Koalisi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan
Koalisi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan
Koalisi Aktor Dalam Implementasi Kebijakan
SUMMARY
Nazwar, Postgraduate Program of Brawijaya University, Malang, 2003. The Actor
Coalition in The Policy Implementation (A Study of Actor Coalition In Policy
Implementation of School Based Quality Improvement Management (SBQIM) in Kota
Solok’s Primary School); Chief of Guidance Commission (I), Drs. Susilo Zauhar, MS.,
Member of Guidance Commission (II), Drs. Choirul Saleh, MS.
Though that looks on education quality improvement in primary school, though school
based management policy, is a relatively new phenomenon. So that the SBQIM policy
selection, and its implementation, need to be supported by actor/stakeholders
group/organization (coalition) which are, include: Teacher Work Group (TWG), SBQIM
Work Group, School Committee/BP3 and group/team of pioneers and movers of SBQIM
policy conduction and else.
The research took a setting in primary schools, because of their uniqueness, which are the
success in implementation SBQIM policy and the high schools management ability based
on: 1) The ability of headmasters in conducting the management functions (planning,
organizing, movement, ad controlling). 2.) Teachers ability in conducting teaching-
studying process, using appropriate studying strategy such as: PAKEM. 3) Degree of
parents, society, related government (actors/stakeholders) involve or participation and the
available funds allocation.
The focus of he research consisted of: 1) The actor/stakeholders’ attitude and point of
view in SBQIM policy implementation include: resources, policy implementation process
and else. In this case will be seen about the point of view and attitude of school society,
society, related government which are joined (coalition) in Teacher Work Group (TWK),
SBQIM Work Group, School Committee/BP3, Pioneers team and the movers of SBQIM
conduction ad other organization related with the SBQIM policy implementation. 2)
Society involvement or participation as one of important actor/ stakeholders in SBQIM
policy implementation in Kota Solok’s primary school. 3) Barrier factors in the SBQIM
policy implementation in Kota Solok’s primary school.
The approach used in this research is phenomenal. Said so because qualitative approach
in this research have typical such as: have actual setting, researcher is the key instrument,
usually descriptive, stress on process, data analysis is inductive and mean of every event
are the essential concern in this research.
Data grouped using observation technique of in depth interview, and documentation.
Observation technique used to achieve the real illustration about point of view and
attitude of related actor/ stakeholders. Involvement of participation of important society
(actor/stakeholders), and barrier factors in SBQIM policy implementation.
While documentation used to support data gained from the observation and in depth
interview. Data analysis done using interactive analysis model in which involve activities
of data collecting, data presentation, data reduction, and conclusion withdrawal.
This research’s result prove that MPMBS policy implementation in primary school are
hardly defined by following factors, some of them are: 1) Resources readiness including
human resources, tools, equipment, funding had by school. 2) SBQIM policy
implementation process including: SBQIM policy institution, actor/stakeholders’ compre-
hension, socialization, and the SBQIM policy conduction. 3) Society involvement and
participation as one of important actor/ stakeholders in the SBQIM policy
implementation.
Things above can be accomplished if: 1) Given broader autonomy (independence) to
school side. 2) Headmaster’s ability in managing the school he/she lead on and apply
existed potency in school and its environment. 3) Sufficiently funds availability in every
school. 4) The existence of support from all others group/organization (coalition) of
related actor/stakeholders including school society (teachers, students, and employees),
society (students’ parent, public figure and other common society, education observers),
related government (education department job holder, observers and others).
RINGKASAN
Gagasan yang memandang peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar, melalui
kebijakan manajemen berbasis sekolah, merupakan fenomena relatif baru. Sehingga
pemilihan kebijakan MPMBS, dan pengimplementasiannya, perlu didukung oleh
kelompok/organisasi (koalisi) aktor/ stakeholders adalah, meliputi: Kelompok Kerja Guru
(KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3 dan Kelompok/Tim pelopor dan
penggerak pelaksanaan kebijakan MPMBS dan lain-lain.
Penelitian mengambil latar di sekolah dasar, karena mempunyai keunikan, yakni
keberhasilan dalam mengimplementasikan kebijakan MPMBS dan kemampuan
manajemen sekolah yang tinggi yang didasarkan pada: (1) Kemampuan Kepala Sekolah
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen (perencanaan pengorganisasian, pergerakan, dan
pengawasan); (2)Kemampuan guru melaksanakan proses belajar mengajar, dengan
strategi pembelajaran yang sesuai misalnya: PAKEM; (3) Tingkat keterlibatan atau
partisipasi orang tua, masyarakat dan pemerintah terkait (aktor/stakeholders) serta alokasi
anggaran yang tersedia.
Fokus penelitian terdiri dari: (1) Sikap dan pandangan aktor/stakeholders dalam
implementasi kebijakan MPMBS meliputi: sumberdaya, proses implementasi kebijakan
dan lain-lain. Dalam hal ini akan dilihat mengenai pandangan dan sikap warga sekolah,
masyarakat, pemerintah terkait, yang tergabung (berkoalisi) dalam Kelompok Kerja Guru
(KKG), Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3, Tim pelopor dan penggerakan
pelaksanaan MPMBS dan organisasi lain yang terkait dengan implementasi kebijakan
MPMBS; (2) Keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu
aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS di sekolah dasar Kota
Solok; (3) Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di
sekolah dasar Kota Solok.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini fenomenologis. Dikatakan demikian
karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain:
mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, biasanya bersifat
deskriptif, menekan pada proses, analisis data bersifat induktif dan mean (pemaknaan)
tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir
semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan
kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah
membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu
berperan dalam persaingan global, maka perlu mengembangkan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara
terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak
ingin kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang
sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan
kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan
kualitas sumber daya manusia itu sendiri.
Pendidikan adalah esensial bahkan merupakan salah satu elemen terpenting dari
kehidupan seseorang. Harus diakui bahwa tingkat “pendidikan” dapat menjadi ukuran
tingkat kemampuan berfikir seseorang. Berbicara masalah pendidikan bukanlah hal
mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yang kompleks, dinamis dan kontekstual,
pendidikan merupakan wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan.
Peranan pendidikan dalam pembentukan diri sebagai Sumber Daya Manusia (SDM)
dibahas secara rinci oleh Fullan (1982) (lihat Rumtini, 1999) sebagai tujuan umum
pendidikan yang meliputi aspek kognitif berupa keterampilan akademik (membaca dan
matematika) dan keterampilan berfikir yang lebih tinggi (kemampuan memecahkan
masalah).
Pendidikan dalam prosesnya juga mencakup tujuan pengembangan aspek pribadi dan
sosial yang memungkinkan orang bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif,
inisiatif, empati dan yang memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai
bekal bermasyarakat.
Sedangkan tugas pendidikan adalah memberikan bekal kepada peserta didik agar
potensinya berkembang, wajar, optimal dan bersifat adaptif dalam menghadapi berbagai
permasalahan kelak setelah menamatkan studinya. Sehingga sifat dasar manusia yang
skeptis, eksploratif, dan juga kreatif, bisa berkembang dan menemukan artikulasinya
dalam proses belajar mengajar sewaktu mengikuti suatu program pendidikan. Lulusan
yang skeptis, inovatif, dedikatif, eksploratif, kreatif dan berkemampuan daya saing yang
harus diupayakan serta menjadi bahan antisipasi sistem dan perencanaan pendidikan
terutama di era otonomi daerah, yang diperkirakan kondisi ekonominya akan tumbuh
dengan cepat (Salladien, 2001).
“Membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yang cerdas, beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhurm memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Sejak digulirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku 1
Januari 2001, wacana desentralisasi pemerintah ramai dikaji. Pendidikan termasuk bidang
yang didesentralisasikan ke pemerintah kota/kabupaten. Melalui desentralisasi
pendidikan diharapkan permasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu, pemerataan,
relevansi, efisiensi dan manajemen, dapat terpecahkan cukuplah desentralisasi pendidikan
pada tingkat pemerintah kota/kabupaten. Pengalaman berbagai negara menunjukkan
bahwa desentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkat kota/kabupaten.
Desentralisasi pendidikan untuk mencapai otonomi pendidikan oleh sesungguhnya harus
sampai pada tingkat sekolah secara individual (Nurkolis: 2001).
Sementara itu pasal 11 ayat 2 UU nomor 22 tahun 1999, dimana bidang pendidikan
adalah merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan pemerintah daerah
kabupaten/kota, maka diharapkan mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Namun dalam
pencapainnya tidaklah mudah, daerah akan mengalami masalah dan hambatan yang tidak
sedikit, beberapa permasalahan pokok yang secara potensial menghambat pencapaian
kualitas pendidikan terutama pendidikan dasar.
Permasalahan-permasalahan menjadi kendala dalam meningkatkan mutu pendidikan di
era otonomi daerah, maka mantan Mendikbud Wardiman Djoyonegoro (lihat Budiyono,
2001) mengelompokkannya sebagai berikut:
Pertama, pendidikan akan menghadapi tantangan dalam hal pembiayaan pendidikan oleh
daerah. Disebutkan bahwa hanya sekitar 10% daerah yang dapat menyediakan anggaran
memadai untuk pendidikan, padahal pemerintah daerah harus menyediakan prasarana dan
sarana pendidikan seperti gedung sekolah dan peralatan praktikum yang memadai.
Pembiayaan pendidikan selama ini masih sangat tergantung pada pemerintah pusat.
Kedua, tantangan dalam hal pembiayaan pendidikan oleh masyarakat. Dalam kondisi
krisis ekonomi dan banyaknya kerusuhan mengakibatkan banyaknya pengungsi angka
partisipasi murni dan angka drop out yang dijadikan sebagai tolok ukur tantangan
pembiayaan oleh masyarakat sangat beragam antara satu daerah dengan daerah yang
lainnya. Pada daerah yang kaya angka partisipasi murni (APM) akan tinggi dan angka
drop out (ADO) akan rendah, sedangkan pada daerah yang masyarakatnya miskin akan
terjadi yang sebaliknya.
Ketiga, rendahnya sumber daya manusia yang menangani pendidikan, baik tenaga
pengajarnya (guru) maupun tenaga non teknis.
Sementara itu, Portz (1996) mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang menjadi
tantangan dan hambatan pendidikan di Boston, yang sangat relevan dengan permasalahan
pendidikan di Indonesia antara lain adalah: 1) masalah Governance atau kepemerintahan,
contohnya seperti adanya penekanan kepada dinamika politik di antara superintendent
dan komite sekolah. Selain itu juga kurangnya kepemimpinan. 2) Masalah yang berkaitan
dengan kegiatan sekolah, antara lain meliputi kegagalan didalam menyediakan program
pendidikan yang memadai, prestasi siswa dan birokrasi pendidikan. 3) Masalah
kurangnya dukungan pembiayaan dan hubungan dalam pemerintahan.4) Masalah
kurangnya dukungan dari masyarakat atau warga negara yang disebabkan karena
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan terpisahnya sekolah dengan
masyarakat. 5) Masalah yang terkait dengan permasalahan sosial secara umum dan
kondisi eksternal di luar sekolah seperti misalnya kemiskinan, ras, kriminal, dan
ekonomi.
Dipilihnya MBS atau MPMBS sebagai model desentralisasi pendidikan untuk pendidikan
dasar dan menengah karena diyakini model ini akan mempermudah pencapaian tujuan
pendidikan. Ciri-ciri MPMBS adalah adanya otonomi yang kuat pada tingkat sekolah,
peranserta aktif masyarakat dalam pendidikan, proses pengambilan keputusan yang
demokratis dan berkeadilan, serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan trasnparansi dalam
setiap keagiatan pendidikan. Program MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau
memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan dan sumberdaya
untuk meningkatkan mutu kinerja sekolah dan pendidikan terutama meningkatkan hasil
belajar siswa (Depdikbud, 2000).
Selain itu (Edward, 1979) dalam Umaedi (1999), mengemukakan bahwa konsep MPMBS
diperkenalkan oleh teori “Effective School” yang memfokuskan diri pada perbaikan
proses pendidikan. Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep
manajemen ini antara lain sebagai berkut: (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib;
(2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai; (3) sekolah memiliki
kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala
sekolah, guru dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) adanya
pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) adanya
pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan
administratif; (7) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua
murid/masyarakat.
Model MPMBS, dapat dikatakan bahwa sebagai model manajemen yang memberikan,
otonomi yang lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas keluwesan-keluwesan
kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa,
kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan,
pengusaha dan lain-lain) yang merupakan bagian dari aktor-aktor atau stakeholders yang
sangat berperan dalam pelaksanaan kebijakan MPMBS di suatu sekolah, di samping
aktor-aktor lain seperti pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah), lebih khusus
lagi Dinas Pendidikan (Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan).
Dengan kata lain koalisi aktor-aktor/stakeholders (keterlibatan aktor-aktor/stakeholders
yang terkait), sangat menentukan tercapai atau tidak tercapainya peningkatan mutu
pendidikan di sekolah, khususnya dalam pelaksanaan (implementasi) kebijakan MPMBS
di Sekolah Dasar.
Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum (general education), artinya pendidikan
dasar merupakan pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara, tanpa kecuali.
Dalam pasal 11 ayat (2) UUSPN dikemukakan bahwa pendidikan umum merupakan
pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan
peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir
pendidikan. Khusus mengenai sekolah dasar yang dijadikan sebagai tempat penelitian,
hal ini mengingat peran pendidikan dasar khususnya sekolah dasar sebagai bentuk satuan
pendidikan dasar yang menyelenggarakan program enam tahun dan pada tahap inilah
keberhasilan murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting
untuk pendidikan selanjutnya, dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan
pendidikan lebih lanjut termasuk keberhasilan pendidikan di tingkat sekolah dasar akan
sangat membantu satuan-satuan pendidikan berikutnya.
Kota Solok propinsi Sumatera Barat dipilih sebagai tempat penelitian karena
pencanangan dan komitmen ingin menjadikan Kota Solok sebagai kota pendidikan sesuai
dengan visi dan misi Kota Solok (Rencana Strategis 2000).
Persoalan-persoalan di atas, melatarbelakangi keinginan peneliti untuk mencermati dan
mengkaji secara lebih mendalam mengenai pandangan dan sikap aktor/stakeholders
dalam implementasi kebijakan MPMBS, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai
salah satu aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakan MPMBS, serta
faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS, ini
masih perlu dikaji dan diteliti secara seksama.
B. Rumusan Masalah
1 Bagaimana pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan
MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok?
2 Bagaimana keterlibatan masyarakat sebagai salah satu aktor/stakeholders penting dalam
implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok?
3 Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di
Sekolah Dasar Kota Solok?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah tersebut di atas, dalam penelitian ini ada beberapa hal
yang ingin dicapai, secara umum yaitu untuk memberikan gambaran mendalam tentang
segala hal yang berkaitan dengan implementasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan
di era desentralisasi dan otonomi daerah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. Secara
akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa konsep bagi
pengembangan studi kebijakan publik yang berkaitan dengan proses kebijakan
(formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan). Secara Praktis, hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan masukan berupa informasi mengenai permasalahan
implementasi kebijakan peningkatan mutu pendidikan, khususnya mengenai pandangan
dan sikap aktor/stakeholders, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu
aktor/stakeholders penting, serta faktor-faktor yang menjadi kendala, dalam implementasi
kebijakan MPMBS di tingkat Sekolah Dasar, sehingga informasi ini dapat dijadikan
sebagai umpan balik bagi perbaikan implementasi kebijakan MPMBS saat ini, dan masa
datang.
