Artikeel Cha Pnya Backround

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 14

NERS: Jurnal Keperawatan,Volume ......, No. ....., Januari 2020, (Hal. .... - ......

ARTIKEL PENELITIAN

OLEH:

ILUAS SYAFARILLA
1721312047

DOSEN PEMBIMBING I
Dr. Yulastri Arif, M.Kep

DOSEN PEMBIMBING II
Ns. Feri Fernandes, M.Kep, Sp.Kep J

PROGRAM STUDI S2 KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN JIWA
FAKULTAS KEPERAWATAN - UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2019
NERS: Jurnal Keperawatan,Volume ......, No. ....., Januari 2020, (Hal. .... - ......)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RISIKO GANGGUAN BIPOLAR


PADA REMAJA DI KOTA BANDA ACEH

Iluas Syafarillaa, Yulasti Arifb, Feri Fernandesc


a
Pasca sarjana, Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, Padang
b
Bagian Keperawatan Manajemen, Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, Padang
c
Bagian Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Andalas, Padang, 25613,
Indonesia
e-mail korespondensi: icha00223@gmail.com

Abstract
Bipolar disorder is the most common mental disorder compared to other mental disorders.
Bipolar disorder can become worse if left undiagnosed. There are several risk factors that
influence the occurrence of bipolar disorder. If these factors are considered, the adverse
effects of bipolar disorder such as suicide risk will not occur. This study aimed to determine
various factors that influenced the risk of bipolar disorder. The research design carried out
was a correlation analytic, cross-sectional study approach. The location of the research was
conducted in 3 urban villages in the city of Banda Aceh. The sample was aimed at 382
adolescents with cluster sampling techniques. Data were analyzed using chi-square and
logistic regression analysis. The results showed that less than half (27.7%) of adolescents
were at risk of developing bipolar disorder. There was a relationship between age, genetic,
psychological and environmental factors with the risk of bipolar disorder. There was no
relationship between substance/alcohol expenditure and the risk of bipolar disorder.
Psychological factors (self-concept) were the most dominant factors towards the risk of
bipolar disorder. It was hoped that with the results of this research, health workers in the
community can increase the prevention and promotion of the risk of bipolar disorder in risk
groups, especially adolescents.
Keywords: Adolescents, Bipolar Disorder, Risk Factors for Bipolar Disorder

Abstrak
Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa terbanyak dibandingkan gangguan jiwa lainnya.
Ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya gangguan bipolar. Apabila
beberapa faktor ini diperhatikan, dampak buruk dari gangguan bipolar seperti risiko bunuh
diri tidak akan terjadi. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
risiko gangguan bipolar. Desain penelitian analatik korelasi, pendekatan cross secsional
study. Lokasi penelitian adalah 3 Kelurahan di Kota Banda Aceh. Sampel 382 remaja dengan
teknik cluster sampling. Data dianalisis menggunakan chi square dan analisis regresi logistik.
Hasil penelitian adalah kurang dari setengah (27,7%) remaja berisiko mengalami gangguan
bipolar. Ada hubungan faktor usia, genetik, psikologis dan lingkungan dengan risiko
gangguan bipolar. Tidak ada hubungan penyalahgunaan zat/ alkohol dengan risiko gangguan
bipolar. Faktor psikologis (konsep diri) merupakan faktor yang paling dominan terhadap
risiko gangguan bipolar. Diharapkan dengan hasil penelitian ini petugas kesehatan di
komunitas dapat meningkatkan preventif dan promotif tentang risiko gangguan bipolar pada
kelompok berisiko khususnya remaja

