Kesehatan Mental Dan Koping Strategi Di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu Studi Sosiodemografi

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang,

Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu Studi Sosiodemografi

Feri Agung Saputra 1), Yulius Yusak Ranimpi 1), dan Rama Tulus Pilakoannu2)
1
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, 2Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga

Abstract
Mental health is state of physical, mental and social wellbeing which is allows
everyone to live productively in social and financial context so that they can contribute to
their community. In 2013 mmental health is still remaining as a serious problem in
Indonesia. Many people with mental disorder. About 18.2 % people with mental disorder in
rural area were experienced pasung, as well as 10.2 % of people who lived in urban area.
Mental disorder is commonly occurred when a person failed to cope and facing the life
situations. It needs a right coping strategy to prevent any mental disorder. The purpose of
this study is to find out people’s perception about mental health and the chosen of coping
strategy. This study used a qualitative method with fenomenology study design conducted in
Kudangan, Delang, lamandau district, central Borneo. Research do it from June to July
2017. Eight participant research were included in this study which was determined through
purposive sampling technique. Data collection is done by field research (field research) that
is by passive observation and deep interview with semi structured form. The data were then
processed and analyzed using phenomenological analysis. The result of this research is the
finding of 6 categories related to participant's perception of mental health, realize self
ability, attachment between self and environment, and coping strategy.

Keywords: Mental health ; coping strategy ; sociodemograpy

I. Pendahuluan

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ayat 1 tentang Kesehatan menyatakan bahwa


kesehatan merupakan keadaaan sejahtera dari fisik, mental dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Kemenkes RI, 2016). Menurut WHO
kesehatan merupakan suatu keadaan sejahtera baik secara fisik, mental dan sosial yang
lengkap yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan (Robiatul, 2012). Atas dasar
definisi tersebut di atas, maka manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh
(holistik). Dari unsur "badan" (organobiologik), "jiwa" (psiko-edukatif) dan “sosial” (sosio-
kultural), yang tidak dititikberatkan pada “penyakit” tetapi juga pada kualitas hidup yang
terdiri dari "kesejahteraan" dan “produktivitas sosial ekonomi”. Dari definisi tersebut juga

63
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

tersirat bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari
kesehatan dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup
manusia yang utuh (Robiatul, 2012).
Pemahaman kesehatan jiwa sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No.18
Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yaitu kondisi seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri,
dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi
dalam komunitasnya (Kementerian Hukum dan HAM, 2014). Menurut Sumiati (2009 dalam
Robiatul, 2012) kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi mental yang sejahtera (mental well-
being) yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif, sebagai bagian yang utuh dan
kualitas hidup seseorang dengan memperhatikan semua segi kehidupan manusia. Jadi, dengan
kata lain, kesehatan jiwa bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan
sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta
mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain adanya dan mempunyai
sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Di Indonesia kondisi kesehatan mental masih dikatakan memprihatinkan dan menjadi
salah satu masalah yang sangat serius. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun 2007 prevelensi gangguan mental emosional di Indonesia pada penduduk yang
berumur 15 tahun ke atas sebesar 11,6 % (Putri,dkk, 2012), dan pada tahun 2013
menunjukkan bahwa secara Nasional terdapat 0,17% (400 ribu jiwa) penduduk Indonesia
yang mengalami gangguan mental berat (Kemenkes RI, 2016). Secara global, orang yang
mengalami gangguan jiwa sepertiganya tinggal di negara berkembang dan sebanyak 8 dari 10
penderita gangguan mental tidak mendapatkan perawatan (Kemenkes, 2014). Menurut hasil
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan pada tahun 1995 menunjukan bahwa gangguan
mental pada remaja dan dewasa dialami oleht 140 per 1.000 anggota rumah tangga dan
gangguan mental pada anak usia sekolah terdapat 104 per 1000 anggota rumah tangga
(Suhaimi, 2015).
Menurut Undang-Undang Repubik Indonesia No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa, dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan menjamin setiap orang untuk
mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa (Kementerian
Hukum dan HAM, 2014). Dalam mengupayakan kesehatan jiwa diperlukan mekanisme
pertahanan diri yaitu strategi koping sehingga mencapai kuliatas hidup yang baik tanpa

