Penggunaan Banten Daun Di Pura Dadia Alangkajeng Di Kelurahan Lelateng Kabupaten Jembrana (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu)
Penggunaan Banten Daun Di Pura Dadia Alangkajeng Di Kelurahan Lelateng Kabupaten Jembrana (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu)
Penggunaan Banten Daun Di Pura Dadia Alangkajeng Di Kelurahan Lelateng Kabupaten Jembrana (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu)
Oleh :
I Made Dwi Mardawa¹, I Ketut Sudarsana², I.G.N. Agung Wijaya Mahardika³
¹²³Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
¹mardawa@gmail.com, ²iketutsudarsana@ihdn.ac.id, ³wijayamahardika@gmail.com
Abstract
The phenomenon of religiousness in Bali shows the existence of various
uniqueness and uniqueness itself. One form of uniqueness can be found on the use of
leaf banten in Pura Dadia Alangkajeng, Apparently, this is related to the myth and role
of leaf banten for klen Alangkajeng. This particularity is interesting to be studied more
deeply so that the overall function and value in it becomes more clear. Problems raised
in this study are: (1) Why is leaf banten used as a means of ceremony in Pura Dadia
Alangkajeng ?; (2) What is the function of leaf banten in Pura Dadia Alangkajeng ?; (3)
What is the value of Hindu religion education contained in the use of leaf banten in
Pura Dadia Alangkajeng? This research is categorized into qualitative research using
religious theory; the theory of structural functionalism; and constructivism theory.
Qualitative data in this research is obtained by data collection method, consist of
observation, interview, and document study which is processed by data analysis method
with three stages: data reduction, data presentation and conclusion drawing.
The leaf banten function for Alangkajeng clan is 1) the magical religious function
of expressing the religious system (carrying out religious activities) and the conception
of belief in God with all his manifestations; 2) social function, to strengthen the
solidarity of family members of Dadia Alangkajeng; intensify the solidarity of family
members; and show family identity; and 3) the function of education, to guide the
Alangkajeng clan to behave in accordance with the conception of Tri Kaya Parisudha.
The values of Hindu religious education in the use of leaf banten in Pura Dadia
Alangkajeng help clan members in the process of self evolution to a more perfect, noble,
and happy stage. These values are (1) the value of tattwe education, ie belief in the
omnipotence of God (Bhattara Shiva) as the ultimate reality; (2) the value of ethical
education that leads to the purification of mind (manacika parisuddha); sanctification
of words (wacika parisuddha); and the sanctification of deeds (kayika parisuddha) and
(3) the value of education of the event, marked by the presence of kuna drsta which
underlies the execution of yadnya ceremony by using leaf banten; as well as piodalan
ceremony in Pura Dadia conducted according to the time calculation in wariga system.
I. PENDAHULUAN
Agama Hindu yang berkembang di Indonesia menurut Sura (2002: 14) adalah
paham Saiwasiddhanta yang awal mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi
dalam perkembangannya beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk
kebudayaan baru, yaitu apa yang disebut dengan kearifan lokal. Kearifan lokal dalam
47
perkembangannya menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk
menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari luar. Hal semacam ini yang
menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis pada tingkat dipermukaan. Artinya,
agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah
sehingga menjadikan agama Hindu di Indonesia mempunyai warna yang berbeda
dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (dalam Haedi, 1986: 72)
bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang
menumbuhkan kebudayaan Hindu di Indonesia, yang tetap memperlihatkan
kekhasannya.
Salah satu bentuk keterpaduan antara budaya asli nusantara dengan agama
Hindu yang datang dari India adalah bentuk dan fungsi tempat suci, baik itu candi pada
zaman dahulu maupun pura seperti yang dikenal sekarang. Kepercayaan dan pemujaan
roh nenek moyang (leluhur) yang merupakan kebudayaan asli Indonesia berdampingan
dengan pemujaan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya, yaitu para dewa. Hal
itu terlihat pada candi sebagai tempat penggabungan antara penyembahan dewa dan
penyembahan roh nenek moyang sebagaimana diungkapkan oleh Soekmono (1990: 21).
Hal serupa, juga dikemukakan oleh Ardhana (dalam Haedi 1986: 75) bahwa Pura di
Bali bersifat dwi fungsi, yaitu sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur (Bhatara)
kebudayaan asli Indonesia dan Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta para
dewa yang merupakan pengaruh dari Agama Hindu India.
