Pterygium
Pterygium
Pterygium
A
pterygium commonly grows from the nasal side of the sclera. It is usually present in the
palpebral fissure. It is associated with, and thought to be caused by ultraviolet-light
exposure (e.g., sunlight), low humidity, and dust. The predominance of pterygia on the
nasal side is possibly a result of the sun's rays passing laterally through the cornea, where
it undergoes refraction and becomes focused on the limbic area. Sunlight passes
unobstructed from the lateral side of the eye, focusing on the medial limbus after passing
through the cornea. On the contralateral (medial) side, however, the shadow of the nose
medially reduces the intensity of sunlight focused on the lateral/temporal limbus.[1]
Contents
[hide]
1 Pathology
2 Prevention
3 Symptoms
4 Treatment
5 See also
6 References
7 External links
[edit] Pathology
Fuchs' Patches (minute gray blemishes that disperse near the pterygium head)
Stocker's Line (a brownish line composed of iron deposits)
Hood (fibrous nonvascular portion of the pterygium)
Head (apex of the pterygium, typically raised and highly vascular)
Body (fleshy elevated portion congested with tortuous vessels)
Superior Edge (upper edge of the triangular or wing-shaped portion of the
pterygium)
Inferior Edge (lower edge of the triangular or wing-shaped portion of the
ptyerygium).
[edit] Prevention
As it is associated with excessive sun or wind exposure, wearing protective sunglasses
with side shields and/or wide brimmed hats and using artificial tears throughout the day
may help prevent their formation or stop further growth. Surfers and other water-sport
athletes should wear eye protection that blocks 100% of the UV rays from the water, as is
often used by snow-sport athletes.
[edit] Symptoms
[edit] Treatment
Today a variety of options are available for the management of pterygium, from
irradiation, to conjunctival auto-grafting or amniotic membrane transplantation, along
with glue and suture application. As it is a benign growth, pterygium typically does not
require surgery unless it grows to such an extent that it covers the pupil, obstructing
vision or presents with acute symptoms. Some of the irritating symptoms can be
addressed with artificial tears. However, no reliable medical treatment exists to reduce or
even prevent pterygium progression. Definitive treatment is achieved only by surgical
removal. Long-term follow up is required as pterygium may recur even after complete
surgical correction.
If there is recurrence after surgery or if recurrence of pterygium is thought to be vision
threatening, it is possible to use strontium (90Sr) plaque therapy. 90Sr is a radioactive
substance that produces beta particles, which penetrate a very short distance into the
cornea at the site of the operation. It suppresses the regrowth of blood vessels that occur
with return of the pterygium. The treatment requires some local anaesthetic in the eye and
is best done at the time of, or on the same day as the pterygium excision.
The 90Sr plaque is a concave metal disc about 1-1.5 cm in diameter that is hollow and
filled with an insoluble strontium salt. The side placed on the eye is a very thin and
delicate silver film that will contain the strontium but allow the beta particles to escape.
The dose of radiation to the conjunctiva is controlled by the time that the plaque is left in
contact with the surface. The integrity of the plaque surfaces is paramount to prevent
exposure to patients and so is wipe tested to see if radioactive matter is escaping.
Obviously this test must be done very very gently.
Conjunctival auto-grafting is a surgical technique that is effective and safe procedure for
pterygium removal. When the pterygium is removed, the tissue that covers the sclera
known as the conjunctiva is also extracted. Auto-grafting replaces the bare sclera with
tissue that is surgically removed from the inside of the patients upper eyelid. That selftissue is then transplanted to the bare sclera and is fixated using sutures, tissue adhesive,
or glue adhesive.
Amniotic membrane transplantation is an effective and safe procedure for pterygium
removal. Amniotic membrane transplantation offers practical alternative to conjunctival
auto graft transplantation for extensive pterygium removal. Amniotic membrane
transplantation is tissue that is acquired from the innermost layer of the human placenta
and has been used to replace and heal damaged mucosal surfaces including successful
reconstruction of the ocular surface. It has been used as a surgical material since the
1940s, and has been shown to have a strong anti-adhesive effect.[6][7] Using an amniotic
Pterygium
Apakah pterygium?
Pterygium adalah suatu penyakit mata yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan di
lapisan luar (conjunctiva) bagian putih mata
Siapakah yang mengalami pterygium?
Mereka yang sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika.
Faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu
dan benda-benda lain yang terbang masuk ke dalam mata.
Apakah simptomnya?
Mata akan terasa tidak leluasa, merah dan berair.
Apakah akibat terkena pterygium?
Bila pterygium semakin besar, akan dapat menyebabkan astigmatisma atau silau. Ada
pterygium yang tumbuh secara perlahan, namun ada pula yang tumbuh secara cepat. Bila
pterygium telah meliputi bagian tengah kornea, penglihatan akan menjadi
kabur.
Bagaimanakah cara menghalangi pertumbuhan pterygium yang berlebihan?
Dengan mengurangi kontak langsung mata kita dengan cahaya matahari, megnhindari
debu dan angin dengan cara menggunakan kaca mata yang tepat,
menggunakan Tetes Mata Herbal Radix Vitae secara teratur.
Apakah cara yang tepat untuk melindungi mata?
Memakai kaca mata gelap untuk melindungi mata dari cahaya matahari, debu dan angin.
Memeriksakan mata kita secara rutin ke dokter mata untuk mengetahui adanya gejala
ataupun gangguan pada mata kita.
Apakah saya bisa kembali melihat seperti semula?
Dengan menggunakan Tetes Mata Herbal Radix Vitae secara teratur, yaitu konsisten dan
sesuai dengan aturan pakai penglihatan bisa kembali seperti semula. Jangka waktu yang
diperlukan untuk menyembuhkan Pterygium 2 sd 8 Bulan tergantung ketebalan lapisan
Pterygium.
source : www.radixvitae.com
PTERYGIUM
Pterygium
By Cahya Legawa | Published 28 October 2010
Share on Tumblr
inShare0
Pterygium didefinisikan sebagai peninggian masa okular sufersial eksternal yang
biasanya terbentuk di atas konjungtiva perilimbial (di sekitar limbus) dan meluas ke
permukaan kornea. Pterygium terbentuk dari jaringan fibrosa, beberapa dengan gambaran
vaskuler yang sangat jelas, dan kadang bisa mengalami peradangan.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus pterygium cukup
sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA &
UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh papaparan alergen, iritasi berulang (misal karena
debu atau kekeringan).
