Academia.eduAcademia.edu

Prosiding Seminar Lingusitik II Fullpack 1

2019, Prosiding Seminar Linguistik II:"Bahasa di Era Global: Aspek-Aspek Struktural, Sosial, dan Terapan"

ISBN: 978-602-96127-3-8 PROSIDING SEMINAR DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA KUMPULAN MAKALAH PROSIDING SEMINAR NASIONAL SEMINAR NASIONAL LINGUISTIK II LINGU ISTIK II “BAHASA DI ERA GLOBAL: ASPEK-ASPEK STUKTURAL, SOSIAL, DAN TERAPAN” BAHASA DI ERA GLOBAL: ASPEK-ASPEK STRUKTURAL, SOSIAL, DAN TERAPAN Auditorium Gedung R. Sugondo, FIB U GM, 8-9 Mei 2018 Editor: PENERBIT: Dr. Sajarwa, M.Hum. FAKULTAS ILMU BUDAYA Dr. Suhandano, M.A. UNIVERSITAS GADJAH MADA Dr. Sailal Arimi, M.Hum. FORUM LINGUISTIK UGM 2 - 2018 ISBN: 978-602-96127-3-8 78-602-96127-3-8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL LINGUISTIK II Auditorium R. Sugondo, FIB UGM, 8-9 Mei 2018 PENERBIT: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA i PROSIDING SEMINAR NASIONAL LINGUISTIK II “BAHASA DI ERA GLOBAL: ASPEK-ASPEK STRUKTURAL, SOSIAL, DAN TERAPAN” Auditorium R. Sugondo, FIB UGM, 8-9 Mei 2018 KEPANITIAAN DAN REDAKSI Penasihat: Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM Penanggung Jawab: Ketua Departemen Bahasa dan Sastra FIB UGM Ketua Panitia: Dr. Sajarwa, M.Hum. Bendahara: Siti Rahayu Sekretaris: Adwidya Susila Yoga Koordinator Pemakalah: Dr. Y. Tri Mastoyo, M.Hum. Koordinator Acara: Dr. Masrukhi, M.Hum. Seksi Kesekretariatan: Umi Mardi Astuti, I Desak Ketut Titis, Anastasia AnastasyaPuspasari Puspasari Seksi Tempat, Dekorasi, dan Dokumentasi: Ngamiludin, Yudo Suryo Hapsoro, F.X. Sinungharjo, Heri Widodo Reviewer: Dr. Sajarwa, M.Hum. Dr. Suhandano, M.A. Dr. Sailal Arimi, M.Hum. Editor: Dr. Sajarwa, M.Hum. Dr. Suhandano, M.A. Dr. Sailal Arimi, M.Hum. Perwajahan: Shanti Mashita Dewi, S.S. Penerbit: FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA bekerja sama dengan DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA FAKULTAS ILMU BUDAYA UGM ISBN: 978-602-96127-3-8 ii KATA PENGANTAR Gagasan untuk menyelenggarakan seminar nasional linguistik ini timbul dari keprihatinan. Kami prihatin bahwa penelitian linguistik di Fakultas Ilmu Budaya UGM sangat sedikit. Artinya, hanya sedikit dosen dan mahasiswa yang melakukan penelitian linguistik di luar skripsi, tesis, atau disertasi. Salah satu penyebabnya adalah kurang adanya forum ilmiah, khususnya membahas persoalan linguistik. Dalam pada itu, kajian linguistik sudah sedemikian maju. Kajian linguistik tidak hanya pada ranah formalisme tetapi sudah memasuki ranah fungsionalisme. Dalam kajian fungsionalisme, bahasa tidak hanya dilihat sebagai objek yang harus dideskripsikan saja, tetapi juga dilihat dari segi fungsinya dalam komunikasi, dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Dalam perkembangannya, kajian linguistik fungsionalisme merambah ke ranah berbagai disiplin, misalnya ilmu komunikasi, ilmu semiotik, ilmu antropologi, ilmu hukum, ilmu kedokteran, dll. Dengan kata lain, kajian linguistik telah bergeser dari kajian yang berorientasi pada “langue” kepada kajian pada “parole” atau “language in use”, yakni bahasa dalam kehidupan nyata (Hoed, 2008). Dalam seminar nasional linguistik ini ada 92 pembicara yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka telah memaparkan hasil kajiannya, tentang analisis terjemahan, analisis wacana kritis, dan analisis struktural. Sebagian besar adalah anak-anak muda, calon linguis. Mereka adalah aset intelektual yang luar biasa. Kami juga mendengarkan paparan dari dua pembicara utama, yaitu Pro. Dr. Bahren Umar Siregar dengan makalahnya yang berjudul ‘Meneroka Proses Penerjemahan: Apakah yang dipikirkan penerjemah ketika menerjemahkan teks ? dan Dr. Suhandano, MA dengan makalah ‘Berbicara dalam Bingkai Budaya’. Sebagian dari makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut tidak dimuat dalam proseding ini tetapi dimuat dalam Jurnal Deskripsi Bahasa yang diterbitkan oleh Departemen Bahasa dan Saastra Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pembicara yang telah menyampaikan makalahnya dalam seminar ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua panitia yang telah bekerja keras untuk menyukseskan seminar ini. Kami mohon maaf proseding ini terbit terlambat karena keterbatasan tenaga kami. Yogyakarta, 2 Desember 2018 Ketua Panitia iii DAFTAR ISI KEPANITIAAN DAN REDAKSI ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iv PERCERAIAN SELEBRITIS DALAM BINGKAI MEDIA (KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS)/ AGWIN DEGAF ..................................................................................................................... 1 LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA DAN BAHASA INGGRIS/ AHLAN HANAN WIJAYA....................................................................................... 7 KUALITAS TERJEMAHAN PROVERB KE DALAM BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN GOOGLE TRANSLATE/ AHMAD MUZAKI ALAWI ............................................................... 20 IDEOLOGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU THE GRAND DESIGN KARYA STEPHEN HAWKING DAN LEONARD MLODINOW/ AHMAD ZAIDI .................................................. 29 PENAMBAHAN AKHIRAN -S PADA PERCAKAPAN DI MEDIA SOSIAL/ AMBARISTI HERSITA MILANGUNI ....................................................................................................................... 41 KONFLIK SARA, STUDI KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA, DALAM BERBAGAI ADEGAN TUTUR: ANALISIS WACANA KRITIS/ ANGELA DIYANSIH WISESA CHUNTALA.................. 51 FUNGSI PRONOMINA PERSONA BAHASA TETUN DIALEK DILI/ ANTONIO CONSTANTINO SOARES .............................................................................................................................. 61 PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TUTUR ADAT TAKANAB: KAJIAN EKOLINGUISTIK/ ANTONIUS NESI, R. KUNJANA RAHARDI, PRANOWO ........................... 70 UNSUR SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM MEMODERNISASI BAHASA INDONESIA MELALUI SURAT KABAR/ APRIANA NUGRAENI ................................................................ 81 PERMAINAN MAKNA DALAM TATARUCINGAN ‘TEKA-TEKI SUNDA’/ APRILLIATI RAHMAT, CECE SOBARNA, HERA MEGANOVA LYRA......................................................................... 90 METAFORA KESEHATAN DALAM BAHASA JAWA/ ARI WULANDARI............................... 98 MURAL KAMPUNG URBAN: ANALISIS MAKNA REPRESENTATIF, BENTUK, DAN FUNGSINYA/ ARIS HIDAYATULLOH .................................................................................111 VERBA ERGATIF DALAM BAHASA JAWA/ ARUM JAYANTI .............................................121 KALIMAT DALAM PEMBINGKAIAN BERITA INSIDEN PESAWAT F-16 DAN CESSNA C-150/ ASHARI HIDAYAT .............................................................................................................128 PENERJEMAHAN KESANTUNAN POSITIF TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA NOVEL DECEPTION POINT/ AYU KAROMAH...............................................................................139 PENGANCAMAN MUKA PADA REALISASI TUTURAN PUJIAN PEMBELAJAR BAHASA JEPANG/ BAYU ARYANTO................................................................................................148 STUDI TERJEMAHAN TENTANG KATA GANTI ORANG “SHE” DALAM TERJEMAHAN BAHASA MANDARIN ALICE’S ADVENTURES IN WONDERLAND/ DAI WENHUI ............157 “THE DUKUN”: PENERJEMAHAN KATA-KATA BUDAYA DALAM NOVEL TERJEMAHAN CANTIK ITU LUKA/ DINI LUTHFIANI ................................................................................166 iv TINDAK DIREKTIF BAHASA INDONESIA PADA POSTER BERLALULINTAS KOTA BANJARBARU/ EKA SURYATIN ........................................................................................176 BENTUK DAN REFERENSI MAKIAN DALAM KOMENTAR DI YOUTUBE ATAS PUISI SUKMAWATI/ ENING HERNITI ........................................................................................185 REDUPLIKASI PADA BAHASA MELAYU JAMBI DI KECAMATAN PELAYANGAN KOTA JAMBI/ ESY SOLVERA.......................................................................................................197 SENYAPAN DALAM RANAH KEJURUBAHASAAN/ FEBRIANSYAH IGNAS PRADANA ......205 PENERJEMAHAN KATA BUDAYA PADA ROMAN DIE WEIßE MASSAI DARI BAHASA JERMAN KE DALAM BAHASA INDONESIA/ FITRIA PUJI NUR AZIZAH ............................217 STRATEGI PENOLAKAN DI KALANGAN MAHASISWA MULTIKULTURAL ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA/ FITRIA ULFA HIDAYATUL RAHMI ...........227 PENGGUNAAN STRATEGI SULIH TEKS PADA SERIAL KOMEDI SITUASI FRIENDS/ HAFIDATUN AWALIYAH A................................................................................................256 FENOMENA CAMPUR CODE DALAM DUNIA KERJA PT BECOM YOGYAKARTA/ HARI NUGRAHA ........................................................................................................................265 THE KINSHIP TERMS OF SERAWAI LANGUAGE/ HENDRI PITRIO PUTRA ......................274 KETERANGAN DALAM BAHASA BALI/ I GEDE BAGUS WISNU BAYU TEMAJA ...............285 NILAI PENDIDIKAN DALAM LAGU YABE LALE “VERSI BUGIS”/ JULIANA RAHMAN.......297 STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU BERBAGI CERITA BERBAGI CINTA KARYA CLARANG/ JULISA ARINA HAQ ........................................................................................310 REAKSI VERBAL OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PUISI IBU INDONESIA KARYA SUKMAWATI SOEKARNOPUTRI/ KAMALATUL HAFIDZOH.…… .......... …….……...320 ANALISIS KONTRA BERITA LGBT DI LAMAN TOPIK PILIHAN SINDONEWS.COM: KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS/ KARTIKA NURUL FAJRINA ...................................................332 ETNOSEMANTIK NAMA-NAMA MAKANAN KHAS BELANDA/ LIDWINA C. MAYA Y. ....342 PENILAIAN TERHADAP HASIL TERJEMAHAN “IDIOM” DALAM NOVEL FIFTY SHADES FREED DENGAN MESIN TERJEMAH/ MASITA TAUFIQI KHOLIDA ..................................350 REGISTER TEMPE DI KABUPATEN KLATEN/ NANIK HERAWATI .....................................366 ANALISIS SEMANTIK KATA AL-ARD DALAM LONTAR SURAT YUSUF/ NASIKHATUL ULLA AL JAMILIYATI DAN ANDI INDAH YULIANTI.....................................................................373 EUFEMISME DALAM DEBAT PILKADA DKI JAKATA TAHUN 2017/ NINA SULISTYOWATI .........................................................................................................................................382 POTENSI WIKIPEDIA SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN BAHASA-BAHASA NUSANTARA/ NUR FAHMIA ...................................................................................................................392 PENERJEMAHAN DIATESIS (VOICE) BERBAHASA INGGRIS KEDALAM BAHASA INDONESIA PADA TERJEMAHAN NOVEL THE ADVENTURES OF SHERLOCK HOLMES/ NURUL PRATIWI…………………………………………………………………………… ............................ ………... 401 KATA “ISLAMI” DALAM ANALISIS SEMANTIK PROTOTIPE/ PRAYUDHA ........................412 v ANALISIS TERHADAP TINGKAT AKURASI TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA KE BAHASA INGGRIS PADA BUKU CERPEN FABEL QURAN BURUNG-BURUNG HUD-HUD/ RAHMI RAMADHIANTI ZAIN ........................................................................................................421 RAGAM STRATEGI PENERJEMAHAN TEKS KEMASAN MAKANAN RINGAN BERBAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA ARAB/ REGI FAJAR SUBHAN .......................................438 THE APPLICATION OF TEACHING ENGLISH AS A FOREIGN LANGUAGE IN MAKING LESSON PLAN ON STUDENTS’ENGLISH DEPARTMENT ON FIFTH SEMESTER UNIVERSITY OF HKBP NOMMENSEN ACADEMIC YEAR 2015/ 2016/ RINA OCTAVIA SIMARMATA, RITA CLARA SIMATUPANG .......................................................................................................449 VARIASI SAPAAN ANAK PEREMPUAN DALAM BAHASA BANJAR/ RISSARI YAYUK........458 SAPAAN KEKERABATAN TERHADAP ORANGTUA PADA MASYARAKAT BIMA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK/ RITA HAYATI .....................................................................................466 FRAMING BAHASA ARAB DALAM PARATEXTS BERBAHASA INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN AWAL/ SAHARUDIN.......................................................................................472 KATA SERAPAN BAHASA PERSIA DALAM BAHASA INDONESIA Analisis Fonologi dan Semantik/ SITI FATIMAH, M. AGUS BUDIANTO..............................................................480 IDEOLOGI GENDER DALAM NOVEL TERJEMAHAN “SANG PENCARI NAFKAH”: ANALISIS WACANA KRITIS/ SITI FITRIAH ........................................................................................488 PENGARUH BUDAYA PADA SIKAP PENERJEMAH: ANALISIS NOVELET THE PEARL DAN VERSI BAHASA SUNDANYA/ SITI KOMARIAH .................................................................501 PERUBAHAN MAKNA KOSAKATA SERAPAN BAHASA ARAB DALAM BAHASA INDONESIA: BIDANG KEAGAMAAN/ SITI MASYITOH..........................................................................511 KATA PENYUKAT DALAM BAHASA SASAK/ SITI WAHYUNI SULISTYA WULANDARI ......523 REGISTER PEDAGANG GAWAI (HP) DI PASAR SENTRA ANTASARI/ SRI WAHYU NENGSIH .........................................................................................................................................530 INVENTARISASI PADANAN ISTILAH ASING MUTAKHIR DALAM BAHASA INDONESIA: SEBUAH PENGAMATAN AWAL/ SUDARYANTO, HERMANTO, DAN DEDI WIJAYANTI...541 INTERJEKSI DALAM NOVEL SI BOY FEAT LASKAR NGGATHELI SEBUAH NOVEL BOSO SUROBOYOAN SING TERINSPIRASI KISAH ½ NYATA/ TRI WINIASIH .............................548 SISTEM FONOLOGI UAB METO DALAM DIALEK MIOMAFFO/ VIKTORIUS PASKALIS FEKA .........................................................................................................................................561 PERUBAHANJENIS DAN MAKNA NOMINA DI ERA GENERASI Z/ YOHANNA NIRMALASARI .........................................................................................................................................572 PEMINJAMAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS DALAM HARIAN PAKUAN RAYA BOGOR/ YOSI MAELEONA PASSANDARAN ....................................................................................583 PASAR UKADZ DAN PENGARUHNYA TERHADAP BAHASA ARAB/ ZAIN HANDOKO......593 ANALISIS PERBANDINGAN TRANSITIVITAS DALAM TERJEMAHAN CERITA ANAK KARYA SEAN COVEY/ ZOHRA INAYAH NASIR .............................................................................599 vi PERCERAIAN SELEBRITIS DALAM BINGKAI MEDIA (KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS) Agwin Degaf UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Mahasiswa S3 Ilmu-Ilmu Humaniora UGM Yogyakarta agwindegaf10@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi berwacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu dalam pemberitaan artis pada media portal. Tulisan ini berfokus pada berita mengenai kasus perceraian di kalangan artis -sebagai sumber data- untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana berparadigma kritis model Teun A. van Dijk. Menurut van Dijk, setiap teks pada dasarnya dapat diuraikan dan dianalisis melalui tiga tingkatan: struktur makro, struktur meso, dan struktur mikro. Di sini, penulis hanya melakukan analisis pada tingkatan mikro saja, yaitu makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks. Beberapa struktur mikro (analisis tekstual) yang digunakan oleh media online dalam memberitakan perceraian selebritis –yang ditemukan dalam tulisan ini- diantaranya adalah: pemilihan kosakata (leksikalisasi) dan penggunaan tata bahasa tertentu. Strategi-strategi dalam level mikro tersebut nantinya secara tidak langsung dapat menunjukkan bagaimana media menggambarkan suatu kasus perceraian, siapa yang dimarginalkan dalam pemberitaan, dan siapa pula yang dianggap bersalah, lebihlebih ketika objek beritanya merupakan pesohor tanah air kita. Kata Kunci: analisis wacana kritis, berita perceraian selebritis, portal berita online PENDAHULUAN Berita terkait artis, beberapa kali sempat menjadi headline utama pada beberapa media massa di Indonesia. Hal ini membuktikan jika kehidupan ataupun peristiwa yang dialami oleh para pekerja industri hiburan tersebut, masih merupakan sesuatu yang sangat ditunggu beritanya oleh khalayak. Sebagai contoh, berita kasus video mesum mirip artis pada tahun 2010 lalu, sempat menjadi tajuk utama hampir di semua media baik cetak maupun elektronik. Bahkan ada yang beranggapan, berita itu sengaja digelembungkan untuk menetralisir pemberitaan mengenai kasus yang menimpa beberapa elit politik. Berita tentang video mesum mirip Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari tersebut seakan menjadi pengalih opini terhadap isu sentral atas kasus Susno Duaji dan kasus 1 Century Gate, agar tak lagi muncul di permukaan dan segera dilupakan oleh khalayak. Ketika pemberitaan mengenai berita video mesum antara Ariel, Luna, dan Cut Tari menjadi pergunjingan khalayak, maka berita tersebut telah menjadi sebuah wacana. Lull (1998: 225 dalam Sobur, 2012: 11) mengatakan bahwa wacana adalah cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas, dan dengan demikian, pemberitaan mengenai artis menjadi menarik untuk diteliti dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. Analisis wacana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah analisis wacana yang muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna (Darma, 2009: 15). Dalam hal ini, para pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternatif dalam memahami hakikat bahasa tersebut. Stubbs (1983: 1) berpendapat bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan atau tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis. Berbicara mengenai makna, menurut Hall (1982: 67) makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi sosial, suatu praktik. Media massa pada dasarnya tidak mereproduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana. Dalam kaitannya dengan makna, media dapat dilihat sebagai forum bertemunya semua kelompok dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap pihak berusaha menonjolkan basis penafsiran, klaim, dan argumentasi masing-masing (Eriyanto, 2009: 38). Targetnya adalah pandangannya lebih diterima oleh khalayak. Berdasakan uraian-uraian di atas, penulis memutuskan untuk memilih beberapa portal berita online yang memiliki halaman khusus terkait pemberitaan mengenai artis dengan topik perceraian sebagai sumber data untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis wacana model Teun A. Van Dijk. Wacana oleh van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dalam penelitian ini, peneliti hanya berfokus kepada dimensi pertama dalam analisis model van Dijk, yaitu dimensi teks. Lebih khusus lagi, penulis ingin melihat bagaimana tata bahasa (grammar) dan pilihan kosakata tertentu (leksikalisasi) membawa implikasi dan ideologi tertentu. 2 PEMBAHASAN Pada bagian ini, penulis memaparkan bagaimana struktur terkecil atas teks/struktur mikro (Dijk, 1997), digunakan oleh media massa online dalam memberitakan selebritis tanah air. Strutur mikro sendiri adalah makna wacana yang dapat diamati dari pemilihan kata dan kalimat oleh media dalam memberitakan sesuatu. Pembahasan mengenai strategi tekstual yang digunakan oleh kapanlagi.com dan liputan6.com dalam pemberitaan kasus perceraian artis diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu pemilihan kata dan tata bahasa. Pemilihan Kosakata (Leksikalisasi) Leksikalisasi merupakan strategi tekstual berupa pemilihan suatu kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Sesuai dengan pengertiannya, leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. Richardson (2007:47) berpendapat bahwa analisis terhadap kata-kata tertentu yang digunakan oleh media merupakan tahapan awal dalam menganalisis teks atau wacana. Pilihan kata yang dipakai oleh media, bukanlah kebetulan semata, melainkan juga menunjukkan bagaimana pemaknaan media terhadap realitas. Realitas yang sebenarnya sama dapat diberitakan secara berbeda oleh media yang berbeda, tergantung kepentingan dan keberpihakan media tersebut. Contoh dari penggunaan strategi pemilihan kata dapat ditemukan pada berita terkait kasus perceraian antara Ben Kasyafani dengan Marshanda. Dalam salah satu judul beritanya, liputan6.com menuliskan judul “Ben Kesal Marshanda Ajak Anak Saat Bertemu Selingkuhan”. Dengan memberikan kosakata semacam bertemu selingkuhan untuk menamai isu adanya orang ketiga dalam rumah tangga mereka, media telah membentuk klasifikasi dan realitas tertentu. Kosakata ini memberikan arahan kepada pembaca bagaimana realitas seharusnya dipahami. Marshanda digambarkan sebagai sosok ibu yang tidak baik karena menyertakan anaknya ketika melakukan hal yang tidak terpuji (bertemu selingkuhan). Berselingkuh saja sudah merupakan hal yang buruk, ditambah lagi dengan mengajak anak, kira-kira seperti itu media berusaha menggiring pandangan dari pembaca berita. Hal ini juga diperkuat dengan isi berita yang menggunakan kategori kosakata berkonotasi negative lainnya seperti membongkar aib, dan lancang. Secara tersirat, media ingin pembaca menilai bahwa Ben adalah korban dari seorang istri yang tidak taat terhadap suami, dan menjadi wajar manakala Ben merasa kesal atas tingkah polah istrinya tersebut. Nantinya, ketika terjadi perceraian di antara keduanya, khalayak tentu akan menganggap Marshanda sebagai pihak yang bersalah, sementara Ben tentu saja akan menjadi pihak yang benar. Di sini, kata-kata bukan hanya merupakan pembatasa (pandangan 3 pembaca), tetapi juga penilaian terhadap aktor/atau peristiwa tertentu yang dilakukan oleh media. Marshanda adalah: Ibu yang berselingkuh Ibu yang tidak bisa dicontoh Membongkar aib keluarga Wanita yang lancang Tata Bahasa Tata bahasa dalam konsep van Dijk (1997) terkait erat dengan struktur kalimat, yaitu segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan) (Eriyanto, 2009: 251). Tata bahasa di sini bukan hanya persoalan teknis ketepatan sintaksis belaka, tetapi makna yang dibentuk oleh susunan kalimat tertentu. Salah satu kaidah tata bahasa ialah nominasi-identifikasi. Strategi identifikasi digunakan untuk mendefinisikan sesuatu. Hanya saja, proses identifikasi dilakukan dengan menggunakan anak kalimat sebagai penjelas. Pemberian penjelas ini memberikan kesan atau makna tertentu karena pada umumnya merupakan penilaian atas seseorang, kelompok, atau tindakan tertentu. Menurut Eriyanto (2009: 184-185), identifikasi merupakan strategi wacana di mana satu orang, kelompok, atau tindakan diberi penjelasan yang buruk sehingga informasi yang diterima oleh pembaca juga terkesan buruk. Contoh dari penggunaan strategi ini dapat dilihat pada berita yang membahas mengenai kasus perceraian Marshanda, liputan6.com merilis berita dengan judul “Terungkap! Sakit Kejiwaan, Marshanda Tak Beri Anak ASI” sedangkan detik.com menulis berita berjudul “Marshanda Tak Bisa Menyusui Anak, Ben Kasyafani Dinilai Kejam” pada 28 Oktober 2014. Arti kalimat satu dan dua meski tanpa adanya anak kalimat penjelas seperti “Terungkap! Sakit kejiwaan” dan “Ben Kasyafani dinilai kejam” tidak akan berubah. Anak kalimat pada judul berita pertama berfungsi sebagai penjelas dan memberikan citra negatif terhadap Marshanda. Subjek tersebut diberitakan tidak memberikan anak kandungnya ASI karena penyakit kejiwaan yang dideritanya dan harus mengonsumsi obat-obatan sehingga sangat berisiko bila Marshanda memberikan ASI pada anaknya. Lebih dari itu, anak kalimat tersebut juga mengesankan kepada publik bahwa Marshanda memang tidak pantas sebagai seorang ibu, karena merupakan kewajiban bagi seorang ibu untuk memberikan asi pada anak mereka. Hal tersebut secara implisit juga mempengaruhi persepsi pembaca pada kasus perceraian antara Marshanda dan ben tersebut, di mana bisa dikaitkan pada 4 contoh sebelumnya Marshanda yang kukuh bercerai ternyata memiliki gangguan jiwa sehingga menolak ajakan rujuk dari Ben. Sebaliknya pada judul berita kedua, anak kalimat itu berfungsi sebagai penjelas dan memberikan citra negatif terhadap Ben. Subjek Ben diberitakan Kejam karena dikaitkan dengan keadaan Marshanda yang tidak bisa menyusui Anaknya. Selain itu, pembaca juga akan merasa bahwa Ben memang sosok ayah yang tidak memiliki rasa belas kasihan karena membiarkan anaknya tidak diberi ASI oleh ibunya. Judul berita ini juga secara implisit membuat pembaca menilai apa pun yang dilakukan Ben selama ini (usahanya untuk memperbaiki rumah tangga dengan Marshanda) hanya sebatas pencitraan. Pada kedua judul berita tersebut, ada tidaknya anak kalimat samasama tidak mengubah arti dari judul berita yang disampaikan, di mana berita pertama menyampaikan Marshanda tidak memberi ASI sedangkan pada berita kedua Marshanda tidak bisa menyusui anaknya. Sekali lagi, penggunaan anak kalimat di sini menjadi penjelas mengenai cara media menyampaikan makna dan menggiring opini publik dalam pemberitaannya. Selain penggunaan strategi identifikasi, berita ke dua juga menggunakan strategi pasivasi dalam kalimat Ben Kasyafani dinilai kejam. Fokus perhatian pembaca hanya pada kekejaman Ben selaku ayah, sementara aktor/subjek yang memberikan penilaian terhadap kekejaman Ben tersebut, sama sekali hilang dari pemberitaan. Siapa yang menilai, atas dasar apa Ben dianggap kejam, bukanlah menjadi fokus dari berita dengan konstruksi semacam ini karena pembaca akhirnya digiring untuk hanya terpikir melihat kepada obyek (kekejaman Ben), bukan kepada pelaku yg memberikan penilaian tersebut. Nominasi Marshanda tak beri anak ASI Masrhanda tak bisa menyusui anak Identifikasi Sakit kejiwaan, Marshanda tak beri anak ASI Marshanda tak bisa menyusui anak, Ben Kasyafani dinilai kejam KESIMPULAN Dalam kaitannya dengan bagaimana aktor/peristiwa ditampilkan dalam teks berita, kerangka kerja van Dijk (2004b) terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu struktur makro, struktur meso (superstruktur), dan struktur mikro. Pada penelitian ini, fokus perhatian peneliti hanya pada struktur mikro dari teks berita terkait perceraian artis pada beberapa media online. Struktur mikro di sini dikhususkan juga kepada pemilihan kosakata dan tata bahasa tertentu yang digunakan oleh media dalam memberitakan aktor atau peristiwa tersebut. Pemakaian strategi-strategi berwacana tersebut tidak semata-mata bertujuan mengkomunikasikan isi berita namun juga untuk mempengaruhi pandangan 5 masyarakat / pembaca. Masyarakat / pembaca oleh media diajak berpikir untuk memahami seperti ini, bukan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter: dari Gerakan Penindasan Menuju Politik Hegemoni (Studi atas Pidato-pidato Politik Soeharto). Yogyakarta: Insist. ______________. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. ______________. 2009. Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS. Hall, Stuart. 1982. The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed in Media Studies. Dalam Gurevitch, M., et al. (ed.), Culture, Society and the Media. London: Methuen. 1982. Hlm. 67. Richardson, John E. 2007. Analyzing Newspaper: An Approach from Critical Discourse Analysis. New York: Palgrave Macmillan. Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Stubbs, Michael. 1989. Discourse Analysis: The Sociolinguistics Analysis of Natural Language. Oxford: Basil Blackwell. van Dijk, Teun A. 1980. Macrostructures: An Interdisciplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition. Hillsdale. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. ______________. 1995. Ideological Discourse Analysis. Amsterdam: University of Amsterdam. ______________. 1998. News as Discourse. Hillsdale. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. ______________. 2000. Ideologies, Racism, Discourse: Debates on Immigration and Ethnic Issues. ______________. 2000. The Reality of Racism: On Analyzing Parliamentary Debates on Immigration. ______________. 2002. Political discourse and ideology. Amsterdam: University of Amsterdam. ______________. 2003. Ideology and Discourse: A Multidisciplinary Introduction. Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOC). ______________. 2003. Discourse analysis ad Ideology analysis. Internet Course for the Oberta de Catalunya (UOC). ______________. 2004. “From Text Grammar to Critical Discourse Analysis”. Working Paper. Vol.2. Barcelona: Universitat Pompeu Fabra. ______________. 2009. Society and Discourse: How Social Contexts Influence Text and Talk. Cambridge: Cambridge University Press. 6 Yudi, Latif. 1997. “Hegemoni Budaya dan Alternatif Media sebagai Wahana Budaya Tanding”. Dalam Idi Subandy Ibrahim dan Dedy Djamaludin Malik (ed), Hegemoni Budaya (hlm. 294). Yogyakarta: Bentang. 7 LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA DAN BAHASA INGGRIS Ahlan Hanan Wijaya Universitas Gadjah Mada, Indonesia Email: hanan.jaya@gmail.com A B S T R A K Penggunaan dan pemilihan kata dalam berkomunikasi sangatlah penting agar maksud yang terkandung dapat disampaikan dengan tepat. Dalam penggunaannya seseorang harus memiliki pemahaman mengenai leksem yang digunakan serta komponen makna yang ada di dalamnya. Penelitian ini dilakukan terhadap leksem bermakna ‘membawa’ dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dengan menggunakan metode analisis komponen makna dari Nida (1975), dan pendekatan kontrastif untuk membandingkan kedua bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan leksem verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, (2) mendeskripsikan komponen makna dalam verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dan (3) mendeskripsikan persamaan dan perbedaan antara leksem verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan diantaranya: (1) leksem verba yang ditemukan dalam bahasa Jawa berjumlah 11 leksem, yaitu sunggi, panggul, pundhak, pikul, cangklong, bopong, pondhong, indhit, kempit, cengkiwing, dan cangking. Sedangkan dalam bahasa Inggris ditemukan 3 leksem, yaitu take, fetch, dan lug, (2) verba yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa komponen makna, diantaranya komponen makna cara, komponen makna objek sasaran, dan komponen makna arah, dan (3) makna yang merujuk pada objek sasaran merupakan persamaan yang ditemukan dalam kedua bahasa, sedangkan yang merujuk pada cara dan arah merupakan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Keywords: Komponen makna, verba ‘membawa’, semantik, analisis kontrastif. 8 PENDAHULUAN Penggunaan kata yang tepat dan sesuai dalam komunikasi sangatlah penting agar ada kesepahaman antara penutur dan pesan dapat disampaikan dengan tepat. Leech (2003. p.16) berpendapat bahwa bahasa harus dapat berterima dan tidak ada kejanggalan di dalam suatu kalimatHal ini akan berpengaruh terhadap ketepatan dalam penyampaian makna dan konteks yang terkandung dalam kalimat tersebut. Salah satu bahasa yang memiliki keunikan dalam hal makna sebuah leksem adalah Bahasa Jawa. Keunikan tersebut salah satunya adalah kosakata yang bervariasi, mulai dari adanya unggah-ungguh dan penggunaanya, sampai perbedaan penggunaan kata dengan maksud yang sama. Selain penggunaan Bahasa Jawa, masyarakat dihadapkan dengan masuknya bahasa asing, salah satunya adalah Bahasa Inggris. Bahasa dikatakan bersifat unik karena setiap bahasa mempunyai ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya (Chaer, 2003, p.49). Sebagai contoh dari adanya perbedaan tersebut, seorang penutur asli bahasa Jawa menggunakan kata bring ‘membawa’ pada seorang turis asing untuk merujuk pada sesaji yang dibawa, padahal dalam bahasa Jawa terdapat kata nyunggi (membawa dengan meletakkan diatas kepala) yang lebih menggambarkan bagaimana sesaji tersebut dibawa. Contoh tersebut merupakan bukti adanya penggunaan bahasa ibu dan bahasa asing. Secara langsung maupun tidak langsung, bahasa-bahasa tersebut dapat memuculkan perbandingan di semua ranah, salah satunya dapat diteliti dalam lingkup analisis kontrastif. Menururt Parera (1997, p.111) ada dua macam analisis kontrastif, yaitu analisis kontrastif mikrolinguistik dan analisis kontrastif makrolinguistik. Penelitit terlebih dahulu melakukan tinjauan pustaka terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan verba dan medan makna. Penelitian yang pertama dilakukan oleh Wedhawati, dkk. (1990) yang berjudul “Tipe-tipe Semantik Verba Bahasa Jawa”. Penelitian ini merupakan penelitian yang paling luas dalam hal semantic verba bahasa Jawa. Namun demikian makna dari verba yang ditemukan belum dianalisis secara rinci berdasarkan komponen makna yang berkaitan. Peelitian yang kedua dilakukan oleh Harliana (2015) yang berjudul ”Leksem Verba Bermakna Destroy Dalam Bahasa Inggris”. Serta penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2014) dalam tesisnya yang 9 berjudul “Analisis Kontrastif Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris”. Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan sebuah penelitian tentang makna leksem verba, khususnya verba bermakna ‘membawa’ dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan leksem verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, (2) mendeskripsikan komponen makna dalam verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris, dan (3) mendeskripsikan persamaan dan perbedaan komponen makna antara leksem verba yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. LANDASAN TEORI Makna dan Komponen Makna Makna merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan ilmu semantic, dan selalu menyertai setiap apa yang dituturkan. Wijana dan Rohmadi (2008, p.21) berpendapat bahwa jenis makna terdiri dari empat jenis, yaitu makna leksikal dan gramatikal, makna denotatif dan konotatif, makna literal dan figuratif, serta makna primer dan sekunder. Komponen makna atau komponen semantis adalah unsur-unsur yang membentuk makna leksikal (Chaer. 1999. p.114). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Palmer (1976. p.108-110), bahwa komponen adalah arti keseluruhan dari suatu kata yang terdiri atas sejumlah elemen yang satu dengan lainnya yang memiliki ciri yang berbeda-beda dan tidak menunjukkan kaitan lebih jauh antar komponen itu. Analisis komponen makna adalah analisis berupa pemecah unsur makna atas fitur-fitur distingtif yang lebih kecil, yaitu menjadi komponenkomponen yang kontras dengan komponen-komponen lainnya (Leech. 2003. p.96). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa pemahaman makna sangat bergantung pada unsur-unsur yang melekat dalam setiap leksem, dalam konteks ini adalah verba (kata kerja). Analisis Komponen Makna Teori analisis komponen makna yang digunakan dalam peneltian ini adalah teori yang dikemukakan oleh dari Nida (1975). Teori ini dipilih karena teori tersebut menjelaskan secara rinci tentang prosedur analisis komponen makna. Teori ini juga menjelaskan prosedur penentuan 10 komponen makna untuk kosakata bahasa asing. Dalam hal ini, secara khusus ditujukan untuk menganalisis komponen makna pada bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Dalam proses analisis komponen makna, setiap leksem verba yang mengandung makna ‘membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris dianalisis berdasarkan fitur-fitur semantik yang relevan dengan leksem yang dianalisis, kemudian ditandai dengan pemarkah (+) dan (-). Penandaan (+) pada komponen makna tertentu menunjukkan bahwa komponen tersebut dimiliki oleh leksem yang diteliti; sedangkan (-) berarti tidak dimiliki. METODE PENELITIAN Sumber Data Penelitian dilakukan menggunakan hasil pengumpulan data baik dari korpus tertulis yaitu buku dan media massa serta korpus lisan yaitu pemakaian leksem yang bermakna membawa. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dan metode cakap dengan teknik simak libat cakap, teknik catat, dan teknik rekam (Sudaryanto, 1993, p.133). Selain itu, data leksem verba yang berarti membawa juga dibuat sendiri oleh peneliti karena peneliti merupakan penutur asli Bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Mahsun (2003, p.102) yang menyatakan bahwa dalam penelitian bahasa terdapat suatu metode yang disebut dengan metode introspektif yaitu metode penyediaan data dengan memanfaatkan intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya (bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi analisis sesuai dengan tujuan penelitiannya. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari metode analisis data yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (2001. p.119) yaitu mengontraskan atau mempertentangkan antara bentuk leksem-leksem yang mendeskripsikan tindakan ‘membawa’, serta teori analisis komponen makna yang dikemukakan oleh Nida (1975), khususnya pada notasi dan penandaan fitur semantik. 11 Langkah-langkah analisis data tersebut diantaranya: 1) Mengumpulkan leksem-leksem yang bermakna membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. 2) Menyaring leksem verba tersebut berdasarkan ‘aktivitas membawa dengan tangan’. 3) Mengumpulkan klausa atau kalimat yang mengandung verba ‘membawa’ untuk menganalisis konteks penggunaannya. 4) Menganalisis komponen makna yang terdapat pada setiap leksem dengan membubuhkan penanda sesuai dengan model analisis komponen makna Nida (1975. p.75). 5) Komponen-komponen yang berhasil ditentukan dicatat dan disusun kembali dalam sebuah tabel untuk memudahkan tahap pengkontrasan makna. 6) Mengkontraskan makna verba membawa dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Analisis kontrastif ini ini bertujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan maknda antara verba dalam kedua bahasa tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN A. LEKSEM VERBA BERMAKNA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA JAWA 1. Verba Bahasa Jawa memiliki banyak kata yang berada pada lingkup makna yang sama, diantaranya adalah seperangkat leksem yang berada di bawah superordinat nggawa yang berarti membawa dalam Bahasa Indonesia. Dalam pengumpulan data dalam Bahasa Jawa ini dilakukan pembatasan dimana peneliti membatasi pada aktivitas ‘membawa dengan tangan’. Leksem verba yang ditemukan yaitu: a. Sunggi (Membawa sesuatu dengan meletakkannya di atas kepala) Contoh : Nyunggi wakul b. Panggul (Membawa sesuatu dengan meletakkan di atas salah satu pundak atau di kedua pundak) Contoh : Adhiku takpanggul. c. Pundhak (Hampir sama dengan contoh 3, namun kali ini diletakkan di salah satu pundak saja) Contoh : Kaline jero, dagangane dipundhak wae! 12 d. Pikul (Membawa barang dengan menggantungkanya di tongkat (pikulan). Contoh : Mikul suket nggo pakan sapi. e. Cangklong (Membawa dengan menggantungkan benda pada bahu). Contoh : Nyangklong tas f. Bopong (Membawa sesuatu dengan cara menyangganya dengan kedua tangan di depan dada) Contoh : Mbopong anake. g. Pondhong (Membawa sesuatu dengan cara menyangganya dengan kedua tangan di depan dada) Contoh : Mondhong kayu. h. Indhit (Membawa sesuatu di pinggang) Contoh : Ngindhit beras 5 kil. i. Kempit (Membawa sesuatu dengan menjepit diantara lengan atas dan badan) Contoh : Ngempit buku j. Cangking (Membawa dengan satu tangan dan menggantung) Contoh : Nyangking ceret (teko) k. Cengkiwing (Membawa dengan satu tangan, pada tepian atau ujung sebuah benda) Contoh : Nyengkiwing gorok (gergaji) 2. Komponen Makna 2.1 Komponen Makna ‘CARA’ a. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DI KEPALA (1) Nyunggi wakul Membawa bakul dengan meletakkannya di atas kepala. b. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DIATAS BAHU (2) Adhiku takpanggul Membawa adikku (dengan cara menaikkannya di atas kedua pundakku) (3) Kaline jero, dagangane dipundhak wae! 13 Sungainya dalam, barang dagangannya diletakkan di pundak saja! c. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MENGGANTUNGKAN PADA BAHU (4) Nyangklong tas Membawa tas (dengan menggantungkan tas pada bahu) d. Komponen Makna +MEMBAWA MENGGANTUNGKAN PADA TONGKAT (5) Mikul suket nggo pakan sapi Membawa rumput untuk makanan sapi +DENGAN e. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN PADA TANGAN DI DEPAN DADA (6) Mbopong anake Membawa anaknya (dengan kedua tangan di depan dada) (7) Mondhong kayu Membawa kayu (dengan tangan di depan dada) f. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DIANTARA LENGAN ATAS DAN BADAN (8) Ngempit buku Membawa buku (dengan menyelipkan diantara lengan atas dan badan) g. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MELETAKKAN DI PINGGANG (9) Ngindhit beras 5 kilo Membawa beras 5 kilo (dengan meletakkan di pinggang) h. Komponen Makna +MEMBAWA +DENGAN MEMEGANGI TEPIAN ATAU UJUNG (10) Nyengkiwing gorok Membawa gergaji (dengan memegangi tepiannya) 2.2 Komponen Makna ‘OBJEK SASARAN’ a. Komponen Makna +MEMBAWA +OBJEK SASARAN RINGAN (11) Nyangking ceret. 14 Verba Sunggi, Cangklong, Bopong, Indhit, Kempit, Cangking, dan Cengkiwing juga dapat dikategorikan dalam objek sasaran ringan. b. Komponen Makna +MEMBAWA + OBJEK SASARAN BERAT (12) Mikul telo Verba Panggul, Pundhak, Pondhong juga dapat dikategorikan dalam objek sasaran berat. B. LEKSEM VERBA ‘MEMBAWA’ DALAM BAHASA INGGRIS 1. Verba a. Take (Membawa sesuatu dari tempat dari penutur ke suatu tempat yang berbeda) Contoh : You have to fill in this form and then take it to the Office. Kamu harus mengisi formulir ini dan membawanya ke kantor. b. Fetch (Pergi ke suatu tempat, kemudian membawakan kembali sesuatu yang dimaksud oleh penutur) Contoh : If you’re going to the garage, can you fetch that green bag? Jika kamu akan menuju garasi, maukah kamu membawakan tas hijau itu? c. Lug (Membawa sesuatu dengan usaha yang lebih) Contoh : He had to lug the heavy suitcase to the third floor. Dia harus membawa koper yang berat itu ke lantai tiga. 2. Komponen Makna 2.1 Komponen Makna ‘ARAH’ a. Komponen Makna +MEMBAWA +MENUJU TEMPAT LAIN (13) You have to fill in this form and then take it to the Office Kamu harus mengisi formulir ini dan membawanya ke kantor. b. Komponen Makna +MEMBAWA +MENUJU KEMBALI KE PENUTUR (14) If you’re going to the garage, can you fetch that green bag? Jika kamu akan menuju garasi, maukah kamu membawakan tas hijau itu? 2.2 Komponen Makna ‘OBJEK SASARAN’ 15 Komponen Makna +MEMBAWA +OBJEK SASARAN BERAT (15) He had to lug the heavy suitcase to the third floor. Dia harus membawa koper yang berat itu ke lantai tiga C. KONTRAS MAKNA LEKSEM VERBA BERMAKNA MEMBAWA DALAM BAHASA JAWA DAN BAHASA INGGRIS Setelah data yang didapat diseleksi sesuai dengan bahasan yang dirumuskan, peneliti membagi data kedalam dua kelompok, yaitu leksem bermakna membawa dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris. Untuk memudahkan dalam analisis, data yang ditemukan dikemas Bahasa Jawa Verba Komponen makna cara Sunggi Panggul Pundhak Pikul Cangklong Bopong Pondhong Indhit Kempit Cangking Cengkiwin g kepala bahu + - + + + - tongk at + - depan dada + + - Lengan & badan + - pinggan g + - ujung / tepi + Komponen makna objek sasaran berat ringan + + + - + + + + + + + + dalam table di bawah ini: Tabel 1. Komponen makna bahasa Jawa. Bahasa Inggris Verba Komponen makna arah menuju kembali tempat lain penutur Take + Fetch + Lug Tabel 2. Komponen makna bahasa Jawa. Komponen makna objek sasaran ke berat + 16 Dalam mengkaji data tersebut, peneliti menemukan beberapa persamaan diantara keduanya, yang berisi fitur semantik yang mempengaruhi makna pada masing-masing bahasa. Persamaan tersebut diantaranya. 1. Penggunaan verba membawa disesuaikan dengan konteks dan situasi. 2. Objek sasaran dalam verba membawa dimana dibedakan berdasarkan objek berat dan ringan Disamping adanya persamaan, peneliti juga menemukan perbedaan diantara kedua bahasa tersebut diatas. Perbedaan yang ditemukan menunjukkan ciri khas dan keunikan pada masing masing bahasa, yang merupakan gejala semantic yang menarik. Perbedaan tersebut antara lain: 1. Makna yang merujuk pada cara. Verba yang ditemukan, yaitu nyunggi, manggul, mundhak, mikul, nyangklong, mbopong, ngindhit, ngempit, dan nyangking, dan nyengkiwing masing masing menggambarkan cara membawa yang berbeda. Bahkan verba ngempit mampu menggambarkan suatu cara yang mungkin tidak terfikirkan oleh siapapun yang tidak menggunakan Bahasa Jawa secara aktif, dalam kaitanya sebagai bahasa ibu. 2. Makna yang merujuk pada arah (dalam membawa). Dalam Bahasa Inggris, verba yang ditemukan, yaitu take dan fetch justru dibedakan penggunaanya berdasarkan arah ketika seseorang membawa sesuatu. Hal ini tentu tidak ditemukan dalam Bahasa Jawa, dimana arah akan dibedakan dengan menambahkan penunjuk tempat yang bermakna kesini, kesana, dll. KESIMPULAN 1. Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan bentuk-bentuk leksem verba yang bermakna membawa. Leksem verba yang ditemukan dalam Bahasa Jawa berjumlah 11 leksem, yaitu sunggi, panggul, pundhak, pikul, cangklong, bopong, pondhong, indhit, kempit, cngkiwing, dan cangking. Sedangkan dalam Bahasa Inggris ditemukan 3 leksem, yaitu take, fetch, dan lug. 17 2. Data verba yang ditemukan dipengaruhi oleh beberapa komponen makna, diantaranya komponen makna cara, komponen makna objek sasaran, dan komponen makna arah. 3. Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam penelitian terdpat dalam komponen makna yang ada. Makna yang merujuk pada objek sasaran merupakan persamaan yang ditemukan dalam kedua bahasa, sedangkan makna yang merujuk pada cara dan makna yang merujuk pada arah merupakan keunikan yang membedakan bahasa Jawa dan bahasa Inggris. DAFTAR PUSTAKA Chaer, A. 1999. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Harliana. 2015. Leksem Verba Bermakna Destroy Dalam Bahasa Inggris. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Leech, G. 2003. Semantik (diterjemahkan oleh Paina Partana). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan strategi, metode, dan tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Nida, E. A. 1975. Componential Analysis of Meaning : An Introduction to Semantic Structures. Paris : Mouton the Hague. Palmer, F. R. 1976. Semantics. Cambridge : Cambridge University Press. Poedjosoedarmo, S. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Shalihah. 2015. A Look at the World through a Word ”Shoes”: A Componential Analysis of Meaning. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Soedibyo, Mooryati. 2004. Analisis Kontrastif: Kajian Penerjemahan Frasa Nomina. Surakarta: Pustaka Cakra. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suwarno, dkk. 1998. Wewarah Basa Jawa. Yogyakarta: Dhaksinarga. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Yuma Pustaka. 18 Wedhawati, dkk. 1990. Tipe-tipe Semantik Verba Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yuniarti .2014. Analisis Kontrastif Kalimat Imperatif Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada PERTANYAAN DAN JAWABAN Pemakalah : Ahlan Hanan Wijaya “Leksem Verba Bermakna ‘Membawa’ dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris” No Pertanyaan/tanggapan Jawaban 1 Dr. Hendrokumoro - (berupa tanggapan) 1) Perlu dikaji lebih dalam - Verba ‘pondhong’ dimasukkan dalam lagi, jika ada makalah. kemungkinan leksemleksem lain yang belum tersaring. 2) Dalam bahasa Jawa, bisa ditambah ‘pondhong’ dan ‘gotong’. 2. Syamsudin ‘Carry’ merupakan kata superordinat Mengapa carry tidak dalam bahasa Inggris yang bermakna dimasukkan dalam leksem membawa. Peneliti tidak memasukkan bermakna membawa? kata tersebut, karena komponen makna yang menyertai terlalu luas, atau bahkan tidak dipengaruhi oleh komponen makna apapun. Begitu juga dengan kata ‘membawa’ dalam bahasa Indonesia, dan ‘nggawa’ dalam bahasa Jawa. 3. Tri Indah Peneliti mengumpulkan data dari Bagaimana peneliti berbagai korpus, baik lisan maupun mengumpulkan data? tertulis. Dalam bahasa Inggris, ‘take’merupakan kata yang paling banyak digunakan. Sedangkan dalam bahasa Jawa, data leksem verba yang berarti membawa juga dibuat sendiri oleh peneliti karena peneliti merupakan penutur asli Bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Mahsun (2003, p.102) yang menyatakan bahwa dalam penelitian bahasa terdapat suatu metode yang disebut dengan 19 metode introspektif yaitu metode penyediaan data dengan memanfaatkan intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya (bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi analisis sesuai dengan tujuan penelitiannya. 20 KUALITAS TERJEMAHAN PROVERB KE DALAM BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN GOOGLE TRANSLATE Ahmad Muzaki Alawi Universitas Gadjah Mada alawiezacky13@gmail.com ABSTRAK Dewasa ini, menerjemah dengan bantuan mesin baik berbasis aplikasi offline maupun online sering dilakukan terutama oleh civitas akademia. Sebuah penelitian lama oleh Aiken dan Ghosh (2009) mengungkapkan bahwa Google Translate (GT) adalah yang paling sering di gunakan untuk menerjemahkan dan paling baik di kelasnya. September 2017 kemarin, Google mengumumkan bahwa Google Translate sudah menggunakan saraf neuro sehingga mampu memberikan hasil yang hampir sama dengan terjemahan manusia. Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana proverb (peribahasa) diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menggunakan GT. Peribahasa sendiri merupakan hasil produk budaya yang bentuknya baku dan menggunakan leksikon-leksikon spesifik sehingga bahkan manusia pun akan kesulitan untuk menerjemahkannya. Terdapat 100 proverbs yang akan dianalisis tingkat kualitasnya. Sebelumnya, 100 proverbs tersebut sudah diterjemahkan oleh manusia. Hasil terjemahan inilah yang akan menjadi tolok ukur kualitas terjemahan GT. Penelitian ini akan mengungkap seberapa wajar dan sesuai hasil terjemahan proverb ke dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan Google Translate. Dari data yang diperoleh terlihat ada beberapa proverb yang diterjemahkan ke bentuk peribahasa Bahasa Indonesia. Di sisi lain, sebagian besar dapat dipahami maksudnya meskipun tidak berbentuk peribahasa. Namun, tidak sedikit pula GT menghasilkan ungkapan yang sulit dipahami dalam bahasa sasaran. Kata kunci: proverb, kewajaran, kesesuaian PENDAHULUAN Dewasa ini, menerjemah bukanlah hal yang sulit. Terlepas dari baik tidaknya hasil terjemahan, semua orang dapat melakukannya dengan bantuan mesin. Terlebih lagi, Kamus offline sudah dapat diinstal pada 21 smartphone sehingga memudahkan penggunanya dalam proses menerjemah tanpa perlu membawa-bawa kamus konvensional. Selain berbentuk aplikasi offline, banyak orang dapat menggunakan aplikasi dalam jaringan atau online. Meskipun menerjemah dengan bantuan aplikasi online membutuhkan kuota data internet, banyak penerjemah yang menggunakannya. Hal itu dikarenakan aplikasi online tidak hanya sangat baik dalam menerjemahkan kata per kata, namun ia juga dapat menerjemahkan dalam bentuk frasa, klausa, kalimat, bahkan paragraf. Aiken dan Ghosh (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan Google Translate (GT), mesin penerjemahan berbasis online, adalah yang paling banyak digunakan dan paling akurat jika dibandingkan dengan Machine Translation lainnya. Pada saat ini, banyak karya tulis baik fiksi maupun non-fiksi dalam bentuk buku, artikel jurnal, majalah, surat kabar, novel, kumpulan dan bahkan lagu telah diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Jika dilihat secara luas, jumlah hasil terjemahan karya tulis jauh melampaui karya tulis asli penulis Indonesia. Akan tetapi, apakah banyaknya kuantitas tersebut sepadan dengan kualitas hasil terjemahannya? Tidak sedikit kasus terjadi ketika pembaca harus berfikir dalam untuk memahami kalimat-kalimat yang sudah diterjemahkan tersebut. Kalimat-kalimat yang sulit diterjemahkan biasanya berupa ungkapan idiom, metafora atau peribahasa. Peribahasa merupakan bentuk Bahasa yang sangat dekat dengan budaya penuturnya. Pada umumnya, peribahasa banyak berupa metafora, ritme Bahasa maupun aliterasi. Penggunaan leksikon serta struktur sintaksis peribahasa berbeda dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya. Hal ini tentu sangat menyulitkan GT untuk menerjemahkannya Masalah utama dalam proses penerjemahan adalah mencari padanan (Hartono, 2017: 4). Padanan di sini dapat bervariasi levelnya dari kata sampai kalimat. Secara umum, GT sangat baik, cepat dan memberikan banyak pilihan kata ketika diminta untuk menerjemahkan teks sumber ke teks sasaran dalam bentuk kata atau frasa. Penerjemah biasanya akan menyeleksi pilihan kata yang tepat dalam konteks kalimat yang sedang dia kerjakan. Akan tetapi, GT tidak cukup bagus ketika menerjemahkan klausa atau kalimat, ditambah, jika terdapat unsur budaya pada Bahasa sumber. Contoh pada kalimat “Hari ini tepat 40 hari kakekku”. Ketika kalimat tersebut dialihbahasakan ke dalam Bahasa Inggris menggunakan GT, 22 hasilnya menjadi “Today is exactly 40 days my grandfather”. Ketika menerjemahkan, GT akan mencari semua kemungkinan kesepadanan dengan menggunakan kode alogaritma pada mesin terjemahan sekaligus membatasi ruang kebahasaan yang lebih khusus pada Bahasa sasaran pada waktu yang bersamaan. Peribahasa merupakan bentuk Bahasa yang sangat dekat dengan budaya penuturnya. Holman dan Harmon dalam Hartono (2017: 107) mengatakan bahwa peribahasa (proverbs) adalah perkataan yang mengungkapkan suatu pengakuan kebenaran tentang kehidupan. Pada umumnya, peribahasa banyak berupa metafora, ritme Bahasa maupun aliterasi. Penggunaan leksikon serta struktur sintaksis peribahasa berbeda dari bahasa satu ke bahasa yang lainnya. Hal ini tentu sangat menyulitkan GT untuk menerjemahkannya. Kemudian, bagaimana dengan penerjemahan yang dilakukan oleh Google Translate? Seperti terjemahan mesin lainnya, GT tidak memiliki ideologi, metode ataupun strategi untuk menerjemahkan. Google Translate hanya menggunakan alogaritma yang sudah diformulakan dan cenderung mengambil secara acak kata yang menurutnya paling tepat kemudian dimasukan ke dalam bahasa sasaran tanpa perlu memikirkan tata bahasa yang berlaku. Dengan sering dilakukannya perkembangan oleh tim, Google Translate sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan penerjemah amatir, hasil terjemahan Google Translate bisa jadi lebih bagus. Sebagai contoh proverb ‘where there is a will, there is a way’ dapat langsung diterjemahkan menjadi ‘dimana ada kemauan disitu ada jalan’ oleh GT. Hasil terjemahan tersebut ternyata sangat akurat dan sama persis dengan terjemahan manusia. Bagaimanapun juga, terdapat peribahasa yang diterjemahkan oleh GT dengan tingkat kualitas buruk. Seperti proverb ‘the tongue wounds more than a lance’ diterjemahkan oleh GT menjadi ‘Lidah luka lebih dari tombak’. Setelah diterjemahkan oleh manusia, hasilnya menjadi ‘lidah lebih tajam daripada pedang’. Berangkat dari fenomena inilah, penulis bermaksud untuk mencari tahu nilai kewajaran dan kesesuaian penerjemahan peribahasa dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris menggunakan Google Translate (GT). METODE 23 Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Objek dari penelitian ini adalah proverbs dalam Bahasa Inggris. Data diambil dari buku yang berjudul English Popular Proverbs yang ditulis oleh Hana Melita Ekasari (2005). 100 sampel peribahasa dipilih secara acak. Data-data yang telah terkumpul kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menggunakan Google Translate. Hasil terjemahan proverbs tersebut kemudian dianalisis untuk dicari kesesuaiannya dengan terjemahan manusia. Adapun kewajaran akan diuji dengan menggunakan questionnaire yang diberikan kepada 5 mahasiswa pascasarjana Ilmu Linguistik di Universitas Gadjah Mada. HASIL DAN PEMBAHASAN Kesesuaian Terjemahan GT Kesesuaian hasil terjemahan Google Translate dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan model tingkat kesesuaian yang digunakan oleh Memsource, dengan angka kesesuaian sebagai berikut: Match 100 : hasil terjemahan identik dengan HT, tanpa perlu penyuntingan. Match 76-95 : hasil terjemahan mendekati sempurna, perlu sedikit penyuntingan. Match 50-75 : hasil terjemahan memerlukan perbaikan pada kata-kata, harus disunting. Match 00-49 : hasil terjemahan masih jauh dan cenderung tidak sesuai. Dari 100 peribahasa yang dipilih, terdapat 24 peribahasa yang dapat diterjemahkan oleh GT dengan tingkat kesesuaian match 100. Berikut disajikan beberapa contoh terjemahan GT dengan tingkat kesesuaian match 100: (1) Home sweet home : rumahku surgaku. (2) A little better than none : sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Hasil terjemahan dalam teks sasaran dengan menggunakan GT sama persis dengan hasil terjemahan HT. Dari data di atas dapat terlihat bahwa GT sudah tidak menerjemahkan dengan hanya sekadar alih bahasa kata per kata. Namun, ia memperhatikan tata bahasa yang baik pada teks sasaran. Hal ini terlihat pada pemilihan kata ‘surga’ pada contoh nomor (1) dan pergeseran frasa menjadi kalimat pada contoh (2). 24 Hasil analisis juga menunjukkan terdapat 42 proverbs yang diterjemahkan GT dengan tingkat kesesuaian 75-95. Perhatikan contoh data berikut: (3) Patience brings rewards : kesabaran membawa imbalan. (4) An empty barrel resounds loudly : sebuah tong kosong bergema keras. (5) Like two drops of water : seperti dua tetes air. Hasil terjemahan GT di atas menggunakan tata Bahasa Indonesia yang benar dan dapat dipahami maknanya. Namun, kalimat-kalimat tersebut bukanlah peribahasa. Tidak terdapat nilai-nilai luhur dari pilihan kata-kata tersebut. Hasil tersebut dapat dikatakan kurang baik karena makna budaya tidak dapat ditransfer ke dalam bahasa sasaran. Berikut kami tunjukkan hasil terjemahan HT sebagai pembanding: (6) Patience brings rewards : orang sabar disayang tuhan. (7) An empty barrel resounds loudly : tong kosong nyaring bunyinya. (8) Like two drops of water : bagai pinang dibelah dua Pada contoh no (6), (7), dan (8), penerjemah mencari padanan peribahasa yang sepadan dalam bahasa sasaran. Ketiga hasil terjemahan tersebut memiliki kesatuan bahasa yang utuh serta menggunakan leksikon yang sesuai dalam Bahasa Indonesia. Meskipun contoh (7) memiliki kata inti yang sama yaitu tong kosong, akan tetapi semua kata dalam kalimat tersebut tidak dapat diganti; berbeda dengan contoh (4). Temuan lain dalam analisis adalah hasil terjemahan GT benar secara gramatikal dan dapat dipahami secara makna, tetapi dirasa aneh oleh pembaca bahkan ada yang maknanya sulit dimengerti. Perhatikan contoh berikut: (9) A friend in need is a friend indeed : seorang teman yang membutuhkan adalah seorang teman. (10) An empty purse frightens away friends : dompet kosong membuat takut teman. Hasil terjemahan GT di atas berdasarkan pada alogaritma kata per kata yang kemudian digabungkan dengan mempertimbangkan kaidah gramatikal dalam Bahasa Indonesia. Pada contoh no (9) hasil terjemahan justru membingungkan pembaca. Sedangkan pada (10) tidak memiliki 25 hubungan antara dompet yang kosong dan teman yang takut. Kedua peribahasa di atas akan menjadi lebih mudah dipahami seperti berikut: (11) A friend in need is a friend indeed : teman sehidup semati. (12) An empty purse frightens away friends : ada uang abang sayang. Pada contoh (11) dan (12) sebenarnya bukan merupakan peribahasa. Kedua kalimat tersebut merupakan ungkapan. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya peribahasa tidak harus diterjemahkan menjadi peribahasa juga dalam bahasa sasaran. Jika memang tidak terdapat peribahasa yang sesuai, maka penerjemah dapat mengunakan ungkapan-ungkapan yang sering dipakai dan mudah dipahami oleh pembaca. Temuan terakhir pada tingkat kesesuaian adalah terdapat 34 hasil terjemahan proverbs yang tidak dapat dipahami. Hasil tersebut perlu disunting ulang sehingga menjadi lebih bermakna. Perhatikan contoh data berikut: (13) After a storm comes a calm : Setelah badai datang dengan tenang. (14) Honey is sweet but the bee stings: Madu itu manis, tapi sengatan lebah. Contoh data-data di atas salah secara gramatikal. Tidak hanya makna kontekstualnya, makna secara leksikalnya pun sulit dipahami. Hal ini disebabkan GT belum mampu mendeteksi gaya bahasa pada tata Bahasa Inggris yaitu penggunaan pola V + S seperti ‘comes a calm’ pada contoh (13). Kemudian pada contoh (13) juga dapat dilihat bahwa GT kurang mampu membedakan kata yang berbentuk sama ketika menduduki kategori verba dan nomina seperti ‘stings’. Kewajaran Terjemahan GT Menilai kewajaran terjemahan berarti melihat apakah bentuk hasil terjemahan sudah alamiah atau tepat dengan gaya bahasa sasaran atau belum (Hartono, 2017: 50). Uji kewajaran pada penelitian ini dengan menggunakan lembar observasi yang diberikan kepada 30 mahasiswa pascasarjana Ilmu Linguistik UGM. Para responden diminta untuk membaca dan memberi nilai apakah maknanya sudah dapat dipahami serta disampaikan secara wajar atau tidak. Dalam hal ini, mereka tidak 26 tahu bahwa kalimat-kalimat yang mereka nilai merupakan terjemahan proverb oleh GT. Kewajaran menurut Larson (1984: 497) dapat dilihat dari pilihan kata dan bentuk kalimat yang lumrah terdapat dalam bahasa sasaran. Dari 100 hasil terjemahan proverbs oleh GT, responden menilai terdapat 41 terjemahan yang tidak wajar baik dari pilihan kata maupun bentuk kalimatnya. Hal itu dibuktikan dari jawaban responden yang menyatakan bahwa mereka perlu berfikir ulang untuk memahami kalimatkalimat tersebut. Bahkan, ada beberapa kalimat yang tidak dapat dipahami sama sekali maksudnya karena pilihan leksikon yang tidak sesuai dengan konteks dalam Bahasa Indonesia. Berikut disajikan beberapa contoh data hasil terjemahan yang tidak wajar. (15) Pin bigger than pole (16) Like chicken, no paw, no eat makan. : Pin lebih besar dari kutub. : Seperti ayam, tanpa cakar, tidak Pada contoh data (15) kata ‘pin’ diterjemahkan oleh GT menjadi pin dalam Bahasa Indonesia. Kata ini merujuk pada sesuatu yang dipakai dalam berpakaian oleh wanita. Ketika kata ‘pin’ diketik pada GT, hasil terjemahan pin merupakan kata pertama yang disarankan. Sedangkan kata kutub, yang merupakan terjemahan dari ‘pole’, merupakan kata ketiga yang disarankan oleh GT. Padahal, kata pertama yang muncul justru lebih wajar, yaitu tiang. Hal ini menunjukkan bahwa GT tidak selalu memilih kata pertama yang muncul untuk ketika menerjemahkan. Sedangkan pada contoh (16) pilihan leksikonnya sudah wajar dalam konteks Bahasa Indonesia. Namun tanpa cakar akan menimbulkan makna bahwa ayam tersebut tidak memiliki cakar. Hal inilah yang membuat hasil terjemahan tersebut menjadi tidak wajar. Sisanya, yaitu 59 hasil terjemahan proverbs oleh GT, dinilai sangat wajar oleh responden. Pilihan kata dan bentuk kalimatnya sudah sesuai dengan tata bahasa dalam Bahasa Indonesia. Meskipun beberapa hasil terjemahan bukan merupakan peribahasa, namun kalimat-kalimat tersebut dapat dipahami maknanya oleh pembaca tanpa harus mengernyitkan dahi untuk berpikir. Berikut disajikan beberapa contoh data yang bukan peribahasa tetapi wajar pada bentuk dan maknanya. 27 (17) Building castlein the air : Membangun istana di udara. (18) Forbidden fruit is sweet : Buah terlarang itu manis. KESIMPULAN Dibandingkan dengan terjemahan manusia atau Human Translation, nilai kesesuaian hasil terjemahan Proverbs oleh GT dikatakan baik. Bahkan beberapa ada yang sama persis dengan HT. Adapun tingkat kewajaran hasil terjemahan GT dinilai cukup baik kurang menurut responden. 59% hasil terjemahan dianggap menggunakan pilihan kata dan bentuk kalimat sesuai dengan Bahasa Indonesia menurut responden. Meskipun terdapat kata yang tidak wajar digunakan sebagai perumpamaan dalam Bahasa Indonesia, namun kalimat-kalimat yang mengandun kata tersebut masih dapat dipahami maknanya oleh pembaca. Meskipun begitu, secara keseluruhan penerjemah yang menggunakan bantuan mesin terutama GT perlu untuk menyunting kembali hasil terjemahannya sehingga menjadi lebih wajar dan sesuai dengan konteks budaya yang ada dalam masayarakat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Aiken, M., Ghosh, K., Wee, J., and Vanjani, M. (2010a). Aiken, M., Ghosh, K., Wee, J., and Vanjani, M. (2009a). An evaluation of the accuracy of online translation systems. Communications of the IIMA, 9(4), 6784. Communications of the IIMA, 9(4), 67-84,inpress. http://findarticles.com/p/articles/mi_7099/is_4_9/ai_n56337599 / Ekasari, H.M. 2005. Popular English Proverbs. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama. Hartono, Rudi. 2017. Pengantar Ilmu Menerjemah. Semarang: Cipta Prima Nusantara. Larson, M.L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence. Lanham: University Press of America. Soemarno, T. 1993. “Studi tentang Kesalahan Terjemahan dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia” (oleh Mahasiswa yang Berbahasa Ibu Bahasa Jawa). Unpublished Thesis. Malang: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang. 28 Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Afabeta HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Meneliti kualitas terjemahan anda dapat menggunakan rater. Lalu siapa rater dalam penelitian anda? 2. Apa yang anda tekankan di sini? Apakah hasil terjemahan proverb oleh GT yang bukan merupakan peribahasa dalam Bahasa Indonesia? 3. Peribahasa jelas dekat sekali dengan budaya. Dan bisa diprediksi kalau hasil GT akan buruk. Lalu apa manfaat penelitian anda? Jawaban: 1. Penilaian kualitas terjemahan GT melalui lembar observasi yang diberikan kepada 5 mahasiswa, saya rasa itu sudah menjadi rater, karena keterbacaan, dan kewajaran bisa dirasa oleh penutur asli bahasa Indonesia. 2. Yang ditekankan di sini bukan bentuk hasilnya apakah masih berbentuk peribahasa atau tidak. Namun lebih dilihat pada maknanya. Apakah disampaikan dengan sesuai dan menggunakan kata yang wajar atau tidak. 3. Awalnya saya berfikir demikian. Tetapi ternyata, jika diprosentasekan, hasil terjemahan peribahasa oleh GT dikatakan baik. berbicara manfaat mungkin tidak menambah khazanah karena yang diteliti adalah mesin. Namun mesin juga memiliki tim, banyaknya penelitian tentang GT mungkin saja dapat membantu tim developer untuk memperbaikinya. Bahkan sekarang kita bisa memberi editan langsung di halaman GT. Sebaiknya peribahasa bahasa Inggris dan Indonesia yang memiliki kesepadanan segera disarankan ke GT, karena bisa saja lama-lama kita lupa dengan peribahasa sendiri, dan malah lebih familiar dengan terjemahan literal peribahasa bahasa Inggris. 29 IDEOLOGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU THE GRAND DESIGN KARYA STEPHEN HAWKING DAN LEONARD MLODINOW Ahmad Zaidi Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada Ahmadzaidi1994@gmail.com ABSTRAK Buku the Grand Design karya Hawking dan Mlodinow ini memiliki dua unsur yang jarang dimiliki oleh buku lain. Penjelasan fisika teoretik dibungkus dengan kemasan yang mudah dimengerti. Dalam buku ini penulis buku membandingkan bagaimana cara pandang kuno terhadap alam dan pandangan sains terhadapnya. Dengan begitu buku asli dalam Bahasa Inggris memiliki konteks teknis dan konteks budaya yang perlu diperhatikan dalam penerjemahannya ke Bahasa Indonesia. Dalam paper ini peneliti peneliti berfokus pada Culture Specific Items yang mengalami domestikasi atau foreignisasi. Kemudian dari 153 data yang telah dikumpulkan peneliti dapat disimpulkan bahwa bahwa buku ini menggunakan ideologi domestikasi dalam proses penerjemahannya. CSI yang mengalami foreignisasi adalah istilah teknis yang memang belum ada padanan dalam Bahasa Indonesia. CSI yang mengalami domestikasi adalah items yang dapat dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia yang berkaitan dengan budaya. Kata Kunci: terjemahan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, ideologi, Grand Design, Stephen Hawking, Leonard Mlodinow. PENDAHULUAN Fisika Teoretik adalah bidang yang mempelajari bagaimana alam semesta bekerja. Isaac Newton, Albert Einstein, dan Stephen Hawking adalah nama – nama besar dalam bidang ini. Kontribusi bidang ini meliputi banyak hukum seperti hukum gravitasi, hukum kecepatan, bahkan hingga teori lubang hitam. Lenz juga menyatakan penemuan hukum – hukum alam semesta ini juga turut mengembangkan teknologi seperti semikonduktor yang membuat teknologi seperi telepon pintar menjadi mungkin. Tanpa pengetahuan tentang sifat elektron semikonduktor tidak bisa ditemukan. 30 Di Indonesia, bidang ini masih kurang diminati. Dari hasil pencarian program studi di situs BAN-PT masih belum ada program studi khusus untuk fisika teori. Namun terjemahan buku – buku fisika teori dari luar negeri masih banyak terbit di Indonesia. Salah satunya buku buku Rancang Agung yang merupakan versi terjemahan dari buku aslinya yang berbahasa Inggris Grand Design karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow. Buku hasil terjemahan diterbitkan oleh PT Gramedia dan diterjemahkan oleh Zia Anshor yang sebelumnya telah menerjemahkan buku yang berkaitan dengan fisika seperti: Tujuh Pelajaran Singkat Fisika dan buku biografi Stephen Hawking yang berjudul Travelling to Infinity. Hawking sendiri merupakan seorang penulis dan juga Profesor bidang Matematika di Cambridge University sebelum wafat pada tanggal 14 Maret 2018. Mlodinow adalah seorang penulis di bidang Matematika Fisika yang terkenal dengan ekspansi 1/N (Large N expansion). Buku asli dalam Bahasa Inggris merupakan buku yang laris di negara penerbitannya terutama di Amerika Serikat, karena merupakan buku Best Seller di New York Times. Buku ini sendiri memiliki gagasan tidak perlu menghadirkan Tuhan dalam penciptaan alam semesta Hawking dan Mlodinow menggunakan argument sesuai dengan kaidah sains dan menunjukkan banyak percobaan yang telah dilakukan untuk mendukung argument mereka. Penulis buku juga membandingkan perbedaan cara pikir suku – suku tertentu dengan cara pikir sains. Cara pikir suku – suku ini melibatkan kehendak dewa dan cara pandang mereka terhadap alam sementara cara pandang Fisika Teoritis melihat pola alam tersebut kemudian memetakannya dan memprediksi kejadian apa yang akan terjadi kedepannya. Dampak dari kedua cara pikir ini membentuk sebuah teks yang memiliki Culture Specific Items (Aixela. 1996) disingkat CSI dari unsur teknis dan unsur budaya baik dari pola pandang suku – suku tersebut dan berasal dari penjelasan humoris penulis. Paper ini fokus pada ideologi penerjemahan yang ada pada CSI dalam teks. CSI sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk terjemahan yang lahir karena saat di rubah ke dalam Bahasa Target dari Bahasa Sumber melahirkan sebuah konflik penerjemahan (baik dalam ideologi, penggunaan, frekuensi dan lain sebagainya) berdasarkan budaya pada Bahasa Target (Aixela. 1996:57). Penelitian penerjemahan pada buku 31 populer sendiri sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana transfer informasi yang dilakukan penerjemah yang bisa dilihat dari ideologi yang dipakai. Dalam penelitian ini berfokus pada dua ideologi penerjemahan yang Venuti (1995) yaitu Domestikasi dan Foreignisasi. Domestikasi teks adalah istilah yang digunakan Venuti untuk menjelaskan strategi penerjemahan di mana gaya transparan atau fasih diadopsi untuk meminimalisir “keanehan” dari sebuah teks asing kepada pembaca teks hasil terjemahan (Shuttleworth. 2014:43). Sebaliknya Foreignisasi (atau Meminorisasi Terjemahan) adalah tipe penerjemahan di mana TT diproduksi namun masih mengandung unsur asing di mana ini akan memutus konvensi pada BT (Shuttleworth. 2014:59). Ideologi foreignisasi di sini tidak selalu dapat dikatakan negatif karena penerjemah memasukkan unsur asing, dalam masyarakat Jerman yang dijabarkan Venuti (1995:86) menerangkan jika mereka bisa maju secara peradaban karena mereka menghargai unsur asing yang masuk daripada tetap terikat pada budaya “klasik“ dan tidak ada nilai lain yang masuk. Setelah penjelasan latar belakang ini penelitian ini menggunakan metode berikut ini untuk menganalisa ideologi penerjemah. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan terjemahan CSI dalam buku The Grand Design Karya Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow kemudian melihat hasil terjemahannya dalam buku hasil terjemahan yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dengan judul The Grand Design: Rancang Agung diterjemahkan oleh Zia Anshor. Setelah peneliti memperoleh data istilah budaya yang diterjemahkan, dalam bentuk frasa atau kata ke dalam Bahasa Target (BT) dari Bahasa sumber (BSu). Seluruh data dikelompokkan dan ditentukan tehnik penerjemahannya sesuai tehnik penerjemahan Aixela (1996:60-65) yang terdiri dari dua tema besar yaitu konservasi (repetisi, adaptasi ortografis, terjemahan linguistik (non-budaya), ekstratekstual gloss, dan intratekstual gloss) yang dekat dengan ide foreignisasi dari Venuti. Kemudian ada subtitusi yang sangat dekat dengan ide domestikasi Venuti (sinonimi, universalisasi terbatas, universalisasi absolut, naturalisasi, penghapusan, dan kreasi autonomus). kemudian menyimpulkan ideologi apa yang digunakan dalam proses penerjemahan tersebut berdasarkan tehnik yang telah dijabarkan di atas jadi kata atau frasa yang mengalami 32 konservasi akan di kategorikan sebagai foreignisasi dan subtitusi akan dikategorikan sebagai domestikasi. Hasil dan Pembahasan. Dari total CSI yang ada pada sebanyak 153 data pada TT ada 68 data yang merupakan Foreignisasi dan 85 data yang merupakan Domestikasi. Jadi mengimplikasikan buku ini menggunakan Domestikasi dalam terjemahan TS. Mari kita mulai pembahasan dari aspek foreignisasi yang terjadi lebih sedikit dan mengapa ini bisa terjadi dalam TT yang menggunakan Bahasa Indonesia. Axis Title Foreignisasi 28 20 16 2 adaptasi ortografis ekstratekstual gloss intertextual gloss 2 repetisi terjemahan bahasa (non-budaya) Dari grafik di atas dapat kita lihat ekstratekstual gloss, terjemahan budaya (non-bahasa) dan adaptasi ortografis merupakan tehnik penerjemahan dominan pada buku ini. Ekstratekstual gloss banyak terdapat pada istilah fisika teoretik yang ada pada Bahasa Inggris namun tidak ada pada Bahasa Indonesia, sehingga penerjemah harus menggunakan fitur ekstratekstual gloss untuk mengenalkan istilah dalam Bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian diikuti istilah Bahasa Inggris dari TS berikut contoh data dan pembahasannya: TS TT Neuroscience (datum 58) Ilmu Saraf (Neuroscience) Distorted Frame of Reference Kerangka Rujukan (datum 64) reference) terdistorsi Cloud chamber (datum 77) (frame of Kamar kabut (cloud chamber) Buku yang sedang diteliti tidak dapat dipungkiri merupakan buku teknis yang akan banyak merujuk kepada istilah dari Fisika Teoritis. Inilah sebab banyak istilah tehnis yang muncul dari BSu yaitu Bahasa Inggris. Jika kita 33 menelaah fisika teoritis, pengembang bidang seperti Newton, Penrose, dan Hawking sendiri berasal dari Britania Raya. Para pengembang ini karena merupakan penutur Bahasa Inggris menjadikan banyak istilah yang mereka hasilkan berasal dari Bahasa Inggris. Penerjemah sebagai pentransfer nilai yang ada pada BSu namun tidak ada pada BT menggunakan tehnik ini untuk mengenalkan istilah baru. Sementara intertekstual gloss fungsinya mirip dengan extratekstual namun keterangan tidak terdapat dalam kurung “()” atau pemisah teks lainnya, namun dengan kata penghubung seperti atau seperti dalam contoh frasa Crater Lake diterjemahkan menjadi “danau kawah atau crater lake. Intertekstual gloss sendiri hanya ada dua dalam data peneliti yang menandakan penerjemah lebih memilih ekstratekstual gloss daripada intertekstual sebagai alat transfer. Adaptasi ortografis dalam penelitian ini bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu adaptasi ortografis terhadap nama nama dan istilah: TS TT Tipe Euclid (datum 18) Eukleides Nama (Yunani) Joshua (datum 106) Yoshua Nama (Latin) Hsia Dynasty (datum Dinasti Xia 142) Nama (Tiongkok) Sicily (datum 21) Nama Kota (Itali) SIsilia Dari contoh di atas banyak nama yang berasal dari bahasa lain selain bahasa Inggris yang disesuaikan bunyinya sesuai kaidah bunyi dalam Bahasa Indonesia.. Nama Yunani sering muncul karena disamping Hawking dan Mlodinow memberikan penjelasan bagaimana manusia mempersepsi alam dan menyerahkan kehendak pada dewa – dewi pemikir dari Yunani kuno seperti Thales dan Euclid disebut untuk memberi contoh proses pemikiran terhadap alam sejak zaman Yunani kuno dan membandingkannya dengan sains modern namun nama pakar modern yang kebanyakan berasal dari Inggris tidak diterjemahkan. Hal ini berkaitan dengan Proper Names dalam semantik yang yang merupakan referential names. Bagi penutur Bahasa Indonesia nama yang terdapat 34 pada TT akan familiar dan menciptakan truth condition untuk merujuk pada orang yang sama dalam BSu. Sementara tehnik penerjemahan liguistik (non-budaya) dan repetisi merupakan penerjemahan yang menerjemahkan TS ke TT dengan menggunakan istilah yang sudah ada pada BT dan menggunakannya pada TT. Sementara dalam data peneliti juga terdapat repetisi terutama dalam puisi yang ada pada awal pembukaan bab yang tidak diterjemahkan. Berikut contoh nya : TS TT Tipe …, a scientific law if it holds only when some supernatural being decides not to interverne. (datum 54) Suatu hukum sains Linguistic (nonbukanlah hukum sains cultural) Translation jika hanya berlaku bila sosok supranatural memutuskan untuk tak campur tangan. Nature and Nature's laws lay hid in night: God said, let Newton be! And it was all light. (datum 49) Nature and Nature's Repetition laws lay hid in night: God said, let Newton be! And it was all light. Datum 54 terdapat kata supernatural beings yang diterjemahkan menjadi sosok supranatural yang merupakan terjemahan secara Bahasa saja, hal ini disebabkan karena nilai ini sudah ada pada kedua BSu dan BT. Sementara pada datum 49, sebuah pusi pada pembukaan salah satu bab tidak diterjemahkan. Kerumitan sebuah puisi kadang tidak bisa diterjemahkan begitu saja karena bisa menghilangkan keindahan puisi tersebut. Penerjemah di sini menggunakan repetisi untuk menjaga nilai aestetik tersebut. Jadi pada sisi foreignisasi hal yang paling banyak diterjemahkan menggunakan ideologi ini adalah istilah dan nama. Istilah dikenalkan dengan ekstratekstual gloss dan kemudian nama terutama nama Yunani diterjemahkan menggunakan adaptasi ortografis. 35 Sejalan dengan penelitian ini dalam studi yang dilakukan Obeidat dan Abu-Mehlim (2017) di mana mereka menganalisa teks teknis yang ada dalam label susu formula bayi ideologi penerjemahan foreignisasi muncul dominan dalam teks yang mereka teliti. Karena jika istilah teknis diterjemahkan menggunakan domestikasi akan menimbulkan perbedaan ide. Sementara foreignisasi pada data di atas juga bisa dikaitkan dengan kebijakan pemerintah pada EYD bahasa Indonesia. Penelitian yang dilakukan Sri Rwa Jayantini (2014) yang membahas kebijakan pemerintah dalam penerjemahan, istilah tehnis yang masuk dari Bahasa asing (dalam kasusnya biosekuritas, pertanian dan lingkungan) mengalami penyesuaian. Kemungkinan adanya penyesuaian kata atau frasa dalam studi ini bisa juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berlaku mengingat Gramedia merupakan Publisher yang bereputasi dan merupakan penerbit buku di Indonesia sebagai negara yang memiliki kebijakan tertentu masalah Bahasa. Studi lanjutan diperlukan dalam hal ini. Domestikasi 40 18 15 sinonim universalisasi absolut 11 penghapusan universalisasi terbatas Sementara dalam idologi domestikasi terjadi banyak universalisasi terbatas. Hal ini bisa terjadi karena penerjemah mencoba mentransfer budaya dari BSu ke BT namun dengan padalan yang masih ada dalam ranah yang bisa dimengerti dari BT. Disusul dengan sinonim di mana penerjemah menggunakan padanan TS dan TT dalam BSu untuk menerjemahkan unsur budaya ke BT. Kemudian universalisasi absolut merupakan terjemahan yang mencari kata netral dalam BT untuk diterjemahkan dari Bsu. Berikut contohnya: TS TT Tipe …the eclipses were not …gerhana matahari Universalisasi dependent on the bukan disebabkan terbatas arbitrary whims of kehendak sosok adi- 36 supernatural beings, alami yang semaunya, but rather governed melainkan diatur by laws. (datum 10) hukum - hukum. ..., for our observations observations of the heavens can be explained by assuming either the earth or the sun to be at rest. (datum 69) …, karena pengamatan sinonimi kita atas langit samasama bisa dijelaskan dengan berasumsi Bumi atau Matahari bergeming. (44) For example, if you flip a donut over, it looks exacly the same (unless it has a chocolate topping, in which case it is better just to eat it) (datum 124) Contohnya, jika anda Universalisasi absolut membalik donat, penampilannya sama persis (kecuali kalau donatnya dioles cokelat, sehingga daripada dibolak-balik lebih baik dimakan saja) dari tabel di atas bisa kita lihat dalam contoh universalisasi terbatas supernatural being diterjemahkan menjadi sosok adi-alami. Hal ini terjadi karena konteks yang sudang ada dalam kalimat tersebut merujuk kepada dewa – dewi sebagai sosok supernatural sedangkan jika kita artikal secara literal menjadi sosok supernatural maka bagi penutur Indonesia tidak hanya dewa – dewi yang masuk pada kategorisasi itu melainkan seluruh makhluk supernatural seperti pocong, gondoruwo, kuntilanak dan sebagainya. Dalam contoh sinonimi penerjemah mencari padanan kata at rest (diam) dan diterjemahkan dengan padanan kata yang lain yaitu bergeming. Sementara universalisasi absolut, dapat kita lihat jika penerjemah mencari kata yang paling netral dari kata topping yaitu olesan. Kata topping sendiri dapat berarti lapisan makanan yang ditaruh di atas makanan lain. Sementara olesan secara makna hanya dapat berlaku pada benda cair, karena di sini berkaitan dengan cokelat yang cair, penerjemah mencari padanan netral yaitu olesan. 37 Penghapusan merupakan suatu tehnik terjemahan yang menghapus sebuah elemen dalam BSu ke dalam Bahasa sumber ke BT karena ada elemen yang dirasa penerjemah kurang atau tidak sesuai dengan budaya BT sehingga ada penghapusan frasa. Sementara kreasi autonomus merupakan fenomena yang jarang dipakai menurut Aixela (1996) karena jarang ada penerjemah yang memasukkan konteks budaya yang belum ada pada TT. Berikut contoh keduanya: TS TT Tipe …,by knocking out wall and positioning a new bathroom where once there stood a majestic oak. (datum 130) …dengan cara penghapusan membobol dinding dan membangun kamar mandi baru. (133) Pada contoh di atas terjadi penghapusan frasa yang mengandung informasi pohok Oak. Hal ini bisa disebabkan karena penerjemah merasa tidak perlu memasukkan informasi ini, karena pohon Oak tidak ada di Indonesia. Studi yang dilakukan Siregar et.al. (2015), Sharifabad (2013) dan Schimdt (2013) mengimplikasikan teks yang ada dalam bentuk buku populer seperti novel dan juga teks tertulis seperti berita didominasi oleh ideologi Domestikasi. Sejalan dengan penelitian mereka, penelitian ini juga didominasi oleh ideologi penerjemahan domestikasi. KESIMPULAN. Berdasarkan data yang dikumpulkan peneliti pada penelitian ini dapat disimpulkan berdasarkan tehnik penerjemahan yang digunakan bahwa: 1. Ideologi domestikasi adalah ideologi yang lebih banyak digunakan pada penerjemahan CSI. 2. CSI yang mengalami foreignisasi kebanyakan adalah CSI yang merupakan nama dan istilah. Hal ini dapat dikarenakan tidak ada padanan yang setara pada Bahasa Indonesia. Sehingga 38 penerjemah harus memasukkan unsur baru ini baik itu disesuaikan atau diperkenalkan dengan tehnik penerjemahan. Mengingat buku ini adalah non-fiksi informasi yang masuk harus sama seperti pembaca membaca buku asli. 3. Pada CSI yang mengalami domestikasi kebanyakan adalah CSI yang dicari kata yang lebih umum (universalisasi terbatas). Juga dapat disimpulkan CSI yang mengalami domestikasi merupakan items yang tidak memiliki padanan yang sangat sejajar pada BT namun penerjemah menyesuaikan dengan budaya yang paling dekat. Dalam domestikasi tidak ada kata teknis yang memiliki makna tertentu yang dicari padanannya. Ini mengimplikasikan selain elemen teknis, elemen yang berkaitan dengan budaya, penerjemah lebih memilih untuk menyesuaikan budaya tersebut ke dalam BT. 39 REFERENSI Aixelá, Javier Franco (1996). Culture-specific items in translation. Román Álvarez, María CarmenÁfrica Vidal, eds. Translation, Power, Subversion. Clevedon – Philadelphia – Adelaide: Multilingual Matters. Hawking, Stephen. Mlodinov, Leonard. (2010). The Grand Design, Rancang Agung. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Lenz, Alexander. “What's the Point of Theoretical Physics?” The Conversation, The Conversation, 25 May 2018, theconversation.com/whats-the-point-of-theoretical-physics54493. Newmark, Peter. (1988). A Texbook of Translation. Wheaton & Co. Ltd, Kxeter: Hertfordshire Obeidat, Eshraq S. Abu-Mehlim, Abdel-Rahman. (2017). Foreignization and Domestication in Translating English - Arabic Baby Formula Labels. British Journal of Humanities and Social Sciences, September2017, Vol. 17(2). Pencarian Prodi | BAN-PT, banpt.or.id/direktori/prodi/pencarian_prodi. Schmidt, Goran. (2013). Foreignization and Domestication in the Croatioan Translations of Oscar Wilde’s The Picture of Dorian Gray. Jezikoslovlje Journal, Vol 14. 2-3: 537-548. Sharifabad, Ebrahim Davoudi. (2013). The Application of Domestication and Foreignization Translation Strategies in English-Persian Translations of News Phrasal Verbs. Journal of Theory and Practice in Language Studies, Vol. 3, No. 1, pp. 94-99. Shuttleworth, Mark. Dictionary of Translation Studies. Routledge, 2014. Siregar, Roswani. Sinar, T. Silvana. Lubis, Syahron. Muchtar, Muhizar. (2015). Domestication and Foreignization In The Process Of Translation of the 8th Habit by Stephen R. Covey into Bahasa Indonesia. IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSRJHSS) Volume 20, Issue 4, Ver. II(Apr. 2015), PP 53-63. Sri Rwa Jayantini, I Gusti Agung. (2014). Translation and Language Development: The Synergy Between Ideology, Policy and Consistency. Lingual: Journal of Language and Culture, Vol 2 No 1. Venuti, Lawrence. (1995). The Translator’s Invisibility. Routledge: London. 40 DISKUSI HASIL SEMINAR 1. Dr Sailal Arimi (UGM) Bagaimana ideologi penerjemahan dalam penelitian ini diukur? Jawaban: diukur dari seberapa banyak CSI yang di kenai tehnik penerjemahan yang menggunakan subtitusi yang condong ke domestikasi atau konservasi yang condong ke foreignisasi. Tehnik penerjemahan sendiri berdasarkan tehnik yang dijabarkan oleh Aixela. 2. Antonius (UNUD) apa tujuan khusus penelitian ini? Untuk mengetahui bagaimana transfer informasi dalam buku populer sains berlangsung. Karena buku ini kaya akan istilah dan kata budaya dan istilah teknis bidang fisika yang merupakan karakter unik buku ini. 3. Prof Putu Wijana (UGM) Saran: tadi anda berbicara mengenai nama yang tidak diterjemahkan kan. Itu namanya proper name ada nama yang memang bisa diterjemahkan atau memang tidak bisa diterjemahkan. Nama yang tidak bisa diterjemahkan seperti nama institusionalisasikan tidak boleh diterjemahkan. Coba nanti ditambahkan proper name ini. 41 PENAMBAHAN AKHIRAN -S PADA PERCAKAPAN DI MEDIA SOSIAL Ambaristi Hersita Milanguni Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Caturtunggal, Kec. Depok, Kab. Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281 ambaristihersitamilanguni@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena bahasa yang ada pada percakapan media sosial. Dalam percakapan pesan elektronik yang sekarang sering digunakan, ditemukan penambahan akhiran -s pada beberapa kata. Penambahan akhiran -s ini ditemukan pada beberapa percakapan di media sosial yang dikirimkan oleh sekelompok anak muda. Jika di dalam bahasa Inggris penambahan akhiran -s digunakan sebagai penanda jamak, maka pada kasus ini tidak semua penambahan akhiran -s merupakan bentuk jamak. Penambahan akhiran -s ini merupakan bentuk bahasa slang karena digunakan untuk berkomunikasi di kalangan tertentu. Metode yang digunakan adalah metode simak dengan teknik sadap libat cakap dan sadap bebas libat cakap. Selain itu dilakukan juga wawancara untuk mendapatkan kebenaran dari maksud dari penutur. Data berupa beberapa kata yang mendapatkan akhiran -s, seperti genduts, cantiks dan temans. Sumber data berupa kata akhiran -s yang ditemukan pada pesan elektronik seperti aplikasi Whatsapp dan LINE. Hasil penelitian ditemukan bentuk dan fungsi penambahan –s: (i) bentuk penambahan -s dengan tanpa menghilangkan unsur apapun, (ii) penambahan dengan menyisakan suku penultima, (iii) penambahan dengan menyisakan suku ultima, dan (iv) penambahan dilekatkan setelah fonem konsonan. Penambahan akhiran -s bertujuan untuk: (i) mengubah bentuk kata itu menjadi bentuk jamak, (ii) mempersingkat kata, (iii) menekankan makna, dan (iv) menciptakan kesan kekinian. Kata kunci: penambahan akhiran, fenomena bahasa, sosiolinguistik, media social, bahasa slang 42 A. PENGANTAR Akhir-akhir ini semakin banyak media percakapan jarak jauh yang berkembang di masyarakat. Alat-alat yang muncul semakin beragam dan tentunya semakin memudahkan para penggunanya. Dalam penelitian ini media sosial yang digunakan adalah Whatsapp dan Line. Orang-orang semakin dimudahkan hanya dengan mengirimkan pesan teks dengan berbagai emotikon yang dapat memudahkan penyampaian pesan. Tidak hanya alat percakapan yang semakin berkembang, tetapi bahasa yang digunakan pun semakin hari semakin berkembang. Salah satu yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah penambahan akhiran -s yang akhir-akhir ini muncul. Dalam bahasa Inggris terdapat penambahan akhiran -s yang digunakan sebagai penanda jamak. Dalam data penelitian, ditemukan kata yang diberi akhiran -s tidak hanya untuk penanda jamak dan bahkan bukan dalam bahasa Inggris. Morfem yang muncul adalah morfem bahasa Indonesia yang kemudian mengalami perubahan bentuk dan mendapat tambahan -s sehingga menimbulkan fungsi tertentu. Dari hasil pengamatan awal, penambahan akhiran -s ini ternyata juga digunakan untuk penanda jamak, tetapi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penambahan akhiran -s pada bahasa Indonesia yang bertujuan untuk menandakan jamak adalah pada kata gengs dan temans. Kata ini ditemukan pada percakapan grup, ketika salah seorang memanggil seluruh anggota grup percakapan Whatsapp. Fungsi yang ditemukan pada penambahan akhiran -s pada kata temans dan gengs ini merupakan fungsi mempersingkat kata. Mengingat bahwa semakin hari, setiap individu diminta untuk lebih cepat dan praktis dalam menyampaikan sesuatu. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mempersingkat kata dalam pengetikan. Hal ini lebih praktis daripada harus menulis dengan lengkap panggilan tersebut dengan menuliskan teman-teman. Dari contoh tersebut, tampak bahwa penambahan akhiran -s dipandang cukup mewakili dan mampu mempermudah pengguna dalam penulisan pesan, Selain itu jika dilihat dari bentuk dan fungsi, penambahan akhiran -s ini merupakan slang. Menurut Kridalaksana (2008:156) slang merupakan ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti, berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. 43 Penelitian ini secara khusus mengenai penambahan akhiran -s dalam media sosial. Hal ini diharapkan dapat menjadikan tulisan mengenai penambahan akhiran sebagai rujukan baru mengenai bahasa dalam media sosial. Percakapan yang dimunculkan sebagai data berasal dari tiga grup percakapan dan dua percakapan pribadi. B. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pengantar telah disampaiakan bahwa penambahan akhiran -s memiliki bentuk dan fungsi tertentu. Tiap bentuk dan fungsi tersebut akan dipaparkan sebagai berikut beserta tiap contoh penggunaannya. 1. Bentuk Penambahan Akhiran -s a. Penambahan tanpa Menghilangkan Unsur Apapun Bentuk penambahan akhiran -s yang pertama ada penambahan dengan tanpa mengurangi kata yang mendapatkan tambahan. Seperti yang sudah dikemukan di awal, penambahan akhiran -s dalam bahasa Inggris memang sudah ada. Namun, penambahan ini digunakan sebagai penanda jamak. Data yang ditemukan, penambahan akhiran -s tanpa mengurangi kata terdapat pada gengs, temans, koks, betuls, genduts, rombaks, dan banyaks. 44 Pada dua percakapan yang dimunculkan di atas, terlihat bentuk penambahan -s dilakukan dengan tidak menghilangkan unsur apapun pada morfem. Seperti pada contoh semangats dan genduts. b. Penambahan dengan Menyisakan Suku Kata Ultima (Suku kata terakhir) Bentuk kedua adalah penambahan akhiran -s dengan melakukan penghilangan bagian awal kata terlebih dahulu. Penambahan akhiran -s dengan menghilangkan bagian awal yang ditemukan adalah yangs dari sayang, ntaps dari mantap, tuls dari betul, nduts dari gendut, ngets dari banget, dan bangs dari abang. Pada contoh percakapan yang dimunculkan, terdapat dua contoh penambahan dengan menyisakan suku kata ultima atau suku kata terakhir. Percakapan pertama adalah tuls yang berasal dari betul kemudian mendapat akhiran -s dengan menambahkannya pada suku kata ultima yang tersisa. Contoh kedua yaitu ntaps yang berasal dari mantap dan kemudian mendapat akhiran -s dengan menambahkannya pada suku kata ultima. 45 c. Penambahan dengan Menyisakan Suku Penultima (Suku kata sebelum terakhir) Bentuk ketiga adalah penambahan akhiran -s dengan melakukan pengilangan bagian akhir kata. Data penambahan akhiran -s dengan menghilangkan bagian akhir kata ditemukan pada puts dari nama Putri, hans dari nama Handano, bebs dari bebi, gils dari gila, ngaps dari ngapain, cans dari cantik, dan sans dari santai. Pada contoh percakapan di atas, pertama penambahan akhiran -s dilakukan setelah menyisakan suku penultima, begitupun pada contoh kedua. Kedua contoh tersebut dilakukan pada sebuah nama. Pertama dari nama Putri menjadi puts dan nama Bapak Handano menjadi pak hans. Jika dilihat dari ketiga bentuk yang muncul, dapat dilihat secara keseluruhan bahwa semua penambahan akhiran -s ini ditambahkan setelah fonem konsonan konsonan. Tidak ada penambahan akhiran -s yang diletakkan setelah huruf vokal. 46 2. Fungsi Penambahan Akhiran -s a. Sarana Pembentuk Jamak Penambahan akhiran -s pada bahasa Inggris yang digunakan untuk menandakan jamak, ternyata juga diberlakukan pada penambahan akhiran -s pada percakapan media sosial. Bedanya, penambahan akhiran s ini dilakukan pada istilah berbahasa Indonesia. Namun, fungsi yang dimunculkan sama, yaitu menandakan jamak. Contohnya pada kata gengs dan temans. Penambahan ini digunakan untuk memanggil seluruh anggota dari grup percakapan tersebut. 47 Sarana Mempersingkat Kata Fungsi kedua adalah sebagai sarana mempersingkat kata. Semakin canggihnya sebuah alat komunikasi, maka penggunanya juga akan menjadi pengguna yang serba cepat dan praktis. Pada contoh percakapan di atas, yang pertama merupakan penyingkatan yang dilakukan pada pemanggilan nama. Penutur bermaksud agar lebih cepat dalam melakukan percakapan tulis, maka penyebutan kata santai disingkat menjadi san dan kemudian mendapatkan akhiran -s menjadi sans. Kedua me c. Sarana Penekanan Makna Selain penggunaan tanda baca, penekanan juga bisa digunakan pada penambahan fonem. Salah satu penambahan yang dilakukan adalah dengan menambahan akhiran -s ini. 48 Pada contoh data ditemukan penambahan akhiran -s pada kata rombak dan banyak yang berubah menjadi rombaks dan banyaks untuk melakukan penekanan bahwa rombak dan banyak pada rombaks dan banyaks maknanya sangat banyak perubahan yang harus dilakukan. Contoh kedua adalah penambahan akhiran -s pada cantik yang menjadi cantiks, yang bermakna cantik sekali. d. Sarana Menciptakan Kesan Kekinian Fungsi terakhir yang tentunya menjadi alasan yang paling banyak ditemukan adalah sebagai sarana menciptakan kesan kekinian. Anak-anak muda yang menggunakan media sosial, menjadi anak yang merasa ingin Nampak lebih update atau kekinian. Hal ini juga berlaku pada bahasa tulis yang mereka gunakan pada tulisan mereka yang dibaca oleh teman-teman sebayanya. Misalnya pada penyebutan salah nama teman mereka yang bernama Putri berubah menjadi puts ketika akhirnya mendapatkan akhiran -s dan mengubah dimana menjadi dimans agar lebih menarik dan nampak keren dalam penggunaannya. 49 C. KESIMPULAN Sebagai sarana komunikasi, bahasa menjadi sesuatu yang sangat melekat pada perkembangan media sosial. Dalam hal ini, penambahan akhiran -s yang ditemukan pada percakapan di media sosial. Media sosial yang sementara ini ditemukan paling banyak menggunakan akhiran -s adalah Whatsapp dan Line. Semakin hari, bahasa akan mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan para penggunanya. Sebenarnya beberapa fungsi dari penggunaan akhiran -s ini bisa terwakilkan dengan penggunaan tanda baca dan emotikon yang sudah tersedia, tetapi hal ini dirasa belum cukup mewakili menurut beberapa kalangan sehingga muncullah fenomena penambahan akhiran -s ini, DAFTAR PUSTAKA Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik; Edisi Keempat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Mualafina, Rawinda Fitrotul. 2017. “Penggunaan Tanda Asterik (*) dalam Media Sosial”. Makalah Seminar Nasional Isu-Isu Mutakhir Linguistik, halaman 467-478. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London and New York: Routledge. Data Penambahan Akhiran -s No. No. No. 1. Gengs 11. Olips 21. Puts 2. Temans 12. Semangats 22. Hans 3. Koks 13. Yangs 23. Bebs 50 4. Betuls 14. Mangats 24. Gils 5. Genduts 15. Ntaps 25. Ngaps 6. Rombaks 16. Tuls 26. Cans 7. Banyaks 17. Nduts 27. Sans 8. Meangs 18. Ngets 28. Kaks 9. Cantiks 19. Bangs 10. Dandans 20. Yuks HASIL DISKUSI SEMINAR: 1. Apakah penambahan akhiran -s ini hanya ditemukan pada bahasa tulis? Apakah tidak ada bahasa lisan yang menggunakan akhiran -s seperti yang dilakukan oleh laki-laki yang sedikit seperti perempuan? Jawaban: Dalam penelitian ini hanya dilakukan pada bahasa tulis. Mungkin bisa menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya, dalam meneliti penggunakan akhiran -s dalam bahasa lisan. 2. Merujuk pada fungsi kekinian, adakah pengaruh laun yang menjadi unsur kekinian? Jawaban: Dalam percakapan yang dikutip, kebanyak mereka merupakan pemuda atau penutur yang berada dalam lingkup yang sama. Jadi, bisa dikatakan bahwa mereka saling mempengaruhi satu sama lain. 3. Ada berapa grup yang diambil? Jawaban: Sejauh ini ada tiga grup dan dua percakapan pribadi. 51 KONFLIK SARA, STUDI KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA, DALAM BERBAGAI ADEGAN TUTUR: ANALISIS WACANA KRITIS Angela Diyansih Wisesa Chuntala Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta surel: achuntala76@gmail.com ABSTRAK Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki puluhan suku, ras, dan juga kebudayaan. Oleh karena itu di Indonesia sangat rawan dengan yang namanya pertentangan antaretnik ataupun antargolongan, selain itu letak geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan ini memang membuat komunikasi sukar terjalin yang mungkin saja dapat memicu ketegangan karena kesalahpahaman. Konflik sara (suku, agama, ras, dan antar golongan) telah meluas dan tidak asing lagi di Indonesia yang disebabkan berbagai hal dan salah satunya yaitu karena kesalahpahaman. Segala bentuk perdebatan, pertengkaran, bentrokan, perampokan, pencurian, kecemburuan sosial, bahkan sampai pembunuhan, dan lain sebagainya banyak yang diakibatkan dari konflik sara. Secara sederhana dalam artikel ini akan menganalsis wacana secara kritis mengenai konflik sara akibat dari kesalahpahaman beberapa wacana lisan. Wacana lisan yang dianalisi merupakan wacana lisan beberapa publik figur yang menjadi sorotan sosial. Seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu kasus sara tentang dugaan penistaan Agama pada lawakan Joshua Suherman dan Ge Pamungkas di acara stand up comedy tanggal 3 dan 5 Januari 2018. Lawakan Joshua Suherman yang menurutnya adalah sebuah kritik sosial dianggap sebagai penistakan Agama oleh salah satu ormas. Ada juga tuturan beberapa tokoh masyarakat yang diduga sebagai penistaan Agama oleh ormas agama tersebut, karena tuturannya mengandung kata mengenai agama tersebut yang bermakna ambigu. Kata kunci: Konflik Sara, Adegan Tutur, dan Analisis Wacana Kritis 52 PENDAHULUAN Perbincangan mengenai konflik sara memang tidak akan pernah ada akhirnya mengingat masalah yang ditimbulkan dari konflik sara sendiri selalu berkembang dan semakin meluas. Mengahiri konflik yang ditimbulkan karena perbedaan pandangan atau kesalahpahaman dalam sara pun tidaklah mudah. Seperti yang disampaiakn Dr.Marsudi Utoyo, S.H., M.H dalam penenelitian akar masalah konflik keagamaan di Indonesia yaitu menurut beliau setiap terjadi konflik sara tidak pernah dicari akar masalahya, semua(pemerintah, aparat, dan yang berwenang) hanya berkonsentrasi menghentikan konflik dan mencari pelaku yang memicu terjadinya konflik lalu menghukum pelaku tersebut. Hal tersebut yang menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa aparat selalu melindungi kelompok minor yang menjadi sasaran amuk masa. Konflik yang terjadi merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, oleh karena itu konflik bersifat inheren yang artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Hal tersebut juga merupakan konsekuensi negera heterogen dari keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang juga membuat keberagaman pandangan serta pemahaman. Karena dalam setiap hubungan sosial tidak ada satupun manusia yang memiliki kesamaan yang persis baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan, dan sebagaianya. Di dalam lingkup sosial terkecil sekalipun keberagaman yang menimbulkan konflik dapat terjadi. Seperti dalam keluarga, yang nota bene sedarah yang tentunya lebih banyak kesamaannya, namun tetap ada perbedaannya yang dapat menimbulkan konflik tersebut. Apalagi di Negara Idonesia yang luas dan sangat beragam ini. Pastilah konflik akan semakin banyak dan beragam, seperti yang belakangan ini kerap terjadi mengenai dugaan penistaan agama dalam berbagai adegan tutur. KONFLIK SARA Konflik berasal dari kata configere (latin) yang berarti memukul. Namun konflik tidak selalu terjadi dengan kekerasan fisik, secara umum yang kita ketahui saja konflik sering terjadi dengan melanggar beberapa aturan yang ada tanpa harus adu fisik. Konflik adalah suatu masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan yang terjadi di dalam masyarakat maupun negara(Soppiah, 2008). 53 Konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:  Perbedaan indvidu; perbedaan pendirian dan perasaan  Adanya perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda-beda pula. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola pemikiran dan pendirian kelompoknya  Adanya perbedaan kepentingan antara individu dan kelompok bisa menyangkut bidang ekonomi, politik dan juga sosial.  Terdapat perubahan nilai yang cepat secara tiba-tiba dalam masyarakat Konflik Sara adalah konflik yang diakibatkan karena sara(suku, agama, ras, dan antargolongan). Perbedaan pandangan dalam sara yang sering mengakibatkan terjadinya konflik. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249 yang dikutip St.Aisyah). Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984 yang dikutip St.Aisyah). ANALISIS WACANA KRITIS Sebuah disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam tindak komunikasi itulah yang disebut sebagai analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan(Stubbs, 1983:1). Teks di sini mengacu pada bentuk transkripsi rangkaian kalimat atau ujaran. Kalimat digunakan dalam ragam bahasa tulis sedangkan ujaran digunakan untuk mengacu pada kalimat dalam ragam bahasa lisan. Sumber data dalam analisis wacana adalah para pemakai bahasa, namun jumlahnya terbatas seperti dalam kajian kasus. Seperti yang adegan tutur sebagai wacana lisan yang diduga penistaan agama yang akan kita bahas dalam makalah ini. Ada tiga adegan tutur dalam konteks yang berbeda yaitu, lawak, politik, dan sastra. Dalam konteks lawak ada Ge Pamungkas dan Joshua Suherman, politik ada Ahok, dan sastra ada Sukmawati. 54 Analisis bermula dari ide tentang linguistik kontekstual. Bahasa hanya mempunyai makna apabila berada dalam suatu konteks(Coulthrad, 1977:1-3). Pendapat tersebut rupanya sangat sesuai dengan cara menginterpretasi makna ujaran seperti yang dikemukakan(Brown dan Yule, 1983:27-67). Menginterpretasi makna sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, sebab konteks akan menentukan makna ujaran. Konteks itu meliputi konteks linguistik dan konteks etnografi. Konteks linguistik berupa rangkaian kata yang mendahului atau yang mengikuti sedangkan konteks etnografi terbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa. Berikut ini dicontohkan adegan tutur sebagai wacana lisan yang dianggap menistakan agama: Konteks Lawakan Lawakan Joshua Suherman di Stand Lawakan Joshua Suherman di Up Comedy 3 Januari 2018 Stand Up Comedy 5 Januari 2018 Kata “Makanya Islam” dalam lawakan yang diucapkan Joshua Suherman ketika tampil di stand up comedi tanggal 3 Januari 2018. Dengan kata “Makanya Islam” Joshua Suherman dugaan melakukan penistaan Agama. Ge Pamungkas diduga melakukaan penistaan agama dengan katakata yang ia ucapkan “Cinta Apaan!??” pada waktu itu Ge Pamungkas membuka adegan lawakaannya dengan materi mengenai banjir di Ibu 55 Kota. Menurut Ge Pamungkas ketika dulu Jakarta banjir semua menyalahkan gubernurnya yang dulu tapi sekarang ketika Jakarta banjir banyak yang bilang “ini cobaan dari Allah. Allah aka menguji umat yang dicintainya” dalam adegan tuturnya itu Ge Pamungkas lalu berceloteh “Cinta Apaan!??”, adegan tutur itulah yang diduga sebagai penistaan agama. Konteks Politik Pidato Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, pada 27 September 2017 Ahok atau Basuki Tjahja Purnama mantan Gubernur Jakarta yang terkenal blak-blakkan tanpa basa-basi. Diduga melakukan penistaan agama pada pidatonya di Pulai Pramuka, Kepulauan Seribu karena dalam pidatonya membawa surat dalam Al’Quran. 56 Konteks Sastra Puisi Sukmawati yang dibacak pada peringtan 29 tahun Ane Avantin berkarya sebagai disainer kebaya Ibu Sukmawati adik dari ibu Megawati Soekarno Putri di duga melakukan penistaan agama dalam adegan tuturnya membacakan puisi yang berjudul Ibu Indonesia di peringatan 29tahun Ane Avanti berkarya. KESIMPULAN Segala bentuk adegan tutur dalam berbagai konteks tuturan dapat menimbulkan kesalahpahaman dikarenakan berbagai hal. Perbedaan pikiran, pendapat, dan kelompok merupakan hal yang sering melatarbelakangi terjadinya konflik. Pengguaan kata dalam setiap adegan tutur perlu diperhatkan secara mendalam. Setiap adegan tutur perlu diperhatikan kontek dan tujuannya untuk menekan kesalahpahaman tersebut. Adegan tutur yang diduga menistakan agama di atas bukanlah adegan tutur orang biasa, mereka berpendidikan dan memiliki kalangan sosial luas. Namun itu semua tidak menjamin adegan tutur mereka selalu benar tanpa pembiasan makna. Penjaminan kerukunan tanpa konflik 57 hanya dengan menghargai rasa toleransi tinggi dalam kebinekhaan bangsa Indonesia. Kita harus ingat bahwa kita tidak hidup sendiri. REFERENSI Rani, Abdul, dkk. 2006. Analisis Wacana: Sebuah Kajian dalam Pemakaian. Malang:Bayumedia Publishing. Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET. Tri Rina Budiwati. 2011. Representasi Wacana Gender dalam Ungkapan Berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggris: Analisis Wacana Kritis. KAWISTARA. https://www.youtube.com/watch?v=IEZHHrElD8g diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 07:35 WIB https://www.youtube.com/watch?v=XRIyx5F-4fc diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 07:47 WIB http://www.nu.or.id/post/read/58245/siapa-paling-dekat-dengantuhan diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 08:00 WIB https://ikrimahmaifandi.wordpress.com/2012/08/05/analisis-wacana/ diunduh pada tanggal 28 Maret 2018 pukul 15:27 WIB https://www.kompasiana.com/priskiladewisetyawan/upaya-mengatasikonflik-sara-di-indonesia_55186dc2813311cb669def6d diunduh pada tanggal 29 Maret 2018 pukul 09:23 WIB http://www.duniapublicrelations.com/2017/03/analisis-konflikpluralisme-kasus-sara.html diunduh pada tanggal 29 Maret 2018 pukul 09:26 WIB HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Apakah yang disampaikan Joshua Suherman “makanya Islam” itu merukan penistaan ataukah sindiran? Baik merupakan sindiran maupun penistaan, adegan tutur Joshua Suherman tersebut hanya sebagai contoh adegan tutur yang diduga menistaakan agama tertentu. Kembali lagi mengingat judul artikel saya disini yaitu “Konflik Sara, Studi Kasus Dugaan Penistaan Agama Dalam Berbagai Adegan Tutur: Analisis Wacana Kritis”. Ranah konteksnya hanya adegan tutur yang diduga menistakan agama. Sedangkan mengenai penistaan dan sindiran sendiri maksudnya sama, karena sindiran merupakan bagian dari penistaan. 58 Sindiran merupak alat yang digunakan dalam tujuan penistaan. Pengertian dari kata “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunkana kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa belanda. “Nista” berarti hina, cela, rendah, noda.(Leden Marpaung, 1997:11) Mengklasifikasikan penistaan agama ada dua jenis yaitu: penistaan verbal dan penistaan non verbal. Pertama, Verbal (dengan kata-kata atau ucapan). Penistaan yang verbal ini terjadi dalam bentuk: olok-olokan, sindiran, tuduhan, tudingan, ejekan, hinaan hingga candaan yang bukan pada tempatnya dan sebagainya(Imanuddin bin Syamsuri dan M. Zaenal Arifin, ) Kedua, Non Verbal yaitu menghina agama tidak menggunakan ucapan atau kata-kata, namun lebih pada tindakan, perilaku atau pandangan. Penistaan agama dalam jenis ini memiliki cakupan yang luas. Ia bisa terjadi dalam bentuk mencela dengan menggunakan bahasa tubuh atau tindakan yang mengotori ajaran agama masingmasing (Ibid) Arti sindiran menurut KBBI Online yaitu sin.dir.an Nomina (kata benda) perkataan (gambar dan sebagainya) yang bermaksud menyindir orang; celaan (ejekan dan sebagainya) yang tidak langsung) 2. Mengapa kasus Ahok mengenai Surat Al Maidah merupakan penistaan?  Kasus Ahok mengenai penggunaan kata ”surat Al Maidah ayat 51” dianggap sebagai dugaan penistaan agama karena ayat tersebut adalah pengingkaran.(Sailal Arimi)  Arti maupun makna dalam ayat Surat Al Maidah sendiri saya tidak mengetahui pastinya karena saya bukan muslim, namun bila kita analisis adegan tutur tersebut secara kritis mungkin ada kesalahpahaman tersebut. Mengingat ada berita yang tidak sesuai dengan keaslian isi pidao, yang saya baca dari laman http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37996601. Berikut kutipan beritanya, 59 “27 September: Pidato Ahok saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yang lalu dianggap menghina agama. "Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," katanya. "Program ini (pemberian modal bagi budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok," tambahnya. 6 Oktober: Buni Yani mengunggah video rekaman pidato itu di akun Facebooknya, berjudul 'Penistaan terhadap Agama?' dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'. Ia menuliskan 'karena dibohongi Surat Al Maidah 51' dan bukan "karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51', sebagaimana aslinya.” Dari kutipan berita tersebut yang memuat transkripsi pidato Ahok, bila dianalisis adegan tutur tersebut diduga sebagai penistaan agama karena ada kesalahpahaman, diberita tersebut juga mentranskripsikan sebuah tulisan yang mengunggah pidato Ahok namun, ada satu kata yang lesap/ hilang. Sehingga memberi pandangan dan pemikiran lain yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman tersebut. Namun mungkin sebagai simpulan penulis dari berbagai pendapat dan data, menjawab mengenai pidato Ahok tersebut merupakan dugaan penistan agama karena menggunakan katakata yang mengandung Ayat dalam ajaran agama tersebut. Sehingga sensitifitasnya semakin tinggi, apalagi dalam konteks sosial luas. Mengingat yang menyampaiakan Ayat tersebut bukan beragama tersebut. 3. Mengapa ibu menggunakan empat contoh tuturan lisan tersebut untuk menjustifikasi penistaan agama? Saya luruskan terlebih dahulu, disini saya menganalisis mengenai adegan tutur dugaan penistaan agama, dugaan bukan menjustifikasi. 60 Alasan saya menggunakan empat adegan tutur tersebut sebagai contoh adegan tutur dugaan penistaan agama karena empat adegan tutur tersebut yang sedang aktual dan empat adegan tutur tersebut benar-benar faktual karena benar ada dan terjadi di Indonesia. Sehingga saya tidak mengada-ada dalam menganalisis adegan tutur yang diduga sebagai penistaan agama. 4. Apakah dari contoh yang ibu gunakan tersebut merupakan adegan penistaan agama? Iya, dari empat contoh adegan tutur tersebut merupakan adegan tutur yang diduga menistakan agama. Secara eksplisit dan tidak mendalam dalam empat contoh adegan tutur tersebut menggunakan kata-kata yang mengandung ciri penunjuk agama tersebut, baik nama agama, ajaran, bahkan ayatnya. Hal tersebut yang menimbulkan bias atau pemaknaan yang ambigu sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dan semua contoh adegan tutur tersebut memang ditetapkan sebagai adegan tutur dugaan penistaan agama oleh sosial luas yang terangkum dalam berita terkini. Daftar Referensi Leden Marpaung SH. 1997. Tindak Pidana Terhadap kehormatan. Jakarta, PT: Raja Grafindo Persada. Kamus Besar Bahasa Indonesia Berita Ahok http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37996601 yang diunduh pada 29Mei2018 pukul 10:30WIB. 61 FUNGSI PRONOMINA PERSONA BAHASA TETUN DIALEK DILI Antonio Constantino Soares Program Magister Linguistik, Universitas Udayana antoniosoares907@yahoo.co.id ABSTRAK Republica Democratica De Timor Leste (RDTL) atau yang lebih populer dengan nama Timor Leste (TL) memiliki 32 bahasa lokal. Salah satu diantaranya adalah bahasa Tetun BT. BT digunakan oleh pemerintah TL sebagai bahasa nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori dan fungsi pronomina persona BT karena kategori pronomina persona merupakan salah satu kategori gramatikal yang sangat penting untuk mengisi fungsi sintaksis yang berfungsi sebagai subjek atau objek dalam sebuah klausa. BT menarik untuk diteliti karena BT tergolong ke dalam rumpun Austronesia dengan tata urut SVO dan termasuk bahasa isolatif secara tipologis. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah metode introspektif refleksif karena peneliti adalah penutur asli BT. Selanjutnya, data dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kategori dan fungsi pronomina persona BT secara sintaktik. Dari hasil analisis dapat ditemukan bahwa terdapat tujuh kategori pronomina persona, yaitu ha’u “saya”,o “kamu” imi “kalian”, ita “kita”, ami “kami”, sira “mereka” dan nia “dia” (Lk/Pr). Ketujuh kategori pronomina persona yang ditemukan dalam BT dapat mengisi unsur subjek dan objek secara sintaktik atau dapat berperan sebagai agen dan pasien secara semantis. Kata kunci: kategori, fungsi, pronomina persona, bahasa Tetun 1. PENDAHULUAN Republica Democratica De Timor Leste (RDTL) atau juga dikenal dengan nama Timor Leste (TL) memiliki 32 bahasa lokal yang saat ini masih hidup dan digunakan oleh masyarakatnya. Salah satu di antaranya adalah bahasa Tetun yang sekarang digunakan sebagai bahasa nasional 62 oleh pemerintah (TL) yang selanjutnya disebut BT. Selain itu, ada tiga bahasa asing, yaitu bahasa Portugis, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Bahasa Portugis digunakan sebagai bahasa resmi kenegaraan, tetapi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pekerja. BT termasuk rumpun Austronesia dengan tata urut SVO. BT juga termasuk bahasa isolatif secara tipologis karena minim afiksasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori dan fungsi pronomina persona BT secara khusus, baik dari kategori pronomina persona yang berfungsi sebagai subjek maupun sebagai objek secara sintaktis. Verhaar (2008:170) menjelaskan bahwa “kategori sintaksis adalah apa yang sering disebut “kelas kata”, seperti nomina, verba, adjektiva, adverbia, adposisi, dan sebagainya”. Selain itu, Alwi dkk. (1998:35) juga menjelaskan bahwa “dalam ilmu bahasa, kata dikelompokkan berdasarkan bentuk dan perilakunya. Kata yang mempunyai bentuk dan perilaku yang sama, atau mirip, dimasukkan ke satu kelompok, sedangkan kata lain yang bentuk dan perilakunya sama atau mirip dengan sesamanya, tetapi berbeda dengan kelompok yang pertama, dimasukan ke kelompok yang lain. Dengan kata lain, kata dapat dibedakan berdasarkan kategori atau kelas kata”. Berbicara tentang kategori sintaksis sudah barang tentu kita juga akan berbicara tentang fungsi dan peran sintaktis. “Fungsi sintaksis adalah semacam kotak-kotak kosong atau tempat-tempat dalam struktur sintaksis yang ke dalamnya akan diisikan kategori tertentu” (Chaer, 2009:20). Berdasarkan pendapat para ahli bahasa di atas dapat dikatakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan BT kepada pencinta dan pemerhati bahasa lokal agar tertarik dan mau meneliti BT lebih mendalam, dari aspek mikro maupun makro. Penelitian ini juga diharapkan supaya BT tetap dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan sebagai bahasa nasional (TL) agar tetap hidup pada masa mendatang. 2. METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang hanya terdiri atas data lisan berupa kalimat yang digunakan oleh penutur asli BT. Penelitian ini berpijak pda teori sintaksis tentang kategori, fungsi, dan peran yang diusulkan oleh Verhaar (2008). Verhaar (2008:161) menjelaskan bahwa sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antarkata dalam tuturan. Selanjutnya, Crystal (1980:346) juga 63 menegaskan bahwa sintaksis sebagai telaah tentang kaidah-kaidah yang mengatur cara kata-kata dikombinasikan untuk membentuk kalimat dalam suatu bahasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode introspektif refleksif karena peneliti adalah penutur asli BT. Hal ini senada dengan pandangan Artawa (1998:23) bahwa “untuk analisis morfosintaksis dapat dibenarkan karena umumnya diasumsikan bahwa penutur suatu bahasa memiliki kemampuan memberikan putusan mengenai keberterimaan dan ketidakberterimaan kalimat dalam bahasanya sendiri”. Metode yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. 3. PEMBAHASAN Setiap bahasa yang masih hidup, aktif, dan masih tetap digunakan oleh penuturnya tentu memiliki kategori-kategori yang memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam sebuah klausa, baik dalam klausa intransitif maupun dalam klausa transitif. Dalam hal ini adalah kategori pronomina persona yang dapat mengisi unsur subjek atau unsur objek, baik secara sintaktik maupun sebagai agen atau pasien secara semantis. Berikut ini adalah pendapat para ahli bahasa tentang pemakaian kategori pronomina persona dan fungsinya dalam klausa bahasa Inggris. Kentjono dkk. (2010:176) menjelaskan bahwa kata ganti adalah kata yang dipakai untuk mengganti atau mengacu kepada kata lain. Kata ganti dapat menggantikan kata benda atau perluasannya dan menduduki fungsi kata benda tersebut, misalnya fungsi subjek atau fungsi objek. Denes dkk. (2001:17) menjelaskan bahwa “kata ganti berfungsi mengganti kata benda dengan bentuk tertentu yang masih menunjukkan pertalian dengan sesuatu yang diganti”. Selain itu, Alwi dkk. (1998:249) juga menjelaskan bahwa pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina diri sendiri persona pertama), atau mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga). 64 Tabel Kategori Pronomina Persona BT A. Persona Persona pertama Tunggal ha’u = saya Persona kedua Persona ketiga o = kamu = anda nia = dia laki-laki/dia perempuan Jamak ita = kita (inks) ami = kami /eks) imi = kalian sira = mereka Kategori pronomina persona BT sebagai subjek dalam klausa intransitif 1. Ha’u 1TG ‘Saya 2. O 2TG ‘ kamu Imi 2JM ‘Kalian 3. la’o jalan berjalan’ halai” lari berlari’ tuur duduk duduk’ Dari data pada contoh klausa (1) dapat dilihat bahwa kategori pronomina persona orang pertama tunggal ha’u “saya” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba la’o “berjalan” berfungsi sebagai predikat. Klausa (2) kategori pronomina persona orang kedua tunggal o “kamu” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba halai “berlari” berfungsi sebagai predikat. Klausa (3) kategori pronomina persona orang kedua jamak imi “kalian” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba tuur “duduk” berfungsi sebagai predikat. 4. Sira 3JM hamrik berdiri 65 ‘Mereka berdiri’ 5. Nia 3TG ‘Dia (pr/lk) 6. Ami semo 1 JM terbang ‘Kami terbang’ 7. Ita tanis 1JM nangis ‘Kita menangis’ toba tidur tidur’ Data pada klausa (4) menunjukkan kategori pronomina persona orang ketiga jamak sira “mereka” berada di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba hamrik “berdiri” berfungsi sebagai predikat. Klausa (5) pada kategori pronomina persona orang ketiga tunggal nia “dia” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek dan kategori verba toba “tidur” berfungsi sebagai predikat. Data pada kausa (6) menunjukkan kategori pronomina persona orang pertama jamak ami “kami” di posisi inisial yang berfungsi sebagai subjek. Kategori verba semo “terbang” berfungsi sebagai predikat. Selanjutnya, data pada klausa (7) menunjukkan kategori pronomina persona orang pertama jamak ita “kita” berfungsi sebagai subjek dan kategori verba tanis “nangis” berfungsi sebagai predikat. B. Kategori pronomina persona berfungsi sebagai subjek dan objek dalam klausa ekatransitif dapat dilihat pada contoh klausa berikut ini. 1. Ha’u 1TG ‘Saya ku’u o cubit 2TG mencubit kamu’ 66 2. O 2TG ‘Kamu 3. Nia tebe ita 3T tendang 1JM ‘Dia (pr/lk) menendang kita’ Ita tuku nia 1JM pukul 3TG ‘Kita memukul dia (pr/lk)’ 4. bolu panggil memanggil sira 3JM mereka’ Dari contoh klausa pada data (1) di atas dapat dilihat bahwa fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona pertama tunggal ha’u “saya”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba ku’u “cubit” dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona pertama tunggal o “kamu”. Data pada klausa (2) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona kedua tunggal o ”kamu”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba bolu “panggil”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”. Data pada klausa (3) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh pronomina persona ketiga tunggal nia “dia”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba tebe “tendang”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona pertama jamak ita “kita”. Klausa pada data (4) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona pertama jamak ita “kita”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba tuku “pukul”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga tunggal nia “dia”. 5. Sira haree imi 3JM lihat 2JM ‘Mereka melihat kalian’ 6. Ami tiru sira 1JM tembak 3JM ‘Kami menembak mereka’ 67 7. 4. Imi hadomi ami 2JM hadomi 1JM ‘Kalian mencintai kami’ Dari contoh klausa pada data (5) di atas dapat dilihat bahwa fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba haree “lihat”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona kedua jamak imi “kalian”. Klausa pada data (6) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh kategori pronomina persona pertama jamak ami “kami”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba tiru “tembak”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”. Klausa pada data (7) menunjukkan fungsi subjek diisi oleh pronomina persona kedua jamak imi “kalian”, fungsi predikat diisi oleh kategori verba hadomi “mencintai”, dan fungsi objek diisi oleh kategori pronomina persona pertama jamak ami “kami”. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis pronomina persona BT dengan dua klausa pokok, yaitu klausa intransitif dan klausa ekatransitif di atas dapat disimpulkan bahwa BT memiliki tiga jenis pronomina persona, yakni pronomina persona pertama, pronomina persona kedua, dan pronomina persona ketiga. Pronomina persona pertama tunggal ha’u “saya”, pronomina persona kedua tunggal o “kamu”, pronomina persona kedua jamak imi “kalian”, pronomina persona pertama jamak ita “kita”, pronomina pertama jamak ami “kami”, pronomina persona ketiga jamak sira “mereka”, dan pronomina persona ketiga tunggal nia “dia” (lk/pr). Di samping itu, ketujuh kategori pronomina persona dalam BT yang ditemukan dalam penelitian ini semuanya dapat mengisi fungsi slot subjek atau fungsi slot objek pada semua tipe klausa tanpa adanya persesuaian verba terhadap subjek seperti dalam bahasa Inggris, atau dengan kata lain, BT Dili tidak mengenal sistem konjugasi. 5. SESI PERTANYAAN Bagian ini adalah uraian tentang pertanyaan beserta jawabannya selama seminar nasional linguistik II di UGM. Selama seminar berlangsung, 68 ada dua pertanyaan dan satu saran. Saudara Viktorius Paskalis Feka mahasiswa pascasarjana, program linguistik mengajukkan satu pertanyaan dan satu saran, sedangkan ibu Dr. Hayatul Cholsy mengajukan dua pertanyaan. Berikut ini adalah pertanyaan dan jawabannya untuk penanya pertama yaitu sudara Viktorius Paskalis Feka. 1. Apakah bahasa Tetun Dili mengenal sistem konjugasi? Secara tipologis bahasa Tetun dialek Dili termasuk bahasa isolatif secara morfologis sehinga bahasa Tetun dialek Dili tidak mengenal sistem konjugasi atau persesuian subjek dengan verba seperti dialek Tetun Fehan di Timor Barat. Selanjutnya, saudara Viktorius Paskalis Feka juga memberi masukan agar kata ita boot “Anda” yang digunakan untuk menyapa orang yang memiliki status sosial lebih tinggi atau orang yang usianya lebih tua juga dihapus saja karena kata ita boot “Anda” lebih cenderung ke kajian sosiolinguistik dan bukan bagian dari pronomina persona bahasa Tetun. 2. Bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa pengantar resmi di RDTL? Selain bahasa Tetun yang digunakan oleh pemerintah RDTL sebagai bahasa nasional terdapat 32 bahasa lokal di RDTL ditambah dengan 3 bahasa asing, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Portu. Bahasa Portu digunakan sebagai bahasa kenegaraan, tetapi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pekerja. 3. Apakah pengajaran bahasa Tetun sudah efektif sebagai bahasa pengantar resmi di RDTL? Untuk sementara ini penggunaan bahasa Tetun sudah mulai efektif sebagai bahasa pengantar resmi di RDTL tapi masih ada sedikit kendala karena bahasa Tetun belum memiliki sistem tatabahasa yang lengkap sesuai standar nasional. Melalui seminar ini pemakalah berharap, semoga dimasa mendatang, para linguist dan pemerhati bahasa bisa meneliti bahasa Tetun lebih mendalam agar dari hasil penelitiannya diharapkan dapat menjadi sebuah acuan untuk memenuhi standar kebutuhan pendidikan bahasa di RDTL. Demikianlah tangapan singkat dari saya sebagai pemakalah dan mohon maaf apa bila jawaban saya belum memuaskan saat ini. Semoga kita dapat bertemu lagi di seminar linguistik III UGM tahun depan. 69 6. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Artawa, I Ketut. 1998. “Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Sintaksis Tipologi”. Denpasar: Universitas Udayana. Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. Crystal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. London: Andre Deutsch. Denes, I Made dkk. 2001. Morfosintaksis Dialek Bali Aga. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Kentjono, Djoko dkk. 2010. Tata Bahasa Acuan Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing. Penerbit: Wdatama Widya Sastra. Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 70 PELESTARIAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM TUTUR ADAT TAKANAB: KAJIAN EKOLINGUISTIK Antonius Nesi1, R. Kunjana Rahardi2, Pranowo3 1Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP St. Paulus Ruteng, Flores, NTT Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2,3 FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta e-mail: antonynesi81@gmail.com ABSTRAK Takanab merupakan sejenis tutur adat pada lingkungan masyarakat Dawan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang di dalamnya diungkapkan ragam bahasa adat. Ragam bahasa adat dalam tutur adat Takanab menarik untuk dikaji secara ilmiah. Artikel ini bertujuan untuk memerikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tutur adat Takanab. Nilai-nilai itu diidentifikasi dan direfleksikan melalui hubungan timbal balik antara bahasa dengan lingkungan (ekologi bahasa). Upaya pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dalam tutur adat Takanab dianggap urgen ketika sistem bahasa (linguistik) dan sistem lingkungan (ekologi) pada era global ini begitu pesat berkembang. Metode pengumpulan data ditempuh melalui penyimakan, teknik rekam dan catat. Metode dan teknik ini disejajarkan dengan studi etnografi komunikasi. Data diananlisis menggunakan metode padan ekstralingual, teknik analisis kontekstual. Hasil penelitian ini sebagai berikut. Pertama, dari data-data yang ada ditemukan kearifan lokal intagible berupa peribahasa dan petuah yang di dalam masing-masingnya terkandung nilai-nilai hidup berupa ketaatan, kejujuran, tanggung jawab, dan gotong royong. Kedua, dari studi etnografi komunikasi diidentifikasi dua upaya strategis pelestarian nilai-nilai kearifan lokal tutur adat Takanab, yakni pelestarian tutur adat Takanab melalui keluarga dan pranata sosial budaya, dan pelestarian nilai-nilai kearifan lokal melalui lembaga pendidikan. Kata kunci: Ekolinguistik, Takanab, nilai kearifan lokal 71 1. PENDAHULUAN Masyarakat Dawan merupakan entitas yang mendiami pulau Timor bagian barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian petani. Pada kenyataannya, setiap aktivitas sosial masyarakat Dawan selalu diwarnai aneka upacara adat (Taum, 2004), seperti upacara menaburkan benih, ucapan syukur atas hasil panen, syukur atas keberhasilan, bahkan upacara keagamaan (Neonbasu, 2011, 2013). Sebagai sebuah tutur adat, Takanab dapat dikategorikan sebagai salah satu kearifan lokal dalam masyarakat Dawan. Menurut Keraf (2010), kearifan lokal merupakan semua bentuk pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman manusia terhadap adat istiadat, kebiasaan, dan etika, yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal juga terkait erat dengan relasi manusia dengan Sang Pencipta, sesama, alam. Dalam praktiknya, kearifan lokal dapat dihayati dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, termasuk tutur adat Takanab. Koentjaraningrat (1990) mengklasifikasi kearifan lokal menjadi tiga, yakni (1) gagasan, ide, nilai, norma, peraturan; (2) pola perilaku, kompleks aktivitas; dan (3) artefak, kebudayaan, material, dan benda hasil budaya. Wujud kearifan lokal selanjutnya dikategorikan menjadi kearifan lokal berwujud nyata (tangible) dan kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible). Bila dicermati, Takanab merupakan jenis kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible). Di dalamnya terdapat kode-kode bahasa yang harus diuraikan untuk memahami makna di baliknya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bertujuan untuk (a) memerikan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tutur adat lisan Takanab, dan (b) merumuskan upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab. Sumber data substansial dalam penelitian ini ialah tutur adat Takanab yang telah ditranskripsi peneliti menjadi bahasa tulis. Data yang disajikan ialah ‘bagian-bagian dari tutur adat Takanab yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik rekam (Sudaryanto, 2015). Metode ini disejajarkan dengan metode etnografi komunikasi, teknik percakapan etnografis (Saville, 2003; Harris dalam Spradley, 2006). Metode analisis data ditempuh melalui metode padan ekstralingual (Mahsun, 2005), teknik analisis kontekstual, yaitu teknik yang diterapkan pada data dengan mengaitkan bahasa dengan konteksnya (Mahsun, 2005, Rahardi, 2009). 72 Konteks yang dimaksud ialah pemahaman bersama mengenai lingkup sosiobudaya masyarakat Dawan. Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini ialah Ekolinguistik. Haugen (1972), pada klasifikasinya tentang ruang lingkup kajian Ekolinguistik menyebut tipologi bahasa pada masyarakat tertentu sebagai salah satu ruang kajian Ekolinguistik, serta menyarankan bahwa – berdasar pada idenya melalui perumpamaan mengenai bahasa bak organisme hidup yang memiliki suatu penyakit dan untuk menyembuhkannya butuh peran serius para linguis– bahasa yang terancam punah harus dihidupkan kembali melalui upaya ‘preservasi’ (Chen, 2016; Nesi, 2017). Tipologi bahasa yang dimaksud Haugen dapat menyangkut mikrolinguistik, juga makrolinguistik dalam kajian bahasa pada lingkungan tertentu. Dalam penelitian ini tutur adat Takanab dikategorikan sebagai salah satu tipologi bahasa dalam masyarakat Dawan. Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan mutakhir penelitian Ekolinguistik sebagaimana diajukan Steffensen dan Fill (2014), yaitu pendekatan ekologi sosiokultural, bahwa bahasa senantiasa hadir dalam kekuatan alam budaya masyarakat yang membentuk pola pikir dan tingkah laku. Sejalan dengan gambaran Haugen tentang tugas Ekolinguistik untuk ‘preservasi bahasa’ (Chen, 2016), setelah diuraikan mengenai hasil dan pembahasan data akan dirumuskan beberapa upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab. Hal ini berdasar pula pada kerangka pikir logika linear –tutur adat Takanab dituturkan dalam bahasa Dawan dalam bentuk archaic methapore (Fox, 1986; Taum, 2004; Neonbasu, 2011, 2013)– bahwa dengan melestarikan tutur adat Takanab, bahasa Dawan pun turut dilestarikan. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Wujud dan Nilai Kearifan Lokal dalam Tutur Adat Takanab Kearifan lokal yang ditemukan dalam tutur adat Takanab ialah kearifan lokal tidak berwujud nyata (intangible) berwujud (a) peribahasa (b) petuah. Dalam penelitian ini ditemukan adanya 2 (dua) peribahasa dan 2 (dua) petuah dalam tutur adat Takanab. Dua peribahasa yang menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Dawan yang tereksplisit dalam tutur adat Takanab ditunjukkan pada data berikut. 73 …. Héna nahikbokam ma nakbala lasi Dengan berdampingan / bercerita ala kit nékaf mésé ma ansaof mésé. kita satu hati dan satu perasaan. Dengan bijak berkisah kita sehati seperasaan. Neu sufa / ma tafa. (Semua itu) demi keturunan berikut (anak dan cucu). … Data di atas merupakan bagian dari tradisi lisan Takanab “Tataim atoni ankoenon ném” (penerimaan tamu). Pada data di atas terdapat dua peribahasa Dawan, yakni (1) nahikbokam nakbala lasi dan (2) ala kit nékaf mésé (ma) ansaof mésé. Kedua peribahasa tersebut dikategorikan sebagai peribahasa karena pola susunannya yang tetap dan bermakna kias (periksa KBBI, 2008). Dilihat dari esensinya, jenis peribahasa pertama berkaitan dengan nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam komunikasi. Nilai kejujuran dan tanggung jawab itu diperlihatkan melalui penggunaan diksi nahikbok (berdampingan) yang merujuk pada arti bahwa dalam menjalin komunikasi setiap orang Dawan harus bersikap bijak. Sikap bijak komunikasi itu ditunjukkan melalui bentuk tuturan yang polos, jujur, dan santun. Masyarakat Dawan meyakini bahwa di dalam suatu komunikasi, manusia dapat menyelami dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Atas dasar itu, masyarakat Dawan selalu bertutur polos, jujur, dan santun sebagai bentuk bertanggung jawab komunikasi pada setiap situasi. Adapun dalam percapakan etnografis ditemukan bahwa masyarakat Dawan pun senantiasa menggunakan bahasa implisit, utamanya jika intensi pembicaraan ada di dalam ruang lingkup yang ‘sensitif’, misalnya, ketika seseorang menyampaikan teguran, perintah, sindiran, atau meminta bantuan. Dalam hal menegur, menyindir, meminta bantuan, meminta izin, atau memerintah, masyarakat Dawan biasanya mengenal satu bentuk komunikasi tidak langsung yang disebut uab polin (literer: buang bahasa). Uab polin digunakan mereka untuk menyampaikan maksud secara implisit menggunakan simbol (Neonbasu, 2011). 