64
Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu
Studi Sosiodemografi
(Feri Agung Saputra, Yulius Yusak Ranimpi, dan Rama Tulus Pilakoannu)

merasakan ketakutan serta tekanan dalam hidup. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam
Wanti, dkk 2016) strategi koping sebagai perubahan individu untuk menangani kondisi yang
menekan akibat dari masalah yang tak terduga secara empirical yang disebut proses. Terdapat
dua bentuk strategi koping yaitu menggunakan emotional focused coping (EFC) dan problem
focused coping (PFC). Dalam EFC, individu meredakan emosi yang ditimbulkan oleh
stressor (sumber stres) tanpa berusaha mengubah situasi, sedangkan dalam PFC individu
dalam menangani masalahnya, individu akan berfikir logis dan berusaha memecahkan
permasalahan dengan positif.
Faktor yang mempengaruhi strategi koping individu meliputi usia, jenis kelamin,
faktor keluarga, faktor dukungan sosial, faktor pengetahuan, faktor ekonomi dan faktor
keyakinan (spiritual) (Wanti, 2016). Dalam faktor ekonomi, penelitian Wardaningsih, dkk
(2010) menunjukkan bahwa penderita yang mengalami gangguan mental dibawa ke tempat
rehabilitasi dibandingkan ke RS Jiwa dengan pertimbangan tempat rehabilitasi lebih murah
dibandingkan RS Jiwa. Ketidak-teraturan penghasilan dan pekerjaan dapat menjadi faktor
yang berpengaruh terhadap keluarga dalam pengambilan keputusan terutama dalam
perawatan kesehatan. Di sisi lain status sosial ekonomi rendah akan mempengaruhi pola
berfikir dalam usaha penyembuhan pasien gangguan mental, seperti mencari tahu informasi
tentang penyakit, gejala-gejala, dan cara pengobatan yang efektif karena keluarga terfokus
untuk mencari penghasilan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Faktor yang kedua yaitu faktor keyakinan. Keluarga penderita gangguan mental lebih
mengutamakan nilai kepasrahan diri kepada Tuhan yang menjadikan mereka lebih tenang dan
optimis untuk merawat penderita gangguan mental (Wardaningsih, dkk, 2010). Dalam faktor
pengetahuan, penelitian Suhaimi (2015) menjelaskan bahwa keluarga memandang bahwa
gangguan jiwa disebabkan oleh makhluk halus dan sejenisnya sehingga keluarga akan
mencari pengobatan kepada dukun atau paranormal sebagai bentuk proses penyembuhannya.
Hal keyakinan ini masih ditemukan di dalam masyarakat Kudangan, Kecamatan Delang,
Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah. Kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh
keyakinan/ kepercayaan agama suku yaitu Kaharingan. Mereka beranggapan bahwa
seseorang yang mengalami gangguan mental disebabkan karena kerasukan roh-roh halus.
Oleh karenanya individu yang terganggu tersebut akan dibawa ke dukun atau Tetua adat.
Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan penelitian untuk mengkaji
bagaimana persepsi kesehatan mental dan strategi koping berdasarkan profil sosiodemografi
masyarakat Kudangan.

65
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

II. Metodelogi

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain penelitian studi


sosiodemografi dan tipe fenomenologi deskriptif. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni
sampai Juli tahun 2017 di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan
Tengah. Partisipan berjumlah delapan orang yang dipilih secara purposive sampling sesuai
sosiodemografi dengan kriteria:
1. Warga tetap desa Kudangan
2. Tokoh agama Islam di desa Kudangan
3. Tokoh adat yang dipercaya di desa Kudangan
4. Usia (usia 17 tahun- 60 tahun)
5. Tingkat pendidikan (minimal tamat SMP-Perguruan Tinggi)
Data yang masuk diperoleh berdasarkan hasil observasi pasif dan wawancara mendalam (in-
depth interview) dengan bentuk semi terstruktur. Hasil wawancara kemudian dianalisis
menggunakan teori dari Giorgi (2009).

