Jurnal Ilmiah

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

MALE GAZE DALAM FILM THE HANDMAIDEN

Ilham Mubarok
Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Diponegoro 2013
Email: ilhammubarok02@gmail.com
ABSTRACT
South Korean film industry (Hallyuwood) is one of the most promising film industry in the world
along with Hollywood and Bollywood. This film industry is producing varieties of genre, one of
them is queer film. Queer film is a film which tells stories about people from sexual minorities
such as lesbian, gay, bisexual, and transgender. Ideally, queer film uses homonormativity as the
main ideology in order to convey the stories from sexual minorities well. But, one of South Korean
queer film, The Handmaiden, which tells story about lesbian women called attention because some
critics and viewers accused it for portraying lesbian women in male gaze. Male gaze would disrupt
the discourse of body, sexuality, and character development of lesbian women which is should be
portrayed in homonormativity.

The aim of this research is to describe the discourse of body, sexuality, and character development
of lesbian women in film The Handmaiden. The subject of this research is 22 scenes from the film
which are related to body, sexuality, and character development of lesbian women. This research
used critical paradigm and Sara Mills’ Discourse Analysis method which consists of: character
analysis, fragmentation analysis, focalization analysis, and schemata analysis. The research used
two main theories: Laura Mulvey’s male gaze theory and queer theory to describe the discourse of
body, sexuality, and character development of lesbian women in the film. The result of the
research showed that male gaze was found in the film but not as dominant ideology. Instead, the
film used homonormativity as the dominant ideology to describe the body, sexuality, and character
development of lesbian women.

Keyword: Male Gaze, Lesbian, Film Queer, Homonormativity


I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Korea Selatan merupakan salah satu dengan film King and Clown. (Kim dan
negara, setelah Amerika Serikat dengan Singer, 2011: 118—126).
Hollywood dan India dengan Bollywood, Setelah suksesnya King and Clown, semakin
yang menjadi pusat produksi film dunia banyak film dengan karakter homoseksual
dengan Hallyuwood. Hallyuwood adalah dirilis. Beberapa di antaranya adalah No
gabungan kata dari Hallyu yang berarti Regrets (2006), Antique (2008), A Frozen
Korean Wave (Gelombang Budaya Korea) Flower (2008), Hello My Love (2009),
dan Hollywood. Istilah ini dicetuskan pertama Faceless Things (2009), Stateless Things
kali oleh CNN karena perkembangan film (2011), Two Weddings and Two Funnerals
Korea Selatan yang terus meningkat dari (2012), dan Futureless Things (2014).
tahun ke tahunnya dan memiliki pasar yang Kemudian dilanjutkan dengan dirilisnya The
besar dari Jepang sampai Indonesia (Lara Handmaiden oleh Park Chan Wook pada
Farrar. 2010) tahun 2016.
Film dari Korea Selatan sendiri memiliki The Handmaiden diadaptasi dari novel
beberapa genre seperti Hollywood dan karya Sarah Water, Fingersmith, yang
Bollywood. Salah satu genre film Hallyuwood berkisah tentang percintaan lesbian. Film ini
ini adalah film queer, di mana film tersebut mengambil setting Korea pada tahun 1930-an
menceritakan tentang kelompok minoritas ketika Korea masih berada di bawah
seksual seperti gay dan lesbian. Menurut Kim penjajahan Jepang. Cerita berfokus pada kisah
dan Singer (2011) film queer Korea Selatan dua perempuan yang menjalin hubungan
sudah memiliki peran dalam lesbian dan juga berusaha melarikan diri dari
merepresentasikan kehidupan LGBT bahkan laki-laki. Tokoh wanita yang pertama adalah
sebelum aktivitas-aktivitas sosial. Sejarah Hideko, seorang piatu yang dibesarkan oleh
film queer Korea Selatan dibagi menjadi tiga pamannya. Pamannya Kouzouki adalah
periode. Pertama, periode invisible age atau seorang maniak pornografi. Ia memiliki
periode tak terlihat (1945—1997), di mana perpustakaan berisi buku-buku porno. Sang
film dengan tema queer tidak dikenal sebagai paman juga mengajari Hideko untuk
film yang menghadirkan seksualitas yang membaca buku-buku porno itu untuk
non-heteroseksual; kedua, camouflage age dipertontonkan kepada kolega-kolega prianya.
atau periode kamuflase (1998—2004) Seorang wanita membaca buku porno di
pembuat film menghadirkan simbol-simbol depan khalayak laki-laki merupakan salah
homoseksual secara halus sesuai dengan satu hiburan pada kala itu. Selain itu,
kriteria aman dari pemerintah; ketiga, Kouzouki juga berencana menikahi Hideko
blockbuster age (2004—sekarang), pembuat untuk mendapatkan warisannya. Ia melarang
film secara terang-terangan menghadirkan Hideko untuk keluar. Hideko sama sekali
karakter homoseksualitas yang diawali diisolasi dari dunia luar. Tokoh wanita yang
kedua adalah Sokhee. Sokhee seorang piatu
yang dibesarkan dalam keluarga penipu. Ia ditonton pada April 2017 bersama film lain
direkrut oleh Ha Jungwo, seorang penipu seperti The Fate of Furious, Get Out, dan Your
ulung, untuk mendekati Hideko. Sohee Name (http://www.bbc.com/indonesia/vert-
dikirim oleh Ha Jungwoo sebagai pembantu cul-39489287). Film ini juga diulas oleh
Hideko yang bertugas untuk membujuk sejumlah situs review film Indonesia seperti
Hideko agar mau menikahi Ha Jungwo. www.ulasanpilem.com dan
Kedekatan Hideko dan Sokhee sebagai www.sinekdoks.com. Review dari Ulasan
tuan dan pembantu ini lah yang menjadi awal Pilem menyebutkan bahwa film The
hubungan romantis mereka. Homoseksualitas Handmaiden adalah film yang menyajikan
(lesbian) pun digambarkan secara gamblang romantisme sensual yang menggoda sekaligus
di film ini melalui karakter Hideko dan sindiran terhadap opresi wanita (Teguh
Sookhee. Mulai dari percakapan, sentuhan Raspati. 2016.
fisik antara Hideko-Sohee, berciuman, bahkan http://www.ulasanpilem.com/2016/12/review
hingga adegan ranjang yang dilakukan -handmaiden-2016.html)
keduanya pun digambarkan secara jelas. Meskipun sutradara Park Chan Wook
Tubuh karakter utama perempuan dalam film telah memberikan pernyataan bahwa film ini
ini juga digambarkan secara eksplisit. bertujuan untuk melawan mysoginy dan
Dirilisnya film The Handmaiden ini tidak patriarki, terdapat beberapa kelompok yang
lepas dari pro kontra. Film ini menarik tidak sependapat dengan sutradara Park Chan
perhatian kritikus film dan penikmat film di Wook. Berbeda dari novel aslinya
seluruh dunia. The Handmaiden berada di Fingersmith yang tidak menggambarkan
posisi sembilan dalam dafar 50 film terbaik adegan seks lesbian secara eksplisit, film Park
2016 versi The Guardian (Bradshaw, 2016). Chan Wook menggambarkan adegan seksual
Film ini juga dinobatkan sebagai Korean Best lesbian secara eksplisit dan gamblang.