74 Selain penggunaan diksi nanikbok (berdampingan), di dalam peribahasa itu juga terdapat konstruksi nakbala lasi. Secara literer, nakbala lasi memiliki arti ‘mengurai sesuatu’ yang sesungguhnya memaksudkan ‘bercerita’, ‘bercakap’, berbincang’. Lebih dari itu, frasa tersebut mengiaskan satu nilai yang paling esensial di dalam bercerita, yaitu kebenaran isi cerita. Isi sebuah topik pembicaraan oleh masyarakat Dawan senantiasa ditempatkan dalam lingkup kejujuran dan tanggung jawab. Artinya, apa diperbincangkan selalu ada dalam koridor tanggung jawaba sosial, entah itu dalam situasi formal ataupun informal. Peribahasa kedua yang tampak pada data di atas ialah ala kit nékaf mésé (ma) ansaof mésé. Sesungguhnya, peribahasa ini merupakan prinsip sentral gotong royong atau kerja sama masyarakat Dawan. Sebagai masyarakat agraris, dalam hal mengerjakan ladang atau sawah dengan memanfaatkan peralatan tradisional, hal itu pasti tidak memungkinkan orang untuk bekerja sendirian. Apalagi, dalam praktiknya, masyarakat Dawan jarang menyewa orang lain untuk mengerjakan jenis pekerjaan yang sebenarnya bisa mereka kerjakan sendiri. Demi meringankan pekerjaan, mereka membentuk kelompok-kelompok kerja secara mandiri untuk bekerja dengan jadwal yang teratur pada setiap anggota kelompok. Adakalanya juga terjadi bahwa orang datang membantu sesamanya (bekerja di sawah, ladang, atau kebun) secara sukarela tanpa menuntut imbalan (Neonbasu, 1992). Itulah prinsip fundamental filosofi gotong royong masyarat Dawan, “at nék més ma at ansao més” (kita sehati dan sepikir). Selain peribahasa, di dalam tutur adat lisan Takanab juga ditemukan petuah. Jika peribahasa berisi pesan moral yang implisit, petuah berisi amanat eksplisit. Petuah didefinisikan sebagai “nasihat orang alim, pelajaran (nasihat) yang baik”. Adapun petuah bersinonim dengan wejangan, sejenis pidato yang berisi petunjuk-petunjuk dan dasardasar kesulilaan dan moral sebagai acuan dalam bersikap dan bertindak (KBBI, 2008). Data berikut memperlihatkan dua petuah dalam tutur adat Takanab. Hénat a lék namnanut / ainan kau ma aman kau. (Semoga petunjuk yang panjang, saya [sebagai] ibu dan saya [sebagai] ayah). Tafin umé asanat nané / at tam teu umé alékot. 75 (Melalui rumah dosa itu / lalu memasuki rumah suci). Data di atas merupakan bagian dari tutur adat lisan Takanab “Ela At Maet” (sambutan saat orang meninggal). Dalam hal orang meninggal, masyarakat Dawan selalu mengungkapkan rasa sedih mereka melalui dual hal, yaitu kae nitu (ratapan) dan onen (doa). Pada data itu terdapat petuah “hénat a lék namnanut ainan kau ma aman kau”. Secara literer petuah itu berarti ‘semoga petunjuk yang panjang saya (sebagai) ibu dan saya (sebagai) ayah”, yang sesungguhnya bermakna ‘semoga segala ajaran ayah dan ibu dapat kau patuhi’. Hadirnya petuah itu bertujuan untuk mengingatkan setiap entitas masyarakat Dawan bahwa selama hidup di dunia fana ini patuhilah segala nasihat orang tua (atau orang yang lebih tua). Ada keyakinan bahwa jika hal itu yang terjadi, maka ketika meninggal dunia jiwa seseorang akan berdiam pada sebuah tempat yang mereka sebut umé alékot (rumah suci), kediaman abadi. Masyarakat Dawan meyakini bahwa nilai ketaatan dan kesetiaan selalu harus dibangun dari dasarnya, yaitu keluarga (rumah tangga). Keluarga diyakini sebagai “lembaga mini” tempat benih-benih karakter baik bertumbuh dan berkembang di dalam diri seseorang. Dimensi ketaatan dan kesetiaan dalam kehidupan sosial dapat memberi masukan makna kepada manusia untuk berpikir, bertingkah, dan bertindak secara manusiawi (Valens Boy, 2013). Oleh karena itu, lebih dari sekadar sebuah nasehat, filosofi dasar yang terkonstruksi di dalam petuah itu ialah pentingnya internalisasi nilai-nilai ketaatan dan kesetiaan di dalam diri seseorang di dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Justru itu, di dalam tutur adat Takanab terkandung nilai-nilai kearifan lokal sebagai representasi kekayaan budaya bangsa. Seiring itu, tutur adat Takanab patut dilestarikan bukan hanya oleh entitas pemiliknya tetapi juga oleh sesama anak bangsa yang menaruh atensi yang sama pada pemertahanan bahasa dan budaya. Upaya Strategis Pelestarian Tutur adat Takanab Di sini peneliti merumuskan dua upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab. Pertama, upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab melalui peran keluarga. Dalam kenyataannya, pelestarian tutur adat Takanab pada masyarakat Dawan berlangsung secara alamiah melalui inisiatif anggota masyarakat untuk belajar secara autodidak dengan terus 2.2. 76 meningkatkan keterlibat-aktifannya pada setiap acara ritual, juga melalui pewarisan geneologis, yakni terkait jaring kekerabatan dalam pranata adat (bdk. Sumitri dan Arka, 2016). Akan tetapi, model pewarisan itu patut dievaluasi. Jika keluarga tidak berperan, pewarisan alamiah akan terancam pergeseran bahasa dan budaya, berikut populasi penutur dan “mati”-nya kreativitas. Menurut peneliti, peran keluarga penting karena dari keluarga lahir para penutur adat, tidak belajar autodidak atau berdasarkan “bisikan leluhur” (periksa Mbete, 2016). Kedua, upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab melalui peran lembaga pendidikan. Pada tahap lembaga pendidikan formal, khususnya pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA/SMK), pelestarian tutur adat Takanab dapat ditempuh melalui pembelajaran di kelas (kurikuler) dan di luar kelas (extrakurikuler). Hal ini sejalan dengan amanat Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 dan Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 yang mengatur tentang mata pelajaran Muatan Lokal dan Kegiatan Ekstrakurikuluer. Selain lembaga pendidikan dasar dan menengah, upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab juga dapat ditempuh melalui lembaga pendidikan tinggi dalam kapasistasnya menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (UU Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 14). Dalam bidang pengajaran, pembelajaran bahasa dan sastra Dawan perlu mempertimbangkan materi tutur adat Takanab di dalam bahan kajian, rancangan, dan praktik perkuliahan. Pada bidang penelitian perlu diakomodasi topik, teori, dan metode yang relevan dalam meneliti tutur adat Takanab sehingga dapat menghasilkan penelitian-penelitian yang inovatif. Pada bidang pengabdian masyarakat lembaga pendidikan tinggi perlu melibatkan diri secara langsung untuk memecahkan masalahmasalah dalam masyarakat Dawan melalui aneka solusi yang bersifat ilmiah, khususnya hal-hal teoretis dan praktis yang berkaitan dengan “preservasi bahasa dan budaya Dawan”. 3. SIMPULAN Berdasarkan pendekatan bahasa ada dalam ekologi sosiokultural ditemukan dua jenis kearifan lokal tidak berwujud nyata, yaitu peribahasa dan petuah. Di dalam masing-masing peribahasa dan petuah itu terkandung nilai-nilai hidup berwujud ketaatan, kejujuran, tanggung 77 jawab, dan gotong royong. Nilai-nilai itu dihayati secara kolektif oleh seluruh entitas masyarakat Dawan. Nilai-nilai luhur itu sesungguhnya sejalan dengan filsafat Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan upaya strategis pelestarian tutur adat Takanab. Peneliti merumuskan dua upaya strategis, yaitu pelestarian tutur adat Takanab melalui peran keluarga dan pranata adat, dan peran lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Melalui pelestarian tutur adat Takanab, bahasa dan budaya Dawan sebagai kekayaan bangsa turut lestari.* DAFTAR PUSTAKA Boy, M.V. (2013). “Pemikiran Dualistis-Kosmis Masyarakat Atoni Pah Meto di Biboki”. Dalam Neonbasu, G. (ed.). Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Chen, S. (2016). “Language and Ecology: A Content Analysis of Ecolinguistics as an Emerging Research Field”. Dalam Ampersand, 3, 108. Depdikbud. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Haugen, E. (1972). “The Ecology of Language”. Dalam Dil, A.S. (ed.). The Ecology of Language: Essays by Einer Haugen. California: Stanford University Press. Fox, J. J. (1986). Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Penerbit Djambatan. Kemendikbud. (2014). Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal (Online). Tersedia https://www.google.com/search/pdf (Diunduh, 4 Maret 2018, pukul 09.12). Kemendikbud. (2013). Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Pedoman Ekstrakurikuler (Online). Tersedia https://www.google.com/search/pdf (Diunduh, 4 Maret 2018, pukul 09.10). Kemenristek Dikti. (2012). Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Online). Tersedia 78 http://ristekdikti.go.id//pdf (Diunduh, 5 Maret 2018, pukul 17.10). Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Koentjaraningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta. Mahsun. (2005). Metode Penulisan Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Press. Mbete, A. M. 2016. “Strategi Pemertahanan Bahasa Nusantara”. Makalah Seminar KIMLI. The International Conference of the Indonesian Linguistics Society di Denpasar, Bali pada 24-27 Agustus 2016. Online. Tersedia https://www.academia.edu//. Diunduh 6 April 2018. Nesi, A. (2017). “Jejak Einer Haugen: Eksplorasi Teoretis dan Isu-isu Mutakhir Penelitian Ekolinguistik”. Dalam Mastoyo, Y. T. (Eds.). Proseding Makalah Seminar Isu-isu Mutakhir Linguistik. Yogyakarta: FIB UGM. Neonbasu, G. (2013). “An Outline of Humanity. A Travel Back into the Local Context.” Dalam Anthropos, Volume 108, Nomor 16, halaman 163172. Neonbasu, G. (2011). We Seek Our Roots: Oral Tradition in Biboki, West Timor. Freiburg: Academic Press Freiburg Switzerland. Neonbasu, G. (1992). “Tmeup Tabua Nekaf Mese Ansaof Mese: Suatu Tinjauan Fenomenologis Kritis”. Dalam Mahehat (Ed.). Agenda Budaya Pulau Timor 2. Atambua: Komsos SVD Timor. Rahardi, R. K. (2009). Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan Konteks Situasionalnya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Saville, M-T. (2003). The Ethnography of Communication: An Introduction. Malden: Blackwell Publishing. Spradley, J. P. (2006). Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfah Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana. Steffensen, S. V., dan Fill A. (2014). “Ecolinguistics: The State of The Art and Future Horizons”. Dalam Language Sciences. Volume 41, Part A January, halaman 6-25. 79 Sudaryanto. (2015). Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Sumitri, N. W dan I. W. Arka. (2016). “Bahasa Ritual dan Kekuasaan Etnik Rongga”. Makalah Seminar KIMLI. The International Conference of the Indonesian Linguistics Society di Denpasar, Bali pada 24-27 Agustus 2016. (Online). Tersedia https://www.academia.edu//. Diunduh 6 April 2018. Taum, Y. Y. (2004). “Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan di Timor”. Dalam Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbit USD. HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Pada dasarnya tutur adat Takanab terkonstruksi dalam unsur-unsur pasangan yang bersinonim. Bagaimana peneliti memaknai unsurunsur sinomim dalam tutur adat Takanab? Jawaban: Peneliti sepakat bahwa tutur adat Takanab terbangun dalam unsurunsur yang berpasangan, termasuk pasangan unsur-unsur yang bersinonim. Hal itu banyak ditemukan, misalnya, pasangan saudara dan saudari, sehati dan sepikir, dan lain-lain. Peneliti memaknai unsurunsur itu bukan pada makna semantisnya, tetapi dari perspektif yang ada, peneliti menggali makna budaya di balik munculnya unsur-unsur tersebut. Peneliti memaknai hadirnya unsur-unsur itu dengan menggali secara lebih dalam makna hakikinya melalui tautan konteks sosiobudaya masyarakat Dawan. Berdasarkan tautan konteks itu, peneliti menemukan bahwa ternyata unsur-unsur yang berpasangan dalam tutur adat Takanab tidak hanya terkonstruksi dalam bentuk sinonim tetapi juga antonim, misalnya, utara dan selatan, atas dan bawah, dan lain-lain. Semua bentuk pasangan itu disebut paralelisme. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa semua bentuk unsur berpasangan itu melukiskan dinamika kehidupan sosiobudaya masyarakat Dawan sebagai masyarakat ekologis, masyarakat yang menyatu dengan alam sekitar, dan masyarakat yang betul-betul mencintai bahasa dan budaya mereka. 80 2. Anda menggunakan teori Ekolinguistik dalam mengkaji tutur adat Takanab. Bukankah penelitian Anda lebih tepat dikaji menggunakan teori Antropolinguistik? Jawaban: Ekolinguistik merupakan bidang yang mengkaji kaitan antara bahasa dengan lingkungan. Lingkungan dapat berwujud lingkungan fisik dan lingkungan metaforis. Penelitian ini memanfaatkan paradigma lingkungan dalam arti metaforis, yakni lingkungan etnik yang menggunakan bahasa sebagai kode komunikasi. Sehubungan dengan itu, paradigma ekologi dalam Ekolinguistik ditempatkan peneliti dalam konteks “integrasi”. Artinya, lingkungan sosial budaya senantiasa tidak dilepaskan dari lingkungan fisik. Tren mutakhir penelitian Ekolinguistik sudah ada pada paradigma integrasi ini, bahwa Ekolinguistik perlu melibatkan banyak dimensi di dalam konsep “lingkungan bahasa” itu, atau dengan kata lain, Ekolinguistik sudah saatnya mesti menjangkau lintas bidang, termasuk dalam kaitan dengan Antropolinguistik. Sebagaimana dikemukakan Foley dalam Anthropological Linguistic, Antropolinguistik merupakan subinterdisipliner Linguistik yang bertugas mengkaji bahasa dari sudut pandang budaya untuk menemukan makna di balik pemakaian bahasa. Dengan kata lain, Antropolinguistik bertugas untuk mengupas bahasa dari sudut pandang budaya. Penelitian ini menjangkau dimensi sosial dan budaya masyarakat Dawan, dalam arti, peneliti menempatkan dimensi integratif ‘ekologi bahasa’ dalam kaitan dengan alam budaya, alam sosial, dan alam fisik dalam mengupas praktik bahasa, terutama kode-kode bahasa yang terkandung dalam tutur adat Takanab. 3. Bagaimana implikasi hasil penelitian Anda untuk perkembangan teoretis Ekolinguistik? Jawaban: Berdasarkan hasil temuan yang ada, penelitian ini pasti berkontribusi secara teoretis dan praktis untuk perkembangan Ekolinguistik. Secara teoretis, tentu ada inspirasi ilmiah bahwa tutur adat dalam etnik mana pun di Indonesia dapat saja dikaji menggunakan teori Ekolinguistik. Dalam lingkungan pendidikan, hasil penelitian ini dapat berimplikasi pada pembelajaran bahasa dan sastra, terutama integrasi nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran bahasa dan sastra. 81 UNSUR SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM MEMODERNISASI BAHASA INDONESIA MELALUI SURAT KABAR Apriana Nugraeni Program Magister Linguistik Terapan Universitas Negeri Yogyakarta myname.apriana@gmail.com ABSTRAK Bahasa Inggris merupakan bahasa asing di Indonesia namun dari waktu ke waktu penggunaan Bahasa Inggris semakin banyak dijumpai di berbagai media cetak, salah satunya di dalam surat kabar. Sebuah bahasa tidak dapat berdiri sendiri dan selalu membuat kontak dengan bahasa lain sebagai situasi kontak bahasa. Alhasil, banyak unsur serapan Bahasa Inggris masuk ke dalam Bahasa Indonesia khusunya di dalam surat kabar. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apa saja jenis unsur serapan Bahasa Inggris yang masuk ke dalam Bahasa Indonesia, selain strategi yang digunakan, alasan adanya unsur serapan, kesesuaian bentuk dan makna sebelum dan sesudah unsur tersebut diserap ke dalam Bahasa Indonesia dimana unsur serapan Bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk pemodernan Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah analisis sintaksis dan semantis. Sebagai hasil kajian, ditemukan unsur serapan yang dijumpai dalam bentuk kata, frasa, dan kata idiom. Kata kunci: Unsur serapan, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, situasi kontak bahasa, pemodernan Bahasa Indonesia. I. PENDAHULUAN Ditinjau dari sejarah, di pertengahan masa kependudukan Belanda di Indonesia, ternyata Inggris pernah menduduki negara Indonesia pada abad ke 18 di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles selama 3,5 tahun yang kemudian jatuh kembali kepada kekuasaan Belanda. Namun, Bahasa Inggris tetap diakui sebagai bahasa asing di Indonesia hingga saat ini. Samuel (2008: 345), dikatakan bahwa bahasa Inggris masuk ke dalam kurikulum pembelajaran pada tahun 1967 pada tingkat menengah dan 82 atas melalui buku dan teks. Dengan kata lain, penggunaan Bahasa Inggris hanya diajarkan pada pendidikan jenjang menengah dan atas melalui buku dan teks. Namun di luar itu sebagai bentuk nasionalisme, Bahasa Indonesia tetap digunakan dalam komunikasi sehari- hari. Berbicara tentang unsur serapan, menurut Hudson dalam Khaled (2012: 45), unsur serapan merupakan kata- kata asing yang telah terintegrasi ke dalam bahasa asli. Sedang menurut Kridalaksana (2008: 8), unsur serapan merupakan kata- kata dari bahasa asing atau bahasa daerah yang telah terasimilasi ke dalam Bahasa Indonesia baik berupa fonem, unsur gramatikal, serta unsur leksikal baik mengalami perubahan atau tidak mengalami perubahan. Selain itu, unsur serapan diambil atau diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan telah digunakan dalam komunikasi sehari- sehari menurut konteksnya sebagai verbal repertoire dan ‘dipinjam’ namun tidak pernah dikembalikan kepada bahasa donornya sebagai sebuah hubungan timbal balik/ reciprocal sense. Unsur serapan yang ditemukan di dalam surat kabar merupakan salah satu bentuk dalam pemodernan Bahasa Indonesia. Menurut Siregar (2014), surat kabar merupakan bagian dari media massa dan media tertua di dunia yang melibatkan banyak orang di dalamnya untuk berbagi informasi melalui proses komunikasi satu arah antara komunikator dan komunikan. Surat kabar sangat berperan terhadap inovasi sebuah bahasa dimana bahasa itu sendiri bersifat dinamis dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu berdasarkan pada perubahan sosial yang terjadi oleh masyarakat penuturnya. Contoh, di halaman teknologi dalam surat kabar, beberapa dekade sebelumnya khalayak sudah mengenal istilah telepon genggam, namun pada akhir- akhir ini dijumpai sebuah kata gawai. Pada intinya, telepon genggam dan gawai merupakan alat komunikasi dan hasil terjemahan dari kata handphone /ˈhandfəʊn/ dan gadget /ˈɡadʒɪt/. Ini membuktikan bahwa surat kabar memberikan inovasi terhadap sebuah bahasa yang di dalamnya terdapat unsur serapan. Menurut Kadare dalam Prifti (2009), terdapat tiga kategori masyarakat yang paling berperan dalam penggunaan unsur serapan dan mendukung terhadap pemodernan sebuah bahasa; politikus, selebritas, dan jurnalis dari intensitas komunikasinya. Dimana ketiga kategori ini sangat banyak berkontribusi terhadap leksikon baru sehingga mendukung adanya pemodernan bahasa itu sendiri. Namun, hal paling mendasar adalah penggunaan unsur serapan 83 akan sering dijumpai pada orang- orang yang menguasai dua bahasa yang bersangkutan secara baik. Artikel ini ditulis untuk mengetahui apa saja jenis unsur serapan? bagaimana strategi dalam menyerap unsur serapan? Apa saja alasan orang menggunakan unsur serapan? Dan, bagaimana kesesuaian bentuk dan makna dari kata- kata yang mengandung unsur serapan sebelum dan sesudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Artikel ini akan didukung dengan berbagai teori dan penjelasan secara lengkap berikut metode, temuan, dan pembahasannya di bawah ini. II. KAJIAN TEORI a. Tipe Unsur Serapan Sebuah bahasa tidak mampu berdiri sendiri dan selalu melakukan kontak dengan bahasa lainnya sebagai situasi kontak bahasa dan dari sinilah memunculkan adanya penyerapan bahasa. Dimana bahasa yang diserap disebut dengan bahasa donor dan bahasa yang menyerap disebut dengan bahasa penerima. Penyerapan bahasa ini digolongkan dalam beberapa tipe. Penjelasan lebih lengkap sebagai berikut. Menurut Mustakim, dkk. (2016: 58), terdapat dua tipe dari unsur serapan yaitu kata- kata yang diserap sebagai bentuk aslinya atau disebut dengan model dan kata- kata yang diserap dan telah mengalami perubahan secara fonologis yang mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Contoh, kata bank dan kata efektif. Kata bank diserap sebagaimana bentuk aslinya dan tidak mengalami perubahan dari segi bentuk dan makna. Sedang kata efektif, telah mengalami perubahan secara fonologis menurut PUEBI. Dengan kata lain, kata efektif telah mengalami penyesuaian dari kata yang diserap, effective. Lebih lanjut, penyesuaian unsur serapan ini akan dibahas dalam strategi unsur serapan. Dari tipe- tipe ini, sering juga disebut dengan penyerapan langsung dan penyerapan tidak langsung/ direct and indirect borrowing. Strategi Unsur Serapan Menurut Susetyo (2016), terdapat empat strategi dalam penyerapan bahasa yaitu adopsi, adaptasi, dan terjemahan. Masingmasing dijelaskan sebagai berikut. 84 a. Adopsi merupakan strategi dalam mengambil kata- kata asing sebagaimana adanya. Contoh, kata- kata atom dan supermarket, yang tidak berubah di dalam bentuknya. b. Adaptasi merupakan strategi dalam mengambil kata- kata asing kemudian menyesuaikan bentuknya menurut sistim fonologis Bahasa Indonesia. Contoh, kata- kata effective menjadi efektif, efficient menjadi efisien, native menjadi natif, dll. Dalam strategi ini juga termasuk penyerapan afiks dimana dalam menyerapnya, imbuhan ini juga disesuaikan dengan bahasa penerima. Contoh, kata nationalism menjadi nasionalisme, variable menajdi variabel, biology manjadi biologi, dll. c. Terjemahan merupakan salah satu startegi yang dilakukan dengan cara mencari makna dari kata asing dengan bahasanya sendiri dan tanpa menggunakan unsur asing sama sekali. Contoh, submarine yang berarti kapal selam, kindergarten yang berarti taman kanak- kanak, bail out yang berarti dana talangan, balanced budget yang berarti anggaran yang berimbang. Selain itu, di dalam strategi ini juga termasuk adanya singkatan kata/ abreviasi dan akronim (abreakronim). Contoh, frasa North Atlantic Treaty Organization atau NATO yang di dalam Bahasa Indonesia disebut dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Ini merupakan akronim terhadap unsur serapan. Sedang kata hectare menjadi hektar dan disingkat menjadi Ha. Ini merupakan contoh dari singkatan terhadap unsur serapan. Meski kata asing telah mengalami proses terjemahan namun di dalam Bahasa Indonesia diantaranya juga masih melalui proses morfologis. Contoh, kata online yang diterjemahkan menjadi daring dimana secara morfologis telah mengalami perubahan- perubahan morfem karena kata daring merupakan kepanajangan dari frasa dalam jaringan. d. Kreasi merupakan strategi yang dilakukan dengan cara mengambil konsep dasar dalam Bahasa Indonesia. Jika terjemahan setidaknya dilakukan melihat bentuk fisiknya terlebih dulu dari kata yang akan diserap, namun pada kreasi mengambil makna meski bentuk fisiknya hanya satu namun 85 dapat dikreasikan ke dalam dua hingga tiga bentuk di dalam Bahasa Indonesia. Contoh, kata efficient dapat diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia menjadi efisien. Namun, jika dipungut dengan strategi kreasi menjadi tepat waktu; effective menjadi efektif yang artinya tepat guna, dll. b. Alasan Adanya Unsur Serapan Rohbiah, dkk (2017), penggunaan unsur serapan dikarenakan oleh beberapa faktor: 1. Prinsip kehematan 2. Kejarangan kata 3. Kebutuhan penggunaan padanan kata 4. Perasaan gengsi dalam menggunakan kata asing 5. Keterbatasan kata dalam Bahasa Indonesia III. METODE Dalam penelitian pada penulisan ini menggunakan metode kualitatif yang lebih mengacu kepada analisis data dalam bentuk penjelasan yang mendalam daripada angka. Sumber data dalam penulisan ini menggunakan dua surat kabar skala nasional, Kompas dan Republika yang terbit tanggal 9- 11 April 2018. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposif yang dipilih berdasar pada tujuan penelitian dan karakteristik tertentu. Dalam teknik menganalisis data menggunakan analisis sintaksis dan analisis semantis, metode padan translasional dengan teknik agih langue lain (Sudaryanto, 2015: 17). Data yang ditemukan akan dicatat di dalam tabel di bawah ini. Dalam mencocokkan makna, digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia. IV. HASIL DAN DISKUSI Setelah sumber data dibaca, ditemukan hasil berupa data yang memuat unsur serapan Bahasa Inggris sebagai berikut. 86 No. Data Bentuk Strategi Sumber 1. Polisi kata benda Adaptasi Kompas, 9/ 4/ 2018 2. Optimal Kata sifat Adopsi Republika, 9/ 4/ 2018 3. Zat besi Frasa nomina Kreasi Republika, 9/ 4/ 2018 4. Industri Kata benda Adaptasi Kompas, 10/4/ 2018 5. Teknologi Kata benda Adaptasi Republika, 10/ 4/ 2018 6. Asia Tenggara Frasa nomina Terjemahan Kompas, 10/ 4/ 2018 7. Terjemahan Republika, 10/ 4/ 2018 Terjemahan Republika, 11/ 4/ 2018 9. Sistem Kata idiom pencatatan di awal (opt-in) Skema proyek Kata idiom jadi (turn key project) Ideal Kata sifat Adopsi Kompas, 11/ 4/ 2018 10. Parlemen Adaptasi Kompas, 11/ 4/ 2018 8. Kata benda Dari data yang ditemukan dalam tabel di atas, beberapa pembahasannya sebagai berikut. 1. Kata polisi, ditemukan dalam kalimat polisi membalas dengan menembakkan gas air mata. Kata tersebut telah melalui strategi dalam memungut unsur serapan yaitu adaptasi dari kata police. Dilihat dari kesesuaian makna sebelum dan sesudah diserap, kata polisi tidak mengalami perubahan makna dimana kata polisi berarti anggota badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. Dilihat dari kelas katanya juga tidak mengalami perpindahan kelas kata, tetap kata benda. 2. Frasa zat besi, ditemukan dalam kalimat madu asli termasuk kategori superfood yang mengandung berbagai enzim, antioksidan, zat besi, zink, potasium, kalsium, fosfor, vitamin B6, riboflavin, dan niacin. Frasa zat besi telah melalui strategi 87 dalam memungut unsur serapan yaitu kreasi dari kata ferrum. Dilihat dari kesesuaian makna sebelum dan sesudah diserap, frasa zat besi tidak mengalami perubahan makna namun mengalami perpindahan kelas kata dari sebuah kata dikreasikan menjadi frasa nomina. Dari kalimat di atas, sebenarnya terdapat banyak unsur serapan Bahasa Inggris yang ditemukan selain frasa zat besi seperti enzim, antioksidan, potasium, kalsium, fosfor, riboflavin, dan niacin dimana semua unsur ini mengacu pada bidang Kimia 3. Kata sistem pencatatan di awal, ditemukan dalam kalimat persetujuan di awal (opt-in) bukan otomatis data dapat terkases dan pengguna harus mencari tahu sendiri bagaimana caranya keluar. Kata sistem pencarian di awal (opt-in) telah melalui strategi dalam memungut unsur serapan yaitu terjemahan dimana dalam kalimat tersebut kata yang diserap berada di dalam kurung sebagai bentuk dari kata idiom yang tidak mengalami perubahan makna. V. KESIMPULAN Menurut pandangan pribadi penulis, disimpulkan bahwa unsur serapan Bahasa Inggris yang ditemukan dalam surat kabar berupa kata, frasa, dan kata idiom. Sesungguhnya data yang ditemukan dalam surat kabar selama penelitian sangat banyak namun yang dimuat di dalam tabel hanya beberapa saja dikarenakan keterbatasan dalam penulisan. Menurut Samuel (2008: 419), unsur serapan yang paling banyak dijumpai dalam Bahasa Indonesia merupakan unsur serapan Bahasa Inggris dengan strategi yang dilakukan paling banyak melalui strategi terjemahan dikarenakan Bahasa Indonesia lebih menyukai menggunakan bahasa ‘pribumi’ daripada melalui cara pemungutan adopsi, adaptasi maupun kreasi. Namun, hal ini sepertinya hanya berlaku ketika awal pemikiran atau sikap para peneroka Bahasa Indonesia perihal kebijakan memungut unsur serapan, seperti Wilardjo, alm. Herman Yohanes (pengajar/ fisikawan UGM yang kemudian ikut berkiprah terhadap unsur serapan ilmiah ke dalam Bahasa Indonesia), alm. Anton Moeliono (pakar Bahasa Indonesia UI), dll. Setelah melakukan penelitian dalam penulisan ini, strategi adaptasi paling banyak diambil dalam memungut unsur serapan 88 yang ditemukan di dalam surat kabar. Dan, unsur serapan Bahasa Inggris telah banyak andil dalam pemodernan Bahasa Indonesia. Referensi: Belarbi, K. (2012). Aspects of Code Switching, Code Mixing, and Borrowing Used by the Older Generations in Tiaret. Diambil 15 Desember 2017, dari theses.univ-oran1.dz/document/TH3936.pdf Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik (ed. keempat). Jakarta: Pustaka Gramedia. Mustakim, M., dkk. (2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (ed. keempat). Jakarta: Kemendikbud. Prifti, E. (2009). Language Modernization vs. Linguistic Protectionism. Diambil 18 Januari 2018, dari https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED507223.pdf Samuel, J. (2008). Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan (D. S. Wardhany, Terj). Jakara: Kepustakaan Populer Gramedia. Siregar, E. A. (2014). Perbandingan Media Konvensional dan New Media Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi. Jurnal Publikasi Skripsi, 1-11. Diambil 2 Januari 2018, dari https://jurnal.usu.ac.id/flow/article/download/16790/7083. Sudaryanto, S. (2015). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Susetyo, A. M. (2016). Penggunaan Kata dan Istilah Bahasa Inggris pada Rubrik Opini Surat Kabar Kompas. 1, 11-27. Diambil 22 Desember 2017, dari jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/BB/article/download/69/49. https://kbbi.kemdikbud.go.id/ 89 HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Apa indikator jika sebuah kata disebut dengan unsur serapan? 2. Apa batasan sebuah kata disebut unsur serapan? 3. Apa strategi unsur serapan yang paling banyak diambil selama melakukan peneletian? Jawaban: 1. Terdapat dua indikator dalam unsur serapan, pertama, kata- kata asing atau kata dari bahasa daerah yang telah terasimilasi atau terintegrasi ke dalam Bahasa Indonesia dan telah digunakan dalam komunikasi sehari- hari sebagai verbal repertoire serta kata- kata yang telah dipinjam dari bahasa sumbernya namun tidak pernah dikembalikan secara reciprocal sense. Kedua, katakata yang telah mengalami proses melalui adopsi, adaptasi, kreasi, dan terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia. Contoh, terdapat kata computer yang diadaptasi menjadi komputer. Mengapa diambil kata komputer? Dikarenakan tidak ada kata yang tepat dan mengena dalam Bahasa Indonesia untuk menggambarkan kata tersebut, sehingga dipungutlah kata komputer di dalam Bahasa Indonesia. 2. Batasan unsur serapan adalah jika kata- kata yang dianggap unsur serapan telah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan senagai acuannya perihal ejaan adalah dari kata yang diserap mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Memang tidak ada kata yang steril atau terbebas dari pengaruh bahasa lain sebagai sebuah situasi kontak bahasa namun dengan adanya katakata yang telah masuk ke dalam KBBI, sehingga kita dapat membedakan fitur- fitur mana sebuah ujaran atau penulisan yang mengacu pada unsur serapan, transfer lingusitik, interferensi, dan alih kode. 3. Strategi yang paling banyak diambil selama melakukan penelitian, yaitu strategi atau cara pemungutan unsur serapan melalui adaptasi atau mengambil kata asing kemudian menyesuaikannya dengan sistem fonologis Bahasa Indonesia yang mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. 90 PERMAINAN MAKNA DALAM TATARUCINGAN ‘TEKA-TEKI SUNDA’ Aprilliati Rahmat, Cece Sobarna, Hera Meganova Lyra Program Magister Linguistik Umum, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Email : aprilaafrillia@gmail.com ABSTRAK Tulisan ini membahas permainan makna yang dihasilkan oleh unsur keambiguan dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’. Adapun fokus kajian dititikberatkan pada permainan makna keambiguitasan dalam tataran sintaksis dan makna acuan yang dirujuk oleh jawaban tatarucingan ‘tekateki Sunda’. Fokus kajian tersebut dianalisis menggunakan teori Djajasudarma (1994) dan Young Ho (2002) dengan mempertimbangkan juga teori yang dikemukan oleh Lyra (2006). Unsur keambiguan merupakan unsur yang membedakan teka-teki dengan pertanyaan biasa. Unsur ini sengaja dibuat dengan maksud mengaburkan informasi. Semakin ambigu sebuah teka-teki biasanya akan semakin mampu menimbulkan keingintahuan, sekaligus menarik perhatian untuk ditebak. Tidak mengherankan jika sering kali pertanyaan teka-teki terasa aneh, menggelikan, atau bahkan mengejutkan (Lyra:2006). Menurut Young Ho (2002) unsur keambiguan dalam teka-teki dapat dilihat dari sudut pandang kebahasaan dan kontekstual. Unsur keambiguan dalam kebahasaan dapat dirinci berdasarkan tataran fonologis hingga semantis sedangkan keambiguan kontekstual mengacu pada hal-hal di luar kebahasaan dan dapat dilihat berdasarkan empiris yang bertautan dengan aspek sosial, politik, dan budaya. Hasil dari tulisan ini adalah permainan makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi pada manipulasi unsur suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa. Makna acuan yang dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah makna yang berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan, pekerjaan, nama tempat, aktivitas, dan alat transportasi. Kata kunci: permainan makna, tatarucingan, teka-teki Sunda, ambiguita, dan sintaksis 91 PENDAHULUAN Teka-teki atau dalam bahasa Sunda lebih dikenal dengan tatarucingan merupakan sebuah tradisi yang turun-temurun dan masih tetap hidup sampai saat ini.Tatarucingan biasanya dilakukan dalam waktu keadaan santai karena ini sifatnya humor.Tatarucingan ini sifatnya saling berbalasan, jadi tebak-tebakan ini dilakukan oleh dua orang bahkan lebih. Pertanyaan yang dilontarkan dalam tatarucingan merupakan pertanyaan lucu, bahkan terkadangan jawabannya pun membuat bingung, dan menjadikan otak lebih berpikir maksud sesungguhnya dalam pertanyaan itu. Hal inididasarikarenapertanyaantatarucingan‘teka-teki’ bersifat ambigu, memiliki kegandaan makna. Tatarucingan merupakan pertanyaan tradisional dalam bahasa Indonesia disebut teka-teki. Pertanyaan tradisional adalah pertanyaan yang bersifat tradisional dan mempunyai jawaban yang tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabannya sukar, bahkan seringkali baru dapat dijawab setelah mengetahui jawabannya (Danandjaja, 1984: 33). Berikut adalah contoh tatarucingan: (1) Pertanyaan : Kulit naon nu bisa nutupan alam dunya? ‘kulit apa yang bisa menutupi alam dunia?’ Jawaban : kulit panon ‘kulit mata’ Dalam contoh tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (1)pastinya pikiran kita akan mempresepsimengenai kulit yang bisa menutupi alam semesta ini, pasti kitaakan berpikir betapa besarnya kulit yang harus dipakai untuk menetupi alam semesta. Jawaban kulit panon ‘kulit mata’ merupakan jawaban yang dibenarkan, karena bisa menjawab pertanyaan (1). Hal itu didasarkan karena mata adalah jendela dunia. Ketika mata seseorang ditutup tentunya alam dunia akan tak terlihat. Pada setiap tatarucingan‘teka-teki Sunda’ tentunya ada clue yang muncul pada pertanyaan, yang kemudian akan dimunculkan kembali dalam jawaban. Tatarucingan (1) memunculkan kata kulit sebagai clue yang artinya makna acuan dari pertanyaan berikut merujuk pada anggota tubuh. Lalu dimunculkan kembali dalam jawaban yaitu kulit panon ‘kulit 92 mata’. Keterkaitan makna tersebut, akan menjadi salah satu alasan sebuah jawaban dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’ dibenarkan. Berkaitan dengan paparan tersebut, dalam tulisan ini penulis mengkaji permainan makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi pada manipulasi unsur suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa. Makna acuan yang dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah makna yang berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan, nama tempat, aktivitas, alat transportasi, dan nama tokoh. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya, serta peristilahan (Djajasudarma, 2010:11). Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut. 1. mengumpulkan data kepustakaan yang dibutuhkan sebagai bahan dalam penelitian, diantaranya membaca refesinsi buku atau bahan bacaan lain mengenai tatarucingan. 2. mencari permasalahan dari gejala-gejala yang terungkap dengan masalah yang akan diteliti. 3. membatasi ruang lingkup penelitian pada suatu pokok permasalahan utama. 4. merumuskan landasan teori dan metodologi sebagai landasan atau jembatan menuju analisis. Metode kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian distribusional. Metode kajian distribusional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribusional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Dasar penentu di dalam kerja metode kajian distribusional adalah teknik pemeliharaan data berdasarkan kategori (kriteria) tertentu dari segi kegramatikalan (terutama dalam penelitian deskriptif) sesuai dengan ciri-ciri alami yang memiliki oleh data penelitian. (Djadjasudarma, 2010:69). Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku yang berjudul Tatarucingan Urang Sunda yang diterbitkan pada tahun 2012 melalui penerbit PT. Kiblat Buku Utama, Bandung. Buku tersebut 93 merupakan kumpulan teka-teki yang dikumpulkan oleh Rachmat Taufiq Hidayat dan Darpan, S.Pd. HASIL DAN PEMBAHASAN Makna Acuan yang Dirujuk Oleh Jawaban dalam Tatarucingan Makna acuan adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan). Maknaacuandisebut juga maknareferensial. Pengelompokan jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ berdasarkan makna acuannya, secara rinci akan dijelaskan pada paparan berikut. Makna Acuan Anggota Tubuh Jawaban yang dirujuk tatarucingan‘teka-teki Sunda’ mengacu pada anggota tubuh, contohnya : (1) Pertanyaan : Nabi naon anu sok ngaroko? ‘Nabi apa yang suka merokok?’ Jawaban : na biwir ‘di bibir’ Nabi yang dimaksud dalam pertanyaan (1) bukanlah menanyakan nabi yang sesungguhnya melainkan nabi yang ada kaitannya dengan ngaroko ‘merokok’. Rujukan dari jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’mengacu pada anggota tubuh karena terdapat clue dari aktifitas ngaroko ‘merokok’.Jawaban yang dimunculkan adalah na biwir ‘di bibir’ jawaban tersebut dibenarkan karena orang merokok pasti menggunakan bibir. Contoh tatarucingan‘teka-teki Sunda’ tersebut merupakan jawaban tatarucingan yang mengacu pada anggota tubuh. Makna Acuan Binatang Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang merujuk pada binatang, makna referensial mengacu kepada konsep bintang. Misalnya : (2) Pertanyaan : Hayam naon anu sok diteangan ku jelema? ‘Ayam apa yang suka dicari orang?’ Jawaban : Hayam leungit ‘Ayam hilang’ Pada tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (2) secara hafiah pertanyaan ini menanyakan jenis ayam yang suka dicari oleh orang misalnya ayam jago, ayam kate, ayam camanik.Namun sesungguhnya bukan 94 memfokuskan pada jenis ayamnya, melainkan pada alasan kenapa ayam dicari. Hayam leungit‘ayam hilang’ merupakan jawaban yang dimunculkan dan tentu saja dibenarkan. Karena, secara logika sesuatu yang hilang tentunya akan dicari. Makna Acuan Tumbuhan Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang makna acuannya mengacu pada tumbuhan, termasuk bagian- bagian yang terdapat pada tumbuhan. Misalnya; (3) Pertanyaan : Cau naon pangeunah-ngeunahna didahar? ‘pisang apa yang paling enak dimakan?’ Jawaban : cau asak ‘pisang matang’ Tumbuhan memiliki bagian-bagian seperti akar, batang, daun, buah, dan bunga.Cau ‘pisang’ merupakan salah satu bagian tumbuhan yang menjadi clue dalam pertanyaan tatarucingan‘teka-teki Sunda’ (3). Tatarucingan (3) menanyakan pisang yang paling enak dimakan. Jawaban yang dimunculkan adalah cau asak ‘pisang matang’. Tentu saja jawaban ini dibenarkan karena pisang jenis apapun ketika sudah matang pasti enak. Makna Acuan Pekerjaan Contoh dibawah ini merupakan makna referensial mengacu pada bidang pekerjaan. (4) Pertanyaan : Tukang naon anu teu bisa ngitung? ‘Tukang apa yang tidak bisa menghitung?’ Jawaban : Tukang poto ‘tukang photo’ Pada tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ (4) dimunculkan jawaban tukang poto sebagai tukang ‘pekerjaan’ yang pelakunya tidak bisa berhitung. Hal tersebut dikarenakan ketika kita menanyakan sebuah ukuran photo misalnya 3 x 2 maka tukang photo menjawab dua ribu. Padahal dua ribu yang disebutkan adalah harga photo, bukan hasil dari 3 x 2. Makna Acuan Nama Tempat Jawaban tatarucingan‘teka-teki Sunda’ yang mengacu pada nama tempat, contohnya: 95 (5) Pertanyaan : Pulo naon nu jadi dulur urang? ‘Pulau apa yang menjadi saudara kita?’ Jawaban : Pulo Bali ‘Pulau Bali’ Pertanyaan (5) menanyakan pulau yang menjadi saudara kita. Jawaban yang dibenarkan adalah pulo Bali ‘pulau Bali. Unsur bali ‘bali’ memiliki dua persepsi, pertama pulau Bali yang benar-benar sebuah pulau, yang kedua bali ‘tembuni’ segumpal daging dari rahim ibu yang hadir bersamaan ketika bayi lahir. Kedua persepsi itu dibenarkan, karena bali yang dimaksud bisa merupakan pulau Bali bisa juga tembuni. Makna Acuan Aktivitas Makna acuan aktifitas merupakan makna acuan yang referennya berupa kegiatan. (6) Pertanyaan Jawaban : jalma meuli kasur keur naon? ‘orang membeli kasur untuk apa?’ : keur beunta ‘sedang membuka mata’ Kata keur dalamtatarucingan‘teka-teki Sunda’ (6) merupakan clue sekaligus pengecoh. Keur bisa memiliki dua arti, pertama keur ‘untuk’, kedua keur ‘sedang’. Jika unsur keur pada pertanyaan diartikan sebagai ‘untuk’, Jalma meuli kasur keur naon? ‘orang membeli kasur untuk apa?’ pasti jawabannya keur saré ‘untuk tidur’. Namun yang dirujuk oleh pertanyaan (6) adalah keur yang berarti ‘sedang’.Jalma meuli kasur keur naon? ‘orang membeli kasur sedang apa? Jawaban keur beunta ‘sedang membuka mata’ merupakan jawaban yang sah. Orang akanmelakukanseseuatuketikamatanyasedangterbuka. Sangat tidak mungkin jika membeli kasur sedang tertidur dengan keadaan mata yang terpejam. Makna Acuan Alat Transpotasi Acuan yang digunakan dalam tatarucingan‘teka-teki Sunda’ berupa alat transportasi, contohnya: 96 (7) Pertanyaan Jawaban : Mobil naon anu banna muter tapi teu maju? ‘Mobil apa yang bannya berputar tapi tidak maju?’ : Mobil mundur ‘mobil mundur’ Ketika ada pertanyaan mobil apa yang bannya berputar tapi tidak maju, maka kitaakanmengingat peristiwa mobil yang bannya selip, sering terjadi di musim hujan. Meskipun di gas dan ban mobil berputar tapi mobil tidak maju.Jawaban yang dibenarkan adalah mobil mundur ‘mobil mundur’. Mundur merupakan antonim dari maju. Mobil dalam keadaan mundur semua bannya berputar, hanya tidak maju kedepan melainkan bergerak kebelakang karena mundur. SIMPULAN Dalam setiap pertanyaan tatarucingan‘teka-teki Sunda’ terdapat clue ‘petunjuk’ yang mengarahkan makna yang akan merujuk pada jawaban. Permainan makna keambiguan dalam tataran sintaksis terjadi pada manipulasi unsur suku kata (bagian dari kata) dalam sebuah frasa. Makna acuan yang dirujuk oleh tatarucingan ‘teka-teki Sunda’ adalah makna yang berhubungan dengan anggota tubuh, binatang, tumbuhan, pekerjaan, nama tempat, aktivitas, dan alat transportasi. DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1984. Foklor Indonesia. Jakarta. PT Pustaka Utama. Darpan, & Rachmat Taufik Hidayat. 2012. Tatarucingan Urang Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama Djajasudarma, T. Fatimah. 2010. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Cetakan III. Bandung: Refika Aditama. Lyra, Hera Meganova. 2006. Penyimpangan Unsur Keambiguan dalam Teka-teki Sunda di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Laporan Penelitian. Bandung. Universitas Padjadjaran. 97 Young Ho, Im. 2002. Gejala Unsur Keambiguan dalam Wacana Teka-teki. Jurnal ATL No 8 Vol. 7, Desember 2002. Daftar Pertanyaan dan Jawaban No. Pertanyaan Jawaban 1. Bagaimana eksistensi Tatarucingan merupakan tradisi yang tatarucingan saat ini? masih hidup sampai saat ini. Bukan hanya orang tua atau orang dewasa saja yang mengenal tatarucingan, anakanakpun mengenal tatarucingan dan aseringkali digunakan untuk mengisi waktu senggang. 2. Mengenai klasifikasi tatarucingan yang dipaparkan. Apakah klasifikasi yang muncul hanya itu saja? Untuk klasifikasi tatarucingan hanya berdasarkan apa yang saya temukan lalu kelompokkan. Sebenarnya masih banyak tatarucingan dengan klasifikasi lainnya, namun saya baru hanya dapat mengklasifikasikan berdasarkan makna acuannya saja. 3. Apa yang membedakan pertayaan dalam tatarucingan dengan pertanyaan biasa? Jika dalam tatarucingan Sunda akan terlihat pada situasi dan konteks pembicaraan. Jika situasi humor, akan terlihat sekali pertanyaan yang dilontarkan merupakan pertanyaan tatarucingan. Jika dilihat dari segi makna, pertanyaan dalam tatarucingan memiliki unsur keambiguitasan yang dengan sengaja dimanfaatka dalam tatarucingan tersebut. 98 METAFORA KESEHATAN DALAM BAHASA JAWA Ari Wulandari E-mail: kinoysan@yahoo.com, HP: 081380001149 Alamat: Bulaksumur A-17, Yogyakarta 55281 ABSTRAK Metafora lahir karena keterbatasan bahasa manusia, sementara pemikiran manusia tidak terbatas. Data penelitian ini adalah metafora kesehatan dalam bahasa Jawa yang dikumpulkan oleh penulis sebagai penutur asli bahasa Jawa. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Bentuk metafora terdiri dari dua belas pola, yaitu (1) nomina – adverbial, (2) verba – nomina, (3) nomina – verba, (4) verba – adjectiva, (5) verba – verba, (6) adjectiva – adverbial, (7) nomina – verba, nomina – verba, (8) nomina – verba, adjectiva – verba, (9) adverbial – verba – adverbial – verba, adverbial – verba – adverbial – verba, (10) verba – nomina, verba – verba – nomina, (11) verba – nomina – nomina – numeralia, dan (12) bentuk beku. Jenis metafora ada tiga, yaitu (1) metafora manusia, (2) metafora tumbuhan, dan (3) metafora keadaan alam. Ranah kehidupan yang ada dalam metafora kesehatan ada 5 hal, yaitu (1) ekonomi, (2) keluarga, (3) masyarakat, (4) lingkungan alam, dan (5) agama dan kepercayaan. Nilainilai kearifan lokalnya memuat delapan hal, yaitu (1) konsep penyakit, (2) pencegahan penyakit, (3) pengobatan penyakit, (4) sikap sabar dan pasrah, (5) pendidikan, (6) sikap masyarakat, (7) pengendalian diri, dan (8) etika. Metafora kesehatan memiliki bentuk dan jenis tertentu, memuat ranah kehidupan orang Jawa, dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal Jawa. Kata kunci: metafora, kearifan lokal, kesehatan, ranah kehidupan PENDAHULUAN Lakoff dan Johnson (1980:3) menganggap bahwa metafora lahir dari adanya keterbatasan bahasa manusia, sementara pemikiran manusia tidak terbatas. Akibat keterbatasan bahasa, ada banyak hal dalam pemikiran 99 manusia yang tidak dapat disampaikan dengan bahasa yang biasa. “Metaphor is persuasive in everday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both think and act, is fundamentally methaporical in nature.” Teori metafora ini lebih dengan teori metafora konseptual (conseptual metaphor theory). Dalam teori ini terdapat dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain). Ranah sumber lebih konkret digunakan oleh manusia dalam memahami konsep abstrak yang ada dalam ranah sasaran. Inilah yang mendasari penggunaan metafora. Bahasa Jawa memiliki metafora yang berkaitan dengan kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang merefleksikan pemikiran orang Jawa terhadap kesehatan. Misalnya tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’ Struktur dasar metafora sangat sederhana. Di dalamnya terdapat sesuatu yang kita bicarakan (yang dibandingkan, terbanding, pebanding, biasa disebut tenor) dan sesuatu yang kita pakai untuk membandingkan (pembanding, biasa disebut vehicle). Konsep yang populer adalah konsep tenor dan vehicle yang dikemukakan oleh Richards (1965). Verhaar (1978:129) mengungkapkan bahwa metafora terbentuk karena adanya penyimpangan makna kepada sesuatu referen yang lain, yang sesungguhnya tidak sama. Wahab via Wijana (2000:21) mengatakan bahwa metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang kiasnya karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu. Artikel ini membahas tiga masalah (1) bagaimanakah bentuk dan jenis-jenis metafora kesehatan dalam bahasa Jawa?; (2) bagaimanakah ranah kehidupan masyarakat Jawa yang diungkapkan melalui metafora kesehatan?; dan (3) apa saja nilai-nilai kearifan lokal Jawa yang termuat dari penggunaan metafora kesehatan? METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Bogdan dan Biklen (1988:27-30) menyatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini disebut juga penelitian kontekstual karena metafora yang dibahas sangat tergantung konteks kesehatan dalam bahasa Jawa 100 sebagai patokan kegiatan yang utama (Poedjosoedarmo, 2012:20). Data penelitian ini adalah metafora kesehatan dalam bahasa Jawa yang dikumpulkan oleh penulis sebagai penutur asli bahasa Jawa, selanjutnya dianalisis dan disajikan sesuai kepentingan penulisan artikel ini. PEMBAHASAN A. Bentuk Metafora Bentuk metafora kesehatan dalam bahasa Jawa umumnya berupa frasa dengan pola-pola tertentu. 1. Pola Nomina – Adverbial Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Secara tradisional adverbial didefinisikan sebagai kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dilakukan oleh verba dilakukan (Wedhawati, dkk., 2001:329). (1) tatuné arang kranjang ‘banyak luka’. Pada data (1) tatuné disebut sebagai pebanding, arang kranjang sebagai pembanding. Relasi persamaan antara tatunê dengan arang kranjang adalah kondisi banyak luka (luka parah). 2. Pola Verba – Nomina Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Metafora ini dilekatkan pada aja sênêng ‘jangan senang’. (2) gawé gêndra ‘membuat kerusuhan’. Pada data (2) gawé disebut sebagai pebanding, gêndra sebagai pembanding. Relasi persamaan antara gawé dengan gêndra adalah membuat kerusuhan. 3. Pola Nomina – Verba (3) batin karêp raga nututi ‘jiwa berniat, raga mengikuti’. Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Pada data (3) batin karêp disebut sebagai pebanding, raga nututi sebagai 101 pembanding. Relasi persamaan antara batin karêp dengan raga nututi adalah segala sesuatu berasal dari niat. 4. Pola Verba – Adjectiva Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Adjectiva adalah kata yang berfungsi sebagai modifikator nomina. Modifikator itu memberi keterangan tentang sifat atau keadaan nomina di dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk., 2001:179). (4) waras wiris ‘sehat lahir batin’. Pada data (4) waras disebut sebagai pebanding, wiris sebagai pembanding. Relasi persamaan antara orang sehat lahir batin. 5. Pola Verba - Verba Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Metafora ini biasanya dilekatkan dengan kata perintah aja ‘jangan’. (5) nulung menthung ‘pura-pura menolong, tapi memukul’. Pada data (5) nulung disebut sebagai pebanding, menthung sebagai pembanding. Relasi persamaan antara nulung dengan menthung adalah terlihat menolong, tapi memukul. 6. Pola Adjectiva – Adverbial Adjectiva adalah kata yang berfungsi sebagai modifikator nomina. Modifikator itu memberi keterangan tentang sifat atau keadaan nomina di dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk., 2001:179). Secara tradisional adverbial didefinisikan sebagai kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dilakukan oleh verba dilakukan (Wedhawati, dkk., 2001:329). Biasanya metafora ini dilekatkan dengan kata aja mung ‘jangan hanya’. (6) tuwa tuwas ‘tua dengan sia-sia’ (Sumodiningrat, 2014:16). Pada data (6) tuwa disebut sebagai pebanding, tuwas sebagai pembanding. Relasi persamaan antara tuwa dengan tuwas adalah kondisi tua yang siasia. 7. Pola Nomina – Verba, Nomina – Verba Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan 102 tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). (7) sing waras ngalah, sing lara diupakara ‘yang sehat mengalah, yang sakit dirawat’. Pada data (7) sing waras ngalah disebut sebagai pebanding, sing lara diupakara sebagai pembanding. Relasi persamaannya yang sehat bertugas merawat yang sakit. 8. Pola Nomina – Verba, Adjectiva – Verba Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Adjectiva adalah kata yang berfungsi sebagai modifikator nomina. Modifikator itu memberi keterangan tentang sifat atau keadaan nomina di dalam tataran frasa (Wedhawati, dkk., 2001:179). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). (8) tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’. Pada data (4) tamba têka disebut sebagai pebanding, lara lunga sebagai pembanding. Relasi persamaan antara tamba têka dengan lara lunga adalah kalau ada obat sakit pun hilang. 9. Pola Adverbial – Verba – Adverbial – Verba, Adverbial – Verba – Adverbial – Verba Secara tradisional adverbial didefinisikan sebagai kata yang berfungsi memberi keterangan bagaimana suatu tindakan yang dilakukan oleh verba dilakukan (Wedhawati, dkk., 2001:329). Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). (9) ésuk lara soré mati, soré lara ésuk mati ‘pagi sakit, sore meninggal; sore sakit, paginya meninggal’. Pada data (9) ésuk lara soré mati disebut sebagai pebanding, soré lara ésuk mati sebagai pembanding. Relasi persamaannya penggambaran kematian yang sangat cepat karena wabah. 10. Pola Verba – Nomina, Verba – Verba – Nomina Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). 103 (10) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun kelapa yang masih muda, meminta pertolongan penyembuhan’. Pada data (10) mbalung janur disebut sebagai pebanding, gêlêma paring usada sebagai pembanding. Relasi persamaannya adalah permintaan tolong dalam hal pengobatan. 11. Pola Verba – Nomina – Nomina – Numeralia Verba adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu benda atau makhluk (Wedhawati, dkk., 2001:75). Nomina adalah jenis atau kategori kata yang mengandung konsep atau makna kebendaan baik yang bersifat konkret atau abstrak (Wedhawati, dkk., 2006:219). Numeralia adalah kata yang digunakan untuk membilang hal yang diacu nomina atau kata bilangan (Wedhawati, dkk., 2006:304). (11) anutupi babahan hawa sanga ‘mengendalikan hawa nafsu’. Pada data (11) anutupi disebut sebagai pebanding, babahan hawa sanga sebagai pembanding. Relasi persamaan antara anutupi dan babahan hawa sanga adalah menutup hawa nafsu. 12. Pola Bentuk Beku Pola bentuk beku ini merupakan bentuk metafora yang sudah tertentu dan tidak bisa diubah-ubah. (12) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh dihina’. Pada data (12) giri lusi janma disebut sebagai pebanding, tan kêna ingina sebagai pembanding. Relasi persamaannya adalah setiap manusia mulia dan tidak boleh dihina. B. Jenis-jenis Metafora Klasifikasi metafora menggunakan teori Halley (1980) yang membahas medan semantik. 1. Metafora Manusia Metafora manusia adalah metafora yang menggambarkan sesuatu sebagai makhluk berpikir, memiliki dan menggunakan intelektualitas seperti manusia (Halley, 1980:155-159). (13) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh dihina’. 104 Pada data (13) terdapat metafora manusia, yaitu pada giri lusi janma sebagai tenor dan tan kêna ingina sebagai vehicle. Giri lusi janma menunjukkan metafora manusia. 2. Metafora Tumbuhan Metafora tumbuhan adalah metafora yang meliputi seluruh jenis tumbuh-tumbuhan seperti daun, sagu, dan sebagainya (Halley, 1980:155159). (14) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun kelapa yang masih muda, meminta pertolongan penyembuhan’.. Pada data (14) terdapat metafora tumbuhan yaitu pada mbalung janur sebagai vehicle dan gêlêma paring usada sebagai tenor. Mbalung janur menunjukkan metafora tumbuhan. 3. Metafora Keadaan Alam Metafora keadaan alam adalah metafora yang meliputi kondisi yang terjadi di alam, seperti panas, dingin, terang, cerah, mengalir, dan sebagainya (Halley, 1980:155-159). (15) sangkan paraning dumadi ‘asal dan tujuan hidup manusia’. Pada data (15) terdapat metafora keadaan alam. Vehicle pada sangkan ‘asal alam semesta’. Tenor pada paraning dumadi. Sangkan menunjukkan metafora keadaan alam. C. Ranah Kehidupan Orang Jawa Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa juga menjelaskan ranahranah kehidupan masyarakat Jawa. Ranah kehidupan adalah segala bidang yang berkaitan dengan tata hidup masyarakat Jawa. 1. Ranah Ekonomi Secara garis besar ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga” (Sicat dan Arndt, 1991:14). (16) sing waras ngalah, sing lara diupakara ‘yang sehat mengalah, yang sakit dirawat’ Pada data (16) terdapat metafora ranah ekonomi bahwa orang yang sakit harus dirawat oleh orang yang sehat. 2. Ranah Keluarga Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang peranannya sangat penting untuk membentuk kebudayaan yang sehat (Harnilawati, 2013:1). 105 (17) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun kelapa yang masih muda, meminta pertolongan penyembuhan’. Pada data (16) terdapat metafora ranah keluarga dengan meminta pertolongan penyembuhan. 3. Ranah Masyarakat Menurut Levy (1966:111) sekurangnya ada empat kriteria agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat, yaitu (1) kemampuan bertahan yang melebih masa hidup seorang anggotanya, (2) perekrutan seluruh atau sebagian anggotana melalui reproduksi atau kelahiran, (3) adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada, dan (4) kesetiaan terhadap suatu sistem tindakan utama secara bersama-sama. (18) ésuk lara soré mati, soré lara ésuk mati ‘pagi sakit, sore meninggal; sore sakit, paginya meninggal’. Pada data (18) terdapat metafora ranah masyarakat yang menggambarkan pageblug atau wabah di masyarakat. 4. Ranah Lingkungan Alam Lingkungan alam didefinisikan sebagai lingkungan alam murni yang keberadaannya bukan disebabkan oleh manusia. Lingkungan ini diciptakan oleh Sang Maha Pencipta (Biro Pusat Statistik, 2005:15). (19) tuwa tuwas ‘tua dengan sia-sia’. Pada data (19) terdapat metafora ranah lingkungan alam yang menggambarkan kondisi tua yang sia-sia. 5. Ranah Agama dan Kepercayaan Agama adalah pegangan atau pedoman untuk mencapai hidup kekal (Hardjana, 2005:50). (20) manunggaling kawula Gusti ‘bersatunya manusia dengan sang Pencipta’. Pada data (20) terdapat metafora ranah agama, yang menggambarkan bagaimana seorang hamba mengikuti kehendak Tuhannya dalam satu kesatuan hidup yang harmonis. D.Kearifan Lokal Jawa dalam Metafora Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa mengandung nilai-nilai kearifan lokal Jawa. 1. Konsep Penyakit (21) tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’ 106 Pada data (21) terdapat metafora yang mengandung konsep penyakit, yang berarti setiap penyakit ada obatnya. 2. Pencegahan Penyakit (22) anutupi babahan hawa sanga ‘mengendalikan hawa nafsu’. Pada data (22) terdapat metafora yang mengandung konsep pencegahan penyakit, yaitu dengan mengendalikan hawa nafsu. Kebanyakan penyakit berasal dari nafsu yang tidak terkendali. 3. Pengobatan Penyakit (23) mbalung janur, gêlêma paring usada ‘seperti tulang daun kelapa yang masih muda, meminta pertolongan penyembuhan’ Pada data (23) terdapat metafora yang mengandung konsep pengobatan penyakit, yaitu permintaan agar mau memberikan pengobatan. 4. Sikap Sabar dan Pasrah (24) batin karêp raga nututi ‘jiwa berniat, raga mengikuti’. Pada data (24) terdapat metafora yang mengandung sikap sabar dan pasrah, yaitu menata niat dan tindakan. 5. Pendidikan (25) (aja) tuwa tuwas ‘(jangan) tua dengan sia-sia’. Pada data (25) terdapat metafora yang mengandung nilai pendidikan yaitu harapan agar setiap orang dapat berguna, tidak menjadi tua dengan siasia. 6. Sikap Masyarakat (26) (aja sênêng) gawé gêndra ‘(jangan senang) membuat kerusuhan’. Pada data (26) terdapat metafora yang mengandung nilai-nilai sikap masyarakat, yaitu larangan untuk membuat kerusuhan atau onar karena akan mengganggu masyarakat luas. 7. Pengendalian Diri (27) giri lusi janma tan kêna ingina ‘setiap manusia tidak boleh dihina’. Pada data (27) terdapat metafora yang mengandung nilai pengendalian diri, yaitu larangan menghina manusia. 8. Etika (28) lara ayu ‘penyakit cacar’. Pada data (28) terdapat metafora yang mengandung nilai etika, yaitu menyebutkan keadaan penyakit cacar berat dengan sebutan yang baik. 107 KESIMPULAN Metafora kesehatan dalam bahasa Jawa pada dasarnya menyampaikan pola hidup dan pemikiran masyarakat Jawa berkaitan dengan kesehatan. Masyarakat Jawa sangat gemar menggunakan metafora karena segala sesuatu tidak harus disampaikan secara langsung. Metafora menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan hal tersebut, sehingga tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Jawa sebagai pitutur luhur ‘nasihat yang baik’. Nilai-nilai kesehatan orang Jawa termuat dalam metafora bahasa Jawa. Dalam membuat metafora, masyarakat Jawa membandingkan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang dekat dengan lingkungannya, seperti manusia, tumbuhan, dan kondisi alam. Perbandingan ini dimungkinkan karena orang Jawa terbiasa dengan tradisi ‘membaca’. Segala sesuatu harus dibaca, dimengerti, dan dipahami agar dapat survive dan hidup selaras dengan lingkungannya. Penggunaan metafora Jawa sekarang ini yang paling banyak dalam kegiatan adat atau budaya. Bentukbentuk, jenis-jenis, ranah kehidupan, dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalam metafora kesehatan merupakan gambaran cara orang Jawa memandang kesehatan. Artikel ini bagian dari disertasi penulis pada program studi IlmuIlmu Humaniora, (Linguistik 2013-2016), FIB, UGM, Yogyakarta dengan tim promotor Prof. Dr. Marsono, M.Hum. dan Dr. Suhandano, M.A. Terimakasih untuk beliau berdua atas bimbingannya. DAFTAR PUSTAKA Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Bogdan, Robert C. dan Sari Knopp Biklen. 1988. Qualitative Research in Education. USA: Allyn & Bacon. Halley, Michael C. 1980. “Concrete Abstraction:The Linguistic Universe of Metaphor” dalam Linguistic Perspective on Literature. London: Routledge and Kegan Paul. Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Harnilawati. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Takalar: Pustaka As Salam. 108 Lakoff, George and Johnson, Mark. 1980. Metaphors We Live By. Chicago and London: The University of Chicago Press. Levy, Marion J. 1966. The Structure of Society. New Jersey: Princeton University Press. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2012. “Metode Penelitian”. Catatan Perkuliahan Metode Penelitian. Universitas Gadjah Mada. Richards, Ivon Amstrong. 1965. The Philosophy of Rhetoric. New York: Oxford University Press. Sicat, Gerardo P. dan Arndt, Heinz Wolfgang. 1991. Ilmu Ekonomi untuk Konteks Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari. 2014. Pitutur Luhur Budaya Jawa: 1001 Pitutur Luhur untuk Menjaga Martabat dan Kehormatan Bangsa dengan Nilai-nilai Kearifan Lokal. Yogyakarta: Media Pressindo. Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahab, Abdul. 1990. Metafora sebagai Alat Pelacak Sistem Ekologi. Yogyakarta: Kanisius. Wedhawati, dkk. 2001. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Jakarta: Pusat Departemen Pendidikan Nasional. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Edisi Revisi. Yogyakarta: Kanisius. Wijana, I Dewa Putu. 2000. Semantik. Surakarta: Yuma Pustaka. 109 HASIL DISKUSI SEMINAR Antonio, Universitas Sanata Darma: 1. Bagaimana kearifan lokal dari metafora kesehatan dihayati oleh masyarakat Jawa? 2. Apakah masyarakat Jawa sudah menyadari adanya kearifan lokal tersebut dari metafora kesehatan yang mereka miliki? Jawab: 1. Kearifan lokal dari metafora kesehatan dihayati oleh masyarakat Jawa sebagai petunjuk dari leluhur orang Jawa yang sudah mereka ketahui sejak mereka lahir. Metafora kesehatan itu dianggap sebagai bagian dari keseharian dan dipraktikkan secara langsung. Misalnya, orang Jawa mengenal tamba têka, lara lunga ‘obat datang sakit (pun) pergi’. Dalam pemikiran mereka, setiap penyakit yang sudah diobati pasti akan sembuh. Kalau suatu penyakit itu tidak ada obatnya atau belum ditemukan obatnya, maka mereka menganggap penyakit itu sebagai ujian dan harus sabar menerimanya. 2. Masyarakat Jawa tidak menyadari adanya kearifan lokal tersebut. Mereka melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan kultur dan pemahaman mereka terhadap sesuatu. Misalnya saat sakit, orang Jawa tidak akan menganggap dirinya sakit ketika mereka masih bisa bekerja dan beraktivitas. Jadi, meskipun mereka terkena batuk, pilek, demam, dll penyakit, selama mereka masih bisa bekerja dan beraktivitas, mereka tidak menyebut dirinya sedang sakit. Pemahaman ini hanya diketahui oleh para peneliti yang melakukan penelitian terhadap pola pikir masyarakat Jawa terhadap kesehatan. Sailal Arimi, Universitas Gadjah Mada: 1. Metafora kesehatan yang dimaksudkan seperti tatuné arang kranjang ‘banyak luka’ itu berupa metafora konseptual atau metafora nonkonseptual? 2. Bagaimana menentukan metafora kesehatan dalam bahasa Jawa? Bentuknya kata atau frasa? Jawab: 1. Lakoff dan Johnson (1980:3) mengatakan bahwa “metaphor is persuasive in everday life, not just in language but in thought and action. Our ordinary conceptual system, in terms of which we both think and act, is fundamentally methaporical in nature.” Teori metafora ini lebih dengan teori metafora konseptual (conseptual metaphor theory). Dalam teori ini terdapat dua ranah konseptual, yaitu ranah sumber (source domain) dan ranah sasaran (target domain). Ranah sumber lebih konkret digunakan oleh manusia dalam memahami konsep abstrak yang ada dalam ranah 110 sasaran. Pada tatuné arang kranjang ‘banyak luka’ jelas merupakan metafora konseptual, karena tatuné merupakan ranah sumber yang konkret bisa dimengerti, bentuknya sebagai kata benda (nomina) sementara arang kranjang adalah ranah sasaran yang abstrak, seperti apa ‘keranjang yang jarang’ itu; yang mengindikasikan suatu model lubang yang banyak sekali pada sebuah keranjang dalam versi orang Jawa. Dengan demikian, jelas bahwa metafora kesehatan dalam bahasa Jawa adalah metafora konseptual. 2. Menentukan metafora kesehatan dalam bahasa Jawa, selain melihat kesesuaian metafora yang berkaitan dengan kesehatan, penulis sebagai penutur asli bahasa Jawa juga secara intuitif menentukan mana yang merupakan metafora kesehatan dan mana yang bukan. Bentuk metafora kesehatan dalam bahasa Jawa pada dasarnya berupa frase. 111 MURAL KAMPUNG URBAN: ANALISIS MAKNA REPRESENTATIF, BENTUK, DAN FUNGSINYA Aris Hidayatulloh Prodi Ilmu Linguistik UGM Email: aris.hidayatulloh@mail.ugm.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna representatif, bentuk, dan fungsi sosial kreasi mural di Sangkrah, sebuah kampung di kota Solo yang identik dengan aksi kriminalitas, melalui pendekatan sosiolinguistik. Aspek yang dibahas meliputi: 1) deskripsi bentuk dan gaya pengmpaian bahasa mural, 2) fungsi sosial, serta 3) deskripsi pembentukan makna representatifdalam pembentukan wacana mural. Data primer penelitian ini diambil dari wacana kreasi mural pada dindingdinding kampung Sangkrah. Sementara data sekunder diperoleh dari wawancara kepada tiga orang pemuda yang terlibat langsung dalam pembuatan mural. Setiap data dianalisis secara sintaksis terlebih dahulu sesuai klasifikasinya. Selanjutnya untuk mengetahui peran dan fungsi sosial, digunakanlah teori dari Jackobson. Serta analisispembentukan makna referensi juga dilakukan sebagai tahap akhir untuk mengetahui bagaimana pembuat mural mengemukakan ide gagasan melalui muralnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara kebahasaan mural memuat beberapa aspek yakni: aspek lingual dapat berupa kata, frasa, dan klausa dengan bentuk klausa menjadi yang paling dominan. Sedangkan aspek gambar digunakan untuk penggambaran visual dari mural. Katakata dalam mural berfungsi sebagai penekanaan pada tema dan gambar mural. Selain itu, sebagian besar mural memiliki fungsi konatifyakni untuk mengajak menjadikan sangkrah lebih positif. Dari sisi verbal visualnya,diperoleh hasil bahwa dalam pembentukan makna representatif mural, nilai sosial budaya yang ada di Solo secara langsung ditanamkan pada mural. Selanjutnya, mural lainnya digunakan sebagai penggambaran multikultural dan pemaknaan filosofi orang Jawa danrepresentasi tentang pemersatu bangsa. Kata Kunci: mural, wacana visual, makna represebtatif, fungsi sosial, bentuk 112 PENDAHULUAN Masyarakat urban atau perkotaan sering menjadi pusat perhatian pemerintahan kota. Selain permasalahan padatnya jumlah penduduk, perkotaan juga identik dengan kecenderungan akan tindakan kriminalitas yang tinggi. Permasalahan yang lebih besar seperti corat-coret di ruang publik juga menjadi polemik di daerah perkotaan. Aksi mencoret tersebutterjadi akibat kurangnya ruang publik untuk mengekspresikan ide-ide anak muda kota. Namun, hal tersebut dapat teratasi dengan cara memberikan ruang publik sebagai media penyampaiaan ide gagasan.Salah satu cara penyampaian ide tersebut adalah berupa mural. Mural, yang menjadi fokus penelitian ini, merupakan hasil karya seni berupa gambar dan tulisan, umumnya diekspresikan oleh kaum muda yang cenderung hidup di daerah perkotaan. Mural secara terminologis adalah lukisan pada dinding (KBBI Daring, 2016). Munculnya tulisan dan gambar secara bersamaan merupakan hal yang pokok pada mural. Teori semiotika social dari Kress dan Leeuwe menyatakan bahwa struktur visual (seperti gambar, warna, dan tipografi) menitikberatkan intepretasi dan juga interaksi sosial (2006:2). Paparan Kress dan Van Leuween (2006: 42) yakni mode pada setiap unsur semiotika harus dapat merepresentasikan esensi sebuah objek dan relasi mereka terhadap orang yang melihatnya. Dari teori tersebutlah penelitian ini diangkat. Kampung Sangkrah Solo sebagai tempat penelitian terletak di dalam karisidenan Surakarta. Kampung tersebut didominasi oleh masyarakat dengan tingkat perekonmian menengah kebawah. Dominasi orang yang berbeda-beda setiap kurun waktu mengakibatkan Sangkrah sering menjadi sorotan pemerintah kota Solo khususnya dalam hal kriminalitas. Sangkrah terletak pada jantung kota Solo dan tidak jauh dari Kraton Surakarta dan beberapa industri pabrik. Sorotan tersebut yang melatar belakangi awal terbentukknya sebuah aksi mengubah stigma kampung yang kelam menjadi kampung yang lebih positif melalui mural. Pergerakan tersebut diawali oleh sekumpulan pemuda Sangkrah yang mempunyai visi yang sama untuk mengubah stigma negatif kampung Sangkrah. Pembentukan komunitas melalui simpul literasi yang disebut dengan Rumah Baca Sangkrah juga diterapakan pada kampung Sangkrah. Dari kumpulan fakta tersebut, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pembahasan tentang makna dibalik sebuah mural menjadi tema yang sangat penting untuk dilakukan. 113 Beberapa peneliti sudah meneliti masalah yang berkaitan dengan topik ini. Teguh Prasetya (2014) mengkaji karya seni grafiti. Penelitian tersebut menitikberatkan pada kajian sosiolinguistik. Penelitian lainnya dilakukan oleh Dedi Irwansyah (2015) mengenai skeptisme agama Islam yang digamparkan dalam seni dinding. Penelitian tersebut dilakukan di Jakarta dengan menitikberatkan pada kajian semiotika pada coretan dining di kota Jakarta. Sebagai rujukan penelitian sebelumnya yang termasuk terkini adalah penelitian Pandu Pramudita, dkk (2018) yang mengkaji tentang seni rupa mural sebagai perlawanan kaum urban. Dalam penelitiannya Pandu dkk. menitik beratkan pada kajian semiotika. Dari peneitian-penelitian tersebut dapat tergambarkan objek kajian yang sama dengan penulis, namun dianalisis dari pendekatan yang berbeda. Sebagai pertimbangan akan penelitian terkini lah penulis melakukakan penelitian pada karya seni mural yang dititikberatkan pada kajian sosiolinguistik, namun yang membedakan adalah dengan mensisipkan telaah secara semiotika sosial.Hal tersebut mengingat mural tidak hanya dikaji dari segi makna semantik, namun juga dapat dianalisis dari segi visualnya. Hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan penulis dalam merumuskan penelitian terkini tentang mural. Penelitian ini menjawab tiga pertanyaan, yaitu (a) bagimana bentuk bahasa padamural, (b) apakah fungsi yang ditonjolkan pada mural, dan (c) bagaimana peran mural dalam pembentukan representasi konsepnya. Teori yang digunakan dalam menjawab ketiga masalah tersebut dipaparkan secara ringkas sebagaiberikut. Pembahasaan aspek verbal menjadi penting mengingat analisis bahasa dengan pendekatan sosiolinguistik tidak lepas dari aspek bahasa itu sendiri. Untuk itu, digunakan klasifikasi dari Verhar (2004)tentang penggolongan bentuk kata, yang meliputi kata, frasa (frasa nomina, frasa verba, frasa adjektiva, frasa adverbial), dan klausa (klausa mandiri, klausa koordinatif, dan klausa subordinatif). Selanjutnya pada level pembahasan semiotika, semiotika sosial yang dikembangkan oleh Kress dan Van Leeuven (2006) digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui penggunaan metafungsi pada sebuah wacana visual. Di sisi lain, penggunaan teori dari Kress dan Van Leeuwen juga berkenaan dengan adanya keinginan anak-anak mudadalam merubah sebuah kampung dari stigma negatif menjadi lebih positif. Teori Krees dan Van Leeuwen merupakan teori yang dikembangkan dari teori metafungsi oleh K.A.K Halliday. Semiotika sosial tidak lepas dari penggunaan unsur metafungsi bahasanya. Kress dan Van Leeuwen menyatakanbahwa struktur visual (seperti gambar, warna, dan tipografi)menitikberatkan intepretasi dan juga interaksi sosial (2006:2).Semua sistem semiotik merupakan suatu kesatuan bahasa dan 114 dapat memenuhi komponen metafungsi. Poin tersebut yang menjadi landasan penulis untuk menganalisa mural. Teori dari Krees dan Van Leeuwen dipandang penulis lebih relevan sebagai teori untuk analisimural karena mural tidak lepas dari gambar dan juga metafungsi bahasa di dalamnya.Kress dan Van Leeuwen juga menyatakan konsep metafungsi dari Halliday dapat dikembangkan dalammetafungsi Visual Grammar yang diajukkannya. Kress dan Leeuwen (2006: 42) juga menekankan bahwamode pada setiap unsur semiotika harus dapat merepresentasikan esensi sebuah objek dan relasi mereka terhadap orang yang melihatnya.Dalam teori semiotika representasi tersebut dikatakan oleh Kress dan Leeuwen sebagai representational meaning atau makna representatif. Makna representatif dari mural tersebutlah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Sedangkan untuk menganalisis fungsi sosial mural peneliti digunakan teori tentang fungsi bahasa pada media komunikasi. Dikemukan oleh Jacobson (dalam Holmes, 1995: 286) yang menyatakan bahasa memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi emotif/ekspresif (untuk menyatakan perasaan dan pikiran), fungsi konatif, fungsi referensial (memberi informasi), fungsi metalingual (menerangkan bahasa), fungsi poetik (menyatakan aspek keindahan bahasa), dan fungsi fatis (untuk menyatakan empati). Teori-teori tersebut digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini. PEMBAHASAN a. Bentuk Bahasa (Verbal Teks) dalam Mural Dalam pembahasan ini akan dipaparkan bentuk-bentuk satuan bahasa terlebih dahulu dari setiap data pada mural beserta deskripsi dari masingmasing data beserta fungsinya menurut klasifikasi dari Jacobson tentang fungsi bahasa dalam komunikasi sosial: NO DATA 1 Data Bentuk Lingual Fungsi a) b) c) d) e) f) g) Klausa (Kalimat Tunggal) a) Referensial b) Metalingual c) Referensial d) Metalingual e) Referensial f) Metalingual g) Referensial Sala Kuthaku Solo is my city Jowo Budayaku Javanese is my culture Moco Hobiku Reading is my Hobby Proud to be JAVANESE 115 2 Rumah Baca Sangkrah Kata Jadian Referensial 3 Bocah Kudu Dolanan, Bocah Dudu Dolanan Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe Bhineka itu cinta, Tunggal ika itu kita Berbudi Pekerti yang Luhur Imagine Imagination and creativity can change the World Klausa Gabungan (Koordinatif) Klausa Gabungan (Koordinatif) Klausa Gabungan (Koordinatif) Frasa Nomina Kata Klausa (Kalimat Tunggal) Referensial 4 5 6 7 8 Konatif Konatif Konatif Konatif Konatif b. Representasi Konseptual pada Mural Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kress dan Van Leeuwen (2006:79) bahwa representasi konseptual lebih ditekankan pada proses non-naraive dari wacana visual dan lebih menekankan pada struktur pembentuk makna. (Data 1) (Data 2) (Data 3) Dari data (1) pemarkah lingual dapat dilihat terdapat repetisi dari kata ‘aku’ atau dalam bahasa inggris ‘my’ pada setiap bait tulisan. Terdapat juga kata yang dituliskan dengan huruf capital yaitu ‘JAVANESE’ atau dalam bahasa Indonesia adalah orang jawa. Dari pemarkah tersebut dapat disimpulkan bahwa mural tersebut mengandung unsur penekananan pada identitas sosial masyarakat sangkrah. Gambar punakawan difungsikan sebagai penekanan ikon budaya jawa. Paparan tersebut adalah bentuk intepretasi dari data yang pada akhirnya merepresentasikan penekanan bangga menjadi orang jawa bagi masyarakat Sangkrah. 116 Data (2) diatas digambarkan dengan tulisan ‘rumah’ ,’baca’, dan ‘Sangkrah’ yang bila digabung menjadi Rumah Baca Sangkrah. Warna merah dengan hiasan ranting dan daun yang dililitkan pada katatergambar pada mural tersebut. Warna merah menggambarkan keberanian dan gambar ranting dan daun merupakan hiasan dari mural. Dari penggabungan komponen tersebut dapat dikatan bahwa pembuat dari mural tersebut ingin membuat penekanan bahwa terdapat suatu komunitas di kampung Sangkrah. Unsur daun yang dililitkan merupakan penujukan estetika keindahan pada tulisan Rumah Baca Sangkrah. Dari data (3), pemarka lingual dalam hal ini menempati sebagai penekanan pada gambar. Terdapat dua kata yaitu ‘Bocah dudu dolanan’ yang bermakna anak kecil yang tidak bermain dan ‘Bocah kudu dolanan’ yang bermakna anak kecil harus bermain. Pemarka yang bisa dilihat dalam pembentukan konsep pada mural tersebut adalah kata ‘doanan’ yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘bermain’. Unsur yang lain terdapat pula pada gabaran permainan yang terdapat pada mural. Simpulan dari pembahasan data (3) adalah pembuat mural measukkan konsep anakanak yang seharusnya menghabiskan waktu mereka dengan bermain dan juga makna secara eksplisit dari mural ini adalah harapan kampung sangkrah akan adanya generasi penerus yang tidak tergerus oleh gadged atau benda-benda futuristik yang bisa melupakan generasi anak-anak yang cemerlang. (Data 4) (Data 5) (Data 6) Dari data (4) terdapat beberapa unsur dari unsur bahasa tulis dan juga gambar. Verbal dalam bentuk tulisan tampak pada sisi tengah sedikit kesamping dari keseluruhan ilustrasi. Tulisan tersebut bertuliskan ‘Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘Berjuang tanpa Pamrih dan Saling Bergotongroyong’. Dari unsur lingual terdapat pemarka yaitu keseluruhan dari ungkapan tersebut yang 117 merepresentasikan kerukunan dan juga sikap saling bantu membantu. Unsur gambar juga merepresentasikan sebuah konsep kepada orang yang melihatnya. Dari data tersebut dapat disimpulkan penggambaran salah satu filosofi orang jawa yang menekankan kerukunan antar manusia dan juga saling beramah tamah dan saling bantu membantu. Dari data (5), terdapat unsur verbal tulisan dan juga gambar. Dari unsur tulisan tertulis ‘Bhineka itu cinta, Tunggal ika itu Kita’. Unsur tulisan pada data tersebut dituliskan dalam bentuk klausa yang berisikan semboyan kebhinekaan. Dari kalimat tersebut terdapat pemarka yang dapat merefleksikan representasi konseptual yakni dari clausa yakni kalimat ‘Bhineka itu cinta’. Konsep tulisan tersebut digunakan untuk memperlihatkan bahwa semboyan orang Indonesia yaitu ‘Bineka Tunggal Ika’ adalah merefleksikan sebuah cinta, yaitu cinta terhadap sesama manusia. Sedangkan kata ‘Tunggal itu kita’ merefleksikan bahwa masyarakat Indonesia tidak terpecah belah jika mengetahui konsep Bhineka Tunggal Ika. Dari Mural tersebut pemuda sangkrah juga ingin memperlihatkan bahawa sangkrah juga bisa menjadi tempat pemersatu masyarakat Indonesia dengan menanamkan konsep yang secara tidak sadar akan terkonsep di pikiran setelah melihat mural tersebut. Data (6) memperlihatkan gambar dari tokoh pewayangan yaitu rama dan sinta. Unsur tulisan juga dimunculkan dalam kaitannya menekankan isi dari gambar secara keseluruhan bahwa maksud dari mural tersebut adalah menanamkan konsep saling sadar bahawa manusia harus mempunyai budipekerti yang luhur seperti yang digabarkan dari tokoh pewayangan. Kesimpulan keseluruhan ilustrasi gambar adalah kampung sangkrah ingin semua orang yang melihat mural tersebut sadar akan pentingnya mempunya budi perkerti yang luhur seperti filosofi orang jawa. (Data 7) (Data 7) (Data 8) (Data 8) 118 Data (7) digambarkan dengan kata ‘imagine’ melekat dengan gambar dari tokoh perdamaian sekaligus musisi yakni John Lenon. Dalam hal ini pembuat mural ingin memebrikan penekanan pada kata-kata dibalik gambar John Lenon. Penggunaan kata bahasa inggris pada data (7) difungsikan sebagai keinginan mewujudkan kampung yang damai seperti apa yang ditekankan pada lagu ‘imagine’ yang dinyanyikan John Lenon. Dari data (8) pada mural, terdapat dua pembangun konsep yaitu dari teks dan juga gambar. Teks tersebut berisikan kata dalam bahasa iggris yaitu ‘Imagination and creativity can change the World’ yang bermakna imajinasi dan kreativitas dapat mengubah. Mural tersebut juga mengkonsepsikan sebuah konsep penanaman kreatifitas yang ada di sangkrah yaitu melalui komunitas dan kreatifitas. KESIMPULAN Dari unsur verbal dapat disimpulkan bahwa struktur bahasa yang digunakan dalam mural meliputi klausa yaitu klausa gabungan koordinatif dan kalimat tunggal, kata yaitu kata jadian, dan frasa yaitu frasa nomina. Sedangkan fungsinya sebagian besar adalah sebagai konatif yaitu untuk mengungkapkan harapan dari pembuat mural dan mengajak orang-orang yang melihat mural untuk mengembangkan diri. Dari sisi verbal visualnya analisis data dari ke delapan data tersebut menunjukkan hasil yaitu: dalam pembentukan makna representatif mural, terdapat 4 data yaitu (data 1,data 3, data 4, dan data 6) yang digambar dengan mengambil nilai sosial budaya yang ada di solo yang secara langsung ditanamkan pada mural. Gaya penyampaian disampaikan dengan bahasa jawa yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia dan Inggris. Penggunaan multibahasa difungsikan untuk memahamkan konsep yang global. Konsep dari ketiga data tersebut adalah penggambaran multikultural dan pemaknaan filosofi orang Jawa. Sedangkan data (5) difungsikan sebagai wacana pemersatu bangsa Indonesia dan gaya penyampaiannya lebih dalam bahasa Indonesia. Sedangkan data (2) difungsikan sebagai penanda keberadaan sebuah komunitas (komunitas sosial) yang ada di sangkrah. Dan terakhir data (7), dan data (8) berfungsi sebagai penanaman nilai positif yang ingin ditanamkan pada masyarakat dan juga orang yang melihat mural tersebut. 119 DAFTAR PUSTAKA Badan Pengembangan dan pembinaan Bahasa. 2016. Kamus Besar Bahasa Indoneisa: Versi Daring, Diakses 1 Juni 2018. Danny Setiawan, Tokoh Masyarakat Sangkrah, Wawancara Pribadi, 22 April 2018. Elham Nur Fatoni, Pemuda Sangkrah Penggagas Mural, Wawancara Pribadi, 27 April 2018. Hendy, Pemuda Sangkrah Penggagas Mural, Wawancara Pribadi, 29 April 2018. Holmes, Janet. 1995. An Introduction to Sociolinguistics. London, New York: Longman Jati Kress, G, & T. van Leeuween. 2006. Reading images: The grammar of visual design (2nd Ed.). London: Routledge. Kress, G. & T. van Leeuwen. 1996. Reading images: The grammar of visual design. London: Routledge. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Hasil Diskusi Seminar 1. Bagaimana Anda menjawab problem statement yang ada sedangkan apa yang Anda bahas merupakan sebuah wacana dan tidak bisa dipisahkan analisis antara teks dan gambarnya? Jawaban: Memang benar teori dari makalah ini masih belum menyentuh secara menyeluruh analisnya dan mungkin cenderung pendekatannya masih belum tepat (sebelumnya peneliti menggunakan pendekatan sosiolinguistik dan membahas hanya bentuk, fungsi dan referensi)dan dianalisa dengan teori dari verhar tentang struktur bahasa dan juga fungsinya sehingga perlu adanya klarifikasipendekatan yang tepat untuk menganalisa wacana mural.Dari permasalahan tersebut peneliti mencari teori yang tepat untuk meneliti objek wacana yang di dalamnya terdapat unsur teks dan gambar.Dari permasalahan tersebut peneliti menambahkan teori dari Kress dan Van Leeuwen tentang semiotika sosial sebagai solusi. 2. Bagaimana Anda menunjukkan bahwa unsur verbal kata dan gambar pada mural dapat merepresentasikan sesuatu dan 120 mengungkap bahwa linguistik bukan sekedar berhubungan dengan struktur tata bahasa namun bisa juga metafungsi? Jawaban: Pertanyaan tersebut selaras dengan pertanyaan sebelumnya yaitu tentang cara menganalisa objek dengan teori yang tepat. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti mengguankan teori dari Kress dan Van Leeuwen dalam semiotika sosial sebagai solusi. Teori tersebut dipandang sebagai peneliti sebagai teori untuk mengungkapkan metafungsi dari wacana mural. 3. Teori apa dan batasan masalah apa yang Anda gunakan dalam analisis sehingga tidak menjadi terlalu melebar pembahasannya? Jawaban: Untuk teori peneliti menggunakan teori dari Kress dan Van Leeuwen tentang semoitika sosial sebagai teori utama untuk menganalisa unsur metafungsi dari mural dalam membentuk makna representatif. Sedangkan dalam tatan structural kata dan bentuknya peneliti menggunakan klasifikasid ari verhar. Sedangkan untuk funsi verbal digunakan teori dari Jackobson tentang fungsi bahasa. Teori tersebutdipandang peneliti sebagai teori yang relevan untuk menganalisa wacana. Krena wacana mural merupakan gabungan antara unsur verbal kata dan juga gambar yang didalamnya digunakan prisip multimodal sebagai acuannya. Multimodal sendiri merupakan penggabungan beberapa mode sebagai upaya pembentukan makna representative suatu objek (lihat teori Kress tentang Multimodal) 121 VERBA ERGATIF DALAM BAHASA JAWA Arum Jayanti* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: arumjayanti007@gmail.com A B S T R A K Penelitian yang bertajuk “Verba Ergatif dalam bahasa Jawa” ini membahas tentang bentuk morfologis verba ergatif dalam bahasa Jawa, bagaimana bentuk verba ergatif dalam bahasa Jawa, dan bagaimana perilaku sintaksis serta semantik verba ergatif bahasa Jawa. Ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan kamus bahasa Jawa sebagai data dan sumber data dengan kalimat yang peneliti sebagai penutur asli bahasa Jawa buat setelah melalui diskusi panjang dengan penutur asli bahasa Jawa lainnya dan dengan pengecekan ulang. Metode pengumpulan data dengan menggunakan metode simak teknik catat. Hasil penelitian peneliti berupa temuan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat empat imbuhan pembentuk verba ergatif, yakni 1) Prefiks ke-, 2) Konfiks ke-an, 3) Infiks -in, 4) Infiks um dengan dominasi keseringan prefiks ke- dengan akar kata bentuk verba. Untuk infiks -in lebih banyak digunakan dalam ragam tulis, dan infiks -um berubah menjadi verba ergatif hanya jika disandingkan dengan kata glethak. Selain itu, berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif dalam bahasa Jawa pada umumnya membentuk tiga makna, yakni 1) Ketidaksengajaan; 2) Keadaan; 3) Dikenai adjektiva. Kata Kunci: Verba Ergatif, Bahasa Jawa, Morfologi, Sintaksis PENGANTAR Konsep verba ergatif sudah lama muncul. Ergativitas diperkenalkan oleh Bernard Comrie dan E. Rafferty. Di Indonesia, Harimurti Kridalaksana pun pernah menyinggungnya dalam artikel berjudul “Ergativitas’ dan dalam buku Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia mengenai gejala ergativitas. Tidak sampai di situ, Serpih-Serpih Telaah Bahasa Indonesia karya Bambang Kaswanti Purwo juga memuat artikelartikel para ahli yang tidak sedikit menyinggung tentang ergativitas. 122 Akan tetapi, sependek pencarian peneliti selama ini penelitian mengenai ergativitas bahasa Jawa belum pernah dilakukan sehingga penulis tergelitik untuk melakukan penelitian ini agar dapat menjawab 1) Apa saja dan bagaimana bentuk verba ergatif dalam bahasa Jawa? 2) Bagaimana perilaku sintaksis dan semantik verba ergatif bahasa Jawa? HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bentuk Morfologis Verba Ergatif Secara morfologis atau dilihat dari morfem yang membentuknya, verba ergatif bahasa Jawa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu monomorfemis dan polimorfemis. 1. Verba Ergatif Monomorfemis Verba ergatif monomorfemis dalam bahasa Jawa berjumlah terbatas. Contoh verba ergatif monomorfemis dalam bahasa Jawa adalah kata kena. Contoh: Jennifer Dunn kena amuk bojone Faisal Haris. ‘Jennifer Dunn kena marah Istri Faisal Haris’ 2. Verba Ergatif Polimorfemis Verba ergatif polimorfemis dalam bahasa Jawa berafiks {ke-}, {ke/-an}, (-um-} {-in/-an}. Contoh: keselek ‘tersedak’, kegunting ‘tergunting’, kambrukan ‘kerobohan’, kudanan ‘kehujanan’, kabotan ‘keberatan, kinancing ‘dikunci’, tinampa ‘diterima’, gumlethak ‘tergeletak’ dan lainlain. B. Perilaku Sintaksis Verba Ergatif Verba ergatif dalam bahasa Jawa ditandai dengan afiks {ke-, ke-/-an, -um, -in-/-an}. Verba ergatif dalam bahasa Jawa ini sendiri menempati fungsi predikat. 1. Prefiks keTerdapat dua macam jenis pembentukan perfiks ke-, yakni ke- + verba dan ke- + nomina. Prefiks ke- + verba paling produktif dalam pembentukan verba ergatif dibandingkan pembentuk verba konfiks ke-/an, -um, dan -in/-an. a. Ke- + Verba (1) Keselak; Keselèk 1. Saèmper watuk dadakan marga ngombè, mangan lsp 123 Contoh: Adek keselèk amarga mangan karo ngomong. S P K ‘Adik tersedak karena makan sambil berbicara.’ 2. b. Ke- + Nomina (2) Nggunting Kegunting Contoh: Amarga kesusu, Kertase Rino kegunting Akbar. K S P Pl ‘Karena tergesa-gesa, kertasnya Rino tergunting Akbar’ Konfiks ke-an Konfiks ke-an membentuk verba ergatif dengan akar kata yang berbeda-beda, yakni 1) Ke- + Verba + -an, 2) Ke- + Nomina + -an, 3) Ke- + Adjektiva + -an. Bentuk ke- + verba + -an paling banyak ditemukan daripada bentukan verba ergatif dari nomina dan adjektiva. a. Ke- + Verba + -an (3) Nyeret: minum madat Keseretan Contoh: Amarga kakehan ngguyu, Aku keseretan. K S P ‘Karena kebanyakan tertawa, saya kehausan.’ b. Ke- + Nomina + -an (4) Nyliliti: menyebabkan selilit (sisa makanan di gigi) Keselilitan Contoh: Jaka keselilitan amarga mangan rendang. S P K ‘Jaka keselilitan karena makan rendang’ (5) Udan Kudanan Contoh: Yu Djum kudanan nalika njemput anake ning sekolah. S P K ‘Yu Djum kehujanan ketika menjemput anaknya di sekolah.’ 124 c. Ke- + Adjektiva + -an (6) Nyusah (-akè): menyusahkan Kesusahan Contoh: Yu Samblah lagi kesusahan amarga bojone ora bali-bali. S P K ‘Yu Samblah sedang kesusahan karena suaminya tidak pulang-pulang.’ (7) Abot 1. Akeh bobote; ora enteng Kabotan 1. Kroso abot; kangelan Contoh: Aku kabotan amarga tugas saka bosku. S P K ‘Aku keberatan karena tugas dari bosku’ 3. Infiks -in (8) Tarbuka Tinarbuka Contoh: Lawang Kraton Ngayogyakarta tinarbuka wiwit isuk S P K ‘Pintu Kraton Yogyakarta terbuka sejak pagi’ 4. Infiks -um Pada umumnya infiks -um verba ergatif hanya terjadi ketika -um + glethak saja. Infiks -um selain pada kata tersebut tidak menjadi verba ergatif, misal pada kata gumagus, kumayu, gumantung, dan lain-lain. (9) Dhuwite gumlethak neng nduwur meja. S P K ‘Uangnya tergeletak di atas meja’ C. Perilaku Semantis Verba Ergatif Berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif dalam bahasa Jawa pada umumnya dapat dilihat berdasarkan makna berikut. 1. Verba Ergatif Bermakna Ketidaksengajaan 125 Verba ergatif bermakna ketidaksengajaan ada pada hampir semua verba kecuali pada verba kena. Verba ergatif bermakna ketidaksengajaan ada pada verba polimorfemis. 2. Verba Ergatif Bermakna keadaan Selain bermakna ketidaksengajaan, verba ergatif dalam bahasa Jawa pun bermakna keadaan. (10) Nyusah (-akè): menyusahkan Kesusahan Contoh: Yu Samblah lagi kesusahan amarga bojone ora bali-bali. S P K ‘Yu Samblah sedang kesusahan karena suaminya tidak pulang-pulang.’ 3. Verba Ergatif Bermakna Dikenai Adjektiva Verba ergatif bermakna dikenai adjektiva hanya terjadi pada kata kena ‘kena’. (11) Jennifer Dunn kena amuk bojone Faisal Haris. ‘Jennifer Dunn kena marah Istri Faisal Haris’ Pada kata kena amuk subjek dikenai adjektiva amuk ‘marah’. Hal ini membuktikan bahwa pada verba ergatif kena tidak bermakna ketidaksengajaan, tetapi bermakna dikenai adjektiva. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentuk verba ergatif dalam bahasa Jawa digolongkan menjadi dua bentuk, yaitu monomorfemis dan polimorfemis Verba ergatif dalam bahasa Jawa ini sendiri menempati fungsi predikat.sebagai berikut. 1. Prefiks Ke-. a. Ke- + Verba. Contoh: Keselèk, keselip, dan kecabud. b. Ke- + Nomina. Contoh: Kegunting, kepeso, dan kepacul. 2. Konfiks Ke-/-an. a. Ke- + Verba + -an. Contoh: Kecolongan, kambrukan, dan kasiratan. 126 b. Ke- + Nomina + -an. Contoh: Keselilitan, kudanan, dan kanginan. c. Ke- + Adjektiva + -an. Contoh: kabotan, kangelan, dan kepanasan. 3. Infiks -in. khusus infiks -in hanya bertemu dengan verba. Contoh: Kinancing, tinampa, dan tinulis. 4. Infiks -um. Khusus pada verba dengan akar kata glethak. Contoh: gumlethak Selain memenuhi empat poin tersebut, verba harus memenuhi syarat ergativitas dalam kalimat, yakni 1) Subjek sekaligus pengalam (dikenai pekerjaan); 2) Verba tersebut tidak bisa diaktifkan. Contoh: Siti Aminah kecakar kucing S P Pl ‘Siti Aminah tercakar kucing’ Pada contoh tersebut Siti Aminah sebagai subjek karena bersanding dengan verba kecakar, Siti Aminah sekaligus pengalam (dikenai pekerjaan). Inilah keunikan dari verba ergatif. Contoh: Lawang Kraton Ngayogyakarta tinarbuka wiwit isuk S P K ‘Pintu Kraton Yogyakarta terbuka sejak pagi’ Pada contoh verba tinarbuka juga sama. Lawang Kraton Ngayogyakarta yang merupakan subjek juga sebagai pengalam, yakni tinarbuka ‘terbuka’. Berdasarkan perilaku semantisnya, verba ergatif dalam bahasa Jawa pada umumnya membentuk tiga makna, yakni 1) Ketidaksengajaan; 2) Keadaan; 3) Dikenai adjektiva. DAFTAR PUSTAKA Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Kanisius ___________. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Poerwadarminta, W.J.S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung Suwardji. 1999. Kalimat Pasif dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Depdikbud. 127 Robson, Stuart and Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Hongkong: Periplus Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2000. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta HASIL DISKUSI SEMINAR PERTANYAAN 1. Bagaimana dengan sisipan -um contohnya gumlegar dalam bahasa Jawa apakah termasuk verba ergatif bahasa Jawa? Wardatul Jannah, UGM. 2. Bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif atau bahasa ergatif? I Gede Bagus Wisnu Temaja, UGM 3. Apakah Anda menggunakan teori bahasa pivot untuk menguji keergativitasan verba bahasa Jawa? Antonio Constantino Soares, Timor Leste JAWABAN 1. Sisipan -um dalam bahasa Jawa termasuk verba ergatif seperti pada contoh kata dasar glethak yang menjadi gumlethak. 2. Bahasa Jawa termasuk bahasa akusatif, tetapi mempunyai gejala ergativitas. 3. Sependek yang peneliti tahu setelah membaca tentang teori bahasa pivot berhubungan dengan pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak yang melahirkan teori tata bahasa pivot. 128 KALIMAT DALAM PEMBINGKAIAN BERITA INSIDEN PESAWAT F-16 DAN CESSNA C-150 Ashari Hidayat1 Universitas Jenderal Soedirman Surel: ashari.hidayat@mail.ugm.ac.id ABSTRAK Pemberitaan insiden aktivitas pesawat militer dengan pesawat sipil tidak lepas dari penggunaan kalimat sebagai sarana menginformasikan peristiwa yang terjadi. Kalimat-kalimat itu membawa proposisi yang tersebar dalam tiap komponen wacana. Tujuan penelitian ini adalah memaparkan keberadaan bingkai berita melalui proposisi yang terkandung dalam kalimat atau klausa pembangun wacana. Penelitian ini mengasumsikan kognisi pemberita mempengaruhi pengkonstruksian peristiwa ke dalam kalimat. Kognisi pemberita terealisasikan dalam jalinan proposisi antarkalimat pada tiap komponen wacana. Metode analisis dilakukan dengan menyimak kandungan isi berita, memilah topik dalam sekuen-sekuen informasi, dan menginterpretasikan unsur komponen wacana. Hasil penyimakan berita dikenali adanya proposisi yang mengandung bingkai ‘korban tewas’ dan ‘korban selamat’ dari aktor yang terlibat insiden. Kata kunci: kalimat, bingkai, berita insiden LATAR BELAKANG Media berita kadang menampilkan pemberitaan peristiwa insiden pesawat tempur. Pada suatu peristiwa insiden pesawat tempur itu terjadi sebagai bagian aktivitas penggunaan alat utama sistem senjata (alutsista). Ketika aktivitas tersebut mengalami ketidakberuntungan kondisi yang menyebabkan terjadi insiden media melakukan liputan. Peristiwa insiden pesawat tempur F-16 yang menabrak pesawat sipil Cessna C-150 di South California, Amerika Serikat pada tahun 2015 lalu juga tidak luput dari pemberitaan media. Hal itu menarik untuk dicermati terutama mengenai cara media membangun informasi tentang insiden tersebut. 1 Penulis adalah mahasiswa Program S-3 Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada awardee BUDI DN Tahun 2016 129 Pemberitaan di media secara tertulis menghasilkan sebuah wacana berita. Wacana berita tersebut menjadi medium perpindahan informasi. Oleh Djajasudarma (2006:14) penggolongan wacana dapat dilakukan dengan melalui identifikasi sifat informasional yang menonjolkan suatu pokok masalah. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai informasi Ramlan (1993:41) menyatakan kepaduannya dalam suatu wacana ditentukan oleh pertalian makna dan pertalian bentuk. Dari konsep-konsep para linguis tersebut dapat dikaitkan dengan pembahasan berita insiden dalam artikel ini. Kepaduan informasi berita insiden pesawat F-16 dengan Cessna C-150 ini penceritaannya berkaitan dengan aktor noninsani dan insani sebagai korban. Pesawat tempur F-16 dan pesawat sipil Cessna C-150 adalah aktor noninsani. Aktor noninsani ini karena sifatnya yang teknis tentu memiliki kerumitan ketika digambarkan dalam pemberitaan di media berita umum. Sementara itu, awak pesawat adalah aktor insani korban insiden yang tentu tidak luput juga untuk diberitakan. Penceritaan dua aktor korban insiden itu selain sebagai pertalian informasi jika dihubungkan dengan pandangan van Dijk (1988:31) juga merupakan suatu representasi kognisi melalui sejumlah proposisi yang dikandung klausa atau kalimat dalam wacana. Peristiwa insiden diliput oleh awak media yang hal itu membawa konsekuensi adanya peran kognisi terhadap proses produksi berita. Pada produksi berita kognisi awak media atau kepentingan institusi media berpotensi menyatu berita sebagai produk yang dihasilkannya.. Kajian terhadap insiden pesawat tempur dengan pesawat sipil ini akan menunjukkan hubungan antarkomponen berita dengan kalimat sebagai sarana formal realisasi dari kognisi tersebut. Bila dirunut dengan memperhatikan komponen wacana berita yang terdiri atas headline, lead, dan story (Bell, 1991) alur penceritaan ini akan membentuk suatu pola yang di dalamnya berisi sebaran proposisi yang terkonstruksi dalam kalimat-kalimat pembangun wacana. Pembahasan dalam artikel ini lebih menekankan kajian kepada unit informasi dalam ramgkaian antarkalimat. Kajian terhadap keterjalinan informasi yang dikandung kalimat menjadi cara untuk memahami bagaimana objek berita ditampilkan sebagai sebuah proses transmisi informasi. 130 KERANGKA TEORI DAN METODE Suatu berita yang keberadaannya tidak rutin dan mengandung informasi khas oleh Bell (1991:14) disebut sebagai kriteria berita topik khusus. Media berita menyampaikan informasi melalui wacana berita yang bermula dari sumber berita, proses produksi di ruang berita hingga tampil tersiar. Berhubungan dengan pemberitaan peran awak media berpotensi masuk ke hasil kerjanya. Suatu hasil dari proses produksi berita didesain atas lingkup institusi media tetapi juga tidak lepas dari sisi kognitif awak media yang mengolahnya. Mengenai sebuah peristiwa diangkat sebagai objek berita, van Dijk (1988:126-128) mengkategorikan dari sumber langsung maupun tidak langsung dengan melihat peran jurnalis terhadap sumber informasi. Dalam pandangan Bell (1991) salah satu ciri berita adalah berpotensi memiliki keterhubungan antarmedia karena pengolahan kembali dalam proses produksi berita. Van Dijk (1988:62) menggarisbawahi mengenai topik sebagai ide sentral yang akan mengendalikan proposisi-proposisi yang dibangun dalam wacana. Renkema (1993:163) menilai skema mental sebagai seperangkat pengetahuan yang diserap dari lingkungan yang dapat digambarkan sebagai kerangka yang akan diiisi oleh unsur-unsur pengisi. Pada sebuah wacana berita, keberadaan komponen headline, lead, dan story merupakan kerangka dibangunnya informasi. Pada komponen itulah relasi-relasi antarunsur pengisinya berlangsung. Relasi antarunsur itu adalah jalinan makna yang terwujud oleh peran awak media sebagai kreator wacana. baik sadar atau tidak menyadarinya kognisi awak media itu akan berpengaruh terhadap hasil kreasinya. Itulah yang membentuk bingkai (frame) sehingga berita memiliki “nilai rasa” tertentu ketika ditransmisikan kepada sasarannya. Sementara itu, Entman (1993) juga memberikan perhatian terhadap konsep bingkai dan menyebutnya sebagai cara pandang tertentu terhadap fakta melalui proses menyeleksi dan mengolah informasi. Konsep van Dijk yang menempatkan kognisi sosial dan proposisi oleh Pan dan Kosicki (1993) dikembangkan lebih lanjut untuk mengungkap bingkai suatu berita secara empirik dengan melihat pada sejumlah sarana linguistis. Oleh Ramlan (1993) jalinan makna yang dibangun oleh relasi antarkalimat itu terkelompok pada paragraf yang menjadi wadah dari alur pikiran penulisnya. Sementara itu, van Dijk (1988:31) melihat relasi kalimat dalam wacana berita itu sebagai realisasi proposisi. Berkaitan dengan berita insiden pesawat penumpang 131 sipil, Entman (1991) mengkaji berdasar pemberitaan insiden jatuhnya pesawat terbang KAI milik Korea Selatan dan Iran Air milik maskapai Iran oleh sejumlah suratkabar di Amerika Serikat. Pengambilan data dilakukan dari sumber LKBN Antara pada antaranews.com. Data diambil dengan menyalin teks berita yang ditampilkan dalam laman dari hasil penelusuran topik berita tentang insiden. Penelitian ini hanya berfokus pada satu data saja. Tahap analisis dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penyimakan informasi dalam wacana berita yang telah dipersiapkan. Dari hasil penyimakan itu dilakukan pencatatan-pencatatan untuk memulai penetapan informasi. Langkah selanjutnya adalah memilah bagian-bagian wacana yang terdiri atas headline, lead, dan story. Tiap komponen wacana berita itu diasumsikan mengandung informasi yang direalisasikan melalui kalimatkalimat. Interpretasi terhadap informasi yang dikandung kalimat adalah prosedur menetapkan bingkai. Interpretasi ini cenderung intuitif dengan berlandaskan penyimak sebagai penutur bahasa Indonesia yang mampu memahami informasi wacana. Penyimak memposisikan diri sebagai sasaran berita yang hendak dituju media. Hasil penyimakan tersebut kemudian dikaitkan dengan unsur-unsur pembangun berita, yaitu aktor, aksi, dan peristiwa dalam komponen wacana. PEMBAHASAN Latar peristiwa dan Sekuen Informasi Wacana berita ini menggambarkan objek berita ditampilkan oleh media melalui penceritaan peristiwa insiden antara dua pesawat terbang. Dua pesawat terbang itu berlatar kepemilikan berbeda, yaitu bagian dari alutsista angkatan udara Amerika Serikat dan satunya adalah pesawat sipil yang biasa dipergunakan sebagai pesawat latih. Peristiwa insiden pesawat F-16 milik angkatan udara Amerika Serikat yang menabrak pesawat Cessna C-150 pada tahun 2015 lalu menjadi berita yang diangkat sejumlah media massa di dunia. Pesawat F-16 sebagai pesawat tempur yang memuat dua awak pesawat menabrak pesawat sipil Cessna C-150 di South California Amerika Serikat. Dalam peristiwa itu dua awak pesawat F-16 berhasil melontarkan diri dan selamat sedangkan dua awak pesawat Cessna C-150 dinyatakan tewas. Berita tersebut tampil pula di sejumlah media berita dalam negeri, antara lain dalam laman media berita Antara. Berita yang tampil di Antara 132 tersebut berdasarkan kontribusi dari kantor berita Xinhua. Kantor berita Antara mendapatkan berita tersebut dari sumber lain yang juga sebuah kantor berita. Naskah sebelum ditampilkan di media telah diedit oleh Fitri Supratiwi. Tampil di laman Antara pada hari Rabu tanggal 8 Juli 2015. Untuk memahami bagaimana peristiwa itu disampaikan dalam sebuah alur penceritaan maka perlu dilakukan pemilahan dalam sekuen. Pemilhan dalam sekuen ini merupakan sarana untuk mencermati pengembangan topik wacana. Topik merupakan hal yang dibicarakan, yakni mengenai insiden pesawat tempur yang menabrak pesawat sipil. Pemilahan dalam sekuen itu dibatasi melalui lingkup komponen wacana. Komponen wacana berita terdiri atas headline, lead, dan story. Pengembangan Topik Komponen Sekuen Informasi (proposisi) No. Penanda Headline Lead Story korban tewas detail korban detail korban kronologis insiden 1 1 1 kondisi korban penyebab insiden kondisi pesawat identitas pesawat f16 2 1 2 3 3 Dari bagan tersebut diketahui pernyataan yang berhubungan dengan korban lebih ditonjolkan pada komponen headline, lead, dan story. Hanya saja di akhir story dimunculkan pernyataan tentang identifikasi pesawat F-16. Ketidakberimbangan justru terjadi karena penonjolan pesawat F-16 mendesak pesawat Cessna C-150 sehingga tidak muncul sebagai pihak terdampak yang lebih parah dibandingkan F-16. Dikatakan demikian karena pihak korban tewas berasal dari awak pesawat Cessna. Sekuen informasi tersebut menunjukkan juga identifikasi di akhir story yang memunculkan cerita keandalan F-16 sebagai pesawat tempur yang sudah banyak diproduksi dan dipergunakan banyak negara di dunia. 133 Dari sekuen informasi pada bagan tersebut diketahui paparan mengenai aktor insani korban insiden muncul lebih banyak daripada paparan aktor noninsani. Informasi mengenai kondisi aktor insani muncul di tiga komponen berita. Sementara itu, informasi aktor noninsani hanya muncul di komponen story yang menceritakan kondisi dan identitas pesawat. Paparan informasi kondisi pesawat dan identifikasi pesawat yang terletak di posisi akhir wacana menunjukkan peristiwa itu lebih dilihat oleh media sebagai tragedi bagi awak pesawat. Kalimat dan Pembingkaian Berita Berita diawali dengan judul sebagai headline yang akan menjadi kendali atas uraian selanjutnya dari peristiwa yang terjadi. Realisasi lebih lanjut dari penceritaan peristiwa insiden pesawat tempur bertabrakan dengan pesawat sipil ini berlangsung mulai dari headline. Sebagai komponen yang akan menjadi sasaran utama pembaca maka headline sangat menentukan dalam menarik perhatian. Pada posisi Headline ini Antara lebih melihat insiden sebagai peristiwa yang menimbulkan korban tewas dari akibat insiden. Penekanan itu tampak pada pernyataan adanya ‘korban tewas’ di posisi awal klausa mendahului pernyataan peristiwa insiden. Posisi pernyataan ‘korban tewas’ menunjukkan topik yang menjadi titik perhatian dari dampak dari insiden pesawat tempur dan pesawat sipil bertabrakan. (1)Dua tewas dalam tabrakan jet F-16 dengan pesawat sipil Pengembangan topik selanjutnya berada pada lead berita. Lead berita berposisi sebagai pembuka wacana. Dalam lead terkandung intisari yang dibicarakan dalam keseluruhan berita. Pada headline telah dinyatakan bingkai ‘korban tewas’ dan hal itu berelasi dengan lead yang juga menginformasikan ‘korban tewas’. Untuk menyatakannya Antara menggunakan satu konstruksi kalimat majemuk dengan pernyataan aktor terletak pada klausa inti dan pernyataan waktu pada klausa tambahan. Pengedepanan informasi tentang ‘korban tewas’ kembali terjadi mendahului pernyataan peristiwa tabrakan pada komponen lead. Komponen lead ini merupakan intisari berita dan tumpuan pengembangan pada bagian-bagian selanjutnya. Perhatikan wacana berikut. 134 (2)Dua orang tewas setelah satu jet tempur F-16 milik Angkatan Udara AS bertabrakkan dengan satu pesawat sipil di Negara Bagian South Carolina pada Selasa pagi (7/7). Keberlangsungan bingkai mengenai ‘korban tewas’ berlanjut pada komponen story. Pada bagian story 1 ini berisi dua kalimat. Kalimat (3) memberikan informasi mengenai waktu dan tempat terjadi insiden. Kalimat (4) dipergunakan untuk memperkuat informasi pada kalimat pertama. Relasi penguatan informasi ini cenderung menempatkan kalimat (4) dalam posisi berimbang dengan kalimat (3). Kalimat kedua tidak memberikan perluasan jabaran informasi melainkan menampilkan informasi baru penambah fakta insiden. Hal itu ditandai oleh tidak munculnya penjelasan lanjut tentang kronologis melainkan justru memunculkan informasi mengenai ‘korban selamat’. Komponen wacana story 1 tersebut mulai memberikan informasi yang tidak meneruskan pernyataan yang ditampilkan pada lead. Hal ini memunculkan kontradiksi informasi dengan pernyataan pada lead. Korban dari pihak pesawat sipil dinyatakan tewas, sedangkan korban dari pesawat militer dinyatakan selamat. Pemosisian informasi ‘korban selamat’ berada di kalimat (4 dan 5) dengan tidak mengedepankannya. Selain itu juga dipergunakan konstruksi pasif pada kalimat (5) untuk menyatakan ‘korban selamat’. Perhatikan wacana berikut. (3)Kecelakaan itu terjadi sekitar pukul 11.00 waktu setempat, 18 kilometer di sebelah utara Charleston di South Carolina, kata Xinhua, Rabu pagi. (4)Para pejabat Departemen Pertahanan AS telah mengkonfirmasi pilot jet tempur F-16 --yang datang dari Pangkalan Angkatan Udara Shaw, 160 kilometer di sebelah baratlaut Charleston-- selamat dengan cara melontarkan diri saat kecelakaan. (5)Pilot jet tempur F-16 tersebut telah diselamatkan setelah tabrakan itu, kata beberapa pejabat pertolongan setempat. (6) Mereka menambahkan saksi mata melaporkan jet tempur F-16 tersebut menabrak pesawat Cessna itu. [...] Bagian lain dari story 2 menginformasikan sebuah otoritas yang akan menangani kasus insiden pesawat militer ini. Informasi dibangun melalui tiga kalimat yang saling berelasi informasinya. Kalimat (7) berisi 135 rencana pertemuan antara dua otoritas yang akan menangani investigasi. Kalimat (8) menginformasikan tim penolong yang telah berhasil menemukan puing pesawat. Dilanjutkan oleh kalimat (9) yang mendukung kalimat (8) dengan menyampaikan saran tim penolong terhadap khalayak guna mendukung tugasnya. Relasi tiga kalimat tersebut lebih mengarah kepada keterkaitan informasi melalui penautan aktivitas aktor terhadap sasaran. Aktor yang ditampilkan pada kalimat (6) adalah tim penyelidik dan aktor kalimat (8 dan 9) adalah tim penolong. Kedua aktor tersebut menduduki fungsi subjek kalimat. Kalimat (8) berisi dua aktor dengan relasi setara yang ditunjukkan melalui konstruksi frasal berperangkai konjungsi dan. Aktor pada kalimat (8 dan 9) adalah sama, yaitu Tim Pertolongan Berkeley County. Relasi aktivitas oleh aktor yang sama terhadap sasaran (8 dan 9) ditandai melalui deiksis itu. Berikut adalah wacananya. [...] (7)Satu tim penyelidik dari Angkatan Udara AS dan seorang penyelidik NTSB dijadwalkan bertemu untuk memastikan penyebab kecelakaan tersebut.(8)Sementara itu, Tim Pertolongan Berkeley County mengatakan badan pesawat Cessna tersebut telah ditemukan dan pecahan pesawat bertebaran di satu sawah. (9)Tim itu mengeluarkan saran yang mengatakan setiap orang yang menemukan pecahan dari kecelakaan tersebut mesti segera menghubungi 911 untuk melaporkannya sehingga pecahan itu dapat dikumpulkan. [...] Ujung dari story dalam berita ini adalah informasi mengenai identifikasi pesawat tempur F-16. Pesawat F-16 digambarkan dalam paragraf yang berisi 2 kalimat. Kalimat-kalimat tersebut menceritakan secara kronologis keberadaan pesawat F-16 mulai dari tahun perencanaan, produksi, dan penggunaannya hingga kini. Berdasarkan informasi yang dikembangkan identifikasi pesawat ini mengarah kepada penguatan informasi pada story sebelumnya di mana telah dinyatakan bahwa pesawat F-16 yang telah menabrak pesawat Cessna. Dapat diinterpretasikan hal itu menunjukkan bingkai ‘kekuatan dan keandalan’ objek berita. Sebuah bingkai akan berhasil bila sesuai dengan pemikiran pembaca. Peristiwa bertabrakannya pesawat militer dengan pesawat sipil disampaikan media pada komponen story di akhir berita ini lebih 136 mengarahkan kepada pernyataan pengunggulan kekuatan sekaligus menunjukkan menggantungnya informasi peristiwa insiden dalam ketidakpastian penyebab dan tindak lanjutnya. Pada komponen ini menggantungnya informasi terjadi karena pernyataan dalam kalimat (9 dan 10) tidak relevan dengan lead dan story sebelumnya. Pada akhir story ini ada penonjolan informasi pesawat F-16 dibandingkan pesawat Cessna C-150. Juga, ada implikasi yang menunjukkan pesawat F-16 lebih hebat daripada Cessna C-150 dan mengesankan peristiwa insiden bukanlah sebuah kesalahan. Berikut adalah wacananya. [...] (9)Jet F-16 dirancang pada 1970 untuk Angkatan Udara AS sebagai pilihan dari pesawat tempur yang makin berat dan tak bisa bermanuver.(10) Sejak 1975, lebih dari 4.500 pesawat F-16 telah diproduksi untuk 26 negara di seluruh dunia. KESIMPULAN Berita insiden pesawat F-16 dengan Cessna menampilkan bingkai ‘korban tewas’ dan ‘korban selamat’ yang direalisasikan dengan penceritaan kondisi aktor insani pada subjek kalimat. Kalimat-kalimat dalam berita merupakan jalinan proposisi yang menunjukkan sisi kognitif awak berita dalam proses penyampaian informasi kepada pembaca. Objek berita insani, yaitu awak pesawat menjadi prioritas pemberitaan dibandingkan objek noninsani yang berupa pesawat. Berdasarkan kekerapan letak posisi pernyataan dalam kalimat menunjukkan ketidakberimbangan penonjolan objek berita noninsani yang terlibat dalam insiden dengan lebih menampilkan pesawat F-16 daripada Cessna C-150. 137 DAFTAR PUSTAKA Bell, Allan. 1991. The Language of News Media. Oxford: Basil Blackwell Ltd. Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama Entman, Robert M. 1991. “Symposium Framing US Coverage of International News: Contrast in Naratives of The KAI and Iran Air Accidents dalam Journal of Communication, Vol. 41 No. 4 Entman, Robert M. 1993. “Framing: Toward Clarification of Fragtured Paradigm” dalam Journal of Communication, Vol. 43 No. 4. Ramlan, M. 1993. Paragraf Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies: An Introductory Textbook. Amsterdam: John Benjamins B.V. Pan, Zhongdang dan Gerald M. Kosicki. 1993. “Framing Analysis: An Approach to News Discourse”dalam Political Communication, Volume 10, pp. 55-75. Stable URL: http://www.tandfonline.com/page/terms-andconditions van Dijk, Teun A. 1988. News as Discourse. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers Sumber data: www.antaranews.com . Rabu, 8 Juli 2015. “Dua Tewas dalam Tabrakan Pesawat F-16 dengan Pesawat Sipil” . Diedit oleh Fitri Supratiwi. Diakses pada tanggal 11 April 2018 138 HASIL DISKUSI SEMINAR Penanya: Azisda (UNJ Jakarta) Pertanyaan: 1) Apakah ada pengaruh ideologi surat kabar tersebut dengan penulisan beritanya?; 2) Bagaimana kesinambungan topik yang terjadi dalam pemberitaan insiden tersebut? Jawaban: 1) Ideologi surat kabar memang akan menentukan pemberitaan selain kognisi atau skema mental sebagaimana dalam penyampaian hasil penelitian ini. Ideologi media berpotensi mempengaruhi. Di sini saya melihat fakta mengenai insiden itu lebih mengarah kepada peliput berita apakah melihat secara langsung atau hanya menerima informasi dari sumber berita media lain. Seperti pada data yang saya pergunakan ini berita berasal dari kantor berita asing. Dan, ketika disiarkan kembali pasti juga sudah diterjemahkan juga oleh pihak media penerima berita. Jadi, perunutan ideologi cukup rumit di sini karena sudah berada di pihak pemberita kedua. 2) Kesinambungan topik jika diperhatikan dari sekuen informasi tersambung dengan bercabang-cabang. Maksud saya, tidak lurus menceritakan satu hal saja tetapi muncul hal-hal lain yang menyisip untuk (seakan) melengkapi informasi utama yang hendak disampaikan. Penanya: Bayu Aryanto (Mahasiswa S-3 IIH UGM) Pertanyaan: 3) Apakah berita insiden ini memiliki kekhasan tersendiri dalam suatu wacana berita? 3) Pemberitaan mengenai insiden ini disampaikan dalam strategi yang menarik untuk dicermati lebih lanjut sebelum bisa dikatakan sebagai berita yang khas terutama dalam peristiwa insiden yang melibatkan alutsista. Misalnya, dari media pemberitanya yang beragam bukan hanya dari media resmi. Dari situ nanti dapat dilihat keberagaman dan karakteristik pemberitaannya dibandingkan dengan topik-topik berita yang lain. 139 PENERJEMAHAN KESANTUNAN POSITIF TINDAK TUTUR DIREKTIF PADA NOVEL DECEPTION POINT Ayu Karomah Universitas Gadjah Mada, Indonesia Email: ayukaromah@gmail.com A B ST R A K Kesantunan adalah hal yang menarik untuk dikaji dai segi penerjemahan karena hal tersebut berkaitan dengan transmisi budaya. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bagaimana kesantunan positif tidak tutur direktif diterjemahkan dari novel berbahasa Inggris yang berjudul Deception Point ke dalam terjemahannya bahasa Indonesia dengan berjudul Titik Muslihat. Penelitian ini menerapkan teori dari Brown dan Levinson untuk menentukan strategi kesantunan positif. Selain iitu teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina dan Albir juga digunakan untuk mengetahui bagaimana langkah penerjemah menerjemahkan kesantunan tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif. Hasil dari analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerjemahan kesantunan positif ada yang mengalami pergesaan dan ada pula yang tidak. Pergeseran terjadi dari strategi kesantunan positif menjadi strategi kesantuan lugas atau bald on record. Kata Kunci: Penerjemahan Kesantunan, Kesantunan Positif, Deception Point PENGANTAR Penerjemahan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengalihkan pesan dari teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa) (Larson, 1984: 2). Dalam proses pengalihan pesan tersebut, faktor budaya baik dari budaya teks sumber maupun budaya teks sasaran selalu memiliki pengaruh. Dalam hal ini penguasaan penerjemah akan bagaimana penggunaan kedua bahasa tersebut menjadi faktor yang penting untuk dipertimbangkan demi tercapainya kesepadanan makna. Salah satu unsur budaya yang tercermin nyata dalam proses penerjemahan adalah 140 mengenai strategi kesantunan. Setiap masyarakat bahasa memiliki sistem kesantunan masing-masing. Kesantunan sendiri merupakan sebuah gejala budaya yang berkembang pada masyarakat. House mengungkapkan bahwa “ .. politeness is a sociocultural phenomenon, roughly to be defined as showing, or appearing to show, consideration of others. Politeness can thus be seen as one of the basic social guidelines for human interaction (dalam Hickey, 1998: 54). Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa kesantunan menjadi salah satu norma sosial yang menjadi pedoman manusia dalam berinteraksi terhadap sesama. Di samping itu, Brown dan Levinson mengungkapkan bahwa kesantunan merujuk pada muka atau citra diri dari setiap orang yang mana terdiri dari muka negatif dan juga muka positif. Muka negatif menunjukkan bahwa setiap orang menginginkan kebebasan bertindak. Sementara muka positif merupakan keinginan dari setiap individu untuk diterima dan dihargai oleh orang lain (1987: 61). Dalam penggunaan bahasa, terdapat tuturan yang secara alamiah dapat mengancam citra diri atau muka yang menurut Brown dan Levinson disebut dengan Face Threatening Act (FTA) atau tindakan yang dapat mengancam muka (Nadar: 29: 32). Faktor lain yang dapat mempengaruhi ancam muka adalah dari segi sosial seperti krkuasaan, jarak sosial, dan juga tingkat pembebanan (Brown dan Levinson, 1987: 74). Agar tuturan tersebut tidak mengancam muka, maka diperlukan strategi kesantunan berbahasa seperti kesantunan positif, kesantunan negatif, on record dan off record. Kajian mengenai penerjemahan, kemudian menjadi hal yang menarik untuk di kaji. Kesantunan yang merupakan bagian dari budaya yang melekat pada bahasa. Saat hal tesebut diterjemahkan ke dalam bahasa dengan budaya yang berbeda, apakah tingkat kesepadanan pesan atau informasinya sama atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Selvina (2016), Valensia (2014, dan Fitriana (2014) menunjukkan bahwa hasil penerjemahan kesantunan dengan teknik-teknik penerjemahan yang dilakukan memiliki tingkat keakuratan yang bervariasi dari akurat, kurang akurat sampai tidak akurat. Sementara itu Alvarez (2014) dalam penelitiannya menemukan adanya pergeseran strategi kesantunan positif menjadi negatif dan memiliki tingkat keakuratan pragmatik yang cukup berterima. 141 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kesantunan tuturan yang bersifat direktif dalam novel Deception Point di terjemahkan. Namun srategi kesantunan hanya terbaas pada kesantunan positif. Novel Deception Point merupakan novel berbahasa Inggris yang ditulis oleh Dan Brown yang berkebangsaan Amerika. Semantara itu, novel versi terjemahannya dipilih dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh IKAPI dengan judul Titik Muslihat. Kesantunan dalam hal tindak tutur dipilih sebagai objek kalian dikarenakan tuturan tersebut dapat mengancam citra diri seseorang. Menurut Parker dan Riley, tidak tutur direktif merupakan sebuah tuturan yang digunakan agar pendengar (hearer) melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pembicara (speaker) (2014: 32). Dengan kata lain, ketika seseorang ingin orang lain melakukan sesuatu, maka dia harus menyampaikannya dengan santun agar tidak merugikan orang lain dari segi citra diri. Untuk meneliti lebih lanjut bagaimana kesantunan dalam teks sumber diterjemahkan ke dalam teks sasaran, teknik penerjemahan di terapkan dalam penelitian ini. Menuurt Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan merupakan suatu prosedur yang dilakukan oleh penerjemahan untuk mencapai kesepadanan. Dengan mengetahui teknik yang diterapkan, dapat diketahui pula implikasi yang terjadi pada penerjemahan—apakah penerjemah cenederung menikuti budaya teks sumber atau teks sasaran. PEMBAHASAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana kesantunan positif tuturan direktif diterjemahkan dari novel deception point berbahasa inggris ke dalam terjemahannya dalam bahasa indonesia. untuk itu, dalam pembahasan ini di kategorikan berdasarkan hasil yang ditemukan setelah membandingkan antara teks asli dengan terjemahan. Kesantunan Positif Kesantunan Positif Setelah membandingkan antara kesantunan positif dalam novel asli dengan novel pada bahasa sasaran, hasil terjemahan menunjukkan bahwa strategi kesantunan masih sama antara keduanya meski terdapat penyesuaian-penyesuain dari segi peristilahan.  Ajakan data (1) 142 Tsu :.......... Corky said, taking the meteorite sample from Rachel “Let’s imagine this little fella is the size of a house.” [42] Tsa: :........... Corky sambil mengambil meteorit yang sedang dipegang Rachel. "Mari bayangkan kawan kecil kita ini dalam ukuran sebesar rumah." [112] Situasi yang terjadi dalam data (1) adalah ketika Corky sangat antusias ingin menunjukkan sampel meterorit kepada Rachel. Disini, Corky menerapkan strategi kesantunan positif yang di tandai dengan adanya pemarkah “let’s” sebagai identitas kelompok atau grup. Dalam hal ini Corky meminta Rachel untuk turut serta melakukan sesuatu yang dia inginkan namun dengan tidak mengancam citra diri Rachel sebagai pendengar. Selain itu, dari segi faktor sosial, antara Corky dan Rachel tidak terdapat jarak sosial yang jauh dan dari segi kekuasaan keduanya samasama bekerja di NASA atas arahan sang presiden. Sementara itu, dalam teks sasaran, penerjemah menerapkan teknik terjemahan harfiah unutuk menerjemahakan tuturan Coky kepada Rachel. Penanda kesantunan positif “let’s” diterjemahkan menjadi kata “mari”. Dengan menggunakan teknik tersebut, strategi kesantuntan tuturan direktif antara teks sumber dan teks sasaran tidak mengalami perubahan apapun. bentuk kalimat dalam tuturan Corky masih tergolong sederhana sehingga teknik penerjemahan literal atau harfiah masih sesuai digunakan—makna dari Tsu dapat tersampaikan dengan baik ke dalam Tsa. Memberi Saran  Data (2) Tsu :“Give it some time to sink in,” Tolland said, grinning. “Took me twenty-four hours to get my feet back under me.” [DP: 48) Tsa : "Beri dirimu waktu untuk mencernanya," kata Tolland sambil tersenyum. "Aku sendiri butuh 24 jam untuk menenangkan diri." [TM: 132] Kesantunan positif yang tertuang dalam tuturan direktif dapat dilihat dari ujaran pemberian saran atau suggestion dari penutur kepada lawan tutur. Dalam tuturan yang terdapat dalam data (2), konteks situasi menunjukkan Tolland memberi saran kepada Rachel terhadap keadaanya yang kaget sekaligus kagum mengenai penemuan meteorit di ruang kerja NASA. Tolland yang baru saja bertemu dengan Rachel memberi saran kepadanya untuk dapat menerima penemuan mencengankan tersebut. 143 Dalam hal ini, Tolland menggunakan strategi kesantunan positif dengan mencoba untuk berempati kepada Rachel dan juga menjelaskan situasi yang sama tejadi padanya. Kesantunan positif yang ada pada teks sumber masih diterjemahkan menjadi kesantuan positif juga dalam teks sasaran. Namun teknik yang digunakan untuk menerjemahkan kesantunan tersebut menggunakan teknik amplifikasi linguistik, transposisi, dan juga adaptasi. Teknik amplifikasi linguistik digunakan untuk menegaskan atau mengeskplisitkan informasi yang dalam bahasa sumbe tidak disebutkan. Hal tersebut dapat dilihat dari penerjemahan klausa “Give it some time to sink in,” dalam teks sumber tidak terdapat kata “you” yang berati kamu namun, dalam teks sasaran ditambahkan kata “dirimu” hingga menjadi “beri dirimu waktu untuk mencernanya ...”. Sementara, teknik tansposisi digunakan dalam menerjemahkan klausa “Took me twenty-four hours ..........” Dalam teks tersebut digunakan struktur pasif yang ditandai dengan kata “took me” kemudian dalam bahasa sasaran menjadi struktur aktif yakni "Aku sendiri butuh 24 ....”. Terakhir, untuk teknik adaptasi di pakai untuk menerjemahkan frasa “to get my feet back under me” menjadi “untuk dapat menenangkan diri”. Dari teknik-teknik yang digunakan oleh penerjemah, dalam hal ini penerjemah berupaya untuk dapat menyampaikan pesan dari teks sumber secara akurat ke dalam teks sasaran. Meskipun tidak ada perubahan strategi kesantunan dari teks sumber ke dalam teks sasaran, namun informasi yang di maskud dapat tersampaikan dengan baik dengan melakukan pendekatan melakukan adaptasi budaya dalam menerjemahkan makna idiomatis dari bahasa sumber. Permintaan  Data (3) Tsu :“Mike,” Corky said, looking uneasy, “please tell me you know what that is.” [DP:70] Tsa :”Mike” kata Corky dengan nada tidak tenang, "tolong katakan padaku, kau tahu apa itu." [TM: 188] Dalam data diatas, kesantunan positif ditujukan agar seseorang melakukan sesuatu namun dengan tidak memaksa atau mengancam muka si lawan tutur secara langsung. Situasi dalam data (3) menunjukkan bahwa Corky meminta Tolland untuk menjelaskan apa yang dia ketahui tentang perpendaran cahaya yang muncul diantara bongkahan es seperti Plankton. 144 Kemudian, Corky dengan sopan meminta Tolland untuk menjelaskan penyebab mengapa hal tersebut terjadi. Penanda kesantunan positif yang terdapat dalam data di atas ditunjukkan dengan adanya kata “please”. Kata tersebut digunakan untuk memperhalus tuturan permintaan kepada orang lain dan untuk menghilangkan kesan memaksa. Teknik untuk menerjemahkan kesantunan positif yang digunakan penerjemah adalah teknik literal, dimana kata “please” diterjemahkan menjadi “tolong” sesuai dengan konteks yang ada pada tuturan tersebut. Dengan teknik tersebut, tidak ada perubahan stategi kesantuanan antara teks sumber dengan teks sasaran. Kesantunan Positif Kesantunan Bald On Record Perbedaan antara kesantuanan positif dengan kesantunan lugas atau bald on record adalah dari segi upaya penyelamatan muka lawan tutur. Strategi kesantunan bald on record dilakukan ketika si pembicara atau penutur memutuskan untuk langsung mengatakan apa yang ingin dilakukan oleh pendengar atau mitra tutur tanpa adanya upaya penyelamatan muka.Sementara kesantunan positif digunakan untuk menyelamatkan muka lawan tutur. Ajakan  Data (4) Tsu “We should probably head over,” he said, motioning toward the center of the habisphere. “They should be getting close.” [DP: 51] Tsa : "Kita harus bergegas," katanya sambil menunjuk ke arah tengah-tengah habisphere. "Mereka pasti sudah bersiap-siap." [TM: 139] Dalam data diatas, tuturan tersebut tejadi dalam konteks ketika Tolland memberikan saran kepada rekan kerjanya yaitu Dr, Mangor, Rachel, dan Corky. Corky dan Dr, Mangor telihat mempermasalahkan kehidupan pribadi Rachel yang merupakan anak senato yang menjadi lawan presiden dimana Corky dan Dr. Mangor adalah orang yang dorekrut oleh presiden Henrey. Untuk mengatasi masalah yang terjadi, kemudian Tolland menyela dengan mengajak mereka semua menuju ke Hebisphere. Dalam teks sumber, kaakter Tolland menggunakan strategi kesantunan postif dengan menggunakan ajakan yang halus. Hal tersebut terlihat dari adanya penggunaan modalitas “should probably ....” yang menghadirkan makna tidak memaksa. Sementara dalam teks sasaran, 145 kesantunan positif tersebut diterjemahkan menjadi strategi kesantunan lugas atau bald on record. Hal tersebut di buktikan dengan adanya kata “harus” yang menghadirkan kesan memakna dari segi semantis. Untuk teknik penerjemahan yang digunakan disini menggunakan teknik amplifikasi linguistik dengan mengimplisitkan informasi dari bahasa sumber. Memberi Saran  data (5) Tsu: Corky chided. “Let’s leave the science to the scientists, shall we?” [44] Tsa: Corky menyergah. "Biarkan ilmu pengetahuan dijelaskan oleh ilmuwan yang sesungguhnya, ya?" [118] Dalam data (5), situasi menunjukkan bahwa Corky sedang menggurau kepada Tolland dengan memberi saran untuk tidak terlalu seirus mengurusi apa yang hal yang sedang di kerjakan. Dalam teks sumber, karakter Corky menggunakan strategi kesantunan positif namun dalam teks sasaran strategi berubah menjadi kesantunan bald on record atau kesantunan lugas.Dalam hal ini teknik penerjemahan yang digunakan adalah teknik reduksi dengan menghilangkan pemarkah “let’s” yang menjadi penanda kesantunan positif. Namun dari segi makna, tidak ada distorsi yang terjadi. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang dilakukan, strategi kesantunan yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam novel Deception Point dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia ada yang mengalami pergeseran dan ada pula yang tidak mengalami beberapa pergeseran. Pergeseran tersebut terlihat dari adanya perubahan strategi kesantuna positif menjadi bald on record dimana penerjemah menerapkan teknik reduksi. Disisi lain, terdapat pula strategi kesantunan yang sama, baik anatara teks sumber dengan teks sasaran, meskipun teknik penerjemahan yang dipakai beragam seperti penerjemahan literal, transposisi, dan adaptasi. Dalam hal ini, penerjemah dalam menerapkan teknik penerjemahan tidak banyak merubah tindak ilokusionari dari tindak tutur yang terdapat pada teks sumber. 146 DAFTAR PUSTAKA Brown, Dan. 2001. Deception Point. New York: Pocket Book Simonsays Inc. Brown, Dan. 2006. Deception Point (Titik Muslihat) (diterjemahkan oleh Isma B. Koesalamwardi dan hendry M. Tanaja. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Brown, P. amd Levinson, S. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Hickey, Leo. 1998. The Pragmatics of Translation. Philadelphia: Multilingual. Larson, Mildred L. 1984. Meaning Based Translation. New York: University Press of America, Inc. Molina, R and H. Albir. 2001. Translation Technique: A Dynamic ad Functionalist Aproach. meta Journal des Traducteurs/Meta: Translation’s Journal. 47 (4) 498-512. Molina, R and H. Albir. 2001. Translation Technique: A Dynamic ad Functionalist Aproach. meta Journal des Traducteurs/Meta: Translation’s Journal. 47 (4) 498-512. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Parker, Frank and Kathrin Riley. 2014. Linguistics for Non-Linguists: A Primer with Exercis 5 Editition. Singapore: Pearson Education South Asia Pte Ltd. Valensia, Ariana. 2014. “Analisis Strategi Kesantunan Tindak Tutur Permintaan dalam N ovel Breaking Dawn dan terjemahannya Awal yang baru”. Surakarta Universitas Sebelas Maret. Fitriana, Irta. 2014. “Analisis Teknik dan Kualitas Terjemahan Tindak Tutur Ekspresifdalam Novel Stealing Home (Hati yang Terenggut) karya Sherryl Woods. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Silviana, Anita. 2016. “Kajian Terjemahan Strategi Kesantunan Tuturan Desakan dalam Tiga Seri Novel Twilight Karya Stevanie Meyer. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. 147 Alvarez, Mira. 2014. “The Translation of Negative Politeness in Gracia Marquez’s Cien Años De Soledad. Forma y Función, vol. 27, núm. 1, enero-junio, 2014, pp. 109-126 Hasil Diskusi Seminar Bayu Aryanto: 1. 1. Apakah tindak tutur direktif hanya mengancam muka positif pembicara saja? Jawaban: Tidak, tuturan direktif juga bisa mengancam muka negatif lawan bicara. Muka negatif adalah keinginan untuk tidak di bebani. Jadi dalam hal ini, tindak tutur direktif dapat mengancam muka negatif. Misal, dalam tuturan memerintah atau meminta termasuk hal yang dapat mengancam muka negatif lawan bicara. Dalam hal ini, lawan bicara akan merasa terbebani jika langsung mengungkapkan tuturan direktif tersebut, sehingga sebagai upaya penyelamatan muka di gunakan stategi kesantunan negatif dengan cara mminta dengan tidak langsung atau dengan strategi lainnya. Kamalatul Hafidzoh 1. 2. Bagaimana tindakan ancam muka dapat berdampak pada melukai perasaan lawan tutur? Konsep muka menurut Brown and Levinson merujuk pada citra diri dari pembicara atau lawan tutur. Disini perasaan juga merupakan bagian dari citra diri, meski muka dapat menggambarkan atau mengekspresikan ketidaknyamanan ketika terbebani orang lain, namun perasaan lawa tutur juga merasa tidak nyaman atau terancam. Tuturan direktif seperti perintah yang di sampaikan secaa langsung dalam situasi tertentu dapat melukai perasaan lawan tutur seperti merasa dipermalukan atau merasa kurang dihargai. Melukai atau tidaknya perasaan seseorang karena suatu tuturan tergantung pada konteks situasi, dan si pembicara harus pandai menggunakan strategi kesantunan yang tepat. 148 PENGANCAMAN MUKA PADA REALISASI TUTURAN PUJIAN PEMBELAJAR BAHASA JEPANG Bayu Aryanto Universitas Gadjah Mada bayu.aryanto@dsn.dinus.ac.id Titin Dwi Anita Universitas Dian Nuswantoro ABSTRAK Ada dua masalah yang dibahas dalam penelitian ini yaitu, 1) realisasi tindak tutur pujian; dan 2) pengancaman muka yang muncul dalam tuturan pujian oleh pembelajar bahasa Jepang di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang. Metode pengumpulan data dilakukan melaluites melengkapi wacana dengan responden mahasiswa pembelajar bahasa Jepang di Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Data berupa jawaban responden terhadap empat konteks percakapan yang berbeda temanya sesuai dengan kategorisasi tuturan pujian. Pada penelitian ini konteks tersebut difokuskan pada hubungan atas-bawah sehingga keempat konteks tersebut menggambarkan hubungan asimetris antarpeserta tuturnya, yaitu hubungan mahasiswa (complimenter) dan dosen (complimentee). Salah satu temuan penelitian ini adalah strategi pujian bersifat langsung lebih dominan digunakan oleh mahasiswa.Hal tersebut berpotensi besar dalam pengancaman muka mitra tuturnya. Potensi pengancaman muka tersebut muncul karena dalam budaya Jepang, pujian terhadap superior umumnya dilakukan dengan sangat hati-hati, mulai dari sisi pragmalinguistiknya maupun sosiopragmatiknya. Simpulan yang diperoleh di antaranya adalah realisasi pujian responden pada empat konteks yang diberikan berwujud pujian langsung dan tidak langsung. Namun demikian, pujian langsung mendominasi tuturan pujian di setiap konteks percakapan sehingga banyak terjadi pengancaman muka terhadap mitra tutur yang berposisi sebagai orang yang dipuji. Temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dasar penelitian berikutnya tentang kegagalan pragmatik penutur asing bahasa Jepang khususnya di Indonesia pada tuturan pujian bahasa Jepang Kata kunci: tuturan pujian, isi pujian, wujud pujian, pengancaman muka 149 PENDAHULUAN Pujian merupakan sebuah pengakuan dan penghargaan tulus atas kebaikan (keunggulan) terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain (https://kbbi.web.id/puji). Holmes (via Matsuoka, 2001) memberikan analogi tuturan pujian merupakan sebuah “pelumas sosial” yang digunakan untuk memperoleh efek positif dalam hubungan antarindividu. Di dalam bahasa Jepang pujian biasa disebut dengan istilah ほめ 言葉 (Homekotoba). Di dalam kamus kokugojiten (https://www.weblio.jp/content/)pujian adalahtuturan yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang sangat mengagumkan atau sangat bagus.Pujian digunakan untuk merayakan atau mengucapkan selamat.’ Daikuhara (1986) memberikan simpulan dalam sebuah penelitiannya bahwa dalam bahasa Jepang, wujud verbal tuturan pujian didominasi kelas kata sifat oleh kelas kata sifat “ii” (bagus, baik), “sugoi” (luar biasa), “kirei” (cantik, bersih), “kawaii” (cantik). Ada juga adverbia “yoku” (sangat), dan nomina yang diikuti “~mitai” (seperti ...) Berikut beberapa contoh tuturan: 1. “Sono burausu ha iiwa.” (blousenya bagus ya) 2. A: (sedang bermain piano) B: “Sugoi” (luar biasa!) 3. “Yoku dekiteiru janai.” (kamu bisa kan?) 4. “Puro gurofu mitai!” (Wah, kamu seperti pemain golf profesional!) Apabila dikaitkan dengan teori muka Brown-Levinson (1996), Matsuoka (2001:107) membagi fungsi tuturan pujian menjadi 3 kategori, yaitu: 1. Pujian berperan sebagai sebuah tindak tutur afektif positif dengan memenuhi kebutuhan/ keinginan muka positif dan untuk meningkatkan hubungan solidaritas antarmanusia. 2. Pujian berlaku sebagai strategi kesantunan positif untuk memitigasi tindakan pengancaman muka. 3. Pujian bisa dianggap sebagai pengancam muka itu sendiri apabila dilihat dari keinginan pemenuhan kebutuhan muka positif penutur terhadap mitra tutur atau kepemilikan mitra tutur. Ada dua masalah yang hendak dijawab dalam paparan ini, yaitu (a) apa realisasi tindak tutur pujian pembelajar bahasa Jepang dan (b) bagaimana kemungkinan pengancaman muka yang muncul dalam tuturan pujian oleh pembelajar bahasa Jepang. 150 Holmes (1986:496) telah mengkategorisasikan pujian menjadi beberapa topik yaitu: 1. Kepemilikan barang (possesions compliment): Pujian ini diungkapkan saat mengagumi sesuatu yang dimiliki oleh mitra tutur. 2. Penampilan (appearance compliment): Kalimatpujiandiungkapkan ketikapenutur mengagumiataspenampilan berdasarkan apa yang dikenakan oleh mitra tutur. 3. Pujian terhadap kemampuan/prestasi (ability compliment): Pujian ini diucapkan ketika penutur mengagumi keahlian atau,prestasi yang pernah diraih oleh mitra tutur. 4. Kepribadian atau keramahan (personality/ friendliness) Pujian diungkapkan ketika penutur mengagumi kepribadian mitratutur atau sikap petutur yang baik dan ramah. Pujian ini mengacu padasikap atau kepribadian dari mitra tutur. Yuan (2002:192) berpendapat bahwa wujud pujian dapat dikategorisasikan ke dalam dua kelompok, yaitu formula semantikyang tidak terikat dan formula semantik yang terikat. Formula semantik yang tidak terikat terbagi menjadi dua kategori yaitu pujian eksplisit dan pujian implisit. Pujian yang bersifat eksplisit secara umum diarahkan kepada individu yang dituju secara jelas. Pujian ini disebut juga sebagai pujian langsung. Dalam pujian implisit individu yang dituju tidak disebutkan secara langsung dalam tuturan, namun makna pujian diberikan secara jelas tentang suatu konteks tertentu. Dalam formula semantik yang terikat, jika seseorang mengatakan “Baju yang bagus. Dimanakah Anda membeli baju itu?”, maka tuturan “Dimanakah Anda membeli baju itu?” tersebut dapat diartikan sebagai ‘penanda implisit’ wujud pujian yang disertai dengan wujud pujian secara langsung yaitu “baju yang bagus”. Huang dan Tseng (2014:26) membuat kategori wujud pujian tidak langsung dibagi menjadi 14 kategori, yaitu: 1. Admiration: menunjukan rasa kagum dari penutur. 2. Assumption: ekspresi dari sebuah asumsi positif dari penutur. 3. Contras: membandingkan adanya perbedaan kualitas baik mitra tutur. 4. Evaluation: memberikan evaluasi positif terhadap terkait dengan mitra tutur. 5. Explanation: memberikan keterangan baik terhadap sesuatu yang terkait mitra tutur. 151 6. Joke: mengekspresikan maksud positif dari penutur dengan cara bercanda. 7. Request: mengekspresikan sebuah permintaan terhadap mitra tutur. 8. Want Statement: mengekspresikan keinginan, harapan, ataupun ketertarikan penutur. 9. Appreciation: ungkapan pengakuan atas kontribusi yangtelahdilakukanolehmitra tutur. 10. Future expectation: penutur berharap atas ketrampilan/bakat darimitratutur. 11. Knowing: penutur memberitahukan kepercayaannya bahwa mitra tuturdapatmelakukan pekerjaan yang menakjubkan. 12. Pleasing: penutur mendukung kinerja dari mitra tutur. 13. Reward offering: penutur menyatakan bahwa mitra tutur berhak mendapat penghargaan. 14. Surprise: Penutur memperlihatkan keterkejutannya terhadap kemampuan/prestasi/penampilandarimitra tutur. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Tes melengkapi wacanatertulis (written discourse completion test) digunakan sebagai teknik untuk pengumpulan data. Ada 4 konteks berdasarkan isi pujian yang berbeda, yaitu pujian terhadap penampilan, kepemilikan, kemapuan (ability), dan perilaku. Responden diposisikan sebagai mahasiswa yang memuji dosennya, sehingga hubungannya bersifat asimetris. Konteks tersebut diberikan kepada responden mahasiswa pembelajar bahasa Jepang di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang dengan kriteria 1) belum pernah pergi ke Jepang lebih dari 2 bulan; 2) sudah menyelesaikan bahasa Jepang dasar. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan berdasar wujud gramatikalnya (pujian langsung atau tak langsung, terikat atau tidak terikat), dan dikelompokkan juga berdasar jenis pengancaman muka (pengancaman muka positif atau negatif baik penutur maupun mitra tuturnya) PEMBAHASAN Dari analisis data, diperoleh dua kategori pujian yaitu pujian tidak terikat dan pujian terikat. Pada bagian pujian tidak terikat ditemukan tuturan pujian yang diucapkan langsung dan tidak langsung, sedangkan realisasi pujian terikat terdiri dari kombinasi pujian langsung dan tidak 152 langsung dengan menggunakan wujud yang berbeda. Berikut beberapa contoh analisis. Pujian Tidak Terikat - langsung terhadap kepemilikan barang Konteks: Pada saat belanja di supermarket, kamu bertemu dengan dosenmu. Dan dia mengenakan sepatu baru yang menurutmu cocok dan bagus. Apa yang akan kamu katakan: 5) “Sensei kono kutsu wa suteki desu ne.” ‘Sepatunya sensei bagus.’ Kata “suteki” (bagus, keren) merupakan kata sifat yang dapat dikategorikan sebagai realisasi evaluasi positif terhadap mitra tutur. Pujian Tidak terikat - tidak langsung terhadap kepemilikan barang 6) “Watashi wa sensei no kutsu mitai wo kaitai desu.” ‘Saya ingin beli sepatu seperti punya Bapak/Ibu.’ Pada tuturan (6) termasuk pujian, namun diucapkan secara tidak langsung karena tidak terdapat penanda semantik positifnya. Pujian tersebut dituturkan dengan menggunakan wujud want statement yang dapat dilihat pada kata “kaitai” (ingin membeli). Secara tidak langsung, penutur memberikan pujian bahwa sepatu yang dikenakan oleh mitra tutur adalah sepatu yang bagus. Pujian Terikat – Langsung dan Tak Langsung Berwujud Request 7a) “Sensei, kono kutsu mezurashii desu ne.” 7b) “Doko de kaimashita ka.” ‘Sepatunya unik ya Pak/Bu?” ‘Beli dimana?’ Tuturan (7a) diucapkan secara langsung oleh penutur karena adanya wujud evaluatif yang positif yaitu “mezurashii”. Penutur mengungkapkan kekaguman terhadap sepatu dari mitra tutur yang dinilai unik. Tuturan (7b) dikategorikan sebagai tuturan pujian tidak langsung dengan wujud request atau permintaan yang direalisasikan pertanyaan “Doko de kaimashita ka”. Penutur merasa tertarik terhadap sepatu tersebut, kemudian penutur bertanya kepada mitra tutur dan penutur berharap akan diberitahu tentang keberadaan toko sepatu oleh mitra tutur. Pujian Terikat –Tidak Langsung Berwujud Surprise Dan Direct (8a) “Aa... atarashii kutsu desu ka.” (8b) “Aa... Akai iro kutsu wa totemo subarashii desu ne.” 153 ‘Wah....Apakah sepatunya baru?’ ‘wah...Sepatu merah yang sangat luar biasa. ‘ Dalam data (8a) dan (8b) muncul kata “atarashii” dan “subarashii” yang dapat dikategorikan sebagai fitur gramatikal sebuah pujian. Pada (8a) terdapat interjeksi “aa...” sebagai ekspresi keterkejutan yang diikuti pertanyaan retorik “atarashii kutsu desu ka”, sedangkan data (8b) pujian diucapkan secara langsung, karena terdapat penanda evaluatif positif terhadap topik pujian yaitu “subarashii”. Pengancaman muka Dari identifikasi data, peneliti membagi lima kategori skala pengancaman muka mulai dari ‘very low’ (potensi pengancaman muka dinilai sangat rendah) sampai ‘very high’ (potensi pengancaman muka sangat tinggi)di setiap konteks tuturan. Kemudian, ditemukan fakta bahwa tuturan pujian terjadap perilaku individu menempati posisi tertinggi pengancaman muka mitra tutur. Berikut tabel very low 4 very low penampilan, 4 28 data very low kemampuan, 29 data 4 perilaku personal, very low 2 26 data kepemilikan, 28 data low 10 low 8 low 2 low 3 medium 4 middle 1 middle 6 middle 0 high 2 high 5 high 5 high 3 very high 8 very high 10 very high 12 very high 18 Berikut beberapa contoh data tuturan dengan konteks pujian kepemilikan dan pujian penampilan.Konteks: Pada saat belanja di supermarket, kamu bertemu dengan dosenmu. Dosen tersebut mengenakan sepatu baru. Apa yang akan kamu katakan: 9) “Sensei, sono kutsu wa ni atte, totemo sugee.” (very high) ‘Pak, sepatu itu cocok (dengan Bapak), sangat keren.’ Tuturan (9) dikategorikan sebagai tuturan pujian dengan dua ilokusi, yaitu pujian langsung terhadap sepatu guru “sono kutsu wa ni atte” (sepatu itu cocok dengan Bapak), dan pujian langsung terhadap guru “totemosugee” (sangat keren). Potensi pengancaman muka pada tuturan 154 (9) tersebut menjadi sangat mengancam muka karena ada ungkapan ‘sugee’ (keren) yang merupakan ragam sangat kasual yang biasanya digunakan terhadap orang yang punya hubungan dekat dan tidak ada perbedaan status hirarki. Konteks: Ketika kamu akan pulang ke rumah, di tengah jalan kamu bertemu dengan dosenmu dengan gaya rambut yang berbeda dari biasanya. Apa yang akan kamu katakan 10) “Kyou wa ... aa kami kamigata wo kaetandeshita ne. Kinou yori motto utsukushii desu.” ‘Hari ini gaya rambut (Ibu guru) berubah ya. Lebih cantik dari kemarin.’ Tuturan (10) termasuk ke dalam tuturan pujian terikat tidak langsung “aa kami kamigata wo kaetandeshita ne” (Hari ini gaya rambut (Ibu guru) berubah ya) dan langsung “Kinou yori motto utsukushii desu” (Lebih cantik dari kemarin). Tuturan (10) dikategorikan ke dalam berpotensi tinggi mengancam muka mitra tutur karena pada tuturan pujian langsungnya bermakna membandingkan penampilan mitra tutur yang berstatus lebih tinggi daripada penutur. SIMPULAN Realisasi tuturan pujian responden beruwujud tuturan pujian tidak terikat dan tidak terikat. Untuk pujian tidak terikat, muncul dua kategori yaitu tuturan pujian langsung dan pujian tidak langsung. Di sisi lain, tuturan pujian terikat, terdiri dari kombinasi tuturan pujian langsung dan tidak langsung yang menghasilkan beberapa kategori misalnya ‘want statement’, ‘apreciation’, dll. Kemudian, apabila dilihat dari pengancaman muka, peneliti memberikan lima peringkat derajat pengancaman muka mulai dari ‘very low’ (pengancaman muka sangat rendah) hingga ‘very high’ (pengancaman muka sangat tinggi). Responden tampak mengalami kesulitan dalam konteks memuji perilaku mitra tuturnya. Hal tersebut terlihat dari data bahwa intensitas tertinggi tuturan yang berkategori pengancaman muka sangat tinggi, muncul pada konteks pujian terhadap perilaku/ sifat mitra tutur. Tuturan pujian yang masuk ke dalam kategori ‘very high’ dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok penyebab, yaitu kesalahan gramatikal dan kegagalan sosiopragmatik. Meskipun demikian, kesalahan 155 gramatikal pada akhirnya berpeluang munculnya kegagalan pragmatik tuturan responden. Diharapkan pada penelitian berikutnya dapat dicari lebih komprehensif terhadap faktor penyebab munculnya kesalahan gramatikal dan kegagalan pragmatik (pragmatic failure) tuturan pujian bahasa Jepang oleh penutur asing, terutama orang Indonesia. PUSTAKA Brown, Penelope; Levinson Stephen C. 1996. Politeness Some Universals in Language Usage. USA: Cambridge University Press. Daikuhara, Midori. 1986. A Study of Compliments Fom a Cross-Cultural Perspective: Japanese vs. American English. Working papers in Educational Linguistics. Vol 2 No 2, pp. 103-133. Holmes, Janet. 1986. “Compliments and Compliment Responses in New ZealandEnglish” dalam: Anthropological Linguistics, Vol. 28, No. 4 (Winter, 1986), pp. 485-508. Indiana: The Trustees of Indiana University on behalf ofAnthropological Linguistics. Huang, Yi-Chi,dan Ming-Yu Tseng. (2014). Compliment Paying Wujudes InTaiwan Mandarin: The Role Of Interlocutor’s Status. Master Thesis. Tidakditerbitkan. National Sun Yat-sen University. Matsuoka, Rieko. 2001. Gender Effect on Compliment Exchange. Kanagawa University Studies in Language 24, pp. 105-121. Yuan, Yi. (2002). Compliments andCompliment Responses In Kunming Chinese. Journal of International Pragmatics Association. Pragmatics 12:2.183-226 KBBI online https://kbbi.web.id/puji Kokugojiten on linehttps://www.weblio.jp/content/ 156 HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Prof. Putu Wijana (Ketua Progdi Magister Linguistik UGM) Dalam peneilitian terkait tuturan pujian perlu juga mempertimbangkan sincerity condition, yaitu sikap kejujuran dari penutur. Tanggapan: Sincerity condition memang sangat diperlukan dalam penelitian tindak tutur, termasuk tuturan pujian. Hal ini bisa dimaklumi karena bisa saja penutur punya motivasi lain saat menuturkan pujian, misalnya untuk mengkritik atau bahkan menghina. Untuk menghindari motif-motif lain tersebut, maka penelitian ini menggunakan tes melengkapi wacana-tulis sehingga sincerity condition-nya dianggap sebagai pujian yang bermotif memberikan penilaian baik terhadap mitra tutur. 2. Sdr. Zaki (Progdi Magister Linguistik UGM): a. Apakah dalam budaya Jepang ada cara untuk memuji orang yang lebih superior (lebih tua, atasan)? b. Kalau ada, bagimana cara atau realisasinya? Tanggapan: Dalam budaya Jepang, memuji orang yang lebih superior (orang yang lebih tua, atasan, guru/ dosen) itu ada strateginya. Orang Jepang lebih sering menggunakan pujian tidak langsung dengan menempatkan penutur sebagai subjeknya. Contoh: ketika seorang mahasiswa ingin memberikan pujian terhadap cara pengajaran dosennya yang menarik, dalam budaya Jepang, mahasiswa tersebut umumnya menggukanan tuturan “Sensei, watashi ha kyou hontouni benkyou nin narimashita” (Pak/ Bu, hari ini saya banyak belajar (dari kuliah Bapak/ Ibu dosen). Dengan demikian, secara eksplisit tidak muncul pujian terhadap dosen, malah sebaliknya, penuturlah yang dijadikan topik tuturannya. 157 STUDI TERJEMAHAN TENTANG KATA GANTI ORANG “SHE” DALAM TERJEMAHAN BAHASA MANDARIN ALICE’S ADVENTURES IN WONDERLAND Dai Wenhui Universitas Gadjah Mada, Indonesia Email: 365499392@qq.com A B S T R A K Kebanyakan komunitas linguistik selalu mementingkan studi kata ganti orang, dan menjadikan studi kata ganti orang menjadi salah satu isu penelitian. Frekuensi penggunaan kata ganti orang dalam bahasa Inggris asli jauh lebih tinggi daripada bahasa Mandarin asli. Alasan utama untuk perbedaan sistematis antara kata ganti orang bahasa Inggris dan bahasa Mandarin adalah bahwa bahasa Inggris dan bahasa Mandarin memiliki metode koneksi yang berbeda untuk mencapai kelancaran dan koherensi dalam teks masing-masing. Data dalam penelitian ini adalah kata ganti orang “she” yang mengandung “she” dalam teks sumber dan terjemahanya dengan bahasa Mandarin. Data dikumpulkan dengan mencari kalimat yang ada kata ganti orang “she” dalam teks sumber dan mencari terjemahan “she” yang sesuai dalam teks sasarannya. Makalah ini akan menggunakan metode deskriptif dan metode komparatif untuk menjelaskan bagaimana kata ganti orang “she” diterjemahkan dalam terjemahannya dengan bahasa Mandarin dari teks sumber bahasa Inggris Alice’s Adventures in Wonderland. Makalah ini terutama fokus pada tiga kategori konversi yang ketika kata ganti orang bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin untuk mendeskriptif dan menjelaskan mengapa kata ganti orang “she” bisa diterjemahkan begitu di dalam terjemahan bahsa Mandarin, yaitu korespondensi, penghilangan dan substitusi. Kata kunci: kata ganti orang, “she”, terjemahan 158 PENDAHULUAN Kata ganti orang adalah komponen bahasa yang penting dalam komunikasi bahasa, dan mereka memiliki peran yang tidak bisa diganti dengan komponen bahasa lain. Kata ganti orang dalam bahasa Inggris dan bahasa Mandarin memiliki persamaan, juga ada banyak perbedaan. Hypotaxis dan parataxis termasuk fenomena linguistik yang sangat penting dalam kategori linguistik, fenomena linguistik ini berada secara luas antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Bahasa Inggris adalah bahasa hypotaxis, sedangkan bahasa Mandarin adalah bahasa parataxis, setahu kita, bahasa Inggris sering menggunakan kata fungsional tata bahasa untuk menekankan bentuk kalimat, seperti konjungsi, pronomina, sedangkan bahasa Mandarin cenderung arti kalimatnya. Kata ganti orang "she" adalah kata yang sering digunakan dalam bahasa Inggris, sehingga kita dapat menggunakan kata ganti khas "she" untuk mengenal bahwa bagaimana kata ganti orang Inggris diterjemahkan dalam terjemahan yang dengan bahasa Mandarin. Terjemahan kata ganti orang ketiga dalam bahasa Inggris telah menarik banyak perhatian sarjana dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, beberapa penelitian sebelumnya hanya fokus pada deskripsi perbedaan antara kata ganti orang Inggris dan Mandarin, atau menunjukan bahwa harus sedapat mungkin diulang nomina ketika kata ganti orang ketiga dalam bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, dan tidak menggabungkan terjemahan khusus untuk menjelaskan rasionalisasi dan kebutuhan dalam metode pelaksanaan ini. Misalnya, ① Makalah ini dari aspek anafora dan katafora untuk membahas perbedaan fungsi anatra kata ganti orang Inggris dan kata ganti orang Mandarin dalam wacana (Zhaohong, 2002). ②Artikel ini mempelajari beberapa perbedaan dalam kata ganti orang ketiga antara terjemahan bahasa Inggris dan terjemahan bahasa Mandarin (Zhouxia, 2010). ③Dari perspektif fungsi kognitif, penelitian ini menganalisis fenomena kata ganti orang ketiga yang disebut dalam teks naratif bahasa Inggris dan Mandarin dengan komparatif (Gaojun, 2008). Penelitian kali ini akan mengambil kata ganti orang khas “she” sebagai objek untuk rinci menjelaskan bahwa mengapa dapat diterjemahkan dengan bentuk korespondensi, penghilangan dan substitusi dalam bahasa Mandarin. 159 Teks Alice’s Adventures in Wonderland fokus pada Alice, teks ini terutama menjelaskan bahwa seorang gadis muda tertidur di rumput dan bermimpi bahwa dia akan mengikuti kelinci putih dan jatuh ke lubang kelinci. Dia memiliki banyak petualangan yang aneh. Dalam teks Alice’s Adventures in Wonderland ada banyak kata ganti orang “she”, sehingga dapat sebagai kasus yang baik untuk meneliti bahwa bagaimana diterjemahkan dalam terjemahan bahasa Mandarin, penelitian ini akan memilih beberapa contoh khas untuk meneliti dan menjelaskan metode penerjemahannya. Rumusan Masalah Bagaimana kata ganti orang “she” terjemahannya dengan bahasa Mandarin? diterjemahkan dalam LANDASAN TEORI Terjemahan "Terjemahan berarti membuat pembaca paham dan pemahaman." (Traduire, c’est comprendre et faire comprender). Pemahaman di sini termasuk perilaku dan proses pemahaman penerjemah pada teks asli, "membuat pembaca paham" merujukan perilaku dan proses yang diekspresikan oleh penerjemah. Meskipun keduanya fokus arah yang beda, masih berinteraksi dan berpengaruh satu sama lain. Oleh karena itu, mengeksplorasi makna "pemahaman" dan " membuat pembaca paham " telah menjadi konten utama dari proses penerjemahan sastra. Dalam penelitian ini berarti kata ganti orang “she” dan terjemahannya harus dipahami oleh penerjemah serta penerjemah harus menerjemahkan “she” dengan jelas sehingga pembaca jelas mengerti terjemahan dan alasannya. Terjemahan mengacu pada menggunakan bahasa kesetaraan yang paling dekat dan alami untuk mengekspresikan informasi bahasa sumber dari aspek semantik dan gayanya dalam bahasa sasaran, yaitu kesetaraan fungsional dan kesetaraan dinamis (Nida, Amerika, 1964:192). Terjemahan adalah proses komunikasi dan alat komunikasi antara dua bahasa masyarakat, tujuannya adalah mempromosikan kemajuan politik, ekonomi dan budaya. Tugasnya adalah ditransfer dengan tanpa mengubah artinya dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dalam penelitian ini berarti 160 menerjemahkan kata ganti orang “she” secara kesetaraan dengan tanpa mengubah artinya dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Penerjemahan adalah proses yang mengganti kata-kata dari suatu bahasa (Bsu) ke bahasa lain (BSa) ( Catford, 1965:1). Dalam penelitian ini seperti kata ganti orang “she” diterjemahkan sebagai “ta” dalam bahasa Mandarin. Pronomina Pronomina merujuk pada kata benda yang mewakili seseorang sering bisa diganti dengan kata yang tertentu (Chaer, 1998: 91). Dalam penelitian ini “ziji ” mewakili kata ganti orang “ta” dalam bahasa Mandarin. Pronomina persona adalah pronomina yang dapat dipakai unuk mengacu pada orang (Alwi, dkk., 2003: 249). Dalam penelitian ini kata ganti orang “she” mengacu pada Alice. METODE Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis bahwa kata ganti orang “she” bagaimana diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Mandarin, yaitu menganalisis dan menjelaskan metode dan strategi penerjemahannya. Sumber data diperoleh dari buku sastra bahasa Inggris Alice’s Adventures in Wonderland dan buku sastra bahasa Mandarin Alisi mengyou xianjing, sumber data digunakan untuk mencari data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data dalam penelitian ini adalah kata ganti orang “she” yang mengandung “she” dalam teks sumber dan terjemahanya dengan bahasa Mandarin. Teknik pengumpulan data adalah mencari kalimat yang ada kata ganti orang “she” dalam teks sumber dan mencari terjemahan “she” yang sesuai dalam teks sasarannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan komparatif. Makalah ini akan merangkum dan menjelaskan kata ganti orang “she” bagaimana diterjemahkan ke bahasa Mandarin. 161 HASIL DAN DISKUSI Bahasa Inggris adalah bahasa hypotaxis dan cenderung menggunakan kata-kata fungsi gramatikal / partikel, sedangkan bahasa Mandarin adalah bahasa parataxis yang mementingkan koherensi kontekstual dan cenderung jarang menggunakan kata-kata fungsi gramatikal / partikel. Oleh karena itu, bahasa Inggris cenderung menggunakan kata ganti orang, sedangkan bahasa Mandarin cenderung jarang menggunakan kata ganti orang. Dalam teks sumber Alice’s Adventures in Wonderland lebih banyak menggunakan kata ganti orang ketiga daripada teks terjemahannya yang dengan bahasa Mandarin. Apa situasi spesifiknya? Bagaimana “she” diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin dalam novel Alice’s Adventures in Wonderland? Ketika kata ganti orang Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, jenis-jenis konversi dapat dibagi menjadi tiga kategori: korespondensi, penghilangan dan substitusi, tetapi mengapa kita bisa menerjemahkan kata ganti orang dengan metode dan strategi seperti ini? Kita akan membahasnya dalam contoh berikut. ( kata ganti orang “she” dan terjemahannya ditanda dengan miring plus hitam) ①Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : Alice was beginning to get very tired of sitting by her sister on the bank, and of having nothing to do: once or twice she had peeped into the book her sister was reading. Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Ailisi kaozhe jiejie zuozai heanbian henjiule, youyu meiyou shenme shiqing kezuo, ta kaishi gandao yanjuan, ta yici youyici de qiaoqiao jiejie zhengzai du de nabenshu. Dari contoh diatas dapat lihat bahwa kata ganti orang “she” diterjemahkan sebagai “ta”, “ta” adalah kata ganti orang ketiga dalam bahasa Mandarin, maka terjemahan ini secara langsung menerjemahan kata ganti orang, tidak diganti dengan kata yang lain atau dihilangkan. Metode yang digunakan dalam terjemahan kata ganti orang “she” termasuk metode korespondensi. Dalam kalimat ini ada dua tokoh, yaitu Alice dan kakaknya, tapi kakaknya tidak ada namanya, cuma ditungjukan sebagai kakak Alice, jadi hubungan orang jelas, kalau dalam terjemahannya secara langsung menerjemahkan kata ganti orang yang korespondensi akan sehingga kalimat dalam terjemahannya tidak kacau, kata ganti orang “she” sebagai nominatif dalam kalimat sumber, menggunakan metode korespondensi sesuai dengan bentuk nominatif 162 kata ganti orang pada terjemahan, sementara mencapai foreignisasi sehingga memelihara ekspresi teks asli dengan baik. ② Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : In another moment down went Alice after it, never once considering how in the world she was to get out again. Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Ailisi ye jingenzhe tiaole jinqu, (penghilangan) genben mei kaolv zenme zaichulai. ③ Bahasa sumber ( bahasa Inggris) : The rabbit-hole went straight on like a tunnel for some way, and then dipped suddenly down, so suddenly that Alice had not a moment to think about stopping herself before she found herself falling down a very deep well. Bahasa sasaran (bahasa Mandarin) : Zhege tuzidong kaishi xiang zoulang, bizhide xiangqian, houlai jiu turan xiangxia le, Ailisi haimeiyou laideji zhanzhu, ( penghilangan) jiu diaojinle yige shenjingli. Dari contoh diatas dapat lihat bahwa metode yang digunakan dalam terjemahan kata ganti orang “she” termasuk metode penghilangan, dalam kalimat bahasa sumber, kata ganti “she” mengganti nama Alice, tapi dalam kalimat terjemahannya sudah dihilangkan, dalam kalimat ini hanya ada satu pelaku, tidak usah ulang nama atau kata ganti orangnya, Alice sebagai pelaku dan tidak ada tokoh yang lain, maka tidak usah ulang menekankan pelaku Alice. Kalau lebih menekankan pelaku Alice akan sehingga yang ditunjukan tidak jelas dan kalimat menjadi rumit, bahkan tidak memudahkan pembaca memahami artinya. Metode ini sesuai dengan kebiasaan ekspresi bahasa Mandarin, dan menghilangkan kata yang ulang dapat membuat terjemahan lebih sederhana dan jelas, sementara mencapai domestikasi. ④ Bahasa sumber (bahasa Inggris) : and when she went back to the table for it, she found she could not possibly reach it. Bahasa sasaran ( bahasa Mandarin) : (penghilangan) zai huidao zhuozi qian zhunbei zaina de shihou, (penghilangan) que faxian ziji yijing goubuzhao yaoshi. Dari contoh diatas bisa lihat bahwa dalam kalimat bahasa sumber muncul tiga kata ganti orang “she”, tapi dalam kalimat terjemahannya 163 belum secara langsung diterjemahkan sebagai kata ganti orang ketiga, sedangkan diganti dengan kata yang lain atau dihilangkan. “She” diterjemahkan sebagai kata “ziji” adalah metode substitusi. Dalam kalimat bahasa sumber terus menerus menggunakan tiga kali kata ganti orang “she”, kalau langsung diterjemahkan ke bahasa Mandarin akan sehingga kalimat rumit dan kacau, juga tidak sesuai dengan kebiasaan ekspresi bahasa Mandarin, serta lebih menekankan foreignisasi akan membuat pembaca susah paham arti terjemahan. Terus menerus menggunakan kata ganti orang “she”, kalau “she” yang tersebut hanya merujukan satu orang, tidak usah ulang menggunakan kata yang sama untuk menekankan kata itu, kalau begitu terkadang akan menghingga kalimat tidak fasih. Kalau selalu menghilangkan nama pelaku akan menjadi kaliamt tidak ada subjek, sedangakan menggunakan metode substitusi akan menjadi ekspresi kalimat lebih menarik dan jelas pelakunya. KESIMPULAN Korespondensi, penghilangan dan substitusi adalah metode dan strategi penerjemahan pada kata ganti orang Inggris diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Karena bahasa Mandarin menekankan parataxis serta arti kalimat sederhana dan jelas, sehingga jarang secara langsung menerjemahkan kata ganti orang Inggris, dan sering diganti dengan kata yang lain atau dihilangkan untuk membuat kalimat sesuai dengan kebiasaan ekspresi kalimat bahasa Mandarin. Yang harus diperhatikan adalah bahwa menghindari penggunaan kata ganti orang secara terus menerus, kalau terus menerus menggunakan kata ganti orang akan menyebabkan kebingungan kalimat ketika diterjemahkan ke bahasa Mandarin. Untuk membuat terjemahan lebih dipenuhi artinya dan untuk memudahkan pembaca memahami arti terjemahan harus mengikuti teori domestikasi, ketika menerjemahkan bahasa Inggris ke bahasa Mandarin harus mengikuti ekspresi Mandarin, yaitu dalam terjemahan kata ganti orang lebih disarankan menggunakan metode penghilangan dan substitusi. 164 DAFTAR PUSTAKA Charles Lutwidge Dodgson. 1865. Alice’s Adventures in Wonderland. Zhang Xiaolu. 2014.3.1. Alisi mengyou xianjing. Chen Qiujin, Richard B Baldauf. 2005. Yinghan Huyi Lilun yu Shijian. Eugene A Nida, Charles R Taber. 2004. The theory and practice of translation. Nida. 1964. E. Toward a science of translating. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. Catford. 1965. J. A. A. Linguistic theory of translation. London: Oxford University Press. HallidayM.A.K.&HasanR. 1976. Cohesion in English, Longman, London. Leech,G.& Svartvik, J. 1974. A Communicative Grammar of English, Longman, London. Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Alwi, Hasan, Dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai Pustaka. HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Mengapa hilang/digantikan dengan kata lain? (Bapak Sailal) Dalam satu kalimat kalau hanya muncul satu pelaku, tidak usah ulang menekankan namanya atau kata ganti orangnya, ini sesuai dengan kebiasaan ekspresi bahasa Mandarin, dari contoh di atas dapat lihat bahwa dalam kalimat itu hanya ada satu pelaku, tidak usah ulang nama atau kata ganti orangnya, menghilangkan kata yang ulang dapat membuat terjemahan lebih sederhana dan jelas, sementara mencapai domestikasi. 2. Apa tujuan khusus? (Bapak Antonio) 165 Khusus untuk menjelaskan bahwa bagaimana kata ganti orang “she” diterjemahkan dalam bahasa Mandarin. Karena bahasa Inggris adalah bahasa hypotaxis, bahasa Mandarin adalah bahasa parataxis, jadi penggunaan kata ganti orang sangat berbeda. 3. Dijelaskan lagi karakter pronomina “she” dalam bahasa Inggris dan bahasa Mandarin, mengenai perbedaan penggunaannya dalam kalimat. ( saran, Nurul Pratiwi) 166 “THE DUKUN” : PENERJEMAHAN KATA-KATA BUDAYA DALAM NOVEL TERJEMAHAN CANTIK ITU LUKA Dini Luthfiani Ilmu Linguistik UGM diniluthfiani64@gmail.com ABSTRAK Salah satu kendala penerjemah ialah menerjemahkan kata-kata budaya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan budaya antara Bahasa Sumber (Bsu) dengan Bahasa Sasaran (Bsa). Apabila keliru menerjemahkan, makna dari Bsu dapat berubah. Kajian mengenai katakata budaya di novel Bahasa Indonesia yang diterjemahkan ke Bahasa Inggris masih terbatas. Penelitian-penelitian sebelumnya lebih berfokus pada penerjemahan novel asing. Berangkat dari sini, peneliti ingin mengungkap bagaimana kata-kata budaya Indonesia diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Menggunakan teori Mona dan Albir (2002), penelitian ini akan mengupas mengenai teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah beserta implikasi dalam penerjemahan. Data penelitian diambil dari novel terjemahan Cantik itu Luka. Pengambilan data ini dilandasi oleh banyaknya kata bermuatan budaya Indonesia yang melekat pada novel tersebut. Kata kunci: teknik penerjemahan, kata budaya, novel PENDAHULUAN Seorang penerjemah diharapkan mampu menransfer secara akurat Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran. Catford (1964) menyatakan bahwa terjemahan ialah “an operation performed on languages: a process of subtituing a text in one language for a text in another.” Penerjamah terkadang mengalami kendala saat menerjemahkan kata-kata budaya dari Bsu ke BSa. Ini disebabkan kata-kata dalam suatu teks dapat memuat kebudayaan khas, yang tak ditemukan dalam kebudayaan lainnya. Contohnya: dalam kebudayaan masyarakat Jawa, dapat ditemukan istilah batik, wayang dan wedang uwuh. Para pembaca yang bukan berasal dari Indonesia bisa saja dibingungkan oleh makna dari istilah-istilah tersebut. 167 Kata-kata budaya dapat ditemukan dalam karya sastra, salah satu contohnya yaitu dalam novel Cantik itu Luka. Novel ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa mulai dari Jepang, Inggris, Jerman hingga Ibrani. Novel karangan Eka Kurniawan ini meraih berbagai perhargaan salah satunya World Readers di tahun 2016 (Detikhot). Novel ini menceritakan tentang seorang wanita cantik bernama Dewi Ayu yang sejak belasan tahun dipaksa menjadi pelacur di akhir masa kolonial hingga memiliki 4 orang anak perempuan. Dewi Ayu memiliki paras yang sangat cantik dan ini diturunkannya pada ketiga anak perempuannya. Baginya, kecantikan ialah sebuah kutukan hingga suatu masa ia berdoa agar keempatnya terlahir buruk rupa. Dalam novelnya, Eka menceritakan bagaimana menyedihkannya perlakuan wanita di era pasca kolonialisme saat tentara Jepang menduduki Indonesia. Novel ini diterjemahkan oleh Annie Tucker, wanita berkebangsaan Amerika Serikat yang telah lama berkecimpung dalam dunia penerjemahan. Gelar doktor diperolehnya dengan melakukan penelitian selama beberapa tahun di Pulau Jawa dan Bali. Kecintaannya pada budaya Indonesia menjadi salah satu alasan Tucker menerjemahkan novel Cantik itu Luka yang diterjemahkan menjadi Beauty is a Wound. Penelitian ini berfokus pada kata-kata bermuatan budaya yang ada di novel terjemahan Cantik itu Luka. Di sini peneliti ingin mengulas lebih dalam bagaimana teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah serta implikasinya pada penerjemahan. Data yang digunakan pada penelitian ini ialah kata-kata bermuatan budaya yang diujarkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Cantik itu Luka. Teknik pengumpulan datanya adalah membaca, menentukan, dan mencatat kata-kata yang ditemukan dalam novel. Dalam mencari kata-kata budaya, penulis berlandaskan teori Newmark (1998). Selanjutnya, data-data yang berhasil dikumpulkan dianalisis mengenai teknik penerjemahannya menggunakan teori dari Molina dan Albir (2002). Kajian mengenai novel dengan judul Cantik itu Luka ini pernah diteliti sebelumnya. Namun, Desfriani dkk (2013) berfokus pada bahasa vulgar dalam novel tersebut. Hasil penelitiannya adalah terdapat 1 metode penerjemahan komunikatif dan 2 prosedur penerjemahan yakni tranposisi dan modulasi. Selain itu, Puspitasari dkk (2014) pun meneliti penerjemahan kata-kata budaya dalam novel yang berjudul Botchan karya Natsume Sasuki. Hasil penelitiannya ialah metode yang digunakan dalam 168 menerjemahkan ialah tranferensi, transposisi, modulasi, kesepadanan, terjemahan deskriptif, terjemahan standar, dan keterangan tambahan. Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian menggunakan teori teknik penerjemahan dari Molina dan Albir (2012). LANDASAN TEORI Newmark (1988) mengelompokkan istilah budaya menjadi beberapa kategori yaitu: 1. Ekologi yakni flora dan fauna. 2. Budaya material (artefak), meliputi makanan, pakaian dan transportasi. 3. Budaya sosial terdiri dari pekerjaan dan kesenangan 4. Organisasi, adat, aktivitas, konsep, dan prosedur 5. Gestur dan kebiasaan Untuk teknik penerjemahan, Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa ada 18 teknik: 1. Adaptasi (adaptation) adalah teknik penerjemahan dengan pennggantian elemen pada kata di Bahasa Sasaran dengan kata yang sepadan di Bsa. 2. Amplikasi (amplification) adalah teknik yang memberikan penjelasan/informasi secara mendetail terkait istilah di Bsu. 3. Peminjaman (borrowing) ialah penerjemahan yang dilakukan dengan meminjam kata-kata dari Bahasa Sumber. 4. Kalke (Calque) adalah teknik penerjemahan kata atau frase yang dilakukan secara harfiah. 5. Kompensasi (compensation), teknik ini menerjemahkan BSu tidak sama seperti di BSa, namun menempatkannya di tempat yang lain. 6. Deskripsi (description), penerjemahan ini mengubah suatu ungkapan maupun istilah dari Bsu menjadi beberapa kata. 7. Kreasi Diskrusif (discrusive creative) ialah suatu penerjemahan yang dilakukan dengan memilih padanan di Bsa namun keluar dari konteksnya. 8. Padanan lazim (establish equivalence) ini menerjemahkan katakata asing secara harfiah seperti yang tertera di kamus atau 169 bahasa sehari-hari. 9. Generalisasi (generalization), teknik penerjemahaan ini memilih ungkapan yang lebih umum pada BSa untuk BSu yang sifatnya lebih spesifik. 10. Amplifikasi linguistik (linguistic amplification), teknik penerjemahan menambahkan satu atau berbagai unsur linguistik dalam BSu. 11. Kompresi linguistik (linguistic compression), Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan mensintesa unsur-unsur linguistik pada BSa. 12. Penerjemahan harfiah (literal translation), Teknik yang dilakukan dengan cara menerjemahkan kata per kata. 13. Modulasi (modulation), Teknik penerjemahan yang mana ada perubahan sudut pandnag dari Bsu ke Bsa. 14. Partikularisasi (particularizaton) ini mengubah kata umum menjadi lebih spesifik. 15. Reduksi (reduction), teknik penerjemahan ini mengurangi kata atau unsur yang diterjemahkan dengan alasan tidak mengubah makna. 16. Subsitusi (subsitution), Teknik penerjemahan di mana peenrjemah merubah unsur-unsur linguistik maupun paralinguistik. 17. transposisi (transposition), Teknik penerjemahan ini dilaksanakan dengan cara merubah kategori dan struktur kata. 18. variasi (variation) yaitu mengganti elemen linguistik atau paralinguistik yang berdampak pada variasi linguistik. Ideologi Penerjemahan Venuti (1995) mengungkapkan bahwa hasil terjemahan yang bertujuan agar pembaca di Bahasa Sasarab mengerti serta memahami maksud dari Bahasa Sumber dinamakan domestikasi. Hasil terjemahannya biasanya berterima dan telah diadaptasi dengan kebudayaan di Bsa. Sementara itu, foreignisasi ini lebih berfokus pada budaya di Bahasa Sumber sehingga penerjemah menyuguhkan kebudayaan Bsu pada para pembaca. 170 PEMBAHASAN Dalam novel terjemahan Cantik Itu Luka (CIL), ditemukan 83 kata-kata yang bermuatan budaya. Teknik-teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah yaitu teknik peminjaman, lazim, generalisasi, amplikasi, harfiah dan modulasi. Berikut adalah ulasannya. 1. Teknik amplikasi (1) Bsu : Satu-satunya kesukaan, dan merupakan hiburan untuk hidupnya yang sepi adalah bermain jailangkung. (CIL,318) Bsa: The sole entertainment in his lonely life was playing jailangkung --- calling the spirits of the dead using a little effigy doll – another skill that had been passed down.(BIAW,329) Berdasarkan data nomer (1), teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah adalah amplikasi yaitu dengan menambahkan penjelasan setelah kata budaya Jailangkung ialah salah satu permainan tradisional Indonesia yang bersifat supranatural. Permainan ini dilakukan untuk memanggil roh atau arwah orang yang sudah meninggal. Di Amerika terdapat ada permainan pemanggil roh yang mirip dengan permainan ini yaitu ouija. Meskipun terlihat mirip, namun keduanya adalah hal yang berbeda. Keputusan penerjemah untuk menggunakan teknik aplikasi adalah hal yang benar. Di sini terlihat penerjemah berusaha agar makna dari Bsu tersampaikan dengan baik dalam Bsa. 2. Teknik Peminjaman Selain teknik amplikasi, penerjemah juga menggunakan teknik peminjaman (borrowing). Teknik penerjemahan ini dilakukan dengan meminjam kata-kata dari Bahasa Sumber. Kata-kata yang dipinjam dapat diubah atau tidak sama sekali. Contohnya dapat ditemukan dalam data nomer (2). Kata ‘wayang’ dan ‘buta’ sama sekali tidak diterjemahkan dan hanya ditulis miring. (2) Bsu: Orang-orang pribumi sering mendongenginya tentang wayang dan buta, dan ia suka karena mereka doyan tertawa. (CIL, 70) 171 Bsa: She liked them because they told her many fantastic tales about wayang and buta, and they loved to laugh. (BIAW, 71) Wayang ialah salah satu seni pertunjukkan asli Indonesia. Salah satu tokoh dalam wayang ialah buta yang berwujud raksasa. Pembaca di BSa mungkin mengira wayang ialah cerita fantasi komedi jika tak mengetahui maknanya. Selain itu, kata buta sama sekali tidak diterjemahkan. Penerjemah menganggap pembaca mengetahui maknanya tanpa adanya penjelasan. Di sini terlihat bahwa penerjemah kurang berupaya dalam menransfer pesan dari Bahasa Sumber ke Bahasa Sasaran. Contoh selanjutnya merupakan teknik peminjaman yang sudah mengalami naturalisasi. Di data (3) penerjemah membawa unsur budaya Indonesia yang kental. (3) Bsu : Ibunya mencoba mendatangi beberapa dukun dan mereka menawarkan beberapa ramuan, dan mantera, yang sanggup membuat orang jatuh cinta pada cinta buta. (CIL, 178) Bsa : His mother went to visit a number of dukun and they suggested some spells and mantras that could make someone fall in blind love. (BIAW,185) Dari data nomer (3), kata dukun tetap diterjemahkan dukun dalam Bahasa Inggris. Ini merupakan teknik peminjaman meskipun terdapat kata dukun pada kamus Bahasa Inggris. Dalam Engslih Oxford Dictionaries dukun is ”a traditional healer believed to have spiritual and occult powers; a shaman” (dukun, 2018). Istilah dukun pada kamus tersebut diambil dari Bsu sehingga terjadi naturalisasi. Teknik ini peminjaman ini berterima karena penerjemah telah menransfer kata-kata budaya dengan mencari padanannya di Bsa. 3. Teknik Harfiah (4) Bsu: Siapapun yang mendengar doa, Tuhan atau Iblis atau Jin Iprit, (CIL,16) Bsa: ..whoever is listening to my prayer, god or demon, angel or Genie Iprit (BIAW, 23) Pada data nomer (4), kata Jin Iprit diterjemahkan menjadi ‘Genie Iprit’. Penerjemahan ini merupakan teknik harfiah yaitu penerjemah 172 hanya mengartikan kata pertama dan susunan katanya sama persis dengan susunan kata di Bahasa Sumber (Bahasa Indonesia). Kata Iprit tidak diterjemahkan oleh penerjemah karena ini adalah nama. Padahal dalam Bahasa Inggris, jin Iprit ini disebut sebagai Ifrit. Dalam Cryptidz Wiki, dikatakan bahwa Ifrit adalah salah satu jenis jin (cryptidz.wiki.com). Penerjemahan di atas tidak sesuai padanannya dalam Bahasa Inggris. Penerjemah hanya berfokus kepada nama Iprit tanpa melihat padanan yang umum digunakan oleh orang Barat. 4. Teknik Lazim (5) Bsu: Ia akan berdoa kapan pun ia ingat, di kamar mandi, di dapur, di jalan bahkan ketika seorang laki-laki gembrot berenang di atas tubuhnya dan ia teringat, ia akan segera berkata, siapapun yang mendengar doaku, Tuhan atau iblis, malaikat atau jin Iprit, jadikanlah anakku buruk rupa (CIL, 16). Bsa: She would pray whenever it crossed her mind, in the bathroom, on the street or even if an obeseman was swimming on the top of her body and she suddenly remembered, she would immediately say, whoever is listening to my prayer, god or demon, angel or Genie Iprit, make my child ugly (BIAW, 23). Pada data di atas terdapat teknik penerjemahan lazimlah yang digunakan. Kata doa, Tuhan, iblis dan malaikat diterjemahkan sesuai dengan padanan di Bsa. Padanan ini disesuaikan dengan kata-kata yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam Bahasa Inggris. Penerjemahan ini sangat baik karena pembaca di Bsa dapat mengetahui maknanya dengan jelas. Makna dari Bsu pun dapat dimengerti oleh pembaca di Bsa. \ Teknik Generalisasi (6) Bsu: “Bayi yang malang”, kata si dukun bayi itu lagi.(CIL: 3) Bsa: “Poor baby,” said the midwife again. (BIAW: 8) Data nomer (6) mengandung teknik penerjemahan generalisasi yaitu menerjemahkan istilah budaya yang spesifik menjadi lebih umum. Kata dukun bayi pada kalimat di atas berarti orang yang membantu proses 173 melahirkan wanita secara tradisional. Namun, saat berada di Bsa, penerjemah menggunakan kata midwife yang berarti bidan. Bidan juga berprofesi membantu ibu melahirkan namun dengan metode yang lebih modern. Meskipun dukun beranak dan bidan sama-sama bekerja membantu ibu melahirkan, namun ada perbedaan yang mendasar, yaitu bidan memperoleh keahliannya dengan bersekolah tinggi sedangkan dukun beranak tidak. Hal ini tentu mempengaruhi cara atau metode yang digunakan. Penggunaan kata midwife ini diasumsikan karena penerjemah ingin pembaca lebih memahami konteks kalimat tersebut. Padahal padanan tepatnya ialah traditional midwife. 5. Teknik Modulasi (7) Bsu: Mereka juga mengajarinya beberapa mantra pengusir setan dan penjaga keselamatan. (CIL, 81) Bsa: They also taught her mantras to get rid of evill sipirits and to guard her safety. (BIAW, 82) Pada contoh di atas, kata pengusir setan disini diterjemahkan menjadi to get rid off of evil spirit. Kata dalam Bsu yang awalnya kata benda (pengusir setan) menjadi kata kerja (untuk mengusir setan). Teknik penerjemahan yang dipakai ialah modulasi di mana terdapat perbedaan sudut pandang antara Bsu dengan Bsa. Adanya penggantian sudut pandang ini sah-sah saja. Sebab pada data di atas penerjemah berfokus pada makna dari Bsu. Sehingga meskipun merubah namun pesan dari Bsu terkandung dalam terjemahan di Bsa. Simpulan Setelah melakukan analisis, dapat disimpulkan bahwa teknik penerjemahan yang paling dominan digunakan oleh penerjemah ialah teknik lazim sedangkan yang paling sedikit ialah teknik generalisasi. Banyaknya penggunaan teknik lazim ini diasumsikan karena banyak katakata budaya Bsu yang tersedia di kamus. Bisa dikatakan, penerjemah mampu menransfer kata-kata budaya dari Bahasa Sumber (Bsu) ke Bahasa Sasaran (BSa) dengan baik. Ideologi domestikasi adalah ideologi yang digunakan oleh penerjemah. Mayoritas kata-kata budayanya telah disesuaikan dengan istilah di Bsa. Walaupun terkadang penerjemah 174 kurang tepat dalam menerjemahkan beberapa kata-kata budaya, namun sebagian besar kata-kata budaya yang diterjemahkan ke Bsa berterima karena sepadan dengan makna di Bsu. Referensi Catford, J.C. 1965. A Linguistic Thery of Translation. London: Oxford University Press. Cryptid wiki. List of Jinn Types. Diakes 30 Mei 2018. http://cryptidz.wikia.com/wiki/List_of_Jinn_Types Desfriani, Aibonotika Arza, dan Rahayu Nana. (2013). Penerjemahan Bahasa Vulgar Dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jepang Dalam Novel Cantik Itu Luka”. Retrieved from https://repository.unri.ac.id/bitstream/handle/123456789/4205/14.DE SFRIANI %20%28JEPANG%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y Detikhot. (22 Maret 2016). ‘Cantik itu Luka’ Eka Kurniawan Raih Penghargaan World Readers. Diakeses 28 Mei 2018 https://hot.detik.com/art/3170808/cantik-itu-luka-eka-kurniawanraih-penghargaan-world-readers Dukun, n. 2018. English Oxford Living Dictionaries. Diakses 28 Mei 2018 https://en.oxforddictionaries.com/definition/dukun Kurniawan, Eka. 2015. Cantik Itu Luka. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. -------------------- 2015. Beauty is a Wound (Tucker, Annie, Trans.). New York: New Directions Publishing. Molina., Lucia & Hurtado Albir, A . 2002. Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach” dalam Meta: Journal des Traducteur/Meta: Translators’ Journal, 47 (4), 498-512. Puspitasari, Dewi., Lestari E.M.I., & Syartanti, Nadya Inda. 2014. Kesepadanan Pada Kata Bermuatan Budaya Jepang ke dalam Bahasa Indonesia: Studi Kasus dalam Novel Botchan Karya Natsume Soseki dan Terjemahannya: Botchan Si Anak Bengal oleh Jonjon Johana. Jurnal Izumi, 3 (2). Newmark, Peter. 1988. A Text Book of Translation. New York. Sanghai Foreign Language Education Press. Venuti, Lawrence. 1995. The Translator’s Invisbility: A History of Translation. London: Rouletge. 175 HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1) Khamalatuk Hafidzoh-UGM 1. Tolong jelaskan mengenai teknik penerjemahan harfiah yang tadi dicontohkan 2. Apakah ada korelasi teknik harfiah ini dengan latar belakang penerjemah? Jawaban: Teknik penerjemahan harfiah di dalam novel contohnya kata Jin Iprit yang diartikan menjadi Genie Iprit. Pada pola kata Bahasa Inggris, kata Genie harusnya berada di sebelah kanan kata Iprit. Dapat dikatakan penerjemah menerjemahkannya secara harfiah tanpa memedulikan susunan kata di Bahasa Sasaran. Dan mengenai korelasi latar belakang penerjemah dengan teknik yang digunakan tentu saja ada. Penerjemah sudah beberapa tahun mendalami kebudayaan Indonesia, namun ini tak berarti ia sudah sangat menguasai keseluruhan tentang budaya dan Bahasa Indonesia. meskipun demikian, secara keseluruhan penerjemah mampu menerjemahkan novel Cantik Itu Luka dengan baik. 2) Ayu Karomah-UGM 3. Di dalam judul terdapat kata “the dukun” nah namun di dalam contoh hanya ada kata dukun saja. Nah itu bagaimana? Jawaban: Memang benar, kata the dukun yang ada di bagian awal judul adalah kutipan kata yang muncul di dalam novel. Kata ini terletak di awal kalimat. Sedangkan kata yang saya jadikan contoh terletak di bagian awal sehingga tidak menyertakan kata the. Penerjemahan ini menggunakan teknik borrowing atau peminjaman. Sayangnya penerjemah tidak memberikan penjelasan maupun catatan kaki mengenai penjelasan kata dukun tersebut. Penerjemah menganggap pembaca mengetahui maknanya tanpa penjelasan lebih lanjut. 176 TINDAK DIREKTIF BAHASA INDONESIA PADA POSTER BERLALULINTAS KOTA BANJARBARU DIRECTIVE ACT F INDONESIAN LANGUAGE ON TRAFFIC POSTER OF BANJARBARU CITY Eka Suryatin ekasuryatin@yahoo.co.id Balai Bahasa Kalimantan Selatan Telepon:081351374156 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis tindak direktif dan wujud pemarkah modalitas pada poster berlalu lintas kota Banjarbaru. Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan tertulis yang terdapat dalam poster yang dikeluarkan oleh kepolisian kota Banjarbaru. Sumber data dalam penelitianadalah semua poster yang dikeluarkan oleh kepolisian kota Banjarbaru. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu menyeleksi, memberi kode, memeriksa keabsahan, mengklasifikasi, dan mendeskripsikan data. Hasil penelitian menunjukkan (1)tindak direktif yang terdapat pada poster berlalu lintas Kota Banjarbaru, meliputi tindak direktif larangan (prohibitions) dengan modalitas ‘dilarang dan jangan’, tindak direktif nasihat (advisories) dengan modalitas ‘wajib, hatihati, dan mari), tindak direktif permintaan (requestives) dengan modalitas ‘ayo’, dan tindak direktif persyaratan (requerements) dengan modalitas sayang + i. Kata kunci: tuturan, direktif, poster, lalu lintas ABSTRACT The objectives of this study are to describe the type of directive acts and form of modality markers on traffic posters in Banjarbaru city. This research type is qualitative descriptive. The data of this study are a written text found in the posters issued by resort police of the Banjarbaru City. Sources of data in the study are all posters issued by the Police of Banjarbaru City. The data 177 collection technique applied in this research is documentation. Data analysis was performed in several stages, namely selecting, coding, checking the validity, classifying, and describing the data. The results of this research show that the directive acts found in the traffic posters of Banjarbaru City are as follows prohibition directive act such as 'prohibited and not' modalities, advisory directive act such as mandatory, be careful, let’s, request directive acts (requests) such as 'let’s’ modalities, and requirement directive acts (requirements) with such as take care modalities. Keywords: speech, directive, poster, traffic PENDAHULUAN Kota Banjarbaru merupakan salah satu kota di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan akses antara kota yang satu dengan kota yang lainnya. Kondisi lalu lintas di kota Banjarbaru saat ini bisa dikatakan jauh dari kata tertib. Misalnya, anak-anak sekolah yang masih di bawah umur sudah mengendarai sepeda motor, mengemudi kendaraan sambil bermain telepon genggam, menerobos lampu merah ketika tidak ada polisi yang sedang berjaga, mengemudikan kendaraan melawan arus, dan lainnya. Untuk menangani masalah-masalah itu, pemerintah membuat peraturan berlalu lintas dan jalan raya, yaitu UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Peraturan itu, diharapkan bisa membuat masyarakat tertib dalam berlalu lintas dan mengerti terhadap sanksi yang diberikan. Tidak hanya itu saja, untuk mengatasi masalah tentang keselamatan masyarakat pengguna jalan raya, pemerintah membuat slogan, poster papan imbauan yang dipasang di pinggir jalan. Poster yang dipasang itu berisi kalimat imbauan berupa tuturan imperatif yang bertujuan agar masyarakat tertib berlalu lintas. Ada banyak bentuktindak direktif yang digunakan dalam poster berlalu lintas di kota Banjarbaru. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam tentang tindak direktif bahasa Indonesia pada poster berlalu lintas di kota Banjarbaru. Tindak tutur direktif adalah bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), 178 memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending) (Searle dalam Rahardi, 2005: 36). Sementara itu, menurut (Jumadi, 2013: 29) yang dimaksud tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dirancang untuk mendorong seseorang melakukan sesuatu (Jumadi, 2013: 29). Bach dan Harnish dalam Jumadi (2013: 30) membagi tindak direktif menjadi lima kelompok jenis, yakni kelompok (a) permintaan (requestives) yang mencakup meminta, memohon, mengajak, mendorong, mengundang, dan menekan; (b) pertanyaan (questions), yang mencakup bertany, berinkuiri, dan menginterogasi; (c) persyaratan (requeirements), yang mencakup mensyaratkan, memerintah, mengomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, dan mengatur; (d) larangan (prohibitions), yang mencakup melarang dan membatasi; (e) persilaan (permisives), yang mencakup memberi izin, membolehkan, mengabulkan, melepaskan, memperkenankan, memberi wewenang, dan menganugerahi; dan (f) nasihat (advisories), yang mencakup menasihati, memperingatkan, mengusulkan, membimbing, menyarankan, mendorong. Sementara itu, poster adalah sebagai kombinasi visual dari rancangan yang kuat, dengan warna, dan pesan dengan maksud untuk menangkap perhatian orang yang lewat tetapi cukup lama menanamkan gagasan yang berarti di dalam ingatannya (Sudjana dan Rivai, 2002: 51). Penelitian ini mengkaji tentang jenis dan wujud pemarkah modalitas dalam poster berlalu lintas Kota Banjarbaru. Penelitian mengenai tuturan direktif pada poster sudah pernah dilakukan.Haedar, dkk., (2013) meneliti tentang “Tindak Direktif Bahasa Indonesia pada Poster Badan Lingkungan Hidup di Taman Wisata Studi Lingkungan Kota Probolinggo” dan Sari, Evi Amelia (2013) meneliti tentang “Struktur, Penanda, dan Makna Kalimat Imperatif dalam Bahasa Paser”. Hasil penelitian Haedar, dkk. menunjukkan bahwa jenis tuturan direktif pada poster yang dikeluarkan BLH ada empat jenis, yaitu tindak tutur requesif, requerimen, prohibitif, dan advisoris. Tindak tutur direktif reguesitif pada poster memiliki ciri penanda verba + lah pada kata “marilah”. Tindak tutur direktif requerimen memiliki ciri penanda verba + kan dalam kata “ kumpulkan”. Tindak tutur direktif prohibitif memiliki ciri penanda pada salah satu kalimat posternya yaitu di + verba pada kata “ dilarang“. Tindak tutur direktif advisoris memiliki ciri penanda kata 179 “awas”. Dari keempat jenis tindak tutur direktif prohibitif banyak ditemukan dalam poster yang dikeluarkan oleh BLH. Jenis tindak tutur direktif prohibitif diindikasikan banyak digunakan karena untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar agar tercipta lingkungan indah dan bersih. Penelitian yang peneliti lakukan ini sama-sama membahas tentang tindak direktif. Perbedaannya terletak pada sumber data yang digunakan. Penelitian di atas menggunakan data poster BLH sedangkan penelitian ini menggunakan poster berlalu lintas METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moloeng, 2001: 3). Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah semua poster berbahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh kepolisian di sepanjang jalan Ahmad Yani kota Banjarbaru. Data penelitian berupa tuturan tertulis yang terdapat dalam poster berlalu lintas yang dikeluarkan oleh kepolisian di sepanjang jalan Ahmad Yani kota Banjarbaru. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara seleksi data, pengkodean data, pemeriksaan keabsahan data, pengklasifikasian data, dan pendeskripsian data. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini, ada tiga tahapan, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian. HASIL DAN PEMBAHASAAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis tuturan direktif pada poster berlalu lintas kota Banjarbaru ada empat jenis, yaitu tindak direktif larangan (prohibitions), tindak direktif nasihat (advisoris), tindak direktif permintaan (requestives), tindak direktif persyaratan (requerements).Sementara itu, wujud pemarkah kata tugas modalitas yang 180 ditemukan peneliti dalam poster, yakni wajib, dilarang, jangan, hindari, hati-hati, mari, ayo, dan sayang + i. a. TindakDirektifLarangan (Prohibitions) (1) Poster berlalu lintas yang mengandung tindak direktif larangan (prohibitions) gambar (1) di atas ditandai dengan pemarkah kata tugas modalitas ‘dilarang’. Konteks tuturan atau latar gambar dalam tuturan itu adalah gambar dua orang yang mengendarai kendaraan sambil memainkan telepon genggam. Tuturan itu bermaksud untuk melarang para pengendara menggunakan telepon genggam (menelepon dan membalas sms) ketika mengendarai kendaraan. (2) Poster berlalu lintas yang merupakantindak direktif larangan (prohibitions) gambar (2) di atas ditandai pemarkah kata tugas modalitas ‘jangan’. Melalui tuturan tersebut pihak kepolisian bermaksud untuk melarang para pengendara agar tidak ngebut ketika mengendarai kendaraan karena anak istri mereka (para pengendara) menanti di rumah. 181 b. Tindak Direktif Nasihat (Advisories) (3) Poster berlalu lintas di atas merupakan tindak tutur direktif advisoriesyang mengandung pemarkah kata tugas “wajib”. Pada tuturan ini penutur mengingatkan kepada mitra tutur agar menyalakan lampu pada siang hari. Mitra tutur yang dimaksud adalah para pengendara sepeda motor. Makna yang terdapat dalam tuturan poster tersebut adalah makna imperatif imbauan. Pada tuturan ini pihak kepolisian mengimbau agar para pengendara sepeda motor menyalakan lampu pada siang hari. Imbauan ini disampaikan agar para pengendara motor dan mobil selamat. (4) Poster berlalu lintas di atas mengandung tuturan tindak direktif advisoris. Poster tersebut terdapat pemarkah kata tugas modalitas “hatihati”. Pada tuturan ini, penutur mengingatkan para pengemudi agar hatihati dalam berkendara karena daerah yang dilewati daerah yang sering terjadi kecelakaan. Tujuan dari tuturan ini adalah mengingatkan mitra tutur berhati-hati terhadap jalan daerah laka lantas. Makna imperatif yang terdapat pada poster tersebut adalah imperatif imbauan. Pihak kepolisian mengimbau agar kepada para pengendara agar selalu berhati-hati karena daerah yang dilewati rawan kecelakaan lalu lintas. 182 (5) Poster berlalu lintas di atas juga merupakantindak direktif advisories yang ditandai dengan modalitas ‘mari’. Tuturan ini ditujukan kepada seluruh pengguna jalan raya. Pada tuturan itu, penutur mengajak mitra tutur agar bersama-sama mewujudkan budaya berlalu lintas di Kota Banjarbaru. c. Tindak Direktif Permintaan (Requestives) (6) Poster berlalu lintas di atas termasuk kategori tindak direktif requestivesyang menggunakan modalitas “ayo”. Tuturan poster tersebut ditujukan kepada para pengendara. Tuturan tersebut menunjukkan adanya permintaan dari penutur yaitu pihak kepolisian agar para pengendara beristirahat di pos polisi yang berjarak 300 meter lagi ketika ngantuk. Dengan beristirahat dulu ketika ngantuk saat berkendara akan mengurangi terjadi kecelakaan. 183 d. Tindak Direktif (Persyaratan) Requirements (7) Poster berlalu lintas di atas mengandung tuturan tindak direktif requirements. Tindak direktif itu diwujudkan dengan ciri modalitas berupa adjektiva + i pada kata “sayangi”, partikel i dalam bahasa Banjar itu berfungsi sebagai perintah. Penutur dalam tuturan itu adalah pihak kepolisian. Tututran tersebut memerintah kepada para pengendara. Tujuannya memerintah agar para pengendara menyayangi nyawanya atau berhati-hati ketika sedang berkendara karena jalur yang dilewati sering terjadi kecelakaan. PENUTUP Berdasarkan data yang dikumpulkan dan dianalisis dapat disimpulkan bahwa tindak direktif yang terdapat pada poster berlalu lintas Kota Banjarbaru, meliputi tindak direktif larangan (prohibitions) dengan modalitas ‘dilarang dan jangan’, tindak direktif nasihat (advisories) dengan modalitas ‘wajib, hati-hati, dan mari), tindak direktif permintaan (requestives) dengan modalitas ‘ayo’, dan tindak direktif persyaratan (requerements) dengan modalitas sayang + i. DAFTAR PUSTAKA Haedar, Ventyana, dkk. 2013. Tindak Direktif Bahasa Indonesia Pada Poster Badan Lingkungan Hidup di Taman Wisata Studi Lingkungan Kota Probolinggo. Jurnal Pancaran, 2 (2): 173—180. Jumadi. 2013. Wacana, Kekuasaan, & Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moelong, Lexy J.2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 184 Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Erlangga. Sujana, Nana dan Ahmad Rivai. 2009. Media Pengajaran, Cetakan 8. Bandung: Sinar Baru. HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Bayu Menurut Mbak Eka, ada tidak penggunaan kekhasan tuturan daerah yang digunakan pada poster berlalu lintas di Kota Banjarbaru? Menurut saya, kekhasan tuturan daerah pada poster berlalu lintas d Kota Banjarbaru ada. Ini terbukti dari contoh poster tindak direktif requirements yang menggunakan bahasa daerah sebagai tuturannya. 2. Sri Saya ingin menanyakan sejauh ini menurut data yang sudah Anda kumpulkan tindak direktif apa yang paling banyak digunakan? Baik, setelah saya mengumpulkan data ternyata poster berlalu lintas kota Banjarbaru paling banyak menggunakan tindak direktif larangan (prohibitions). 3. Rissari Berkaitan dengan tindak direktif tentu ada pemarkah modalitas yang menjadi ciri masing-masing jenis tindak direktif. Nah, Apakah di Banjarbaru yang merupakan pulau Kalimantan pada posternya menggunakan bahasa daerah? Nah, kalau memang iya, tentu hal itu akan menjadi pembahasan yang menarik untuk penelitian selanjutnya. Baik, terimakasih atas pertanyaannya, Bu. Berbicara tentang pemarkah modalitas pada poster berlalu lintas Kota Banjarbaru, seperti apa yang sudah saya sampaikan kepada penanya pertama. Apabila ada wujud tuturan yang menggunakan bahasa daerah tentu pemarkah modalitasnya juga bahasa daerah dalam hal ini di Banjarbaru bahasa Banjar. Terimakasih atas masukannya ke depan Insya Allah saya akan meneliti lebih dalam lagi tentang pemarkah modalitas bahasa daerah. 185 BENTUK DAN REFERENSI MAKIAN DALAM KOMENTAR DI YOUTUBE ATAS PUISI SUKMAWATI Ening Herniti Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta 55281 e-mail: ening.herniti@uin-suka.ac.id; eningherniti@yahoo.co.id ABSTRAK Makian atau umpatan merupakan salah satu wujud dari fungsi emotif bahasa karena penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, melainkan juga memperlihatkan emosi ketika menyampaikan makiannya. Dalam keadaan marah, seseorang sering kali tidak dapat menahan emosi sehingga acap kali melontarkan makian. Berbagai bentuk dan referensi makian terdapat dalam kolom komentar di youtube yang menayangkan perihal puisi Sukmawati. Bentuk dan referensi makian bersandar pada teori sosiolinguistik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara aktual bentuk dan referensi makian. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif. Data diperoleh dari youtube milik LN News. Setelah itu, data ditranskripsi dan diklasifikasi berdasarkan pada bentuk dan referensi makian. Pengelompokkan bentuk makian dihubungkan dengan perwujudan satuan gramatikal yang berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Referensi makian dikaitkan dengan medan makna dan sumber makian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa makian berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat minor. Makian tersebut bereferensi dengan tokoh cerita, bumbu masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, bau, kesehatan mental, hal gaib, benda-benda, profesi, dan usia. Kata Kunci: makian, sosiolinguistik, bentuk, referensi A. PENDAHULUAN Pemakaian bahasa dalam dunia maya atau media sosial perlu ditegaskan, mengingat dunia online dianggap penting bagi masyarakat Indonesia. Namun, semakin banyak pihak yang menyalahgunakan dunia maya untuk mengungkapkan segala kekesalan, ketidaksukaan, bahkan kebencian. Hal ini juga tampak pada pemakaian bahasa di kolom komentar 186 youtube milik LN News. Kolom komentar tersebut memuat polemik atas puisi "Ibu" karya Sukmawati Soekarnoputri. Puisi tersebut dibacakan langsung oleh Sukmawati Soekarnoputri dalam acara 29 tahun desainer Anne Avantie berkarya yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC). Terdapat komentar, baik yang pro maupun kontra, meramaikan kolom komentar di youtube tersebut. Komentar yang pro tentu saja adanya pembelaan terhadap puisi “Ibu” yang dibacakan oleh Sukmawati. Namun, komentar yang kontra atau tidak menyetujui dengan puisi tersebut terdapat pemakaian bahasa yang kurang pantas dalam ruang publik. Pemakaian bahasa tersebut untuk mengekspresikan segala bentuk ketidaksenangan, kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang tengah dihadapi sehingga penutur sering kali menggunakan berbagai kata makian. Bagi penutur, makian adalah alat pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan (Wijana, 2006:109). Makian atau umpatan merupakan salah satu wujud dari fungsi emotif bahasa. Wijana (2004:242) menjelaskan bahwa kata-kata makian mempunyai kedudukan yang sentral dalam aktivitas berkomunikasi secara verbal sebagai salah satu sarana untuk menjalankan fungsi emotif bahasa. Fungsi emotif adalah fungsi bahasa yang digunakan untuk menyatakan perasaan seperti perasaan senang, takut, kecewa, kesal, sedih, gembira, dan sebagainya (Abdul Chaer, 2004: 15 dan Leonie Agustina, 1995:16). Artinya, penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, melainkan juga memperlihatkan emosi ketika menyampaikan makiannya. Wijana (2008: 250) mengemukakan bahwa bahasa dikreasikan untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang dialami oleh penuturnya. Sudaryanto, dkk. (1982:146) berpendapat bahwa kata makian merupakan salah satu jenis kata afektif yang keafektifannya dalam rangka titik awal proses komunikasi. Maksudnya, terjadinya makian disebabkan oleh adanya perbuatan seseorang atau peristiwa tertentu. Perbuatan seseorang atau perbuatan itu menimbulkan tangggapan tertentu sehingga tersentuh daya lampiasnya dan terucaplah makian itu. Ungkapan-ungkapan makian yang dilontarkan penutur akan memengaruhi psikologis dan perilaku mitra tutur karena makian tersebut biasanya diucapkan dengan emosi sehingga dapat menyinggung, menyakiti, dan kemungkinan dapat memancing kemarahan mitra tutur. Namun, makian di media sosial seperti youtube tampaknya tidak terkendali karena antara penutur dan mitra tutur tidak bertemu secara 187 langsung atau bertatap muka. Penutur dan mitra tutur yang bertatap muka secara langsung acapkali kemarahan lebih dapat terkendali dibandingkan dengan yang tidak bertatap muka secara langsung. Terlebih lagi, mitra tutur adalah tokoh masyarakat atau orang yang disegani. Penelitian yang mengkaji makian di antaranya adalah tulisan Rosidin (2010) berjudul “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian, serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (1) tidak terdapat perbedaan klasifikasi bentuk makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (2) tidak terdapat perbedaan klasifikasi kategori makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, (3) tidak terdapat perbedaan klasifikasi sumber makian antara makian yang digunakan oleh responden laki-laki dan oleh responden perempuan, dan (4) tidak terdapat perbedaan klasifikasi alasan penggunaan makian antara alasan responden laki-laki dan alasan responden perempuan. Penelitian Jannah berjudul “Bentuk dan Makna Kata Makian di Terminal Purabaya Surabaya dalam Kajian Sosiolinguistik” (2017). Penelitiannya menunjukkan bahwa warga terminal Purabaya Surabaya kebanyakan menggunakan makian berbentuk kata dan frasa. Data penelitian ini diperoleh dari youtube milik LN News yang diunggah pada tanggal 2 April 2018. Dalam kurun empat hari, pada tanggal 6 April 2018, sudah terdapat 10.312 komentar dan ditonton 1.541.762 kali. Hal ini mengimplikasikan bahwa youtube tersebut cukup viral karena memuat berita yang sedang hangat. Data kemudian ditranskripsi dan diklasifikasi berdasarkan pada bentuk dan referensi makian. Pengelompokkan bentuk makian dihubungkan dengan perwujudan satuan gramatikal yang berupa kata, frasa, dan klausa. Referensi makian dikaitkan dengan medan makna dan sumber makian. B. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bentuk Makian Bahasa dapat dipakai untuk menyampaikan maksud yang spesifik yang berkaitan dengan kondisi psikologis, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain), seperti perasaan sedih, senang, heran, bahkan marah (Alwi, 1995:137). Dalam keadaan marah, seseorang sering kali tidak dapat menahan emosi sehingga acap kali melontarkan kata-kata yang menghasilkan tuturan-tuturan yang biasa disebut makian atau 188 umpatan. Wijana dan Rohmadi (2006: 125) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk makian adalah sarana kebahasaan yang dibutuhkan oleh para penutur untuk mengekspresikan ketidaksenangan dan mereaksi berbagai fenomena yang menimbulkan perasaan tersebut. Makian pada kolom komentar di youtube milik LN News tersebut berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat minor. Bentuk makian tampak pada penjelasan berikut ini. a. Berbentuk Kata Makian yang berbentuk kata terdapat pada tuturan berikut. (1) Dajjal telah muncul (2) Cuuuuk rausah keakehan cocot meneng ae cuk Kata dajjal, cuuuuk, dan cuk adalah kata adalah makian yang berbentuk kata. Kata dajjal dan cuuuuk berfungsi sebagai subjek pada tuturan di atas. Sementara itu, cuk sebagai sapaan. Di wilayah Jawa Timur cuuuuk atau cuk berasal dari kata dancuk biasanya digunakan sebagai penanda keakraban. Namun, pada kasus di atas digunakan sebagai makian karena antara penutur dan mitra tutur tidak saling kenal. b. Berbentuk Frasa Makian berbentuk frasa tampak pada tuturan berikut ini. (3) Terlihat sangat bodoh. (4) woii ngopi ngopi .. kebanyakan bacot lu (5) Anak persiden kok omongannya kaya orang kaga berpendidikan. Makian di atas berbentuk frasa. Frasa sangat bodoh adalah frasa adjektival. Sementara itu. Kontruksi kebanyakan bacot lu dan orang kaga berpendidikan adalah frasa nominal. c. Berbentuk Klausa Makian yang berbentuk klausa tampak pada tuturan berikut. (6) Dia kan gerombolan yg katanya saya indonesia saya pancasila. Cebong gobloknya permanen (7) Gua sumpahin matinya samber geledek (8) Ya allah itu, nenek peot ga waras Makian di atas berbentuk klausa, yakni klausa Cebong gobloknya permanen, Gua sumpahin matinya samber geledek, dan nenek peot ga waras. 189 d. Berbentuk Kalimat Minor Beberapa makian berbentuk kalimat minor. Kalimat minor adalah kalimat adalah kalimat dengan pola kalimat yang tidak lengkap dan mempunyai pola intonasi final. Makian yang berbentuk kalimat minor tampak pada tuturan berikut. (9) Gak mutu! Tataran bahasa dari kata, frasa, klausa, kalimat, dan seterusnya berlaku tidak statis karena kadang-kadang terjadi pelompatan tataran. Pelompatan tataran adalah naiknya suatu satuan melewati tataran yang di atasnya (Khairah, 2015:146147) seperti pada tuturan Gak mutu!. Tu turan tersebut melompat dari tataran frasa adjektival naik menjadi kalimat karena adanya pungtuasi seru (!). Dikatakan demikian karena pungtuasi seru adalah intonasi akhir sebagai penanda kalimat. Hanya saja tuturan tersebut disebut kalimat minor. (10) busuk lu.. Tuturan di atas berbentuk kalimat minor yang berupa seruan busuk lu yang diakhiri pungtuasi titik (.). 2. Referensi Makian Makna referensial (referential meaning) adalah makna yang langsung berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata (Pateda, 2010:125). Berikut adalah makian yang bereferensi dengan tokoh cerita, bumbu masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, bau, kesehatan mental, hal gaib, benda-benda, profesi, dan usia. a. Tokoh Cerita Makian yang bereferensi dengan tokoh cerita adalah tampak pada uraian berikut. (11) jangan sok puisi nenek lampir Nenek Lampir atau yang akrab disebut Mak Lampir. Mak adalah sapaan berbahasa Jawa yang bermakna orang tua yang berjenis kelamin perempuan atau nenek. Ia adalah tokoh legenda di Pulau Jawa yang mendiami Gunung Merapi. Ia adalah dukun penyihir yang meneror pulau Jawa selama berabad-abad, mengajarkan ilmu sesat Anggrek Jingga yang memuja Dewa Batara Kala. Mak Lampir dikenal lewat drama serial Misteri Mak Lampir yang disiarkan oleh televisi swasta Indosiar. 190 b. Bumbu Masak Di samping makian bereferensi tokoh cerita, makian juga bereferensi bumbu masak yang tampak pada tuturan berikut. (12) potret nenek nenek generasi micin (13) IBU MICIN INDONESIA฀฀ (14) Kakean micin Tuturan di atas menggunakan makian micin. Micin atau monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium asam glutamat yang ditemukan oleh Kikunae Ikeda, seorang profesor kimia Universitas Tokyo, pada 1908. Ia dianggap sebagai garam paling stabil yang mampu memberi rasa umami atau gurih pada makanan. Pada tuturan (12) makian generasi micin dipakai untuk menggambarkan perilaku orang-orang zaman sekarang yang tidak bisa dimengerti, terutama di media sosial. c. Keadaan (15) So suci semua. Yang dimaksud so adalah sok yang bermakna berlagak (suka pamer dan sebagainya); merasa mampu dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak (KBBI Daring, 2016). Makna so suci adalah orang-orang berlagak suci sehingga banyak menyudutkan mitra tutur. d. Sifat (16) Nih ibu keterlaluan sungguh ini bisa membuat seluruh umat islaman di Indonesia merasa direndahkan. Kata keterlaluan bermakna hal yang melampaui batas (kesopanan dan sebagainya) (KBBI Daring, 2016). Tuturan (16) terdapat makian keterlaluan sungguh yang konstruksinya terbalik. Seharusnya berkonstruksi sungguh keterlaluan. (17) Brengsek Penulisan yang benar kata brengsek adalah berengsek. Kata berengsek bermakna kacau sekali (tentang tata tertib, pelaksanaan kegiatan, dan sebagainya); tidak beres; tidak becus; rewel; bandel (KBBI Daring, 2016). (18) Parahhh...... 191 Kata parah bermakna berat (tentang luka); payah (tentang penyakit); dalam keadaan kesulitan yang sangat; dna sukar diatasi (KBBI Daring, 2016). Kata makian keterlaluan sungguh, brengsek, dan parah adalah berbentuk kata sifat. e. Binatang Kata makian yang bereferensi binatang adalah makian bangsat dan cebong. Hal ini tampak pada tuturan di bawah ini. (19) BAGSATT (20) Cebong gobloknya permanen Bangsat adalah kepinding; kutu busuk; atau orang yang bertabiat jahat (terutama yang suka mencuri, mencopet, dan sebagainya) (KBBI Daring, 2016). Sementara itu, cebong adalah anak kodok yang masih kecil berwujud seperti ikan dan hidup di air; berudu (KBBI Daring, 2016). f. Bagian Tubuh Bagian tubuh manusia dijadikan sebagai makian, di antaranya adalah otak dan cocot. Berikut adalah tuturan yang menggunakan makian dari bagian tubuh manusia. (21) OTAK IBU DIMNA COBA (22) Meh modiar cocote ngawur Kata otak bermakna benda putih yang lunak terdapat di dalam rongga tengkorak yang menjadi pusat saraf; benak; alat berpikir; pikiran (KBBI Daring, 2016). Cocot adalah ungkapan dari bahasa Jawa paling kasar untuk menyebut kata mulut. g. Kekerabatan Kekerabatan juga digunakan untuk menyatakan makian. Hal itu tampak pada tuturan berikut. (23) Nenek nenek juga butuh panggung ya haha฀ (24) Nenek dosa besar lo Nenek adalah ibu dari ayah atau dari ibu atau sebutan kepada perempuan yang sudah tua (KBBI Daring, 2016). h. Aktivitas Makian yang bereferensi aktivitas adalah pemakaian kata mabok. 192 (25) mabok Mabok adalah berasal dari bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia disebut mabuk. Kata mabuk bermakna berasa pening atau hilang kesadaran (karena terlalu banyak minum minuman keras, makan gadung, dan sebagainya); berbuat di luar kesadaran; lupa diri (KBBI Daring, 2016). i. Bau Bau juga digunakan untuk mengungkapkan ketidaksukaan ataupun kemarahan. (26) nget bu ud bau tanah (27) Busuk Penutur sangat marah kepada mitra tutur sehingga mengeluarkan kata makian seperti tampak pada tuturan (26) dan (27). Tuturan (26) menggunakan makian bau tanah yang bermakna sebentar lagi akan meninggal. Sementara itu, tuturan (27) menggunakan makian kata busuk yang bermakna berbau tidak sedap (KBBI Daring, 2016). j. Kesehatan Mental Makian yang berkaitan dengan kesehatan mental atau pikiran tampak pada tuturan berikut. (28) Gak usah bawa agama tolol (29) wong edan kui bebas (30) Otak sakit jiwa puisi macam apa Tuturan di atas menggunakan kata tolol, wong edan, dan otak sakit jiwa. Kata tolol bermakna sangat bodoh atau bebal, wong edan bermakna orang gila, dan otak sakit jiwa bermakna tidak stabil dalam berpikir. k. Hal Gaib Referensi berikutnya adalah berkaitan dengan hal gaib. Gaib adalah sesuatu yang tidak kelihatan; tersembunyi; tidak nyata (KBBI Daring, 2016). (31) Dajjal telah muncul (32) jahanam menunggu mu nek!!! Kata dajal dan jahanam digunakan untuk memaki. Dajal adalah setan yang datang ke dunia apabila kiamat sudah dekat (berupa raksasa); orang yang buruk kelakuannya; penipu; pembohong (KBBI Daring, 2016). 193 Sementara itu, kata jahanam bermakna terkutuk; jahat sekali; celaka; binasa; laut api tempat menyiksa di akhirat. Jahanam adalah neraka tempat penyiksaan yang memiliki tujuh pintu dan setiap pintu (tingkat), telah ditetapkan untuk golongan tertentu dari para makhluk-Nya. l. Benda-Benda Benda-benda seperti kondom, ampas, najis, dan kain kafan dijadikan sebagai makian. Hal tersebut tampak pada tuturan berikut. (33) AKIBAT KONDOM BOCOR YA BGNI JADI NYA (34) AMPAAAAAASSSS.. (35) ih najissss (36) nenek..nih kain kafan Kondom adalah alat kontrasepsi keluarga berencana yang terbuat dari karet dan pemakaiannya dilakukan dengan cara disarungkan pada kelamin laki-laki ketika akan bersanggama. Ampas adalah sisa barang yang telah diambil sarinya atau patinya; sesudah tidak berguna lagi lalu dibuang (tidak dipedulikan lagi). Najis adalah kotor yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah, seperti terkena jilatan anjing; kotoran (tinja, air kencing); atau jijik. Kain kafan adalah kain (putih) pembungkus mayat. m. Profesi Profesi seniman juga dijadikan referensi untuk makian. Hal ini tampak pada tuturan berikut. (37) Seniman kopet Kata seniman bermakna orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya). Kata kopet dalam bahasa Jawa bermakna tidak cebok. Jadi, seniman kopet bermakna seniman yang menjijikan. o. Usia Referensi makian yang terakhir adalah berkaitan dengan usia. (38) Tuek ape bongko kok gawe heboh (39) Dh tua kaw nek.. Kata tua bermakna sudah lama hidup; lanjut usia (tidak muda lagi). Kata tua diungkapkan dengan kata tuek yang bermakna tua sekali. 194 C. SIMPULAN Makian merupakan salah satu wujud dalam memperlihatkan emosi penutur. Bentuk makian dalam kolom komentar di youtube milik LN News adalah berbentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat minor. Sementara itu, makian tersebut bereferensi dengan tokoh cerita, bumbu masak, keadaan, sifat, binatang, bagian tubuh, kekerabatan, aktivitas, bau, kesehatan mental, hal gaib, benda-benda, profesi, dan usia. Daftar Pustaka Alwi, Hasan. 1995. Teori dan Metode Sosiolinguistik (Terjemahan). Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Crystal, David. 1995. The Cambridge Encyclopedia of The English Language. Cambridge: Cambridge University Perss. https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses 3 April 2018. https://www.youtube.com/watch?v=-f9zwU5Fs8s, diakses pada tanggal 6 April 2018. Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics. Philadelpia: University of Pensylvania Press. Jakobson, Roman. 1985. Verbal Art, Verbal Sign, Verbal TimeI. Pomorksa, Krystyna, and Stephen Rudy (Ed.). 2037 University Avenue Southeast, Minneapolis MN 55414, United States of America: University of Minnesota Press. Jannah, Almaidatul, Wahyu Widayati, dan Kusmiyati “Bentuk dan Makna Kata Makian di Terminal Purabaya Surabaya dalam Kajian Sosiolinguistik”, dalam jurnal FONEMA, Vol 4 No. 2, Desember, Tahun 2017, hlm. 4359. Kartomihardjo, Soeseno. 1983. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. 195 Khairah, Miftahul dan Sakura Ridwan. 2015. Sintaksis: Memahami Satuan Kalimat Perspektif Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara. Leech, Geoffrey. 1974. Semantics. Terjemahan Paina dan Soemitro. 1997. Semantik. Surakarta: UNS. Mansur, Ahmad. 1982. ‘Ilm Al-Lugah An-Nafsiy. Riyad: ‘imadah Syu’un alMaktabat-Jami’ah Al-Muluk Sa’ud. Montagu, Ashley. 1973. The Anatomy of Swearing. New York: Collier Macmillan Publishers. Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineks Cipta. Putri, Gloria Setyvani, "Adakah Kebenaran dalam Istilah "Generasi Micin"?" dari https://sains.kompas.com/read/2017/10/26/190800523/adakah -kebenaran-dalam-istilah-generasi-micin-, diakses pada tanggal 30 April 2018. Rosidin, Odin. 2010. “Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian, serta Alasan Penggunaan Makian oleh Mahasiswa”, dalam Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Linguistik, Universitas Indonesia. Sudaryanto, dkk. 1982. ”Kata-kata Afektif dalam Bahasa Jawa”. Laporan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta: Departemen Pendidikan. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolingistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolingistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I Dewa Putu. 2004. Makian dalam Bahasa Indonesia: Studi tentang Bentuk dan Referensinya. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Wijana, I Dewa Putu. 2008. “Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa” dalam Jurnal Humaniora Volume 20, Nomor 3. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. 196 HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan 1. Fitria Lonanda Pertanyaan: Apa perbedaan ujaran kebencian dengan makian? Jawaban: Ujaran kebencian atau hate speech adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Sementara itu, makian tidak berupaya untuk memprovokasi atau menghasut, tetapi lebih pada luapan kebencian, ketidaksenangangan, atau ketidaksetujuan atas sikap atau tuturan seseorang atau kelompok. Makian meruapakan alat pembebasan dari segala bentuk dan situasi yang tidak mengenakkan. 2. Sajarwa Pertanyaan:Bagaimana dengan masyarakat yang menganggap bahwa makian merupakan penanda keakraban? Jawaban: Memang benar ada sebagain masyarakat, misalnya Jawa Timur, menganggap makian seperti kata dancuk sebagai penanda keakraban. Namun, pada kasus di kolom komentar youtube milik LN News bukanlah penanda keakraban karena penutur dan mitra tidak saling mengenal. 3. I Gede Budasi Pertanyaan: Apakah dalam metode juga dijelaskan persoalan perbedaan budaya? Jawaban: Para komentator youtube berasal dari berbagai latar belakang budaya (multikultural). Oleh karena itu, budaya yang penulis ambil adalah budaya Indonesia. Budaya Indonesia memiliki nilai-nilai kesopanan dan kesantunan saat bertutur atau menyampaikan ujaran-ujaran di media sosial. Dalam budaya mana pun di Indonesia, memaki pasti melanggar etika berbahasa. 197 REDUPLIKASI PADA BAHASA MELAYU JAMBI DI KECAMATAN PELAYANGAN KOTA JAMBI Esy Solvera Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor Pos-el: esysolvera7@gmail.com Abstrak Reduplikasi atau kata ulang merupakan salah satu proses morfologis yang produktif dalam menghasilkan kata-kata baru. Kecamatan Pelayangan merupakan wilayah penduduk asli di Kota Jambi yang terletak di sepanjang aliran Sungai Batanghari di Kota Jambi. Wilayah tersebut memiliki keaslian budaya dan bahasa di tengah ramainya budaya dan bahasa pendatang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk dan (2) fungsi reduplikasi. Penelitian ini bermanfaat sebagai dokumentasi bahasa daerah. Jenis penelitianadalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Metode dan teknik pengumpulan data dilakukan melalui dua tahap secara bersamaan, yaitu metode simak dancakap dengan teknik rekam dan catat. Hasil penelitian meliputi duahal. Pertama, bentuk reduplikasiterdiri atas empat bentuk, yaitu (1) seluruh,(2) sebagian, (3) penambahan afiks, dan (4) perubahan fonem. Kedua, fungsi reduplikasi yang terbagi menjadi dua, yaitu (1) fungsi membentuk kelas kata baru, meliputi verba, adjektiva, nomina, serta adverbia, dan (2) fungsi membentuk makna baru, seperti makna banyak, banyak bermacam-macam, agak, menyerupai ,benar-benar, walaupun, berulang kali, saling, paling, dan seluruh. Kata kunci: reduplikasi, bahasa Melayu, Jambi, morfologis 1. Pengantar Provinsi Jambi memiliki banyak suku yang mendiaminya, yaitu Suku Kerinci, Suku Melayu, Suku Anak Dalam, Suku Batin, dan lainnya. Banyaknya suku yang berada di Provinsi Jambi menjadikan Provinsi Jambi 198 kaya akan bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dalam sebuah laporan penelitian yang dilakukan oleh linguis berkebangsaan asing, Anderback, terdapat pendapat Husin yang mengatakan bahwa ada enam bahasa yang digunakan di Provinsi Jambi, yaitu bahasa Melayu Jambi, bahasa Batin, bahasa Penghulu, bahasa Kubu, bahasa Kerinci, dan bahasa Bajau (Husin dalam Anderback, 2008:3). Bahasa Melayu Jambi adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar aliran Sungai Batanghari. Sungai Batanghari juga melintasi ibu kota Provinsi Jambi, yaitu Kota Jambi. Sungai Batanghari membelah Kota Jambi menjadi dua bagian, yaitu kota yang berkembang dan kota yang masih terjaga keasliannya yaitu wilayah Seberang.Kondisi tersebut menjadikan Kota Jambi seperti dua sisi mata koin, yaitu perkembangan peradaban modern dan pelestarian budaya Melayu Jambi. Wilayah Kota Jambi yang berkembang berada jauh dari Sungai Batanghari dan didiami oleh masyarakat yang beraneka ragam suku, seperti Minangkabau, Batak, Jawa, dan suku-suku lainnya. Bercampurnya suku-suku di wilayah berkembang Kota Jambi mengakibatkan bahasa yang digunakan juga bercampur. Adapun wilayah Seberang hanya terdiri dari masyarakat Melayu Kota Jambi yang secara turun-temurun menetap di sepanjang aliran Sungai Batanghari sehingga bahasa yang digunakan hanya satu bahasa, yaitu Bahasa Melayu Jambi yang merupakan bahasa asli Kota Jambi. Masyarakat Jambi Seberang tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Danau Teluk dan Kecamatan Pelayangan. Untuk memasuki wilayah Seberang, masyarakat akan melewati sebuah gerbang pembuka yang memisahkan wilayah Seberang dengan wilayah lainnya. Jalan menuju wilayah Seberang hanya berpusat pada satu jalan utama yang yang searah dengan alur sungai Batanghari. Kecamatan Danau Teluk adalah kecamatan pertama yang akan dilalui masyarakat, kemudian diakhiri dengan Kecamatan Pelayangan. Pada penelitian ini, kecamatan Pelayangan dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan lokasi Kecamatan Pelayangan lebih jauh dari pusat kota dibandingkan Kecamatan Danau Teluk. Peneliti beranggapan bahwa jauhnya letak Kecamatan Pelayangan dari pusat kota menjadikan bahasa yang digunakan masyarakat Kecamatan Pelayangan masih terjaga dari bercampurnya bahasa tersebut dengan bahasa lain (bahasa pendatang). 199 Penelitian bidang morfologi bahasa Melayu Jambi di wilayah Seberang Kota Jambi masih jauh terbelakang bila dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di Indonesia, sedangkan morfologi merupakan bidang yang sangat penting untuk mengenal suatu bahasa. Bloomfield (1933:207) mengatakan bahwa perbedaan struktur bahasa lebih banyak dapat dikenal melalui bidang kebahasaan yang paling statis (tidak mudah berubah), yaitu morfologi. Secara khusus bidang penelitian ini adalah reduplikasi atau proses pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar. Penelitian dilakukan melalui metode simak dan cakap dengan teknik lanjutan rekam dan catat. 2. Reduplikasi pada Bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi Hasil penelitian reduplikasi ini berupa dua hal, yaitu (1) bentuk reduplikasi dan (2) fungsi reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Data penelitian berjumlah 338 data yang kemudian dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian seperti di atas. Berikut ini penjelasan mengenai bentuk dan fungsi reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. 2.1 Bentuk Reduplikasi Ada banyak pendapat ahli linguisitik yang dijadikan rujukan, sepertiRamlan (1987:69), Muslich (2008:52), Kridalaksana (1996:88), dan Parera (1988:46).Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori reduplikasi menurut Muslich (2008:52). Bertolak dari pendapat Muslich (2008:52) tentang bentuk reduplikasi pada bahasa Indonesia, bentuk reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi terdiri dari empat bentuk, yaitu (1) reduplikasi seluruh, (2) reduplikasi sebagian, (3) reduplikasi dengan penambahan afiks, dan (4) reduplikasidengan perubahan fonem. 2.1.1 Reduplikasi Seluruh Pada reduplikasi seluruh, bentuk dasar akan diulang secara keseluruhan tanpa penambahan atau pengurangan fonem. Rumus reduplikasi seluruh adalah dasar (D) + reduplikasi (R). Berikut ini contohnya. 1. D 136 lokak-lokak ‘pekerjaan-pekerjaan’ 2. D6 tedok-tedok ‘tidur-tidur’ 200 3. D 27 kagi-kagi ‘nanti-nanti’ 2.1.2 Reduplikasi Sebagian Pada reduplikasi sebagian, bentuk dasar akan diulang secara sebagian saja yang dapat terjadi pada suku kata awal ataupun suku kata akhir bentuk dasar. Rumus reduplikasi sebagian adalah dasar (D) + reduplikasi sebagian (RS). Rumus tersebut dapat pula dibalik menjadi reduplikasi sebagian (RS) + dasar (D).Berikut ini contohnya. 4. D 316 pembesak-besak ‘pembesar-besar’ 5. D 104 beleak-leak 6. D 34 kecik-keciki 2.1.3 ‘berantakan-berantakan’ ‘kecil-kecilkan’ Reduplikasi dengan Penambahan Afiks Reduplikasi dengan penambahan afiks adalah pengulangan bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama. Afiks yang ditambahkan dapat berupa prefiks, konfiks, sufiks, dan kombinasi afiks. Afiks yang ditambahkan dapat berupa se-e, ke-an, -an.Berikut ini contohnya. 7. D 318 seaning-aninge ‘sedengar-dengarnya’ 8. D 308 kebudak-budakan 9. D 258 ruma-rumaan 2.1.4 ‘kekanak-kanakan’ ‘rumah-rumahan’ Reduplikasi dengan Perubahan Fonem Reduplikasi dengan perubahan fonem adalah bentuk dasar + reduplikasi yang mengalami perubahan fonem  kata ulang dengan perubahan fonem. Reduplikasi dengan perubahan fonem ditemukan paling sedikit pada data penelitian. Berikut ini contohnya. 10. D 160 warno-warni ‘warna-warni’ 11. D 14 bolak-balek 12. D 307 mencang-mencong ‘bolak-balik’ ‘tidak lurus’ 2.2 Fungsi Reduplikasi 201 Untuk fungsi reduplikasi, ada banyak pendapat ahli linguisitik yang dijadikan rujukan, sepertiKeraf (1980:120), Ramlan (1987:106), danKridalaksana (1996:91). Ada pula pendapat ahli yang didapat dari penelitian bahasa daerah, seperti penelitian bahada Sunda (Sutawijaya, 1981), bahasa Bugis (Kaseng, 1983), bahasa Gorontalo (Tallei, 1983), dan bahasa Bali (Bawa, 1984).Hasil dari rujukan tersebut berupa fungsi reduplikasi yang terbagi menjadi dua, yaitu (1) fungsi membentuk kelas kata baru dan (2) fungsi membentuk makna baru. Berikut ini fungsi reduplikasi. 2.2.1 Fungsi Membentuk Kelas Kata Baru Fungsi membentuk kelas kata baru merupakan fungsi reduplikasi yang dapat mengubah kelas kata bentuk dasar menjadi kelas kata lainnya setelah mengalami reduplikasi. Maksudnya, jika kelas kata bentuk dasar adalah verba, setelah reduplikasi dapat berubah menjadi adverbia, atau bentuk kelas kata lainnya. Namun tidak semua bentuk kelas kata reduplikasi berubah dari kelas kata bentuk dasarnya, dengan kata lain kelas kata reduplikasi masih sama. Berikut ini perubahan kelas kata karena reduplikasi. 2.2.1.1 Membentuk Verba 13 D 333 berse-berse ‘bersih-bersih’ Adj – V 14. D 336 agak-agak 2.2.1.2 Membentuk Adjektiva 15. D 308 kebudak-budakan 16. D 241 toron-temoron 2.2.1.3 Membentuk Nomina 17. D 79 toles-menoles 18. D 147 mambu-mambu 2.2.1.4 Membentuk Adverbia 21. D 284 pagi-pagi 22. D 334 kiro-kiro ‘agak-agak’ Adv – V ‘kekanak-kanakan’ N – Adj ‘tulis-menulis’ V–N ‘pagi-pagi’ N – Adv ‘turun-temurun’ ‘bau-bau busuk’ ‘kira-kira’ V – Adj Adj – N V – Adv 2.2.2 Fungsi Membentuk Makna Baru 202 Makna yang dihasilkan reduplikasi dapat berupa makna yang sama dengan makna bentuk dasar dan dapat pula makna yang berbeda dari makna bentuk dasar. Jikalau makna reduplikasi berubah dari makna bentuk dasar, maka reduplikasi tersebut memiliki fungsi membentuk makna baru. Misalnya, jika makna bentuk dasar adalah tunggal, setelah terjadi pengulangan kata (reduplikasi), makna dapat menjadi banyak.Berikut ini makna-makna baru yang terbentuk karena proses reduplikasi. 2.2.2.1 Makna Banyak 23. D 26 sere-sere ‘serai-serai’ 24. D 209 budak-budak 'anak-anak’ 2.2.2.2 Makna Banyak dan Beracam-macam 25. D 160 warno-warni ‘warna-warni’ 26. D 37 Dedoetan 2.2.2.3 Makna Agak 27. D 184 kemera-meraan 28. D 100 keelok-elokan 2.2.2.4 Makna Menyerupai 29. D 263 antu-antuan 30. D 258 ruma-rumaan 2.2.2.5 Makna Benar-benar 31. D 96 elok-elok 32. kemerah-merahan kecantik-cantikan hantu-hantuan rumah-rumahan baik-baik benar-benar benar-benar 2.2.2.6 Makna Walaupun 33. D 151 besak-besak besar-besar 34. D2 ‘deduitan’ lapar-lapar lapar-lapar 2.2.2.7 Makna Berulang Kali 35. D 6 tedok-tedok tidur-tidur 36. 2.2.2.8 D 252 D 28 tekagi-kagi nanti-nanti Makna Saling 203 37. D 228 bebala-bala berkelahi-kelahi 38. D 224 pancit-pancitan sembunyi-sembunyian 2.2.2.9 Makna Paling 39. D 287 secane-canee 40. D 98 Seelok-eloke 2.2.2.10 Makna Seluruh 41. D 226 sebanjir-banjir 42. D 132 sesangkek-sangkek sebenci-bencinya sebaik-baiknya sebanjir-banjir seplastik-plastik 3. Penutup Simpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk reduplikasi dan aspek fungsi reduplikasi. 2. Temuan penelitian yang pertama adalah bentuk reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Bentuk reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi dikelompokkan menjadi empat bentuk berdasarkan proses reduplikasinya, yaitu (1) bentuk reduplikasi seluruh, (2) bentuk reduplikasi sebagian, (3) bentuk reduplikasi dengan penambahan afiks, dan (4) bentuk reduplikasi dengan perubahan fonem. 3. Temuan penelitian selanjutnya adalah fungsi reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi. Fungsi reduplikasi pada bahasa Melayu Jambi di Kecamatan Pelayangan Kota Jambi dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) fungsi reduplikasi sebagai pembentuk kelas kata baru dan (2) fungsi reduplikasi sebagai penghasil makna baru. Pertanyaan 1. Apakah ada reduplikasi fonologis pada bahasa Melayu Jambi? 2. Apakah satu kata reduplikasi dapat memiliki lebih dari satu makna? 204 3. Apakah dapat berterima sebuah bentuk reduplikasi tidak diulang pada kata majemuk? Contohnya rendang paru, bukan rendang paru-paru. Daftar Pustaka Anderback, Karl Ronald. 2008. “Malay Dialects of The Batanghari River Basin Jambi Sumatera”. SIL International. www.sil.org. Texas, USA: Library of Congress Catalog Number: 2007-942663. Bawa, I Wayan, dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bloomfield, Leonard. 1993. Language. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers. Kaseng, Sjahruddin, dkk. 1983. Sistem Perulangan Bahasa Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Keraf, Gorys. 1980. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas. Ende: Nusa Indah. Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Muslich, Masnur. 2008. Tatabentuk bahasa Indonesia: kajian ke arah tatabahasa deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara. Parera, Jos Daniel. 1988. Morfologi. Jakarta: Gramedia. Ramlan, M. 1987. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Sutawijaya, Alam, dkk. 1981. Sistem Perulangan Bahasa Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Tallei, dkk. 1983. Sistem Perulangan (Reduplikasi) Bahasa Gorontalo. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 205 SENYAPAN DALAM RANAH KEJURUBAHASAAN Febriansyah Ignas Pradana* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: ignaspradana@gmail.com A B S T R A K Senyapan merupakan salah satu bukti bahwa dalam tuturan, penutur melalui proses yang kompleks. Senyapan termasuk kajian pada ranah psikolinguistik. Senyapan muncul hampir dalam setiap tuturan manusia dalam berbagai bahasa dan terbagi menjadi tiga jenis. Senyapan tersebut memiliki bentuk dan fungsi tertentu dalam tuturan. Terkait ranah kejurubahasaan, senyapan dijumpai ketika seorang juru bahasa memindahkan sebuah pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) apa saja bentuk dan fungsi senyapan yang ditemukan dalam sebuah acara yang melibatkan peran juru bahasa, dan (2) bagaimana seorang juru bahasa menerjemahkan bentukbentuk senyapan yang muncul ketika bertugas, serta (3) mengapa juru bahasa menerjemahkan bentuk-bentuk senyapan yang muncul ketika bertugas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan peran serta seorang juru bahasa. Data diambil dari video yang tersedia di laman youtube untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik lanjutan lesap. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat tiga jenis bentuk senyapan yang ditemukan dalam sebuah acara yang melibatkan peran seorang juru bahasa, (2) juru bahasa cenderung tidak menerjemahkan bentuk-bentuk senyapan yang muncul, dan (3) juru bahasa menerjemahkan senyapan dipengaruhi oleh faktor non-teknis. Kata kunci: senyapan, tuturan, psikolinguistik, penerjemahan, kejurubahasaan. 206 PENDAHULUAN Untuk memproduksi sebuah tuturan, manusia melalui sebuah proses yang kompleks. Menurut Dardjowidjojo (2012: 141) proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi. Pada kenyataannya, walaupun semua tuturan melalui proses yang kompleks sebagaimana dipaparkan di atas, tidak semua tuturan dapat dituturkan secara ideal. Tidak jarang sebuah tuturan disertai dengan jeda panjang atau bunyi-bunyi seperti em, e, atau kalimat seperti apa?, apa namanya itu?, pengulangan kata, dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut dikategorikan sebagai bentuk senyapan (Dardjowidjojo, 2012: 144). Fraundorf & Watson (2013) mendefinisikan senyapan sebagai bentuk gangguan verbal maupun nonverbal yang tidak berhubungan atau menjadi bagian dari pesan utama yang ingin disampaikan penutur. Senyapan dalam tuturan banyak muncul dalam kegiatan penerjemahan, khususnya penerjemahan lisan. Penerjemahan lisan atau lazim disebut kejurubahasaan secara definitif adalah “the oral transposition of an orally delivered message at a conference or a meeting from a source language into a target language in the presence participants” (Weber, 1984: 3). Penerjemahan lisan dibagi menjadi penerjemahan lisan simultan dan konsekutif. Pada penerjemahan lisan simultan, seorang juru bahasa menerjemahkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara bersamaan dengan penutur. Pada penerjemahan lisan konsekutif, juru bahasa menerjemahkan pesan yang dikirim setelah penutur selesai menuturkan tuturannya (Santiago, 2002). Merujuk pernyataaan tersebut, keberadaan seorang juru bahasa dalam sebuah acara atau konferensi sangatlah penting. Juru bahasa harus mampu memindahkan sebuah pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan baik sehingga tercapailah tujuan dari sebuah konferensi. Dalam proses penyampaian pesan dan gagasan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran seringkali terjadi ketidaklancaran tuturan yang menimbulkan bentuk-bentuk senyapan tertentu. Senyapan tersebut bisa berasal dari dua belah pihak penutur, juga dari juru bahasa yang sedang bertugas di antaranya. Contoh tuturan berikut merupakan contoh-contoh senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan seorang juru bahasa. 206 (1) jadi | ... | jadi anda tidak mengetahui apa yang | … (www.youtube.com/watch?u=m89sP7YQdJg) (2) You | ... | you are | not allowed to take photos ‘anda | … | anda tidak diperbolehkan untuk mengambil foto’ (www.youtube.com/watch?u=m89sP7YQdJg) Bentuk-bentuk senyapan yang muncul tersebut memiliki kekhasan, baik secara bentuk dan fungsinya. Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini akan difokuskan pada (1) apa sajabentuk dan fungsi senyapan dalam sebuah acara yang melibatkan peran serta juru bahasa, (2) mengetahui bagaimana dan mengapa juru bahasa menerjemahkan senyapan yang dituturkan kedua belah pihak penutur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk senyapan yang muncul ketika seorang juru bahasa bertugas. Data diambil dari sebuah video yang menayangkan proses interogasi atas kasus kekerasan pada anak di bawah umur yang dilakukan oleh warga negara Australia yang sedang berlibur di Indonesia. Dalam video yang diunduh dari laman youtube tersebut, di dalamnya terlibat peran serta seorang juru bahasa. Data selanjutnya dianalisis melalui metode agih dengan teknik lanjutan lesap (Sudaryanto, 1993). TINJAUAN PUSTAKA Tentang kaitan antara bentuk senyapan dengan penerjemahan lisan khususnya di Indonesia belum banyak diteliti oleh para peneliti sebelumnya. Peneliti menemukan beberapa penelitian tentang senyapan seperti pada tesis dari Fida Pangeti (2015) yang berjudul “Senyapan dalam Bahasa Indonesia” dan penelitian mengenai penerjemahan lisan yang dilakukan oleh Umi Pujiyanti (2009) dengan tesisnya yang berjudul “Kajian Penerjemahan Lisan Simultan pada Japan Automobile Research Institute (JARI) Roundtable 2008: Efforts for Air Pollution Reduction”. Pada penelitian tersebut dibahas mengenai strategi-strategi seorang juru bahasa dalam sebuah konferensi formal. Dari penelitian-penelitian tersebut didapatkan beberapa persamaan yang mendukung penelitian ini. Persamaan tersebut antara lain pembahasan mengenai bentuk dan fungsi senyapan, pun pembahasan mengenai strategi penerjemahan pada penerjemahan lisan. Perbedaan terletak pada kajian penelitian yang mana pada penelitian ini berfokus 207 pada senyapan yang muncul dalam sebuah acara yang melibatkan seorang juru bahasa dan bagaimana serta mengapa juru bahasa menerjemahkan bentuk-bentuk senyapan yang muncul tersebut. KERANGKA TEORI Bentuk-bentuk Senyapan Dalam hal ini, Heike (1985) mengajukan tiga kategori untuk senyapan tersebut, yaitu stalls, repairs, dan parenthetical remarks. Stalls mencakup senyapan diam, senyapan terisi, pengulangan progresif, dan pemanjangan. Sebuah senyapan dikategorikan sebagai senyapan diam jika memiliki durasi melebihi durasi senyapan pada tuturan normal. Senyapan yang berupa hadirnya pengisi seperti er, em, eh, dan sebagainya dikategorikan sebagai senyapan terisi. Pengulangan progresif mengakomodasi pencarian kata, seperti pada to the … to the city. Adapun pemanjangan digunakan untuk mengulur waktu sampai kata yang dibutuhkan oleh penutur berhasil ditemukan, seperti pada let’s saaay … tomorrow at five?. Repairs mencakup false starts dan bridging repeat. False starts mengacu pada penyusunan ulang kalimat yang sudah terlanjur diujarkan dengan atau tanpa disertai perubahan makna. Biasanya kalimat yang sudah terlanjur diujarkan itu belum sampai selesai atau belum lengkap. Misalnya, I was in—I have been in Denver before…. Sementara itu, bridging repeat yaitu pengulangan elemen secara retrogesif untuk mencari konstituen awal yang memiliki kohesi secara semantik maupun temporal. Misalnya, the … | pause | … the father; the father vs. father. Pada contoh tersebut dapat dilihat bahwa father dan the father secara semantik memiliki makna dan pengacuan yang berbeda. Adapun parenthetical remark ‘kata-kata sisipan’ memerankan beberapa fungsi kohesif yang tidak sepenuhnya ditetapkan. Parenthetical remark ini lazimnya merupakan bentuk koreksi kesalahan atau kekurangtepatan tuturan. Misalnya, well, you know, in other words, dan sebagainya. Lebih lanjut peneliti menuangkan teori dari Heike (1985) mengenai bentukbentuk senyapan dalam bagan berikut. Fungsi-fungsi Senyapan Garman (1990:130) menyatakan bahwa senyapan memiliki fungsi fisiologis, komunikatif, dan kognitif. Secara fisiologis, senyapan digunakan 208 oleh penutur untuk bernafas. Secara komunikatif, senyapan digunakan untuk memperjelas struktur sintaksis tuturan sehingga memudahkan mitra tutur untuk memahami pesan penutur. Adapun secara kognitif, senyapan digunakan oleh penutur untuk merencanakan tuturan. Dalam hal ini, tampaknya senyapan ketidaklancaran tuturan lebih condong pada fungsi ketiga daripada fungsi pertama dan kedua. Di samping itu, senyapan juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol kualitas tuturan (Reed, 2000) Pengertian Penerjemahan Lisan Layaknya pada jenis penerjemahan lain, beragam definisi juga disampaikan oleh beberapa ahli tentang penerjemahan lisan. Satu diantaranya diungkapkan Jones (1998: 71) bahwa pada hakekatnya penerjemahan lisan merupakan suatu proses pengalihan pesan lisan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan proses berupa listening, understanding, analysing, and re-expressing. Faktor-faktor dalam Penerjemahan Lisan Secara umum, ada dua hal yang mempengaruhi kemampuan penerjemah mengalihkan pesan pada proses penerjemahan lisan yakni faktor teknis dan faktor non-teknis. Faktor Teknis Faktor teknis adalah segala faktor yang berkaitan dengan kondisi fisik berlangsungnya proses penerjemahan. Beberapa hal yang bisa dikategorikan sebagai faktor teknis adalah kondisi ruangan konferensi, peralatan yang digunakan oleh pembicara dan oleh penerjemahan seperti mikrofon, sound systems, head set, dan sebagainya. Secara detail, Seleskovitch (1978: 128) membedakan tiga kondisi yang dialami penerjemah jika peralatan fisik yang dia butuhkan tidak dalam kualitas prima. Ketiga kondisi tersebut adalah (1) Those who can hear and understand, (2) Those who hear without understanding, dan (3) Those who do not hear at all. Faktor Non-Teknis Nababan (2004: 54) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor nonteknis yang menjadi pertimbangan dan dinilai memiliki pengaruh terhadap proses penerjemahan lisan. Hal tersebut mencangkup (1) siapa pembicaranya, (2) apa kebangsaannya, apa dan bagaimana latar belakang budayanya, bagaimana ”dunia pikirannya”, apa yang diharapkannya dari 209 pertemuan atau dialog itu, apa posisi pemerintahannya dalam negosiasi itu, dan (3) apa dan bagaimana pandangan pribadinya. Kemampuan berbicara dan berkomunikasi secara efektif— meliputi intonasi, diksi, mimik wajah, dan gesture—di depan umum juga merupakan faktor penting penentu keberhasilan dalam penyampaian pesan. Terkait dengan penutur, Pöchhacker (2001: 126-131) menjelaskan bahwa selama proses menerjemahkan lisan, penerjemah akan berhadapan dengan input variables. Input variables ini berupa sound and vision, accent and intonation, speed and mode of delivery, dan source text complexity. Teknik-teknik dalam Penerjemahan Lisan Jones (1998: 88-119) menjelaskan beberapa teknik yang bisa dipergunakan dalam penerjemahan lisan, yaitu: a. Reformulasi Contohnya adalah kata ‘shallow’ (physical sense of water not being deep) tidak memiliki padanan makna dalam bahasa Perancis. Jadi ketika penerjemah harus menerjemahkan ke dalam bahasa Perancis: “Barges cannot use the river in summer because it is too shallow”, maka penerjemah bisa menerjemahkannya menjadi “Barges cannot use the river in summer because it is not deep enough”. b. Teknik Salami atau Pemotongan Jones (1998: 101) menyatakan salami technique adalah “… divide the one long sentence up into a number of shorter one”. c. Penyederhanaan Teknik ini membutuhkan kemampuan juru bahasa untuk mengorbankan unsur-unsur yang kurang penting demi unsur lain yang lebih penting. d. Penggunaan Bentuk Umum atau Generalisasi Jones (1998: 112) menjelaskan bahwa teknik ini lebih tepat digunakan oleh juru bahasa dengan tujuan menghemat waktu terutama jika penutur asli menuturkan sejumlah istilah teknis yang bisa dicarikan bentuk umumnya. e. Penghilangan atau Omission (under duress) and fast speakers 210 Teknik penghilangan ini biasanya dilakukan oleh penerjemah ketika dia berada dalam paksaan atau ketika penutur aslinya berbicara terlalu cepat. f. Ringkasan dan Rekapitulasi Jones (1998:115) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan meringkas bukanlah memberikan ringkasan dari keseluruhan teks yang disampaikan oleh penutur asli. Ringkasan disini adalah tambahan yang diberikan oleh penerjemah sebagai informasi tambahan yang tentunya masih mengacu pada pokok bahasan yang sedang dibicarakan oleh penutur utama. Secara umum, ringkasan ini berasal dari interpretasi penerjemah terhadap isu yang disampaikan oleh penutur bahasa. Teknik ini juga bisa disebut dengan penambahan (addition). g. Penerjemahan Harfiah Teknik penerjemahan yang mengalihkan suatu ungkapan dalam bahasa sumber secara kata per kata ke dalam bahasa sasaran. h. Penjelasan atau Explanation i. Contoh yang diberikan oleh Jones (1998:116) adalah ketika juru bahasa diminta untuk menerjemahkan ‘the TGV’ [= train grande vitesse = high-speed train]. ‘TVG’ ini tidak hanya sekedar ‘kereta cepat’ biasa, TVG lebih memiliki makna ‘kereta cepat milik Perancis’. Oleh karena itu, ketika menerjemahkan ‘the TVG’, penerjemah lebih baik menerjemahkannya menjadi ‘the French high-speed train’. Antisipasi Teknik inilah yang memberikan kesempatan bagi para juru bahasa untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan sebelum mulai menerjemahkan, seperti (1) konteks pertemuan, (2) speech patterns dan rhetorical structures, mengingat kedua hal ini berbeda untuk setiap bahasa yang ada, (3) jika penerjemah telah yakin akan akhir sebuah kalimat, maka dia bisa melakukan antisipasi dengan menggunakan bahasanya sendiri. 211 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dari data yang telah dijaring dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik lanjutan lesap, ditemukan hasil berupa (1) 61 bentuk senyapan yang terbagi dalam 3 kategori senyapan, yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks, (2) kategori senyapan yang paling banyak muncul adalah stalls, berbentuk senyapan pengulangan (repetitif) dengan frekuensi kemunculan senyapan sebanyak 26 kali, (3) senyapan yang muncul memiliki fungsi fisiologis, komunikatif, dan kognitif, (4) fungsi senyapan yang paling dominan adalah fungsi kognitif, (5) juru bahasa cenderung tidak menerjemahkan senyapan, hal ini dibuktikan dari keseluruhan data yang ditemukan, sebesar 8,5% bentuk senyapan diterjemahkan oleh juru bahasa, dan (6) juru bahasa menerjemahkan senyapan menggunakan teknik generalisasi, penerjemahan harfiah dan penambahan, serta (7) penerjemah memilih untuk menerjemahkan senyapan dipengaruhi oleh faktor non-teknis. Pembahasan Menjelaskan yang telah disebutkan pada sub bab V.1. di atas, pada sub bab ini pembahasan meliputi, Bentuk Senyapan Terdapat 61 bentuk senyapan yang terbagi dalam 3 kategori senyapan, yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks. Pada kategori stalls ditemukan data berupa (a) senyapan terisi non leksikal, berbentuk emm pada emm | … | jadi begitu ya (17.19) dan e pada tuturan e | … | isyarat seperti ini | artinya apa ya (18.40), (b) senyapan repetitif, berupa I | ... | I don’t think so (14.49), dan is it | ... | is it the right things to do (22.11). Pada kategori repairs senyapan berbentuk (a) false starts, berupa kenapa | ... | apa alasan polisi (19.41), to assault | ... | to resist (22.08) dan I didn’t know | ... | I didn’t understand (13.47), dan (b) bridging repeat, berupa no | ... | not at all (17.34). Selanjutnya pada kategori parenthetical remarks, ditemukan data berupa well pada I didn’t | well | I just want (17.07), look pada look | … | I do not think (11.50), and pada and | … | and you aware that (14.49) dan oke pada oke | … | kami mengerti (20.33). 212 Fungsi Senyapan Fungsi fisiologis terlihat ketika penutur menggunakan senyapan diam pada menit ke 21. Fungsi komunikatif terlihat pada menit ke-17 detik 07 berupa well pada I didn’t | well | I just want (17.07). Selanjutnya, fungsi kognitif dapat dilihat pada contoh data ketika penutur menggunakan senyapan em dalam kalimat em | apakah ada yang memaksa anda? (22.36) dan it ... it was an accident (19.54). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penutur menggunakan senyapan repetitif berupa it pada it ... it was an accident karena penutur mencoba menyusun kalimat selanjutnya yang akan dituturkan berdasarkan pengalaman empiris yang terjadi pada penutur. Juru Bahasa Menerjemahkan Senyapan Juru bahasa cenderung tidak menerjemahkan bentuk senyapan yang muncul pada bahasa sumber ke bahasa sasaran. Pada data yang ditemukan oleh peneliti, dari 47 bentuk senyapan, baik pada bahasa Indonesia dan bahasa Inggris hanya 4 bentuk senyapan yang diterjemahkan oleh juru bahasa atau sebesar 8,5%. Dalam menerjemahkan senyapan, juru bahasa menggunakan tiga teknik penerjemahan, yaitu teknik generalisasi, penerjemahan harfiah dan penambahan. Pada teknik generalisasi juru bahasa menggunakan bentuk yang lebih umum pada bahasa sasaran. Terlihat ketika juru bahasa menerjemahkan I didn’t know ... I didn’t understand (13.42) menjadi saya tidak tahu ... saya tidak tahu (13.48). Pada teknik penerjemahan harfiah, juru bahasa menerjemahkan pesan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara literal. Dapat dilihat ketika juru bahasa menerjemahkan I ... I think (14.49) menjadi saya ... saya merasa (15.03). Selanjutnya, pada teknik penambahan dapat dilihat ketika juru bahasa menambah bentuk senyapan yang muncul dalam bahasa sumber and I don’t … (15.24) menjadi saya tidak tahu ... saya tidak merasa (15.31) pada bahasa sasaran. Mengapa Juru Bahasa Menerjemahkan Senyapan Faktor non-teknis yang mempengaruhi juru bahasa dalam menerjemahkan senyapan yang hadir ialah (1) ketidaksiapan juru bahasa sebelum melaksanakan tugas. Pada video yang berisi interogasi pada warga Negara Australia yang melakukan kekerasan pada anak di bawah umur tersebut, pihak yang terkait menghubungi juru bahasa secara spontan karena pihak yang terkait tidak mampu berkomunikasi dengan 213 baik. Dapat dipahami bahwa kekurangan waktu yang dimiliki oleh juru bahasa menyebabkan juru bahasa kurang memahami mengenai topik apa yang akan dibicarakan. Selanjutnya (2) peneliti menganggap bahwa senyapan yang muncul dari bahasa sumber adalah hal yang tidak bisa dihilangkan. Ini dikarenakan senyapan yang muncul mengandung penegasan dari penutur dalam bahasa sumber. Terlihat ketika juru bahasa menerjemahkan I didn’t know ... I didn’t understand (13.42) menjadi saya tidak tahu ... saya tidak tahu (13.48). KESIMPULAN Pada penelitian ini peneliti menemukan 61 senyapan dalam sebuah acara yang melibatkan peran seorang juru bahasa. Senyapan tersebut terdiri dari tiga kategori, yaitu stalls, repairs dan parenthetical remarks. Fungsi senyapan yang ditemukan berupa fungsi fisiologis, komunikatif dan kognitif, dimana fungsi terbanyak ialah fungsi kognitif. Juru bahasa menerjemahkan senyapan yang muncul sebesar 8,5% dengan menggunakan teknik generalisasi, penerjemahan harfiah dan penambahan. Juru bahasa memilih untuk menerjemahkan senyapan dipengaruhi oleh faktor non-teknis. Faktor non-teknis tersebut adalah (1) ketidaksiapan juru bahasa sebelum melaksanakan tugas, dan (2) peneliti menganggap bahwa senyapan yang muncul dari bahasa sumber adalah hal yang tidak bisa dihilangkan. DAFTAR PUSTAKA Dardjowidjojo. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Fraundorf, S. Watson, D.G. 2013. What Happened (and What didn’t). Journal of Memory and Language Garman, Michael. 1990. Psycholinguistics. Cambridge University Press Heike, A. E. 1985. A Componential Approach to Oral Fluency Evaluation. The Modern Language Journal. Jones, R. 1996. Conference Interpreting Explained. Manchester, UK: St. Jerome Publishing 214 Nababan, M. R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________. 2004. Pengantar Pengalihbahasaan (Interpreting). Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Pöchhacker, Franz. 2004. Introducing Interpreting Studies. New York: Routledge. Reed, Mike. 2000. The Limits of Discourse Analysis. US: Sage Journals Santiago,R. 2002. Consecutive Interpreting: A http://home.earthlink.net/-terperto/id16.html Brief Review. In Seleskovitch. 1978. Interpreting for International Conferences: Problems of Language and Communication. Washington D.C.: Pen and Booth (Translated from French by Stephanie Dailey and E. Norman McMillan) Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: ILDEP Duta Wacana University Press Weber, K. 1984. Training Translators and Conference Interpreter. New Jersey: Prentice Hall Dreamedia Creative. (2016, Maret 1). Interpreting and Translating Service NT. Indonesian Reverse Role 2015. [Video file]. Retrieved from https://www.youtube.com/watch?v=m89sP7YQdJg Pertanyaan: 1. Bagaimana metode agih dengan teknik lanjutan lesap digunakan dalam penelitian ini? 2. Apa ciri-ciri senyapan? 3. Mengapa senyapan lebih banyak tidak diterjemahkan oleh juru bahasa? Jawaban: 1. Metode agih adalah metode analisis data yang alat penentunya justru bagian dari bahasa itu sendiri. Dalam penelitian ini diketahui bahwa senyapan adalah bagian dari bahasa. Selanjutnya, digunakan teknik lesap sebagai teknik lanjutan. Teknik lesap adalah sebuah teknik dimana peneliti melesapkan satuan-satuan 215 kebahasaan tertentu. Pada penelitian ini, penulis melesapkan satuan-satuan tertentu yang merupakan bagian dari senyapan. 2. Hingga tulisan ini dibuat, penulis belum menemukan ahli yang mengemukakan teori yang secara gamblang memaparkan ciri-ciri dari senyapan. Selanjutnya, seiring penulisan yang dilakukan mengenai senyapan khususnya, penulis mampu mengetahui bahwa satuan kebahasaan dinyatakan senyapan apabila satuan tersebut jika dihilangkan atau dilesapkan, maka ia tidak merubah makna dari pesan yang disampaikan. Contohnya, ketika seseorang penutur bahasa Inggris menuturkan “I am telling you, you better quit crying your heart out!”. Jika satuan kebahasaan berbentuk I am telling you dilesapkan hingga menjadi “you better quit crying your heart out!”, hal ini tentu tidak merubah isi dari sebuah pesan yang ingin disampaikan. Mitra tutur akan tetap memahami apa yang ingin disampaikan oleh penutur. Disini dapat diketahui bahwa I am telling you adalah senyapan terisi leksikal yang berfungsi kognitif untuk memberi tanda pada mitra tutur bahwa penutur akan menuturkan sesuatu yang penting (discourse marker) 3. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor non-teknis, yaitu pemahaman penerjemah akan pesan yang disampaikan. Seorang juru bahasa memilih untuk tidak menerjemahkan senyapan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, karena ia memahami seluruh rangkaian pesan yang ingin disampaikan oleh penutur. Apabila dalam rangkaian pesan tersebut terdapat senyapan yang muncul, hampir dipastikan juru bahasa memilih untuk tidak menerjemahkan karena senyapan ini bukan inti dari sebuah pesan. 216 PENERJEMAHAN KATA BUDAYA PADA ROMAN DIE WEIßE MASSAI DARI BAHASA JERMAN KE DALAM BAHASA INDONESIA Fitria Puji Nur Azizah Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Yogyakarta fitriapudji@gmail.com ABSTRAK Terjemahan dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat. Penerjemah tidak hanya menerjemahkan dalam bentuk kebahasaan, melainkan juga harus memperhatikan aspek budaya dari pembaca teks sasaran. Penerjemahan yang sangat sering dilakukan adalah menerjemahkan karya sastra. Proses penerjemahan karya sastra bukanlah sebuah proses yang mudah, dimana tidak dapat dilakukan secara otomatis dan asal-asalan. Tentu saja ditemukan banyak persoalan akibat adanya perbedaan budaya antara teks sumber (TSu) dan teks sasaran (TSa). Kata-kata budaya (cultural words) akan menjadi masalah dalam terjemahan karena adanya tumpang tindih budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran serta pembaca dari kedua bahasa tersebut. Dalam setiap karya terjemahan, selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui ideologi penerjemahan melalui analisis kata-kata budaya (cultural words), metode penerjemahan dan teknik penerjemahan dalam roman Die Weiβe Massai dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. Kata kunci: cultural words, metode penerjemahan, teknik penerjemahan, ideologi penerjemahan. PENDAHULUAN Penerjemahan mempunyai peran yang sangat penting dalam menyediakan informasi terhadap sebuah teks, salah satunya yaitu teks karya sastra. Karya sastra sendiri tidak dapat terlepas dari muatanmuatan budaya negara asal teks tersebut. Kebudayaan Indonesia tentu saja berbeda dengan kebudayaan barat, khususnya kebudayaan Jerman. Perbedaan kebudayaan tersebut jika dikaitakan dengan penerjemahan karya sastra sering menimbulkan masalah. Sebagaimana Nida (1974) mengungkapkan bahwa faktor kebudayaan dapat menjadi kendala dalam proses penerjemahan. 217 Menurut Newmark (1988: 171) masalah penerjemahan terkait dengan perbedaan kebudayaan berupa gaya bahasa, latar, tema, seperti nama karakter, nama tempat, kata atau ungkapan budaya yang tidak ditemukan dalam bahasa sasaran. Oleh sebab itu, penerjemah dituntut untuk memiliki pengetahuan budaya TSu supaya hasil terjemahannya tepat dan dapat dipahami oleh pembaca TSa. Kegiatan menerjemahkan merupakan kegiatan pengambilan keputusan, jadi seseorang harus menentukan terlebih dahulu siapa calon pembaca terjemahannya dan untuk apa terjemahan itu dilakukan. Dalam setiap karya terjemahan, selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Menurut Venuti (1995), ideologi adalah sebuah kecenderungan dominan masyarakat dalam menilai betul-salah suatu terjemahan. Dalam kaitannya, ideologi mengarah pada dua kutub yang berlawanan, yaitu berorientasi pada TSa (domestication) dan berorientasi pada TSu (foreignization). Untuk mengetahui ideologi penerjemahan, peneliti menggunakan teori dari Newmark (1988: 95) yang mengelompokkan kata-kata budaya menjadi lima kategori, yakni: (1) ecology (tumbuh-tumbuhan, hewan, nama geografis); (2) material culture (peralatan, makanan, pakaian, bangunan, dan alat transportasi); (3) social culture (jenis pekerjaan dan hiburan); (4) social organizations (istilah dalam bidang politik, agama, seni); (5) gestures and habits. Selain itu, Newmark (1988: 45-57) mengungkapkan bahwa terdapat delapan metode penerjemahan, yaitu: Word-for-word Translation, Literal Translation, Faithful Translation, Semantic Translation yang lebih mengarah pada BSu, sedangkan Adaptation, Free Translation, Idiomatic Translation, dan Communicative Translation lebih condong ke BSa. Sementara itu, teknik penerjemahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik dari Molina dan Albir (2002) yang mengemukakan 18 teknik penerjemahan, diantaranya: 1. Adaptasi 10. Amplifikasi Lingistik 2. Amplifikasi 11. Kompresi Linguistik 3. Peminjaman 12. Penerjemahan Literal 4. Calque 13. Modulasi 5. Kompensasi 14. Partikulariasasi 6. Deskripsi 15. Reduksi 7. Kreasi Diskursif 16. Subtitusi 8. Padanan Lazim 17. Transposisi 218 9. Generalisasi 18. Variasi Penelitian ini menggunakan roman Die Weiβe Massai karya Corinne Hofmann yang sudah terjual lebih dari empat juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 33 bahasa. Terdapat banyak istilah budaya dalam roman ini karena roman ini menceritakan tentang seorang wanita asal Swiss yang jatuh cinta pada prajurit Samburu dan memilih hidup dalam suku pedalaman di Kenya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif komparatif, yaitu metode yang menggambarkan secara rinci dan menyeluruh hasil penelitian dan membandingkan kalimat bahasa sumber dan bahasa sasaran. Sebuah penelitian mengenai ideologi penerjemahan yang pernah dilakukan sebelumnya berjudul “The Ideology of Translation of Cultural Terms Found in Pramoedya Ananta Toer’s Work Gadis Pantai into The Girl from The Coast (Gede Eka Putrawan, 2011)” yang menjadi dasar tinjauan pustaka penelitian ini. Tujuan penelitian sebelumnya adalah menganalisis ideologi penerjemahan yang paling sering diterapkan dalam menerjemahkan istilah-istilah budaya tersebut, dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan diterapkannnya ideologi penerjemahan tersebut. Perbedaannya adalah pada penelitian milik Gede Eka Putrawan tidak membahas metode penerjemahan dan objek yang digunakan berbeda. Sementara itu, Liesza Maria Ronalia (2017) dalam penelitiannya yang berjudul Penerjemahan Culture-Specific Items Pada Roman Rubinrot Dari Bahasa Jerman Ke Dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia juga menjadi tinjauan pustaka penelitian ini. Tujuan penelitian milik Liesza Maria adalah untuk mengetahui kata-kata budaya apa saja yang terdapat dalam roman Rubinrot dalam bahasa Jerman dan terjemahannya dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Selain kata-kata budaya, hal lain yang dianalisis adalah ideologi yang digunakan. Perbedaanya yaitu penelitian ini membahas strategi penerjemahan dan objek penelitian yang digunakan untuk menganalisis. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ideologi penerjemahan melalui analisis kata-kata budaya (cultural words), metode penerjemahan dan teknik penerjemahan dalam roman Die Weiβe Massai dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia. 219 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis dalam roman Die Weiβe Massai, ditemukan 77 data yang mengandung kata atau istilah budaya. Kategori kata-kata budaya (cultural words) yang digunakan dalam penelitian ini adalah kategori yang dikemukakan oleh Newmark (1988: 173). Terdapat lima kategori, yaitu: (1) ecology, (2) material culture, (3) social culture, (4) social organization, (5) gestures and habits. Berkaitan dengan kategori tersebut, berikut disajikan prosentase kategori kata-kata budaya yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai. No. Kategori Kata-Kata Budaya Jumlah Prosentase 1. Ecology 2 2.59% 2. Material culture 38 49.35% 3. Social culture 2 2.59% 4. Social organization 10 12.98% 5. Gestures and habits 25 32.46% 77 100% Total Dari delapan belas teknik penerjemahan yang dikemukakan oleh Molina & Albir (2002), teridentifikasi tujuh teknik penerjemahan yang digunakan, diantaranya: 43 data menggunakan teknik borrowing, 1 data menggunakan teknik calque, 4 data menggunakan teknik generalisasi, 37 data menggunakan teknik penerjemahan literal, 5 data mengunakan teknik partikularisasi, 1 data menggunakan teknik transposisi, dan 1 data menggunakan teknik variasi. Sementara itu, pada metode penerjemahan menurut Newmark (1988), roman Die Weiβe Massai mengunakan metode literal translation. Berikut adalah pembahasan untuk masing-masing kategori kata-kata budaya beserta teknik dari Molina dan Albir (2002). a. Ecology Kategori ecology meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan nama flora, fauna, dataran, geografi, atau beberapa bagian lain dari permukaan bumi yang merupakan fitur alami maupun buatan. Data yang 220 diperoleh untuk kategori ini sebanyak 2 data (2.59%). Berikut contoh kategori ecology yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai. Data 72: BSu : Hinter einem groβen Mahogani-Schreibtisch sitzt ein Beamter, der sich mit den Anträgen befassen soll (Hofmann, 2000: 49). BSa : Petugas yang mengurus pendaftaran sedang duduk di belakang meja besar dari kayu mahogani. Kategori kata budaya (cultural words) dalam data 72 adalah Mahogani. Penerjemahan kata budaya tidak mengalami perubahan dari TSu ke dalam TSa. Istilah kayu mahogani atau yang biasa dikenal dengan kayu mahoni adalah salah satu jenis kayu khas daerah tropis. Kayu ini merupakan material terbaik untuk meubel atau furniture. Dapat dilihat dengan jelas bahwa penerjemah menggunakan ideologi foreignization karena tidak menerjemahkan dengan kata ‘mahoni’ melainkan tetap mengikuti pada TSu dengan kata ‘mahogani’. Teknik penerjemahan yang digunakan pada data di atas adalah teknik generalisasi, yaitu teknik yang mengubah istilah asing menjadi istilah yang lebih dikenal dan umum dalam BSa. Hal tersebut dikarenakan adanya penambahan kata ‘kayu’ pada TSa. b. Material Culture Kategori material culture meliputi nama makanan, pakaian, nama jenis rumah atau tempat tinggal, nama alat transportasi. Dalam roman Die Weiβe Massai, data-data yang termasuk kategori material budaya yang paling banyak ditemukan daripada kategori lainnya, yaitu sebanyak 38 data (49.35%). Berikut salah satu contoh data yang sering muncul beserta analisisnya: Data 57: BSu : Pippi kann ich nachts auch neben der Manyatta machen, denn der Strand saugt alles auf (Hofmann, 2000: 119). BSa : Pada malam hari aku boleh buang air kecil agak dekat manyatta, karena pasir menghisap segalanya. Berdasarkan data di atas, kategori kata budaya dalam data 57 adalah ‘manyatta’. Penerjemah tetap menggunakan istilah ‘manyatta’ ke dalam TSu. ‘Manyatta’ merupakan gubuk sementara orang Samburu karena 221 mereka hidup nomaden. ‘Manyatta’ dibangun oleh para wanita Samburu dan terbuat dari kotoran sapi, papan, kain, dan ranting. Pembangunan ‘manyatta’ sendiri memakan waktu sekitar sepuluh hari. Pria dan wanita Samburu yang telah menikah akan hidup terpisah di ‘manyatta’ lain, karena suami mereka menjadi prajurit dan tinggal bersama prajurit lainnya. Selain itu juga, pasangan yang telah menikah juga tidak diperbolehkan untuk tinggal bersama di manyatta orang tua mereka. Pasangan Samburu yang telah menikah diharuskan untuk membangun manyatta sendiri. Kata budaya ‘manyatta’ dalam roman tersebut tergolong ke dalam istilah tempat tinggal. Teknik penerjemahan yang digunakan data tersebut adalah teknik pure borrowing, yang artinya penerjemah meminjam istilah yang berasal dari BSu tanpa mengubahnya.] Social Culture Kategori social culture meliputi nama hiburan dan jenis pekerjaan. Pada kategori social culture, penerjemah hanya mampu mencari padanan kata atau memberi gambaran tentang istilah budaya tersebut. Data yang diperoleh untuk kategori ini sebanyak 2 data (2.59%). Berikut contoh kategori social culture yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai. Data 77: BSu : Die Gruppe formiert sich zu einer Art Polonaise, und Lketinga führt stolz die Kolonne an. Er sieht wild und unnahbar aus. Langsam geht Tanz zu Ende. Die Mädchen begeben sich kichernd etwas abseits (Hofmann, 2000: 206). BSa : Kelompok itu membentuk semacam tarian conga dengan Lketinga di ujung barisan. Dia tampak liar, tak tersentuh. Secara berangsur tarian itu berakhir. Para gadis, yang sekilas terkikik, menyisih. Berdasarkan data di atas, kategori kata budaya dalam data 77 adalah ‘Art Polonaise’ yang memiliki makna sebuah tarian upacara pada abad ke 17 yang diadopsi oleh kaum bangsawan Polandia. Sama halnya yang dilakukan oleh masyarakat suku Samburu yang menarikan tarian tersebut dalam sebuah upacara adat. Namun, penerjemah mengganti istilah ‘Art Polonaise’ dalam TSu menjadi tarian ‘conga’ pada TSa. ‘Conga’ merupakan tarian yang ditampilkan prajurit dengan irama tanpa adanya musik yang mengirinya. Kata ‘conga’ dapat dikelompokkan dalam kategori budaya sosial karena termasuk dalam istilah hiburan. Teknik penerjemahan data c. 222 tersebut adalah teknik partikularisasi, yakni penerjemah menggunakan penjelasan yang lebih konkrit dan jelas dalam BSa. Social Organizations Kategori social organizations meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan organisasi, tradisi, aktivitas, tatacara, konsep (istilah dalam bidang politik, agama, seni). Data yang diperoleh dalam kategori ini adalah sebanyak 10 data atau sebesar 12.98%. Berikut contoh kategori social organizations yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai. Data 27: BSu : Unablässig höre ich: “Enkai, Enkai!”Jeder der Alten reibt an meinem Bauch und murmelt etwas. Mir ist alles egal (Hofmann, 2000: 304). BSa :Tak henti-hentinya aku mendengar“Enkai, Enkai!” setiap orang menggosok perutku dan menggumamkan sesuatu. Aku tidak peduli. Kategori kata budaya (cultural words) dalam data 27 adalah ‘Enkai’. Penerjemah tetap mempertahankan kata ‘Enkai’ ke dalam TSa. ‘Enkai’ merupakan sebutan Tuhan ketika mereka melakukan upacara dan doa-doa tertentu. Dalam roman Die Weiβe Massai, suku Samburu berdoa kepada ‘Enkai’ untuk keselamatan hidup, serta untuk kesuburan tanah supaya hujan. Secara spesifik, istilah ‘Enkai’ mengacu pada bidang agama dalam kategori ini. Teknik penerjemahan dalam data di atas yaitu menggunakan penerjemahan literal. d. Gestures and Habits Kategori gestures and habits meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan isyarat atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang. Penerjemah harus mengetahui perbedaan isyarat atau kebiasaan pada berbagai macam suku maupun negara karena apa yang terlihat positif oleh negara A belum tentu dianggap baik oleh negara B dan sebaliknya. Data yang diperoleh dari kategori ini sebanyak 25 data atau sebesar 32.46%. Berikut contoh kategori gestures and habits yang ditemukan dalam roman Die Weiße Massai. Data 8 : e. 223 BSu : Drei alte Männer und zwei Morans sitzen dort. Man begrüßt sich: “Supa Moran!”, “Supa”, ist die Antwort (Hofmann, 2000: 149). BSa : Tiga pria tua dan dua moran duduk di sana. Mereka menyapa “Supa moran!”, “Supa”, sahut Lketinga. Kategori kata budaya pada data di atas adalah kata ‘Supa Moran’. Penerjemah tetap menggunakan kata tersebut pada TSa. ‘Supa moran’ merupakan ucapan salam suku Samburu dan dijawab juga dengan supa. Moran memiliki arti prajurit. Setelah mengucapkan ‘supa moran’, kemudian mereka akan bercakap-cakap sejenak. Percakapan diawali dengan pertanyaan tentang nama suku, tempat tinggal, keadaan keluarga dan hewan, datang darimana, dan hendak ke mana. Kemudian mereka akan berbicara tentang kejadian terkini. Teknik penerjemahan dalam contoh tersebut yaitu menggunakan teknik pure borrowing. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa dalam roman Die Weiβe Massai ditemukan 77 data istilah budaya. Kemudian, dikategorikan kedalam istilah budaya milik Newmark (1988) yaitu ekologi sebanyak 2.59 %, material budaya sebesar 49.35%, budaya sosial sebesar 2.59%, organisasi, tradisi, aktivitas, tatacara, konsep sebesar sebesar 12.98%, bahasa tubuh dan kebiasaan sebesar 32.46%. Pada teknik penerjemahan, teridentifikasi tujuh teknik penerjemahan yang digunakan, diantaranya: 43 data menggunakan teknik borrowing, 1 data menggunakan teknik calque, 4 data menggunakan teknik generalisasi, 37 data menggunakan teknik penerjemahan literal, 5 data mengunakan teknik partikularisasi, 1 data menggunakan teknik transposisi, dan 1 data menggunakan teknik variasi. Beradasarkan metode milik Newmark (1988), penerjemahan dalam roman ini menggunakan metode literal translation. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa roman Die Weiβe Massai menganut ideologi foreignization karena dilihat dari teknik penerjemahan yang paling dominan digunakan adalah borrowing dan metode penerjemahan literal translation. Ideologi foreignization yang digunakan penerjemah dalam roman Die Weiβe Massai terjadi karena beberapa faktor, yaitu: (1) terdapat banyak kata-kata budaya yang berasal dari bahasa Swahili Afrika, sehingga penerjemah tidak dapat menemukan 224 padanannya dalam bahasa TSa, (2) penerjemah ingin mempertahankan unsur-unsur budaya TSu yaitu budaya Afrika. tetap Referensi Hofmann, Corinne. 2000. Die Weiße Massai.(diterjemahkan oleh Lulu Fitri Rahman). München: Knaur Taschenbuch Verlag Molina, L & Albir, A.H. 2002. Translation Technique Revisted: A Dynamic amd Functionalist Approach”. Dalam META, Vol. XLVII, No 4. Spain: Universitat Automana Barcelona. Newmark, P. (1988). A textbook of translation. New York: Prentice Hall International. Nida, E. A. & Taber, C. R. 1974. The Theory and Practise of Translation. Leiden: Brill. Venuti, Lawrence. 1995. The Translation Studies. Manchester : St. Jerome Publishing 225 Pertanyaan: 1. Bagaimana anda menyelaraskan teknik penerjemahan dan metode penerjemahan? 