar Ukadz (Irfan, 2000 :178) .
Ketika para penyair mendendangkan syairnya di pasar Ukadz
depan seorang juri bernama Nabighoh Dzibyani, disekelilingnya sudah
berkumpul penonton, putera suku terbaik dan para periwayat syair.
Nabighoh akan memberikan kritiknya secara obyektif hingga para penyair
akan membuat syair dengan penuh perhitungan. Ada beberapa penyair
yang mungkin bisa unggul ketika membanggakan diri, sementara yang lain
unggul ketika meratap, bicara hikmah atau yang lain. Dari semua itu tentu
ada syair yang paling dianggap baik, yang orang Arab pilih sebagai
mu’allaqot. Ketika syair terpilih jadi mua’allaqot berarti dia mendapat
kebanggaan di semua bangsa Arab. Ketujuh penyair tersebut adalah
597
Umru’ul qois, Nabighoh dzibyani, Zuhair bin Salma, Thorfah bin Abd,
Harits bin Hilzah, Antaroh bin Syaddad dan Lubaid bin Robi’ah. (Daiziroh,
1995:114). Syair mu’allaqot masih menjadi kebanggaan dan dipelajari
oleh bangasa Arab hingga saat ini.
G. KESIMPULAN
Pasar Ukadz berpengaruh amat besar dalam perkembangan
bahasa Arab pada masa jahiliyyah hal itu terwujud dalam beberapa hal,
Penambahan kosakata baru, penambahan peribahasa dan amsal,
penyatuan bahasa Arab menjadi dialek Quraisy,
berkembangnya
periwayatan bahasa dan lahirnya karya emas Mu’allaqot.Saat itu mungkin
belum ada bangsa yang kemajuan bahasanya sampai pada tingkat
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dhoif, Syauqi. 1960. Tarikh al Adab al Jahiliy. Darul Ma’arif.
Muhammad-Hamur, Irfan. 1984. Suq Ukadz wa Mawasimul Hajj. Rihab al
Haditsah, Beirut.
Mujib, Ahmad. 2009. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan. Jurnal adabiyyat,
volume 8, nomor 2.
Sa’d-Rosyid, Nashir. 1977. Su’q Ukadz fil Jahiliyyati wal Islam. Darul
Anshor, Kairo.
Saqqol, Daiziroh. 1987. Al Arob fil Ashril Jahiliy. Dar Shodaqoh Al
Arobiyyah, Beirut.
598
ANALISIS PERBANDINGAN TRANSITIVITAS DALAM
TERJEMAHAN CERITA ANAK KARYA SEAN COVEY
Zohra Inayah Nasir
zohrainayahnasir@gmail.com
Analisis transitivitas yang dapat dilihat pada klausa-klausa dalam sebuah
teks menggambarkan bagaimana penulis mengkontruksi idenya. Teori
tentang transitivitas pada Linguistik Sistemik Fungsional oleh Halliday ini
kemudian digunakan dalam menganalisis klausa-klausa pada buku The
Seven Habits of Happy Kids dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia,
Tujuh Kebiasaan Anak Bahagia. Jenis teks ini dianalisis untuk mengetahui
proses apa yang mendominasi pada cerita anak yang ada pada buku
tersebut.
Kata kunci: terjemahan cerita anak, transitivitas, Linguistik Sistemik
Fungsional.
1.
LATAR BELAKANG
Transitivitas dalam penjelasan Halliday (2004) merupakan akumulasi dari
pengaruh pengalaman sosial penulis yang tercermin pada klausa dan
pilihan-pillihan kata dalam tulisannya. Hal inilah yang kemudian penting
untuk diselidiki lebih lanjut dalam sebuah karya sastra, khususnya pada
cerita anak yang banyak dipakai sebagai salah satu instrumen bagi orang
tua dalam mendidik anak-anaknya.
Keberagaman jenis dongeng, baik dongeng dalam negeri maupun
terjemahan merupakan hal yang menambah referensi bagi masyarakat
dalam memilih jenis dongeng tertentu untuk diberikan kepada anak
sebagai bahan bacaan. The Seven Habits of Happy Kids karya Sean Covey
merupakan salah satu karya sastra populer digunakan sebagai sarana
mendongeng dan membentuk karakter anak. Buku The Seven Habits of
Happy Kids, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi Tujuh Kebiasaan Anak Bahagia, termasuk sangat diminati melihat
rekam jejak pencetakan pertamanya pada tahun 2014, yang kemudian
memasuki cetakan periode ketiga hanya setahun setelah cetakan pertama.