III. Hasil dan pembahasan

2.1 Hasil

Berdasarkan analisa data terhadap partisipan penelitian, maka dalam penelitian ini
terdapat 4 kategori. Berikut adalah deskripsi dari masing-masing kategori.

2.1.1 Pemahaman terhadap kesehatan mental

Penelitian ini menunjukkan bahwa semua partisipan mengungkapkan pemahaman


mereka terhadap kesehatan mental yang berbeda-beda. Partisipan yang memiliki
kategori pendidikan tinggi (D3-SI) dan usia diatas 30 tahun mempunyai kesamaan
pemahaman terhadap kesehatan mental. Mereka menjelaskan bahwa kesehatan mental
merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan psikologi seseorang yang
mempengaruhi pemikiran, kejiwaan serta perilakunya dimasyarakat. Perilaku yang
dimaksud meliputi kemampuan untuk bersosialisasi dengan masyarakat, mampu
melakukan pekerjaan serta mampu berperilaku yang baik di masyarakat sesuai
peraturan yang berlaku di masyarakat.

66
Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu
Studi Sosiodemografi
(Feri Agung Saputra, Yulius Yusak Ranimpi, dan Rama Tulus Pilakoannu)

Sedangkan partisipan yang memiliki tingkat pendidikan SMP-SMA memiliki


pemahaman lain yang berkaitan dengan kesehatan mental. Partisipan yang
berpendidikan SMA mengartikan bahwa kesehatan mental adalah kuat dalam
menghadapi masalah yang dihadapi sehingga membantu mengatasi permasalahan
apapun dengan pikiran yang sehat Sehat mental juga dimaknai apabila fisik dan
pikiran sejalan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Sementara itu, pemahaman
kesehatan mental bagi partisipan yang memiliki tingkat pendidikan (SMP)
menyebutkan bahwa seseorang yang sehat secara mental adalah yang memiliki budi
pekerti, mampu berperilaku baik dengan sesama dan lingkungan serta selalu
mengedepankan iman dalam semua persoalan.

2.1.2 Menyadari kemampuan dalam diri

Dalam penelitian ini, semua partisipan menyadari akan kemampuan yang dimiliki
setiap diri partisipan. Menurut mereka, kemampuan yang ada dalam diri partisipan
adalah kelebihan yang diberikan dari Yang Maha Kuasa. Dua partisipan yang masih
ditingkat pendidikan SMA mengatakan bahwa kemampuan yang sekarang yang dapat
dilakukan adalah berusaha membanggakan kedua orang tua dengan belajar yang rajin,
dan membantu pekerjaan orang tua, menurut mereka hal tersebut adalah kewajiban
yang harus dilakukan seorang anak untuk orang tuanya. Selain itu, dua partisipan
yang berprofesi sebagai guru, mereka menganggap menjadi seorang pengajar
merupakan kemampuan yang membanggakan yang dimiliki partisipan dalam dirinya,
sesuatu yang dapat bermanfaat bagi orang disekitarnya.
Bagi partisipan mengajari anak orang lain itu bukanlah suatu hal yang mudah bagi
semua orang, karena harus mendidik dan mengajari individu yang memiliki karakter
yang berbeda-beda, namun bagi partisipan semua itu kelebihan yang diberikan dari
Yang Maha Kuasa untuk tetap mengembangkan kelebihannya dengan mengajar dan
penuh tanggung jawab. Begitu pula, bagi tiga partisipan yang menjadi pemimpin
yang dipercaya masyarakat untuk menjadi panutan adalah sebuah keistimewaan bagi
mereka. Meskipun menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah, namun bagi partisipan
harus tetap bertanggung jawab dengan kepercayaan tersebut. Begitu pula dengan
partisipan ketiga, meskipun hanya sebagai Ibu Rumah Tangga tetap merasa bangga
atas kemampuan yang dimilikinya untuk dapat fokus mengurusi rumah tangganya dan

67
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

masih bisa melakukan pekerjaan seperti berkebun yang dapatmembantu


perekonomian keluarganya.

