Analisis Parameter Fisik, Kimia, Biologi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

Jurnal Natur Indonesia

13(1), Oktober 2010: 33-40


ISSN 1410-9379, Keputusan Akreditasi No 65a/DIKTI/Kep./2008

Analisis parameter fisik, kimia, biologi

33

Analisis Parameter Fisik, Kimia, Biologi, dan Daya Dukung


Lingkungan Perairan Pesisir Untuk Pengembangan Usaha
Budidaya Udang Windu di Kabupaten Barru
Rustam
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar
Diterima 28-09-2009

Disetujui 25-01-2010

ABSTRACT
The regency of Barru is a potential region for Tiger prawn cultured in the South Sulawesi Province. Generally, this
aquaculture activity is based on the application of intensively cultivated pattern by using artificial feed as a source
of the prawn foremost meal. Some research suggested that an intensive pattern of prawn cultured generates
some waste products that are significantly to affect such physical, chemical as well as biological parameters of
coastal water condition. That the change in environmental quality of coastal water will affect commercial tiger
prawn that is the role of water to support sustainable cultured through its carrying capacity. This research was
aimed to analyze physical, chemical and biological parameters of coastal water and to ensure its carrying capacity
in maintaining commercially tiger prawn cultured. The results are expected to be some more valuable references
for the benefit of the development of tiger prawn aquaculture. The research was conducted in the coastal water
from June to December 2007. Observation was made in order to find out physical, chemical, and biological factors
throughout the stations (i.e., sea, coastal, pond, estuaria and the outlet of the farm stations). To examine the
physical, chemical and biological parameter of spatial characteristic, a Principal Component Analysis (PCA) was
used. The used approaches to determine carrying capacity were based on capacity and receivance ability of
waters and oxygen content. The results of this research show that the entirely physical and chemical parameters
of coastal water of the Barru regency were exceeded that of the requirement thresholds of the total suspended
sediment (TSS) and the chemical oxygen demand (COD). A spatial distribution of physical and chemical
characteristics was measured high by TSS and COD, as well as the level of water turbidity, all at the outflow of
estuaria and the Outlet; meanwhile, the value of NO2, Phosphate, and NH3 substances was recorded high at the
pond. A biological parameter was characterized by the existence of phytoplankton through its density and abundance
as well. Those of the Class Bacyllariophyceae was dominantly encountered to attain at the top as high as 75.2% in
species composition, followed by Cyanophyceae 9.3% at the second, and the rest Chlorophyceae 8.9% and
Dyanophyceae and Euglenophyceae 5.9% and 0.7% respectively. Based on the stationed preferences, those in the
coastal, the pond, and the Outlet were dominated by Bacyllariophyceae, whereas the estuaria by Cyanophyceae.
The Shannons index of diversity (H) of the entirely stations was varied among 1.01 2.12 that the lowest one at the
estuaria and the highest at the sea. The coastal water has its carrying capacity to support the excess of 506,437
kg organic waste substances based on the necessity of oxygen content suspending in the water column. Therefore,
the given pond is feasible to develop to reach as much as 219 Ha intensive ponds, or 481 Ha semi-intensive ponds
on the other way.
Keywords: biological, carryng capacity, chemical, parameters fhysical, tiger prawn

PENDAHULUAN
Luas lahan pertambakan di Sulawesi Selatan
meliputi 15.900 hektar dan 84.832 hektar dipergunakan
untuk tambak (Departemen Kelautan & Perikanan,
2006). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan
untuk pertambakan telah menunjukkan pemanfaatan
yang berlebihan (over exploited). Kabupaten Barru
merupakan salah satu daerah pertambakan udang di
Sulawesi Selatan yang tingkat teknologinya mengalami
perkembangan. Meningkatnya teknologi pertambakan
udang tersebut, menimbulkan permasalahan di
Telp: +62811469156
Email: rustam_umi@yahoo.com

kawasan pesisir yaitu tingginya buangan limbah organik


yang dihasilkan oleh kegiatan pertambakan udang.
Hitungan besarnya limbah tambak yang lebih sederhana
diberikan oleh Annchhatre dan Jeganaesan (2006)
sebagai berikut. Tambak udang intensif dengan luas
4000 m2, tingkat kepadatan 30 ekor/m2, jumlah pakan
yang diberikan sebanyak 2 ton dengan kadar protein
35-50%, limbah organik yang terbuang ke perairan
sebanyak 900 kg .
Limbah organik yang berupa sisa pakan dan sisa
metabolisme dari hasil kegiatan pertambakan udang
akan terbuang ke perairan pesisir melalui pergantian
air. Buangan air dari kegiatan pertambakan udang

