Masjid Tua Kampung Laut

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

MEMANTAPKAN HISTORIOGRAFI MASJID TUA KAMPUNG LAUT

MELALUI ANALISIS PERBANDINGAN DENGAN MASJID AGUNG DEMAK

Mastor Surat Department of Architecture, Universiti Kebangsaan


Malaysia (UKM), Kuala Lumpur, Malaysia
e-mail: mastor@vlsi.eng.ukm.my

Nangkula Utaberta Department of Architecture, Universiti Kebangsaan


Malaysia (UKM), Kuala Lumpur, Malaysia
e-mail: nangkula_arch@yahoo.com

Abstract
The importance of this research is to ensconce the historiography of Masjid Tua Kampung Laut through data
collection, observation, analysis and comparative study on ancient mosques at Malay World with emphasis on
Masjid Agung Demak situated at Jawa Tengah Province. Both mosques have similar characteristics on typology
but have different histories. The historiography of Masjid Tua Kampung Laut is related to the spread of Islam to
the whole Malay World especially at Jawa Island and Champa, however until today has no cross research been
done to correlate the historiography of the three places. Eventhough Masjid Tua Kampung Laut has a unique
history, not much research and writing have been done about it. So far, most of the writings on the mosque are
done by Abd. Rahman Al-Ahmadi, students of Universiti Teknologi Malaysia, Abdullah Mohamed (Nakula) and
Salleh Mohd. Akib. These researchs and writings were made based on heresay and laymen observation to the
surviving structure. Therefore, this research is made with the intention to enrich and develop intellectual
discourse in the aspect of traditional Malay architecture especially on the development of Muslim architecture
of Malay World. The scope of this research is focused on site survey with critical and analytic observation,
verbal information by the local communities and literature reviews. From the gathered information, a
theoretical framework is developed concurrent with the rising of new issues which all the while have not been
discussed in a proper systematic way especially on the aspects of design approach and construction tradition of
both mosques. Besides that, the ealiest theories on the origin, architectural approach and construction aspects
were intepereted in different perspectives. The outcome of this research will provide a clearer overview on
architectural development of the earlier Muslims in the Malay World.

Keywords: Traditional mosque, Malay World, Islamic Architecture, historiography

Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk memantapkan pensejarahan Masjid Tua Kampung Laut melalui pengumpulan data,
pengamatan, analisis dan studi banding atas beberapa buah masjid tradisional di Alam Melayu, dengan
penekanan pada Masjid Agung Demak yang terletak di wilayah Jawa Tengah. Kedua masjid tersebut mempunyai
persamaan dari segi tipologinya tetapi mempunyai sejarah yang agak berbeda. Walaupun historiografi Masjid
Tua Kampung Laut telah dikaitkan dengan perkembangan Islam di seluruh Alam Melayu khususnya di Pulau Jawa
dan Champa, namun sampai saat ini masih belum ada kajian komprehensif yang mengaitkan pensejarahan di
ketiga tempat tersebut. Walaupun Masjid Tua Kampung dikatakan mempunyai nilai sejarah yang istimewa,
tetapi tidak banyak kajian yang telah dilakukan atas masjid ini. Sejauh ini kajian dan penulisan yang telah
dibuat hanya berkisar kepada tulisan-tulisan yang telah dibuat oleh Abd. Rahman Al-Ahmadi, mahasiswa-
mahasiswa Universiti Teknologi Malaysia, Abdullah Mohamed (Nakula), dan Salleh Mohd. Akib. Tulisan dan kajian
tersebut telah dibuat hanya berdasarkan kepada perbincangan dan sejarah lisan serta pengamatan secara
umum atas bangunan masjid yang masih berdiri. Karena itu, kajian ini dilakukan untuk memperkaya dan
mengembangkan wacana intelektual di dalam aspek arsitektur tradisional Melayu terutama terhadap
perkembangan arsitektur masyarakat Muslim dalam dunia Alam Melayu. Ruang lingkup kajian ini difokuskan
pada survey lapangan dengan prinsip-prinsip kajian kritis dan analitis, sejarah lisan masyarakat setempat, serta
kajian pustaka. Melalui informasi yang berhasil dikumpulkan ini, kerangka kerja teoretis dikembangkan
bersama dengan beberapa isyu baru yang selama ini belum didiskusikan secara sistematis, terutama yang
melibatkan aspek-aspek pendekatan perancangan dan tradisi membangun pada kedua masjid itu. Selain itu,
teori-teori awal mengenai asal-usul, pendekatan arsitektural, dan aspek-aspek bangunan telah diinterpretasi
dalam perspektif yang berbeda. Hasil daripada kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas terhadap perkembangan arsitektur masyarakat Muslim terdahulu di Alam Melayu.

Kata kunci: Alam Melayu, masjid tradisional, historiografi, Arsitektur Islam

32 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


Pendahuluan: Kajian dan Penulisan mengenai peradaban Orang Melayu, khususnya di Semenanjung
Arsitektur Masjid di Alam Melayu Tanah Melayu, yang membawa bersamanya pelbagai
Masjid adalah sebuah bangunan yang secara informasi penting untuk dimanfaatkan oleh
umum dipahami sebagai tempat shalat bagi orang masyarakat keturunannya saat ini dan akan datang.
yang beragama Islam. Dalam sebagian besar Kebanyakan masjid ‘besar’ yang ada di Malaysia
penulisan, masjid dipaparkan sebagai sebuah rumah saat ini dibangun semasa zaman penjajahan Inggris
ibadah yang mewadahi ritual peribadatan berkaitan di Tanah Melayu, seperti Masjid Ubudiah Kuala
dengan pelbagai jenis shalat dan kegiatan lain Kangsar, Masjid Jamek Kuala Lumpur, Masjid
seperti tempat pendidikan agama yang Muhammadi Kota Bharu, Masjid Jamek Muar, Masjid
menggunakan metode ceramah. Penulisan lain Sultan Abu Bakar Johor Bahru dan sebagainya, dan di
banyak pula yang mengandung pemikiran mengenai zaman pascakemerdekaan, seperti Masjid Putrajaya,
arsitektur masjid sebagai sebuah seni arca agung Masjid Wilayah Persekutuan, Masjid Shah Alam, dan
dari suatu kaum atau bangsa, yang memamerkan sebagainya. Arsitektur masjid-masjid itu telah
kehebatan teknologi, ukiran, dan seringkali merujuk kepada bahasa arsitektur sebagaimana
berukuran besar, hebat, dan megah. Namun masjid di kawasan Timur Tengah, Turki, dan Eropa
demikian, terdapat pula segelintir pengkaji dan Selatan, dan tidak menjurus ke arah gagasan
penulis, seperti Mohamad Tajuddin, Sidi Gazalba, pemikiran arsitektur dari leluhur bangsa Melayu
dan Ismail Sarageldin yang mengetengahkan gagasan sendiri. Lebih jauh, gaya arsitektur kebanyakan
pemikiran masjid sebagai pusat pembangunan masjid tersebut juga tidak menggambarkan
masyarakat. ‘semangat jiwa setempat’ dan ‘semangat jiwa
Terdapat dua kemungkinan implikasi atas sezaman’, melainkan lebih mengarah kepada
pemikiran masyarakat dari ketiga jenis wacana yang peniruan dan pengulangan semata.
berkaitan dengan arsitektur masjid tersebut. Hal ini sangat disayangkan, karena masyarakat
Kemungkinan pertama adalah terhadap gagasan muslim di Alam Melayu umumnya dan di Malaysia
pemikiran masjid sebagai pusat ritual ibadah dan khususnya terlebih dahulu telah diperlihatkan
sebagai tugu atau perlambangan Islam. Arsitektur dengan bentuk arsitektur masjid yang berbeda dari
masjid semacam ini seringkali memaparkan karakter yang telah dinyatakan di atas dengan bahasa
arsitektur Timur Tengah yang besar, megah, dan arsitekturnya sendiri yang secara langsung telah
mempunyai banyak ornamentasi dan perlambangan. mempertimbangkan pelbagai perihal mengenai iklim,
Perancangan tapaknya seringkali menyerupai sebuah teknologi bangunan, dan sosio-politik masyarakat
tugu yang megah di atas bukit yang terpisah dari setempat. Kita juga telah diperkenalkan dengan
bangunan lainnya. Sementara itu, kemungkinan klasifikasi dan tipologi bumbung masjid yang
kedua adalah terhadap rancangan masjid sebagai beragam, seperti bumbung meru bertingkat,
pusat pembangunan masyarakat. Arsitektur sebagai bumbung panjang, bumbung limas, dan gabungan
pusat masyarakat biasanya memiliki bentuk dan antara bumbung pelbagai bangunan tersebut.
ukuran yang kecil, terletak di tapak yang menjadi Penghasilan masjid warisan Melayu juga sering
bagian dari jalinan pemukiman dan kota, tidak dikaitkan dengan pembangunan masjid di Tanah
terpisah dari lingkungan sekitarnya, serta memiliki Jawa yang dikatakan dipengaruhi oleh kepercayaan
gaya yang tidak asing dan monumental. Hindu – Budha - Animisme yang dipraktekkan oleh
Kemungkinan implikasi pertama atas pemikiran masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam dan juga
masyarakat itu bisa jadi dikarenakan sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan para pendakwah Islam di
masyarakat masih belum mengenal nilai-nilai murni masa awal masuknya Islam di Tanah Jawa.
yang telah dibangun oleh masyarakat terdahulu Penghasilan klasifikasi masjid sedemikian telah
mengenai aturan kemasyarakatan mereka. Hal ini mengundang pelbagai permasalahan tentang
adalah salah satu akibat dari kurangnya informasi mengapa bumbung tersebut dibuat sedemikian. Oleh
mengenai latar belakang masyarakat terdahulu karena itu, kajian yang telah dilakukan mencoba
tersebut. Kita lebih banyak memperoleh informasi untuk mencari kemungkinan pelbagai jawaban yang
dari masa penjajahan yang sebagian besar ditulis berguna bagi para arsitek, engineer, mahasiswa
oleh golongan penjajah, dan pada saat yang sama arsitektur, pemerintah, dan sebagainya sebagai
menafikan penulisan yang telah dihasilkan panduan dalam proses perancangan bangunan.
sebelumnya oleh masyarakat setempat dengan cara Kajian dan penulisan juga ini tidak bertujuan
pemusnahan atau pengangkutan sepihak ke negara untuk menolak sama sekali atau semata-mata untuk
asal mereka untuk bahan kajian mereka sendiri. mengemukakan teori baru sebagaimana yang
Karena itu, pengkajian atas Masjid Tua dikemukakan, tetapi juga bertujuan untuk
Kampung Laut perlu terus dilanjutkan. Hal ini menambah dan mengembangkannya lagi melalui
dikarenakan masjid tersebut adalah satu-satunya prinsip dan pendekatan yang berbeda. Hasil dari
bangunan tradisional Melayu murni tertua yang kajian ini diharapkan akan dapat memberi gambaran
masih berdiri. Masjid ini adalah bukti nyata tentang yang lebih jelas terhadap perkembangan arsitektur