599
Kehadiran buku cerita terjemahan ini ini merupakan sarana memperkaya
referensi nilai kebaikan yang dapat diberikan pada anak sekaligus menjadi
tantangan tersendiri bagi orang tua dan pendongeng dalam menjelaskan
konteks kebudayaan yang melekat pada dongeng tersebut. Pada posisi ini,
para penerjemah berperan penting dalam mengolah kata dari bahasa
sumber ke bahasa target agar makna dongeng dapat disampaikan.
Menerjemahkan merupakan salah satu keterampilan yang paling
tidak memerlukan dua bahasa. Tidak berhenti pada penguasaan bahasa,
menerjemahkan juga akan menjadi lebih baik ketika beriringan dengan
penguasaan budaya untuk masing-masing bahasa. Maka penerjemah
sebaiknya tidak hanya bilingual atau multilingual namun juga bicultural
bahkan multicultural. Seperti layaknya sebuah karya sastra, terjemahan
juga memiliki kekhasan tersendiri yang secara implisit maupun eksplisit
menunjukkan penerjemahnya. Pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam
mengalihkan makna akan sangat berpengaruh pada hal-hal yang terkait
dengan penerjemah itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan Halliday
(2004) bahwa bahasa tidak pernah berada di ruang hampa. Ia selalu
didukung oleh beberapa hal yang memengaruhi penggunanya. Hal inilah
yang kemudian mendorong pembaca dalam menganalisis perbandingan
transitivitas, berfokus pada proses dalam klausa, antara teks asli The Seven
Habits of Happy Kids dibandingkan dengan hasil terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia.
2.
RUMUSAN MASALAH
Tipe proses apakah yang mendominasi dalam buku The Seven Habits of
Happy Kids dan terjemahannya?
3.
TUJUAN
Mengetahui penggunaan tipe proses yang mendominasi dalam buku The
Seven Habits of Happy Kids.
4.
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai transitivitas
menggunakan Linguistik Sistemik Fungsional diantaranya:
Leonita Maharani (2016), meneliti tentang transitivitas pada Cerita Rakyat
Papua (Suku Mee). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cerita rakyat
tersebut didominasi oleh proses material yang menunjukkan bahwa
600
masyarakat Papua yang lebih fokus pada kerja fisik dibanding proses
mental, verbal, dan proses yang lainnya. Hal ini kemudian dikaitkan juga
dengan karakter masyarakat suku Mee yang suka bekerja keras.
Nouri (2014), meneliti tentang transitivitas pada wacana yang dibangun
pada dongeng-dongeng berbahasa Inggris seperti Cinderella, Putri Salju,
dan Putri Tidur. Hasil penelitian ini, berdasarkan analisis transitivitasnya,
secara implisit menunjukkan bahwa laki-laki dalam dongeng-dongeng
selalu tampil sebagai pahlawan penyelamat yang menyelamatkan wanita
tokoh utama di dongeng tersebut, sedang wanita dipandang sebagai
makhluk tak berdaya yang hanya memiliki satu kekuatan, yaitu kecantikan
rupa, yang merupakan alat untuk menarik perhatian laki-laki.
Penelitian tentang transitivitas yang merupakan bagian dari Linguistik
Sistemik Fungsional juga dilakukan oleh Muksin (2016) yang menganalisis
transitivitas terjemahan Takepan Serat Menak Yunan (Naskah kuno suku
Sasak) yang didominasi oleh proses material. Hal ini kemudian dikaitkan
dengan kontribusi positifnya pada pembelajaran Bahasa Indonesia
berbasis teks di sebuah sekolah menengah.
5.
LANDASAN TEORI
A.
Konsep Penerjemahan
Konsep penerjemahan telah banyak dicetuskan oleh banyak pakar. Nida
dan Taber (1969:22) menyatakan bahwa penerjemahan dapat menjadi
proses komunikasi antara bahasa sumber (BSu) dan bahasa target (Bsa).