Kata kunci : Gangguan Bipolar, Faktor Risiko Gangguan Bipolar, Remaja


PENDAHULUAN
Gangguan bipolar merupakan gangguan jiwa terbanyak dibandingkan
gangguan jiwa lainnya yaitu sekitar 60 juta orang diseluruh dunia (WHO, 2017).
Prevalensi gangguan bipolar berusia 18 tahun keatas di Amerika sekitar 3,4 juta
(1,7%) tahun 2015 menjadi 5,7 juta pada tahun 2016 (2,6%) (NIMH, 2017).
Prevalensi gangguan bipolar di Indonesia belum tercatat oleh Riskesdas 2018,
tetapi data dari Bipolar Care Indonesia (BCI) diperoleh sebanyak 1% tahun 2016
menjadi 2% tahun 2017 (72.860 jiwa) masyarakat Indonesia mengidap gangguan
bipolar (BCI, 2018). Data tersebut menunjukkan prevalensi penderita gangguan
bipolar berbeda-beda dan meningkat di setiap negara.
Ganguan bipolar adalah gangguan jiwa bersifat episodik yang ditandai
oleh gejala manik, depresi dan campuran (Comer, 2013). Seseorang yang
mengalami gangguan bipolar merupakan seseorang yang mempunyai suasana hati
yang labil. Penyebab pasti gangguan bipolar sampai saat ini masih belum jelas.
Namun berdasarkan NIMH (2016), penyebabnya yaitu gangguan pada struktur
dan fungsi otak dan genetik. Menurut Videbeck (2011), faktor genetik dan
lingkungan berkontribusi substansial penyebab gangguan bipolar. Diagnosis
paling umum terjadi antara usia 15 dan 25 tahun, tetapi itu dapat terjadi pada usia
berapapun (Legg, 2017). Menurut penelitian Kurniawan, Swendra, & Yudani
(2019), gangguan bipolar dapat lebih diwaspadai terutama pada kalangan remaja
berusia 17 – 23 tahun karena dalam rentan umur ini adalah waktu yang paling
memungkinkan bagi remaja untuk mengidap kelainan bipolar.
Masa remaja sebagai masa mencari identitas dimana masa remaja
menimbulkan suatu dilema yang menyebabkan remaja mengalami krisis identitas
atau masalah identitas ego (Hurlock, 2017). Karakteristik remaja yang sedang
berproses untuk mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri
remaja. Salah satu karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai
permasalahan pada diri remaja yaitu ketidakstabilan emosi. Ketidakstabilan emosi
remaja erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat sedih
sekali dan lain waktu dapat senang sekali. Serta, emosi remaja lebih kuat dan lebih
menguasai diri mereka dari pada pikiran yang realitas (Wulandari, 2015).
Ada beberapa faktor risiko terjadinya gangguan bipolar. Menurut Jiwo
(2012), faktor risiko gangguan bipolar yaitu mempunyai hubungan darah atau
saudara penderita gangguan bipolar, pengalaman hidup yang sangat menekan
(stressfull), umur diawal 20an tahun, karakteristik keluarga dan penyalahgunaan
obat atau alkohol. Penelitian Pavlickova, et, al (2015), harga diri rendah memicu
risiko untuk gangguan bipolar, kerentanan psikologis dan riwayat orangtua
gangguan bipolar. Penelitian Maramis,et, al (2017) di Surabaya, risiko gangguan
bipolar disebabkan oleh masalah psikologis dan mempunyai keluarga dengan
gangguan bipolar. Faktor risiko yang mempengaruhi gangguan bipolar yaitu usia,
genetik, psikologis (konsep diri), lingkungan (stress traumatik dan pola asuh
keluarga) dan penyalahgunaan zat/ alkohol.
Kota Banda Aceh  adalah salah satu kota yang berada di Aceh dan
menjadi ibukota Provinsi Aceh. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi
pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Aceh merupakan peringkat
pertama se-Indonesia dengan prevalensi 2,7 per mil jumlah penderita gangguan
jiwanya (Kementrian Kesehatan, 2013). Berbagai persoalan remaja di Aceh juga
marak terjadi. Di tahun 2012, Dinas Kesehatan Provinsi Aceh melaporkan
terjadinya peningkatan kasus free sex pada remaja disejumlah kota di Aceh.
Selain itu, ditahun 2013, Aceh tercatat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah
kasus pengedaran dan penggunaan narkoba terbesar diantara provinsi lainnya di
Indonesia (Saefullah, 2013). Menurut Mardiya (2011), hal ini disebabkan karena
remaja sulit memaknai atau kebingungan dengan konsep dan integritas diri
sehingga remaja banyak terlibat kedalam perilaku destruktif.
Berdasarkan studi pendahuluan peneliti terhadap 20 responden di wilayah
Kecamatan Kuta Alam pada tanggal 10 Desember 2018 dengan menggunakan
Mood Disorder Questionnaire (MDQ) dengan 15 pertanyaan, 1 pertanyaan
tentang riwayat genetik, 1 pertanyaan konsep diri, 1 pertanyaan pola asuh
keluarga dan 1 tentang penggunaan zat/ alkohol. Diperoleh hasil bahwa 7 dari 20
atau 35 % responden berisiko mengalami gangguan bipolar. Dari 7 atau 35 %
responden tersebut diperoleh untuk jenis kelamin responden yang berisiko
gangguan bipolar yaitu keseluruhannya laki-laki, usianya 18 – 23 tahun, tidak ada
riwayat genetik menderita gangguan bipolar, 4 dari 7 memiliki konsep diri negatif
dimana tidak mampu menerima diri, mengevaluasi diri dan bersikap pesimis, 5
dari 7 responden memiliki pola asuh keluarga yang otoriter (penuh aturan),
selebihnya demokrasi dan keseluruhan responden yang berisiko gangguan bipolar
tidak menggunakan narkoba atau alkohol.
Gangguan bipolar dapat memperburuk jika dibiarkan tidak terdiagnosis..
Penelitian Valentina & Helmi (2016) diperoleh hasil bahwa 69% kasus percobaan
bunuh diri dilakukan oleh golongan usia produktif yaitu 15-29 tahun dengan
masalah gangguan mental. Berdasarkan studi longitudinal Cardoso, et,al (2018),
dimana telah dinilai risiko bunuh diri terjadi pada klien dengan diagnosis
gangguan bipolar. Remaja yang mengalami bipolar cenderung tidak dapat
menggali potensi-potensi diri, karna adanya hambatan emosional dan gangguan
secara psikis (Grande, et, al, 2016).
Penyelia layanan kesehatan harus menekankan pada skrining, diagnosis
dini dan tritmen sehingga memperoleh hasil yang lebih positif pada penangananan
(Stuart, 2016). Penelitian Maramis,et,al (2017) menyimpulkan bahwa dari yang
mengalami gangguan bipolar terdapat 22 % menyadari keluhan psikisnya, tetapi
hanya 5,9 % yang mengobati penyakitnya. Berdasarkan hal tersebut peneliti
tertarik melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor yang mempengaruhi
risiko gangguan bipolar di Kota Banda Aceh sehingga membantu para klinisi
kesehatan dan pemerintah mengidentifikasi prevalensi dan penatalaksanaan yang
tepat untuk risiko gangguan bipolar di masyarakat.

METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian non-eksperimental dengan
pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian analatik korelasi, pendekatan
cross secsional study. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh remaja yang ada
di Kota Banda Aceh. Pengambilan sampel menggunakan teknik cluster sampling
dengan jumlah sampel 382 remaja. Pengambilan data menggunakan Mood
Disorder Questionnaire (MDQ) untuk risiko gangguan bipolar, rosenberg self-
estreem scale (RES) untuk konsep diri, trauma screening questionnaire (TSQ)
untuk stress traumatik, parental authority questionnaire (PAQ) untuk pola asuh
keluarga dan CAGE-AID (CAGE Questions Adapted to Include Drugs) untuk
penyalahgunaan zat/ alkohol. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan uji univariat distribusi frekuensi, bivariat dengan uji chi square dan
multivariat dengan regresi logistik.

HASIL
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri dari tiga sub variabel
yaitu usia, jenis kelamin dan pendidikan. Distribusi frekuensi dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Responden

Karakteristi Kategori f %
k
Responden
Usia  Remaja 101 26,4
awal 281 73,6
 Remaja
akhir
Jenis  Laki-laki 182 47,6
kelamin  Perempu 200 52,4
an
Pendidikan  SD 16 4,2
 SMP 71 18,6
 SMA/ 113 29,6
SMK
 PT 182 47,6
Tabel 1. menggambarkan lebih dari setengah remaja di Kota Banda Aceh
adalah kategori remaja akhir, jenis kelamin responden lebih dari setengahnya
adalah perempuan (52,4%), dan pendidikan responden kurang dari setengahnya
adalah Perguruan Tinggi (47,6%).
Gambaran Risiko Gangguan Bipolar Pada Remaja
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Gangguan Bipolar pada Remaja di Kota Banda
Aceh Tahun 2019 (n = 382)

Variabel Kategori f %
Gangguan Berisiko 106 27,7
Bipolar
Tidak 276 62,3
berisiko
Tabel 2. menggambarkan bahwa kurang dari setengahnya (27,7%) remaja
di Kota Banda Aceh berisiko gangguan bipolar.
Gambaran Faktor Risiko Gangguan Bipolar Pada Remaja di Kota Banda
Aceh Tahun 2019
Pembahasan
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Gangguan Bipolar Pada Remaja di Kota
Banda Aceh Tahun 2019 (n = 382)
Variabel Kategori f %
Usia  Remaja 101 26,4
awal
 Remaja 281 73,6
akhir
Genetik  Tidak ada 223 58,4
genetik
 Ada genetik 159 41,6

Psikologis:  Konsep diri 221 57,9


positif
Konsep diri  Konsep diri 161
42,1
negatif

Lingkungan:
- Stress  Ada stress
154 40,3
traumatik traumatik
 Tidak ada
stress 228 59,7
traumatik

- Pola asuh  Permisif


76 19,9
keluarga
 Otoriter 169 44,2
 Demokrasi 137 35,9

Penggunaan  Tidak
zat/ alkohol menggunak
333 87,2
an narkoba/
alkohol
 Menggunak
an narkoba/ 49 12,8
alkohol
Tabel 3. menggambarkan lebih dari setengah remaja di Kota Banda Aceh
adalah kategori remaja akhir, kurang dari setengah remaja mempunyai genetik
untuk berisiko gangguan bipolar, mempunyai konsep diri negatif, mempunyai
riwayat stress traumatik, pola asuh keluarga otoriter dan menggunakan zat/
alkohol.
Hubungan Faktor Usia dengan Gangguan Bipolar Pada Remaja di Kota
Banda Aceh Tahun 2019
Dianalisa bahwa remaja berisiko gangguan bipolar di Kota Banda Aceh
lebih banyak pada usia remaja akhir dan terdapat hubungan antara usia remaja
dengan resiko gangguan bipolar (p value = 0,038).

Hubungan Faktor Genetik dengan Gangguan Bipolar Pada Remaja di Kota


Banda Aceh Tahun 2019
Hubungan faktor genetik dengan gangguan bipolar dianalisis secara
bivariat dengan menggunakan chi-square. Diperolah bahwa remaja berisiko
gangguan bipolar di Kota Banda Aceh lebih banyak memiliki riwayat genetik dan
terdapat hubungan antara genetik dengan gangguan bipolar (nilai p value =
0,000).

