JAPRA
Jurnal Pendidikan Raudhatul Athfal
P-ISSN. 2527-4325 E-ISSN. 2580-7412
Perkembangan Keterampilan Sosial Anak Usia Dini
Selly Puspa Dewi Rachman1, Isah Cahyani2
Lembimjar Neutron Bandung 4
Jl. Terusan Jakarta No. 19 Kiara Condong, Bandung, Jakarta
2
Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, Indonesia
Email: sellypuspa@gmail.com1, isahcahyani@gmail.com2
1
Naskah diterima: 12 November 2018, direvisi: 20 Februari 2019, diterbitkan: 30 Maret 2019
Abstrak
Keterampilan sosial merupakan keterampilan yang membantu individu untuk berinteraksi
dan berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal. Keterampilan
sosial anak usia dini perlu diidentifikasi sejak awal untuk mencegah perilaku negatif. Oleh
sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perkembangan keterampilan sosial
anak usia dini. Merujuk pada tujuan penelitian, pendekatan kualitatif dengan metode studi
kasus dipilih sebagai metode penelitian. Sebanyak 10 anak usia dini dengan rentang usia 3-4
tahun serta guru kelas terpilih sebagai partisipan penelitian. Penelitian berlokasi di salah satu
PAUD kecamatan Lembang. Data terkumpul melalui observasi, wawancara, serta studi
dokumentasi. Adapun validasi data menggunakan teknik triangulasi sedangkan data
teranalisis melalui analisis tematik. Hasil penelitian mengindikasikan adanya keterampilan
sosial pada anak usia dini. Hal ini membuktikan bahwa anak usia dini memiliki perkembangan
keterampilan sosial. Berkembangnya keterampilan anak usia dini dipengaruhi oleh
lingkungan terutama guru dan orang tua.
Kata kunci: anak usia dini, keterampilan sosial, perkembangan.
Abstract
Social skills are learned behaviors that help individual to interact and communicate with others, both verbally
and nonverbally. Early childhood social skills have to identified earlier to prevent the negative behavior. So,
the aim of this research is to identified the development of early childhood social skills. Case study research
with qualitative approach are used and the research subjects are ten children (3-4 years old) and a teacher
class. This research located at one of early childhood education in Lembang Subdistrict. Data collection
technique would be used observation, interview, and study of document. Meanwhile, the data were validated
and analyzed by triangulation technique and thematic analysis. Result of this research indicated that early
childhood showed social skills. The result approved that early childhood already have social skills. The
development of early childhood social skills were effected by environment including teacher and parents.
Keywords: development, early chilhood, social skills.
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Pendahuluan
Pada awal kehidupan, setiap anak akan mengalami berbagai pengalaman.
Pengalaman-pengalaman tersebut memberikan dampak pada perkembangan otak bagian
depan. Otak bagian depan memproses perasaan dan interaksi sosial. Oleh karena itu, otak
depan berperan penting selama masa emas anak. Masa emas anak terjadi pada usia dini, yaitu
lima tahun pertama kehidupannya (Mashar, 2011, hlm. 10).
Usia dini terjadi ketika anak memulai untuk mengembangkan kemampuan sosial yang
memengaruhi kesehatan mental dan fisiknya pada masa sekarang dan mendatang. Masa anak
usia dini sering disebut dengan masa bermain. Hal ini dikarenakan anak usia dini memiliki
porsi yang lebih banyak untuk bermain. Terdapat sebutan lain untuk anak usia dini, yaitu usia
prasekolah, usia berkelompok, usia menjelajah, dan usia kreatif (Mashar, 2011).
Allen & Marotz (2010) mengklasifikasikan anak usia dini dimulai dari usia 3-8 tahun.
Berbeda dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana
anak usia dini dimulai sejak lahir hingga usia enam tahun. Penelitian ini memfokuskan pada
anak-anak yang berusia 3-4 tahun. Berdasarkan delapan tahap perkembangan psikososial Erik
Erikson, anak berumur 3-5 tahun berada dalam tahap tiga, yaitu initiative vs guilt (Riyadi, 2011).
Pada tahap ini, anak akan membuat pilihan mengenai karakteristik orang lain
berdasarkan identifikasi orang tuanya. Anak cenderung bertingkah laku yang bersifat
mengganggu orang dewasa karena ia memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Bimbingan dari
orang dewasa sangat dibutuhkan pada masa ini. Hal tersebut bertujuan agar pengetahuan
awal yang diterima anak bersifat positif (Mutiah, 2012).