Di lain sisi, Newmark (1988:7) sebagai upaya pengalihan pesan tertulis
dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa target (Bsa). Secara lebih spesifik,
Larson (1984:3) menegaskan bahwa pengalihan tersebut hanya
mengubah bentuk bahasa dari BSu ke BSa, sementara makna yang
terdapat pada BSu harus dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan
bahwa dalam penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa
boleh saja berbeda. Penerjemahan dengan segala kompleksitasnya,
setidaknya menjadi jembatan bagi dua bahasa yang berbeda agar maksud
dari sebuah teks dapat dipahami oleh banyak kalangan dari berbagai
bahasa.
Dari pendapat-pendapat di atas, hal yang tidak dapat dipisahkan dari
terjemahan adalah penerjemah itu sendiri. Menerjemahkan
membutuhkan kemampuan yang mumpuni tidak hanya dari pengetahuan
bahasa (grammatical skill) penerjemah, tetapi juga kemampuan analisis
601
dan pemahaman beraneka ragam budaya yang baik. Kemampuan tersebut
mempengaruhi kualitas penerjemahan, begitupun sebaliknya. Selain
faktor dari penerjemah, jenis teks yang diterjemahkan juga menjadi
tantangan tersendiri. Karya sastra anak adalah salah satu jenis teks yang
menantang dalam penerjemahannya. Meskipun disajikan dalam bahasa
yang sederhana, penerjemahan karya sastra anak dapat mengakibatkan
kekeliruan dalam interpretasi. Menurut Stolze (2003), ini terjadi karena
adanya faktor sikap penerjemah itu sendiri terhadap bahasa sasaran dan
budaya pembaca sasaran. Olehnya, dalam penerjemahan karya sastra
anak, keterbacaan adalah hal yang penting untuk diperhatikan.
B.
Metafungsi Bahasa
Secara umum, bahasa memiliki dua perspektif, yaitu linguistik fungsional
dan linguistik formal. Linguistik fungsional melihat bahasa sebagai sistem
tanda yang dapat dianalisis berdasarkan struktur dan pemakaiannya, hal
inilah yang disebut oleh Saragih (2001:1) dalam uraiannya tentang
linguistik sistemik fungsional (LSF) bahwa bahasa merupakan sistem arti
dan sistem ekspresi untuk menjelaskan arti tersebut. Halliday (2004)
mengungkapkan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang muncul
sebagai semiotic sosial dan teks yang saling merujuk satu sama lain dengan
konteks sosial itu sendiri.
Bahasa memiliki struktur yang terbangun berdasarkan fungsinya yang
mencakup tiga hal, yaitu: fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Fungsi-fungsi inilah yang disebut Halliday (2004) sebagai metafungsi
bahasa yang akan menentukan struktur bahasa. Hal ini dibagi dalam
beberapa bagian oleh Halliday yaitu metafungsi ideasional, interpersonal
dan tekstual. Makalah ini berfokus pada transitivitas yang merupakan
bagian dari metafungsi ideasional.
C.
Transitivitas
Terdapat hubungan timbal balik antara keberagaman keadaan sosial yang
dialami manusia dengan bahasa yang tercermin dari pilihan-pilihan kata
yang digunakan dalam sebuah kalimat. Hal inilah yang disebut sebagai
transitivitas. Dalam teori Linguistik Sistemik Fungsional, Halliday
(2004:107) mengatakan bahwa suatu kalimat merupakan enkode dari
sebuah keadaan dimana penulis dan lingkungan sekitarnya berada.
Halliday (2004:108) membagi transitivitas ini atas:
602
1.
Proses
a.
Proses Material
Proses yang melibatkan adanya kegiatan fisik dan dapat diamati oleh
indra. Dalam proses material, pelaku adalah subjek, proses material adalah
predikat, gol setara dengan objek dan sirkumstan adalah keterangan.
b.
Proses Mental
Merujuk pada aktivitas yang menyangkut kognisi, emosi, dan resepsi pada
manusia. Dalam proses mental, pengindera merupakan subjek, mental
merupakan predikat, fenomena merupakan objek dan sirkumstan
merupakan keterangan.
c.