Hubungan Faktor Psikologis: Konsep Diri dengan Gangguan Bipolar Pada


Remaja di Kota Banda Aceh Tahun 2019
Diperoleh hasil bahwa remaja berisiko gangguan bipolar di Kota Banda
Aceh lebih banyak mempunyai konsep diri negatif dan terdapat hubungan antara
konsep diri dengan resiko gangguan bipolar (nilai p value = 0,017).

Hubungan Faktor Lingkungan dengan Gangguan Bipolar Pada Remaja di


Kota Banda Aceh Tahun 2019
Hubungan faktor lingkungan terdiri dari faktor stress traumatik dan pola
asuh keluarga. Kedua variabel tersebut dengan gangguan bipolar dianalisis secara
bivariat dengan menggunakan chi-square. Stress traumatik diperoleh hasil bahwa
remaja berisiko gangguan bipolar di Kota Banda Aceh lebih banyak mempunyai
riwayat stress traumatik dan terdapat hubungan antara stress traumatik dengan
gangguan bipolar (nilai p value = 0,002).
Sedangkan pola asuh keluarga diperoleh hasil bahwa remaja berisiko
gangguan bipolar di Kota Banda Aceh lebih banyak mempunyai pola asuh
keluarga otoriter dan terdapat hubungan antara pola asuh keluarga dengan resiko
gangguan bipolar (nilai p value = 0,020).

Hubungan Faktor Penggunaan Zat/ Alkohol dengan Gangguan Bipolar Pada


Remaja di Kota Banda Aceh Tahun 2019
Hubungan faktor penggunaan zat atau alkohol dengan gangguan bipolar
dianalisis secara bivariat dengan menggunakan chi-square. Diperoleh hasil bahwa
remaja berisiko gangguan bipolar sebagian besar tidak menggunakan narkoba/
alkohol dan tidak terdapat hubungan antara penyalahgunaan zat/ alkohol dengan
resiko gangguan bipolar (nilai p value = 0,838).