Anak usia dini berada pada masa peka karena secara tidak disadari terjadi pematangan
fisik dan psikis. Oleh karena itu, dibutuhkan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Pada usia ini juga anak akan belajar melalui permainan (Mutiah, 2012).
Setiap anak akan memelajari dasar perilaku sosial. Anak akan menjelajah untuk
mencari tahu kondisi lingkungan sekitarnya. Selain berada di masa peka, anak usia dini juga
berada pada masa usia emas. Masa emas anak terjadi pada usia dini, yaitu lima tahun pertama
kehidupannya (Mashar, 2011).
Hasil penelitian Osborn, White, & Bloom (dalam Mutiah, 2012 hlm. 3) menerangkan
bahwa, “sekitar 50% kecerdasan orang dewasa sudah dimiliki oleh anak berusia empat tahun.
Peningkatan 30% selanjutnya terjadi pada usia 8 tahun serta 20% sisanya terjadi pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua”.
53
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Semua kegiatan yang terjadi pada kehidupan awal anak sangat berharga dan
menentukan masa depannya. Hal tersebut berkaitan dengan stimulasi dan respons yang
diberikan. Menurut Skinner (2013, hlm. 75), “stimulus merupakan agen eksternal di mana
perilaku yang dikendalikannya disebut respons”. Suatu respons dapat diukur sebagai fungsi
dari intensitas stimulus.
Hendaknya, orang dewasa memberikan stimulus kepada anak pada setiap masa yang
akan dilewatinya. Mutiah (2010, hlm. 7) menuliskan lima masa yang dihadapi oleh setiap anak,
yaitu masa peka, masa egosentris, masa berkelompok, masa meniru, dan masa eksplorasi.
Masa peka
Masa peka merupakan masa yang sensitif dalam penerimaan stimulasi dari
lingkungan. KidsMatter Early Childhood (2010) menjelaskan bahwa interaksi adalah kunci dari
keterampilan hidup manusia.
Masa egosentris
Manusia memiliki ego yang tinggi. Ego tersebut secara perlahan akan dapat dikontrol
seiring dengan berjalannya waktu. Namun, orang dewasa tidak dapat memaksakan
kehendaknya terhadap ego dari seorang anak usia dini. Anak usia dini selalu menginnginkan
kemauannya dikabulkan. Hal ini membutuhkan kesabaran dan perhatian dari orang dewasa.
Masa berkelompok
Anak-anak lebih memilih untuk bermain secara berkelompok karena dapat
merasakan kesenangan yang lebih besar dibandingkan dengan bermain sendiri. Ia akan
mencari teman sebayanya. Ketika bermain, secara tidak disadari anak akan melakukan proses
seleksi. Proses seleksi itu dilakukan untuk memilih hal-hal yang sesuai dengan
kepribadiannya. Hal yang perlu dilakukan oleh orang dewasa adalah memberikan kesempatan
pada anak untuk bermain bersama.
Masa meniru
Tingkah laku anak di masa yang akan datang merupakan cerminan dari perilaku yang
ditirunya sewaktu dini. Sebagai bagian dari pembelajarannya, anak akan melakukan
pengamatan dan peniruan terhadap perilaku yang ia dapatkan dari lingkungan sekitar. Oleh
karena itu, yang perlu orang dewasa lakukan adalah memberikan contoh yang baik ketika
sedang bersama anak usia dini. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah sesuatu yang tidak
diinginkan dikemudian hari.
Masa eksplorasi
54
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Masa eksplorasi disebut juga sebagai masa penjelajahan. Pengetahuan yang dimiliki
oleh anak usia dini belum banyak. Oleh karena itu, ia senang untuk pergi kesana kemari demi
mendapatkan pengetahuan baru. Ia akan memanfaatkan benda-benda yang berada
disekitarnya dan melakukan trial and error terhadap benda-benda yang ditemukannya.
Penelitian ini difokuskan pada anak yang berusia 3-4 tahun sehingga akan dibahas
perkembangan anak yang berusia 3-4 tahun saja. Meskipun mereka berada di sekolah yang
sama akan tetapi mereka tidak mengalami perkembangan yang serupa. Sekalipun kembar
identik, tidak akan ditemukan sifat yang sama persis diantara mereka. Pada dasarnya, manusia
bersifat unik sehingga tidak ada kesamaan yang pasti dalam diri manusia.