KAJIAN PUSTAKA
A. Implementasi Kebijakan
1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn (1975) lihat Abdul Wahab (1997) merumuskan proses
implementasi ini sebagai “those actions by public or private individuals (or groups) that
are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy
Atas dasar pandangan tersebut di atas, Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha
untuk membuat tipologi kebijakan menurut:
(1) jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan, (2) jangkauan atau
lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses
implementasi. Alasan dikemukakannya hal ini ialah bahwa proses implementasi itu akan
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa
implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif
sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan – terutama dari mereka yang
mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.
Hal lain yang dikemukakan kedua ahli di atas ialah bahwa jalan yang menghubungkan
antara kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent
variable) yang saling berkaitan. Variabel-variabel tersebut adalah: (1) ukuran dan tujuan
kebijakan; (2) sumber-sumber kebijakan; (3) ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana;
(4) komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan; (5) sikap para
pelaksana; dan (6) lingkungan ekonomi sosial dan politik. Model proses implementasi
dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
b. Model Pendekatan Bottom-Up
Smith (1973) (lihat Quade, 1977; Islamy, 2001) memandang implementasi sebagai proses
atau alur, melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik, dimana
kebijakan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau
perubahan. Smith mengatakan bahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam
proses implementasi kebijakan yaitu:
(a) idealized policy adalah suatu pola interaksi yang diidealisasikan perumus kebijakan
dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi, dan merangsang target group untuk
melaksanakannya; (b) target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang
diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh
perumus kebijakan. Karena target group ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan,
maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola prilakunya dengan kebijakan yang
dirumuskan;
(c) implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi
pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan; (d) environmental
factors, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi
kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik).
Ketiga teori tersebut memiliki kerangka pokok yang sama namun dalam kerangka kerja
memiliki perbedaan dan di bawah ini akan digambarkan kerangka kerja “Advocacy
Coalition Framework (ACF) tersebut, yang dikemukakan oleh Schlager (lihat Tabel 1).
Penyelenggaraan pendidikan yang sangat sentralistik, menempatkan sekolah sebagai
pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sangat
panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi
sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi dan
inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu
pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.
Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input
(dana), bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan
akuntabilitas). Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk
mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya
orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan
(stakeholders).
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, maka perlu dilakukan upaya-upaya
perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu
dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah.
b. Konsep Dasar Kebijakan MPMBS
(Depdikbud; 2000) secara umum mendefinisikan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS) sebagai berikut :
MPMBS dapat diartikan sebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah (stakeholders) secara langsung dalam proses pengambilan
keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu
sekolah dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa sekolah memiliki kewenangan (otonomi) atau
kemandirian lebih besar dari sebelumnya untuk mengelola sekolahnya (menetapkan
sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana utama pengelolaan proses pendidikan,
peningkatan mutu, melaksanakan rencana sedangkan unit-unit diatasnya (Kandep,
peningkatan mutu dan melakukan evaluasi Kanwil, Depdiknas) merupakan pendukung-
pelaksanaan peningkatan mutu), dan nya, khususnya dalam pengelolaanpengambilan
keputusan partisipatif merupakan ciri peningkatan mutu. khas MPMBS. Jadi, sekolah
merupakan unit
Tabel 1. Kerangka Kerja Advocacy Coalition Framework (ACF)
1. Ruang lingkup
- Aturan konstitusional
- Otoritas formal
- Aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijaksanaan 2. Peran individu
3. Peran informasi
-Dalam ACF, suatu kelompok, aliansi, dan koalisi merupakan aktorkelompok utama
kebijakan
- Menangani perubahan dalam formulasi kebijakan
5. Level tindakan
d. Mutu Pendidikan
Secara umum, yang dimaksud mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
ditentukan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup
input, proses, dan output pendidikan.
Input Pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak
serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu
yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari
hasil proses disebut output. Dalam pendidikan (tingkat sekolah) proses yang dimaksud
adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi,
dengan catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tinggi
dibandingkan dengan proses-proses yang lain. Output Pendidikan. Sekolah sebagai
sistem seharusnya menghasilkan output yang dapat dijamin kepastiannya. Output sekolah
pada umumnya adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah (Slamet PH; 2000). Kinerja sekolah
dapat diukur dari kualitasnya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya,
kualitas kehidupan kerja, dan moral kerjanya.
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini
mempunyai ciri-ciri antara lain mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen
kunci, data biasanya bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya
bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang
esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1998). Dikatakan
fenomenologis, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa
sosial (Dimiyati, 1997), selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwa-peristiwa riil di
lapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih
peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan
keutuhan obyek yang diteliti (Strauss dan Corbin, 1987).
B. Fokus Penelitian
1. Pandangan dan sikap aktor/stakeholders dalam implementasi kebijakan MPMBS di
Sekolah Dasar Kota Solok, meliputi kesiapan sumber daya, proses implementasi dan lain-
lain. Dalam hal ini akan dilihat mengenai pandangan sikap aktor/stakeholders antara
lain : a) Warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, siswa dan karyawan), b) Masyarakat
(orang tua siswa, tokoh masyarakat umum lainnya, pemerhati pendidikan), c) Pemerintah
terkait (Pejabat Dinas Pendidikan, pengawas dan lain-lain). Aktor/stakeholders
dimaksudkan adalah yang ada (berkoalisi) dalam Kelompok Kerja Guru (KKG),
Kelompok Kerja MPMBS, Komite Sekolah/BP3, Tim Pelopor dan Penggerak
Pelaksanaan Kebijakan MPMBS, dan organisasi lain yang terkait dalam implementasi
kebijakan MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok.
Selain itu diambilnya sekolah yang memiliki kemampuan manajemen tinggi ini
didasarkan pada asumsi bahwa pada sekolah dengan kemampuan manajemen tinggi akan
dapat menyerap dengan baik sistem baru yang ditawarkan dalam kebijakan MPMBS,
sehingga akan dapat digali data yang lebih banyak mengenai implementasi kebijakan
MPMBS.
3. Kesesuaian dengan tema dan substansi penelitian. Berdasarkan pertimbangan tersebut
maka peneliti akan mengambil beberapa sekolah dasar di Kota Solok, Propinsi Sumatera
Barat yang dianggap telah mengimplementasikan kebijakan MPMBS. Selanjutnya untuk
memperkaya nuansa kualitatif, peneliti memilih situs-situs yang akan ditelusuri secara
seksama, meliputi karakteristik lingkungan alam dan fisik daerah dimana sekolah dasar
tersebut berada, ketersediaan sumber daya (sumber daya manusia, sarana dan prasarana
yang dimiliki sekolah, pembiayaan sekolah dan mengunjungi beberapa tokoh masyarakat,
orang tua siswa, dan masyarakat lainnya yang terlibat maupun yang tidak terlibat di
dalam organisasi Komite Sekolah/BP3 serta pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota
dan kecamatan.
D. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
Lofland dan Lofland (lihat Moleong, 2000) mengemukakan bahwa : “Sumber data utama
dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan-tindakan, bisa juga berupa data
tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Selain itu sumber data adalah informan,
kegiatan yang bisa diamati dan dokumen. Informan menurut Miles dan Huberman (1992)
bisa dibedakan menjadi pelaku utama dan bukan pelaku utama. Sumber data dalam
penelitian ini adalah :
a. Informan kunci (key informan), informan awal dipilih secara purposive (purposive
sampling). Hal ini dimaksudkan untuk memilih informan yang benar-benar relevan dan
kompeten dengan masalah penelitian sehingga data yang diperoleh dapat digunakan
untuk membangun teori. Sedangkan informan selanjutnya diminta kepada informan awal
untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan kemudian informan
ini diminta pula untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, dan
seterusnya sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Artinya, bila dengan
menambah informan hanya diperoleh informasi yang sama, berarti jumlah informan
sudah cukup (sebagai informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh (Muhajir,
1996). Cara serupa ini lazim disebut “snowball sampling”, yaitu informan dipilih secara
bergilir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi. Dalam penelitian ini yang
dipandang sebagai informan awal (sumber informasi) adalah Kepala Sekolah Dasar di
lingkungan Kota Solok Sedangkan informan selanjutnya antara lain adalah Kepala
Sekolah, Guru, Karyawan, Siswa, Orang Tua Siswa, masyarakat lainnya yang terlibat di
dalam organisasi dewan sekolah/BP3 maupun masyarakat pemerhati pendidikan, serta
pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
b. Tempat dan Peristiwa, yaitu berbagai peristiwa atau kejadian dan situasi sosial yang
berkaitan dengan masalah atau fokus penelitian yang akan diobservasi, antara lain
meliputi keberadaan sumber daya, proses belajar mengajar, proses pengambilan
keputusan, rapat-rapat dewan guru, rapat-rapat Komite Sekolah/BP3, sosialisasi dan
pengelolaan program, serta proses pengelolaan kelembagaan dan jaringan kerja, dan lain-
lain.
c. Dokumen, sebagai sumber data lainnya yang bersifat melengkapi data utama yang
relevan dengan masalah dan fokus penelitian, antara lain meliputi hasil-hasil rapat, hasil
belajar siswa, kondisi sarana prasarana. Data ini dipergunakan untuk melengkapi hasil
wawancara dan pengamatan terhadap tempat dan peristiwa.
2. Jenis Data
Moleong (2000) menegaskan bahwa sesuai dengan data yang dipilih, maka jenis data
dalam penelitian kualitatif dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, tulisan, foto dan
statistik. Jenis-jenis data tersebut di atas semuanya dapat digunakan sebagai informasi
yang diperlukan. Perlu ditegaskan bahwa keterangan berupa kata-kata atau cerita dari
informan penelitian yang diwawancarai dan tindakan yang diamati, dalam penelitian
kualitatif dijadikan sebagai data utama (primer), sedangkan tulisan, foto dan data statistik
dari berbagai dokumen yang relevan dengan fokus penelitian dijadikan sebagai data
pelengkap (sekunder).
E. Proses Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data meliputi 3 (tiga) kegiatan yang
dilakukan oleh peneliti. Lofland dan Lofland (1984) menegaskan bahwa dalam rangka
pengumpulan data ada tiga kegiatan yaitu : Proses memasuki lokasi penelitian (getting
in), Ketika berada di lokasi penelitian (getting along) dan tahap pengumpulan data
(logging the data).
1. Reduksi Data
Pada tahap ini, data yang diperoleh dari lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan
dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan oleh peneliti akan
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting
kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses penyuntingan, pemberian kode, dan
pentabelan). Reduksi data ini dilakukan secara terus menerus selama proses penelitian
berlangsung.
2. Penyajian Data
Penyajian data atau display data dimasudkan untuk memudahkan peneliti dalam melihat
gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan kata
lain merupakan pengorganisasian data ke dalam bentuk tertentu sehingga kelihatan
dengan sosoknya lebih utuh.
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Dalam penelitian kualitatif, penarikan data dilakukan secara terus menerus sepanjang
proses penelitian berlangsung. Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses
pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data
yang dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal
yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya yang dituangkan dalam kesimpulan yang
masih bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi
secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat “grounded”. Dengan
kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian
berlangsung yang melibatkan interprestasi peneliti.
G. Keabsahan Data
Moleong (2000) dan Nasution (199 mengemukakan bahwa ada 4 kriteria yang dapat
digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability). Untuk memeriksa keabsahan data hasil penelitian ini, akan dilakukan
kegiatan sebagai berikut:
2. Keteralihan (transferability)
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks
pengirim dan penerima. Untuk melakukan keteralihan tersebut peneliti berusaha mencari
dan mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) harus dilaksanakan oleh Kepala Sekolah dan guru
yang profesional dan efektif, yakni Kepala Sekolah yang harus memiliki kepemimpinan
transformasional dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi dirinya sebagai
agen pembahasan (perubahan); 2) Memiliki sikap pemberani; 3) Mempercayai orang lain;
4) Bertindak atas dasar nilai (bukan atas dasar kepentingan individu atau
kepentingan/desakan kroninya); 5) Mening-katkan kemampuan secara kontinyu (terus
menerus); 6) Memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit/ tidak menentu;
7) Memiliki visi ke depan.
Sedangkan guru yang profesional dan efektif, adalah guru yang memiliki kemampuan
yang terkait dengan Proses Belajar Mengajar, strategi manajemen pembelajaran,
pemberian umpan balik (feed back) dan penguatan (reinforcement) dan peningkatan diri.
Beare dan Coldwell (1992) (lihat, Hasri, 2001) mengemukakan bahwa dasar
kepemimpinan transformasional mempunyai 6 (enam) ciri khas, dimana seorang
pemimpin harus mempunyai kemampuan: 1) Bekerja dengan orang lain; 2) Merumuskan
visi sekolah; 3) Mampu mengkomunikasikan visinya kepada stakeholders sekolah; 4)
Memiliki flatform kependidikan; 5) Memiliki sifat manusiawi, teknis, simbul dan budaya;
6) Memberdayakan orang lain.
Di samping hal-hal di atas, keberhasilan pelaksanaan kebijakan MPMBS juga
dipengaruhi oleh roda organisasi (sekolah) dan kreatifitas para pelaksana atau personil
dalam organisasi tersebut.
Tabel 3. Susunan Keanggotaan Tim Pelopor dan Penggerak Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar Dinas P dan K Kota Solok
No. Nama Jabatan dalam Dinas dan Instansi Jabatan dalam Kelompok Kerja Tim
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Drs. Busrimal Drs. Arwis Suin Ridwan, S.Pd. Zurdi Arifin,
S.Ag. Drs. Siswanto Amal Abbas Effendi Janahar M. Yonhormaison, S.Pd. Apriman
Kepala Dinas P & K Kota Solok Plt. Kasubdin Prasekolah/Dikdas Kacabdin P & K
Kecamatan Tanjung Harapan Kacabdin P & K Kecamatan Lubuk Sikarah Kepala Tata
Usaha Dinas P & K Kota Solok Pengawas TK/SD Pengawas TK/SD Pengawas TK/SD
Kepala SDN 07 Kampung Jawa Kelaa SDN 06 Tanah Garam Penanggung Jawab Ketua
Wakil Ketua I Wakil Ketua II Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Dalam konteks roda organisasi sekolah, Kepala Sekolah harus bertindak sebagai manajer
atau pemimpin yang efektif. Sebagai manajer ia harus mampu mengatur semua potensi
agar sekolah dapat berfungsi secara optimal. Hal ini dapat dilakukan kalau Kepala
Sekolah mampu melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik meliputi: 1)
perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pengarahan dan 4) pengawasan. Sebagai pemimpin
Kepala Sekolah juga harus mampu mengambil keputusan terbaik, menghargai perbedaan
pendapat, kemampuan menghargai perbedaan pendapat, kemampuan untuk memobilisasi
sumber-sumber, mampu memilih cara pelaksanaan terbaik, mampu berkomunikasi
dengan cara yang efektif, adaptif, bersinergi dan mampu memecahkan persoalan sekolah.
