Academia.eduAcademia.edu

RAME TUR AKEH LUCUNE: SIASAT ESTETIS PEMANGGUNGAN KETOPRAK PATI

Fokus makalah ini pada pemanggungan seni pertunjukan ketoprak Pati yang menjalankan siasat rame tur akeh lucune. Lewat siasat ini, para seniman ketoprak di wilayah utara Pulau Jawa ini berharap mampu memikat perhatian para penontonnya sehingga seni pertunjukan ini tetap laris tanggapan hingga kini. Siasat itu dijalankan antara lain melalui penggarapan lakon yang secara mencolok terekspresikan pada adegan tamansari (emban), perang, gandrung, dan dhagelan.

RAME TUR AKEH LUCUNE: SIASAT ESTETIS PEMANGGUNGAN KETOPRAK PATI Sucipto Hadi Purnomo Program Studi Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang rumahbaca@yahoo.com ABSTRAK Fokus makalah ini pada pemanggungan seni pertunjukan ketoprak Pati yang menjalankan siasat rame tur akeh lucune. Lewat siasat ini, para seniman ketoprak di wilayah utara Pulau Jawa ini berharap mampu memikat perhatian para penontonnya sehingga seni pertunjukan ini tetap laris tanggapan hingga kini. Siasat itu dijalankan antara lain melalui penggarapan lakon yang secara mencolok terekspresikan pada adegan tamansari (emban), perang, gandrung, dan dhagelan. Kata kunci: ketoprak, pemanggungan, siasat estetis, rame tur akeh lucune PENDAHULUAN Di tengah-tengah gejala umum teralienasinya seni pertunjukan tradisional Lihat Brandon (2003:xii), Janarto (dalam Puwaraharja, 1997:100-104), dan Jazuli (2001:201-202)., termasuk ketoprak, ketoprak Pati Ketoprak Pati adalah sebutan untuk grup-grup ketoprak yang tumbuh dan berkembang di kawasan Kabupaten Pati. Menurut data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati (2013), tercatat di wilayah ini terdapat 36 grup ketoprak. Meskipun demikian, tak lebih dari 10 grup yang benar-benar eksis yang ditandai dengan pemamanggungannya dalam setahun lebih dari 12v kali atau sebulan sekali. justru menjadi semacam anomali. Frekuensi pemanggungannya tetap saja tinggi Berdasarkan wawancara dengan lima pemimpin grup ketoprak terlaris di Kabupaten Pati (Wahyu Manggolo, Kridho Carito, , setiap tahun mereka pentas tak kurang dari 125 kali. , seiring dengan besarnya minat penonton dan penanggap atau pihak yang menyelenggarakan pentas sekaligus membayar grup ketoprak yang pentas tersebut Ikhwal daya tahan ketoprak Pati dapat dibaca dalam Purnomo (2007).. Grup Ketoprak Wahyu Manggolo dari Desa Jakenan Kecamatan Jakenan Kabupaten Pati merupakan merupakan salah satu contohnya. Dipimpin oleh Sandimin, yang memiliki nama panggung Mogol dan dikenal secara luas dengan nama sebagai dagelan di atas panggung itu, Wahyu Manggolo terhitung laris tanggapan. Sepanjang bulan Apit dan Besar 1947 dalam penanggalan Jawa atau Agustus-September 2014 dalam penanggalan Jawa, grup ketoprak ini nyaris tanpa absen dari pentas, dari satu desa ke desa lain di wilayah Kabupaten Pati dan sekitarnya, dari halaman rumah penanggap satu ke penanggap lainnya, dari satu perhelatan ke perhelatan lainnya, yang hampir semuanya merupakan pentas siang dan malam. Dalam lembaran jadwal yang dipegang Mogol, yang juga disalin oleh semua anggota grup tersebut dan sejumlah pedagang kaki lima yang turut mengikuti grup ini setiap kali pentas, tertulis bahwa selama 35 hari mereka nonsetop dari pentas. Hingga akhir Oktober 2014, mereka telah melakoni lebih dari 120 hari pentas. Frekuensi pemanggungan yang demikian tinggi menegaskan tingginya minat penonton terhadap pemanggungan grup ketoprak ini. Pemanggungan yang memikat tak lepas dari siasat yang dijalankan oleh grup ketoprak ini. Karena itu di luar aspek-aspek lain yang turut menyangga eksistensi ketoprak Pati, terutama grup ketoprak Wahyu Manggolo, siasat pemanggungan ini patut mendapatkan perhatian secara khusus. Karena mementaskan lakon ketoprak berarti menampilkan segenap daya