Tampilan pterygium sangat khas, sehingga sering dikatakan sebagai diagnosis yang
absolut (unequivocal finding), dan hanya mememiliki segelintir diagnosis banding
seperti salah satunya adalah pseudopterygium. Gambar di atas (diambil dari
centrovisualgyg.com) merupakan contoh invasi pterygium yang sudah mulai mendekati
pupil. Gambaran jaringan fibrovaskular khas yang (sebagian besar) berbentuk triangular
(segitiga).
Diduga pelbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastotis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan hasil dari
kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya predisposisi
genetik untuk kondisi ini.
Seringkali tidak ada gejala spesifik yang dirasakan oleh mereka dengan pterygium,
apalagi pada tahap-tahap awal. Jika puncak (apex) sudah memasuki area pupil, maka bisa
mengganggu penglihatan, di sini gejala baru pada umumnya dirasakan karena adanya
halangan pada aksis visual.
Pada beberapa kasus, gaya tekan terhadap kornea dapat menyebabkan astigmatisme
kornea yang parah. Pterygium yang tumbuh secara pasti semakin ke dalam yang juga
menyebabkan perlukaan pada jaringan konjungtiva dapat mengganggu gerakan bola mata
secara bertahap; pasien akan mengalami pandangan berganda pada abduksi (saat
memandang menjauhi aksis tubuh, misal ke kanan atau ke kiri).
Sebagian besar kasus pterygium yang umum biasanya hanya dilakukan obeservasi,
intervensi medis dilakukan bila gejala-gejalan gangguan atau kondisi-kondisi di atas
muncul. Keluhan-keluhan seperti kemerahan, rasa tidak nyaman (seperti ada yang
mengganjal) dan gangguan pada lapang pandang merupakan tanda-tanda perlunya
intervensi medis. Tentu saja pterygium bisa dihilangkan dengan alasan kosmetik juga,
namun perlu diperhatikan bahwa sisa luka karena operasi bisa jadi pertimbangan yang
sama beratnya untuk sisi kosmetik dengan keberadaan pterygium itu sendiri.
Selama masa observasi, terapi dengan obat yang bisa dibeli di apotek secara bebas
mungkin dapat membantu. Seperti artificial tears (airmata buatan) untuk mecegah
kekeringan mata, dan beberapa yang bersifat menyejukkan mata. Jika terjadi iritasi
berulang, kortikosteroid sebagai antiinflmasli dapat dipertimbangkan, hanya saja
sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu pada dokter karena ada beberapa efek samping
obat jenis ini pada mata.
Untuk menghilangkan pterygium, dilakukan operasi eksisi, umumnya pasien diberikan
anestesi lokal dengan sedasi jika perlu. Kepala dan badan pterygium diangkat sebanyak
mungkin, dan sklera dibiarkan terbuka pada daerah tersebut. Jika terdapat teknologi yang
mendukung, kornea kembali dihaluskan dengan diamond reamer atau excimer laser.
Terapi selain eksisi biasa dapat menggunakan grafting (pencangkokan) yang berasal dari
pasien sendiri (konjungtiva pasien sendiri sebagai auto-graft). Teknik pencangkokan lain
bisa menggunakan graft amnion (amniotic membrane transplantation).
Pasca operasi, mata akan diberikan obat antibiotik dan antiinflamasi secara teratur dan
ditutup dengan penutup mata. Ini guna mencegah infeksi dan mengurangi peradangan.
Sebaiknya dilakukan perawatan yang sangat berhati-hati selama 1 2 minggu, hindari
pelbagai agen infeksi dan iritasi mengenai daerah mata, seperti debu, air, sinar berlebihan,
zat kimia, dan lain sebagainya.
Meski tidak selalu, namun pterygium memiliki kecenderungan kekambuhan, dan ini
adalah hal yang wajar. Jika penyebabnya diduga karena penyakit membran Bowman pada
kornea, maka keratoplasti dianjurkan untuk mengganti lapisan tersebut. Beberapa
menyarankan terapi plakat strontium (90Sr) yang merupakan substansi radioaktif yang
berfungsi menekan pertembuhan kembali pembuluh darah yang muncul dengan
pertumbuhan kembali pterygium.
Oleh karena terapi pterygium adalah operasi eksisi, maka kemungkinan besar hasilnya
adalah baik, jadi bisa dikatakan prognosisinya baik. Namun sebaiknya pasien yang akan
menjalani operasi mengetahui, bahwa walaupun sebagian besar pasien menunjukkan
prognosis baik pasca operasi, tapi intervensi invasif pada organ mata dapat menimbulkan
infeksi, perforasi (tembus) pada bola mata, perdarahaan vitreous, endophthalmitis,
robekan retina, atau diploplia (pandangan berganda). Beberapa kasus pasca operasi juga
bisa menunjukkan kemerahan dan iritasi yang menimbulkan ketidaknyamanan dalam
periode yang cukup lama (lebih dari sebulan). Tentu saja pasien juga harus tahu tentang
risiko kekambuhan, apalagi jika memiliki riwayat penyakit serupa dalam silsilah
keluargannya.
Pendahuluan
Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berkembang lanjut yang memungkinkan analisis
cermat tentang bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan obyek. Mata terletak di dalam struktur
tengkorak yang melindunginya, yaitu orbita. Setiap mata terdiri atas 3 lapis konsentris yaitu lapisan luar terdiri
atas sklera dan kornea, lapisan tengah juga disebut lapisan vaskular atau traktus uveal yang terdiri dari koroid,
korpus siliar dan iris, serta lapisan dalam yang terdiri dari jaringan saraf yaitu retina.