(Umeidi, 2000) untuk mampu memecahkan persoalan diperlukan kreativitas. Kreativitas
dicirikan oleh suatu produk yang dilahirkan atas dasar, pemikian yang orisinil, baru,
menarik perhatian, diiringi oleh kualitas yang memadai (Stenberg dan Lubart, 1995).
Suatu kinerja dinilai kreatif apabila kinerja/produk tersebut memenuhi kriteria tersebut.
Demikian juga seorang Kepala Sekolah dinilai kreatif, apabila ia mampu melahirkan
pemikiran kreatif. Ini berarti bahwa pemikiran kreatif terletak pada flucuacy, originality
dan significancy (Lusiana, 1999).
Berkaitan dengan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), terutama Kepala Sekolah,
guru, temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Secara kuantitas (dilihat dari jumlah ijazah, ruang/golongan/kepangkatan yang dimiliki
Kepala Sekolah dan guru maka dapat dikatakan bahwa “Kepala Sekolah dan guru” di
Sekolah Dasar Kota Solok, telah mencukupi dan memenuhi standar persyaratan
mengajar. Sehingga seharusnya mereka sudah siap menerima inovasi/ perubahan atau
pembaharuan, seperti penerapan kebijakan MPMBS ini.
Tetapi secara kualitas, dilihat dari profesionalisme Kepala Sekolah dan guru (sesuai
pendapat Suyanto), dan Kepala Sekolah sebagai manajer dan pemimpin yang efektif
(sesuai pendapat Umedi) serta Kepala Sekolah yang punya kreatifitas (sesuai pendapat
Lusiana), maka merujuk pendapat di atas sesuai dengan temuan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa mereka belum siap untuk melaksanakan
kebijakan MPMBS tersebut.
Karena tidak didukung oleh kepemimpinan tranformasional, profesio-nalisme dan
kreatifitas Kepala Sekolah yang tinggi, serta tidak didukung pula sikap profesionalisme,
kreatifitas guru yang baik dan memadai.
Kondisi sarana dan prasarana fisik, secara umum cukup memadai dan cukup kondusif
untuk mendukung pelaksanaan kebijakan MPMBS. Sedangkan yang dirasa kurang adalah
pengadaan buku-buku bacaan penunjang, alat peraga untuk menunjang strategi
pembelajaran dalam proses belajar yang mengarah kepada PAKEM serta biaya, dimana
biaya yang bersumber dari Komite Sekolah hanya berkisar antara Rp. 10.000 – Rp.
15.000 dari BOP bervariasi antara Rp. 2.000.000 – Rp. 4.500.000 sedang DOP rata-rata
Rp. 1.000.000 per sekolah, padahal pembiayaan ini sangat berpengaruh terhadap
kesuksesan pelaksanaan kebijakan MPMBS di sekolah.
Menurut Islamy (199 kesiapan agen pelaksanaan dalam pelaksanaan suatu kebijakan
tidak terlepas dari sumber daya yang memadai dari sumber daya yang harus disuplai
dengan resources yang cukup, seperti: 1) Human Resources (staf dalam jumlah dan
kualifikasi yang memadai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan kewenangan dan
tanggungjawabnya), financial resources, technological resources, maupun phsicological
resources.
Mencermati pendapat di atas, maka pada implementasi kebijakan MPMBS di Sekolah
Dasar di Kota Solok dapat dikatakan bahwa Kepala Sekolah dan guru baru disuplai
dengan human resources, tetapi belum disuplai finacial resources, technological resources
dan pshychological resources. Hal ini dibuktikan dengan temuan hasil penelitian (yang
relevan) diantaranya yakni : 1) Keluhan guru, mengenai belum adanya tambahan
penghasilan yang memadai, sedangkan perhatian dan waktu mereka lebih banyak
dihabiskan di sekolah, sehingga sering pulang terlambat terutama selama pelaksanaan
kebijakan MPMBS. Kecuali SDN 03 Kampung Jawa (Sekolah Hibrid), yang mendapat
bantuan dan Gebu Minang dan Pemda Kota Solok. 2) Adanya kekurangan alat-alat
peraga dalam menunjang untuk menerapkan strategi pembelajaran siswa, dalam proses
belajar di kelas dan lain-lain.
Berkenaan dengan sosialisasi, di samping dilakukan oleh Tim Pelopor dan Penggerak
Program MPMBS, Dinas Pendidikan Daerah juga dilakukan oleh Kelompok Kerja Guru
(KKG) kepada seluruh Sekolah Dasar anggotanya (imbas). Namun kenyataannya konsep
dan tujuan kebijakan MPMBS oleh aktor/ stakeholders (warga sekolah dan masyarakat),
terlihat dari adanya kesenjangan antara acuan formal dan persepsi (pemahaman)
aktor/stakeholders (pelaku kebijakan) terhadap MPMBS. Hal ini sesuai dengan apa yang
disebut Densire (lihat Abdul Wahab, 1997) menyebut dengan istilah “Implementation
Gap” salah satu bukti di lapangan adalah tidak dilaksanakannya kebijakan MPMBS,
sesuai tahap-tahap pelaksanaannya yang ada pedoman umum pelaksanaan yakni dimulai
dari sosialisasi konsep dan tujuan kebijakan MPMBS sampai dengan evaluasi dan
merumuskan kembali sasaran mutu baru.
Konsep dan tujuan kebijakan MPMBS tidak dipahami oleh pelaku kebijakan
(aktor/stakeholders) disebabkan karena informasi yang disampaikan dan diterima melalui
penataran pelatihan dan rapat-rapat/pertemuan sebatas pengenalan belum menyeluruh dan
tidak dilakukan secara berkesinambungan atau dilakukan secara temporer. Hal ini
menunjukkan masih kurangnya frekuensi komunikasi (pengkomunikasian) langsung
kepada pelaku kebjiakan dan masyarakat sebagai target group.
Menurut Hogwood dan Gunn (lihat Hill, 1993) atau (lihat Abdul Wahab, 1997),
menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan secara sempurna
(perfect implementation) maka diperlukan beberapa kondisi atau persyaratan tertentu,
salah satu diantaranya adalah komunikasi dari koordinasi yang sempurna.
Edward III (1980), mensinyalir bahwa dalam komunikasi ada beberapa hal yang
mempengaruhi efektifitas dari komunikasi dan akan berpengaruh pula terhadap
keberhasilan implementasian kebijakan antara lain adalah transmission (akurasi
penerimaan panjang dan pendeknya rantai komunikasi) atau penyaluran komunikasi,
konsistensi, dan rincian tujuan komunikasi.
Selain itu Van Meter dan Van Haru (lihat Wibawa, 1994) mengemukakan bahwa
pentingnya komunikasi dan koordinasi, yang ditujukan untuk membangun suatu
kerjasama adalah merupakan salah satu syarat penting dalam kebijakan publik dimana
salah satu variabel model implementasi kebijakan itu adalah komunikasi antar organisasi
yang saling berkaitan dengan variabel-variabel lainnya dalam menghasilkan kinerja
kebijakan yang tinggi dan baik.
Mengacu kepada beragamnya persepsinya (pemahaman) tentang konsep dan tujuan
kebijakan MPMBS, yang dikarenakan kurangnya intensitas sosialisasi atau kurang
tepatnya sosialisasi kebijakan MPMBS, maka sangat diperlukan peningkatan intensitas
dan mengkaji ulang kembali model sosialisasi yang sesuai (tepat) bagi implementasi
kebijakan MPMBS. Persepsi (pemahaman) yang keliru, dapat menyebabkan pengelolaan
sekolah yang keliru pula dalam memahami MPMBS, sehingga akan dapat
menjerumuskan sekolah dan warganya ke dalam situasi dan kondisi yang tidak
menguntungkan (yang tidak diharapkan).