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 33


masyarakat muslim Melayu terdahulu, terutama di kurang jelas dan penyesuaian atas teori bangunan
Alam Melayu, yang selama ini sering dirujuk melalui modern tanpa memberikan bukti dengan jelas.
persempadanan politik yang terbatas. Melalui kajian Kenyataan beliau mengenai klasifikasi masjid lebih
perbandingan ini, perkembangan arsitektur bersifat bentuk dan tampilannya, tanpa mengetahui
tradisional akan dilihat secara lebih menyeluruh nilai yang tersirat di balik klasifikasi tersebut.
sebagaimana ia berlaku di suatu masa yang lalu. Pengkajian keempat dilakukan oleh Abdullah
Tujuan utama kajian ini adalah sebagai bahan Mohamad atau Nakula. Nakula telah memberikan
masukan agar historiografi Masjid Tua Kampung Laut penafsiran arsitektur masjid berdasarkan perlamba-
diperbaharui setelah sekian lama kajian dan ngan atau ikonografi atas unsur bangunan di sebuah
penulisan atasnya tidak dilakukan. Informasi dan masjid, dan seterusnya memperkenalkan teori
hasil yang diperoleh diharapkan dapat membantu perancangan masjid berdasarkan pada gagasan
pengkajian selanjutnya, terutama untuk membangun pemikiran sufistik. Metode semacam ini telah
teori tentang tipologi masjid tradisional Melayu digunakan pula oleh Syed Hussein Nasr dan Titus
berbumbung meru dari khasanah Alam Melayu. Hal Butckhardt, dan bisa jadi gagasan pemikiran mereka
ini dikarenakan terdapat teori umum masa kini yang telah mempengaruhi Nakula di dalam pengkajiannya.
menganggap bahwa berbagai penjenisan masjid Pengkajian kelima dilakukan oleh Mohamad
tersebut datangnya khusus dari Alam Melayu dan Tajuddin Mohamad Rasdi. Beliau telah
didasarkan pada gaya dan perwatakan kuil dan candi memperkenalkan pendekatan perancangan masjid
dari kepercayaan Budha, Hindu dan Animisme. dengan berdasarkan analisis sosio-politik yang
Kajian ini penting sebagai salah satu sumbangan berdasarkan kepada dua sumber hukum Islam, al-
kepada pengetahuan sejarah tentang pembangunan Qur’an dan al-Hadits. Kajian telah memperlihatkan
arsitektur masjid-masjid di Alam Melayu dan juga bagaimana historiografi arsitektur Barat telah
teori yang berkaitan dengan dasar pemikiran atau memberikan gambaran yang kacau tentang peranan
prinsip-prinsip perancangan masjid warisan Melayu. masjid dan arsitekturnya.
Lebih jauh, jika merujuk kepada perkembangan Selain kelima jenis pengkajian di atas, terdapat
kajian atas arsitektur masjid sebagaimana yang telah pula dua jenis pengkajian yang telah dilakukan, yaitu
dinyatakan oleh Mohamad Tajuddin dalam bukunya oleh Abdul Rahman Al-Ahmadi pada tahun 1978, dan
‘Muslim Architecture in Peninsular Malaysia’, oleh Mizan Hitam & Anuar Talib pada tahun 2005.
terdapat lima jenis penulisan yang telah dibuat Tulisan Abdul Rahman Al-Ahmadi adalah mengenai
mengenai arsitektur masjid di Malaysia1. Pertama upaya pemindahan yang telah dilakukan atas Masjid
adalah sebagaimana yang telah dibuat oleh Abdul Tua Kampung Laut dan sedikit mengenai historiografi
Halim Nasir. Beliau adalah seorang pengembara, masjid ini2. Tulisan Mizan Hitam & Anuar Talib
wartawan dan penulis yang telah banyak senada dengan tulisan David Mizan Hashim, yaitu
meninggalkan dan menyumbangkan dokumentasi, mengenai klasifikasi masjid yang lebih bersifat
lakaran, catatan perbincangan dan catatan beliau bentuk tampilan bangunan3.
sendiri tentang masjid-masjid di Malaysia dan Dunia Kajian yang telah dilakukan lebih diarahkan
Melayu atau Nusantara umumnya. Namun begitu, kepada bentuk kajian lapangan melalui metode kritis
terdapat dua permasalahan di dalam tulisan beliau. dan analitis, sejarah lisan masyarakat setempat,
Pertama, beliau yang tidak berlatarbelakang serta kajian pustaka. Observasi yang telah dilakukan
pendidikan arsitektur telah memberikan analisis, bukan saja atas binaan kedua masjid tradisional
penjelasan dan klasifikasi arsitektur masjid dengan tersebut, tetapi juga atas beberapa masjid
tidak berdasarkan pada teori-teori arsitektur yang tradisional lainnya, yaitu Masjid Agung Kesepuhan di
ada. Kedua, tingkat pendidikan yang terbatas telah Cirebon dan Masjid Kudus di Jawa, serta Masjid Tua
memberikan analisis perbandingan atas klasifikasi Kampung Tuan di Cukai, Kemaman sebagai bahan
serta deskripsi secara umum dan sederhana, tanpa perbandingan. Kajian ini menggunakan metode
menurut kaidah yang terstruktur dan akademis. perbandingan atas beberapa buah masjid tradisional
Pengkajian kedua dilakukan oleh Pusat Kajian di atas, dengan menitikberatkan kepada Masjid
Alam Bina Melayu (KALAM), Fakulti Alam Bina UTM. Agung Demak di wilayah Jawa Tengah.
KALAM telah pula melakukan pelbagai usaha Masjid Tua Kampung Laut dipilih karena masjid
penulisan mengenai objek-objek arsitektur lama, ini dikatakan sebagai satu-satunya masjid yang
termasuk masjid-masjid di Malaysia, dalam bentuk seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan
gambar terstruktur, dokumentasi, catatan diskusi, merupakan salah satu yang tertua dan masih berdiri
dan sebagainya. di Alam Melayu hingga saat ini. Struktur
Pengkajian ketiga dilakukan oleh David Mizan bangunannya yang menunjukkan cara membangun
Hashim. Beliau adalah seorang arsitek yang telah Melayu asli Semenanjung Tanah Melayu masih jelas
mendiskusikan mengenai upaya-upaya perancangan terlihat walaupun telah mengalami beberapa
masjid melalui pendekatan klasifikasi. Namun, perubahan. Masjid Agung Demak juga merupakan
tulisan beliau menunjukkan nilai historiografi yang salah satu masjid kerajaan Islam terawal yang