II. METODE
Metode adalah sebuah strategi atau langkah yang memegang peranan yang
sangat penting dalam sebuah penelitian. Hal ini disebabkan tercapai tidaknya tujuan
penelitian yang telah dirumuskan sangat tergantung dengan metode yang tepat dan
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau dapat menghasilkan data yang
objektif, valid, konsisten dan variabel.
Jenis penelitian yang digunakan terkait dengan penelitian “Penggunaan Banten
Daun di Pura Dadia Alangkajeng di Kelurahan Lelateng Kecamatan Negara Kabupaten
Jembarana (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu” adalah jenis penelitian kualitatif,
deskriptif karena berdasarkan fakta-fakta yang ada dilapangan, disusun secara sistematis
sesuai dengan apa adanya, mengungkap permasalahan yang telah lewat, yang kemudian
dikaji dan dipaparkan sesuai dengan kealamian permasalahan sehingga memperoleh
gambaran yang lengkap berkenaan dengan permasalahan. Dalam penelitian ini
digunakan beberapa teknik pengumpulan data: (1) Observasi; (2) Wawancara
(Interview); dan (3) Studi Kepustakaan; dan (4) Dokumentasi. Melalui teknik
pengumpulan data tersebut, peneliti menentukan informan melalui dua cara yaitu secara
purposive sampling dan quota sampling.
48
Kehidupan bermasyarakat antara warga yang satu dengan yang lainnya berjalan
sangat harmonis meskipun penuh diwarnai dengan perbedaan baik perbedaan
keyakinan, fisik, finansial dan perbedaan pekerjaan. Hal ini dapat terjadi karena setiap
warganya telah dibekali oleh awig-awig desa yang sudah tentu memberikan aturan
tentang bagaimana hidup harmonis antara orang satu dengan yang lainnya. Masyarakat
tidak pernah memandang perbedaan sebagai suatu yang mengerikan dan harus
dihilangkan melainkan masyarakat memandang, bahwa perbedaan merupakan senjata
yang kuat agar keutuhan dan keharmonisan Kelurahan Lelateng tetap terjaga. Mayoritas
penduduk Kelurahan Lelateng adalah beragama Hindu dan juga didampingi dengan
umat islam, kristen dan budha. Di Kelurahan Lelateng toleransi umat beragama antara
Hindu dan Islam tetap terjaga dengan baik sampai saat ini walaupum pernah diwarnai
oleh beberapa konflik.
Berdasarkan data statistik jumlah penduduk Kelurahan Lelateng tahun 2014-
2015 berjumlah 10.621 jiwa dengan rician jumlah laki-laki 5.361 jiwa dan jumlah
perempuan 5.260 jiwa. Jadi jumlah KK yang berada di Kelurahan Lelateng adalah 3.222
KK. Mata pencaharian masyarakat Kelurahan Lelateng sangat beragam diantaranya :
sebagai petani sawah dan kebun, buruh tani, pengrajin industri rumah tangga, pedagang
keliling, peternak, nelayan, montir, dokter swasta, Pensiunan PNS/TNI/POLRI,
Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, POLRI, bidan swasta, perawat swasta, pembantu
rumah tangga, pengacara, wiraswasta, dukun kampung terlatih, dosen swasta,
pengusaha kecil dan menengah, arsitektur, karyawan perusahaan swasta, karyawan
perusahaan pemerintah dan kerja serabutan. Dari berbagai macam mata pencarian yang
dijalankan masyarakat, mayoritas masyarakat Kelurahan Lelateng bermata pencaharian
sebagai petani dan wiraswasta dan karyawan perusahaan swasta. Hal ini disebabkan
karena Kelurahan Lelateng memiliki pasar pagi yang beroperasi dari pagi, pertokoan
yang masih produktif dan juga dikelilingi oleh lahan-lahan persawahan yang memberi
peluang bagus bagi para peternak dan petani.
Sistem kepercayaan masyarakat Kelurahan Lelateng tidak jauh berbeda dengan
sistem kepercayaan di desa yang lainnya di Bali yang diikuti dengan adat istiadat dan
kebiasaan yang sudah berlaku dari dulu di Kelurahan Lelateng. Sistem kepercayaan
masyarakat Kelurahan Lelateng sangat beragam mengingat bahwa di Kelurahan
Lelateng mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, yang berdampingan pula dengan
Agama islam, Kristen dan Budha. Meski demikian keharmonisan yang ada di Kelurahan
Lelateng tetap tejaga dengan baik. Di Kelurahan Lelateng sangat mengedepankan sikap
tenggang rasa, menjaga kerukunan umat beda agama, menjaga kerukunan antara umat
beragama dan membina hubungan baik dengan masyarakat satu dengan yang lainnya.
