3 Proceeding
3 Proceeding
3 Proceeding
&
KESELAMATAN
Abstract
One of the reasons of large number of casualty in an accident of ship in seaways is overloading of the evacuation route
due to minimum or unavailable information. Therefore, evaluation of evacuation route and alternative to evacuate
passenger is necessary especially for passenger ships such as ships for inter island transportation. This paper
discusses about feasibility of the evacuation route and possibility of buildup of passenger in a certain critical point in the
evacuation route so that an alternative solution to avoid such condition if an accident occurs. In order to find that
solution, numerical simulation with several ships is conducted by using Package program of Arena. Simulation results
show that possibility of the critical points exist in the corridor which be passed in evacuation process. In order to
minimize the buildup of passenger in the critical points, it is recommended an alternative route which is able to access to
reach the master point with minimum time.
Key words: evacuation route, inter island transportation, ship and passenger.
1. Pendahuluan
Dalam perancangan kapal penyeberangan antar pulau, desain ruang dan jalur evakuasi yang
effektif sangat diperlukan, hal tersebut tentunya sangat membantu dalam proses evakuasi
penumpang dan anak buah kapal (ABK) pada saat terjadinya kecelakaan laut (misalnya
keterbalikan, kebocoran dan kebakaran). Organisasi Maritim Internasional (IMO) (2002) telah
mengatur metode sederhana analisis evakuasi penumpang dan ABK kapal penyeberangan tipe
roll on roll off (ro-ro)
Sejumlah asumsi telah dikembangkan oleh banyak peneliti dalam mendukung keakuratan
regulasi IMO tersebut diataranya: i) kecepatan berjalan sangat bergantung pada kepadatan
kerumunan orang, tipe dan model jalur serta arah gerakan kerumunan, ii) arah pergerakan
berlawanan umumnya diperhitungkan berdasarkan counter flow factor, iii) pergerakan orang
diasumsikan tanpa rintangan, iv) Pengaruh pergerakan kapal, umur penumpang, serta
keterbatasan ruang gerak akibat asap kesemuanya diperhitungkan melalui safety factor.
Lee et al (2003) dalam papernya telah menulis kembali sejumlah penelitian pengaruh
pergerakan orang (kecepatan berjalan), kepadatan penumpang serta kemiringan koridor (trim
dan heeling) terhadap proses evakuasi penumpang. Sehubungan dengan hal tersebut, Lee et
al (2004) dalam penelitian lainnya menjelaskan bahwa kecepatan berjalan secara berkelompok
akan mengurangi kecepatan berjalan sebesar 20% dibanding berjalan secara sendirian dengan
jarak antara kelompok sejauh 3m, selanjutnya kecepatan berjalan kelompok didepan akan lebih
cepat dibanding kelompok yang berada dibelakangnya. Namun untuk kecepatan berjalan
perorangan dengan arah berlawanan akan lebih lambat dibanding secara berkelompok.
Maraknya terjadi kebakaran kapal di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2003 2007)
sebagaimaan yang dilaporkan KNKT (2007a) tercatat dalam kurun waktu tersebut terjadi 55
kapal terbakar dengan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit hal tersebut menujukan
pentingya pencegahan dan penaganan kecelakaan yang lebih akurat. Dalam laporan tersebut
pula dijelaskan bawasanya sejulah kebakaran kapal umumnya didominasi sebagai akibat
kelalaian manusia itu sendiri dan selebihnya kondisi alam, namun kalau dilihat dari sumber api
proses terjadinya kebakaran yang dialami kapal umumnya bervariasi diataranya bersumber dari
ruang mesin sebagaimana yang terjadi pada KMP Nusa Bakti (KNKT, 2007b), KMP Selvia
(KNKT, 2011a) dan selanjutnya bersumber dari ruang geladak kendaraan seperti yang dialami
KMP laut Teduh 2 (KNKT 2011b) dan KMP Levina 1 (KNKT, 2007c) dan bersumber dari
akomodasi penumpang yang dialami KMP Dharma Kencana 1 (KNKT, 2008).
Penelitian lain menjelaskan sehubungan dengan sumber api terjadinya kebakaran, Hakkarainen
et al (2009) sesuai dengan data yang dikumpulkannya dari tahun 1998 2007 tercatat dari 80
terjadinya kebakaran kapal penumpang (termasuk ferry ro-ro) hal tersebu diindikasikan bahwa
sumber api berasal dari ruang mesin sebesar 73% selanjutnya ruang muat / geladak kendaraan
dan ruang akomodasi penumpang masing-masing sebesar 16% dan 11 %. Vanen and Skjong
Berdasarkan pembahasan diatas, paper ini membahas tentang kelayakan jalur evakuasi kapal
penyeberangan antar pulau serta kemungkinan terjadinya titik titik penumpukan penumpang
pada jalur tertentu, melalui beberapa scenario yang dikembangkan sehingga dapat diketahui
jalur evakuasi yang efektif.
2. Kriteria IMO
Sejak Tahun 1970, IMO telah mempublikasikan secara intensif ketentuan standar tentang
evakuasi penumpang kapal laut, hal tersebut tertera sebagaimana pada ketentuan SOLAS
kaitanya dengan keselamatan kapal dan jumlah pelampung penolong serta karakteristiknya.
Hingga akhir abad yang lalu aturan utama tentang desain kapal dan evakuasi keselamatan
tersebut telah terjadi perubahan sebanyak 757 aturan. Tahun 1999 IMO menerbitkan MSC Circ.
909 dengan judul pedoman Interim analisis evakuasi sederhana khususnya untuk kapal
penumpang ro-ro (IMO, 1999), ketentuan tersebut adalah upaya pertama untuk menganalisa
secara keseluruhan tentang pergerakan penumpang di dalam kapal selama proses evakuasi.
Selajutnya dalam kondisi darurat dan meningkatkan proses evakuasi, IMO telah pula
menerbitkan ketentuan proses evakuasi pada kapal penumpang yang berbeda (Ro-pax, HSC,
kapal penumpang besar, dll). Akhirnya pada tahun 2002 IMO menerbitkan MSC Circ. 1033
dengan judul pedoman Interim analisis evakuasi untuk kapal baru dan yang sudah ada (IMO,
2002), aturan tersebut berisikan dua metode analisis penyalamatan penumpang: i) analisis
sederhana sebagaimana yang digambarkan pada MSC Circ 909 dan ii) analisis lanjud sesuai
dengan perkembangan kondisi selama evakuasi.
Kriteria standar analisis sederhana total waktu maksimum evakuasi penumpang kapal ferry ro-
ro yang dikembangkan oleh (IMO, 2002) sebagaimana tertera pada Gambar 1. Selanjutnya
Table 1 dan 2 menampilkan lebar efektif jalur evakuasi dan kecepatan berjalan penumpang dan
ABK.
(1) (2)
A T
(3)
E+ L (3)
E+L
(4)
(E + L)/3
Calculated evacution time
(5)
Maximum allowed evacution time, n
Dimana :
Awareness time / waktu tanggap (A)
Travel time / waktu perjalanan (T)
Embarkasi time / waktu embarkasi (E) dan Launching Time (L)
3. Metode Penelitian
3.1. Model matematika, harga aliran sfesifik dan kecepatan
Dalam penelitian ini penilaian total waktu evakuasi penumpang melalui proses simulasi,
persamaan matematika, harga aliran sfesifik dan kecepatan yang dipergunakan dalam
menentukan kecepatan berjalan mengunakan sejumlah koefisien yang disyaratkan ketentuan
IMO (2002) sebagaimana Tabel 1. dan 2.
Main Deck
Stair Door Corridor
2 3 3
Stair Door Corridor 4 Emerjency
2 4
Door
Main Deck
Stair Door 1bx Stair Door
1b 1a 3a
Master Station
Door Corridor Door
Executive
1a 1a 2a
Class
Stair Corridor Door Master Station
1b 2b Pass Deck
2a
4. Pembahasan
Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil simulasi melalui software arena dengan skenario
sebagaimana gambar 2 dan 3. Untuk KMP PM, total waktu yang diperlukan untuk evakuasi
penumpang yang berjumlah 300 orang terdiri dari 189 orang dari kelas ekonomi dan sisanya
dari kelas lesehan dan bisnis masing-masing 54 dan 57 orang dengan total waktu evakuasi
adalah 38.6 menit dengan jarak tempuh terjauh 23,34 m. Sementara Untuk KMP J2, total waktu
yang diperlukan untuk evakuasi seluruh penumpang berjumlah 751 orang yang berasal dari
kelas ekonomi dan bisnis masing-masing 288 orang dan sisanya dari kelas eksekutif 175 orang
diperlukan waktu adalah xx menit dengan jarak terjauh xx m. Meskipun KMP J2 memiliki waktu
yang lebih cepat terhadap evakuasi penumpang dibanding KMP PM namun hasil keduanya
tersebut menurut IMO aman untuk digunakan selama proses evakuasi penumpang apabila
terjadi kebakaran, waktu tersebut masi dibawah 60 menit sebagaimana yang disyaratkan IMO.
Ditinjau dari efektifitas waktu yang digunakan untuk evakuasi penumpang KMP PM dari 3 ruang
penumpang yang dianalisis terlihat bahwa ruang bisnis mengunakan waktu terpendek
dibandingkan ruang lesahan dan ekonomi, hal ini berbanding dengan jarak tempuh masing-
masing ruang menuju koridor embarkasi/master station. Demikian pula dari tiga koridor
embarkasi yang disediakan tempat berkumpul penumpang terlihat bahwa koridor 6 memiliki
waktu terpanjang untuk dicapai dibanding kedua koridor embarkasi lainya (koridor 5 dan 7). Hal
yang sama pada KMP J2 dari 3 ruang penumpang yang dianalisis terlihat bahwa ruang
eksekutip mengunakan waktu terpendek dibandingkan ruang bisnis dan ekonomi pada kapal
tersebut, hal ini berbanding dengan jarak tempuh masing-masing ruang menuju koridor
embarkasi.
Selanjutnya berdasarkan analisis pergerakan dan waktu selama proses evakuasi KMP PM
(gambar 3) titik kritis terjadi pada saat penumpang memasuki koridor 3 dengan banyaknya
waktu yang digunakan untuk memasuki koridor tersebut, hal tersebut dikarenakan koridor 3
adalah jalur tunggal yang dilewati seluruh penumpang kapal yang berasal dari ketiga ruang
penumpang yang dievakuasi selanjutnya titik kritis terjadi pada koridor 5, 6 dan 7 hal tersebut
dikarenakan jarak masing-masing koridor relatif panjang. Perhitungan lengkap waktu yang
diperlukan selama proses evakuasi dapat dilihat pada Tabel 3. Lain halnya pada KMP J2 jalur
evakuasi untuk setiap ruang penumpang masing-masing terpisah menuju koridor embarkasi
5. Kesimpulan
Dengan jalur evakuasi penumpang yang ada saat ini KMP PM dan KPM J2 memenuhi
ketentuan yang disyaratkan IMO dalam upaya penyelamatan penumpang terhadap bahaya
kebakaran.
Efektifitas waktu yang digunakan selama proses evakuasi bergantung pada jumlah
penumpang dan jarak tempuh menuju koridor embarkasi.
Titik kritis jalur evakuasi KMP PM terjadi pada koridor 3 dan koridor embarkasi, sedangakan
untuk KMP Jatra penumpukan penumpang terjadi pada koridor emejency pada main deck.
References
IMO, 1999. Interim guidelines for a simplified evacuation analysis on RoRo passenger
ships. MSC/ Circ. 909.
IMO, 2002. Interim guidelines for evacuation analyses for new and existing passenger ships.
MSC/ Circ. 1033.
Lee, D., Kim, H.A., Park J.H and Park,J.B (2003): The current status and future issues in
human evacuation from ships, Journal of Safety Science, Vol. 41. pp. 861 -876
Lee, D., Park J.H. dan Kim, H. A. (2004): Study on experiment of human behavior for
evacuation simulation, Journal of Ocean Engineering, Vol. 31. pp. 931 -941
Hakkarainen, et al. (2009): Survivability for ship in case of fire, Final report of SURSHIP-
FIRE Project
Vanem, E., Skjong, R. (2006): Designing for safety in passenger ships utilizingadvanced
evacuation analyses - A risk based approach, Journal of Safety Science, Vol. 44. pp.
111 -135
KNKT (2007a). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya KMP. Nusa Bhakti Pantai
Bug-Bug Karangasem, Bali, Laporan Akhir Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2007b). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya Kmp. Levina I Pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta, Laporan Akhir Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) Jakarta
Irwan Tri YUNIANTO*1, Ni Luh Putu PRATIDINATRI1 and Hasan Iqbal NUR2
1
Marine Transportation and Logistics Laboratory, Faculty of Marine Technology, ITS-
Surabaya.
*E-mail: irwantri.y@gmail.com
2
Graduate School of Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
Abstract
Karimunjawa islands, located in the north of Jepara city in Central Java, is one of Indonesia's largest cluster of islands
consist of 27 islands and four of them are inhabited. Due to its topography and biodiversity, it has the potential as a
tourist destination. Since the main island is surrounded by many small islands, one of the most efficient modes of
transport is traditional motorboat. However, the capacity of water transportation mode is still lacking. Low frequency of
transport service also remains a challenge. Therefore, sustainable water transportation system plan is necessary in
order to connect one island to another as well as to promote local economic growth through tourism activities.
This study aims to identify potential tourism spots and describe the important role of water transportation as a support
for integrating various potential tourism spots. Our proposition is to solve this problem by both analysis of connectivity
(current and planned transportation network) and analysis of commercial. Instead of boat or ship, hoverflight will be
used as alternative water transportation mode because of the following advantages: does not require berth, high in
speed and mobility, and can produce lower carbon emission and lower fuel cost. From the investment calculation results,
it can be summarized that the Break-Even Point will be at the seventh year of operation with Net Present Value of IDR
1,01 billion and Internal Rate of Return 22,9%.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau yang dimiliki
lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Jumlah populasi
penduduk yang tinggal di daerah pesisir sangat besar, sebagai contoh 65% penduduk pulau
Jawa tinggal di daerah pesisir. Dengan kondisi geografis yang dimiliki, maka dibutuhkan
peranan transportasi laut untuk menghubungkan semua wilayah tersebut dan mendukung
berbagai sektor potensial yang ada salah satunya adalah sektor pariwisata.
Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu wilayah kepulauan di Indonesia yang terdiri dari
27 gugusan pulau, terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Kepulauan
Karimunjawa sangat potensial sebagai tujuan wisata karena merupakan daerah kepulauan
dengan topografi yang menyajikan keindahan alam, selain itu juga mempunyai
keanekaragaman hayati seperti terumbu karang, lamun dan mangrove. Dengan segala potensi
yang dimiliki, wilayah tersebut telah dijadikan penyangga kehidupan bagi 8.842 penduduk
(Statistik BTN Karimunjawa , 2008).
Pembangunan di kecamatan Karimunjawa sangat perlu disesuaikan dengan potensi dan
kebutuhan yang ada, terutama terkonsentrasi pada 3 (tiga) sektor, yaitu: sektor pariwisata,
sektor perikanan dan kelautan (Slamet Santoso et al, 2003).
Rencana pengembangan pariwisata secara berkelanjutan perlu untuk dilakukan, sehingga
diharapkan dapat menambah jumlah kunjungan wisatawan baik internasional maupun domestik.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) Menentukan kegiatan-kegiatan wisata
yang berwawasan lingkungan, (2) Memberikan alternatif lokasi pembangunan sarana
penunjang kegiatan wisata, dan (3) Memberdayakan ekonomi penduduk setempat sebagai
unsur utama kegiatan wisata.
3) Pulau Cilik
Sesuai namanya, Pulau Cilik ini memiliki ukuran yang kecil, memiliki luas sekitar 2 hektar.
Terdapat sebuah dermaga kayu bagi perahu yang ingin merapat. Sangat cocok untuk aktivitas
snorkeling karena terdapat berbagai spesies ikan, terumbu karang, taman karang dan perairan
yang sangat jernih.
Terdapat sebuah gosong yang memanjang di bagian belakang pulau. Gosong atau gosongan
adalah istilah yang sering digunakan penduduk Karimunjawa untuk menyebut daratan pasir
tanpa vegetasi apapun. Gosongan ini bisa berada di tengah laut atau "menempel" pada sebuah
pulau.
2.2 Kunjungan Wisatawan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, dapat diketahui
bahwa jumlah kunjungan wisatawan Kepulauan Karimunjawa dari tahun 2002 hingga tahun
2005 cenderung mengalami kenaikan, baik untuk wisatawan mancanegara (wisman) maupun
wisatawan domestik (wisdom), seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Statistik jumlah kunjungan wisatawan Kepulauan Karimunjawa
2002 2003 2004 2005
Wisman 339 361 1,312 455
Wisdom 5,272 7,975 11,721 9,315
Jumlah 5,611 8,336 13,033 9,770
Melihat potensi yang dimiliki oleh Kepulauan Karimunjawa dan tren kenaikan jumlah wisatawan
pada Tabel 1, maka dapat diperkirakan bahwa pada tahun-tahun mendatang jumlah wisatawan
yang akan berkunjung ke Kepulauan Karimunjawa akan terus meningkat seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.
40,300
2,300
33,300
1,800
Forecast
26,300 Forecast
1,300 Actual
Actual
19,300
800 12,300
300 5,300
2002 2005 2008 2011 2014 2017 2020 2002 2005 2008 2011 2014 2017 2020
Selasa 08:00 14:00 Karimunjawa 11:00 - 13:30 Karimunjawa - 10:30 - 12:15 Jepara
Jepara Jepara Karimunjawa
Sabtu 08:00 14:00 Jepara 09:00 - 12:30 Semarang 08:00 - 09:45 Karimunjawa
Karimunjawa Karimunjawa Jepara
Minggu 08:00 14:00 Karimunjawa 09:00 - 12:30 Semarang 14:00 - 15:45 Karimunjawa
Jepara Karimunjawa Jepara
3. Metodologi Penelitian
Identifikasi Masalah
Estimasi Peningkatan
Ramah Lingkungan Jarak Antar Pulau Pendapatan Daerah dari Sektor
Pariwisata
Gambar 2 Metodologi
Smooth
ride
Water Increase
Contact of
Removal Speed
+ Removal
of
Hydro-
dynamic
Drag
2) Perencanaan operasi
Pada bagian ini akan dibahas mengenai rencana operasi berupa pengoperasian hoverflight
pada rencana rute yang telah ditentukan pada sub-bab sebelumnya, dimana rute yang
harus dilayani oleh hoverflight adalah Semarang Karimunjawa Menjangan Besar
Cemara Besar Pulau Gosong Pulau Cilik Karimun Jawa Semarang ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Rencana operasional hoverflight
Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk melayani rute tersebut membutuhkan waktu
berlayar (sea time) selama 133,79 menit dan total waktu hoverflight berhenti pada titik
pemberhentian (port time) selama 450 menit atau 7.5 jam.
3) Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan untuk perencanaan pola operasi hoverflight ini yang
pertama adalah asumsi biaya. Komponen biaya yang digunakan untuk menghitung total
biaya yang timbul akibat pengoperasian hoverflight ini terdiri dari capital cost, operating
cost, maintenance cost, voyage cost dan office cost seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Asumsi biaya operasional
Voyage Cost
IV SFOC Ltr/ HP jam 0.107
Harga BBM (1 lt = IDR 4500) USD / ltr 0.52
Office Cost
Gaji pegawai darat Rp/bln 2,500,000
V Jumlah pegawai org 4
Pemasaran Rp/thn 250,000,000
Operasional kantor Rp/thn 120,000,000
Replacement Cost of Skirt Fingers USD / jam 21.67
Replacement Cost of Propeller USD / jam 12.50
Cost of Engine Service USD / jam 5.00
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan
hoverflight adalah sebesar 3,156 juta dollar US.
4. Kesimpulan
References
Bhalla, V. (1997). Investment Management. New Delhi: S. Chand & Company Ltd.
Info: Karimunjawa-island. (n.d.). Retrieved Mei 22, 2012, from http://www.karimunjawa-islands
Murdifin, H. (2003). Studi Kelayakan Investasi. Jakarta: PPM.
Anonymus. (2004). Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi
Jawa Tengah. Semarang: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Anonymus. (2008). Statistik BTN Karimunjawa . Semarang: Departemen Kehutanan Direktorat
Perlindunagn dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Wergeland, N. W. (1997). Shipping. Netherland: Delft Universitty Press.
Abstract
Most marine accidents related to vessels are caused by human errors, such as mis-detection, mis-judgment and mis-
operation. Especially, collision accidents between fishing vessels and cargo vessels involving loss of life of fisherman
are occurred frequently in the sea off Japan. We develop the risk assessment for marine accident through following
steps; 1) identification of hazards by Variation Tree Analysis, 2) Construction of marine casualty database, 3) Risk
assessment by Event Tree Analysis, 4) Estimation of probabilities of collision accidents based on ship traffic data and 5)
Evaluation of risk control options with contingent valuation method, which is in accordance with the guide line of Formal
Safety Assessment (FSA) approved by IMO in 2002. Also we try to apply these types of accident, collision between
fishing and cargo vessels and introduce an example of evaluation some improvement measures by developed
methodology based on risk assessment.
Keywords: Risk Analysis, Formal Safety Assessment, Variation Tree Analysis, Event Tree Analysis, Contingent
Valuation Method
1. Introduction
Collision accidents involving fishing vessels and cargo vessels have broken out in seas close to
Japan, and have been reported widely in Japanese media in recent years. The collision
accident between a fishing vessel and a state-of-the-art Aegis destroyer broke out in February
2008 was reported sensationally in the media and gained the attention of the public.
Most marine accidents related to vessels are caused by human errors, such as mis-detection,
mis-judgment and mis-operation in functional systems contributing to safety navigation onboard
vessels. The annual report released by Marine Accident Inquiry Agency shows that the collision
accident happens most frequently, 25% among all of marine casualties, such as grounding,
capsizing, flooding, fire and so on, and its ratio involving fishing vessels is the most frequent,
32% among all of vessel types. This report also indicates that loss of life is the highest with
fishing vessels come up to 63%.
Due to their high ratio of occurrence and their enormous damages, the collision accidents
between fishing vessels and cargo vessels which are merchant vessel, in general, larger than
fishing vessel in size are taken as research object in this paper. And the safety assessment is
developed in accordance with Formal Safety Assessment (FSA). Developed methodologies are
containing some useful analytical method for safety management such as Variation Tree
Analysis (VTA), Event Tree Analysis (ETA) and Contingent Valuation Method (CVM), which are
carried out through analyzing the records of adjudication of marine accident inquiry on collision
accidents, ship traffic survey and questionnaire survey for fishermen.
Figure 1 shows the flow chart of developed safety assessment for collision accidents
considering human factors by marine casualty data and navigation track data. This flow is based
on the process of the guidelines on Formal Safety Assessment approved by IMO in
2007(IMO,2007), and FSA consists of the following 5 major steps (Tamura Y. and Shinoda T.,
2010):
adjudication of marine accident inquiry released by Japan Marine Accident Tribunal. These
human factors are extracted as variation factors which depart from usual procedures by VTA
method. Then the items of marine casualty database are configured and the database is
constructed from the records of adjudication. The typical collision courses are classified based
on human factors as the scenario.
50
40
20 Stand-on vessel
Give-way vessel
Give-way vessel
10 Stand-on vessel
n t p es t
lo e
p o ch v n
pr er els
ist ion of y ra n
o te r
J4 to oo s
t
du F ss
w P34 loo ks
N J2 AJ at leep t
f r itua e
co dg Shi nch g
pl s in ng
ul on
el nd t
A AJ ct n rom 4 F ions
J3 25 t iz y s
at mp her men
ra by de da
ou
ch S kou
Fe bli kou
A ion er l sel
g gu
2 act ure n b tio
re J42 ine
er or
J3 AJ rt o as ess
4 3 o v exp atig
m e a pp ori
eg ti
Im th ss
s z
nc fe ro
ok
F he e n ra
rin ati
P3 tr il io c
J3 ro w ss es
J at
op w
pe co se rie
A Dis Fa ect ete
te ro v
ia sa g
r
1 P3 det f d
s
a
P3 A of ss o
A
A
P3 b
e
es cc
at
on Ju 1
1
e f
cc Su
D ge
ct
3
o
Po
d
Su P1
N
s
J2 Ju
o
et
o
J2 2
5
A
3
A 21
P3
J4
D
J3 A
4
2
A
J
2
A
A
P2
A
A
On the other hand, the feature of cargo vessels is described as follows: At the earlier phases of
situation A, the ratio of failure of detection remains 44%. The cumulated ratio of mis-detection
and insufficient watch at the phase of crossing situation is 71%. At the phase of perilous
condition, 34% of cargo vessels dont take any avoidance actions due to their optimistic
expectation of fishing vessels avoidance even though they recognized the peril of collision.
Figure 3 Result of Event Tree Analysis for collision accident between fishing vessel and
cargo vessel (217 cases)
The following significant point is emphasized that 68% of fishing vessels dont take any
avoidance actions at the phase of crisis condition of collision, while 60% of cargo vessels take
actions. This result indicates that the success of detection, continuous watch and proper
judgment to take avoidance actions is key to reduce the collision accidents.
Event tree is developed as shown in Figure 3. Four events Detection of opponent vessel,
Watch keeping, Judgement of peril of collision and Avoidance operation are top events of
each bifurcation. The time sequence of event tree is expressed by four situations from A to D as
shown in Table 2. In this figure, the number of cases obtained from the constructed marine
database is indicated at each bifurcation for fishing vessel and cargo vessel with their ratio.
The developed event tree shows patterns of collision accidents. The most frequent pattern each
for fishing vessel and cargo vessel is the sequence number S16, where detection of opponent
vessel at early stage is failed and subsequent judgment/avoidance actions are not taken. In this
pattern, the fail of detection leads the accidents. The most frequent pattern for cargo vessel is
S2, where failure of avoidance action leads the accidents, because watch is not kept and
subsequent recognition and actions are not taken while the detection is succeeded. Event tree
also indicates the pattern and tendency of accidents focused on variation human factors.
Crossing shituation
Ship traffics
50
Ship traffics
20 120
Sea zone B
40 100
Sea zone A
15 80
30
10 Sea zone B 60
20
40
5 Sea zone A 10 20
Sea zone C
0 0 0
0-1
1-2
2-3
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9
9-10
0-1
1-2
2-3
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9
10-11
11-12
12-13
13-14
14-15
15-16
16-17
17-18
18-19
19-20
20-21
21-22
22-23
23-24
9-10
10-11
11-12
12-13
13-14
14-15
15-16
16-17
17-18
18-19
19-20
20-21
21-22
22-23
23-24
Figure 4 shows the calculation set up to extract the crossing situation between both ships
navigation track data. The collision point is expected by both ships navigation track data at first,
and when the estimated collision point on the course line cant be cleared within ship length
which is longer in both ships, the crossing situation is detected. In this way, all situations for
every plot data such as crossing and avoiding during navigation in this data is calculated to
extract all crossing situations.
When the calculation is applied to Kanmon sea area, main tree zone of this sea area is defined
through considering the geographical characteristics of each zone as illustrated as Figure 5.
Figure 6(a) shows the hourly total of ship traffics as analytical result of navigation track data,
higher ship traffic condition appears around from 6 to 9 oclock and from 11 to 16 oclock. And
Figure 6(b) shows the hourly total of incidence of crossing situation, higher ship traffic condition
also appears around same time range in the case of ship traffic.
Table 1 shows the results of trial calculations of the probabilities of collision accidents each of
fishing vessels and cargo vessels based on the traffic volume and the number of crossing
situations. The crossing situation is simulated with the calculated collision point with the
interpolated points at every one minute from the traffic data. The occurrence probability of
collision accidents of fishing vessels based on the traffic volume is 5.3 times higher than the one
of cargo vessel. The probability based on the number of crossing situation is 1.7 times for
fishing vessels and 9.2 times for cargo vessels higher than the one based on the traffic volume,
which describes that the risk of collision is much increased once the crossing situation exists.
5. Evaluation of RCOs
5.1 Generation of RCOs and Evaluation of their Efficiency
Risk control options (RCOs) to prevent collision accidents are generated from the results of
database analysis, collision course analysis and event tree analysis, which show that more than
half of the accidents are occurred due to mis-detection, From this result, the measures against
mis-detection are proposed; 1) Improved radar reflector, 2) Installation of bright instrument to
improve the visibility at night, 3) Installation of approach warning system and 4) Installation of
scaled-down AIS onboard fishing vessels. The efficiencies of each RCO are estimated by the
calculations of probabilities with the risk reduction rate as impact of the total number of
accidents. The results show the highest efficiency against the risk reduction on RCO 4
Installation of scaled-down AIS as shown in Table 2.
According to the results of survey, the highest average value of WTP is 13,782JPY per year and
the average duration of WTP is 9.63 years. So fishermen will be available to shoulder the cost
to reduce the collision accidents up to the total amount of 132,652JPY. This amount is, however,
less than the price of scaled-down AIS of 300,000 to 500,000JPY. The cost of measures for
safety will need to be considered this amount.
6. Conclusion
This paper proposes the methodology of risk assessment based on the flow of FSA in guideline
of IMO. And the effectiveness of developed methodology is confirmed through applying for the
collision accidents between fishing vessels and cargo vessels which are related human factors.
Some major effectiveness are described as follows; 1) Variation Tree Analysis effects to define
items of marine casualty database on human factors. 2) ETA based on database is clear to
grasp features of collision accidents and is reliable to analyze human factors. 3) Estimation of
probabilities of collision accidents based on database analysis and its application for an
evaluation of RCOs might be practical for development of new instruments and new regulations.
4) Application of CVM for cost benefit assessment is useful to survey a willing of stakeholder to
pay.
References
International Maritime Organization (2007): MSC 83/INF.2
Kyushu Regional Development Bureau of Ports and Harbour Bureau of Ministry of Land,
Infrastructure, Transport and Tourism at Kanmon Channel(2006): Report of investigation
into the actual condition of ship traffic around Kanmon Channel 2006
Shinoda T. et al.(2010): Assessment of Improvement for Risk of Collision Accidents using CVM
-Application to Collision Accidents between Fishing Vessels and Cargo Vessels-,
Conference Proceedings of The Japan Society of Naval Architects and Ocean
Engineers, Vol.11, pp.113-114
Tamura Y. and Shinoda T. (2009): Proceedings of the International Society of Offshore and
Polar Engineers 2009, Osaka, pp.641-648
Tamura Y. and Shinoda T.(2010): Conference proceedings of the Japan Society of Naval
Architects and Ocean Engineers Vol.10, pp.377-378
Marine Accident Inquiry Association; Data of Marine Accident Inquiry,
http://www.mlit.go.jp/jmat/saiketsu/saiketsu_kako/tokyou/tksaiketsu.htm
Abstract
On public transportation sector such as ferries, evac plan and emergency prochedure are expected to reduce or
eliminate the risk of casualties and financial loss. Beside the Geometry and passenger aspects, another variables such
as; the wirdth of the evacuation lane, the crowd, velocity, the flow of people, the current and transition time are the
important variables in order to arrange the emergency response time and total time needed for evacuation. The
following research is to estimate the evacuation time available for the passenger ship of ro-ro KMP Merak routes Bajoe
Kalaka with the IMO: MSC Circ 1238 SOLAS Consolidated Edition 2009 regulation methods. Based on the
arrangement, the escape route has 2 main vertical zones; we obtain the emergency response was about 5 minutes at
day time, by the total evacuation time about 27,01 minutes, thus its still fullfilled the tolerance boundaries E + L 30
minutes.
Keywprds: safety, ferry ro-ro, evacuation prochedure, emergency respone time, evacuations time
.
1. Pendahuluan
Kapal ferry merupakan salah satu jenis kapal laut yang cukup digunakan sebagai sarana
transportasi angkutan laut. Saat ini cukup banyak kapal yang mengalami keadaan darurat di
laut. Berdasarkan Resolusi IMO No.A 741 18 tahun 1993 tentang ISM Code, keadaan
darurat yang ada di kapal antara lain kebakaran, kebocoran lambung kapal, kerusakan mesin
induk, orang jatuh ke laut, meninggalkan kapal, tumpahan minyak, kandas, kerusakan mesin
kemudi, pertolongan orang cedera dari cuaca buruk.
Dalam hal terjadi kondisi darurat kebakaran, perlu dilakukan proses evakuasi penumpang yang
ada di kapal. Pada dasarnya proses evakuasi adalah proses pemindahan manusia, penumpang,
atau jiwa dari tempat yang mengandung bahaya menuju tempat yang aman dalam hal ini yaitu
dari tempat awal mereka berada di geladak penumpang menuju tempat pengumpulan di
geladak embarkasi.
Bentuk bentuk muatan yang bisa diangkut dengan kapal ferry adalah (Nasution, 1996) :
1. Bisa bergerak sendiri, misalnya mobil.
2. Barang barang di atas truk dan penumpang dalam bus.
3. Barang barang di atas roll plate.
4. Kontainer di atas chassis.
5. Penumpang yang bergerak sendiri.
3. Prosedur Evakuasi
Prosedur evakuasi merupakan suatu tata cara yang harus dilakukan ketika menemui keadaan
bahaya dan melakukan proses pengungsian dari tempat terjadinya bahaya ke tempat
perlindungan yang aman. Ship Evacuation Plan (SEP) yang baik harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Dapat dengan mudah diatur dengan definisi kelompok evakuasi yang jelas dan jadwal
perjalanan.
2. Menghitung dengan tingkat reabilitas yang memadai waktu tiba hingga tempat
6. Standar Kinerja
Standar kinerja harus memenuhi:
Dimana:
1. Untuk kapal ro-ro penumpang, n = 60, dan
2. Untuk kapal penumpang selain kapal ro-ro penumpang, n = 80, jika kapal tersebut
memiliki lebih dari tiga zona vertikal utama.
1. Waktu tanggap (A) = 10 menit pada kasus malam hari dan 5 menit pada kasus
siang hari.
2. Waktu perjalanan (T) dihitung seperti dalam Panduan.
3. Waktu Embarkasi (E) dan Waktu Launching (L) maksimum 30 menit sesuai dengan
regulasi SOLAS III/21.1.4.
4. Waktu kemacetan = 1/3 (E + L).
5. Nilai-nilai n (menit) sesuai dengan regulasi SOLAS III/21.1.4.
Tabel 4. Nilai arus orang spesifik dan kecepatan orang sebagai fungsi dari kepadatan orang
Kepadatan Orang D Arus Orang Spesifik Fs Kecepatan Orang
Jenis Fasilitas
(p/m2) (p/(ms)) S (m/s)
0,0 0 1,2
0,5 0,65 1,2
Koridor 1,9 1,3 0,67
3,2 0,65 0,20
3,5 0,32 0,10
7. Metode Penelitian
Langkah-langkah analisa data meliputi:
1. Pengumpulan data Ukuran Utama kapal, General Arrangement dan Lay Out Safety Plan
KMP. Merak milik PT. ASDP Indonesia Ferry yang beroperasi pada trayek Bajoe Kolaka.
2. Mengidentifikasi skema jalur evakuasi sesuai Standar Operational Prosedur (SOP) KMP.
Merak.
3. Menghitung waktu yang dibutuhkan penumpang untuk menuju muster station
berdasarkan Standar Operational Prosedur (SOP) kapal dalam keadaan darurat. Jika
sudah memperoleh hasil, langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan standar
waktu yang diperkenankan oleh Marine Safety Committee (MSC)/Circ. 1238, SOLAS
Consolidated Edition 2009.
Waktu simulasi yang dicatat adalah mulai dari awal rute evakuasi setiap dek (car deck dan
passenger deck), sampai tiba di muster station. Untuk perhitungan empiris, digunakan waktu
rata rata simulai evakuasi tiap dek.
9. Kesimpulan
1. Waktu tanggap darurat adalah 5 menit untuk situasi darurat pada siang hari sesuai
dengan sijil darurat kebakaran KMP. Merak.
2. Waktu evakuasi total penumpang KMP. Merak adalah 27,01 menit. Menurut regulasi
SOLAS (MSC)/Circ. 1238, waktu evakuasi KMP. Merak masih masuk dalam toleransi
keselamatan E + L 30 menit.
3. Dalam penelitian tugas akhir ini digunakan kapal penumpang ro-ro dengan 2 main
vertical zone, berdasarkan regulasi di atas maka total waktu evakuasi keseluruhan tidak
boleh lebih dari 60 menit. Dari keseluruhan simulasi yang telah dilakukan didapatkan
waktu total evakuasi kurang dari 60 menit sehingga rute evakuasi yang digunakan
dalam kapal ini memenuhi peraturan tersebut.
References
IMO SOLAS Consolidated Edition. (2009). Chapter II-2: Construction - Fire Protection,
Detection, Extinction. London
IMO SOLAS Consolidated Edition. (2009). Chapter III: Life-saving Appliances and
Arrangements. London
IMO SOLAS Consolidated Edition MSC/Circ.1238. (2007). Guidelines for a Simplified
Evacuation Analysis for New and Existing Passenger Ships. London.
Irmawati dan Nurqalbi. (2003). Studi Kasus Pengaruh Penambahan Panjang Kapal Terhadap
Abstract
Statistical data of National Transportation and Safety Committee ( NTSC) shows that, fire hazard on ship still became
the main cause of accident, and frequently occurred in Indonesian voyage service industries. Preliminary Hazard
Analysis ( PHA ) is one way to identify risk of fire hazard on ship. Trough fire simulation with Pyrosim (fire dynamic
simulator software), and evacuation simulation using scenario those developed with Pathfinder, we can evaluate various
kind of local fire-fighting devices ( watermist,Co2,Drencher,Sprinkler, and foam ) which applied in passenger ship to the
risk of fire hazard on the ship. The results of the analysis are expected to be recommendation in the developing of
safety fire plan, the selection of fire suppression system, and pre fire plan management on for existing passenger
vessels and new-built vessels in the future. Watermist is one of five kinds local fire-fighting that being chosen as the
best fire-fighting device which have ability as smoke scrubber and thermal cooler in the space that on fire.
Keywords : local fire fighting, Evacuation, fire accident, hazard identification, pyrosim, pathfinder, F-N curve.
1. Pendahuluan
Data statistik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) selama ini ternyata
menunjukkan bahwasannya, kebakaran pada kapal masih menjadi penyebab kecelakaan yang
paling utama dan paling sering terjadi di industri jasa pelayaran Indonesia, kondisi tersebut
menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap standar keselamatan di kapal kapal yang masih
menjadi cakupan organisasi maritim Indonesia, terutama dalam hal ini standar untuk
penanggulangan kebakaran di kapal. Kita mengenal yang disebut International Maritime
Organization (IMO), organisasi internasional yang dikenal luas sebagai pemecah persoalan dan
juga sebagai pengawas untuk segala jenis industri kemaritiman di dunia, ternyata masih belum
mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, meskipun banyak upaya telah dilakukan,
seperti pengembangan regulasiregulasi dan standarisasi peralatan keselamatan di kapal,
sesuai dengan yang tercantum dalam Safety of Life At Sea (SOLAS) dan regulasi lainnya.
Berdasarkan hasil analisa, terjadinya kecelakaan kapal berupa kebakaran ini seringkali dialami
pada kapalkapal penumpang, posisi kebakaran itu sendiri sangat beragam, mulai dari deck
kendaraan hingga deck penumpang, sementara pada deck kamar mesin sangat jarang dijumpai.
Tidak disiplinnya penumpang dan kelalaian awak kapal sering dianggap sebagai penyebab
terjadinya be`ncana kebakaran di kapal, namun tidak dapat dikatakan semerta-merta demikian,
berbagai faktor juga sangat berpengaruh dalam kejadian kebakaran di kapal, seperti halnya
desain kapal, manajemen evakuasi, resposibilitas awak kapal, dan ketersediaan alat pemadam
kebakaran yang memadai. Faktorfaktor tersebut di atas sangat penting untuk diperhatikan
mengingat kebakaran pada kapal berpotensi untuk menimbulkan banyak korban.
Pada dasarnya pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi resiko bahaya
kebakaran di kapal, lalu mengevaluasi berbagai macam alat pemadaman lokal yang
diaplikasikan pada kapal penumpang terhadap resiko kebakaran di kapal tersebut. Hasil dari
makalah ini sangat diharapkan untuk dapat menjadi rekomendasi dalam pembuatan safety fire
plan, pemilihan fire supression system dan pre fire plan management untuk kapalkapal yang
sudah ada maupun kapal kapal yang akan dibangun di masa depan. Analisa fire risk
assasment dalam makalah ini meliputi evaluasi resiko, bahaya kebakaran, identifikasi posisi
manusia saat berlangsungnya kebakaran, persiapan terhadap kejadian daruran dan
pemeriksaan yang berkelanjutan. Harapan penulis dengan adanya makalah ini dapat
memberikan gambaran tentang suatu konsep pencegahan kebakaran berikut metode
penanggulangan yang paling tepat diperoleh melalui pendekatan teknis sehingga di masa yang
akan datang bahaya kebakaran dapat dicegah dan diminimalkan, sehingga dapat mengurangi
terjadinya korban jiwa.
Dalam penelitian ini objek yang dianalisa adalah rancangan kapal milik Dharma Lautan Utama,
2. Uraian Penelitian
2.1 Pemadam Kebakaran Lokal
Local fire suppression system atau sering juga disebut sebagai fixed fire fighting merupakan
sistem proteksi terhadap kebakaran untuk tempat tempat tertentu yang ada pada kapal,
disebut local karena sistem tersebut memang di desain untuk mengatasi api di ruangan atau
area itu saja , misal jika di kapal ada sprinkle untuk akomodasi dan car deck sementara CO 2 di
area kamar mesin. Beberapa jenis local fire suppression system antara lain adalah CO2, foam,
sprinkle, drencher, dan Water-mist. Local fire fighting berdasarkan jenis operasionalnya ada
dua macam yaitu aktif dan pasif, aktif jika sistem untuk pemadam kebakaran tersebut tidak
memerlukan intervensi dari manusia untuk mengendalikannya, hal itu didukung oleh adanya
detektor asap dan detektor panas, sedangkan pasif jika harus dikontrol oleh manusia dalam
pengoprasiannya, namun demikian kebanyakan local fire fighting yang ada saat ini
menggunakan sistem aktif [10].
CO2 fire suppression sistem pada dasarnya ditujukan untuk ruangan-ruangan tertutup dimana
pada ruangan tersebut terdapat bahan bahan yang mudah terbakar, seperti minyak, bahan
bakar dan cat, ruangan dengan alat alat elektronik vital pada kapal juga mengaplikasikan
penggunaan karbon dioksida sebagai proteksi terhadap kebakaran hal ini karena janis local fire
fighting yang lain dapat merusak perangkat elektronik tersebut. Kelebihan CO 2 antara lain
bersifat inert sehingga tidak dapat bereaksi, mampu melumpuhkan api dengan mendorong
oksigen keluar tanpa merusak peralaran, dan sangat efektif untuk melumpuhkan api yang
membakar minyak atau zat kimia mudah terbakar. Kekurangan dari penggunaan CO 2 adalah,
sifatnya beracun, merusak lingkungan, perlu penyimpanan khusus, dan tidak aplikatif untuk
ruanganruangan terbuka.
Sprinkler dan drencher merupakan bentuk local fire fighting yang berfungsi menyemprotkan air
dalam jumlah besar kedalam ruangan yang terbakar di kapal, dengan demikian api akan padam
oleh air. Kelebihan sprinkle terletak pada aplikasinya yang mudah dan murah, namun sprinkle
tidak dapat diaplikasikan pada ruangan dengan banyak peralatan listrik maupun pada
kebakaran karena zat kimia atau minyak mudah terbakar, selain itu sprinkle menghasilkan
genangan air yang dapat mengganggu stabilitas kapal.
Local fire fighting berbentuk foam atau busa, di kapal ada dua macam yaitu dry foam dan wet
foam, dry foam jika untuk berfungsi terlebih dahulu harus dicampur dengan air laut pada foam
generator, kemudian disemprotkan di area yang terbakar. Wet foam jika berbentuk cairan
dalam tabung tabung penyimpanan kemudian dapat seketika disemprotkan ketika alarm
tanda kebakaran aktif, melalui suatu mekenisme tertentu yang ada pada peralatan pemadam
kebakaran lokal tersebut. Foam tidak dapat digunakan pada ruangan dengan peralatan listrik
karena dapat menimbulkan kerusakan.
Water-mist merupakan bentuk local fire fighting yang barubaru ini cukup populer, walaupun
sebenarnya Water-mist telah cukup lama ditemukan namun baru diperkenalkan kembali pada
tahun 2001 [8] dan menjadi populer belakangan ini sebagai proteksi terhadap kebakaran,
bahkan kini mulai populer untuk diaplikasikan sebagai local fire fighting pada kapal, tidak hanya
Hazard identification meliputi sumber nyala api, bahan bakar, dan proses terjadinya kebakaran.
People at risk bertujuan untuk mengidentifikasi posisi manusia atau penumpang yang mungkin
beresiko terkena dampak dari bahaya kebakaran. Evaluate & act bertujuan untuk mengetahui
sebab sebab terjadinya kebakaran, selain itu juga mengevaluasi apakah safety & fire plan
yang sudah ada telah memenuhi standard. Selanjutnya hasil dari fire risk assesment ini harus
selalu direview, karena perubahan regulasi pada tahuntahun berikutnya bisa mempengaruhi
hasil dari risk assesment.
Risk Assesment dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dengan melakukan
Preliminary hazard Analysis dengan mengembangkan Skenario terjadinya kebakaran,
frequency indeks dari data history, severity indeks, hingga indeks resikonya dengan mengacu
pada standar tertentu. Cara lain dalam melakukan risk assesment adalah dengan
memformulakan risk indeks (1) dengan mengkombinasikannya bersamaan hasil simulasi yang
telah dilakukan, nantinya akan didapatkan grafik yang bisa dibandingkan seperti dibawah ini [3].
2.3 Simulasi
Untuk mengetahui lokasi mana yang akan menjadi titik awal kebakaran maka dilakukanlah
PHA, dengan demikian dapat membatasi jumlah simulasi karena diketahui titiktitik yang rawan
terjadi kebakaran. Bentuk PHA prequisites ini didasarkan pada sebuah penelitian sebelumnya
[1]. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat Frekuensi indeks dan severity indeks,
yang mana pembuatan kedua hal tersebut berdsarkan IMO MSC.Circ 1023, sesuai dengan
yang dijelaskan melalui hasil ( Tabel 1).
Dalam penelitian ini ada dua permodelan yang harus dijalankan untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan, dua permodelan itu adalah permodelan proses terjadinya kebakaran, dan
permodelan proses evakuasi di kapal. Kedua permodelan yang dibutuhkan dalam penelitian ini
membutuhkan dua macam software yang berbeda. Untuk membuat sebuah simulasi kebakaran
digunakanlah FDS 5 sebuah freeware dari National Institute of Science and Technology [4]
hasil
Skenario Kemungkinan
sumber api
kebakaran konsekuensi
FI SI RI
Terjadi kebakaran
yang diinisiasi
karena furniture dan
Api timbul akibat tidak fasilitas yang ada di
Dek
disiplinnya penumpang dek penumpang 1 2 3
Penumpang
yang merokok terbakar dan
merambat ke
kompartmen kapal
lain
(1)
(2)
Pada saat kita harus memodelkan evakuasi menggunakan software pathfinder, digunakanlah
skenario sesuai dengan yang disyaratkan pada MSC Circ 1.1238 untuk mengetahui sejauh
mana proses evakuasi yang akan terjadi, dan berapa lama waktu evakuasi. mencari response
(3)
(4)
Skenario evakuasi dibuat berdasarkan guidance IMO MSC.Circ 1238 yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya tentang Simulasi Evakuasi . Pada simulasi evakuasi response time yang
digunakan adalah berdasarkan persamaan dan persamaan . Sedangkan waktu untuk skenario
evakuasi ada dua yaitu siang hari dan malam hari, perbedaan waktu skenario akan
berpengaruh significan terhadap persebaran manusia di kapal saat proses evakuasi
berlangsung.
Skenario evakuasi dibuat berdasarkan guidance IMO MSC.Circ 1238 yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya tentang Simulasi Evakuasi. Pada simulasi evakuasi response time yang
digunakan adalah berdasarkan persamaan siang hari ( 3 ) dan persamaan malam hari ( 4 ).
Sedangkan waktu untuk skenario evakuasi ada dua yaitu siang hari dan malam hari, perbedaan
waktu skenario akan berpengaruh significan terhadap persebaran manusia di kapal saat proses
evakuasi berlangsung.
Jumlah penumpang dan awak yang digunakan mengacu pada data muatan kapal KM.Kirana II
dimana data yang digunakan merupakan data dari Operasional PT.Dharma Lautan Utama per
17 November 2011, hal tersebut dikarenakan selama kapal beroprasi hingga April 2012 pada
tanggal tersebut merupakan tanggal dimana jumlah muatan dan penumpangnya diidentifikasi
merupakan kondisi yang paling banyak hal tersebut berdasarkan apa yang disampaikan oleh
operator PT.Dharma Lautan Utama kepada penulis.
Skenario Kebakaran didapatkan dari hasil Preliminary Hazard Analysis (Tabel 1). Karena dari
hasil tersebut didapatkan Engine Room, dan Car Deck sebagai lokasi dengan resiko paling
besar untuk terbakar, maka pada dua tempat itulah sumber api diinisiasi dalam simulasi. Dasar
ini lah yang akan menjadi acuan untuk keseluruhan Simulasi kebakaran.
Sedangkan model pemadam kebakaran yang merupakan obyek utama bahan analisa
merupakan lima jenis alat pemadam, di antaranya CO2, Foam, Drencher, Water-mist dan
Sprinkler untuk penempatan alat pemadaman tersebut diatur berdasarkan Class American
Beurau & Shipping.
Scenario kebakaran dibuat selama minimal 300 detik dan maksimal 1500 detik, hal ini berkaitan
dengan kemampuan hardware dalam mengolah data dan batasan simulasi. Kondisi lingkungan
o
awal di asumsikan 25 C, mengikuti daripada kondisi standar berbagai macam material dalam
udara, misal oksigen, CO2 dan kandungan gas lain di udara, dan tidak memperhatikan
hembusan angin mengingat data angin tidak diketahui, dan pada kenyataannya sering barubah-
ubah.
4. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah diantaranya :
1. Rute evakuasi pada rancangan Fire and Safety Plan Arrangement memenuhi syarat
dijadikan sebagai rute evakuasi, namun kapasitas yang tertera pada general arrangement
tidak sesuai.
2. Penggunaan pemadaman local dari kelima jenis alat itu dapat digunakan sesuai standard
an fungsinya terhadap manfaat nya sebagai alat pemadaman lokal.
3. watermist merupakan alat pemadaman yang paling baik dari kelima jenis alat pemadaman
lokal karena menggunakan media air yang tidak berbahaya dan cukup efektif.
Sebagai rekomendasi terhadap hasil analisa di atas beberapa hal yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut ini :
1. mengurangi kapasitas maksimal muatan yang tertera di desain, karena kapal ini tidak
dapat menampung 50 truk sesuai yang tertera.
2. Pada sistem evakuasi, simulasi menggunakan response time log normal, agar evakuasi
berjalan dengan baik perlu ada model pembelajaran terhadap penumpang melalui
panduan audio visual.
3. Menggunakan water mist sebagai alat pemadaman yang aman bagi lingkungan dan cukup
efektif karena dapat mengurangi kandungan asap di udara saat terjadinya kebakaran.
Sebagian besar penelitian ini dapat terlaksana berkat dukungan dari ThunderheadEngineering
dan Mr. Bryan Klein berupa ijin dan lisensi untuk program Pyrosim dan Pathfinder.
Special thanks to Mr. Bryan Klein and Thunderhead Engineering for supporting by giving
license and permission of Pyrosim and pathfinder program for six months.
References
Arfi, Abdul Aziz . 2011. Analisa Fire Risk Assesment pada kapal penumpang studi kasus
rancangan kapal fery 5000 GT milik DitJen perhubungan darat. Surabaya : FTK ITS.
Dzulvikar, A.L. 2011. Permodelan Kebakaran dan Simulasi Proses Evakuasi Penumpang
Kapal. Studi Kasus KMP Laut Teduh II. Surabaya : Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS.
Fukuchi,Nobu ; Teruyuki Imamura. 2005. Risk Assesment for Fire Safety Considering Evacuees
and Smoke Movement in Marine Fires. Fukuoka : JASNAOE.
Gizzi, Emanuelle. 2009. An Introduction to fire simulation with FDS and Smokeview. GENOVA.
Marine Safety Commite.2007. MSC.1 / Circ 1238 Guidelines for new and existing passanger
ship . London : International maritime Organization.
Mawhinney, J.R ; Tamura G.T . 1994. The effect of automatic sprinkler protection on smoke
control system . New Orleans : NRCC.
Abstract
In the emerging development of emission cutting and energy saving technology for advanced cargo handling system in
container terminal, introduction of hybrid handling equipment in recent years appears to be a potential solution. This
paper presents an analysis method of operation data for hybrid straddle carrier as a common in-yard handling
equipment in a container terminal that has been installed with regenerative power charging system which is designed to
achieve fuel efficiency and gain regenerative energy from hoisting and traveling operation. First, the operation
information database in the form of wave data is gained through electric data logging system, and then wave data is
analyzed separately for hoisting and traveling operation by combination of wave data reading software and spreadsheet.
Finally, gained result is plotted to show relation between measured parameter and the impact of modifying each
parameter to fuel efficiency and energy regeneration.
Keywords: container handling equipment, fuel efficiency, regenerative energy, operation data analysis
1. Introduction
World community faces significant environmental threat in the form of climate changes. The
th
most important system for cargo distribution in the 20 centuries; container shipping, is pushed
to follow certain regulation to perform certain standard in daily operation to meet with this
challenge although its small contribution to the total volume of emission to the atmosphere
(Maritime experts group - APEC, 2009). As a part of container shipping system, container
terminal has an interesting characteristic. It can pursue an efficiency of cargo transportation
systems as well as developing environmentally-friendly cargo transportation systems. The area
of improvement touches the container handling operation in container terminal in several ways
i.e.: improvement of berth allocation, optimization of handling operation, fleet management and
the recent updates: introduction of environmental-friendly container handling equipment.
This study is focused on the development of emission cutting and energy saving technology for
advanced cargo handling system in container terminal, with the introduction of hybrid handling
equipment. Background of the study is the need of container terminal to assess the potential
efficiency that can be gained by employing hybrid straddle carrier to replace conventional diesel
power straddle carrier in daily operation (Shinoda and Hangga, 2011). The authors conducted
further study of operation analysis in the form of fuel efficiency and energy regeneration by
motions of container handling equipment. Measurement method is then applied to real operation
of hybrid straddle carrier and gained data are analyzed by data log software and spreadsheet.
Traveling
Inverter for motor
traveling (Right side)
(Right side)
Rechargable
Battery Traveling
Inverter for
motor
traveling
(Left side)
(Left side)
The diesel electric mechanism explained as a single diesel engine that drives a single generator
to produce electric power for the induction motor that drives the straddle carrier. Control of
travelling speed of the straddle carrier wheel is carried by regulating the wheels with two motors
and two inverters. This introduction of inverter is the difference between the hybrid-type and
conventional diesel mechanical-type of straddle carrier, as depicted in Figure 1. For the purpose
of this research, a real hybrid straddle carrier that is operated in Hakata Port Terminal, Fukuoka-
Japan was chosen to be examined with the following characteristic.
One of the interesting characteristic of the examined SCs is the rechargeable battery installed in
the engine room to store the energy by regenerative charging through SCs movement. This
stored energy then can be converted into electric power for helping movement purpose of the
generator in hoisting operation. Kinds of movement that is expected to gain regenerative energy
are braking phase of travelling and lowering operation. To be sophisticate, this research is
designed to measure how the impact of travelling, hoisting and lowering movement of S/C in
providing energy by charging as well as the impact to fuel consumption.
Speed variability Lowering &
V1 = 10 km/h Adjustment to Container Stack
V2 = 20 km/h
V3 = 25 km/h Lowering
1st Hoisting
variability
2nd Hoisting L1 = 1st tier
L2 = 2nd tier
L3 = 3rd tier
A B
Figure 2 Designed movement pattern for S/Cs experiment
To capture the output of the engine, battery and generator of S/C, continuous and temporal
mesurement of voltage output from capacitor terminal during designed movement patterns was
performed. Data was recorded in a data logger of HIOKI LR8400-20 at recording speed of every
20 ms and had a voltage resolution of 0.5 mV in the 10 V range (see HIOKI product catalog for
further detail). The data logger captured various loads from different parts of the S/Cs
instrument and produced an isolated multi channel waveform based on 18 measurement list
(example of measurement items is shown in Table 1), notably: fuel consumption/fuel economy
and motor traveling speed. For measurement of fuel economy, the amount of fuel used per hour
(l/h) is measured instead of distance (l/km) since S/C will need to reach several designated
speed and run constantly for some time. Motor traveling speed, is measured in rpm (revolution
per minute) to annotates rotational speed of mechanical component of the engine crank.
The waveforms which are gained from voltage measurement which based on the movement
patterns, as exemplified in Figure 3, are then converted into real value. Recorded waveform
data for each channel that represents measurement items in Table 1 in the logger is exported to
spreadsheet into CSV (comma separated value) and then converted into real value using ACV
(average channel value) method by the means of following numerical formulation.
(1)
where:
n = total number of data items M = Max measurement range
di = data on channel number i O = Max output voltage
t = sampling period ACV = Average Channel Value
The numerical formulation is designed to obtain the integration value of the signal waveform
during a specific motion phase. When calculation of the range specified by the cursor A/B is
selected as shown in Figure 4, the calculation area is constrained to the waveform between the
cursors. After integration of the shaded portions, the value is divided by total number of data.
Finally, the average value of integration is multiplied by convertion rate (M/O) to get the real
value of output for each measurement item.
6.00
4.00
2.00
-
20 40 60 80 100 120 140 160
-2.00
Battery
Fuel Cons.
-4.00
Traveling Motor Speed
Generator Engine Speed
-6.00
Time (s)
4. Data Analysis
4.1. Hoisting Analysis
The hoisting analysis of operational data depicted the correlation between lifting speed and fuel
consumption as well as to battery usage/charging by combining real value that is gained in each
phase of hoisting/lowering, with variability in hoisting speed and stacking position of container
as depicted in Figure 2.
Positive axis of Figure 5 shows that there are significance increase of fuel consumption for
every marginal increase of lifting speed during hoisting operation on high rpm. A significance
battery power utilization also recorded on the same stake. Relievingly, lowering operation used
very less energy consumption, as shown on the negative axis of Figure 5(a), and in addition
gained significance regenerative energy for every marginal increase of lowering speed as
shown in negative axis of Figure 5(b). The shape of both figure show strong correlation between
lifting speed and normal performance parameter of fuel consumption and alternate performance
parameter of battery utilization. Conclusive explanation of this phenomena is that some energy
are regenerated when lowering a container, and this energy is stored in the lithium ion
rechargable battery that can be reuses to assist the engine later on for other operation.
9.00 20
Hoisting
Battery Usage(-)/Charge (+) (A)
8.00 15
Lowering
7.00 10
6.00
Fuel Cons (l/h)
5
5.00
0
4.00 -300 -200 -100 0 100 200
-5
3.00
Lowering -10
2.00
First Hoisting
1.00 -15
Second Hoisting
0.00 -20
-250 -150 -50 50 150 250 350 450 550 650
Lifting Speed (rpm) Lifting Speed (rpm)
(a) Dependance of lifting speed and (b) Dependance of lifting speed and
fuel consumption fuel consumption
9.00
8.00
7.00
Starting_Exp_2_Load
Fuel Cons (L/h)
6.00 Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
5.00 Starting_Exp_1
Cruising_Exp_1
4.00
Braking_Exp_1
3.00 Starting_Exp_2_No_Load
Cruising_Exp_2_No_Load
2.00 Braking_Exp_2_No_Load
1.00
0.00
100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Travelling Motor Speed (RPM)
10.00
Starting_Exp_2_Load
5.00 Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
Starting_Exp_1
0.00
Cruising_Exp_1
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
Braking_Exp_1
Starting_Exp_2_No_Load
-5.00
Cruising_Exp_2_No_Load
Braking_Exp_2_No_Load
-10.00
-15.00
Travelling Motor Speed (RPM)
Figure 7 Dependence of traveling speed and battery usage (-)/charging (+)
Figure 6 shows the dependence of traveling motor speed of S/C main engine and fuel
consumption for each phase. Significance increases in fuel consumption (l/h) is recorded during
starting phase varied with motor traveling speed (rpm) because the engine require higher
energy for transmission to accelerate until reach the designated travel speed. Cruising phase
also show similar trends even though S/C travel in relatively constant speed and acceleration.
The reason lies in the throttle opening angle. To maintain constant speed, S/Cs driver
conducted push-pull activity of the throttle, thus increase the consumption of energy.
Nevertheless, braking phase shows constant energy consumption during S/C deacceleration
throttle is seldomly pushed. Finally, the appearance/non appearance of container load for all
traveling phases shows slight difference to the increase of fuel consumption. Noted that
constant weight of loaded container was used for all the experiments.
Figure 7 shows the dependence of traveling motor speed and battery usage/charging. Starting
phase consume energy from generators battery, and during braking phase, left over of the
Surprisingly, cruising phase also gained regenerative energy that is saved in the storage battery.
The hyphothesis is that, while S/Cs driver conducted push-pull activity to maintain speed, S/C
perform a slight horizontal vibration every second, and the load was perform a vertical vibration.
These vibrations might be the reason for gaining of regenerative energy during cruising phase.
Further experiments need to be conducted specifically to assess the possibility of motions that
leads to regenerative charging.
Finally, Figure 8 show the correlation of battery utilization/charge to the S/C fuel consumption.
The analysis resulted in a potential dependency between battery utilization/charging to the
increase/decrease of fuel consumption during each traveling phase. Additional result that
appeared in this research is that braking activity during braking phase shows less correlation to
regenerative energy charging as different braking treatment were conducted by S/C, notably
early braking and late braking. Further experiments sophisticated for braking operation is
planned to be conducted to see the effect of braking to gain regenerative energy.
15.00
10.00
Battery Usage (-)/ Charging (+)
Starting_Exp_2_Load
5.00
Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
Starting_Exp_1
0.00 Cruising_Exp_1
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00
Braking_Exp_1
Starting_Exp_2_No_Load
-5.00 Cruising_Exp_2_No_Load
Braking_Exp_2_No_Load
-10.00
-15.00
Fuel Consumption (l/h))
5. Conclusion
This study proposes methodology to assess and measure the efficiency of hybrid straddle
carrier (Hybrid S/C) in the form of fuel consumption and gained regenerative energy by motions.
Combination of data logging instrument, logger utility software and spreadsheet is used to
capture and analyse the movement pattern that is designed originally. This preliminary research
shows that the gained data is reliable to be analysed. The analysis result shows the potential of
improvement in operation technique and method of hybrid straddle carrier to optimize its
specific characteristic of environmental-friendly machine. It also shows that the regenerative
energy can be gained by specific motions of hybrid S/C during traveling and hoisting/lowering
Future Remarks
In the future, the authors would like to perform more sophisticated traveling analysis for cruising
and braking phase to measure the impact to gained regenerative energy and also perform
comparative operational analysis between conventional diesel mechanical straddle carrier and
hybrid (diesel electric) straddle carrier in real operation at container terminal.
Acknowledgments
The authors would like to express their gratitude to Hakata Port Terminal Co.Ltd and TCM
Corporation for providing permission and help to conduct movement experiments of Hybrid
Straddle Carrier in Hakata Container Terminal during February-July 2012.
References
Hakata port Terminal Co., Ltd. (2011): Hakata Port Eco Challenge.
Maritime experts group - APEC (2009): Sharing Best-Practices in Reducing Greenhouse Gas
nd
Emissions at Ports Final Report, 32 Transportation working group meeting, Asia-
Pasific Economic Cooperation (APEC). Available at URL:
www.fmc.gov/userfiles/pages/file/GHGBestPractices.pdf
TCM Corporation Product catalog, S3E Diesel electric straddle carrier, Available at URL:
http://www.tcmglobal.net
HIOKI Product catalog, MEMORY HiLOGGER LR8400-20 series, Available at URL:
http://www.hioki.com/product/lr84000102/index.html
Shinoda, T., Hangga, P. (2011): Study on the functional design of container terminal based on
the analysis of operational database, Proceeding of Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
Teknologi Kelautan (SENTA) 2011, vol. I, pp. 46-53.
Abstract
The container transportation and containerization for the material movement has been increasing rapidly and spreading
globaly in recent years. Port congestion for marine container terminal has become increasingly severe. Under these
circumstances, the efficient container terminal with high performance is required to satisfy the needs of customers such
as cargo owner and shipping company. The purpose of this paper is to evaluate functional assessment of efficient
container terminal and to consider for higher performance of container terminal. In the first step, the container handling
database is constructed by analysis of the daily work report of practical container terminal. And the container operating
process information is extracted through the constructed database. In the second step, the formulae of skill factor of
operator including a driving speed and some troubles of transfer crane is defined, and this skill factor is calculated by
comparison of operation time of constructed database and defined standard operation time. Finally, a Petri-network
model of container handling is developped for estimation of performance of container throughput.
Keywords: Container throughput, Skill factor of driver, Container handling simulation, Petri-network, Functional
assessment.
1. Introduction
Container transportation and containerization for the material movement has been increasing
rapidly and spreading globaly in recent years, forcing container terminals to provide efficient
service in high performance. Container terminal is the important connecting point between sea
and land, where container is interchanged to next destination by different transportation such as
inter-modal ships, chassis from outside and trains after customs clearance and some storage
time. There are various configuration of container terminal that depends on major flow of
container throughput and functional terminal design.
As more cargo to be handled, port congestion for marine container terminal has become
increasingly severe. Under these circumstances adequate terminal facilities and efficient
container operation service is needed. The purpose of this paper is to evaluate functional
assessment of efficient container terminal and to consider for higher performance of container
terminal by analysis of operation database. The container handling database is constructed by
analysis of work report of practical container terminal. And the container operation process
information on container handling equipments in container terminal is extracted by this
constructed database and then an operators skill factor of transfer crane is estimated by this
extracted process information. Furthermore, a container handling simulation model applied by
Petri-network model is proposed and simulation of container delivery operation is tried as a
practical application of this model.
This research was conducted in one of main container terminal Port of Hakata; Hakata Island
City Container Terminal (HICCT) of Fukuoka in Japan. The main facilities are depth of 14m,
2
330m berth, yard area of 146,551m to store 7,296 TEU, 3 units gantry crane (G/C), and 9 units
rubber tier-mounted transfer crane (T/C). Chassis (C/Y) is used for carrying containers in and
outside the terminal. Efficiency of container throughput is related with container handling
performance of T/C, and when its performance become low due to some occasion, there would
be C/Y queue in the front of terminal gate as well as in the container yard. In order to avoid this
traffic confusion, HICCT has introduced logistic information system by internet and mobile
phone, which is called Hakata port logistic IT system (HITS). Through HITS, state of stack
container, container transfer, and camera image of circumstance around gate are informed
every time. In this paper, performance of container throughput of transfer crane to chassis from
outside is evaluated as functional assessment by analyzing daily work report of HICCT.
37 Ship to Stock I3 TRLU66***** 40 CY013 C115-4-4 C115-2-3 8:57 9:11 14 Reserved O/C
38 Receipt UGMU80***** 40 C121-1-2 C121-4-2 9:06 9:13 7 Reserved O/C
39 Rehandling EISU13***** 40 C121-1-1 TM004 9:06 9:14 8 O/C
40 Delivery NYKU60***** 40 C113-5-2 C113-4-2 9:09 9:16 7 O/C
41 Delivery TCKU94***** 40 C113-5-1 IW005 9:09 9:24 15 Reserved O/C
42 Delivery EMCU91***** 40 C121-3-2 KM009 C119-7-3 9:16 9:28 12 Reserved O/C
5 Shift-in
Code Denomination T/C No.7 3 Ship-to-stock
6 Shift-out Code Denomi- T/C No.7
2 Delivery nation
7 Rehandling 9 Moving
9 Moving
11 Temporary-in
3 Ship-to-stock
3 Ship-to-stock
1 Stock-to-ship Code Denomi- T/C No.5
nation
2 Delivery
7 Rehandling
9 Moving
5 Shift-in
Remark; Lunch break in terminal from 12:00 to 13:00 3 Ship-to-stock (Hour)
6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00
Figure 1 shows changes of operation sequence through expanding of operation code list. It
shows the operation of transfer crane in import container stack area including container delivery
operation to chassis from outside the terminal (C/O) (code number 2 in Table 1), stack operation
of unloaded container from ship (code 3), re-handling operation against the obstacle container
(code 7) and spacing operation to stack a container (code 8). The store-in and store-out
operations are separated because of priority to container handling to container ship. Only one
T/C is employed for each line in container yard to avoid interference of T/C in container delivery
operation to C/Y from outside the terminal.
Figure 2 shows the state transition of T/C operation which is defined on Markov chain model. It
is obtained by analysis of constructed database of container handling in marshaling yard of
import containers. Delivery operation has occupied 22% from total of 7,463 container handling
operation with re-handling operation occupied 55%. The re-handling operation brings in the
increase of queueing time of C/Y in container yard, and also increases traffic confusion at out
side of container terminal. Preparation of T/Cs operation such as moving of T/C between bays
and spacing operation are accounted 52%, while non operation state is amounted 5%.
Second, more detail process on container delivery operation by transfer crane in order to
analyze some improvements for container throughput in container terminal is defined, as
illustrated in Figure 3. This definition focused on flow of delivery process that consists of 5 main
processes and 10 detail steps.
The T/C movement to designated bay for pick up the target container is defined as process
After defining detail process of container delivery by transfer crane, it is easier to focus on each
steps and measuring the performance of T/C operation in serving chassis (C/Y), both for outside
chassis from outside the terminal (C/O) and yard chassis operated for inside operation of
container yard (Y/C), as defined in the list of operation code (Table 2). For third step of analysis,
performance diagram is employed as measurement tools for T/C operation.
The performance diagram of delivery operation of transfer crane shown in Figure 4 is conducted
by shop test data for checking the specification of performance. And by using this diagram, the
standard time for each process of delivery operation of transfer crane can be defined. Let i
denote the i-th process and k denote sub-processes of spreader movement such as traversing,
lowering and hoisting. Each standard process time Tsi will be defined as follow;
= , + (1)
where, Tcik is sub-process time by spreader of this transfer crane in i-th process, and this time is
calculated by distance dk between present position and target position with acceleration ak. Teik
is container adjusting time onto normal position such as positioning, locking and unlocking of
spreader in i-th process.
Because of difference in T/Cs operator/drivers skill on each handling, a good or bad influence
could affect the operation performance, and concerning Eq. (1) it is needed to consider drivers
skill as a skill factor. To do so, each i-th real process time is denoted as Tpi, skill factor of driver
of transfer crane is denoted as Fsi , trouble time that has happened in some occasion is
denoted as Tti and the following formulation is defined with in accordance to Tsi
= + (2)
Because the container handling data is provided as chunk of processes time such as cumulated
time between each process, the i-th process time Tpi cannot be extracted accurately from the
constructed. So, skill factor of T/Cs driver Fsi is forced to calculate by comparing the driving
time from constructed database with standard driving time of T/C with adjusted chunk of
processes as database.
70 Positioning
Velocity (m/min.)
23 Lower-
Traversing ing
( Tc21 ) ( Tc22) Hoisting Traversing Lowering Hoisting
24 24
20 20 Standard time
Standard time (by calculation)
Fr equency
Fr equency
16 16 Process time
Process time
12 (by database analysis) 12
8 8
4 4
0 0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Ti me (min.) Ti me (min.)
(a) Cummulated time of process 1, 2 and 3 (b) Cummulated time of process 4 and 5
Using the constructed database and mathematical formulation, the time for each process of T/C
delivery operation can be gained and validated by comparing each process time
appearance/frequency in both methods. Figure 5 shows comparison of standard time by
calculation and process time by analysis of constructed database. These two shapes of
frequency are almost same to each other and based on these graphs, the delay of operation is
known since real process time graph is mostly behind the standard times. The reason of this
delay is mainly drivers skill which did not able to reached sufficient crane performance speeds.
Some delay time has been appeared remarkably in the occasion of moving comparably long
distance between bays (Fig. 5(b)) and in the occasion of adjusting container with crane
spreader to chassis (C/Y), as shown in Fig. 5(d).
Focus only on skill factor, Figure 6 shows the difference of skill factor of driver to be taken in
average for each process using formulation Eq. 2, through comparison with performance within
a series of 10 days operations. Container adjustment skill to chassis and moving skill between
long bays give a deleterious influence to driving performance as better skill factor reduced T/Cs
operating time. It is important to shorten the container handling time by some improvement to
container throughput such as improvement of drivers driving skill and employed suitable
controlling technique for container adjustment.
Figure 8 shows the example result of the simulation with comparison to the actual T/C operation
performance. The process time due to skill factor of driver of transfer crane is used as average
time in this calculation. Because of employing average value, in the case of the chassis number
WS002, there are small differences with actual process time, but these differences are
acceptable on calculation from the view of total performance. So, this simulation model can be
used in practical for evaluation of T/C operation performances.
As a part of detail functional assessment T/C operation in HICCT, the comparison of aggregate
value of T/C working time and C/Y queue time due to T/Cs delay has provided useful
information on how the drivers skill affect the overall working time. In addition, container re-
handling operation also gave similar effect to performance of T/C.Figure 9(a) shows the
cummulative comparison of simulation result for standard working time, actual data from daily
report and calculation results, respectively for T/C operator/drivers skill factor (with and without
trouble) and forecasted working time if containers re-handle do not occur. Better skill factor
(without trouble) is expected to reduce overall working time up to 10%, and additional 10% can
be gained if containers re-handle do not occur. Figure 9(b) shows the comparison of
cummulative queue time of C/Y for the same category as Figure 9(a). Current overall operation
of T/C is already efficient, but for large T/C deployment it is more beneficial to reduce queueing
time of C/Y when receiving containers by better skill of T/Cs operator/driver.
4. Conclusion
Functional assessment of efficient container terminal is conducted by analysis of operational
data gained from daily work report. The performance of T/C is analyzed by constructed
database of container handling and detailing the process of T/Cs operation. Operational
elements defined as operator/drivers skill factor when driving and adjusting container has
confirmed to deteriorate the overall throughput through calculation of working time and
comparing a defined standard working time with actual process time of T/C delivery operation.
Furthermore, simulation by petri network model is confirmed to be demonstrated the actual
operation process appropriately and can be employed to improve efficiency especially for
operation evaluation and in planning stage to decide equipment deployment in container
terminal.
The element nij of matrix N can take a value of -1 when there is an input arc from Pi to Tj, and in
reverse, a value of 1 can be taken when there is an output arc. On the other hand, when there
are no relations between Pi and Tj, it will take a value of 0 (nul). When the token move to the
Place which has input arc to Tj, the fire condition of the transition is set. So, F will represents
fire condition matrix and its element fij can be gathered the value of -1 among the elements of N.
fij is calculated as follows;
sk+1 = sk + tm (A3)
In here, let fm is the column vector of matrix F, and the following equation will be satisfied in the
index m in the fire condition.
sk and fm = fm (A4)
References
Hakata port Terminal Co., Ltd. (2011): Hakata Port Eco Challenge.
Shinoda, T., Hangga, P. (2011): Study on the functional design of container terminal based on
the analysis of operational database, Proceeding of Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
Teknologi Kelautan (SENTA) 2011, vol. I, pp. 46-53.
Shinoda, T., Fukuchi, N., Kim, H. (2004). A Conceptual Design and Functional Assessment of
the Floating Container Terminal with High Activities, Proc 12th IMAM 2005, Lisbon, Vol 2,
pp 1475-1483.
Shinoda, T., Fukuchi, N., Takeuchi, S. (1998a). Study on Improving the Efficiency of Container
Operation and Functional Assessment of Oversea Container Terminals(Part1) A
Simulation of the Container Handling Operation, J Naval Architects of Japan, Vol 184, pp
631-641.
Shinoda, T., Fukuchi, N., et al (1998b). Study on Improving the Efficiency of Container
Operation and Functional Assessment of Overseas Container Terminals(Part2) A
Feasibility Study of Overseas Container Terminal, J Naval Architects of Japan, Vol 186,
pp 591-603.
Abstract
Madura Straits as one of the busiests straits in Indonesia posses bigger risk of collision than the other. According to
marine accident report from 2003 2008, there was 115 collision accident per year happen in Indonesia and collision
covered 15 % from total accident so that why collision risk assement is important to do. In general, risk analysis is a
function of a probability of undesirable events and consequences of danger. The probability of collision of vessels can
be analyzed by modeling the distribution of the geometry of the ship movement in the region. To gather the distribution
of the ship ovement, can take advantage of the data received by AIS receiver and stored in AIS databse. Probability
analysis on this final project using three scenarios, namely: probability analysis of the ship collided with the ship in the
anchorage conditions, probability analysis of ship to stranding and probability analysis of collision between two vessels
in head-on condition. Consequence analysis is divided into two scenarios, consequences analysis of ship grounding
and consequences analysis of ship collided with the tanker. From the analysis of the probability and consequences of
ship collisions can be determined the criteria of a risk, whether low, medium or high. The results of collision risk
assessment by used geometric probability analysis and economic consequence analysis used the approach by
Maulidiyah showed that the level of risk in Madura strait is medium.
Keywords : Automatic Identification System (AIS), Consequensce analysis ,GIS, Probabillity analysis, Risk matrix.
1. Pendahuluan
INDONESIA adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau
dan luas perairan lebih besar dari pada luas daratan. Sehingga membuat tranportasi laut
memiliki peranan penting dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Salah Salah satu
jalur pelyaran di Indonesia adalah alur pelayaran perak yang melalui selat Madura. Selat
Madura sebagai salah satu alur pelayaran terpadat di Indonesia memiliki risiko yang tinggi
terhadap tubrukan. Menurut laporan analisa kecelakaan laut 2003 2008 [1], terjadi sekitar 115
kecelakaan laut pertahun di Indonesia dan kecelakaan akibat tubrukan terjadi 15 % dari total
kecelakaan yang terjadi sehingga membuat analisa risiko akibat tubrukan ini penting dilakukan.
Menurut harian kompas regoinal, pada tahun 2005 terdapat 14.686 kapal yang melintasi selat
madura. Sementara itu pada tahun 2010 sebanyak 30.000 kapal yang melintasi alur selat
Madura. Sedangkan kondisi alur saat ini dengan lebar alur sektar 100 m pada alur pelayaran
luar, dengan kedalaman sekitas 9,5 meter dan kapasitas maksimum kapal yang boleh melalui
alur pelayaran selat Madura sekitas 27.000 kapal pertahun sehingga selat Madura memiliki
tingkat resiko yang tinggi terhadap kecelakaan. Untuk mengurangi frekuensi terjadinya tubrukan
kapal, pemerintah berencana memperdalam dan memperlebar alur pelayaran pada Selat
Madura [2].
Cara yang paling efektif untuk mengurangi risiko yang disebabkan oleh tabrakan dan grounding
adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya peristiwa tubrukan. Terbatasnya jumlah data
yang konsisten, analisis penelitian berbasis yang telah dilakukan pada langkah-langkah
pencegahan terkait dengan mengurangi probabilitas tabrakan dan landasan umumnya
menegaskan bahwa pilihan kontrol risiko di daerah ini sangat hemat biaya dibandingkan
dengan sebagian lain mengurangi risiko acuan yang diumumkan oleh otoritas maritim. Dalam
beberapa tahun terakhir, telah terjadi perkembangan yang signifikan dari sistem navigasi kapal.
Semakin banyak Sistem Lalu Lintas Kapal (VTS) yang didirikan di seluruh dunia. Sistem
Identifikasi Otomatis (AIS) telah diperkenalkan, dan sistem telah dikembangkan untuk akses
informasi AIS melalui Bantuan Radar Plotting Otomatis (ARPA). IMO telah memperkenalkan
persyaratan untuk kapal baru untuk memenuhi kriteria manuver tertentu dan tingkat yang aman
dari awak terus dibahas. Hal ini umumnya sepakat bahwa semua kegiatan tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap kemungkinan kecelakaan kapal dalam bentuk tabrakan, kontak
dan grounding.
Sampai saat ini masih banyak dijumpai estimasi kemungkinan terjadinya kecelakaan dengan
menggunakan pendekatan statistik didasarkan pada data kecelakaan yang pernah terjadi
sebelumnya. Pendekatan statistik hanya dapat menggambarkan risiko rata-rata dari sejumlah
besar kapal dan tidak mencerminkan perbedaan dalam standart teknik, kondisi lingkungan dan
kepadatan pelayaran. Dalam sebuah analisa risiko yang mendekati kenyataan seharusnya
digunakan untuk armada dan jalur pelayaran yang khusus. Hal ini membutuhkan metode
khusus yang lebih dari pendekatan statistic yang hanya didasarkan pada jumlah pelayaran yang
tampak tiap tahunnya [4].
Pembagian suatu alur pelayaran berdasarkan berbagai seksi dan tipe kecelakaan yang
mungkin terjadi merupakan langkah awal dalam perhitungan probabilitas tubrukan. Dibawah ini
pada gambar 1 merupakan contoh gambaran pembagian alur pelayaran menjadi beberapa
seksi secara sederhana. Pada gambar tersebut terbagi atas 3 seksi dan memiliki kemungkinan
tubrukan yang berbeda bergantung kondisi geografis dan kepadatan kapal pada seksi tersebut
:
( 1)
di mana P adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang tidak diinginkan (misalnya
tabrakan kapal) dan C adalah konsekuensi yang tidak diharapkan misalnya bahaya manusia,
ekonomi dan / atau lingkungan. Persamaan (1) menunjukkan bahwa risiko secara obyektif
memiliki dua komponen sama pentingnya, salah satunya probabilitas dan konsekuensi. Risiko
ini sering dihitung untuk semua, bahaya yang relevan bahaya menjadi peristiwa yang mungkin
dan kondisi yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan. Misalnya, bahaya dengan
probabilitas tinggi kejadian dan konsekuensi tinggi memiliki tingkat risiko yang tinggi, dan tingkat
risiko yang tinggi sesuai dengan keamanan tingkat rendah untuk sistem yang sedang
dipertimbangkan. Hal sebaliknya akan menjadi kasus bahaya dengan probabilitas rendah dan
konsekuensi rendah. Keselamatan ini dievaluasi dengan menjumlahkan seluruh risiko yang
relevan untuk sistem tertentu [4].
(2)
(3)
Dimana :
P1 biasa disebut dengan geomatric collision probability dimana apabila ada suatu kapal niaga
yang berlayar pada suatu alur pelayaran dengan tujuan tertentu maka lokasi kapal pada alur
diasumsikan terdistribusi normal. Berikut ini adalah persamaan dalam menghitung P 1 :
(4)
Dimana :
D adalah diameter tubrukan,
adalah standar deviasi pada alur
x adalah jarak dari tengah alur menuju kapal standby, dalam hal ini adalah penjumlahan dari
alur dengan lebar kapal standby.
P2 adalah kemungkinan kapal kehilangan kendali akibat kegagalan pada proses navigasi kapal.
Penyebabnya adalah ketidakhadirnya perwira yang bertugas berjaga di anjungan karena
terganggu oleh aktivitas lain seperti tertidur, celaka, atau mabuk.
(5)
Dimana :
B1 : Lebar dari kapal 1 (m)
V1 : Kecepatan Kapal 1 (knots)
B2 : Lebar dari kapal 2 (m)
V2 : Kecepatan Kapal 2 (knots)
Nm : Frekuensi kedatangan kapal yang berpapasan (ships/satuan waktu)
D : jarak relative antar kapal (nm).
(6)
Dimana :
(7)
Dimana :
M1 adalah massa kapal MV. Krasak
V1 adalah kecepatan kapal MV. Krasak
Ch adalah massa tambahan akibat pergerakan kapal
Zhang pada penelitiannya menyatakan bahwa nilai ch sebagai dasar perhitungan dapat
diperoleh pada Tabel 1 dibawah ini. Pada perhitungan ini menggunkan Ch sway = 0.6 dan sudut
tubrukan adalah 90. Selanjutnya adalah menghitung energi yang diterima oleh Segregated
Ballast Tanker (SBT) menggunakan persamaan yang dikembang oleh Zhang (1999)
Tabel 1
Koefisien Ch
Jenis Koefisien Massa Tambahan (Ch)
Gerakan Rentang nilai Rekomendasi
Surge 0.02 0.07 0.05
(8)
Selanjutnya adalah menghitung penetrasi yang timbul akibat tubrukan tersebut menggunakan
persamaan dibawah ini :
(9)
(10)
Dan perhitungan energy yang diserap oleh kapal akibat grounding tersebut dapat menggunakan
rumus dibawah ini
(11)
Nilai energy yang diserap tersebut (Et) dibandingkan dengan rumus energy yang diserap
akibat energy kinetic pada pergerakan kapal
(12)
Pada penelitian ini menggunakan model biaya yang dikembangkan oleh Maulidiyah [8]
mengenai analisa kerugian tumpahan minyak yang merupakan dampak dari kapal kandas.
Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pendekatan statistik dari biaya kerugian tumpahan
minyakyang pernah terjadi sebelumnya sehingga dapat diperoleh rumus sebagai berikut :
(13)
Dimana: x = berat tumpahan minyak (ton)
Hasil standar deviasi menggunakan persamaan dan nilai mean pada alur adalah 50 m. Maka
nilai = 36.52606582 m.
Tabel 2.
Hasil perhitungan probability scenario 1
Tanggal waktu SOG x P1 P
(m) Collision
2010-10- 22:43:33 9.9 180 1.21E- 2.42E-08
19 04
2010-10- 22:46:53 9.9 185 6.87E- 1.37E-08
20 05
2010-10- 22:53:14 10.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04
2010-10- 22:56:24 11.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04
2010-10- 23:23:04 9.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04
Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui nilai probabillity pada selat madura. Untuk dapat
menghitung jumlah kecelakaan pada selat madura dapat diperoleh dengan mengkalikan nilai
probability diatas dengan jumlah kapal yang melalui selat madura. Selanjutnya adalah mencari
criteria acceptance pada nilai probabillity apakah nilai diatas dapat diterima.
Tabel 3.
Hasil perhitungan probability scenario 2
Tanggal Waktu Pincident F
Stranding
2010-10- 05:37:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 05:41:15 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 05:47:44 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:19:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:23:54 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:34:35 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:35:25 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:36:44 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:03 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:45 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:43:03 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:53:54 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:57:54 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:02:24 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:05:34 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:08:54 6.78E-03 1.36E-06
22
Tabel 4.
Hasil perhitungan probability scenario 3
Date Time Ni Pa
2010-10-22 7:00:24 7.20E-
01 7.37E+00
2010-10-22 7:10:03 5.43E-
01 5.55E+00
2010-10-22 7:20:03 9.78E-
01 1.00E+01
Evaluasi Probabillity
Evaluasi akan dilakukan menggunakan standar DNV [6] untuk mengetahui tingkat probability
tersebut, apakah termasuk dalam katagori yang berbahaya atau masih bisa diterima. Pada
tabel dibawah ini, dapat terlihat bahwa tingkat risiko dari segi probabillity pada selat madura
masih dalam katagori 1 atau rendah. Hal ini disebabkan mengenai asumsi alur pelayaran yang
digunakan dan kondisi dari lalu lintas pelayaran pada selat madura itu sendiri yang
pemasalahan utamanya adalah kedalaman dari alur.
Tabel 5.
Hasil perhitungan estimasi kerusakan 1
Tanggal waktu Penetrasi Vs Oil Spill (ton)
10-10- 22:43:33 0.630
21 4.83 3708.39
10-10- 22:46:53 0.630
21 4.83 3708.39
10-10- 22:53:14 0.670
21 4.83 1310.49
10-10- 22:56:24 0.670
21 3.05 3941.52
10-10- 23:23:04 0.670
21 3.27 3519.64
10-10- 5:23:43 0.571
22 3.76 1614.29
10-10- 7:00:24 0.598
22 5.94 3003.43
10-10- 7:10:03 0.630
22 5.32 3313.16
10-10- 7:20:03 0.672
22 3.47 3533.59
Setelah melakukan langkah perhitungan tersebut, maka selaanjutnya adalah melakukan analisa
Pada skenario ini kapal mengalami kandas saat kapal mengalami kondisi stranding sehingga
kapal keluar dari alur pelayaran yang ada dan menyebabkan kapal kandas. Untuk skenario
ketiga ini, kriteria risiko terhadap lingkungan dapat dihitung dan tingkat risiko terhadap
lingkungan dapat diketahui. Dibawah ini adalah contoh perhitungan untuk estimasi kerusakan
yang terjadi pada saat kapal mengalami kandas sepanjang alur pelayaran selat madura.
Tabel 6.
Hasil perhitungan estimasi kerusakan 2
Tanggal Waktu Ld (m) Vs Oil Spill
(ton)
2010-10- 22:43:33 20.50156 0.64874 3409.77907
21
Berdasarkan perhitungan, muatan yang tumpah tersebut dibandingkan dengan kriteria dari DNV
maka dapat diketahui tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat tumpahan minyak tersebut.
Kategori tumpahan minyak pada perhitungan estimasi kerusakan akibat grounding pada kapal
MT Krasak terdapat pada katagori ke tiga atau medium, dimana polusi yang dihasilkan pada
katagori sedang dan minyak tersebut dapat dinetralkan di laut.
Evaluasi Risiko
Setelah melakukan analisa probabillitas dan analisa konsekuensi maka langkah selanjutnya
adalah melakukan suatu penilaian apakh risiko dapat diterima atau tidak. Berdasarkan analisa
konekuensi diatas, terdapat 2 skenario yang memiliki risk acceptance yang berbeda sehingga
memerlukan risk matrix yang berbeda pula. Berdasarkan risk matrik pada standar DNV, maka
dapat diketahui tingkat risiko di selat Madura.
Tabel 7.
Hasil rangking Konsekuensi
waktu Oil Spill Biaya ( Miliar Biaya
(ton) Rupiah) (juta Katagori
dolar)
22:43:33 3708.39 Rp1,801.88 $190.17 Major
22:46:53 3709.02 Rp1,802.07 $190.19 Major
22:53:14 1310.49 Rp933.72 $98.55 Major
22:56:24 3941.52 Rp1,872.66 $197.64 Major
23:23:04 3003.43 Rp1,577.08 $166.45 Major
5:23:43 1614.29 Rp1,065.23 $112.43 Major
05:37:33 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
05:41:15 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
05:47:44 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:19:33 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:23:54 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:34:35 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:35:25 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
Pr 5
ob 4
abi 3
= acceptable
llit 2 = ALRP
y 1 = Not Acceptable
1 2 3
Severity
4. Kesimpulan
Data dari perangkat AIS dan perangkat lunak GIS dapat digunakan untuk melakukan analisa
probabilitas tubrukan kapal secara geometri dan konsekuensi yang tidak diharapkan pada suatu
alur pelayaran tertentu.
Analisa probabilitas pada skenario pertama, kemungkinan kapal berlayar menubruk kapal
sedang lego jangkar, secara umum memiliki tingkat risiko rendah. Sedangkan pada skenario
kedua, kemungkinan kapal mengalami stranding memiliki tingkat risiko rendah. Sedangkan
pada skenario 3 dimana kapal mengalami tubrukan Head-on, untuk alur pelyaran pelayaran
selat Madura dapat dikatakan rendah.
Tingkat risiko di daerah Selat Madura bisa dikatakan Medium jika dilihat dari hasil perhitungan
dengan model lalu-lintas pelayaran dan analisa konsekuensi secara ekonomi menurut
pendekatan yang diusulkan maulidiyah. Namun tingkat risiko ini bertambah seiring dengan
peningkatan aktivitas lalu-lintas kapal yang melintas apabila tidak disertai dengan peningkatan
manajemen pelabuhan yang baik
References
PT. Trans Asia Consultan. (2009). Laporan Analisa Trend Kecelakaan Laut 2003-2008.
http://regional.kompas.com/read/2011/03/12/08552618/Alur.Kapal.Selat.Madura.Akan.Diperdala
m
Goerlandt, F., & Kujala, p. (2011). Traffic simulation based ship collision probability modeling.
Reliability Engineering and System Safety 96 , 91107.
Kristiansen, S. 2005. Maritime Tranportation Safety Management and Risk Analysis. Oxford:
Elsevier Butterworth - Heinemann
Hansen, P., Ravn, E. S., & Engberg, P. C. (2009). Basic Modelling Principles For Prediction Of
Collition And Grounding Frequencies DNV RP-F107. ( 2010). RISK ASSESSMENT OF
Abstract
Small Aluminium boat making process has been known in ship design bussines. Aluminium is very usefull beacuse its
properties such as lightweight, strong and resistant to the environment.
Many activities in the Small boat Aluminium building, preparation, fabrication, Assembly, outfitting, painting and erection
resulting many defects. With risk analysis approach and root cause Analysis can reduce defects. Failure Mode and
Effect Analysis (FMEA) Methode is systematic approach to analyze,evaluate potential and cause of failure and prevnt
failure occurs. This research conducted in Aluminium boat building process by capturing specificity value, frequency,
and ratification. The results of these three values resulted Risk Priority Number (RPN) for each potential failure.
After RPN value is knownt hen it will recommend corrective action including reponsibility,deadline and note any
remidial action that have been performed. The Last step is recalculated RPN values
Keywords: Risk Analisys ,Small aluminium Boat,Failure Mode and Effect Analysis
1. Pendahuluan
Dalam jurnal ini dibahas tentang resiko-resiko defect yang mungkin timbul dalam proses
produksi small aluminium boat. Lingkup resiko defect yang dibahas dalam jurnal ini yaitu pada
proses persiapan material,fabrikasi,sub assembly,assembly,serta proses erection.
