Oke Banget

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Ekstrak Etanolik Hal . : 1 3 (Yulias Ninik Windriyati , dkk.

)

23
EVALUASI KERASIONALAN PENGOBATAN DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA PASIEN
RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT BHAKTI WIRA TAMTAMA SEMARANG TAHUN 2006

Ibrahim Arifi n*, Erna Prasetyaningrum*, Tri Murti Andayani**
*Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Semarang
**Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta



ASTRACT
Diabetes melitus is metabolic disease characterized hiperglikemia that caused disparity of insulin secretion,
insulin activity or both. WHO had predicted there were increasing of diabetes mellitus patients in next time,
included in Indonesia. This study aim to know and evaluate the rational of in patients diabetes mellitus type 2
medication in Bhakt i Wira Tamtama Hospital Semarang at 2006.
This study is non experimental research that analyzed by non analytical descriptive method. Data were
collected retrospectively from medical record comprised patient identity, diabetes melitus type 2 medicat ion, and
rational antidibetic usage. Data obtained were analysed with Standard of Perkeni 2006.
The result of this study showed that 34 in-patient diabetes mellitus type 2 in Bhakti Wira Tamtama Hospital
Semarang at 2006 were 40-50 years old (47,06%). Diabetes mellitus type 2 patients comprised 18 men and 16
women, 8 cases (23,52 %) were diabetes mellitus type 2 without additional diseases and 26 cases (76,47%) diabetes
mellitus type 2 with additional diseases. Patients had diagnosis appropriate were 94,12 %, drug choise appropriate
were 100 %, which biguanid metformin usage were 15 patients (46,87%). Dosis appropiate 100%, patient
appropriate 100%, while drug interaction had happened to 1 case, that was antidiabetic and thiazid diuret ic.

Key words: Rational eval uation, di abetes mellitus type 2, Bhakti Wira Tamtama Hospital Semarang





































PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan gangguan kronis dan
berhubungan dengan kerusakan berbagai organ tertentu
seperti mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Diabetes melitus merupakan faktor risiko yang penting
untuk penyakit jantung koroner. WHO memprediksi
adanya peningkatan jumlah diabetisi yang cukup besar
pada tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia WHO
memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030
(Perkeni, 2006).
Mengingat begitu tingginya angka kejadian serta
pentingnya penanganan secara tepat terhadap penyakit
diabetes melitus dan komplikasi yang ditimbulkannya,
maka terapi diabetes mellitus harus dilakukan secara
rasional baik secara farmakologi maupun non
farmakologi. Ketepatan terapi dipengaruhi proses
diagnosis, pemilihan terapi, pemberian terapi, serta
evaluasi terapi. Evaluasi penggunaan obat merupakan
suatu proses jaminan mutu yang terstruktur dan
dilakukan secara terus menerus untuk menjamin agar
obat-obat yang digunakan tepat, aman, dan efisien
(Kumolosari, dkk, 2001).
Mengingat diabetes melitus merupakan salah satu
gangguan metabolik dimana pada keadaan gawat darurat
dapat menimbulkan komplikasi yang angka kematiannya
masih t inggi yaitu 8,4 juta pada tahun 2000 dan 21,3 juta
pada tahun 2030, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengevaluasi kerasionalan pengobatan penyakit
diabetes melitus tipe 2 pada pasien rawat inap di Rumah
Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang .

METODOLOGI PENELITIAN

Penelit ian ini merupakan penelitian non
eksperimental yang dianalisis secara deskriptif non
analitik. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif
terhadap data rekam medis seluruh pasien diabetes
mellitus tipe 2 rawat inap di Rumah Sakit Bhakti Wira
Tamtama Semarang selama tahun 2006. Hasil penelitian
dibandingkan dengan Standar Pengobatan Diabetes
Mellitus menurut Kosensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia Tahun
2006 (Perkeni, 2006).


HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pasien
1. Umur
Distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 rawat
inap di Rumah Sakit Bhakt i Wira Tamtama Sema rang
selama tahun 2006 berdasarkan umut tersaji pada Tabel
I. Kasus diabetes mellitus tipe 2 di Rumah Sakit Bhakti
Wira Tamtama Semarang pada tahun 2006 paling
banyak terjadi pada umur 40-50 tahun. Data ini sesuai
dengan pernyataan dari American Diabetes Association
(ADA) bahwa usia di atas 45 tahun merupakan salah
satu faktor risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2
(ADA, 2004). Pada orang yang berusia lebih dari 45
tahun dengan pengaturan diet glukosa yang rendah akan
mengalami penyusutan sel-sel beta pankreas. Sel beta
pankreas yang tersisa pada umumnya masih akt if, tetapi



Eval uasi Kerasionalan Pengobatan Diabetes Hal . : 23 29 (Ibrahim Ari fin, dkk.)

24






























































sekresi insulinnya semakin berkurang ( Tjay dan
Rahardja, 2003). Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2
selain umur adalah ras, obesitas, infeksi berulang,
hipertensi, dislipidemia, riwayat keluarga serta pola
hidup yang tidak sehat.

Tabel. I Distribusi Pasien Diabetes Melitus Ti pe 2
Rawat Inap di RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang selama Tahun 2006 Berdasarkan
Umur
No
Umur
(tahun)
Juml ah
Kasus
Persentase
1.
2.
3
4
5
< 40
40 50
51 60
61 70
> 70
1
16
9
5
3
2,94
47,06
26,47
14,71
8,82
Juml ah 34 100

2. Jenis Kelamin
Distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 rawat
inap di Rumah Sakit Bhakt i Wira Tamtama Semarang
selama tahun 2006 berdasarkan jenis kelamin tersaji
pada Tabel II.

Tabel. II Distribusi Pasien Diabetes Melitus Ti pe 2
Rawat Inap di RS Bhakti Wira Tamtama
Selama Tahun 2006 Berdasarkan Jenis
Kel amin
No
Jenis
Kel amin
Juml ah
Kasus
Persentase
1.
2.
Laki-laki
Perempuan
18
16
52,94
47,06
Juml ah 34 100

Pada tabel II terlihat bahwa tidak terdapat
perbedaan yang besar antara pasien laki-laki dan
perempuan pada kejadian diabetes mellitus tipe 2. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin bukan
merupakan faktor risiko, sesuai dengan hasil penelitian
Clark dan Lee (Clark dan Lee cit Didik, 1995) dan
pernyataan American Diabetes Association
(ADA,2004).

3. Diagnosis
Distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 rawat
inap di Rumah Sakit Bhakt i Wira Tamtama Semarang
selama tahun 2006 berdasarkan diagnosis ters aji pada
Tabel III. Dari 26 kasus diabetes melitus tipe 2 dengan
penyakit penyerta ditemukan 7 jenis penyakit penyerta
sebagaimana tersaji pada Tabel IV.
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 banyak
ditemukan penyakit penyerta hipertensi. Hal ini
dikarenakan hipertensi lebih banyak 1,5 sampai 3 kali
lipat ditemukan pada penderita diabetes melitus
dibanding dengan yang tanpa diabetes melitus. Setiap
tekanan 5 mmHg tekanan darah sistolik atau diastolik
akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular
sebesar 20-30% pada penderita diabetes melitus (Yudha,
2005).

Tabel. III Distribusi Pasien Diabetes Melitus Ti pe 2
Rawat Inap di RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang selama tahun 2006 Berdasarkan
Diagnosis
No Diagnosis
Juml ah
Kasus
Persentase
1.

2.
DM tipe 2 tanpa
penyakit penyerta
DM tipe 2 dengan
penyakit penyerta
8

26
23,53
76,47
Juml ah 34 100

Tabel. IV Distribusi Pasien Diabetes Melitus Ti pe 2
Rawat Inap di RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang selama tahun 2006 Berdasarkan
Diagnosis dan Penyakit Penyerta
No
Diagnosis dan
Penyakit Penyerta
Juml ah
kasus
Persentase
1

2

3

4

5

6

7

DM tipe 2 dengan
hipertensi
DM t ipe 2 dengan
ulkus
DM tipe 2 dengan
gout
DM tipe 2 dengan
gangren
DM tipe 2 dengan
udem tungkai
DM tipe 2 dengan
pruritus
DM tipe 2 dengan
obstruksi anaserka
13

8

1

1

1

1

1
50

30,77

3,85

3,85

3,85

3,85

3,85
Juml ah 26 100

Penyakit penyerta diabetes melitus terbanyak
kedua adalah ulkus. Ulkus biasanya melibatkan banyak
mikroorganis me seperti bakteri staphylococcus,
streptococcus, bakteri batang gram negatif dan kuman
anaerob. Adanya infeksi pada diabetisi sangat
berpengaruh terhadap kontrol glukosa darah. Infeksi
dapat memperburuk kontrol glukosa darah, dan kadar
glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan
atau memperburuk infeksi (Perkeni, 2006).