Dalam hal menerapkan strategi pembelajaran pada proses belajar mengajar, misalnya
model PAKEM belum diterapkan sepenuhnya. Peneliti melihat ada guru pada suatu
sekolah telah memulai menerapkan strategi Pembelajaran Aktif, Kreatif dan
Menyenangkan (PAKEM), tetapi mereka sendiri tidak tahu bahwa yang dilakukan itu
sebenarnya adalah merupakan termasuk salah satu strategi yang sudah mengarah pada
PAKEM, tetapi belum seutuhnya. Hal ini disebabkan karena ketidakpahaman guru
terhadap konsep dan karakteristik dari PAKEM tersebut. Di samping itu yang menjadi
persoalan juga adalah terlalu beratnya beban tugas yang harus di tanggung guru karena
sistem guru kelas, dimana di samping harus menguasai seluruh materi pelajaran juga
harus melaksanakan PAKEM, yang membutuhkan waktu yang banyak, persiapan yang
matang dan waktu yang cukup.
Berkaitan dengan transparansi, kebijakan MPMBS merupakan salah satu model
manajemen yang menuntut atau mengedepankan adanya transparansi, dengan kata lain
transparansi merupakan kunci pelaksanaan kebijakan MPMBS. Dan di lapangan telah di
temukan adanya transparansi, tapi masih terbatas pada transparansi manajemen
keuangan, bidang kesiswaan, bidang personalia, tetapi yang menjadi perhatian utama
peneliti hanya transparansi keuangan, dengan pertimbangan bahwa bidang keuanganlah
yang paling sensitif dan menjadi sorotan utama dari publik.
Secara lebih jelas (Islamy, 2001) mengatakan bahwa Policy Sub System adalah aktor-
aktor kebijakan yang berasal dari organisasi, baik organisasi publik maupun privat, secara
aktif mengkaji dan mengkritisi suatu masalah kebijakan tertentu. Hal yang penting dari
model implementasi ini adalah kedudukannya sebagai bagian yang berkesinambungan
dari pengambil kebijakan (engonging part of policy making) dalam “Advocacy
Coalitions” atau pendampingan para aktor kebijakan dengan berbagai elemen yang ada di
masyarakat, atau aktor-aktor dari berbagai organisasi publik dan privat yang memiliki
serangkaian kepercayaan, yang berusaha merealisasikan tujuan bersama sepanjang waktu
(Islamy, 2001).
Sedangkan dari model buttom-up yang dipertimbangkan adalah implementasi
dikonseptualkan proses pembelajaran (learning-process), tujuannya adalah untuk
menganalisis proses terjadinya pembelajaran terhadap kebijakan kalangan “Advocacy
Coalitions”, dan memperkenalkan kondisi institusional yang paling cocok atau kondusif
bagi proses belajar, dalam melakukan perubahan atau penyesuaian. Dari uraian-uraian
yang dipaparkan di atas, makna yang dapat diungkap adalah bahwa model
sintesis/Hybried, adalah suatu model implementasi kebijakan yang perwujudannya
diawali oleh terbentuknya suatu jaringan kerja (net-work), berupa “Policy Sub System”
dalam kerangka kerja “Koalisi Advocacy” yang dilandasi oleh konsep pembelajaran
(learning process) yang kondusif (adanya keterkaitan, keteraturan dan kerjasama atau
sistem kepercayaan), dilakukan secara berkesinambungan, agar terjadinya suatu
perubahan (revisi), penyesuaian (adaptasi) dalam praktek/pelaksanaannya
(implementasi), sehingga tujuan suatu kebijakan dapat direalisasikan sebagaimana
mestinya.
Merujuk kepada pendapat Sabatier dan Islamy di atas, realitas di lapangan menunjukkan
bahwa dalam proses implementasi kebijakan MPMBS, mengharuskan pihak sekolah
(Kepala Sekolah) sebagai pelaku kebijakan (aktor/ stakeholders) utama kebijakan untuk
mengedepankan metode implementasi yang melibatkan aktor/stakeholders lain seperti:
guru, siswa, orang tua siswa, tokoh masyarakat atau Komite Sekolah/BP3 dan
masyarakat/organisasi masyarakat lainnya, dalam suatu hubungan kerjasama antar subjek
(aktor/stakeholders) sebagai suatu jaringan kerja (net-work) kebijakan dengan organisasi.
Guna memperhatikan secara sungguh-sungguh pentingnya kebijakan MPMBS, problema
kebijakan, dan cara mengatasinya. Dalam hal ini Hjern dan Porter (198 (lihat Hill,
1993) menyebut dengan istilah “Policy Net-Work” atau “Implementation Structure”.
Metode jaringan kerja (net-work) belum diterapkan secara optimal, masih terbatas pada
jaringan kerja dengan lembaga/instansi pemerintah dan orang tua siswa atau Komite
Sekolah/BP3 saja, belum ada usaha untuk menjalin kerjasama dengan kelompok
pengusaha, Organisasi Cendikiawan Perantau Daerah, Ikatan Alumni dan lain-lain.
Dari beberapa indikator-indikator yang ada, hasil penelitian menunjukkan adanya
perubahan-perubahan sebagai akibat dari pelaksanaan atau implementasi kebijakan
MPMBS. Adapun salah satu diantara perubahan dimaksud diindikasikan dengan adanya
pernyataan dari orang tua siswa dan siswa, dimana mereka merasa senang dan antusias
menyambut implementasi kebijakan MPMBS ini. Khusus bagi siswa mereka merasa
sangat senang, karena mereka menjadi lebih pintar bahasa Inggris, bahasa Arab dan
baca/tulis Al-Quran dan lain-lain. Sedangkan terkait dengan model implementasi peneliti
berpendapat bahwa model kebijakan MPMBS ini cukup memberikan
harapan/menjanjikan, dengan kata lain bahwa model program MPMBS ini lebih baik,
dibandingkan dengan program yang telah dilaksanakan selama ini yang lebih bersifat
sentralistik, kaku (tidak demokratif), tidak adaptif tapi represif, tidak partisipatif dan tidak
berorientasi pada pemberdayaan sumber daya, dan lain sebagainya. Indikator-indikator
tersebut meliputi antara lain:
a. Model kebijakan MPMBS, menuntut peran serta orang tua siswa dan masyarakat tidak
terbatas hanya pada pembayaran/iuran/sumbangan biaya pendidikan atau iuran
PB3/komite semata. Tetapi mereka dituntut untuk ikut berperan serta, terlibat, dan
berpartisipasi secara aktif dan maksimal dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di
sekolah serta memantau proses pembelajaran anak-anak mereka di sekolah atau di rumah.
Di samping itu juga mereka dilibatkan/diikutsertakan dan diharapkan mampu secara
bersama-sama dengan pihak sekolah dalam menyusun RAPBS.
b. Merubah sistem/modal pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru menjadi
sistem/model pembelajaran dan pembelajaran yang berorientasi/ berpusat kepada siswa
(Student-centered) misalnya
Menurut Presman dan Wildausky (1973) (lihat Abdul Wahab, 1997) faktor-faktor yang
dikemukakan di atas, untuk menghindari kegagalan dalam implementasi perlu mendapat
perhatian secara seksama.
Sementara Parson (1997) mengatakan bahwa kegagalan implementasi suatu kebijakan
cenderung karena faktor ulah manusia, dimana pengambilan keputusan yang gagal
memperhitungkan kenyataan adanya persoalan manusia yang sangat komplek dan
bervariasi. Adapun yang dimaksudkan disini adalah baik pemerintah sebagai pembuat
kebijakan maupun sekolah beserta warganya sebagai pelaku kebijakan dan target group.