Risiko yang dihadapi dalam proses pembuatan small aluminium boat sangat banyak dan
beraneka macam. Di hampir setiap tahapan proses pekerjaan risiko. Oleh karena risiko risiko
ini sangat banyak dan beraneka macam, pertanyaannya, apakah semua risiko risiko ini perlu
diindentifikasi?
Jika memungkinkan, semua risiko yang dihadapi dalam proses produksi small aluminium boat
diidentifikasi namun ini akan menjadi pekerjaan yang sangat kompleks dan bahkan
membingungkan, jadi untuk menghemat waktu dalam penelitian ini risiko yang diidentifikasi
yaitu risiko risiko yang dianggap penting dalam proses pembuatan small aluminium boat.
2. Aluminium
Aluminium (atau aluminum) ialah unsur kimia. Lambang aluminium ialah Al, dan nomor atomnya
13. Aluminium pertama kali ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada awal abad sembilan
belas.dan logam tersebut disimpan pada tahun 1825 oleh Hans Christian Oersted dan tetap
disana seketar 30 tahun.Pada th 1886 pertama kalinya aluminium diekstrak dari bauksit dan
menjadi industri aluminium.Metode tersebut dikembangkan secara terus menerus oleh Paul
Heroult (Prancis) dan charles M. Hall (USA).Aluminium ialah logam paling berlimpah. Aluminium
merupakan konduktor listrik yang baik. terang dan kuat. Merupakan konduktor yang baik juga
buat panas. Dapat ditempa menjadi lembaran atau ditarik menjadi kawat. serta tahan
korosi.Aluminium digunakan dalam banyak hal. Kebanyakan darinya digunakan dalam kabel
bertegangan tinggi. Juga secara luas digunakan dalam bingkai jendela dan badan pesawat
terbang. Serta dapat digunakan dalam pembuatan badan kapal (Mathers,2002)
Aluminum alloys cenderung mempunyai ductility yang terbatas oleh karena itu bentuk badan
kapal yang bisa dibuat sangat terbatas,jadi ketika keindahan bentuk kapal menjadi prioritas
utama maka aluminium menjadi pilihan yang kurang menguntungkan.Dalam pembentukan
badan kapal micro and macro crack dapat terjadi.hal ini merupakan kelemahan dari aluminium.
Penemuan saat ini memungkinkan untuk mengembangkan pembuatan badan kapal dari small
vessel sampai medium vessel.Aluminium alloys yang digunakan untuk pembuatan badan badan
kapal biasanya berasal dari seri 5000 perpaduan antara unsur Al-Mg dan seri 6000 yaitu
perpaduan antara unsurAl-Si-Mg (Daniel,2000)
4. Risk Assesment
Risk Assessment adalah sebuah proses untuk menentukan sifat dan tingkatan risiko dengan
menganalisa potential hazards dan mengevaluasi kondisi existing dari vulnerability yang dapat
menyebabkan ancaman atau kerusakan/kerugian bagi manusia, property, dan lingkungan. Risk
Assessment juga dapat digunakan sebagai salah satu alat/teknik untuk membantu/memperbaiki
proses pengambilan keputusan. Sebagai pilihan yang dievaluasi, sangat penting untuk
menganalisa level dari resiko dari setiap pilihan. Analisa tersebut dapat berupa resiko
keuangan/financial, resiko kesehatan, resiko keamanan, resiko lingkungan dan resiko-resiko
bisnis/perusahaan yang lain. Sebuah analisa yang tepat dari resiko tersebut akan menyediakan
informasi yang kritis untuk membuat/menghasilkan sebuah keputusan yang baik. Informasi
yang dibangun melalui risk assessment dapat dikomunikasikan pada organisasi untuk
membantu mempengaruhi bagian-bagian di dalam organisasi tersebut untuk memahami faktor-
faktor yang mempengaruhi keputusan.(Yacov,2004)
Sebelum membahas Risk Assessment lebih lanjut, perlu juga untuk memahami definisi dari
istilah risk dan beberapa terminilogi yang perlu diketahui sebelum memahami dalam risk
assessment, yaitu:
4.2. Controls
Adalah langkah yang dilakukan untuk mencegah hazards dari penyebab peristiwa/kejadian
yang tidak diinginkan. Control dapat berupa tindakan fisik (safety shutdown, redundant controls,
desain konservatif), bersifat prosedur (membuat prosedur operasional), dan dapat juga berupa
faktor yang ditujukan pada manusia (pemilihan pegawai, training, pengawasan).
4.4. Risk
Risk terdiri dari dua elemen, frequency dan consequence. Risk didefinisikan sebagai produk
dari frequency dengan event yang diantisipasi untuk terjadi dan consequence dari
dampak/akibat event.
Risk = Frequency X Consequence
(Yacov,2004)
4.5. Frequency
Frequency dari event potensial yang tidak diinginkan dinyatakan sebagai event per satuan
4.6. Consequence
Consequence dapat dinyatakan dengan jumlah orang yang terkena dampak dari event (terluka
atau terbunuh), kerusakan peralatan, kerugian materi, dan lain sebagainya. Tanpa
memperhatikan pengukuran yang dipilih, consequence dinyatakan sebagai per event.
Berdasarkan persamaan tersebut bahwa satuan events / tahun dikalikan consequence /
event sama dengan consequence / tahun, merupakan pengukuran resiko kuantitatif yang
paling khusus.
(Yacov,2004)
Ini dapat dipelajari dari permasalahan sebelumnya, kerusakan, dan kecelakaan yang terjadi.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pembuatan Root cause analysis adalah sebagai
berikut:
Define the problem.
Mendefinisikan resiko defect yang timbul dalam setiap tahapan proses produksi small
aluminum boat.Dalam
Gather data/evidence.
Proses dalam tahapan ini adalah mengumpulkan data-data yang diperlukan antara lain:
jenis-jenis resiko defect yang timbul serta dampak terhadap proses produksi,data-data
defect yang tersimpan dalam kurun waktu tertentu(misal selama 1 tahun).
Identify issues that contributed to the problem
Proses dalam tahapan ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada
resiko defect yang timbul.
Find root causes.
Proses dalm tahapan ini adalah mencari akar penyebab timbulnya resiko defect.Dalam
penelitian ini digunakan Failure Mode and Effect Analysis(FMEA)
Develop solution recommendations.
Setelah akar penyebab resiko defect tiap-tiap proses produksi diketahui maka dibuat
langkah-langkah untuk mengurangi resiko tersebut.
Implement the recommendations.
Setelah langkah-langkah pengurangan resiko dibuat selanjutnya diaplikasikan dalam setiap
tahapan proses produksi
Observe the recommended solutions to ensure effectiveness.
Proses dalam tahapan ini adalah melakukan pengawasan terhadap langkah-langkah solusi
yang telah diaplikasiakan.Hal ini dilakukan untuk menjamin efektifitas dari solusi tersebut.
6.1.1 Severity
Severity adalah langkah pertama untuk menganalisa risiko yaitu suatu penilaian tingkat
keparahan dari keseriusan effect yang ditimbulkan dari mode-mode kegagalan (failure mode),
menghitung seberapa besar dampak/intensitas kejadian mempengaruhi output proses, maupun
proses-proses selanjutnya. Dampak tersebut diranking mulai skala 1 sampai 10, dimana 10
merupakan dampak terburuk.
6.1.2 Occurrence
Occurrence adalah suatu penilaian mengenai peluang (probabilitas) frekuensi penyebab
mekanisme kegagalan yang akan terjadi, sehingga dapat menghasilkan bentuk/mode
kegagalan yang memberikan akibat tertentu selama masa penggunaan produk. Dengan
memperkirakan kemungkinan occurrence pada skala 1 sampai 10.
6.1.3 Detection
Nilai Detection diasosiasikan dengan pengendalian saat ini. Detection adalah pengukuran
terhadap kemampuan dari alat/proses kontrol dalam mengendalikan/mengontrol kegagalan
Angka ini digunakan untuk mengidentifikasikan risiko yang serius, sebagai petunjuk ke arah
tindakan perbaikan.(Daimler Chrysler Corporation, Ford Motor Company, General Motors
Corporation, (Second edition, February 1995) Potential Failure and Effects Analysis (FMEA)
Reference Manual).
ID 1.1
ID 1.2
ID 1.3
ID 1.4
ID 1.5
ID 2.1
ID 2.2
ID 3.1
ID 3.2
ID 4.1
ID 4.2
ID 4.3
ID 4.4
ID 4.5
ID 4.6
ID 5.1
ID 5.2
ID 5.3
ID 5.4
ID 6.1
ID 6.2
ID 6.3
ID 6.4
ID 7.1
ID 7.2
ID 7.3
ID 7.4
ID 7.5
ID 8.1
ID 8.2
ID 8.3
ID 9.1
ID 9.2
ID 9.3
ID 10.1
ID 10.2
ID 10.3
Sebelum dilakukan tindakan pencegahan maka perlu diketaui akar penyebab terjadinya defect
pada proses pengelasan aluminium.Faktor-faktor penyebabnya dibagi menjadi 3 katagori yaitu
manusia,mesin dan peralatan,serta proses pengerjaannya.
Jenis Power source yang digunakan dengan arus listrik yang dipilih adalah DC.
Gas pelindung yang dipilih yaitu argon atau gabungan antara helium-argon.Kedua gas
tersebut cocok digunakan untukpengelasan aluminium.
Mencari mesin las yang memiliki sumber power sesuai dengan aplikasinya
Jika ingin mendapatkan fleksibilitas proses, gunakanlah mesin yang dapat berfungsi
untuk berbagai jenis aplikasi pengelasan.
References
Ammerman, Max (1998): The Root Cause Analysis Handbook: A Simplified Approach to
Identifying, Correcting, and Reporting Workplace Errors, Productivity Press New York.
AFSA, (2004): The Welding of Aluminium MIG & TIG Fusion Secod Edition, Aluminium
Federation Southern Africa.
C GRAD, (2004): Aluminum And Its alloys , Constable and Company Ltd.
Daniel D Roup, William C Herbein, and Robert W Sides (2000).Boat manufactured fromable
aluminium, US patent issued
Daimler Chrysler Corporation, Ford Motor Company, General Motors Corporation, (Second
edition, February 1995): Potential Failure and Effects Analysis (FMEA).Reference
Manual
Mathers, Gene (2002): The welding of aluminium and its alloys. Woodhead Publishing
Limited, Cambridge England
Risk Management Guidelines companion to AS/NZS 4360:2004, (2005): Standards
Australia/Standards New Zealand,
Soejitno, Ship Production , Ruang Baca Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Soeweify, (2000/2001): Teknologi Las, Ruang Baca Fakultas Teknologi Kelautan Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Vargel, Christian (2004):Corrosion of aluminium. Translated by Schmidt P Martin. Patent
Altorney, Lyon France
Yacov Y Haimes (2004): Risk Modeling,Assessment,and Management.Second Edition, A
John Willey & Sons, Inc, Haboken New Jersey
Abstract
Analisa seakeeping merupakan aspek penting untuk mengetahui perilaku kapal di tengah gelombang karena
berhubungan dengan keselamatan dan kenyamanan awak kapal dan penumpang. Paper ini bertujuan untuk
menganalisa gerakan kapal Ferry Trimaran yang beroperasi pada rute Sapeken-Masalembu, Jawa Timur dalam 6
derajat kebebasan. Sebagai bahan analisa, digunakan data gelombang yang diambil tiap jam dalam jangka waktu satu
tahun. Kemudian data tersebut diolah menjadi spektrum gelombang dengan menggunakan formula JONSWAP. Respon
kapal dalam gelombang reguler dihitung dengan metode 3D Diffraction untuk semua sudut hadap kapal terhadap
gelombang. Sedangkan respon kapal dalam gelombang Irreguler diperoleh dengan mengalikan Response Amplitude
Operator (RAO) dengan spektrum gelombang. Periode gerakan dan standard deviasion digambarkan dalam bentuk
diagram scatter untuk menunjukkan respon gerakan. Perhitungan exceeding probability juga dilakukan untuk
mengetahui respon gerakan yang melebihi nilai criteria.
1. Pendahuluan
Di daerah Madura bagian timur, permintaan akan fasilitas angkutan penumpang dan barang
untuk pelayaran antar pulau terus naik. Sementara kapal Ferry yang telah ada memiliki
keterbatasan kecepatan dan kemampuan olah gerak yang buruk pada kondisi gelombang yang
cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut konsep desain lambung tipe trimaran telah
diusulkan sebagai solusi alternative oleh Sulisetyono [2011].
Dewasa ini, desain kapal tipe trimaran terus dikembangkan karena memiliki beberapa kelebihan
antara lain memiliki hambatan yang lebih kecil pada kecepatan tinggi sehingga berdampak pada
efisiensi penggunaan bakar, Lyakhovitsky (2007); memiliki stabilitas yang baik karena adanya
side hull, Utama [2008]; dan memiliki luasan geladak yang besar sehingga mampu mengangkut
lebih banyak dan bangunan atas geladak dapat diatur dengan leluasa. Desain kapal
berkecepatan tinggi, tipe trimaran memiliki kemampuan seakeeping yang baik pada kondisi
gelombang yang tinggi.
Paper ini bertujuan untuk menganalisa kemampuan seakeeping kapal tipe trimaran pada rute
Sapeken menuju Masalembu. Metode pendekatan yang diusulkan untuk pemperkirakan respon
gerakan kapal saat beroperasi pada kondisi gelombang antara Sapeken-Masalembu. Respon
gerakan pada gelombang reguler diperoleh dengan menggunakan metode analisa 3D
Diffraction atau biasa disebut dengan metode panel, Sulisetyono (2009). Input data yang
dibutuhkan antara lain ukuran utama kapal, bentuk kapal, berat dan momen inersia berat,
koefisien hidrodinamis dan sudut hadap kapal. Kecepatan kapal yang digunakan adalah
kecepatan maksimum kapal.
Pada pemodelan numerik, dilakukan panelisasi terhadap bentuk lambung menjadi jumlah panel
tertentu untuk memperoleh hasil prediksi yang akurat. Data output diberikan dalam bentuk table
RAO (Response Amplitude Operator) untuk enam derajat kebebasan (6-DoF) gerakan kapal,
yakni surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw dalam fungsi frekuensi gelombang (periode
gelombang) Data gelombang yang diperoleh dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika) Indonesia dengan total data sebanyak 8760 untuk periode satu tahun diolah
berdasarkan tinggi, periode dan arah gelombang menggunakan standar formula JONSWAP.
Arah sebaran gelombang ditentukan dari data gelombang. Tiap arah gelombang memiliki
spektrum gelombang yang berbeda dan sudut hadap (heading angle) kapal dihitung. Respon
kapal dalam gelombang irregular dihitung dengan mengalikan RAO trimaran Ferry dengan
spektrum gelombang Besarnya standar deviasi, period dan cumulative exceeding probabilities
gerakan dihitung mengikuti, Sulisetyono (2012).
Pada kasus ini, kondisi gelombang ditentukan selama 1 tahun pada titik diantara rute Kapal
Ferry Trimaran, yaitu antara Sapeken and Masalembu, lihat Gambar 1. Data gelombang yang
berupa snap shot data per jam selama setahun dengan jumlah data keseluruhan mencapai
8760 diperoleh dari BMKG. Arah gelombang dinyatakan nol apabila gelombang datang dari
arah Selatan dan terus meningkat searah jarum jam, lihat Gambar 2.
Utara
Barat Timur
Timur
Selatan
Data gelombang menunjukan bahwa terjadinya gelombang dengan tinggi lebih dari 3 meter
adalah sebesar 30 % dalam satu tahun dan sisanya sekitar 70% adalah gelombang dengan
tinggi 2 meter dan 90% dari jumlah tersebut adalah kondisi laut tenang. Arah gelombang
dominan datang dari arah Barat Laut, dan Tenggara, atau pada kasus kapal dioperasikan pada
rute Sapeken-Masalembu, heading angle kapal dominan datang dari arah quartering dan
broaching.
Untuk mempermudah analisa, data gelombang disederhanakan dengan cara memilih satu
tinggi signifikan gelombang yang tertinggi dalam satu minggu, dan dengan demikian akan
didapat 52 snap shot data yang akan digunakan untuk analisa gerakan. Gelombang irreguler
dimodelkan dengan menggunakan formula JONSWAP. Spektrum gelombang rute Sapeken-
Masalembu ditampilkan pada Gambar 3 untuk 52 minggu snap shot data dalam satu tahun.
Gambar 3 menunjukkan spektrum gelombang tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan
frekuensi gelombang 0.8 rad/sec.
1.20
1.00
0.80
S(e )
0.60
0.40
0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
Week
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
e
Untuk analisa seakeeping, sistem koordinat xyzo digunakan dengan o berada di pusat massa
kapal, sumbu x posistif ke arah haluan, sumbu y positif ke arah portside kapal dan sumbu z
positif ke arah atas kapal, seperti pada Gambar 2. Gerakan kapal ditentukan berdasarkan
system koordinat ini, misalnya surge, sway dan heave dihitung sepanjang sumbu x, sumbu y
dan sumbu z, sedangkan roll, pitch dan yaw dihitung pada sumbu x, sumbu y dan sumbu z.
Bentuk lambung kapal dimodelkan pada ukuran sebenarnya sebagai fined mesh dengan panel
merepresentasikan permukaan lambung, seperti pada Gambar 5. Sudut hadap (heading angle),
0
, relatif terhadap kapal didefinisikan sebagai head sea (180 ) ketika gelombang menghantam
0
kapal dari haluan, following sea (0 ) ketika gelombang datang dari arah buritan kapal dan beam
0
sea (90 ) ketika gelombang datang dari sisi kapal, Gambar 5. Karena bentuk kapal simetris,
0 0
maka heading angle hanya dihitung dari 0 hingga 180 .
= 900 y
x
= 1800
Karakteristik gerakan Kapal Ferry Trimaran (KFT) pada gelombang reguler dihitung dengan
metode Boundary Element Method (BEM). Luasan basah trimaran didiskritisasi menjadi jumlah
2039 panel. Gaya hidrodinamis dihitung dengan mengaplikasikan kondisi batas pada luasan
basah trimaran dalam air dengan kedalaman air diasumsikan tak hingga. Hasil RAO (Response
Amplitude Operator) untuk surge, sway, heave roll, pitch dan yaw pada gelombang reguler
diilustrasikan pada Gambar 6a hingga Gambar 6f. Gerak translasi seperti surge, sway dan
heave ditampilkan tiap unit amplitudo gelombang sedangkan untuk gerak rotasi seperti roll,
pitch dan yaw ditampilkan tiap unit amplitudo derajat.
Gambar 6a, 6c dan 6e menunjukkan bahwa gerakan surge, heave dan pitch memiliki amplitudo
respon yang rendah untuk semua frekuensi dan heading angle. Respon paling tinggi dari
gerakan translasi terjadi pada sway, dan gerakan rotasi pada yaw, keduanya mengalami respon
0
tinggi saat heading angle 90 di frekuensi rendah, lihat Gambar 6b dan Gambar 6f.
(b) (e)
(c) (f)
0 0
Gambar 6 RAO kapal trimaran dengan heading angle 0 -180
Respon gerakan rotasi untuk roll dan yaw yang tampak pada Gambar 6d dan 6f memiliki nilai
respon yang sama untuk frekuensi yang berbeda, yakni roll terjadi pada frekuensi tinggi
sedangkan yaw pada frekuensi rendah. Dan kedua gerakan tersebut terjadi saat heading angle
0
mendekati 90 . Fenomena ini mungkin disebabkan oleh bentuk dari tiga lambung, dimana
bagian lambung yang terletak di tengah kapal lebih lebar dibandingkan dengan bagian buritan
dan haluan, sehingga nilai koefisien dampingnya pada bagian haluan dan buritan lebih kecil
dibandingkan bagian tengah.
Respon gerakan Kapal Ferry Trimaran pada gelombang irreguler dihitung dengan mengalikan
Response Amplitude Operator (RAO) yang didapat dari program Boundary Element Method
(BEM) dengan spektrum gelombang yang diperoleh dari data gelombang. Standar deviasi tiap
gerakan diperoleh dari akar total energi gelombang. Periode gerakan diperoleh dari pembagian
total spektral energi terhadap total spektral momen. Persamaan dari perhitungan tersebut
seperti diuraikan sebagai berikut,
m0
m0 T 2
m1
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 79
Standar deviatsi, dan Periode,
Significant amplitude response gerakan kapal Ferry Trimaran yang terjadi dalam 52 minggu
kondisi gelombang pada rute Sapeken - Masalembu yang digambarkan dalam fungsi periode
dan standar deviasi seperti ditunjukkan pada Gambar 7.
Deviation Standard ()
0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7
Deviation Standard ()
0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7
Deviation Standard ()
0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7
Gambar 7 Grafik scatter standar deviasi dan periode dari gerakan kapaltrimaran
Dari Gambar 7 terlihat bahwa respon terbesar untuk gerak translasi terjadi pada gerakan
sway yakni sebesar 0.38 meter, sedangkan pada gerak rotasi terjadi pada gerakan yaw
0
yakni sebesar 1.87 . Respon terkecil pada gerak translasi terjadi pada gerakan surge yakni
sebesar 0.047 meter, sedangkan pada gerak rotasi terjadi pada gerakan pitch yakni sebesar
0
0.38 . Gambar 7 juga menunjukkan grafik scatter gerakan surge, sway dan yaw memiliki
periode 5 hingga 6.5 detik dan gerakan roll memiliki periode 4 hingga 5.5 detik. Respon
tertinggi gerakan surge, sway dan roll terjadi pada periode 6.4 detik sedangkan pada
gerakan roll terjadi pada sekitar periode 4.5 detik. Sedangkan nilai peluang terjadinya respon
80.00 40
70.00 35
60.00 30
50.00 25
40.00 20
30.00 15
20.00 10
10.00 5
0.00 0
0.009 0.015 0.021 0.028 0.034 0.040 0.046 0.156 0.334 0.511 0.689 0.867 1.044 1.222
80 40
70 35
60 30
50 25
40 20
30 15
20 10
10 5
0 0
0.016 0.021 0.026 0.031 0.036 0.041 0.046 0.301 0.554 0.806 1.059 1.311 1.563 1.816
Respon pada seluruh gerakan ditampilkan pada Gambar 8, dimana semua respon tertinggi
gerakan memiliki peluang kejadian di bawah 5%, kecuali pada gerakan roll yang nilai peluang
0
kejadiannya hingga 11.54%. Significant response maksimum gerakan roll adalah sebesar 1.27
0
dengan kemungkinan kejadian sebesar 11%, gerakan yaw sebesar 1.89 dengan peluang
kejadian hanya 1.92%. Secara keseluruhan, respon gerakan Kapal Ferry Trimaran pada rute
Sapeken-Masalembu memiliki nilai yang relatif kecil berdasarkan perhitungan.
4. Kesimpulan
Analisa seakeeping dilakukan sering dengan desain Kapal Ferry Trimaran yang beroperasi di
perairan Jawa Timur dari Pulau Sapeken menuju Pulau Masalembu. Sebuah pendekatan baru
diusulkan untuk memprediksi kemampuan seakeeping dari sebuah kapal. Respon gerak
tertinggi terjadi pada gerakan yaw saat frekuensi rendah dan gerakan roll saat frekuensi tinggi.
Berdasarkan kondisi gelombang, hading angle kapal dominan dari arah quartering dan
broaching. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kapal Ferry Trimaran memiliki kemampuan
seakeeping yang baik dan layak beroperasi pada rute Sapeken-Masalembu sepanjang tahun.
Davis, M.R., and Holloway, D.S (2003): Motion and Passenger Discomfort on High Speed
Catamarans in Oblique Seas, International Shipbuilding Progress, 50, no. 4, pp. 333-
370,
Faltinsen, O.M (2005): Hydrodynamics of High - Speed Marine Vehicles, Cambridge University
Press.
Lyakhovitsky,A, (2007): Shallow Water and Supercritical Ships. Backbone Publishing Company.
Utama, IKAP; Murdjanto; Sulisetyono, A; and Jamaludin,A,(2008): Pengembangan Kapal Hemat
Energi Dengan Konfigurasi Kapal Berbadan Banyak, Seminar on Application and
Research in Industrial Technology, UGM, Yogyakarta.
Sulisetyono, A; Nasirudin, A; and Hermawan, Y. A, (2011): Perancangan Kapal Penumpang
Barang Tipe Trimaran untuk Pelayaran Antar Pulau, Seminar Nasional Teori dan
Aplikasi Kelautan (SENTA), ITS Surabaya.
Sulisetyono, A, (2010): An Analytical Approach of the Free Surface Greens Function for
Radiation Problem, International Conference on Ship and Offshore Technology (ICSOT),
ITS Surabaya.
Sulisetyono, A, (2009): Single Body Motion Analysis, Project report of FLNG Mooring and
Offloading Study, LPPM ITS.
Sulisetyono, A, (2012): Single Body Motion Analysis, Project report of FLNG Mooring and
Offloading Study, LPPM ITS.
Sulisetyono, A, (2012): Seakeeping Analysis of The Trimaran Ferry Ship in Short Crested
Sea for A case of East Java Water Condition. International Conference : ICSOT :
Development in Ship Design dan Construction, RINA, Ambon.
Abstract
In addition an experiments carried out both the wind tunnel test and the towing tank, the study of viscous resistance on
the catamaran vessel can also be analyzed using numerical simulation by Computational Fluid Dynamic (CFD). The
aims of the study is to analyzing the most accurate turbulence models compared with the results obtained through
experimentation. Catamaran model size adapted to test models in wind tunnel experiments. The ratio of separation to
length between demihulls (S/ L) selected is 0.3. Boundary conditions of the fluid in the numerical simulations including
the physical condition based on experiments data. Speed varied from 10, 12, 14, and 15.4 m / s. Turbulence models
tested were k- , Shear Stress Transport, and the RNG k- . Results of analysis the viscous drag coefficient on each
of the turbulence models will be compared with the experimental value. Turbulence models using a Shear Stress
Transport (SST) is the best model of turbulence with percentage difference about 2.122% higher than in the wind tunnel
experiments.
1. Introduction
CFD abbreviations stands for computational fluid dynamics. CFD represent a vast area of
numerical analysis in the field of fluids flow phenomena. In the applications of fluid dynamics,
flow around the bodies is really important. Characteristics of forces acting on the bodies are
needed to produce effcient aerodynamics (aircraft, cars, automobiles) and hydrodynamics
design (for ships).
The classical analysis of fluid flow problems involves the initial representation of the fluid motion
by a physical model. This physical model is then interpreted as a mathematical model by setting
down the conservation equations which the flow satisfies. These governing equations are then
subject to analysis leading to closed-form solutions with the dependent variables, such as the
velocity components and pressure, varying continuously throughout the flow field. This general
approach and the closed-form solutions which result provide powerful insights into many
important fluid flow problems, including the effects of changes in geometry and flow parameters
such as Reynolds number. However, there are many circumstances where it is not possible to
derive analytical solutions while at the same time retaining a mathematical model which
displays all the essential features of the physics underlying the flow. Here the limitations of the
analytical approach become evident. By way of contrast, CFD is capable of delivering solutions
to the governing equations which fully describe all aspects of the physics of the flow (Massey
and Smith, 2006).
In this research, CFD is used in solving viscous resistance of catamaran as a set of the high-
speed vessel that has been growing rapidly for the last ten years (Couser et al.,1997);
Jamaluddin, et al., 2010). As reported by Drewry Shipping Consultants (Sahoo et al., 2006),
catamarans account for 43% of the fleet by vessel numbers. Slender hull forms and higher
speed capabilities provoked the need of technological evolution in predicting their preliminary
characteristics of resistance. Resistance of catamarans in general is divided into two major
components namely, viscous resistance and wave resistance.
Catamaran consists of two demihulls which are separated at certain distance. Both of demihulls
induce interaction that generates viscous interference. Due to separation to length ratio between
demihulls, interference effect occurs significantly over viscous resistance. These interference
effects has been investigated by experimental test in the wind tunnel at Department of
Mechanical Engineering, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Surabaya (Hutauruk et al.,
2011). Hutauruk et al., 2011 also analyzed the pressure distribution and velocity profile on the
catamaran. The catamaran model tested without transition strip (turbulent stimulator) at various
velocities, commenced from 10; 12; 14 dan 15,5 m/s in speed and separation to length ratio
This research analyze the using of different turbulence models namely k- , Shear Stress
Transport, (SST) and the RNG k- on the catamaran by S/L 0,3 numerically. The viscous
resistance will be investigated by using ANSYS CFX ver. 14. S/L 0,3 was choosen because
from the experimental results derived and concluded that on S/L 0,3; the effect of flow
interference decrease but not the smallest. The result will be validated with previous
experimental result.
2. Methodology
2.1. Grid Independence
Model in the wind tunnel test designed as reflect models by using Maxsurf. The use of reflex models
in a wind tunnel and CFD provides an approximate means of directly measuring the viscous drag of
the models without the generation of waves (Armstrong, 2003). All its size including its principal
dimension measured both models and test section then poured in the drawing. The process of CFD
will be continued by using ANSYS, started from ICEM CFD as meshing step (Figure 1). Mesh quality
will effect the result of the simulations. To derive the suitable number of mesh elements and nodes,
it is calculated by doing grid indepence. Grid independence was investigated by applying grid
densities from 500.000 to 1.200.000 cells. Grid independence, with up to 2 percent changed in
drag, was reached at about 1.007.880 cells (Figure 2), which were then used in the further
investigations as applicated by Utama (2002).
Outlet
Wall
(no slip condition) (Pref = 0)
Model
(no slip condition)
Inlet
o
(Pref = 1 Atm, 31.3 C)
CFD is the simulation of fluids engineering systems using modeling (mathematical physical problem
formulation) and numericals methods (discritization methods, solvers, numerical parameters, and
grid generation). The process is as Figure 4. Fluid problem is solved by understanding the physical
properties of fluid by using fluid mechanics. Then, mathematical equations is used to describe these
physical properties. Generally the mathematical equation stated as navier-Stokes Equation that
governing equation of CFD.
The SST (Shear Stress Transport) model of Menter (1994) is an eddy-viscosity model which
includes two main novelties i.e. (1) It is combination of a k-
layer) and k-
the shear stress in adverse pressure gradient regions is introduced.
The RNG k- -
improvement compared to the standard k- - model is based on
renormalization group analysis of the Navier-Stokes equations. The transport equations for
turbulence generation and dissipation are the same as those for the standard k-
the model constants differ.
(1)
The wave resistance (RW) contains the inviscid component and the viscous resistance (RV)
includes the resistance due to shear stress (friction drag) and the viscous pressure
component. In practice, the viscous resistance is ussually estimated by using ITTC-1957
correlation line (CF) together with a suitable form factor (1+k). Here a CF is an
approximation for the skin friction of a flat plate; and the form factor is used to calculate the
three dimensional of ship hull (Utama, 1999). Formula of CF can be written as equation (2).
Total viscous resistance (CV) can be measured by a wake transverse. In this case, form
factor is calculated as equation (3).
(3)
(4)
By using equation 4, the result of CV can be analyzed by numerical simulation using ANSYS
CFX and the result shown in the Table 1. Increasing of Reynolds number in each test, both
experiment and numerical, shown that the CV gradually tend to decreasing. These conclude that
the results of these research very strong and more accurate.
Table 1. Comparison viscous resistance coefficient between experimental test and numerical
simulation by using differ turbulence models.
-3
5 -3
CV Numerical Simulation (10 )
Re (10 ) CV Wind Tunnel (10 )
k- SST RNG-k-
2,894 8,761 8,995 8,893 8,940
3,473 8,418 8,689 8,581 8,641
4,052 8,150 8,457 8,354 8,386
4,457 8,000 8,335 8,223 8,298
The graphs of CV for each turbulence models as shown in Figure 4. The most accurate
turbulence models in predicting viscous resistance by using numerical simulations is Shear
Stress Transport. The different of its viscous resistance with previous research (wind tunnel test)
about 2,122%. Then following by RNG k- 3,329%.
The difference is caused by characteristic of each turbulence models in using equation in
solving fluids problem. In the SST model the coeffcients are smoothly switched from k-
in the inner region of the boundary layer and k- . Turbulence could
be thought of as instability of laminar flow that occurs at high Reynolds numbers (Re). Such
instabilities origin form interactions between non-linear inertial terms and viscous terms in N-S
equation. These interactions are rotational, fully time-dependent and fully three-dimensional.
Rotational and three-dimensional interactions are mutually connected via vortex stretching.
Vortex stretching is not possible in two dimensional space. That is also why no satisfactory two-
dimensional approximations for turbulent phenomena are available. Furthermore turbulence is
thought of as random process in time. Therefore no deterministic approach is possible. Certain
properties could be learned about turbulence using statistical methods. These introduce certain
correlation functions among flow variables. However it is impossible to determine these
correlations in advance (Sodja, 2007).
4. Conclusion
In view of the analysis and validation process undertaken in this research work the following
conclusions can be drawn:
1. Ansys CFX can be used as a tools to predicted numerical simulation to calculate viscous
resistance of a catamaran.
2. The most accurate turbulence models in predicting viscous resistance by using numerical
simulations is SST. The different of viscous resistance of numerical simulation comparing
with the previous research (wind tunnel test) as follow: 3,329%; 2,122% and 2,731%
respectively for , Shear Stress Transport, and the RNG k-
Acknowledgment
This paper is dedicated to Dean of Faculty of Fisheries and Marine Science and Head of
Department of Water Resources Utilization, University of Riau. This work was funded by both
the Department and Faculty of Fisheries and Marine Science. We also would like to express
sincere gratitude for the support of Research Agency of University of Riau.
References
Abstract
Energy efficient and environmentally friendly is a very crucial issue lately. Ferry Sail-Assisted concept is one of the
solution for Indonesia waterway. In this study, three of sail shapes is applied i.e. rectangular, triangle, and trapezium.
Using CFD (Computer Fluid Dynamics) simulation, the forces of the sails is analysed. Base on the forces, the stability
and seakeeping performace of the ferry is analysed. The results are, ship stability caused by the sail has already
complied with the IMO criteria and the seakeeping performance show that the significant condition of heaving, rolling,
and pitching motion occur at the angle of attack 135 with 0,611 m amplitude, 90 with 7.63 m amplitude, and 0 with
2.66 m amplitude respectively.
1. Pendahuluan
Energi merupakan isu yang cukup krusial bagi masyarakat dunia, terutama semenjak terjadinya
krisis minyak dunia pada awal dan akhir dekade 1970-an sehingga sampai saat ini harga
minyak terbilang tidak murah. Dengan kondisi tersebut, saat ini negara-negara di dunia
berlomba untuk mencari dan memanfaatkan sumber energi alternatif untuk menjaga keamanan
ketersediaan sumber energinya.
Begitu juga Indonesia, untuk menjaga ketahanan sumber energinya, maka dikeluarkan
keputusan presiden RI No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, dimana salah
satunya yaitu penggunaan sumber energi yang dapat diperbaharui seperti biofuel, energi
matahari, energi angin, energi gelombang dan arus samudra, dan geotermal.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dalam makalah ini dicoba untuk membahas
pemakaian layar pada kapal motor ferry dalam rangka hemat bahan bakar dan ramah
lingkungan. Stabilitas dan olah gerak kapal akibat pemasangan layar dianalisis dengan
menggunakan simulasi pada software Maxsurf. Analisis ini dibatasi pada kondisi yang
disyaratkan IMO pada Intact Stability Code. Sedangkan untuk bentuk layar, dibatasi pada
bentuk segi empat, segi tiga dan trapesium.
2. Studi Pustaka
2.1. Kapal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan
Konsep kapal hemat energi dan ramah lingkungan telah banyak dikembangkan di negara-
negara maju. Salah satu konsep untuk mendapatkan kapal yang hemat energi dan ramah
lingkungan adalah dengan cara mencari alternatif sistem propulsi yang dipakai di kapal.
ORourke (2006) melaporkan sebuah studi mengenai berbagai sistem propulsi yang dapat
digunakan untuk kapal angkatan laut Amerika Serikat dengan tujuan untuk mengurangi
penggunaan energi bahan bakar minyak. Dalam laporan tersebut diungkapkan bahwa hal-hal
yang dapat menghemat energi adalah efisiensi penggunaan alat-alat elektronik di kapal.
Sebuah penelitian lain yang telah dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa kapal perang
yang dilengkapi dengan alat elektronik yang efisien dan menggunakan sistem propulsi elektrik
ternyata dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak antara 10% hingga 25%.
Selain menggunakan sistem propulsi elektrik, cara lain untuk mengurangi penggunaan bahan
bakar adalah kapal didesain dengan memakai bulbous bow dan stern flap atau kapal yang
memanfaatkan teknologi fuel cell, penggunaan hydrocarbon sebagai alternatif pemakaian
bahan bakar, dan penggunaan tenaga nuklir.
Dengan berkembang pesatnya ilmu dan teknologi akhir-akhir ini, telah banyak desain layar
yang telah dikembangkan dengan tujuan untuk mendapatkan gaya dorong layar yang optimal
dan mudah dalam pengoperasiannya.
Kapal Layar Motor modern menggunakan kombinasi 50% motor dan 50% layar, meskipun pada
kenyataannya lebih menitik beratkan pemenuhan kebutuhan power pada motor. Namun dengan
adanya perkembangan desain dan material layar yang lebih modern saat ini, kombinasi yang
efektif antara layar dan motor sangat dimungkinkan (Pike, 1993).
Tujuan sebenarnya dari Kapal Layar Motor adalah untuk mendapatkan kapal dengan
kemampuan kecepatan menjelajah yang ideal (Pike, 1993). Selain itu kapal layar motor juga
harus memiliki kemampuan yang baik dalam beroperasi pada saat kondisi cuaca buruk, baik
pada saat menggunakan layar maupun motor.
Dengan adanya power dari motor dan rig (layar beserta perlengkapannya) yang cukup
memadai, pemilik kapal tidak akan terlalu menggantungkan pemenuhan daya untuk penggerak
kapal pada salah satu propulsor saja. Dengan kombinasi antara motor dan layar operasi kapal
akan lebih aman, karena apabila salah satu diantarnya mengalami kegagalan maka kapal akan
tetap akan bias beroperasi dengan salah satu penggerak.
Konsep Kapal Layar Motor yang pernah dikembangkan di Indonesia adalah kapal Maruta
Jaya. Kapal Maruta Jaya merupakan konsep kapal hemat energi yang merupakan proyek
kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman pada tahun 1980-an
(Schenzel, 1983; Wiriadidjaja, 1985). Ada beberapa seri Kapal Maruta Jaya yang
dikembangkan, namun yang terealisasi adalah kapal barang dengan bobot 900 DWT.
Centre of bouyancy adalah titik pusat geometris dari volume bagian badan kapal yang berada di
bawah air. Apabila kapal miring, kondisi dari bagian lambung yang berada di bawah air akan
berubah, dan CB akan bergerak/berubah posisi secara horisontal dan tetap secara vertikal
berada pada geometrical centre dari bagian lambung yang berada di bawah air. Meskipun
diasumsikan tidak ada gerakan pada kapal, CG akan tetap berada pada posisi yang sama pada
lambung kapal.
Dengan demikian didapatkan kondisi di mana gaya gravitasi yang bekerja ke arah bawah dan
gaya bouyancy yang bekerja ke arah atas berada tidak pada satu garis vertikal. CB akan selalu
bergerak ke sisi yang lebih rendah dari lambung, karena bagian lambung yang tercelup air akan
bertambah pada saat kapal miring. Lengan gaya positif akan terbentuk dari bouyancy dan gaya
gravitasi, yang mana di harapkan dapat membuat kapal terangkat dan kembali ke posisi
seimbang (equilibrium).
Stabilitas bisa didefinisikan sebagai kemampuan alami kapal untuk kembali ke posisi awal
setelah mendapatkan gaya dari angin dan gelombang. Stabilitas kapal tergantung pada : (a)
bentuk dari lambung kapal, (b) distribusi ballast sebagai hubungannya dengan betuk penuh
kapal, (c) besar gaya aerodinamis, (d) posisi kapal ketika beroperasi dengan layar dalam
berbagai kondisi cuaca.
Apabila keseimbangan gaya aerodinamis dan hidrodinamis tidak bisa dijaga maka tidak akan
ada momen yang berlawanan dengan momen heeling (MH), dan selanjutnya kapal akan terus
miring dengan sudut dan akan terus bertambah selama tidak ada momen yang berlawanan.
Sehingga dibutuhkan MR (righting moment) yang berlawanan dengan MH (heeling moment)
yang secara matematis bisa ditulis :
MR = x RA ......................(1)
Untuk memperoleh keseimbangan maka MR harus sama dengan MH. Hal tersebut bisa dilihat
dari pada gambar 1.
Apabila bertambah maka momen heeling juga akan semakin bertambah.Dengan menganalisa
gambar 2, di mana diasumsikan gerakan kapal adalah steady begitu juga dengan , maka
righting momen akan konstan dan MR tetap harus seimbang dengan heeling momen. Sehingga
didapat :
Di mana :
1. h adalah tinggi dari CE (Center of effort) ke CLR (Center of lateral resistance)
2. (h x h) adalah jarak dari CE (Center of effort) ke CLR (Center of lateral resistance)
ketika centerboard pada posisi rendah atau miring.
Untuk kapal layar ada kriteria stabilitas tambahan, karena penggunaan layar harus memenuhi
persyaratan daya tahan terhadap angin dan rolling (kriteria cuaca) dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Sudut oleng pada kondisi steady wind tidak lebih besar dari 16 .
2. Perbandingan sudut oleng pada kondisi steady wind dengan sudut geladak tenggelam
tidak lebih besar dari 80%.
3. Luas area b harus lebih besar dari area a (b a).
3. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan perhitungan numerik menggunakan
software komersial seperti CFD dan Maxsurf. Perhitungan numerik diaplikasikan untuk
merancang layar, menghitung stabilitas dan olah gerak kapal akibat interaksi antara badan
kapal dengan layar.
Estimasi massa dan titik pusat massa kapal dilakukan sebagai langkah awal untuk melakukan
perhitungan stabilitas. Estimasi massa dan titik pusat massa dilakukan dengan menggunakan
perhitungan pendekatan.
Pemodelan kapal dan layar dilakukan pada software maxsurfpro dan CFD terhadap badan
kapal dan pemasangan layar pada kapal tersebut. Pada software CFD bentuk layar divariasikan
menjadi tiga bentuk, yaitu segitiga, persegi dan trapesium. Pemodelan dilakukan dengan
memperhatikan beberapa kondisi batas seperti volume fluida/angin yang akan dilakukan
analisis. Volume tersebut dinyatakan dalam batas fluida terhadap layar baik secara vertikal,
horisontal melintang, maupun horisontal memanjang. Batasan tersebut ditentukan dengan
dasar bahwa batasan-batasan tersebut tidak akan mempengaruhi terhadap aliran fluida yang
Di dalam pemodelan CFD, dilakukan pemodelan kapal dan layar secara 3D dengan berbagai
variasi pemodelan yang telah ditentukan. Analisa besarnya gaya yang bekerja pada layar dapat
dilakukan dengan memodelkan layar dan memasukkan kondisi batasnya. Hasil keluaran dari
pemodelan CFD ini adalah besarnya gaya Lift dan Drag pada layar. Untuk analisa layar ini
digunakan pemodelan pada software Ansys ICEM CFD dan CFX.
Proses selanjutnya yaitu melakukan analisis terhadap stabilitas kapal dan olah gerak kapal
setelah dipadukan dengan layar menggunakan software hydromax dan seakeeper. Jika kriteria
di atas tidak terpenuhi, maka dilakukan proses ulang mengenai penentuan badan kapal,
sehingga kriterianya tercapai. Untuk perhitungan stabilitas kapal dilakukan pada kondisi kapal
dengan muatan penuh dan kapal dengan muatan kosong.
Proses Grid independence dilakukan terhadap layar segi empat dimana hasil ini akan
diterapkan pada layar betuk segitiga dan trapesium. Adapun hasil dari grid independence
tersebut dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah.
Berdasarkan hasil grid independence untuk layar segi empat, maka elemen dengan jumlah
lebih dari 1341076 buah tidak mengalami perubahan hasil yang signifikan. Sehingga jumlah
elemen dengan jumlah sekitar 1.34 juta tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk bentuk
segitiga dan trapesium.
Dari ketiga bentuk layar tersebut, hasil simulasi CFD (tabel 2, 3, 4) menunjukkan bahwa
layar dengan bentuk segitiga memiliki gaya dorong paling besar dibandingkan dengan layar
dengan bentuk trapesium maupun segi empat. Perbedaan gaya dorong bentuk segitiga dan
trapesium tidak terlalu besar, namun jika dibandingkan dengan layar bentuk segi empat gaya
dorong yang dihasilkan oleh layar segitiga jauh lebih besar. Hal ini dapat dilihat pada gambar
di bawah
Tabel 2. Nilai driving force,FR dan heeling force,FH Layar Segi empat
NO Angle of Attack DRAG (N) LIFT (N) FR FH
1 45 3716.94 3761.4 180 3716.94 -3761.4
2 60 6191.11 3512.24 180 6191.11 -3512.2
3 90 7067.32 0.99924 180 7067.32 -0.9992
Layar dengan bentuk segitiga menghasilkan gaya dorong yang lebih besar dengan bentuk
trapesium maupun segi empat diindikasikan karena layar bentuk segitiga menghasilkan
aliran penghambat (induce drag) lebih kecil pada ujug atas layar dibandingkan layar bentuk
trapesium dan segi empat. Hal ini lebih dikarenakan bentuk segi tiga memiliki ujug atas yang
lancip. Semakin tumpul bentuk ujung layar bagian atas, maka induce drag yang dihasilkan
akan semakin besar sehingga gaya dorong layar menjadi berkurang. Hal ini sama dengan
fenomena yag terjadi pada sayap pesawat terbang.
Dari analisis perhitungan stabilitas awal dari kapal, untuk kapal penyebrangan memenuhi
stability persyaratan IMO INTACT STABILITY for All Types of Ships Covered by IMO
Instruments Resolution A.749(18). Berikut adalah rekapitulasi hasil dari perhitungan stabilitas
awal kapal.
Dari hasil perhitungan stabilitas tersebut, nilai aktual untuk persyaratan stabilitas kapal masih
lebih besar jika dibandingkan dengan kriteria persyaratan IMO. Terutama untuk nilai area di
bawah kurva GZ, hal ini menandakan bahwa kapal mempunyai momen pengembali yang lebih
besar jika dibandingkan dengan yang disyaratkan oleh peraturan IMO. Pada Tabel 9 di atas
menunjukkan bahwasanya nilai area di bawah grafik GZ yang paling besar adalah pada kondisi
4 (Kapal pada kondisi muatan kosong, BBM, provision, dan air tawar dalam keadaan penuh).
Hal ini disebabkan oleh karena posisi titik berat terhadap keel (KG) kapal pada kondisi ini
cenderung lebih rendah.
Sedangkan untuk kondisi kapal yang nilai aktual persyaratan stabilitasnya paling kecil adalah
kondisi 3. Pada kondisi ini diasumsikan kapal tiba di home port dengan kondisi BBM, provision,
air tawar tinggal 10 % dan muatan penuh. Lengan pengembali kapal (lengan GZ) pada kondisi
3 ini mempunyai harga yang paling kecil untuk setiap sudut oleng kapal. Oleh karena itu para
Akibat adanya pemasangan layar sebagai alat penggerak bantu kapal, maka perhitungan teknis
terhadap stabilitas kapal perlu dilakukan kembali. Oleh karena dengan adanya penambahan
layar, maka akan terjadi perubahan berat dan titik berat kapal. Sebagai kompensasi dari
adanya layar, kapal akan mendapatkan gaya tambahan, yakni gaya aerodinamis yang bekerja
melintang kapal (heeling force). Adanya heeling force tersebut dikarenakan kedudukan/ posisi
kapal yang membentuk sudut terhadap arah angin (apparent wind angle). Akibatnya komponen
gaya aerodinamis dijabarkan menjadi driving force (gaya yang searah dengan arah kapal) dan
heeling force (gaya yang tegak lurus dengan arah kapal). Untuk perhitungan kriteria stabilitas
dengan penambahan layar dari disajikan pada Lampiran.
Dari grafik lengan stabilitas akibat pengaruh pemasangan layar didapatkan bahwasanya
dengan adanya pengaruh heeling force akibat penambahan layar pada kapal, nilai perhitungan
stabilitas kapal terdapat weather condition yang tidak memenuhi criteria stabilitas. Kondisi
tersebut adalah saat terekstrim dari pemasangan layar dimana layar dipasang dengan angle of
0 0
attack 0 dengan arah angin dari samping kapal (apparent wind angle, 90 ). Dengan demikian
tidak direkomendasikan untuk pemasangan layar pada kondisi tersebut. Sebaiknya layar
0
digunakan pada saat angle of attack 90 dan angin dari belakang kapal (apparent wind angle,
0
0 ).
Input program terdiri dua bagian. Pertama adalah data geometri kapal meliputi ukuran utama
kapal, body plan (lines plan), titik berat (CoG), titik apung (CoB), tinggi meta sentrik (MG), jari-
jari girasi untuk roll, pitch dan yaw. Kedua adalah data kecepatan kapal dan data kondisi
karakteristik gelombang laut.
Gerakan rolling, pitching & heaving merupakan rotational dan translational motions yang sangat
dominan pada kapal terhadap gelombang laut. Gerakan kapal tersebut dianalisa pada kondisi
o o
seastate-3, dengan arah gelombang 0 (following seas), gelombang 45 (stern quartering seas),
o o o
90 (beam seas), 135 (bow quartering seas ) & 180 (head seas). Sedangkan kecepatan kapal
adalah 8 knots dan kecepatan angin 4 knots.
Ketinggian gelombang yang disimulasikan pada perhitungan ini adalah 1.2 m sesuai dengan
Gerakan kapal yakni rolling, pitching dan heaving serta kecepatan dan percepatannya dianalisa
melalui perhitungan program numerik. Adapun output yang dihasilkan adalah RMS (Root Mean
Square) dan Significant Amplitude.
0
Roll motion kapal maksimum terjadi pada kondisi arah gelombang 90 (beam seas). Untuk pitch
o
motion terjadi pada kondisi arah gelombang 0 (following seas). Sedang heave motion terjadi pada
o
kondisi arah gelombang 135 (bow quartering seas).
Roll Acceleration tertinggi terjadi pada kondisi beam seas yaitu sebesar 0.178rad/s (RMS) atau
sebesar 0.356rad/s (significant amplitude), sedang pitch acceleration tertinggi pada kondisi quarter
bow seas yaitu sebesar 0.035rad/s (RMS) atau sebesar 0.070rad/s (significant amplitude) dan
heave acceleration tertinggi adalah pada kondisi quarter bow seas yaitu sebesar 0.332m/s (RMS)
atau sebesar 0.664m/s (significant amplitude).
5. Kesimpulan
Dari simulasi berbagai bentuk layar, didapatkan bahwa untuk luas yang sama bentuk segitiga
dapat menghasilkan gaya dorong terbesar dibanding bentuk yang lain. Dengan simulasi
perhitungan stabilitas kapal diketahui bahwa kondisi stabilitas kapal tanpa layar memenuhui
semua kriteria IMO INTACT STABILITY. Sedangkan untuk kondisi menggunakan layar dengan
weather condition tidak memenuhi criteria stabilitas. Kondisi tersebut adalah kondisi paling
0
ekstrim dari pemasangan layar dimana layar dipasang dengan angle of attack 0 dengan arah
0
angin dari samping kapal (apparent wind angle, 90 ). Dan kondisi ini sebenarnya tidak pernah
0 0
terjadi karena sudut layar didesain hanya sebatas 45 hingga 135 .
Sedangkan dari hasil perhitungan gerak kapal disimpulkan bahwa untuk gerak heaving
significant amplitude terbesar terjadi pada gelombang dari arah 135 yaitu sebesar 0.611 meter,
untuk rolling terjadi pada gelombang dari arah 90 yaitu sebesar 7.63 dan untuk pitching pada
gelombang dari arah 0 yaitu sebesar 2.66.
References
Cooke Assosiates, Commercial History, Walker Wingsail and the MV Ashington, (1996), issue
of Pacific Maritime magazine.
Matsumoto, N., Inoue, M. (1982). Operating Performance of a Sail Equipped Tanker in Wave
nd
and Wind. 2 International Conference of Stability of Ships and Ocean Vehicles, p.451-464.
McKinney, M.L., Schoch, R.M., Enviromental Science: Systems and Solutions, Jones and
Bartlett Publisher, 1998
ORourke, R., Navy Ship Propulsion Technologies: Options for Reducing Oil Use
Background for Congress, CSR Report for Congress, December 2006.
Pike, D., Motor Sailing : Cruising Under Sail and Power, Adlard Coles Nautical London, 1993.
Schenzle, P., Wind as an Aid for Ship Propulsion, West European Graduate Ed. In Marine
Rechnology, Aug. 1983.
Shin Aitoku Maru [Online], Available: www.marine-marchande.net [1 Agustus 2009].
SkySail [Online], Available: http://www.skysails. info [1 Agustus 2009].
Wiriadidjaja, S., Schenzle, P., The Indonesian German Indosail Project, Regional Conference
on Sail Motor Propulsion, Manila, Nov. 1985
Yoshimura, Y., (2002). A Prospect of Sail-Assisted Fishing Boats. The Japaneses Society
Fisheries Science.
Abstract
Finite Element Method and Finite Difference Method are used to analysis a stiffened plate at a pontoon. The plate is
confined by watertight bulkhead and several boundary conditions. The external force is taken from the BKI rules as
hydrostatic force per unit area acting on ship hull. The result between two methods are relatively the same for the large
number of elements .The stiffeners space are taken 0.6, 0.65, 0.7, 0.75, 0.8 m. The boundary condition located in deck
and bottom is fixed-support, and simply support in bulkhead.. The bulkheads space are taken twice and three times
spacing of the web frame. The result shows that the largest displacement is 2.875 mm at the stiffener space 0.8 m, and
the bulkhead space is three times that of the web frame. The smallest displacement is 2.230 mm at the stiffener space
0.65 m, and the bulkhead space is twice times spacing of web frame. In this study, the first conditions, the plate has
fixed support at the deck and the bottom, and simply support at the bulkhead. The second conditions, the plate has
simply support at all of edges. The analysis shows that maximum displacement (2.230 mm) and stress (0.131 GPa)
occurs when the first condition with the stiffener space is 0.65 and two web frames in between bulkheads. The
maximum displacement (3.496 mm) and stress (0.177 GPa) occurs when the second condition and the same stiffener
space. The result confirms that simply supported boundary condition is always more conservative than that of fixed
supported one. The maximum stress in the fixed-simply supported case is less than the allowable stress according to
the BKI rules.
1. Pendahuluan
Penentuan material untuk pembangunan kapal harus dihitung berdasarkan beberapa aspek
meliputi berat, kekuatan, dan harga material. Secara umum, semakin besar material yang
digunakan untuk membangun kapal maka kapal akan semakin kuat. Akan tetapi, kapal adalah
benda yang terapung di fluida cair yang mematuhi hukum archimedes. Berat air yang
dipindahkan sama dengan berat kapal tersebut. Oleh karena itu, kapal harus memiliki material
yang efisien untuk dapat memenuhi hukum tersebut. Selain untuk memenuhi hukum tersebut,
kapal yang berlayar akan mengalami sangging maupun hogging. Keadaan ini membuat badan
kapal melengkung yang mengakibatkan tegangan pada struktur kapal. Tegangan yang terjadi
pada strukutr kapal tidak boleh melebih tegangan izin dari material. Perlu diperhatikan dalam
menentukan sistem konstruksi dan pemilihan profil dan pelat.
Badan kapal akan semakin kaku apabila memiliki jarak penegar yang lebih rapat untuk kondisi
dimensi penegar yang sama pada setiap variasi jarak gading. Akan tetapi, dimensi penegar
adalah fungsi dari jarak penegar sehingga modulus penegar untuk setiap jarak gading akan
memiliki nilai yang berbeda. Besarnya tegangan yang terjadi pada struktur kapal tidak dapat
dikatakan selalu meningkat setiap peningkatan jarak gading. Pemilihan jarak gading yang tepat
akan mengefisienkan pemilihan material dalam pembangunan kapal.
Tegangan yang terjadi pada suatu pelat dipengaruhi oleh lendutannya. Metode elemen hingga
dan metode beda hingga dapat dijadikan metode untuk menentukan lendutan suatu pelat.
Dewasa ini, metode elemen hingga adalah metode yang sering digunakan untuk memecahkan
permasalahan struktur baik untuk menentukan lendutan maupun tegangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah menentukan besar lenturan dan konsentrasi tegangan, membandingkan
hasil lenturan antara Metode Elemen Hingga dengan Metode Beda Hingga, membandingkan
antara tegangan dari metode elemen hingga dengan tegangan izin dari Biro Klasifikasi
Indonesia, dan menentukan kekonservatifan antara tumpuan jepit dengan tumpuan sederhana.
Penelitian tentang analisa lenturan dengan metode elemen hingga dengan metode beda hingga
sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Analisa dilakukan pada pelat alas kapal
dengan tekanan konstan pada bidangnya. Pada penelitian kali ini, analisa dilakukan pada pelat
sisi dengan tekanan yang berubah-ubah pada bidangnya. Penentuan nodal load equivalent
menjadi point penting untuk menyelesaiakan dengan metode elemen hingga.
2. Tinjauan Pustaka
Analisa lenturan antara metode elemen hingga dan metode beda hingga pernah dilakukan oleh
peneliti lainnya. Hal yang dibahas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi lendutan dan jumlah
elemen yang digunakan. Metode Elemen Hingga dengan menggunakan finite element package
dan metode beda hingga dengan dibantu oleh visual basic dalam pembuatan programnya.
Kondisi batas yang digunakan pada penelitian tersebut adalah tumpuan jepit dan sederhana.
Pembebanan dilakukan pada pelat alas yang mana beban tersebut konstan terhadap luas alas.
3. Dasar Teori
Penyelesaian dengan metode elemen hingga dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pembagian elemen disesuaikan dengan jarak gading dan jarak sarat. Pelat dibatasi oleh jarak
sekat 2 kali jarak gading besar maka pembagian elemennya dimulai dari 10x8, 20x16, 30x24,
40x32, dan 50x40. Pelat dibatasi oleh jarak sekat 3 kali jarak gading besar maka pembagian
elemennya dimulai dari 15x8, 30x16, 45x18, 60x32, dan 75x40.
dengan :
Persamaan lenturan pelat di atas, dapat dilihat dengan jelas dengan menggunakan segitiga
pascal.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 100
1
x y
2 2
x xy y
3 2 2 3
x xy xy y
4 3 2 2 3 4
x xy xy xy y
Penyelesaian dengan metode beda hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen dilakukan
dengan cara yang sama pada metode elemen hingga. Penentuan persamaan diferensial pelat
ortotropis.
4w 4w 4w (3)
Dx 2 B 2 2 D y 4 p z (m, n)
x 4
x y x
Penyelesaian persamaan diferensial pelat ortotropis ini dengan menggunakan metode numerik.
4w
4 4 wm 2, n 4wm 1, n 6wm, n 4wm 1, n wm 2, n
1 (4)
x m, n
4w
4 4 wm, n 2 4wm, n 1 6wm, n 4wm, n 1 wm, n 2
1 (5)
y m, n
Penentuan ukuran profil penegar dengan menggunakan peraturan dari Biro Klasifikasi
Indonesia.
20. p0 .c F
ps
(10 Z T ) (11)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 101
y
p s 20. p01.
(5 z T ) B (12)
Persamaan beban diatas diambil nilai yang terbesar pada beban di atas garis air dan beban di
bawah garis air.
4. Metodologi
Pada kasus ini, suatu pelat berpenegar dan dibatasi oleh jarak sekat serta jarak alas dan
geladak. Pelat tersebut dibagi menjadi beberapa elemen sesuai dengan jarak penegarnya dan
jarak saratnya. Ukuran profil penegar menggunakan peraturan Biro Klasifikasi Indonesia dan
tebal pelat diambil 12 mm.
Hasil lenturan didapatkan dari Metode Elemen Higga dan Metode Beda Hingga. Metode
Elemen Hingga dibantu oleh software of finite element, sedangkan metode beda hingga dibantu
oleh excel.
Metode elemen hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen ditentukan oleh pembagian
elemen. Penomoran titik ditentukan untuk menentukan beban simpul dan lenturan yang terjadi.
Beban simpul terdiri dari gaya dan momen. Setiap titik memiliki 3 derajat kebebasan.
Metode beda hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen yang ditentukan oleh pembagian
elemen. Pembagian elemen ini sama dengan pembagian elemen pada metode elemen hingga.
Penomoran jaringan antara metode elemen hingga dengan metode beda hingga terdapat
perbedaan pada daerah tumpuannya. Metode elemen hingga daerah tumpunannya diberi
nomor sedangkan metode beda hingga daerah tumpuannya tidak diberi nomor tetapi diberi
nomor fiktif/khayal pada luar daerah tumpuan.
Sistem tumpuan dianalisa tumpuan jepit pada alas dan geladak, serta tumpuan sederhana
pada sekat, tumpuan sederhana pada setiap sisi. Tumpuan jepit pada alas dan geladak
digunakan pada analisa lenturan antara metode elemen hingga dengan metode beda hingga
dan menentukan lenturan dan tegangan maksimum.
Jarak sekat divariasikan, jarak sekat 2 kali jarak gading besar dan jarak sekat 3 kali jarak
gading besar. Hasil Tegangan yang didapatkan dari metode elemen hingga dibandingkan
dengan tegangan izin dari Biro Klasifikasi Indonesia. Tegangan izin dari Biro Klasifikasi
Indonesia diambil 180 MPa. Hasil tegangan dari tumpuan jepit-jepit dibandingkan dengan
tumpuan sederhana-sederhana untuk menentukan kekonservatifan lenturan dan tegangan dari
perbedaan tumpuan tersebut.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 102
B = 30,48 m
T = 4,5 m
H =6m
Cb = 0,9
Hasil lenturan yang diperoleh dari metode elemen hingga dan metode beda hingga pada
masing-masing jumlah elemen dapat dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Besat lenturan pada jarak gading 0.65 m dan jarak sekat 2 kali jarak gading besar.
Besar Lenturan dan Konsentrasi Tegangan pada setiap jarak gading dapat dilihat pada Grafik 2
dan 3 (tumpuan jepit pada alas dan geladak, tumpuan sederhana pada sekat).
Tabel 1. Besar lenturan dan tegangan pada jarak sekat 2 kali jarak gading besar.
Tabel 2. Besar lenturan dan tegangan pada jarak sekat 3 kali jarak gading besar.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 103
4 0.75 0.002754 0.148
Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 104
Jarak sekat 3 kali jarak
gading besar 0,131 0,180 0,727
Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)
Pengaruh jenis tumpuan dianalisa untuk mengetahui kekonservatifan tegangan yang terjadi.
Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 (tumpuan sederhana pada setiap sisi).
Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)
Tabel 5 dapat dibandingkan dengan Tabel 3, tegangan pada tumpuan sederhana lebih besar
dari pada tegangan pada tumpuan jepit-sederhana.
1. Pada jarak sekat 2 kali maupun 3 kali jarak gading besar, lenturan terbesar terjadi pada jarak
gading 0.8 m dan lenturan terkecil terjadi pada jarak gading 0.65 m.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar lenturan antara lain, modulus elastisitas, ukuran
profil dan tebal pelat, sistem konstruksi, dan jenis tumpuan yang dipakai.
3. Metode elemen hingga dan metode beda hingga menghasilkan besar lenturan yang relatif
sama pada jumlah elemen besar.
4. Tumpuan sederhana pada semua sisi lebih konservatif dibandingkan dengan tumpuan
campuran (jepit-sederhana). Hal ini dapat dibuktikan pada pengujian antara kondisi batas
campuran (jepit-sederhana) dengan kondisi batas sederhana di semua sisi.
Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti variasi tumpuan dan membandingkan
antara perhitungan lenturan dan tegangan pada kondisi model seluruhnya dengan model
sebagian.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 105
References
Wibowo, L.A, Analisa Pengaruh Jarak Penegar Terhadap Besar Lendutan dengan Metode Beda
Hingga, Jurusan Teknik Perkapalan ITS, Surabaya, 2010.
Xuan, N., Rabczuk T., Bordas, S., and Debongni, J.F., A Smoothed Finite Element Method For
Plate Analysis, Mechanical Engineering, University of Canterbury, 2008.
Kumar, S. and Mukhopadhya, M., Finite Element Analysis of Ship Structure Using A New
Stiffened Plate Element, Departement of Ocean Engineering and Naval Architecture, Indian
Institute of Technology, Kharagpur 721 302, India, 2000.
Yang, T.Y., Finite Element Structural Analysis, Prentice-Hall Inc.Englewood Cliffs, 1986.
Szilard, R., Teori dan Analisis Pelat Metode Klasik dan Numerik, PT. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta, 1974.
Timoshenko, S.P. and Woinowsky, K.S., Theory of Plate and Shells, Mcgraw-Hill Publishing Co.,
1959.
Indonesia, B.K., Rules For The Clasification And Construction Of Seagoing Steel Ships, Biro
Klasifikasi Indonesia, Jakarta, 2004
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 106
ANALISA KEKUATAN UMUR STRUKTUR KATAMARAN BERBAHAN ALUMINIUM
*1 1 1 1
Budie SANTOSA , Achmad ZUBAYDI and Miftachul HUDA , Septian HARDY PP , Udah
1
IFAH
1
Department of Naval Architecture and Ship Building Engineering,
Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: Budies@na.its.ac.id
Abstract
During the operation, the ship receives a cyclic load and a repetitive irregular wave that cause the stress and strain of
ships structure. The study analyzes the maximum stress acting on the ship which has two hulls, i.e. Catamaran, and the
results are used for calculating the strength of catamarans construction. The analysis is conducted for the model of
catamaran with the material of alminium and distance of hulls (S / L) = 0.3 using the finite element method. The fatigue
life assessment of structures is calculated by the simplified method of loading waveform and varying load conditions.
The wave loads that produce the nominal stress are used as input to calculate the cumulative fatigue damage, and the
results are utilyzed to calculate the fatigue life of the seven types of connections that are considered as the critical
structures. The results show that the most critical structural connection occurs at the junction between the side girders
and beams, and the deck area between the frame and the inner bottom where the value of the smallest fatigue life is 29
years. It still meets the criteria required of design fatigue life, i.e. 25 years.
1. Pendahuluan
Dalam tiga dasawarsa terakhir terdapat peningkatan yang pesat akan kebutuhan kapal
berbadan banyak (multihulls) untuk sejumlah pemakaian seperti untuk kapal penumpang
(ferries), kapal penangkap ikan (trawlers), sarana olah raga (sporting craft) dan riset
(oceanographic research vessel) (Utama dan Molland, 1997). Kelebihan mendasar dari kapal
jenis ini dibandingkan dengan kapal berbadan tunggal (monohull) adalah letak akomodasi yang
menarik, peningkatan stabilitas kearah melintang dan pada sejumlah kasus dapat mengurangi
kapasitas tenaga penggerak kapal untuk mencapai kecepatan dinas tertentu (Turner dan
Taplin, 1968).
Berbagai bentuk kapal telah dikembangkan untuk memenuhi kriteria desain kapal tersebut. Di
antara berbagai bentuk yang ada, maka konsep kapal katamaran yang paling banyak dipilih
dan mendapatkan perhatian, karena sejumlah kelebihannya antara lain memiliki luasan geladak
yang lebih besar dan stabilitas melintang yang lebih baik dibandingkan kapal berbadan tunggal
(Insel dan Molland, 1992).
Untuk mengetahui kekuatan konstruksi kapal katamaran, penelitian ini menganalisa kekuatan
struktur kapal dengan menghitung tegangan ijin yang bekerja dan menganalisa umur
konfigurasi struktur (fatigue life) dimana materialnya menggunakan aluminium 5083, sehingga
diketahui konfigurasi struktur kapal katamaran yang aman untuk jangka waktu yang lama.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Fatigue Kapal Katamaran
Fatigue (kelelahan) adalah kerusakan pada struktur akibat konsentrasi tegangan yang terjadi
akibat beban siklis atau berulang dari lingkungan (gelombang, angin, arus dan lain lain) yang
bekerja secara terus menerus (Bai, 2003).
2.2. Prosedur Perhitungan Kelelahan
Secara umum, ada dua metode yang dapat digunakan untuk menganalisa kelelahan, yaitu
pendekatan kurva S-N (S-N curve approach) yang dibuat berdasarkan tes kelelahan, dan
pendekatan mekanika kepecahan (fracture mechanics approach). Untuk tujuan desain
kelelahan, pendekatan kurva S-N lebih banyak digunakan dan dianggap sebagai metode yang
paling cocok. Sedangkan metode mekanika kepecahan digunakan untuk menentukan ukuran
cacat yang dapat diterima, menaksir perambatan retak kelelahan. merencanakan inspeksi dan
strategi untuk memperbaikinya, dan lain-lain.
2.3. Beban
Widodo (2010) , menyebutkan bahwa beban yang dapat menyebabkan terjadinya kelelahan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 107
pada struktur adalah beban yang bersifat siklik, yaitu :
Beban siklis frekuensi rendah (quasi-statis) yang ditimbulkan oleh eksitasi gelombang dengan
7 8
jumlah sekitar 10 s/d 10 kali selama umur operasi struktur (25 tahun);
Beban siklis frekuensi tinggi (dinamis), yang dapat diklasifikasikan menjadi beban transient
(slamming, wave slapping, hull whipping) dan steady (mesin, baling-baling, hull springing)
6
dengan jumlah sekitar 10 kali selama umur operasi struktur (25 tahun);
Beban siklis frekuensi sangat rendah (statis) akibat perubahan beban (logistik) di atas struktur
dan hidrostatik (pasut) dengan jumlah sekitar 4000 ~ 8000 kali selama umur operasi struktur
(25 tahun);
Beban siklis karena gradien panas tak beraturan akibat cuaca dan temperatur muatan dengan
jumlah sekitar 7000 kali selama umur operasi struktur (25 tahun).
2.4. Kondisi Pembebanan ( loadcase )
Untuk jenis kapal katamaran belum ada rule yang dapat menjelaskan probabilitas loading
conditions yang bekerja; karena itu loading conditions divariasi dengan melihat keadaan yang
memungkinkan saat beroperasinya kapal seperti terlihat pada Tabel 1:
Tabel 1.
Prosentase Probability tiap Loadcase
Load Ruang Muat Probability
Fuel Oil (%)
case (%) [%]
1 100 50 20
2 0 100 20
3 50 50 20
4 10 10 20
5 100 10 20
Nilai K2 dan m dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai K2 dan m berbeda untuk tiap jenis sambungan
(Common Structural Rules for Double Hull Oil Tanker, 2010). Klas untuk sambungan las yang
cocok dengan detil sambungan dari struktur kapal kebanyakan adalah klas F dan F2.
Sambungan las fillet termasuk ke dalam klas F, F2, atau G tergantung dari ukuran orientasi dan
lokasi las-lasan. Saat ini tersedia electrodes yang dibuat secara spesifik untuk akar las agar
mendapatkan hasil dengan kualitas las satu sisi yang lebih baik (tanpa backing).
Menurut Bai (2003) dengan meningkatnya kualitas hasil pengelasan ini, sambungan tersebut
dapat dikategorikan ke dalam klas F2 jika dilakukan dengan penetrasi penuh.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 108
Tabel 2.
Jenis Sambungan (CSR for Double Hull Oil Tanker, 2010)
(3)
Dari persamaan (3) terlihat bahwa stress concentration factor adalah perbandingan antara
rentang tegangan hotspot dengan rentang tegangan nominal. Semua tegangan yang naik harus
diperhatikan saat mengevaluasi stress concentration factor (SCF). Hasil akhir dari persamaan
SCF adalah persamaan (4):
(4)
dimana :
SCFg = Faktor konsentrasi tegangan akibat bentuk kasar dari detil struktur
SCFw = Faktor konsentrasi tegangan akibat bentuk las-lasan
SCFte = Faktor konsentrasi tegangan tambahan karena toleransi keanehan bentuk (biasanya
digunakan hanya untuk sambungan pelat)
SCFta = Faktor konsentrasi tegangan tambahan karena ketidaktepatan sudut (biasanya
digunakan hanya untuk sambungan pelat)
SCFn = Faktor konsentrasi tegangan tambahan untuk penguat
Untuk marine structure, fungsi probabilitas dari rentang tegangan dapat digambarkan dengan
dua parameter distribusi Weibull seperti persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika A
dan adalah parameter skala dan parameter bentuk maka akan didapat persamaan damage
fatigue :
(6)
Jika :
(7)
maka :
(8)
(9)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 109
maka dengan mengkombinasikan persamaan (8) dan (9), akumulasi kerusakan jangka panjang
dapat ditulis sebagai persamaan (10) :
(10)
Sedangkan jika A:
(11)
Persamaan akumulasi kerusakan jangka panjang dapat ditulis dalam bentuk persamaan (12)
berikut :
(12)
dimana :
No = Total jumlah siklus dalam periode jangka panjang selama masa hidup
S0 = Rentang tegangan maksimum, dalam setiap N0 cycles
P(S>S0) = (rentang tegangan kelelahan S melebihi S0 sekali dalam N0 cycles)
Selanjutnya dengan asumsi bahwa distribusi jangka panjang dari rentang stres sesuai dengan
dua parameter weibull dan probabilitas distribusi, maka perhitungan kerusakan kumulatif DM
untuk setiap kondisi yang relevan dapat dihitung sebagai (Common Structural Rules for Double
Hull Oil Tanker, 2010) seperti terlihat pada persamaan (13) :
(13)
dimana :
: jumlah siklus untuk umur desain yang direncanakan. kecuali dinyatakan jika tidak,
NL harus diambil sebagai = dengan nilai umumnya antara 0.6x108 dan
0.8x108 siklus untuk desain kehidupan 25years
: 0,85, dengan mempertimbangkan faktor tidak berlayar waktu untuk operasi seperti
bongkar muat, perbaikan, dll
: lama perencanaan, dalam detik = untuk desain umur 25 tahun
: aturan panjang, dalam m,
: parameter grafik S-N
: parameter grafik S-N
: proporsi untuk ship life
0.5 untuk kondisi muatan penuh
0.5 untuk kondisi balas
: rentang stress yang di kemungkinan berkisar level 10-4 in N/mm2
: 10 000, jumlah siklus yang sesuai dengan probabilitas level 10-4
: parameter distribusi weibull
: gamma function
: koefisien memperhitungkan perubahan kemiringan grafik S-N
(14)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 110
: kisaran stres di persimpangan dua segmen dari grafik SN
: 2
: incomplete gamma function
3. Metodologi Penelitian
3.1. Perhitungan Pembebanan
Beban air laut (sea pressure) merupakan suatu pembebanan yang disebabkan oleh tekanan air
laut. Besar kecilnya tekanan yang dihasilkan dipengaruhi oleh besar kecilnya sarat kapal.
Berikut ini gambaran penyebaran sea pressure berdasarkan RINA 2010.
Beban gelombang (wave pressure) merupakan suatu pembebanan akibat gelombang air laut.
Beban gelombang dalam regulasi RINA 2010 dibedakan menjadi dua macam kondisi yaitu
kondisi yaitu kondisi upright dan kondisi inclined.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 111
3.4. Pemberian Kondisi Pembebanan
Proses pembebanan struktural dilakukan dengan mengambil data dari proses pembebanan sea
pressure yang diberikan oleh rule. Pembebanan yang digunakan adalah sea pressure, wave
pressure, liquid pressure, inertial pressure yang terdiri dari beberapa load case atau variasi
muatan dan uniform cargoes pressure.
Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tegangan nominal tiap jarak gading berbeda, begitu pula nilai
untuk tiap loadcase memiliki nilai yang berbeda pula. Dari Tabel 6 juga terlihat bahwa nilai
2
tegangan maksimum terjadi pada loadcase ke-2 yaitu 56.4 N/ mm yang terletak pada gading
no. 5 yaitu terletak pada daerah sekat.
Untuk Tabel 7-12 nilai nominal tegangan juga berbeda. Hal ini diakibatkan karena pembebanan
yang berbeda untuk tiap loading condition (loadcase) seperti terlihat pada Tabel 1, dan letak
serta karakteristik sambungan yang berbeda.
Tabel 5. Jenis Sambungan Pada Konstruksi Kapal
No. Jenis Sambungan
1 Antara side girder dan balok geladak
2 Antara center girder dan balok geladak
3 Antara side girder dan sekat melintang
4 Antara girder dan wrang plat
5 Antara gading dan balok geladak (daerah tengah)
6 Antara gading dan balok geladak (daerah pinggir)
7 Antara gading dan inner bottom
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 112
Tabel 7. Nilai tegangan pada sambungan 2
Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 - - - - -
4 5.80E-03 3.70E-02 4.58E-03 3.88E-03 6.34E-03
5 5.88E-03 3.70E-02 4.67E-03 3.79E-03 5.90E-03
6 4.16E-03 3.70E-02 3.74E-03 3.22E-03 3.85E-03
7 2.31E-03 3.70E-02 2.64E-03 2.69E-03 2.24E-03
8 1.77E-03 3.70E-02 1.90E-03 2.05E-03 1.77E-03
9 2.24E-03 3.70E-02 2.08E-03 2.16E-03 2.25E-03
10 2.27E-03 3.70E-02 2.04E-03 1.94E-03 2.27E-03
11 2.49E-03 3.70E-02 2.23E-03 2.05E-03 2.48E-03
12 3.10E-03 3.70E-02 2.13E-03 1.40E-03 3.08E-03
13 3.00E-03 3.70E-02 1.68E-03 6.10E-04 2.98E-03
14 2.29E-03 3.70E-02 1.47E-03 1.25E-03 2.27E-03
15 2.21E-03 3.70E-02 2.55E-03 2.77E-03 2.22E-03
16 1.97E-03 3.70E-02 2.56E-03 2.96E-03 1.99E-03
17 - - - - -
nilai Max 0.00588 0.037 0.00467 0.00388 0.00634
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 113
7 1.19E-02 9.60E-03 1.04E-02 1.01E-02 1.20E-02
8 1.18E-02 9.60E-03 1.04E-02 9.90E-03 1.17E-02
9 1.31E-02 1.07E-02 1.15E-02 1.09E-02 1.31E-02
10 1.21E-02 9.60E-03 1.05E-02 9.90E-03 1.21E-02
11 8.20E-03 1.17E-02 9.60E-03 1.18E-02 1.16E-02
12 1.32E-02 9.60E-03 1.01E-02 9.10E-03 1.32E-02
13 1.39E-02 9.70E-03 1.13E-02 1.00E-02 1.39E-02
14 1.44E-02 9.90E-03 1.19E-02 1.03E-02 1.44E-02
15 1.55E-02 9.50E-03 1.19E-02 9.90E-03 1.55E-02
16 2.05E-02 1.01E-02 1.50E-02 1.14E-02 2.05E-02
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.0205 0.0133 0.015 0.0137 0.0205
Dari Tabel 6-12 terlihat bahwa nilai tegangan untuk tiap loadcase dan jenis sambungan memiliki
nilai yang berbeda. Nilai maksimum tegangan cenderung terjadi pada loadcase ke-2 yaitu pada
jenis sambungan 1, sambungan 2, sambungan 3, dan sambungan 4 dari 7 jenis sambungan.
Pembebanan loadcase ke-2 pada kondiisi tangki fuel oil berisi penuh dan dua kompartemen
ruang muat dikosongkan seperti terlihat pada Tabel 1. Hal itu menyebabkan terjadinya
perbedaan tegangan yang besar pada sekat antara fuel oil dan ruang muat.
Sedangkan untuk daerah sambungan yang memiliki nilai total tegangan maksimum terbesar
untuk seluruh loading condition yaitu pada sambungan 1 dan 7, sehingga kedua sambungan
tersebut paling kritis.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 114
4.2. Perhitungan Damage Cummulative untuk (DM) Tiap Sambungan
Setelah diperoleh nilai tegangan pada masing-masing jarak gading untuk tiap jenis sambungan,
maka nilai tegangan maksimum yang terjadi pada tiap loading condition (loadcase). dapat
diketahui. Dengan diketahuinya nilai tegangan maksimum, maka nilai Damage Cummulative
tiap jenis sambungan dapat di hitung, besar fatigue life yang terjadi juga bisa dihitung dan
hasilnya terlihat pada Tabel 13-19.
Tabel 13. Tabel 14.
Nilai Damage Cummulative pada Nilai Damage Cummulative pada
sambungan
Fatigue Damage1(D) sambungan Fatigue
2 Damage (D)
Palmgren - Miner's Palmgren - Miner's
Weibull Distribution Weibull Distribution
STRESS
i .N L S Rim STRESS i .N L S Rim m
No. Loadcase
DM
m
i (1 ) No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m / K2 (ln N R )m /
Si i m m Si i m m ,
2 1
m
, i 1 , i i = D 1
m
, i 1 i
i = D
N/mm N/mm2
1 Loadcase 1 47.916 6.315E+00 3.308246666 30.45972256 0.42902 2.14E-02 1 Loadcase 1 10.6722 3.838E+01 3.311048736 30.67560068 0.02139 2.36E-05
2 Loadcase 2 102.366 2.536E+00 2.718699318 16.71763843 1.25146 6.10E-01 2 Loadcase 2 6.72E+01 4.209E+00 3.311048736 30.67560071 0.84700 2.33E-01
3 Loadcase 3 21.78 1.629E+01 3.311048736 30.67560059 0.08909 4.18E-04 3 Loadcase 3 8.47605 5.062E+01 3.311048736 30.67560071 0.01349 7.47E-06
4 Loadcase 4 13.794 2.820E+01 3.311048736 30.67560071 0.03574 4.26E-05 4 Loadcase 4 7.04E+00 6.325E+01 3.311048736 30.67560071 0.00931 2.96E-06
5 Loadcase 5 79.6785 3.427E+00 3.120804577 24.27208622 1.00092 2.30E-01 5 Loadcase 5 11.5071 3.506E+01 3.311048736 30.67560046 0.02487 3.44E-05
DM = 8.62E-01 DM = 2.33E-01
Year = 2.90E+01 Year = 1.07E+02
STRESS i .N L S m
m STRESS i .N L S Rim m
No. Loadcase DM Ri
i (1 ) No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m / K2 (ln N R )m /
Si i m m m Si i m m m
1 , i 1 , i i = D 1 , i 1 , i i = D
N/mm2 N/mm2
1 Loadcase 1 30.723 1.094E+01 2.347684977 12.38908965 0.22491 7.71E-03 1 Loadcase 1 9.43635 5.209E+01 2.600945636 17.39539115 0.01689 1.68E-05
2 Loadcase 2 65.142 4.052E+00 0.805145283 1.511499705 0.76039 2.48E-01 2 Loadcase 2 50.358 5.694E+00 0.599490924 0.914455142 0.79480 1.20E-01
3 Loadcase 3 14.091 3.066E+01 2.600805604 17.38577194 0.03770 1.25E-04 3 Loadcase 3 25.179 1.423E+01 2.521688388 15.29069878 0.13620 2.57E-03
4 Loadcase 4 13.86 3.134E+01 2.600838445 17.38781864 0.03647 1.15E-04 4 Loadcase 4 8.2236 6.247E+01 2.600945668 17.39539548 0.01283 8.43E-06
5 Loadcase 5 13.86 3.134E+01 2.600838445 17.38781864 0.03647 1.15E-04 5 Loadcase 5 48.048 6.059E+00 1.470088675 4.498729128 0.54806 7.19E-02
DM = 2.56E-01 DM = 1.94E-01
Year = 9.75E+01 Year = 1.29E+02
i .N L i .N L m
S Ri m
i (1 )
STRESS
DM
STRESS m
S m
No. Loadcase DM Ri
i (1 ) No. Loadcase
K2 (ln N R ) m /
K2 (ln N R ) m /
Si i m m m Si i m m m
1 , i 1 , i i = D 1 , i 1 , i i = D
N/mm2 N/mm2
1 Loadcase 1 37.2075 8.495E+00 2.594057023 17.10746475 0.26095 7.94E-02 1 Loadcase 1 25.137 1.427E+01 2.600E+00 1.735E+01 0.86840 1.09E-01
2 Loadcase 2 24.1395 1.505E+01 2.600934187 17.39439044 0.11055 9.19E-03 2 Loadcase 2 15.435 2.718E+01 2.600945617 17.3953888 0.85724 2.49E-02
3 Loadcase 3 27.225 1.284E+01 2.600844734 17.38821819 0.14060 1.68E-02 3 Loadcase 3 19.257 2.029E+01 2.600937163 17.3946311 0.86100 4.86E-02
4 Loadcase 4 24.8655 1.447E+01 2.600925334 17.39370499 0.11730 1.07E-02 4 Loadcase 4 14.847 2.861E+01 2.60094565 17.39539306 0.85673 2.22E-02
5 Loadcase 5 37.2075 8.495E+00 2.594057023 17.10746475 0.26095 7.94E-02 5 Loadcase 5 25.137 1.427E+01 2.60019613 17.35286263 0.86840 1.09E-01
DM = 1.96E-01 DM = 3.14E-01
Year = 1.28E+02 Year = 7.97E+01
STRESS i .N L m
S Ri m
No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m /
Si i m m m
1 , i 1 , i
i = D
N/mm2
1 Loadcase 1 54.978 5.353E+00 2.164E+00 1.727E+01 0.93642 3.72E-01
2 Loadcase 2 19.551 1.854E+01 2.577005683 30.66852569 0.86552 1.54E-02
3 Loadcase 3 39.984 7.849E+00 2.520693409 26.19522866 0.90390 1.38E-01
4 Loadcase 4 17.787 2.077E+01 2.600944068 30.67397507 0.86179 1.16E-02
5 Loadcase 5 52.626 5.642E+00 2.236082606 18.66068298 0.93168 3.24E-01
DM = 8.61E-01
Year = 2.90E+01
Pada Tabel 13-19 input data untuk perhitungan DM (Damage Cummulative) adalah nilai
tegangan maksimum untuk semua loadcase (loading condition). Perhitungan DM dilakukan
pada tiap jenis sambungan untuk melihat nilai DM terbesar sehingga nantinya dapat diketahui
besar nilai umur kapal (fatigue life) untuk tiap jenis sambungan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 115
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai DM terbesar terjadi pada jenis sambungan 1 dan 7
sehingga umur kapal terkecil ada pada kedua daerah sambungan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 13 dan Tabel 19. Hasil perhitungan umur kapal untuk masing-masing jenis sambungan
dapat di lihat pada Tabel 20 di bawah ini.
Tabel 20. Nilai fatigue life pada tiap jenis sambungan
umur
No. Jenis Sambungan (connection)
kelelahan
1 Antara side girder dan balok geladak 29 tahun
2 Antara center girder dan balok geladak 107 tahun
3 Antara side girder dan sekat melintang 97.5 tahun
4 Antara girder dan wrang plat 129 tahun
5 Antara gading dan balok geladak (daerah tengah) 128 tahun
6 Antara gading dan balok geladak (daerah pinggir) 79.9 tahun
7 Antara gading dan inner bottom 29 tahun
5. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan analisa dengan metode elemen hingga dan perhitungan manual,
dimana pembebanan dan kondisi batasnya mengikuti ketentuan RINA 2010, didapatkan
kesimpulan sebagai berikut :
a. Nilai tegangan Von Mises berbeda untuk setiap pembebanan, setiap sambungan dan untuk
tiap jarak gading;
b. Tegangan von Mises maksimum terdapat pada kondisi pembebanan 2 yang terdapat pada
sambungan 1 yaitu antara side girder dan balok geladak dan sambungan 3 yaitu antara side
2
girder dan sekat melintang dengan nilai tegangan 56.4 N/mm . Namun harga ini dibawah
tegangan normal berdasarkan perhitungan rule yaitu 249.46 N/mm2
c. Fatigue life struktur katamaran terkecil adalah 29 tahun untuk sambungan 1 yaitu antara side
girder dan sambungan 7 antara gading dan inner bottom untuk seluruh loading condition.
Umur ini memenuhi untuk segi desain karena lebih besar dari standar umur kapal yaitu 25
tahun.
References
Couser, P. R., Molland, A. F., Armstrong, N. A. dan Utama, IKAP, (1997): Calm Water Powering
Prediction for High-Speed Catamarans, Proceding of FAST 1997, Sydney 21-23 Juli.
Turner H., dan Taplin. (1968): The resistance of large powered catamarans, Transactions
SNAME, Vol. 76 , 1968
Insel, M. dan Molland, A.F. (1992): An Investigation into the Resistence Components of High-
Speed Displacement Catamaras, Transactions RINA, Vol. 134.
Widodo, (2010): Kendalan Scantling Struktur Geladak Dan Dasar Pada Konversi Tanker
Menjadi FPSO Terhadap Beban Kelelahan. Penelitian Jurusan Teknik Kelautan.
Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Bai, Y., (2003): Marine Structural Design. Oxford : Elsevier Science Ltd.
International Association of Classification Societies (2010); Common Structural Rules for Double
Hull Oil Tanker. London : IACS Council
Registro Italiano Navale (2010): Hull and Stability Genova-Italy: Rules for The Classification of
Ships.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 116
PENGARUH KARAKTERISTIK GEOMETRI TERHADAP STABILITAS KAPAL
*1 1 1 1 1
Daeng PAROKA , Syamsul ASRI , Misliah , M. Ardi SARNA and Haswar
1
Department of Naval Architecture, Faculty of Engineering, Unhas-Makassar.
*E-mail: d_paroka@yahoo.com
Abstract
Equilibriumis one of safety parameters of ships in seaways as required by the International Maritime Organization (IMO)
or national ship classification in order to get safety certificates. Therefore characteristics the ship stability should be
initially controlled in design stage. In order to easily investigate the ship stability in design process, it is necessary to
investigate relationship between the ship geometry and stability characteristics.
This paper discuss effect of several geometry characteristics of ship, such as breadth and draft ratio as well as
freeboard and breadth ratio. These geometries ratio are varied in a certain range and calculate righting arm of the ships.
The obtained righting arms are evaluated using the IMO intact stability kriteria. Basec on the evaluation results, the
minimum breadth and draft ratio as well as the minimum freeboard and breadth ratio can be obtained as function of
vertical center of gravity and height ratio. These results show that the ship stability tends to increase when the breadth
and draft ratio increases. The ships with larger draft have better stability than the smaller one for the same breadth and
draft ration. The ship stability also increases when the freeboard and breadth ration increase. In cases of freeboard and
breadth ration less than 0,06 the difference of stability characteristics are not significant for all ships subject. A significant
difference occurs when the ratio of freeboard and breadth is larger than 0,10. This difference may caused by the hull
form characteristics such as the block coefficient of the subject ships.
1. Pendahuluan
Proses perancangan kapal telah mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan
perkembangan teknologi komputer serta perubahan orientasi desain yang berfokus pada
kemungkinan resiko yang akan dihadapi oleh kapal dalam pelayaran (risk based design).
Perubahan tersebut tidak hanya berakibat terhadap perkembangan metode perancangan tetapi
juga tahapan atau langkah-langkah dari perancangan itu sendiri. Dalam perancangan yang
berbasis resiko, semua kemungkinan resiko yang dapat terjadi selama pelayaran
dipertimbangkan sebagai salah satu perysaratan yang harus dipenuhi pada setiap tahapan
perancangan (Vassalos, 2004). Salah satu keuntungan dari perancangan kapal berbasis resiko
adalah dampak dari setiap keputusan yang diambil dalam setiap tahapan perancangan dapat
diketahui lebih awal sehingga dapat diperbaiki sebelum masuk pada tahapan selanjutnya. Hal
ini berbeda dengan metode perancangan klasik dimana proses pengulangan tahapan awal
dapat terjadi pada saat salah satu kriteria tidak terpenuhi pada tahapan desain lanjutan.
Pada tahapan awal perancangan yaitu penentuan ukuran utama kapal serta karakteristik
geometri lainnya, karakteristik kapal baik yang berhubungan dengan masalah unjuk kerja
seperti tahanan dan propulsi maupun yang berhubungan dengan masalah keselamatan seperti
stabilitas, kekuatan dan maneuvering sudah harus bisa diprediksi. Prediksi awal tersebut dapat
dilakukan berdasarkan rasio ukuran utama kapal (Phoels, 1982). Rasio ukuran utama yang ada
saat ini kemungkinan tidak relevan lagi untuk dipakai pada perancangan kapal dalam dua
dekade terakhir karena adanya perubahan karakteristik kapal seperti kecepatan kapal serta
kesesuaian dengan kondisi lingkungan perairan dan pelabuhan serta karakteristik muatan yang
akan diangkut. Oleh karena itu perlu perlu dilakukan penelitian terhadap kapal-kapal yang
dibangun dalam kurung waktu tersebut untuk mendapatkan pengaruh karekteristik geometri
terhadap keselamatan serta unjuk kerja kapal dalam pelayaran. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan rasio ukuran utama yang cocok sebagai kontrol desain kapal yang akan dibangun
saat ini dan di masa yang akan datang.
Salah satu parameter penting yang berhubungan dengan masalah keselamatan kapal dalam
pelayaran adalah stabilitas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kapal-kapal dengan
sarat rendah atau yang mempunyai perbandingan lebar dengan sarat yang besar cenderung
tidak memenuhi salah satu kriteria stabilitas Organisasi Maritim Internasional (IMO) (IMO, 2002)
khususnya sudut oleng dimana lengan stabilitas maksimum terjadi. Kapal dengan rasio lebar
dan sarat yang besar seperti kapal fery ro-ro yang dibangun dalam negeri serta kapal-kapal
angkutan sungai mempunyai lengan stabilitas maksimum pada sudut oleng lebih kecil dari 25
derajat. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh lambung timbul yang relative kecil atau rasio antara
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 117
lambung timbul dengan lebar kapal yang kecil (Paroka, et. al., 2009 dan Ali, 2011). Bentuk
badan kapal yang ada di bawah permukaan air juga mempunyai pengaruh terhadap
karakteristik lengan stabilitas kapal khususnya kenaikan dasar kapal (rise of floor) (Paroka,
2007). Perubahan karakteristik lengan stabilitas akibat kenaikan dasar kapal tersebut diduga
karena perubahan lebar garis air yang signifikan pada saat kapal mengalami kemiringan
dengan sudut yang lebih besar dari sudut dimana bilga kapal mulai muncul ke permukaan air.