Kestenbaum & Gelman (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2010, hlm. 369)
mengisyaratkan bahwa, “perkembangan yang terjadi pada anak usia 3 tahun, ia akan
memahami mengenai perasaan bahagia dan sedih yang disebabkan oleh pemberian hadiah”.
Namun, masih belum dapat memahami secara penuh mengenai emosi diri sendiri.
Anak usia 3 tahun sering sekali merasa bingung akan emosinya. Ketika ia senang
mendapatkan hadiah tetapi bentuk atau warnanya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Disatu sisi ia bahagia tapi di sisi lain ia kecewa atau sedih.
Berbeda dengan anak yang berada pada usia 4-5 tahun. Mereka belum mengetahui
arti bangga. Anak usia 4-5 tahun tidak akan mengatakan apakah orang tuanya bangga atau
malu terhadapnya atau tidak. Ranah emosi anak usia 4 tahun masih berada dalam kategori
labil. Namun, sifat pemarah mulai perlahan hilang dari diri anak perempuan dan tetap berada
dalam diri anak laki-laki (Papalia, Old, & Feldman, 2010).
Hakikatnya, anak usia 3-5 tahun penuh energi, antusiame, dan rasa ingin tahu. Anak
usia tiga tahun cenderung tenang, sedangkan anak usia empat tahun tidak ada kata lelah untuk
segala aktivitasnya. Berbeda juga dengan anak usia lima tahun yang rasa percaya dirinya
semakin tinggi.
Manusia merupakan makhluk sosial. Hal tersebut mamiliki arti bahwa manusia tidak
dapat hidup sendiri. Manusia memiliki ketergantungan terhadap makhluk hidup lainnya. Oleh
karena itu, manusia dituntut memiliki keterampilan sosial yang dapat menjadikannya bagian
dari sebuah kelompok. Anak usia dini mengembangkan keterampilan sosial melalui interaksi
dengan guru, bekerja sama dalam pembelajaran, bermain dengan teman, dan berinteraksi
dengan orang sekitarnya di dalam kelas maupun di luar kelas (Semrud-Clikeman, 2007).
Keterampilan sosial merupakan keterampilan yang membantu individu untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal
55
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
(Gresham & Elliott dalam Angacian, dkk., 2015). Sementara itu, Elliot, Malecki, & Demaray
(2001) mengisyaratkan keterampilan sosial sebagai keterampilan yang penting dimiliki oleh
individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sosial dan akademik serta dapat
memegang peran penting dalam pencegahan perilaku negatif.
Keterampilan sosial yang dimaksud dapat dipelajari dan dikembangkan melalui
pengalaman sehari-hari. Pada dasarnya, bersosialisasi dengan orang lain merupakan kunci
keterampilan hidup. Makhluk hidup mengalami perkembangan selama masa hidupnya. Tiga
ranah utama perkembangan manusia adalah fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia, Old, &
Feldman, 2010).
Pada masa kanak-kanak, interaksi sosial membantu perkembangan tiga ranah utama
(Vygotsky dalam Papalia, Old, & Feldman. 2010, hlm. 56). Kemampuan manusia tidak
berkembang dengan sendirinya. Meskipun demikian, perkembangan yang terjadi mengarah
kepada hal yang lebih matang dan positif.
Salah satu keterampilan manusia yang berkembang adalah keterampilan sosial.
Keterampilan sosial adalah perilaku yang terdiri dari interaksi positif dengan orang lain dan
lingkungan (Lynch & Simpson, 2010). Penanaman konsep keterampilan sosial dapat
dilakukan sedari dini. Maryani (2011, hlm. 18) menyatakan bahwa, “keterampilan sosial
adalah keterampilan untuk berinteraksi dalam lingkungan”.
Berbicara mengenai aspek keterampilan sosial, menurut Vayrynen, dkk. (2016)
terdapat empat dimensi dalam keterampilan sosial yang meliputi empati, toleransi, kerja sama,
dan perilaku adaptif. Empati dan toleransi merupakan dimensi keterampilan sosial yang
berkaitan dengan perasaan dan sikap. Sementara itu, kerja sama dan perilaku adaptif
merupakan dimensi keterampilan yang erat berkaitan dengan perilaku.
Anak yang dapat melewati hari di sekolah sesuai dengan tingkat perkembangannya
dapat dikategorikan memiliki keterampilan sosial yang cukup berkembang. Anak dapat
menjawab pertanyaan guru, bergabung dengan teman, merapikan kembali peralatan belajar
atau mainan, atau buang air kecil tanpa ditemani menunjukkan adanya keterampilan sosial.