Gambaran Pengobatan Diabetes Melitus Ti pe 2

1. Penggunaan Anti diabetik
Golongan obat yang digunakan oleh penderita
diabetes melitus tipe 2 yang menjalani rawat inap di
Rumah Sakit Bhakt i Wira Tamtama Semarang selama
tahun 2006 meliputi golongan sulfonilurea, golongan
biguanid, insulin, atau kombinasi dari ket iganya,
sebagaimana tersaji pada tabel V.
Golongan sulfonilurea mempunyai mekanis me
kerja yang sangat kompleks yaitu merangsang fungsi sel
beta dan meningkatkan sekresi insulin serta
memperbaiki kerja perifer dari insulin sehingga dengan
demikian golongan sulfonilurea berguna dalam
penatalaksanaan pasien diabetes melitus tipe 2 dimana


Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik Vol . 4 No. 1 Juni 2007

25
Tabel V. Distribusi Penggunaan Anti diabetik pada Pasien Diabetes Melitus Ti pe 2 Rawat Inap di RS Bhakti
Wira Tamtama Semarang Selama Tahun 2006
No

Golongan
obat
Jenis obat Kasus %
1.
2.
3.
4.
Biguanid
Sulfonilurea
Insulin
Kombinasi
Metformin
Glibenklamid
Insulin
Glibenklamid+metformin
Insulin + biguanid
15
7
2
7
1
46,87
21,88
6,25
21,88
3,13
Juml ah 32 100























Tabel VI. Distribusi Penggunaan Obat Penyerta Penderita DM ti pe 2 di RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang Selama Tahun 2006


























No
Penyakit
penyerta
Golongan Jenis
Juml ah
kasus
%

1





2




3

4


5


6

Hipertensi





Ulkus
(antibiotik)



Gout

Gangren


Udem
tungkai

Pruritus
a. ACE inhibitor
b. Diuret ik
c. Nitrat
d. Obat hipertensi kerja
sentral

a. Penisilin
b. Klindamisin
c. Sefalosporin
d. Kuinolon



Benzilpenisilin


Penisilin


Antihistamin
Captopril
Hidroclortiazid
Isosorbid dinitrat
Klonidin


Ampicillin
Clindamicyn
Sefotaksim
Siprofloksasin

Allopurinol

Prokain Penisilin


Ampisilin


Chlorfeniramin
maleat
9
1
1
1


3
1
1
2

1

1


1


1
39,13
4,35
4,35
4,35


13,04
4,35
4,35
8,7

4,35

4,35


4,35


4,35

Total 23 100
pankreasnya masih mampu memproduksi insulin.
Penggunaan golongan sulfonilurea dapat menyebabkan
hipoglikemi, sehingga pengobatan dengan golongan ini
dianjurkan dimulai dengan dosis rendah.
Terapi kombinasi golongan sulfonilurea dan
golongan biguanid sangat dianjurkan bila sasaran
pengendalian kadar glukosa darah puasa dan sesudah
makan belum tercapai dengan terapi sulfonilurea saja.
Dosis dimulai dengan dosis rendah kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon. Penggunaan
kombinasi beberapa antidiabetik lebih dianjurkan
daripada meningkat kan dosis satu macam antidiabetik
yang dapat meningkatkan risiko toksisitas dan efek
samping. Dua atau lebih antidiabetik dengan mekanis me
aksi yang berbeda bila digunakan secara bersama dapat
memberikan manfaat yang lebih baik dalam mengontrol
kadar glukosa darah (Perkeni, 2006).
Penggunaan antidiabetik pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 merupakan hal penting ketika pengaturan
pola hidup tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Menurut ADA, antidiabetik golongan sulfonilurea dan
biguanid merupakan pilihan yang tepat untuk pasien
diabetes mellitus tipe 2 dengan tingkat keparahan ringan
dan menengah. Golongan biguanid terbukti mengurangi
kejadian diabetes mellitus tipe 2 sebesar 37,5%,
sedangkan golongan sulfonilurea sebanyak 12,5%.
Penggunaan insulin sebagai antidiabetik berbeda antar
individu, sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada
tiap pasien. Pasien diabetes mellitus pada awalnya
memerlukan insulin kerja sedang, kemudian
ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi
hiperglikemia setelah makan (Anonim,2000).