Selling Movie of All the Time oleh Hollywood Beberapa kritikus film mempermasalahkan
Reporter karena telah terjual hak tayangnya adegan seks lesbian yang ditampilkan secara
ke 175 negara (Hyowon, 2016). Sayangnya eksplisit. Sebagian pengamat film
Indonesia tidak termasuk dari 175 negara menganggap film besutan Park Chan Wook
tersebut karena muatan seksualnya yang ini memang bercerita dengan baik tentang dua
eksplisit sehingga tidak memenuhi standar perempuan yang dibelenggu patriarki, tetapi
kelayakan di Indonesia. Meskipun begitu, sutradara seperti berada pada peak male gaze
film ini dapat diakses di situs penyedia konten (April Wolfe. 2016. The Handmaiden
film dan drama Korea yang berasal dari Transends Its Male Gaze Sensuality.
Indonesia seperti www.indoxxi.com yang http://www.laweekly.com/film/the-
mengumpulkan 41.054 penonton. Beberapa handmaiden-transcends-its-male-gaze-
situs berita Indonesia juga sempat sensuality-7497005).
mengangkat film ini dalam konten beritanya. Dalam sebuah wawancara, sutradara Park
Salah satunya adalah BBC Indonesia yang Chan Wook memang menyebutkan bahwa
merekomendasikan The Handmaiden sebagai dirinya tidak terlalu memaksakan untuk
salah satu dari Sembilan film yang harus menggunakan female point of view. Berikut
adalah salah satu wawancaranya dengan perempuan lesbian ini yang kemudian akan
Crave Online (William Bibbiani. 2016. memberikan pengaruh bagaimana khalayak
Interview, Park Chan Wook Fights The Male memahami tubuh dan seksualitas perempuan
Gaze with The Handmaiden. lesbian.
http://www.craveonline.com/entertainment/1 Homoseksualitas sendiri di Korea Selatan
148405-interview-park-chan-wook-fights- masih menjadi masalah dalam hal
male-gaze-handmaiden) penerimaannya di masyarakat. Menurut
Male gaze sendiri adalah istilah yang penelitian The Global Divide of on
dikeluarkan oleh Laura Mulvey dalam esainya Homosexuality yang dilakukan oleh Pew
yang berjudul Visual and Other Pleasure. Research, 59 % responden Korea Selatan
Mulvey (1989: 19) mengawali argumennya menolak homoseksualitas (Pew Research
dengan pernyataan bahwa di dunia yang diatur Center, 2013: 3). Berdasarkan World Value
oleh ketidakseimbangan seksual, kepuasan Survey 2016, Korea Selatan mendapatkan
dalam menonton telah dibagi menjadi dua poin 3,28 dari total 10 poin, dimana poin 10
bagian, yaitu laki-laki (aktif) dan perempuan adalah menerima homoseksualitas dan poin 1
(pasif). Laki-laki menjadi spectator (penonton) adalah tidak menerima homoseksualitas.
dan perempuan menjadi spectacle (tontonan). Hubungan seksual sesama jenis di Korea
Dalam esai tersebut Mulvey berargumen Selatan adalah sesuatu yang legal, tetapi
bahwa perempuan dijadikan sebagai objek masih mendapatkan stigma dan stereotype
seksual, tontonan erotis untuk memuaskan buruk di masyarakat. Media berperan dalam
gairah laki-laki heteroseksual. Penonton membangun stereotype buruk terhadap
dipaksa untuk menonton sebuah film melalui kelompok homoseksual ini. Media di Korea
sudut pandang dari laki-laki heteroseksual. Selatan, terutama telivisi, menggambarkan
Keberadaan male gaze dalam sebuah film kelompok homoseksual ini sebagai kelompok
akan mengeksploitasi tubuh dan seksualitas yang membawa penyakit (Youn, 1996: 7).
perempuan yang kemudian dapat menjadi Tidak hanya itu, stasiun televise Seoul
sumber kepuasan seksual bagi penontonnya. Broadcasting System (SBS) juga
Karakter homoseksual seperti Hideko dan menayangkan program psikologi di mana
Sookhee menjadi salah satu karakter kelompok homoseksual menjalani terapi agar
minoritas yang ditampilkan dalam film. menjadi heteroseksual yang dianggap normal
Kehadiran karakter-karakter homoseksual ini bagi masyarakat Korea Selatan. Hong Seok
menjadi penting untuk meningkatkan Chun, seorang aktor dan entertainer Korea
perhatian masyarakat terhadap kelompok Selatan, dipecat dari sebagian besar
minoritas seksual. Produser dan sutradara pekerjaannya saat itu karena dia mengaku
menggunakan perspektif yang berbeda dalam kepada publik bahwa ia adalah seorang gay di
menghadirkan karakter-karakter ini dalam sebuah acara telivisi (Joohee Cho. 2009.
film. Sutradara Park Chanwook Breaking the Gay Taboo in South Korea.
menghadirkan karakter homoseksual dengan http://abcnews.go.com/International/story?id
gaya penyampaiannya sendiri. Bagaimana =7351116&page=1). Hong Seok Chun
Park Chanwook menyampaikan cerita dipecat hanya karena satu alasan, yaitu karena
ia gay tanpa memperhatikan kemampuan ia memahami bagaimana masyarakat
sebagai aktor dan entertainer. Ia adalah aktor menjalankan fungsinya serta menemukan
pertama Korea Selatan yang mengaku ke metode-metode yang kurang memuaskan lalu
publik mengenai orientasi seksualnya yang menggantinya.