Di sisi lain, beberapa anak tidak menunjukkan perilaku yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya (Arnesen, dkk., 2017). Sejumlah anak lebih senang menyendiri, mudah
emosi, dan senang mengganggu teman tanpa sebab. Perilaku anak yang demikian terkadang
dianggap sebagai perilaku yang wajar karena orang tua maupun guru menganggap hal tersebut
bagian dari masa perkembangan. Ada juga yang menganggap kesenjangan perilaku pada anak
56
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
merupakan hal yang kurang wajar tetapi tidak ada upaya untuk mengatasi kesenjangan yang
terjadi (Merrell, 2002).
Merujuk pernyataan tersebut, maka guru perlu melakukan identifikasi awal terhadap
perilaku siswa sebagai upaya mencegah perilaku negatif yang dapat berdampak pada
kehidupan sosial serta pencapaian akademik anak. Apabila guru sudah mengidentifikasi
perilaku sejak awal maka akan lebih mudah untuk menangani suatu masalah (Elliot, Huai, &
Roach, 2007; Lane, Oakes, & Menzies, 2010).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan
keterampilan sosial anak usia dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
perkembangan keterampilan sosial anak usia dini. Adapun manfaat diadakannya penelitian
ini yaitu membantu orang tua serta guru untuk mengenali perkembangan keterampilan sosial
anak usia dini sehingga dapat memberi beragam intervensi sebagai upaya pencegahan perilaku
negatif.
Metodologi
Pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus terpilih untuk menjawab rumusan
masalah. Penelitian kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk mengeksplor sebuah fenomena.
Studi kasus ditentukan oleh minat pada kasus-kasus individual bukan ditentukan oleh
metode-metode penelitian yang digunakan (Stake, 2009, hlm. 299).
Partisipan dalam penelitian ialah 10 anak usia dini yang tergabung dalam kelompok
kecil di salah satu PAUD. Sepuluh anak usia dini yang menjadi partisipan berada dalam
rentang usia 3-4 tahun. Selain itu, guru kelompok kecil juga menjadi partisipan dalam
penelitian. Tempat penelitian terletak di satu PAUD kecamatan Lembang.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian menggunakan observasi, wawancara,
serta studi dokumentasi. Observasi merupakan proses pengumpulan informasi yang bersifat
terbuka (Creswell, 2015). Observasi yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah observasi
partisipatif. Peneliti mengunjungi lokasi penelitian dan membuat catatan serta terlibat dalam
kegiatan subjek penelitian. Hal ini memudahkan peneliti dalam mendapatkan informasi yang
lebih mendalam mengenai kejadian yang terjadi.
Wawancara merupakan kegiatan tanya jawab yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi dari narasumber. Dalam penelitian kualitatif, wawancara terjadi ketika peneliti
menanyakan berbagai pertanyaan yang bersifat terbuka (Neumann, 2014). Wawancara
57
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
terbuka disarankan dilakukan dalam penelitian kualitatif agar para subjek penelitian
mengetahui bahwa ia sedang diwawancarai dan memahami maksud serta tujuan peneliti.
Studi dokumentasi bermanfaat untuk mendukung hasil observasi atau wawancara.
Dokumentasi dalam penelitian ini menggunakan foto. Foto dapat menjadi salah satu bukti
yang otentik. Foto menghasilkan data deskriptif. Penggunaan foto untuk melengkapi sumber
data memiliki manfaat namun perlu diberikan catatan khusus mengenai keadaan yang terjadi
dalam foto tersebut (Moeloeng, 2011).
Analisis data menggunakan analisis tematik. Naughton & Hughes (2009) menyatakan
bahwa analisis tematik merupakan teknik analisis data yang dilakukan dengan cara melihat
dan menemukan tema-tema dan kategori yang diperoleh dalam data yang telah dikodekan
terlebih dahulu. Tahapan analisis data dalam penelitian ini meliputi (1) menyiapkan data
mentah; (2) melakukan pengkodean (coding); (3) klasifikasi kode; (4) penafsiran data; (5)
penyajian data (Creswell, 2013).
Sementara itu, validitas data menggunakan triangulasi. Triangulasi merupakan suatu
proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna, memverifikasi
kemungkinan pengulangan dari suatu observasi atau interpretasi dengan prinsip tidak ada
observasi dan interpretasi yang dapat diulang (Denzin & Lincoln, 2009). Triangulasi merujuk
pada pengumpulan informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber melalui berbagai
metode (Cohen, Manion, & Marison, 2011). Penelitian ini menggunakan triangulasi jenis data
yang diperoleh dari catatan lapangan, hasil wawancara, dan analisis dokumen. Selain itu,
triangulasi sumber dilakukan kepada guru dan anak usia dini.