2.1.3 Keterkaitan antara diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya

Dalam penelitian ini semua partisipan baik dari tingkat pendidikan, usia, jenis
kelamin maupun pekerjaan tidak memiliki pemahaman yang berbeda terkait
keterikatan individu, orang lain maupun dengan lingkungan. Mereka tidak mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bagi mereka menjaga
komunikasi yang baik dengan lingkungan sekitar sering dilakukan oleh masyarakat
Kudangan untuk menjalin keakraban dalam bermasyarakat. Hal tersebut nampak
dalam kebiasaan yang dilakukan di masyarakat seperti acara pernikahan, musibah,
ataupun kematian. Bagi partisipan setiap individu tetap berusaha membantu sesuai
kemampuan demi keharmonisan antar tetangga, selain itu demi menjalin komunikasi
yang baik dengan tetangga menurut partisipan keempat jika ada waktu luang
menyempatkan diri untuk sekedar bercengkrama dengan tetangga.

2.1.4 Strategi koping

Dalam kategori ini, kelima partisipan berdasarkan tingkat pendidikan (SMP-D3)


mengemukakan bahwa cara untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi yaitu
mendiskusikan dengan keluarga atau orang yang dipercaya dan berdoa.
Membicarakan permasalahan dengan keluarga ataupun orang yang dipercaya diyakini
partisipan dapat memberikan solusi bagi masalah yang sedang dihadapi. Bagi
partisipan keuntungan mengungkap permasalahan yaitu perasaan menjadi lega, tidak
ada perasaan dendam, dan sakit hati sehingga tidak menganggu pikiran dan tidak larut
dalam kesedihan. Selain itu bagi partisipan yang bekerja sebagai pemimpin dalam
masyarakat, untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi mereka lebih
memilih mencari akar permasalahan dengan memikirkan tindakan yang tepat yang
harus diambil saat menghadapi masalah. Begitu juga dalam konteks
komunitas/masyarakat, dari delapan partisipan mengatakan bahwa jika ada masalah di
antara warga maka akan diadakan pertemuan kedua belah pihak dan jika masih belum
menemukan jalan keluar maka akan mengundang ketua RT, Lurah, demang dan bisa
sampai dengan urusan polisi jika masalah belum terselesaikan secara kekeluargaan.

68
Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu
Studi Sosiodemografi
(Feri Agung Saputra, Yulius Yusak Ranimpi, dan Rama Tulus Pilakoannu)

2.2 Pembahasan

Kategori yang pertama yaitu pandangan masyarakat terhadap kesehatan mental.


Menurut Thoha (2004, dalam Wiharjo 2014), setiap individu memiliki persepsi masing-
masing sesuai dengan bagaimana seseorang melihat dan memahaminya. Persepsi seseorang
dapat berbeda satu dengan yang lain dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian seseorang.
Karakteristik kepribadian adalah konsep diri, nilai, sikap dan pengalaman yang ada dalam
dirinya. Selain itu, karakteristik kepribadian juga dipengaruhi oleh pendidikan, seseorang
yang memiliki pendidikan tinggi memiliki karakterisktik kepribadian dan pengetahuan yang
baik. Senada dengan Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pemahaman/pengetahuan seseorang diantaranya pendidikan, lingkungan, pengalaman serta
usia.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar sehingga semakin tinggi pendidikan
seseorang semakin mudah pula orang tersebut menerima informasi. Semakin banyak
informasi yang diperoleh maka semakin banyak pula pengetahuan yang akan didapatkan.
Faktor yang kedua yaitu lingkungan, lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena
adanya interaksi timbal balik ataupun yang tidak direspon sebagai pengetahuan oleh setiap
individu. Faktor yang ketiga yaitu pengalaman. Pengalaman adalah sumber pengetahuan
untuk memperoleh kebenaran dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh
di masa lalu. Faktor yang terakhir yaitu usia, semakin bertambahnya usia semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik (Sujarwo, 2012).
Kesehatan mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala
bentuk gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental dapat menjalankan
hidupnya, khususnya saat menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah yang akan ditemui
sepanjang hidupnya. (Putri, dkk,). Ungkapan yang disampaikan oleh riset partisipan didukung
oleh pengertian dari Undang-Undang RI tahun 2014 pasal 1, kesehatan mental merupakan
kondisi seseorang yang berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
mampu menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan dan mampu bekerja secara
produktif dan memberikan kontribusi terhadap komunitasnya (Kementrian Hukum dan HAM
RI, 2014).