berbeda dari masyarakat Korea Selatan Sebagaimana dikemukakan oleh
kebanyakan. Littlejohn dan Foss (2009: 68-69) paradigma
Film queer seharusnya menggunakan kritis dengan berbagai variasinya memiliki
logika homonormatif agar pesan mengenai tiga keutamaan pokok, yaitu pertama tradisi
kelompok minoritas seksual dapat kritis mencoba memahami sistem, struktur
tersampaikan secara baik kepada khalayak dominan, ideologi, dan keyakinan yang
yang menontonnya. Sebagaimana yang dianggap benar dalam masyarakat; kedua, ahli
diutarakan oleh Schoovener dan Galt (2016: 3) teori kritis membuka kondisi sosial yang
bahwa, “cinema makes queer spaces possible.” menindas dan mempromosikan emansipasi
Film memungkinkan terbukanya ruang bagi masyarakat yang lebih bebas dan
queer. Lebih lanjut lagi film sebagai sebuah berkecukupan; ketiga, menciptakan kesadaran
institusi dan parktik bukan mediator yang untuk menggabungkan teori dan tindakan.
netral bagi representasi dari queer, tetapi Dalam paradigma kritis dipahami bahwa
sudah memiliki materi politis yang media bukan entitas yang netral, tetapi
diterjemahkan dalam kode-kode film itu dikuasai oleh kelompok dominan (Eriyanto,
sendiri. Perspektif yang digunakan sutradara 2003: 23). Oleh karena itu, dipahami juga
Park Chanwook dalam film ini akan bahwa media dan proses komunikasi yang
berdampak pada wacana tubuh dan terjadi di masyarakat dikontrol oleh kekuatan-
seksualitas perempuan lesbian. Wacana tubuh kekuatan tertentu yang menyebabkan
dan seksualitas perempuan lesbian seharusnya termarjinalisasinya kelompok-kelompok
dibangun atas dasar logika homonormatif agar tertentu.
khalayak memahami perempuan lesbian dari Paradigma kritis menuntut peneliti untuk
sudut pandang lesbian itu sendiri. menjadikan penelitiannya sebagai kritik sosial
Rumusan Masalah yang melihat bahwa kelompok-kelompok
-Bagaimana perkembangan karakter tertentu memiliki hak istimewa atas kelompok
perempuan lesbian digambarkan pada film lain dan kelompok yang tertindas
The Handmaiden? menerimanya sebagai sesuatu yang alami
-Bagaimana film The Handmaiden (Denzin dan Lincoln, 2009: 173). Dalam
membentuk wacana tubuh dan seksualitas kasus ini kelompok yang memiliki hak
perempuan lesbian? istimewa atas kelompok lainnya adalah laki-
Kerangka Teori laki atas perempuan (perempuan lesbian).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif Peneliti berusaha mengkritisi perspektif atau
dengan metode analisis wacana dan sudut pandang yang digunakan dalam film
menggunakan paradigma kritis. Paradigma queer.
kritis memungkinkan peneliti untuk Teori Queer
menegksplor dunia sosial, mengkritiknya, dan
Istilah queer mulai didiskusikan di Amerika orientasi seksual adalah hasil dari konstruksi
Serikat oleh Teresa de Lauretis pada tahun sosial. Selain itu, Butler juga mengidentifkasi
1990 di sebuah konferensi dan baru mulai gender sebagai praktik wacana yang terus
menjadi perhatian ilmuwan komunikasi pada berlanjut dan terbuka terhadap kemungkinan
tahun 1995. Menurut Jagose (1996:80) queer intervensi dan pengunduran diri (Jagose, 1996:
adalah sebuah produk dari budaya yang 84). Gender bukan sesuatu yang statis dan
spesifik dan tekanan-tekanan teoritis yang ajeg, melainkan sesuatu yang secara konstan
mengarahkan pertanyaan mengenai identitas berubah-ubah.
gay dan lesbian. Secara sederhana, Littlejohn Menurut Butler (dalam Jagose, 1996: 86)
dan Foss (2009) menjelaskan teori queer gender merupakan performativitas, bukan
sebagai lensa baru dan perspektif unik yang karena subjek mengasumsikan hal tersebut
dapat digunakan untuk menguji dan secara sengaja dan main-main. Melainkan
memahami relasi sosial dan hirarki budaya. performativitas yang dibangun melalui
Sebagai lensa baru, teori ini secara konstan pengulangan yang memperkuat subjek,
mengevaluasi konsepnya terhadap isu-isu peerformativitaslah yang memelihara
kontemporer. keberadaan subjek tersebut. Dengan asumsi
Adapun konsep dasar dari teori ini adalah ini, Butler menolak pandangan seks yang
dari buku Judith Butler yang berjudul Gender menjadi penentu gender dan gender sebagai
Trouble: Feminism and the Subversion of penentu orientasi seksual.
Identity. Dalam buku tersebut Butler Kemudian, lebih lanjut lagi Littlejohn dan
menjabarkan argumen Foucault mengenai Foss (2009: 137) menegaskan bahwa teori
operasi kekuasaan dan perlawanan yang queer ini berusaha membuat ganjil,
digunakan identitas marjinal dalam mencari memusingkan, meniadakan, melebih-lebihkan
perlawanan (Jagose, 1996: 83). Salah satu pengetahuan dan dan institusi yang
pencapaian berpengaruh dari buku Butler ini heteronormatif. Institusi heteronormatif
adalah spesifikasi terhadap bagaimana gender mengakibatkan terbatasnya identitas gender
beroperasi dengan memberikan keunggulan dan seksualitas. Teori queer berusaha
kepada heteroseksualitas dan melakukan membuka ruang agar identitas gender dan
dekonstruksi terhadap model normatif yang seksualitas dapat berbeda dan berubah-ubah
melegimitasi posisi subjek lesbian dan gay. melalu konstruksi yang diciptakan oleh
Butler mengawali teorinya dengan asumsi wacana. Dalam teori queer, identitas gender
bahwa seks dan gender adalah dua hal yang dan seksualitas adalah konsep-konsep yang
berbeda. Perbedaan seks dan gender ini selalu mengalami fluktuasi, bukan kategori
memunculkan argument bahwa apapun mendasar yang stabil dan ajeg (Littlejohn dan
identitas seks biologis yang dibawa seseorang, Foss, 2009: 138)
gender adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh Konsep dasar lain dari teori ini adalah
budaya sehingga gender bukanlah hasil normalisasi. Hal ini merujuk kepada proses
mentah-mentah dari seks atau disamakan konstruksi, pembentukan, dan reproduksi
persis dengan seks (Butler, 2006: 8). Teori ini standar-standar yang digunakan untuk
menekankan bahwa seks, gender, dan mengukur kebaikan, keinginan, moralitas, dan
superioritas dalam sistem budaya (Littlejohn fetisisme (dalam Gamman dan Marshment,
dan Foss, 2009: 818). Ketika sesuatu 2010: 36).