34 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


bangunannya masih sempurna, yang di masa lalu dan tradisi membangun pada kedua masjid itu.
pernah menjadi pusat perkembangan Islam dan nadi Selain itu, penilaian semula terhadap beberapa asas
masyarakat Islam di Tanah Jawa. Kedua masjid pemikiran terdahulu yang melibatkan asal-usul,
tradisional tersebut mempunyai persamaan dari segi pendekatan arsitektur dan perihal bangunan juga
klasifikasinya, tetapi mempunyai historiografi yang dilakukan melalui pertimbangan dari sudut pandang
berbeda. Walau bagaimanapun, historiografi Masjid yang berbeda.
Tua Kampung Laut telah dikaitkan dengan
perkembangan Islam di seluruh Alam Melayu,
khususnya di Pulau Jawa dan Champa, tetapi sejauh Perkembangan Historiografi Masjid Tua
ini masih belum ada kajian bersilang yang Kampung Laut
mengaitkan historiografi di ketiga tempat tersebut. Dari ketujuh sumber rujukan di atas, hanya
Observasi juga telah dilakukan atas bangunan Abdul Rahman Al-Ahmadi, Abdul Halim Nasir, dan
Candi Borobudur dan Prambanan untuk memperoleh Abdullah Mohamad (Nakula) yang telah memberikan
penilaian mengenai perkembangan peradaban sedikit informasi mengenai latar belakang Masjid Tua
masyarakat lampau melalui ukiran atau relief yang Kampung Laut. Sementara itu, Pusat Kajian Alam
terdapat di kedua candi itu. Walaupun Candi Bina Melayu (KALAM), Fakulti Alam Bina UTM
Borobudur mewakili kepercayaan Budha sementara mempunyai dokumentasi tertulis mengenai kajian
Candi Prambanan mewakili kepercayaan Hindu, dan gambar terstruktur atas masjid tersebut.
namun keduanya telah dibangun oleh satu bangsa Abdullah Mohamed (Nakula) di tahun 1982 juga telah
yang sama yang mempraktekkan kebudayaan dan menceritakan mengenai Masjid Kampung Laut.
cara hidup yang sama. Menurut Josef Prijotomo, Namun begitu, tulisannya hanyalah mengenai unsur
orang-orang Jawa yang mengamalkan kepercayaan kosmologi atas unsur bangunan masjid ini dan tidak
Budha dan Hindu sebenarnya telah begitu membahas historiografinya.
mencampuradukkan keduanya, di samping terus Walaupun Masjid Tua Kampung Laut dikatakan
mengekalkan animisme serta kebudayaan setempat mempunyai nilai historiografi yang istimewa, tetapi
masing-masing4. Oleh karena itu, pemikiran tidak banyak kajian yang telah dilakukan atasnya.
masyarakat Jawa di masa lalu perlu dipertimbangkan Sejauh ini, kajian dan penulisan yang telah dibuat
secara mendalam ketika menilai perkembangan hanya berkisar dan merujuk kepada tulisan yang
arsitektur masjid-masjid tradisional tersebut. telah dibuat oleh Abd. Rahman Al-Ahmadi bertajuk
Bidang kajian tidak hanya dibatasi pada “Sejarah Masjid Kampung Laut” yang diterbitkan
observasi atas bahan peninggalan masa lalu semata- oleh Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan
mata, tetapi juga atas perkembangan Islam di Malaysia, Kuala Lumpur. Tulisan ini hanya merujuk
seluruh Alam Melayu, terutama pergerakan para kepada informasi lisan dari penduduk setempat dan
pendakwah Islam ketika berdakwah dan mendalami informasi dari Professor Jaspan yang pernah
keilmuan Islam. Hal ini dikarenakan, pergerakan mengajar di Universiti Hull pada tahun 1966. Namun
para pendakwah itu dapat membantu membangun begitu, terdapat kemungkinan beliau berada di
beberapa dasar pemikiran mengenai historiografi masjid tersebut semasa masjid itu masih berada di
masjid tradisional tersebut. Satu hal lagi yang perlu tapak asalnya untuk memperhatikan pondasi dan
dipertimbangkan ialah adat norma dan tradisi keadaan tiang asal masjid tersebut yang telah
bangunan orang Melayu. Melalui pertimbangan akan tertanam atau tertimbun pasir. Setidaknya kita
hal tersebut, kita dapat mengetahui tahap dapat mengetahui ketinggian lantai masjid tersebut
pemikiran, kemampuan, kemajuan, serta dari permukaan tanah sewaktu awal dibangun. Abd.
permasalahan yang telah dialami oleh orang-orang Rahman Al-Ahmadi juga mengaitkan masjid ini
terdahulu dalam membangun arsitektur mereka. dengan ulama dari Champa, yaitu Malik Ibrahim dan
Melalui hal itu kita juga dapat mengetahui Ali Rahmatullah, yang menyebarkan agama Islam di
kebudayaan, corak kehidupan, serta tahap keislaman Pulau Jawa, namun ia tidak melanjutkan
yang telah mereka praktekkan di masa lalu. Oleh pengkajiannya atas kedua ulama tersebut untuk
karena itu, kepakaran dan pengetahuan yang mempertegas informasi sejarah itu.
mendalam tentang arsitektur tradisional Melayu Sementara itu, kajian dan dokumentasi yang
sangat diperlukan untuk memberikan pengertian atas telah dilakukan oleh para mahasiswa Universiti
setiap yang tersurat dan yang tersirat pada setiap Teknologi Malaysia (UTM) pada tahun 1976 bertujuan
unsur atau elemen bangunan yang masih tertinggal. untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan
Berdasarkan pada analisis yang telah dibuat metode-metode pembangunan Masjid Tua Kampung
atas informasi yang diperoleh melalui setiap bidang Laut yang telah dipindahkan dari tapak asalnya di
kajian, kerangka kerja teoretis telah dibentuk Kampung Laut di Jajahan Tumpat ke Nilam Puri di
selaras dengan beberapa isyu baru yang selama ini Kota Bahru, Kelantan5. Dokumen-dokumen gambar
belum didiskusikan secara sistematis, terutama yang tersebut telah disediakan berdasarkan pada
melibatkan aspek-aspek pendekatan perancangan bangunan masjid yang telah dipindahkan ke Nilam

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 35


Puri. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan Berdasarkan kepada maklumat yang ada
bagaimana bangunannya yang terdahulu, terutama sebelum ini, persoalan tersebut cukup sukar untuk
sebelum dilakukan upaya perubahan dan ditemukan jawabannya. Tidak seperti informasi
penyesuaian. yang ada mengenai Masjid Agung Demak yang
Namun begitu, melalui perbincangan yang telah diketahui dibangun pada tahun 1401 Saka atau 1479
dilakukan para peneliti, Nik Abdul Rahman Nik Mat Masehi, informasi mengenai Masjid Kampung Tua
pernah menyatakan bahwa Masjid Tua Kampung Laut Kampung Laut begitu sukar untuk diyakini karena
telah dibangun oleh Raja Imam. Pengetahuan tidak adanya bukti yang kuat. Pengkajian secara
tentang arsitektur asli dari masjid ini begitu saintifik melalui metode carbon dating mungkin
penting, karena melalui pengetahuan itu akan dapat dapat dilakukan atas percontohan bahan bangunan
diketahui bentuk budaya dan kehidupan yang telah yang masih ada, terutama bahan kayu, untuk
berlangsung di masa lalu, serta keadaan lingkungan mengetahui dengan pasti umur bahan tersebut,
yang terdapat di masyarakat lampau. tetapi hingga saat ini usaha tersebut belum
Setelahnya, penulisan-penulisan yang dibuat dilaksanakan. Namun begitu, setelah melakukan
mengenai masjid ini sering merujuk kepada kedua pengkajian ini, sekurang-kurangnya sebuah dasar
hasil kerja di atas yang dianggap memiliki kesahihan pemikiran tentang pembangunan masjid ini dapat
kenyataan dan fakta yang terbatas. Terdapat banyak disusun. Jika merujuk kepada informasi lisan yang
informasi yang tersirat di balik struktur bangunan diperoleh dari tiga sumber mendasar mengenai
yang masih tertinggal, yang masih perlu untuk dikaji historiografi Masjid Tua Kampung Laut, maka cerita
dan dikembangkan untuk membangun teori yang tersebut akan terhenti hanya sampai pada informasi
masih belum jelas, khususnya mengenai itu saja, jika tidak dibuat rujukan silang dengan
pembangunan masyarakat dan arsitektur Islam di perkembangan Islam dan latar belakang para
Alam Melayu. Di antara pelbagai informasi yang pendakwah di Tanah Jawa dan Champa.
dapat dikaji melalui struktur bangunannya yang Sumber pertama disampaikan oleh sejarawan
masih tinggal tersebut adalah mengenai pertapakan setempat, En. Nik Man bin Nik Mat, pada tahun 1976
dan lingkungannya, hubungan kemasyarakatan, yang menyatakan bahwa kewujudan masjid ini dapat
sosio-ekonomi, budaya setempat, tahap keislaman ditelusuri hingga kepada nenek moyangnya, yaitu
masyarakatnya, tahap pembangunan, dan sebagainya Raja Imam yang dikatakan telah membangun Masjid
yang telah diterapkan di masa paling awal Tua Kampung Laut tersebut. Merujuk pada tulisan
pembangunan masjid ini yang diperkirakan lebih dari Dadan Wildan pada tahun 2002, beliau meriwayatkan
500 tahun yang lalu. perihal Sunan Gunung Jati yang lahir di Mekah pada
tahun 1448 M dengan nama asli Syarif Hidayat6.
Terdapat kemungkinan pertalian antara historiografi
Sejarah Pembangunan Masjid Tua Kampung bapak saudara Sunan Gunung Jati, Pangeran
Laut dan Masjid Agung Demak Cakrabuana yang bergelar Haji Abdullah Iman,
Melalui tinjauan umum yang telah dilakukan, dengan pembangunan Masjid Tua Kampung Laut.
kebanyakan masyarakat Melayu di Semenanjung Beliau telah belajar ilmu agama di Mesir dan setelah
Tanah Melayu yang pernah menyaksikan kehadiran tamat mengaji beliau berkunjung ke Mekah. Setelah
Masjid Tua Kampung Laut ternyata pernah juga tiga bulan berada di Mekah, Haji Abdullah Iman
mendengar mengenai sebuah masjid yang pulang ke Jawa. Dalam perjalanan pulang beliau
mempunyai gaya yang sama dengannya di Tanah melalui Aceh, Melaka, dan menuju ke Champa untuk
Jawa, yaitu Masjid Agung Demak. Mereka tidak berguru dengan Maulana Ibrahim Akhbar atau Syeikh
pernah mengetahui tentang keberadaan lebih banyak Maulana Jatiswara, yaitu kerabat Raja Champa. Haji
lagi masjid-masjid tua bersejarah yang juga memiliki Abdullah Iman menikah dengan Retna Rasajati,
arsitektur yang hebat di Tanah Jawa. Keadaan yang puteri Maulana Ibrahim Akhbar dan dikurniai tujuh
sama juga berlaku pada masyarakat di Tanah Jawa orang putri. Haji Abdullah Iman pulang ke Cirebon
yang pernah menyaksikan Masjid Agung Demak, untuk mengajarkan ilmu agama Islam dan bekerja
dimana mereka juga mengetahui tentang adanya sama dengan Ki Gadeng Alang-Alang, Kuwu Cirebon
sebuah masjid yang serupa gayanya dengan Masjid ketika itu. Kematian Ki Gadeng Alang-Alang telah
Agung Demak yang berada di Tanah Melayu, membuat Haji Abdullah Iman dilantik oleh ayahnya
walaupun mereka tidak mengetahui letak pasti dan Prabu Siliwangi Maharaja Padjadjaran sebagai
bentuknya yang sesungguhnya, apalagi mengenai Adipati Cirebon dengan gelar Cakrabumi yang setaraf
sejarahnya. Di antara permasalahan umum yang dengan bupati. Kajian lanjut perlu dilakukan untuk
sering diutarakan di antara kedua masjid tradisional memastikan Raja Imam sebagaimana yang
itu ialah bangunan yang manakah yang terlebih dimaksudkan oleh Nik Man adalah orang yang sama
dahulu dibangun, serta bagaimana keunggulan dengan Haji Abdullah Iman sebagaimana yang
arsitektur dari masing-masing masjid itu. dimaksudkan oleh Dadan Wildan atas historiografi