2. Penggunaan Obat Penyerta
Golongan obat penyerta yang digunakan oleh
pasien diabetes melitus tipe 2 yang menjalani rawat inap
di RS Bhakti Wira Tamtama Semarang selama tahun
2006 meliputi antihipertensi, antibiotik, obat untuk
mengatasi gout, dan antihistamin. Distribusi penggunaan
obat penyerta pasien diabetes melitus tipe 2 rawat inap
di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang Selama
Tahun 2006 tersaji pada tabel VI.



Eval uasi Kerasionalan Pengobatan Diabetes Hal . : 23 29 (Ibrahim Ari fin, dkk.)

26






























































Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
merupakan drug of choice untuk diabetes melitus tipe 2
dengan hipertensi. Golongan obat ini memiliki
mekanis me kerja menghambat perubahan angiotensin I
menjadi angiotensin II, sehingga terjadi vasodilatasi dan
penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan
terjadinya sekresi natrium dan air. Golongan ACE
inhibitor t idak menimbulkan efek samping metabolik
pada penggunaan jangka panjang yaitu tidak mengubah
metabolisme karbohidrat maupun kadar lipid dan asam
urat dalam plas ma. Selain itu golongan ACE inhibitor
dapat mengurangi resistensi insulin, sehingga golongan
ini sangat menguntungkan bagi penderita diabetes
melitus tipe 2 dengan hipertensi (Ganiswarna, 1995).
Pemberian ACE Inhibitor, penyekat reseptor angiotensin
II, dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin
dapat memperbaiki mikro albuminuria. ACE ihibitor
juga dapat memperbaiki kinerja kardiovaskuler
(Perkeni, 2006).
Untuk pengobatan gout digunakan allopurinol.
Allopurinol bekerja menghambat xantin oksidase yaitu
enzim yang dapat mengubah hipoxantin menjadi xantin,
selanjutnya mengubah xantin menjadi asam urat. Dalam
tubuh allopurinol mengalami metabolis me menjadi
oksipurinol (aloxantin) yang juga berkerja sebagai
penghambat enzim xantin oksidase. Akibatnya kadar
asam urat dalam plas ma dan air seni menurun dan
ekskresi xantin oleh ginjal ditingkat kan (Ambarwat i,
2004).
Penderita diabetes melitus tipe 2 dengan ulkus
menggunakan obat hipoglikemik oral dari golongan
sulfonilurea dan biguanid, dan kombinasi keduanya.
Pengobatan ulkus dilakukan dengan menggunakan
antibiotik seperti ampicillin, clindamicyn, sefot axim,
dan ciprofloxacin. Ulkus diabetes berkaitan dengan
morbiditas, mortalitas dan cacat tubuh pada penderita
diabetes. Ulkus pada kaki pasien diabetes melitus
merupakan manifestasi beberapa faktor risiko, yaitu
makroangiopati dan mikroangiopati, neuropat i,
kerentanan terhadap infeksi dan beberapa faktor
mekanik. Berbagai faktor yang berperan dalam angiopati
diantaranya hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan
dislipidemia. Pada pengelolaan yang tidak adekuat,
terjadi peningkatan angka kejadian amputasi akibat
gangren tungkai. Amputasi menyebabkan pasien
kehilangan pekerjaan dan pendapatan yang
mengakibatkan mereka tergantung pada orang lain,
depresi serta berkurangnya kualitas hidup (Yudha,
2005). Kulit pada daerah ekstrimitas bawah merupakan
tempat yang sering mengalami infeksi. Ulkus kaki
biasanya melibatkan banyak mikroorganisme seperti
staphylococcus, streptococcus, batang gram negatif dan
kuman anaerob (Perkeni, 2006). Infeksi yang disebabkan
oleh staphylococcus hampir semuanya disebabkan oleh
kuman penghasil penisilinase dan karena itu harus
diobati dengan penicilin yang tahan penicilinase. Di
antara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktivitas
terbaik terhadap kuman gram positif yang sensitif.
Kelompok ampisilin, walaupun spektrum
antimikrobanya lebar, aktivitasnya terhadap mikroba
gram positif t idak sekuat penisilin G, tetapi efekt if

terhadap beberapa mikroba gram negatif dan tahan
asam, sehingga dapat diberikan per oral
(Ganiswarna,1995).