dinormalisasi, seperti misalnya heteroseksual. Kaplan (2002: 15) menjelaskan bahwa
Normalisasi dari heteroseksualitas inilah yang terdapat tiga tatapan dalam film, yaitu pertama,
selanjutnya menciptakan apa yang disebut tatapan dalam teks itu sendiri ketika karakter
dengan heteronormativitas. laki-laki menatap karakter perempuan yang
Heteronormativitas inilah yang menjadikan menjadi objek tatapan; kedua, penonton yang
bentuk-bentuk seksual lain termarginalisasi mengidentifikasi diri mereka dengan male
dan teropresi. Teori queer inilah yang menjadi gaze dan mengobjektifikasi perempuan di
alat untuk memberikan kritik terhadap layar; ketiga, tatapan dari kamera, yaitu cara
hegemoni heteronormativitas dan selanjutnya kamera menangkap gambar perempuan.
membuka kemungkinan-kemungkinan Male gaze ini juga ditentukan dari alur
penemuan kesepakatan sosial yang baru. cerita yang menggunakan sudut pandang laki-
Teori Male Gaze laki, karakter laki-laki aktif yang menentukan
Laura Mulvey, pencetus teori male gaze, jalan cerita dan menentukan apa yang terjadi
mengawali teorinya dengan pernyataan bahwa dalam film. Laki-laki mengontrol film dan
film memberikan beberapa kepuasan, salah muncul sebagai representasi dari kekuasaan
satunya adalah kepuasan dalam pandangan yang menjadikan objek tontonan (Mulvey,
atau disebut dengan scopophilia. Kepuasan 1989: 20). Lebih lanjut lagi Mulvey
dalam memandang dibagi menjadi dua, yaitu menjelaskan bahwa hal ini mungkin terjadi
laki-laki sebagai pihak yang aktif dan dengan penonton yang mengidentifikasi diri
perempuan sebagai pihak yang pasif (Mulvey, mereka sebagai karakter laki-laki. Ketika
1989: 19). Perempuan yang pasif menjadi penonton mengidentifikasi diri mereka
objek seksual dari pandangan laki-laki sebagai karakter laki-laki, penonton akan
heteroseksual yang melihatnya dan laki-laki menggunakan sudut pandang yang digunakan
tersebut mendapatkan kenikmatan dari oleh karakter laki-laki tersebut.
pandangan tersebut. Mulvey (1989: 25) mejelaskan bahwa film
Perempuan yang dijadikan objek membangun logika untuk menjadikan
seksual ini berfungsi dalam dua level. Pertama, perempuan sebagai objek seksual melalui
sebagai objek erotis bagi karakter dalam cerita kontrol terhadap dimensi waktu (editing,
dan kedua sebagai objek erotis bagi penonton narasi), kontrol terhadap dimensi ruang
film tersebut (Mulvey, 1989: 19). Kenikmatan (perubahan jarak, editing) sehingga kode-
yang didapatkan dari pandangan ini tidak kode film inilah yang menciptakan gaze,
hanya dilakukan oleh karakter dalam film saja, dunia dan objek, dengan itu pula menciptakan
tetapi juga penonton laki-laki, khususnya laki- ilusi mengenai kenikmatan. Dalam praktiknya,
laki heteroseksual. Selain itu, Mulvey juga tidak hanya perempuan yang menjadi
menegaskan bahwa sinema mainstream pemeran pembantu saja yang menjadi objek
distruktur oleh tatapan laki-laki yang tidak tatapan laki-laki. Tatapan laki-laki atau male
bisa mengakomodasi citra perempuan tanpa gaze pun dapat terselubung dala topeng
tatapan perempuan atau female gaze
(Gamman dan Marshment, 2010: 28). Film- tidak utuh, kontrovesi, dan bukan sebagai
film dengan tokoh utama perempuan tidak pemetaan yang ajeg (Schoovener dan Galt,
serta merta menjadikan tatapan yang ada 2016: 5). Film queer ini merupakan alat untuk
dalam film menjadi female gaze. mendefinisi ulang logika heteronormatif yang
Operasional Konsep menjadi logika dominan di masyarakat
Tubuh dan Seksualitas Perempuan Lesbian dengan prinsip bahwa konstruksi terhadap
Tubuh yang seringkali dipahami dengan dunia bukanlah sesuatu yang ajeg, tetapi
pendekatan biologis tidak menutup sesuatu yang dinamis, berubah-ubah, dan
kemungkinan untuk memahaminya dari fluktuatif.
konteks sosial. Menurut Rubin (dalam Wijaya, Dalam mendefinisikan film queer terdapat
2015: 124) tubuh dan prokreasi sebenarnya berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya
turut dibentuk oleh intervensi manusia dan adalah pendekatan fokus tekstual. Dalam
kontruksi sosial, tubuh biologis tidak bisa pendekatan ini film queer didefiniskan
dilepaskan dari makna sosial dari tempat sebagai film-film yang menggambarkan
individu tersebut berasal dan hidup. Tempat orang-orang queer secara naratif (Schoovener
hidup seseorang turut menentukan bagaimana dan Galt, 2016: 9). Dengan menggunakan
tubuh biologisnya dimaknai. Begitu juga pendekatan ini, film queer hanya difokuskan
dengan seksualitas. Menurut Butler (dalam kepada gambar dan suara dalam film, tanpa
Wijaya, 2015: 123) seksualitas tidak bisa menyertakan siapa yang terlibat dalam film
dilepaskan dari kontruksi sosial, standar tersebut. Selain itu, aspek yang penting dalam
benar/salah, lazim/tidak lazim, standar film queer adalah bagaimana film tersebut
ketabuan mengenai seksualitas selalu berubah menampilkan seksualitas, gender, dan seks
sesuai dengan zamannya. Seksualitas juga yang non-heteronormatif.