Paper ini membahas tentang pengaruh karakteristik geometri kapal yang meliputi perbandingan
ukuran utama serta koefisien bentuk kapal terhadap stabilitas. Dengan adanya hubungan
tersebut, prediksi awal kondisi stabilitas kapal dapat diketahui pada tahapan awal perancangan.
Dengan demikian ukuran utama dan koefisien bentuk yang diperoleh sudah dievaluasi terhadap
rasio ukuran utama ataupun koefisien bentuk sesuai dengan type kapal rancangan.
Karakteristik geometri yang berhubungan dengan stabilitas adalah perbandingan antara lebar
dan sarat kapal, perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal serta koefisien bentuk
kapal. Pada paper ini hanya membahas dua yang pertama yaitu perbandingan lebar dan sarat
serta perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal. Dari hasil analisis akan diperoleh
rentang dari setiap perbandingan tersebut dengan kondisi stabilitas yang masih memenuhi
kriteria stabilitas IMO. Hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan informasi awal untuk
penelitian selanjutnya mengenai penentuan lambung timbul minimum khususnya untuk kapal
penyeberangan antar pulau di Indonesia.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel 4 (empat) kapal penyeberangan antar pulau dengan
kapasitas yang berbeda. Pengambilan sampel ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kapal
tersebut mempunyai karakteristik geometri yang berbeda dengan kapal yang lain. Lebar kapal
besar untuk mengangkut kendaraan serta sarat yang kecil untuk menyesuaikan dengan kondisi
pelabuhan. Dengan demikian perbandingan antara lebar dan sarat besar. Lambung timbul kapal
penyeberangan antar pulau juga tergolong kecil dengan pertimbangan kemudahan bongkar
muat kendaraan khususnya pada pelabuhan dengan perbedaan pasang surut yang cukup
besar. Rasio antar lambung timbul dan lebar kapal oleh karena itu relative kecil. Dengan
karakteristik geometri seperti itu, lengan stabilitas maksimum cenderung untuk terjadi pada
sudut kemiringan kurang dari 25 derajat (Paroka, 2009 dan Ali, 2011). Data teknis berupa
ukuran utama serta bodyplan dari kapal sampel dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1 - 4.
Kapal 500 GT mempunyai lambung timbul paling besar dengan sarat yang paling kecil. Dengan
demikian kapal 500 GT mempunyai perbandingan lebar dan sarat serta lambung timbul dan
lebar yang terbesar. Akan tetapi kapal ini mempunyai koefisien blok yang terkecil di antara
keempat kapal sampel. Kapal 200 GT dan 300 GT mempunyai lambung timbul yang sama yaitu
0,80, tetapi kapal 300 GT mempunyai lebar yang lebih besar sehingga rasio lambung timbul
dan lebar dari kapal 300 GT juga lebih besar. Kapal 300 GT mempunyai koefisien blok terebsar
dari semua kapal sampel. Geladak kendaraan dari keempat kapal sampel terletak pada geladak
utama serta mempunyai rampdoor pada bagian haluan dan buritan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 118
Gambar 1. Body plan kapal 200 GT Gambar 2. Body plan kapal 300 GT
Gambar 3. Body plan kapal 500 GT Gambar 4. Body plan kapal 600 GT
Untuk dapat mengamati pengaruh perbandingan antara lebar dan sarat kapal terhadap
stabilitas, sarat kapal divariasikan dengan lebar yang tetap. Variasi sarat kapal dilakukan
dengan mengambil 2 (dua) sarat yang lebih kecil dari sarat desain seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1 dan 2 (dua) sarat yang lebih besar dari sarat desain. Metode yang sama dilakukan
untuk mengamati pengaruh perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal. Titik berak
kapal (KG) juga divariasikan dari titik berat terendah yang mungkin terjadi sampai pada titik
berat sama dengan tinggi kapal. Meskipun pada kenyataanya, titik berat dapat lebih besar dari
tinggi kapal untuk kapal fery ro-ro mengingat semua muatan berada di atas geladak utama.
Pada setiap variasi rasio, lengan stabilitas kapal dihitung dan dievaluasi dengan kriteria
stabilitas IMO (IMO, 2002). Pengaruh bangunan atas terhadap lengan stabilitas tidak
diperhitungkan. Berdasarkan hasil perhitungan lengan stabilitas dan hasil evaluasi terhadap
kriteria stabilitas IMO, perubahan karakteristik lengan stabilitas sebagai fungsi dari dua
perbandingan ukuran utama dapat diperoleh. Pengaruh momen penumpang, momen cikar serta
kemungkinan terjadinya pergeseran kendaraan ketika kapal oleng dengan sudut yang besar
tidak diperhitungkan dalam analisis ini.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 119
Gambar 5. Lengan stabilitas kapal 200 GT Gambar 6. Lengan stabilitas kapal 300 GT
Gambar 7. Lengan stabilitas kapal 500 GT Gambar 8. Lengan stabilitas kapal 600 GT
Sudut kemiringan dengan lengan stabilitas maksimum juga cenderung untuk bertambah besar
dengan bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Besar pertambahan sudut kemiringan
dengan lengan stabilitas maksimum semakin kecil ketika rasio lebar dan sarat kapal semakin
besar. Pada rasio lebar dan sarat yang kecil atau sarat kapal yang relatif besar, sudut dimana
lengan stabilitas maksimum terjadi sangat dipengaruhi oleh lambung timbul. Ketika sarat kapal
diperkecil atau rasio lebar dan sarat menjadi besar, sudut kemiringan dimana dasar kapal
muncul di atas permukaan air juga berpengaruh terhadap sudut kemiringan dimana lengan
stabilitas maksimum terjadi. Hal ini disebabkan karena perubahan momen inersia garis air yang
akan menjadi lebih kecil ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut dimana dasar kapal
muncul di atas permukaan air. Penurunan momen inersia garis air menyebabkan jari-jari
metacentra kapal berkurang sehingga lengang stabilitas juga menjadi semakin kecil. Oleh
karena itu, perubahan sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum terjadi semakin
kecil pada rasio lebar dan tinggi kapal yang besar. Berdasarakan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengaruh rasio lebar dan sarat kapal semakin kecil dengan bertambahnya
rasio tersebut.
Sudut kemiringan dengan lengan stabilitas nol (angle of vanishing stability) semakin besar
dengan bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Perubahan angle of vanishing stability akibat
perubahan rasio lebar dan sarat kapal tersebut juga disebabkan oleh perubahan karakteristik
garis air ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut kemiringan dimana geladak kapal
tercelup ke dalam air serta sudut kemiringan dimana dasar kapal muncul di atas permukaan air.
Akan tetapi, berdasarkan karakteristik lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 5 8 di
atas, pengaruh lambung lambung timbul atau sudut dimana tepi geladak tercelup dalam air
lebih signifikan dibandingkan dengan sudut dimana dasar kapal muncul di atas permukaan air.
Secara umum luas di bawah kurva lengan stabilitas untuk semua rasio lebar dan sarat kapal
memenuhi kriteria stabilitas IMO kecuali rasio lebar dan sarat kapal sama dengan 4,08 untuk
kapal 600 GT. Begitu juga dengan tinggi metacentra awal (GMo) untuk semua rasio lebar dan
tinggi kapal lebih besar dari 0.20 meter. Sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum
terjadi tidak memenuhi kriteria stabilitas IMO untuk beberapa rasio lebar dan sarat kapal.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kriteria stabilitas, diperoleh rasio minimum lebar dan sarat
kapal sebagai fungsi dari rasio titik berat kapal (KG) dengan tinggi kapal yang memenuhi kriteria
stabilitas IMO seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 120
7
6.5
5.5
B/T
4.5
3.5
3
0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00
KG/H
Gambar 9. Rasio lebar dan sarat kapal yang memenuhi kriteria stabilita IMO
Kapal 500 GT mempunyai rasio lebar dan sarat yang paling besar untuk rasio titik berat (KG)
dan tinggi kapal yang sama. Rasio lebar dan sarat terkecil diperoleh pada kapal 200 GT yang
mana hampir sama dengan kapal 300 GT. Gambar 9 di atas juga menunjukkan bahwa makin
besar rasio titik berat dan tinggi kapal, makin besar rasio lebar dan sarat kapal yang dibutuhkan
untuk memenuhi kriteria stabilitas IMO. Rasio lebar dan sarat kapal maksimum yang memenuhi
kriteria stabilitas sebuah kapal juga dipengaruhi oleh koefisien blok dari kapal tersebut. Makin
kecil koeifisien blok, makin besar rasio minimum lebar dan sarat kapal yang dibutuhkan untuk
memenuhi kriteria stabilitas IMO khususnya sudut kemiringan dimana lengan stabilitas
maksimum terjadi. Kapal 500 GT mempunyai koefisien blok terkecil untuk semua rasio lebar
dan sarat kapal. Rasio lebar dan sarat kapal minimum yang memenuhi criteria stabilitas adalah
4,00 dengan rasio titik berat dan tinggi kapal sama dengan 0,40. Jika titik berat kapal fery
minimum adalah 70 persen dari tinggi kapal maka rasio lebar dan tinggi kapal minimum harus
lebih besar dari 5,00.
GZ (m) GZ (m)
1.4 2
1.2
1 1.5
0.8
0.6 1
0.4
0.2 0.5
0
0 20 40 60 80 100 0
-0.2
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-0.4 Sudut Oleng
Sudut Oleng
-0.6 -0.5
Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09 Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09
Gambar 10. Lengan stabilitas kapal 200 GT Gambar 11. Lengan stabilitas kapal 300
GT
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 121
GZ (m) GZ (m)
2 2.5
2
1.5
1.5
1
1
0.5
0.5
0
0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -0.5
Sudut Oleng
Sudut Oleng
-0.5 -1
Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09 Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09
Gambar 12. Lengan stabilitas kapal 500 GT Gambar 13. Lengan stabilitas kapal 600
GT
Seperti halnya pada perubahan rasio lebar dan sarat kapal, lengan stabilitas kapal juga akan
semakin besar dengan bertambahnya rasio lambung timbul dan lebar kapal. Akan tetapi, pada
besaran rasio tertentu, pertambahan lengan stabilitas semakin kecil bahkan cenderung konstan
dengan kenaikan lambung timbul. Faktor yang berpengaruh terhadap phenomena ini sama
dengan yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, yaitu perubahan momen inesia garis air
akibat dari perubahan lebar garis air yang terjadi secara drastis pada saat tepi geladak kapal
sudah terbenam ke dalam air atau dasar kapal muncul di atas permukaan air. Dengan melihat
perubahan kurva lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 10 13 di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada rasio lambung timbul dan lebar kapal tertentu, penambahan lambung
timbul atau kenaikan rasio tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap
karakteristik lengan stabilitas dari kapal yang bersangkutan.
Apabila lambung timbul kapal relatif kecil, pengurangan lengan stabilitas secara signifikan akan
terjadi ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut kemiringan dimana tepi geladak terbenam
ke dalam air. Makin besar lambung timbul, sudut kemiringan dimana tepi geladak terbenam ke
dalam air juga akan semakin besar sehingga perubahan lengan stabilitas secara signifikan akan
terjadi pada sudut kemiringan yang lebih besar. Oleh karena itu, lengan stabilitas semakin besar
dengan bertambahnya lambung timbul. Begitu pula dengan sudut kemiringan dimana lengan
stabilitas maksimum terjadi juga akan semakin besar dengan bertambahnya lambung timbul.
Pada lambung timbul yang cukup besar, meskipun sudut kemiringan lebih kecil dari sudut
kemiringan dimana tepi geladak terbenam ke dalam air, pengurangan lengan stabilitas dapat
terjadi akibat dasar kapal yang muncul di permukaan air. Berdasarkan kecenderungan
perubahan lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 10 13 di atas, pengaruh
penambahan lambung timbul mempunyai pengaruh terhadap stabilitas lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh munculnya dasar kapal di atas permukaan air akibat sarat
kapal yang kecil.
Evaluasi karakteristik lengan stabilitas dengan kriteria stabilitas IMO akan diperoleh batasan
lambung timbul atau rasio lambung timbul dan lebar kapal minimum untuk masing-masing
sampel kapal seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Kriteria yang sangat sensitive terhadap
perubahan lambung timbul adalah sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum terjadi.
Gambar 14 menunjukkan bahwa makin besar lambung timbul atau makin tinggi rasio lambung
timbul dan tinggi kapal, titik berat kapal yang masih memenuhi kriteria stabilitas juga menjadi
semakin besar.
Perbedaan rasio lambung timbul dan tinggi kapal untuk keempat sampel kapal tidak terlalu
signifikan khususnya pada rasio lebar dan sarat kapal lebih kecil dari 0,060. Dengan asumsi
bahwa rasio titik berat dan tinggi kapal lebih besar dari 0,70, maka rasio lambung timbul dan
lebar kapal disarankan tidak kurang dari 0,10. Dari data teknis kapal sampel, rasio lambung
timbul dan lebar kapal berada pada batas minimum berdasarkan hasil analisis seperti
ditunjukkan pada Gambar 14. Perbedaan batas rasio minimum pada Gambar 4 khususnya
pada rasio lambung timbul dan lebar yang besar dapat disebabkan oleh perubahan bentuk
kapal yang ada di atas permukaan air yang mana dapat direpresentasikan dengan koefisien
bentuk kapal khususnya koefisien blok dan koefisien prismatik. Penambahan lambung timbul
untuk variasi rasio dilakukan melalui penambahan tinggi kapal dengan meneruskan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 122
kecenderungan bentuk penampang melintang pada setiap seksi sampai dengan tinggi kapal
yang diinginkan. Koefisien blok kapal tidak mengalami perubahan akibat penambahan tinggi
tersebut karena sarat kapal tidak mengalami perubahan. Untuk mendapatkan pengaruh
tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mempertimbangkan karakteristik bentuk
berdasarkan koefisien-koefisien bentuk kapal tersebut.
1.200
1.000
0.800
KG/H
0.600
0.400
0.200
0.000
0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160 0.180
Fb/B
Gambar 14. Rasio minimum lambung timbul dan lebar kapal yang memenuhi kriteria stabilitas
IMO.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa penentuan lambung timbul minimum sebagai fungsi dari
panjang kapal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Tahun 2005
tentang penentuan lambung timbul minimum kapal dalam negeri serta the International Load
Line Convenction tahun 2002 perlu mempertimbangkan lebar kapal khususnya untuk kapal-
kapal fery. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa makin besar rasio lebar dan sarat,
stabilitas kapal akan semakin baik dimana maksimum titik berat yang masih memenuhi kriteria
stabilitas semakin besar. Berdasarkan rasio lambung timbul dan lebar kapal juga terlihat bahwa
pada rasio lambung timbul dan lebar kapal yang besar, kapal dengan lebar yang lebih besar
mempunyai batasan rasio titik berat dan tinggi kapal yang lebih kecil. Pada rasio lambung
timbul dan lebar kapal yang lebih kecil dari 0,06, perbedaan karakteristik stabilitas dari semua
kapal sampel tidak signifikan. Akan tetapi rasio lambung timbul dan lebar pada tersebut tidak
direkomendasikan karena titik berat maksimum untuk rasio tersebut tidak realistis untuk kapal
fery.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 123
mempunyai variasi yang semakin besar. Hasil ini menunjukkan bahwa karakteristik bentuk
seperti coefisien bentuk kapal mempunyai pengaruh signifikan terhadap stabilitas pada
rasio lambung timbul dan lebar kapal lebih besar dari 0,10.
3. Untuk mendapatkan pengaruh karakteristik geometri yang lain khususnya koefisien bentuk
kapal, disarankan untuk penelitian lanjutan dengan sampel kapal yang bervariasi dari segi
type dan bentuk lambung.
References
Ali, B. (2011): Evaluasi Bertins coefficient pada prediksi roll kapal sarat rendah dalam weather
criterion, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Kelautan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya.
International Maritime Organization (IMO), (2002): Stability kriteria for all types of ships,
International Maritime Organization, London.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2006): Prediction of capsizing probability for a ship with trapped
water on deck, Journal of Marine science and Technology, Vol. 11, No. 4, hal. 237 244.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2006):, Prediction of capsizing probability for a ship with trapped
water on deck, Journal of Marine science and Technology, Vol. 11, No. 4, hal. 237 244.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2007): Effect of freeboard and metacentric height on capsizing
probability of purse seiners in beam seas, Journal of Marine Science and Technology, Vol.
12 No. 3, hal. 150 159.
Paroka, D. (2009): Analisis tinggi metacentra dan lambung timbul minimum kapal
penyeberangan antar pulau, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi
Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
nd
Vassalos, D. (2004): Risk-based design: from philosophy to implementation, the 2
International Maritime Conference on Design for Safety, Sakai, Jepang, 2004.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 124
INNOVATIVE FOIL OF HYDROFOIL SHIPS
M. Alham DJABBAR
Abstract
Indonesia consists of many islands. Transportation between one place to others within and inter islands is dominated by
sea vehicles of slow and fast boat. The latter can only sail as fast as about 40 knots. The high growth of economy
leaves the boat far behind. To overcome this problem, higher boat speed is needed. One of most probably suits
Indonesian waters is hydrofoil. The objective is to see, theoretically the proposed foil shape of bending the end part (tip)
to design faster hydrofoil ship. This research begun with observing modern airplane wing. It was followed by wing
theory, emphasizing the tip character. The last stage was focusing on modern hydrofoils. Results of laboratory test of
non wing foil for ocean structure are taken into consideration. The proposed innovative foil shapes are tip bended foil
of the hydrofoils with and without strip near tips.
1. Introduction
Sea transportation, particularly, in Indonesia, Fig. 1 both (regular) activities and research are
increasing. Some of the previously activities are around Kupang city and between South
Sulawesi (Wajo District) and South-west Sulawesi (Kolaka district) [6 ]. The two mentioned sea
transport located area are served with slow , old ferry ( speed of around 10 knots )and fast boat
(speed of around 40 knots). These kinds of ship look far behind the needs of faster ships. The
possibility of operating the required ship of hydrofoil type was indicated in [6 ]. The objective is
The objective is to see, theoretically the proposed foil shape of bending the end part (tip) to
design faster hydrofoil ship. Here, foil is defined as an unsymmetrical shape, upper part is wider
than lower part, producing a lift force which is proportional to speed. Beside for wing (airplane)
and foil (ship) there are some other uses, for instance strengthening ocean or coastal structure
[4].
The analysis is to combine among observation, literature survey, laboratory test, existing both
airplane and hydrofoil.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 125
It is difficult to observe foil shape as no available hydrofoil operating in Indonesia. Combination
among aircraft wing shape in operation including the latest data [6 ], wave tank test of Foil end
bended enforced ocean cylinder [4 ], and ordinary hydrofoil. The results or proposed shape is
bending the foil tip, with and without strips.
Tip Strip
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 126
Theoretical aerofoil (wing) is deeply described in [3]. Tip of foil affects the lift of reducing lift
ability due to air flow. By bending its tip, the negative effect is cancelled. Another positive effect
is stabilizing aircraft movement as it act as stabilizer. Relating hydrofoil boat, in [2] the basic
principle and an example of calculating lifting force are described. Since a couple of years ago,
most of aircrafts wing tip are bended. The latest environment friendly jet aircraft has its wing tip
bended as well. In ocean structure, foil (tip bended) with strip may improve (strengthen) the
structure, especially its pillar as the results laboratory test [4]. From this method, I propose for
very high speed hydrofoil, say above 70 knots to use bended foil tip without strip for smaller size
while larger size with strip, Fig. 4.
4. Conclusions
-Very high speed hydrofoil boats are badly needed by Indonesia to secure the vast ocean in the
territory
-Proposed Innovative shape of foil for smaller hydrofoil ship is tip bended without strip while the
larger and faster ship is tip bended with strip near the tip.
Further Works
- Literature survey to find the foil shape of hydrofoil with speed around 100 knots
- Laboratory test with towing tank.
References
Fajar, Daily Newspaper 13 October, 2012, CRJ 1000, Environment Friendly Aircraft, Engine at
back ( not at wing)
H.C. Lowe, 1979, Fluid Mechanics, The Macmillan Press, 131-134
J.D. Anderson, JR, 1985, Fundamental of Aerodynamics, Mc Graw-Hill, Industrial Edition
Juswan, 2010, Aplikasi Hidrofoil pada Bangunan Pantai, 1 - 6, Jurnal Riset Teknologi Kelautan,
ISSN:1693-0525, Vol. 8, Nomor 1, Januari Juni 2010
M. A. Djabbar and Baharuddin, 2010, Analisis Tahanan Kapal Patroli Bersirip Nosel dengan
Hidrofoil,
7 - 14, Jurnal Riset Teknologi Kelautan, ISSN:1693-0525, Vol. 8, Nomor 1, Januari Juni 2010
M. A. Djabbar et al., 2012, Suitable High Speed ship for Makassar-Majene Vice Versa,
Martec2012,
Terengganu, Malaysia
http://www.google.co.id, hydrofoil, accessed 31 July 2012
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 127
INTERACTION ANALISYS FOR FLOATING BODY BY CFD,ICEM
L.T.Parulian SINAGA
Abstract
Mengetahui interaksi media benda atau kapal dipermukaan media air yang mempunyai aliran dan kecepatan
gelombang salah fasilitas untuk mengetahui polayang terjadi baik berupa efek tahanan atau rintangan atau juga efek
gerakan terhadap medianya dapat menggunakan CFD ANSYS terutama untuk mengetahuai pengaruh aliran terhadap
model dan velicity aliran terhadap badan kapal FLNG. Pada software ini terdapat fasilitas ICEM CFD untuk mengetahui
kerangka berpikir lagrangian sangat bermanfaat pada partikel fluida yang berkecepatan. CFD ICEM ini sangat
membantu dalam hal menganalisa fenomena aliran sekitar lambung kapal atau fasilitas apung seperti pengeboran lepas
pantai (Offshore Structure).
1.Pendahuluan
Seiring dengan berambahnya kebutuhan akan energi MIGAS untuk kebutuhan domestik dan
export maka teknologi rancang bangun juga seyogiyanya mengikuti. Perkembangan rancang
bangun yang pesat akan membutuhkan sarana uji dan sofware untuk memvalidasi hasil
perhitungan emviris yang dilakukan. Untuk itu dibutuhkan perangkat sofware yang dapat
digunakan membantu dengan cepat dan akurat hasil rancang bangun tersebut. Salah satu
fasilitas yang dapat membantu saat ini dengan menggunakan fasilitas CFD. Dalam hal ini untuk
melakukan pengamatan dan tekanan aliran terhadap lambung kapal atau bangunan apung
adalah CFD, ICEM .Akan tetapi untuk lebih akurat agar juga dibandingkan dengan pengujian
Model fisik di Laboratorium Hidrodinamika.
2. Methodologi.
Dalam menganalisa kecepatan sebagai fungsi waktu untuk sebuah paket fluida dan
didiidentifikasi dari posisi awal (x0, y0, z0). Sehingga kita kita menentukan x(x0, y0, z0, t);
misalnya: kita menentukan lokasi paket fluida pada saat mengalir dalam sistem. Untuk
Newtonian fluids, seperti air, constitutive relationship antara stress tensor dan strain-rate tensor
adalah sangat ringkas:
ij 2ij
dimana adalah konstanta yang disebut coefficient of viscosity. Perlu diingat bahwa
constitutive relationship ini menjaga defining property fluida; yaitu, bahwa shear stress sekecil
apapun akan menghasilkan strain. Hal ini menjadi mudah sekarang (!) untuk menulis stress
tensor dalam terms strains, dan kemudian dalam terms velocity gradients,Ref. Bahan training
CFD ITS sebagai berikut:
v x 1 v x v y 1 v x v z
x 2 y x 2 z x
xx xy xz v
1 v y v y
1 y v z
v
ij 2 yx yy yz 2 x
2 y x y 2 z y
zx zy zz
1 v x v z 1 v y v z v z
2 z
x 2 z y z
v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v v y v y v z
x y 2
y x y z y
v y v z
v x v z 2 v z
z
x z y z
Sekarang kita dapat mensubstitusi ekspresi ini untuk stress tensor kedalam ekspresi untuk
nd
Newtons 2 Law (viscous forces term):
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 128
Dv
gk P ij
Dt
v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v y v y v y v z
gk P x 2
y x y z y
v y v z
v x v z 2v z
z
x z y z
Tapi kita perlu membawa divergence operator pada stress tensor, dan kita dapatkan :
v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v y v y v y v z
x 2
y x y z y
v y v z
v x v z 2 v z
z
x z y z
v x v x v y v x v z
2
x x y y x z z x
v x v y v y v y v z
2
x y x y y z z
y
v x v z v y v z v z
x z x y z y z 2 z
Ini dapat diekspansi untuk menghasilkan turunan kedua dan turunan melintang (cross-
derivatives):
2v y 2 v z
2 v x v x v x
2 2 2
x 2 y 2 z 2 xy xz
2v vy
2
vy
2
vx
2
2 v z
2 y
y 2 x 2 z 2 xy yz
vz
2
vz
2
vz
2
vx
2
2
vy
2
z 2
x 2
y 2
x z y z
Akhirnya, lita pisahkan term pertama dalam tiap baris dan menyusun ulang menjadi:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 129
pejumlahan:
x 2
y 2 z y x y z
v z v z v z v x v y v z
2 2 2
x 2
y 2 z 2 z x y z
Tapi jumlah dalam kurung pada akhir dari setiap baris merupakan perbedaan velocity,
v v y v z
v x
x y z
Yang berharga zero untuk incompressible flow! Oleh karena itu tiga terms terakhir pada tiap
baris dikeluarkan dan kita tutup dengan tiga komponen viscous force vector:
2vz vz
2
2vz 2vz 2vz 2vz
2 2 2 2 2
x y z x y 2
z
Sebagai contoh, viscous force per unit volume dalam x-direction menjadi:
2 f 2 f 2 f
f 2 2 2
2
x y z
Ingat bahwa f adalah sebuah scalar dan Laplacian menghasilkan scalar yang lain.
2
Sekarang kita telah mendapatkan bagian terakhir dari Navier-Stokes equations. Dengan
mensubstitusikan ekspresi ini untuk mendapatkan perbedaan dari stress tensor maka kita
sampai pada ekspresi akhir yang menunjukkan kesetimbangan gaya-gaya sesuai dengan
nd
Newtons 2 law:
Dv
gk P 2 v
Dt
Persamaan ini (satu untuk setiap arah axis) yang dikenal dengan Navier-Stokes equations.
Dapat diaplikasikan untuk incompressible Newtonian fluids yang mengikuti hubungan
constitutive ij 2 ij . Persamaan ini kemudian dapat juga dituliskan sebagai:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 130
v x v x v x v x P 2vx 2vx 2vx
vx vy vz 2
t x y z x x y 2 z 2
v y v y v y v y P 2v y 2v y 2v y
vx vy vz 2
t x y z y x y 2 z 2
v v v v P 2v 2vz 2vz
z v x z v y z v z z gk 2z 2
t x y z z x y 2 z
Intertial forces: Navier-Stokes equation dapat diintrepretasikan sebagai penjumlahan dari 4
(empat) gaya: gravitational body force; pressure gradient forces; viscous forces; dan inertial
force.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 131
Gambar 3 Meshing Midship Geometri FLNG
4.1.1 Pre-Processor
Pada tahap ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Pembuatan geometri, dalam proses pembuatan geometri pada program Ansys ICEM CFD, hal
pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan import geometry dari model yang telah ada.
Model yang dibuat dalam AutoCAD diekspor dalam bentuk ekstensi dwg (.DWG). Cara ini
memudahkan dalam pembuatan geometri Karena kapal merupakan bentuk yang sangat rumit.
Perintah yang digunakan;
Files > Import Geometri > DWG
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 132
Gambar 5. Proses komputasi import geometri
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 133
Gambar 7. Proses komputasi dari geometri ke simple surface
Model awal dari kapal telah terbentuk. Dari model dasar yang telah kita bentuk maka kita akan
mendefenisikan permukaan/surface pada model kapal. Perintah yang digunakan;
Geometry > Simple Surface > (klik curve yang akan dijadikan surface) > Apply.
Pada tahap ini dilakukan pembuatan surface kapal sampai semua bagian kapal telah tertutup
oleh surface.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 134
Gambar 9. Surface model kapal FLNG
Berikutnya adalah proses pembuatan domain fluida. Domain fluida yang dibuat berbentuk kotak
dengan dimensi 112 m x 40 m x 60 m. Dan setiap bagian-bagian dari domain fluida didefinisikan
boundary kondisi (inlet, outlet, wall, dan model kapal) yang akan diterapkan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 135
Gambar 11. Create part window
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 136
Gambar 12. Domain fluida setelah pendefinisian bagian bagiannya
Geometri > Buat Tubuh > Material Point > at specified point : Pilih (Create Body) >
klik pada (icon select point) dan klik di dalam domain fluida. Isikan terlebih dahulu nama
part untuk body yang akan dibuat. Pastikan posisi titik tersebut terletak di dalam domain fluida.
Tekan tombol tengah mouse untuk menerima, kemudian tekan Apply.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 137
Gambar 14. Body di dalam domain fluida
4.1.3 Meshing
Untuk mulai melakukan meshing pada model kapal dan fluida, maka kita terlebih dahulu
menentukan ukuran element yang akan kita gunakan. Namun kita perlu mengingat bahwa
semakin kecil elemen yang kita buat, maka jumlah elemen yang terbentuk semakin banyak
sehingga waktu running akan semakin lama dan menghasilkan kapasitas file yang besar. Untuk
model kapal ikan yang dibuat, dilakukan meshing dengan model meshing tetrahedral. Untuk
ukuran meshing sendiri adalah sebagai berikut :
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 138
Gambar 15
Name Definition
DownH 1.3 [m]
DenWater 1000 [kg m^-3]
DenRef 1.185 [kg m^-3]
DenH (DenWater - DenRef)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 139
Name Definition
UpH 2.7 [m]
UpVFAir step((y-UpH)/1[m])
UpVFWater 1-UpVFAir
UpPres DenH*g*UpVFWater*(UpH-y)
DownVFAir step((y-DownH)/1[m])
DownVFWater 1-DownVFAir
DownPres DenH*g*DownVFWater*(DownH-y)
default domain > general options > location > domain type > fluid domain > fluid list >
water, Air > Buoyancy > option > x = 0 [m s^-2], y= -g, z = 0 [m s^-2] > turbulence >
optoin > SST > apply
Kondisi batas yang akan kita gunakan adalah inlet, outlet, dan wall. Untuk menentukan kondisi
batas inlet, perintah yang kita gunakan;
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 140
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas inlet > OK > penentuan lokasi
inlet > boundary details > flow regime > option > subsonic > normal speed 16 knot >
apply.
Untuk menentukan kondisi batas wall pada bottom, perintah yang kita gunakan
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas wall > OK > penentuan lokasi wall
> boundary details > wall influence flow > option > no slip > wall roughness > option >
smooth wall > apply.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 141
Untuk menentukan kondisi batas wall pada kapal, perintah yang kita gunakan
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas wall > OK > penentuan lokasi wall
> boundary details > wall influence flow > option > no slip > wall roughness > option >
smooth wall > apply.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 142
Tab Setting Value
Boundary Conditions Water
Boundary Conditions > Water > Volume Fraction >
0.0
Volume Fraction
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 143
Sampai tahap ini semua proses pada tahap pre-processor telah selesai. Untuk menyimpan file
perintah yang digunakan adalah solver > write solver file > save. Langkah selanjutnya adalah ke
tahap flow solver (solution).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 144
4.1.5 Post processor
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 145
Gambar 19. Aliran Fluida belakang kapal
5. Kesimpulan
Dari hasil proses program di atas tampak fulida air mengalami perubahan aliran.
Tetapi belum dapat dipastikan ketinggian gelombangan akibat interaksi air dan kapal. Akan
tetapi besarnya kecepatan velocity dan pressure di sepanjang badan model, dibelakang model,
dibawah model kapal dapat diketahui ( di buat dalam table )
Permasalah selanjut tentang motion model dalam kondisi tersebut diatas belum dapat di
hasilkan. Dalam hal program ansys CFD-CFX Solver disebut mesh deformation untuk
menggerakkan model di perlukan input data analisa belum seluruhnya tersedia atau compatible
untuk program ini. Sehingga hasil running tidak kelihatan grafik gerakan model. Sampai saat
sedang mempelajari data input yang sesuai dengan experiment sebagai contoh data kontante
spring (k) dan input ketinggian gelombang.
References
Kim d.k.k (4) melakukan penelitian pengaruh sloshing pada gerakan kapal dengan 2-D dan 3-D
viskos FDM sloshing codes.
Lee d.k.k (5) melakukan investigasi pengaruh sloshing pada multi tangki di dalam kapal
terhadap gerakan rolling dengan metode 2-D dan 3-D perhitungan FDM. Untuk
gerakan kapal menggunakan linier potensia teory dan untuk gerakan likuida sloshing
menggunakan dengan 3-D FDM Navier stokes.
Nasar d.k.k(6) melakukan penelitian pada barge dengan variasi pengisian air pada tangki dan
pengaruh frekuensi gelombang excitasi, tinggi
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 146
OPTIMALISASI POWER KAPAL MULTI FUNGSI 60M
Abstract
Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan design kapal cepat 60 m tipe High Speed Displacement ship (HSDS) untuk
tujuan rescue pada korban bencana (alam dan kecelakaan di laut) Design lambung didasarkan pada parent hull kapal-
kapal cepat yang telah diuji di Laboratorium Hidrodinamika UPT BPPH BPPT. Karena mempunyai fungsi khusus,
maka lambung kapal harus dirancang mampu beroperasi pada cuaca buruk, perairan terbatas dan ramah lingkungan
(low wake wash) pada saat operasional. Detail design kapal HSDS 60 m dibuat secara komprehensif agar bisa
dibangun dengan memanfaatkan sumberdaya dalam negeri semaksimal mungkin dengan pemakaian power yang
optimal
Di samping itu kapal HSDS harus mampu berlayar di perairan dalam dan dangkal. Untuk
menunjang fungsinya HSDS dilengkapi dengan berbagai peralatan komunikasi dan navigasi.
Serta dipersenjatai dengan senapan ringan.
HSDS didesain sebagai kapal patroli cepat dengan jumlah crew sebanyak 20 orang. HSDS
dibangun sebagai kapal cepat yang harus memenuhi syarat Klas Indonesia (BKI).
Kapal dibagi menjadi 2 bagian utama (main fire zones) dengan sekat bagian depan Kamar
Mesin yang diapakai sebagai Main Fire Bulkhead. Lay Out Rencana Umum dengan 3 deck dan
lambung dibagi menjadi 6 sekat kedap air. Semua fasilitas Crew dikonsentrasikan di depan
mesin penggerak dimaksudkan untuk kenyamanan dan menghindari kebisingan dan vibrasi.
Posisi Crew (ABK) diatur di geladak bawah. Kabin Nakhoda dan Chief Enginer dilengkapi
dengan toilet. Untuk ABK lainnya,toilet dipusatkan dan diltakkan di geladak bawah. Dapur dan
Gudang makan diletakkan pada geladak bawah , difungsikan untuk memenuhi semua
kebutuhan ABK. Kapal HSDS 60 m dilengkapi dengan ruangan Tahanan dan dilokasikan di
bagian depan geladak bawah.
Geladak utama dilengkapi dengan wheel house, gudang, gudang amunisi, toilet dan ruang
pusat komando. Kapal HSDS dilengkapi denga 10 m Rigid Inflateble Boat yang dipasang pada
slipway sehingga dapt dipergunakan/diluncurkan dengan mudah pada saat dibutuhkan bahkan
kapal dalam posisi bergerak. Juga dilengkapi 4 buah Life raft yang diletakkan pada geladak
utama. Dua diletakkan di belakang ruang komandan dan dua lagi diletakkan di depan.
Tiga buah Canon caliber 12.7 mm di letakkan di deck utama bagian belakang pada sisi kiri dan
kanan kapal, Yang satunya diletakkan di geladak observasi.. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar di bawah ini :
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 147
Gambar 1 Kapal Multi Fungsi 60 m
2. Perumusan Masalah
Dikarenakan banyaknya kecelakaan di laut (tabrakan kapal, kapal karam dan sebagainya) ,
maka mau tidak mau penyediaan sarana transportasi berupa kapal laut yang multi guna mutlak
diadakan. Guna memenuhi kebutuhan sarana transportasi air yang difungsikan untuk
membantu mengevakuasi korban bencana (baik alam ataupun kecelakaan laut) ,dan di saat
tidak ada bencana kapal bias dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya seperti Rumah Sakit
terapung, Perpustakaan terapung dan sebagainya Untuk memenuhi criteria kapal multi purpose
(multi guna), maka dalam perancangan kapal haruslah diperhatikan parameter-parameter
berikut ini :
kapal harus cukup mampu beroperasi pada cuaca buruk (sea state 3)
kapal harus mampu beroperasi pada dua kedalaman perairan (dalam dan dangkal) dan
kapal harus mampu berlayar pada perairan tawar (sungai) dan asin (laut)
kapal harus mempunyai kecepatan yang cukup tinggi (kapal dioperasikan di atas
Fn>0.6), sebagai kapal penolong (rescue)
Stabilitas kapal harus cukup baik, karena melihat fungsinya kapal juga sebagai rescue
boat
Dengan melihat fungsi kapal seperti di atas, penggunaan kaidah naval architect secara tepat
perlu dilakukan, diantaranya :
- kapal harus mempunyai sarat yang cukup rendah,
- kapal mempunyai L/B lebih rendah dibanding dengan kapal sejenis dengan panjang kapal
sama
- Perhitungan power yang optimal
Salah satu bentuk lambung kapal cepat untuk memenuhi criteria tersebut adalah penggunaan
bentuk lambung cathedral supaya L/B rendah dan penggunaan tripel propeller untuk
meningkatkan kecepatan kapal pada saat cruising.
Optimasi design dilakukan dengan dua pendekatan, numeris dan percobaan. Pendekatan
numeris dilakukan dengan software Hullform, Maxsurf pada design lambung dan powering
kapal dilakukan dilakukan dengan software PSP,Prefds. Untuk performance kapal terutama
seakeeping beaviour, dilakukan dengan software Shipmo.
Pentahapan rancang bangun kapal HSDS 65 , dilakukan dalam 3 tahapan dengan masing
masing tahapan mempunyai tujuan masing-masing :
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 148
Tahap 1 : perancangan bentuk lambung (cathedral) dengan metode numeris dan eksperiment.
Experiment dilakukan pada dua buah Tanki ( Towing Tank dan Small Towing Tank) dengan
tujuan untuk mempelajari aliran pada bentuk Cathedral dan perhitungan powering.
Tahap 2 : perancangan system propulsi yang meliputi perancangan bentuk propulsor dengan
sotware indfact 93 dan melukukan uji coba model propeller di cavitation Tunnel.
Tahap 3 : Rancang bangun equipment kapal serta pembuatan . Sehingga pada akhir tahapan ini
didapatkan detail design yang komprehensif untuk kapal multi guna dengan panjang 38 m
3. Metodologi
Untuk mencapai sasaran penelitian, metodologi penelitian dalam rancang-bangun High speed
displacement ship 60 m didasarkan pada 5 tahapan penelitian :
rancangan (design) lambung bawah air (hull)
Pada proses design awal untuk menetuka rencana garis (lines plan) dan body plan dibutuhkan
banyak informasi tentang lingkungan kelautan dan daerah operasi serta fasilitas dermaga.
Untuk itu telah dilakukan survey keberbagai lokasi yang merupkan basis operasi kapal
menopang bencana alam. Pada saat ini kami mengambil dua lokasi sample atau Zona perairan
dan lingkungan kelautan dan dermaga yaitu :
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 149
H D Arus R.vel Rel.mtn Acclrtion Add.res b.mom pitch heave
(m) (m) )m( m/s
15 3 1 0.8 388 115 395 110 216 184 60
20 5 3 0.6 506 155 790 148 256 203 81
25 7 5 1.2 581 180 1244 204 291 211 104
Keterangan:
H adalah kedalaman Perairan ( m)
D adalah Sarat Kapal
alaaaa adalah Tinggi gelombang
R.Vel adalah relative velocity
Rel.mtn adalah relative motion
Acclration adalah Accelaration
Add.res adalah Added resistance
b.momadalah bending momen
Keterangan:
H adalah kedalaman Perairan ( m)
D adalah Sarat Kapal
alaaaa adalah Tinggi gelombang
R.Vel adalah relative velocity
Rel.mtn adalah relative motion
Acclration adalah Accelaration
Add.res adalah Added resistance
b.momadalah bending momen
Data tersebut diatas akan digunakan untuk menetukan ukuran utama kapal,performance dan
operasional.
Setelah ukuran utama kapal ditentukan selanjutnya diadakan koreksi-koreksi terhadap lambung
kapal atau displacement kapal melalui koreksi body plan. Hal-hal tersebut diatas di lakukan
dengan perhitungan komputasi program maxsuf.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 150
Gambar 4 Lines Plan Kapal Multi Fungsi 60 m
Principal Dimensions :
Length OA (Mld Hull):70.00 Metres
Length WL : 62.60 Metres
Breadth Moulded : 10.0 Metres
Depth Moulded : 4.50 Metres
Draft Designed (Moulded) : 3.00 Metres
Draft SLL (Moulded) : 3.30 Metres
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 151
Selanjutnya dilakukan pembuatan garis air dan garis batok Selanjutnya dilakukan pengecatan
dengan warna kuning.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 152
Adapun hasil tahanan yang didapat dari pengujian small TT digunakan untuk menghitung
besarnya power yang direncanakan dengan menggunakan software DSSPPC dari Marin
(Belanda) sebagai berikut: Pada perhitungan dengan software kita sudah menentukan besarnya
diameter propeller dan tipe serta series propeller yang akan digunaka.
Hasil running computer dengan program DSSPPS sebagai berikut:
The temperature deviates from the standard of 15 degrees C
Main particulars
----------------
LWL 62.56 [m] TF 3.00 [m]
LPP 60.00 [m] TA 3.00 [m]
B 10.00 [m] Trim 0.00 [m]
VOL 1080 [m3]
Appendages
----------
SAPP 12.0 [m^2]
1+K2 2.50 [-]
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 153
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 2
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************
Miscellaneous
-------------
Aftbody hullform (CSTERN) 5.0 [-]
Aperture configuration (CSC) 10.0 [-]
Water depth not provided
General data
------------
CA-Calculated 0.000602 [-] Bare hull formfactor 1.2688 [-]
Addition to CA 0.000000 [-] Specific mass water 1025.0 [kg/m3]
Hull roughness 0.000150 [m] Temperature water 27.0 [Degr C]
Addition to wake 0.000 [-] Addition to thrust ded. 0.000 [-]
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 154
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 3
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 155
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 4
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 156
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 5
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 157
Gambar 7 Optimalisasi power kurvei
5. Kesimpulan
Untuk Mencapai kecepatan yang optimal dari perhitungan dapat kita mengetahui bahwa kapal
multi fungsi 60 m lebih efiesien bekerja pada kecepatan 18-19 knot dengan daya yang
dibutuhkan adalah: 2501 Kw dan kalau kita tingkatkan kecepatan hingga 21-22 knot daya yang
dibutuhkan sangat besar yaitu;11260 Kw sehingga mendekati dua kalinya. Sehingga pihak
owner dan desainer perlu untuk melakukan diskusi tentang final desain. Pada akhinya kita
dapat menetukan General Arrangement Kapal multi fungsi 60 m untuk Menopang Bencana
Alam.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 158
STUDI EKSPERIMEN POSISI DEMIHULL DAN MAINHULL TERHADAP TAHANAN
KAPAL TRIMARAN SEBAGAI ALTERNATIF SARANA TRANSPORTASI LAUT YANG
AMAN
1 2 3 3 4
Eddy Setyo KOENHARDONO , Suntoyo , Totok YULIANTO , Hasanudin , Baharudin ALI
1
Staf Teknik Sistem Perkapalan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
2
Staf Teknik Kelautan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
3
Staf Teknik Perkapalan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
4
Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) Surabaya Indonesia
Abstract
Transportation system has a very important rules in connecting 17 thousand islands in Indonesia, whereas most of them
are small island. Unfortunately, indonesian transport system nowadays is to be concerned regarding many accident
happened. The losing of equilibrium because of wave are one of the matters, especially on small ships using single hull.
This can be resolved by multi-hull ship, e.g. trimaran. Trimaran ship has better transverse equilibrium than a single-hull
ship, because of demi hull that flanked mainhull. Besides, trimaran has lower resistance than single hull speed during
high speed operation. The purpose of this paper is to assess the resistance of trimaran ship that can be use as small
island transportation system. Analyzing the resistance is done by experiment and numeric with CFD method.
1. Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara maritime dan atau negara kepulauan terbesar di dunia yang
2
dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km ,
mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan hampir 40 juta orang penduduk
2
tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km atau sama dengan 2/3
2
dari luas wilayah Indonesia, terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km dan wilayah
2
laut territorial 3,1 juta km . Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai
Wawasan Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).
Sarana transportasi laut sebagai media interaksi antar pulau yang berperan sebagai jembatan-
penghubung atau akses yang efektif dan effisien dalam perwujudan Wawasan Nusantara.
Namun kondisi transportasi laut di Indonesia saat ini berada dalam taraf yang memprihatinkan,
karena seringnya terjadi kecelakaan yang berakibat pada meninggalnya penumpang dan
kerugian material yang cukup besar. Oleh karena itu, pengembangan sarana transportasi laut
yang cepat, aman dan nyaman menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa dihindari. Tuntutan ini
menjadi salah faktor terjadinya pengembangan bentuk kapal-kapal yang tidak konvensional,
misalnya kapal trimaran. Kapal trimaran memiliki tiga buah lambung, dimana sebagai lambung
utama berada di tengah. Bentuk lambung kapal trimaran dibuat ramping (slender body),
sehingga diperlukan lambung tambahan di samping. Hal ini mengingatkan kita pada perahu
bercadik.
Bentuk kapal trimaran tersebut membuatnya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kapal
monohull. Keunggulan-keunggulan kapal trimaran dibandingkan kapal monohull dalam hal
kemampuan maneuver, geladak kapal yang luas, stabilitas yang lebih baik maupun tahanan
yang lebih kecil.[1,2,3,4] Salah satu permasalahan tahanan pada perencanaan sebuah kapal
trimaran adalah memperkecil pengaruh interference dari setiap lambung kapal trimaran.
Pengaruh interference tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan tahanan
residuary non interference dan tahanan residual actual. Tahanan residuary non-interference
dijelaskan dengan uji tiap-tiap badan kapal secara terpisah pada range kecepatan.
(1)
Karena side hull lebih kecil dibandingkan main hull maka angka Reynolds lebih besar dan
sebagai sebuah hasil, tahanan gesek harus dihitung untuk sides dan main hull seperti
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 159
ditunjukkan pada persamaan 2.
(2)
Dari tahanan residual, CR dapat dijelaskan dengan pengurangan CFT dari CF. Pengaruh
interferensi relatif dari masing-masing konfigurasi side hull dapat dijelaskan dengan
pengurangan CRNI dari CR, nilai ini merepresentasikan sebagai prosentase, seperti pada
persamaan 3.
(3)
(4)
Dimana tahanan gesek dihitung dengan pendekatan korelasi ITTC 57, yaitu:
(5)
(6)
(7)
2. Metode Penelitian
Pengkajian tahanan kapal trimaran dilakukan dengan melakukan percobaan dan metode
numeric. Percobaan dilakukan dengan melakukan pengujian model di towing tank milik
Laboratorium Hidrodinamika FTK-ITS. Pengujian dilakukan terhadap model kapal trimaran pada
berbagai kecepatan untuk beberapa harga perbandingan separation to length (S/L) dan
beberapa posisi longitudinal antara demihull dan mainhull. Analisa numeric dilakukan dengan
menggunakan metode Computational Fluid Dynamic.
Model kapal terbuat dari bahan FRP (fiberglass reinforced plastics), dimana untuk memperoleh
displacement yang sesuai dipergunakan skala berdasarkan hukum kesamaam Froude. Dimensi
kapal trimaran dan model kapal trimaran yang dipergunakan ditampilkan pada Tabel 1 dan 2.
Percobaan dilakukan pada memvariasikan harga clearance untuk jarak antara garis tengah
mainhull dan demi hull adalah 1 (B1) dan 2 (B2) terhadap lebar mainhull dan harga stagger
untuk posisi bagian belakang demihull terhadap bagian belakang main hull adalah -10% (S-1),
0% (S0) dan 10% (S1), sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dan 2. Model kapal ditarik pada
kecepatan 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22, 24, 26 dan 28 dalam satuan knots.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 160
a. B1 variasi clearance dengan jarak centre b. B2 variasi clearance dengan jarak
line antara mainhull dan demihull adalah centre line antara mainhull dan demihull
satu kali lebar mainhull adalah dua kali lebar mainhull
Gambar 1. Pandangan depan kapal trimaran dengan variasi jarak antara mainhull dan demihull
a. S0 variasi stagger dengan posisi buritan b. S1 variasi stagger dengan posisi buritan
antara mainhull dan demihull sejajar demihull maju 10% panjang mainhull
terhadap buritan mainhull
Kapal trimaran
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 161
0.8387 0.7742 0.3175 0.0968 0.0434 0.1514 1.8798
a. Karakteristik tahanan kapal trimaran dengan b. Karakteristik tahanan kapal trimaran dengan
posisi buritan sejajar terhadap variasi jarak posisi demihull mundur terhadap variasi
antara mainhull dan demihull jarak antara mainhull dan demihull
Gambar 3. Karakteristik tahanan kapal trimaran akibat variasi jarak antara mainhull dan
demihull
Pada harga angka Froude dibawah 0,6, terlihat bahwa tahanan kapal trimaran pada jarak
clearance 1 kali lebar mainhull adalah dua kali tahanan untuk clearance 2 kali lebar mainhull.
Perbedaaan harga tahanan akibat clearance akan semakin meningkat dengan semakin
tingginya harga angka Froude. Pada posisi B2-S0, karakteristik tahanan memiliki
kecenderungan landai dengan semakin besarnya angka Froude, artinya pengaruh tahanan
interferensi terhadap tahanan total menjadi semakin kecil. Kondisi yang sama juga diperlihatkan
pada posisi B2-S-1, walaupun penurunan pengaruh tahanan interferensi tidak seperti B2-S0.
Pada harga clearance yang kecil, karakteristik tahanan kapal trimaran cenderung
memperlhatkan pola yang linear. Semakin besar harga clearance pola linear semakin
berkurang. Tahanan kapal trimaran yang paling baik adalah pada posisi B2-S0, dimana hal ini
juga dibuktikan dengan tidak terjadinya deck wetness sampai pada kecepatan 28 knots. Pada
jarak clearance yang kecil, deck wetness terjadi di midship mainhull dan semakin tinggi
clearance terjadinya deck wetness bergerak semakin ke belakang.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 162
a. Pada B1-S1 deck wetness mulai terjadi pada b. Pada B1-S0 deck wetness mulai terjadi pada
kecepatan 18 knots di bagian tengah kecepatan 18 knots di bagian tengah
lambung lambung
c. Pada B2-S-1 deck wetness mulai terjadi d. Pada B1-S0 deck wetness mulai terjadi pada
pada kecepatan 24 knots di bagian tengah kecepatan 28 knots di bagian tengah
lambung lambung
a. Pengaruh posisi demihull secara memanjang b. Pengaruh posisi demihull secara memanjang
mainhull terhadap karakteristik tahanan kapal mainhull terhadap karakteristik tahanan kapal
trimaran untuk jarak 1 kali lebar mainhull trimaran untuk jarak 2 kali lebar mainhull
Gambar 5. Karakteristik tahanan kapal trimaran akibat posisi demihull terhadap garis
memanjang mainhull
Tate letak demihull terhadap mainhull (stagger) tidak memiliki pengaruh yang sedominan
dengan harga clearance, hal ini ditunjukkan oleh Gambar 5. Oleh karena posisi B2-S0 pada
percobaan uji tarik menunjukkan hasil yang paling kecil tahanan totalnya, maka pengkajian
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 163
lebih lanjut dilakukan. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengujian sampai pada angka
Froude adalah 1, sebagaimana pada
Gambar 6. Karakteristik tahanan kapal trimaran pada beberapa variasi jarak clearance dan
stagger
4. Kesimpulan
Salah satu factor yang dominan terhadap karakteristik tahanan total kapal trimaran adalah
interferensi antar lambung kapal trimaran. Penanggulangan tahanan interferensi yang tepat
menjadi salah satu kunci yang membuat tahanan kapal trimaran menjadi lebih kecil
dibandingkan tahanan kapal dengan lambung tunggal.
Tahanan interferensi pada kapal trimaran tergantung pada factor clearance dan stagger, dimana
factor clearance lebih dominan dibandingkan factor stagger. Faktor clearance antar lambung
kapal berbanding terbalik dengan peningkatan tahanan interferensi dan deck wetness.
References
Andrews, D.J. & Hall, J.J. [1995], The Trimaran Frigate Recent Research and Potential for
the Next Generation, IMDEX 95, Greenwich, March.
st
Greig, A.R. & Bucknall, R.W.G. [1999], Trimaran Cruise Liners, Proceeding The 21 Century
Cruise Ship, IMarE, Vol 111, 3 Part I, pp. 87 94, 15 16 April, London, UK. ISBN 1-
902536-19-3
Koenhandono, E.S, [2010], Perencanaan Sistem Propulsi Kapal Patroli Trimaran Dalam
Rangka Melindungi Wilayah Laut Indonesia, Seminar Nasional Ke 5 Tahun 2010 :
Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi (ReTII), STT Nasional, Yogyakarta, 18
Desember 2010
Li P , Qiu Y. & Gu Mintong, [2002], Study Of Trimaran Wavemaking Resistance With Numerical
Calculation and Experiments, Journal of Hydrodynamics , Ser. B ,2 (2002) ,99 105 China
Ocean Press , Beijing - Printed in China
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 164
Mizobe T., Nihei, Y & Ikeda, Y., [2010], A Feasibility Study on a New Trimaran PCC in Medium
Speed-Performance in Still Water and Strong Wind, The 6th International Workshop on
Ship Hydrodynamics, IWSH2010 January 9-12, 2010, Harbin, China
Sahoo, PK, Lawrence, J., Pretlove, L. [2006], CFD Prediction of The Wave Resistance of a
Catamaran with Staggered Demihulls, MAHY 2006: International Conference on Marine
Hydrodynamics 5-7 January 2006, Visakhapatnam, India
Zhang, J.W. & Andrews, D.J. [1998], Manoeuverability Performance of a Trimaran Ship, RINA
Conference Ship Motions and Manoeuverability.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 165
NUMERICAL SIMULATION ON HYDROELASTIC BEHAVIORS OF A SHIP CAUSED BY
WATER IMPACT USING EULERIAN SCHEME WITH LAGRANGIAN
1 2
Suandar BASO , Hidemi MUTSUDA
1
Naval Architecture Department, Engineering Faculty, Hasanuddin University, Indonesia
2
Social and Environmental System Engineering, Engineering Faculty,
Hiroshima University, Japan
e-mail: andar_baso@yahoo.co.id
Abstract
Hydrodynamic and hydroelastic effects on a ship are important considerations in ship design. Therefore, we developed
our numerical method, Eulerian scheme with Lagrangian particle, to investigate hydrodynamic and hydroelastic effects
on a ship. Our developed numerical method was applied to ship slamming in heading regular wave. Some phenomena
were recorded clearly using our developed method such as bow flare slamming, bottom slamming and water on deck.
Then, the maximum pressures increase with increasing wave length at all poin whereas they decrease gradually when
Lpp is greater than one. The highest impulsive pressure was measured at bow flare of the ship when pp is equal to
1.0. Higher speed and elastic deformation of the ship contribute more largely amplitude for the heave and pitch motions.
Keywords: ship hydroelastic, ship slamming, grid based method, particle based method
1. Introduction
In real sea state, a high speed ferry moving forward in a severe wave condition can cause wave
impact loads on its surface, as slamming and green water, during short time and it is vulnerable
to some effects caused by the slamming impact. In addition, the wave load acting on a ship
under strongly interaction between wave and ferry can generate an impact pressure and also
accelerate a fatigue failure at the same time. This nonlinear wave condition influences on ship
performance, ship structure and passenger comfort.
Moreover, a high speed ferry is not a really rigid construction and this means that a high speed
ferry has elastic behaviors where it experiences strains and stresses because of its structural
flexibility. Therefore, the hydroelastic behaviors of a ferry contribute some effects to ship
performances. We should consider hydroelastic behaviors of a ferry in predicting ship motions,
pressure, bending moment and torque as resulted by a strongly interaction between wave and
ship associated with hydroelastic effects toward proper ship design and ship safety.
The concept that a ship can be modelled as elastic beams structures was firstly given by Inglis
(1929) and later coined firstly the term hydroelasticity by Heller and Abramson (1959) that fluid
pressure acting on a structure modifies its dynamic state and, in return, ship motion and
distortion of a structure disturb a pressure field around it. Then, the study of the two-dimensional
(2D) hydroelasticity theory of ships was established by Bishop and Price (1979). Over the past
40 years, Faltinsen (1997 and 1998) gave a clear definition of the term ship hydroelasticity that
water pressure acts on a structure and the structure deforms. At the same time the speed of the
structural deformation influences the pressure in the water. The hydroelastic formulation and
model slamming was investigated by Bereznitski et al. (2000, 2001a, 2001b, 2002) using
numerical model. Then, wave loads on a ship in waves using an elastic model was studied and
verified with full scale measurement (Watanabe et al., 1988). Moreover, Faltinsen (1999 and
2001) presented water entry of a wedge by hydroelastic orthotropic plate theory and an
approximate three-dimensional theoretical investigation of hydroelastic wetdeck slamming, and
also presented a theoretical study of representing the wetdeck as a beam model and accounting
for dynamic hydroelastic effects. In recent years, Tajima and Yabe (1999) was simulated a
vessel slamming by using CIP method and Senjanovic et al. (2008) analyzed the hydroelastic
effect on a flexible segmented barge motion in waves and distortion and slam events was
characterized experimentally by using a hydroelastic segmented model.
On the other hand, recently many ongoing research in marine engineering have been attempted
to yield Computational Fluid Dynamics (CFD) tool toward accurate tools with considering CFD
requirements. These can predict ship motion and water resistance as hydrodynamic effects due
to strongly nonlinear wave-ship interactions. However, consideration of hydroelastic effects
associated with capturing nonlinear free surface flows with wave breaking on a ship motion
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 166
under a severe wave condition is still rarely devoted in CFD researches. Nonlinear free surface
flows and hydroelasticity are difficult to compute by direct numerical simulation because it is a
complex problem to keep sharpness of the air-water interface tolerable and to handle moving
free surface and elastic ship boundary. In addition, solutions of CFD for ship motion require
more quantitative assessments in reproducibility and validation. Therefore, developments of
CFD techniques to predict accurately hydrodynamic and hydroelastic effects on a ship motion in
a severe wave condition need tremendous efforts.
In our previous works, our developed method, a hybrid particle-grid scheme, has been applied
to seakeeping performance in nonlinear waves with breaking (Baso et. al, 2010, 2011a and
2011b). The hybrid particle-grid scheme is a coupled Eulerian grid and Lagrangian particles
which combines CIP method (Yabe and Wang, 1991) and SPH method (Gingold and Monaghan,
1977) to combine advantages and to compensate disadvantages of the both particle-grid
methods. The advantages and disadvantages of the both methods are stated clearly in our
previous publications (Baso, 2011a, 2011b). The model has two kinds of Lagrangian particles,
i.e. SPH and free surface particle, on Eulerian grids to correct interface tracking error. The two
types of Lagrange particles are collocated and attracted with highly accurate captured nonlinear
free surface under resolved region with Eulerian grid.
In this study, we have developed the hybrid particle-grid scheme to predict and clarify impact
pressure, bending moment, heave and pitch motions, and some phenomena caused by
nonlinear interaction ship-wave with hydroelastic behaviors. We also applied to high speed
ferry motion in nonlinear wave with breaking. The high speed ferry is considered as an elastic
body in both numerical simulation and experimental work. In addition, some phenomena of
nonlinear free surface flow caused by strongly interaction between wave and the ferry motion
are captured by the hybrid particle-grid scheme. The developed scheme is validated and
verified in predicting motions, resistance and hydroelastic effects on the high speed ferry.
First, the CIP method with particles is introduced as a numerical scheme that combines the
accuracy of Lagragian front tracking. Thereafter, the SPH method is employed to calculate
deformation, strain, stress of elastic body, and 3D motion.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 167
where, ui is the velocity, the coefficient of fluid viscosity, the fluid density, P the pressure, Ffsi
the fluid-structure interaction, the acceleration due to garvity, ij the SGS stress term, and
the density function. To reduce model parameters, the SGS stress term is solved by using the
Dynamic SGS model proposed by Germano (1992). More details are provided by Mutsuda et al
(2000).
i
where is the density, u the velocity, x j the position vector of vector j components, ij the
stress tensor of the solid phase, and Ffsi the fluid structure interaction term. The stress
tensor sij in Eq.(5) is given by
(6)
sij P ij S ij
(12)
where S ij is the deviatoric stress tensor, P kk / 3 the pressure solved by the Poisson's
equation (9) as mentioned below.
Our numerical model considers a large deformation of an elastoplastic body. The solid body
changes at every calculation step by using the following equation:
where D ep is the elastoplastic matrix, d ij the time increment of the strain, and dS(13)
ij
the time
increment of the deviatoric stress. To solve rotation of the solid phase during a deformation, the
Jaumann derivative is used to ensure material frame indifference with respect to the rotation as
follow:
dS ij 1
2 ij ij ij S ik jk ik S kj (8)
dt 3
(14)
where is the strain rate tensor and the spin tensor. Other details are given by Mutsuda et al.
(2009).
The pressure with specified jump conditions is solved by the Poisson's equation given by
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 168
P n1 u
(9)
t
(9)
where denotes a physical value after the advection step. The pressure for solid phase can be
obtained by this equation and be applied in solving a solid deformation.
The fluid structure interaction Ffsi is solved by acceleration obtained from the pressure on the
SPH particles interpolated using the pressure on grids solved by the Poisson's equation (9). In
the model, the fluid structure interaction Ffsi in Eqs.(2) and (5) can be given by the following
equation:
m
1 P(rb )
F fsi (ra ) aW (ra rb , h) (10)
(ra ) (rb )
b
b
(15)
To keep computational efficiency and stability, the time increment in the solid phase is
approximately 1/10 to 1/50 of that in fluid phase.
First, the CIP method with particles is introduced as a numerical scheme that combines the
accuracy of Lagragian front tracking. Thereafter, the SPH method is employed to calculate
deformation, strain, stress of elastic body, and 3D motion.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 169
is to investigate relationship between elastic motion and impact pressure caused by slamming.
A ship model is high speed Ferry type as shown in Fig. 1. The main dimensions for the actual
ship and the model in the experiment are presented in Table 1 mentioned in previous section.
The model is made of combination of wood and urethane. To consider an elastic motion, the
ship model is divided into four parts as shown in Fig.1. that the model is cut in three locations i.e.
bow cut, midship cut and stern cut. For the elastic model, the separated part is connected using
2
a backbone attachment made of metal. The flexural rigidity EI and the ship density are 351N/m
3
and 243kg/m , respectively.
The experimental set up are determined and designed based on the free fall theory with a
constant falling speed as shown in Fig. 2. Equipment and device are used for experimental work
and the ship model at initial condition is supported by four-leg framed structure., pressure
sensors located on bottom surface of the model i.e. P1, P2, P3, P4, P5, P6 and P7, are
measured by using piezo-electric sensor as shown in Figures 3 and 4. Strains, S1, S2 and S3,
are measured by strain gauges with water proof located on the backbone.
The other strains on the surface of the ship model are measured at S1_local, S2_local and
S3_local to obtain the localized strain which is not relation to a global motion such as whipping.
The Pressure data measured from all points are divided into three parts i.e. bow (P_bow), hull
(P_hull) and stern (P_stern) to associate with strain data at S1, S2 and S3. In addition, high
speed video camera with speed 1000fps is placed to capture and analyze the ships motion
during dropping process.
In the experiment, a deadrise angle of the ship model is defined as a colliding angle between
still water surface and an inclined ship before entering. Then, the desired angle of the ship
model is set and kept with wire before dropping. After an initial setting, the wire is cut and the
ship model is freely falling into the still water. The deadrise angle is strictly captured from
video image. This situation means that a ship moving forward faces water surface frequently in
real sea state and also a bottom slamming is sometimes occurred.
3.2. Comparison between the experimental results and the numerical results
Dropping test of the elastic ship has been computed numerically at the same initial conditions
with the experiment conditions. Here, the computational conditions are explained more detail.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 170
The grid size is 0.01Lpp and the radius of free surface particle is 0.0025Lpp. The total number
of the free surface particle located near the free surface is 127,680. The radius of the SPH
particle is 0.0025Lpp and the total number is 29,434 for the dropping ship. The density ratio
between air and water is 800 and the viscosity ratio between them is 55 in the multiphase model.
2 3
The flexural rigidity EI and the ship density are 351Nm and 243kg/m , respectively. The initial
dropping speed is about 4.4m/sec recorded by high video camera. The deadrise angle of the
ship is 2 to 25 degrees at the initial setting. One example case at the provided initial conditions
will be shown as follows.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 171
Figure 3. Locations of pressure sensor and strain vertically and longitudinally views
Figure 5 shows comparison of typical case of the elastic ship and the free surface based on
some snapshots between the experimental and the numerical results during the dropping and
the entering process. Vertical location of the elastic ship, water splashing and free surface
deformation change at each time step from 0.001sec to 0.03sec can be seen in these figures.
Based on the snapshots, the numerical results are over all agreement with the experimental
ones. However, there is small discrepancy between them during the entry process. When the
ship bow contacted firstly on the water surface and then immersed, the water splashing near the
bow and the generated short wave reflection along the ship are comparatively weak in the
numerical results because small droplets and air bubbles less than the size of the free surface
particles cannot be captured by our numerical model. We need to overcome this problem using
another special technique in near future effort.
Exp. Exp.
Num. Num.
t=0.001se t=0.01sec
c
Exp. Exp.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 172
Num.
Num.
t=0.02se t=0.03sec
c
Figure 4. Comparison of water profile with splashing between experimental and numerical
results deadrise angle
In the computational conditions, the Froude numbers are set to 0.32 and 0.45. Then, Reynolds
6
number is about 1.4x10 . Young's modulus is 210GPa and Poisson ratio is 0.3 for the elastic
ship. The incident wave height Hw/Lpp is 0.06, Lpp is a ship length and 12 cases are performed
based on the different wave length and the ship speed V. The grid size dx,dy,dz are 0.01Lpp.
The radius in both free surface particle and SPH particle are 0.0025Lpp and the number of
particle is 542,000 for free surface and 29,306 for elastic ship (SPH particle).
a) Location: S1
600
400 Computation
Experiment
Strain (*106)
200
0
-200
-400
-600
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)
b) Location: S2
800
400
Strain (*106)
-400 Computation
Experiment
-800
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 173
c) Location: S3
1000
500
Strain (*106)
0
Computation
-500 Experiment
-1000
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)
Figure 5. Comparison of time histories of strain between experimental and numerical results at
each measurement points S1, S2, and S3.
The impact pressure acting on the ship can be monitored and recorded in time evolution. Then,
each SPH particle produces the strain in six components based on three dimensions in local
axes, i.e. xx, xy, xz, yy, yz and zz in the particle method, SPH. Two measuring points of
pressure, P1 and P2 as shown in Fig. 6, are located on the ship bow and bottom, respectively.
Then, three measuring points of strain, S1, S2 and S3, are located on along deck as shown in
Fig. 6 The P1 is represented by bow slamming and P2 is bottom slamming. The strain
measuring points at S1, S2 and S3 are characterized by the deck structure in front, mid and rear
parts, respectively.
Figure 7 shows the typical non-dimensional impact pressure P* defined by averaging maximum
pressure at each case in increasing wave length Lpp/ for both cases Fn=0.32 and 0.45,
-dimensionalized by wave height Hw, water density and gravity acceleration g.
The localized impact pressure shows the same tendency in all cases based on Fn. It increases
when the ship speed increases and is higher at bow part P1 about four times larger than that at
bottom part P2. Then, the localized impact pressure tends to increase with increasing wave
length, however, it gradually decreases when the
can be notified that
Figure 8 shows some snapshots of bow slamming and bottom slamming phenomena during the
motion in nonlinear wave with breaking. The ship's bow hits the surface of wave crest and it is
then categorized by bow slamming event and the bottom slamming event that bottom of the
ship is lifted up and re-enter into the free surface due to the loading. In addition, the wave
breaking around the ship, especially the bow part of the ship, can be captured well by the
present numerical model.
The localized strain was strongly occurred after impact pressure acting on the ship in the
heading wave. It was bended upward and downward. The reactions of the strain at S1, S2 and
S3 on the deck are shown in Fig.9. The localized strains S1, S2 and S3 grow up with increasing
wave length This is because the impact pressure is relatively small. The impact
pressure tends to decrease when
measured at S3 is highest in both cases based on Fn. The configuration of the stern has the
slightly flat of the ship hull and the small draft, consequently, these can contributes the high
strain. In future work, we will investigate the localized strain on along keel part.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 174
Figure 6. Locations of measuring point of pressure and strain.
a). Fn=0.32 b). Fn=0.45
1
P/gHw
0.8
0.5
0.4
0 0
0 0.5 1 1.5 2 0 0.5 1 1.5 2
/Lpp /Lpp
/Lpp /Lpp
Figure 7. Typical localized impact pressure acting on bow part (P1) and bottom one (P2);
a). Fn=0.32 and b). Fn=0.45.
t=7.3s
Bow slamming
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 175
t=15.9s Bottom slamming
ec
Side
view
Front view Side view
[10-11] 8
S1 [10-11]
S2 6 S1
6 S3 S2
S3
4 4
Strain
Strain
2 2
0 0
0 0.5 1 1.5 2
0 0.5 1 1.5 2
/Lpp /Lpp
Figure 9. Typical localized strain response reacting on deck caused by hydroelastic behavior
Figure 10: Comparison of the non-dimensional heave and pitch amplitudes between solid and
elasti c bodies
Based on the comparison result of the non-dimensional heave amplitude, the heave amplitude
of the elastic ship is lower than that of the solid ship in each wave length as shown in Fig. 10. In
contrary, the non-dimensional pitch amplitude of the elastic ship is higher than that of the solid
one. In addition, high Froude number Fn contributes large amplitude in the elastic ship. Here, it
can be seen that the ship motions such as heave and pitch are also influenced by
hydroelasticity behaviors. Therefore, the performance of a ship in nonlinear wave with breaking
depends on not only impact pressure but also hydroelasticity which should be considered in
ship design.
4. Conclusions
In the present study, Eulerian scheme with Lagrangian particle has been developed to
investigate the high speed ferry motion and hydroelastic effects in nonlinear wave with breaking.
The developed scheme was validated and verified in predicting motions and hydroelastic effects
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 176
on the high speed ferry. The numerical results are in overall agreement with the experimental.
We clarified that the performance of the high speed ferry in nonlinear wave with breaking is
influenced significantly by hydroelastic behaviors of the ferry. The hydroelastic effects address
directly to impact pressure on the ferry. The high Froude number Fn contributes large amplitude
in both motion such as heave and pitch of the ferry. Therefore, we should consider hydroelastic
behaviors of a ship toward proper design.
In the future works, grid and particle size for free surface motion will be also optimized to
capable handle droplets and air bubbles generated by a strongly interaction between wave and
ship.
References
Baraff, D. (1997): An introduction to physically based modeling, Rigid body simulationI
~Unconstrained rigid body dynamics~, SIGGRAPH97 course note, D3.
Baso, S., Mutsuda, H., Kurihara, T., Kurokawa, T., Doi, Y., and Shi, J. (2010): An Eulerian
scheme with Lagrangian particles for evaluation of seakeeping performance of a ship in
nonlinear wave, International Journal of Offshore and Polar Engineering, Vol.21, No.2:
pp.103-110.
Baso S., Mutsuda, H., Kawakami, K., Hashihira, K., and Doi, Y. (2011a): Numerical Study on
Nonlinear Hydroelastic and Hydrodynamic Effects on Floating Body Using Eulerian
Scheme with Lagragian Particles, Proc. of the 21st International Society Offshore and
Polar Engineers Conference, Maui (USA), pp.610-617.
Baso, S., H. Mutsuda Y. Doi (2011b): Numerical Study on Propulsion and Seakeeping
Performance of a Ship Using an Eulerian Scheme with Lagrangian ParticlesJournal of
the Japan Society of Naval Architects and Ocean Engineers, No.13, pp.19-26.
Bereznitski, A., Boon, B. and Postnov, V. (2000): The effect of hydroelasticity on the impact
pressure due to bottom slamming on ship structure, Proc. of 11th International Society
Offshore and Polar Engineers Conference, Seattle (USA), IV, pp.227-283.
Bereznitski, A., Boon, B. and Postnov, V. (2001a): Hydroelastic formulation in order to achieve
more accurate prediction of hydrodynamic loads, Proc. of 11th International Offshore and
Polar Engineers Conference, Norway, Vol. 4, pp.337-342.
Bereznitski, A. and Postnov, V. (2001a): Hydroelastic model for bottom slamming, The 8th
International Symposium on Practical Design of Ship and Other Floating Structure, China,
Vol. 2, pp.911-917.
Bereznitski, A. and Kaminski, M.L. (2002): Practical Implications of Hydroelasticiy in Ship
Design, Proc. of 11th International Offshore and Polar Engineers Conference, Kitakyushu
(Japan), paper no. 2002-YU-1.
Bishop, R.E.D., Price, W.G. (1979): Hydroelasticity of ships, Cambridge University Press.
Faltinsen, O.M. (1997): The effect of hydroelasticity on ship slamming, Phil. Trans. R. Soc., 355,
pp.575-591.
Faltinsen, O.M. (1998): Hydroelasticity of high-speed vessels, Hydroelasticity in Marine
Technology, Proc. of the 2nd international Conference, pp.1-13.
Faltinsen, O. M. (1999): Water entry of a wedge by hydroelastic orthotropic plate theory, Journal
of Ship Research, 43, pp.180-193.
Faltinsen, O.M. (2001): Slamming with application to planning vessels, green water loading and
sloshing, hydrodynamics in ship and ocean engineering, pp.27-58.
Germano (1992): Turbulence: the filtering approach, Journal of Fluid Mechanics, vol.238,
pp.325-336.
Gingold R.A. and Monaghan J.J. (1977): Smoothed particle hydrodynamics, theory and
application to non-spherical stars, Mon. Not. R. Astron. Soc. 181, pp.375-389.
Heller, S.R. and Abramson, H.N. (1959): Hydroelasticity - a new naval science, J. Am. Soc. Nav.
Engrs., 71, pp.205-209.
Inglis, C.E. (1929): Natural frequencies and modes of vibration in beams of non-uniform mass
and section, Trans. R. Instn. Nav. Architects, 72, pp.145-166.
Mutsuda, H. and Yasuda, T. (2000): Numerical simulation of turbulent air-water mixing layer
within surf-zone, Proc. of the 27th International Conference on Coastal Engineering,
pp.755-768.
Mutsuda, H. and Doi, Y. (2009): Numerical simulation of dynamic response of structure caused
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 177
by wave impact pressure using an Eulerian scheme with Lagrangian particles, Proceeding
of the 28th International Conference on Ocean, Offshore and Arctic Engineering,
OMAE2009-79736.
Mutsuda, H., T. Kurokawa, S. Baso, Y. Doi. (2010): Numerical Simulation of Interaction
Between Wave and Floating Body using Eulerian Scheme with Lagrangian Particles, IV
European Conference on Computational Mechanics, Solids, Structures and Coupled
Problems in Engineering , ECCM2010, CD-ROM.
Mutsuda, H., S. Baso, K. Kawakami, K. Hashihira, Y. Doi (2011): Numerical Simulation on
Hydroelastic Response of Structures under Impact Loads from Water Using Eulerian
scheme with Lagrangian Particles, Proceedings of the 4th International Conference on
Computational Methods in Marine Engineering, MARINE2011, CD-ROM.
Senjanovic, I., Malenica, S., and Tomasevic, S. (2008): Investigation of ship hydroelasticity,
Ocean Engineering, Vol.35, pp.523535.
Tajima, M. and Yabe, T. (1999): Simulation on slamming of a vessel by CIP method, J. of the
Phys. Soc. Of Japan, Vol. 68, No. 8, pp.2576-2584.
Takewaki, H. and Yabe, T. (1987): Cubic-interpolated pseudo particle (CIP) method application
to nonlinear or multi-dimensional problems, Journal of Computational Physics, Vol.70
(1987), pp.355-372.
Watanabe, I., Takemoto, H., and Miyamoto, T. (1988): Use of an elastic model in studying wave
loads on a ship in waves and its verification by a full-scale measurement, Proceedings of
the International Symposium on Scale Modeling, Japan Society of Mechanical Engineers,
Tokyo, pp 4755.
Yabe, T., Mizoe, H., Takizawa, K., Moriki, H., Hyo-Nam Im, and Ogata, Y. (2004): Higher-order
scheme with CIP method and adaptive soroban grid towards mesh-free scheme, Journal
of Computational Physics, Vol.194, pp.57-77.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 178
ANALISA CFD PENGARUH PENAMBAHAN APPENDAGE PADA LAMBUNG
KATAMARAN TERHADAP HAMBATAN VISKOS
*1 1
Sony ANGGARA , I Ketut Arya Pria UTAMA
1
Department of Naval Architecture and Shipbuilding, Faculty of Marine Technology, ITS-
Surabaya.
*E-mail: anggarasony@gmail.com
Abstract
The addition of the appendages on the ship hull is often used by designers to improve seakeeping performance when
vessel operated on water, such as installing the bilge keel and bulbous bow. Doing the modifications means changing
the hull shape of the model from without the appendage (bare hull) into a more complex hull shape. It impact on viscous
pressure resistance and directly also determines the value of viscous resistance. This study discusses about how much
the viscous resistance changes due to modifications of hull shape. The method used is the numerical modeling
simulation of CFD (Computational Fluid Dynamics) using the catamaran model that modified by adding a bulbous bow.
Then the length of bulbous bow is varied by 2% and 4% of the length of waterline (LWL). From the simulation, it can be
obtained the value of viscous resistance and the visualization of fluid pressure around the model. Validation phase used
is a grid independence and convergence. Analysis results show that the changes in hull shape suggests a relatively
small effect of viscous resistance.
Keywords: bulbous bow, viscous resistance, catamarans, form factor, numerical modeling.
1. Pendahuluan
Hambatan kapal secara garis besar dapat didefinisikan sebagai suatu gaya yang bekerja
melawan gerakan kapal. Gaya tersebut ditimbulkan akibat adanya kontak langsung antara
kapal dan fluida. Hambatan kapal total dapat dibagi menjadi beberapa komponen, diantaranya
adalah hambatan viskos (RV), gelombang (RW ) dan udara (RA) (Couser dkk., 1997). Karena nilai
hambatan udara sangat kecil, sekitar 4% dari hambatan total, maka perannya seringkali
diabaikan (Lewis, 1988). Rumus hambatan dapat disederhanakan menjadi persamaan (1), dan
perlu diketahui bahwa tulisan ini difokuskan pada pembahasan mengenai hambatan viskos.
RT = R V + R W (1)
Hambatan viskos merupakan hambatan yang terjadi karena adanya efek viskositas fluida.
Hambatan ini sering dipresentasikan sebagai koefisien CV, memiliki 2 komponen utama yaitu
hambatan gesek (friction resistance) dan hambatan bentuk atau yang sering dikenal sebagai
hambatan tekanan (pressure resistance) (Utama dan Molland, 2001). Kedua komponen
tersebut memiliki arah sumbu kerja yang berbeda, komponen pertama bekerja pada arah
mengikuti garis kontur lambung kapal (stream line) membentuk sudut terhadap arah aliran
normal fluida (arah tangensial) yang disebut sebagai hambatan gesek, sedangkan komponen
kedua bekerja sebagai gaya normal yang memiliki arah kerja tegak lurus dengan lambung kapal,
disebut sebagai hambatan tekan. Komponen hambatan viskos ditunjukkan pada Persamaan (2)
dan Gambar 1.
Normal (P)
Tangential ()
flow
ship stern
bow
CV = CF + KCF (2)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 179
2
Rf = Cf S V (3)
Di mana adalah masa jenis fluida, CF koefisen hambatan gesek, S adalah luas perrmukaan
basah dan V adalah kecepatan. Nilai atau besaran CF didapatkan melalui eksperimen yang
panjang di mana eksperimen yang dilakukan mengansumsikan luasan daerah lambung kapal
yang tercelup air sebagai luasan dari pelat datar yang besarnya adalah sama (Lewis, 1988).
Untuk model yang memiliki bentuk 3 dimensi, nilai CF harus dikalikan dengan nilai koefisien
bentuk sebagai implementasi dari bentuk lambung (Couser dkk., 1997).
Dalam teori viskositas disebutkan keberadaan dari lapisan batas (boundary layer). Ketika kapal
bergerak melawan fluida yang tenang, terbentuk sebuah lapisan tipis yang melekat pada
permukaan lambung kapal yang tercelup fluida, lapisan ini memiliki kecepatan relatif nol
terhadap lambung kapal. Sedangkan daerah fluida yang sangat jauh dari kapal bersifat tenang
tidak bergerak. Variasi kecepatan fluida bergantung pada jarak antara daerah fluida tersebut
terhadap lambung kapal, kecepatan fluida menurun seiring dengan semakin jauhnya jarak
terhadap kapal. Daerah di mana terjadi perubahan kecepatan fluida secara mendadak
dinamakan lapisan batas (Rawson dan Tupper, 2001). Salah satu definisi mengenai lapisan
batas yang dapat diterima dalam ilmu hidrodinamika menyebutkan bahwa tebal lapisan tersebut
diukur sebagai jarak dari permukaan struktur body, dalam hal ini lambung kapal, hingga daerah
fluida yang memiliki kecepatan 1% dari kecepatan kapal (Rawson dan Tupper, 2001). variasi
kecepatan fluida menyebabkan terjadinya gesekan antara molekul fluida yang sifatnya
menghambat laju dari kapal, hambatan ini dinamakan hambatan gesek.
Selain pemahaman komponen hambatan seperti di atas, hal penting yang juga dipahami dalam
tulisan ini adalah peran koefisien bentuk, konstanta ini menggambarkan pengaruh bentuk
lambung kapal terhadap hambatan kapal. Koefisien bentuk dari katamaran lebih besar
dibandingkan dengan demihull-nya akibat adanya efek interferensi, di mana selisih keduanya
dapat mencapai 10% (Couser dkk., 1997). Nilai koefisien bentuk dapat ditentukan berdasarkan
formula berikut ini (Insel dan Molland, 1992);
CT = C V + C W (4)
CT = (1 + k) Cf + CW (5)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 180
Re = LVs / v (9)
Re = Reynolds number
L = Lpp dalam satuan meter
Vs = Kecepatan kapal dalam satuan m/s
v = viskositas kinematik
-6 2
= 1.18831 x 10 m/s untuk air tawar
Koefisien bentuk dapat ditentukan dengan menggunakan perhitungan langsung melalui rumus
CV/CF, metode ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Molland (2001).
2. Metode Penelitian
2.1. Model katamaran
Dalam tulisan ini digunakan 3 model yang terdiri dari 1 model utama dan 2 model hasil
modifikasi menggunakan bulbous bow dengan variasi panjang 2% dan 4 % Lwl. Sebagai
perjanjian awal untuk memudahkan penyebutan digunakan penamaan khusus untuk ketiga
model di atas yaitu NB untuk model tanpa bulbous bow, B2 untuk model dengan bulbous bow
panjang 2% Lwl dan B4 untuk model katamaran menggunakan bulbous bow panjang 4% Lwl.
Model lambung katamaran NB yang telah disimulasikan pada tulisan ini adalah desain yang
diadopsi dari penelitian Jamaluddin dkk. (2010), dengan rasio S/L 0,3. S merupakan jarak
demihull (0.41 m) dan L adalah panjang kapal. Tabel 1 menunjukkan data hidrostatik demihull.
Akibat keberadaan tonjolan ini maka luasan permukaan basah (WSA) bertambah. Untuk
mempertahankan luasan tersebut agar sama dengan model katamaran tanpa bulbous bow,
maka harus terjadi pengurangan sarat. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan,
penurunan sarat untuk mempertahankan nilai WSA adalah sebesar 3.891 mm, dibulatkan
menjadi 3.9 mm. Sehingga sarat model kapal katamaran setelah dimodifikasi dengan bulbous
bow l = 2% Lwl (model B2) menjadi 74 mm dari semula 78 mm. Selisih displasemen sebelum
dan sesudah instalasi bulbous bow beserta penurunan sarat adalah 0.058 % dari displasemen
awal.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 181
10 9 8
76 FP
(a) (b)
54
19
18
17
Sarat 2
1
AP
16
15
14
13
12
11
Gambar 2. (a) Lines plan demihull sebelum dan (b) sesudah penambahan bulbous bow
2% Lwl
2.3 Desain bulbous bow 4% Lwl
Variasi model yang kedua adalah modifikasi bulbous bow dengan panjang 4% Lwl yang
selanjutnya disebut sebagai model B4. Bentuk bulbous bow ini didapat dengan menarik model
bulbous yang telah didesain sebelumnya dengan panjang 2% Lwl sejauh 2% Lwl lagi ke depan
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Diperpanjang 2% Lwl
Model B2
Model B4
(b)
(c)
Gambar 4. (a) model NB, (b) model B2 dan (c) model B4.
2.5 Proses simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan software CFD. Simulasi menggunakan CFD
disesuaikan dengan kondisi ketika pengujian menggunakan wind tunnel (Meskipun pada
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 182
penelitian ini tidak melakukan pengujian dengan wind tunnel) yaitu dengan menggunkan 1 jenis
fluida yang mengalir pada terowongan (Utama dkk., 2011). Fluida yang dipakai adalah air.
Bagian lambung yang melakukan kontak dengan fluida hanyalah bagian yang menyentuh air
sehingga hambatan viskos dapat langsung diketahui tanpa harus melakukan perhitungan lagi.
Adapun variasi angka Froude (Fr) yang digunakan 0.18; 0.28; 0.38; 0.47; 0.56; 0.65.
Konvergensi, adalah pengaturan persamaan solver control untuk meminimalisir error pada hasil
simulasi. Proses perhitungan atau disebut sebagai proses iterasi pada tahap flow solver
dilakukan jika semua data kondisi batas telah ditentukan. Banyaknya proses iterasi
berpengaruh terhadap tingkat akurasi yang dapat diperoleh. Penentuan banyaknya iterasi
dipengaruhi oleh tingkat ketelitian dari model yang telah dibuat. Semakin banyak jumlah grid
yang dipakai dalam pemodelan maka semakin banyak pula iterasi yang perlu dilakukan untuk
perhitungan model tersebut. Proses iterasi berhenti jika telah mencapai batas konvergensi yang
telah ditentukan. Pada proses ini perhitungan dilakukan hingga menuju nilai error terkecil atau
didapatkan nilai yang konvergen. Kriteria konvergensi yang digunakan dalam proses iterasi
-5
menggunakan Ansys CFX adalah 10 .
Grid Independence adalah suatu merode untuk menentukan titik optimum dari suatu nilai
percobaan. Perlu dipahami bahwa penggunaan jumlah elemen dalam pemodelan numeric
mempengaruhi hasil. Semakin banyak elemen maka hasil semakin akurat namun waktu running
menjadi semakin lama. Titik optimum adalah titik dimana hasil menunjukkan kekuratan dengan
jumlah elemen seminimum mungkin. Menurut Utama dan Molland (2001), grid independence
mencapai posisi optimum apabila selisih perbedaan nilai hambatan antara suatu jumlah elemen
dengan elemen sebelumya kurang dari 2%. Pada tulisan ini didapatkan batas optimum senilai
5
1.4% seperti di tunjukkan pada Tabel 3, catatan diberikan bahwa nilai Rv dikalikan 10 dalam
satuan Newton.
untuk mencapai titik optimum, Grid Independence dari 1 fluida membutuhkan element
sebanyak 1825600 elemen. Kurva grid independence ditunjukan pada Gambar 5.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 183
Gambar 6. Koefisien hambatan viskos hasil simulasi CFD.
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa ketiga model ini didesain supaya memiliki
volume displasemen dan luasan WSA (Wetted Surface Area) yang sama sehingga tidak ada
pengaruh WSA terhadap RV. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh
luasan WSA terhadap harga hambatan viskos. Seiring bertambahnya kecepatan kapal, nilai
hambatan viskos terus bertambah. Pertambahan ini ditandai dengan menurunnya koefisien C V,
penyebab penurunan CV adalah nilai kuadrat kecepatan sebagai pembagi hambatan viskos
2
yang semakin besar seiring dengan pertambahan nilai hambatan, Rv = Cv WSA V . Hal
tersebut sesuai dengan percobaan Couser dkk. (1997). Selama proses kenaikan nilai hambatan
viskos dari Fr = 0.18 0.65, nilai RV model B4 selalu berada pada posisi tertinggi, diikuti model
B2 dan kemudian NB meskipun perbedaan dari ketiganya sangat kecil. Besarnya perbedaan R V
antara model NB dan B2 adalah 0.02% serta NB dan B4 adalah 0.03% pada Fr 0.66.
Hambatan viskos terus menanjak dengan bertambahnya kecepatan. Pada kecepatan tinggi
besarnya gaya gesek bernilai tinggi juga. Hal ini sesuai dengan hukum Newton II yang
diturunkan lebih lanjut menjadi persamaan energi kinetik. Secara umum besarnya energi kinetik
dipengaruhi oleh masa dan kecepatan fluida. seperti tertulis :
2
E=mV (11)
Dari persamaan (11) dapat diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan fluida dengan masa yang
konstan maka energi semakin bertambah. Mengingat bahwa energi merupakan besaran
turunan dari gaya dikalikan jarak E = F.S, dan biasa disebut sebagai usaha memiliki satuan
Joule, maka dengan menganggap bahwa jarak adalah konstan, yang berarti setiap molekul
fluida menempuh jarak sepanjang lambung kapal dan nilainyaselalu konstan maka besarnya
gaya gesek semakin besar apabila kecepatannya bertambah.
Perbedaan nilai CV yang tipis terjadi karena WSA dari ketiga model tersebut sama. Sedangkan
selisih itu sendiri ditimbulkan akibat perbedaan bentuk model setelah penambahan bulbous
bow, di mana bentuk model berpengaruh terhadap nilai hambatan bentuk (kCF). k adalah
koefisien bentuk, perbedaan nilai k dapat ditunjukkan dari hasil perhitungan pada saat model
disimulasikan dengan kecepatan rendah (Fr < 0.2). Pada kondisi kecepatan rendah hambatan
gelombang dapat diabaikan karena sistem gelombang memang belum terbentuk pada
kecepatan rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa hambatan total disusun hanya oleh
hambatan viskos, CT = (1+k) CF. Dengan sendirinya koefisen bentuk 1+k bisa ditulis dengan
formulasi CT/CF pada kecepatan rendah (Fr = 0.18). Nilainya berturut-turut dari model NB, B2
dan B4 adalah 1.253 ; 1.256 ; 1.257. Sedangkan nilai untuk variasi kecepatan lainnya tidak jauh
berbeda (Couser dkk., 1997). Dengan melihat kembali rumusan C V = (1+k) CF, di mana nilai
CF konstan karena WSA sama, nilai 1+k memberikan peran paling besar, dapat disepakati
bahwa hambatan bentuk yang direpresentasikan dengan nilai 1+k bernilai tertinggi pada
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 184
model B4, diikuti B2 dan paling kecil model NB. Ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan
nilai CV yang lebih besar adalah model B4 diakibatkan oleh nilai hambatan bentuknya yang
dominan dalam kasus ini.
Hambatan bentuk itu sendiri tidak lain adalah hambatan yang bekerja searah bidang normal
lambung model. Kaitannya sangat erat dengan hambatan tekanan viskos (viscos pressure
resistance/CVP). Nilai CVP bergantung pada tekanan dari tekanan fluida di daerah sekitar
lambung model.
NB B2 B4
Gambar 7. Distribusi tekanan ketiga model pada Fr = 0.65. (Warna biru di tengah
menunjukkan tekanan rendah dan Warna merah di haluan menunjukkan tekanan tinggi)
Gambar 7 menunjukkan bahwa keberadaan bulbous bow mampu merubah bentuk distribusi
tekanan di tengah kedua demihull. Model B4 dan B2 menunjukkan warna biru lebih sedikit
(daerah yang dilingkari) dibanding model NB, yang berarti tekanan di sekitar model kapal
meningkat dengan keberadaan bulbous bow hingga mampu mengubah hambatan CVP semakin
besar. Kenaikan CVP ditandai dengan nilai koefisien betuk yang semakin tinggi.