Jurnal Natur Indonesia 13(1): 33-40

34

Rustam

tersebut akan mempengaruhi kondisi fisik, kimia dan


biologi lingkungan perairan pesisir sebagai penerima
limbah. Disamping itu juga akan mempengaruhi
kegiatan usaha pertambakan udang sebagai sumber
air untuk kegiatan pertambakan
Berdasarkan hal tersebut, agar usaha
pertambakan udang di daerah Kabupaten Barru
Sulawesi Selatan berkelanjutan, maka diperlukan
penelitian tentang analisis farameter fisik, kimia dan
biologi perairan dan daya dukung lingkungan perairan
pesisir sebagai salah satu dasar acuan dalam
penentuan tingkat teknologi dan luas tambak yang layak
dioperasikan dalam pengembangan usaha budidaya
udang windu secara berkelanjutan.

BAHAN DAN METODE


Determinasi Kualitas Perairan Kawasan
Pesisir. Determinasi kualitas perairan bertujuan Untuk
mengetahui kualitas perairan pesisir, maka pengambilan
contoh untuk keperluan analisis faktor fisik, kimia, dan
biologi perairan pesisir dilakukan pada 6 stasiun, yaitu:
Stasiun I Laut yang terdiri dari 3 sub stasiun (A1,A2
dan A3), Stasiun II Pantai yang terdiri dari 6 sub stasiun
(B1, B2, B3, B4, B5 dan B6), Stasiun III Pertambakan
udang Intensif, semi intensif dan tradisional yang terdiri
dari 6 sub stasiun (C1, C2, C3, C4, C5, dan C6), Stasiun

V Muara yang terdiri dari 3 sub stasiun (E1, E2, dan


E3) dan Stasiun VI Saluran Pembuangan (outlet) yang
terdiri dari 3 sub stasiun (F1, F2 dan F3). Posisi masingmasing stasiun dan substasiun pengambilan contoh
tersebut di atas ditentukan dengan alat bantu Global
Position System (GPS).
Pengukuran Parameter Fisik, kimia dan
Biologi Perairan. Pengukuran parameter fisik, kimia
dan biologi perairan ini ditujukan untuk menentukan
present status kondisi perairan yang dapat dikaitkan
dengan tingkat produktivitas budidaya tambak Metode
pengambilan contoh dan analisis laboratorium mengikuti
metode standard (APHA, 1989 dalam Dahuri, 1998).
Identifikasi biologi (fitoplankton & benthos) dilakukan
dengan menggunakan buku identifikasi Davis, (1955)
dan Yamaji, (1979). Parameter fisik, kimia dan biologi
yang diamati selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
Analisis Parameter Fisik dan Kimia Perairan.
Analisis Parameter fisik dan kimia perairan bertujuan
untuk menentukan sebaran spasial karakteristik fisik
kimia perairan antar stasiun pengamatan digunakan
suatu pendekatan sidik peubah ganda yang didasarkan
pada Analisis Komponen Utama (Principle Componen
Analisis, PCA). Analisis ini adalah metode analisis
deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik dan
matriks. Matriks data yang ditampilkan terdiri dari stasiun

Tabel 1. Parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang diamati pada penelitian
No
Parameter
Alat Yang Digunakan
1.
Suhu
Thermometer

2.

Kekeruhan

Turbiditymeter

3.

Kecerahan

Secchidisk

4.

TSS

Botol sampel & Ice Box

Analisis Laboratorium
Insitu

Insitu

5.

Pasang surut

Papan berskala

Insitu

6.

Arus

Current Meter

Insitu

Glombang

Stopwatch, meteran

Insitu

8.

pH

pH-meter

Insitu

9.

Salinitas

Hand refractomete

Insitu

10.

Oksigen (DO)

DO-Meter

Insitu

11.

Ammonia

Botol Sampel, Presevatif

12.

Nitrat

Botol sampel, Preservatif

13.

Nitrit

Botol sampel, preservatif

14.

Orthophosphat

Botol sampel, preservatif

15.