tidak dapat dimaknai secara tunggal Metode Penelitian
menggunakan pendekatan kedokteran Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif
ataupun biologis karena kontruksi sosial di dengan menggunakan metode analisis wacana
sekitarnya yang ikut menentukan makna Sara Mills dengan mengkaji teks film The
seksualitas itu sendiri. Handmaiden. Analisis Wacana Sara Mills ini
Film The Handmaiden merupakan film bertujuan untuk melihat sturktur yang lebih
yang menampilkan tubuh dan seksualitas besar dalam wacana yang merupakan di atas
perempuan secara eksplisit. Hal yang menjadi level kalimat (Mills, 2005: 123).
fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana Dengan pendekatan ini, perangkat analisis
film The Handmaiden membentuk wacana wacana dibagi dalam empat sturktur besar.
mengenai tubuh dan seksualitas perempuan Pertama, sturktur karakter (character/roles),
lesbian melalui perspektif yang digunakan yaitu karakter perempuan digambarkan dalam
oleh sutradara. teks. Kedua, fragmentasi (fragmentation),
Karakter Queer dalam Film yaitu bagaimana penubuhan perempuan
Film queer ini memiliki peran penting terjadi dalam teks. Ketiga, fokalisasi
dalam proses worlding, yaitu proses (focalization), yaitu analisis dialog karakter
konstruksi terhadap dunia yang bersifat aktif, dalam teks dan identifikasi tingkat kesadaran
setiap karakter terhadap peristiwa-peristiwa 2009: 138). Meskipun begitu, hal terebut tidak
fiksi dalam teks. Keempat, skemata menghalangi mereka berdua untuk menjalin
(schemata), yaitu pembentukan ideologi hubungan homoseksual. Terjalinnya
dalam teks dari keseluruhan plot yang terdiri hubungan homoseksual antara Hideko dan
dari perangkat-perangkat sebelumnya. Sookhee dari awal sampai akhir cerita ini
menunjukkan bahwa homoseksualitas, dalam
II. PEMBAHASAN hal ini lesbianisme, adalah orientasi seksual
Analisis Karakter yang perlu dinormalisasi juga sama seperti
Hideko dan Sookhee berhasil heteroseksualitas. Littlejohn dan Foss (2009:
menunjukkan perkembangan hubungan 137) menjelaskan bahwa adanya teori queer
mereka dari yang sebelumnya hanya sebatas berguna untuk memberikan ruang kepada
pembantu dan majikan menjadi pasangan orientasi seksual lain selain heterosksualitas.
perempuan lesbian. Dari awal pertemuan Perkembangan hubungan romantis Hideko
mereka, mereka sudah memiliki ketertarikan dan Sookhee ini merupakan normalisasi
satu sama lain, walaupun mereka tahu mereka homoseksualitas sebagai salah satu orientasi
sama-sama perempuan. Mereka seksual manusia.
menyembunyikan ketertarikan seksual Analisis Fragmentasi
mereka bukan karena takut akan normalisasi Dari 22 scene tubuh perempuan dan
hubungan heteroseksual pada umumnya, aktivitas seksual karakter perempuan dalam
melainkan karena alasan untuk keamanan film ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua
rencana pelarian dari rumah Kouzuki. scene mereduksi tubuh perempuan dan
menghilangkan kesadaran karakter
Hubungan romantis lesbian dari Hideko
perempuan tersebut. Hanya terdapat dua scene
dan Sookhee menunjukkan bahwa gender dan
yang positif mereduksi tubuh perempuan,
seks seseorang tidak menentukan orientasi
yaitu scene seks Hideko dan Sookhe yang
seksual mereka. Hal ini sesuai dengan apa
pertama dan pembacaan erotica. Alasannya
yang diuraikan oleh Judith Butler (2006: 8)
adalah bahwa pada dua scene tersebut terjadi
dalam teorinya bahwa gender, seks, dan
orientasi seksual merupakan hal yang selalu reduksi tubuh perempuan yang
menghilangkan kesadaran perempuan sebagai
berubah-ubah dan tidak statis. Gender yang
satu kesatuan. Objektifikasi seksual ini
tidak ajeg dan selalu fluktatif ini juga
merupakan kejadian ketika tubuh perempuan,
ditunjukkan pada adegan Hideko yang
fungsi seksual perempuan dipisahkan dari
menyamar menjadi laki-laki. Meskipun ia
perempuan tersebut dan direduksi hanya
digambarkan sebagai perempuan yang
sebagai sebuah alat seolah-olah dapat
feminin ia juga dapat berpenampilan maskulin.
mewakili perempuan secara keseluruhan
Hideko dan Sookhee adalah perempuan untuk kemudian digunakan sebagai alat
lesbian yang hidup di tengah-tengah pemuas untuk orang lain (Ferdrickson dan
masyarakat heteronormatif. Masyarakat Roberts, 1997: 175).
heteronormatif adalah masyarakat yang hanya Pada adegan seks Hideko dan Sookhee
menerima heteroseksualitas sebagai satu- yang pertama terjadi reduksi tubuh Hideko
satunya identitas seksual (Littlejohn dan Foss,
yang semuanya menggunakan teknik tetapi juga karakter dari perempuan itu juga.
pengambilan gambar close up dan sudut Selain itu, pada scene-scene yang dinarasikan
pengambilan gambar high angle. Teknik oleh laki-laki (adegan seks pertama Hideko-
pengambilan gambar secara close up ini hanya Sookhee dan Hideko masturbasi) teknik
mampu menampilkan sebagian kecil dari pencahayaan yang digunakan adalah
tubuh perempuan, dalam hal ini Hideko, dan cenderung gelap.
sudut pengambilan gambar secara high angle Menurut Morrison dan Tallack (2005: 22)
juga menjadikan objek yang ditangkapnya intimasi dan romansa menunjukkan bahwa
berada di bawah posisi penonton. scene tersebut ditargetkan untuk khalayak
Pada adegan seks pertama Hideko dan lesbian, dibandingkan laki-laki heteroseksual.