upaya estetis anggota rombongan ketoprak, mulai dari sutradara, niyaga, pemain, hingga penata setting dan dekorasi untuk menarik penonton agar tetap sudi menikmati sajian yang berlangsung selama berjam-jam, maka segenap hal itu perlu pula mendapat perhatian. RAME DAN LUCU-NYA RANGGALAWE GUGAT Tanggal 1 Juli 2011, siang-malam, grup Wahyu Manggolo pentas di Desa Trikoyo Kecamatan Jaken Kabupaten Pati. Mereka bermain di atas panggung di halaman rumah pasangan Radiman dan Sukarti yang sedang punya hajat menikahkan anak mereka. Lakon yang dipilih, sesuai dengan kesepakatan sutradara dan penanggap (tuan rumah), Ranggalawe Gugat Pentas dengan lakon Ranggalawe Gugat tersebut disyut serta hasilnya digandakan dalam keeping cakram dengan format DVD untuk kemudian dipasarkan secara bebas di lapak-lapak pedagang kaki lima dengan harga Rp15.000,00 per keeping (satu lakon penuh dengan durasi 5 jam lebih).. Lakon ini berkisah tentang keberatan Adipati Tuban Ranggalawe sesaat setelah Raja Majapahit menetapkan Nambi sebagai patih mangkubumi. Ranggalawe menganggap Nambi tak pantas menduduki posisi kedua di kerajaan baru itu, sebab ada yang jauh lebih berjasa dalam pendirian Majapahit, seperti Ken Sora dan dirinya. Namun keberatan Ranggalawe tak dipedulikan Raja. Merasa tidak digubris, Ranggalawe menyatakan memberontak. Perang pun tak terhindarkan. Singkat cerita, lewat muslihat, Ranggalawe akhirnya tewas di tangan Kebo Anabrang. Pilihan lakon jenis gugat Sebagaimana jenis lakon dalam cerita wayang, dalam pergelaran ketoprak juga dikenal jenis lakon gugat, lakon gugur, lakon winisuda, lakon adege, dan lakon dumadine. Tergolong dalam lakon gugat, antara lain Surawiyata Gugat, Penangsang Gugat, Lontang Semarang Gugat, dan Menakjingga Gugat. sudah menunjukkan bahwa lakon ini akan rame, yakni ramai oleh perang, baik perang mulut maupun perang secara fisik lengkap dengan muslihat yang dijalankan para tokoh cerita. Dengan pilihan lakon jenis ini, baik penanggap maupun penyaji hendak meyakinkan para penonton bahwa pertunjukan akan berlangsung rame. Bagaimana siasat rame itu dijalankan oleh seniman Wahyu Manggolo? Siasat itu dapat dicermati dari adegan per adegan maupun dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah pertunjukan yang utuh. Entakan pertama sudah terasa ketika seorang narator, tanpa terlihat oleh penonton karena seluruh panggung masih tertutup layar depan, hendak menyebutkan lakon serta para pemeran lakon. Begitu dengan keras sang narator menyebut, “Wahyu Manggolo!” serta merta terdengar keras ledakan mercon tiga kali dari bawah panggung. Tentu saja suara yang disertai kepulan asap itu membuat sebagian besar penonton menutup rapat-rapat kedua lubang telinga dengan jemari tangan. Tak berselang lama, kelir depan ditarik ke atas, dan panggung pun terbuka. Pergelaran diawali dengan tari Gambyong yang lazim dikenal sebagai tari Srimpi atau Srimpen. Dibawakan oleh tujuh perempuan penari, Srimpen berlangsung tak ubahnya tari Gambyong pada umumnya. Namun setelah hampir sepuluh menit mereka menari dalam gerak dan iringan gending Gambyong, bersamaan dengan perubahan pencahayaan, tiba-tiba iringan musik sarat dengan entakan suara kendang yang kian keras dan cepat temponya. Para penari pun berubah dalam hal pola dan irama gerak. Lebih dinamis, lebih sigrak. Tarian lebih menyerupai sebagai goyang dangdut lengkap dengan goyang pinggul ala penyanyi dangdut pantura, sementara iringan musik pun terdengar mirip dengan dangdut atau setidak-tidaknya campursari dangdut. Itu berlangsung kurang dari lima hingga akhirnya kelir depan menutup panggung pertunjukan. Adegan yang sesungguhnya dibuka dengan latar tempat dalam sebuah gua. Temaram pencahayaan mengesankan tempat itu menyeramkan. Duduk bersila membelakangi penonton, di atas level, seorang laki-laki