Perubahan distribusi tekanan terjadi karena adanya efek interferensi dari masing-masing
demihull, seperti ditunjukkan rumus CV = (1+k) CF, adalah nilai perubahan daerah
bertekanan (pressure field). Nilai hambatan bentuk kCF model B4 lebih tinggi dibandingkan
model B2 dikarenakan efek viscos interference oleh model B4 bersifat lebih menguatkan
daripada model B2. Penguatan ini terjadi karena bentuk bulbous bow dari model B4 yang lebih
panjang, mengakibatkan presentase kemungkinan interferensi ke lambung belakangnya lebih
besar. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan melihat kembali distribusi tekanan pada Gambar 7
yang menunjukkan bahwa tekanan dibagian inner hull untuk model B4 lebih tinggi dibandingkan
dengan model B2, sehingga memperlihatkan efek interferensi hambatan viskos yang lebih
besar dibanding model B2.
Fluida di daerah haluan kapal pada Gambar 7 menunjukkan tekanan yang relatif tinggi yang
dipresentasikan oleh kontur berwarna merah. Luasan warna merah semakin berkurang dari
model NB, B2 hingga B4. Model B2 memiliki luasan yang lebih sempit dibanding NB, dan B4
lebih sempit dibanding B2. Pengurangan luasan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan
bulbous bow menimbulkan pengurangan daerah bertekanan di haluan, hal ini berlawanan
dengan efek bulbous bow dibagian tengah antar demihull. Efek kerja bulbous bow di tengah
dan haluan model berkombinasi mengakibat kenaikan hambatan viskos, yang berarti efek
menaikkan tekanan lebih dominan.
Pada kecepatan tinggi nilai hambatan viskos antara NB, B2 dan B4 menunjukkan perbedaan
yang semakin jelas, meskipun tetap pada porsi yang kecil. Dalam terapannya di lapangan,
sistem gelombang mempengaruhi nilai hambatan viskos dengan cara mengubah luasan WSA,
khususnya pada kecepatan tinggi. Bulbous bow pada model B2 dan B4 telah mengubah sistem
gelombang sehingga menghasilkan WSA yang berbeda dari masing-masing model untuk
kecepatan yang sama. Selain itu dijelaskan oleh Utama dan Molland (2001), pada hasil
percobaannya menggunakan model katamaran dengan wind tunnel diungkapkan bahwa
terdapat efek interaksi viskositas akibat kedua demihull-nya yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap hambatan viskos.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 185
4. Kesimpulan
Berdasarkan diskusi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan bentuk dari lambung
model dapat menaikkan besarnya hambatan viskos meskipun nilainya relatif kecil, di mana
perubahan hambatan terbesar mencapai 0.03% dari hambatan model awal. Hal ini diperoleh
dengan catatan bahwa luasan WSA didesain sama. Karena itu dengan memperhatikan hal
tersebut, desainer tidak perlu mengkhawatirkan efek dari penambahan appendage seperti
bulbous bow terhadap hambatan viskos. Informasi ini sangat penting sebagai bahan
pertimbangan pemasangan bulbous bow pada model kapal.
Acknowledgements
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andi Jamaluddin selaku peneliti
senior pada Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) di Surabaya yang telah meminjamkan
model katamaran kepada penulis.
References
AIAA, G. 007. (1998): Guide for The Verification and Validation of Computational Fluid Dynamics
Simulations. NPARC.
Couser, P. R., Molland, A. F., Amstrong, N. A. & Utama, I. K. A. P. (1997): Calm Water Powering
Prediction for High Speed Catamarans. In Fast 97. Sydney, Australia.
Insel, M. & Molland, A. F. (1992): An Investigation into Resistance Components of High Speed
Displacement Catamarans Trans. Royal Institute of Naval Architects. Vol 134, pp.1-20.
Jamaluddin, A., Utama, I. K. A. P. & Molland, A. F. (2010): Experimental Investigation into The
Drag Characteristics of Symmetrical and Asymmetrical Staggered and Unstaggered
Catamaran. International Conference on Ship & Offshore Technology (ICSOT)-Indonesia
2010. Surabaya, Indonesia.
Kanerva, M. (2000): The Future of Ship Design. MPI Group, Basingtoke, UK.
Lewis, Edward V. (1988): Principles of Naval Architecture Volume II: Resistance, Propulsion and
Vibration. Society of Naval Architects & Marine Engineers.
Rawson, K. J. & Tupper E. C. (2001): Basic Ship Theory. Butterworth-Heinemann.
Utama, I. K .A. P., Jamaluddin, A & Sutiyo. (2011): Development of Free-Surface CFD Modelling
into the Breakdown of Ship Resistance Components. Quality in Research (QiR) Conference,
Bali, 4-7 July
Utama, I. K. A. P. & Molland, A. F. (2001): Experimental and Numerical Investigations into
Catamaran Viscous Resistance. Fast 2001, pp. 295-301.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 186
DESAIN KAPAL GILNET 5 GT UNTUK KEPULAUAN ARU DENGAN KONSEP
KESELAMATAN YANG BAIK
Abstract
Making fishing vessels safer is one of the most fundamental measures to improve sea safety. It need fishing vessels
with strong perfomance to encounter extreme condition at sea. Unfortunately, most international legislation to ensure
sea safety relates to vessels larger than 24 meter (m). Vessels under 12 m are not covered by any international
legislation and are very often outside the pale of national regulations as well. Aru Islands is one of the districts in the
province of Maluku which need design of fishing vessels particularly gillnetter to acomodate the needs of fisher in fishing
efforts. The aim of the research is to designed gillnetter with safety and efficient. The methods is optimizing the existing
vessel mainly in stability, power, cost and construction. The 5 GT gillneter's design has the principal dimension as LOA
= 12.00 m, LPP = 10:50 m, BWL = 2.30 m, H = 1.40 m, T = 1.20 m, Cb = 0.63 and Vs = 9 knots. Stability criterion and
others comply safety international regulation.
1. Latar Belakang
Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku hasil pemekaran
dari Kabupaten Maluku Tenggara yang disahkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2003. Kabupaten Kepulauan Aru menurut letak astronomisnya berada di
antara 5 sampai 8 Lintang Selatan dan 133.5 sampai 136.5 Bujur Timur (Gambar 1). Secara
geografis kepulauan dengan topografi yang umumnya datar dan berawa-rawa ini dibatasi oleh
Laut Arafura di bagian selatan, bagian selatan Irian Jaya di sebelah utara dan timur, dan Pulau
Kei di sebelah barat. Sebagai wilayah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Aru memiliki pulau
hingga mencapai 547 pulau dengan 458 di antaranya tidak berpenghuni. Dari pulau tersebut,
dibagi menjadi 3 pulau besar (Pulau Wokam, Kobror dan Trangan) dan 8 pulau lainnya
merupakan pulau kecil terluar. Sebagian dari pulau terluar tersebut tidak berpenghuni, sebagai
misal Arapula, Karawaiala, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang dan Enu
(http://www.desentralisasi-kesehatan.net/kepulauan-aru-kabupaten-dtpk-yang-dbk&catid=38).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 187
5 GT sebanyak 2.213 buah, 6-30 GT sebanyak 576 buah dan di atas 30 GT sebanyak 60 buah.
Sementara jumlah alat tangkap sebanyak 20.161 unit dengan jenis yang dominan adalah
pancing (hand line), jaring insang (gill net), bubu (traps), sero (portable) dan jaring lingkar
(purse seine).
Produksi perikanan tangkap Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 sebesar 84,23% atau
sebesar 61.713,89 ton dari total produksi perikanan Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 yang
terdiri dari pelagis kecil sebesar 14.965,51 ton, pelagis besar sebesar 19. 467,11 ton, demersal
sebesar 12.933,02 ton dan udang sebesar 4.615, 97 ton (http://www.antaramaluku.com/aru/d-
01.html). Data produksi perikanan Kepulauan Aru dari tahun 2005-2009 diberikan dalam Tabel
2.
Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa potensi perikanan di Kepulauan Aru mengalami
peningkatan dari tahun 2005-2009. Dengan melakukan peramalan (forecast), maka prediksi
produksi perikanan ke tahun-tahun berikutnya dapat dihitung, dan hasil yang diberikan adalah
mengalami peningkatan. Ini menyiratkan bahwa sektor perikanan masih tetap menjanjikan dan
berpotensi untuk tetap dikembangkan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 188
Semakin meningkatnya produksi perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Aru, dengan
armada penangkapan yang didominasi oleh kapal motor berukuran 5 GT ke bawah serta jenis
alat tangkap Gillnet maka perlu dirancang Kapal Gilnet berukuran 5 GT yang memiliki konsep
keselamatan yang baik.
2. Metodologi
Untuk mencari ukuran utama kapal yang optimum, maka ukuran utama kapal pembanding 5
GT yang ada di Kepulauan Aru dijadikan sebagai salah satu batasan (constraint) untuk proses
optimisasi.
WL 6 WL 6
WL 5 WL 5
WL 4 WL 4
WL 3 WL 3
WL 2 WL 2
WL 1 WL 1
BL5 BL4 BL3 BL2 BL1 BL1 BL2 BL3 BL4 BL5
CL
SHEER PLAN
UBU
KUBU-K
GELADAK UTAMA
KUBU-KUBU
WL 5 WL 5
GELADAK UTAMA BL 4
WL 4 BL 3 WL 4
WL 3 WL 3
BL 2
BL 4 BL 1
WL 2 WL 2
BL 1 BL 2 BL 3
WL 1 WL 1
WL 0 WL 0
-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
BL 4 BL 4
WL 2
WL 4 WL 3 WL 3
BL 3 WL 1 WL4 GELADAK UTAMA BL 3
WL 2 WL 0
BL 2 WL 5 BL 2
WL 0
WL 1
WL 0
BL 1 BL 1
CL CL
-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 189
Tabel 2. Loadcase Kondisi Muatan Penuh
Item Name Quantity Weight Long.Arm m Vert.Arm m Trans.Arm m FS
tonne Mom.
tonne.m
Lightship 1 10,02 4,650 0,834 0,000 0,000
Fish Hold 1 4,000 6,867 0,324 0,000 0,000
Crew 1 0,3750 1,568 1,131 0,000 0,000
Provision 1 0,1000 1,304 0,235 0,000 0,000
Fresh Water 1 0,2500 1,023 0,334 0,000 0,000
Fuel Oil 1 0,3500 1,450 0,234 0,000 0,000
Fishing Gear 1 0,7800 8,120 1,121 0,000 0,000
Total Weight= 15,88 LCG=5,158 VCG=0,702 TCG=0,000 0
FS corr.=0
VCG
fluid=0,702
IMO Regulation
o o o
e0.30 e0.40 e30,40 GM0
Cond. hmax Stat.
o
0.055 0.09 0.03 h30 fmax 0:15
o
m.rad m.rad m.rad 0.2 m 25 m.
Full Load 3,810 6,517 2,707 0,334 62,0 0,407 Pass
0,4
Max GZ = 0,334 m at 62 deg.
0,3
0,2
GZ m
3.1.2.6:
3.1.2.5: Turn: angle crow
Passenger of equilibrium
ding: angle of equilibrium
0
-0,1
-0,2
-0,3
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 190
1,2
MTc
1
Immers ion (TPc )
KML
0,8
KMt
KB
Draft m
0,6
LCF
LCB
0,4
WPA
Wet. A rea
0,2
Dis p.
0
0 2,5 5 7,5 10 12,5 15 17,5 20 22,5 25
Dis plac ement tonne
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
A rea m^2
-7,5 -5 -2,5 0 2,5 5 7,5 10 12,5 15 17,5
LCB, LCF, KB m
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KMt m
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
KML m
0 0,025 0,05 0,075 0,1 0,125 0,15 0,175 0,2 0,225 0,25
Immers ion tonne/c m
0 0,025 0,05 0,075 0,1 0,125 0,15 0,175 0,2 0,225 0,25
Moment to Trim tonne.m
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 191
Gambar 6. Wave contour pada kapal.
4. Kesimpulan
Perancangan kapal gilnet 5 GT setelah dilakukan optimisasi menggunakan Solver adalah LOA
= 12.00 m, LPP = 10:50 m, BWL = 2.30 m, H = 1.40 m, T = 1.20 m, Cb = 0.63 dan Vs = 9 knots.
Harga kapal diperkiran mencapai Rp178 juta. Dan kapal memiliki safety yang baik karena
stabilitas yang dimiliki kapal tersebut memenuhi standar yang diberikan oleh IMO.
References
Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kep. Aru 2010.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 192
Parsons, Michael G. (2003); Parametric design, chapter 11 ship design and construction Vol I.
The Society of Naval Architecture and Marine Engineerins, 601 Pavonia Avenue Jersey
City, NJ, United States of America
Rawson, K.J and Tupper, E.C. (2001); Basic ship theory Vol II chapter 13 manoeuvrability.
Butterworth Heinemann, Oxford Boston Johannerburg Melbourne New Delhi Singapore.
http://www.desentralisasi-kesehatan.net/kepulauan-aru-kabupaten-dtpk-yang-dbk&catid=38
http://www.antaramaluku.com/aru/d-01.html
BU
KUBU-KU
AMBANG PALKAH
AMBANG PALKAH
CHAIN
GELADAK UTAMA
LOCKER
0 5 10 15 20 25
PANDANGAN SAMPING
2400 2400
BU
KUBU-KU
AMBANG PALKAH
AMBANG PALKAH
GELADAK UTAMA
GADING
GADING
(100 X 100 mm) X 120 mm )
SENTA SISI (60 X 120 mm) (100 X 100 mm) SENTA SISI (60
0 5 10 15 20 25
400
BALOK GELADAK
(100 X 100 mm) GELADAK UTAMA GALAR BALOK (60 X 120 mm)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 193
SISTEM PERKAPALAN
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 194
PENGARUH PERUBAHAN JENIS INSULASI PETI PENDINGIN DAN VARIASI JUMLAH
ES KERING - ES BATU TERHADAP LAMA WAKTU PENDINGINAN IKAN
Alam BAHERAMSYAH
Abstract
To extend the duration of a cooling time of a coolbox and increase the income of Indonesian traditional fishermen a full-
scale experiment has been conducted. The use of polyurethane insulation materials which replace styrofoam and
combination of cooling method by using water ice and dry ice is proven to extend the duration of cooling time and also
increase the income of fishermen. A ratio 1 : 0.6 : 0.4 of total fish, water ice, and dry ice gives the best results which
the duration of cooling time can be doubled. Meanwhile, a maximum profit is obtained by the fishermen when using the
ratio 1 : 0.24 : 0.28
1. Pendahuluan
Sampai saat ini pendinginan dengan menggunakan es batu masih menjadi metode utama yang
digunakan oleh para nelayan tradisional untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan. Oleh
karena pertumbuhan bakteri pembusuk sangat dipengaruhi oleh temperatur maka proses
pendinginan cepat ikan hasil tangkapan menjadi keharusan untuk menekan pertumbuhan
bakteri pembusuk. Penggunaan es dalam hal ini memungkinkan terjadinya proses pendinginan
cepat. Selain keuntungan terjadinya pendinginan cepat, es juga dikenal memiliki kapasitas
pendinginan yang cukup besar untuk setiap satuan berat atau volumenya. Dari aspek
kesehatan dan keamanan pangan, penggunaan es batu jelas memenuhi syarat. Es juga
bersifat portable sehingga sangat mudah untuk penanganannya. Untuk menjaga kesegaran
ikan hasil tangkapan selama dalam pelayaran maka FAO (Food and Agriculture Organizaton)
memberikan panduan perbandingan jumlah es batu dengan ikan adalah 1 : 1 (FAO, 1992).
Naiknya secara signifikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik beberapa tahun lalu
otomatis berdampak pula terhadap kenaikan harga es batu. Selain itu perbandingan 1 : 1
antara es batu dan ikan menyebabkan berat es batu yang harus dibawa oleh para nelayan saat
berangkat berlayar menjadi pertimbangan tersendiri. Berat dan volume es batu yang dibawa
tentu berdampak langsung terhadap daya muat (jumlah ikan yang bisa diangkut), kecepatan
kapal, dan konsumsi bahan bakar kapal. Dengan maksud utama mengurangi berat dan volume
es batu yang harus dibawa maka telah dilakukan penelitian dengan menggunakan es kering
sebagai alternatif (Baheramsyah, 2007). Palka atau peti ikan yang digunakan dalam penelitian
ini dibuat menyerupai peti ikan yang digunakan oleh sebagian nelayan tradisional yaitu terbuat
dari papan atau multiplek dan tidak berinsulasi. Hasil penelitian menunjukkan potensi es kering
yang dapat dikembangkan sebagai alternatif pendingin ikan hasil tangkapan. Dengan
kemampuan es kering menyerap panas sebanyak 136,6 kcal/kg dibandingkan dengan es batu
sebesar 80 kcal/kg maka dengan jumlah ikan yang sama volume maupun berat es kering yang
digunakan akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pemakaian es batu.
Penggunaan es kering semata dalam proses pendinginan memang dapat memenuhi kebutuhan
pendinginan cepat guna menekan pertumbuhan bakteri pembusuk, namun dipandang kurang
memberikan hasil yang memuaskan dalam hal lama waktu pendinginan dibandingkan es batu.
Sehubungan dengan hal itu telah dilakukan penelitian guna melihat unjuk kerja pendinginan
dan lama waktu pendinginan dengan penggunaan gabungan es kering dan es batu (Semin,
Baheramsyah dkk., 2011). Dengan menggunakan peti ikan yang terbuat dari multiplek dan
berinsulasi styrofoam yang dilapisi dengan fiberglass diperoleh hasil terbaik temperatur
0
pendinginan terendah sebesar -1 C dengan lama waktu pendinginan sekitar 6 jam untuk naik
0
sampai dengan temperatur 10 C. Oleh karena pertimbangan biaya maka jumlah es kering
yang digunakan untuk setiap variasi percobaan adalah maksimal 7 kg dan beban pendinginan
sebesar 45 kg. Walaupun percobaan yang telah dilakukan masih berskala kecil namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa unjuk kerja pendinginan dari gabungan penggunaan es kering
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 195
dan es batu jauh lebih baik dari penggunaan es kering saja maupun es batu saja.
Telah dilakukan percobaan dalam skala penuh untuk mengetahui secara lebih pasti pengaruh
dari variasi jumlah es kering, es batu, dan beban pendinginan. Ukuran peti ikan yang
digunakan sama dengan yang banyak dipakai oleh nelayan saat ini kecuali lapisan insulasinya
tidak lagi menggunakan styrofoam namun poliuretan dengan ketebalan 60 mm. Poliuretan
dipilih menggantikan styrofoam karena memiliki nilai penghantar panas yang jauh lebih kecil
atau dengan kata lain sifat isolator panas dari poliuretan jauh lebih baik dari styrofoam.
2. Metodologi
Penelitian dilakukan berdasarkan percobaan dengan skala penuh, adapun susunan peralatan
dapat di lihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Terdapat dua buah peti dimana peti pendingin yang besar berukuran 950x620x530 mm
sedangkan peti pendingin yang kecil berukuran 430x370x530 mm. Dimensi peti besar dibuat
sama persis dengan peti pendingin yang umum digunakan oleh para nelayan tradisional.
Insulator kedua peti menggunakan bahan poliuretan dengan ketebalan 60 mm. Dinding bagian
dalam dan luar peti dilapisi dengan fiberglass. Khusus untuk peti besar, di bagian dalam
terdapat kotak alumunium tempat ikan dan es batu disimpan dan terdapat ruang dengan jarak
tertentu antara kotak alumunium dengan dinding bagian dalam peti pendingin.
Es kering disimpan di dalam peti pendingin berukuran kecil sedangkan gas dingin dari es kering
akan disalurkan ke peti yang besar melalui pipa PVC penghubung kedua peti dengan bantuan
kipas yang terdapat di dalam peti pendingin kecil. Gas dari es kering yang berfungsi
mendinginkan kotak alumunium tempat dimana ikan dan es batu disimpan akan mengisi ruang
celah antara kotak alumunium dengan dinding bagian dalam peti pendingin besar. Alumunium
dipilih sebagai bahan kotak karena memiliki sifat penghantar panas yang baik, mudah diperoleh
dan dibentuk serta lebih awet dari ancaman korosi.
Termometer digital digunakan untuk memantau perubahan temperatur di dalam peti pendingin
besar. Kipas di dalam peti penyimpan es kering dijalankan secara otomatis berdasarkan sensor
temperatur dari thermostat yang terpasang di peti pendingin besar. Kipas akan menyala
0
otomatis ketika temperatur di dalam peti pendingin besar menunjukkan angka 2 C dan berhenti
0
ketika temperatur mencapai minus 2 C. Kisaran temperatur ini dipilih dengan pertimbangan
agar kesegaran ikan dapat lebih terjaga. Tergantung dari jenis ikan namun secara umum ikan
0 0
yang disimpan pada kisaran temperatur 0 C sampai dengan 5 C akan masih tetap segar
selama 5 hari (FAO, 2001).
Penempatan ikan dan es batu atau es basah di dalam peti pendingin besar disusun seperti
halnya yang dilakukan oleh para nelayan. Oleh karena pertimbangan biaya maka digunakan
dummy untuk menggantikan sebagian ikan sebagai beban pendingin. Dummy berupa kantong-
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 196
0
kantong plastic ukuran 0,5 1 kg yang berisi air pada temperatur sekitar 25 C. Adapun ikan
sesungguhnya ditempatkan secara merata di berbagai lapisan bercampur dengan dummy.
Pengaruh proses pendinginan terhadap mutu ikan dapat diamati dari ikan yang sesungguhnya
ini.
Dalam penelitian telah dilakukan pengamatan untuk 7 (tujuh) variasi percobaan berikut ini,
yaitu :
Berdasarkan dimensi dari peti pendingin besar yang ada diketahui bahwa jumlah ikan dan es
batu (es basah) yang dapat dimuat dengan perbandingan 1 : 1 adalah masing-masing 78 kg,
hal ini menjadi dasar pertimbangan dari ditetapkannya variasi 1. Oleh karena kapasitas
pendinginan dari es kering lebih besar 1,7 kali dibandingkan es batu maka selanjutnya ingin
diketahui bagaimana pengaruhnya jika 78 kg es batu tersebut diganti seluruhnya dengan es
kering (variasi 2). Variasi 3 dan 4 dipilih untuk melihat pengaruh penambahan atau
pengurangan dari jumlah es kering standar variasi 2. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
dimana telah diketahui perbandingan terbaik untuk model pendinginan seperti ini yaitu
perbandingan jumlah ikan, es batu, dan es kering adalah 1 : 0,6 : 0,4 (Semin, Baheramsyah
dkk., 2011) maka selanjutnya ditetapkan variasi 5. Adapun variasi 6 dan 7 ditetapkan
berdasarkan pertimbangan bahwa semakin banyak ikan yang dapat disimpan dan dijual maka
keuntungan yang diperoleh oleh nelayan juga makin besar. Untuk itu dicoba dilakukan
penambahan jumlah ikan dengan pengurangan jumlah es batu di dalam peti pendingin besar.
Dari grafik di atas terlihat bahwa percobaan dengan menggunakan masing-masing 78 kg beban
0
pendingin maupun es batu, diperoleh suhu terendah di dalam peti pendingin sebesar -1 C yang
dicapai dalam waktu 120 menit (2 jam). Adapun lama waktu pendinginan pada kisaran
0 0
temperatur antara -2 C sampai 5 C adalah 1110 menit (18 jam 30 menit). Sedangkan
percobaan kedua yang dilakukan dengan jumlah beban pendingin 78 kg dan menggunakan 45
0
kg es kering menunjukkan hasil temperatur terendah di dalam peti pendingin adalah -2 C yang
dicapai dalam waktu 220 menit (3 jam 40 menit). Lama waktu pendinginan adalah 510 menit (8
jam 30 menit).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 197
Hasil kedua percobaan di atas menunjukkan bahwa penggunaan es kering mampu
menghasilkan temperatur pendinginan yang lebih rendah dibandingkan dengan pemakaian es
batu (es basah). Akan tetapi rentang waktu pendinginan dari es basah jauh lebih lama
dibandingkan dengan es kering yaitu lebih dari dua kali lipatnya. Es batu juga memberikan
proses pendinginan cepat yang lebih baik daripada es kering. Penyalaan kipas yang berarti
0
menambah suplai gas dari es kering ketika temperatur mencapai 2 C terbukti dapat
menurunkan temperatur di dalam peti pendingin.
Gambar 3 menunjukkan hasil perbandingan yang diperoleh dari percobaan variasi 2, variasi 3,
dan variasi 4.
Dari grafik pada Gambar 3 di atas tampak bahwa dengan mengurangi jumlah es kering menjadi
35 kg sementara beban pendingin tetap 78 kg temperatur terendah di dalam peti pendingin
0
menjadi 1 C yang dicapai dalam waktu 150 menit (2 jam 30 menit). Lama waktu pendinginan
adalah 290 menit (4 jam 50 menit). Sedangkan dengan penambahan es kering menjadi 55 kg
0
diperoleh temperatur terendah di dalam peti sebesar -2 C yang dicapai dalam waktu 160 menit
0 0
dengan lama waktu pendinginan pada kisaran temperatur antara -2 C sampai 5 C adalah
1130 menit (18 jam 50 menit). Hasil ini menunjukkan bahwa hanya dengan penambahan es
kering sebanyak kurang lebih 20% saja akan dapat memperpanjang lama waktu pendinginan
lebih dari 200% atau dua kali lipatnya.
Hasil pengamatan dari percobaan dengan variasi 5, variasi 6, dan variasi 7 ditampilkan dalam
grafik pada Gambar 4.
Dari percobaan dengan menggunakan beban pendingin 95 kg, es batu 60 kg dan es kering 35
0
kg diperoleh temperatur terendah di dalam peti pendingin sebesar -2 C yang pertama dicapai
dalam waktu 120 menit (2jam) dengan lama waktu pendinginan pada kisaran temperatur antara
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 198
0 0
-2 C sampai 5 C adalah 2160 menit (36 jam). Pada percobaan kedua dengan beban
pendingin 105 kg, es batu 50 kg dan es kering 35 kg didapat temperatur terendah yang sama
0
yaitu -2 C yang dicapai dalam waktu 150 menit (2 jam 30 menit) dengan lama waktu
pendinginan 1480 menit (24 jam 40 menit). Sedangkan pada percobaan ketiga dengan beban
0
pendingin 125 kg, es batu 30 kg dan es kering 35 kg didapat temperatur terendah -1 C yang
dicapai dalam waktu 110 menit (1 jam 50 menit) dengan lama waktu pendinginan 980 menit (16
jam 20 menit).
Perbandingan antara hasil percobaan yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 4 di atas
menunjukkan bahwa proses pendinginan dengan menggunakan kombinasi es batu dan es
kering memberikan hasil yang jauh lebih baik ketimbang hanya menggunakan es batu saja
seperti yang dilakukan oleh para nelayan selama ini. Tabel 1 menunjukkan perbandingan hasil
dari semua variasi percobaan.
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa semua variasi memenuhi persyaratan untuk menjaga ikan
simpanan tetap segar dan penggunaan kombinasi pendinginan es batu dengan es kering dapat
menjadi alternatif cara pendinginan yang lebih baik dimana jumlah ikan yang disimpan dapat
lebih banyak lagi.
Dengan adanya kenaikan jumlah ikan yang dapat disimpan maka berarti keuntungan yang
diperoleh oleh para nelayan juga akan meningkat. Sebagai ilustrasi, jika harga ikan misalnya
ikan kerapu Rp 18.000,- per kg, harga es batu Rp 18.000,- per balok (@ 30 kg) atau dengan
kata lain harga es batu Rp 600,- per kilogramnya, sedangkan harga es kering Rp 7.000,- per kg
maka pendapatan nelayan yang diperoleh dengan cara penyimpanan biasa (variasi 1) adalah
sebesar Rp 1.357.200,-. Adapun jika dilakukan penyimpanan dengan cara variasi 7 maka
pendapatan yang akan diperoleh sebesar Rp 1.987.000,-. Terdapat peningkatan pendapatan
sebesar Rp 629.800,-.
4. Kesimpulan
Penggunaan poliuretan sebagai bahan insulasi peti pendingin menggantikan styrofoam serta
pemakaian metode pendinginan dengan cara mengkombinasikan es batu dengan es kering
terbukti dapat memperpanjang lama waktu pendinginan secara signifikan dua kali lipatnya.
Adapun perbandingan jumlah ikan, es batu, dan es kering yang dipakai adalah 1 : 0,6 : 0,4.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan oleh penulis sekaligus peneliti kepada LPPM - ITS yang telah
mendanai penelitian ini dengan kontrak penelitian No : 0392.58/IT2.7/PM/2012
References
Baheramsyah, A. 2007. Sistem Pendingin Ruang Palka Ikan Dengan CO2 Yang Disirkulasikan.
Prosiding SEMNASKAN IV. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. ISBN : 978-979-
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 199
99781-2-7.
FAO. 1992. Ice in Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. No. 331. 75p. Rome
FAO. 2001. The Handling of Wet Fish During Distribution. Rome
Semin, Baheramsyah, A., Amiadji, Ismail, A.R. 2011. Effect of Dry Ice Application in Fish Hold of
Fishing Boat on the Fish Quality and Fisherman Income. American Journal of Applied
Sciences 8 (12): 1263-1267. ISSN 1546-9293
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 200
ANALISA KARAKTERISTIK BALING-BALING SKEW DI AIR TERBUKA
DENGAN SIMULASI NUMERIK BERBASIS PROPELLER B SERIES
1 2 3
Agung PURWANA , I Made ARIANA , Irfan SYARIEF ARIEF
1
Mahasiswa Pasca Sarjana Teknologi Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
2
Dosen Pasca Sarjana Teknologi Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
3
Dosen Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
Abstract
Recently, propeller characteristic analysis aided by computasional has been rapidly so can be applicated to reveal
viscosity effect against propeller efficiency. Application of numerical simulation by using Reynolds Average Navier
Stokes with turbulence incompressible around propeller blade that act freely in open water can be investigated its
characteristic. By using simulation and experimental test can be expected propeller skew characteristic based on
propeller B series and information its efficiency can be explained. Numerical simulation produce thrust (N), torque (Nm),
Kt, 10Kq, J and propeller efficiency. This result was validated with characteristic of B.4.55 wageningen propeller that had
been publicated. The characteristic numerical simulation result for each of kt,10kq and efficiency at J0.7 respectively
0.1788, 0.305 and 0.65 for propeller skew at 30 and J0.7show increasing for kt,10kq and efficiency () around 5.45%,
3.33% and 2.011%. Its value are 0189, 0314, and 0.67 with difference for of Kt = -0.0008 (0.11 %), 10Kq = -0001
(0.21%), and = 0001 (0.33%). Numerical simulation result for propeller skew 30 show the difference about 2% with
water tunnel test. Which is conducted in FTK ITS at J = 0.2-0.4266.
1. Pendahuluan
Metode teoritis untuk memprediksi kinerja baling-baling berkembang dimulai dari teori
momentum Rankine diikuti oleh teori blade elemen dari Froude.Tahun 1990an, para ilmuwan
menyederhanakan model baling-baling dengan model komputasi, dan memulai penelitian
kalkulasi geometri riil baling-baling dengan model rumusan RANS (Reynolds Averaged Navier
Stokes). Selanjutnya membuka ruang yang luas dalam perhitungan hidrodinamika baling-baling
dengan tipe seri yang lain.
Kerumitan dan mahalnya biaya untuk memprediksi karakteristik baling-baling dengan uji model
baling-baling di air terbuka pada kolam tarik dapatlah dikurangi dengan mengaplikasikan
metode CFD, dengan metode ini akan dapat mengurangi waktu dan biaya dalam
menginvestigasi beberapa parameter karakteristik baling-baling.
Untuk mengetahui karakteristik dari baling-baling B.4.55 melalui metode CFD maka langkah-
langkah yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Digunakan suatu model baling-baling dengan tipe B.4.55 secara 3D.
6
b. Dipilih angka Reynolds yang dibutuhkan dengan variasi sampai dengan 2 x 10 .
c.
Data dari hasil simulasi dengan metode CFD kemudian dinalisa dengan persamaan RANS
kemudian kita bandingkan dengan data percobaan wageningen B series yang telah
terpublikasi sebelumnya.
2. Persamaan RANS
CFD adalah ilmu cara memprediksi aliran fluida, perindahan panas, reaksi kimia, fenomena
kavitasi dengan model matematik. Pada dasarnya fluida, kekekalan dan konservasi energi,
massa, momentum, dan newton ke dua (F = m.a). persamaan fluida dibangun dan dianalisa
berdasarkan persamaan diferensial parsial equation (PDE) yang mempresentasikan prinsip
hukum dasar mekanika. Dalam persamaan CFD persamaan RANS untuk fluida takrmampat
dan aliran kental dirumuskan :
U
. 0 (1)
V 1 2 U P .U .TRe SM
F V .V p V . (2)
t Re ,
U adalah average velocity vector field, P adalah average pressure field, adalah viskositas
dinamik, TRe adalah tensor of Reynolds stresses dan SM adalah vektor dari sumber
momentum.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 201
Dalam bentuk persamaan RANS yang umum dapat ditulis sebagai berikut,
( u i )
0
t xi (3)
1 p 1 u i u j 2 1 u1 u i
_
Fi
3 x x t xj i j
(u u )
xi x j x j xi i 1
(4)
Dan persamaan momentum menjadi
( u i ) ( u i u j ) p u i u j 2 u1
ij ( u i ' u j ' )
t x j xi x j x j xi 3 x1 x j (5)
Dimana ui adalah i-th komponen (Kartesian) dari vektor kecepatan absolute, p adalah tekanan
static, adalah adalah viskositas yang molecular, ij adalah Kronecker delta dan ui ' u j '
adalah Reynold stress harus dimodelkan untuk persamaan momentum tertutup dengan
menggunakan satu model turbulen.
Salah satu cara mengestimasi karakteristik baling-baling dengan dilaksanakan tes model di
water tunnel dengan aliran homogen, dikenal dengan Open Water Propeller Test seperti pada
gambar.1.
Model baling-baling yang bekerja akan diperoleh spesifik gaya-gaya pada saat open-water test.
Untuk memenuhi hukum kesamaan, maka setiap pengujian, setiap harga putaran (n) dan
kecepatan (Va) dapat diukur besar harga Gaya dorong (T) dan Torsi (Q). Berdasarkan hasil
setiap uji dapat dihitung besarnya koefisien gaya dorong (Kt), koefisien Torsi (Kq) serta efisiensi
(), dari baling-baling dirumuskan :
Va (6)
J
n.D
T (7)
KT
.n 2 .D 4
Q (8)
KQ
.n 2 .D 5
Va KT
n .D KQ .2 (9)
Daya dorong suatu baling-baling yang bekerja tergantung pada parameter-parameter seperti
diameter baling-baling (D), besarnnya pitch (p/D), jumlah dan bentuk daun baling-baling (Z),
Kecepatan (Va), Kecepatan putaran (n), Densitas fluida (), Viskositas fluida () [6].Dari hasil
sesuai persamaan diatas dapat dibuat diagram KT, KQ dan J untuk model propeller seperti
pada gambar. 2.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 202
Gambar 2. Open Water Diagram Wageningen B4.55.
o
Gambar 3. Ukuran utama 3D model baling- baling B.4.55 normal skew dan skew 30 .
Kondisi kecepatan dan mass flow aliran inlet dipilih, di sesuaikan dengan kondisi fisik secara riil.
Untuk simulasi kondisi batas outlet kita gunakan : Tekanan keluar
Pada pemodelan zona stasioner, karena kondisi tekanan keluar. Kita gunakan seperti gambar.4
untuk baling-baling normal skew, untuk gambar.5 untuk baling-baling skew 30.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 203
Gambar 4. Domain numerik baling-baling B.4.55 .
4.3. Simulasi
Simulasi dilakukan setelah memasukkan nilai beberapa parameter antara lain : inlet mass flow
(kg/s), putaran (rps) untuk domain bag.berputar dan tekanan outlet seperti pada gambar.8-9.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 204
Gambar 8. Definisi kondisi batas pada baling-baling B.4.55 normal skew dan domain numerik.
Gambar 9. Definisi kondisi batas pada baling-baling B.4.55 skew 30, dan domain numerik.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 205
Average of Pressure = 53248.1[Pa]
Gambar 12. Kontur tekanan pada face daun
baling-baling skew 30 untuk J=0.7.
Hasil simulasi diatas kemudian dicatat nilai gaya dorong (N), dan Torsi (Nm)nya, dan dihitung
koefisien Kt, Kq dan Efisiensi () pada nilai J = 0,01-1.06 pada putaran 10-69.5 rps. Kemudian
nilai diatas dibuat grafik yang terlihat pada gambar.14 dan 15.
Gambar 14. Grafik Kt, 10Kq dan baling-baling normal skew (simulasi dan data)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 206
Tabel 1. Nilai Koefisien gaya dorong (Kt) baling-baling normal skew B.4.55.
J Rps V T Kt Kt Delta
(m/s) (sim) data (sim) Kt
Skew 30 (%)
Tabel 2. Nilai Koefisien torsi (10 Kq) dan efisiensi () pada baling-baling normal skew B.4.55
10Kq 10Kq Kq
J (Data)
(data) (Sim) (%) (sim) (%)
o
Tabel 3. Nilai Koefisien gaya dorong-Kt (sim) baling-baling B.4.55 skew 30 .
V T(Sim) Kt Kt Kt
J Rps
(m/s) (N) Data (Sim) (%)
0.7 37.5 5.25 424.68 0.179 0.189 -5.45
0.8 50 8.0 598.91 0.135 0.15 -11.1
0.85 57 9.69 673.94 0.112 0.13 -15.7
o
Tabel 4. Nilai Koefisien torsi -10 Kq (sim) baling-baling B.4.55 skew 30 .
10Kq 10Kq Kq
J
(data) (Sim) (%) (Data) (sim) (%)
0.7 0.304 0.314 -3.37 0.6563 0.670 -2.011
Pada tabel 1-2. menggambarkan besarnya nilai koefisien gaya dorong baling-baling B.4.55
skew normal (Kt), koefisien torsi (10Kq) dan efisiensi () pada J=0.7, menunjukkan adanya
perbedaan nilai antara data dan hasil simulasi numerik dengan selisih (Kt) sebesar 0.11%,
(10Kq) sebesar 0.21% dan () sebesar 0.33%. Hasil validasi antara nilai simulasi numerik
terhadap nilai data adalah memiliki selisih pada koefisien Kt,10Kq, dari J=0.01-0.85
memiliki harga nilai rata-rata kurang dari 2%.
Sesuai pada tabel 3-4. untuk besarnya nilai koefisien gaya dorong baling-baling skew 30 pada
J=0.7 menunjukkan adanya perbedaan nilai antara data dan hasil simulasi yaitu : Kt sebesar
5.45%, 10Kq sebesar 3.37 % dan sebesar 2.011%.
Pada gambar grafik 15, besarnya nilai simulasi pada baling-baling skew 30 untuk koefisien
gaya dorong (Kt) pada J=0.01-0.5 dan koefisien torsi (10Kq) pada J=0.01-0.6 nilainya lebih
kecil dibandingkan dengan nilai Kt dan 10Kq (data) pada baling-baling skew normal.
Sebaliknya untuk nilai simulasi pada koefisien gaya dorong (Kt) pada J=0.6-1.06 dan koefisien
torsi (10Kq) pada J=0.7-1.06 untuk baling-baling skew 30o memiliki nilai lebih besar
dibandingkan dengan nilai data pada baling-baling skew normal.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 207
7. Kesimpulan
Dari hasil simulasi yang telah dilakukan dan analisa maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dengan simulasi numerik dapatlah diteliti dan diprediksi karakteristik balingbaling skew
seperti efisiensi (), koefisien gaya dorong (Kt) dan torsi (Kq) dengan perbedaan kurang
dari 2% dibandingkan dengan hasil ekperimen.
2. Besarnya nilai parameter diatas sangat dipegaruhi oleh : Keakuratan geometri model
baling-baling, Bentuk gometri domain rotating dan stasioner, Geometri dan jenis serta
jumlah grid, Kondisi batas yang menjadi parameter input simulasi (material, mass and
momentum-mass flow rate, angular velocity bagian berputar dan stasioner.
3. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai koefisien dorong (Kt)
pada J= 0.7,0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 5.45%, 11.11% dan 15.75%.
4. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai koefisien torsi (10Kq)
pada J= 0.7, 0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 3.37%, 7.0% dan 9.45%.
5. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai efisiensi () pada J= 0.7,
0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 2.011%, 3.845% dan 5.76%.
6. Hasil simulasi numerik pada baling-baling skew 30 menunjukkan adanya perbedaan
dengan data hasil ekperimen pada water tunnel di FTK ITS pada J = 0.2-0.4266 dengan
selisih kurang dari 2%, sedangkan pada J = 0.4266-1.06 karena keterbatasan peralatan
ekperimen maka data belum didapatkan.
References
Carlton JS, 1994,Marine Propeller and Propulsion, Butterworth.
Harvald, Sv, Aa, 1983, Tahanan dan Propulsi Kapal, Airlangga University Press, Surabaya.
GAO Fudong , PAN Cunyun, XU Haijun, ZUO Xiaobo, (2011), Design and Mechanical
Performance Analysis of a New Wheel Propeller, Chinese Journal of Mechanical
Engineering Vol. 24.
Hsun-jen Cheng , Yi-chung Chien , Ching-yeh Hsin, Kuan-kai Chang , Po-fan Chen, (2010), A
numerical comparison of end-plate effect propellers and conventional propellers, 9th
International Conference on Hydrodynamics, Shanghai, China.
ITTC(2002),Recommended procedure and Guidelines Testing and Extrapolation Method
Propulsion, Propulsor Open Water Test.
M.M. Bernitsas,D.Ray, P. Kinley, Report No.237, 1981, KT,KQ and Efficiency Curve for the
Wageningen B-Series Propellers, The University of Michigan.
Mehdi Nakisa, Mohammad Javad Abbasi, and Ahmad Mobasher Amini, (2010), Assessment of
Marine Propeller Hydrodynamic Performance in Open Water via CFD, Proceedings of
MARTEC, The International Conference on Marine Technology, BUET, Dhaka,
Banglades.
S. Brizzolara, D. Villa & S. Gaggero (2010), RANS and Panel method for unsteady flow
propeller analysis, 9th International Conference on Hydrodynamics, Shanghai, 564-569
China.
T.P. Obrien 1962, The design of Marine Screw Propeller, London.
1 2 3
Vladimir Krasilnikov , Jiaying Sun and Karl Henning Halse , 2009, CFD Investigation in Scale
Effect on Propellers with Different Magnitude of Skew in Turbulent Flow, First
International Symposium on Marine Propulsors09, Trondheim, Norway.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 208
THE AZIMUTH PODDED USAGE REGARDING TO MANEUVERING CAPABILITY
OF SHIPS
*1 1
Mansyur HASBULLAH , Andi Haris MUHAMMAD
1
Department of Naval Architecture, Faculty of Engineering, Hasanuddin University-
Makassar
*E-mail: mansyur_hasbullah@yahoo.com
Abstract
The ships mover that is called; propulsion of ships which is an important parts into a ship Moving. Among of the kind of
propulsion, that is, more expanding till now. It is called as kind propulsion like a POD (azimuth podded) more rapidity
expanding supported by user of this devices, and recording on their experience about POD. This devices can do more
effective moves and maneuvre capability is better than conventional propeller. In the matter of KMP, Sultan Murhun, that
is ferry vessel. She has been repair at PT. IKI Makassar, caused of the unsuitable between area of rudder blade. Againts
maneuvering capability on the moment of ship maneuvering. Its hull will turn with it. Turning cycle to became width.
Based on these condition, research will be to conducted a one research regarding to know maneouver capability of
ships, if ship used a POD propulsion.
1. Pendahuluan
Sistem propulsi atau penggerak merupakan sistem yang sangat berperan dalam kemampuan
gerak suatu kapal. Awal sejarah perkembangan tentang alat gerak kapal telah dimulai pada
kisaran 287 212 SM yang mana seorang Archimedes menemukan piranti untuk memindahkan
air dari danau ke saluran irigasi pertanian Syiracuse di Sicily. Alat ini kemudian dikenal dengan
sebutan Archimedean Screw Pumps, hingga penggerak-penggerak kapal jenis pod yang baru
diperkenalkan pada industri perkapalan akhir-akhir ini sesungguhnya berasal dari konsep
pendorong jenis azimuth (azimuthing thruster) yang telah mulai digunakan secara umum sejak
1878. Sejak penggunaan pertama kali sampai dengan sekarang, baling-baling sebagai alat
penggerak kapal berkembang secara tahap demi tahap. Walaupun demikian saat ini baling-
baling merupakan alat penggerak kapal mekanis yang paling banyak digunakan untuk kapal-
kapal dari segala ukuran dan jenisnya.
KMP. Sultan Murhum merupakan salah satu jenis kapal ferry yang beberapa waktu lalu
direparasi di PT. IKI (Industri Kapal Indonesia) Makassar. Masalah yang terjadi pada KMP.
Sultan Murhum yaitu ketidaksesuaian antara luas daun kemudi dengan kemampuan
menuvering yang telah ditetapkan, sehingga pada saat kapal melakukan maneuvering badan
kapal akan berputar dan diameter turning circle yang dihasilkan terlalu besar. Kerugian yang
dapat terjadi bila keadaan ini tetap dipertahankan, yaitu badan kapal akan mengalami
kemiringan, dan bisa mengakibatkan tenggelamnya kapal.
2. Tinjauan Pustaka
Dalam maneuvering sebuah kapal, prosedur yang digunakan mengacu kepada peraturan
standar kemampuan maneuver kapal yang direkomendasikan oleh International Maritime
Organization (IMO) yakni resolusi MSC.137 (76) annex.6 tertanggal 4 Desember 2002 dan
mulai diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2004, yang mana resolusi ini merupakan amandemen
terhadap resolusi sebelumnya yakni A.751 (18) mengenai standar kemampuan maneuver kapal.
Manuver yang digunakan dalam percobaan di laut mengikuti rekomendasi dari maneuvering
trial code of ITTC (1975) and the Imo circular MSC 389 (1985). IMO juga menentukan
penampilan dari beberapa hasil pada poster, bucklet dan maneuvering bucklet pada IMO
resolution A.601 (15) (1987).
Menurut Ogawa dan Kansai (1987), persamaan matematika untuk analisis maneuver melalui
simulasi komputer dikembangkan berdasarkan konsep MMG (Mathematical Modelling Group),
persamaan matematika tersebut meliputi pengujian persamaan terpisah komponen lambung,
propeller, dan kemudi serta komponen interaksi antara ketiganya (lambung-propeller-kemudi).
Persamaan matematika gerak manuver kapal dengan propulsi azimuth podded dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.
X = XH + XP XR = 0
Y = YH + YP YR = 0
N = NH + NP NR = 0 (1)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 209
dimana, H dan P adalah elemen lambung kapal (hull) dan baling-baling (propeller), sedangkan
fungsi daun kemudi (rudder) digantikan oleh fungsi pod pada baling-baling.
3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan simulasi perhitungan dan gerak kapal KMP. Sultan
Murhum menggunakan Matlab untuk mengetahui analisa kemampuan maneuver kapal tersebut.
Mulai
a.Mempelajari Propulsi
Azimuth Podded Studi Literatur
b.Mempelajari perhitungan
tahanan/propulsi
Pengolahan Data
Perhitungan Tahanan
Analisa
Memenuhi
Selesai
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 210
4. Hasil Penelitian
Dari hasil pengujian, performa kapal pada Turning Circle Maneuver Test dengan sudut
kemiringan rudder / Pod = 20 (T=1,65) sebagai berikut.
0
Gambar. 1. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi even keel terhadap
kemampuan turning circle maneuver kapal.
0
Gambar. 2. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi trim terhadap kemampuan
turning circle maneuver kapal.
Perbandingan antara even keel dan trim condition dengan menggunakan propulsi azimuth
podded sebagai berikut.
Gambar. 3. Grafik perbandingan turning circle antara even keel dan trim condition
menggunakan propulsi azimuth podded.
Hasil simulasi numerik gerak kapal saat turning circle test baik pada kondisi even keel maupun
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 211
trim dengan sudut kemiringan kemudi (sistem konvensional) dan pod (azimuth podded) yang
0
sama yaitu 20 menunjukkan bahwa penggunaan azimuth podded menghasilkan advanced dan
tactical diameter yang lebih kecil dibandingkan propulsi konvensional.
Tabel 1. Pengaruh jenis propulsi kapal terhadap performa turning circle test
Adapun hasil pengujian performa kapal pada zig-zag maneuver test dengan sudut kemiringan
rudder/pod = 20 (T = 1,65)
Gambar. 4. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi even keel terhadap zig-zag
maneuver kapal.
Gambar. 5. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi trim terhadap zig-zag
maneuver kapal.
Gambar. 6. Grafik perbandingan zig-zag maneuver antara even keel dan trim operation
menggunakan propulsi azimuth podded.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 212
Dari kedua kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada even keel condition, penggunaan
st nd
azimuth podded menghasilkan overshoot yang lebih besar ( 1 overshoot = 11 ; 2 overshoot
st nd
= 10 77) dibandingkan dengan trim condition (1 overshoot = 8 15 ; 2 overshoot = 7 75).
Tabel 2. Pengaruh jenis propulsi kapal terhadap performa zig-zag maneuver test
Zig-zag Maneuver IMO Criteria Conventional Azimuth Podded
Even keel condition
1st overshoot < 250 6,1 11
2nd overshoot < 400 10,36 10,77
Trim condition
1st overshoot < 250 3,1 8,15
2nd overshoot < 400 4,65 7,75
5. Kesimpulan
Kemampuan maneuver kapal, khususnya turning circle test dengan menggunakan propulsi
azimuth podded lebih baik dibandingkan kapal dengan propulsi konvensional, baik pada kondisi
even keel maupun trim. Sebaliknya pada zig-zag maneuver test, penggunaan azimuth podded
menunjukkan kemampuan yang lebih baik hanya pada kondisi even keel.
Perbedaan mendasar antara jenis propulsi azimuth podded dengan propulsi konvensional yaitu
0
pada propulsi azimuth podded, kemiringan pod dapat diatur hingga mencapai 360 (ke segala
arah).
References
Buletin IMarE Edisi ke-38. (2008), hal.4-5 (Sumber: MER, Edisi April 2008 HR)
Hasbullah, Mansyur. (2011): Hybrid Contra Rotary Propeller (CRP) Azimuth POD sebagai Alat
Propulsi Kapal yang Efektif dan Menguntungkan di Masa Datang.
Insel, M., and Helvacioglu, I., H. Manoeuvrability Analisys of Double Ended Ferries in
Preliminary Design.
Islam, Mohammed, F., Veitch, Brian, and Liu, Pengfei. (2007): Experimental research on marine
podded propulsors, Journal of Naval Architecture and Marine Engineering, hal.58.
ITS-Undergraduate-9250-4207100504-Chapter1.Pdf.
Julianto, E., Sasono. (2009): PemakaianBaling-Baling Bebas Putar (Free Rotating Propeller)
pada Kapal, TEKNIK Vol. 30 No. 2 Tahun 2009, ISSN 0852-1697.
Moreno, Victor, M., and Pigazo, Alberto. (2007): Future trends in electric propulsion systems for
commercial vessels, Journal of Maritime Research, p.84.
National Maritime Research Institute, Science of Ships and the Sea vol.4, 2004, p.42-45.
Nicod, J., P., and Simon, P. (1998): A step ahead in electric propulsion with Mermaid,
Proceedings of the All Electric Ship Conference AES98, pp.43-47
Pakaste, R., Laukia, R., Wihemson, M., and Kuus koski, J. (1998): Experiences of Azipod
Propulsion systems on board merchant vessels, Proceedings of the All Electric Ship
Conference(AES98) , pp.223-227.
Pakolo, Rommel. (2011): Pengaruh Luas Daun Kemudi terhadap Maneuvering KMP. Sultan
Murhum.
Ship Hydrodynamics, Lecture Notes of Propulsion Part.
Ueda, Naoki, and Numaguchi, Hajime. (2005): The First Hybrid CRP-POD Driven Fast ROPAX
Ferry in the World.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 213
APLIKASI BAHAN BAKAR GAS PADA MOTOR DIESEL
DAN EFFEKNYA TERHADAP TEGANGAN PISTON
*1 1 1
Semin , Aguk ZUHDI MF , Hendra SEPTIAWAN
1
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
*E-mail: semin@its.ac.id
Abstract
Konversi mesin diesel menjadi mesin berbahan bakar gas mempunyai pengaruh terhadap proses pembakaran. Untuk
dapat mengoptimalkan proses pembakaran pada bahan bakar gas harus mempunyai ruang bakar yang lebih besar.
Pada penulisan ini dilakukan analisa tegangan pada piston original dan yang telah dimodifikasi. Tahapan pertama
adalah pengumpulan data mesin, seperti tekanan pembakaran maksimal, dimensi piston, material piston, dan
temperature maksimal silinder. Kemudian dilakukan pembuatan model piston pada softwere AutoCAD. Model yang
sudah jadi dianalisa dengan menggunakan Finite Element Method (FEM). Langkah-langkah yang dilakukan untuk anlisa
FEM yaitu pembentukan mesh, input material properties, boundry condition dan yang terakhir adalah analisa model.
Karena ingin mengetahui tegangan piston, maka penganalisaan dilakukan pada kondisi torsi maksimal, dengan
Compression Ratio (CR) yang bervariasi. Dengan adanya variasi CR tekanan maksimal pembakaran dan temperature
maksimal pada piston juga akan bervariasi. Dari hasil analisa struktur tegangan terbesar yaitu 339 N/mm 2 di daerah
lubang pin piston, sedangkan temperature terbesar yaitu 969oC di daerah piston head. Pada CR 19 piston dapat
menahan beban dari tekanan dan temperature.
Kata kunci: Bahan bakar gas, finite element method, mesin diesel, rasio kompresi, tegangan piston
1. Pendahuluan
Saat ini, bahan bakar alternatif telah berkembang karena kekhawatiran bahwa cadangan bahan
bakar fosil di seluruh dunia yang terbatas dan pada dekade awal abad ini akan habis sama
sekali. Selain itu, krisis energi dunia saat ini membuat kenaikan harga bahan bakar fosil. Di sisi
lain, bahan bakar fosil memberikan kontribusi pencemaran lingkungan yang besar. Banyak jenis
bahan bakar alternatif yang tersedia di dunia. Compressed Natural Gas (CNG) sebagai bahan
bakar alternatif menjadi semakin penting. Oleh karena itu maka timbulah ide mengkonversi
diesel yang semula berbahan bakar solar menjadi berbahan bakar gas.
Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan
rasio kompresi pada ruang bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1,
sedangkan pada bahan bakar gas mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi
mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan rasio kompresi yang tepat agar
diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi dapat
dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang
mempunyai unjuk kerja yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap
unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan software GT-Power.
Paper bertujuan untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada piston akibat tekanan yang
terjadi akibat pembakaran pada ruang bakar, mengetahui distribusi temperatur yang terjadi
pada piston dan engetahui apakah piston dapat menerima beban yang diberikan akibat
konversi bahan bakar diesel menjadi CNG tersebut.
2. Metodologi
2.1 Data Mesin
Mesin yang digunakan adalah Yanmar L-100. Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data-
data engine seperti tekanan pembakaran maksimal pada ruang bakar, dimensi dan material
piston. Untuk mengetahui tekanan pembakaran pada ruang bakar, dilakukan simulasi pada
softwere.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 214
2.3 Dimensi Piston
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 215
Gambar 3. Piston yang telah dimodifikasi
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 216
Tabel 1. Data hasil simulasi untuk analisa struktur pada piston
2
CR Tekanan Maksimal (bar) Tekanan Maksimal (N/mm )
O O 2
CR Temp. Head ( C) Temp. max ( C) Heat Transfer (W/mm )
Length m mm m ft ft
Force N N kN lbf lbf
3 2
Mass kg Tonne (10 kg) tonne slug lbf s /in
Time s s s slug s
2 2 2 2
Stress Pa(N/m ) MPa(N/mm ) Kpa lbf/ft psi (lbf/ft )
-3
Energy J mJ (10 J) KJ ft.lbf in.lbf
3 3 3 3 2 4
Density kg/m tonne/mm tonne/m slug/ft lbf s /in
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 217
Tabel 5. Tipikal unit untuk thermal loads dan boundry condition
Quantity SI Unit US Unit
o o o o
Temperature C K F R
2 2
Normal Heat Flux W/m Btu/hr-ft
2 2
Directional Heat Flux W/m Btu/hr-ft
Nodal Source W Btu/hr
3 3
Volumetric Generation W/m Btu/hr-ft
2 2
Convection Heat Flow W/m Btu/hr-ft
Advection Heat Flow W Btu/hr
2 o 2 o
Convection Heat Transfer Coefficient W/m - C Btu/hr-ft - F
2 2
Radiation to Space W/m Btu/hr-ft
2 2
Radiation Enclosure W/m Btu/hr-ft
Dari data diatas, maka dapat diketahui bahwa pada CR 13 dan 10 tekanan yang terjadi pada
cylinder masih dapat diterima oleh piston. Karena tegangan yang terjadi masih lebih kecil dari
tegangan ijin. Dengan demikian modifikasi piston yang dapat diaplikasikan pada mesin diesel
yang dikonversi menjadi mesin berbahan bakar gas yaitu pada compression ratio 13 dan 10.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 218
Tabel 7. Data hasil analisa thermal
o 2
Distr. Therm.( C) Heat Flux (W/mm )
CR
max min max min
-4
20.28 1750 1740 1.45 2.06 x10
-4
19 1750 1740 1.47 2.15 x10
-4
17 1790 1780 1.49 2.45 x10
-7
15 1820 1810 1.46 6.96 x10
-5
13 1850 1840 1.48 1.17 x10
-6
10 1910 1900 1.51 6.07 x10
Dari data diatas dapat diketahui bahwa distribusi temperature terbesar yaitu pada CR 10
o
dengan temperature maksimal 969 C. hal itu terjadi karena bahan bakar yang disemprotkan
lebih banyak dibandingkan dengan CR yang lebih kecil.
4. Kesimpulan
Dari hasil analisa tegangan yang terjadi akibat tekanan masih dapat ditahan oleh piston. Karena
2
tegangan yang terjadi pada piston terbesar yaitu 339 N/mm , sedangkan tegangan ijin yaitu
2
420.8 N/mm . Tegangan terbesar terjadi pada daerah lubang piston pin, karena piston pin
tersebut menerima beban tekan dari ruang bakar mesin. Distribusi temperature terbesar terjadi
o
pada CR 10 yaitu dengan temperature maksimal 1910 C. Karena semakin besar CR, maka
semakin banyak gas pembakaran dan kebutuhan bahan bakar pun akan lebih banyak. Semakin
kecil CR, maka distribusi temperature akan lebih kecil.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah mendanai penelitian
ini sehingga dapat selesai dengan baik.
References
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 219
Combustion Engine Piston, King Mongkuts University of Technology North Bangkok
Press, Bangkok, Thailand.
th
Holman, J.P., 1986. Perpindahan Panas, 6 Edition, Erlangga, Jakarta.
Morel, T., Harman. S.T., and Keribar. R., 1990. Detailed Analysis of Heat Flow Pattern in Piston.
Poulton, M.L., 1994. Alternative Fuels for RoadVehicles. 1st Edn., Comp. Mechanics
Publications, UK., pp: 10-110.
Sera, M.A., R.A. Bakar and S.K. Leong, 2003.CNG engine performance improvement
strategy through advanced intake system. SAE Technical Paper 2003-01-1937.
http://www.sae.org/technical/papers/2003-01-1937
Shasby, B.M., 2004. Alternative Fuels: Incompletely Addressing the Problems of the
Automobile, Virginia Polytechnic Institute and State University, USA.
http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd- 05252004-152456/
rd
Singer. F.L., and Pytel. A., 1980. Ilmu Kekuatan Bahan, 3 Edition, Jakarta : Erlangga.
Surdia, Tata & Saito, Shinroku. 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. (edisi kedua). Jakarta:
Pradnya Paramita.
Taylor. D.A., 1990. Introduction to Marine Engineering. UK: Elsevier.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 220
PENGARUH PERUBAHAN COMPRESSION RATIO MOTOR DIESEL MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR GAS DAN EFFEKNYA TERHADAP POWER DAN DAYA
*1 1 1 1 1
Semin , Dayang , Aguk ZUHDI MF , I Made ARIANA , Amiadji
1
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
*E-mail: semin@its.ac.id
Abstract
Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan rasio kompresi pada ruang
bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1 sampai 26: 1, sedangkan pada bahan bakar gas
mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan
rasio kompresi yang tepat agar diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi
dapat dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang mempunyai unjuk kerja
yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan
software GT-Power. Pada awalnya dibuat model diesel engine dengan bahan bakar solar lalu dirunning, jika hasil
running sudah sesuai dengan spek mesin aslinya baru dilakukan perubahan bahan bakarnya setelah itu model diruning
pada compression ratio yang bervariasi, dari hasil running akan terlihat pada compression ratio berapa ia memiliki daya
yang optimum.
Kata kunci: Bahan bakar gas, compression ratio , daya, mesin diesel, power
1. Pendahuluan
Gas alam terkompresi (CNG) telah muncul sebagai solusi untuk masalah harga minyak yang
tinggi dan emisi gas buang tinggi. Tersedia di banyak negara dari sumber-sumber asli, gas
adalah bahan bakar murah dan bersih. Di beberapa negara, harga CNG sepertiga solar.
Bensin dan solar akan menjadi langka dan mahal. Teknologi bahan bakar alternatif,
ketersediaan dan penggunaanya akan menjadi lebih umum dalam dekade mendatang untuk
mesin pembakaran dalam. Saat ini, bahan bakar alternatif telah berkembang karena
kekhawatiran bahwa cadangan bahan bakar fosil di seluruh dunia yang terbatas dan pada
dekade awal abad ini akan habis sama sekali. Selain itu, krisis energi dunia saat ini membuat
kenaikan harga bahan bakar fosil. Di sisi lain, bahan bakar fosil memberikan kontribusi
pencemaran lingkungan yang besar. Banyak jenis bahan bakar alternatif yang tersedia di dunia.
Compressed Natural Gas (CNG) sebagai bahan bakar alternatif menjadi semakin penting. Oleh
karena itu maka timbulah ide mengkonversi diesel yang semula berbahan bakar solar menjadi
berbahan bakar gas.
Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan
rasio kompresi pada ruang bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1,
sedangkan pada bahan bakar gas mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi
mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan rasio kompresi yang tepat agar
diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi dapat
dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang
mempunyai unjuk kerja yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap
unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan software GT-Power.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Mesin diesel
Mesin diesel adalah sejenis mesin pembakaran dalam; lebih spesifik lagi, sebuah mesin pemicu
kompresi, dimana bahan bakar dinyalakan oleh suhu tinggi gas yang dikompresi, dan bukan
oleh alat berenergi lain (seperti busi). Mesin ini ditemukan pada tahun 1892 oleh Rudolf Diesel,
yang menerima paten pada 23 Februari 1893. Diesel menginginkan sebuah mesin untuk dapat
digunakan dengan berbagai macam bahan bakar termasuk debu batu bara.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 221
gas yang bercampur dengan suhu tinggi dan tekanan tinggi udara di silinder. Sejak, suhu udara
dan tekanan pada titik penyalaan bahan bakar gas itu, percikan pengapian dari bagian dari
bahan bakar yang sudah dicampur dan setelah udara masa penundaan dari beberapa derajat
sudut engkol. Meningkat tekanan silinder sebagai pembakaran dari campuran bahan bakar
gas-udara terjadi. Masalah utama dalam desain injeksi BBG ruang bakar mesin mencapai
cukup cepat pencampuran antara bahan bakar gas injeksi dan udara dalam silinder dalam
interval sudut engkol dekat tepat untuk TDC.
Dimana :
= silinder bore (diameter)
= clearance volume. Ini adalah volume ruang bakar (termasuk paking cilinder head). adalah
volume minimal ruang pada akhir langkah kompresi, yaitu ketika piston mencapai top dead
center (TDC). Karena bentuk kompleks ruang ini, biasanya diukur secara langsung.
Rasio kompresi (CR) adalah rasio dari volume total ruang pembakaran saat piston berada di
pusat mati bawah (BDC) untuk volume total ruang pembakaran saat piston di pusat mati atas
(TDC). Secara teoritis meningkatkan rasio kompresi (CR) dari mesin dapat meningkatkan
efisiensi keseluruhan mesin dengan memproduksi lebih banyak output daya. Memang, untuk
meningkatkan CR, ada banyak aspek mengenai operasi dari mesin yang harus
dipertimbangkan untuk memeriksa kompatibilitas bagian. Misalnya, durasi yang lebih singkat
cam dapat meningkatkan efektivitas meningkatkan CR. Selama langkah kompresi, udara lebih
diizinkan menjebak atas piston sebelum penutupan katup inlet. Selain itu, lebih rendah durasi
cam pembuka; pendek adalah jarak bagi piston untuk bergerak ke atas ke lubang pada langkah
kompresi Selain durasi cam, cam itu Lobe Angle Tengah (LCA) dan kemajuan cam penting
untuk meningkatkan CR. Sebuah LCA yang lebih luas (angka semakin besar) mempromosikan
peningkatan yang lebih besar di CR dari LCA ketat (angka semakin kecil) (kedok 2003, hal.4).
Selain itu, mesin dengan cam yang lebih maju, sekitar 2-4 derajat muka (kedok 2003, hal.4)
mempromosikan penutupan asupan lebih cepat. Oleh karena itu, output tenaga mesin akan
beless sensitif terhadap penutupan katup dan kombinasi waktu kompresi. Untuk setiap rasio
meningkat, tekanan silinder puncak akan meningkat dengan sekitar 100-110 psi (kedok 2003,
h.5). Akibatnya, akan ada tegangan termal pada bagian-bagian komponen mesin seperti gasket
kepala, menghubungkan batang, engkol dan blok. Biasanya, tekanan puncak akan terjadi
sebelumnya dalam kuasa stroke dan tingkat kerusakan tekanan silinder jauh lebih cepat karena
tingkat lebih tinggi dari volume meningkat pada ruang pembakaran. Dengan keterbatasan ini,
situasi seperti mengetuk akan terjadi dan metode pencegahan untuk menemukan bahan bakar
yang memiliki nilai oktan tinggi sekitar 115 atau lebih tinggi desain yang lebih baik pada piston
lubang atau ruang pembakaran untuk meningkatkan tindakan berputar dan waktu injeksi.
Karena nilai oktan lebih tinggi meningkatkan suhu, penting untuk menjaga sistem induksi
sekeren mungkin untuk menghindari mengetuk apapun. Selain itu, piston ke kepala mendarat di
TMA harus dioptimalkan untuk meningkatkan aksi berputar-putar. Celah-celah dan sudut tajam
dalam ruang pembakaran diminimalkan untuk menetapkan izin memuaskan / squish ketat. Hal
ini mendorong baik kualitas pencampuran bahan bakar dan udara yang meningkatkan efisiensi
dan proses pembakaran lebih cepat. Untuk menurunkan tekanan puncak dan pelebaran batas
ketukan, mesin kompresi tinggi memerlukan pengapian sistem kinerja tinggi dengan modus
berlebihan kotor dan memajukan cam yang dikurangi dengan 2-3 derajat. Terakhir, mencari
mesin kompresi tinggi untuk menghasilkan output daya maksimum melalui efektivitas proses
pembakaran berarti bahwa mesin harus beroperasi pada rpm lebih tinggi juga. Oleh karena itu,
ruang pembakaran dipadatkan dengan memperpanjang stroke piston, dimodifikasi mahkota
piston untuk menjadi datar dan membawa katup intake dan exhaust ke posisi yang lebih vertikal
sekitar 18 derajat Dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai daya output tinggi itu bukanlah
tugas yang mudah. Jika desain kepala piston atau geometri dari ruang pembakaran tidak
dilakukan dengan baik, hal itu akan menyebabkan kegagalan operasi mesin. Oleh karena itu,
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 222
bijaksana untuk menjaga efisiensi dan kinerja mesin diesel asli di mesin CNG-diesel dengan
kemungkinan mengurangi CR untuk mencegah ketukan. Selain rasio kompresi, seperti yang
disebutkan sebelumnya komposisi gas alam merupakan kriteria penting untuk konversi mesin.
Oleh karena itu, jenis mesin yang digunakan untuk konversi tergantung pada variasi komposisi
bahan bakar.
3. Metodologi
Metodologi yang dipakai untuk penyelesaian penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada
gambar dibawah dengan tahapan-tahapan seperti berikut :
3.3 Pemodelan
Pada pemodelan ini yang dilakukan adalah memasukan parameter-parameter yang dibutuhkan
dalam menjalan software GT-POWER. Sehingga data output dari software inilah yang nantinya
dianalisa.
3.5 Pengujian
Apabila didapatkan pemodelan sesuai dengan karakteristik engine yang sesungguhnya, maka
dilakukan pengujian dengan merubah compression ratio pada data engine di engine geometri.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 223
Tabel 1. Spesifikasi mesin
Dari hasil running GT-POST yang rasio kopmresi berfariasi didapat grafik daya mesin dan dapat
dialakuan analisa dari pengaruh rasio kompresio terhadap daya mesin pada putaran 500 rpm
sampai 4000 rpm.
Dari grafik pemvariasian rasio kompresi dan kecepetan mesin dapat dilihat bahwa power mesin
semakin tinggi jika rpm nya dinaikkan hingga rpn 3500, setelah 3500 rpm maka power akan
turun karena torsinya turun. Jika dilihat dari rasio kompresi 11 sampai 16 semakin tinggi CR
maka power akan semakin meninggkat namun setelah CR 16 maka daya rata rata yang
dihasilkan akan semakin menurun, namun daya optimum masih meninggkat hingga CR 19,
setelah CR 19 maka daya optimumnya akan menurun karena torsi menurun, daya menurun
karena adanya indikasi knoking. Jaka suatu mesin akan diopreasikan pada daya yang
bervariasi seperti pada kendaraan maka cocok menggunakan CR 16 Jika suatu mesin akan
diperasikan pada daya optimum dan beban tetap seperti pada generator maka cocok
menggunakan CR 19.
Gambar 1. Analisa efek perubahan rasio kompresi mesin diesel menjadi mesin BBG
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 224
5. Kesimpulan
Rasio kompresi yang cocok untuk mesin HSD yang dikonversi menjadi mesin bahan bakar
gas alam adalah CR 16. Mesin CNG kompresi rasionya masih dapat dinaikan hingga CR 19,
Namun jika CR diatas 16 dan kurang dari atau sama dengan 19 maka daya pada RPM rendah
dayanya akan kecil, namun tinggi pada tinggi pada rpm tinggi.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah mendanai penelitian
ini sehingga dapat selesai dengan baik.
References
Boij, Johan 2008, Engines Types, Frankfurt Konig Johan, Cylinder-Pressure Based Injector
Calibration for Diesel Engine, Stockholm, Sweden April 2008.
rd
Bosch G, Robert,2004, Diesel-Engine Management, 3 Edition, United Kingdom.
Li, LIM Pei, 2004, The Effect of Compression Ratio on the CNG-Diesel Engine, University of
Souther Queesland,Queesland.
Semin, Ismail, A.R. and T.F. Nugroho, 2010. Experimental and computational of engine cylinder
pressure investigation on the port injection dedicated CNG engine development. J.
Applied Sciences, 10: 107-115.
Semin., Ismail, A.R., Bakar, R.A, 2008a. Comparative performance of direct injection diesel
engines fueled using compressed natural gas and diesel fuel based on GT-POWER
simulation, American Journal of Applied Sciences 5 (5), pp. 540- 547.
Semin., Ismail, A.R., Bakar, R.A, 2008b. Investigation of CNG engine intake port gas flow
temperature based on steady-state and transient simulation, European Journal of
ScientificResearch 22 (3), pp. 361-372
Semin., Bakar, R.A., Ismail, A.R, 2008c. Computational visualization and simulation of diesel
engines valve lift performance using CFD, American Journal of Applied Sciences 5 (5),
pp.532-539.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 225
EFISIENSI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR TERHADAP PENGARUH SYN-GAS HASIL
GASIFIKASI CANGKANG KELAPA SAWIT PADA SISTEM DUAL-FUEL ENGINE
DIESEL STASIONER
1 2
Jupri Yanda ZAIRA* , Agus WIJIANTO*
1
Jurusan Teknik Mekatronika Politeknik Caltex Riau
*E-mail: jupz ai r a@ ya h oo. com /j up ri @p c r. a c. id
2
Jurusan Teknik Mekatronika Politeknik Caltex Riau
*E-mail : aguswj@gmail.com/aguswiji@pcr.ac.id
Abstract
Biomass gasification was produced by a gasifier downdraft reactor. The raw material is from oil palm shells that have a
high calorific value from the oil palm plantations solid waste. This research has done an experiment to test diesel
engines performance by using the dual fuel system of fossil fuel (solar) and sync-gass gasification from the oil palm
shell. By varying the air fuel ratio of fuel which use single fuel and dual fuel system, and applying the load to generator
of 200 2000 watt. Engine performances test are done by measuring the electrical output power, and analyze the
engines exhaust gass by performing gass emission test. The Result of research is the increasing of maximum
volumetric efficiency of 235,99%, the decrease on solar use up to 75,56%, on half open air intake causing a
specific raise of fuel consumption, decreasing thermal efficiency , the raise of exhaust gas temperature into 362 oC
occurs when the load of 1302,64 (VA) when the air intake valve is quarter open.
Keywords: Sync-gass, dual system fuel, oil palm shell, diesel engine, Solar.
1. Pendahuluan
Energi sangat dibutuhkan didalam kemajuan suatu negara. Selama ini energi banyak di ambil
dari alam yaitu dari bahan bakar fossil yang tidak dapat diperbaharui, dengan keadaan tersebut
tentunya lama kelamaan akan terjadi krisis energi yang akan mengakibatkan terpuruknya
perekonomian penduduk suatu negara khususnya di Indonesia. Bahan bakar fossil seperti
solar dan bensin yang digunakan terus menerus akan menyebakan polusi dan pemanasan
global yang berdampak terjadinya perubahan iklim yang terasa saat ini, selain itu data statistik
energi dunia tahun 2011, khusus Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa total
konsumsi minyak sebesar 1.304.000 barrel perhari, sedangkan total produksi minyak hanya
sebesar 986.000 barrel perhari [1]. Dengan kondisi seperti itu menyadarkan kita pentingnya
mengembangkan energi alternatif. Beberapa energi alternatif yang dikembangkan masyarakat
saat ini antara lain pemanfaatan tenaga air dan energi matahari untuk pembangkit listrik,
pengembangan bioenergi yang sesuai dengan potensi wilayah seperti bioethanol, biodiesel,
dan syn-gas dari biomassa.
Gasifikasi biomassa merupakan teknologi proses thermo-kimia yang mengubah berbagai jenis
biomassa benda padat menjadi combustible gas yang mudah terbakar yaitu menghasilkan gas
CO, H2, CH4. Biomassa yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah kayu, sekam padi,
tempurung kelapa, cangkang kelapa sawit yang menghasilkan gas yang mudah terbakar.
Provinsi Riau sebagai satu diantara penghasil komoditi kelapa sawit terbesar di Indonesia dapat
menjawab tantangan untuk mengatasi krisis energi di Indonesia dengan mengembangkan
energi alternatif dari gasifikasi biomassa limbah perkebunan yaitu cangkang kelapa sawit yang
merupakan satu diantara bahan baku untuk gasifikasi biomassa. Data statistik perkebunan
Indonesia 2009-2011 Provinsi Riau mempunyai luas areal kelapa sawit terbesar di Indonesia
yang sudah digunakan yaitu 1.781.900 Ha, dengan hasil produksi sebesar 6.064.391 ton
produksi tahun 2010 yang merupakan komoditi terbesar dari jenis perkebunan lainnya di
Provinsi Riau[2,3]. Napitupulu (2006), dalam percobaannya diperoleh nilai kalor 100%
cangkang sawit adalah sebesar HHV : 21274, 56 kJ/kg, LHV :18034,56 kJ/kg[4].
Untuk menghasilkan gas dari proses gasifikasi dilakukan di gasifier downdraft. Syn-gas dalam
pemakaian sebagai bahan bakar pada motor pembakaran dalam, dapat digunakan pada motor
bensin dan motor diesel. Pada motor diesel pemakaian syn-gas hasil gasifikasi harus
dikombinasikan dengan bahan bakar solar.
Penelitian tentang pemanfaatan syn-gas pada proses gasifikasi banyak yang dilakukan dan
telah dipublikasikan. Berdasarkan pengalaman ITB Susanto (1976) menyebutkan bahwa satu
3
liter bensin atau solar dapat digantikan dengan 7,5 m gas dari gasifikasi 4 kg kayu atau 6 kg
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 226
sekam[5], Penelitian juga dilakukan oleh Lawanaskol (1997) menyebutkan bahwa penggunaan
bahan bakar gas hasil gasifikasi yang berasal dari sekam kayu dapat menggantikan 72 % atau
sebanyak 2,2 l/h bahan bakar bio-diesel B5 untuk mendapatkan daya sebesar 10 kWe[6].
Penelitian oleh Sudarmanta dkk, (2010) menyimpulkan bahwa Reaktor gasifikasi downdraft
sekam padi secara kontinyu menghasilkan syn-gas dengan efisiensi sampai 60%, konsumsi
sekam padi pada reaktor gasifikasi sebesar 6 kg/h, dan mampu menggantikan 72% fossil
diesel pada pembangkitan energi listrik 3 kWe[7]. Selain itu Sudarmanta dkk (2011), juga
melakukan penelitan pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik menyebutkan
bahwa peningkatan efisiensi volumetrik sebesar 19,63 % dengan pemakaian mixer yang
dilengkapi dengan mixing jet, penurunan pemakaian bensin paling tinggi hingga 75,12 % pada
dan beban listrik 1241,2 VA, dengan penambahan massflowrate syn gas
menyebabkan peningkatan spesific fuel consumption (sfc) sebesar 70,04%, penurunan efisiensi
termal sebesar 14,64 % serta kenaikkan temperatur engine, oli pelumas dan gas buang[8].
Dari berbagai penelitian diatas, menunjukkan bahwa syn-gas dari hasil gasifikasi berbagai
bahan baku biomassa berpengaruh terhadap performance mesin dan efisiensi pemakaian
bahan bakar, maka penelitian untuk bahan baku cangkang sawit perlu juga dilakukan supaya
dapat mengetahui pengaruh syn-gas dari hasil gasifikasi terhadap performance mesin diesel
dual fuel dan seberapa besar efisiensi pemakaian bahan bakar solar yang bisa diketahui.
2. Metode Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang dimulai dari karakterisasi biomassa
umpan secara proximate dan ultimate analysis. Secara keseluruhan, sistem pembangkit listrik
berpenggerak motor diesel dual fuel ini terdiri dari unit pengmpan biomassa berupa cangkang
kelapa sawit, reaktor gasifier, unit pemurnian raw syn gas, motor Diesel dual fuel dan generator
set. Unit pengumpan biomassa dirancang untuk memasukkan biomassa umpan, yaitu
dimasukkan cangkang kelapa sawit kedalam reaktor gasifier sesuai dengan kebutuhan. Reaktor
gasifier menggunakan sistem downdraft untuk mereduksi kandungan tar. Pemakaian unit
pemurnian untuk membersihkan kandungan debu dan partikel berat yang terikut dalam raw syn
gas dengan cara melewatkannya dalam unit cyclone, dan dilanjutkan dengan membersihkan
dengan air secara berlawanan arah didalam water scrubber. Selain itu, water scrubber juga
berfungsi sebagai media pendinginan syn gas. Syn gas yang sudah dimurnikan selanjutnya
dimasukkan kedalam saluran udara motor diesel yang sudah dimodifikasi menjadi sistem dual
fuel. Mekanisme pemasukan syn gas hasil gasifikasi dilakukan dengan pemasangan mixer
yang berbentuk venturi dan pengaturan valve udara masuk ruang pembakaran pada mesin
diesel sistem dual fuel. AFR (Air Fuel Ratio) sistem dual-fuel divariasikan melalui pengaturan
Kecepatan pada udara masuk ruang pembakaran dengan pengaturan valve yaitu dengan
variasi bukaan full, , , dan . Variasi beban pada motor bensin dimulai dari 200 sampai
2000 Watt dengan interval 200 Watt. Pengukuran dilakukan terhadap laju alir udara dan syn gas,
waktu konsumsi bahan bakar solar setiap interval 5ml, dan temperatur mesin.
Bahan baku cangkang kelapa sawit didapatkan dari PTPN 5. Sei. Galuh Kabupaten kampar
Riau, Cangkang kelapa sawit ini merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit yang
masih kurang pemanpaatannya. Hasil karakterisasi komposisi gas hasil gasifikasi Cangkang
kelapas sawit dan beberapa biomassa lainnya ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Gas hasil gasifikasi cangkang kelapa sawit dan beberapa biomassa
lainnya.[5]
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 227
Mendapatkan karakterisasi gasifikasi dilakukan pada reaktor gasifier type downdraft dengan
rangkaian perlatan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 228
bertambahnya beban listrik yang diberikan sebagai kompensasi bertambah-nya bahan bakar
yang masuk ke ruang bakar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Bahan bakar yang
bertambah banyak menyebabkan semakin banyak energi yang dapat dikonversi menjadi energi
panas dan mekanik dengan udara yang cukup. Energi menjadikan daya mesin semakin besar,
sesuai dengan beban yang diberikan kepada mesin.
Idealnya untuk putaran engine konstan daya akan sebanding dengan bertambahnya beban,
karena nilai putaran tidak berpengaruh pada perubahan nilai daya engine. Untuk beban 200
s.d. 800 Watt mengikuti idealnya kenaikan daya yang linier dengan kenaikan beban, sementara
untuk beban 1000 s.d. 2000 Watt terlihat adanya perubahan dan variasi nilai yang menyimpang
dari bentuk ideal meskipun secara umum dapat dikategorikan linier. Hal ini disebabkan apabila
dilihat dari hasil pengambilan data (seperti yang ditunjukkan pada lampiran 1) nilai dari Voltase
yang dibaca oleh alat ukur mengalami penurunan 3.5 s.d. 6 Volt mulai dari beban 1000 Watt.
Penulis menganalisa bahwa tidak terjadi permasalahan apapun pada engine yang
menyebabkan terjadinya variasi nilai tersebut. Kemungkinan permasalahan yang terjadi ada
pada sistem generator listrik, penurunan voltase tersebut terjadi pada beban 1000 s.d. 2000
Watt. Untuk daya pada sistem dual fuel lebih kecil rata-rata 0,28 HP dari pada daya sisten
single fuel dengan beban 1400 s/d 2000 Watt, hal ini dikarenakan pengaruh pemasukkan
syngas pada engine.
dimana nilai torsi kemudian bergantung pada nilai daya (Ne) dan putaran mesin (n). Karena
dalam pengujian ini putaran mesin dijaga konstan, maka perubahan nilai torsi bergantung
variasi daya motor dan pada akhirnya bentuk grafik yang ditunjukkan sama dengan bentuk
grafik yang ditunjukkan oleh grafik daya fungsi beban listrik.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 229
Secara umum pengecilan katup bukaan udara masuk ke ruang bakar akan membuat torsi yang
dihasilkan oleh engine bervariasi terbukti bahwa pada saat bukaan udara masuk torsi yang
terjadi kecil dari bukaan penuh, dan juga kecil dari bukaan udara masuk ruang pembakaran,
karena bukaan bahan bakar yang masuk paling sedikit ke ruang bakar yang kemudian
diubah menjadi energi mekanik mengatasi beban pada poros engine.
Idealnya bentuk grafik torsi putaran konstan adalah bentuk linier dari torsi engine terhadap
pertambahan beban. Karena itu pada beban 200 s.d. 800 Watt pada gambar 4.2 menunjukkan
model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1000 s.d. 2000 Watt bentuk
garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan udara masuk
dan laju alir massa syngas membentuk hubungan yang tidak stabil dan ada perbedaan yang
sedikit lebih besar dari beban di bawahnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai voltase
yang dimulai dari beban 1000 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase listrik ini kemudian
mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya engine sebagai
variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai torsi yang direpresentasikan melalui grafik
torsi fungsi beban listrik yang demikian. Torsi yang terjadi pada sistem dual fuel rata-rata lebih
kecil 5,6 s/d 8,5 kg.cm.
Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban
Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban,
dimana nilai bmep didapat melalui persamaan berikut,
dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa variabel yang mempengaruhi perubahan nilai bmep
dalam pengujian engine kali ini adalah daya engine (Ne), sementara variabel yang lain bernilai
konstan termasuk putaran engine (n).
Pengamatan yang lebih detail menunjukkan pada beban 200 s.d. 1200 Watt pada gambar 4.4
menunjukkan model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1400 s.d. 2000
Watt bentuk garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan
katup udara masuk ruang pembakaran membentuk hubungan yang kurang stabil dan ada
perbedaan yang sedikit lebih besar dari beban di bawahnya, hal ini disebabkan adanya
perbedaan nilai voltase yang dimulai dari beban 1400 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase
listrik ini kemudian mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya
engine sebagai variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai torsi yang direpresentasikan
melalui grafik torsi fungsi beban listrik yang demikian.
Dalam keadaan ideal, bmep umumnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Namun pada data
awal pengujian ini terlihat bahwa nilai bmep berada di bawah tekanan atmosfer. Hal ini
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 230
dimungkinkan karena tekanan yang ditampilkan adalah tekanan alat ukur, sehingga untuk
mendapatkan tekanan absolute harus ditambah dengan tekanan atmosfer. Selain hal tersebut
nilai bmep yang berada di bawah tekanan atmosfer yaitu pada bebab 200 sampai 400 Watt,
dimungkinkan karena generator tersebut dioperasikan di bawah kondisi operasi minimal yang
disyaratkan, akibatnya performa yang dihasilkan pada pembebanan awal tidak akan optimal.
Gambar 6. sfc campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel fungsi beban listrik
Hal ini dapat kita pahami melalui persamaan sfc secara umum sebagai berikut :
dimana dalam hal ini massa bahan bakar selalu konstan sementara waktu konsumsi bahan
bakar semakin sedikit saat beban listrik ditambah. Demikian pula saat penggunaan syn gas
dimana meskipun waktu yang diperlukan untuk konsumsi bensin semakin lama, akan tetapi
saat settingan awal laju alir massa syn gas sudah sangat besar melebihi laju alir massa bensin
dan hal ini sangat terasa pada saat beban rendah.
Melalui gambar 8 dapat dilihat jumlah persentase minyak solar yang digantikan oleh syngas
setiap penambahan syngas dan beban listrik dan variasi bukaan katup udara masuk ruang
pembakaran. Setiap pengecilan bukaan katup udara masuk ruang pembakaran , maka terjadi
kenaikan laju alir massa syngas yang masuk ke dalam ruang bakar. Setiap kenaikan laju alir
massa syngas, maka besarnya jumlah persentase minyak solar yang diinjeksikan ke dalam
ruang bakar untuk menjaga putaran engine konstan akan semakin turun. Sehingga jumlah
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 231
persentase minyak solar yang digantikan akan semakin besar. Saat beban listrik semakin
besar, jumlah minyak solar semakin banyak untuk menjaga putaran konstan sehingga
persentase pergantian semakin kecil. Pada grafik tersebut terlihat bahwa jumlah persentase
penggantian minyak solar yang terbesar terjadi pada bukaan katup udara masuk ruang
pembakaran yaitu memiliki persentase rata-rata 75,65%. Hal ini disebabkan syngas menjalani
perannya sebagai secondary fuel dengan baik, meskipun perannya tidak dapat menggantikan
minyak solar 100 %. Minyak solar dibutuhkan tidak hanya sebagai primary fuel/pilot fuel tetapi
juga sebagai pelumas pada bagian pompa bahan bakar minyak. Syngas memiliki kelebihan
untuk mencapai homogenitas campuran udara-bahan bakar, sehingga diharapkan periode
tunda (delay period) proses pembakaran dalam ruang bakar semakin pendek.
Gambar 8. Efisiensi termal campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel
Dari gambar 9 terlihat bahwa efisiensi termal tertinggi ada pada penggunaan single fuel, dan
kemudian diikuti penurunan nilai efisiensi termal saat laju alir massa syngas yang
direpresentasikan oleh besar tekanan syngas akibat pengecilan bukaan katup udara masuk
ruang pembakaran. Hal ini disebabkan besar energi input melalui bahan bakar yang masuk ke
ruang bakar lebih besar pada dual-fuel untuk beban yang sama. Grafik juga menunjukkan
bahwa efisiensi termal maksimum untuk kondisi single-fuel dan kondisi dual-fuel berada pada
kisaran beban (80-90) % . Kemudian setelah itu efisiensi termal menurun karena jumlah energi
input yang masuk ke ruang bakar sudah terlalu besar atau campuran dalam ruang bakar kaya
akan bahan bakar. Melalui persamaan umum efisiensi termal,
Dapat dilihat bahwa ada hubungan antara sfc dengan nilai efisiensi termal yang dihasilkan.
Saat sfc turun hingga nilai terendah maka efisiensi termal naik hingga bernilai maksimum, yang
menggambarkan bahwa dengan naiknya efisiensi termal maka semakin banyak bahan bakar
yang dapat dikonversi selama proses pembakaran menjadi daya yang dikeluarkan melalui
poros engine. Saat nilai sfc naik kembali maka nilai efisiensi termal turun yang mengindikasikan
semakin banyak bahan bakar yang terbuang berasama gas sisa pembakaran karena tidak
dapat dikonversi menjadi daya engine pada saat proses pembakaran berlangsung di ruang
bakar.
Pada penggunaan sistem dual-fuel nilai efisiensi termal secara umum mengalami penurunan
dengan penambahan laju alir massa syngas. Hal ini disebabkan bahwa melalui persamaan,
Dapat dilihat bahwa faktor yang membuat nilai efisiensi termal semakin turun adalah lebih
disebabkan laju alir massa syngas semakin besar besar, dan nilai ini mempengaruhi nilai sfc-
nya yang menjadi sangat besar. Sehingga dibandingkan dengan sistem single-fuel dimana nilai
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 232
sfc-nya jauh lebih kecil maka efisiensi termal-nya menjadi rendah seiring dengan bertambahnya
laju alir massa syngas. Kemudian lagi disebabkan bahwa peran minyak solar sebagai pilot fuel
sangat besar, dan ketika minyak solar semakin banyak maka semakin banyak juga jumlah
syngas yang ikut terbakar sampai batas maksimumnya pada beban 80 s.d. 90%.
3.7. Analisis Temperatur Gas Buang, Oli Pelumas, Cilinder Blok, dan Cairan Pendingin
Gambar 11 menunjukkan pengaruh laju alir massa syngas terhadap temperatur gas buang
setiap kenaikan beban listrik. Dalam grafik digambarkan bahwa adanya peningkatan temperatur
gas buang terhadap kenaikan beban, yang disebabkan bertambahnya jumlah energi input ke
dalam ruang bakar untuk memberikan daya engine terhadap kenaikan beban istrik.
Selain itu grafik juga menunjukkan kenaikan nilai temperatur gas buang setiap kenaikan laju alir
massa syngas (syngas massflowrate), dan tentunya yang menyebabkan hal ini adalah jumlah
energi input ke ruang bakar bertambah besar. Temperatur gas buang pada dual fuel bukaan
udara masuk ruang pembakaran lebih tinggi dari pada saat engine menggunakan bahan bakar
tunggal (single fuel) begitu juga untuk sistem dual fuel lainnya.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 233
Data yang diambil untuk temperatur gas buang didukung dengan data yang diambil untuk oli
pelumas engine (engine lube oil) di bawah ini.
Hanya saja melalui grafik yang ditampilkan pada gambar ini relatif linier, dan perubahan
temperature tidak besar, baik sistem single fuel maupun dual fuel. Hal ini disebabkan karena
sistem pendinginan engine yang menggunakan water cooled yang teratur dan lancar. Termasuk
di dalamnya oli engine didinginkan oleh cairan pendingin melalui mekanisme heat exchanger.
Selain itu sebagian panas bisa saja terbuang ke lingkungan sekitar dengan cara konduksi,
konveksi dan radiasi. Tapi secara umum bahwa kenaikan laju alir massa syngas tidak terlalu
berpengaruh terhadap temperatur oli pelumas engine walaupun kenaikan beban listrik tidak
menyebabkan kenaikan temperatur oli pelumas engine yang signifikan. Data yang diambil untuk
temperatur oli pelumas hampir sama dengan data yang diambil untuk cylinder block engine di
bawah ini yaitu tidak mengalami kenaikan termperatur yang signifikan dari variasi beban listrik
dari nol sampai 2000 Watt, namun sistem dual fuel lebih panas dari single fuel, hal ini
disebabkan oleh aliran syn gas yang menyebabkan mesin agak lebih panas pada saat
beroperasi.