Pterygium merupakan kelainan bola mata yang umumnya terjadi di wilayah beriklim tropis dan dialami
oleh mereka yang bekerja atau beraktifitas di bawah terik sinar matahari dan umumnya terjadi pada usia 20-30
tahun. Penyebab paling sering adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang di terima oleh
mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain seperti zat allergen, kimia dan pengiritasi lainnya.
Pterygium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah
khatulistiwa. Jarang mengenai anak-anak. Paparan sinar matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta
iritasi mata kronis oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama pterigium. Gejala-gejala
pterigium biasanya berupa mata merah, iritasi, inflamasi, dan penglihatan kabur.
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang.
Pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang
terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya
penglihatan si penderita. Apabila memiliki tingkat aktifitas luar ruangan yang cukup tinggi dan harus berlama
lama dibawah terik matahari, disarankan untuk melindungi aset penting penglihatan juga dari debu dan angin
yang bisa menyebabkan iritasi mata baik ringan maupun berat.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan
Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 400 lintang utara sampai 5-15%
untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan
daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini.
Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi
peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.
Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan bila
kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan irritasi okuler dan mata merah.
Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.
2.
Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40
tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari tidak ada
gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan
kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.
Definisi
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya
seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak
kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea,
sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka
penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa ocular eksternal superficial yang
mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan
kornea. Pterygia ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang
besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea
dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.2,5
Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang.
Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye
syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan
menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan tindakan
medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya pembesaran pterygium. Dokter juga akan
memastikan bahwa tidak ada efek samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.2,5
Gambar 1. Pterygium
Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan suatu neoplasma radang
dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah
dan banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang
banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Penyebab paling umum
adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA
ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain
itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya. Pterigium Sering
ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang
anak-anak.
Patofisiologi
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular,
dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk
jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa
dihancurkan oleh elastase.
Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler kadang-kadang berubah menjadi gepeng.
Pada puncak pteregium, epitel kornea menarik dan pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat
degenerasi stauma yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembulih darah. Degenerasi ini
menekan kedalam kornea serta merusak membran bauman dan stoma kornea bagian atas.
Manifestasi Klinis
Kemunduran tajam penglihatan akibat pteregium yang meluas ke kornea (Zone Optic)
Dapat diserati keratitis Pungtata, delen (Penipisan kornea akibat kering) dan garis besi yang terletak di
ujung pteregium.
2.
Grade 1
: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat
dibedakan),
Grade 2
Grade 3
: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari pterygium adalah pseudopterygium, pannus dan kista dermoid.
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
Pterygium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular pada permukaan konjungtiva dan
pada kornea. Penyakit ini lebih sering menyerang pada konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea nasal
meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut :
1.
Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan penyakitnya
lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya
lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.
2.
Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat
komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Ptrerygium dalam grup ini mempunyai perkembangan
klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.
Faktor Resiko
Yang pasti belum di ketahui dengan jelas, namun banyak di jumpai di daerah pantai sehingga
kemungkinan pencetusnya adalah adanya rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering
berkendara motor tapa helm penutup atau kacamata pelindung, sehingga adanya rangsangan debu jalanan yang
kotor bisa mengakibatkan timbunan lemak tersebut. Secara umum faktor resiko pterygium meliputi:
Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropis dan tropis.
Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah.
Faktor predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan laki-laki
mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan demikian
ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan terkena sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.
Gangguan yang lain yang mungkin ikut berperan yaitu berupa Pseudopterygia (misalnya disebabkan
oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal). Neoplasma (misalnya karsinoma in situ
yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).
Penatalaksanaan
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterygium meradang
dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan. Pengobatan pterygium adalah dengan sikap
konservatif atau dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler
atau pterygium yang telah menutupi media penglihatan.
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi steroid. Bila terdapat
delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokontriktor maka perlu kontrol 2
minggu dan bila terdapat perbaikkan maka pengobatan dihentikan.
Tindakan Operatif
Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan bila pterygium telah
mengganggu penglihatan. Pterygium dapat tumbuh menutupi seluruh permukaan kornea atau bola mata.
Tindakan operasi, biasanya bedah kosmetik, akan dilakukan untuk mengangkat pterygium yang
membesar ini apabila mengganggu fungsi penglihatan atau secara tetap meradang dan teriritasi. Paska operasi
biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti penggunaan sinar radiasi B atau terapi lainnya.
Jenis Operasi pada Pterygium antara lain :
1.
Bare Sklera
Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk pterygium progresif karena
dapat terjadi granuloma granuloma diambil kemudian digraph dari amnion.
2.
Subkonjungtiva
Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah konjungtiva bulbi jika
residif tidak masuk kornea.
3.
Graf
Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan
menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi,
mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata
antibiotika atau antiinflamasi.
Kategori Terapi Medikamentosa
a.
Pemakaian air mata artifisial (obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan
okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata.
Nama obat
b.
Dosis dewasa
Dosis anak-anak
Kontra indikasi
Interaksi
Perhatian
Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular
Nama obat
Dosis obatnya
Dosis anak-anak
Kontra indikasi
Interaksi
Tidak ada
Perhatian
c.
Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular
lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygium yang inflamasi
dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya.
Nama obat
Dosis dewasa
Dosis anak-anak
Kontra indikasi
Interaksi
Kehamilan
Perhatian
ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium,
sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.
Komplikasi
Komplikasi dari pterygium meliputi sebagai berikut:
diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan
pterygium yang belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi
pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi.
Komplikasi postooperasi pterygium meliputi:
Infeksi
Reaksi material jahitan
Diplopia
Conjungtival graft dehiscence
Corneal scarring
Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan vitreous, atau retinal
detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada pterygium adalah terjadinya
pengenceran sclera dan kornea. Sebagian dari kasus ini dapat memiliki tingkat kesulitan untuk mengatur.