Faktor yang Paling Dominan Berhubungan dengan Gangguan Bipolar Pada


Remaja di Kota Banda Aceh Tahun 2019
Hubungan faktor yang paling dominan berhubungan dengan gangguan
bipolar di Kota Banda Aceh dianalis secara multivariat dengan uji regresi logistik
berganda. Sehingga pada penelitian ini faktor konsep diri merupakan faktor paling
dominan menyebabkan risiko gangguan bipolar (OR = 1,527). Artinya konsep diri
mempunyai peluang 1,5 kali mempengaruhi resiko gangguan bipolar.
PEMBAHASAN
Karakteristik remaja di Kota Banda Aceh memperlihatkan bahwa proporsi
remaja di Kota Banda Aceh tahun 2019 lebih dari setengahnya adalah perempuan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Connor, et,al, (2017) di Farmington,
Amerika Serikat diperoleh hasil 56% responden adalah perempuan. Status
pendidikan remaja di Kota Banda Aceh sebesar 47,6%adalah Perguruan Tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Zimmerman, et,al (2018) di Amerika
Serikat diperoleh hasil sebanyak 42,2% dengan status pendidikan Perguruan
Tinggi. Menurut Setya (2018), pendidikan tidak hanya cukup sampai pada tingkat
dasar saja tetapi masih ada jenjang pendidikan diatasnya berupa pendidikan
menengah yang harus ditempuh remaja dan seiring dengan berjalannya waktu
pembangunan dibidang pendidikan, peranan perguruan tinggi sangat penting
untuk menyiapkan remaja menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik sehingga dapat menerapkan, mengembangkan dan
menciptakan ilmu pengetahuan serta memiliki pola fikir yang lebih maju.
Gambaran risiko gangguan bipolar pada remaja di Kota Banda Aceh tahun
2019 menunjukkan sebesar 27,7% remaja berisiko mengalami gangguan bipolar.
Hasil penelitian ini jauh melebihi hasil penelitian Baldassano (2015) di Amerika
Serika, responden berisiko gangguan bipolar sebanyak 9,4%. Hasil penelitian ini
juga berbeda dengan penelitian Maramis, dkk (2017) di Surabaya diperoleh hasil
sebanyak 10,7 % responden beresiko gangguan bipolar. Berdasarkan Videbeck
(2011), dimana studi diberbagai negara menunjukkan bahwa risiko untuk
terjadinya gangguan bipolar sepanjang kehidupan adalah sekitar 1-2%. Berarti
hasil penelitian ini 3 kali lipat dari hasil penelitian di Amerika Serikat, 2 kali lipat
melebihi hasil penelitian di Surabaya dan 14 kali lipat dibandingkan prediksi
Videbeck tahun 2011.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi risiko gangguan bipolar yaitu
pertama, usia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia
dengan risiko gangguan bipolar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yatham
et al., (2018) di Kanada menyimpulkan ada hubungan usia dengan resiko
gangguan bipolar. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari
identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Salah satu
karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri
remaja yaitu ketidakstabilan emosi. Ketidakstabilan emosi remaja erat
hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat remaja dapat sedih sekali dan
lain waktu dapat senang sekali. Serta, emosi remaja lebih kuat dan lebih
menguasai diri mereka dari pada pikiran yang realitas (Wulandari, 2015).
Kedua yaitu genetik. Hubungan faktor genetik dengan risiko gangguan
bipolar pada remaja di Kota Banda Aceh tahun 2019 diperoleh hasil ada hubungan
antara genetik dengan risiko gangguan bipolar. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Chen,et,al (2014), diperoleh hasil bahwa psikopatologi orangtua atau
genetik mempengaruhi risiko gangguan bipolar. Gen yang efeknya menyampaikan
kerentanan terhadap spektrum penyakit kejiwaan pada kerabat tingkat pertama
dari individu dengan gangguan bipolar berisiko seumur hidup terkena penyakit
atau sekitar 5 – 10 kali lebih besar dari populasi umum (NCCMH, 2014).
Rowland dan Marwaha (2018), kontribusi faktor genetik terhadap bipolar telah
telah lama diidentifikasi, dengan bukti dari saudara kembar studi yang
menunjukkan konkordansi monozigot antara 40-70%, dan risiko seumur hidup di
tingkat pertama kerabat adalah 5-10% atau sekitar tujuh kali lebih tinggi daripada
risiko populasi umum.
Ketiga yaitu konsep diri. Hubungan konsep diri dengan risiko gangguan
bipolar pada remaja di Kota Banda Aceh tahun 2019 diperoleh ada hubungan
antara konsep diri dengan risiko gangguan bipolar. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Miklowitz & Johnson (2010), faktor psikologis kepribadian dan
sensitivitas penghargaan memicu kerentanan terjadinya risiko gangguan bipolar.
Penelitian Pavlickova, Turnbull, Myin, & Bentall (2015), konsep diri rendah
memicu risiko untuk gangguan bipolar. Konsep diri akan terbentuk secara
bertahap seiring dengan bertambahnya usia seseorang individu tersebut. Penelitian
Saraswatia, Gita, & Arifah, (2016), menyimpulkan pengaruh antara pola asuh
orang tua, teman sebaya, peranan penampilan fisik dan peranan harga diri
terhadap konsep diri remaja. Menurut Burn (1993 dalam Hurlock, 2017), konsep
diri berhubungan dengan efikasi diri. Efikasi diri yang positif dapat diketahui dari
beberapa aspek berikut yaitu keyakinan kemampuan diri, optimis, objektif,
bertanggung jawab, rasional dan realistis, sedangkan efikasi negatif sebaliknya.
Menurut Hurlock (2017), konsep diri negatif dapat menuntun seseorang ke arah
kelemahan emosional sehingga konsep diri yang negatif seringkali berhubungan
dengan depresi klinis.
Keempat yaitu stress traumatik. Hubungan stress traumatik dengan risiko
gangguan bipolar pada remaja di Kota Banda Aceh tahun 2019 disimpulkan
bahwa ada hubungan antara stress traumatik dengan risiko gangguan bipolar.
Penelitian Johnson (2017), menyimpulkan trauma masa lalu memicu risiko
gangguan bipolar. Penelitian ini didukung juga dengan penelitian Rowland dan
Marwaha (2018), dimana stress traumatik atau trauma pada masa lampau
mempengaruhi risiko gangguan bipolar. Penyebab remaja mempunyai stress
traumatik berisiko gangguan bipolar. dikarenakan remaja di Kota Banda Aceh
pernah mengalami masa dimana daerah Aceh mengalami konflik dan bencana.
Menurut Hatta (2016), konflik berkepanjangan dan tsunami yang terjadi di Aceh
telah menimbulkan luka paling dalam dan ada hubungan antara pengalaman masa
kecil yang merugikan dengan gangguan kesehatan mental. Selain hal tersebut,
reseliensi diri remaja belum optimal terterapkan. Menurut Jackson dan Watkin
(2004, dalam Rinaldi, 2010), resiliensi adalah suatu konsep yang menunjukkan
kemampuan seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap masa-masa sulit
yang dihadapi. Resiliensi memiliki makna mencakup kepulihan dari masa
traumatis, mengatasi kegagalan dalam hidup dan menahan stres.
Kelima yaitu pola asuh keluarga. Hubungan pola asuh keluarga dengan
risiko gangguan bipolar di Kota Banda Aceh tahun 2019 diperoleh hasil ada
hubungan antara pola asuh keluarga dengan risiko gangguan bipolar. Penelitian