4. Kesimpulan
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah peningkatan efisiensi volumetrik
masimkum 235,99 % dengan pemakaian Mixer yang dilengkapi dengan Mixing Jet, penurunan
pemakaian minyak solar rata-rata sebesar 75,56% pada bukaan udara masuk (air intake)
dengan penambahan syn-gas massflowrate menyebabkan peningkatan spesific fuel
consumption (sfc), penurunan efisiensi termal serta kenaikkan temperatur gas buang,
o
kenaikan maksimum terjadi pada beban 1302,64 (VA) sebesar 362 C pada bukaan katup
udara masuk ruang pembakaran
References
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 234
Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011, diakses 21/11/2011
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2011/02/14/122461/
Cadangan-Minyak-Bumi-Indonesia-Tinggal-12-Tahun/23,diakses 29/11/2011
Napitupulu H Farel. Analisis Nilai Kalor Bahan Bakar Serabut dan Cangkang Sebagai Bahan
Bakar Ketel Uap di Pabrik Kelapa Sawit, Jurnal Ilmiah SAINTEK, Vol. 23 No. 1, 2006
http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/index.html
Gas hasil sebagai umpan motor, diakses 22/11/2011
Asst.Prof. Suppawit Lawanaskol, Dual Fuel Gasifier-Engine For 10 kWe Power Generation,
Rajamangala University of Technology Thanyaburi, Pathum Thani.1997
Sudarmanta B, Dirgantara W. Aplikasi Sistem Dual-Fuel Bensin dan Syn-Gas Hasil Gasifikasi
Biomassa Pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik. Makalah Seminar
Nasional. 2011
Sudarmanta B, Prabowo, Kadarisman. The Performance of Fossil Diesel Syn-gas Dual-Fuel
Compression Ignition Engine For 3kW Power Generation. Jurnal Industri. Oktober 2010
rd
Mathur, M.L. Sharma, R.P., A Course in Internal Combustion Engine 3 edition, Dhanpat Rai &
Sons, Nai Sarak, Delhi, 1980
www.energyefficiencyasia.org, diakses 20/11/2011
John, B. Heywood, Internal Combustion Engine, Mc GrawHill, London, 1988
Sauliar Jefri Novrezeki, Sudarmata B. Desain Mekanisme Sistem Dual-Fuel dan Uji Unjuk Kerja
Motor Stasioner Menggunakan Gas Hasil Gasifikasi dan Minyak Solar. Tugas Akhir
Mahasiswa. Surabaya. 2010
N. Tippawong, A. Promwungkwa, P. Rerkkriangkrai, Long-term Operation of A Small
Biogas/Diesel Dual-Fuel Engine for On-Farm Electricity Generation, Chiang Mai
University, Thailand,2006
Tirtoatmodjo Rahardjo, Willyanto. Peningkatan Unjuk Kerja Motor Diesel dengan Penambahan
Pemanasan Solar. Jurnal Teknik Mesin Vol. 01 No. 02. Univesitas Kristen Petra.
Surabaya. 1999
Sitorus Tulus Burhanuddin. Tinjauan Pengembangan Bahan Bakar Gas Sebagai Bahan Bakar
Alternatif. Jurnal Ilmiah. USU digital Library. Medan. 2002
th
Robert W. Fox, Alan T. McDonald, Philip J.Pritchard, Introduction to Fluid Mechanics 6 edition,
John Wiley & Sons, Denver, 2003
th
Frank P. Incropera, David P. Dewitt, Fundamentals of Heat and Mass Transfer 4 edition , John
Wiley & Sons, USA, 1996
Anil K. Rajvanshi, Biomass Gasification, Nimbkar Agricultural Research Institute, Maharashtra,
India, 1986
Thomas B. Reed, Agua Das, Handbook of Biomass Downdraft Gasifier Engine Systems, Solar
Energy Research Institute, Colorado, 1988
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 235
PERANCANGAN STRATEGI KENDALI FGS-PID UNTUK MENINGKATKAN
PERFORMANSI MANUVER AUTOPILOT KAPAL PERANG
*1 2 1
Aulia Siti AISJAH. , Agoes Achmad MASROERI , Mochamad Yusuf SANTOSO , Ruri
1 1
Agung WAHYUONO , dan IRWANSYAH
1
Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology, ITS-Surabaya
2
Department of Naval Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya
*E-mail: auliasa@ep.its.ac.id
Abstract
Autopilot is designed to help improve efficiency in fuel consumption and reduce wear on components. Most of ship
autopilot, comprise warship, use classic control scheme, i.e. PID controller. However, in many boats, PID parameter
setting is done manually, which becomes an additional burden on the crew and does not guarantee optimal performance
of the controller at each operating condition. This paper presents design of Fuzzy Gain Scheduling-PID (FGS-PID) for
warship model. Input variables of controller are error yaw and yawrate and outputs are PID gains. It was resulted that
FGS-PID has better performance than conventional PID.
1. Pendahuluan
Ketika kapal berlayar di laut, termasuk kapal perang, sistem autopilot biasanya digunakan pada
navigasi kapal agar sesuai perintah dengan cara mengubah defleksi dari rudder secara
otomatis. Permasalahan pada manuver kapal yaitu aksi dari rudder yang berhubungan dengan
besarnya massa kapal relatif terhadap ukuran dari rudder, yang harus berdefleksi secara
signifikan untuk menyesuaikan perubahan heading kapal(Fossen, T.I., 1994).
Autopilot dirancang untuk meningkatkan efisiensi dari pemakaian bahan bakar dan mengurangi
kerusakan komponen (Witkowska, A., et al., 2008).Autopilot pada kapal umumnya
menggunakan sistem kendali klasik, seperti kendali Proportional Integral Derivative (PID).
Namun, untuk mengatasi gangguan, seperti angin dan arus yang bekerja pada kapal, seperti
halnya karakteristik dinamik nonlinier, dibutuhkan penentuan permanen dari parameter dari PID.
Kendali PID, ketika parameternya diatur, maka akan bekerja baik, tetapi untuk variasi yang kecil
pada kondisi operasi. Dinamika kapal berubah secara konstan bergantung pada beberapa
alasan, seperti kecepatan, keseimbangan, beban, angin, arus, kedalaman, dll, membutuhkan
pengaturan berlanjut dari parameter kendali PID. Pada sebagian besar kapal, pengaturan
parameter dilakukan secara manual, yang akan menjadi beban tambahan bagi kru, dan tidak
menjamin performansi optimal dari pengendali pada setiap kondisi operasi(Fossen,
2002)(Witkowska, A., et al., 2007).
Untuk meningkatkan performansi dari autopilot kapal, beberapa penelitian telah dikembangkan,
diantaranya menggunakan logika fuzzy(Vukic, et al., 2010). Metodologi yang digunakan pada
rancangan kali ini akan menggabungkan kendali konvensional PID dan Fuzzy Gain Scheduling
(FGS) yang diterapkan pada desain baru kapal perang. FGS akan melakukan penentuan
(tuning) parameter dari kendali PID secara otomatis pada berbagai kondisi operasi kapal.
Sehingga diharapkan akan meningkatkan performansi dari kapal dan mengurangi beban dari
kru.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 236
dan yaw.
Model dinamika kapal didapatkan dari pendekatan fungsi transfer dari model Nomoto orde dua:
r s K R 1 T3 s
R s 1 T1 s 1 T2 s (2)
Dengan r adalah yaw rate, untuk = r dan adalah sudut heading kapal, maka diperoleh:
s K R 1 T3 s
R s s1 T1 s 1 T2 s (3)
Parameter parameter dari fungsi transfer diatas diperoleh dari :
det M
T1T2
det N
(4)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 237
m21b1 m11b2
K RT3
det( N ) (7)
Untuk elemen mij, nij dan bi ( i = 1,2 dan j = 1,2) didapatkan dari matriks di bawah ini:
m Yv mxG Yr
M
mxG N v I z N r (8)
Y mu0 Yr
N (u0 )
N mxG u0 N r (9)
Dengan Yv = turunan gaya arah sway terhadap v , Yr = turunan gaya yaw terhadap r , N r =
turunan momen yaw terhadap r , Yv = turunan gaya arah sway terhadap v, Yr = turunan gaya
arah yaw terhadap r, Nv = turunan momen sway terhadap v, N v = turunan momen sway
terhadap v , N r = turunan momen yaw terhadap r. Parameter dalam penentuan gain kendali
yang diturunkan Nomoto berdasarkan linierisasi dari model Davidson dan Schiff (1946) sebagai
berikut:
n21b2 n11b1
K
det(N)
(10)
Dengan:
det (N) = Yv N r mxG u N v Yr mu
det (M)= m Yv I z N r mxG N v mxG Yr
dan n11= Yv , n21= Nv
I z N r Y mxG Yr N
b1
det M
m Yv N mxG N v Y
b2
det M
Pendekatan slenderbody strip turunan koefisien hidrodinamika dapat dinyatakan sebagai fungsi
rasio panjang terhadap lebar dari kapal dikalikan dengan konstanta tertentu.Koefisien
hidrodinamika pada persamaan ini merupakan bentuk non dimensi yang diturunkan dengan
2 2
sistem PrimeI. Untuk memperoleh besaran gaya dikalikan dengan U L dan momen
2 3 3
dikalikan dengan U L . Dimana = rapat massa air laut (1014 kg/m ), L = panjang kapal,
U = kecepatan servis kapal, B = lebar kapal, T = kedalaman kapal, CB= koefisien blok.
Sehingga diperoleh:
Yv
2
C B B
1 0.16 B 5.1 (11)
(T / L) 2
T L
Yr
2
B B
0.67 0.0033
(T / L) 2
L T (12)
N v B B
1.1 0.041 (13)
(T / L) 2
L T
N r 1 C B B
0.017 B 0.33
(T / L) 2
12 T L (14)
Yv C B
1 0.4 B (15)
(T / L) 2
T
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 238
Yr 1 B B
2.2 0.08 (16)
(T / L) 2
2 L T
N v 1 T
2.4 (17)
(T / L) 2
2 L
N r 1 B B
0.039 0.56 (18)
(T / L) 2
4 T L
Model dari kapal yang digunakan pada rancangan kali ini memiliki spesifikasi yang ditunjukkan
pada tebel 2.
Dengan menggunakan persamaan Nomoto, persamaan (2), maka diperoleh fungsi transfer
orde 3 (heading/yaw terhadap sudut rudder) yang ditunjukkan pada persamaan (16).
s 1715.3329 s 502.3033
R s 9.5323s 3 4.7013s 2 s (19)
Fungsi keanggotaan dari masukan, error yaw dan yawrate, berupa fungsi segitiga yang memiliki
tujuh fungsi keanggotaan, yaitu N merepresentasikan negative, P positive, ZO approximately
zero, S small, M medium, B big. Maka NM menyatakan Negative Medium, PB untuk Positive
Big, dan seterusnya. Gambar 2 menunjukkan fungsi keanggotaan dari himpunan fuzzyerror yaw
dan yawrate.
Himpunan fuzzy Kp dan Kd memiliki dua fungsi keanggotaan yaitu Big (besar) dan Small
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 239
(kecil) yang didefinisikan sebagai berikut:
Rule base yang digunakan untuk menentukan nilai dari Kp ditunjukkan pada tabel 3
sedangkan untuk Kd ditunjukkan pada tabel 4.
Untuk himpunan fuzzy, fungsi keanggotaannya berupa singleton membership function yang
terdiri dari S: Small, MS: Medium Small, M: Medium, dan B: Big. Gambar 4 menunjukkan fungsi
keanggotaan himpunan fuzzy. Sedangkan tabel 5 menunjukkan rule base yang digunakan
untuk menentukan nilai .
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 240
Gambar 4. Fungsi keanggotaan singleton
Setelah penentuan nilai Kp, Kd, dan , proses selanjutnya adalah menghitung nilai parameter
kendali Kp, Kd, dan Ki berdasarkan persamaan berikut:
Berdasarkan studi simulasi ekstensive yang dilakukan oleh (Zhao, et al., 1993), aturan yang
digunakan untuk menentikan range dari Kp dan Kd adalah sebagai berikut:
,
,
Dimana nilai Ku dan Tu didapatkan ketika terjadi respon isolasi pada saat pemeberian nilai gain
P.
Dengan menggunakan analisa kestabilan Routh, didapatkan nilai gain kritis (K cr) dan periode
kritis (Pcr) berturut-turut adalah 0.6598 dan 17.7, sehingga nilai range dari Kp dan Kd adalah
sebagai berikut:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 241
,
,
Blok simulasi pengendalian maneuver kapal pada Matlab Simulink ditunjukkan pada gambar 5.
Sedangkan grafik hasil simulasi pengendalian kapal dengan FGS-PID controller, ditunjukkan
pada gambar 6. Berdasarkan gambar tersebut, didapatkan bahwa maximum overshoot dari
pengendali tersebut sebesar 19.63% dan time settling sekitar 102.6 detik.
40
FGS-PID
35 setpoint
30
25
output
20
15
10
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
time
Perbandingan grafik respon hasil simulasi maneuver kapal desain baru menggunakan
pengendali FGS-PID dengan pengendali PID ditunjukkan pada gambar 7.
50
40
30
output
20
setpoint
10 FGS-PID
PID
0
0 50 100 150 200 250 300
time
Gambar 7. Grafik perbandingan respon pengendali FGS-PID dengan PID konvensional pada
rancangan kapal
Berdasarkan grafik 7, dapat ditunjukkan bahwa FGS-PID dapat menghasilkan respon yang
lebih baik daripada PID konvensional. Hal ini ditunjukkan dari besarnya maximum overshoot
(Mp), yaitu PID konvensional menghasilkan MP lebih besar dari FGS-PID. Hasil yang sama
juga ditunjukkan dari hasil tracking set-point pada gambar 8. Pengendali FGS-PID dapat
memberikan performansi yang lebih baik dari pengendali PID konvensional.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 242
100
90
80
70
60
output
50
40
30
20 setpoint
FGS-PID
10 PID
0
0 50 100 150 200 250 300
time
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemodelan dinamik kapal dan simulasi, didapatkan kesimpulan bahwa
pengendali FGS-PID dapat diterapkan pada model kapal perang. FGS-PID dapat memberikan
performansi pengendalian yang lebih baik dari pengendali PID konvensional. Studi berikutnya
yang bisa dilakukan dari penelitian ini adalah merancang kendali FGS-PID untuk model kapal
yang non-linier yang memperhatikan faktor gangguan.
Reference
Fossen T.I. Marine Control Systems. Guidance, Navigation, and Control of Ships, Rigs and
Underwater Vehicles [Buku]. - Trondheim, Norway : Marine Cybernetics, 2002.
Fossen, T.I. Guidance and Control of Ocean Vehicles [Buku]. - Chichester : John Wiley & Sons,
1994.
Prananda Juniarko PERANCANGAN SISTEM KENDALI CERDAS KAPAL PERANG KAWAL
RUDAL KRI DIPONEGORO KELAS SIGMA UNTUK MENINGKATKAN
MANUERVER ABILITY MENGGUNAKAN METODE FUZZY [Laporan]. - Surabaya :
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2012.
Vukic Zoran, Omerdic Edin dan Kuljaca Ljubomir FUZZY AUTOPILOT FOR SHIPS
EXPERIENCING SHALLOW WATER EFFECT IN MANOEUVERING [Laporan]. -
Zagreb, Croatia : University of Zagreb, 2010.
Witkowska, A. dan Smierzchalski, R. Nonlinear Bacsteeping Ship Course Controller [Jurnal] //
R&RATA, vol, 1, No. 2, pp. - 2008. - hal. 147-155.
Witkowska, A., Tomera, M. dan Smierzchalski, R. A Bacsteeping Approach to Ship Course
Control [Jurnal] // Int. Journal Appl. Math. Comput. Sci., Vol. 17, No. 1. - 2007. - hal. 73
85.
Zhao Zhen-Yu, Tomizuka Masayoshi dan Isaka Satoru Fuzzy Gain Scheduling of PID Controller
[Jurnal] // IEEE TRANSACTIONS ON SYSTEMS, MAN, AND CYBERNETICS. -
October 1993. - 5 : Vol. 23. - hal. 1392-1398.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 243
ANALISA KELELAHAN FREE SPAN PADA JALUR PIPA GAS BAWAH LAUT DENGAN
BANTUAN METODE ELEMEN HINGGA: STUDI KASUS PADA EAST JAVA GAS
PIPELINE
1 1 1
Dwi PRIYANTA* , Irfan SYARIF ARIEF and Dharma GITA SURYA PRAYOGA
1
Department of Marine Enginering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: priyanta@its.ac.id
Abstract
Pipeline is the one of gas transportation mode which is frequently used in the world. There are two kinds of pipeline,
onshore pipeline and offshore pipeline. On this case, analysis is calculated on pipeline which is gotten on free span
condition. Stress is the one of fatigue pipeline causes. Calculation method to determine fatigue on pipeline based on
standard code Det Norske Veritas (DNV). Fatigue analysis can be determined by knowing load and stress on pipeline.
Based on those fatigue value, it can be estimated remaining life time on pipeline caused by continued stress on a
certain period. Modelling will be used to determine the stress value caused by shear stress and to determine the
distribution stress on free span. Moreover, to get the result from this modelling by using finite element method
approaching. This value will be compared by yield stress as acceptance criteria on fatigue pipeline. By using calculation
or by modelling, both of them have the exceeding result from acceptance criteria. These models are expected can be
reviewed by company to mitigate the risk.
Keywords: Offshore pipeline, free span, fatigue analysis, remaining life time, finite element method.
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, diantaranya
adalah minyak bumi dan gas alam. Indonesia baru saja menemukan cadangan minyak dan
gas bumi yang diperkirakan lebih besar daripada cadangan minyak dan gas bumi yang
berada di Arab Saudi. Sebelum adanya penemuan tersebut, Indonesia selama ini telah
memproduksi lebih dari 80 persen minyak bumi di Asia Tenggara dan lebih dari 35 persen
total gas (liquified gas) di seluruh dunia.
Untuk metode pengangkutan gas bumi, pada umumnya juga menggunakan sistem perpipaan
yang dalam bentuk cair diangkut dengan menggunakan kapal tanker. Oleh karena gas bumi
ditambang dalam bentuk gas, gas bumi akan lebih sulit untuk ditransportasikan ke tempat
pengolahan gas jika dibandingkan dengan mentransportasikan minyak bumi dan batu bara.
Pendistribusian gas yang berasal dari ladang gas dengan menggunakan sistem perpipaan,
membutuhkan biaya yang cukup mahal terutama jika melalui jarak yang cukup jauh.
Pendistribusian dengan menggunakan sistem perpipaan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu
bisa melalui darat (onshore pipeline) dan juga melalui laut (offshore pipeline).
Jalur pipa offshore akan memiliki sejumlah geo-hazards yang akan berdampak pada
kerusakan pipa bawah laut. Geo-hazards sendiri merupakan suatu ancaman atau bahaya
yang ditimbulkan oleh proses alami atau hasil dari proses alam yang nantinya berpotensi
menimbulkan bencana. Beberapa geo-hazards yang mungkin terjadi pada pipa bawah laut
diantaranya patahan dasar laut (submarine faults), pergerakan tanah (submarine landslides),
erosi sedimen dasar laut (seabed scour), serta likuifaksi tanah akibat gempa bumi maupun
akibat gelombang laut (soil liquefaction). Dari beberapa geo-hazards tersebut akan
memberikan dampak pada pipa salah satunya yaitu Free span.
Free span sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dialami oleh pipa dimana terjadi
adanya suatu bentangan (gap) terhadap dasar laut (seabed). Free span sangat beresiko dan
memiliki tingkat ancaman yang cukup tinggi pada konstruksi pipa bawah laut. Kondisi ini
harus mendapat perhatian khusus dalam proses desain awal pipa bawah laut. Adanya free
span dapat menimbulkan terjadinya bending sebagai akibat dari beban statis yang terjadi
pada pipa. Sedangkan adanya getaran/osilasi pada pipa yang dapat menimbulkan terjadin ya
fenomena vortex shedding diakibatkan oleh beban dinamis pada pipa. Oleh karena itu, untuk
menganalisa panjang jalur pipa maksimum yang mengalami free span, harus dilakukan dalam
dua macam kondisi yaitu kondisi statis dan kondisi dinamis.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 244
2. Analisa FREE SPAN
Free span merupakan suatu kondisi dimana jalur pipa terdapat suatu bentangan (gap) dengan
dasar laut (seabed) yang nantinya memiliki potensi bahaya baik itu untuk pipa tersebut
maupun kondisi instalasi bawah laut yang mendukungnya. Free span dapat terjadi
dikarenakan permukaan dasar laut yang tidak merata, perubahan topologi dasar laut mulai
dari erosi dasar laut sampai pergerakan arus tanah dasar laut. Terjadinya free span ini
merupakan suatu kerugian serta menimbulkan ancaman bagi jalur pipa itu sen diri. Ancaman
dan bahaya itu diantaranya adalah terganggunya stabilitas pada jalur pipa yang dalam jangka
panjang dapat menyebabkan pipa mengalami stress dan terjadi bending.
Dalam penulisan tugas akhir ini, analisa kelelahan pada free span merupakan tujuan akhir
makalah ini berdasarkan kondisi stress pada pipa. Sebelum melakukan analisa kelelahan
pada free span, dilakukan terlebih dahulu beberapa analisa kondisi pada free span itu sendiri.
Hal ini mengacu pada standar DNV RP F-105 yaitu yang mengatur tentang free span. Analisa
kelelahan pada free span dimulai dengan langkah berikut ini.
Dalam melakukan analisa kelelahan pada sebuah struktur (pipa), data yang akan didapatkan
untuk dilakukan analisa nantinya biasanya akan direpresentasikan ke dalam kurva S-N
dimana kurva S menunjukkan daerah Stress yang diplotkan pada sumbu y dan N
menunjukkan jumlah terjadinya kegagalan (pada skala logaritmik) yang diplotkan pada sumbu
x. Jika dipresentasikan, kurva S-N ini dapat membuktikan hingga akurasi 97,7% mengenai
probabilitas kekuatan dari suatu struktur (pipa)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 245
yang tercelup (submerged weight). Nilai dari submerged weight dapat ditentukan dengan
persamaan berikut ini,
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 246
2.2.4. Analisa free span kondisi dinamis
Kelelahan pada free span (fatigue) salah satunya disebabkan oleh adanya beban dari
lingkungan terutama gelombang dan arus laut. Adanya pembebanan pada pipa ini
menyebabkan getaran yang cukup besar pada pipa. Getaran yang ditimbulkan ini akan
menghasilkan frekuensi yang cukup besar. Peristiwa yang terjadi akibat getaran tersebut
dapat dikatakan sebagai getaran akibat adanya vortex atau yang biasa disebut Vortex
Induced Vibration (VIV). VIV nantinya akan berpengaruh cukup besar terhadap umur
kelelahan pada pipa (fatigue life).
Getaran yang terjadi pada VIV sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu In-Line VIV dan
Cross-Flow VIV. In-Line VIV sendiri dapat didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada
pipeline yang modus arahnya searah dengan arah aliran fluida yang melewati pipeline.
Sedangkan untuk Cross-Flow VIV dapat didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada
pipeline yang arah getarannya tegak lurus dengan arah aliran fluida.
(3)
Free span mulai berosilasi ketika frekuensi dari tumpahan vortex sebesar 1/3 dari frekuensi
natural dan vibrasi bentangan pipa. Sehingga untuk tujuan mendesain pipa, perbandingan
frekuensi tumpahan vortex harus lebih kecil dari 0,7 kali frekuensi naturalnya agar tidak
terjadi osilasi.
Karena pendekatan dari tumpahan vortex mendekati frekuensi natural pipa, secara teoritis hal
ini dapat menimbulkan adanya resonansi yang terjadi pada free span. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat bentangan dari frekuensi tumpahan vortex yang akan mempercepat
stress pada pipa dan berdampak lebih cepat terhadap kegagalan pada pipa. Analisa pada hal
tersebut dapat menggunakan parameter VR atau yang biasa disebut dengan parameter
pengurangan kecepatan (reduced velocity). Berdasarkan DNV RP-D101 2008, untuk panjang
kritis pada kondisi in-line dapat ditentukan dengan persamaan:
(4)
Sedangkan untuk menentukan panjang kritis pada kondisi cross-flow dapat menggunakan
persamaan:
aU r Dtot EI
LC (5)
2U C me
(6)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 247
2.3.2. Penentuan estimasi sisa waktu operasi
Dalam melakukan perhitungan estimasi sisa waktu operasi, dapat ditentukan dengan
berdasarkan persamaan yang telah ditentukan pada kode standar sebagai berikut:
(7)
Table 1. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena adanya bending
moment
Freespan Condition at Year 2008 Max L bending
No Exceeding
KP start of span end of span height (m) Length moment
1 129 129 + 736 129 + 801 1.00 (m)
65.00 63.06 Yes
2 130 130 + 279 130 + 345 1.25 66.00 63.06 Yes
3 130 130 + 350 130 + 422 1.00 72.00 63.06 Yes
4 130 130 + 820 130 + 884 1.00 64.00 63.06 Yes
5 131 131 + 20 131 + 93 1.00 73.00 63.06 Yes
6 134 134 + 230 134 + 302 1.75 72.00 63.06 Yes
7 134 134 + 307 134 + 373 1.25 66.00 63.06 Yes
Dari hasil perhitungan diatas, didapatkan ada 7 free span yang memiliki panjang melebihi
panjang maksimum pada kondisi bending moment. Sedangkan untuk kondisi low depression,
dapat ditunjukkan seperti Error! Reference source not found. dibawah ini :
Table 2. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena adanya low depression
Freespan Condition at Year 2008 Max L low
No Exceeding
KP start of span end of span height (m) Length depression
1 129 129 + 736 129 + 801 1.00 (m)
65.00 61.38 Yes
2 130 130 + 279 130 + 345 1.25 66.00 61.38 Yes
3 130 130 + 350 130 + 422 1.00 72.00 61.38 Yes
4 130 130 + 820 130 + 884 1.00 64.00 61.38 Yes
5 130 130 + 945 131 + 8 0.75 63.00 61.38 Yes
6 131 131 + 20 131 + 93 1.00 73.00 61.38 Yes
7 134 134 + 230 134 + 302 1.75 72.00 61.38 Yes
8 134 134 + 307 134 + 373 1.25 66.00 61.38 Yes
Sedangkan untuk kondisi dinamis pada kondisi in-line dan cross flow dapat ditentukan hasil
perhitungannya dengan melihat tabel dibawah ini
Table 3. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena kondisi in-line
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 248
Pipa yang mendapatkan beban terus-menerus baik itu yang berasal dari lingkungan sekitar
maupun dari dalam pipa itu sendiri, dalam jangka waktu tertentu akan mengalami bahaya
kelelahan. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui perbandingan antara beban siklik yang
didapat selama operasi dengan beban estimasi dari desain karena adanya stress yang terjadi
pada pipa itu sendiri.
Dalam penentuan sisa waktu operasi pada pipa, ditentukan berdasarkan masing-masing
segmen dan juga berdasarkan kriteria free span yang melebihi panjang maksimal yang
diijinkan. Dalam kondisi ini lebih diterapkan pada kondisi dinamis. Hal ini dikarenakan, untuk
panjang pipa yang melebihi panjang maksimum yang diijinkan oleh standart, secara teoritis
dapat diketahui bahwa kemungkinan sisa waktu operasi dari pipa tersebut semakin kecil.
Akan tetapi hal tersebut harus dibuktikan secara teoritis dan perhitungan.
Dengan berdasarkan teori tersebut dapat ditabulasikan hasil akumulasi kelelahan pada
pipeline seperti yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini
Table 4. Estimasi sisa waktu operasi pada pipa yang melebihi panjang maksimum
Freespan Condition at Year 2008
tlife
No start os D fat
KP end of span Length (m) (year)
span
1 1 1 + 79 1 + 112 33.00 278.78 9.69
2 1 1 + 506 1 + 541 34.00 278.78 9.69
3 26 26 + 3 26 + 38 34.00 4935.94 0.55
4 41 41 + 53 41 + 108 55.00 698.30 3.90
Gambar 4. Bentuk persabaran displasemen yang dapat menyebabkan deformasi pada free
span
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 249
3.2. Analisa Pemodelan Dinamis
Dalam melakukan pemodelan ini, dilakukan pemodelan hanya pada pipa yang mengalami free
span dengan memiliki kategori:
1. Tidak lolos screening geometri L/D < 30
2. Tidak lolos screening analisa dinamis pipa, dalam hal ini pada kondisi in-line
maupun cross flow
3. Memiliki kedalaman free span terbesar
4. Serta lifetime free span paling sedikit
Dalam pemodelan ini akan didapatkan hasil running dengan melakukan proses running
tersebut pada iterasi ke-50 yang dapat dilihat pada gambar
Gambar 5. Hasil running untuk output tingkat ketegangan yang terjadi pada pipa
Salah satu hasil running yang dihasilkan disini adalah tingkat ketegangan yang terjadi pada
pipa. Segmen free span yang dimodelkan disini merupakan segmen yang memiliki perkiraan
waktu paling sedikit dengan tingkat kelelahan yang telah dihitung melalui perhitungan manual.
Dari hasil running yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa untuk segmen pipa pada
kilometer 26+003 26+038 hampir di sepanjang pipa mendapatkan laju regangan yang
-4
nilainya berkisar 2,3 x 10 1/s. Sedangkan pada bagian yang berada pada free span dengan
-1
kedalaman 1,25 meter yaitu berkisar antara 1,614 x 10 1/s.
Verifikasi besarnya nilai shear stress ini digunakan dengan melakukan perbandingan dengan
allowable stress dari pipa yang mengalami free span tersebut. Karena secara teoritis, dua
macam jenis tegangan (stress) yang mempengaruhi karakteristik kelelahan pada free span
telah dilakukan perhitungan. Baik itu secara perhitungan manual (axial stress, hoop stress, &
von mises stress) serta secara software (shear stress). Dari keduanya harus memiliki kriteria
nilai kurang dari atau sama dengan yield stress-nya. Kelelahan (fatigue) pada material akan
dapat terjadi jika beban stress yang diterima oleh pipa tidak melebihi tegangan batas (yield
stress) dari pipa itu sendiri. Sehingga yang akan terjadi jika stress yang dialami pipa melebihi
allowable stress yang diijinkan, maka pipa akan mengalami deformasi dan karena adanya
siklus yang terjadi secara berulang, maka kedua macam tegangan (stress) yang telah
dihitung tadi akan memberikan efek kelelahan pada pipa.
Secara umum, kelelahan material disebabkan oleh adanya beban perpindahan yang dalam
kasus ini lebih disebabkan karena adanya shear stress. Akan tetapi, beban gaya yang
mengenai pada pipa itu sendiri juga memiliki pengaruh yang juga dapat memberikan
kegagalan pada material pipa. Beban perpindahan yang melebihi tegangan plastis (yield
stress) akan memberikan fenomena plastis sehingga akan menimbulkan kegagalan yang
terjadi pada pipa. Dalam kasus ini deformasi yang terjadi adalah terjadinya free span pada
bawah laut.
4. Kesimpulan
Dari hasil analisa yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu diantaranya:
1. Tingkat kelelahan yang terjadi pada free span dilakukan penilaian pada free span
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 250
yang memiliki kriteria panjang melebihi kondisi dinamis. Yaitu pada KP 1+079 da n
KP 1+506 sebesar 278.78, KP 26+003 sebesar 4935.94 dan KP 41+053 sebesar
698.30
2. Tingkat kelelahan ini dinyatakan dengan mengacu pada Palmgreen-Miner
damage cumulative yang menyatakan hipotesa kerusakan lelah yang dapat
terjadi saat siklus variable pembebanan (n) sama dengan siklus konstan
pembebanan (N)
3. Dari tingkat kelelahan tersebut akan dapat ditentukan estimasi sisa waktu operasi
pada kondisi tersebut yaitu:
- KP 1+079 dan KP 1+506 sebesar 9.69 tahun
- KP 26+003 sebesar 0.55 tahun
- KP 41+053 sebesar 3.90 tahun
4. Free span terjadi karena beberapa komponen stress yang dapat menyebabkan
kelelahan pada pipa. Ada dua macam komponen stress yang dilakukan pada
tugas akhir ini dan keduanya memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam
memberikan kegagalan yang terjadi pada free span. Dua komponen stress
tersebut yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisa kelelahan pada pipa
bawah laut
5. Dengan hasil perhitungan yang didapatkan, hal yang mungkin dapat bisa
disimpulkan akibat pipa pada kondisi cross-flow dapat dikatakan lolos seleksi
adalah karena arus yang melewati pipa tidak terlalu memberikan dampak yang
terlalu besar. Hal ini dikarenakan perairan di daerah offshore yang melewati jalur
pipa tersebut merupakan daerah perairan tenang.
References
Mouselli, A. (1981). Offshore Pipeline Design Analysis and Methods. Oklahoma: PennWell
Books.
Cook, R. D. (1989). Concepts and Applications of Finite
Ellyin, F. (1997). Fatigue Damage, Crack Growth and Life Prediction. Canada: University of
Alberta
Analysis and Assessment of Unsupported Subsea Pipeline Spans (1997). United States
Department of The Interior Mineral Management Service
DNV-OS-F101. (2010), Submarine Pipeline Systems
DNV-RP-F105. (2006), Free Spanning Pipelines
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 251
PENINGKATAN KEMAMPUAN RANCANG BANGUN NAVAL-SHIP
DALAM NEGRI UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN BANGSA
*1 1 1
Agoes SANTOSO , Indrajaya GERIANTO and Benny CAHYONO
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id
Abstract
As far as this is concerned the Indonesian shipyard industry just received thrust from government to build the platform of
warship. Various types and the size of the warships has been well developed in several Indonesian shipyards. The
Ministry of Defence and Indonesian Navy must gives higher responsibility to the local shipyards to be able to build a
complete Naval-Ship system. Well-Planning during design stages and construction phases in the manner of integration
between the platform and combat system not only give the profit in the aspect of the increase in the technical ability to
the local experts but also save the available budget. Therefore, step by step, Indonesia will improve its independent in
the provisions of military equipments so as to be able to increase national endurance. This report resume the technical
and tactical requirements in build of a modern Naval-Ship. The study and the planning strategy covered of the special
treat military ship-hull, machinery, electrical, electronics (CMS and EMS), communication, weapons, and safety.
Keywords: Naval-Ship Design, Indonesian Navy
1. Pendahuluan
Misi alat perang yang menjadi bahasan disini adalah unik untuk pemenuhan kebutuhan alutsista
TNI Angkatan Laut, dimana segala sistem yang ada harus mampu melaksanakan fungsinya
secara maksimal sesuai dengan kriteria perencanaan dan persyaratan awal, dimana
ketangguhan, kehandalan, kecepatan, dan kekuatan kapal menjadi prioritas utama didalam
perencanaan rancang bangun-nya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan didalam perancangan kapal perang adalah owner requirements,
daya tempur dan daya pertahanan, konsumsi bahan bakar, Rule & Regulation Class yang
relevan.
Sedangkan kriteria perancangan secara lebih spesifik yang harus diperhatikan adalah:
1. Batasan ukuran. Dimensi kapal terkait dengan fasilitas pangkalan dan kondisi perairan.
Kapal perang memiliki rasio L/B yang relatif besar untuk memperkecil tahanan kapal.
2. Kecepatan dan endurance. Disamping kecepatan tinggi yang memerlukan power MPK yang
besar dan tentunya meningkatkan konsumsi bahan bakar maka kapal perang harus
memiliki endurance yang cukup agar dapat melakukan fungsi utamanya dalam waktu yang
relatif panjang.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 252
3. Manouverability. Mampu melakukan manuver pada perairan terbuka ataupun perairan
terbatas serta kemampuan untuk melakukan penyergapan dan menghindari serangan kapal
lain.
4. Jumlah anak buah kapal dan tingkat otomatisasi. Otomatisasi dapat meminimalkan jumlah
awak dan resiko human error.
5. Keandalan peralatan dan logistik penunjang. Keandalan sistem peralatan operasi dan
pemenuhan kebutuhan logistik untuk ABK dan alat tempur.
6. Payload/persenjataan menjadi batasan dalam disain ruang dan berat permesinan.
7. Combat Management System (CMS). Perang modern mengandalkan elektronik dan optik
untuk mencapai akurasi yang lebih baik.
8. Encountermeasure System (EMS). Sistem pertahanan kapal harus didesain sedemikian
rupa untuk menahan gangguan lawan.
.
Gambar 2: KRI Krait-827 bahan Aluminium buatan Fasharkan Mentigi dan PT. BES Batam
Kesiapan dan kemampuan Fasharkan dan galangan-galangan swasta dalam negri seharusnya
memacu PT. PAL untuk memenuhi kebutuhan kapal perang dalam negri, sehingga Divisi Kapal
Perang dapat difokuskan pada program kerja yang relevan. Sudah saatnya TNI AL
mendayagunakan potensi besar PT. PAL untuk me-modernisasi dan memperbanyak
pembangunan kapal patroli FPB-57 yang pernah menjadi kebanggaan nasional.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 253
.
Gambar 3: Kapal-kapal perang berkonsep futuristik
3.1. Umum
Disamping kecepatan tinggi, kapal perang harus memiliki seaworthness yang tinggi mengingat
banyak kondisi laut ganas (rough-sea) di perairan nasional dan sejak 2005 kondisi laut
cenderung semakin memburuk. Hal mendasar untuk menyesuaikan dengan kondisi perairan
adalah dengan membangun kapal sebesar mungkin, namun tetap memperhatikan bahwa
semakin besar kapal maka semakin besar kebutuhan power mesin dan bahan bakarnya
(Santoso,2009).
Untuk beroperasi secara efektif di wilayah NKRI yang demikian luas, jumlah armada kapal yang
sangat terbatas ini harus mampu memiliki endurance (lama operasi) yang tinggi dan radius
pelayaran yang tinggi. Untuk itu kapal perang harus mampu melaksanakan dua mode
operasional, yaitu mode ekonomis saat patroli dan mode maksimum saat pengejaran dan
penyergapan musuh. Dengan demikian dapat dilakukan penghematan bahan bakar secara
siknifikan dengan tetap sanggup melaksanakan fungsi azazinya sebagai kapal cepat
(Diah,2007).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 254
3.3 Kebutuhan Power
Hal krusial yang perlu dicatat didalam penetapan power-speed prediction pada kapal perang
adalah pemilihan rating operasional MPK yang dipilih. Harus diingat bahwa referensi umum
yang ada di spesifikasi teknis maker seringkali tidak relevan jika diaplikasikan di Indonesia yang
memiliki luas perairan sedemikian luas. MPK ideal untuk TNI AL adalah tipe medium duty,
namun jika harus menggunakan tipe light duty maka harus dibuatkan SOP dan disosialisasikan
dengan benar ke ABK tentang batasan-batasan operasionalnya (Santoso,2004).
Untuk kecepatan kapal diatas 40 knot disarankan menggunakan waterjet dibanding dengan
propeller (Wawan,2009). Bagaimanapun sistem propulsi waterjet yang mahal tersebut memiliki
kelemahan diperairan dangkal dan kotor, sehingga kapal perang akan efisien jika dirancang
dengan kecepatan dinas maksimum 35 knots saja.
Salah satu faktor penting didalam optimasi kecepatan adalah pemilihan bahan hull yang
seringan mungkin. Tabel 2 menunjukkan perbandingan berbagai bahan baku badan kapal.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 255
3.7. CMS
Combat Management System merupakan sistem pengendali peperangan dengan
mengandalkan dukungan elektronika dan optik. Komponen penting dari CMS adalah search
radar, navigational radar, fire control radar, data link, sonar, visualisasi control console, internal
communication, dan software pendukungnya.
3.8. EMS
Encountermeasure merupakan merupakan bagian dari electronic warfare untuk sistem
antisipasi terhadap serangan musuh. Berbeda dengan CMS yang bersifat invasif untuk
menarget musuh maka EMS lebih cenderung protektif agar kapal
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 256
Gambar 5: Kapal-kapal perang dengan bentuk hull non-konvensional
5. Kesimpulan
Kapal perang modern tidak hanya harus siap fight terhadap kekuatan persenjataan musuh
namun juga terhadap intervensi teknologi elektronika. Sehingga adopsi teknologi stealth telah
menjadi prioritas utama didalam pertimbangan teknis.
Galangan kapal dalam negri termasuk Fasharkan TNI AL terbukti telah mampu membuat
platform kapal yang handal sehingga sudah waktunya diberi kesempatan untuk membangun
naval-ship secara utuh agar anggaran negara dapat dihemat dan SDM nasional dapat
berkembang. Kemampuan membangun sendiri berarti juga meningkatkan penilaian negara
tetangga terhadap ketahanan nasional dibidang teknologi yang pada akhirnya dapat
memberikan dampak psikologis positip terhadap terjaganya perdamaian dunia.
Saran
Sudah waktunya TNI, industri perkapalan, dan designer kapal dalam negri bangkit untuk
mampu memenuhi kebutuhan alat perang-nya sendiri. Mungkin akan ada extra-cost yang harus
dibayarkan, namun atas nama kemandirian pasti harga itu akan terbayarkan. Penulis pernah
menyampaikan gagasannya tentang pengamanan kedaulatan dan negara kesatuan RI,
bahwasanya mengingat masih terbatasnya jumlah armada kapal perang maka setiap kapal
non-militer yang difungsikan sebagai kapal patroli dapat dibangun dengan standard Dislaik TNI
AL atau DEPHAN dan siap secara teknis jika setiap saat dimobilisasi (militerisasi) untuk
kepentingan pertahanan dan bela negara. Hanya negara yang memiliki industri perkapalan
hebat yang akan memiliki Angkatan Laut kuat. Kita bisa.
Acknowledgements
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.
References
Diah Y.R.W.A., (2007), Studi Optimalisasi Stern Arrangement sistem propulsi Kapal Patroli tipe
36m dengan Metode CFD, Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS,
Surabaya
KOMPAS, (2003), Indonesia Butuh Ratusan Kapal Patroli Laut, Kamis, 11 September 2003
Santoso A., (2004), Modelling and Simulating Marine Diesel Engine Performances and its
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 257
Potential of Emission, Jurnal Teknologi Permesinan Bangunan Laut MARINE, Vol 1,
No. 1, Juli 2004, pp. 1-7, Penerbit Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, ISSN 0216-
9886, Surabaya
Santoso A., Amiadji, Manunggal., (2006), Analisa Dampak Perubahan Displacement Terhadap
Beban Kerja Mesin Utama KPC 14 meter - PERISAI5, Jurnal Teknologi Permesinan
Bangunan Laut MARINE, Vol 3, No 1, Juli 2006, pp. 63-72, ISSN 0216-9886,
Surabaya
Santoso A., Semin S., (2009), Peningkatan Kemampuan OPV90 (offshore patrol vessel)
Menjadi Kapal Patroli Tempur Kelas Corvette, Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
(SENTA) Kelautan, 17 Desember 2009, Fakultas Teknologi Kelautan, Surabaya
Tempo (2012), http://www.tempo.co/read/news/2012/08/31/078426623/TNI-AL-Luncurkan-
Kapal-Siluman-Trimaran
Wawan K., Kapten (T), (2009), Studi Perancangan Awal FPB-30m dengan sistem Propulsi
Waterjet untuk Patrol Cepat TNI AL, Laporan Tugas Akhir Program S1 - STTAL
KODIKAL, Angkatan 27, Surabaya
Wilkipedia, (2011), http://en.wikipedia.org/wiki/daftar kapal perang TNI AL, 17 Nopember 2011
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 258
APLIKASI DIESEL ELECTRIC PROPULSION PLANT
PADA OFFSHORE PATROL VESSEL (OPV) 80 METER
*1 1 1 1
Agoes SANTOSO , Amiadji , Sardono SARWITO , and Choirul ANWAR
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id
Abstract
This A variety of research and application of diesel electric-propulsion offer some beneficial in terms of technical and
economical for many types of ships. This paper addressed to study the technical application of diesel-electric propulsion
plant for our new design of 80 meter offshore patrol vessels. The main advantage of flexibility operation of such system
will be evaluated to understand its feasibility when it is applied to the OPV compared with conventional diesel
mechanical propulsion system. In the engine room layout it is well known that the space available is adequate for 4 units
Diesel Generator-Set and 2 units compact AZIPOD. The conventional system shows that the total fuel consumption is
about 288 m3, while the electric propulsion system can saving fuel about 61 m3 when the calculation based on the ship
operation at maximum speed during pursuing operation.
Keywords: Diesel electric, electric propulsion, diesel electric propulsion, Offshore Patrol Vessel, azimuthing thruster,
AZIPOD
1. Pendahuluan
OPV merupakan jenis kapal patroli lepas pantai tidak terbatas yang digunakan untuk melindungi
dan mengawasi suatu wilayah perairan dari kegiatan-kegiatan penyelundupan, pembajakan
dilaut, ilegal logging, ilegal fishing, invasi negara asing, dan lain-lain aktifitas yang merugikan
negara. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka kapal patroli harus dirancang
cepat, handal, kuat, dan mempunyai stabilitas yang tinggi disamping aspek-aspek ekonomis
dari segi bahan bakar, keselamatan, kenyamanan ABK dan kelengkapan persenjataan. OPV 80
meter yang dirancang saat ini menggunakan Diesel Mechanical Propulsion (DMP) sebagai
system penggeraknya (Santoso, 2011). Untuk itu dilakukan kajian untuk menerapkan sistem
diesel electric propulsion (DEP) sebagai alternatif pengembangan kedepan mengingat
perkembangan pesat dari penggunaan DEP ini di dunia perkapalan internasional.
Pemakaian Diesel Electric Propulsion pada kapal komersial (Santoso,1995) dan kapal militer
telah terbukti dapat diandalkan untuk meminimalisir mechanical losses, manouverabilitas yang
tinggi, kebutuhan tenaga yang besar, dan variasi mode operasional mesin, kebutuhan space
yang lebih kecil, reliability dan redundancy yang tinggi, dan ramah lingkungan. Sehingga sejak
1990 seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi power drive khususnya komponen
thyristor maka lebih dari 80% kapal baru di Eropa dibangun dengan sistem DEP (Dnanes,2003).
Dengan memilih sistem propulsi elektrik pada motor diesel berbasis kontrol injeksi elektronik
(ECU) yang dipadu dengan permesinan bantu yang menghasilkan tenaga elektrik, dan semua
perlengkapan kapal yang menggunakan tenaga listrik, maka akan didapatkan fully-system
berbasis elektrik di kapal. Hal ini akan memungkinkan untuk membangun sistem elektrik yang
terintegrasi dalam bentuk Power Management System (PMS) secara total (Moreno,2007).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 259
Untuk itu dalam paper ini akan dibahas kajian teknis didalam penerapan sistem (DEP) pada
kapal tipe OPV ukuran 80 meter (Gambar 1) yang mana sebagai kapal yang memiliki misi
utama sebagai kapal patroli dan pengawasan laut akan memiliki banyak variasi mode
operasional (Santoso,2009). Dimana kecepatan tinggi sangat dibutuhkan pada saat dilakukan
pengejaran tindak kejahatan dilaut, sedangkan dalam prosentase waktu yang lebih besar kapal
harus menjelajah melakukan patroli laut pada kecepatan ekonomis yang rendah. Sistem yang
dikaji menerapkan penggunaan compact azimuth thruster dan ACS-Marine Drive sebagai power
converter.
Karakteristik effisiensi bahan bakar pada range beban 60% sampai 100% adalah berbeda
antara sistem DEP dengan DMP. Hal ini disebabkan karena sistem DEP menginstall beberapa
D/G dengan daya yang lebih kecil, sehingga dalam keadaan beban yang bervariasi setiap
mesin akan tetap bekerja pada beban optimumnya (Wahyudi,2009).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 260
Gambar 3. Single Line diagram podded elektrik propulsion
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 261
Laboratorium Hidrodinamika Indonesia di Surabaya. Berikut hasil pengujian dan analisa
resistance dan efektif horse power (Santoso,2011).
Gambar 4. Diagram hasil pengujian tahanan kapal dan EHP dari OPV 80 meter
Thrust Horse Power (THP) adalah daya thrust yang dihasilkan oleh propeller untuk
menggerakkan kapal pada kecepatan design sebesar 20 Knots. THP digunakan sebagai input
untuk menentukan ukuran dari compact AZIPOD sebagai propulsor. Dari kedua diagram diatas
didapatkan data untuk mencapai kecepatan dinas 20 knots terjadi tahanan total sebesar 355 kN
dan diperlukan power efektif (EHP) sebesar 4000 KW atau 5360 HP. Dari perhitungan lebih
lanjut berdasarkan losses yang terjadi serta pemberian margin yang sesuai dengan standard
kaidah perencanaan kapal maka didapatkan THP sebesar 3720 KW (4986 HP) pada gaya
thrust sebesar 559 kN dan Shaft Horse Power (SHP) sebesar 9976 HP. Dengan
memperhitungkan 2% losses di reduction gear maka didapatkan kebutuhan Brake Horse Power
(BHP) sebesar 10200 HP dalam kondisi 85% MCR. Untuk itu dipilih 2 unit main engine MTU
model 20V4000M93L dengan rated power 4300 KW (5805HP) pada putaran 2100 RPM.
Dari katalog compact azipod produksi ABB- marine US didapat data sebagaimana pada Figure
5 diatas. Berdasarkan data tersebut maka dapat dipilih model CO980 dengan power maksimum
sebesar 2300 KW pada putaran maksimum sebesar 365 RPM.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 262
Table 1. Kebutuhan Daya Listrik pada kondisi Berangkat dan Patroli
Table 2. Kebutuhan Daya Listrik pada kondisi kondisi Pengejaran dan Bersandar (Port)
Sesuai aturan Klas bahwa load factor maksimum untuk generator-set adalah tidak boleh lebih
dari 86%. Pertimbangan lain dalam pemilihan D/G adalah ukuran, berat, safety, dan harga
(Hideki,2011). Untuk itu dipilih 4 set D/G merk Caterpillar model DM5407-06.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 263
Table 3. Pola Pembebanan Generator Set Pada Kondisi Berangkat, dan Patroli
Faktor beban Generator
No. Type Rpm Kw Set
Berangkat Set Patroli
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 264
- Pada mode operasi Pengejaran (kecepatan penuh) yang menjalankan 4 unit D/G
3
adalah sebesar 227 m .
- Pada mode operasi berangkat ataupun patroli dengan kecepatan ekonomis cukup
hanya menjalankan 2 unit D/G, sehingga kebutuhan bahan bakar hanya sebesar 113
3 3
m . Atau dapat dikatakan bahwa bahan bakar sebesar 227 m tersebut dapat digunakan
untuk berlayar sejauh 6000 nm.
- Untuk mode operasi berlabuh dan bersandar (mode Port) yang cukup hanya
menjalankan 1 unit D/G akan sangat menghemat bahan bakar.
MSB 4 x 4 x (100x10)
Transformer 200 kW
400/220 V
4 x 4 x (100x10)
1760 kW/1000
RPM
3~ 3 x 1000 A FPYC 1000
Compact Azipodd kanan
To Junction Machinery Part
FPYC 1000
Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A
3 x 1700 A FPYC 1700
1760 kW/1000
RPM 3~ 3 x 1000A 3 x 1000A 3 x 1000A
To Junction Hull Part
FPYC 1000
Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A
1760 kW/1000
RPM 3~ 3 x 1400 A FPYC 1400
Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A
Transformer 200 kW
1760 kW/1000
RPM
3~ 400/220 V
3 X 800 A 3 x 800 A 3 x 800 A
FPYC 625
SHORE CONNECTION
422.4 kW, 3~, 50Hz
ACOS
4. Kesimpulan
Sistem DEP memberikan keuntungan besar didalam penghematan penggunaan bahan bakar
jika diaplikasikan pada OPV 80 meter. Hal ini disebabkan oleh penerapan Total Power
Management System yang mengatur pengoperasian D/G sesuai dengan profil mode
operasional kapal tersebut. Kebutuhan daya listrik pada kondisi berangkat, patroli, pengejaran,
dan port berturut-turut adalah 5652,57 kW; 5741,20 kW; 5760,36 kW; dan 872,05 kW.
3
Rancangan sistem DMP pada OPV 80 memerlukan volume bahan bakar sebesar 288 m untuk
beroperasi pada endurance 3000 nm. Sedangkan pada sistem DEP kapal cukup membawa
3
bahan bakar sebesar 227 m untuk memenuhi kebutuhan endurance operasi yang sama dan
dihitung pada kecepatan penuh pada saat melakukan pengejaran musuh.
Disamping itu sistem DEP memberikan keuntungan lain berupa redundancy yang lebih besar,
fleksibilitas operasional yang lebih baik, pengurangan space kamar mesin karena tidak adanya
motor induk yang harus dipasang di tank-top
Acknowledgements
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.
References
Anam C., (2010), Desain diesel elektrik sebagai sistem propulsion plant pada offshore patrol
vessel (OPV) 80 meter, Tugas Akhir Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan,
ITS Surabaya
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 265
Asia Brown Boveri, Azimuting electrical propulsion drive, ABB product catalog, ABB Industry Oy,
Helsinski
Castellan S., Menis R., Pigani A., Sulligoi G., and Tessarolo A., (2007), Modeling and Simulation
of Electric Propulsion, Systems for All-Electric Cruise Liners, 1-4244-0947-0/07 2007
IEEE. USA
Dnanes A.K., (2003), Maritime Electrical Installations And Diesel Electric Propulsion, ABB AS
Marine, Sweden
Hansen J.F., Dnanes A.K., and Fossen T.I., (2001), Mathematical Modelling of Diesel-Electric
Propulsion Systems for Marine Vessels, Journal of Mathematical and Computer
Modelling of Dynamical Systems, 2001, Vol. 7, No. 1, pp. 133 # Swets & Zeitlinger
Hideki Y., Hiroaki M., Aiichiro S., (2011), Energy Saving Technology of the Diesel-Electric
Propulsion System for Japanese Coastal Vessels, Manager, Ecology Engineering
Group, Engineering Division, IHI Marine United Inc., IHI Engineering Review Vol . 44
No. 1 2011, Japan
Moreno V.M., Alberto Pigazo, (2007), Future Trend in Electric Propulsion system for commercial
vessel, Journal of Maritime Research, Vol. IV No. 2, pp.81-100, 2007 Spain
Santoso A., (1995), Technical Aspects of the Use of Diesel-Electric Propulsion for Merchant
Ships, Certificate Projects Department of Marine Technology, University of Newcastle
Upon Tyne, UK
Santoso A., Semin, (2009), Peningkatan Kemampuan OPV90 menjadi Kapal Patroli Tempur
Kelas Corvette, Seminar Nasional Teknologi Kelautan V ITS, Seminar FTK 2009
Santoso A., (2011), Laporan akhir Pembuatan Detail Engineering Design kapal SAR 80 meter,
BASARNAS, Jakarta
Wahyudi D., Eddy Setyo Koenhandono E.S., et al (2009), Hybrid Propulsion System (DMP &
DEP) For Trimaran Type Fast Patrol Boat, Master Program Report, Fakultas Teknologi
Kelautan, ITS, Surabaya
Sekiguchi, H., Azuma, R. and Sambodho, K. (2007): Field observations of unconfined
groundwater dynamics in a nourished sand beach, Journal of Coastal Engineering
JSCE, Vol. 54, pp. 721-725 (in Japanese).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 266
RANCANG BANGUN MILITARY UNMANNED SURFACE ATTACK BOAT (MUSAB)
UNTUK KEBUTUHAN SURVEILLANCE DAN TEMPUR
1 1 1 1
Amiadji , Agoes SANTOSO , Rizky HIDAYAT and Guntur Dwi NUGROHO
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id
Abstract
Indonesia faces big challange to secure its sea teritorial. Navy and others Authorities is not enough power and
resources to handle the huge ocean areas. Therefore in this project, a Military version Unmanned Surface
Vehicles (called as Military Unmanned Surface Attack Boat) is designed for surveillance and it has capability as
combatan boat. Such hi-tech product is possible to be developed if local shipyard can be maximized. The product
of the optimized design have principle dimension of LOA=9,6m; LWL=7,62m; B=2,85m; T=0,65m; H=2,3m;
Cb=0,32; Vs=40 knot; cause of 8,33 kN total resistance and power demand at least 580 HP is needed.
1. Pendahuluan
Pemerintah khususnya TNI AL menghadapi tantangan besar dalam melakukan pengawasan
maupun pengamanan. Untuk itu perlu strategi yang tepat untuk dapat melaksanakan tugas
tersebut secara efektif dan efisien. Baik dari segi sumber daya manusia, alutsista yang
dioperasikan, budget pemerintah, dan manajemen pengaturannya.
Ada tiga parameter umum yang perlu diperhatikan didalam mengoptimalkan kegiatan
operasional kapal-kapal patroli, yaitu jumlah armada, ukuran kapal, dan kecepatan kapal.
Dengan demikian dapat dikatakan secara umum bahwa kapal yang efektif tentunya adalah
kapal yang berukuran kecil namun berkecepatan tinggi dan dibangun dengan jumlah yang
memadai. Namun mengingat kondisi perairan laut nasional yang sangat beragam bahkan
ekstrem diberbagai lokasi maka ukuran kapal harus sebesar mungkin untuk mengatasinya.
Kondisi Sea State memberikan pengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan kapal beserta
isinya khususnya ABK dan penumpang. Jika kapal dirancang tanpa awak tentunya toleransi
terhadap sea behaviour dapat semakin fleksible. Paper ini merupakan hasil studi rancang
bangun kapal tanpa awak yang dapat berfungsi sebagai kapal patroli cepat, kapal serbu tempur,
surveillance dan melakukan patroli terbatas. Proyek ini dinamakan prototype MUSAB (Military
Unmanned Surface Attack Boat). Kapal patroli tanpa awak tersebut merupakan klas produk hi-
tech, sehingga pengadaannya akan menjadi jauh lebih murah jika mampu dibangun sendiri oleh
industri perkapalan dalam negri. Keuntungan lainnya adalah dapat meningkatkan kemampuan
SDM nasional dan langkah maju menuju kemandirian dibidang teknologi pertahanan.
Pemanfaatan teknologi USV sudah dilakukan oleh Singapore dan beberapa negara Asia lainnya.
Sehingga studi kapal pembanding dapat dilaksanakan dengan data yang cukup. Preliminary
desain tentunya mengikuti kebutuhan dan tuntutan operasional dari TNI AL dengan tetap
mengacu terhadap engineering constraint yang ada.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan optimasi desain untuk mendapatkan
principal dimension, perancangan lines plan dan general arrangement, perhitungan tahanan
kapal dan prediksi kebutuhan power penggerak kapal, analisa stabilitas dan seakeeping.
Saat ini telah banyak negara yang sudah mengembangkan USV untuk kepentingan militer
maupun komersial. Hal ini tidak lepas dari perkembangan teknologi komputer, elektronika, dan
sistem satelit. Karena USV dinilai cukup handal, cepat, dan sangat mudah digerakkan, terlebih
lagi jika sistem komando diatur melalui jaringan satelit. Sehingga USV memungkinkan untuk
melakukan berbagai misi-misi seperti patroli pantai, penyerbuan pantai, dukungan pendaratan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 267
amphibi, surveillance awal, atau operasi lain yang beresiko terhadap keselamatan pasukan.
Sedangkan di segi komersial USV dapat digunakan untuk surveillance di offshore rig, bidang
perikanan, maupun pengawasan pantai.
Dimana,
SLR = Speed length ratio
Vk = Service Speed (Knot)
LWL = Panjang garis air (Feet)
Besar SLR untuk setiap gelombang sama dengan 1,3 panjang gelombang. SLR kapal
tergantung pada panjang dan kecepatan kapal. Karena kecepatan aliran sama dengan
kecepatan kapal maka muncul persamaan panjang gelombang yang diakibatkan oleh
kecepatan kapal terhadap panjang dari garis air (LWL) sebagai fungsi dari SLR.
Lw SLR 2
Lwl 1,80 ................................................................. (3)
Berdasarkan percobaan yang dilakukan Daniel Savitsky maka dapat dibuat tabulasi berikut :
Tabel 1: Tabulasi Perbandingan Antara Panjang Gelombang Terhadap Panjang Garis Air
Tabel percobaan di atas menyatakan bahwa semakin besar kecepatan atau SLR maka panjang
gelombang akan semakin meningkat hingga pada kondisi SLR = 1,34 dan besar dari panjang
gelombang akan sama terhadap panjang garis air (LWL) pada kondisi, SLR > 1,34. Atau dapat
juga diartikan bahwa panjang gelombang akan melebihi panjang garis air (LWL).
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 268
2. SLR>1.34, besar panjang gelombang akan melebihi dari ukuran panjang lambung kapal,
dan kapal sudah memulai pada tahap trim.
Semi displacement hull direkomendasikan beroperasi pada kondisi SLR antara 1,3 dan 3,0.
Spray resistance, terbagi menjadi dua buah komponen dan diekspresikan dengan persamaan :
RS RSP ( Fn) RSF ( Rn, Wn)
............................................. (5)
Dimana,
- Spray pressure resistance, RSP merupakan sebuah fungsi dari Froude number
- Frictional spray resistance, RSF merupakan sebuah fungsi dari Reynold number dan Weber
number
VSR2 d SR
Wn
TS ....................................................................... (6)
Dimana,
VSR = Spray velocity
dSR = Spray thickness
-1
Ts = Surface tension, 0,073 Nm
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 269
4. Optimasi Principal Dimension
Optimasi principal dimension dari MUSAB ini dilakukan berdasarkan beberapa spesifikasi data
kapal pembanding yang sudah didapat.
Dari tabel tersebut, dapat dibuat grafik perbandingan antara nilai Vs yang telah ditentukan (40
knot) dengan D, L, B, T, dan H dari masing masing data. Kemudian dari grafik tersebut dibuat
trendline dan akan didapatkan suatu persamaan yang nantinya dipakai untuk mencari nilai dari
masing masing parameter yang dibutuhkan. Berikut ini adalah detail grafik perbandingan
setiap nilai yang ada pada tabel dengan nilai Vs.
Kemudian data yang ada tersebut dikoreksi menggunakan perbandingan antara nilai L/B, B/T,
P/D, dan H/T pada tiap tiap nilai dari spesifikasi MUSAB yang dijadikan pembanding. Apabila
nilai yang muncul kurang layak, maka dilakukan variasi terhadap nilai yang ada dengan
menggunakan L yang tetap pada kondisi optimal. Tabel di bawah ini menunjukkan besarnya
perbandingan dari masing-masing data.
Selanjutnya dari tabel tersebut dapat dibuat grafik yang menunjukkan perbandingan antara nilai
P/D, L/B, L/H, B/T, H/T terhadap kecepatan dinas (Vs). Berikut adalah detail grafiknya.
Dari proses optimasi yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai principal dimension untuk
Military unmanned surface attack boat (MUSAB) yang paling optimal adalah sebagai berikut:
L = 9,62 meter
B = 2,85 meter
H = 2,34 meter
T = 0,65 meter
Vs = 40 knot
Disp = 5,78 ton
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 270
Gambar 1. Model MUSAB
4.1 Pemodelan Desain
Setelah didapatkan seluruh nilai yang dibutuhkan, maka perancangan sudah dapat dilakukan.
Dengan menggunakan nilai-nilai yang ada, maka didapatkan gambar rancangan sebagai
berikut :
Sedangkan untuk Gambar 2 (sebelah kanan) di bawah ini menunjukkan besarnya nilai tahanan
serta daya/power pada masing-masing kecepatan. Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa
Savitsky Planning dimulai dari kecepatan 25 knot sampai kecepatan maksimum 40 knot.
Pada perhitungan Speed Power Prediction dipakai effisiensi total sebesar 50% sehingga dapat
diprediksi bahwa MUSAB membutuhkan power sebesar 452 HP untuk mencapai kecepatan 40
knot.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 271
Gambar 3. Grafik konsumsi bahan bakar
Dari grafik di atas, dapat kita ketahui konsumsi bahan bakar sebesar 70 L/hr atau 0,15 L/Hp.hr
pada putaran rpm maksimum (3300). Setelah kita mengetahui besarnya SFOC, maka dapat
dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:
Dengan menggunakan rumus tersebut, didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Tabel 3 di
bawah ini :
Berdasarkan tabel tersebut, dengan mengetahui volume maka kita dapat menentukan ukuran
dari tangki bahan bakar yang akan dirancang dengan software Maxsurf yang terdapat pilihan
fitur tank calibration yang dapat mengetahui besarnya kapasitas dari tangki bahan bakar mulai
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 272
dari kapasitas maksimum hingga minimum.
Sebelum mendapatkan hasil kalibrasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan letak tangki
tersebut. Pada desain ini, tangki bahan bakar terletak di depan main engine & dibuat menjadi 2
bagian, yakni sebelah kiri dan sebelah kanan. Hal tersebut dilakukan agar kapal memiliki
stabilitas yang baik, karena kapal ini sendiri tidak memiliki awak sehingga diusahakan berat
bagian depan & belakang kapal seimbang agar kapal tidak trim ataupun oleng ketika beroperasi
dikarenakan stabilitas yang kurang baik.
Dari tabel di atas, dapat kita ketahui besarnya kapasitas dari dua tangki tersebut. Besar volume
3
untuk masing-masing tangki adalah 0,649 m untuk kapasitas 100%. Sesuai dengan
perhitungan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka desain tangki ini bisa dipakai
untuk menyuplai kapal agar dapat beroperasi seperti yang direncanakan selama kurang lebih
20 jam.
Pada simulasi ini, kapal dikondisikan dalam keadaan perairan tenang. Sebelum dilakukan
simulasi, terlebih dahulu dihitung besarnya payload dari USAB ini dengan menggunakan
loadcase yang berfungsi untuk meletakan titik berat pada kapal dalam Hydromax. Setelah
loadcase selesai diisi maka simulasi siap dilakukan. Dalam pembuatan loadcase tersebut,
dimasukkan seluruh equipment yang ada di kapal seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Berdasarkan data yang didapatkan dari loadcase di atas, maka diperoleh hasil analisa stabilitas
USAB seperti yang ditunjukkan pada grfik di bawah ini :
Hasil simulasi menunjukan bahwa stabilitas kapal dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat
ditunjukan dari grafik bahwa nilai GZ maksimum sebesar 1,006 m pada sudut kemiringan 48,2
dari starboard.
5. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ukuran optimal untuk Military Unmanned Surface Attack Boat (MUSAB) ini adalah LOA =
9,62 m; B = 2,85 m; T = 0,65 m; H = 2,34 m; dan LWL = 7,62 m.
2. Untuk mencapai kecepatan 40 knot terjadi tahanan total sebesar 10,43 kN sehingga
dibutuhkan daya motor penggerak sebesar 429,41 kW.
3. Dengan kapasitas tangki bahan bakar sebesar 1500 liter maka MUSAB dapat beroperasi
selama kurang lebih 20 jam.
4. Analisa stabilitas menunjukkan performance yang bagus dimana nilai GZ maksimum
sebesar 1,006 m pada sudut kemiringan 48,2 dari starboard.
Acknowledgements
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.
References
Bertram V., Unmanned Surface Vehicles A Survey, ENSIETA, 2 rue Franois Verny, F-29806
Brest, France, volker.bertram@ensieta.fr
Colito J., (2007), Autonomous Mission Planning and Execution for Unmanned Surface Vehicles
in Compliance with the Marine Rules of the Road, Master Thesis on Aeronautics and
Astronautics, University of Washington, Washington DC
st
Faltinsen O.M., (2005), Hydrodinamic Of High-Speed Marine Vehicle, 1 Edn ; 2005 ; USA
Hidayat A., (2011), Studi Perancangan unmanned surface attack boat (USAB) ukuran 9 meter,
Laporan Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Manley J.E., (2008), Unmanned Surface Vehicles, 15 Years of Development, Battelle Applied
Coastal and environmental Services, Journal IEEE, 978-1-4244-2620-1/08/ Washington
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 273
Nugroho G.D., (2011), Studi Perancangan steering system pada unmanned surface attack boat
(USAB) 9 meter Berbasis Micro-controller, Laporan Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik
Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Ray, S.; Leaney, M. (2004), The use of unmanned surface vehicles (USVs) to support
extremelittoral water operations during operation TELIC, Underwater Defence Technology
Europe, Nice
Hidayat R., (2011), Studi perancangan unmanned surface attack boat (USAB) ukuran 9 meter,
laporan tugas akhir program S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Savistky D., (2003), On the Subject Of High Speed Monohull ; 2003; Athens
Savitsky D., (1964), Hydrodinamic Design Of Planning Hull ; 1964.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 274
PERENCANAAN KONFIGURASI SISTEM PROPULSI HYBRID
PADA KAPAL PATROLI TRIMARAN
*1 2 3
Eddy Setyo KOENHARDONO , Eko Budi DJATMIKO , Adi SOEPRIJANTO , M. Isa
4
IRAWAN
1
Mahasiswa S3 Teknik Sistem Pengendalian Kelautan, FTKITS
2
Dosen Teknik Kelautan, FTKITS
3
Dosen Teknik Elektro, FTIITS
4
Dosen Matematika, FMIPAITS
*
eddy-koen@its.ac.id
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dimana sesuai dengan konvensi
2
PBB 1982, wilayah perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km . Posisi Indonesia terletak di
persimpangan dua benua dan dua samudra dan terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) sebagai lintasan pelayaran internasional yang sangat penting. Kondisi ini memaksa
Indonesia harus memiliki armada kapal patrol/perang yang kuat, agar kedaulatan wilayah
senantiasa terjaga. Pada realitanya, wilayah perairan laut Indonesia memiliki tingkat kerawanan
yang tinggi berupa kegiatan-kegiatan penyelundupan, perompakan, illegal logging, illegal
fishing, invasi negara asing, dan lain-lain aktifitas yang merugikan negara.
TNI Angkatan Laut sebagai penjaga wilayah perairan Indonesia memiliki 3 peran penting, yaitu
peran militer, peran polisionil dan peran dukungan diplomasi yang mrupakan satu kesatuan.[1]
Tingkat kerawanan perairan laut Indonesia yang tinggi disebabkan peran polisionil TNI AL yang
kurang optimal, akibat armada yang dimiliki sangat minim. Perhitungan kebutuhan kapal patroli
TNI AL berdasarkan luas wilayah laut Indonesia dengan asumsi kemampuan jarak jelajah setiap
kapal patroli adalah 2000 nm, maka TNI AL membutuhan kapal patroli sekitar 841 unit.[2]
Kebutuhan armada dalam rangka pertahanan NKRI diperkirakan mencapai 350 unit, sedangkan
TNI AL hanya memiliki sekitar 155 kapal perang (sekitar 48 diantaranya jenis kapal patroli) dari
berbagai jenis dan ukuran, termasuk kapal fibreglass (Wilkipedia,2009).
Apabila jumlah armada kapal patrol yang dimiliki oleh TNI AL telah memadai, diharapkan
kerawanan kriminal di perairan laut Indonesia akan minimal. Oleh karena, kebutuhan
pembangunan kapal patrol sangat penting, khususnya kapal patrol yang handal, fleksibel dan
efisien. Sebuah kapal patrol trimaran yang menggunakan sistem propulsi hybrid diharapkan
sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Kapal trimaran telah terbukti lebih unggul dibandingkan
dengan kapal monohull, dilihat dari segi stabilitas, kebutuhan daya pada kecepatan tinggi dan
luas geladak. Pada paper ini akan dibahas, penggunaan sistem propulsi hybrid pada sebuah
kapal patroli trimaran sesuai dengan kondisi operasional kapal patrol yang direncanakan,
sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 275
untuk memenuhi kebutuhan daya listrik yang ada di kapal, yaitu pompa, kompressor, peralatan
navigasi dan komunikasi, peralatan ventilasi dan seterusnya.
Ada banyak jenis sistem propulsi kapal, namun yang sering dipergunakan di kapal adalah
sistem propulsi mekanis, sistem propulsi elektris dan sistem propulsi hybrid. Perbedaan antara
ketiga jenis sistem propulsi adalah ada tidaknya pemisahan antara sumber pembangkit daya
untuk sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik. Pada sistem propulsi mekanis, kedua
sistem pembangkit daya terdapat pemisahan dan jenis daya yang dihasilkan ada dua, yaitu
daya mekanis dan daya listrik. Oleh karena itu, sumber daya untuk sistem propulsi diperoleh
hanya dari motor penggerak utama kapal. Adapun pada sistem propulsi elektris hanya terdapat
satu jenis sistem pembangkit daya yang menghasilkan daya listrik saja, sehingga sistem
propulsi menjadi beban listrik dari sistem pembangkit listrik.
Sistem propulsi hybrid adalah sistem propulsi yang menggunakan dua atau lebih sumber daya
yang berbeda untuk menggerakkan kapal sesuai dengan kecepatan dinas yang
direncanakan.[3] Gambar 1 memperlihatkan sebuah contoh dari sistem propulsi hybrid.
Hybridisasi pada sistem pembangkit daya propulsi dan sistem pembangkit daya listrik terjadi
akibat penggunaan shaft generator-motor. Shaft generator/motor memiliki dua fungsi :
- Sebagai motor induksi untuk membantu atau menggerakkan propeller, dimana pada mode
ini sumber daya listrik motor induksi diperoleh dari sistem pembangkit daya listrik di kapal
- Sebagai alternator untuk menghasilkan daya listrik bagi kebutuhan listrik di kapal, dimana
pada mode ini sumber daya diperoleh dari sebagian daya yang dihasilkan oleh motor
penggerak utama kapal.
Kekurangan yang terdapat pada sistem propulsi mekanis dan sistem propulsi elektris diatasi
dengan penggunaan sistem propulsi elektris dan kelebihan yang dimiliki oleh kedua sistem
propulsi tersebut juga menjadi kelebihan sistem propulsi hybrid. Kesimpulan dari kelemahan
dan kelebihan ketiga sistem propulsi dapat dibaca pada Tabel 2.
ES
prop. system
mech.
main eng. link mech trans propulsor propulsion
electrical
aux eng. aux gen. converter consumer
ES/M M/E E/E E
AC Bus electrical
UPS converter consumer
E E/E E
secondary bus
Fleksibilitas operasional sistem propulsi hybrid menjadi tinggi karena memiliki beberapa mode
operasional yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan operasional kapal. Beberapa mode
operasional yang dapat dilakukan oleh aplikasi sistem propulsi hybrid apabila diterapkan pada
sebuah kapal patrol jenis trimaran adalah :
Mode Propulsi Elektris. Mode propulsi elektris terutama dipergunakan saat kecepatan
dinas kapal adalah rendah. Motor listrik mengambil daya listrik yang dihasilkan oleh sistem
pembangkit listrik di kapal untuk menggerakkan propeller CPP melalui gearbox. Umumnya
posisi motor penggerak utama kapal pada kondisi standby atau idle. Pada mode ini,
pebangkitan daya diperoleh dari satu atau lebih genset dioperasikan tergantung pada
kebutuhan daya listrik yang ada. Dengan melakukan analisa engine propeller matching,
maka pola operasional yang memiliki efisiensi propulsi tinggi, noise dan getaran rendah
dan emisi lebih rendah dapat dicapai. Keuntungan lainnya, waktu pemeliharaan motor
penggerak utama kapal menjadi lebih panjang.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 276
Mode Propulsi Generator. Pada mode ini mesin utama memberikan kekuatan untuk
propulsi kapal, juga memasok daya yang dibutuhkan bagi konsumen kapal. Mode ini
mis. dipilih untuk berlayar transit. Hal ini memungkinkan loading tinggi dari mesin
utama, berjalan dengan konsumsi bahan bakar minyak rendah yang spesifik dan
karenanya dengan emisi minimal. Ini juga memperpanjang masa pemeliharaan genset
dan memberikan tambahan redundansi untuk pembangkit tenaga listrik.pada mode ini
shaft motor/alternator difungsikan sebagai alternator yang digerakkan oleh motor
penggerak utama kapal
Mode Propulsi Booster (PTI/Power Take In), Mode booster dioperasikan ketika
dibutuhkan untuk kecepatan maksimum. Kombinasi operasi motor penggerak utama
dan motor listrik akan memberikan daya maksimum pada propeller CPP. Sistem
pembangkit listrik menghasilkan daya listrik untuk sistem propulsi dan peralatan listrik.
Modus PTI penguat terutama meningkatkan fleksibilitas dari sistem propulsi untuk
beban puncak.
G
R
M
R
G
R
G
R
G G
R
R
a. Mode Propulsi Elektris b. Mode Propulsi Generator
G
R
G
R
G
R
M
R
G
R
G
R
c. Mode Propulsi Mekanis d. Mode Propulsi Booster
Gambar 2. Beberapa mode operasional sistem propulsi hybrid
Fleksibilitas sistem propulsi hybrid yang tinggi sangat sesuai bagi sebuah kapal patroli yang
memiliki kecepatan dinas yang bervariasi. Perencanaan kapasitas daya maksimum sistem
propulsi kapal patroli berdasarkan pada kecepatan dinas maksimum, namun harus mampu
beroperasi dengan efisien pada kecepatan dinas patroli. Karena kapal patroli beroperasi pada
kecepatan maksimum dalam prosentase yang kecil, sedangkan kecepatan patroli memiliki
prosentase yang besar. Kapal patroli dapat beroperasi pada kecepatan dinas patroli dengan
propulsi elektris atau motor listrik dan pada saat dibutuhkan kecepatan dinas maksimum
mempergunakan seluruh kemampuan mesin induk berikut motor listrik.
Guna mendapatkan pola operasional kapal patroli yang optimal pada seluruh mode
operasionalnya, maka pemilihan konfigurasi kapasitas daya mesin induk, motor listrik dan diesel
generator menjadi kunci pokok permasalahan. Bagaimana mencari konfigurasi sistem propulsi
hybrid dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli jenis trimaran yang efektif dan efisien
menjadi tujuan dari paper ini.
3. Metode Penelitian
Pemilihan konfigurasi sistem propulsi hybrid dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli
jenis trimaran yang efektif dan efisien pada tahap perencanaan dilakukan dengan melakukan
analisa kebutuhan daya propulsi berdasarkan kecepatan dinas kapal dan analisa kebutuhan
daya listrik secara terpadu pada semua kondisi operasional kapal patroli jenis trimaran. Oleh
karena itu, kami membuat diagram alir metodologi penelitian sebagaimana pada Gambar 4.
Tahap pertama adalah identifikasi obyek penelitian yang berupa dimensi kapal, jenis propeller
yang dipergunakan, dan profile operasional. Dimensi kapal patroli jenis trimaran diketahui dari
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 277
disain tiga dimensi dengan menggunakan sebuah sofware aplikasi untuk dunia perkapalan.
Tahap kedua adalah estimasi kebutuhan daya propulsi berdasarkan kecepatan. Tahanan kapal
patroli trimaran diprediksi dengan menggunakan metode slender body sebagai fungsi
kecepatan dinas kapal. Kehilangan daya sepanjang sistem transmisi, baik mekanis maupun
elektris, dan harga sea margin diberikan berdasarkan referensi yang ada, sehingga kebutuhan
daya propulsi pada setiap kecepatan dinas kapal patroli trimaran dapat diperoleh.
Mulai
Data kapal :
Pemodelan kapal
Jenis propeller
Profile operasional
Pemilihan mesin :
Kebutuhan daya maksimum
mesin utama & genset :daya Pemilihan shaft
terpasang, rasio daya mekanis &
elektris motor/generator :
Konfigurasi jumlah, jenis mesin Daya, torsi & kecepatan
utama & genset motor
Batas beban maksimum mesin
utama & genset
Periksa :
Cek
fleksibilitas propulsi, ketersediaan daya
& ketersediaan torsi u motor
Oke
Selesai
Tahap tiga adalah analisa kebutuhan daya listrik pada setiap kondisi operasional kapal patroli.
Beban listrik yang diperhitungkan merupakan kebutuhan di kapal selain kebutuhan listrik untuk
sistem propulsi. Pada tahap ini akan dihasilkan kapasitas daya diesel generator yang diperlukan
oleh kapal patroli trimaran.
Tahap empat adalah pemilihan konfigurasi sistem propulsi yang efektif dan efisien berdasarkan
hasil yang diperoleh pada tahap dua dan tiga. Keluaran pada tahap ini adalah konfigurasi
sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli trimaran yang sesuai.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 278
Displasement volume : 284,618 m
Adapun profil operasional dari kapal patroli trimaran direncanakan sebagaimana pada Tabel 1 di
atas. Kapal patrol trimaran memiliki bentuk lambung adalah ramping (slender), sehingga
perhitungan tahanan menggunakan metode slender body. Harga tahanan kapal patrol trimaran
sesuai kecepatan dinas pada kondisi air tenang dan kondisi service, serta kebutuhan daya
efektif ditampilkan pada Tabel 2.
Gambar 6. Konfigurasi rencana sistem propulsi dan pembangkit listrik pada kapal patrol
trimaran
Berdasarkan pertimbangan kebutuhan daya efektif kapal yang sangat bervariasi, maka sistem
propulsi yang paling sesuai adalah sistem propulsi hybrid. Sistem propulsi hybrid yang dipilih
sebagaimana pada Gambar 6. Transmisi tenaga pada sistem propulsi hybrid ini, terdapat dua
jenis yaitu sistem propulsi elektris dan sistem propulsi mekanis. Besarnya kehilangan daya
yang dapat terjadi sepanjang transmisi dari motor diesel sampai ke propeller, baik mekanis dan
elektris, diilustrasikan pada Gambar 7. Perhitungan kebutuhan daya motor antara sistem
propulsi mekanis dan sistem propulsi elektris didasarkan pada kehilangan daya pada Gambar 7,
disajikan pada Tabel 2 pada lajur paling kanan.
Analisa pemilihan konfigurasi sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik di kapal patrol
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 279
trimaran dengan melakukan pembagian beban pada sistem propulsi mekanis dan sistem
propulsi elektris. Iterasi ini terus dilakukan, sehingga diperoleh kesesuaian antara mode
operasional sistem propulsi hybrid terhadap kondisi operasional kapal patrol trimaran
berdasarkan pada harga load factor setiap motor diesel yang beroperasi sebagai sistem
propulsi dan sistem pembangkit listrik pada harga 70% sampai 90%. Hasil dari proses iterasi
diperoleh data pada Tabel 3.
A/E 2 3 - - 2 1
P @A/E 152.48 176.25 - - 148.52 64.88
LF @A/E 76% 88% - - 79% 32%
Mode propulsi Elektris Elektris Generator Generator Mekanis -
Sehingga konfigurasi sistem propulsi pada kapal patroli trimaran adalah sebagai berikut :
1. Sistem propulsi
a. 2 motor diesel sebagai penggerak utama 2700 kW
b. 2 shaft motor dengan kapasitas daya 200 kW
2. Sistem pembangkit listrik
a. 3 diesel generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW
b. 2 shaft generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 280
Paper ini hanya membahas terntang besarnya kebutuhan daya untuk sistem propulsi maupun
untuk sistem pembangkit listrik di kapal patroli trimaran. Guna menentukan spesifikasi teknis
motor penggerak utama kapal dan sistem kelistrikan kapal, maka perlu dilakukan analisa
Engine Propeller Matching.
References
Booth K (1977) Navies and Foreign Policy, 1st edn. Crane, Russak
Koenhardono ES, Eko Budi Djatmiko, Adi Soeprijanto, M. Isa Irawan (2009), Perencanaan
sistem propulsi kapal patroli trimaran dengan propeller Wageningen B series. In: Proc
SENTA 2009, Surabaya, 17 Desember 2009
Woud HK, Douwe Stapersma (2002), Design of propulsion and electric power generation
st
systems, 1 edition, IMarEST, 80 Coleman Street, London
Anonim (2012), Hybrid Propulsion Flexibility and maximum efficiency optimally combined. MAN
Diesel and Turbo
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 281
PENGUKURAN DIMENSI RADIUS PADA CITRA SUDU CROSS-FLOW WATER
TURBINE DENGAN METODE PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
1 1
Bagus Mertha PRADNYANA* dan Arif WAHJUDI
Abstract
This contribution deals with the design of cross flow water turbine (CFWT) inspection system. The CFWT plays an
important role in the utilization kinetic energy from marine or fluvial currents. To maintain the performance of the CFWT,
its geometry should be manufactured in accordance with the design. Therefore, the CFWTs geometry should be
measured after manufactured. Turbine radius R is one of the main geometric of CFWT that should be measured.
However, the turbine radius is very difficult to be measured using conventional measurement. Hence, a measurement
system based on image processing is proposed in this study to deal with the measurement difficulty of CFWTs radius.
Keywords: Cross Flow Water Turbine, turbine radius, measurement, image processing.
1. Pendahuluan
Citra (image) adalah sebuah representasi dari suatu objek atau benda. Citra dapat
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu citra tampak dan citra tidak tampak. Citra tampak adalah
citra yang dapat dilihat oleh indra penglihatan kita, contohnya adalah foto diri, lukisan, dan citra
yang tampak pada layar televisi. Sedangkan citra tidak tampak adalah citra yang tidak dapat
dilihat oleh indra penglihatan kita. Terbentuknya sebuah citra berasal dari sebuah sumber
cahaya yang menerangi sebuah objek, kemudian objek tersebut memantulkan kembali
sebagian berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya inilah yang ditangkap oleh alat-alat optik,
misalnya mata manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan
objek yang disebut citra tersebut terekam. Bilamana alat optik yang merekam pantulan cahaya
tersebut merupakan mesin digital, misalnya kamera digital, maka citra yang dihasilkan
dinamakan citra digital. Untuk memudahkan pengertian fenemona di atas, kita bisa melihat
ilustrasi pada gambar 1.
Menurut Munir (2004), pengolahan citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan
menggunakan komputer. Sebagai contoh jika gambar tampak gelap, maka dapat dilakukan
operasi pengolahan citra untuk merubah kontrasnya sehingga citra menjadi lebih tajam. Teknik
pengolahan citra mentransformasikan citra menjadi citra lain. Pengolahan citra bertujuan
memperbaiki kualitas citra agar mudah ditangkap oleh manusia atau mesin (dalam hal ini
komputer). Dengan kemajuan teknologi dan tuntutan jaman sekarang ini, tujuan pengolahan
citra tidak hanya untuk memperbaiki dan memperindah citra semata, namun pengolahan citra
dilakukan agar manusia dapat mengetahui informasi-informasi yang ada di dalam citra tersebut
untuk tujuan tertentu, baik di dalam dunia kesehatan, keamanan dan pertahanan, hingga dunia
industri.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 282
2. Rancang Bangun Alat Ukur
Pengambilan citra sudu CFWT dilakukan menggunakan alat ukur yang telah disiapkan. Bagian
bagian utama dari alat ukur ini adalah sebagai berikut.
1) Meja Datar
2) Lampu
3) Layar
4) Kamera Digital
5) Ulir dan Tuas Penggerak
6) Dudukan Objek Ukur
Agar lebih jelas, desain alat ukur bisa dilihat pada Gambar 2.
Sudu CFWT di letakkan di atas dudukan yang telah disiapkan (6) yang berada di antara lampu
(2) dan layar (3). Lampu berfungsi untuk menghasilkan bayang bayang sudu yang nantinya
akan di tangkap oleh layar. Bayang bayang pada layar tersebut di foto menggunakan kamera
digital (4) dengan jarak antara layar dengan kamera telah di atur sedemikian rupa hingga
menghasilkan citra yang paling jelas. Pengaturan jarak kamera digital dengan layar
memanfaatkan ulir dan tuas penggerak (5) yang disiapkan pada alat ukur tersebut.
Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik r, g, dan b menjadi citra grayscale
dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g, dan b
sehingga dapat ditulis seperti pada persamaan 1.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 283
(1)
(a) (b)
Gambar 3 Proses Greyscale pada citra sudu CFWT (a) citra dengan matrik r, g, dan b (b) citra
grayscale
Proses trasformasi citra berwarna menjadi citra grayscale sangatlah diperlukan untuk
memudahkan proses selanjutnya, yaitu proses thresholding. Proses pemisahan warna gelap
dan terang pada proses thresholding akan lebih mudah bilamana citra tersebut sudah pada sisi
keabu-abuanya.
Citra grayscale yang menjadi inputan untuk metode thresholding telah mempunyai nilai yang
sama pada nilai r, g, b nya . Selanjutnya dengan metode thresholding kita menentukan nilai
ambang atau threshold value untuk suatu citra tersebut. Setelah nilai ambang ditentukan maka
semua titik titik yang mempunyai nilai pixel di atas nilai ambang tersebut akan berwarna putih
dan nilai pixel yang di bawah nilai ambang akan menjadi warna hitam, ataupun sebaliknya,
sesuai dengan perintah yang dituliskan.
(2)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 284
(a) (b)
Gambar 4. Proses Thresholding pada citra sudu CFWT (a) citra grayscale (b) hasil thresholding
Untuk memproses nilai matrik pada metode pixel difference dengan nilai pixel pada masing-
masing titik koordinat suatu citra diperlukan metode konvolusi sehingga tepi pada citra dapat
terdeteksi. Konvolusi adalah cara untuk mengkombinasikan dua buah deret angka yang
menghasilkan deret angka ketiga. Secara umum rumus dari metode konvolusi adalah sebagai
berikut
(3)
(4)
p1 p2 p3
a b c p4 p5 p6
d e f p7 p8 p9
g h i
(a) (b)
Gambar 5. Metode konvolusi (a) matrik pengali (b) matrik citra
Bila kita mencari nilai baru pada posisi p5 maka perhitungannya adalah sebagai berikut
(5)
Misal didapat citra f(x,y) berukuran 5x5 dan sebuah matriks berukuran 3x3, maka penyelesaian
dalam metode konvolusi dapat ditunjukkan pada Gambar 6.
4 4 3 5 4 4 4 3 5 4
6 6 5 5 2 4 6 6 5 5 2 4 0
5 6 6 6 2 5 6 6 6 2
6 7 5 5 3 6 7 5 5 3
3 5 2 4 4 3 5 2 4 4
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 285
4 4 3 5 4 4 4 3 5 4
6 6 5 5 2 4 0 8 6 6 5 5 2 4 0 8
5 6 6 6 2 5 6 6 6 2 0
6 7 5 5 3 6 7 5 5 3
3 5 2 4 4 3 5 2 4 4
4 0 8
0 2 6
6 0 2
Dengan titik pusat koordinat (x,y) = (0,0) lingkaran mempunyai persamaan sebagai berikut :
R2 x2 y2 (6)
Bila titik pusat koordinat lingkaran terletak pada uc , vc maka persamaan lingkarangnya
adalah :
R 2 x u c y vc
2 2
(7)
Untuk memperoleh lingkaran yang paling mendekati dengan metode ini, langkah pertama
adalah menentukan nilai x rata-rata dan y rata-rata. Dimana xi , yi | 0 i N :
1 1
x
N
xi
i y
N
y
i
i (8)
Dengan mengetahui titik-titik koordinat tepi pada citra awal xi , yi , kemudian dikonversi dulu
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 286
ke dalam nilai ui , vi dengan perhitungan :
ui x i x vi y i y (9)
Untuk mendapatan persamaan lingkaran dengan pusat koordinat uc , vc dan radius R, kita
akan menyederhanakan persamaan
S g ui , vi 0
2
(10)
dimana
g u, v u uc v yc R 2
2
(11)
R 2
(12)
Dengan melakukan differensial pada S , u c maka
S g
2 g (u ,i , vi ) ui , uv (13)
a i u i
S
Jika 0 , maka
g ui , vi 0 (14)
S
2 g u i , vi (15)
u c 7
S g
2 g ui , vi ui , vi (16)
u c i u c
4 ui vi g (ui , vi ) (17)
4 ui g ui , vi 4u c g ui , vi (18)
i i
= 0 dari persamaan 14
S
Jika 0 , maka
u c
u g u , v 0
i
i i i (19)
S
Jika 0 , maka
vc
v g u , v 0
i
i i i (20)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 287
Jika S u 0 , maka
u c S uu vc S uv S uuu S uvv
1
(23)
2
Jika S v 0 , maka
u c S uv vc S vv S uuu S vuu
1
(24)
2
Gambar 9. Perhitungan software untuk mendapatkan nilai radius pada sudu CFWT
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 288
4. Hasil dan Pembahasan
Telah dirancang dan dibangun sebuah apat ukur dan software pengukuran dimensi radius pada
citra sudu CFWT. Alat ukur yang terdiri dari lampu, dudukan benda, layar, kamera digital, tuas
penggerak, dan meja datar menghasilkan citra 2D sudu CFWT. Dengan bantuan alat ukur
tersebut noise yang ada dapat diminimalisir.
Setelah citra sudu 2D CFWT didapatkan oleh alat ukur, kemudian citra tersebut diproses
menggunakan software yang telah dirancang. Software tersebut mempunyai beberapa tahapan
proses yang secara berturut-turut adalah proses grayscale, proses thresholding, proses edge
detection dan yang terakhir proses rekontruksi garis menggunakan metode least-squares circle
fit. Software ini juga dapat secara otomatis menentukan besar dimensi radius pada citra sudu
CFWT. Melalui metode least-square circle fit, citra sudu CFWT yang diambil dari jarak 420 mm
didapatkan radius citra sudu sebesar 194,03 pixel. Hasil keluaran dari software ini masih berupa
satuan pixel. Untuk mendapatkan keluaran dengan satuan sebenarnya perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
Reference
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 289
RANCANG BANGUN MEKANISME ALAT UKUR SUDU CROSS FLOW WATER
TURBINE BERBASIS IMAGE PROCESSING
*1 1 1
Windy RUSWEKI , I Made Londen BATAN dan Arif WAHJUDI
1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS-Surabaya
*Email: windy.mesin@ymail.com, ProductDesignLab@me.its.ac.id
Abstract
Recently, many studies have been done to look for renewable energy sources such as kinetic energy from marine or
fluvial currents and bio fuel. In the utilization of kinetic energy from marine or fluvial currents, water turbine plays an
important role. One of the water turbine types is Cross Flow Water Turbine (CFWT). This type of water turbine has an
axis of rotation perpendicular to the current direction. The performance of the CFWT depends on its geometry.
Unfortunately, the CFWTs geometry is very difficult to be inspected using conventional measurement because it has
complex geometry. Hence, a non conventional measurement system based on image processing is proposed in this
study to deal with the inspection difficulty of the CFWTs geometry.