69
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

Kategori kedua yaitu menyadari kemampuan diri. Menyadari kemampuan dalam diri
merupakan upaya seseorang untuk melihat kelebihan dan kelemahan yang ada pada diri
sendiri untuk dapat merespon dengan tepat dari masalah yang muncul dari dalam maupun
luar diri (Tirtawinata, 2013). Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang
berbeda-beda. Kelebihan dan kekurangan dapat diungkap dengan berbagai cara. Kemampuan
mengungkapkan kekurangan dan kelebihan berarti mampu mengenal diri dan memahami
aspek-aspek yang ada pada diri. Aspek yang ada dalam diri dapat dikatakan potensi diri
(Panjaitan,dkk 2014). Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum
terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya
terlihat atau dipergunakan secara maksimal. Kemampuan yang dimiliki setiap individu
memiliki keunikan yang berbeda-beda (Panjaitan, dkk 2014).
Pada kondisi tertentu sikap bersyukur sangat dibutuhkan untuk mengekspresikan
penerimaan diri. Bersyukur dapat mendorong seseorang untuk bergerak maju untuk
meringankan masalah kehidupan seseorang (Kurniawan,dkk 2016). Semakin banyak
bersyukur berarti semakin banyak pula penerimaan seseorang, sehingga tidak menimbulkan
beban yang akan dirasakan seperti kecewa, dan frustrasi yang akan mengganggu mental.
Dalam penelitian McCullough, dkk (2003: 377) menemukan bahwa orang yang bersyukur
memiliki kecenderungan spiritualitas yang menjadikan orang bersyukur setiap peristiwa
positif dari Tuhan. Rasa bersyukur akan membuat seseorang lebih menghargai segala hal
yang terjadi dalam hidupnya. Sikap syukur membuat seseorang ingat untuk berterima kasih
dan relatif mendorong seseorang untuk membagi kenikmatan sebagai wujud rasa syukur
secara perbuatan.
Kategori ketiga terkait dengan keterikatan diri dengan lingkungan. Lingkungan
memang tidak lepas dari setiap kegiatan yang dilakukan individu untuk melakukan suatu
pekerjaan maupun kegiatan. Demi menciptakan kebersamaan setiap individu membutuhkan
orang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Setiap orang yang sudah lama berada pada
suatu lingkungan akan terbiasa dengan norma-norma, aturan-aturan dan kebiasaan yang ada
dilingkungannya (Handono, 2013). Melalui interaksi membuat seseorang lebih mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Semiun (2006 dalam Handono, 2013)
menyesuaikan diri adalah melibatkan mental dan tingkah laku yang membuat individu
berusaha untuk mengatasi tuntutan yang harus dihadapi di mana ia hidup. Untuk melakukan
penyesuaian diri dibutuhkan dukungan sosial dari orang lain. Dukungan sosial merupakan
makna dari hadirnya orang lain yang dapat diandalkan untuk dimintai bantuan, dorongan, dan
penerimaan apabila individu mengalami kesulitan di lingkungan. Dalam bermasyarakat setiap

70
Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu
Studi Sosiodemografi
(Feri Agung Saputra, Yulius Yusak Ranimpi, dan Rama Tulus Pilakoannu)