Chen,et,al (2014), diperoleh hasil karakteristik keluarga berhubungan dengan
risiko gangguan bipolar terkhusus hubungan buruk anak dengan orangtua, serta
konflik keluarga berisiko terjadinya gangguan bipolar. Remaja dengan pola asuh
otoriter lebih banyak berisiko gangguan bipolar, karena orangtua bersikap keras,
mengorbankan otonomi dan mempunyai aturan – aturan yang kaku pada remaja
sehingga mempengaruhi perkembangan remaja. Menurut Kaplan et al.,( 2010),
iklim keluarga yang hangat atau perhatian orangtua yang penuh kasih sayang
merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan psikologis anak
tersebut. Menurut Baumrind (1968, dalam Hafiz & Almaudud, 2015) pola asuh
otoriter diterapkan untuk anak usia awal namun tidak lagi cocok jika diterapkan
kepada anak yang sudah memasuki usia remaja karena anak remaja sudah
memiliki kemampuan yang lebih matang dibandingkan masa kanak-kanak.
Menurut Dadang Hawari (1997, dalam Ayun, 2017), seorang anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi akan mempunyai risiko
lebih besar dalam tumbuh kembang jiwanya.
Keenam yaitu penyalahgunaan zat/ alkohol. Hubungan faktor penggunaan
zat atau alkohol dengan risiko gangguan bipolar pada remaja di Kota Banda Aceh
tahun 2019 diperoleh hasil tidak ada hubungan antara penggunaan zat atau alkohol
dengan risiko gangguan bipolar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Nierenberg et al., (2010) dimana disimpulkan bahwa penyalahgunaan zat sekarang
atau sebelumnya tidak terkait dengan gangguan bipolar. Penyebab remaja di Kota
Banda Aceh tidak menggunakan narkoba karena sebagian besar remaja
berpendidikan (pelajar dan mahasiswa). Remaja yang berpendidikan, pematangan
kognitif berproses terus menerus. Pematangan kognitif tersebut mencakup
berbagai kemampuan otak, seperti transisi dari pemikiran konkret ke pemikiran
yang lebih abstrak (Sadock et al., 2015). Selain hal tersebut, di Kota Banda Aceh
sudah memberlakukan qanun atau aturan Kota Banda Aceh terkait aturan untuk
remaja, perda syariat islam Kota Banda Aceh dan Badan Nasional Narkotika
sedang gencar-gencarnya menggalakkan antinarkoba, karena Aceh sudah
peringkat ke-7 penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Teori Health Belief
Model menjelaskan pertimbangan individu sebelum ia berperilaku sehat dan
memiliki fungsi sebagai upaya pencegahan. Teori ini digunakan untuk kelompok
sehat guna meningkat kesahatan dan kelompok risiko dalam pencegahan.
Faktor yang paling dominan menyebabkan risiko gangguan bipolar pada
remaja di Kota Banda Aceh tahun 2019 yaitu faktor konsep diri. Hal ini sejalan
dengan penelitian Dossing et al., (2015), diperoleh hasil individu berisiko
gangguan bipolar kebanyakan memiliki konsep diri dan kepuasan hidup yang
rendah. Menurut Rahman, Ismail, & Sarnon, (2018), konsep diri adalah dasar
pembentukan dan perkembangan kepribadian seseorang, oleh karena itu sangat
penting mengupayakan remaja untuk memiliki konsep diri positif yang tinggi,
sebab hal tersebut akan menentukan kemampuannya untuk merespon secara tepat
berbagai tantangan yang dialaminya, karena setiap individu cenderung
bertingkahlaku sesuai dengan konsep dirinya. Menurut Stuart (2016), konsep diri
mencakup identitas diri, citra tubuh, ideal diri, harga diri dan penampilan peran.
Konsep diri sangat berkaitan erat dengan emosional yaitu kemampuan untuk
memonitor perasaan atau emosi sendiri dan orang lain untuk membimbing
perilaku. Menurut Putri (2012), lingkungan, pola asuh dan pengalaman
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk.
Menurut Rismarini (2018), gejolak emosi yang terjadi akibat perubahan remaja
apabila tidak dapat dikendalikan, maka akan menjadi batu penghalang dalam
pembentukan kecerdasan emosional remaja. Penelitian Zimmerman, et, al (2011),
menyimpulkan konsep diri yang terganggu mempengaruhi terjadinya risiko
gangguan bipolar.
Dampak yang ditimbukan paling serius dari gangguan bipolar yaitu risiko
bunuh diri dan melukai diri sendiri. Menurut Nordentoft & Madsen, (2015),
penderita resiko gangguan bipolar mempunyai risiko bunuh diri diperkirakan
antara 5% dan 6% lebih tinggi daripada seseorang tanpa kondisi psikotik.
Penelitian menunjukkan 30% - 40% penderita gangguan bipolar dapat merugikan
atau melukai dirinya sendiri (Nice et al., 2014).
Menurut International Bipolar Foundation (2019), ada beberapa hal yang
dapat dilakukan keluarga untuk individu berisiko gangguan bipolar yaitu mencari
informasi terlebih dahulu tentang gangguan bipolar, dekati mereka dengan
menunjukkan dukungan, dorong mereka untuk konsultasi dengan ahli, tawarkan
bantuan untuk membuat janji konsultasi dan melakukan persiapan, dan dukung
mereka untuk melakukan gaya hidup sehat. Sedangkan untuk individu yang sudah
terdiagnosa gangguan bipolar yang dapat dilakukan keluarga yaitu terus
mendukung dalam perawatan kesehatan, mengawasi keamanan dan jadwal minum
obat, mendukung dalam aktivitas positif, bersikap empati dan mencari tahu
tentang informasi gangguan bipolar tersebut (Stuart, 2016). Menurut Budiarti,
dkk, (2018), sebagai petugas kesehatan juga harus berperan aktif dimana dengan
memberikan terapi komprehensif yang diperlukan oleh penderita gangguan
bipolar untuk mencapai kembali fungsinya semula seperti farmakologi dan
psikoterapi (psikoedukasi, CBT dan terapi keluarga).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa karakteristik remaja yaitu sebagian besar remaja adalah
perempuan, kategori remaja akhir dan status pendidikan yaitu Perguruan tinggi.
Selanjutnya gambaran risiko gangguan bipolar diperoleh hasil sebanyak 27,7%
remaja di Kota Banda Aceh berisiko gangguan bipolar. Ada hubungan usia,
genetik, psikologis dan lingkungan dengan risiko gangguan bipolar. Tidak ada
hubungan penggunaan zat/ alkohol dengan gangguan bipolar. Serta konsep diri
merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi risiko gangguan bipolar..
Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut ke
kelompok tumbung kembang yang berbeda atau melakukan terapi pada remaja
yang berisiko gangguan bipolar sehingga dapat menjadi tindak lanjut pada remaja
yang berisiko gangguan bipolar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih peneliti sampaikan untuk Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Provinsi Aceh atas pendanaan penelitian dan rekan-rekan Rumah Sakit
Jiwa Aceh yang telah membantu penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, A. (2018). BCI sebut ada 2 persen masyarakat Indonesia mengidap
gangguan bipolar. Retrieved from https://bandung.merdeka.com/halo-
bandung/bci-sebut-ada-2-persen-masyarakat-indonesia-mengidap-gangguan-
bipolar-1804026.html
Baldassano, C. F. (2015). Assessment tools for screening and monitoring bipolar
disorder. https://doi.org/10.1111/j.1399-5618.2005.00189.x