1. Pendahuluan
Hingga saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari pengganti energi yang berasal
dari fosil, misalnya energi kinetik dari air laut atau fluvial, bahan bakar bio, sumber energi angin,
dan lain-lain. Untuk energi air salah satu peralatan yang penting adalah turbin air. Kategori
turbin air saat bekerja dapat dibagi sesuai karakteristik dengan melihat orientasi sumbu rotional
dengan memperhatikan arah aliran air. Jika rotor turbin mengikuti arus air, turbin tersebut
disebut Axial Flow Water Turbine (AFWT). Sebaliknya, jika sumbu rotasi tegak lurus terhadap
arus air, turbin beroperasi tergantung arah aliran. Kategori turbin ini dikenal sebagai Cross Flow
Water Turbine (CFWT). Berdasarkan interaksi antara fluida dan struktur CFWT, sudu CFWT
menerima beban fatique karena mengalami pembebanan siklus bolak-balik pada setiap
putarannya. Untuk meminimalkan efek fatique dan memperoleh kinerja mekanis yang lebih
baik, geometri sudu yang optimal sangat diperlukan. Sebuah bentuk sudu CFWT seperti
Gambar 1 merupakan bentuk sudu CFWT dengan dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan
untuk meminimalkan efek fatique dan memperoleh kinerja mekanis yang lebih baik. Menurut
Zanette dkk (2010), dimensi sudu yang perlu diperhatikan adalah radius (R), tinggi turbin (H),
serta panjang chord atas dan bawah (C u dan Cl).
Salah satu cara untuk mengetahui dimensi sebuah desain sudu CFWT adalah dengan
penggunaan alat ukur. Pada saat ini model alat ukur dimensi sudu CFWT secara tidak
langsung, yaitu pengukuran model sudu dengan alat ukur geometris akan tetapi proses
pengukurannya sangat rumit dan sulit.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibuat sebuah mekanisme alat ukur sudu CFWT.
Proses pengukuran sudu ini dilakukan secara tidak langsung, dimana obyek ukur disinari
dengan sumber cahaya, sehingga terbentuk bayangan obyek ukur. Bayangan tersebut
ditangkap oleh layar, kemudian diambil gambarnya (difoto) dengan kamera digital. Hasil foto
kamera diolah secara proses pencitraan. Selanjutnya foto diolah melalui bahasa pemrograman
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 290
untuk mendapatkan dimensi sudu CFWT, yaitu radius (R), tinggi turbin (H), serta panjang chord
atas dan bawah (Cu dan Cl).
2. Metode Penelitian
Motoda penelitian rancang bangun mekanisme alat ukur sudu ditunjukkan pada flowchart
dibawah ini
Start A B
Perumusan masalah
TIDAK
Apakah mekanisme
memenuhi fungsi?
Menyusun List of requirement
YA
Perancangan mekanisme alat
ukur sudu turbin Pengambilan gambar bayangan
obyek ukur
Kesimpulan
A B End
Cara pengambilan gambar oleh kamera digital dan posisi bayangan objek ukur mengikuti model
yang telah diusulkan oleh Hsu dkk (2009) seperti Gambar 3.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 291
Spesifikasi dan Geometris
D Mampu menahan beban
D Tidak bergetar saat kamera dipindah
D Tidak mudah bengkok
W Berat alat ukur 25 kg
W Dimensi = 1000 mm x 500 mm
Fungsi
D Dapat menggerakkan kamera dengan 2 titik
pengambilan yang berbeda
D Dapat mempertahankan kamera tetap fokus
pada saat pengambilan gambar
D Dapat menangkap bayangan sudu
Material
D Material tersedia di pasaran
W Berat 20 kg
W Bahan aluminium dan steel
Manufaktur dan Perakitan
D Part dan mekanisme bisa dimanufaktur
D Bisa dirakit
D Bisa dilepas
Pengoperasian dan Mekanisme
D Mudah dioperasikan
D Dapat dioperasikan secara manual
W Dapat dioperasikan secara otomatis
Dari list of requirement pada tabel 1, hal-hal yang sangat penting diperhatikan untuk merancang
mekanisme alat ukur sudu turbin adalah:
1) Dapat menggerakkan kamera dengan 2 titik pengambilan gambar yang berbeda.
2) Dapat mempertahankan kamera tetap fokus pada saat pengambilan gambar.
3) Dapat menangkap bayangan sudu.
Sebuah objek ukur berupa sudu diletakkan pada dudukan objek ukur (6) untuk dilakukan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 292
penyinaran oleh lampu (2) sehingga dihasilkan bayangan objek ukur pada layar (3), bayangan
pada layar selanjutnya diambil gambarnya oleh kamera yang diletakkan pada dudukan kamera
(4). Sedangkan untuk mengatur variasi jumlah pixel maka dapat dilakukan dengan mengatur
eretan (5) untuk mengatur jarak antara kamera dan layar.
Rangka terdiri dari meja alat ukur, pembawa kamera, pembawa layar, rel pembawa kamera dan
layar, dudukan benda kerja serta dudukan lampu. Lampu berfungsi sebagai sumber cahaya
yang disorotkan ke benda kerja sehingga terbentuk bayang-bayang proyeksi dari obyek ukur
pada layar. Kemudian gambar proyeksi 2D yang ditangkap layar akan dicapture oleh kamera
dan diukur dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam pengolahan citra. Mekanisme gerak
terdiri dari tuas dan ulir penggerak. Tuas penggerak dan pembawa kamera seperti terlihat pada
Gambar 5, dihubungkan dengan sebuah ulir penggerak sehingga pembawa kamera dapat
digerakkan maju atau mundur dengan memutar tuas penggerak.
Selain pembawa kamera, pembawa layar juga dapat digerakkan maju dan mundur diatas rel.
Pergerakan ini dimaksudkan untuk mengatur jarak antara layar dan benda ukur sedekat
mungkin agar diperoleh bayangan yang mempunyai perbandingan 1:1 dengan ukurannya. Akan
tetapi, pergerakan layar ini tidak dilakukan dengan mekanisme gerak melainkan langsung
digeser dengan tangan operator. Agar posisi layar tidak mudah bergeser selama proses
pengukuran berlangsung, dipasang sebuah pengunci dibawah pembawa layar. Pengunci
pembawa layar ini dapat ditunjukkan pada Gambar 6. Sebagai layar penangkap bayangan
digunakan kertas kalkir.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 293
Gambar 6. Pengunci Pembawa Layar
(a) (b)
Gambar 7. Lampu (a) Halogen (b) Xenon
Keduanya dicoba untuk melihat hasil bayangan benda ukur. Benda ukur yang dipilih adalah
sebuah baling-baling mainan helikopter. Hal ini disebabkan karena mencari sudu turbin CFWT
yang sebenarnya sangat sulit sedangkan baling-baling helikopter sangat mirip bentuknya
dengan sudu CFWT. Gambar baling-baling helikopter sebagai benda ukur dapat dilihat pada
Gambar 8. Hasil percobaan bayangan yang dihasilkan oleh kedua lampu dapat dilihat pada
Gambar 9. Gambar 9 ini menampilkan bayangan sudu dari pandangan samping dimana
pengukuran radius akan dilakukan. Dari Gambar 9 terlihat bahwa lampu halogen memberikan
bayangan yang kabur. Hal ini disebabkan intensitas lampu halogen yang sangat tinggi sehingga
batas benda pada bayangan tidak jelas. Berlainan dengan lampu xenon, bayangan lampu
xenon yang memiliki intensitas lebih rendah terlihat lebih jelas. Oleh karena itu, lampu xenon
digunakan sebagai sumber cahaya pada alat ukur sudu berbasis pencitraan ini.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 294
Gambar 8. Sudu sebagai Objek Ukur
(a) (b)
Gambar 9. Bayangan sudu dengan menggunakan (a) lampu halogen (b) lampu xenon
Selain jenis lampu, jumlah lampu juga dipertimbangkan dalam penelitian ini. Pada Gambar 8,
hanya satu lampu yang digunakan untuk membentuk bayangan. Gambar 10 menunjukkan
bayangan dengan menggunakan lampu xenon berjumlah 3 yang disusun mendatar, 3 yang
disusun tegak, dan 9 yang disusun 3x3. Dengan menggunakan lebih dari satu lampu, bayangan
yang terbentuk menjadi banyak, sesuai dengan jumlah dan posisi lampu. Oleh karena itu,
jumlah lampu xenon yang digunakan pada alat ukur ini adalah 1 buah.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 295
gambar pada metode seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 11. Pengambilan gambar bayangan untuk jarak layar dan kamera yang berbeda
Setelah bayangan sudu dari pandangan samping dengan posisi terjelas di dapat, diambil
gambar bayangan sudu dengan merubah posisi sudu sehingga di dapatkan 3 posisi sudu yang
berbeda, yang mana nantinya digunakan untuk mengetahui geometri sudu dari sudut yang
berbeda-beda. Gambarnya diambil pada posisi 130 mm, 160 mm, dan 210 mm. Hasil ujicoba
pengambilan gambar dapat dilihat pada Gambar 12.
Selain bayangan sudu dari pandangan samping, bayangan sudu dari pandangan depan juga
diambil gambarrya dari jarak antara layar dengan kamera sebesar 130 mm. Gambar ini
nantinya akan digunakan untuk mengukur dimensi tinggi turbin (H) serta panjang chord atas
dan bawah (Cu dan Cl). Hasil uji coba pengambilan gambar (foto) pandangan depan dari sudu
oleh kamera digital dapat dilihat pada gambar 13. Dari gambar 13 ini terlihat bahwa bayangan
sudu juga dapat ditangkap dengan jelas oleh kamera digital. Hal ini menunjukkan rancang
bangun mekanisme alat ukur sudu CFWT dapat memenuhi fungsinya, dan sesuai dengan
rancangannya.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 296
Gambar 13. Bayangan Sudu Pandangan Depan
5. Kesimpulan
Telah dirancang dan dibangun mekanisme sebuah alat ukur sudu CFWT yang sederhana dan
mudah dioperasikan. Rangka alat ukur terdiri dari meja alat ukur, pembawa kamera, pembawa
layar, rel pembawa kamera dan layar, dudukan benda kerja, serta dudukan lampu, lampu yang
digunakan adalah jenis lampu xenon yang berjumlah 1. Pengambilan data gambar dilakukan
dengan kenaikan jarak antara layar dan kamera sebesar 10 mm dengan pengambilan gambar
dari jarak 90 - 420 mm. Hasil rancang bangun mekanisme alat ukur sudu CFWT sangat positif,
yaitu gambar bayangan benda ukur di layar dapat difoto dengan kamera digital. Selanjutnya
dengan proses pencitraan, gambar tersebut dapat diolah menjadi dimensi sudu-sudu CFWT.
Terima kasih kepada bapak I Made Londen Batan dan bapak Arif Wahyudi selaku dosen
pembimbing dan teman-teman lab P3 yang telah membantu hingga teselesaikannya penelitian
ini.
Reference
Batan, I M. L. (2007): Diktat Kuliah Desain Produk. Institut Teknologi Sepuluh November,
Jurusan Teknik Mesin, FTI. Surabaya.
Hsu, C.-C., Lu M.-C., Wang, W.-Y. dan Lu, Y.-Y. (2009): Distance measurement based on pixel
variation of CCD images, ISA Transactions, 48: hal. 389395
Zanette, J., Imbault, D. dan Tourabi, A. (2010): A design methodology for cross flow water
turbines, Renewable Energy, 35, hal. 9971009
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 297
SPREADSHEET BASED DECISION SUPPORT SYSTEM FOR
INVENTORY MANAGEMENT AND SHIP SCHEDULING
*1 1 1
Gede WAHYU , Yoga DANA and Gigih ERISTIAWAN
Abstract
Currently ship scheduling in Holcim Indonesia has been done manually using spreadsheet based on the planner
knowledge and experience. This makes the planning time become long and exhausting. Besides that, the costs incurred
is not evaluated well, thus the distribution costs become high. Along with the business growth, the number of ships,
supply port, and demand port will increase more and more. It will be impossible to be handled optimally by manual
calculation and experience only. The purpose of this research is to make an Decision Support System which integrating
between inventory management and ship scheduling system. The inventory and forecast data at each warehouse is
updated daily, then the planner can arrange the planning base on this inventory and forecast data. The result of using
this DSS on August is the time spent on schedule planning has been cut significantly, up to 75 minutes, decrease time
spent to adjust the planning about 50 minutes/adjustment. Thus freeing the planner for other creative tasks.Deduct
bunker request about 82 KL HSD and savings IDR 103.5 million by allocate bunker at Java area instead of Riau area
which is requested by ship Master.
1. Background
By the company ship is used to distributing product from plant to warehouses which spread at
several islands. In order to do that, company must hire and operate several ships. Thus the ship
must be scheduled properly to replenish stock at each warehouse so the inventory can be
maintain on safe level and distribution cost can be minimum.
This ship scheduling and inventory management is known as Maritime Inventory Routing
Problem (MIRP) (Christiansen et al, 2007). Maritime Inventory Routing Problem is defined as a
combined ship routing and scheduling problem and an inventory management problem. The
planning problem is to find routes and schedules for the fleet that minimize the transportation
costs without interrupting production or consumption at the storages (Christiansen and
Fagerholt, 2009). Based on author experince, Maritime Inventory Routing Problems are very
complex problem so its quite difficult to modelling the optimization using mathematical
modelling. N. Siswanto (2010) also found that computational time of this optimization is long.
Another concern is the uncertainty of shipping industry which give great impact to the schedule.
This paper present a spreadsheed based decision support system to help planner arrange the
schedule, route and manage inventory level at each warehouses all at once. This research is
focus to develop a user friendly system and a simple working environment, thus Ms. Excel
spreadsheet is used. Study case in cement bulk shipping is used to develop this research.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 298
Figure 1. DSS Concept
2.1 Pengelolaan Stok
Display of inventory management is designed as simple as can so make it easy to understand.
This display is consist of three main part, those are ship name, date, and calculation table so
that actual stok and its estimation can be known. Then the discharging volume of each ship is
linked to ship scheduling menu. For example if MV Florence voy 32 is planned complete
discharge on 10 October 2012 at Batam (Figure 3) then in stock management Batam menu
(Figure 2) will automatically insert discharging volume of MV Florence on 10 October 2012 and
automatically calculate end stock at that warehouse.
This scheduling menu is connected with inventory management at each warehouse (Figure 2),
thus the inventory level will be increase automatically if planner assign a ship there. To adjust
the planning with actual movement, just insert the actual time then fill it by yellow color as a
mark that even already happen.
This DSS also could calculate fuel consumption for the vessels based on the sailing time, time
spent in the ports, and fuel consumption/hour which is stated on charter party. Thus this DSS
could be used to plan the purchasing of fuel, i.e. where to bunker and how much. These are
important decision as the fuel price varies a lot between the different ports.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 299
The last part is shipping cost calculation (Figure 4). The shipping cost is divided into 4 part,
those are time charter cost (TC), fuel cost (FC), cargo handling cost (CHC), and port charges
(PC) (Wijnolst & Wergeland, 1997) (Stopford, 1997).
The other one is adjusment time. Since the ocean shipping is very uncertainty environment, the
tools which is used must be suitable to this condition. To adjust the planning with actual
condition, planner only needs to overwrite the schedule with actual condition and DSS will
automatically calculate the schedule base on actual time which entered before. Planner doesnt
need to recalculate the schedule manually because DSS could do that automatically. When we
measure the time between adjusment by manual vs adjusment by DSS, we realize that the time
cut is very significant. Adjust planning by manual method need 60 minutes, while by using DSS
only 10 minutes.
By using this DSS the time spent on schedule planning has been cut significantly, thus freeing
the schedulers for other creative tasks.
Savings in bunker cost is done by allocating bunker at port where the fuel price is cheaper
instead of follow captain request. Figure 6 showing the previous scheme of bunker release.
Bunker request is not evaluated well, thus the planner just release the captain request no matter
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 300
how much. But, after DSS is used, we rearrange the scheme which is showed on Figure 7.
Every request is compared with calculation using DSS. If the request is make sense then
planner could release the request, but if the request is much more than DSS calculation then
planner should reject the request and supply bunker at port where the fuel price is cheaper.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 301
References
Christiansen, M., & Fagerholt, K. (2009). Maritime Inventory Routing Problems. Encyclopedia of
Optimization , 1947-1954.
Christiansen, M., Fagerholt, K., Flatberg, T., Haugen, ., Kloster, O., & H. Lund, E. (2008).
Maritime inventory routing with multiple products: A case study from the cement industry.
Elsevier .
Christiansen, M., Fagerholt, K., Nygreen, B., & Ronen, D. (2007). Maritime Transportation.
Handbooks in Operations Research and Management , 14, 189284.
Fagerholt, K. (2002). A Computer-Based Decision Support System for Vessel Fleet Scheduling-
Experience and Future Research. Elsevier .
Stopford, M. (1997). Maritime Economics (2nd ed.). London: Routledge.
Wijnolst, N., & Wergeland, T. (1997). Shipping. Netherlands: Delft University Press.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 302
PENGUKURAN GAYA PROPULSI KONDISI STATIK PESAWAT WING IN SURFACE
EFFECT KAPASITAS (1-2) PENUMPANG
FASE TAKEOFF
1 2 3 4
Sayuti SYAMSUAR* , Eko B DJATMIKO , Subchan , Erwandi
1
Program S3, Jurusan Teknik Sistem dan Pengaturan Kelautan,
Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS, Surabaya
3
Dosen Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
ITS - Surabaya
4
Ka. UPT Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika (BPPH), BPPT, Surabaya
*E-mail: sayutisyamsuar@yahoo.com
Abstract
The static thrust measurement of Textron Lycoming O 360 engine series has been tested on the test hall before the
Wing In Surface (WiSE)-craft (1-2) passengers takeoff test. The aerodynamic and hydrodynamic performance (sea
keeping) flight testing have been done in the Pantai Carita, Bojonegara, Banten. The data measurement have been
measured by using weighting machine that installed by rot between craft and auto in fix position. The aim of this
measurement is to known exactly the static thrust as function of propeller speed and inlet temperature due to the
maximum takeoff weight of aircraft during takeoff on the water surface. The WiSE-craft normally takeoff and landing on
the water surface with the ocean wave while the water resistance between hulls of WiSE craft is 80 times bigger than
aerodynamic drags on the wing.
Keyword: Static thrust, surface effect, aircraft performance, maximum takeoff weight.
1. Pendahuluan
Gaya propulsi, T dari suatu sistem propulsi pada kondisi terbang berasal dari prinsip reaksi
yang sama seperti yang diperlihatkan oleh persamaan gerak hukum Newton kedua.
Pengukuran gaya propulsi, T telah dilakukan beberapa kali terhadap mesin LYCOMING TYPE
O 360 dari pesawat WISE kapasitas (1-2) penumpang yang menggunakan 3 (tiga) blade
propeller dengan daya mesin sebesar 180.0 HP. Pada tulisan ini disampaikan teori dasar
tentang ground static propulsion run dan pengujian pertama dan kedua dari prototip pesawat
WISE kapasitas (1-2) penumpang di hanggar Bojonegara, Banten, dimana sistem propulsi
terintegrasi dengan fuselage. Kedua pengujian ini memberikan hasil yang sedikit berbeda
dimana perbedaan tersebut diakibatkan oleh penggunaan propeller blade yang berbeda.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah setting dari blade propeller yang tidak selalu
tepat untuk menghasilkan gaya propulsi, T yang optimal. Pengujian pengukuran gaya propulsi,
T pertama memberikan hasil 210.0 kgf (= 2059.3965 Newton) pada putaran propeller
maksimum dimana kondisi kecepatan angin, temperatur dan kelembaban (humidity) ruangan
sesuai dengan standar pengujian. Kondisi pesawat dalam keadaan fixed geometry systems
dimana pada saat ground static propulsion berlangsung telah diperoleh koefisien gaya propulsi,
T. Pengujian berdasarkan engine pressure ratio dan atau engine speed (rpm). Pengujian
pengukuran gaya propulsi, T kedua memberikan hasil gaya propulsi, T sebesar 230.0 kgf (=
2255.5295 Newton) pada putaran propeller maksimum. Ground static propulsion run adalah,
bagian yang penting dilakukan pada semua pesawat udara untuk mengetahui prestasi mesin
(engine performance) yang berasal dari sistem propulsi sebelum dan sesudah pelaksanaan uji
terbang.
Mendefinisikan prestasi mesin saat mesin nyala dengan posisi terpasang pada badan
pesawat, memeriksa dan menyesuaikan engine trim.
Menentukan koefisien engine propulsion.
Mengukur gaya propulsi, T secara langsung kondisi statik di darat
Pengujian gaya propulsi, T dilengkapi dengan dudukan mesin yang sesuai dengan platform
yang ada di badan atas pesawat dan berada satu garis dengan titik pusat gravitasi, c.g. Mesin
dalam keadaan nyala pada saat penambahan dan pengurangan propulsion levels. Lakukan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 303
pengukuran dan pengamatan sistem propulsi sebaik-baiknya, usahakan memberikan kurva
hysteresis. Pada kasus ini, digunakan metoda pengukuran dengan alat timbangan pada skala
minimum-maksimum sebagai alat ukur gaya propulsi, T dengan menghubungkan pesawat
WiSE dengan truk/ mobil menggunakan tali pengikat dimana posisi timbangan terletak di antara
prototip pesawat WiSE dan truk/ mobil.
2. Teori
2.1 Gaya propulsi, T dan daya mesin, P
Pada Gambar 1 terlihat suatu propeller yang bekerja dalam keadaan ideal, dimana aliran udara
pada bagian atas dan bawah sayap menghasilkan gaya propulsi, T. Terlihat propeller head
dengan tipe kecepatan konstan.
Keadaan aliran udara free stream suatu propeller diperlihatkan oleh Gambar 2 dimana aliran
udara masuk (internal) sebelum propeller disc. Udara tersebut mempunyai tekanan, p,
kecepatan, V, luas permukaan tumbukan, A di propeller dan masa jenis udara, . Aliran garis
udara pada bagian keluar (external), dimana partikel udara bergerak relatif terhadap propeller
dengan masa jenis udara, (density) sebelum dan sesudah keluar sistem adalah konstan.
Persamaan Bernoulli yang digunakan untuk menghitung tekanan udara total (total pressure)
(PT) di depan dan di belakang propeller adalah:
2 j
1 V 2 V 2 p p p
2 1 (3)
Propulsion force (Thrust=T), dihasilkan oleh persamaan berikut:
1
T pAp Ap (V j2 V2 ) (4)
2
Atau,
T ApV p (V j V ) (5)
Sehingga, 2 (dua) persamaan berikut perlu diberikan :
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 304
1 (V 2 V 2 ) A V A (V V ) (6)
2 j p p p j
(V j V )
Vp (7)
2
Definisikan, a sebagai:
(V p V ) (V j V )
a (8)
V 2V
Maka, gaya propulsi, T adalah:
T 2ApV2 a(1 a) (9)
Notasi kecepatan aliran udara,,V, tekanan, p, luas permukaan, A dan masa jenis, dari partikel
udara pada rumusan di atas. Sedangkan, perhitungan Advance Ratio dan Koefisien dari Daya,
adalah:
Pinput 2ApV3 a(1 a) 2 (10)
Memberikan hasil,
(1 ) 2 Pinput 2 n 3 D 3 Pinput 2 1
Cp (11)
3 D V V n D
2 3 3 3 5
J3
dimana,
J = V0 / n D
CP : Koefisien Daya
n : Jumlah revolusi propeller saat berrotasi per detik
: Efisiensi propeller
Pada Gambar 4 terlihat kecepatan relatif dari aliran udara terhadap putaran seksi propeller.
Sudut-sudut yang terbentuk pada proses ini, adalah sudut , alpha (angle of attack) dan sudut
beta, (sideslip angle). Kecepatan relatif adalah, penjumlahan secara vektor dari sumbu aliran
VP yang merupakan relasi langsung ke kecepatan arah depan dari propeller (kecepatan aliran
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 305
udara bebas) dan kecepatan rotasi pada seksi propeller (radius x kecepatan rotasi).
Gambar 4 Diagram aliran udara relatif (a). low forward speed, (b). high forward speed.
Jika, kecepatan relatif ke depan menuju kecepatan rotasi, adalah alpha positip (diukur searah
putaran jarum jam dari chord line), sehingga seksi ini menghasilkan gaya angkat, lift. Jika,
kecepatan ke depan ditambah, alpha berkurang sampai seksi bilah (blade) propeller
menghasilkan gaya angkat, lift sebesar nol. Jika, kecepatan ke depan ditambah, seperti pada
gambar terlihat seksi memproduksi gaya angkat, lift besarnya negatip. Kecepatan rotasi dari
propeller tergantung dari jarak sumbu rotasi, (r), sudut pitch yang juga bervariasi sepanjang
jarak ke bilah (blade), sehingga menghasilkan gaya propulsi, T.
Pada Gambar 5 terlihat lebih jelas masalah efisiensi dari seksi angle of attack, alpha sekitar 30
derajat dan J = 0. Titik nomor 1 kondisi stall, memproduksi sedikit gaya angkat, lift. Jika,
kecepatan ke depan ditambah, alpha berkurang dan seksi mulai menghasilkan gaya angkat, lift
yang lebih banyak (mengurangi konndisi stall) sampai kecepatan ditambah pada saat mana
gaya angkat, lift maksimum dari seksi ditambah dan efisiensi maksimum untuk seksi sehingga
mencapai titik nomor 2. Kemudian, apabila semua seksi propeller dirancang untuk
menghasilkan gaya angkat, lift maksimum menuju titik drag menimbulkan kecepatan ke depan,
menghasilkan efisiensi propeller maksimum. Jika sebaliknya, kecepatan ke depan kontiniu
ditambah, sedangkan alpha berkurang, sekarang menimbulkan gaya angkat, lift pada seksi; dan
efisiensi pada seksi berkurang sampai titik tertentu yang menghasilkan gaya angkat, lift nol dan
efisiensi menjadi nol. Kecepatan di sekitar propeller mulai menghasilkan gaya angkat, lift yang
berlawanan.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 306
Gambar 6 Contoh (a) fixed dan (b). kecepatan konstan dari propeller.
Pada Gambar 7, diperlihatkan variasi pitch propeller, dimana bilah propeller dirotasikan di
sekitar rotor hub, sehingga menghasilkan perbedaan beberapa pitch angle untuk perbedaan
kecepatan arah ke depan.
Gambar 7 Efisiensi propeller sebagai fungsi dari advance ratio berbagai variasi pitch angles.
3. Analisa Data
Pada Gambar 8 terlihat ilustrasi gaya yang bekerja pada pesawat WiSE, dimana gaya
aerodinamika bekerja pada titik pusat tekanan, c.p, gaya hidrodinamika pada center of
buoyance, c.b, dan gaya propulsi, T serta gaya berat, W terhadap titik pusat gravitasi, c.g.
Pada Gambar 9 diperlihatkan mesin Textron Lycoming O 360 series dengan daya mesin 180
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 307
HP dengan putaran propeller maksimum 2700 rpm.
Pada Gambar 10 terlihat cockpit pesawat WiSE untuk indikator pengukuran gaya propulsi, T
seperti alat ukur putaran mesin, rpm, temperatur mesin, propulsion leverer dan jumlah bahan
bakar.
Pada Gambar 11 terlihat dua jenis propeller dengan dua bilah yang digunakan dalam
menentukan besarnya gaya propulsi, T.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 308
Gambar 11 Dua jenis propeller yang digunakan pada pengujian.
Pada Gambar 12 terlihat prototip pesawat WiSE dimana bagian belakang diikat dengan tali,
kemudian dipasang alat ukur timbangan dan kemudian dengan tali yang sama dihubungkan ke
truk/ mobil yang diam sebagai penahan agar pesawat tidak bergerak saat tenaga maksimum.
Cradle sebagai dudukan pesawat berada pada posisi bebas tanpa pengikat sehingga hanya
dipengaruhi oleh pengaruh gaya gesek roda dengan lantai yang juga akan diukur pada akhir
pengujian.
Pada Gambar 13 berikut ini diperlihatkan alat ukur gaya propulsi, T menggunakan timbangan,
yang dihubungkan dengan tali antara pesawat WISE dan mobil.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 309
Gambar 13 Alat ukur timbangan sebagai pengukur gaya propulsi, T.
Pilot menyalakan mesin, dan pengujian berlangsung, throttle setting distabilkan beberapa menit
sebelum data diambil oleh specialist. Persayaratan kondisi kecepatan angin saat pengujian
adalah antara (8-10), knots sudah terpenuhi. Tidak ada cross wind di daerah pengujian pada
saat pengujian karena lokasinya dikondisikan di dalam hanggar. Suara mesin menimbulkan
getaran ke sekeliling ruangan,dan dapat menyebabkan kaca jendela pecah.
Pada bagian akhir, lakukan koreksi terhadap besarnya friksi antara prototip pesawat dengan
lantai, dengan cara: prototip pada kondisi diam dan kemudian ditarik dari depan oleh 1 (satu)
penumpang secara perlahan dengan menggunakan alat ukur timbangan, hasil pengukuran
adalah 12.5 kgf (122.5831 Newton). Hal ini disebut sebagai coefficient of friction antara roda
cradle dengan lantai. Semakin besar putaran mesin, rpm, maka hembusan angin ke belakang
yang dihasilkan juga semakin besar, demikian juga vibrasi yang terjadi pada badan pesawat,
tetapi tidak dilakukan pengukuran terhadap berapa besar kecepatan angin dan vibrasi yang
terjadi. Posisi mesin dipasang pada bagian atas badan pesawat WiSE. Keluaran dalam bentuk
kurva hasil perhitungan dan pengukuran sebagai ground static propulsion run dengan ordinat Y,
sebagai gaya propulsi, T, Newton versus absis X, Engine speed, rpm (TBD).
Pada Tabel 1 terlihat beberapa data hasil pengujian gaya propulsi, T kondisi static dengan
putaran idle.
Tabel 1 Data hasil pengukuran gaya propulsi, T.
No. Waktu RPM TEMPERATUR
1. 08:20 135.0 Oil temp. 70 deg.
2. 08:25 153.0 -
3. 08:30 156.0 -
4. 08:35 162.0 -
5. 08:40 159.0 -
6. 08:45 204.0 -
7. 08:50 210.0 -
8. 08:55 144.0 -
4. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang bisa disampaikan pada hasil pengukuran gaya propulsi, T kondisi
statik dari pesawat WISE kapasiatas (1-2) penumpang dengan daya mesin sebesar 180, PK,
dengan merek LYCOMING TYPE O 360 di Bojonegara, Banten, adalah:
1. Pengujian telah dilaksanakan di Bojonegara, Banten pada April tahun 2009 dimana kondisi
ruang uji di test hall memenuhi persyaratan, seperti tidak ada angin, temperatur kamar dan
kelembaban normal. Ruang terbuka tanpa sistem air conditioning.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 310
2. Pengujian sebaiknya dilaksanakan dari kondisi putaran mesin minimum (rpm) ke putaran
maksimum (rpm). Lakukan pencatatan dan kemudian atur throttle dari putaran maksimum
(rpm) kembali lagi ke putaran minimum (rpm) untuk mendapatkan kurva hysteresis.
3. Hasil pengujian gaya propulsi, T sesuai dengan syarat yang diperlukan untuk program
pengujian prestasi terbang selanjutnya, seperti untuk pengujian fase takeoff di permukaan
air di pantai Carita, Bojonegara, Banten
Reference
David L. Kohlman, Flight Test Principles and Practices, The University of Kansas, Quebec,
Canada, 1989.
Egbert Torenbeek, Synthesis of Subsonic Airplane Design, Delft University, Delft, 1982
Ir. R. F. Scheltema De Heere, Drs. A. R. Bakker, Buoyancy and Stability of Ships, Technical
Publications H. Stam, Culemborg, The Netherlands, 1969.
Tim WiSE LPPM-ITB, Laporan akhir disain konfigurasi Preliminary design Part I A, WiSE 8
seaters; Design Requirements and Objectives, Bandung, Desember 2005.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 311
DESIGN OF OPTIMAL SLIDING MODE CONTROLLER FOR BARREL CANNON
POSITION CONTROL ON THE MOVING PLATFORM
*1 1
Ramadhani Kurniawan SUBROTO , Dian MURSYITAH , Rusdhianto Effendie Abdul
1
KADIER
1
Department of Electrical Engineering, Faculty of Industrial Technology, ITS Surabaya.
*E-mail: ramadhani11@mhs.ee.its.ac.id
Abstract
The cannon is an important artillery system which is the element of war ship itself. However, in real condition, existence
of disturbance can occur in target tracking process of barrel cannon. The motions of war ship due to effects of ocean
wave can cause ship moves up and down and it can be inferred as pitch and roll disturbances. Unbalance position of
barrel cannon caused by pitch and roll disturbances will affect target accuracy. The more balance and robust barrel
cannon position, the more accurate target will be obtained. Therefore, it is needed controller which has robust
characteristic to overcome this problem. Optimal Sliding Mode (OSM) controller, which is hybrid control of LQR and
sliding mode control is employed to control both elevation and training motions because it can cope uncertainty factors
and robust toward various disturbances. Permanent magnet DC motors with reduction gear are utilized as actuators in
barrel cannons motions. Each motor is controlled by each independent controller so that each motion need to be
modeled. The simulation result show that proposed controller achieves better response than conventional one, PD
controller, in controlling elevation and training motions under pitch and roll disturbances due to ocean waves. In testing
system, Integral Absolute Error (IAE) system with OSM controller for elevation motion is less 15.48 times than PD
controller.
Keywords: barrel cannon position, elevation and training motions, Optimal sliding mode controller, pitch and roll
disturbances
1. Introduction
Cannon is an important artillery system in war ship. The uses of cannon are to destroy air target,
upper water surface target and fire ship support with certain rate of fire and shooting range
accordance with the type of cannon. Control systems in cannon consist of two types, which are
main control system with weapon control radar and alternative control system with kolonka.
Basically, working principle of kolonka like analog joystick, which given resistance change will
provide fluctuating voltage so that it becomes setpoint for training and elevation movements of
cannon.
Automatic weapon control system has some levels, which are : target detection, tracking,
identification, threat level determination and response capability, determination of used weapon
types, weapon control and target shooting. In level weapon control, there is found assignment
phase. In that phase, determined weapon will receive control signal to head to particular target.
If the determined weapon is cannon, there will be seen motion or barrel cannon position change
in following target motion as well as training and elevation.
In real condition, disturbance can occur in target tracking process. Those disturbances are
changes of velocity, its ship direction, and objective vessels. Furthermore, ship motion due to
ocean waves effect (pitch and roll) can be treated as disturbances. This cause ship position
moves up and down which directly affect barrel cannon position.
Elevetion motion of cannon is inertia momen change which take effect to load of training motor
while spinning. Barrel cannon weight which loads training motor while barrel position 0 with
barrel position 75 is different. Those changing parameters are nonlinearity of cannon motion.
To overcome those problems, several controller have been designed to control position of barrel
cannon on moving platform. Intelligent control system with Neural Network modeling has been
applied in simple cannon prototype[1]. In addition, conventional Sliding Mode controller has
been designed to overcome nonlinearity and to robustify system against disturbances[2].
However, still both controllers lack of performance while the disturbances are continue and
nonlinear. Good performance has been achieved by Optimal Sliding Mode controller while it is
applied and tested in position control of a DC motor[3,4]. Optimal Sliding Mode controller is
hybrid control LQR added with sliding mode function to robustify system against disturbance. In
this paper, Optimal Sliding Mode controller is independently designed in controlling each motor
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 312
for training and elevation motion. In addition, proposed controller will be compared with
conventional controller, PD controller.
This paper is divided into five sections. The following section will discuss dynamic model of
cannon. Third section will discuss on system design, which includes identification method and
Optimal Sliding Mode controller design. The results from simulation will be carried and analyzed
on fourth section. Finally, conclusion and future research will be discussed in fifth section.
Inertia moment of elevation motion of cannon (Jev) while angle ev=0 can be obtained
J ev J cos ev (1)
Block diagram of dynamical model of cannon system is shown in Fig 2., where inputs are
terminal voltage Eev for elevation and Etr for training while outputs are ev for elevation and tr for
training.
n2 n
JT Jm 1 Jl (2)
n1 n2
n n
BT 2 Bm 1 Bl (3)
n1 n2
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 313
dia
Vt Ea Ra ia La (7)
dt
m K TM ia (8)
Ea K ggl m (9)
3. System Design
This section is discussed in how to obtain the mathematical model of plant and design the
controller to control plant dynamics. Overall block diagram of system is shown in Fig 3, in which
we will employ independent optimal sliding mode controller to regulate both elevation and
training position.
Pitch
Elevasi
Ref Optimal Sliding
Mode Controller
Elevasi
Position
Barrel Cannon
Dynamics
Training
Training
Position
Ref Optimal Sliding
Mode Controller
Roll
Step signal input is employed to test the plant in order to know its parameter. The type of step
signal input is voltage which is 400 Volt. Having obtained actual response of plant, it is
calculated and obtained model response which its parameters are known. The result of
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 314
identification and modeling system is presented in Table 1.
10
actual response
model response
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
time (seconds)
2.5
1.5
training speed (rad/s)
0.5
0
actual response
model response
-0.5
0 10 20 30 40 50 60 70
time (seconds)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 315
0 1 0
Training A B 4
0 0.1502 9.172 10
The system is considered as an optimal control when system parameters are adjusted so that
index reaches extremum value[5]. The aforementioned index called performance index of
system. Performance index is quantitative measurement of performance from system and it is
selected so that emphasis given to desired system specification, for instance error and control
signal.
H
1 T
2
x Qx u T Ru T Ax Bu (12)
According to (13), (14), and (15), it is obtained optimal control signal and Hamiltonian system[ ]
u * R 1 B T (16)
x A BR 1 B T x
(17)
Q AT
Optimal closed loop control system can be given by
Px (18)
Riccati differential equation is calculated for obtaining optimal control solution
P PA AT P Q PBR 1 B T P 0 (19)
LQR optimal control solution becomes :
u * R 1 B T Px Kx (20)
By following (11) to (20) and considering weighting matrix for elevation and training dynamics
which is shown in Table 3, it is obtained the optimal control gain parameters which presented in
Table 4.
Table 3. Weighting Matrix Parameters
Type of Motion Weighting Matrix Parameters
100 0
Elevation Q1 R1 0.01
0 100
35 1
Training Q2 R2 0.25
0 35
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 316
Table 4. Optimal Control Gain Parameters
Type of Motion Optimal Control Gain Parameters
Elevation K1 100 88.3855
Training K 2 11.8322 65.9312
Sliding mode control is feedback control system which has high speed switching. This control
method deals by forcing state trajectory of system towards described sliding surface. Once on
sliding surface, control signal will afford to maintain state trajectory for staying along on sliding
surface. Sliding mode control in this research will be employed to robustify optimal control so
that it will result hybrid control method.
In this research, we employ integral sliding surface in order to minimize error steady state.
Sliding surface design for this system can be defined as[4]
t
x x1 (0) t
x
S ( x) Gx x(0) G xd G 1 G( A BK ) 1 d 0 (21)
0 x 2 x 2 (0) 0 2
x
In designing sliding mode control, it is acknowledged two control signals, which are equivalent
control signal and natural control signal. Equivalent control signal is a control signal that forces
states towards sliding surface, which can be formulated as
u eq (t ) u * (t ) Kx (22)
Natural control signal is a control signal that holds states to stay along on sliding surface. It can
be formulated as
u n q satS , (23)
where q and are switching constants which are also sliding mode control parameters.
Paramaters chosen can be presented in Table 5.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 317
Table 7. Testing System Parameters
Variable Value
Elevation position reference 20 [deg]
Training position reference 30 [deg]
Pitch Ocean Wave d1 5 sin2t 0.05 [deg]
Roll Ocean Wave d 2 5 sin2t 0.05 [deg]
According to these figures, both elevation and training position responses can follow the desired
position with zero error steady state. The system specification is presented in Table 8.
20
18
16
elevation position (deg)
14
12
10
4 reference
OSM controller
2
0 5 10 15 20 25
time (seconds)
Figure 6. System Response of Elevation Position with OSM controller in normal condition
35
30
25
training position (deg)
20
15
10
5
reference
OSM controller
0
0 50 100 150
time (seconds)
Figure 7. System Response of Training Position with OSM controller in normal condition
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 318
25
20
10
5
reference
OSM controller
PD controller
0
0 5 10 15 20 25
time (seconds)
30
25
training position (deg)
20
15
10
5 reference
OSM controller
PD controller
0
0 50 100 150
time (seconds)
25
20
elevation position (deg)
15
10
OSM controller
PD controller
0
0 5 10 15 20 25 30 35
training position (deg)
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 319
good response through OSM controller for MIMO-coupled system, like barrel cannon dynamics.
Acknowledgements
The authors would like to express their gratitude to the Ministry of Education and Culture along
with SEAMOLEC in providing Fast Track Scholarship.
References
Wiharti W, et.al (2010): Perancangan Neural Network Control untuk Menggerakkan Posisi Laras
Meriam pada Platform yang Bergerak, Master Thesis, ITS Surabaya
Anggraini S, et.al (2010): Perancangan Sliding Mode Control untuk Menggerakkan Posisi Laras
Meriam pada Platform yang Bergerak, Master Thesis, ITS Surabaya
Subroto R.K, et.al (2011): Peningkatan Performansi Pengaturan Posisi Motor DC untuk Sistem
st
Tracking Menggunakan Kontroler Optimal Sliding Mode, Proc of 1 Indonesian Student
Conference on Satellite, pp.165 169, Surabaya
Subroto R.K, et.al (2012): Desain dan Implementasi Kontroler Optimal Sliding Mode untuk
Tracking Posisi Motor DC MS150, Tugas Akhir, ITS Surabaya
Dorf R, et.al: Modern Control System, Ninth Edition, Prentice Hall International, New Jersey
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 320
PERANCANGAN GEOMETRI PIEZOELEKTRIK PENGGANTI NANO LINEAR
GENERATOR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SUARA BATECHSANT (BATTERY
TECHNOLOGY OF SOUND POWER PLANT) PADA KAMAR MESIN KAPAL
1 1 1 1 2
Imam FAUZI , Achmad FIRDAUS , Eko Jandy PRATAMA , Indra Ranu KUSUMA , Muchlis ,
3 4
Fandi Angga PRASETYA , Zulkarnain NASRULLAH
1
Marine Engineering Department, Faculty of Marine Technology, ITS - Surabaya.
2
Industrial Engineering Department,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya.
3
Physic Department, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
4
Mechanical Engineering Department,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya,
E-mail : imam10@mhs.ne.its..ac.id
Abstract
Suara merupakan salah satu sumber energi yang berpotensi menjadi salah satu energi alternatif untuk mengatasi
adanya krisis energi terutama menipisnya ketersediaan minyak bumi dunia. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis
potensi pemanfaatan suara sebagai sumber energi pembangkit listrik di kamar mesin kapal. Penelitian dilakukan
dengan melakukan perancangan sistem kerja Batechsant yang direpresentasikan oleh sistem kerja piezoelectric. Dari
rancangan sistem piezoelectric akan dilakukan pengujian, analisis dan simulasi terhadap rancangan sistem. Variabel
yang ditentukan dalam simulasi tersebut adalah tekanan bunyi yang dihasilkan dari kebisingan pada ruang mesin induk
kapal. Dalam hal ini hasil tekanan bunyi yang diperoleh dari kebisingan pada ruang mesin induk kapala adalah sebesar
174,83 Pascal. Dengan tekanan bunyi ini, berdasarkan pada hasil simulasi dapat menggetarkan membran bidang
piezoelectric. Bergetarnya membran permukaan bidang piezoelectric ini ditunjukkan dalam bentuk deformasi dan
defleksi permukaan membran. Besarnya deformasi yang dialami permukaan membran piezoelectric hingga 3,776e-4mm.
dengan bergetarnya permukaan membran pada piezoelectric ini akan memicu piezoelectric untuk menghasilkan
sejumlah energi listrik. Selain pada besarnya tekanan bunyi yang diberikan pada permukaan membran piezoelectric,
besarnya energi listrik yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh durasi pengujian yang dilakukan. Semakin lama durasi
pengujian, semakin banyak listrik yang tercipta.
Kata Kunci : Tekanan Suara, Piezoelectric.
.
1. Introduction
Krisis energi adalah masalah yang sangat fundamental di Indonesia, khususnya masalah energi
listrik. Energi listrik merupakan energi yang sangat diperlukan bagi manusia modern, bahkan
sebagian besar aktivitas manusia ditunjang dengan sebuah peralatan dan teknologi yang
menggunakan listrik sebagai sumber energi. Hal ini menjadikan bahwa listrik menjadi sebuah
bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas manusia (Farit Fauzi,2009). Sumber suara
dimuka bumi ini sangat melimpah. Aktifitas yang dilakukan manusia, sedikit banyak akan
menghasilkan suara. Dalam aktivitas kerja, permesinan, aktivitas industri merupakan beberapa
aktivitas yang berpotensi menghasilkan suara atau kebisingan baik yang dikehendaki
kejadiannya ataupun tidak. Dengan begitu banyaknya potensi sumber suara yang terjadi, maka
hal ini merupakan sebuah peluang untuk melakukan riset dan observasi mengenai kajian ilmiah
pemanfaatan sumber suara ini menjadi sesuatu yang mampu menghasilkan nilai tambah (Value
added). Terlebih bahwa sumber suara merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui
(Renewable).
Di dalam kapal, sumber kebisingan terbesar berasal dari ruang mesin induk (engine room),
karena di dalamnya beroperasi peralatan mekanis seperti mesin induk sebagai penggerak kapal,
generator, diesel, pompa-pompa dan peralatan lainnya (Reza,2009). Sumber suara yang
melimpah seharusnya bisa dijadikan energi alternatif sebagai upaya untuk mengurangi
ketergantungan akan penggunaan sumber energi fosil dalam arah pengembangannya.
Agar kebisingan suara yang ditimbulkan oleh engine room dapat lebih bernilai guna, maka
dalam upaya pemanfaatannya harus diupayakan secara terus menerus sehingga dalam jangka
waktu kedepan dapat digunakan sebagai penghemat bahan bakar yang dikonsumsi oleh kapal.
Atas dasar prinsip pemanfaatan energi alternatif tersebut, maka dirancanglah sistem baterai
pembangkit listrik tenaga suara yang memanfaatkan suara di ruang kamar mesin induk kapal.
Untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas tingkat kadar energi yang mampu dihasilkan dari
sumber kebisingan yang terdapat pada ruang mesin induk kapal yang berupa hasil uji
kebisingan dan getaran (Noise & Vibration) pada ruang mesin induk kapal, rancangan sistem
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 321
kerja Batechsant dalam bentuk desain 3D dan prototype, serta hasil analisis dan simulasi
sistem kerja Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant) dengan menggunakan
software. Penelitian ini bermanfaat sebagai bagian studi pemanfaatan dan pengembangan
sumber energi alternative dan upaya aplikasi dan pengembangan pada teknologi kemaritiman
yang tepat guna dan bekelanjutan.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Perancangan Desain Sistem Layanan Pembangkit Listrik Tenaga Suara Darurat
Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant)
Dari sistem generator (pembangkit listrik yang telah ada), akan ditambahkan sistem yang
mampu mensuplai daya saat darurat (badan kapal terserang musuh dan kebakaran) melalui
rekayasa Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant). Berikut gambar dari
rancangan sistem integrasinya.
Berdasarkan pada gambar diagram proses kerja dapat dijelaskan, ketika sumber suara
kebisingan timbul pada ruang mesin akan ditangkap oleh microphone. Suara yang ditangkap
oleh microphone akan diubah menjadi sinyal AC dan Gelombang sonik. Gelombang sonik akan
ditangkap oleh nanowire yang merupakan bagian dari nanogenerator yang akan menggetarkan
kumparan micron didalam nanogenerator. Bergetarnya kumparan micron dalam medan magnet
akan berpotensi menimbulkan arus listrik dan tegangan. Arus listrik dan tegangan yang
dihasilkan ini dapat diperlakukan menjadi 2 alternatif. Alternatif pertama dapat langsung
digunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan alternatif kedua adalah dilakukan mekanisme
penyimpanan dalam Battery Storage dengan menggunakan piranti rectifier. Energi listrik yang
tersimpan dalam battery storage ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pada tingkat
daya dan kapasitas tertentu. Penggunaan energi listrik ini meliputi penerangan kapal, alat-alat
navigasi, kompas gyro dan piranti/alat indikator.
F = kx bv
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 322
2.3 Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan merupakan sebuah aktivitas yang ditujukan untuk mengetahui tingkat
kebisingan dalam suatu ruangan tertentu yang menggunakan sebuah alat dengan sebuah
batasan-batasan serta prosedur teknis tertentu. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Sound Level Meter adalah sebuah piranti digital
untuk mengukur tingkat kebisingan suatu ruangan dengan memanfaatkan prinsip kerja
mengubah getaran bunyi menjadi sinyal-sinyal digital yang dilengkapi dengan informasi-
informasi nilainya secara numerik.
Data-data yang dihasilkan dari sound level meter dapat disajikan dalam layar pada sound level
meter dalam bentuk informasi yang bermacam-macam. Informasi tersebut antara lain
tingkat/lama pengukuran, pengukuran secara simultan dan hasil pengukuran tunggal.
Figure 11 Berbagai Bentuk Informasi yang Disajikan pada Layar Sound Level Meter
Sumber : Sumber : http://www.rion.co.jp/english/
2.4 Peran Batechsant pada sistem suplai listrik pembangkit listrik tenaga suara darurat
Batechsant merupakan bagian inti pada sistem suplai pembangkit listrik tenaga suara darurat
yang menyuplai listrik generator, karena bagian tersebut akan memberikan daya dukung pada
sistem kelistrikan.
2.5 Lokasi pemilihan tempat untuk Batechsant (Battery Tecnology Of Sound Power Plant)
Pada proses peletakan alat Batechsant (Battery Tecnology Of Sound Power Plant) didasarkan
prinsip : memanfaatkan suara yang dihasilkan oleh mesin kapal secara maksimal, sehingga
dalam pemilihan tempat untuk desain alat dilakukan dengan cara penyesuaian pada letak
mesin di main engine room kapal. Alat tidak diletakkan tepat di mesinnya, akan tetapi prinsip
penempatan piranti penangkap suara pada sistem batechsant adalah dengan memanfaatkan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 323
dinding-dinding yang tersedia pada ruang mesin kapal. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
untuk mengurangi dampak negatif ketika sebuah alat harus berinteraksi secara langsung
dengan sumber getaran dan suara, sehingga tidak merusak sistem alat Batechsant.
Figure 13 Data Penempatan Posisi Microphone sebagai Sensor Suara pada Main Engine Kapal
Sumber :Reza Bushriyadi,2009
Figure 14 Mesin Induk (Diesel) Pada Kapal yang merupakan sumber kebisingan terbesar pada
ruang Mesin Induk Kapal
(Sumber :Fauzi,Muchlis,Handayani,2011)
Dalam penelitian telah dihasilkan rancangan sistem Batechsant yang dalam hal
direpresentasikan melalui rancangan Piezoelectric. Dalam proses perancangan juga telah
ditentukan beberapa atribut dalam rancangan sistem. Atribut tersebut berupa: Elemen-elemen
penyusun, Ukuran dan Dimensi tiap elemen, Bahan yang digunakan serta Konfigurasi Sistem.
Berdasarkan pada hasil rancangan tersebut selanjutnya akan dilakukan proses pengujian dan
simulasi. Pengujian dan simulasi dilakukan dengan menggunakan software yang sesuai dengan
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 324
tujuan tersebut yaitu Solidworks dan ANSYS. Dari hasil analisis dan simulasi software ini akan
dihasilkan respon membran pada piezoelectric (defleksi dan deformasi) terhadap tekanan bunyi
yang diberikan. Dari hasil respon (defleksi dan deformasi) membran piezoelectric ini selanjutnya
akan ditentukan berapa listrik yang dapat dihasilkan. Listrik yang dihasilkan selanjuynya akan
dianalisis berdasarkan pertimbangan waktu pengujian dan faktor-faktor pengujian lainnya.
Besarnya tekanan bunyi yang diterapkan pada permukaan membran piezoelectric ini ditentukan
berdasarkan pada data kebisingan yang telah diperoleh sebelumnya. Data sekunder yang
berupa kuat suara (decibel) akan dilakukan konversi sedemikian rupa sehingga menghasilkan
profil data tekanan suara (dalam satuan pascal). Dari data yang diperoleh, nilai tekanan bunyi
yang dihasilkan sangat beragam dan bervariasi. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran untuk tiap-tiap nilai tekanan bunyi. Maka dari itu dilakukan pengujian berdasarkan
pada nilai rata-rata tekanan bunyi yang terjadi pada selang waktu tertentu. Dengan demikian,
hasil pengujian dapat merepresentasikan kondisi data yang diperoleh.
Table 1 Data Kebisingan pada Berbagai Bagian di Kapal pada Kondisi Mesin Beban Penuh
100% (1850 rpm)-13,7 kn
DATA KEBISINGAN BERBAGAI BAGIAN PADA KAPAL
Ruangan Titik Ukur Aktual
Wheel House Front centre 80 65,5
Captain Room Front sbs 74 58
KKM Room Front Ps 74 57,5
sbs 80 66
Front centre 80 65,5
Ps 80 65,7
sbs 62 73
Passanger Room Middle centre 62 73,1
Ps 62 73,3
sbs 38 78,5
Back centre 38 78
Ps 38 78
sbs 57 72
Cabin Room
Ps 57 63
sbs 23 104,5
Middle centre 23 104,5
Ps 23 104
Engine Room
sbs 15 103,2
Back centre 15 103,5
Ps 15 103,5
Engine Control Room Ps 32 76,5
Berdasarkan pada data tersebut terlihat bahwa tingkat kebisingan pada ruang mesin kapal
terjadi pada rentang 103-104,5 dB. Sedangkan distribusi data kebisingan yang diperoleh dapat
digambarkan sebagai berikut:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 325
Figure 15 Distribusi Kebisingan pada Ruang Mesin Induk Kapal
Tingkat tekanan bunyi yang diperoleh ini akan dijadikan dasar dalam melakukan analisi dan
simulasi sistem dengan menggunakan software. Nilai tekanan bunyi digunakan untuk
menentukan seberapa besar deformasi yang terjadi pada membran piezoelectric akibat tekanan
bunyi ini. dengan mengetahui deformasi yang terjadi maka besarnya listrik yang dihasilkan
dapat diketahui.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 326
Table 3 Elemen Piezoelectric
ELEMEN PIEZOELECTRIC
No Elemen Piezoelectric Fungsi
1 Metal Disc Penutup rangkaian piezoelectric
2 Electrode Sumber muatan listrik
3 Ceramic Sebagai isolator permanen
Berdasarkan pada elemen-elemen tersebut dapat dilakukan perancangan bentuk 3 dimensi dari
piezoelectric sebagai berikut:
Berdasarkan pada elemen piezoelectric, atribut yang ditentukan dalam piezoelectric antara lain
sebagai berikut:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 327
sistem kerja Batechsant antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan pada beban yang telah ditentukan pada simulasi yaitu sebesar 174,83 Pascal
maka diperoleh hasil simulasi sebagai berikut:
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 328
Figure 18 Hasil Simulasi Penampang Melintang Piezoelectric
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 329
1. Tingkat tekanan suara yang dihasilkan dari kebisingan suara pada ruang mesin kapal
adalah sebesar 174,83 Pascal
2. Tingkat kebisingan suara yang terjadi pada ruang mesin kapal dapat menyebabkan
defleksi dan deformasi pada permukaan membran pirzoelectric sehingga dapat memicu
piezoelectric untuk menghasilkan listrik
Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang ditentukan sebelumnya, maka agar penelitian yang
dilakukan lebih optimal ditentukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Data kebisingan yang digunakan lebih bervariatif berdasarkan pada berbagai variabel,
sehingga dapat lebih merepresentasikan kondisi pada ruang mesin kapal
2. Perancangan sistem kerja dilakukan melalui uji prototipe agar dapat menghasilkan data
dan informasi yang lebih akurat
References
Akil, Husein A. 1996. Pengukuran Akustik Ruangan dengan Teknik Pemodelan Skala
Fisik.PUSLITBANG KIM-LIPI
Alster.1981. An Improved Method For Determination Of Radiated Sound Power And Sound
Transmission From Large Sources, Journal of Sound and Vibration (1982) 82(2), 261-
274
Aminudin,Syaikhu.2010.Study Application Flywheel Energy Storage to Increase and Kept The
Performance of Micro Hydro PowerPlant. Undergraduate Thesis. Sepuluh Nopember
Institute Of Technology, Surabaya,Indonesia.
Bushriyadi,Reza.(2009),Analysis Noise Level,Work Climate and Lighting in KM Ciremai Engine
Room.Undergraduate Thesis. Surabaya Shipbuilding State Polytechnic, Sepuluh
Nopember Institute Of Technology,Surabaya,Indonesia.
Fauzi Imam, Muchlis, Handayani Nadia. 2011. Batechsant (Battery Technology Of Sound Power
Plant):Inovasi Teknologi Baterai Pembangkit Listrik Masa Depan melalui Pemanfaatan
Energi Suara pada Mesin Induk Kapal.Makassar: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Fauzi,Farit.(2009), The Application of Solar Power Plant for Lighting Sistem on
Tanker.Undergraduate Thesis.Sepuluh Nopember Institute Of Technology,
Surabaya,Indonesia
J.K. Kaldellis , D. Zafirakis, K. Kavadias.2009. Techno-economic comparison of energi storage
sistems for island autonomous electrical network.International Journal Of Renewable
and Sustainable Energy Reviews vol.13 pp.378392
Jon Maskrey.2006. Introduction to dynamic and condenser microphones. Diunduh di
http://www.burninggrooves.com/articles/introduction-to-dynamic-and-condenser-
microphones(26 Januari 2011)
Park Gyuhae, R. Farrar Charles, D. Todd Michael, Hodgkiss William, Rosing
Tajana,2007.Energy Harvesting for Structural Health Monitoring Sensor Networks. Los
Alamos National Laboratory LA-14314-MS
Permana Ricky, Syahadatain Yuniar, H Ega Mahendra, Triandini Titin Yulia Riska. 2011.
Pengembangan Perangkat Deteksi Kerusakan Kapal Berbasis Analisa Suara Propeller
Shatf dengan Metode Blind Source Separation. Makassar : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.
R. Ravaud, G. Lemarquand , T. Roussel.2009. Experimental measurement of the nolinearities of
electrodynamic microphones. International Journal Of Applied Acoustics vol.70
pp.11941199
Ridwanulloh,Dani.2006. Akustika Ruang Kuliah. Bandung :Teknik Fisika ITB.
Xu Sheng, Qin Yong, Xu Chen, Wei Ya Guang, Yang Rusen, Wang Zhong Lin,2010. Self-
powered Nanowire Devices. Nature nanotechnology DOI: 10.1038/NNANO.2010.46
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 330
PERFOMANCE EVALUATION OF SECURITY KEY MANAGEMENT SCHEME IN MANET
FOR SEA TACTICAL COMMUNICATION
*1 1
Dinar H.S Wahyuni and Gamantyo Hendrantoro
1
Department of Electrical Engineering,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya.
*E-mail: sadriyantien@yahoo.com
Abstract
The role of communication networsk in millitary operation continues to grow in importance, with mission areas such as
covert special operations, time critical, targeting, command and control all relying heavily on networks and network
application. Mobile Ad Hoc Network (MANET), which is self-organizing, infrastructureless, multihop networks, is
especially suitable for communication in millitary. The wireless and distributed nature of MANET and very bad security
environment in battlefield bring a great challenge to securing tactical MANET. MANET is requires less or no fixed
infrastructure support communication among nodes that can be quickly and adaptively constructed. Indeed, a fully
realized MANET would be powerful in enabling highly mobile, highly responsive, and quickly deployable tactical forces.
Security is one of the major issues in MANET. Due to the inherent nature of MANET, a security key management
procces is always required. Key management plays an important role in the security of todays information especially in
MANET in which key management has received more and more attention for the dificulty to be implemented in such
dynamic network. Desirable features of MANET for key management becomes our evaluation parameters. In this paper
we compare the evaluation parameters among the existing methods. We simulate a MANET network and evaluate the
parameters for every method using NS2 (Network Simulator 2). The complete result will be reported in the full paper.
Keywords: Security, Key Management.
1. Pendahuluan
Ketangguhan komunikasi taktis sangat dibutuhkan dalam dunia militer. Masalah yang sering
sekali muncul adalah topologi medan pertempuran yang ekstrim disertai dengan mobilitas yang
tinggi. Kondisi alam yang sangat tidak menentu menuntut sebuah sistem komunikasi yang
mudah beradaptasi. MANET (Mobile Ad Hoc Network) adalah sebuah sistem komunikasi yang
tidak mempunyai infrastruktur, self-organizing dan sangat mudah beradaptasi. MANET adalah
sebuah jarigan yang terhubung dengan wireless. Karakteristik MANET ini sesuai dengan
kebutuhan komunikasi taktis. Jaringan ini beroperasi dan mengatur diri sendiri tanpa adanya
sentralisasi sehingga sering disebut jaringan yang mandiri dan mempunyai kemampuan
kooperatif antar node. Hal ini yang membuat MANET tidak membutuh infrastruktur sesuai
dengan sifat alaminya.
Karakterisktik MANET membawa pada permasalahan baru yaitu keamanan informasi yang
sangat penting pada komunikasi taktis. Terdapat beberapa jenis serangan pada sistem MANET
dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Misalnya, penyerang dengan tidak
meneruskan pesan ke node lainnya, menghapus data yang diterimanya dan mengirimkan
informasi routing palsu. Manajemen Kunci mempunyai peranan yang sangat penting pada
keamanan informasi jaringan MANET.Manajemen kunci dapat didefinisikan sebagai sebuah
teknik dan prosedur yang berfungsi untuk sarana dan mendukung kelangsungan kelacaran
pada sistem ini [4]. Manajemen kunci pada MANET harus sesuai dengan topologi yang dinamik
yaitu kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan sistem organisasi yang tidak terpusat [4].
Beberapa fitur yang diingikan dalam manajemen kunci adalah availability, robustness,
efficiency, scalability, survivability dan resistance to known key attacks yang juga akan menjadi
indikator perbandingan pada penelitian ini.
Seiring perkembangan teknologi manajemen kunci pada manet, banyak peneliti yang
membahas dan berusaha menemukan solusi terbaik. Beberapa skema sudah diterapkan pada
penelitian sebelumnya adalah Partially Distributed Certificate Athority, Fully Distributed
Certificate Athority, Isdentity-Based Key Manangement, Certificate Chainning Based Key
Management, Cluster-Based Key Management, Mobility-Based Key Management dan Parallel
Key Management. Pada penelitian ini akan dibahas tiga skema yang sesuai dengan kebutuhan
MANET pada komunikasi taktis. Tiga skema yang akan diteliti adalah Cluster-Based Key
Management, Mobility-Based Key Management dan Parallel Key Management.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 331
Cluster-Based Key Management menerapkan model simulasi menggunakan node yang
dibedakan berdasarkan cluster. Setiap cluster mempunyai cluster head dan recommended
node yang telah ditentukan juga. Cluster head bertugas untuk menyampaikan informasi kepada
beberapa recommended node pada cluster yang sama.
Pada MANET akan terjadi kalkulasi rute apabila terjadi perubahan lokasi maupun luasan
daerah jangkuan. Dengan adanya skema berdasarkan cluster ini pesan pada jaringan lokal
dapat di transmisikan pada jarak terdekat dalam cluster yang sama, sedangkan pengiriman
pesan untuk jarak yang jauh dilakukan pada cluster yang berbeda. Setiap cluster ditandai
dengan adanya cluster head yang menunjukkan wilayah sebuah cluster. Sebuah clusterhead
bertugas untuk kalkulasi rute dalam cluster dan pengiriman pesan long-distance. Pengriman
pesan long-distance mengharuskan clusterhead menggunakan tenaga lebih untuk transmisi.
Kondisi komunikasi dalam MANET yang dinamik merupakan masalah dalam skema cluster.
Konsentrasi utama dalam skema ini adalah pemilihan, konfigurasi dan peletakan clusterhead.
Setiap node harus mampu untuk menjadi clusterhead dalam sebuah jaringan. Node yang
menjadi clusterhead tidak berbeda dengan node lainnya dalam jaringan tersebut dan
mempunyai karakteristik yang hamper sama. Dengan adanya kegagalan konektivitas maka dari
itu dibutuhkan pembagian wilayah. Adanya perubahan yang berkala pada clusterhead maupun
anggota cluster menyebabkan perhitungan dan komunikasi yang rumit.
Tugas dari clusterhead sangat sulit karena tidak semua node bias menjadi clusterhead. Node
yang terpilih adalah node yang mempunyai kemampuan untuk mengendali cluster secara
keseluruhan. Pendekatan mengunakan skema ini mempunya tingkat efektif yang lebih tinggi.
Node yang berfungsi sebagai clusterhead adalah node 0, 1 dan 10. Dalam simulasi ini
menggunakan routing AODV. Untuk simulasi cluster based key management ini lebih baik jika
menggunakan routing CBR (Cluster Based Routing). CBR dapat secara otomatis mengatur
routing untuk jenis cluster.
Parameter Nilai
Kecepatan Node/Kapal Perang Bervariasi
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 332
Frekuensi HF
Antena Omni Directional
Model Propagasi Twoarray
Jumlah node 11 node
Jangkauan / radius <250 m
Routing AODV
4. Kesimpulan
Pendekatan mengunakan skema ini mempunya tingkat efektif yang lebih tinggi. Dalam
aplikasinya lebih baik jika menggunakan CBR karena secara otomastis bisa mengatur routing
sendiri. Pada penelitian ini dicoba simulasi manual menggunakan AODV. Penggunaan CBR
akan dilakukan pada penelitian selanjutnya.
Reference
L. Zhou and Z. J. Haas, Securing Ad Hoc Networks, IEEE Network: special issue on network
security, vol. 13, no. 6, pp. 2430, 1999.
S. Capkun, L. Buttyan, and J.-P. Hubaux, Self-Organized Public-Key Management for Mobile
Ad Hoc Networks, IEEE Transactions on Mobile Computing, vol. 2, no. 1, pp. 5264,
2003.
S. Yi and R. Kravets, Composite Key Management for Ad Hoc Networks, in proc. First Annual
International Conf. on Mobile and Ubiquitous Systems: Networking and Services
(MobiQuitous04), August, 22 - 26 2004.
C.-K. Toh, Ad Hoc Mobile Wireless Networks: Protocols and Systems. Prentice Hall PTR, 2001.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 333
J. Sharony, A Mobile Radio Network Architecture with Dynamically Changing Topo- logy using
Virtual Subnets, in proc. IEEE International Conf. on Communications
(ICC/SUPERCOMM96), June 1996.
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 334
OFFSHORE
TECHNOLOGY
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 335
ANALISIS PUSHOVER PADA DECK EKSTENSION DARI JACKET HZEB WELLHEAD
TRIPOD PLATFORM AKIBAT BEBAN LINGKUNGAN EKSTREM
*1 1 1
Fahmi NURIMAN , Handayanu , dan Rudi WALUJO P
1
Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
*E-mail: fahminuriman@gmail.com
Abstract
HZEB jacket wellhead tripod platform is one of the offshore structure to exploit offshore oil and gas. The Jacket which is
located around ardjuna field, Java Sea, Indonesia has been there for 20 years and about to be modified with the adding
of the conductor and deck extension. The platform structure should meet the minimum standar if API RP 2A that implies
structure pushover analyze should be done and acquire minimum Reserve Strength Ratio (RSR) of 0,8 for unmanned
platform to gain safe condition. Structure pile soil space frame model has been made using element till global
modelling. Extreme lateral loads (tide, wind, current) should be applied to the structure on 12 direction of loads
rendering. From the pushover analysing we acquire the least amount of RSR is 2,94 at the 120 0 directions of load
rendering. It can be concluded that the structure of jacket wellhead tripod platforms RSR meet the minimum standar of
0,8 from API RP 2A WSD for unmanned platform. The result of pushover analyze in global analysing structur shows that
the maximum stress value is 262 Mpa.
1. Pendahuluan
Fixed jacket platform merupakan salah satu dari struktur bangunan lepas pantai (Offshore
Structure) yang berfungsi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas lepas pantai.
Struktur Fixed jacket platform banyak digunakan dalam eksplorasi migas di Indonesia,
khususnya di laut jawa. Untuk meningkatkan produksi hidrokarbon pada suatu Jacket Wellhead
Platform memerlukan adanya penambahan well (sumur). Penambahan well tersebut
memerlukan adanya tambahan well conductor disertai deck extension yang menyertainya.
Salah satu diantara hal yang sangat penting dalam analisa suatu struktur bangunan lepas
pantai saat adanya penambahan / modifikasi dari struktur adalah analisa atas kekuatan atau
kemampuan suatu struktur untuk memenuhi target dan standard desain yang telah ditetapkan.
Analisa tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan kapasitas
maksimal struktur untuk menerima beban.
Analisa ultimate strength atau pushover analysis adalah salah satu cara untuk mengetahui
[1]
besarnya kapasitas struktur untuk menerima beban maksimal . Analisa pushover dapat di
definisikan suatu metode yang dipakai dalam menganalisa keruntuhan struktur dan merupakan
analisa nonlinear dengan pembebanan inkremental untuk menentukan pembebanan yang
menyebabkan struktur runtuh. Serta merupakan salah satu cara untuk mengetahui besarnya
kapasitas struktur untuk menerima beban maksimal. Metode yang dilakukan adalah dengan
melakukan simulasi penambahan beban secara bertahap sampai struktur tersebut runtuh. Dari
hasil tersebut akan diketahui Reserve Strength Ratio (RSR) atau rasio kekuatan cadangan
struktur.
2. Uraian Penelitian
2.1 Studi Literatur
Dalam penelitian ini, literatur-literatur yang dipelajari adalah tugas akhir yang pernah dilakukan
sebelumnya dan jurnal yang berkaitan langsung dengan penelitian ini serta buku-buku sebagai
tambahan referensi dalam penyelesaian masalah.
i. Kondisi Geografis
Koordinat dari platform ini adalah 005 54 24.96 Lintang Selatan dan 108 04 43.03
Bujur Timur
iii. Gelombang
Data gelombang yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data gelombang pada
Laporan Metocean Ardjuna Field dengan periode ulang 100 tahun.
v. Data material
Tegangan ijin yang dijinkan adalah yang mengacu pada API RP 2A. Nilai dari Allowable
Stresses yang dijinkan untuk dimasukkan dalam Load Conditions adalah sebagai
berikut:
Angka keamanan tiang pancang untuk berbagai kondisi desain diperlihatkan adalah sebagai
berikut
- Inplace = 2.000
Grade dan kekuatan Baja yang digunakan pada Struktur ini mengacu pada :
Jumlah nodes adalah 506, jumlah member adalah 888. Struktur dimodelkan space frame
dengan pile soil elemen.
Dari teori gelombang yang digunakan maka kita dapat menentukan kecepatan dan percepatan
partikel air yang melewati struktur.. Bila D/L kecil (D/L 0.2) maka pola aliran fluida tidak akan
terganggu dan besarnya gaya dapat dihitung dengan persamaan Morison (OBrien dan
Morison, 1952). Persamaan Morison menyatakan bahwa gaya gelombang dapat diekspresikan
sebagai penjumlahan dari gaya seret (drag force, FD), yang muncul akibat kecepatan partikel
[3].
air saat melewati struktur, dan gaya inersia (inertia force, FM) akibat percepatan partikel air
Berikut adalah arah beban gelombang dan arus pada struktur:
Penambahan deck extension dan conductor tersebut berarti memberikan perubahan load dan
[4]
facility pada struktur. Menurut API RP 2A modifikasi platform yang memberikan perubahan
load pada struktur minimal 10 % berarti dianggap significant. Tabel selfweight struktur sebelum
dan sesudah dimodifikasi adalah sebagai berikut :
Dari hasil didapatkan selisih perubahan load pada struktur adalah 10,17 %, sehingga
perubahan/ modifikasi struktur menurut API RP 2A dianggap significant.
5. Pembahasan
5.1 Analisa Inplace (Design Level Analysis)
Menurut API RP 2A, jika perubahan/modifikasi platform dianggap significant, maka bisa
dilanjutkan dengan melakukan pushover analysis. Tetapi sebelum melakukan pushover analysis,
terlebih dulu dilakukan analisa inplace kondisi storm platform yang sudah dimodifikasi pada
semua arah gelombang untuk mengetahui arah gelombang yang mengakibatkan struktur
mengalami kondisi UC yang paling kritis. Analisa inplace dilakukan pada dua belas arah
pembebanan yaitu arah 0, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330 derajat. Hasil
analisa inplace kondisi storm pada stuktur yang telah dimodifikasi bisa dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2. Hasil analisa member check pada tiap arah gelombang
Dari hasil analisa inplace terdapat member stress kritis pada dua arah pembebanan gelombang.
o
Arah gelombang yang relatif membuat struktur paling kritis adalah gelombang arah 0 dan arah
o
30 karena terdapat nilai UC yang kritis (lebih dari 1), sehingga diperlukan analisa pushover
pada struktur tersebut.
Pada tabel dapat dilihat bahwa struktur runtuh (collapse) diakibatkan oleh joint plastis dan joint
failure. Sedangkan nilai RSR yang paling kecil/ kritis berada pada struktur dengan arah beban
lingkungan 120 derajat bernilai 2,948 yang diakibatkan oleh joint plastis.
0
5.3 Analisa arah pembebanan 120
o
Gelombang arah 120 digunakan karena merupakan salah satu arah gelombang yang
o
signifikan berpengaruh kritis terhadap struktur. Pada analisa pushover di gelombang arah 120
ini dihasilkan member yang mengalami plastis terlebih dulu adalah member leg 401L- 501L
(LGD) saat mencapai increment ke 27 dengan load factor 2.167. Sedangkan platform
mengalami keruntuhan secara keseluruhan / collapse pushed over adalah saat keseluruhan
struktur sudah tidak dapat lagi menahan / meneruskan lagi beban beban yang terjadi. Platform
mengalami keruntuhan secara keseluruhan yaitu pada saat mencapai increment ke 38 dengan
load factor 3.08. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
Berikut adalah hasil analisa dari analisa collapse dengan menggunakan beban gelombang arah
o
120 :
1. Pada load faktor 1.08 (increment ke 14), belum terdapat member yang mulai
menunjukkan plastisitas. Perbedaan rasio plastisitas ditunjukkan pada perbedaan
warna yang terdapat pada member.
2. Pada load faktor 2.0 (increment ke 25 ) , rasio plastisitas yang terjadi pada member
belum menunjukkan perbedaan nilai rasionya. Hal itu dapat dilihat dari variasi warna
yang terlihat. Dalam load faktor ini hanya member 401L-501L (LGD) yang mempunyai
plastisitas 50 %.
3. Analisa dengan load faktor 2.5 (increment ke 31) menunjukkan mulai terdapat member
yang mengalami plastisitas 100 % yaitu member 401L-501L (LGD). Lalu member
member lainnya mempunyai plastisitas dibawah 75%. Hal ini terlihat dari warna yang
terdapat pada member.
4. Analisa dengan load factor 3.08 (increment ke 38) menunjukkan bahwa sebagian
besar member mengalami plastisitas 100 %. Pada increment ini struktur mengalami
keruntuhan/ collapse.
Kurva hubungan antara beban lateral (base shear) dengan total displacement pada joint 401L-
501L (LGD) adalah sebagai berikut :
Gambar 5. Kurva hubungan beban lateral dengan total displaement pada joint 401L-501L
Kurva hubungan antara load factor dengan axial stress pada joint 401L-501L (LGD) adalah
sebagai berikut :
Dari gambar 4.6 terlihat bahwa stress yang terjadi semakin naik seiring dengan pertambahan
load factor. Stress pada member tersebut sudah melewati 36 Ksi (248 MPa) yang merupakan
tegangan ijin dari member tersebut, sehingga member tersebut sudah memasuki daerah plastis.
Lalu pada load factor 3 mengalami nilai stress tertinggi (ultimate stress) sebesar 38 Ksi (268
MPa) yang kemudian diikuti nilai stress yang semakin menurun .
6. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah Pada analisa pushover yang telah
dilakukan pada jacket wellhead tripod platform yang diberi conductor dan deck extension
0
dihasilkan nilai Reserve Strength Ratio (RSR) terkecil pada arah pembebanan 120 dengan nilai
2,94. Nilai RSR tersebut masih memenuhi syarat dari yang telah ditetapkan API RP 2A berupa
nilai RSR minimal untuk unmanned platform adalah 0,8 .
References
Yudhistira, 2006, Analisa Ultimate Strenght Struktur Jacket LWA Berbasis Resiko dengan
MicroSAS, Jurnal Tugas Akhir, Jurusan Teknik Kelautan-ITS. Surabaya.
PT. Tripatra Engineering, Structural Analysis Report of HZEB Jacket Platform. Desember
2011 (Engineering Report)
Chakrabarti, S.K., 1987, Hydrodynamics of Offshore Structure, Computational Mechanics
Publications Southampton, Boston, USA.
API RP 2A,2000 Recommended Practice for Planning, Designing & Constructing Fixed
Offshore Platforms Working Stress Design, 21th Edition, American Petroleum Institue.
(Code)
Abstract
Problems that most likely to occur at the coastal areas specificcally on West Sulawesi are the beach abration caused by
sea waves. Breakwater is one of the beach structure which can reduce the waves debit. The researchs purpose is to
analayze the amount of transmission coefficient and the relation between the transmission cofficient and waves steep
for every variation of wave making stroke. The research is to be done at Hydrodynamic Lab Ocean Engineering with
physical model test by stake wave breaker. The model is a representation of the real wave breaker at Majene Port. The
research use regular wave with model scale 1:33. The research arrange the model into the wave test tank with the
measurement use 4 variations of wave maker strokes. The output of the research shows that the value of transmission
coefficient and waves steep are inversely proportional, where the value of KT gets lower while the waves steep value
get higher so does the opposite goes. From the observation,we acquire the value of KT around 0,395-0,468
1. Pendahuluan
Pelabuhan Majene Sulawesi Barat dilengkapi dengan pemecah gelombang tipe tiang pancang
(gambar 1) sebagai pelindung pelabuhan dari serangan gelombang.
Abrasi pantai merupakan masalah paling sering terjadi pada daerah pantai sebagai akibat dari
aktifitas gelombang laut.Metode penanggulangan abrasi pantai adalah penggunaan struktur
penahan gelombang pada area tertentu. Gempuran gelombang yang besar diredam dengan
cara mengurangi energi gelombang datang, sehingga gelombang yang menuju pantai
energinya berkurang. Break water (pemecah gelombang) berfungsi memecahkan,
merefleksikan dan mentransmisikan energi gelombang.
2. Tinjauan Pustaka
Pemecah gelombang tiang pancang memiliki fungsi yang sama dengan jenis pemecah
gelombang yang lain untuk melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang.
Pemecah gelombang tiang pancang biasa diletakkan di laut dengan kedalaman sampai 20 m
Ketika suatu gelombang mengenai struktur maka gelombang akan teredam/ di transmisikan,
tetapi akan ada sisa-sisa energi gelombang yang terjadi setelah melewati struktur. Transmisi
adalah penerusan gelombang melalui suatu bangunan yang parameternya dinyatakan sebagai
berikut.
Dengan :
H H min
H t max
2 transmisi (2)
H H min
H i max
2 (3)
Dimana :
Ht = Tinggi gelombang setelah melewati struktur ( m )
Hi = Tinggi gelombang sebelum mengenai struktur ( m )
Et = Energi gelombang setelah melewati struktur ( joule/m )
Ei = Energi gelombang sebelum melewati struktur ( joule/m )
3. Metode Penelitian
Desain pengujian model pemecah gelombang tipe tiang pancang seperti pada gambar 2.
4. Hasil Penelitian
Dari data pengujian, diperoleh grafik kecuraman gelombang terhadap koefisien transmisi untuk
masing-masing stroke pembangkit gelomban (gambar 3).
Gambar 3 Grafik pengaruh kecuraman gelombang terhadap koefisien transmisi untuk setiap
variasi stroke
Koefisien transmisi untuk keempat stroke berbanding terbalik dengan angka kecuraman
gelombang. Nilai koefisien transmisi meningkat dengan berkurangnya angka kecuraman
gelombang, sebaliknya nilai koefisien transmisi menurun dengan bertambahnya angka
kecuraman gelombang (Hi/gT2). Transmisi gelombang yang terendah ditemukan pada nilai
kecuraman gelombang yang lebih tinggi. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa gelombang
dengan angka kecuraman gelombang yang kecil cenderung diteruskan dan membentuk
gelombang transmisi yang besar.
5. Kesimpulan
Koefisien transmisi (KT) pemecah gelombang tipe tiang pancang berada pada kisaran 0,35
sampai 0,468
References
Armono. H. H., Sholihin, Rezkirana. Y., (2011), Transmisi Gelombang Pada Floating
Breakwater Polyethylene Bentuk Zig zag. FTK-ITS.
Bhattacharyya, R. (1978). Dynamic of Marine Vehicles. John Wiley and sons Inc., New York.
BMKG Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar. 2012, Informasi Cuaca Pelayaran
Perairan Majene dan Pasang Surut Perairan Majene.
Budiman. (2008), Pemanfaatan Energi Gelombang Laut Sebagai Sumber Energi. TK-UNHAS.
Dirgayusa, Yuwono Nur, (1997), Transmisi Gelombang Melalui Pemecah Gelombang Susunan
Pipa Horisontal. FTK-UGM.
Fajar kamis 19 Juli 2012. Tinggi Gelombang di Perairan Majene.
Google. Indonesian Map. Accessed 24 July 2012.
Haryono Rizqi, Armono Haryo Dwito, Sujantoko, Studi Eksperimental Transmisi Pada Pemecah
Gelombang Terapung Tipe Pile. FTK-ITS.
Johnny, Muchtasor, Pratikto Widi Agus, Wahyudi. 2008, Studi Uji Model Fisik Peredam
Gelombang Tenggelam Bentuk Enam Gigi Gergaji.FTK-ITS.
Lande,Darma. (2010), Kajian Eksperimental Pengaruh Pemecah Gelombang Bawah Air
Imam ROCHANI
Abstract
Oil and gas exploitation which is unrenewable resources for energy includes high technology and complex market and
structure. Those characteristics cause different problem in oil and gas exploitation with the renewable resources. From
the economic view shows that operating cost of alternative stocks 69 million barrels cost $25/bbl, calculation indicates
decreasing in average production as much as 0,003285/month, with the economic limits at 77,314 bbl. First year
cumulative production is 3,6 million barrel and decreasing into 3,4 million barrel on second year. This degradation of
production will continually happen until the years of the field reach 34,7 years. From the technical view show that the oil
field is feasible for exploitation with the pipe inside diameter 18 inch.
1. Pendahuluan
Pada dasarnya hanya ada dua cara atau metode dalam transportasi minyak atau gas ke
daratan. Metoda pertama adalah dengan menggunakan pipa bawah laut sedang metoda kedua
adalah dengan menggunakan kapal tanker. Masing-masing metoda mempunyai keunggulan
atau keuntungan sedang keputusan akhirnya akan ditentukan atau dipilih berdasarkan
keekonomian masing-masing metoda yang ada. Namun pada makalah ini akan dibahas metoda
transportasi minyak atau gas dengan moda pipa secara komprehensip. Hal ini disebabkan
karena eksploitasi minyak dan gas yang bersifat tidak terbarukan untuk keperluan energi;
menyangkut struktur pasar yang cukup komplek dengan tingkat teknologi yang tinggi. Sifat-sifat
tersebut menyebabkan masalah eksploitasi minyak dan gas akan sangat berbeda dengan
ekstraksi sumber daya terbarukan. Oleh karena itu pada tahapan perencanaan sudah harus
diputuskan kombinasi yang tepat dari berbagai factor yang mempengaruhi produksi untuk
mendapatkan hasil yang optimal, namun harus pula dipertimbangkan seberapa cepat stok
harus diekstrasi dengan stok yang terbatas.
80
70
60
Production(Mbbl)
50
40
30 economic
Limit
20
10
0
2 4 6 8 10 12 24 26 28 30 32 34,7
Gambar 1. GrafikYear
Penurunan Produksi
Dari beberapa alasan diatas perlu dipertimbangkan bahwa dalam eksploitasi minyak dan gas
yang menyangkut investasi yang besar disamping itu terkait pula dengan waktu, maka
penentuan keuntungan tidak saja dihitung pada masa kini tapi juga sepanjang umur reser-
voirnya; sehingga konsep penurunan produksi seperti pada gambar 1 diatas perlu diper-
timbangkan dalam Prosedur Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Sedang aspek teknis yang menyangkut konfigurasi, intervensi, pipeline protection dan lain-
lainnya akan dibahas pula secara detail pada bagian lain di makalah ini. Gambar 2 berikut ini
memberikan gambaran secara komprehensif tentang pengembangan lapangan migas pada
umumnya.
Obtaining the
Rights for Are Test
Exploration Favorable
Yes
- Marine Survey
- Geological Field Development Study and
Investigation, Design
- Rig Site Survey,etc
No
Design and Fabrication Production
Drill Exploratory Equipment,Desing Submarine
Well Pipeline, Install Production
Equipment,install Pipeline,and
Test,Etc.
Is Well Yes Cap Well and
Dry Abandon
START
No PRODUCTION
Test Well
No
Is Test Yes
Favorable
2. Aspek Ekonomis pada Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Dari pengalaman yang ada selama ini menunjukan bahwa eksploitasi ladang minyak atau gas;
pada saat awal beroperasi memberikan rata-rata produksi yang cukup tinggi. Namun seiring
dengan berjalannya waktu rata-rata produksinya akan mengalami penurunan secara gradual
sampai batas keekonomiannya (economic limit) dicapai.Hal ini diakibat karena menurunnya
tekanan reservoir, gangguan yang dialami oleh porositas batuan reservoir,makin menurunnya
effisiensi peralatan produksi,naiknya perbandingan antara gas-oil ratio dan lain-lainnya. Oleh
sebab itu estimasi produksi disepanjang umur reservoir perlu dilakukan dengan
mempetimbangankan penurunan produksinya. Secara umum ada tiga metode yang dipakai
untuk memprediksi penurunan produksi yaitu exponential decline curve, harmonic decline curve
dan hyperbolic decline curve. Tabel 1 memberikan ilustrasi pengujian ketiga metode yang ada
berdasarkan data production history dari sebuah lapangan minyak. Dari uji coba menunjukan
bahwa exponential decline curve lebih mendekati kenyataan dengan factor simpangannya
adalah 0,000955 dibanding dengan metode harmonic decline curve dan hyperbolic decline
curve yang mempunyai factor simpangan 0,011230 dan 0,007168. Berdasarkan dari
pembuktian ini;maka exponential decline curve digunakan untuk memprediksi proses
penurunan produksi pada makalah ini.
Persamaan diferencial exponential decline seperti ditunjukan pada persamaan 1 dan 2 berikut
ini.
q dq t
D dt (1)
q q 0
0
q qi e Dt ..(2)
t
Q D qi e Dt dt (3)
0
Diatas telah dikatakan bahwa sebuah ladang migas akan berkhir operasinya apabila economic
limitnya telah dicapai,hal ini karena produksi yang diperoleh hanya cukup untuk membiaya
operasinya saja (break event point). Persamaan economic limit diberikan sebagai berikut :
directOper atingCost
EconomicLi mit (4)
Re venue / bbl
Dari persamaan 4 disimpulkan bahwa penurunan biaya operasi dan naiknya harga minyak
akan menaikan recoverable oil,sedangkan kenaikan biaya operasi dan turunnya harga minyak
akan mengakibatkan turunnya recoverable oil. Disamping itu naik dan turunnya biaya operasi
juga akan berpengaruh terhadap recovery cost, karena biaya operasi merupakan salah satu
komponennya.
Tabel 2 merupakan sebuah ilustrasi scenario produksi dengan telah mempertimbangkan equity
split yang diberikan pada table 3. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata penurunan produksi
0,003285/bulan, dengan batas keekonomian sebesar 77,314 bbl. Komulatip produksi pada
tahun pertama sebesar 3,6 juta barrel dan menurun menjadi 3,4 juta barrel pada tahun ke dua.
Penurunan ini terus berlangsung sampai batas keekonomian sebesar 77,314 bbl tercapai yaitu
pada kurun waktu 34,7 tahun atau umur ladang minyak tersebut 34,7 tahun.
3. Aspek Teknis pada Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Setelah skenario produksi dilakukan dengan menentukan rata-rata produksi minyak per
harinya;maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses perencanaan pipa dengan
mempertimbangkan berbagai parameter pengoperasian yang akan dilakukan. Parameter teknis
yang perlu dipertimbangkan meliputi antara lain diameter dalam dan luar pipa,ketebalan pipa,
material pipa,system proteksi. Pada tahapan perencanaan faktor teknis lainnya perlu
Pada aspek ekonomis telah diskenario bahwa ladang minyak akan di eksploitasi pada 10,000
bopd. Berdasarkan pertimbangan aspek teknis produktivitas 10,000 bopd ini akan di eksploitasi
melalui 10 sumur dengan asumsi masing-masing sumur menghasilkan 1000 bopd condensate;
disamping itu juga adanya imputities berupa air sebesar 250 bpd. Diketahui bahwa specific
gravity condensate adalah 0,87 dan viscocitynya adalah 3 cp. Karena faktor kecepatan aliran
fluida di dalam pipa,type aliran fluidanya sendiri,juga daya dari pompa yang akan
disiapkan,maka angka Re diambil pada regim aliran laminar dengan ketentuannya bahwa
Re<2000. Langkah selanjutnya adalah merencanakan diameter dalam pipa dengan
menggunakan rumus 7 untuk minyak dan rumus 8 untuk gas.
( SG )Q
d 92.1 (7)
Re
Qg S
d 20,100 (8)
Re
Sedangkan rumus 9 dan rumus 10 adalah moody friction factor dan perhitungan pressure drop
untuk minyak, seperti ditunjukan dibawah ini.
64
f .(9)
Re
fLQ 2 ( SG)
P (11.5 x10 6 ) .(10)
d5
Rumus 11 dan rumus 12 adalah moody friction factor dan perhitungan pressure drop untuk
minyak, seperti ditunjukan dibawah ini
0.032
f .(11)
d 1/ 3
SQ g2 ZTfL
P 12.6 (12)
P1 d 5
Pd 0 100
t [t c t th ][ ] ..(13)
2( SE PY ) 100 Tol
Dari data yang telah ada diatas dengan menggunakan rumus nomor 7, maka diperoleh SG
relatip 0,896 dan diameter dalam pipa 17,63 inch atau 18 inch. Apabila Re diambil 4000, maka
akan diperoleh diameter dalam pipa 8,6 inch
4. Kesimpulan
Pada makalah ini telah dibahas metoda transportasi minyak atau gas dengan moda pipa secara
komprehensip. Hal ini disebabkan karena eksploitasi minyak dan gas yang bersifat tidak
terbarukan untuk keperluan energi; menyangkut struktur pasar yang cukup komplek dengan
tingkat teknologi yang tinggi. Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi minyak dan
gas akan sangat berbeda dengan ekstraksi sumber daya terbarukan.
Bahasanan dari aspek ekonomi menunjukan bahwa penurunan biaya operasi dan naiknya
harga minyak akan menaikan recoverable oil,sedangkan kenaikan biaya operasi dan turunnya
harga minyak akan mengakibatkan turunnya recoverable oil.Untuk ladang minyak dengan
Bahasan dari aspek teknis menunjukan bahwa produktivitas 10,000 bopd ini akan di eksploitasi
melalui 10 sumur dengan asumsi masing-masing sumur menghasilkan 1000 bopd condensate;
disamping itu juga adanya imputities berupa air sebesar 250 bpd. Hasilnya menunjukan bahwa
diameter dalam pipa 17,63 inch atau 18 inch. Apabila Re diambil 4000, maka akan diperoleh
diameter dalam pipa 8,6 inch, namun hal ini akan dikompensasi dengan besarnya tenaga BHP
pompa untuk mengatasi gesekan yang ada di dalam pipa.
References
Arps,J.J,(1970), Analysis of Decline Curves , in Oil and Gas Property Evaluation and
Reserves Estimates, p.93,SPE No.3.
Bai,Yong,(2003), Pipelines and Riser ,Elsevier,Kidlington,Oxford,UK
Ikoku,Chi U,(1985), Economic Analysis and Investment Decisions , John Wiley & Sons, USA.
Rochani,Imam,(1993),Engineering Economic in Preliminary Offshore Oil Transport Design,
MSc Thesis, Strathclyde University,UK
Pertamina in Brief magazine.
L.T.Parulian SINAGA
Abstract
In recent years, people give more serious intention to save water and waterway environment used for sea transportation
due to the development of the local trading and the domestic investment. Therefore it is necessary to avoid the effects of
rapid water transportation on the environmenntal, particularly effect of the ship generated waves. Mostly the big ship i.e
heavy towing barge-tug boat and high speed vessel always produce waves that can make the damage other ships
mored at the bank of the canal, or damage the water bank due to erosion and abrasive. One of the alternative solution
to reduce the wave intensity generated by the ships hull passing along the waterway is by designing the hull it self in
such a way to having a good hydrodynamic characteristic to reduce the generated waves energy imported to water
bank. The parameters of erosion and abrasive damage in relation to the ship pusher barge passing at the restricted
water canal or river was simulated by means of model test in Hydrodinamic Laboratory. Wave phenomena in a wide
water way with slop are discussed. The interface between applied pusher barge ship model simulation was occured by
wave height resistance type with assumsion effect of the wave replaction is replaction coeffisien from the water way
calculated by numeric shore protection manual. The relation between Froude number based on water depth and wave
heihgt is discussed. The sidimentation rate related to traveling of the ship along the water way was approached by using
a numeric calculation by longshore sediment transport theory. Sedimentation rate depend on the bed load factor or soil
characteristic along the water banks.
1. Introduction
Indonesian is one of the biggest island on the world having longer the shore line and also river
estuary came to the coastal zone, so more possibilities to used the water way as transportation
media between island with simple access, low cost & risk and ready for used.
However easy and free access to use it can be fatalism in the future if no anticipation effect on
environment surrounding water way. Recently is need more seriously to looked back
environment of the water way at river and shallow water area which is used for transportation
activities as well river lines transportation business were the human being is stay and life
surrounding the water way. A ship cruising in a narrow and shallow route has a potential to
create adverse effects on the coastal environment through the generation of significant wash.