Proses Relasional
Menghubungkan satu entitas dengan lingkungan lain di dalam hubungan
intensif, sirkumstan, atau kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi
satu atribut. (Saragih: 2001:29). Secara sistemik, jenis proses relasional
tersebut dapat diringkas sebagai berikut. (a) Proses: relasional: Intensif:
identifikasi (b) Proses: relasional: intensif: atribut, (c) Proses: relasional:
sirkumstan: identifikasi, (d) Proses: relasional: sirkumstan: atribut, (e)
Proses: relaional: kepemilikan: identifikasi, (f) Proses: relasional:
sirkumstan: atribut.
d.
Proses Verbal
Proses verbal terdapat di antara proses relasional dan mental. Proses
verbal sebagian memiliki ciri proses mental dan sebagian yang lain
memiliki ciri relasional. Dalam proses relasional, penyampai pembicara
merupakan subjek, proses verbal merupakan predikat, dan lawan bicara
merupakan objek, dan sirkumstan merupakan keterangan.
e.
Tingkah Laku
Yaitu aktivitas psikologis yang menjelaskan tingkah laku fisik manusia.
Misalnya pingsan, tertawa, mengeluh, marah. Proses ini merupakan bagian
dari verba.
2.
Partisipan
Digunakan sebagai inti yang mengikat semua unsur lain. Dengan sifatnya
yang demikian, proses digunakan sebagai dasar pelabelan yang melakukan
proses (Partisipan I), dan partisipan yang kepadanya proses itu ditujukan
(Partisipan II). (Saragih, 2001: 36).
603
3.
Sirkumstan
Sirkumstan merupakan lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya
proses. Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Sirkumstan terdiri
atas rentang yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi yang dapat
mencakupi tempat atau waktu, cara , sebab, lingkungan, penyerta, peran,
maslah dan sudut pandang. Konsep sirkumstan setara dengan keterangan
dalam tata bahasa baku tradisional.
D.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif yang acuannya adalah teks-teks yang ada
dalam cerita anak karya Sean Covey dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Klausa-klausa yang ada dalam hasil penerjemahan tersebut
dianalisis transitivitas yang berfokus hanya pada prosesnya untuk
dibandingkan dengan teks aslinya. Penulis membaca terlebih dahulu buku
tersebut, kemudian mengelompokkan cerita yang dianggap mewakili
keseluruhan isi buku, karena beberapa tema hampir sama. Empat dari
tujuh tema dalam buku cerita tersebut kemudian dianalisis. Hasil analisis
kemudian disajikan dalam tabel agar proses yang mendominasi dapat
terlihat jelas dan dipahami dengan baik
E.
PEMBAHASAN
Setelah menganalisis 424 klausa dalam empat tema yang ada dalam buku
tersebut maka hasilnya adalah:
Cerita 1 (90 Klausa)
N
o
Bahasa
Proses
Materi
al
1
Inggris
42.22%
2
Indones
ia
43.33
Prose
s
Ment
al
12.22
%
11.11
%
Prose
s
Verb
al
20%
Proses
Behavior
al
Proses
Eksistensi
al
Proses
Relasion
al
11.11%
11.11%
3.33%
20%
13.33%
8.88%
3.33%
Cerita 2 (113 Klausa)
604
N
o
Bahas
a
1
Inggris
2
Indone
sia
Prose
s
Mater
ial
51.32
%
51.32
%
Pros
es
Ment
al
13.27
%
13.27
%
Pros
es
Verb
al
18.58
%
18.58
%
Proses
Behavio
ral
Proses
Eksisten
sial
Proses
Relasio
nal
10.61%
-
6.19%
7.96%
3.53%
7.07%
Prose
s
Ment
al
30.6
%
35.6
%
Pros
es
Verb
al
9.9%
Proses
Behavior
al
Proses
Eksistens
ial
Proses
Relasion
al
4.9%
1.9%
3.9%
9.9%
2.9%
0.99%
4.95%
Prose
s
Ment
al
16.6
%
20%
Pros
es
Verb
al
24%
Proses
Behavior
al
Proses
Eksistens
ial
Proses
Relasion
al
5%
-
5%
24%
6.6%
1.6%
6.6%
Cerita 3 (101 Klausa)
N
o
Bahasa
Proses
Materi
al
1
Inggris
48.5%
2
Indones
ia
45.4%
Cerita 4 (120 Klausa)
N
o
Bahasa
Proses
Materi
al
1
Inggris
48.3%
2
Indones
ia
43.3%
Rerata Perbandingan Proses pada Empat Tema Cerita:
N
o
Bahasa
Proses
Materi
al
1
2
Inggris
Indones
ia
47.5%
45.8%
Prose
s
Ment
al
18%
19.9
%
Prose
s
Verb
al
18%
18 %
Proses
Behavior
al
Proses
Eksistensi
al
Proses
Relasion
al
7.9%
6.1%
3.25%
7.6%
4.6%
5.48%
605
Dari data yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa proses yang
mendominasi, baik dalam teks asli maupun terjemahannya adalah proses
material.