Budiarti, M., Wibhawa, B., Ishartono, & Venty, F. (2018). Pekerjaan sosial :
bekerja bersama orang dengan, 5.

Cardoso, T. de A., Mondin, T. C., Azevedo, L. B., Toralles, L. M. D., & de


Mattos Souza, L. D. (2018). Is suicide risk a predictor of diagnosis
conversion to bipolar disorder? Psychiatry Research, 268, 473–477.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2018.08.026

Comer, R. J. (2013). Abnormal Psychology (eighth). New York: Worth


Publishers.

Connor, D. F., Ford, J. D., Pearson, G. S., Scranton, V. L., & Dusad, A. (2017).
Early-Onset Bipolar Disorder: Characteristics and Outcomes in the Clinic.
Journal of Child and Adolescent Psychopharmacology, 27(10), 875–883.
https://doi.org/10.1089/cap.2017.0058

Døssing, M., Kahr, K., Rzepa, S., Venås, V., Nielsen, K., & Hansen, T. B. (2015).
ScienceDirect Low self-compassion in patients with bipolar disorder.
Comprehensive Psychiatry. https://doi.org/10.1016/j.comppsych.2015.03.010

Grande, I., Michae, lBer, Boris, B., & Eduard, V. (2016). Bipolar disorder. The
Lancet, 389. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0140-6736(15)00241-X

Hafiz, S. El, & Almaudud, A. A. (2015). Peran Pola Asuh Otoriter Terhadap
Kematangan Emosi Yang Dimoderatori Oleh Kesabaran, 12(2), 130–141.

Hurlock, E. B. (2017). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang


rentang kehidupan. (Istiwidayan, Soedjarwo, & R. M. Sijabat, Eds.). Jakarta:
Erlangga.

International Bipolar Foundation. (2019). Hal Yang Bisa Dilakukan Jika Anda
Menduga Seseorang Memiliki Gangguan Bipolar. Retrieved from
http://ibpf.org/article/hal-yang-bisa-dilakukan-jika-anda-menduga-seseorang-
memiliki-gangguan-bipolar.

Jiwo, T. (2012). Mengenal gangguan bipolar, 1–16. Retrieved from


https://tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2012/05/Seri-bipolar.pdf

Kaplan, H. I., Sadock, benjamin J., & Grebb, J. A. (2010). Kaplan- Sadock
Sinopsis Psikiatri. (I. M. Wiguna, Ed.) (Jilid 1). Tangerang: Binarupa Aksara
Publisher.

Kementrian Kesehatan, R. (2013). Riset Kesehatan (Riskesdas). Jakarta.