36 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


yang telah berlangsung di sekitar kurun ke-15 merupakan salah seorang ahli dewan mubaligh Wali
Masehi. Songo di peringkat awal. Sunan Bonang adalah
Sumber kedua disampaikan oleh seorang Raden Makdum yang merupakan anak dari Sunan
cendekiawan bernama Abdul Rahman Al-Ahmadi di Ampel, seperti dijelaskan sebelumnya.
tahun 1978. Beliau dikatakan mengumpulkan sejarah Menurut informasi sejarah yang diperoleh dari
lisan penduduk kampung bersama kajiannya dan Abdul Halim Nasir, berdekatan dengan tapak asal
menyimpulkan bahwa masjid ini dibangun 500 tahun masjid tersebut pernah didirikan sebuah kompleks
yang lalu oleh pendakwah-pendakwah muslim dari istana Kota Kubang Labu yang dibangun oleh Tuan
Champa7. Jika merujuk kepada pelayaran para Besar Long Bahar di tahun 1702 Masehi10. Istana ini
pendakwah antara Champa, Kelantan, dan Tanah telah menjadi pusat pemerintahan Long Sulaiman
Jawa, sejauh ini terdapat tiga orang ulama yang pada tahun 1733 M dan pada tahun 1756 M. Long
telah melakukan pelayaran tersebut. Pertama ialah Yunus telah menjadikannya sebagai ibukota
Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat yang Kelantan. Selain pernah menjadi pusat pemerintahan
dikenal dengan nama Sunan Ampel (1401 - 1478 M). dan ibukota Kelantan, Kota Kubang Labu juga
Sayyid Ali Rahmatullah ke Pulau Jawa pada tahun merupakan tempat bermulanya sistem pengajian
1421 Masehi bersama-sama dengan bapak dan Islam yang dipelopori oleh Tuan Seikh Haji Halim di
abangnya, Sayyid Ali Murtala. Mereka telah mendarat tahun 1780-an.
di Tuban, sebagaimana yang dinyatakan oleh Di kota tersebut juga telah dijumpai sekeping
Baidlowi Syamsuri pada tahun 19958. Pendakwah uang emas yang bertulisan Arab di kedua sisinya. Di
kedua ialah Haji Abdullah Iman sebagaimana yang satu sisi tertulis pula ‘al-Julus Kelantan 577’ dan di
dinyatakan oleh Dadan Wildan di tahun 2002, dan sebelah sisi lainnya tertulis ‘al-Mutawakkil’. Tahun
ulama ketiga ialah Raden Makhdum Ibrahim atau 577 Hijriah adalah bersamaan dengan tahun 1161
Sunan Bonang (1465 - 1525 M). Beliau adalah anak Masehi, sementara ‘al-Mutawakkil’ bermakna
Sunan Ampel dengan istrinya yang bernama pemerintah yang bersifat tawakkal kepada Allah swt.
Cakrawulan atau Nyai Ageng Manila. Raden Makdum Maklumat tersebut telah menunjukkan bahwa suatu
dilahirkan pada tahun 1465 M dan telah menuntut peradaban manusia telah berlangsung di sekitar
ilmu agama di Pasai bersama-sama dengan Raden tahun 1161 Masehi di kawasan tersebut dan mungkin
Paku dan Syeikh Maulana Ishaq yang juga digelari Masjid Kampung Laut adalah satu-satunya bukti
Syeikh Awalul Islam (bapak dari Raden Paku). peradaban tersebut yang masih tertinggal. Namun
Setelah itu, mereka pergi ke Mekkah untuk begitu, seiring dengan faktor perubahan alam, tapak
menunaikan ibadah haji. Raden Makhdum Ibrahim asal masjid tersebut telah berada di tengah-tengah
juga dikatakan pernah pergi ke Melaka pada abad ke- Sungai Kelantan dan sukar untuk dikaji dan diteliti.
15 Masehi semasa Melaka berada di puncak kejayaan Beberapa bukti keberadaan tapak masjid tersebut
sebagaimana yang dinyatakan oleh Baidlowi ialah beberapa buah kubur lama yang dikatakan
Syamsuri. Mungkin Melaka di sini merujuk kepada merupakan sebagian dari tanah yang telah
persempadanan yang lebih luas, yaitu Semenanjung diwakafkan untuk masjid tersebut dan untuk
Tanah Melayu dimana pada kurun ke-15 M kekuasaan pekuburan.
Kerajaan Melaka telah mencakup sebagian besar Berdasarkan kepada penjelasan di atas, besar
Semenanjung Tanah Melayu. kemungkinan Masjid Kampung Laut telah dibangun
Melalui pelbagai penemuan sejarah, terdapat oleh salah seorang pemerintah Kelantan tersebut
tiga pusat pengembangan Islam ketika itu. Pertama dimana menurut Abdul Halim Nasir, terdapat
di sekitar Patani, Kelantan dan Terengganu, kedua di kemungkinan bahwa Masjid Kampung Laut telah
Melaka (dalam sempadan politik sekarang), dan dibangun sebelum zaman pemerintahan Long Yunus
ketiga di Kedah. Oleh karena para pendakwah dari (pemerintah Kelantan 1762 – 1794 M). Historiografi
Tanah Jawa tersebut mempunyai pertalian dengan Masjid Kampung Laut telah dibuat dengan pelbagai
Kerajaan Champa maka tidak heran jika terdapat pandangan dan seluruhnya telah dibuat dengan
hubungan yang erat antara Champa, Kelantan, dan berdasarkan informasi-informasi lisan dan asumsi.
Tanah Jawa. Namun begitu, berdasarkan kepada informasi-
Sumber yang ketiga disampaikan oleh Ustadz informasi di atas, besar kemungkinan Masjid Tua
Abdullah bin Muhamed pada tahun 1982 yang tinggal Kampung Laut dan Masjid Agung Demak telah
di Kampung Langgar Kota Bharu9. Beliau menyatakan dibangun dalam zaman yang sama, yaitu sekitar
bahwa masjid ini didirikan oleh dua orang dari Wali kurun ke-15 M dimana ketika itu perkembangan Islam
Songo, yaitu Sunan Giri dan Sunan Bonang. di Alam Melayu sedang menuju ke puncak setelah
Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Baidlowi masyarakat Islam ketika itu berjaya mendirikan
Syamsuri, nama asli dari Sunan Giri adalah Jaka kerajaan Islam, dimana secara umum, hanya
Samudra atau Raden Paku atau Syeikh Maulana Ainul pemerintahan kerajaan sajalah yang mampu di masa
Yaqin. Bapaknya bernama Syaikh Maulana Ishaq yang itu untuk membangun arsitektur masjid yang besar,
tinggal di Gunung Selangu. Beliau juga bisa jadi megah, dan begitu sempurna bangunannya.