BOD5

Botol BOD, Preservatif

16.

COD

Botol Sampel, Preservatif

17.

Fitoplankton

Botol BOD, Preservatif

18.

Makrozoobenthos

Botol Sampel, Preservatif

Keterangan : ( = dianalisis di laboratorium, insitu = dilapangan)

Analisis parameter fisik, kimia, biologi


pengamatan sebagai variabel individu (baris) dan parameter kualitas air sebagai variabel kuantitatif
(kolom).Hasil akhir analisis komponen utama yaitu ada
tidaknya perbedaan sebaran spasial parameter fisikkimia perairan antar berbagai titik pengamatan. Analisis
Komponen Utama ini menggunakan program Software
Xlstat versi 5.0.
Analisis Daya Dukung Kawasan Perairan
Pesisir. Analisis daya dukung kawasan perairan pesisir
untuk usaha pengembangan pertambakan yaitu
pendekatan daya dukung berdasarkan analisis
Hubungan antara ketersediaan oksigen terlarut dengan
beban limbah. Analisis ini mengacu pada Willoughby
(1968 dalam Rahmansyah, 2004) dan Boyd (l999) bahwa
oksigen dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah
organik dalam perairan. Pergantian air akibat pasang
surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut
dalam badan air.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pasang Surut. Pasang surut di daerah Kabupaten
Barru berdasarkan nilai Formsahl yang diperoleh, maka
tipe pasang surut dikategorikan sebagai pasang surut
campuran dominan. Pemanfaatan tenaga pasang surut
sebagai sumber penyediaan air untuk kegiatan usaha
budidaya tambak, maka nilai tinggi pasang surut
(amplitudo) perlu dihitung. Rata-rata tinggi pasang surut
pada waktu pasang tertinggi (spring tide) adalah
98 cm dan pada waktu pasang terendah (neap tide)
adalah 30 cm (Tabel 2).
Gelombang Laut. Gelombang laut di perairan
pantai Kabupaten Barru sebagaimana gelombang di
perairan pada umumnya, diakibatkan oleh angin yang
bertiup di permukaan laut dan pasang surut muka air
laut. Tinggi gelombang di peraran pantai Kabupaten
Barru bervariasi menurut musim, kecepatan angin dan
tinggi amplitudo pasang surut. Pada musim Barat
(musim hujan), yaitu bulan Oktober - Maret gelombang
lebih tinggi dibandingkan dengan pada musim Timur
(April-September). Berdasarkan hasil perakiraan badan
meteorologi Sulawesi Selatan tinggi gelombang pada
Tabel 2. Karakteristik Pasang Surut di Perairan Pantai Kabupaten
Barru
Karakteristik
Level (Cm)
Tunggang Pasang (Cm)
Tidal Level
MHHWS
+49
MLHWN
+15
MSL
0
Neap Tide
Spring Tide
MLLWN
-15
= 30 cm
=98 cm
MLLWS
-49