F.
Kesimpulan Sementara
Dari hasil analisis perbandingan transitivitas antara teks asli dan hasil
penerjemahan, dapat dilihat bahwa buku The Seven Habits of Happy Kids
dan terjemahannya karya Sean Covey ini didominasi oleh proses material.
Hal ini menunjukkan dominasi klausa yang menggambarkan tentang
aktivitas fisik. Jika dikaitkan dengan proses pemerolehan bahasa yang
telah dikemukakan oleh Dardjowijojo (2016), serta melihat target
pembaca yang merupakan anak usia pra-sekolah (lima tahun). Dominasi
proses material menjadi hal yang wajar dikarenakan proses tersebut lebih
mudah dipahami oleh anak seusia lima tahun yang cenderung masih
memiliki konsep berpikir yang sederhana (here and now).
Daftar Pustaka
Dardjowidjojo. 2016. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. Third
Edition. London: Edwarl Arnold.
Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross
Language Equivalence. New York: University Press of America.
Maharani, Leonita. 2016. Transitivitas dalam Cerita Rakyat Papua (Sebuah
Kajian Linguistik Sistemik Fungsional pada Teks Cerita Rakyat Suku Mee
Papua).
Language
Maintenance
and
Shift.
119-124.
http://eprints.undip.ac.id/55724/1/PROCEEDING_OF_INTERNATIONAL_
SEMINAR__LAMAS_6._Leonita_Maharani.pdf
Muksin. 2016. Kajian Transitivitas Teks Terjemahan Takepan Serat Menak
Yunan dan Kontribusinya terhadap Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia
Berbasis Teks Di SMP: Analisis Berdasarkan Linguistik Fungsional Sistemik.
RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No. 2 Oktober 2016, 253-270.
https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret/article/download/60
/60
606
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall
International Ltd.
Nida, E.A., Taber. 1969. The Theory and Practice of Translation. Leiden:
Brill.
Nouri, Masoumeh. 2014. A Linguistic Analysis of Discourse in Four English
Fairy Tales in Terms of Gender. International Journal of Current Life
Science.
Vol.4.
756-765.
https://www.researchgate.net/profile/masoumeh_nouri2/publication/2
89519921_a_linguistic_analysis_of_discourse_in_four_english_fairy_tales_i
n_terms_of_gender/links/568e071708aeaa1481ae812d/a-linguisticanalysis-of-discourse-in-four-english-fairy-tales-in-terms-of-gender.pdf
Saragih, A. 2001. Bahasa Dalam Konteks Sosial. Pendekatan Linguistik
Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program
Pascasarjana USU.
Stolze, R. (2003). Translating for children-world view or pedagogics,
Meta:Translators’ Journal, vol 48 (no.1-2), 2003, hal. 208-221.
https://www.erudit.org/fr/revues/meta/2003-v48-n1-2meta550/006968ar.pdf.
HASIL DISKUSI SEMINAR
1. Menurut anda, apa itu metafungsi? Jelaskan secara singkat.
Merujuk pada apa yang telah diungkapkan oleh Halliday,
saya memahami bahwa metafungsi bahasa adalah hal-hal
diluar bahasa yang digunakan untuk menganalisis
penggunaan bahasa. Oleh karena itu dikatakan bahwa,
bahasa tidak terlepas dari konteksnya juga keadaan sosial
pada saat bahasa tersebut ditututrkan atau dituliskan.
2. Perjelas kembali pada makalah anda tentang teori transitivitas.
(Masukan)
(Sudah direvisi).
607