Prognosis
Eksisi pada pterygia pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur baik saat dipahami oleh
pasien dan pada awal operasi pasien akan merasa terganggu setelah 48 jam pasca perawatan pasien bisa
memulai aktivitasnya. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan
pencangkokan, kedua-duanya dengan konjungtival limbal autografts atau selaput amniotic, pada pasien yang
telah ditentukan. Pasien yang ada memiliki resiko tinggi pengembangan pterygia atau karena di perluas ekspose
radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk dididik penggunaan kacamata dan mengurangi ekspose mata dengan
ultraviolet.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Junqueira, L Carlos. 1998. Histologi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2.
Coroneo MT, Di Girolamo N, Wakefield D: The Pathogenesis of Pterygium. Curr Opin Ophthalmol 1999 Aug;
10(4): 282-8 [Medline].
3.
4.
Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asburys General Ophthalmology (16th edition),
Mc Graw-Hill Companies, Inc., United States
5.
Ilyas S., 2005, Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
6.
Misbach J., 1999. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
7.
Hartono, 2005. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. Jogjakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada
Like this:
Suka
Be the first to like this post.
A voluntary eye screening was conducted as part of a community health and welfare
project for the inhabitants of Pulau Jaloh, a small tropical island in the Riau Archipelago
of Indonesia. The principles of the Declaration of Helsinki were adhered to in the conduct
of this study.
Examination of the anterior segment of the eye was performed by two qualified
ophthalmologists using a portable hand-held slitlamp. The pupils were not dilated during
the examination. The severity of pterygia, if present, was graded separately for both the
nasal and temporal aspects of each eye. Pterygia were graded under standard lighting
conditions based on the location of the pterygium head as follows:
Gender difference was tested using the 2 test. The difference in age between subjects
with and without disease was tested using unpaired Student's t-test and the 95%
confidence intervals were calculated using the exact method.14 Odds ratio (relative risk)
for gender was calculated using logistic regression model with adjustment for age. All
statistical analyses were performed using SPSS for Windows (version 12).
Our study in provincial, equatorial Indonesia found one of the highest rates of pterygia in
the world and determined a potentially modifiable risk factor: outdoor activity. This is the
first population based study to demonstrate the validity of the clinical grading scheme
based on the opacity of pterygia and the largest survey to assess pterygia in indigenous
South East Asians
A pinguecula (above) is a yellowish patch or bump on the conjunctiva, near the cornea.
It most often appears on the side of the eye closest to the nose. It is a change in the
normal tissue that results in a deposit of protein, fat and/or calcium. It is similar to a
callus on the skin.
A pterygium is a triangular-shaped growth of fleshy tissue on the white of the eye that
eventually extends over the cornea. This growth may remain small or grow large enough
to interfere with vision. A pterygium can often develop from a pinguecula.
Some pterygia may become red and swollen on occasion, and some may become large or
thick, making you feel like you have something in your eye. If a pterygium is large
enough, it can actually affect the shape of the corneas surface, leading to astigmatism.
It is not entirely clear what causes pterygia and pingueculae to develop. Ultraviolet (UV)
light from the sun is believed to be a factor in the development of these growths. Other
factors believed to cause pterygia and pingueculae are dry eye and environmental
elements such as wind and dust.
A retrospective analysis of 151 eyes with primary pterygia was done. Patients with
history of trauma, previous surgery, patients having corneal scars were not included in the
study. On slit-lamp examination with slit beam focused on the nasal limbus, pterygium
was graded depending on the extent of corneal involvement:
Grade I - between limbus and a point midway between limbus and pupillary margin
Grade II - head of the pterygium present between a point midway between limbus and
pupillary margin and pupillary margin (nasal papillary margin in case of nasal pterygium
and temporal margin in case of temporal pterygium)
Grade III - crossing pupillary margin
Corneal topography analysis was obtained with computerized videokeratography (TMS
-2, Computed Anatomy Inc, New York, NY), which was performed by an experienced
optometrist one day prior to surgery and one month after it [Figs. [Figs.11--22].
Figure 1
Corneal topography of a patient with grade II Pterygium showing
flattening in the horizontal meridian
Figure 2
Corneal topography of the same patient 1 month after surgery
Other Sections
o Abstract
o Materials and Methods
o Results
o Discussion
o References
Results
Preoperative topographic indices in various grades of pterygium have been shown in
Table 1. Corneal astigmatism, SRI and SAI were seen to increase with the increase in the
grade of pterygium. Comparing the corneal astigmatism amongst the various grades of
pterygium [Table 2] a statistically significant increase in astigmatism was noted with the
increase in the grade from I to III.
Table 1
Grade of pterygium and topographic indices
Table 2
Comparison between corneal astigmatism among various
grades
The comparison and analysis of pre and postoperative values are presented in Table 3.
The mean ACP increased from 42.912.20 diopter (D) to 44.251.77D ( P value < 0.001)
after pterygium excision.
Table 3
Pre and postoperative statistics
Other Sections
o Abstract
o Materials and Methods
o Results
o Discussion
o References
Discussion
A pterygium-induced refractive change often leads to visual impairment. These changes
are localized and cannot be measured accurately either by refraction or keratometry. In
140 eyes in which refractions were recorded there was poor correlation between the
magnitude of refractive cylinder and topographic cylinder. This can be due to the hemiastigmatic nature of the induced changes. During manifest refraction patient deals with
two images, one from the more spherical temporal cornea and one from the flatter nasal
cornea. The patient preferentially views the more spherical image and therefore the
corneal changes are incompletely reflected in the refraction.
Keratometry measures only the central cornea and peripheral cornea is ignored and hence
the results can be erroneous in eyes with pterygium. Computerized videokeratography
remains the best tool for evaluating the corneal surface changes induced by pterygium.