35

musim barat untuk kawasan perairan Kabupaten Barru


dan sekitarnya mencapai 0,3-3,0 m, sedangkan pada
musim timur 0,1 2,0 m.
Arus Pasang Surut. Arus pasang surut di sekitar
pantai Kabupaten Barru terdiri atas arus pasang surut
(tidal current), susur pantai (longshore current) dan arus
tolak pantai. Arus pasang surut dibangkitkan oleh
pasang surut air laut yang terjadi di daerah sebelum
ombak pecah, sedangkan arus susur pantai dan tolak
pantai dibangkitkan oleh ombak setelah pecah. Pola
arus di pantai pada umumnya disebabkan oleh angin
dan arahnya dapat dipengaruhi oleh arah angin. Hasil
pengamatan di lapangan didapatkan bahwa
kecepatan arus di perairan pantai Kabupaten Barru
yang disebabkan oleh pasang surut berkisar
0,038 0,195 m/detik, dengan arah arus yang berubahubah tergantung pada keadaan pasang surut. Pada saat
pasang naik arus menuju ke arah utara sebaliknya pada
saat surut ke arah selatan.
Parameter Fisik dan Kimia Perairan Pesisir.
Parameter fisik dan kimia perairan pesisir Kabupaten
Barru yang diambil dari masing-masing stasiun
pengamatan bahwa ada beberapa parameter fisik dan
kimia perairan yang sudah melampaui nilai baku mutu
yang diperbolehkan untuk biota laut seperti TSS
(80 mg/l), COD (80 mg/l) dan Kekeruhan (30 NTU). Pada
stasiun pantai parameter kualitas perairan yang
melampaui nilai baku mutu biota laut yang
diperbolehkan adalah TSS (125 57,3 mg/l) dan COD
(86,79 87 mg/l). Tingginya TSS pada stasiun pantai
diduga dipengaruhi oleh hasil buangan limbah dari
kegiatan pertambakan di darat. Kenyataan tersebut
ditunjang oleh tingginya nilai TSS pada stasiun
pertambakan udang intensif dan semi intensif
yaitu masing-masing 238,3 53,3 mg/l dan
156,3 84,4 mg/l dan stasiun pembuangan (out let)
316,4 197,8 mg/l. Seperti halnya dengan TSS,
tingginya COD di stasiun pantai terutama diduga
berasal dari kegiatan pertanian di darat yang
menggunakan bahan kimia seperti pestisida dan limbah
domestik yang berasal dari pemukiman. Hal ini juga
terlihat tingginya nilai COD pada stasiun sungai dan
muara yaitu masing-masing 86,56 27,23mg/l dan
82,83 15,30 mg/l yang melampaui nilai baku mutu
biota laut yang diperbolehkan, stasiun ini juga
merupakan tempat pembuangan limbah pertanian dan
pemukiman sebelum masuk ke daerah pantai.

36

Jurnal Natur Indonesia 13(1): 33-40

Tingginya nilai TSS pada daerah pertambakan


udang intensif dan semi intensif yaitu adanya pemberian
pakan buatan dalam budidaya yang tidak termakan
berupa sisa pakan dan hasil metabolisme berupa
faeces yang terlarut ke dalam perairan (Boyd, 1998;
Primavera, 1994). Selanjutnya dinyatakan bahwa pada
tingkat teknologi budidaya secara intensif kebutuhan
nutrisi hewan peliharaan tergantung sepenuhnya dari
pakan buatan, sehingga apabila pakan buatan yang
diberikan banyak yang tidak termanfaatkan maka dapat
menjadi penyebab utama tingginya bahan organik
dalam tambak dan selanjutnya dapat meningkatkan
TSS dalam perairan tambak. Parameter lain yang
memperkuat kenyataan tersebut di atas adalah
tingginya nilai kekeruhan perairan pada stasiun tambak
intensif (56,9 22,1) dan semi intensif (45,3 16,7).
Menurut Effendi, (2000) terdapat hubungan yang positif
antara nilai padatan tersuspensi dengan kekeruhan di
suatu perairan yaitu semakin tinggi nilai padatan
tersuspensi, maka semakin tinggi nilai kekeruhan.
Sebaran Spasial Karakteristik Parameter Fisik dan
Kimia Perairan. Sebaran spasial karakteristik parameter
fisik dan kimia perairan bertujuan Untuk mengetahui
sebaran spasial antara parameter fisik dan kimia
perairan dengan lokasi pengamatan dilakukan dengan
menggunakan metode Principal Component Analisis
(PCA) dengan program Xlstat Versi 5.0. Berdasarkan
hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa ragam pada
sumbu utama pertama, kedua dan ke tiga (F1,F2 dan
F3) sebesar 64,05%. Hal ini berarti bahwa 64,05% dari
data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu
utama ketiga. Komponen utama pertama hingga ketiga
secara berurutan menjelaskan masing-masing 39,0%,
16,05% dan 9,0%.
Pada sumbu pertama (F1), parameter Kecerahan,
Kekeruhan, TSS, dan BOT memberikan konstribusi
terbesar pada pembentukan sumbu utama pertama.
Parameter TSS, Kekeruhan dan BOT berkorelasi negatif
dengan parameter kecerahan yaitu apabila nilai
parameter TSS, kekeruhan dan BOT tinggi, maka nilai
kecerahan akan rendah. Parameter salinitas, NO2, NH3
dan Fosfat memiliki konstribusi terbesar terhadap
pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Gambar 1A)
Pada sumbu pertama (F1) menggambarkan bahwa
satsiun E dan F khususnya pada stasiun E1, F2 dan
F3 dicirikan oleh TSS, Kekeruhan, BOT yang tinggi.