orang harus mampu menerima seseorang dengan tidak membeda-bedakan suku, agama,
bahasa, jenis kelamin dan bangsanya. Setiap orang harus mempunyai kesadaran bahwa
dirinya adalah makhluk sosial yang mempunyai tanggung jawab sosial, baik terhadap
lingkungan maupun dengan sesama.
Kategori yang keempat menerangkan strategi koping. Menurut Aldwin dan Revenson
(1987, dalam Khoiroh, 2013) strategi koping merupakan cara yang dilakukan individu untuk
mengatasi dan mengendalikan situasi atau masalah yang dialami dan dianggap sebagai
tantangan, serta hambatan yang bersifat menyakitkan, bahkan merugikan. Semua
permasalahan yang dialami setiap individu maupun kelompok memerlukan cara untuk
mengatasi permasalahannya. Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Wanti, dkk 2016),
untuk mengatasi masalah yang dihadapi, ada beberapa caranya seperti strategi Emotion
Focused Coping dan Problem Focused Coping. Menurut Folkman dan Lasarus terdapat 2
macam indikator dalam Problem Focused Coping yaitu mencari dukungan sosial untuk
mendapatkan bantuan dari orang lain dan merencanakan pemecahan permasalahan dengan
memikirkan, membuat dan menyusun rencana pemecahan masalah agar dapat terselesaikan.
Berdasarkan penelitian ini semua partisipan lebih memilih menggunakan strategi Problem
Focused Coping yang meliputi membicarakan dan mencari akar permasalahan. Strategi ini
dianggap partisipan mampu mengurangi stressor yang dapat mengganggu pikiran, sehingga
permasalahan dapat terselesaikan dan tidak larut dalam permasalahan.

IV. Simpulan dan saran

1) Pada kategori pertama, masyarakat memandang kesehatan mental sebagai suatu keadaan
yang berhubungan dengan psikologi seseorang yang mempengaruhi pemikiran, kejiwaan
serta perilakunya di masyarakat. Perilaku yang dimaksud meliputi mampu bersosialisasi
dengan masyarakat, mampu melakukan pekerjaan serta berperilaku yang baik di
masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Bagi partisipan yang berumur di bawah 20
tahun (SMA) dan berumur 35 tahun (SMP) memahami kesehatan mental sebagai suatu
kondisi yang berhubungan dengan perilaku, dan pribadi seseorang dalam menyikapi suatu
permasalahan.
2) Pada kategori kedua yaitu semua partisipan menyadari akan kemampuan yang dimiliki
setiap diri partisipan. Menurut mereka, kemampuan yang ada dalam diri partisipan adalah
kelebihan yang diberikan dari Yang Maha Kuasa

71
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

3) Pada kategori ketiga yaitu keterikatan diri dengan lingkungan, seluruh partisipan
mengungkapkan bahwa tidak adanya masalah dalam bersosialisasi dengan masyarakat
setempat, keluarga maupun lingkungan serta adanya kebiasaan masyarakat yang saling
tolong menolong dan saling menghormati satu dengan yang lain dan memaknai orang lain
dengan positif.
4) Pada kategori keempat mengenai strategi koping dijelaskan bahwa semua partisipan
lebih memilih mengatasi masalah dengan membicarakan masalah, mencari jalan keluar
dan berdoa.
Secara metodologis, penelitian ini memiliki keterbatasan atau kekurangan. Data yang
diperoleh dibatasi dalam bentuk kualitatif, sehingga bagi peneliti yang berorientasi kuantitatif
akan mengalami kesulitan dalam mendiskripsikan secara operasional mengenai pemahaman
terhadap kesehatan mental dan strategi koping. Dengan demikian diharapkan peneliti
selanjutnya dapat mengkombinasikan penelitian dengan menggunakan instrumen kualitatif
dengan instrumen kuantitatif. Selain itu, jumlah riset partisipan dan wilayah penelitian perlu
ditambah berdasarkan studi sosiodemografi, sehingga hasil penelitiannya dapat memberikan
hasil yang lebih komprehensif.
Ucapan terima kasih kepada bapak Yulius Yusak Ranimpi, M.Si., PhD., Psi selaku
Pembimbing I yang telah memberikan arahan, bimbingan, kritik, motivasi dan pengetahuan
yang luas mengenai pembuatan tugas akhir, lalu kepada bapak Dr. Rama Tulus Pilakoannu
selaku Pembimbing II yang telah memberikan kontribusinya dalam membimbing penulis baik
dalam bentuk motivasi, saran, kritik dan juga arahan untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

V. Daftar Pustaka

Giorgi, A. (2009). The descriptive phenomenological method in psychology: A modified


Husserlian approach. Pittsburg, PA. Duquesne
University.

