PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN
1. KONSEP PARTAI POLITIK
Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Biasa dikatakan partai politik merupakan organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modern.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 397.
Mengenai pengertian partai politik cukup banyak sarjana telah mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut: Menurt Carr yang dikutip oleh Hafied Cangara, “political party is an organization that attemps to achieve and maintain control of government” (partai politik adalah suatu organisasi yang berusaha untuk mencapai dan memelihara pengawasan terhadap pemerintah).
Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 208.
Menurut Carl Friendrich yang dikutip oleh Ramlan Surbakti dalam bukunya, memberi batasan partai politik sebagai kelompok manusia yang terorganisasi secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimin materiil dan idiil kepada para anggotanya. Sementara itu soultau menjelaskan partai politik sebagai yang sedikit banyak terorganisasikan, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik, dan yang memanaatkan kekuasaannya untuk kebijakan umum yang mereka buat.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), hal. 148.
Secara umum dapat dirumuskan bahwa partai politik adalah sekelompok anggota masyarakat yang terorganisir secara teratur berdasarkan ideologi/program dimana ada keinginan para pimpinannya untuk merebut kekuasaan negara terutama eksekutif melalui yang terbaik. Cara konstitusional dan ada seleksi kepemimpinan secara teratur dan berkala. Jadi secara teori apapun namanya suatu organisasi politik/masyarakat apabila memenuhi kriteria tersebut dapat dikategorikan sebagai partai politik.
Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan : Konstitusi Sembilan Negara, (Bina Aksara,
Jakarta, 1987), hal. 156.
konsep partai politik yang dikemukakan oleh Sorauf, dengan unsur-unsur: (1) mengembangkan organisasi dan mencapai tujuan pemilihan umum; (2) organisasi bersifat inklusif dan mencakup berbagai kelompok masyarakat (ekstensif); (3) perhatian utama pada panggung politik untuk mencapai tujuannya; dan (4) menunjukkan stabilitas dan berkelanjutan, serta bekerja sebagai satu kesatuan dalam pembuatan keputusan dan loyalitas dari anggota-anggotanya.101 Namun, kriteria pertama dipakai dengan mengingat bahwa pada masa-masa tertentu pada saat belum dilaksanakan pemilihan umum kriteria ini tidak berlaku, seperti pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan sebuah negara.
2. SEJARAH PARTAI POLITIK
Partai politik pertama lahir di negara – negara eropa barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.
Pada awal perkembangannya, akhir dekade 18 an di negara – negara barat seperti Inggris, dan Perancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok – kelompok politik parlemen. Kegiatan ini mula – mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan – tuntutan raja.
Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang diluar parlemen dengan terbentuknya panitia – panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum (kadang – kadang dinamakan caucus party). Oleh karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari pelbagai golongan masyarakat, kelompok – kelompok politik diparlemen lambta laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Maka pada akhir abad ke 19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah dipihak lain.
Partai semacam ini dalam praktiknya hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Lagi pula parta sering tidak memiliki disiplin partai yang ketat, dan pemungutan iuran tidak terlalu dipentingkan. Partai ini dinamakan patronage party (partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka patron – client relationship), yang juga bertindak sebagai macam broker. Partai mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota : maka dari itu ia sering dinamakan partai massa. Oleh karena itu ia biasanya terdiri atas pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat, yang sepakat untuk bernaung dibawahnya luas dan agak kabur karena harus memperjuangkan terlalu banyak kepentingan yang berbeda – beda. Contoh partai republik dan partai demokrasi di amerika serikat.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia barat timbul pula partai yang lahir diluar parlemen. Partai – partai ini kebanyakan berdasarkan pada suatu asas atau ideologi atau Weltanschauung tertentu seperti sosialisme, fasisme, komunisme, kristen demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat.