Rustam
Pada stasiun ini merupakan stasiun muara dan outlet
yang merupakan tempat pembuangan dan
terakumulasinya limbah organik dari tambak dan
sungai. Stasiun A dan B pada seluruh pengamatan
dicirikan oleh nilai kecerahan yang tinggi, khususnya
pada pengamatan A1, A2 dan A3. Hal ini menunjukkkan
bahwa letak stasiun menentukan, yakni semakin
mengarah ke laut nilai kecerahan semakin tinggi. Pada
sumbu 2 (F2) stasiun C, D dan E khususnya stasiun
C5, D1, D2 ,D3, E2 dan E3 dicirikan oleh nilai NO2,
Fosfat dan NH3 yang tinggi. Nilai parameter fisik, kimia
perairan lainnya menunjukkan distribusi yang hampir
merata di seluruh stasiun (Gambar 1B)
Parameter Biologi Perairan. Parameter biologi
perairan yang diamati yaitu fitoplankton dan
makrozoobenthos. Berdasarkan hasil identifikasi
fitoplankton diketahui bahwa paling tidak ada 5 kelas
fitoplankton yang terdapat di perairan pesisir Kabupaten
Barru yaitu Bacyllariophycea, Chlorophycea,
Cyanophycea, Dyanophycea dan Euglenophycea,
Sedangkan komposisi kelas dan kelimpahan
fitoplankton yang diperoleh pada seluruh stasiun (laut,
pantai, pertambakan, saluran pembuangan (outlet) dan
(muara) Diketahui bahwa kelas fitoplankton
Bacyllariophycea yang dominan (75,2%), selanjutnya
Cyanophyceae (9,3%), Chlorophycea (8,9%),
Dyanophycea (5,9%) dan Euglenophycea (0,7%).
Namun komposisi kelas dan kelimpahan fitoplankton
Bacyllariophyceae mendominasi pada stasiun laut,
pantai, pertambakan dan saluran pembuangan (outlet),
sedangkan stasiun muara didominasi oleh kelas
Cyanophyceae.
Jenis fitoplankton dari kelas Bacyllariophycea yang
didapatkan adalah Chaetoceros, Nitschia,
Cosconodicus dan Rhizosolenia merupakan jenis yang
memiliki frekuensi kemunculan dan kelimpahan tinggi.
Chaetoceros dan Nitschia ini merupakan jenis diatom
yang digemari oleh udang. Kelas Chlorophyceae yang
didapatkan dan frekuensi kemunculannya dan
kelimpahan tinggi adalah jenis Coelastrum, Oocystis,
Oodegenium,Ulothrix, dan Microsphora. Kelas Cyanophyceae yang didapatkan adalah jenis Calothrix,
Oscillatoria, Trichodesmium, dan Spirulina. Kelas
Dynophyceae yang didapatkan adalah jenis Ceratium
dan Noctiluca. Sedangkan kelas Euglophyceae jenis
yang didapatkan adalah Euglena. Hasil perhitungan nilai

Analisis parameter fisik, kimia, biologi

37

Gambar 1. Lingkaran Grafik Korelasi Parameter Fisika-kimia Perairan pada Sumbu 1 dan 2 berdasrkan Stasiun Pengamatan

indeks keragaman (H) dan indeks keseragaman (E)


dari semua stasiun diperoleh kisaran nilai indek
keragaman 1,01- 2,12. Nilai keragaman yang terendah
didapatkan pada stasiun muara dan tertinggi pada
stasiun laut.
Hasil pengamatan terhadap makrozoobenthos
pada masing-masing stasiun diperoleh jumlah spesies
yang kecil, yaitu berkisar 1 5 jenis dengan kepadatan
rata-rata 60 individu/m2 keadaan ini menunjukkan
adanya jenis makrozobenthos yang dominan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Paez-Ozuna et al., (l998)
mengemukakan bahwa apabila dalam suatu lingkungan
terjadi penurunan keragaman secara tajam sampai
hanya sebagian kecil saja populasi yang dominan, maka
lingkungan tersebut telah mengalami tekanan akibat
pencemaran dan populasi tersebut yang disebut