Merujuk kepada berbagai kendala atau hambatan yang telah diidentifikasi dari hasil
penelitian, dan dikaitkan dengan pandangan atau pendapat ahli mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan kegagalan implementasi suatu kebijakan, maka peneliti berpendapat
bahwa: “kegagalan implementasi suatu kebijakan, belum tentu sepenuhnya dikarenakan
ketidakmampuan pelaksana (aktor/stakeholders pelaksana), tetapi juga disebabkan karena
pembentukan kebijakan itu sendiri yang kurang sempurna atau kebijakan tersebut
memang jelek (bad policy). Disinilah dituntut kepiawaian dari para pelaksana kebijakan
(aktor/ stakeholderss) atau pelaku utama kebijakan, supaya mampu melakukan
penyesuaian-penyesuaian atau adaptasi, sehingga proses implementasi dapat berjalan
efektif dan tujuan/pokok kebijakan dapat direalisasikan.
Berkenaan juga dengan kegagalan implementasi MBS, Wohlsteter dan Mohrman (1996)
(lihat Nurkolis, 2001) dalam hasil penelitian mengungkapkan empat macam kegagalan
implementasi MBS, yaitu Pertama, sekedar mengadopsi model apa adanya ada upaya
kreatif. Kedua, Kepala Sekolah bekerja berdasarkan agenda kerja sendiri tanpa
memperhatikan aspirasi warga sekolah. Ketiga, kekuasaan pengambilan keputusan
terpusat pada satu pihak. Keempat, menganggap MBS adalah hal yang biasa dengan
tanpa usaha yang serius akan berhasil dengan sendirinya, padahal pada kenyataannya
implementasi MBS memakan waktu, tenaga, pikiran secara besar-besaran.
Keempat indikator yang telah dipaparkan di atas, mengisyaratkan bahwa guna
menghindari kegagalan implementasi kebijakan MBS atau kebijakan MPMBS tersebut,
maka diperlukan keterlibatan atau partisipasi aktif semua pelaku kebijakan (koalisi
aktor/stakeholderss) untuk mengkaji, melakukan penyesuaian dan adaptasi (reformulasi).
Kebijakan yang dilandasi azas kerjasama, keterkaitan, kebersamaan dan akuntabilitas
yang didukung oleh semangat demokrasi dan transparansi menuju suatu komitmen/
konsensus, agar pelaksanaan program MPMBS (implementasi kebijakan MPMBS)
berjalan dengan baik, dan tujuan kebijakan (yakni meningkatkan mutu pendidikan)
tercapai. Koalisi aktor/stakeholderss tersebut, meliputi: Kepala Sekolah, guru, siswa,
orang tua siswa, masyarakat, Komite Sekolah/BP3, pejabat pemerintah terkait, dan
organisasi masyarakat lainnya yang peduli terhadap kegiatan pendidikan di sekolah,
khususnya di Sekolah Dasar.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dilihat dari jumlah personil yang ada (Kepala Sekolah dan Guru), rasio jumlah guru
dan murid, kualifikasi pendidikan dan kepangkatan (ruang/golongan) yang dimiliki, maka
Kepala Sekolah dan guru sebagai aktor/stakeholders utama kebijakan MPMBS, dapat
dikatakan telah siap mengemban tugas untuk mengimplemen-tasikan kebijakan MPMBS
ini. Sebab, mereka memenuhi syarat/standar kelayakan untuk mengajar (melaksanakan
tugas dalam proses belajar mengajar) di sekolah. Dengan kata lain secara kuantitas,
Kepala Sekolah dan guru yang ada di Sekolah Dasar Kota Solok, seharusnya siap untuk
mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan MPMBS secara lebih dan optimal.
Akan tetapi dilihat secara kualitas, meliputi sikap dan kemampuan profesionalisme,
kepemimpinan transformasional, kreatifitas yang dimiliki Kepala Sekolah dan guru,
maka dapat dikatakan bahwa Kepala Sekolah dan guru, belum siap untuk
mengimplementasikan kebijakan MPMBS ini, karena mereka belum memiliki sikap dan
kemampuan tersebut. Dan diperparah lagi dengan adanya budaya menunggu petunjuk
dari atas, takut salah, sehingga membuat Kepala Sekolah dan guru menjadi bersikap pasif
dan tidak kreatif. Dan ketidaksiapan dari orang tua murid (masyarakat), disebabkan oleh
karena kurang dipahaminya konsep MPMBS karena masih kurangnya informasi yang
didapat oleh mereka.
1 Mengenaisarana, prasarana dan pembiayaan, dilihat dari kondisi fisik sekolah-sekolah
dan lingkungan sekolah pada dasarnya cukup kondusif untuk melaksanakan dan
mengembangkan (mengimplementasikan) kebijakan MPMBS, baik ruang kelas, ruang
pustaka, ruang KKG, ruang guru/Kepala Sekolah, WC, halaman sekolah dan lain-lain
cukup menunjang. Namun, yang masih kurang adalah buku bacaan penunjang bagi siswa,
dan alat peraga untuk menerapkan strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar,
yang sesuai seperti untuk metode Pembalajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan
(PAKEM), serta minim atau kurangnya biaya untuk menopang penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.
2 Dilihat dari aspek kelembagaan, yakni organisasi sekolah seperti: Kelompok Kerja
Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS, dan Komite Sekolah/BP3 dan organisasi
masyarakat pemerhati pendidikan lainnya cukup tersedia. Yang menjadi persoalan adalah
pemberdayaan organisasi-organisasi tersebut masih kurang. Hal ini disebabkan kurang
informasi yang didapatkan atau diberikan kepada organisasi tersebut sehingga konsep dan
tujuan kebijakan MPMBS tidak dipahami secara baik oleh semua aktor/stakeholders yang
terlibat dalam organisasi sekolah ini (kepala sekolah, guru, siswa, orang tua murid,
masyarakat umum lainnya). Dengan kata lain masih kurangnya komunikasi dan
koordinasi diantara pelaku kebijakan, dikarenakan intensitas sosialisasi kebijakan masih
bersifat temporer, dan tidak menyeluruh serta tidak kontinyu. Selain itu aspek yang cukup
mempengaruhi adalah pemberdayaan Kepala Sekolah masih kurang dan belum diberikan
otonomi (kewenangan dan kekuasaan) secara penuh
untuk mengelola dan menerapkan kebijakan MPMBS kepada Kepala Sekolah, sebagai
aktor/stakeholders utama kebijakan ini. Dampak lain yang timbul adalah
ketidakmampuan Kepala Sekolah membentuk jaringan kerja dengan organisasi
masyarakat lainnya yang peduli pendidikan, kecuali hanya kerjasama dengan orang tua
murid (Komite Sekolah/BP3) dan pemerintah terkait yang selama ini telah dilakukan.
1 Dalam manajemen sekolah, arti pentingnya transparansi (keterbukaan) sudah disadari
oleh Kepala Sekolah dan telah dilaksanakan, karena metode inilah yang dijadikan salah
satu cara untuk menarik perhatian, guna meningkatkan peran serta orang tua
murid/masyarakat. Hal ini diindikasikan dengan semakin baiknya perhatian (kepedulian)
orang tua/masyarakat terhadap kegiatan pendidikan anak di sekolah.
2 Strategi pembelajaran dilaksanakan melalui metode belajar mengajar yang disesuaikan
situasi dan kondisi yang ada di sekolah, misalnya model Pembelajaran Aktif Kreatif
Efektif dan Menyenangkan (PAKEM). Tetapi model ini belum diterapkan sepenuhnya
karena pemahaman guru terhadap konsep PAKEM tersebut, masih kurang. Memang ada
guru yang mencoba menerapkannya, tapi mereka sendiri tidak tahu bahwa model yang
diterapkan adalah konsep yang sudah mengarah kepada PAKEM. Dampak positif dari
pelaksanaan model pembelajaran di atas, telah didapatkan dimana ditanggapi secara
antusias oleh murid dan orang tua murid. Dengan kata lain siswa dan orang tua mereka
merasa sangat senang, padahal metode yang diterapkan baru sebatas mengarah kepada
PAKEM, belum PAKEM yang sebenarnya atau seutuhnya.
