5317 10788 1 PB
5317 10788 1 PB
5317 10788 1 PB
[JDS]
JOURNAL OF SYIAH KUALA
DENTISTRY SOCIETY
Journal Homepage : http://jurnal.unsyiah.ac.id/JDS/
E-ISSN : 2502-0412
Abstract
Supernumerary teeth is one of the etiology of crowding and a serious problem for patients because it
can be a risk factor supernumerary tooth malocclusion especially if it grows in the anterior part
between the two incisor teeth ( mesiodens ) so that patients feel uncomfortable which can result in
disturbing appearance . The etiology of supernumerary teeth from heriditer factor , disruptions /
anomalies growth of teeth and other tissues as well as some theory that suggests the etiology such as
avatisme theory and the theory of dichotomy . Male patients aged 9 years came to the Department of
Orthodontics RSGMP FKG USU with complaints of upper anterior teeth crowding . Changes in
treatment results obtained within 4 months using removable orthodontic device is active . Early
treatment in this case is recommended due to prevent malocclusion become more severe . This tool is
easy to make, efficient and well tolerated by patients .
spesies kera mempunyai 44 gigi sehingga ditemui adanya gigi supernumerary adalah
pada saat ini masih terdapat manusia yang pada rahang atas (mesiodens) , di mana 80 %
mempunyai jumlah gigi yang lebih dari dari semua gigi supernumerary ditemukan
normal atau gigi supernumerary. pada daerah insisivus rahang atas, jarang
2. Teori hypergenesis epithel bahwa gigi ditemukan di daerah distomolar rahang atas,
supernumerary juga dapat terjadi akibat premolar rahang bawah, premolar rahang atas,
hipergenesis epitel dimana sisa lamina dental distomolar rahang, caninus , dan gigi insisivus
atau cabang palatal lamina dental yang aktif rahang bawah.5,6
dirangsang untuk berkembang menjadi benih
gigi tambahan sehingga terbentuknya gigi
supernumerary. LAPORAN KASUS
3. Teori Faktor Keturunan(herediter); gigi
supernumerary merupakan suatu kelainan Anak laki-laki berusia 9 tahun datang
yang diturunkan dan dibawa oleh suatu gen ke dokter gigi dengan keluhan gigi depan atas
mutan. Teori ini didukung oleh peningkatan tidak rapi. Pada pemeriksaan ektra oral,
penemuan kasus gigi supernumerary pada bentuk wajah mesoprosopic dengan profil
pasien dengan anomali dentofasial seperti wajah cembung (Gambar 1)
celah bibir atau palatum dan cleidocranial
Pada pemeriksaan intra oral dijumpai
dysplasia.
pada regio 11 dan 21 ada gigi supernumerary
4.Teori Dikotomi, yaitu benih gigi terbagi dua
di rahang atas, jumlah gigi lengkap, karies
saat perkembangannya. Satu bagian akan
pada beberapa gigi, gingival yang sehat,
berkembang menjadi gigi normal sementara
frenulum labial normal, palatum dangkal
satunya lagi berkembang menjadi gigi
(30,7%). Pasien menelen dengan normal,
supernumerary seperti mesiodens.
penutupan mulut ,bibir menutup normal, dan
Gigi berjejal terjadi akibat tidak
tidak memiliki kelainan sendi rahang. Pada
harmonisnya ukuran gigi dan panjang
pemeriksaan model dijumpai: relasi molar
lengkung rahang. Misalnya, ukuran gigi yang
pertama gigi permanen kanan dan kiri Klas I
terlalu besar, lengkung rahang yang terlalu
Angle, garis median rahang atas bergeser
pendek atau jumlah gigi lebih dari normal.