sebagai indikator pencemaran. Analisis indeks


keanekragaman makrozoobenthos yang diperoleh pada
masing-masing stasiun berkisar antara 0,64 1,70
dengan nilai rataan 1,06. Hasil analisis indeks
keseragaman jenis (E) pada masing-masing stasiun
diperoleh kisran 0,86 1,0 dengan nilai rataan 0,96.
menurut Soewardi. (2002) apabila nilai E mendekati 1,
sebaran individu antara jenis relatif merata. Sebaliknya
jika nilai E mendekati 0, maka sebaran individu antara
jenis tidak merata.Berdasarkan hasil analisis indeks
keseragaman (E) makrozoobenthos pada masingmasing stasiun pengamtana menujukkan sebaran jenis
relatif merata.
Daya Dukung Kawasan Berdasarkan
Ketersediaan Volume Air. Daya dukung kawasan
perairan berdasarakan ketersediaan volume air dihitung

Jurnal Natur Indonesia 13(1): 33-40

Rustam

78 km

2 kali pasang, 2 kali surut

Semi diurnal

Kemiringan pantai ()

36.6o (tg 0.74)

-6.
50

-6.
00

-5.
50

-5.
00

-4.
50

-4.
00

-3.
50

-3.
00

-2.
50

-2.
00

-1.
50

-1.
50

Lebar pantai (y)


Pola pasang surut

-7.
50

455 m

-6.
50

Jangkauaan pasang (x)

-5.
50

Tabel 3. Kondisi fisik perairan pesisir Kabupaten Barru


Paremeter
Nilai Pengamatan
Keterangan
Kisaran pasut (h)
98 cm

-4.
50

Tabel 3, sedangkan kedalaman perairan pesisir pantai


disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan data hasil perhitungan volume air
yang tersedia dipantai (Vo) didapatkan 34.729.584 m3

-3.
50

dan volume air yang tersedia perhari 69.459.168 m3


(2 kali pasang), sedangkan volume air pada saat surut
(Vs) yaitu 11.910.600 m3. Berdasarkan nilai tersebut
didapatkan bahwa luas tambak yang optimum dapat
dioperasikan daerah Kabupaten Barru berdasarkan
teknologi yaiitu masing-masing secara intensif hanya
694,6 ha berdasarkan target kapasitas produksi yaitu
3,5 4,0 ton ha. Budidaya udang secara semi intensif
dengan target produksi rata-rata 1,5 2,0 ton/ha/MT,
maka luas tambak yang dapat dioperasikan yaitu
1.389,2 ha. Budidaya udang tradisional dengan target
produksi 500 kg/ha/MT, maka luas tambak yang dapat
dioperasikan yaitu 5.556,8 ha. Secara rinci luasan
tambak udang yang dapat dioperasikan berdasarkan
tingkat teknologi disajikan pada Tabel 4.
Pendugaan Daya Dukung Lingkungan
Perairan Berdasarkan Ketersediaan Oksigen
Terlarut dengan Limbah Organik. Pendugaan daya
dukung lingkungan perairan berdasarkan ketersediaan
oksigen terlarut dengan limbah organik mengacu pada
Widigdo (2000), dan Boyd et al., (l998) bahwa oksigen

dengan menggunakan pendekatan seperti yang


dlakukan oleh Widigdo et al., (2001) dengan
berdasarkan panjang garis pantai, kisaran pasang,
kemiringan dasar perairan dan jarak dari garis pantai
pada air pasang ke arah laut sampai mencapai titik
dimana kedalaman air pada saat surut terendah yaitu
satu meter sama dengan kedalaman dari pipa
pengambilan (intake) air laut untuk tambak.
Berdasarkan hasil pengamatan bahwa kondisi fisik
perairan pesisir pantai Kabupaten Barru disajikan pada

-2.
50

38

Gambar 2. Tofografi Dasar dan Kedalaman Perairan Pesisir Kabupaten Barru


Tabel 4. Luas Tambak yang Layak Untuk dioperasikan Berdasarkan Tingkat Teknologi yang didasarkan atas volume air yang tersedia
Luas Tambak (ha) Berdasarkan Target Produksi
Lokasi
Kapasitas Produksi (Kg/MT)
Intensif (4 ton/ha/MT)
Semi Intensif (2 ton/ha/MT) Tradisional (500 kg)
Kabupaten Barru
4 Ton
694,6 ha
1.389,2 ha
5.556,8 ha