Handono.,dkk. (2013). Hubungan antara penyesuaian diri dan dukungan sosial terhadap
stress lingkungan pada santri baru. Emphaty. 1(2);79-89.

Jailani MS. (2013). Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi , Fenomenologi , Grounded


Theory , dan Studi Kasus). Edu-Bio. 41–9.

Kementrian Hukum. (2014). Undang-undang No 18 tahun 2014. Buletin. Diakses pada 12


Februari 2018. www. Peraturan.go.id

72
Kesehatan Mental dan Koping Strategi di Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah: Suatu
Studi Sosiodemografi
(Feri Agung Saputra, Yulius Yusak Ranimpi, dan Rama Tulus Pilakoannu)

Kementerian Kesehatan RI.(2016). Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat.


(Dipublikasikan) 6 Oktober 2016. Available From:
Http://Www.Depkes.Go.Id/Article/Print/16100700005/Peran-Keluarga-Dukung-
Kesehatan-Jiwa-Masyarakat.Html

Khoiroh, Q. (2013). Hubungan strategi coping dengan tingkat premenstrual syndrome pada
mahasiswi fakultas psikologi universitas islam negeri maulanan malik ibrahim. (thesis).
Dipublikasikan. Fakultas Psikologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik.

Kurniawa,Y, Sulistyarini, I. (2016). Komunitas Sehati (Sehat Jiwa Dan Hati) Sebagai
Intervensi Kesehatan Mental Berbasis Masyarakat. Jurnal Psikologi Dan Kesehatan
Mental. 1(2); 112-124

Otaya., L. (2015). Urgensi Sikap Mahasiswa Menilai Kemampuan Diri Dalam Belajar
Melalui Asesmen Diri (Self-Assessment). Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. 3(1); 58-
67

Panjaitan.,H. (2014). Pentingnyaa Menghargai Orang lain. Humaniora.5(1);88-96

Putri, Adisty W, Budhi G, dkk. Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia (Pengetahuan , dan
Keterbukaan Masyarakat Terhadap Gangguan Kesehatan Mental ). :252–8.

Profil Kesehatan Indonesia 2014 [Internet]. Vol. 51, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. 2015. 40 p. Available
from:http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf

Robiatul A. (2012). Gambaran Kesehatan Jiwa Pada Anak Usia Sekolah Di SD Negeri 200-
208 Padangsidimpuan Selatan Pemerintah Kota Padangsidimpuan. (23).

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384.

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. R & D. Bandung: Alfabeta

Suhaimi. (2015). Gangguan Jiwa Dalam Perspektif Keehatan Mental Islam. J Risal.
26(4):197–205.

Sujarwo, R (2012). Faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Article.


Diakses pada tanggal 26 januari 2018.
https://www.googleweblight.com/?lite_url=https://gununglaban.wordpress.com/2012/0
3/30/faktor-yang -mempengaruhi-pengetahuan. Tirtawinata., CM . (2013). Mengenal

73
Humanitas
Volume 2 Nomor 1 April 2018

Dan Menemukan Diri Melalui Kebersamaan Dengan Orang Lain. Humaniora 4(2);
1309-1319.

Tirtowinata, CM. 2013. Mengenal dan menemukan diri melalui kebersamaan dengan orang
lain. Humaniora. 4(2); 1309-1319

Wanti Y, Widianti E, dkk. (2016). Gambaran Strategi Koping Keluarga dalam Merawat
Anggota Keluarga yang Menderita Gangguan Jiwa Berat. 89–97.

Wardaningsih S, Rochmawati E, dkk. (2010) Gambaran Strategi Koping Keluarga dalam


Merawat Pasien Skizofrenia di Wilayah Kecamatan Kasihan Bantul. 10(1):55–61.

Wiharjo, GF. 2014. Hubungan Persepsi dengan sikap masyarakat terhadap penderita
skozofrenia di surakarta. (thesis). Dipublikasikan. Fakultas Psikologi. Universitas
Muhamaddiyah Surakarta.

74

You might also like