Hasil dan Diskusi
Dimensi keterampilan sosial yang diamati mengacu pada pendapat Vayrynen, dkk.
(2016) berupa empati, toleransi, kerja sama, dan perilaku adaptif. Kerja sama muncul ketika
anak bermain dengan alat permainan edukatif seusai belajar. Anak-anak tampak bekerja sama
untuk membangun gedung dengan menggunakan balok. Kemudian, anak bermain peran
untuk menjaga gedung dari serangan musuh.
Setelah lelah bermain, guru mengajak anak untuk membereskan alat permainan.
Anak-anak menunjukkan kerja sama saat membereskan alat permainan. Dalam situasi
tersebut, tidak ada anak yang diam. Semua ikut merapikan kembali alat permainan dan
menyimpan di tempat yang telah tersedia.
58
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Munculnya sikap kerja sama anak tidak terlepas dari arahan guru. Guru
mengembangkan sikap kerja sama dengan melibatkan diri dalam kegiatan anak sehingga anak
termotivasi untuk merapikan alat permainan. Hal tersebut dikuatkan berdasarkan wawancara
yang dilakukan peneliti kepada guru kelas kecil. Menurut Ibu DS, anak-anak biasanya tidak
merapikan dan menyimpan mainan kembali sesudah bermain. Anak-anak perlu diajarkan
tanggung jawab serta kerja sama. Anak-anak tidak bisa diperintah begitu saja tetapi kita orang
dewasa harus memberi contoh sehingga anak tidak merasa diperintah dan merapikan mainan
dengan hati senang.
Selanjutnya, sikap kerja sama muncul ketika anak-anak beraktivitas di luar ruangan.
Guru mengajak anak untuk bermain bowling dengan menggunakan botol serta bola plastik.
Ketika guru sedang menata botol, dua anak mendekati guru dan ikut menata botol. Dua anak
berinisial LO dan SD juga ikut memasukkan botol ke dalam wadah seusai permainan. Selain
itu, sikap kerja sama tampak seusai kegiatan belajar. Anak-anak bekerja sama merapikan kursi
dan membersihkan ruangan dari sampah (bekas guntingan atau serutan).
Personal living skills diperlihatkan anak ketika selesai belajar. Anak-anak dapat
merapikan alat tulisnya sendiri tanpa diinstruksikan guru. Anak-anak segera memasukkan alat
tulisnya ke dalam tas. Selain itu, anak berinisial FL dan TR menunjukkan kemandirian saat
buang air kecil tidak diantar oleh guru.
FL dan TR menolak tawaran guru untuk mengantarnya ke kamar mandi. Anak-anak
menyimpan sepatu di rak dan mengeringkan kaki tanpa instruksi guru. Anak-anak juga sudah
memiliki kesadaran akan mencintai lingkungan. Hal ini dibuktikan anak ketika membuang
sampah pada tempatnya.
Anak berinisial LS juga memperlihatkan personal living skills yang baik. LS dapat
menjaga kebersihan dirinya. LS mengeluarkan dan merapikan kembali kotak bekal yang
dibawa. Kemudian, LS mencuci serta mengeringkan tangan dengan tisu tanpa bantuan guru.
Merujuk pada hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka peneliti menyimpulkan bahwa
personal living skills sudah tampak dalam diri anak usia dini.
Social living skills tampak ketika anak dapat menjawab sapaan guru, menyapa guru
terlebih dahulu, dan menyapa teman. Selama pengamatan, peneliti menemukan anak yang
bersikap sangat sopan ketika meminjam mainan teman.
Anak berinisial ZD dan ZY selalu mengucapkan kata tolong ketika meminta bantuan
dan meminjam krayon. Sesudah memperoleh bantuan ZD dan ZY mengucapkan terima
kasih kepada teman. Namun, ada juga anak yang kurang berbicara sopan sehingga guru harus
59
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
menegur anak tersebut secara halus. Hal ini sangat mungkin terjadi karena anak usia dini
senang menjadikan kata baru sebagai lelucon.
Bersumber pada observasi, wawancara, serta studi dokumentasi maka peneliti
menemukan keterampilan sosial yang berkembang pada anak usia dini usia 3-4 tahun yaitu
kerja sama dan perilaku adaptif.