Pimpinan partai yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai yang telah ditetapkan. Maka dari itu partai semacam itu sering dinamakan partai kader, partai ideologi, atau partai asas ( sosialisme, fasisme, komunisme, sosial demokrat). Ia mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijakan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang ketat dan mengikat.
Pendidikan kader sangat diutamakan dalam partai jenis ini. terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap seleksi. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ – organ partai yang memuat ajaran – ajaran serta keputusan – keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan. Partai kader biasanya lebih kecil dari partai massa.
Akan tetapi pembagian tersebut di atas sering dianggap kurang memuaskan karena dalam setiap partai ada dua unsur lindungan(potronage) serta perantara (brokerage) disamping pandangan ideologi / asas / pandangan hidup, sekalipun dalam takaran yang berbeda.
Pada masa menjelang perang dunia I telah timbul klasifikasi partai berdasrkan ideologi dan ekonomi yaitu partai “kiri” dan partai “kanan”. Konsep “kiri” vs “kanan” telah mengundang banyak perumusan maupun tafsiran yang berbeda – beda. Akan tetapi konsep ini sudah begitu diterima oleh masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan dalam analisi politik.
Pembagian “kiri” vs “kanan” berasal dari revolusi prancis waktu parlemen mengadakansidang pada tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur tradisional duduk di sebelah kanan panggung ketua, sedangkan mereka yang ingin perubahan dan reformasi duduk disebelah kiri. Jika dewasa ini pengertian “kiri” “kanan” digambarkan dalam suatu spektrum linier, maka dapat di suatu ujung sikap “extrem kiri” (yaitu campur tangan negara dalam kehidupan sosial dan ekonomi secara total), dan di ujung yang lain sikap “extrem kanan” (pasar bebas secara total). Di antara dua extrem ini terdapat banyak nuansa.
Kiri
Kanan
Perubahan, kemajuan
Kesetaraan (equality) untuk lapisan bawah
Campur tangan negara (dalam kehidupan sosial / ekonomi)
hak
Status quo, konservatif
Previlege (untuk lapisan atas)
Pasar bebas
kewajiban
Akhir – akhir ini ada perkembangan baru dalam konstelasi kepartaian, menjelang perang dunia II, terutama seusai perang tersebut, ada kecenderungan pada partai – partai politik di dunia barat untuk meninggalkan tradisi membedakan antara berbagai jenis partai, (kiri dan kanan). Hal itu disebabkan ada keinginan pada partai – partai kecil untuk menjadi partai besar dan menang dalm pemilihan umum. Partai – partai tersebut menyadari bahwa untuk mencapai tujuan itu mereka perlu memperluas dukungan dari pemilih dengan merangkul pemilih tengah antara lain patronage dan brokerage.
2.1 Partai Politik Di Indonesia
Zaman kolonial
Partai politik lahir dalam zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah ia bertujuan sosial (seperti budi utomo dan muhammadiyah) atau terang – terangan menganut asas politik sekuler (PNI dan PKI), memainkan peran penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Pola kepartainan pada masa itu menunjukan keanekaragaman dan pola ini kita hidupkan kembali pada zaman merdeka dalam bentuk sistem multi partai.
Zaman pendudukan jepang
Rezim pemerintahan jepang yang sangat respresif bertahan sampai tiga setengah tahun. Semua sumber daya, baik kekayaan alam maupun tenaga manusia, dikerahkan untuk menunjang perang “asia timur raya”. Dalam rangka itu pula semua partai dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan islam yang diperkenankan membentuk suatu organisasi sosial yang dinamakan masyumi, disamping beberapa organisasi baru yang dipreakrsai penguasa.
Zaman demokrasi indonesia.
Masa perjuangan kemerdekaan
Sebagai tahap rangka demokrasi badan pekerja mengusulkan agar dibuka kesempatan untuk mendirikan partai – partai politik, dan usul tersebut disetujui oleh pemerintah. Dalam maklumat pemerintahan tanggal 3 november dikemukakan bahwa : “ pemerintah menyukai timbulnya partai – partai politik karena dengan adanya partai – partai itulah dapat dipimpinn kejalan yang teratur segala aliran pahan yang ada dalam masyarakat. Diharapkan bahwa partai – partai telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan umum pada bulan januari 1946”. Ditentukan juga pembatasan bahwa partai – partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.