Pterygium was seen to have a considerable effect on topographic indices in the present
series. Flattening was seen in the horizontal meridian, which was associated with
astigmatism. The exact mechanism of flattening is not clear. It is thought to be caused by
the formation of tear meniscus between the corneal apex and the elevated pterygium,
causing an apparent flattening of the normal corneal curvature.10
Lin and Stern found a significant correlation between the pterygium size and corneal
astigmatism; they reported pterygium to induce significant degrees of astigmatism once it
exceeded> 45% of the radius.5 Tomidokoro et al . evaluated the percentage extension of
pterygium on cornea and found larger pterygia to adversely affect astigmatism,
asymmetry and irregularity of the cornea.7 In the current study pterygia were divided into
grades depending on the extension of pterygium on the cornea. Grade II or larger
pterygium was associated with increase in astigmatism, asymmetry and irregularity. The
ACP reduced significantly in Grade II or larger pterygium. Hence, for patients with
pterygium requiring cataract surgery, decision of surgery should be taken depending on
the grade of pterygium; in cases with Grade I, atrophic and non-progressive pterygium
one can consider cataract surgery directly. However, pterygium Grade II or larger
significantly affects the refractive component of cornea which can lead to erroneous
intraocular lens power calculation and post-cataract refractive surprise. Hence in cases
with pterygium Grade II or larger, a stepwise approach should be followed; pterygium
excision should be performed prior to cataract surgery. By time-course analysis, cornea
has been shown to stabilize one month after pterygium surgery. Hence, cataract surgery
ABSTRAK
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degenerative dan invasive.1 Pterigium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.2 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Berbagai macam
teknik operasi untuk pterigium telah dikembangkan, diantaranya adalah teknik Bare
Sclera, McReynold, Transplantasi membrane amnion (TMA), Conjungival Flap,
Conjungtival Autograft. Operasi pada pterigium dilakukan atas indikasi kosmetik dan
optic.
KASUS
Seorang laki-laki berusia 33 tahun datang ke Poliklinik Mata dengan keluhan mata kanan
dan kiri terdapat semacam daging tumbuh, selain itu terasa mengganjal, kadang merah
dan nrocos, gatal, tidak ada gangguan penglihatan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak + 6
bulan yang lalu.
Pada saat pemeriksaan didapatkan pertumbuhan jaringan fibrovaskular pada konjungtiva
menuju kornea. Jarak limbus ke kornea belum ada 2mm, sehingga diklasifikasikan ke
pterigium tipe 1. Reaksi pupil baik tidak ada gangguan, Tampak peradangan konjungtiva
sedikit pada kedua mata, letak pterigium di nasal pada kedua mata.
DIAGNOSIS
Pterigium derajat I
TERAPI
-
DISKUSI
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degenerative dan invasive.1 Pterigium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang
artinya wing atau sayap.2 Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Pterigium
dapat mengenai kedua mata.1 Insidens pterigium di Indonesia yang terletak digaris
ekuator, yaitu 13,1%. Diduga bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya pterigium.2
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia derajat pertumbuhan pterygium
dibagi menjadi :2
1.
2.
Derajat II : Sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm melewati kornea
3.
Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata
dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4.
Derajat IV : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan
KESIMPULAN
Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degenerative dan invasive. Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan
tindakan operasi. Berbagai macam teknik operasi untuk pterigium telah dikembangkan,
diantaranya adalah teknik Bare Sclera, McReynold, Transplantasi membrane amnion
(TMA), Conjungival Flap, Conjungtival Autograft. Operasi pada pterigium dilakukan
atas indikasi kosmetik dan optic. Operasi dianjurkan apabila pterigium telah mencapai
2mm ke dalam kornea.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ilyas, H. Sidarta. 2007. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
2.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), Editor Tahjono. Dalam
panduan manajermen klinik PERDAMI. CV Ondo Jakarta; 2006. 56 58
3.
Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada. Yogykarta.
Kon
jungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :1
1.Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari
tarsus.
2.Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
3.Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan konjungtiva forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
di bawahnya, sehingga bola mata mudah bergerak.1
ETIOPATOFISIOLOGI
Etiologi belum diketahui pasti. Teori yang dikemukakan :4,5,6,7,10
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya
pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang
berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak
waktu di lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia
berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan).
UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat
pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.
GEJALA KLINIS
Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan keluhan mata iritatif,
gatal, merah, sensasi benda asing dan mungkin menimbulkan astigmat atau obstruksi
aksis visual yang akan memberikan keluhan gangguan penglihatan.1,7,5,10,11
Berdasarkan luas perkembangannya diklasifikasikan menjadi:4
Stadium I : pterigium belum mencapai limbus
Stadium II : sudah mencapai atau melewati limbus tapi belum mencapai
daerah pupil
Stadium III : sudah mencapai daerah pupil
konjungtiva pada sklera superfisial di depan insersi tendon rektus, meninggalkan area
sklera yang terbuka. (teknik ini menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%).
-Simple Closure : tepi bebas dari konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva
sangat kecil)
-Sliding flap : insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung
menutup luka tersebut.
-Rotational flap : insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva berotasi pada luka.
-Conjunctival graft: graft bebas, biasanya dari konjungtiva bulbar superior dieksisi sesuai
ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit. 6
1. Ilyas, S. Pterigium. In : Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2004. p. 116-7
2. Anonim. Pterygium (Conjunctiva). [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Pterygium_(conjunctiva)
3. Pope, DB. Pterygium and Pinguecula. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available
from: http://eyenet.org
4. Tim Pengajar Oftamologi FKUH. Pterigium. Makassar: FKUH. 2005
5. The College Of Optometrists. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th].
Available from: http://www.med-support.org.uk/IntegratedCRD.../Pterygium
%20FINAL.pdf
6. Lisegang JL, Scuta GL, Cantor LB, editors. External Disease and Cornea. In: Basic
and Clinical Science Course. American Academy of Ophthalmology. The Eye M.D.