bertelanjang dada, berbadan tegap, bersedekap. Dari mulutnya keluar ujaran bernada tembang: Tan samar pamoring suksma/sinukmaya winahya ing ngasepi/…. Teks ini merupakan nukilan dari Serat Wedhatama Wedhatama adalah salah satu teks dalam bahasa Jawa baru karya KGPAA Mangkunegoro IV pada era Surakarta Awal. Petikan dari karya ini sering diambil untuk sindhenan dalam pergelaran ketoprak, tayub, dan wayang. . Adegan pertama seperti itu, pada masa-masa sebelumnya tidak lazim dalam pergelaran ketoprak. Lazimnya pergelaran dibuka dengan sebuah audiensi di keraton, kademangan, atau padepokan sebagaimana jejer pisan dalam pergelaran wayang purwa. Pilihan ketidaklaziman ini sekaligus diharapkan menjadi kejutan bagi penonton, meskipun sesungguhnya dalam pergelaran-pergelaran lainnya, pengadegan ini makin lazim saja. Selain itu, pengadegan seperti ini terasa tidak lebih menjemukan dan ibarat mesin tidak lambat panasnya dibandingkan dengan pola pasewakan atau pisowanan (audiensi) tersebut. Begitu satu bait tembang usai dilantunkan, keluarlah sesosok yang menyerupai genderuwo yang berkostum ala leak. Sesosok ini dalam iringan gamelan yang mengentak-entak, menari dan berusaha menggoda tokoh yang sedang bersemadi. Namun upayanya gagal, sehingga genderuwo itu pergi. Kehadiran genderuwo, sekalipun bagi sebagian anak yang menjadi bagian dari penonton pertunjukan itu menakutkan, tetap saja ia menghibur. Efek menyeramkan adalah sebuah hiburan tersendiri pula sebagaimana terlihat pada beberapa anak yang berusaha menrapat pada orang tua masing-masing namun tetap melihat sosok menyerupai genderuwo itu. Perginya sosok menyerupai genderuwo disusul kehadiran seorang perempuan dengan muka ditutup kain. Perempuan itu menghentikan semadi lelaki yang diketahui oleh perempuan itu bernama Ranggagadhung, bahkan mengajaknya bertarung. Saling tantang berlangsung. Pertarungan pun terjadi. Keduanya berkelahi. Perkelahian berlanjut dengan keduanya saling mengambil kuda-kuda untuk bersiap mengeluarkan ajian. Benturan ajian di antara keduanya berujung pada terkaparnya si perempuan. Menyaksikan lawannya tak berdaya, Ranggagadhung pun penasaran. Maka dibukalah kain penutup yang menyelubungi seluruh muka perempuan. Betapa terkejutnya Ranggagadhung demi mengetahui yang telah ia buat tak beradaya adalah Ragapadmi, istrinya sendiri. Menghadirkan Ragapadmi dengan muka tertutup merupakan cara untuk membangkitkan rasa penasaran penonton. Sejalan dengan rasa penasaran yang ditunjukkan oleh tokoh Ranggagadhung, rasa penonton pun diharapkan kian membuncah tatkala perempuan itu terkapar oleh ajian Ranggagadhung. Rasa penasaran itu kemudian dientakkan dengan keterkejutan tokoh Ranggagadhung yang ditopang oleh suara keprak (thok… thok… thok…) yang nyaris berbarengan dengan iringan sampak dari gamelan yang ditabuh para niyaga. Demi menghadapi istrinya pingsan, Ranggagadhung pun meninggalkan perempuan itu berusaha mencari obat. Ternyata Ragapadmi hanya pura-pura. Ia tidak sungguh-sungguh pingsan. Bahkan ia berdiri dan mengawasi ke mana perginya suami, dan begitu tahu suaminya segera kembali, dia pura-pura terkapar lagi. Namun entah disadari atau tidak, Ragapadmi telah bergeser dari tempatnya semula. Itu yang membuat Ranggagadhung curiga. Karena itu, ia pun pura-pura pergi untuk mencari obat lagi. Padahal sesungguhnya, ia hanya ingin menjebak istrinya. Maka, begitu istrinya berdiri, dia serta merta sudah melongok dari lubang yang lain di gua itu. Namun Ragapadmi tetap nekat terkapar lagi, bahkan dia berucap, “Aku ora bakal gelem urip yen ora diambung (Aku tidak akan mau hidup jika tidak dicium).” Adegan seperti itu tentu saja menjinjing kelucuan sehingga mampu memantik tawa para penonton. Keterlibatan penonton, terutama anak-anak juga berlangsung tatkala Ragapadmi minta cium dan anak-anak