Zaman republik indonesia serikat
Dalam masa ini partai politik secara aktif mendukung usaha mengabungkan negara – negara bagian ke dalam negara kesatuan republik indonesia. Konstelasi partai politik tidak banya berubah.
Masa pengakuan keadulatan
Periode pemerintahan
Sistem pemerintahan
Sistem partai
1908 - 1942
Zaman kolonial
Sistem multi partai
1942 - 1945
Zaman pendudukan jepang
Partai politik dilarang
17 agustus 1945 – 1959
17 agustus – 1945 november 1945
14 november – agustus 1949
1949 – 1950
1950 - 1959
Zaman demokrasi parlemen
Masa perjuangan
1.Sistem presidensial : uud 1945
Sistem parlementer : UUD 1945
Sistem parlementer : UUD RIS
Masa pembangunan
Sistem parlementer : UUD 1950
Sistem parlementer : UUD 1950
Satu partai PNI
Sistem multi partai
Sistem multi partai
Sistem multi partai. Pemilihan umum 1955 menghasilkan 27 partai dan 1 perorangan yang memperoleh kursi di DPR
Sistem multi partai
1959 - 1965
Demokrasi terpimpin : UUD 1945
1959
1960
Maklumat pemerintah 3 november 1945 dicabut. Diadakan penyeserhanaan partai sehingga hanya ada 10 partai yang diakui : PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partindo, Parkindo, Partai Murba, PSII Arujdi, IPKI dan Partai Islam Perti. Masyumi dan PSI dibubarkan pada tahun 1960.
Dibentuknya Front Nasional yang mewakili semua kekuatan politik. PKI masuk berdasrkan prinsip nasakom, ABRI masuk lewat IPKI.
1965 - 1998
Demokrasi pancasila : UUD 1945
1966
27 juli 1967
1967 – 1969
1971
1973
1977, 1982, 1992 dan 1997
1982
1984
1996
PKI dan partindo dibubarkan
Konsensus nasional a.I. 100 anggota dpr diangkat
Eksperiment dwi – partai dan dwi – group dilakukan di beberapa kabupaten di jawa barat, namun dinetikan pada awal 1969
Pemilihan umum dengan 10 partai
Penggabungan partai menjadi 3 partai yaitu golkar, pdi dan ppp
Pemilihan umum hanya diikuti oleh tiga orsospol (sistem multi – partai terbatas) PPP, GOLKAR dan PDI
Pancasila satu satunya asas
Nu khittah
Pdi pecah
1998 (21 mei)
Reformasi : uud 1945 yang diamandemen
1999 (juni)
2004 (april)
Kembali ke sistem multi partai. Pemilu dengan 48 partai, 21 partai masuk dpr. Pemilu dengan 24 partai, 7 partai masuk dpr yaitu golkar, pdip, pkb, ppp, partai demokrat, pks dan pan.
Sumber : Miriam Budiardjo, dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 400-403
3. FUNGSI PARTAI POLITIK
Fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahanan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2010), hal. 148 Namun, partai politik juga melaksanakan sejumlah fungsi lain. Fungsi lain tersebut adalah:
Sosialisasi politik
Sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat, melalui proses sosialisasi politik inilah masyarakat mengetahuinya arti pentingnya politik beserta instumen-instumennya. Sosialisasi politik kemudian menghasilkan budaya politik politik dalam bentuk perilaku politik yang tidak destruktif, mengutamakan konsensus disbanding menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan konflik, mempunyai pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan atau membuat keputusan yang kemudian perilaku seperti akan menjadi modal untuk pelaksanaan demokrasi (kedewasaan demokrasi).