Sookhee dan pembacaan erotica, fragmentasi Intimasi dan romansa tersebut dapat dilihat
yang terjadi pada tubuh Hideko lebih banyak pada ekspresi wajah Hideko dan Sookhee
dibandingkan pada tubuh Sookhee. Dalam yang tersenyum bahagia pada scene seks
ideologi heteronormatif tubuh yang feminin mereka yang kedua. Ekspresi bahagia tersebut
tidak dapat bergerak atas dasar kemauannya tidak dapat ditemukan pada adegan seks
sendiri, tetapi bergerak sesuai dengan gerakan mereka yang Sookhee berpura-pura menjadi
to-be-looked-at, singkatnya tubuh feminin Fujiwara.
selalu menjadi objek (Ross, 2012: 286). Selain Analisis Fokalisasi
itu, pada scene selain seks Hideko-Sookhee Dari fokalisasi pada 22 scene yang diteliti
pertama dan pembacaan erotica, kamera ditemukan terdapat dua sumber fokalisasi,
memberikan screen time yang adil kepada yaitu perempuan dan laki-laki. Namun,
tubuh Hideko dan Sookhee. Menurut jumlah fokalisasi dari perempuan, baik itu
Morrison dan Tallack (2005: 15) kehadiran fokalisasi pada scene tubuh, seksualitas,
perempuan lesbian maskulin akan maupun karakter lebih banyak dibandingkan
memberikan kesempatan kepada khalayak, fokalisasi dari karakter laki-laki. Fokalisasi
terutama khalayak lesbian, untuk dari karakter laki-laki hanya ditemukan pada
mengidentifikasi diri mereka dengan karakter tiga scene, yaitu pembacaan erotica, seks
dalam film. Kecuali pada scene seks pertama pertama Hideko-Sookhee, dan sebelum
Hideko-Sookhee dan pembacaan eroticam kematian Kouzuki dan Fujiwara. Selebihnya,
Hideko dan Sookhee menjadi subjek dan pada scene-scene yang berkaitan dengan
objek yang memandang secara bergantian. tubuh, seksualitas, dan karakter
Scene-scene selain scene seks pertama difokalisasikan oleh perempuan. Hal ini
Hideko Sookhee dan pembacaan erotica menunjukkan bahwa sebagian besar
menggunakan teknik pengambilan gambar pengalaman perempuan dalam film ini
yang bervariasi dan sudut pengambilan diceritakan melalui sudut pandang perempuan.
gambar yang bervariasi pula. Dengan Karakter laki-laki dan perempuan sama-
menggunakan bermacam teknik pengambilan sama menjadi sumber fokalisasi pada scene
gambar dan sudut pengambilan gambar ini tubuh dan seksualitas dalam jumlah yang
membuat penonton tidak hanya fokus pada berbeda. Selain perbedaan dalam jumlah,
satu bagian tertentu dari tubuh perempuan, konten fokalisasi laki-laki dan perempuan
juga berbeda. Fokalisasi laki-laki lebih
merujuk pada bagian-bagian tertentu pada Dengan menggunakan teori male gaze,
tubuh perempuan dan lebih merujuk pada peneliti berusaha menemukan logika dominan
bagian-bagian tubuh yang vital seperti vagina yang digunakan pembuat teks. Teori male
dan buah dada. Sedangkan, pada fokalisasi gaze yang dicetuskan oleh Mulvey (1989: 19)
perempuan tidak merujuk pada bagian tubuh menyatakan bahwa laki-laki adalah subjek
tertentu, apalagi bagian tubuh vital. Fokalisasi yang melihat dan perempuan adalah objek
perempuan lebih umum dan lebih yang dilihat. Male gaze tersebut pada tingkat
memperlihatkan tubuh perempuan sebagai ekstremnya dapat menjadi scophopilia di
entitas yang utuh. Selain itu, fokalisasi mana laki-laki heteroseksual menjadikan
perempuan juga lebih mengedepankan emosi perempuan sebagai sumber kepuasan seksual.
dan intimasi dibandingkan fokalisasi laki-laki Akan tetapi dalam film ini hanya
yang hanya fokus pada gairah seksual. ditemukan tiga scene dari 22 scene yang
Menurut Morrison dan Tallack (2005: 24) berkaitan tubuh, seksualitas, dan karakter
sudut pandang perempuan memang lebih lesbian yang menjadikan laki-laki sebagai
benyak fokus pada intimasi dan emosi karena subjek dan perempuan sebagai objek yang
berusaha untuk menarik khalayak perempuan, dilihat. Pada scene-scene lain, karakter
terutama perempuan lesbian. perempuan menjadi subjek dan objek
Fokalisasi perempuan juga menjadi pandangan masing-masing secara bergantian.
mendominasi sebagian besar inti cerita. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
Rencana pelarian dari rumah Kouzuki perempuan dapat menjadi subjek dan objek
merupakan ide dari Hideko dan kemudian dari pandangan sekaligus atau secara
dibantu Sookhee, mereka hanya bergantian. Male gaze memang ditemukan
memanfaatkan Fujiwara. Mills (2005: 142) dalam film ini, tetapi tidak menjadi logika
menjelaskan bahwa salah satu inti dari kebenaran yang dominan. Bahkan karakter
fokalisasi adalah tingkat kesadaran karakter. yang diasosiasikan dengan male gaze,
Semakin tinggi tingkat kesadarannya terhadap Fujiwara (pada seks pertama Hideko dan
cerita yang terjadi di sekitarnya, semakin Sookhee) dan Kouzuki (Pembacaan buku
dominan fokalisasinya terhadap cerita erotis), secara simbolis dihancurkan oleh
keseluruhan. Dalam film ini dapat Hideko dan Sookhee. Hal itu dapat dilihat dari
disimpulkan bahwa Hideko dan Sookhee scene merusak perpustakaan dan scene
mendominasi fokalisasi film ini karena penyiksaan Kouzuki terhadap Fujiwara.