3 Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan MPMBS masih
bersifat eksentif (mengutip pendapat Graham dan Philip) yakni partisipasi yang masih
berorientasi pada pembiayaan dan pembangunan fisik. Secara umum inisiatif masih
datang dari pihak sekolah. Akan tetapi walaupun bersifat ekstensif, tapi kontribusinya
cukup berarti dan cukup signifikan. Terbukti dengan adanya kritik dan saran dari orang
tua murid, misalnya pengadaan buku bacaan penunjang bagi murid dan anjuran
pembentukan sanggar kesenian di suatu sekolah, serta keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam acara penyambutan kunjungan (studi banding) sekolah lain ke sekolah
mereka. Bentuk keterlibatan atau partisipasi masyarakat yang lain adalah adanya
pemberian beasiswa
kepada murid yang mengangkat nama baik sekolah melalui dana komite sekolah,
mengangkat anak asuh (oleh Ketua Komite/BP3) pada salah satu sekolah. Dan yang agak
spesifik adalah pendirian Sekolah Hibrid (Hibrid School) yang dipelopori oleh organisasi
masyarakat perantau Minang yang berpusat di Jakarta yang dikenal dengan nama
Gerakan Ekonomi Budaya (Gebu Minang) sedangkan dulu bernama Gerakan Seribu
Minang. Dalam keterlibatan atau partisipasi masyarakat secara intensif, misalnya peran
serta dalam perencanaan program dan penyusunan anggaran biaya sekolah masih belum
terlibat orang tua/masyarakat (Komite Sekolah/BP3) masih bersifat menunggu, dan
agresifitas masih didominasi oleh pihak sekolah.
B. Saran-saran
1. Diperlukan : a. Komitmen yang kuat dari seluruh aktor (stakeholders) yang terlibat dan
terkait yang dilandasi oleh kerjasama, kebersamaan, keterkaitan dan akuntabilitas.
Hal-hal di atas sangat relevan dengan keadaan di era otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan yang diberlakukan saat ini. Dalam rangka pemberdayaan potensi-potensi yang
ada dan sebagai salah satu upaya mengatasi berbagai keterbatasan kemampuan yang
dimiliki oleh Pemda Kabupaten/Kota saat ini.
1 Implementasi kebijakan MPMBS, hendaklah benar-benar diikuti oleh pemberian
otonomi (kewenangan) secara lebih luas kepada Kepala Sekolah untuk dapat menggali,
mendayagunakan potensi-potensi yang ada di sekolah dan lingkungan sekolah, tentunya
tetap dalam kerangka kebijakan MPMBS dan monitoring dari pejabat/dinas instansi yang
berwenang (Dinas Pendidikan dan jajarannya). Tujuannya adalah a) Untuk mengurangi
ketergantungan pihak sekolah terhadap pemerintah, sebab selama ini tingkat
ketergantungan sekolah terhadap pemerintah sangat tinggi, sehingga menjadikan sekolah
dan jajaran terkesan pasif (tidak kreatif). Karena sudah terbiasa dengan budaya
menunggu, baik berupa petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, atau perintah langsung
dari pejabat (dinas/instansi) berwenang yang lebih tinggi (atasan), b) Membantu pihak
sekolah dalam mengatasi persoalan kurang dana (biaya), guna menopang
penyelenggaraan pendidikan di sekolah, termasuk dalam implementasi kebijakan
MPMBS di Sekolah Dasar Kota Solok.
2 Transparansi (keterbukaan) sudah waktunya untuk dibudayakan, seperti apa yang telah
mulai dilakukan oleh pihak sekolah meliputi manajemen keuangan, hendaknya diikuti
manajemen yang lain (manajemen perlengkapan, kepegawaian, manajemen kesiswaan
dan lain-lain) sehingga secara perlahan-lahan sekolah mendapat simpati, dukungan dari
warganya, masyarakat/orang tua siswa secara lebih baik.
3 Diperlukan: a. Sosialisasi model/metode pembelajaran PAKEM ini, secara intensif dan
kontinyu terhadap semua sekolah atau semua guru termasuk kepada Kepala Sekolah agar
model, konsep dan karakteristik model PAKEM ini dipahami
oleh semua warga sekolah baik dilakukan melalui penataran, pelatihan, dan lain-lain.
b. Pengadaan sekolah rintisan atau percontohan dengan menerapkan metode
pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM) secara utuh yang
ditunjang oleh guru yang memiliki keterampilan dan profesionalisme yang tinggi. c.
Pemberian penghargaan materi atau intensif yang memadai, bagi sekolah yang telah
sukses menerapkan strategi/metode pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAKEM). Sehingga hal ini dapat memotivasi guru-guru di sekolah lain
untuk mecoba menerapkan di sekolah yang mereka pimpin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Wahab, S. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi.
Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara.
Abdul Wahab, S. 1999. Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya. Malang: PT
Danar Wijaya.
Caldwell, BJ dan Spinks, J. 1992. Leading the Self – Managing School. Washington,
D.C: The Falmer Press.
Depdiknas, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat
Pendidikan Menengah Umum.
Gunn, W. N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.
Islamy, M Irfan. 2001. Seri Policy Analysis. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya Malang.
Klingemann, H.D. dan Fuchs, D. 1995. Citizens and The State: Beliefs In Government.
New York: Oxford University Press.
Miles, M. B. dan Huberman, M. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjetjep
Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta: UI Press.
Miles, M. B. dan Huberman, M. Qualitative Data Analisysis A Sourcebook of New
Method. Beverly Hills London: Sage Publication.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda
karya.
Parsons, Wayne. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practise of
Policy Analysis. Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme. US.
Sabatier, Paul A. & Mazmanian, Daniel A. 1987. Implementation and Public Policy.
Scott Foresman and Company, University of California, Al Davis.
Wibawa, S. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Widjajati, H. 2002. Anak Jalanan : Studi Kasus tentang Fenomena Pengamen Lampu
Merah dan Kebijakan Penanggulangannya di Kota Malang. Tesis. Pascasarjana
Universitas Brawijaya, Malang.
World Bank Study. 1998. Education in Indonesia: From Crisis to Recovery, Education
Sector Unit, East Asia and Fasifict Regional Office.
Jurnal Ilmiah:
Ellison. 1998. The Advocacy Coalition Framework and Implementation of the
Endangered Species Act : A Case Study in Western Water Politics. Journal Policy
Studies, Vol. 26 No. 1, page 11-29.
Hasri, Salfen. 2002. “Ilmu Pengetahuan Sosial”. Kepemimpinan Kepala Sekolah dari
Kerangka Desentralisasi dan Otonomi Sekolah. Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober.
Hal. 10.
Nurkolis. 2001. “Manajemen Berbasis Sekolah” Hakekat Desentralisasi Model MBS.
Article Pendidikan Network (English), Juni. Page 1 – 2 of
2.
Nurkolis. 2002. “Manajemen Berbasis Sekolah” Strategi Sukses Implementasi MBS,
Article Pendidikan Network (English), Januari, Page 1 of 4.
Portz, John. 1996. “Problem Definitions and Policy Agendas: Shaping the Educational
Agenda in Boston”. Journal Policy Studies, Vol. 24. No. , pp 371-386.
Rumtini dan Jiyono. 1999. “Manajemen Berbasis Sekolah”. Konsep dan Kemungkinan
Strategi Pelaksanaannya di Indonesia”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Juni Tahun
Ke 5 No. 017. Hal. 77-101.
Sabatier, Paul A. 1986.Top Down and Bottom-up Approaches to Implementation
Research: a Critical Analyis and Suggested Syinthesis”. Journal of Public Policy, Vol, pp.
197-
209.