Rekrutmen politik
Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Dari partai politiklah diharapakan ada proses kaderisasi pemimpin-pemimpin ataupun individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan jabatan yang mereka pegang. Dalam alam demokrasi walaupun individu disini diberikan kesempatan sama untuk mencapai derajat tertentu, untuk mendapatkan suatu hal tetapi ada aturan bagaimana cara individu tersebut mencapai hal tersebut melalui undang-undang atau peraturan yang ada. Dengan adanya partai politik maka individu-individu tadi akan lebih mudah untuk mendapatkan keinginya di bidang politik, dalam artian walaupun tanpa partai politikpun bisa mendapatkannya tetapi tentunya akan lebih sulit.
Partisipasi politik
Partai politik dengan fungsi komunikasi dan sosialisasi politiknya akan membawa kepada pencerahan yang rasional kepada masyarakat untuk kegiatan politik. Dengan fungsi tersebut kemudian diharapkan akan memunculkan kesadaran masyarakat terkait nasibnya di masa yang akan datang. Nasib mereka dimasa yang akan datang tersebut akan sangat bergantung pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik itu pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, presiden, gubernur atau walikota dan bupati, apakah itu dewan perwakilan rakyat pusat atau dewan perwakilan daerah. Dari pihak-pihak tersebutlah kebijakan yang ditujukan untuk mengalokasikan nilai-nilai (ekonomi, pendidikan, kesehatan dan yang lain) akan dibuat dan diperuntukan kepada masyarakat luas. Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpinan pemerintah.
Pemandu kepentingan
Dalam masyarakat terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi bermutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dan kehendak untuk mendapat dan mempertahankan pekerjaan; antara kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pendidikan tinggi yang bermutu tinggi, tetapi dengan Kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksud dengan fungsi pemandu kepentingan.
Komunikasi politik
Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintahan kepada masyarakat dan dari masyarakat ke pemerintah. Informasi merupakan hal yang sangat penting ketika kita berbicara organisasi modern, karena organisasi (Pemerintah) tersebut akan dapat mempertahan kekuasaan ketika mengerti apa saja yang menjadi kebutuhan dari masyarakatnya. Banyak rezim di dunia ini yang tidak dapat mempertahankan kekekuasaannya yang dikarenakan mereka tidak mengerti apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga dari situ muncul ketidak puasan masyarakat kepada penguasanya yang kemudian berujung pada proses penggantian penguasa baik itu dengan cara yang diatur secara konstitusi ataupun dengan kudeta. Disisi lain informasi juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengetahui sejauh mana pemerintah dalam menjalankan fungsinya, dengan cara seperti apa dan bagaimana capaian yang dikehendaki. Partai politik ini berada diantara pemerintah dan masyarakat, sehingga sangat strategis posisinya dalam hubungan ini. Dalam hubunga ini tentunya akan sangat tergantung di pihak mana partai politik berada, apakah di pihak pemerintah ataukah oposisi, tentunya hal ini akan mempengaruhi isi dari pemberian informasi yang diberikan kepada masyarakat terkait dengan sudut pandang atau nilai nilai yang diperjuangkan.
Pengendalian konflik
Berbicara konflik ini kemudian akan berkaitan dengan kepentingan, konflik ini muncul karena ada kepentingan-kepentingan yang berbeda saling bertemu. Kepentingan disini adalah kepentingan dari orang, kelompok, atau golongan-golongan yang ada dalam masyarakat. Mengingat di dalam masyarakat Indonesia khususnya, dimana dengan berbagai macam keberagaman yang ada baik itu golongan, agama, etnis ataupun yang bersifat sektoral. Tentunya akan banyak sekali kepentingan yang akan saling berbenturan, hal ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa ketika dibiarkan begitu saja. Memang konflik dalam masyarakat itu tidak bisa dihilangkan tetapi yang harus dilakukan adalah bagaimana memanajemen konflik tersebut supaya konflik tersebut sifatnya tidak merusak hubunga antar golongan tadi dengan cara-cara kekerasan.
Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyarawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.
Kontrol politik
Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintahan. Produk dari pemerintahan ada suatu kebijakan, kebijakan-kebijakan ini yang kemudian akan menyangkut kepentingan masyarakat secara umum. Baik buruknya kebijakan tentunya sangat bisa diperdebatkan mengingat kebijakan pemerintah tidak akan pernah mungkin bisa memberikan kepuasan kepada semua orang. Permasalahan yang muncul adalah kepada siapa kebijakan itu akan memberi keuntungan. Pada titik inilah kemudian kontrol partai politik memainkan fungsinya untuk menyikapi suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait kelemahan yang ada dan kemana alokasi nilai-nilai dari kebijakan itu akan diberikan.
Ketika suatu kebijakan telah dibuat dan dimplementasikanpun perang partai politik masih diperlukan untuk mengawal kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan awal yaitu untuk apa kebijakan itu dibuat. Ketika kebijakan itu sudah menjadi keputusan tidak serta merta dapat menyelesaikan permasalahan seperti yang telah direncanakan. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya kebijakan tersebut dalam menyelesaikan masalah. Faktor pelaksana kebijakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh, karena dibanyak kasus banyak kebijakan itu gagal atau kurang berhasil yang diakibatkan oleh pelaku atau oknum yang mengejar kepentingan pribadinya.
Ibid, hal. 149-154.
4. TIPOLOGI PARTAI POLITIK
Tipologi partai politik ialah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu, seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan tujuan. Klasifikasi ini cenderung bersifat tipe dan ideal karena dalam kenyataanya, tidak sepenuhnya demikian. Tetapi untuk memudahkan pemahaman, di bawah ini, diuraikan sejumlah tipologi partai politik menurut kriteria-kriteria tersebut.
Asas dan Orientasi
Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi tiga tipe. Ketiga tipe ini meliputi partai politik pragmatis, partai politik doktriner, dan partai politik kepentingan. Yang dimaksud partai politik pragmatis ialah suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tak terikat kaku pada suatu doktrin dan ideologi tertentu. Sedangkan yang dimaksud partai politik doktriner ialah suatu partai politik yang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologi. Selanjutya yang dimaksud dengan partai kepentingan ialah suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu.
Komposisi dan Fungsi Anggota
Menurut komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat digolongkan menjadi dua, yaitu massa atau lindungan dan partai kader. Yang dimaksud dengan partai politik massa atau lindungan ialah partai politik yang mengadalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dipelihara. Sedangkan partai kader ialah suatu partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketaatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. Seleksi kenggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakan disiplin partai yang konsisten dan tanpa pandang bulu.
Basis Sosial dan Tujuan
Menurut almond yang dikutip oleh Surbakti menggolongkan partai politik berdasarkan basis sosial dan tujuannya. Menurut basis sosialnya partai politik dibagi menjadi empat tipe, yaitu:
Partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, seperti kelas atas, menengah, dan bawah.
Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari kelompok kepentingan tertentu, seperti petani, buruh, dan pengusaha.
Partai politik yang anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti Islam, Katolik, Protestan, dan Hindu.
Partai politik yang angotanya berasal dari kelompok budaya tertentu,
seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah tertentu.
Ibid, hal. 155-158.
5. SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian adalah perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik dalam sebuah sistem politik. Artinya bahwa tujuan utama dari partai politik itu sendiri adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun dengan berdasarkan pada ideologi tertentu, maka merealisasikan program-program tersebut, partai politik yang ada berinteraksi satu sama lainnya dalam sebuah sistem kepartaian.
Menurut meurice duverger, sistem kepartaian dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yaitu sistem partai -tunggal, sistem dwi-partai, sistem multi-partai.
Sistem partai-tunggal
Pola partai tunggal menunjukkan suasana yang non-kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan untuk bersaing dengannya. Tujuannya adalah untuk menghindari gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha-usaha pembangunan atau untuk mengintegrasikan aneka golongan yang ada dalam suatu negara.