Pembahasan
Dimensi keterampilan sosial pertama yang muncul yaitu kerja sama. Kerja sama
adalah keterlibatan mental dan emosional individu di dalam situasi kelompok yang
mendorong mereka untuk memberikan kontribusi dan tanggung jawab dalam mencapai
tujuan kelompok (Caughy, dkk., 2011).
Tujuan kerja sama bagi anak usia dini yaitu membentuk kepribadian anak agar dapat
mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama dengan orang lain dalam
berbagai situasi, memantapkan interaksi pribadi antara anak dengan teman sebaya atau guru,
serta membangun proses sosial (Hess, dkk., 2013).
Berkaitan dengan sikap kerja sama yang muncul dalam diri anak, peran guru tidak
terlepas dari pembentukan sikap. Guru memberikan contoh yang dapat ditiru anak dengan
mudah. Guru mau terlibat secara langsung dalam pembentukan sikap kerja sama.
Menurut Rouse & Floriand (2012) kerja sama dalam diri anak usia dini sangat mudah
terbentuk apabila orang sekitar menunjukkan sikap yang sama. Dalam hal ini, seorang guru
tidak diperkenankan hanya memberi instruksi tetapi ikut bergabung dengan anak. Senada
dengan itu, Goodman & Burton (2010) menyatakan bahwa guru ialah sosok yang menjadi
teladan anak sehingga peran guru sangat penting untuk membangun keterampilan sosial.
Penelitian dari Jennings & DiPrete (2010) dan Iruka, Burchinal, & Cai (2010)
membuktikan bahwa guru memberikan dampak terhadap keterampilan sosial siswa yang
berimbas pada pencapaian akademik. Dampak terhadap keterampilan sosial siswa lebih besar
jika dibandingkan dengan pengembangan akademik siswa. Keterampilan sosial memiliki
dampak positif terhadap perkembangan kemampuan akademik pada jenjang awal sekolah
dasar.
Dimensi keterampilan sosial kedua yang muncul yaitu perilaku adaptif. Perilaku
adaptif adalah kematangan diri dan sosial individu untuk melakukan kegiatan umum sehari-
60
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
hari sesuai dengan usia dan berkaitan dengan budaya kelompoknya (Delphie, 2009). Perilaku
adaptif terbagi ke dalam dua jenis yang meliputi personal living skills dan social living skills.
Personal living skills adalah perilaku adaptif yang ditunjukkan dengan kemandirian
individu untuk mengelola dirinya sendiri seperti kemandirian dalam makan, berpakaian, dan
merawat diri. Sementara itu, social living skills adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
bermasyarakat seperti kemampuan membangun interaksi dengan teman atau orang dewasa,
bertingkah memerhatikan tata krama, dan kemampuan berpartisipasi dalam kelompok
(Delphie, 2009).
Personal living skills muncul ketika anak memperoleh stimulasi dari pihak yang sering
terlibat dalam kehidupannya seperti guru dan orang tua. Sebagai upaya menerapkan
pembelajaran yang sudah diajarkan, guru selalu menulis catatan kepada orang tua melalui
buku penghubung. Buku penghubung bertujuan agar guru dapat menyampaikan
perkembangan anak serta meminta dukungan orang tua untuk turut serta dalam
pembentukan keterampilan sosial anak.
Hal ini selaras dengan hasil penelitian Tsangaridou, dkk. (2015) yang membuktikan
bahwa keterampilan sosial anak berkembang lebih baik ketika guru dengan orang tua bekerja
sama. Guru menyampaikan informasi terkait perkembangan anak dan membantu orang tua
untuk mengatasi permasalahan anak.
Sejalan dengan itu, Humphrey, dkk. (2011) mengemukakan bahwa anak usia dini
sedang berada pada masa peniruan. Mereka kerap menirukan perkataan maupun tindakan
yang baru serta menjadikan lelucon kata-kata yang kurang baik.
Anak usia dini sedang berada dalam masa berkembang dan mudah menyerap hal-hal
baru yang ada di sekitarnya. Keterampilan sosial akan mudah terbentuk pada anak usia dini
sehingga kegiatan pembelajaran di sekolah atau kelompok bermain fokus pada
perkembangan keterampilan sosial.
Anak membentuk keterampilan sosial melalui pengalaman serta pengamatan
sekitarnya. Oleh sebab itu, orang yang banyak terlibat dengan kehidupan anak sangat perlu
memberi contoh perilaku yang berdampak pada pembentukan keterampilan sosial anak
(Gregoriadis, Grammatikopoulos, & Zachopoulou, 2013).