Evaluasi Kerasionalan Pengobatan

1. Tepat Indikasi
Yang dimaksud dengan tepat indikasi adalah
ketepatan penggunaan antidiabetik atas dasar diagnosis
yang ditegakkan, sesuai dengan diagnosis yang
tercantum di rekam medik yang memiliki kadar gula
darah sewaktu >200 mg/dl. Diagnosis diabetes mellitus
dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa
darah sewaktu > 200mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Kedua dengan
TTGO, meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa darah puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan. Ket iga, dengan pemeriksaan glukosa darah
puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh
pasien serta murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan
untuk diagnosis diabetes mellitus (Perkeni, 2006).
Berdasarkan data rekam medis RS Bhakti Wira
Tamtama tahun 2006, pasien yang didiagnosis menderita
diabetes melitus tipe 2 sebanyak 34 pasien dan data
kadar gula darah yang termasuk dalam tepat indikasi
sebanyak 32 pasien (94,12%).

2. Tepat Obat
Ketepatan obat adalah kesesuaian pemilihan suatu
obat diantara beberapa jenis obat yang mempunyai
indikasi untuk penyakit diabetes melitus tipe 2,
berdasarkan Standar Perkeni 2006. Hasil penelitian
ketepatan obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat
inap di Rumah Sakit Bhakt i Wira Tamtama Semarang
tahun 2006 tersaji pada tabel VII.
Kesesuaian penggunaan antidiabetik di Rumah
Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang dengan Standar
Perkeni 2006 sebesar 100% (dihitung berdasarkan
jumlah pasien yang tepat indikasi). Metformin
merupakan antidiabetes yang paling banyak digunakan
untuk terapi diabetes mellitus type 2 yaitu sebanyak 15
kasus, sedangkan penggunaan glibenklamid sebanyak 7
kasus. Hal ini sesuai dengan algorit ma terapi Perkeni
2006 yang menyatakan bahwa terapi farmakologi
diabetes mellitus tipe 2 pertama kali menggunakan
antidiabetik per oral, apabila kadar glukosa darah tidak
turun maka dikombinasikan pemakaian antidiabetik oral
misalnya golongan biguanid dan sulfonilurea (Perkeni,
2006).

3. Tepat Dosis
Pengobatan dikatakan tepat dosis apabila dosis
pemberian antidiabetik sesuai dengan Standar Perkeni
2006. Dosis yang sesuai juga dilihat dari keadaan fungsi
organ tubuh pasien, misalnya dalam keadaan fungsi
ginjal yang menurun pemberian dosis terapi akan
terpengaruh, bahkan jika fungsi ginjal telah



Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik Vol . 4 No. 1 Juni 2007

27
memburuk pemberian antidiabetes dapat diberikan secara parenteral untuk menghindari keparahan penyakit pasien.
Ketepatan dosis pemberian antidiabetes pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat inap di Rumah Sakit Bhakt i Wira
Tamtama tersaji pada tabel VIII.

Tabel VII. Kesesuaian Penggunaan Anti di abetik pada Pasien DM ti pe 2 Rawat Inap di Rumah Sakit Bhakti
Wira Tamtama Semarang Selama Tahun 2006.
No Golongan obat Jenis obat Kasus
Kesesuaian
standar
Persentase
1.
2.
3.
4.
Biguanid
Sulfonilurea
Insulin
Kombinasi
Metformin
Glibenklamid
Insulin
Sulfonilurea + biguanid
Insulin + biguanid
15
7
2
7
1
15
7
2
7
1
100 %
100 %
100 %
100 %
100 %
Total 32 100%
Keterangan : Standar Perkeni 2006