2. Apakah pengalaman penerjemah dipertimbangkan untuk pemilihan objek penelitian tersebut? Jawaban: 1. Metode penerjemahan diterapkan pada tataran makro, sedangkan teknik penerjemahan diterapkan pada tataran mikro. Oleh sebab itu, langkah pertama untuk menemukan ideologi penerjemahan adalah menganalisis teknik penerjemahan terlebih dahulu. Kemudian diprosentase jumlah teknik yang digunakan oleh penerjemah. Setelah mengetahui teknik mana yang paling dominan digunakan, maka dapat ditemukan metode penerjemahan apa yang digunakan oleh penerjemah, apakah metode yang mengacu pada BSu (foreignization) atau metode penerjemahan yang mengacu pada BSa (demostication). 2. Iya, peneliti memilih obejek penelitian juga melihat dari faktor pengalaman penerjemah dalam menerjemahkan karya sastra, karena hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas penerjemahan suatu karya sastra. Dalam hal ini, penerjemah roman Die Weiße Massai, yakni Lulu Fitri Rahman telah menerjemahkan lebih dari 20 judul novel ke dalam bahasa Indonesia dan telah memiliki sertifikat himpunan penerjemah Indonesia (HPI). 226 STRATEGI PENOLAKAN DI KALANGAN MAHASISWA MULTIKULTURAL ILMU LINGUISTIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Fitria Ulfa Hidayatul Rahmi* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: fitrud@gmail.com A B S T R A C T Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk serta faktor eksternal penolakan yang terjadi di dalam masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dimana pendukung antarkebudayaan saling menghargai satu sama lain. Penolakan-penolakan atas permintaan, ajakan, undangan, dst dari orang lain akan lebih baik jika disampaikan dengan cara yang baik dan tepat guna menjaga keharmonisan sebuah interaksi sosial dalam masyarakat multikultural. Penelitian ini akan mendeskripsikan bagaimana pola umum ungkapan penolakan kepada pemberi perintah yang berbeda status dan tingkat kenal oleh mahasiswa Jawa, Sunda, dan Korea. Selain itu, bentuk penanda kesantunan apa saja yang dipakai oleh penolak dan mencoba menjelaskan secara lebih rinci maksud ungkapan penolakan tersebut disampaikan, serta indikasi keterkaitan budaya penutur seperti apa yang memengaruhi ungkapanungkapan penolakan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berasal dari berbagai macam etnis dan budaya, antara lain mahasiswa Jawa, mahasiswa Sunda, dan mahasiswa Korea. Saling memahami antarkebudayaan menjadi kunci utama dalam keberlangsungan hidup yang harmonis suatu masyarakat multikultural. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu metode simak bebas libat cakap dengan teknik pancing sebagai teknik dasar yang berupa daftar pertanyaan (kuesioner). Kemudian menggunakan teknik lanjutan dengan teknik catat. Data dianalisis dengan menggunakan metode padan, dan selajutnya disajikan dalam bentuk formal dan informal. Untuk menganalisis data, penulis mengklasifikasikan penolakan berdasarkan teori strategi penolakan oleh Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz. Kata kunci: strategi penolakan, masyarakat multikultural, mahasiswa Jawa, mahasiswa Sunda, mahasiswa Korea. 227 PENDAHULUAN Penolakan dideskripsikan sebagai reaksi atau respon seorang penutur terhadap permintaan, ajakan, undangan, tawaran, maupun saran dari orang lain atau mitra tutur. Oleh sebab itu, penolakan dapat merusak citra diri mitra tutur karena permintaan atau keinginan mitra tutur yang tidak bisa dipenuhi oleh penolak. Penelitian tentang ungkapan penolakan sudah banyak dilakukan oeh para peneliti terdahulu, namun penelitian tentang ungkapan penolakan yang ada di dalam masyarakat multikultural belum banyak dilakukan. Nadar dan Suhandono (2000: 1) menuliskan di dalam penelitiannya bahwa penelitian ungkapan penolakan dapat dianalisis dalam bidang semantik maupun pragmatik (Wunderlich, 1980: 303-304). Dianggap sebagai kajian pragmatik karena mengkaji penggunaan bahasa relasinya dengan konteks yang menyertainya. Sedangkan menurut Wijana (1996: 2) pragmatik mengkaji makna di dalam konteks. Penelitian tentang penolakan termasuk di dalam kajian tindak tutur pada umumnya. Di dalam teori tindak tutur, penutur tidak hanya mengatakan sebuah tuturan, namun penutur juga bisa melakukan suatu tindakan melalui tuturan yang diujarkan tersebut. Austin menyebutkan ketika seseorang mengatakan sesuatu, ia juga melakukan sesuatu dan menyebut tuturan-tuturan tersebut dengan tuturan peformatif (Austin, 1962: 98-99). Yule mendefinisikan speech act atau tindak tutur sebagai sebuah tindakan yang dilakukan melalui ujaran-ujaran (Yule, 1996: 47). Sedangkan Searle memberikan definisi tindak tutur dengan sebutan illocutionary acts, yang kemudian dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu commissive, directive, declarative, expressive. Ia berpendapat bahwa setiap tuturan mengandung arti tindakan (Searle & Daniel Vanderveken, 1985: 182-211). Speech act atau tindak tutur dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Menuturkan secara langsung berarti menyampaikan apa yang diinginkan atau yang dimaksudkan secara langsung saja, sedangkan menuturkan secara tidak langsung berarti penutur memiliki maksud lain yang lebih dari apa yang dituturkan (Searle, 1980: viii). Dengan demikian, untuk memahami maksud dari ujaran tindak tutur diperlukan adanya pemahaman nilai sosial dan budaya di antara peserta tutur agar maksud yang ingin dicapai sesuai dan tidak terjadi 228 kesalahpahaman. Hal tersebut dikarenakn ungkapan penolakan merupakan suatu tindakan yang tidak menyenangkan. Penolakan bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Penolakan secara langsung dapat disampaikan dengan perkataan “tidak”, sedangkan penolakan tidak langsung dapat disampaikan melalui pemberian alasan khusus, permohonan maaf, pernyataan ungkapan penyesalan, penerimaan dalam kesempatan yang akan datang, memberikan saran, dst. Setiap orang memiliki citra diri atau self-image yang harus dijaga atau dihormati. Oleh sebab itu, penolakan seharusnya disampaikan dengan cara yang santun dan disampaikan dalam kondisi dan situasi yang tepat untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tutur dan menjaga self-image orang lain. Penolakan dianggap sebagai suatu tindakan yang tidak menyenangkan atau yang disebut dengan face threatening act (FTA) bagi pemberi perintah karena keinginannya tidak dapat terpenuhi. Untuk meminimalisisr FTA tersebut, penolak akan menggunakan sejumlah strategi terkait dengan pilihan ungkapan penolakan ataupun bentukbentuk kebahasaanya (Nadar & Suhandono, 2002). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori strategi penolakan yang diklasifikasikan oleh Beebe, Takahashi, dan Uliss-Weltz. Klasifikasi strtegi penolakan dibagi ke dalam formula semantik, yaitu ekspresi-ekspresi yang digunakan untuk menyampaikan penolakan dan juga adjunct. Formula semantik terdiri dari penolakan langsung, penolakan tidak langsung, dan adjunct (Salazar dkk, 2009: 3). Di dalam masyarakat multikultural, realisasi penolakan yang disampaikan seorang individu akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lainnya. Ungkapan penolakan sebaiknya disampaikan dengan santun. Tuturan yang sopan atau santun sangat tergantung kepada budaya penolak dan pemberi perintah. Sehingga antara satu tuturan yang dianggap sopan dalam budaya masyarakat tertentu berbeda dengan tuturan yang dianggap sopan di dalam budaya lainnya . Selain itu, penolak juga harus mampu membuat penolakannya diterima dengan baik tanpa menyakiti atau menyinggung mitra tutur. Adanya pemahaman yang baik terhadap nilai sosial dan budaya orang lain mampu menjadi jembatan dalam menjalin komunikasi antar budaya agar berjalan dengan lancar tanpa kesalahpahaman. 229 Di dalam penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, ungkapan penolakan terjadi tidak hanya di dalam lingkungan masyarakat secara umum, akan tetapi juga terjadi di dalam lingkungan pendidikan, salah satunya lingkungan pendidikan di kampus Universitas Gadjah Mada pada Program Pascasarjana Ilmu Linguistik yang multikultural dan multietnis. Mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam program tersebut berasal dari budaya dan suku serta kondisi sosioekonomi yang berbeda, mulai dari Sabang sampai Merauke. Terlebih lagi, terdapat pula mahasiswa internasional yang berasal dari China dan Korea. Peneliti menemukan fakta yang menarik terkait penolakan dan komunikasi antar budaya dalam interaksi para mahasiswa baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Penelitian ini akan membahas beragam penolakan-penolakan yang dituturkan oleh para mahasiswa tersebut. LANDASAN TEORI Di dalam masyarakat multilingual, bahasa yang berbeda dapat mencerminkan budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, perbedaan budaya dan bahasa tersebut dapat diaktualisasikan dalam bentuk tindak tutur yang berbeda pula. Di dalam kondisi tertentu, memahami isi atau maksud dari komunikasi seseorang/masyarakat berarti memahami pula bagaimana budaya dan nilai/sistem sosial yang dianut oleh seseorang atau suatu masyarakat. Menjadi penutur yang santun tidak mudah, dikarenakan hal tersebut tidak hanya meliputi pemahaman kebahasaan itu sendiri, tetapi juga meliputi pemahaman nilai-nilai sosial dan budaya dari suatu masyarakat (Holmes, 1992: 296). Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem nilai yang berbeda sehingga dapat memengaruhi pandangan hidup seseorang. Selain itu, hal tersebut juga memengaruhi komunikasi kebahasaan, aturan, serta norma yang ada di dalam setiap budaya masyarakat. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kondisi yang beragam atau multi, yaitu multikultural, multireligi, multietnis, multilingual, dst. Dengan kondisi yang beragam tersebut, terkadang masyarakat atau seorang penutur merasakan komunikasi yang berjalan tidak efektif. Komunikasi lintas budaya merupakan sebuah proses komunikasi atau interaksi yang melibatkan orang-orang atau peserta tutur yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda (Lagu, 2016: 2). Selain itu, komunikasi antarbudaya menurut Rogers dan D. Lawrence 230 merupakan sebuah komunikasi antar orang-orang atau peserta tutur yang berbeda budaya, baik dalam arti ras, etnik, ataupun perbedan sosioekonomi (Cangara, 2011: 59). Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan komunikasi yang tidak efektif, timbul perasaan yang tidak nyaman, dan kesalahpahaman. Oleh sebab itu, solusi untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman karena perbedaan budaya ialah mengetahui dan memahami nilai-nilai sosial dan perilaku budaya orang lain sedini mungkin. Terdapat banyak perbedaan bentuk interaksi di dalam komunikasi sebuah masyarakat multikultural atau lintas budaya. Salah satunya dalam bentuk sebutan penghormatan kepada orang lain di dalam budaya yang berbeda. Hal tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan tuturan seseorang sesuai konteks interaksi yang sedang berlangsung. Selain konteks, adanya perbedaan bentuk sebutan penghormatan dan beragamnya bentuk tuturan berdasarkan kepada bagaimana peserta tutur dipandang sebagai seorang individu maupun anggota dari kelompok-kelompok sosial, budaya, dan etnis tertentu (Wierzbicka, 2003: 2). Adanya pemahaman yang baik terhadap konteks dan nilai sosial budaya orang lain diharapkan mampu menjadi salah satu cara yang efektif untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan damai. Pada dasarnya, Geertz melalui Ohoiwutun (2007: 88) menjelaskan bahwa semua bahasa memiliki kompleksitas sistem kesantunan berbahasa, namun hal tersebut secara lazim dapat diungkapkan melalui kata ganti orang, sistem sapaan, penggunaan gelar, dll. Di dalam bahasa Jawa, salah satu aspek berbahasa yang paling dominan adalah kesantunan berbahasa, unda-usuk, atau etiket berbahasa. Di dalam penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa, penolakan disampaikan dengan berbagai variasi tuturan penolakan, ada yang halus dan ada yang cenderung kasar. Kesantunan berbahasa orang Jawa hampir sebagian besar dimotivasi oleh hadirnya stratifikasi sosial di dalam masyarakat, seperti masyarakat priyayi, masyarakat pedesaan, masyarakat terpelajar, dst. Honorifik digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada mitra ttutur karena adanya perbedaan status kemasyarakatan. Misalnya status lebih tinggi kepada status lebih rendah, dan begitu pula sebaliknya. Fenomena penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa dengan status lebih rendah kepada seseorang dengan status lebih tinggi 231 akan diungkapkan secara tidak langsung. Jika ujaran penolakan disampaiakn secara langsung maka mitra tutur bisa tersinggung. Dengan demikian, penolakan yang santun berfungsi sebagai pencegah kekurangharmonisan sebuah hubungan sosial dalam berbahasa (2007: 92). Budaya Jawa memiliki karakteristik khusus dalam ungkapan penolakannya, seperti tidak menampaakkan perasaan, ketidaklangsungan, penghindaran tanggung jawab, dan mnegutamakan kebersamaan (Nadar & Suhandono, 2000: 13). Orang Jawa sangat khas dengan menyembunyikan perasaan. Ketika seseorang mengatakan tidak, belum tentu ia bermaksud seperti itu, begitupula ketika mengatakan iya atau ya, belum tentu sepenuhnya menyetujui. Ketidaklangsungan juga sangat khas dengan masyarakat Jawa. Ungkapan-ungkapan yang disampaikan cenderung tidak to the point. Jikalau terdapat tuturantuturan yang langsung, seseorang tersebut bisa tidak disukai. Hal tersbeut dimaksudkan untuk menjaga perasaan mitra tutur. Selain itu, masyarakat Jawa juga tidak mudah menolak permintaan orang lain karena mereka mengedepankan prinsip kebersamaan. Hal ini juga terjadi di masyarakat Sunda yang mana merupakan anggota dimensi masyarakat yang kolektivisme, bukan individualisme. Bagi masyarakat Sunda, kepada mitra tutur yang lebuh tua, atau orang tua yang dituakan, dihormati dan disegani digunakan bahas ayang halus dan santun. Tetapi kepada mitra tutur yang setaraf, baik dalam usia maupun status sosial, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar atau bahasa yang sedang, tidak halus dan tidak kasar (Depdikbud, 1979: 50). Di masyarakat Sunda juga dikenal istilah kekerabatan yang melahirkan perkataan sopan santun kekerabatan. Dijelaskan bahwa pertalian kekerabatan mampu mengalahkan perbedaan usia, perbedaan kekakyaan, atau kedudukan sosial seseorang. Misalnya anak muda yang tidak kaya dan tidak memiliki kedudukan sosial yang tinggi akan dihormati oleh orang lain yang lebih tua, lebih kaya, dan lebih baik kedudukan sosialnya jika anak mud aersebut memiliki kedudukan dalam hubungan kerabat yang lebih tinggi daripada yang lain. Hal ini mengindikasikan budaya Sunda bahwa kepada seseorang yang sudah dikenaltutuan yang disampaikan akan lebih sopan, kepada seseorang yang sudah dikenal dan statusnya setara cenderung santai tapi tidak menggunakan kata-kata atau ungkapan yang tidak halus. Rasa hormat kepada seseorang yang lebih tua secara 232 genealogis melebihi rasa hormat kepada orang yang seusia dengannya yang secara genealogis lebih muda daripadanya (Depdikbud, 1979: 146). Istilah kekerabatan yang diujarkan baik mahasiswa Sunda maupun Jawa ditujukan bukan hanya kepada seseorang yang memiliki tali kekerabatan, tetapi ditujukan pula kepada orang-orang diluar tali kekerabatan tersebut yang sama atau setara dengan orang-orang ada di dalam tali kekerabatan tersebut. Di dalam penolakan yang disampaikan, peneliti menemukan sapaan-sapaan kekerabatan seperti Bapak, Bu, Dik, dst. Meskipun antara penolak dengan dengan pemberi perintah tidak memiliki hubungan kekerabatan, panggilan seperti bapak, Mas, dll digunakan untuk menyatakan adanya rasa tali kekeluargaan yang diberikan oleh para peserta tutur. Hal tersebut menunjukkan sebuah keadaan di mana orang-orang yang berada di luar lingkaran kekerabatan dianggap seolah-olah sebagai keluarga. Anggapan tersebut timbul dikarenakan adanya perasaan untuk ingin menghargai dan menghormati diantara sesamanya dan didorong oleh munculnya rasa kekeluargaan. Di dalam buku Dr. J. Ismail yang berjudul Indonesia pada pantai Lautan Atlantik dijelaskan tentang kehidupan bersama orang-orang Jawa yang ada di Suriname. Apapun kelas sosial yang dimiliki oleh seornag individu, baik kelas bawah, menengah, maupun atas semuanya sama, yaitu tetap tiyang Jawi. Sehingga kondisi ekonomi tertentu tidak mampu membagi mereka ke dalam kotak-kotak kelas sosial karena perbedaan kelas sosial mampu menyebabkan ketegangan-ketegangan sosial. Pemikiran tersebut dapat dilihat dari prisip hidup orang Indonesia, yaitu: saling bantu-membantu, budi bahasanya, suka menjamu orang, dan lebih mengedepankan fungsi sosial dari pada perasaan malu . Dengan kata lain, kehidupan orang Indonesia berdasarkan kolektivisme, bukan individualisme. Di dalam masyarakat Sunda, terdapat sebuah kutipan, yaitu ari jeung batur kudu rukun, (yang berarti jikalau bergaul dengan orang lain, harus rukun). Ada pula peribahasa yang dianut sebagai pedoman untuk hidup rukun damai, dan berbahasa santun, yaitu sarendeuk saigel, sabobot sapihanean, ka cai jadi saleuwi, kadarat jadi salebak. Prinsip tersebut masih dipegang teguh oleh beberapa masyarakat desa. Peneliti menemukan beberapa penolakan yang dituturkan oleh mahasiswa Sunda berbeda dari yang seharusnya. Masyarakat Sunda yang dikenal halus akan berubah tuturan-tuturannya. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor 233 eksternal, seperti masuknya ekonomi uang dan kebudayaan barat. Sedangkan faktor internalnya yaitu urbanisasi, di mana masyarakat desa atau pedalam berpindak ke kota. Beberapa hal tersebut mampu memengaruhi sapaan kekerabatan yang digunakan dalam berbahasa oleh seorang individu di dalam sebuah masyarakat bahasa (Surjaman, 1960: 45, 46, 48, dan 49). Orang Korea lebih bersifat terbuka, terus terang, dan bahkan blakblakan (Seung-Yoon Yang diterjemahkan oleh Mastoyo, 1995: 38-39). Orang Korea dikenal juga sebagai orang-orang ramah dari Timur. Merkea selalu bersikap ramahkepada orang yang sudah dikenalnya, terutama kalau ada maunya atau memiliki niat tertentu, maka sikap ramahnya tresebut semakin terlihat. Akan tetapi, terdapat satu budaya yang sangat berbeda dengan orang Jawa maupun Sunda. Ketika orang Korea berkenalan, mereka tidak hanya akan menanyakan nama dan alamat, tetapi juga saling memberikan kartu nama dan bertanya tentang umur. Bagi orang Jawa maupun Sunda, bertanya tentang umur merupakan salah satu bentuk ketidaksopanan, karena mneyangkut masalah pribadi. Bertanya tentang umur merupakan sesuatu hal yang biasa dan penting di masyarakat Korea. Hal tersebut dikarenakan dalam tata pergaulan orang Korea, mereka selalu mengutamakan orang lain atau menghormati orang yang lebih tua. Pertanyaan tentang umur mitra tutur dimaksudkan untuk menempatkan status orang yang baru dikenal dalam tata pergaulan. Meskipun kepada seseorang yang berasal dari status atau kelas sosial bawah tapi usianya atas atau jauh lebih tua, tingkat tutur dan kebahasaan tetap harus menggunakan honorifik atau sebutan hormat. Di Korea, menurut informasi dari salah satu informan, terdapat sebuah istilah yang dijadikan suatu pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah Jangyuyuseo yang bermakna “pemuda harus menghormati orang tua”. Dengan demikian, entah berasal dari golongan sosial atas ataupun rendah, jika seseorang memiliki usia yang tua, maka sapaan hormat tetap harus digunakan. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan metode deskriptif eksplanatoris. Dikatakan deskriptif karena penelitian ini mencoba mendeskripsikan bagaimana pola umum ungkapan penolakan kepada pemberi perintah yang berbeda status dan tingkat kenal oleh mahasiswa Jawa, Sunda, dan Korea. Selain itu, penleitian ini juga akan 234 mendeskripsikan bagaimana bentuk penanda kesantunan apa saja yang dipakai oleh penolak. Sedangkan disebut eksplanatoris karena mencoba menjelaskan secara lebih rinci maksud ungkapan penolakan tersebut disampaikan dan indikasi keterkaitan budaya penutur dalam menyampaikan penolakannya. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tuturantuturan yang disampaikan oleh mahasiswa multicultural di prodi Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta. Sumber data penelitian ini diambil dari kuesioner yang dibroadcast ke bebrapa grup whatsapp yang ada di prodi Ilmu Linguistik UGM. 1. Metode Penyediaan Data Metode yang digunakan yaitu dengan metode simak (pengamatan/observasi). Peneliti tidak hanya menyimak penggunaan ungkapan penolakan oleh para partisipan, tetapi peneliti juga melakukan pengamatan terhadap penolakan-penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa, Sunda, dan Korea. Mengunakan teknik pancing sebagai teknik dasar, yaitu memancing responden dengan alat yang berupa daftar pertanyaan (kuesioner). Dilanjutkan dengan teknik lanjutan yaitu teknik catat. 2. Metode Analisis Data Dalam menganalisis data yang sudah terkumpul, peneliti menggunakan metode padan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga, yaitu untuk menjelaskan indikasi nilai sosial dan budaya penutur dalam mengungkapkan penolakan. Metode padan pragmatis ini menggunakan alat penentu mitra tutur guna menjelaskan faktor-faktor sosial ataupun nilai-nilai sosial dan budaya penutur sehingga memberikan pengaruh terhadap penggunaan tuturan yang digunakan dalam penolakan tersebut. 3. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Setelah data dianalisis, hasil analisi data disajikan dalam bentuk formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 13). Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan kata-kata biasa dan juga menggunakan tabel. 235 HASIL DAN PEMBAHASAN a. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Jawa Realisasi penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa yang berasal dari Pulau Jawa sangat beragam. Penolakan yang disampaikan mahasiswa Jawa (di dalam penelitian ini, mahasiswa Jawa terdiri dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial dan budaya. Strategi penolakan yang digunakan terdiri dari dua strategi atau lebih. Peneliti tidak menemukan penolakan yang hanya menggunakan satu strategi penolakan saja. Contoh penolakan di dalam data (1): 1) Nyuwun pangapunten Bapak. Kami tidak bisa menerima pesanan ini karena kami tidak dapat mencetak 1500 lembar dalam waktu semalam saja. Waktunya terlalu mepet dan kebetulan pegawai yg masuk hari ini cuma saya saja. Ngapunten njih Pak. Mungkin percetakan sebelah saget membantu Bapak. Di dalam realisasi penolakan yang dituturkan di atas terdiri dari tujuh formula semantik atau tujuh strategi. Penolakan yang dituturkan merupakan penolakan tidak langsung dengan menggunakan pernyataan menyesal, terms of address atau sebutan, pernyataan ketidakmampuan, alasan, pernyataan menyesal, terms of address atau sebutan, dan ditutup dengan pemberian saran. Semakin panjang tuturan seseorang, maka tuturan tersebut dipercaya akan semakin santun. Penggunaan strategi penolakan tidak langsung yang terdiri dari 7 formula semantic dituturkan agar meminimalisir ketidaknyamanan dan sakit hati seseorang yang ditolak permintaannya. Dari konteks penolakan yang terjadi, tingkat kenal antara penolak dengan pemberi perintah ialah kenal, karena pemberi perinah merupakan salah satu pelaggan tetap yang sering datang ke toko tersebut. Penggunaan dua bahasa yang berbeda, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa diujarkan untuk menunjukkan sikap hormat dan segan kepada pemberi perintah. Dalam budaya Jawa, terdapat tingkat tutur atau unggah-ungguh dalam berbahasa di mana unggah-ungguh tersebut digunakan dalam bentuk satuan lingual yang berbeda tergantung kepada siapa penutur berbicara. Dalam hal tersebut, status sosial seseorang sangat memengaruhi realisasi penolakan yang disampaikan. Misalnya 236 peggunaan kata Nyuwun pengapunten Bapak (mohon maaf Bapak), Ngapunten njih Pak (Maaf ya Pak), dan saget (bisa). Kepada pemberi perintah yang statusnya lebih tinggi, ungkapan maaf cenderung lebih banyak digunakan kedua setelah sebutan atau terms of address. Selain itu, bahasa yang digunakanpun bervariasi, yaitu menggabungkan dua bahasa, bahasa Jawa krama dengan bahasa Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk menolak dengan halus. Sesuai karakteristinya orang Jawa, yaitu cenderung mengatakan sesuatu secara tidak langsung. Di dalam satu ungkapan penolakan kepada pemberi perintah yang berstatus sosial lebih tingi, mahasiswa Jawa bisa menggunakan ungkapan maaf lebih dari 2 kali, seperti “ngapunten sangte bapak, ngapunten sanget. Mohon maaf nggih”. 2) Waduh, sorry banget Din. Boleh banget kamusnya kamu pinjam tapi kamusnya minggu ini mau aku pake ngerjain tugas penting perusahaan. Kalau minggu depan aja gimana minjamnya? 3) Buat kapan. Wah Waaah maaf ya, kamusnya masih sedang aku pakai, kebetulan pas lagi ada kerjaan tentang itu. Kamu pinjam setelah aku selesai aja gimana? Atau mungkin kalo lagi butuh sekarang banget, kamu pinjam si A kayaknya juga punya. Dari kalimat (2), terdapat penolakan tidak langsung yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Di sini, terdapat lima formula semantik atau lima strategi penolakan yang digunakan. Konteks dari percakapan di atas adalah terdapat dua orang yang saling kenal, dan mereka berteman baik. Penolak menggunakan penolakan tidak langsung agar meminimalisir ketidaknyamanan diantara mereka. Selain itu, penolak juga berusaha untuk menghargai permintaan tersebut dengan memberikan tawaran. Di dalam kalimat (2), terdapat pause filler dalam bentuk lingual “waduh”, statement of regret atau ungkapan maaf dengan berkata “sory banget”, diikuti dengan sebutan “Din” sebagai bentuk nama panggilan, kemudian ditambahkan dengan statement of specific reason atau alasan khusus kenapa penolak tidak bisa memenuhi permintaan, dan ditutup dengan penawaran solusi atau alternatif lain agar meminjam kepada teman lain yang kamusnya tidak dipakai. Penggunaan pause filler di dalam penolakan, menurut 237 beberapa penelitian terdahulu disebut sebagai adjunct. Adjunct tidak bisa berdiri sendiri sebagaia penolakan. Adjunct muncul sebelum penolakan (langsung dan tidak langsung) atau yang biasa disebut dengan prerefusals ataupun muncul setelah penolakan, yang disebut dengan postrefusals (Salazar, dll 2009: 4). Di sini mahasiswa Jawa berusaha menolak dengan halus agar tidak menyakiti perasaan seseorang yang memberi permintaan. Realisasi penolakan kepada mitra tutur yang statusnya sama dan kenal menggunakan ragam bahasa yang ringan untuk menunjukkan keakraban. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penolakan yang paling dominan digunakan kepada mitra tutur dengan status sama dan kenal adalah ungkapan maaf dan alasan khusus. Mahasiswa Jawa tidak pernah menolak sebuah permintaan atau perintah orang lain secara langsung atau mengatakan “tidak” kepada mitra tutur atau pemberi perintah/permintaan. Di sini mahasiswa Jawa sangat memegang erat falsafah hidup orang Jawa yang selalu kurmat atau hormat terhadap orang lain baik melalui tindakan maupun ucapan. Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi dan tidak kenal 4) Nyuwun pangapunten sanget Bapak. Malam ini kulo wonten acara keluarga yang sangat penting. Sehingga belum bisa mengundang semua guru untuk hadir pada rapat besok pagi. Tapi kulo akan meminta bantuan guru lain untuk menyebarkan undangan tersebut Bapak. Penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa merupakan strategi penolakan tidak langsung dengan menggunakan empat macam tindak tutur, yaitu maaf atau statement of regret, sebutan dalam bentuk “bapak”, alasan, dan penawaran. Dari hasil penenlitian, strategi penolakan kepada lawan tutur dengan status lebih tinggi dan tidak kenal oleh mahasiswa Jawa yang paling dominan ialah dengan sebutan dan ungkapan maaf. Munculnya sebutan hormat seperti bapak digunakan untuk membuat penolakan mnejadi lebih sopan terutama ketika digunakan dengan seseorag yang memiliki status sosial lebih tinggi. Selain itu, ungkapan maaf juga menempati posisi kedua setelah sebutan kepda mitra tutur. Pola urutan dalam kombinasi penolakan 238 yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa ialah dengan sebutan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan ungkapan maaf dan alasan. Setelah itu, baru ditambahkan dengan penawaran, ucapan terimakasih, saran, dll. Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan kenal 5) Maaf mas, 2 minggu lagi saya harus menghadiri konferensi. Jadi tetap dikumpulkan sesuai jadwal saja ya. 6) Mohon maaf, tenggat pengumpulan tugasnya tetap seperti yg sudah saya tentukan. Pada data (5) dapat diketahui bahwa terdapat lima pola urutan tindak tutur yang digunakan oleh mahasiswa Jawa. Keempat tindak tutur tersebut adalah ungkapan maaf, sebutan, alasan, dan pernyataan kewajiban. Sedangkan dalam data (6), terdapat dua pola urutan tindak tutur yang digunakan, yaitu ungkapan maaf dan dan prinsip pribadi. Strategi penolakan yang paling dominan ditemukan dalam penelitian ini kepada mitra tutur dengan status sosial lebih rendah adalah sebutan dan alasan. Meskipun penolak memiliki status sosial yang lebih tinggi, ia tetap menggunakan tindak tutur ungkapan maaf di awal penolakannya sebagai strategi agar mitra tutur tetap merasa dihargai. Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan tidak kenal 7) Saya tidak bisa menerimanya. Hukum harus tetap berjalan. Maaf 8) Hukum akan berjalan sesuai dengan aturan. Mohon maaf. Data (7) dan (8) menunjukkan sebuah penolakan kepada seseorang dengan status lebih rendah dan tidak kenal. Penolakan yang disampaikan mahasiswa Jawa ketika berhadapan dengan seseorang yang memiliki status lebih rendah dan tidak kenal cenderung dituturkan secara langsung. Dalam data (7) terdapat pola urutan penolakan dengan tiga macam tindak tutur, yaitu ketidakmampuan, prinsip pribadi, dan ungkapa maaf. Di dalam data ke (8), terdapat pola urutan penolakan dengan menggunakan dua macam tindak tutur, yaitu prinsip pribadi dan ungkapan maaf. Kedua data yang ditampilkan tetap menggunakan permohonan maaf sebagai strategi penolakan 239 yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Meskipun kepada mitra tutur yang lebih muda dan status rendah, mahasiswa Jawa tetap mengggunakan permohonan maaf untuk menghaluskan penolakan yang disampaikan. Dari hasil penelitian, pengaruh budaya Jawa memengaruhi ungkapan penolakan mahasiswa Jawa. Masyarakat Jawa merupakan anggota masyarakat yang berdimensi kultural kolektivisme dna bukan individualisme, sehingga memiliki rasa tidak ingin kehilangan teman ataupun relasi. Oleh sebab itu, formulasi ungkapan penolakan cenderung disampaikan secara tidak langsung. Selain itu, kekhasan penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa kepada pemberi perintah yang berstatus sama/sederajat adalah digunakannya pause filler sedangkan kepada pemberi perintah yang statusnya lebih rendah/tinggi tidak ditemukan. Keunikan yang lain di dalam ungkapan penolakan oleh mahasiswa Jawa yaitu penggunaan terms of address atau sebutan “tole”, dan “den” sebagai sebutan kepada seseorang yang lebih muda dan tidak ditemkan di dalam penolakan yang diucapkan oleh mahasiswa selain dari Jawa. Keunikan ungkapan penolakan yang lainnya yaitu, mahasiswa Jawa sering memasukkan unsur pengetahuan keagamaan kedalam penolakan yang mereka sampaikan, baik itu istilah maupun doa-doa. Penemuan ini sangat menarik karena peneliti tidak menemukan hal yang sama dari mahasiswa Sunda maupun Korea. Contohnya: “semoga kita mnedapat bantuan dari Allah melalui berbagai caraNya”, “Baik Pak, insyaallah”, “yang halal kan banyak”, dst. Selain itu, kepada pemberi perintah yang statusnya lebih rendahpun tetap menggunakan ungkapan maaf sebagai penolakan secara tidak langsung. Di sini terlihat bahwa masyarakat Jawa sangat menghargai status pemberi perintah. Meskipun usia pemberi perintahmasih muda, penolakan yang disampaikanpun harus tetap sopan. Data menunjukkan tidak satupun penolakan yang menggunakan non performative statement, yaitu kata tidak/no. strategi penolakan secara langsung seperti itu dapat mengganggu hubungan baik antara penutur dengan pemberi perintah. Penolakan terpaksa disampaikan dengan menggunakan alasan ataupun saran. Maksudnya adalah penutur ingin mengatakan bukan dia yang menolak permintaan, tetapi kondisi yang bersifat eksternallah yang membuat 240 ketidakmampuan penutur untuk memenuhi keinginan pemberi perintah. Keunikan yang lain dari ungkapan penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa yaitu cenderung menggunakan idiolek atau pause filler di akhir ungkapan ataupun di awal ungkapan penolakan, seperti “tapi aku juga butuh e”, “lah,,,situ nyuri buat apa?”, “waaah”,””aduuh”, “waduh”, “duh”, dan “oh”. Peneliti menemukan jga penggunaan bahasa daerah seperti “semprit”. Kekhasan yang lain dari mahasiswa Jawa yaitu ditemukannya emotikon menangis yang ditujukan kepada pemberi perintah dengan status sama/sederajat. Pemberian emotikon tersebut menunjukkan penegasan bahwa penolak benar-benar meminta maaf dan merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaan pemberi perintah. Selain itu, hal tersebut digunakan untuk menunjukkan rasa empati kepada mitra tutur sehingga mitra tutur tidak merasa terlalu sakit hati. Sejumlah faktor mampu memengaruhi realisasi penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Salah satu faktor tersebut adalah faktor budaya. Secara garis besar, ungkapan penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa bersifat sangat tidak langsung sehingga bisa menyulitkan mitra tutur, terlebih lagi jika mitra tutur berasal dari masyarakat budaya non-Jawa. Pemahaman bebrapa budaya Jawa sangat diperlukan oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dna kebudayaan, sehingga komunikasi dna interaksi tetap berkalan lancar. Pemahaman tersebut salah satunya meliputi sifat orang Jawa yang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, menyembunyikan perasaan, menolak tanggung jawab, dan memiliki keinginan untuk selalu bersama. b. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Korea - Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi dan kenal 9) Bapaknya sudah lama menunggu. Jika kami ke rumah teman, bapak pasti marah Penolakan yang disampaikan mahasiswa Korea kepada pemberi perintah dengan status lebih tinggi dan masih muda menggunakan penolakan tidak langsung. Dan strategi yang digunakan hanya satu strategi saja, yaitu alasan. Penolakan yang dituturkan cenderung tanpa basa-basi, 241 langsung dan singkat. Sesuai dengan konsep kesantunan berbahasa yang dianut oleh masyarakat Korea, pemuda menghormati dan berbicara santun kepada yang lebih tua. Meskipun anak majikan memiliki status yang lebih tinggi, dan mereka saling kenal, namun karena usianya masih muda penolakan yang disampaikan tidak terlalu panjang dan sopan. - Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih tinggi dan tidak kenal 10) Mohan maaf bapak/ibu. Ada petugas khusus untuk itu. Saya tidak bisa meninggalkan kantor. Jika bapak/ibu mau, saya akan minta petugas itu ya. Data (10) menunjukkan sebuah penolakan yang disampaikan kepada seseorang dengan status lebih tinggi dan hubungan diantara penutur dengan mitra tutur adalah tidak saling kenal. Penolakan yang disampaikan mahasiswa Korea tersebut merupakan gabungan antara penolakan secara langsung dan tidak langsung. Penolakan terdiri dari lima macam tindak tutur. Formula semantik dalam penolakan di atas adalah ungkapan maaf, terms of address, alasan, ketidakmampuan (penolakan langsung), dan saran. Penggunaan terms of address “bapak/ibu” memiliki peran yang penting di dalam interaksi sebuah masyarakat. Terms of sddress sangat berperan dalam menjaga keharmonisan sebuah komunikasi dan interaksi. Di dalam penolakan di atas, terms of address untuk menghormati mitra tutur agar penolakan dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur. - Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya sederajat dan kenal 11) Maaf ya aku juga harus pake kamus ini untuk kerja. Gimana kamu coba cari di perpus? 12) Maaf ya sekarang ayahku dirawat di RS. Uang ini perlu untuk itu. Tapi aku carikan cara lain untuk membantumu. Data (11) menunjukkan penolakan ditujukan kepada seseorang yang memiliki status setara atau sama dan saling kenal. Mahasiswa Korea menggunakan strategi penolakan tidak langsung kepada teman atau seseorang yang mereka kenal. Bahasa yang digunakanpun cenderung lebih santai dan tidak baku. Dari penolakan di atas, pola urutannya terdiri dari tiga macam tindak tutur, yaitu ungkapan maaf, alasan, dan saran. Meskipun diantara penutur dengan mitra tutur memiliki status yang sama, 242 penolak berusaha untuk meminimalisir kekecewaan seseorang dengan meminta maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan orang tersebut. Meskipun demikian, karena mereka saling kenal dan memiliki hubungan yang cukup dekat sebagai teman, penolak berusaha membantu mitra tutur dengan memberikan sebuah saran atau alternatif lain supaya mitra tutur mendapatkan kamus yang dibutuhkannya tetapi di tempat lain, yaitu seperti di perpustakaan. Selanjutnya, di dalam data (12) terdiri dari tiga macam tindak tutur atau strategi penolakan. Ketiga macam formula semantik tersebut ialah ungkapan maaf, alasan, dan penawaran. Mahasiswa Korea menolak dengan cara tidak langsung agar hubungan dengan temannya tetap terjalin baik. Untuk meminimalisir sakit hati seseorang yang ditolak, penolak mengungkapkan permohonan maaf dan menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan. Selain itu, penolak berusaha menunjukkan simpati kepada temannya dengan menawarkan bantuan untuk membantu mencarikan dana guna biaya berobat di rumah sakit. Bahasa yang digunakan ringan tetapi tetap sopan meskipun relasi keduanya dekat dan saling kenal. - Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan tidak kenal 13) Dengan ini hukumanmu akan bertambah. Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan kenal menggunakan bahasa yang langsung tanpa basa-basi. Kondisi ini berbeda dengan penolakan mahasiswa Jawa di mana penolakan yang ditujukan kepada seseorang dengan status lebih rendah dan tidak saling kenal menggunakan lebih dari satu urutan tindak tutur dan disertai dengan permohonan maaf. Di sini terlihat jelas perbedaan yang cukup menonjol, yaitu dari jumlah urutan tindak tutur penolakan dana strategi apa yanag digunakan. Komunikasi lintas budaya perlu dipahami guna menyadarai bahwa masing-masing masyarakat memiliki pola kebahasaan sesuai budayanya. Bagi mahasiswa Koreaa, menolak dengan menggunakan satu tindak tutur saja kepada seseorang yang berstatus lebih rendah dan tidak kenal mungkinsudah dianggap sopan. Sedangkan bagi mahasiswa Jawa menolak menggunakan dua atau lebih tindak tutur dan ungkapan maaf akan membuat penolakana menjadi lebih sopan mesksipun ditujukan kepada seseorang dengan status yang lebih rendah dan tidak saling kenal. 243 - Penolakan kepada mitra tutur yang statusnya lebih rendah dan kenal 14) Maaf saya harus hadir di konferensi di luar negeri jadi tugasnya harus saya periksa sebelumnya jadi tidak bisa diundur. Tetapi jika hanya beberapa orang saja boleh dikirim lewat email setelahnya. Dalam data (14), penolakan ditujukan kepada seseorang dengan status lebih rendah dan saling kenal. Formula semantik yang digunakan adalah ungkapan maaf, alasan, dan saran. Dalam penolakan tersebut ada tiga macam tindak tutur. Tuturan yang diujarkan cenderung lebih panjang daripada tuturan yang diujarkan kepada orang yang belum saling kenal dan memiliki status yang lebih rendah. Kesantunan berbahasa di dalam budaya Korea juga seperti budaya Jawa pada umumnya, yakni terdapat tingkat tutur atau unggah-ungguh dalam berbahasa. Bagi masyarakat Korea, tingkat tutur merupakan salah satu hal yang paling penting. Tetapi muncul satu perbedaan yang cukup mencolok, yaitu faktor usia. Usia seseorang sangat penting dalam kaitannya dengan tingkat tutur. Ketika seseorang pertama kali bertemu dengan orang lain atau berkenalan, satu hal yang pasti ditanyakan ialah usia. Usia ditanyakan untuk mengetahui tingkat tutur mana yang akan digunakan dalam percakapan. Selain faktor usia sebagai pengaruh pemilihan jenis tingkat tutur yang digunakan, terdapat faktor lain yaitu strata sosial. Meskipun strata sosial seseorang berpengaruh terhadap penggunaan kesantunan berbahasa, namun tetap tidak sesignifikan faktor usia. Di dalam kehidupan masyarakat Korea, faktor yang paling penting adalah usia. Meskipun kepada seseorang yang berasal dari status atau kelas sosial bawah tapi usianya atas atau jauh lebih tua, tingkat tutur dan kebahasaan tetap harus menggunakan honorifik atau sebutan hormat. Di Korea, terdapat sebuah istilah yang dijadikan suatu pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah Jangyuyuseo yang bermakna “pemuda harus menghormati orang tua”. Dengan demikian, entah berasal dari golongan sosial atas ataupun rendah, jika seseorang memiliki usia yang tua, maka sapaan hormat tetap harus digunakan. Di dalam penelitian ini, faktor penentu sebuah penolakan yang lainnya adalah tingkat kenal seseorang terhadap orang lain. Mahasiswa 244 Korea menolak dengan bahasa yang lebih sopan kepada seseorang yang belum dikenal. Sedangkan dalam menolak kepada mitra tutur yang sudah dikenal, tuturan yang disampaikan cenderung lebih santai. Selain itu, menurut hasil penelitian dan wawancara yang sudah dilakukan, tuturan-tuturan (dalam hal ini penolakan) mahasiswa Korea cenderung disampaikan secara langsung dan tidak panjang-panjang seperti penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Penolakan disampaikan tanpa bertele-tele. Bagi orang Korea, orang yang suka bertele-tele justru dicurigai karena dianggap memiliki maksud yang tersembunyi. Lagipula, orang yang berbicara tidak langsung ke maksud tuturannya atau bertele-tele dianggap kurang terpelajar karena tidak bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan secara jelas. Namun, kepada mitra tutur yang lebih tua, penolakan disampaikan sedikit lebih panjang agar lebih sopan. Ketika penolakan ditujukan kepada orang yang lebih muda, status lebih rendah, teman, dan sudah saling kenal, penolakan tersebut disampaikan dengan langsung tanpa berbelit-belit. Pemahaman konsep kebudayaan orang Korea yang tercermin dalam tuturan yang disampaikan harus dipahami dengan baik oleh mahasiswa yang lainnya agar komunikasi dan interaksi dapat terjalin lancar tanpa adanya kesalahpahaman diantara mahasiswa Jawa dan Korea. Dari kondisi tingkat tutur yang sudah diapaparkan di atas, faktor terpenting dalam penggunaan tingkat tutur di dalam masyarakat Jawa dan Korea berbeda. Meskipun usia juga berpengaruh terhadap penggunaan unggahungguh seseorang, namun di dalam masyarakat Jawa bertanya perkara usia bukanlah suatu hal yang disenangi bahkan cenderung tidak sopan. c. Formula Ungkapan Penolakan Mahasiswa Sunda - Formula penolakan berdasarkan kenal/tidak kenal Di dalam sub-bab ini akan dijelaskan tentang formula ungkapan penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah saling kenal maupun yang tidak kenal. Di sini, penolakan yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kedekatan dengan pemberi perintah. Dengan demikian, tingkat kenal atau tidak seseorang sangat beroengaruh dalam komunikasi terhadap mitra tutur. Selain itu, status kenal atau tidak kenal juga memengaruhi penggunaan ragam bahasa, atau tingkat keformilan bahasa yang digunakan dalam ungkapan penolakan. Di bawah ini akan ditampilkan tabel perbedaan formula penolakan kepada mitra tutur yang dikena atau tidak dikenal. 245 Tabel 1 Formula Penolakan Berdasarkan Kenal/tidak kenal Peringkat Dikenal Tidak dikenal 1 Statement for specific reason Statement of regret atau atau ungkapan alasan khusus ( ungkapan penyesalan ( 2 Statement of regret ungkapan penyesalan ( 3 Terms of address atau sebutan Statement for specific ( reason atau ungkapan alasan khusus ( Offer of alternative atau Suggestion atau saran ( ugkapan alternatif, statement of inability atau ungkapan ketidakmampuan, dan suggestion atau saran ( Statement of principle atau Statement of principle ungkapan prinsip ( atau ungkapan prinsip ( 4 5 atau Terms of address atau sebutan ( Dari tabel di atas, dapat kita ketahui bahwa kepada pemberi perintah yang sudah dikenal, mahasiswa Sunda cenderung paling banyak menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for non-compliance kemudian diikuti dengan ungkapan penyesalan atau statement of regret, diikuti lagi dengan sebutan atau terms of address. Sedangkan kepada pemberi perintah yang tidak kenal, mahasiswa Sunda cenderung paling banyak menggunakan ungkapan penyesalan atau statement of regret sebagai ungkapan penolakan mereka. kemudian diikuti dengan menggunakan terms of address atau sebutan di dalam penolakan yang mereka ujarkan. Contoh penolakan yang diungkapan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal adalah sebagai berikut:  “Dikarenakan saya harus ke luar negeri, saya tidak bisa mengundur deadline pengumpulan tugas”  “Maaf bukannya aku ga mau bantu tapi ayahku sedang di rumah sakit dan perlu biaya untuk berobat juga”  “Maaf sekali, saat ini bukunya lagi dipakai’ 246  “Mohon maaf, uangnya dipakai untuk berobat ayah saya yg sedang dirumah sakit”  “Ke rumah temannya nanti, orang tua sudah siap berangkat dan menunggu kedatangan kita”  “Waah, bukan bermaksud tidak ingin membantu, kebetulan sekali kamus itu sedang aku gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan. Maaf sekali sekarang tidak bisa meminjamkan. Carilah dulu di perpustakaan barangkali menyediakannya, atau hubungi teman lainnya”  “Maaf sebelumnya, bukan tidak ingin membantu, tapi keadaan sedang tidak memungkinkan. Ayahku sedang dirawat dirumah sakit, jadi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semoga mobilmu cepat terjual ya”  “Duh maaf, aku lagi butuh banget nih buat kerjaan aku, deadline. atau kalo mau kita bareng aja belajarnya”  “Maaf dek, saya harus mengantar bapak dulu”  “Maaf ya, aku juga lagi butuh buat bayar RS bapaku”  Dari contoh ungkapan penolakan di atas, statement for specific reason atau ungkapan alasan khusus menjadi strategi atau formula yang paling banyak dan paling sering digunakan kepada pemberi perintah yang sudah kenal. Penolak berusaha menolak permintaan mitra tutur secara tidak langsung dengan menyampaikan berbagai macam alasan kenapa penolak tidak bisa memenuhi permintaan pemberi perintah. Penggunaan alasan sebagi bentuk penolakan dianggap sebagai cara yang tepat agar pemberi perintah tidak terlalu kecewa. Menurut peneliti, hal tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa Sunda ingin menunjukkan penolakan yang mereka lakukan bukan berasal dari dirinya atau murni karena tidak ingin memenuhi permintaan, melainkan karena kondisi atau faktor-faktor yang bersifat eksternal lainnya. Strategi penolakan kedua setelah ungkapan alasan-alasan yaitu ungkapan menyesal atau permohonaan maaf. Peneliti menemukan prosentase permintaan maaf tidak terpaut jauh dengan ungkapan alasan. Mahasiswa Sunda berusaha menolak dengan menggunakan kata maaf karena tidak bisa memenuhi permintaan pemberi perintah. Peneliti menemukan juga ungkapan penolakan secara langsung 247 dengan pernyataan ketidakmampuan kepada pemberi perintah yang sudah dikenal, namun prosentasenya cukup jauh, yaitu 50% atau sekitar setengah dari jumlah kata maaf yang digunakan. Akan tetapi, ungkapan ketidakmampuan yang disampaikan selalu diikuti dengan alasan. Kepada pemberi perintah yang belum dikenal, mahasiswa Sunda paling banyak menggunakan ungkapan maaf. Kemudian diikuti dengan terms of address atau sebutan untuk menghormati pemberi perintah. Kekhasan penolakan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang belum dikenal yaitu cenderung menggabungkan dua strategi atau lebih. Salah satu contohnya yaitu menggabungkan ungkapan alasan dengan ungkapan maaf seperti “maaf, saya menunggu dulu yang jaga”, “maaf mas, saya harus mengantar bapak rapat”, dst. Dari tabel di atas, penolakan yang disampaikan kepada pemberi perintah yang sudah kenal maupun yang belum kenal tidak pernah menggunakan non-performative statement atau penolakan secara langsung. Akan tetapi, ungkapan alternatif dan saran hanya diungkapkan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal dan bukan kepada pemberi perintah yang tidak dikenal. Walaupun demikian, penggunaan terms of adddress atau sebutan juga sangat dominan digunakan dalam ungkapan penolakan oleh mahasiswa Sunda, terutama kepada pemberi perintah yang tidak kenal. Contoh terms of address yang digunakan: Bro (dari kata Brother yang berarti saudara lelaki, biasa digunakan sebagai sapaan oleh seorang lelaki kepada teman lelakiknya), Pak, Dek, Bu, Adek, Anda, Mas, dan Mbak. Mahasiswa Sunda juga cenderung untuk menggabungkan ungkapan maaf dengan terms of address atau sebutan di dalam penolakan yang mereka tuturkan, sepert: “Maaf Pak”, “Sorry bro”, “saya mohon maaf dengan sangat Pak”, “maaf dek” kepada pemberi perintah yang sudah dikenal. Menurut Nadar dan Suhandono (2000: 28), hal tersbeut menunjukkan adanya keinginan penolakn terlibat secara langsung dalam usaha untuk menolong pemberi perintah. Selain itu, kepada mitra tutur yang sudah dikenal, mahasiswa Sunda juga berusaha memberikan tawaran alternatif dan juga saran seperti: “saya sarankan”, “saya rekomendasikan”, “kalau mau…”. 248 Secara umum, ungkapan penolakan yang disampaikan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal paling banyak menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for non-compliance dengan berbagai macam variasinya. Sedangkan kepada pemberi perintah yang tidak dikenal, maahasiswa Sunda paling banyak menggunakan statement of regret atau ungkapan maaf dan diikuti dengan sebutan atau terms of address agar komunikasi tetap berjalan baik dan untuk menghormati pemberi perintah. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Sunda sangat menjaga tradisi sopan santun kepada orang lain, terutama kepada seseorang yang dikenal, karena mereka mengenal istilah sopan santun kekerabatan. Formula Penolakan berdasarkan Status Lawan Bicara Di dalam sub-bab ini akan dijelaskan relasi ungkapan penolakan antara status pemberi perintah dengan status pelaku penolakan. Selain itu, akan dijelaskan pula adakah pengaruh status pemberi perintah dalam penolakan yang diungkapkan oleh mahasiswa Jawa, mahasiswa Sunda, dan mahasiswa Korea. Status mitra tutur dibagi menjadi tiga jenis, yakni status lebih tinggi, status sama atau sederajat, dan status lebih rendah. - 249 Tabel 2 Formula Ungkapan Penolakan berdasarkan Status Lawan Bicara Peringkat Kepada rendah status lebih Kepada status Kepada status lebih sama/sederajat tinggi 1 Statement of regret atau Statement for Terms of address ungkapan maaf (22.5%) specific reason atau atau sebutan ungkapan alasan (26.7%) khusus (37.1%) 2 Statement for specific Statement of regret Statement for reason atau ungkapan atau ungkapan specific reason atau alasan khusus (18.3%) penyesalan (34.2%) ungkapan alasan khusus dan Statement of regret atau ungkapan penyesalan (masing-masing 22.5%) 3 Suggestion atau saran Suggestion (16.3%) saran (8.5%) 4 Statement of principle Terms of address atau ungkapan atau sebutan, Offer berdasarkan prinsip of alternative atau (12.2%) ugkapan alternatif dan pause filler (masig-masing 5.7%) 5 Terms of address atau Statement sebutan, Statement of inability inability atau ungkapan ungkapan atau Statement of inability atau ungkapan ketidakmampuan (8.4%) Offer of alternative atau ugkapan alternatif dan pause filler (7%) of Suggestion atau saran (5.6%) 250 atau ketidakmampuan, dan ketidakmampuan statement of principle (2.8%) atau ungkapan berdasarkan prinsip (masing-masing 10.2%) Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa penolakan-penolakan yang dituturkan oleh mahasiswa Sunda dipengaruhi juga oleh faktor status mitra tutur. Kepada pemberi perintah dengan status lebih rendah, mahasiswa Sunda paling banyak menggunakan Statement of regret atau ungkapan maaf, ungkapan alasan atau statement of specific reason for noncompliance, saran, ungkapan berdasarkan prinsip, dan sebutan/ungkapan ketidakmampuan/ungkapan berdasarkan prinsip. Mahasiswa Sunda cenderung selalu menggunakan ungkapan maaf “maaf” kepada pemberi perintah yang statusnya lebih tinggi karena tidak bisa memenuhi permintaan atau perintahnya. Selain itu, terlihat juga kepada pemberi perintah yang berstatus lebih rendah, mahasiswa Sunda banyak menggunakan ungkapan maaf dibandingkan dengan kepada pemberi perintah yang berstatus lebih tinggi, yaitu dengan menggunakan sebutan atau terms of address. Sedangkan kepada pemberi perintah dengan status sama, mahasiswa Sunda paling banyak menggunakan ungkapan alasan. Mereka berusaha menolak secara tidak langsung dengan selalu menyertai alasan-alasannya, terlebih kepada seseorang yang sudah dikenal. Misalnya seperti ungkapan “maaf bro masih gua pakai”, “saya harus menjemput yang lain”, maaf ya, aku juga lagi butuh buat bayar RS bapaku”, dst. Dilanjutkan dengan permohonan maaf dan saran. Strategi yang paling kecil prosentasenya yaitu dengan ungkapan ketidakmampuan. Dengan kata lain, mahasiswa Sunda berusaha menjelaskan bahwa alasan penolakan yang disampaikan bukan berasal dari diri mereka, tetapi dari faktor yang bersifat eksternal. Akan tetapi, peneliti juga menemukan beberapa ungkapan penolakan yang hanya menggunakan satu strategi saja. Dan hal tersebut tidak ditemui ketika penolakan ditujukan kepada pemberi perintah dengan status yang lebih tinggi. Kesetaraan juga memengaruhi penggunaan sebutan atau terms of address. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sebutan atau terms of address kepada pemberi perintah yang sederajat 251 lebih sedikit dibandingkan dengan kepada pemberi perintah yang lebih tinggi, namun jauh lebih banyak dibandingkan dengan kepada pemberi perintah yang statusnya lebih rendah. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa memang ada pengaruh budaya Sunda dalam ungkapan penolakan mahasiswa Sunda. Sebagai masyarakat yang berdimensi kolektivisme, seperti masyarakat Indonesia, mahasiswa Sunda tidak ingin kehilangan teman atau relasi dengan senderung menggunakan penolakan secara tidak langsung. Terdapat beberapa penolakan dengan ungkapan ketidak mampuan, seperti “kami sedang tidak bisa menerima pesanan” , akan tetapi, penolakan tersebut selalu diikuti dengan ungkapan maaf ataupun sebutan sebagai bentuk penghormatan dan agar tidak menyakiti hati pemberi perintah. Istilah kekerabatan yang diujarkan baik mahasiswa Sunda maupun Jawa ditujukan bukan hanya kepada seseorang yang memiliki tali kekerabatan, tetapi ditujukan pula kepada orang-orang diluar tali kekerabatan tersebut yang sama atau setara dengan orang-orang ada di dalam tali kekerabatan tersebut, seperti Mas, Dek, Pak, dll. Hal tersebut menunjukkan sebuah keadaan di mana orang-orang yang berada di luar lingkaran kekerabatan dianggap seolah-olah sebagai keluarga. Anggapan tersebut timbul dikarenakan adanya perasaan untuk ingin menghargai dan menghormati diantara sesamanya dan didorong oleh munculnya rasa kekeluargaan. Jadi, meskipun tidak kenal dan statusnya berbeda, mahasiswa Sunda juga tetap berusaha menghormati mitra tutur. Terdapat satu kekhasan penolakan, yaitu mahasiswa Sunda menggunakan beberapa sebutan atau terms of adress yang berbeda dari mahasiswa Jawa, yaitu penggunaan “bro”, “gua”, dan “lu”. Sebutan tersebut sering kita temui pada orang-orang atau masyarakat yang tinggal atau berasal dari daerah Jakarta (Betawi). Terdapatnya penggunaan sebutan seperti itu disebabkan oleh beberapa faktor eksternal, seperti masuknya ekonomi uang dan kebudayaan barat. Sedangkan faktor internalnya yaitu urbanisasi, di mana masyarakat desa atau pedalam berpindah ke kota. Di dalam hal ini, mahasiswa pernah tinggal, bergaul, ataupun sering berinteraksi dengan orang-orang luar Sunda, misalnya Jakarta ataupun daerah-daerah lainnya. Beberapa hal tersebut mampu memengaruhi sapaan kekerabatan yang digunakan dalam berbahasa oleh seorang individu di dalam sebuah masyarakat bahasa. 252 KESIMPULAN Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Jawa lebih sering menolak menggunakan dua macam tindak tutur atau lebih (5, 6, dan 7 juga sering muncul) untuk membuat penolakan menjadi lebih santun. Penolakan yang dituturkan kepada seseorang dengan status tinggi ataupun rendah tidak pernah hanya menggunakan satu urutan tindak tutur saja. Bagi orang Jawa, semakin panjang tuturan, maka akan semakin sopan pula tuturan tersebut. Berbeda dengan mahasiswa Korea, kepada mitra tutur yang lebih tua harus menggunakan tuturan yang lebih panjang, meskipun status sosialnya rendah. Strategi penolakan yang dominan digunakan oleh mahasiswa Jawa adalah terms of address atau sebutan, ungkapan maaf, dan alasan. Hampir di setiap tuturannya, mahasiswa Jawa selalu menggunakan kata maaf sebagai cerminan rasa pakewuh. Terutama kepada mitra tutur yang sudah kenal, sedangkan kepada mitra tutur yang belum kenal cenderung menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for non-compliance sebagai penolakan atas permintaan atau perintah mitra tutur. Di sisi lain, mahasiswa Korea sering menggunakan alasan untuk menyampaikan penolakan. Tuturan yang semakin panjang hanya berlaku bagi mitra tutur yang lebih tua (meskipun berstatus rendah) dan seseorang dengan status sosial tinggi. Sedangkan kepada teman atau orang lain yang sudah kenal dan memiliki status sosial sama, tuturan cenderung langsung tanpa bertele-tele. Semakin langsung ke maksud tujuan maka semakin pandai orang tersebut. Dan ditemukan penggunaan satu tindak tutur saja kepada mitra tutur yang memiliki status lebih rendah dan belum saling kenal. Sejumlah faktor mampu memengaruhi realisasi penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa. Salah satu faktor tersebut adalah faktor budaya. Secara garis besar, ungkapan penolakan yang disampaikan oleh mahasiswa Jawa bersifat sangat tidak langsung sehingga bisa menyulitkan mitra tutur, terlebih lagi jika mitra tutur berasal dari masyarakat budaya non-Jawa. Pemahaman beberapa budaya Jawa sangat diperlukan oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dan kebudayaan, sehingga komunikasi dan interaksi tetap berjalan lancar. Pemahaman tersebut salah satunya meliputi sifat orang Jawa yang lebih suka mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung, menyembunyikan 253 perasaan, menolak tanggung jawab, dan memiliki keinginan untuk selalu bersama. Secara umum, ungkapan penolakan yang disampaikan mahasiswa Sunda kepada pemberi perintah yang sudah dikenal paling banyak menggunakan ungkapan alasan atau statement of specific reason for noncompliance dengan berbagai macam variasinya. Sedangkan kepada pemberi perintah yang tidak dikenal, maahasiswa Sunda paling banyak menggunakan statement of regret atau ungkapan maaf dan diikuti dengan sebutan atau terms of address agar komunikasi tetap berjalan baik dan untuk menghormati pemberi perintah. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat Sunda sangat menjaga tradisi sopan santun kepada orang lain, terutama kepada seseorang yang dikenal, karena mereka mengenal istilah sopan santun kekerabatan. Mahasiswa Jawa dan Sunda juga tidak mudah menolak permintaan orang lain karena mereka mengedepankan prinsip kebersamaan. Hal tersebut didasarkan pada masyarakat Jawa dan Sunda yang merupakan anggota dimensi masyarakat yang kolektivisme, bukan individualisme. Bagi mahasiswa Korea, faktor penentu penggunaan tingkat tutur dalam berbahasa yang paling penting adalah usia, sedangkan bagi mahasiswa Jawa, faktor terpenting adalah status sosial dan hubungan kenal ataupun tidak kenal. Dari penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan bahwa pemahaman komunikasi lintas budaya sangat penting untuk diketahui, karena bahasa dan budaya yang berbeda dapat menciptakan tindak tutur kebahasaan yang berbeda pula. Saling memahami dan mengerti merupakan kunci utama agar komunikasi lintas budaya dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya kesalahpahaman. Salah satu contohnya adalah faktor usia bagi orang Korea yang menjadi hal paling penting sehingga perlu ditanyakan kepada mitra tutur agar dapat menggunakan strategi kebahsaan yang sesuai, sedangkan bagi orang Jawa dan Sunda bertanya soal usia cenderung kurang sopan. Di Korea, terdapat sebuah istilah yang dijadikan suatu pedoman untuk berbahasa, yaitu istilah Jangyuyuseo yang bermakna “pemuda harus menghormati orang tua”. Dengan demikian, entah berasal dari golongan sosial atas ataupun rendah, jika seseorang memiliki usia yang tua, maka sapaan hormat tetap harus digunakan. 254 DAFTAR PUSTAKA _______. 1979. Adat Istiadat daerah Jawa Barat. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Austin, J.L. 1962. How To Do Things With Words. Oxford: Oxford University Press. Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing. Lagu, Marselina. 2016. Komunikasi Antarbudaya Di Kalangan Mahasiswa Etnik Papua dan Etnik Manado di Universitas Sam Ratulangi Manado. e-Jurnal “Acta Diurna” Vol. V No. 3 Nadar, FX., Suhandono. 2002. Kajian Formula dan Kesantunan Ungkapan Penolakan Dalam Bahasa Jawa. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FIB UGM. Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik: Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dana Keebudayaan. Jakarta: Kesaint Blanc. Salazar, Patricia., Jorda, M.P., Espurz, V.C. 2009. Refusal Strategies: A Proposal From Sociopragmatic Approach. Spanish: Universitat Jaume I. Searle, John R., etc. 1980. Speech Acts Theory and Pragmatics. Boston: D Reidel Publishing Company. Searle, John R., Daniel Vanderveken. 1985. Foundation of Illocutionary Logic. Cambridge: Cambridge Universsity Press. Surjaman, Ukun. 1960. Tempat Pemakaian Istilah Klasifikasi Kekerabatan pada Orang Djawa dan Sundadalam Susunan Masyarakat. Djakarta. Suprapto, Tommy. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta. CAPS. Wierzbicka, Anna. 2003. Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter. Yang, Seung-Yoon. 1995. Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. 255 PENGGUNAAN STRATEGI SULIH TEKS PADA SERIAL KOMEDI SITUASI FRIENDS Hafidatun Awaliyah A Ilmu Linguistik 2017, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Email: hafidatuna@gmail.com A B S T R A K Pada era globalisasi ini, penerjemahan visual verbal mulai diminati oleh berbagai kalangan. Salah satu bentuk terjemahan visual verbal adalah penerjemahan sulih teks atau subtitle. Dalam sebuah film atau acara di bahasa sumber, para aktor dan aktris kerap kali mengujarkan kata atau ungkapan kasar yang mungkin sulit diterima oleh bahasa sasaran karena faktor tertentu. Oleh karena itu, seorang penerjemah menggunakan strategi penerjemahan sulih teks agar film atau acara dapat berterima dan dinikmati oleh pemirsa. Untuk menjawab strategi sulih teks yang dipakai penerjemah dalam menerjemahkan kata kasar, peneliti menggunakan teori yang dicetuskan oleh Gottlieb (1992). Sumber data penelitian ini yaitu serial komedi situasi Friends dikhususkan pada season kedua. Sedangkan data yang digunakan adalah kata atau ungkapan kasar pada serial tersebut. Analisis dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan 49 kata atau ungkapan kasar dalam sulih teks sumber (bahasa Inggris) yang diterjemahakan dalam sulih teks sasaran (bahasa Indonesia). Pada penelitian ini, strategi Deletion, Expansion, Transcription, Transfer dan Resignation adalah strategi yang digunakan oleh penerjemah sulih teks. Strategi yang paling sering ditemukan yaitu strategi expansion. Adapun strategi yang jarang ditemukan yaitu strategi resignation. Temuan tersebut menunjukkan bahwa penerjemah sulih teks mempertimbangkan unsur budaya pada bahasa sasaran untuk menerjemahkan kata kasar yang muncul pada sulih teks. Kata kunci : Strategi penerjemahan, sulih teks, serial komedi situasi. 256 PENDAHULUAN Penerjemahan pada dasarnya melibatkan penggantian materi tekstual bahasa sumber dengan padanan materi tekstual dalam bahasa sasaran (Catford, 1969). Pada era ini, teknologi yang semakin maju mempermudah proses penerjemahan.salah satu bentuk kemajuan teknologi yaitu adanya penerjemahan visual verbal. Penerjemahan visual verbal yang berhubungan dengan film, serial TV, atau acara TV yaitu penerjemahan sulih teks atau subtitle dan sulih suara atau dubbing (Gonzales, 2009). Sulih teks atau subtitling merupakan proses sinkronisasi dalam sebuah dialog pada film (Shuttleworth dan Cowie, 2007). Dalam menerjemahkan sulih teks, tentunya digunakan teknik tertentu yang digunakan oleh penerjemah film untuk memadankan bahasa sumber serta bahasa sasaran dengan tujuan agar para pemirsa atau penonton dapat menikmati alur film dalam bahasa sumber tanpa mengganggu sinkronisasi antara film dan sulih teks. Pada penelitian ini akan menganalisis mengenai penerjemahan kata-kata kasar dalam serial TV yang digunakan oleh penerjemah. Dalam bahasa sumber (bahasa Inggris), kata-kata kasar yang diujarkan oleh aktor dan aktris belum tentu berterima ke dalam bahasa sasaran (bahasa Indonesia). Dari hal tersebut, kemudian peneliti mencoba untuk menguak mengenai strategi penerjemahan sulih teks yang dilakukan oleh penerjemah dalam menerjemahkan kata-kata kasar pada bahasa sumber agar dapat diterima dengan baik oleh bahasa sasaran. Data yang digunakan adalah kata-kata kasar yang diujarkan oleh para pemain serial komedi situasi Friends season 2. Untuk sumber data utama digunakan sulih teks bahasa Indonesia terdapat DVD Friends season 2, sumber data sekunder didapat dari transkrip Friends season 2 pada website http://friends.tktv.net/Episodes2/index.html untuk memudahkan analisis. Pada penelitian ini, akan digunakan metode deskriptif kualitatif, dimana proses pengumpulan hingga analisa data dilakukan secara urut. Dalam mengumpulkan data, dilakukan beberapa metode. Langkah awal yaitu menonton DVD Friends season 2 dengan seksama. Kemudian, membaca kecocokan transkrip dan sulih teks, Setelah itu, dilakukan pengumpulan kata-kata kasar yang diucapkan oleh seluruh pemain Friends season 2. Pengumpulan dilanjutkan dengan pemberian nomor 257 pada data secara urut serta pengelompokkan data dalam sebuah tabel. Pada proses analisis data, langkah pertama yang dilakukan adalah membaca ulang sulih teks bahasa Indonesia dan transkrip bahasa Inggris. Setelah membaca ulang, dilakukan identifikasi dan klasifikasi penggunaan strategi sulih teks yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan kata-kata kasar dalam bahasa Indonesia menggunakan teori Gottlieb (1992). Setelah seluruh data diklasifikasi, analisis secara deskriptif dilakukan guna memperjelas hasil penelitian. Terakhir, dilakukan penarikan kesimpulan yang berdasar pada analisis. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Ying Zhang dan Junyan Liu yang berjudul Subtitle Translation Strategies as a Reflection of Technical Limitations: a Case Study of Ang Lee’s Films pada tahun 2009. Penelitian tersebut bertujuan untuk menginvestigasi penerjemahan sulih bteks dalam bahasa Mandarin ke bahasa Inggris pada film-film Ang Lee. Pada penelitian berikutnya, dilakukan oleh Khoiru Ummatin dari Badan Balai Bahasa Jawa Timur pada tahun 2015 yang berjudul Analisis Teknik Penerjemahan Subtitling Film Lesson for Assasins di JTV. Penelitian tersebut bertujuan untuk memaparkan teknik penerjemahan subtitling yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan film Lesson for an Assassin ke dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan dua penelitain yang telah dilakukan, penelitian ini berbeda dari penlitian sebelumnya karena bertujuan mengidentifikasi strategi penerjemahan sulih teks untuk katakata kasar dalam serial situasi komedi Friends season 2. STRATEGI PENERJEMAHAN SULIH TEKS Teori mengenai penerjemahan sulih teks dicetuskan oleh Henrik Gottlieb pada tahun 1992. Gottlieb lantas mencantumkan strategi penerjemahan sulih teks ke dalam 10 kategori. Sedikit berbeda dari teknik penerjemahan pada umumnya, pada strategi penerjemahan sulih teks, digunakan khusus untuk ranah penerjemahan sulih teks pada suatu film, serial TV, ataupun acara talkshow yang melibatkan dua bahasa. Berikut di bawah ini merupakan penjelasan strategi sulih teks. 1. Expansion : digunakan ketika terdapat teks yang melibatkan nuansa budaya di mana hal tersebut tidak berterima pada bahasa target, sehingga digunakan istilah lain sebagai pengganti. 2. Paraphrase : digunakan ketika terdapat frasa atau idiom yang muncul dan teks asli tidak bisa dikonstruksi secara sintaksis ke bahasa target. 258 3. Transfer : digunakan di mana teks sumber diterjemahkan ke teks sasaran secara utuh dan akurat. 4. Imitation : digunakan untuk menerjemahkan susunan kata yang sama. Misalnya nama orang, nama tempat, dan lainnya. 5. Transcription : digunakan ketika terdapat teks yang bersifat tidak biasa (nonsense atau penggunaan julukan/orang ketiga) dalam teks sumber dan tidak ditemukan padanan dalam teks target. 6. Dislocation : digunakan ketika dalam film terdapat efek special seperti lagu-lagu pada kartun, di mana efek penerjemahan lebih penting daripada konten film. 7. Condensation : digunakan untuk memotong atau memangkas teks menjadi seringkas mungkin 8. Decimation : digunakan untuk menerjemahkan pemain film atau orangorang yang sedang bertengkar atau berbicara capat, sehingga mengharuskan sulih teks diringkas oleh penerjemah (elemen penting dalam wacana kemungkinan hilang). 9. Deletion : merujuk kepada pelesapan total pada teks karena kurang berterima dalam teks sasaran. 10. Resignation : digunakan penerjemah jika tidak ada solusi terjemahan yang tepat sehingga makna utama kemungkinan akan hilang. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, ditemukan strategi penerjemahan yang dipakai oleh penerjemah untuk menerjemahkan sulih teks pada kata-kata kasar di serial komedi situasi Friends season 2. Strategi-strategi tersebut adalah Deletion, Expansion, Transcription, Transfer, dan Resignation. Strategi Persentase Deletion 16,3% Expansion 42,9% Transcription 6,1% Transfer 30,7% Resignation 4,08% Tabel 1. Jumlah strategi penerjemahan sulih teks pada serial situasi komedi Friends season 2 259 Berikut di bawah ini merupakan analisis yang disertai contoh dari kelima strategi yang ditemukan: Deletion Pada strategi Deletion, penerjemah sulih teks menghilangkan kata kasar seluruhnya dari sulih teks bahasa sumber ke bahasa sasaran. Di bawah ini merupakan contoh penggunaan strategi Deletion: Data TSu TSa 01 So, what the hell happened Apa yang terjadi padamu di to you in China? China? 21 Believe me, sometimes that Percayalah, shit happens terjadi terkadang itu Pada data (01), the hell memilki makna literal neraka, namun terkadang dalam bahasa Inggris kata tersebut dapat digunakan untuk mengumpat seseorang atau sesuatu. Kemudian pada data (21), penerjemah juga melesapkan kata shit pada sulih teks bahasa Indonesia. Secara literal, shit dapat diartikan sebagai kotoran, terkadang digunakan pula untuk mengumpat yang berarti omong kosong. Dalam bahasa sasaran, kata kasar the hell dan shit dilesapkan oleh penerjemah sulih teks dikarenakan tanpa adanya kata kasar tersebut keseluruhan kalimat masih berterima oleh pemirsa. Expansion Pada strategi Expansion, penerjemah cenderung menerjemahkan kata kasar ke kata yang lebih berterima dalam teks sasaran dengan tujuantujuan tertentu. Adapun untuk contoh data yang ditemukan terdapat di bawah ini: Data TSu TSa 2 Ugh, what a bitch Menyebalkan sekali. 46 Because he was just damn Karena dia sangat tampan? cute? Apabila ditinjau secara literal, data (2) menunjukkan bahwa kata kasar dalam teks sumber diterjemahkan jauh dari makna asli kata bitch. Kata bitch diartikan sebagai umpatan yang merujuk kepada jalang atau pelacur wanita. Penerjemah memperhalus kata tersebut dengan kata yang bertingkat lebih sopan ke teks sasaran yaitu menyebalkan sekali. Sama 260 halnya dengan data (46), dimana penerjemah mengganti kata damn yang memiliki makna terkutuk dalam teks sumber menjadi sangat dalam teks sasaran. Hal tersebut menunjukkan penerjemah menonjolkan unsur kultur pada teks sasaran yang tabu dengan kata tersebut. Transcription Dalam strategi Transcription, penerjemah sulih teks diharuskan untuk menerjemahkan istilah sudut pandang ketiga atau istilah yang cenderung tidak masuk akal yang cocok untuk menjadi padanan dalam teks sasaran. Berikut merupakan contoh data yang ditemukan: Data TSu TSa 08 What a dinkus! Bodohnya. 17 Get out, you doofus! Keluarlah, bodoh! Pada data (08) dan (17) di teks sumber, terdapat kata dinkus dan doofus yang digunakan sebagai julukan atau panggilan terhadap seseorang yang memiliki arti hampir sama dengan orang yang tolol atau idiot. Kedua kata kasar tersebut merupakan slang words pada bahasa sumber. Dalam hal ini, penerjemah sulih teks tidak menemukan padanan yang tepat untuk menerjemahkan, oleh karena itu kata bodoh merupakan solusi padanan yang mendekati dan berterima pada teks sasaran. Transfer Dalam strategi Transfer, penerjemah menerjemahkan kata atau istilah secara literal tanpa mengganti makna secara akurat dan utuh. Di bawah ini merupakan contoh kata yang diterjemahkan menggunakan strategi Transfer: Data TSu TSa 35 What a manipulative Dasar wanita jalang bitch manipulatif. 43 It was just a dumb soap Itu hanya opera sabun yang opera bodoh. Pada data (35) kata kasar teks sumber bitch diterjemahkan secara literal oleh penerjemah menjadi wanita jalang dalam teks sasaran. Data serupa muncul pada data (43) dimana penerjemah tidak mengganti kata dumb ke dalam bentuk lainnya, namun tetap diterjemahkan sesuai makna literal yaitu bodoh. Kedua terjemahan dari teks sumber ke teks sasaran 261 tetap pada makna yang akurat dan utuh karena makna tersebut berterima dengan bahasa sasaran. Resignation Pada strategi Resignation, penerjemah melakukan perombakan makna karena tidak menemukan padanan yang cocok pada teks sasaran sehingga memungkinkan makna utama dalam teks sumber akan hilang. Kedua contoh data di bawah ini merupakan peggunaan strategi resignation yang digunakan oleh penerjemah sulih teks: Data TSu TSa 41 Get off my leg, you yippity Menyingkir dari kakiku, Hewan piece of crap! Sial! Data (41) kata-kata yippity piece of crap dapat diartikan sebagai omong kosong belaka dalam teks sasaran. Namun, dalam data tersebut menunjukkan bahwa penerjemah tidak menemukan padanan yang cocok sehingga penerjemahan diubah menjadi kata yang lebih berterima dalam teks sasaran meskipun makna literal dari teks sumber hilang sepenuhnya. SIMPULAN Setelah analisis dilakukan secara deskriptif, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima jenis strategi yang digunakan penerjemah untuk menerjemahkan kata kasar pada sulih teks dalam teks sumber (bahasa Inggris) ke teks sasaran (bahasa Indonesia). Strategi tersebut ialah deletion, expansion, transcription, transfer dan resignation. Strategi yang paling sering ditemukan yaitu strategi expansion. Hal ini menandakan bahwa penerjemah sulih teks masih mempertimbangkan unsur budaya yang melekat pada TSa. Adapun strategi yang jarang ditemukan yaitu strategi resignation. Hal tersebut mencerminkan bahwa meskipun terjemahan kata kasar masih terdengar tabu, penerjemah masih mempertimbangkan makna agar tetap berterima dan akurat pada TSa 262 REFERENSI Catford, J.C. (1969) Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press. Gonzalez, L. P. (2009). Audiovisual translation. Routledge encyclopedia of translation studies: Second edition (pp. 13-20). Gottlieb, H. (1992). Subtitling. “A New University Discipline”. Teaching Translation and Interpreting: Training, talent and experience. Philadelpia: John Benjamins Publishing Company. Shuttleworth, M & Cowie, M. (1997). Dictionary of Translation. USA. Routledge. Umatin, K. (2015). Analisis Teknik Penerjemahan Subtitling Film Lesson for Assasins di JTV. Bebasan, Vol. 2, No. 2, edisi Desember 2015: 78— 90 Zhang, Y & Liu, J. (2009). Subtitle Translation Strategies as a Reflection of Technical Limitations: a Case Study of Ang Lee’s Films. Asian Social Science Journal. Vol. 5, No.1 WEBSITE http://friends.tktv.net/Episodes2/index.html 263 HASIL DISKUSI SEMINAR PERTANYAAN 1. Bagaimanakah karakteristik masing-masing kategori sulih teks? 2. Mengapa menggunakan sulih teks dari DVD asli? Karena penerjemah tidak diketahui asal usulnya. 3. Sulih teks pada DVD terkadang salah atau belum tentu benar pada penerjemahannya. Bagaimana tanggapan anda mengenai hal tersebut? JAWABAN 1. Tidak terdapat karakteristik tertentu, karena dalam penelitian ini sudah dikhususkan pada penerjemahan sulih teks yang mengandung katakata kasar di dalamnya. 2. Karena dengan pertimbangan keaslian terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jika mengambil sulih teks yang dapat diunduh dari suatu laman website, mungkin akan sulit untuk dipertanggungjawabkan dan akan berpengaruh pada hasil penelitian. 3. Dalam penerjemahan, tidak ada benar dan salah. yang ada yaitu baik dan tidak baik. Penerjemah menggunakan strategi atau teknik tertentu untuk menerjemahkan ujaran pada sulih teks. Mungkin hasilnya belum tentu berterima oleh pemirsa, namun dapat dipertanggungjawabkan melihat bahwa orisinalitas diperlukan dalam pengambilan sumber data dalam penelitian. 264 FENOMENA CAMPUR CODE DALAM DALAM DUNIA KERJA PT BECOM YOGYAKARTA Hari Nugraha Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada hari.nugraha@mail.ugm.ac.id ABSTRAK Banyak fenomena yang tidak kita temukan di dunia akademik, akan tetapi kita temukan dalam dunia kerja. salah satunya adalah kebiasaan menggunakan bahasa yang bercampur-campur antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. PT. Becom adalah salah satu perusahaan di area Yogyakarta yang bergerak dalam bidang event organiser. Dalam mekanisme kerja, mereka menuntut para pekerjanya berbaur dengan klien perusahaan yang sudah biasa menggunakan bahasa dengan banyak fenomena Campur Kode didalamnya. Campur Kode yang digunakan adalah antara Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif kualitatif dengan data berupa kosa kata campur kode antara tiga bahasa yang umum digunakan dilingkungan kerja PT Becom. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat 57 kosa kata bahasa Inggris yang terdiri dari nomina, verba, adjective, dan adverb dan 11 kosa kata dari bahasa Jawa digunakan sebagai campur kode dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ditemukan 14 kosa kata yang mengalami pergeseran makna terjadi pada fenomena campur Kode tersebut. Alasan penggunaan campur kode dalam PT Becom region Yogyakarta adalah; karena pihak klien yang sudah biasa dalam menggunakan Campur Kode dalam komunikasi sehari-hari dan untuk menaikan citra pekerja di depan klien. Kata kunci: PT Becom, Campur Kode PENDAHULUAN Bahasa berkembang berdasarkan penuturnya. Perkembangan budaya dan peradaban adalah salah satu pemicu perkembangan bahasa. Kita bisa lihat 20 tahun yang lalu, bahasa Indonesia belum mengalami perubahan atas interferensi dari berbagai macam bahasa yang ada 265 didunia, khususnya bahasa Inggris karena saat ini bahasa tersebut sedang menjadi bahasa Internasional yang wajib dikuasai oleh masyarakat ditengah-tengah globalisasi. Masyarakat sebagai penutur sebuah bahasa, mau tidak mau mengikuti arus globalisasi. Salah satu pengaruh dalam hal bahasa adalah adanya interferensi bahasa. interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya eleman-elemen asing dalam suatu tingkat bahasa, seperti dalam fonemis, morfologis, serta beberapa perbendaharaan kata atau leksikal (Poedjosoedarmo 1989). Hal tersebut berbeda dengan campur kode, dimana fenomena ini ditandai dengan penggunaan kosa kata dari bahasa asing disela-sela sebuah tuturan. menurut KBBI (2007) campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa ataupun ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah fenomena yang ada dalam lingkungan kerja, adanya kelas-kelas sosial dan pengaruhnya terhadap pengakuan sosial dalam masyrakat memunculkan fenomena campur kode didalamnya walaupun itu hanya dalam lingkup yang sangat kecil atau sebuah komunitas saja. Campur Kode seharusnya hanya digunakan untuk kosa kata yang tidak ditemukan dalam sebuah bahasa tertentu saja, akan tetapi, penggunaan bahasa serapan menjadi lebih komplek saat berbenturan dengan aspek kebudayaan masyarakat. Dalam lingkungan kerja PT Becom area Yogyakarta, misalnya, penggunaan campur kode sangatlah lazim, hal ini dikarenakan para karyawannya bersinggungan dengan berbagai pihak, klien, yang memang dalam keseharian mereka sudah mengenal dan menggunakan campur kode sebagai sebuah kebiasaan. Perkembangan sebuah bahasa bisa menjurus kearah positif jika perkembangannya ditandai dengan lestarinya bahasa tersebut. Disisi lain perkembangan sebuah bahasa dikatakan negatif jika perkembangannya cenderung menjurus pada kepunahan bahasa itu sendiri. 266 Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengungkap bagaimana fenomena campur kode dalam sebuah komunitas kerja, dan fenomena lain yang ada didalamnya. RUMUSAN MASALAH Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang digunakan adalah bagaimana fenomena campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom Yogyakarta. Kemudian penelitian ini juga membahas kesalahan dalam pemaknaan yang terjadi fenomena campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom Yogyakarta. KAJIAN TEORI  Register dan Campur Kode Konsep register menurut Wardaugh (1986: 48) adalah pemakaian kosa kata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun kelompok sosial tertentu. Ciri-ciri register secara umum adalah pertama register hanya mengacu pada pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerja yang berbeda. Kedua, bahasa register sesuai dengan situasi komunikasi yang terjadi berulang secara teratur dalam suatu masyarakat yang berkenaan dengan pertisipan, tempat, fungsifungsi komunikatif. Ketiga, register digunakan oleh suatu kelompok ataupun masyarakat tertentu sesuai dengan profesi dan keahlian yang sama. berbeda dengan campur kode, dimana campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa ataupun ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan lain sebagainya (KBBI 2007). sehingga dapat disimpulkan bahwa interferensi leksikal dan campur kode merupakan dua hal yang hampir sama, akan tetapi pada kenyataanya kedua hal tersebut sangatlah berbeda. METODE PENELITIAN seting tempat dalam penelitian ini adalah lingkungan kerja PT Becom area Yogyakarta. Penelitian ini tidak terbatas pada kantor PT Becom saja, akan tetapi keseluruhan tempat yang digunakan sebagai media bekerja, termasuk didalamnya adalah tempat rapat yang kebanyakan adalah cave atau tempat makan. Sesuai dengan tujuan penulisan, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode 267 deskriptif kualitatif. Yang kemudian, metode tersebut dijabarkan ke dalam langkah-langkah sesuai dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa tuturan dari karyawan PT Becom yang direkam dengan media voice recorder dalam jam kerja. Kemudia data dipilah-pilah dan diaanalisis untuk menemukan fenomena campur kode didalamnya. Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi fenomena campur kode dan permasalahan didalamnya yang terjadi dalam lungkungan kerja PT Becom. Hal ini sejalan dengan Mahsun (2005) yang mengemukakan bahwa fokus dari analisis kualitatif adalah pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata dari pada dalam angkaangka. HASIL PENELITIAN Dalam PT Becom Yogyakarta, terdapat penemuan fenomena campur kode yang digunakan oleh karyawannya. Hal ini dikarenakan PT Becom selaku vendor dari PT. HM Sampoerna sering bersinggungan dengan klien yang sudah menggunakan budaya serupa. Campur kode yang digunakan adalah campur kode luar dan campur kode dalam, dimana campur kode luar berasal dari penggunaan kosa kata asing, bahasa Inggris, yang berasal dari ranah ekonomi kedalam bahasa Indonesia. Sedangkan campur kode dalam yang ditemukan adalah campur code dari bahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena kebanyakan karyawan PT Becom adalah orang jawa dan mahasiswa dimana mereka belum lama berada di Yogyakarta dan pengaruh budaya tempat tinggal asal belum bisa mereka tinggalkan. No 1 2 3 Kata Let say Engagement Grab No 13 14 15 Kata Save Keep Let it flow No 25 26 27 4 Head to head Fresh money 16 Cover 17 Impressed 5 No 37 38 39 Kata Better Worst Case No 49 50 51 Kata Promise Prove Approve 28 Kata Link Smart Over capacity Worthed 40 Start 52 Accept 29 So 41 Maintain 53 Reject 268 6 Journey 18 30 19 Coffee cheat Fee 7 Compare 8 Nothing to lose Make sure Invitation 42 Drop 54 Miss 43 Pretend 55 Change Powerless 20 Communal 32 44 56 Style 45 57 34 Achievem ent Meeting Make sense Arrange 9 Selling 21 33 10 Break down 22 Lock audience Rewarding 46 Set 58 Challeng e Make sure 11 12 Present Hold 23 24 Hang out Keep in touch 35 36 Offer Prefer 47 48 Order Penalty 31 Berikut adalah hasli penelitiaan berupa kata-kata dari bahasa Inggris yang berupa nomina, verba, adjective, dan adverb dan digunakan dalam campur kode luar, data diambil dari kata yanfg memeiliki frekuensi paling banyak dalam tuturan: no Kata kalimat “ini semua tergantung dengan njenengan semua 1 Njenengan disini” “Kenapa?, karena dalam komunitas ini tidak ada lang 2 Mandegani lebih mandegani dari njenengan” “Kalau kinerja kalian kayak gini terus, gua keplak 3 Keplak kalian” 4 Tura-Turu “Ayo kebut selling, jangan tura-turu wae” “Dikit dikit madhang dikit madhang, gimana 5 Mangan programnya” 6 Dolan “Ya memang terkesan jobdes TL itu dolan” 7 Pait “Komunitas ini sellingnya gimana, pait?” “Kamu kesana kemudian tekok meraka, gampang 8 Tekok kan?” “Kalau masih under ya gimana, masak kamu mau 9 Semeleh curang, yang semeleh aja boss” Empan “Memang kalau ngadepin comunitas itu harus empan 10 Papan papan” 269 11 Adus 12 Keset “Semua TL kumpul, nggak peduli mau kalian belum adus apa gimana” “Kapan mau achiev e kalau nyatronin comunitas aja pada keset” Campur code dalam yang ditemukan dalam penelitian ini, terdapat didalamnya verba, adjective, dan adverb adalah sebagai berikut: Dua alasan utama penggunaan campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom area Yogyakarta adalah untuk menghadapi pihak Klien yang sudah terbiasa dalam menggunakan campur kode dalam tuturan meraka dan yang kedua adalah untuk menaikan citra didepan klien. Selain ditemukannya fenomena campur kode, juga juga ditemukan beberapa kesalahan dalam pemaknaan dari campur kode yang digunakan. Data dalam penelitian ini dikatanan sebagai sebuah kesalahan jika kosa kata tersebut tidak sesuai dengan konteks literalnya dan ttidak terdapat dalam kosa kata yang menempel pada sarbuah profesi atau register. Fenomena kesalahan pemaknaan ini dikarenakan tidak ada kerjasama dalam pihak klien dan kariawan PT Becom dalam bertukar informasi atau berdiskusi dalam ranah informasi referensial. Beberapa kosa kata yang kurang tepat diterjemahkan oleh karyawan PT Becom adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 Kata Engangedment Lock audiens Keep in touch Mentain intensi no 6 7 8 9 10 kata Obstacle in case hold Pinalti Semeleh No 11 12 13 14 kata Rewarding Let it flow Jurney Coffe cheat Alasan terjadinya kesalahan dalam transliterasi atau pemaknaan yang ada adalah 1. Terbatasnya kosa kata, dari karyawan PT becom untuk mengerti kata kata baru khususnya kata yang sudah menjurus pada ranah tertentu, ranah ekonomi. 270 2. Karyawan PT Becom Yogyakarta masih tergolong karyawan baru dan fresh graduate sehingga belum terbiasa dengan fenomena campur kode yang ada khususnya dalam ranah ekonomi. 3. Tidak adanya budaya menyanggah dari karyawan PT Becom sehingga menimbulkan kebiasaan mereka dalam menerka nerka makna kata yang digunakan sebagai bagian dari fenomena campur kode. 4. dalam campur kode dalam, kesalahan penerjemahan makna terjadi karena alasan perbedaan makna kata antar daerah. Hal ini dikarenakan karyawan PT Becom yang sebagian besar masih berstatus Mahasiswa dan berasal dari beragam daerah yang berbeda sehingga terdapat perbedaan makna atau dialek. KESIMPULAN Dalam fenomena campur kode di PT becom ditemukan 57 kata campur code luar dari bahasa inggris kedalam bahasa Indonesia. Kosa kata yang mendominasi digunakan dalam fenomena campur code ini adalah kosa kata yang ada dalam ranah ekonomi. Sedangkan, dalam campur kode dalam ditemukan 12 kata dari bahasa Jawa kedalam bahasa Indonesia. Dua alasan utama penggunaan campur kode dalam lingkungan kerja PT Becom area Yogyakarta adalah untuk menghadapi pihak Klien yang sudah terbiasa dalam menggunakan campur kode dalam tuturan meraka dan yang kedua adalah untuk menaikan citra didepan klien. Disisi lain ditemukan fenomena kesalahan penerjemahan dalam campur code yang digunakan, yaitu saat pihak klien menggunakan kosa kata yang diambil dari bahasa lain. Fenomena ini dikarenakan oleh beberapa alasan, yaitu; keterbatasan kosa kata, gegar budaya karena mayoritas karyawan PT becom belum terbiasa dalam menggunakan campur kode dengan kosa kata tersebut, kurangnya budaya menyanggah untuk bertanya terhadap apa yang disampaikan oleh pihak klien, dan perbedaan asal daerah yang menyebabkan berbedaan makna kata (terjadi hanya pada campur code dalam.) 271 DAFTAR PUSTAKA  Poedjosoedarmo, Soepomo. 1989. Kode dan Alih Kode dalam Widyaparma No. 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.  Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.  Nababan, P. W. J. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.  wardaugh, ronal. 1986.introduction to sociolinguistics. Oxford: Dasil Black Well HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: dunia berkembang, masyarakat berkembang, dan bahasa didalamnya juga berkembang, apakah ini wujud dari sebuah perkembangan bahasa dengan adanya campur code, atau globalisasi yang membuat kita harus menggunakan bahasa asing sebagai budaya? Jawabann: bahasa tidak ada yang stacknan, mereka berkembang, sesuai dengan kebutuhan dari pemakainya, dan bahasa juga bisa mati jika ditinggalkan, menurut saya inni adalah perkembangan bahasa yang bersifat negatif, dimana kita akan secara perlahan meninggalkan bahasa kita dan diganti dengan bahasa baru yang lebih mendominasi. Ini adalah tugas kita untuk terus melestarikan bahasa kita, bahasa daerah. Karena saya melihat kecendrungan adanya perkembangan dari generasi saat ini yang lebih cenderung menganggap leksikon leksikon bahasa Indonesia sebagai bahasa daerah mereka. Bagi saya itu sangat mengecewakan. (penanya atas nama Rahmat Wahyudin Candra dari Universitas Muhamadiyah Sumatra Utara) Pertanyaan: apa mungkin yang anda paparkan itu adalah bagian dari register, dimana itu memang khusus dipakai dalam lingkungan tersebut? Jawaban: dari yang saya ketahui register adalah kosa kata atau kalimat ,mungkin, yang hanya ada dalam lingkungan tertentu saja, dan hal ini menjadi baku dalam lingkungan tersebut. Akan tetapi, dari data yang saya perole, sebenarnya kosa kata ini memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, sehingga saya 272 menentukan bahwa ini adalah bagian dari campur code. (penanya atas nama hendri dari Universitas Negeri Yogyakarta) Pertanyaan: dalam menghadapi campur kode dalam institusi tersebut, adakah perselisihan atau perdebat kenapa menggunakan campur code, dari bahasa Inggris? Jawaban: bagi saya, ini adalah murni fenomena yang terjadi dalam dunia kerja, dan saya melihat kecendrungan yang nyata dalam perbedaan antara dunia kerja dan dunia akademis, dimana dalam dunia kereja, segala sesuatu yang menjadi perhatian kita dalam dunia akademis ini menjadi sesuatu yang tidak begitu dihiraukan. Penggunaan campur code atau semacamnya itu hanya sambil lalu dalam lingkungan ini, sehingga menurut saya ini adalah sebuah dilema dimana kita sebagai akademis berusaha menciptaan sesuatu yang ideal akan tetapi dalam masyarakat sebenarnya itu tidaklah berarti apa apa. Mungkin perlu dipikirkan lagi bagaimana bekerlanjutan dari fenomena ini, kita sebagai akademisi dan mereka sebagai pekerja atau masyarakat. (penanya atas nama Rosi Hidayat dari jurusan Ilmu Humaniora) 273 THE KINSHIP TERMS OF SERAWAI LANGUAGE Hendri Pitrio Putra Applied Linguistics Yogyakarta State University, Email: hendripitrio@gmail.com ABSTRACT This paper is a sociolinguistic study of the kinship terms used by the Serawainese. The Serawainese is one of the largest ethnic groups in the province of Bengkulu and the term kinship is important to be studied in the field of sociolinguistics because it enriches the limitations of language and literature of a culture, and can also describe and identify a language. This paper useda qualitative descriptive method in which data are collected based on events and phenomena that occur in the community and then studied and analyzed in depth. The results of this study divide the term kinship in the Serawai language into four parts they are: the first, Direct Descendance and Ancestry. The second, Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation. The third, Direct Siblingry, and the fourth Legal kinship. This division is assumed to accommodate the kinship term of Serawai language. Keywords: Kinship Term, Serawai Language INTRODUCTION Humans are social beings who live in the middle of society always interact with each other. When interacting and communicating humans requires several steps and techniques that include how humans open a conversation, start a conversation and close it. One that affects a person when he opens a conversation or closes a conversation is a kinship term. The kinship term has a strong enough influence in the formation of speech that occurs in the society, whether it is a speech that aims as a tribute to the partners of speak or as a norm of decency. Therefore, the problem of how to someone speaks and how to the speaking technique involving the term kinship becomes important to learn. This is in line with Wardhaugh opinion's (1986) says that “how we say something is at least as important as what we want to say. Furthermore, He says that 274 when we speak, we must constantly make choices of the kinds we want to use: what we want to say, then how we want to say it". According to Mansyur (1988), kinship is social units consisting of several families who have blood relations or marital relations (genealogies). Members of kinship consist of father, mother, son, son-inlaw, grandchild, brother, sister, uncle, aunt, grandpa, grandmother, and so on. Furthermore, our general public also recognizes several other kinship groups such as main families, extended families, bilateral families, and unilateral families. In general, the origin of kinship comes from the main family that became the basis of all existing kinship. While the broader kinship is an extension of the main family (Foley, 2001: 131). This also happened to Serawai ethnic community which is part of Sumatran Malay society. The Serawai ethnic is one of the largest ethnic groups in Bengkulu province and the language of Serawai is the majority language used by the people live in the two town districts of Bengkulu province, the two districts of the city are South Bengkulu and Seluma districts. South Bengkulu district has an area of about 1,186.10 km2 with a population of about 164,661 people / km² while Seluma district has an area of about 1,223,74 km2 with a population of about 185,587 people. The term kinship is one of the interesting topics to be studied in the field of sociolinguistics and anthropology because it can describe the social structure of the society concerned and can also enrich the boundaries and literature of a language. Actually, there have been many studies that have studied about the term kinship but have not discussed the term kinship in Serawai language. Therefore, the authors in this paper try to investigate and analyze more deeply on the term kinship of the Serawai language. TEORETICAL REVIEW The Kinship System According to Mansyur (1988) kinship is social units consisting of several families who have blood relations or marital relationships. Members of kinship consist of father, mother, child, son-in-law, grandchild, brother, sister, uncle, aunt, grandpa, grandmother and so on. Furthermore, kinship can also be defined as the relationship of the same person or entity in the same lineage, cultural, or historical descent. Kinship is the smallest unit of 275 society that comes from two families, the nuclear family and the extended family (Ihromi, 2006: 15). According to Kuntjaraningrat (1985) divides the kinship system into several lineages. The first patrilineal is the kinship system derived from the male lineage. The second, matrilineal kinship systems taken from the female lineage. The third bilineal kinship systems that calculate the kinship relationship through men for certain rights and obligations and through women only for certain rights and obligations. The last, the bilateral kinship system is to calculate the relationship of kinship through men and women. The Kinship Term Furthermore, the term of kinship which is a system contained in society to call or greet each other based on kinship. According to Kridalaksana (1982: 46), the term kinship is a system that links a set of words or terms used to greet the principals in language events. The speakers are those who say hello, those who are addressed, and those who listen to the conversation and witness the interaction between the speakers in the conversation. Chaer (2006: 107) says that the term kinship that is expressed is the words used to greet, admonish or call the second person or the third person who is spoken to. This word or kinship term does not have its own vocabulary or term, but they use the word self or kinship term. At the last, according to Fox (1967), reveals that kinship refers to the typology of relatives according to a particular population based on the rules of heredity and marriage rules, whereby a population that plays an important role in the rules of conduct of a particular society and the structure social. From the definitions above, it is concluded that the kinship term is an important thing to be studied because it can show the relationship of social structure which in the society studied by lineage or even from blood relation or marriage. METHODOLOGY This paper used a qualitative method in which the data were taken based on the events and phenomena occurring within the Serawai community. Furthermore, the data obtained was studied and analyzed in depth. Subjects in this study were the Serawai community live in two districts of the city in Bengkulu province, South Bengkulu district and Seluma district. 276 Subjects in this study were 20 randomly selected individuals with an age range that varied between 19 years - 50 years. Further data is collected through questionnaires to participants. The questionnaire consisted of 39 questions about how the Serawai people called their family members and after that to strengthen the results of this study the author also made observations and interviews to the Serawai community. Furthermore, the data collected in this study were analyzed using contextual analysis method. A contextual analysis method is the way of analysis applied to data based on context with considering and link context identity. According to Kridalaksana (1998), the context may consist of the physical aspects of the social environment associated with speech. FINDING AND DISCUSSION Kinship is one of the most basic principles for organizing individuals into social groups, roles, categories, and genealogies. The kinship system of Serawai is the patrilineal kinship system of kinship system based on male lineage. In the legal status of marriage, man marries a similar woman from Serawai ethnic then the prevailing their kinship system is taken from the male line of men and if the Serawai man married to woman outer of Serawai ethnic but they still live in the Serawai area then their kinship system prevailing is taken from male line but if living outside the area Serawai then apply bilateral system or adjust to the ethnic of woman origin. However, in certain cases, a family in the Serawai ethnic may adopt a matrilineal kinship system that is a kinship system derived from a female lineage. This happens when the groom does not have the ability to marry the bride so that all things related to the marriage taken over by the bride. So after this switch all the responsibility to the bride, this is called Tambah Anak. Furthermore, the term kinship is a system used by the Serawai people to call or to greet each other. Based on the results of observations and interviews conducted by the author, the term kinship in the language of Serawai is divided into Direct Descendance and Ancestry, Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation, Direct Siblingry, and Legal kinship. 277 Tabel 1. Direct Descendance and Ancestry Relation Grand-daughter Grandson Daughter Son Mother Father Grandmother Grandfather great-grandmother Serawainese Cucung tino Cucung lanang Anak tino Anak lanang Umak, Mak, Bak, Bapak Nekno Neknang Buyut tino English translation grand-daughter grandson daughter son mother father grandmother grandfather great-grandmother great-grandfather Buyut lanang great-grandfather 4th female ancestor Memoneng tino great-great-grandmother 4th male ancestor Memoneng lanang great-great-grandfather 5th female ancestor Puyang tino 5th male ancestor Puyang lanang great-great-greatgrandmother great-great-greatgrandfather Table 1 above shows the term kinship based on Direct Descendance and Ancestry used by Serawai ethnic in calling or greeting each other. These terms are used statically by Serawai, in other words, they have no choice but what is listed above. Tabel 2. Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation Relation Serawainese English translation Father's older Bak dang, Bak wo. Older uncle/older brother/sister Mak dang,Mak wo aunt Father’s younger Bak cik Younger uncle brother Father’s younger sister Mak cik, Mak Ngah Younger aunt 278 Father's older brother wife Father’s younger brother wife Mother's older brother/sister Mother’s younger brother Mother’s younger sister Mother's older brother's wife Mother’ younger brother’ wife Father’s / mother’s, older sister’s husband Father's /mother's younger sister's husband Wak Older aunt Bicik, Bibi Younger aunt Wak, wak dang Mangcik,Pak cik Older uncle/older aunt Younger uncle Anya, Uncu Wak Younger aunt Older aunt Bicik, bibi Younger aunt Wak Older uncle Pak Uncu, Pak cik Younger Uncle Table 2 above shows the term kinship based on Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation. In contrast to direct descendants, indirect breeds have many variations of terms that can be used. For example, for older brothers, people can use bak dang, bak wo. As for the sister of the father of women, one can use mak cik, anyah. But people do not use a mother's sister equal to brother's brother. This is a variation of indirect kinship terms. Tabel 3. Direct Siblingry Relation Older brother Serawainese English translation Cik, Dang, Dengesanak, Older brother Muanai Younger brother Ading lanang lanang, Adek Younger brother 279 Older sister Ayuk, Ngah, Dodo, Wo, Older sister Kelawai Younger sister Adding tino, adek tino/ Younger sister kelawai Table 3 above shows the term kinship based on Direct Siblingry. In the Serawai ethnic, the term kinship used is more emphasized on older and younger differences for both brothers and sisters. For older brothers, there are three terms used; Cik, Dang, and Dengesanak. And for the older sisters used Ayuk, Ngah, Dodo, Wo, Kelawai. For the Serawai ethnic, the word Dingsanak is a special term, it is interesting because the term will only be used if people are in the same gender, for example, a brother with his older brother can call Digsanak lanang, and this is also for women and women can call Digsanak tino. buth it is different if A brother want to call his sister or younger sister with word Kelawai, and a sister called her brother / younger in call Muanai. Tabel 4. Legal Kinship Relation wife's father-in-law wife's mother-in-law husband's father-in-law husband's mother-inlaw son-in-law daughter-in-law Older sister's husband Younger sister’s husband Older brother's wife Younger brother’s wife wife's older brother Wife’s younger brother Serawainese Bak mertuo Mak mertuo Bak mertuo Mak mertuo English translation father-in-law mother-in-law father-in-law mother-in-law Menantu lanang Menantu tino Kakak ipagh, Ipagh tino Ading ipagh, Ipagh tino son-in-law daughter-in-law brother-in-law Brother-in-law Ayuk ipagh, kelawai ipagh Adding ipagh, kelawai ipagh Dingsanak, kakak ipagh Adding ipagh brother-in-law Sister-in-law Brother-in-law Brother-in-law 280 Relation wife's older brother's wife Wife’s younger brother’s wife wife's older sister Wife’s younger sister wife's older sister's husband Wife’s younger sister’s husband husband's older brother Husband’s younger brother husband's older sister Husband’s younger sister Serawainese Kelawai lautan English translation Sister-in-law Adding lautan Sister-in-law Adding, kelawai ipagh Ayuk, kelawai ipagh Adding lautan sister-in-law Sister –in-law Brother –in-law Adding lautan Brother-in-law Dingsanak, kakak ipagh Ading ipagh, adek ipagh brother-in-law Brother-in-law ayuk ipagh Adding ipagh, sister-in-law Sister-in-law Table 4 above shows the term kinship by Legal kinship. The term kinship here looks more complicated. But basically the term kinship is used almost the same as the previous one. The difference is only with the addition of the Ipagh term at the end. The next most specific is the term used for brother brothers or vice versa, using the term Lautan. CONCLUSION From the above description can be concluded that the Serawai ethnic has a patrilineal kinship system that is kinship system based on male lineage. However, in certain cases the Serawai ethnic may adopt a matrilineal kinship system that is a kinship system derived from the female lineage. This happens when the groom does not have the ability to marry a bride so that the marriage is taken over by the bride. This is called the Tambah anak. Furthermore, the term kinship used by the Serawai ethnic divided into Direct Descendance and Ancestry, Indirect Ancestry and Descendance and Legal Relation, Direct Siblingry, and Legal kinship. 281 REFERENCES Arif Yakub & Rafik M. Abasa. 2015. Istilah Kekerabatan Dalam Masyarakat Bahasa Makian Timur. Edukasi-Jurnal Pendidikan, 13 (2), 533-541 Chaer, A. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Foley, W. 2001. Anthropological Linguistics: An Introduction. GB: Blackw Fox, Robin. 1966. Kinship and Marriage, Penguin Books Ltd. England: Harmondsworth, Hermaliza, Essi. 2011. Sistem Kekerabatan Suku Bangsa Kluet di Aceh Selatan. Widyariset, 14 (1), 123-131 Haviland, William A. 1985. Anthropology, Terjemahan R.G. Soekadijo. Jakarta: Erlangga. Ihromi, T.O. 1990. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia Jamaludin Adon N. 2015. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kampung Sawah di Kota Bekasi. El Harakah 17 (2), 259-274 Kridalaksana, Harimurti. 1978. Second Participant in Indonesian Addresses. Dalam Beberapa Karya dalam Ilmu-Ilmu Sastra. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mansur, Yahya, M. 1998. Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan, Jakarta: Pustaka Grafika Pujiyatno, Ambar. 2009. Istilah-Istilah Kekerabatan Masyarakat Kabupaten Kebumen: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Letsika, 3(1), 53-59 Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Anropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi Jilid 2. Jakarta: Rineka Cipta. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell. 282 HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Dari Prof .Dr. I Dewa Putu Wijaya, MA Judul makalah kamu seharusnya adalah Istilah sapaan dalam sistem kekerabatan bahasa Serawai. Karena kalau system kekerabatan saja itu merupakan kajian Antropologi. Jawaban. Iya terima kasih Prof atas masukannya. Memang iya pada saat pengiriman abstrak pertama saya menuliskan judul “Sistem Kekerabatan dalam Bahasa Serawai”. Tetapi pada saat pengiriman full paper saya telah melakuan revisi dengan merubah judul dari kata “system” ke “Istilah Sapaan” tetapi saya lihat panitia hari ini masih menggunkan abstrak yang pertama saya kirim. 2. Dari Audiens Tadi mas Hendri mengatakan system kekerabatan masyarakat Serawai adalah Patrilineal tetapi bisa berubah ke Matrilineal itu karena apa? Sistem kekerabatan suku Serawai mengacuh pada sistem kekerabatan parilineal yaitu sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan pria. Dalam status hukum pernikahan, seorang pria suku serawai menikahi seorang wanita yang sama berasal dari suku serawai maka sistem kekerabatanya yang berlaku diambil dari garis keturuan pria dan jika pria suku Serawai menikah dengan wanita luar dari suku serawai dan tinggal di daerah serawai hukum pernikahan tetap berlaku pada garis pria tetapi jika tinggal di luar daerah serawai maka berlaku sistem bilateral atau menyesuaikan dengan suku asal wanita. Namun, dalam kasus-kasus tertentu sebuah keluarga dalam suku Serawai bisa saja menganut sistem kekerabatan matrilineal yaitu sistem kekerabatan diambil dari garis keturunan wanita. Hal ini terjadi apabila calon pengantin pria tidak memiliki kesanggupan untuk meminang calon pengantin wanita sehingga segala hal yang berhubungan peminangan diambil alih oleh calon pengantin wanita Maka setelah ini beralih semua pertanggungjawaban kepada pihak pengantin wanita, hal ini disebut dengan istila tambah anak. 283 3. Dari Audiens Apakah system patrilineal dalam suku Serawai ini sama dengan system patrilineal pada suku Minangkabau, Padang? Iya sama,Seperti pertanyaan sebelumnya dimana seorang pria akan ikut ke keluraga perempuan dan system kekerabatanya mengambil dari garis keturunan wanita. Tetapi sekali lagi kasus ini jarang terjadi. 284 KETERANGAN DALAM BAHASA BALI I Gede Bagus Wisnu Bayu Temaja Ilmu Linguistik, Universitas Gadjah Mada Pos-el: wisnubt@gmail.com ABSTRAK Beberapa kajian sebelumnya berkaitan dengan fungsi keterangan bahasa Bali telah membahas sebagian ciri dan kategori pembentuknya. Akan tetapi, pembahasannya masih perlu dikaji kembali guna memperoleh deskripsi yang tuntas terutama pada aspek yang belum mendapat perhatian. Karenanya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengidentifikasi kategori danmakna pengisi fungsi keterangan dalam bahasa Bali. Penelitian ini dijalankan dalamtiga tahap, yaitu penjaringan data, analisis data, dan penyajian data. Data berbentuk kalimat dijaring dengan menerapkan metode cakap dan simak. Data dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik bagi unsur langsung, lesap, balik, perluas, dan baca markah, dan juga metode padan referensial. Data kemudian disajikan secara formal dan informal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi keterangan dalam bahasa Bali kehadirannyabersifat opsional dan berposisi bebas, artinya dapatberposisi di depan subjek dan predikat, antara subjek dan predikat, dan akhir kalimat. Keterangan tidak dapat diposisikan di antara predikat dan objek, serta di antara predikat dan komplemen, namun predikat dan objek dapat di antarai keterangan jika objeknya berunsur frasa yang panjang. Fungsi keterangan dapat diisi oleh kategori adverbia, pronomina demonstratif, frasa nominal, frasa adverbial, frasa preposisional, dan klausa tambahan. Makna pengisi fungsi keterangan dapat berupa makna waktu, tempat, penerima, kemiripan, peserta, alat, sebab, pelaku, kondisional, tujuan, kedudukan, dan dasar. Kata kunci: fungsi keterangan, fungsi, kategori, makna PENGANTAR Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikategoridan makna pengisi fungsi keterangan (adjunct) (selanjutnya disebut KET)bahasa Bali (BB) (bahasa Austronesia; dituturkan di Bali, Indonesia; 3 juta lebih 285 penutur). Beberapa studi bertalian dengan KET BB (Bongaya, 1968; Kersten, 1970; Bawa & Jendra, 1981; Bawa, Anom, Margono, Naryana, & Medra, 1983) telah memberikan gambaran awal mengenai kategori dan fungsi KET. Lebih lanjut, pembahasan fungsi KETlebih spesifik juga diterangkan oleh Arka (2014). Ramlan (2005: 85-86) memberikan pandangannya mengenai keterangan sebagai unsur klausa yang tidak menduduki fungsi subjek, predikat, objek, dan pelengkap atau komplemen, sehingga merupakan sebuah fungsi tersendiri yang disebut fungsi keterangan. Ramlan lebih lanjut menerangkan keterangan sebagai sebuah fungsi yang dapat berposisi bebas, yaitu terletak di depan dan antara subjek dan predikat, dan dapat juga terletak di posisi belakang sekali, namun tidak dapat berposisi di antara predikat dan objek, serta di antara predikat dan pelengkap. Sebagai sebuah fungsi, tentu dapat diisi oleh kategori sintaksis. Secara kategorial, Kesuma (2005) menyebut fungsi keterangan dapat diisi oleh adverbia, frasa nominal, frasa preposisional, dan klausa tambahan. Makna semantis pengisi keterangan dilihat melalui acuan di luar kebahasaan yang dibawai oleh masing-masing unsur keterangan. Kesuma (2005: 267-268) mengusulkan tiga cara di dalam mengidentifikasi keterangan, antara lain 1) menentukan watak semantis kategori, 2) membaca pemarkah penyertanya, dan 3) menambahkan pemarkah di sebelah kiri satuan pengisi fungsi keterangan. Menurut Aarts (1997, dalam Kesuma, 2005: 265), makna konstituen pengisi keterangan dapat berupa jawaban atas kata tanya bagaimana, kapan, di mana, dan mengapa, serta bercerita tentang konteks dalam kalimat. Penelitian ini mendasarkan diri pada data lisan dan tertulis. Data penelitian berupa kalimat yang mengandung unsur KET dijaring menggunakan metode cakap dan simak (Kesuma, 2007). Data kemudian dikumpulkan untuk selanjutnya diklasifikasikan dan dianalisis. Data dianalisis menggunakan metode agih dengan teknik lesap, balik, perluas, dan baca markah, dan metode padan referensial (Kesuma, 2007). Hasil analisis disajikan secara formal dan informal. Penyajian formal dibantu dengan kaidah berupa rumus dan penyajian informal dilaksanakan melalui deskripsi kata-kata biasa (Kesuma, 2007). Hasil analisis disajikan dengan diawali pemaparan landasan konseptual mengenai KET BB, kemudian menuju analisis inti yakni uraian kategori dan makna pengisi KET tersebut. 286 PEMBAHASAN Sebelum masuk ke dalam bahasan utama yaitu kategori dan makna pengisi KET, terlebih dahulu dipaparkan hasil analisis berupa uraian singkat mengenai landasan konseptual KET BB. Digunakan kodifikasi subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Salah satu ciri KET dapat diperhatikan dalam kalimat (1) di bawah. (1) Ibi I Pucung sareng I Lelut ng-[k]adik kayu di bangsal-e. Kemarin (KET) DEF Pucung (S) dengan DEF Lelut (KET) meN-kapak (P) kayu (O)di bangsal-DEF (KET) ‘Kemarin Pucung dengan Lelut mengapak kayu di bangsal.’ Unsur yang dimiringkan dalam kalimat (1) merupakan KET, di mana unsur tersebut bersifat opsional dan hanya berfungsi memberi informasi tambahan, sehingga kalimat I Pucung ngandik kayu sudah berterima dan/atau cukup untuk dituturkan. Masing-masing KET dalam kalimat (1), seperti kata ibi terletak di depan SP, frasa sareng I Lelut berposisi di antara S dan P, dan frasa di bangsale terletak di akhir kalimat. Pada kasus tertentu, KET dapat mengantarai P dan O jika unsur O-nya tersusun atas frasa yang panjang (Ramlan, 2005: 87), seperti dalam (2). (2) Bapa ng-orta sareng tiang pikobet seni, budaya, lan basa Bali a-wai-an. Ayah (S) ber-bincang (P) dengan saya (KET) masalah seni, budaya, dan bahasa Bali (O) se-hari-an (KET) ‘Ayah berbincang dengan saya masalah upacara, budaya, dan bahasa Bali seharian.’ Sejauh ini, seperti kalimat (1) bahwa KET dalam BB dicirikan salah satunya dapat muncul dengan pemarkah di yang merupakan preposisi, ataupun tanpa pemarkah, seperti ditu. Kemunculannya yang dimarkahi preposisi tersebut membuat ciri sintaksisnya bertumpang tindih dengan oblik (yaitu argumen verba) yang juga dimarkahi preposisi dalam BB (Carnie, 2013: 287 176). Mengingat cirinya yang sama tersebut, maka harus dapat di tengahi perbedaan keduanya dengan memperhatikan data (3) dan (4) berikut yang unsurnya sama-sama dimarkahi preposisi di. (3) Ketut n-[t]engil di gunung. Ketut ERG-diam di gunung ‘Ketut diam di gunung.’ (4) Komang sirep di bale. Komang tidur di balai ‘Komang tidur di balai.’ Frasa di gunung pada kalimat (3) merupakan oblik yang kehadirannya wajib diminta oleh verba khusus2nengil, sehingga jika oblik tersebut lesap maka konstruksi kalimatnya menjadi tak berterima, *Ketut nengil. Hal itu berbeda dengan frasa di bale pada data (4) yang jika pun dilesapkan, konstruksinya masih berterima, Komang sirep, sehingga frasadi bale merupakan kategori pengisi KET. Kategori Pengisi Fungsi Keterangan Kategori sintaksis pengisi fungsi dapat berupa kategori atau kelas kata, frasa, dan satuan lingual lebih besar lainnya (Chaer, 2009). Dari data kalimat tunggal (5) berikut dapat diisi oleh beragam kategori. (5) Ia ma-bikas jele. Dia ber-sikap buruk ‘Dia bersikap buruk.’ Kalimat di atas dapat ditambahkan unsurKET dengan diisi kategori berupa adverbia ibi ‘kemarin’, demonstrativa ditu ‘di sana’, frasa nominal peteng ento ‘malam itu’, frasa adverbial ibi sanja ‘kemarin sore’, frasa preposisional ring sekolah ‘di sekolah’, dan klausa tambahan krana tusing baange pis ‘karena tidak diberi uang’, yang direalisasikan dalam kalimat (6) berikut. Verba khusus oblik lainnya seperti ngoyong ‘tinggal’ dan mengkeb ‘sembunyi’ 2 288 (6) Ia mabikas jele ibi ditu peteng ento ibi sanja ring sekolah krana tusing baange pipis Kategori di atas dianggap dapat menjadi pengisi KET karena memiliki sifat dari KET dalam tersebut, yaitu posisinya dapat dibalik ke awal kalimat (7), dipindah di antara S ia dan P mabikas (8), dan dilesapkan dari kalimat(9) dan tidak mengubah keberterimaannya. Ibi Ditu (7) Peteng ento Ibi sanja Ring sekolah Krana tusing baange pipis (8) Ia ia mabikas jele. Ibi ditu peteng ento ibi sanja ring sekolah krana tusing baange pipis mabikas jele. Makna Pengisi Fungsi Keterangan Hasil analisis memperoleh dua belas makna pengisi KET melalui penerapan metode padan referensial yang direalisasikan dengan penerapan tiga cara di dalam mengidentifikasi makna pengisi KET (Kesuma, 2005: 267-268). Identifikasi makna juga dilaksanakan melalui penerapan uji kata tanya mengingat pengisi KET dapat menjadi jawaban atas kata tanya tertentu (Aarts, 1997). Adapun ragam makna tersebut dipaparkan sebagai berikut. 289 KET bermakna waktu KET berperan ‘waktu’ berkaitan dengan kapan terjadinya peristiwa yang diungkapkan dalam tuturan. Peran ini dapat diperhatikan pada KET dalam data berikut. (9) Ibi Putu ng-uber layangan kanti ka uma. Kemarin Putu meN-kejar layangan sampai di sawah ‘Kemarin Putu mengejar layangan sampai di sawah.’ Adverbia ibi dimungkinkan untuk dijawab dengan kata tanya pidan ‘kapan’, seperti di bawah berikut, yang semakin memperjelas makna ‘waktu’-nya. (10) A B : Pidan Putu nguber layangan kanti ka uma? : Ibi. KET bermakna tempat Peran jenis ini berkaitan dengan tempat terjadinya perbuatan atau peristiwa yang diungkapkan. Adapun bentuknya dapat dilihat sebagai berikut. (11) Di pasih-e I Ketut melali. Di pantai-DEF DEF Ketut melancong ‘Di pantai Ketut melancong.’ Makna ‘tempat’ pada unsur pengisi KET di pasih dapat diketahui dengan preposisi yang memarkahinya, yaitu di. Selain itu, unsur tersebut dapat dijawab dengan kata tanya dija. (12) A B : Dija I Ketut melali? : Di pasih. Makna tempat ini oleh Kesuma (2005: 268) dibagi kembali menjadi makna ‘tempat asal’, ‘tempat berada’, dan ‘tempat tujuan’. KET di pasih (12) merupakan makna tempat berada mengingat kejadian dalam kalimat 290 tersebut terjadi di sana dan juga dimarkahi oleh preposisi di. Kemudian, makna ‘tempat asal’ dapat diketahui bila frasa di pasihe diperluas ke kiri dengan preposisi uli ‘dari’ yang menunjukkan makna ‘tempat asal’ (13). Kemudian, makna ‘tempat tujuan’ dapat dilihat unsur pembawanya bila frasa preposisional di pasihe, preposisinya diganti dengan preposisi ka ‘ke’ yang membawai makna ‘tempat tujuan’, seperti dalam (14). (13) Uli di pasihe I Ketut melali. (14) Ka pasihe I Ketut melali. KET bermakna penerima Konstituen KET bermakna ‘penerima’ umumnya berkategori frasa preposisional yang dimarkahi preposisi sig ‘kepada’ seperti kalimat berikut. (15) Wayan n-[t]impug-ang batu sig anake ento. Wayan meN-lempar-kan batu kepada orang tersebut ‘Wayan melemparkan batu kepada orang tersebut.’ Konstituen ini dapat menjawab pertanyaan sig nyen, terlihat dalam konstruksi (16) di bawah. Frasa sig anake ento membawai makna ‘penerima’. (16) A B : Sig nyen Wayan nimpugang batu? : Sig anake ento. KET bermakna kemiripan Frasa yang menduduki KET mengandung makna ‘kemiripan’. Frasa tersebut dimarkahi oleh preposisi cara ‘seperti’. (17) Nengah dueg cara beli-ne. Nengah pintar seperti (MAS)kakak-nya ‘Nengah pintar seperti kakaknya.’ Dalam data di atas, frasa cara beline membawai makna ‘kemiripan’, di mana Nengah dianggap mirip pintarnya dengan kakaknya. Hal itu 291 diperjelas kembali dengan mengingat satuan lingualnya dapat menjawab pertanyaan cara nyen ‘seperti siapa’. (18) A B : Nengah dueg cara nyen? : Cara beline. KET bermakna peserta Suatu konstituen pengisi makna ‘peserta’ dimarkahi oleh preposisi ngajak dan sareng yang sepadan dengan kata ‘dengan’. (19) Ia ny-[j]akan ng-ajak meme-ne. Dia meN-masak ber-sama ibu-nya ‘Dia ke pasar bersama ibunya.’ Frasa ngajak memene dapat diketahui bermakna ‘peserta’ di mana memene merupakan peserta yang diajak ikut melakukan perbuatan dari agen ia yaitu memasak. Selain dengan preposisi di atas, frasa tersebut dapat juga menjadi jawaban atas pertanyaan ngajak nyen ‘bersama siapa’, misalnya dalam (20). (20) A B : Ngajak nyen ia nyakan? : Ngajak memene. KET bermakna alat Konstituen berperan ‘alat’ menyatakan bahwa unsur KET merupakan sebuah alat. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat (21) berikut. (21) Tiang ng-abas don nganggo arit. Saya meN-potong daun dengan sabit ‘Saya memotong daun dengan sabit.’ Konstituen KET di atas dimarkahi oleh nganggo yang menandai makna alat. Selain itu dapat pula dimarkahi oleh aji yang maknanya sepadan dengan kata ‘dengan’. Konstituen bermakna ‘alat’ dapat pula ditentukan jika dapat menjadi jawaban atas kata tanya nganggo apa ‘dengan apa’ (22). (22) A : Nganggo apa tiang ngabas don? 292 B : Nganggo arit. KET bermakna sebab Konstituen KET bermakna ‘sebab’ berupa frasa yang dimarkahi oleh preposisi sawireh ‘karena’, seperti (23). (23) Ia ng-eling sawireh layangan-e uug. Dia meN-tangis sebab layangan-nya rusak ‘Dia menangis karena layangannya rusak.’ Frasa tersebut dapat bermakna ‘sebab’ karena berparalel dengan preposisi krana ‘karena’. KET sawireh layangane uug mampu menjadi jawaban atas kata tanya sawireng engken ‘karena apa’ (24). (24) A B : Sawireh engken ia ngeling? : Sawireh layangane uug.. KET bermakna pelaku Satuan lingual bermakna ‘pelaku’ umumnya merupakan frasa preposisional yang dimarkahi oleh preposisi olih ‘oleh’ ataupun ajak ‘oleh/dengan’ di dalam membawai makna ‘pelaku’. Realisasinya dapat memperhatikan kalimat (25) di bawah. (25) Peken-e ditu gae-ne rame olih nak me-blanja. Pasar-DEF di sana buat-PASSramai oleh orang berbelanja ‘Pasar di sana dibuat ramai oleh orang (yang) berbelanja.’ Konstituen bermakna ‘pelaku’ ini merupakan jawaban dari kata tanya olih nyen atau ajak nyen yang sama-sama memiliki kesepadanan makna ‘oleh siapa’, seperti pada (26). (26) A B : Olih nyen pekene ditu gaene rame? : Olih nak meblanja. 293 KET bermakna kondisional Kehadiran KET berperan ‘kondisional’ dalam satuan lingual dimarkahi oleh preposisi yening ‘jika’ yang dapat dilihat dalam kalimat (27). (27) Arek-arek-e pada demen yening nuju prai. Anak-anak-DEFpada senang jika saat libur ‘Anak-anak pada senang jika saatnya liburan.’ Konstituen tersebut mengandung makna ‘kondisional’ mengingat perannya sebagai jawaban atas kata tanya yening kenken ‘jika bagaimana’. (28) A B : Yening kenken arek-areke pada demen? : Yening nuju libur. KET bermakna tujuan Identitas konstituen pengisi KET bermakna ‘tujuan’ dalam kalimat (29) dimarkahi oleh preposisi apang ‘agar/supaya’ sehingga membentuk kategori frasa preposisional dalam mengisi KET. Makna ‘tujuan’ ini berbeda dengan makna ‘tujuan tempat’ sebelumnya, di mana ‘tujuan’ ini maksudnya adalah hal yang ingin dicapai atau dituju. (29) Ia masuk kuliah apang maan gae. Dia masuk kuliah supaya dapat kerja ‘Dia berkuliah supaya mendapat kerja.’ Frasa apang maan gae akan semakin jelas bermakna ‘tujuan’ jika dapat menjadi jawaban atas pertanyaan apang kenken ‘supaya bagaimana’. (30) A B : Apang kenken ia masuk kuliah? : Apang maan gae. KET bermakna kedudukan Satuan lingual pengisi KET bermakna ‘kedudukan’ alah satunya ditemukan dalam kalimat (31) berikut. (31) Made ma-pilih dados bendesa. Made ter-pilih (ACT)jadi kepala desa 294 ‘Made terpilih menjadi kepala desa.’ KET dados bendesa dimarkahi oleh preposisi dados (yang juga berparalel dengan dadi) yang memberikan identitas makna ‘kedudukan’. Satuan lingual tersebut juga dapat menjawab pertanyaan dados napi atau dadi apa yang memiliki kesepadanan makna dengan ‘menjadi apa’. (32) A B : Made mapilih dados napi? : Dados bendesa. KET bermakna dasar Pengisi KET bermakna ‘dasar’ umumnya merupakan frasa yang berpreposisi madasar ‘berdasar’, seperti KET dalam kalimat (33) berikut. (33) Iraga se-patut-ne nga-raos ma-dasar jnana marga. Kita se-patut-nya ber-bicara ber-dasar pengetahuan jalan ‘kita seharusnya berbicara dengan dasar jalan pengetahuan.’ Konstituen KET madasar jnana marga yang bermakna ‘dasar’ juga dapat menjadi jawaban atas kata tanya madasar apa ‘berdasar apa’. (34) A B : Madasar apa iraga sepatutne ngaraos? : Madasar jnana marga. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat ditarik simpulan bahwa KET dalam BB bersifat manasuka, dapat terletak di depan SP, di antara S dan P, dan di posisi akhir kalimat. KET tidak dapat terletak di antara P dan O dan di antara P dan komplemen, namun P dan O dapat di antarai KET jika unsur O berupa frasa yang panjang, dan juga KET dapat dirunut perbedaannya dengan oblik. Adapun KET dapat diisi kategori adverbia, pronomina demonstratif, frasa nominal, frasa adverbial, frasa preposisional, dan klausa tambahan. Makna unsur pengisi KET terdiri atas makna waktu, tempat, penerima, kemiripan, peserta, alat, sebab, pelaku, kondisional, tujuan, kedudukan, dan dasar. 295 DAFTAR PUSTAKA Aarts, Bas. 1997. English Syntax and Argumentation. Houndmills: Macmillan Press. Arka, I Wayan. 2014. Locative-related roles and the argument-adjunct distinction in Balinese. Linguistic Discovery, 12(2), 56-84. Diambil http://journals.dartmouth.edu/cgidari bin/WebObjects/Journals.woa/1/xmlpage/1/article/446 Bawa, I Wayan., dkk. 1983. Sintaksis Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bawa, I Wayan., & Jendra, I Wayan. 1981. Struktur Bahasa Bali. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bongaya, I Wayan Simpen Arya. 1968. Wyakarana Basa Aksara Bali. Denpasar: PR. Saraswati. Carnie, Andrew. 2013. Syntax: A Generative Introduction. Oxford: WileyBlackwell. Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. Kersten, Johannes. 1970. Tata Bahasa Bali. Ende: Nusa Indah. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2005. Realisasi kategorial dan semantis fungsi keterangan dalam bahasa Indonesia. Humaniora, 17(3), 261-276. ____________________. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Ramlan, Mohamad. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: Karyono. Pertanyaan dan Jawaban 1. Apakah ada keterangan yang tidak opsional? Ada, itu disebut oblik. 2. Apakah ada kata dalam bahasa Bali yang sulit diterjemahkan? Ada, beberapa kata-kata budaya, contohnya sanggah ‘tempat suci seperti pura yang harus ada di setiap rumah orang Hindu Bali’. 3. Bahasa apakah yang mirip dengan bahasa Bali? Secara sintaksis seperti fungsi keterangan ini, bahasa Bali berdekatan dengan bahasa Indonesia. 296 NILAI PENDIDIKAN DALAM LAGU YABE LALE “VERSI BUGIS” Juliana Rahman STKIP Muhammadiyah Bulukumba Julianarahman378@gmail.com ABSTRAK Lagu Yabe Lale dikalangan Suku Bugis sering diperdengarkan oleh orang tua khususnya ibu kepada anaknya pada zaman dahulu, sebagai pengantar tidur ketika sang anak terbaring di ayunan. Lagu Yabe Lale merupakan doa dan nasihat orang tua kepada anaknya sebagai calon generasi bangsa. Banyak harapan dan keinginan orang tua kepada anaknya agar kelak mencapai apa yang dicita-citakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan estetika serta terdapat pesan dan makna yang melekat kuat dalam lagu tersebut.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yaitu teknik catat dengan teknik analisis data yakni mengidentifikasi, mengklasifikasikan, dan mendeskripsikan nilai pendidikan dalam makna lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yakni: 1) nilai pendidikan budaya, 2) nilai pendidikan sosial, 3) nilai pendidikan moral, dan 4) nilai pendidikan religius. Kata Kunci: Nilai pendidikan, lagu Bugis, Yabe Lale. PENGANTAR Genre sastra di Indonesia berbagai macam, salah satunya karya sastra adalah lagu. Lagu merupakan ungkapan perasaan seseorang yang merupakan hasil imajinasi yang dituangkan dalan tulisan yang membutuhkan nada, irama, suara, musik yang mengandung makna yang tersirat. Lagu dapat mendeskripsikan perasaan seseorang pada saat bahagia, kesal, sedih, ungkapan kasih sayang, cinta, kecewa, patah hati, penghambaan kepada tuhan, dan lagu pun berisi tentang nasihat. Suku bugis merupakan salah satu suku yang ada pulau Sulawesi. “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Salah satu karya 297 sastra bugis adalah lagu Yabe Lale. Lagu Yabe Lale merupakan lagu yang sangat dikenal oleh orang tua pada zaman dahulu, bahkan pada saat saya masih kecil lagu Yabe Lale sering dinyanyikan oleh ibu dan nenek saya. Pesan kebudayaan, kehidupan sosial dan karakter peradaban melekat dalam setiap bait di dalam lirik lagu bugis Yabe lale. Ketika didengarkan secara mendalam lagu Yabe Lale mengandung makna yang sangat mendalam, berisi harapan-harapan orang tua kepada anaknya ketika menidurkannya di atas ayunan, dan lagu itu selalu diperdengarkan setiap kali seorang anak akan tidur sebagai harapan dan doa sehingga kelak anaknya hidup sukses. Begitu besar harapan orang tua pada anaknya lewat lagu Yabe Lale yang dinyanyikan setiap kali anaknya akan tidur yang berlangsung terus-menerus sampai anaknya menginjak remaja. Namun ketika melihat dengan kenyataan sekarang dengan era digital, banyak dikalangan generasi muda kita, sudah kehilangan akar budaya, bahkan lagu pengantar tidur Yabe Lale “versi Bugis” jarang didengarkan atau bahkan sama sekali belum pernah mendengarkan. Bahkan generasi muda sekarang lebih tertarik mendengarkan lagu band atau lagu dangdut, yang maknanya sarat dengan hati untuk remaja-remaja. Bahkan anak-anak sekarang di usia kanak-kanak sangat jarang mendengarkan lagu anak-anak, mereka hanya suka dan terbiasa mendengarkan lagu dewasa yang bukan diperuntukkan untuk seusianya. Berbeda dengan lagu Yabe Lale yang sangat sarat dengan makna, harapan dan doa orang tua. Begitu besarnya daya pikat kesusastraan dalam lagu Yabe Lale. Berdasarkan latar tersebut, masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan estetika serta terdapat pesan dan makna kuat dalam lagu tersebut. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menjadi alternatif masyarakat dalam menanamkan jati diri serta kecintaan terhadap kebudayaan dalam upaya pelestarian kebudayaan. 1. Pengertian nilai pendidikan Nilai adalah sesuatu yang sangat berharga, bermutu, berkualitas dan berguna bagi manusia. Nilai juga diartikan sesuatu 298 yang berarti. Menurut Pepper (dalam Soelaeman, 2005: 35) mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang baik dan buruk. Senada dengan pengertian tersebut, Soelaeman (2005) juga menambahkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek. Dengan demikian nilai adalah sesuatu tentang baik buruknya yang berarti, sangat berharga bermutu dan berkualitas yang berguna bagi manusia. Nilai pendidikan adalah sesuatu yang sangat berharga dan bermutu dengan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan serta mendidik dengan proses di jalur formal dan informal. Nilai-nilai pendidikan pembentukan pribadi yakni: a. Nilai pendidikan religius Nilai pendidikan religius bersifat individual dan personal. Religius merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai Human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan. (Rosyati, dalam Amalia, 2010: 25) nilai-nilai religius bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntutan agama dan selalu ingat kepada tuhan. Nilai religius ialah sejauh mana hubungan manusia dengan penciptanya atau tuhannya. b. Nilai pendidikan moral Nilai moral adalah merupakan kemampuan seseorang membedakan baik dan buruk. Nilai moral yang terkandung dalam karya seni bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan dan alam sekitar. (Hasbullah dalam Amalia, 2010: 30) c. Nilai pendidikan sosial 299 Nilai pendidkan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antara individu. Rosyadi (dalam Amalia, 2010:45) d. Nilai pendidikan budaya Nilai pendidikan budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai pendidikan budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya nilai pendidikan budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. 2. Lagu Yabe Lale Lagu Yabe Lale adalah lagu dari kesusastraan bugis, yang berisi tentang nasihat dan harapan kepada anak ketika anak tersebut akan tidur dan diletakkan dalam ayunan atau terbaring di ayunan. Lagu Yabe Lale sarat dengan makna dan filosofi. Banyak harapan dan keinginan orang tua kepada anaknya, sehingga kelak anaknya menggapai cita-citanya. Dalam Lagu Yabe Lale merupakan bentuk kasih sayang orang tua dan nenek kepada anak dan cucunya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Nasir (1988: 5), metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu situasi kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Senada dengan pendapat Nasir, Sugiyono (2005) mengatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian, kemudian Whitney (1960), mengemukakan bahwa metode deskripsi adalah pencarian fakta dengan interpretasi tepat. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik catat dengan studi dokumen. Sumber data adalah lirik lagu Yabe Lale. Data yang menjadi fokus penelitian berupa kata yang merupakan nilai pendidikan. Teknik analisis data yakni 1) mengidentifikasi ialah memusatkan perhatian pada makna lag 2) 300 mengklasifikasikan ialah data diseleksi sesuai dengan hasil pengamatan, 3) mendeskripsikan nilai pendidikan dalam makna lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. PEMBAHASAN Lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yang akan diteliti yakni: Yabe Lale Versi 2 Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!) Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk) Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu) Nippi magi mumalewe (mimpi apa yang berulang) Leweno makkawaru (berkali-kali berharap) Alla todongi go peddi (menghapus kepedihan) Peddi’ kegana mutaro (pedih apa yamg kamu simpan) Kegani mupallinrung (di mana kamu sembunyikan) Alla tomassele lolang (sendiri bertualang) Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah) Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu) Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus) Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu) Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara) Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu) Tori welaimmu gare’ (orang yang pegi itu, katanya) Tudang ri tengnga laleng (duduk termenung ditengah perjalanan) Alla mappaseng na terri (meninggalkan pesan seraya menangis) Tori paseng tea mette’(orang yang berpesan diam tanpa kata) Tona polei paseng (sedangkan orang yang diberi pesan) 301 Alla tea makkutana (justru tidak balik bertanta) Pekkogana makkutana (bagaimana caranya saya bertanya) Rilaleng tennunengna (saya sedang menenun) Alla napole pasetta (saat pesan itu sampai) Nilai Pendidikan dalam Lagu Yabe Lale “Versi Bugis 2” 1. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran tata cara hidup sosial dan bermasyarakat. Bait ke-1 bermakna sang ibu mengungkapkan ajakan kepada sang putra tercinta untuk tidur dan memperbaiki posisi tidurnya, jangan sampai terganggu mimpimu. Dalam arti bermimpilah. Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!) Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk) Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu) 2. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Bait ke-1 – bait ke-4 bermakna sang ibu juga mengisaratkan pesan agar tidak terlena dengan kepedihan kerena ditinggalkan pergi oleh seseorang, orang tersebut adalah ayahnya. Ternyata kepergian itu berlangsung cukup lama dan mengisahkan luka bukan hanya pada puteranya melainkan kepedihan buat isterinya. Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!) Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk) Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu) Nippi magi mumalewe (mimpi apa yang berulang) Leweno makkawaru (berkali-kali berharap) Alla todongi go peddi (menghapus kepedihan) Peddi’ kegana mutaro (pedih apa yamg kamu simpan) Kegani mupallinrung (di mana kamu sembunyikan) Alla tomassele lolang (sendiri bertualang) Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah) Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu) Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus) 302 3. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai budaya dan adat istiadat. Pada bait ke-4 bermakna seseorang yang pergi berpetualang atau pergi merantau, makna dalam lagu ini yakni seorang ayah pergi merantau meninggalkan anak dan isterinya, pada budaya orang bugis kaum lelaki atau ayah kebanyakan pergi merantau mencari penghidupan yang layak untuk keluarganya. Lolang mussaleangngi (bertualang dan hempaskalah) Sarae ri atimu (segala sedih/khawatir di hatimu) Alla aja mumadoko (jangan sampai kamu kurus) 4. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai adat istiadat dan budaya. Terdapat pada bait ke-5 – bait ke-6 bermakna sang suami diperantauan belum menemukan penghidupan yang layak dan hanya mampu berpesan tanpa kata seraya menangis sebatang kata. Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu) Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara) Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu) Tori welaimmu gare’ (orang yang pegi itu, katanya) Tudang ri tengnga laleng (duduk termenung ditengah perjalanan) Alla mappaseng na terri (meninggalkan pesan seraya menangis) 5. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran mengenai tata cara hidup sosial, yakni bagaimana cara memperbaiki kualitas hidup dengan jalan merantau dengan harapan mencari penghidupan yang layak. Terdapat pada bait ke-5. Madoko-dokoni laoe (sudah memudar kepergian itu) Makkale’ rojong-rojong (sendiri sebatang kara) Alla tori welaimmu (Orang yang pergi meninggalkanmu) 6. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran mengenai tata cara hidup sosial, yakni sang isteri yang ditinggal tidak lagi berharap biaya kepada suami diperantauan maka untuk menyambung hidup isteri sibuk menenun demi menghidupi anaknya yang masih kecil. Terdapat pada Bait ke-7bait ke-8 bermakna bahwa sang isteri yang ditinggalkan tidak lagi 303 banyak berharap kepada suaminya dirantauan sehingga memilih sibuk menenun (mencari kehidupan) untuk menghidupi buah hati mereka yang masih kecil. Tori paseng tea mette’(orang yang berpesan diam tanpa kata) Tona polei paseng (sedangkan orang yang diberi pesan) Alla tea makkutana (justru tidak balik bertanta) Pekkogana makkutana (bagaimana caranya saya bertanya) Rilaleng tennunengna (saya sedang menenun) Alla napole pasetta (saat pesan itu sampai) PEMBAHASAN Lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yang akan diteliti yakni: Yabe Lale Versi 3 Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!) Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk) Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu) Sumange’rewe tona (semangatnya telah kembali) Ana’ Macenningekku (Anakku Sayang) Alla Riwakkang Matinro (terlelap dalam tidurnya) Tuwoni mae La Baco (Bangkitlah wahai La Baco) Maenre malongi-longi (naik setinggi-tingginya) Alla tiroangi deceng (menatap masa depan yang lebih baik buat kami) Labaco’mi kurennuang (hanya La Baco ku harapkan) Renrengnga ri deceng (mengantarku ke masa depan yang lebih baik) Alla kuallongi longi (hingga ku gapai singgasana tertinggi) Longi-longi ni La Baco (telah tinggi peraduan La Baco) Iya pi ku ellau (dan satu hal lagi yang ku pinta) Alla Assalamakenna (semoga selamat menyertaimu) 304 Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco) Na terri Temmasennang (menangis bahagia) Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali) Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali) Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan) Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana) Nilai Pendidikan dalam Lagu Yabe Lale Versi Bugis 3 1. Nilai Pendidikan Sosial adalah ajaran tata cara hidup sosial dan bermasyarakat. Bait ke-1 bermakna sang ibu mengungkapkan ajakan kepada sang putra tercinta untuk tidur dan memperbaiki posisi tidurnya, jangan sampai terganggu mimpimu. Dalam arti bermimpilah. Cakkaruddu atinrono (jika mengantuk, tidurlah!) Matinro tudangngammo (nanti tertidur dalam duduk) Ala nasala nippimu (hingga terganggu mimpimu) 2. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu ini adalah lanjutan dari Lagu Yabe Lale Versi 2. Yang memberikan semangat kepada anaknya untuk terus bangkit apapun keadaannya ketika ditinggalkan oleh ayah tercinta. Terdapat pada makna bait ke-2. Sumange’rewe tona (semangatnya telah kembali) Ana’ Macenningekku (Anakku Sayang) Alla Riwakkang Matinro (terlelap dalam tidurnya) 3. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu ini adalah harapan seorang ibu kepadaya untuk bangkit dan meraih mimpi setinggi-tingginya dengan menata masa depan yang lebih baik. Terdapat pada makna bait ke-3. Tuwoni mae La Baco (Bangkitlah wahai La Baco) Maenre malongi-longi (naik setinggi-tingginya) Alla tiroangi deceng (menatap masa depan yang lebih baik buat kami) 4. Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna pada bait ke- 4 mengisaratkan bahwa seorang ibu berharap agar La baco (sebutan untuk anak laki-laki suku bugis) bisa mengantarkan ibunya 305 menuju masa depan yang gemilang, atau menggapai kehidupan yang lebih baik. Labaco’mi kurennuang (hanya La Baco ku harapkan) Renrengnga ri deceng (mengantarku ke masa depan yang lebih baik) Alla kuallongi longi (hingga ku gapai singgasana tertinggi) 5. Nilai Pendidikan Religius adalah berkaitan dengan agama dan kepercayaan. Terdapat pada Bait ke-5 berisi harapan dan doa seorang ibu kepada anaknya. Semoga keselamatan menyertaimu. Longi-longi ni La Baco (telah tinggi peraduan La Baco) Iya pi ku ellau (dan satu hal lagi yang ku pinta) Alla Assalamakenna (semoga selamat menyertaimu) 6. Nilai Pendidikan Budaya. Yakni ajaran mengenai budaya dan adat istiadat. Terdapat pada bait ke-6 dan bait ke-7 bermakna sang ibu juga mengisaratkan pesan agar tidak terlena dengan kepedihan karena ditinggalkan pergi oleh seseorang, orang tersebut adalah ayahnya. Ternyata kepergian itu berlangsung cukup lama dan mengisahkan luka bukan hanya pada puteranya melainkan kepedihan buat isterinya. Budaya Bugis, apabila seseorang lelaki telah berkeluarga, mereka harus merantau keluar daerah untuk mencari uang atau nafkah untuk menghidupi keluarganya. Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco) Na terri Temmasennang (menangis bahagia) Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali) Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali) Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan) Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana) 7. Nilai Pendidikan Budaya adalah ajaran mengenai budaya dan adat istiadat. Pada bait ke-6 dan bait ke-7 bermakna seseorang ayah yang pergi berpetualang atau pergi merantau dan memberikan pesan (nasihat) serta kenangan sebelum pergi. Labaco (nama panggilan untuk anak laki-laki suku bugis) senantiasa menunggu ayahnya kembali hingga tangis dan senyum bahagia. 306 Tontong-tonrongi La Baco (telah membukit peraduan La Baco) Na terri Temmasennang (menangis bahagia) Alla Narewe Ambona’ (hingga ayahnya kembali) Rekkoni rewe ambona’ (bagaimana mungkin ayahnya kembali) Engkaga passengereng (adakah kenangan/pesan yang berkesan) Alla nataro nalao (dititipkan sebelum pergi/entah kemana) Kesimpulan Lagu Yabe Lale merupakan doa dan nasihat orang tua kepada anaknya sebagai calon generasi bangsa. Banyak harapan dan keinginan orang tua kepada anaknya agar kelak mencapai apa yang dicita-citakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Lagu Yabe Lale memiliki filosofis dan estetika serta terdapat pesan dan makna yang melekat kuat dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis”. Hasil penelitian ini menunjukkan bentuk nilai pendidikan dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis” yakni: 1) nilai pendidikan budaya, 2) nilai pendidikan sosial, 3) nilai pendidikan moral, dan 4) nilai pendidikan religius. Daftar Pustaka Amalia, Novita Rini. 2010. Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata. (tersedia Online). http://amalia.blogspot.com Depdikbud (Kamus) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Nasir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soelaeman, Munandar. 2005. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT. Eresco. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. F.I , Whitney. 1960. The Elements of Resert Asian Eds. Osaka: Overseas Book Co. (tersedia Online). http:// repository.maranatha.edu. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Nilai moral dalam lagu Yabe Lale “versi Bugis”! 307 Jawaban : a. Nilai Moral yang terkandung dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis 2” yakni: Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Bait ke-1 – bait ke-4 bermakna sang ibu juga mengisaratkan pesan agar tidak terlena dengan kepedihan karena ditinggalkan pergi oleh seseorang, orang tersebut adalah ayahnya. Ternyata kepergian itu berlangsung cukup lama dan mengisahkan luka bukan hanya pada puteranya melainkan kepedihan buat isterinya. b. Nilai Moral yang terkandung dalam lagu Yabe Lale “Versi Bugis 3” yakni: 1) Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu ini adalah lanjutan dari Lagu Yabe Lale Versi 2. Yang memberikan semangat kepada anaknya untuk terus bangkit apapun keadannya ketika ditinggalkan oleh ayah tercinta. Terdapat pada makna bait ke-2. 2) Nilai Pendidikan Moral adalah ajaran sikap baik dan buruk. Makna lagu ini adalah harapan seorang ibu kepadaya untuk bangkit dan meraih mimpi setinggi-tingginya dengan menata masa depan yang lebih baik. Terdapat pada makna bait ke-3. 2. Apakah masih digunakan/dilagukan pada masa sekarang lagu Yabe Lale “versi Bugis”? apakah ada bukti rekamannya? Jawaban: Iya masih digunakan, Sampai sekarang masih ada orang tua khususnya ibu dan nenek yang menidurkan anaknya sambil menyanyikan lagu Yabe Lale “Versi Bugis” khususnya di daerah pedesaan yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya. Contohnya saya sendiri, pada waktu kecil saya sering dinyanyikan lagu Yabe Lale sebagai pengantar tidur, sebagai wujud kecintaan orag tua atau ibu dan nenek kepada anak/cucu yang dicintainya serta senantiasa mendoakan demi kesuksesan anak/cucunya. Ada bukti rekaman dan videonya. 3. Bagaimana dengan saya, saya orang jawa asli dan tidak tahu bahasa jawa, tidak tahu budaya dan adat istiadat orang jawa, apalagi mendengar lagu Yabe Lale “Versi Jawa”. Apa pendapat anda tentang permasalah ini? 308 Jawaban: Ini permasalahan yang terjadi karena masa sekarang ini sebagian besar anak lebih suka mendengar lagu dewasa yang tidak sesuai dengan usianya, seorang anak pun tidak ingin belajar dan tidak mau tentang adat istiadat dengan budaya. Dalam permasalahan ini peran orang tua lebih penting, ini adalah tugas utama orang tua di indonesia, orang tua harus berperan penting memberikan pengajaran tentang budaya, adat istiadat dan lagu kedaerahan di mana seorang anak belajar. 309 STRATEGI PENERJEMAHAN DALAM BUKU BERBAGI CERITA BERBAGI CINTA KARYA CLARA NG Julisa Arina Haq Universitas Gadjah Mada julisaarinahaq@ymail.com ABSTRAK Strategi penerjemahan merupakan taktik yang diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan suatu Teks Bahasa Sumber (Tsu) ke dalam Teks Bahasa Sasaran (Tsa). Penerapan srategi penerjemahan yang tepat akan menghasilkan kesepadan makna yang baik antara Tsu dan Tsa. Untuk mengetahui strategi penerjemahan yang diterapkan dalam suatu teks terjemahan, dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan menganalisa, mengklasifikasi, dan mendiskripsikan strategi penerjemahan berdasarkan teori yang kemukakan oleh para ahli, salah satunya yaitu oleh Mona Baker (2011). Terdapat 8 strategi penerjemahan yang dijabarkan oleh Mona Baker dalam bukunya ‘In Other Words’ yang dapat dijadikan acuan dalam menganalisa strategi penerjemahan suatu teks terjemahan khususnya pada tataran kata. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif, kemudian dalam pengumpulan datanya peneliti menggunakan metode simak catat. Sumber data penelitian ini adalah 3 judul cerita dari buku cerita anak ‘Berbagi cerita, Berbagi Cinta’ karya klara Ng. Dari hasil penelitian maka ditemukan beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1) terungkaplah strategi-strategi yang digunakan dalam buku cerita ‘Berbagi Cerita, Berbagi cinta’ karya Clara Ng berdasarkan teori Mona Baker (2011), 2) strategi yang paling sering digunakan adalah strategi memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan dikarenakan banyaknya konsep yang diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, makna dari kata tersebut terdapat dalam bahasa target tetapi dalam bentuk yang berbeda, 3) kemudian alasan tersebut juga dikuatkan dengan latar belakang penerjemah serta tujuannya yang ingin mengedukasi anak Indonesia berbahasa Inggris sehingga alur ceritanya berkonsep universal, dan hal tersebut memudahkan anak mengidentifikasi bahasa yang digunakan dalam Bsu dan Bsa. Kata Kunci: strategi penerjemahan, tataran kata, buku cerita anak 310 A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penerjemahan merupakan aktivitas pengalihan suatu bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Menurut Newmark (1988 hal. 5), penerjemahan adalah sebuah usaha untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam Tsu ke dalam Tsa secara sepadan. Kesepadanan itu akan terlihat jika makna atau pesan yang disampaikan oleh teks sasaran sesuai dengan maksud penulis atau pengarang teks sumber. Dalam aktivitas penerjemahan, kata merupakan unit pertama yang akan diungkap maknanya oleh penerjemah. Sebuah frasa, klausa, hingga kalimat akan sulit diterjemahkan, jika terdapat satu saja kata di dalamnya yang tidak memiliki kesepadanan makna dalam Bsa. Untuk mengatasi masalah tersebut dan masalah lainya dalam proses penerjemahan, maka perlu penerapan strategi yang tepat dalam aktivitas peerjemahan khususnya pada tataran kata. Berikut contoh penerapan strategi yang dilakukan penerjemah dalam proses penerjemahan yang dilakukannya; Tsu: Pascal si singa sangat bangga dengan rambut lebatnya yang panjang, alami, dan bercahaya. Tsa: Pascal the lion was very proud of his mane. It was long and thick, natural, and shiny. Keterangan: Penerjemah menerapkan strategi penggunaan kata yang netral untuk menerjemahkan kata rambut pada Tsu ke dalam Tsa. Dalam Bsa, rambut milik Singa disebut mane bukan lion’s hair. Berdasarkan penjelasan di atas, maka Penelitian ini akan menganalisa strategi penerjemahan apa saja yang diterapkan dalam buku cerita anak dwibahasa yang berjudul ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng. Selain itu, peneliti juga menganalisa strategi apa yang paling banyak diterapkan dan apa alasan dibalik penerapan strategi tersebut. Buku ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng diterbitkan pada tahun 2006 dan kemudian diterbitkan kembali padan tahun 2011 dengan edisi baru yaitu edisi dwibahasa. Buku ini terdiri dari 5 judul cerita mengenai hewan dan 1 judul cerita mengenai ‘Lupi, Si Pelupa’. Salah satu cerita di dalamnya yang berjudul ‘Pascal’s Hairstyle atau Gaya Rambut Pascal’ menjadi cerita yang populer serta mendapatkan penghargaan Adikarya Ikapi untuk cerita anak pada tahun 2006. 311 Penerjemah buku tersebut adalah Tanti Lesmana. Tanti Lesmana adalah seorang ahli penerjemah dari Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Berdasarkan data di Goodreads.com, beliau sudah menerjemahkan sebanyak 64 buku berbahasa Asing. Bahkan beliau juga merupakan salah satu peserta dalam pertemuan 100 penerjemah dunia, British Centre For Literary Translation (BCLT) Summer School Summit, di University of East Anglia, Norwich, Inggris. Maka dari itu, kemampuannya dalam menerjemahkan tidak perlu diragukan lagi. B. LANDASAN TEORI Aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam penerjemahan memiliki kaitan satu dengan lainnya sehingga pelaksanaannya berurutan. Proses ini dimulai dari penerjemah menganalisa teks Bsu hingga sampai terwujudnya hasil terjemahan yang sepadan dalam Bsa. Proses dalam penerjemahan diilustrasikan ke dalam kerangka berpikir seperti berikut ini; A. (SOURCE) B. (RECEPTOR) Analysis X Restructuring Transfer Y Gambar 1. Proses Penerjemahan (Nida, 1975 hal. 80) Dalam proses penerjemahan, penerapan stategi penerjemahan menjadi solusi untuk mengatasi ketidaksepadanan antara Tsu dengan Tsa. Menurut Lorscher (1996) dalam Meta (2005, hal.597-608), strategi penerjemahan merupakan prosedur yang digunakan penerjemah dalam memecahkan permasalahan penerjemahan. Dengan kata lain, strategi penerjemahan memiliki peranan penting dalam terwujudnya kesepadanan makna antara Tsu dan Tsa. 312 Permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan yang terbagi menjadi 11 jenis; 1) Konsep khusus budaya Terdapat kata dalam bahasa sumber yang mengungkapkan suatu konsep yang tidak ada dalam budaya Bsa. Kata tersebut biasanya berkaitan dengan adat istiadat, jenis makanan-minuman, atau agama. 2) Konsep bahasa sumber yang tak tersedia dalam bahasa sasaran. Suatu konsep kata dalam Bsu bisa saja dikenal dalam konsep bahasa budaya Bsa akan tetapi Bsa tidak mempunyai kata untuk mengungkapkannya. 3) Konsep bahasa sumber secara semantik terlalu kompleks. Sebuah kata yang mengungkapkan makna lebih rumit daripada kalimat. 4) Perbedaan persepsi terhadap suatu konsep. 5) Tidak adanya unsur atasan (supordinat) dalam bahasa sasaran. Misalnya, dalam bahasa Indonesia memiliki unsur atasan fasilitas yang menunjuk pada beberapa unsur bawahan seperti peralatan, bangunan. Bahasa Rusia sebaliknya tidak. 6) Tidak adanya unsur bawahan (hiponim) dalam bahasa sasaran Misalnya kata house yang memiliki hiponim bungalow, cottage, croft, chalet, lodge, hut, hall, manor, dan villa. Sebagian dari hiponim ini ada padanannya dalam bahasa Indonesia namun sebagian tidak. 7) Perbedaan dalam perspektif interpersonal dan fisik. Perspektif fisik bisa saja lebih penting bagi suatu bahasa. 8) Perbedaan dalam hal makna ekspresif. Dalam Bsu dan Bsa, beberapa kata atau kelompok kata bisa saja memiliki makna proposisi yang sama namun berbeda makna ekpresinya. 9) Perbedaan bentuk kata Setiap bahasa dalam pembentukannya tidaklah sama, meskipun terkadang terdapat kesamaan pada irama dalam pembentukan kata. Misalnya, drinkable diartikan cocok untuk diminum bukan dapat diminum. 10) Perbedaan dalam hal tujuan dan tingkat penggunaan bentuk-bentuk tertentu. Seperti contohnya dalam bahasa Inggris, yang sering menggunakan bentuk verb+ing untuk menggabungkan klausa. 313 11) Penggunaan kata pinjaman dalam teks sumber Kata pinjaman bisa saja digunakan dalam Bsa akan tetapi kata tersebut tidak dapat dikontrol dan dikendalikan karena bisa melahirkan makna yang berbeda. Berdasarkan teori Mona Baker (2011) dalam bukunya “In Other Words,” terdapat 8 strategi penerjemahan yang bisa diterapkan oleh penerjemah untuk mengatasi permasalahan tersebut; 1. Menggunakan kata yang lebih umum (superordinat). 2. Menggunakan kata yang lebih netral atau lebih ekspresif. 3. Menggunakan subtitusi kebudayaan. 4. Menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang dilengkapi dengan penjelas. 5. Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan. 6. Memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan. 7. Melakukan penghapusan/ penghilangan kata. 8. Menerjemahkan dengan menggunakan gambar/ilustrasi. C. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan jawaban dari rumusan masalah ke dalam sebuah uraian deskriptif. Sutopo (2006 hal. 45) berpendapat bahwa dalam penelitian kualitatif, bentuk semua teknik pengumpulan data, kualitas pelaksanaan, serta hasilnya sangat tergantung pada penelitinya sebagai alat pengumpulan data utamanya. Sumber data penelitian ini adalah buku cerita anak dwibahasa ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ terbitan Gramedia Pustaka Utama. Dalam buku ini terdapat 6 judul cerita, 3 diantaranya akan digunakan sebagai sumber data penelitian karena ketiga cerita tersebut sudah mewakili karakeristik dari keseluruhan cerita. Dalam pengumpulan datanya, penulis menggunakan metode simak catat. Pada tahapan ini, penulis membaca keseluruhan cerita yang ada dalam buku tersebut dan mencatat hal-hal penting yang berkaitan dengan kebutuhan analisa. Dalam analisa datanya, penulis menganalisa hasil data yang terkumpul dengan mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan mengklasifikasikan bentuk-bentuk strategi penerjemahan dalam buku cerita anak dwibahasa ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ berdasarkan teori Mona Baker (2011). Alasan penulis menggunakan teori tersebut karena 314 strategi yang diuraikan berdasarkan permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan khususnya pada tataran kata. Setelah semua hasil analisa berhasil didapat, kemudian penulis membuat kesimpulan terhadap hasil analisa datanya. D. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Hasil analisa data berdasarkan teori Mona Baker (2011) menunjukkan bahwa hampir semua strategi pada tataran kata yang diuraikan oleh beliau dalam buku ‘In Other words’ diterapkan oleh penerjemah. Hanya satu strategi yang tidak diterapkan yaitu strategi ‘translated by illustration’. Hal ini terjadi karena buku yang diterjemahkan sudah merupakan buku cerita bergambar. Berikut gambaran mengenai proses penerjemahan berdasarkan pada setiap strategi yang diterapkan oleh penerjemah dalam buku ‘Berbagi Cerita, Berbagi Cinta’ karya Clara Ng; a) Menggunakan kata yang lebih umum (superordinat). Tsu: Pascal menatap pantulannya di kolam Tsa: Pascal looked at himself in the Pond Penerjemah menggunakan kata yang umum yaitu ‘looked’ dalam Tsa karena terdapat perbedaan presepsi antara Tsu dan Tsa dalam menggunakan kata yang bermakna ‘menatap’ berdasarkan konteks seperti kalimat tersebut. Strategi dengan menggunakan kata yang lebih umum digunakan penerjemah sebanyak 9 kali. b) Menggunakan kata yang lebih netral atau lebih ekspresif. Tsa: Kira dan Kino sedang rebutan mainan. Tsu: Kira and Kino were quarrelling over some toys. Penerjemah menggunakan kata yang lebih netral yaitu ‘quarelling’ dalam Tsa karena terdapat perbedaan makna ekspresif antara Tsu dan Tsa dalam menggunakan kata yang bermakna ‘rebutan’ berdasarkan konteks seperti kalimat tersebut. 315 Strategi dengan menggunakan kata yang lebih netral digunakan penerjemah sebanyak 10 kali. c) Menggunakan subtitusi kebudayaan. Tsa: Sisi si Marmut datang dengan wajah berseri-seri. Tsu: Sisi the Hamster came to see him, her face beaming. Penerjemah menggunakan kata yang bersubtitusi kebudayaan seperti kata Hamster dalam Tsa karena dalam Tsu binatang ‘Marmut’ dalam Tsa sangat jarang ditemui. Strategi dengan menggunakan subtitusi kebudayaan digunakan penerjemah sebanyak 6 kali. d) Menggunakan kata pinjaman atau kata pinjaman yang dilengkapi dengan penjelas. Tsu: Pascal tidak keberatan memimpin parade. Tsa: Pascal would love to lead the Parade. Sebenarnya kata parade merupakan kata serapan dalam Tsu sehingga penggunaan kata ‘parade’ dalam Tsu tidak berubah, ditulis apa adanya karena kata ‘parade’ berasal dari bahasa yang digunakan dalam Tsu. Strategi dengan menggunakan kata pinjaman digunakan penerjemah sebanyak 2 kali. e) Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan. Tsu : sambil lagi-lagi bercermin di kolam. Tsa: looking at his reflection in the pond. Strategi ini cenderung digunakan ketika konsep yang diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, dan terdapat dalam bahasa target tetapi dalam bentuk yang berbeda. Strategi Memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubunganm digunakan penerjemah sebanyak 28 kali. 316 f) Memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan. Tsu: Ia mengecek apa yang menyebabkan Benji rewel. Tsa: She wanted to know why Benji was so unhappy. Strategi ini cenderung digunakan jika konsep yang diekspresikan oleh item sumber tidak lexicalized sama sekali dalam bahasa target. Strategi memparafrase dengan menggunakan kata yang tidak berhubungan digunakan penerjemah sebanyak 16 kali. g) Melakukan penghapusan/ penghilangan kata. Tsu: Pak dokter menyambut Benji dengan ramah. Tsa: The dentist welcomed Benji. Strategi ini mungkin terdengar agak drastis, tetapi sebenarnya tidak ada salahnya untuk tidak menerjemahkan sebuah kata atau ungkapan dalam beberapa konteks, jika makna yang disampaikan oleh orang, barang atau ekspresi tertentu tidak cukup penting untuk pengembangan teks. Strategi dengan melakukan penghapusan / penghilangan kata digunakan penerjemah sebanyak 16 kali. Dari uraian di atas maka dapat diketahui bahwasannya strategi yang paling banyak digunakan adalah strategi memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan. Alasan yang mendasari penerapan strategi ini adalah karena konsep yang diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, makna dari kata tersebut terdapat dalam Bsa tetapi dalam bentuk yang berbeda. Kemudian, latar belakang penerjemah yang merupakan asli orang Indonesia serta alumni dari Ohio State University juga merupakan landasan penting mengapa alur cerita dari buku tersebut terlihat universal atau bisa diterima secara kedua budaya Bsu dan Bsa, sehingga tidak banyak perubahan hanya sekedar memparafrase kata-kata dalam Bsu ke dalam Bsa. Yang terakhir, ditambah dengan tujuan penerjemah yang sekiranya ingin mengedukasi anak Indonesia berbahasa Inggris sehingga kata-kata yang ada dalam Bsu tidak jauh berbeda dengan kata-kata yang digunakan dalam Bsa secara susunan dan pemilihan katanya yang sangat sederhana. 317 E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan di atas maka terungkaplah strategi-strategi yang digunakan dalam buku cerita ‘Berbagi Cerita, Berbagi cinta’ karya Clara Ng berdasarkan teori Mona Baker (2011). Selain itu, strategi yang paling sering digunakan adalah strategi memparafrase dengan menggunakan kata yang berhubungan dikarenakan banyaknya konsep yang diekspresikan oleh item sumber adalah lexicalized, makna dari kata tersebut terdapat dalam bahasa target tetapi dalam bentuk yang berbeda. Kemudian alasan tersebut juga dikuatkan dengan latar belakang penerjemah serta tujuannya yang ingin mengedukasi anak Indonesia berbahasa Inggris sehingga tidak banyak perubahan dalam susunan katanya serta pemilihan katanya yang sangat memudahkan anak mengidentifikasi bahasa yang digunakan dalam Bsu dan Bsa. REFERENSI Baker, M. (2011). In Other Words. New York: Routledge. Lorcher, Wolfgang. “The Translation Process: Method and Problems of Its Investigation. Dalam Meta, vol. 50, n2, 2005, p.597-608Language structure and Translation [Buku] / pengar. Nida Eugene Albert. Califronia : Standford University Press, 1975. Meaning-based Translation [Buku] / pengar. Larson Mildred L.. Boston : University Press of America, 1984. Science of Translation in Language Vol 5 Number 3 [Buku] / pengar. Taber Nida Eugene dan. - New York : American Bible Society, 1969. A Textbook of Translation [Buku] / pengar. Newmark Peter. - London : Prentice-Hall, 1988. Pedoman bagi Penerjemah [Buku] / pengar. Machali Rochayah. Bandung : Kaifa, 2009. The Translation Studies Reader [Buku] / pengar. Venutti Lawrence. London : Routledge, 2004. 318 A Lingusitic Theory of Translation [Buku] / pengar. Catford J.C. England : Oxford University Press, 1965. Translation [Buku] / pengar. Duff Alan. - England : Oxford University Press, 1989. In Other Words [Buku] / pengar. Baker Mona. - New York : Routledge, 2011. Metodologi Penelitian Kalitatif [Buku] / pengar. Sutopo. - Surakarta : UNS, 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif [Buku] / pengar. Sugiyono. - Bandung : Alfabeta, 2010. Metodelogi Penelitian [Buku] / pengar. Arikunto, Suharsimi. - Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002. Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach [Jurnal] / pengar. Lucia Molina, Hurtado Albir // Meta; Translator Journal Vol 7 No.4. - 2002. - hal. 509-511. HASIL DISKUSI SEMINAR Penanya: Pak Suryo Baskoro 1. Jika anda sudah mendeskripsikan sedemekian rupa trus mengapa? Jawaban; Dari hasil penelitian ini maka terungkaplah strategi-srategi yang digunakan serta strategi apa yang paling sering digunakn dan mengapa strategi tersebut banyak muncul. Alasan tersebut yang nantinya dapat memberikan manfaat dari hasil penelitian ini, akan tetapi saya masih belum menemukan. 319 REAKSI VERBAL OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PUISI IBU INDONESIA KARYA SUKMAWATI SOEKARNOPUTRI Kamalatul Hafidzoh* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: kamala.hafidzoh@gmail.com A B S T R A K Bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan dalam memberikan reaksi verbal terhadap suatu hal sangat bervariasi. Pada dasarnya, analisis mengenai bahasa dan gender telah banyak dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang fokus mengenai penggunaan bahasa oleh laki-laki dan perempuan dalam menyampaikan reaksi verbal, baik pro maupun kontra, terhadap sebuah isu belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik bahasa yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki dalam menyampaikan reaksi verbal terhadap Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri, dan faktor sosial yang melatarbelakangi adanya karakteristik feminin pada reaksi verbal oleh laki-laki, serta mengidentifikasi persentase distribusi masing-masing reaksi verbal oleh laki-laki dan perempuan tersebut. Data disediakan dengan metode simak, dan wawancara berstuktur yang dilakukan melalui telepon. Adapun sampel yang digunakan yaitu sepuluh reaksi verbal oleh laki-laki dan sepuluh reaksi verbal oleh perempuan. Informan dalam penelitian ini yaitu alumni mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris tahun angkatan 2012 UIN Maliki Malang. Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Lakoff (1975) serta De Klerk dan Hughes (1992) mengenai karakteristik bahasa feminin dan maskulin. Adapun hasil yang didapatkan yaitu informan perempuan cenderung memberikan reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia dengan bahasa-bahasa yang memiliki karakteristik feminin (45%), adapun laki-laki terbagi menjadi 20% maskulin dan 30% feminin. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam profesi dan hobi, tema pembicaraan, dan pembawaan diri (performance) dalam keseharian). Kata kunci: reaksi verbal, laki-laki dan perempuan, puisi Ibu Indonesia. 320 PENDAHULUAN Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Secara biologis, terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, baik secara fisik maupun non fisik. Adapun mengenai cara laki-laki dan perempuan berbahasa, para ahli menyebutkan adanya istilah gender maskulin dan gender feminin. Gender dan jenis kelamin merupakan dua istilah yang berbeda, meskipun diasumsikan bahwa jenis kelamin akan mempengaruhi gender. Wardhaugh (2006:315) mengatakan bahwa seks atau jenis kelamin ditentukan oleh keadaan biologis seseorang sedangkan gender dibentuk oleh kehidupan sosial seseorang. Oleh karena itu, ada kemungkinan seseorang berjenis kelamin laki-laki mempunyai gender feminin dan seseorang berjenis kelamin perempuan memiliki gender maskulin. Selain itu, seperti halnya bahasa, gender juga merupakan sebuah komponen utama dari identitas seseorang (Wardhaugh, 2006:316). Dari caranya berbahasa, kita dapat mengetahui kecenderungan gender pada orang tersebut. Akan tetapi, Wardhaugh (2006:316) menambahkan bahwa gender seseorang dapat berubah apabila orang tersebut berada di lingkungan atau kehidupan sosial yang berbeda. Adapun Lakoff (1975) mengemukakan bahwa terdapat karakteristik-karakteristik gender, diantaranya yaitu perempuan (feminin) cenderung menggunakan question tag, menggunakan hedges, menggunakan intonasi pertanyaan pada kalimat deklaratif, menggunakan tindak tutur tidak langsung, menggunakan kalimat-kalimat eufemisme (halus dan sopan), menggunakan kata sifat dan kata keterangan kosong, menggunakan istilah-istilah atau kata yang spesifik. De Klerk dan Hughes (lih. Wardhaugh, 2006:317) menambahkan bahwa perempuan cenderung bertele-tele dan banyak unsur gosipnya pada saat berbicara. Selain itu, perempuan juga agak malu-malu ketika menyebutkan bagian anggota tubuhnya secara terang-terangan (Jespersen, 1992). Karakteristikkarakteristik tersebut yang kemudian dapat memunculkan istilah bahasa perempuan dan bahasa laki-laki dimana menurut Grimm (2008:8) istilah ini menunjukkan bahwa ada kekhasan tersendiri pada bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan bahasa yang digunakan oleh perempuan. Di sisi lain, penelitian mengenai bahasa dan gender telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pertama, Onem (2016) meneliti mengenai perbedaan 321 gender masyarakat Turki pada saat membuat permintaan atau request. Penelitian tersebut dilakukan dengan cara meminta 30 mahasiswa dan 24 mahasiswi untuk menulis mengenai bagaimana jika mereka membuat kalimat request. Adapun hasilnya yaitu perempuan cenderung menyatakan request dengan kalimat yang detail sedangkan laki-laki cenderung menggunakan kalimat langsung. Kedua, Munjin (2008) meneliti tentang ekspresi bahasa dan gender dan menyimpulkan bahwa ekspresi bahasa mencerminkan kecenderungan penuturnya, misalnya bahasa Inggris cenderung diskriminatif terhadap perempuan dan hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pergaulan. Ketiga, Nur (2011) meneliti tentang refleksi gender yang ada dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia dan dikaitkan dengan konteks-konteks budaya pada dua bahasa tersebut. Adapun hasilnya yaitu bahasa Arab sangat mementingkan pemarkah gender pada sistim gramatikalnya karena budaya masyarakat Arab lebih menekankan pada pemisahan gender, masyarakatnya lebih individual dan patriarki. Sedangkan bahasa Indonesia hanya memakai pemarkah gender apabila dibutuhkan karena berdasarkan budayanya, masyarakat Indonesia lebih mementingkan usia dan status sosial, kebersamaannya lebih erat, dan tidak patriarki. Berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu tersebut, penelitian ini fokus dalam menginvestigasi penggunaan bahasa oleh laki-laki dan perempuan dalam mengomentari puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri. Puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri merupakan sebuah puisi yang isinya menyebabkan adanya kontroversi pada tahun 2018 di Indonesia. Isi dari puisi tersebut menyebabkan adanya reaksi verbal dari penduduk Indonesia, berupa komentar-komentar pro maupun kontra. Bahasa yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan pada saat memberikan reaksi secara verbal terhadap puisi tersebut sangat menarik dan beragam. Misalnya, ada komentar yang singkat tapi tajam, ada juga komentar yang menggunakan penjelasan-penjelasan secara detail. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu (1) mengidentifikasi karakteristik-karakteristik bahasa pada reaksi verbal oleh laki-laki dan perempuan terhadap puisi tersebut, (2) mengidentifikasi alasan atau faktor yang mempengaruhi adanya karakteristik feminin pada reaksi verbal yang diujarkan oleh laki-laki, (3) mengidentifikasi frekuensi distribusi masing-masing reaksi verbal tersebut. Adapun data-data didapatkan dengan metode simak dan melakukan wawancara kepada 322 alumni Bahasa dan Sastra Inggris angkatan tahun 2012, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Para alumni tersebut dipilih sebagai informan karena mereka cukup aktif dalam memberikan komentar terhadap puisi Ibu Indonesia tersebut dan pernah mempelajari tentang sastra atau puisi sehingga rekasi verbal yang diujarkan setidaknya berlandaskan ilmu pengetahuan mengenai hal itu. Berdasarkan latar belakang tersebut, oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dikembangkan. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa reaksi verbal oleh lakilaki dan perempuan terhadap puisi Ibu Indonesia Karya Sukmawati Soekarnoputri. Sebelum tahap analisis, data disediakan terlebih dahulu dengan menggunakan metode simak dan wawancara berstruktur dengan beberapa tekniknya. Wawancara berstruktur merupakan salah satu metode yang digunakan dalam tahap pengumpulan data dan dilakukan dengan cara peneliti melakukan percakapan dengan informan dan daftar pertanyaannya telah direncanakan (Mahsun, 2013:250). Adapun beberapa tahap dalam penyediaan data yaitu: Pertama, peneliti menyusun pertanyaan yang akan diajukan kepada informan. Kedua, peneliti menentukan sampel penelitian yaitu sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan. Peneliti memilih sampel dengan cara memastikan bahwa informan pernah belajar tentang sastra atau puisi agar komentar yang diberikan setidaknya sudah dilandasi dengan keilmuan tentang hal tersebut, dan peneliti juga memastikan informan selama ini mempunyai performance atau pembawaan diri yang tidak berubah-ubah. Informan yang dipilih yaitu alumni mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris tahun angkatan 2012 UIN Maulana Maliki Malang, karena sejak adanya puisi tersebut, mereka cukup aktif dalam memberikan reaksi verbal terhadap puisi tersebut dan dilandasi dengan pengetahuan mengenai hal tersebut. Ketiga, peneliti melakukan wawancara dengan para informan melalui telepon. Keempat, peneliti merekam percakapan peneliti dengan informan agar data tidak hilang dan bisa didengarkan kembali. Kelima, untuk memudahkan proses analisis, peneliti mencatat data-data yang didapatkan dalam wawancara tersebut. Adapun tahapan untuk menganalisis data yaitu, peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikan data-data berdasarkan jenis atau ciri gender. Dalam proses ini, peneliti 323 mengacu pada teori Lakoff (1975), serta De Klerk dan Hughes (1992) mengenai karakteristik-karakteristik bahasa feminin dan maskulin. Peneliti juga mengidentifikasi hal-hal yang mempengaruhi karakteristik gender pada reaksi verbal tersebut berdasarkan latar belakang kehidupan sosial informan, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Dari hasil tersebut, peneliti mengidentifikasi presentase distribusinya dan menyajikannya pada pie chart. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari dua puluh informan, yaitu sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan, terdapat enam reaksi verbal yang menunjukkan karakteristik maskulin dan empat belas feminin. Adapun data-data yang menunjukkan karakteristik maskulin sebagai berikut: (1) Lk: “Puisinya biasa aja gak ada unsur saranya.” (2) Lk: “Bagus, banyak unsur sejarahnya.” (3) Lk: “Gak suka, puisi vulgar.” (4) Lk: “Puisinya indah, sebagai orang muslim aku mendapatkan tamparan.” (5) Pr: “Puisinya menimbulkan kontroversi.” Keenam data tersebut, secara umum, tergolong dalam kategori maskulin karena reaksi verbal tersebut disampaikan dengan menggunakan tuturan yang bersifat langsung atau to the point. Pada data (1), (2), dan (4) informan atau partisipan menyampaikan reaksi verbalnya dimana reaksi verbal tersebut bersifat pro terhadap puisi Ibu Indonesia. Dalam memberikan reaksi verbal pro, gender maskulin merasa cukup dengan menyatakan puisinya biasa aja, bagus, dan puisinya indah, tanpa disertai alasan pendukung yang detail. Begitu pula pada data (3) dan (5), reaksi verbal yang mengarah pada reaksi kontra ini disampaikan secara langsung tanpa menggunakan bahasa yang dihaluskan yaitu dengan mengatakan gak suka, puisi vulgar, dan kontroversi. Misalnya, kata vulgar, berdasarkan KBBI V, mempunyai makna kasar (baik untuk perilaku, perbuatan, dan lain sebagainya). Kata ini mempunyai padanan berbentuk kata eufemisme yaitu tidak sopan. Akan tetapi, gender maskulin cenderung lebih memilih kata vulgar daripada kata tidak sopan. Oleh karena itu, gender maskulin cenderung memberikan reaksi verbal dengan menggunakan tuturan langsung, tanpa eufemisme, dan tidak bertele-tele. Reaksi verbal pro disampaikan dengan kata yang mengacu “suka” (misalnya, bagus dan indah), sedangkan reaksi verbal kontra disampaikan dengan 324 menggunakan kata-kata “tidak suka.” Selain itu, apabila dirasa perlu menambahkan alasan atas reaksi verbalnya, gender maskulin cenderung memberikan alasan sesuai kebutuhan yaitu singkat, padat, dan jelas. Adapun reaksi verbal yang cenderung memiliki karakteristik feminin terbagi menjadi dua yaitu 6 berasal dari laki-laki dan 9 berasal dari perempuan. Contoh datanya sebagai berikut: (6) Pr: “Kalau ada Bu Sukma atau bisa berkirim pesan, aku akan ngomong seperti ini, Bu Sukmawati, tak heran kalau kita memang tak pernah setara. Nilai, adat, budaya, dan agama kita bandingbandingkan. Lalu muncul kesimpulan oh ini lebih indah. Ada mawar merah, putih, batik, jingga, hitam dan merah muda, meskipun kamu mengagumi salah satu mawar apakah menurutmu mawar lain tak mawar juga? Tak indah juga? Tak heran saya pun sebagai seorang gadis selalu dibandingkan dengan laki-laki, jatah makan saya, jajan saya, pendidikan saya, kedudukan saya dalam masyarakat hingga prioritas saya untuk mengasuh anak. Saya sangat kecewa. Puisi anda jelek sekali. Maaf. Saya mengaku tidak bisa menulis puisi, sangat sulit, saya kagum anda bisa, tapi please, jangan diulangi.” Reaksi verbal ini diujarkan oleh seorang perempuan terhadap puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati. Berdasarkan penggunaan bahasanya, reaksi verbal ini termasuk dalam karakteristik feminin karena diungkapkan dengan rinci. Pada data ini, isi reaksi verbal ini dikemas seperti surat pribadi informan kepada Bu Sukmawati karena diawali dengan Bu Sukmawati... sehingga tampak lebih emosional. Selain itu, pada data tersebut, banyak ditemukan kata spesifik berupa warna. Contoh yang diberikan juga berbentuk bunga mawar yang mana “bunga” identik dengan kefemininan. Selain itu, ungkapan kekecewaan terhadap Sukmawati disampaikan begitu emosional pada kata saya sangat kecewa, puisi anda jelek sekali. Untuk melengkapi kekecewaannya tersebut, karakteristik feminin kembali muncul dalam ujaran maaf. Meskipun mengungkapkan kekecewaan atau ketidaksetujuan, gender feminin cenderung tetap menggunakan eufemisme. Eufemisme ini juga terdapat pada kalimat penutup yaitu saya mengaku tidak bisa menulis puisi, sangat sulit, saya kagum anda bisa, tapi please, jangan diulangi. Penggunaan tapi sebagai bentuk kalimat yang berlawanan seringkali digunakan gender feminin untuk penghalusan. Adapun karakteristik feminin lainnya yang ditemukan pada data ini yaitu informan cenderung memberikan reaksi verbal dengan membandingkan beberapa hal. 325 (7) Pr: “Seharusnya beliau bisa lebih bijak dalam memilih diksi dalam mengungkapkan narasi puisinya sehingga tidak membuka ruang interpretasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman dan ketersinggungan pihak lain, khususnya umat muslim, aku yakin beliau membuat puisi dalam keadaan sadar. Dari segi kaca mata positif, beliau mungkin ingin mengkritik keadaan Indonesia yang saat ini ingin dikuasai oleh kaum khilafah, namun tidak dalam cara yang tepat. Kalau boleh komentar sedikit kasar, Bu Sukma itu sebenarnya sengaja bikin gitu, niatnya juga pasti ingin menyindir keadaan umat muslim saat ini, tapi sayang sekali beliau mengungkapkan di tempat yang salah yang tidak sesuai dengan konteksnya, gak mungkin kalau gak punya niatan apapun bisa punya ide seperti itu.” Sebagaimana data sebelumnya, data (7) juga merupakan reaksi verbal oleh perempuan yang mana memiliki karakteristik feminnin. Adapun karakteristik tersebut dapat dilihat pada kerincian reaksi verbal yang diutarakan, penggunaan hedging (dalam kata mungkin), dan penggunaan eufemisme pada kalimat kalau boleh komentar sedikit kasar. Di sisi lain, karakteristik feminin juga pada ditemukan juga ditemukan pada reaksi verbal yang diutarakan oleh laki-laki. Adapun salah satu datanya sebagai berikut: (8) Lk: “Puisinya sah-sah saja asal tidak dibawa ke ranah hukum. Pasal penodaan agama sangat bermasalah. 1. Beliau berideologi nasionalisme, rasa “Indonesia” kental sekali. Dengan membandingkan tusuk konde dengan hijab dan kidung dengan adzan, dia mungkin gelisah dengan arah budaya lama dan asli yang mulai ditinggalkan. Walau konsep budaya asli masih sangat perlu diperdebatkan. 2. Puisi ini muncul di tengah kondisi masyarakat yang sangat populis, sentimen agama dan suku yang sangat kuat. Digesek dan dikritik sedikit saja langsung menyala tanpa ada pikiran matang dan mendalam dalam memahami suatu kasus. Plus puisi ini muncul di tahun politik. Banyak predator politik dan buzzer yang memanfaatkan ini untuk menaikkan daya tawar di masyarakat dengan memainkan isu ini. Jadi deh, santapan bareng-bareng. 3. Pilihan untuk memaafkannya, karena dia sudah minta maaf itu sangat bijak. Kalau diteruskan ke ranah hukum, isu ini akan terus digarap untuk menyerang lawan politik dan mengail di air keruh. Memaafkan itulah yang diambil oleh Kiai Ma’ruf dan NU.” Dapat dilihat dengan jelas bahwa reaksi verbal pada data (8) sangat rinci, bahkan disertai penjelasan dalam tiga poin. Hal ini yang menjadikan data 326 tersebut termasuk dalam karakteristik feminin. Selain itu, terdapat hedges dalam data tersebut berupa kata mungkin. Data tersebut dapat menunjukkan bahwa ujaran dari laki-laki tidak harus memiliki karakteristik maskulin. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor lingkungan di pekerjaan atau hobi. Meskipun informan merupakan seorang laki-laki, akan tetapi ia aktif dalam komunitas-komunitas dan diskusi-diskusi sastra. Dalam diskusi-diskusi tersebut, ia juga aktif sebagai pembicara dan aktif dalam memberikan kritik terhadap beberapa karya sastra. Selain itu, beberapa cerpennya telah dimuat di beberapa surat kabar. Lingkungan dan pemahaman mengenai sastra atau puisi yang mendalam tersebut mempengaruhi caranya dalam memberikan reaksi verbal atau komentar terhadap puisi Ibu Indonesia. Oleh karena itu, reaksi verbal yang diberikan sangat rinci dengan disertai alasan-alasan dari beberapa sudut pandang. Adapun untuk isu-isu yang tidak digelutinya, misalnya isu teknologi, informan mungkin akan memberikan reaksi verbal dengan karakteristik maskulin karena dalam kesehariannya, misalnya ketika sekedar berbincang dengan temannya, informan menunjukkan gender maskulin pada pengunaan bahasanya. (9) Lk: “Lebih merdu azan atau kidung? Ya tergantung vokalisnya, kalau yang berkidung Putri Ayu dan yang azan aku, ya jelas lebih merdu kidung. Lebih cantik konde apa jilbab? Ya tergantung siapa yang make. Lah kan sekarang budaya arab lagi ramai banget diterapkan di Indonesia dan itu dibilang tuntutan sejarah, padahal kalau dikaji dari sisi sejarah dan antropologi, itu hanya produk budaya. Makanya Bu Sukma itu semacam ingin mengingatkan kembali dengan budaya Indonesia tapi caranya salah sih, semacam kayak nantang.” Adapun pada data (9), reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia berasal dari seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penerjemah. Selain itu, pada data tersebut dapat dilihat adanya karakteristik gender feminin, misalnya komentar disampaikan secara detail, dan terdapat komentar berupa pertanyaan pada kalimat “lebih merdu azan atau kidung?” dan “lebih cantik konde apa jilbab?” padahal di kalimat berikutnya, informan memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Lakoff (1975) bahwa gender feminin cenderung menggunakan question tag dan intonasi pertanyaan pada kalimat deklaratif. Adapun karakteristik yang lain yaitu terdapat kata keterangan 327 kosong berupa kata semacam pada kalimat “Makanya, Bu Sukma itu semacam ingin mengingatkan kembali dengan budaya Indonesia tapi caranya salah sih, semacam kayak nantang.” Selain itu, seperti halnya karakteristik feminin yang telah ditemukan pada data-data sebelumnya, pada data ini juga terdapat perbandinganperbandingan satu hal dengan hal lainnya. Di sisi lain, berbeda dengan data (8), informan pada data (9) dalam kesehariannya memang cenderung menunjukkan gender feminin. Hal ini dipengaruhi oleh faktor sosial yaitu sejak kecil, partisipan dibesarkan dan dididik oleh lingkungan keluarga yang mayoritas perempuan, misalnya ibu, nenek, dan saudara perempuan, karena ayah dari partisipan sudah meninggal sejak ia bayi dan kakak laki-lakinya bersekolah di luar kota, sehingga sejak kecil, partisipan kurang mempunyai panutan sosok laki-laki di keluarganya. Berdasarkan hasil mengenai karakteristik bahasa maskulin dan feminin yang telah diidentifikasi tersebut, dapat diketahui frekuensi distribusinya sebagai berikut: FREKUENSI DISTRIBUSI GENDER PADA REAKSI VERBAL Maskulin (Lk) 20% Maskulin (Pr) 5% Feminin (Pr) 45% Feminin (Lk) 30% Dalam pie chart atau diagram lingkaran tersebut, dapat dilihat bahwa persentase terbanyak dari gender maskulin yaitu reaksi verbal oleh lakilaki sebanyak 20%. Adapun reaksi verbal bergender maskulin yang berasal dari perempuan hanya 5% atau hanya 1 reaksi verbal. Hal ini dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, partisipan atau informan tersebut tidak pernah bergabung dalam komunitas sastra, dan kedua, pembawaan 328 diri dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa partisipan merupakan seseorang yang pendiam dan tidak banyak berinteraksi dengan temantemannya. Dua faktor sosial tersebut memicu partisipan memberikan reaksi verbal yang maskulin. Karena partisipan tidak mengikuti komunitas-komunitas diskusi sastra terutama puisi, dan ia seseorang yang pendiam, maka reaksi verbal yang diberikan cukup singkat (lihat data 5). Adapun reaksi verbal feminin terbanyak yaitu reaksi verbal oleh perempuan (45%) dan laki-laki (30%). Adapun karakteristik yang ditemukan yaitu reaksi verbal disampaikan secara rinci dengan beberapa alasan pendukung, bertele-tele, menggunakan hedges berupa kata mungkin, menggunakan eufemisme atau bahasa yang dihaluskan, dan menggunakan kata spesifik berupa warna. Untuk karakteristik feminin pada reaksi verbal oleh laki-laki yaitu reaksi verbalnya disampaikan secara rinci, terdapat beberapa alasan pendukung dari beberapa sudut pandang, terdapat perbandingan-perbandingan beberapa hal, kata keterangan kosong, dan question tag pada kalimat deklaratif. Selain itu, dalam memberikan reaksi verbal terhadap puisi tersebut, laki-laki lebih banyak memberikan reaksi verbal dengan karakteristik feminin (30%) daripada karakteristik maskulin (20%). Adapun gender feminin pada penggunaan bahasa oleh laki-laki dipengaruhi oleh lingkungan pekerjaan, hobi, tema pembicaraan (objek yang sedang dikomentari), dan pembawaan diri atau performance dalam kehidupan sehari-hari. KESIMPULAN Berdasarkan data-data yang telah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa para perempuan cenderung memberikan reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia karya Sukmawati Soekarnoputri dengan bahasa-bahasa yang memiliki karakteristik feminin yang telah disampaikan oleh Lakoff (1975), serta De Klerk dan Hughes (1992). Hanya satu reaksi verbal oleh perempuan yang berkarakteristik gender maskulin dan dipengaruhi oleh pengalaman dan pembawaan diri. Sedangkan reaksi verbal laki-laki terbagi menjadi dua, dengan persentase terbanyak yaitu reaksi verbal bergender feminin. Hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam profesi atau hobi, tema pembicaraan, dan faktor pembawaan diri dalam keseharian. Adapun karakteristik feminin yang berbeda dengan dua teori tersebut yaitu berdasarkan temuan pada penelitian ini, gender feminin cenderung membandingkan satu hal dengan hal lainnya. 329 DAFTAR PUSTAKA Jespersen, O. (1992). Language: its nature development and origin. New York: The MacMillan Company. Lakoff, R. (1975). Language and women’s place. New York: Harper&Row. Mahsun. (2013). Metode penelitian bahasa: tahapan strategi, metode, dan tekniknya. Rajawali Pers. Munjin. (2008). Ekspresi bahasa dan gender: sebuah kajian sosiolinguistik. Jurnal Studi Gender & Anak Yinyang, 3(2), 262-274. ISSN:1907-2791. Nur, T. (2011). Analisis Kontrastif Perspektif Bahasa dan Budaya terhadap Distingsi Gender Maskulin Versus Feminin dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia. Jurnal Humaniora, 23(3) Onem, E. (2016). A study on gender differences in the length of requests in Turkish. Journal of Language and Linguistic Studies, 12(2), 13-21. ISSN: 1305-578 Wardhaugh, R. (2006). An introduction to sociolinguistics (5th ed.). Australia: Blackwell Publishing. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Titis, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM Pertanyaan: Jelaskan, mengapa ada karakteristik feminin dalam reaksi verbal yang disampaikan oleh laki-laki? Jawaban: karakteristik feminin dalam reaksi verbal yang disampaikan oleh laki-laki dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu pertama, hobi dan profesi. Misalnya seorang laki-laki yang memiliki hobi dan profesi yang sangat dekat dengan topik pembicaraan, contohnya penulis cerpen dekat dengan halhal mengenai sastra atau puisi, akan lebih kritis dalam memberikan reaksi verbal terhadap puisi Ibu Indonesia tersebut sehingga kerinciannya dalam memberikan reaksi verbal tersebut memunculkan adanya karakteristik feminin dalam reaksi verbal yang diutarakan. Kedua, pembawaan diri, maksudnya yaitu seorang laki-laki yang dalam kesehariannya menunjukkan adanya pembawaan diri yang feminin akan memberikan reaksi verbal 330 terhadap puisi tersebut dengan karakteristik yang feminin pula. Pembawaan diri ini dapat dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, teman-teman, dan lain sebagainya. 2. Siti Masyitoh, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM Pertanyaan: apa yang dimaksud dengan frekuensi distribusi pada rumusan masalah kedua? Jawaban: frekuensi distribusi yaitu persentase gender pada reaksi verbal oleh laki-laki dan perempuan untuk melihat kecenderungan gender pada masing-masing reaksi verbal oleh laki-laki dan perempuan. Misalnya, reaksi verbal pada laki-laki cenderung memiliki karakteristik maskulin karena memiliki persentase 70% masklin dan 30% feminin. 3. Dini Luthfiani, mahasiswa S2 Ilmu Linguistik UGM Saran: Untuk hal-hal yang melatarbelakangi reaksi verbal oleh laki-laki yang memiliki karakteristik feminin mungkin dapat dilihat juga dari pergaulan atau pertemanan informan sehari-hari. 331 ANALISIS KONTRA BERITA LGBT DI LAMAN TOPIK PILIHAN SINDONEWS.COM : KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS Kartika Nurul Fajrina Program Magister Linguistik Umum Universitas Padjajaran kaanurull93@gmail.com ABSTRAK Setiap manusia memiliki kebebasan untuk berpendapat. sedangkan media massa bersifat menyebarkan pendapatnya untuk diketahui masyarakat luas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui frame pemberitaan mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Dengan dipilih 4 berita pada tanggal 12 Februari 2018 - 15 Maret 2018 di rubrik Nasional, daerah dan international. Dari sekian banyak yang diberitakan di dalam surat kabar tersebut secara keseluruhan menolak kaum LGBT dan melarang adanya UU pro LGBT. Para ulama beserta pemerintah pun turut andil dalam memecahkan masalah ini. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis berdasarkan dari model Norman Fairclough. Isu LGBT yang berkembang sampai saat ini masih marak diperbincangkan di Indonesia. Negara ini dengan jelas menentang adanya keberadaan status LGBT sama halnya seperti menentang adanya peredaran narkoba. Seperti yang kita ketahui, mayoritas penduduk Indonesia sendiri menganut ajaran Islam yang berarti melarang dan mengharamkan pernikahan sejenis. LGBT sendiri di beberapa negara memang diakui dan dilegalkan keberadaannya, tetapi untuk Indonesia sangat sulit untuk menerima mereka. Di media massa bermunculan pro dan kontra mengenai LGBT di Indonesia. Hal tersebut membuat para pelaku LGBT agar mengakui dan menetapkan mereka sebagai bagian dari warga Indonesia. Kata Kunci : Media massa, LGBT, Indonesia, Melarang, Negara I. PENGANTAR 332 Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh semua orang dalam berkomunikasi dengan orang lainnya. Bahasa yang digunakan wartawan dalam dalam menulis karya jurnalistik dalam media massa disebut sebagai bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Pada dasarnya bahasa jurnalistik digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalislah yang bisa disebut sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers. Penggunaan bahasa Indonesia secara nyata tidak hanya dalam bentuk ujaran, tetapi penggunaan bahasa Indonesia dapat pula berupa tulisan atau teks. Penggunaan bahasa Indonesia dalam bentuk tulisan atau teks salah satunya adalah teks berita. Penggunaan bahasa Indonesia dalam teks berita memiliki karakteristik yang berbeda dengan tulisan yang lain. Penggunaan bahasa dalam teks berita termasuk dalam kategori bahasa jurnalistik yang singkat, padat, menarik, dan jelas. Bahasa memang memiliki fungsi informatif, selain fungsi ekspresif, direktif, estetis, dan fatis. Bahkan fungsi informatif tersebut, yakni bahasa sebagai alat penyampai informasi oleh Leech (1997:47) dianggap sebagai fungsi utama. Oleh karena bahasa juga digunakan dalam dunia pers, maka fungsi pers yang paling awal dan terutama juga sebagai penyampai informasi. Semakin berkembangnya teknologi, semakin mempermudah kita dalam memperoleh informasi, dimana mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, tidak terlepas dengan kegiatan berkomunikasi, yang saling memberi dan menerima informasi. Relaitas dan fakta merupakan sesuatu yang bersifat suci bersih, akan tetapi dalam pemberitaan media massa tak jarang ditemukan fakta atau peristiwa tersebut merupakan dari hasil konstruksi, sehingga memiliki makna yang ganda atau plural. Realitas juga bisa hadir di tengah khalayak karena realitas tersebut sengaja dihadirkan oleh subjektiiftas wartawan yang dibentuk dari sudut pandang wartawan dalam mengungkapkan sebuah masalah atau peristiwa.Oleh sebab itu, realitas bisa muncul berbeda-beda tergantung dari pemahaman setiap wartawan. Menurut Sudaryanto bahasa jurnalistik atau biasa disebut sebagai bahasa pers merupakan salah satu ragam bahasa kreatif bahasa indonesia disamping terdapat juga ragam bahasa akademik (ilmiah), ragam bahasa usaha (bisnis), ragam bahasa filosofik, ragam bahasa literatur (sastra) (Suroso, 2001). Sedangkan menurut Wojowasito, bahasa juranlistik adalah bahasa 333 komunikasi massa sebagai mana tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Perkembangan yang pesat pada era informasi digital telah menyebabkan semakin meningkat pula volume informasi yang berbentuk teks. Diantara dari berbagai bentuk informasi digital, diperkirakan 80% dokumen digital merupakan dalam bentuk teks (Tan, 1999). Wacana sendiri tidak hanya dipandang sebagai pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan, tetapi juga sebagai bentuk dari praktik sosial. Dalam hal ini, wacana sebagai alat yang dekat dan mampu berinteraksi secara eksplisit dan implisit dengan kehidupan masyarakat. Melalui keberagaman media yang dapat melingkupinya dan tingkatan kualitas komunikasi yang dapat dibangunnya, wacana dimanfaatkan sebagai gerakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Analisis wacana merupakan alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih didominasi oleh analisis isi konvensional dengan paradigma positif atau kontruktivisnya. Melalui analisis wacana, kita akan tahu bukan hanya bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana dan mengapa pesan itu dihadirkan. Bahkan, kita bisa lebih jauh membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks-teks berita. Karakteristik dari analisis wacana kritis mengandung lima prinsip yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi. Terkait dengan tindakan, ada dua konsekuensi dalam memandang wacana yaitu wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan untuk mempengaruhi, mendebat, menyanggah, membujuk, bereaksi dll dan wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar atau terkontrol. Media massa dan wacana adalah dua hal yang saling mendukung satu sama lain. Jika keberadaan wacana sangat bergantung pada media massa yang melingkupinya, media massa akan sangat bergantung pada penikmat atau penggunanya. Setiap manusia lahir dengan membawa hak asasi yang melekat dan tidak dapat dihilangkan. Hak asasi tersebut harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan layak. Hak asasi manusia menurut John Locke (1960) dinyatakan sebagai berikut. “The natural liberty of man is to be free from any superior power on earth, and not to be under the will or legistative authority of man, but to have only the law of nature for his rule. The liberty of man, in society, is to be under no other legislative power, but that established, 334 by consent, in the commonwealth, nor under the dominion of any will, or restraint of any law, but what that legislative shall enact, according to the trust put in it” (Locke, 1960:73-74). Untuk mendefinisikan gender dikenal istilah identitas gender yang dipahami sebagai konstruksi sosial yang membagi individu dalam kategori ‘natural’ menjadi laki-laki dan perempuan dan ini diasumsikan berasal dari tubuh fisik laki-laki dan perempuan (Westbrook, dalam Sanger, 2010:52). Dalam mengidentifikasi gender telah dijelaskan bahwa yang diakui sebagai gender yang ada di dunia itu adalah laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial mengenai seksualitas atau gender bebas ini diperkuat dengan bantuan media sebagai salah satu pemilik kuasa dalam membentuk opini masyarakat melihat bahwa perkembangan media selama tahun 1980 hingga awal tahun 1990 memiliki kesamaan di mana media tidak pernah memberikan gambaran positif tentang seksualitas orang-orang yang tidak berada dalam heteronormitas. Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender contohnya, mereka digambarkan dekat dengan aktifitas kriminal, prostitusi, obat terlarang, sex bebas dan penyimpangan. Pembuat berita adalah salah satu pemain penting dalam memasukkan idealisme yang dianggap normal ini. Penggunaan kata ‘sakit’ biasanya merujuk pada LGBT dan media massa membuat munculnya rasa tidak suka mengarah kebencian kepada mereka. Representasi media tersebut dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap norma heteroseksual dengan memperlihatkan perbedaan ‘abnormal’ ,’sakit’ dengan ‘heteroseksual normal’ (Blackwood, 2005: 296-297).Akhirnya, justru pemikiran terakhir itu yang seringkali diadopsi oleh manusia pada umumnya mengenai dasar atau latar untuk mendiskreditkan kaum minoritas, yaitu LGBT. Padahal inti dalam ajaran Islam sendiri adalah tauhid, yang menjelaskan hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Menurut Mulia (2010) Islam sangat vokal dalam menekankan pentingnya penghormatan kepada sesama manusia. Semua manusia memiliki nilai kemanusiaan yang sama. Tidak ada yang membedakan nilai manusia kecuali prestasi takwanya. Sedangkan persoalan takwa, yang berhak menilai hanya Allah semata, bukan manusia. Oleh karena itu, perbuatan seperti mendiskreditkan LGBT tidak sepantasnya dilakukan oleh manusia kepada manusia lainnya. Pengkajian masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kritis. Penekatan ini menempatkan wacana sebagai power (kekuasaan) (Asher dan Simpson 1994:940) atau memandang wacana sebagai sebuah 335 cerminan dari relasi dalam masyarakat. Pendekatan kritis memahami wacana sebagai bentuk praktik sosial. Dalam praktik sosial, seseorang selalu mempunyai tujuan berwacana, termasuk tujuan untuk menjalankan kekuasaan. Data dalam penelitian ini dijaring dengan menggunakan metode pustaka, yaitu menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperole data (Subroto 1992:42). Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan wacana (anti) korupsi dalam tajuk pada surat kabar berbahasa Indonesia. Selain itu, peneliti juga menggunakan metode simak (Sudaryanto 1993: 5) dan dilanjutkan dengan teknik catat. Dalam hal ini, peneliti mengamati setiap rubrik tajuk pada surat kabar berbahasa Indonesia. Adapun data penelitian berupa penggalan wacana persoalan LGBT dalam tajuk pada surat kabar berbahasa Indonesia. Surat kabar yang dijadikan sumber data fisik berupa tiga surat kabar nasional, yaitu SINDO. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode. Penggunaan metode yang lebih dari satu ini disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang akan diungkap. Adapun metode yang digunakan adalah metode padan dan metode partisipatif. Metode yang digunakan dalam rangka mengurai konteks wacana persoalan LGBT pada surat kabar SINDO adalah metode padan. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu dengan daya pilah pragmatis. Sementara itu, untuk mengungkap sikap surat kabar terhadap pemahaman korupsi di Indonesia digunakan metode partisipatif, yaitu metode yang mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai partisipan dalam proses transformasi sosial. Dalam hal ini, setiap pertuturan atau penggunaan wacana selalu diasumsikan ada penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, peneliti menempatkan diri sebagai penerima tutur yang menafsirkan wacana tajuk dalam surat kabar berbahasa Indonesia. II. PEMBAHASAN 2.1 Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough 2.1.1 Analisis Mikro Pemberitaan “Pro Kontra Berita LGBT” Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan oleh media Indonesia dalam pemberitaan “Jurnalis mempermasalahkan mengenai Israel”, terdapat tiga alat yang menandai representasi tema dan tokoh yang terlibat dalam pemberitaan tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, 336 penggunaan kalimat luas sebab akibat, dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari aspek kebahasaan tersebut. (1) Terkait temuan itu, KPID DKI akan meningkatan pengawasan tayangan yang belakangan mulai marak di sejumlah program televisi, terutama program bertema variety show. (2) “Sanksi akan kami jatuhkan jika lembaga penyiaran terbukti masih menyiarkan tayangan mengarah ke perilaku menyimpang LGBT pada programnya,” ujar Puji. Contoh data (1) – (2) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, SINDO memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal dan akan. Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara sematik leksikal, makna kata bakal yang berarti ‘sesuatu yang akan menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan memiliki makna yang lebih netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’. (3) "Mereka adalah saudara kita, anak-anak kita, dan bagian dari generasi bangsa yang harus mendapatkan perhatian dan pelayanan untuk sembuh dan direhabilitasi. Kita yakin perilaku LGBT serta kecanduan/ketergantungan pada miras dan narkoba bisa disembuhkan," tuturnya. (4)"Mereka tidak pernah memberlakukan undang-undang yang Travel Insurance Direct. Sedangkan contoh data (3) dan (4) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana tersebut. Kata ganti yang digunakan antara lain kita dan mereka. kata ganti mereka merujuk pada LGBT dan kita pada Fraksi PKS (3) sedangkan (4) mereka merujuk pada LGBT (5) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengaku serius mengawal agar perilaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) serta peredaran bebas minuman keras (Miras) menjadi objek terlarang dalam undang-undang (UU). (6) Dia melanjutkan, tanpa disadari bahwa penyebaran LGBT, miras dan narkoba sudah sangat luas dan mengkhawatirkan bahkan menjadi ancaman serius bagi ketahanan bangsa. 337 Sedangkan contoh data (5) dan (6) merupakan contoh data konjungsi koordinatif karena ditandai dengan konjungsi dan, serta yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat. (7) Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini mengatakan bahwa pelarangan perilaku LGBT melalui revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sementara miras melalui RUU Pelarangan Minuman Beralkohol. (8) Kita bangsa yang berketuhanan dan beradab sesuai adat ketimuran. LGBT dan miras jelas bukan budaya kita, bukan Indonesia banget," katanya (kohesi gramatikal). Sedangkan contoh data (7) dan (8) merupakan contoh data kohesi leksikal yaitu repetisi ditandai dengan kata (7) pelarangan dan (8) bukan. (9) Rizky menjelaskan, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran KPI Nomor 203/K/KPI/02/2016, lembaga penyiaran diminta untuk tidak (negasi) memberikan ruang yang menampilkan praktik, perilaku, dan promosi LGBT. (10) Kita bangsa yang berketuhanan dan beradab sesuai adat ketimuran. LGBT dan miras jelas bukan budaya kita, bukan Indonesia banget," katanya (kohesi gramatikal). Selain itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan praanggapan negasi dengan kata tidak dan bukan. 2.1.2 Analisis Meso Pemberitaan “Pro Kontra Berita LGBT” SINDOnews merupakan situs berita online yang secara resmi berdiri pada 4 Juli 2012, di bawah manajemen PT. Media Nusantara Dinamis. SINDOnews memiliki tagline "Sumber Informasi Terpercaya", menyajikan informasi yang selaras dengan Sindo Media dan melakukan sinergi pemberitaan dengan semua media di MNC Group, seperti Koran Sindo, Sindo TV, Sindo Trijaya FM, Sindo Weekly, Okezone, MNC TV, RCTI, Global TV, dan MNC Channel. SINDOnews memberikan akses informasi secara mudah, cepat, akurat, dan berkualitas kepada masyarakat luas. Berita yang dikemas dalam portal berita ini lebih mengarah kepada khalayak yang ingin membaca berita secara cepat, akurat, dan efisien. Berita disajikan lebih singkat dan mudah bagi para pengunjung kapan saja dan dimana saja. Kategori pemberitaan berupa informasi seputar Nasional, Metronews, Daerah, Ekonomi dan Bisnis, International, Sports, Soccer, dan Autotekno. SINDOnews juga menyajikan informasi berbentuk multimedia seperti Sindo Photo, Sindo Video, dan Live TV MNC Media. 338 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa SINDO merupakan harian umum yang dapat mempengaruhi opini masyarakat Indonesia dengan cukup luas. Rangkaian produksi teks di SINDO juga bukan hanya merupakan rangkaian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal, dan lain-lain. Realisasi teks yang dihasilkan SINDO khususnya dalam hal pemberitaan Jurnalis Mempermasalahkan Mengenai Israel ini juga dinilai selaras dengan visi yang diemban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling berpengaruh. 2.1.3 Analisis Makro Pemberitaan “Pro Kontra Berita LGBT” Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan Pro Kontra Berita LGBT ini tidak dapat dilepaskan kontkes yang membangun pemberitaan tersebut. Meski tidak berkaitan secara langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan oleh SINDO, erat kaitannya dengan eksistensi media massa dalam mengupas hal yang berkaitan dengan kaum LGBT. Dalam sudut pandang andragogi manusia atau orang dewasa belajar dari aspek kebutuhan dan bukan dorongan dari luar. Jadi diharapkan manusia berfikir kembali dan mengambil kembali atau mengakulturasi budaya dan apa yang dia lihat ditelevisi. Maslah LGBT muncul dari pola asuh orang tua yang tidak membedakan bagaimana mendidik anak laki-laki dan perempuan serta tidak mengawasi secara intensif pergaulan anak di rumah maupun di luar rumah. III. SIMPULAN Dalam mengidentifikasi gender telah dijelaskan bahwa yang diakui sebagai gender yang ada di dunia itu adalah laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial mengenai seksualitas atau gender bebas ini diperkuat dengan bantuan media sebagai salah satu pemilik kuasa dalam membentuk opini masyarakat melihat bahwa perkembangan media selama tahun 1980 hingga awal tahun 1990 memiliki kesamaan di mana media tidak pernah memberikan gambaran positif tentang seksualitas orang-orang yang tidak berada dalam heteronormitas. Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender contohnya, mereka digambarkan dekat dengan aktifitas kriminal, prostitusi, obat terlarang, sex bebas dan penyimpangan. Pembuat berita adalah salah satu pemain penting dalam memasukkan idealisme yang dianggap normal ini. Penggunaan kata ‘sakit’ biasanya 339 merujuk pada LGBT dan media massa membuat munculnya rasa tidak suka mengarah kebencian kepada mereka. Daftar Pustaka Ancok, Jamaludin dan Suroso. 2001. Psikologi Islami: Solusi atas Problemproblem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Asher, R.E. dan J.M.Y. Simpson. 1994. The Encyclopedia of Language and Linguistics. Oxford: Pergamon Press. Blackwood, E. (2005). Regulation of Sexuality in Indonesian Discourse: Normative Gender, Criminal Law and Shifting Strategies of Control. Francisco: Taylor&Francis. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UIPress). Locke, J. (1960). The Philosophy of Human Right. St. Paul: Paragon House. Sanger, S. H. (2010). Transgender Identities: Towards a Social Analysis of Gender Diversity. New York: Routledge. Mulia, Siti M. 2010. Islam dan Homoseksualitas : Membaca Ulang Pemikiran Islam. Dalam Jurnal Gandrung, Vol.1 No.1 Juni 2010. Subroto. 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis). Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tan, Ah-Hwee, 1999, Text Mining: The state of the art and the challenges, Kent Ridge Digital Labs 21 Heng Mui Keng Terrace Singapore. 340 HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan 1. Apakah analisis meso di dalam analisis saudara sudah berterima dengan judul ? Coba jelaskan alasannya ! 2 Mengapa di Indonesia kaum LGBT tidak bisa diakui secara legal ? 3. Apakah semua wacana di SINDO memojokkan kaum LGBT ? Apa tidak ada sisi pembelaannya ? Jawaban 1. Analisis meso di dalam analisis saya sudah berterima atau sejalan dengan judul yang ada. 2. Karena mayoritas penduduk yang tinggal di Indonesia memeluk agama Islam dan dalam ajaran Islam tidak ada selain kaum perempuan dan laki-laki. 3. Secara keseluruhan wacana yang terdapat di sindonews.com mengangkat berita kontra terhdap kaum LGBT baik dari anggota partai politik hingga kaum ulama yang ada di Indonesia. 341 ETNOSEMANTIK NAMA-NAMA MAKANAN KHAS BELANDA Lidwina C. Maya Y. ABSTRAK Bahasa dapat menjadi cerminan dan tutunan menuju realitas budaya penuturnya. Melalui bahasa, seseorang dapat mengeksplorasi kekayaan budaya, kecenderungan berpikir, dan warisan adiluhur penuturnya. Sebagai benda budaya dan dikonsumsi secara reguler, makanan khas Belanda secara tidak langsung dapat mengungkapkan budaya pemiliknya, termasuk cara memandang jenis makanan tertentu dan tradisi-tradisi yang dipelihara dan dihidupi hingga saat ini. Selain menguraikan bentuk dan maknanya, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui relasi antara bahasa Belanda yang digunakan dalam nama-nama makanannya dan budaya yang dilanggengkan oleh masyarakatnya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan etnosemantik untuk dapat mengungkapkan budaya masyarakat Belanda di balik nama-nama makanan khasnya. Data dikumpulkan melalui wawancara dan penyadapan data tertulis, kemudian dianalisis dengan metode padan translasional dan metode etnosemantik. Secara morfologis, nama-nama makanan tersebut memiliki dua bentuk, yaitu bentuk tunggal dan majemuk. Selain itu, ditemukan pula bahwa roti memiliki lebih banyak leksikon daripada bahan makanan lainnya sehingga dapat disimpulkan bahwa roti berperan penting dalam budaya konsumsi masyarakat Belanda. Keempat musim dengan ketersediaan bahan makanan dan perayaan turun-temurun juga menambah variasi makanan. Hal tersebut bersumber dari pandangan hidup masyarakat Belanda yang disebut gezelligheid, yaitu kehangatan, keramahan, dan perasaan nyaman untuk menikmati momen. Kata kunci: makanan tradisional, bentuk kebahasaan, bahasa dan budaya, gezelligheid. PENDAHULUAN Bahasa, menurut Duranti, merupakan alat intelektual yang paling fleksibel dan berdaya guna yang dikembangkan manusia. Salah satu dari berbagai fungsinya adalah kemampuannya untuk mencerminkan dunia 342 dan dirinya sendiri (1997:7). Seseorang dapat mengetahui bahwa suatu benda pada suku bangsa tertentu memiliki arti penting dalam kebudayaannya karena benda tersebut diberi label nama tersendiri yang tidak ada dalam budayanya. Secara lebih lanjut, Sibarani (2004:61) menyatakan bahwa segala yang ditangkap panca indra dan tanggapan manusia terhadapnya terwujud dalam kata dan menjadi kekayaan perbendaharaan suatu bangsa. Tanggapan tersebut dapat berbeda-beda antara suku bangsa satu dengan suku bangsa yang lain, sehingga tidak dapat serta-merta diterjemahkan dari bahasa satu ke bahasa lain. Demikian pula dengan nama-nama makanan khas suku bangsa tertentu. Sebagai kebutuhan primer manusia, makanan pun dapat menjadi benda budaya. Ungkapan “you are what you eat” juga bisa berarti bahwa makanan dapat menjadi identitas budaya seorang pendukung kebudayaan tertentu. Jenis makanan dengan varian terbanyak dapat menjadi indikasi bahwa makanan tersebut memegang peranan penting dalam budaya konsumsi masyarakat Belanda. Dalam hal ini, roti merupakan jenis makanan dengan varian terbanyak. Dari sembilan klasifikasi jenis-jenis roti yang dikenal masyarakat Belanda, makalah ini hanya akan membahas jenis-jenis roti berdasar pada jenis tepung yang menjadi bahan bakunya. Melalui jenis-jenis, klasifikasi, dan nama-nama makanan, gambaran kehidupan sebuah suku bangsa dapat diperoleh. Makalah ini membahas bentuk dan makna nama-nama makanan khas Belanda, klasifikasi jenisjenis roti, dan pandangan hidup yang tercermin melalui nama-nama makanan khas Belanda. LANDASAN TEORI 1. Bentuk Satuan Kebahasaan Nama makanan khas Belanda seluruhnya merupakan kelas kata nomina. Menurut Kridalaksana (via Putrayasa, 2008:49—50), berdasar pada bentuknya nomina secara morfologis dapat dibagi menjadi nomina dasar dan nomina turunan. Yang pertama berarti bahwa nomina tersebut berupa morfem dasar bebas, misalnya nama makanan prol ‘sup bawang brabant’ dan rolpens ‘daging dan babat cincang dalam usus sapi rebus’. Nomina turunan merupakan nomina yang terbentuk dari proses morfologis. Nama makanan yang termasuk dalam nomina turunan misalnya boterkoek ‘kue mentega’ dan tomatensoep ‘sup tomat’ yang merupakan hasil pemajemukan. Nama-nama makanan tradisional Belanda 343 yang berupa bentuk majemuk merupakan bentuk majemuk nomina. Bentuk majemuk nomina memiliki kemungkinan berupa gabungan antara nomina-nomina, adjektiva-nomina, verba-nomina, preposisi-nomina, adverbia-nomina, pembilang-nomina, dan frase nomina-nomina (Booij, 2002:142). 2. Etnosemantik Setiap indra manusia dapat merasakan alam sekitarnya, namun mereka mempersepsinya dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, benda-benda yang dianggap penting akan memiliki leksikon lebih banyak. Kata-kata dengan makna budaya khusus menggambarkan dan menyampaikan karakteristik dan cara berpikir mereka. Kata-kata tersebut merupakan perangkat konseptual yang menggambarkan pengalaman masa lalu sebuah masyarakat dalam melakukan suatu hal dan berpikir mengenai berbagai hal dengan cara terentu (Wierzbicka, 1997:5). Dengan demikian, kata-kata budaya tertentu dapat mengungkapkan kehidupan penuturnya sebab kekayaan budaya memiliki pengaruh terhadap kekayaan kosa kata. METODE PENELITIAN Data berupa nama-nama makanan dikumpulkan melalui penyadapan dari buku-buku resep masakan Belanda dan situs penyedia informasi jenis-jenis roti yang dikenal masyarakat Belanda. Setelah terkumpul, data diklasifikasikan berdasar pada bentuknya, yaitu data berupa bentuk tunggal dan turunan. Data berupa nama-nama roti diklasifikasikan berdasar pada jenis tepung yang dibuat sebagai bahan baku. Untuk mengetahui bentuk dan makna nama-nama makanan tersebut, digunakan pendekatan translasional. Kemudian, untuk mengetahui hubungan antara nama-nama makanan dan budaya Belanda, digunakan pendekatan etnosemantik, yaitu memadukan studi semantik dengan budaya pada suku bangsa tertentu sehingga suatu bahasa dapat diketahui lebih dalam dengan cara menghubungkannya dengan pandangan budaya masyarakat penuturnya. 344 PEMBAHASAN 1. Bentuk Satuan Kebahasaan 1.1 Bentuk Tunggal Bentuk tunggal merupakan bentuk yang belum mengalami proses morfologis. Nama-nama makanan yang merupakan bentuk tunggal antara lain sebagai berikut. (1) Prol ‘sup bawang ala Brabant’ (Eenschooten dan Matze, 2015:47) (2) Rolpens ‘daging dan babat sapi cincang’ (Renier, 1961:246) (3) Zult ‘otot hewan’ (Renier, 1961:324); ‘acar dari otot hewan sisa penjagalan’ Walaupun nama-nama makanan tersebut memiliki padanan kata bahasa Indonesia bukan berupa kata, namun satuan bahasa sumbernya yang menjadi acuan klasifikasi. Kata rolpens bukan berasal dari afiksasi jamak rolpen + -s, melainkan kata dasar dan tidak memiliki bentuk jamak (tidak dapat dilekatkan sufiks jamak –en atau –s). 1.2 Bentuk Turunan Bentuk majemuk nomina dalam nama-nama makanan tradisional Belanda berkonstruksi nomina-nomina dan adjektiva-nomina. Pada konstruksi nomina-nomina terdapat bentuk nomina deverba, yaitu pada kata gestoofde, gebakken, dan gekookte. Ketiga nomina tersebut masing-masing memiliki kata dasar stoven ‘merebus’ (Renier, 1961:268), bakken ‘memanggang’ (Renier, 1961:28), dan kook ‘merebus’ (Renier, 1961:163). Hasil konversi nomina menandakan jenis hal yang masih berkaitan dengan input verbanya. Prefiks ge- yang menurunkan nomina menunjukkan sesuatu yang duratif (kontinyu) atau iteratif (hal yang berulang) (Broekhuis dan Keizer, 2012:48—49). Hal tersebut sesuai karena untuk membuat makanan itu, proses yang dilakukan tidak bisa diganti dan terus diulang untuk mereproduksinya. Nama-nama makanan tradisional Belanda dengan bentuk majemuk adalah sebagai berikut. gestoofde ‘rebus’ + aal ‘belut’ (4) [[gestoofde N][aal N]]N (Renier, 1961:1) belut rebus tomaten ‘tomat’ (Renier, (5) [[tomaten N][soep N]]N 1961:279) + soep ‘sup’ 345 (Renier, 1961:260) sup tomat (6) [[gebakken N][schol N]]N gebakken ‘panggang’ + schol ‘ikan pipih’ (Renier, 1961:252) ikan pipih panggang (7) [[gekookte N][mosselen N]]N gekookte ‘rebus’ + mosselen > mossel ‘kerang’ (Renier, 1961:192) + -en penanda jamak kerang rebus Prefiks ge- pada nomina deverba gestoofde, gebakken, dan gekookte merupakan proses yang wajar dalam derivasi bahasa Belanda. Bentuk nominalisasi dengan prefiks ge- masih memiliki hubungan dengan verba sumbernya (Broekhuis dan Keizer, 2012:75). Dengan demikian, gestoofde yang berasal dari verba stoven memiliki makna ‘rebus’, gebakken yang berasal dari verba bakken memiliki makna ‘panggang’, dan gekookte dari verba kook ‘rebus’. Dalam bentuk majemuk bahasa Belanda, konstituen paling kanan menjadi head dan secara sintaksis menentukan kelas kata bentuk tersebut. Misalnya pada kata aardappelspekkoek yang bila diuraikan menjadi aardappel ‘kentang’ (Renier, 1961:8), spek ‘daging babi asap’ (Renier, 1961:261), dan koek ‘kue’ (Renier, 1961:161). Kata yang menjadi head pada bentuk tersebut ialah koek sehingga kata koek membentuk keseluruhan makna bentuk majemuk tersebut dan sekaligus menentukan kelas katanya. Dengan demikian, aardappelspekkoek dipastikan merupakan sebuah nomina untuk menamai kue yang berbahan kentang dan daging babi asap. 2. Nama-nama Jenis Roti berdasar pada Tepung yang menjadi Bahan Baku Berdasar pada jenis tepung yang menjadi bahan baku pembuatannya, roti dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu witbrood ‘roti putih’ yang berbahan baku tepung terigu, roggebrood ‘roti gandum hitam’, dan volkorenbrood ‘roti utuh’ yang berbahan baku tepung gandum utuh. Nama roti Casino Knipwit Stokbrood wit Jenis W R Bentuk V kotak lonjong + + + - + - + + - Warna Coklat tua - Coklat muda - Taburan bijibijian - 346 lainnya - Brabantse rogge Fries rogge Gelders rogge Fijn volkoren Supervolkor en Zonnepit volkoren - + - + - - + - - - + + - + + - + + - - - - - + + - + - - + - - + + - + - + - - - + + - + - + - 3. Cerminan Budaya Belanda melalui Makanan Tradisional Melalui nama-nama makanannya, terdapat dua hal yang menjadi cerminan budaya Belanda. Kedua hal tersebut bersumber dari prinsip hidup orang Belanda yang disebut gezelligheid. Menurut de Rooij, gezelligheid merupakan konsep abstrak yang dapat diartikan sebagai suasana yang nyaman dan kegiatan yang menyenangkan yang dihabiskan oleh teman yang tepat. Gezelligheid dapat juga diartikan sebagai rasa kerumahtanggaan. Masyarakat Belanda akan berusaha sebisa-bisanya untuk membuat rumahnya nyaman sehingga nyaman pula untuk berkumpul. Namun demikian, gezelligheid juga dapat ditemukan di luar rumah. Misalnya, kafe yang nyaman, duduk di atas rumput saat musim panas, atau sekadar memberi makan bebek di sungai (de Rooij, 2009:70). Usaha untuk merasakan kenyamanan pun dilakukan dengan memilih mengolah bahan makanan yang tersedia pada musim tertentu. Misalnya, prol yang merupakan makanan khas musim panas dibuat dengan daun bawang yang hanya tumbuh pada musim panas. Contoh lain ialah zult yang dibuat dari sisa-sisa daging yang dijagal pada musim gugur. Memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia dari alam untuk membuat berbagai jenis makanan juga termasuk membuat suasana menjadi gezellig karena bahan makanan yang tersedia pun dapat menjadi ‘bahan tempur’ menghadapi perbedaan suhu dan keadaan cuaca pada tiap musim. Selain itu, berbagai nama untuk tiap jenis roti menandakan bahwa roti memiliki peran penting dalam budaya konsumsi masyarakat Belanda. Hal tersebut sejalan dengan data yang dikumpulkan Dutch National Food Consumption Suvery (DNFCS) bahwa pada 2007—2010, 347 masyarakat Belanda memperoleh sebagian besar sumber energi mereka dari roti (Geurts dkk, 2016:25). Harga roti yang cukup terjangkau juga membuat tingkat konsumsinya tinggi. Satu kilogram roti putih diberi harga rata-rata 2 euro pada tahun 2016 (globalprice.info). Karena roti dapat dikatakan sebagai sumber energi pokok, bentuk, ukuran, jenis, cita rasa, dan bahan baku pembuatannya pun bervariasi sehingga dapat memenuhi selera dan kebutuhan masyarakat. KESIMPULAN Berdasar pada hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa makanan khas Belanda termasuk dalam kelas kata nomina dan memiliki bentuk tunggal dan majemuk. Bentuk tunggal artinya belum mengalami proses morfologis apapun, contohnya prol dan zult. Bentuk majemuk yang ditemukan merupakan gabungan antara nomina dan nomina. Dalam budaya konsumsinya, masyarakat Belanda mengenal berbagai jenis roti yang dapat dimakan dengan sumber energi lain, misalnya keju, telur, daging asap, atau selai. Berdasar pada jenis tepung yang digunakan sebagai bahan baku, roti memiliki tiga jenis klasifikasi, yaitu witbrood, roggebrood, dan volkorenbrood. Berdasar pada analisis bentuk kebahasaan dan munculnya berbagai nama untuk tiap-tiap jenis roti, makanan khas Belanda dapat mengungkapkan budaya masyarakat pemiliknya, yaitu gezelligheid. Makanan dapat menjadi jembatan sekaligus pendukung suasana gezellig. Selain itu, nama-nama untuk setiap jenis roti menandakan bahwa roti berperan penting dalam budaya konsumsi masyarakat Belanda, yaitu sebagai sumber energi harian yang mudah dan murah. DAFTAR PUSTAKA Booij, Geert. 2002. The Morphology of Dutch. New York: Oxford University Press. Broekhuis, Hans dan Evelien Keizer. 2012. Syntax of Dutch: Noun and Noun Phrase Volume 1. Amsterdam: Amsterdam University Press. de Rooij, Martin. 2009. The Dutch, I presume?. Alphen aan de Rijn: N&L Publishing. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. 348 Eenschooten, Constance dan Hélène Matze. 2015. De Hollandse Keuken/Dutch Cuisine. Alphen aan de Rijn: Atrium. Geurts, M. dkk. 2017. Food Consumption in the Netherlands and Its Determinants. Bilthoven: National Institute for Public Health and the Environment. Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi: Bentuk Derivasional dan Infleksional. Bandung: Refika Aditama. Renier, Fernand G. 1961. Dutch-English and English-Dutch Dictionary. London: Butler & Tanner Ltd. Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi LinguistikLinguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda. Wierzbicka, Anna. 1997. Understanding Culture Through Their Keywords. New York: Oxford University Press. Daftar Laman globalprice.info diakses pada 16 April 2018 pukul 8.33 349 PENILAIAN TERHADAP HASIL TERJEMAHAN “IDIOM” DALAM NOVEL FIFTY SHADES FREED DENGAN MESIN TERJEMAH Oleh : Masita Taufiqi Kholida Universitas Gadjah Mada machtazia@yahoo.com ABSTRAK Artikel ini berfokus pada produk terjemahan, yakni berupa hasil terjemahan idiom dengan mesin terjemah. Data diambil dari idiom yang terdapat dalam novel fifty shades freed karya EL James. Adapun mesin terjemah yang digunakan adalah google translate, bing microsoft translator dan sederet.com. Jenis penelitian ini adalah deskriptif komparatif, dimana dilakukan proses perbandingan antara hasil terjemahan mesin satu dengan yang lainnya, untuk melihat mesin manakah yang mampu menerjemahkan idiom dengan lebih baik. Dalam proses penilaiannya digunakan tiga konsep penilaian terhadap kualitas hasil terjemahan, yaitu keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan. Hasilnya telah ditemukan sebanyak 71 idiom dengan hasil terjemah google translate lebih baik jika dibandingkan dengan dua mesin terjemah lainnya. Keywords : idiom, fifty shades freed, deskriptif komparatif, keakuratan, keterbacaan, keberterimaan PENDAHULUAN Kategori penerjemahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah translation. Penerjemahan dengan menggunakan medium bahasa tulis; teks BSu dalam bentuk bahasa tulis diterjemahkan menjadi teks Bsa yang juga dalam bentuk bahasa tulis.3 Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran (Newmark:2001). Melihat bagaimana sarana informasi dan komunikasi dewasa ini telah sangat dimudahkan oleh kecanggihan teknologi yang luar biasa mumpuni, maka tersedialah beragam sarana yang mampu mempermudah dalam bidang komunikasi 3 Eko Setyo Humanika, Mesin Penerjemah: Suatu Tinjauan Linguistik (Yogyakarta: UGM Press, 2002), hlm. 2. 350 seperti mesin terjemah. Hal ini sangat membantu para penutur yang tidak saling memahami bahasa dari lawan tuturnya. Terdapat banyak sekali fasilitas mesin penerjemah online yang menyediakan layanan penerjemahan dari berbagai bahasa, seperti google translate,dll. Namun jika kita telisik lebih jauh tentang bagaimana keakuratan sebuah makna yang telah diterjemahkan oleh mesin penerjemah tersebut apakah sudah benar, akurat dan mudah untuk dipahami ? Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebagai data adalah beberapa idiom yang terdapat dalam novel fifty shades freed karya EL James. Novel ini merupakan buku ketiga dari trilogi fifty shades series. Adapun mesin terjemah yang akan dijadikan sebagai sarana dalam proses penerjemahan adalah free online translation machine berupa google translate, bing microsoft translator, dan sederet.com. Mesin google translate diambil karena merupakan produk mesin terjemah dari salah satu perusahaan terbesar di dunia yakni google. Sedangkan bing microsoft translator merupakan produk mesin terjemah dari salah satu perusahaan terbesar di dunia juga, yakni microsoft. Sedangkan sederet.com merupakan produk mesin terjemah online karya anak bangsa, yakni asli Indonesia. Ketiganya adalah mesin yang pastinya memang tidak menerjemahkan dengan sempurna seperti human translation, namun dari ketiga mesin tersebut peneliti yakini akan ada satu mesin yang dapat menerjemahkan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan dua mesin lainnya. Untuk itu perlu diberikan penilaian terhadap hasil terjemahan dari ketiga mesin tersebut. Menurut Larson (1991:532) terdapat tiga alasan dalam menilai suatu hasil terjemahan, yakni keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan. a. Keakuratan Pada tahap ini penilaian berfokus pada ; - Apakah pesan dari bahasa sumber dapat tersampaikan dengan baik dalam bahasa sasaran ? Apakah makna yang ditangkap oleh pembaca teks sumber sama dengan makna yang ditangkap oleh pembaca teks sasaran ? 351 Jika pesan dapat tersampaikan dengan baik, respon juga dapat terlihat sama oleh pembaca teks sumber dan teks sasaran, maka tingkat keakuratan terjemahannya adalah baik. b. Keterbacaan Fokus pada tahap ini adalah pada ; - Apakah pembaca teks bahasa sasaran dapat mengerti dan memahami hasil terjemahan tersebut dengan baik ? Apakah teks tersebut memberikan kejelasan yang dibutuhkan oleh pembaca teks bahasa sasaran ? Artinya teks terjemahan tersebut dapat dipahami dan dimengerti. BSa yang digunakan adalah bahasa yang elegan, sederhana dan mudah dipahami. c. Keberterimaan Penilaiannya adalah pada : - - Apakah terjemahannya wajar (natural) atau tidak ? Apakah terjemahannya mudah dibaca dan menggunakan tata bahasa dan gaya yang wajar atau lazim sesuai dengan tata bahasa atau gaya yang digunakan oleh penutur bahasa sasaran ? Apakah hasil terjemahannya alami atau kaku ? Maksudnya adalah hasil terjemahan tidak menyadur sifat-sifat bahasa asal, yakni tidak mempertahankan bentuk bahasa sumber sehingga isi dan kesan berita tidak rusak. Untuk penilaian terhadap masing-masing kategori tersebut, peneliti menggunakan nilai angka berikut: - - 3 untuk terjemahan yang sempurna 2 untuk terjemahan yang nyaris sempurna 1 untuk terjemahan yang memiliki persentase ketidaksesuaian hasil terjemahan yang lebih besar jika dibandingkan dengan hasil terjemahan yang sesuai 0 untuk terjemahan yang sama sekali tidak sesuai. 352 Jenis metode dalam penelitian ini adalah deskriptif komparatif yang membandingkan hasil terjemahan satu dengan lainnya. Jadi setelah mendapatkan hasil terjemah dan hasil poin nilai dari ketiga mesin tersebut, lalu dibandingkan mesin mana yang mampu menerjemahkan dengan lebih baik. ANALISIS Data-data idiom tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dengan ketiga mesin tersebut serta diberikan penilaian yang berorientasi pada keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan. Berikut beberapa contoh data yang telah dianalisis : 353 a. Dengan google translate : NO IDIOM 1 HALAM AN 14 2 14 A wake up call 3 15 4 15 I thought we were going to make love in the sea And chalk up yet another first 5 15 6 16 7 17 I lose my train of thought Put that in your pipe and smoke it, Grey ! Who knew that even Elliot could scrub up so well ? Mary in haste, repent at leisure GOOGLE TRANSLATE Saya kehilangan pikiran saya Panggilan bangun Saya pikir kami akan bercinta di laut Dan buat yang pertama lagi Taruh itu di pipamu dan asap itu! Siapa yang tahu bahkan Elliot bisa menggosoknya dengan baik? Maria dengan tergesa-gesa, bertobat di waktu luang NOVEL TERJEMAHAN Aku kehilangan alur pikiranku KEAKURATAN KETERBACAAN KEBERTERIMAAN NILAI √ √ x 2 panggilan untuk bangun Aku pikir kita akan bercinta di laut √ √ x 2 √ √ 3 Dan membuat keberuntungan pertama lainnya Rasakan itu, grey! √ √ √ 3 x x x 1 Siapa yang tahu bahkan Elliot bisa terlihat sangat keren √ √ √ 2 Menikah terburuburu, menyesalinya saat di waktu luang x x x 0 √ 354 8 20 Jeez, can my fifty shades sulk... 9 20 Kate rolls her eyes and tactfully moves away to leave us alone 10 20 Look after my girl, Christian 11 21 He leaves it on the threshold 12 23 Buckle up! 13 24 Holy cow... another first Astaga, bisakah lima puluh warnaku merajuk ... Kate memutar matanya dan dengan bijaksana bergerak pergi meninggalkan kami sendirian Perhatikan gadis saya, Christian Dia meninggalkann ya di ambang pintu Sabuk pengaman! Sapi suci ... yang lain dulu 14 24 15 26 He takes my breath away He sits back on his heels, and leaning forward I grap his tie Dia mengambil napasku Dia duduk kembali di tumitnya, dan mencondongka Tuhan, bisakah fifty shadeku merajuk.. √ √ √ 3 Kate memutar matanya dan dengan bijak pergi menjauh untuk meninggalkan kami sendiri √ √ √ 3 Jaga anak gadisku, Christian √ √ √ 2 Dia meninggalkannya di ambang pintu √ √ √ 3 Pasang sabuk pengamanmu! Sialan.. hal pertama yang lainnya. Dia membuatku sesak napas Dia berlutut kembali, dan condong ke depan √ x √ 2 x √ x 0 √ √ √ 2 √ √ √ 2 355 16 28 TOTAL NILAI No! Damn! n tubuh ke depan, aku menggenggam dasinya Tidak! Mengutuk! saat aku merenggut dasinya Tidak! Sialan! √ x x 2 32 356 b. Dengan bing microsoft translator : NO HALAM AN IDIOM 1 14 I lose my train of thought 2 14 A wake up call 3 15 4 15 I thought we were going to make love in the sea And chalk up yet another first 5 15 Put that in your pipe and smoke it, Grey ! 6 16 Who knew that even Elliot could scrub up so well ? BING MICROSOFT TRANSLATOR Saya kehilangan saya melatih pemikiran Panggilan bangun Saya pikir kita akan membuat cinta di laut NOVEL TERJEMAHAN KEAKURATAN KETERBACAAN KEBERTERIMAAN NILAI Aku kehilangan alur pikiranku x x x 0 panggilan untuk bangun Aku pikir kita akan bercinta di laut √ √ 2 x √ √ 2 Dan kapur pertama lagi Dan membuat keberuntungan pertama lainnya Rasakan itu, grey! x x x 0 x x x 0 Siapa yang tahu bahkan Elliot bisa terlihat sangat keren x √ √ 2 Menempatkan bahwa dalam pipa Anda dan asap itu Siapa yang tahu bahwa bahkan Elliot bisa menggosok begitu baik? √ 357 7 17 Mary in haste, repent at leisure 8 20 Jeez, can my fifty shades sulk... 9 20 Kate rolls her eyes and tactfully moves away to leave us alone 10 20 Look after my girl, Christian 11 21 He leaves it on the threshold 12 23 Buckle up! Maria dalam tergesa-gesa, bertobat diwaktu Luang Astaga, dapat saya nuansa lima puluh khodamnya... Kate gulungan matanya dan bijaksana menjauh untuk meninggalkan kami sendirian Terlihat setelah gadis saya, Kristen Dia meninggalkanny a di ambang pintu GESPER U! 13 24 14 24 15 26 Holy cow... another first He takes my breath away He sits back on his heels, and Sapi suci... lain pertama Dia mengambil napas Dia duduk kembali di Menikah terburuburu, menyesalinya saat di waktu luang x x x 0 Tuhan, bisakah fifty shadeku merajuk.. x x x 0 Kate memutar matanya dan dengan bijak pergi menjauh untuk meninggalkan kami sendiri x x x 1 Jaga anak gadisku, Christian x x x 0 Dia meninggalkannya di ambang pintu √ √ √ 3 Pasang sabuk pengamanmu! Sialan.. hal pertama yang lainnya. Dia membuatku sesak napas Dia berlutut kembali, dan x x x 0 x x x 0 x √ √ 1 x x x 1 358 leaning forward I grap his tie 16 28 TOTAL NILAI No! Damn! tumitnya, dan bersandar ke depan saya grap dasi Tidak! Sialan! condong ke depan saat aku merenggut dasinya Tidak! Sialan! √ √ √ 3 15 359 c. Dengan sederet.com NO 1 HALAM AN 14 2 14 3 15 4 15 5 15 6 16 7 17 IDIOM SEDERET.COM I lose my train of thought A wake up call Aku kehilangan saya melatih Panggilan bangun I thought we were going to make love in the sea And chalk up yet another first Put that in your pipe and smoke it, Grey ! Who knew that even Elliot could scrub up so well ? Saya kira kita mau untuk bercinta di laut Mary in haste, repent at leisure Dan kapur up namun lain pertama kali Menaruh bahwa dalam pipa-mu dan asap itu, Grey! Yang meyakini bahwa Elliot menggosok bahkan bisa sampai begitu yah? Mary di tergesagesa, bertobat di waktu luang NOVEL TERJEMAHAN Aku kehilangan alur pikiranku panggilan untuk bangun Aku pikir kita akan bercinta di laut KEAKURATAN KETERBACAAN KEBERTERIMAAN NILAI x x x 0 √ √ 2 x √ √ 2 Dan membuat keberuntungan pertama lainnya Rasakan itu, grey! x x x 0 x x x 0 Siapa yang tahu bahkan Elliot bisa terlihat sangat keren x √ x 1 Menikah terburuburu, menyesalinya saat di waktu luang x x x 0 √ 360 8 20 9 20 10 20 11 21 12 23 13 24 14 24 15 26 16 28 TOTAL NILAI Jeez, can my fifty shades sulk... Kate rolls her eyes and tactfully moves away to leave us alone Look after my girl, Christian He leaves it on the threshold Buckle up! Holy cow... another first He takes my breath away He sits back on his heels, and leaning forward I grap his tie No! Damn! Jeez, saya nuansa dapat lima puluh merajuk Kate memutar matanya dan bergerak menjauh dengan bijaksana untuk meninggalkan kami sendirian menjaga gadis saya, kristen Dia daun itu di muka pintu Gua goyah atas! Sapi... kudus pertama Dia mengambil lain saya tercengang Ia duduk kembali di tumitnya, dan bersandar ke depan aku tangkap dasinya Tidak! sial! Tuhan, bisakah fifty shadeku merajuk.. x x x 0 Kate memutar matanya dan dengan bijak pergi menjauh untuk meninggalkan kami sendiri √ √ √ 3 Jaga anak gadisku, Christian Dia meninggalkannya di ambang pintu Pasang sabuk pengamanmu! Sialan.. hal pertama yang lainnya. Dia membuatku sesak napas x x √ 2 x √ x 0 x x x 0 x x x 0 x x x 0 Dia berlutut kembali, dan condong ke depan saat aku merenggut dasinya x √ √ 1 Tidak! Sialan! √ √ √ 3 14 361 HASIL Setelah diberikan penilaian terhadap hasil terjemahan ketiga mesin terjemah tersebut, berikut hasil yang didapatkan ; Total idiom yang ada dalam novel fifty shades freed adalah sebanyak 71 idiom, dengan rincian nilai : - Google translate : 117 Bing microsoft translator : 39 Sederet.com : 32 a. Jika dilihat lebih jauh, google translate memang mendekati hasil sempurna karena sejatinya sejak tahun 2016 google translate telah menanamkan NMT (Neural Machine Translation) dimana para penggunanya bisa ikut andil dalam pembenahan hasil terjemahan sesuai dengan kemampuan human translation yang dimiliki. b. Untuk bing microsot translator, mesin ini terlihat menerjemahkan idiom tersebut rata-rata dengan hasil kalimat aktif. c. Sedangkan untuk sederet.com, ia terlihat bagus dalam menerjemahkan idiom dalam bentuk kata makian, bahkan ia menerjemahkan kata makian lebih bagus jika dibandingkan dengan bing microsoft translator. Itu artinya produk dalam negeri ini mungkin disetting lebih pintar dalam menerjemahkan kata makian. Secara keseluruhan hasilnya adalah bahwa google translate dapat menerjemahkan lebih baik jika dibandingkan dengan dua mesin terjemah lainnya, yakni bing microsoft translator dan sederet.com. KESIMPULAN Dengan 71 idiom yang terdapat dalam novel fifty shades freed, google translate dapat menerjemahkan dengan lebih baik jika dibandingkan dengan bing microsoft translator dan sederet.com, karena sejak tahun 2016 google translate telah dilengkapi dengan NMT (Neural Machine Translation) yang membuat penggunanya dapat ikut andil dalam pembenahan hasil terjemahan google translate secara langsung, sehingga hasil terjemahannya menjadikannya mirip dengan human translation dan 362 hal ini jelas memicu baiknya kualitas hasil terjemahan google translate itu sendiri. REFERENSI Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Amerika Serikat : Prentice-Hall International. Larson, Mildred L. 1991. Theory and Practice, Tension and Interdependence. Philadelphia : John Benjamins Publishing. Nida, Eugene Albert & Taber Charles Russel. 2003. The Theory and Practice of Translation. Belanda : Brill. Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice. London : Longman. Hartono. 2003. Belajar Menerjemahkan : Teori dan Praktek. Malang : UMM Press. Humanika, Eko Setyo. 2002. Mesin Penerjemahan : Suatu Tinjauan Linguistik. Yogyakarta : UGM Press. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah. Bandung : Kaifa. Nababan, M.Rudolf. 2008. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Newmark, Peter. 2001. Approaches To Translation. Oxford : Pergamon Press. Barragan, A.M. 2017. “Translation Arabic-English The Case of Idioms”, http://www.translationjournal.net/January-2017/translation-arabicenglish-the-case-of-idioms.html . Barkhodar, S.Y. 2017.“The Assessment of Machine Translation According To Holmes Map of Translation Studies” http://www.translationjournal.net/January-2018/the-assessment-ofmachine-translation-according-to-holmes-map-of-translationstudies.html . 363 Taleghani, M. & Pazouki, E. 2018. “Free Online Translators: A Comparative Assessment in Terms of Idioms and Phrasal Verbs” International Journal of English Language & Translation Studies. 6(1). 15-19. Darma, Y.A. 2017. Metode Pembelajaran Penerjemahan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No.067. Benetello, C. 2018. When Translation is not enough: Transcreation as a convention defying practice. A practitioner’s perspective. The Journal of Specialised Translation. Issue 29. Mossop, Brian. 2014. Revising and Editing for Translators. Oxon & New York: Routledge, pp.244. The Journal of Specialised Translation. ISBN: 9781-909485-01-3. McIntyre, D. And Moores, Z. 2018. Intersection Between Language, Linguistics, Subtitling and Translation. The Journal of Specialised Translation. Issue 29. Mesin Terjemah : Google translate Bing Microsoft Translator Sederet.com Thefreedictionary.com HASIL DISKUSI SEMINAR a. Zein (Universitas Gadjah Mada); 1) Mengapa yang diteliti hasil terjemah kalau yang digunakan adalah mesin terjemah ? Jawaban : karena penelitian ini berorientasi pada produk, yakni berupa hasil terjemahan idiom dengan mesin terjemah, maka sudah pasti terdapat hubungan antara mesin dan hasil terjemahan sehingga keduanya harus digunakan dalam prosesnya. 2) Mengapa google translate menerjemahkan lebih baik ? 364 Jawaban : karena setelah proses penilain google translate memiliki skor tertinggi dibanding dua mesin lainnya. Mohon maaf karena kekurangan saya yang tidak menampilkan proses penilaian pada slide. Jadi pertanyaan saya ambil sebagai masukan untuk saya. Terima kasih. b. Tri (Balai Bahasa Jawa Timur); 3) Jelaskan proses mengapa google translate dapat menerjemahkan lebih baik dibandingkan dua mesin terjemah lainnya ! Jawaban : sama seperti mas Zein sebelumnya, saya mohon maaf atas kekurangan saya yang tidak menampilkan proses penilaian pada slide. Jadi proses penilaiannya adalah sebagai berikut ; idiom-idiom dari novel fifty shades freed tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dengan ketiga mesin terjemah tersebut. Kemudian hasil terjemah dari ketiganya diberikan penilaian terhadap kualitas terjemahannya yang berorientasi pada keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan. Hingga akhirnya setelah proses analisis didapatkan hasil bahwa google translate dapat menerjemahkan dengan lebih baik dibandingkan dengan dua mesin lain. Mungkin karena sejak 2016, mesin ini telah dilengkapi dengan NMT (Neural Machine Translation) yang memungkinknan penggunanya untuk ikut andil dalam pembenahan hasil terjemah secara langsung. Terima kasih. 365 REGISTER TEMPE DI KABUPATEN KLATEN Nanik Herawati Universitas Widya Dharma Klaten akunaniherawati3@gmail.com ABSTRAK Abstrak, Nanik Herawati, 2018. Register Tempe di Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Universitas Widya Dharma Klaten. Register termasuk dalam ranah sosiolinguistik yakni pemakaian kosa kata tertentu atau khusus yang berhubungan dengan pekerjaan yang berbeda-beda atau variasi bahasa berdasarkan fungsinya. Tujuan penelitian ini (1) mendeskripsikan kosa kata register dalam pembuatan tempe di Pedan, Klaten; (2) mendeskripsikan makna kosa kata register dalam pembuatan tempe di Pedan, Klaten. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data berdasarkan fakta. Sumber data yaitu pembuat tempe dan orang yang membantunya. Alat penelitian utama peneliti sendiri dan alat penelitian bantu. Ada 3 tahap penelitian, yaitu: pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data. Hasil penelitian register pembuatan tempe berupa bentuk-bentuk register pembuatan tempe serta makna register dalam pembuatan tempe di Pedan. Penyajian hasil analisis dengan menggunakan metode penyajian informal, yakni perumusan dengan kalimat biasa. Kata kunci: dhele, laru, oman, register A. PENDAHULUAN Register termasuk dalam bidang ilmu sosiolinguistik yakni studi tentang Bahasa yang berkaitan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat. Register sebagai ragam bahasa didasarkan pada pemakaiannya dari bahasa itu. Seseorang bisa mengungkapkan gagasan yang lebih kurang sama dalam suasana yang berbeda dengan menggunakan butir-butir linguistik yang sangat berbeda, variasi bahasanya ini dicakup oleh register (Alwasilah. 1985:64). Variasi Bahasa yang tidak bisa dicakup dalam dialek akan tetapi bisa dicakup dalam 366 register. Dialek merupakan variasi Bahasa berdasarkan perbedaan asal penutur dan sosial penutur namun register merupakan variasi Bahasa yang disebabkan oleh adanya sifat-sifat khas sesuai dengan tujuan dan keperluan dari pemakainya. Pemakaian kosa kata pada register berkaitan dengan profesi tertentu, misalkan direktur Bank, pilot, petani, guru, pembuatan tempe, pembuatan gerabah, dan sebagainya. Masyarakat Klaten dalam pembuatan tempe menggunakan Bahasa Jawa, dengan berbagai istilah atau kosa kata khusus di dalam berkomunikasi saat proses maupun kegiatan pembuatan tempe sedang berlangsung. Beberapa istilah khusus itu mempunyai makna tersendiri. Register dikelompokkan menjadi dua yakni (1) register yang muncul akibat dari profesi saat bersosialisasi dengan masyarakat tertentu; (2) register yang muncul tidak berkaitan dengan profesi tetapi karena aktifitas bersama. Register timbul karena proses interaksi sosial pada masyarakat tertentu dan termasuk kosa kata yang tidak baku. Salah satu bentuk register yang timbul akibat profesi pembuatan temped an penjuanan tempe secara tradisional di Klaten. Pada pembuatan tempe,dan pemanfaatan tempe di Klaten banyak istilah-istilah khusus yang secara umum kurang diketahui oleh masyarakat luas, namun dipahami oleh lingkungannya. Pada pembuatan tempe di daerah Klaten ada beberapa kosa kata yang ada kaitannya dengan bahan pembuatan tempe, prosesnya, dan benda-beda yang berkaitan dengan dunia tempe. Daerah Klaten memang terkenal dengan tempenya, banyak desa-desa yang membuat tempe dengan masih menggunakan bungkus daun pisang, bahkan masih ada juga yang dibungkus dengan daun jati, dan daun waru. Pembuat tempe biasanya sekaligus menjadi penjual di pasar. Namun masyarakat sekitar banyak juga yang datang ke rumah pembuat tempe untuk membeli tempe. Pembeli bisa membeli tempe untuk konsumsi besok pagi atau bisa juga membeli tempe semangit untuk dibuat sayur lethok, atau juga membeli tempe yang sudah jadi untuk dikonsumsi hari ni. Register pembuatan tempe merupakan salah satu hal yang menarik untuk dikaji. Istilah-istilah yang muncul dapat terjadi pada saat terjadinya interaksi jual beli tempe, namun bisa juga pada saat proses pembuata tempe. Pilihan istilah atau kosa kata tertentu akan mencerminkan situasi dan kondisi seseorang berada di wilayah profesi apa. Register termasuk bidang ilmu sosiolinguistik, termasuk di dalamnya variasi bahasa dan 367 register. Sosiolinguistik merupakan disiplin ilmu yang menggabungkan antara sosiologi dan linguistik. Objek Bahasa dalam ilmu sosiolinguistik tidak hanya dipandang dari segi bahasa saja akan tetapi bahasa dipandang sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat pengguna bahasa. 1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di depan, maka ada permasalahan seperti berikut. Bagaimanakah bentuk register pembuatan tempe di Kabupaten Klaten? 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut Mendeskripsikan bentuk register pembuatan tempe di Kabupaten Klaten B. LANDASAN TEORI Sosiolinguistik merupakan studi tentang bahasa yang merupakan disiplin ilmu antara sosiologi dengan linguistik. Sosiolinguistik membahas tentang variasi Bahasa yang didalamnya mencakup idiolek, dialeg, ragam Bahasa, dan register. Idiolek bersifat individual, masing-masing orang punya ciri khas tersendiri. Selanjutnya dialek merupakan variasi Bahasa karena asa-usul daerah yang berbeda. Ragam Bahasa merupakan variasi Bahasa karena perbedaan situasi dan kondisi, ragam resmi dan tidak resmi sehingga kadang ada pengurangan suku kata tertentu, misakan maturnuwun menjadi nuwun. Register merupakan variasi Bahasa karena adanya karakter atau sifat khas berdasarkan visi dan keperluan pemakainya, misalkan register pembuatan tempe, Bahasa Bank, Bahasa, guru, dan lain sebagainya. Pakar Bahasa yang membicarakan tentang register yakni Poedjosodarmo (2001) yakni register merupakan salah satu sub bidang kajian sosiolinguistik yang menguraikan tentang penyampaian bermacam ragam maksud melalui variasi tutur karena adanya sifat-sifat khas pemakainya. C. METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif maksudnya pemerolehan data tidak berupa 368 angka-angka melainkan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena pada penutur. Seperti yang diuraikan oleh Sudaryanto (1992) penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggunakan deskriptif yakni metode yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena penutur. 2. Objek Penelitian Objek Penelitian ini yaitu register pembuatan tempe secara tradisional di Klaten. Sumber data penelitian ini yaitu pembuat tempe di Klaten dan masyarakat yang melakukan kontak sosial dengan pembuatan tempe. Sumber data tersebut bisa diambil saat terjadi jual beli tempe atau pada saat proses pembuatan tempe. 3. Data dan Sumber Data Data penelitian ini berupa data lisan yang diambil dalam peristiwa tutur saat terjadi interaksi jual beli tempe antra pembuat dan pembeli, serta pada saat interaksi proses pembuatan tempe di daerah Klaten. 4. Teknik Pengumpulan Data Penyediaan data ada tiga tahapan yakni: mengumpulkan data dengan mencatat, pemilahan data, dan pengelompokan data. Penyediaan data dengan metode simak dengan menggunakan teknik dasar yaitu teknik sadap, maksudnya penyimakan dilakukan dengan penyadapan. Penyadapan dilakukan dengan handphone. Selanjutnya dilanjutkan dengan teknik lanjutan teknik rekam dan teknik catat. Perekaman dan Pencatatan dilakukan untuk merekam dan mencatat istilah istilah yang berkaitan dengan register. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Ragam Bahasa yang digunakan di dalam interaksi pembuatan tempe hingga penjualan tempe banyak menggunakan ragam lisan. Bentuk register didasarkan pada fungsi istilah atau kosa kata pada kalimat. Selanjutnya dilakukan analisis dengan teknik analisis fungsional pada data yang sudah ada. Penemuan data yang berupa kosa kata saat terjadinya proses pembuatan tempe hingga penjualan tempe dapat dianalisis secara 369 fungsional apakah menempati sebagai subjek, predikat, atau objek dalam kalimat. a. Fungsi Subjek dan kategori kata (1) Tempe semangit pancen enak yen digawe tumpang lethok. ‘Tempe yang mendekati busuk memang enak kalau dibuat sayur tumpeng letok’. Tempe semangit pada kalimat (2) menduduki fungsi sebagai subjek, termasuk kategori kata benda. (2) Tempe bosok iso dinggo nyekoki bocah sing ora doyan mangan. ‘Tempe busuk bisa dipakai untuk obat anak yang tidak doyan makan.’ Tempe bosok pada kalimat (2) menduduki fungsi subjek, termasuk kategori kata benda. (3) Klaras ning tumbu kae jupukna, Nduk. ‘Daun pisang kering di wakul itu ambilkan, Nak!’ Klaras pada kalimat (3) menduduki fungsi subjek dan termasuk kategori kata benda. b. Fungsi Predikat dan Kategori Kata (4) Ndhuk ndang ilesen dhele sing wis diwadhahi tumbu kui. ‘Nak, segeralah diinjak injak kedelai yang sudah ditempatkan di tumbu’. Kata ilesen menduduki fungsi sebagai predikat, termasuk kategori kata kerja. (5) Budhe lagi mlocoti dhele ning pawon. ‘Budhe baru mengupas kulit ari di dapur’ Kata mlocoti menduduki fungsi sebagai predikat, termasuk kategori kata kerja. (6) Sawise rampung anggone ngiles dhele, nuli dirimbang. 370 ‘Setelah selesai menginjak-injak kedelai selanjutnya dibuang airnya’ c. Fungsi Objek dan Kategori Kata (7) Dhele kang wus digodhog banjur didhemke nuli diwenehi laru utawa ragi tempe. ‘Kedelai yang sudah dimasak kemudian didinginkan selanjurnya diberi ragi tempe’. Tembung laru pada kalimat di atas menempati fungsi sebagai objek dalam kalimat, termasuk kategori kata benda. Laru termasuk istilah yang ada dalam proses pembuatan tempe secera tradisional (8) Dhele kang wis diwungkus nganggo godhong gedhang nuli ditali nganggo oman. ‘Kedelai yang sudah dibungkus dengan daun pisang kemudian ditali dengan jerami kering yang sudah dijadikan tali’ Kata oman pad kalimat (8) menduduki fungsi sebagai objek dalam kalimat, termasuk kategori kata benda. E. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Register penmuatan tempe menggunakan Bahasa Jawa ragam ngoko dan krama pada saat terjadi interaksi jual beli atau pada saat berkomunikasi antara pembuat tempe dengan pembeli tempe. Bentuk register pembuatan tempe di Klaten bisa menduduki fungsi subjek, predikat, dan objek. Istilah yang berkaitan dengan pembuatan tempe seperti: dhele, dirimbang, diplocooti, diiles, klaras, oman, tempe semangit, tempe dadi, tempe bosok. DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : Rineka Cipta Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Penerbit Angkasa 371 Balai Bahasa Yogyakarta. 2011. Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta Kridalaksana, Harimurti. 2008. Linguistik Umum. Jakarta : Bhratara KA Poedjosoedharmo, Soepomo. 2001. Filsafah Bahasa. Surakarta : Muhammadiyah University Press Purnanto, dwi. 2002. Register Pialang Kendaraan Bermotor. Surakarta : Muhammadiyah University Press Soedaryanto, 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta : Gama Mada University Press Soedaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan 1. Apakah judul artikel sudah sesuai dengan pembahasan? Jawaban: Pembehasan artikel memang tidak hanya masalah pembuatan tempe namun juga manfaat tempe dan penjualan tempe secara sederhana, dengan demikian judul artikel diganti. Semula Tegister Pembuatan Tempe di Kabupaten Klaten menjadi Register Tempe di Kabupaten Klaten 2. Apakah tempe semangit termasuk register proses pembuatan tempe? Jawab: tempe semangit termasuk pemanfaatan tempe karena judulnya sudah diganti otomatis tempe semangiit juga termsuk di dalam pembahasan. 3. Apa beda register dengan variasi Bahasa? Jawab: register mengacu pada pemakaian Bahasa atau kosa kata khusus yang berkaitan dengan pekerjaan yang berbeda. Sedangkan variasi Bahasa berkaitan dengan fungsi pemakaian Bahasa. 372 ANALISIS SEMANTIK KATA AL-ARD DALAM LONTAR SURAT YUSUF Nasikhatul Ulla Al Jamiliyati Andi Indah Yulianti (Magister Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya) ABSTRAK Kata Al-Ard memiliki berbagai macam makna di antaranya bermakna negara dan kerajaan. Fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui makna kata Al-Ard dalam surat Yusuf dengan pendekatan semantik. Pendekatan ini digunakan untuk memahami berbagai istilah atau kata-kata kunci yang digunakan pada sebuah tafsir. Penelitian ini bersifat kualitatif, yang berbentuk library research (penelitian kepustakaan) dengan merujuk pada dua sumber yaitu primer (Al-Quran, buku-buku teori semantik) dan sekunder (buku tentang ulum Al-Qur’an, kamus Arab-Indonesia). Metode penelitian menggunakan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menelaah buku-buku yang relevan dengan tema penelitian. Langkah-lanhkah dalam menganalisis data yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung AlArd, melakukan pendekatan terhadap analisis-analisis yang dibutuhkan, menyampaikan hasil penelitian dengan menggunakan analisis semantik.Adapun hasil analisis tentang makna kata Al-Ard dalam Al-Quran dengan menggunakan pendekatan semantik, penulis dapat menyimpulkan bahwa makna dasar Al-Ard yaitu kekuasaan, pemerintahan, negara. Dimana yang dimaksud Al-Ard, Mulki, dan Qoryataldalam surat Yusuf yang mempunyai makna negara, kerajaan, khafilah. Kata Kunci: Semantik; Al-Ard; Surat Yusuf PENDAHULUAN Islam di Indonesia datang dari India. Teori ini awalnya dikenalkan oleh G.W.J. Drewes yang mengatakan bahwa orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang menetap di Gujarat dan Malabar itulah yang mengembangkan Islam di Nusantara. Ada kesamaan madzhab antara 373 orang Gujarat dan Malabar yang beragama Islam di Nusantara. Bagi S.Q. Fatimi Islam datang dari Bengal karena beranggapan bahwa teori batu nisan di makam Malik Al-Shaleh sama sekali berbeda dengan batu nisa di Gujarat. Namun, terdapat kelemahan karena antara Bengal dan Nusantara terdapat perbedaan madzhab yaitu wilayah Bengal bermadzhab Hanafi, sedangkan di Nusantara bermadzhab Syafi’I (Azra, 1994:25). Mengenai waktu datangnya Islam di Nusantaraterdapat beberapa pendapat. Ahli sejarah dari Indonesia dan Malaysia berpendapat: bahwa Islam datang ke Asia Tenggara pada abad ke-8 miladiyah atau abad ke 1 Hijriyah. (Hasmi, 1981: 252). Menurut Graff (1989: 2) penyebaran Islam di Nusantara dapat dibedakan 3 metode yaitu pedagang muslim dari jalur perdangangan yang damai oleh para da’i atau orang suci atau wali yang datang dari India atau Arab dengan tujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman dan terakhir dengan kekuasaan atau memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala. Jadi, Islam disebarkan dengan cara perdagangan, pendakwah sufi dan politik. Corak Isam di Jawa dalam banyak hal menyerupai banyak hal Islam di Asia Selatan. Kesamaan itu dapat dilihat dari sistem pendidikan madrasi, upacara-upacara keagamaan seperti selametan dan tata ritual berdasarkan kesamaan mahzab didalam Islam. Penyebaran Islam di Jawa ditandai dengan hadirnya para ulama yaitu Maulana Maik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke tanah Jawa, khususya Jawa Timur yang sebelumnya singgah di kerajaan Pasai. Peran pesisir utara Jawa di dalam proses pelembagaan Islam tentunya sangat besar terutama pada abad ke-15 dan 16. Proses kemapanan Islam disebabkan beberapa faktor yaitu : peranan hubungan perkawinan, pranan Imamolah, dan peranan hubungan perdagangan. Di Jawa raja yang memiliki perhatian terhadap pengembangan Islam khususnya melalui masjid ialah Sultan Agung. Di dalam pelembagaan Islam, walisanga menggunakan beberapa tahapan yaitu: pertama mendirikan masjid, kedua mendirikan pesantren. Didalam hasanah penyebaran Islam, setiap wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama dimana wali tersebut berada, pesantren Ampel,pesantren Drajat, dan sebagainya. Pesantren pada tahap awal penyebaran Islam tentunya adalah pusat penyebaran Islam dengan masjid sebagai lokus utamanya. Lembaga pesantren itulah yang menentukan watak ke-Islam-an dari kerajaan Islam, dan yang 374 memegang peranan aing penting bagi pemnyebaran Islam sampai pelosok. Dari lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas telah dikumpulkan oleh pengembara pertama dari perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak abad ke-16.Masyarakat pesisir memiliki ciri khas dalam kegiatan kebudayaannya. Kota pasuruan salah satunya, wilayah Pasuruan ini dahulu merupakan salah satu kota pelabuhan terbesar di Pulau Jawa. Budaya yang biasa dilaksanakan sedekah desa atau sedekah bumi adalah budaya masyarakat yang sudah dilakukan sejak lama dan menimbulkan efek positif karena bias menjadi ajang bersilaturrahmi antarwarga, Setiap tradisi dilestarikan melalui proses pelembagaan oleh kaum elitnya. Pelembagaan tradisi yang dimaksudkan agar tradisi sebelumnya tidak hilang begitu saja, agar tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang disebut pewarisan nilai, kebudayaan, moral, dan ajaran-ajaran suci yang diabsahkan melalui transformasi, sosialisasi dan enkulturasi. Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup pemaknaan kata-kata sinonim dalam Al-Quran pada kata Al - ard. Berikut rumusan masalahnya:bagaimana tinjauan semantik terhadap makna kata Al - ard dan padanannya dalam surat yusuf? Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui analisis semantik dan padanan kata Al - Ard serta turunannya dalam surat Yusuf. Penelitian yang berkaitan dengan topik ini pernah dilakukan oleh A.Asep Saefuddin (2007)dengan judul Analisis Semantik terhadap kata Firqah dan Padanannnya dalam Al-Qur’an. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode deduktif. Penelitian lainnya dilakukan oleh A. Wartini Palastren dengan judul Tafsir Feminis Telaah Ayat-Ayat Gender Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Semantik mengandung pengertian tentang studi makna. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, makna semantik bagian dari linguistik. Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatik, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu. Semantik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik 375 mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika. Kata semantik itu sendiri menunjukkan berbagai ide-dari populer yang sangat teknis. Hal ini sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Masalah pemahaman ini telah menjadi subjek dari banyak pertanyaan formal, selama jangka waktu yang panjang, terutama dalam bidang semantik formal. Dalam linguistik, itu adalah studi tentang interpretasi tanda-tanda atau simbol yang digunakan dalam agen atau masyarakat dalam keadaan tertentu dan konteks. Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca mengandung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya. Al-Qur’an mempunyai cakupan yang sangat luas baik kehidupan dunia maupun akhirat. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, merupakan satu kitab yang sangat agung, Karena sama aspek kehidupan dan persoalan kemasyarakatan ada di dalamnya maka jelas Qurash Shihab (1993: 83) mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah sebagai kitab suci yang menempati posisi sentral. Karena Al-Quran sebagai sentral dari ajaran Islam maka untuk memahami isi kandungannya itu haruslah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan salah satu ilmu yang terpenting adalah ilmu kebahasaan, karena tanpa tahu dan mengenal lebih dekat mengenai Ilmu kebahasaan mana mungkin kita dapat mengetahui serta memahami makna-makna atau kandungannya ajaran yang terdapat dalam kitab suci tesebut. Salah satu karakteristik bahasa Arab adalah kekayaan kosa kata, terutama untuk lebih memahami kajian makna Al-Quran untuk masa sekarang, kita mengenal pendekatan semantik salah satu pendekatan diantara sekian banyak pendekatan tafsir yang telah berkembang. Semantik merupakan ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata. Pendekatan analisis semantik dalam Al-Quran adalah menganalisis semantik atau konseftual terhadap bahan- bahan yang disediakan oleh kosakata-kosakata Al-Quran dengan dua pendekatan; semantik sebagai metodologi dan al-Quran sebagai sisi materialnya. 376 METODE PENELITIAN Dalam penelitian penulis menyusun langkah-langkah penelitian sebagai berikut: 1. Metode penelitian menggunakan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang menggambarkan fenomena-fenomena, kejadian faktual, atau terpusat pada masalah empirik yang kemudian diolah, diklasifikasikan, di analisis dan di tafsirkan (Arikunto, 1998:245). 2. Sumber Data dalam mengkaji, menganalisa objek yang sedang dikaji, penulis memerlukan data-data bersumber atau didapat dari buku ataupun orang, dalam hal ini penulis mnggunakan yang pertama (buku).sumber data ini terbagi ke dalam dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat pokok, sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data yang besifat penunjang terhadap sumber primer. A. Sumber data Primer : 1. Al-Qur'an 2. Buku-buku tentang teori semantik B. Sumber data sekunder : 1. Buku-buku tentang Ulum Al-Qur'an 2. Kamus Arab Indonesia C. Pengumpul Data dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan studi kepustakaan berupa kitab-kitab tafsir, kamus dan ensklopedi bahasa Arab.Penelitian ini memakai semantik untuk meneliti makna signifikansi dari kata Al - ard dalam Surat Yusuf. Penulis menggunakan metode semantik Al-Qur’an dengan menggunakan metode Toshiku Izutsu seorang ahli linguistik yang tertarik pada Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode Toshiku Izutsu yang paling sederhana yaitu dengan mencari kata kunci. Kata kunci dimana memliki makna dasar dan makna relasional.Di dalamAl-Qur’an banyak sekali contoh kata Al - ard yang serupa mengenai pengguanaan kata yang sempurna dengan mengumpulkan data kedalam suatau tempat, maka akan diperoleh definisi serta makna asli dari kata tersebut. (Izutsu, 1997:30) 377 D. Untuk menganalisis data-data yang terkumpul, maka pengolahannya di lakukan dengan menggunakan langkah-langkah berikut: 1. Menelaah buku-buku yang relevan dengan tema penelitian 2. Mengumpulkan ayat-ayat yang mengandung Al - Ard. 3. Melakukan pendekatan terhadap analisis-analisis yang dibutuhkan. 4. Menyampaikan hasil penelitian dengan menggunakan analisis semantik E. Pengambilan kesimpulan Langkah yang terakhir adalah suatu kesimpulan tentang konsep-konsep yang sedang dibahas. Hal ini diperlukan untuk mengetahui ringkasan jawaban dari pertanyaan singkat dalam rumusan masalah. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan sebuah makna implisit yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan bahasa tidak hanya bukan sekadar bunyi namun memilikimakna konvensional. Bahasa yang berwujud bunyi itu juga pada hakikatnya pengganti diri, sistem lambang dan alat untuk komunikasi baik lisan maupun tulisan. Untuk memahami kajian makna, maka kita mengenalmetode analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu, menurutnya semantik adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada suatu pengertian konseptual weltanschaung, pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa, terutama pengkonsepan dan penafsirandunia yang melingkupinya. (Izutsu, 1993:3) Tujuan dari mempelajari semantik yaitu bersifat praktis sekadar untuk mengetahui makna kata yang akan mendukung erita yang akan disampaikan kepada masyarakat. Sebagian manusia mengira bahwa untuk mengetahui makna kalimat cukup hanya kembali pada kamus atau membaca terjemahan. Dan bila hal ini cukup bagi sebagian kalimat, maka ia tidak cukup bagi kebanyakan yang lainnya. Bahwa makna memiliki lima jenis yaitu: makna asasi (makna dasar), makna markaji (pusat) kadang disebut juga makna konseptual atau makna idroki (cognitive). Makna arsy, atau mulki yaitu makna yang dimiliki oleh lafadz dengan cara sesuatu yang 378 menunjukan obyeknya kepada makna kognitif. Penafsiran semantik adalah sebuah tafsir yang tergolong corak kebahasaan. Toishihiko Izutsu (1993:15), mengatakan bahwa cara yang paling baik dalam meneliti adalah mencoba menguraikan kategori semantik sebuah kata menurut kondisi pemakai kata tersebut, keadaan lingkungan serta gambar peristiwa tertentu ketika kata itu digunakan. Hanya berusaha menjawab persoalan itu, maka makna yang benar dari sebuah kata akan kita temukan. Adapun metode analisis semantik yang ditawarkan Izutsu ialah sebagai berikut: Pertama, Memberikan kata padanananya dalam bahasa yang sama. Ini cara yang sangat sederhana dan paling umum digunakan, namun diakuinya bahwa cara ini kurang dapat diandalkan. Kedua, Menyelidiki kata tersebut, jenis, sifat, bentuk perbuatannya, berdasarkan bahasa arab. Kata Al - Ard disebut dalam QS. Yusuf berulang-ulang seperti pada ‫ِمْهِ لهَ ِل‬: ‫ه‬ ayat (55-56) yang berbunyi ‫اْه ل‬ ‫َ َُ لَْ لََ َق‬ ‫ا‬ ‫سه‬ ‫ع َُ لَْهمعَمبَ ا‬ ‫هِلْض لَْهمْل ل‬ ‫ََُُِّ هَ ََْ ل‬ ‫ِلَََِء ه‬ ‫قْْل َّ ِلَ ِلِ هَ َِف ِل‬ ‫همفمههب هَق ِلَِهماَ ِل‬ ‫ع َُ لَْهمس ََا ه لْلِ لهَيهَهَََ َّم ِل‬ ‫َََِِ َّم ِل‬ ‫طرهم ِلَِِ ِل‬ ‫يِ ِل‬ ‫َُ ِل‬ ‫َبُ ِلِ ل‬ ‫ا لمة هَْ لْلِ لهََه ه‬ ‫َمْ هلمَُمَبَُ ه‬ ‫لَي ه‬ ‫يق‬ ‫لََََِ لَََ هق‬ َ ‫َمنِه‬ َ َِ َ َ ِ‫سيَْه‬ َ َ ‫زو‬ ‫َلفِه َّرموَ هج ه‬ ُ ‫َذ‬ ُ ‫َ َكل‬. ‫ض َِ ل‬ ‫هف هَِهِلع َََِ ِلهُ ِل‬ َ ‫جي ا‬ ‫هما لِلَْهمع ََمَ ه‬ ‫ِ ه‬ ‫ِلَمْله هَيهَِل ِلَ َِ ه‬ ‫ِا َمق‬ َ ‫ذ‬ َ َِ‫مْا‬ َ ٌ: َ َ‫َموي‬ َ ‫َ َز‬ ‫قف‬ َ ُ ِ َََِّ َ ‫َا َو‬ ‫وأ و‬ َ ٌَ‫ا‬ َ َ‫ك‬ َ ‫َس‬ َ ٌََّ َ ‫مهاويِو‬. َ َ‫ٌَِيَ ِ ُاأ‬ ِ ْ ُ َ‫ل َما‬ َ ‫ُزإ‬ َ َ ‫لوا‬ َ ِ‫ج‬ َ ‫ر‬ َ َ َ ِ‫وطفَّاا ِ َا َو‬ َ ‫الو‬ ُ ‫ِِيغَ َز‬ ُ ‫لواََاغ‬ َ ‫ا‬ ‫ِف‬ ‫َوين‬ ‫هََ ُف‬ ‫يغ َُموَوْا ا‬ ‫ٌَّ ٌَيَ ا‬ disertai dengan penyebutan kata-kata lain senada atau bersinonim dengan makna kelompok seperti kata berikut ini: Qoryata (bagian dari baldah) dalam ayat yusuf 82 yang berbunyi ‫َٱ َ لهَََِْ هقم َُِ هَم ِلَ َِّم ََّْاَٱ لَْ هَ لمِ هقهط َ لهلـْ َقس‬ ‫َهوَْلَّم ق ََُِهم ِه لِِ لهَِهم ََّْا لق‬ َ َ ‫ْ َََلاف رانَف ىَََِ َغ ََااء‬ ُ ‫ِي‬ ‫ْه ُ ه‬Mulki yang berarti negeri, kerajaan pada ayat 101 ‫د َِّ باف‬ ‫ُق ِلَِ هق‬ ‫ِص‬ ‫م َف‬ َ َ ‫س‬ َ ‫َوهامَف ف‬ ِ َ ٌ ‫لأ ران‬ . Kata-kata tersebut dikonotasikan memiliki َ ِ َ‫َه‬ َ َّ ‫ِيت‬ َ َّ ْ ‫ْ ََااء‬ ‫ٌ اف‬ ‫َََِِّوَال ف‬ ‫ز اف‬ ‫أا ََأ ا‬ keterkaitan makna dengan kata Al - Ard. Dalam surat Yusuf menyebutkan bahwasanya negeri Ardhi. Maka dengan melihat gambaran masalah diatas dianggap penting dan meski diungkap secara tegas dengan cara melihat keseluruhan kata-kata yang berbicara tentang Al - ard dan padanannya dalam surat Yusuf mesti dilakukan penelitian yang seksama dan komprehensif, yakni dengan menggunakan pendekatan semantik. Dalam pendekatan referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan makna itu hadir karena adanya pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif. Terdapat julukan simbolik dalam kesadaran individual, memungkinkan mmanusia untuk mengembangkan skema konsep. KataAl - ardbukan hanya menunjuk kerajaan, melainkan memperoleh julukkan sebagai “kekuasaan, singgasana, pemerintahan, negeri”. Sehingga kesadaran pengamatan dan 379 penarikan kesimpulan dalam pemaknaan berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, bahasa yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau private language (Harman, 1968). Keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi, pandangan, maupun minat secara individual. kataAl - ard yang berarti“kekuasaan” dimana diartikan di dalam surat Yusuf ini bukanlah yang mempunyai kekuasaan adalah para pejabat atau otoriter negara, tetapi yang dimaksud dalam surat Yusuf itu makna dari kekuasaan yaitu kekuasaan Tuhan pencipta langit dan bumi bukan kekuasaan dari manusia. Terdapat ciri mempribadi ditandai dengan kata-kata khas yang dimaknai khusus. Julukan dan makna hasil observasi atau kesadaran pengamatan individual, pada dasarnya masih bertumpu pada makna hasil penunjukan dasar. Apa yang dilakukan individu hanyalah menambahkan atau memberi konotasi. Apabila kata yang masih menunjuk pada makna dasar itu bersifat denotatif, makna kata yang telah diberikan julukan lain mengandung makna konotatif yakni tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Penambahan itu sebenarnya bukan hanya khas dalam kreasi sastra sesuai minat individu, fakta yang tergambar dalam kata akhirnya memperoleh julukan individual sendiri-sendiri. Kata Al - Ard, misalnya bagi para penguasa negara atau parlemen, orang-orang yang menjabat ada wewenang dapat diartikan “pemerintahan” dalam surat yusuf diartikan “kekuasaan” yang berarti Tuhan menciptakan langit dan bumi. Pemberian julukan dan pemaknaan yang bertumpu pada dunia luar itulah yang akhirnya menjadi ciri lain dari pendekatan referensial. Dengan demikian upaya memahami komunikasi makna hasil kesadaran pengamatan subjektif tidak cukup bila hanya bertolak dari sistem komunkasi keseharian. Dengan kata lain, sistem konvensi dalam bentuk komunikasi khas itu secara simultan juga harus dipahami. 380 DAFTAR PUSTAKA Al-Mizan Fī Tafsīrul Quran. Teheran: Markaẓul Islam Az-Ḍikrā.Al-Zarqony Abdul Aziz. 1980. Manahil "Irfan Ulumul Quran, Kairo:AL-Halabi. Aminuddin.2008.Semantik.Bandung:Pener bit Sinar Baru Algensindo. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Semantik: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Eresco. Kridalaksana, Harimurti.1982.Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Palmer,F.R.1981.Semantics.London:Cambridge University Press. Samsuri.1982.Analisis Bahasa. Jakarta:Erlangga Yusuf, Kadar.2010. Studi Al-Qur-an. Jakarta :Kreasindo Mediacita Pemberi Saran 1. Ummu Fatimah Ria Lestari (Universitas Gadjah Mada) Diawali dengan sejarah perkembangan Islam Jawa dan Islam Pantura. 