berteriak, “Ambung! Ambung! Ambung!” (Cium! Cium! Cium!) Apa yang kemudian tergelar berikutnya? Begitu diraih oleh Ranggadhung agar berdiri, Ragapadmi berujar,” Sepira gedhene katresnanmu, Kakang, aku njaluk bukti.” (Seberapa besar cintamu, Kakang, aku minta bukti.) Kata-kata itu bersambut dengan tembang yang dilantunkan oleh Ranggagadhung, “Sapa manis kaya sira…..” (Siapa manis seperti dirimu….). Sambil terus bedendang, keduanya berpegangan tangan, berpelukan, sesaat melepaskan pelukan, kemudian berciuman atau seolah-olah seperti berciuman lagi. Itulah yang disebut gandrung. Hampir lima menit mereka gandrung sampai satu tembang tuntas didendangkan bersama secara bersahutan antara Ranggagadhung dan Ragapadmi, sampai kemudian Ranggagadhung berpamitan menuju Kerajaan Majapahit dan kelir depan pun menutupi panggung pentas. Adegan pembuka seperti ini merupakan adegan di luar kelaziman “pakem” ketoprak sebagaimana yang sering saya tonton pada masa kanak-kanak pada era 80-an abad ke-20. Kala itu, lakon apa pun selalu dibuka dengan adegan patur-paturan (audiensi) yang terasa datar-datar saja dan menjemukan. Mirip jejer pisan (pertama) Keraton Ngastina dalam pergelaran wayang kulit pakem (pakeliran jangkep). Pilihan macam itu bukan tanpa alasan. Kabul Sutrisno, pemimpin ketoprak Cahyo Mudho, menyebut ketoprak sekarang cenderung memilih gaya “thas-thes thas-thes” (to the point, tidak bertele-tele) yang lebih mengutamakan gègèt atau “ramé, akeh gandrungé, tur akeh lucuné”. Dialog yang bertele-tele dianggapnya hanya akan menjemukan sehingga sebagai tontonan tidaklah menarik minat penonton. Dari satu adegan tersebut, tampaklah upaya untuk menghadirkan berbagai siasat estetis untuk memikat hati penonton. Setidaknya ada tiga hal yang cukup mencolok yang ditunjukkan, yakni unsur menyeramkan namun sekaligus menghibur, perang, ndhagel untuk menghadirkan efek lucu, dan gandrung untuk memunculkan efek romantis. Tampilan genderuwo memang bagi penonton, terutama anak-anak, merupakan sosok yang menyeramkan, menakutkan. Namun pada saat yang bersamaan kehadirannya juga menghibur. Hal ini akan lebih kentara pada adegan ketiga, yakni adegan perang tanding dua prajurit sakti yang saling bisa mengubah diri dalam wujud serigala dan harimau. Harimau dan serigala memang berhadap-hadapan. Namun keduanya tak segera bertarung, melainkan justru saling ledek. Baru kemudian ketika benar-benar bertarung, saling terkam, justru lampu mati dan keduanya berubah wujud, kembali menjadi manusia. Begitu pula ketika salah seorang prajurit yang sakti itu mengubah diri menjadi rajawali, dua sekaligus. Tapi alih-alih rajawali raksasa kembar itu tampil menyeramkan, mereka justru keluar untuk bersama-sama menjoget. Dengan kesaktianntya, prajurit yang menjadi lawannya pun berhasil memukul kedua burung raksasa itu. Jika perang dalam realitas faktual penuh darah dan mengerikan, dalam realitas panggung ketoprak justru penuh dengan gelak canda. Ada memang saling tantang, namun ada pula saling ledek di antara yang berperang. Gaya berperang pun beragam, mulai dari perkelahian ala kungfu lengkap dengan tongkat (toya), berkelahi ala Power Rangers lengkap dengan formasi dan teriakan, “Berubah!”, hingga bertarung ala Smack Down. Tentu saja suguhan seperti ini lebih banyak memunculkan efek lucu dan menghibur ketimbang rasa ngeri. Perang pada pentas ketoprak yang menyerupai formasi Power Rangers. Adapun gandrung, sepanjang tembang gandrung didendangkan, sepanjang gamelan berbunyi, di bawah cahaya lampu yang kadang terang benderang kadang meredup, adegan mesra di antara dua orang lawan jenis tersaji. Tangan bertaut, tubuh bepelukan, dan ciuman pun terpanggungkan. Tak jarang beberapa penonton, terutama anak-anak, berseru, “Huuu!” begitu adegan mereka tampak kelewat mesra. Adegan gandrung. Gandrung