Sistem dwi-partai
Sistem dwi-partai biasa diartikan bahwa terdapat dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran dan demikian memiliki kedudukan yang dominan. Dalam sistem ini partai dibagi menjadi dua yakni, pertama, partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan yang kedua, partai oposisi (partai yang kalah dalam pemilu). Dalam sistem ini partai yang kalah bertindak sebagai loyal opposition bagu pihak yang menang. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai akan berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang berada di tengah kedua partai tersebut dan sering dinamakan pemilih terapung (floating voter) atau pemilih tengah (median voter). Sistem dwi-partai ini dapat berjalan dengan baik apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu:
Komposisi masyarat yang sifatnya homogen.
Adanya konsensus yang kuat dalam masyarat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik.
Adanya kontinuitas sejarah
Sistem multi-partai
Umunya dianggap keberagaman budaya politik dalam suatu masyarakat akan mendorong pilihan ke arah sistem yang sifatnya multi-partai. Dalam sistem kepartaian ini tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk sistem pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa harus membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen bisa hilang. Di lain pihak, partai-partai oposisi kurang memainkan peranannya yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan dengan membentuk koalisi yang baru. Hal seperti ini akan menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan yang dihadapi masing-masing partai. Lagi pula, sering kali partai-partai oposisi tidak dapat menyusun program alternatif bagi pemerintah.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu dan menghindari unsur negatifnya. Sistem kepartaian multi partai dianggap cocok untuk masyarakat Indonesia, hal ini mengingat keanekaragaman budaya politik masyarakat Indonesia. Perbedaan tajam yang ada dalam masyarkat yaitu meliputi ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Hal ini dijadikan alasan bahwasanya pola sistem multi partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya politik daripada sistem politik tunggal maupun sistem politik dwi partai.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 419-420.
5. PARTAI DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA
Sistem Kepartaian Indonesia menganut sistem multi partai. Aturan ini tersirat dalam pasal 6A(2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik Frasa gabungan partai politik mengisyaratkan paling tidak ada dua partai atatu lebih yang bergabung untuk mengusung seorang calon pasangan presiden dan wakio presiden dan bersaing dengan calon lain yang diusulkan partai-partai lain. Ini artinya sistem kepartaian di Indonesia harus diikuti oleh minimal 3 partai politik atau lebih.
Sejak era kemerdekaan, sebetulnya Indonesia telah memenuhi amanat pasal tersebut. Melalui Keputusan Wakil Presiden No X/1949, pemilihan umum pertama tahun 1955 diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen.
Pada masa pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto memandang terlalu banyaknya partai politik menyebabkan stabilitas poltik terganggu, maka Presiden Soeharto pada waktu itu memiliki agenda untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik dan pada tahun 1974 peserta pemilu tinggal tiga partai politik saja. Presiden Soeharto merestrukturisasi partai politik menjadi tiga partai(Golkar, PPP, PDI) yang merupakan hasil penggabungan beberapa partai. Walaupun jika dilihat secara jumlah, Indonesia masih menganut sistem multi partai, namun banyak ahli politik menyatakan pendapat sistem kepartaian saat itu merupakan sistem kepartaian tunggal. Ini dikarenakan meskipun jumlah partai politik masa orde baru memenuhi syarat sistem kepartaian multi partai namun dari segi kemampuan kompetisi ketiga partai tersebet tidak seimbang.
Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu sangat jauh berbeda dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan telah diberlakukannya ambang batas (Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.
tuk partai politik baru. Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%. Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Busroh , Abu Daud, Intisari Hukum Tata Negara Perbandingan : Konstitusi Sembilan
Negara, Jakarta : Bina Aksara, 1987.
Cangara, Hafied, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta, Rajawali Pers,
2009.
Surbakti, Ramlan , Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Grasindo, 2010.
Kelompok 1 16