mereka yang mengetahui rencana pelarian Karakter perempuan dalam film ini lebih
dari rumah dan berhasil menipu Fujiwara dan banyak menjadi subjek yang memandang
Kouzuki. Tingkat kesadaran Fujiwara dan dibandingkan laki-laki sehingga diharapkan
Kouzuki terhadap apa yang terjadi di sekitar khalayak, terutama khalayak lesbian dapat
mereka rendah sehingga mereka bukan yang mengidentifikasi diri mereka dengan sudut
mengatur cerita dalam film, melainkan pandang yang digunakan film ini. Menurut
Hideko dan Sookhee. Morrison dan Tallack (2005: 24—25) terdapat
Analisis Skemata tiga ciri-ciri di mana sebuah film ditujukan
Tubuh dan Seksualitas Perempuan Lesbian untuk khalayak perempuan lesbian, yaitu
tidak mengikuti ekspektasi laki-laki performativitas individu yang berulang-ulang
heteroseksual, memunculkan banyak intimasi (Butler, 2006: 8). Dalam film ini digambarkan
dan emosi, dan mengurangi penetrasi dalam bahwa Hideko dan Sookhee berawal dari
adegan seksnya. Dengan perempuan menjadi saling mengagumi, kemudian saling
subjek yang memandang membuktikan bahwa memberikan simpati, saling mengetahui
teori male gaze Laura Mulvey tidak berlaku secara fisik dan latar belakang, serta saling
pada 19 scene yang diteliti. Laura Mulvey mengakui bahwa mereka menyukai satu sama
(1989: 19) menyatakan bahwa dalam hal lain. Adegan-adegan tersebut adalah bentuk
kepuasan memandang terbagi menjadi dua, performativitas yang dibentuk oleh pembuat
yaitu laki-laki (aktif) dan perempuan (pasif). teks untuk memperlihatkan sebuah identitas
Ekspektasi dari perempuan dalam film seksual, yaitu lesbian. Hal ini sesuai dengan
terhadap karakter perempuan lain lebih argumen Butler (dalam Wijaya, 2015: 130)
banyak dibandingkan ekspektasi laki-laki yang menyebutkan bahwa identitas terbentuk
heteroseksual. Intimasi dan emosi juga dapat melalui pengulangan performativitas tersebut
dilihat dari adegan-adegan antar Hideko dan sehingga terlihat menjadi satu identitas
Sookhee dari perkembangan hubungan seksual yang nyata. Selain itu, performativitas
mereka dari majikan-pembantu menjadi tersebut menggambarkan perkembangan
pasangan romantis lesbian. Dalam adegan karakter perempuan lesbian sehingga
seks kedua antara karakter perempuan pun sensibilitas dan sisi kemanusiaan dari karakter
terlihat bahw mereka tidak memfokuskan tersebut tersampaikan dalam film, tidak hanya
adegan tersebut pada penetrasi, melainkan fokus pada tubuh saja (Ross, 2012: 285). Film
emosi wajah mereka yang bahagia tersenyum ini menggambarkan tubuh dan seksualitas
yang tidak dapat ditemukan pada adegan seks perempuan lesbian melalui sudut pandang
mereka yang pertama. perempuan lesbian dan juga menggambarkan
Karakter Queer dalam Film sensibilitas dan sisi emosional dari perempuan
Film queer memungkinkan munculnya lesbian itu sendiri.
karakter-karakter dengan orientasi seksual Littlejohn dan Foss (2009: 137)
selain heteroseksual tanpa menggunakan menyebutkan bahwa teori queer berusaha
logika heteronormatif. Film queer merupakan untuk memungkinkan adanya ruang untuk
film yang menceritakan karakter-karakter identitas gender dan sekssualitas selain
queer secara naratif (Schoovener dan Galt, heteroseksual. Dengan adanya teori queer ini,
2016: 9). Film The Handmaiden merupakan logika homonormatif dapat diaplikasikan agar
film yang menceritakan karakter queer, manusia memiliki tidak hanya satu logika
lesbian lebih khususnya, secara naratif. kebenaran saja, yaitu heteroseksualitas. Selain
Karakter Hideko dan Sookhee yang itu, teori queer juga memungkinkan untuk
saling jatuh cinta dan mereka berhasil terjadinya normalisasi logika homonormatif.
mewujudkan hubungan romantis mereka Dalam film ini dapat dilihat perkembangan
sebagai pasangan lesbian di tengah hubungan dua karakter perempuan yang
masyarakat heteronormatif menunjukkan menjadi pasangan romantis lesbian. Hal ini
bahwa orientasi seksual tidak ditentukan oleh menunjukkan normalisasi hubungan mereka
gender dan seks, melainkan ditentukan oleh
sebagai pasangan lesbian, meskipun merek Selain itu, dari elemen analisis ini juga
hidup di masyarakat heteronormatif. Film ini ditemukan bahwa Hideko merupakan karakter
berhasil menjadikan logika homonormatif utama yang memegang peranan penting
sebagai logika kebenarannya karena dua dalam film ini. Hideko menjadi otak atau
karakter perempuan dalam film ini berhasil dalang yang mengomandani cerita yang
membangun hubungan mereka sebagai terjadi dalam film melalui perencanaannya
pasangan lesbian dan melakukan coming out melarikan diri dari rumah Kouzuki.
kepada orang-orang di sekitarnya. Fragmentasi
Selain itu, dalam teori male gaze, Laura Melalui elemen analisis ini ditemukan
Mulvey (1989: 20) menyatakan bahwa bahwa scene-scene yang digambarkan melalui
karakter laki-laki lah yang menentukan cerita sudut pandang laki-laki lebih banyak
dalam film. Namun, dalam film ini dapat mereduksi tubuh perempuan feminin saja dan
dilihat bahwa karakter perempuan lesbian, fokus pada bagian-bagian tubuh tertentu.
Hideko dan Sookhee, yang menjadi penentu Selain itu, pada scene-scene yang
cerita dalam film karena Hideko dengan digambarkan melalui sudut pandang laki-laki
dibantu Sookhee yang mengatur jalannya heteroseksual tidak terdapat intimasi maupun
cerita dari awal hingga akhirnya mereka emosi. Sedangkan pada scene-scene yang
berhasil melarikan diri dari Fujiwara dan digambarkan melalui sudut pandang
Kouzuki. Bahkan Hideko dan Sookhee secara perempuan tidak fokus pada bagian tubuh
tidak langsung menghukum mereka. tertentu saja serta lebih menunjukkan intimasi
Perpustakaan yang berisi buku erotis milik dan emosi perempuan.
pamannya rusak dan Fujiwara dipotong Fokalisasi
tangannya, dan pada akhirnya Fujiwara dan Melalui elemen analisis ini ditemukan
Kouzuki saling membunuh. bahwa fokalisasi perempuan lebih dominan
III. KESIMPULAN dibandingkan fokalisasi laki-laki. Fokalisasi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan perempuan juga mendominasi bagian-bagian
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: penting dalam cerita seperti rencana pelarian
Karakter diri karakter perempuan yang menjadi inti dari
Melalui elemen analisis ini ditemukan film ini. Konten fokalisasi perempuan dan
perbedaan karatkeristik pada dua karakter laki-laki juga berbeda. Fokalisasi perempuan
utama perempuan dalam film ini. Hideko lebih mengutamakan intimasi dan emosi,
lebih membawa sifat-sifat feminin, sedangkan sedangkan fokalisasi laki-laki lebih
Sookhee membawa sifat-sifat maskulin. menunjukkan gairah seksual. Selain itu,
Melalui elemen analisis ini juga ditemukan karakter laki-laki dalam film ini juga memiliki
bahwa kedua karakter perempuan itu tingkat kesadaran yang rendah terhadap
mengalami perkembangan dalam hubungan kejadian-kejadian di sekitarnya.