sebagai salah satu tulang pungung pementasan yang diyakini mampu memantik hasrat penonton untuk menikmati, dipilih memang kini makin lazim hadir sebagai adegan pembuka. Sekalipun demikian, pilihan tersebut bukan tanpa syarat. Gandrung melibatkan seorang pemain laki-laki dan seorang pemain perempuan pilihan. Mereka biasa disebut pemain rol. Yang laki-laki rol lanang sebutannya, yang perempuan rol wedok predikatnya. Bisa pula, terutama pemeran laki-laki adalah pemeran antagonis. Mereka adalah laki-laki muda yang tampan atau gagah, sedangkan yang perempuan tergolong cantik rupawan. Syarat lain, mereka haruslah pemain wos, yakni pemain unggulan dalam hal bertutur kata (antawacana), kaya akan kosa kata terutama bahasa-bahasa plastis, paham paramasastra, dan tahu benar unggah-ungguh berbahasa. Di samping itu, piawai melantunkan tembang gandrung dengan dasar kemampuan bertiti laras dan bercengkok. Syarat lainnya, piawai beriprovisasi di atas panggung, sebab untuk semua adegan yang diikuti sama sekali tanpa teks yang bisa dihafalkan. Adegan rame yang memunculkan suasana gayeng juga terutama tampak pada adegan taman atau emban. Ini adalah tempat kemunculan para pemain perempuan, muda, dan mereka semua secara bergantian atau bersama-sama menyanyi dan menari. Lagu yang mereka suguhkan tak terbatas pada lagu Jawa yang telah mentradisi ataupun campursari, melainkan lagu apa saja bisa disuguhkan, termasuk dangdut atau bahkan yang belakangan biasa disebut dangdut pantura ataupun dangdut koplo. Tak mengherankan jika dalam lakon Ranggalawe Gugat ini pun, saat adegan taman, lagu yang tersuguhkan tidak hanya “Popok Beruk Kula” tetapi juga lagu “Alay”. MELUCU DAN MELIBATKAN Selain selalu berusaha melucu, adegan dagelan juga senantiasa berusaha melibatkan penonton. Surat yang dilemparkan oleh penonton tersebut merupakan bukti keterlibatan penonton secara langsung dengan pentas ketoprak. Ada komunikasi yang terbangun secara timbal balik antara penonton dan pemain, terutama dagelannya. Sebaliknya lagu-lagu yang dibawakan oleh para dagelan juga merupakan upaya untuk mengakomodasi sekaligus memenuhi permintaan penonton. Ketika main di Desa Trikoyo, kedua dagelan itu berasumsi bahwa pada umumnya para penontonnya akrab atau gemar terhadap lagu-lagu dalam cengkok campursari-(dangdut) dan tayub. Selain itu, diasumsikan pula bahwa mayoritas penonton adalah pemeluk Islam. Karena itu, tidaklah mengherankan jika di samping campursari-dangdut dan tayub, cakepan yang menjinjing pesan keagamaan, terutama ajakan untuk menunaikan salat, juga disajikan dalam porsi yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan yang lainnya. Sekalipun pada umumnya surat dari penonton berisi pemintaan untuk dibawakan lagu-lagu yang sedang naik daun dalam belantika musik, baik daerah maupun nasional, bahkan internasional, tetap saja lagu-lagu tradisional mendapatkan kesempatan untuk disuguhkan. “Sing ningali niku boten nem-nem sarasan, ning nggih enten sing mpun ompong-ompong napa, malah lare-lare alite nggih kathah. Dadi, lagune nggih kedah werna-werna (Yang nonton tidak hanya anak muda saja, tapi ya ada juga yang sudah ompong-ompong, malahan anak-anak kecil juga banyak. Jadi, lagunya juga harus bermacam-macam),” ungkap Penjol. Meskipun demikian, lagu-lagu yang sedang populer di tengah-tengah masyarakat ketika pentas itu digelar tetap saja menjadi permintaan paling jamak dari para penonton. Ketika lagu campursari-dangdut “Tali Kutang” dan “Sri Minggat” yang dipopulerkan masing-masing oleh Sony Joss dan Cak Dikin naik daun, kedua lagu itu pun sering diminta oleh penonton ketoprak untuk ditampilkan. Begitu pula ketika lagu dangdut Cirebonan bertajuk “Kucing Garong” sangat sering diputar baik di radio maupun televisi, permintaan serupa pun berdatangan. Dagelan dan emban ketiak bersua. Untuk