Association. 2003-2004
7. Fisher, J. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
8. Garbaulet A., Limbergen EV. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available
from: http://www.estro-education.org/publications/Documents/TB%20%2034%200508
2002%20Pterygium%20Print_proc.pdf
9. Nemeth SC and Shea C. Conjuctiva, Episclera, and Sclera. [online] 2009 [cited 2009
July 7th]. Available from: http://www.slackbooks.com/excerpts/67921/67921.asp
10. Anonim. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from:
http://www.revoptom.com/HANDBOOK/sect2i.htm
11. Olver J and Cassidy L, Editors. More on the Red Eye. In : Ophthalmology at a
Glance. Massachusetts : Blackwell Science Ltd. 2005. p. 34-5
12. Anonim. Pterygium. [online] 2009 [cited 2009 July 5th]. Available from:
http://www.chadrostron.co.uk/Cornea/Assets/Pterygium.pdf
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yang berarti sayap. Pterygium merupakan suatu
pertumbuhan jaringan konjungtiva yang bersifat degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya
terletak pada celah kelopak mata bagian dalam ataupun luar konjungtiva yang meluas
sampai daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di daerah sentral
atau kornea. Pterygium dapat mengenai kedua mata. Penyakit ini mudah meradang dan
bila terjadi iritasi maka bagian pterygium tersebut akan berwarna merah.
Seorang laki-laki usia 44 tahun datang dengan keluhan mata kiri terasa ngganjel dan
merah. Pada mata kiri ditemukan adanya selaput seperti daging yang tumbuh dari
pangkal mata melebar hingga ke kornea. Daging yang tumbuh dari pangkal mata
(biasanya berbentuk segitiga) disebut sebagai pterygium. Sensasi ngganjel yang dirasakan
pasien sebagai akibat adanya benda asing yang tumbuh di atas permukaan kornea, dan
ISI
Seorang laki-laki berusia 44 tahun datang dengan keluhan mata kii terasa ngganjel dan
merah. Sekitar 7 tahun yang lalu mulai tumbuh selaput yang menyerupai daging tumbuh
di mata kiri yang awalnya kecil namun semakin lama semakin besar hingga kini
mencapai pupil mata. 2 bulan terakhir mata kiri dirasa sering perih dan ngganjel, dan
semakin merah. Pendertita mengaku pandangan menjadi kabur. Blobok (-), nyrocos (-),
riwayat trauma (-), riwayat infeksi (-). Ayah penderita juga mengalami gejala serupa.
Oleh dokter mata pasien didiagnosis menderita pretigium. Kemudian oleh dokter pasien
diberikan obat tetes mata steroid dan vitamin. Kemudian dijelaskan bahwa untuk
menghilangkan penyakitnya diperlukan pembedahan, namun sifatnya tidak mutlak.
Apabila tidak dilakukan pembedahan penyakit pasien tidak berbahaya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan STATUS GENERALIS: KU: baik,
CM. STATUS LOKALIS : OCCULI SINISTRA: Tampak penonjolan jarngan berwarna
putih dengan bentuk triangular, apex pada perifer kornea, dan basal menghadap ke arah
nasal. Terdapat infiltrasi ke permukaan kornea kurang lebih 1 mm. VOS : 6/6.
Diagnosis
Pterygium Occuli Sinistra
TERAPI
Pada pasien ini diberikan terapi berupa air mata buatan (topical lubricating drops):
Genteal eye drop, 3-6 kali per hari, 2 tetes pada OS. Kemudian diberikan tetes mata
kortikosteroid: Flamergi eye drop, 6 kali per hari, 2 tetes pada OS.
DISKUSI
Pterigium adalah kelainan pada conjunctiva bulbi yang berupa pertumbuhan jaringan
fibrovascular pada conjunctiva yang bersifat degenerative dan invasive serta tumbuh
menginfiltrasi permukaan kornea. Yang menjadi factor resiko terjadinya pterigium antara
lain paparan sinar matahari (radiasi sinar ultraviolet), factor genetic, factor lain, misalnya
mikrotrauma kronis pada mata karena iritasi kronis dari lingkungan (udara, angin, debu).
Gejala klinis yang mungkin timbul dari pterigium antara lain mata irritatif, merah dan
gatal, sensasi benda asing pada mata, astigmat/obstruksi aksis visual yang memberikan
keluhan gangguan penglihatan. Berdasarkan luas perkembangannya diklasifikasikan
menjadi: Stadium I : pterigium belum mencapai limbus, Stadium II : sudah mencapai atau
melewati limbus tapi belum mencapai daerah pupil, Stadium III : sudah mencapai daerah
pupil. Sedangkan berdasarkan progresifitas tumbuhnya : Stasioner (relatif tidak
berkembang lagi (tipis, pucat, atrofi)) dan Progresif (berkembang lebih besar dalam
waktu singkat).
Penatalaksanaan kasus dengan tanpa gejala atau iritatif sedang dapat menggunakan
kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. Pasien
disarankan untuk menghindari daerah yang berasap atau berdebu. Pterigium dengan
inflamasi atau iritasi diobati dengan kombinasi dekongestan/antihistamin dan/atau
kortikosteroid topikal potensi sedang 4-6 kali sehari pada mata yang terkena. Indikasi
operasi eksisi pterigium yaitu karena masalah kosmetik dan atau adanya gangguan
penglihatan, pertumbuhan pterigium yang signifikan (> 3-4 mm), pergerakan bola mata
yang terganggu/terbatas, dan bersifat progresif dari pusat kornea/aksis visual. Operasi
mikro eksisi pterigium bertujuan mencapai keadaan yang anatomis, secara topografi
membuat permukaan okuler rata. Teknik operasi yang umum dilakukan adalah
menghilangkan pterigium menggunakan pisau tipis dengan diseksi yang rata menuju
limbus. Teknik operasi antara lain Teknik Bare Sclera (tidak ada jahitan atau
menggunakan benang absorbable untuk melekatkan konjungtiva pada sklera superfisial di
depan insersi tendon rektus, meninggalkan area sklera yang terbuka. (teknik ini
menghasilkan tingkat rekurensi 40% - 50%)), Teknik Simple Closure (tepi bebas dari
konjungtiva dilindungi (efektif jika defek konjungtiva sangat kecil)), Teknik Sliding flap
(insisi L-shaped dilakukan pada luka sehingga flap konjungtiva langsung menutup luka
tersebut), Teknik Rotational flap (insisi U-shaped dibuat membuat ujung konjungtiva
berotasi pada luka), Teknik Conjunctival graft (graft bebas, biasanya dari konjungtiva
bulbar superior dieksisi sesuai ukuran luka dan dipindahkan kemudian dijahit).