These effects include beach erosion and bank, damaged to structures and increase risk for
people and small vessel surrounding the waterway. Increasing the transportation lines on
shallow water zone by pusher barge with certain speed can be generated big waves as well big
energy will be effect on the safety of the small craft and sedimentation, abrasion to river bank
1,5). Once alternative to reduce the wave effect cause by towing barge or pusher barge by
speed control during passing on the water canal. By speed management will reduce the waves
energy came to water bank will be reduce inherent also the erosion, abrasion appear. For
security, to maintain of the good water way environment is very importance to have the study on
abrasion as effect from the pusher barge transported in shallow water channal ie overview on
erosion and abrasion water bank and problem solving by integrated water way environment
condition. Base on previous research on the journal 1,2) it can be assure that erosion, abrasion
rate on the water channel will be computable with sedimentation rate cause of the ship service
speed. This study on abrasion of the pusher barge transportation in shallow water channel by
research on simulation model test with laboratory scale and measured the wave height coming
from the ship to the water way zone further calculated by numerical method according to water
channel Mahakam river condition (see below the real situation of the river including water deep
and width, 9). From this simulation can be measured the wave height caused by the pusher
barge when the towing carriage bring the pusher barge model test with various speed, heading
angle and water depth. The wave height measurement data from simulation the above will be
used for input data to run the numerical calculation by CERC (Coastal Enggineering
Research Centre) equation, 3) by calculated erosion and abrasion rate. This calculated take
care that bed load factor input take from Shore Protection Manual ( SPM ) on the table as
function of the sand diameter (as secondary data), reflection factor ,water mass, gravitation
involved on the numerical calculation,3). This research very helpful for the local government as
2. Problem Formulation
Having the effect of the under water hull lines of the pusher barge model and ship movement on
certain speed will be generated waves energy and run-up from ship coming to river line along
the water way. This situation can be effected for damages water bank like erosion, abrasion.
Further to determine the sediment flux caused by erosion and abrasion on the water bank
conducted by formula CERC. To calculated sediment volume of erosion & abrasion per-day
with assumption that bed load factor determine from SPM (shore protection manual),1) and
base on the wave high data measuring by conducted on two pair point probe installed in both
side of pusher barge model with distance 1( one ) meter from ship model and distance between
pair probe same with total length the pusher barge model (3.6 m). This phenomena used
bigger block coefficient, it will be generated more wave high like heavy barge or pusher
barge.2,4). This observation used pusher barge model test with block coefficient (CB) 0.8797 ,
froude number Fn is 0.249
Scale factor 33.41 and water way dimension (width, water depth ) is according to real condition
with scale factor same with the length of the pusher barge model test. The purpose of model
test to measure the wave high with different water depth and various speed, heading angle. The
result of the model test as interaction between hull line boundary, speed, heading angle will be
analise by numerical calculation and sedimentation curves.
3. Research Methodology
The purpose of the research is to calculate the sedimentation rate appear by using Long shore
Sediment Transport. Volume of the sedimentation appears same with sediment flux capacity
carry-out by run-up waves until settle on certain area. Movement of sediment process act on the
water bank as consequence came from water mass continued with certain speed strike hard on
the wall of the water canal. The sediment transport act on the plane with dimension length,
width, and depth, according references 5,6) by numerical matchematic can be used the littoral
sediment transport equation below:
l n t
1
cz, t u z, t dt dz
1 (1)
t
S
0 0
Speed value (u) which is factor was conducted from equation long shore velocity (v). Speed
value is not depend on the time (t). Because the waves equation was including time factor (t)
with value depend on speed component.
The result of the long shore transport act on coastal line or water canal depend on the wave
direction. So the value of speed u( z,t ) was not only depend on time consume u( z,t ) u(z)
the time average concentration c (z ) can be used instead of the instantaneous concentration c
( z,t ).
The formula for the long shore sediment transport can therefore be reduced to a much more
h n
convenient equation: sx u( z )c ( z )dz (2)
0
Long shore transport equation (2) can used to calculate the volume of sediment long shore
transport at river. Base on observation in both prototype and model by the beach erosion &
abrasion board, the predecessor of the U.S. Army Coastal Engineering Research Centre ,
indicated a correlation between the long shore transport rate, S x , and the long shore
component of energy flux at outer edge of the surf zone(6). Expressed as a formula below:
sx (qs) '' (3)
For the flux energy passing along way of the water chanal caused by the run-up waves as
below:
1
cg g nc
2 (4)
8 h
With, E : Waves energy.
h : Wave height.
c : Wave speed propagation speed
cg : Wave group velocity (=nc )
This energy flux U( Ecg ) is for plane wave at wave height h (m) measure by wave probe at
wave speed camming from ship to water chanal.
Wave coming with angle direction on the water way ,so the fluks energy equation as below:
U = U cos (b) sin (b)
= 1/8 ghb nbcb cos(b) sin(b)
2
8
With reference to the secondary data at field by specific bed load of the kind of land and
diameter of the sand on the water way the constant A (bed load) is 0.401. so the equation of
sedimentation rate as below :
Sx Qs 0.401 p g hb x nb cb cosb sin b
1 2
8
with : Sx =(Qs) : Sedimentation rate
: Water mass constant
g : Gravity
hb (x) : Wave high as function ship speed and water level
nb : replection constant
cb : Wave braking
b : Wave angle
4. Model Testing
Model testing study on effect of the pusher barge transportation in shallow water canal of East
Kalimantan overview on erosion and abrasion of the water bank conducted at maneuvering
ocean basin (MOB) UPT. BPPH. BPPT. Surabaya ( Figure N0: 6). For ship model was selected
using the pusher barge model test and also using the maximum water depth is according to the
real water depth on the Mahakam river at East Kalimantan. The specification of pusher barge as
mentioned on table below.
Pusher barge model test was conducted base on observation and research by Prof. Kijima as
reference 7) with requirement of pusher barge model test for full condition draft 4,70 m.
However for speed of pusher barge model testing variation from: 0,4 m/sec, 0,8 m/sec, 1,0
m/sec, 1,2 m/sec, and 1,4 m/sec. And also water depth variation from : 2 D, 1.5 D, 1.3 D, 1.2 D,
1.1 D (D is water draft of pusher barge model).Heading angle of the pusher barge model test ()
variation : - 15, -10,-5, 0, 5, 10 and 15 as mention below table N0. 2. To measure the wave high
generated by the pusher barge model run up coming to the wave probe instruments and then
transferred it to computer via cable. The location of waves probe installed 1.5 m from pusher
barge model and 3,6 m between with both pair of water probe (Figure N0.3 conFigureuration
between position pusher barge model test and wave probe A,B at shallow water tank).
Depth fraude number where fnh Uo gh with various depth and speed can be find the wave
profile of the pusher barge
Figure 7 Wave profile on Water level 0.284 m ( 2d), model speed 0,8 m/s
Figure 8 Wave profile on Water level 0.284 m (2d), model speed 0,6 m/s
Figure .10 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,8 m/s
Figure .11 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,6 m/s
Figure .12 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,4 m/s
Figure .13 Wave profile on Water level 0.170 m (1.3d), model speed 0,8 m/s
Figure .15 Wave profile on Water level 0.170 m (1.3d), model speed 0,4 m/s
Figure .16 Wave profile on Water level 0.150 m (1.1d), model speed 0,8 m/s
Figure .17 Wave profile on Water level 0.150 m (1.1d), model speed 0,6 m/s
60.0
40.0
Wave
20.0
n
0.0
-10 -5 0 5 10 15 20
-20.0
Heading QA
QB
Figure .20 Sedimentation rate cause by various heading angle of ship model
60.0
40.0
Wave
20.0
n
0.0
-10 -5 0 5 10 15 20
-20.0
Heading QA
QB
Figure .21 Sedimentation rate cause by various heading angle and speed of ship model with
water level H/d-2
0.004
Sedimentain rate
0.003
0.002 QA
0.001 QB
0
-10 -0.001 0 10 20
Model speed (m /s)
Figure .22 Sedimentation rate cause by various heading angle and speed of ship model with
water level H/d=1.5
0.008
0.006
0.004
0.002
0.000
-10 -0.002 0 10 20
For correlation between sedimentation rate and variation water depth at shallow water tank (H /
0
d) with heading angle model ship (0 ) as below Figure.23
2
Sedimentation rate
1.5
( M3/day)
QA
1
QB
0.5
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Water Level ( H/d)
Figure 23 Sedimentation rate cause by speed of ship model at various water level
The correlation between sedimentation rate and main dimension of ship (Length of ship, breadth,
and displacement) can be analyze by calculation with related to fraude number as below:
fn v
(6)
gl
With V : Model speed
g : Gravitation
L : Length of model ship
350000
300000
Sedimentation rate
250000
Series1
(m3/day)
200000
Series2
150000
Series3
100000
Series4
50000
0
-50000 0 1 2 3 4 5
Figure 24 Sedimentation rate cause by fraude number and various speed of ship model
The result of correlation between sedimentation rate per day and displacement of ship model
can be show as mentioned below. Sedimentation rate and displacement is function of the speed
ship model length as mention below:
v
Th (7)
displ 1 / 3
Further the result of test at Hydrodynamic Laboratory with various speed can be determine
sedimentation rate. So if both the equation (5) and (7) the above mentioned can be obtain the
equation correlation below:
v3 (8)
Displ
Qs
Which, Displ. : Ship Displacement
V : Ship speed
Qs : Sedimentation rate
0.0000009
0.0000008
Sedimentation rate
0.0000007
0.0000006
0.0000005
QA
0.0000004
0.0000003 QB
0.0000002
0.0000001
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07
Displasment
Sedimentation rate on probe A appear bigger then sedimentation rate on probe B (Drw . 3).
Because of on the probe A superposition waves are coming due to the ship model moving from
probe B to probe A.
At water level variation (H/d), (Drw.23) concluded that condition of H/d small, the sedimentation
rate also small. This case cause of the fluk energy on the H/d ( crest waves ) smaller, On the
(Drws. 24 and 25) appear that sedimentation rate Probe B smaller then sedimentation rate on
probe A. Because of the effect of waves superposition act on probe B cause of the ship model
coming from direction probe B to probe A.
Reference
Zhao Chen Sun (1993), Numerical Simulation of Solitary Wave Run-up on Slopes, The
rd
Proceedings of the 3 International Offshore and Polar Engineering Conference (ISOPE),
Vol. III, Singapore.
Eichi Baba (2000), Shore Line Erosion by Wake Wash and Hull Form With Low Wake Wash,
th
Proceeding of DGHE-JSPS, The 4 JSPS Seminar and Panel Discussion in Marine
Transportation Engineering, Jakarta.
Coastal Engineering Research Center, US Army Corp. of Engineering, USA (1984), Shore
Protection Manual.
Larry Elliot (1999), The Prediction, Measurement and Analysis of Wake Wash from Marine
Vessel, MARIN Magazine, Nederland.
Bambang Triatmodjo (1999), Coastal Engineering, Beta Offset, Yogyakarta , (in Indonesian).
Van der Velden J.H (1989), Coastal Engineering Vol. II.
Katsuro Kijima (1990), On the Maneuvering Performaces of a Ship with the parameter of
Loading Condition, Autumn Meeting of The SNAJ, Japan.
Chun Beom Hong (June 2003), Numerical investigation of high-speed ship wash in restricted
water way.
Proceeding of seminar on river transportation organized by centre for assessment and
application of industrial technology and transportation system agency for assessment and
application of technology and Japan Society for The Promotion Of Science Directorate
General Of Higher education Sponsored by Japan Marine Science Inc Jakarta, August 23
rd, 2004.
Abstract
Research on surficial sediment in Banten Bay waters aimed to determine distribution, composition, and environment of
sediment deposition in relation to environmental capacity to support marine aquacultures development. Visual
estimation and description in the field was the first stage to obtain sediment characteristics and followed by grain size
analysis in the laboratory. Some 25 sediment samples have been collected using a 1-litre sediment grab sampler across
the selected transects. Based on grain size analysis, surficial sediment composition can be grouped into 2 (two) textural
units: silt (Z) and sand (S), representing approximately 90% and 10% of the study area respectively. Whilst grain
statistical parameters analysis resulted in mean size in range of 2.155 5.989 (fine sand silt), sorting ranged between
0.690 and 1.287 (moderately poorly sorted), and skewness ranged from a low of -0.077 to 0.200 (positive near
symmetrical), indicating that fine grain sediment were dominant, deposition processes were traction and suspension,
and environment of sediment deposition was dominated by fluvial/rivers processes.
1. Pendahuluan
Perairan Teluk Banten terletak di ujung Barat Laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
2
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km dan kedalaman rata-rata 7 m. Secara
geografis, Teluk Banten berada pada koordinat 5 55 6 1 Lintang Selatan (LS) dan 106 5
106 15 Bujur Timur (BT), sedangkan secara administratif termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Gambar 1).
Beberapa peneliti terdahulu fokus pada penelitian karakteristik wilayah perairan dan genesa
Delta Ciujung. Helfinalis (2002) telah mengidentifikasi sebaran sedimen serta sedimen
tersuspensi pada wilayah yang lebih luas di Teluk Banten. Pengaruh sungai yang besar berasal
dari Sungai Ciujung yang membawa material sedimen ke laut kemudian diendapkan di dasar
laut dengan dipengaruhi oleh arah dan kecepatan arus laut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data sebaran sedimen permukaan dasar laut yang
terdiri dari distribusi, komposisi, serta lingkungan pengendapan sedimen hubungannya dengan
daya dukung lingkungan dalam upaya pengembangan kawasan budidaya perikanan. Selain itu,
data sebaran sedimen juga dapat dijadikan data dasar bagi identifikasi zonasi pantai baik
2. Metode
2.1 Pengambilan sampel
Untuk menginventarisasi data distribusi sedimen pantai daerah penelitian, sebanyak 25 contoh
sedimen dasar laut telah diambil dengan menggunakan alat pemercontoh comot (grab sampler)
pada transek yang telah ditentukan di perairan Teluk Banten (Gambar 2). Preparasi contoh
sedimen berupa analisis makroskopis dengan bantuan lensa tangan (hand lens) pembesaran
hingga 20x merupakan tahapan awal sebelum dilakukan analisis besar butir di laboratorium
menggunakan metode ayakan (sieving).
Metode pipet memiliki tujuan yang sama dengan metode ayakan, namun metode ini
digunakan untuk sedimen berukuran butir sangat halus seperti lanau dan lempung. Metode
ini didasarkan pada Hukum Stocks, yaitu mengukur kecepatan pengendapan setiap partikel
sedimen pada setiap waktu yang telah ditentukan. Kecepatan pengendapan partikel
sedimen berbanding lurus dengan ukuran partikel sedimen tersebut.
16 50 84
1. Harga ukuran butir rata-rata (Mean) : (1)
3
84 16 95 5
2. Pemilahan (Sorting) : (2)
4 6, 6
(16 84) 2 50 ( 5 95) 2 50
3. Kepencongan (Skewness): (3)
2( 84 16) 2 ( 95 5)
95 5
4. Keruncingan (Kurtosis) : (4)
2, 44 ( 75 25)
Tabel 1. Hasil analisis besar butir sedimen permukaan dasar laut perairan Teluk Banten
Nomor Metode Logaritmik Folk & Ward Persentase (%) Grup Tekstur
No
Contoh Mean Sorting Skewness Gravel Sand Silt Clay (Folk, 1980)
1 Sed-1 5,899 1,287 0,001 0,0% 4,8% 15,9% - Lanau Z
2 Sed-2 5,954 1,244 0,009 0,0% 2,2% 16,3% - Lanau Z
3 Sed-3 5,973 1,230 0,011 0,0% 1,2% 16,5% - Lanau Z
4 Sed-4 5,988 1,219 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
5 Sed-5 5,934 1,260 0,006 0,0% 3,1% 16,1% - Lanau Z
6 Sed-6 5,987 1,219 0,013 0,0% 0,6% 16,6% - Lanau Z
7 Sed-7 5,893 1,291 0,001 0,0% 5,0% 16,0% - Lanau Z
8 Sed-8 5,985 1,221 0,013 0,0% 0,7% 16,4% - Lanau Z
9 Sed-9 5,916 1,273 0,004 0,0% 3,9% 16,1% - Lanau Z
10 Sed-10 5,968 1,234 0,010 0,0% 1,5% 16,0% - Lanau Z
11 Sed-11 5,932 1,261 0,006 0,0% 3,2% 15,6% - Lanau Z
12 Sed-12 5,654 1,262 0,004 0,0% 3,8% 16,0% - Lanau Z
13 Sed-13 5,860 1,417 -0,077 0,0% 6,4% 15,8% - Lanau Z
14 Sed-14 2,252 1,079 0,346 0,0% 90,5% 16,6% - Pasir S
15 Sed-15 5,683 1,351 0,001 0,0% 4,9% 16,4% - Lanau Z
16 Sed-16 5,984 1,221 0,013 0,0% 0,7% 16,6% - Lanau Z
17 Sed-17 5,960 1,240 0,009 0,0% 1,9% 16,4% - Lanau Z
18 Sed-18 5,988 1,219 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
19 Sed-19 5,976 1,227 0,012 0,0% 1,1% 16,5% - Lanau Z
20 Sed-20 5,934 1,259 0,006 0,0% 3,1% 16,2% - Lanau Z
21 Sed-21 5,967 1,235 0,010 0,0% 1,6% 16,4% - Lanau Z
22 Sed-22 5,980 1,225 0,012 0,0% 0,9% 16,5% - Lanau Z
23 Sed-23 5,950 1,247 0,008 0,0% 2,3% 16,3% - Lanau Z
24 Sed-24 5,989 1,218 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
25 Sed-25 2,159 0,690 0,200 0,0% 95,6% 0,7% - Pasir S
Perairan Teluk Banten dialiri oleh sungai-sungai aktif diantaranya adalah Sungai Domas, Soge,
Cikemayungan, Banten, Pelabuhan, Wadas, Baros, Ciujung, Anyer, Cilid, Kesuban, Baru,
Serdang, Suban, Kedungingus dan Candi. Sungai yang paling besar adalah Sungai Ciujung
dan Anyer (Peta LPI Lembar 1110-09 Teluk Banten, 1999). Sungai-sungai tersebut membawa
material sedimen ke perairan Teluk Banten sebagai dampak dari proses erosi dan perubahan
tata guna lahan di daerah hulu dan hilir sehingga mempengaruhi kualitas perairan Teluk Banten
dan morfologi pesisirnya.
Berdasarkan hasil analisis parameter statistik diperoleh kisaran nilai rata-rata antara 2.155
5.989 (pasir halus lanau), nilai pilahan antara 0.690 dan 1.287 (terpilah sedang buruk), dan
nilai kepencongan antara -0.077 0.200 (positif hampir simetris), mengindikasikan bahwa
sebagian besar populasi sedimen berbutir halus, proses pengendapan traksi dan suspensi, dan
lingkungan pengendapan sedimen didominasi oleh proses fluvial/sungai. Dari data tersebut
dapat dikatakan bahwa sebagian besar material sedimen merupakan sedimen darat yang
diangkut melalui sungai-sungai aktif kemudian diendapkan di laut. Daerah yang dekat dengan
muara sungai cenderung memiliki butiran sedimen lebih kasar dibandingkan dengan sedimen
yang diendapkan jauh dari muara sungai terutama sungai-sungai yang memiliki debit yang
besar. Arus sejajar pantai yang mengangkut material sedimen menyusuri pantai, semakin jauh
dari muara sungai, butiran semakin menghalus. Pola arus di wilayah Teluk Banten dipengaruhi
oleh iklim Monsoon. Hal tersebut secara langsung telah mempengaruhi pola dan arah sebaran
sedimen di lokasi penelitian.
Berdasarkan data sebaran sedimen dasar laut yang sebagian besar terdiri dari lanau (lumpur),
maka perairan ini mendapatkan bobot terendah untuk dikembangkan usaha budidaya dibanding
dengan sedimen dasar lainnya seperti pasir atau terumbu karang. Sedimen dasar perairan yang
baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan wilayah perairan yang sesuai dengan habitat
masing-masing organisme. Misalnya sedimen dasar yang cocok untuk budidaya tiram adalah
gugusan terumbu karang atau karang berpasir, sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut
akan cocok pada sedimen dasar berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et
al., 2003).
Akan tetapi, apabila daerah perairan Teluk Banten akan dikembangkan usaha budidaya ikan
laut, maka jenis komoditas yang dibudidayakan harus memiliki toleransi tinggi terhadap
perubahan kondisi perairan seperti ikan kerapu lumpur, kerapu macan, kakap, dan kerang-
kerangan. Peubah fisik air seperti turbiditas, suhu, dan salinitas sangat berfluktuasi sesuai
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis besar butir, distribusi sedimen permukaan di perairan Teluk Banten
didominasi oleh lanau dengan luas sebaran sekitar 90%. Sementara hasil analisis parameter
statistik butiran yang terdiri dari nilai rata-rata, nilai pilahan, dan nilai kepencongan,
mengindikasikan bahwa sebagian besar populasi sedimen berbutir halus, proses pengendapan
traksi dan suspensi, serta lingkungan pengendapan sedimen didominasi oleh proses
fluvial/sungai. Berdasarkan data sebaran sedimen tersebut, maka prospek pengembangan
budidaya perikanan sebaiknya dipilih jenis ikan yang memiliki toleransi tinggi terhadap
perubahan kondisi perairan seperti ikan kerapu lumpur, kerapu macan, kakap, dan kerang-
kerangan.
References
Bakosurtanal. (1996): Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang NTT. Pusat
Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.
Bakosurtanal. (1999): Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Lembar 1110-09, Teluk Banten.
Cibinong.
Dahuri, R. (2003): Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.
PT Gramedia. Jakarta
Folk, R.L. (1980): Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing, Austin, TX, 184p
Folk, R. L. and Ward, Wiley. (1957): Brazos River bar: a study in the significance of grain size
parameter. Jour. Sedimentary Petrology, V. 27, p. 3-26.
Friedman, G. M. (1967): Dynamic Processes and Statistical Parameters Compared for Size
Frequency Distribution of Beach and River Sands, Journal of Sedimentary Petrology,
Vol 37, p. 327 354.
Helfinalis. (2002): Sebaran Sedimen dan Suspensi di Perairan Teluk Banten, Jurnal
Oseanografi, Biologi dan Lingkungan, P2O LIPI, p.133-145.
Kementrian Lingkungan Hidup. ( 2004): Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Nybakken, J.W. (1992): Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia, Jakarta .
Odum, E. P. (1979): Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Original
English Edition. Fundamental of Ecology Third Edition, Yogyakarta.
Radiarta, I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. (2003): Aplikasi Sistem Informasi
Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, NTB.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta. Vol
9, No.1, Hal 67 71.
Abstract
This paper explains a case study carried out on the structure of Maleo MOPU (Mobile Offshore Production Unit)
operated by SANTOS (Madura) Pty. Ltd. at Maleo Block, Madura Strait, at the 57m water depth. Maleo MOPU is
basically a jack-up type offshore structure consisting of a bouyant hull, legs, and a jacking system, hence allow the
structure to be transferred from one operational site to another. The particular case study is established by referring to
the crack indicated to have taken place in the joint between jack-up leg and the mudmat. Fracture mechanics method is
adopted to conduct the corresponding fatigue analysis. Variation in the crack depth is evaluated by an appropriate
criteria from DNV OS C101 to determine the remaining life. By imposing cyclical loads the failure and hence the
remaining life is defined when the through-the thickness-cracking is attained. A finite element tool is used to model the
global and local structural behaviors, especially to yield stresses in the vicinity of the crack tip. The level of stresses are
further related to the peculiar stress intensity factors to be included in the Paris-Erdogan equation. For the strcutural
case studied, and by applying the method aforementioned, the remaining life of the joint between jack-up leg and the
mudmat is found to be some 5.2years.
1. Pendahuluan
Jack-Up platform adalah suatu struktur kompleks yang digunakan sebagai bangunan lepas
pantai dalam berbagai mode operasi. Jack-Up telah menjadi salah satu bangunan eksplorasi
industri minyak lepas pantai sejak tahun 1950-an. Jack-Up digunakan dalam berbagai fungsi
diantaranya yaitu sebagai eksplorasi pengeboran, produksi, akomodasi, dan sebagai platform
perawatan (maintenance platform). Seperti halnya dengan setiap teknologi inovatif, Jack-Up
telah digunakan dengan keterbatasan operasional dan desainnya. Keterbatasan ini meliputi
batasan beban dek ketika mengapung, kemampuan membawa beban ketika proses lifting,
batasan lingkungan, batasan pengeboran, dan batasan tanah khusunya pondasi. Alasan untuk
mendorong batas-batas ini dikarenakan keinginan untuk menjelajahi perairan yang lebih dalam,
reservoir yang lebih dalam di lingkungan yang lebih keras, dan di daerah dimana tanah dan
pondasi mungkin sulit stabil atau bahkan tidak stabil [1].
Salah satu perusahaan yang menggunakan jack-up adalah SANTOS (Madura) Pty.Ltd. Jack-Up
milik perusahaan ini bernama Maleo MOPU (Mobile Offshore Production Unit) yang terletak di
Maleo field, 40 km dari tenggara Pulau Madura, 25 km dari selatan Pulau Puteran. Struktur ini
beroperasi di Selat Madura dengan kedalaman kira-kira 57 m dari Mean Sea Level (MSL).
Gambar dari Maleo MOPU ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.
Menurut [3], pada era 1968-1989 diperkirakan terdapat 11 jack-up yang dikonversi menjadi unit
produksi. Merubah fungsi dari jack-up tentu akan membawa dampak yang cukup bearti terha-
dap umur dari struktur tersebut. Suatu struktur yang telah retak, jika dikenai beban yang beru-
lang atau dikenai beban kombinasi lingkungan maka keretakan tersebut akan terus membesar
seiring dengan waktu. Semakin panjang retakan, semakin besar konsentrasi tegangan yang
terjadi. Hal ini bearti bahwa laju perambatan retak akan meningkat seiring dengan waktu [4].
2. Metode Penelitian
2.1 Studi Literatur
Dalam tugas akhir ini, literatur-literatur yang dipelajari adalah penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya dan makalah-makalah ilmiah yang berkaitan langsung dengan penelitian ini, serta
buku-buku sebagai tambahan referensi dalam penyelesaian masalah.
iii. Gelombang
Data gelombang yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data gelombang pada
Laporan Metocean Maleo Field dengan periode ulang 100-tahunan.
3. Data Material
Material yang dipakai adalah material baja yang memiliki properti seperti dalam Tabel 1.
4. Data Retakan
Data retakan yang digunakan dalam makalah ini yaitu data retakan yang didapatkan dari
laporan inspeksi tahunan tahun 2010,seperti dimuat dalam Tabel 2.
El (+)
El (+) 25.618
29.701 El (+) 19.560
El (+)
14.531
El (-) 53.415
El (-)
56.501
Gambar 4. Model global struktur jack-up Maleo MOPU
Region I: perambatan retak pada region ini menunjukkan karakteristik fatigue treshold yang
merupakan fluktuasi kenaikan nilai faktor intensitas tegangan dengan parameter Kth. Nilai K
harus lebih besar dari nilai Kth untuk memungkinkan terjadinya perambatan retak. Laju peram-
batan retak da/dN antara region I dan region II dapat dihitung dengan mempertimbangkan
parameter perambatan retak C dan m, sebagai berikut:
da
dN
C K m K h m (1)
Region II: pada region ini perambatan retak mulai terjadi. Laju perambatan retak dalam region
ini dapat dihitung menggunakan hukum Paris-Erdogan:
da
dN
C K m (2)
Nilai da/dN antara region II dan region III, bila efek rasio tegangan R (= min/max)
diperhitungkan, adalah:
CK m (3)
da
dN (1 R) K c K
Region III: perambatan retak yang terjadi lebih cepat daripada region II, yang merupakan awal
terjadinya kepecahan.
Laju prambatan retak da/dN dapat dituliskan dalam bentuk umum untuk region I, II dan region III
dengan memperhitungkan efek R, yakni:
Mode deformasi retak, seperti diilustrasikan dalam Gambar 8, dapat digolongkan dalam tiga
mode deformasi:
Mode I (opening mode) adalah retak yang diakibatkan oleh adanya tegangan tarik yang
tegak lurus terhadap arah/bidang penjaran retak. Jadi displasemen permukaan tegak
lurus bidang retak.
Mode II (sliding mode) adalah retak yang diakibatkan oleh tegangan geser yang searah
dengan penjalaran retak. Displasement permukaan retak adalah dalam bidang retak dan
tegak lurus leading edge dari retak.
Mode III (tearing mode) adalah retak yang diakibatkan karena tegangan geser yang
bekerja pada arah melintang dan membentuk sudut dengan arah penjalaran retak.
Menurut Naess [9], tegangan dan displasemen pada setiap titik dekat dengan retakan, seperti
dapat dilihat dalam Gambar 9, dapat diturunkan berdasar teori elastisitas dan fungsi kompleks
tegangan.
z x y (9)
xz yz 0 (10)
af
N da / da / dN (12)
a0
N da / CK m (13)
a0
Pada persamaan-persamaan di atas variabel a0 adalah merupakan ukuran retak awal, af adalah
retak saat terjadinya kegagalan atau failure, yang terjadi setelah pembebanan. Nilai K didapat
dari selisih nilai faktor intensitas tegangan maksimum dan minimum, yaitu Kmaks - Kmin.
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Analisa Pemodelan Global
Beban-beban yang diinputkan dalam pemodelan global ini yaitu beban-beban yang bekerja
pada struktur jack-up baik itu beban mati, beban hidup, maupun beban lingkungan. Analisa
pada setiap element menggunakan standard [10] dan [11]. Dalam pembebanan model global ini
digunakan 39 beban kombinasi disesuaikan dengan tinggi gelombang yang terjadi dengan
interval beban gelombang 0.25 m.
Dari masing-masing beban kombinasi akan didapatkan gaya dan momen di setiap kaki jack-up.
Berdasarkan hasil laporan inspeksi diketahui bahwa keretakan terbesar terjadi pada leg 1, oleh
karena itu untuk analisa selanjutnya yang ditinjau hanyalah leg 1. Hasil running pemodelan
global yang akan digunakan sebagai data input dalam analisa selanjutnya (analisa lokal) yaitu
member forces. Member forces minimum sebesar 13584.06kN dan maksimum sebesar
13430.31kN.
MX
Z X
50308
.002739
Gambar 10. 14694
Hasil pemodelan lokal
1
ELEMENTS
29388
tampak isometris
50297
44081 50296
50295 JUL 23 2012
7347 22041 50294
36734
50293
15:09:10 48979
50292
MODEL JOINT LEG MUDMAT 6887
6886 6888
6894
50422 6903
6915
6880
6879 6881
6877 6875
6876 6914
6902
6893
6884 6882
50424
6883 10887
10896
10905
Gambar 11.Hasil meshing sub-lokal dengan pembesaran pada daerah ujung retakan
Dengan memasukkan hasil output pemodelan global yang didapatkan dari pemodelan elemen
hingga secara global sebagai input pemodelan retak ini, didapatkan besarnya tegangan yang
terjadi di setiap node di sekitar ujung retakan.
Semakin mendekati ujung retakan maka tegangan yang terjadi semakin besar. Secara visua-
lisasi tampak seperti dalam Gambar 12.
Gambar 13. Grafik hubungan antara nilai K dengan laju perambatan retak
Berdasarkan grafik dalam Gambar 14 dapat diketahui bahwa sesuai dengan hukum Paris-
Erdogan laju perambatan retak berubah secara linier dalam region II.
3.8 Penentuan Kedalaman Retak Kritis
Kedalaman retak kritis (acr) didapatkan dengan menggunakan pers. (11), di mana KIC
mempunyai harga 85ksiin atau sama dengan 3677.23MPam, dan max adalah
39924.00MPa. Sehingga nilai dari acr sebesar 0.16321m. Berdasarkan nilai acr dapat
diketahui bahwa secara teoritis material tidak akan runtuh walaupun retak telah menembus
ketebalan dindingnya.
Det Norske Veritas [12] menyatakan bahwa definisi kegagalan kelelahan terjadi ketika retak
tumbuh hingga mencapai ketebalan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapatlah diketahui
bahwa waktu yang diperlukan retak menjalar hingga menembus ketebalan kaki jack-up tersebut
yakni 5.2 tahun. Jika terhitung mulai dari ditemukannya keretakan yakni inspeksi pada bulan
Agustus 2010, maka secara teoritis pada bulan Oktober 2015 retak sudah menembus
ketebalan kaki jack-up.
4. Kesimpulan
Dari kajian dan analisa yang telah dilakukan maka didapatkan sejumlah kesimpulan sebagai
berikut:
Nilai faktor intensitas tegangan minimum (KI min) dan maksimum (KI max) dari kaki jack-
up dengan mudmat diperoleh sebesar 7177.72MPam dan 10220.83MPam.
Arah perambatan retak yang terjadi melampui ketebalan dari leg karena nilai kedalaman
retak kritis (acr) yang melebihi nilai ketebalan dari leg tersebut, atau disebut juga through
thickness crack.
Sisa umur struktur ini dengan pendekatan Linear Elastic Fracture Mechanics didapatkan
sebesar 5.2 tahun, dengan asumsi retak menembus hingga ketebalan kaki jack-up. Jika
terhitung mulai dari ditemukannya keretakan yakni inspeksi pada bulan Agustus 2010,
maka secara teoritis pada bulan Oktober 2015 retak sudah menembus ketebalan kaki
jack-up.
References
Bennet, Jack Up Units, A Technical Primer for The Ofshore Industry Professional, Keppel
FELS (2005)
Abstract
TLP or Tension Leg Platform is a type of semi-submerged structure dynamically stabilized by fastening to the seabed
through a tendon system. A TLP is subjected to cyclical loads which generate fatigue failure on its structural components.
This paper presents an investigation performed to explore fatigue failure on the structural components which support the
top side module of a TLP. The TLP is configured by referring to the Seastar Matterhorn and sized on the basis of the
West Seno TLP-A, and is notionally operated in the North Sea region. The main support system comprises of four
cylindrical steel columns having OD of 2.0m with 30mm plate thickness, strengthened by cylindrical bracings having OD
of 1.0m with 16mm plate thickness. The basic loads on the support system are due to intertial forces and moments
brought about the global TLP motions, which are then extended to derive the long-term cyclical loads by applying the
deterministic method in accordance with the joint probability distribution of Hs and Tp. The TLP motion is characterized
by the maximum RAOs in the surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw, respectively, in the order of 0.884m/m, 0.884m/m,
0.390m/m, 0.320deg/m, 0.340deg/m, and 0.160deg/m. By accounting for these and further combined with the on site
25-year operational wave data, the fatigue life of the supporting system is found to be about 78years. This final result
indicates the design satisfy the crieria which requires the fatigue life of the structure should be higher than three times of
the operational life.
Keywords: fatigue, support structure, top side module, seastar TLP, North Sea
1. Pendahuluan
Kebutuhan akan minyak dan gas yang semakin meningkat mendorong inovasi harus intensif
dilakukan untuk mendukung teknologi eksplorasi dan eksploitasi. Pengeboran laut dangkal
yang sudah semakin terbatas telah mendorong bergesernya pengeboran di laut dalam. Inovasi
yang dilakukan adalah pengembangan struktur lepas pantai yang digunakan. Berawal dari
struktur terpancang, kini berkembang secara luas ke pengoperasian struktur terapung. Salah
satu bangunan lepas pantai yang digunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
hidrokarbon di perairan laut dalam adalah Tension Leg Platform (TLP). TLP adalah salah satu
anjungan lepas pantai dengan tipe semi apung lentur atau semi-submerged compliant structure,
yang terdiri dari struktur lambung (hull), kolom utama (column top frame), ponton (pontoon),
geladak modul atas (topside module deck), sistem tendon (tendon system) dan sistem pondasi
template (template foundation system) [1]. Dalam konfigurasi yang lebih lengkap juga meliputi
sistem riser dan sistem sumur minyak (well system) [2]. Pengikatan TLP dengan tendon secara
praktis tidak boleh kendor tetapi juga tidak boleh terlalu kencang. TLP mengikuti pasang surut
air laut dan bisa bergerak bebas di permukaan air pada mode horisontal, yakni surge, sway
atau pun yaw, namun dibatasi dalam gerak vertikalnya, yakni heave, roll, dan pitch. TLP yang
selalu terkena gaya-gaya horizontal dan vertikal akibat beban lingkungan harus dirancang
dengan kekuatan struktur yang memadai, terutama guna penyebaran tegangan [3].
Permasalahan yang selalu terjadi pada bangunan lepas pantai adalah kerusakan yang dapat
menyebabkan struktur tersebut gagal memenuhi fungsinya. Kerusakan bangunan laut terutama
terjadi akibat kelelahan (fatigue), baik pada komponen struktur utama maupun struktur sekun-
der dan tersier [4]. Bangunan lepas pantai cenderung mengalami kelelahan karena beban ling-
kungan yang bekerja didomonasi oleh gelombang yang bersifat siklis, sehingga kelelahan ada-
lah penyebab utama kerusakan pada bangunan lepas pantai, dimana struktur merespon secara
dinamis gelombang acak [5]. Di samping itu faktor-faktor operasi lain pada tingkat tertentu juga
dapat menambah beban siklis, sehingga keadaan struktur bertambah kritis [4]. Oleh karenanya
analisis kelelahan sangat penting dalam serangkaian pembangunan suatu struktur lepas pantai.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai analisis pada struktur penyangan top side module
pada Seastar TLP silindris guna mengetahui umur kelelahan pada struktur tersebut. Dalam
analisis ini beban yang digunakan adalah beban gelombang dan berat struktur top side. Model
yang digunakan mempunyai konfigurasi mengacu pada Seastar Matterhorn TLP milik SBM
Atlantia Inc. [6], seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, dengan ukuran disesuaikan terhadap
West Seno TLP-A, melalui similaritas parameter displasemen dan sarat air operasionalnya. TLP
tersebut diasumsikan akan dioperasikan di Laut Utara atau di North Sea.
2. Metode Penelitian
Pengkajian diawali dengan studi literatur dan pengumpulan data struktur maupun lingkungan.
Kemudian dilakukan pemodelan struktur TLP mengacu pada similaritas parameter displasemen
dan sarat air. Selanjutnya dilakukan analisis gerakan untuk memperoleh RAO pada kondisi free
floating dan tertehered untuk mengetahui efektivitas tendon yang dipasang dan juga menge-
tahui percepatan pada masing-masing penyangga. Percepatan digunakan untuk menghitung
gaya dan momen gaya inersia yang bekerja pada masing-masing struktur penyangga top side.
Hasil perhitungan gaya dan momen nantinya dijadikan input untuk analisa tegangan dengan
menggunakan metode elemen hingga. Data tegangan yang didapatkan akan digunakan untuk
melakukan perhitungan umur kelelahan pada struktur, dengan menerapkan metode determinis-
tik, mengacu pada peluang kejadian kombinasi dari tinggi, Hs, dan periode, Tp, gelombang.
Dalam Table 1, Tabel 2, dan Tabel 3 dimuat data-data awal yang digunakan untuk analisis.
(1)
di mana xP () adalah amplitudo respons struktur dan () adalah amplitudo gelombang. RAO
adalah besaran yang baru mengindikasikan karakteristik gerakan di gelombang reguler. Agar
dapatnya diperoleh indikasi gerakan di gelombang riil yang bersifat acak maka dapat dilakukan
dengan analisis spektra [4,8]. Untuk melakukan analisis ini diperlukan informasi spektra gelom-
bang, yang mana untuk daerah North Sea akan tepat didekati dengan formulasi JONSWAP,
dengan bentuk:
(2)
di mana:
= parameter puncak spektra (peakedness parameter), mempunyai harga bervariasi
antara 1.0 sd 7.0. Untuk North Sea kurang lebih berharga 3.3,
= parameter bentuk (shape parameter), mempunyai harga 0.07 bilamana 0 dan
0.09 bila 0 ,
= 0.0076 (X0) - 0,22. Jika harga X0 tidak diketahui maka dapat diambil harga 0.0081.
Bila akurasi perhitungan ingin didapat, maka harga parameter puncak spektra dapat dihitung
dengan:
TP TP
4
EXP 3,4843 1 0,1975 0,036 0,0056
H S H S
2
(3)
Dalam hal ini Tp adalah periode puncak spektra dan Hs adalah tinggi gelombang signifikan.
Mengacu pada RAO dan spektrum gelombang, maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
spektra respons SR( untuk setiap kenaikan frekuensi gelombang , dengan persamaan:
S R RAO S
2
(4)
2.2 Prediksi Respons Struktur
Dengan mengacu pada amplitudo respons gerakan akan dapat dihitung percepatan gerakan
pada masing-masing bagian struktur penyangga top side, dengan penurunan terhadap waktu.
Bila perecepatan gerak telah didapat maka gaya dan momen gaya inersia yang bekerja dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
(5)
(6)
dengan mts dan Its masing-masing adalah massa dan momen inersia massa struktur yang
ditinjau, dalam hal ini adalah top side, sedangkan dan adalah masing-masing percepatan
translasi dan rotasi pada posisi yang ditinjau. Momen inersia massa dapat dihitung dengan inte-
grasi seluruh perkalian antara elemen massa terhadap harga kuadrat jari-jari girasi yang berse-
suaian, terhadap posisi titik tinjau.
Pada tahap berikutnya dilakukan analisis tegangan pada struktur yang ditinjau, berdasar pemo-
(7)
di mana:
0 = tegangan utama yang bekerja pada sumbu,
x = tegangan arah sumbu x,
y = tegangan arah sumbu y,
z = tegangan arah sumbu z,
xy = tegangan arah sumbu xy,
xz = tegangan arah sumbu xz,
yz = tegangan arah sumbu yz.
Penggabungan tegangan-tegangan utama pada suatu elemen merupakan suatu cara untuk
mengetahui nilai tegangan von Mises yang terjadi pada suatu node. Salah satu cara
mendapatkan tegangan gabungan adalah menggunakan formula berikut [9]:
(8)
di mana e adalah tegangan von Mises, serta 1, 2 dan 3 masing-masing adalah tegangan
utama 1, 2 dan 3.
(9)
di mana:
D = kerusakan kumulatif, yang secara teoretis akan terjadi bila mencapai harga 1.0,
ni = jumlah siklus rentang tegangan dengan harga Si yang sebenarnya terjadi akibat
eksitasi gelombang,
Ni = jumlah siklus rentang tegangan dengan harga Si yang akan mengakibatkan kelelahan,
pi = peluang kejadian dari tegangan Si, yang pada dasarnya adalah sama dengan peluang
kejadian gelombang dengan harga tinggi Hsi dan periode Ti yang mengakibatkan
timbulnya tegangan Si,
Ti = periode gelombang, yang dapat direpresentasi oleh periode puncak Tp,
T = umur kelelahan, yang secara esensi dapat diperoleh dengan membalik persamaan (9)
dan memberikan harga D = 1.0, sebagai berikut:
(10)
Jumlah siklus yang mengakibatkan kelelahan Ni pada harga tegangan tertentu, Si, dapat dipero-
leh dengan membaca kurva S-N, seperti pada Gambar 2, untuk jenis sambungan yang sesuai.
Harga-harga parameter kurva S-N untuk semua jenis sambungan dalam Gambar 2 bisa didapat
dari Table 4.
Sebagaimana lazimnya, pada perancangan struktur harus dipertimbangkan faktor keselamatan.
Dalam hal kelelahan struktur anjungan lepas pantai, maka faktor keselamatan harus memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan oleh codes atau standar tertentu. Dalam studi ini telah dipakai acu-
an kriteria dari DNV, seperti ditunjukkan dalam Tabel 5. Pada kolom sebelah kiri tabel ini ditun-
jukkan nilai faktor perancangan kelelahan, dan pada kolom sebelah kanan adalah klasifikasi
struktur yang ditinjau. Mengingat struktur yang ditinjau pada studi kasus dalam makalah ini ada-
lah merupakan struktur eksternal dan terhadapnya dapat dilakukan inspeksi periodik dan perba-
ikan dalam kondisi kering dan bersih maka harus diambil faktor perancangan sebesar 2.0.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 3. Perbandingan RAO free floating dan tethered ; (a) heave free floating; (b) heave
tethered; (c) roll free floating; (d) roll tethered; (e) pitch free floating; (f) pitch tethered.
Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 6, efektifitas pengikatan tendon dalam mengurangi ge-
rakan dapat disampaikan sebagai berikut, dengan mengacu pada harga terbesar untuk tiap-tiap
mode gerakan dalam semua arah gelombang. Harga penurunan masing-masing untuk surge,
sway, heave, roll, pitch dan yaw adalah 1.14, 1.07, 3.0, 95.07, 198.26 dan 4.33. Harga-harga ini
Tabel 7. Amplitudo percepatan gerak maksimum pada penyangga top side Seastar TLP
Maximum Single Amplitude Acceleration
Hs T Heading Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw
(m) (sec) (deg) (m/s) (rad/s)
1.5 3 45 0.040 0.055 0.062 0.022 0.047 0.038
1.5 3 90 0.011 0.078 0.047 0.051 0.021 0.045
1.5 3 135 0.059 0.058 0.057 0.024 0.045 0.039
3.5 5 45 0.537 0.590 0.177 0.114 0.110 0.467
3.5 5 90 0.133 0.926 0.133 0.124 0.103 0.658
3.5 5 135 0.772 0.751 0.173 0.114 0.107 0.467
5.5 8 45 2.119 2.182 0.293 0.183 0.180 0.774
5.5 8 90 0.326 3.197 0.260 0.213 0.172 1.085
5.5 8 135 2.405 2.394 0.286 0.187 0.176 0.770
7.5 10 45 3.695 3.785 0.400 0.280 0.245 1.050
7.5 10 90 0.470 5.445 0.370 0.305 0.240 1.485
7.5 10 135 4.015 3.990 0.405 0.260 0.240 1.055
9.5 12 45 5.225 5.333 0.507 0.329 0.342 1.387
9.5 12 90 0.602 7.625 0.469 0.386 0.336 1.938
9.5 12 135 5.561 5.529 0.519 0.348 0.336 1.393
10.5 13 45 5.957 5.978 0.560 0.364 0.385 1.547
10.5 13 90 0.665 8.834 0.525 0.441 0.378 2.177
10.5 13 135 6.300 6.279 0.581 0.385 0.385 1.582
12.5 14 45 7.867 7.992 0.667 0.433 0.483 1.908
12.5 14 90 0.800 11.400 0.633 0.558 0.475 2.683
12.5 14 135 8.267 8.225 0.717 0.467 0.467 1.908
13.5 15 45 8.559 8.685 0.774 0.531 0.612 2.178
13.5 15 90 0.882 12.375 0.711 0.630 0.639 3.060
13.5 15 135 8.955 8.910 0.783 0.531 0.558 2.178
Tabel 8. Gaya inersia dan momen gaya inersia pada penyangga top side Seastar TLP
Gaya Inersia (Fi) Momen Gaya Inersia (Mi )
Hs T Heading Surge Sway Heave Heave Tot Roll Pitch Yaw
(m) (sec) (deg) kN kN.m
1.5 3 45 127.73 175.63 197.98 501.34 116,968.75 249,887.78 202,036.93
1.5 3 90 35.13 249.07 150.08 434.28 271,154.82 111,651.99 239,254.26
1.5 3 135 188.40 185.21 182.02 555.63 127,602.27 239,254.26 207,353.69
3.5 5 45 1,713.71 1,885.08 566.27 4,165.06 607,883.04 583,071.48 2,481,155.25
3.5 5 90 424.70 2,958.01 424.70 3,807.42 657,506.14 545,854.16 3,498,428.90
3.5 5 135 2,466.25 2,399.20 551.37 5,416.82 607,883.04 570,665.71 2,481,155.25
5.5 8 45 6,767.56 6,966.61 936.69 14,670.85 974,739.56 955,244.77 4,113,400.95
5.5 8 90 1,042.06 10,209.88 831.31 12,083.26 1,130,697.89 916,255.19 5,770,458.21
5.5 8 135 7,680.83 7,645.70 913.27 16,239.81 994,234.35 935,749.98 4,093,906.16
7.5 10 45 11,799.06 12,086.45 1,277.30 25,162.81 1,488,693.15 1,302,606.51 5,582,599.31
7.5 10 90 1,500.83 17,387.25 1,181.50 20,069.58 1,621,612.18 1,276,022.70 7,895,390.46
7.5 10 135 12,820.90 12,741.07 1,293.27 26,855.23 1,382,357.93 1,276,022.70 5,609,183.12
9.5 12 45 16,684.73 17,028.54 1,617.91 35,331.18 1,750,986.71 1,818,332.35 7,374,347.85
9.5 12 90 1,921.27 24,349.60 1,496.57 27,767.44 2,054,042.10 1,784,659.53 10,303,883.30
9.5 12 135 17,756.60 17,655.48 1,658.36 37,070.44 1,852,005.17 1,784,659.53 7,408,020.68
10.5 13 45 19,022.19 19,089.25 1,788.22 39,899.66 1,935,301.10 2,046,953.08 8,225,029.65
10.5 13 90 2,123.51 28,209.17 1,676.46 32,009.14 2,344,691.71 2,009,735.75 11,574,589.24
10.5 13 135 20,117.48 20,050.42 1,855.28 42,023.17 2,046,953.08 2,046,953.08 8,411,116.30
12.5 14 45 25,120.23 25,519.39 2,128.83 52,768.46 2,303,929.88 2,569,767.94 10,146,152.72
12.5 14 90 2,554.60 36,403.05 2,022.39 40,980.04 2,968,525.03 2,525,461.59 14,266,642.69
12.5 14 135 26,397.53 26,264.48 2,288.50 54,950.51 2,481,155.25 2,481,155.25 10,146,152.72
13.5 15 45 27,331.03 27,733.38 2,471.58 57,535.98 2,823,200.22 3,253,857.89 11,579,906.00
13.5 15 90 2,816.45 39,516.47 2,270.40 44,603.32 3,349,559.59 3,397,410.44 16,269,289.43
13.5 15 135 28,595.55 28,451.86 2,500.31 59,547.73 2,823,200.22 2,966,752.78 11,579,906.00
Dengan mengacu pada respons gerakan, percepatan gerak pada pososi struktur yang ditinjau
dapat dihitung, dan hasilnya disajikan dalam Tabel 7. Hasil komputasi menunjukkan percepatan
pada keempat struktur penyangga top side menunjukkan nilai yang identik. Oleh karenanya
untuk analisis kelelahan dapat dilakukan pada satu penyangga saja, yang akan mewakili ketiga
penyangga lainnya, dengan mengambil percepatan terbesar yang terjadi, seperti diberikan da-
lam Tabel 7. Setelah percepatan maksimum akibat semua mode gerakan ditentukan, langkah
(a) (b)
125
Tegangan (N/mm 2 )
123
121
119
117
115
1.160E+05 1.162E+05 1.164E+05 1.166E+05
Jumlah Elemen
Gambar 5. Grafik meshing sensitivity
References
ABS, 2003, Floating Production Installations, American Bureau of Shipping, Houston
API, 1977, Recommended Practice for Planning, Designing, and Constructing Tension Leg
Platforms, API-RP-2T, American Petroleum Institute
st
Soegiono, 2004, Teknologi Produksi dan Perawatan Bangunan Laut, 1 ed., Airlangga
University Press
Djatmiko, E.B., 2003, Analisis Kelelahan Struktur Bangunan Laut, Kursus Singkat Offshore
Structure Design and Modelling, Surabaya
Wirsching, P.H., dan Chen, Y, N., 1988, Consideration for Marine Structure, SNAME, One
World, New York
SBMAtlantia, 2011, Matterhorn Seastar TLP, http://www.sbmatlantia.com/products/floating-
solution/tlps/seastar/matterhorn, (2011)
Lewis, E.V., 1988, Principles of Naval Architecture, Society of Naval Architect and Marine
Engineers, New Jersey, USA
Chakrabarti, S.K., 1987, Hydrodinamics of Offshore Structures, Computational Mechanics
Publications, Southampton
Indiyono, P., 2004, Hidrodinamika Bangunan Lepas Pantai, FTK-ITS, Surabaya
DNV, 2010, Fatigue Design of Offshore Steel Structures, DNV-RP-C203, Norway
DNV, 2006, Fatigue Methodology of Offshore Ship, DNV-RP-C206, Norway
Galgoul, NS, 2007, Fatigue Analysis of Offshore Fixed and Floating Structures, Lecture Notes,
TU-Harburg, Germany, Jan.
Karsan, D.I., Marshall, P.W., Pecknold, D.A., Mohr, W.C. and Bucknelll, J., 2005, The New API
nd
RP 2A, 22 Edition Tubular Joint Design Practice, Proceedings of Offshore Technology
Conference, Paper No. OTC-17236, Houston, Texas, USA
Reeve, D.T., 2011, The Stochastic Analysis of Ocean Waves: Vital for the Design and Safe
Operation of Offshore Structures, Internal Report, University of Lancaster, UK, Apr.
Abstract
Morphology beaches of Banten Bay are sandy beach, coral beach, mangrove and mud beach. Water conditions and the
morphology of the resulting movement of currents in the Banten Bay have different patterns. Current movement
research conducted in July 2010 through the first two approaches to simulation model using equation approach
hydrodynamic 2nd Dimension (2D) developed by DHI Water & Environment (2005), both by in situ measurement in the
field using current meter and floater. The results could be the current in the Banten Bay by insitu measurements ranged
from 0.0524109 to 0.36855037 m/s. Lowest flow direction towards the inner bay or south being the largest current
direction toward the left side of the bay or to the northwest. Based on a simulation model of the flow pattern in tidal and
wind raised by the results that the presence of the wind speed input monthly average of 2.5 m / sec to about -70 west
and north to the Bay of Banten then the model would theoretically increase the speed of water flow around. If the
absence of the wind speed maximum current that occurs in the eastern reaches 0:26 m / s then when the input current
reaches a maximum wind speed of 0.3 m / sec.
1. Pendahuluan
Wilayah pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Keadaan tersebut tercermin dari
adanya segmen-segmen pantai yang erosional, akresi dan stabil; dan dalam 100 tahun terakhir
telah terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke kawasan Tengkurak misalnya telah
menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut. Kawasan Tanjung
Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi erosional; sedangkan
kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif atau akresi
(Setyawan, W.B, 2003). Selain itu aktivitas manusia di daratan pesisir telah menyebabkan
masuknya berbagai bahan pencemar ke perairan pesisir. Perubahan morfologi pantai dan
dinamika di wilayah hulu ditambah dengan aktivitas manusia tersebut akan berpengaruh
terhadap dinamika dan pola arus di wilayah teluk dipengaruhi oleh iklim Monsoon. Data arus
tersebut secara langsung telah mempengaruhi pola dan arah sebaran sedimen di lokasi
penelitian (Gambar 1)
Luas cakupan daerah model adalah perairan Teluk yang memiliki panjang gelombang daerah
sekitar 21 km dan lebar daerah sekitar 17 km, batas daerah Utara, Selatan, Barat dan Timur
dibatasi oleh koordinat sbb:
o
Batas Utara : 5 52
o
Batas Selatan : 6 02
o
Batas Barat : 106 04
o
Batas Timur : 106 16
Grid yang digunakan adalah finite elemen yaitu bentuk grid sigitiga, dimana grid ini didisain
untuk menjangkau area yang sempit dengan detil, jumlah grid pada simulasimode ini adalah
2907 elemen, seperti yang terlihat pada Gambar 2.
2.2.2 Bathymetri
Bathymetri daerah model menggunakan bathymetri resolusi 5 menit (sumber data GEBCO: IOC,
IHO dan BODC, 2003) Persiapan input data batimetri dengan merubah format data ASCII
dalam bentuk koordinat x,y dan z (z adalah kedalaman perairan), jarak antar titik kira-kira 9.25
km (1 menit ekivalen dengan 1.85 km). Selanjutnya melakukan interpolasi data batimetri
sebagai syarat input model (Gambar 2).
Gambar 2. Daerah Model, Gridding dan Batymetri (m) sebagai daerah Model
Gambar 3. Alat Current meter terdiri dari :a. Baling-baling dan Bandul,
b. Alat ukur
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Simulasi Pola Srus Model Hidrodinamika 2D (DHI Water & Environment, 2005) Teluk
Banten
Running simulasi dilakukan selama satu bulan (bulan Juli 2010) dengan input data Pasut dan
data angin sebagai faktor pengerak. Data pasut di format dengan langkah waktu per jam (3600
detik), selama 32 hari langkah waktu yang diperlukan adalah 768 (32 hari x 24 jam), jumlah grid
ditentukan berdasarkan syarat batas yang sudah di tentukan. Sedangkan untuk data angin di
atur sekitar 6 jam an, dengan langkah waktu 21600 (6 x 3600).
Kondisi Pasang Perbani (Neap), saat posisi bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak
lurus.
- Saat pasang tertinggi
Pada kondisi ini elevasi berkiran antara 0.15 m 0.2 m. Arah arus bergerak dari
barat menuju timur, sebagian gerakannya ke arah teluk. Kecepatan arus
menunjukkan kecepatan yang tinggi hampir diseluruh wilayah perairan Teluk Banten.
- Saat menuju surut
Pada saat ini elevasi berkisar antara 0.05 m 0.1 m. Pola arus hampir sama
dengan saat kondisi pasang tertinggi, hanya pada kondisi ini pergerakan arus
dominan menuju timur perairan.
- Saat surut terendah
Elevasi berkisar antara -0.15m (-0.2)m. Pada kondisi ini pola pergerakan arus
mengalami perubahan arah. Arah arus dominan menuju arah barat perairan,
kecepatan arus di wilayah teluk relatif lebih rendah.
- Saat menuju pasang
Pola arus saat kondisi ini mengarah ke barat perairan, namun sebagian arah arus
menuju teluk, saat menuju teluk kecepatan arus mengecil. Elevasi berkisar antara 0
-0.05 m.
Kecepatan arus hasil simulasi berkisar antara 0.05m/det sampai 0.2 m/det.
Pola arus hasil simulasi pada saat Spring dan Neap terlihat pada Gambar 4 dan
Gambar 5.
Gambar 4. Hasil Simulasi Model Pola Arus pada saat Kondisi Pasang Purnama (Spring)
3.1.2 Hasil Simulasi Pola Arus yang dibangkitkan oleh Pasang Surut dan Angin
Besarnya kisaran elevasi dan pola arus pada hasil simulasi ini cenderung menunjukan nilai
yang lebih tinggi karena pada simulasi ini faktor angin yang menjadi penggerak utama di input
ke dalam model. Kecepatan angin rata-rata berkisar antara 2 sampai 2.5 m/det. Arah angin
dominan ke arah timur laut menuju selatan (Gambar 6). Pengaruh angin sangat besar terhadap
nilai kecepatan arus. Dibandingkan dengan hasil simulasi pada yang di bangkitkan oleh pasang
surut saja, maka hasil simulasi ini memberikan nilai elevasi dan kecepatan angin yang
cenderung meningkat. Kecepatan angin maksimum hasil perhitungan simulasi model yang di
bangkitkan oleh pasang surut dan angin ini mencapai 0.39 m/det. Hasil simulasi pola arus yang
digerakan pasang surut dan angin pada saat spring dan neap dapat dilihat pada Gambar 7 dan
Gambar 8.
Gambar 8. Hasil Simulasi Model Pola Arus pada saat Kondisi pasang Perbani (Neap)
Arus total
No Jam Kecepatan arah
Stat. (m/det) (der)
1 9 0.26857654 290
2 10 0.07092199 300
3 14 0.1610306 300
4 15 0.36855037 280
5 16 0.30769231 300
6 17 0.0524109 160
7 18 0.33898305 120
8 19 0.23382697 140
9 20 0.27548209 160
Dari hasil perhitungan in situ yang dilakukan pada bulan Juli 2010, diperoleh hasil bahwa
kecepatan arus maksimum pada bulan tersebut sebesar 0.368 m/det. Arus bergerak ke arah
o
barat laut (sekitar 300 ). Kondisi angin pada saat pengukuran sangat kencang. Bulan Juli
merupaka musim timur, umumnya di tandai dengan musim kemarau dan gerakan angin
cenderung ke arah barat.
3.1.5 Verifikasi
Simulasi model dengan menggunakan dua skenario, yaitu:
1. Model arus yang dibangkitkan oleh pasang surut
2. Model arus yang di bangkitkan oleh pasang surut dan angin
Telah disimulasikan pada bulan Juli 2010 sesuai dengan waktu pelaksanaan survei pengukuran
serta perhitungan data lapangan, maka hasil simulasi menunjukan kesamaan nilai kecepatan
dan pola pergerakan arus di perairan Teluk Banten dengan hasil perhitungan lapangan. Begitu
juga jika di bandingkan dengan hasil simulasi model hidrodinamika 2D yang sudah dilakukan
oleh Kurnia. A,2004, maka secara umum hasil simulasi model juga menunjukan nilai kecepatan
arus di perairan Teluk Banten mendekati sama yaitu maksimum kecepatan berkisar 0.3 m/det.
References
Hoitink, A.J.F.; Hoekstra, P., 2003, Hydrodynamic control of the supply of reworked terrigenous
sediment to coral reefs in the Bay of Banten (NW Java, Indonesia) Estuarine, Coastal
and Shelf Sciences, Volume 58, Issue 4, p.743-755.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia, Lembar LPI 1110-09, Teluk Banten, 1999. Bakosurtanal dan
Dishidros.
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
2
Mahasiswa Doktoral Institut Pertanian Bogor
3
Mahasiswa Doktoral The University of Queensland, Australia
*Email: sriagustinrustam@yahoo.com / a_rustam@kkp.go.id
Abstract
The study was conducted according to a study in Banten Bay in 2010. The sampling method in the Banten Bay was
purposive sampling at 15 location. Measurement parameters of DIC (Disoolved Inorganic Carbon), Total Alkalinity, pH
(Anderson dan Robinson, 1946, Dickson et al, 2007), environmental conditions (APHA, 2005) and analysis software
pCO2 were done by CO2SYS (Lewis and Wallace, 1998; Pierrot, 2007).The results can range in value of DIC is 1329.87
to 1724.95 umol / kg, TA 1767.5 to 2256.8 and the pH from 8.11 to 8.42, pCO2 results ranged from 124 to 262.1 uatm.
Sink-source analysis obtained in this study is an indication of almost any location in the state sink, which can be said to
be the sequestration of carbon from the atmosphere for photosynthesis exploited aquatic biota which ultimately
increases the fertility waters. But all this is still a preliminary study that needs to do more research.
Keywords: Carbon, Dissolved Inorganic Carbon (DIC), partial pressure (pCO2) and fertility
1. Pendahuluan
Perairan Teluk Banten terletak di ujung barat laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km2, dan kedalaman rata-rata 7 m. Teluk
Banten berada di wilayah administrasi Propinsi Banten, memiliki pulau-pulau kecil seperti:
Pulau Dua, Pulau Menjangan, Pulau Lima, Pulau Kubur, Pulau Pisang, Pulau Pamujan dan
pulau terbesar yang berpenghuni adalah Pulau Panjang yang posisinya kurang lebih di sebelah
Barat mulut Teluk Banten (Gambar 1).
Kondisi perairan Teluk Banten memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah antara lain
perikanan laut seperti ikan laut, udang, kerang dan rumput laut. Selain itu Teluk Banten
merupakan daerah yang sangat dinamis, dimana disekitar Teluk Banten cukup banyak aktivitas
didaratannya seperti adanya pelabuhan Bojonegoro dan beberapa pabrik di sebelah barat teluk
serta adanya bagang-bagang nelayan di bagian tengah dan selatan teluk. Selain itu wilayah
pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Dimana dalam 100 tahun terakhir
telah terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh aktivitas manusia. Salah
satu contohnya adalah pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke kawasan Tengkurak
telah menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut. Kawasan Tanjung
Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi erosional; sedangkan
kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif atau akresi
(Setyawan, W.B, 2003).
2. Metodologi
Parameter sistem CO2 utama yang diukur adalah DIC, pH dan alkalinitas. Parameter
pendukung yang diukur adalah produktivitas primer, kedalaman sechii disk, DO dan suhu. pH
diukur dua kali, yaitu secara in situ menggunakan alat multiparameter YSI 556 MPS dan di
laboratorium menggunakan pH meter 691 merk Metrohm buatan Swiss. pH meter Metrohm juga
digunakan untuk semua analisis yang memerlukan pH di laboratorium, termasuk DIC dan
alkalinitas. Pengukuran DO dan suhu dilakukan secara in situ menggunakan alat
multiparameter YSI 556 MPS. Sechii disk diukur secara in situ menggunakan lempengan papan
yang dicat hitam dan putih dan kemudian diberi tali dan pemberat.
Sampling air dilakukan menggunakan water sampler vandorn (Gambar 2) pada lokasi sampling
yang telah ditentukan. Pengambilan sampel dilakukan pada kedalaman permukaan sekitar 0.5
meter untuk semua stasiun tergantung pada kedalaman maksimal titik sampling. Untuk
parameter sistem CO2 (DIC, alkalinitas dan pH lab), sesaat setelah pengambilan sampel
ditambahkan HgCl2 pada sampel air untuk menghentikan aktivitas biologi dan sampel disimpan
dalam coolbox yang selalu ditambahkan es batu agar suhu tetap rendah untuk mencegah
terlepasnya CO2 ke udara. Untuk analisa parameter CO2, sampel kemudian disaring
menggunakan kertas saring Whatman ukuran 0.45 m dan hasil saringan ditempatkan pada
botol sampel khusus merk Duran 500 ml secara penuh tanpa gelembung udara untuk analisis
lanjut (Dickson et.al, 2007).
3. Analisis
Pada studi ini analis terutama dilakukan pada variabilitas parameter CO 2 utama, yaitu DIC,
alkalinitas, pH dan pCO2. Sistem CO2 di perairan dapat dikaji melalui empat parameter yang
dapat diukur (measureble), yaitu DIC, total alkalinitas (alk), pH dan pCO2 (tekanan parsial CO 2)
atau fCO2 (fugasitas CO2) (Lewis dan Wallace, 1997). Dua dari parameter tersebut dapat
dihitung dari dua parameter lainnya (Lewis dan Wallace, 1997). Pada studi ini DIC diukur
menggunakan metode titrasi dengan prinsip mendasarkan pada perubahan pH setelah
ditambahkan HCl dan NaOH pada sampel air yang telah disaring (Anderson dan Robinson,
1946; Dickson et.al, 2007). Alkalinitas kemudian didapatkan dari suatu perhitungan.
Tekanan parsial CO2 (pCO2) dihitung dari DIC dan pH menggunakan prinsip dasar dari Cai dan
Wang (1998), yaitu :
[CO 2] DIC{H }2
pCO2 (1)
Kh ({H }2 {H }K1 K1 K 2 ) K H
dimana : DIC = dissolved inorganic carbon, Kh adalah konstanta solubilitas gas dalam air
-pH
menurut Weiss (1974), {H}= 10 , K1 dan K2 adalah konstanta disosiasi dari asam
karbonat
Analisis sink & source CO2 dilakukan untuk menentukan apakah suatu perairan penyerap atau
pelepas CO2. Analisis ini dilakukan dengan mengurangkan nilai pCO2 atm, atau tekanan parsial
CO2 di atmosfer dengan nilai pCO2water yang telah didapatkan dari perhitungan (formula 1
dihitung dengan CO2SYS). Secara ideal pCO2atm didapatkan melalui pengukuran langsung
secara simultan dengan pCO2air. Namun karena keterbatasan peralatan, pCO2atm didapatkan
dari nilai IPCC tahun 1997 yaitu 370 atm dan diasumsikan seragam untuk semua wilayah.
Formula umumnya :
Suatu perairan berperan sebagai source atau pelepas CO 2 ke udara / atmosfer jika nilai pCO2-
nya lebih tinggi dari nilai pCO2atm (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO 2 dari air ke
atmosfer dan sebaliknya berperan sebagai penyerap / sink CO 2 dari atmosfer jika nilai pCO2-
nya lebih rendah dari pCO2atm (nilai negatif).
Suatu perairan yang sehat dapat berfungsi sebagai penyerap CO2 yang baik melalui aktivitas
fotosintesa yang dilakukan oleh fitoplankton dan ekosistem vegetasi yang lain seperti lamun
dan bakau. Jika bahan pencemar karbon anorganik, seperti DIC, PIC dan TIC jumlahnya
melebihi kemampuan daya serap perairan tersebut, maka suatu perairan menjadi tidak sehat.
4. Pembahasan
Gambar 2 adalah peta sebaran parameter karbon sesuai dengan stasiun pengukuran karbon
pada bulan Juli 2010. Lamun (seagrass) dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain
sepanjang pantai bagian barat teluk (stasiun C6 dan C11), paparan terumbu beberapa pulau
karang (Pulau Panjang, Tarahan, Lima, Kambing, Pamujan Besar dan Kepuh ) yaitu di stasiun
C5 dan C15 pada daerah terumbu karang intertidal hingga kedalaman 6 meter.
Kedalaman teluk berkisar antara 1 10 meter dari muara hingga mendekati ujung teluk.
Sedimen teluk Banten terdiri dari lumpur dan pasir (Green and Short, 2003), nilai salinitas
bervariasi antara 28.23 35,34 psu (Green and Short, 2003). Musim penghujan berlangsung
antara November hingga Maret dan musim kemarau antara April Oktober. Bakau (mangrove)
dapat ditemukan di sepanjang Grenyang, bagian Timur teluk, hingga ke Tanjung Pontang di
sebelah Barat Teluk, dan juga di sebelah Selatan pulau Panjang (stasiun C1, C8 dan C9).
Nilai pengukuran parameter system karbon di perairan Teluk Banten dapat dilihat pada Gambar
3. Bahwa berdasarkan hasil perhitungan dengan CO2SYS diseluruh lokasi penelitian nilai
pCO2 yang di dapat yang merupakan pengurangan dari pCO2 air dikurangi pCO2 udara
menghasiklan nilai minus pada saat pengukuran yang mengindikasikan bahwa pada kondisi
saat itu perairan Teluk Banten dalam keadaan sink atau menyerap karbon dari atmosfer. Nilai
rata-rata dari parameter karbon di Teluk Banten yang di ukur dapat dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1. Nilai rata-rata dan kisaran parameter sistem karbon di Teluk Banten Juli 2010
Parameter Sistem Karbon di Perairan Teluk Banten
Klorofi NO3 PO4 Si DIC pC
l-a (Nitrat) TSS mol mol umol/k O2 pC
ug/L mg/L mg/L /kg /kg pH g TA air O2
-
0.0405 1599.3 2060. 179. 190.
Rata-rata 1.9544 3 85.4 0.242 25.58 8.28 47 8 7 3
Gambar 2. Peta Sebaran Sistem Karbonat Perairan Teluk Banten Juli 2010
Distribusi spasial konsentrasi DIC dan TA pada bulan Juli 2010 ditampilkan pada Gambar 3,
yang secara umum menunjukkan konsentrasi yang tinggi di daerah pesisir yang dekat dengan
daratan dan berangsur menurun pada perairan laut.
Gambar 3: Sebaran DIC dan TA Teluk Banten Juli 2010 (panel kiri) Sebaran pH dan salinitas
Teluk Banten Juli 2010 (panel kanan)
Variabilitas DIC (Dissolved Inorganic Carbon) dan TA (Total Alkalinitas) di perairan Teluk Banten
pada kedalaman permukaan (0.5 m) terlihat adanya fluktuasi dengan pola yang sama. Pada
umumnya nilai DIC dan TA tinggi berada pada stasiun yang terletak di pinggir teluk yaitu stasiun
C2 (tertinggi 1724,95 mol/kg), C9, C15 (stasiun kecuali di stasiun C1). Tingginya nilai DIC di
pinggir teluk lebih disebabkan adanya pengaruh antropogenik dari daratan (sungai) yang masuk
0.06
mg/L
6
0.05
0.04
4 0.03
0.02
2 0.01
0
0
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun PO4 mg/L NO3 (Nitrat) mg/L
Stasiun Klorofil-a ug/L Si mg/L
Gambar 4. Variabilitas klorofil dan Silikat (panel kiri) variabilitas nitrat-phosphat (panel kanan) di
Teluk Banten Juli 2010
Tingginya klorofil di stasiun C9 pada saat penelitian hal ini dapat disebabkan bahwa di daerah
tersebut daerah estuari dimana terdapat sungai yang cukup besar sehingga masukan nutrien
dari daratan menyebabkan tingginya produktivitas perairan terutama dari fitoplankton yang
Stasiun yang terdapat ekosistem lamun dan terdapat pabrik gula yang dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi pada penelitian ini terlihat cukup rendah, hal ini diperkuat dengan nilai
posfat, nitrat dan silikat di stasiun C11 yang cukup rendah dibandingkan stasiun yang sama
memiliki ekosistem lamun yaitu stasiun C5 (0,023 mg/L; 0,062 mg/L dan 2,603 mg/L). Tetapi
nilai DIC pada stasiun ini tidak tinggi dapat disebabkan bahwa zat karbon dimanfaatkan oleh
tanaman (lamun, alga dan fitoplankton) dalam memproduksi makanan (fotosintesis) sehingga
nilai karbon yang masuk tinggi (dari atmosfir atau dari daratan melalui sungai) akan selalu
dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang ada di perairan laut. Disini terlihat bahwa adanya
pemanfaatan aktivitas biologi (fotosintesis) yang lebih baik pada stasiun C1 (estuari dan
mangrove) dibandingkan pada stasiun C5 dan C11, sehingga dapat dikatakan juga bahwa
antropogenik lebih besar terjadi pada stasiun C1 dimana karbon dan fosfat (Gambar 4 panel
kanan) masuk melalui sungai Karangantu lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lamun
dimana juga terdapat sungai. Semua faktor sebagai penentu proses biologi (fotosintesis) seperti
DIC, nitrat dan fosfat pada stasiun yang memiliki vegetasi terlihat dapat dimanfaatkan dengan
baik oleh produser yang ada seperti mangrove (C1) maupun lamun (C5 dan C11).
Kondisi pH perairan (Gambar 3 panel kanan) juga menunjukkan variabilitas yang kurang lebih
berkebalikan dengan DIC dan TA yaitu nilai pH rendah pada salinitas rendah dan sedikit
meningkat pada perairan oseanik kecuali pada stasiun C11 ( (estuaria), keadaan pasang.
Variabilitas pH di wilayah studi diduga disebabkan oleh pengaruh pasang surut yang
mendistribusikan massa air tawar ke arah laut dimana di daratan pada saat penelitian sering
terjadi hujan. Pola arus lokal juga dapat menyebabkan adanya perpindahan sejumlah massa air
tawar yang dapat menurunkan pH, walaupun secara keseluruhan kisaran pH di Teluk Banten
(7,85 8,31) merupakan pH air laut. Pentingnya pH dalam pengukuran sistem karbon di laut
terkait erat dengan mekanisme sistem karbonat itu sendiri dimana pergeseran pH yang sangat
2 3 2-
kecil akan menyebabkan pergeseran jumlah spesies (CO , HCO - atau CO3 ) dari sistem
karbonat itu sendiri.
Nilai dan pola DIC, TA dan pH yang didapatkan dan pada studi awal ini berkesesuaian dengan
yang didapatkan oleh Frankigenoule et.al (1996) yang mengukur parameter CO2 di sungai
Scheldt yang merupakan salah satu sungai tercemar di Eropa. Salah satu kesimpulan yang
didapatkan pada penelitian tersebut adalah bahwa faktor antropogenik lebih berperan pada
konsentrasi DIC dan alkalinitas dibandingkan faktor biologi.
Satu hal yang perlu ditambahkan pada pembahasan mengenai DIC ini adalah bahwa lokasi
mangrove (C1) dan lamun (seagrass), yaitu pada stasiun C5 dan C11 mempunyai konsentrasi
DIC yang relatif rendah (1329,87; 1605,19 dan 1522,24 mol/kg). Hal ini memunculkan dugaan
bahwa ekosistem mangrove dan lamun dapat menyerap DIC walaupun kesimpulan final baru
dapat dihasilkan setelah dilakukan lebih banyak pengukuran dan pengujian lebih lanjut.
Walaupun demikian keberadaan ekosistem mangrove dan lamun merupakan daerah ekologi
yang sangat penting terkait dengan perikanan. Dimana ekosistem mangrove dan lamun
merupakan daerah spawning ground dan nursery ground bagi banyak ikan dan biota ekonomis
penting seperti Peperek, Teri, Lemuru, Tongkol, Tembang, Tenggiri, Pari, Manyung, Kuwe, Ekor
kuning, Tembang, Teri, Kembung, Selar dan Cumi.
Konsentrasi
700
200 600
500
uatm
150 400
300
100
200
50
)
0
)
m
m
m
on
on
on
on
on
(3
(3
(3
0
b
(2
(2
Cr
Cr
Cr
Cr
Cr
7
5
on
on
on
7
0
on
on
b
b
Cr
Cr
Cr
b
July
Cr
Cr
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Stasiun Stasiun August
Gambar 5. Variabilitas pCO2 bulan Juli 2010 di Teluk Banten (panel kiri) Variabilitas pCO2 bulan
Juli dan Agustus 2009 di teluk Banten (panel kanan) (Sumber: Adi dan Rustam, 2010)
Rendahnya nilai DIC di perairan Teluk Banten dengan cukup tingginya nutrien (fosfat dan silikat),
salinitas dan pH akan mempengaruhi nilai pCO 2 (Gambar 5 panel kiri). Dimana pada Gambar
5 panel kiri terlihat mempunyai pola relatif sama, dengan adanya pergeseran nilai tertinggi DIC
dan pCO2 yaitu nilai pCO2 tinggi pada perairan stasiun C3 (salinitas cukup rendah 31,02 ; pH
8,15) terletak di pesisir dekat dengan mangrove dan sungai serta di satsiun C11 salinitas dan
rendah pada perairan oseanik (salinitas tinggi) stasiun C15 yang terletak di bagian mulut teluk
Banten yang berhadapan dengan Laut Jawa dan sebelah barat Selat Sunda. Seperti telah
disebutkan pada bagian metode, pCO2 pada studi ini dihitung dari nilai DIC dan pH dan
tambahan faktor nutrien yaitu fosfat dan silikat dengan software CO2SYS, sehingga hasil akhir
akan terpengaruh oleh keempat variabel tadi. Perbedaan nilai pCO 2 pada perairan estuari
antara bulan Juli 2009 (Adi dan Rustam, 2010) pada Gambar 5 panel kanan dan Juli 2010 pada
tiga stasiun yang sama (C4, C5 dan C12) diduga dipengaruhi oleh perbedaan pasang surut
saat pengambilan sampel. Aliran massa air dari sungai akan membawa lebih banyak DIC yang
dapat meningkatkan nilai pCO2. Pola dari nilai pCO2 pada studi ini juga seperti yang didapatkan
oleh Frankigenoule et.al (1996) di sungai Scheldt.
Differential pCO2
0
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
-50
-100
pCO2 (uatm)
-150
-200
-250
-300
pCO2 pCO2 Juli 2009
Gambar 6. Perbedaan konsentrasi pCO2water pCO2atm bulan Juli 2009 (Adi dan Rustam,
2010) dan bulan Juli 2010 di Teluk Banten. Satuan yang digunakan = atm.
Gambar 6 menampilkan hasil selisih antara nilai pCO 2water pCO2atm (formula 2). Hasil analisis
menunjukkan perairan pesisir merupakan penyerap (sink) CO2 ke atmosfer yang ditunjukkan
oleh nilai pCO2 negatif. Hal ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian
sebelumnya (Adi dan Rustam, 2010) pada tahun 2009 di tempat yang sama, yang menunjukkan
bahwa perairan Teluk Banten yang memiliki vegetasi cenderung menjadi penyerap CO 2 dari
atmosfer. Namun menurut hasil penelitian dari Frankigenoule et.al, 1996; Cai et.al, 2006;
Borges et.al, 2006; Borges, 2005, perairan estuari cenderung sebagai source CO2 ke atmosfir
dikarenakan tingginya pengaruh darat termasuk input bahan-bahan anorganik terlarut. Tetapi
kemungkinan hal ini tidak berlaku pada daerah estuari yang bervegetasi mangrove (Rajesh,
5. Kesimpulan
Hasil dari pengamatan dan analisa di laboratorium didapatkan pada bulan Juli 2010 pada
semua stasiun pengamatan mengalami penyerapan karbon (sink) dari atmosfer oleh kolom air
permukaan. Terdapat konsentrasi DIC (Dissolved Inorganic Carbon) yang tinggi di daerah
pesisir yang dekat dengan daratan dan berangsur menurun pada perairan laut, diduga karena
faktor biologi dan proses fotosintesis. Adanya variabilitas pCO2 di wilayah Teluk Banten lebih
2
dipengaruhi oleh pH dengan nilai R 0,9321 dibandingkan dengan suhu, alkalinitas ataupun
klorofil. Kesuburan perairan dapat dilihat berdasarkan parameter sistem karbon dimana
berdasarkan penelitian ini adanya kecenderungan perairan dalam keadaan subur dengan
adanya penyerapan karbon dari atmosfer yang diasumsikan dimanfaatkan oleh produser
perairan seperti fitoplankton, lamun dan mangrove.
Saran
Diperlukan pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1, musim timur dan
peralihan 2 untuk pengamatan parameter karbon serta kualitas perairan, serta kondisi
oseanografi, sehingga dapat diketahui pola sistem karbon pada daerah pesisir untuk
mengetahui tingkat kesuburan perairan. Lebih lanjut dilakukan berdasarkan harian terkait
dengan pasang surut dan berkesinambungan sehingga dapat dilakukan suatu pemodelan untuk
memprediksi sistem karbon dan tingkat kesuburan lebih akurat.
References
Baum, A., T. Rixen, and J. Samiaji .2007. Relevance of peat draining rivers in central Sumatra
for the riverine input of dissolved organic carbon into the ocean, Estuarine Coastal
Shelf Sci., 73, 563570.
Borges, A.V. 2005. Do We Have Enough Pieces of the Jigsaw to Integrate CO2 Fluxes in the
Coastal Ocean?. Estuaries Vol. 28, No. 1, p. 327.
Borges, A.V., L.S. Schiettecatte , G. Abril , B. Delille and, F. Gazeau. 2006. Carbon Dioxide In
European Coastal Waters. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 70, 375-387
Cai, W.J., Dai, M., and Wang, Y. 2006. Air-Sea Exchange of Carbon Dioxide in Ocean
Margins : A Province Based Synthesis. Geophysical Research Letters, Vol.33.
L12603, doi:10.1029/2006GL026219.
Cai, W.-J., Wang, Y., 1998. The chemistry, fluxes and sources of carbon dioxide in the
estuarine waters of the Satilla and Altamaha Rivers, Georgia. Limnology and
Oceanography 43, 657668.
Chen.F, W.J, Cai, C.B, Nelson, and Y.Wang. Sea Surface PCO 2-SST Relationships Across A
Cold-Core Cyclonic Eddy: Implications For Understanding Regional Variability And
Air-Sea Gas Exchange. Geophysical Research Letters, Vol. 34, L10603,
Doi:10.1029/2006gl028058.
Chierici, M, A.Olsen, T. Johannessen, J. Trinanes and R. Wanninkof. 2009. Algorithms to
Estimate the Carbon Dioxide Uptake in the Northern North Atlantic Using
Charlotha I. TUPAN
Abstract
Contribution of seagrass in coastal waters is determined by the status of their communities. One of the criteria for
determining the community status of seagrass is based on the Kepmen Negara Lingkungan Hidup RI No. 200/2004.
This study aims to determine the community status of seagrass in Rutong Coastal waters of South Ambon Island, by
measuring the community structure of seagrass to analyze the potency and determination of the status of their
communities. The result found 7 species of seagrass. Cymodocea serrulata has the highest density, frequency, cover
percentage and potency, and vice versa with the species of Halophila ovalis. Based on the values of community
structure and according to Kepmen Negara Lingkungan Hidup RI No. 200/2004, the community status of seagrass in
Rutong coastal waters of South Ambon Island was less healthy or less wealthy.
1. Pendahuluan
Lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang ditemukan tumbuh dengan subur pada
daerah pasang surut, perairan pantai atau laguna yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil
dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 meter. Pada perairan yang jernih, lamun
dapat ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 meter bahkan sampai 40 meter (den Hartog,
1970; Erftemeijer, 1993 dalam Dahuri, 2003). Padang lamun dapat membentuk vegetasi
tunggal yang disusun oleh hanya satu spesies lamun atau vegetasi campuran yang disusun
oleh 2 sampai 12 spesies lamun yang tumbuh bersama-sama pada suatu substrat (Kiswara,
1999).
Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rhizoma, daun,
bunga dan buah (Gambar 1). Lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, sistem tranportasi
internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas. Sebagai
tumbuhan berakar lamun tidak bergantung pada konsentrasi nutrien didalam kolom air. Hal ini
disebabkan sistem perakaran pada lamun dapat mengabsorbsi nutrient dari sedimen atau
substrat dasar. Dalam hal ini, lamun mampu mendaur ulang nutrient ke dalam ekosistem yang
selanjutnya akan terperangkap di substrat dasar peraiaran padang lamun (Nybakken, 1992).
Tumbuhan tersebut dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung
akar, kemudian untuk menjaga agar tumbuhan tetap mengapung di dalam kolom air, tumbuhan
dilengkapi dengan ruang udara.
Selain memiliki fungsi fisik seperti perangkap sedimen, menstabilkan sedimen dasar,
mengurangi (meredam) gelombang dan energi arus, lamun juga berfungsi sebagai tempat
berlindung, mencari makan, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, dan sebagai produsen
detritus dan zat hara. Oleh sebab itu kehadiran padang lamun sangat penting bagi
kelangsungan hidup dari berbagai organsme perairan laut.
Pemanfaatan wilayah pesisir akhir-akhir ini terjadi secara tidak terarah yang dilakukan oleh
masyarakat setempat seperti pengambilan pasir dan batu, serta pembuangan limbah padat dan
cair ke pantai yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem pantai termasuk ekosistem
padang lamun. Kerusakan ini sekaligus dapat menyebabkan musnahnya tempat-tempat
perkembang biakan atau pembibitan berbagai organisme laut atau menurunnya produktivitas
habitat yang dimanfaatkan untuk bahan makanan dan pelindung. Dengan adanya aktivitas dari
masyarakat sekitar mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan yang berhubungan
Perairan pantai Desa Rutong, bagian selatan Pulau Ambon memiliki ekosistem produktif,
khusus daerah tropis seperti ekosistem padang lamun, yang cukup potensial dalam menunjang
keanekaragaman biota laut. Mengingat peran dari ekosistem padang lamun serta mengamati
adanya berbagai ancaman terhadap ekosistem tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mendapat gambaran terhadap ekosistem padang lamun yang ada. Karenanya tujuan dari
penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang potensi padang lamun yang ada di
perairan pantai Desa Rutong, bagian selatan Pulau Ambon dan menentukan status
komunitasnya.
4. Nilai persentase penutupan spesies pada setiap kuadrat pengamatan menurut Saito and
Atobe (1970) dalam English et al, (1994) adalah:
(Mi x i)
C=
dimana:
C = persentase penutupan jenis lamun (i)
Mi = persentase titik tengah dari kelas (i)
f = frekuensi (jumlah petak yang mempunyai dominansi kelas yang sama (i))
Dengan menggunakan pendekatan persentase penutupan seperti yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. No 200 Tahun 2004, maka status komunitas lamun
dapat dikategorikan berdasarkan tabel 2 dibawah ini:
Perairan pesisir Rutong merupakan perairan teluk berbentuk lengkung setengah busur yang
diapit oleh Tanjung Riki di bagian selatan (Perairan Leahari) dan Tanjung Hutumuri (Perairan
Hutumuri) di bagian utara. Panjang garis pantai Desa Rutong adalah 1.439 m dan luas
2
kawasan pasang surut adalah 35.960 m . Peraiaran ini merupakan perairan pantai dengan
tipe substrat pasir, pasir bercampur kerikil dan patahan karang, dimana komunitas lamun
tumbuh pada jarak 2 250 meter dari garis pantai ke arah laut.
Berdasarkan analisa struktur komunitas diketahui bahwa Cymodocea serrulata memiliki potensi
2
terbesar (11825 teg/ha) dengan nilai kerapatan tertinggi (118,25 teg/m ) dan frekuensi tertinggi
(0.43). Sedangkan Halophila ovalis memiliki potensi terendah (860 teg/ha) dengan nilai
2
kerapatan (8,60 teg/m ) (Tabel 4). Perairan pantai Desa Rutong sebagian besar didominasi oleh
substrat berpasir dan karang, sehingga spesies-spesies yang ditemukan adalah speies-spesies
yang mampu beradaptasi dengan substrat tersebut. Cymodocea serrulata ditemukan melimpah
pada substrat berpasir sampai kerikil halus, kemudian diikuti oleh Thalassia hemprichii yang
juga hidup pada substrat yang sama. Sedangkan Halophila ovalis ditemukan sedikit karena
spesies ini menyenangi substrat yang lunak sehubungan dengan akarnya yang pendek, lembut
dan banyak rambut-rambut akar.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Cymodocea serrulata juga memiliki persentase
penutupan tertinggi sekitar 38 % (Gambar 2). Hal ini didukung oleh kerapatan yang tinggi dan
frekuensi kehadiran atau penyebarannya yang luas. Secara morfologi spesies Enhalus
acoroides memiliki struktur tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan spesies lainnya.
Spesies ini juga memiliki penyebaran yang cukup luas ditunjukan oleh nilai frekuensi kehadiran
(0.42) yang hampir sama dengan Cymodocea serrulata. Namun demikian spesies ini memiliki
jumlah tegakan yang kurang sehingga tidak merupakan spesies yang dominan. Hal ini berbeda
dengan yang ditemukan pada perairan Teluk Ambon Dalam dimana spesies Enhalus acoroides
merupakan spesies yang dominan dengan persentase penutupan yang yang besar mencapai
75 % (Tuhumury, 2008).
Penelitian ini mencoba menampilkan gambaran tentang keadaan komunitas lamun di perairan
pantai Desa Rutong, selatan Pulau Ambon. Berdasarkan hasil perhitungan persentase
penutupan terhadap semua jenis lamun, diperoleh nilai 39.63%. Dengan mengacu pada
pendekatan persentase penutupan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 200 Tahun 2004, maka status komunitas lamun dapat dikategorikan dalam kondisi
kurang kaya atau kurang sehat.
Kenyataan ini memberi gambaran bahwa telah terjadi degradasi kawasan pesisir, khususnya
pada kawasan komunitas lamun. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa
komunitas lamun dengan potensi tertinggi mencapai nilai 17703 teg/ha dengan persentase
penutupan mencapai 77% (Tupan dan Makailipessy, 2006) dan nilai-nilai ini menurun dalam
penelitian ini. Secara visual diamati adanya penambangan pasir dan batu serta aliran limbah
domestik dan tumpahan minyak perahu motor yang dapat menyumbangkan limbah yang cukup
perpengaruh terhadap komunitas pesisir. Dengan demikian penelitian ini telah memberi warning
tentang keberadaan komunitas lamun perairan Rutong, selatan Pulau Ambon, sehingga
keberlanjutan sumberdaya yang bergantung padanya harus dapat dipertahankan.
5. Kesimpulan
Perairan pantai Rutong, bagian selatan Pulau Ambon memiliki 7 spesies lamun, dimana spesies
Cymodocea rotundata hadir sebagai spesies dengan potensi, kerapatan, frekuensi kehadiran
dan persentase penutupan tertinggi, dan sebaliknya dengan spesies Halophila ovalis. Hasil
analisis status komunitas menunjukan bahwa komunitas lamun pada perairan pantai Rutong,
bagian selatan Pulau Ambon berada dalam kondisi kurang kaya atau kurang sehat.
English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. (1994): Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Australian Institute ofMarine Science. Townsvile.
Kiswara, W. (1999): Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Sumatera Utara. Prosiding
Seminar Kelautan Regional Sumatera Kedua. Fakultas Perikanan. Universitas Bung
Hatta. Padang.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. No. 200 Tahun 2004. Kriteria Baku Kerusakan
dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, Jakarta.
Short, F. T and R. G Coles. (2001): Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science B. V.
Amsterdam.
Tupan, Ch. I dan M. Makailipessy. (2006): Potensi Lamun di Perairan Pantai Desa Rutong.
Prosiding Seminar. Potensi dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Hayati Pesisir
Desa Rutong. PS. MSP. FPIK. UNPATTI. Ambon
Tuhumury, S. F. (2008): Status Komunitas Lamun di Perairan Pantai Teluk Ambon Dalam.
Ichthyos. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan. Vol 7.No 2. 85-88
Abstract
Banten Bay waters, located at the western tip of the island of Java, is part of the Java Sea with a total surface area of
150 km2 and an average depth of 7 m. In this research, taking as many as 22 water sampling points at different
locations. Water samples were observed for brightness, dissolve Oxigen, temperature, salinity and pH. Meanwhile water
samples for the observation of Chlorophyll-A, Phosphate and Nitrate were done as many as 12 points. Taking samples
were conducted by purposive sampling. The results of the analysis showed the average value for the brightness,
dissolve Oxigen, temperature, salinity and pH is 2.1 m, 6.22 mg / L, 30 , 31.1 ppt and 8.2. Further to the average value
of chlorophyll-a, nitrate (NO3) and Phosphate (PO4) is 1.95 mg / L, 0.04 mg / L and 0.02 mg / L. Water conditions are
very suitable value for fisheries habitat such as pompano, yellow tail, Tembang, Teri, Bloating, Selar and squid are
abundant in July to August (banten.go.id., 2010).