menghadirkan tontonan yang akeh lucune, peran dagelan memang terlihat sangat mewarnai sepanjang permainan. Malahan pemeran “serius” pun bisa muncul secara glenyengan, meski tak harus “separah” Ketoprak Humor di layar RCTI. Tokoh semacam Ranggalawe dalam lakon Ranggalawe Gugat acap berkelakar, meski dalam suasana yang “semestinya” menuntut ia tampil serius atau bahkan marah. Karena itu, tak perlu heran jika para pelawak ketoprak sering lebih populer daripada pemain wos lain, malah tak kalah tenar dari nama grupnya. Mogol sebagai pelawak selama puluhan tahun telah menjadi ikon Ketoprak Wahyu Manggolo, bahkan tampil sebagai pemimpin sekaligus pemilik. Konyik Pati pun merasa perlu memasang besar gambar sang pelawak yang juga pemimpin ketroprak itu, Markonyik, pada layar yang selalu tampak ketika panggung ditutup. Siswo Budoyo juga mengunggulkan Thukul, Uthik, dan Joko Konyil serta emban Tembel dan Denok untuk menangguk tawa penontonnya. Demikian pula bagi Langen Marsudi Rini, kehadiran Singkek dan Kancil yang belakangan ini dulu sering bermain dalam Ketoprak Humor RCTI, adalah sebuah magnet. Begitu penting kehadiran seorang pelawak, sampai-sampai ketika pada suatu pentas siang Langen Marsudi Rini di Desa Nggrawan, Sumber, Rembang, Singkek merasa perlu untuk meminta maaf dan memberi tahu kepada penonton bahwa Kancil belum datang. "Tetapi nanti malam dia pasti ada. Tadi baru saja telepon, katanya sudah sampai Kudus, setelah naik pesawat dari Medan," kata Singkek dalam dialek Pati-Rembang yang begitu kental. Pentingnya para dagelan dalam pementasan tentu saja berbanding lurus dengan tetesan rezeki ke pundi-pundi mereka. Boleh jadi di semua grup ketoprak, bersama para pemain wos yang tak seberapa jumlahnya itu, para pelawak adalah pemain yang berada pada perolehan honor kelas I, tertinggi di antara personel lain. "Keistimewaan" lain, cenderung ada toleransi yang lebih longgar buat para pendagel untuk menjadi pemain jumputan, sekalipun ia telah menjadi anggota sebuah kelompok. Karena itu, tak jarang seorang dagelan ketoprak dalam sehari semalam bisa manggung di empat tempat yang berbeda. Padahal, adegan lawak biasanya menyita waktu hampir satu jam durasi pementasan. SIMPULAN Apa yang dilakukan oleh ketoprak Pati, sebagaimana dalam lakon Ranggalawe Gugat oleh grup ketoprak Wahyu Manggolo, dapat diringkas sebagai siasat estetis pemanggungan dalam ungkapan rame tur akeh lucune. Artinya, sebuah pementasan dalam setiap adegan tidak boleh senyap dari unsure perang, lucu, tembang, ataupun gandrung. Lewat siasat inilah para seniman ketoprak di wilayah utara Pulau Jawa ini berharap mampu memikat perhatian para penontonnya sehingga seni pertunjukan ini tetap laris tanggapan hingga kini. REFERENSI Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta: Kanisus. Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Pratice. London: Sage Publication London. Bouvier, Hélène. 2002. Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura (judul asli La matière des émotions. Les arts du teps et du spectacle dans la société madouraise [Indonésie] diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat dan Jean Couteau). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Brandon, James R. 2003. Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara (judul asli Theatre in Southeast Asia diterjemahkan oleh RM Soedarsono). Bandung: P4ST UPI. Danandjaya, James. 1993. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and The Verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge Geertz, Clifford. 2002. Hayat dan Karya: Antropolog sebagai Penulis dan Pengarang. Yogyakarta: LKIS. _____. 1999. After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Yogyakarta: LKIS _____. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (terjemahan). Jakarta: Pustaka Jaya Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Gunadi. 