Hal itu dapat dilihat pada saat hari raya ataupun melaksanakan suatu kegiatan
keagamaan baik itu Hindu ataupun Islam selalu memberikan makanan sebagai wujud
rasa saling hormat menghomati yang disebut dengan Tradisi Ngejot.
Masyarakat Hindu di Kelurahan Lelateng meyakini bahwa kepercayaan akan
adanya Tuhan, agama dan spiritual adalah satu kesatuan. Agama dan kepercayaan
adalah tuntunan atau ajaran yang diturunkan oleh Tuhan kedunia ini untuk menjadikan
umat manusia saling mencintai, hidup damai dan menjauhkan kehancuran, manusia
dengan kemampuan berpikir, diberi jalan untuk melaksanakan tuntunan tersebut,
sehingga pikiran, perkataan dan perbuatannya selalu sejalan di dalam tempat yang
benar.
Kelurahan Lelateng dipimpin oleh seorang Lurah dan terdiri dari 4 (empat)
Lingkungan Dinas yaitu: Lingkungan Ketapang, Lingkungan Terusan, Lingkungan
Awen dan Lingkungan Awen Merthasari. Yang tiap-tiap lingkunganya dikepalai oleh
Kelian Dinas. Lurah dalam pelaksanaan pemerintahannya juga didampingi oleh
Sekretaris Kelurahan dan Kepala Urusan (Kaur) dalam bidang Pelayanan Umum,
49
bidang Pemberdayaan Umum, bidang Pemberdayaan masyarakat, bidang Ketentraman
dan Ketertiban Masyarakat.
Penggunaan banten daun di Pura Dadia Alangkajeng merupakan tradisi turun-
temurun yang diwarisi sampai saat ini. Menurut pengakuan Mangku Kaduk
(Wawancara, 20 April 2017) penggunaan banten daun terkait dengan mitologi yang
berkembang di kalangan keluarga besar Dadia Alangkajeng. Bagi keluarga besar
Alangkajeng, mitos tersebut diartikan sebagai cerita yang benar dan cerita ini menjadi
milik mereka yang paling berharga karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan
bernilai bagi kehidupan mereka. Keyakinan akan mitos penggunaan banten daun oleh
klen Alangkajeng jika diamati dengan pendapat Elliade (dalam susanto, 1987: 72),
maka mitos-mitos tersebut merupakan model untuk dijadikan referensi tindakan serta
sikap dalam kehidupan mereka. Dalam pandangan Elliade, pada taraf kebudayaan
arkhais, pekerjaan apa saja yang dilakukan manusia mempunyai model adi-manusiawi,
yaitu model karya para dewa. Mereka menemukan contoh-contoh model itu di dalam
mitos dan setiap tindakan manusia dibenarkan dengan mengambil referensi pada mitos.
Lebih lanjut Elliade (dalam Susanto,1987) membagi mitos menjadi lima, yaitu (1) mitos
kosmogoni, (2) mitos asal-usul, (3) mitos tentang dewa-dewa, (4) mitos androgini, dan
(5) mitos akhir dunia.
Banten daun sebagai sarana memohon anugerah berupa kemudahan dalam
memperoleh rejeki mendasari setiap kegiatan klen Alangkajeng dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Dalam rangka itu, mereka memiliki kemantapan hati di dalam
bekerja dan menyerahkan sepenuhnya hasil kerjanya kepada Ida Bhatara-Bhatari.
Artinya, mitos tersebut mempunyai fungsi untuk memotivasi anggota klen Alangkajeng,
bahkan masyarakat sekitar untuk senantiasa berupaya dengan kesungguhan hati bekerja
keras dalam mewujudkan prestasi yang optimal sebagai yadnya kepada Tuhan, Leluhur,
para Rsi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Sesuai dengan konsepsi Catur Purusa
Artha (empat tujuan hidup manusia) bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah
menyatukan Parama Atman dengan Atman, karena itu setiap usaha pencapaian artha
dan kama senantiasa dilandasi dharma dan semua itu pada akhirnya diarahkan untuk
mencapai kelepasan (Moksa).
IV. SIMPULAN
Penggunaan banten daun di Pura Dadia Alangkajeng terkait dengan mitologi
yang berkembang di kalangan keluarga besar Dadia Alangkajeng. Adapun mitos-mitos
tersebut adalah 1) mitos kekuatan kukuh sakti yang dapat menetralisir kekuatan negatif,
2) mitos penyembuhan yang dihubungkan dengan benda-benda pusaka yang terkubur di
bangunan palinggih Sakukuh Sakti dan 3) Mitos memudahkan rejeki bahwa
keberhasilan dalam setiap tindakan berkaitan dengan kekuatan Ratu Sakukuh Sakti yang
diyakini dapat memberikan kerahayuan dan memudahkan rejeki.