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 37


Ketiga pendakwah dari Champa sebagaimana sajalah yang mempunyai kekuasaan dan kekayaan
yang dimaksudkan mungkin pernah singgah di sebesar itu di masa lalu.
Kampung Laut untuk menziarahi guru dan Selain itu, penaung bagi Masjid Agung Demak
pendakwah setempat, di samping untuk juga adalah pemerintah pertama Kerajaan Demak,
meningkatkan keilmuan Islam. Untuk menjadi yaitu Raden Patah bersama-sama Wali Songo, dalam
penaung masjid ini, kemungkinan mereka tidak rangka untuk memantapkan pemerintahannya dan
berkemampuan dari segi pendanaan, apatah lagi dari juga untuk mengembangkan agama Islam. Menurut
segi keterampilan, karena mereka tidak memiliki H. Imron Abu Amar11, Raden Patah bersama-sama
kemahiran pertukangan. dengan Wali Songo ini jugalah yang telah mendirikan
kerajaan Demak dalam tahun 1481 Masehi seiring
dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit dalam tahun
Penaung Masjid Kampung Laut dan Masjid 1478 M. Dikatakan juga Masjid Agung Demak
Agung Demak merupakan masjid kerajaan (kesultanan) seiring
Masjid Tua Kampung Laut adalah bangunan dengan adanya maksurah, yaitu tempat shalat para
kuno yang telah lama dibangun, maka tidak dapat raja. Selain itu, dapat juga dibuktikan dari
diketahui secara tepat siapakah penaungnya, karena kedudukan bangunan masjid di sebelah barat alun-
tiada catatan resmi tentang hal ini, tetapi hanya alun dan makam para penguasa Demak, seperti
dapat diketahui dengan beberapa dasar pendapat Raden Patah dan Sultan Trenggono.
yang dapat disimpulkan dari cara membangun
bangunan tersebut.
Mungkin dapat dikatakan bahwa penaung Masjid Rencana Prototipe Masjid Tua Kampung Laut
Tua Kampung Laut adalah raja yang memerintah dan Masjid Agung Demak
Kampung Laut pada ketika itu. Hal ini berdasarkan Dikatakan bahwa Masjid Tua Kampung Laut
bentuk dan rancangan bangunannya yang tinggi didirikan oleh pendakwah dari Champa yang
nilainya serta halus buatannya. Kepakaran seperti ini membawa bersama mereka rencana prototipe
kebiasaannya berasal dari tukang kerajaan, karena bersama bahan bangunannya sekaligus. Mereka
bagi masyarakat Melayu tukang-tukang yang mahir konon telah mendirikan tiga buah masjid yang
biasanya dilantik oleh pemerintah sebagai “Tukang serupa, yaitu satu di Kelantan dan dua lagi di Tanah
Diraja”, sebagaimana yang dinyatakan oleh Nik Jawa sebagaimana yang dicatatkan oleh Abd.
Abdul Rahman Nik Mat. Mereka berkhidmat dengan Rahman Al-Ahmadi.
pemerintah dalam pendirian bangunan Istana dan Jika kita merujuk kepada tipologi serta metode
bangunan lainnya, seperti masjid, wakaf, rumah dasar membangun dari orang Melayu, kenyataan di
keluarga Diraja, dan sebagainya. atas seolah-olah dapat diterima jika kita tidak
Bukti yang mengukuhkan pendapat ini adalah melakukan observasi lapangan dan melakukan
adanya ‘Dinding Janda Berhias’, sebutan masyarakat analisis perbandingan. Namun begitu, setelah
setempat kepada dinding papan dekoratif dilakukannya proses tersebut, didapati bahwa kedua
(decorative wall paneling) yang terdapat pada masjid tradisional tersebut telah dibangun dengan
dinding Masjid Tua Kampung Laut. Dekorasi ini rancangan dan tradisi membangun yang berbeda,
biasanya dipasang di dinding istana, rumah-rumah walaupun pada dasarnya mempunyai dasar pemikiran
raja, dan golongan pembesar. Jika dilihat pula pada yang sama, yaitu rencana lantainya berbentuk
tradisi bangunannya, metode membangunnya sama bujursangkar dan berbumbung meru tiga tingkat.
dengan yang digunakan di bangunan Istana Balai Namun demikian, terdapat pula perbedaan
Besar dan Istana Tengku Puteri, walaupun yang tampak di antara keduanya, yaitu sebagai
permukaan kayu yang digunakan pada Masjid Tua berikut:
Kampung Laut tidak rata. Hal ini bisa jadi karena a. Masjid Tua Kampung Laut yang asal (sebelum
alat pengetam kayu masih belum digunakan pada dipindahkan) dibangun dengan lantainya yang
masa dibangunnya masjid ini. Oleh karena itu, besar berpanggung setinggi kurang lebih tiga meter dari
kemungkinan Masjid Tua Kampung Laut adalah permukaan tanah, sedangkan lantai Masjid Agung
masjid kerajaan di masa yang lalu apabila melihat Demak dibangun di atas tanah yang ditinggikan
pada rancangan dindingnya yang telah disebutkan sedikit, yaitu lebih kurang 300 mm dari
sebelumnya. Di samping itu, masjid ini juga permukaan tanah.
mempunyai pintu masuk samping untuk jamaah yang b. Tiang untuk ruang utama Masjid Tua Kampung
datang dengan menunggang gajah. Maka, Laut dibuat dengan menggunakan kayu cengal
penaungnya juga mestilah raja yang memerintah yang dibentuk empat segi memanjang, sementara
ketika itu yang kemungkinan telah mengarahkan tiang ruang utama Masjid Agung Demak yang
pembangunan masjid ini. Tambahan pula, tidak dinamakan soko guru diperbuat dari kayu jati
mungkin rakyat biasa dapat menampung biaya yang dibentuk bundar memanjang. Tiang-tiang
pembangunan masjid yang sebesar itu. Hanya raja itu masih dipamerkan di Museum masjid ini.

38 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


c. Dinding Masjid Tua Kampung Laut menggunakan
kayu bercorak Janda Berhias, sedangkan dinding
Masjid Agung Demak menggunakan bahan batu-
bata, sebagaimana gambar dan maket bangunan
yang dipamerkan di Museum Masjid Agung
Demak.
d. Cara membangun Masjid Tua Kampung Laut yang
menggunakan kaidah tanggam tradisional adalah
hampir sama dengan cara membangun yang
digunakan untuk bangunan istana-istana dan
rumah-rumah tradisional, khususnya di Kelantan,
sementara cara membangun Masjid Agung Demak
adalah hampir sama dengan kaidah bangunan
yang digunakan pada Masjid Agung Kesepuhan,
Cirebon. Walaupun kaidah tanggam digunakan
pada masjid-masjid tradisional tersebut, tetapi
tradisi membangun yang diamalkan pada kedua
masjid ini berbeda satu sama lain.

Gambar 3. Tampak dan Potongan Masjid Tua Kampung


Laut (Sumber: Laporan KALAM UTM)

Gambar 1. Masjid Tua Kampung Laut yang terletak di


tapak asalnya di Kampung Laut
(Sumber: Abdul Halim Nasir)

Gambar 4. Masjid Tua Kampung Laut yang telah


dipindahkan dari tempat asalnya

Gambar 5. Ukiran di bagian dalam masjid yang bertindak


sebagai sambungan penyokong alang tengah, merupakan
salah satu struktur yang menggunakan kaidah tanggam
warisan

Berdasarkan pada perbedaan-perbedaan yang


begitu kentara di antara Masjid Tua Kampung Laut
dan Masjid Agung Demak, dapatlah dikatakan di sini
bahwa pendapat mengenai rencana prototipe
Gambar 2. Site Plan dan Denah Masjid Tua Kampung Laut sebagaimana dijelaskan sebelumnya didapati tidak
(Sumber: Laporan KALAM UTM) tepat. Masjid Tua Kampung Laut telah dibangun

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 39


dengan cara tersendiri, walaupun terdapat pendapat dikemukakan dalam memperbincangkan rencana
mengenai arsitekturnya yang memiliki kemiripan lantai bujursangkar tersebut, sebagai berikut:
dengan Masjid Agung Demak. Rancangannya memiliki a. Bujursangkar adalah bentuk dasar yang paling
kesesuaian dengan budaya dan cara kehidupan mudah untuk membentuk bumbung meru yang
masyarakat Melayu di Semenanjung Tanah Melayu, menutupi ruang masjid.
serta sesuai dengan keadaan iklim dan lingkungan di b. Rencana Ka’bah yang merupakan bangunan
masa masjid ini dibangun. Cara membangunnya juga pertama di dunia juga hampir berbentuk
merupakan kelanjutan dari kaidah membangun yang bujursangkar. Para pendakwah terdahulu
dipraktekkan oleh masyarakat setempat (Kelantan) kebanyakan berasal dari Tanah Arab, dan mereka
yang telah dibangun sebelumnya, dimana cara juga sudah pasti pernah melihat bentuk Ka’bah
membangunnya sama dengan yang digunakan dalam tersebut dan mungkin merencanakan agar
pembangunan istana-istana dan rumah-rumah rencana lantai masjid juga berbentuk
tradisional yang dibangun hingga akhir kurun abad bujursangkar.
ke-19 Masehi khususnya di Kelantan. Sebaliknya, c. Masyarakat Jawa terdahulu yang hidup di zaman
Masjid Agung Demak juga telah melalui proses awal Islam masih terbawa-bawa dengan
pembangunan tersendiri, dimana rancangan dan cara pemikiran dari kepercayaan Hindu - Jawa yang
membangunnya adalah sebagaimana tradisi yang mereka warisi. Oleh karena bentuk meru dengan
dipraktekkan oleh masyarakat di Tanah Jawa. asas lantai bujursangkar adalah ‘bentuk suci’
(sacred form) bagi kepercayaan Hindu - Jawa dan
setelah memeluk agama Islam mereka juga
membawa ide ‘bentuk suci’ tersebut kepada
bangunan masjid yang juga dianggap suci, yaitu
untuk kegunaan ibadah.
Gabungan pemikiran tentang bentuk asas yang
memudahkan pembangunan, pendakwah yang telah
biasa dengan bentuk Ka’bah, dan bentuk suci untuk
bangunan ibadah akhirnya telah menghasilkan suatu
tampilan bangunan masjid terawal di Alam Melayu.
Masjid Tua Kampung Laut dan Masjid Agung
Demak mempunyai rencana lantai berbentuk lebih
kurang bujursangkar, walaupun ukuran di antara
keduanya berbeda. Masjid tradisional lain di Tanah
Jawa yang mempunyai perwatakan yang sama di
antaranya ialah Masjid Kudus dan Masjid Sendang
Duwur. Masjid tradisional yang lain kebanyakan
dibangun dengan mengikuti perwatakan yang dibawa
oleh masjid tradisional tersebut, terutama Masjid
Agung Demak. Di Semenanjung Tanah Melayu pula,
masjid tradisional yang mempunyai perwatakan
seperti Masjid Tua Kampung Laut ialah Masjid
Gambar 5. Masjid Agung Demak yang dibangun pada masa Kampung Tok Tuan di Chukai, Masjid Tua Pulau
pemerintahan Raden Patah, Sultan Demak I Tawar di Jerantut, dan sebagainya. Namun begitu,
Masjid Kampung Tok Tuan tidak mempunyai tiang
utama di ruang utamanya, sementara bumbung
Rencana Lantai Masjid Tua Kampung Laut dan merunya juga mempunyai empat lapisan. Hal ini
Masjid Agung Demak sebenarnya merupakan suatu keadaan yang tidak
Telah timbul persoalan mengenai rencana pernah berlaku sebelum atau sesudah masjid itu
lantai Masjid Tua Kampung Laut dan Masjid Agung dibangun. Masjid Pulau Tawar juga mempunyai
Demak yang berbentuk bujursangkar dan membentuk bumbung tingkat teratas yang agak berbeda dengan
ruang kubus di dalamnya, tetapi pada masa yang bumbung Masjid Tua Kampung Laut, dimana
sama terdapat masjid tradisional yang berlantai bumbung tersebut mempunyai dua kemiringan yang
persegi panjang. Rencana lantai Masjid Agung Demak turut memberikan suatu perwatakan yang agak
yang berbentuk bujursangkar dipercayai memperoleh istimewa. Masjid tua lain yang memiliki perwatakan
ide dari bangunan candi yang juga rencana tapaknya sama seperti Masjid Tua Kampung Laut dipercayai
berbentuk bujursangkar, sebagaimana yang mendapat ide dari masjid tradisional di Tanah Jawa,
dinyatakan oleh Josef Prijotomo. Namun begitu, tetapi disesuaikan dengan tradisi membangun di
beberapa asumsi dan kemungkinan dapat Semenanjung Melayu, terutama masjid yang
dibangun oleh masyarakat dari Tanah Jawa.