Prognosis Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur
yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien
akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai
aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini
biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau
derajat pterigium. Pasien dengan pterygia yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan grafting.
Edukasi yang harus diberikan pada pasien ini yaitu menjelaskan kepada pasien
bahwa pterigiumdapat terjadi akibat adanya factor resiko antara lain riwayat keluarga
dengan sakit serupa dan pajanan sinar matahari, sehingga pasien diberi edukasi seperti:
memakai kacamata hitam, menghindari paparan sinar matahari, debu, dan angin.
KESIMPULAN
Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium mudah meradang dan bila
terjadi iritasi, maka bagian pterigium akan berwarna merah. Kortikosteroid tetes mata
diberikan pada pterigium yang meradang, sedangkan terapi pembedahan merupakan
terapi kausatif kasus pterigium.
REFERENSI
1.
Vaughan, Daniel., Asbury, Taylor., Riordan-Eva, Paul. 2006. Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Jakarta : Widya Medika
2.
Ilyas, Sidharta. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ketiga. Jakarta ; Balai
Penerbitan FK-UI ;. Hal ; 200-11
3.
Ilyas, Sidharta., Mailangkay, Taim, Hilman., Saman, Raman., Simarmata, Monang.,
Widodo, Purbo., 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan mahasiswa
kedokteran. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto.
PENULIS
Adinda SK, Bagian Bedah, RSUD Panembahan Senopati, Bantul
1. Definisi
Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput
lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan
merupakan
massa
ocular
eksternal
superficial
yang
menjadi
merah
dan
meradang.
Dalam
beberapa
kasus,
apabila
kelainan
ini
didiamkan
lama
akan
menyebabkan
Pterygium
2. Epidemiologi
Di
Amerika
Serikat,
kasus
pterygium
sangat
bervariasi
ini
terjadi
untuk
tempat-tempat
yang
prevalensinya
Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali
lebih banyak dibandingkan wanita.
2.
Umur
Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.
Pasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai
macam keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai
mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi,
dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang
membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.
4. Etiologi
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga
merupakan
suatu
neoplasma
radang
dan
degenerasi.
Namun,
Penyebab
paling
umum
adalah
exposure
atau
sorotan
dan
ploriferasi
fibrovaskular,
dengan
permukaan
yang
degenerasi
elastotik
menunjukkan
basofilia
bila
dicat
dengan
hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk
jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya,
oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Secara
histopalogis
ditemukan
epitel
konjungtiva
irrekuler
Grade 1
pembuluh
Grade 2
Grade 3
8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari pterygium adalah pseudopterygium, pannus
dan kista dermoid.
9. Diagnosis
- Pemeriksaan Fisik
Pterygium bisa berupa berbagai macam perubahan fibrofaskular
pada permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering
menyerang pada konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea nasal
meskipun bersifat sementara dan juga pada lokasi yang lain.
Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai
berikut :
1. Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi
minimal
dan
penyakitnya
lebih
bersifat
atrofi.
Pterygium
pada
dan
terdapat
komponen
elevasi
jaringan
fibrovaskular.
adanya
rangsangan
debu
jalanan
yang
kotor
bisa
beriklim
subtropis
dan
tropis.
Melakukan
pekerjaan
dan
Bare Sklera
Pterygium
diambil,
lalu
dibiarkan,
tidak
diapa-apakan.
Tidak
Subkonjungtiva
Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan
di bawah konjungtiva bulbi jika residif tidak masuk kornea.
Graf
Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa
mulut/konjungtiva forniks.
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi
topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi.
Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam
hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika
atau antiinflamasi.
- Kategori Terapi Medikamentosa
a.
Nama obat
c.
Kontra
indikasi
Interaksi
Bisa menyebabkan
hipersensitivitas
Tidak ada
terjadinya
Untuk ibu
hamil
Perhatian
suatu
suspensi
kortikosteroid
topikal
yang
dipergunakan untuk mengurangi
inflamasi
mata.
Pemakaian obat ini harus
dibatasi untuk mata dengan
inflamasi yang sudah berat
yang tak bisa disembuhkan
dengan pelumas topikal lain.
Dosis dewasa
1 gtt empat kali sehari pada
mata yang terserang, biasanya
hanya 1- 2 minggu dengan
terapi yang terus menerus.
Dosis anakTidak
boleh
dipergunakan
anak
untuk anak-anak oleh karena
kasus pterygia sangat jarang
pada anak-anak
Kontra indikasi Pasien dengan riwayat kasus
herpes
simpleks
keratitis
dentritis atau glaukoma steroid
yang responsif.
Interaksi
Tak ada laporan interaksi
Kehamilan
Perhatian
untuk
diamati,
untuk
menghindari
permasalahan
tekanan
yang
luas
otot
extraocular
dapat
membatasi
Infeksi
Reaksi material jahitan
Diplopia
Conjungtival graft dehiscence
Corneal scarring
Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata
perdarahan vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
Whitcher
J.P.,
Pterygium,
2007,
http://www.emedicine.com/EMERG/topic284.htm
4. Ferrer F.J.G., Schwab I.R., Shetlar D.J., 2000. Vaughan & Asburys
General Ophthalmology (16th edition), Mc Graw-Hill Companies, Inc.,
United States
5.
Ilyas S., 2005, Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
6.
Misbach
J.,
1999.