Tabel VIII. Kesesuaian Pemberian Dosis dan Cara Penggunaan Anti di abetik pada Penderita DM ti pe 2
di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang Selama Tahun 2006












Keterangan : Standar Perkeni 2006





























No Jenis obat Dosis standar
Dosis
Pemberian
Juml ah
Kasus
Tepat Dosis %
1
2
3
4

5
Glibenklamid
Metformin
Insulin
Sulfonilurea +
biguanid
Insulin +
biguanid
2,5-15 mg
250-3000 mg

20mg+3000mg

40UI/ ml+3000 mg
5 mg
500 mg
40 UI/ ml
5mg+500m
g
40UI/ ml+5
00mg
7
15
2
7

1
7
15
2
7

1

100%
100%
100%
100%

100%
Total 32 100%
Pada data di atas terlihat bahwa pengobatan
pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat inap di Rumah
Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang Selama Tahun
2006 dinyatakan 100% tepat dosis berdasarkan standar
Perkeni 2006.

4. Tepat Pasien
Berdasarkan data rekam medis yang didapat,
maka pasien diabetes melitus tipe 2 di rumah sakit
Bhakt i Wira Tamtama Semarang tahun 2006 t idak
memiliki kontraindikasi dengan obat antidiabetik oral
ataupun parenteral yang digunakan untuk terapi diabetes
melitus. Hal ini tersaji pada tabel IX.
Penggunaan glibenklamid di RS Bhakti Wira
Tamtama sebanyak 7 pasien dan memiliki kesesuaian
pasien sebesar 100% karena ketujuh pasien tersebut
tidak memiliki gangguan fungsi hati dan ginjal, serta
bukan wanita menyusui. Pada pengunaan metformin dan
kombinasi antidiabetik oral dan insulin memiliki
kesesuaian pasien sebesar 100% berdasarkan Standar
Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) Tahun
2000.

5. Interaksi Anti di abetik dengan Obat Lain
Interaksi obat merupakan suatu reaksi yang terjadi
bila obat satu mengubah efek obat yang lain.
Antidiabetik yang diberikan secara bersamaan dengan
obat lain dapat berinteraksi sehingga efek antidiabetik
dapat dihambat atau ditingkatkan. Bila efek antidiabetik
dihambat maka kadar gula darah akan tetap tinggi
(hiperglikemik), tetapi bila efek antidiabetik
ditingkatkan oleh obat lain maka akan terjadi penurunan
gula darah yang drastis, sehingga kemungkinan akan
terjadi hipoglikemik.
Interaksi obat yang ditemukan pada pengobatan
diabetes mellitus tipe 2 rawat inap di RS Bhakt i Wira
Tamtama Semarang tahun 2006 sebanyak 1 kasus
(3,12%) yaitu pemakaian obat antidiabetik dengan
golongan diuretik thiazid. Berdasarkan Drug Interaction
Facts penggunaan antidiabetik golongan sulfonilurea
dan diuretik thiazid menyebabkan interaksi potensial
dengan signifikansi 2. Efek yang ditimbulkan oleh
diuretik thiazid adalah dapat meningkatkan kadar gula
darah dengan cepat, dan penggunaan sulfonilurea dapat
menyebabkan hipoglikemik. Efek ini akan terjadi setelah
pemakaian jangka waktu yang lama, dan dapat
menyebabkan hiponatremia. Diuret ik thiazid
mengurangi sensitivitas insulin, menyebabkan
berkurangnya sekresi insulin atau menyebabkan
meningkatnya kalium yang dapat menyebabkan
hiperglikemia (Tatro, 2001).



Eval uasi Kerasionalan Pengobatan Diabetes Hal . : 23 29 (Ibrahim Ari fin, dkk.)

28
Tabel IX. Kesesuaian Pasien pada Pemberian Anti di abetik di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama
Semarang Selama Tahun 2006
No Jenis obat Kontra indikasi Kasus
Kesesuaian
dengan
standar
Persentase
1




2



3

4



5
Glibenklamid




Metformin



Insulin

Sulfonilurea + biguanid



Insulin + biguanid

Gangguan fungsi hati
dan gijal, wanita
menyusui.


Wanita hamil, wanita
menyusui, gangguan
fungsi ginjal dan hati.