Orang tua dan guru ialah orang yang banyak terlibat dengan kehidupan anak. Orang
tua dan guru perlu menyinkronkan pembelajaran agar anak termotivasi untuk berperilaku
sesuai dengan usia dan norma. Tidak dipungkiri bahwa pendidikan dalam keluarga
merupakan dasar dari pembentukan kepribadian (Freeman & Munandar, 2000). Anak akan
61
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya sehingga pengaruh yang diberikan oleh keluarga
sangat melekat pada diri anak.
Guru dan orang tua berkewajiban dalam mengajarkan keterampilan sosial. Banyak cara
bagi anak untuk mempelajari keterampilan sosial. Salah satunya dengan mengamati orang lain
dan melewati proses trial and error. Orang dewasa dituntut memberikan contoh yang baik.
Ketika anak mengamati perilaku sekitar, orang dewasa senantiasa mengarahkannya.
Hal tersebut sesuai dengan teknik scaffolding yang dikemukakan oleh Vygotsky. Orang
dewasa hendaknya membantu anak melewati ZPD (Zone of Proximal Development) (Papalia, Old,
& Feldman, 2010, hlm. 56). Selama mendapatkan bimbingan dari orang dewasa, anak akan
belajar mengenai tanggung jawab akan perilakunya sendiri. Jika anak dibimbing dengan baik,
maka keberhasilan akan didapat.
Keberhasilan dalam mengembangkan keterampilan sosial dapat diraih dalam berbagai
cara. Orang tua dan orang dewasa lainnya dapat melakukan tiga hal yang membantu anak
dalam mengembangkan keterampilan sosialnya. Tiga hal yang dirangkum dari KidsMatter
Early Childhood (2010), yaitu berinteraksi tatap muka, bermain bersama, dan mendukung anak
untuk mempelajari keterampilan hidup.
Penutup
Merujuk pada temuan penelitian yang telah diuraikan, maka peneliti membuat suatu
simpulan bahwa keterampilan sosial sudah berkembang pada anak usia dini. Keterampilan
sosial yang diperlihatkan anak usia dini berupa kerja sama dan perilaku adaptif.
Kerja sama adalah keterlibatan mental dan emosional individu di dalam situasi
kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi dan tanggung jawab dalam
mencapai tujuan kelompok. Sementara itu, perilaku adaptif adalah kematangan diri dan sosial
individu untuk melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan usia dan berkaitan
dengan budaya kelompoknya. Perilaku adaptif terbagi ke dalam dua jenis yang meliputi
personal living skills dan social living skills.
Anak membentuk keterampilan sosial melalui pengalaman serta pengamatan
sekitarnya. Oleh sebab itu, orang tua dan guru memiliki peran penting dalam mengajarkan
keterampilan sosial.
Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan, maka peneliti menyarankan kepada
praktisi pendidikan untuk memberi banyak stimulasi pada anak usia dini agar keterampilan
62
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
sosial anak meningkat. Keterampilan sosial merupakan keterampilan yang penting untuk
dikembangkan di masa emas anak. Stimulasi dapat dilakukan melalui permainan yang
diintegrasikan dalam pembelajaran.
Daftar Pustaka
Allen, K.E & Marotz, L.R. 2010. Profil pengembangan anak prakelahiran hingga usia 12 tahun.
Jakarta: Indeks.
Angacian, dkk. 2015. School-based intervention for social skills in children from divorced
families. Journal of Applied School Psychology, 31 (4): 315-346.
Arnesen, A., dkk. 2017. Validation of the elementary social behaviour assessment: teacher
ratings of students’ social skills adapted to Norwegian, grades 1–6. Emotional and
Behavioural Difficulties, 1 : 1-16.
Caughy, M. O. B, L. dkk. 2012. Social competence in late elementary school: Relationships
to parenting and neighborhood context. Journal of Youth and Adolescence, 41 : 1613–1627.
Cohen, L., Manion, L., & Morrison, K. 2011. Research methods in education 7th ed. Milton Park:
Routledge.
Creswell, J.W. 2013. Research design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Creswell, J. 2015. Riset pendidikan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi riset kualitatif dan
kuantitatif (edisi kelima). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Delphie, B. 2009. Bimbingan perilaku adaptif anak dengan hendaya perkembangan fungsional.
Tangerang: CV. Kompetenesi Terapan Sinergi Pustaka.