40 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


Masjid tua di Melaka seperti Masjid Tengkera, besar untuk menutupi bagian tengah ruang shalat
Masjid Kampung Hulu, dan Masjid Kampung Keling utama, walaupun rencana lantainya masih
mempunyai perwatakan yang hampir sama dengan mengekalkan pemikiran hypostyle13. Oleh karena itu,
Masjid Agung Demak, walaupun detail bangunannya adalah besar kemungkinan, para pendakwah Islam
telah dipengaruhi oleh arsitektur dari Cina, Belanda, yang datang ke Alam Melayu ketika itu juga
dan India12. Masjid tradisional lainnya di Melaka dan membawa pemikiran tentang bangunan hypostyle
wilayah sekitar dipercayai hanya mengikuti saja dengan kubah di tengah-tengah ruang utamanya,
perwatakan yang ada pada ketiga masjid tradisional sebagaimana yang sedang berlaku di tanah air
tersebut. mereka. Oleh karena keadaan iklim, lingkungan,
Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid bahan bangunan dan tradisi membangun yang
Langgar di Kota Bharu, Masjid Wadi Husin di Patani, berbeda, para tukang setempat telah menggunakan
dan Masjid Kuno di Champa adalah beberapa di tradisi membangun yang lazimnya mereka
antara masjid tradisional yang tidak menggunakan praktekkan dalam bangunan masjid. Namun, dalam
rencana lantai bujursangkar, dan sebaliknya menentukan gagasan ruang dalam masjid, mereka
menggunakan rencana lantai persegi panjang. Masjid masih merujuk kepada pengalaman para pendakwah
Agung Kesepuhan dibangun setelah Masjid Agung tersebut, dan terdapat kemungkinan para
Demak, sementara Masjid Langgar dibangun setelah pendakwah tersebut masih mengekalkan pemikiran
Masjid Tua Kampung Laut. Masjid Wadi Husin adalah hypostyle berkubah tengah, walaupun menggunakan
di antara contoh umum untuk bangunan masjid di tradisi membangun setempat. Maka, lahirlah gaya
Patani, yaitu tidak bergagaskan bumbung meru. masjid warisan Melayu dengan rencana lantai persegi
Masjid Kuno di Champa juga tidak menggunakan empat dan berkubahkan bumbung meru bertingkat
gagasan bumbung meru pada bangunan ruang dengan serambi sebagai ruang tambahan masjid.
utamanya.
Hal ini adalah keadaan yang memerlukan
pengkajian selanjutnya. Beberapa kemungkinan Perkembangan Arsitektur Masjid di
dapat diperbincangkan mengenai perkara tersebut. Alam Melayu
Mungkin pemerintah Cirebon yang membangun Arsitektur masjid tradisional di Alam Melayu
Masjid Agung Kasepuhan tidak mau lagi menggunakan (Indonesia dan Malaysia), bila dibandingkan dengan
gagasan bumbung meru yang telah merujuk pada arsitektur masjid yang dihasilkan oleh peradaban
bangunan candi dan wantilan, dan sebaliknya Islam di Dunia Islam yang lain, dapat dikatakan
memilih bentuk joglo yang lebih sinonim dengan begitu sederhana. Bisa jadi karena hal inilah
bangunan kerajaan. Mungkin juga terdapat pengaruh arsitektur masjid tradisional Melayu sering dilupakan
luar, umpamanya melalui pendakwah dari Tanah oleh para ahli sejarah ketika membicarakan tentang
Arab, Asia Tengah, dan India yang menyebabkan arsitektur masjid sebagai salah satu peninggalan
rencana lantai masjid-masjid tersebut lebih penting peradaban Islam.
menjurus pada bentuk masjid asli Arab yang bergaya Perkara ini menjadi suatu persoalan yang
hypostyle, yang juga telah dikembangkan di Persia, penting, karena sangat mengherankan jika
Afrika Utara, dan India. mengamati peninggalan orang Melayu sebelum
Jika dikaitkan dengan kehadiran para kedatangan Islam, seperti Candi Borobudur, Candi
pendakwah ke Alam Melayu, mereka telah mulai Prambanan, dan Candi di Lembah Bujang, kita akan
menjalankan tanggung jawab mereka semenjak di mendapati sebuah hasil arsitektur yang begitu halus
awal kurun abad ke-8 Masehi, dan di masa itu orang dan memiliki nilai seni yang tinggi. Keadaan ini tentu
Islam Arab sedang berada di zaman pemerintahan bertentangan dengan asumsi bahwa arsitektur masjid
kerajaan Bani Abbasiyah. Oleh karena itu, besar suatu wilayah atau kawasan selalu hanya dipengaruhi
kemungkinan para pendakwah dari Tanah Arab oleh keadaan atau gaya arsitektur yang berkembang
membawa bersama mereka pemikiran pembangunan di kawasan tersebut. Bagaimana mungkin suatu
masjid yang bergagaskan hypostyle atau ’gaya rupa kebudayaan yang begitu tinggi di masa sebelum
asli Arab’ yang telah dikembangkan pemikirannya, kedatangan Islam tiba-tiba kehilangan
tetapi menggunakan tradisi membangun setempat. kemampuannya untuk menghasilkan karya arsitektur
Jika kita melihat kepada bangunan masjid-masjid di yang juga tinggi nilainya.
Patani, Pantai Timur dan utara Semenanjung Tanah Wiyoso Yudoseputro mengemukakan sebuah
Melayu yang terdahulu, walaupun tradisi teori bahwa kegairahan mencipta karya seni tidak
bangunannya menyerupai rumah kediaman, tetapi mungkin lahir begitu saja. Ia haruslah lahir dari
gagasan ruangnya berbeda dengan rumah kediaman sebuah rangsangan atau corak tertentu. Yudoseputro
dan lebih mirip dengan pendekatan hypostyle. melihat keadaan Alam Melayu yang penuh dengan
Jika kita merujuk pada pembangunan arsitektur perang dan perebutan kekuasaan telah
masjid yang berlaku di Asia Tengah, Istanbul, dan menghilangkan kegairahan untuk mencipta. Inilah
India ketika itu, mereka telah menggunakan kubah yang menurut beliau menyebabkan arsitektur ketika