-

Gangguan fungsi hati
dan gijal, wanita
menyusui, hamil

Wanita hamil, wanita
menyusui, gangguan
fungsi ginjal dan hati
7




15



2

7



1
7




15



2

7



1

100%




100%



100%

100%



100%
Total 32 100%
Keterangan : Standar IONI 2000





































KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpul an
1. Antidiabetik yang digunakan pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 rawat inap di RS Bhakti
Wira Tamtama Semarang tahun 2006 adalah
golongan biguanid sebanyak 15 kasus (44,16%),
golongan sulfonilurea sebanyak 7 kasus
(20,59%), kombinasi antara sulfonilurea dan
biguanid 7 kasus (20,59%), insulin 2 kasus
(5,88%), dan kombinasi antara insulin dan
golongan biguanid 1 kasus (2,94%).
2. Kerasionalan penggunaan antidiabetik di RS
Bhakt i Wira Tamtama Semarang tahun 2006
dilihat dari kriteria tepat indikasi sebesar 94,12 %,
sedangkan tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis
sebesar 100%.
3. Interaksi obat yang ditemukan pada pengobatan
diabetes mellitus tipe 2 rawat inap di RS Bhakti
Wira Tamtama Semarang tahun 2006 sebanyak 1
kasus (3,12%).

Saran
Saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil
penelitian yaitu:
1. Bagi Rumah Sakit
a. Khususnya untuk tenaga profesi kesehatan,
diperlukan kewaspadaan yang tinggi dan
monitoring terhadap potensi terjadinya interaksi
antara antidiabetik dengan obat lain yang
diberikan secara bersamaan.
b. Diperlukan upaya peningkatan kepatuhan bagi
tenaga profesi kesehatan di rumah sakit dalam
hal kelengkapan pencatatan dalam rekam
medik.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Dapat dilakukan penelitian di rumah sakit
lain untuk mendapat gambaran kerasionalan
pengobatan pada kasus yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association, 2004, Standards of
Medical Care in Diabetes,
care.diabetesjournals,org,4 Febuari 2005.
Dalimartha, S.,2005, Ramuan Tradisional Untuk
Pengobatan Diabetes Melitus, Cet.10,3-
48,Penerbar Swadaya,Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000,
Informatorium Obat Nasional Indonesia, 263-
270, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan, Jakarta.
Djokomoeljanto. R dan Darmono, 1995. Hidup Sehat
Bersama Diabetes, naskah Lengkap Persatuan
Diabetes Indonesia (Persadi),Semarang.
Feld Stanley, 2002, Medical Guideline for the
Management of Diabetes Melitus: The AACE
System of Intensive Diabetes Self-
Management, www.Diabetes_2002.com, 12
Oktober 2004.
Ganiswarna G . Sulistia, 1995, Farmakologi dan Terapi,
adisi IV,467-481, Bagian Farmakologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Handini, Y.P, 2005, Kejadian Ulkus Diabetes Pada
Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dengan atau
Tanpa Dislipidemia, Medical Faculty of
Diponegoro University,Semarang



Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik Vol . 4 No. 1 Juni 2007

29


























































Katzung B.G,2002, Farmakologi Dasar dan Klinik , edisi
III, 579-591, diterjemahkan oleh bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga, Surabaya.
Kumolosari, E., Siregar, C.J.P.,Susiani, S., Amalia,L.,
dan Puspawati,F.,2001, Studi Pola Penggunaan
Antibiotika Betalaktam di ruang Perawatan
Bedah di Sebuah Rumah Sakit di Bandung,
Laporan Penelitian, Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Nasution H dan Lubis Y, 1993, Pengantar Farmakologi,
edisi II, 669, 77-79, PT. Pustaka Widyatarana,
Medan.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,2006, Kosensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2006, PB. Perkeni,Jakarta.
Prise AS dan Wilson C, 1994, Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, diterjemahkan
oleh Peter Anugerah, edisi IV, 1109-1119,EGC,
Jakarta.
Sidartawan Soegondo, 2002, Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Tatro, D.S., 2001, Drug Interaction Facts, vol 2, Drug
Information Analyst, San Carlos, California.
Tjay, T.H dan Rahardja.K, 2002, Obat-obat Penting,
edisi V, 693-713, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.
.

You might also like