Keywords: Water Quality, Klorofil-a, Nitrat and Phosphat, Catching Fisheries, Banten bay waters
1. Pendahuluan
Wilayah pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Keadaan tersebut tercermin dari
adanya segmen-segmen pantai yang erosional akresi dan stabil yang berlangsung dalam 100
tahun terakhir mengakibatkan terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh
aktivitas manusia. Disamping itu terjadi pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke
kawasan Tengkurak menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut.
Kawasan Tanjung Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi
erosional, sedangkan kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif
atau akresi (Setyawan, W.B, 2003). Selain itu aktivitas manusia di daratan pesisir telah
menyebabkan masuknya berbagai bahan pencemar ke perairan pesisir. Perubahan morfologi
pantai dan dinamika di wilayah hulu ditambah dengan aktivitas manusia tersebut akan
berpengaruh terhadap dinamika fluks karbon di wilayah pesisir Banten, termasuk Teluk Banten
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada sektor perikanan.
Perairan Teluk Banten memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang berperan penting
dalam perikanan maupun wisata bahari. Potensi sumberdaya alam yang berlimpah antara lain
perikanan laut seperti seperti ikan laut, udang, kerang dan rumput laut. Kelimpahan perikanan
di perairan tersebut dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain kondisi kualitas air juga
konsentrasi Klorofil-a, Nitrat dan Phosphat. Namun perairan Teluk Banten merupakan tempat
bermuaranya beberapa sungai antara lain sungai sungai Domas, Soge, Cikemayungan, Banten,
Pelabuhan, Wadas, Baros, Ciujung, Anyer, Cilid, Kesuban, Baru, Serdang, Suban, Kedungingus
dan Candi sehingga menyebabkan terjadinya sedimentasi yang mempengaruhi kualitas
perairan. Disamping sedimentasi di sekitar Teluk Banten terdapat limbah perkotaan dari kota
Serang dan Cilegon terutama Bojonegoro sehingga mempengaruhi kondisi perairan Teluk
Banten.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan dan kondisi kelimpahan ikan di Teluk
Banten. Dari penelitian ini diharapkan apakah perairan tersebut masih dapat layak untuk lokasi
penangkapan ikan atau tidak.
2. Metodologi Penelitian
Perairan Teluk Banten terletak di ujung Barat Laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
2
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km dan kedalaman rata-rata 7 m
(Suparjaka, et al. 2010 dalam http://repository.ipb.ac.id). Beberapa aliran sungai kecil yang
bermuara di Teluk Banten, antara lain Sungai Cibeureun, Sungai Cibanten dan Sungai
Cikadueun. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara, di selatan dengan
Kecamatan Kasemen dan Kramatwatu dan di timur berbatasan dengan Kecamatan Pontang
Penelitian ini dilakukan Bulan Juli 2010 hingga November 2010. Secara geografis, Teluk Banten
berada pada koordinat 5 55 6 1 LS dan 106 5 106 15 BT, sedangkan secara
administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Gambar 1).
Lokasi Penelitian
Pengamatan yang dilakukan untuk kualitas air meliputi kecerahan, oksigen terlarut (Dissolve
Oxigen/DO), suhu permukaan, salinitas dan pH (Gambar 2). Contoh air yang diamati berjumlah
22 titik secara purposive sampling. Setelah itu dengan menggunakan alat multiparameter merk
YSI 556 MPS dilakukan pengukuran parameter yaitu: 1. pH, 2. DO, 3. temperatur dan 4.
salinitas. Disamping itu diukur juga kecerahan perairan menggunakan Seichidisk. Proses
selanjutnya pengambilan air sedalam 1 m menggunakan Vandom untuk mengukur klorofil-a,
nitrat dan phosphat. Titik pengambilan contoh air berjumlah 12 titik dilakukan juga secara
purposive sampling. Parameter tersebut digunakan untuk mengukur kelimpahan ikan sesuai
dengan baku mutu untuk wisata bahari dan biota yaitu KepmenLH No. 51 tahun 2004.
a b
d c
Gambar 2. Pengambilan sampel air menggunakan alat terdiri dari: a dan b. multiparameter
merk YSI 556 MPS, c. seichidisk dan d. vandorn
Titik pengamatan kecerahan, DO, suhu permukaan laut, salinitas dan pH dituangkan dalam
bentuk keruangan agar dapat diketahui sebaran masing-masing parameter kualitas air. Sebaran
pengamatan dari kecerahan, DO, suhu permukaan laut, salinitas dan pH dapat terlihat di
gambar 3,4,5,6 dan 7. Pada gambar 3 atau peta 1 (Peta Sebaran Kecerahan) menunjukkan
kisaran kecerahan dari 0,72 m-5,58 m. Pola sebaran bergradasi dari nilai kecerahan 0,72 m
yang berada di pesisir menuju perairan lepas kecerahan meningkat menjadi 5,58 m. Fenomena
ini kemungkinan diakibatkan oleh sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk
Banten. Warna perairan di pesisir Teluk Banten berwarna hijau, lebih keruh disekitar muara
sungai, dan biru tua menuju laut lepas (Bapedal, 2006 dalam http://repository.ipb.ac.id). Nilai
kecerahan berangsur-angsur meningkat ke arah laut lepas, dimana pengaruh sedimentasi
sudah berkurang (Gambar 3).
Selanjutnya sebaran oksigen terlarut yang dilustrasikan pada gambar 4 (Peta Sebaran Dissolve
Oksigen/DO) memperlihatkan kisaran nilai DO 5,4 mg/L-6,74 mg/L. Kontur sebaran nilai 5,4
mg/L berada di sisi barat dekat dengan daratan Bojonegara nilai berangsur-angsur menjadi
tinggi di selatan dekat dengan pesisir daratan Banten. Hal ini disebabkan karena di pesisir
Banten tempat bermuaranya sungai dari Kab Serang dan Cilegon yang melarutkan limbah baik
dari industri maupun perumahan sehingga meningkatkan nilai Oksigen terlarut (DO).
o o
Ulasan berikutnya suhu permukaan laut memiliki kisaran 29,67 C-30,46 C (Gambar 5). Suhu
o
permukaan laut berada di dekat pesisir memiliki suhu 30,46 C suhu tersebut berangsur-angsur
o
menurun menuju laut lepas menjadi 29,67 C. Kondisi demikian diakibatkan di wilayah pesisir
menerima berbagai limpahan dari daratan dan muara sungai yang mengakibatkan tingginya
suhu permukaan laut, namun semakin menjauh dari pesisir suhu permukaan laut menurun.
Hasil pengukuran suhu air laut di perairan sekitar Teluk Banten yang dilakukan oleh
Departemen Kelautan tahun 2002 (Bapedal, 2006 dalam http://repository.ipb.ac.id) berkisar
antara 30 32 C. Suhu tersebut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi daerah seperti curah
hujan, penguapan, arus serta intensitas radiasi matahari
Sebaran salinitas memiliki kisaran 29,59 ppt-31,74 ppt (Gambar 6). Kadar salinitas di pesisir
timur Teluk Banten rendah (25,59 ppt). Namun berangsur-angsur kadar salinitas meningkat di
sisi barat teluk Banten yaitu daratan Bojonegoro dan pesisir Banten. Meningkatnya salinitas
disebabkan limpahan dari pesisir dan tempat bermuaranya sungai-sungai. Salinitas di perairan
sekitar Teluk Banten berkisar antara 32-34 . Salinitas tertinggi terjadi pada bulan Mei-Juni dan
terendah terjadi pada bulan Januari-Februari. Hal ini terkait dengan debit air tawar yang masuk
ke perairan laut yang sejalan dengan variasi curah hujan (Bapedal, 2006 dalam
http://repository.ipb.ac.id).
Pengamatan kualitas air untuk pH secara umum diatas 7 yang dapat diartikan perairan Teluk
Banten bersifat basa. Nilai pH semakin mendekati pesisir Teluk Banten tingkat kebasaan tinggi
yaitu 8,30 nilai tersebut semakin menurun menuju laut lepas menjadi 7,94 (Gambar 7).
Nilai dari setiap parameter kualitas air kemudian dirata-ratakan untuk mengetahui secara umum
kondisi perairan di Teluk Banten apakah masih sesuai dengan nilai baku mutu kualitas air KLH
2005. Hasil perhitungan rata-rata tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Kualitas Air disebandingkan dengan Nilai Kualitas Air Baku KLH
No Parameter Kualitas Air di Nilai Rata-rata Kualitas Air Nilai Kualitas Baku Air
Teluk Banten di Teluk Banten
coral >5
1 Kecerahan 2.10
lamun<3
coral 28-30
o
2 Temperatur C 30.00 lamun 28-30
mangrove 28-32
3 DO (mg/L) 6.18 >5
4 pH 8.18 pH 7-8.5
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan perairan Teluk Banten sesuai untuk perikanan
tangkap karena nilai parameter kualitas air sesuai dengan nilai baku mutu dari KLH. Setelah
dilakukan pengambilan contoh kualitas air di 22 titik, tahap berikutnya pengambilan contoh
untuk Klorofil-a, Nitrat dan Phosphat untuk mengetahui kesuburan peraiaran. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan nilai maksimum Klorofil-a: 10.79 g/L, Nitrat: 0,08 mg/L dan
Phosphat: 0,041 mg/L.
Pola sebaran klorofil-a, nitrat dan phosphat ditujukkan dalam gambar 8,9 dan 10. Kisaran
klorofil-a 0,36-10,79 g/L, nilai klorofil-a tertinggi berada di sisi timur Teluk Banten mendekati
pesisir dan nilai terendah berada di selatan (Gambar 8). Fenomena ini berkaitan dengan suhu
permukaan laut (spl). Tampak pada gambar 5 (Peta SPL) di sisi timur bagian atas memiliki suhu
o
terendah yaitu 29,67 C namun nilai kloril-a tertinggi yaitu 11,19 g/L. Hasil penelitian Kunarso
et al. 2011 Jauh dekatnya pergerakan SPL terendah dan klorofil-a tinggi tampak dipengaruhi
nilai IOD (Indian Oscillation Dipole Mode).
Selanjutnya pola sebaran nitrat (NO3) kisaran nilai 0,00-0,08 mg/L, nilai terendah berada di laut
lepas berangsur-angsur meningkat mendekati sisi timur bagian bawah Teluk Banten (Gambar 9).
Hal ini disebabkan karena banyaknya aktivitas di sisi timur bagian bawah Teluk Banten
sehingga meningkatkan nilai nitrat dibandingkan dengan di utara mendekati Pulau Panjang nilai
nitrat rendah.
Ulasan berikutnya phosphat (PO4) memiliki kisaran 0,00-0,04 mg/L. Pola sebaran phosphat nilai
terendah 0,02 mg/L berada di laut lepas namun mendekati pesisir nilai meningkat menjadi 0,04
mg/L. Hal ini disebabkan karena di pesisir kemungkinan dipengaruhi oleh arus laut yang
membawa fitoplankton. Penelitian ini hanya mengamati dipermukaan tidak kedalaman laut,
sehingga nilai phosphat rendah.
Pengamatan ini bersifat temporal sehingga untuk melihat perikanan tangkap perlu pengamatan
bersifat musiman. Kondisi perikanan tangkap di Teluk Banten pada umunya peperk, teri, lemuru,
4. Kesimpulan
Memperhatikan pengamatan kualitas air (kecerahan, oksigen terlarut, suhu permukaan laut,
salinitas dan pH) dan kandungan klorofil-a, nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) yang diamati pada
bulan Juli 2010 maka dapat dikatakan bahwa:
1. Kecerahan air meningkat di laut lepas namun menurun di pesisir selatan Teluk Banten
2. Oksigen terlarut (DO) meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun di sisi
barat Teluk Banten
3. Suhu permukaan laut (SPL) meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun
di laut lepas
4. Salinitas meningkat di laut lepas namun menurun di sisi timur bagian atasTeluk Banten
5. pH meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun meningkat di laut lepas
6. Klorofil-a meningkat di sisi timur bagian atas Teluk Banten namun menurun di pesisir
selatan Teluk Banten
7. Nitrat meningkat di sisi timur bagian bawah Teluk Banten namun menurun di sekitar
Pulau Panjang
8. Phosphat meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun di laut lepas.
9. Nilai kualitas air secara garis besar berada dalam kisaran layak untuk perikanan
tangkap. Diindikasikan banyak terdapat keramba jaring apung, hasil tangkapan ikan
pada umunya ikan pelagis kecil pada musim April hingga September.
Saran
Diperlukan pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1, musim timur dan
peralihan 2 untuk pengamatan kualitas perairan, serta kondisi oseanografi, sehingga dapat
diketahui pola kualitas perairan pada daerah pesisir untuk mengetahui tingkat kesuburan
perairan. Lebih lanjut dilakukan berdasarkan harian terkait dengan pasang surut dan
berkesinambungan sehingga dapat dilakukan suatu pemodelan untuk memprediksi sistem
kualitas perairan dan tingkat kesuburan lebih akurat.
Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut
No Parameter Satuan Baku Mutu Wisata Baku Mutu Biota
Bahari Laut
Fisika
1. Warna Pt, Co 30 -
3
2. Bau Tidak berbau alami
3. Kecerahan m >6 Coral: > 5
Mangrove:-
Lamun: > 3
a
4. Kekeruhan ntu 5 <5
b
5. Padatan tersuspensi total mg/l 20 Coral: 20
Mangrove:80
Lamun: 20
c o 3( c) 3( c)
6. Suhu C alami alami
Coral: 28 - 30
Mangrove:28- 32
Lamun: 20 -30
Kimia
d ( d) ( d)
1. pH - 7 - 8,5 7 - 8,5
e 3( e) 3( e)
2. Salinitas %o alami alami
Coral: 33 -34
Mangrove:s/d 34
Lamun: 33 - 34
3. Oksigen Terlarut (DO) mg/ >5 >5
4. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015 0,015
5. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008 mg/l 0,008 0,008
Keterangan:
a Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
c Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
Abstract
Probolinggo is one from many cities in East Java which have great potention to develop seaweed cultivation because it
has 44,5 miles of shore line and 178 mi2 wide area. The potention in Probolinggo are yet to developing, Our institute
(Sepuluh Nopember Institute of Technology) have some research about seaweed cultivation, so we suggest Hi-Link
Program to improve the prosperity for the occupant in the coast of Probolinggo. On Hi-Link Program, ITS in cooperate
with UD MAWAS as industry partner to acquire high quality seaweed and Hang Tuah Unoversity as institute partner
which have facility keraginan extraction training. First step, ITS will introduce a seaweed cultivation methods which more
effective and efficient which is rakit long line. Rakit Long line is made from High Density Polyethilene (HDPE) and
develop post-harvest handling to acquire higher quality seaweed. Secondly, Our institute will improve the building
capacity of the population in Coast of Probolinggo by creating smaller groups to process the food product based on
seaweed in expectation that seaweed in Probolinggo not only sale in the form of rough ingredients.Third year, those
smaller groups will develop with the made of the mini plant product which will be the icon of particular product belong to
Probolinggo City. Third Year, those small groups will developing with the construction of seaweed mini plant which can
be the icon of Probolinggo city particular product.
The advantage of Hi-Link Program :
1. Cooperation model of research based technology application between ITS UD MAWAS Dinas
Kelautan dan Perikanan Pemda Kab Probolinggo
2. The increase of Seaweed cultivation business unit
3. Improvement of building capacity in Probolinngos coast occupant through the form of UMKM and
establishment of Seaweed Mini plant.
4. ITS as the proposer can will improve partnership with local state goverment and the industries related
5. Increased competitiveness of UD MAWAS in industrial development food product based on seaweeds
6. Prosperity improvement in the coast occupant as the improving of their seaweed cultivation skills
Keywords : seaweed cultivation development, rakit long line methods from the High Density Polyethilene
(HDPE), seaweed based food product, population prosperity, coast of Probolinggo City
1. Pendahuluan
1.1. Profil dan Kebutuhan Industri Mitra (UD. Mawas)
UD Mawas adalah suatu unit usaha yang bergerak dibidang rumput laut, unit usaha ini didirikan
pada tahun 1995 oleh H. Damanhuri dengan modal pribadi saat itu sebesar 3,2 juta rupiah.
Awal produksi adalah rumput laut kering yang di budidaya di daerah Banyuwangi tepatnya di
daerah Rajakwesi dengan kapasitas produksi pada saat itu mencapai 28 ton pertahun dengan
luas area 2 ha, selanjutnya budidaya berkembang ke daerah Wongsorejo dengan luas area 4
ha produksi mencapai 60 ton per tahun rumput laut kering dengan kualitas ekspor. UD Mawas
terus melakukan ekspansi budidaya rumput laut sampai di daerah di luar pulau jawa salah
satunya di Lampung dengan total produksi rumput laut kering kualitas ekspor sebesar 140 ton
per tahun dengan rata-rata panen 35 ton rumput laut kering. Selanjutnya dengan semakin
tingginya permintaan bahan baku rumput laut kering di pasar internasional maka UD Mawas
kembali mengembangkan budidaya rumput laut di daerah Pacitan-Jawa Timur dengan
kapasitas produksi mencapai 45 ton rumput laut kering setiap panen atau 180 ton per tahun.
Awal produksi rumput laut kering UD Mawas hanya memiliki 11 orang tenaga kerja (budidaya
rumput laut) kemudian berkembang menjadi 22 orang. Peningkatan usaha budidaya rumput
laut disebabkan karena mudah, lahan yang tersedia cukup luas, masa panen relatif singkat dan
harga jual yang relatif tinggi.
UD Mawas memiliki obsesi untuk dapat mengubah badan usahanya dari UD menjadi CV,
namun ada kendala-kendala yang dialaminya diantaranya adalah masalah pemodalan,
1.2. Profil dan kebutuhan pemda (Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Probolnggo)
Kabupaten Probolinggo (Gambar 1) merupakan salah satu kabupaten yang berada di Propinsi
2
Jawa Timur dengan luas wilayah 56.667m , dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan. Luas
kawasan Laut dan Pesisir Kabupaten Probolinggo + 13.593,83 ha atau 9,07 % dari luas daratan
dengan panjang pantai 71,6 km. Wilayah yang termasuk dalam kawasan pantai meliputi
wilayah 7 kecamatan, 34 desa dan 1 pulau. Potensi sumberdaya alam ini cukup besar dan
merupakan modal pembangunan yang potensial untuk dikembangkan dengan menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu keragaman sumberdaya alam laut
dan pesisir yang sangat menunjang kehidupan masyarakat pantai adalah potensi perikanan
tangkap dan budidaya rumput laut.
Budidaya rumput laut di Kabupaten Probolinggo mulai dikembangkan sejak tahun 2007 yang
terkonsentrasi di Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Dringu dan Kecamatan Gending.
(Gambar 2) Produksi rumput laut di Kabupaten Probolinggo meningkat setiap tahun seperti
yang disajikan pada Tabel 1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Probolinggo sangat
mendukung perkembangan budidaya rumput laut, hal ini tercantum dalam laporan anggaran
tahunan yang selalu melaksanakan program peningkatan budidaya rumput laut. Pada tahun
2011 dinas Perikanan dan Kealutan Kab. Probolinggo melaksanakan program pengembangan
usaha udidaya rumput laut, dengan anggaran (DAU + DAK) sebesar Rp. 184.000.000,- realisasi
Rp. 181.200.000,- dipergunakan untuk pengadaan sarana angkut/ panen rumput laut,
pengadaan sarana budidaya rumput laut (Anonymous, 2011).
Selama perjalanan waktu, jumlah pembudidaya rumput laut mengalami penurunan hal ini
disebabkan karena penurunan motivasi pembudidaya. Sampai tahun 2012 hanya dua desa
yang masih aktif melakukan kegiatan budidya yaitu Desa Gending dan Desa Banjarsari.
Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya adalah cuaca, pada umumnya petani budidaya
rumput laut melakukan aktifitas penanaman bibit rumput laut pada bulan Mei sampai dengan
Nopember. Bulan Desember sampai dengan bulan April cuaca sangat tidak mendukung yaitu
angin bertiup kencang dan gelombang tinggi, kondisi ini sangat merugikan petani rumput laut
karena bibit yang mereka tanam terbawa oleh arus. Metode budidaya rumput laut yang
dilakukan oleh masyarakat adalah metode rakit
Jurusan Perikanan salah satu jurusan di Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan UHT yang
memiliki Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan (Lab. PHP). Berbagai kegiatan pelatihan
khususnya pelatihan tentang pengolahan hasil perikanan termasuk ektraksi karaginan dari
rumput laut skala laboratorium dapat dilakukan di Lab. PHP yang memiliki fasilitas dan
peralatan lengkap untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Perguruan Tinggi UHT telah
beberapa kali melaksanakan kegiatan yang terkait dengan bidang kewirausahaan dan
penerapan ipteks.
1.4. Tujuan
Secara umum program yang di usulkan dapat meningkatkan taraf hidup (aspek ekonomi)
masyarakat pesisir Probolinggo dengan memanfaatkan sumberdaya pesisirnya.melalui
penerapan teknologi yang dimiliki perguruan tinggi (ITS) dalam budidaya rumput laut. Hal ini
berarti juga meningkatkan capacity building ITS dalam mengaplikasikan teknologi yang
dimilikinya.
Secara khusus program ini bertujuan untuk :
1. Meningkatkan capacity building masyarakat pesisir Kab Probolinggo dalam penerapan
teknologi temuan Perguruan Tinggi yang dibutuhkan dalam budidaya, pengolahan dan
pemasaran rumput laut hasil budidaya;
2. Menciptakan pola budidaya dan pengelolaan rumput laut oleh masyarakat secara
berkelanjutan dan institusional;
3. Mewujudkan kemitraan antara industri dan masyarakat budidaya rumput laut untuk
memperkuat daya saing;
4. Membangun capacity building masyarakat melalui UMKM sebagai inkubator bisnis dan
mini palnt sebagai sarana produksi produk rumput laut khas Probolinggo.
1.5. Manfaat
Dengan perbaikan metode Budidaya Rumput Laut di masyarakat pesisir Kab. Probolinggo,
dalam kegiatan ini diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
pesisir pembudidaya rumput laut melalui kerjasama antara mitra industri dengan lembaga yang
dibentuk masyarakat pesisir.(kelompok tani / UMKM). Selanjutnya diharapkan dapat terjadi
peningkatan daya saing dan keunggulan lokal dalam kegiatan budidaya rumput laut di pesisir
kabupaten Probolinggo..
Bagi Kabupaten Probolinggo sendiri, kegiatan ini sangat bermanfaat dan mendukung program
kerja Dinas Kelautan dan Perikanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga
yang bertanggung jawab pada Bupati untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir melalui
kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang lestari. Industri rumput laut merupakan industry
yang ramah lingkungan dan zero waste product, karena hasil limbah pengolahan rumput laut
pun masih dapat di olah menjadi pupuk yang bermanfaat.
2. Konsep Program
2.1. Penerapan Teknologi Pada Industri Mitra dan Masyarakat
2.1.1. Tahun Pertama
Pada tahun pertama program Hi-Link akan membenahi sistem budidaya rumput laut di Desa
Banjarsari yang meliputi perbaikan metode budidaya, pembinaan pemeliharaan, pembinaan
pasca panen dan administrasi kelompok pembudidaya rumput laut. Perbaikan metode budidaya
dengan diseminasi teknologi budidaya rumput laut dengan metode rakit long line yang gterbuat
dari bahan HDPE. Dalam kegiatan ini, bambu sebagai material utama budidaya rakit rumput
laut diganti dengan material HDPE. Material ini memang relative lebih mahal dibanding dengan
bambu, namun memiliki fleksibilitas, kekuatan dan daya tahan yang cukup bagus, bahkan
mampu bertahan hingga 50 tahun. Dengan penggunaan material HDPE untuk budidaya rumput
laut, petani tidak akan disibukkan dengan kegiatan penggantian bambu tiap tahun, sehingga
mereka akan lebih berkonsentrasi pada upaya pembibitan, perawatan dan pasca panen. Uji
3. Metode implementasi
Paparan kegiatan program secara rinci dalam 3 tahun duraikan sebagai berikut :
Pada tahun pertama, diseminasi teknologi budidaya rumput laut, meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan motivasi kelompok pembudidaya rumput laut. Masyarakat akan mulai
mengetahui akan pentingnya rumput laut dan mengetahui cara budidaya dan penanganan
pasca panen rumput laut yang benar. Pada tahun pertama, diharapkan kelompok-kelompok
budidaya rumput laut termotivasi untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil panennya.
Teknologi budidaya rumput laut yang akan diintroduksikan pada masyarakat adalah rakit long
line yang terbuat dari bahan HDPE. Rakit ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
rakit bambu yang selama ini digunakan oleh para pembudidaya. Dengan pembinaan perawatan
selama budidaya rumput maka akan meningkatkan produksi rumput laut baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Sebelum memasuki tahun kedua, untuk menciptakan sebuah program
yang berkelanjutan, dilaksanakan evaluasi program pada tahun pertama. Hal ini dilakukan
untuk memastikan bahwa masyarakat telah siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.
Pada tahun kedua, program diarahkan untuk memperkenalkan kepada masyarakat mengenai
pengolahan rumput laut pasca panen. Masyarakat akan diperkenalkan dengan produk-produk
yang bisa dihasilkan dari bahan dasar rumput laut dan intermediate product yang berupa ATC
dan karaginan. Pada tahun ini, diharapkan muncul UMKM-UMKM pengolah hasil budidaya
rumput laut. Seperti pada tahun sebelumnya, akan dilakukan pula evaluasi terkait pengolahan
hasil budidaya rumput laut ini. Jika masyarakat sudah siap, maka di tahun ketiga UMKM yang
sudah terbentuk akan diarahkan untuk berkembang menjadi lebih besar. Mereka akan dibekali
berbagai ilmu, termasuk mekanisasi proses dan strategi pemasaran untuk memasarkan produk-
produk mereka.
Pada tahun ketiga. Berkembangnya pemasaran produk olahan rumput laut yang dihasilkan
oleh UMKM yang teebentuk pada tahun II mendorong tim Hi-Link untuk memibangun Mini Plant
Rumput Laut sebagai sarana untuk meningkatkan produksi. Mini plant dirancang untuk
memproduksi berbagai jenis olahan makanan yang terbuat dari rumput laut selain itu juga akan
dirancang untuk memproduksi produk semi refine carrageena (SRC). Pembangunan mini plant
dilakukan dalam 3 tahap yaitu tahap pertama adalah sosialisasi kepada masyarakat yang
3.2.3. Pelatihan
Pelaksanaan program pelatihan di tiap tahapannya melalui sebuah siklus pelatihan. Siklus
pelatihan ini dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Masyarakat akan mendapatkan
pelatihan. Pelatihan ini akan diberikan oleh industri mitra dan juga perguruan tinggi. Perguruan
tinggi akan memberikan teori-teori yang berkaitan dengan program budidaya rumput laut
sedangkan industri mitra akan memberikan materi dan contoh budidaya rumput laut. Industri
mitra akan mencontohkan secara langsung kepada masyarakat mengenai tata cara budidaya
yang benar. Setelah mendapatkan pelatihan, masyarakat akan melaksanakan material yang
sudah diberikan dalam pelatihan tersebut. Selama pelaksanaan, masyarakat akan didampingi.
Pada akhir pelaksanaan tahapan program, akan diadakan evaluasi. Evaluasi ditujukan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dari pelaksanaan program untuk selanjutnya dilakukan
perbaikan.
ATC dan karaginan merupakan intermediate product yang dibutuhkan industri besar baik
industri dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor
rumput laut dalam bentuk bahan baku kering mendorong tim Hi-Link untuk memberikan
pelatihan dasar tentang pengolahan rumput laut menjadi ATC dan karaginan. Tujuan
pelatihan ini adalah meningkatkan kualitas rumput laut yang hasilkan oleh petani rumput
laut di Kab. Probolinggo agar dapat mengolah rumput laut hasil panennya menjadi ATC dan
karaginan. Pelatihan ini akan diselenggarakan pada tahun kedua untuk 120 orang yang
akan di bagi dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok memiliki anggota 20 orang.
Pealtihan akan diselenggarakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan UHT,
Surabaya.
b. Pelatihan Kewirausahaan
Pelatihan kewirausahaan dalam program Hi-Link ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa
kelemahan yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut diantaranya : ketrampilan dan Mental
SDM yang masih rendah, tenaga penjualan lemah dan kurangnya modal usaha baik finansial
dan non-finansial.
Tujuan program pelatihan ini (Eko Nurmianto dkk, 2005) secara umum antara lain :
mengembangkan kompetensi berwirausaha, mengembangkan kemampuan budidaya rumput
laut dan mengembangkan jaringan pemasaran. Berbagai macam pelatihan rumput laut yang
telah dipersiapkan dan telah pernah dilakukan sebelumnya meliputi beberapa pelatihan antara
lain : Pelatihan Life Skill, Pelatihan Dasar Dasar Manajemen, Pelatihan Proses Produksi,
Pelatihan Desain Logo dan Kemasan, Pelatihan Quality Function Deployment, Pelatihan
membuat rencana bisnis
4. Hasil
Kegiatan program h-link telah berjalan beberapa bulan dan hasil yag telah dicapai adalah :
budidaya rumput laut, pelatihan pengolahan mamin dari bahan rumput laut dan pelatihan
pemodalan dan keuangan serta pengemasan dan branding produk rumput laut
Peserta pelatihan foto Proses pembuatan dodol Hasil pelatihan Jelly rumput
bersama rumput laut laut
4.3. Kemajuan kegiatan pelatihan pemodalan dan keuangan serta pengemasan dan
branding produk rumput laut
Pelatihan dilaksanakan di Kelompok Sumber Rejeki, Desa Banjarsari, Kec. Sumberasih dan di
Kelompok Jangkar Mas, Desa Gending, Kec Gending.
References
Ananymous, (2011): KKP Siapkan 60 Klaster Rumput Laut. http://:kkp-siapkan-60-klaster-
produksi-rumput-laut. Diakses 01 Maret 2012
Anonymous, (2011): Laporan Tahunan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Probolinggo.
Nurmianto, E., Trisunarno, L., Hardi. (2005): Program pengembangan usaha kecil bagi usaha
produksi rokok, usaha kerajinan tangan (handicraft), usaha pengolahan ikan. Materi
pelatihan : life skill, dasar - dasar manajemen, desain logo & kemasan, perancangan
sim pemasaran, proses produksi, desain katalog, quality function deployment, dan cara
menjual di lapangan. Dilaksanakan atas kerjasama antara LPPM ITS PT YTL.
Laporan berkala. Lembaga Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2005.
Nurmianto, E., Waluyohadi, dan Arsyad, I., (2009): Program Manajemen Ergonomi Pada
Pengolahan Limbah Sabut Kelapa Menjadi Industri Kreatif yang Berkelanjutan (Best
Practice: Pelaksanaan CSR di PT. Pupuk Kaltim Bontang). Prosiding Seminar Nasional
XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009.
Nurmianto, E., Priyo Negoro, N., dan Rahmiati, R. (2010): Ergonomic Design on Mobile and
Portable Fish Smooking Tool To Improvement Fish Processing For Improving SME
Competitiveness. Proceedings of International Seminar on Applied Technology, Science,
nd
and Arts (2 APTECS). Surabaya. ISSN 2086-1931. 53-57.
Nurmianto, E., Nugroho Priyo Negoro, And Waluyohadi (2010): Sand and Shell Crafts
Bussiness Group Development in Paiton District, Probolinggo Regency. Proceedings of
International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (2nd APTECS),
Surabaya, 21-22 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Dwito Armono, H. dan Nurmianto, E. (2012): Pengembangan Budidaya Rumput Laut di
Kabupaten Nunukan Sebagai Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia. BNPP (Badan
Nasional Pengembangan Perbatasan), Jakarta, Indonesia.
Titiek Indhira A. (2006): Kajian Kandungan Yodium dan Nilai Organoleptik Biskuit yang
Ditambah dengan Jus Rumput Laut (Eucheuma cottoni). Prosiding Seminar Nasional
dan Gelar Makanan Tradisional Potensi Bahan Pangan Lokal sebagai Makanan
Fungsional UNESA, Surabaya, 10 September 2005. ISBN: 979-445-038-3. Makalah
Hal. A56
Titiek Indhira A. (2009): Modifikasi Metode Ekstraksi Karaginan dari Eucheuma cottonii yang
Dipanen dari Perairan Sumenep Madura. Jurnal Neptunus Majalah Ilmiah Kelautan
Vol. 15 No. 2, Januari 2009 ISSN 0852-2812 Makalah Hal. 74-81
Titiek Indhira A., Arief W dan Taufiqurrahman.. (2011): Ipteks bagi Masyarakat. IbM Rancang
Bangun Mesin Pengolah Limbah Kulit Singkong di UKM TKM Flour Mill. Sampang
Indonesia.
Abstract
This paper contain the IBMs (Iptek Bagi Masyarakat) Fish Fumigation activities with the mobile, portable and
environment friendly fish fumigation device, the technology implementation expect the population in increasing
knowledge, skills, mainly for them to be able to make bloater (ikan asap), improve employment in the fishery field. The
purpose is to motivate their entrepeneurship, and improving the entrepeneur business about fishery business.
The benefit from IBM program is to reduce the environmental effect from open fish fumigation system so the air quality
get better ecpecially the area around UKM fishery, support and strengthen the developing fish industy espicially the local
UKM, gain better quality and quantity profitable patent from the dedication of the local society which sponsored by
Ditlitabmas DIKTI Jakarta.
Kata kunci : technology for society, ergo-desain, fish fumigation, mobile dan portable, UMKM competitiveness
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Industri pengolahan ikan yang berada di Brondong telah ada sejak beberapa tahun yang lalu
akan tetapi sampai sekarang masih belum berkembang dengan baik. Kekurangan modal
membuat mereka tidak mampu untuk meningkatkan kapasitas produksi serta pemasaran yang
terbatas. Mereka masih menggunakan teknologi tradisional.
Melihat keadaan yang demikian, maka masih terdapat peluang untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas melalui PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA KECIL yang sesuai dengan
situasi dan kondisi industri tersebut. Perancangan manajemen, sumber daya manusia, produksi,
keuangan, dan desain pada gilirannya akan meningkatkan daya saing industri kecil tersebut.
Tenaga kerja yang ada di UKM OLAH IKAN memperoleh ketrampilan membuat olah ikan dari
pengalaman kerja selama bertahun-tahun dan ditularkan secara informal. Pekerja UKM OLAH
IKAN berjumlah 6 orang dan masih memiliki hubungan keluarga..
Jumlah pekerja UKM hanya 5 orang, maka spesialisasi pekerjaan belum ada. Sistem
administrasi belum teratur. Mereka masih banyak yang merangkap pekerjaan tanpa melihat job
spesification dan job description, sehingga fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian tidak jelas dan saling tumpang tindih.
Pelaksanaan produksi di UKM OLAH IKAN sudah dilaksanakan dengan aktivitas awal proses
produksi pengasapan ikan lele, dan sampai akhir Januari 2005 sudah menjual ke beberapa
tempat diantaranya SD, forum - forum formal LSM, namun jenis produknya mempunyai cita
rasa dan aroma yang tidak kalah dengan OLAH IKAN lainnya.
Pada saat itu alat yang digunakan adalah alat untuk pembakaran sate kambing atau sate ayam
seperti terlihat pada gambar satu. Alat tersebut kurang memadai dikarenakan hanya dapat
menampung kurang lebih 20 sampai 30 ekor ikan dalam sekali proses pengasapan ikan.
Padahal dalam sekali proses pengasapan ikan memerlukan waktu kurang lebih satu jam,
sehingga kurang dapat mencukupi jumlah pesanan dari konsumen. Disamping itu alat ini
mempunyai kekurangan pada saat proses pengolahan ikan asap, sebagian besar asapnya
mengganggu tetangga atau masyarakat sekitar atau kurang ramah lingkungan (gambar
1).Berdasarkan pada kondisi di atas maka munculah ide Ergo-Desain Alat Pengasapan Ikan
yang Mobile Dan Portable (gambar 2).
Gambar 1 Alat pengasapan ikan yang disumbangkan ke UMKM pada saat program kerjasama
antara PT Power Gen Jawa Timur dan LPPM ITS pada tahun 2005. (Nurmianto dkk, 2005)
1.2 Tujuan
Adapun Tujuan dari kegiatan ini adalah:
a. Merancang alat asap ikan yang mobile, portable dan ramah lingkungan
b. Menerapkan ipteks tentang pengasapan ikan sehingga dapat menambah pengetahuan
pada masyarakat.
c. Meningkatkan lapangan kerja dalam bidang usaha pengolahan hasil perikanan.
d. Dengan adanya kegiatan ini dapat menumbuhkan minat masyarakat untuk berwirausaha
bagi yang belum memulai usaha dan akan meningkatkan usahanya bagi yang telah
memulai usaha pengolahan pengolahan hasil perikanan.
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dengan terlaksananya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Berkurangnya polusi udara yang diakibatkan alat pengasapan ikan sistem terbuka sehingga
kualitas lingkungan udara terutama di sekitar UKM pengolahan ikan menjadi lebih baik.
b. Dapat mendukung dan memperkuat industri pengolahan ikan yang mulai berkembang dan
terutama mendukung UMKM setempat.
c. Menambah kuantitas dan kualitas paten yang dapat dihasilkan dari kegiatan pengabdian
masyarakat oleh LPPM ITS.
2. Tinjauan Pustaka
Pada saat ini, lebih dari 90 % produksi perikanan di Indonesia dihasilkan oleh perikanan rakyat
dan 50 % dari hasil tersebut diperoleh secara tradisional. Peningkatan produksi hasil perikanan
umumnya berorientasi pada kegiatan ekonomi, baik peningkatan produksi pada usaha
perikanan rakyat maupun perikanan industri. Kegiatan industri pengolahan hasil perikanan saat
ini kebanyakan masih menggunakan teknologi sederhana dan pada umumnya masih bersifat
industri rumah tangga, sedangkan industri skala besar umumnya terbatas pada usaha
pengalengan dan pembekuan ikan.
Ada bermacam-macam pengawetan ikan (Moeljanto, 1987), antara lain dengan cara
Pada kondisi dimana musim ikan mencapai puncaknya nelayan mengalami kesulitan dalam
pemasaran mengingat harga jual menjadi rendah. Salah satu alternatif yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat nelayan dan keluarganya adalah mengembangkan usaha
pembuatan dendeng ikan berbasis hasil perikanan setempat.
Pengasapan ikan (Departemen Perindustrian, 2008) adalah pengawetan ikan dengan proses
pengasapan yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Proses pengasapan ikan merupakan
gabungan aktifitas penggaraman, penggeringan dan pengasapan. Adapun tujuan utama proses
penggaraman dan penggeringan adalah membunuh bakteri dan membantu mempermudah
melekatnya partikel-partikel asap waktu proses pengasapan berlangsung.
Dalam proses pengasapan (Nurmianto, dkk, 2009), unsur yang paling berperan adalah asap
yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Pada pengasapan menghasilkan efek pengawetan yang
berasal dari beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya senyawa-
senyawa :
3. Metode
Program pengabdian masyarakat ini akan dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari :
Dua dosen pengabdi dan dua mahasiswa pengabdi. Daerah sasaran pengabdian adalah
Kab.Lamongan , dimana akan dilakukan enam kali perjalanan dari Surabaya ke Lamongan (PP)
untuk survey ke Brondong, Lamongan, Perencanaan Pengabdian, Pelaksanaan Pengabdian,
Pelaksanaan Pelatihan, monitoring Pengabdian dan evaluasi Pengabdian.
Adapun pelatihan pengasapan ikan akan diadakan dengan dua level yaitu Pelatihan
Pengasapan Ikan (Tingkat Dasar) dan Pelatihan Pengasapan Ikan (Tingkat Terampil).
Sementara itu kebutuhan peralatan dan bahan sebagai penunjang kegiatan pengabdia ini
meliputi:
Alat pengasapan ikan yang mobile dan portable, kertas kwarto, hard disk, cartridge printer.
Untuk pembuatan alat asap ikan dikerjakan oleh bengkel permesinan dengan melibatkan
tukang las, tukang potong dan tukang cat.
Dalam pengabdian masyarakat ini akan diberikan bimbingan teknis yang di dukung oleh
buku panduan, spanduk, dan konsumsi. Adapun laporan akan dipublikasikan lewat seminar
atau jurnal.
4. Hasil
4.1. Pembuatan Alat Pengasapan Ikan
Dalam pembuatan Alat Pengasapan Ikan diperlukan gambar kerja, gambar 3D Auto CAD dan
foto hasil produk yang telah dibuat, yang ditunjukkan pada beberapa gambar di bawah ini.
Gambar 4 (a) Foto bersama instruktur dan seluruh peserta (b) Seleksi peserta
(c) (d)
Gambar 6 (a) Ikan sebelum diasap (b) Ikan sesudah diasap (c) Ikan asap siap disajikan (d)
Foto bersama setelah pelatihan
5. Kesimpulan
Dari hasil program pengabdian masyarakat, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Telah dilaksanakan penerapan Pengabdian bagi Masyarakat berupa pelatihan ketrampilan
tentang Metode Pengasapan Ikan dengan materi sebagai berikut :
Pengembangan jiwa wirausaha
Manajemen Keuangan
Desain Kemasan Kreatif
Implementasi Alat Pengasapan Ikan Yang Mobile Dan Portable Untuk Meningkatkan
Pengolahan Ikan Sehingga Dapat Meningkatkan Daya Saing
Para peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pemberi DP2M DIKTI Jakarta yang telah
memberikan dana untuk Program IbM Usah Pengasapan Ikan ini.
Anonymous (2008): Ikan asap. Jakarta : Dirjen Industri Kecil, Departemen Perindustrian.
Moeljanto (1987) Pengasapan dan fermentasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Nurmianto, Eko (2004): Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya (Edisi Kedua), Guna Widya,
Jakarta
Nurmianto, Eko.,Trisunarno, Lantip.,Hardi, John., (2005): Laporan Berkala Program
Pengembangan Usaha Kecil Bagi Usaha Produksi Rokok, Usaha Kerajinan Tangan
(Handicraft), Usaha Pengolahan Ikan. Materi Pelatihan : Life Skill, Dasar - Dasar
Manajemen, Desain Logo & Kemasan, Perancangan SIM Pemasaran, Proses Produksi,
Desain Katalog, Quality Function Deployment, Cara Menjual di Lapangan. Dilaksanakan
atas kerjasama antara LPPM ITS PT YTL. 28 Februari 5 Maret 2005
Nurmianto, Eko., Priyo, Nugroho., Waluyohadi, Rahmiati, Retnani., Wahyu Sasmito Hadi,
Radiq.,Hutama, Irwan.,Anggarini, Mairina., (2009): Implementasi Ergonomi Makro Dan
Teknologi Pangan Dalam Mengolah Limbah Ikan Menjadi Produk Makanan Yang
Sustainable (Best Practice: CSR PT. Indonesia Power UBPPGT, Pasuruan). Prosiding
Seminar Nasional XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009
Nurmianto, Eko,.Tavip Indrojarwo, Baroto.,Hidayat, Taufik (2009): Ergonomic Design For Mobile
And Portable Emergency Disaster Kitchen. 3rd International Conference On Operations
And Supply Chain Management, Penang, Malaysia, 9 - 11 December 2009
*1 1 1
Eko NURMIANTO , Naning ARANTI WESSIANI , Nugroho PRIYO NEGORO , Lantip
1
TRISUNARNO
1
Jurusan Teknik Industri FTI - ITS, Surabaya
*E-mail: nurmi@sby.centrin.net.id
Abstract
Until today, sand, shell and corn waste(klobot) commonly considered as less-used waste. Very unfortunate those waste
above are sold as low price rough ingredients instead of a product which can be sold at better price.
We can make those waste into an handy craft such as tissue box, photo frame, pencil box, etc (see pictures 1 8), all
we need is just a crafting skill which is easy to be done.
The methods we can use is indentify the shore waste, continued by collecting and choosing the preferred waste into
rough ingredient, analyze the society problem around the waste disposal, give gradual training about how to make a
hady craft (basic training, craft, adept), mentoring and monitoring post-training, modal allocation to advance the small
scale craft industry.
Macro ergonomic used as harmonization control between, goverment, private industry, society around the industry and
the waste disposal around the local population as the raw materials.The harmonization is included to related company
which responsible to the local society Corporate Social Respocsibility, CSR).
Goverment already obligate CSR to private firm to improve 3 matters which is people, Profit and Planet, where those 3
matters are appropriate to sustainability concepts. Sustainabiliy concepts is describes that People is local society
around the company,Profit is the benefit from the company used to give training to society and Planet is processing
the waste around the society and the company into a valuable goods.
With the existance of CSR as a training to society had given them an extra point by constructing an oriented crafting
industry in opening an employment and reduce the amount of unemployeed person.
Keywords : society empowerment, coast, creative handycraft, prosperity of the societies economic, CSR
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Di masa krisis ekonomi saat ini dunia industri menghadapi tantangan yang serius.
Meningkatnya nilai tukar US$ terhadap Rupiah telah membuat perusahaan yang bergantung
pada impor mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Sementara itu bahan baku
dalam negeri belum banyak dioptimalkan proses nilai tambahnya.
Kelapa banyak terdapat pada daerah tropik, terutama di sekitar daerah katulistiwa. Di Indonesia
sejak jaman dahulu telah banyak tumbuh pohon kelapa dan merupakan daerah terluas di dunia
yang ditumbuhi pohon kelapa (3,172 juta Ha). Pohon kelapa tumbuh hampir di seluruh
hamparan pulau-pulau di Indonesia. Sehingga tak salah jika Ismail Marzuki melahirkan karya
lagu rayuan pulau kelapa.
Pasir dan kerang banyak terdapat pada daerah tropik, terutama di sekitar daerah katulistiwa. Di
Indonesia sejak jaman dahulu telah banyak pasir dan kerang yang merupakan daerah terluas
nomer dua di dunia yang ada pasir dan kerang. Pasir dan kerang terdapat hampir di seluruh
hamparan pantai-pantai di Indonesia.
Binatang-binatang pantai yang mati di tepi pantai biasanya dianggap sampah atau limbah oleh
masyarakat sehingga limbah tersebut sangat jarang digunakan untuk bahan baku pembuatan
produk-produk kreatif. Padahal, jumlah limbah yang berasal dari binatang-binatang pantai yang
sudah mati sangat melimpah. Gambaran mengenai melimpahnya jumlah limbah sabut kelapa,
pasir kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati dapat dilihat pada gambar 1.1.
Selama ini, kelapa yang dihasilkan oleh petani kelapa masih dijual dalam bentuk bahan baku
dan belum diolah menjadi produk jadi. Padahal, kelapa mempunyai berbagai manfaat misalnya
batang kelapa dapat dibuat menjadi berbagai macam produk, seperti kursi, meja, sketsel,
lampion, almari dan masih banyak lagi produk dari kelapa. Disamping itu sabut dan batok
kelapa dapat digunakan untuk kerajinan seperti Box Tissue, Frame Foto, Jam dinding, Tempat
Pensil, dll (Contoh produk dapat dilihat pada gambar 1.2). Hal itu dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat, terutama di sekitar pesisir.
Selain itu, pemanfaatan pasir dan kerang saat ini hanya sebatas sebagai pelengkap mainan
anak-anak. Sehingga harga pasir dan kerang menjadi sangat murah, disebabkan belum
optimalnya masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan pasir dan kerang. Indonesia
mempunyai potensi penghasil pasir dan kerang yang besar. Selama ini, pasir dan kerang yang
dihasilkan oleh masyarakat nelayan masih dijual dalam bentuk bahan baku dan belum diolah
menjadi produk jadi. Padahal, pasir dan kerang mempunyai berbagai manfaat dan dapat diolah
menjadi produk-produk kreatif (Contoh produk dapat dilihat pada gambar). Hal itu dapat
meningkatkan kemakmuran bagi rakyat setempat.
Jam meja untuk rumah dan perkantoran Kreatifitas masyarakat diekpresikan dalam
(Sabut kelapa) membuat produk (Sabut kelapa)
Botol bekas dan tempat pensi yang telah Frame foto dengan kombinasi ornamen dari
diornamen (Sabut kelapa) buah kering (Sabut kelapa)
Sangat disayangkan, jika limbah sabut kelapa maupun pasir dan kerang yang sangat melimpah
hanya dijual dalam bentuk bahan baku yang bernilai tambah kecil dibandingkan dengan produk
jadi tersebut di atas yang bernilai tambah lebih besar.
Proses pembuatan produk dari limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang
pantai yang mati telah diteliti oleh Eko Nurmianto (2006) dan sebenarnya merupakan suatu
kegiatan membuat kerajinan yang bersifat padat karya sehingga dapat menyerap tenaga kerja
yang besar. Bila industri kerajinan dapat tumbuh dan berkembang, maka akan mengurangi
pengangguran dalam jumlah besar.
Untuk memproses limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
menjadi produk-produk seperti Box Tissue, Frame Foto, Jam dinding, Tempat Pensil, dan lain
sebagainya hanya membutuhkan keterampilan sederhana, yang sebenarnya dapat dilakukan
masyarakat. Pelatihan dalam membuat kerajinan kreatif bagi masyarakat merupakan suatu
hal yang penting untuk meningkatkan pendapatan dan membebaskan warga dari jerat
kemiskinan. Bahkan jika dikembangkan dapat menjadi industri kerajinan pasir tangan
(handycraft) berorientasi membuka lapangan kerja dan mengurangi jumlah
pengangguran.
Selain permasalahan yang di atas, permasalahan lain yang ada pada mitra selain
permasalahan di atas adalah mitra hanya memiliki pembeli tunggal, pembeli tunggal ini akan
membeli dengan jumlah banyak kemudian akan menjualnya dengan harga tinggi di lain tempat.
Ini sangat merugikan mitra karena mitra menjual dengan harga rendah tetapi pembeli tersebut
justru menjual dengan harga tinggi. Hal lain, jika pembeli tersebut tidak memesan dalam jangka
waktu yang lama, maka mitra akan mengalami kebangkrutan.
Permasalahan paling klasik dihadapi oleh mitra adalah menjual barang secara ceroboh dan
dan teledor, dalam ini dikaitkan dengan mitra sering kali tidak memberikan pembungkus
(packaging) pada produk yang ingin dijual, ini membuat pembeli yang ingin membeli produk
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah:
1. Meningkatkan Public Private Partnership antara Pemda Lamongan dan swasta (Kelompok
Usaha Bersama)
2. Memberikan latihan keterampilan tentang cara pembuatan kerajinan kreatif yang berbahan
baku limbah sabut kelapa, pasir kerang, dan binatang-binatang pantai
3. Meningkatkan minat masyarakat berusaha di bidang kerajinan kreatif
4. Meningkatkan nilai tambah limbah pantai
5. Mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan
6. Membantu masyarakat terutama rumah tangga di sekitar pesisir pantai untuk memperoleh
penghasilan rata-rata Tiga Juta Rupiah per Bulan.
1.3. Relevansi
Relevansi penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tersedianya limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
dengan jumlah yang sangat melimpah sebanding dengan banyaknya masyarakat pesisir
pantai (terutama ibu-ibu rumah tangga) yang kurang memiliki kegiatan produktif
b. Program yang akan dijalankan pada penelitian ini sejalan dengan program pemerintah
daerah Lamongan yang akan memperdayakan masyarakat pesisir pantai agar menjadi
masyarakat yang produktif
c. Anggota peneliti pada program ini memiliki kompetensi masing-masing (bisa dilihat pada
tabel) yang sesuai dengan program penelitian yang akan dijalankan
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Limbah Sabut Kelapa
Tanaman kelapa disebut juga tanaman serbaguna, karena dari akar sampai ke daun kelapa
bermanfaat, demikian juga dengan buahnya. Buah adalah bagian utama dari tanaman kelapa
yang berperan sebagai bahan baku industri. Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu
sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah kelapa dan air kelapa (Nurmianto, dkk, 2005).
Daging buah adalah komponen utama yang dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai
ekonomi tinggi. Sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping (by product) dari
buah kelapa juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang nilai ekonominya tidak kalah
dengan daging buah (Nurmianto, 2007; Nurmianto dkk., 2009; Wuryani, 2006). Berbagai produk
dapat dihasilkan dari buah kelapa.
Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa.
Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan
lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium mengandung serat-serat halus yang dapat
digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan
suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa
menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri
atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Nurmianto dkk,
2009; Wuryani, 2005).
India dan Sri Lanka adalah produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor
tahun 2000 masing-masing 55.352 ton dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7
macam produk. Pada saat yang sama, Indonesia mengekspor satu jenis produk (berupa serat
Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat panjang), bristle (serat
halus dan pendek), dan debu abut. Serat dapat diproses menjadi serat berkaret,
matras,geotextile, karpet, dan produk-produk kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat
berkaret banyak digunakan dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas. Debu sabut dapat
diproses jadi kompos dan cocopeat, dan particle board/ hardboard.
Cocopeat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk industri bunga dan pelapis
lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle dapat diolah menjadi hardboard (Nurmianto dkk.,
2009).
Semua kerang-kerangan memiliki sepasang cangkang disebut juga cangkok atau katup yang
biasanya simetri cermin dan pada bagian tengah dorsal yang dihubungkan oleh jaringan ikat
(ligamen), berfungsi seperti engsel untuk membuka dan menutup cangkang dengan cara
mengencangkan dan mengendurkan otot (Wikipedia, 2012).
Pasir adalah contoh bahan material butiran. Butiran pasir umumnya berukuran antara 0,0625
sampai 2 milimeter. Materi pembentuk pasir adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai
tropis dan subtropis umumnya dibentuk dari batu kapur. Pasir tidak dapat di tumbuhi oleh
tanaman, karena rongga-rongganya yang besar-besar. Pasir paling banyak berada di sekitar
pantai atau sungai (Wikipedia, 2012).
3. Metode
Adapun Pelatihan Pembuatan Kerajinan ini Di Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan
akan diadakan dengan empat tahapan yaitu
Pelatihan Tahap 1: Penyuluhan dan Praktek Pembuatan Kerajinan dari limbah sabut
kelapa, pasir kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
Pelatihan Tahap 2: Penyuluhan dan Praktek Desain Kreatif
Pelatihan Tahap 3: Penyuluhan dan Praktek Pemodalan dan Keuangan UKM
Pelatihan Tahap 4: Penyuluhan dan Praktek Teknik Penjualan dan Pemasaran
Metode yang akan digunakan Program penelitian ini akan dilaksanakan oleh tim yang
terdiri dari :
Empat dosen peneliti dan tiga mahasiswa peneliti. Daerah sasaran penelitian adalah
Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan dimana akan dilakukan enam kali
Adapun urutan dari metode pelaksanaan dalam program penelitian ini adalah sebagai berikut:
13. Penyampaian langsung
14. Diskusi / Tanya jawab
15. Latihan dan Implementasi
16. Monitoring dan Pendampingan
17. Pembuatan laporan kemajuan program pengabdian masyarakat
18. Pembuatan Laporan Akhir
19. Presentasi.
4. Hasil Kegiatan
4.1. Hasil pengabdian
Program Pengabdian ini memberikan hasil pengabdian berupa proses pelatihan bertahap untuk
mengembangkan usaha kerajinan pasir kerang. Proses pengembangan tersebut dapat dilihat
pada beberapa gambar sebagai berikut .
Gambar 3 Hasil pekerjaan peserta dari Pelatihan Pembuatan Produk Kerajinan Pasir
Kerang. Produk ini dihasilkan oleh peserta dimana sebelumnya melalui proses sebagai
berikut :
1. Pemotongan karton
2. Merakit produk
3. Pewarnaan pasir
4. Pengeringan pasir warna
5. Proses pembuatan ornamen menggunakan tinta timbul
6. Proses penempelan pasir warna
References
Nurmianto Eko, Lantip Trisunarno, dan Hardi (2005) Laporan Berkala Program Pengembangan
Usaha Kecil Bagi Usaha Produksi Rokok, Usaha Kerajinan Tangan (Handicraft), Usaha
Pengolahan Ikan. Materi Pelatihan : Life Skill, Dasar - Dasar Manajemen, Desain Logo &
Kemasan, Perancangan SIM Pemasaran, Proses Produksi, Desain Katalog, Quality
Function Deployment, Cara Menjual di Lapangan. Dilaksanakan atas kerjasama antara
LPPM ITS PT YTL. 28 Februari 5 Maret 2005
Nurmianto Eko (2007) Pelatihan Pembuatan Kerajinan Sabut Kelapa, Kerjasama antara
LPPM-ITS dan PT. Pupuk Kaltim Tbk Cabang PKBL (Program Kemitraan & Bina
Lingkungan) Wilayah Cabang Kalimantan Timur, Bontang, 04 06 Desember 2007
Nurmianto Eko, Waluyohadi, dan Idrus Arsyad (2009) Program Manajemen Ergonomi Pada
Pengolahan Limbah Sabut Kelapa Menjadi Industri Kreatif yang Berkelanjutan (Best
Practice: Pelaksanaan CSR di PT. Pupuk Kaltim Bontang). Prosiding Seminar Nasional
XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009.
Nurmianto Eko (2009) Pelatihan Pembuatan Kerajinan Sabut Kelapa (Tingkat Dasar),
Kerjasama antara PT ITS Kemitraan dan PT. Pupuk Kaltim Cabang PKBL (Program
Kemitraan & Bina Lingkungan) Wilayah Cabang Kalimantan Timur, Kandangan, 9
Nopember 13 Desember 2009
Nurmianto Eko, Nugroho Priyo Negoro, And Waluyohadi (2010) Sand and Shell Crafts
Bussiness Group Development in Paiton District, Probolinggo Regency. Proceedings of
International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (2nd APTECS), Theme:
Empowering Creativity Through Science And Technology To Enhance Nations
Competitiveness, Surabaya, 21-22 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Nurmianto Eko, Naning Aranti Wessiani, And Waluyohadi (2011) Improving the Society Living
Standards through Training on Making Coconut Handycraft in Paciran District, Lamongan
Regency. Proceedings of International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts
(3rd APTECS), Theme : Resources Optimization Based On Science And Technology
For Nations Self-Reliance, Surabaya, 6 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Wuryani Siti (2005) Kreasi Cangkang Kerang 2, Penerbit Trubus Agrisarana Surabaya
Wuryani Siti (2006) Kreasi Limbah Batok / Tempurung Kelapa. Penerbit Trubus Agrisarana
Surabaya
Hariyanto SOEROSO
hariyanto.soeroso@gmail.com
Shipping Surabaya State Polytechnic
Abstract
Rising culinary enthusiast-food products originally came from the sea in Surabaya are very significant in particular,
especially in deep sea fish living conditions, along with that many fish resto-popping life. Beside the rise of food laced
with preservatives lately very troubling the consumers. In those occasions, many consumers have turned to prefer
buying a living fish instead of dead fish. Means of transport of fresh living fish from the traditional fisherman should be
considered in continuity, from the fish capturing, transport and removal from ship to shore and then delivery to the buyer.
Transportation system using container is expected to gain efficiency, where the container is made in accordance with
the location of cargo hold, so when unloading the cargo from ship to shore are sufficiently lifted by two people.
1. Pendahuluan
Meningkatnya permintaan ikan laut hidup karena adanya paradigma kesadaran dari konsumen
penggemar ikan laut di perkotaan besar menjauhkan konsumsi makanan yang mengandung
bahan pengawet. Sehingga mereka mengalihkan pilihannya dalam hal mengkonsumsi ikan laut
dengan ikan yang kondisi hidup daripada kondisi mati, sebelum dimasak. Dampak dari
banyaknya permintaan ikan laut kondisi hidup ini menjadikan menjamurnya usaha resto yang
menyajikan makanan siap saji ikan laut yang betul-betul ikan yang masih segar. Apalagi dari
jenis ikan Kerapu lumpur, Kerapu macan, Kerapu batu,Kerapu dewa, Kerapu Merah dan
Kerapu Tikus dalam kondisi hidup harga lokalnya saat ini (tahun 2012) sudah mencapai
berkisar Rp 80.000,- sampai Rp 450.000,- per Kg nya. Selain Ikan Kerapu, ikan Baronang dan
Kakap juga menjadi pasar permintaan konsumen yang tidak sedikit. Dari hasil wawancara
pengusaha resto sea food, setiap harinya permintaan masing-masing jenis ikan di restoran rata-
rata 7 ~ 10 Kg, Sayangnya yang bisa menikmati ikan laut hidup rata-rata dari golongan
menengah keatas, jadi belum merata dikalangan masyarakat kecil dapat menikmati.
Ikan laut hidup seperti Kerapu, Baronang, Kakap dan jenis-jenis lainnya merupakan barang
komersial yang dapat cepat mengalami kematian dan kemudian rusak (membusuk). Dengan
demikian karena sifat alami barang ini, maka perlu ada upaya menjaga mutu dari kerusakan.
(Sudradjat et al, 1999). Dalam hal ini perlu dipikirkan oleh para ahli teknologi dalam mengelola
dari saat cara penangkapan, penempatan, pengangkutan/transportasi dilaut maupun didarat
sampai di tempat tujuan konsumen ikan dalam kondisi hidup, hal ini akan menjadikan
penentuan harga jual pasar yang tinggi.(Anonymous, 1986), sehingga diharapkan para nelayan
akan mendapat penghasilan yang lebih baik dari sebelumnya.
Penelitian ini akan membahas selain masalah perencanaan tempat ikan hidup, tetapi juga
masalah bongkar muatan ikan hidup ditempat pelelangan ikan dan penanganan transportasi ke
alamat pelanggan, serta diharapkan ikan tidak rusak akibat bongkar muat, sehingga harga nilai
jual akan menjadi tinggi.
Gambar diatas adalah kapal yang di survey, yang akan dilakukan modifikasi ruang muatnya
untuk menampung ikan laut dalam kondisi hidup, dan gambar 3 dibawah adalah penampang
melintang kapal. Dari penampang gambar ini dirancang penempatan kontainer setiap palkanya,
seperti pada gambar 4.
1
2 4
5
7
6
Sirkulsi air secara fisik akan berpengaruh selain temperatur juga tingkat kelarutan oksigen
didalam air, semakin temperatur turun maka konsentrasi kadar oksigen akan semakin
tinggi.(Schmittou, 1991). Selain itu juga tempratur juga mempunya peran secara proses biologis
pada aktivitas peredaran darah ikan, serta proses pencernaan dan metabolisme. Setiap adanya
peningkatan temperatur media air akan menyebabkan aktivitas metabolisme dan mengurangi
kadar oksigen, demikian juga adanya peningkatan metabolisme yang tinggi akan mempercepat
penurunan kwalitas air oleh senyawa metabolit.(Suparno&Irianto, 1995). Sebaliknya bila
temperatur air menurun secara langsung akan mempengaruhi suhu badan ikan dan suhu
darah. Secara hukum fisika, bahwa bila terjadi temperatur turun, cairan viskositasnya makin
rapat, hal ini terjadi di darah bearti darah akan mengental dan aliran akan melambat (Fujaya,
1999). Dalam proses pencernaan temperatur tubuh berperan pada pengeluaran sekresi asam
lambung, menurunnya proses metabolisme mengakibatkan menurunnya kebutuhan bioenergi
dan secara langsung berdampak pada menurunnya kebutuhab oksigen. Jadi menurunnya
temperatur akan berdampak pada proses menurunnya metabolisme dan kebutuhan oksigen,
sehingga terbentuknya zat toxic (racun) baik berbentuk ammonia (NH ) maupun gas
CO2.(Wedemeyer, 1996).
Tabel .1 Konsentrasi oksigen terlarut pada beberapa suhu air laut dan salinitas
Schmittou (1991)
Oksigen sebagai bahan pernapasan yang dibutuhkan sel untuk melakukan proses reaksi
metabolisme, masuknya oksogen melalui alat pernapasan (insang), pemasokan oksigen murni
bertujuan meningkatkan kadar oksigen terlarut sehingga meningkatkan tekanan pasial gas
oksigen di dalam air untuk meningkatkan proses difusi oksigen ke dalam darah.
Pengangkutan ikan laut dalam kondisi hidup merupakan hal yang sangat penting untuk
dipikirkan dan ditindak lanjuti khususnya untuk kapal nelayan tradisional, masalah ini akan
dapat meningkatkan pendapatan para nelayan dikarenakan harga jul ikan hidup lebih tinggi
disbanding ikan mati.
Rekayasa masalah pengangkutan ikan hidup dari laut ke darat sampai tujuan pelanggan
memanfaatkan beberapa disiplin ilmu, antara lain,bidang biologi,fisika, kimia dan perkapalan
Dari bidang ilmu biologi, adanya manupulasi kondisi biologis (pemuasaan) bertujuan
pengkondisian untuk menekan aktivitas ikan, pencernaan dan metabolisme yang berdampak
pada menurunnya tingkat konsumsi oksigen dan meminimalisir kotoran yang akan menjadikan
Di bidang fisik lingkungan, pengaruh dari temperatur akan berpengaruh, misalnya terjadinya
penurunan suhu air media, mempunyai tujuan menekan tingkat aktifiras ikan sehingga terhindar
dari stress, dengan turunnya aktivitas metabolisme, sekresi enzim pengguna bioenergi menurun
yang berarti kebutuhan oksigen juga turun.
Berkaitan dengan dasar Kimia air, penurunan kadar garam bertujuan untuk menurunkan
aktivitas ikan yang berkaitan dengan bioenergi, serta oksigen terlarut mempertinggi tekanan
parsial gas oksigen didalam air laut sebagai media pengangkut, sehingga proses diffuse
oksigen ke dalam darah semakin mudah.
Dalam bidang perkapalan, mencoba memodifikasi kapal nelayan yang sudah ada,dibuat
pengangkut ikan hidup dengan sistim container . Hal ini untuk mempermudah menjaga ikan
hasil tangkapan tetap hidup, dan saat bongkar muat mudah serta ikan tidak rusak akibat
bongkar muat.
References
Anonymous. 1986. Traning Manual on Marine Finfish Netcage Culture in Singpore. Regional
Seafarming Project RAS/86/024.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.PT Rineka Cipta.
Jakarta.
Hydromax, 1994-2002, Hydromax Pro User Manual, Formating Design Pty Ltd
Jan Olof-Traung, 1955, 1960, Fishing Boats Of The World Vol. 1 and 2, Fishing News Book
Ltd Farnham, Surrey, England
Maxsurf, 1994-2002, Maxsurf Pro 7.16 User Manual, Formating Design Ltd
Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture , A Methode of Fish Production in Indonesia. Central
Research Institute for Fisheries. Jakarta.
Sudrajad, A., W Ismail, dan P.T. Imanto . 1999. Perkembangan Marikultur di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Puslitbang Perikanan. Caringin.
Suparno dan H.E. Irianto. 1995. Transportasi Ikan Hidup dan Teknologi Pascapanen. Proseding
Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring apung Bagi Budidaya Laut.
Jakarta.
Suryaningrum,T.D.,et al. 2001. Ikan Kerapu Hidup Penanganan dan Transportasinya dalam
buku Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Pusliang
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta.
Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology og Fish In Intensive Culture Systems. International
Thomson Publishing Chapman & Hall. New York.
Abstract
The total suspended solid (TSS) is a solid matter that cause turbidity in the body of water. The higher concentration of
TSS in water would cause marine biota deterioration and ecological damage. This study aimed to derive the distribution
of TSS concentrations and its impact on marine ecosystems and potential fisheries development in Banten Bay waters.
The methods involved in this study were remote sensing applications, field work and sampling, and laboratory analysis.
Based on Landsat 5 TM analysis acquired on 18 May 1992, the distribution of TSS concentrations ranged from a low of
<50 mg/l to a high of 70 mg/l and were largely distributed in the estuary and surrounding coasts, indicating the dominant
of fluvial processes. Whilst the analysis of Landsat 7 ETM+ dated 7 August2001 showed the increasing trends of TSS
distribution in both spreading and concentrations, designating the high sediments supply from the river and were
subsequently distributed seaward by the currents and waves. Moreover, the analysis of seawater samples obtained the
TSS concentrations in range of 48156mg/l, showing that the TSS concentrations in Banten Bay were considerably high.
This condition might directly influence the sustainability of marine ecosystems such as coral reefs, seagrass, and
mangroves, which need hospitable environment to survive. Additionally, the potential fisheries development through
marine aquaculture is not recommended in this area regarding the concentrations of TSS were far higher than the
recommended limit for marine biota (5-25mg/l) issued by the State Ministry for Environment (2004).
Keywords: TSS concentrations, marine ecosystems, potential fisheries development
1. Pendahuluan
Total suspended solid (TSS) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan
kekeruhan pada air; merupakan padatan tidak larut dan tidak dapat mengendap secara
langsung. Padatan tersuspensi ini terdiri dari partikel-partikel yang ukurannya > 0.45 m,
misalnya: lumpur, pasir halus, bahan-bahan organik tertentu, jasad-jasad renik dan lainnya
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan
tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut
tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang
tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003).
Konsentrasi TSS yang berlebih (diukur dalam mg/l) d a p a t menciptakan resiko tinggi terhadap
kehidupan biota dalam air dan memiliki dampak langsung terhadap kerusakan ekologis melalui
beberapa mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan
tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3)
Menghambat tumbuhnya telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4)
Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi
makanan; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena
padatan menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat akibat perubahan
ukuran partikel. Dampak tersebut pada gilirannya akan mengurangi keberadaan ikan di laut
karena lingkungan hidupnya sudah rusak atau tercemar (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten
(Gambar 1) hubungannya dengan kondisi lingkungan laut dan potensi perikanan. Pendekatan
yang digunakan adalah integrasi aplikasi penginderaan jauh dan pengambilan sampel, serta
analisis laboratorium.
2. Metode
2.1. Analisis data citra
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari citra satelit Landsat 5 TM path 123 dan
+
row 064 akuisisi tanggal 18 Mei 1992, citra satelit Landsat 7 ETM path 123 dan row 064
akuisisi tanggal 07 Agustus 2001, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar 1110 311
(Bojonegara), lembar 1110 312 (Pasirputih), lembar 1109 633 (Cilegon), dan lembar
1109 634 (Serang), skala 1:25.000 terbitan Bakosurtanal edisi I tahun 1999. Perangkat lunak
yang digunakan terdiri dari ER Mapper 7.0, MapInfo 7.0, dan Arc View 3.2 yang dilengkapi
image analysis untuk mengolah data raster dan vektor serta dalam pembuatan peta-peta
tematik.
Formula yang digunakan untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS pada citra diturunkan dari
algoritma Budiman (2004), hasil penelitiannya di perairan Delta Mahakam. Algoritma tersebut
menggunakan nilai reflektan irradian (R(0-)) dari kanal merah sebagai input, tetapi pada
penelitian ini digunakan nilai reflektan kanal merah yang terkoreksi atmosferik, penurunan
algoritma TSS untuk masing-masing data citra yang digunakan adalah sebagai berikut:
(23.769 * kanal merah)
Landsat 5 TM : TSS (mg/l) = 8.2054 * exp (1)
+
Landsat 7 ETM :
(23.704 * kanal merah)
TSS (mg/l) = 8.1429 * exp (2)
Tahapan selanjutnya adalah klasifikasi citra, bertujuan untuk mengelompokan nilai TSS ke
dalam kelas tertentu. Algoritma yang digunakan untuk proses klasifikasi pada tool formula editor
perangkat lunak ER Mapper 7.0 adalah sebagai berikut:
if i1>0 and i1<50 then 1 else if i1>=50 and i1<60 then 2 else if i1>=60 and
i1<70 then 3 else if i1>=70 and i1<80 then 4 else if i1>=80 and i1<90 then 5
else if i1>=90 and i1<100 then 6 else if i1>=100 and i1<110 then 7 else if
i1>=110 and i1<120 then 8 else if i1>=120 and i1<130 then 9 else if i1>=130
then 10 else null (3)
Analisis sampel air laut dilakukan di laboratorium Produktifitas air dan Lingkungan (ProLing) IPB.
Metode analisis yang dipakai untuk mengukur TSS adalah analisis gravimetri, dimana sampel
air yang ada dimasukan ke dalam gelas fiber dan residu dari air akan nampak di atas filter yang
panas; suhu filter konstan antara 103 - 105. Penambahan berat yang ada pada filter
merepresentasikan berat dari TSS yang terkandung dalam satuan volume sampel.
PETA DISTRIBUSI
KONSENTRASI TSS
PERAIRAN TELUK BANTEN
Keterangan:
Kelas 1 (050 mg/l)
Tl. Banten Kelas 2 (5060 mg/l)
Kelas 3 (6070 mg/l)
Gambar 3. Peta distribusi TSS Teluk Banten (citra Landsat 5 TM 18 Mei 1992)
+
3.1.2 Landsat 7 ETM tahun 2001
Pada citra landsat 7 ETM+ tanggal 7 Agustus 2001, distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk
Banten cenderung meningkat jika dibandingkan dengan distribusi konsentrasi TSS pada tahun
1992 baik dari luas sebaran maupun konsentrasinya. Hal tersebut terlihat jelas dari
perbandingan pola sebaran, dimana konsentrasi TSS paling rendah adalah kelas 4 (7080
mg/l) dan paling tinggi kelas 10 (>130 mg/l) (Gambar 4).
PETA DISTRIBUSI
KONSENTRASI TSS
PERAIRAN TELUK BANTEN
Keterangan:
Berdasarkan kondisi iklim di wilayah Banten, waktu akuisisi data citra yaitu tanggal 18 Mei
1992 dan 07 Agustus 2001, kedua citra Landsat tersebut diakusisi pada musim yang sama,
yaitu musim kemarau. Artinya tidak ada perbedaan iklim pada saat akuisisi kedua data citra
tersebut. Hal ini perlu disampaikan, karena jika musim berbeda, maka distribusi konsentrasi
TSS di perairan pun akan berbeda. Pada saat musim hujan, debit air sungai yang masuk ke
perairan Teluk Banten lebih tinggi, sehingga akan membawa material suspensi sedimen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pada saat musim kemarau.
Selain faktor musim, arus laut yang terjadi baik diakibatkan oleh pasang surut maupun
gelombang merupakan salah satu parameter penting dalam mengontrol dinamika distribusi TSS
di perairan. Karena keberadaan TSS di perairan mengapung (floating), sehingga
pergerakannya tergantung dari arah arus. Untuk mendapatkan gambaran kondisi arus daerah
penelitian dilakukan pemodelan numerik arus laut menggunakan software mike21 dan
pengukuran arah dan kecepatan arus laut secara insitu di lapangan. Kecepatan arus hasil
simulasi berkisar antara 0.05 m/det sampai 0.2 m/det, sedangkan berdasarkan pengukuran
arus secara insitu, kecepatan arus maksimum pada saat pengukuran dilakukan (bulan Juli)
sebesar 0.368 m/det. Sementara arah arus pada saat pengukuran umumnya bergerak ke arah
o
baratlaut (sekitar 300 ).
Kekeruhan yang terjadi di perairan ini lebih disebabkan oleh beranekaragamnya campuran
partikel terlarut seperti lempung, pasir halus dan bahan organik yang diuraikan oleh detritus,
fitoplankton yang berada di permukaan dan jenis organisme mikroskopis lainnya. Pada
umumnya, kumpulan berbagai partikel ini berasal dari aliran yang terbawa dari darat dan juga
berasal dari perairan itu sendiri, sehingga berdampak pada bervariasinya tingkat kekeruhan di
perairan Teluk Banten dari waktu ke waktu.
Tabel 2. Hasil uji laboratorium kandungan TSS air laut perairan Teluk Banten
Gambar 5. Peta kontur distribusi TSS perairan Teluk Banten berdasarkan data Insitu
4. Kesimpulan
Hasil analisis citra Landsat tahun 1992 dan 2001 menunjukkan telah terjadi peningkatan
distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten baik dari luas sebaran maupun
konsentrasinya. Sementara hasil analisis sampel air laut di laboratorium juga memperlihatkan
nilai konsentrasi TSS yang tinggi yaitu antara 48 156 mg/L. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten cukup tinggi dan akan berdampak
langsung terhadap kelestarian ekosistem laut yang memiliki batas toleransi nilai konsentrasi
TSS di perairan seperti terumbu karang (20 mg/l), padang lamun (20 mg/l), dan mangrove (80
mg/l). Selain itu, untuk potensi pengembangan budidaya perikanan laut juga kurang cocok
karena nilai konsentrasi TSS telah melebihi batas toleransi yang direkomendasikan oleh KLH
(2004) untuk biota laut, yaitu 5-25 mg/l.
Abstract
The use of TBT (Tributyltin) as part of antifouling paint has been long time. But the negative effects of TBT, especially to
marine organisms tend to be high; one of them is causing imposex. Dust tobacco (Nicotiana tabacum), which is a waste
of tobacco are known to have Solanesol, a chemical metabolites, which are chemically belonged terpenoids and
potentially use as antifouling. Therefore, the initial test was done using maceration extract of leaves mixed with to ship
antifouling paint. The results after for 28 days showed that the biomass and the extent of biofouling is still quite high and
significant value. Allegedly, the maceration process is still considered insufficient to produce a pure compound
Solanesol.
1. Pendahuluan
Biofouling adalah proses penempelan biota pada benda-benda di laut, termasuk diantaranya
adalah kapal (Sabdono, 2007). Penempelan biota fouling tersebut dapat menyebabkan dinding
kapal menjadi tidak mulus dan berindikasi kasar. Hal ini dapat menurunkan kecepatan dan daya
manuver kapal, bahkan meningkatkan konsumsi bahan bakar. Iselin (1967) menyatakan bahwa
konsumsi bahan bakar kapal yang berlayar di perairan beriklim sedang selama enam bulan di
laut akan meningkat sebesar 35-50%, jika body kapal mengalami penempelan biota fouling.
Selain meningkatkan konsumsi bahan bakar, biofouling juga menyebabkan umur kapal menjadi
lebih pendek karena terjadi korosi. Lukasheva, et al., (1992) dalam Railikin (2004) menyatakan
bahwa penempelan suatu organisme pada material logam secara intensif dapat menimbulkan
korosi pada media di air laut. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa, salah satu hewan biofouling
yaitu teritip dapat merusak lapisan cat yang ada pada material logam. Cangkang teritip yang
tajam mampu merusak lapisan cat hingga setebal 0,2 mm. Dan lapisan cat yang rusak ini
memungkinkan peningkatan korosifitas logam sehingga mengakibatkan umur kapal menjadi
pendek.
Namun, para ilmuwan sudah berhasil menemukan senyawa kimia yang digabungkan dengan
cat kapal yang disebut Trybutyltin (TBT), yang dapat berfungsi sebagai biosida alga, jamur
ataupun serangga (Berge and Walday, 1999). Namun, TBT diketahui mempunyai efek toksik di
perairan sehingga tidak hanya menghambat penempelan biofouling tetapi juga menyebabkan
kelainan imposex pada hewan non target seperti gastropoda Buccinum undatum dan Nucella
lapillus. Kondisi ini akan dapat menyebabkan populasi gastropoda tersebut dapat terancam
punah dan mengganggu kestabilan komunitas di perairan tersebut.
Sidhartan and Shin (2007) berhasil membuktikan bahwa zat metabolit sekunder yang diperoleh
dari tanaman jeruk, jahe, cengkeh, melati dan juga tembakau mampu menghambat biofouling.
Disebutkan pula, daun tembakau (Nicotiana tabacum) memiliki zat antifouling yang paling
efektif mengurangi jumlah pelekatan spora alga. Zat tersebut adalah Solanesol dari golongan
Terpenoid. Diketahui pula, tembakau memiliki kandungan berupa Alkaloid dan asam lemak.
Berpijak dari informasi tersebut, maka dilakukan ujicoba yang bersifat trial and error atau
preliminary study dengan menggunakan ekstrak daun tembakau melalui proses maserasi biasa
2. Metodologi
2.1 Objektif Penelitian
Kegiatan ini sebenarnya merupakan kegiatan yang bersifat trial and error, dengan asumsi
bahwa ekstrak debu daun tembakau mempunyai kandungan senyawa metabolit Solanesol yang
diketahui mempunyai khasiat sebagai antifouling. Oleh karena itu, teknis mekanisme perolehan
senyawa metabolit tersebut diarahkan dengan menggunakan metode yang paling sederhana,
yaitu maserasi.
Sementara itu, debu tembakau diperoleh dari pabrik pengolahan tembakau dan diambil
sebanyak 5 kg. Debu tembakau kemudian direndam dalam ethanol 96% pada erlenmeyer 500
ml dan di shaker/goyang selama 7 hari sehingga terbentuk filtrat yang jernih (Intan, 2008).
Konsep ini disebut dengan metode maserasi. Proses ini sangat menguntungkan karena
perendaman sampel bahan tanaman akan mengakibatkan pemecahan dinding dan membran
sel akibat perbedaan tekanan didalam dan diluar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada
dalam sel dapat larut dalam pelarut organik (Darwis, 2000). Dari proses maserasi akan
dihasilkan supernatant dan pellet. Supernatant merupakan larutan yang berisi pelarut ethanol
dan senyawa metabolit sekunder yang telah larut, sedangkan pellet merupakan bahan debu
tembakau.
Sementara pellet dibuang, supernatant ditampung dalam botol flask 250 ml untuk dikeringkan
dengan menggunakan freeze dryer, yang mempunyai prinsip kerja menghilangkan larutan air
pada bahan ekstrak dengan cara sublimasi. Pada fase ini, larutan ekstrak debu tembakau
0
mengalami proses pembekuan hingga suhu - 4 C dan dikeringkan dengan tekanan dibawah
6,11 mbar selama kurang lebih 8 jam. Dari proses pengeringan tersebut dihasilkan padatan
ekstrak kasar debu tembakau dengan berat mencapai 2,615 gram.
Dan selanjutnya, ekstrak debu tembakau tersebut dengan konsentrasi 1000 ppm diencerkan
sehingga diperoleh konsentrasi perlakuan 10 dan 25 ppm, serta kontrol dengan kandungan
ekstrak debu tembakau nihil atau 0 ppm.
Proses perendaman plat baja dilakukan selama 30 hari. Berat awal (BA) plat baja ditimbang
sebelum perendaman, dan setelah 30 hari perlakuan, plat baja ditimbang lagi sebagai Berat
Basah (BB), sehingga dapat diketahui biomassa basah penempelan dari biofouling dengan cara
mengurangi BB dengan BA. Sementara untuk luasan penempelan, dibuat pola penempelan
dengan menggunakan kertas mika yang kemudian dilakukan lay up untuk mengetahui luasan
penempelan. Kriteria kategori persentase (%) penutupan menurut Zhu and Huang (2004)
adalah :
Tabel 1
Persen penutupan (%) Kategori
< 10 Rendah
10 30 Agak rendah
30 50 Sedang
50 80 Tinggi
80 100 Sangat tinggi
Dari gambar 1 belum dapat diperoleh kecenderungan rerata biomassa basah biofouling yang
Sementara, dari tinjauan persentase luasan biofouling dari berbagai konsentrasi disajikan
sebagai berikut :
Dari gambar 2 terlihat bahwa perbedaan perlakuan dengan konsep konsentrasi ekstrak debu
tembakau yang berbeda ternyata tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Secara
teoritis, seharusnya semakin tinggi konsentrasi, maka semakin sedikit luasan biofouling yang
ditemukan. Gambar tersebut memang menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase rerata
luasan, sehingga untuk menyakinkan hasil ini, dilakukan uji ANOVA one way, dan hasilnya
menyatakan bahwa p-value = 0,405, yang berarti tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar
perlakuan antar konsentrasi ekstrak terhadap persentase luasan biofouling yang terjadi.
Selain itu, dengan menggunakan criteria dari Zhu and Huang (2004), dapat dinyatakan bahwa
penutupan biofouling yang terjadi dikategorikan sangat tinggi. Dan jika digabungkan antara
biomassa basah biofouling dan persentase penutupannya, terlihat bahwa perlakuan dengan
menggunakan gradasi konsentrasi dianggap tidak signifikan.
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub Class : Cirripedia
Order : Thoracia
Family : Balanidae
Genus : Balanus
Species : Balanus amphitrite
Southward (1963)
Gambar 3. Balanus amphitrite
Klasifikasi Tubeworm :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Annelidae
Class : Polychaeta
Order : Spionida
Family : Spionidae
Order : Sabellida
Family : Serpulidae
Tann (1988)
Gambar 4. Tubeworm
Dari gambar 3, spesies Balanus amphitrite diketahui mendominasi penempelan pada plat baja.
Penempelan ini diduga salah satunya dipengaruhi oleh kecerahan. Larva Balanus dikenal
memiliki sifat menghindari cahaya atau fototropik negatif (Ermaitis, 1984). Pada lokasi
perendaman plat baja, tingkat penetrasi cahaya hanya berkisar 98 cm dari permukaan air.
Selain itu, Balanus sp juga memiliki kemampuan untuk menempel dengan baik pada substrat
yang terendam pada perairan laut. Zimmer (2001) dalam Purwani (2006) menyatakan bahwa
Balanus dewasa akan mengirimkan sinyal berupa senyawa kimia Glycyl-Glycyl L-Arginine
(GGR) yang berfungsi sebagai pemicu larva untuk menempel pada suatu substrat dan
kemudian melanjutkan perkembangan ke stadia berikutnya untuk menjadi Balanus dewasa.
Sedangkan dari gambar 4, selain Balanus, organisme lain yang mendominasi adalah dari
phylum Annelida (cacing-cacingan yang berbentuk bulat) yang juga ditemukan menempel pada
plat baja. Morfologi cacing ini berwarna putih, berbentuk seperti tabung dan berkelompok.
Identifikasi cacing tersebut hanya bisa sampai taksa family, yang diduga dari family Spionidae
atau family Serpulidae.
Tann (1988) menyatakan bahwa tubeworm dari family Spionidae merupakan organisme yang
menetap dan umum ditemukan di bebatuan, lumpur ataupun substrat berpasir. Berukuran 0,5-
1,5 cm dan bersifat filter feeders. Sedangkan family Serpulidae umum ditemukan pada
bebatuan lumpur dan substrat berpasir, dan memiliki ukuran lebih besar dibanding Spionidae
dengan kisaran 5-8 cm.
- Konsep laju perbedaan kuantitas dan laju pelepasan senyawa bioaktif antifouling dari
ekstrak.
Burgess, et al., (2003) menyatakan bahwa pada saat ekstrak diberikan bersama-sama
dengan cat, maka ada kemungkinan terjadi laju pembebasan senyawa aktif tersebut ke
permukaan cat dengan kecepatan yang berbeda sehingga akan mempengaruhi
aktivitasnya terhadap organism target. Oleh karena itu, senyawa aktif ini menjadi tidak
efisien dalam mekanisme kerjanya sebagai antifouling.
- Teknik ekstraksi dengan metode maserasi dianggap masih belum mencukupi untuk dapat
menghasilkan ekstrak dengan senyawa aktif seperti Solanesol yang dianggap mempunyai
kemampuan sebagai antifouling.
Proses ekstraksi dengan maserasi dianggap masih belum cukup untuk mengetahui
kadar dan senyawa apa saja yang terkandung dalam ekstrak debu tembakau.
Prasetyoko (2012, short discussion) menyampaikan bahwa perlu beberapa proses
lanjutan untuk mengetahui apakah ekstrak debu tembakau memang mengandung
senyawa Solanesol seperti yang diinginkan. Proses tersebut adalah Kromatografi Layar
Tipis (KLT) untuk mengetahui senyawa apa saja yang ada dalam ekstrak. Setelah
diketahui senyawa metabolit tersebut, maka langkah selanjutnya adalah memisahkan
senyawa yang diinginkan dengan menggunakan alat Gas Chromatography Mass
Spectrofotometry (GC MS), dengan syarat berat molekul senyawa yang akan dicari
telah diketahui dari produk senyawa sejenis yang telah tersedia di pasaran.
Harapannya, dari proses GC MS tersebut, maka dapat diperoleh senyawa Solanesol
dari golongan Terpenoid dan Nikotin dari golongan Alkaloid. Dua golongan senyawa
metabolit sekunder ini dikenal memiliki kemampuan antibakteri yang baik, sehingga
dapat digunakan sebagai senyawa antifouling, terutama pembentukan biofilm, karena
biofouling diinisiasi terjadinya proses penempelan bakteri pada substrat yang
membentuk biofilm.
- Uji chemotaxis assay dan antifouling assay skala lapangan memiliki banyak bias sehingga
mempengaruhi hasil penelitian mengingat parameter-parameter lingkungan tidak bisa
dikendalikan dengan baik.
Oleh karena itu, langkah awal setelah diperoleh ekstrak melalui proses GC MS adalah
dengan melakukan uji chemotaxis assay skala laboratorium. Perbedaan utama antara
kerja senyawa alami antifouling dengan TBT terletak pada mekanisme kerjanya,
dimana TBT cenderung bersifat toksik dengan mekanisme kerja yang sederhana
dengan membunuh bakteri penempel. Sedangkan senyawa alami anfiouling cenderung
bersifat ramah lingkungan dengan mekanisme repellant atau anti adhesive.
Railikin (2004) melakukan suatu percobaan chemotaxis assay sederhana dengan
menggunakan chemotatic chamber yang terbuat dari Plexiglass dengan ukuran 36 x 40
x 80 mm dengan tiga ruang terpisah. Mikroorganisme diletakkan pada bagian tengah
ruang, sedangkan senyawa antifouling diisikan pada ruang yang berbeda dan air laut
pada ruang yang berbeda pula. Kemudian dihitung jumlah mikroorganisme yang berada
pada ruang yang berisi larutan antifouling dan ruang yang berisi air laut.
Chen, et al., (2008) melakukan uji antifouling assay pada skala laboratorium dengan
menggunakan Balanus albicostatus dewasa dan senyawa antifouling dari akar
mangrove Ceriops tagal. Langkah awal, B.albicostatus dimasukkan dalam air laut
0
buatan dengan salinitas 30 promil dan temperature 25 C. setelah 12 jam, B.albicostatus
akan menghasilkan larva tahap nauplius. Larva ini dipelihara selama 6 hari dengan
kondisi salinitas dan temperatur yang sama agar mencapai tahap cyprids. Tahap
cyprids inilah yang kemudian dipapar dengan beberapa konsentrasi senyawa
antifouling yang diperoleh dari akar mangrove C.tagal. Jumlah cyprids yang berhasil
menempel dan mati dihitung dengan menggunakan mikroskop stereo. Dan dari sini
4. Kesimpulan
o Beberapa konsentrasi ekstrak debu tembakau dengan proses maserasi
menggunakan pelarut ethanol 96% tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
biomassa basah dan juga luasan penempelan biofouling pada plat baja yang
direndam selama 30 hari perlakuan.
o Makrofouling yang dominan menempel pada plat baja percobaan adalah Balanus
amphitrite dan Tubeworm dari family Spionidae dan/atau Serpulidae.
o Perlu dilakukan teknik ekstraksi yang lebih detail dibandingkan metode maserasi
biasa, sehingga dapat dipastikan akan diperoleh senyawa metabolit sesuai yang
diinginkan yaitu Solanesol yang lebih murni.
o Uji pada skala lapangan sebaiknya dilakukan setelah uji skala laboratorium dengan
menggunakan teknik chemotaxis assay ataupun antifouling assay, sehingga
standar konsentrasi yang bisa diaplikasikan pada skala lapangan menjadi lebih
fokus.
Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih pada pihak PT Dok Perkapalan Surabaya yang
menyediakan lokasi untuk penelitian ini, kemudian pihak PT Hempel yang memberikan bantuan
berupa plat baja standar untuk pembuatan kapal dan juga pihak-pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu dalam paper ini.
References
Al Juhni, A.A. 2006. Incorporation of Less Toxic Antifouling Compounds Into Silicone Coatings to
Study Their Release Behaviors. A Disertation University of Akron. Akron United
States
Burgess, J. G., K.G. Boyd, E. Armstrong, Z. Jiang. L. Yan, M. Berggren, U. May. T. Pisacane, A.
Granmo, and D,R. Adams. 2003. The Development of a Marine Natural Product
Based Antifouling Paint. Biofouling 19 : 197-205
Berge, J.A and Walday, M. 1999. Alternatives to the use of TBT as an antifouling agent on the
Hull of Ships With Special Reference to Methods not Involving leaching of Toxic
Compounds to the Water. Report No. O-98149 Norwegian Institute for Water
Research pp. 1-34
Chen et al. 2008. Antifouling Metabolites from the Mangrove Plant Ceriops tagal. MDPI 13, 212-
219
Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan Alam Hayati.
Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia di dalam Bidang Kimia Organik
Bahan Hayati. FMIPA, Universitas Andalas. Padang
Ermaitis. 1984. Beberapa Catatan Mengenai Marga Balanus. Buletin Oseanografi Indonesia
LIPI Jakarta Vol IX No :3 :96-105
Intan, S. M. 2008. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Majapahit (Cresentia cujete C.) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aereus dan Streptococcus pyogenes Secara
Invitro. Tugas Akhir Program Sarjana Biologi FMIPA ITS. Surabaya
Iselin.1967. The Effect Of Fouling In : US NAVAL INSTITUTE Marine Fouling and its Prevention.
Contrib n 580. Annapolis. Woods Hole Oceanographic Institution
Matsumura, K, Hills J.M, Thomason, P.O, Thomason, J.C, Clare, A.S. 2000. Discrimination at
Settlement in Barnacles: Laboratory and Field Experiments on Settlement Behaviour
in Response to Settlement-Inducing Protein Complexes. Biofouling: The Journal of
Bioadhesion and Biofilm Research Vol 16(2-4), pp 181-190
Prasetyoko, D. 2012. Short Discussion as personal expert.
Purwani, I.D. 2006. Kelimpahan Larva Teritip di Perairan Sekiar Tiang Pancang Jembatan
Suramadu Surabaya. Tugas Akhir Program Studi Biologi FMIPA ITS. Surabaya
Rachmawati, A. 2002. Pengaruh Warna Cat Dekoratif Terhadap Penempelan Teritip dan
Biomassa Biofouling pada Substrat Baja di Perairan Ujung Surabaya. Tugas Akhir