mereka menjadi pasangan romantis lesbian. Skemata
Kedua karakter perempuan yang menjadi Male gaze memang ditemukan dalam
pasangan lesbian ini menunjukkan bahwa film ini, yaitu terdapat pada tiga scene saja,
identitas seksual tidak ditentukan oleh seks sehingga tidak menjadi logika kebenaran
dan gender.
dominan film. Male gaze yang tidak menjadi Littlejohn, Stephen W; Karen A Foss.
logika dominan dalam film ini juga berarti (2009) . Teori Komunikasi. Jakarta:
bahwa logika heteronormatif tidak dominan Salemba Humanika
dalam film ini. Film ini mampu Mills, Sara. (1997). Discourse: The New
mengekspresikan performativitas perempuan Critical Idiom. London: Routledge
lesbian melalui sudut pandang homonormatif. Mills, Sara. (2005). Feminist Stylistics.
Logika homonormatif ini memungkinkan dua London: Taylor and Francis e-Library
karakter utama perempuan untuk menjalin Mulvey, Laura. (1989). Visual and Other
hubungan romantis sebagai pasangan lesbian. Pleasure. New York: Palgrave
Daftar Pustaka Pullen, Christopher. (2016). Straight Girls
Buku: and Queer Guys: The Hetero Media
Barker, Chris. (2005). Cultural Studies, Teori Gaze in Film and Television.
dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Edinburgh University Press
Pustaka Ross, Karen. (2012). The Handbook of
Butler, Judith. (2006). Gender Trouble: Gender, Sex, and Media. London:
Feminism and the Subversion of Wiley-Blacwell
Identity. New York: Routledge Schoonover, Karl; Rosalind Galt. (2016).
Danesi, Marcel. (2010). Pesan, Tanda, dan Queer Cinema in the World. Durham
Makna. Yogyakarta: Jalasutra dan London: Duke University Press.
Denzin, Norman K.; Yvona S Lincoln. Shin, Gi Wook; Paul Chang. (2011). South
(2009). Handbook of Qualitative Korean Social Movements: From
Research. Yogyakarta: Pustaka Democracy to Civil Society. London:
Pelajar Routledge
Eriyanto. (2003). Analisis Wacana: Stillar, Glenn. (1998). Analyzing Everyday
Pengantar Analisis Teks Media. Texts: Discourse, Rethoric, and
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta Social Perspective. London: SAGE
Fiske, John. (2007). Cultural and Publication, Ltd
Communication Studies: Sebuah Strinati, Dominic. (2016). Popular Culture:
Pengantar Paling Komprehensif. Pengantar Menuju Teori Budaya
Yogyakarta: Jalasutra Populer. Yogyakarta: Buku Seru
Gamman, Lorraine; Margaret Marshment. Thwaites, Tony, Llyod Davis dan Warwick
(2010). Tatapan Perempuan: Mules (2011). Introducing Cultural
Perempuan sebagai Penonton Budaya and Media Studies. Yogyakarta:
Populer. Yogyakarta: Jalasutra Jalasutra
Jagose, Annamarie. (1996). Queer Theory: Titscher, Stefan, Michael Mayer, Ruth
An Introduction. Melbourne: Wodak, dan Eva Vetter. (2009).
Melbourne University Press Metode Analisis Teks dan Wacana.
Kaplan, Ann E. (2002). Women and Film: Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Both Sides of Camera. New York: Tong, Rosmarie. (2009). Feminist Thought:
Taylor and Francis e-Library Pengantar Paling Komprehensif
kepada Aliran Utama Pemikiran Feminism in South Korea. Journal of
Feminis. Yogyakarta: Jalasutra Lesbian Studies: 161—190
Wilson, Elizabeth. (2001). The Contradiction Prieler, Michael. (2009). Gender
of Culture: Cities, Culture, Women. Representation in a Confucian Society:
London: SAGE Publication, Ltd South Korean Television
Jurnal: Advertisements. Hallym University
Ferdrickson, Barbara L. dan Tomi Ann Wijaya, Hendri Yulius. (2015). Memetakan
Roberts. (1997). Objectification Tubuh, Gender, dan Seksualitas
Theory: Toward Understanding dalam Kajian Queer. Jurnal
Women’s Lived Experiences and Perempuan Edisi 87: Keragaman
Mental Health Risks. Psychology of Gender dan Seksualitas: 122-140
Women Quarterly 21: 173—206 Yoon, Gahyun. (1996). Do Human Rights
Howson, Richard dan Brian Yecies. (2015). Exist for Korean Gay Men and
Korean Cinema’s Female Writers- Lesbians? Jurnal dipresentasikan
Directors and the Hegemony of Men. pada “Stigma, Human Rights, and
Men and Masculinities Volume 16: Sexual Orientation—International
14—22 Perspective” Annual Meeting of the
Kim, Pilho dan Singer, Colin. (2011). Three American Psychological Association,
Periods of Korean Queer Cinema: Toronto, Kanada, 9—13 Agustus
Invisible, Camouflage, and 1996
Blockbuster. Acta Koreana Volume
14: 117—136
Kim, Ungsan. (2017). Queer Korean
Cinema, National Others, and
Making of Queer Space in Stateless
Things (2011). Journal of Japanese
and Korean Cinema: 1—19
Kwon, Jungmin. (2016). Co-mmodifying the
Gay Body: Globalization, the Film
Industry, and Female Prosumers in
the Contemporary Korean
Mediascape. International Journal of
Communication 10: 1563—1580
Morrison, Todd G. dan Dani Tallack. (2005).
Lesbian and Bisexual Women’s
Interpretations of Lesbian and Ersatz
Lesbian Pornography. Sexuality and
Culture Vol. 9 No. 2: 3—30
Park-Kim, Soo Jin, et all. (2007). The
Lesbian Rights Movement and

You might also like