Kurniawan, A. S., Swendra, R., & Yudani, H. D. (2019). Perancangan Film


Pendek Tentang Perlakuan Terhadap Bipolar Disorder Di Surabaya Bagi
Remaja Usia 17 – 23 Tahun. Retrieved from
http://publication.petra.ac.id/index.php/dkv/article/view/8675/7831

Legg, J. T. (2017). What should you know about bipolar disorder. Retrieved from
https://www.medicalnewstoday.com/articles/37010.php

Mardiya. (2011). Seputar perkembangan psikologis remaja. Retrieved from


http://www.kulonprogokab.go.id/v21getfile.php?file=Seputar-Perkembangan
%0apsikologis-Remaja.Pdf

Miklowitz, D. J., & Gitlin, M. J. (2014). Clinician’s Guide to Bipolar Disorder


(pp. 1–12). New York: The Guilford Press.

Miklowitz, D. J., & Johnson, B. S. L. (2010). Social and familial factors in the
course of bipolar disorder: Basic processes and relevant interventions.
Clinical Psychology: Science and Practice, 16(2), 281–296.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2850.2009.01166.x

National Institute of Mental Health. (2016). Bipolar Disorder. Retrieved from


https://www.nimh.nih.gov/health/topics/bipolar-
disorder/index.shtml#part_145406

National Institute of Mental Health. (2017). Bipolar Disorder. Retrieved from


https://www.nimh.nih.gov/health/statistics/bipolar-disorder.shtml

Nice, T. H. E., On, G., Assessment, T. H. E., Of, M., Disorder, B., Adults, I. N.,
… Edition, U. (2014). Bipolar Disorder: The nice guideline on the
assessment in adults , children and young people. London: National Institute
for Health and Clinical Excellence.

Nierenberg, A. A., Calabrese, J., Stange, J. P., Weiss, R. D., & Sachs, G. S.
(2010). Impact of Substance Use Disorders on Recovery From Episodes of
Depression in Bipolar Disorder Patients: Prospective Data From the
Systematic Treatment Enhancement Program for Bipolar Disorder (STEP-
BD), (March), 289–297.

Nordentoft M1, Madsen T, F. I. (2015). Suicidal behavior and mortality in first-


episode psychosis. Journal of Nervous and Mental Disease 203. Retrieved
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25919385

Pavlickova, H., Turnbull, O. H., Myin-germeys, I., & Bentall, R. P. (2015). The
inter-relationship between mood , self-esteem and response styles in
adolescent offspring of bipolar parents : An experience sampling study.
Psychiatry Research, 225(3), 563–570.
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2014.11.046

Rahman, I. A., Ismail, K. H., & Sarnon, N. (2018). Pengaruh Dukungan


Sosialterhadap Konsep Diri Remaja Beresiko Tinggi Di Panti Sosial Marsudi
Putra “Toddopuli” Makassar, 54–68.

Rinaldi. (2010). Resiliensi pada masyarakat kota padang ditinjau dari jenis
kelamin, 99–105. Retrieved from Rinaldi. (2010). Resiliensi masyarakat kota
Padang ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal Psikologi, Vol. 3, No. 2, Juni 2010.

Rismarini, P. (2018). Bipolar Rentan Terjadi pada Remaja, Seperti Apa


Gejalanya? Retrieved from https://www.grid.id/read/04945613/bipolar-
rentan-terjadi-pada-remaja-seperti-apa-gejalanya?page=all

Rowland, T. A., & Marwaha, S. (2018). Epidemiology and risk factors for bipolar
disorder, 251–269. https://doi.org/10.1177/2045125318769235

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Synopsis of Psychiatry. (C. S.
Pataki & N. Sussman, Eds.) (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Saefullah, S. (2013). Tinggi, seks pra-nikah di kalangan pelajar Aceh. Retrieved


from https://www.islampos.com/tinggi-seks-pra-nikah-di-kalanganpelajar-
aceh-43604/

Saraswatia, K., Gita, Z., & Arifah, S. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Konsep Diri Remaja di SMPN 13 Yogyakarta. Jurnal Ners Dan Kebidanan
Indonesia, 3(1), 33. https://doi.org/10.21927/jnki.2015.3(1).33-38

Setya, A. (2018). Faktor Penyebab Rendahnya Minat Remaja Untuk Melanjutkan


Pendidikan Ke Perguruan Tinggi. Retrieved from
http://jambidaily.com/detail/agung-setya-faktor-penyebab-rendahnya-minat-
remaja-untuk-melanjutkan-pendidikan-ke-perguruan-tinggi/

Valentina, T. D., & Helmi, A. F. (2016). Ketidakberdayaan dan Perilaku Bunuh


Diri : Meta-Analisis, 24(2), 123–135.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.18175

Videbeck, S, L. (2011). Psychiatric mental health nursing. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins Inc.

World Health Organization. (2017). Mental disorders. World Health


Organization. Retrieved from
http://www.who.int/mental_health/management/en/

Wulandari, A. (2015). Terhadap Masalah Kesehatan Dan Keperawatannya, 39–43.

Yatham, L., Kennedy, S., Parikh, S., Schaffer, A., Bond, D., Frey, B., …
Goldstein, B. (2018). Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments
(CANMAT) and International Society for Bipolar Disorders (ISBD) 2018
guidelines for the management of patients with bipolar disorder.
https://doi.org/10.1111/bdi.12609.

You might also like