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 41


itu kembali ke zaman tradisi bangunan kayu14. perbandingan yang dilakukan oleh de Graaf.
Menurut Sutjipto Wirjosuparto, di antara bentuk Pertama, denah masjid di Malabar berbentuk persegi
kemunduran dalam teknologi bangunan itu adalah panjang (melintang dari arah kiblat), sedangkan
karena peradaban Hindu dan Budha telah denah Masjid Taluk berbentuk bujursangkar atau
memperkenalkan penggunaan batu sebagai bahan persegi empat tepat memanjang dari arah kiblat.
pendirian sebuah bangunan. Hanya zaman pra- Perbedaan yang lain adalah kenyataan bahwa masjid
sejarah saja yang menggunakan kayu sebagai bahan di Malabar tidak memiliki tempat wudhu yang
bangunan15. berbentuk parit, sementara tempat wudhu seperti
Di samping itu, mengenai bentuk arsitektur ini ditemui di Masjid Taluk. Oleh karena itu,
masjid di Indonesia, W.F. Stutterheim16 berpendapat walaupun sama-sama memiliki bumbung yang
bahwa ruang yang kecil dan sempit di dalam candi bertingkat, namun kedua masjid ini tidak dapat
tidak dapat dijadikan sebagai model dari disamakan sebagai satu jenis masjid.
perancangan sebuah masjid karena masjid Melalui pendapat selanjutnya, Sutjipto18 telah
memerlukan sebuah ruang yang luas dan besar untuk mengemukakan gagasan bahawa peraga masjid
keperluan shalat berjamaah. Oleh karena itu, tradisional di Indonesia berasal dari bangunan
menurut beliau bangunan gelanggang menyabung warisan Jawa yang disebut Pendopo (pendapa).
ayam (wantilan) merupakan percontohan yang lebih Istilah pendopo berasal dari kata mendapa yang
sesuai. Bangunan ini adalah bangunan pada masa dalam Bahasa Sanskrit merujuk pada suatu bagian
pra-Islam yang masih digunakan hingga kini di Bali. dari kuil Hindu di India yang berbentuk persegi
Denahnya berbentuk persegi empat, mempunyai empat dan dibangun langsung di atas tanah. Pada
bumbung, dan sisi-sisinya tidak berdinding. Menurut bangunan warisan Jawa, arsitektur mendapa ini
beliau, jika sisi-sisi tersebut ditutup dan pada sisi kemudian disesuaikan menjadi sebuah ruang terbuka
bahagian Barat diberi mihrab, maka jadilah ia dan besar yang sering digunakan untuk menerima
memenuhi syarat sebagai sebuah masjid. tamu, yang kemudian dinamai pendopo. Denah
Namun begitu, pendapat W.F. Stutterheim pendopo yang berbentuk bujursangkar atau persegi
ditentang oleh H.J.de Graaf17, menurut beliau tidak panjang inilah yang menurut Sutjipto telah menjadi
mungkin orang-orang Islam di Indonesia memilih peraga bagi masjid tradisional di Indonesia.
bangunan tempat menyabung ayam dan berjudi Mengenai bumbungnya yang bertingkat-tingkat
sebagai peraga atau percontohan untuk masjid. Hal pula, menurut Sutjipto telah diambil dari bangunan
ini dikarenakan kedua kegiatan tersebut diharamkan Jawa yang lain, yaitu Rumah Joglo. Bentuk bumbung
oleh Islam. Maka, bagaimana mungkin suatu yang Rumah Joglo tersebutlah yang menjadi peraga
diharamkan kemudian menjadi peraga bagi bangunan kepada bumbung masjid tradisional tersebut. Ketika
ibadah yang suci dan agung seperti masjid. Selain diterapkan kepada bangunan masjid, ukuran dan
itu, bumbung wantilan hanya satu tingkat saja, tidak bilangan tingkatnya dibuat untuk disesuaikan atas
bertingkat-tingkat seperti bumbung masjid alasan keindahan untuk mengimbangi ruangnya yang
tradisional Indonesia. Wantilan pun tidak memiliki besar. Mengenai persamaan yang terdapat pada
serambi, berbeda dengan masjid tradisional yang masjid di Malabar dan masjid Taluk, Sutjipto
sebagian besarnya memiliki serambi di bagian kemudian menyatakan bahwa telah terjadi
belakang atau samping bangunannya. “pertumbuhan yang sejajar” antara India dan
De Graaf selepas itu mengemukakan pendapat Indonesia. Di samping itu, kedua masyarakat daerah
bahwa masjid-masjid tradisional di Indonesia India dan Indonesia telah melakukan suatu
mengambil peraga masjid dari Gujarat, Kashmir dan penyesuaian terhadap arsitektur mendapa ke dalam
Malabar (India). Bukti yang memperkuat perancangan rumah mereka.
pendapatnya berasal dari hasil kajian yang dilakukan Pengenalan lain yang cukup mendalam juga
oleh Jan Huygens van Linschoten, seorang Belanda dilakukan oleh G.F. Pijper19. Beliau menyatakan
yang mengunjungi India pada abad ke-16. Dalam bahwa sekurang-kurangnya terdapat 12 perwatakan
kajiannya, Jan Huygens menyatakan bahawa masjid jelas dari masjid tradisional Indonesia (yang berasal
di Malabar juga memiliki denah persegi empat serta dari Pulau Jawa), sebagai berikut:
bumbung bertingkat. Salah satu tingkat tersebut a. Dasar lantai bangunan berbentuk persegi empat
digunakan untuk belajar agama. Perkara yang sama dan pejal yang agak tinggi dari permukaan tanah
ditemukan oleh de Graaf pada Masjid Taluk di b. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti
Sumatera Barat. Berdasarkan perbandingan inilah ia sebagian besar rumah warisan Indonesia, tetapi
kemudian menyimpulkan bahwa seluruh Masjid di atas tanah yang padat
tradisional di Indonesia mengambil peraga masjid c. Masjid umumnya memiliki bumbung yang
dari Gujarat, Kashmir, atau India. meruncing ke atas, terdiri dari dua atau lima
Pendapat Graaf ini kemudian disanggah oleh tingkat yang semakin ke atas semakin kecil
Sutjipto Wirjosuparto dengan menyatakan bahwa d. Masjid memiliki ruang tambahan di sebelah Barat
terdapat perbedaan yang sangat mendasar dari atau Barat laut (mihrab)

42 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


e. Masjid umumnya memiliki serambi di depan dan merancang suatu bentuk yang kemudian dikenal
di kedua sisinya sebagai bangunan masjid terawal di Alam Melayu.
f. Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh Besar kemungkinan juga, penulis berpendapat,
tembok atau pagar batu bata dengan satu pintu bentuk bumbung meru yang demikian adalah lebih
masuk di hadapan yang disebut gapura bersifat memenuhi kebutuhan (utilitarian). Rencana
g. Denahnya berbentuk persegi empat lantai yang berbentuk bujursangkar dipercayai
h. Dibangun di sebelah barat laut berasal dari pengaruh arsitektur masjid di Turki.
i. Arah mihrab tidak tepat ke kiblat Dengan rencana lantai yang demikian, metode
j. Dibangun dari bahan yang mudah rusak pembangunannya menjadi ringkas dan mudah
k. Terdapat parit di sekelilingnya atau di depan didirikan. Metode membangun bumbung juga mudah
masjid untuk dilaksanakan, dimana bumbung juga
l. Bangunan awalnya dibangun tanpa serambi, berbentuk bujursangkar mengikuti rencana lantai,
namun hanya ruang sembahyang utama saja dan didirikan di atas tiang utama yang terletak di
Walaupun terdapat pelbagai teori mengenai atas empat penjuru yang menutupi ruang
bentuk denah masjid tradisional di Alam Melayu, sembahyang utama. Pada kebanyakan arsitektur di
namun penulis melalui pengkajiannya yang lain20 Alam Melayu, adanya ruang serambi keliling sebagai
telah memastikan bahwa denah masjid tradisional di ruang perantara adalah sesuatu yang lazim. Untuk
Alam Melayu berbentuk bujursangkar mempunyai menaungi area tersebut dari panas dan hujan, maka
persamaan dengan masjid tradisional yang telah satu lagi projeksi bumbung dibuat. Maka
dibangun di Turki pada era Dinasti Utsmaniyah. terbentuklah bumbung yang dikatakan bertingkat-
Bentuk potongan masjid tradisional di Alam Melayu tingkat. Kemungkinan juga dipercayai bumbung pada
dan di Turki mempunyai persamaan. Yang puncak dibangun sedemikian rupa untuk
membedakan antara keduanya adalah bangunan menyelesaikan permasalahan pencahayaan dan
bumbungnya dimana masjid tradisional di Turki pengudaraan pada ruang sembahyang yang luas.
mempunyai bumbung bentuk bulat yang disebut Persoalan mengapa bumbung Masjid Kampung
kubah (dome), sementara bumbung masjid Laut dan Masjid Agung Demak bertingkat tiga,
tradisional di Alam Melayu berbentuk meru atau kemungkinan besar disebabkan oleh pemerintah atau
gunungan yang juga dipanggil kubah oleh masyarakat pengasasnya tidak ingin mengikuti rancangan kuil,
Melayu terdahulu. Bumbung masjid tradisional di tetapi lebih kepada keinginan menonjolkan
Alam Melayu dan di Turki disokong oleh empat pendekatan Sufisme dengan mengganjilkan bilangan
batang tiang utama yang membedakan rancangan tingkat bumbung, karena diketahui bahwa Allah
dan tipologinya dengan masjid tipologi hypostyle. menyukai bilangan ganjil.
Menurut pendapat penulis, dari kajian yang
telah dilakukan kemungkinan juga kedua masjid ini
Bumbung Meru pada Masjid-masjid Purba di dibangun berdasarkan kelanjutan dari sistem
Alam Melayu bangunan setempat. Hal ini dapat diamati dari gaya
Terdapat beberapa teori yang menjawab bumbung arsitektur rumah yang memanjang, tetapi
permasalahan mengapa bumbung Masjid Tua terdapat pula perbedaan antara keduanya dalam
Kampung Laut dan Masjid Agung Demak berbentuk tradisi bangunannya. Oleh karena denah masjid
meru dan berpanggung tiga tingkat, sedangkan pada berbentuk bujursangkar, maka binaan bumbungnya
masa yang sama terdapat masjid-masjid tradisional secara langsung membentuk bumbung meru.
yang berpanggung satu, dua, atau lebih dari tiga Bagi masjid yang berbumbung panjang, ada
tingkat. Teori pertama sebagaimana yang dinyatakan kemungkinan masjid semacam ini dirancang untuk
oleh Josef Prijotomo adalah, masyarakat Jawa mengatasi banyaknya pengunjung atau jamaah di
terdahulu yang hidup di zaman awal Islam masih luasan tapak yang terbatas. Penyelesaian yang paling
dipengaruhi oleh pemikiran Hindu-Jawa yang mereka lazim untuk permasalahan ini ialah dengan membuat
warisi. Oleh karena bentuk meru dengan dasar lantai rencana lantai yang memanjang sebagaimana rumah
bujursangkar adalah ‘bentuk suci’ (sacred form) bagi kediaman. Sering pula terjadi, banyak orang yang
kepercayaan Hindu-Jawa, maka setelah memeluk mewakafkan sebahagian dari rumah kediaman
agama Islam mereka juga membawa pemikiran mereka untuk dijadikan sebagai masjid. Oleh karena
‘bentuk suci’ tersebut dalam bangunan masjid yang itu, bangunan yang telah dimodifikasi tersebut masih
juga dianggap suci, yaitu untuk keperluan ibadah. kelihatan seperti rumah kediaman, karena ia tidak
Besar kemungkinan, penulis berpendapat bahwa dari dirancang khusus sebagai masjid.
hasil gabungan pemikiran tentang bentuk dasar yang
memudahkan pekerjaan pembangunan, pendakwah
Penutup
yang telah biasa dengan bentuk Kaabah yang
berbentuk kubus yang juga merupakan bentuk suci Kaidah pembangunan Masjid Tua Kampung Laut
untuk bangunan ibadah akhirnya telah berhasil dan praktek pertukangannya adalah begitu maju