Analisis parameter fisik, kimia, biologi


dibutuhkan untuk mendekomposisi limbah organik
dalam perairan. Pergantian air akibat pasang surut akan
menyediakan atau memasok oksigen terlarut dalam
badan air. Penentuan keteresediaan oksigen terlarut
dalam badan air yaitu perbedaan antara konsenterasi
O2 (g/m3) terlarut yang ada di dalam badan air (Oair) dan
konsenterasi O2 (g/m3) terlarut minimal yang dikehendaki
dari organisme budidaya (Oudang). Kadar minimum yang
dikehendaki untuk budidaya adalah 3 mg/l (Oout.),
sedangkan hasil pengamatan kadar oksigen di pantai
(Oin) yang diamati selama 24 jam dengan selang waktu
3 jam rata-rata 6,5 mg/l (dibulatkan) (Tabel 5). Kadar
oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai/merombak
1 kg limbah organik pakan diperlukan oksigen sebesar
0.2 kg, maka kemampuan perairan untuk menampung
limbah organik yaitu 506.473 kg limbah organik. Hal ini
berarti bahwa kemampuan perairan menampung limbah
organik yang diperbolehkan dari hasil kegiatan budidaya
tambak tanpa melampaui daya dukung sebesar
506.473 kg limbah organik.
Jika dikaitkan dengan batas kemampuan daya
dukung perairan untuk menampung limbah organik
berdasarkan ketersediaan oksigen sebesar 506.473 kg
limbah organik, maka maksimum luas hamparan
tambak yang dapat dioperasikan tanpa melampaui
batas kemampuan daya dukung lingkungan perairan
yaitu 219 ha tambak Intensif atau 481 ha tambak semi
Tabel 5. Kandungan Oksigen (O2) mg/l di Pantai Barru selama 24
jam dengan Selang Waktu 3 jam pada tiga Stasiun
pengamatan
Waktu Pengamatan
Stasiun Pengamatan /
Kandungan Oksigen (mg/l)
(Jam)
1
2
3
09.00
5.80
6.69
6.18

12.00

9.23

6.07

9.68

15.00

8.44

7.12

7.65

18.00

6.98

6.44

6.63

21.00

5.56

6.03

5.67

24.00

5.19

5.42

6.05

03.00

6.07

5.76

6.36

06.00

5.62

6.34

6.23

Rataan

6.48

6.23

6.67

Keterangan : Stasiun 1,2, dan 3 yaitu stasiun pantai (B1, B2 dan


B3).

39

intensif. Apabila kapasitas produksi tambak udang di


daerah Kabupaten Barru untuk budidaya tambak intensif
3,5 ton/ha/musim tanam dan tambak semi intensif 1,7
ton/ha/musim tanam, maka maksimum produksi udang
yanng mampu didukung untuk kegiatan usaha tambak
udang secara intensif yaitu 767 ton/musim atau 818
ton/musim untuk tambak udang semi intensif.
Kemampuan daya dukung suatu kawasan pesisir untuk
menampung kegiatan usaha pertambakan secara rinci
disajikan pada Tabel 6.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat
disimpulkan bahwa. Parameter Fisik dan kimia perairan
pesisir yaitu total padatan tersuspeni (TSS) dan COD
telah melampaui ambang batas persyaratan baku mutu
yang diperbolehkan untuk budidaya udang windu.
Sebaran spasial parameter fisik dan kimia perairan
di stasiun laut dicirikan oleh nilai kecerahan yang tinggi,
stasiun pertambakan dicirikan oleh nilai NO2, fosfat dan
NH3 yang tinggi, stasiun saluran pembuangan (outlet)
dan muara dicirikan nilai TSS, COD dan kekeruhan yang
tinggi Nilai parameter fisik, kimia perairan lainnya
menunjukkan distribusi yang hampir merata di seluruh
stasiun. Stasiun pantai dan sungai tidak mencirikan
nilai paramater fisik dan kimia perairan.
Parameter biologi perairan yaitu Komposisi kelas
dan kelimpahan fitoplankton, kelas Bacyllariophycea
merupakan jenis fitoplankton yang dominan (75,2%),
selanjutnya Cyanophyceae (9.3%); Chlorophyceae
(8.9%); Dyanophyceae (5,9%) dan Euglenophyceae
(0,7%). Distribusi berdasarkan stasiun (laut, pantai,
tambak dan saluran pembuangan (outlet) didominasi
oleh kelas Bacyllariophyceae. Sedangkan stasiun
muara didominasi oleh kelas Cyanophyceae. Indeks
keragaman (H) dan indeks keseragaman( E) dari semua
stasiun diperoleh kisaran nilai indek keragaman 1.012.12. Nilai keragaman yang terendah didapatkan pada
stasiun muara dan tertinggi pada stasiun laut.
Kemampuan (daya dukung) perairan pesisir untuk
menampung limbah organik berdasarkan ketersediaan
oksigen yaitu 506,437 kg. Berdasarkan daya dukung