381 EUFEMISME DALAM DEBAT PILKADA DKI JAKATA TAHUN 2017 Nina Sulistyowati* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: nina.sulistyowati1989@gmail.com A B S T R A K Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tipe dan fungsi eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Selain itu, tipe dan fungsi eufemisme pada tataran apa yang paling dominan, dan tuturan siapa yang paling banyak mengandung unsur eufemisme juga disajikan dalam penelitian ini. Sumber data diambil dari videodan trankrip debat Pilkada DKI Tahun 2017 putaran pertama yang diselenggarakan oleh KPU pada tanggal 13 Januari 2017.Data dianalisisdenganteoriAllan&Burridge (1991) danWijana (2008) mengenaitipe dan fungsieufemisme. Penelitian menemukan 7 tipeeufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017, yaitu menggantikan satu kata dengan kata yang lain, kolokial, flipansi, ekspresi figuratif, sirkumlokusi, peminjaman bahasa lain, dan bentuk umum ke khusus. Selain itu, dari 5 fungsi eufemisme dalam teori Wijana (2008), hanya 3 fungsi yang muncul, yaitu sebaga ialat untuk menghaluskan ucapan, sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu dan sebagai alat untuk berdiplomasi. Akan tetapi, ditemukan fungsi lain eufemisme dalam ranah debat, yaitu sebagai alat untuk membentuk citra diri di mata masyarakat dan sebagai alat untuk menyindir atau mengkritik kebijakan lawan politiknya. Keywords: Eufemisme, Debat Politik PENGANTAR Debat pilkada merupakan wahana bagi masyarakat untuk menilai secara transparan kapasitas tiap pasangan calondalam beradu argument dan pandangan mengenai masalah yang terjadi di Jakarta. Hal tersebut menjadikan penggunaan bahasa pasangan calon dalam debat sangat menentukan citra mereka di mata masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kecerdasan pemakaian bahasa oleh tiap pasangan calon dalam 382 memaparkan visi misi dan program kerjanya. Sifat eufemisme yang menyamarkan maksud yang bernada kasar dengan ungkapan yang diperhalus menjadikan eufemisme sebagai gaya bahasa pilihan politisi dalam menyampaikan argumennya (Fernandez, 2014:6). Selain itu,dalam debat politik, eufemismejuga dapat digunakan untuk merahasiakan sesuatu, berdiplomasi, mengkritik lawan politik dan bahkan dapat digunakan untuk membentuk citra positif di mata masyarakat. Berdasarkan keunikan tersebut, penelitian mengenai eufemisme dalam debat politik menjadi sangat menarik untuk diteliti. Penelitian mengenai eufemisme sudah banyak diteliti, misalnya yang mengkaji bentuk, tipe, dan fungsi eufemisme pada berbagai teks (Sangkawentar Pujaningrat, 2011; Dita Sukma Sari, 2013), eufemisme dalam arena politik (Savo Karam: 2011), dampak sosial dan kognitif penggunaan eufemisme dalam Bahasa Inggris (Narmina Fataliyeva Arif: 2015) persamaan kata (Jackova, 2010), fungsi eufemisme dalam komunikasi di Persia (Bakhtiar, 2012), dan perbandingan penggunaan eufemisme antara kalangan muda di Rusia dan Inggris (Greene, 2000).Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus pada tipedan fungsi eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Allan dan Burridge (1991: 14) mengkategorikan 16 tipe eufemisme, yaitu: figurative expression, flippancy, remodeling, circumlocution, clipping, acronym, abbreviation, omission, one for one substitution), general for specific, part for whole euphemism, hyperbole, understatement, jargon, colloquial, dan borrowing. Selanjutnya, Wijana (2008: 104-109) membagi lima fungsi utama eufemisme di dalam berbahasa, diantaranya adalah sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, merahasiakan sesuatu, alat berdiplomasi, alat pendidikan, dan alat penolak bala untuk memperoleh ketenangan, ketentraman, kesejahteraan, dan keselamatan. Data penelitian ini diambil dari tuturan yang mengandung eufemisme yang dituturkan oleh cagub dan cawagub DKI dalam Debat Pilkada DKI Tahun 2017 yang didukung dengan konteks pada saat tuturan tersebut dituturkan. Sumber datadiambil dari video dan transkripdebat putaran pertama yang diselenggarakanoleh KPUpada tanggal 13 Januari 2017 dan terdiri dari 6 sesi debat dengan tema pembanguan sosial ekonomi untuk Jakarta.Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto, 1993:133) dan dimasukkan pada 383 kartu data sehingga menjadi transkrib data yang telah diklasifikasikan. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan teori Allan&Burridge (1991) dan Wijana (2008). PEMBAHASAN Ditemukan 103 data eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap calon menggunakan eufemisme dengan persentase yang berbeda. Selain itu, ditemukan 7 tipe eufemisme dan 5 fungsi eufemisme dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Berikut rinciannya: NO NAMA CAGUB DAN CAWAGUB JUMLAH PERSENTASE 1 AGUS 30 29.5% 2 AHOK 26 25.5% 3 ANIES 21 20.5% 4 DJAROT 14 13.5% 5 SANDIAGA 7 6.5% 6 SYLVI 5 4.5% 103 100% TOTAL Tabel 1. Presentase Penggunaan Eufemisme oleh Cagub dan Cawagub dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 NO BENTUK EUFEMISME JUMLAH PERSENTASE 1 One for one Substitution 37 36% 2 Colloquial 16 15.5% 3 Figurative Expression 15 14.6% 4 Flippancy 14 13.6% 5 Circumlocution 9 8.7% 6 Borrowing 6 5.8% 7 General for specific 6 5.8% 384 TOTAL 103 100% Tabel 2. Bentuk Eufemisme dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 NO FUNGSI EUFEMISME JUMLAH PERSENTASE 1 Membentuk Citra Positif 27 26.2% 2 Mengkritik/Menyindir Lawan Politik 23 22.3% 3 Menghaluskan Ucapan 21 20.4% 4 Berdiplomasi 18 17.5% 5 Merahasiakan Sebenarnya yang 14 13.6% Kenyataan TOTAL 103 100% Tabel 3. Fungsi Eufemisme dalam Debat Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 1. Tipe EufemismedalamDebatPilkada DKI Jakarta Tahun 2017 Berikut ini adalah contohtipe eufemisme yang ditemukan dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017: a. One for One Substitution (1) “Pemindahan bila dilakukan, maka pemindahan itu dengan memperhatikan haknya. Dengan memperhatikan penghidupannya”. (Anies, Sesi 3) Anies menggunakan kata “pemindahan” sebagai strategi untuk menghaluskan makna “penggusuran” walaupun sebenarnya kedua kata tersebut bermakna sama. Penghindaran penggunaan kata “penggusuran” disebabkan karena masyarakat merasa trauma dengan penggusuran yang dilakukan oleh gubernur sebelumnya. b. Kolokial (2) “Meskipun begitu banyak kekuatan, kita akan hadapi.” (Anies, Sesi 2) Kata “kekuatan” merupakan istilah umum yang dalam konteks debat pilkadaberarti“pejabat pemerintah”. Anies menyampaikan bahwa ia akan memerangi narkoba walaupun akan ada banyak halangan dari “pejabat pemerintah” yang melindungi peredaran narkoba di Jakarta. 385 c. Ekspresi Figuratif (Figurative Expression) (3) “Dengan demikian, jangan hanyamembangun badannya, tetapi bangunlah jiwa kota ini”. (Agus, Sesi 3) Ungkapan pada data (3)bermakna “jangan hanya membangun infrastruktur dan fasilitas kota Jakarta saja, akan tetapi juga perlu menyejahterakan dan memberikan rasa aman bagi masyarakat”. Agus memperhalus kalimat pada data (3) dengan ekspresi figuratif karena dibalik pembangunan tata kota tersebut, ternyata banyak penduduk yang harus rela menderita dengan adanya penggusuran. d. Flipansi (Flippancy) (4) “Saya akan berdiri yang terdepan bersama seluruh warga Jakarta untuk mengubah warga ibukota menjadi semakin modern dan unggul”. (Agus, Sesi 1) Makna yang sebenarnya dari “berdiri yang terdepan” adalah berdiri dalam barisan yang paling depan diantara yang lain. Sedangkan dalam konteks debat pilkada DKI, berdiri yang terdepan dapat diartikan sebagai “memimpin warga Jakarta” atau “menjadi gubernur”. e. Sirkumlokusi (Circumlocution) (5) “Ketika kita berbicara tetang mengelola warga ditepi sungai, Jakarta bukan kota yang pertama”. (Anies, Sesi 3) Anies menghindari menggunakan kata “menggusur” dan memilih menggunakan ungkapan“mengelola warga ditepi sungai”karena penggusuran merupakan isu yang sensitif bagi masyarakat Jakarta, walaupun sebenarnya keduanya memiliki makna yang sama. f. Peminjaman Bahasa Asing Sesuai data, hanya ditemukan peminjaman bahasa asing dari bahasa Inggris saja. Berikut adalah contohnya: (6) “Kita akan melakukan apa yang disebut dengan urban renewal, peremajaan kota. Penataan ulang, bukan dokosongkan. Aaplagi dikosongkan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan”. (Anies, Sesi 3) Jika terpilih nanti, Anies akan melakukan urban renewal atau peremajaan kota dibanding dengan “penggusuran” yang dianggap lebih banyak merugikan warga Jakarta. Walaupun sebenarnya dalam konteks 386 ini, urban renewal memiliki makna yang sama dengan penggusuran, akan tetapi ketika dirasakan urban renewal memiliki makna yang lebih halus g. Umum ke Khusus (General for Specific) (7) “Ketika mereka sakit dengan biaya dan butuh bantuan, pemenrintah hadir untuk membantu mereka”. (Djarot, Sesi 1) Djarot menggunakan “bantuan” sebagai bentuk umum dari “bantuan uang” agar tidak ada pihak yang merasa direndahkan. Karena bersinggungan dengan masalah ekonomi masyarakat, Djarot berhatihatiandalammencariistilah yang tepat ketika menyampaikan pendapat di dalam debat. 2. FungsiEufemismedalamDebatPilkada DKI Jakarta Tahun 2017 Tidak semua fungsi eufemisme dalam teori Wijana (2008) ditemukan dalam debat pilkada DKI ini. Dari 5 fungsi yang ada, hanya 3 fungsi yang muncul, yaitu sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu dan sebagai alat untuk berdiplomasi. Akan tetapi, dalam peneitian ini ditemukan fungsi lain eufemisme dalam ranah debat, yaitu sebagai alat untuk membentuk citra diri di mata masyarakat dan sebagai alat untuk menyindir atau mengkritik kebijakan lawan politiknya.Berikut ini adalah contoh fungsi eufemisme yang ditemukan dalam debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017: a. EufemismesebagaiAlatuntukMenghaluskan Ucapan (8) “Dibidang pendidikan, kami juga akan menghadirkan KJP plus dimana ini adalah jawaban yang ditunggu para keluarga kurang mampu”. (Sandiaga, Sesi 1 Sandiaga menggunakan variasi bahasa eufemisme, yaitu “keluarga kurang mampu”untuk memperhalus ungkapan “keluarga miskin”. Penggunaan “keluarga miskin” jika disampaikan dalam konteks debat dan akan berpotensi menyinggung rakyat Jakarta yang berada dalam ekonomi menengah ke bawah. b. EufemismesebagaiAlatuntukMerahasiakan Sesuatu (9) Kemudian ketika mereka tidak bisa bayar, mereka diusir, sudah pindah dari rumah dan akar budayanya dia juga harus terusir dari rusunawanya. On site upgrading adalah menata kota tanpa menggusur 387 Sylvi dan Agus memiliki program on site upgrading untuk mengatasi persoalan penertiban daerah kumuh serta banjir yang dilakukan dengan merelokasi sementara kawasan kumuh ketempat lain, kemudian dilakukan pembangunan rumah susun di tempat yang agak jauh dari sungai untuk menjadi tempat tinggal permanen warga. Istilah ini digunakan untuk mengaburkan kenyataan bahwa program penataan kota “geser tanpa gusur” yang diwarkan oleh Sylvi dan Agus sebenarnya juga dilakukan dengan cara menggusur akan tetapi bahasanya dikemas dengan cara yang halus untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. c. EufemismesebagaiAlatuntukBerdiplomasi (10) Kebijakan-kebijakan ini harus kita ambil, disamping kita menormalisasi sungai dan banjir sudah berkurang. (Djarot, Sesi 3) Menormalisasi sungai memiliki makna pengembalian fungsi utama sungai, dan secara otomatis pemukiman kumuh dan bangunan yang berada di tepi sungai akan ditertibkan atau digusur. Penggunaan eufemisme inibertujuan untuk berdiplomasi agar tidak menimbulkan kecemasan warga Jakarta yang tinggal di bantaran sungai. d. EufemismesebagaiAlatuntukMembentuk Citra Positif di Mata Masyarakat (11) Pemindahan bila dilakukan, maka pemindahan itu dengan memperhatikan haknya. Dengan memperhatikan penghidupannya. (Anies, Sesi 3) Anies memaparkan tanggapannya terhadap permasalahan yang terjadi di Jakarta, yaitu banjir, penggusuran dan program rumah susun. Secara tegas Anies menolak penggusuran karena bertentangan dengan keadilan. Sesuai dengan data 25 Anies lebih memilih menggunakan variasi bahasa eufemisme, yaitu “pemindahan” dari pada kata “penggusuran” yang sebenarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama. Eufemisme tersebut dituturkan untuk membentuk citra positif sebagai calon gubernur DKI yang pro rakyat karena rakyat Jakarta banyak yang tidak setuju dengan adanya penggusuran sebagai cara untuk menormalisasi sungai. 388 e. Eufemisme sebagai Alat untuk Menyindir atau Mengkritik Lawan Politik (12) Bapak punya alasan tentunya mengapa menggusur, tetapi bagaimana perasaan Bapak sebagai pengambil kebijakantersebut melihat masyarakat yang hidupnya semakin sulit? (Agus, Sesi 4) Agus memilih menggunakan variasi bahasa eufemisme “pemegang kebijakan” dari pada “gubernur” untuk menekankan bahwa Ahok adalah orang nomor satu yang berkuasa dalam menentukan kebijakan apa yang terbaik bagi rakyat Jakarta. Agus berpendapat, seharusnya ada cara lain yang dapat ditempuh tanpa melukai masyarakat dan membuat kehidupan mereka semakin sulit. Dibalik pembangunan fisik tersebut, banyak penduduk yang harus rela menderita dengan adanya penggusuran. Ungkapan ini diucapkan sebagai bentuk kritikan atas keputusan Ahok yang hanya berfokus untuk mempercantik kota, meningkatkan fasilitas dan membangun insfrastruktur tanpa memperdulikan perasaan warga Jakarta yang sudah tergusur. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa eufemisme merupakan salah satu gaya bahasa yang dipilih oleh pasangan cagub dan cawagub DKI Jakarta tahun 2017 dalam menyampaikan pendapatnya didalam debat sebagai bentuk penghalusan terhadap kata atau ungkapan yang memiliki nilai rasa lebih rendah. Tipe dan fungsi eufemisme yang digunakan oleh calon gubernur dan wakil gubernur dalam debat pilkada DKI tahun 2017 erat kaitannya dengan konteks kultural dan sosial masyarakat Indonesia yang selalu mengedepankan kesopanan dalam bertutur kata sekalipun dalam suasana debat. Hal ini menyebabkan para pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur lebih memilih menggunakan eufemisme untuk membentuk citra positif di mata masyarakat sebagai pemilih. 389 DAFTAR PUSTAKA Allan, Keith & Burridge, Kate. 1991. Euphemism and Dysphemism. Language Used as Shield and Weapon. Oxford: Oxford University Press. Arif, N Fataliyeva. 2015. “Social and Cognitive Implication of Using Euphemisms in English”. International Journal of English Linguistics. Vol. 5 No. 6 November, 2015 Published by Canadian Center of Science and Education. Bakhtiar, M. 2012. “Communicative Functions of Euphemism in Persian”. The Journal of International Social Research, Vol. 5, Hal. 7-12 Fernandez, E. C. 2014. “Euphemism and Political Discourse in the British Regional Press”. Brno studies in English Volume 40, No. 1. Hal. 5-26 Greene, C. T. 2000. “The Use of Euphemisms and Taboo Terms by Young Speakers of Russian and English”. Thesis. Alberta: University of Alberta Jackova, M. 2010. “Euphemisms in Today’s English”. Bachelor Thesis. Zlin: Tomas Bata University Karam, Savo. 2011. “Truths and Euphemisms: How Euphemisms are Used in the Political Arena”. Vol. 17 No. 1. 3L: Language, Linguistics, Literature the Southeast Asian Journal of English Language Studies. Pujaningrat, S. 2011. “An Analysis of Euphemism in Rubric World of the Jakarta Post of December 2010 Edition”. Thesis. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Sari, D. S. 2013. “Euphemism Found in Opinion Column of the Jakarta Post Newspaper”. English Language and Literature E-Journal, Hal. 77-82 Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Budaya secara Linguistik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. (2008). Semantik, Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Sumber Elektronik Video debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017 https://www.youtube.com/watch?v=FtqW5lscU1M&t=172sdiakse s pada 27 November 2017 Transkrip debat pilkada DKI Jakarta tahun 2017 https://tirto.id/transkrip-debat-perdana-pilgub-dki-jakartasegmen-satu-cg diakses pada 27 November 2017 390 HASIL DISKUSI SEMINAR SARAN DAN PERTANYAAN 1. Hasil temuan menunjukkan bahwa Agus lebih banyak menggunakan eufemisme daripada Silvi. Padahal, jika ditinjau dari sisi gender, seharusnya bahasa perempuan lebih condong pada eufemisme. Menurut anda, apakah ada faktor lain yang ikut menentukan hal ini? (Nurul Pratiwi, S2 Ilmu Linguistik UGM) Jawaban: Bahasa dan gender memang sangat menarik untuk diteliti. Lakoff menyatakan bahwa perempuan atau femininlebih memilih kata-kata yang halus dan sopan dalam bertutur kata. Namun, penelitian ini dilakukan pada tahun 1973. Beberapa penelitian terbaru mengenai bahasa dan gender yang menunjukkan bahwa laki-laki bahasanya jauh lebih feminine dari pada perempuan dan begitu juga sebaliknya. Jadi hal tersebut tidak dapat lagi dijadikan sebagai patokan bahwa perempuan akan cenderung memakai eufemisme yang lebih tinggi frekuensinya dalam debat pilkada. 2. Salah satu tipe eufemisme yang anda temukan adalah peminjaman bahasa asing. Apakah ditemukan bahasa asing lain selain bahasa Inggris? Karena bahasa daerah pun juga termasuk bahasa asing. (Titis Kris Pandu Kusuma, S2 Ilmu Linguistik UGM) Jawaban: Sesuai dengan data temuan saya, tidak ada eufemisme dalam bahasa daerah dan hanya ditemukan peminjaman bahasa asing dari bahasa Inggris saja 391 POTENSI WIKIPEDIA SEBAGAI MEDIA PELESTARIAN BAHASABAHASA NUSANTARA Nur Fahmia Sastra Indonesia FIB UGM nfahmia.id@gmail.com ABSTRAK Wikipedia merupakan satu dari situs ensiklopedia bebas pertama yang menjadi rujukan masyarakat Indonesia. Dengan prinsip “bebaskan pengetahuan”, Wikipedia kemudian menyediakan informasi ke dalam bahasa-bahasa di dunia seperti bahasa Indonesia. Komunitas sukarelawan Wikipedia Indonesia pun sadar bahwa terdapat ratusan bahasa daerah di Nusantara. Untuk mempermudah akses informasi melalui bahasa ibu, maka Wikipedia menyediakan bahasa-bahasa Nusantara. Saat ini, sudah terbentuk Wikipedia bahasa Aceh, bahasa Banjar, bahasa JawaBanyumasan, bahasa Bugis, bahasa Jawa, bahasa Melayu, bahasa Minangkabau, bahasa Sunda, dan bahasa Tetun. Saat ini, Wikimedia Inkubator sedang menggodok setidaknya 83 bahasa Nusantara. Selain bahasa daerah, juga terdapat subdialek dan dialek bahasa daerah di Indonesia dalam Wikimedia Inkubator. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini berupa penelitian deskriptif dengan studi kasus Wikipedia bahasa Aceh, Wikipedia bahasa Gorontalo, Wikipedia bahasa Jawa, Wikipedia bahasa Minangkabau, dan Wikipedia bahasa Sunda. Di dalam makalah ini, akan dideskripsikan mengenai proses pengembangan dalam rangka pelestarian bahasa-bahasa Nusantara dalam Wikipedia. Peran komunitas dan aktivitas komunitas pegiat Wikipedia bahasa-bahasa Nusantara juga akan diteliti. Sebagai simpulan, Wikipedia berpotensi untuk bersumbangsih dalam pemertahanan bahasa daerah di Indonesia. Berbagai tantangan dalam komunitas Wikipedia dan pemertahanan eksistensi bahasa Nusantara meliputi kesadaran anggota komunitas, fitur teknis Wikipedia, dan istilah pengetahuan modern dalam bahasa daerah. Kata kunci: bahasa daerah, ensiklopedia, komunitas tutur, pemertahanan bahasa 392 1. PENGANTAR Bahasa daerah merupakan salah satu kekayaan unik yang dimiliki oleh Indonesia. Kondisi geografis yang terdiri atas pulau-pulau ikut andil dalam keanekaragaman bahasa daerah. Wilayah Kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke disebut oleh KBBI sebagai Nusantara. Sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan telah diidentifikasi dan divalidasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (http://118.98.223.79/petabahasa/infografik.php ). Kekayaan bahasa daerah di Indonesia perlu dilestarikan. Mengapa? Sebab, masyarakat Indonesia mayoritas merupakan masyarakat dwibahasa, yang menuturkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Namun sayangnya, penggunaan bahasa daerah tergeser oleh bahasa Indonesia. Dalam sosiolinguistik, dikenal istilah pemertahanan bahasa. Dalam pemertahanan bahasa, guyup itu secara kolektif menentukan untuk melanjutkan memakai bahasa yang sudah biasa dipakai. Disebutkan pula bahwa pemertahanan bahasa sering menjadi ciri guyup dwibahasa atau ekabahasa (Sumarsono dan Partana, 2004:231). Salah satu media informasi yang mendukung pemertahanan bahasa daerah di Indonesia adalah Wikipedia. Wikipedia adalah proyek ensiklopedia multibahasa dalam jaringan yang bebas dan terbuka. Wikipedia dijalankan oleh Wikimedia Foundation yang berbasis di Amerika Serikat. Menurut sejarah, Wikipedia berbahasa Indonesia berdiri pada tahun 2003. Saat ini per April 2018, terdapat 83 bahasa daerah di Indonesia yang terdapat dalam proyek Wikimedia Inkubator. Dengan prinsip “bebaskan pengetahuan” dan basis komunitas, Wikimedia mencoba untuk mendistibusikan pengetahuan melalui bahasa daerah di Indonesia. Sebuah studi ditulis oleh Asta Zelenkauskaite dan Paolo Massa berjudul Regional Languages on Wikipedia. Penelitian ini berfokus pada interaksi pengguna Wikipedia yang berasal dari Venezia. Studi tersebut menyatakan bahwa Wikipedia tidak hanya berfungsi sebagai media pelestarian budaya melalui bahasa, tetapi juga menyediakan wadah komunitas sebagai sarana berbagai cita-cita dan memperpanjang komunikasi antarpengguna secara langsung. 393 Berkaitan dengan hal itu, studi dalam makalah ini dilakukan untuk mengidentifikasi Wikipedia sebagai media pelestarian bahasa daerah di Indonesia. Kemudian, studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia serta proyek-proyeknya dan mendeskripsikan tantangan-tantangan keberlangsungan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan studi kasus Wikipedia Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia Minangkabau, dan Wikipedia Sunda. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Dalam hal ini, peneliti terlibat dalam beberapa proyek Wikipedia Jawa sebagai sukarelawan. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara kepada sukarelawan Wikipedia untuk Wikipedia Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia Minangkabau, dan Wikipedia Sunda. 2. WIKIPEDIA BAHASA DAERAH DI INDONESIA Wikipedia merupakan bagian dari Wikimedia. Di Indonesia, terdapat Wikipedia bahasa daerah yang telah berhasil didirikan dengan domain sendiri dengan dukungan Wikimedia Indonesia. Syarat untuk membuat Wikipedia dengan bahasa tertentu yaitu jumlah orang yang cukup untuk berkontribusi ke wiki dan bahasa yang diajukan adalah bahasa yang berkode sah ISO 639. Daftar Wikipedia bahasa daerah yang telah ber-domain mandiri yakni sebagai berikut (berdasarkan statistik Wikimedia bulan Maret 2018). Nama Bahasa Alamat Kontribusi Jumlah Jumlah Jumlah Pertama Artikel Editor Penutur Aktif Bahasa Aceh ace.wikipedia.org 2008 7.284 3 3.500.000 Banjar Banyumasan 1.900 13.519 1 4 3.500.000 13.500.000 Bugis bjn.wikipedia.org 2008 map2006 bms.wikipedia.org bug.wikipedia.org 2005 14.141 0 4.000.000 Gorontalo gor.wikipedia.org 1.191 3 1.000.000 (sumber: Ethnologue) 2010 394 Jawa jv.wikipedia.org 2003 55.017 Minangkabau min.wikipedia.org 2011 222.206 4 6.500.000 Sunda Tetun 2003 2006 39.651 1.481 27.000.000 550.000 su.wikipedia.org tet.wikipedia.org 14 11 2 94.000.000 Pada tabel di atas, terdapat zona abu-abu untuk menyebut bahasa atau dialek. Misalnya, Wikipedia Banyumasan yang telah berdiri sendiri dengan kode domain map-bms. Kemudian, Wikipedia Tetun pun dominan dituturkan oleh masyarakat di Timor Leste. Namun, Wikipedia Tetun tetap menjadi ranah proyek Wikimedia Indonesia. Sebab, Timor Leste berbatasan dengan Nusa Tenggara Timur yang masih menjadi wilayah kerja Wikimedia Indonesia. Berikut ini daftar Wikipedia bahasa daerah yang masih digodok dalam Wikimedia Inkubator (data per April 2018). Wilayah Bahasa Sumatera Alas, Angkola, Bangka, Batak Toba, Gayo, Karo, Keluwat, Kerinci, Komering, Lampung Api, Lampung Nyo, Mandailing, Melayu Jambi, Melayu Tengah, Mentawai, Musi, Nias, Pakpak, Rejang, Sigulai, Simalungun, Simeulue, dan Singkil Kalimantan Bakumpai, Dusun Deyah, Iban, Kendayan, Kutai Tenggarong, Kutai Kota Bangun, Lawangan, Ma'anyan, Melayu Dayak, dan Ngaju Jawa & Nusa Bali, Betawi, Bima, Kambera, Lamaholot, Lewotobi, Tenggara Li'o, Madura, Manggarai, Sabu, Sasak, Sika, Sumbawa, dan Uab Meto Sulawesi Bajau, Banggai, Cia-Cia, Duri, Kaidipang, Kaili Ledo, Makassar, Mamasa, Manado, Mandar, Mongondow, Muna, Pamona, Selayar, Tae', Tolaki, Tondano, Tonsea, Tontemboan, Toraja-Sa'dan, Tukang Besi Utara , dan Tukang Besi Selatan Sulawesi Melayu Ambon, Fordata, Galela, Kei, Melayu Maluku Utara, Ternate, Tobelo , dan Yamdena Papua Biak, Dani, Ekari, Melayu Papua, dan Sentani 395 Lolosnya sebuah Wikipedia bahasa baru dari seleksi Komite Bahasa Wikimedia melibatkan kerja keras kontributor atau sukarelawan. Pada tabel di atas, terlihat pula adanya ketimpangan daftar kategori bahasa, subdialek, dan dialek. Namun, hal tersebut tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Berikut ini akan dipaparkan mengenai Wikipedia Aceh, Wikipedia Gorontalo, Wikipedia Jawa, Wikipedia Minangkabau, dan Wikipedia Sunda. Wikipedia Aceh bermula dari Wikimedia Inkubator. Penyebaran Wikipedia Aceh melalui sosial media, seperti acehforum.or.id, Kaskus, dan Facebook. Pelatihan menulis di Wikipedia Aceh hanya dilukan secara personal, seperti forum Warung Kopi di Wikipedia. Wikipedia Gorontalo resmi diluncurkan dari Wikimedia Inkubator pada tanggal 18 April 2018. Wikipedia Gorontalo dibuat sejak 2009 dan vakum hingga tahun 2014. Salah satu indikator penilaian untuk lolos dari Wikimedia Inkubator adalah target artikel yang ditulis oleh 4—5 orang setiap bulan. Kontributor yang mengawal Wikipedia Gorontalo sejak dalam inkubator hingga rilis adalah Marwan Mohammad. Marwan mengelola grup Facebook dan Whatsapp untuk menyebarkan informasi tentang Wikipedia Gorontalo. Proses cepat yang dilakukan untuk lolos dari Wikimedia Inkubator yaitu dengan menerjemahkan artikel dari Wikipedia bahasa Indonesia. Selain itu, juga dilakukan penulisan artikel baru berupa tiga sampai lima kalimat sederhana jika rujukannya sulit didapatkan. Wikipedia Jawa lahir tidak melalui Wikimedia Inkubator, namun sudah disiapkan domainnya. Pendiri dan pengguna pertama yaitu Revo Soekatno. Pengembangan Wikipedia Jawa dilakukan melalui fitur Parembugan Wikipedia, semacam forum diskusi di laman Wikipedia Jawa. Komunitas Wikipedia Jawa secara luar jaringan terdapat di Yogyakarta. Untuk meningkatkan budaya tulis bahasa Jawa dalam jaringan, komunitas Wikipedia Jawa telah mengadakan kompetisi Wiki Mrebawani (Wikipédia Mangreksa Basa Jawa lan Mumpuni) pada tahun 2015 berupa permainan daring. Kemudian, Wiki Mrebawani II pada tahun 2017 berupa perlombaan menulis bahasa Jawa non-fiksi di Wikipedia Jawa. Pada tahun 2010, dibuat halaman permohonan untuk Wikipedia bahasa Minangkabau. Salah satu pendirinya adalah Ichsan Mochtar. Selama dua tahun, beberapa pengguna menerjemahkan terminologi antarmuka dan menulis artikel bahasa Minang di Wikimedia Inkubator. Kemudian, pada akhir Januari 2013, Wikipedia Minangkabau disetujui 396 oleh Komite Bahasa Wikimedia untuk rilis dengan domain beralamat min.wikipedia.org. Pada awal pendirian, Wikipedia Sunda berkembang ke masyarakat melalui milis. Salah satu pendiri Wikipedia Sunda adalah Iskandar Adnan. Seperti Wikipedia Jawa, Wikipedia Sunda pun mengadakan kompetisi yang bertajuk Wiki Sabanda (Wikipedia Raksa Basa Sunda) yang bertujuan untuk melestarikan bahasa Sunda. 3. TANTANGAN WIKIPEDIA BAHASA DAERAH DI INDONESIA Keberlangsungan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia memiliki beberapa tantangan. Pertama, kesadaran masyarakat terhadap urgensi melestarikan budaya tulis dalam Wikipedia masih minim. Ditambah lagi, kontribusi di Wikipedia bersifat sukarela sehingga hanya sedikit orang yang mau membangun dan memelihara komunitas. Padahal, keberlangsungan Wikipedia bahasa daerah di Indonesia tergantung pada konsistensi komunitas. Hal ini bisa dilihat pada Wikipedia bahasa Bali yang masih dalam Wikimedia Inkubator karena akumulasi aktivitas komunitasnya belum memenuhi syarat. Kedua, penggunaan fitur-fitur Wikipedia bersifat teknis. Maka dari itu, Wikimedia Indonesia mengadakan proyek WikiLatih. WikiLatih merupakan pelatihan menulis artikel di Wikipedia Indonesia dan Wikipedia bahasa daerah. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah sukarelawan dan diharapkan untuk membangun komunitas di daerah. WikiLatih saat ini telah dilaksanakan oleh Wikipedia Minang, Wikipedia Sunda, dan Wikipedia Jawa ke ranah sekolah, universitas, dan umum. Namun, konsistensi pengguna setelah diadakan proyek WikiLatih dan kompetisi masih jauh dari harapan. Ketiga, penggunaan istilah pengetahuan modern kerap menjadi kendala saat menulis di Wikipedia bahasa daerah. Tetapi, Wikipedia tidak memberatkan pengguna. Istilah modern yang belum ditemukan dalam bahasa daerah dapat diserap melalui bahasa Indonesia. Konsep Wikipedia adalah semua orang bebas menyunting sehingga istilah tertentu dapat didiskusikan pada fitur diskusi. 397 4. SIMPULAN Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Wikipedia berpotensi untuk bersumbangsih dalam pemertahanan bahasa daerah di Indonesia. Proses penerbitan Wikipedia bahasa daerah melalui Wikimedia Inkubator. Selain bahasa daerah, juga terdapat subdialek dan dialek bahasa daerah di Indonesia dalam Wikimedia Inkubator. Proyekproyek yang dilakukan oleh Wikipedia bahasa daerah terdiri atas WikiLatih dan kompetisi menulis artikel. Tiga tantangan dalam merawat komunitas Wikipedia bahasa daerah yaitu kesadaran anggota komunitas, fitur teknis Wikipedia, dan istilah pengetahuan modern dalam bahasa daerah. 5. DAFTAR ACUAN Sumarsono dan Paina Partana. 2004. cet. ke-2. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda. Asta Zelenkauskaite dan Paolo Massa. Regional Languages on Wikipedia. https://www.academia.edu/2736303/Regional_Languages_on_Wikipedi a._Venetian_Wikipedia_s_user_interaction_over_time. 30 Mei 2018 (20:20 WIB). Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Data Bahasa Daerah 2017. http://118.98.223.79/petabahasa/infografik.php. 30 April 2018 (17:40). Incubator Wikimedia. Bantuan:Panduan. 2018. https://incubator.wikimedia.org/wiki/Help:Manual/id. 30 April 2018 (17:42). Wikipedia Aceh. https://ace.wikipedia.org/wiki/%C3%94n_Keu%C3%AB. 30 April 2018 (17:46). Wikipedia Banjar. https://bjn.wikipedia.org/wiki/Tungkaran_Tatambaian. 30 April 2018 (17:45). https://mapWikipedia Banyumasan. bms.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama. 30 April 2018 (17:45). 398 Wikipedia Bugis. https://bug.wikipedia.org/wiki/Mappadec%C3%A9%C5%8B. 30 April 2018 (17.44). Wikipedia https://gor.wikipedia.org/wiki/Halaman_Bungaliyo. 2018(17:45). 30 Gorontalo. April Wikipedia Indonesia.https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia_bahasa_Indonesia. 30 April 2018 (17:47). Wikipedia Jawa. https://jv.wikipedia.org/wiki/Tepas. 30 April 2018 (17:44). Wikipedia Minangkabau. https://min.wikipedia.org/wiki/Laman_Utamo. 30 April 2018 (17:44). Wikipedia Sunda. https://su.wikipedia.org/wiki/Tepas. 30 April 2018 (17.43). Wikipedia Tetun. https://tet.wikipedia.org/wiki/P%C3%A1jina_Mahuluk. 30 April 2018 (17:43). Wikimedia Indonesia. WikiLatih. http://wikimedia.or.id/wiki/WikiLatih. 30 April 2018 (17:47). Wikimedia Indonesia. Wiki Sabanda. http://wikimedia.or.id/wiki/Wiki_Sabanda. 30 April 2018 (17:48). Wikimedia Indonesia. Wiki Mrebawani. http://wikimedia.or.id/wiki/Wiki_Mrebawani. 30 April 2018 (17:49). Wikipedia Statistics. https://stats.wikimedia.org/EN/. 30 April 2018 (17:56). HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Penanya (Astrid) Pertanyaan : Bagaimana Wikipedia mengontrol vandalisme? Jawaban : Di Wikipedia, terdapat editor aktif. Para editor memeriksa artikel-artikel yang dibuat oleh sukarelawan. Tugas editor Wikipedia adalah untuk mengontrol terjadinya vandalisme dan perusakan artikel di Wikipedia. Selain itu, konsep “pengetahuan bebas” yang diusung oleh Wikipedia memungkinkan 399 adanya kontrol kuat di antara para sukarelawan. Seluruh sukarelawan tahu artikel dan perubahan yang terjadi di laman Wikipedia setiap bahasa. Oleh karena itu, sebenarnya, penyunting dan pengontrol Wikipedia adalah kita semua, sebagai konsumen sekligus sukarelawan Wikipedia yang merawat Wikipedia sebagai rujukan pertama pengetahuan yang bebas. 2. Pengusul (Prof. I Dewa Putu Wijana) Prof. Putu menyarankan untuk mengganti judul makalah dengan adanya penambahan kata “potensi”. Hal ini bermaksud untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam Wikipedia. 400 PENERJEMAHAN DIATESIS (VOICE) BERBAHASA INGGRIS KEDALAM BAHASA INDONESIA PADA TERJEMAHAN NOVEL THE ADVENTURES OF SHERLOCK HOLMES Nurul Pratiwi nurul.koida@gmail.com Program Studi Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Adanya perbedaan frekuensi penggunaan dan makna wacana yang dihasilkan dari diatesis (voice) pada setiap bahasa menyebabkan unsur bahasa ini berpotensi ‘bermasalah’ saat akan diterjemahkan (Baker, 2011). Menindaklanjuti pernyataan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesejajaran gramatikal dan makna wacana diatesis antara BSu dengan BSa dalam novel The Adventures of Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle yang diterjemahkan menjadi Petualangan Sherlock Holmes oleh Daisy Dianasari. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah telaah dokumentasi dan teknik analisis yang diterapkan adalah komparatif. Hasilnya, ditemukan diatesis yang sejajar, dimana strukturnya tetap konsisten mengikuti TSu dan lebih banyak lagi diatesis yang tidak sejajar, dimana strukturnya berubah menyesuaikan dengan TSa. Perubahan struktur ini kemungkinan dilandasi oleh beberapa makna wacana yang ingin diwujudkan oleh penerjemah dalam TSa. Kata Kunci : penerjemahan, diatesis, kalimat aktif- qpasif, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia Pendahuluan Adanya perbedaan karakteristik sintaksis dan makna wacananya antara BSu dan BSa menyebabkan penerjemah harus lebih berhati-hati dalam menentukan padanan yang tepat saat akan menerjemahkan teks. Salah satu unsur kebahasaan yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan menurut Baker (2011) adalah kesepadanan gramatikal diatesis (grammatical equivalence of voice). Diatesis yang dimaksud merujuk pada kalimat aktif dan pasif. 401 Sejumlah penelitian mengenai perbandingan kalimat pasif serta strategi penerjemahannya telah diteliti dalam berbagai bahasa (Lih. Abbasi dan Arjenan, 2014; Suprato, 2013; Munif, 2008; dan Haiguang, 2015). Akan tetapi belum ada penelitian yang membahas mengenai kedua bentuk, yakni aktif dan pasif sekaligus. Begitu pula, pada perbandingan kalimat pasif Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia hanya difokuskan pada pergeseran penerjemahan dan ketepatan makna saja. Sedangkan, bahasan mengenai perbandingan karakter diatesis masing-masing bahasa beserta makna wacananya masih sangat kurang. Padahal hal ini dipandang perlu untuk menjadi pertimbangan penerjemah khususnya yang masih pemula. Larson (1984:3) menegaskan bahwa penerjemah perlu memahami leksikon, struktur grmatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari BSu dipelajari. Begitu pula, ketika membahasakan kembali ke dalam BSa harus sesuai dengan pilihan leksikon dan struktur gramatikal yang berterima. Hal ini demi tercapainya hasil terjemahan yang baik, yakni berterima dalam bahasa sasaran pembacanya (Nida dan Taber, 1974). Kalimat aktif dan pasif sebenarnya umum ditemukan dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, tetapi, frekuensi penggunaannya pada kedua bahasa berbeda bergantung pada makna wacana yang hendak disampaikan. Misalnya, pada Bahasa Inggris, pasif lazim digunakan dalam artikel ilmiah untuk menunjukkan kesan objektivitas, yakni dengan memberi jarak penulis dengan pernyataannya (Baker, 2011:112). Sedangkan pada Bahasa Indonesia, makna wacana terkait penggunaan pasif setidaknya ada empat menurut Ramlan (1997), yakni ketidaksengajaan, tindakan yang tidak menyenangkan, fokus perbuatan, dan fokus sasaran. Dan penerjemah baik yang pemula maupun ahli adalah mediator dalam proses negosiasi antar dua bahasa yang berbeda baik struktur maupun budayanya (Bassnett, 2002:8). Pada novel The Adventures of Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Petualangan Sherlock Holmes oleh Daisy Dianasari, ditemukan perbedaan perlakuan dalam menerjemahkan diatesis aktif dan pasif. Pada beberapa kalimat misalnya, diatesis aktif dan pasif diterjemahkan sebagaimana struktur BSu. Namun, pada kalimat lainnya, terjadi perubahan struktur untuk memenuhi penyesuaian makna dalam BSa. Hal ini sesuai dengan pendapat Catford (1965) bahwa faktanya bahasa adalah seperangkat piranti rumit yang menghubungkan bentuk tertentu dengan maknanya. 402 Sehingga, dalam penerjemahan, seringkali pesan yang sama diungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Adanya ketidaksejajaran inilah yang memicu penulis untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang pola penerjemahan diatesis (voice) oleh Daisy Dianasari berdasarkan struktur dan makna wacananya. METODE Untuk mencapai tujuan di atas, digunakan metode telaah dokumentasi, dalam hal ini novel The Adventure of Sherlock Holmes dan terjemahannya, Petualangan Sherlock Holmes. Penelitian ini terbatas pada perbandingan struktur klausa, khususnya hubungan antara pelaku, tindakan dan sasaran. Sehingga kesepadanan leksikon seperti pergeseran, penambahan, penghilangan atau pebedaan diksi tertentu diabaikan. Datadata berupa klausa dan kalimat dipertimbangkan strukturnya berdasarkan kaidah masing-masing bahasa, Bahasa Inggris berlandaskan teori dari Quirk et al (1985) dan Bahasa Indonesia berdasarkan Ramlan (1977), Kaswanti Purwo (1989), dan Chaer (2009). Dengan metode analisis komparatif, diatesis (voice) pada TSu diperbandingkan dengan TSa untuk melihat persamaan dan perbedaan strukturnya. Selanjutnya, makna wacana pada TSa juga dianalisis untuk menemukan pola penerjemahan diatesis dalam Bahasa Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Struktur Klausa/ Kalimat 1. Sejajar Klausa atau kalimat dinyatakan sejajar jika struktur keduanya pada TSu dan TSa sama meskipun dengan penanda yang berbeda pada tiap bahasa. Dalam hal ini, kalimat aktif dalam TSu akan secara konsisten tetap diterjemahkan dengan bentuk aktif juga pada TSa dan begitu pun sebaliknya. Perhatikan contoh berikut: 1) I rang the bell. Ku pencet bel. 2) I saw his tall, spare figure pass twice in a dark silhouette against the blind. Kulihat bayangannya melintas dua kali di kerai jendela. 3) Twice she has been waylaid. Dua kali dia dicegat. 403 Pada contoh 1) dan 2) terlihat jelas bahwa kalimat ini diterjemahkan dengan tetap mengikuti struktur dari TSu, dimana kalimat aktif tetap menjadi aktif pada TSa. Pada contoh 1), I rang the bell sejajar bentuknya dengan Kupencet bel karena pelakunya tetap masih sosok orang pertama yang melakukan perbuatan pencet, dan sasarannya adalah bel. Pada contoh 2), meski terdapat pergeseran bentuk pada frasa preposisinya, tetapi, hal ini diabaikan dan lebih dititikberatkan pada hubungan pelaku-sasaran untuk menemukan kesejajaran bentuk. Dalam hal ini pelakunya sama-sama orang pertama tunggal, pada Bahasa Indonesia bentuknya cenderung terikat pada verba lihat sebagai padanan dari saw, dan objeknya juga sama-sama merujuk pada spare figure atau diterjemahkan sebagai bayangannya yang merujuk pada Holmes. Sedangkan pada contoh 3), kalimat dalam BSu yang berbentuk pasif diterjemahkan masih dengan struktur yang sama pada BSa. Pada contoh 3) jelas terlihat strukturnya sejajar, bahkan urutan katanya pun sama. Pada kasus ini, subjek sebagai penderita sama-sama orang ketiga tunggal yang merepresentasikan sosok Irene Adler. Begitu pula verba, sebagai unsur utama penentu tipe kalimat aktif atau pasif, dapat teridentifikasi melalui karakternya. Dalam hal ini, has been waylaid pada BSu, sejajar bentuknya dengan dicegat pada BSa. 2. Tak Sejajar Selain struktur yang sejajar, beberapa klausa dan kalimat dalam TSu diterjemahkan dengan struktur yang berbeda pada TSa. Dalam hal ini, ditemukan tiga bentuk ketidaksejajaran yakni aktif – pasif, pasif – aktif, dan aktif / pasif – struktur lainnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut: 4) Once we diverted her luggage when she travelled. Sekali kopernya diselewengkan ketika dia bepergian. 5) You would certainly have been burned. Orang pasti akan membakarmu. 6) “Wedlock suits you,” "Pernikahan baik untukmu," Pada contoh 4), khususnya pada klausa utama, terlihat bahwa subjek sebagai pelaku dalam hal ini we yang merujuk pada pihak Raja Bohemia melakukan tindakan diverted atau dapat diterjemahkan sebagai menyelewengkan pada objek sasarannya yakni her luggage atau kopernya. Kalimat yang sebenarnya dapat diterjemahkan dengan bentuk aktif juga, 404 ternyata oleh penerjemah diubah bentuknya menjadi pasif. Dimana sasarannya yakni kopernya pada TSa mengisi unsur subjek dan verbanya menjadi bentuk pasif yakni diselewengkan. Sedangkan, fungsi pelakunya dihilangkan. Pada contoh 5), kalimatnya merepresentasikan perubahan bentuk dari pasif pada TSu menjadi aktif dalam TSa. Lebih jelasnya, pengisi fungsi subjek, yakni, orang kedua tunggal, adalah penderita. Hal ini ditandai oleh bentuk verbanya, have been burned dalam bentuk pasif. Berbeda dari BSu, pada BSa, pelaku pengisi fungsi subjek adalah orang yang diasumsikan akan melakukan tindakan membakar. Disini, objeknya ditandai dari bentuk klitika –mu yang melekat pada verba dan merupakan bentuk lain dari orang kedua tunggal ‘kamu’ sebagai penderitanya. Sementara, pada contoh 6), perubahan bentuk kalimat yang terjadi sangat signifikan, yakni dari kalimat verba monotransitif pada BSu, menjadi kalimat adjektival pada BSa. Dalam hal ini, kelas kata verba jenis transitif suit diubah menjadi adjektiva baik. Makna Wacana Kesejajaran maupun ketidaksejajaran struktur kalimat dalam penerjemahannya kemungkinan dipengaruhi oleh makna wacana yang hendak disesuaikan oleh penerjemah dalam TSa. Beberapa makna wacana yang terkandung pada tiap kalimat diklasifikasikan menurut penggunaan struktur kalimatnya sebagai berikut: a. Aktif Kalimat aktif pada BSu akan tetap dipertahankan dalam bentuk yang sama, atau jika pun bentuknya pasif akan diubah ke bentuk aktif pada BSa jika ingin menegaskan peran pelaku atas suatu perbuatan, atau berlaku pada kalimat imperatif untuk menunjukkan kesan akrab, dimana penutur dan lawan tutur tingkatan sosialnya setara. Perhatikan contoh dibawah ini. 7) You would certainly have been burned, had you lived a few centuries ago.. Kalau saja kau hidup beberapa abad lalu, orang pasti akan membakarmu. 8) But Holmes caught me by the wrist and pushed me back into my chair. Tapi Holmes menarik pergelangan tanganku dan mendorongku agar duduk kembali. 9) Hold it up to the light. 405 Coba, dekatkan surat itu ke lampu. Pada contoh 7) terlihat jelas bahwa klausa utama yang berbentuk pasif pada BSu diubah oleh penerjemah menjadi aktif, karena ingin menegaskan peran pelaku (orang) pada situasi tertentu yang diasumsikan akan melakukan tindakan membakar. Jika berbeda pelaku, kemungkinan perlakuannya juga akan berbeda. Lalu pada contoh 8), kalimat aktif pada BSu tetap dipertahankan dalam bentuk yang sama pada BSa, karena sekali lagi, penerjemah ingin menegaskan kedudukan Holmes sebagai pelaku, yakni sebagai sosok sahabat dari tokoh aku atau dr. Watson, sekaligus sebagai tuan rumah yang berwenang menahan sosok aku untuk tidak beranjak pergi dari rumahnya, meski kliennya yang tak menginginkan kehadirannya. Sedangkan pada contoh 9), fungsi wacana dari bentuk aktif pada kalimat imperatif tersebut adalah untuk menjelaskan hubungan antara penutur, yakni Holmes, dan lawan tuturnya, yaitu dr. Watson yang telah sedemikian akrab, sehingga bentuk imperatif dalam kalimat aktif adalah hal yang berterima. Berbeda halnya, jika lawan tutur, tingkatan sosialnya lebih tua, atau orang yang belum dikenali sebelumnya, dalam Bahasa Indonesia, untuk menegaskan kesopanan, lazimnya digunakan imperatif bentuk pasif. b. Pasif Kalimat pasif pada BSu akan tetap dipertahankan dalam bentuk yang sama, atau jika pun aktif cenderung diubah ke bentuk pasif jika menyatakan ketidaksengajaan, perbuatan yg tidak menyenangkan, menonjolkan perbuatan, menegaskan penderita, dan bentuk kesopanan. 10) You have compromised yourself seriously. Anda telah terlibat secara serius. 11) And my wife has given her notice. Dan sudah ditegur oleh istriku. 12) I see it, I deduce it. Kelihatan, dan bisa disimpulkan. 13) Once we diverted her luggage when she travelled. Sekali kopernya diselewengkan ketika dia bepergian. 14) You are sure that she has not sent it yet? Yakinkah Anda, bahwa foto itu belum dikirimkannya? Pada contoh 10) terlihat bahwa struktur aktif pada TSu diubah oleh penerjemah menjadi pasif pada TSa, dengan verba terlibat. Bentuk pasif 406 dengan prefiks ter- lazimnya digunakan untuk menandai suatu tindakan tidak sengaja. Dalam hal ini, orang kedua tunggal yang merujuk pada Raja Bohemia tak menyadari bahwa perbuatannya akan menyeretnya pada kasus yang serius di masa depan. Selanjutnya, contoh 11) juga mengalami perubahan bentuk dari aktif ke pasif, padahal bentuk aktif pun memungkinkan untuk digunakan. Tetapi, pernyataan dengan bentuk pasif ini lebih menunjukkan kesan kekesalan penutur. Sedangkan bentuk aktif cenderung mengisyaratkan penutur telah menerima kesalahan pelayannya tersebut. Pada contoh 12) kalimat aktif pada TSu juga diubah menjadi kalimat pasif dalam TSa, untuk menonjolkan tindakannya. Meskipun sebenarnya bisa saja penerjemah mengikuti struktur BSu, tetapi makna wacananya akan berganti fokus pada pelaku, yang sesungguhnya telah diketahui informasinya tidak perlu untuk ditonjolkan. Pada contoh 13), kalimat aktif diterjemahkan menjadi bentuk pasif, meski sebenarnya bentuk aktif pun juga berterima. Hal ini karena penerjemah menginginkan makna wacananya lebih berfokus pada objek, sasaran tindakan penyelewengan tersebut, yakni koper dari Irene Adler yang diduga berisi sebingkai foto yang ingin didapatkan pelaku, yakni pihak Raja Bohemia. Terakhir, pada contoh 14), penerjemah mengubah kalimat aktif pada BSu menjadi pasif dalam BSa, meskipun sebenarnya bentuk aktif pun berterima. Hal ini berkaitan dengan makna kesopanan yang ingin ditonjolkan oleh penerjemah, karena dalam hal ini, lawan tutur Holmes adalah seorang Raja Bohemia, yang tingkatan sosialnya lebih tinggi. c. Struktur Lainnya Kalimat aktif atau pasif akan diubah ke struktur lain jika ingin menonjolkan keadaan, menghindari redundansi atau membentuk koherensi, dan juga menciptakan keluwesan dalam BSa. Perhatikan contoh berikut: 15) But as a lover he would have placed himself in a false position. Tapi bila berhubungan dengan masalah asmara, dia selalu serba salah. 16) I found her biography sandwiched in between that of a Hebrew rabbi and that of a staff-commander Keterangan tentang Irene Adler ternyata berada di antara riwayat hidup seorang rabi Yahudi dan seorang staf komandan. 17) When my way led me through Baker Street. 407 Dan aku lewat Baker Street. Pada contoh 15), terlihat bahwa bentuk kalimat aktif pada BSu, diterjemahkan menjadi struktur yang lain, yakni kalimat adjektival pada BSa. Dalam hal ini, penulis tidak mementingkan verba have placed tetapi lebih menyorot keadaan pelaku, yakni in a false position yang padanannya ialah serba salah. Lalu, pada contoh 16), kalimat aktif I found her biography pada BSu, diterjemahkan ke dalam bentuk yang berbeda, yakni frasa nominal, menjadi Keterangan tentang Irene Adler. Padahal, penerjemah bisa saja menerjemahkan dengan mengikuti struktur BSu, dan akan tetap berterima dalam BSa. Tetapi, hal ini dimaksudkan untuk menghindari redundansi sekaligus untuk membentuk koherensi antarkalimat, dimana sebelumnya telah disebutkan informasi siapa pelaku dan apa tindakannya. Sehingga, penerjemah dalam kasus ini lebih memilih menyorot apa yang ditemukan saja. Terkakhir, pada contoh 17), meskipun sama-sama kalimat aktif, tetapi komposisi pengisi subjek dan objek berbeda. Dalam hal ini BSu cenderung mengandung unsur metafora. Sebenarnya, penerjemah bisa tetap mempertahankan struktur BSu, akan tetapi untuk menciptakan kesan keluwesan dalam BSa, penerjemah memilih menerjemahkan dalam bentuk yang berbeda. SIMPULAN Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan dengan mengutip pendapat Baker (2011:112), bahwa sebenarnya proses penerjemahan bukan saja soal mengubah bentuk kalimat aktif menjadi pasif atau sebaliknya, melainkan juga mempertimbangkan bagaimana frekuensi penggunaan, nilai gaya bahasa, dan fungsi wacananya dalam bahasa sasaran. Karena, penggunaan struktur kalimat tertentu akan mempengaruhi pesan yang dihasilkan, terutama perannya sebagai fungsi komunikasi. REFERENSI Abbasi, A. dan Arjenan, F.M. 2014. Translation of English Passive and Unaccusative Verbs into Farsi: A Comparative Study of Three Translations of ‘Animal Farm’ by Three Iranian Translators. Science Direct. Language structure and Translation [Book] / auth. Nida Eugene Albert. - Califronia : Standford University Press, 1975. 408 Meaning-based Translation [Book] / auth. Larson Mildred L.. - Boston : University Press of America, 1984. Science of Translation in Language Vol 5 Number 3 [Book] / auth. Taber Nida Eugene dan. - New York : American Bible Society, 1969. A Textbook of Translation [Book] / auth. Newmark Peter. - London : Prentice-Hall, 1988. Pedoman bagi Penerjemah [Book] / auth. Machali Rochayah. - Bandung : Kaifa, 2009. The Translation Studies Reader [Book] / auth. Venutti Lawrence. London : Routledge, 2004. A Lingusitic Theory of Translation [Book] / auth. Catford J.C. - England : Oxford University Press, 1965. Translation [Book] / auth. Duff Alan. - England : Oxford University Press, 1989. In Other Words [Book] / auth. Baker Mona. - New York : Routledge, 2011. Metodologi Penelitian Kalitatif [Book] / auth. Sutopo. - Surakarta : UNS, 2006. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif [Book] / auth. Sugiyono. - Bandung : Alfabeta, 2010. Metodelogi Penelitian [Book] / auth. Arikunto, Suharsimi. - Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002. Translation Techniques Revisited: A Dynamic and Functionalist Approach [Journal] / auth. Lucia Molina, Hurtado Albir // Meta; Translator Journal Vol 7 No.4. - 2002. - pp. 509-511. Daftar Pertanyaan, Saran dan Jawaban 409 1. Untuk padanan kata Voice dalam Bahasa Indonesia lebih tepat jika menggunakan ‘Diatesis’ dibandingkan ‘bentuk kalimat.’ (Saran dari Pak Suryo Baskoro) 2. Sebaiknya ketidaksejajaran bentuk saja yang lebih difokuskan dalam pembahasan karena hal ini lebih menarik, terutama bagaimana pengaruh budaya masing-masing pengguna bahasa sumber dan bahasa sasaran memicu adanya ketidaksejajaran ini (Saran dari Pak Suryo Baskoro) 3. Apakah Anda menemukan data dengan penerjemahan kalimat pasif dengan tiga argument (berverba ditransitif) dan apakah ada ditemukan data kalimat pasif non kanonis? (pertanyaan dari Pak Antonio) 4. Apakah perubahan bentuk aktif menjadi pasif atau sebaliknya dalam penerjemahan diatesis dipengaruhi oleh budaya si penerjemah? Jika iya, berarti dalam hal ini ada interferensi dari penerjemah. Bagaimana menurut anda? (Pertanyaan dari Nina Sulistyowati) 1. 2. 3. 4. Jawaban: Terimakasih atas sarannya Pak. Benar kata Bapak. Sebelumnya saya sudah diberitahu juga mengenai hal ini. Hanya saja, saat itu abstrak dan paper full telah terlanjur dikirimkan. Nanti setelah ini (seminarred) akan saya revisi kembali. Terimakasih atas sarannya, Pak. akan saya pertimbangkan hal ini, tetapi mungkin akan dieksplorasi lagi mengenai latar belakang budaya kedua bahasa ini dalam proyek tugas akhir nanti. Terimakasih atas pertanyaan dan antusiasmenya Pak Antonio. Sejauh ini saya belum menemukan contoh data berupa kalimat yang terdiri dari 3 argumen, beg itupun dengan pasif non-kanonis. Hal ini mungkin dikarenakan sumber data saya dalam penelitian mini ini hanya terbatas pada satu bab novel saja. Kedepannya, untuk penelitian yang lebih besar semisal Tesis, akan saya perluas lagi sumber datanya hingga ke seluruh bab pada novel tersebut. Jika sekiranya ditemukan bentuk kalimat lain seperti yang bapak maksud akan saya analisis kembali. Sekali lagi terimakasih. Terimakasih atas pertanyaannya, mbak Nina. Jawabannya, iya. Tentu saja dalam proses penerjemahan, unsur budaya juga menjadi hal yang 410 patut dipertimbangkan. Dalam bidang penerjemahan dikenal istilah ‘ideologi,’ apakah nantinya si penerjemah lebih condong ke budaya TSu atau TSa. Pertimbangan budaya ini dapat pula ditinjau dari berbagai aspek, bisa berdasarkan apa tipe teksnya, siapa pembacanya, dan seperti apa permintaan pasar dan juga pihak penerbit. Penyesuaian budaya dalam bahasa sasaran sangat penting, termasuk cara penulisan untuk memudahkan pembaca memahami tulisan. Apalagi novel yang notabene pembacanya ingin mendapatkan hiburan didalamnya. Khusus untuk bentuk aktif dan pasif, bahasabahasa di dunia meskipun memiliki keduanya tetapi memiliki karakter dan penggunaan yang berbeda-beda, meskipun hal yang diungkapkan artinya sama. Misalnya, kalimat pasif dalam Bahasa Indonesia, kalimat ‘Lidahku terbakar karena minum teh panas sepadan maknanya dengan kalimat aktif dalam Bahasa Inggris, ‘I burnt my tongue.’ Jika diterjemahkan secara pasif juga kurang berterima dalam Bahasa Inggris, dan terkesan sangat Indonesian style. Begitu pula sebaliknya jika ‘I burnt my tongue’ diterjemahkan bentuk aktif juga, ‘Saya membakar lidahku’ berterima secara gramatikal, tetapi tidak lazim secara semantis dan pragmatis, karena pelaku sekaligus korban tidak pernah sengaja berniat membakar lidahnya sendiri. 411 KATA “ISLAMI” DALAM ANALISIS SEMANTIK PROTOTIPE Prayudha Universitas Ahmad Dahlan prayudha@pbi.uad.ac.id ABSTRAK Kata “islami” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna “bersifat keislaman”. Namun demikian, banyak terjadi perdebatan yang mengadu anatara islami dan tidak islami. Ini salah satunya terjadi karena “islami” masih dimaknai secara setruktural atau referensial. Dalam pandangan semantik referensial, pembahasan kata “islami” terbatas pada (+) islami dan (-) islami. Oleh sebab itu, penelitian ini membahas kata “islami” dalam pandangan non-Aristotelian dengan mengaplikasikan analisis semantik prototipe yang dikenalkan oleh Coleman dan Kay (1981). Analisis ini akan mengukur pemaknaan kata “islami” secara gradual dalam skala tertentu. Kata “islami” dijabarkan ke dalam tiga variabel: (1) tampilan, (2) pengetahuan, dan (3) perilaku. Variabel tersebut kemudian dikembangkan menjadi delapan contoh kasus yang dinilai dalam bentuk kuesioner. Sejumlah 33 responden terlibat dalam penelitian ini. Variabel perilaku menjadi variabel paling menentukan dalam pemaknaan kata “islami”. Analisis ini bernaung pada kajian besar Linguistik Kognitif. Kata Kunci: islami, semantik prototipe, Linguistik Kognitif. A. PENDAHULUAN Situasi saat ini mengarah pada perdebatan serius di publik terkait isu-isu identitas. Salah satu isu identitas yang paling mencuat di publik adalah soal agama. Dalam perdebatan di kalangan penganut agama Islam semisal muncul perdebatan “islami” versus tidak “islami”. Ada kasus di mana perdebatan ini terkait dengan penampilan. Penggunaan istilah “busana islami” semisal memantik perdebatan pelarangan penggunaan cadar di sebuah universitas di Jogja beberapa waktu silam. Kejadian ini menjadi perdebatan cukup sengit di media massa dan media sosial. 412 Pada aspek yang lebih abstrak, kata “islami” ini juga menimbulkan perdebatan. Muncul sebuah hasil penelitian Rehman dan Askari (2010) dalam Global Economy Journal yang memaparkan jika negara paling islami di dunia adalah Irlandia. Penelitian yang melibatkan 208 negara itu tidak satupun menempatkan negara Islam dalam jajaran 10 besar negara paling islami. Peringkat tertinggi negara mayoritas Islam diraih Malaysia pada urutan 33. Hal ini juga menimbulkan perdebatan soal bagaimana parameter penggunaan kata “islami”. Kata “islami” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki makna “bersifat keislaman”. Kata yang berasal dari kata dasar “Islam” yang diimbuhi sufiks {-I} ini masuk dalam kelas kata sifat atau adjektiva. Pemaknaan oleh kamus yang bersifat referensial tersebut tampaknya tidak memberikan penjelasan yang memuaskan jika melihat bagaimana sengitnya perdebatan yang melibatkan kata “islami”. Karena itu, penting kemudian untuk melakukan penelitian dengan pendekatan lain agar bisa memotret kata “islami” secara lebih komperhensif. Penelitian itu tampaknya akan sulit jika berangkat dari pandangan semantik dalam linguistik setruktural. Dalam pandangan semantik referensial yang bermahzab Aristotelian, pembahasan kata “islami” akan terbatas pada (+) islami dan (-) islami. Pemaknaan inilah yang barangkali membuat tiap kelompok atau individu memakai standar “islami” yang hitam putih. Karena itu, penelitian ini akan membahas kata “islami” dalam pandangan non-Aristotelian dengan mengaplikasikan analisis semantik prototipe yang dikenalkan oleh Coleman dan Kay (1981). Analisis ini akan mengukur pemaknaan kata “islami” secara gradual dalam skala tertentu. Analisis ini bernaung pada kajian besar Linguistik Kognitif. Hasil analisis ini bisa menjadi persepektif baru terkait kata “islami” yang dapat digunakan dalam mencerahkan isu dan perdebatan yang melibatkan kata “islami”. B. SEMANTIK PROTOTIPE Menurut Kridalaksana (2009:216), semantik adalah bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Parera (2004:46) membagi teori tentang makna ke dalam teori referensial atau korespondensi, teori kontekstual, teori mentalisme atau konseptual, dan teori formalisme. Penelusuran makna dalam semantik prototipe adalah bagian dari semantik dalam pandangan teori konseptual. 413 Teori-teori mengenai semantik kemudian melahirkan sejumlah model analisis dalam penelusuran makna bahasa. Perdebatan menarik ihwal model analisis adalah mengenai semantik Aristotelian dan nonAristotelian. Lipka (1986:85) menjelaskan bahwa sematik Aristotelian atau checklist theory adalah model analisis makna menggunakan daftar bentuk dengan kriteria tertentu yang menunjukan properti terpisah mewakili kondisi yang perlu dan cukup untuk sesuatu menjadi sebuah kategori. Semantik Aristotelian menuai kritik dari beberapa ahli dari generasi yang berbeda. Coleman dan Kay (1981: 26-27) mengeritisi pandangan tersebut dengan mengatakan bahwa pengujian sebuah properti merupakan anggota dari suatu prototipe atau tidak dengan ukuran ya/tidak, bukan lebih/kurang tidak cukup memuaskan karena terlalu parsial dalam menguji sebuah kategori atas propertinya. Mereka kemudian mengajukan sebuah analisis yang disebut semantik prototipe yang mereka tulis dalam sebuah jurnal dengan judul Prototype Semantics: The English Word Lie (1981). Lebih lanjut, Coleman dan Kay (1981:27) mengatakan, “Semantic prototype is said to 'associate a word or a phrase with a prelinguistic, cognitive schema or image' and speakers are claimed to possess 'an ability to judge the degree to which an object ... matches this prototype schema or image.” Prototipe sendiri adalah represntasi atau perwakilan yang abstrak dari sebuah kategori atau bagian dari kategori yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan keanggotaan sebuah kategori (Rosch & Mervis (1975: 575; Lipka, 1986:85). Dalam bahasa yang sederhana, prototipe adalah properti yang paling baik dalam sebuah kategori. Dalam tulisannya, Coleman dan Kay meneliti semantik prototipe dari kata ‘bohong’ (lie). Berbeda dengan semantik Aristotelian, mereka mencoba menelusuri prototipe dari kata ‘bohong’ dalam sebuah gradien. Artinya, keduanya mencoba merumuskan kata ‘bohong’ ke dalam gradien grafik yang meningkat – dari bohong, agak bohong, sampai pada paling bohong. Langkah yang mereka lakukan pertama adalah dengan menrunkan kata ‘bohong’ kedalam sejumlah variabel. Variebel tersebut kemudian diturnkan kembali dalam sejumlah cerita atau kasus di mana masingmasing cerita memiliki komposisi variabel yang berbeda. Sebanyak delapan cerita yang berbeda komposisi lantas diujikan kepada sejumlah responden untuk menilai “tingkat kebohongan” masing-masing soal. Hasilnya kemudian diperoleh komposisi mana yang bisa dikatakan “paling bohong”. 414 Setelah itu, dari ketiga variabel kata ‘bohong’, bisa ditemukan mana yang merupakan prototipe kata ‘bohong’ yakni yang memiliki skor paling tinggi. C. METODOLOGI Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Sudaryanto (1988:63) mengatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menggunakan perhitungan angka dalam pelaksanaanya. Dalam menguji semantik prototipe dari ‘islami’, penelitian ini menggunakan sejumlah langkah dalam penelitian kuantitatif. Pada hakekatnya penelitian ini adalah penelitian bahasa sehingga ada kehususan dalam penentuan variabel dan sumber data dengan menyesuaikan langkah penelitian yang dilakukan oleh Coleman dan Kay. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel kuantitatif kontinium ordinal. Variabel kontinium ordinal adalah variabel yang menunjukan tingkatan-tingkatan misalnya panjang, kurang panjang, pendek (Arikunto, 2010:159). Penentuan variabel di sini adalah dengan menurun kategori ‘islami’ ke dalam tiga variabel: (1) tampilan, (2) pengetahuan, dan (3) perilaku. Variabel tersebut kemudian digunakan untuk menyusun instrumen. Variabel tampilan, pengetahuan, dan perilaku dari “islami” tersebut kemudian dikembangan dalam delapan kombinasi kasus sebagai berikut. Tabel 1. Variabel “islami” NO. KASUS VARIABEL Tampilan Pengetahuan Perilaku i + + + ii iii + + iv + + v + + vi + vii + viii + Kasus (i) – (viii) digunakan sebagai pertanyaan pengontrol. Kasus (i) mengandung tiga unsur sekaligus dalam tindak korupsi penyuapan sementara kasus (ii) sama sekali tidak mengandung ketiganya. Kasus tersebut kemudian diukur dengan menggunakan skala 7 sebagaimana yang dianjurkan Coleman dan Cay (1981). 415 Langkah berikutnya adalah menentukan sumber data. Sumber data penelitian ini adalah orang yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket (Arikuto, 2010:172). Penelitian ini adalah tentang semantik sehingga tidak ada ketentuan mengenai jumlah dan karakteristik tertentu dari responden. Kuesioner yang dibagikan tidak memuat informasi pribadi dari responden dengan harapan penelitian ini bisa objektif tanpa menggunakan variabel yang sifatnya pribadi. Dari kuseioner yang dibuat dengan memanfaatkan google form, sejumlah 33 responden memberikan respon. D. PEMBAHASAN 1. Hasil Dari kuesinor dalam bentuk google form yang disebarluaskan melalui media sosial, muncul 33 respon. Berikut adalah penjelasan selengkapnya. Tabel 2. Hasil Jawaban Kuesioner No. Variable Jawaban (%) 1 2 3 4 5 6 7 i +++ 3 3 0 1 0 45,5 45,5 ii - - 27,3 36,4 18,2 9,1 6,1 3 0 iii + - + 0 6,1 12,1 9,1 21,2 45,5 6,1 iv - + + 0 9,1 6,1 3 12,1 66,7 3 v ++ 15,2 21,2 9,1 9,1 33,3 9,1 3 vi - - + 3 27,3 18,2 9,1 30,3 12,1 1 vii + - 21,2 30,3 15,2 6,1 18,2 9,1 0 viii - + 18,2 12,1 18,2 15,2 30,3 6,1 0 Tabel tersebut menunjukan sebaran jawaban dari kasus yang menunjukan kombinasi keberadaan variabel yang beragam. Kasus (i) yang mengandung variabel tampilan, pengetahuan, dan perilaku tampak memiliki prosentase tertinggi pada jawaban sangat yakin islami dan cukup yakin islami di mana keduanya mengandung nilai masing-masing 7 dan 6. Sebaliknya, pada kasus (ii) di mana variabel penentu tidak muncul, jawaban sangat yakin bukan islami dan cukup yakin islami memperoleh prosentasi terbanyak. Ini menunjukan bahwa tiga variabel tersebut menentukan dalam pemaknaan “islami”. 416 2. Makna Prototipe Dari jawaban responden tersebut di atas, makna prototipe dari “islami” dapat kemudian dilacak. Makna protipe adalah makna yang memiliki skor tertinggi. Skor dapat diperoleh dengan mengalikan jumlah pemilih jawaban dengan bobot dari tiap jawaban. Dapat dipahami jika makna “islami” memiliki gradasi dari 1-7 dan jumlah responden adalah 33. Karena itu, skor tertinggi yang mungkin diraih adalah 231 (33x7). Berikut adalah penjelasan selanjutnya. Gambar 1. Skor tiap Kasus 250 202 200 167 175 150 120 130 114 98 100 79 50 0 +++ - - - + - + - ++ ++ - - - + +- - - + - Bisa diamati jika skor tertinggi daraih oleh kasus (i) dengan nilai 202. Kasus (i) mengandung ketiga variabel yang ada yakni (1) tampilan, (2) pengetahuan, dan (3) perilaku. Peringkat kedua diraih oleh kasus (iv) dengan skor 175 yang mengandung variabel pengetahuan dan perilaku. Peringkat ketiga diraih oleh kasus (iii) dengan skor 167 yang memiliki variabel tampilan dan perilaku. Berikutnya, peringkat keempat diraih kasus (vi) yang memiliki skor 130. Secara berturut-turut, peringkat ke-5 hingga ke-7 diraih oleh kasus (v) 120, (viii) 114, dan (vii) 98. Sementara itu, kasus (ii) memiliki skor terendah yakni 79. Kasus tersebut tidak mengandung variabel manapun yang merepresentasikan kata “islami”. Urutan perolehan skor dari delapan kasus yang ada adalah kasus (i) > (iv) > (iii) > (vi) > (v) > (viii) > (vii) > (ii). Dengan demikian, kausus (i) yang mengandung semua variabel menjadi makna prototipe dari “islami”. 3. Variabel Paling Menentukan 417 Dalam analisis semantik prototipe, makna tidak dirumuskan dengan pertanyaan bagian dari atau bukan bagian dari sebuah referen. Akan tetapi, makna itu berupa gradasi. Coleman dan Kay (1981) mengatakan bahwa sebuah prototipe itu digambarkan sebagai gradience atau grafik yang meningkat. Makna prototipe adalah makna yang memiliki skor tertinggi. Kemudian, untuk memperoleh makna prototipe itu bisa dilakukan dengan membandingkan skor masing-masing kasus yang memiliki satu variabel. Berikut adalah penjelasan bagaimana memperoleh makna prototipe. Tabel 3. Perbandingan tiap Variabel (iv outscores iii) implies (2 outranks 1) (iii outscores v) implies (3 outranks 2) (iv outscores v) implies (3 outranks 1) (vi outscores vii) implies (3 outranks 1) (vi outscores viii) implies (3 outranks 2) (viii outscores vii) implies (2 outranks 1) Tebel di atas membandingkang antar kasus untuk menemukan variabel mana yang paling menentukan. Kasus (iv) dengan pola (- + +) memiliki skor lebih tinggi dari kasus (iii) dengan pola (+ - +) yang menunjukan jika variabel (2) lebih berpengaruh dibanding variabel (1). Berikutnya, kasus (iii) tersebut memiliki skor lebih tinggi dari kasus (v) dengan pola (+ + -) yang menunjukan jika variabel (3) lebih berpengaruh daripada variabel (2). Pada perbandingan kasus yang hanya memiliki satu variabel, kasus (vi) dengan pola (- - +) memiliki skor lebih tinggi dari kasus (vii) dengan pola (+ - -) yang menunjukan variabel (3) lebih berpengaruh dibanding variabel (1). Selanjutnya, kasus (vi) memiliki skor lebih tinggi dari kasus (viii) dengan pola (- + -) yang mengisyaratkan variabel (3) lebih menentukan dari variabel (2). Kasus (viii) juga lebih unggul dari kasus (vii) yang menunjukan variabel (2) lebih menentukan dari variabel (1). Dengan demikian, urutan pengaruh dari tiga variabel yang ada adalah perilaku (3) > pengetahuan (2) > tampilan (1). Variabel (3) yakni perilaku menjadi yang paling menentukan. Muncul sebuah temuan unik di mana kasus (vi) yang hanya mengandung satu variabel yakni variabel (3) memiliki skor lebih tinggi dibanding kasus (v) yang mengandung variabel (1) dan (2). 418 Temuan tersebut menunjukan jika variabel perilaku sangat menentukan dalam pemaknaan kata “islami”. E. KESIMPULAN Analisis semantik prototipe dari kata “islami” menunjukan jika kasus (i) yang memiliki semua varibel menjadi makna prototipe. Ini menunjukan jika “islami” mesti melibatkan semua unsur: tampilan, pengetahuan, dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Seseorang bisa dikatakan islami jika berperilaku sesuai ajaran Islam, memiliki pengetahuan baik soal Islam, dan berpenampilan sebagaimana yang Islam kehendaki. Dari tiga variabel yang ada, variabel ke-3 yakni perilaku menjadi variabel yang paling menentukan. Terdapat data yang menunjukan jika kasus yang memenuhi variabel tampilan dan pengetahuan masih lebih kecil skornya dibanding kasus dengan satu variabel, perilaku. Ini menunjukan jika perilaku menjadi hal yang sangat menentukan dalam memaknai seseorang islami atau tidak. Temuan ini harapannya bisa menjadi satu persepektif baru dalam perdebatan “islami” versus “tidak islami”. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Coleman, Linda & Kay, Paul. 1981. Prototype Semantics: The English Word Lie. Linguistic Society of America. Lipka, Leonhard. 1986. Linguistics across Historical and Geographical Boundaries. Berlin: Walter de Gruyter & Co. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik: Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik: Edisi Keempat. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik ke arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Rehman, Scheherazade S. & Askari, Hossein. 2010. “An Economic Islamicity Index (EI2)”. Global Economy Journal. Vol 10, Issue 3, pp. 1-37. 419 HASIL DISKUSI SEMINAR PERTANYAAN DAN JAWABAN 1. Siapa koresponden dalam penelitian Anda? (Pak Suhandano) 2. Mungkin kalau responden Anda ditentukan berdasarkan identitas tertentu hasilnya akan lebih baik. (Pak Suhandano) 3. Kenapa hasil kasus (- - -) masih besar, harus minim bahkan 0? Jawaban 1. Sangat acak Pak. Saya sebarkan di medsos jadi siapa saja yang ingin bisa memberikan jawaban. 2. Betul Pa. Awalnya, saya sengaja tidak memberikan form identitas diri di kuesioner saya. Jadi memang sangat bebas. Kalau saya lebih mengerucut ke kelompk tertentu mungkin hasilnya akan lebih baik. 3. Ya betul Pa. Saya mengira, karena saya sebar di Sosmed, masih ada responden yang asal mengisi. Jadi memang samplingnya mesti diperbaiki. 420 ANALISIS TERHADAP TINGKAT AKURASI TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA KE BAHASA INGGRIS PADA BUKU CERPEN FABEL QURAN BURUNG-BURUNG HUD-HUD RAHMI RAMADHIANTI ZAIN Magister Linguistik Penerjemahan Universitas Gajah Mada 1. PENDAHULUAN Di era globalisasi ini, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya minat masyarakat untuk mempelajari bahasa asing. Hal ini berdampak pada semakin diminati dan dibutuhkannya keilmuan penerjemahan oleh banyak bidang keilmuan. Salah satu bidang keilmuan yang mulai banyak menyentuh aspek keilmuan terjemahan yaitu bidang sastra dan psikologi anak. Perpaduan bidang sastra dan psikologi anak mendorong suatu tren dan kebutuhan dikalangan penerbit di Indonesia untuk menerbitkan berbagai buku cerpen (cerita pendek) bilingual. Bahasa inggris, yang sampai saat ini masih mendominasi sebagai bahasa internasional, menjadi, motivasi bagi para penulis dan penerbit untuk menerbitkan buku cerita bilingual berbahasa Indonesiainggris sebagai media pembelajaran bahasa inggris pada anak. Pengadaan bahasa bilingual indonesia-inggris pada buku-buku cerpen diharapkan dapat membantu pembelajaran bahasa asing oleh anak menggunakan buku cerita tersebut. Oleh karna itu, bahasa dan terjemahan yang digunakan pada buku cerpen tersebut harus akurat. Farahzad (274,1992) dalam Osanloo dan Khanmohammad (2009) menjelaskan definisi keakuratan dalam penerjemahan ialah penyampaian informasi dari teks sumber dengan tepat. Sedangkan, Nababan (2012:44) memaparkan bahwa keauratan ialah istilah yang digunakan dalam pengevaluasian kualitas terjemahan yang merujuk pada apakah bahasa teks sumber dan teks target telah sepadan atau tidak. Dengan demikian, penyampaian informasi dengan tepat yang dimaksud oleh Farahzad ialah adanya kesepadanan makna antara teks target dan teks sumber, sehingga makna yang dihasilkan teks target tepat dengan yang dimaksud oleh teks sumber. Pentingnya akurasi dalam sebuah terjemahan serta munculnya tren buku cerpen bilingual yang berperan sebagai media pembelajaran bahasa inggris pada anak, merupakan, orientasi pentingnya dilakukan penelitian 421 terhadap akurasi dari terjemahan indonesia ke inggris yang terdapat pada buku cerpen anak-anak. Pada penelitian ini, dilakukan penelitian terhadap akurasi terjemahan pada buku cerpen fabel Qur’an yang berjudul “ burung hud-hud pembawa berita yang akurat”. Buku cerpen Fabel quran burung hud-hud merupakan buku cerpen bilingual yang sedang tren di pasaran. Hal ini karna buku cerita fabel Quran mendapatkan predikat best seller oleh salah satu penerbit buku muslim terkenal yaitu pro-U Media. Zearo (2005) dalam Gustiar (29,2014) memaparkan terdapat setidaknya tiga macam akurasi yang harus diperhatikan oleh seorang penerjemah. Tiga macam akurasi ini ialah lexical accuracy ( akurasi lexikal), structure and grammar accuracy ( akurasi tata bahasa), dan keakurasian dalam gaya bahasa dan kreatifitas berbahasa. Dari tiga jenis akurasi yang ada (akurasi tata bahasa, leksikal, gaya bahasa), penelitian ini difokuskan pembahasannya pada akurasi lexikal dari buku cerpen fabel quran burung hud-hud. Untuk mengidentifikasi ketidakakuratan pada terjemahan, menurut Larson ( 1984 : 482) dalam Nadhianti (2016) ada tiga indikator yang menjadi indikasi bahwa terjemahan tersebut tidak akurat yaitu omission (penghilangan), addition (penambahan), Different Meaning (makna yang dihasilkan berbeda dari teks sumber). Untuk mengidentifikasi terjemahan yang tidak akurat, penelitian ini menggunakan kriteria ketidakakuratan oleh Llarson, hal ini karna penulis sebagai akademisi pada bidang penerjemahan, bukan praktisi dan profesional yang dapat meneliti dengan sendiri tingkat keakurasian pada buku cerita fabel Quran burung hud-hud. Dalam menerjemahkan, teknik penerjemahan yang digunakan dapat mempengaruhi keakuratan terjemahan tersebut. Ada beberapa teknik dalam penerjemahan. Berikut dipaparkan definisi dari teknik-teknik yang digunakan dalam Penerjemahan oleh Molina dan Albir dalam Novalinda (2011). Teknik Adaptasi ialah mengganti unsur budaya yang ada pada teks sumber. Teknik yang kedua ialah teknik Borrowing. Teknik borrowing ialah teknik penerjemahan dengan meminjam kata dari bahasa sumber baik secara murni atau natural. Teknik deskripsi ialah teknik dimana istilah diganti dengan deskripsi. Sedangkan teknik linguistik amplifikasi ialah dengan menambahkan unsur-unsur linguistik pada teks target. Teknik modulasi ialah dengan mengubah sudut pandang. Teknik reduksi ialah dengan memadatkan bahasa sumber ke bahasa target. Teknik 422 Harfiah literal ialah dengan terjemahan kata per kata. Teknik Calque ialah penerjemahan secara literal Kata atau frasa pada teks sumber diadopsi ke teks target. Untuk mengidentifikasi tingkat keakuratan terjemahan dan menganalisis permasalahan ketidakakuratannya, metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah komparatif model. Teori ketidakakuratan larson dibandingkan dengan data kalimat terjemahan untuk mengidentifikasi terjemahan yang tidak akurat. Jumlah kalimat yang teridentifikasi tidak akurat akan dihitung secara statistik sehingga menggambarkan persentase keakuratan dari seluruh terjemahan buku cerpen fabel Quran burung hud-hud. Setelah diidentifikasi secara detail teknik-teknik penerjemahan yang digunakan pada kalimat yang tidak akurat, dilakukan analisis terhadap teknik penerjemahan yang digunakan serta beberapa konsep yang dilibatkan dalam pembuatan buku cerpen fabel Quran burung hud-hud, konsep ini seperti teori sastra anak, teori bahan ajar bahasa inggris yang baik, teori atau konsep narrative text. 2. TEMUAN PENELITIAN Berikut dilampirkan tabel hasil penelitian kalimat yang terindikasi tidak akurat berdasarkan tiga ciri ketidakakuratan larson. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa ciri ketidakakuratan oleh larson ialah adanya omission (penghilangan), addition (penambahan), dan beda makna ( different meaning ). Tabel 1. Kalimat yang tidak akurat pada buku cerita Fabel Quran burung Hud-Hud Kalimat Teks sumber Teks target ketidakakuratan Metode Ke-1 penerjemahan Aku yakin tidak Nothing coud ada yang dapat compare its menandingi beauty keindahannya Terdapat penghilangan pada kalimat Omission modulasi “aku yakin” Kalimat Dia juga Besides, he had the Ke-12 memiliki istana most beautiful and yang sangat incredible palace indah in the world 423 Kalimat Ke-14 Kalimat Ke-17 Kalimat Ke-18 Kalimat Ke-19 Kalimat Ke-26 Terdapat penambahan pada kata “world” Terdapat beda makna yang cukup signifikan antara kata “sangat megah” dan “ most beautiful” Aku terbang When flying, I melewati cross over kebun-kebun harvested, grapes, anggur, kurma dates, and wheats. dan gandum yang sedang dipanen oleh manusia when addition Kebun anggur, kurma dan gandum menjadi “ harvested, grapes, dates and wheats. Lalu, aku I perched on it and hinggap di looked on my bangunan itu surrounding dan memperhatikan sekelilingku Terdapat penghilangan pada kata “lalu” Berada Where I am ? dimanakah aku sekarang? Penghilangan pada kata “sekarang” Tiba-tiba ada I heard a voice suara calling me. “ Hi menyapaku,”hai buddy, it seems kawan,apa that you are lost, kamu tersesat?” aren’t you?” said a tanya burung pigeon merpati Penghilangan pada kata “tiba-tiba” Different meaning Different meaning addition Teknik deskripsi Teknik deskripsi Linguistik amplifikasi reduksi omission reduksi omission reduksi Omission Amplifikasi linguistik Dia harus tawu He deserves to penyelewangan know this ini deviation 424 Kalimat Ke-29 Kalimat Ke-34 Kalimat Ke-15 Kalimat Ke-13 Terdapat beda makna pada kata “ harus” dan deserves” Namun, tak ada But, noone knew seorangpun yang tahu keberadaan ku Penghilangan pada kata “ keberadaan ku” Mereka They worshiped menyembah the sun instead matahari Munculnya kata “instead” Aku terbang Oneday, I flew to a ketempat yang place I have never baru been seen before Penambahan pada kalimat “ Oneday,I have never been before” Penghilangan pada “ baru” Kebiasaanku adalah terbang menjelajahi daerah-daerah Different meaning harfiah omission reduksi Addition Amplifikasi linguistik addition deskripsi omission deskripsi I always wander arround new island Terdapat beda makna antara kata” Different Amplifikasi menjelajah” dan “ wander”. dalam meaning linguistik kamus oxford, wander didefinisikan walk or move in leisurely,atau lebih tepatnya diartikan dengan “mengembara”, sedangkan didalam kamus oxford, kata “menjelajah” lebih tepatnya diterjemahakan dengan “explore” Terdapat omission pada kata “ omission Amplifikasi kebiasasaan ku”. linguistik pada bagian ini menggunakan teknik penerjemahan amplifikasi linguistik, dengan menambahkan unsur dari frasa nomina , sehingga pada terjemahan menjadi berpola S dan P 425 Berdasarkan penyajian data di atas ditemukan 12 kalimat yang mengalami ciri ketidakakuratan berdasarkan teori larson (omission, addition, dan different meaning),yaitu pada kalimat 1,12,13,14,15,17,18,19,26,29, dan 34. Demikian,disimpulkan bahwa terjemahan buku cerita fabel Quran ialah akurat. Hal ini karna hanya 24% kalimat terjemahan yang teridentifikasi tidak akurat. 3. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa terjemahan pada buku cerita fabel Quran burung Hud-Hud akurat. Sebelumnya, pada pengumpulan data, ditemukan lima teknik penerjemahan yang diterapkan pada kalimat-kalimat yang tidak akurat pada buku cerita fabel Quran burung hud-hud. Teknik penerjemahan ini diantaranya ialah teknik modulasi, teknik deskripsi, tekni linguistik amplifikasi, teknik reduksi, dan teknik harfiah. Pada kalimat ke-1 mengalami omission dengan menggunakan teknik modulasi. Pada kalimat ke 12 mengalami addition dan different meaning dengan teknik deskripsi. Pada kalimat ke 14 mengalami addition dengan menggunakan teknik amplifikasi linguistik, dan mengalami different meaning dengan menggunakan teknik penerjemahan reduksi. Pada kalimat ke 17 dan 18, dan 29 mengalami omission dengan teknik reduksi. Pada kalimat ke 19 mengalami omission dengan teknik amplifikasi linguistik. Pada kalimat 26 mengalami different meaning dengan teknik harfiah. Kalimat 34 mengalami addition dengan teknik amplifikasi. Kalimat 15 yang menggunakan teknik deskripsi dan berdampak adanya omission dan addition. Kalimat ke 13 dengan teknik amplifikasi linguistik yang berdampak pada different meaning dan omission. Dengan demikian, disimpulkan bahwa teknik modulasi menyebakan 1 ketidakakuratan yaitu timbulnya 1 kali omission pada kalimat ke-1. Dan teknik deskripsi menyebabkan terjadinya 4 kali ketidakakuratan yaitu terdapatnya dua kali addition pada kalimat ke 12 dan 15, 1 kali omission pada kalimat ke- 15, 1 kali different meaning pada kalimat ke- 12. Dan teknik amplifikasi linguistik menyebabkan terjadi 5 kali ketidakakuratan yaitu 2 kali addition yaitu pada kalimat 14 dan 34, dan menyebabkan 2 kali omission pada kalimat ke 13 dan 19, dan menyebabkan 1 kali different meaning pada kalimat ke 13. Teknik Harfiah menyebabkan 1 kali ketidakakuratan yaitu 1 kali different meaning pada kalimat ke-26. Teknik modulasi menyebabkan 1 kali ketidakakuratan yaitu 1 kali omission pada kalimat pertama. Teknik reduksi menyebabkan 3 kali ketidakakuratan yaitu 2 kali omission pada kalimat 18 & 29, dan 1 kali different meaning pada kalimat ke 13. 426 Berdasarkan temuan diatas, ditemukan bahwa teknik yang paling banyak menyebabkan ketidakakuratan yaitu pada teknik amplifikasi linguistik.Dan teknik nomor dua terbanyak yang menyebabkan ketidakakuratan ialah teknik deskripsi. Penemuan-penemuan ini akan menjadi landasan analisis kritis dari kerangka permasalahan yang menyebabkan terjemahan pada buku cerita fabel Quran menjadi tidak akurat. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa teknik amplifikasi linguistik ialah teknik yang dilakukan dengan menambahkan unsur linguistik pada bahasa sumber. Seperti pada salah satu contoh data kalimat yang menggunakan teknik amplifikasi linguistik yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pada teks sumber “ aku terbang melewati kebun-kebun kurma,dan gandum yang sedang dipanen oleh manusia. Dan diterjemahkan menjadi “ when flying, I cross over harvested grapes,dates and wheats”. Pada kalimat terjemahan tersebut tampak penerjemah membuat bahasa terjemahan sesederhana mungkin dan sekongkrit mungkin. Sebagaimana teori dalam sastra anak yang dipaparkan oleh puryanto (2008)dalam Novalinda (2011)memaparkan bahwa salah satu syarat sastra anak ialah gaya bahasanya mudah dipahami oleh anak, dan imajinasi yang disajikan masih dalam jangkauan anak. Oleh karna itu, penerjemah memutuskan tidak menggunakan terjemahan “ I fly over”, tetapi menggunakan diksi I cross over, karna diksi fly over dianggap penerjemah merupakan kata yang sulit bagi anak, dan selain itu diksi “fly over” akan mempersulit imajinasi anak untuk membayangkan bahwa burung hud-hud tersebut terbang melintasi kebun-kebun kurma. Sedangkan kata “cross” merupakan kata-kata yang dianggap familiar oleh orang indonesia ,seperti dapat kita temukan pada kata serapan “ zebra kross”. Dan juga, diksi “ cross” sering ditemukan pada cerita-cerita anak. Dari analisa ini, terindikasi bahwa alasan penerjemah menggunakan teknik ampifikasi linguistik ialah bagaimana agar si penerjemah tersebut dapat menghasilkan terjemahan yang gaya bahasanya sederhana, diksi yang sering didengar dan dibaca oleh anak sehingga kalimat terjemahan yang dihasilkan masih dalam jangkauan imajinasi anak. Akan tetapi, latar belakang kemampuan tatabahasa bahasa inggris yang lemah yang dimiliki oleh penerjemah, hal ini menyebabkan usaha penerjemah untuk membuat kalimat menjadi sederhana dan mudah dibayangkan oleh anak dengan menggunakan teknik amplifikasi , menyebabkan terjemahan menjadi tidak akurat. Hal ini karna adanya unsur-unsur yang bertambah dan hilang, serta timbulnya beda makna pada beberapa kalimat. Pada salah satu contoh kalimat , seperti kata when yag bertambah pada teks target. Dan frasa “ yang sedang dipanen oleh manusia “ yang hilang pada teks target. Lemah nya kemampuan tatabahasa penerjemah diindikasikan seperti pada terjemahan kebun anggur yang 427 harus nya menjadi “ vineyard” tetapi diterjemahkan menjadi “ harvested grapes”. pada kata when dengan menggunakan teknik amplifikasi linguistik. Dalam hal ini, penerjemah menambahkan unsur linguistik pada teks target, sehingga kalimat yang tadinya pada teks sumber tidak memiliki frasa keterangan (when flying), pada teks target terdapat penambahan, sehingga muncu frasa keterangan. Dengan terdapatnya unsur linguistik yang bertambah pada teks target. Selain itu, sebagai buku cerita yang banyak digunakan para ibu untuk media pembelajaran bahasa asing pada anak, penerjemah terindikasi memaksakan bahasa terjemahan pada buku cerita fabel Quran menjadi bahasa terjemahan yang dapat menjadi input bahasa baru bagi anak. Hutchinson&Waters dalam Zain,Rahmi (2013) memaparkan bahwa salah satu syarat sebuah bahan ajar yang baik ialah memiliki input (bahasa nya dapat memperkaya bahasa anak). Dengan menggunakan teknik linguistik amplifikasi terindikasi bahwa penerjemah berusaha ingin mempermudah penambahan kosakata baru anak dengan memilih diksi terjemahan seperti dari kebun anggur,kurma, dan gandum, yang diterjemahkan menjadi “ harvested grapes, dates and wheats”, sehingga penerjemah berharap anak-anak akan mengartikan harvested sebagai kebun, yang menyebakan penambahan unsur lingustik pada bagian kalimat tersebut, yaitu kaliamt yang tadi nya “ aku terbang melewati kebun-kebun anggur,kurma, dan gandum, menjadi “ when flying , I cross over harvested grapes,dates and wheats, sehingga terjadi pergerseran struktur yang menyebabkan penambahan unsur linguistik seperti frasa when flying.Dengan demikian, menyebabkan kalimat ini menjadi tidak akurat karna adanya unsur yang bertambah. Teknik yang berkontribusi nomor dua terbanyak menyumbang ketidakakuratan pada terjemahan buku cerita fabel Quran burung hudhud ialah teknik deskripsi. Gerot&Wignell (1995) dan Fortune&Teddick (2003) dalam Gusdiar (2014) memaparkan bahwa salah satu syarat bahasa teks naratif ialah memunculkan adanya action verb, adverb of time (once upon a time, someday),dan saying verb. Untuk memenuhi unsur tersebut agar terjemahan yang dihasilkan masih dalam skala imajinasi anak, maka penerjemaha terindikasi menggunakan teknik deskripsi dalam menerjemahkan. Seperti pada contoh kalimat “ aku terbang ke tempat yang baru, yang diterjemahkan menjadi “ oneday, I flew to a place I have never been before”. Pada kalimat tersebut, terindikasi bahwa penerjemah mencoba mendeskripsikan tempat baru dengan kalimat “ place I have never been before”. Tujuan Penerjemah ialah untuk memunculkan imajinasi anak. Sedangkan adanya penambahan pada kata “ oneday” juga merupakan upaya penerjemah untukmemunculkan imajinasi anak melalui pemunculan adverb of time pada naratif seperti kata “ oneday”. 428 4. KESIMPULAN Berdasarkan pengolahan data menggunakan teori ketidakakuratan Larson, ditemukan bahwa terjemahan indonesia ke inggris pada buku cerpen fabel Quran burung hud-hud ialah akurat. Selain itu, dengan menggunakan teori dan konsep dari teknik yang digunakan dalam suatu penerjemahan serta menggunakan konsep dan teori dari sastra anak, bahan ajar bahasa inggris yang baik dan konsep dari narrative text, ditemukan bahwa terdapat nya 24% terjemahan buku cerpen fabel Quran burung hud-hud yang tidak akurat disebabkan karna benturan antara usaha penerjemah untuk menciptakan penerjemahan yang dapat terbaca dengan baik oleh pembacanya yang merupakan anak-anak REFERENSI Osanloo,Maryam dan Khanmohammad, Hajar.2009.Moving toward Objective Scoring : a rubric for translation assesment. Jurnal JELS Vol 1 no 1 Shuttle worth, Mark & Cowie Moira. 2014.Dictionary of Translation Studies.St.Jerome Publishing : Newyork. Chesterman and William. 2002.The Map. St Jerome Publishing Nababan, Mangatur & Nuraeni, Ardiana, Sumardiono.2012.Pengembangan Model Penilaian Kualitas Penerjemahan.Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra.vol 24 no 1 juni Gustiar, Indira. 2014.The Accuracy of google translate in translating narratives,procedurs,and exposition.Thesis. Semarang : Universitas Dian Nuswantoro. Jin,Wanying.1991.Translation Accuracy and Translation Efficiency. Thesis.New Mexico State University Novalinda. 2011.Teknik, Metode,Ideologi, Kualitas Terjemahan cerita Anak Serial Erlangga for Kids.Thesis. Surakarta: Program Pascsarjana UNS. Zain,Rahmi Ramadhianti.2013.Analysis of Reading Materials USed by Teachers of Second Grade of Adabiah Senior High School. Padang : Universitas Negri Padang. Nadhianti.2016. An analysis of Accuracy Level of Google Translate in Bahasa English-Bahasa Indonesia And Bahasa Indonesia-English Translation.Thesis.Yogyakarta: Program Pascasarjana UNY 429 ANALISIS CODE SWITCHING DALAM SEMINAR PROPOSAL PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS STKIP BUDIDAYA BINJAI Rakhmat Wahyudin Sagala1, Tri Indah Rezeki2 1Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara 2Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP Budidaya Binjai nuansa.bimbel@gmail.com ABSTRAK Dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris notabenenya harus menggunakan bahasa Inggris didalam proses kegiatan yang berhubungan dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Faktanya, terbatasnya penggunaan bahasa Inggris membuat mahasiswa sering menggunakan code switching dalam kegiatan yang berhubungan dengan Program Studi Pendidikan bahasa Inggris. Studi ini bertujuan untuk mengetahui fenomena code switching yang terjadi didalam proses seminar proposal Prodi Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Budidaya Binjai. Penelitian deskriptif kualitatif ini mengambil data dari proses seminar proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris yang mana dosen penguji dan mahasiswa peserta seminar sebagai subjek penelitian dan data diperoleh melalui observasi, wawancara, rekaman dengan menggunakan rekaman video dan catatan lapangan. Dari hasil temuan disimpulkan bahwa code switching terjadi dalam tuturan selama proses seminar proposal prodi Bahasa Inggris. Jenis code switching yang terdapat dalam tuturan berdasarkan teori Romaine (2000) yaitu Inter-sentential code switching, Intra-sentential code switching dan Tag switching. Faktor dosen dan mahasiswa melakukan code switching adalah karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview juga disimpulkan bahwa mahasiswa melakukan code switching karena bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata bahasa Inggris membuat mereka sering menggunakan code switching didalam percakapannya. Penelitian ini dibiayai oleh SIMLITABMAS. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat. Direktorat Jenderal Penguatan Riset 430 dan Pengembangan. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sesuai dengan kontrak penelitian tahun anggaran 2018. Kata Kunci: Code Switching, Jenis Code Switching, Faktor Code Switching 1. PENGANTAR Masyarakat yang memiliki kemampuan menggunakan satu bahasa atau lebih disebut sebagai bilingual atau multilingual, sangat mungkin bagi mereka untuk mengganti bahasa yang mereka gunakan ketika sedang berbahasa atau berbicara. Fenomena seperti ini dikenal dengan codeswitching. Code-switching dapat terjadi karena bahasa adalah salah satu bentuk simbol perilaku manusia yang paling penting dan merupakan komponen penting dalam identitas sebuah kelompok. Ada tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam kajian sosiolinguistik, yaitu alih kode (code switching), campur kode (mixing code) dan variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language) Sumarsono (2004:201). Umumnya dalam lingkungan pendidikan, termasuk di Perguruan Tinggi, hal ini mungkin dilakukan oleh guru atau dosen dan siswa untuk mengubah bahasanya karena mereka berbicara dengan lebih dari satu bahasa. Dalam hal ini code switching terjadi di dalam proses seminar proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai ketika mereka sedang berinteraksi. Mereka dapat mengganti atau mencampur bahasanya ketika mempunyai persepsi yang sama terhadap hal atau sesuatu yang sedang dikomunikasikan. Di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, hampir semua kelas yang merupakan mata kuliah keterampilan diajarkan dengan menggunakan Bahasa Inggris sebagai medium interaksinya. Hal ini bertujuan agar dosen dan mahasiswa terbiasa dengan Bahasa Inggris didalam proses perkuliahan. Baik dosen maupun mahasiswa sering mengganti bahasa mereka pada bagian-bagian tertentu dan kemudian kembali pada bahasa awalnya lagi. Mereka juga kadang benar-benar berganti bahasa secara menyeluruh. Seorang dosen cenderung mengganti bahasa yang digunakan untuk memperjelas informasi yang disampaikan. Sementara mahasiswa cenderung mengganti bahasa yang mereka gunakan karena kurangnya pengetahuan mereka tentang bahasa yang mereka gunakan. Alih kode (code switching) adalah gejala pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (Appel dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107). Hymes 431 (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 107) menyatakan bahwa alih kode adalah gejala peralihan bahasa yang bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Misalnya peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Sejalan dengan hal tersebut, A Chaedar (1998: 66) memberikan penjelasan mengenai alih kode yang dikatakan sebagai bentuk peralihan dari satu dialek ke dialek lainnya. Nababan (1991: 6) juga menyatakan bahwa alih kode terjadi jika keadaan berbahasa itu menuntut penutur mengganti bahasa atau ragam bahasa yang sedang dipakai. Terlebih lagi, Harimurti (2011: 7) mendefinisikan secara singkat bahwa alih kode sebagai penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain. Alih kode merupakan kemampuan untuk beralih dari kode A ke kode B, atau disebut juga peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain (Kachru dalam Rahmadani, 2011: 107). Pergantian kode ini ditentukan oleh fungsi, situasi, dan partisipan. Dengan kata lain, alih kode mengacu pada kategori dari khazanah verbal seseorang dalam hal fungsi dan peran. Berdasarkan definisi yang dipaparkan para ahli tersebut, maka yang dimaksud code switching adalah pergantian bahasa dari satu bahasa tertentu ke bahasa lain atau berubahnya ragam santai menjadi resmi atau sebaliknya, pengalihan itu dilakukan oleh seseorang dalam keadaan sadar karena sebab-sebab tertentu. Dalam gambaran faktor-faktor code switching penulis mengacu pada teori dari Chaer dan Agustina (2010) penyebab terjadinya code switching sebagai berikut: 1) Pembicara atau penutur, 2) Pendengar atau lawan tutur, 3) Perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, 4) Perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, 5) Berubahnya topik Pembicaraan. Romaine (2000) membedakan 3 jenis Code Switching yaitu Inter Sentential Code Switching, Intra Sentential Code Switching, dan Tag Code Switching. Inter Sentential terjadi diantara kalimat. Misalnya, “What is your research design. Jelaskan apa desain penelitian kamu?”. Intra Sentential Code Switching terjadi dipertengahan kalimat. Misalnya, “Well, apa research problem kamu?”. Sedangkan Tag Code switching terjadi ketika bilingual memasukkan ungkapan pendek dari Bahasa yang berbeda pada akhir ucapannya atau terjadi dalam kalimat tanda seru. Misalnya, “Penelitian yang marvelous!” atau “It’s ok, no problem, yang nggak?” 432 Penelitian ini mendeskripsikan code-switching yang terjadi di dalam proses seminar proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Budidaya Binjai, jenis-jenis code switching yang digunakan menurut teori Romaine (2000) dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya code switching menurut teori Chaer dan Agustina (2010). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah bentuk tuturan atau percakapan antara dosen dan mahasiswa selama proses seminar proposal yang terdapat code switching didalamnya, maka penyajiannya dimulai dari analisis percakapan lalu dikaitkan dengan teori code switching. Dari hasil analisis data terdapat jenis code switching didalam percakapan antara dosen dan mahasiswa selama proses seminar yaitu Inter-sentential code switching, Intra-sentetial code switching dan Tag code switching. Lebih lanjut peneliti melakukan interview kepada para informan yakni dosen dan mahasiswa untuk mengetahui faktor mengapa mereka melakukan code switching dan alasannya adalah karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan dari situasi formal ke situasi informal, dan berubahnya topik pembicaraan. 2. PEMBAHASAN 2.1. Subjek Penelitian Subjek penelitian atau informan adalah dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris sebagai dosen penguji dalam seminar proposal dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris sebagai peserta dalam seminar proposal. 2.2. Desain Penelitian Penelitian adalah deskriptif kualitatif mengacu pada teori Miles dan Huberman (1992) dan Moleong (2012) yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Adapaun data yang akan diperoleh dari penelitian berupa jenis code switching serta faktor-faktor penyebab terjadinya code switching dalam tuturan pada seminar proposal Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai. 433 2.3. Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti sendiri (Sugiyono, 2008:8). Peneliti melakukan validasi sebelum terjun ke lapangan penelitian dengan melakukan persiapan meliputi pemahaman metode penelitian kualitatif deskriptif dan penguasaan teori mengenai objek yang diteliti yaitu analisis Code Switching dalam seminar proposal Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, buku catatan dan alat perekam untuk memudahkan peneliti dalam melakukan pengumpulan data. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. 2.4. Analisis Data Setelah mengumpulkan dan mentranskip data bagaimana dosen penguji dan mahasiswa peserta seminar proposal menggunakan alih kode dari satu bahasa ke bahasa lain. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Jenis code switching dianalisis berdasarkan teori Romaine (2000) yaitu Inter sentential code switching, Intra sentential code switching, and tag code switching. Dari data diperoleh: Tabel 2.1. Hasil Analisis Data Jenis-jenis Code Switching Jadwal Seminar Intra Inter Tag Code Proposal Sentential Sentential Switching Code Code Switching Switching 19 Maret 2018 49 33 10 TOTAL 49 33 10 Table 2.1 menunjukkan bahwa terdapat 42 tuturan yang berisi Intra sentential code switching, 26 tuturan yang berisi Inter sentential code switching, dan 19 tuturan yang berisi Tag code switching. Berikut adalah contoh percakapan hasil analisis data: Data 1 Dosen : “Well, apa research problem kamu?” Mahasiswa : “My research problem is untuk mencari pengaruh Semantic Mapping terhadap writing descriptive” 434 Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis Intra-sentential code switching yaitu alih kode terjadi dipertengahan kalimat. Penutur merubah bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan kembali lagi menggunakan bahasa Inggris. Dari interview dosen tersebut menggunakan code switching untuk memudahkan mahasiswa mengerti maksud pertanyaan penguji. Sedangkan mahasiswa menggunakan code switching karena tidak mengetahui bahasa target yaitu bahasa Inggris. Data 2 Dosen : “Apa kamu yakin? Do you think that multiple choice suitable to measure students’ reading comprehension? Mahasiswa : “I think yes mom. Karena yang mau dilihat kemampuan reading” Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis Intra-sentential code switching yaitu alih kode terjadi diantara kalimat. Dosen menggunakan kalimat pertama bahasa Indonesia kemudian kalimat kedua menggunakan bahasa Inggris. Dari interview dosen menggunakan code switching karena perubahan situasi dari informal ke formal. Pernyataan “Apa kamu yakin” merupakan informal kemudian kembali menggunakan bahasa Inggris untuk situasi formal. Sedangkan mahasiswa menggunakan kalimat pertama bahasa Inggris kemudian mengganti kalimat kedua dengan bahasa Indonesia. Dari interview, mahasiswa melakukan code switching karena perubahasa situasi hadirnya orang ketiga. Dalam hal ini, dosen penguji adalah dosen bahasa Indonesia sehingga mahasiswa tersebut memberikan jawaban dengan bahasa Indonesia. Data 3 Dosen : “The big problems of the students that you find. Apa yang kamu temukan. Ini kan nggak asal-asal kamu temukan kan? Mahasiswa : “Problem nya, mereka masih belum bisa gitu mom speak English” Dari percakapan diatas dianalisis bahwa penutur menggunakan jenis tag code switching yaitu alih kode terjadi ketika bilingual memasukkan ungkapan pendek dari Bahasa yang berbeda pada akhir ucapannya. Kata “kan” dalam kalimat “ini kan nggak asal-asal kamu temukan kan?” dan kata “nya” dalam kata “Problem nya”. Kata “kan” dan “nya” merupakan bahasa 435 yang berbeda dari bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Dari interview, dosen dan mahasiswa menambahkan kata-kata tersebut karena faktor habit atau kebiasaan dalam komunikasi sehari-hari. 3. KESIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian, dapat disimpulkan bahwa code switching terjadi dalam tuturan selama proses seminar proposal. Jenis code switching yang terdapat dalam tuturan berdasarkan teori Romaine (2000) yaitu intra-sentential sebanyak 42 tuturan, inter-sentential sebanyak 26 tuturan dan terdapat 19 tuturan tag code switching. Faktor dosen dan mahasiswa melakukan code switching berdasarkan teori Chaer dan Agustina (2010) adalah karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview terdapat alasan lain mengapa mereka melakukan code switching yaitu karena bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata bahasa Inggris membuat mereka sering menggunakan code switching didalam percakapannya. Selain itu karena faktor habit atau kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. DAFTAR RUJUKAN A. Chaedar. 1998. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Nusa Indah. Miles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Nababan, PWJ. 1991. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia. Rahmadani, Safitri. 2011. Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan dalam Lingkungan Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Indonesia. Depok. Romaine S. 2000. Language in Society. An Introduction to Sociolinguistics. Second Edition. New York: Oxford University Press Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Sumarsono. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 436 HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Ibu Kity Karenisa Pertanyaan : Bagaimana Anda bisa menyimpulkan bahwa mahasiswa menggunakan code switching karena kurangnya kosakata? Jawaban : Subjek penelitian dalam studi ini adalah dosen penguji dan mahasiswa peserta seminar proposal di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Budidaya Binjai. Setelah melakukan penelitian dan menganalisis data, peneliti melakukan interview kepada 16 subjek penelitian yaitu dosen sebanyak 8 orang dan mahasiswa sebanyak 8 orang. Dari hasil interview kepada mahasiswa, 7 orang dari mahasiswa menjawab bahwa mereka melakukan code switching karena ketidaktahuan mereka mengungkapkan bahasa target yakni bahasa Inggris. 2. 3. Bapak Dr. I Dewa Putu Wijaya Saran : Menurut saya data terlalu sederhana, sebaiknya dijelaskan lebih detail lagi tentang bagian mana yang Intra-sentential code switching, Inter-sentential code switching dan Tag code switching. Jawaban : Saran Bapak Dr. I Dewa Putu Wijaya telah peneliti paparkan di bagian hasil analisis data yaitu mengenai contoh percakapan antara dosen penguji dan mahasiswa seminar proposal serta penjelasan analisis datanya. Bapak Dr. Suryo Baskoro Saran : Ada beberapa faktor code switching, coba dianalisis kembali apakah subjek penelitian melakukan code switching hanya karena kurangnya kosakata. Jawaban : Setelah melakukan analisis data dan triangulasi disimpulkan bahwa faktor subjek penelitian melakukan code switching karena perubahan situasi karena hadirnya orang ketiga, perubahan situasi dari formal ke informal atau sebaliknya, dan berubahnya topik pembicaraan. Dari hasil interview terdapat alasan lain mengapa mereka melakukan code switching yaitu karena bahasa Inggris bukan bahasa pertama mereka sehingga kurangnya kosakata bahasa Inggris membuat mereka sering menggunakan code switching didalam percakapannya. Selain itu karena faktor habit atau kebiasaan dalam percakapan sehari-hari. 437 RAGAM STRATEGI PENERJEMAHAN TEKS KEMASAN MAKANAN RINGAN BERBAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA ARAB Regi Fajar Subhan Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangor Pos-el: regifsubhan28@gmail.com ABSTRAK Produk makanan ringan sudah tidak asing dalam keseharian masyarakat sebagai konsumen. Salah satu bagian terpentingnya adalah kemasan, yang memberikan informasi berbagai teks berupa rasa makanan, saran penyajian, tanggal kedaluwarsa, dan komposisinya. Terutama apabila produk tersebut dikirim ke luar negeri, khususnya negara-negara berpenutur bahasa Arab. Penelitian makalah ini berfokus pada strategi penerjemahan. Teori ini merupakan taktik yang dilakukan penerjemah saat mendapati teks dalam unit yang lebih kecil, seperti kata atau kelompok kata. Maka, masalah dan tujuan dari makalah ini yaitu membahas permasalahan tentang ragam strategi penerjemahan yang digunakan dari teks sumber bahasa Indonesia ke dalam teks sasaran bahasa Arab pada kemasan produk makanan ringan. Teori yang digunakan ialah strategi penerjemahan milik Suryawinata dan Hariyanto (2003). Metode yang digunakan untuk penelitian ini ialah kualitatif deskriptif. Tahapan-tahapan penelitian merujuk pada Sudaryanto (2015) dengan membaginya ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan simak-catat, sedangkan analisis data menggunakan padan-translasional. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat enam strategi penerjemahan yang dilakukan untuk mengalihkan teks pada kemasan makanan ringan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab. Keenam strategi tersebut antara lain sinonim, transposisi, pungutan, padanan deskriptif, penghapusan, dan modulasi. Penggunaan strategi terbanyak yang diterapkan ialah padanan deskriptif. Strategi ini 438 digunakan untuk memberikan penjelasan secara rinci bagi pembaca teks bahasa sasaran. Kata kunci: strategi, penerjemahan, Indonesia, Arab, kemasan PENGANTAR Kegiatan pengalihan bahasa telah lama dilakukan oleh manusia sejak berabad-abad yang lalu. Salah satu buktinya ialah masa kejayaan Islam yang mencapai puncaknya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada zaman itu, berbagai karya bangsa Yunani kuna diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di era modern saat ini, kegiatan penerjemahan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai bangsa saling berlomba untuk mencoba memperkenalkan hasil karya sendiri ke bangsa lain. Mengutip pernyataan Newmark (2003: 55) dalam esainya yang menyebutkan, no global communication without translation, ‘tidak ada komunikasi global tanpa penerjemahan’. Maksud pernyataan komunikasi global tersebut ialah komunikasi lintas bahasa secara global, baik itu dalam dua bangsa pengguna bahasa atau berbagai bangsa yang menjadikannya sebagai peran utama demi kemajuan peradaban manusia. Seiring dengan kemajuan teknologi, kebutuhan penerjemahan tidak hanya sebatas dalam bidang ilmu pengetahuan semata. Lebih luas dari itu, kini kegiatan tersebut telah merambah bidang produksi dan ekonomi. Salah satunya penerjemahan teks produk, khususnya makanan ringan. Hasil produksi merupakan salah satu ranah yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Teks produk termasuk ke dalam wilayah penerjemahan teks lokalisasi atau penerjemahan terhadap suatu produk yang akan dipasarkan di suatu wilayah (Hidayatullah, 2014: 33). Peran penerjemah tentu turut andil dalam menghasilkan sistem kebahasaan yang sesuai. Tujuannya agar mendapat perhatian bagi para konsumen. Khususnya produk yang akan diekspor ke berbagai negara. Penggunaan bahasa asing pun menjadi prioritas utama bagi perusahaan demi memasarkan produknya. Hal ini tentu menjadi nilai tambah bagi pemasukan secara ekonomi karena merupakan bagian dari strategi pemasaran. Dalam makalah ini, peneliti memberi batasan bahwa produk yang dimaksud ialah produk yang pada bungkus kemasannya tertera teks bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber (BSu) dan teks bahasa Arab sebagai bahasa sasaran (BSa). Penelitian mengenai strategi penerjemahan 439 produk cukup banyak dilakukan, adapun perbedaan antara penelitian yang sudah ada tersebut dengan penelitian yang diangkat dalam makalah ini yaitu terletak pada objek kajian BSu. Karena banyak analisis sebelumnya yang mengkaji dari bahasa sumber asing ke dalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan sebaliknya, yakni dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing. Selain itu, banyak pula penelitian sebelumnya yang mengangkat bahasa Inggris sebagai topik kajian pembahasan, akan tetapi dalam penelitian ini yang menjadi fokus bahasa asingnya ialah bahasa Arab. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini ialah bagaimana strategi penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam mengalihkan teks pada kemasan makanan. Berangkat dari permasalahan tersebut, penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan ragam strategi yang digunakan oleh penerjemah ketika memadankan istilah-istilah penting seperti batas kedaluwarsa, saran penyajian, komposisi makanan, rasa makanan, dsb. yang tertera dalam kemasan makanan ringan. Tujuan tersebut sangat berguna untuk diketahui bagi penerjemah yang ingin mencoba terjun ke dalam perusahaan. Berbagai definisi terkait penerjemahan telah banyak dikemukakan oleh para ahli bahasa yang konsen di bidang penerjemahan, di antaranya Catford (1965: 20) berpendapat bahwa terjemah adalah upaya penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang sepadan dengan bahasa lain. Sementara Peter Newmark (1981: 7) menjelaskan bahwa penerjemahan adalah suatu kiat yang merupakan usaha untuk mengganti suatu pesan atau pernyataan tertulis dalam satu bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain. Newmark menggunakan istilah ‘mengganti’ pesan dan memaknainya ‘sama’ tetapi ‘dalam bahasa yang lain’ sebagai konsep utama penerjemahan yang dimaksud. Selain harus mengenali bentuk dan sistem bahasa, seorang penerjemah juga harus mengenali unsur budaya kedua bahasa. Bahkan Geoffrey (2010: 34) menyebut bahwa bahasa mencerminkan budaya dan penerjemah harus memahami budaya serta langkah stereotip dalam mereproduksi makna teks sumber. Pernyataan tersebut menegaskan kembali bahwa tidak ada makna yang benar-benar sama antara dua budaya dan dua bahasa yang berbeda. Maka seorang penerjemah dituntut untuk mengenali teks, koteks, dan konteks. Hal ini dikarenakan keberterimaan hasil terjemahan hanya akan dirasakan oleh pembaca. Artinya, pembaca teks sasaran hanya melihat ‘hasil’ dari praktik 440 yang telah dilakukan oleh penerjemah, bukanlah melihat ‘praktik’ penerjemahannya (Machali, 2009: 30). Dalam makalah ini, peneliti memfokuskan pada strategi penerjemahan. Teori ini merupakan taktik yang dilakukan penerjemah saat mendapati teks dalam unit yang lebih kecil, seperti kata atau kelompok kata. Teori yang digunakan ialah strategi penerjemahan milik Suryawinata dan Hariyanto (2003). Peneliti mengambil teori ini karena sangat relevan, yakni dengan pembagian strategi yang ditawarkan dalam dua kategori besar untuk menentukan strategi-strategi penerjemahan, yaitu strategi struktural dan strategi semantis (Suryawinata & Hariyanto, 2003: 67). Strategi struktural di antaranya penambahan, pengurangan, dan transposisi. Sedangkan strategi semantis di antaranya pungutan, padanan budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi, penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil analisis diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan memberikan gambaran data. Sehingga penelitian ini menekankan pada kualitas sesuai pemahaman deskripsi tersebut. Data yang didapatkan adalah hasil pengamatan peneliti tanpa menilai salah atau benar suatu data. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kepustakaan. Tahapan penelitian yang digunakan merujuk pada Sudaryanto (2015) dengan membagi konsep penelitian ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pada tahap penyediaan data, peneliti menggunakan metode simak dan catat sebagai teknik lanjutan. Fokus penelitian ini terbatas pada teks terjemahan kedua bahasa. Peneliti juga menyimak data-data dengan metode simak dan teknik dasar berupa teknik sadap bebas libat cakap. Data kemudian dicatat. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan metode padan referensial dan metode padan translasional. Pada tahapan analisis, teori yang digunakan yaitu strategi penerjemahan milik Suryawinata dan Hariyanto (2003). Tahapan dalam analisis data adalah sebagai berikut: (1) membaca keseluruhan teks, baik BSu maupun BSa yang terdapat dalam kemasan tersebut, (2) mengklasifikasikan temuan pada tabel, (3) menganalisa bentuk terjemahan pada bagian unit yang 441 lebih kecil, yakni kata dan frasa, (4) memberikan pemaparan hasil analisis secara deskriptif. Pada bagian akhir, yakni penyajian hasil analisis dilakukan dalam bentuk tabel klasifikasi sesuai ragam strategi hasil temuan dengan memberikan deskripsi. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang terhimpun dan dibahas pada bagian ini diambil dari beberapa produk makanan Indonesia, di antaranya: Hatari, Sedaap, Mayasi, Iyes, Gaga Gepeng, Oops, Richeese, Bihunku, dan Super Bihun. Pada teks kemasan tersebut ditemukan beberapa ragam strategi penerjemahan yang akan dijelaskan dalam bagian ini. Berikut adalah pembahasannya. Adapun strategi yang tidak digunakan atau yang tidak ditemukan di dalam data, peneliti tidak mamasukkannya pada bagian pembahasan ini. a. Strategi sinonim Bentuk penerjemahan ini dilakukan dengan menggunakan kata BSa yang kurang lebih sama dengan makna kata pada BSu. Strategi penerjemahan ini mirip dengan harfiah, yakni dilakukan sesuai dengan makna literalnya pada kamus. Berikut hasil temuannya. Bahasa Sumber Bahasa Sasaran simpan di tempat sejuk dan kering makanan ringan rasa ayam panggang ُ َ‫يُحْ ف‬ ٍ‫ار ٍد َو َجاف‬ ِ َ‫َان ب‬ ٍ ‫ظ فِي َمك‬ ‫اج ال َم ْش ِوي‬ ِ ‫َوجْ َبةٌ َخ ِف ْيفَةٌ ِبنَ ْك َه ِة الدَّ َج‬ BSu: Simpan di tempat sejuk dan kering (1) (2) (3) (4) (5) BSa: ُ ‫يُحْ َف‬ ‫َو‬ ‫ار ٍد‬ ‫َان‬ ‫فِي‬ ‫ظ‬ ٍ‫َجاف‬ ِ َ‫ب‬ ٍ ‫َمك‬ /jāfin/ /wa/ /bāridin/ /makānin/ /fī/ /yuḫfaẑ/ ‘kering’ ‘dan’ ‘sejuk’ ‘tempat’ ‘di’ ‘disimpan’ (5) (4) (3) (2) (1) Susunan penomoran di atas dilakukan untuk melihat makna sinonim yang muncul dalam setiap penggalan kata. Bentuk terjemahan telah sesuai dengan startegi sinonim, dan. Pada kata ‘simpan’ tidak termasuk sinonim karena telah mengalami pergeseran makna secara leksikal menjadi pasif dalam bahasa Arabnya. 442 b. Strategi transposisi Strategi ini dinilai sebagai suatu keharusan, artinya apabila tanpa penggunaan strategi ini makna BSu tidak tersampaikan. Selain itu, penggunaan strategi ini juga dinilai sebagai langkah pilihan apabila transposisi dilakukan karena alasan gaya bahasa. Dengan strategi ini penerjemah melakukan pengubahan struktur BSu dan BSa agar mencapai kesepadanan. Seperti perubahan kelas kata. Bentuk ini ditemukan pada tataran kata dan frasa dalam teks kemasan. Berikut hasil temuannya. Bahasa Sumber Bahasa Sasaran jagalah kebersihan baik digunakan sebelum baik digunakan sebelum pewarna makanan sintesis ُ ِ‫َحاف‬ َ َ‫علَى ن‬ ‫ظافَ ِة َبلَ ِد ُك ْم‬ َ ‫ظوا‬ ‫سنُ بِا ْست ِْخدَامِ ِه قَ ْب َل‬ َ ْ‫يُ ْستَح‬ ‫سنُ بِا ْست ِْخدَامِ ِه قَ ْب َل‬ َ ْ‫يُ ْستَح‬ ‫ت‬ ِ ‫ُم ِل ِونُ اصْطِ نَاعِي ل ِْل َما ْ ُك ْو ََل‬ Dalam pembahasan ini peneliti mencontohkan salah satunya, BSu: Baik digunakan sebelum. (1) (2) َ ُ‫سن‬ BSa: ‫ق ْب َل‬ ‫ا ْست ِْخدَا ِم ِه‬ ‫ب‬ ِ َ ْ‫يُ ْستَح‬ /qabla/ /istikhdāmihi/ /bi/ /yustahsanu/ ‘sebelum’ ‘menggunakannya’ ‘untuk’ ‘dianjurkan’ (2) (1) Bentuk pergeseran: (1) sifat menjadi verba (2) pasif menjadi aktif c. Strategi pungutan Beberapa teori menyebutnya sebagai strategi peminjaman (borrowing), dan juga transkripsi. Strategi ini dilakukan oleh penerjemah dengan menulis kembali istilah pada BSu ke dalam BSa. Penyesuaian bentuk dalam strategi penerjemahan ini dilakukan untuk menghasilkan kata yang selaras dengan kaidah fonotaktik dan morfotaktik yang berlaku. Seperti pada data berikut: 443 Bahasa Sumber Bahasa Sasaran vitamin C ‫فِ ْيتَامِ يْن ج‬ tartrazin CI 19140 Kecap 19140 ‫ارت َِازي ِْن سي إي‬ ْ َّ ‫الت‬ ‫ِك ْي َجاب‬ Pada bahasa sasaran, terlihat bahwa penerjemah berusaha mengalihkannya sesuai kaidah fonotaktik BSu. Peristilahan kimia banyak digunakan dalam strategi ini Peneliti hanya menemukan satu data berunsur budaya Indonesia, yakni ‘kecap’. Selain menghasilkan kata yang selaras sesuai fonotaktik dan morfotaktik, strategi ini dapat digunakan untuk mengenalkan istilah budaya BSu dalam BSa. d. Strategi padanan deskriptif Strategi ini dilakukan dengan memberikan penjabaran untuk menjelaskan makna atau fungsi dari kata BSu. Penggantian istilah dilakukan ketika pemadanan budaya tidak mampu untuk memberikan ketepatan makna. Selain itu adanya keterkaitan budaya mengharuskan penerjemah memberi penjelasan lebih. Berikut hasil temuan terkait strategi ini. Bahasa Sasaran Bahasa Sumber pengatur keasaman ِ‫ضةُ ْالغَذَاء‬ َ ‫ُمن َِظ ُم ُح ُم ْو‬ ٍ‫عامِ ُل خَمِ ي َْرة‬ َ Pengembang Malkis ‫بِ ْس ُك ِويْت بِالس َّك ِر‬ saus sambal ‫ار‬ َ ‫ص ْل‬ َ ِ ‫صة ُ ْالفُ ْلفُ ْل ْال َح‬ Seperti pada ‘malkis’ yang dideskripsikan menjadi ‫بِ ْس ُك ِويْت بِالس َّك ِر‬ /biskuwit bi sukar/ ‘biskuit dengan gula’, dan ‘saus sambal’ yang dideskripsikan menjadi ‫ار‬ َ ‫ص ْل‬ َ /shalshah al-fulful/ ‘saus lada ِ ‫صةُ ْالفُ ْلفُ ْل ْال َح‬ pedas’. e. Strategi penghapusan Strategi ini dilakukan ketika sebuah kata atau frasa tidak diterjemahkan ke dalam BSu dengan alasan karena bagian tersebut tidak terlalu penting bagi keseluruhan teks BSa. Penghapusan 444 tersebut dipandang tidak menimbulkan distorsi pesan secara keseluruhan. Dengan kata lain, penerjemah berpikir bahwa daripada sebuah kata diterjemahkan dengan konsekuensi pembaca akan kebingungan, maka lebih baik kata tersebut dihilangkan. Bahasa Sasaran Bahasa Sumber mi Sedaap disajikan siap untuk ‫ال َمك َُر ْونَةُ َجاهِزَ ة ٌ ِلت َ ْق ِدي ِْم‬ perisa identik alami cokelat ‫نَ ْك َهةُ الش ُك ْو ََلت َة‬ biskuit sandwich salut krim ‫كر ْي ُم ال ُجب ِْن‬ َ ‫ِب ْس ُك ِويْت‬ ِ ‫سا ْند ِويْتش‬ keju Contoh pada teks ‘mi Sedaap siap untuk disajikan’, penghapusan dilakukan pada kata Sedaap dalam teks Arabnya. Kata tersebut merupakan nama produk yang tidak dimunculkan dalam BSa oleh penerjemah karena dinilai tidak perlu. Strategi ini juga dilakukan pada komposisi makanan dan nama makanan. BSu: Perisa identik alami cokelat. ُ‫نَ ْك َهة‬ BSa: ‫الش ُك ْو ََلت َة‬ /asyukulatah/ /nakhah/ ‘coklat’ ‘rasa’ f. BSu: Biskuit sandwich salut krim keju. BSa: ‫ال ُجب ِْن‬ ‫كر ْي ُم‬ ‫سا ْند ِويْتش‬ ‫بِ ْس ُك ِويْت‬ َ ِ /al-jubn/ /krīm/ /sandwītsy/ /biskuwīt/ ‘keju’ ‘krim’ ‘sandwich’ ‘biskuit’ Strategi modulasi Strategi modulasi dilakukan dengan mengganti sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam kaitannya dengan BSu, baik dalam bentuk struktural maupun leksikal. Sering juga disebut sebagai pergeseran makna. Selain itu, penggunaan strategi ini dilakukan ketika penerjemahan kata-kata dengan makna literal tidak menghasilkan terjemahan yang wajar atau luwes (Suryawinata & Hariyanto, 2003: 76). Berikut hasil temuannya. 445 Bahasa Sumber Bahasa Sasaran rasa goreng spesial pedas ‫ش ِعي ِْريَّةٌ َم ْق ِليَّةٌ َحار‬ َ keluarkan mi dari air dan tiriskan ‫ت ُ ْس َكبُ ال َم ْعك َُر ْونَةَ َم َع نَ ْك َهتِ َها‬ Hasil temuan menunjukkan adanya pergeseran kognitif dalam bentuk leksikal dan kalimat. Pada kata ‘rasa’ dalam teks 1 diterjemahkan menjadi ٌ‫ش ِعي ِْريَّة‬ َ ‘mi/bihun’. Sedangkan pada teks 2 pergeseran makna dilakukan hampir pada keseluruhan kalimat. Perhatikan penjelasan berikut. BSu: Rasa goreng spesial pedas. ٌ‫َم ْق ِليَّة‬ ٌ‫ش ِعي ِْريَّة‬ BSa: ‫َحار‬ َ /ḫār/ /maqliyyah/ /sya’īriyah/ ‘pedas’ ‘goreng’ ‘mi’ BSu: Keluarkan mi dari air dan tiriskan. َ‫ال َم ْعك َُر ْونَة‬ BSa: ‫نَ ْك َهتِ َها‬ ‫َم َع‬ ُ‫ت ُ ْس َكب‬ /nakhatihā/ /ma’a/ /al-ma’karūnah/ ‘bumbunya’ ‘dengan’ ‘mi’ ‘tuangkan’ /tuskab/ SIMPULAN Berdasarkan temuan dan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat enam strategi penerjemahan yang dilakukan untuk mengalihkan teks pada kemasan makanan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab. Keenam strategi tersebut antara lain sinonim, transposisi, pungutan, padanan deskriptif, penghapusan, dan modulasi. Penggunaan strategi terbanyak yang diterapkan ialah padanan deskriptif. Strategi ini digunakan untuk memberikan penjelasan bagi pembaca BSa agar mudah memahami kata dan frasa tertentu. Ini berkaitan dengan istilah-istilah budaya BSu yang tidak sepadan apabila diterjemahkan dengan strategi lain, seperti nama makanan lokal dan komposisi makanan tertentu yang perlu untuk dideskripsikan. Selain itu, ada pula strategi transposisi yang digunakan sebagai upaya penyesuaian struktur akibat pergeseran bentuk bahasa. Strategi pungutan banyak dilakukan terhadap peristilahan kimia dalam komposisi makanan. Strategi penghapusan digunakan untuk menghilangkan kata-kata yang dinilai kurang/tidak perlu seperti nama produk dan nama makanan. Strategi modulasi digunakan untuk 446 mengarahkan sudut pandang pembaca BSa akibat pergeseran makna, seperti pada saran penyajian makanan. Strategi sinonim digunakan apabila pada tahap awal penerjemahan susunan gramatikal kedua teks dinilai telah sepadan. DAFTAR PUSTAKA Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied Linguistics. London: Oxford University Press. Hidayatullah, Moch. Syarif. 2014. Seluk Beluk Penerjemahan ArabIndonesia Kontemporer. Tangerang Selatan: Alkitabah. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman Bagi Penerjemah: Panduan Lengkap Bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation (Language Teaching Methodology Series), Oxford: Pergamon Press. ________, Peter. 2003. No Global Communication Without Translation. In Gunilla Anderman & Margaret Rogers (Eds.), Translation Today: Trends and Perspectives (p. 55-67). Clevedon: Multilingual Matters Ltd. Samuelsson-Brown, Geoffrey. 2010. A Practical Guide for Translators – fifth revised edition. Great Britain: Short Run Press Ltd. Suryawinata, Z. & Sugeng H. 2003. Translation: Bahasan Teori & Penuntun Praktis Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius. 447 HASIL DISKUSI SEMINAR PERTANYAAN & JAWABAN (1) Pada strategi sinonim, kata ُ‫ يُحْ فَظ‬/yuḫfaẑ/ artinya ‘disimpan’, bukan ‘simpan’ yang memiliki makna imperatif dalam bahasa sumber (Indonesia). Mengapa Anda memasukannya ke dalam strategi ini? Jawab: Kata ُ‫ يُحْ فَظ‬/yuḫfaẑ/ memang memiliki makna ‘disimpan’, karena merupakan bentuk pasif dalam bahasa Arab. Sedangkan dalam bahasa sumbernya adalah bentuk imperatif. Maka peneliti tidak mencantumkannya sebagai strategi sinonim. Peneliti telah memberikan tanda dengan susunan penomoran pada pembahasan. Susunan penomoran tersebutlah yang masuk kriteria bentuk strategi penerjemahan sinonim. (2) Bagaimana Anda menentukan kaidah gramatikal untuk mengetahui teks bahasa sasaran, yakni bahasa Arab? Jawab: Peneliti tidak melakukan pembahasan yang mendalam terkait kaidah gramatikal bahasa Arab. Pada penelitian ini hanya sampai pengklasifikasian strategi saja dengan melihat bentuk leksikalnya. Pembahasan ini hanya mengungkap ragam strategi yang terdapat dalam penerjemahan saja. Dalam pengalihan bahasa memang perlu diketahui sistem gramatikalnya, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Maka ini menjadi saran bagi penelitian selanjutnya. (3) Apa definisi produk yang Anda angkat dalam penelitian ini? Jawab: Definisi produk dalam penelitian ini mengacu pada KBBI, bahwa produk merupakan barang atau jasa yang dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dalam proses produksi dan menjadi hasil akhir dari proses produksi itu. Maka, teks kemasan yang dijadikan sumber data ini merupakan contoh hasil produk. 448 THE APPLICATION OF TEACHING ENGLISH AS A FOREIGN LANGUAGE IN MAKING LESSON PLAN ON STUDENTS’ENGLISH DEPARTMENT ON FIFTH SEMESTER UNIVERSITY OF HKBP NOMMENSEN ACADEMIC YEAR 2015/ 2016 Rina Octavia Simarmata Rita Clara Simatupang Universitas HKBP Nommensen, Indonesia rinaoctaviasimarmata@yahoo.com ABSTRACT This study was intended to discover The Application of Teaching English as a Foreign Language in making Lesson Plan on Students’ English Department on Fifth Semester University of HKBP Nommensen Academic Year 2015/ 2016. The sample of this study was 43 students. In this study the writers analyzed the student’s task in making a lesson plan. From the nine groups of the student’s task in making a lesson plan for the time allocation only seventh group from nine group that followed or mentioned it in their lesson plan. And for the textbook, classroom management, learning administration and the last is learning assessment showed that all the groups of the student’s is mentioned it in their lesson plan. It can be concluded that Teaching English as a Foreign Language (TEFL) worked effectively in helping students in making a good lesson plan. Key Words : TEFL, Lesson Plan I. INTRODUCTION The ability in learning English is knowledge to transfer to each other and people are able to understand what we are talking about especially language. In learning English many of ways to learn it but the most important thing is the learners are know what we transfer is. The ability in teaching English as a foreign language is different like we teach English in course. In teaching English as a foreign language is the ability we make that English as our foreign language. We should know when we will use our first language, our mother tongue and our foreign language. Many of teachers or lecturer in teaching English is less planned so that make the students more confused in their learning especially for 449 English subject, where this subject is a foreign language for them. The teachers or lecturer should have a planned before their doing learning in their classroom. Teaching English as a foreign language is one of subjects in University of HKBP Nommensen where in this subject the students are able to make a lesson plan to apply it. Lesson plan is a good plan for teachers or lecturer before doing the teaching learning process at classroom. Lesson plan is the ways to the teachers to make a good learning and well arranged for her/ his teaching and to make a clear learning and more understand to the students. There are some steps in making a lesson plan for teaching English as a foreign language. Before making a lesson plan we should know the curriculum and the syllabus of our subjects. According to the background above the writer is interest to make a research with the title “The Application of Teaching English as a Foreign Language in making Lesson Plan on Students’ English Department on Fifth Semester University of HKBP Nommensen Academic Year 2015/ 2016”. The writer wants to know the ability of English department students’ university of HKBP Nommensen in making a lesson plan. The Problem of the Study The problem of the study is does students able to make a good lesson plan in application of Learning Teaching English as a Foreign Language? The Objectives of the Study Related to the problem of the study, the objectives of this study is to find out: The application of learning Teaching English as a Foreign Language is able to make a Lesson plan. The Scope of the Study As described above the writer make her scope of the study in making a lesson plan in application of learning Teaching English as a Foreign Language on fifth semester of English Department students University of HKBP Nommensen. 450 The Significance of the Study Teaching English as a foreign language is how we as a teachers or lecturer to transfer our knowledge about teaching for our students. The findings of this study may have two general significances, i.e. theoretical and practical ones, the description of these can be seen in the following: Theoretical Significances Theoretically, there are two significances of the findings in doing this research (1) making the lesson plan; (2) the information of teaching English as a foreign language. Practical Significances 1. to make students more understand how to make a lesson plan. 2. to add knowledge for the lecturer in teaching English as a foreign language (TEFL) in apply lesson plan. 3. To Researcher to increase more knowledge in doing her research about learning lesson plan. 4. Useful to the writer to repair her research in the future. 5. For the society especially the society in University of HKBP Nommensen that can give more information and knowledge about teaching English as a foreign language especially for TEFL lecturer. 6. Contribute a valuable source of data to conduct related research. II. REVIEW OF LITERATURE In doing research, the terms used must be clarified in order to make same perspective of the implementation in the field. The terms may function to give a limited concept which is specifically meant in the particular context. By doing so, the research will be free from unnecessary in this case, it is important to list the following terms for the purpose of the research. Language Language is an intensely political issue since it is bound up with identity and power. As a consequence of its lingua franca status, English sometimes finds itself in conflict with more local languages. Many people worry about what English means for the cultures it comes into contact with, seeing its teaching as a form of “cultural imperialism”. Most English language teaching in the world is not carried out by native speakers, but despite this, as well as see that English language teaching methodology- 451 especially that imported directly from English- speaking traditions world, just as the contents or the language teaching materials need looking at carefully for the cultural message they may convey. (Harmer 2003:4-5). 2.4 Brief History of Language Teaching Language teaching has been around for many centuries and over the centuries, it has changed. Various influences have affected language teaching. Reasons for learning language have been different in different periods. In some eras, languages were mainly taught for the purpose of reading. In others, it was taught mainly to people who needed to use it orally. These influenced how language was taught in various periods. Also, theories about the nature of language and the nature of learning have changed. However, many of the current issues n language teaching have been considered off and on throughout history. (Napitupulu, 2014:1) Course Design The course is designed in the form of syllabus and lesson plan which refer to the standard of content. The learning plan covers writing lesson plan and preparing learning materials and media, assessment tool and learning scenario. In doing a lesson plan here, the teacher should prepare all the design before applied at the teaching learning in the classroom. Syllabus According to Richards and Schmidt (2005:532), a syllabus is a description of the contents of a course of instruction and the order in which they are to be taught. Language-teaching syllabuses may be based on different criteria such as (a) grammatical items and vocabulary (STRUCTURAL SYLLABUS) (b) the language needed different types of situation (SITUATIONAL METHOD) (c) the meanings and communicative functions which the learner needs to express in the TARGET LANGUAGE (NOTIONAL SYLLABUS) (d) the skills underlying different language behavior (e) the text types learners need to master. 452 Lesson Plan Lesson plan is a plan for the teacher to make a good situation in her/ his classroom and better arranged. Richards and Schmidt (2002:302) defines lesson plan as a description or outline of (a) the goals or objective a teacher has set for a lesson plan (b) the activities and procedures the teacher will use to achieve them, the time to be allocated to each activity, and the order to be followed, and (c) the materials and resources which will be used during the lesson. It is also the face-to-face learning plan for one meeting or more. It is developed from syllabus to direct the learning activities for the learners in order to achieve basic competence. Every teacher in an education unit must completely and systematically prepare and write lesson plan in order to create interacting, inspiring, pleasuring, challenging, efficient learning atmosphere and motivate the learners to actively participate in the activities. It should give enough space for initiative, creativity and selfindependence based on the learners’ aptitude, interest, physical, and psychological development. It is prepared based on basic competence or sub-theme carried out in one meeting or more. Principles in Writing Lesson Plan According Napitupulu-Kisno (2014: 75-76) the following principles should be noticed when writing/ preparing lesson plan: 1. The learners’ personal differences such as prior-knowledge, level of intelligence, aptitude, potency, interest, motivation, social ability, emotion, learning style, special needs, learning speed, culture background, norm, value, and the learner’s environment situation. 2. Learners’ active involvement 3. Student-centered in order to motivate the learning spirit, motivation, aptitude, creativity, initiative, inspiration, innovation, and self-independence 4. Developing culture of reading and writing which is designed to develop habit of love-to read, comprehension of various reading materials, and then express it in the written forms 5. Giving feedback and the follow up of the lesson plan which cover positive feedback, reinforcement, enrichment and remedial 453 6. 7. 