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 43


serta tersusun melalui struktur bangunan dan bentuk Kajian ini sekurang-kurangnya telah menolak
tanggam-nya yang cukup unik. Bumbung kubahnya asumsi yang mengatakan tentang adanya rencana
berbentuk meru tiga tingkat, dimana bumbung paling prototipe untuk kedua masjid tersebut, dimana
atas disokong oleh empat batang tiang utama. kedua telah dibangunkan berdasarkan tradisi
Bangunannya sebanding dengan kaidah bangunan membangun yang dipraktekkan di masing-masing
yang dikhususkan untuk bangunan kerajaan dan daerah, dimana kedua mempunyai keunikan kaidah
berkemungkinan besar dilaksanakan oleh tukang- membangun tersendiri yang cukup berbeda satu
tukang Diraja, sementara penaungnya kemungkinan sama lain, walaupun memiliki tipologi yang sama.
besar juga adalah raja atau pemerintah. Dari segi Hal ini adalah bukti kepada filosofi dan dasar
tradisi membangunnya pula, susunan strukturnya kebenaran yang hakiki dimana setiap umat Islam di
yang bersegi empat, mulai dari bagian tiang daerah yang berbeda akan melahirkan gagasan
utamanya yang empat, usuk, gelegar, hingga ke rancangan masjid yang agak berbeda seiring dengan
gulung-gulung-nya menyerupai bangunan rumah atau perbedaan unsur tempat dan masa.
istana setempat. Ia dibangun berpanggung dengan Berkenaan dengan asumsi yang mengatakan
tiang-tiangnya ditanam secara menerus ke tanah. bahwa Masjid Tua Kampung Laut telah dibangun oleh
Sementara itu, tradisi membangun dari Masjid pendakwah dari Champa, yaitu Sayyid Ali
Agung Demak benar-benar berbeda dengan Masjid Rahmatullah atau Sunan Ampel di tahun 1421
Tua Kampung Laut. Kubah masjid ini berbumbung Masehi, Haji Abdullah Imam yang juga adalah
meru tiga tingkat yang disokong oleh empat tiang pemerintah Cirebon dengan gelar Pangeran
utama yang juga disebut sokoguru berbentuk Cakrabuwana dan telah membangun Keraton
silinder, dan menggunakan kaidah tiang tatal, yaitu Pakungwati di tahun 1430 M, ataupun Jaka Samudra
kepingan kayu yang diikat bersama dan dikunci atau Raden Paku atau Syeikh Maulana Ainul Yaqin
dengan gulungan besi. Walaupun Masjid Agung atau Sunan Giri yang dikatakan pernah berkunjung
Demak saat ini dikatakan telah dirombak dan ke Melaka pada abad ke-15 M, mereka seluruhnya
dimodifikasi sebanyak sepuluh kali, namun tradisi adalah pendakwah yang mungkin singgah di Kampung
membangunnya tetap sama jika diamati pada Laut hanya sebentar saja. Melalui informasi sejarah
peninggalan tiang-tiang lama di Museum Masjid mengenai kegiatan mereka, di sebagian besar waktu
Agung Demak. Masjid tersebut tampaknya tidak mereka, mereka berkhidmat dengan masyarakat di
dibangun berpanggung, melainkan dibangun dengan Tanah Jawa. Di antara mereka mungkin pernah
lantai tanah/perkerasan yang ditinggikan. Kaidah memberi gambaran tentang arsitektur masjid
bangunan berpanggung hampir-hampir tidak tampak tradisional yang telah dibangun di Tanah Jawa,
di dalam bangunan tradisional di Tanah Jawa. Pasai, Champa, dan sebagainya di sekitar Alam
Jika dilihat kepada peninggalan struktur Melayu, namun masyarakat di Kampung Laut juga
bangunan dan catatan yang dipamerkan di Museum mempunyai dasar pemikiran tersendiri dalam
Masjid Agung Demak, terdapat banyak perbedaan membangun masjid mereka berdasarkan pada tradisi
antara struktur asalnya dengan yang ada sekarang. membangun yang telah mereka gambarkan melalui
Bangunan sekarang lebih bersifat ’pengagungan’ bangunan-bangunan yang masih dapat dilihat hingga
atau ’penyanjungan’ jika dibandingkan dengan kini. Jika merujuk kepada tarikh para pendakwah
dengan struktur bangunan asalnya yang lebih bersifat yang telah dikaitkan dengan pembangunan Masjid
utilitarian. Namun begitu, historiografi Masjid Agung Tua Kampung Laut sebagaimana di atas,
Demak telah dicatatkan dengan lebih baik, dimana kemungkinan besar pembangunannya mulai
kajian tentang masjid ini telah ditulis secara direncanakan pada awal abad ke-15 M, sebagaimana
bersilang dengan catatan mengenai pergerakan atau juga masa pembangunan paling awal dari Masjid
kegiatan para pendakwah Islam, khususnya para Wali Agung Demak.
Songo, untuk menguatkan segala informasi tentang
kebenaran dari setiap perkara yang telah berlaku.
Di samping itu, sejarah masjid tradisional di Referensi
Indonesia dapat diamati pula melalui bangunan 1 Mohamad Tajuddin Mohd Rasdi & Nangkula
masjid tradisional lainnya, seperti Masjid Kudus, Utaberta. 2003. Muslim Architecture in
Masjid Sendang Duwur, Masjid Agung Kesepuhan, dan Peninsular Malaysia. Skudai: Pusat Kajian Alam
sebagainya. Kajian bersilang yang telah dilakukan Bina Dunia Melayu (KALAM), Universiti
sekurang-kurangnya telah menambah informasi Teknologi Malaysia
sejarah mengenai Masjid Tua Kampung Laut yang 2,7 Abdul Rahman Al-Ahmadi. 1978. Sejarah Masjid
selama ini seolah-olah telah tersimpul dan Kampung Laut. Kuala Lumpur: Kementerian
kehilangan jalan untuk melanjutkan kajiannya Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia
3 Mizan Hitam & Anuar Talib. 2005. The
seiring dengan kepergian para tokoh sejarawan
Malaysian Mosque: evolution, element &
negara.
meaning. Journal Built Environment. January
2005 (2)

44 | Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010


4 Josef Prijotomo. 1992. Ideas and Forms of
Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
5 Laporan Masjid Kampung Laut, Kota Bharu,
Kelantan. 1976. Skudai: Pusat Kajian Alam Bina
Dunia Melayu (KALAM), Universiti Teknologi
Malaysia
6 H. Dadan Wildan, M. Hum. 2002. Sunan Gunung
Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam
dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.
Bandung: Humaniora Utama Press
8 Baidlowi Syamsuri. 1995. Kisah Walingso –
penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.
Surabaya: Penerbit Apollo
9 Abdullah bin Mohamed. 1982. Islamic
Architecture – application in Malaysia. Kuala
Lumpur: International Conference on Islam and
Technology, Universiti Teknologi Malaysia
10 Abdul Halim Nasir. 1979. Panduan ke tempat
bersejarah di Kelantan. Kuala Lumpur: Jabatan
Muzium
11 H. Imron Abu Amar. 1996. Sejarah ringkas
kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus
12 Laporan Masjid Kampung Hulu, Bandar Melaka,
Melaka. tanpa tahun. Skudai: Pusat Kajian Alam
Bina Dunia Melayu (KALAM), Universiti
Teknologi Malaysia
13 Martin Frishman & Hasan Uddin Khan. 1994.
The Mosque - History, Architectural
Development & Regional Diversity. London:
Thames And Hudson
14 Wiyoso Yudoseputro. 1986. Pengantar Seni
Rupa di Indonesia. Bandung: Angkasa
15 Sutjipto Wirjosuparto. 1962. Sejarah Bangunan
Mesjid di Indonesia, Almanak Muhammadiyah
Tahun 1381 H. No XXI. Jakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Majelis Taman Pustaka
16 Stutterheim Willem Frederik. 1953. Pictorial
history of civilization in Java. Leiden: Java
Institute and G. Kolff
17 Theodore G. Th Pigeaud. 1976. Islamic States in
Java 1500-1700: eight dutch books and articles
by H. J. de Graaf. Leiden: Nijhoff
18 Sutjipto Wirjosuparto. 1962. Sejarah Bangunan
Mesjid di Indonesia, Almanak Muhammadiyah
Tahun 1381 H. No XXI. Jakarta: Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Majelis Taman Pustaka
19 GF. Pijper. 1992. Empat Penelitian Tentang
Agama Islam di Indonesia 1930-1950. Terj.
Tudjumah. Jakarta: UI Press
20 Mastor Surat. 1987. Sistem Tanggam Tradisi:
penggunaannya pada senibina Rumah Tiang
Duabelas. Tesis. Skudai: Universiti Teknologi
Malaysia

Journal of Islamic Architecture Volume 1 Issue 1 June 2010 | 45

You might also like