Fungsi banten daun di Pura Dadia Alangkajeng berdasarkan analisis
fungsionalisme struktural adalah 1) fungsi religius magis untuk mengekspresikan sistem
religi (melaksanakan aktivitas religius) dan dimanfaatkan oleh klen Alangkajeng untuk
memohon kekuatan-kekuatan gaib yang dapat memberikan kesejahteraan baginya
(jagadhita); 2) fungsi sosial, untuk menguatkan solidaritas anggota keluarga Dadia
Alangkajeng; mengintensifkan solidaritas anggota keluarga; dan menunjukkan identitas
keluarga; dan 3) fungsi pendidikan, untuk menuntun klen Alangkajeng berperilaku
sesuai dengan konsepsi tri kaya parisudha serta mengajarkan untuk mengikuti perilaku
leluhur masa lampau yang memiliki jiwa utama dan berbudi luhur.
Nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dalam penggunaan banten daun di Pura
Dadia Alangkajeng membantu anggota klen di dalam proses evolusi diri ke tahap yang
lebih sempurna, mulia, dan berbahagia. Nilai-nilai pendidikan agama Hindu tersebut
50
adalah (1) nilai pendidikan tattwa, yaitu keyakinan terhadap ke mahakuasaan Tuhan
(Bhattara Siwa) sebagai realitas tertinggi; (2) Nilai Pendidikan Etika ditandai oleh
adanya aturan-aturan tentang pengendalian diri yang mengarah pada penyucian pikiran
(manacika parisuddha); penyucian perkataan (wacika parisuddha); dan penyucian
perbuatan (kayika parisuddha). dan (3) nilai pendidikan àcàra, yang ditandai dengan
adanya kuna drsta yang melandasi pelaksanaan upacara yadnya dengan menggunakan
banten daun; menggunakan bahan-bahan dari segala isi alam daun-daunan dan bunga,
air dan api serta upacara piodalan di Pura Dadia yang dilaksanakan menurut
perhitungan waktu dalam sistem wariga.
DAFTAR PUSTAKA
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Perspektif Mikro. Surabaya:
Insan Cendikia.
Bungin, Burhan. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gajah
Mada University Pers.
Gunadha, Ida Bagus. 1989. Pura Agung Jagadnatha. Denpasar: Institut Hindu Dharma.
Haedi, Ayatroe. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Imron Arifin. 1996. Penelitian Kualitatif dalam ilmu-ilmu Sosial dan Keagamaan.
Malang: Kalimasahada.
Kajeng, I Nyoman. dkk.1999. Sarasamuccaya: Dengan Teks Bahasa Sansekerta dan
Jawa Kuna. Surabaya: Paramita.
Kahmad, Dadang. 2002. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kamiartha, I Made Agus. 1992. Kamus Bali Indonesia: Dengan Istilah Sajen Bali dan
Sarananya. Denpasar: Upada sastra.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia
Pers.
Pudja, Gede. 2002. Kitab Suci Bhagawad Gita: Dengan Teks Bahasa Sansekerta &
Bahasa Indonesia. Surabaya: Paramita.
Sudarma, I Nengah. 2000. “Acara Agama Hindu” Makalah disampaikan dalam
Pendalaman Sradha Generasi Muda Hindu se Bali Kerjasama Pemda Bali
dengan DPD TK I Bali Peradah Indonesia Hotel Segara Kedisan, Kintamani,
Bangli, tanggal 12-16 Juli 2000.
Sudarsana, I. K. (2017). Optimalisasi Pemahaman Ajaran Tri Hita Karana Dalam
Meningkatkan Karakter Siswa Sekolah Dasar (Perspektif Psikologi
Pendidikan). Prosiding Senada 2, 250-256.
Titib, I Made. 2003. Veda: Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
Paramita.
Triguna, Ida Bagus Gede Yudha. 1999. “Beberapa Teori Tentang Sosiologi-Antropologi
Religi”. Modul Mata Kuliah Teori Antropologi Religi. UNHI. Denpasar.
Wiana, I Ketut. 1990. Palinggih di Pamerajan. Denpasar: Pemda Tk. I Bali
Yasa, I Wayan Suka. dkk. 2006. Yoga: Marga Rahayu. Denpasar: Widya Dharma.
51