Denzin, N.K., & Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of qualitative research. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Elliott, S. N., Huai, N., & Roach, A.T. 2007. Universal and early screening for educational
difficulties: Current and future approaches. Journal of School Psychology, 45 : 137–161
Elliott, S. N., Malecki, C. K., & Demaray, M. K. 2001. New directions in social skills
assessment and intervention for elementary and middle school students. Exceptionality,
9 : 19–32.
Freeman, J., & Munandar, U. 2000. Cerdas dan cemerlang (Sumantri, B. & Singgih, E., Trans).
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goodman, R., & Burton, D. 2010. The inclusion of students with besd in mainstream
schools: Teachers’ experiences of and recommendations for creating a successful
inclusive environment. Emotional and Behavioural Difficulties, 15 (3) : 223–237.
Gregoriadis, A., Grammatikopoulos, V., & Zachopoulou, E. 2013. Evaluating preschoolers’
social skills: The impact of a physical education program from the parents’ perspective.
International Journal of Humanities and Social Science, 3, (10) : 40–51.
63
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Hess, M., dkk. 2013. The parent version of the preschool social skills rating system:
psychometric analysis and adaptation with a german preschool sample. Journal of
Psychoeducational Assessment, 32 (3) : 216–226.
Humphrey, N. 2011. Measures of social and emotional skills for children and young people:
A systematic review. Educational and Psychological Measurement, 71 : 617–637.
Iruka, I.U., Burchinal, M., & Cai. K. 2010. Long-term effect of early relationshipsfor African
American children’s academic and social development: An examination from
kindergarten to fifth grade. Journal of Black Psychology, 36 (2) : 144-171
Jennings, J.L., & DiPrete, T.A. 2010. Teacher effects on social and behavioral skills in early
elemantary school. Sociology of Educaton, 83 (2) : 135-159.
KidsMatter Early Childhood. 2010. Getting along: Developing social skills in early childhood. [Online].
Diakses dari www.kidsmatter.edu.au
Lane, K. L., Oakes, W., & Menzies, H. 2010. Systematic screenings to prevent the
development of learning and behavior problems: Considerations for practitioners,
researchers, and policy makers. Journal of Disability Policy Studies, 21: 160–172.
Lynch, S.A., & Simpson, C.G. 2010. Social skills: Laying the foundation for success.
Dimensions of Early Childhood, 38 (2) : 1-10.
Maryani, E. 2011. Pengembangan program pembelajaran IPS untuk peningkatan keterampilan sosial.
Bandung: Alfabeta.
Mashar, R. 2011. Emosi anak usia dini dan strategi pengembangannya. Jakarta: Kencana.
Merrell, K. W. 2002. School social behavior scales. Baltimore, MD: Brookes.
Moeloeng, L.J. 2011. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mutiah, D. 2012. Psikologi bermain anak usia dini. Jakarta: Kencana.
Naughton, G.M., & Hughes, P. 2009. Doing action research in early childhood studies: A step by step
guide. USA: Open University Press.
Neumann, L. 2014. Social research methods: Qualitative and quantitative approaches seventh edition.
UK: Pearson Education.
Papalia, D.E., Old. S.W. & Feldman, R.D. 2010. Human development (Psikologi perkembangan edisi
ke sembilan). (A.K. Anwar, Trans). Jakarta: Kencana.
Riyadi, A. R. 2011. Personality development. Bandung: Program S1 Pendidikan Guru Sekolah
Dasar.
Rouse, M., & Florian, L. 2012. Inclusive practice project: Final report. Aberdeen. SD: University of
Aberdeen.
Semrud-Clikeman, M. 2007. Social competence in children. New York, NY: Springer Science
Business Media LLC.
Skinner, B.F. 2013. Ilmu pengetahuan dan perilaku manusia (Maufur, Trans). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Stake, R.E. 2009. Studi kasus. (Dariyatno, Fata, Abi & Rinaldi, Trans.) In Denzin, N.K and
Lincoln, Y.S (Eds.). 2009. Handbook of qualitative research. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
64
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019
Rachman & Cahyani
Perkembangan Keterampilan Sosial…
Tsangaridou, N. 2015. Developing preschoolers' social skills through cross-cultural physical
education intervention. Early Child Development and Care, 184 (11) : 1550-1565.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan
Nasional.
Vayrynen, S., dkk. 2016. Finnish and Russian teachers supporting the development of social
skills. European Journal of Teacher Education, 1 : 1-16.
65
JAPRA
Volume 2, Nomor 1, Maret 2019