Neuro-Oftalmologi
Pemeriksaan
Klinis
dan
menantang.2 Selain itu pterygium juga menimbulkan keluhan secara kosmetik dan
berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan
operasi untuk rehabilitasi penglihatan2,7,8. Berbagai metode dilakukan termasuk
pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun tansplantasi dengan
konjungtiva6,7,8. Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata
yang licin. Indikasi operasi pterygium antara lain, terganggunya penglihatan, kosmetik,
gangguan pergerakan bola mata, inflamasi yang rekuren, gangguan pada pemakaian lensa
kontak, serta jarang, perubahan ke arah neoplasia3,4,5,8,9,10. Ada beberapa teknik
operasi yang dilakukan pada eksisi pterygium, pada dasarnya tindakan operasi yang
dilakukan dengan dua cara yaitu, mengangkat pterygium dengan membiarkan luka bekas
pterygium terbuka ( Bare sclera ), dan mengangkat pterygium kemudian luka pterygium
ditutup dengan graft ( transplantasi )3,4,5,8,9,10. Keywords: Operasi Pterygium Tipe
Vaskular
2.
Pemeriksaan oftalmologis
a. Jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang
mengarah ke kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan
bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson ):
Diagnosis Banding
Pseudo-pterygium, jika bagian limbus dapat dilalui oleh sonde.Pseudopterigium
merupakan jaringan konjungtiva yang tumbuh menutupi jaringan kornea yang mengalami
luka atau peradangan.
Tatalaksana
1. Penatalaksanaan bersifa non bedah, penderita diberi penyuluhan untuk
mengurangi iritasi maupun paparan terhadap ultraviolet
2. Pada pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
3. Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan
utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara
kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup
berat.
Perawatan pasca operasi
Pasca operasi pasien diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid
sebanyak 3 kali sehari sampai tampak tenang, yaitu sekitar 21 hari pasca operasi.
Refarat Pterygium
Pterygium
I.
DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing).
Pterygium
didefinisikan
sebagai
pertumbuhan
jaringan
fibrovaskuler
pada
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk
segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah
meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4
II.
EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 %
pada daerah di atas lintang 400.5
Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan
ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat
dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 2049 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur
tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.5,6
III.
ANATOMI KONJUNGTIVA
Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan
kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea
dilimbus.3
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan
kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik
dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior
dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior
terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut
dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata
superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi
dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.
Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.7
Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7
1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak
mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada
mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial
dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan
bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat
sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung
perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal
konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra
merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva
bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera
dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.
Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula
tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan
sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya
konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia
muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otototot tersebut berkontraksi. 7
Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital
(Gambar dikutip dari kepustakaan 7)
Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan
Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva
yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva
yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial
dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu
nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.
Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan
mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel
superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus
yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata prakornea secara merata. 7
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di
dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu
lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3
bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan
folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi
papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya
mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di
forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.7
IV.
Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma
kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan
fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan
defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang
mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat
pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang
yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari,
berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,
kemungkinan diturunkan autosom dominan.2,5,8
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium.
Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar
UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53
pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program
kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan
menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan
angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen
dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel
dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang
banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering
mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan
aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah
petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan
kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik
untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming
growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi
seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan
destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8
Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :
1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada
usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium
terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 8
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar
UV. 8
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.
Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad
terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium
yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun
pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita
pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal
dominan. 8
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu
seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8
V.
Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea
pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami
keluhan lebih cepat.
Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang
membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan
bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan
yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta
kebutaan
4. ptrygium duplexGambar
Pterygium stadium 3
Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan
kepala pterygium (disebut cap dari pterygium)
Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran,
tetapi tidak pernah hilang.
VI.
PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,
walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap
angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor
supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan
sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan
regulasi kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi
basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia
propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan
membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering
disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan
substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau
tipis dan kadang terjadi displasia.5,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi
limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi
limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis,
kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari
kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan
histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut
ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya
biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8
VII.
GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan
tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea
tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun. 1,6,8
Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang
kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan
Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian
anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.
ii.
iii.
Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut,
merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.
Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi
pembedahan10
VIII.
DIAGNOSIS
Anamnesis
PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar
ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata
buatan/topical lubricating drops.8
2 . Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
2.
Mengganggu visus
3.
4.
Masalah kosmeti
5.
6.
7.
2.
Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini
dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4.
Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5.
Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva
bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter
Healthcare, Dearfield, Illionis).
6.1 Indikasi
A.Eksisi pterigium
setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek
konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui
pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan
graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada defek jaringan
yang mengitarinya. 9
B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva
selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi
konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan
defek, maka defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan
penggunaan AMT untuk pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat
digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus konjungtivokalasis,
scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya menyatakan bahwa
trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran amniotik. 9
C.Defisiensi stem sel Limbal
membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial
dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi
dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasuskasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan
memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9
Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di
laboratorium pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini
pada kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.9
6.2 Prosedur
Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik
yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada
permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane dan
lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT
dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan dengan benang
absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat
digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.9
6.3 Resiko
Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat.
Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi
sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis.
Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang,
penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion dipisahkan dari korion
dengan blunt dissection pada kondisi yang steril, ditempelkan pada strip kertas
nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol. Jaringan tersebut juga disimpan dalam
larutan itu untuk fresh use atau menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat
celcius. Hingga saat ini tidak ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada
AMT. 9
X.
DIAGNOSIS BANDING
Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium
terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan
pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang
sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi
dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan
pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang
sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek
temporal.10, 11
Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi
kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak
seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang
kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat
diberikan steroid topikal.10,11
Gambar 7. Pinguekula
Gambar 8. Pseudopterigium
XI.
KOMPLIKASI
Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12
Pra-operatif:
1.
Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena
pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme
penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada
kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri
belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian
pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat with the rule
dan iireguler astigmat.
2.
Kemerahan
3.
Iritasi
4.
5.
Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan
diplopia.
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan
perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival
autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak
mengancam penglihatan. 12
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1.
Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva
longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2.
Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera
dan kornea
3.
Pterygium rekuren.
XII.
PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren
dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi
membran amnion6
DAFTAR PUSTAKA
1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls.2010
2.
Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterygium
3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum: edisi
17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4.
Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2009.
6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
7.
Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available
from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :
http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
9. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011
October 23]. Available from : http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York :
Thieme Stutgart. 2000
11. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea.
San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
12. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from :
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html