2004. Kajian Aspek Teknik dan Estetis Gambar Dekor Ketoprak Karya Nursalam di Desa Klopoduwur, Banjareja, Blora. Skripsi Sarjana Pendidikan pada Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Univeritas Negeri Semarang (tidak diterbitkan). Harmsworth J.R. 1972. The Dictionary of Literary Term, London: Coles Notes, Pa Books Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago Press Hutomo, Suripan Sadi. 1997. Sosiologi Sastra Jawa. Jakarta: Balai Pustaka _______. 2001. Sinkretisme Jawa-Islam: Studi Kasus Seni Kentrung Suara Seniman Rakyat. Yogyakarta: Bentang. Irianto, Agus Maladi. 2005. Tayub, antara Ritualitas dan Sensualitas: Erotika Petani Jawa Memuja Dewi. Semarang: Lengkong Cilik Press Jazuli, M. 2001. Paradigma Seni Pertunjukan: Sebuah Wacana Seni Tari, Wayang, dan Seniman. Yogyakarta: Yayasan Lentera Budaya. _______. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat: Sosiologi Pedalangan. Semarang: Limpad Kayam, Umar. 2001. Kelir Tanpa Batas. Yogyakarta: Gama Media _____. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya (judul asli The Theory of Culture diterjemahkan oleh Landung Simatupang). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta _____. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Kristanto, J.B. (ed). 2000. Seribu Tahun Nusantara. Jakarta: Kompas Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kusumayati, A.M. Hermien. 2000. Arak-arakan: Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu I-III. (terjemahan Winarsih Partaningrat Arifin dkk). Jakarta: Gramedia Marsono, Gatot. 2007. “Krisis Seniman Ketoprak” dalam Kompas edisi 22 Februari 2007 Miles, Matthew B dan A Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru (judul asli Qualitative Data Analysis diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta UI-Press. Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin/London: University of Texas Press. Purnomo, Sucipto Hadi. 1995. Nilai Didik dan Aspek-aspek Kebudayaan dalam Tradisi Lisan Kidungan Bayen: Studi Deskriptif di Desa Sidomulyo Kecamatan Kaliori Kabupaten Rembang. Skripsi Sarjana Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Semarang (tidak diterbitkan). ______. 2007a. “Dari Ketoprak Kumenemu Saridin”. Makalah Diskusi Budaya oleh Journalist Institute of Culture dan Biro Muria Suara Merdeka, 19 Mei 2007 di Kudus. ______. 2007b. “Oase Budaya Jawa di RRI” dalam Suara Merdeka Edisi 22 Mei 2007. Purwaraharja, Lephen dan Bondan Nusantara (editor). 1997. Ketoprak Orde Baru: Dinamika Teater Rakyat Jawa di Era Industrialisasi Budaya. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Rass, J. J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir (judul asli Javanese Literature since Independence, An Anthology diterjemahkan oleh Hersri). Jakarta: Grafitipers Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2000a. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: STISI Press _____. 2000b. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Press. Sedyawati, Edi. 1993. Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: Grasindo. Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakata: Tiara Wacana. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Unesa Unipress dan Citra Wacana Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Susanto, Budi. 2000. Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial. Yogyakarta: Kanisius. _____. 1997. Ketoprak the Politics of the Past in the Present-Day Jawa. Yogyakarta: Kanisius Thohir, Mudjahirin. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisir. Semarang: Penerbit Bendera Untoro, Ons. 2002. “Kethoprak dalam Pergeseran Tanda: Model Kajian Institusi Kesenian Jawa” dalam jurnal Renai tahun III No. 1 edisi musim penghujan 2002/2003