8. Emphasizing on the relationship and integrity between basic competence, learning materials, learning activities, competence achievement-indicators, assessment and learning resources in a holistic learning experience Accommodating integrated-thematic learning, integrity of inter-subjects, inter-learning aspects, and culture variety Implementing integrated, systematic, effective, information, communication, and technology based on situation and condition. III. RESEARCH METHOD The researcher applied descriptive and qualitative design. Descriptive design simply described what data shown or what was going on by counting the percentage what was set source of the data. Qualitative analysis was then applied to find out theoretically which one seemed to be the application of Teaching English as a foreign Language in making lesson plan on students’ English department on fifth semester Academic Year 2016/ 2016 University of HKBP Nommensen. Data and Data Source The data of this research is the subject of the research is students of University of HKBP Nommensen fifth Semester where the campus is located in Sutomo Street. There are two classes. The research chooses this class because the writer wants to know how the students of this grade are able to make a lesson plan through the Teaching English as a Foreign Language (TEFL) subjects. Techniques of Collecting Data Miles and Huberman’s (1988: 23) model is used to analyze the data descriptively. This model focused on four activities, they are: data collection, data reduction, data display, and conclusion drawing. IV. FINDING AND DISCUSSION After collecting the data from the students task the writer seen the data based on a good steps in lesson plan from the students 454 assignment. The data is collected from the task of the students by follow a good steps of lesson plan. Good steps in lesson plan are as (a) time allocation, (b) textbook (c) classroom management (d) Learning administration, and (e) learning assessment. Research Finding After checking and analyzing the student’s task in making a good lesson plan we have seen that the students are able to make a good lesson plan that show in table below. No Table The Total Number Percentage of Student’s Task. Steps of Lesson Plan Total Group Percentage 1 Time Allocation 7 16.28 % 2 Textbook 9 20.93% 3 Classroom Management 9 20.93 % 4 Learning Administration 9 20.93 % 5 Learning Assessment 9 20.93% Total group and percentage 43 100 Discussion From the finding above, the students that make good steps in lesson plan in application of Teaching English as a Foreign Language (TEFL) subject in English department university of HKBP NOmmensen. From the nine groups of the student’s task in making a lesson plan for the time allocation only seventh group from nine group that followed or mentioned it in their lesson plan. And for the textbook, classroom management, learning administration and the last is learning assessment showed that all the groups of the student’s is mentioned it in their lesson plan. V. Conclusion Based on background, problem, data analysis, finding and discussion above that from the application Teaching English as a Foreign 455 Language (TEFL) subject the students are able to make a good lesson plan with a good steps. To answer the problem of the study from this research where, the problem of this research is does students able to make a good lesson plan in application of Learning Teaching English as a Foreign Language? From the finding of the research conclude that the student’s are able to make a good lesson plan in application of Teaching English as a Foreign Language (TEFL) subject for of the fifth grade students of university of HKBP Nommensen Medan. From the percentage of the student’s task conclude that the students are able to make a good lesson plan in application of Teaching English as a Foreign Language (TEFL) subject. The last that answered the problem of this research is the student’s are able to practice or apply these steps in their practice at the classroom. REFERENCES Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, conducting, and Evaluation Quantitative and Qualitative (3rd ed). New Jersey: Pearson. Bodgan, R.C. & Bilken, S.K. 1982. Qualitative Research in Education: An Introduction to Theory and Method, Boston: Allyn & Bacon Harmer, J. 2003. The Practice of English Language Teaching. Pearson Education: Longman Larsen Diana. 1986. Techniques and Principles in Language Teaching. Oxford University Press Napitupulu Selviana and Kisno. 2014. Teaching English as a Foreign Language (TEFL1). Jakarta: Halaman Moeka Miles, M. B. and Huberman, A. M. 1988. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publication. Richards, Jack. C and Richards Schmidt. 2002. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London: Pearson Education Ltd. 456 HASIL DISKUSI SEMINAR 3 Pertanyaan dan Jawaban 1. What is the purpose this research? Answer : The purpose of this study is to knowthe ability of students how to become a teacher by making a good lesson plan. 2. What is the reason that being a teacher should have a lesson plan? Answer: Because being a teacher is a model that will be imitated by his/ her students. Therefore in order to imitate well, a teacher must have a alesson plan, it is a draft made by a teacher to make his/ her teaching more directed. 3. How to explain about lesson plan itself? Answer: It is also the face-to-face learning plan for one meeting or more. It is developed from syllabus to direct the learning activities for the learners in order to achieve basic competence. Every teacher in an education unit must completely and systematically prepare and write lesson plan in order to create interacting, inspiring, pleasuring, challenging, efficient learning atmosphere and motivate the learners to actively participate in the activities. It should give enough space for initiative, creativity and selfindependence based on the learners’ aptitude, interest, physical, and psychological development. It is prepared based on basic competence or sub-theme carried out in one meeting or more. 457 VARIASI SAPAAN ANAK PEREMPUAN DALAM BAHASA BANJAR Rissari Yayuk Balai Bahasa Kalimantan Selatan yrissariyayuk@yahoo.co.id ABSTRAK Terdapat variasi sapaan sebagai pengganti nama bagi anak perempuan dalam keluarga masyarakat Banjar.Sapan ini merupakan salah satu upaya kesantunan berbahasa yang dilakukan oleh masyarakat Banjar di tengah era globalisasi sekarang yang rentan akan pengaruh budaya luar yang kurang santun. Berdasarkan hal ini , masalah yang dikaji meliputi1.apa saja sapaan anak perempuan dalam bahasa Banjar.2.strategi kesantunan apa yang terdapat dalam sapaan tersebut berdasarkan kajian pragmatik.tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan sapaan anak perempuan dalam bahasa Banjar dan strategi kesantunan yang terdapat dalam sapaan tersebut.metode yang digunakan deskriptif kualitatif.pengambilan data dengan metode observasi dan kepustakaan.teknik pengambilan data melalui perekaman dan pencatatan.Analisis data berdasarkan teori pragmatik.Langkah kerja penelitian adalah pengambilan data,analisis dan penyajian data.data diasajikan dengan kata-kata biasa. Waktu pengambilan bulan Januari-Maret 2018.Hasil penelitian adalah kata sapaan bagi anak perempuan meliputi sapaan Galuh, Idang, Itai, Pintar, Atung.Strategi kesantunan yang terdapat dalam sapaan ini adalah penggunaan penanda solidaritas. Kata kunci: sapaan, anak, Banjar ABSTRACT There is a variety of greetings as a substitute for the name of girls in the Banjar family. This is one of the language politeness efforts conducted by the Banjar community in the middle of the current era of globalization that is vulnerable to the influence of outside culture that is less polite. Based on this, the problems studied include the only greetings of girls in the Banjar language.2.the politeness strategy of what is in the greeting is based on pragmatic studies. The purpose of the study is to describe the greetings of 458 girls in Banjar language and politeness strategies contained in the greeting the method used descriptive qualitatif.pengambilan data with the method of observation and bibliography.techniques of data retrieval by recording and recording.Analisis data based on pragmatic theory.The research work step is data retrieval, analysis and presentation data.data served with ordinary words. Time taken from January to March 2018.Result result is a greeting word for girls include greeting Galuh, Idang, Itai, Pintar, Atung.Strategy courtesy contained in this greeting is the use of solidarity markers. Keywords: greetings, children, Banjar PENDAHULUAN Mayarakat Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang menempati wilayah Kalimantan Selatan. Masyarakat ini mengungkapkan segala ekspresi kehidupan melalui salah satu media bernama bahasa.Wibowo (2015:35) bahwa bahasa memiliki daya dalam mengungkap realitas. Bahasa tidak sekadar alat komunikasi tetapi mampu merefleksikan apa yang dilihat, dirasa dan, didengar penutur bahasa terhadap lingkungan sekitar. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Banjar bernama bahasa Banjar. Bahasa ini memiliki beragam kosa kata dan kalimat yang diujarkan oleh masyarakat penuturnya sesuai dengan kebutuhan saat berkomunikasi. Penggunaan sapaan dalam bahasa Banjar merupakan ungkapan komunikasi ketika menyapa atau memanggil seseorang yang disesuaikan dengan konteks antara penutur dan mitra tutur. Sapaan terhadap anak perempuan dalam masyarakat Banjar memiliki variasi tersendiri. Hal ini tergantung kepada latarbelakang penutur dan mitra tutur serta hal-hal yang menyertai terjadinya pembicaraan.Bentuk sapaan ini ada yang erupa kata atau gabungan kata. Kridalaksana (1993:191) menyatakan bahwa semua bahasa mempunyai tutur sapa.Sapaan adalah morfem, kata atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan berbeda-beda menurut sifat hubungan antara pembicara.Kaidah sapaan berkaitan dengan alternasi dan kookurensi. Ervin-Tripp (1972:213) menyatakan kaidah alterasi mengenai bagaimana cara menyapa yang berkaitan dengan pemilihan unsur leksikal yang disesuaikan dengan cirri-ciri orang yang disapa. Ciri-ciri ini menandai hubungan antar penutur , dan sifat situasi 459 yang melatarbelakanginya. Kaidah kookurensi berkaitan dengan kesertaan bentuk sapaan dengan bentuk yang lainnya. Penggunaan katakata tersebut disesuaikan dengan situasi dan kedudukan orang yang disapa Berkaitan dengan hal ini, sebuah sapaan bagi anak perempuan dapat diketahui fungsinya tentu tidak lepas dari dari komponen tutur yang terjadi. Aslida, dkk (2010: 31-32) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang tersimpulkan dalam akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah S : Setting, berhubungan dengan waktu, tempat berbicara dan suasana bicara. Setting yang berbeda menyebabkan penggunaan bahasa berbeda. Penggunaan bahasa di tengah lapangan bola yang ramai akan berbeda ketika menggunakan bahasa di perpustakaan yang sepi. P : Participant, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan. E : End, merupakan maksud dan tujuan petuturan. A : Act Sequeces, adalah bentuk ujaran atau suatu peristiwa di mana seseorang pembicara sedang mempergunakan katakata yang berisi pembicaraan. K : Key, mengacu pada nada suara, cara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya, seperti sedih, gembira, serius. I : Instrument, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti bahasa lisan, bahasa tulis, dan juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan seperti oral, isyarat, tulisan, telegraf, dialek, dan lain-lain. N : Norm, yaitu aturan dalam berinteraksi misalnya yang berhubungan dengan aturan atau kesantunan memberi tahu, memerintah, bertanya, minta maaf, basabasi, mengkritik, dan sejenisnya. Hal ini berkaitan dengan hubungan sosial dalam sebuah masyarakat tutur. G : Genre, yaitu bentuk penyampaian, seperti puisi, pepatah, doa, dn sebagainya. KERANGKA TEORI Chaer,dkk. (2010:104-105) sapaan adalah ujaran atau tuturan santun yang kita gunakan untuk menyapa mitra tutur saat bertemu, berpapasan, atau melewatinya di suatu tempat. Ujaran ini bisa ini bisa berupa kata, frase, dan kalimat, bahkan narasi. Ujaran biasanya disertai senyum dan anggukan kepala.Kebertegursapaan antarpenutur dan mitra tutur ini akan menciptakan situasi yang harmonis dan menyenangkan. Misalnya penutur melewati mitra tutur yang sedang duduk, alangkah baiknya memanggil namanya seraya berujar permisi.Hal ini menunjukkan 460 penutur menghargai dan menghormati mitra tutur, dan penutur melakukan kebertegursapaan meminta izin. Biber dalam Nengsih, (2013:54) menekankan bahwa sapaan penting untuk menjelaskan dan memelihara hubungan sosial antara partisipan di dalam percakapan. Mereka membagi sapaan menjadi delapan kategori berdasarkan penggunaannya, yaitu (1) panggilan sayang; (2) istilah kekerabatan ; (3) panggilan akrab; (4) nama akrab; (5) nama depan utuh, (6) gelar dan nama belakang; (7) sapaan hormat; dan (8) sapaan lain yang termasuk julukan. Penggunaan kata sapaan merupakan salah satu strategi kesantunan berbahasa dalam masyarakat Banjar. Penggunaan strategi ini disebabkan oleh faktor nonkebahasaan yang melatarbelakanginay.Sementara itu, Sumarsono dan Partana, (2007:63) menyatakan bahwa faktor nonkebahasaan tidak dapat dilepaskan dalam penentuan pilihan bentuk linguistik dalam suatu interaksi yang didasarkan pada hubungan pembicara dan mitra bicara berdasarkan asas relasional. Gunawan (2014:19) menyatakan bahwa pada dasarnya, dalam menentukan strategi mana yang akan digunakan seorang penutur agar santun berbahasa tentu menggunakan berbagai pertimbangan. Pertimbangan yang dimaksud tentu berhubungan dengan masalah bagaimana caranya agar bahasa yang dituturkan menunjukkan kesantunan yang sesuai dengan etika masyarakat. Ruskhan (2014:4) menyatakan salah satu faktor pendorong agar berbahasa santun adalah adanya kesadaran akan adanya norma masyarakat yang mengatur sikap bertutur saat berkomunikasi. Brown dan Levinson dalam Wijana (2011:136) yang menyatakan penggunaan penanda identitas kelompok seperti kata sapaan adalah penanda solidaritas yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi kesantunan berbahasa. Djatmiko, (2016:64) menyatakan bahwa penanda solidaritas adalah penggunaan kata ganti persona yang digunakan dalam sistem sapa untuk menunjukkan solidaritas atau pengikat sosial dan emosi antar pelibat dalam sebuah interaksi, seperti mas, dik, sayang, dan sebagainya. METODE Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.Metode deskriptif kualitatif dipilih karena pada analisis data dalam penelitian ini akan mendeskripsikan secara alamiah penggunaan variasi sapaan anak 461 perempuan berdasarkan teori pragmatik.Teknik yang digunakan dalam pemerolehan data dengan teknik simak bebas libat cakap. Artinya peneliti mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan saja terhadap pengguna bahasa Banjar. Peneliti tidak terlibat langsung dalam pembicaraanAda tiga langkah kerja berdasarkan metode dan teknik , yaitu pengumpulan, analisis, dan penyajian data. Pengambilan data dilakukan dari bulan Januari 2018 s.d. Maret 2018.Data diambil dari tuturan masyarakat Banjar di desa Bakrung, Kandangan, Provinsi Kalimantan Selatan. PEMBAHASAN A.Variasi sapaan anak perempuan Banjar Data 1 P: pintar ikam handak kamana? “pintar kamu mau keman? MT: Ulun handak ka rumah Nining “Saya ingin ke rumah nenek” Konteks: tuturan terjadi antara ibu dan anak Data [1] terjadi dalam sebuah rumah antara seorang ibu dengan anak perempuannya.Nada suara penutur terdengar lembut.Penutur menanyakan kemana anak perempuannya tersebut pergi.Di sini sapaan anak perempuan Banjar yang digunakan karena adanya hubungan darah antara ibu dengan anak dengan sebutan pintar.Pintar merupakan kata sipat yang mengandung doa bagi si anak.Si ibu berharap anaknya selalu dalam kondisi cerdas. Data 2 P: Idang cuba pang ka sini “Idang soba dong ke sini” MT: Inggih cilia “Iya Tante’ Konteks: tuturan antara tetangga dengan anak tetangga Data [2] terjadi di sebuah pekarangan rumah. Saat itu tetangga perempuan mitra tutur sedang menjemur kasur.Dia memanggil anak perempuan tetangganya untuk membantunya.Sapaan yang digunakan dalam konteks ini adalah Idang.Sapaan Idang bisa digunakan sebagai salah satu sapaan bagi anak perempuan masyarakat Banjar. Data 3 462 P: Amun ikam ka sini Itai yai, habari ja kami, kaina kami ambili “Kalau kamu ke sini Itai ya, kabari saja kami, nanti kami jemput” MT: Insyallah kaina ulun habari, makasih “Insyallah nanti saya kabari, terimaksih”. Konteks: tuturan antara tante dan keponakan Data [3] terjadi di sebuah rumah.Saat itu seorang keponakan perempuan akan pulang ke luar daerah.Tantenya menyapa dengan sebutan Itai.Tantenya mengatakan kalau si keponakan nati datang, kalau bisa kabari terlebih dahulu keluarga tantenya, sehingga mereka bisa menjempunya di bandara. Data 5 P: Galuh, kaina danii Uma lah ka wadah ading “Galuh nanti temani Mama ya ke tempat adik” MT: Bisa “Bisa”. Konteks: tuturan antara ibu dan anak Data [5] terjadi dalam sebuah rumah.Penutur mengajak anak perempuannya agar menemaninya ke rumah anak lelakinya nanti.Penutur menyapa anak peerempuannya ini dengan sebutan Galuh. Data [6] P: Atung, jangan bahujan pang, kaina garing “Atung jangan berhujan ya, nanti sakit” MT: tertawa Konteks: tuturan antara tetangga dengan anak tetangga Data [6] terjadi di sebuah jalan desa.Seorang anak perempuan yang usianya masih balita sedang bermain di tepi jalan depan rumahnya.Tetangganya berusaha untuk mengingatkannya agar jangan mandi hujan nanti bisa sakit.Tetangga tersebut menyapa dengan sebutan Atung.Atung dalam bahasa Banjar kependekan dari bauntung”beruntung”. b.Strategi kesantunan sapaan anak perempuan Banjar Strategi kesantunan berbahasa yang digunakan dalam sapaan bagi anak perempuan Banjar adalah strategi solidaritas. Brown dan Levinson dalam Wijana (2011:136) yang menyatakan penggunaan penanda identitas kelompok seperti kata sapaan adalah penanda solidaritas yang dapat digunakan sebagai bagian dari strategi kesantunan berbahasa. 463 Fungsi sapaan ini sebagai wujud menjalin ikatan emosional antara warga masyarakat maupun antar keluarga.Dalam data [1] dan [6] terlihat sapaan bagi anak perempuan dalam masyarakat Banjar tidak mengenal hubungan darah atau kekrabatan.Baik yang memiliki hubungan keluarga atau tidak akan menyapa anak-anak perempuan dengan sapaan santun. Hal ini sebagai wujud solidaritas , penghargaan, kasih sayang yang ditunjukkan kepada anak perempuan. KESIMPULAN Variasi sapaan anak perempuan yang terdapat dalam masyarakat Banjar meliputi Pintar, Idang,Itai, Galuh, dan atung.Strategi kesantunan yang digunakan adalah solidaritas. Daftar pustaka Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama. Chaer, Abdul. (2012). Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Djatmika. (2016). Mengenal pragmatik Yuk!? Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ervin-Tripp Susan M. (1972). on Sociolinguistic rules:Alternation and Cooccurance Rules dalam Direction In Sociolinguistics suntingan John J. Gumperz dan DELL hymes: 213-250. New York:Holt And Winston, Inc. Gunawan, Fahmi. (2014). Representasi Kesantunan Brown dan Levinson dalam Wacana Akademik. Jurnal Kandai,10 (1): 123-134. Kridalaksana,Harimurti. (1993) Pragmatik. Jakarta: Gramedia. Nengsih, Sri Wahyu. (2013). Variasi Panggilan dalam Tuturan Sapa Masyarakat Banjar. dalam Bunga Rampai Bahasa, (hlm. 46-79). Banjarbaru: Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan Ruskhan, Abdul Gaffar. (2011) kajian Bahasa AS Sebagai Bahasa yang Hampir Punah di Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. Jurnal Sawerigading, 17(1) 1-10. Sumarsono. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda Wibowo, Wahyu. (2015). Konsep Tindak Tutur Komunikasi. Jakarta: Bumi Aksara 464 Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. (2011). Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta : Yumna Pustaka HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan 1. Apa yang membuat Anda tertarik mengkaji sapaan 2. Berapa lama Anda meneliti 3. Harapan Anda kedepannya terkait dengan hasil penelitian ini Jawaban 1. Ditengah bergesernya kesantunan berbahasa oleh masyarakat sekarang.Penting materi ajar yang bisa mengingatkan bahwa bahasa kita memiliki bahasa kesantunan yaitu sapaan. 2. Sekitar tiga bulanan, yaitu bulan Januari dan Maret 2018 3. Semoga peneliti lainnya tergerak untuk ikut meneliti bahasa kesantunan lainnya dalam bahasa daerah masing-masing. 465 SAPAAN KEKERABATAN TERHADAP ORANGTUA PADA MASYARAKAT BIMA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK Rita Hayati Universitas Pamulang Dosen01163@unpam.ac.id ABSTRAK Ketika kita berbicara, secara otomatis kita memilih kata-kata yang berbeda seperti apa yang akan kita katakana, bagaimana kita mengatakannya, dan kepada siapa kita mengucapkan kata tersebut. Wardhaugh (2006) mengatakan saat ini, sebagian besar ahli bahasa sepakat bahwa penutur yang berpengetahuan memiliki bahasa atau bahasa yang mereka gunakan adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sangat abstrak. Yule (2010) mengaatakan bahwa sosiolinguistik memiliki hubungan yang kuat dengan antropologi melalui studi bahasa dan budaya, dan dengan sosiologi melalui penyelidikan peran bahasa yang dimainkan dalam organisasi kelompok dan lembaga social. Dalam menganalisa tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan antropologi linguistik. Wortham menambahkan bahwa antropolog linguistik mempelajari bagaimana tanda-tanda mengkomunikasikan pesan referensi dan relasional karena digunakan dalam konteks sosial dan budaya. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menginformasikan bagaimana masyarakat sapaan terhadap orangtua pada masyarakat Bima. Bagi anak, orangtua biasa disapa dengan Ayah – Bunda, Bapak – Ibu dsb. Pada masyarakat Bima, yang juga disebut ‘Dou Mbojo’, orangtua disapa berdasarkan latar belakang masing-masing, yakni: Muma – Dae, Teta – Dae, dan Ama – Ina. Muma, Teta, dan Ama adalah sapaan orang Bima untuk ayah sedangkan Dae, dan Ina adalah sapaan untuk Ibu. Muma dan Dae adalah sebutan untuk yang memiliki garis keturunan bangsawan, Teta dan Dae adalah sebutan untuk tuan tanah atau pun yang menikah dengan yang memiliki garis keturunan bangsawan, dan Ama dan Ina adalah sebutan bagi kelas petani atau pekerja. Kata Kunci: Sapaan kekerabatan, Kesopanan , Dou Mbojo, Bima 466 PENGANTAR Bahasa Indonesia memang merupakan bahasa pemersatu bagi masyarakat Indonesia dan menjadi bahasa penghubung dalam berkomunikasi secara verbal. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa bagi sebagian besar, bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua. Oleh karena itu dalam bertutur, terdapat keberagaman. Bahasa Bima atau nggahi Mbojo merupakan salah satu bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bima di ujung timur pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Nggahi Mbojo mengenal dua kelas bahasa, yakni bahasa halus dan kasual. Hal ini disebabkan Bima masih meninggalkan jejak kesultanan yang masih ada sampai saat ini. Para pemuka adat yang notabene telah sepuh adalah orang-orang yang tentunya masih mempertahankan adat Bima, salah satunya adalah penyebutan orangtua. Budaya popular telah mulai mengikis adat sapaan nama pada orangtua sehingga para pasangan muda lebih cenderung menyebut diri mereka papa – mama atau papi – mami dari pada muma – dae atau ama – ina. Sapaan orangtua ini sangat normal pada masyarakat Bima sehingga ketika mendengar seseorang memanggil orangtuanya akan otomatis diketahui status sosial mereka. TINJAUAN PUSTAKA Wardhaugh (2006) mengatakan saat ini, sebagian besar ahli bahasa sepakat bahwa penutur yang berpengetahuan memiliki bahasa atau bahasa yang mereka gunakan adalah pengetahuan tentang sesuatu yang sangat abstrak. Ini adalah pengetahuan tentang aturan dan prinsip serta cara-cara mengatakan dan melakukan hal-hal dengan bunyi, katakata, dan kalimat, bukan hanya pengetahuan tentang bunyi, kata-kata, dan kalimat tertentu. Ia tahu apa yang ada dalam bahasa dan apa yang tidak; itu adalah mengetahui kemungkinan yang ditawarkan oleh bahasa dan apa yang tidak mungkin. Sosiolinguistik memiliki hubungan yang kuat dengan antropologi melalui studi bahasa dan budaya, dan dengan sosiologi melalui penyelidikan peran bahasa yang dimainkan dalam organisasi kelompok dan lembaga social (Yule, 2010: 254). Speech digunakan dengan cara yang berbeda di antara kelompok orang yang berbeda. Seperti yang akan kita lihat, setiap kelompok memiliki norma perilaku linguistiknya sendiri. Suatu kelompok tertentu mungkin tidak mendorong berbicara untuk kepentingan berbicara, dan anggota kelompok semacam itu 467 mungkin tampak diam menghadapi orang luar yang suka berbicara, atau mereka mungkin merasa kewalahan oleh tuntutan yang dibuat pada mereka jika yang lain bersikeras untuk berbicara. Sebaliknya, dalam pembicaraan kelompok lain mungkin didorong sejauh yang bahkan mungkin tampak sangat tidak teratur kepada pengamat yang telah menginternalisasi seperangkat 'aturan' yang berbeda untuk pelaksanaan pembicaraan (Wardhaugh, 2006: 242). Ketika kita berbicara, kita harus terus-menerus membuat pilihan dari berbagai jenis: apa yang ingin kita katakan, bagaimana kita ingin mengatakannya, dan jenis kalimat, katakata, dan suara spesifik yang paling tepat menyatukan apa dengan bagaimana. (Wardhaugh. 2006: 260) Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah antropologi linguistik. Antropolog linguistik menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa baik mengandaikan dan menciptakan hubungan sosial dalam konteks budaya (Silverstein, 1985; Duranti, 1997; Agha, 2006) di Wortham (hal.83). Wortham menambahkan bahwa antropolog linguistik mempelajari bagaimana tanda-tanda mengkomunikasikan pesan referensi dan relasional karena digunakan dalam konteks sosial dan budaya (hal.83). MASALAH Bagaimana perbedaan sapaan kekerabatan terhadap orangtua pada masyarakat Bima? Tujuan Untuk mengetahui bagaimana perbedaan sapaan kekerabatan terhadap orangtua pada masyarakat Bima. PEMBAHASAN 1. Muma – Dae Saapan ‘Muma’ secara otomatis disematkan pada seorang Ayah yang berasal dari keluarga bangsawan sedangkan Ibu disebut ‘Dae’, baik jika wanita tersebut seorang keturunan bangsawan maupun ataupun bukan. Sapaan ‘Muma’ juga diberlakukan pada keponakan maupun orang lain ynag mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Abdullah akan secara otomatis disebut Muma Dole oleh para keponakan dan orangorang yang mengenalnya. 468 Penyebutan ‘Dole’ tanpa ‘Muma’ pun lumrah disebutkan oleh orang Bima, tetapi dianggap tidak sopan jika melibatkan seseorang yang mendapatkan gelar ‘Muma’. 2. Teta – Dae Sapaan ‘Teta’ pun otomatis disematkan pada seorang Ayah yang berasal dari keluarga tuan tanah. Selain itu ‘Teta’ pun diperuntukkan bagi pria yang menikah dengan wanita bangsawan yang disebut ‘Dae’. Hanya saja ‘Teta’ ini lebih umum dipakai oleh pria yang berasal dari Sila, sebuah daerah di Bima. Sapaan ‘Teta’ juga berlaku pada keponakan maupun orang lain yang mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Rifa’I akan secara otomatis disebut Teta Fe’o oleh para keponakan dan orang-orang yang mengenalnya. Penyebutan ‘Fe’o’ tanpa ‘Teta’ pun lumrah disebutkan oleh orang Bima, tetapi dianggap tidak sopan jika melibatkan seseorang yang mendapatkan gelar ‘Teta’. 3. Ama – Ina Sapaan ‘Ama’ ditujukan pada seorang Ayah dari keluarga kelas petani atau pekerja. Sementara sang Ibu disebut ‘Ina’. Sapaan ‘Ama’ juga berlaku pada keponakan maupun orang lain yang mengenalnya. Sebagai contoh seorang pria yang bernama Abubakar akan secara otomatis disebut Ama Baka. Tetapi khusus untuk penyebutan ‘Ama’ yang diikuti nama, bisa juga tidak disematkan ‘Ama’nya melainkan dapat diubah menjadi ‘Beko’ saja. Hal ini tetap menunjukkan kesopanan pada orang yang lebih tua. SIMPULAN Orang Bima cenderung memasyarakatkan sapaan ini dengan cara tidak hanya diterapkan oleh anak kepada orantua saja melainkan juga keponakan, tetangga, teman dan bawahan. Sebagai contoh, seorang pria yang dipanggil ‘muma’ oleh anaknya, oleh yang lain pun akan disapa demikian hanya saja diikuti oleh nama yang telah di ubah dalam ketentuan sapaan orang Bima. Contohnya pada nama Abdullah, keponakan dan orang lain yang mengenalnya akan memanggilanya Muma Dole. Muma adalah gelar orangtua karena dia merupakan keturunan bangsawan, Dole 469 merupakan variasi panggilan dari kata Abdullah yang normal digunakan dalam masyarakat Bima. Cara orangtua dipanggil secara signifikan terkait dengan cara mereka diperlakukan. Muma dan Dae, yang diharapkan memiliki cara berbicara dan berperilaku yang sopan, paling dihormati di antara masyarakat. Dua berikutnya mengikuti. Saat ini sudah hampir tidak ada yang menggunakan panggilan Ama – Ina lagi. Kalaupun ada, biasanya mereka adalah generasi terakhir. DAFTAR PUSTAKA Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Yule, George. 2010. The Study of Language. New York: Cambridge University Press. Spolsky, Bernard and Hult, Francis M (editor). The Handbook of Educational Linguistics. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan dan Saran: 1. Adakah bentuk sapaan lain selain yang disebutkan? Dan bagaimana dengan pronomina sapaan? 2. Apakah sapaan tersebut hanya untuk masyarakat asli Bima saja? Bagaimana jika ada yang menikah dengan suku lain? 3. Sudah adakah yang meneliti istilah sapaan nama? 4. Judul asli ‘Panggilan’ seharusnya diubah menjadi ‘Sapaan’. Jawaban: 1. Terdapat bentuk sapaan lain selain kepada ayah dan ibu, yakni sapaan terhadap kakak laki-laki ‘dae’ dan ‘aba/baba’ dan kakak perempuan ‘dae’ dan ‘kaka’. Bentuk pronominal pun sangat beragam dan disesuaikan dengan lawan bicara, contoh: Anda = ‘ita’ dan ‘ndaimu, Kamu = ‘nggomi’ dst. 470 2. Tidak, jika ada pernikahan campur, maka disesuaikan panggilannya. Jika seorang wanita menikahi bangsawan, maka dia disapa ‘dae’, jika seorang pria menikahi bangsawan, maka dia disapa ‘teta’. Jika seorang pria atau wanita menikahi orang biasa, maka disesuaikan, namun kebanyakan tetap menggunakan bapakibu atau papa-mama. 3. Terus terang saya belum tahu, tetapi salah satu peserta mengatakan ada yang sudah meneliti. 4. (Sudah diterapkan) 471 FRAMING BAHASA ARAB DALAM PARATEXTS BERBAHASA INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN AWAL Saharudin Universitas Mataram e-mail: din_linguistik@unram.ac.id ABSTRAK Dalam buku dan kamus rujukan tentang bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Indonesia, sering ditemukan pembingkaian (framing) bahasa tersebut dengan “kalimat sakti” dalam bentuk parateks (judul, dedikasi, epigraf, dan jacket copy). Hal ini dikonstruksi oleh penulis sendiri, penerbit, tokoh-tokoh keagamaan kharismatik dan terkenal, atau pakar pada bidang tersebut. Misalnya, redaksi pembingkaian bahasa Arab pada epigraf sebuah kamus bahasa Arab ini. “Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana ia menjadi parameter kuatnya pengetahuan dan dalamya iman seseorang.... Bahasa Arab ... merupakan bahasa dua sumber utama umat Islam ... dan juga bahasa penduduk surga.” Jika dicermati lebih tajam, kehadiran teks (wacana) tersebut memiliki berbagai kedudukan dan fungsi; baik fungsi ideologis maupun edukatif. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha menggambarkan pembingkaian (framing) bahasa Arab dalam bahasa Indonesia melalui parateks yang diasumsikan sebagai “kalimat sakti” untuk memotivasi pembelajar bahasa Arab di Indonesia melalui narasi ideologis. Dengan demikian, kajian ini mencoba membicarakan persoalan konstruksi pemikiran dalam konteks peran simbolik bahasa. Kata kunci: pembingkaian, bahasa Arab, parateks, fungsi, bahasa Indonesia A. PENDAHULUAN Saat membaca berbagai rujukan tentang bahasa Arab yang ditulis dalam bahasa Indonesia, tidak jarang kita menemukan semacam pembingkaian (framing) bahasa tersebut dengan “kata-kata sakti”. Baik itu dilakukan oleh penulis sendiri atau tokoh-tokoh terkenal dalam bidang keagamaan dan bahasa Arab. Di halaman-halaman buku, misalnya, ditemukan kata-kata atau kalimat seperti “pelajarilah bahasa Arab, karena 472 sesungguhnya ia bagian dari agamamu”. Bandingkan pula redaksi pembingkaian bahasa Arab pada jacket copy sebuah kamus bahasa Arab ini. “Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana ia menjadi parameter kuatnya pengetahuan dan dalamya iman seseorang.... Bahasa Arab ... merupakan bahasa dua sumber utama umat Islam ... dan juga bahasa penduduk surga.” Data kebahasaan seperti di atas dalam konteks sosiolinguistik menarik untuk dikaji. Secara sepintas, teks yang dimuat di bagian depan buku atau kamus tentang bahasa Arab tersebut tampak diperuntukkan untuk pembaca saja. Akan tetapi, jika dicermati lebih tajam, kehadiran teks (wacana) tersebut memiliki berbagai kedudukan dan fungsi. Bentuk teks seperti di atas oleh para pakar sosiolinguistik disebut parateks. Kehadiran teks seperti di atas–dalam buku/kamus bahasa Arab berbahasa Indonesia—mungkin dianggap wajar, mengingat bahasa Arab dalam konteks masyarakat muslim Indonesia adalah bagian dari agama yang dianutnya. Artinya, bahasa Arab tidak hanya dipandang sebagai bahasa internasional apalagi bahasa nasional beberapa negara Timur Tengah dan identitas bangsa-bangsa tersebut. Jika teks semacam di atas muncul dalam referensi-referensi berbahasa Arab dan penerbitannya di negara-negara yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya, ada kemungkinan para pembaca akan memahaminya sebagai upaya mereka dalam memperkokoh, memperteguh, dan menguatkan nasionalisme, identitas, dan martabat kebangsaannya. Akan tetapi, ketika fenomena kebahasaan seperti itu muncul di sebuah bangsa yang secara kebangsaan dipersatukan oleh bahasa Indonesia dan secara (mayoritas) keagamaan dipersaudarakan oleh agama Islam, muncul pertanyaan. Apa faktor yang melatarbelakangi fenomena kebahasaan seperti itu dan apa tujuannya? Inilah pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan singkat ini. Selanjutnya, data yang dianalisis dalam makalah ini adalah data bahasa berupa parateks yang diambil dari kamus Bahasa Arab edisi Indonesia-Arab dan juga buku Bahasa Arab yang memakai bahasa Indonesia sebagai media penyajiannya. Berbagai data tersebut dipilih sesuai dengan tujuan penelitian. Oleh karena itu, metode yang digunakan (setelah pengumpulan data) adalah metode pereduksian, pengontrasan, dan penafsiran. 473 Lebih lanjut, kajian tentang parateks (paratexts) dari sisi ideologi bahasa termasuk yang sangat sedikit dilakukan oleh para ahli bahasa (khususnya ahli sosiolinguistik), padahal bagian ini tergolong sangat menggugah minat para pakar sosiolinguistik dewasa ini (lihat Suleiman, 2013). Parateks mencakup bagian-bagian pra-isi teks (khususnya buku dan kamus/referensi), misalnya, judul, dedikasi/persembahan, epigraf, mukaddimah, dan iklan-pujian penerbit atau jacket copy. 4 Setiap bagian dari halaman muka buku atau kamus ini memiliki fungsi, tetapi secara kolektif semuanya bertugas sebagai papan penunjuk arah (signpost) dan pengemudi teks (tubuh utama dari sebuah karya). Lebih dari itu, juga untuk memediasi hubungan antara teks, pembaca, dan masyarakat umum (Suleiman, 2013: 95). Dengan demikian, “lingkaran pinggir” dari teks ini dapat dijadikan ambang pintu penafsiran (thresholds of interpretation). Dalam bahasa Genette (1997), parateks merupakan wacana liminal untuk framing divices ‘pembingkaian muslihat’ yang berada di samping teks utama. B. PARATEKS DAN FUNGSINYA: SEBUAH CONTOH DALAM BAHASA INDONESIA Untuk menunjukkan bagaimana ideologi bahasa Arab dikodekan dalam parateks berbahasa Indonesia, saya akan mendiskusikan parateks pada kasus kamus bahasa Arab karya A. Thoha Husein Al-Mujahid dan A. Atho’illah Fathoni Al-Khalil (2016). Dimulai dari judul kamus yang cenderung persuasif, Kamus Al-Wâfi Indonesia-Arab: TermudahTerlengkap. Judul kamus ini tampak sederhana, tapi memasang rayuan untuk memikat pembaca. 5 Dalam judul tersebut terdapat kata Al-Wafi yang berarti ‘yang setia’. Ini menunjukkan pengarang ingin menyatakan bahwa kamus ini adalah kamus yang selalu setia menjadi teman saat mengalami kesulitan dalam memahami teks Arab sehingga solusinya ada dalam kamus tersebut. Di samping itu, pada judulnya juga terdapat kata Termudah-Terlengkap yang berarti kamus ini adalah kamus yang mudah cara pemakainnya karena disusun secara sistematis dan isi/lemanya 4 Bahkan, menurut Armstrong ( 2007: 40) parateks bisa berupa non-tekstual, tetapi memiliki nilai tinggi pada masa tertentu, seperti unsur-unsur dekoratif sebagai sebuah ilustrasi terhadap teks, terutama untuk naskah-naskah kuno yang berada di kalangan atau kelompok tertentu. 5 Keberadaan judul, misalnya, paling tidak memiliki fungsi sebagai penandaan (designation), deskripsi isi dalam teks, dan umpan godaan/rayuan untuk memikat pembaca (Genette, 1997: 92; Suleiman, 2013: 96-97). 474 paling lengkap dibandingkan kamus-kamus serupa yang ada di Indonesia saat ini. Judul kamus tersebut benar-benar menjadi penanda, penjelas, dan pengumpan godaan kepada (calon) pembacanya. Jadi, fungsi utama judul pada kamus ini adalah untuk memikat, menarik, dan menggoda. Ini digunakan untuk meningkatkan keinginan pembaca dalam membeli dan membaca kamus itu, kemudian membuktikan “janji” pengarang bahwa kamus tersebut adalah benar-benar paling mudah dan paling lengkap dari sisi isi (lema dan contoh aplikasinya). Meskipun demikian, pembaca tidak akan pernah sampai pada maksud judul tersebut tanpa pernah ada sebelumnya perspektif tententu (tentang bagaimana sulitnya tatabahasa bahasa Arab ataupun kekayaan sisi infleksi-derivasi dan semantiknya) pada diri (calon) pembeli dan pembaca kamus tersebut. Dengan demikian, pemahaman skemata budaya (calon) pembaca dan pembeli menjadi pertimbangan utama penulis memilih judul tersebut. Di sinilah skemata ideologis calon pembeli dan pembaca kamus itu harus dilibatkan dalam pemilihan judul yang tepat. Jika tidak demikian, judul akan cenderung mengkhianati isinya. Selain judul, parateks pada Kamus Al-Wafi adalah kata pengantar/sambutan (dari penerbit, pakar, dan penulis sendiri), epigraf, dan jacket copy. Akan tetapi, mengingat keterbatasan ruang, hanya akan didiskusikan epigrafnya saja. Melihat tempatnya dalam kamus ini, epigraf yang ada sekaligus berfungsi sebagai kata sambutan dari tokoh terkemuka di Indonesia, khususnya di kalangan ulama NU dan pondok pesantren. Epigraf dalam dalam sebuah buku/kamus merupakan sebuah teks kutipan yang berfungsi menjelaskan teks. Bentuk epigraf yang digunakan dalam kamus ini tidak mengutip langsung teks yang bersumber dari Al- 475 Qur’an, Hadis, atau kata-kata hikmah, tetapi menggunakan media perantara berupa pernyataan dari seorang tokoh kharismatik agama Islam, yakni K.H. Maimoen Zubair. Kata-kata tokoh ini sering dikutip oleh tokoh agama Islam yang lain untuk menguatkan atau melegitimasi pendapatnya. Berikut adalah bentuk parateks tipe epigraf dalam kamus tersebut. “Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana ia menjadi parameter kuatnya pengetahuan dan dalamya iman seseorang. Oleh karena itu saya benar-benar senang dan bahagia disertai rasa syukur yang mendalam atas hadirnya kamus bahasa Arab yg disusun oleh dua bersaudara A. Thoha Husein dan A. Atho’illah Fathoni ini, sebab ia merupakan salah satu sarana untuk mengetahui bahasa Arab yg merupakan bahasa dua sumber utama umat Islam tersebut dan juga bahasa penduduk surga. Semoga bermanfaat!” K.H. Maimoen Zubair [Pimpinan pondok pesantren Al-Anwar Sarang-Rembang-Jawa Tengah] Kutipan yang diambil dari kata pengantar dan dijadikan epigraf dalam kamus tersebut merupakan contoh bagaimana sebuah epigraf bisa menjadi pemberi dukungan terhadap isi teks. Ia semacam “kata-kata sakti” yang sanggup menggugah emosi pembacanya sehingga apa yang ingin dikatakan pengarang tersampaikan. Kalimat “Mengetahui bahasa Arab merupakan kebutuhan mutlak dan salah satu dari kewajiban agama karena ia adalah satu-satunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah ....” menunjukkan bahwa kalimat ini berfungsi sebagai penggugah perasaan dan emosi pembaca tentang pentingnya belajar bahasa Arab. Frase kebutuhan mutlak dan kewajiban agama adalah kata-kata pendorong untuk pembaca agar mau belajar bahasa Arab. Begitu juga frase satusatunya jalan untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan katakata penguat agar umat Islam (khususnya calon pembeli dan pembaca kamus ini) mau belajar bahasa Arab. Di sini tampak epigraf sangat memanfaatkan skemata ideologis (khususnya keagamaan) pembaca/pembeli, di mana skemata ideologis ini ditonjolkan dan digugah. Bahkan, dalam parateks tersebut dikatakan bahwa ukuran kekokohan 476 pengetahuan (agama) dan kedalaman iman seorang muslim dapat dinilai dari pemahaman Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW yang notabene memakai media bahasa Arab. Dengan kata lain, penguasaan bahasa Arab bagi seorang muslim adalah simbol ukuran pemahamannya tentang dua sumber hukum Islam tersebut (cf. Daud, 2003: 352 & 362). Selanjutnya, frase bahasa dua sumber utama umat Islam dan bahasa penduduk surga benar-benar ingin menunjukkan status penting bahasa Arab dalam kehidupan pembaca (khususnya umat Islam di Indonesia). Walaupun kata atau frase ini tidak menyebutkan bersumber dari Al-Qur’an atau Hadis, tetapi substansinya jelas diambil dari kedua sumber hukum Islam tersebut. Ini bisa dirujuk kepada 11 ayat Al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit tentang Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab. Begitu juga dalam Hadis Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa “pelajarilah bahasa Arab karena tiga hal: (1) Karena Aku (Nabi SAW) orang Arab, (2) Al-Qur’an berbahasa Arab, dan (3) Percakapan ahli surga adalah bahasa Arab.” Itulah argumentasi ideologis yang dikandung teks epigraf sebagai parateks dalam kamus tersebut, sehingga pertanyaan mengapa wajib belajar bahasa Arab atau harus memiliki kamus tersebut terjawab melalui kata pengantar dan kata-kata pendukung dari apa yang dimaksudkan pengarang. C. PENUTUP Berdasarkan hasil diskusi di atas, dapat dikatakan bahwa kehadiran parateks dalam sebuah teks (buku, kamus, novel, dsb.) tidak hanya sebatas penghias dan pengisi halaman depan atau belakang semata. Namun, kehadirannya bisa menjadi ambang pintu penafsiran (thresholds of interpretation) terhadap isi teks dan ideologi dalam teks tersebut. Melalui parateks ini juga terlihat bagaimana relasi kuat antara kepercayaan (iman) dan bahasa. Dengan demikian, pembingkaian ideologis tentang suatu bahasa sangat mungkin dilakukan melalui wacana liminal yang disebut parateks. Dalam konteks Indonesia, kemunculan parateks berbahasa Indonesia seperti pada kamus bahasa Arab di atas sangat erat kaitannya dengan kesadaran kognitif pengarang dan kesadaran sosial penerbit tentang bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa Arab di tengah-tengah bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Kesadaran kognitif dan sosial inilah (menurut hemat saya) yang melatari munculnya fenomena 477 kebahasaan berupa parateks dalam kasus teks tersebut, bahkan dalam berbagai teks yang sangat erat kaitannya dengan identias (keagamaan dan etnisitas) di Indonesia. Fungsinya adalah untuk kepentingan ideologis, edukatif, ataupun pragmatis. Akan tetapi, untuk konteks framing bahasa Arab dalam parateks berbahasa Indonesia tampaknya kepentingan ideologis (agama) menjadi fungsi utama alasan dimunculnya. Hal ini tentu tidak akan terjadi dalam konteks bahasa Indonesia. Mengingat bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai bahasa kitab suci slah satu agama dari agama-agama resmi yang diakui negara. Oleh karena itu, framing ideologi bahasa dalam konteks bahasa Indonesia yang sangat mungkin dilakukan adalah untuk kepentingan atau dorongan budaya. DAFTAR RUJUKAN Al-Mujahid, A. Thoha Husein dan Al-Khalil, A. Atho’illah Fathoni. 2016. Kamus Al-Wâfi Indonesia-Arab: Termudah-Terlengkap. Jakarta: Gema Insani. Armstrong, Guyda. 2007. Paratexs and Their Functions in SeventeenthCentury English “Decamerons”, dalam The Modern Language Review, Vol. 102, No. 1. hlm. 40-57. Daud, Wan Mohd Nor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Terjemah Hamid Fahmy dkk. Bandung: Mizan. Genette, Gerard. 1997. Paratexs: Thresholds of Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press. Suleiman, Yasir. 2013. Arabic in the Fray: Language Ideology and Cultural Politics. Edinburgh: Edinburgh University Press. 478 HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan dalam seminar 1. Apakah kajian ini termasuk dari analisis wacana kritis atau sosiolinguistik? 2. Bagaimana pandangan Anda dengan buku-buku Indonesia mengenai pemanfaatan parateks? 3. Apakah parateks itu cocok untuk ditaruhkan pada semua jenis buku atau ada indikator-indikator khusus? Jawaban penyaji Pertama, kajian ini termasuk kajian sosiolinguistik karena mempertimbangkan aspek-aspek sosial di luar bentuk bahasa. Namun, dari sisi kekritisannya dalam membongkar ideologi di balik kehadiran parateks tersebut cenderung mempersangkakan kita bahwa kajian ini adalah mirip analisis wacana kritis (AWK) yang sedang marak dibicarakan dalam kajian komunikasi, linguistik, ataupun sastra. Untuk membantu memahami posisi domain kajian ini mungkin bisa dibaca bukunya Yasir Suleiman (Arabic in the Fray: Language Ideology and Cultural Politics). Kedua, sejauh pembacaan saya, buku-buku di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama memanfaatkan parateks dalam menghubungkan literasi penulis dengan pembaca, terutama kalau parateks tidak hanya dipahami sebatas catatan tekstual semata seperti dikatakan Armstrong dalam artikelnya (Paratexs and Their Functions in Seventeenth-Century English “Decamerons”). Menurut Armstrong dekorasi pinggiran di samping teks juga bisa dikatakan parateks, karena fungsinya juga menjembatani penulis dan pembaca tentang teks tersebut. Ini bisa dilihat pada manuskrip yang ada di kalangan atau tempat tertentu, seperti naskah-naskah kuno di Kraton Yogyakarta ataupun Pakualaman. Sementara untuk konteks bukubuku sekarang, yang saya lihat lebih banyak memanfaatkan parateks ini adalah buku-buku bergenre sastra (khususnya novel). Lihat misalnya novel Ayat-Ayat Cinta karya Kang Abik yang penuh dengan parateks. Termasuk juga karya-karya doktoral yang diterbitkan menjadi buku. Saya lihat banyak menggunakan dan memanfaatkan parateks untuk menjembatani literasi pengarang dengan pembacanya. Ketiga, untuk pertanyaan ini saya rasa tidak semua jenis buku cocok ditaruhkan parateks. Penggunaan parateks, menurut hemat saya, lebih cocok untuk buku-buku yang di dalamnya mengandung kesulitan untuk dipahami substansinya atau ditangkap pesan-pesannya, seperti novel, puisi, dan teks-teks yang berasal dari riset akademis yang serius. *** 479 KATA SERAPAN BAHASA PERSIA DALAM BAHASA INDONESIA Analisis Fonologi dan Semantik Siti Fatimah M. Agus Budianto UIN Maulana Malik Ibrahim Malang siti.fatimah@uin-malang.ac.id emagusbudianto@gmail.com ABSTRAK Kedatangan bangsa Persia ke wilayah Nusantara memberikan banyak pengaruh terhadap penduduk lokal, salah satunya yang bisa kita lihat adalah dalam bidang kebahasaan. Ditemukan ratusan kosa kata bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan dibagi ke dalam beberapa bidang, di antaranya: politik dan kepemerintahan (pahlevān yang berarti pahlawan), keagamaan, (farmān yang berarti firman), perdagangan (bāzār yang berarti bazar atau pasar), alam (eghlim yang berarti iklim atau cuaca), dan sebagainya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan kata serapan bahasa Persia dalam bahasa Indonesia yang dianalisis menggunakan pendekatan fonologi dan semantik. Setelah dianalisis, diketahui bahwa kata serapan dari bahasa Persia dalam bahasa Indonesia sebagian besar mengalami perubahan pengucapan, meskipun ada beberapa yang sama pengucapannya. Selain itu, makna kata serapan tersebut beberapa mirip atau bahkan sama, namun beberapa mengalami perubahan makna. Kata kunci: Kata Serapan, Persia, Indonesia, Fonologi, Semantik A. PENDAHULUAN Kedatangan bangsa Persia ke Nusantara memberikan pengaruh yang cukup penting kepada penduduk lokal. Interaksi di antara keduanya dalam waktu yang lama menyebabkan terjadinya kontak bahasa di antara keduanya. Dalam bidang kebahasaan, bisa kita temukan ratusan kosa kata bahasa Persia yang diserap dan digunakan dalam bahasa Indonesia, seperti kata pahlawan, anggur, baju, bibi, takhta, dan masih banyak lagi 480 yang lainnya. Kemudian nama-nama orang Indonesia seperti Rustam, Reza, Farhat, Samsir, dan lainnya yang merupakan nama-nama Persia. Dalam bidang kesusasteraan dapat kita temukan banyak syair-syair atau hikayat dalam bahasa Persia yang disadur dan diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh para penyair lokal di Nusantara, di antaranya: Pada zaman Samudra Pasai ditulis “Hikayat Raja-raja Pasai” yang terilhami dari Shāhnāme (Hikayat Raja-raja Persia) karangan Ferdowsi yang merupakan salah seorang penyair Persia ternama, “Syair Burung Pingai” oleh Hamzah Fansuri yang terilhami oleh karya Fariduddin Al-‘Attar, yaitu Mantiq alTayr (Musyawarah Burung), dan banyak lagi yang lainnya. Ada dua pembahasan utama dalam makalah ini, yaitu perubahan bunyi kata-kata bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dan perubahan makna kata-kata serapan tersebut dalam bahasa Indonesia dari bahasa asalnya. Pertama, penulis mencari daftar kosa kata serapan dari kamus. Setelah itu, penulis membuat kategorisasi terhadap daftar kosa kata yang ditemukan, dan terakhir penulis melakukan analisis dengan menggnakan pendekatan secara fonologis dan semantis. B. PEMBAHASAN 1. Pendekatan Fonologi Fonologi adalah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik dikenal sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Namun, ada pakar yang menggunakan istilah fonologi untuk pengertian fonemik. Sebagai contoh, kata Persia ‫( چادر‬chādor) dalam bahasa Indonesia diucapkan “cadar”. Dalam kedua bahasa tersebut, yaitu chādor atau cadar dimaknai kain penutup kepala atau muka perempuan. Di sini terdapat perbedaan pengucapan antara bahasa Persia yang merupakan bahasa asal dengan bahasa Indonesia. 481 2. Pendekatan Semantik Semantik adalah ilmu yang mempelajari makna. Yang dimaksud istilah semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut system penggolongan. Ketika membicarakan makna, kita tidak dapat terlepas dari masalah bentuk (bahasa) dan acuannya. Bentuk (symbol) adalah unsur bahasa berupa kata, frasa, kalimat. Acuan (referent) adalah objek yang ada di dunia pengalaman manusia. Sedangkan makna (thought/reference) adalah konsep yang ada di dalam pikiran manusia tentang objek yang diacu oleh bentuk. Dalam bahasa Persia, kata ‫( تخت‬takht) bermakna ranjang atau tempat tidur pada umumnya. Setelah diserap ke dalam bahasa Indonesia, pengucapannya berubah menjadi takhta dan maknanya berubah menjadi singgasana raja. 3. Kata Serapan Bahasa Persia dalam Bahasa Indonesia Berikut ini disajikan daftar kata serapan bahasa Persia dalam bahasa Indonesia disertai analisis perubahan atau perbedaan pengucapan dan maknanya. a) Bidang Pemerintahan, Politik, dan Militer Makna Kata Persia & Kata Pengucapan Indonesia Persia Indonesia ‫شاه‬ Syah Raja, baginda Raja, baginda (shah) Pahlawan, ‫بهادر‬ Pahlawan, Satria, Satria, Gagah Bahadur (bahādor) Gagah berani berani ‫ديوان‬ Dewan, karya Dewan Dewan, majlis (divan) puitis ‫پهلوان‬ Pahlawan Pahlawan Pahlawan (pahlevān) ‫شمشير‬ Samsir Pedang Pedang (shamshir) 482 b) Keagamaan Kata Persia & Kata Pengucapan Indonesia ‫آبدست‬ (ābdast) ‫درويش‬ (darvish) ‫فرمان‬ (farmān) ‫ورد‬ (verd) Abdas ‫کاروان‬ (kāravān) ‫سربند‬ (sarband) ‫تماشا‬ (tamāshā) ‫باژو‬ (bāzhu) Indonesia Bersuci dengan berwudhu atau bertayammum Darwis (penganut sufi yang sengaja hidup miskin) Darwis Darwis Firman Perintah Tuhan, Sabda Perintah, Aturan Wirid, Doa Wirid, Doa yang berasal dari ayat alquran atau lainnya Wirid c) Sosial-Budaya Kata Persia & Kata Pengucapan Indonesia ‫ عمه‬/ ‫بی بی‬ Bibi, Tante (bibi / ameh) ‫حرامزاده‬ (harāmzādeh) Makna Persia Bersuci dengan berwudhu atau bertayammum Haram jadah Karavan Makna Persia Bibi, Tante (dari pihak ibu) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah Rombongan yang berjalan bersama Serban Ikat kepala Tamasya Menonton, menyaksikan Baju Lengan, tangan Indonesia Bibi, Tante Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah Rombongan yang berjalan bersama Ikat kepala dipakai orang haji, dsb. Piknik, menikmati pemandangan yang Arab, Pergi Baju, Pakaian 483 d) Perdagangan dan Kelautan Makna Kata Persia & Kata Pengucapan Indonesia Persia ‫بندر‬ Bandar Pelabuhan (Bandar) ‫شاه بندر‬ Syahbandar Kepala (shah bandar) pelabuhan ‫بازار‬ Pasar Pasar (bāzār) ‫ناخدا‬ Nakhoda Kapten kapal (nākhodā) ‫سوداگر‬ Saudagar Saudagar (soudāgar) ‫تنباکو‬ Tembakau Tembakau (tanbākou) e) Makanan, Alam, dll Kata Persia & Kata Pengucapan Indonesia ‫آچار‬ Acar (āchār) ‫انگور‬ Anggur (anggur) ‫گندم‬ Gandum (gandom) ‫کشمش‬ Kismis (keshmesh) ‫خرما‬ Kurma (khormā) Indonesia Pelabuhan (kapal, perahu) Kepala pelabuhan Bazar Kapten kapal Saudagar Tembakau Makna Persia Indonesia Acar Acar Buah Anggur Buah Anggur Gandum Gandum Kismis Kismis Kurma Kurma Lemon Lemon Lemon ‫ليمو‬ (limu) ‫اقليم‬ (eghlim) Iklim, Cuaca Iklim, Cuaca Iklim, Cuaca Lazuardi Warna laut Batu permata berwarna biru, biru muda ‫َلجوردی‬ (lājevardi) biru 484 (seperti langit) ‫روباه‬ (roubāh) ‫زرافه‬ (zerrāfeh) ‫بو‬ (bu) ‫بدبخت‬ (badbakht) biru Rubah Rubah Rubah Jerapah Jerapah Jerapah Bau Bau Bau Bedebah Sengsara, tidak beruntung Tidak sopan, tidak beradab, kasar Tanpa rasa / perasaan Kata makian, umpatan Meja Obat untuk membuat orang kehilangan kesadaran Cara, jalan, Cara, jalan, gaya, gaya, ragam ragam Meja Meja ‫بی ادب‬ (Bi adab) Biadab ‫بی حس‬ (bi hes) Bius ‫چاره‬ (chāreh) ‫ميز‬ (miz) ‫هنر‬ (honar) Cara Onar Seni ‫پری‬ (pari) ‫پياله‬ (piāleh) ‫افسون‬ (āfsoun) Peri Peri Onar, keributan, kegaduhan, kerusuhan Peri Piala Piala Piala Pesona Pesona, pemikatan Pesona, mantra Kejam, ajar kurang C. KESIMPULAN Ditemukan ratusan kosa kata bahasa Persia yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kosa kata tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam beberapa bidang, diantaranya: a) pemerintahan, politik, dan militer, b) 485 keagamaan, c) sosial-budaya, d) perdagangan dan kelautan, e) makanan, alam, dan lain-lain. Kata serapan bahasa Persia dalam bahasa Indonesia sebagian besar mengalami perubahan pengucapan. Sebagian memiliki makna yang mirip atau bahkan sama, dan sebagian lagi memiliki makna yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi. 2013. “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan dan Kerja Sama”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Internasional “The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory”. Yogyakarta: ICRS Sekolah Pascasarjana UGM. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Jamshidi, Soleiman. 236 Loghāt e Irāni dar Zaban e Andonezi dalam https://vom.ir/sjamshidi/posts/48166. _______, Iranian Words in Indonesian Language dalam https://www.researchgate.net/publication/304792768_Iranian_wor ds_in_Indonesian_language Jones, Russel. Loan-Words in Contemporary Indonesian dalam http://sealang.net/archives/nusa/pdf/nusa-v19-p1-38.pdf Kashani, Manoochehr Aryanpur. 2012. English-Persian Persian-English Dictionary. Cet. 7. Tehran: Nashr Elektroniki va Ettela Resani Jahan Rayaneh. Rabbani, Mohammad Ali. 2013. “Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia Tenggara Melalui Arab, India, Persia, dan Cina”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Internasional “The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory”. Yogyakarta: ICRS Sekolah Pascasarjana UGM. Saby, Yusni. 2013. “Interplay antara Agama dan Budaya”. Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Internasional “The Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia: Looking at Future Trajectory”. Yogyakarta: ICRS Sekolah Pascasarjana UGM. W.M., Abdul Hadi. 2012. “Jejak Persia dalam Sejarah Kebudayaan dan Sastra Melayu”. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Internasional “The Role and Contribution of Iranian Scholars to Islamic Civilization”. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 486 DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN No Penanya Pertanyaan 1 Wawan Bagaimana anda menentukan bahwa kata tertentu adalah berasal dari bahasa Persia, bukan bahasa lainnya? 2 Rizky Jawaban Ada tiga (3) langah yang dilakukan dalam penentuan kata serapan, yaitu: 1) Penelusuran beberapa kosa kata beserta artinya di kamus (kamus yang penulis jadikan referensi adalah kamus bahasa Persia karangan Aryanpour dan Kamus Besar Bahasa Indonesia) atau teks bacaan; 2) Penulis mengkonsultasikan kepada seorang ahli bahasa Persia (linguis penutur asli bahasa Persia) apakah kosa kata tertentu merupakan asli bahasa Persia atau bahasa lainnya, seperti Arab, Urdu, Turki, dsb. Apa perbedaan Secara sekilas, bahasa Arab bahasa Persia dan memang mirip dengan bahasa bahasa Arab? Persia karena Persia modern menggunakan alfabet Arab (ada 4 alfabet Persia yang tidak ditemukan pada alfabet Arab, yaitu: ‫ )پ ـ چ ـ ژ ـ گ‬dan banyak kosa kata bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Persia. Namun kedua bahasa tersebut sangat berbeda secara gramatikal karena berasal dari rumpun bahasa yang berbeda (Arab tergolong rumpun semit dan Persia tergolong rumpun Indo-Eropa). 487 IDEOLOGI GENDER DALAM NOVEL TERJEMAHAN “SANG PENCARI NAFKAH”: ANALISIS WACANA KRITIS Oleh: Siti Fitriah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada sitifitriah2303@gmail.com ABSTRAK Bagaimana suatu individu memandang konsep gender, tidak akan pernah lepas dari kontruksi budaya maupun masyarakat di sekitarnya. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi karya sastra, seperti novel terjemahan. Seorang penerjemah adalah bagian dari bahasa, budaya, dan masyarakat yang memiliki ideologi sebagai landasan cara berfikir. Sehingga, kemungkinan terjadi adanya pembentukan wacana baru yang bergeser dari teks sumber perlu ditelisik lebih dalam. Asumsi inilah yang kemudian mendasari penulis untuk melakukan penelitian ini dalam ranah AWK (analisis wacana kritis), yaitu suatu pendekatan linguistik untuk mengetahui maksud dibalik bahasa yang digunakan oleh seorang penerjemah, serta mengaitkan konteks budaya dan sosial dalam perubahan pesan dari teks sumber (Tsu) kedalam teks sasaran (Tsa). Untuk analisis tekstualnya, teori appraisal milik Martin dan White (2005) diterapkan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi setiap kata pada suatu kalimat yang memiliki unsur perbedaan pesan dan makna antara Tsu dan Tsa. kemudian, data yang ditemukan akan dikategorikan kedalam sub-kategori appraisal yaitu Attitude dan Graduation. Sumber penelitian ini berupa novel terjemahan “sang pencari nafkah” berikut dengan novel aslinya yang berjudul “The Breawinner”. Hasil analisis data menyatakan bahwa terdapat perbedaan pesan yang terjadi dalam Tsa. Hal ini diketahui dari intensitas kata yang digunakan dalam Tsa lebih rendah daripada Tsu. Kemudian, terdapat penyisipan ideologi patriarki pada pilihan diksi yang digunakan dalam Tsa, yang tidak ditemukan dalam Tsu. Kata Kunci: Terjemahan, AWK, Ideologi, Gender, Appraisal PENGANTAR Penerjemahan adalah suatu hal yang penting dalam karya sastra, karena melalui penerjemahan akan terjadi pertukaran budaya antar lintas 488 negara. Salah satu contoh karya sastra yang menjabarkan suatu perilaku budaya adalah novel. Selain memiliki unsur cerita yang imajinatif, potret kehidupan nyata juga menjadi sumber cerita dalam suatu novel. Salah satu contohnya adalah novel “The Breadwinner” yang ditulis oleh Deborrah Ellis, yang sumber ceritanya diadaptasi dari kisah nyata warga Afghanistan yang dijajah oleh Taliban. Novel ini kemudian diterjemahkan oleh Adzimattinur Siregar dengan judul “Sang Pencari Nafkah”. Fokus penelitian ini adalah untuk menginvestigasi bagaimana Tsa “Sang Pencari Nafkah” dapat menampung keseluruhan pesan dari Tsu “The Breadwinner”. Karena seperti yang diketahui, setiap individu memiliki kerangka berfikir yang berbeda antara satu dengan yang lainnya tergantung dengan konteks sosial masing-masing. Ideologi adalah kerangka dasar yang melandasi cara berfikir suatu individu pada kelompok sosial, atau sebuah institusi (Van Djik, 1995:18). Hal ini tentu saja sangat penting untuk dikaji lebih dalam, karena disamping seorang penerjemah sebagai mediator antara Tsu dan Tsa, ia juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologis sosialnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Alvarez dan Vidal (1996:5) bahwa pilihan kata yang digunakan oleh seorang penerjemah, berikut dengan penambahan kata maupun pengurangan kata didalam teks terjemahannya adalah suatu strategi untuk menyisipkan unsur budaya maupun ideologinya. Disamping itu, hal ini juga ditegaskan oleh Mansourabadi dan Karimnia (2012), bahwa menurut Fairclough, ideologi di dalam sebuah wacana dapat diketahui melalui perubahan leksikon, struktur kata, serta material tekstual lainnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui jika terdapat manipulasi pesan yang dilakukan oleh penerjemah dalam novel Sang Pencari Nafkah, maka penelitian ini diadakan dalam ranah AWK (analisis wacana kritis). AWK memandang bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi saja namun sebagai praktik sosial. Yang dimaksud dengan praktik sosial adalah bahwa bahasa merupakan bagian dari masyarakat yang digunakan sebagai proses sosial. Sehingga, bagaimana suatu bahasa digunakan, tidak akan pernah terlepas dari konteks di luar bahasa (Fairclough, 1989:22). Seperti halnya seorang penerjemah yang merupakan bagian dari sebuah masyarakat, dalam setiap pilihan diksi yang digunakan tidak akan luput dari konteks sosial yang melatarbelakanginya. 489 Untuk analisis tekstual, penelitian ini menerapkan teori appraisal yang dikemukakan oleh Martin dan White (2005). Teori ini adalah perluasan dari metafungsi interpersonal meaning yang merupakan bagian dari teori SFL atau systemic functional linguistics milik Halliday. Teori ini berfungsi untuk mengevaluasi tiap-tiap pilihan diksi yang digunakan oleh penerjemah dan penulis Tsu. Teori appraisal dibagi menjadi tiga kategori, yaitu attitude, engagement, dan graduation. Namun, dalam penelitian ini hanya akan menggunakan dua kategori appraisal yaitu, attitude dan graduation. Demikian terjadi, karena kategori engagement lebih banyak berkrontribusi dalam analisis teks berita bila dibandingkan dalam teks sastra. Attitude adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan perasaan, keputusan maupun penilaian terhadap suatu hal tertentu. Attitude dibagi menjadi tiga bidang, yaitu; Affect (perasaan), Judgment (keputusan), dan Evaluation (penilaian). Sedangkan Graduation adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan intensitas suatu kata. Graduation dibagi menjadi dua macam, yaitu force dan focus. Force berhubungan dengan kualitas dan kuatitas suatu kata. Hal dapat diidentifikasi dari kategori kata sifat dan keterangan, seperti extremely, very, small, big, dll. Sedangkan Focus adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengukur nilai suatu kata. Hal ini dapat diketahui dari skala kata, seperti kata “tidak suka” dan “benci” memiliki skala yang berbeda. Kata “tidak suka” terkesan memiliki skala kata yang rendah, dibandingkan kata “benci”. Meskipun kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, namun pesan yang disampaikan memiliki efek yang berbeda. Untuk mengetahui lebih dalam terkait reproduksi pesan yang kemungkinan dilakukan oleh seorang penerjemah, maka berikut rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini: (1) Bagaimana bahasa dapat merefleksikan adanya reproduksi pesan yang dilakukan penerjemah dalam novel Sang Pencari Nafkah?, dan (2) Bagaimana ideologi gender dalam novel terjemahan “Sang Pencari Nafkah”?. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode kualitatif, karena data yang digunakan berupa kata pada suatu kalimat(Denscombe, 2007: 248). Hal ini selaras dengan apa yang diutarakan oleh Subroto (1992:5), bahwa dalam metode kualitatif, 490 penyajian suatu penelitian tidak didesain untuk menggunakan prosedurprosedur statistik ataupun yang bersifat kuantitatif. Disamping itu, penelitian ini juga menerapkan analisis komparatif untuk menganalisis letak perbedaan pesan yang terkandung dalam Tsu dan Tsa (Williams dan Chesterman, 2002:51). Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa kata pada kalimat Tsu dan Tsa. Sumber data diperoleh dari novel asli yang berjudul “The Breadwinner” dan terjemahannya dengan judul “Sang Pencari Nafkah”. Adapun teknik pengumpulan data, penulis menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengumpulan data berdasarkan karakteristik tertentu (Mackey and Gass, 2005:122). Yang dimaksud dengan karakteristik tertentu disini adalah bahwa data yang diambil berupa kata pada kalimat Tsu dan Tsa yang memiliki unsur perrbedaan pesan maupun makna didalamnya. Dalam analisis data, penulis menerapkan tiga komponen analisis wacana kritis, yaitu: description, interpretation, dan explanation, yang kemudian lebih dikenal dengan mikro, mezzo, dan makro (Fairclough, 1989:26). Pada tataran mikro , penulis akan mengidentifikasi pilihan kata pada tiap kalimat dalam Tsu dan Tsa yang mengandung perbedaan pesan di dalamnya. Serta melabelinya kedalam kategori appraisal: attitude, dan graduation. Pada tataran mezzo, penulis akan menafsirkan hasil analisis teks dengan sebuah konteks yang lebih besar dari teks itu sendiri. Kemudian pada tataran makro, penulis akan menjabarkan relasi antara praktik diskursif yang dibangun dalam Tsa dengan sosial kultural seorang penerjemah. ANALISIS MIKRO DAN MEZZO Berikut adalah analisis mikro dan mezzo. Analisis mikro pada tataran analisis linguistik, seperti halnya pada kalimat 1 dan seterusnya, sedangkan analisis mezzo adalah bentuk interpretasi pada tiap-tiap kalimat tersebut. Kalimat 1 Tsu: she wasn`t really supposed to be outside at all [force: intensification/ high- scaled] (hal 7) Tsa: seharusnya ia bahkan tidak boleh keluar. (hal 1) 491 Pada kalimat ini, penulis Tsu memberikan penekanan terhadap pernyataannya bahwa seorang wanita tidak boleh keluar sama sekali. Hal ini dapat diketahui dari penggunaan kata at all yang kemudian dilabeli sebagai intensification dengan skala yang tinggi. Namun, dalam Tsa, penerjemah tidak begitu memberikan penekanan dalam pernyataannya, dengan tidak menerjemahkan at all dalam hasil terjemahannya. Kalimat 2 Tsu: She was always glad [affect: happiness/ force: intensification/ highscaled] to go outside, eventhough it means sitting for hours on a blanket spread over the hard ground of the market place (hal 8) Tsa: Ia dengan senang hati [affect: happiness] keluar rumah, meski itu juga berarti harus duduk berjam-jam di atas selimut yang dibentangkan di tanah yang keras di tengah pasar. (hal 2) Penulis Tsu kembali memberikan penekanan pada pernyataannya dengan menggunakan kata always yang dilabeli intensification dengan skala tinggi. Hal ini untuk menunjukkan betapa senangnya pelaku utama, Parvana, ketika ia harus keluar rumah, meskipun ia harus duduk diatas tanah yang keras untuk membantu ayahnya berjualan. Karena pada waktu itu sangat sulit bagi perempuan untuk dapat keluar dari rumah. Namun, kesan ini seolah tidak terlihat dalam Tsa, yang hanya menerjemahkannya menjadi dengan senang hati, yang kemudian dilabeli affect tanpa ada unsur intensitas didalamnya. Kalimat 3 Tsu: Tea boys [judgment: +capacity] ran back and forth into the labyrinth of the marketplace, carrying tea to the customers who couldn`t leave their shops, then running back again with the empty cups. (hal 10) Tsa: Pelayan-pelayan kecil [judgment: -capacity/ force: quantification/ low-scaled] berlarian menelusuri lekak-lekuk pasar, membawakan teh bagi pelanggan yang tidak dapat meninggalkan toko mereka, lalu berlari kembali ke kedai dengan gelas-gelas yang kosong. (hal 4) Pada contoh kali ini, terlihat jelas perbedaan pesan antara Tsu dan Tsa. Jika dalam Tsu, penulis menggunakan positif judgment dengan menyebut Tea boys dari pada waiter (pelayan), maka berbeda halnya dalam Tsa yang menerjemahkannya menjadi pelayan-pelayan kecil. 492 Disamping itu, gender dalam Tsu terlihat jelas bahwa pembawa teh yang melayani pembelinya adalah seorang laki-laki, sedangkan didalam Tsa tidak teridentifikasi gender. Sehingga sedikit menimbulkan ambiguitas apakah pelayan tersebut anak laki-laki atau anak perempuan. Namun, jika merujuk pada konteks budaya di Indonesia, profesi sebagai pelayan lebih sering disandang oleh seorang wanita. Kalimat 4 Tsu: They fall down [judgment: -tenacity] a lot (hal 17) Tsa: Mereka sering tersandung [jugdment: +tenacity] (hal 8) Meskipun dalam kalimat Tsu dan Tsa sama-sama terlabel judgment tenacity, namun sense bahasa yang ditimbulkan dari pilihan diksi diatas sangatlah berbeda. Jika dalam Tsu sense katanya lebih negatif, sedangkan dalam Tsa lebih bersifat positif. Dalam hal ini, penulis Tsu ingin memberikan justifikasinya bahwa para perempuan yang menggunakan burqo ketika keluar rumah pasti akan terjatuh. Demikian terjadi, karena burqa adalah sebuah pakaian panjang yang menutupi seluruh tubuhnya, dari ujung kepala hingga kaki. Dan hanya terdapat celah kecil dari kain transparan yang menutupi kedua matanya untuk melihat. Sehingga tidak dipungkiri, mereka lebih sering terjatuh ketimbang tersandung. Itu mengapa, kata ‘terjatuh’ mendapat label negatif karena memberikan efek yang lebih parah dibandingkan ‘tersandung’. Kalimat 5 Tsu: The whole family had been out working together, in the time before Taliban (hal 17) Tsa: Seluruh keluarga saat itu tengah berjalan bersama tepat sebelum Taliban berjaya [judgment: +capacity] (hal 9) Dibandingkan dengan Tsa, penulis Tsu tidak memberikan keterangan bagaimana keadaan Taliban pada waktu itu. Ia hanya mengatakan bahwa di masa sebelum adanya Taliban, seluruh keluarga dapat tertawa lepas tanpa ada rasa takut untuk ditangkap oleh militer Taliban. Dan hal ini berbeda dengan pilihan diksi yang digunakan oleh penerjemah yang menggunakan diksi berjaya untuk menerangkan Taliban. Hal ini seolah menunjukkan sudut pandang Tsu dan Tsa yang berbeda. 493 Penulis Tsu seolah merasakan kepahitan warga Afghanistan tentang betapa kejamnya Taliban, karena ia terjun langsung mewawancarai para korban. Sedangkan penerjemah Tsa tidak demikian. Kalimat 6 Tsu: Mother and Nooria just [force: intensification/ middle-scaled] wore light scarves around [appreciation: composition] their heir (hal 17) Tsa: Ibu Parvana dan Nooria mengenakan selendang tipis menutupi [appreciation: composition] rambut mereka (hal 9) Pada kalimat ini, penulis menggunakan kata just untuk menunjukkan bahwa ibu dan Nooria hanya mengggunakan selendang tipis bukan selendang yang lainnya, yang digunakan untuk menutupi sebagian rambutnya, namun kata intensitas ini tidak diterjemahkan dalam Tsa. Kemudian, penulis menggunakan kata around, bukan cover untuk menunjukan gaya berkerudung warga Afghanistan, yang hanya menyampirkan selendang yang mengelilingi rambutnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan cara orang Indonesia menggunakan kerudung yang menutupi seluruh rambut mereka hingga hanya terlihat wajahnya saja. Sehingga pilihan kata menutupi yang digunakan penerjemah dirasa kurang tepat untuk menyiratkan kebudayaaan warga Afghanistan. Kalimat 7 Tsu: Six, because her mother hated [affect: unhappiness/ high-scaled] to see an empty water bucket (hal 19) Tsa: Enam, karena ibunya tidak suka [affect: unhappiness/ low-scaled] melihat wadah airnya kosong (hal 10) Meskipun kedua kata yang dicetak tebal dalam Tsu dan Tsa samasama menunjukkan ketidaksukaan ibu bila melihat wadah airnya kosong, namun intensitas kedua kata tersebut sangat berbeda. Sebenarnya bisa saja sang penerjemah menerjemahkannya menjadi benci, namun ia memilih untuk menggunakan kata tidak suka. Kata benci memiliki intensitas kata yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kata tidak suka. Dan pemilihan diksi ini tentu saja dipengaruhi oleh sudut pandang penulis dan penerjemah masing-masing. Penggunaan kata hated seolah dapat 494 merepresentasikan kemarahan seorang wanita sekaligus Ibu yang di larang untuk keluar rumah, meskipun hanya mengambil air di lingkungan sekitarnya. Kalimat 8 Tsu: Sometimes this made her resentful [affect: unhappiness/ high-scaled] (hal 21) Tsa: Terkadang itu membuatnya kesal [affect: unhappiness/ low-scaled] (hal 11) Intensitas pada tiap-tiap kata yang digunakan selalu memberikan sense yang berbeda. Jika intensitas katanya rendah, maka pesannya tidak terlalu terlihat. Namun, jika intensitas katanya tinggi, dengan seketika pesannya terlihat jelas. Kata resentful dan kesal memiliki intensitas kata yang berbeda. resentful dapat diartikan marah dan benci, sedangkan kesal seolah hanya mengindikasikan kemarahan kecil, yang nantinya cepat reda, sehingga memiliki intensitas rendah. Kalimat 9 Tsu: “how we can lead [appreciation: reaction/ high-scaled] men into battle? I`ve seen enough war (hal 29) Tsa: “bagaimana kami bisa membantu [appreciation: reaction/ middlescaled] kaum pria untuk berperang? Aku sudah terlalu banyak melihat perang (hal 18) Pada Tsu, penulis menggunakan kata lead yang bermakna memimpin. Dalam kalimat ini, penulis secara terang-terangan melalui tokoh nooria, ia mengatakan “bagaimana kami bisa memimpin kaum pria untuk berperang?”. Secara implisit, ia ingin mengatakan bahwa perempuan juga memiliki andil dalam peperangan, bahkan memiliki kemampuan untuk memimpin. Namun, hal ini berbeda dengan terjemahannya, yang lebih memilih kata membantu untuk menerjemahkan lead. Dari perbedaan diksi inilah seolah mengatakan bahwa penerjemah dan penulis memiliki sudut pandang yang berbeda. 495 Kalimat 10 Tsu: “get out of here!” he spat at [ appreciation: -reaction] Parvana and her mother (hal 43) Tsa: “pergi dari sisni!” ia membentak [appreciation: -reaction] Parvana dan ibunya (hal 27) Pada kalimat ini, penulis Tsu memilih kata spat at (meludahi) untuk menunjukkan reaksi negatif Taliban terhadap para wanita dan anak perempuan yang berani keluar rumah. Namun, kata ini kemungkinan dinilai terlalu kasar oleh penerjemah untuk para pembaca di Indonesia, sehingga diterjemahkan menjadi membentak. ANALISIS MAKRO Pada tataran analisis mikro yaitu untuk menghubungkan hasil interpretasi pada tiap-tiap kalimat tersebut dengan konteks sosial serta latarbelakang masing-masing penulis dan penerjemah. Dari hasil analisis kalimat pada Tsu dan Tsa di atas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan kata atau diksi pada kalimat yang digunakan antara penulis dan penerjemah. Jika penulis cenderung menggunakan kata yang memiliki intensitas yang tinggi seperti always glad, at all, fall down, hated, resentfull, spat at, lead, untuk merepresentasikan kehidupan pada masa Taliban, maka lain halnya penerjemah yang cenderung menggunakan kata dengan intensitas rendah, seperti tersandung, tidak suka, kesal, membentak, membantu. Perbedaan sudut pandang ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh ideologis masing-masing individu. Hal ini dapat diketahui dari latar belakang penulis maupun penerjemah, dan instansi yang menerbitkan novel tersebut. Penulis Tsu, Deborah Ellis, adalah seorang aktifis anti-perang sekaligus aktifis gerakan perempuan, keterlibatannya dengan para korban perang dan kekerasan perempuan secara langsung tentu saja telah mempengaruhinya dalam mengggunakan pilihan-pilhan kata yang dapat merepresentasikan kejadian sebenarnya yang dialami oleh para korban. Sehingga ia cenderung menggunakan kata-kata yang gamblang dan eksplisit sesuai dengan keadaan yang terjadi. Sedangkan, penerjemah Adzimattinur Siregar, ia tidak memiliki latar belakang sebagai aktifis anti perang atau tergabung dengan organisasi keperempuanan, namun ia adalah seorang penulis fiksi anak-anak. Jadi, disamping ia tidak dapat 496 merasakan bagaimana kondisi korban peperangan pada saat itu, pola berbahasanya sedikit banyak telah dipengaruhi oleh profesinya yang kesehariannya menjadi penulis fiksi yang ditujukan terhadap anak-anak. Sehingga hal ini benar-benar mempengaruhi pilihan diksi yang digunakan didalam teks terjemahnnya. Padahal, kategori pembaca dalam novel ini ditujukan untuk umum bukan anak-anak. Lebih lanjut, pilihan diksi yang menentukan ideologi penulis dan penerjemah terdapat pada analisis kalimat 9, di sana penulis Tsu menggunakan kata lead untuk mengindikasikan bahwa perempuan dapat memimpin kaum pria, namun kata tersebut kemudian diterjemahkan oleh penerjemah dengan kata membantu. Perbedaan diksi ini tentu saja mengindikasikan perbedaan ideologi yang dianut oleh penulis maupun penerjemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Bloor dan Bloor (2007:11), bahwa aspek ideologis dapat diketahui meskipun hanya dengan satu kata. Jika menilik latar belakang penulis ‘Debborrah Ellis’ yaitu sebagai aktifis perempuan, penggunaan kata lead adalah suatu representasi keinginan baginya dimana perempuan dapat memiliki peran yang lebih tinggi dibandingkan seorang laki-laki. Namun, lain halnya penerjemah ‘Adzimattinur Siregar’, yang secara sadar atau tidak sadar telah menyisipkan ideologi patriarkinya melalui kata membantu untuk menerjemahkan lead. Jika dilihat dari nama akhirnya, ‘Siregar’ adalah suatu marga yang menunjukkan keturunan orang batak di Indonesia, dan orang batak pada umumnya menganut ideologi patriarki didalam kehidupannya. Seperti yang dikemukakan oleh Siregar (2017), bahwa ideologi patriarki telah mengakar kuat dalam kebudayaan orang batak, hal ini direpresentasikan dari praktik adat dalihan no tolu6. Jadi, meskipun ia adalah seorang perempuan, praktik budaya patriarki yang melatarbelakangi kehidupannya turut serta dalam pembentukan pola pikirnya . Disamping itu, peran instansi juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pengaruh ideologi penerjemah. Instansi yang menaungi novel terjemahan Sang Pencari Nafkah adalah KPG (kepustakaan populer Gramedia), yang dipayungi oleh kelompok kompas gramedia. Kompas Gramedia adalah sebuah media terbesar di Indonesia yang didirikan oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama 7 . Instansi ini menaungi berbagai sektor, 6 7 Sistem kekeluargaan yang mengatur antar suku batak Wikipedia, diakses pada tanggal 30 April 2018 497 seperti Berita Nasional Kompas, Berita Regional, Gramedia Bookstore, Gramedia Pustaka Utama, PT Elex Media Komputindo (EMK), Grasindo, PT Radio Sonora, Gramedia Magazine, Trans7, Kompas TV, dan masih banyak lagi. Dari berbagai bidang yang digeluti oleh instansi KKG, tentu saja intansi tersebut memiliki ideologi yang dijadikan sebagai landasan utama. Jika dilihat dari beberapa buku yang diterbitkan, instansi ini tidak terlihat memiliki kencenderungan terhadap ideologi patriarki, namun sebaliknya lebih banyak mendukung gerakan perempuan. Dengan demikian, disamping institusi yang menaungi penerbitan novel tersebut memiliki andil yang cukup besar dalam pengubahan konten didalamnya, faktor seorang penerjemah sendiri juga tidak dapat dihiraukan begitu saja untuk menyisipkan ideologisnya secara implisit didalam novel terjemahan tersebut. KESIMPULAN Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pesan yang dilakukan oleh penulis dan penerjemah. Meskipun penulis dan penerjemah sama-sama hanya menggunakan kategori attitude yang meliputi: affect, judgment, dan appreciation. Namun letak yang membedakan keduanya adalah pada kategori graduation. Penulis cenderung menggunakan kata-kata yang memiliki intensitas kata yang tinggi, sedangkan penerjemah cenderung mengggunakan intensitas kata yang rendah. Penulis Tsu mengggunakan intensitas kata yang tinggi untuk merepresentasikan kejadian sebenarnya yang dialami oleh para korban Afghanistan atas perlakuan militer Taliban. Karena pada waktu itu, ia terjun langsung di lapangan untuk mewawancarai para korban, sehingga ada kontak emosional di dalamnya. Sedangkan, penerjemah Tsa yang menggunakan intensitas kata yang rendah dan terkesan sederhana ini menunjukkan bahwa penerjemah telah terpengaruh oleh profesinya sebagai penulis fiksi anak-anak, padahal tujuan novel terjemahan ini ditujukan untuk kategori umum. Selain itu, dari analisis data diatas dapat diketahui bahwa terdapat penyisipan ideologi patriarki didalam Tsa, yang tidak ditemui didalam Tsu. Hal ini dapat diketahui dari perbedaan sosial budaya antar penulis dan penerjemah yang berbeda. Penulis adalah seorang aktifis anti-perang dan termasuk aktifis perempuan. Sehingga apa yang menjadi tujuannya adalah menyuarakan hak-hak perempuan agar tidak selalu berada di posisi 498 subordinasi. Namun, hal ini berbeda dengan seorang penerjemah yang tinggal dalam kebudayaan orang batak. Yang mana, budaya batak cenderung menganut sistem patriarki. Sehingga, secara tidak langsung budaya tersebut juga membentuk pola pikirnya untuk berpikir demikian. DAFTAR PUSTAKA Alvarez, R dan Vidal, M.C. 1996. Translating: A Political Act dalam R. Alvarez dan M.C. Vidal. Translation, Power, Subversion. Philadelphia: Multilingual Matters. Bloor, M. dan Bloor, T. 2007. The Practice of Critical Discourse Anlaysis. London. Hodder Arnold. Denscombe, M. 2007. The Good Research Guide: For Small Scale Social Recearch Project. Third Edition. McGrawHill: Open University Press. Ellis, D. 2000. The Breadwinner. New York, USA: Oxford University Press. Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York, USA: Longman Group. Mackey, A dan Gass, S. M. 2005. Second Language Research: Methodology and Design. New Jearsy, London: Lawreence Erlbaum Associates. Mansourabadi, F dan Karimnia, A. 2013. The Impact of Ideology on Lexical Choices in Literary Translation: A Case Study of A Thousand Splendid Suns. Procedia-Social and Behavioral sciences, 70, 777786. Diakses dari www.sciencedirect.com. Martin, J.R. dan White, P.R.R. (2005). The Language of Evaluation. New York, USA: Palgrave Macmillan. Siregar, A. 2011. Parvana: Sang Pencari Nafkah. Jakarta, Indonesia: PT Gramedia. Siregar, M. 2018. Ketidaksetaraan Gender dalam Dalihan na Tolu. Jurnal Studi Kultural, 3 (1), 13-15. Diakses dari http://journals.anImage.net/index.php/ajsk. Subroto, E. D. (1992). Pengantar Metoda Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta, Indonesia: Sebelas Maret University Press. Wikipedia. Kompas Gramedia Group. https://en.m.wikipedia.org/wiki/Kompas_Gramedia_Group. Diakses pada tanggal 30 April 2018. Williams dan Chesterman. 2002. The Map: A Beginner`s Guide to Doing Research in Translation Studies. Britain. St. Jerome Publishing. 499 HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan dan Saran 1. Gradasi kata itu seperti apa? Yang dimaksud dengan gradasi kata disini adalah intensitas kata. Jadi, meskipun ada beberapa kata memiliki makna yang sama, namun dari tiap kata tersebut memiliki intensitas yang berbedabeda. Seperti halnya kata ‘benci’ dan kata ‘tidak suka’. kata ‘benci’ cnderung memiliki intensitas kata yang tinggi dibandingkan kata ‘tidak suka’. Hal ini diketahui dari definisi yang dipaparkan didalam kbbi. 2. Apa yang anda fahami dengan teknik purposif? Ketentuan pemilihan datanya kurang terlihat jelas di dalam makalah anda. Teknik purposif purposif adalah suatu teknik yangg digunakan untuk mengumpulkan data berdasarkan ketentuan tertentu. Dalam makalah ini, ketentuan data yang digunakan dalam makalah ini adalah leksikon pada suatu kalimat yang memiliki perbedaan pesan atau makna dalam Tsu dan Tsa. 3. Disebutkan didalam metode, menerapkan tiga komponen analisis wacana kritis: mikro, mezzo, dan makro. Namun, saya mendapati analisis ketiga komponen tersebut dijadikan satu. Alangkah baiknya jika dipisah, sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh pembaca. Saran yang diberikan, telah di tunaikan dalam revisi makalah ini. 500 PENGARUH BUDAYA PADA SIKAP PENERJEMAH: ANALISIS NOVELET THE PEARL DAN VERSI BAHASA SUNDANYA SITI KOMARIAH S2 Ilmu Linguistik UGM sitykomariah93@gmail.com A B S T R A K Teknik penerjemahan esensinya tidak hanya menerjemahkan BSu kedalam BSa, tetapi juga mencari ketepatan dalam transfer makna, hingga transfer budaya. Kesadaran ini kemudian menghasilkan satu istilah yang merujuk pada konsep penerjemahan budaya, yang disebut dengan ideologi penerjemahan, Venuti (1995). Ideologi penerjemah itu sendiri dapat berupa domestication serta foreignization yang erat kaitannya dengan teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah.. Adapun dalam penerjemahan budaya, biasanya budaya yang dimaksud adalah terkait budaya ekologi (flora, fauna, musim, pegunungan, ekologi), budaya materi (makanan, pakaian, rumah dll), budaya sosial (pekerjaan, kesenangan), organisasi sosial (adat istiadat, kegiatan, dll), serta budaya yang kaitannya dengan kebiasaan, Newmark (1988). Dengan demikian, penelitian ini akan berfokus pada bagaimana istilah-istilah budaya dalam bahasa Inggris diterjemahkan kedalam bahasa Sunda yang ditemukan dalam novel The Pearl dan versi Bahasa Sundanya. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dimana peneliti terlebih dahulu membaca, mencatat, mengumpulkan, mengklasifikan, kemudian menganalisis data, dan hanya menyajikan data yang mewakili data secara keseluruhan. Hasil penelitian ini adalah penerjemah menggunakan ideologi foreignization dan paling banyak menggunakan teknik literal, dikarenakan pengaruh globalisasi dan tidak menemukan kesepanannya dengan bahasa sasaran. Kata Kunci: Penerjemahan, Ideologi penerjemah budaya, teknik penerjemahan bahasa Inggris-bahasa Sunda 501 LATAR BELAKANG Teknik penerjemahan esensinya tidak hanya menerjemahkan BSu (bahasa sumber) kedalam Bahasa Sasaran (bahasa sasaran), tetapi juga mencari ketepatan makna hingga tidak merubah makna inti dari BSu ketika diterjemahkan kedalam BSa. Pernyataan ini juga disampaikan oleh Newmark (1988:5), yang menyatakan bahwa “translation is rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text. Penelitian akan teknik penerjemahan juga semakin berkembang seiring dengan kesadaran bahwa penerjemahan hakikinya tidak hanya transfer BSu kedalam BSa yang dapat merubah struktur bahasa. Lebih dari itu penerjemahan juga merupakan transfer makna hingga transfer budaya dari BSu ke BSa. Hakikinya proses transfer budaya dalam penerjemahan ini sulit untuk menghasilkan makna. Kesadaran ini kemudian menghasilkan satu istilah yang merujuk pada konsep penerjemahan budaya, atau pengaruh budaya pada sikap penerjemah, yang disebut dengan ideologi penerjemahan, Venuti (1995). Dalam ideologi penerjemahan, dua jenis ideologi yang kemudian menjadi pedoman adalah domestication serta foreignization. Kedua jenis ideologi ini jelas tidak akan lepas dari teknik penerjemahan khususnya dalam ranah budaya. Contohnya seperti kata “a hot corncake” dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan menjadi “surabi jagong” dalam bahasa Sunda. Penerjemahan kedua bahasa tersebut jelas merupakan usaha kesepadanan penerjemah mengingat tidak ada kue jagung dalam makanan khas sunda. Menemukan adanya usaha kesepadanan pada istilah budaya kedua bahasa diatas, yakni bahasa universal bahasa Inggris dengan bahasa daerah bahasa Sunda, peneliti kemudian tertarik untuk menemukan istilah budaya lainnya dari bahasa Inggris khususnya yang ditemukan dalam novelette “The Pearl” yang diterjemahkan kedalam bahasa Sunda dengan judul “Mutiara”. Penelitian tentang ideologi penerjemahan itu sendiri pernah dilakukan oleh beberapa peneliti yang kemudian dijadikan kajian pustaka, diantaranya: (1) Sebuah jurnal yang berjudul “Ideologi Penerjemah Budaya: Analisis Novel Terjemahan “Negeri 5 Menara” Karya Ahmad Fuadi, 2016 (2) Sebuah jurnal berjudul “Ideologi Penerjemahan dalam The Wea Verbirds” oleh Dyah Nugrahani, M.R Nababan, Riyadi Santoso (3) Sebuah tesis berjudul “Analisis Ideologi Penerjemahan dan Penilaian Kualitas 502 Terjemahan Istilah Kedokteran dalam buku “Lecture Notes on Clinical Medicine” Oleh Asri Handayani 2009 (4) Sebuah tesis yang berjudul “Transformasi Terjemahan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia: Studi Kasus dalam Buku A Child Called It” oleh Ednes Runi Anisah 2012 (5) Sebuah jurnal berjudul “Ideologi Pengasingan pada Kosakata Budaya dalam Terjemahan Novel Breaking Dawn” oleh Yusup Irawan 2016. Peneliti belum menemukan penelitian penerjemahan istilah budaya dari bahasa universal ke bahasa daerah sehingga tertarik untuk meneliti kedua bahasa tersebut. LANDASAN TEORI Larson (1998:12) menyatakan bahwa “translation is basially a change of form”. Dengan kata lain, ada perubahan bentuk struktur, dimana perubahan struktur khususnya perubahan makna itu sendiri biasanya disesuaikan dengan budaya dari BSu, hingga disitulah terjadi beberapa perubahan dalam proses terjemahan. Adapun jenis-jenis teknik penerjemahan menurut Newmark yakni literal, transference (borrowing), Naturalization, transposition, synonymy, through translation, modulation, equivalence, adaption, functional translation, descriptive equivalent, compensation, componential analysis, paraphrase, reduction, and notes, addition, glosses. Penggunaan teknik penerjemahan ini tentu saja dilakukan guna mencapai kesepadanan antar dua bahasa, yakni BSu ketika diterjemahkan kedalam BSa. Nida (1974), membagi ideologi tersebut menjadi dua kutub yang berbeda yakni kutub pertama mengarah pada BSu sedangkan kutub kedua mengarah pada Bsa yang hampir sama dengan Venuti (1995). Newmark lebih jauh menelaah bahwa dalam penerjemahan khususya dalam bidang budaya, terdapat golongan budaya yang beragam, diantaranya yakni budaya ekologi (flora, fauna, musim, pegunungan, ekologi), budaya materi (makanan, pakaian, rumah dll), budaya sosial (pekerjaan, kesenangan), organisasi sosial (adat istiadat, kegiatan, dll), serta budaya yang kaitannya dengan kebiasaan. METODE PENELITIAN, TEKNIK PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA Penelitian ini secara garis besar menggunakan metode kualitatif, dokumen analisis, serta wawancara, simak, rekam, catat, langsung dengan penerjemah. Metode kualitatif sendiri merupakan metode yan tidak 503 menggunakan angka atau hitungan, atau dengan kata lain, objek dari penelitian ini merupakan kata-kata (Subroto, 2007). Penelitian ini fokus pada istilah budaya dalam novelet The Pearl karya John Steinbeck dan terjemahan bahasa Sundanya oleh Atep Kurniawan. Dalam proses pelaksaannya, peneliti memfokuskan pada tiga tahap penelitian menurut penyajian analisa Sudaryanto (1993:3) yang meliputi tahap pengumpulan data, analisis data, serta penyajikan analisis. Pada proses pengumpulan data, Miles dan Huberman (1992), dalam Agusta (2013:10), menyampaikan bahwa pengumpulan data dapat dilakukan yakni dengan menyeleksi data, mengidentifikasikan data, serta menggolongkan data sesuai jenisnya. Pada tahap analisis data peneliti menggunakan teori Creswell (2008:255) yang menyebutkan lima tahap analisis data yakni menyiapkan data, memberikan lambang tertentu pada data, menjelaskan data, mengklasifikasikan data, memastikan kevalidan data. Setelah data tersedia, peneliti kemudian memberikan lambang tertentu guna memudahkan peneliti dan pembaca dalam memahami penelitian tersebut. Guna memastikan kevalidan data, peneliti juga mengkorelasikan hasil analisa dengan hasil wawancara langsung dengan penerjemah. HASIL DAN PEMBAHASAN Peneliti menemukan sekitar 82 data istilah budaya kemudian mengklasifikasikan hasil penelitian sesuai dengan 5 hal yang termasuk dalam istilah budaya menurut Newmark yakni budaya ekologi, budaya materi, budaya sosial, organisasi yang mencakup aktifitas dsb, serta budaya yang kaitannya dengan kebiasaan (habit). Kategori Material (Rumah, Pakaian, Transportasi, Makanan) Peneliti menemukan sekitar 35 data termasuk kedalam kategori material dalam sumber data. 35 istilah budaya ini diterjemahkan kedalam beberapa jenis terjemahan, yakni adaptation (1 data), borrowing (1 data), descriptive equivalent (1 data), functional equivalent (8 data) , literal (20 data), naturalization (3 data) dan synonimy (3 data). Untuk lebih jelasnya, berikut data yang mewakili teknik penerjemahan dengan ideologi foreignization dan domestication. 504 BSU Juana laid Coyotito on the blanket, and she placed her shawl over him (Steinbeck, 2000:30) Kino squatted by the fire pit and rolled a hot corncake (Steinbeck, 2000:23) BSa Teknik Juana ngais Coyotito maké Literal simbut, dirimbunan ku (Foreignization) cindung (Kurnia, 2013: 7) Gog Kino cingogo hareueun Adaptation hawu, gulung-gulung (Domestication) ngagulung surabi jagong (Kurnia, 2013:2) Kata ‘the blanket’ dan ‘shawl’ diatas diterjemahkan dengan menggunakan teknik literal, yakni memiliki makna yang sama dengan bahasa sumber. Peneliti mengkategorikan ‘the blanket’ dan ‘shawl’ pada istilah budaya karena pada umumnya, hanya pada masa tertentu masyarakat barat menggunakan selimut dan selendang sebagai alat tidur dan juga alat menggendong bayi. Dengan kata lain, pada era globalisasi ini tentu saja tidak semua kalagan tidur dan menggendong bayi dengan alat yang sama. Dengan demikian teknik ini termasuk kedalam ideologi foreignization. “A hot Corncake” merupakan jenis kue berbahan jagung dan tepung yang ternyata bukanlah kue dalam adat sunda. Dengan demikian penerjemah menyesuaikan dengan situasi masyarakat sunda dengan menerjemahkan frasa tersebut menjadi “surabi jagong”, yakni sejenis kue khas sunda yang sebenarnya lebih identik dengan oncom dan bukan jagung. Pada penerjemahan diatas penerjemah juga menggunakan teknik adaptasi. Peneliti juga menemukan data yang serupa yakni pada kata “the gown” yang diterjemahkan menjadi “baju sarẻ”, “the brush house” menjadi “saung”, dimana peneliti menyesuaikan kesepadanana dalam penerjemahan. Dengan demikian ideologi ini termasuk kedalam ideologi domesticaion. Kategori Ekologi (Flora, Fauna) Salah satu yang disebut dengan istilah budaya menurut Newmark adalah hal yang berkaitan dengan ekologi seperti flora da fauna. Peneliti 505 menemukan 30 data yang tergolong kategori ekologi, dimana 30 data istilah budaya ini diterjemahkan dengan beberapa teknik, yakni teknik adaptation (7 data), descriptive equivalent (2 data), functional equivalent (2 data), literal (17 data), naturalization (1 data), dan paraphrase (1 data). Berikut contoh data yang mewakili teknik penerjemahan dalam kategori foreignization dan domestication. BSu The mangroves plunged like frightened cattle (Steinbeck, 2000 : 63) BSa tangkal tingpelenoy, 2013: 30) Teknik miri Literal (Kurnia (Foreignization) The rooters had been Hayam jago melung- Adaptation crowing for some time meung kongkorongok (Domestication) (Steinbeck, 2000:21) (Kurnia, 2013:1) Tentunya tidak semua negara atau daerah di dunia ini memiliki pohon mangruve, dengan demikian mangruve termasuk kedalam istilah budaya. Pada data diatas, kata “The mangroves” diterjemahkan secara literal menjadi (tangkal miri) yang memang makna sebenarnya dalam bahasa Sunda. “The crowing” merupakan istilah bahasa Inggris yang merujuk pada suara ayam. Umumnya, setiap bahasa memang memiliki bunyi bahasa sendiri yang merujuk pada bunyi suara hewan atau disebut dengan onomatopoeia. Dalam bahasa Sunda itu sendiri, bunyi ayam direpesentasikan dengan bunyi tulisan “kongkorongok”. Teknik terjemahan ini disebut dengan teknik adaptasi, atau kesepadanan, dimana penerjemah menyesuaikan dengan budaya dari BSa. Peneliti juga menemukan kesepadatan adaptasi yang serupa seperti pada kata “hush” yang diterjemahkan kedalam “jep-jep”, dan ‘the hars cicada’ yang diterjemahkan menjadi jangkrik. Kategori Social-Culture (Profesi, Hiburan) Peneliti menemukan 12 data tergolong dalam kategori istilah budaya social-culture, dimana 12 data tersebut diterjemahkan dengan menggunakan teknik terjemahan adaptation (5 data), funtional equivalent 506 (2 data), literal (5 data), paraprase (2 data). Berikut contoh data yang mewakili teknik terjemahan foreignization dan domestication: BSu They tell of Kino, the fisherman, and of his wife, Juana, and of the baby, (Steinbeck, 2000: 20) The excitement of bidding for a fine pearl, too great a price had been paid to the fishermen. (Steinbeck, 2000: 47) BSa Puk-pok nyaritakeun Kino, pamayang, katut pamajikanana Juana jeung anakna (Kurnia:2013:1) Da aya tukang mutiara lantaran moho ku mutiara nu ditawarkeun ka manéhna, nganggap gedé kudu mayarna ka palika. (Kurnia, 2013: 19) Teknik Literal (Foreignization) Functional Equivalent (Domestication) “The Fisherman” merupakan profesi yang merujuk pada orang yang mencari ikan di laut (nelayan). Dalam bahasa Sunda itu sendiri diterjemahkan kedalam makna yang sama yakni “pamayang” yang juga bermakna nelayan. Bedanya, bahasa Sunda sebenarnya memiliki sebutan yang berbeda jika orang tersebut mencari ikan bukan dilautan. Dikarenakan konteksnya adalah mencari mutiara yang disebut-sebut lebih dalam dari mencari ikan (dari kedalaman laut), dengan demikian penerjemah menerjemahkan “the fisherman” dengan “pamayang” atau “palika” tergantung pada konteksnya. Kategori Organisasi (Agama, Aktifitas, Konsep) Peneliti hanya menemukan 1 data yang termasuk organisasi, yakni: BSu BSa Teknik The picture were Poto pamajikana Functional religious (Steinbeck, jenatna (Kurnia, Equivalent 2000:27) 2013:6) Dalam BSu, penulis merujuk pada poto gambar orang yang sudah meninggal,yang disebut dengan istilah religious dalam bahasa sumber. 507 Tentunya tidak semua bahasa menyebut hal yang mistik dengan istilah yang atau ungkapan yang sama. Dalam bahasa Sunda kemudian kata tersebut diterjemahkan menjadi “poto pamajikan jenatna”. Orang sunda dalam hal ini sering mengganti kata almarhum/almarhumah dengan kata “jenatna”. Teknik yang digunakan dalam penerjemahan ini adalah teknik adaptasi. Kategori Habit dan Gesture (Kebiasaan Sehari-hari, Perilaku) Penggunaan istilah budaya yang mencakup habit banyak ditemukan pada kata-kata yang erat kaitannya dengan struktur kebahasaan. Peneliti juga menemukan 4 data yang termasuk kedalam habit dan gesture, dimana 1 data diantaranya menggunakan teknik literal, dan 3 data selanjutnya menggunakan teknik adaptasi. Misalnya: BSu Yes, Patron (Steinbeck, 2000:27) you are dreaming (Steinbeck 2000: 68) BSa Teknik Muhun, Tuan. (Kurnia, Literal 2013:3) (Foreignization) Akang riwan. ( Kurnia, Adatation 2013: 34) (Domestication) Patron merupakan istilah panggilan bagi orang yang memiliki jabatan tinggi atau dianggap dihormati. Dalam bahasa sasara masih diterjemahkan dengan makna yang sama yakni “tuan” yang disebut dengan teknik literal. Kemudian, data kedua kata “you” dikategorikan kedalam istilah budaya karena konteks budaya terdapat pada bahasa sasaran yang menerjemahkan “you” menjadi “Akang” dimana orang sunda memiliki kebiasaan memanggil suami dengan panggilan Akang. Peneliti juga menemukan data lain yang hampir saa yakni contohnya terdapat pada kata “nyot-dikenyot”. “dikenyot” itu sendiri merupakan kata kerta yang menggukan pemarkah “nyot”. Hakikinya ini merupakan kebiasaan orang sunda, yang membudaya hingga kemudian dari waktu ke waktu menjadikannya struktur bahasa Sunda yang resmi yang disebut dengan “kecap rajẻkan panganter padameulan” (Kurnia, wawancara 28 April 2018). 508 KESIMPULAN Secara keseluruhan, penerjemah menggunakan ideologi foreignization dengan alasan globalisasi. Contohnya ketika kata the blanket tetap diterjemahkan kedalam kata “simbut”. Padahal dalam konteksnya “the blanket” digunakan tokoh untuk menggendong bayi kemudian menggunakannya juga untuk menyelimuti bayi. Di tatar sunda sendiri alat menggendong bayi biasanya menggunakan kain yang disebut “samping”. Namun penerjemah tetap menerjemahkan menjadi “simbut” karena pengaruh globalisasi dimana saat ini sudah jarang masyarakat menggunakan “samping” untuk menyelimuti anaknya, dan memang kemajuan teknologi menjadikan selimut sebagai benda yang bisa dimiliki oleh masyarakat kalangan biasa sekalipun. Selain itu, penerjemah juga tidak menemukan kesepadanan yang khas sunda ketika BSu diterjemahkan kedalam BSa. Itulah sebabnya teknik penerjemahan yang paling banyak digunakan adalah teknik literal. DAFTAR PUSTAKA Creswell, John W 2008. Educational Research. Boston: Pearson Hoed, Beny. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Larson, Mildred L, 1998. Meaning-based Translation: A guide to Cross Language Miles, M. B. & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis. London: Sage Publications. Newmark, Peter 1988. A Textbook of Translation. Prentice Hall: UK Nida, E.A dan Ch.R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation Den Haag. Brill. Soemarno, Thomas. 1997. “ Sekitar Masalah Budaya dalam Penerjemahan” Makalah. Seminar dalam Konggres Linguistik Nasional, Surabaya 711 November 1997. Subroto, Edi, 2007. Pengantar Metode penelitian Linguistik Struktural. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press Sudaryanto, 1985. Aneka Jenis Metode Linguistik: Tinjauan Selayang. Yogyakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia Komisariat. UGM Venuti, L. (1995). The Translator’s Invisibility: A History of Translation. London and NewYork: Routledge. 509 Pertanyaan dan Saran 1. Regi-UNPAD Apakah ada kamus Bahasa Inggris ke bahasa Sunda? Bagaimana penerjemah melakukan proses penerjemahan? Lalu apa landasannya hingga ditarik kesimpulan bahwa teknik terjemahan literal adalah teknik yang paling banyak digunakan oleh penerjemah? Jawaban: Menurut nara sumber, terdapat kamus bahasa Inggris yang diterjemahkan kedalam bahasa Sunda yang kemudian menjadi salah satu alat bantu bagi penerjemah dalam melakukan proses terjemahan. Namun, memang tidak semua kosa kata ada dalam kamus. Dengan demikian, penerjemah juga menggunakan teknologi, yakni mesin terjemahan, atau menggunakan google dalm mencari tahu makna dari istilah tertentu kemudian dipadankan dengan istilah kesundaan. Penerjemah juga menggunakan google image khususnya ada kata-kata berbau ekologi atau material, guna melihat langsung bentuk benda dari kata tertentu kemudian dicari padanannya dalam bahasa Sunda. Adapun penentuan yang menjadikan teknik literal sebagai teknik yang paling banyak digunakan, adalah kembali pada esensi teknik literal itu sendiri menurut Newmark yang berarti menerjemahkan perkata. Dalam hal ini penerjemah memang lebih banyak menerjemahkan istilah budaya dengan terjemahan perkata. Contohnya ketika ada istilah susu dalam bahasa Meksiko (setting dari noveletnya) tetapi tetap diterjemahkan “susu” oleh penerjemah tanpa dijelaskan bahwa kata tersebut adalah istlah susu dari budaya Meksiko. Saran: Reggy: Coba jelaskan lebih detail lagi proses penerjemahan dalam penelitiannya. Kemudian, kembali konfirmasi lebih dalam kepada pewawancara tentang alasan lain yang menyebabkan banyak penggunakan teknik literal, serta idelologi foreignization dengan menanyakan data dan hasil penerjemahannya (data yang mewakili setiap teknik penerjemahan). 510 PERUBAHAN MAKNA KOSAKATA SERAPAN BAHASA ARAB DALAM BAHASA INDONESIA: BIDANG KEAGAMAAN Siti Masyitoh Universitas Gadjah Mada masyitoh16@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kosakata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang mengalami perubahan makna dan klasifikasi jenis kata serapan pada kosakata tersebut. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini berupa kata-kata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia terkait bidang keagamaan. Adapun sumber datanya adalah buku Agar Bidadari Cemburu Padamukarya Salim A. Fillah. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak dengan teknik catat karena penelitian ini bersifat studi pustaka ‘library research’, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode padan translasional karena melibatkan dua bahasa: Arab dan Indonesia. Untuk penyajian hasil analisis digunakan metode formal dan informal karena penulis menggunakan kata-kata dan tabulasi data. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga jenis perubahan makna pada kosakata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia terkait bidang keagamaan yaitu perluasan makna (generalisasi), penyempitan makna (spesialisasi), dan perubahan makna total. Namun dari ketiga jenis perubahan makna tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah penyempitan makna. Adapun jika dilihat dari jenis kata serapannya, kosakata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia pada bidang keagamaan mayoritas tergolong ke dalam kata serapan sebagian (loanbend), meskipun ditemukan jenis kata serapan lainnya seperti kata serapan utuh dan kata serapan pergeseran. Kata Kunci: Perubahan Makna, Kata Serapan, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Kosakata Keagamaan. 511 PENDAHULUAN Perkembangan suatu bahasa tentu tidak terlepas dari pikiran manusia. Bahasa akan berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan pikiran manusia tersebut.Sebagaimana dikemukakan Hocket (1965: 402) bahwa perubahan dan perkembangan dalam satu bahasa adalah hal yang wajar terjadi. Hal itu dikarenakan adanya kontak bahasa antar pengguna bahasa yang berbeda. Menurut Mackey (1968: 554) ketika kontak itu terjadi, maka kedua pengguna bahasa saling mempengaruhi satu sama lain. Bahasa yang menerima pengaruh dinamakan model dan bahasa yang mempengaruhi disebut donor. Proses ketika donor memengaruhi model disebut borrowing atau penyerapan. Fenomena tersebut terjadi di berbagai bahasa, terutama dalam Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut BI). Sebagaimana dikatakan oleh ahli bahwa sembilan dari sepuluh kata dalam bahasa Indonesia adalah asing (Munsyi, 2003: 2). Maksud asing di sana ialah bukan asli BI melainkan serapan dari bahasa lain, baik itu bahasa serumpun ataupun bahasa asing.Salah satu bahasa asing yang telah banyak mempengaruhi perkembangan BI adalah Bahasa Arab (selanjutnya disebut BA). Peneliti membatasi penelitian ini pada kosakata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang keagamaan. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: (1) Perubahan makna yang terjadi pada kosakata serapan BA dalam BI bidang keagamaan; (2) Jenis kata serapan BA dalam BI pada bidang keagamaan. Selanjutnya,penelitian mengenai perubahan maknaatau kosakata serapan bahasa Arab telah banyak dilakukan, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Syamsul Hadi, dkk (2003) dengan judul Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia; Nurul Azmi (2016) dengan judul Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Aceh di Aceh Besar (Kajian Sosiolinguistik). Kemudian, ada pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Tatu Siti Rabi’ah dkk dengan judul Perubahan Makna Kata Serapan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris Pada Istilah Ekonomi. Penelitian ini mengkaji kata serapan bahasa Arab dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam bidang ekonomi. Dari penelitian yang dilakukan tersebut, penulis belum menemukan penelitian yang serupa, yakni perubahan makna kosakata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia yang dikhususkan pada bidang keagamaan. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah baru 512 bagi perkembangan ilmu linguistik, khususnya mengenai kosakata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab. SEMANTIK LEKSIKAL Semantik leksikal berhubungan dengan arti kata dan hubungan makna di antara kata (Fromkin, 2009: 153). Tujuan deksriptif dari semantik leksikal adalah: (a) menentukan makna dari setiap kata dalam suatu bahasa; dan (b) menunjukkan bagaimana makna-makna dari katakata dalam suatu bahasa saling terkait. Salah satu objek dalam kajian semantik leksikal adalah kata serapan ‘loanword’ (Saeed, 1997: 5). Dengan demikian, untuk mengkaji adanya perubahan makna pada kosakata serapan dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain dapat menggunakan pendekatan kajian semantik leksikal. PERUBAHAN MAKNA Perubahan makna kata dapat berwujud dengan adanya penambahan dan pengurangan atas makna. Penambahan dan pengurangan terjadi tidak hanya dari segi kuantitas melainkan juga dari segi kualitasnya (Pateda, 2001: 158). Perubahan makna merupakan bagian dari perubahan yang terjadi dalam sejarah bahasa yang terdiri dari perubahan arti atau fungsi semantik dari beberapa kosakata. Adapun macam-macam perubahan yang terjadi dalam makna yaitu generalisasi (perluasan makna), spesialisasi (penyempitan makna), ameliorasi (peninggian makna), peyorasi (penurunan makna), sinestesia (pertukaran makna), asosiasi (persamaan makna), metonimia, perubahan makna total (Djajasudarma, 2013: 10). KATA SERAPAN Kata serapan diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kata serapan utuh (loanword), kata serapan sebagian (loanblend), dan kata serapan pergeseran (loanshift) (Field, 1984: 12). Loanword adalah perpindahan bentuk makna dengan adanya persamaan integrasi fonologi, baik keseluruhan, sebagian, maupun tanpa sama sekali. Hal ini merupakan perpindahan pada target, misalnya pada kata hamburger. Orang Indonesia memiliki pengetahuan bahwa hamburger adalah makanan kecil atau berat. Tidak ada kata lain selain kata tersebut yang digunakan oleh orang Indonesia karena memang belum ditemukan kata yang ekuivalen, 513 sehingga kata-kata dalam BI mengadopsi ejaan maupun pengucapan yang digunakan dalam bentuk aslinya. Sementara itu, loanblend adalah kombinasi bentuk kata asli dan bahasa asingnya. Ia memiliki kesamaan dalam pengucapan baik dalam bahasa asingnya maupun bahasa aslinya. Contoh dalam bahasa Inggris kata club menjadi klub dalam BI. Pengucapannya sama, tapi ejaannya berbeda. Selanjutnya, loanshift adalah makna konsep bahasa asing yang direpresentasikan oleh bentuk aslinya, termasuk di dalamnya ada terjemahan, misalnya dalam kata grados dalam bahasa Spanyol dimasukkan ke dalam makna grades dalam bahasa Inggris. PEMBAHASAN Setelah membaca sumber data primer, peneliti menemukan ada 20 kata yang disimpulkan sebagai kata serapan yang mengalami perubahah makna terkait bidang keagamaan yang terdapat pada buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah. Namun, pada penelitian ini hanya 10 kata representatif yang akan diuraikan. Untuk mempermudah identifikasi dan analisis, peneliti membuat korpus data seperti berikut: Bahas a Arab Transli terasi Bahasa Indonesi a 1. ‫حجرة‬ /hijrah/ Hijrah v 2. ‫دعوة‬ Dakwah v v 3. ‫تعارف‬ /da’wah/ Taaruf v v 4. ‫مدرسة‬ Madrasah v 5. ‫خطبة‬ Khotbah v 6. ‫كتاب‬ /madrasa h/ /khotbah / /kitab/ Kitab v 7. ‫انصاف‬ /insaf/ Insaf v 8. ‫فتنة‬ /fitnah/ Fitnah v 9. ‫قدرة‬ /kodrat/ Kodrat v 10. ‫فطرة‬ /fitrah/ Fitrah v /ta’aruf/ Kata Pergeseran (Loanshift) Sebagian (Loanblend) Utuh (Loanword) Perubahan Total Jenis-Jenis Serapan Perluasan NO Penyempitan Perubahan Makna KATA v v v v v v v v 514 Dari korpus data di atas dapat dianalisis secara semantik leksikal kata-kata sebagai berikut: 1. Hijrah Kata hijrah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Ternyata celetuk itu di dengar seorang ukhti lain, pengurus Teladan Science Club, KIR SMU kami, yang sedang akan membeli kain untuk segera berhijrah: berjilbab.(hal.66) Dalam BI, kata hijrah secara makna berarti: 1) perpindahan Nabi Muhammad saw. Bersama sebagian pengikutnya dari mekah ke Madinah untuk menyelamatkan diri dsb dari tekanan kaum Quraisy, Mekah; 2) berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dsb) (KBBI, 2008: 523). Sehingga, secara semantik leksikal, kata hijrahdimaknai ‘berpindah menuju suatu tempat atau keadaan yang lebih baik’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫حجرة‬ /hijrah/. Kata ‫ حجرة‬/hijrah/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword). Secara semantik leksikal, kata ‫ حجرة‬/hijrah/ dalam BA bermakna ‘perpindahan Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke Madinah’ (Manzhur, 1990: 783). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘pindah dari Mekkah ke Madinah’ kemudian mengalami perluasan makna menjadi ‘berpindah menuju suatu tempat atau keadaan yang lebih baik’. 2. Dakwah Kata dakwah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Oh, mereka kan aktivis dakwah. Insya Allah mereka sudah sangat paham batas-batasnya. (hal 98) Dalam BI, kata dakwah secara makna berarti: 1) penyiaran; propaganda; 2) penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama (KBBI, 2008: 309). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘seruan untuk ajaran agama’ kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ دعوة‬/da’wah/. 515 Kata ‫ دعوة‬/da’wah/ mengalami proses penyerapan perubahan fonemik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya unsur perubahan fonem [‫ ]ع‬menjadi [k]. Secara semantik leksikal, kata ‫ دعوة‬/da’wah/ dalam BA bermakna: ‘ajakan atau undangan’ (Manzhur, 1990: 1386). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘ajakan atau seruan secara umum’ kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘ajakan atau seruan kepada ajaran agama’. 3. Taaruf Kata taaruf dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: ada banyak orang yang terlena menikmati masa taarufnya.(hal 204) Dalam BI, kata taaruf secara makna berarti: perkenalan (KBBI, 2008: 1404). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘tahap untuk mengenal calon pasangan ketika hendak menikah’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ تعارف‬/ta’aruf/. Kata ‫ تعارف‬/ta’aruf/ mengalami proses perubahan fonetik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya perubahan bunyi dari /ʔ / menjadi /a/. Secara semantik leksikal,kata ‫ تعارف‬/ta’aruf/ dalam BA bermakna: berkenalan (Manzhur, 1990: 2901). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘perkenalan dalam hal apapun’ kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘tahap untuk mengenal calon pasangan ketika hendak menikah’. 4. Madrasah Kata madrasah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Ibu!Ini kata tentang penegasan madrasah agung. (hal.244) Dalam BI, kata madrasah secara makna berarti: sekolah atau perguruan (biasanya yang berdasarkan agama Islam) (KBBI, 2008: 892). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘sekolah berbasis agama’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫مدرسة‬ /madrasah/. 516 Kata ‫ مدرسة‬/madrasah/ tidak mengalami perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword). Secara semantik leksikal, kata ‫ مدرسة‬/madrasah/ dalam BA bermakna: sekolah (Manzhur, 1990: 1360). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘sekolah secara umum’ kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘sekolah berbasis agama Islam’. 5. Kitab Kata kitab dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: ayuhai, mereka belum mengenakan peralatan selam yang benar, mengutuki kegelapan, tanpa cahaya, tanpa kitab yang menerangi. (hal.4) Dalam BI, kata kitabsecara makna berarti: 1) buku; 2) wahyu Tuhan yang dibukukan; kitab suci (KBBI, 2008: 731). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: buku atau kitab suci. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ كتاب‬/kitab/. Kata ‫ كتاب‬/kitâb/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword). Secara semantik leksikal, kata ‫ كتاب‬/ kitâb / dalam BA bermakna: buku (Manzhur, 1990: 3816). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘buku apapun’ kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘buku yang berisikan wahyu Tuhan’. 6. Insaf Kata insaf dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: inilah perkataan yang ditajamkan agar ia mengoyak tabir keinsafan. (hal. 91) Dalam BI, kata insaf secara makna berarti: 1) sadar (akan); mengerti benar (akan); yakin benar (akan); 2) sadar akan kekeliruannya dan bertekad akan memperbaiki dirinya; 3) belas kasihan (KBBI, 2008: 557). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘kesadaran akan kekeliruan’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ انصاف‬/inşaf/. 517 Kata ‫ انصاف‬/ inşaf / mengalami proses perubahan fonemik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan sebagian (loanbend), sebab adanya unsur perubahan fonem [‫ ]ص‬menjadi [s]. Secara semantik leksikal, kata ‫انصاف‬/ inşaf / dalam BA bermakna: berlaku adil (Manzhur, 1990:26). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘berlaku adil’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi ‘kesadaran akan kekeliruan’. 7. Fitnah Kata fitnah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: maka peluang terjadinya fitnah akan luar biasa besar. (hal. 147) Dalam BI, kata fitnah secara makna berarti: perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan degan maksud menjelekkan orang (KBBI, 2008: 412). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘perkataan bohong atau hasutan’ kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫فتنة‬/fitnah/. Kata ‫ فتنة‬/fitnah/ tidak mengalami perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword). Secara semantik leksikal, kata ‫ فتنة‬/fitnah/ dalam BA bermakna: ‘kesesatan’ (Manzhur, 1990: 3345). dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘sesuatu yang menggoda’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi ‘hasutan’. 8. Khotbah Kata khotbah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: mendengar khotbah ini, salah seorang muslimah yang hadir segera bangkit.(hal.174) Dalam BI, kata khotbah secara makna berarti: pidato (teutama yang menguraikan ajaran agama) (KBBI, 2008: 718). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘pidato keagamaan’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫خطبة‬/khotbah/. 518 Kata ‫ خطبة‬/khotbah/ mengalami proses penyerapan perubahan fonetik ketika diserap ke dalam BI yaitu adanya perubahan bunyi [u] menjadi [o]. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan sebagian (loanbend). Secara semantik leksikal, kata ini dalam BA bermakna: pidato atau ceramah (Manzhur, 1990: 1386). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna pidato secara umum kemudian mengalami penyempitan makna menjadi ‘pidato keagamaan’. 9. Kodrat Kata kodrat dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Banyak yang mengutuki kodrat, melaknati penciptaan diri, dan sensitive mendengar kata beda. (hal 4) Dalam BI, kata kodrat secara makna berarti: 1) kekuasaan (Tuhan); 2) hukum (alam); 3) sifat asli; sifat bawaan (KBBI, 2008: 737). Secara semantik leksikal, kata tersebut dimaknai: ‘sifat bawaan yang melekat pada diri seseorang’. Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ قدرة‬/qudrah/. Kata ‫ قدرة‬/qudrah/ mengalami proses penyerapan perubahan fonemik dan morfemik ketika diserap ke dalam BI. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan pergeseran (loanshift), sebab di antara kedua kata itu sebagiannya mengalami perubahan pengucapan maupun ejaan. Secara semantik leksikal, kata ini dalam BA bermakna: kemampuan; kekuasaan. Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘kemampuan atau kekuasaan’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi ‘sifat bawaan yang melekat pada diri seseorang’. 10. Fitrah Kata fitrah dalam buku Agar Bidadari Cemburu Padamu karya Salim A.Fillah ditemukan dalam kalimat: Entah mengapa akhwat begitu suka berbagi tentang masalah-masalah pribadinya (Ya, ini mah fitrah!).(hal 98) 519 Dalam BI, kata fitrah secara makna berarti: sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan (KBBI, 2008: 412). Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Arab: ‫ فطرة‬/fitrah/. Kata ‫ فطرة‬/fitrah/ ketika diserap ke dalam BI tidak mengalami perubahan pada pengucapannya. Oleh karenanya, kata serapan ini tergolong sebagai kata serapan utuh (loanword). Secara semantik leksikal, kata ‫ فطرة‬/fitrah/ dalam BA bermakna: suci (Manzhur, 1990: 3433). Dengan demikian, kata ini mengalami perubahan makna ketika diserap ke dalam BI, dari yang semula bermakna ‘suci’ kemudian mengalami perubahan makna total menjadi ‘sifat asal atau bawaan’. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis di atas, terdapat tiga jenis perubahan makna dalam kosakata serapan BA ke dalam BI pada bidang keagamaan yaitu perluasan makna (generalisasi), penyempitan makna (spesialisasi), dan perubahan makna total. Namun dari ketiga jenis perubahan makna tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah penyempitan makna. Adapun jika dilihat dari jenis kata serapannya, kosakata serapan BA dalam BI pada bidang keagamaan mayoritas tergolong ke dalam kata serapan sebagian (loanbend), meskipun ditemukan jenis kata serapan lainnya seperti kata serapan utuh dan kata serapan pergeseran. DAFTAR PUSTAKA A.Fillah, Salim. 2014. Agar Bidadari Cemburu Padamu. Yogyakarta: Pro-U Media. Azmi, Nurul. 2016.Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Aceh di Aceh Besar (Kajian Sosiolinguistik). Tesis (Tidak Diterbitkan). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Djajasudarma, Fatimah. Pengantar Semantik. Jakarta: Refika Aditama, 2003. Field, Fedrick W. 1984. Linguistic Borrowing in Bilingual Context. Amsterdam: John Benjamin Publishing Company. Fromkin, Victoria, et al. 2009. An Introduction to Language. Boston: Wadsworth Goddard, Clif. 520 Hadi, Syamsul, dkk. 2003. Perubahan Fonologis Kata-Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Humaniora Vol.15 No. 2 Juni. Hockett, Charles F. 1965. A Course of Modern Linguistics. New York: Maccmilan. Mackey, William F. 1968. The Description of Billingualism, dalam Joshua A. Fishman (ed). Reading in the Sociology of Language. The Hague: Mouton & Company. Manzhur, Ibnu.1990. Lisanul Al-Arab. Beirut: Dar Al-Ṣadr. Munsyi, Alif Danya. 2003. 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing. Jakarta: Pustaka Firdaus. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Rabi’ah, Tatu Siti, dkk. 2017. Perubahan Makna Kata Serapan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris Pada Istilah Ekonomi. Diterbitkan dalam buletin Al-Turats, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama, Vol.XXIII No.2, Juli. Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 521 HASIL DISKUSI SEMINAR PERTANYAAN: 1. Bagaimana cara penulis menentukan tolok ukur bahwa kata-kata yang didapat itu mengalami perubahan makna? 2. Mengapa penulis menggunakan kamus Munawwir dalam mengetahui makna kata bahasa Arabnya? 3. Mengapa penulis menggunakan metode wawancara sebagai salah satu metode bantu dalam mengetahui perubahan makna kata tersebut? JAWABAN: 1. Cara menentukan tolok ukur untuk mengetahui perubahan makna kata-kata tersebut adalah dengan menggunakan Kamus dan wawancara. Untuk makna kata bahasa Indonesia digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan untuk kata bahasa Arab digunakan Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Adapun wawancara digunakan untuk mengetahui konteks pemakaian kata-kata tersebut di masyarakat sehingga dapat diketahui maknanya saat ini. 2. Karena pada penelitian ini penulis baru mendapatkan kamus tersebut. Namun, penulis hendak menggunakan kamus ekabahasa Arab seperti Lisanul Arab atau Munjid. 3. Wawancara ini hanya dilakukan pada masyarakat Indonesia guna memengetahui konteks penggunaan kata tersebut pada masa sekarang sehingga kita bisa mengetahui apakah makna kata tersebut berubah atau tidak. Karena jika dalam kamus (KBBI) saja terkadang maknanya masih sesuai dengan waktu pembuatan kamus tersebut sehingga tidak aktual dan ada pula beberapa kata baru yang belum terdapat dalam kamus (KBBI). 522 KATA PENYUKAT DALAM BAHASA SASAK Siti Wahyuni Sulistya Wulandari* Universitas Gadjah Mada, Indonesia *Email: wahyuni.sulistya9@gmail.com ABSTRAK Penelitian yang berjudul Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk kata penyukat yang digunakan oleh suku Sasak pada saat berkomunikasi sehari-hari. Poin penting yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah bentuk kata penyukat dan fungsi sintaksis kata penyukat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi metode pengumpulan data, metode analisis, dan metode penyajian data. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam adalah teknik simak, wawancara, dan catat. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah metode agih dengan teknik balik sedangkan metode penyajian data yang digunakan adalah metode informal dengan cara menjelaskan hasil penelitian secara deskriptif. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat memahami bentuk-bentuk kata penyukat dengan mudah dan baik. Hasil dari penelitian tentang kata penyukat ini adalah adanya kata penyukat untuk manusia, untuk hewan, dan untuk benda. Adapun fungsi sintaksis kata penyukat dalam bahasa Sasak adalah sebagai keterangan yang menerangkan nomina berupa subjek. Kata kunci: kata penyukat, bahasa Sasak PENDAHULUAN Pepatah Lombok pernah mengatakan sebuah ungkapan yang berbunyi “lain gerupuk lain jaje, lain gubuk lain base” [laIn gərUpUk laIn jajə, laIn gUbUk laIn basə] yang artinya beda gerupuk beda kue, beda gubuk beda bahasa. Ungkapan pepatah tersebut telah membuktikan bahwa setiap masyarakat yang tinggal di suatu wilayah pasti memiliki perbedaan bahasa dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lainnya. Perbedaan bentuk bahasa tersebut dapat berupa perbedaan struktur bahasa ataupun perbedaan leksikon. Adanya perbedaan ini membuktikan bahwa masyarakat memiliki cara berpikir yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Perbedaan cara berpikir masyarakat yang tercermin dalam 523 penggunaan bahasanya dapat dilihat pada bentuk-bentuk perbedaan kata penyukat dalam komunikasi sehari-hari. Keraf (1996: 33) mengatakan bahwa bagian bahasa yang paling menarik untuk dianalisis dan dikaji secara mendalam adalah bentuk-bentuk bahasa tersebut. Bentuk bahasa Sasak yang menarik untuk dikaji dan dianalisis salah satunya adalah bentuk kata penyukat. Kridalaksana (1986: 20) menjelaskan bahwa kata penyukat adalah kata bantu bilangan. Contoh, dalam bahasa Indonesia, dikenal bentuk kata penyukat seperti dua ekor, dua lembar, dua helai, satu gelas, dan sebagainya dalam bahasa Sasakpun dikenal bentuk-bentuk kata penyukat untuk menyebutkan sesuatu. Contoh, due jeluang [duwə jəluwaɳ], due buncut [duwə buncut], due tundun [duwə tundun], dan sebagainya. Pertama, bentuk frasa due jeluang [duwə jəluwaɳ] adalah bentuk kata penyukat dalam bahasa Sasak yang berarti dua plastik. Bentuk kata penyukat seperti ini biasanya digunakan untuk menjelaskan wadah tempat penyimpanan suatu barang yang dijelaskan tersebut. Misalnya, due jeluang ambon “dua plastik ambon”. Contoh kata penyukat lainnya yang sejenis adalah due ember [duwə ɛmbɛr] “dua ember”, duwe karung [duwə karUɳ] “satu karung”, due kemeq [duə kəmɛʔ] “dua kemek (wadah yang terbuat dari tanah), dan telu lumur [təlu lumur] “tiga gelas”. Kedua, bentuk frasa due buncut [duwə buncut] “dua ikat” ini digunakan untuk menyebutkan cara mengikat suatu barang. Kata ini biasanya digunakan untuk menjelaskan bawang merah, bawang putih, dan beragama makanan yang disimpan dalam plastik dalam jumlah sedikit dan kemudian diikat. Ketiga, kata penyukat due tundun [duwə tundun] “dua tangkai” ini biasanya digunakan masyarakat Sasak untuk menjelaskan keadaan suatu buah yang baru dipetik. Misalnya, ketika buah jambu dipetik utuh dua tangkai dan dalam tangkai tersebut buahnya banyak, maka masyarakat akan menyebutnya sebagai setundun “satu tangkai” buah jambu atau due tundun. Penggunaan kata penyukat ini biasanya hanya untuk menjelaskan tentang sesuatu untuk sesuatu tertentu. Maksudnya, kata penyukat due karung pada bentuk due karung nyambuq [duwə karUɳ ɲambuʔ] “satu karung jambu” tidak bisa diganti menjadi due buncut nyambuq. Namun, ada juga penggunaan kata penyukat yang bisa digabung seperti bentuk due karung buncut [duwə karUɳ buncut] “satu karung yang diikat”. Bentuk ini bisa digunakan untuk menjelaskan nomina seperti beras misalnya sehingga bunyinya akan menjadi araq due karung buncut beras nuqn [araʔ duwə karUɳ buncut bəras nuʔən] “beras itu sejumlah satu karung ikat”. Kata penyukat due karung buncut ini tidak bisa diubah atau dibalik 524 menjadi due buncut karung karena istilah kedua ini tidak berterima dalam penggunaan bahasa Sasak sehari-hari. Masyarakat suku Sasak yang menetap di wilayah Kecamatan Praya Timur ini juga menggunakan kata penyukat yang berbeda untuk makhluk hidup, seperti hewan dan manusia. Kata penyukat yang biasanya digunakan untuk manusia adalah dengan [dəɳan] “orang, contohnya adalah sekeq dengan [səkeʔ dəɳan] “satu orang”, due dengan [duwə dəɳan] “dua orang” dan seterusnya. Adapun kata penyukat untuk hewan adalah dengan menyebut nama hewan itu sendiri, misalnya telu sampi [təlu sampi] “tiga ekor sapi”, telu bembeq [təlu bembeʔ] “tiga ekor kambing”, telu kao [təlu kao] “tiga ekor kerbau” dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat suku Sasak memiliki sejumlah perbendaharaan kata penyukat untuk menerangkan benda yang berbeda di sekitarnya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang menjadi dasar penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk kata penyukat dalam bahasa Sasak dan bagaimana fungsi kata penyukat dalam bahasa Sasak. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Ramlan dalam Kridalaksana (1986) membagi kelas kata menjadi 12, yaitu kelas kata nominal, kata verbal, kata keterangan, kata bilangan, kata tambah, kata penyukat, kata sandang, kata suruh, kata tanya, kata penghubung, kata depan, dan kata seruan. Ramlan (1985) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata penyukat adalah kata yang membentuk frasa nomina yang posisinya berada di belakang kata bilangan, seperti kata orang pada frasa dua orang, kata ekor pada frasa tiga ekor sapi, dan sebagainya. Lubis (1954) menjelaskan lebih lanjut bahwa kata penyukat adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jenis kata yang letaknya di depan nomina dan belakang kata bilangan. Kata penyukat ini digunakan untuk menunjukkan ukuran, harga, waktu, dan isi dari kata nomina yang dijelaskan tersebut. Keraf (1989) menyebut kata penyukat sebagai kata bantu bilangan yang menurutnya adalah kata tertentu yang digunakan untuk menerangkan sifat atau macam barang yang digunakan oleh penutur suatu bahasa. Adapun fungsi sintaksis menurut Chaer (2009:20) adalah tempat-tempat atau kotak-kotak yang kedalamannya diisi oleh kategori-kategori tertentu. Kotak tersebut adalah subjek (S), predikat (P), objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). 525 HASIL DAN PEMBAHASAN a. Jenis Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak 1. Kata Penyukat Monomorfemis 1.1 Kata Penyukat untuk Manusia Kata penyukat yang digunakan untuk manusia dalam bahasa Sasak hanya satu, yaitu dengan [dəŋan] yang bermakna orang. 1.2 Kata Penyukat untuk Hewan Kata penyukat yang digunakan untuk hewan dalam bahasa Sasak adalah kata penyukat bentuk zero. Kata penyukat untuk hewan dalam bahasa Indonesia biasanya digunakan istilah ekor, seperti pada bentuk satu ekor sapi, namun dalam bahasa Sasak, ketika orang mengucapkan dua ekor sapi, ucapannya akan berbentuk due sampi [duwə sampi]. Karena tidak adanya kata penyukat yang digunakan untuk hewan dalam dialek Menu-Meni, masyarakat biasanya menerangkan kata yang dimaksud, misalnya: (1) araq due kelueqn teres nuqn [araʔ duwə kəlueʔən tɛrɛs nuʔən] /ada-dua-jumlahnya-semut-itu/ “semut itu jumlahnya ada dua” 1.3 Kata Penyukat untuk Benda Kata penyukat yang banyak digunakan dalam bahasa Sasak adalah kata penyukat untuk benda. Kata penyukat ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu kata penyukat untuk menyatakan jumlah, kata penyukat untuk menyatakan ukuran, dan kata penyukat untuk menyatakan cara (dilakukannya perbuatan). Masyarakat di Kecamatan Praya Timur biasanya menggunakan berbagai benda sebagai kata penyukat, misalnya due cangkir “dua cangkir” dan sebagainya. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kata penyukat yang digunakan untuk benda: 1.3.1 Kata Penyukat untuk Menyatakan Jumlah 526 sidut [siduṭ] “sendok” centong [cɛnṭɔŋ] “centong” cangkir [caŋkir] “cangkir” lumur [lumur] “gelas” penyedok [pəɲɛdɔk] “gayung” ember [ɛmbɛr] “ember” timbaq [ṭimbaʔ] “timba” boton [bɔṭɔn] “botol” bong [bɔŋ] “gentong yang terbuat dari tanah” jeding [jədIŋ] “(wadah) kamar mandi” lingkoq [liŋkoʔ] “sumur” senduk [səndUk] “sendok nasi” karung [karUŋ] tundun [tundun] jeluang [jəluwaŋ] kemeq [kəmeʔ] kemeras [kəməras] koboq [koboʔ] sigon [sigɔn] lembar “lembar” tolang [tɔlaŋ] biji [biji] “biji” [ləmbar] 527 1.3.2 Kata Penyukat untuk Menyatakan Ukuran jengkak [jəŋkak] “ lengkaq [lɛŋkaʔ] “langkah” meter [mɛtər] “meter” are [arə] “are” hektar [hɛktar] “hektar” depe [dəpə] 1.3.3 Kata Penyukat untuk Menyatakan Cara (dilakukan) Colet [cɔlɛt] Jeput [jəput] Suap [suwap] “suap” Buncut [buncut] Penendos [pənendɔs] Lembah [lɛmbah] Banten [bantən] “ikat” 1.3.4 Kata Penyukat untuk Menyatakan waktu Kata penyukat untuk menyatakan waktu dalam bahasa Sasak ditemukan sejumlah 6 kata. Jam [jam] “jam” Menit [məniṭ] “menit” Jelo [jəlo] “hari” Setameng [sətaməŋ] “pekan” Bulan [bulan] “bulan” Taun [tawun] “tahun” 2. Kata Penyukat Polimorfemis Due karung buncut Due piring mojok Due jeluwang buncut b. Fungsi Sintaksis Kata Penyukat dalam Bahasa Sasak Kata penyukat dalam bahasa Sasak hanya berfungsi sebagai keterangan atau atribut kata yang dijelaskannya. Berikut contohnya: (2) Nyambuq nuqn araq due tundun kelueqn S V K Pel w w [ɲambuʔ nuʔən araʔ du ə tundun kəlu eʔən] /jambu itu-ada-dua-tangkai-banyaknya/ “Jambu itu ada dua tangkai” (3) Araq due karung buncut parengko 528 V K O (s) SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa kata penyukat dalam bahasa Sasak berbentuk monomorfemis dan polimorfemis. Namun, bentuk polimorfemis yang ditemukan tidak banyak karena hanya beberapa bentuk kata penyukat yang bisa digabungkan sedangkan sisanya tidak bisa. Adapun fungsi sintaksis kata penyukat tersebut adalah berfungsi keterangan karena kata penyukat bersifat menerangkan nomina yang dimaksud. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta. Chedo, Saveeyah. 2013. “Kata Penyukat dalam Bahasa Melayu Patani Thailand Selatan”. Tesis. Yogyakarta: FIB UGM. Keraf, Gorys. 1989. Tatabahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah. .1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lubis, Madong. 1954. Pramasastra Landjut. Medan: Pustaka Penggemar Oriza Sativa. Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers. Maryani, Zulisih. 2011. “Kata Penyukat dalam Bahasa Indonesia”. Tesis. Yogyakarta: FIB UGM. M. Ramlan. 1985. Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offset. Pertanyaan Waktu saya presentasi, tidak ada pertanyaan yang ditujukan untuk saya. 529 REGISTER PEDAGANG GAWAI (HP) DI PASAR SENTRA ANTASARI Register Traders Hand Phone In The Antasari Sentra Market Sri Wahyu Nengsih nengsihmey11@gmail.com Balai Bahasa Kalimantan Selatan Jalan A. Yani Km 32, 2, Loktabat, Banjarbaru ABSTRAK Pasar Sentra Antasari merupakan pasar campuran tradisional dan modern di kota Banjarmasin. Para penjual dan pembeli dari berbagai kelas sosial bertemu bertransaksi menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih dominan dipakai dalam transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh para pedagang gawai (hp) dalam berkomunikasi dengan sesama pedagang gawai di pasar itu. Tidak bisa dipungkiri adanya register para pedagang gawai (hp) di Sentra Antasari itu. Register merupakan ragam bahasa berdasar pemakaiannya, misalnya pedagang memiliki jenis dan fungsi register lain yang berbeda dengan profesi lain. Oleh karena itu, tujuan kajian ini untuk mengetahui dan menjelaskan jenis dan fungsi register yang digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari. Kajian ini menggunakan metode agih menentukan objek bahasa yang diteliti dan dianalisis secara deskripsi untuk menggambarkan situasi yang terjadi. Data diperoleh melalui teknik rekam dan wawancara. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis register yang digunakan meliputi ragam intimate, dan casual. Kemudian, fungsi register yang digunakan meliputi fungsi informative, dan interaktif. Simpulan yang dapat diperoleh bahwa pedagang gawai di pasar Sentra Antasari menggunakan jenis dan fungsi register tertentu berdasarkan ragam situasi. Kata kunci: variasi bahasa, register, dan pedagang Antasari Sentra Market is a traditional and modern mixed market in Banjarmasin city. Sellers and buyers from various social classes meet transacted in Banjar, and some use Indonesian. The use of the more dominant Banjar language used in the sale and purchase transactions. 