Tabel 6. Kapasitas Produksi Udang dan Luas Tambak yang Layak untuk Dioperasikan Berdasarkan Tingkat Teknologi yang didasarkan
atas ketersediaan oksigen dengan limbah organik
Teknologi
Buangan Limbah
Luasan tambak
Daya Dukung
Daya Dukung Produksi
Organik (kg/ha)
Yang diperboleh-kan (ha)
Perairan (kg)
Udang (ton)
Intensif
2.312,15
219
506.473
767 - 818
Semi Intensif
1.053,12
481

40

Jurnal Natur Indonesia 13(1): 33-40

tersebut, maka luas areal tambak yang layak


dioperasikan/direkomendasikan di daerah Kabupaten
Barru yaitu 219 ha tambak intensif atau 481 tambak
semi intensif. dengan maksimum produksi udang yaitu
masing-masing 767 ton/musim (tambak intensif) atau
818 ton/musim (tambak semi intensif).

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Rektor, Ketua Lembaga Penelitian, Dekan dan ketua
jurusan Budidaya Perairan Universitas Muslim
Indonesia Makassar yang telah memberikan dukungan
dalam pelaksanaan penelitian serta Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Barru yang telah membantu dan
menfasilitasi penelitian di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA
Annachhtre, A.P. & Jeganaesan. J. 2006. Enviromental Impact
of Shrimp Farming in Thailand. Urban enviromental engineering and management programme Asian Institute of Technology. Thailand .www.arrpet.aif.ac. th/wwtm/ml/1.pdf (13 November, 2006).
Boyd, C.E., Massaut, L. & Weddig, L.J. 1998. Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH
International 2(98): 27-33.

Rustam
Boyd, C.E. 1999. Management of shrimp ponds to reduce the
eutrophication potential of effluents. The Advocate, 12-13.
Dahuri, R. 1998. Tipologi lingkungan pesisir. Makalah Disajikan
pada Pelatihan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan
Audit Lingkungan bagi Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia, PPSML UI, Jakarta, 28 30 Oktober 1998.
Effendi, I. 1998. Ekosistem Pertambakan dan Pelestarian
Produktivitasnya. Makalah disampaikan Pelatihan Singkat
Perlindungan Lingkungan Mangrove dan Tambak Suatu
Upaya Pelestarian Produksi Ekosistem Mangrove dan
Tambak. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL)
IPB. Bogor.
Paez-Ozuna, F., Guererro-Galvan. & Ruiiz-Fernandez, S.R.
1998. The Enviromental impact of shrimp Aquaculture and
The coastal pollution in Mexico. Marine Pollution Bulletin
36(1): 65-75.
Primavera, J.H. & Apud, F.F. 1994. Pond culture of sugpo
(Penaeus monodon, Fabricius). Philipp. J. Fish. 18(5): 142 176.
Rahmansyah. 2004, Analisis daya dukung kawasan pesisir teluk
Awarange Kabupaten Barru untuk pengembangan usaha
budidaya ikan bandeng dalam Keramba jaring apung.
Disertasi IPB. Bogor:Insitut Pertanian Bogor.
Soewardi, K. 2002. Pengelolaan Kualitas Air Tambak, Makalah
Dalam Seminar Penetapan Standar Kualitas Air Buangan
Tambak, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak, 7-9 Agustus
2002.
Widigdo, B. 2000. Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis
Untuk Menentukan Potensi Alami Kawasan Pesisir Untuk
Budidaya Udang. Prosiding. Pelatihan untuk Pelatih
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL-IPB. Bogor
21-26 Februari 2000.
Widigdo, B, J. Haluan. & S. Haryadi. 2001. Materi Kuliah
Pengembangan Perikanan Pesisir. Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor.

You might also like