kekiri 2mm dan normal pada mandibula,
Gigi supernumerary merupakan salah satu
Overjet (+) 3 mm pada gigi 11 terhadap 41
etiologi gigi berjejal. Misalnya, adanya gigi
dan (+) 6 mm pada gigi 21 terhadap 31,
supplemental insisif lateral, dapat
Overbite (+) 2 mm pada gigi 11 terhadap 41
menyebabkan gigi-gigi pada regio anterior
dan (+) 3 mm pada gigi 21 terhadap 31.
maksila berjejal oleh karena kekurangan
(Gambar 2).
tempat dengan tumbuhnya gigi tambahan
Pemeriksaan radiografi sefalometri
tersebut.3
menunjukkan relasi rahang Klas I skeletal,
Pada gigi berjejal yang disebabkan
konveksitas wajah skeletal cembung, rotasi
oleh gigi supernumerary sebaiknya dilakukan
mandibula normal, pola pertumbuhan wajah
ekstraksi untuk mendapatkan ruang yang
normal, inklinasi insisivus maksila normal,
dibutuhkan, selanjutnya gigi berjejal dapat
inklinasi insisivus mandibula proklinasi, dan
dikoreksi dengan menggunakan piranti
kedudukan bibir atas dan bawah didepan garis
ortodonti lepasan atau cekat . Perawatan
estetis,semua benih gigi lengkap. (Gambar 3
ortodonti harus dilakukan sesegera mungkin
dan tabel 1).
untuk menghindari efek samping dari
pertumbuhan skeletal wajah.3,4
Prevalensi gigi supernumerary pada
periode gigi permanen yaitu dari 0.1% sampai
3.8% dan dari 0.3% sampai 0.6% pada
periode gigi sulung. Pada gigi permanen, gigi
supernumerary lebih banyak terjadi pada laki-
laki dibanding pada perempuan dengan
perbandingan 2:1. Lokasi yang paling sering
104
Fitria /J Syiah Kuala Dent Soc, 2016, 1 (2): 103-109
Gigi supernumerary
105
Fitria /J Syiah Kuala Dent Soc, 2016, 1 (2): 103-109
Tabel 1. Hasil Pengukuran Radiografi untuk mendorong gigi 22 ke arah labial, dan
Sefalometri klamer Adams ( = 0,7 mm) pada gigi molar
Jenis Pengukuran Hasil Pengukuran pertama permanen sebagai retensi (Gambar
Sefalometri Sefalometri 4).
Skeletal
SNAo 85 o
SNBo 82 o
ANBo 3o
NAPog 4o
MP:SNo 31 o
NSGno 66 o
Pog:NB 2o Gambar 4.Piranti ortodonti: A. Labial bow aktif
dengan Z spring.
Dental
I:I 140 o KEMAJUAN PERAWATAN
Setelah empat bulan terjadi
I : SNo \ 103 o perubahan pada overjet pada gigi 21 terhadap
I : MPo 97 o 31 menjadi 2 mm yang sebelumnya 6 mm,
I : APogo mm 8 mm posisi gigi 21 sudah sejajar lengkung dengan
menggunakan piranti labial bow aktif, untuk
I : NB mm 5 mm
meretraksi gigi 21 kearah palatal, yang
E:Ls 2 mm sebelumnya ke labial. Posisi gigi 22 sudah
E:Li 2 mm sejajar lengkung dengan menggunakan Z-
spring yang sebelumnya posisi ke palatal .
Instruksi kebersihan mulut diberikan, dan
RENCANA PERAWATAN piranti diperiksa dan diaktivasi setiap 2
Perawatan dengan piranti ortodonti lepasan minggu. Profil wajah pasien sedikit berubah
rahang atas sistem plat. Pra perawatan setelah perawatan (Gambar 5,6 dan 7).
dilakukan pencabutan gigi supernumerary .
Pada rahang atas menggunakan labial bow
aktif ( = 0,7 mm) dan Z spring ( = 0,6 mm)
106
Fitria /J Syiah Kuala Dent Soc, 2016, 1 (2): 103-109
107
Fitria /J Syiah Kuala Dent Soc, 2016, 1 (2): 103-109
109