530 Uniquely, there are various special languages used by gang traders (hp) in communicating with fellow traders in the market. Can not be denied the register of the traders ghost (hp) at Sentra Antasari it. Register is a variety of language based on usage, for example, traders have the type and function of other registers are different from other professions. Therefore, the purpose of this study is to know and explain the type and function of the registers used by the traders of the gateway in the Antasari Sentra market. This study uses a method of determining the object of the language studied and analyzed in descriptions to describe the situation. Data obtained through recording techniques and interviews. The results of the analysis show that there are three types of registers that are used include intimate, and casual. Then, the register functions used include informative, and interactive functions. The conclusion can be obtained that the trader of the gateway in the Antasari Sentra market uses the type and function of a particular register based on various situations. Keywords: language variations, registers, and merchants PENDAHULUAN Bahasa dalam masyarakat cenderung tidak seragam. Bahasa digunakan oleh penutur untuk berinteraksi dalam beragam situasi. Tidak ada batasan dalam pemakaian bahasa pada tempat, waktu, dan berbagai situasi. Ragam bahasa merupakan variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasai perbedaan ragam bahasa. Pada situasi tertentu, bahasa dapat bersifat causal comparatif, yaitu sifat bahasa selain sebagai penyatu kelompok masyarakat sekaligus menjadi pembeda yang mencirikan identitas suatu kelompok. Pemakaian bahasa oleh kelompok pedagang gawai yang memiliki variasi sapaan yang cenderung khas yang berbeda dengan pedagang lain. Dapat dikatakan, pedagang gawai memiliki variasi register khas yang membedakannya dari pedagang yang lain. Register termasuk variasi bahasa. Register menunjukkan ketidakseragaman bahasa yang ada di masyarakat . Register bahasa pedagang gawai di Kalimantan Selatan, antara lain dapat dijumpai di Pasar Sentra Antasari. Pasar Sentra Antasari merupakan pasar campuran tradisional dan modern di kota Banjarmasin. Para penjual 531 dan pembeli dari berbagai kelas sosial bertemu bertransaksi menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih dominan dipakai dalam transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh para pedagang gawai dalam berkomunikasi dengan sesama pedagang gawai di pasar itu. Tidak bisa dipungkiri adanya register para pedagang gawai di Sentra Antasari itu. Kajian pemakaian bahasa dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Hadi (2009) yang meneliti sugesti persuasif dalam tindak tutur pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang. Dia menunjukkan bahwa sugesti persuasif digunakan pedagang kaki lima untuk memunculkan bukti dan kepercayaan melalui tekanan nada suara dan intonasi kalimat. Penelitian sejenis juga dilakukan Lestari (2011) terhadap pengamen sebagai kelompok profesi di Surakarta. Dia memaparkan pola interaksi verbal atau karakteristik pemakaian bahasa yang digunakan para pengamen dalam kegiatan mengamen dan berkomunikasi sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengamen memiliki bahasa khas/register yang tidak dimiliki masyarakat lain. Pola interaksi verbal (baik komunikasi yang sifatnya internal, eksternal, maupun campuran) dapat berwujud bahasa campuran Jawa–Indonesia ragam nonformal. Pemakaian variasi register di media cetak diteliti Dian (2016). Paparannya menunjukkan bahwa penggunaan register dalam bahasa tulis, khususnya artikel-artikel publik dalam koran sangat banyak dan memberikan tambahan informasi serta wawasan bagi para pembaca jika penulis dapat menampilkan sebuah register secara utuh. Selain itu, ditemukan beberapa penulis yang kurang mempertimbangkan dan kurang memiliki kepekaan pada pembaca media yang heterogen kompetensinya dimana artikelnya dimuat. Seorang penulis semestinya sudah memahami kondisi kompetensi wawasan dari segmen pembaca media yang akan memuat artikelnya. Rumusan masalah penelitian ini adalah Apa jenis register yang digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari, dan bagaimanakah fungsi register itu digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari? Tujuan penelitian ini adalah untuk (a) menentukan jenis register yang digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari; (b) menjelaskan 532 fungsi register tersebut digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari Jenis penelitian ini adalah kualitatif dan metode agih digunakan untuk mengumpulkan data, sedangkan data dianalisis secara deskriptif. Metode agih menentukan objek bahasa yang diteliti berasal dari bahasa itu sendiri (Sudayanto, 2015:19). Metode agih lebih bersifat survei yang mengakumulasi data dasar dari suatu subjek, kemudian membahas data itu secara analitis sehingga menemukan jalan keluar untuk fenomena yang ada dalam subjek itu. Penelitian ini dilaksanakan di Pasar Sentra Antasari Banjarmasin. Data penelitian ini berupa ujaran lisan dalam percakapan antar pedagang gawai yang direkam. Kemudian, data lisan ditranskripsi ke bentuk tulis, diklasifikasi, dan dianalisis untuk menentukan jenis serta fungsi register. Chaer dan Leonie (2010:61) menyatakan bahwa munculnya ragam bahasa atau variasi bahasa disebabkan penutur bahasa dalam masyarakat tutur bukan kumpulan manusia yang homogen sehingga wujud bahasa yang konkret yang disebut parole menjadi tidak seragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya penuturnya yang tidak homogen tetapi juga karena keragaman bahasa itu. Keragaman ini pun akan bertambah jika bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak serta dalam wilayah yang sangat luas. Variasi bahasa timbul karena pemakaian topik yang dibicarakan serta medium pembicaraan yang berbeda. Penggunanya mengikuti sistem sosial dan sistem komunikasi yang ada dan berlaku di tengah masyarakat serta bahasa sebagai media komunikasinya. Keragaman tersebut terjadi pada transaksi jual beli, memungkinkan munculnya variasi baru yang mempunyai corak-corak makna selingkung. Seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dalam masyarakat tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan penuturnya tidak diamati secara individual tetapi dihubungkan dengan kegiatannya dalam masyarakat atau dipandang secara sosial. Secara sosial, bahasa dan pemakaiannya dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Faktor linguistik yang memengaruhi bahasa dan penuturnya terdiri atas fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Selain itu, faktor nonlinguistik yang memengaruhinya terdiri atas faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang memengaruhi bahasa dan penuturnya terdiri atas status sosial, 533 tingkat pendidikan, umur, dan jenis kelamin. Faktor situasional yang memengaruhi bahasa dan pemakainya terdiri atas siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa (Suwito, 1996:26). Variasi bahasa adalah bagian-bagian atau varian (geografi, medium, dan topik bicara) dalam bahasa berpola menyerupai pola umum bahasa induknya. Chaer dan Leonie (2010:81) membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria a)latar belakang geografi dan sosial penutur, b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Register adalah satu variasi dalam tutur yang dipergunakan oleh sekelompok orang tertentu yang disesuaikan dengan profesi dan perhatian yang sama. Satu register yang khusus dapat dibedakan dari register yang lain. Register ditentukan oleh pelibat bicara, medan makna yang dicocokkan dengan profesi dan perhatian, dan sarana yang digunakan. Misalnya, register dokter, register petani atau pertanian, register pendidikan (Parera, 1993:53). Register adalah variasi bahasa yang munculnya variasi oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Halliday (1994:25) mengemukakan bahwa register adalah bahasa yang dipergunakan saat ini, bergantung pada apa saja yang sedang dikerjakan. Selain itu, sifat kegiatannya mencerminkan aspek lain dari tingkat sosial yang biasanya melibatkan orang. Register dibagi menjadi dua bentuk, yaitu register selingkung terbatas dan register selingkung terbuka. Register selingkung maknanya, sifatnya, dan jumlah katanya terbatas sehingga berita yang disampaikan pun terbatas. Register ini tidak mempunyai tempat secara konkret dalam masyarakat maupun dalam tataran individu dan kreativitas karena sudah jarang dipakai. Register selingkung terbuka bercorak makna lebih terbuka, seperti pada bahasa tidak resmi atau percakapan spontan. Namun, register ini tidak memiliki tingkatan tertentu serta ditujukan secara langsung berdasarkan situasi tutur saat itu (Halliday, 1994:53--55). Hudson (1996:24) menyatakan bahwa register as varieties according to user ‘register adalah variasi bahasa berdasarkan penggunaanya’. Spolsky (1998:33) mengemukakan bahwa register is variety associated with a specific function ‘register adalah variasi bahasa yang dihubungkan dengan fungsi khusus.’ Register dapat timbul karena dua hal, yaitu a) timbul karena kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan 534 profesi dan b) timbul karena aktivitas dan profesi sosial yang sama. Dalam hal ini, bahasa pedagang buah termasuk dalam register yang timbul karena aktivitas dan profesi sosial yang sama. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi para pedagang buah di lingkungan sosial kelompok tersebut. Pateda (1987:60) menjelaskan bahwa register adalah ragam pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang yang dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu a) Oratorical atau frozen (baku), yaitu register yang digunakan oleh pembicara yang profesional karena pola dan kaidahnya sudah mantap, biasanya digunakan pada situasi yang khidmad, seperti pada mantra, undang-undang, kitab suci, dan lain sebagainya. b) Deliberative atau formal, yaitu register yang digunkan pada situasi resmi sesuai dengan tujuan untuk memperluas pembicaraan yang disengaja, misalnya pidato kenegaraan. c) Consultative atau usaha, yaitu register yang digunakan dalam transaksi kenegaraan dan peminangan. d)Casual atau santai, yaitu register yang digunakan dalam situasi tidak resmi. Ragam ini banyak menggunakan allegro, yaitu bentuk kata yang diperpendek. e) Intimate atau intim, yaitu register yang digunakan pada situasi antaranggota keluarga. Nababan (1991:42) menyebutkan bahwa fungsi register antara lain a) fungsi instrumental, yaitu bahasa yang berorientasi pada pendengar atau lawan tutur. Bahasa yang digunakan untuk mengatur tingkah laku pendengar sehingga lawan tutur mau menuruti atau mengikuti apa yang diharapkan penutur atau penulis. Hal ini dapat dilakukan oleh penutur atau penulis dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang menyatakan permintaan, himbauan, atau rayuan; b)fungsi interaksi, yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada kontak antara pihak yang sedang berkomunikasi. Register dalam hal ini berfungsi untuk menjalin dan memelihara hubungan serta memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, berkenalan, menanyakan keadaan, meminta pamit, dan lain sebagainya;c) fungsi kepribadian atau personal, yaitu fungsi bahasa yang berorientasi pada penutur. Bahasa digunakan untuk menyatukan hal- hal yang bersifat pribadi. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan dirinya; d) fungsi pemecah masalah atau heuristik, yaitu fungsi pemakaian bahasa yang terdapat dalam ungkapan yang meminta, menurut, atau menyatakan suatu jawaban terhadap masalah atau persoalan. Bahasa yang digunakan biasanya sebagai alat untuk 535 mempelajari segala hal, menyelidiki realitas, mencari fakta, dan penjelasan. Ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam fungsi ini berupa suatu pertanyaan yang menuntut penjelasan atau penjabaran, misalnya “coba terangkan!”, “bagaimana proses kerja...?” dan sebagainya; e) fungsi hayal atau imajinasi, yaitu fungsi pemakaian bahasa yang berorientasi pada amanat atau maksud yang akan disampaikan. Bahasa dalam fungsi ini digunakan untuk mengungkapkan dan menyampaikan pikiran atau gagasan dan perasaan penutur atau penulis; dan f) fungsi informasi, yaitu pemakaian bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk memberi suatu berita atau informasi supaya dapat diketahui orang lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Register bahasa pedagang gawai di Kalimantan Selatan antara lain dapat dijumpai di Pasar Sentra Antasari. Pasar Sentra Antasari merupakan pasar campuran tradisional dan modern di kota Banjarmasin. Para penjual dan pembeli dari berbagai kelas sosial bertemu bertransaksi menggunakan bahasa Banjar, dan sebagian menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Banjar lebih dominan dipakai dalam transaksi jual beli tersebut. Uniknya, ada berbagai bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh para pedagang dalam berkomunikasi dengan sesama pedagang di pasar itu. Ada beragam pedagang di Sentra Antasari. Tidak bisa dipungkiri adanya register para pedagang di Sentra Antasari itu. Pada bagian pembahasan ini hanya disajikan contoh ujaran yang dianggap mewakili pemakaian register yang digunakan oleh para penjual berkomunikasi dengan sesama penjual gawai di pasar Sentra Antasari. Hal tersebut dilandasi bahwa variasi bahasa yang digunakan cenderung sama pada aktivitas pemakaian bahasa yang sejenis. Oleh sebab itu, variasi register yang digunakan kelompok penjual akan tampak perbedaannya dengan kelompok profesi lainnya. Berikut adalah ujaran yang mengandung register yang digunakan pedagang gawai di pasar Sentra Antasari: 1) Pj 1: Kayapa sidin tadi?Pina masam lalu muha kam. ‘Bagaimana pembeli tadi? Wajahmu seperti masam sekali’ Pj 2: Haduh pahit lalu barangnya. ‘Aduh orang itu pelit’ 536 Dari ujaran (1) terdapat pemakaian register oleh pedagang di pasar Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata pahit ‘pahit’. Kata pahit ‘pahit’ dalam arti biasa lazim identik dengan rasa. Namun, pahit ‘pahit’ disini berarti menyatakan pembeli yang orangnya pelit tidak mau kurang lebih dengan pedagang. Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis casual atau santai yaitu register yang digunakan pada saat berbincang dalam situasi tidak resmi. Register tersebut berfungsi interaksi, yaitu kontak antara sesama penjual gawai. Register itu hanya digunakan untuk mengungkapkan mengenai pembeli yang pelit. 2) Pj 1: Aduh Damai lalu hari ini julak ‘Tidak ada barang yang laku hari ini’ Pj 2 : Sabar aja nak ae ‘Sabar aja nak’. Dari ujaran (2) terdapat pemakaian register oleh pedagang di pasar Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata damai ‘tidak ada barang dagangan yang laku’. Kata damai ‘tidak ada barang dagangan yang laku’dalam arti biasa lazim identik dengan suasana damai. Namun, kata damai disini berarti menyatakan ‘tidak ada barang dagangan yang laku’. Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis casual atau santai yaitu register yang digunakan pada saat berbincang dalam situasi tidak resmi. Register tersebut berfungsi interaksi, yaitu kontak antara sesama penjual gawai. Register itu hanya digunakan untuk mengungkapkan ketika ‘tidak ada barang dagangan yang laku’. 3) Pj 1: Kayapa barang nang samalam julak ‘Bagaimana barang yang kemarin paman’ Pj 2: Bagus banar tambus jua akhirnya nak. ‘Bagus sekali bisa juga akhirnya terjual barang ini (barang yang biasanya tidak laku)’ Dari ujaran (3) terdapat pemakaian register oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari, yaitu penggunaan kata tambus ‘terjual (barang yang biasanya tidak laku)’. Kata tambus ‘dalam arti biasa lazim identik dengan keadaan tembus. Namun, kata tambus disini berarti menyatakan ‘terjual (barang yang biasanya tidak laku)’. Kata yang bercetak miring tebal merupakan register berjenis intimate, yaitu kontak antara sesama penjual dengan menggunakan sapaan kekeluargaan. Register tersebut berfungsi Register itu sebagai 537 informasi digunakan untuk mengungkapkan pemberitahuan ‘terjualnya (barang yang biasanya tidak laku)’. Berdasarkan hasil pembahasan, register yang digunakan oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari sebagai ungkapan yang bertujuan untuk komunikasi khusus antar pedagang gawai. Hal itu merupakan salah satu usaha untuk menjalin keakraban dan komunikasi khusus pedagang gawai dengan kata yang memiliki makna berbeda dari makna kata yang lazim. SIMPULAN Pedagang gawai di pasar Sentra Antasari menggunakan register dalam transaksi jual beli sebagai salah satu bentuk variasi bahasa akibat dari proses atau hasil dari pemakaian kata, frasa, atau klausa khusus yang berkaitan ragam komunisasi dalam jual beli. Dalam transaksi jual beli tersebut terdapat beberapa jenis register yang digunakan, yaitu, casual atau santai, dan intimate atau intim. Kemudian, register yang digunakan dalam transaksi jual beli oleh pedagang gawai di pasar Sentra Antasari berfungsi interaktif, dan informatif. Hal tersebut erat kaitannya dengan tujuan penjual, yaitu menjalin keakraban dan komunikasi khusus pedagang gawai. Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta. Dian. L. 2016. ”Penggunaan Variasi Register dalam Artikel di Media Massa Cetak.” Dalam http:linguistikid.co.id/2016/07/html. Linguistik. id Portal Ilmu Bahasa. Edisi Juli 2016. (unduh, 4 Januari 2017). Hadi, Imron. 2009. ‘Sugesti Persuasif dalam Tindak Tutur Pedagang Kaki Lima dai Pasar Raya Padang.“ Dalam Salingka. Volume 6, Nomor 1, Juni 2009. Hlm: 1—7. Halliday, M.A.K. 1994. On language and Linguistic. New York: Continuum. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics (3rd edition). Great Britain: Cambridge University Press. Lestari, Prembayun Miji. 2011. “Register Pengamen: Studi Pemakaian Bahasa Kelompok Profesi di Surakarta”. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Nababan, P. W. J. 1991. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 538 Parera, J.D. 1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa. Spolsky, Bernard. 1998. Sosiolinguistics. Oxford: Oxford University Press. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suwito. 1996. Sosiolinguistik. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret Press. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan: 1. Register yang digunakan pedagang gawai di pasar Sentra Antasari apakah khusus digunakan pedagang gawai di situ? (Siren dari Yogya) 2. Mengapa Anda melakukan penelitian ditujukan kepada pedagang gawai di pasar Sentra Antasari? (Tri dari NTB) 3. Kata kekerabatan dalam sebuah tuturan register apakah berpengaruh dalam menentukan fungsi register pedagang gawai? (Risa dari Kalsel) Jawab: 1. Saya mengambil lokasi penelitian hanya di pasar Sentra Antasari yang kebetulan di lantai dasar pasar itu banyak terdapat pedagang gawai. Saya belum dapat memastikan apakah register pedagang gawai di pasar Sentra Antasari berbeda dengan pedagang gawai di pasar lain. Selanjutnya, penelitian yang saya lakukan bila memungkin dapat lebih luas lagi lokasinya dan mungkin akan dibandingkan dengan pedagang gawai di pasar lain di wilayah Kalimantan Selatan. 2. Pasar Sentra Antasari merupakan salah satu pasar yang unik di Banjarmasin. Unik karena pasar itu pesar perpaduan pasar modern dan tradisional. Kebetulan para pedagang gawai di Sentra Antasari ini banyak berada di lantai dasar yang sekaligus pintu masuk ke sentra pasar modern. Saya menemukan komunikasi para pedagang gawai di pasar ini dominan masih menggunakan bahasa Banjar sehingga dapat memudahkan menemukan register pedagang gawai dalam bahasa Banjar. 539 3. Tentu saja kata sapaan kekerabatan sangat menentukan fungsi sebuah register pedagang gawai. Sapaan kekeluargaan menunjukkan kehangatan keakraban dalam sebuah komunikasi yang dilakukan pedagang gawai kepada mitra tuturnya. 540 INVENTARISASI PADANAN ISTILAH ASING MUTAKHIR DALAM BAHASA INDONESIA: SEBUAH PENGAMATAN AWAL8 Sudaryanto, Hermanto, dan Dedi Wijayanti Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Ahmad Dahlan Pos-el: sudaryanto82uad@gmail.com ABSTRAK Di dalam pertumbuhan dan perkembangan alamiah bahasa nasional (bahasa Indonesia), kontak budaya antarbangsa mengakibatkan pula kontak bahasanya sehingga pengaruh bahasa lain masuk ke dalam bahasa nasional. Sejak awal tarikh Masehi, bahasa Melayu menyerap banyak bahasa asing yang membuat bahasa itu lebih lengkap dan kaya. Tercatat beribu-ribu kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, dan Inggris. Ada tiga cara pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, yaitu penerjemahan, penyerapan, dan gabungan antara penerjemahan dan penyerapan. Hal ini tercantum di dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Sementara itu, di dalam buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing (terbitan Pusat Bahasa, 2008), tercatat sekitar 5.800 padanan istilah asing yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia dan diidentifikasi ke dalam delapan bidang usaha. Kedelapan bidang usaha itu, yaitu (1) bisnis dan keuangan, (2) pariwisata, (3) olahraga, (4) properti, (5) perhubungan dan komunikasi, (6) industri, (7) kecantikan dan perlengkapan pribadi, serta (8) informasi dan elektronika. Padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia rutin diterbitkan oleh Badan Bahasa melalui infografik “Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”. Kata kunci: inventarisasi, padanan istilah, bahasa asing, bahasa Indonesia 8 Publikasi ini merupakan luaran (output) dari penelitian yang sedang kami jalankan dengan judul “Inventarisasi Padanan Istilah Asing Mutakhir dalam Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengenalan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing di Yogyakarta” dan didanai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristekdikti Tahun 2018, dengan nomor kontrak PDP029/SKPP/III/2018. 541 “... bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia.” ─Ki Hadjar Dewantara, dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 1954 PENDAHULUAN Ungkapan Ki Hadjar Dewantara, sebagaimana dikutip di muka tulisan ini, benar adanya. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terdiri atas beragam suku bangsa, agama, keyakinan, dan sebagainya sehingga bisa dikatakan masyarakat multikultural. Di dalam pertumbuhan dan perkembangan alamiah bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, kontak budaya antarbangsa atau antarsuku bangsa mengakibatkan pula kontak bahasanya sehingga pengaruh bahasa lain masuk ke dalam bahasa Indonesia. Dengan istilah lain, bahasa Indonesia dan bahasa lain (baca: bahasa daerah dan bahasa asing) saling berpengaruh dan berinteraksi satu sama lain, dan hal itu terjadi sejak lama. Sejak awal tarikh Masehi, bahasa Melayu menyerap banyak bahasa asing yang membuat bahasa itu lebih lengkap dan kaya. Tercatat beriburibu kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, Arab, Belanda, dan Inggris. Sebagai contoh, kata ilmuwan yang berasal dari gabungan kata ilmu (bahasa Arab) dan -wan (bahasa Sanskerta) (Jones, 2008: 119). Contoh lainnya, kata preman yang berasal dari bahasa Belanda, vrijman, artinya ‘orang sipil’, ‘warga negara bebas’, ‘penjahat’, ‘bandit’, ‘brandal’ (Jones, 2008: 250). Melalui dua contoh tersebut, dapat dikatakan bahwa kosakata bahasa Indonesia lebih diperkaya dengan kosakata-kosakata bahasa asing. Terkait itu, tulisan ini berfokus kepada upaya inventarisasi padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia. Pemadanan istilah asing ke dalam bahasa Indonesia, dan jika perlu ke salah satu bahasa serumpun, dilakukan lewat tiga cara, yaitu (1) penerjemahan, (2) penyerapan, dan (3) gabungan penerjemahan dan penyerapan (lihat Pedoman Umum Pembentukan Istilah/PUPI Edisi Ketiga, 2007). Secara berurutan, di bawah ini uraian tentang tiga cara pemadanan istilah dan contoh kosakata- 542 kosakatanya, serta sejumlah infografik dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) dan/atau Kantor/Balai Bahasa tentang padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan. TIGA CARA PEMADANAN ISTILAH ASING Ada tiga cara pemadanan istilah asing dalam bahasa Indonesia, yaitu (1) penerjemahan, (2) penyerapan, dan (3) gabungan antara penerjemahan dan penyerapan. Penerjemahan terbagi menjadi dua jenis, yaitu (1) penerjemahan langsung dan (2) penerjemahan dengan perekaan. Contoh kosakata penerjemahan langsung berdasarkan kesesuaian makna, tetapi bentuknya tidak sepadan, supermarket menjadi pasar swalayan. Contoh kosakata penerjemahan dengan perekaan, catering menjadi jasa boga. Selanjutnya, penyerapan terbagi menjadi empat jenis, yaitu (1) penyerapan dengan penyesuaian ejaan dan lafal, (2) penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, (3) penyerapan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, dan (4) penyerapan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal. Contoh kosakata penyerapan dengan penyesuaian ejaan dan lafal, camera [kæməra] menjadi kamera [kamera]. Contoh kosakata penyerapan dengan penyesuaian ejaan tanpa penyesuaian lafal, design [disəīn] menjadi desain [desain]. Contoh kosakata penyerapan tanpa penyesuaian ejaan, tetapi dengan penyesuaian lafal, nasal [neīsəl] menjadi nasal [nasal]. Dan, contoh kosakata penyerapan tanpa penyesuaian ejaan dan lafal, allegro moderato (bahasa Italia), esprit de corps (bahasa Perancis), dan Aufklärung (bahasa Jerman). Terakhir, gabungan antara penerjemahan dan penyerapan. Istilah bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan menerjemahkan dan menyerap istilah asing sekaligus. Contohnya, bound morpheme menjadi morfem terikat, clay colloid menjadi koloid lempung, dan subdivision menjadi subbagian. INFOGRAFIK PADANAN ISTILAH ASING-INDONESIA Badan Bahasa dan/atau Balai/Kantor Bahasa rutin menerbitkan infografik padanan istilah asing dalam bahasa Indonesia. Infografik tersebut memiliki nama rubrik “Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”. Rubrik “Padanan Istilah” langsung menampilkan kosakata asing dan 543 padanannya dalam bahasa Indonesia, tanpa menyertakan konteks kalimatnya. Sedangkan rubrik “Kata Kita Pekan Ini” menampilkan kosakata asing dan padanannya dalam bahasa Indonesia disertai konteks kalimatnya. Perhatikan sejumlah infografik (Gambar 1 s.d. 5) di bawah ini Gambar 1 Infografik “Padanan Istilah” Subtitle Gambar 2 Infografik “Padanan Istilah” Error 544 Gambar 3 Infografik “Padanan Istilah” Powerbank Gambar 1, 2, dan 3 merupakan contoh infografik padanan istilah asing mutakhir ke dalam bahasa Indonesia. Contohnya, kosakata subtitle menjadi sulih teks, error menjadi galat, dan powerbank menjadi bank daya. Ketiga padanan istilah itu layak dimasukkan ke dalam sebuah glosarium istilah asing-Indonesia mutakhir. Gambar 4 Infografik “Kata Kita Pekan Ini” Lini Masa 545 Gambar 5 Infografik “Kata Kita Pekan Ini” Gambar 4 dan 5 merupakan contoh infografik padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia. Kosakata “lini masa” dan “tagar” (akronim dari tanda pagar) menjadi padanan kosakata bahasa Inggris, timeline dan hashtag. Kedua padanan istilah itu juga layak dimasukkan ke dalam sebuah glosarium istilah asing-Indonesia mutakhir. Sejauh ini, Pusat Bahasa (kini Badan Bahasa) telah menerbitkan buku Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing yang berisikan sekitar 5.800 kata, yang digunakan dalam delapan bidang usaha. Kedelapan bidang usaha itu meliputi (1) bisnis dan keuangan, (2) pariwisata, (3) olahraga, (4) properti, (5) perhubungan dan komunikasi, (6) industri, (7) kecantikan dan perlengkapan pribadi, dan (8) informasi dan elektronika. SIMPULAN Padanan istilah asing mutakhir dalam bahasa Indonesia perlu terus disosialisasikan, baik oleh Badan Bahasa maupun oleh masyarakat umum. Badan Bahasa dapat menyosialisasikan padanan istilah asing melalui infografik “Padanan Istilah” dan “Kata Kita Pekan Ini”. Sementara itu, masyarakat umum dapat menyusun sebuah glosarium istilah asingIndonesia mutakhir, seperti yang sedang kami lakukan saat ini. 546 DAFTAR PUSTAKA Jones, Russell (ed.). 2008. Loan-Words in Indonesian and Malay. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan KITLV-Jakarta. Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. 2007. Pedoman Umum Pembentukan Istilah Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Sugono, Dendy, dkk. 2008. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan 1. Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana (FIB UGM) Badan Bahasa sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi masalah bahasa bekerja secara preskriptif. Badan Bahasa banyak merilis padanan istilah asing-Indonesia, tetapi masyarakat Indonesia ada yang bisa memakai dan ada yang tidak memakai padanan tersebut. Banyak padanan istilah asing-Indonesia yang kurang populer di masyarakat Indonesia, seperti sangkil dan mangkus. 2. Hari Nugroho (FIB UGM) Apakah kata-kata asing di majalah teknologi atau TIK tidak digunakan? Menurut saya, majalah teknologi atau TIK sepertinya banyak memuat kata-kata asing, khususnya bahasa Inggris. 3. Apriana Nugraheni (FIB UGM) Apakah penelitian yang sedang Bapak lakukan ini dibatasi tahun pengambilan datanya? Jawaban 1. Terima kasih atas saran atau masukan ini, Pak Putu Wijana. Baik, kami akan coba tindaklanjuti tentang kemungkinan adanya padanan istilah asing-Indonesia yang kurang populer di kalangan masyarakat Indonesia. 2. Kami gunakan juga majalah teknologi atau TIK sebagai salah satu pertimbangan dalam upaya menginventarisasi padanan istilah asingIndonesia. 3. Ya, kami batasi paling tidak 2—3 tahun ke belakang (2015). 547 INTERJEKSI DALAM NOVEL SI BOY FEAT LASKAR NGGATHELI SEBUAH NOVEL BOSO SUROBOYOAN SING TERINSPIRASI KISAH ½ NYATA Tri Winiasih Balai Bahasa Jawa Timur wiiwiin@yahoo.com ABSTRAK Penelitian ini membahas penggunaan interjeksi dalam novel berbahasa Suroboyoan. Secara khusus, tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan distribusi dan fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing Terinspirasi Kisah ½ Nyata. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Sumber data berasal dari dialogdialog berbahasa Jawa Suroboyoan yang mengandung interjeksi yang dilakukan oleh tokoh dalam novel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi interjeksi dalam novel tersebut berada di awal, tengah, dan akhir dialog. Interjeksi berfungsi untuk menandai rasa terkejut, makna penyangatan, rasa malu atau salah tingkah, rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan, berpikir sesuatu, rasa kesal atau geram, rasa kagum, permintaan perhatian, maksud memperolok-olok, rasa marah, rasa tidak setuju atau pembelaan diri, maksud pamer, maksud meralat informasi, maksud menasihati, rasa jijik atau risi, rasa enggan, dan rasa bingung. Kata kunci: Interjeksi, distribusi, fungsi PENGANTAR Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing Terinspirasi Kisah ½ Nyata adalah novel komedi berbahasa Jawa Suroboyoan karya Dwi CakCuk. Dwi CakCuk yang bernama lengkap Dwika Roemika adalah seorang traveler yang lahir dan besar di Surabaya. Dwi adalah seorang pengusaha sukses, pemilik gerai kaus Cak Cuk Surabaya. Novel ini terinspirasi kisah setengah nyata setengah khayal seorang mahasiswa asal Surabaya dengan latar belakang jalinan persahabatan 548 yang dibalut dalam budaya Suroboyoan, yaitu egaliter, terbuka, dan berkesan kasar bagi pembaca yang bukan berasal dari budaya Suroboyoan. Dialog-dialog dalam novel ini banyak memunculkan kata-kata yang bersifat emosional atau berupa seruan perasaan, yang dalam kajian bahasa dapat disebut interjeksi. Wedhawati (2006) memadankan istilah interjeksi dengan kata seru dalam bahasa Indonesia dan tembung panguwuh dalam bahasa Jawa. Alisjahbana (1982: 88) menjelaskan bahwa kata seru itu sebenarnya bukan kata-kata lagi, tetapi kalimat yang tidak terjadi dari kata-kata karena kata seru telah mungkin lengkap menyatakan pikiran atau perasaan dengan tidak lagi memakai kata-kata biasa. Sementara itu, Moeliono (1988: 243) menyebutkan interjeksi adalah kata tugas yang mengungkapkan rasa hati manusia. Penelitian mengenai topik interjeksi cukup banyak dilakukan. Berikut dipaparkan beberapa penelitian interjeksi yang digunakan dalam karya sastra. Komariyah dalam penelitiannya (2016) mengkaji bentuk dan fungsi interjeksi dalam novel berbahasa Jawa, Donyane Wong Culika karya Suparta Brata. Ayu, Rahmatika Sari, dkk. (2017) membahas fungsi interjeksi dan peran konteks terhadap pemakaian interjeksi dalam Kumpulan Cerpen 100 Tahun Cerpen Riau. Ningrum, Eka Widia (2014) membahas bentuk dan fungsi interjeksi pada novel Kerudung Cinta dari Langit Ketujuh karya Wahyu Sujani. Selain itu, Irawati, Tri (2015) membahas bentuk, jenis, dan fungsi interjeksi dalam bahasa Jawa pada antologi Cerkak Bengkel Sastra Jawa 2007: Kidung Megatruh. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, penelitian ini secara khusus ingin melihat distribusi dan fungsi interjeksi dalam novel berbahasa Jawa Suroboyoan. Interjeksi dalam novel ini menarik untuk dikaji karena merepresentasikan interjeksi yang digunakan oleh penutur bahasa Jawa Suroboyoan. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) bagaimanakah distribusi penggunaan interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli, serta 2) bagaimanakah fungsi interjeksi yang digunakan dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli. Untuk menganalisis permasalahan, digunakan kerangka pemikiran teoretik interjeksi berdasarkan Wedhawati (2006: 421—422), yaitu interjeksi digunakan sebagai pengungkap perasaan dan keinginan, interjeksi tidak memiliki arti ”komunikatif”. Interjeksi tidak mengharapkan tanggapan, sambutan, atau jawaban baik dari mitra bicara maupun orang ketiga yang hadir. Interjeksi semata mengungkapkan apa 549 yang diinginkan oleh penutur. Interjeksi biasanya terdapat pada tutur lisan, terutama yang beragam informal. Oleh karena itu, interjeksi lebih banyak digunakan dalam tingkat tutur ngoko daripada krama atau madya. Berdasarkan distribusinya, interjeksi dapat berada pada posisi awal, tengah atau akhir wacana. Lebih lanjut, Wedhawati (2006) memaparkan bahwa interjeksi dalam bahasa Jawa dapat digunakan untuk menandai perasaan heran, permintaan perhatian, tidak setuju, keragu-raguan, untuk mengingat, perasaan sadar bahwa telah membuat kekeliruan, perasaan setuju, maksud akan melanjutkan pembicaraan, isyarat untuk meniadakan apa yang telah disebutkan sebelumnya, perasaan geram, perasaan takut, perasaan heran campur terkejut, jengkel, maksud memperolok-olokkan, kesadaran teringat kembali kepada sesuatu, perasaan takjub atau kagum, rasa kesakitan, perasaan gembira, rasa terkejut karena berjumpa dengan sesuatu yang tidak diharapkan, makna penyangatan, atau perasaan tidak senang karena ketidaksesuaian dengan kenyataan atau adat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data berupa dialog dalam bahasa Jawa Suroboyoan yang mengandung interjeksi yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi dan catat. Data yang mengandung interjeksi dicatat, kemudian diklasifikasi dan dianalisis berdasarkan distribusi dan fungsinya. PEMBAHASAN Distribusi Interjeksi dalam Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli Berdasarkan distribusinya, interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli dapat terletak di awal, tengah, dan akhir dialog. Berikut dicontohkan penggunaan interjeksi berdasarkan posisi interjeksi dalam dialog. (1) Oalah…ancene budheg! Percuma ae ngomong sampek lambe mrongos, kono gak krungu opo-opo!” sambat Umik. (2014: 2) Oalah…memang tuli! Percuma saja bicara sampai bibir maju, kamu tidak mendengar apa-apa!” keluh Umik (panggilan ibu). (2) Boy, mene isuk awake dhewe diceluk gawe penyisihan Cak Ning nang balai kota. Ojok lali lo!”jare Angga. (2014: 40) 550 Boy, besok pagi kita dipanggil buat penyisihan Cak Ning di Balai Kota. Jangan lupa lo!” kata Angga. (3) Nang kantin kene ae lho ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat melok nyauti, koyok nyaut pemean. Di kantin sini saja lho sambil makan jajan,” Mbak Pat ikut menyahuti, seperti menambil jemuran. Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa interjeksi oalah pada tuturan (1) menunjukkan bahwa distribusi interjeksi berada di awal dialog. Interjeksi lo pada tuturan (2) menunjukkan bahwa distribusi interjeksi berada di tengah dialog. Interjeksi lho pada tuturan (3) menunjukkan bahwa distribusi interjeksi berada di akhir dialog. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa distribusi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli terdapat dalam semua posisi. Fungsi Interjeksi dalam Novel Si Boy feat Laskar Nggatheli 1. Menandai rasa terkejut Interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli dapat digunakan untuk menandai rasa terkejut karena berjumpa dengan sesuatu yang tidak diharapkan, terkejut karena ada yang tiba-tiba menyentuh tubuhnya, serta terkejut karena baru teringat sesuatu. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (4) “Lho lapo mandeg?” takok Umik. (2014: 114) “Lho kenapa berhenti?” tanya Umik (panggilan ibu). (5) ”Eh, jaran!” Boy kaget terus noleh nang sing njawil de’e. (2014: 5) ”Eh, jaran!” Boy kaget kemudian menoleh kepada orang yang mencoleknya. (6) “Oh, iyo… lali aku, cuk!”… (2014: 10) ”Oh, iya… aku lupa cuk (pisuhan). Berdasarkan data di atas dapat dilihat, bahwa interjeksi lho pada dialog (4) digunakan untuk menandai rasa terkejut karena penutur tidak mengharapkan sopir (Mas Wito) mengerem mobil mendadak dan akan 551 melakukan putar balik. Interjeksi eh pada tuturan (5) digunakan untuk menandai rasa terkejut karena penutur tiba-tiba dicolek dari belakang. Sementara itu, interjeksi oh pada dialog (6) digunakan untuk menandai rasa terkejut karena penutur baru teringat kalau tugas dari dosennya (Pak Joko). 2. Menandai makna penyangatan Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur menyatakan penyangatan. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (7) “Trus nang endi lo, sik yah mene lo Boy” (2014: 8) “Lalu kemana lo, masih jam segini lo Boy”. Interjeksi lo pada dialog (7) digunakan penutur untuk menyatakan penyangatan atau penekanan. Apabila dialog dilakukan tanpa penggunaan interjeksi, rasa penyangatan dalam dialog akan berbeda. 3. Menandai rasa malu atau salah tingkah Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur merasa malu atau salah tingkah. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (8) “Eh, oh, enggak, gak mikirin apa-apa kok,”Boy kisinan dhewe. (2014: 11) “Eh, oh, tidak, tidak berpikir apa-apa kok,” Boy malu sendiri. (9) “Ups…eh, sori….Waduh….,” Boy salting karepe dewe. (2014: 13) “Ups…eh, maaf….Waduh….,” Boy salah tingkah sendiri. Interjeksi eh dan oh pada tuturan (8) digunakan penutur ketika penutur merasa malu karena ketahuan sedang mealmun. Sementara itu, interjeksi ups dan eh pada dialog (9) digunakan penutur karena salah tingkah setelah tidak sengaja berbicara hal yang sensitif. 552 4. Menandai rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur menyatakan rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (10) “Oh…sik onok barange sing ate digawe balas dendam iku.” (2014: 26) “Oh… masih ada barangnya yang akan dibuat balas dendam itu.” Interjeksi oh pada dialog (10) digunakan penutur ketika menyatakan kelegaan karena menemukan obat pembuat diare di saku celananya untuk dibuat balas dendam. 5. Menandai berpikir sesuatu Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur dalam proses berpikir sesuatu. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (11) “Hmmmm….. yowis. Saiki tak sepurani, tapi nek koen nggawe masalah maneh, titenono yo… (2014: 131) “Hmmmm… ya sudah. Sekarang saya maafkan, tetapi kalau kamu membuat masalah lagi, awas ya… Interjeksi hmmmm pada dialog (11) digunakan ketika penutur berpikir sesuatu dan akhirnya memutuskan untuk memaafkan perilaku mitra tuturnya. 6. Menandai rasa kesal atau geram Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur kesal atau geram. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (12) “Wis, koen ojok kakean cangkem. Boy iku ancene… huh… nggregetno. Ngisin-isini ancene!” Umik nyawat Yu Mi remote tivi. (2014: 49) 553 “Sudah, kamu jangan banyak bicara. Boy itu memang… huh… mengesalkan. Membuat malu!” Umik melempar Yu Mi remote televisi. Interjeksi huh pada dialog (12) digunakan ketika penutur kesal karena perilaku anaknya membuat malu saat disiarkan langsung di televisi. 7. Menandai rasa kagum Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur kagum. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (13) “Wah, sangar, Pak onok kamar mandi dalame pisan… (2014: 56) “Wah, bagus sekali, Pak. Ada kamar mandi dalamnya juga… Interjeksi wah pada dialog (13) digunakan penutur untuk menyatakan rasa kagumnya pada kamar Angga yang fasilitasnya cukup lengkap. 8. Menandai permintaan perhatian Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur meminta perhatian. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (14) “Eh, rek, aku disikan yo… ate nang rumah sakit. Ebesku mlebu UGD. Iki adikku sik tas telepon,” pamit Angga. (2014: 58) “Eh, rek, aku duluan ya… mau ke rumah sakit. Ayahku masuk UGD. Ini adikku baru saja menelepon,” pamit Angga. 9. Menandai maksud memperolok-olok Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur mengolok-olok. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (15) “Ihiiii… sing ate rabi rek, suit suit…”jare Yu Mi. (2014: 112) “Ihiii… yang kan menikah rek, suit suit…” kata Yu Mi. 554 Interjeksi ihiii pada dialog (15) digunakan penutur untuk memperolokolok Boy yang terpaksa harus pura-pura menikah dengan saudaranya. 10. Menandai rasa marah Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur marah. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (16) “He, mbok anggit iki langgar nang kampungmu ngono ta?” sentak Mas Afifi. (2014: 78) “He, apa kamu kira ini musala di kampungmu?” bentak Mas Afifi. Interjeksi he pada dialog (16) digunakan ketika penutur marah karena Boy sengaja menyanyi lagu pujian di masjid kampus. 11. Menandai rasa tidak setuju atau pembelaan diri Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur menyatakan tidak setuju atau untuk membela dirinya. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (17) “Lho, mas… nek nang nggonanku iku nek posoan nyanyi lagu-lagu koyok ngene…” Boy nerusno pujiane. (2014: 78) “Lho, Mas… kalau di tempatku itu kalau puasa nynayi lagu-lagu seperti ini…” Boy meneruskan lagu pujiannya. Interjeksi lho pada dialog (17) digunakan ketika penutur membela diri karena pandangannya berbeda dengan mitra tuturnya. 12. Menandai maksud pamer Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur bermaksud pamer. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (18)“Eits, ojok salah yo…iki Boy,cak… si Boyo.” (2014: 101) “Eits, jangan salah ya… ini Boy, Cak… si Boyo.” 555 Interjeksi eits pada dialog (18) digunakan ketika penutur tidak mau diremehkan. Penutur memamerkan kalau dirinya hebat. 13. Menandai maksud meralat informasi Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur meralat informasi. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (19) “Oh, gak se… main karo Barcelona,”jare koncone sak njeplake cangkeme. (2014: 104) “Oh, bukan… lawan Barcelona,” kata temannya sekenanya. Interjeksi oh pada dialog (19) digunakan penutur untuk meralat informasi sebelumnya. Penutur sebelumnya mengungkapkan bahwa Persebaya akan bermain dengan Liverpool. Hal itu diralat oleh penutur dan dinyatakan bahwa yang bermain dengan Persebaya adalah Barcelona. 14. Menandai maksud menasihati Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur menasihati karena mitra tutur kurang sopan. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (20) “Hus! Cangkeme iku loh, ngomong gak diatur….” jare Umik (2014: 111) “Hus! Mulutmu itu loh, berbicara tidak diatur…” kata Umik. Interjeksi hus pada dialog (20) digunakan penutur untuk memperingatkan atau menasihati mitra tuturnya karena berbicara tidak sopan, yaitu memberi saran agar kandungan anak pakdhenya digugurkan. 15. Menandai rasa jijik atau risi Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur merasa jijik terhadap sesuatu. Hal ini dapat dilihat pada dialog berikut. (21)“Emoh Mik… mosok aku engkok diceluk papa, papa… hih… emoh…”(2014: 112) 556 “Tidak mau Mik… masak aku nanti dipanggil Papa, Papa… hih… tidak mau…” Interjeksi hih pada dialog (21) digunakan penutur ketika merasa risi atau jijik karena membayangkan akan dipanggil Papa kalau mau pura-pura menikah dengan saudaranya. 16. Menandai rasa enggan Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur merasa enggan (22) “Halah, Mik…sik ngantuk iki…engkok awan ae opo’o,” jarene Boy ambek terus ndlosor turu maneh. (2014: 116) “Halah, Mik…masih mengantuk ini…nanti siang saja,” kata Boy sambil tetap berbaring tidur lagi. Interjeksi halah pada dialog (22) digunakan penutur ketika enggan dibangunkan oleh ibunya. 17. Menandai rasa bingung Fungsi interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli digunakan untuk menandai ketika penutur merasa bingung, belum tahu apa yang harus dilakukan. (23) “Eh, egh…, anu…” Boy bingung, masalahe onok Nirma, koncone kulia nang Universitas Karangmenjangan, sing tibakno konco SMAne Firda nang Banyuwangi (2014: 121). “Eh, egh…, anu…” Boy bingung karena ada Nirma, temannya kuliah di Universitas Karangmenjangan, yang ternyata teman SMA-nya Firda di Banyuwangi. Interjeksi eh, egh pada dialog (23) digunakan penutur karena bingung tidak tahu harus berbuat apa ketika disapa Nirma (teman kuliahnya di Surabaya) saat resepsi pernikahannya dengan Firda. SIMPULAN 557 Berdasarkan hasil pembahasan penggunaan interjeksi dalam novel Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing Terinspirasi Kisah ½ Nyata dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, distribusi interjeksi dalam novel terdapat dalam semua posisi, yaitu berada di awal, tengah, dan akhir dialog. Kedua, fungsi interjeksi dalam novel sangat variatif dan ditegaskan oleh penulis melalui keterangan yang menyertai dialog. Terdapat tujuh belas fungsi interjeksi dalam novel, yaitu untuk menandai 1) rasa terkejut, 2) makna penyangatan, 3) rasa malu atau salah tingkah, 4) rasa lega menemukan sesuatu yang diharapkan, 5) berpikir sesuatu, 6) rasa kesal atau geram, 7) rasa kagum, 8) permintaan perhatian, 9) maksud memperolok-olok, 10) rasa marah, 11) rasa tidak setuju atau pembelaan diri, 12) maksud pamer, 13) maksud meralat informasi, 14) maksud menasihati, 15) rasa jijik atau risi, 16) rasa enggan, 17) rasa bingung. DAFTAR RUJUKAN Ayu, Rahmatika Sari, dkk. 2017. “Fungsi Interjeksi dalam Kumpulan Cerpen 100 Tahun Cerpen Riau”. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Volume 4, Nomor 2, Oktober 2017. Alisjahbana, S. Takdir. 1982. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid II. Jakarta: Dian Rakyat. Irawati, Tri. 2015. “Tembung Panguwuh Wonten Salebeting Antologi Cerkak Bengkel Sastra Jawa 2007: Kidung Megatruh”. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Komariyah, Siti. 2016. “Interjeksi dalam Novel Donyane Wong Culika Karya Suparta Brata”. Totobuang. Volume 4, Nomor 1, Juni 2016. Moeliono, Anton M. dan Soenjono Dardjowidjojo. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Republik Indonesia. Ningrum, Eka Widia. 2014. “Analisis Interjeksi pada Novel Kerudung Cinta dari Langit Ketujuh karya Wahyu Sujani Tahun 2011”. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas 558 Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius. Cakcuk, Dwi. 2014. Si Boy feat Laskar Nggatheli: Sebuah Novel Boso Suroboyoan sing Terinspirasi Kiasah ½ Nyata. Surabaya: Sinar Magenta. HASIL DISKUSI SEMINAR Penanya 1 T: Perlu penguatan konsep interjeksi lagi, interjeksi itu tidak ada artinya. Analisis bentuk interjeksi dihilangkan saja, juga tidak perlu analisis bentuk interjeksi berupa pola fonotaktis. Cukup analisis distribusi dan fungsi interjeksi. Untuk analisis fungsi, jangan berupa netral, positif, atau negitif, lebih baik dianalisis berdasarkan konteksnya. J: Terima kasih atas saran dan masukkannya. Artikel akan saya perbaiki sesuai masukan Bapak. Penanya 2 T: Tadi disebutkan distribusi interjeksi terletak di awal, tengah, dan akhir. Apakah sebuah interjeksi dalam sebuah tuturan bisa saling berpindah tempat distribusinya? J: Dalam sebuah tuturan, interjeksi tertentu tidak bisa bertukar tempat. Misalnya, interjeksi lho pada dialog berikut terletak di tengah: Nang kantin kene ae lho ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat melok nyauti, koyok nyaut pemean. 559 Ketika interjeksi lho tersebut diganti di akhir dialog akan menjadi kurang berterima dialognya, yaitu menjadi Nang kantin kene ae ambek mangan-mangan jajan lho,” Mbak Pat melok nyauti, koyok nyaut pemean. Ketika interjeksi lho diganti di awal dialog, yaitu Lho, nang kantin kene ae ambek mangan-mangan jajan,” Mbak Pat melok nyauti, koyok nyaut pemean. ternyata dapat mengubah makna interjeksi. Ketika interjeksi lho posisinya di tengah, digunakan untuk penyangatan. Akan tetapi, ketika interjeksi lho posisinya di awal dialog dapat bermakna tidak setuju akan tindakan mitra tutur. Interjeksi diubah di awal menjadi Penanya 3 T: Bagaimana Anda melakukan analisis fungsi interjeksi? J: Interjeksi dalam dialog tersebut saya analisis berdasarkan konteks kalimatnya, digunakan untuk apa, oleh siapa, dan kepada siapa, sehingga bisa disimpulkan bahwa interjeksi itu digunakan untuk menandai rasa kesal, terkejut, kagum, dan sebagainya. Dari fungsi tersebut, saya tarik ke atas lagi sehingga didapatkan bahwa fungsi interjeksi tersebut untuk menyatakan hal yang positif, negatif, atau netral. Akan tetapi, sesuai dengan saran Prof. Putu, fungsi interjeksi dalam artikel ini nantinya cukup saya analisis berdasarkan konteksnya saja. 560 SISTEM FONOLOGI UAB METO DALAM DIALEK MIOMAFFO (Tinjauan Deskriptif) Viktorius Paskalis Feka NIM: 17/419295/PSA/08257 viktoriuspf@gmail.com Program Studi Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Uab Meto, khususnya dialek Miomaffo, menyimpan sejumlah keunikan pada sistem fonologinya. Keunikan itu bisa diketahui pada tataran fona maupun fonem. Karena itu, makalah ini berupaya membahasnya, dimulai dari kajian fonetis hingga fonemis. Tujuannya untuk menguraikan sistem dan pemerian kaidah fonologi yang meliputi pemerian vokoid dan kontoid, pemerian distribusi vokoid dan kontoid, dan penentuan fonem. Metodenya adalah metode deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, elisitasi. Data diolah melalui transkripsi data ke dalam transkripsi fonetis, kemudian dialihaksarakan ke dalam transkripsi fonemis. Dari hasil pembahasan ini, ditemukan keunikan bunyi-bunyi vokal glotal, yang pada umumnya menyebar pada bunyi vokal [a], [i], dan [o]. Ada dua kekhasan bunyi seperti halnya bahasa Inggris, yaitu [∫] dan [Ʒ]. Sementara itu, berdasarkan penentuan fonem pembeda makna melalui pasangan minimal, ditemukan delapan buah fonem vokal dan 12 fonem konsonan pembeda makna. Fonem-fonem vokal itu di antaranya /i/, /u/, /e/, /Ԑ/, /3/, /O/, /Ͻ/, dan /a/, sedangkan fonem-fonem konsonan itu di antaranya /p/, /b/, /t/, /k/, /?/, /f/, /s/, /h/, /j/, /m/, /n/, /l/. Terdapat juga variasi bebas, yakni fonem /i/ dan /I/, serta pasangan vokal /o/-/e/ yang memiliki varian bebas bebas dengan pasangan /o/-/i/. Selain itu, ada juga pasangan /o/-/u/ yang memiliki varian bebas dengan pasangan /o/-/o/. Kata kunci: fonem, vokal, konsonan, Uab Meto PENDAHULUAN 561 Fonologi Uab Meto atau bahasa Dawan menarik diteliti. Argumentasi yang bisa dikemukakan di sini adalah pertama, kajian fonologi yang pernah dilakukan Tarno, dkk, hanya berfokus pada dialek Molo, sedangkan dialek-dialek lainnya, tidak ditelaah, sehingga belum tentu mewakili sistem fonologi Uab Meto secara keseluruhan. Sebab, bahasa ini memiliki 10 ragam dialek: dialek Miomaffo, Insana, Biboki, Manulea, Ambenu, Molo, Amanuban, Amanatun, Amfoang, dan Amarasi. Kalau pun kajian fonologi hanya berfokus pada satu dialek tertentu, semestinya dialek itu representatif. Dialek Molo tidaklah representatif karena tidak mewakili sembilan dialek lainnya. Kedua, kajian fonologi Tarno, dkk, tidak begitu komprehensif-holistik karena mengabaikan kajian fonetis. Semestinya kajian fonetis didahulukan dalam kajian fonologi karena penentuan fonem-fonem dalam suatu bahasa tertentu harus mengacu pada bunyibunyi bahasa—dihasilkan oleh alat wicara manusia (sistem fonetik). Ketiga, kajian fonologi Uab Meto seharusnya dilakukan pada dialek Miomaffo karena paling representatif, bisa mewakili dialek-dialek lainnya. Dialek ini (Miomaffo) memiliki wilayah penuturan yang cukup luas dan garis batas yang hampir mencakupi dialek-dialek lainnya. Bahkan, dialek Miomaffo pun memiliki wilayah batas dialek dengan dialek Ambeno yang dituturkan di distrik Oecusse, Timor Leste. Dari sisi kuantitas penutur pun, dialek Miomaffo dianggap memiliki jumlah penutur yang cukup banyak dibanding dialek-dialek lainnya. Selain itu, penelitian sistem fonologi pada Uab Meto menarik dilakukan karena bunyi-bunyi bahasa daerah ini memiliki kekhasan bunyi glotal pada bunyi-bunyi vokal, baik yang terdapat pada awal, tengah, maupun akhir kata. Pada umumnya bunyi-bunyi glotal muncul pada akhir kata; Uab Meto juga memiliki bunyi-bunyi kontoid khas yang kemudian membentuk klaster selain diftong dan deret vokal; Uab Meto juga memiliki bunyi-bunyi suprasegmental walau tidak produktif. Ini berarti bahwa satu kata berpotensi memiliki banyak arti (makna), bergantung pada nada (intonasi). Dari latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem bunyi Uab Meto dalam dialek Miomaffo; bagaimana penentuan fonem, baik itu vokal maupun konsonan yang memiliki makna pembeda; dan bagaimana distribusi, pasangan minimal, dan variasi bebasnya dalam kata. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguraikan sistem bunyi Uab Meto dalam dialek Miomaffo; untuk 562 menguraikan penentuan fonem-fonem pembeda makna dalam kata, baik itu berupa fonem vokal maupun fonem konsonan; dan untuk menjelaskan distribusi, pasangan minimal dan variasi bebas fonem-fonem tersebut dalam kata. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, elisitasi. Data diolah melalui transkripsi data ke dalam transkripsi fonetis, kemudian dialihaksarakan ke dalam transkripsi fonemis. Penelitian bahasa di bidang fonologi bukanlah hal baru. Penelitian ini telah berkembang sejak lama dan hingga kini masih dilakukan walau memang secara kuantitas masih sangat minim. Misalnya, penelitian fonologi bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich, penelitian fonologi bahasa Sabu oleh Wakidi, dkk, dan sebagainya. Khusus untuk Uab Meto atau yang dikenal juga dengan sebutan bahasa Dawan, penelitian hanya lebih berfokus pada tataran morfologi, sintaksis, semantik, dan penelitian dari sisi interdisipliner linguistik. Akan tetapi, penelitian pada bidang fonologi masih sangat minim diteliti. Penulis menemukan gambaran sedikit mengenai kajian fonologi bahasa daerah ini (Meto atau Dawan) yang dilakukan oleh Emi Renoat dalam tesisnya berjudul “Bahasa Tetun, Dawan, dan Rote di Nusa Tenggara Timur (Kajian Komparatif dan Budaya)”. Namun, dalam tesis itu hanya dijelaskan secara garis besar fonem-fonem Uab Meto, khususnya dalam dialek Molo. Bahkan, penelitian itu tidak ditujukan khusus untuk penelaahan sistem fonologi, melainkan untuk kepentingan pelacakan sistem kekerabatan bahasa antara bahasa Tetun, Uab Meto, dan bahasa Rote. Penelitian tersebut lebih berkiprah ke kajian linguistik historis komparatif. Selain itu, penulis juga menemukan kajian fonologi Uab Meto dalam dialek Molo yang dilakukan Tarno, dkk (1992:11-29) dalam buku “Tata Bahasa Dawan”, yang disponsori Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tapi kajian itu tidak begitu lengkap karena tidak menguraikan proses terjadinya bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat wicara manusia. Unsur fonetis diabaikan, padahal kajian fonologi hingga penentuan fonem harus dilandasi pada kajian fonetis terlebih dahulu. Inilah sebabnya, penulis hendak mengembangkan dan melakukan penelitian lebih detail mengenai kajian fonologi Uab Meto dalam dialek Miomaffo, yang akan dimulai dari kajian fonetis hingga kajian fonemis, bahkan kajian grafemis. 563 Soeparno (2013:28) menyebutkan fonologi atau fonemik merupakan subdisiplin linguistik yang menelaah bunyi bahasa yang bermakna saja atau bunyi bahasa yang mendukung makna saja. Itu artinya bahwa fonologi berupaya untuk mengkaji makna bunyi yang dihasilkan dari penyelidikan fonetik. Sampai di sini tampak jelas bahwa fonetik dan fonologi merupakan dua unsur yang saling berhubungan dan tak bisa dipisahkan. Menurut Lyons (1995:98), bunyi bahasa adalah setiap satuan bunyi yang secara fonetis berbeda. Artinya bahwa perbedaan bunyi itu tentunya berdasarkan kemampuan alat ucap manusia di dalam mengartikulasikan suatu bunyi, sehingga bunyi bahasa pada setiap bahasa tidak sama persis. Misalnya, bunyi bahasa pada bahasa Indonesia tidak sama persis dengan Uab Meto, juga bahasa-bahasa lainnya. Bunyi-bunyi bahasa itu kemudian diolah lagi dalam kajian fonologi untuk menentukan fonem-fonem pembeda makna. Dikatakan Kridalaksana (2008:63), fonologi bertugas untuk menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Hal ini dipertegas Bloomfield (1933:78) bahwa fonologi atau fonemik mengkaji secara khusus mengenai bunyi ujaran bahasa yang berarti (bermakna). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pandanganpandangan para ahli linguistik tentang fonologi atau fonemik sesungguhnya berfokus pada pembedaan makna dari suatu bunyi bahasa dalam realisasi atau variasinya dalam kata. Namun, tentunya pembedaan makna bunyi bahasa itu didasarkan pada bunyi bahasa yang telah diteliti sebelumnya secara fonetis. Pada umumnya ada dua unsur penting yang dipelajari atau diselidiki dalam penelitian fonetik maupun fonologi, yakni vokal dan konsonan. Dikatakan Wijana (2016:7), bunyi-bunyi yang dipelajari oleh fonetik bukan merupakan bagian dari bahasa tertentu, tapi memiliki kapasitas untuk membedakan makna, sedangkan bunyi-bunyi yang dipelajari oleh fonemik merupakan bagian dari sistem suatu bahasa tertentu—disebut fonem—memiliki tugas untuk membedakan makna bunyi bahasa dalam kata. Sementara itu, alofon berkaitan dengan variasi sebuah fonem karena fonem itu memasuki kondisi fonologis yang berbeda, dan kondisi fonologis tersebut harus bisa dijelaskan. Contoh alofon dalam bahasa Indonesia adalah [i] dan [I] pada kata [bibi], [bibIr]; [sisi], [sisIr]. Variasi bunyi [i] dan [I] berasal dari satu fonem yang sama, yaitu /i/ (Wijana, 2014:39). 564 Bunyi vokal seperti [a, i, u, e, o] disebut sebagai vokal tunggal karena bukan merupakan gabungan dari dua atau lebih bunyi vokal. Sementara itu, diftong atau gugus vokal merupakan vokal-vokal yang terdiri dari dua buah yang diucapkan dalam satu-kesatuan waktu, seperti [aw], [ay], dan [oy] dalam kata pulau, lambai, dan amboi (Wijana, 2016:15), sedangkan deret vokal diucapkan dalam suku kata yang berbeda. Selain itu, ada juga bunyi konsonan. Bunyi konsonan pada umumnya dibedakan menjadi konsonan bersuara dan tak bersuara, dan oral atau nasal. Contohnya, bunyi /b/ merupakan konsonan hambat bilabial bersuara, bunyi /m/, /n/ adalah contoh konsonan nasal, dan sebagainya. Bunyi-bunyi konsonan seperti ini juga terdapat pada Uab Meto walau tidak semua konsonan ada. Dalam bunyi-bunyi konsonan, didapati pula deretan konsonan dalam satu kata. Deretan konsonan ini disebut klaster, seperti br pada kata labrak, kl pada kata klasifikasi, dan sebagainya. Dalam kajian fonetik dan fonologis, terdapat bunyi-bunyi yang dapat dibagi-bagi atau disegmentasikan dan juga bunyi-bunyi yang tak dapat dibagi-bagi atau disegmentasikan lagi. Bunyi yang dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan bunyi konsonan disebut bunyi segmental; sedangkan bunyi atau unsur yang tidak dapat disegmentasikan, yang menyertai bunyi segmental itu disebut bunyi suprasegmental (Chaer, 2013:35). Bunyi suprasegmental tidak dapat disegmentasikan lagi karena kehadiran bunyi itu selalu mengiringi, menindih, atau “menemani” bunyi segmental, baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan (Muslich, 2008:61). Wijana (2016:17) menyebutkan unsur-unsur suprasegmental itu melingkupi tekanan (stress), nada (tone), panjang pendek (duration), dan perhentian (juncture). Tekanan berkaitan dengan keras lemahnya pengucapan satuan lingual. Nada berhubungan dengan tinggi rendahnya pengucapan satuan lingual. Durasi mengenai panjang pendeknya satuan lingual, sedangkan perhentian berkenaan dengan lamanya perhentian antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain. Unsurunsur suprasegmental ini akan menjadi perhatian dalam penelitian ini karena Uab Meto pun memiliki bunyi-bunyi suprasegmental. Ada banyak cara dalam menentukan fonem dalam satuan bahasa (kata), di antaranya adalah distribusi, pasangan minimal dan variasi bebas. Distribusi digunakan untuk menyelidiki persebaran fonem dalam unsur kata, baik pada posisi awal, tengah maupun akhir. Pasangan minimal digunakan untuk menentukan fonem-fonem dari bunyi-bunyi bahasa 565 mirip yang dicurigai berbeda arti (makna). Bunyi-bunyi bahasa yang daerah artikulasinya berdekatan biasanya merupakan bunyi-bunyi yang meragukan (Soeparno, 2013:70). Sedangkan, variasi bebas tidak disebabkan oleh kondisi lingkungan tertentu, juga tidak disebabkan oleh posisi tertentu, akan tetapi hanya terjadi pada kata-kata tertentu saja. Contoh, distribusi fonem /b/ dalam bahasa Indonesia pada posisi awal, tengah dan akhir: /baik/, /abad/, /sebab/. Contoh, pasangan minimal /b/ vs /p/ adalah /baku/ ‘standar’ dan /paku/ ‘pasak’. Sedangkan, contoh variasi bebasnya adalah fonem /i/ dan /e/ pada kata /nasihat/ dan /nasehat/. Penentuan fonem seperti inilah yang akan digunakan dalam menganalisis fonem-fonem pada Uab Meto. HASIL DAN PEMBAHASAN Chaer (2014:125) mengatakan untuk menentukan atau mengidentifikasi sebuah bunyi adalah fonem atau bukan, yang perlu dilakukan adalah mencari sebuah satuan bahasa, yang biasanya berupa kata. Untuk itu, seturut pewatasan ini, analisis atau penentuan fonemfonem dalam Uab Meto juga dihadirkan dalam bentuk kata. Dengan demikian, dari bunyi bahasa itu, dapat ditentukan fonem-fonem pembeda makna. Penentuan fonem dalam bahasa daerah ini hanya didasarkan pada tiga variabel, yakni distribusi, pasangan minimal, dan variasi bebas. Pasangan Minimal Pasangan minimal merupakan salah satu cara untuk menentukan apakah fonem-fonem yang ditemuan pada kajian fonetis membedakan makna atau hanya merupakan variasi bunyi dari fonem yang sama. Penentuan atau klasifikasi fonem berdasarkan pasangan minimal berlaku secara universal untuk semua bahasa di dunia, termasuk Uab Meto. Pasangan minimal fonem vokal dan konsonan Uab Meto dijelaskan masing-masing secara berturut pada tabel berikut. Pasangan minimal vokal Uab Meto Vokal Pasangan Minimal /a/ : /Ͻ/ /naka/ ‘kepala’ /nakϽ/ ‘lidi’ /maka/ ‘nasi’ /makϽ/ ‘darimana’ /a/ : /o/ /kait/ ‘karya’ /koit/ ‘membelakangi’ /tae/ ‘lihat’ /toe/ ‘doa dengan khusuk’ /Ͻ/ : /o/ /tϽpϽ/ ‘bubur’ /topo/ ‘gandeng tangan’ 566 /o/ : /u/ /bano/ ‘giringgiring’ /u/ : /i/ /fanu/ ‘pantun’ /i/ : /e/ /iki/ ‘kecoak’ /e/ : /Ԑ/ /sek/ ‘patah’ /Ԑ/ : /3/ /loԐ/ ‘pikul’ /Ԑ/ : /a/ / Ԑk/ ‘menang’ /banu/ ‘janda/duda’ /fani/ ‘kapak’ /ike/ ‘pemintal’ /sԐk/ ‘tersesat’ /lo3/ ‘menyelam’ /ak/ ‘bilang’ Pasangan minimal konsonan Uab Meto Konsonan Pasangan Minimal /b/:/p/ /bilu/ ‘pagar’ /pilu/ ‘destar (mahkota)’ /bika/ ‘kotak’ /pika/ ‘piring’ /bo/ ‘kembung’ /po/ ‘menggiring’ /b/ : /f/ /bati/ ‘membagi’ /fati/ ‘mengasuh’ /bo3/ ‘mencuci’ /fo3/ ‘memaksa’ /buli/ ‘menyunat’ /fuli/ ‘merangsang’ /p/ : /f/ /nipu/ ‘kabut’ /nifu/ ‘danau’ /pun/ ‘busuk’ /fun/ ‘karena’ /pen/ ‘peroleh’ /fen/ ‘bangun’ /p/ : /t/ /put/ ‘terbakar, /tut/ ‘pukul (biasanya hangus’ menggunakan hamar)’ /pan/ ‘taruh’ /tan/ ‘terima’ /piut/ ‘terus-menerus’ /tiut/ ‘menjaga (biasanya jenasah)’ /t/ : /b/ /taen/ ‘lari, kabur’ /baen/ ‘bayar’ /to/ ‘marah’ /bo/ ‘membagi-bagi’ /tak/ ‘sebut’ /bak/ ‘curi’ /t/ : /k/ /tasu/ ‘kuali’ /kasu/ ‘melepaskan’ /tusi/ ‘memijat’ /kusi/ ‘tempayan’ /tiun/ ‘minum’ /kiun/ ‘meludah’ /t/ : /s/ /ton/ ‘tahun’ /son/ ‘reda’ /tepo/ ‘menganiaya’ /sepo/ ‘membentak’ /tae/ ‘melihat, /sae/ ‘memanjat, naik’ membaca’ /s/ : /h/ /san/ ‘salah, dosa’ /han/ ‘masak’ /sun/ ‘sumbat’ /hun/ ‘alang-alang’ /sapi/ ‘mengiris’ /hapi/ ‘mendampingi’ /s/ : /h/ /san/ ‘salah, dosa’ /sun/ ‘sumbat’ /sapi/ ‘mengiris’ /han/ ‘masak’ /hun/ ‘alang-alang’ /hapi/ ‘mendampingi’ 567 /s/ : /k/ /sane/ ‘pondok’ /selo/ ‘campur’ /suli/ ‘cabang’ /l/ : /t/ /lasi/ ‘perkara, masalah’ /lulu/ ‘menunjuk’ /lali/ ‘talas’ /k/ : /?/ /leku/ ‘waktu’ /kane/ ‘gala-gala’ /kelo/ ‘belalang’ /kuli/ ‘melabrak’ /tasi/ ‘laut, pantai’ /tulu/ ‘menyodorkan’ /tali/ ‘tahap, tingkatan’ /m/ : /n/ /masu?/ ‘asap’ /maet/ ‘mati, meninggal’ /nasu?/ ‘mengukus’ /naet/ ‘besar, sulung’ /k/ : /h/ /kai?/ ‘menggali’ /kino?/ ‘tempat meludah’ Distribusi fona [∫] dan [Ʒ] /le?u/ ‘keramat’ /hai?/ ‘kami’ /hino/ ‘menjenguk’ Fonem Inisial Medial Final /∫/ /t∫i/ ‘menyanyi’ /t∫u/ ‘ukur, timbang, balap’ /t∫aok/ ‘tumpah’ /mat∫ao/ ‘nikah, kawin’ /niut∫a3/ ‘kesurupan’ /adƷaob/ ‘cemara’ /adƷalib/ ‘penjasa’ /naidƷuf/ ‘mahkota raja’ /aidƷ/ ‘api’ /nidƷ/ ‘tiang’ /Ʒ/ Variasi Bebas Variasi bebas pada Uab Meto tidak begitu banyak dan hanya terdapat pada beberapa fonem vokal saja. Variasi bebas pada fonem vokal muncul apabila ada pengaruh bunyi silabik. Misalnya, vokal /i/ sering bervariasi bebas dengan vokoid /I/ jika terdapat pada suku terbuka suku akhir. Contoh, /esi/ ‘memihak’ bervarian bebas dengan /esI/; /heli/ ‘potong’ bervarian bebas dengan /helI/. Selain itu, ada juga variasi bebas pada pasangan vokal dalam kata atau suku kata. Contoh, pasangan /o/ dan /e/ merupakan varian bebas dari pasangan /o/-/i/. Hal ini bisa dilihat pada 568 contoh berikut: /one/ memiliki varian bebas dengan /oni/ yang samasama memiliki arti ‘gula’. Pasangan vokal /o/-/u/ juga memiliki varian bebas dengan pasangan vokal /o/-/o/. Contoh, /opu/ dan /opo/ yang sama-sama memiliki arti ‘betina. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan, Uab Meto sesungguhnya memiliki fonem yang cukup banyak, yakni sebanyak 20 fonem. Fonem-fonem itu dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni fonem vokal sebanyak delapan buah dan fonem konsonan sebanyak 12 buah. Masing-masing fonem itu ketika digunakan dalam kata memiliki arti atau makna yang berbeda. Hampir semua fonem, baik vokal maupun konsonan menyebar pada distribusi kata, baik pada posisi awal, tengah maupun akhir, sedangkan fona [∫] dan [Ʒ] tidak ditemui dalam pasangan minimal. Fona [∫] tidak memiliki distribusi pada posisi akhir kata, sedangkan fonem [Ʒ] tidak memiliki distribusi pada awal kata. Dalam pasangan minimal pun, pada umumnya fonem-fonem Uab Meto menyebar dalam kata dan membedakan makna, akan tetapi hanya memiliki sedikit variasi bebas, yakni fonem /i/ dan vokoid /I/, serta pasangan vokal /o/-/e/ yang memiliki varian bebas bebas dengan pasangan /o/-/i/. Selain itu, ada juga pasangan /o/-/u/ yang memiliki varian bebas dengan pasangan /o/-/o/. 569 DAFTAR PUSTAKA Bloomfield, Leonard. 1993. Language. New York: Henry Holt and Company, INC. Chaer, Abdul. 2014. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta ---------------. 2014. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta. Kridalasana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Lyons, John. 1995. Introduction to Theoritical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Mahsun. 2013. Metode Penelitian Bahasa. Tahapan strategi, metode, dan tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers. Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia (Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia). Jakarta: PT Bumi Aksara. Renoat, Emi. 2013. Bahasa Tetun, Dawan, dan Rote di Nusa Tenggara Timur (Kajian Komparatif dan Budaya). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada (tidak diterbitkan/unpublished). Soeparno. 2013. Dasar-dasar Linguistik Umum (edisi kedua). Yogyakarta: Tiara Wacana. Tarno, dkk. 1992. Tata Bahasa Dawan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wakidi, dkk. 1991. Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Sabu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wijana, I Dewa Putu. 2016. Metode Linguistik: Identifikasi Satuan-Satuan Lingual. Yogyakarta: A.com Press. -----------------------. 2014. Berkenalan dengan Linguistik. Yogyakarta: A.com Press. 570 HASIL DISKUSI SEMINAR Daftar pertanyaan diskusi Seminar Nasional Linguistik UGM 1. Saran dari Prof. I Dewa Putu Wijana, Ketua Program Studi S2 Linguistik UGM, agar mengganti istilah kajian menjadi sistem. Sebelum makalah direvisi, penulis menggunakan judul “Kajian Fonologi Uab Meto dalam Dialek Miomaffo (Tinjauan Deskriptif). Namun, setelah direvisi, judul makalah berubah menjadi “Sistem Fonologi Uab Meto dalam Dialek Miomaffo (Tinjauan Deskriptif). Jawaban saya atas saran dari Prof, Putu adalah merevisi judul makalah karena memang yang harus diteliti adalah sistem atau tata fonologi, bukan kajian. Kajian memang lebih mengacu pada telaah atau penelitian, sehingga tidak tepat menggunakan istilah kajian. 2. Pertanyaan dari Syamsudin, pemakalah dari Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Humaniora, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang: Bagaimana distribusi bunyi suprasegmental dalam sistem fonologi Uab Meto? Jawaban: distribusi bunyi suprasegmental dalam sistem fonologi Uab Meto terdapat pada fonem /a/, /o/, dan /e/, baik yang menyebar pada awal, tengah, maupun akhir kata. Namun, yang produktif adalah bunyi suprasegmental pada tengah kata. Misalnya, pada kata /na:o/ artinya /saudara laki-laki/, dan /nao/, artinya /jalan/. Bunyi pada fonem /o/ harus diucap panjang. 3. Saran dari Ahmad Zaidi, mahasiswa S2 Linguistik UGM, agar pemakalah lebih mendalami deskripsi fonologi Uab Meto, baik pada pemerian vokal, konsonan, diftong, maupun klaster. Tanggapan: adalah merupakan saran yang baik bagi pemakalah dalam menggali lebih dalam sistem fonologi Uab Meto dalam berbagai aspek, utamanya vokal, konsonan, diftong, dan klaster. Pemakalah akan melakukan kajian yang lebih detail lagi. 571 PERUBAHANJENIS DAN MAKNA NOMINA DI ERA GENERASI Z Yohanna Nirmalasari Universitas Ma Chung Pos-el: yohannanirmalasari@gmail.com ABSTRAK Bahasa Indonesia memiliki potensi pergerakan yang sangat cepat. Pergerakan itu dapat melalui media sosial yang mulai merambah ke semua kalangan masyarakat. Pergerakan ini dapat bergerak secara involutif maupun progresif. Hal ini bergantung pada pemakai bahasanya. Tak heran apabila ada pemakai bahasa yang berkomunikasi menggunakan bahasa standar atau nonstandar. Walaupun, akhir-akhir ini banyak ditemukan bahasa standar dengan makna yang berbeda pada remaja generasi Z. Generasi Z yang memiliki sifat kreatif tentu dapat memicu kekreatifan dalam berbahasa. Hal ini yang akan dapat memengaruhi pergerakan bahasa, baik menggeser ataupun merubah bahasa adalah salah satu potensi yang dapat terjadi. Oleh karena itu pendeskripsian perihal perubahan jenis dan makna nomina yang terjadi di era generasi Z ini perlu disadari oleh kalangan masyarakat sehingga bahasa dapat tetap bergerak dan berkembang tanpa mengubah jenis dan makna rujukan awalnya. Di dalam penelitian ini, nomina yang mengalami perubahan jenis dan makna dianalisis menggunakan desain penelitian campuran dengan strategi eksploratoris sekuensial.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada lima nomina yang mengalami perubahan jenis dan bentukan kata, yaitu kata ember, centong, cus, sis, dan lebai. Masing-masing kata tersebut mengalami perubahan jenis dan makna yang berbeda dari makna rujukan awal. Kata Kunci : Perubahan jenis, perubahan makna PENDAHULUAN Makna merupakan bagian dari bahasa. Menurut Aminuddin (2015:26), makna adalah unsur yang menyertai aspek bunyi, jauh sebelum hadir dalam kegiatan komunikasi. Hal ini membuktikan bahwa setiap bahasa dalam berkomunikasi pasti melekat dengan makna dan masyarakat pemakai bahasa. 572 Setiap masyarakat memiliki latar belakang sosial budaya yang dapat berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah bahasa sehingga bahasa dapat bergerak. Pemaknaan sebuah bahasa tersebut tidak akan lepas dari konteks pemakaiannya sehingga ada banyak kemungkinan terjadinya perubahan jenis dan makna kata. Perubahan jenis adalah perubahan dari satu jenis kata ke jenis kata yang lain, misalnya dari nomina berubah menjadi verba. Sementara itu, perubahan makna adalah gejala berubahnya makna secara total dari makna awal. Artinya, antara makna awal dengan makna baru benar-benar memiliki perbedaan yang signifikan. Perubahan makna adalah gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru. Misalnya kata canggih bahasa Indonesia bermakna “suka mengganggu” menjadi “sangat rumit dan ruwet dalam bidang teknologi” (Parera, 2004:107). Dewasa ini, ada banyak perubahan jenis dan makna kata yang ditemukan, khususnya di era generasi Z ini. Generasi Z merupakan generasi anak-anak dan remaja yang lahir pada tahun 1995—2015. Pada era ini, semua kalangan anak muda sudah piawai dalam menggunakan gawai. Gawai menjadi salah satu alat penting dalam berkomunikasi sehingga tak heran apabila gawai ini sudah menjadi kebutuhan pokok generasi Z. Selain itu gawai memang memiliki peranan penting dalam perkembangan kognitif, sosial, emosional, psikomotorik, dan bahasa. Pada perkembangan bahasa seseorang, gawai menjadi salah satu media yang paling berpengaruh karena digunakan sebagai alat komunikasi. Oleh sebab itu, tak heran apabila bahasa sangat cepat berkembang di kalangan generasi Z. Rupanya, perkembangan bahasa ini tidak hanya dilihat dari perkembangan bahasa slank atau bahasa prokem. Namun, ada kata-kata bahasa Indonesia, khususnya nomina yang akhirnya mengalami perubahan jenis dan makna. Berdasarkan paparan tersebut, artikel ini akan mengulas mengenai contoh perubahan jenis dan makna nomina bahasa Indonesia di era generasi Z. Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian campuran. Metode campuran adalah metode yang mencampur metode-metode sekaligus pendekatan-pendekatan yang berhubungan dengan metode-metode tersebut (Creswell, 2014:21). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan strategi metode campuran konkuren atau satu waktu sehingga peneliti 573 menggabungkan dan menyatukan data yang sudah diperoleh secara kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh analisis yang komprehensif sesuai dengan topik perubahan jenis dan makna kata. Sumber data penelitian ini adalah foto-foto layar percakapan media sosial dan hasil survei. Sumber data tersebut diperoleh dari teknik pengumpulan data kualitatif yang berupa dokumentasi, sedangkan teknik pengumpulan data kuantitatif ialah survei. Data dokumentasi diperoleh berdasarkan percakapan-percakapan di media sosial. Sementara itu, data survei diperoleh dari 34 populasi yang merupakan penutur bahasa. Data survei ini berbasis internet, sehingga pengolahannya dilakukan secara daring. Instrumen penelitian ini dapat dipilah menjadi dua. Pada tahap 1 (tahap data kualitataif), instrumen yang digunakan berupa tabel analisis data dan pedoman analisis data. Pada tahap 2 atau pada tahap data kuantitatif, instrumen yang digunakan adalah survei. Penelitian ini dikaji secara distribusional sehingga data yang sudah diperoleh akan dibandingkan dengan fungsi dan makna berdasarkan acuan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V luring. Selain itu, data juga dianalisis dengan mengacu pada tata Bahasa Indonesia. Proses keabsahan data dilakukan dengan triangulasi teori. Hal ini dimulai dari penentuan strategi penelitian hingga analisis data. Strategi yang dilakukan merupakan strategi eksploratoris sekuensial. Jadi, penelitianini melibatkan pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap pertama serta pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap kedua yang didasarkan pada hasil tahap pertama. Prioritasnya ialah pada tahap pertama dan proses pencampuran antarkedua metode terjadi ketika peneliti menghubungkan antara analisis data kualitatif dan pengumpulan data kuantitatif (Creswell, 2014:317). HASIL DAN PEMBAHASAN Bahasa dapat berkembang, bergeser, atau berubah makna. Hal ini tampak pada studi dokumentasi berdasarkan percakapan di grup yang dimiliki peneliti di salah satu media sosial sepertiWhatsapp. Selain itu, penggunaan kata-kata yang mengalami perubahan jenis dan makna juga dapat diperkuat berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti untuk memperkuat temuan. Penemuan nomina yang mengalami 574 perubahan jenis dan makna berjumlah limakata. Kata-kata tersebut adalah ember, centong, cus, sis, dan lebai. Berikut adalah pembahasannya. Pertama, kata ember. Kata ini merupakan kata dengan jenis nomina. Kata ini dikategorikan sebagai nomina karena mengacu pada benda. Hal ini sesuai dengan pendapat Alwi, dkk (2010:221) yang menyatakan bahwa nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian. Jadi, kata ember bisa dikategorikan pada nomina barang. Jika dilihat berdasarkan fitur semantisnya, kata ember ini mengacu pada sebuah wadah berbentuk silinder. Oleh sebab itu, di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI elektronik Edisi V )kata tersebut merupakan nomina ‘tempat air berbentuk silinder dipakai untuk menimba air’. Namun, di era generasi Z ini, kata ember banyak memiliki makna, seperti sebuah penegasan jawaban ‘ya’ atau akronim dari ‘memang benar’. Hal ini dapat dilihat pada kutipan percakapan berikut. Thom : “Saiki wes ra ning Malang. Pindah Kediri Peace Corps.” Yan : “Ember.” Thom : “Hahahha” (P/r/22.32) Kutipan di atas adalah kutipan percakapan di media sosial whastapp yang dikomunikasikan oleh pengajar bahasa menggunakan bahasa Jawa. Pada komunikasi di atas dapat diketahui bahwa Thom sedang membicarakan alamat yang sudah tidak di Malang tapi sudah pindah di Kediri. Sementara itu, lawan tuturnya menjawab ember. Hal ini mengacu pada kata ember yang bermakna’ya’ dan lawan tuturnya hanya membalas percakapan itu dengan tertawa. Kutipan ini menunjukkan bahwa antara penutur dan lawan tutur sama-sama menyepakati bahwa kata ember bukan alat untuk mengambil air tetapi bermakna ‘ya’. Hal ini membuktikan sifat makna yang dapat ditentukan dari pemakai bahasanya. Parera (2004:180) menyatakan bahwa kesinkronisan makna ditentukan oleh pemakainya untuk tempat dan zaman tertentu. Oleh sebab itu, apabila kata ember yang bermakna ‘ya’ diucapkan pada masyarakat era 80an atau 90an pasti akan timbul ketidakpahaman bahasa atau tidak sampainya proposisi pada lawan tutur. 575 Selain percakapan tersebut, kata ember bermakna ‘ya’ ataupun ‘emang benar’. Hal ini dapat diperkuat berdasarkan survei yang menunjukkan bahwa 53% mereka berpendapat kata ember memiliki makna ‘tempat’[nomina], 28% bermakna ‘emang bener/ya’[partikel], 14% bermakna ‘sindiran’[nomina], dan 5% berpendapat bermakna ‘bohong’[verba]. Jadi dapat dikatakan bahwa saat ini, kata ember sudah mengalami perubahan jenis dari nomina ke partikel dan perubahan makna dari ‘tempat’ menjadi ‘ya/emang benar’. Kedua, kata ‘centong’. Kata ini merupakan nomina yang dapat dikategorikan dalam nomina alat.Kata ini bermakna ‘cedok yang bertangkai (seperti gayung, sibur)’. Namun, ada banyak orang menilai bahwa kata ini bermakna ‘cantik’. Kata cantik merupakan kata yang dikategorikan adjektiva. Kata adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh noina dalam kalimat (Alwi, dkk., 2010:177). Secara khusus, kata cantik dapat dikategorikan lagi menjadi adjektiva pemeri sifat karena kata ini berhubungan dengan fisik atau mental. Berikut adalah contoh kutipannya. Swasti Yan Swasti Yan : “Tetep pakai masker?” :“Ulala. Kok Anda tau sih?” : “Polusi cin, nanti gak centong lagi.” : “Iya dong.” (P/r/20.29) Kutipan percakapan di atas menunjukkan bahwa kata centong mengalami perubahan jenis dan makna. Percakapan tersebut berbicara perihal penggunaan masker. Swasti sebagai penutur bertanya pada Yan dan Yan menjawab bahwa dia menggunakan masker. Sementara Swasti menegaskan bahwa masker memang penting agar tidak terkena polusi dan agar tetap cantik. Kata cantik ini diperoleh dari kata centong. Hal ini menunjukkan bahwa kata centong[nomina] berubah menjadi centong[adjektif] karena kata rujukan awal adalah sebuah benda bertangkai yang digunakan untuk mengambil nasi menjadi bermakna cantik. Hal ini sesuai dengan pendapat Parera (2004:107) yang menyatakan bahwa rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru. Hal ini dapat didukung dengan hasil survei yang menyatakan bahwa 67% berpendapat bahwa centong adalah alat[nomina], 12% berpendapat bahwa centong adalah 576 cantik[adjektiva], 16% menjawab tidak tahu, dan 5% memaknai ‘benar’[adjektiva]. Ketiga, kata ‘cus’. kata ini merupakan nominayang dikategorikan dalam nomina benda atau barang. Kata nomina cusdimaknai sebagai ‘tiruan bunyi api disiram air dan sebagainya’ (KBBI V). Selain itu, kata ini juga merupakan partikel yang bermakna ‘kata seru untuk menyatakan gerakan yang sangat cepat’. Namun, banyak juga yang memaknainya sebagai ‘berangkat’ atau jawaban ‘ya’ untuk melakukan sesuatu. Hal ini bergantung pada konteksnya. Berikut adalah contoh kutipannya. Nana Ria Nana Ria Nana Ria Nana Yana Nana Yana :“Kamu jam 12 baru keluar?” : “Iya” : “Oke, sampai sini jam setengah satu.” : “Gak nyampe, 10 menit doang.” : “Oke deh”. : “Aku cus.” : “Iya.” (P/n/11.58) : “Nunggu Ibu aja kok kalau sudah datang langsung cus.” : “Berarti aku tunggu info kalian ya.” : “Oke.” (P/gr/11.30) Dua kutipan di atas merupakan contoh kutipan kalimat dengan kata cus yang bermakna ‘berangkat’. Pada kedua kutipan tersebut tampak bahwa penutur dan lawan tutur menyepakati makna kata cus adalah berangkat sehingga pernyataan penutur dijawab dengan jawaban “iya” oleh lawan tutur. Sementara itu, pada kutipan kedua, kata cus yang bermakna’berangkat’ juga dapat ditandai dari jawaban lawan tutur yakni kata “Berarti aku tunggu info kalian ya”. Hal ini menandakan bahwa Nana akan berangkat apabila Yana sudah berangkat. Selain contoh kutipan tersebut, berikut adalah contoh kutipan lain dari kata cus yang bermakna‘pergi’. Uli Yan (P/u/20.39) : “Mereka gak jadi cus....... Katanya pada mau cus.” : “Ya begitulah.” 577 Kutipan di atas merupakan kutipan dari kata cus yang bermakna ‘pergi’. Hal ini tampak pada jawaban lawan tutur yang hanya menjawab ya begitulah. Jawaban ini menunjukkan bahwa lawan tutur memahami kata cus yang sedang diutarakan oleh penutur bukanlah kata cus yang bermakna ‘ayo pergi atau berangkat’, melainkan bermakna ‘pergi’. Hal ini dapat diperkuat dengan hasil survei, yaitu kata cus bermakna pergi atau berangkat. Ada 61% responden menjawab bahwa kata cus bermakna ayo[partikel], 36% berangkat[verba], dan 3% terus[adverbia]. Hal ini memperkuat adanya perubahan jenis dan makna kata, yakni kata cus[nomina/partikel] berubah jenis menjadi cus[partikel/verba]. Hal ini menunjukkan perubahan jenis dari nomina ke verba. Sementara itu, perubahan maknanya adalah dari makna ‘tempat atau kata seru’ menjadi ‘aktivitas pergi atau ajakan berangkat’. Keempat, kata ‘sis’. Di KBBI V, kata ini merupakan kata jenis nomina. Kata ini tidak mengalami perubahan jenis, tetapi mengalami perubahan makna. Saat ini banyak generasi Z yang menganggap bahwa kata tersebut merupakan kata yang bermakna “kakak” karena berasal dari kata sister. Berikut adalah kutipannya. Yo Dir : “Sis, ada di mana?” : “Di rumah. Kenapa? (P/pr/19.17) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa penutur menggunakan kata sis untuk menyapa lawan tuturnya. Sementara lawan tuturnya memberi respon dengan jawaban di rumah. Hal ini membuktikan bahwa kedua penutur sudah menyepakati bahwa kata sis bermakna ‘kata ganti untuk perempuan. Padahal di dalam KBBI V, kata ini bermakna “tiruan bunyi desis (tentang angin berembus dan sebagainya)”. Hal ini dapat diperkuat dengan hasil survei yang membuktikan bahwa ada 56% memaknai dengan ‘saudara perempuan[nomina]’, 39% memaknai dengan ‘teman perempuan[nomina]’, dan 5% memaknai dengan ‘penjual toko online[nomina]’. Kelima, kata ‘lebai’. Jika dilihat di KBBI edisi V, maka dapat diketahui bahwa kata ini merupakan jenis kata nomina, secara khusus dikategorikan dalam nomina orang. Namun, pada generasi sekarang, kata ini sudah berubah jenis dan maknanya. Perubahan jenis dan makan ini sangatlah tampak. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Cowie (2009:3) bahwa makna dapat berubah-ubah sewaktu-waktu dan 578 jarang digunakan dengan kata yang sama dengan makna yang sama. Berikut adalah bukti kutipannya. Tia Uli Yan Uli : “Tapi novel-novelnya bagus.” : “Gombalannya Dilan kan puitis.” : “Ngomong apa gitu dibales lebai dengan majas-majas.” : “Iya.” (P/gr/19.58) Pada kutipan percakapan tersebut tampak bahwa penutur dan lawan tutur sama-sama sudah menyepakati bahwa kata lebai yang dimaksud bermakna ‘berlebihan’ sehingga respon yang diberikan lawan tutur sesuai dengan kalimat umpan yang diberikan oleh penutur. Perubahan jenis dan makna kata yang tampak adalah perubahan jenis nomina[orang] menjadi adjektiva[sifat]. Sementara itu, makna yang berubah adalah dari kata lebai yang bermakna ‘pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun’ dengan kata lebai yang bermakna ‘karakter berlebih atau sikap berlebih’. Sebenarnya, kata yang bermakna ‘berlebihan’ adalah lebay. Dilihat secara pelafalan bunyi, antara kata lebay dan lebai sama, tetapi memiliki perbedaan huruf akhir. Namun, hal ini tidak diketahui sehingga banyak generasi Z yang menganggap bahwa kata lebai bermakna‘berlebihan’. Hal ini juga merupakan bukti bahwa pemerolehan makna bergentung konteks pemakaiannya, sehingga kesalahan penerimaan makna bisa saja terjadi. Hasil surveikata lebai menunjukkan bahwa kata ini bermakna ‘berlebihan atau karakter orang yang suka melebih-lebihkan’[adjektiva] sebanyak 97% dan 3% hasil survei menunjukkan ‘karakter orang yang melambai-lambai’[adjektiva]. Hasil survei ini menunjukkan bahwa 100% dari hasil survei tidak mengetahui makna rujukan awal kata lebai. Hal ini menunjukkan bahwa kata lebai sudah kehilangan makna aslinya. Perubahan seperti inilah yang dapat disebut sebagai perubahan ke arah belakang. Menurut Rahardi (2006:1) bahwa sosok bahasa ada yang bergerak maju, berdinamika progresif, dan akhirnya berkembang menjadi bahwa yang berwibawa dan bermartabat tinggi. Sebaliknya, ada pula sosok bahasa yang pergeserannya justru ke belakang. Jadi, pada kasus kata lebai ini pergerakan disebut pergerakan yang involutif karena makna rujukan awal adalah pegawai masjid yang mengurus suatu pekerjaan yang 579 bertalian dengan agama Islam di dusun dan berubah menjadi karakter berlebihan. Padahal penggunaan kata lebai yang bermakna ‘karakter berlebihan’ dikategorikan dalam karakter atau sikap yang negatif. SIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini memiliki satu simpulan yang sesuai dengan fokus penelitian yaitu jenis dan makna kata yang mengalami perubahan di era generasi Z. Pada fokus penelitian tersebut didapat hasil ada 5 kata yang berubah jenis dan makna katanya, yakni kata ember, centong, cus, sis, dan lebai.Lima kata tersebut ada yang mengalami perubahan jenis dan maknanya, tetapi ada juga yang hanya mengalami perubahan makna. Perubahan jenis dan makna yang ditemukan dari masing-masing kata tersebut adalah (1) ember[nomina] yang bermakna ‘tempat atau wadah air’ ember[partikel] yang bermakna ‘ya atau emang benar’, (2) centong[nomina] yang bermakna ‘cedok bertangkai’ centong[adjektiva] yang bermakna ‘cantik’, (3) cus[nomina/partikel] yang bermakna ‘tiruan bunyi api disiram air’ atau ‘kata seru untuk gerakan yang cepat’ cus[verba]yang bermakna ‘berangkat atau pergi’, (4) sis[nomina] yang bermakna ‘tiruan bunyi desis’ sis[nomina]yang bermakna ‘panggilan untuk saudara/teman perempuan’, dan (5) lebai[nomina] yang bermakna ‘pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun lebai[adjektiva] yang bermakna ‘karakter atau sikap yang berlebihan atau melebih-lebihkan’. Berdasarkan temuan penelitian dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa bahasa selalu bergerak. Pergerakan bahasa ini tampak pada perubahan jenis dan makna kata. Jadi, berikut dapat diuraikan dua saran agar pergerakan bahasa tersebut tidak bergerak dengan sifat yang involutif, melainkan pergerakan bahasa yang progresif. Pertama, pada pemakai bahasa. Para pemakai bahasa diharapkan tetap mengenal dan menggunakan kata bahasa Indonesia dengan makna rujukan asli. Selain itu, pemakai bahasa juga diharapkan lebih dapat selektif dalam penggunaan kata yang maknanya terlalu jauh berbeda dengan makna rujukan awal. Kedua, pada orang tua generasi Z. Para orang tua generasi Z diharapkan dapat tetap menjadi pengingat dan penegur ketika anak-anak menggunakan kata-kata yang tidak diketahui makna rujukan awalnya. Jadi 580 orang tua juga diharapkandapat mengenal makna kata bahasa Indonesia baik bentuk baku maupun tidak baku. DAFTAR RUJUKAN Alwi, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 2015. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Cowie, A.P. 2009. Semantics. New York: Oxford University Press. Creswell, J.W. 2014. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.Yogyakarta: Pustaka Pelajar . Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2016. Edisi Ke-lima. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik: Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Rahardi, K. 2006. Bahasa Kaya Bahasa Berwibawa.: Bahasa Indonesia dalam Dinamika Konteks Ekstra bahasa. Yogyakarta: Andi. Pertanyaan dan Jawaban 1. Kapankah mulai generasi Z? - Generasi Z adalah generasi yang lahir pada tahun 1995 – 2015, yakni ketika internet sudah muncul di Indonesia, sehingga generasi Z ini juga dapat disebut sebagai generasi era digital. 2. Bagaimana indikator anak-anak yang dikategorikan dalam generasi Z? - Indikator anak-anak yang dapat dikategorikan dalam generasi Z ialah lahir pada era digital, sudah mengenal gawai, mudah menerima informasi melalui akses internet, lebih banyak menggunakan gawai atau bermain gawai dibandingkandengan interaksi dengan kawan atau orang lain secara langsung, lebih banyak berkomunikasi melalui jejaring sosial (perihal hal yang penting atau tidak penting), cenderung tidak bisa melepas gawai, dan mudah ikut-ikutan apapun hal yang sedang trendi. 3. Apakah ada bentuk kata selain nomin yang mengalami perubahan jenis dan makna? 581 - Sejauh ini masih belum ada, karena hanya ditemukan kata-kata bentuk dasar nomina yang mengalami perubahan jenis dan makan. 582 PEMINJAMAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS DALAM HARIAN PAKUAN RAYA BOGOR Yosi Maeleona Passandaran Universitas Indraprasta PGRI Jakarta yosimpass@gmail.com ABSTRAK Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional sudah marak penggunaannya di segala bidang, salah satunya adalah bidang informasi. Sumber informasi yang paling umum adalah media massa, salah satunya surat kabar. Sebagai sumber berita yang menyajikan beragam berita-berita yang terjadi seharihari, surat kabar juga banyak menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam tulisannya. Penelitian ini mengangkat masalah peminjaman kata dari bahasa Inggris yang digunakan dari sisi jenis peminjaman kata yang digunakan dan bagaimana peminjaman kata asing yang terdapat dalam Harian Pakuan Raya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Data yang diambil berupa kata, frasa, dan kalimat dari bahasa Inggris. Sedangkan sebagai sumber data adalah artikel dalam rubrikrubrik pada Harian Pakuan Raya. Harian Pakuan Raya merupakan salah satu koran lokal yang terbit di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam Harian Pakuan Raya ada dua jenis peminjaman kata bahasa Inggris, yaitu peminjaman utuh dan peminjaman dengan perubahan; dan dalam peminjaman ini terdapat kesalahan, yaitu dalam penulisan kata dan tidak sesuai dengan kaidah penulisan kata asing dalam bahasa Indonesia. Kata kunci: peminjaman kata, jenis peminjaman kata, dan perubahan A. PENDAHULUAN Penggunaan kosakata istilah asing saat ini menjadi hal yang biasa dan banyak dijumpai. Alasan penggunaan bahasa asing dapat diasumsikan karena tuntutan jaman atau pesatnya arus globalisasi. Hal ini selain untuk meningkatkan prestise, juga menjadi tuntutan di segala bidang, misalnya bidang ekonomi, pariwisata, seni, media massa, pendidikan, dan pergaulan (sosial). Penggunaan kosakata istilah asing ini paling banyak digunakan 583 dalam ragam bahasa informal dan formal. Bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa pengantar di dunia menjadi bahasa yang paling banyak penuturnya. Baik penutur asli (bahasa ibu) atau penutur asing (bahasa kedua). Bahasa Inggris bahkan menjadi bahasa resmi di negara dengan masyarakat penuturnya bukan dari asal bahasa tersebut berasal. Dalam penggunaannya, banyak peminjaman kosakata asing (bahasa Inggris) yang dimasukan dalam penggunaan bahasa, baik secara tertulis maupun lisan. Peminjaman yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan kosakata bahasa Inggris secara utuh tanpa ada perubahan atau diserap menjadi bahasa Indonesia. Peminjaman secara utuh ini seharusnya tidak perlu apabila sudah ada kosakata yang diserap atau memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Media massa masa kini terdiri dari dua jenis, yaitu media cetak dan media online. Media massa cetak dan online sebagai sarana tempat berbagai informasi yang ada di dalamnya tidak lepas dari penggunaan istilah atau kosakata bahasa Inggris. Sebagai media penyampai pesan, media cetak banyak memuat tulisan yang memuat informasi-informasi terkini. Media cetak ini dapat berupa koran, tabloid, buletin, dan majalah. Selain dalam bentuk cetak, koran dan tabloid juga ada dalam bentuk online (daring). Salah satu koran cetak yang juga tersedia versi online adalah laman berita PAKAR Online. Versi cetak koran ini bernama Harian Pakuan Raya. Harian Pakuan Raya berisi berita dan informasi di seputar Kota dan Kabupaten Bogor. Selain memuat berita dan informasi lokal, harian ini juga menampilkan berita nasional. Harian ini menggunakan bahasa Indonesia formal selayaknya harian lain yang terbit secara nasional. Dalam harian ini banyak terdapat penggunaan kosakata bahasa asing (Inggris) dalam kalimat. Apa saja jenis peminjaman kosakata bahasa Inggris dan bagaimana penggunaan kosakata bahasa Inggris tersebut dalam Harian Pakuan Raya, menjadi fokus dalam penelitian ini. B. PEMBAHASAN Media merupakan alat teknis yang digunakan untuk melakukan mediasi atau penyampaian pesan, dengan kata lain media merupakan alat komunikasi (Kasijanto, 2008:288). Media menjadi penyampai pesan atau berita yang efektif. 584 Koran atau surat kabar merupakan media cetak yang sudah ada sejak ditemukannya mesin cetak. Sebagai media cetak, koran paling banyak diminati oleh pembacanya. Secara isi, koran menampilkan berita, informasi, dan hiburan. Saat ini koran sudah menggunakan versi online (daring) untuk mengikuti perkembangan jaman. Kosakata merupakan kumpulan kata, khazanah kata, atau leksikon (Kridalaksana, 2010:137). Kata itu sendiri adalah unit terkecil dalam sebuah kalimat. Kata memiliki makna dan dapat berdiri sendiri. Bloomfield (Aitchinson, 2008: 56) mendefinisikan kata sebagai a minimum free form, that is the smallest form that can occur by itself. Word Borrowing merupakan proses pembentukan kata dengan cara meminjam atau mengambil kosakata dari bahasa lain. Borrowing juga dapat diistilahkan sebagai peminjaman kosakata secara utuh dari bahasa lain ke dalam bahasa asli si penutur. Seperti yang dikemukakan oleh Brown (2003: 28), language in contact borrows words from each other. Peminjaman kata dalam suatu bahasa dapat terjadi karena adanya kontak antar bahasa. Kemmer (2007) menyatakan bahwa the actual process of borrowing is complex and involves many usage event (i.e. instances of use of the new word). Generally, some speakers of borrowing language know the source language too, or at least enough of it to utilize the relevant. Apabila si penutur adalah seorang yang bilingual, maka penutur tidak merasa bahwa kata yang digunakan adalah kata dari bahasa asing. Lebih lanjut Kemmer menyatakan, They adopt them when speaking the borrowing language. If they are bilingual in the source language, which is often the case, they might pronounced in the source language. Contohnya: kata computer, product, dan crispy (English), sudah biasa digunakan oleh penutur bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut bahkan sudah diserap ke dalam bahasa indonesia menjadi komputer, produk, dan krispi. Kata-kata ini diserap dengan mengikuti kaidah Pedoman Ejaan Yang Disempurnakan. Contoh lain, kata handphone diserap utuh dalam penulisan namun dalam pengucapan disesuaikan dengan bahasa Indonesia /henpon/. Peminjaman kata asing di sini ada dua, yaitu peminjaman utuh dan peminjaman dengan perubahan. Peminjaman utuh adalah kata yang digunakan secara utuh tanpa proses penyerapan (mempertahankan bentuk asli). Peminjaman dengan perubahan terdiri dari perubahan makna dan bentuk. Perubahan makna di sini hanya mengacu makna dari 585 kata asing (bahasa Inggris) yang dipinjam mengalami perubahan saat digunakan dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna ini dapat saja belum dibakukan karena makna dari sebuah kata yang mengalami perubahan ini memang hanya dipahami oleh masyarakat secara langsung. Hal ini ditandai dengan menggunakan kata tersebut dalam percakapan sehari-hari. Sedangkan perubahan bentuk di sini adalah perubahan bentuk kata asing (bahasa Inggris) yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sesuai kaidah ejaan Bahasa Indonesia. Kaidah ini disesuaikan dengan pembentukan unsur serapan dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia PUEBI). Menurut PUEBI, (2016:58), berdasarkan integrasinya, unsur serapan dalam bahasa Indonesia, dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti de facto. Kedua, unsur asing yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Selain peminjaman yang sudah diserap, kata asing yang dipinjam juga sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, data yang diambil berupa kata, frasa, dan kalimat yang mengandung unsur kata dari bahasa asing (bahasa Inggris). Kata, frasa, dan kalimat yang didapat selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan acuan teori yang digunakan. Sumber data diambil dari artikel dan rubrik dalam 15 edisi yang terbit di bulan Juni dan Juli 2017. Harian Pakuan Bogor. Harian Pakuan merupakan salah satu koran lokal di Bogor. Harian ini memuat berita seputar kota Bogor, kabupaten Bogor, dan nasional. Data-data yang diperoleh diantaranya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Jenis Peminjaman a. Peminjaman Utuh 1) ‘... banyak melanggar, pemilik dump truck terancam tersangka.’ (Edisi 3064. Tanggal 3 Juli 2017) Frasa ‘dump truck’ dipinjam secara utuh dalam penulisan di salah satu artikel berita Harian Pakuan Raya.. Asumsi dari penggunaan frasa ini adalah frasa ‘dump truck’ lebih dirasa familiar dibandingkan dengan dialihbahasakan menjadi ‘truk pengangkut’ (pasir, tanah, dan bahan material lainnya). 586 2) “...., ketika sekolah menerima pendaftaran secara manual harusnya sudah 200 orang tapi di situsnya baru update 100orang... Jadi terlambat input data,...”. (Edisi 3065 tanggal 4 Juli 2017) Kata ‘update’ digunakan sebagai kata pinjaman utuh tanpa ada perubahan makna dan bentuk. Begitupula untuk kata ‘input’ digunakan sebagai kata pinjaman utuh. Kedua kata tersebut digunakan oleh narasumber berita di Harian Pakuan Raya. 3) Disamping itu jangan membuat statement yang berlebih dalam menanggapinya Penggunaan kata ‘statement’ sebenarnya dapat diganti dengan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu ‘pernyataan’. Namun karena kata ‘statement’ sering digunakan, maka ada asumsi bahwa dengn menggunakan kata ini, masyarakat sudah mengerti arti dari kata ini. b. Peminjaman dengan perubahan (adaptasi) 1) Pemilihan barang diarahkan kepada produk-produk tertentu sehingga tidak terjadi kompetisi sehat dari dari sisi mutu dan harga. (Edisi 3080 tanggal 21 Juli 2017). Kata ‘produk’ merupakan kata serapan dari bahasa Inggris ‘product’. Begitupula dengan kata ‘kompetisi’ dari kata ‘competition’. Kedua kata ini mengalami perubahan bentuk karena telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. 2) “Yang penting, kita bisa menang dan ada chemistrynya,” ungkapnya. (Edisi 3070 tanggal 10 Juli 2017) Kata ‘chemistry’ dipinjam secara utuh ke dalam penulisan bahasa Indonesia. Kata ini mengalami perubahan bentuk karena terjadi penggabungan dua kata yaitu ‘chemistry’ (Inggris) dan akhiran ‘-nya’ (Indonesia). Kata ini mengalami perubahan makna. Makna ‘chemistry’ adalah ilmu kimia namun di luar konteks tentang ilmu pengetahuan, kata ‘chemistry’ ini berarti adanya keterikatan yang dekat, cocok satu sama 587 lain antara dua orang atau lebih. Dengan demikian perubahan makna ini termasuk dalam perluasan makna. 2. Kesalahan Peminjaman a. Kesalahan penulisan kosakata tidak dicetak miring 1) “... Can you imagine that? YES. #stopbullying i’m begging you. You never know their story. Respect other however they are,” tulisnya. (Edisi 3078 tanggal 19 Juli 2017) Kalimat di atas digunakan dalam kalimat berita sesuai apa adanya. Kalimat dalam bahasa Inggris di atas tidak dicetak miring sebagai penanda kata dari bahasa asing. 2) “Konsultan yang diberi kepercayaan membuat perda tidak qualified.” (Edisi 3074 tanggal 14 Juli 2017) Kata ‘qualified’ juga dipinjam secara utuh dari bahas Inggris. Kata ini pun sudah ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia, yaitu ‘mutu’. b. Kesalahan penulisan kosakata bahasa Inggris 1) “Tidak hanya patroli dari personil tetapi kita juga memanfaatkan tekhnologi untuk control setiap titik di kota Bogor.” (Edisi 3070 tanggal 10 Juli 2017) Pada kata ‘tekhnologi’ terdapat kesalahan penulisan dalam bahasa Inggris. Penulisan kata ‘tekhnologi’ apabila ditulis dalam bahasa Inggris menjadi ‘technology’. Sedangkan pada kata ‘control’ terdapat padanan dalam bahasa Indonesia, yaitu ‘kontrol’. 2) Menurutnya, secara fisiologis dan sosiologis harus mampu menjaga estetika, etika, maupun sosio cultur yang bisa memberikan image (citra) yang heterogen. (Edisi 3077 tanggal 18 Juli 2017) Kata ‘cultur’ dipinjam secara utuh dari bahasa Inggris. Kata ini ada padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu 588 ‘kultur’ atau ‘budaya’. Kata ‘cultur’ apabila ditulis dalam bahasa Inggris menjadi ‘culture’. c. Kesalahan penulisan gabungan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia 1) “... yang memiliki pengalaman dan track recordnya juga bagus.” (Edisi 3074 tanggal 14 Juli 2017) Frasa ‘track recordnya’ merupakan kosakata gabungan yang terdiri dari frasa ‘track record’ (bahasa Inggris) dan akhiran ‘-nya’(bahasa Indonesia). 2) Kapolres Kota Bogor, Kombel Pol Ulung Sampurna Jaya yang melaunching layanan 110 di Polres Kota Bogor ... (Edisi 3079 tanggal 20 Juli 2017) Kata ‘melaunching’ berasal dari bahasa Inggris yang artinya meresmikan. Pada kata ‘melaunching’ terjadi gabungan kata, yaitu awalan me- (bahasa Indonesia) dan ‘launching’ (bahasa Inggris). Penggunaan kosakata pinjaman yang terdapat dalam Harian Pakuan Raya tidak digunakan secara tepat. Selain pemilihan kosakata bahasa Inggris yang sebenarnya terdapat padanannya dalam bahasa Indonesia, sampai pada kesalahan penulisan. Kosakata asing dapat digunakan apabila belum atau tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Penggunaan kosakata bahasa asing ini dilakukan untuk mengikuti perkembangan jaman yang sudah biasa menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Demikian pula dalam Harian Pakuan Raya ini. sebagai koran lokal, banyak menggunakan bahasa Inggris dalam penulisan berita. Penulisan berupa kalimat langsung, maupun kalimat tidak langsung. Penggunaan paling banyak dalam kalimat langsung, di mana si narasumber berbicara dalam bahasa Indonesia dengan menyisipkan kosakata bahasa Inggris. Kalimat dari narasumber ini ditulis apa adanya oleh redaktur. Begitu pula dalam penulisan kalimat berita, walau sudah ada kata padanan dan serapan ke dalam bahasa Indonesia, dalam penulisannya masih menggunakan bahasa Inggris secara utuh. Namun demikian, dalam penulisan kosakata bahasa 589 Inggris atau bahasa asing lainnya, hendaklah mengikuti pedoman penulisan yang benar dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, peminjaman kosakata bahasa Inggris yang terdapat dalam harian Pakuan Raya ini banyak yang kurang tepat. Diantaranya adalah (1) kesalahan dalam peminjaman kata bahasa Inggris yang dimasukan dalam kalimat bahasa Indonesia tanpa dicetak miring sesuai dengan kaidah dalam tata bahasa Indonesia. Begitu pula pada penulisan kutipan wawancara yang ditulis sesuai aslinya (dalam bahasa Inggris). Kesalahan ini paling banyak ditemukan di masing-masing edisi terbitan, (2) kesalahan lain adalah kesalahan dalam penulisan ejaan kata bahasa Inggris yang diasumsikan kesalahan terjadi pada proses penulisan di redaksi, dan (3) kesalahan penulisan dalam menggabungkan dua kata, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. dalam penulisan dari dua kata yang berbeda bahasa perlu dibatasi dengan tanda (-) diantara kedua kata tersebut. C. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Ada dua jenis peminjaman kata bahasa asing (Inggris) dalam Harian Pakuan Raya, yaitu peminjama utuh dan peminjaman dengan perubahan. Peminjaman utuh ditemukan pada kata yang menggunakan bahasa Inggris tanpa dialihbahasakan/diterjemahkan. Sedangkan pada peminjaman dengan perubahan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan sudah menjadi kosakata bahasa Indonesia. 2. Penggunaan kosakata pinjaman bahasa Inggris di media cetak merupakan hal yang biasa atau lumrah. Namun penggunaan kosakata pinjaman ini seharusnya mengikuti kaidah dalam penulisan dalam wacana kalimat bahasa Indonesia. Penulisan kata asing dalam bahasa Indonesia harus dicetak miring. Dalam penggabungan dua kata dari dua bahasa juga harus dipisah dengan menggunakan tanda (-). 3. Ditemukan kesalahan penulisan kata asing. Kesalahan penulisan ini adalah kesalahan penulisan ejaan dalam bahasa Inggris. Hal ini bisa 590 disebabkan oleh kesalahan redaksi. Kesalahan penulisan juga ditemukan pada penggabungan dua kata (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) yang seharusnya menggunakan tanda hubung. DAFTAR PUSTAKA Aitchinson, Jean. 2008. Linguistics. Teach Yourself. Chicago: McGraw-Hill Brown, Steven & Salvatore Attardo. 2003. Understanding Language, Structure, Interaction, and Variation. An Introduction to Applied Linguistics and Sociolinguistics for Nonspecialists. Michigan: The University of Michigan Press Kasijanto.2008. Media dan Monopoli dagang. Percetakan dan penerbitan di Indonesia pada masa VOC. Jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober 2008 (287-300). Kemmer, Suzanne. 2007. Loanwords. Rice University. http://www.ruf.rice.edu/-kemmer/words/loanwords.html. Diakses 2 April 2017. Kridalaksana. (2008). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Tim Pengembang Bahasa Indonesia. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia/Panitia Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. HASIL DISKUSI SEMINAR Pertanyaan dari peserta seminar Lingusitik UGM II: 1. Apa batasan dari kata serapan yang digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan kata tersebut kata serapan? Penanya: Viktorius Paskalis (UGM) Batasan kata serapan dalam penelitian saya hanya pada kata-kata dalam bahasa Inggris yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata-kata dalam bahasa Inggris yang diserap ini disesuaikan dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. 2. Dalam judul terdapat ‘kata asing’. pertanyaannya adalah apa batasan kata asing di pada judul? Apakah hanya bahasa Inggris atau dari bahasa lainnya? Penanya: Zain Handoko (UGM) 591 Jawab: Kata asing di sini adalah semua kata yang bukan atau tidak ditulis dalam bahasa Indonesia. Dalam judul saya mencatumkan ‘kata asing’, namun dalam latar belakang, saya menjelaskan bahwa kata asing di sini adalah kata dalam bahasa Inggris karena fokus penelitian saya hanya pada kata yang berasal dari salah satu bahasa asing, yaitu bahasa Inggris. 3. Menyambung masalah kata asing, kata asing bukan hanya berasal dari bahasa Inggris, Jerman atau bahasa lainnya, tetapi juga dari bahasa daerah juga dapat dikatakan bahasa asing. a. Apakah ada penggunaan bahasa daerah di dalam koran Pakuan Raya Bogor ini? b. Apakah koran-koran lokal di Bogor banyak menggunakan bahasa asing atau daerah? Dalam koran lokal biasanya juga banyak menggunakan bahasa daerah. Penanya: Bayu Aryanto (UGM) Jawab: a. Dalam harian yang saya gunakan sumber data ini tidak saya tidak menenmukan bahasa daerah, bahasa Sunda. Koran ini menggunakan bahasa Indonesia dan ada beberapa kata atau kalimat yang menggunakan bahasa Inggris. Nah penggunaan bahasa Inggris inilah yang menjadi tujuan utama dalam penelitian saya ini. b. Di Bogor ada beberapa koran lokal sekitar tiiga atau empat koran yang terbit di wilayah Bogor dan Kabupaten Bogor. Sementara ini saya baru mengamati satu koran lokal. Untuk selanjutnya, saya akan mencoba untuk menggunakan beberapa koran lokal tersebut untuk penelitian saya selanjutnya. Sudah dalam rencana saya akan meneliti koran-koran lokal tersebut dengan tema penelitian yang lebih luas lagi. Terimakasih. 592 PASAR UKADZ DAN PENGARUHNYA TERHADAP BAHASA ARAB ZAIN HANDOKO PRODI MAGISTER LINGUISTIK FIB UGM ABSTRAK Pasar Ukadz merupakan pasar yang fenomenal bagi masyarakat Arab, disamping terdapat transaksi jual beli di pasar ini juga banyak kegiatan kebudayaan. Karena berlangsung amat lama pasar ini dimungkinkan memberi dampak pada bahasa Arab. Tulisan ini bertujuan untuk mencari pengaruh tersebut. Masalah yang dikaji adalah apakah ada pengaruh pasar Ukadz terhadap bahasa Arab serta apa saja pengaruh-pengaruh tersebut. Metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif, sedangkan data yang digunakan adalah data pustaka. Pasar Ukadz memberi pengaruh yang signifikan pada bahasa Arab dan pengaruh tersebut ada lima yaitu : 1. Penambahan kosakata baru, 2. Penambahan peribahasa dan amsal, 3. Penyatuan bahasa Arab dalam dialek Quraisy, 4. Berkembangnya periwayatan bahasa dan 5. Lahirnya karya emas Mu’allaqot. PENDAHULUAN. Masyarakat Arab Selain mempunyai pasar kedaerahan juga mempunyai pasar musiman. Diantara pasar musiman mereka ialah pasar Ukadz, al Mijannah dan Dzul Majaz. Diantara pasar tersebut yang paling fenomenal adalah pasar Ukadz, Selain menjadi pusat jual beli, pasar Ukadz menjadi ajang beragam aktifitas masyarakat. seperti ajang lomba kefasihan syair, lomba gulat, pacuan kuda, putusan peradilan oleh sesepuh, tempat mendapat untung dari memuji para penguasa, dan masih banyak lagi. Pasar Ukadz merupakan bentuk kebudayaan masyarakat Arab masa jahiliyyah. Karena bila kita merujuk pada pemahaman kerangka kebudayaan menurut Koentjaraningrat mempunyai dua titik tolak, yaitu wujud kebudayaan dan isi kebudayaan. Wujud kebudayaan bisa berupa gagasan (sistem budaya) yang bersifat abstrak, perilaku (sistem sosial ) dan fisik /benda (kebudayaan fisik) (Mujib via Chaer, 1995 :217). Pasar Ukadz merupakan perilaku (sistem sosial) masyarakat Arab yang sudah 593 berlangsung hingga ratusan tahun. Oleh karenanya bisa dikatakan bahwa pasar Ukadz merupakan sebuah kebudayaan. Kebudayaan masyarakat sudah maklum akan mempengaruhi bahasanya, hubungan keduanya amat erat. Beberapa pembahasan mengenai keduanya bisa dibagi menjadi hubungan kordinatif dan subordinatif(Ahmad, 2009 :148), pada hubungan subordinatif menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Bentuk hubungan subkordinatif ada tiga yaitu perubahan bahasa karena perubahan budaya, tunduknya tindak komunikasi pada norma kebudayaan tertentu dan hubungan langsung yang menyatakan bahwa bahasa adalah hasil dari kebuyaaan. (Ahmad, 2009 :148) Karena pasar Ukadz merupakan kebudayaan yang sudah berlangsung hingga ratusan tahun, dengan kegiatan didalamnya yang beragam, Apakah pasar Ukadz mempunyai memberi pengaruh dalam bahasa Arab? Bila iya pengaruh apa saja yang diberikan pasar Ukadz terhadap bahasa Arab? Makalah ini bertujuan untuk mencari tahu apakah pasar Ukadz mempunyai pengaruh pada bahasa Arab lalu mengidentifikasi dalam bentuk apa saja pengaruh-pengaruh tersebut. Pengaruh yang akan dibahas dalam hubungan keduanya adalah pengaruh subkordinatif, pengaruh yang menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. Dalam hal ini menganggap bahwa bahwa bahasa Arab adalah bagian dari budaya aktifitas masyarakat yang ada di pasar Ukadz A. Metodologi Pembahasan Data dalam makalah ini diambil dari pustaka yang berkaitan dengan pasar Ukadz serta kehidupan masyarakat Arab masa jahiliyyah. Pustaka tersebut ada yang membahas pasar ukadz secara langsung serta yang lain membahas kegiatan masyarakat dan bahasa mereka secara umum. Datadata tersebut lalu dikumpulkan dengan teknik catat, lalu dianalisis dan dikelompokkan secara kualitatif. Dengan menyandarkan pada teori bahwa hubungan antara bahasa dan kebuayaan bersifat subordinatif. Menganggap bahwa bahasa adalah bagian dari budaya. B. Periode Pasar Ukadz. Pasar ukadz merupakan pasar bagi semua bangsa Arab, semua suku Arab biasanya akan berduyun-duyun mendatangi pasar tersebut, bahkan para pembesar kabilah. Mereka biasanya tidak mendatangi pasar musiman selain pasar Ukadz. pasar Ukadz biasanya diadakan pada bulan Dzulhijjah selama dua puluh hari (Irfan, 2000 :56) adapun kapan pertama 594 kali pasar Ukadz dimulai, tidak ada riwayat pasti yang menyatakan waktunya dengan jelas. Namun Nashir setelah menganilisa beberapa riwayat yang ada ia menyatakan bahwa pasar tersebut dimulai sekitar lima belas tahun sebelum tahun gajah (Nashir, 1977 :17) Kalaupun ada beberapa riwayat yang menyatakan pasar ukadz sudah berdiri puluhan tahun sebelumnya. Tahun gajah adalah tahun 571 hijriah (Irfan, 2000 :202) , ketika datangnya rasul terakhir dan datangnya agama Islam ia sama sekali tidak bertabrakan dengan kebudayaan yang ada di pasar tersebut, pasar tersebut masih terus ada hingga empat khalifah pengganti rasul. Namun keramaiannya tentu tidak seperti pada mulanya dikarenakan banyak sebab. Hingga akhirnya benar-benar dibubarkan oleh aliran Islam garis keras sekitar tahun 747 M (Irfan, 2000 :117). Bila demikian bisa dikira-kira, pasar Ukadz berlangsung di masyarakat sekitar dua ratu tahun lamannya. Dengan keberlangsungan pasar Ukadz yang begitu amat lama, mungkin saja pasar Ukadz berpengaruh amat besar dalam bahasa Arab. Sebagaimana kegiatan kebudayaan pada umumnya. Pengaruh tersebut mungkin ada pada unsur-unsur bahasa yang ada pada masyarakat Arab seperti peribahasa, hikmah atau mungkin ada kosakata yang baru. C. Pengaruh Pasar Ukadz Terhadap Bahasa Arab Masa Jahiliyyah. Dengan beberapa kegiatan pasar Ukadz yang beragam kemungkinan besar pasar Ukadz memberi pengaruh yang besar terhadap bahasa. Terutama karena hubungan keduanya yang bersifat subkordinatif. Setelah dicari, ditemukan beberapa pengaruh pasar Ukadz terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh tersebut adalah: 1. Ada Beberapa Peribahasa Arab Baru dari Pasar Ukadz Ada beberapa peribahasa yang pengucapannya didasarkan pada peristiwa di pasar Ukadz diantaranya ialah: Peribahasa Sabaqo saifu aladzla, dilandaskan pada peristiwa ketika Dzobbah membunuh Ka’b yang telah membunuh anaknya. Ketika orangorang mencelanya ia mengatakan sabaqo saifu aladzla. Yang berarti pedang telah mendahului celaan (Nashir, 1977 :18) atau sama dalam peribahasa Indonesia nasi telah menjadi bubur. Begitu juga dengan peribahasa, La atikaa mi’zal firzi yang berarti sesuatu yang tidak mungkin berkumpul karena mustahil”. Peristiwa 595 tersebut ketika kambing al Firzi direbut orang banyak dan tak mungkin dikumpulkan lagi (Irfan, 2000 :102) Juga ada beberapa peribahasa lagi yang diucapkan di pasar Ukadz diantaranya, Aufaa min aufin bin mahlim lebih menepati janji dari pada Auf bin Mahlam dan Ahmaqu min abu Ghobsyan lebih bodoh dari abu Ghobsyan. 2. Penambahaan Kosa kata baru yang berkaitan dengan pasar Ukadz. Ada beberapa kosakata baru yang khas pasar Ukadz, kosakata tersebut tidak ada ditempat dan waktu yang lain. Beberapa kosakata tersebut adalah: Sarhah adalah istilah untuk pohon tempat berkumpulnya para pemimpin kabilah(Irfan, 2000 :126), mereka membanggakan kabilahnya di depan kabilah lain. Lalu ada juri yang mengalungkan sorban sebagai tanda kemenangan. Ada juga istilah royatul wafa’ dan hadr, (bendera menepati dan ingkar janji) pasar. Ukadz merupakan tempat untuk janji pertemuan dua orang(Irfan, 2000 :130). Bila orang yang yang berjanji menepati maka akan dikibarkan bendera yang ditulis nama orang yang menepati tersebut, sedangkan bila mengingkari maka akan dikibarkan bendera api yang dituliskan nama orang tersebut. Disamping tiga kata itu ada banyak lagi kosakata baru tambahan dari pasar Ukadz, diantaranya rohib, zabib ukad, mulqil qona’ dan lain-lain belum lagi ditambahkan penambahan julukan baru bagi seseorang yang biasanya diberikan di pasar Ukadz. 3. Penyatuan Bahasa Arab Dari bahasa Induknya, bahasa Arab terbagi menjadi dua. Bahasa Arab utara dan selatan. Atau yang biasa disebut bahasa Yaman dan Hijaz. Dari dua bahasa tersebut banyak bercabang dialek-dialek bahasa Arab (Irfan, 2000 :170). Perbedaan dialek tersebut sebenarnya amat tipis seringkali hanya pada tataran fonologi hingga ketika seseorang berkata dengan bahasa dialeknya maka orang dari suku lain akan memahaminya. Dalam perkembangannya, bahasa Arab Hijaz yang dituturkan oleh suku Quraisy berhasil menang atas bahasa Arab daerah lain. Diantara sebab yang paling masyhur ialah adanya pusat-pusat ekonomi yang berada di dataran Hijaz. Terutama adanya pasar Ukadz. Secara hubungan subkordinatif bahasa, tindak komunikasi orang Arab akan tunduk pada norma tertentu, dalam hal ini mereka akan tunduk pada bahasa setempat 596 yaitu bahasa Arab Hijaz. “Kepada pasar-pasar ini, kembali faktor terbesar dalam penyatuan pandangan orang Arab” (Carl Brockelman Via Irfan, 2000:130) . 4. Berkembangnya Periwayatan Bahasa di Masa Jahiliyyah. Ketika pasar Ukadz diadakan orang-orang akan berkumpul mengerumuni para penyair dan ahli pidato, mereka penasaran syair apa yang baru di Pasar Ukadz dan mereka siap menjadi penyebar berita/periwayat yang alami. Seperti apa yang dikatakan oleh Daiziroh, “Bahasan riwayat sendiri sebenarnya bahasan yang baru, sedangkan pada masa lalu, itu merupakan sudah menjadi hal yang lumrah.” (Daiziroh, 1995:133). Jadi boleh dikatakan periwayatan pada masyarakat Arab ketika itu sudah menjadi budaya dan bagian darikehidupan mereka. Periwayatan ketika itu hanya sebatas memindahkan hafalan dari satu orang ke orang lain dengan jalan lisan. Bila orang-orang awamnya saja sangat antusias dengan periwayatan bagaimana dengan pembesar kabilah atau para pemerhati syair. Seorang pembesar kabilah yang dipuji penyair ia pasti akan menghafal dan menulis hafalan tersebut agar pujian itu kekal. Mereka saling meriwayatkan syair di pasar, majlis dan segala perkumpulan mereka, oleh karenanya periwayatan ketika itu amat sangat semarak dan sudah menjadi watak orang Arab. 5. Lahirnya Karya Muallaqot Mu’allaqot merupakan karya fenomenal dalam syair. Dianggap sebagai syair yang sempurna baik dari makna, susunana kata, dan keindahannya. Muallaqot sering juga disebut dengan mudzahhabat karena ditulis dengan tinta emas dan jumlahnya ada tujuh (Daiziroh, 1995:140) Sementara dari beberapa referensi difahami bahwa lahirnya sya’ir Mu’allaqot berkaitan erat dengan pasar Ukadz (Irfan, 2000 :178) . Ketika para penyair mendendangkan syairnya di pasar Ukadz depan seorang juri bernama Nabighoh Dzibyani, disekelilingnya sudah berkumpul penonton, putera suku terbaik dan para periwayat syair. Nabighoh akan memberikan kritiknya secara obyektif hingga para penyair akan membuat syair dengan penuh perhitungan. Ada beberapa penyair yang mungkin bisa unggul ketika membanggakan diri, sementara yang lain unggul ketika meratap, bicara hikmah atau yang lain. Dari semua itu tentu ada syair yang paling dianggap baik, yang orang Arab pilih sebagai mu’allaqot. Ketika syair terpilih jadi mua’allaqot berarti dia mendapat kebanggaan di semua bangsa Arab. Ketujuh penyair tersebut adalah 597 Umru’ul qois, Nabighoh dzibyani, Zuhair bin Salma, Thorfah bin Abd, Harits bin Hilzah, Antaroh bin Syaddad dan Lubaid bin Robi’ah. (Daiziroh, 1995:114). Syair mu’allaqot masih menjadi kebanggaan dan dipelajari oleh bangasa Arab hingga saat ini. G. KESIMPULAN Pasar Ukadz berpengaruh amat besar dalam perkembangan bahasa Arab pada masa jahiliyyah hal itu terwujud dalam beberapa hal, Penambahan kosakata baru, penambahan peribahasa dan amsal, penyatuan bahasa Arab menjadi dialek Quraisy, berkembangnya periwayatan bahasa dan lahirnya karya emas Mu’allaqot.Saat itu mungkin belum ada bangsa yang kemajuan bahasanya sampai pada tingkat tersebut. DAFTAR PUSTAKA Dhoif, Syauqi. 1960. Tarikh al Adab al Jahiliy. Darul Ma’arif. Muhammad-Hamur, Irfan. 1984. Suq Ukadz wa Mawasimul Hajj. Rihab al Haditsah, Beirut. Mujib, Ahmad. 2009. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan. Jurnal adabiyyat, volume 8, nomor 2. Sa’d-Rosyid, Nashir. 1977. Su’q Ukadz fil Jahiliyyati wal Islam. Darul Anshor, Kairo. Saqqol, Daiziroh. 1987. Al Arob fil Ashril Jahiliy. Dar Shodaqoh Al Arobiyyah, Beirut. 598 ANALISIS PERBANDINGAN TRANSITIVITAS DALAM TERJEMAHAN CERITA ANAK KARYA SEAN COVEY Zohra Inayah Nasir zohrainayahnasir@gmail.com Analisis transitivitas yang dapat dilihat pada klausa-klausa dalam sebuah teks menggambarkan bagaimana penulis mengkontruksi idenya. Teori tentang transitivitas pada Linguistik Sistemik Fungsional oleh Halliday ini kemudian digunakan dalam menganalisis klausa-klausa pada buku The Seven Habits of Happy Kids dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Tujuh Kebiasaan Anak Bahagia. Jenis teks ini dianalisis untuk mengetahui proses apa yang mendominasi pada cerita anak yang ada pada buku tersebut. Kata kunci: terjemahan cerita anak, transitivitas, Linguistik Sistemik Fungsional. 1. LATAR BELAKANG Transitivitas dalam penjelasan Halliday (2004) merupakan akumulasi dari pengaruh pengalaman sosial penulis yang tercermin pada klausa dan pilihan-pillihan kata dalam tulisannya. Hal inilah yang kemudian penting untuk diselidiki lebih lanjut dalam sebuah karya sastra, khususnya pada cerita anak yang banyak dipakai sebagai salah satu instrumen bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Keberagaman jenis dongeng, baik dongeng dalam negeri maupun terjemahan merupakan hal yang menambah referensi bagi masyarakat dalam memilih jenis dongeng tertentu untuk diberikan kepada anak sebagai bahan bacaan. The Seven Habits of Happy Kids karya Sean Covey merupakan salah satu karya sastra populer digunakan sebagai sarana mendongeng dan membentuk karakter anak. Buku The Seven Habits of Happy Kids, yang kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Tujuh Kebiasaan Anak Bahagia, termasuk sangat diminati melihat rekam jejak pencetakan pertamanya pada tahun 2014, yang kemudian memasuki cetakan periode ketiga hanya setahun setelah cetakan pertama. 599 Kehadiran buku cerita terjemahan ini ini merupakan sarana memperkaya referensi nilai kebaikan yang dapat diberikan pada anak sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan pendongeng dalam menjelaskan konteks kebudayaan yang melekat pada dongeng tersebut. Pada posisi ini, para penerjemah berperan penting dalam mengolah kata dari bahasa sumber ke bahasa target agar makna dongeng dapat disampaikan. Menerjemahkan merupakan salah satu keterampilan yang paling tidak memerlukan dua bahasa. Tidak berhenti pada penguasaan bahasa, menerjemahkan juga akan menjadi lebih baik ketika beriringan dengan penguasaan budaya untuk masing-masing bahasa. Maka penerjemah sebaiknya tidak hanya bilingual atau multilingual namun juga bicultural bahkan multicultural. Seperti layaknya sebuah karya sastra, terjemahan juga memiliki kekhasan tersendiri yang secara implisit maupun eksplisit menunjukkan penerjemahnya. Pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam mengalihkan makna akan sangat berpengaruh pada hal-hal yang terkait dengan penerjemah itu sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan Halliday (2004) bahwa bahasa tidak pernah berada di ruang hampa. Ia selalu didukung oleh beberapa hal yang memengaruhi penggunanya. Hal inilah yang kemudian mendorong pembaca dalam menganalisis perbandingan transitivitas, berfokus pada proses dalam klausa, antara teks asli The Seven Habits of Happy Kids dibandingkan dengan hasil terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. 2. RUMUSAN MASALAH Tipe proses apakah yang mendominasi dalam buku The Seven Habits of Happy Kids dan terjemahannya? 3. TUJUAN Mengetahui penggunaan tipe proses yang mendominasi dalam buku The Seven Habits of Happy Kids. 4. TINJAUAN PUSTAKA Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai transitivitas menggunakan Linguistik Sistemik Fungsional diantaranya: Leonita Maharani (2016), meneliti tentang transitivitas pada Cerita Rakyat Papua (Suku Mee). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa cerita rakyat tersebut didominasi oleh proses material yang menunjukkan bahwa 600 masyarakat Papua yang lebih fokus pada kerja fisik dibanding proses mental, verbal, dan proses yang lainnya. Hal ini kemudian dikaitkan juga dengan karakter masyarakat suku Mee yang suka bekerja keras. Nouri (2014), meneliti tentang transitivitas pada wacana yang dibangun pada dongeng-dongeng berbahasa Inggris seperti Cinderella, Putri Salju, dan Putri Tidur. Hasil penelitian ini, berdasarkan analisis transitivitasnya, secara implisit menunjukkan bahwa laki-laki dalam dongeng-dongeng selalu tampil sebagai pahlawan penyelamat yang menyelamatkan wanita tokoh utama di dongeng tersebut, sedang wanita dipandang sebagai makhluk tak berdaya yang hanya memiliki satu kekuatan, yaitu kecantikan rupa, yang merupakan alat untuk menarik perhatian laki-laki. Penelitian tentang transitivitas yang merupakan bagian dari Linguistik Sistemik Fungsional juga dilakukan oleh Muksin (2016) yang menganalisis transitivitas terjemahan Takepan Serat Menak Yunan (Naskah kuno suku Sasak) yang didominasi oleh proses material. Hal ini kemudian dikaitkan dengan kontribusi positifnya pada pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks di sebuah sekolah menengah. 5. LANDASAN TEORI A. Konsep Penerjemahan Konsep penerjemahan telah banyak dicetuskan oleh banyak pakar. Nida dan Taber (1969:22) menyatakan bahwa penerjemahan dapat menjadi proses komunikasi antara bahasa sumber (BSu) dan bahasa target (Bsa). Di lain sisi, Newmark (1988:7) sebagai upaya pengalihan pesan tertulis dari bahasa sumber (Bsu) ke bahasa target (Bsa). Secara lebih spesifik, Larson (1984:3) menegaskan bahwa pengalihan tersebut hanya mengubah bentuk bahasa dari BSu ke BSa, sementara makna yang terdapat pada BSu harus dipertahankan. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam penerjemahan, struktur kalimat yang digunakan dalam BSa boleh saja berbeda. Penerjemahan dengan segala kompleksitasnya, setidaknya menjadi jembatan bagi dua bahasa yang berbeda agar maksud dari sebuah teks dapat dipahami oleh banyak kalangan dari berbagai bahasa. Dari pendapat-pendapat di atas, hal yang tidak dapat dipisahkan dari terjemahan adalah penerjemah itu sendiri. Menerjemahkan membutuhkan kemampuan yang mumpuni tidak hanya dari pengetahuan bahasa (grammatical skill) penerjemah, tetapi juga kemampuan analisis 601 dan pemahaman beraneka ragam budaya yang baik. Kemampuan tersebut mempengaruhi kualitas penerjemahan, begitupun sebaliknya. Selain faktor dari penerjemah, jenis teks yang diterjemahkan juga menjadi tantangan tersendiri. Karya sastra anak adalah salah satu jenis teks yang menantang dalam penerjemahannya. Meskipun disajikan dalam bahasa yang sederhana, penerjemahan karya sastra anak dapat mengakibatkan kekeliruan dalam interpretasi. Menurut Stolze (2003), ini terjadi karena adanya faktor sikap penerjemah itu sendiri terhadap bahasa sasaran dan budaya pembaca sasaran. Olehnya, dalam penerjemahan karya sastra anak, keterbacaan adalah hal yang penting untuk diperhatikan. B. Metafungsi Bahasa Secara umum, bahasa memiliki dua perspektif, yaitu linguistik fungsional dan linguistik formal. Linguistik fungsional melihat bahasa sebagai sistem tanda yang dapat dianalisis berdasarkan struktur dan pemakaiannya, hal inilah yang disebut oleh Saragih (2001:1) dalam uraiannya tentang linguistik sistemik fungsional (LSF) bahwa bahasa merupakan sistem arti dan sistem ekspresi untuk menjelaskan arti tersebut. Halliday (2004) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan fenomena sosial yang muncul sebagai semiotic sosial dan teks yang saling merujuk satu sama lain dengan konteks sosial itu sendiri. Bahasa memiliki struktur yang terbangun berdasarkan fungsinya yang mencakup tiga hal, yaitu: fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Fungsi-fungsi inilah yang disebut Halliday (2004) sebagai metafungsi bahasa yang akan menentukan struktur bahasa. Hal ini dibagi dalam beberapa bagian oleh Halliday yaitu metafungsi ideasional, interpersonal dan tekstual. Makalah ini berfokus pada transitivitas yang merupakan bagian dari metafungsi ideasional. C. Transitivitas Terdapat hubungan timbal balik antara keberagaman keadaan sosial yang dialami manusia dengan bahasa yang tercermin dari pilihan-pilihan kata yang digunakan dalam sebuah kalimat. Hal inilah yang disebut sebagai transitivitas. Dalam teori Linguistik Sistemik Fungsional, Halliday (2004:107) mengatakan bahwa suatu kalimat merupakan enkode dari sebuah keadaan dimana penulis dan lingkungan sekitarnya berada. Halliday (2004:108) membagi transitivitas ini atas: 602 1. Proses a. Proses Material Proses yang melibatkan adanya kegiatan fisik dan dapat diamati oleh indra. Dalam proses material, pelaku adalah subjek, proses material adalah predikat, gol setara dengan objek dan sirkumstan adalah keterangan. b. Proses Mental Merujuk pada aktivitas yang menyangkut kognisi, emosi, dan resepsi pada manusia. Dalam proses mental, pengindera merupakan subjek, mental merupakan predikat, fenomena merupakan objek dan sirkumstan merupakan keterangan. c. Proses Relasional Menghubungkan satu entitas dengan lingkungan lain di dalam hubungan intensif, sirkumstan, atau kepemilikan dan dengan cara (mode) identifikasi satu atribut. (Saragih: 2001:29). Secara sistemik, jenis proses relasional tersebut dapat diringkas sebagai berikut. (a) Proses: relasional: Intensif: identifikasi (b) Proses: relasional: intensif: atribut, (c) Proses: relasional: sirkumstan: identifikasi, (d) Proses: relasional: sirkumstan: atribut, (e) Proses: relaional: kepemilikan: identifikasi, (f) Proses: relasional: sirkumstan: atribut. d. Proses Verbal Proses verbal terdapat di antara proses relasional dan mental. Proses verbal sebagian memiliki ciri proses mental dan sebagian yang lain memiliki ciri relasional. Dalam proses relasional, penyampai pembicara merupakan subjek, proses verbal merupakan predikat, dan lawan bicara merupakan objek, dan sirkumstan merupakan keterangan. e. Tingkah Laku Yaitu aktivitas psikologis yang menjelaskan tingkah laku fisik manusia. Misalnya pingsan, tertawa, mengeluh, marah. Proses ini merupakan bagian dari verba. 2. Partisipan Digunakan sebagai inti yang mengikat semua unsur lain. Dengan sifatnya yang demikian, proses digunakan sebagai dasar pelabelan yang melakukan proses (Partisipan I), dan partisipan yang kepadanya proses itu ditujukan (Partisipan II). (Saragih, 2001: 36). 603 3. Sirkumstan Sirkumstan merupakan lingkungan, sifat, atau lokasi berlangsungnya proses. Sirkumstan berada di luar jangkauan proses. Sirkumstan terdiri atas rentang yang dapat berupa jarak atau waktu, lokasi yang dapat mencakupi tempat atau waktu, cara , sebab, lingkungan, penyerta, peran, maslah dan sudut pandang. Konsep sirkumstan setara dengan keterangan dalam tata bahasa baku tradisional. D. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif yang acuannya adalah teks-teks yang ada dalam cerita anak karya Sean Covey dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Klausa-klausa yang ada dalam hasil penerjemahan tersebut dianalisis transitivitas yang berfokus hanya pada prosesnya untuk dibandingkan dengan teks aslinya. Penulis membaca terlebih dahulu buku tersebut, kemudian mengelompokkan cerita yang dianggap mewakili keseluruhan isi buku, karena beberapa tema hampir sama. Empat dari tujuh tema dalam buku cerita tersebut kemudian dianalisis. Hasil analisis kemudian disajikan dalam tabel agar proses yang mendominasi dapat terlihat jelas dan dipahami dengan baik E. PEMBAHASAN Setelah menganalisis 424 klausa dalam empat tema yang ada dalam buku tersebut maka hasilnya adalah: Cerita 1 (90 Klausa) N o Bahasa Proses Materi al 1 Inggris 42.22% 2 Indones ia 43.33 Prose s Ment al 12.22 % 11.11 % Prose s Verb al 20% Proses Behavior al Proses Eksistensi al Proses Relasion al 11.11% 11.11% 3.33% 20% 13.33% 8.88% 3.33% Cerita 2 (113 Klausa) 604 N o Bahas a 1 Inggris 2 Indone sia Prose s Mater ial 51.32 % 51.32 % Pros es Ment al 13.27 % 13.27 % Pros es Verb al 18.58 % 18.58 % Proses Behavio ral Proses Eksisten sial Proses Relasio nal 10.61% - 6.19% 7.96% 3.53% 7.07% Prose s Ment al 30.6 % 35.6 % Pros es Verb al 9.9% Proses Behavior al Proses Eksistens ial Proses Relasion al 4.9% 1.9% 3.9% 9.9% 2.9% 0.99% 4.95% Prose s Ment al 16.6 % 20% Pros es Verb al 24% Proses Behavior al Proses Eksistens ial Proses Relasion al 5% - 5% 24% 6.6% 1.6% 6.6% Cerita 3 (101 Klausa) N o Bahasa Proses Materi al 1 Inggris 48.5% 2 Indones ia 45.4% Cerita 4 (120 Klausa) N o Bahasa Proses Materi al 1 Inggris 48.3% 2 Indones ia 43.3% Rerata Perbandingan Proses pada Empat Tema Cerita: N o Bahasa Proses Materi al 1 2 Inggris Indones ia 47.5% 45.8% Prose s Ment al 18% 19.9 % Prose s Verb al 18% 18 % Proses Behavior al Proses Eksistensi al Proses Relasion al 7.9% 6.1% 3.25% 7.6% 4.6% 5.48% 605 Dari data yang ada, secara umum dapat disimpulkan bahwa proses yang mendominasi, baik dalam teks asli maupun terjemahannya adalah proses material. F. Kesimpulan Sementara Dari hasil analisis perbandingan transitivitas antara teks asli dan hasil penerjemahan, dapat dilihat bahwa buku The Seven Habits of Happy Kids dan terjemahannya karya Sean Covey ini didominasi oleh proses material. Hal ini menunjukkan dominasi klausa yang menggambarkan tentang aktivitas fisik. Jika dikaitkan dengan proses pemerolehan bahasa yang telah dikemukakan oleh Dardjowijojo (2016), serta melihat target pembaca yang merupakan anak usia pra-sekolah (lima tahun). Dominasi proses material menjadi hal yang wajar dikarenakan proses tersebut lebih mudah dipahami oleh anak seusia lima tahun yang cenderung masih memiliki konsep berpikir yang sederhana (here and now). Daftar Pustaka Dardjowidjojo. 2016. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. Third Edition. London: Edwarl Arnold. Larson, Mildred L. 1984. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross Language Equivalence. New York: University Press of America. Maharani, Leonita. 2016. Transitivitas dalam Cerita Rakyat Papua (Sebuah Kajian Linguistik Sistemik Fungsional pada Teks Cerita Rakyat Suku Mee Papua). Language Maintenance and Shift. 119-124. http://eprints.undip.ac.id/55724/1/PROCEEDING_OF_INTERNATIONAL_ SEMINAR__LAMAS_6._Leonita_Maharani.pdf Muksin. 2016. Kajian Transitivitas Teks Terjemahan Takepan Serat Menak Yunan dan Kontribusinya terhadap Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks Di SMP: Analisis Berdasarkan Linguistik Fungsional Sistemik. RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 2, No. 2 Oktober 2016, 253-270. https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret/article/download/60 /60 606 Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall International Ltd. Nida, E.A., Taber. 1969. The Theory and Practice of Translation. Leiden: Brill. Nouri, Masoumeh. 2014. A Linguistic Analysis of Discourse in Four English Fairy Tales in Terms of Gender. International Journal of Current Life Science. Vol.4. 756-765. https://www.researchgate.net/profile/masoumeh_nouri2/publication/2 89519921_a_linguistic_analysis_of_discourse_in_four_english_fairy_tales_i n_terms_of_gender/links/568e071708aeaa1481ae812d/a-linguisticanalysis-of-discourse-in-four-english-fairy-tales-in-terms-of-gender.pdf Saragih, A. 2001. Bahasa Dalam Konteks Sosial. Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik Terhadap Tata Bahasa dan Wacana. Medan: Program Pascasarjana USU. Stolze, R. (2003). Translating for children-world view or pedagogics, Meta:Translators’ Journal, vol 48 (no.1-2), 2003, hal. 208-221. https://www.erudit.org/fr/revues/meta/2003-v48-n1-2meta550/006968ar.pdf. HASIL DISKUSI SEMINAR 1. Menurut anda, apa itu metafungsi? Jelaskan secara singkat.  Merujuk pada apa yang telah diungkapkan oleh Halliday, saya memahami bahwa metafungsi bahasa adalah hal-hal diluar bahasa yang digunakan untuk menganalisis penggunaan bahasa. Oleh karena itu dikatakan bahwa, bahasa tidak terlepas dari konteksnya juga keadaan sosial pada saat bahasa tersebut ditututrkan atau dituliskan. 2. Perjelas kembali pada makalah anda tentang teori transitivitas. (Masukan)  (Sudah direvisi). 607